kasus 4 blok 30

19
Profesionalme Dokter dalam Menangani Pasien dengan Ikatan Hukum D1 Gabby Agustine 102010322 Verdi Danutirto 102012018 Naomi Besitimur 102012113 Jonathan Kurnia Wijaya 102012149 Magdalena Novian 102012211 Hollerik Sahat Efesus 102012304 Selvina 102012396 Martinus Vincentius Tjandra 102012400 Salfarina Azira BT Mat Saridan 102012509 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 1

Upload: gracitageminica

Post on 11-Jul-2016

30 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Profesionalme Dokter dalam MenanganiPasien dengan Ikatan Hukum

D1Gabby Agustine 102010322Verdi Danutirto 102012018Naomi Besitimur 102012113Jonathan Kurnia Wijaya 102012149Magdalena Novian 102012211Hollerik Sahat Efesus 102012304Selvina 102012396Martinus Vincentius Tjandra 102012400Salfarina Azira BT Mat Saridan 102012509

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

PendahuluanIlmu Kedokteran Forensik adalah cabang spesialistik ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum. Proses penegakan hukum dan keadilan merupakan suatu usaha ilmiah, dan bukan sekedar common sense, nonscientific belaka. Dengan demikian, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan.1Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal sudah mulai eksis sejak Stovia pada tahun 1920-an ( dulu bernama Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman ) yang ditekuni oleh dr. H. J. F. Roll yang kemudian menerbitkan buku leerbook der Gerechtelick Geneeskunde. Pada tahun berikutnya, tercatat nama Prof. Sutomo Tjokronegoro, yang juga berkarya di bagian Patologi, melanjutkan pekerjaan di bagian Kedokteran Kehakiman.1

A. Aspek MedikolegalKode Etik KedokteranKodeki yang mengatur mengenai etika dokter dalam membuat surat pernyataan terdapat dalam Kodeki pasal 7 ayat 1,2, dan 8 disebutkan sebagai berikut : (1) Dalam memberikan surat keterangan medis/ahli atau ekspertis dan pendapat ahli apapun bentuk dan tujuannya, dokter wajib mendasarkan isinya pada fakta medis yang diyakininya benar sesuai dengan pertanggungjawaban profesinya sebagai dokter.(2) Surat keterangan dokter dan/atau pendapat/keterangan ahli wajib dibuat dengan penuh kejujuran, kepatutan, ketelitian dan kehati- hatian berdasarkan sumpah jabatan, sesuai ketentuan perundang- undangan dan sedapat mungkin bebas dari konflik kepentingan(3) Seorang dokter dilarang memberikan pendapat mengenai pasien yang diperiksa oleh sejawat lain tanpa permintaan dari pihak berwenang dan tanpa memeriksa atau melihat sendiriJika seorang dokter melanggar hal tersebut dianggap telah melanggar kode etik kedokteran. Di dalam UU No.29 tahun 2004 memang tidak disebutkan secara rinci, bia dokter dianggap tidak jujur dalam membuat surat sehat, tetapi dalam bab VIII pasal 55 disebutkan tugas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah menegakkan disiplin bagi dokter-dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran kemudian menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter serta menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin bagi dokter. Oleh karena itu, MKDKI jika menerima pengaduan tertulis dari pihak yang dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktiknya dan ternyata pengaduan itu terbukti benar, maka MKDKI dapat membetikan sanksi disiplin berupa surat peringatan tertulis, skorsing, sampai dengan pencabutan ijin praktek, juga memberi kewajiban kepada dokter untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran. Perbuatan dokter yang memberikan surat keterangan sakit kepada pasiennya dengan tidak melakukan pemeriksaan yang sebenarnya dan pasiennya juga sebetulnya dalam kondisi yang sehat juga telah melanggar hukum pidana. Apabila kita cermati dalam pasal 267 KUHP disebutkan bahwa:(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat diancam dengan pidana paling lama empat tahun;(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit gila atau menahannya disitu dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan(3) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran Prosedur MedikolegalProsedur klinis(1) Melakukan anamesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik untuk menentukan diagnosa utama dan diagnosa banding(2) Memberikan tindakan pra rujukan sesuai kasus (3) Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan(4) Untuk pasien gawat darurat harus didampingi petugas medis / paramedis yang berkompeten dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien

Prosedur administrative (1)dilakukan setelah pasien diberikan tindakan pra-rujukan(2)membuat catatan rekam medis pasien (3)memberi informed consent (persetujuan / penolakan rujukan) (4)membuat surat rujukan pasien rangkap 2lembar pertama dikirim ke tempat rujukan bersama pasien yang bersangkutan. Lembar kedua disimpan sebagai arsip.Mencatat identitas pasien pada buku regist rujukan pasien.(5) menyiapkan sarana transportasi dan sedapat mungkin menjalin komunikasi dengan tempat rujukan.(6)pengiriman pasien sebaiknya dilaksanakan setelah diselesaikan administrasi yang bersangkutanDalam surat edaran di atas disebutkan bahwa seorang terdakwa atau tahanan boleh berobat ke luar negri asalkan telah menerima surat rekomendasi dari dokter spesialis yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan dokter yang bersangkutan adalah dokter yang telah melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta pemeriksaan-pemeriksaan lain terhadap terdakwa. Seorang dokter tidak boleh merujuk terdakwa hanya berdasarkan hasil rekam medis terdakwa selama berobat ke dokter sebelumnya. Dokter ini harus bertemu pasien langsung dan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan dahulu sebelum yakin bahwa pasien perlu dirujuk. Kodeki pasal 7 ayat 6 dan 8 menyatakan hal sebagai berikut :(1) Seorang dokter wajib melakukan konsultasi atau melakukan rujukan ke sejawatnya yang mempunyai kompetensi untuk memberikan keterangan yang lebih bermutu apabila kasus yang dihadapi di luar kompetensinya.(2) Seorang dokter dilarang memberikan pendapat mengenai pasien yang diperiksa oleh sejawat lain tanpa permintaan dari pihak berwenang dan tanpa memeriksa atau melihat sendiri pasien tersebut.Ketika dokter telah melakukan pemeriksaan langsung terhadap pasien, yang dalam hal ini merupakan tahanan kepolisian dan pasien sendiri meminta dirujuk ke luar negri, maka langkah awal dokter adalah merujuk dahulu ke rumah sakit pemerintah. Jika memang tidak ada dokter spesialis yang dapat menangani kasusnya, maka tahanan boleh dibawa berobat ke luar negeri.1

B. Pemeriksaan PenunjangDalam kasus, pasien menderita penyakit lutut atau osteochondritis genu sehingga ia mengalami hambatan dalam berjalan. Maka, untuk memastikan apakah kondisi pasien memerlukan rawatan atau tidak, beberapa pemeriksaan harus dilakukan ke atas pasien. Pertama, dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik juga disesuaikan dengan keadaan dan kondisi penderita, misalnya penderita yang memerlukan penanganan darurat maka pemeriksaan fisik yang dilakukan seperlunya sesuai dengan kebutuhan yang ada.1. Status generalisDalam pemeriksaan ortopedi secara umum, saat penderita datang pada kita sudah merupakan suatu pemeriksaan awal menyeluruh secara sambil lalu dengan melihat postur dan cara berjalan penderita. Pemeriksaan fisik ortopedi yang dilakukan meliputi pemeriksaan bagian dengan keluhan utama yang dikeluhkan dilakukan secara teliti. Tetapi harus diingat bahwa keluhan pada satu tempat mungkin akibat dari kelainan pada tempat lain, sehingga tidak cukup hanya dengan memeriksa pada tempat dengan keluhan utama. Selain itu, dilakukan pemeriksaan kemungkinan nyeri kiriman dari sumber ditempat lain (reffered pain) Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika penderita datang ke dokter dengan mengamati penampakan umum penderita, raut muka, cara berjalan, cara duduk dan cara tidur, proporsi tinggi badan terhadap anggota tubuh lainnya, keadaan simetris bagian tubuh kiri dan kanan, cara berjalan dan tingkah laku, ekspresi wajah, kecemasan serta reaksi emosional lainnya untuk melihat aspek-aspek emosional dan somatis dari penderita. Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang paling penting dalam memperkuat penemuan-penemuan yang berhasil kita dapatkan dari riwayat dan anamnesis yang telah kita buat dan menambah atau mengurangi pilihan diagnosis yang dapat kita lakukan 2. Pemeriksaan Lokalis : dilakukan secara sitematis dengan urutan-urutan sebagai berikut: Inspeksi (Look) Palpasi (Feel) Kekuatan otot (Power) Penilaian gerakan sendi baik pergerakan aktif maupun pasif (Move) AuskultasiUji-uji fisik khususSetelah itu, dilakukan pemeriksaan penunjang. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar roentgen (X-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang sulit, oleh karena itu minimal diperlukan 2 proyeksi tambahan (khusus) atas indikasi khusus untuk memperlihatkan patologi yang dicari, karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan X-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang tersebut dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Selain foto polos X-ray (plane X-ray) mungkin perlu pemeriksaan dengan teknik khusus seperti: Tomografi : Tomografi telah berkembang lebih maju dengan adanya CT (Computerised Tomografy) yang dapat membuat selain potongan longitudinal juga potongan tranversal / axial. Atau dengan contrast, seperti : Myelografy, Arthrografy, Fistulografy, Scintigrafy menggunakan radioisotope untuk mengetahui penyebaran (metastasis). MRI / NMR (Magnectic Resonance Imaging atau Nuclear Magnectic Resonance)Pemeriksaan penunjang lainnya adalah untuk mengetahui tempat berapa jauh dari patologi musculo skeletal mengakibatkan gangguan saraf, yaitu pemeriksaan : EEG, EMG, MMT. Untuk membedakan kekuatan otot (0 5) dan sensoris atau sensible deficit dengan pemeriksaan neurologist yang baik. Pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya adalah dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui keadaan umum, infeksi akut atau menahun. Atas indikasi tertentu, diperlukan pemeriksaan kimia darah, reaksi imunologi, fungsi hati atau ginjal.3. Pemeriksaan JantungInspeksi Jantung 1. Bentuk dada : - transversal : anteroposterior 2:1 simetris - Dada paralitik / dada kecil - Dada emfisema (Barrel shape)- Dada mengembang 2. Kelainan bentuk : - Kifosis - Skoliosis - Pectus excavatum (dada n tl sternum cekung ke dalam) - Pectus carinatum/ Voussure cardiaque (penonjolan setempat yang lebar di daerah prekordium, di antara sternum dan apeks kordis)3. Kelainan dada yang lain : - Kulit : warna, bintik, spider nevi, tonjolan, bekas jaringan parut, luka operasi- Bendungan vena - Emfisema subkutis - Ginekomastia - Penyempitan/pelebaran iga 4. Pulsasi Jantung : - Iktus kordis di sela iga ke 5 pada midclavicula kiri - Daerah pulsasi 2 cm, di tengahnya punctum maximum Palpasi Jantung 1. Palpasi umumMelekatkan seluruh telapak tangan pada dinding thorak dengan lembut a. Apex kordis b. Ventrikel kanan (sternum kiri ICS 3,4,5) c. Daerah epigastrium d. ICS 2 kiri e. ICS 2 kanan PULSASI - Kadang bila pulsasi tidak ditemukan pada inspeksi, dpt ditemukan secara palpasi -> kuat angkat, frekuensi, kualitas - Pulsasi seperti menggelombang di bawah telapak tangan -> ventrikular heaving - Pulsasi lebar dan bersifat pukulan-pukulan serentak -> ventrikular lift GESEKAN PERICARDIAL (PERICARDIAL FRICTION RUB )Gesekan pericardial adalah gesekan yang sinkron dgn denyut jantung dan tidak berubah menurut pernafasan 2. Palpasi Khusus : ujung jari tgn II,III,IV dgn tek.ringan untuk apeks kordis : a. Lokasi : normal ICS 4/5 LMC kiri b. Diameter : normal 1-2 cm c. Amplitudo : normal spt tepukan ringan d. Durasi iktus kordis : normal 2/3 pertama sistole Bila belum dapat ekspirasi maksimal dan menahan nafas Perkusi Jantung Tujuan : - mendapatkan informasi batas-batas, ukuran dan posisi jantung - mengetahui apakah organ berisi udara, cairan/massa padat. Tapi, hanya menembus 5-7 cm, sehingga tidak dapat mendeteksi lesi lebih dalam.Auskultasi Jantung Menggunakan stetoskop -> 2 macam 1. Bentuk sungkup/ bel ->nada rendah, di daerah mitral n trikuspid 2. Bentuk diafragma -> nada tinggi, di daerah aorta

C. Sistem RujukanSurat Rujukan Berobat untuk Tahanan Memperhatikan semakin banyak tersangka/terdakwa perkara pidana umum maupun khusus yang mengajukan ijin berobat ke luar negri dengan berbagai alasan dan ternyata ijin berobat ke luar negri banyak disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh tersangka/terdakwa untuk menghindari proses penyidikan, penuntutan atau eksekusi putusan pengadilan, maka dibuatlah surat edaran tahun 2004 oleh Kejaksaan Agung RI. Mengingat Pasal 33 Undang-undang No.5 I Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dan untuk mengantisipasi hal-hal diatas, dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut:(1) Pada prinsipnya seorang tersangka/terdakwa perkara tindak pidana (umum/ khusus) yang perkaranya sedang dalam proses penyidikan atau penuntutan tidak diijinkan untuk berobat ke luar negeri, karena rumah sakit rumah sakit di Indonesia pada umumnya telah dapat mengobati semua jenis penyakit. Ijin berobat ke luar negeri hanya dapat diberikan terhadap kondisi-kondisi dan jenis penyakit tertentu yang belum dapat diobati di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia(2) Ijin berobat ke luar negeri bagi tersangka/terdakwa hanya dapat diberikan oleh Jaksa Agung RI setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.(3) Ijin berobat ke luar negeri harus diajukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter sepesialis penyakit yang bersangkutan, dan dilengkapi surat keterangan resmi dari Rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk untuk dapat memberikan rujukan guna berobat ke luar negeri (Rumah Sakit Umum Pusat Cipto MangunKusumo Jakarta) dengan penjelasan bahwa rumah sakit di Indonesia belum dapat memberikan pelayanan medis / pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh tersangka/terdakwa.(4) Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung Ri, melalui jalur berjenjang (Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, Jaksa Agung Muda yang bersangkutan) dengan menjelaskan nama dan alamat lengkap rumah sakit di luar negeri yang akan merawat tersangka/terdakwa agar sewaktu-waktu dapat dihubungi.(5) Harus ada jaminan dari tersangka/terdakwa dan keluarganya bahwa tersangka/terdakwa yang bersangkutan akan segera kembali ke Indonesia setelah rumah sakit yang bersangkutan memberikan keterangan bahwa tersangka/terdakwa dapat dirawat kembali di Indonesia.(6) Kejaksaan yang menangani perkara tersangka/terdakwa yang berobat ke luar negeri wajib memantau dan meminta perkembangan hasil pengobatan tersangka/terdakwa dari rumah sakit di luar negeri yang bersangkutan, sekurang kurangnya I (satu ) bulan sekali, dan meminta penjelasan masih perlu atau tidaknya tersangka/terdakwa dirawat di rumah sakit tersebut. Laporan hasil pemantauan dikirim setiap bulan kepada Jaksa Agung RI., tembusan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen dan Jaksa Agung Muda yang bersangkutan.Pasien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan layak untuk dirujuk. Adapun Kriteria pasien yang dirujuk adalah apabila memenuhi salah satu dari :1. Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi. 2. Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata tidak mampu diatasi. 3. Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan. 4. Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu.

D. Syarat Prosedur Hukum PasienDalam hukum pidana di Amerika Serikat ada konsep "unfit to stand trial" yangartinya terdakwa, karena penyakit fisik atau penyakit jiwa, tidak sanggupturut serta dalam mempertahankan dirinya dalam proses pengadilan atau waktudia diadili. Seorang terdakwa dinyatakan unfit to stand trial oleh seoranghakim kalau menurut seorang ahli (dokter kalau penyakit fisik, psikologklinis atau psikiater kalau penyakit jiwa) dikemukakan dengan jelas bahwaterdakwa:1. tidak mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi yang relevan denganpengacara dia sendiri2. tidak mengetahui atau tidak memahami (atau tidak punya kesanggupanmengetahui dan memahami) tuduhan-tuduhan terhadap dirinya, prosedur-prosedur pengadilan,akibat-akibat diadili, dan fungsi atau peranan mereka yang turut serta dalampengadilan (Misalnya sudah kehilangan kemampuan untuk mengetahui apa kerjaseorang hakim, atau apa artinya dia dituduh korupsi)3. tidak dapat (atau tidak mempunyai kesanggupan) mengingat dan mengemukakankejadian-kejadian, termasuk tingkah laku dia sendiri, yang meyebabkan adanya tuduhan-tuduhan pada dirinya (misalnya terdakwa, karena penyakit fisik atau jiwa, sudahkehilangan kemampuan untuk memahami mengapa dia dituduh korupsi, atau tidaktahu dimana dan apa perbuatan dia waktu kejahatan itu terjadi)4. tidak sanggup mengikuti atau menuruti peraturan tata sopan dsb yang harusditunjukan dipengadilan; tidak mempunyai kesanggupan untuk mengetahui siapadirinya, dimana dia berada, mengapa dia ada dipengadilan, dsb.Pada umumnya di pengadilan di Amerika terdakwa yang dinyatakan unfit tostand trial oleh seorang hakim diharuskan diobati di rumahsakit jiwa kalaupenyakit yang menyebabkan dia menjadi unfit to stand trial itu penyakit jiwa, ataudapat juga hakim mengharuskan terdakwa diobati di luar rumah sakit. Hukumpidana di Amerika mengharuskan dokter (psikolog klinis, pskiater, atau dokterahli bidang apapun yang mengobati terdakwa) mengirimkan laporan pada si hakimtentang kondisi terdakwa. Laporan yang pertama biasanya harus dikirimkan 30hari dari waktu dia dinyatakan unfit to stand trial; laporan selanjutnyadikirimkan setiap 3 bulan. Tetapi seandainya jika sang ahli berpendapat bahwaterdakwa sudah sembuh, dimana artinya sekarang terdakwa punya kesanggupan terhadap empat hal di atas, artinya terdakwa sekarang telah fit to stand trial(sanggup turut serta dalam mempertahankan dirinya di pengadilan dsb), sang ahliharus segera melaporkan pada hakim. Demikian laporan itu diterima, hakimharus menentukan tanggal suatu sidang atau hearing dimana laporan ituditerima atau tidak diterima oleh semua pihak. Biasanya pihak jaksa menerima,dan pihak defense atau pengacara si terdakwa menolak. Setelah kedua pihakmengemukakan argumen-argumennya, jaksa atau juri, baru menentukan apakah terdakwasudah fit to stand trial, atau sekarang sudah bisa diadili atau tidak.Sering terjadi dokter yang mengobati bukan orang yang mengevaluasiterdakwa. Juga harus dipahami bahwa meskipun terdakwa sudah dinyatakansembuh oleh dokter, tidak selalu berarti terdakwa punya kesanggupan-kesanggupan yangdisebut fitness to stand trial (yang 4.macam diatas). Juga karenakesanggupan-kesanggupan itu bersifat tingkahlaku dan mental (misalnya kesanggupanmemahami arti tuduhan pada dia, kesanggupan mengingat apa yang dia lakukanpada hari-hari terjadinya kejahatan dsb) sering ahli yang ditunjuk pengadilanuntuk mengevaluasi terdakwa adalah ahli psikologi klinis atau psikiater. Setelah terdakwa diobati atau dalam prosesdiobati si ahli pengevaluasi ini harus melaporkan hanya satu dari tigakesimpulan: 1. Terdakwa sekarang sudah fit to stand trial (dapat diadili); 2.Terdakwa sekarang belum fit to stand trial tapi dikira akan fit dalam waktusatu tahun (belum bisa diadili) ; 3.Terdakwa tetap unfit to stand trial dandikira tidak mungkin menjadi fit to stand trial dalam waktu satu tahun (tidakmungkin atau tidak dapat diadili).Seandainya seorang ahli ilmu jiwa klinis melaporkan dan memberi kesaksianahli yang mengatakan terdakwa tetap unfit to stand trial dan dikira tidakakan fit dalam waktu satu tahun, dan seandainya hakim berkesimpulan samasetelah mendengar kedua belah pihak pada suatu sidang atau hearing, maka salahsatu dari tiga kemungkinan terjadi: 1. Terdakwa dibebaskan dari semua tuduhandan bisa pulang; 2. Terdakwa harus tinggal dirumah sakit jiwa tidak lebihlama dari hukuman seandainya dia bersalah; 3. Berdasarkan bukti-bukti yang ada,pengadilan menyatakan terdakwa bersalah atau tidak; kalau dianggap bersalahdia harus tinggal dirumahsakit jiwa, kalau tidak dia bebas pulang.Suatu aspek atau sisi yang amat penting dalam pemeriksaan atau evaluasiunfitness to stand trial ialah penentuan apakah si terdakwa malingering, atauberpura-pura sakit dan dengan sukses telah menimbulkan gejala-gejala suatu penyakitdalam dirinya, hanya untuk menghindari pengadilan atau menghindari masukpenjara. Karena pemeriksaan malingering itu termasuk bidang psikologi klinisdan pskiatri, pengadilan di Amerika sering menunjuk seorang psikolog klinis(atau forensic clinical psychologist) atau pskiater (forensic psychiatrist)untuk menentukan apakah seorang terdakwa itu fit atau unfit to stand trial.2

E. Interpretasi TemuanSeorang laki-laki, pasien lama, meminta tolong di berikan surat rujukan berobat osteochondritis genu ke profesor di jepang untuk kakak kandungnya, yang juga memiliki riwayat penyakit jantung dan penyakit lever. Akan tetapi sang kakak merupakan tahanan kasus tindak pidana korupsi. Mengingat Pasal 33 Undang-undang No.5 I Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dengan ini diberikan petunjuk mengenai surat rujukan terhadap tahanan sebagai berikut:(1) Pada prinsipnya seorang tersangka/terdakwa perkara tindak pidana (umum/ khusus) yang perkaranya sedang dalam proses penyidikan atau penuntutan tidak diijinkan untuk berobat ke luar negeri, karena rumah sakit rumah sakit di Indonesia pada umumnya telah dapat mengobati semua jenis penyakit. Ijin berobat ke luar negeri hanya dapat diberikan terhadap kondisi-kondisi dan jenis penyakit tertentu yang belum dapat diobati di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia(2) Ijin berobat ke luar negeri bagi tersangka/terdakwa hanya dapat diberikan oleh Jaksa Agung RI setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.(3) Ijin berobat ke luar negeri harus diajukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter sepesialis penyakit yang bersangkutan, dan dilengkapi surat keterangan resmi dari Rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk untuk dapat memberikan rujukan guna berobat ke luar negeri (Rumah Sakit Umum Pusat Cipto MangunKusumo Jakarta) dengan penjelasan bahwa rumah sakit di Indonesia belum dapat memberikan pelayanan medis / pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh tersangka/terdakwa.(4) Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung Ri, melalui jalur berjenjang (Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, Jaksa Agung Muda yang bersangkutan) dengan menjelaskan nama dan alamat lengkap rumah sakit di luar negeri yang akan merawat tersangka/terdakwa agar sewaktu-waktu dapat dihubungi.(5) Harus ada jaminan dari tersangka/terdakwa dan keluarganya bahwa tersangka/terdakwa yang bersangkutan akan segera kembali ke Indonesia setelah rumah sakit yang bersangkutan memberikan keterangan bahwa tersangka/terdakwa dapat dirawat kembali di Indonesia.(6) Kejaksaan yang menangani perkara tersangka/terdakwa yang berobat ke luar negeri wajib memantau dan meminta perkembangan hasil pengobatan tersangka/terdakwa dari rumah sakit di luar negeri yang bersangkutan, sekurang kurangnya I (satu ) bulan sekali, dan meminta penjelasan masih perlu atau tidaknya tersangka/terdakwa dirawat di rumah sakit tersebut. Laporan hasil pemantauan dikirim setiap bulan kepada Jaksa Agung RI., tembusan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen dan Jaksa Agung Muda yang bersangkutan.

Kesimpulan Seorang dokter tidak dapat langsung merujuk pasien tahanan keluar negeri. Hal ini dikarenakan oleh hukum yang berlaku sehingga kita harus merujuk pasien terlebih dahulu ke dokter ahli di rumah sakit pemerintah. Bila pada nantinya tidak ada dokter dalam negeri yang dapat menangani kasus tersebut barulah kita dapat merujuk pasien tersebut ke dokter ahli di luar negeri. Namun rumah sakit tempat kita merujuk tersebut harus dapat memberikan surat pernyataan bahwa pasien dengan status tahanan tersebut dapat dikembalikan untuk dirawat di negara asalnya.

Daftar Pustaka1. Isnoviana M. Akibat hukum pemberian surat keterangan sakit terhadap pasien. Perspektif : XI ;20122. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Edisi kedua. Bagian Kedokteran Forensik FK Uni. Indonesia. Jakarta; 20143. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Cetakan ke-2. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2007.hal.30-1, 79-83, 138-9.4. Kode etik kedokteran. Diunduh dari http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/Kode-Etik-Kedokteran.pdf, pada 6 januari 2016.5. Hanafiah J, Mair A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2013.hal.83-90.6. Hendrik. Etika dan hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2012.hal.51-5.

15