blok 30 sken 5 loli.docx

Upload: theresia-lolita-setiawan

Post on 07-Mar-2016

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Peranan Dokter dalam Pengambilan Keputusan Secara Etik dalam Tindakan MiliterTheresia Lolita Setiawan102012355A6Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510Email: [email protected]

PendahuluanPola pikir manusia dari tahun ke tahun terus berkembang. Hal ini terwujud dalam berbagai kemajuan ilmu dan teknologi yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu dan teknologi mempengaruhi perkembangan ilmu kedokteran dan profesi kedokteran. Kemajuan tersebut selain menyebabkan peningkatan kualitas profesi kedokteran, juga menyebabkan timbulnya aneka ragam permasalahan, antara lain mahalnya pelayanan medik. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi terjadi pula perubahan tata nilai dalam masyarakat, misalnya hal-hal yang dulu dianggap wajar, dewasa ini dikatakan tidak wajar ataupun sebaliknya. Masyarakat pun semakin kritis dalam memandang maalah yang ada, termasuk pelayanan yang diberikan di bidang kesehatan. Masyarakat kini menuntut agar seorang dokter atau suatu instansi kesehatan memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Tidak jarang masyarakat merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan yang ada dan tidak tertutup kemungkinan seorang dokter akan di tuntut di pengadilan. Untuk menghindari hal-hal diatas, jelaslah bahwa profesi kedokteran membutuhkan pedoman sikap dan perilaku tang harus dimiliki oleh seorang dokter. Pedoman yang demikian dikenal dengan nama Kode Etik Kedokteran. Untuk menjalankan dan mengamalkan kode etik tersebut seorang dokter juga harus sudah dibekali dengan wawasan keagamaan yang kuat karena dalam ilmu agama sudah tercakup pengetahuan mengenai moral dan akhlak yang baik antara sesama manusia.

Aspek EtikaEtika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethikos yang berarti timbul dari kebiasaan adalah cabangutama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab. Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin moralitas adalah istilahmanusiamenyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan prosessosialisasiindividu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan prosessosialisasi. Moral dalamzamansekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit.1BioetikEtika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik-buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk melihat hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian). 1Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules di bawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah beneficence, non-maleficence, justice dan autonomy. 11. Beneficence: prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).

Pada scenario ini, prinsip beneficence yang dapat dilakukan dokter untuk pasiennya yangmerupakan tersangka adalah dengan tetap menjaga kesehatan fisik, jiwa serta psikis tersangka agar informasi yang didapatkan juga lebih banyak, berbobot sehingga dapat lebih berguna untuk kepentingan penyidik, karena jika dalam keadaan sakit, maka informasi juga sulit didapat dan runtutan kejadian yang diceritakan tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.2. Non-maleficence: prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no harm. Pada kaidah ini, dokter tidak boleh melakukan kekerasan terhadap pasien, dan dalam tugasnya memantau, seorang dokter diharapkan agar mengingatkan penyidik untuk tidak melukai nerlebihan tersangka agar tidak terjadi kecacatan psikis atau mental maupun kematian tersangka.3. Justice: prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Pada scenario ini, dokter juga harus lebih mementingkan kepentingan orang banyak (masyarakat di mall yang diduga telah terdapat bom didalamnya), dibanding mengutamakan pasiennya yang merupakan tersangka penempatan bom tersebut.4. Autonomy: prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral ini lah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent. Dalam scenario ini, tidak begitu mencolok kaidah otonomi pada pasien tersangka pengeboman tersebut.Sedangkan rules derivat dari keempat kaidah tersebut adalahveracity(berbicara benar, jujur dan terbuka),privacy(menghormati hak privasi pasien),confidentiality(menjaga kerahasiaan pasien) danfidelity(loyalitas dan promise keeping). 1Sumpah DokterSumpah dokter berisikan suatu kontrak moral antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya sedangkan kode etik kedokteran berisikan kontrak kewajiban moral antara dokter denganpeer-groupnya, yaitu masyarakat profesinya. Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi pemimpin dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis. 1Sumpah Dokter Indonesiaadalahsumpahyang dibacakan oleh seseorang yang akan menjalani profesidokterIndonesiasecara resmi. Sumpah Dokter Indonesia didasarkan atasDeklarasi Jenewa(1948) yang isinya menyempurnakanSumpah Hippokrates. 1Adapun lafal dari sumpah dokter Indonesia adalah :Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya;Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bermoral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya;Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan;Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter;Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran;Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan;Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial;Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya. 1Pada skenario ini maka yang harus dipegang teguh oleh dokter tersebut adalah kalimat ke 1, 3, 4, 6, 8 dan 10. Dokter harus membaktikan hidup dan keilmuannya untuk perikemanusiaan dan tidak memihak manapun demi kepentingan pribadi, atau pun kelompok lain dan senantiasa menjaga kesehatan tersangka.KODEKISelain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Pada peraturan KODEKI bagian kewajiban umum pasal 8 dan 9 menyatakan bahwa:Pasal 8. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.Pasal 9. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus memelihara saling pengertian sebaik-baiknya.Pada bab II KODEKI yaitu kewajiban Dokter terhadap Penderita, berisikan hal sebagai berikut Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup mahluk insani. 1Delarasi Hak Asasi Manusia (HAM) InternasionalDeklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights adalah sebuah deklarasi yang di adopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, Perancis melalui General Assembly Resolution 217 A (III). Deklarasi ini merupakan standar umum yang menyatakan bahwa hak asasi manusia secara internasional haruslah dilindungi.2Deklarasi ini merupakan pernyataan umum pertama dari masyarakat dunia tentang hak asasi manusia dan di dalamnya termuat 30 pasal. Deklarasi ini kemudian mengilhami lahirnya berbagai perjanjian internasional, instrumen hak asasi manusia di tingkat regional, konstitusi masing masing negara, dan UU di masing masing negara yang terkait dengan isu isu hak asasi manusia.2Secara umum, International Bill of Human Rights terdiri dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik beserta dua optional protocolnya -, dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 2Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia2 Pasal 3(1)Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.(2)Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum. (3)Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi.

Pasal 4Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pasal 5(1)Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang samasesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan hukum.(2)Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.(3)Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Pasal 9(1)Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.(2)Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.(3)Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 17Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemerikasaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Pasal 18(1)Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.(2)Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.(3)Setiap ada perubahan dalam peraturan perudang-undangan maka beralaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.(4)Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.(5)Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbutan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasal 29(1)Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.(2)Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi dimana saja ia berada. Pasal 30Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Pasal 33(1)Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.(2)Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Pasal 34Setiap orang tidak boleh ditangkap, dittahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenag-wenang. Pasal 35Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tentram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.Kewajiban setiap individu menurut undang-undang no 39 tahun 1999 antara lain: Pasal 67Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Pasal 69Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, meneggakan, dan memajukannya. Pasal 70Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. \2Konvesi Internasional tentang Penghapusan Penganiayaan Convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment (konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atas penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat). Yang selanjutnya disebut CAT, yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1984, mulai berlaku pada 27 Juni 1987.3 Pemantauan pelaksanaan CAT di negara-negara pihak dilakukan oleh komite menentang penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan CAT dan yang beranggotakan sepuluh pakar independen. Dalam rangka pelaksanaan mandat pemantauannya, komite ini memeriksa laporan berkala pelaksanaan CAT di negara-negara pihak, membuat komentar umum atas laporan tersebut dan menyampaikan kepada negara pihak yang bersangkutan. 3Mengingat Deklarasi Perlindungan bagi Semua Orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang disetujui Majelis Umum dalam resolusi 34529(XXX) pada l 9 Desember 1975. Mengingat pula Resolusi 32/62 pada 8 Desember 1977 yang berisi permintaan agar Komisi Hak Asasi Manusia membuat konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dengan mengacu pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi. 3 Mengingat lebih lanjut bahwa, dalam resolusi 38/119, 16 Desember 1983, Komisi Hak Asasi Manusia diminta pada sidangnya yang keempatpuluh mengutamakan penyelesaian konsep konvensi menentang penyiksaan supaya konsep tersebut, termasuk ketentuan-ketentuan agar penerapan konvensi itu efektif, diserahkan kepada kepada Majelis Umum pada sidang ke-39. 3 Memperhatikan dengan seksama resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1984/21, 6 Maret 1984, yang berisi keputusan Komisi untuk menyerahkan naskah konsep konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, yang tercantum dalam lampiran pada laporan Kelompok Kerja agar dipertimbangkan Majelis Umum, Berkeinginan melakukan penerapan yang lebih efektif larangan-larangan yang masih ada berdasarkan hukum internasional dan nasional terhadap praktek penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. 31. Menyatakan penghormatan atas hasil kerja yang dicapai Komisi Hak Asasi Manusia dalam mempersiapkan naskah konsep konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.2. Menyetujui dan membuka Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia yang termuat dalam lampiran resolusi ini agar ditandatangani, diratifikasi dan disetujui.3. Meminta semua pemerintah agar mempertimbangkan prioritas penandatanganan dan ratifikasi Konvensi. 3Mengingat bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas hak yang sama dan tidak dapat dicabut bagi semua umat manusia merupakan landasan kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, Mengakui bahwa hak tersebut berasal dari martabat manusia secara pribadi, Mengingat kewajiban Negara-Negara berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama Pasal 55, adalah memajukan penghormatan dan ketaatan universal terhadap hak asasi dan kebebasan dasar manusia. 3Dengan menghormati Pasal 5 Deklarasi Universal Hak asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang keduanya menyatakan bahwa tak seorangpun boleh menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, Dengan menghormati pula Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975, Berkeinginan untuk menjadikan perjuangan lebih efektif melawan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di seluruh dunia, Telah menyepakati hal-hal berikut: 3

Pasal 1 1. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah penyiksaan berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku. 2. Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional atau peraturan perundang-undangan nasional yang benar-benar atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan penerapan yang lebih luas. Pasal 2 1. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya. 2. Tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. 3. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. Pasal 3 1. Tidak ada satu Negara Pihak pun yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang ke Negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat menjadi sasaran penyiksaan. 2. Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu, pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi manusia di Negara tersebut.

Pasal 4 1. Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa tindakan penyiksaan adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya. Hal yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan, dan bagi suatu tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang terlibat atau turut serta dalam penyiksaan. 2. Setiap Negara Pihak harus mengatur agar pelanggaran-pelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan mempertimbangkan sifat kejahatannya. Pasal 5 1. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menetapkan kewenangan hukumnya atas pelanggaran yang disebut pada pasal 4 dalam hal-hal berikut: Apabila pelanggaran dilakukan di dalam suatu wilayah hukumnya atau di atas kapal laut atau pesawat terbang yang terdaftar di Negara itu; Apabila yang dituduh melanggar adalah warga dari Negara tersebut; Apabila korban dianggap sebagai warga dari Negara tersebut, dan Negara itu memandangnya tepat.2. Setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan seperlunya untuk menetapkan yurisdiksinya atas pelanggaran, dalam kasus yang dituduh sebagai pelaku pelanggaran berada di wilayah kekuasaannya dan Negara itu tidak mengekstradisikannya sesuai dengan pasal 8 ke Negara lain sebagaimana disebut dalam ayat 1 pasal ini. 3. Konvensi ini tidak mengesampingkan kewenangan hukum pidana apapun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional. Pasal 6 1. Setelah merasa yakin, melalui pemeriksaan informasi yang tersedia untuk itu bahwa keadaan menghendakinya, semua Negara Pihak yang di wilayahnya terdapat orang yang dituduh telah melakukan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4, akan menahan orang itu atau mengambil tindakan hukum lain untuk menjamin kehadirannya. Penahanan dan tindakan hukum itu harus disesuaikan dengan hukum Negara tersebut, tetapi dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang diperlukan agar prosedur pidana atau ekstradisi mungkin dilaksanakan. 2. Negara tersebut harus segera membuat penyelidikan awal berdasarkan fakta yang ada. 3. Seseorang yang ditahan berdasarkan ayat 1 dari pasal ini harus dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan Negara yang tepat dan terdekat di mana ia menjadi warga negara, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan Negara tempat ia biasanya menetap. 4. Apabila suatu Negara, sesuai dengan pasal ini, telah menahan seseorang, negara tersebut harus segera memberitahu Negara yang disebut dalam pasal 5 ayat 1 tentang kenyataan bahwa orang tersebut berada dalam tahanan beserta alasan penahanannya. Negara yang melakukan penyelidikan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal ini akan segera melaporkan temuannya kepada Negara tersebut dan menunjukkan apakah pihaknya akan melaksanakan kewenangan hukum. Pasal 7 1. Negara Pihak yang di wilayah kewenangan hukumnya ditemukan seseorang yang diduga telah melakukan pelanggaran sebagaimana disebut dalam pasal 4, dalam kasus yang dimaksud dalam pasal 5, jika Negara itu tidak mengekstradisinya, akan mengajukan kasus itu kepada pihak yang berwenang untuk tujuan penuntutan. 2. Pihak-pihak yang berwenang ini akan mengambil keputusannya dengan cara yang sama seperti dalam kasus pelanggaran biasa lain yang menurut hukum itu merupakan tindak pidana berat. Dalam kasus yang disebut dalam pasal 5, ayat 2, standar pembuktian yang diperlukan untuk penuntutan dan penghukuman sama sekali tidak boleh lebih longgar dibandingkan dengan standar pembuktian yang diterapkan dalam kasus-kasus yang disebut dalam pasal 5, ayat 1. 3. Setiap orang yang diajukan ke sidang pengadilan sehubungan dengan suatu pelanggaran yang disebut dalam Pasal 4 akan mendapat jaminan perlakuan yang adil dalam setiap tahap pengadilan. Pasal 8 1. Pelanggaran yang disebut dalam pasal 4 harus dianggap sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian yang telah dibuat di antara Negara-Negara Pihak Negara-Negara Pihakmemasukkan pelanggaran semacam ini sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang disepakati di antara Negara- Negara itu. 2. Kalau suatu Negara Pihak yang mensyaratkan adanya suatu perjanjian untuk melakukan ekstradisi menerima permohonan ekstradisi dari suatu Negara Pihak lain yang tidak memiliki perjanjian ekstradiksi dengannya, maka Negara Pihak tersebut dapat menganggap Konvensi ini sebagai dasar hukum bagi ekstradisi yang berkenaan dengan pelanggaran semacam itu. Ekstradisi ini tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum Negara yang menerima permohonan.

3. Negara-Negara Pihak yang tidak mensyaratkan adanya suatu perjanjian untuk melakukan ekstradisi harus mengakui pelanggaran semacam itu sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisi di antara mereka sendiri yang tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum Negara yang menerima permohonan. 4. Pelanggaran seperti itu harus diperlakukan, untuk keperluan ekstradisi antara Negara- Negara Pihak, sebagai tindak pidana yang dilakukan tidak hanya di tempat terjadinya pelanggaran itu tetapi juga di wilayah Negara yang diminta untuk menetapkan kewenangan hukumnya sesuai dengan pasal 5, ayat 1. Pasal 9 1. Negara-Negara Pihak akan saling memberi bantuan sebesar-besarnya sehubungan dengan perkara pidana yang diajukan berkenaan dengan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4, termasuk pemberian semua bukti yang mereka miliki yang diperlukan untuk penyelesaian perkara itu. 2. Negara-Negara Pihak harus melaksanakan kewajibannya berdasarkan ayat 1 pasal ini sesuai dengan semua perjanjian timbal-balik yang mungkin ada di antara Negara-Negara tersebut. Pasal 10 1. Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dicantumkan dalam pelatihan bagi para petugas penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pegawai pemerintah, dan orang-orang lain yang mungkin terlibat dalam penahanan, interogasi atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara. 2. Setiap Negara Pihak mesti mencantumkan larangan ini dalam peraturan atau instruksi yang dikeluarkan sehubungan dengan tugas dan fungsi orang-orang tersebut di atas.Pasal 11 Setiap Negara Pihak harus senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan.

Pasal 12 Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi-instansi yang berwenang melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya. Pasal 13 Setiap Negara Pihak harus menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak yang berwenang. Langkah-langkah harus diambil untuk menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau kesaksian mereka. Pasal 14 1. Setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti-rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam peristiwa korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan ganti-rugi. 2. Dalam Pasal ini tidak ada hal apapun yang mengurangi hak korban atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam hukum nasional. Pasal 15 Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah ditetapkan sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan tidak digunakan sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu telah dibuat. Pasal 16 1. Setiap Negara Pihak harus mencegah di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1, apabila tindakan semacam itu dilakukan atas atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi.

2. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam pasal 10, 11, 12, dan 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap tindak penyiksaan ke bentuk-bentuk lain perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. 3. Ketentuan Konvensi ini tidak mempengaruhi ketentuan dari setiap perangkat internasional atau hukum nasional yang melarang perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia atau yang berhubungan dengan ekstradisi atau pengusiran. Penganiayaan atau torture adalah setiap tindakan yang menyebabkan rasa sangat sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk tujuan seperti memperoleh darinya atau informasi orang ketiga atau pengakuan, menghukum dia untuk tindakan ia atau orang ketiga yang telah lakukan atau diduga memiliki komitmen, atau mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau untuk alasan apapun berdasarkan diskriminasi apapun, ketika rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau persetujuan dari pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Ini tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada atau terkait dengan sanksi hukum.3Secara umum, pihak Konvensi wajib untuk mengambil "legislatif, administratif, yudisial dan lainnya langkah-langkah efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah yuridikasi. 3Konvensi ini memuat banyak aturan tentang kewajiban negara Pihak, dengan tujuan untuk menguatkan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar lainnya. Enam belas pasal dari 33 pasal dalam konvensi ini mengatur kewajiban negara untuk menghormati berbagai hak dasar manusia untuk bebas, tidak disiksa dan mendapatkan perlakuan kejam lainnya. 3Pasal 2 ayat 1 dari Konvensi ini misalnya menyebut soal kewajiban setiap negara pihak untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah-langkah efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di wilayah manapun dalam batas kekuasaannya. Sementara itu dalam ayat 2 pasal 2 juga diingatkan : Tiada ada keadaan pengecualian apapun, apakah keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan politik dalam negeri ataupun keadaan darurat, yang dapat digunakan sebagai pembenaran untuk penyiksaan. Penggunaan kekerasan pada suatu interogasi hanya boleh dilakukan apabila:3

Hanya boleh dilakukan setelah upaya persuasif tidak berhasil Hanya untuk tujuan-tujuan perlindungan dan penegakan HAM secara proposional dengan tujuan yang sah. Diarahkan untuk memperkecil terjadinya kerusakan dan luka baik bagi petugas maupun bagi masyarakat. Digunakan hanya apabila diperlukan dan untuk penegakan hukum Penggunaan kekerasan harus sebanding dengan pelangaran dan tujuan yang hendak dicapai. Harus meminilasasi kerusakan dan cedera serta memelihara kehidupan manusia Harus memastikan bahwa bantuan medisdan penunjangnya diberikan kepada orang-orang yang terluka atau terkena dampak pada waktu sesegera mungkin. Harus memastikan bahwa sanak keluarga atau teman terdekat yang terluka atau terkena dampak diberitahu sesegera mungkin.Interogasi dan PenyiksaanInterogasi adalah sebuah fungsi penyidikan. Tujuan interogasi adalah untuk mendapatkan dan mengumpulkan semua informasi tentang kejadian yang diselidiki serta tentang pelaku kejahatannya dan membuat si terdakwa mengakui kejahatannya. Semua kategori orang yang dapat diinterogasi adalah korban, saksi, majikan, rekan kerja, teman, kerabat, dan lain-lain. Interogasi bukanlah pengganti penyidikan melainkan sebagai alat bantu penyidikan. Ada persyaratan legal yang melingkupi interogasi yang harus dipahami oleh penyidik. Kegagalan memahami persyaratan ini akan menyia-nyiakan penggunaan informasi yang didapat sebagai barang bukti. 3Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut terlihat dalam Pasal 27, yaitu sebagai berikut, alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana.2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 3 Upaya paksa adalah bentuk upaya dalam mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi sekaligus menemukan siapa tersangkanya dan terkadang mengurangi kemerdekaan seseorang serta mengganggu kebebasan seseorang. Upaya paksa ini dapat berupa penangkapan dan penahan. Penggunaan kekerasan pada suatu interogasi hanya boleh dilakukan apabila:1. Hanya boleh dilakukan setelah upaya persuasif tidak berhasil.2. Hanya untuk tujuan-tujuan perlindungan dan penegakan HAM secara proposional dengan tujuan yang sah.3. Diarahkan untuk memperkecil terjadinya kerusakan dan luka baik bagi petugas maupun bagi masyarakat.4. Digunakan hanya apabila diperlukan dan untuk penegakan hukum.5. Penggunaan kekerasan harus sebanding dengan pelangaran dan tujuan yang hendak dicapai.6. Harus meminilasasi kerusakan dan cedera serta memelihara kehidupan manusia.7. Harus memastikan bahwa bantuan medisdan penunjangnya diberikan kepada orang-orang yang terluka atau terkena dampak pada waktu sesegera mungkin.8. Harus memastikan bahwa sanak keluarga atau teman terdekat yang terluka atau terkena dampak diberitahu sesegera mungkin. 3PenangkapanBerdasarkan Pasal 1 butir 20 KUHAP, dijelaskan Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan dalam hal serta cara yang diatur dalam undang-undang ini. 3Karakter utama dari penangkapan adalah pengekangan sementara waktu, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan, hal ini yang membedakan penangkapan dengan pemidanaan meskipun keduanya memiliki sifat yang sama yaitu adanya pengekangan kebebasan seseorang. Seseorang ditangkap apabila seseorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana, kemudian ada dugaan kuat didasarkan pada permulaan bukti yang cukup. 3Untuk menghormati hak asasi tersangka, maka dalam suatu penangkapan kepolisian Republik Indonesia juga memberikan berbagai peraturan mengenai tatacara penangkapan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 tahun 2009 dalam pasal 15-21. 3Dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP batas waktu penangkapan adalah satu hari, sedangkan dalam Pasal 28 dijelaskan Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. 3Dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dijelaskan sebagai berikut. 1. Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. 2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. 3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. 4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan. PenahananPasal 1 butir 21 KUHAP menjelaskan: Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 3Berdasarkan definisi tersebut terlihat semua instansi penegak hukum memiliki wewenang dalam hal penahanan, tergantung dari tujuan penahanannya. Sebagai contoh, untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. 3Tidak semua pelaku kejahatan dapat dikenakan penahanan. Ditahannya seorang pelaku kejahatan atau tidak harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.

Syarat subjektif adalah alasan terkait dengan pribadi tersangka, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menjelaskan penahanan dilakukan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melakukan: 31. Melarikan diri.2. Merusak atau menghilangkan barang bukti; dan/atau.3. Mengulangi tindak pidana. Adapun syarat materil seorang tersangka atau terdakwa ditahan adalah apabila memenuhi ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yaitu melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih atau melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP. Walaupun syarat objektif sudah dipenuhi namun kalau syarat subjektif belum terpenuhi, maka tidak bisa dilakukan penahanan. 3Ketentuan mengenai batas waktu penahanan dalam KUHAP dibagi berdasarkan instansi mana yang melakukan penahanan. Jika penahanan tersebut diberikan oleh penyidik, maka batas waktu penahanannya paling lama dua puluh hari, dan dapat diperpanjang paling lama empat puluh hari. Sehingga, maksimal penahanan atas perintah penyidikan adalah selama enam puluh hari atau sekitar dua bulan. 3Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, pengaturan tentang penahanan hanya terdapat dalam satu pasal, yaitu Pasal 25 ayat (2) yang menjelaskan sebagai berikut Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan. 3Dalam suatu penahan, setiap polisi juga wajib menghormati setiap hak asasi manusia termasuk tersangka dan terdakwa. Hal ini tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 tahun 2009 dalam Pasal 15-21.3Aspek HukumSecara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut penganiayaan. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini dutujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.Penganiayaan dalam kamus besar bahasaIndonesiadimuat arti sebagai berikut perilaku yang sewenang-wenang.Pengertiantersebut adanyapengertiandalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut perasaan atau batiniah.Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan penganiayaan itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurutalinea4 pasal ini, masuk pula dalampengertianpenganiayaan ialah sengaja merusakkesehatanorang. 5R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan perasaan tidak enak, rasa sakit, luka, dan merusakkesehatan:1. perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.2. rasa sakit misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.3. luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.4. merusakkesehatan misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin. 5SolusiMenurut kasus diatas, terdapat alternative yang dapat dilakukan tanpa harus dilakukan tindak penganiayaan terhadap tersangka, yaitu dengan penggunan obat-obatan yang biasa digunakan untuk teknik interogasi. 5Dalam uji analisis test, imajinasi subjek dinetralkan dengan membuat orang tersebut setengah sadar. Dalam keadaan ini, tersangka akan sulit berbohong. 5Para ahli atau dokter akan menyuntikan tersangka dengan Sodium Penthotal atau Sodium Amythal, Skopolamin, Amfetamin. Dosis yang disuntikkan tergantung dengan jenis kelamin, kesehatan dan kondisi fisik seseorang. Dosis yang salah dapat berakibat dengan koma atau kematian.5Sodium Amytal mampu menurunkan hambatan, di mana orang yang disuntikkan zat ini dapat memberikan pikiran yang jelas dan mendorong untuk memberikan keterangan kepada interogator secara gamblang. Digunakan pertama kali pada Perang Dunia II, yaitu ketika interogator sudah kehabisan cara untuk membuat tawanan mau berbicara untuk menjelaskan tentang misinya.Sodium Amytal adalah sebuah barbiturat, yang akan memaksa tawanan untuk menghidupkan kembali pengalaman masa perang mereka dan berbicara tentang mereka dengan interogator. 5Skopolamin paling sering dikenal sebagai serum kebenaran, memiliki kemampuan yang luar biasa untuk membuat penjahat berbicara kebenaran. Namun, tidak terlalu banyak orang yang tahu efek negatif dari skopolamin. Obat ini dapat membuat orang yang meminumnya dapat melakukan apa saja yang diperintahkan oleh orang lain. 5Amfetamin dan metamfetamin akan mengubah pengguna menjadi orang yang tidak hentinya berbicara. Ketika zat ini dimasukkan ke tubuh, korban mengalami dorongan menarik untuk berbicara sebagaimana otak mereka dibanjiri oleh kenangan dan emosi. Amfetamin akan mendorong seseorang secara sempurna untuk mengetahui kebenaran dari seseorang yang pura-pura amnesia atau sengaja berbohong. 5Akan tetapi pemakaian sedative ini bertentangan dengan kaidah non-maleficence karena penggunaan sedative dapat menyebabkan henti nafas bahkan kematian, sehingga sebaiknya dokter tetap menjaga kesehatan tersangka secara fisik dan psikis agar prima dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penyidik dan yangpaling penting adalah penyidik harus dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan yang cerdik dan dapat menggali informasi mengenai keberadaan bom, sertapertanyaan yang memberatkan tersangka untuk dijadikan bukti oleh penyidik demi kepentingan pengadilan serta keselamatan orang banyak.6KesimpulanSeorang dokter dalam menjalankan tugasnya harus dapat menempatkan diri dengan baik dan benar, harus memahami kode etik, disiplin dan hukum yang berkaitan dengan dirinya serta tindakan yang dilakukannya. Pada skenario ini, maka dokter dapat menjaga kesehatan pasiennya yang berupa tersangka dalam proses interogasi. Dokter menjaga kesehatan fisik dan juga mentalnya agar dapat menjawab pertanyaan dengan sadar. Masalah kejujuran jawaban dapat diperoleh dengan menggunakan obat-bat sedative akan tetapi, hal ini bertentangan dengan kaidah bioetik non-maleficence sehingga yang dapat dilakuakn adalah penyidik harus lebih cerdik dalam memberikan umpan-umpan pertanyaan.

Daftar Pustaka1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007.h.30-2.2. Undang undang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Diunduh dari http://www.komnasham.go.id/instrumen-ham-nasional/uu-no-39-tahun-1999-tentang-ham. 12 Januari 2016.3. Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia. Prisoners and Detainees Mardjono Reksodiputro. Jakarta: IDI; 2005.h.63-7.4. Hardiman, Budi F. Terorisme, definisi, aksi dan regulasi. Jakarta: Imparsial; 2005.h.22-4.5. Kedokteran kepolisian (dokpol). Diunduh dari http://www.biddokpol.dokkes.polri.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1&Itemid=14. 12 Januari 2016.6. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.54-6.

22