kasber hiv

Upload: mutiara-rizky-ananda

Post on 06-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kasber

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. HIV/AIDS1.1. Definisi HIV dan AIDSHuman immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang memperlemah sistem kekebalan tubuh, dan pada akhirnya menyebabkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendr itik. HIV merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik (WHO, 2005).AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS dapat diartikan sebagai sekelompok kondisi medis yang menunjukkan lemahnya kekebalan tubuh, sering berwujud infeksi ikutan (infeksi oportunistik) dan kanker, yang hingga saat ini belum bisa disembuhkan. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (WHO, 2005; Djoerban dkk, 2010).

1.2. Struktur HIVHIV merupakan suatu virus RNA bentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk retrovirus dari farnili Lentivirus. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp 120 yang melekat pada glikoprotein gp 4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Satu kali terinfeksi oleh retrovirus, maka infeksi ini akan bersifat permanen, seumur hidup (Djoerban, Zubairi, 2001). Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983. dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986. Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama, HIV- 1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai vpx, sedangkan sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan struktur genom walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut (Merati dan Dzauji, 2009). HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi nya lebih cepat (Depkes RI, 2002).

Gambar 1.1. Anatomi Virus AIDS

Sel yang merupakan target utama HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu limfosit CD4+ (sel Thelper atau Th) dan monosit/makrofag. Beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vivo atau in vitro adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, follkular dendritik, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikroglia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. Beberapa sel yang pada mulanya dianggap CD4 negatif, ternyata juga dapat terinfeksi HIV namun kemudian diketahui bahwa sel-sel tersebut mempunyai CD4 kadar rendah. Sel tersebut antara lain adalah sel mieloid progenitor CD34+ dan sel timosit tripe1 negatif (Merati dan Dzauji, 2009). Di samping itu memang ada sel yang benar-benar CD4 negatif tetapi dapat terinfeksi HIV. Untuk ha1 ini diperkirakan ada reseptor lain untuk HIV, yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, atau galaktosil seramid. Terakhir ditemukan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virion setelah terjadi binding (Merati dan Dzauji, 2009 ).

1.3. Patogenesis HIV/AIDSHIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respons imun seluler maupun respons imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respons imunitas tubuh tidak berlangsung normal (Merati dan Dzauji, 2009).Untuk mengatasi organisme intraseluler seperti parasit, jamur clan bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respons imunitas seluler yang disebut Cell Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, di samping secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibodi melalui mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV (Merati dan Dzauji, 2009). Pada sel Th, jumlah dan fungsinya akan menurun. Pada umumnya penyakit indikator AIDS tidak terjadi sebelum jumlah CD4 mencapai 200/uL bahkan sebagian besar setelah CD4 mencapai 100/uL. Pada makrofag, fungsi fagositosis dan kemotaksisnya menurun, termasuk juga kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya kandida albikans dan toksoplasma gondii (Merati dan Dzauji, 2009).Pada sel Tc, kemampuan sel T sitotoksik untuk menghancurkan sel yang terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis sitomegalo. Demikian juga sering terjadi diferensiasi sel ke arah keganasan atau malignansi. Pada sel NK, kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung antigen asing dan sel yang terinfeksi virus juga menurun. Belum diketahui dengan jelas apa penyebabnya, diperkirakan kemungkinan karena kurangnya IL-2 atau efek langsung HIV (Merati dan Dzauji, 2009).Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4 yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth factors) dan BCDF (B cell differentiation factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Dengan adanya antibodi diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi. HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan non-spesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG (Merati dan Dzauji, 2009). Disamping memproduksi lebih banyak imunoglobulin, limfosit B pada odha (orang dengan infeksi HIVIAIDS) tidak memberi respons yang tepat: Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgAdan IgG. Infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respons yang tidak tepat, misalnya reaktivasi Toksoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan pembentukan imunoglobulin M (IgM). Respons antibodi pasca vaksinasi dengan antigen protein atau polisakarida sangat lemah, misalnya vaksinasi Hepatitis B, Influenza, pneumokokus, dan lain-lain. Fungsi neutrofil juga terganggu, karena itu sering terjadi infeksi oleh stafilokokus aureus yang menyebabkan infeksi kulit dan pneumonia. Apalagi pemakaian obat antiretrovirus (ARV) seperti zidovudin atau anti virus sitomegalo yaitu gansiklovir dapat menimbulkan terjadinya neutropenia (Merati dan Dzauji, 2009).Fase Infeksi Akut. Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama, sel dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV. DC bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan mempresentasikan HIV ke sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T naive. Hal ini terjadi karena DC mengekpresikan molekul major histocompatibility complex (MHC) klas I, MHC klas I1 dan molekul kostimulator lain pada permukaannya. Setelah HIV tertangkap DC akan menuju kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T naive. Di samping mengangkut HIV kekelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel limfosit Th. Perlu diketahui terikatnya HIV ke DC melalui pengikatan protein envelop gp 120 pada sekelompok molekul yang disebut C-type lectin receptor. Termasuk dalam C-type lectin receptor adalah dendritik cell-specijic ICAM-3-grabbing non-integrin (DC-SIGN), mannose receptor dan Langerin. Masing-masing molekul ini dapat mengikat gp 120 dan ini lalu dipresentasikan pada sel DC yang berbeda. DC sel mengekspresikan molekul CD4 dan molekul CCR5 tapi tidak mempunyai CXCR4. Mungkin ini berpengaruh dan dapat menjelaskan mengapa hampir 95% strain HIV yang ditemukan pada infeksi primer adalah strain M-tropik atau R5 HIV strain. Sama seperti transmisi mukosa, transmisi HIV secara vertikal juga terutama Strain R.5. Pada manusia waktu lama dari infeksi mukosa sampai te jadi viremia, berkisar antara 4- 1 1 hari. Hal ini juga tergantung dari apakah ada hal-ha1 lain yang merusak barier mukosa, seperti misalnya inflamasi dan infeksi (servisitis, uretritis, ulkus genitalis, dsb). HIV baik sebagai virus bebas ataupun yang berada dalam sel yang terinfeksi akan menuju kelenjar limfe regional dan merangsang respons imun seluler maupun humoral. Mobilisasi limfosit ke kelenjar ini justru menyebabkan makin banyak sel limfosit yang terinfeksi. Dalam beberapa hari akan terjadi limfopenia dan menurunnya limfosit CD4 dalam sirkulasi. Dalam fase ini di dalam darah akan ditemukan HIV bebas titer tinggi dan komponen inti p24, yang menunjukkan tingginya replikasi HIV yang tidak dapat dikontrol oleh sistem imun. Dalam 2-4 minggu akan terjadi peningkatan jumlah sel limfosit total yang disebabkan karena tingginya subset limfosit CD8 sebagai bagian dari respons imunitas seluler terhadap HIV (Merati dan Dzauji, 2009).Fase Laten. Setelah fase akut, akan terjadi penurunan jumlah HIV bebas dalam plasma maupun dalam sel. Masih belum jelas, mengapa bisa demikian, akan tetapi analogi dengan infeksi virus pada umumnya. Sel limfosit T sitotoksik CD8 yang sebagai efektor sel dapat mengontrol infeksi akut oleh virus, karena dia bisa mengenal dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi (ini kadang-kadang dapat merugikan juga), sehingga dapat mencegah replikasi dan pembentukan virus baru. Pada infeksi HIV sejak awal ditemukan tingginya jumlah sel T limfosit sitotoksik (TCLs atau Tc). Sel limfosit sitotoksik yang mempunyai petanda CD8, akan teraktivasi oleh HIV dan akan mengeluarkan sejumlah solubel sitokin (termasuk CAF ), yang dapat menghambat replikasi HIV dalam limfosit CD4. Keadaan seperti ini juga terjadi pada infeksi HIV akut, bahkan sebelum serokonversi. Di samping jumlahnya menurun, maka fungsi limfosit CD4 juga terganggu, bahkan pada stadium di mana jumlahnya masih di atas 500lml. Ternyata kemampuannya untuk proliferasi karena rangsangan berbagai macam antigen dan kemampuannya untuk memproduksi sitokin untuk fungsi helper juga menurun.Terjadi penurunan respons pengenalannya terhadap antigen bakteri, virus atau toksin yang pernah dikenal, lalu hilangnya respons terhadap sel asing (allogeneic response), terakhir juga kehilangan kemampuan untuk respons mitogen non-spesifik seperti fitohaemaglutinin. Risiko infeksi oportunistik dipengaruhi oleh jumlah CD4. Padajumlah CD4 di bawah 100 dapat terjadi infeksi toksoplasma sedangkan pada jumlah CD4 di bawah 50 dapat terjadi infeksi Sitomegal. Fase ini berlangsung sekitar 8 10 tahun setelah terinfeksi HIV (Merati dan Dzauji, 2009). Fase infeksi kronik. Selama fase ini, terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4+ hingga dibawah 300 sel/mm3. Penurunan ini mengakibatkan system imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke AIDS (Karn, 2007).

1.4. Transmisi HIV/AIDS1. Transmisi melalui kontak seksual

Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan vagian, cairan serviks. Transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek, anus sering terjadi lesi (Djoerban dkk, 2010).2. Transmisi melalui darah atau produk darah

Transmisi dapat melalui hubungan seksual (terutama homseksual) dan dari suntikan darah yang terinfeksi atau produk darah (Asj, 2002). Diperkirakan bahwa 90 sampai 100% orang yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIVakan mengalami infeksi. Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko infeksi HIV-1 melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000 (Nasronudin, 2007). Pemeriksaan antibodi HIV pada donor darah sangat mengurangi transmisi melalui transfusi darah dan produk darah (contoh, konsentrasi faktor VIII yang digunakan untuk perawatan hemofolia) (Lange, 2001)3. Transmisi secara vertikal

Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil, persalinan, dan setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI). Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan 10-20%, dan saat pemberian ASI 10-20% (Nasronudin, 2007). Di mana alternatif yang layak tersedia, ibu-ibu positif HIV-1 tidak boleh menyusui bayinya karena ia dapat menambah penularan perinatal. Selama beberapa tahun terakhir, ditemukan bahwa penularan HIV perinatal dapat dikaitkan lebih akurat dengan pengukuran jumlah RNA-virus di dalam plasma. Penularan vertical lebih sering terjadi pada kelahiran preterm, terutama yang berkaitan dengan ketuban pecah dini (Cunningham, 2004).4. Potensi transmisi melalui cairan tubuh lain

Walaupun air liur pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang terinfeksi, tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi HIV baik melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu bekerja bagi petugas kesehatan. Selain itu, air liur dibuktikan mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV. Demikian juga belum ada bukt i bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata, keringat dan urin dapat merupakan media transmisi HIV (Nasronudin, 2007).5. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium

Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa risiko penularan HIV setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh darah seseorang yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV ke membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitara 0,09%. Di rumah sakit Dr. Sutomo dan rumah sakit swasta di Surabaya, terdapat 16 kasus kecelakaan kerja pada petugas kesehatan dalam 2 tahun terakhir. Pada evaluasi lebih lanjut tidak terbukti terpapar HIV (Nasronudin, 2007).

1.5. Pemeriksaan PenunjangProsedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil negatif, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko (Kemkes RI, 2011).

Gambar 2. Bagan Alur Pemeriksaan Laboratoratorium Infeksi HIVTabel 1. Intepretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

a. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena infeksi. Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah (Nasronudin, 2007)b. Western BlotWestern Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan (Indo, 2004).Interpretasi WB meliputi (Nasronudin, 2007):a. Negatif: tidak ada bentukan pitab. Positif: reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24c. Indeterminate: terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi kr iteria hasil positif.c. PCR (Polymerase chain reaction)PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas (Indo, 2004).

1.6. DiagnosisDiagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor (Nasronudin, 2007).

Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui stadium klinis pada orang dewasa serta klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC. Di negara-negara berkembang, sistem WHO untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat (Nasronudin, 2007).Klasifikasi menurut CDCCDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa) berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh ditunjukkan oleh limfosit CD4+. Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu :1. Kategori Klinis A : CD4+ > 500 sel/mlMeliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), Limfadenopati generalisata yang menetap, infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut.2. Kategori Klinis B : CD4+ 200-499 sel/mlTerdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut yaitu keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan dengan perantara sel (cell mediated immunity), atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Termasuk kedalam kategori ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis orofaringeal, Kandidiasis vulvovaginal, Dysplasia leher rahim, Herpes zoster, Neuropati perifer, penyakit radang panggul.3. Kategori Klinis C : CD4+ < 200 sel/mlMeliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS dan pada tahap ini orang yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupannya, meliputi : Sarkoma Kaposi, Kandidiasis bronki/trakea/paru, Kandidiasis esophagus, Kanker leher rahim invasif, Coccidiodomycosis, Herpes simpleks, Cryptosporidiosis, Retinitis virus sitomegalo, Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, Bronkitis/Esofagitis atau Pneumonia, Limfoma Burkitt, Limfoma imunoblastik dan Limfoma primer di otak, Pneumonia Pneumocystis carinii.

Klasifikasi menurut WHOPada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia, dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik.WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium klinis, yaitu :1. Stadium IBersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati generalisata.2. Stadium IISimptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun 10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat seperti Pneumonia dan Piomiositis.4. Stadium IVPada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur >50%, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi opurtunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptospor idiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV.

1.7. Penatalaksanaana. Penatalaksanaan UmumIstirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV&AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, membiasakan gaya hidup sehat (Nasronudin, 2007).b. Penatalaksanaan KhususPemberian antiretroviral therapy (ART) kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi malignansi.b.1) Terapi Antiretroviral (ARV)Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah- langkah yang arif dan bijaksana, serta mempertimbangkan berbagai faktor; dokter telah memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV (Nasronudin, 2007).

Sumber : Kemenkes RI, 2011

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah (Kemenkes RI, 2011):

b.2) Pengobatan Pencegahan Infeksi OportunitisBeberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan : Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK). PPK dianjurkan bagi: ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (