kajian teoritis konsepsi pengembalian kerugian …/kajian...peradilan in absentia dan pembuktian...

81
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : UMAR HANIE P. NIM. E0008081 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Upload: lehanh

Post on 30-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN

KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI PENGATURAN

PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK

DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu

Hukum

pada Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

UMAR HANIE P.

NIM. E0008081

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

Page 2: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA

MELALUI URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI

INDONESIA

Oleh

Umar Hanie P

NIM. E0008081

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Juli 2012

Pembimbing Utama Co. Pembimbing

Kristiyadi, S.H., M.Hum. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.

NIP. 19581225 198601 1001 NIP. 19821008 200501 1001

Page 3: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA

MELALUI URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG

DI INDONESIA

Oleh

Umar Hanie P

NIM. E0008081

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari :.....................................

Tanggal :.......... ..........................

DEWAN PENGUJI

1 Edy Herdyanto, S.H., M.H. :..............................................................

Ketua

2 Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.:...............................................................

Sekretaris

3 Kristiyadi, S.H., M.Hum :...............................................................

Anggota

Mengetahui

Dekan,

Prof.Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum

NIP. 19570203 1985032001

Page 4: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Umar Hanie P.

NIM : E0008081

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

Kajian Teoritis Konsepsi Pengembalian Kerugian Negara Melalui Urgensi

Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik dalam Perkara

Pencucian Uang di Indonesia ini adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang

bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan

ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan

saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa

pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan

hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juli 2012

yang membuat pernyataan,

Umar Hanie P.

NIM. E0008081

Page 5: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOTTO

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai

penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.S. Al

Baqarah:153)

“Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan

cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi

Penolong (bagimu).” (Q.S. An Nisaa’:45)

Page 6: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Sebuah karya yang sederhana ini penulis persembahkan kepada:

Bapak dan Ibu tercinta, Tosyim Prabowo, B.Sc., dan Suharni, S.H., yang

senantiasa memberikan semangat dan kasih sayangnya, Mbak Evita Hanie

Pangaribowo yang penulis sayangi, serta kawan-kawan sekalian yang turut

membantu penulisan hukum (skripsi) ini.

Page 7: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRAK

Umar Hanie P, E0008081. 2012. KAJIAN TEORITIS KONSEPSI

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI

PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN

TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA.

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai urgensi

peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam perkara pencucian uang serta

kontribusi dari pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik

memberikan kontribusi dalam mengembalikan kerugian negara akibat pencucian

uang. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian doktrinal,

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis,

dikaji, kemudian ditarik suatu simpulan dalam hubungannya dengan masalah yang

diteliti. Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik

pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka. Bahan hukum yang

berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian

dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.

Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa peradilan in absentia diperlukan

untuk memperlancar proses pemeriksaan di persidangan dalam hal terdakwa tidak

hadir di persidangan. Dengan tetap berjalannya proses pemeriksaan di

persidangan meski tidak dihadiri terdakwa, hakim dapat menjatuhkan putusan

berupa perampasan harta terdakwa. Demikian juga dengan pembuktian terbalik.

Apabila terdakwa hadir di persidangan, maka terdakwa diberi beban pembuktian

bahwa harta kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana.

Pembuktian terbalik dimaksudkan untuk menambah keyakinan hakim dalam

menjatuhkan putusan berupa perampasan harta terdakwa untuk digunakan sebagai

pemulihan kerugian negara.

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa

peradilan in absentia dan pembuktian terbalik ini merupakan bentuk upaya dalam

memberantas money laundering. Selain itu, peradilan in absentia dan pembuktian

terbalik memiliki urgensi dan kontribusi dalam pengembalian kerugian negara

akibat money laundering. Di samping itu, penulis juga memberikan saran agar

pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik perlu diatur secara lebih

detail lagi dalam undang-undang pencucian uang.

Kata kunci: pencucian uang, peradilan in absentia, pembuktian terbalik,

pengembalian kerugian negara

Page 8: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

ABSTRACT

Umar Hanie P, E0008081. 2012. THEORETICAL STUDY OF THE

INDEMNIFICATION OF THE STATE CONCEPTION THROUGH THE

URGENCY OF COURT IN ABSENTIA AND SHIFTING BURDEN OF

PROOF REGULATION IN THE CASE OF MONEY LAUNDERING IN

INDONESIA. Faculty of Law The Sebelas Maret University. This study aims to examine more deeply about the urgency of the judiciary

in absentia and the shifting burden of proof in case of money laundering as well

as the contribution of judicial arrangements in absentia and shifting burden of

proof to contribute in restoring state due to loss of money laundering. In writing

this essay, the author uses doctrinal research, legal research is done by

examining library materials or secondary data consisting of primary legal

materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Legal materials

are arranged systematically, examined, and then drawn a conclusion in relation

to the matter under investigation. The collection of legal materials in this study

using the technique of collecting legal materials with literature. Legal materials

relating to issues discussed described, systematized, and then analyzed to

interpret the law.

The results were that the court in absentia is required to facilitate the

inspection process at the hearing in this case the defendant was not present at the

hearing. By keeping the passage of the examination process at the trial, though

not attended by the accused, the judge ruled on a defendant's seizure of property.

Similarly, the shifting burden of proof. If the defendant is present at the hearing,

the defendant was given the burden of proving that his/her property is not derived

from criminal acts. Shifting burden of proof is intended to increase confidence in

the judge ruled on the defendant to a deprivation of property used as the recovery

of state losses.

The conclusion to be drawn from the results of this study is that the court in

absentia and the shifting burden of proof is a form of effort in combating money

laundering. In addition, the court in absentia and the shifting burden of proof has

the urgency and contribute to the indemnification of the state due to money

laundering. In addition, the author also gives suggestions for regulating court in

absentia and the shifting burden of proof should be regulated in greater detail in

the money laundering legislation.

Key words: money laundering, the court in absentia, shifting burden of proof,

indemnification of the state

Page 9: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “KAJIAN TEORITIS

KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI

URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI

INDONESIA” ini dengan baik.

Penulisan skripsi ini merupakan satu syarat untuk menyelesaikan studi dan

mencapai gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan

kesukaran. Namun berkat bantuan, bimbingan serta pengarahan berbagai pihak,

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu sepantasnyalah penulis

menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

UNS yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk

menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang

telah memberikan izin bagi tersusunnya skripsi ini hingga selesai.

3. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum. selaku pembimbing utama yang telah

memberikan petunjuk-petunjuk, pengarahan, saran-saran serta bimbingan

sehingga memperlancar penulisan skripsi ini.

4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku pembimbing pembantu

yang telah memberikan petunjuk-petunjuk, pengarahan, saran-saran serta

bimbingan sehingga memperlancar penulisan skripsi ini.

5. Bapak Muhammad Adnan, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik

penulis atas segala bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh

perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Page 10: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada penulis selama menempuh

pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Bapak Tosyim Prabowo, B.Sc., Ibu Suharni, S.H., dan Evita Hanie

Pangaribowo selaku bapak, ibu, dan kakak dari penulis yang telah memberi

kasih sayang serta motivasi kepada penulis.

8. Sahabat-sahabat penulis di kampus, Triyono, Advent, Ichsan, Niko, Aaf,

Alfin, Anjar, dan Peter. Bersama kalian, penulis melewati masa perkuliahan

di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan suka dan

duka. Penulis berharap hubungan baik diantara kita senantiasa tetap terjaga.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

bantuannya bagi penulis dalam menyusun penulisan hukum ini baik secara

moril maupun materiil.

Semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan

balasan yang seimbang dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan dan

kekeliruan, walaupun penulis telah berusaha sebaik mungkin dalam penulisan

skripsi ini, kekurangan-kekurangan skripsi ini tetap tidak dapat dihindari karena

keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang

bersifat membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka.

Surakarta, Juli 2012

Penulis

Page 11: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................. iii

HALAMAN PERNYATAAN ................................................................... iv

HALAMAN MOTTO.................................................................................. v

HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................. vi

ABSTRAK ................................................................................................. vii

ABSTRACT ................................................................................................. viii

KATA PENGANTAR ............................................................................... ix

DAFTAR ISI .............................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................. 5

C. Tujuan Penelitian ................................................................ 5

D. Manfaat Penelitian .............................................................. 6

E. Metode Penelitian ............................................................... 7

F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................ 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 12

A. Kerangka Teori .................................................................. 12

1. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang ................... 12

1. Pengertian Pencucian Uang ............... 12

2. Tahapan dan Teknik-Teknik Proses

Pencucian Uang ...................................................... 13

2. Tinjauan Umum Tentang Peradilan In Absentia .......... 17

3. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian ......................... 19

1. Definisi Menurut Para Ahli ............... 19

Page 12: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

2. Sistem-Sistem Pembuktian ................ 20

4. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Terbalik ........... 24

B. Kerangka Pemikiran .......................................................... 27

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................... 29

A. Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian

Terbalik Memberikan Kontribusi Terhadap Konsep

Pengembalian Kerugian Negara dalam Perkara Pencucian

Uang 29

1. Pengaturan Peradilan In Absentia dalam Pencucian

Uang ............................................................................. 29

2. Pengaturan Pembuktian Terbalik dalam Pencucian

Uang ........................................................................... 32

3. Kontribusi Pengaturan Peradilan In Absentia dan

Pembuktian Terbalik Guna Mengembalikan Kerugian

Negara dalam Perkara Pencucian Uang ...................... 38

B. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dan Pembuktian

Terbalik dalam Perkara Pencucian Uang di Indonesia ...... 49

1. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dalam

Perkara Pencucian Uang di Indonesia ......................... 49

2. Urgensi Perlunya Pembuktian Terbalik dalam

Perkara Pencucian Uang di Indonesia ........................ 55

BAB IV PENUTUP ............................................................................... 63

A. Simpulan ........................................................................... 63

B. Saran ........................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran ......................................... 27

2. Gambar 2. Skema Kontribusi Peradilan In Absentia dan Pembuktian

Terbalik dalam Proses Pengembalian Kerugian Negara ................ 47

Page 14: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan bidang ekonomi tidak dapat terlepas dari hubungan

antarmanusia di dunia yang mengalami percepatan dan perubahan. Proses

perubahan yang sekarang berlangsung merupakan suatu proses transformasi

masyarakat industri menjadi masyarakat informasi, yaitu suatu masyarakat

yang kehidupan dan kemajuannya sangat dipengaruhi oleh penguasaan

informasi. Salah satu perkembangan dalam bidang informasi tersebut yaitu

mengenai penyedia jasa keuangan (PJK). Perkembangan di bidang PJK yang

mengaplikasikan informasi dan teknologi dirasa sangat membantu jalannya

kehidupan umat manusia pada masa kini. Akan tetapi, tidak selamanya

kemajuan di bidang PJK berbasis informasi dan teknologi tersebut membawa

dampak positif. Kemajuan teknologi selalu diikuti dengan perkembangan

bentuk kejahatan dari yang tradisional hingga yang berbentuk dimensi baru. Di

sisi lain, kemajuan teknologi juga harus dikembangkan untuk menanggulangi

masalah yang timbul, dan dampak yang negatif dari perkembangan teknologi.

Dalam pergolakan teknologi dengan segala aspek, implikasi dan

konsekuensinya, kejahatan tidak mau ketinggalan. Perkembangan kejahatan

diikuti para pelakunya yang secara profesional menggunakan teknologi

mutakhir untuk merencanakan dan melaksanakan kejahatannya (Supanto,

2010:102). Beberapa pihak memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut dengan

melakukan tindak pidana, salah satunya yaitu melakukan money laundering

atau pencucian uang.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau

menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak

pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya sulit

dilacak oleh aparat penegak hukum. Pelaku tindak pidana tersebut

memanfaatkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana untuk

melakukan berbagai kegiatan. Kegiatan memanfaatkan harta kekayaan yang

Page 15: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

berasal dari tindak pidana itulah yang disebut dengan money laundering atau

pencucian uang.

Pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem

perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-

sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang memerlukan

landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas

penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil

tindak pidana.

Pencucian uang makin mendapat perhatian khusus dari berbagai

kalangan. Gerakan ini terpicu oleh kenyataan bahwa saat ini semakin maraknya

kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu, sehingga berbagai pihak telah

secara konkrit mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu dalam

mengatasi masalah pencucian uang. Jika pada mulanya pencucian uang lebih

erat kaitannya dengan kejahatan-kejahatan perdagangan obat bius/narkotika

dan kejahatan besar lainnya, tetapi kini kejahatan pencucian uang sudah

dihubungkan dengan proses atas uang hasil perbuatan kriminal secara umum

dalam jumlah besar (N. H. T. Siahaan, 2008:vii). Salah satu contohnya adalah

pencucian uang hasil korupsi. Bahkan, masalah money laundering kini

berkaitan erat dengan perbuatan korupsi.

Indonesia telah melakukan upaya dalam mencegah dan memberantas

money laundering, salah satunya dengan membentuk Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang. Undang-undang ini menggantikan undang-undang tentang

pencucian uang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang kini sudah tidak berlaku lagi.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, terdapat beberapa perbedaan

prinsipiil dengan ketentuan hukum pidana formil dalam ketentuan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan kata lain, asas-asas

ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ini cukup banyak diberi

Page 16: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

nuansa oleh ketentuan yang bersifat lex specialis. Hal ini karena pencucian

uang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga

diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary

enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra ordinary measures).

Dari dimensi ini, langkah komprehensif yang dapat dilakukan Sistem Peradilan

Pidana Indonesia dalam menangani perkara pencucian uang antara lain

ditempuh dengan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik.

Dalam mengembangkan langkah-langkah anti-pencucian uang, pemerintah

menghadapi tugas sulit menemukan pendekatan-pendekatan yang seimbang

antara kebutuhan menciptakan langkah-langkah efektif dalam memerangi

pencucian uang dan mendapatkan kembali hasil-hasil dari tindak pidana. Oleh

karena itu digunakanlah sistem pembuktian terbalik dan peradilan in absentia

agar dapat menuntut para pelaku pencucian uang sekaligus mendapatkan

kembali atau merampas hasil-hasil dari tindak pidana.

Sebagai asas universal, pembalikan beban pembuktian akan menjadi bias

apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Pengertian istilah

“Pembalikan Beban Pembuktian” adalah beban pembuktian yang diletakkan

kepada terdakwa, yang seharusnya merupakan tugas Penuntut Umum. Proses

pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang dikenal sebagai pembalikan

beban pembuktian dan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dikenal

dengan “Sistem Pembuktian Terbalik”.

Dasar hukum pembuktian terbalik ini terdapat pada Pasal 77 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010. Apabila dilihat dari sudut objek, maka sesuai

ketentuan Pasal 78 ayat (1), terdakwa wajib membuktikan bahwa harta

kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal dari tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang diantaranya sebagai

berikut:

1) Korupsi; 2) Penyuapan; 3) Narkotika; 4) Psikotropika; 5) Penyelundupan

tenaga kerja; 6) Penyelundupan migran; 7) Di bidang perbankan; 8) Di bidang

pasar modal; 9) Di bidang perasuransian; 10) Kepabeanan; 11) Cukai; 12)

Perdagangan orang; 13) Perdagangan senjata gelap; 14) Terorisme; 15)

Page 17: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Penculikan; 16) Pencurian; 17) Penggelapan; 18) Penipuan; 19) Pemalsuan

uang; 20) Perjudian; 21) Prostitusi; 22) Di bidang perpajakan; 23) Di bidang

kehutanan; 24) Di bidang lingkungan hidup; 25) Di bidang kelautan dan

perikanan; dan 26) Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara

empat tahun atau lebih.

Pencucian uang di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun baik

kuantitas maupun kualitasnya yang telah merugikan keuangan negara dan

menghambat pembangunan nasional. Sedangkan pelakunya ada yang ditangkap

kemudian melarikan diri ke luar negeri atau bersembunyi di wilayah Indonesia.

Pelaku pencucian uang yang melarikan diri, diproses secara hukum, dengan

melaksanakan peradilan in absentia berdasarkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010. Peradilan in absentia, merupakan suatu proses pemeriksaan di

sidang pengadilan yang mengadili terdakwa dan menjatuhkan pidana yang

bersifat mengikat tanpa dihadiri terdakwa. Pelaksanaan peradilan in absentia

bertujuan untuk penyelamatan keuangan negara. Berdasarkan putusan

peradilan in absentia itu, seluruh harta kekayaan terpidana yang telah disita,

dirampas untuk negara. Dalam perkara pencucian uang, peradilan in absentia

diatur dalam Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) undang-undang tersebut, pelaksanaan peradilan

in absentia hanya dilakukan terhadap orang yang telah dipanggil secara sah

namun tidak hadir tanpa alasan yang sah, serta terhadap orang yang telah

meninggal dunia (Pasal 79 ayat (4)).

Peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memang sangat diperlukan

dalam memberantas money laundering. Mengingat money laundering ini

merupakan harta yang berasal dari tindak pidana, jumlahnya pasti mencapai

skala besar. Pelaku money laundering bisa mendapatkan harta tersebut dari

berbagai sumber, misalnya dari keuangan negara. Pada hakikatnya,

pemberantasan money laundering bertujuan untuk merampas harta pelaku yang

berasal dari tindak pidana dan mengembalikan harta tersebut ke tempat asal

mula harta itu berada. Perampasan harta money laundering dapat ditempuh

dengan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik. Namun, dari sini masih

Page 18: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

menyisakan sebuah pertanyaan, apakah penerapan peradilan in absentia dan

pembuktian terbalik mampu mengembalikan aset keuangan negara apabila

harta pelaku money laundering merupakan harta negara. Oleh karena itu, perlu

ditelaah dan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peradilan in absentia

dan pembuktian terbalik dalam memberantas money laundering guna

mengembalikan kerugian negara. Penelitian ini sangat penting, karena apabila

penelitian ini tidak dilakukan, kejahatan money laundering akan semakin

meluas serta semakin sulit untuk dicegah dan diberantas.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis kemudian

tertarik untuk menelaah lebih lanjut persoalan tersebut dalam penulisan hukum

yang berjudul “KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN

KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI PENGATURAN

PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM

PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik

memberikan kontribusi terhadap konsep pengembalian kerugian negara

dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia?

2. Apa urgensi yang melatari perlunya peradilan in absentia dan pembuktian

terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Objektif

Tujuan objektif penulisan hukum ini adalah:

a. Untuk mengetahui kontribusi pengaturan peradilan in absentia dan

pembuktian terbalik terhadap konsep pengembalian kerugian negara

dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia.

b. Untuk mengetahui urgensi yang melatari perlunya peradilan in absentia

dan pembuktian terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang di

Indonesia.

Page 19: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

2. Tujuan Subjektif

Tujuan subjektif penulisan hukum ini adalah:

a. Untuk menambah wawasan penulis di bidang pencucian uang khususnya

mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik yang termasuk

ke dalam Hukum Acara Tindak Pidana Khusus.

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata

Satu dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentunya diharapkan akan memberikan manfaat yang

berguna, khususnya bagi ilmu pengetahuan bidang penelitian tersebut.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum acara

pidana pada umumnya dan penanganan perkara pencucian uang pada

khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan

pengetahuan tentang penelaahan ilmiah serta menambah literatur atau

bahan-bahan informasi ilmiah tentang peradilan in absentia dan

pembuktian terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,

membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan

penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat membantu memberi

masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait

dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang

efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu

hukum khususnya hukum acara tindak pidana khusus.

Page 20: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.

Metode penelitian merupakan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam

penelitian dan penilaian. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam

penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan ini merupakan jenis penelitian hukum

kepustakaan, atau dikenal sebagai penelitian hukum doctrinal, yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun

secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam

hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hutchinson memberikan

definisi mengenai penelitian hukum doctrinal, yaitu (Peter Mahmud

Marzuki, 2009:32) :

“Doctrinal Research: Research which provides a systematic exposition

of the rules governing a particular legal category, analyses the

relationship between rules, explain areas of difficulty and, perhaps,

predicts future development.”

(“Penelitian doktrinal: Penelitian yang menyajikan pemaparan sistematis

dari ketentuan tentang hukum tertentu, menganalisis hubungan antara

aturan-aturan, menjelaskan bagian-bagian yang sulit dan, mungkin,

memprediksi perkembangan di masa mendatang.”)

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat doktrinal. Hal

ini karena keilmuan hukum memang bersifat preskriptif dan bukan

deskriptif sebagaimana ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial (Peter

Mahmud Marzuki, 2009:33).

Page 21: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

2. Sifat Penelitian

Sifat dalam penelitian hukum adalah preskriptif dan terapan. Sebagai

ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-

nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-

norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar

prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan

hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009:22). Sifat preskriptif dalam

penelitian ini yaitu penulis akan mempelajari mengenai dilaksanakannya

peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam penanganan perkara

pencucian uang.

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

menggunakan pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan informasi

dari berbagai aspek mengenai isu yang coba dicari jawabannya. Pendekatan-

pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum diantaranya

pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case

approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual

approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2009:93). Pendekatan penelitian yang

digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu pendekatan undang-undang

(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan

perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang

sedang ditangani. Sedangkan pendekatan konseptual dilakukan dengan tidak

beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang

belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Walaupun

menemukan aturan hukum, yang ditemukan hanya makna yang bersifat

umum. Oleh karena itu perlu membangun suatu konsep untuk dijadikan

acuan dalam penelitian.

Page 22: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

4. Sumber Penelitian Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-

sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri

dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan

bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang bahan hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum

(Peter Mahmud Marzuki, 2009:141).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum primer

dan sekunder. Adapun sumber bahan hukum yang penulis gunakan adalah

sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer meliputi:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara;

5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

6) United Nations Conventions Against Transnational Organized

Crime 2000 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang

Kejahatan Transnasional Terorganisir 2000);

7) United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi 2003).

b. Bahan hukum sekunder meliputi:

1) Buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan;

2) Jurnal hukum yang berkaitan dengan permasalahan;

Page 23: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

3) Artikel-artikel baik di media cetak maupun internet yang berkaitan

dengan permasalahan.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik

pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka. Studi pustaka yang

dimaksud dilakukan dengan cara melakukan pengkodean atas bahan-bahan

hukum baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan. Bahan hukum

yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan,

disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang

berlaku.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian

ini adalah dengan metode deduktif, yaitu cara berpikir berpangkal pada

prinsip-prinsip dasar, kemudian penelitian menghadirkan objek yang akan

diteliti yang akan digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta

yang bersifat khusus. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara

deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat

umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johny Ibrahim,

2006:393). Dalam penulisan hukum ini, bahan hukum yang telah didapat

penulis, kemudian diolah dan dianalisis dalam bentuk interpretasi dengan

cara menafsirkan yang berkaitan dengan peradilan in absentia dan

pembuktian terbalik dalam perkara pencucian uang.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara

keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada

dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

Page 24: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika

penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini dikemukakan tentang kerangka teori yang

meliputi tinjauan tentang pencucian uang, tinjauan tentang

peradilan in absentia, tinjauan tentang pembuktian, dan

tinjauan tentang pembuktian terbalik. Dalam bab ini juga

dikemukakan tentang kerangka pemikiran yang berbentuk

bagan dan uraian singkat.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan

guna menjawab permasalahan mengenai bagaimana

peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memberikan

kontribusi pengembalian kerugian negara dalam perkara

pencucian uang, serta urgensi yang melatari perlunya

peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam

penanganan perkara pencucian uang di Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan yang didapat dari

hasil penelitian dan pembahasan serta saran-saran yang

diajukan penulis sebagai implikasi dari simpulan yang

didapat.

DAFTAR PUSTAKA

Page 25: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Pencucian Uang

a. Pengertian Pencucian Uang

Money laundering has been defined as "the process by which

criminals attempt to hide and disguise the true origin and ownership of the

proceeds of their criminal activities, thereby avoiding prosecution,

conviction, and confiscation of the criminal funds." (Andrew De

Lotbiniftre McDougall, International Arbitration and Money Laundering,

The American University International Law Review, 2009, Vol. 12 No. 2,

hlmn 1022).

(Pencucian uang didefinisikan sebagai “proses yang dilakukan oleh

pelaku kejahatan dalam menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul

harta kekayaannya yang berasal dari aktivitas tindak pidana, hal demikian

dimaksudkan guna menghindari penuntutan, penghukuman, dan penyitaan

terhadap harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana tersebut”).

Cara pemutihan atau pencucian uang dilakukan dengan melewatkan

uang yang diperoleh secara ilegal melalui serangkaian transaksi finansial

yang rumit guna menyulitkan berbagai pihak untuk mengetahui asal-usul

uang tersebut. Kerumitan inilah kemudian dimanfaatkan para pakar money

laundering guna melakukan tahap proses pencucian uang (N. H. T.

Siahaan, 2008:5-6).

Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang, atau

pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula dengan pembersihan

uang dari hasil transaksi gelap (kotor). Dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010, istilah money laundering disebut dengan Pencucian Uang,

sebagaimana tercantum dalam judul undang-undang tersebut. Kata money

dalam money laundering dapat diistilahkan secara beragam. Ada yang

menyebutnya dengan dirty money, hot money, illegal money, atau illicit

Page 26: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam, berupa

uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap (N.H.T. Siahaan,

2008:6).

Istilah pencucian uang sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 yaitu setiap perbuatan menempatkan, mentransfer,

mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,

membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata

uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan

tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya

tersebut. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pencucian uang

adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan harta secara

tidak sah supaya terlihat diperoleh dari harta yang sah, atau dengan kata

lain, pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses

yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu

uang yang berasal dari kejahatan, menyamarkan asal-usul uang haram dari

pemerintah atau otoritas yang berwenang, terutama dengan cara

memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan, sehingga uang

tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang

halal.

b. Tahapan dan Teknik-Teknik Proses Pencucian Uang

There is no one method of laundering money. Methods range from the

purchase and resale of luxury items to the passing of money through a

complex international web of legitimate businesses and "shell"

companies.' Despite the variety of methods available, the laundering

process proceeds in three stages: 1) placement, 2) layering, and 3)

integration (Paulina L. Jerez, Proposed Brazilian Money Laundering

Legislation: Analysis and Recommendations, The American University

International Law Review, 2009, Vol. 20, No.5, hlmn 332).

Page 27: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

(Pencucian uang tidak hanya melibatkan satu jenis metode. Metode-

metode tersebut bermula dari aktivitas transaksi keuangan hingga

melibatkan jejaring dan perusahaan internasional yang kompleks dalam

suatu kegiatan bisnis legal. Meskipun terdapat beberapa metode, proses

pencucian uang meliputi tiga tahap: 1) penempatan, 2) pelapisan, dan 3)

penyatuan).

Secara sederhana aktivitas pencucian uang dapat dilakukan melalui

perbuatan memindahkan, menggunakan, atau melakukan perbuatan

lainnya terhadap hasil dari suatu tindak pidana, baik itu pelakunya

organized crime maupun individu yang melakukan tindak pidana dengan

maksud menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang tersebut

sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang halal. Latar

belakang perbuatan tersebut adalah memindahkan atau menjauhkan pelaku

dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya

kecurigaan kepada pelaku melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk

aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah (Edi Setiadi,

2010: 154).

Instrumen yang paling dominan dalam pencucian uang biasanya

menggunakan sistem keuangan. Perbankan merupakan alat utama yang

paling menarik digunakan dalam pencucian uang, mengingat perbankan

merupakan lembaga keuangan yang paling banyak menawarkan instrumen

keuangan. Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dapat berupa: (Edi

Setiadi, 2010: 154-155)

1) Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;

2) Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/

tabungan/rekening/giro;

3) Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang

lebih besar atau lebih kecil;

4) Menggunakan fasilitas transfer;

5) Melakukan transaksi ekspor-impor fiktif dengan menggunakan L/C

dengan memalsukan dokumen bekerja sama dengan oknum terkait;

Page 28: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

6) Pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu money laundering,

karena kegiatannya sangat kompleks. Namun para pakar telah berhasil

menggolongkan proses money laundering ke dalam tiga tahap, yaitu:

1) Tahap Placement

Placement adalah penempatan harta yang berasal dari perbuatan

kriminal untuk pertama kalinya atau tahap awal dari siklus pencucian

uang haram. Tahap ini merupakan upaya menempatkan dana yang

dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan

mendepositokan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan.

Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, uang tersebut

kemudian akan masuk ke dalam sistem keuangan negara yang

bersangkutan. Variasinya antara lain dengan menempatkan uang giral

ke dalam deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan

mentransfer ke dalam valuta asing. Uang/aset dapat pula

diselundupkan ke luar negeri, tujuannya untuk memindahkan

uang/aset tersebut dari sumber asalnya. Modus operandinya adalah

dana ditempatkan jauh dari lokasi kejahatan.

Placement ini merupakan fase menempatkan uang yang

dihasilkan dari aktivitas kejahatan misalnya memecah uang tersebut

dalam pecahan besar atau kecil untuk ditempatkan dalam sistem

perbankan, atau placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan

fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari

suatu negara ke negara lain, maupun menggabungkan uang tunai yang

berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan

yang sah. Proses placement ini merupakan titik yang paling lemah

dalam pencucian uang (Edi Setiadi, 2010: 155).

2) Tahap Layering

Layering adalah pengalihan dari suatu bentuk investasi ke

bentuk investasi lainnya yang dilakukan untuk memperpanjang jalur

pelacakan atau suatu tindakan untuk menutupi sumber sebenarnya dari

Page 29: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

uang/aset dengan melakukan berlapis-lapis transaksi finansial yang

dirancang untuk menghilangkan jejak dan menciptakan anonim.

Berbagai modus operandi dapat dilakukan melalui tahap layering ini

yang tujuannya menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya maupun

asal-usul uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari

beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara

lain dan dapat dilakukan beberapa kali, memecah-mecah jumlah

dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal-usulnya,

mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, dan lain-lain

(N. H. T. Siahaan, 2008:9). Dengan demikian layering dapat

disimpulkan sebagai proses memisahkan hasil kejahatan dari

sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Layering

dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening-

rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia

bank.

3) Tahap Integration

Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang

kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering.

Penyatuan uang melibatkan pemindahan sejumlah dana yang telah

melewati proses pelapisan yang teliti kemudian disatukan dengan dana

yang berasal dari kegiatan legal ke dalam arus perputaran dana global

yang begitu besar (Aziz Syamsuddin, 2011: 21). Modus operandinya

yaitu dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal atau

dilakukan transaksi yang bersih. Dana yang terlapis tadi digunakan

untuk pembayaran, kemudian transaksi itu dapat dilakukan melalui

lembaga keuangan biasa sebagai bagian dari transaksi yang jernih.

Misalnya pembayaran hutang atau tagihan lainnya. Dengan cara ini

akan tampak bahwa aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan

dengan kegiatan-kegiatan ilegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah

kemudian uang kotor itu telah tercuci (N. H. T. Siahaan, 2008:9-10).

Page 30: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

2. Tinjauan Tentang Peradilan In Absentia

Peradilan in absentia adalah peradilan yang dilakukan/dilaksanakan di

luar kehadiran terdakwa, setelah prosedur pemanggilan secara hukum

dilakukan tetapi terdakwa tidak hadir atau tidak dapat dihadirkan (Edi

Setiadi, 2010: 43). Hakim pun dapat menjatuhkan hukuman meski terdakwa

tidak hadir dalam persidangan.

Dalam perkara pidana, menurut mantan Jaksa Agung Abdul Rahman

Saleh, konsep in absentia adalah konsep di mana terdakwa telah dipanggil

secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga

pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran

terdakwa (Abdul Rahman Saleh, 2008: 208).

Dasar hukum peradilan in absentia ini tidak dicantumkan secara jelas

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hanya saja

di dalam Pasal 196 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHAP

disebutkan sebagai berikut:

Pasal 196

(1) “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali

dalam hal Undang-Undang ini menentukan lain.”

Pasal 214

(1) “Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan

perkara dilanjutkan.”

(2) “Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat

amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.”

Di samping itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9

Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa

dimana intinya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berpendapat bahwa

perkara-perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat (baik

Page 31: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan)

dapat diputus di luar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP

berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan

Cepat. Jadi, hukum acara pidana tidak hanya mengakui keberadaan

persidangan secara in absentia untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan,

tetapi berlaku juga bagi perkara tindak pidana ringan (Pasal 205 KUHAP).

Selain itu, persidangan in absentia secara khusus diatur dalam beberapa

undang-undang lainnya, antara lain: (www.hukumonline.com)

1) Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan:

“Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di

sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa

dan diputus tanpa kehadirannya.”

2) Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang

menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut

tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat

diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.”

3) Pasal 79 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun

2009 yang menyatakan, “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat

dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.” Dalam Angka 3 Surat Edaran

Mahkamah Agung No.: 03 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Undang-Undang No. 31 Tahun 2007 tentang Perikanan, disebutkan

bahwa, “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa

kehadiran terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah dalam

pengertian perkara in absentia, yaitu terdakwa sejak sidang pertama

tidak pernah hadir di persidangan.”

Page 32: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

4) Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Terorisme yang menyatakan, “Dalam hal terdakwa telah dipanggil

secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang

sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya

terdakwa.”

Di luar ketentuan-ketentuan tersebut di atas, terdapat beberapa

peraturan lain yang mengatur mengenai peradilan in absentia, antara lain:

1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-

Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan

Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil;

2) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,

Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi;

3) Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan

Kegiatan Subversi.

3. Tinjauan Tentang Pembuktian

a. Definisi menurut para ahli:

1) Menurut M. Yahya Harahap:

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan

dan pedoman mengenai cara-cara yang dibenarkan undang-undang

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim

membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2010:

273).

2) Menurut Alfitra:

Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang

mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan

menggunakan alat-alat bukti yang sah dan dilakukan tindakan-

tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis

di persidangan, sistem yang dianut dengan pembuktian, syarat-syarat

dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim

untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian (Alfitra,

2011: 21).

Page 33: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

b. Sistem-Sistem Pembuktian:

1) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction in time)

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya terdakwa,

semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Dari mana

hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi

masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan

hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam persidangan

ataupun bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti tersebut diabaikan

hakim dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan terdakwa.

Sistem ini memberikan kebebasan terlalu besar kepada hakim

sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat

hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim

dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah

melakukan apa yang didakwakan.

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana

manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya,

berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus

dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk

keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang

yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-

wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin (Adami

Chazawi, 2008:25).

2) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang

logis (Conviction Raisonee)

Dalam sistem ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan

penting dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Akan tetapi,

dalam sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem

pembuktian conviction in time peran keyakinan hakim sangat leluasa

tanpa batas, pada sistem conviction raisonee ini keyakinan hakim

harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib

menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari

Page 34: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

keyakinannya atau kesalahan terdakwa. Dengan kata lain, keyakinan

hakim harus didukung dengan alasan yang dapat diterima akal, tidak

semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan

yang tak masuk akal.

Sistem ini lebih maju sedikit daripada sistem yang pertama,

walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap

didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistem yang

kedua ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim

untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis.

Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan bebas

(vrije bewijstheorie), karena dalam membentuk keyakinannya hakim

bebas menggunakan alat-alat bukti dan menyebutkan alasan-alasan

dari keyakinan yang diperolehnya dari alat-alat bukti tersebut (Adami

Chazawi, 2008:26-27).

3) Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif

(Positive Wettelijk Bewijstheorie)

Sistem ini hanya berpedoman pada alat-alat bukti yang

disebutkan dalam undang-undang. Untuk membuktikan salah atau

tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan pada alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang, sedangkan keyakinan hakim tidak

ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini

berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim

dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan

pembuktian yang keras (Andi Hamzah, 2008: 251).

Ada kalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem

menurut undang-undang secara positif. Maksudnya, ialah dalam hal

membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana

didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti serta cara-cara

mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dulu dalam

undang-undang. Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan

Page 35: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik

mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya,

maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali

tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan

dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan

tindak pidana. Jadi, sistem ini adalah sistem yang berlawanan dengan

sistem pembuktian berdasarkan keyakinan semata-mata (Adami

Chazawi, 2008:27).

Sistem pembuktian demikian pada saat ini sudah tidak ada

penganut lagi, karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia,

yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan

tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga karena sistem ini sama

sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. Hakim bekerja

menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah

diprogram melalui undang-undang (Adami Chazawi, 2008:28).

4) Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara

negatif/terbatas (Negatief Wettelijk)

Sistem ini adalah hasil penggabungan secara terpadu antara

sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time)

dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.

Dari hasil penggabungan kedua sistem tersebut, terwujudlah rumusan

sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang

berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan

hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang

sah menurut undang-undang”.

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak

sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang

ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai

pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

Page 36: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta

yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang.

Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan

pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan

kesatuan atau dengan kata lain tidak berdiri sendiri-sendiri.

Disebut dengan sistem menurut undang-undang, karena dalam

membuktikan harus menurut ketentuan undang-undang baik alat-alat

bukti yang dipergunakan maupun cara mempergunakannya serta

syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyatakan tentang

terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang

didakwakan. Disebut dengan terbatas, karena dalam melakukan

pembuktian untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan

terdakwa melakukan tindak pidana di samping dengan menggunakan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang juga

dibatasi/diperlukan pula keyakinan hakim. Artinya, bila ketiadaan

keyakinan hakim, tidak boleh menyatakan sesuatu (objek) yang

dibuktikan sebagai terbukti, walaupun alat bukti yang dipergunakan

telah memenuhi syarat minimal bukti (Adami Chazawi, 2008:28-29).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

merupakan penganut sistem pembuktian ini, hal tersebut terlihat

dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukannya.” Dari kalimat tersebut nyata bahwa

pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang, yaitu alat bukti

yang sah sesuai ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan

keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.

Page 37: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

4. Tinjauan Tentang Pembuktian Terbalik

Secara teoritis Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana asasnya

mengenal tiga teori hukum pembuktian, yaitu:

a. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif,

yaitu dengan titik tolak adanya alat bukti yang secara limitatif

ditentukan oleh undang-undang;

b. Teori Hukum Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim, polarisasinya

hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka

dengan tidak terikat oleh suatu peraturan;

c. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif,

yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila

alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan undang-undang dan

didukung pula keyakinan hakim terhadap eksistensi alat-alat bukti

bersangkutan.

Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi dengan

eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji dari perspektif ilmu

pengetahuan hukum pidana dikenal ada tiga teori tentang beban

pembuktian. Indonesia juga mengenal tiga teori tentang beban pembuktian

tersebut, yaitu:

a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum

Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut

Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara

akurat, sebab jika tidak demikian akan sulit meyakinkan hakim tentang

kesalahan terdakwa. Beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini

berkorelasi dengan asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas

tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Teori beban

pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan Pasal 66

KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa

tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini

dapat dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”

(Lilik Mulyadi, 2007: 102).

Page 38: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

b. Beban Pembuktian pada Terdakwa

Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa

dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu,

terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala

beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa

dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana (Lilik Mulyadi, 2007:

102). Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan teori

“Pembalikan Beban Pembuktian”. Dikaji dari perspektif teoritis dan

praktik, teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi

pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat

terbatas. Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut

merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga

merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana pencucian

uang.

c. Beban Pembuktian Berimbang

Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa

dan/atau Penasihat Hukum saling membuktikan di depan persidangan.

Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa

sedangkan sebaliknya terdakwa beserta Penasihat Hukum akan

membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.

Dalam kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini dinamakan

juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang” (Lilik Mulyadi,

2007: 103).

Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji

dari tolok ukur Penuntut Umum dan terdakwa, teori beban pembuktian

dapat dibagi menjadi dua kategorisasi. Pertama, sistem pembuktian

“biasa” atau “konvensional”, Penuntut Umum membuktikan kesalahan

terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti. Kemudian terdakwa

dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut

Umum sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP. Kedua, teori pembalikan

Page 39: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi menjadi teori

pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau “murni”

bahwa terdakwa dan/atau Penasihat Hukum membuktikan

ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban

pembuktian yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian

terdakwa dan Penuntut Umum saling membuktikan kesalahan atau

ketidakbersalahan dari terdakwa. Pada hakikatnya, asas pembalikan

beban pembuktian dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dikenal

dalam Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian

Uang (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010), dan Perlindungan

Konsumen (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999).

Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terinci, dengan dianutnya

pembalikan beban pembuktian secara murni menyebabkan beralihnya

asas praduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah.

Konsekuensi logis dimensi demikian, praduga bersalah relatif

cenderung dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal

khususnya terhadap asas praduga tidak bersalah. Pada asasnya, praduga

tidak bersalah merupakan asas fundamental dalam negara hukum.

Konsekuensinya, setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana

mendapatkan hak untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti

kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban pembuktian

pada Penuntut Umum, norma pembuktian yang cukup dan metode

pembuktian harus mengikuti cara-cara yang adil (Lilik Mulyadi, 2007:

105).

Lebih lanjut, dalam hal pembalikan beban pembuktian,

terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

Jika ia tidak dapat membuktikannya, ia dianggap bersalah (Indriyanto

Seno Adji, 2001: 46).

Page 40: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan bahwa

pencucian uang (money laundering) merupakan salah satu tindak pidana khusus

Pencucian Uang

(Money Laundering)

Pengaturan Money Laundering

(UU No.8 Tahun 2010)

Pembuktian Terbalik Peradilan In Absentia

Urgensi yang Melatari

Pengembalian Kerugian

Negara

Page 41: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebagai salah satu tindak pidana

khusus, maka dalam penanganan perkara pencucian uang terdapat hal-hal yang

khusus pula dalam proses beracara pada pemeriksaan di persidangan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 memuat beberapa substansi

mengenai proses beracara pada pemeriksaan di persidangan yang sedikit

menyimpang dari ketentuan hukum pidana formil dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal itu terkait dengan perwujudan dari sifat

kekhususan yang ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Akan tetapi,

penyimpangan tersebut tetap dibenarkan berdasarkan asas lex specialis derogat

legi generali. Mengingat pencucian uang merupakan tindak pidana khusus dan

termasuk kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka diperlukan

penanganan khusus dan luar biasa pula, terutama dalam hal pemeriksaan di

persidangan. Kekhususan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut

antara lain mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik. Dalam

perkara pencucian uang, dimungkinkan untuk dilaksanakan peradilan in absentia,

yaitu persidangan tanpa kehadiran terdakwa. Kekhususan lainnya yaitu tentang

pembuktian terbalik, dimana dalam hal ini terdakwa wajib membuktikan bahwa

harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana. Dua hal

kekhususan pada proses beracara inilah yang merupakan suatu bentuk upaya luar

biasa sebagai penanganan perkara pencucian uang, dimana pada intinya memiliki

tujuan pokok yang sama, yaitu untuk mengembalikan kerugian negara akibat

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Terkait hal inilah penulis kemudian

tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai urgensi yang melatari perlunya

peradilan in absentia dan pembuktian terbalik sebagai upaya pengembalian aset

kekayaan negara dalam perkara pencucian uang.

Page 42: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik Memberikan

Kontribusi Terhadap Konsep Pengembalian Kerugian Negara dalam

Perkara Pencucian Uang

Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peradilan in absentia dan

pembuktian terbalik serta pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang. Selain itu, selanjutnya akan dikemukakan tentang kontribusi pengaturan

peradilan in absentia dan pembuktian terbalik guna mengembalikan kerugian

negara akibat money laundering atau pencucian uang.

1. Pengaturan Peradilan In Absentia dalam Pencucian Uang

Peradilan in absentia adalah peradilan yang dilakukan/dilaksanakan

di luar kehadiran terdakwa, setelah prosedur pemanggilan secara hukum

dilakukan tetapi terdakwa tidak hadir atau tidak dapat dihadirkan. Pada

dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menentukan, bahwa pemeriksaan di pengadilan harus dengan hadirnya

terdakwa. Dalam penjelasan Pasal 154 ayat (4) disebutkan bahwa

kehadiran terdakwa di sidang pengadilan adalah merupakan kewajibannya,

bukan merupakan haknya. Jadi terdakwa dapat dihadirkan secara paksa.

Kehadiran terdakwa di depan pengadilan bukan saja hanya untuk

memenuhi hak-hak terdakwa tetapi juga untuk mewujudkan prinsip due

process of law (proses hukum yang baik) yang merupakan asas universal

dan merupakan salah satu ciri dari negara hukum. Prinsip ini harus selalu

dipegang teguh dalam penegakan hukum pidana (Edi Setiadi, 2010:43-44).

Berlangsungnya sidang pengadilan yang tanpa dihadiri oleh

terdakwa, sesungguhnya sebagai antisipasi agar semua orang yang telah

distatuskan sebagai terdakwa tidak bebas begitu saja, meskipun ia

melarikan diri. Model persidangan in absentia dapat dijadikan

Page 43: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

klep/pengaman terhadap keterbatasan-keterbatasan aparat hukum

yang tidak dapat menghadirkan terdakwa di depan persidangan, karena

terdakwa melarikan diri (Waluyadi, 2009:114).

Bagaimanapun harus diakui, bahwa persepsi aparat hukum dan

persepsi pelaku tindak pidana terhadap berlangsungnya proses hukum

berbeda. Aparat hukum akan berusaha semaksimal mungkin agar setiap

pelaku tindak pidana diproses secara hukum. Sebaliknya, seorang pelaku

tindak pidana akan melakukan hal yang sama agar ia terlepas dari jeratan

hukum yang salah satu jalannya adalah dengan cara melarikan diri.

Peradilan in absentia juga dimungkinkan oleh undang-undang. Pasal

12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menyatakan:

a. Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana

dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain;

b. Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan

telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat diketahui bahwa prinsip persidangan

dilakukan dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan

lain. Pengertian kata “dengan” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009, tidak sama dengan pengertian kata “harus”,

sehingga Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tidak

dapat diartikan bahwa “persidangan harus dihadiri terdakwa”. Ini berarti,

tanpa hadirnya terdakwa pun, persidangan tetap dapat dilaksanakan. Oleh

karena itu, dikembalikan pada hukum formal (Hukum Acara), termasuk di

dalamnya KUHAP, Undang-Undang Kehakiman dan undang-undang lain

sepanjang mengatur tentang proses beracara di pengadilan.

Peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang diatur dalam

Pasal 79 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010. Pasal-pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Page 44: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Pasal 79 ayat (1):

Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir

di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa

dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

Pasal 79 ayat (3):

Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh

penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor

pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.

Pasal 79 ayat (4):

Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan

dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah

melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan

penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang

telah disita.

Penjelasan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan

pemberantasan pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat

berjalan dengan lancar, maka jika terdakwa telah dipanggil secara sah dan

patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara

tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa. Sedangkan dalam

Penjelasan Pasal 79 ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan

untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki

harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai

usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana

tersebut telah merugikan keuangan negara. Meskipun ketentuan-ketentuan

tersebut menyimpang dari KUHAP, namun penyimpangan tersebut tetap

diperbolehkan karena ketentuan-ketentuan ini merupakan implementasi

dari asas lex specialis derogat legi generali dalam pencucian uang.

Page 45: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

2. Pengaturan Pembuktian Terbalik dalam Pencucian Uang

Pembalikan beban pembuktian atau sering disebut pembuktian

terbalik dalam bahasa Inggris disebut reversal burden of proof. Selain itu,

beberapa kalangan memadankan dengan istilah shifting burden of proof

(Jawade Hafidz, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11, No 2, 2011, hlmn 7).

Secara konseptual, penggunaan metode pembalikan beban pembuktian

atau pembuktian terbalik dengan baik dapat membawa perubahan dalam

sistem hukum nasional. Termasuk perubahan paradigma bagi para penegak

hukum yang cenderung berpikir normatif-dogmatik dalam menerapkan

kaidah-kaidah hukum. Hal ini penting guna membangun sistem hukum

nasional yang lebih utuh, efektif dan efesien dalam mewujudkan tujuan

hukum. Selain itu, penggunaan metode pembuktian terbalik dalam

persidangan di pengadilan memberikan sedikit kemudahan kepada jaksa

penuntut umum dalam hal pembuktian. Terutama dalam perkara tindak

pidana pencucian uang yang mengkondisikan bahwa untuk membuktikan

unsur asal-usul harta kekayaan terdakwa, cukup terdakwa sendiri yang

harus membuktikannya. Khusus perkara pencucian uang, pembalikan

beban pembuktian sangat dibutuhkan sebab perkara ini tergolong rumit.

Apalagi bentuknya sebagai kejahatan berlanjut (secondary crime), yang

bersumber dari kejahatan asal yang disebut primary core atau core crime.

Sehingga proses pembuktiannya pun tergolong rumit.

Penerapan beban pembuktian dalam pencucian uang berdasarkan

sistem atau asas tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada

terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak

pidana, dan jika keterangan terdakwa ini benar, maka pihak yang

berwenang atau hakim dapat mempertimbangkan keterangan tersebut

sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan bagi diri terdakwa, atau

sebaliknya dapat merugikan diri terdakwa apabila keterangan tersebut

ternyata tidak benar. Sistem pembuktian dalam perkara pidana pada

umumnya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Page 46: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Hukum Acara Pidana. Demikian pula dengan pencucian uang, juga

didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Akan tetapi, ada

beberapa pengecualian terutama dalam penanganan pencucian uang ini

mengingat bahwa pencucian uang merupakan extraordinary crime,

sehingga dalam penanganannya pun harus melalui cara-cara yang luar

biasa. Salah satu bentuk pengecualian dari Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 ini adalah sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian

terbalik menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah

sistem pembuktian terbalik yang berimbang. Pengaturan mengenai sistem

pembuktian terbalik dalam pencucian uang sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 68, Pasal 69, Pasal 77, dan Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010, yakni :

Pasal 68

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta

pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 69

Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak

wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Pasal 77

Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa

wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan

hasil tindak pidana.

Page 47: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Pasal 78

(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan

bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal

atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1).

(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait

dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara

mengajukan alat bukti yang cukup.

Ketentuan ini dimaksudkan agar terdakwa menjelaskan asal-usul

harta kekayaannya, karena patut diduga tindak pidana yang dilakukan

pelaku money laundering berasal dari kekayaan negara, dan oleh

karenanya dapat merugikan keuangan negara. Pembuktian terbalik ini

diberlakukan terhadap perampasan harta benda terdakwa yang diduga

berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Terdakwa wajib

membuktikan dirinya tidak terlibat dalam tindak pidana. Akan tetapi, bukti

itu belum dapat menjamin dirinya tidak terlibat dalam tindak pidana yang

disangkakan itu, oleh karena penuntut umum masih tetap berkewajiban

membuktikan dakwaannya. Hal inilah yang disebut dengan sistem

pembuktian terbalik yang bersifat berimbang dalam pencucian uang.

Terdakwa "wajib" membuktikan bahwa ia tidak melakukan pidana

setelah diperkenankan oleh hakim. Selain itu, pembuktian bahwa terdakwa

tidak melakukan tindak pidana tidaklah bersifat imperatif. Artinya, apabila

terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta yang dimilikinya tidak

berasal dari tindak pidana, maka hal tersebut akan memperkuat posisi

dakwaan penuntut umum bahwa terdakwa melakukan pencucian uang.

Sebaliknya, apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa harta yang

dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana, maka keterangan tersebut

dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan bagi diri terdakwa

sendiri. Dalam keadaan seperti ini, jaksa penuntut umum tetap

berkewajiban membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan

Page 48: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

pencucian uang. Dari sini jelaslah bahwa beban pembuktian tetap

diserahkan kepada jaksa penuntut umum.

Apabila pembuktian terbalik ini diterapkan secara total dan absolut

yang terjadi maka hanya akan membebaskan jaksa penuntut umum dari

beban untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya seorang terdakwa.

Selain itu, reversal of burden proof secara absolut dan total akan

menimbulkan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya

pelanggaran terhadap asas "presumption of innocence" dan "non self-

incrimination". Oleh karena itu, yang diterapkan dalam sistem beban

pembuktian ini hanyalah sekadar "shifting of burden proof" dengan

memberikan kesempatan terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak

bersalah melakukan tindak pidana (Jawade Hafidz, Jurnal Dinamika

Hukum, Vol 11, No 2, 2011, hlmn 9). Begitu pula beban pembuktian

kepada jaksa penuntut umum untuk membuktikan bahwa terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana. Dengan demikian, beban pembuktian

terhadap suatu perkara pidana tetap dibebankan kepada jaksa penuntut

umum.

Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa

yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa.

Menurut ketentuan ini terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal

tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan tindak pidana, sebab

penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan

dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang

terbatas, dalam artian jaksa penuntut umum masih tetap wajib

membuktikan dakwaannya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang

menegaskan dianutnya sistem pembalikan beban pembuktian/pembuktian

terbalik yang masih bersifat terbatas ini masih belum jelas eksplisitasnya.

"Terbatas" menurut undang-undang ini menunjuk pada peran jaksa

Page 49: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

penuntut umum yang masih memiliki kewajiban untuk membuktikan

kesalahan terdakwa.

Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menentukan bahwa

hakim memerintahkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta

kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Rumusan ketentuan

tersebut menyiratkan beberapa hal. Pertama, pembuktian terbalik tentang

harta kekayaan terdakwa tidak harus dihubungkan dengan tindak pidana

asal (core crime) ataupun fokus pada perbuatan terdakwa

(daadstraafrecht). Kedua, keberhasilan pembuktian terbalik dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak bergantung pada pembuktian

tindak pidana asalnya karena ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 menegaskan bahwa untuk pembuktian tindak pidana

pencucian uang tidak harus dibuktikan terlebih dulu tindak pidana asalnya.

Merujuk pada ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU Nomor 8 Tahun

2010 dalam praktiknya, hakim tetap dapat memerintahkan pembuktian

terbalik terhadap terdakwa meskipun tidak terkait dengan dugaan terdakwa

telah melakukan tindak pidana asalnya. Rumusan ketentuan pembuktian

terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengacu pada bunyi

ketentuan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang fokus

pada perampasan aset terdakwa tidak harus perlu menghubungkannya

dengan tindak pidana asal. Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi

2003 berbunyi:

”Each state party may consider the possibility of requiring that an

offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime

or other property liable to confiscation.”

(Negara peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk

mewajibkan bagi pelaku kejahatan untuk menerangkan asal-muasal

harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana atau properti lainnya

guna keperluan penyitaan).

Page 50: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Lalu diperkuat Pasal 20 yang berbunyi:

”Each state party shall consider…as a criminal offence, when

committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant

increase in the assets of a public official that he or she cannot

reasonably explain in relation to his or her lawful income”.

(Negara peserta seharusnya mempertimbangkan kemungkinan untuk

mewajibkan bagi pelaku kejahatan untuk menerangkan asal-muasal

harta kekayaannya, yang dalam hal ini diperoleh dari kekayaan yang

tidak sah, atau apabila kekayaannya meningkat secara signifikan dan

tidak sebanding dengan pendapatannya yang sah).

Kata kunci kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus

membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya

yang sah, bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan

terdakwa dan tindak pidana yang telah dilakukannya. Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 dapat dikatakan telah memahami sungguh-sungguh

semangat, jiwa, serta makna di balik Pasal 31 ayat 8 dan Pasal 20

Konvensi PBB Antikorupsi, sehingga dengan demikian Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam

menyelamatkan keuangan negara secara signifikan.

Permasalahan dalam pembuktian terbalik adalah bahwa pembuktian

terbalik memiliki beberapa kelemahan. Pertama, bahwa penggunaan

metode pembalikan beban pembuktian dalam penanganan perkara tindak

pidana pencucian uang jika tidak dilakukan dengan tepat dapat berakibat

terhadap kurangnya implementasi hukum dalam menjunjung tinggi Hak

Asasi Manusia (HAM). Sebab, pembalikan beban pembuktian bisa saja

mengabaikan hak-hak dasar terdakwa, termasuk hak untuk dilindungi

nama baiknya. Kedua, dalam praktek sehari-hari, metode pembalikan

beban pembuktian di Indonesia masih tergolong baru. Apalagi belum

Page 51: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

banyak perkara yang diputus di pengadilan yang menggunakan metode

pembuktian terbalik terutama perkara-perkara pencucian uang. Hal ini

tentunya menyulitkan aparat penegak hukum (polisi, jaksa penuntut umum

dan hakim) dalam mengimplementasikan aturan mengenai penggunaan

pembalikan beban pembuktian terutama untuk perkara tindak pidana

pencucian uang. Ketiga, belum adanya ketentuan hukum terutama hukum

acara yang mengatur secara khusus tentang penggunaan pembalikan beban

pembuktian yang dapat dijadikan acuan para penegak hukum sehingga

metode ini sukar untuk di implementasikan. Keempat, secara teoritis,

penggunaan metode pembalikan beban pembuktian memberi kemudahan

kepada jaksa penuntut umum dalam menuduh seseorang meskipun belum

tentu orang tersebut melakukan hal apa yang dituduhkan kepadanya.

Dalam hal ini, sangat mungkin terjadi kesalahan dalam menuduh

seseorang. Sehingga, pelanggaran terhadap asas presumption of innocence

sangat mungkin terjadi.

3. Kontribusi Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian

Terbalik Guna Mengembalikan Kerugian Negara dalam Perkara

Pencucian Uang

Salah satu unsur mendasar dalam pencucian uang ialah adanya

kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan pencucian

uang tidak semata-mata bertujuan agar pelaku dijatuhi pidana penjara

(detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara

akibat dari tindak pidana. Pengembalian kerugian negara diharapkan

mampu menutupi defisit APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja

Negara) sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam

membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara adalah

berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti

jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun

Page 52: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

lalai. Pengertian ini menunjukkan bahwa kerugian negara mengandung arti

yang luas sehingga mudah dipahami dan ditegakkan bila terjadi

pelanggaran dalam pengelolaan keuangan negara. Di samping itu, kerugian

negara tidak boleh diperkirakan sebagaimana yang dikehendaki tetapi

wajib dipastikan berapa jumlah yang dialami oleh negara pada saat itu. Hal

ini dimaksudkan agar terdapat suatu kepastian hukum terhadap keuangan

negara yang mengalami kekurangan agar dibebani tanggung jawab bagi

yang menimbulkan kerugian negara (Muhammad Djafar Saidi, 2011:109-

110).

Penentuan keberadaan keuangan negara didasarkan pendekatan yang

digunakan dalam merumuskan pengertian keuangan negara sebagaimana

tercantum pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara adalah sebagai berikut: (Muhammad Djafar

Saidi, 2011:11-12)

a. Dari sisi obyek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi

semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,

termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan

pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu

baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik

negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut;

b. Dari sisi subyek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi

seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara,

dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah,

perusahaan negara/daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan

keuangan negara;

c. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian

kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana

tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan

keputusan sampai dengan pertanggungjawaban;

d. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan

dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau

Page 53: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan negara.

Mengenai kerugian negara, maka sudah pasti hal itu juga

menyangkut tentang keuangan negara. Dalam Pasal 1 angka 22 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan

bahwa kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga,

dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan

melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Unsur-unsur kerugian

negara/daerah tersebut meliputi:

a. Kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti

jumlahnya;

b. Perbuatan melawan hukum;

c. Kausalitas perbuatan melawan hukum dengan kekurangan yang

terjadi;

d. Subjek penanggung jawab kerugian.

Dalam hal unsur “kerugian keuangan negara”, konstruksi Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 dihubungkan dengan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2004 harus dikaji secara komprehensif, dengan

menganalisis sejauh mana hubungan pengembalian kerugian negara

dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak yang

melanggar hukum, dalam hal ini mengenai kejahatan pencucian uang atau

money laundering. Pengembalian kerugian negara setelah hasil

pemeriksaan yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dari hasil audit

yang dilakukannya harus segera dilaporkan kepada instansi yang

berwenang (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk melihat apakah terjadinya

kerugian negara yang dikembalikan tersebut merupakan suatu perbuatan

melawan hukum atau tidak.

Pencucian uang tidak akan pernah lepas kaitannya dengan tindak

pidana korupsi. Pencucian uang dengan korupsi ibarat mata uang, tidak

Page 54: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010, korupsi merupakan jenis tindak pidana

yang disebut paling awal yang dalam hal ini terdakwa memperoleh harta

kekayaannya. Dengan kata lain, apabila seseorang melakukan pencucian

uang, besar kemungkinan sebelumnya yang bersangkutan telah melakukan

korupsi atau tindak pidana asal yang lainnya.

Mengingat bahwa pencucian uang dan korupsi sangat erat kaitannya,

maka pengaturan mengenai pencucian uang dengan korupsi memiliki

banyak kesamaan dalam hal proses peradilan dan upaya

pemberantasannya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (selanjutnya disebut “UU PTPK”) juga mengenal mengenai

konsep pengembalian kerugian negara. Terkait dengan kerugian negara

yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi, UU PTPK

menggunakan dan memaksimalkan konsep “upaya pengembalian kerugian

keuangan negara”. Konsep tersebut diharapkan mampu mengembalikan

kerugian keuangan negara.

UU PTPK mengatur enam hal dalam kaitan dengan pengembalian

kerugian keuangan negara, terdiri dari lima meliputi gugatan perdata dan

satu melalui pidana tambahan, yaitu: (gagasanhukum.wordpress.com)

a. Gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara yang nyata

disebabkan setelah dilakukan penyidikan ditemukan unsur tidak cukup

bukti, seperti diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU PTPK;

b. Gugatan perdata disebabkan karena adanya putusan bebas sedangkan

secara nyata ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal

32 ayat (2) UU PTPK;

c. Gugatan perdata dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat

dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 33 UU PTPK;

d. Gugatan perdata dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat

dilakukan pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan secara nyata

Page 55: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 34 UU

PTPK;

e. Gugatan perdata terhadap tindak pidana korupsi yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi masih terdapat harta benda

yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan

perampasan untuk negara, seperti diatur dalam Pasal 38 C UU PTPK;

f. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya

sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b

UU PTPK.

Pengaturan gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi menandai

bahwa norma-norma hukum pidana saja tidak cukup memadai untuk

pengembalian kerugian keuangan negara, setidak-tidaknya dalam keadaan-

keadaan tertentu. Apabila UU PTPK dikategorikan sebagai peraturan

perundang-undangan pidana, maka diaturnya upaya gugatan perdata dalam

undang-undang tersebut menunjukkan pula bahwa suatu peraturan

perundang-undangan dapat sekaligus mengandung aspek hukum pidana

maupun perdata, bahkan juga hukum administrasi

(gagasanhukum.wordpress.com).

Kerugian negara akibat dari pengelolaan keuangan negara yang

menyimpang atau melanggar hukum wajib dikembalikan agar keuangan

negara berada dalam keadaan semula untuk membiayai pelaksanaan

pemerintahan negara dalam rangka mencapai tujuan negara. Upaya negara

untuk mengembalikan kerugian akibat ditimbulkan oleh pengelolaan

keuangan negara yang menyimpang atau melanggar hukum, telah

disiapkan instrumen hukum yang berada dalam konteks hukum pidana.

Instrumen hukum pidana yang terkait dengan pengembalian kerugian

negara melalui peradilan adalah UU PTPK dan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010. Hal itu dilakukan karena tindak pidana korupsi tergolong

sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar

Page 56: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

biasa, sama halnya dengan pencucian uang. Dengan demikian, kerugian

negara dalam kacamata instrumen hukum pidana adalah tindak pidana

korupsi dan pencucian uang yang memerlukan pemberantasan berbeda

dengan tindak pidana lainnya, seperti pembunuhan.

UU PTPK memuat ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

tindakan atau perbuatan hukum yang menimbulkan kerugian negara dan

memerlukan penyelesaian secara tepat tanpa melanggar hak asasi manusia

terhadap pihak-pihak yang terjaring sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Ketentuan-ketentuan UU PTPK yang berkaitan dengan kerugian negara

adalah sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (1) UU PTPK:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan

denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu

miliar rupiah.

Pasal 3 UU PTPK:

Setiap orang yang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua

puluh tahun dan/atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan

paling banyak satu miliar rupiah.

Dalam penjelasan umum UU PTPK ditegaskan bahwa keuangan

negara adalah seluruh kekayaan negara, dalam bentuk apapun, yang

dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala

bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

(Muhammad Djafar Saidi, 2011:139)

Page 57: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban

pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,

badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga

berdasarkan perjanjian dengan negara.

Sementara itu, pengertian perekonomian negara adalah kehidupan

perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas

kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan

pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada

seluruh kehidupan rakyat. Dalam arti perekonomian negara termasuk pula

sebagai unsur tindak pidana korupsi ketika perekonomian negara dirugikan

atas perbuatan termaksud. Sebenarnya tindak pidana korupsi sebagai

sasaran instrumen hukum pidana diupayakan agar dapat diperkecil dan

bahkan diharapkan tidak terjadi lagi (Muhammad Djafar Saidi, 2011:139-

140).

Pengembalian kerugian negara melalui peradilan boleh dilakukan

bersamaan dengan pengembalian kerugian negara di luar peradilan. Hal ini

didasarkan dengan pertimbangan hukum sebagai berikut: (Muhammad

Djafar Saidi, 2011:151)

a. Pengembalian kerugian negara melalui peradilan dengan

pengembalian kerugian negara di luar peradilan memiliki prosedur

yang berbeda;

b. Kerugian negara yang dikembalikan di luar peradilan bukan

merupakan sanksi atau hukuman melainkan hanya bersifat pengganti

atas kerugian negara yang ditetapkan oleh atasannya atau Badan

Pemeriksa Keuangan;

Page 58: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

c. Kerugian negara yang dikembalikan melalui peradilan merupakan

sanksi atau hukuman berupa denda yang dijatuhkan oleh pengadilan

atau Komisi Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan pertimbangan di atas, pengembalian kerugian negara

baik di luar peradilan maupun melalui peradilan secara bersamaan atau

terpisah bukan merupakan suatu pelanggaran hukum di bidang hukum

keuangan negara. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka pengembalian

kerugian negara yang dinyatakan hilang dan/atau digunakan untuk

memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dengan demikian,

pengembalian kerugian negara baik di luar peradilan maupun melalui

peradilan perlu diterapkan secara bersamaan dalam rangka pemberantasan

perbuatan yang merugikan keuangan negara, dalam hal ini khususnya

mengenai pencucian uang yang melibatkan aset kekayaan negara.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak diatur secara detail

mengenai konsep pengembalian kerugian negara akibat pencucian uang.

Pengaturan mengenai konsep pengembalian kerugian negara hanya diatur

secara sepintas melalui pengaturan peradilan in absentia, yang dalam hal

ini pemeriksaan di persidangan dalam perkara pencucian uang

dimungkinkan untuk dilaksanakan persidangan secara in absentia, yaitu

persidangan tanpa kehadiran terdakwa, baik karena terdakwa tidak hadir

maupun karena terdakwa meninggal dunia. Hal ini dilakukan untuk

menyelamatkan aset kekayaan negara akibat tindak pidana yang dilakukan

oleh terdakwa.

Konsep pengembalian kerugian negara lainnya yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu mengenai penerapan

pembuktian terbalik, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dan rinci

pengaturannya dalam undang-undang. Dalam hal ini, terdakwa dibebani

kewajiban untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya

bukan berasal dari tindak pidana. Apabila terdakwa mampu membuktikan

Page 59: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana, maka hal itu

dapat menjadi bahan pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman

bagi terdakwa. Sebaliknya, apabila terdakwa tidak mampu membuktikan

bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, maka hal itu

dapat menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan

tindak pidana, khususnya pencucian uang, serta dapat memperkuat posisi

tuntutan penuntut umum. Pembuktian terbalik merupakan upaya luar biasa

dalam proses pemeriksaan di persidangan, hal ini patut diterapkan dalam

perkara pencucian uang, mengingat pencucian uang merupakan jenis

kejahatan yang luar biasa pula. Harta kekayaan milik terdakwa bukan tidak

mungkin berasal dari kekayaan negara yang telah dikorupsi, karena

korupsi dan pencucian uang ibarat mata uang, saling berkaitan dan tidak

bisa dipisahkan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

mengatur ketentuan tentang pembuktian terbalik yang sifatnya

“compulsory”, yaitu dalam proses pemeriksaan di persidangan, terdakwa

“wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari tindak

pidana. Hal ini sebagai upaya dalam memberantas pencucian uang, serta

untuk mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan dari terdakwa.

Lebih lanjut, pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian

terbalik memberikan kontribusi mengenai konsep pengembalian kerugian

negara dalam pencucian uang dapat dilihat pada skema berikut:

Page 60: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Proses Pengembalian Kerugian Negara

Gambar 2. Skema Kontribusi Peradilan In Absentia dan Pembuktian

Terbalik dalam Proses Pengembalian Kerugian Negara

Berdasarkan skematik tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam hal

terdakwa tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah setelah

dilakukan pemanggilan yang sah, maka proses pemeriksaan di persidangan

tetap dilanjutkan dengan peradilan in absentia, yaitu persidangan tanpa

kehadiran terdakwa. Dalam hal ini penuntut umum akan melawan “kursi

Terdakwa Tidak Hadir

Peradilan In Absentia

Penuntut Umum vs

“Kursi Kosong”

Penuntut Umum Melakukan

Pembuktian

Putusan Hakim

Perampasan Harta Terdakwa

Guna Mengembalikan Kerugian

Negara

Terdakwa Hadir

Penuntut Umum vs

Terdakwa

Pembuktian Terbalik

Secara Berimbang

Penuntut Umum dan

Terdakwa Dibebani Beban

Pembuktian

Page 61: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

kosong”, karena kursi yang seharusnya diduduki oleh terdakwa tidak ada

penghuninya. Berhubung terdakwa tidak hadir, maka terdakwa pun

kehilangan hak-haknya untuk melakukan pembelaan di muka persidangan.

Hal ini akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh penuntut umum dalam

melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti yang dimilikinya guna

meyakinkan hakim bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

telah melakukan tindak pidana, khususnya pencucian uang, dan dengan

berdasarkan keyakinan hakim serta adanya alat-alat bukti dari penuntut

umum, maka hakim pun akan menjatuhkan putusan berupa perampasan

harta terdakwa yang untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam kas negara

guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan terdakwa.

Dalam hal terdakwa hadir di persidangan, maka proses pemeriksaan

di pengadilan berjalan seperti pada umumnya. Kali ini, penuntut umum

tidak lagi melawan “kursi kosong”, karena terdakwa hadir di persidangan.

Berhubung terdakwa hadir di persidangan, terdakwa dibebani beban

pembuktian terbalik, yaitu terdakwa harus membuktikan di muka

persidangan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari

tindak pidana. Hal ini sebagai imbas dari ketentuan pengaturan

pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Apabila

terdakwa mampu membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya

tidak berasal dari tindak pidana, maka hal itu akan menjadi bahan

pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman terdakwa. Sebaliknya,

apabila terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya

bukan berasal dari tindak pidana, maka hal itu pula akan menambah

keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana,

khususnya pencucian uang. Meskipun pembuktian terbalik diterapkan

secara berimbang, dalam arti penuntut umum tetap dibebani beban

pembuktian, namun ketidakmampuan terdakwa dalam membuktikan harta

kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana, dapat

menjadi landasan yang kuat bagi hakim untuk menjatuhkan putusan

Page 62: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

berupa perampasan harta terdakwa yang untuk selanjutnya dimasukkan ke

dalam kas negara guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan

terdakwa.

Mencermati uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu

hasil analisis bahwa pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian

terbalik dalam pencucian uang memberikan kontribusi yang besar dan

signifikan dalam pengembalian kerugian negara. Secara tidak langsung,

pencucian uang dapat berakibat pada kerugian negara, yang dalam hal ini

pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan (secondary crime).

Dalil tersebut mengacu pada tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

Apabila tindak pidana asalnya adalah korupsi, maka hal itu jelas sangat

merugikan negara. Bagaimanapun juga, pencucian uang dan korupsi

sangat erat kaitannya. Sehingga apabila terdakwa melakukan korupsi,

maka patut diduga terdakwa pasti juga melakukan pencucian uang. Oleh

karena itu, diperlukan upaya luar biasa dalam memberantas pencucian

uang. Bagi terdakwa yang melarikan diri atau telah meninggal dunia,

proses pemeriksaan di persidangan dilakukan secara peradilan in absentia.

Dan bagi terdakwa yang sanggup hadir di persidangan, maka yang

bersangkutan dibebani beban pembuktian terbalik. Peradilan in absentia

dan pembuktian terbalik memiliki tujuan utama serta memberikan

kontribusi yang sama, yaitu sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian

negara akibat perbuatan terdakwa.

B. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik dalam

Perkara Pencucian Uang di Indonesia

1. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dalam Perkara Pencucian

Uang di Indonesia

Money laundering atau pencucian uang merupakan salah satu bentuk

kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Letak “luar biasa” tersebut bisa

menyangkut beberapa aspek, mulai dari pelakunya, jaringannya, modus

Page 63: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

operandinya, hingga akibat yang ditimbulkannya. Namun, pada

pembahasan kali ini akan lebih difokuskan pada pelakunya.

Pencucian uang bukanlah jenis kejahatan yang biasa. Berhubung

pencucian uang merupakan kejahatan luar biasa, maka sudah pasti

pelakunya pun bukan orang sembarangan. Pelaku money laundering

pastilah orang yang pintar, berilmu, serta memiliki keahlian dan

kedudukan terpandang dalam bidangnya. Inilah sebabnya money

laundering juga termasuk salah satu jenis kejahatan kerah putih atau sering

disebut dengan white collar crime. Istilah “kerah putih” ini menunjukkan

bahwa pelakunya merupakan seorang profesional dan memiliki keahlian di

bidangnya.

Perlu diketahui bahwa profesionalitas pelaku money laundering ini

tidak hanya sebatas memiliki skill dalam bidangnya saja, tetapi juga

memiliki keahlian lainnya dalam merencanakan atau mempersiapkan

segala sesuatu setelah yang bersangkutan melakukan tindak pidana.

Misalnya, setelah pelaku berhasil melakukan pencucian uang, pelaku telah

mempersiapkan segala rencana dan sarana untuk melarikan diri agar tidak

ditangkap atau setidak-tidaknya sulit dilacak oleh aparat penegak hukum.

Meskipun telah mengerahkan segala daya dan upaya, namun pada

akhirnya aparat penegak hukum tidak mampu menangkap atau mengetahui

keberadaan pelaku. Aparat penegak hukum tidak lantas hanya berdiam diri

saja setelah gagal menangkap pelaku, karena dalam konteks ini negara

telah mengalami kerugian akibat tindakan dari pelaku. Bagaimanapun

juga, hukum harus tetap ditegakkan. Dan segala sesuatu yang hilang dari

aset negara serta menimbulkan kerugian bagi negara, harus kembali lagi

dalam genggaman negara.

Berangkat dari fenomena itulah, maka timbul pengaturan mengenai

peradilan in absentia, yaitu proses pemeriksaan di persidangan tanpa

dihadiri oleh terdakwa. Dalam hal ini, terdakwa tidak hadir tanpa alasan

yang sah, setelah dilakukan pemanggilan secara sah kepada yang

bersangkutan. Oleh karena itulah, proses pemeriksaan di persidangan tetap

Page 64: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

dilanjutkan dengan tanpa dihadiri oleh terdakwa. Hal ini tak lepas dari

kondisi yang urgent, yaitu demi mengembalikan kerugian negara.

Landasan hukum peradilan in absentia dalam perkara pencucian

uang terdapat pada Pasal 79 ayat (1), Pasal 79 ayat (3), dan Pasal 79 ayat

(4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya pengaturan

peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang menunjukkan bahwa

pengaturan tersebut memiliki landasan yang kuat untuk diterapkan dalam

proses penanganan perkara pencucian uang. Pencucian uang tidak hanya

mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi

juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu,

pencegahan dan pemberantasan pencucian uang memerlukan landasan

hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan

hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak

pidana, yang dalam hal ini salah satunya yaitu melalui pengaturan

peradilan in absentia dalam penanganan perkara pencucian uang.

Diperlukannya peradilan in absentia memang tak lepas dari urgensi-

urgensi serta alasan-alasan yang melatarinya. Urgensi-urgensi

diperlukannya peradilan in absentia tersebut antara lain:

a. Sebagai upaya dalam mengembalikan kerugian negara

Money laundering merupakan salah satu kejahatan luar biasa

yang dapat mengakibatkan pada kerugian negara. Kerugian negara

tersebut akan tetap terus ada walaupun pelaku money laundering

melarikan diri. Hal itu jelas tidak dapat dibiarkan begitu saja. Aparat

penegak hukum harus menemukan solusi untuk mengembalikan

kerugian negara akibat tindakan pelaku money laundering. Apabila

aparat penegak hukum telah mengerahkan segala daya upaya untuk

menemukan pelaku yang melarikan diri tetapi tetap tidak mampu

menangkap pelaku, maka dalam proses pemeriksaan di persidangan

Page 65: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

dilakukan peradilan in absentia. Model persidangan in absentia dapat

dijadikan klep/pengaman terhadap keterbatasan-keterbatasan aparat

hukum yang tidak dapat menghadirkan pelaku money laundering di

depan persidangan, karena yang bersangkutan melarikan diri. Hal ini

sangat diperlukan dan bersifat urgent, mengingat perbuatan money

laundering dari pelakunya dapat merusak kestabilan perekonomian

negara serta menimbulkan dampak kerugian yang besar bagi negara.

Oleh karena itu peradilan in absentia sangat penting guna

mengembalikan kerugian negara akibat money laundering melalui

proses pemeriksaan di persidangan guna melakukan perampasan harta

terdakwa setelah adanya putusan hakim.

b. Sebagai upaya dalam menegakkan hukum meskipun terdakwa

melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya

Pelaku money laundering dapat menimbulkan dampak pada

kerugian negara. Terhadap siapapun yang telah mengambil aset

kekayaan negara ataupun menimbulkan kerugian negara, maka

baginya harus dijatuhi hukuman yang setimpal. Hukuman tersebut

adalah berupa perampasan harta kekayaan yang dimilikinya dan untuk

selanjutnya dimasukkan ke dalam kas negara guna mengembalikan

kerugian negara akibat perbuatan dari pelaku tersebut. Meskipun

pelaku money laundering melarikan diri, proses pemeriksaan di

persidangan harus tetap dilanjutkan setelah berkas perkara yang

bersangkutan telah dilimpahkan ke pengadilan. Terdakwa yang

melarikan diri, diadili secara in absentia. Hal ini sangat penting guna

menegakkan aturan hukum bahwa siapa saja yang telah melakukan

tindak pidana dan berakibat pada kerugian negara, maka harta

kekayaan yang dimilikinya harus dirampas guna mengembalikan

kerugian negara yang timbul. Dan proses perampasan harta pelaku

tindak pidana harus melalui pemeriksaan di persidangan serta dengan

putusan hakim. Oleh karena itu, aturan hukum mengenai

pengembalian kerugian negara harus tetap ditegakkan meski pelaku

Page 66: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

money laundering melarikan diri. Penegakan aturan hukum tersebut

adalah melalui peradilan in absentia.

c. Adanya pergeseran paradigma dalam peradilan

Pada umumnya, proses pemeriksaan di persidangan bertujuan

untuk menegakkan hukum dan menghukum terdakwa dengan

hukuman setimpal apabila terdakwa terbukti secara sah dan

meyakinkan telah melakukan tindak pidana. Namun, seiring dengan

perkembangan zaman dan teknologi, yang mengakibatkan makin

berkembangnya pula bentuk-bentuk tindak pidana, maka kebutuhan

dalam proses peradilan di tingkat pengadilan pun mengikuti arus

perkembangan yang ada. Tidak dipungkiri bahwa kejahatan money

laundering merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa yang

modern, dalam artian teknik-teknik dan modus operandinya serba

canggih serta tidak lepas dari pemanfaatan teknologi mutakhir. Selain

teknik-teknik dan modus operandinya yang luar biasa, money

laundering juga mengakibatkan hal yang luar biasa pula pada

kerugian negara. Harta kekayaan pelaku money laundering, bisa jadi

bersumber dari aset kekayaan negara yang seharusnya digunakan

untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena money laundering ini bisa

berdampak pada kerugian negara, maka penanganannya pun harus

ditujukan untuk mengembalikan kerugian negara. Inilah letak dari

pergeseran paradigma dalam peradilan. Mengingat begitu urgent

terkait kerugian negara ini, maka dalam money laundering proses

peradilannya mulai fokus pada pemulihan atau pengembalian kerugian

negara, dan tidak lagi dicurahkan sepenuhnya pada pemberian

hukuman bagi terdakwa. Hal ini penting karena aset kekayaan negara

yang mengalami kerugian akibat perbuatan terdakwa merupakan harta

negara yang digunakan untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu,

aspek upaya pengembalian kerugian negara jauh lebih penting

daripada keperluan menghukum terdakwa seberat-beratnya. Apalagi

dalam hal terdakwa melarikan diri, maka apabila aparat penegak

Page 67: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

hukum telah berusaha menangkap terdakwa tetapi tidak membuahkan

hasil, proses pemeriksaan di persidangan tetap dapat dilanjutkan

meski tanpa kehadiran terdakwa, yaitu dengan peradilan in absentia.

Peradilan in absentia ini merupakan wujud nyata telah terjadinya

pergeseran paradigma dalam dunia peradilan, yang dalam hal ini lebih

difokuskan sebagai upaya pengembalian kerugian negara akibat

perbuatan terdakwa daripada menjadikan peradilan tersebut sebagai

sarana untuk menghukum terdakwa seberat-beratnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dinyatakan bahwa jika

terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir di persidangan

pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa

dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Peradilan in absentia itu

ditujukan pada harta benda negara. Ide dasar peradilan in absentia dalam

tindak pidana ekonomi yang diambil dari Belanda tersebut, dimaksudkan

untuk segera menyelamatkan harta yang merupakan hasil tindak pidana.

Berdasarkan uraian-uraian mengenai urgensi peradilan in absentia di

atas, maka dapat ditarik suatu benang merah tentang perlunya peradilan in

absentia dalam proses pemeriksaan di tingkat persidangan perkara

pencucian uang pada intinya ialah sebagai upaya untuk mengembalikan

kerugian negara akibat perbuatan pelaku money laundering. Kerugian

negara yang sudah timbul akibat perbuatan pelaku, harus tetap diupayakan

pemulihannya, meskipun pelaku melarikan diri atau meninggal dunia.

Peradilan in absentia menjadi sarana yang dapat ditempuh aparat penegak

hukum untuk tetap terus melanjutkan pemeriksaan perkara pencucian uang

apabila terdakwa melarikan diri atau telah meninggal dunia. Hal ini

diperlukan karena dalam hal perampasan harta terdakwa guna

mengembalikan kerugian negara, terlebih dahulu harus sudah ada putusan

hakim. Sehingga meskipun terdakwa tidak hadir, aparat penegak hukum

dapat terus melakukan pemeriksaan perkara pencucian uang hingga tingkat

persidangan dengan peradilan in absentia yang untuk selanjutnya hakim

Page 68: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

akan menjatuhkan putusan berupa perampasan harta terdakwa untuk

dimasukkan ke dalam kas negara guna mengembalikan kerugian yang

diderita oleh negara akibat perbuatan terdakwa.

2. Urgensi Perlunya Pembuktian Terbalik dalam Perkara Pencucian

Uang di Indonesia

Pencucian uang atau money laundering dilakukan dengan berbagai

modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian

negara yang semakin canggih dan rumit. Sehingga banyak perkara-perkara

pencucian uang lolos dari pembuktian sistem KUHAP. Oleh karena itu

pengaturan mengenai pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, diterapkan upaya hukum pembuktian terbalik. Pembuktian yang

diterapkan dalam money laundering menganut dua sistem sekaligus, yaitu

sistem Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan sekaligus dengan sistem

KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian dilakukan

dengan cara menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau

berimbang, serta yang menggunakan sistem pembuktian negatif menurut

KUHAP. Jadi, tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, tetapi

teori pembuktian terbalik terbatas atau berimbang. Kata-kata “terbatas atau

berimbang” menunjukkan bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan

dalilnya bahwa harta kekayaan yang dimiliki terdakwa tidak berasal dari

tindak pidana, hal itu tidak berarti harta kekayaan terdakwa tidak berasal

dari tindak pidana, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk

membuktikan dakwaannya.

Setelah terdakwa memberikan keterangan mengenai asal-usul harta

kekayaannya, ditambah dengan pembuktian dari penuntut umum, maka

hakim akan mempertimbangkan semuanya dan hakim akan menentukan

pendapatnya. Apabila keterangan terdakwa terbukti benar bahwa harta

kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana, maka

keterangan itu dipakai sebagai hal yang menguntungkan bagi terdakwa.

Page 69: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

Namun, jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang asal-usul harta

kekayaan yang dimilikinya, maka keterangan itu dapat dipergunakan untuk

menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan money

laundering.

Dalam money laundering terkait lebih dari satu jenis tindak pidana,

yaitu kejahatan menghasilkan uang haram (misalnya korupsi) dan

pencucian uang haram tersebut. Kualifikasi money laundering dirumuskan

sebagai penempatan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa

keuangan. Berdasarkan ketentuan ini maka adanya perbuatan korupsi tidak

perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup apabila ada pengetahuan atau

dugaan bahwa uang haram tersebut berasal dari perbuatan korupsi, yaitu

bila sudah terdapat bukti permulaan yang cukup (Edi Setiadi, 2010:148).

Dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, ditegaskan

bahwa di sidang pengadilan terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta

kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Perkataan “wajib”

bagi terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari

tindak pidana mengandung pengertian bahwa dalam undang-undang ini

dianut sistem pembuktian terbalik.

Di samping konsepsi pembuktian terbalik terdapat dalam berbagai

instrumen hukum nasional, konsepsi pembuktian terbalik juga terdapat

dalam instrumen hukum internasional, salah satunya adalah pada United

Nations Conventions Against Transnational Organized Crime (UNCTOC)

yang ditandatangani di Palermo, Italia, Desember 2000. UNCTOC

bertujuan mempromosikan kerjasama untuk mencegah dan memerangi

kejahatan terorganisir antarnegara (transnational organized crime). Selain

utamanya mengatur perihal kejahatan transnasional terorganisir, di

dalamnya diatur beberapa kriminalisasi atas beberapa perbuatan, yaitu

delik “turut-serta dalam sebuah kelompok organisasi kriminal”

(participation in an organized criminal group) pada Pasal 5, delik

Page 70: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

“pencucian hasil kejahatan” (the laundering of proceeds of crime) pada

Pasal 6, dan delik korupsi pada Pasal 8.

Sedangkan Pasal 12 UNCTOC yang mengatur tentang Penyitaan dan

Perampasan menetapkan bahwa negara-negara peserta harus mengadopsi

tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk memudahkan penyitaan

atas hasil-hasil kejahatan yang berasal dari tindak pidana yang dicakup

dalam konvensi dan properti yang senilai yang berkaitan dengan hasil-

hasil kejahatan dimaksud, properti, perlengkapan atau instrumental-

instrumental lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk dipergunakan

dalam tindak pidana yang dicakup dalam konvensi ini. Negara-negara

peserta wajib mengadopsi tindakan-tindakan tersebut yang mungkin

diperlukan untuk memudahkan identifikasi, pelacakan, pembekuan atau

perampasan atas setiap hal yang dimaksud di atas yang pada akhirnya

untuk tujuan penyitaan/perampasan. Apabila hasil dari kejahatan itu telah

diubah bentuknya atau dikonversikan sebagian atau seluruhnya ke dalam

properti lain, properti itu dapat dikenakan tindakan-tindakan sebagaimana

tersebut dalam pasal ini sebagai pengganti hasil-hasil kejahatan (M. Akil

Mochtar, 2009:183).

Pasal 12 angka 7 UNCTOC berbunyi:

“States Parties may consider the possibility of requiring that an

offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime

or other property liable to confiscation, to the extent that such a

requirement is consistent with the principles of their domestic law

and with the nature of the judicial and other proceedings.”

(Negara peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk

mengharuskan bahwa seorang pelaku menunjukkan asal-muasal sah

yang didakwa diduga merupakan hasil-hasil kejahatan atau properti

lain yang dapat dikenakan penyitaan, sepanjang persyaratan tersebut

konsisten dengan prinsip-prinsip hukum nasionalnya dan dengan

sifat dari yudisialnya dan hukum acara lainnya).

Pasal tersebut menerapkan ketentuan sistem pembuktian terbalik

yang menetapkan bahwa pelaku harus menunjukkan asal-usul yang sah

dari sesuatu yang didakwa sebagai hasil kejahatan atau properti lain yang

dapat dikenakan perampasan sejauh bahwa kewajiban itu adalah tidak

Page 71: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum nasional dan prosedur hukum

acara lainnya.

Ketentuan yang bunyinya hampir sama terdapat dalam Pasal 31

angka 8 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)/

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, yaitu:

“States Parties may consider the possibility of requiring that an

offender demonstrate the lawful origin of such alleged proceeds of

crime or other property liable to confiscation, to the extent that such

a requirement is consistent with the fundamental principles of their

domestic law and with the nature of judicial and other proceedings.”

(Negara peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk

mengharuskan bahwa seorang pelaku menunjukkan asal-muasal sah

dari yang diduga didakwa merupakan hasil-hasil kejahatan atau

properti lain yang dapat dikenakan penyitaan, sejauh bahwa

kewajiban seperti itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar

dari hukum nasionalnya dan dengan sifat dan proses hukum acara

lainnya).

Ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia yang hampir

serupa dengan pengaturan pada Pasal 12 angka 7 UNCTOC dan Pasal 31

angka 8 UNCAC tersebut di atas, adalah ketentuan Pasal 77 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi:

Pasal 77

Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa

wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan

hasil tindak pidana.

Selanjutnya, mengingat Indonesia telah meratifikasi United Nations

Convention Against Corruption/UNCAC 2003 (Konvensi Anti

Korupsi/KAK 2003) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006

tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003

dan United Nations Convention Against Transnational Organized

Crime/UNCTOC 2000 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang

Kejahatan Transnasional Terorganisir 2000) melalui Undang-Undang

Page 72: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention

Against Transnational Organized Crime 2000, maka ketentuan sistem

pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 tentu berdampak pada hukum pembuktian yang masih

dilandaskan pada ketentuan dalam KUHAP. Selain itu, penggunaan sistem

pembuktian terbalik merefleksikan terjadinya pergeseran dari penggunaan

prinsip Ultimum Remedium menjadi Primum Remedium dalam

pemberantasan money laundering. Dalam prinsip Ultimum Remedium,

hukum pidana tidak lagi digunakan apabila sarana-sarana lain telah

berhasil dalam memberantas tindak pidana. Sebaliknya, dalam prinsip

Primum Remedium, hukum pidana dikedepankan sebagai sarana utama

dalam memberantas tindak pidana pada umumnya, dan money laundering

pada khususnya. Hal ini mengingat telah terjadi perubahan paradigma

tentang money laundering dari hanya sebagai salah satu jenis kejahatan

menjadi kejahatan yang cara pemberantasannya harus dilakukan dengan

cara yang luar biasa sebab kerugian yang ditimbulkan oleh money

laundering tidak saja merugikan keuangan negara tetapi juga telah

merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Selain itu,

dunia melalui UNCAC 2003 dan UNCTOC 2000 sangat prihatin atas

seriusnya masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh

money laundering terhadap stabilitas negara yang dapat melemahkan

pembangunan berkelanjutan.

Ditinjau dari fungsinya, penerapan pembuktian terbalik mempunyai

fungsi kontrol sosial berupa apa yang harus dan apa yang jangan

dilakukan. Hal ini dimaknai bahwa seseorang dalam upaya memiliki harta

kekayaannya harus melalui suatu cara perolehan yang wajar, jujur, dan

bersih. Apabila hal ini dilanggar maka perintah penerapan pembuktian

terbalik atas harta kekayaannya segera diberlakukan. Penerapan

pembuktian terbalik juga mempunyai fungsi sebagai penyelesaian

sengketa terhadap suatu harta kekayaan tertentu. Apabila dapat dijelaskan

bahwa perolehannya ditempuh melalui cara-cara yang wajar maka harta

Page 73: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

kekayaan tersebut tetap menjadi milik yang memberikan penjelasan.

Namun, apabila tidak dapat dijelaskan bahwa perolehan harta kekayaan itu

melalui cara-cara yang wajar maka negara dalam hal ini dapat melakukan

perampasan. Pemberlakuan pembuktian terbalik juga mempunyai fungsi

rekayasa sosial (social engineering), yaitu kebijakan sosial yang

direncanakan untuk memudahkan pembuktian kasus-kasus penyuapan/

korupsi, serta untuk memulihkan kerugian keuangan/perekonomian negara

akibat terjadinya pencurian, penggelapan dan korupsi melalui prosedur

yang terlegitimasi, bahkan terhadap harta kekayaan yang merupakan hasil

suatu tindak pidana (money laundering) dimungkinkan untuk dapat

dikembalikan kepada pemiliknya yang sah. Pembuktian terbalik juga

mempunyai fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance) yaitu

menjaga atau berupaya agar pencapaian kesejahteraan masyarakat dapat

terus terwujud dan pemberantasan terhadap hambatan-hambatannya seperti

perilaku korupsi dapat diberantas atau setidaknya diminimalisir (M. Akil

Mochtar, 2009:192-193).

Tujuan diterapkannya pembuktian terbalik dalam perkara money

laundering adalah agar tujuan preventif dan efek jera diharapkan

terpenuhi. Tujuan preventifnya jelas, yaitu agar money laundering tidak

terjadi lagi di masa mendatang. Sedangkan tujuan pemberian efek jera

kepada pelaku, dapat dipahami bahwa money laundering merupakan

perbuatan yang mencederai diri sendiri secara berat karena resiko yang

diterima jauh lebih besar, yaitu hukumannya sangat berat dan resiko

tersebut cepat datangnya, karena dengan adanya penerapan pembuktian

terbalik. Sementara itu kemanfaatan yang akan dinikmati dari money

laundering kemungkinan besar tidak akan diperoleh. Hal ini karena harta

kekayaannya akan segera disita, dirampas, atau dikembalikan. Dengan

demikian kerugian/perekonomian negara yang terganggu dapat segera

dipulihkan.

Pembuktian terbalik juga memiliki pergeseran paradigma dalam hal

beban pembuktian dalam persidangan. Dalam hukum pidana formil pada

Page 74: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

umumnya yaitu sesuai yang tercantum dalam KUHAP, disebutkan bahwa

siapa yang mendakwa, maka pihak itulah yang membuktikannya dalam

persidangan. Sedangkan pembuktian terbalik memiliki konsep yang

berbeda dengan KUHAP, yaitu dalam hal ini posisi terdakwa sebagai

pihak yang didakwa, juga dibebani beban pembuktian di persidangan.

Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan

berasal dari tindak pidana. Namun, penerapan pembuktian terbalik tidak

dilakukan secara absolut, tetapi secara terbatas atau berimbang, sesuai

dengan asas shifting of burden proof. Dikatakan terbatas atau berimbang,

karena tidak hanya terdakwa yang diberikan beban pembuktian, tetapi

penuntut umum selaku pihak yang mendakwa juga tetap wajib melakukan

pembuktian. Meskipun tidak diterapkan secara absolut, pembuktian

terbalik merupakan suatu bukti adanya pergeseran paradigma dalam hal

beban pembuktian di persidangan. Semula hanya penuntut umum yang

melakukan beban pembuktian, kini beban tersebut dibagi juga kepada

terdakwa. Hal ini sangat penting mengingat terdakwa telah melakukan

money laundering yang termasuk kategori kejahatan luar biasa serta

berimbas pada kerugian negara. Sehingga pembuktian terbalik dapat

menjadi salah satu sarana ampuh dalam mengembalikan kerugian negara

dengan melalui perampasan harta kekayaan terdakwa untuk dimasukkan

ke dalam kas negara guna menutupi aset yang telah hilang dalam kekayaan

negara.

Diterapkannya pembuktian terbalik, sebenarnya juga tidak lepas dari

adanya suatu “suspicious” atau “kecurigaan” dari aparat penegak hukum

kepada terdakwa. Terdakwa dicurigai telah mengambil aset kekayaan

negara, yang untuk selanjutnya aset tersebut kemudian dilakukan

pencucian. Berawal dari dalil tersebut, maka aparat penegak hukum

melakukan terobosan dalam hal pemanfaatan pembuktian terbalik.

Pembuktian terbalik dinilai sebagai suatu “jaminan” agar dapat dilakukan

penyitaan atau perampasan terhadap harta kekayaan terdakwa yang patut

diduga berasal dari tindak pidana, khususnya melakukan penyelewengan

Page 75: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

terhadap aset kekayaan negara. Perampasan terhadap harta kekayaan

negara tentu tidak akan dapat dilakukan tanpa adanya putusan hakim

terlebih dahulu. Sedangkan hakim dapat menjatuhkan putusan dengan

adanya minimal dua alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim. Untuk

alat bukti, hal itu menjadi tanggung jawab penuntut umum. Sedangkan

untuk keyakinan hakim, didasarkan pada penilaian hakim selama

persidangan. Dalam hal penilaian hakim ini, salah satunya didasarkan pada

pembuktian terbalik. Penerapan pembuktian terbalik inilah yang nantinya

akan menjadi salah satu bahan pertimbangan hakim guna mencapai

keyakinannya dalam menjatuhkan putusan. Disinilah letak pembuktian

terbalik sebagai “jaminan” agar dapat dilakukan perampasan harta

kekayaan terdakwa. Pembuktian terbalik mempunyai sumbangsih dalam

memberikan keyakinan hakim untuk menjatuhkan putusan berupa

perampasan harta kekayaan terdakwa yang untuk selanjutnya digunakan

untuk mengembalikan kerugian negara.

Mencermati dari berbagai uraian di atas, maka pembuktian terbalik

merupakan suatu hal yang urgent untuk diterapkan dalam pemeriksaan

perkara money laundering di persidangan. Adanya pergeseran paradigma

dalam hal pemberian beban pembuktian yang semula hanya diemban

penuntut umum, kini juga dibagi kepada terdakwa, menunjukkan betapa

pentingnya penyelesaian sengketa yang menyangkut persoalan harta

kekayaan. Pelaku money laundering yang patut diduga telah

menyelewengkan aset kekayaan negara, perlu ditindaklanjuti dengan

tindakan yang luar biasa untuk dilakukan perampasan terhadap harta

kekayaannya, yaitu dengan pembuktian terbalik. Tujuan perampasan harta

kekayaan terdakwa tersebut adalah untuk dikembalikan ke kas negara guna

menutupi kerugian negara yang telah ada. Bagaimana pun, aset kekayaan

negara harus tetap utuh dan kerugian negara harus dipulihkan. Karena

kekayaan negara itulah yang nantinya dimanfaatkan untuk kesejahteraan

rakyat.

Page 76: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan hasil analisis terhadap permasalahan yang dikaji dalam

penelitian, maka dapat diambil simpulan dan saran sebagai berikut:

A. Simpulan

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki kontribusi yang

signifikan mengenai konsep pengembalian kerugian negara akibat

pencucian uang. Letak kontribusi pengembalian kerugian negara akibat

pencucian uang terdapat pada pengaturan mengenai peradilan in absentia

dan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang

terdapat pada pasal-pasal berikut:

a. Pasal 68

“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta

pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”

Pasal ini secara tersirat memiliki kontribusi dalam pengembalian

kerugian negara, yaitu dengan disebutkannya ketentuan bahwa beberapa

hal mengenai proses pemeriksaan perkara pencucian uang terdapat hal-

hal yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini. Hal ini mengingat

urgensi dari pemberantasan pencucian uang yang merupakan kejahatan

luar biasa serta adanya peran undang-undang ini dalam mengupayakan

pengembalian kerugian negara akibat pencucian uang.

b. Pasal 69

“Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di

sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib

dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”

Rumusan ketentuan ini merupakan cerminan dari Pasal 20 dan Pasal 31

ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang dalam hal ini kata kunci

Page 77: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus membuktikan

asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya yang sah,

bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan terdakwa

dan tindak pidana yang telah dilakukannya, sehingga tidak perlu

terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya. Dengan adanya

ketentuan ini, maka dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 telah memahami sungguh-sungguh semangat, jiwa, serta

makna di balik Pasal 20 dan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB

Antikorupsi, sehingga dengan demikian Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam menyelamatkan

keuangan negara secara signifikan.

c. Pasal 77

“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib

membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak

pidana.”

Pasal ini merupakan pasal yang mengatur mengenai penerapan

pembuktian terbalik di persidangan dalam perkara pencucian uang.

Dalam hal ini, terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa

harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana.

Apabila terdakwa mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak

berasal dari tindak pidana, maka hal itu dapat menjadi bahan

pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman bagi terdakwa.

Sebaliknya, apabila terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta

kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, maka hal itu dapat

menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak

pidana, khususnya pencucian uang, serta dapat memperkuat posisi

tuntutan penuntut umum. Pembuktian terbalik merupakan upaya luar

biasa dalam proses pemeriksaan di persidangan, hal ini patut diterapkan

dalam perkara pencucian uang, mengingat pencucian uang merupakan

jenis kejahatan yang luar biasa pula. Harta kekayaan milik terdakwa

bukan tidak mungkin berasal dari kekayaan negara yang telah

Page 78: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

dikorupsi, karena korupsi dan pencucian uang ibarat mata uang, saling

berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 melalui pasal ini mengatur ketentuan tentang

pembuktian terbalik yang sifatnya “compulsory”, yaitu dalam proses

pemeriksaan di persidangan, terdakwa “wajib” membuktikan bahwa

harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana. Hal ini sebagai

upaya dalam memberantas pencucian uang, serta untuk mengembalikan

kerugian negara akibat perbuatan dari terdakwa.

d. Pasal 78

(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan

bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau

terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1).

(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan

perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti

yang cukup.

Pasal ini, baik dalam ayat (1) maupun ayat (2) mengatur mengenai

langkah-langkah dan prosedur bagi terdakwa dalam melakukan

pembuktian terbalik. Jadi, pasal ini dapat dikatakan sebagai rangkaian

tentang penerapan pembuktian terbalik dalam proses pemeriksaan

perkara pencucian uang di tingkat persidangan yang merupakan salah

satu upaya guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan

terdakwa.

e. Pasal 79 ayat (1):

“Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di

sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan

diputus tanpa hadirnya terdakwa.”

Letak kontribusi pasal ini terhadap konsep pengembalian kerugian

negara adalah bahwa pengaturan ini dimaksudkan guna mempercepat

proses pemeriksaan perkara pencucian uang di pengadilan. Apabila

terdakwa tidak diketahui keberadaannya meskipun sudah dilakukan

upaya pencarian, maka guna memperlancar proses pemeriksaan di

Page 79: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

persidangan, dapat tetap dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Hal ini

mengingat urgensi yang ditimbulkan akibat pencucian uang sebagai

kejahatan luar biasa yang telah merugikan negara, sehingga proses

pemeriksaan di persidangan pun perlu dituntaskan secepat mungkin

guna memulihkan kerugian negara yang telah ada.

f. Pasal 79 ayat (3):

“Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh

penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor

pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.”

Letak kontribusi pasal ini terhadap konsep pengembalian kerugian

negara adalah bahwa meskipun terdakwa pencucian uang tidak hadir

dalam persidangan, proses pemeriksaan perkaranya tetap dapat

dilanjutkan hingga tahap paling akhir atau tahap penjatuhan putusan.

Putusan tersebut kemudian dipublikasikan agar publik dapat

mengetahui bahwa kerugian negara akibat pencucian uang dapat segera

dipulihkan setelah adanya putusan tersebut.

g. Pasal 79 ayat (4):

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan

terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah

melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut

umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.”

Letak kontribusi pasal ini terhadap konsep pengembalian kerugian

negara adalah bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah agar

ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki harta kekayaan yang

berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk

mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah

merugikan keuangan negara.

2. Landasan hukum peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang

terdapat pada Pasal 79 ayat (1), Pasal 79 ayat (3), dan Pasal 79 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya pengaturan

peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang menunjukkan bahwa

Page 80: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

pengaturan tersebut memiliki landasan yang kuat untuk diterapkan dalam

proses penanganan perkara pencucian uang. Peradilan in absentia tersebut

ditujukan pada aset kekayaan negara. Urgensi peradilan in absentia

dimaksudkan untuk segera menyelamatkan harta yang merupakan hasil

tindak pidana. Sementara itu, dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010, ditegaskan bahwa di sidang pengadilan terdakwa “wajib”

membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak

pidana. Perkataan “wajib” bagi terdakwa untuk membuktikan harta

kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana mengandung pengertian

bahwa dalam undang-undang ini dianut sistem pembuktian terbalik. Adanya

pergeseran paradigma dalam hal pemberian beban pembuktian yang semula

hanya diemban penuntut umum, kini juga dibagi kepada terdakwa,

menunjukkan betapa pentingnya penyelesaian sengketa yang menyangkut

persoalan harta kekayaan. Pelaku money laundering yang patut diduga telah

menyelewengkan aset kekayaan negara, perlu ditindaklanjuti dengan

tindakan yang luar biasa untuk dilakukan perampasan terhadap harta

kekayaannya, yaitu dengan pembuktian terbalik. Urgensi perampasan harta

kekayaan terdakwa melalui pembuktian terbalik tersebut adalah untuk

dikembalikan ke kas negara guna menutupi kerugian negara yang telah ada.

B. Saran

1. Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam memberantas dan

menanggulangi pencucian uang, ketentuan mengenai peradilan in absentia

dan pembuktian terbalik dalam peraturan mengenai money laundering atau

pencucian uang perlu diatur lebih lanjut, lebih detail, dan lebih mendalam

pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang money laundering

tersebut. Hukum acara mengenai peradilan in absentia dan pembuktian

terbalik perlu dipertimbangkan pula untuk diterapkan pada segala jenis

kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).

Page 81: KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN …/Kajian...PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

2. Guna memaksimalkan pencegahan dan pemberantasan money laundering,

perlu diatur melalui hukum acara yang bersifat khusus dengan memuat

substansi:

a. Mewajibkan kepada hakim untuk menerapkan hukum pembuktian

terbalik terhadap terdakwa;

b. Memberlakukan sebuah standar khusus pembuktian terbalik dengan

menekankan pada penerapan asset recovery, dengan prioritas ditujukan

kepada harta kekayaan dan bukan pada diri pribadi terdakwa. Dengan

kata lain, penekanan kepada pemulihan kerugian akibat perbuatan

terdakwa dan bukan penghukuman terhadap diri terdakwa;

c. Mengatur secara lebih detail mengenai mekanisme penyitaan,

pembekuan, dan perampasan terhadap aset kekayaan terdakwa yang

diduga merupakan hasil dari tindak pidana.