bab ii asas pembuktian terbalik menurut hukum acara

31
BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Asas Legalitas Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Hukum pidana merupakan bagian hukum publik, 52 konsekuensi logis demikian, hukum pidana dititikberatkan pada kepentingan umum dan memiliki dua unsur pokok yaitu norma dan sanksi. Hukum pidana menitikberatkan menyangkut kepentingan umum. Hubungan hukum yang ditimbulkan dari perbuatan seseorang menyebabkan dijatuhkannya sanksi pidana sebab selain pihak korban dirugikan termasuk pihak pemerintah sebagai pembuat regulasi. 53 Hukum pidana memiliki hubungan hukum berdasarkan kepentingan masyarakat sehingga memiliki sifat hubungan publik. Tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat melalui norma sanksi. 54 52 Martimam Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 7-8. Lihat juga: EY. Kanter, dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 25. 53 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 37. 54 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam KitabUndang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 14. Hukum pidana memiliki korelasi erat dengan berkembangnya masyarakat hukum terutama asas-asasnya yang tidak terlepas Universitas Sumatera Utara

Upload: vuhanh

Post on 12-Jan-2017

240 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

BAB II

ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA PIDANA

DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Asas Legalitas Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang

Hukum pidana merupakan bagian hukum publik,52 konsekuensi logis

demikian, hukum pidana dititikberatkan pada kepentingan umum dan memiliki dua

unsur pokok yaitu norma dan sanksi. Hukum pidana menitikberatkan menyangkut

kepentingan umum. Hubungan hukum yang ditimbulkan dari perbuatan seseorang

menyebabkan dijatuhkannya sanksi pidana sebab selain pihak korban dirugikan

termasuk pihak pemerintah sebagai pembuat regulasi.53

Hukum pidana memiliki hubungan hukum berdasarkan kepentingan

masyarakat sehingga memiliki sifat hubungan publik. Tujuan hukum pidana untuk

melindungi masyarakat melalui norma sanksi.

54

52 Martimam Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 7-8. Lihat juga: EY. Kanter, dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 25.

53 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 37. 54 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam KitabUndang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 14.

Hukum pidana memiliki korelasi erat

dengan berkembangnya masyarakat hukum terutama asas-asasnya yang tidak terlepas

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

dari dinamika masyarakat bersangkutan. Asas-asas hukum pidana relatif telah

berkembang dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga memiliki

relevansi dengan dimensi pembuktian pada tataran legislasi dan implementasinya.55

Pembuktian pada hakikatnya dalam hukum pidana memiliki peranan penting,

sebab melalui pembuktian itulah dapat ditentukan salah atau tidaknya terdakwa.

Pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menetapkan serta

memutuskan kesalahan seseorang baik melalui litigasi maupun non litigasi. Kajian

berdasarkan kerangka litigasi di pengadilan akan menentukan apakah terdakwa dapat

dijatuhi sanksi pidana (veroordeling) dari hasil persidangan secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana atau dibebaskannya dari dakwaan (vrijspraak)

karena tidak terbukti melakukan tindak pidana atau dilepaskan dari segala tuntutan

hukum (onslag van elle rechtsvervolging) karena apa yang didakwakan terbukti tetapi

perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana.

56

Asas penting dalam hukum pidana erat kaitannya dengan asas legalitas yang

diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, yang menentukan, “Tiada suatu peristiwa

dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang

Secara sederhana ada

anasir erat hubungan antara asas-asas hukum pidana dengan dimensi pembuktian

yang merupakan rumpun hukum acara pidana.

55 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 75-76. 56 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

mendahuluinya”.57

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana sebelum diatur dalam

suatu undang-undang tertentu;

Berdasarkan ketentuan tersebut, asas legalitas mengandung tiga

pengertian yakni:

2. Untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak dibolehkan

dipergunakan analogi; dan

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak bisa berlaku surut.

Ketiga unsur di atas, terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana. Asas

legalitas sebagai ciri utama dalam sistim civil law dan eksistensinya diakui dalam

KUH Pidana Indonesia. Pada perkembangannya saat ini, mengingat munculnya

perbuatan-perbuatan yang sepatutnya harus dipidana tetapi tidak bisa dipidana karena

tidak dilarang dalam undang-undang. Sehingga Utrecht menentang asas legalitas

tersebut dengan alasan asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat

yang masih hidup dan akan hidup.58

Pertentangan tentang asas legalitas terus terjadi, Andi Hamzah misalnya

menentang pendapat Utrecht tersebut dengan tetap berpegang teguh pada asas

legalitas dengan alasan Andi adalah tidak mungkin dapat dikodifikasi secara

universal hukum adat yang masih hidup itu apalagi yang akan hidup sebab hal

demikian merupakan perlindungan terhadap hak asasi manusia menyangkut adat

57 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 130. 58 Utrecht dalam Lilik Mulyadi, Op. cit., hal. 78.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

istiadat yang tidak bisa diatur secara komprehensif, adat antar daerah di wilayah

Indonesia berbeda-beda satu sama lainnya.59

Demikian pula Barda Nawawi Arief berpandangan pada asas legalitas dengan

menyatakan bahwa dalam asas legalitas tersimpul asas lain seperti asas legalitas

formal, asas lex certa, asas lex temporis delicti dan asas non retroaktif.

60 Asas

legalitas mengacu pada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Namun

pada tataran penerapan (implementatif) asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak

misalnya adanya prinsip yang menggunakan ketentuan mana yang paling

menguntungkan bagi terdakwa. Pada tataran normatif asas legalitas ini juga

dikecualikan misalnya terdapat pada Ketentuan Peralihan. Bilamana perundang-

undangan direvisi setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, terhadap tersangka

digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.61 Melemahnya asas

legalitas juga ditemukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana.62

59 Andi Hamzah dalam Loebby Loqman, Perkembangan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Semarang: Papers, 2004), hal. 6-7.

60 Barda Nawawi Arief dalam Jan Remmelink, Op. cit., hal. 358. Asas legalitas formal (lex scripta) memandang penghukuman harus didasarkan pada ketentuan undang-undang tertulis. Asas lex certa memandang kebijakan legislasi dalam merumuskan ketentuan undang-undang harus lengkap dan jelas serta tidak samar-samar. Asas lex temporis delicti memandang suatu perbuatan pidana harus sesuai dengan waktu dan tempat terjadinya pidana. Asas non retroaktif memandang bahwa hukum tidak bisa diberlakukan secara surut.

61 A. Zainal Abidin Farid, Op. Cit., hal. 151. 62 Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana menentukan: “Jikalau undang-undang diubah, setelah

perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.

Ketentuan Pasal 1

ayat (2) KUH Pidana inilah yang mengandung asas lex temporis delicti.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

Dalam kaitannya, asas legalitas dengan UU No.8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU) adalah

terkait dengan dikriminalisasinya pencucian uang menjadi suatu perbuatan yang

dilarang atau tindak pidana yang dilarang dalam UUPPTPPU khususnya yang

menyangkut dengan pemeriksaan di sidang pengadilan terkait dengan pembuktian

terbalik yang telah diatur (dilegalkan) dalam Pasal 77 UUPPTPPU. Ketentuan pasal

ini menentukan, ”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa

wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.

Dengan demikian, berdasarkan asas legalitas pembuktian terbalik telah dianut dalam

Pasal 77 UUPPTPPU.

Pengecualian terhadap asas legalitas terdapat dalam Pasal 94 dan Pasal 95

UUPPTPPU. Ketentuan dalam Pasal 94 menyangkut tugas Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus tunduk pada UU No.8 Tahun 2010

tetapi kecuali mengenai struktur organisasinya masih tetap berpedoman pada UU

No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 95

menentukan batasan terhadap kasus-kasus tindak pidana pencucian uang yang

dilakukan sebelum berlakunya UU No.8 Tahun 2010, diperiksa dan diputus

berdasarkan ketentuan dalam UU No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003.

B. Asas Beban Pembuktian

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

Secara teoritis ilmu pengetahuan hukum acara pidana asasnya mengenal

empat teori hukum pembuktian meliputi: teori pembuktian berdasarkan keyakinan

hakim (conviction intime), teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam

batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee), teori pembuktian

menurut undang-undang secara positif, teori pembuktian berdasarkan keyakinan

hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief

wettelijk stelsel).

Konsekuensi logis dari keempat teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi

dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Keempat macam teori tentang

beban pembuktian tersebut pada hakikatnya terdapat di negara Indonesia maupun di

beberapa negara seperti di Malaysia, Inggris, Hongkong, dan Singapura. Teori beban

pembuktian tersebut dibagi dalam tiga macam:

1. Beban Pembuktian Pada Penuntut Umum

Beban pembuktian pada penuntutu umum dikenal dengan pembuktian biasa

atau konvensional, dimana penuntut umum lah yang diwajibkan membuktikan

kesalahan terdakwa berdasarkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, jika

tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa (lihat

Pasal 66 KUHAP).63

63 Pasal 66 KUHAP ditentukan: ”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

Konsekuensi logis dari beban pembuktian dalam teori ini ada

pada Jaksa Penuntut Umum, tentu saja dengan beban pembuktian demikian

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

berkorelasi dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau asas

tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination) yakni menjunjung tinggi

HAM terdakwa. Jaksa Penuntut Umum harus menganggap bahwa tersangka atau

terdakwa bukan orang yang bersalah sebelum terbukti kesalahannya di hadapan

sidang pengadilan.

Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau asas tidak

mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination) merupakan salah satu karakter

dalam pembuktian di sidang pengadilan khususnya bagi negara-negara demokrasi

yang mengakui rule of law. Negara Indonesia misalnya mewujudkan asas praduga

tidak bersalah melalui penerapan sistem pembuktian negatif berdasarkan keyakinan

hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief

wettelijk stelsel). Asas praduga tidak bersalah dinilai oleh International Covenant on

Civil and Political Rights (ICCPR) tidak bertentangan dengan hak asasi manusia

sebab asas ini tidak memposisikan tersangka atau terdakwa sebagai orang yang

bersalah sebelum dapat dibuktikan.64

Beban pembuktian yang dibebankan kepada JPU dikenal di Indonesia

sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 66 KUHAP dengan tegas ditentukan,

“Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. JPU yang wajib

64 http://www.rimanews.com/read/20100824/2284/mengimplementasikan-azas-pembuktian-terbalik, diakses tanggal 31 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

membuktikan kesalahan terdakwa dengan berbagai macam alat-alat bukti yang

diajukannya di sidang pengadilan. Ketentuan Pasal 66 KUHAP tersebut sejalan

dengan Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf i Statuta Roma Mahkamah

Pidana Internasional yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik PBB tentang

Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal 17 Juli 1998.

2. Beban Pembuktian Pada Terdakwa

Konsekuensi dari beban pembuktian ini adalah terdakwa yang wajib aktif

membuktikan, menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana.

Terdakwa lah di hadapan sidang pengadilan yang mempersiapkan segala beban

pembuktian dan jika tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah

melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan

pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian (omkering van bewijslast

atau sifting of burden of proof/onus of proof) yang bersifat absolut atau murni.

Beban pembuktiannya diwajibkan pada terdakwa atau kuasanya maka

pembuktian terbalik jenis ini bersifat absolut (murni) dimana terdakwa dan atau

penasihat hukumnya yang wajib membuktikan ketidakbersalahan terdakwa. Jika

beban pembuktian diwajibkan kepada terdakwa, maka hal ini jelas-jelas menggeser

asas parduga tidak bersalah menjadi praduga bersalah. Sebab terdakwa berhak untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

diam (the right to remain silent), tidak boleh dipaksa untuk bicara dalam proses

persidangan.65

Prinsip beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP

berbeda secara ekstrim dengan prinsip pembuktian terbalik absolut yang

pengaturannya tidak ditemukan dalam KUHAP melainkan dianut dalam beberapa

undang-undang khusus.

Pada hakikatnya pembuktian terbalik model inilah yang disebut pembuktian

terbalik bersifat absolut dan model ini merupakan penyimpangan dari hukum

pembuktian pada umumnya (konvensional) dan juga merupakan suatu tindakan luar

biasa dalam kerangka pembuktian. Pembuktian secara konvensional atau pembuktian

secara negatif menempatkan kedudukan hak asasi tersangka yang paling tertinggi

sedangkan pembuktian terbalik khususnya yang bersifat absolut (murni) memaksa

terdakwa untuk berbicara dengan membuktikan kesalahannya.

66

3. Beban Pembuktian Berimbang

Jika JPU dibebankan untuk membuktikan kesalahan

tersangka atau terdakwa maka prinsip ini dikenal dengan beban pembuktian biasa,

sedangkan jika beban pembuktian itu dibebankan kepada si tersangka atau terdakwa

maka prinsip demikian dikenal dengan pembuktian terbalik.

65 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 107. 66 Bandingkan dengan Pasal 77 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU) dan Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

Beban pembuktian berimbang disebut juga dengan pembuktian terbalik

keseimbangan kemungkinan. Baik penuntut umum maupun terdakwa dan atau

kuasanya saling membuktikan di hadapan sidang pengadilan. Lazimnya penuntut

umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa

bersama penasihat hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya. Asas pembuktian ini dinamakan pembuktian terbalik yang

bersifat berimbang. Asas ini telah dianut di Amerika Serikat dan juga di Indonesia.

Berdasarkan ketiga macam beban pembuktian tersebut di atas, dapat

dikelompokkan menjadi dua klasifikasi yakni pembuktian biasa (konvensional) dan

pembuktian terbalik (absolut/murni dan terbatas/berimbang) sebagai berikut:67

a. Pembuktian biasa (konvensional) dasarnya Pasal 66 KUHAP

menerapkasan asas praduga tidak bersalah terhadap terdakwa, sama

pembuktiannya dengan pembuktian negatif (negative wettelijk stelsel)

dalam KUHAP;

67 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian.....Op. cit, hal. 101-103. Sejarah pemberlakuan asas pembuktian terbalik bermula dari sistem pembuktian yang dikenal pada negara-negara yang menganut rumpun Anglo Saxon (negara-negara penganut kasus-kasus tertentu atau case law atau certain cases) khususnya terhadap kasus tindak pidana gratifikasi (pemberian yang berkorelasi dengan suap). Pada mulanya sudah dianut di negara Inggris, Singapura, Malaysia, hingga di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

b. Pembuktian terbalik, menerapkan asas praduga bersalah terhadap

terdakwa, ketentuan ini tidak diatur dalam KUHAP. Beban pembuktian

terbalik ada pada terdakwa bukan pada JPU. Pembuktian terbalik dibagi

dua:

1) Pembuktian terbalik berimbang yang diturunkan; dan

2) Pembuktian terbalik berimbang yang dipertajam atau dinaikkan

(absolut/murni).

Pembuktian terbalik terbatas/berimbang atau disebut juga pembuktian terbalik

keseimbangan kemungkinan. Dikatakan pembuktian terbalik berimbang karena

walaupun terdakwa dibebankan membuktikan tetapi JPU juga tetap berkewajiban

membuktikan alat-alat bukti yang dimilikinya. Sedangkan dikatakan pembuktian

biasa (konvensional) sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP, penuntut umum yang harus

membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti

sebagaimana ditentukan dalam undang-undang dan terdakwa dapat menyangkal

keabsahan dari alat-alat bukti dan beban pembuktian dari penuntut umum sesuai

ketentuan Pasal 66 KUHAP. Sedangkan dikatakan pembuktian terbalik, beban

pembuktiannya berada pada terdakwa, yang dapat dilihat dalam berbagai perundang-

undangan misalnya dalam Pasal 77 UUPPTPPU.

Sedangkan beban pembuktian dalam pembuktian terbalik keseimbangan

kemungkinan dibebankan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya dan penuntut

umum wajib sama-sama membuktikan keabsahan alat-alat bukti. Terdakwa

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

berkewajiban membuktikan alat-alat bukti yang diajukannya di persidangan demikian

pula bagi penuntut umum juga berkewajiban membuktikan keabsahan alat-alat bukti

yang diajukannya di sidang pengadilan.

Pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang mewajibkan terdakwa

atau penasihat hukumnya dan penuntut umum saling membuktikan kesalahan atau

kebenaran dari terdakwa. Ketentuan pembuktian terbalik dalam beberapa perundang-

undangan berbeda-beda pengaturannya ada yang dibebankan kepada terdakwa

(absolut), ada yang bersifat terbatas dan berimbang bahkan ada yang dikhususkan

untuk pembuktian harta kekayaan dan ada pula yang dikhususkan untuk

membuktikan kesalahan terdakwa.

Ketentuan tersebut terdapat dalam beberapa perundang-undangan di Indonesia

yang menganut asas pembuktian terbalik pada UU No.8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU), UU

No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, dan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No.5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

C. Tujuan Asas Pembuktian Terbalik Untuk Merampas Aset Hasil Tindak

Pidana Pencucian Uang

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

Esensi dianutnya asas pembuktian terbalik khususnya dalam UUPPTPPU

bertujuan untuk perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang. Perampasan

aset dapat diterapkan untuk kasus-kasus tindka pidana pencucian uang dengan

menggunakan hukum pidana dapat sekaligus digunakan instrumen hukum perdata

secara bersamaan, tidak perlu harus ditunggu lama setelah jalur hukum pidana

digunakan terlebih dahulu. Konsep demikian dikenal dalam istilah model civil

forfeiture.68

David Scott Romantz, mendefinisikan civil forfeiture adalah suatu instrumen

penyitaan atau perampasan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap

aset.

69 Konsep civil forfeiture didasarkan pada doktrin mencemari (taint doctrine)

dimana sebuah tindak pidana dianggap noda atau menodai (taint) sebuah aset.70

68 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, hal. 20. Sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam UUPTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam UUPTPK menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda.

Jika

menggunkana instrumen hukum pidana disebut criminal forfeiture dan jika

menggunakan instrumen hukum perdata disebut civil forfeiture, bahkan dalam konsep

civil forfeiture kedua-duanya dapat sekaligus dijalankan. Criminal forfeiture

69 David Scott Romantz, Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hal. 390.

70 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

bertujuan untuk menuntut orang atau pelaku melalui gugatan in personam (gugatan

terhadap orang) sedangkan civil forfeiture bertujuan untuk merampas aset atau harta

kekayaan melalui gugatan in rem.71

Perampasan aset sebagai alat yang tangguh untuk merampas kembali hasil-

hasil tindak pidana, terutama dalam kasus-kasus besar dimana hasilnya telah ditranfer

ke luar negeri.

72 Hal yang terasa sulit adalah ketika aset tersebut berada di luar negeri,

maka harus didukung dengan perjanjian atau kerjasama antara negara melalui

kerjasama internasional, untuk dapat merampas (recover) aset hasil kejahatan yang

melalui lintas batas antara negara, misalnya melalui kerjasama Bantuan Hukum

Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) yang dapat dilakukan 3 (tiga) bentuk

yaitu: Bilateral; Regional; dan Multilateral.73

Untuk merampas aset hasil-hasil tindak pidana pencucian uang sebagaimana

yang ditentukan dalam Pasal 77 UUPPTPPU dapat dilakukan dengan menggunakan

hukum perdata untuk mengajukan gugatan in rem. Penggunaan civil forfeiture pada

hakikatnya menyangkut dalam hal:

74

1. Tidak terbukti terdakwa secara pidana;

71 Ibid., hal. 389. 72 Theodore S. Greenberg, dkk, Stolen Asset Recovery: A Good Practice Guide for Non-

Conviction Based Asset Forfeiture, (Jakarta: Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, 2009), hal. 167. 73 Zulkarnain Sitompul, “Merampas Hasil Korupsi Tantangan Kerja Sama Internasional”,

Artikel dalam Jurnal Forum Keadilan, Nomor 40, Tanggal 13 Februari 2005, hal. 32. 74 Eka Iskandar, ”Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi

Melalui Gugatan Perdata”, konsultan hukum, meraih gelar Doktor dari Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), tanggal 13 Agustus 2008, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

2. Tersangka dan terdakwanya meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan

yang berkekuatan hukum tetap;

3. Karena kerugian negara yang belum disita baru diketahui kemudian setelah

adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Instrumen hukum pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda

milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum menuntut agar aset itu dirampas

melalui putusan hakim. Sedangkan instrumen perdata dilakukan oleh Jakas Pengacara

Negara (JPN) mewakili negara yang dirugikan. Penggunaan instrumen civil forfeiture

menimbulkan konsekuensi hukum yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum

perdata (BW) yang berlaku, materil maupun formil. Berbeda dengan proses pidana

yang menggunakan sistem pembuktian materil, maka proses perdata menganut sistem

pembuktian formil yang lebih lebih mudah dari pada pembuktikan materil.

Pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial,

karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset. Pemanfaatan potensi civil

forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral di samping diperlukan

suatu restrukturisasi hukum nasional antara lain menghendaki adanya reformasi

bidang hukum materiil dan formil. Hukum acara perdata harus diformat kembali,

mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku

dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private sementara civil

forfeiture menuntut legal expertise, pengetahuan teknis yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

Civil forfeiture sebagai hukum acara perdata khusus, seyogyanya diatur secara

tersendiri dalam undang-undang khusus. Seperti di Amerika Serikat terdapat

ketentuan khusus yang mengatur yaitu federal forfeiture law, di Australia/New

Zealand diatur khusus dalam Proceeds of Crime Act, 2002, di Irlandia diatur khusus

dalam The Proceeds of Crime Act, 1996, di Inggris (United Kingdom) diatur dalam

The United Kingdom’s Proceeds of Crime Act, 2002 yang telah diamandemen dalam

The Serious Organized Crime and Police Act, 2005. Pengaturan khusus ini penting

terutama dikaitkan dengan tiga hal:75

1. Harmonisasi UUPTPK dengan Konvensi Anti Korupsi 2003 sehubungan dengan ratifikasi konvensi tersebut;

2. Pengaturan BW maupun HIR mengenai tanggung gugat dan gugatan perdata yang tidak menunjuk pada penerapan untuk kasus tindak pidana korupsi;

3. Prinsip dalam hukum pidana bahwa seseorang yang dibebaskan atau tidak dapat dipidana menandai tidak adanya perbuatan melawan hukum atau tidak adanya kesalahan.

Penggunaan civil forfeiture dalam tindak pidana pencucian uang untuk

mengantisipasi bebasnya atau tidak terbuktinya terdakwa dalam persidangan sehingga

tidak ada alasan untuk merampas aset yang dicuri. Padahal nyata-nyata bahwa harta

kekayaannya tidak bisa ia buktikan dalam persidangan. Oleh sebab itu, dengan

menggunakan civil forfeiture walaupun terdakwa bebas dari tuntutan pidana, namun

75 http://www.thenewspaper.com/rlc/docs/2007/ontarioag-size.pdf, Ministry of the Attorney General, Civil Forfeiture in Ontario, An Update On the Civil Remedies Act, 2001, Ministry of the Attorney General, 2007, diakses tanggal 28 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

ia masih diwajibkan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil

tindak pidana (vide Pasal 77 UUPPTPPU).

Walaupun perampasan aset model civil forfeiture belum sepenuhnya diatur

dalam bentuk undang-undang di Indonesia, namun, Burgerlijke Wetboek (BW),

memungkinkan untuk diterapkan mengenai tanggung gugat yang dipertajam dalam

bentuk yang disebut dengan “pembalikan beban pembuktian” dan “tanggung gugat

risiko”. Dimungkinkannya kedua hal tersebut, karena alasan sebagai berikut yaitu:

1. Posisi pihak yang dirugikan mungkin diperkuat dengan mempertahankan

persyaratan sifat melanggar hukum perdata (pembuktian terbalik) dan

kesalahan mengubah pembagian beban pembuktian yang normal (tanggung

gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian), demi kerugian

pelaku dan oleh demi keuntungan yang dirugikan. Kalau dalam keadaan

normal pihak yang dirugikan wajib membuktikan bahwa pelaku telah

melakukan perbuatan melanggar hukum, maka di sini pelanggaran norma

dianggap ada, dan selanjutnya mewajibkan pelaku meniadakan anggapan dan

persangkaan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak berbuat melanggar

hukum.76

76 J.H. Nieuwenhuis, diterjemahkan oleh: Djasadin Saragih, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Surabaya: tanpa penerbit, 1985), hal.135. Contoh adalah Pasal 6.3.6 Rancangan BW baru Belanda, dimana anak yang masih sangat muda dan orang gila, yang tentu tidak bersalah, dalam keadaan-keadaan tertentu dapat dinyatakan bertanggung gugat atas perbuatan melanggar hukum yang mereka lakukan.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

2. Karena ditimbulkannya kerugian dengan menimbulkan syarat-syarat sifat

melanggar hukum (perdata) dan kesalahan (tanggung gugat risiko). Dalam hal

ini, masih dapat dibedakan antara hanya meniadakan kesalahan (dalam arti

sempit) di satu sisi dan peniadaan sifat melanggar hukum dan kesalahan

sebagai syarat tanggung gugat di lain sisi.77

Mengenai gugatan perdata dalam tindak pidana pencucian uang, lebih

berkaitan dengan penajaman tanggung gugat atas harta kekayaan dengan pembuktian

terbalik yang dipertajam dalam Pasal 77 UUPPTPPU, hal ini juga diatur dalam Pasal

1367 Ayat (2) jo Ayat (5) BW.

78

Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita atau merampas

aset yang berasal dari hasil kejahatan sudah hal yang lazim ditemui di negara-negara

Sifat melawan hukum materil yang tidak dapat

dibuktikan oleh penuntut umum, sehingga mengakibatkan dibebaskannya terdakwa.

Oleh sebabnya, gugatan dengan pembuktian terbalik yang dipertajam sangat

dimungkinkan diterapkan. Bahkan sampai pada ahli waris tersangka atau terdakwa

yang telah meninggal dunia harus membuktikan mengenai asal-usul harta kekayaan.

Sehingga dengan penggunaan instrument civil forfeiture akan mempermudah

perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang dengan mengoptimalkan jalur

perdata.

77 Ibid., hal.74. Contoh adalah tanggung gugat majikan atas perbuatan melanggar hukum bawahannya, (c.f. Pasal 1367 Ayat (3) BW).

78 Ibid., hal.136.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

common law. Akar dari prinsip civil forfeiture pertama kali ditemukan pada abad

pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap

sebagai “instrumen kematian” (instrument of a death) atau yang sering disebut

sebagai deodand.79

Praktik civil forfeiture dianggap oleh sebahagian orang bersifat tidak adil,

namun Amerika Serikat tetap mempertahankan penggunaan civil forfeiture untuk

hukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi kewenangan

kepada pemerintah federal dalam hal menyita kapal.

80 Supreme Court kemudian juga

mendukung penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat dalam kasus Palmyra

yang terjadi di tahun 1827 dimana pengadilan menolak argumen pengacara dari si

pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan kapalnya adalah illegal karena

tanpa adanya sebuah putusan yang menyatakan pemiliknya bersalah. Kasus inilah

yang menjadi dasar dari penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat.81

Tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan perdamaian manusia

yang dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan

79 Tood Barnet, Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hal. 89. Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita. Namun demikian, walaupun deodand telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari civil forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat terutama dalam bidang hukum perkapalan (admiralty law). Colonial Admiralty Courts sering sekali mengadili persidangan terhadap sebuah kapal daripada pemilik kapalnya.

80 Ibid., hal. 46. 81 Ibid., hal. 91-92.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya. Tujuan

hukum tersebut untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat hukum.82

Direktorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, menekankan

agar berhati-hati dan tetap memperhatikan rule of law dan due process of law dalam

merumuskan upaya paksa perampasan aset melalui civil forfeiture khususnya untuk

kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Dengan

demikian, maka tujuan penggunaan instrumen civil forfeiture dalam perampasan aset

atau harta kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang untuk mencapai ketertiban,

keteraturan dan keadilan yang dimaksud.

83 Civil forfeiture masih dipersoalkan di

negara-negara yang mengenalnya, antara lain mencegah adanya penyalahgunaan

kewenangan polisi (abuse of police powers) dalam pelaksanaan upaya hukum

“perampasan aset” yang diduga terkait tindak pidana korupsi.84

82 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Loc. cit.

83 http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/19517/rombak-total-draf-ruu-tipikor, diakses tanggal 29 Juli 2012.

84 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Disampaikan sebagai Narasumber dalam Sosialisasi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, Ditjen Depkumham, di Hotel Maharani, Jakarta, tanggal 3 Agustus 2009, hal. 2.

Misalnya jika

dikaitkan dengan Pasal 28G UUD 1945 maka harta benda (kekayaan) seseorang tidak

boleh secara sewenang-wenang digeledah atau dirampas, karena harta benda tersebut

termasuk dalam perlindungan hukum acara pidana dan hukum pidana. Jaminan

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

konstitusi ini bukan untuk meniadakan pembentukan RUU tentang Perampasan Aset

Tindak Pidana.

Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery85,

menyebutkan bahwa keuntungan prosedur perampasan aset tindak pidana melalui

prosedur khusus perundang-undangan adalah:86

1. Terdakwa telah wafat;

2. Terdakwa bebas dari tuntutan pidana; 3. Terdakwa tidak dapat ditemukan pada “negara korban”, karena sudah

melarikan diri keluar negeri atau pemilik aktiva tersebut tidak pasti; 4. Pemilik aset bersangkutan tidak pasti; dan 5. Ketentuan daluarsa menuntut tindak pidana sehingga tidak memungkinkan

penyidikan.

Dari syarat di atas, tampak bahwa jika instrumen hukum pidana sudah

berakhir atau tidak berhasil digunakan untuk menuntut terdakwa sehingga ia bebas

atau telah kadaluarsa, maka dapat digunakan civil forfeiture dengan prosedur perdata,

tidak diharuskan untuk membuktikan unsur-unsur kesalahan dari orang yang

melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability), cukup membuktikan adanya

dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana.

85 http://www.baselgovernance.org/icar/, diakses tanggal 29 Juli 2012. Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery adalah pusat Internasional untuk Asset Recovery (ICAR) yang menyediakan pengembangan kapasitas dan metodologi pelatihan onsite, di negara-negara Selatan dan Timur, di bidang investigasi keuangan, penelusuran aset dan pemulihan serta bantuan hukum timbal balik.

86 Ibid., Lihat juga: http://www.assetrecovery.org/kc/node/3518064a-a345-11dc-bf1b-335d0754ba85.12, diakses tanggal 27 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

Penuntut cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence

(pembuktian formil) bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan suatu aset telah

dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana.87

D. Asas Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Ditentukan dalam Pasal 77 UUPPTPPU, “Untuk kepentingan pemeriksaan di

sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan

merupakan hasil tindak pidana”. Berdasarkan ketentuan pasal ini dalam persidangan

kasus-kasus tindak pidana pencucian uang di sidang pengadilan pada tingkat tataran

normatif yakni dalam UUPPTPPU telah dianut asas pembuktian terbalik.

Ketentuan pembuktian terbalik juga dinormatifkan dalam Pasal 37 UU No.31

Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi88

87 Stefan D. Cassella, “Provision of the USA Patriot Act relating to Asset Forfeiture in Transnasional Cases”, Journal of Financial Crime, Vol. 10, No.4, Tahun 2003, hal. 303. Lihat juga: Kuntoro Basuki, “Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata”, Makalah Disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasioal (SPHN 2007), Hotel Millenium, Jakarta, Tanggal 28 s/d 29 Nopember 2007, hal. 14.

88 Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan:

selain itu juga diatur dalam Pasal 22 UU No.8 Tahun 1999 tentang

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

Perlindungan Konsumen.89

Jika dianalisis ketentuan pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 77 UU

No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang (UUPPTPPU) bersifat absolut (murni) sebab dalam pasal ini tidak ditentukan

kewajiban bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa melalui

dakwaannya. Dengan dianutnya pembuktian terbalik bersifat murni di dalam Pasal 77

UUPPTPPU menyebabkan beralihnya asas parduga tidak bersalah menjadi asas

praduga bersalah.

Selain itu juga diatur dalam UU No.32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No.5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sebagai contoh jika memperhatikan ketentuan pembuktian terbalik dalam

undang-undang tindak pidana korupsi menganut beban pembuktian yang berimbang

atau pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang dimana terdakwa atau

penasihat hukumnya dan penuntut umum saling membuktikan kesalahan atau

kebenaran dari terdakwa. Demikian pula ketentuan dalam Pasal 22 UU No.8 Tahun

1999 juga menganut pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 89 Pasal 22 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menentukan:

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

Sehingga maksud dari pembuat undang-undang (legislatif) menginginkan

untuk kasus tindak pidana pencucian uang ingin memposisikan terdakwa sebagai

pihak yang bersalah padahal kesalahannya itu belum terbukti secara keseluruhan

melalui putusan pengadilan. Tentu saja dengan memposisikan terdakwa sebagai

orang yang bersalah akan menjadi dilema dalam kaitannya dengan pelanggaran hak

asasi manusia. Hal ini berbeda sekali dengan ketentuan pembuktian terbalik yang

diatur dalam Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 dan Pasal 22

UU No.8 Tahun 1999 yang menganut beban pembuktian yang bersifat terbatas atau

berimbang, selain terdakwa atau penasihat hukumnya, penuntut umum juga wajib

membuktikan dakwaannya.

Lebih lanjut dikatakan Lilik Mulyadi asas pembuktian terbalik yang bersifat

murni mengandung konsekuensi logis bahwa:90

Pandangan Lilik Mulyadi di atas, tampak masih tetap membenarkan beban

pembuktian harus ada pada penuntut umum sebab dengan demikian akan mengikuti

Praduga bersalah relatif cenderung dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya asas praduga tidak bersalah. Pada dasarnya, asas praduga tidak bersalah merupakan asas fundamental dalam negara hukum. Konsekuensinya, setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada pembuktian pada penuntut umum, norma pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara-cara yang adil.

90 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 105.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

norma dengan cara-cara yang adil bagi pencari keadilan. Sebagaimana pandangan

tersebut, Indrianto Seno Adji memperkuat argumentasinya dengan dikritiknya

pembuktian terbalik yang bersifat absolut (murni). Beliau mengatakan:91

91 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2006), hal. 132-133.

Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana yang universal. Dalam hukum pidana formal, baik sistim kontinental maupun Anglo Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja dalam kasus-kasus tertentu (certain cases) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu sistem pembuktian terbalik itupun tidak dilakukan secara keseluruahn (overall) tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia, khususnya hak tersangka atau terdakwa.

Pandangan tersebut di atas tidak juga memposisikan tersangka atau terdakwa

sebagai orang yang bersalah secara keseluruhan (overall) melainkan harus memiliki

batas-batas yang tidak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia,

khususnya hak tersangka atau terdakwa. Pembuktian secara konvensional menganut

asas praduga tidak bersalah sehingga dalam hal ini siapa yang menuntut, maka dialah

yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya itu. Dengan dianutnya asas praduga

bersalah memberlakukan asas baru yakni asas pembuktian terbalik sehingga terdakwa

akan menyangkal dengan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

Dalam konteks kajian asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana

pencucian uang ditekankan dan ditegaskan bahwa walaupun UUPPTPPU menganut

asas pembuktian terbalik namun tidak diberlaku untuk kesalahan tersangka atau

terdakwa. Hal ini jelas disebutkan dalam ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU tersebut

bahwa terdakwa wajib membuktikan Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil

tindak pidana. Berarti dalam konteks ini bukan terhadap kesalahan pelaku melainkan

pembuktian terbalik ditujukan kepada kepemilikan harta si pelaku. Sehingga dapat

dikatakan bahwa pemberlakuan asas pembuktian terbalik dalam UUPPTPPU tidak

mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia sebab tidak ditujukan terhadap

pembuktian kesalahan pelakunya.

Jika pembuktian terbalik ditujukan kepada kesalahan si pelaku atau terdakwa

maka ketentuan itu akan bertentangan dengan perspektif HAM. Karena akan

menggeser asas praduga tidak bersalah menjadi praduga bersalah. Konsekuensi logis

asas pembuktian terbalik dalam Pasal 77 UUPPTPPU bukan pada kesalahan pelaku

melainkan kepada kepemilikan harta kekayaan si pelaku. Jika pelaku tidak bisa

membuktikan kepemilikan harta kekayaannya itu maka harta tersebut akan dirampas

untuk negara. Jika pelaku dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya itu adalah

miliknya berdasarkan bukti-bukti yang kuat maka si pelaku berhak memiliki harta

tersebut dan pelaku tidak berhak mengajukan tuntutan balik atas tidak terbuktinya

hartanya berasal dari kejahatan. Konsep inilah yang merupakan ciri khusus asas

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

pembuktian terbalik yaitu tidak dibenarkannya terdakwa melakukan tuntutan balik

jika pembuktian terdakwa ternyata benar.

Asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang tidak

meletakkan beban pembuktian kesalahan bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa ia

tidak bersalah melakukan tindak pidana. Akan tetapi beban pembuktian itu ditujukan

kepada terdakwa untuk membuktikan asal-usul harta kekayaan yang diperolehnya.

Pandangan ini dikemukakan pula oleh Lilik Mulyadi bahwa beban pembuktiannya

relatif tidak dapat diperlakukan terhadap kesalahan terdakwa karena akan

mengakibatkan penggeseran asas parduga tidak bersalah menjadi asas praduga

bersalah. Dalam kajiannya jika digunakan asas praduga bersalah akan bertentangan

dengan instrumen hukum acara dan hukum internasional dimana terdakwa tidak

diwajibkan untuk membuktikan kesalahannya.92

Asas praduga bersalah hanya bisa diberlakukan dalam instrumen hukum

perdata yang bertujuan untuk mengejar aset (follow the money) setelah itu kemudian

diterapkan rezim perampasan aset civil forfeture. Untuk membuktikan kesalahan si

pelaku tetap mengedepankan asas pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang

timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief wettelijk

stelsel) sebagaimana yang dianut di dalam KUHAP. Tetapi untuk mengembalikan

aset (asset recovery) hasil dari tindak pidana pencucian uang serta membuktikan harta

92 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 109.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

kekayaan pelaku tetap dipergunakan asas pembuktian terbalik karena pembuktian

demikian akan lebih menjunjung tinggi ketentuan hukum acara pidana dan hukum

pidana materil serta instrumen hukum internasional.93

Asas pembuktian terbalik yang terbatas atau berimbang atau pembuktian

terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) menempatkan

hak asasi pelaku tindak pidana dalam kedudukan (level) paling tinggi

mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat tinggi (highest balanced

probability principles) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negatif atau beyond reasonable doubt. Kemudian secara bersamaan di satu sisi

khusus terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana diterapkan asas

pembuktian terbalik melalui teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lowest

balanced probability principles) sehingga kedudukannya lebih rendah dibandingkan

dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena harta

Guna menghindari akses negatif dari asas pembuktian terbalik, maka mesti

dipergunakan asas pembuktian terbalik yang terbatas atau berimbang atau

pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles)

yang lebih mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan

kemerdekaan individu dan perampasan hak berkaitan dengan harta kekayaan milik

pelaku yang diduga kuat berasal dari tindak pidana pencucian uang.

93 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

kekayaan orang ditempatkan pada level paling rendah ketika pelaku tersebut dalam

kedudukan belum kaya.94

Misalnya praktik pembalikan beban pembuktian di Hong Kong (Putusan

Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong Kong v Hui Kin

Hong dan Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong

Kong v Lee Kwang Kut) dan India (Putusan Mahkamah Agung India antara State of

Madras v A. Vaidnyanatha Iyer dan Putusan Mahkamah Agung India antara State of

West Bengal v The Attorney General for India (AIR 1963 SC 255) dilakukan

terhadap asal usul kepemilikan harta pelaku dengan mempergunakan asas pembuktian

terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) sehingga

implementasinya tetap menjunjung tinggi HAM dan ketentuan hukum acara pidana.

95

Jika memperhatikan ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU menempatkan harta

kekayaan yang paling tertinggi. Hal ini sangat berbeda sekali dengan ketentuan dalam

Pasal 37 UUPTPK yang menempatkan hak asasi pelaku yang menempati kedudukan

yang paling tinggi. Perbedaaannya adalah dalam hal kedudukan hak asasi pelaku

tindak pidana korupsi menempati kedudukan yang paling tinggi sehingga

menggunakan asas pembuktian secara negatif (berarti membuktikan kesalahan

terdakwa) sedangkan terhadap harta kekayaannya ditempatkan pada posisi yang lebih

94 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian...Op. cit., hal. 24.

95 Ibid., lihat juga: http://www.hukumnews.com/opini/39-opini/144-pembuktian-terbalik.html, diakses tanggal 28 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

rendah sehingga digunakan asas pembuktian terbalik. Inilah yang dikenal dengan asas

pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan yang diturunkan.96

Sedangkan dalam asas pembuktian Pasal 77 UUPPTPPU, menempatkan harta

kekayaan pada kedudukan yang paling tinggi sehingga digunakan asas pembuktian

terbalik dengan beban pembuktian pada harta kekayaan sehingga Pasal 77

UUPPTPPU menganut pembuktian berimbang yang dipertajam atau dinaikkan.

Maksud dipertajam adalah menempatkan harta kekayaan di posisi paling tinggi

daripada kesalahan pelaku. Untuk hak asasi pelaku ditempatkan pada kedudukan

yang lebih rendah. Konsekuensi logis ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU ini dapat

diterima sebab dengan tujuan utamanya adalah untuk mengejar aliran uang (follow

the money) sehingga mengenyampingkan kedudukan hak asasi manusia pada

kedudukan yang lebih rendah dari aset.

97

Berdasarkan uraian di atas, dianutnya asas pembuktian terbalik dengan beban

pembuktian bagi terdakwa dalam tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam

Pasal 77 UUPPTPPU akan semakin mempermudah aparat hukum untuk mengejar

aset melalui pembuktian asal-usul harta kekayaan yang dikuasai oleh terdakwa.

Sedangkan dengan dianutnya asas pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan

Itu sebabnya dalam Pasal 77 UUPPTPPU

tidak ditegaskan ketentuan yang mengandung unsur pembuktian kesalahan melainkan

hanya menentukan pembuktian kepemilikan harta kekayaan.

96 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 111. 97 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA

dalam Pasal 37 UUPTPK akan terasa sulit pembuktiannya terutama yang menyangkut

asal-usul harta kekayaan si terdakwa.

Universitas Sumatera Utara