makalah asas pembuktian terbalik

25
i MAKALAH TINDAK PIDANA UMUM ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM KUHAP Oleh: ERIK SOSANTO EAA 110 039 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM 2012

Upload: erik-sosanto

Post on 02-Jan-2016

667 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

i

MAKALAH

TINDAK PIDANA UMUM

ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM KUHAP

Oleh:

ERIK SOSANTO

EAA 110 039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM

2012

Page 2: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

ii

HALAMAN PENGESAHAN

MAKALAH

Diajukan kepada I GUSTI KOMANG DION IRAWAN SATRIADI, SH.,MH

Selaku dosen pengasuh TINDAK PIDANA UMUM

Untuk memenuhi salah satu syarat pemenuhan nilai

Nama : ERIK SOSANTO

Nim : EAA 110 039

Jurusan : ILMU HUKUM

Kelompok : A

Judul Makalah : ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM KUHP

Ttd : . . . . . . . . . . . . . . . . .

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM

2012

Page 3: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

iii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-

Nya dari Tuhan Yang Maha Esa karena atas izinnyalah penulis masih diberikan

kesempatan atas selesainya penyusunan makalah ini sebagai tambahan ilmu, tugas

dan pedoman yang berjudul asas pembuktian terbalik dalam KUHAP.

Dalam penyusunan makalah ini saya mengumpulkan dari berbagai sumber

buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan asas pembuktian terbalik

dalam KUHAP yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas ini.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman

dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali

kekurangan-kekurangan baik dalam penulisan, pemakaian kata, redaksional kalimat

dan bahkan dalam penggunaan aturan-aturan tata bahasa Indonesia yang baik dan

benar, hal mana ini disebabkan terbatasanya kemampuan dan pengetahuan penulis

miliki, Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk

penyempurnaan penulisan makalah lebih lanjut.

Akhir kata penulis berharap semoga penyusunan dan penulisan makalah ini

dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Page 4: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

iv

Palangka Raya, 26 November 2012

Penulis,

ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

Page 5: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

v

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... v

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 3

1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3

1.4. Manfaat Penulisan ....................................................................................... 3

1.5. Metode Penulisan ........................................................................................ 4

1.6. Sistematika penulisan ................................................................................... 5

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP ................................................. 7

2.2 Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 11

2.3 Problematik Beban Pembuktian Terbalik .................................................... 15

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 17

3.2. Saran ............................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika menutup rapat kabinet terbatas

bidang politik, hukum, dan keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, pada hari

Senin tanggal 17 Januari 2011 yang lalu mengeluarkan 12 Instruksi Presiden

terkait dengan kasus mafia hukum dan mafia pajak oleh Gayus HP Tambunan.

Adapun 2 Instruksi Presiden tersebut yang menarik untuk dikaji dalam rangka

pelaksanaan penegakan hukum saat ini adalah : Pertama, Guna meningkatkan

efektivitas, penanganan kasus Gayus HP Tambunan agar metode pembuktian

terbalik dapat dilakukan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, untuk mengamankan dan mengembalikan aset negara, termasuk

dilakukan perampasan terhadap uang yang diduga didapat dari hasil korupsi.

Dikatakan Presiden, tekad pemerintah dan aparat penegak hukum adalah

menuntaskan penindakan hukum terhadap mereka yang bersalah dalam kasus

Gayus Tambunan dengan tiga sasaran. Pertama, hukum benar-benar ditegakkan,

dan mereka yang bersalah diberikan sanksi yang sesuai. Kedua, dilakukan

penataan organisasi, posisi, dan jabatan di sejumlah lembaga yang diduga

terdapat penyimpangan. Ketiga, menutup atau memperbaiki titik lemah atau

lubang hukum agar kasus serupa pada masa mendatang tak terulang. Bahwa

tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya

merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap

hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana

korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan

secara luar biasa. Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama

dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian uang, yang sudah ada sejak

manusia bermasyarakat di atas bumi ini. Yang menjadi masalah adalah

meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi.

Page 7: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

2

Bahkan ada gejala dalam pengalaman yang memperlihatkan, semakin maju

pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong

orang untuk melakukan korupsi. Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara

sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara. Dengan

demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara

yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian

yang dibebankan kepada terdakwa. Namun di dalam KUHP kewajiban

pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai

dengan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHP Bab XVI bagian ke

empat (Pasal 183 – Pasal 232 KUHAP), sehingga asas pembuktian terbalik di

dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia tidak di atur. Pada hakikatnya

asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Sistem Hukum pidana Indonesia

dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 Tahun 2002 jo UU

No. 25 Tahun 2003) dan Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999). Jika

menginginkan pembuktian terbalik bisa diandalkan menjerat,

mempertanggungjawabkan, dan mengalahkan koruptor atau mampu menjadi

penggerak bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system), sistem

pembuktian terbalik wajib diberlakukan lebih dahulu pada elemen penegak

hukum seperti jaksa, hakim, polisi, KPK, dan lembaga-lembaga strategis yang

menjadi pilar bekerjanya law enforcement. Teori pembuktian yang selama ini

diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak

bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence),

tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi.

Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah,

'pembuktian negatif' tidak mudah diterapkan.

Page 8: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

3

1.2 Perumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan isu

hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini, maka perumusan masalah yang

dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP ?

b. Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi ?

c. Problematik Beban Pembuktian Terbalik ?

Terhadap dua rumusan masalah tersebut, penulis melakukan pembatasan

dengan mengacu pada perspektif asas pembuktian terbalik dalam KUHAP.

1.3 Tujuan Penulisan

Hakekat kegiatan penulisan adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia

dalam taraf keilmuan, karena manusia pada dasarnya selalu ingin tahu sebab dari

suatu rentetan akibat. Demikian pula halnya dengan penulisan karya bidang tulis

hukum, berupa makalah, sesungguhnya tidak lepas dari adanya suatu tujuan yang

ingin dicapai yaitu sebagi berikut :

a. Mengetahui pengaturan dan muatan asas pembuktian terbalik dalam

KUHAP.

b. Mengetahui dan memahami Problematik Beban Pembuktian Terbalik.

1.4 Manfaat Penulisan

Sehubungan dengan isu hukum yang diangkat dalam tulisan hukum ini, maka

diharapakan nantinya dapat memberikan suatu manfaat sebgai berikut :

a. Secara teoritis, bahwa penulisan makalah ini merupakan sumbangan

pemikiran penulis, dalam kerangka pembinaan dan pengembangan

pendidikan dan pengetahuan bidang hukum kedepan, khususnya untuk telaah

hukum yang sifatnya normatif.

Page 9: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

4

b. Secara praktis, penulisan makalah ini diharapakan dapat menjadi bahan

masukan bagi semua pihak yang membacanya, khususnya Sebagai media

untuk menambah wawasan serta Bahan referensi aktual dan Bahan bacaan

serta pengetahuan.

c. Secara akademik, penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk

memenuhi tugas dari dosen pengasuh mata kuliah pada fakultas hukum

universitas palangka raya.

1.5 Metode Penulisan

1.5.1 Metode pendekatan

Dalam rangka menjadikan analisis rumusan masalah menjadi terarah

dan sesuai dengan tujuan penulisan, maka diperlukan suatu metode

pendekatan, yang dalam konteks penulisan ini penulis menggunakan

metode pendekatan yuridis normatif yaitu suatu metode dengan instrumen

penekanan analisis pada asas-asas hukum berupa peraturan perundang-

undangan yang memberikan pengaturan terkait isu hukum yang diangkat

dalam tulisan hukum ini dan merupakan bagian bahan hukum primer,

dimana selajutnya diperjelas dan didukung berdasakan pendapat para ahli

atau sarjana yang terdapat dalam buku-buku, jurnal-jurnal hukum, maupun

karya tulis yang telah ada sebelumnya, sehingga didapat penjelasan bersifat

komprehensif sehubungan dengan judul dari makalah ini.

1.5.2 Bahan-bahan hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan makalah ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang terdiri dari

sejumlah peraturan perundang-undangan yaitu.

1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.

2) UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang.

3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Page 10: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

5

4) KUHP dan KUHAP.

b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum berupa pendapat para ahli

atau sarjana yang terdapat dalam buku-buku, jurnal-jurnal hukum,

maupun karya tulis yang telah ada sebelumnya, dengan fungsi

memberikan penjelasan terhadap hal yang diatur dalam peraturan

perundangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

c. Bahan Hukum tersier, yaitu bahan hukum yang berfungsi memberikan

arti terhadap istilah-istilah hukum yang terdapat dalam tulisan ini,

berupa kamus-kamus bahasa baik bersifat umum(kamus bahasa

indonesia) maupun bersifat khusus (kamus hukum belanda-indonesia).

1.5.3 Sumber Bahan Hukum

Keberadaan bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan

makalah ini bahan hukum primer,sekunder dan tersier diperoleh melalui

penulisan kepustakaan serta diperlukan untuk mencari landasan teoritis

bagi analisa permasalahan yang telah dirumuskan, dengan mendasarkan

pada konsep-konsep, teori-teori dan prinsip-prinsip maupun kaidah-kaidah

hukum.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematiaka penulisan makalah ini mempunyai makna deskripsi secara garis

besar akan hal-hal yang mendasari isu hukum berupa rumusan masalah untuk

dilakukan analisis untuk selajutnya dikembangkan dan diberikan pemahaman

bersifat komprehensif sebagimana tersarikan dalam 3 (BAB) yaitu sebagai

berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan,metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASAN

Page 11: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

6

Merupakan uraian dalam bentuk analisis hukum secara normatif yang ditujukan

untuk memberikan penjelsan secara komprehensif terhadap 2(hal) permasalahan

yang dirumuskan pada bab I yaitu :

1) Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP.

2) Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

3) Problematik Beban Pembuktian Terbalik

BAB III PENUTUP

Pada BAB penutup ini penulis mencoba mensarikan hal-hal yang telah

dideskripsikan pada BAB I - BAB II didepan, dalam bentuk suatu kesimpulan

dan dilengkapi saran-saran sebagai masukan positif bagi semua pihak.

Page 12: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

7

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP

Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau

menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa. Pasal 183 KUHAP menyatakan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.” Sedangkan mengenai ketentuan alat bukti yang sah diatur dalam

Pasal 184 KUHAP, yang berbunyi :

a. Alat Bukti yang sah ialah : Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat,

Petunjuk, Keterangan terdakwa.

b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Alat bukti petunjuk sangat diperlukan dalam pembuktian suatu perkara terutama

dalam kasus korupsi. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi

bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh

jaksa penuntut umum dan penasehat hukum. Alat-alat bukti yang dapat

dipergunakan untuk membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi,

surat-surat dan keterangan tersangka (pasal 188 ayat 2 KUHAP). Alat bukti

petunjuk dalam hukum pidana formil korupsi tidak saja dibangun melalui tiga

alat bukti dalam pasal 188 ayat 2 KUHAP, melainkan dapat diperluas di luar tiga

alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 26 A

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yaitu :

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau

disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu dan.

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan

suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apa pun selain

Page 13: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

8

kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara,

gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang

memiliki makna.

Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi

yang dirumuskan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang

No. 29 Tahun 2001 merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang ada

dalam KUHAP. Di dalam KUHAP kewajiban pembuktian dibebankan

sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan

pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183

sampai dengan Pasal 232 KUHAP), sehingga status hukum atau kedudukan asas

pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP)

tidak diatur. Sesuai dengan pasal 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa kedudukan

asas pembuktian terbalik tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana pada

umumnya, melainkan yang sering diterapkan dalam proses pembuktian dalam

peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni gabungan dari teori berdasarkan

undang-undang dan teori berdasarkan keyakinan hakim. Istilah pembuktian

terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah

dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah

ini sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het

bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas

menjadi “pembalikan beban pembuktian”. Sebagai asas universal, memang

akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian

terbalik. Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu

pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya

sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan

tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa. Proses pembalikan

beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal dengan istilah

“pembuktian terbalik” Kalimat tersebut sungguh tepat karena tanpa meletakan

kata “beban” maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa

Page 14: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

9

kata beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa

sehingga secara harfiah hanya melihat tata urutan alat bukti saja. Dikaji dari

perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang

beban pembuktian, yaitu:

a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum

Penuntut umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang-

undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki

hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya.

Apabila terdakwa dapat membuktikan hak tersebut, bahwa ia tidak melakukan

delik korupsi, tidak berarti bahwa ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab

penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik terbatas, karena penuntut

umum masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Konsekuensi logis teori

beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat

bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah

meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban

pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi asas praduga tidak

bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri. Teori beban

pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan pasal 66 KUHAP

dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani

kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorisasikan

beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”.

b. Beban Pembuktian pada Terdakwa

Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku

tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang

akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan,

terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.

Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan teori” Pembalikan

Beban Pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of

Page 15: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

10

Proof/ Onus of Proof”). Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa

dalam menggunakan haknya, yaitu:

a. Untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan delik korupsi sebagaimana

didakwakan oleh Penuntut Umum.

Syarat ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHP, yang

menentukan bahwa Penuntut Umum wajib membuktikan dilakukan tindak

pidana, bukan terdakwa. Terdakwa dapat membuktikan dalilnya, bahwa ia

tidak melakukan tindak pidana korupsi.

b. Ia berkewajiban untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta

bendanya sendiri, harta benda isterinya, atau suami (jika terdakwa adalah

perempuan), harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada

kaitannya dengan perkara yang bersangkutan. Ia berkewajiban memberi

keterangan tentang asal usul perolehan hak atau asal usul pelepasan hak.

Perolehan/ pelepasan hak itu mengenai kapan; bagaimana; dan siapa-siapa

saja, yang terlibat dalam perolehan/ pelepasan hak itu serta mengapa dan

sebab-sebab apa perolehan atau peralihan itu terjadi.

Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat

diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat

murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya,

pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan

hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap

tindak pidana korupsi.

c. Beban Pembuktian Berimbang

Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/ atau

Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya

Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan

sebaliknya terdakwa beserta penasehat hukum akan membuktikan sebaliknya

bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

Page 16: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

11

melakukan tindak pidana yang didakwakan. Asas beban pembuktian ini

dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang”.

Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolak ukur

Penuntut Umum dan Terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat dibagi

menjadi 2 (dua) kategorisasi yaitu:

a. Sistem beban pembuktian “biasa” atau konvensional”, Penuntut Umum

membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti

sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat

menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut Umum sesuai

ketentuan Pasal 66 KUHAP.

b. Teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi

menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau

“murni” bahwa terdakwa dan/ atau Penasihat Hukumnya membuktikan

ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian

yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan Penuntut

saling membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa.

2.2 Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Pada tahun 1971 telah dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999 diundangkan UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menganut

sistem pembuktian terbalik terbatas yang terdapat dalam Pasal 37 yang

memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang terbatas terhadap harta

benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil korupsi. UU No. 3 Tahun

1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori

pembuktian negative, kemudian di UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan Beban

Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara lebih

jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A, dan 38 B. Dasar hukum

Page 17: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

12

munculnya peraturan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

adalah Pasal 103 KUHP. Didalam pasal tersebut dinyatakan : ketentuan dari

delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang

dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada

undang-undang (wet) tindakan umum pemerintahan (algemene maatregelen van

bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain. Jadi, dalam hal ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain daripada yang telah diatur di

dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah

mengesampingkan aturan umum (Lex specialis derogate Legi Generali). Dengan

kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang-undangan

di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur

dalam KUHP. Pada KUHP Tindak Pidana jabatan yang berkorelasi dengan

perbuatan korupsi terdapat di dalam Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya

terhadap perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP),

membuat palsu atau memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau

janji (Pasal 418, 419, dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum (Pasal 423, 425 dan 435 KUHP). Pada

hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata kurang

efektif dalam menanggulangi korupsi. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan

yang dapat lebih memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap

pelaku-pelakunya. Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem

pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum

(Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana (Formal), baik sistem

Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap

membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam

“certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan

mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau

dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof” (Omkering van Bewijslast). Itu pun

tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal

Page 18: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

13

mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan

penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa.

Penjelasan umum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan

pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni :

“terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak

pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya

dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau

korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan

dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya”. Kata-

kata “bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37 dikatakan, bahwa apabila

terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak

pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan

korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan

dakwaannya. Kata-kata “berimbang” dilukiskan sebagai penghasilan terdakwa

ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa

dan perolehan harta benda, sebagai output. Antara income sebagai input yang

tidak seimbang dengan output atau dengan kata lain input lebih kecil dari output.

Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output

tersebut (misalnya rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan dolar

dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari tidak pidana

korupsi yang didakwakan. Jadi, dalam pembuktian delik korupsi dianut dua teori

pembuktian, yakni :

a. Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa

Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta

berwujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU No. 31 Tahun

1999, sebagai berikut:

1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi.

Page 19: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

14

2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak

pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang

menguntungkan baginya.

3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya

dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau

korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan.

4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak

seimbang dengan penghasilan atau sumber panambahan kekayaannya,

maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti

yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)

dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan

dakwaaannya.

b. Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum.

Sedangkan teori negatif menurut undang-undang tersirat dalam pasal 183

KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Menurut Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik adalah sistem dimana

beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya

berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya

dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan di

persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari

tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum didakwakan. Bahkan jika

putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui

masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak

Page 20: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

15

pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap terpidana

atau ahli warisnya.

2.3 Problematik Beban Pembuktian Terbalik

Ada dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan Indonesia tentang

beban pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37, Pasal 38B

UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur tentang beban

pembuktian terbalik. Benarkah demikian dikaji dari aspek teoritis dan praktik.

Menurut penulis, tidak secara tegas ada kesalahan dan ketidakjelasan perumusan

norma tentang beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B UU

31/1999 yo UU 20/2001. Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) berbunyi : “Setiap

gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap

pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan

dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut : (a) yang

nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa

gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

(b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”

Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di atas. Pertama,

dikaji dari perumusan tindak pidana (materiele feit) ketentuan tersebut

menimbulkan kesalahan dan ketidakjelasan norma asas beban pembuktian

terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan kepada

penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang berbunyi,

“yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian

bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima

gratifikasi”, akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan kepada

penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas

mencantumkan redaksional, “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau

penyelenggara Negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan

Page 21: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

16

jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”, maka

adanya perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas

dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban

Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang

bersangkutan. Tegasnya, asas beban pembuktian terbalik ada dalam tataran

ketentuan UU dan tiada dalam kebijakan aplikasinya akibat kebijakan legislasi

merumusan delik salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga

yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada. Kedua, terdapat pula

kesalahan dan kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B UU Nomor 20

Tahun 2001 sepanjang redaksional “….dianggap pemberian suap”. Apabila

suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara

negara gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan “…dianggap pemberian

suap” akan tetapi sudah termasuk tindakan “penyuapan”. Eksistensi asas beban

pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan ditujukan kepada

gratifikasi dengan redaksional “...dianggap suap” akan tetapi harus kepada dua

unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan

dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang melakukan pekerjaan yang

bertentangan dengan kewajiban (in stijd met zijn plicht). Ketiga, Hakikatnya,

dari dimensi beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan

orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bertentangan

dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga

menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah

(presumption of guilt) atau asas praduga korupsi (presumption of corruption).

Selain itu berlawanan dengan ketentuan hukum acara pidana yang mensyaratkan

terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana ketentuan Pasal

66 KUHAP, Pasal 66 ayat (1), (2). Dari apa yang telah diuraikan di atas maka

sebenarnya beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia

“ada” ditataran kebijakan legislasi akan tetapi “tiada” dan “tidak bisa”

dilaksanakan dalam kebijakan aplikasinya.

Page 22: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

17

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan.

a. Istilah pembuktian terbalik sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal

sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila

diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian”.

Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila

diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik.

b. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi Terdakwa mempunyai hak untuk

membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal

terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang

menguntungkan baginya. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang

seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta

benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan

perkara yang bersangkutan. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan

tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber

panambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan

tindak pidana korupsi. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud penuntut

umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya.

c. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik

adalah sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses

pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan

dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika

dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa

yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum

Page 23: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

18

didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang

diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan

gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya.

d. Terdapat problematik bersifat krusial dalam UU Tindak pidana Korupsi yang

menjadikan kesalahan fundamental. Pertama, dikaji dari perumusan tindak

pidana (materiele feit) ketentuan tersebut menimbulkan kesalahan dan

ketidakjelasan norma asas beban pembuktian terbalik. Di satu sisi, asas beban

pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi. Kedua,

terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma tentang suatu

gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara

Negara. Ketiga, dari dimensi beban pembuktian terbalik tersebut dilarang

terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi

Manusia (HAM), yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian

menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atau asas praduga

korupsi (presumption of corruption).

e. Di dalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan beban pembuktian

atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap

(gratifikasi). Jadi di UU No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU

No.20 Tahun 2001(Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,15), pembalikan beban

pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38

b yaitu yang berkaitan dengan delik suap.

f. Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku hanya terhadap perampasan

harta kekayaan dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan dan diputus

berdasarkan Pasal 2, 3, yang bersangkutan berhak membuktikan sebaliknya

bahwa hartanya diperoleh bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Page 24: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

19

3.2 Saran

Pembuktian terbalik diharapkan dapat diandalkan menjerat,

mempertanggungjawabkan, dan mengalahkan koruptor atau mampu menjadi

penggerak bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system),jika

diberlakukan lebih dahulu pada elemen penegak hukum seperti jaksa, hakim,

polisi, KPK, dan lembaga-lembaga strategis yang menjadi pilar bekerjanya law

enforcement. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dapat

diterapkan pada tindak pidana memperkaya diri sendiri dengan merugikan

keuangan Negara dengan kata lain pembalikan beban pembuktian tindak pidana

korupsi dapat digunakan untuk mengetahui apakah harta benda yang dimiliki

berasal dari sumber yang halal atau tidak.

Page 25: Makalah Asas Pembuktian Terbalik

20

DAFTAR PUSTAKA

Bahan Refrensi :

http://ditpolairdajambi.blogspot.com/2011/07/pembalikan-beban pembuktian_04.html

Peraturan Perundang-Undangan :

UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.

UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang.

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

KUHP dan KUHAP.