asas pembuktian terbalik dalam penyelesaian kasus

13
M. Abdul Kholiq, AF. Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian... ^ Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan Korupsi M. Abdul Kholiq, AF. Abstract Universally, corruption have been comprehended as a extremely serious crime and it has multidimensional impact so that it caused the state social life becomes abnormal because of the 'senous' corruptive level. Therefore, it needs to be handled braverly In applying various kinds of strategy both for the common cases and 'abnormal'ones._ One ofabnomal strategy in the frame of coping with: the crime of corruption depicted above Is the need of reverse authentication principle In order to make easy in solving the process of case solution and accelerate the effort of rescuing on the state financial and economy. In the theory perspective, although the idea of application on reverse authentication principle has justificative principles and it produces confronfa//Ve problems with the various principles else which Is established in the doctrine ofthe material criminal law as well as formal one recently. By this writing, it may be seen as the effort to describe the problem as well as the urgency of idea on reverse authentication principle and then it tries to offer solution about how is the better way of the idea responded in the policy of coping with the conuption for the future. Pendahuluan Dalam. salah ' satu butir mengenai konsideran lahirnya UU No'. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 yang mengatur mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luarbiasa. Pandangan tersebut adalah didasarkan .atas kenyataan bahwa korupsi yang terjadi secara sistematik dan meluas selama ini, tidak hanya telah merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan peianggaran serius terhadap hak-hak sosiai dan ekonomi masyarakat luas.^ Dampak serius dari -kejahatan- korupsi sebagaimana sinyalemen di atas, setidaknya tercermin dalam berba'gai analisa yang menyimpuikan bahwa salah satu faktor penyebab utama "kebangkrutan" ekonomi Indonesia yang beium pujih hingga sekarang ini iaiah terjadinya praktek korupsi yang sudah sedemikian "membudaya" dan sistematis balk di kalangan birokrat sebagai pelaksana 'LIhat bagian "MenimbangVKonsideran huruf aUU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 55

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

M. Abdul Kholiq, AF. Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian...• ^

Asas Pembuktian Terbalik dalam PenyelesaianKasus Kejahatan Korupsi

M. Abdul Kholiq, AF.

Abstract

Universally, corruption have been comprehended as aextremely serious crime and it hasmultidimensional impact sothat it caused the state social life becomes abnormal becauseof the 'senous' corruptive level. Therefore, it needs to be handled braverly In applyingvarious kinds ofstrategy both for the common cases and 'abnormal'ones._ One ofabnomalstrategy in the frame of coping with: the crime of corruption depicted above Is the need ofreverse authentication principle In order to make easy in solving the process ofcasesolution and accelerate the effort ofrescuing on the state financial and economy. In thetheory perspective, although the idea of application on reverse authentication principlehas justificative principles and it produces confronfa//Ve problems with the various principleselse which Is established in the doctrine ofthe material criminal law as well as formal onerecently. By this writing, it may be seen as the effort to describe the problem as well as theurgency of idea on reverse authentication principle and then it tries to offer solution about howis the better way of the idea responded in the policy ofcoping with the conuption for the future.

Pendahuluan

Dalam. salah ' satu butir mengenaikonsideran lahirnya UU No'. 20 Tahun 2001tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun1999 yang mengatur mengenai PemberantasanTindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwatindak pidana korupsi perlu digolongkansebagai kejahatan yang pemberantasannyaharus dilakukan secara luar biasa. Pandangantersebut adalah didasarkan .atas kenyataanbahwa korupsi yang terjadi secara sistematikdan meluas selama ini, tidak hanya telahmerugikan keuangan dan perekonomian

negara, tetapi juga merupakan peianggaranserius terhadap hak-hak sosiai dan ekonomimasyarakat luas.^

Dampak serius dari -kejahatan- korupsisebagaimana sinyalemen di atas, setidaknyatercermin dalam berba'gai analisa yangmenyimpuikan bahwa salah satu faktorpenyebab utama "kebangkrutan" ekonomiIndonesia yang beium pujih hingga sekarangini iaiah terjadinya praktek korupsi yang sudahsedemikian "membudaya" dansistematis balkdi kalangan birokrat sebagai pelaksana

'LIhat bagian "MenimbangVKonsideran huruf aUU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

55

Page 2: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

pemerintahan maupun masyarakat pada Indonesia telah mensahkan dua undang-umumnya.2 Oleh sebab itu wajar jika agenda undang sekaligus yakni UU No.31 Tahun 1999utama yang dituntut mahasiswa pada awai yang kemudian bebsrapa ketentuan yang adareformasi ketika itu (1998) iaiah di dalamnya mengalaml amandemen melaluipemberantasan dan penuntasan kasus-kasus UU No.20 Tahun 2001.korupsi khususnya dan KKN pada umumnya. Apablla pernyataan salah satu butirHal demikian ini karena masalah korupsi konsideran UU No. 20 Tahun 2001sudah dipandang sebagai patologi sosial yang sebagaimana telah dikemukakan terdahulusangat kronls.^ disimak kembali secara cermat, maka iabei

Secara yuridis, berbagai macam yang dikenakan terhadap fenomena korupsiperundang-undangan tentang korupsi sebagai di Indonesia dengan status sebagai "kejahatanwujud formai political will pemerintah untuk luar biasa" tersebut, sesungguhnyamemerangi kejahatan tersebut, mengisyaratkan bahwa korupsi benar-benarsesungguhnya sudah banyak diiahirkan. telah menjadikan negara ini berada daiamBahkan datam waktu dua tahun terakhir saja, keadaan "tidak normal" alias "darurat"." Oleh

^Perhatikan misalnya kumpulan pendapat analitis tentang dampak korupsi yang dirangkum oleh MunawarFuad Noeh. 1997. Islam dan Gerakan MoralAnt!Korupsi, Jakarta: PenerbitZikrul Hakim. Him. 56-61. LIhatjuga Syed Hussein Al-Attas. 1986. SosiologiKorupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer.Jakarta: Penerbit LP3ES. Him. 34. la antara lain menyatakan bahwa salah satu bahaya korupsi jika sudahsampai pada "stadiumV.tingkat "keparahan" yang ketiga (ia menganalisa setidaknya ada tiga stadium bahayakorusi-pen.) iaiah dapat menghancurkan seluruh sendi dari bangunan suatu niasyarakat.

^Sebagai gambaran untuk menunjukkan betapa seriusnya praktek korupsi yang telah terjadi sehingga iaharus menjadi musuh bersama dan utama dari seluruh masyarakat Indonesia, antara Iain dapat disimaklaporan dari riset-riset yang selalu diterbitkan secara berkala oleh iembaga independen bemama "The Politicaland Economic Risk Consultancy Ltd. fP£RCJ"yang berkedudukan di Hongkong. Laporan dari Iembaga iniseringkali diakses dan dipublikasikan oleh berbagai media balk nasional maupun intemasionai. Sekedar untukmeiacak "pertumbuhan" korupsi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, antara lain dilaporkan olehIembaga tersebut bahwa pada tahun 1995, Indonesia (bersama dengan China) adalah merupakan negarapaling korup kedua diAsia setelah posisi pertama ditempati India. Namun dua tahun kemudian (1997),perkembangan korupsi di Indonesia telah melambungkan negara Ini dalam posisi sebagai negara paling koruppertama diAsia, dan ranking kedua serta ketiga jusru ditempati oleh negara India dan China. Untuk data ini, lihatForum Keadilan. Edisi No.7 tahun VI, tanggal 14 Juli 1997. Selanjutnya, dalam tiga tahun kemudian (akhir2000), masih menurut PERC, ternyata perkembangan pesat korupsi di Indonesia telah menjadikan negara inimerasa layak ikut "berkompetisi" pada tingkat yang lebih tinggi dan memperoleh "hasil" sebagai negara palingkorup ketiga sedunia setelah Kamerun dan Nigeria. Lihat Suara Merdeka .22 Maret 2001.

^Dalam perspektif etimologis, istiiah lain dari kata "luar biasa" iaiah "tidak normal" atau "darurat". Sebabsesuatu yang biasa adalah sesuatu yang normal atau tidak darurat. Oleh karena itu. jika korupsi dinyatakansebagai kejahatan yang luar biasa, maka itu artinya sama dengan korupsi merupakan kejahatan yang sangatserius dan telah menimbulkan hal-hai yang tidak biasa, tidak normal alias darurat. Lihat W.J.S Poerwadarminta.1978. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka. Hlm.230,609 dan 678.

JURNAL HUKUM. NO. 20 VOL. 9. JUNI2002:55 - 67

Page 3: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

Abfiul Kholiq, AF. Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian...

rt<arena itu, penanganan terhadap korupsisebagai sumber abnormalitas atau keadaan'darurat inipun tidak boleh bersifat biasa aliasi4iarus dengan cara berpikir dan bertindak•darurat pula. Bahkan harus pula ditopang olehkualitas aparat penegak hukum yang mampudan berani meiakukan terobosanyang bersifat•darurat. Dalam konfigurasi berpikir yangdemikian ini, kiranya dapat dipahami jika adasebagian pakar yang menghendaki bahwasudah waktunya bangsa Indonesiamencanangkan bahaya korupsi sebagai suatukeadaan darurat.^

Adapun salah satu emergency exit ataupintu darurat yang perlu dilalui sebagaiterobosan hukum terhadap prinsip-prinsip"konvensonal" ituiaiahditerapkannyagagasantentang sistem atau asas pembuktian terbalikdalam proses penyelesaian kasus korupsi.Artinya, tersangka atau terdakwa harusmembuktikan bahwa dirinya tidak bersalahmeiakukan tindak pidana korupsi seperti yangdituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum.Implikasi yuridisnya ialah jika la tidak mampu

meiakukan hal Itu maka ia dianggap,benar-benar telah meiakukan korupsi dan dapatsegera dijatuhi sanksi pldaha tertentu.

Berdasarkan background historis tentangmunculnya kembali gagasan di atas, harusdiakui bahwa kelnginan untuk menerapkanasas tersebut memang diwarnai pula olehkonsep "menempuh jalan pintas" setelahbanyak orang dari berbagai kalanganmerasakan kejahatan korupsi di Indonesiatampak semakln merajalela dari hari ke hari.®Walaupun tentu ada alasan-alasan lain yangbersifat lebih mendasar. Misalnya karena parakoruptor umumnya adalah orang-orang yangmemiiiki kecakapan intelektual danberpengalaman, berada dalam lingkupjaringan birokrasi yang kompleks dan sulitditembus, serta ada kecenderungan untuksaling menutupi. Pendek kata, salah satukesulitan mendasar yang dirasakan dalamusaha memberantas kejahatan korupsiselama ini ialah' terletak pada masalahpembuktian.'Bahkan ada sinyalemen pulayang mengindikaslkan bahwa munculnya

®Achmad All. "Korupsi dan Asas Pembuktian Terbalik." Kompas. 3April 2001. Perhatikan juga statementbeberapa tokoh lain yang pernah dimuat dl berbagai media seperti pakarsosiologi hukum Satjlpto Rahardjo,mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dan Iain-Iain yang sudah "geregetan" terhadap cara penanganankorupsi di Indonesia selama ini.

®Sekalipun gagasan mengenai perlunya penerapan asas pembuktian terbalik ini bukan hal yang barusama sekali, namun harus diakui bahwa la dapat kembali menjadi wacana publik terutama sejak Gus Dur yangpada waktu Itu masih menjabat sebagai Preslden Ri mengemukakan hal tersebut saat rnenyampaikan PidatoPengantar Jawaban atas Memorandum IDPR RI di hadapan Sidang Paripuma dewan tanggai 28 Maret 2001.Pada waktu itu, Gus Dur bahkan berkeinginan untuk menerbitkan produk hukum becgpa PERPU sebagaiwadah iegitimasi bagi penerapan asas pembuktian terbalik tersebut. Hal ini menunjukkan tietapa saat itu korupsisudah dipandang sedemiklan rupa "menjengkelkan" sehingga harus cepat-cepatditangani dengan cara-carayang mengesankan adanya penggunaan jalan pintas. Sebab jika tidak demikian, tentu wadah hukumnya tidakperlu diusulkan dengan menggunakan PERPU melalnkan UU blasa.

' Lihat analisis Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam buku laporan tahunannya.BPKP_ 1999, strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Jakarta; BPKP. Him. 142-149.

57

Page 4: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

gagasan tersebut sebenarnya lebih karenadidorong oleh keinginan untuk mencontohbeberapa negara jifan/tetangga (seperti Malaysia dan Singapura) yang cukup "sukses"menekan laju korupsi di negaranya sejakmenerapkan asas tersebut.

Terlepas dan'berbagal latar belakangmengenai ids penerapan asas pembuktianterbalik di atas, yang past!, dalam wacanaakademik ide tersebut patut memperolehdiskusi "tajam". f^arena selaln persoaianurgensi. sesungguhnya ide tersebut saratdengan probiem-probiem konfrontatif denganberbagai asas iain yang selama in! telalidianggap sebagai doktrin mendasar daiamajaran hukum pidana baik materiel maupunformii. Misainya bagaimana kaitan asastersebut dengan prinsip presumption of innocence? Bagaimana puia hubungannyadengan prinsip universal yang juga teiahditegaskan dalam Pasal 66 KUHAP bahwatersangka atau te'rdakwa tidak dibebanikewajiban pembuktian? Karena yangberkewajiban membuktikan suatu tuduhaniaiah pihak yang menuduh/mendakwa (c.qJaksa Penuntut Umum).

Penerapan Asas Pembuktian Terbalikdan Problematlkanya

Rene Descartes, seorang ahli filsafatterkemuka pada abad ke-l? pernah

mengatakan bahwa siapa yang menyatakansesuatu maka ia harus membuktikannya {hewho asserts must prove)} Berdasarkar>ipandangan ini.^maka teiah diterima sebaga^iasas yang universal dalam hukum pidanaibahwa slapapun yang menuduh ia puia yan^harus membuktikan tuduhannya itu! Oleh'karenanya, dalam Kitab Undang-undangHukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia,Jaksa Penuntut Umum yang tugas pokoknyaantara lain melakukan penuntutan kepadaseseorang yang diduga teriibat suatu tindakpidana dengan cara membuat surat dakwaandan mellmpahkannya ke pengadilan, makaprinsipnya jaksa itu puia yang harusmembuktikan dakwaannya. Dengan kata lain,si terdakwa sama sekaii tidak dibebani

kewajiban untuk membuktikan apa yangdituduhkan oieh jaksakepada dirlnya ataupunmembuktikan hal yang sebaliknya.®

Prinsip KUHAP di atas merupakanmanifestasi dari dianutnya asas fundamentallain yang juga menjadi basis hukum acarapidana Indonesia yakni berupa Presumptionof Innocence Principle (Asas Praduga takBersalah}. '̂' Asas ini mengajarkan bahwaapapun tuduhan yang dikenakan terhadapseseorang, ia wajib dianggap tidak pernahbersalah selama belum ada putusanpengadilan yang berkekuatan hukum tetapyang menyatakan bahwa ia memang bersalah

®Rene Descartes sebagaimana dikutip oleh J.Guwandi. "Pembuktian Terbalik." Kompas 7April 2001.®Uhat ketentuan Pasal 66 UU No. 8Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP.

Lihat juga uraian mengenai prinsip ini pada tulisan Darwan Prinst. 2002. Hukum Acara Pidana dalamPraktek. Cetakan Ketiga (edisi revlsi). Jakarta; Penerbit Djambatan bekerjasama dengan YLBHI. Him. 20.

^®Lihat Penjeiasan pasal66KUHAP.

58 JURNAL HUKUM. NO. 20 VOL 9. JUNI2002:55 - 67

Page 5: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

M. Abdul Kholiq, AF. Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian...

sebagaimana isi tuduhan yang diarahkankepadanya itu."

Apabila gagasan mengenai asaspembuktian terbalik jadi'dilegitimasi'secarayuridis dan diterapkan dalam praktek(walaupun masih sebatas pada kasuskejahatan tertentu yakni korupsi), makakebijakan demikian in! pada hakikatnyamerupakan pengingkaran nyata terhadapdlanutnya asas praduga tak bersalah. Sebabkonstruksi berpikir yang terbangun dalam asaspembuktian terbalik selalu menempatkanasumsi bahwa tersangka/terdakwa adalah orangyang memang bersalah telah melakukansuatu tindak pidaha (c.qkorupsi). la barudapatbebas dari asumsi tersebut ]ika mampumembuktikan sebaliknya bahwa tuduhan/dakwaan itu tidakbenar. Dalam perspektif teori,asumsi dasar yang demikian ini dikenaldengan asas presumption of guilt (pradugabersalah).

Menurut H.L Packer, penyelesaian suatuperkara pldana dengan menggunakan asaspraduga bersalah seperti 'di atas,sesungguhnya dapat memberikan hasilberupa pengendalian kejahatan secara cepatdan tepat, yang pada akhirnya dapat menjaminhak asasi manusia secara keseluruhan dalam

masyarakat. Namun demikian, harus diakuibahwa penerapan asas tersebut memangmengandung suatu kelemahan, yakni jika

kemampuan dan integritas moral para petugashukum tidak dapat diandalkan, makapenyelesaian perkara akan menimbulkanberbagai ekses. Misalnya terjadinya"perkosaan" terhadap hak asasi manusia bagipihak yang terlibat perkara pidana (c.'qtersangka/terdakwa).^^

Gagasan penerapan pembuktian terbalikyang berbasis pada asas presumption of guilttersebut, sebenarnya memang sangat rentan/potensial bagl terjadinya penyalahgunaankewenangan oleh penyidik atau penuntutumum, sehingga pada akhirnya dapatmelahirkan pelanggaran HAM. Sebab penyidiktanpa bukti awal yang oukup dapat sajamenjadikan seseorang sebagai tersangka, laluditahan, dan kemudian jaksa penuntut umumdapat langsung mendakwa dan melimpahkanperkara orang tersebut ke pengadilan tanpaperlu membuktikan apa yang didakwakan,karena pembuktiannya dibebankan kepadaterdakwa. Jika demikian halnya, maka bukanmustahil asas pmbuktian terbalik ini dalamtahap impiementasi dapat menjadi modusbaru bagi aparat penegak hukum untukmelakukan "pemerasan" kepada setiap orangyang sedang diduga terlibat suatu. perkarapidana. Jadi dengan kata lain penerapan asasini dimungkinkan justru dapat mempersuburpraktek-praktek korupsi atau KKN gaya barudan bukan menanggulanginya sebagaimana

"Dalam KUMAR dianutnya asas praduga takbersalah diatas memang tidak dinyatakan secara eksplisit.Ketentuan tersebutadalahterdapatdidalampasal8 UU No. 14Tahun 1970tentangPokok-Pokok KekuasaanKehakiman yangsekarang teiahdirubah menjadi UU No. 35Tahun 1999.

"H.LPackerdalamBambang Poernomo. 1984. OrientasiHukumAcara Pidana Indonesia. Yogyakarta:Bagian Penerbitan Fakultas Hukum Universitas GadjahMada. Him. 196.

Page 6: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

yang diharapkan bersama.^^ Terlebih lagidalamsituasi kondisi sekarang di manajajaranaparat penegak hukum masih diindikasikansebagai "sarang mafia peradilan".

Dalam kasus korupsi, berdasarkan asaspembuktian terballk ini, setiap orang yangdianggap memiliki harta kekayaan secaratidak wajar atau melebihi penghasilan normal,dapat saja menjadi "target operasi" petugashukum dengan cara ditetapkan sebagaitersangka/terdakwa. Selanjutnya petugashukum (c.q penyidik atau penuntut umum ataubahkan hakim) tersebut tidak perlu repot dancukup menonton saja jalannya persldanganuntuk menyimak sejauhmana terdakwa dapatmembuktikan ha! yang sebaliknya darituduhan yang dikenakan. Dalam posisi sepertiinilah mereka dengan mudah dapatmelakukan "perdagangan hukum" dengantersangka/terdakwa.

Selanjutnya, jika tersangka/terdakwa tidakmau kompromi dengan tawaran "hargahuKum" dari petugas, maka la harus bekerjakeras untuk membuktikan bahwa harta yangdituduhkan kepadanya sebagai hasil korupsiitu adalah benar-benar berasal dari sumber

yang sah [legal). Namun, jika akhirnya ia tidakcukup memiliki saksi atau bukti lain mengenaihal itu, maka ia pun dengan mudah akanmasuk "perangkap" hukum dan kemudianmenjadi seorang terpidana.

Sementara itu, seandainya orang yangterlanjur dituduh sebagai koruptor tersebutternyata mampu membuktikan bahwa tuduhanitu tidak benardan olehkarenanya iakemudian

diputus bebas,maka putusan inipun tidak akanmampu secara mudah dan cepatmerehabilitasi nama baiknya yang sudahtercemar akibat tuduhan korupsi tadi.

Jadi, sekaiipun disadari bahwapenerapanasas pembuktian terballk untuk menyelesaikankasus korupsi yang dikenal sangat rumit dansulit ini pada satu sisi memang relevan danpenting. Terlebih lagi jika dilandasi tujuan untukmempercepat langkah-langkah penyelematankeuangan/perekonomian negara yang dapatterancam "bangkrut" akibat korupsi. Pada sisiyang lain, asas tersebut ternyata jugapotensia!untuk dapat "melahirkan" berbagai macampersoalan hukum baru seperti HAM dankeadilan, korupsi atau KKN gaya baru.

Oleh karena itu, dalam rangka merumuskankonsep tentang regulasi hukum yang mampumenampung gagasan penerapan asas

pembuktian terballk dalam perundang-undangan yang "ideal" di masa mendatang,kiranya mutlak harus dipertimbangkanberbagai aspek yang menyertainya baik nyatamaupun yang masih bersifat predictable.Sehubungan dengan kepentingan tersebut,maka berikut ini patut pula disimak terlebihdahulu bagaimana perundang-undangankorupsi yang ada dan berlaku sekarang telahmengatur masalah pembuktian terballk ini.

Asas Pembuktian dalam UU Korupsi

Pada saat UU No. 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Korupsi masih berbentukRUU, banyak kalangan berharap agar pada

Perhatikan misalnya pendapat Trimoeija D. Soefjadi." Pembuktian Terballk Untuk Memberantas KKN?".Kompas.9 April 2001.

60 JURNAL HUKUM. NO. 20 VOL. 9. JUNI2002: 55 - 67

Page 7: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

M. Abdul Kboliq, AF. Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyeiesaian...

waktu disahkah nanti undang-undang tersebutbenar-benar memuat berbagai ketentuan barusebagai refleksi terhadap tuntutan reformasiyang tumt mendorong kelahirannya. Salah satudi antara ketentuan baru yang sangatditiarapkan itu ialah adanya pengaturanmengenai asas pembuktian terbalikJ'* N'amun,setelah undang-undang tersebut dinyatakansah berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999melalui Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1999 Nomor 140,^® kenyataannya tidakada penegasan yang eksplisit mengenaipengaturan asas tersebut. Jadi, dengan katalain UU No. 31 Tahun 1999 ini masih tetapmenggunakan asas pembuktian yang samadengan yang telah ditetapkan dalam undang-undang sebelumnya (UU No. 3 Tahun 1971),yaitu bahwa yang wajib membuktikan suatutuduhan korupsi pada prinsipnya tetaplahJaksa Penuntut Umum, bukan terdakwa.Prinsip inipun selanjutnya juga masih tampakdipertahankan UU No. 20 Tahun 2001sebagai hasil perubahan atas UU No. 31Tahun 1999.

Sebenarnya, jika ketentuan Pasai 28 UUNo. 31 Tahun 1999 disimak dengan cermat,

maka dapat dikatakan bahwa undang-undangini telah mengakomodasikan "embrio" darikonsep mengenai masalah pembuktianterbalik. Sebab, pasai tersebut menegaskanuntuk kepentingan penyidikan, tersanaka wajibmember! keteranaan tentarig seluruh hariaber)danya dan harts benda istri atau suami,anak, atau harta bendasetiap orang termasukkorporasi yang diketahui danatauyang didugamempunyai hubungan dengan tindak pidanakorupsi yang dilakukan tersangka (garis bawahdari penulls).^® Kailmat "tersangka wajibmemberi keterangan tentang seluruh hartabendanya dst" dalam rumusan pasaitersebut dapat dimaknai bahwa ia wajibmembuktikan hai yang sebaiiknya mengenaituduhan korupsi yang dikenakan penyidik atasdirinya. Konsep pembuktian yang demlkiansesunguhnya dapat"dibaca" sebagai awal daripenerimaan undang-undang korupsi terhadapgagasan penerapan asas pembuktian terbalik.

Pasai 28 di atas selanjutnya lebihdipertegas lagi oleh ketentuan Pasai 37terutama pada ayat (2) yang sekararig puntetap menjadi Pasai 37 ayat (2) UU No. 20Tahun 2001.^^ Adapun isi dari ketentuan pasai

"Soeparman. "Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi Berdasarkan UU No.31 Tahun 1999, UU No. 20Tahun 2001 dan Peraturan Perundangan Lainnya." Makalah dalam Seminar Nasional tentang Anallsis Kritisterhadap EkslstensiPerundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Diselenggarakanoleh Fakultas HukumUNS.Surakarta. 8 Mel 2002. Him.2.

'®Lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. 2001. Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta; Direktorat Kerjasama Publlkasi.Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Departemen Kehakiman dan HAM Rl. Him. 34.

Dalam Undang-Undang Korupsi yang lama No. 3Tahun 1971, ketentuan diatastermaktub dalarri Pasai6." Dalam UU No. 31 Tahun 1999, ketentuan Pasai 37 tersebut secara lengkap terdlri atas 5(lima) ayat.

Namun setelah mengalami amandemen oleh UU No. 20 Tahun 2001, pasai ini dipecah menjadi dua ketentuanyaitu menjadi: Pertama, Pasai 37 saja (yang berisi Pasai 37 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999dengan sedikil perubahan redakslonal) dan kedua, Pasai 37 A(yang berisi Pasai 37 ayat (3), (4) dan (5) UUNo.31 Tahun 1999 juga dengan sedikit perubahan redakslonal).

6t

Page 8: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

dan ayat tersebut pada intinya menetapkan,jika berdasarkan pemberian keterangan itupada akhirnya terdakwa benar-benar mampumembuktikan bahwa ia memang tidakmelakukan tindak pidana korupsi, makapembuktian tersebut akan dipergunakan olebpengadilan sebagai dasar untuk menyatakanbahwa dakwaan jaksa tidak terbukti. Secarahukum, konsekuensi dari lahirnya pernyataanpengadiian seperti ini adalah dikeluarkannyaputusan yang membebaskan terdakwa darisegala tuduhan.

Berdasarkan konstruksi berplkir yuridisseperti ini. maka sangat wajar jika di depandikatakan bahwa secara "embrionar UU No.31 Tahun 1999 sebenarnya teiahmengakcmodasikan gagasan mengenaipenerapan asas pembuktian terbalik. Karenatersangka/terdakwa memikul bebankewajiban untuk membuktikan hai yangsebaliknya dari apa yang teiah dituduhkan olehpenyidik maupun penuntut umum kepadadirinya dengan impiikasi yuridis jika hal itumampu dilakukan cieh terdakwa, maka iaakan dibebaskan dari segaia tuduhan.

Namun, kesimpulan di atas ternyata tidaksepenuhnya benar. Sebab masih menurutPasai 37 terutama pada ayat (3). (4) dan (5)yang sekarang menjadi Pasai 37 AUU No. 20Tahun 2001, dinyatakan bahwa kewajibanterdakwa untuk memberi keterangan tentangasal usul harta bendanya, harta benda istrinya,anaknya, orang lain atau suatu korporasi daiamrangka menolak tuduhan korupsi yangdikenakan oleh jaksa, secara yuridis tidaklah

menghapuskan kewajiban prinsipil bagi jaksauntuk tetap membuktikan dakwaannya.Sekalipun berdasarkan keterangan yangdiberikan itu terdakwa mampu membuktikanbahwa seiuruh harta benda miiiknya, miiikistrinya dan seterusnya tadi adaiah diperoiehdari sumber-sumber yang sah (tidakmerupakan hasil korupsi).''®

Jadi, berdasarkan ketentuan di atas dapatditafsirkan bahwa jika daiam tahap penyidikansuatu kasus korupsi baik yang dilakukan oiehpoiisi, jaksa ataupun oleh gabungan keduanya,tersangka dapat membuktikan secara sahkepada penyidik mengenai asal usui hartabenda miiiknya, miiik istrinya dan seterusnyaitu, maka berkas perkara tersangka tersebuttetap akan, dikirim kepada penuntut umumuntuk dibuktikan di persidangan pengadiian.Teriebih lagi jika tersangka sama sekali tidakmampu meiakukan pembuktian mengenai haidi atas, maka penerusan berkas perkaranyake pengadiian tentu merupakan sesuatu yangwajar bahkan memang seharusnya.

Kemudian jika sesudah sampai dipersidangan pengadiian pun terdakwa masihtidak mampu juga membuktikan iegaiitas dariharta benda miiiknya, miiik istrinya danseterusnya, maka hai inipun tidak lantasmenjadikan ia dapat dijatuhi pidana tertentusebagai koruptor. Karena secara yuridis,ketidak mampuan terdakwa daiampembuktian tersebut hanya akan dipergunakanoieh pengadiian untuk memperkuat aiat buktiyang sudah ada bahwa terdakwa teiahmelakukan tindak pidana korupsi.^® Jadi

"Oemar Seno Adjie. 1983. Hukum Pidana Pengembangan. Jakarta: Eriangga. Him. 228-229."Lihat ketentuan Pasai 37 ayat (4) UU No. 31 Tahun 1999 atau Pasai 37 Aayat (2) UU No. 20 Tahun

2001.

62 JURNAL HUKUM. NO. 20 VOL. 9. JUNi 2002: 55 - 67

Page 9: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

M. Abdul Kholiq, AF. Asas Pembuktian Terbalik dafam Penyelesaian...

bukan sebagai satu-satunya alat bukti yangbersifat otomatis untuk dapat mempidanaterdakwa (sebagaimana yang lazim dalampenerapan asas pembuktian terbalik). Lebihdari itu, dalam tial di atas (yaitu dalam halterdakwa tidak mampu membuktikansebaliknya dari apa yang dituduhkan jaksa),menurut Pasal 37 ayat (5) UU No. 31 Tahun1999 yang sekarang telah menjadi Pasal 37Aayat(3)UU No. 20Tahun 2001, Jaksa PenuntutUmum tetap dibebani kewajifaan untukmembuktikan dakwaannya.

Menurut Wakil Jaksa Agung Soeparman,diharuskannya jaksauntuk tetap membuktikandakwaannya tersebut adaiah mengandungmaksud agar jaksa dalam requisitoir yangdiajukannya dalam persidangan dapatmenuntut supaya harta benda terdakwa dapatdlrampas untuk negara melaiul putusanhaklm.^"

Berdasarkan keterangan yang merujukpada beberapa ketentuan pasal perundang-undangan korupsi dl atas, maka banyak ahlihukum pidana Indonesia yang menyatakanbahwa dalam penyelesaian kasus kejahatankorupsi, sebenarnya sistem hukum IndonesiatIdak menggunakan asas pembuktian terbalik

yang bersifat murni sebagaimana yang beriakudl Malaysia atau SIngapura, tetaplmenerapkan.asas pembuktian terbalik yangbersifat tIdak murni atau selmbang.-Dlkatakandemiklan karena balk jaksa maupun terdakwasama-sama menerlma beban kewajibanpembuktian dalam pengertian sebagaimanatelah dikemukakan di atas.^'

Patut dikemukakan di sinl bahwa konseppembebanan kewajiban pembuktian yangdiatur dalam undang-undang korupsi dl atasmemang mencermlnkan kerancuan regulasisekall gus Inkohsistensl. Sebab pada satu sisiditegaskan, jlka terdakwa rriampumembuktikan bahwa tuduhan Jaksa tIdakbenar, maka kemampuan terdakwa"tersebutakan dijadlkan dasar (secara otomatis) olehpengadllan untuk memutus bebas dlrinya. JadIseolah-olah begitu terdakwa mampumembuktikan,ketidak benaran dakwaan jaksa,maka usaha pembuktian dakwaan yangdllakukan oleh jaksa menjadi tIdak memilikiarti sama sekall. Namun sebaliknya, pada sisiyang lain jlka terdakwa tIdak mampumenampik dakwaan jaksa denganmembuktikan bahwa dakwaan Itu sama sekall

tIdak benar, maka ketidakmampuannya Ini

^Soeparman.Op Cit. Him. 20-212'Beberapa pendapat ahlldi atas antara lain dapatdicermati dari plkiran Bambang Poernomo. Bambang

Purnomo. 1984. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di LuarKodifikasi Hukum Pidana, Jakarta:Penerblt Bina Aksara. Him. 80-83. LIhat juga Loebby Loqman. 1991. Beberapa Ikhwai tentang Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Tanpa Nama Penerblt. Him. 42-47. Selanjutnyahal senada juga dapat diperlksa dari komentarAndl Hamzah. And! Hamzah. 1984. PengantarHukumAcaraPidana Indonsia. Jakarta: Penerblt Ghalla Indonesia. Him 22-23 Andl Hamzah. "Perbandlngan Antara UUNo. 3/1971 dan UU No. 31/1999 Yang Telah Dlubah dan DItambah dengan UU No. 20/2001." Makalahdisampalkan dalam Seminar tentang Sosialisasi/Pemahaman Undang-undang Pemberantasan TindakPidana Korupsi, Diselenggarakan oleh Kanwil Departemen Kehaklman dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta,tanggal5 juni 2002. Him. 6-8.

Page 10: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

hanya dijadikan sebagai salah satu penguatterhadap bukti kebenaran korupsi yang telahada sebelumnya. Jadi tidak otomatis menjadidasar oleh pengadiian untuk menyatakanketerbuktian tindak pidana korupsi yangdituduhkan kepada terdakwa. Dengan katalain, dalam kasus yang demikian usahapembuktian dakwaan yang dilakukan olehjaksa sungguh masih sangat berarti danberperan panting dalam penentuan terbuktitidaknya tindak pidana korupsi yangdituduhkan. Konsep seperti ini tentu sangatberbeda dengan yang telah disebutkan di atas,dan inilah yang dikatakan di depan sebagairegulasi konsep yang rancu dan inkonsisten.

Sebenarnya ada sebagian pandanganyang mengemukakan bahwa konsep sepertitersebut di atas tidaklah harus "dibaca"sebagai regulasi hukum yang rancu daninkonsisten, akantetapi lebih merupakan suatubentuk kompromi dari "tarik menarik" antarakepentingan individual untuk tetap melindungihak asasi terdakwa (sesuai asas presumptionof innocence) dengan kepentingan umumuntuk secara cepat dan tepat dapatmenyelamatkan keuangan dan perekonomiannegara yang digagas melalui penerapan asaspembuktian terbalik."

Terlepas dari semua yang teiah diuraikandi atas, satu hal yang pasti iaiah bahwa sampaidengan lahirnya UU No. 20 Tahun 2001sebagai undang-undang korupsi yang palingmutakhir dimiliki Indonesia, ternyata belum

pemah ada satu pasalpun yang secara tegas(eksplisit) menunjukkan telah diterimanyaajaran asas pembuktian terbalik ini.Khususnya dalam pengertiannya yang murni.Padahal gagasan tersebut sudah banyakdibicarakan dan sudah lama diharapkanmasyarakat luas agar dapat segera menjadisalah satu basis hukum bagi upayapemberantasan korupsi yang semakinmemprihatinkan. Di samping itu, berdasarkanriset komparatif di beberapa negara tetanggaseperti Malaysia, Singapura, dan Hongkong,temyata penerapan asas pembuktian terbalikini sungguh efektif sebagai upaya utama yangsangat menjanjikan dalam keberhasilanmemberantas kejahatan korupsi.^ ^

Oleh karena itu, -dalam rangkamewujudkan reformasi lanjutan di bidanghukum, patutkiranya gagasan penerapanasaspembuktian terbalik ini terus menerusdidengungkan sebagai wacana publik hinggaakhimya dapat berhasil diakses menjadi salahsatu ketentuan perundang-undangan tentangpemberantasan tindak pidana korupsi diIndonesia.

Pemecahan Masalah terhadap MasalahAsas Pembuktian Terbalik

Berdasarkan analisis mengenai urgensipenerapan asas pembuktian terbalik,kemudian dikaitkan dengan berbagai problem

^Bambang Poernomo. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Op. Cit Him. 81.mset tersebut pemah dilakukan oleh Baharuddin Lopa. Baharuddin Lopa. "Mencegah dan Memberantas

Korupsi." Kompas. 21Juli 1997.

64 JURNAL HUKUM. NO. 20 VOL. 9. JUNi 2002: 55 - 67

Page 11: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

M. Abdul Kholiq, AF. Asas Pembuktian Terbalik dalam.Penyelesaian...

yang menyertainya dan sekaligusmemperhatikan reguiasi hukum dalamperundang-undangan yang .telahmenampung gagasan tentang asas tersebut,maka sebagai penutup, tulisan ini hendakmenawarkan beberapa pemikiran.

Mengingat problem utama berkait denganpeherapan asas pembuktian terbalik adalahbermuara pada terjadinya benturan antaraorlentasi untuk meiindungi kepentinganumum (c.q penyelamatan keuangan/perekonomian negara) dengan orientasi untukmeiindungi kepentingan individu (c.q hak asasitersangka/terdakwa korupsi), makapengaturan asas tersebut dalam revisi undang-undang korupsi ke depan harus; •

a). Ditempatkan sebagai suatu asas yangbenar-benar eksepsionai, setiinggapenyimpangan-penyimpangan yangdiatur di daiamnya dapatditerima secarauniversal sebagaimana iayaknya sebuahhukum penyimpangan.

b). Didasarkan atas analisis mengenaikeuntungan dan kerugian yang masihberkategori "wajar/dapat ditoieransi" yangsekiranya harus ditanggung oleh individupeiakU'korupsi maupun oleh masyarakatiuas/negara.

c). Didasarkan atas hasil jajak pendapatberskala nasional untuk meiihat tingkatpersetujuan masyarakat. Adapunurgensinya iaiah untuk ' menakarkeabsahan soslologis dari suatu aturanhukum yang akan ditetapkan.

d). Diformulasikan dengan bentuk bahasadan substansi hukum yang sekiranyamasih berada dalam koridor

penghormatan hak asasi manusia.Untuk kepentingan ini, maka konsep

rumusan tentang pembuktian terbalikdalam revisi undang-undang korupsi kedepan perlu dikonsuitasikan terlebihdahuiu ke KOMNAS HAM untukmemastikan bahwa rumusah tersebuttidak meianggar HAM, atau setidak-tidaknya "telah mencerminkanperiindungan HAM yang seimbang baikterhadap individu pelaku korupsi maupunterhadap masyarakat iuas/negara. •

e). Diadakan pengaturan pembatasansebagai rambu-rambu pengaman agarimpiementasi asas ini-tidak meiahirkanberbagai macam risiko negatif sebagaiside effect. Misainya asas ini hanyaditerapkan pada kasus-kasus korupsidengan kriteria terteritu yang berindikasisangat sulit dibuktikan, atau pada kasus-kasus korupsi yang berdasarkan buktiav/al diduga telah merugikan keuangannegara dalam jumiah tertentu yang predictable akan "menggohcangkan"perekonomian'negara'daiam arti iuasdan lain sebagainya. '

Sebeium asas pembuktian terbalik inibenar-benar . ditetapkan dan dapatdiiaksanakan sebagai sebuah ketentuanhukum, maka perlu kiranya diterapkan suatukebijakan pra conditioning untuk memastikanbahwa seiuruh jajaran aparat penegak hukumbaik kepoiisian, kejaksaan maupunpengadiian, secara reiatif harus sudah dapatdikatakan "bersih" dan berintegritas moralyang tinggi. Kebijakan semacam ini diperiukanmengingat pengaiaman law enforcement(penegakan hukum) korupsi seiama ini telahmemperiihatkan fakta yang tidak efektif dimanasaiah satu penyebabnya antara lain iaiahkarena aparat penegak hukum sendiri telah

65

Page 12: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

terkontaminasi oleh "virus" korupsi melaluifenomena- yang popular disebut "mafiaperadilan".'

Simp'ulan

Menyibak kepada permasalahan asaspembuktian terbalik dalam penyelesaian kasuskejahatan korupsi, make asas pembuktianterbalik sangat relevan. Meskipunpenerapannya sendiri perlu dikaji agarkepentingan HAM Dan kepentingan publiktidak menimbulkan benturan yang berakibatkepada ketidakefektifan dari asas tersebut. Disamping itu apabila asas pembuktian terbalikini akan diterapkan sangatlah perlu untukdilakukan praconditioning agar tujuan yangdiharapkan dari.pemberantasan korupsi dapatdicapai. • = '

Daftar Pustaka

Adiie. Oemar.Seno. 1983. Hukum PidanaPengembangan. Jakarta: Erlangga.

Al-Attas, Syed Hussein. 1986. SosiologiKorupsi: Sebuah Penjelajahandengan Data Kontemporer. Jakarta;'Penerbit LP3ES.

All, Achmad. "Korupsi dan Asas PembuktianTerbalik." Kompas. 3 April 2001.

BPKP. 1999. Strategi PemberantasanKorupsi Nasional. Jakarta: BPKP.Him. 142-149.

Direktorat Jenderai Peraturan Perundang-undangan. 2001. HImpunanPeraturan Perundang-undanganfenfang Pemberantasan TindakPidana Korupsi. Jakarta: Direktorat

Kerjasama Publikasi. .Direktorat,Jenderai Peraturan Perundang-undangan. Departemen.Kehakiman,dan HAM Rl.

Guw/andi, J.. "Pembuktian Terbalik." Kompas7 April 2001.

Hamzah, Andi. "Perbandingan Ant'ara UU No.3/1.971 dan UU No. 31/1999 Yang TelahDiubah dan Ditambah dengan UU No.20/2001." Makalah disampalkandalam Seminar tentang Sosialisasi /

\ Pemahaman Undang-undangPemberantasan Tindak PidanaKorupsi, Diselenggarakan oleh KanwilDepartemen Kehakiman dan HAMDaerah Istimewa Yogyakarta, tanggal5 juni 2002.

.1984. Pengantar Hukum Acara' Pidana Indonsia. Jakarta: Penerbit

Ghalia Indonesia.

Lopa, Baharuddin. "Mencegah danMemberantas Korupsi." Kompas. 21Juli 1997.

Logman, Loebby. 1991. Beberapa Ikhwaitentang Undang-undangPemberantasan Tindak PidanaKorupsi. Jakarta: Tanpa NamaPenerbit.

Noeh, Munawar Fuad. 1997. islam danGerakan Moral Anti Korupsi, Jakarta:Penerbit Zikrul Hakim.

Poernomo, Bambang. 1984. OrientasiHukum Acara Pidana Indonesia.Yogyakarta: Bagian PenerbitanFakultas Hukum Universitas GadjahMada.

66 JURNAL HUKUM. NO. 20VOL. 9. JUNI 2002: 55- 67

Page 13: Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus

M. Abdul Kholiq, AF. Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian...

. 1984. Pertumbuhan HukumPenyimpangan Di Luar KodifikasiHukum Pidana, Jakarta: Penerbit BinaAksara.

Poerwadarminta, W.J.S. 1978. Kamus UmumBahasa Indonesia. Jakarta; PenerbitBalai Pustaka.

Prinst, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidanadalam Praktek. Cetakan Ketiga (edlsirevisi). Jakarta: Penerbit Djambatanbekerjasama dengan YLBHI.

Soeparman. "Pelaksanaan PemberantasanKorupsi Berdasarkan UU No.31Tahun1999, UU No. 20 Tahun 2001 danPeraturan Perundangan Lainnya."Makalah dalam Seminar Nasionai

tentang Analisis Kritis terhadapEksistensi Perundang-undanganPemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Dlseienggarakan olehFakultas Hukum UNS. Surakarta. 8 Mei2002.

Soerjadi, Trimoeija D." Pembuktian TerbalikUntuk Memberantas KKN?"

Forum Keadilan. Edisi No. 7 tahun VI, tanggal14Juli1997.

Suara Merdeka .22 Maret 2001.

Kompas. 9 April 2001.

UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokokKekuasaan Kehakiman.

UU No. 35 Tahun 1999 tentang PerubahanAtas UU No. 14 Tahun 1970.

UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Eks UU No. 3 Tahun 1971 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU No. 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi.

UU No. 20 Tahun 2001 tentang PerubahanAtas UU No. 31 Tahun 1999.

C) C)

67