biofar_usus terbalik
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau
produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut
melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan
memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,
maka bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai
tidak terjadi absorpsi sama sekali (Shargel, 1988).
Pada umumnya produk obat mengalami proses absorpsi sistemik melalui
suatu rangkaian prosesabsorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses
tersebut meliputi : (1) desintegrasi produk obat yang didkuti pelepasan obat;
(2)pelarutan obat dalam media aqueous; (3) absorpsi melewati membrane sel
menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses desintegrasi obat, pelarutan dan
absorpsi, kecepatan obatt mencapai system sirkulasi sistemik ditentukan oleh
tahapan yang paling lambat dalam rangkaian di atas.
Tahap-tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik
disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step). Kecuali untuk produk-
produk “sustained release” atau “prolonged-action” disintegrasi obat yang
berbentuk padat pada umumnya lebih cepat daripada pelarutan dan absorpsi obat.
Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan
seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan
terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tetapi
sebaliknya,untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju
pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran
merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan
(Shargel,1988).
1
1.2 Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui jumlah absorpsi furosemida pada berbagai pH
- Untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH terhadap absorpsi furosemida
pada duodenum terbalik (everted sac) kelinci
1.3 Manfaat Percobaan
Melalui percobaan ini, diharapkan praktikan dapat mengetahui pengaruh
pH terhadap absorpsi furosemida pada duodenum terbalik kelinci.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Furosemid
Gambar 2. Struktur bangun Furosemida
Nama kimia : asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfamoilantranilat
Nama lazim : Furosemidum/ furosemida
Rumus kimia : C12H11ClN2O5S
BM : 330,74
Khasiat dan penggunaan : Diuretikum
Furosemida mengandung tidak kurang dari 98,5% C12H11ClN2O5S dihitung
terhadap zat yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1979).
Pemerian. Serbuk hablur; putih atau hampir kuning; tidak berbau; tidak
berasa (Ditjen POM, 1979).
Kelarutan. Praktis tidak larut dalam air dan dalam kloroform P, larut
dalam 75 bagian etanol (95%)P dan dalam larutan alkali hidroksida (Ditjen
POM, 1979).
Furosemida: frusemide,Lasix,Impugan. Turunan sulfonamide ini (1964)
berdaya diuretic kuat dan bertitik kerja di lengkungan Henle bagian
menaik.Sangat efektif pada keadaan udema di otak dan paru-paru yang akut.Mulai
kerjanya pesat, oral dalam 0,5-1 jam dan bertahan 4-6 jam, intravena dalam
beberapa menit dan 2,5 jam lamanya (Tan, 2008).
Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, PP-nyak .l. 97%, plasma-
t1/2-nya 30-60 menit; ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi
juga lewat empedu (Tan,2008).
3
Efek sampingnya berupa umum, pada injeksi i.v terlalu cepat, adakalanya
tetatpi jarang terjadi ketulian (reversible) dan hipotensi. Hipokalieia reversible
dapat terjadi pula (Tan, 2008).
Dosis: pada udema oral 40-80 mg pagi p.c., jadi perlu atau pada
insufisiensi ginjal sampai 250-2000mg sehari dalam 2-3 dosis. Injeksi i.v.
(perlahan) 20-40 mg, pada keadaan kemelut hipertensi sampai 500mg.
Penggunaan ini tidak dianjurkan (Tan,2008).
Kebanyakan efek yang merugikan furosemid terjadi pada pemakaian dosis
tinggi dan efek berat yang tidak biasa. Efek buruk yang umumnya sering terjadi
yaitu cairan dan elektrolit yang tidak seimbang termasuk hiponatraemia,
hipokalaemia, dan hipokloraemik alkalosis, sebagian setelah pemberian dosis
besar ataupun dalam penggunaan jangka panjang. Tanda- tanda
ketidakseimbangan elektrolit adalah sakit kepala, hipotensi, kram otot, mulut
kering, haus, lemah, lesu, oliguria, aritmia cardiac, gangguan saluran pencernaan,
hipovolaemia, dan dehidrasi. Karena aksinya berdurasi pendek, risiko terhadap
hipokalaemia mungkin berkurang karena adanya diuretik loop seperti furosemid
dibandingkan dengan pemakaina diuretik thiazida. Tidak seperti thiazida,
furosemid menaikkan eksresi urin (Sweetman, 2009).
2.2 Absorpsi
Absorpsi obat adalah suatu proses pergerakan obat yang tidak berubah dari
sisi pengambilan kesirkulasi sistemik. Obat mungkin diambil dengan melalui
berbagai jenis rute seperti rute enteral, rute oral, sublingual, buccal dan rektal,
parenteral intravena, subkutan, intramuskular, dan lain- lain dan topical seperti
kulit,opthalmic, dan lain- lain (Paradkar, 2008).
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran
gastrointestinal kedalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau
pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja
permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena
pengangkatan dari sebahagian usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-
obat yang mempunyai dasar-dasar protein seperti insulin dan hormone
pertumbuhan dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi
4
pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energy untuk
menembus membrane. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk
bergerak melawan perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat
membawa obat-obat menembus membrane. Pinositosis berarti membawa obat
menembus membrane dengan proses menelan (Kee, 1996).
Sebagai patokan, dapat dikatakan bahwa sekitar 75% dari suatu obat
peroral akan diabsorpsi dalam 1-3 jam, tetapi banyak faktor yang dapat
mengubahnya. Fakor-faktor tersebut antara lain:
(1) Motilitas Gastrointestinal
Gerakan lambung dan usus mempunyai pengaruh yang besar dalam absorpsi
obat. Obat-obat yang mengurangi motilitas usus dan lambung (misalnya obat
anti muskarinik) atau yang meningkatkan motilitas lambung dan usus
(misalnya metoklopramid) akan memperngaruhi absorpsi obat-obat lainnya.
Gerakan usus yang cepat (misalnya diare) juga bias menggangu absorpsi
obat. Obat yang diminum sesudah makan biasanya absorpsinya juga lambat
sebab jalannya menuju usus halus juga diperlambat.
(2) Aliran Darah Splanknikus
Aliran darah splanknikus menjadi sangat berkurang pada keadaan
hipovolemia dan ini menyebabkan perlambatan absorpsi obat.
(3) Formulasi Dan Ukuran Partikel Obat
Ukuran partikel obat dan formulasi obat juga mempunyai efek yang sangat
berarti terhadap absorpsi. Banyak juga obat yang diformulasikan sesuai
dengan sifat absorpsi yang dikehendaki. Berbagai jenis formulasi lepas
terkontrol sekarang makin banyak digunakan melalui teknologi farmasi yang
canggih (misalnya formulasi lepas tertunda dan lepas lambat).Sebagai
contoh, formulasi aspirin lapis–enteric dibuat dengan tujuan pelepasan
aspirin diperlambat sampai tablet mencapai usus halus sehingga mengurangi
resiko erosi lambung. Demikian juga dengan tablet lepas lambat teofilin dan
nifedipin, sebab lama kerja obat –obat tersebut yang relative singkat.
(4) Faktor Kimiawi
5
Faktor kimiawi juga dapat mempengaruhi absorpsi obat dengan cara
memengaruhi status obat dalam usus. Misalnya, antibiotika tetrasiklin
mengikat ion-ion Ca dengan kuat (chelation) sehingga makanan yang kaya
kalsium (terutama susu) dapat mencegah absorpsi tetrasiklin. Demikian juga
dengan pemberian parafinum liquidum sebagai pencahar akan menghambat
absorpsi obat-obat yang bersifat lipofilik seperti vitamin K (Staf Pengajar
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004).
2.3 Anatomi Usus Halus
Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas 3 (tiga) bagian
yaitu duodenum yang terfiksasi, jejunum dan ileum yang bebas bergerak.
Diameter tergantung pada letaknya (2-3 cm) dan panjang keseluruhan antara 5-9
cm. Panjang tersebut akan berkurang oleh regangan otot, yang melingkari
peritoneum (Aiache, 1993).
Duodenum relatif pendek (etimologik 12 jari) terdiri atas beberapa
simpangan. Bagian pertama adalah juxtapylorus, sangat lebar dan terdiri atas
bulbus duodenalis. Kedua, adalah bagian “ mulut’’ yang lebih lebar dan disebut
papilla vateri, di sini ductus pancreaticus (Wirsungi) keluar dari pankreas
membawa getah pankreas dan ketiga adalah ductus choledochus yang merupakan
penggabungan saluran empedu dari hati (ductus hepaticus) dan saluran cerna.
Sedikit di bawah papilla vateri, terdapat muara saluran kedua getah pankreas
yaitu ductus pancreaticus accessorius (santorini)(Aiache, 1993).
Panjang jejunum dan ileumsekitar 6 meter, terbentuk atas 14- 15 lipatan-
lipatan seperti telinga. Bila tidak berisi berbentuk pipih dan berbentuk tabung bila
dilewati sebongkah makanan (Aiache, 1993).
2.3 Histologi Usus Halus
Secara histologik, usus halus terdiri atas 5 lapisan melingkar berupa
lapisan otot (musculus) dan lapisan lendir (mukosa). Lapisan yang paling dalam
(lapisan mukosa) sangat berperan pada proses penyerapan obat (Aiache, 1993).
Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian atas
duodenumberbentuk lipatan- lipatan atau disebut juga valvula conniventes.
6
Lipatan- lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh
dengan villi yang tingginya 0,75- 1 mm dan selalu bergerak. Adanya villiini lebih
memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40- 50 m2 (Aiache, 1993).
Fungsi utama usus halus adalah fungsi penyerapan dan fungsi pencernaan
pengeluaran enzim. Sel- sel yang menyusun mukosa penyerap terdiri dari dua
jenis utama yaitu :
- Sel yang berfungsi sebagai penyerap yaitu enterocyte
Sel tersebut berbentuk silinder, ramping, pilar- pilarnya tersusun seperti
lempeng (kekakuannya sperti helai bulu sikat)
- Sel yang berfungsi sebagai penghasil getah:
Sel goblet menghasilkan mukus yang melindungi mukosa terhadap getah
lambung, terhadap kerja enzim proteolitik.
Sel enterochromaffine menghasilkan serotonin yang berperan pada motilitas
usus (Aiache, 1993).
Diantara vili- vili usus terdapat kelenjar tubulus Lieberkuhn, yang terdiri
atas ketiga jenis sel penghasil getah atau yang disebut juga sel Paneth yang
memenuhi granulasi proenzim. Pada duodenum terdapat kelenjar Brunner yang
dikelompokkan sebagai sel mukus (Aiache, 1993).
2.4 Fisiologi Usus Halus
Duodenum dan bagian pertama jejunum mempunyai fungsi pencernaan
yang sangat nyata, sedangkan bagian kedua jejunum dan ileum fungsi
penyerapannya lebih berperan (Aiache, 1993).
Duodenum. Saluran umum pankreas memasuki dduodenum. pH duodenal
yaitu sekitar 6- 6,5 karena adanya bikarbonat yang menetralkan pengosongan
kimus asam dari perut. pH ini optimum untuk pencernaan protein dan makanan
peptida secara enzimatis. Getah pankreas mengandung enzim yang disekresikan
ke duodenum dari saluran empedu. Tripsin, kimotripsin, dan karboksipeptida
dilibatkan dalam hidrolisis protein menjadi asam amino. Amilase dilibatkan dalam
mencerna karbohidrat. Sekresi lipase pankreas menghidrolisa lemak menjadi asam
lemak. Medium cairan kompleks pada duodenum membantu menghancurkan obat
dengan kelarutan dalam air yang lemah (Shargel, 2004).
7
Duodenum merupakan tempat dimana banyak proobat ester dihidrolisa
selama absorpsi. Adanya enzim proteolitik juga membuat banyak protein obat
menjadi tidak stabil pada duodenum, sehingga mencegah absorpsi yang cukup
(Shargel, 2004).
Jejunum. Jejunum adalah bagian tengah dari usus halus, diantara
duodenum dan ileum. Pencernaan protein dan karbohidrat berlanjut setelah
penambahan getah pankreas dan empedu pada duodenum. Bagan dari usus halus
ini umumnya memiliki kontraksi yang lebih sedikit dibandingkan dengan
duodenum, namun lebih disukai sebagai penyelidikan absorpsi obat in- vivo
(Shargel, 2004).
Ileum. Ileum merupakan bagian akhir dari usus halus. Bagian ini memiliki
sedikit kontraksi daripada duodenum dan dapat dihambat oleh kateter dengan
sebuah balon gelembung saat penelitian absorpsi obat. pH ileum yaitu 7, dengan
bagian distal mencapai 8. Karena adanya sekresi bikarbonat, obat asam akan
hancur. Sekresi empedu membantu menghancurkan obat lemak dan hidrofobik.
Katup ileosekal membatasi antara usus halus dengan colon (Shargel, 2004).
Masuknya substansi yang berasal dari lambung ke dalam duodenum
diikuti dengan menutupnya pylorus dan timbulnya gerakan usus serta pengeluaran
getah. Getah empedu merupakan cairan kuning berlendir, kental mempunyai pH 6
dalam kantong empedu dan pH 7- 7,5 saat memasuki duodenum. Getah tersebut
dikeluarkan terus menerus, tetapi diantara waktu makan, getah ditimbun dalam
kantung empedu. Pengeluaran tersebut terjadi tiap 30 menit selama 2-3 jam
setelah makan dan dilanjutkan hingga 5 jam.
8
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Neraca analitik, sumpit besi, pH meter, benang wol, statif dan klem,
spektrofotometer uv,alat-alat gelas, satu set alat bedah
3.1.2 Bahan
Furosemida, kloroform, NaOH, kalium dihidrogen fosfat, NaCl fisiologis,
usus halus kelinci
3.2 Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan dalam percobaan adalah 1 ekor kelinci jantan.
3.3 Prosedur
3.3.1 Pembuatan Pereaksi
Pembuatan larutan NaCl 0,9% fisiologis
Dilarutkan 0,9 g natrium klorida dalam air suling hingga 1000ml
Pembuatan larutan NaOH 0,2 N
Natrium hidroksida sebanyak 8,001 g dilarutkan dalam air suling bebas
CO2 hingga 1000 ml
Pembuatan larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2 M
Kalium dihidrogen fosfat monobase sebanyak 27,22 g dilarutkan dengan
air suling dalam labu tentukur 1000 ml
Pembuatan larutan dapar fosfat pH 5,8
Campurkan 50 ml kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan 3,6 ml natrium
hidroksida 0,2 N dan cukupkan dengan aquadest bebas CO2 hingga 200ml
Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4
Campurkan 50 ml kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan 39,1 ml natrium
hidroksida 0,2 N dan cukupkan dengan aquadest bebas CO2 hingga 200 l
3.3.2Pembuatan LIB I furosemida dapar fosfat pH 5,8 dan 7,4
Ditimbang seksama 25 mg furosemida yang telah dikeringkan pada suhu
105oC selama 3 jam. Kemudian masukkan ke dalam labu tentukur 50 ml
ditambahkan tetes demi tetes NaOH 0,1 N sampai serbuk larut lalu dicukupkan
dengan dapar fosfat pH 5,8 sampai garis tanda. Lakukan hal yang sama untuk
9
dapar fosfat pH 7,4.
3.3.3 Penentuan panjang gelombang maksimum dan pembuatan kurva
kalibrasi furosemida dalam dapar fosfat pH 5,8 dan 7,4
LIB I dipipet masing-masing 0,2; 0,25; 0,3; 0,35; 0,55; 0,75; 0,95 ml lalu
dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml dan dicukupkan dengan dapar fosfat pH
5,8 sampai garis tanda hingga diperoleh konsentrasi
10 ;12,5 ;15 ;17,5 ;27,5 ;37,5 ;47,5 mcg/ml. Lakukan hal yang sama untuk dapar
fosfat pH7,4
3.3.4 Pembuatan larutan furosemida dengan konsentrasi 2 mM
Ditimbang seksama furosemida, dilarutkan dengan 800 ml dapar fosfat pH
5,8 hingga diperoleh konsentrasi 2 mM. Lakukan hal yang sama untuk dapar
fosfat pH 7,4
3.3.5 Penentuan penembusan membran oleh furosemida
3.3.5.1 Pembuatan duodenum terbalik (Everted sac) kelinci
Hewan percobaan berupa kelinci jantan dipuasakan selama 20-24 jam.
Kemudian kelinci tersebut dianastesi, lalu dilakukan pembedahan pada bagian
perut tetapi jangan sampai mengenai tulang dada. Kemudian usus diikat pada
jarak kurang lebih 25 cm dari pylorus (ujung lambung) dan bagian ini merupakan
duodenum. Setelah usus halus dikeluarkan dan dibersihkan bagian dalamnya dari
kotoran dan bagian luar dari jaringan yang mengikat pembuluh darah halus dan
sebagainya, dengan bantuan pinset dan gunting, dan dicuci dengan larutan natrium
klorida fisiologis dingin. Kemudian duodenum dibagi dua dan dibalik
menggunakan sumpit besi dimana bagian atas digunakan untuk pemeriksaan laju
absorpsi furosemida dalam dapar fosfat pH 5,8 dan bagian bawah untuk pH 7,4.
3.3.5.2 Penentuan penembusan membran duodenum terbalik kelinci
Duodenum terbalik kelinci ini lalu diikat dengan menggunakan statif dan
klem. Bagian atas dimasukkan ke dalam tabung berisi 800ml larutan dapar fosfat
pH 5,8 yang mengandung bahan obat furosemida 2 mM. Dan bagian bawah
dimasukkan ke dalam tabung berisi 800 ml larutan dapar fosfat pH7,4 yang
mengandung bahan obat furosemida 2 mM. Pada menit ke 5, 10, 15, 20, 30, 45,
dan 60 diambul cairan serosa sebanyak 5 ml dan diencerkan hingga 10 ml dengan
mediumnya. Ukur absorbansinya dengan spektrofotometer.
10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Terlampir
4.2 Perhitungan
Terlampir
4.3 Pembahasan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH
terhadap absorpsi furosemida pada duodenum kelinci yang terbalik dilakukan
perlakuan dengan berbagai pH yang berbeda yaitu pada pH 5,8 dan pH 7,4.
Dari percobaan diperoleh hasil bahwa furosemida lebih banyak diabsorpsi
pada duodenum yang diberikan dapar fosfat pH 5,8 dibandingkan 7,4. Hal ini
disebabkan karena furosemida merupakan asam lemah yang karut dalam
duodenum yang mempunyai pH yang berkisar 5-6 bukan pada ileum yang
berkisar pada entang pH 7-8. Ileum merupakan usus penyerap, dimana segala
makanan pasti diserap. Ileum mempunyai rentang pH 7-8 , oleh karena itu dipakai
dapar fosfat dengan pH 7,4 dan dipakai juga dapar fosfat dengan phH 5,8 yang
disesuaikan dengan pH duodenum.
Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya perlintasan
membran dengan intensitas yang besar, dan lebih banyak terjadi difusi pasif.
Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena konsentrasi
obat-obat yang tinggi dalam liang usus sebelah bawah dan pada penyerapan
susjacent (Aiache, 1993).
Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan
vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena pengangkatan
dari sebahagian usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Absorpsi pasif
umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energy untuk menembus
membrane (Kee, 1996).
11
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan- PH sangat mempengaruhi absorpsi furosemida pada usus terbalik (Everted
sac) pada kelinci. Furosemid lebih mudah diabsorpsi dalam dapar fosfat
dengan pH 5,8 dibandingkan dalam dapar fosfat pH7,4.
5.2 Saran- Sebaiknya dilakukan pengujian terhadap obat-obat lain seperti
ibuprofen,aspirin .
- Sebaiknya dilakukan pengujian dengan menggunakan HPLC
12
DAFTAR PUSTAKA
Aiache, J. M. (1993). Farmasetika 2—Biofarmasi. Penerjemah: Widji Soeratri. Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman: 40-42.
Kee, J.L. (1996). Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 7.
Shargel,L., dan Yu , A.B .(2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetik Terapan. Edisi kedua. Penerjemah: Fasich dan S. Sjamsiah. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 86-87, 137.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. (2004). Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 21- 22.
Sweetman,S.C. (2009). MartindaleI.36th edition. London: Pharmaceutical Press. Page 1292.
Tan, T.H., dan Kirana, R. (2008) . Obat-Obat Penting. Edisi VI.Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Halaman 333.
LAMPIRANFlowsheet
13
Pembuatan duodenum tebalik (Everted sac) kelinci
Dipuasakan selama 20-24 jam Dilakukan pembedahan pada bagian perut tapi tidak mengenai
tulang dada Diikat pada jarak lebih kurang 25 cm dari pylorus Dikeluarkan usus halus dan dibersihakan bagian dalam dan
bagian luar dengan NaCl fisiologis dingin Duodenum dibagi dua Dibalikkan menggunakan sumpit besi Bagian atas direndam dengan dapar fosfat pH 5,8 dan bagian
bawah direndam dalam dapar fosfat pH 7,4
Penentuan penembusan membran duodenum terbalik kelinci
Diikat mengunakan statif dan klem Dimasukkan bagian atas ke dalam tabung berisi 800 ml larutan
dapar fosfat pH 5,8 yang mengandung furosemida 2mM Dimasukkan bagian bawah ke dalam tabung berisi 800ml
larutan dapar fosfat pH7,4 yang mengandung furosemida 2mM Diambil cairan serosa sebanyak 5mL pada menit ke
5,10,15,20,30,45,60 Diencerkan 10mL dengan mediumnya Diukur absorbansinya dengan spektrovotomete uv
Lampiran Gambar
14
Kelinci jantan
Hasil
Duodenum terbalik
Hasil
Labu Tentukur beaker glass
LIB 1 dan LIB II Spatula dan batang pengaduk
15