kajian teoritis dan hipotesis tindakan hilgard dan bower...

28
9 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hasil Belajar Hilgard dan Bower (dalam Thobrani dan Mustofa, 2012 : 19-20) mendefinisikan bahwa belajar berhubungan dengan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, perubahan tingkah laku tidak dapat dijadikan dasar kecenderungan respons pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya. Menurut Purwanto (2011 : 38) “ belajar merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya.” Sedangkan menurut Witherington (dalam Hanafiah dan Suhana 2012 : 7) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. Hasil belajar menurut Sudjana (2011:22) adalah kemampuan- kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.” Sedangkan menurut Winkel (dalam Purwanto 2011 : 45) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya.

Upload: phamdat

Post on 19-Aug-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Hasil Belajar

Hilgard dan Bower (dalam Thobrani dan Mustofa, 2012 : 19-20)

mendefinisikan bahwa belajar berhubungan dengan tingkah laku

seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh

pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, perubahan tingkah

laku tidak dapat dijadikan dasar kecenderungan respons pembawaan,

kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat misalnya kelelahan,

pengaruh obat, dan sebagainya. Menurut Purwanto (2011 : 38) “ belajar

merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan

lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya.”

Sedangkan menurut Witherington (dalam Hanafiah dan Suhana 2012 : 7)

menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian

yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon baru yang berbentuk

keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.

Hasil belajar menurut Sudjana (2011:22) adalah kemampuan-

kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman

belajarnya.” Sedangkan menurut Winkel (dalam Purwanto 2011 : 45)

menyatakan bahwa hasil belajar merupakan perubahan yang

mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya.

10

Kingsyle (dalam Sudjana 2011 : 22) membagi tiga macam hasil

belajar, yaitu (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan

pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Sedangkan Gagne (dalam Sudjana

2011 : 22) membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) infomasi verbal,

(b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e)

keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan

pendidikan, baik tujuan kulikuler maupun tujuan instruksional,

menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara

garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah

afektif, dan ranah psikomotoris.

1. Ranah Kognitif

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang

terdiri atas enam aspek yaitu:

a. Tipe hasil belajar : Pengetahuan

Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari

knowledge dalam istilah taksnomi Blomm seperti yang dikutip oleh

Sudjana (2011:23). Sekalipun demikian, maknanya tidak sepenuhnya

tepat sebab dalam istilah tersebut termasuk pula pengetahuan faktual di

samping pengetahuan hafalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan,

definisi, istilah, pasala dalam undang-undang, nama-nama tokoh, nama-

nama kota. Dilihat dari segi proses belajar, istilah-istilah tersebut memang

perlu dihafal dan diingat agar dapat dikuasainya sebagai dasar bagi

11

pengetahuan atau pemahaman konsep-konsep lainnya.Tipe hasil belajar

pengetahuan termasuk kognitif tingkat rendah yang paling rendah.

Namun, tipe hasil belajar ini menjadi prsarat belajar berikutnya. Hafalan

menjadi prasyarat bagi pemahaman dan hal ini berlaku bagi semua

bidang studi.

b. Tipe hasil belajar : Pemahaman

Tipe hasil belajar yang lebih tinggi dari pengetahuan adalah

pemahaman. Pemahaman dapat dibedakan ke dalam tiga kategori:

1) Tingkat terendah, adalah pemahaman terjemahan, mulai dari

terjemahan dalam arti yang sebenarnya, misalnya dari bahasa

Inggris ke dalam bahasa Indonesia, mengartikan Bhineka

Tunggal Ika, mengartikan Merah Putih, menerapkan prinsip-

prinsip listrik dalam masing-masing sakelar.

2) Tingkat kedua adalah penafsiran, yakni menghubungkan bagian-

bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau

menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian,

membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok.

3) Pemahaman tingkat ketiga atau tingkat tertinggi adalah

pemahaman ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan

seseorang mampu melihat di balik yang tertulis, dapat membuat

ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas presepsi

dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalahnya.

c. Tipe hasil belajar : Aplikasi

12

Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi kongkret atau

situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori, atau petunjuk

teknis. Menerapkan abstraksi ke dalam situasi baru disebut aplikasi.

d. Tipe hasil belajar : Analisis

Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-

unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hirarkinya dan atau susunannya.

Analisis merupakan kecakapan yang kompleks, yang memanfaatkan

kecakapan dari ketiga tipe sebelumnya. Dengan analisis diharapkan

seseorang mempunyai pemahaman yang komprehensif dan dapat

memilahkan integritas menjadi bagian-bagian yang tetap terpadu, untuk

beberapa hal memahami prosesnya, untuk hal lain memahai cara

bekerjanya, untuk hal lain lagi memahami sistematikanya.

e. Tipe hasil belajar : Sintesis

Penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian ke dalam bentuk

menyeluruh disebut sintesis. Berfikir sintesis adalah berfikir divergen.

Dalam berfikir divergen pemecahan atau jawabannya belum dapat

dipastikan. Mensistensikan unit-unit tersebut tidak sama dengan

mengumpulkannya ke dalam satu kelompok besar. Mengartikan analisis

sebagai memecah integritas menjadi bagian-bagian dan sintesis sebagai

menyatukan unsur-unsur menjadi integritas perlu secara hati-hati dan

penuh telaah.

13

f. Tipe hasil belajar : Evaluasi

Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang

mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan,

metode, materil, dan lain-lain.

2. Ranah afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli

mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila

seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Menurut

Sudjana (2011 : 30) ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai

hasil belajar. Kategorinya dimulai dari tingkat yang dasar atau sederhana

sampai tingkat yang kompleks.

a. Reciving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima

rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk

masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. Dalam tipe ini termasuk kesadaran,

keinginan untuk menerima stimulus, kontrol, dan seleksi gejala atau

rangsangan dari luar.

b. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh

seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup

ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar

yang datang kepada dirinya.

c. Valuing (penilaian) berkenaan dengan nilai dan kepercayaan

terhadap gejala atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di

14

dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman

untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.

d. Organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam suatu

sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain,

pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Yang termasuk

kedalam organisasi ialah konsep tentang nilai , organisasi sistem nilai, dan

lain-lain.

e. Karakterisrik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan

semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi

pola kepribadian dan tingkah lakunya. Kedalamnya termasuk keseluruhan

nilai dan karakteristiknya.

3. Ranah Psikomotoris

Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan (skill)

dan kemampuan bertindak individu. Menurut Sudjana (2011:30-31) ada

enam tingkatan keterampilan, yakni :

a. Gerakan reflex (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar);

b. Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar;

c. Kemampuan perceptual, termasuk di dalamnya membedakan

visual, membedakan auditif, motoris, dan lain-lain;

d. Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan,

dan ketepatan;

e. Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana

sampai pada keterampilan yang kompleks;

15

f. Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi dan non-

decursive seperi gerakan ekspresif dan interpretatif.

Hasil belajar yang dikemukakan di atas sebenarnya tidak berdiri

sendiri, tetapi selalu berhubungan satu sama lain, bahkan ada dalam

kebersamaan. Seseorang berubah tingkat kognisinya sebenarnya sudah

dalam kadar tertentu ialah berubah pula sikap dan perilakunya. Carl

Rogers (dalam Sudjana 2011:31) bependapat bahwa seseorang yang

telah menguasai tingkat kognitif perilakunya sudah bisa diramalkan.

Dalam proses belajar – mengajar di sekolah saat ini, tipe hasil belajar

kognitif lebih dominan jika dibandingkan dengan tipe hasil belajar bidang

afektif dan psikomotoris. Sekalipun demikian tidak berarti bidang afektif

dan psikomotoris diabaikan sehingga tak perlu dilakukan penilaian.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa hasil

belajar pada dasarnnya merupakan suatu hasil perubahan perilaku

manusia yang dapat ditunjukan melalui perubahan keterampilan, sikap,

dan nilai setelah mengalami proses belajar di sekolah. Hasil belajar

tersebut dapat dilihat dari perolehan nilai atau skor serta perubahan

tingkah laku seorang siswa di sekolah setelah mengikuti proses

pembelajaran.

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Keberhasilan dalam belajar sangatlah dipengaruhi oleh

berfungsinya secara integrative dari setiap faktor pendukungnya. Faktor-

16

faktor yang mempengaruhi belajar sendiri banyak jenisnya tetapi dapat

digolongkan menjadi dua golongan saja, \yaitu faktor intern dan faktor

ekstern. Menurut Slameto (2010:54) “faktor intern adalah faktor yang ada

dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ektern adalah

faktor yang ada di luar individu.”

1. Faktor Intern yang mempengaruhi hasi belajar terdiri dari :

a. Faktor Jasmani

(1.) Faktor Kesehatan

Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-

bagiannya/bebas dari penyakit. Kesehatan adalah keadaan atau hal

sehat. Keadaan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya. Proses

belajar seseorang akan terganggu jika kesehatannya terganggu, selain itu

juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika

badannya lemah kurang darah ataupun ada gangguan-

gangguan/kelainan-kelainan fungsi alat inderanya serta tubuhnya.

(2.) Cacat tubuh

Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan baik atau kurang

sempurna mengenai tubuh atau badan. Cacat itu dapat berupa buta,

setengah buta, tuli, setengah tuli, patah kaki, dan patah tangan, lumpuh

dan lain-lain. Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Siswa

yang cacat belajarnya akan terganggu. Jika hal ini terjadi, hendaknya ia

17

belajar pada lembaga pendidikan khusus atau diusahakan alat bantu agar

dapat menghindari atau mengurangi pengaruh kecacatannya itu.

b. Faktor Psikologis

(1.) Inteligensi

Inteligensi merupakan kecakapan untuk menghadapi dan

menyesuaikan kedalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif,

mengetahui/menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif,

mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat. Inteligensi besar

pengaruhnya terhadap kemajuan belajar.

Dalam situasi yang sama, siswa yang mempunyai tingakt inteligensi

yang tinggi akan lebih berhasil dari pada yang memiliki tingkat inteligensi

yang rendah. Walaupun begitu siswa yang mempunyai tingkat ineteligensi

yang tinggi belum pasti berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan

karena belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan banyak faktor

yang mempengaruhinya, sedangkan inteligensi adalah salah satu faktor

diantaranya. Jika faktor lain itu bersifat menghambat/berpengaruh negatif

terhadap belajar, akhirnya siswa gagal dalam belajarnya.

(2.) Perhatian

Menurut Gazali (dalam Slameto 2010 : 56) Perhatian adalah

keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu pun semata-mata tertuju kepada

suatu objek (benda/hal) atau sekumpulan objek. Untuk dapat menjamin

hasil belajar baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap

18

bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian

siswa, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak suka lagi belajar.

Agar siswa dapat belajar dengan baik, usahakanlah bahan pelajaran

selalu menarik perhatian dengan cara mengusahakan pelajaran itu sesuai

dengan hobi dan bakatnya.

(3.) Minat

Hilgard (dalam Slameto 2010:57) memberi rumusan tentang minat

adalah sebagai berikut : “Interest is persisting tendency to pay attention to

and enjoy some activity or content..” Minat adalah kecenderungan yang

tepat untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan

yang diminati seseorang, diperlihatkan terus-menerus yang disertai

dengan rasa senang. Jadi berbeda dengan perhatian, karena perhatian

bersifat sementara (tidak dalam waktu yang lama) dan belum tentu diikuti

dengan perasaan senang, sedangkan minat selalu diikuti dengan

perasaan senang dan dari situ diperoleh kepuasan.

Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan

pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minatt siswa, siswa tidak

akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya.

Jika terdapat siswa yang kurang berminat terhadap belajar, dapatlah

diusahakan agar ia mempunyai minat lebih besar dengan cara

menjelaskan hal-hal yang menarik dan berguna bagi keidupan serta hal-

19

hal yang berhubungan dengan cita-cita serta kaitannya dengan bahan

pelajaran yang dipelajari itu.

(4.) Bakat

Bakat atau aptitude menurut Hilgard (dalam Slameto 2010:57)

adalah “ the capacity to learn.” Dengan kata lain bakat adalah kemampuan

untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakupan

yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Orang yang berbakat mengetik,

misalnya akan lebih cepat dapat mengetik dan lancar dibandingkan

dengan orang lain yang kurang/tidak berbakat di bidang itu.

Berdasarkan penejelasan tersebut maka dapat dipahamai bahwa

bakat itu mempengaruhi belajar. Jika bahan pelajaran yang dipelajari

siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia

senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya

itu.

(5.) Motif

Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai. Di

dalam menetukan tujuan itu dapat disadari atau tidak, akan tetapi untuk

mencapai tujuan itu perlu berbuat, sedangkan yang menjadi penyebab

berbuat adalah motif sendiri sebagai daya penggerak/pendorongnya.

Dalam proses belajar haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong

siswa agar dapat belajar dengan baik atau padanya mempunyai motif

untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan dan

20

melaksanakan kegiatan yang berhubungan/menunjang belajar. Motif yang

kuat sangatlah perlu dalam belajar, di dalam membentuk motif yang kuat

itu dapat dilaksanakan dengan adanya latihan-latihan/kebiasaan-

kebiasaan dan pengaruh linkungan yang memperkuat, jadi

latihan/kebiasaan itu sangat perlu dalam belajar.

(6.) Kematangan

Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan

seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melakukan

kecakapan baru. Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan

kegiatan secara terus-menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan

pelajaran. Dengan kata lain anak yang sudah siap (matang) belum dapat

melaksanakan kecakapannya sebelum belajar. Belajarnya akan lebih

brhasil jika anak sudah siap (matang). Jadi kemajuan baru untuk memiliki

kecakapan itu tergantung dari kematangan dan belajar.

(7.) Kesiapan

Kesiapan menurut Jamies Drever (dalam Slameto 2010:59) adalah

kesedian untuk member response atau bereaksi. Kesedian itu timbul dari

dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena

kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan

ini perlu diperhatikan dalam dalam proses belajar, karena jika siswa

belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan

lebih baik.

21

c. Faktor Kelelahan

Kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi

dapat dibedakan menjadi dua macam. Yaitu kelelahan yang bersifat

jasmani dan kelelahan yang bersifat rohani (bersifat psikis). Kelelahan

jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan

untuk membaringkan tubuh. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat

dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat dan dorongan

untuk menghasilkan sesuatu hilang.

Berdasarkan uraian diatas dapatlah dimengerti bahwa kelelahan itu

mempengaruhi belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik haruslah

menghindari jangan sampai terjadi kelelahan dalam belajarnya. Sehingga

perlu diusahakan kondisi yang bebas dari kelelahan. Kelelahan baik

secara jasmani maupun rohani dapat dihilangkan dengan cara-cara

sebagai berikut :

1.) Tidur

2.) Istirahat

3.) Mengusahakan variasi dalam belajar, juga dalam bekerja

4.) Mengusahakan obat-obatan yang bersifat melancarkan

peredaran darah

5.) Rekreasi da ibadah teratur

6.) Mengimbangi makan dengan makanan yang memenuhi syarat-

syarat kesehatan, misalnya yang memenuhi empat sehat lima

sempurna

22

7.) Jika kelelahan sangat serius cepat-cepatt menghubungi

seseorang ahli, misalnya dokter, pskiater, konselor dan lain-lain.

2. Faktor Ekstern

Menurut Slameto (2010:60-71) faktor ekstern yang berpengaruh

terhadap belajar, dapatlah dikelompokan menjadi tiga faktor yaitu:

a. Faktor Keluarga

(1.) Cara orang tua mendidik

Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap

belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertegas oleh Sujipto Wirowidjojo

(dalam Slameto 2010:61) yang menyatakan bahwa “keluarga adalah

lembaga pendidikan yang pertama dan utama.”keluarga yang sehat besar

artinya untuk pendidikan dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan

untuk pendidikan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara

dan dunia. Melihat pernyataan di atas dapatlah dipahami betapa

pentingnya peranan keluarga di dalam pendidikan anaknya. Cara orang

tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya.

(2.) Relasi Antaranggota Keluarga

Relasi antaranggota keluarga yang terpenting adalah relasi orang

tua dan anaknya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau dengan

anggota keluarga yang lain pun turut mempengaruhi belajar anak. Wujud

relasi itu misalnya apakah hubungan itu penuh dengan kasih sayang dan

pengertian, ataukah diliputi dengan kebencian, sikap yang terlalu keras,

23

ataukah sikap yang acuh tak acuh dan sebagainya. Begitu juga relasi

anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain tidak

baik, akan dapat menimbulkan problem yang sejenis.

(3.) Suasana Rumah

Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadian-

kejadian yang paling sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada

dan belajar. Suasana rumah juga merupakan faktor yang penting yang

tidak termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang gaduh.ramai

dan semrawut tidak akan memberi ketenangan pada anak yang belajar.

(4.) Keadaan Ekonomi Keluarga

Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar

anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan

pokoknya, misalnya makan, pakaian, perlindungan kesehatan dan lain-

lain, juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar, meja, kursi,

penerangan, alat tulis-menulis, buku-buku dan lain-lain. Fasilitas belajar

itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang.

Jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok

anak kurang terpenuhi, akibatnya kesehatan anak terganggu, sehingga

belajar anak terganggu. Sebaliknya keluarga yang kaya raya, orang tua

sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anaknya. Anak

hanya bersenang-senang dan berfoya-foya, akibatnya anak kurang

24

memusatkan perhatiannya kepada belajar. Hal tersebut dapat

mengganggu belajar anak.

(5.) Pengertian Orang Tua

Anak belajar dari dorangan dan pengertian orang tua. Bila anak

sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah. Kadang-

kadang anak-anak mengalami lemah semangat, orang tua wajib memberi

pengertian dan mendorongnya, membantu sedapat mungkin kesulitan

yang dialami anak di sekolah. Kalau perlu menghubungi guru anaknya,

untuk mengetahui perkembangannya.

(6.) Latar Belakang Kebudayaan

Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga

mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu ditanamkan kepada anak

kebiasaan-kebiasaan baik, agar mendorong semangat anak untuk belajar.

b. Faktor Sekolah

(1.) Metode Mengajar

Menurut Slameto (2010:65) “metode mengajar adalah suatu

cara/jalan yang harus dilalui di dalam mengajar.” Metode mengajar

memang dapat mempengaruhi belajar, metode mengajar guru yang

kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula.

Metode mengajar yang kurang baik itu terjadi misalnya karena guru

kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru

25

tersebut menyajikannya tidak jelas atau sikap guru terhadap siswa dan

atau terhadap mata pelajaran itu sendiri tidak baik, sehingga siswa kurang

senang terhadap pelajaran atau gurunya. Akibatnya siswa malas untuk

belajar.

(2.) Kurikulum

Menurut Slameto (2010:65) “kurikulum dapat diartikan sejumlah

kegiatan yang diberikan kepada siswa”. Kegiatan itu sebagian besar

adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima, menguasai,

dan mengembangkan bahan pelajaran itu. Kurikulum yang kurang baik

berpengaruh tidak baik terhadap belajar. Kurikulum yang tidak baik itu

misalnya kurikulum yang terlalu padat, diatas kemampuan siswa, tidak

sesuai dengan bakat, minat dan perhatian siswa.

(3.) Relasi Siswa dengan Siswa

Siswa yang mempunyai sifat-sifat atau tingkah laku yang kurang

menyenangkan teman lain, mempunyai rasa rendah diri atau sedang

mengalami tekanan-tekanan batin, akan diasingkan dari kelompoknya.

Akibatnya makin parah masalahnya dan akan mengganggu belajarnya.

Menciptakan relasi yang baik antar siswa adalah perlu agar dapat

memberikan pengaruh yang positif terhadap belajar siswa.

(4.) Disiplin Sekolah

Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa

dalam sekolah dan juga dalam belajar. Kedisiplinan sekolah mencakup

26

kedisiplinan guru dalam mengajar dengan melaksanakan tata tertib,

kedisiplinan pegawai/karywan dalam pekerjaan administrasi dan

kebersihan/keteraturan kelas, gedung sekolah, halaman dan lain-lain,

kedisiplinan kepala sekolah dalam mengelola seluruh staf beserta siswa-

siswanya, dan kedisiplinan tim BP dalam pelayanannya kepada siswa.

(5.) Alat Pelajaran

Alat pelajaran erat hubungannya dengan cara belajar siswa, karena

alat pelajaran yang dipakai oleh guru waktu mengajar dipakai pula oleh

siswa untuk menerima bahan yang diajarkan itu. Alat pelajaran yang

lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan bahan pelajaran yang

diberikan kepada siswa. Jika siswa mudah menerima pelajaran dan

menguasainya, maka belajarnya akan menjadi lebih giat dan lebih maju.

(6.) Waktu Sekolah

Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses belajar mengajar di

sekolah, waktu itu dapat pagi, siang, sore/malam hari. Waktu sekolah juga

mempengaruhi belajar siswa. Jika siswa bersekolah pada waktu kondisi

badannya sudah lelah/lemah, misalnya pada siang hari, akan mengalami

kesulitan di dalam menerima pelajaran. Kesulitan itu disebabkan karena

siswa sukar berkonsentrasi dan berpikir pada kondisi badan yang lemah

tadi. Jadi memilih waktu sekolah yang tepat akan member pengaruh yang

positif terhadap belajar.

(7.) Standar Pelajaran di Atas Ukuran

27

Guru berpendirian untuk mempertahankan wibawanya, perlu

memberi pelajaran di atas ukuran standar. Akibatnya siswa merasa

kurang mampu dan takut kepada guru. Bila banyak siswa yang tidak

berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu merasa

senang. Guru dalam menentut penguasaan materi harus sesuai dengan

kemampuan siswa masing-masing. Yang penting tujuan yang telah

dirumuskan dapat tercapai.

(8.) Keadaan Gedung

Dengan jumlah siswa yang banyak serta variasi karakteristik

mereka masing-masing menuntut keadaan gedung dewasa ini harus

memadai di dalam kelas. Bagaimana mungkin mereka dapat belajar

dengan enak, kalau kelas itu tidak memadai bagi setiap siswa.

(9.) Metode Belajar

Banyak siswa yang melaksanakan cara belajar yang salah. Dalam

hal ini perlu pembinaan dari guru. Dengan cara belajar yang tepat dan

efektif pula hasil belajar siswa itu. Juga dalam pembagian waktu belajar.

Kadang-kadang siswa belajar tidak teratur, atau terus-menerus, karena

besok akan tes. Dengan belajar demikian siswa akan kurang beristirahat,

bahkan mungkin dapat jatuh sakit. Maka perlu belajar secara teratur

setiap hari, dengan pembagian waktu yang baik, memilih cara belajar

yang tepat dan cukup istirahat akan meningkatkan hasil belajar.

(10.) Tugas Rumah

28

Waktu belajar terutama adalah di sekolah, disamping untuk belajar

waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka

diharapkan guru jangan terlalu banyak member tugas yang harus

dikerjakan di rumah, sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk

kegiatan lain.

c. Faktor Masyarakat

Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh

terhadap belajar siswa. Pengaruh itu terjadi karena keberadaanya siswa

dalam masyarakat.

(1.) Kegiatan siswa dalam masyarakat

Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap

perkembangan pribadinya. Tetapi jika siswa ambil bagian dalam kegiatan

masyarakat yang terlalu banyak, misalnya berorganisasi, kegiatan-

kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajarnya akan terganggu,

lebih-lebih jika tidak bijak dalam mengatur waktunya.

(2.) Mass Media

Yang termasuk dalam mass media adalah bioskop, radio, TV, surat

kabar, majalah, buku-buku, komik-komik dan lain-lain. Semuanya itu ada

dan beredar dalam masyarakat. Mass media yang baik memberi pengaruh

yang baim terhadap siswa juga terhadap belajarnya. Sebaliknya mass

media yang jelek juga berpengaruh jelek terhadap siswa. Sebagai contoh,

siswa yang suka menonton film atau membaca cerita –cerita detektif,

29

pergaulan bebas, percabulan, akan berkecenderungan untuk berbuat

seperti tokoh yang dikagumi dalam certia itu, karena pengaruh dari jalan

ceritanya. Jika tidak ada kontrol dan pembinaan dari orang tua (bahkan

pendidik), pastilah semangat belajarnya menurun dan bahkan mundur

sama sekali.

(3.) Teman bergaul

Pengaruh-pengaruh dari teman bergaul siswa ;ebih cepat masuk

dalam jiwanya daripada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan

berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu juga sebaliknya, teman

bergaul yang jelek pasti mempengaruhi yang bersifat buruk juga. Teman

bergaul yang tidak baik misalnya yang suka keluyuran, pecandu narkoba,

film, minum-minum. Agar siswa dapat belajar dengan baik, maka perlulah

diusahakan agar siswa memiliki teman bergaul yang baik-baik dan

pembinaan pergaulan yang baik serta pengawasan dari orang tua dan

pendidik harus cukup bijaksana (jangan terlalu ketat terhadap tetapi jangn

terlalu lengah).

(4.) Bentuk Kehidupan Masyarakat

Kehidupan masyarakat disekitar siswa juga berpengaruh terhadap

belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak

terpelajar, penjudi, suka mencuri dan mempunyai kebiasaan yang tidak

baik, akan berpengaruh jelek kepada anak (siswa) yang berada di

sekitarnya. Anak/siswa tertarik untuk ikut berbuat seperti yang dilakukan

30

orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya jika lingkungan anak adalah orang-

orang yang terpelajar yang baik-baik, mereka mendidik dan

menyekolahkan anak-anaknya, antusias dengan cita-cita yang luhur akan

masa depan anaknya, anak/siswa terpengaruh juga ke hal-hal yang

dilakukan oleh orang-orang lingkungannya. Pengaruh itu dapat

mendorong semangat anak/siswa untuk belajar lebih giat lagi.

2.1.3 Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut Isjoni (2012 : 14) “Pembelajaran adalah sesuatu yang

dilakukan oleh siswa bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada

dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik

melakukan kegiatan belajar.” Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya

efisiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik.

Sedangkan menurut Hamid Hasan (dalam Solihatin dan Raharjo 2011 : 4)

“ kooperatif mengandung pengertian bekerja sama dalam mencapai tujuan

bersama”. Dalam kegiatan kooperatif siswa secara individual mencari hasil

yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya.

Johson (dalam Solihatin dan Raharjo 2011 : 4) menyatakan bahwa

belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran

yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan

belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut.

Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah

satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.

31

Selanjutnya menurut Slavin (dalam Isjoni 2012 : 15) “pembelajaran

kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan

bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang

anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen”.

Sedangkan Sunal dan Hans (dalam Isjoni 2012 : 15)

mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara

pendekatan atau serangkaian strategi khusus dirancang untuk memberi

dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama proses

pembelajaran. Disamping itu Stahl (dalam Isjoni 2012 : 5) juga

menyatakan bahwa pembelajaran koopertatif dapat meningkatkan hasil

belajar siswa lebih baik dan meningkatkan sikap tolong menolong dalam

perilaku sosial. Disamping itu Roger dan Jhonson (dalam Anita Lie 2010 :

31) mengungkapkan lima unsur dalam Cooperative Learning agar

pembelajaran mencapai hasil yang maksimal. Kelima unsur tersebut

adalah (1) saling ketergantungan, (2) tanggung jawab perorangan, (3)

tatap muka, (4) komunikasi antar anggota, (5) evaluasi proses kelompok.

Adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif menurut Sthal (dalam

Taniredja, 2011 : 59) adalah, (1) belajar bersama dengan teman, (2)

selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, (3) saling

mendengarkan pandapat diantara anggota kelompok, (4) belajar dari

teman sendiri dalam kelompok, (5) belajar dalam kelompok kecil, (6)

produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat, (7) keputusan

tergantung pada mahasiswa sendiri, (9) mahasiswa aktif.

32

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas belajar dapat dipahami

bahwa model kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa berani

mengungkapkan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling

memberikan pendapat. Selain itu dalam belajar biasanya siswa

dihadapkan pada latihan-latihan soal-soal atau pemecahan masalah.

Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran

yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah tersebut

ditunjukan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 1. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif

Fase Tingkah Laku Guru

Fase – 1

Menyampaikan tujuan dan

memotivasi sisswa

Guru menyampaikan semua tujuan

pelajaran yang ingin dicapai pada

pelajaran tersebut dan memotivasi

siswa belajar.

Fase – 2

Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada

siswa dengan jalan demonstrasi atau

lewat bahan bacaan.

Fase – 3

Mengorganisasikan siswa ke dalam

kelompok kooperarif

Guru menjelaskan kepada siswa

bagaiman caranya membentuk

kelompok belajar dan membantu

setiap kelompok agar melakukan

33

transisi secara efisien.

Fase – 4

Membimbing kelompok bekerja dan

belajar

Guru membimbing kelompok–

kelompok belajar pada saat mereka

mengerjakan tugas mereka.

Fase – 5

Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar

tentang materi yang telah dipelajari

masing-masing kelompok

mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase – 6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk

menghargai baik upaya maupun hasil

belajar individu dan kelompok

Sumber : Trianto ( 2011 : 48 )

34

2.1.4 Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Examples non

Exampeles

Menurut Ahmadi dkk (2011 : 65), model pembelajaran kooperatif

tipe Examples non Exampeles adalah metode belajar yang menggunakan

contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus/gambar yang relevan

dengan Kompetensi Dasar (KD). Model pembelajaran kooperatif tipe

Examples non Examples juga merupakan model pembelajaran yang

mengajarkan pada siswa untuk belajar mengerti dan menganalisis sebuah

konsep. Konsep pada umumnya dipelajari melalui dua cara. Paling

banyak konsep yang kita pelajari di luar sekolah melalui pengamatan dan

juga dipelajari melalui definisi konsep itu sendiri. Examples and Non

examples adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengajarkan definisi

konsep. Strategi yang diterapkan dari metode ini bertujuan untuk

mempersiapkan siswa secara cepat dengan menggunakan 2 hal yang

terdiri dari Examples dan Non-Examples dari suatu definisi konsep yang

ada, dan meminta siswa untuk mengklasifikasikan keduanya sesuai

dengan konsep yang ada.

- Examples memberikan gambaran akan sesuatu yang menjadi

contoh akan suatu materi yang sedang dibahas, sedangkan

- Non-examples memberikan gambaran akan sesuatu yang

bukanlah contoh dari suatu materi yang sedang dibahas.

(Widyatun, 2012)

35

Dalam model pembelajaran kooperatif tipe Examples non

Examples terdapat kebaikan dan kekurangan, seperti yang dikemukakan

oleh Ahmadi dkk (2011:66) sebagai berikut:

1. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe Examples non

Examples

a. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar

b. Siswa mengetahui asplikasi dari materi berupa contoh gambar

c. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya

2. Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Examples non

Examples

a. Tidak semua dapat disajikan dalam bentuk gambar

b. Memakan waktu yang lama

Menurut Taniredja dkk (2011 : 99-100), langkah – langkah model

pembelajaran kooperatif tipe Examples non Examples adalah sebagai

berikut:

1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan

pembelajaran

2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui

OPH/LCD

3. Guru member petunjuk dan member kesempatan pada siswa

untuk memperhatikan/menganalisa gambar

36

4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari

analisa gambar tersebut dicatat pada kertas

5. Mulai dari komentar/hasil diskusi siwa, guru mulai menjelaskan

materi sesuai tujuan yang ingin dicapai

6. Kesimpulan

2.2 Hipotesis Tindakan

Menurut Sugiyono ( 96 : 2011 ) dikemukakan bahwa hipotesis

merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian.

Sehubungan dengan penelitian ini, maka hipotesis penelitian ini di

rumuskan sebagai berikut : “Jika guru menggunakan model pembelajaran

kooperatif tipe Examples non Examples pada Mata Pelajaran IPS Terpadu

di Kelas VII A SMP Negeri 5 Gorontalo, Maka hasil belajar siswa akan

meningkat.