kajian teoritis dan hipotesis tindakan hilgard dan bower...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Hasil Belajar
Hilgard dan Bower (dalam Thobrani dan Mustofa, 2012 : 19-20)
mendefinisikan bahwa belajar berhubungan dengan tingkah laku
seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, perubahan tingkah
laku tidak dapat dijadikan dasar kecenderungan respons pembawaan,
kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat misalnya kelelahan,
pengaruh obat, dan sebagainya. Menurut Purwanto (2011 : 38) “ belajar
merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan
lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya.”
Sedangkan menurut Witherington (dalam Hanafiah dan Suhana 2012 : 7)
menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian
yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon baru yang berbentuk
keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.
Hasil belajar menurut Sudjana (2011:22) adalah kemampuan-
kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya.” Sedangkan menurut Winkel (dalam Purwanto 2011 : 45)
menyatakan bahwa hasil belajar merupakan perubahan yang
mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya.
10
Kingsyle (dalam Sudjana 2011 : 22) membagi tiga macam hasil
belajar, yaitu (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan
pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Sedangkan Gagne (dalam Sudjana
2011 : 22) membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) infomasi verbal,
(b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e)
keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan
pendidikan, baik tujuan kulikuler maupun tujuan instruksional,
menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara
garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah
afektif, dan ranah psikomotoris.
1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang
terdiri atas enam aspek yaitu:
a. Tipe hasil belajar : Pengetahuan
Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari
knowledge dalam istilah taksnomi Blomm seperti yang dikutip oleh
Sudjana (2011:23). Sekalipun demikian, maknanya tidak sepenuhnya
tepat sebab dalam istilah tersebut termasuk pula pengetahuan faktual di
samping pengetahuan hafalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan,
definisi, istilah, pasala dalam undang-undang, nama-nama tokoh, nama-
nama kota. Dilihat dari segi proses belajar, istilah-istilah tersebut memang
perlu dihafal dan diingat agar dapat dikuasainya sebagai dasar bagi
11
pengetahuan atau pemahaman konsep-konsep lainnya.Tipe hasil belajar
pengetahuan termasuk kognitif tingkat rendah yang paling rendah.
Namun, tipe hasil belajar ini menjadi prsarat belajar berikutnya. Hafalan
menjadi prasyarat bagi pemahaman dan hal ini berlaku bagi semua
bidang studi.
b. Tipe hasil belajar : Pemahaman
Tipe hasil belajar yang lebih tinggi dari pengetahuan adalah
pemahaman. Pemahaman dapat dibedakan ke dalam tiga kategori:
1) Tingkat terendah, adalah pemahaman terjemahan, mulai dari
terjemahan dalam arti yang sebenarnya, misalnya dari bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia, mengartikan Bhineka
Tunggal Ika, mengartikan Merah Putih, menerapkan prinsip-
prinsip listrik dalam masing-masing sakelar.
2) Tingkat kedua adalah penafsiran, yakni menghubungkan bagian-
bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau
menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian,
membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok.
3) Pemahaman tingkat ketiga atau tingkat tertinggi adalah
pemahaman ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan
seseorang mampu melihat di balik yang tertulis, dapat membuat
ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas presepsi
dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalahnya.
c. Tipe hasil belajar : Aplikasi
12
Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi kongkret atau
situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori, atau petunjuk
teknis. Menerapkan abstraksi ke dalam situasi baru disebut aplikasi.
d. Tipe hasil belajar : Analisis
Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-
unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hirarkinya dan atau susunannya.
Analisis merupakan kecakapan yang kompleks, yang memanfaatkan
kecakapan dari ketiga tipe sebelumnya. Dengan analisis diharapkan
seseorang mempunyai pemahaman yang komprehensif dan dapat
memilahkan integritas menjadi bagian-bagian yang tetap terpadu, untuk
beberapa hal memahami prosesnya, untuk hal lain memahai cara
bekerjanya, untuk hal lain lagi memahami sistematikanya.
e. Tipe hasil belajar : Sintesis
Penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian ke dalam bentuk
menyeluruh disebut sintesis. Berfikir sintesis adalah berfikir divergen.
Dalam berfikir divergen pemecahan atau jawabannya belum dapat
dipastikan. Mensistensikan unit-unit tersebut tidak sama dengan
mengumpulkannya ke dalam satu kelompok besar. Mengartikan analisis
sebagai memecah integritas menjadi bagian-bagian dan sintesis sebagai
menyatukan unsur-unsur menjadi integritas perlu secara hati-hati dan
penuh telaah.
13
f. Tipe hasil belajar : Evaluasi
Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang
mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan,
metode, materil, dan lain-lain.
2. Ranah afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli
mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila
seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Menurut
Sudjana (2011 : 30) ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai
hasil belajar. Kategorinya dimulai dari tingkat yang dasar atau sederhana
sampai tingkat yang kompleks.
a. Reciving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima
rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk
masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. Dalam tipe ini termasuk kesadaran,
keinginan untuk menerima stimulus, kontrol, dan seleksi gejala atau
rangsangan dari luar.
b. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh
seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup
ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar
yang datang kepada dirinya.
c. Valuing (penilaian) berkenaan dengan nilai dan kepercayaan
terhadap gejala atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di
14
dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman
untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.
d. Organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam suatu
sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain,
pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Yang termasuk
kedalam organisasi ialah konsep tentang nilai , organisasi sistem nilai, dan
lain-lain.
e. Karakterisrik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan
semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi
pola kepribadian dan tingkah lakunya. Kedalamnya termasuk keseluruhan
nilai dan karakteristiknya.
3. Ranah Psikomotoris
Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan (skill)
dan kemampuan bertindak individu. Menurut Sudjana (2011:30-31) ada
enam tingkatan keterampilan, yakni :
a. Gerakan reflex (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar);
b. Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar;
c. Kemampuan perceptual, termasuk di dalamnya membedakan
visual, membedakan auditif, motoris, dan lain-lain;
d. Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan,
dan ketepatan;
e. Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana
sampai pada keterampilan yang kompleks;
15
f. Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi dan non-
decursive seperi gerakan ekspresif dan interpretatif.
Hasil belajar yang dikemukakan di atas sebenarnya tidak berdiri
sendiri, tetapi selalu berhubungan satu sama lain, bahkan ada dalam
kebersamaan. Seseorang berubah tingkat kognisinya sebenarnya sudah
dalam kadar tertentu ialah berubah pula sikap dan perilakunya. Carl
Rogers (dalam Sudjana 2011:31) bependapat bahwa seseorang yang
telah menguasai tingkat kognitif perilakunya sudah bisa diramalkan.
Dalam proses belajar – mengajar di sekolah saat ini, tipe hasil belajar
kognitif lebih dominan jika dibandingkan dengan tipe hasil belajar bidang
afektif dan psikomotoris. Sekalipun demikian tidak berarti bidang afektif
dan psikomotoris diabaikan sehingga tak perlu dilakukan penilaian.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa hasil
belajar pada dasarnnya merupakan suatu hasil perubahan perilaku
manusia yang dapat ditunjukan melalui perubahan keterampilan, sikap,
dan nilai setelah mengalami proses belajar di sekolah. Hasil belajar
tersebut dapat dilihat dari perolehan nilai atau skor serta perubahan
tingkah laku seorang siswa di sekolah setelah mengikuti proses
pembelajaran.
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Keberhasilan dalam belajar sangatlah dipengaruhi oleh
berfungsinya secara integrative dari setiap faktor pendukungnya. Faktor-
16
faktor yang mempengaruhi belajar sendiri banyak jenisnya tetapi dapat
digolongkan menjadi dua golongan saja, \yaitu faktor intern dan faktor
ekstern. Menurut Slameto (2010:54) “faktor intern adalah faktor yang ada
dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ektern adalah
faktor yang ada di luar individu.”
1. Faktor Intern yang mempengaruhi hasi belajar terdiri dari :
a. Faktor Jasmani
(1.) Faktor Kesehatan
Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-
bagiannya/bebas dari penyakit. Kesehatan adalah keadaan atau hal
sehat. Keadaan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya. Proses
belajar seseorang akan terganggu jika kesehatannya terganggu, selain itu
juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika
badannya lemah kurang darah ataupun ada gangguan-
gangguan/kelainan-kelainan fungsi alat inderanya serta tubuhnya.
(2.) Cacat tubuh
Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan baik atau kurang
sempurna mengenai tubuh atau badan. Cacat itu dapat berupa buta,
setengah buta, tuli, setengah tuli, patah kaki, dan patah tangan, lumpuh
dan lain-lain. Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Siswa
yang cacat belajarnya akan terganggu. Jika hal ini terjadi, hendaknya ia
17
belajar pada lembaga pendidikan khusus atau diusahakan alat bantu agar
dapat menghindari atau mengurangi pengaruh kecacatannya itu.
b. Faktor Psikologis
(1.) Inteligensi
Inteligensi merupakan kecakapan untuk menghadapi dan
menyesuaikan kedalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif,
mengetahui/menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif,
mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat. Inteligensi besar
pengaruhnya terhadap kemajuan belajar.
Dalam situasi yang sama, siswa yang mempunyai tingakt inteligensi
yang tinggi akan lebih berhasil dari pada yang memiliki tingkat inteligensi
yang rendah. Walaupun begitu siswa yang mempunyai tingkat ineteligensi
yang tinggi belum pasti berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan
karena belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan banyak faktor
yang mempengaruhinya, sedangkan inteligensi adalah salah satu faktor
diantaranya. Jika faktor lain itu bersifat menghambat/berpengaruh negatif
terhadap belajar, akhirnya siswa gagal dalam belajarnya.
(2.) Perhatian
Menurut Gazali (dalam Slameto 2010 : 56) Perhatian adalah
keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itu pun semata-mata tertuju kepada
suatu objek (benda/hal) atau sekumpulan objek. Untuk dapat menjamin
hasil belajar baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap
18
bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian
siswa, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak suka lagi belajar.
Agar siswa dapat belajar dengan baik, usahakanlah bahan pelajaran
selalu menarik perhatian dengan cara mengusahakan pelajaran itu sesuai
dengan hobi dan bakatnya.
(3.) Minat
Hilgard (dalam Slameto 2010:57) memberi rumusan tentang minat
adalah sebagai berikut : “Interest is persisting tendency to pay attention to
and enjoy some activity or content..” Minat adalah kecenderungan yang
tepat untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan
yang diminati seseorang, diperlihatkan terus-menerus yang disertai
dengan rasa senang. Jadi berbeda dengan perhatian, karena perhatian
bersifat sementara (tidak dalam waktu yang lama) dan belum tentu diikuti
dengan perasaan senang, sedangkan minat selalu diikuti dengan
perasaan senang dan dari situ diperoleh kepuasan.
Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan
pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minatt siswa, siswa tidak
akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya.
Jika terdapat siswa yang kurang berminat terhadap belajar, dapatlah
diusahakan agar ia mempunyai minat lebih besar dengan cara
menjelaskan hal-hal yang menarik dan berguna bagi keidupan serta hal-
19
hal yang berhubungan dengan cita-cita serta kaitannya dengan bahan
pelajaran yang dipelajari itu.
(4.) Bakat
Bakat atau aptitude menurut Hilgard (dalam Slameto 2010:57)
adalah “ the capacity to learn.” Dengan kata lain bakat adalah kemampuan
untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakupan
yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Orang yang berbakat mengetik,
misalnya akan lebih cepat dapat mengetik dan lancar dibandingkan
dengan orang lain yang kurang/tidak berbakat di bidang itu.
Berdasarkan penejelasan tersebut maka dapat dipahamai bahwa
bakat itu mempengaruhi belajar. Jika bahan pelajaran yang dipelajari
siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia
senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya
itu.
(5.) Motif
Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai. Di
dalam menetukan tujuan itu dapat disadari atau tidak, akan tetapi untuk
mencapai tujuan itu perlu berbuat, sedangkan yang menjadi penyebab
berbuat adalah motif sendiri sebagai daya penggerak/pendorongnya.
Dalam proses belajar haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong
siswa agar dapat belajar dengan baik atau padanya mempunyai motif
untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan dan
20
melaksanakan kegiatan yang berhubungan/menunjang belajar. Motif yang
kuat sangatlah perlu dalam belajar, di dalam membentuk motif yang kuat
itu dapat dilaksanakan dengan adanya latihan-latihan/kebiasaan-
kebiasaan dan pengaruh linkungan yang memperkuat, jadi
latihan/kebiasaan itu sangat perlu dalam belajar.
(6.) Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan
seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melakukan
kecakapan baru. Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan
kegiatan secara terus-menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan
pelajaran. Dengan kata lain anak yang sudah siap (matang) belum dapat
melaksanakan kecakapannya sebelum belajar. Belajarnya akan lebih
brhasil jika anak sudah siap (matang). Jadi kemajuan baru untuk memiliki
kecakapan itu tergantung dari kematangan dan belajar.
(7.) Kesiapan
Kesiapan menurut Jamies Drever (dalam Slameto 2010:59) adalah
kesedian untuk member response atau bereaksi. Kesedian itu timbul dari
dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena
kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan
ini perlu diperhatikan dalam dalam proses belajar, karena jika siswa
belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan
lebih baik.
21
c. Faktor Kelelahan
Kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi
dapat dibedakan menjadi dua macam. Yaitu kelelahan yang bersifat
jasmani dan kelelahan yang bersifat rohani (bersifat psikis). Kelelahan
jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan
untuk membaringkan tubuh. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat
dengan adanya kelesuan dan kebosanan, sehingga minat dan dorongan
untuk menghasilkan sesuatu hilang.
Berdasarkan uraian diatas dapatlah dimengerti bahwa kelelahan itu
mempengaruhi belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik haruslah
menghindari jangan sampai terjadi kelelahan dalam belajarnya. Sehingga
perlu diusahakan kondisi yang bebas dari kelelahan. Kelelahan baik
secara jasmani maupun rohani dapat dihilangkan dengan cara-cara
sebagai berikut :
1.) Tidur
2.) Istirahat
3.) Mengusahakan variasi dalam belajar, juga dalam bekerja
4.) Mengusahakan obat-obatan yang bersifat melancarkan
peredaran darah
5.) Rekreasi da ibadah teratur
6.) Mengimbangi makan dengan makanan yang memenuhi syarat-
syarat kesehatan, misalnya yang memenuhi empat sehat lima
sempurna
22
7.) Jika kelelahan sangat serius cepat-cepatt menghubungi
seseorang ahli, misalnya dokter, pskiater, konselor dan lain-lain.
2. Faktor Ekstern
Menurut Slameto (2010:60-71) faktor ekstern yang berpengaruh
terhadap belajar, dapatlah dikelompokan menjadi tiga faktor yaitu:
a. Faktor Keluarga
(1.) Cara orang tua mendidik
Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap
belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertegas oleh Sujipto Wirowidjojo
(dalam Slameto 2010:61) yang menyatakan bahwa “keluarga adalah
lembaga pendidikan yang pertama dan utama.”keluarga yang sehat besar
artinya untuk pendidikan dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan
untuk pendidikan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara
dan dunia. Melihat pernyataan di atas dapatlah dipahami betapa
pentingnya peranan keluarga di dalam pendidikan anaknya. Cara orang
tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya.
(2.) Relasi Antaranggota Keluarga
Relasi antaranggota keluarga yang terpenting adalah relasi orang
tua dan anaknya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau dengan
anggota keluarga yang lain pun turut mempengaruhi belajar anak. Wujud
relasi itu misalnya apakah hubungan itu penuh dengan kasih sayang dan
pengertian, ataukah diliputi dengan kebencian, sikap yang terlalu keras,
23
ataukah sikap yang acuh tak acuh dan sebagainya. Begitu juga relasi
anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain tidak
baik, akan dapat menimbulkan problem yang sejenis.
(3.) Suasana Rumah
Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadian-
kejadian yang paling sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada
dan belajar. Suasana rumah juga merupakan faktor yang penting yang
tidak termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang gaduh.ramai
dan semrawut tidak akan memberi ketenangan pada anak yang belajar.
(4.) Keadaan Ekonomi Keluarga
Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar
anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan
pokoknya, misalnya makan, pakaian, perlindungan kesehatan dan lain-
lain, juga membutuhkan fasilitas belajar seperti ruang belajar, meja, kursi,
penerangan, alat tulis-menulis, buku-buku dan lain-lain. Fasilitas belajar
itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang.
Jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok
anak kurang terpenuhi, akibatnya kesehatan anak terganggu, sehingga
belajar anak terganggu. Sebaliknya keluarga yang kaya raya, orang tua
sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anaknya. Anak
hanya bersenang-senang dan berfoya-foya, akibatnya anak kurang
24
memusatkan perhatiannya kepada belajar. Hal tersebut dapat
mengganggu belajar anak.
(5.) Pengertian Orang Tua
Anak belajar dari dorangan dan pengertian orang tua. Bila anak
sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah. Kadang-
kadang anak-anak mengalami lemah semangat, orang tua wajib memberi
pengertian dan mendorongnya, membantu sedapat mungkin kesulitan
yang dialami anak di sekolah. Kalau perlu menghubungi guru anaknya,
untuk mengetahui perkembangannya.
(6.) Latar Belakang Kebudayaan
Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga
mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu ditanamkan kepada anak
kebiasaan-kebiasaan baik, agar mendorong semangat anak untuk belajar.
b. Faktor Sekolah
(1.) Metode Mengajar
Menurut Slameto (2010:65) “metode mengajar adalah suatu
cara/jalan yang harus dilalui di dalam mengajar.” Metode mengajar
memang dapat mempengaruhi belajar, metode mengajar guru yang
kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula.
Metode mengajar yang kurang baik itu terjadi misalnya karena guru
kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru
25
tersebut menyajikannya tidak jelas atau sikap guru terhadap siswa dan
atau terhadap mata pelajaran itu sendiri tidak baik, sehingga siswa kurang
senang terhadap pelajaran atau gurunya. Akibatnya siswa malas untuk
belajar.
(2.) Kurikulum
Menurut Slameto (2010:65) “kurikulum dapat diartikan sejumlah
kegiatan yang diberikan kepada siswa”. Kegiatan itu sebagian besar
adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima, menguasai,
dan mengembangkan bahan pelajaran itu. Kurikulum yang kurang baik
berpengaruh tidak baik terhadap belajar. Kurikulum yang tidak baik itu
misalnya kurikulum yang terlalu padat, diatas kemampuan siswa, tidak
sesuai dengan bakat, minat dan perhatian siswa.
(3.) Relasi Siswa dengan Siswa
Siswa yang mempunyai sifat-sifat atau tingkah laku yang kurang
menyenangkan teman lain, mempunyai rasa rendah diri atau sedang
mengalami tekanan-tekanan batin, akan diasingkan dari kelompoknya.
Akibatnya makin parah masalahnya dan akan mengganggu belajarnya.
Menciptakan relasi yang baik antar siswa adalah perlu agar dapat
memberikan pengaruh yang positif terhadap belajar siswa.
(4.) Disiplin Sekolah
Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa
dalam sekolah dan juga dalam belajar. Kedisiplinan sekolah mencakup
26
kedisiplinan guru dalam mengajar dengan melaksanakan tata tertib,
kedisiplinan pegawai/karywan dalam pekerjaan administrasi dan
kebersihan/keteraturan kelas, gedung sekolah, halaman dan lain-lain,
kedisiplinan kepala sekolah dalam mengelola seluruh staf beserta siswa-
siswanya, dan kedisiplinan tim BP dalam pelayanannya kepada siswa.
(5.) Alat Pelajaran
Alat pelajaran erat hubungannya dengan cara belajar siswa, karena
alat pelajaran yang dipakai oleh guru waktu mengajar dipakai pula oleh
siswa untuk menerima bahan yang diajarkan itu. Alat pelajaran yang
lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan bahan pelajaran yang
diberikan kepada siswa. Jika siswa mudah menerima pelajaran dan
menguasainya, maka belajarnya akan menjadi lebih giat dan lebih maju.
(6.) Waktu Sekolah
Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses belajar mengajar di
sekolah, waktu itu dapat pagi, siang, sore/malam hari. Waktu sekolah juga
mempengaruhi belajar siswa. Jika siswa bersekolah pada waktu kondisi
badannya sudah lelah/lemah, misalnya pada siang hari, akan mengalami
kesulitan di dalam menerima pelajaran. Kesulitan itu disebabkan karena
siswa sukar berkonsentrasi dan berpikir pada kondisi badan yang lemah
tadi. Jadi memilih waktu sekolah yang tepat akan member pengaruh yang
positif terhadap belajar.
(7.) Standar Pelajaran di Atas Ukuran
27
Guru berpendirian untuk mempertahankan wibawanya, perlu
memberi pelajaran di atas ukuran standar. Akibatnya siswa merasa
kurang mampu dan takut kepada guru. Bila banyak siswa yang tidak
berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu merasa
senang. Guru dalam menentut penguasaan materi harus sesuai dengan
kemampuan siswa masing-masing. Yang penting tujuan yang telah
dirumuskan dapat tercapai.
(8.) Keadaan Gedung
Dengan jumlah siswa yang banyak serta variasi karakteristik
mereka masing-masing menuntut keadaan gedung dewasa ini harus
memadai di dalam kelas. Bagaimana mungkin mereka dapat belajar
dengan enak, kalau kelas itu tidak memadai bagi setiap siswa.
(9.) Metode Belajar
Banyak siswa yang melaksanakan cara belajar yang salah. Dalam
hal ini perlu pembinaan dari guru. Dengan cara belajar yang tepat dan
efektif pula hasil belajar siswa itu. Juga dalam pembagian waktu belajar.
Kadang-kadang siswa belajar tidak teratur, atau terus-menerus, karena
besok akan tes. Dengan belajar demikian siswa akan kurang beristirahat,
bahkan mungkin dapat jatuh sakit. Maka perlu belajar secara teratur
setiap hari, dengan pembagian waktu yang baik, memilih cara belajar
yang tepat dan cukup istirahat akan meningkatkan hasil belajar.
(10.) Tugas Rumah
28
Waktu belajar terutama adalah di sekolah, disamping untuk belajar
waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka
diharapkan guru jangan terlalu banyak member tugas yang harus
dikerjakan di rumah, sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk
kegiatan lain.
c. Faktor Masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh
terhadap belajar siswa. Pengaruh itu terjadi karena keberadaanya siswa
dalam masyarakat.
(1.) Kegiatan siswa dalam masyarakat
Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap
perkembangan pribadinya. Tetapi jika siswa ambil bagian dalam kegiatan
masyarakat yang terlalu banyak, misalnya berorganisasi, kegiatan-
kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajarnya akan terganggu,
lebih-lebih jika tidak bijak dalam mengatur waktunya.
(2.) Mass Media
Yang termasuk dalam mass media adalah bioskop, radio, TV, surat
kabar, majalah, buku-buku, komik-komik dan lain-lain. Semuanya itu ada
dan beredar dalam masyarakat. Mass media yang baik memberi pengaruh
yang baim terhadap siswa juga terhadap belajarnya. Sebaliknya mass
media yang jelek juga berpengaruh jelek terhadap siswa. Sebagai contoh,
siswa yang suka menonton film atau membaca cerita –cerita detektif,
29
pergaulan bebas, percabulan, akan berkecenderungan untuk berbuat
seperti tokoh yang dikagumi dalam certia itu, karena pengaruh dari jalan
ceritanya. Jika tidak ada kontrol dan pembinaan dari orang tua (bahkan
pendidik), pastilah semangat belajarnya menurun dan bahkan mundur
sama sekali.
(3.) Teman bergaul
Pengaruh-pengaruh dari teman bergaul siswa ;ebih cepat masuk
dalam jiwanya daripada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan
berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu juga sebaliknya, teman
bergaul yang jelek pasti mempengaruhi yang bersifat buruk juga. Teman
bergaul yang tidak baik misalnya yang suka keluyuran, pecandu narkoba,
film, minum-minum. Agar siswa dapat belajar dengan baik, maka perlulah
diusahakan agar siswa memiliki teman bergaul yang baik-baik dan
pembinaan pergaulan yang baik serta pengawasan dari orang tua dan
pendidik harus cukup bijaksana (jangan terlalu ketat terhadap tetapi jangn
terlalu lengah).
(4.) Bentuk Kehidupan Masyarakat
Kehidupan masyarakat disekitar siswa juga berpengaruh terhadap
belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak
terpelajar, penjudi, suka mencuri dan mempunyai kebiasaan yang tidak
baik, akan berpengaruh jelek kepada anak (siswa) yang berada di
sekitarnya. Anak/siswa tertarik untuk ikut berbuat seperti yang dilakukan
30
orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya jika lingkungan anak adalah orang-
orang yang terpelajar yang baik-baik, mereka mendidik dan
menyekolahkan anak-anaknya, antusias dengan cita-cita yang luhur akan
masa depan anaknya, anak/siswa terpengaruh juga ke hal-hal yang
dilakukan oleh orang-orang lingkungannya. Pengaruh itu dapat
mendorong semangat anak/siswa untuk belajar lebih giat lagi.
2.1.3 Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Isjoni (2012 : 14) “Pembelajaran adalah sesuatu yang
dilakukan oleh siswa bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada
dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik
melakukan kegiatan belajar.” Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya
efisiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik.
Sedangkan menurut Hamid Hasan (dalam Solihatin dan Raharjo 2011 : 4)
“ kooperatif mengandung pengertian bekerja sama dalam mencapai tujuan
bersama”. Dalam kegiatan kooperatif siswa secara individual mencari hasil
yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya.
Johson (dalam Solihatin dan Raharjo 2011 : 4) menyatakan bahwa
belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran
yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan
belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut.
Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah
satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
31
Selanjutnya menurut Slavin (dalam Isjoni 2012 : 15) “pembelajaran
kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen”.
Sedangkan Sunal dan Hans (dalam Isjoni 2012 : 15)
mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara
pendekatan atau serangkaian strategi khusus dirancang untuk memberi
dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama proses
pembelajaran. Disamping itu Stahl (dalam Isjoni 2012 : 5) juga
menyatakan bahwa pembelajaran koopertatif dapat meningkatkan hasil
belajar siswa lebih baik dan meningkatkan sikap tolong menolong dalam
perilaku sosial. Disamping itu Roger dan Jhonson (dalam Anita Lie 2010 :
31) mengungkapkan lima unsur dalam Cooperative Learning agar
pembelajaran mencapai hasil yang maksimal. Kelima unsur tersebut
adalah (1) saling ketergantungan, (2) tanggung jawab perorangan, (3)
tatap muka, (4) komunikasi antar anggota, (5) evaluasi proses kelompok.
Adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif menurut Sthal (dalam
Taniredja, 2011 : 59) adalah, (1) belajar bersama dengan teman, (2)
selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, (3) saling
mendengarkan pandapat diantara anggota kelompok, (4) belajar dari
teman sendiri dalam kelompok, (5) belajar dalam kelompok kecil, (6)
produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat, (7) keputusan
tergantung pada mahasiswa sendiri, (9) mahasiswa aktif.
32
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas belajar dapat dipahami
bahwa model kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa berani
mengungkapkan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling
memberikan pendapat. Selain itu dalam belajar biasanya siswa
dihadapkan pada latihan-latihan soal-soal atau pemecahan masalah.
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran
yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah tersebut
ditunjukan pada tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah Laku Guru
Fase – 1
Menyampaikan tujuan dan
memotivasi sisswa
Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi
siswa belajar.
Fase – 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada
siswa dengan jalan demonstrasi atau
lewat bahan bacaan.
Fase – 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam
kelompok kooperarif
Guru menjelaskan kepada siswa
bagaiman caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu
setiap kelompok agar melakukan
33
transisi secara efisien.
Fase – 4
Membimbing kelompok bekerja dan
belajar
Guru membimbing kelompok–
kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas mereka.
Fase – 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar
tentang materi yang telah dipelajari
masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase – 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk
menghargai baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok
Sumber : Trianto ( 2011 : 48 )
34
2.1.4 Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Examples non
Exampeles
Menurut Ahmadi dkk (2011 : 65), model pembelajaran kooperatif
tipe Examples non Exampeles adalah metode belajar yang menggunakan
contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus/gambar yang relevan
dengan Kompetensi Dasar (KD). Model pembelajaran kooperatif tipe
Examples non Examples juga merupakan model pembelajaran yang
mengajarkan pada siswa untuk belajar mengerti dan menganalisis sebuah
konsep. Konsep pada umumnya dipelajari melalui dua cara. Paling
banyak konsep yang kita pelajari di luar sekolah melalui pengamatan dan
juga dipelajari melalui definisi konsep itu sendiri. Examples and Non
examples adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengajarkan definisi
konsep. Strategi yang diterapkan dari metode ini bertujuan untuk
mempersiapkan siswa secara cepat dengan menggunakan 2 hal yang
terdiri dari Examples dan Non-Examples dari suatu definisi konsep yang
ada, dan meminta siswa untuk mengklasifikasikan keduanya sesuai
dengan konsep yang ada.
- Examples memberikan gambaran akan sesuatu yang menjadi
contoh akan suatu materi yang sedang dibahas, sedangkan
- Non-examples memberikan gambaran akan sesuatu yang
bukanlah contoh dari suatu materi yang sedang dibahas.
(Widyatun, 2012)
35
Dalam model pembelajaran kooperatif tipe Examples non
Examples terdapat kebaikan dan kekurangan, seperti yang dikemukakan
oleh Ahmadi dkk (2011:66) sebagai berikut:
1. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe Examples non
Examples
a. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar
b. Siswa mengetahui asplikasi dari materi berupa contoh gambar
c. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya
2. Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Examples non
Examples
a. Tidak semua dapat disajikan dalam bentuk gambar
b. Memakan waktu yang lama
Menurut Taniredja dkk (2011 : 99-100), langkah – langkah model
pembelajaran kooperatif tipe Examples non Examples adalah sebagai
berikut:
1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan
pembelajaran
2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui
OPH/LCD
3. Guru member petunjuk dan member kesempatan pada siswa
untuk memperhatikan/menganalisa gambar
36
4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari
analisa gambar tersebut dicatat pada kertas
5. Mulai dari komentar/hasil diskusi siwa, guru mulai menjelaskan
materi sesuai tujuan yang ingin dicapai
6. Kesimpulan
2.2 Hipotesis Tindakan
Menurut Sugiyono ( 96 : 2011 ) dikemukakan bahwa hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian.
Sehubungan dengan penelitian ini, maka hipotesis penelitian ini di
rumuskan sebagai berikut : “Jika guru menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Examples non Examples pada Mata Pelajaran IPS Terpadu
di Kelas VII A SMP Negeri 5 Gorontalo, Maka hasil belajar siswa akan
meningkat.