kajian sistem distribusi -...
TRANSCRIPT
VI-91
KAJIAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK DAN USULAN PENYEMPURNAANNYA:
Kasus di Tiga Propinsi di Jawa
Oleh: Yusmichad Yusdja, Prajogo U. Hadi, Nizwar Syafa’at,
Handewi P. Saliem, Saptana, Ketut Karisaya, Sudi Mardianto, dan M. Maulana
Ringkasan Eksekutif
A. Isu Sentral Distribusi Pupuk (Urea) Bersubsidi
1. Kelangkaan pupuk (urea) masih sering terjadi pada saat musim tanam dan berulang setiap tahun, sehingga petani mengalami kesulitan untuk memperoleh pupuk secara 6 tepat (dosis, jenis, mutu, waktu,tempat dan harga), padahal produksi urea dalam negeri (5,9 juta ton) masih lebih tinggi dibanding kebutuhan pupuk bersubsidi (4,6 juta ton). Kalaupun pupuk tersedia di pasar, namun harganya di atas HET (Harga Eceran Tertinggi), padahal penetapan HET dan besarnya subsidi telah memperhitungkan secara cermat besaran keuntungan produsen, distributor dan pengecer serta biaya distribusi.
2. Dalam situasi normal (temuan di lapang bulan Agustus 2005) tanpa ada isu langka pasok sekalipun, petani tetap membayar sekitar 6,7 – 18,1 persen di atas HET (Tabel 1).
3. Dengan fakta tersebut, persoalan kelangkaan (yang akan merefleksikan tidak tepat dosis, jenis, mutu, waktu, tempat) dan harga dibayar petani di atas HET (yang akan mencerminkan tidak tepat harga) nampaknya terletak pada sistem distribusi yang ada.
4. Kajian singkat ini dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai implementasi sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini dengan menggunakan pendekatan Pemahaman Masalah Secara Singkat (PMSS) dengan mengambil kasus di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Subang dan Cirebon), Jawa Tengah (Kabupaten Klaten dan Sragen) dan Jawa Timur (Kabupaten Jombang dan Malang).
B. Implementasi Sistem Distribusi Pupuk Saat ini (Delivery system saja).
5. Sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini dituangkan dalam SK Menperindang No. 70/MPP/KEP/2/2003, yang diubah menjadi SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, menganut sistem berjenjang dan bersifat pasif terbuka. Berjenjang artinya sistem distribusi dilakukan oleh beberapa pelaku distribusi (distributor dan pengecer resmi) yang masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab, sedangkan bersifat pasif artinya petani sendiri yang mendatangi pengecer resmi untuk membeli pupuk. Bersifat terbuka berarti hanya terdiri dari delivery system saja tidak dilengkapi oleh receiving system dan juga tidak dilengkapi oleh accountability system. Tidak ada kewajiban secara eksplisit bagi pengecer resmi di atas untuk menyalurkan/menjual habis pupuk bersubsidi yang sudah diterima dari distributor kepada petani dalam kurun waktu tertentu (Gambar 1).
VI-92
Rp. 950 – 980 / kg (Tergantung Jarak
Antara Kabupaten ke Kecamatan) Rp. 1.020 / kg
GAMBAR. SISTEM DISTRIBUSI DAN PENETAPAN HARGA PUPUK UREA BERSUBSIDI
Pabrik Pupuk : PT. Pupuk Sriwijaya PT. Pupuk Kalimantan Timur PT. Pupuk Iskandar Muda
LINI II / UPP
GUDANG LINI III PRODUSEN
GUDANG LINI III DISTRIBUTOR
Pabrik Pupuk : PT. Pupuk Kujang Cikampek PT. Petrokimia Gresik
PENGECER
HET ke Petani Rp. 1.050/kg
---------- Alur Distribusi ke Daerah Biasa - - - - - Alur Distribusi ke Daerah Yang Sulit Dijangkau Atau
pada Saat Operasi Pasar
KEP.MENPERINDAG NO.70/MPP/KEP/2/2003 DAN PERUBAHANNYA NO.356/MPP/KEP/5/2004
VI-93
6. Negosiasi penentuan HET Lini IV (pengecer resmi) dan besaran subsidi dilakukan antara pemerintah dan produsen pupuk karena yang bertanggung jawab terhadap penyaluran pupuk sampai lini IV (pengecer resmi) adalah produsen pupuk itu sendiri. Berdasarkan perhitungan produsen dari realisasi penyaluran urea Januari-Juli 2005 (contoh Pabrik Pupuk kalimantan Timur - PKT) harga jual di lini IV tanpa subsidi Rp 1.829 per kg, sedangkan HET sebesar Rp 1.050 per kg, sehingga besaran subsidi Rp 779 per kg. Dengan ketentuan seperti itu, maka seharusnya yang bertanggung jawab terjaminnya HET di tingkat pengecer resmi adalah produsen pupuk itu sendiri sebagai penyalur (Ini sesuai dengan SK Menperindang No 70/MPP/KEP/2/2003, yang diubah menjadi SK Menperindag No 356/MPP/KEP/5/2004, pasal 4 ayat 2).
7. Namun dalam kenyataanya tidak demikian. Dalam situasi normal (temuan di lapang bulan Agustus 2005) tanpa ada isu langka pasok sekalipun, petani tetap membayar berkisar 6,7 – 18,1 persen di atas HET (Tabel 1.).
Tabel. 1. Tingkat Harga Urea yang Berlaku di Masing – Masing Penyalur (Rp/kg).
No. Uraian Jabar Jateng Jatim
1 Harga di Lini III (GPP) *) 965 (100) 980 (100) 980 (100)
2 Harga di Tingkat Distributor**) 1.055 (103,4) 1.050 (102,9) 1.045 (102,5)
3 Harga di Tingkat Pengecer***) 1.240 (118,1) 1.200 (114,3) 1.120 (106,7)
Keterangan : *) Harga referensi Rp. 980/kg. **) Harga referensi Rp. 1020/kg. ***) Harga referansi (HET) Rp. 1050/kg. Angka ( ) menunjukkan persentase terhadap harga referensi.
8. Adapun penyebab harga yang dibayar petani di atas HET adalah :
a. Produsen kurang peduli terhadap penyaluran pupuk yang dilakukan oleh distributor dari Lini III ke Lini IV (wan prestasi terhadap pasal 4 ayat 2, SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004), sehingga banyak distributor hanya menjual DO (delivery order) (kasus Jawa Barat distributor menjual DO dengan keuntungan mencapai Rp. 65 per kg jauh di atas fee distributor Rp. 18.5 per kg, di Jawa Timur distributor “bodong” pada wilayah penyaluran PKT diperkirakan mencapai 30 %). Kasus jual beli DO ini akan mengakibatkan kontrol dan pengawasan peredaran pupuk sulit dilakukan, dan dapat mengacaukan ketersediaan pupuk di suatu wilayah, seandainya DO tersebut dijual ke pengecer di luar wilayah kerjanya. Kondisi ini pada akhirnya akan mengakibatkan keterjaminan HET di pengecer akan terganggu, karena pengecer menebus pupuk di atas harga yang ditetapkan. Ulah distributor tersebut sebagai wan prestasi terhadap pasal 10 ayat 2 SK Menperindag No. 70 Tahun 2003.
VI-94
b. Gambaran akibat dari kejadian jual beli DO adalah pengecer resmi yang seharusnya menebus pupuk urea per kg ke distributor franko toko pengecer sebesar Rp. 1.020, akibat ulah distributor menjual DO meningkat menjadi Rp. 1.055 (kasus Jawa Barat), Rp. 1.050 (kasus Jawa Tengah) dan Rp. 1.045 (kasus Jawa Timur) (Tabel Lampiran 1, 2 dan 3).
c. . Selain distributor, pengecerpun berperilaku tidak benar dengan mengambil marjin harga jauh di atas ketentuan (tambahan keuntungan di luar fee untuk kasus Jawa Barat mencapai Rp. 135/kg; Jawa Tengah Rp. 100/kg; dan Jawa Timur Rp. 25/kg) (Tabel Lampiran 1, 2 dan 3). Kondisi tersebut telah memberikan andil peningkatan harga pupuk bersubsidi yang seharusnya dibayar oleh petani (harga melampaui HET) (wan prestasi terhadap pasal 10 ayat 3, SK Menperindag No. 70 Tahun 2003).
d. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab utama harga pupuk bersubsidi yang dibayar petani di atas HET adalah (1) ulah distributor yang hanya menjual DO dan (2) ulah pengecer resmi yang mengambil marjin di atas ketentuan yang telah ditetapkan. Dua hal tersebut dipicu oleh lemahnya kontrol produsen pupuk atas penyaluran pupuk dari Lini III ke Lini IV, padahal produsen tersebut yang bertanggung jawab atas terjaminnya HET di Lini IV (wan prestasi terhadap pasal 4 ayat 2, SK Menperindag No 356 Tahun 2004).
e. Sebagai catatan: untuk menghindari beban tanggung jawab HET tersebut, produsen mempengaruhi Departemen Perdagangan untuk mengubah SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, pasal 4 ayat 2, yang semula tertulis “Produsen bertanggung jawab atas pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi mulai dari Lini I samapi dengan Lini IV....” diubah menjadi “ Produsen, distributor dan pengecer bertanggung jawab penyaluran pupuk bersubsidi secara 6 tepat .......... dari lini I sampai Lini IV” (lihat draft SK Mendag tahun 2005, pasal 4 ayat 2). Dalam rancangan SK Mendag tersebut secara jelas yang menjamin HET hanya pengecer resmi saja (pasal 4 ayat 2 dan pasal 11 ayat 3).
C. Receiving System dan Accountability Systems Untuk Mengatasi Kelangkaan Pupuk
9. Dengan sistem distribusi yang berlaku saat ini, sesungguhnya masih ada ruang untuk menjamin HET dengan cara menambah receiving system, yaitu kelompok tani membeli langsung ke distributor (kasus kelompok tani Rukun Santosa, Jombang, Jawa Timur). Pada kasus di Kabupaten Jombang, kelompok tani sebenarnya masih dimungkinkan untuk menjual pupuk bersubsidi di bawah HET, karena kelompok tani tersebut mendapat harga Urea bersubsidi dari distributor franko tempat pembeli sebesar Rp. 1.020 per kg. Dengan kata lain, apabila distributor benar-benar melaksanakan fungsinya, yaitu menjual pupuk sesuai dengan harga tebus (Rp 1.020) franko tempat pembeli, maka lonjak harga ataupun harga pupuk bersubsidi melampaui HET tidak perlu terjadi. Oleh karena itu, ke depan kelompok tani perlu diaktifkan dan diberdayakan kembali, agar kelompok tani dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pemerintah. Dalam kasus kebijakan subsidi pupuk ini, kelompok tani dapat berperan untuk mengkoordinir pembelian pupuk secara berkelompok atau bahkan dapat difungsikan sebagai pengecer resmi.
10. Selain itu, pengaktifan kelompok tani dalam “merencanakan kebutuhan pupuk untuk kelompoknya sesuai dengan rekomendasi” akan membantu mengatasi kelangkaan pupuk di suatu wilayah akibat dari penggunaan pupuk yang berlebihan di tingkat petani. Kasus di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dan Jombang, Jawa Timur, menunjukkan bahwa penggunaan pupuk Urea di tingkat petani mencapai 400-500 kg per hektar, sementara rekomendasi umum dari Dinas Pertanian sekitar 300 kg per hektar. Perbedaan perhitungan
VI-95
kebutuhan pupuk bersubsidi yang didasarkan pada dosis umum, dengan kondisi di tingkat petani yang umumnya menggunakan lebih tinggi dari dosis anjuran, telah menyebabkan alokasi pupuk bersubsidi di suatu wilayah tidak mencukupi.
11. Sistem distribusi saat ini yang dituangkan dalam SK Menperindang No. 70/MPP/KEP/2/2003, yang kemudian diubah menjadi SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, tidak dilengkapi dengan sistem akuntabilitas mandiri, karena yang mencatat realisasi penyaluran pupuk bersubsidi dari produsen ke pengecer resmi adalah produsen itu sendiri yang juga merangkap sebagai penerima subsidi. Memang ada fungsi Pengawasan dan Pemantauan yang tercantum pasal 14 SK Menperindag No. 356 Tahun 2004, namun pengawasan tersebut lebih banyak berfungsi untuk melaporkan kelangkaan dan gejolak harga secara berjenjang kepada produsen dan Menteri.
12. Sistem akuntabilitas dalam sistem distribusi yang ada saat ini diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor resmi pemerintah dan pemeriksaan dilakukan terhadap distribusi pupuk bersubsidi yang telah berjalan. Sistem akuntabilitas seperti ini rawan terhadap berbagai penyimpangan, khususnya terhadap besaran penyaluran, karena produsen pupuk dapat saja melaporkan realisasi jumlah pupuk bersubsidi yang telah disalurkan lebih besar dari jumlah riil yang sebenarnya disalurkan (kasus ini dialami oleh PKT dan telah diberi pinalti oleh BPK). Kondisi ini juga merupakan salah satu penyebab kelangkaan pupuk di lapangan. Pinalti atau hukuman yang diberikan setelah proses penyaluran berjalan menjadi tidak bermanfaat untuk mengatasi kelangkaan pada tahun berjalan. Untuk itu, perlu dibangun sistem informasi yang mencatat realisasi penyaluran pupuk bersubsidi pada tahun berjalan, agar antisipasi terhadap kekurangan (kelebihan) pupuk bersubsidi pada suatu wilayah dapat ditanggulangi sesegera mungkin.
13. Kelemahan sistem akuntabilitas di atas, diperparah oleh adanya peraturan yang membolehkan produsen menagih pembayaran subsidi kepada Menteri Keuangan, begitu pupuk disalurkan ke lini III bukan ke Lini IV sebagai tanggung jawabnya (SK Menteri Keuangan No. 319/KMK.06/2004, pasal 7 ayat 2) (penjelasan seperti ini juga diperoleh Tim Peneliti dari Perwakilan PUSRI Jawa Tengah dan Jawa Barat). Dengan demikian tidak salah apabila dikatakan bahwa produsen telah melepaskan tanggung jawab penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III ke Lini IV, walaupun subsidi pupuk diperhitungkan sampai Lini IV (lihat pasal 4 rancangan SK Mendag Tahun 2005). Oleh karena itu, disarankan agar rancangan SK Mendag tersebut perlu dikaji ulang.
14. Berdasarkan uraian butir 13, maka untuk menjamin sistem akuntabilitas dapat disarankan bahwa penyaluran pupuk dari Lini III ke Lini IV diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta atau BUMN atau asosiasi kelompok tani. Maksud penyerahan sepenuhnya di sini adalah tanggung jawab produsen hanya sampai pada Gudang Penyangga Pupuk (GPP) Lini III di Kabupaten, sedangkan dari GPP ke Lini IV dilakukan oleh pihak swasta atau BUMN atau asosiasi kelompok tani.
D. Evaluasi Produsen Sebagai Distributor Pupuk Bersubsidi
15. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini menganut sistem berjenjang dan bersifat pasif terbuka. Berjenjang karena pengangkutan pupuk bersubsidi dari produsen/pabrik hingga ke Gudang Penyangga Pupuk (GPP) di Lini III yang berlokasi di kabupaten menjadi tanggung jawab produsen pupuk; kemudian dari GPP ke pengecer resmi Lini IV menjadi tanggung jawab distributor; dan dari pengecer resmi ke petani menjadi tanggung jawab pengecer. Dengan sistem berjenjang seperti ini, titik krusial dalam penyaluran pupuk bersubsidi adalah sejak dari GPP ke petani, karena pelakunya (distributor dan pengecer) sudah diserahkan kepada pihak swasta, badan usaha maupun koperasi. Keterlibatan produsen pupuk (PUSRI) sebagai
VI-96
distributor (dan itupun jumlahnya relatif kecil) lebih didasarkan pada pemanfaatan sumberdaya manusia dan sarana yang telah ada selama ini. Penunjukkan produsen pupuk sebagai distributor juga tidak melanggar ketentuan, sepenjang memenuhi persyaratan sebagai distributor.
16. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan kinerja distributor dari produsen pupuk cukup baik, karena mereka sebenarnya lebih berpengalaman dalam hal teknis penyaluran maupun administrasi pergudangan. Permasalahan justru muncul pada beberapa distributor swasta yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi maupun teknis (tidak mempunyai kantor, gudang maupun sarana transportasi), namun karena didukung oleh “kekuatan tertentu” mendapat lisensi dari produsen pupuk untuk menjadi distributor. Distributor semacam inilah yang sebenarnya seringkali menyebabkan pasokan pupuk bersubsidi di suatu daerah menjadi langka atau mengalami lonjak harga hingga melampui HET, karena mereka hanya menjual DO saja dan tidak bertanggung jawab terhadap arus penyaluran pupuk di wilayah yang sebenarnya merupakan tanggung jawabnya. Untuk itu, peraturan mengenai penunjukkan distributor harus lebih diperketat dan dilaksanakan seobyektif mungkin. Pembenahan terhadap pelaku distributor ini, berdasarkan pengamatan di lapangan akan dapat memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap kelancaran distribusi pupuk bersubsidi hingga ke tingkat petani
E. Usulan Penyempurnaan Sistim Distribusi
17. Untuk mengatasi kelangkaan (yang akan merefleksikan tidak tepat dosis, jenis, mutu, waktu, tempat) dan menjamin berlakunya HET (yang akan mencerminkan tidak tepat harga), perlu dilakukan penyempurnaan terhadap sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini secara bertahap sebagai berikut :
1) Periode sampai Desember 2005
a. Pengaturan sistem distribusi pupuk bersubsidi disarankan tetap menggunakan SK Menperindang No. 70/MPP/KEP/2/2003, yang diubah menjadi SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, dengan beberapa penyempurnaan sebagai berikut: (1) menambah pengecer resmi paling sedikit 2 (dua) buah di setiap kecamatan yang lokasinya berbeda desa; (2) kelompok tani dapat menjadi sebagai salah satu pengecer resmi (saat ini kelompok tani sudah memiliki SIUP). Kasus di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, perlu didorong untuk propinsi lainnya.
b. Pasal 4 ayat 2 SK Menperindag No. 70 Tahun 2003, dimana produsen bertanggung jawab atas penyaluran dari Lini I sampai Lini IV secara 6 tepat harus dipantau secara ketat. Hal ini perlu dilakukan karena produsen telah diberi kebebasan menentukan harga jual pupuk bersubsidi di tingkat distributor dan pengecer resmi. Kontrak subsidi dan penentuan HET dilakukan antara pemerintah dengan produsen pupuk bukan dengan pengecer resmi. Dengan demikian, yang menjamin HET adalah produsen bukan pengecer resmi (lihat rancangan SK Mendag Tahun 2005 pasal 11 ayat 3).
VI-97
c. Perlu dibangun sistem akuntabilitas untuk menghitung realisasi penyaluran pupuk bersubsidi sampai Lini IV dengan menambah ketentuan pada pasal 14 poin (c) SK Memperindag No. 356 Tahun 2004, dimana tugas komisi pengawasan pupuk bersubsidi juga melakukan pencatatan realisasi penyaluran pupuk bersubsidi di Lini IV.
d. Menindak secara tegas distributor yang hanya melakukan kegiatan menjual DO saja. Pemberian sanksi yang tegas juga perlu dilakukan terhadap pengecer resmi yang menjual pupuk bersubsidi di atas HET. Disarankan agar produsen dalam menentukan harga tebus di tingkat distributor dan pengecer resmi dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan laba normal dan HET. Hal ini perlu dilakukan agar perdagangan pupuk di tingkat distributor dan pengecer resmi menjadi layak.
2) Periode sampai Januari - Desember 2006
a. Sistem distribusi pupuk tetap menggunakan ketentuan yang berlaku pada sistem penyaluran pupuk tahun 2005.
b. Melaksanakan pilot proyek di beberapa propinsi yang melibatkan kelompok tani sebagai receiving system yang mengarah kepada pengembangan sistem distribusi tertutup dan melibatkan asosiasi kelompok tani sebagai distributor.
c. Pada akhir Desember 2006 diharapkan beberapa kelompok tani sudah cukup mapan dan memadai untuk berperan sebagai receiving system secara utuh.
3) Periode sampai Januari - Desember 2007
a. Sistem distribusi pupuk tetap menggunakan ketentuan tahun 2005.
b. Menggunakan sepenuhnya sistem distribusi tertutup. Distributor dan pengecer resmi ditangani oleh asosiasi kelompok tani dan kelompok tani. Pengecer resmi hanya diperkenankan pada wilayah di mana kelompok taninya belum berkembang.
VI-98
Tabel. Lampiran 1. Kelayakan Usaha Perdagangan Pupuk di Tingkat Distributor dan Pengecer (Lini IV) di Jawa Barat, Berdasarkan Harga Referensi,
2005 (Rp/kg).
Distributor Pengecer Resmi No. Uraian Referensi Riil Referensi Riil
VI-99
1 Harga Tebus 980 965 1,020 1,055
2 Fee 18.5 20 25 30
3 Biaya Transport, Bongkar muat, Gudang dan lainnya 22 40 5 20
Total Biaya 1,020 1,025 1,050 1,105
8 Harga Jual 1,020 1,055 1,050 1,240
9 Tambahan Keuntungan Diluar Fee - 30 - 135
Keterangan : Referensi berdasarkan usulan subsidi pupuk 2003-2005 Tabel. Lampiran 2. Kelayakan Usaha Perdagangan Pupuk di Tingkat Distributor dan Pengecer (Lini IV) di Jawa Tengah, Berdasarkan Harga Referensi,
2005 (Rp/kg).
Distributor Pengecer Resmi No. Uraian
Referensi Riil Referensi Riil
1 Harga Tebus 980 980 1,020 1,050
2 Fee 18.5 20 25 30
3 Biaya Transport, Bongkar Muat, Gudang dan lainnya
22 35 5 20
Total Biaya 1,020 1,035 1,050 1,100
8 Harga Jual 1,020 1,050 1,050 1,200
9 Tambahan Keuntungan Diluar Fee - 25 - 100
Keterangan : Referensi berdasarkan usulan subsidi pupuk 2003-2005.
VI-100
Tabel. Lampiran 3. Kelayakan Usaha Perdagangan Pupuk di Tingkat Distributor dan Pengecer (Lini IV) di Jawa Timur, Berdasarkan Harga Referensi,
2005 (Rp/kg).
Distributor Pengecer Resmi No. Uraian
Referensi Riil Referensi Riil
1 Harga Tebus 980 980 1,020 1,045
2 Fee 18.5 20 25 30
3 Biaya Transport, Bongkar muat, Gudang dan lainnya 22 40 5 20
Total Biaya 1,020 1,040 1,050 1,095
8 Harga Jual 1,020 1,045 1,050 1,120
9 Tambahan Keuntungan Diluar Fee - 5 - 25
Keterangan : Referensi berdasarkan usulan subsidi pupuk 2003-2005.
VI-101
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kasus terjadinya kelangkaan pupuk terutama jenis Urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap
tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan
pemerintah. Padahal dari sisi penyediaan, sebenarnya total produksi pupuk Urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negera (BUMN)
yaitu PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Iskandar Muda, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur selalu di atas
kebutuhan domestik. Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, sebenarnya masih ada kelebihan pasokan
pupuk sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar
ekspor. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih sering terjadi fenomena langka pasok dan lonjak harga di atas HET.
VI-102
Program kebijakan pupuk di Indonesia sebenarnya sudah cukup komprehensif karena: (1) melalui program panjang, pemerintah
sudah membangun industri pupuk yang tersebar di berbagai wilayah dengan kapasitas produksi jauh melebihi kebutuhan pupuk domestik
yang didukung oleh sektor minyak dan gas bumi yang cukup besar sehingga mestinya memiliki keunggulan komparatif dan sepenuhnya
dikuasai oleh 5 pabrik pupuk BUMN sehingga mampu dan dapat diarahkan untuk mengemban misi sebesar-besarnya untuk mendukung
pembangunan pertanian nasional, (2) Menperindag meminta produsen pupuk senantiasa mendahulukan pemenuhan kebutuhan domestik,
(3) melalui SK memperindang distribusi pupuk domestik diatur dengan sistem rayonisasi pasar, dimana setiap pabrik pupuk wajib menjamin
kecukupan pasokan pupuk sesuai HET di kios pengecer resmi di rayon pasar yang menjadi tanggung jawabnya, (4) HET dan rencana
kebutuhan pupuk bersubsidi menurut waktu dan wilayah pemasaran sudah ditetapkan oleh Mentan, sehingga sudah cukup jelas jumlah dan
kapan pupuk itu harus didistribusikan ke pasar bersubsidi, (5) sebagai imbalan dalam melaksanakan produksi dan distribusi pupuk Urea
bersubsidi hingga kios pengecer sesuai HET, pabrik pupuk memperoleh subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, (6) besarnya subsidi yang dibayarkan ke pabrikan pupuk sesuai dengan besaran subsidi gas dan
volume pupuk bersubsidi yang disalurkan, dan (7) pelaksanaan distribusi pupuk bersubsidi tersebut dimonitor, dievaluasi dan diawasi terus
menerus oleh suatu tim pemerintah antar departemen bersama DPR.
Dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini (terjadinya langka pasok dan lonjak harga), maka dapat dikatakan bahwa program
kebijakan pupuk yang amat komprehensif dibangun pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adanya dugaan meningkatnya
ekspor pupuk terutama secara ilegal baik melalui produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyelundup seiring menariknya margin antara
harga pupuk Urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik, telah membuktikan bahwa produsen pupuk sudah tidak
mengutamakan pemenuhan untuk pasar domestik, dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pupuk Urea yang diekspor secara ilegal
tersebut adalah pupuk bersubsidi yang merupakan hak petani yang semestinya merupakan kelompok masyarakat miskin. Ekspor pupuk
bersubsidi banyak terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan kecil milik individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Kalimantan.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi di pasar domestik diduga karena telah terjadinya
perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan ini terjadi terutama di daerah-daerah yang berdekatan
dengan perkebunan besar sejak ditetapkannya adanya perbedaan harga pupuk, sehingga pasar pupuk domestik bersifat dualistik, yaitu
pasar bersubsidi dan pasar non-subsidi. Fenomena ini terjadi diduga akibat masih lemahnya penerapan sistem pengawasan pupuk yang
telah dibentuk pemerintah.
VI-103
Selain kedua faktor di atas, fenomena langka pasok dan lonjak harga juga diduga terjadi akibat adanya perembesan pupuk dari satu
wilayah ke wilayah lain dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi). Ada beberapa petani yang masih sangat fanatisme untuk pupuk merk
tertentu, sehingga mereka mau membeli sekalipun dengan harga yang lebih mahal. Perilaku ini mengakibatkan terjadi kelangkaan pupuk
pada daerah-daerah tertentu. Banyak produsen pupuk dan distributor yang ditunjuk tidak mempunyai gudang penyimpanan pupuk di lini III
pada beberapa daerah diduga juga turut berkontribusi terhadap lambatnya pendistribusian pupuk yang pada akhirnya menyebabkan
terjadinya kelangkaan pupuk di tingkat pengecer atau petani.
1.2. Tujuan
Dari informasi dan permasalahan di atas, maka kajian ini fokuskan untuk mengevaluasi penerapan kebijakan sistem distribusi pupuk
Urea tahun 2005 dan memberikan rekomendasi alternatif perbaikan kebijakan distribusi pupuk tahun 2006.
II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Kerangka Teoritis
Pentingnya peranan pupuk dalam upaya peningkatan produktivitas dan hasil komoditas pertanian, menjadikan pupuk sebagai
sarana produksi yang sangat strategis. Untuk penyediaan pupuk di tingkat petani diusahakan memenuhi azas 6 tepat yaitu: tempat, jenis,
waktu, jumlah, mutu dan harga yang layak sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Untuk mendukung itu, pemerintah
kembali memberikan subsidi pupuk ke petani melalui pabrik pupuk yaitu berupa subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk,
dengan harapan harga pupuk yang diterima petani sesuai HET yang ditetapkan pemerintah.
Khususnya untuk produksi pupuk Urea, ada 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yaitu PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang,
PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Inskadar Muda, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur yang ditugaskan memproduksi jenis pupuk ini.
Produksi ke lima pabrik tersebut terutama ditujukan untuk memenuhi pasar domestik khususnya pasar bersubsidi dan baru berikutnya untuk
pasar non bersubsdi. Jika produksi sudah mampu melayani pasar domestik, baru kelebihannya boleh diekspor melalui jalur resmi. Di sisi
lain, pemerintah melalui Menperindag menetapkan sistem rayonisasi dalam pendistribusian pupuk, dimana tiap pabrikan yang ditunjuk
VI-104
bertanggung jawab untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Jika produksi sendiri belum bisa memenuhi
permintaan di wilayah tanggung jawabnya, produsen tersebut diwajibkan untuk mendatangkan pupuk dari produsen lain dengan pola Kerja
Sama Operasional (KSO). Sedangkan hubungan kerja produsen dengan distributor yang ditunjuk diatur dengan Surat Perjanjian Jual Beli
(SPJB). Kalau sistem pendistribusian tersebut berjalan dengan baik (diperlihatkan oleh garis tidak putus-putus pada Gambar 1) maka
tentunya tidak akan ada fenomena langka pasok dan lonjak harga seperti saat ini.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adanya penyimpangan dari sistem pendistribusian yang ditetapkan telah menyebabkan
terjadinya langka pasok dan lonjak harga pupuk. Penyimpangan tersebut seperti digambarkan oleh garis putus-putus. Produksi pupuk
Urea yang utamanya adalah untuk memenuhi pasar domestik bersubsidi, telah bergesar kepemenuhannya untuk pasar dunia dalam bentuk
ekspor ilegal akibat selisih margin harga dunia dengan harga domestik semakin menarik. Ekspor ilegal ini tidak hanya dilakukan oleh
produsen pupuk, tetapi juga oleh para penyelundup dengan membeli pupuk dari para distributor dan pengecer pada pasar bersubsidi.
Kebijakan subsidi pupuk yang kembali ditetapkan pemerintah sejak tahun 2003 telah menyebabkan pasar domestik bersifat dualistik
yaitu pasar bersubsidi dan non subsidi. Kebijakan ini menyebabkan adanya disparitas harga antara pasar bersubsidi dan non subsidi,
dimana membuka peluang juga terjadinya perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan ini akan terus
terjadi jika tidak didukung oleh sistem pengawasan dan penerapan sanksi yang memadai.
Adanya rasa fanatisme terhadap merk tertentu menyebabkan terjadinya perembesan pupuk antar wilayah dalam pasar bersubsidi.
Perembesan ini juga terjadi karena adanya perbedaan harga yang cukup menarik antar wilayah. Kelangkaan pupuk juga terjadi akibat
adanya jadwal tanam yang tidak pasti, sehingga menyebabkan adanya permintaan pupuk lebih besar dari rencana kebutuhan yang
ditetapkan Mentan. Tidak adanya gudang penyimpanan di lini III pada beberapa daerah menyebabkan terjadinya kelambatan
pendistribusian, juga berkontribusi terhadap fenomena langka pasok dan lonjak harga.
Di tingkat petani, penggunaan dosis pupuk jauh diatas dosis anjuran, pemilikan lahan yang relatif sempit, perencanaan luas tanam
yang tidak baik, serta penggunaan lahan secara intensif diduga juga sangat menentukan terjadinya langka pasok dan lonjak harga pupuk di
tingkat petani.
VI-105
VI-105
Keterangan : Jalur resmi dan sesuai kebutuhan berdasarkan SK Menperindang dan Mentan
Jalur ilegal dan diluar rencana kebutuhan yang menyebabkan langka pasok dan lonjak harga
PT. Pusri
PT. Kujang
PT. Kaltim
PT. PIM
PT. Petrokimia Gresik
K E B I J A K A N S U B S I D I
Produksi Pupuk Urea Domestik
Pasar Domestik Bersubsidi Wilayah A
Pasar Domestik Bersubsidi Wilayah B
Pasar Domestik Non Subsidi
Gresik
Ekspor Pupuk Ilegal
Ekspor Pupuk Legal
Pasar Pupuk Dunia
Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Langka Pasok dan Lonjak Harga Pupuk Urea di Pasar Domestik
Di Tingkat Petani * Dosis Berlebih * Perenc. LuasTan tidak tepat * IP Meningkat * Pemilikan lh sempit
VI-106
2.2. Lokasi Penelitian
Kajian ini telah dilakukan di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Barat, kajian dilakukan didua kabupaten
yaitu Subang yang merupakan wilayah tanggungjawab PT. Pupuk Kujang Cikampek (PT. PKC) dan Cirebon yang merupakan wilayah PT.
Pupuk Sriwijaya (PT. Pusri). Di Jawa Tengah, kajian dilakukan di Kabupaten Sragen dan Klaten yang merupakan wilayah tanggungjawab
PT. Pusri. Sementara di Jawa Timur, dilakukan di Kabupaten Jombang yang merupakan wilayah tanggungjawab PT. Petrokimia Gresik (PT.
PKG) dan Kabupaten Malang yang merupakan wilayah tanggungjawab PT. Pupuk Kalimantan Timur (PT. PKT).
2.3. Alat Analisis
Kajian ini menggunakan metode pemahaman masalah secara singkat (PMSS). Untuk menjawab tujuan dari kajian ini, seperangkat
analisis yang diterapkan, yaitu tabulasi silang/frekuensi dan sistem distribusi pupuk. Untuk mendukung kedua analisis tersebut akan
dilengkapi dengan data kualitatif berupa informasi pada masing-masing tataran kajian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kasus Jawa Barat
3.1.1. Implementasi Sistem Distribusi Pupuk
1. Rencana Penyaluran dan Realisasi
Sistem distribusi pupuk di Indonesia selama ini di atur oleh Menteri Perdagangan dan Industri yang sekarang menjadi Menteri
Perdagangan. Pengaturan sistem distribusi pupuk ini dengan harapan agar petani dapat memperoleh pupuk dengan 6 azas tepat, yaitu :
tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu, dan harga. Keberhasilan dalam implementasi dari sistem ini salah satunya dapat dilihat dari adanya
kesesuaian antara rencana penyaluran dan realisasi.
Selama tahun 2005, rencana kebutuhan pupuk Urea bersubsidi untuk tanaman pangan di Jawa Barat sebesar 662 ribu ton (Tabel 1).
Rencana kebutuhan per bulannya berkisar 5 ribu – 8 ribu ton. Rencana kebutuhan pupuk jenis ini tertinggi terjadi di Kabupaten Indramayu
(65 ribu ton) dan terendah di Kabupaten Purwakarta (13,6 ribu ton).
VI-107
Tabel 1. Rencana dan Realisasi Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi di Jawa Barat 2005.
Kabupaten Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jan - Jun Jan-Des
A. Rencana (ton)
1. Bogor 3710 3300 2330 2860 2930 3010 18140 36100
2. Sukabumi 5687 5170 5040 4460 4650 4800 29807 56152
3. Cianjur 5935 5320 5160 4565 4650 4800 30430 57557
4. Cirebon 5501 2465 1626 3475 1750 1800 16617 25791
5. Kuningan 2600 1860 1180 2500 2600 1480 12220 24091
6. Majalengka 5200 3500 3250 4000 2500 1350 19800 31755
7. Indramayu 6700 6000 5830 5150 5260 5420 34360 65000
8. Bekasi 2840 2550 2480 2190 2230 2300 14590 27628
9. Karawang 6140 5500 5350 4720 4820 4970 31500 59603
10. Purwakarta 1400 1260 1220 1080 1100 1130 7190 13591
11. Subang 5770 5170 5020 4430 4520 4665 29575 55946
12. Bandung 6060 5430 5270 4660 4750 4890 31060 58740
13. Sumedang 3625 2135 1575 3000 4050 2150 16535 29709
14. Garut 5425 2310 2925 3825 5150 3850 23485 46500
15. Tasikmalaya 3950 2665 3200 3600 3050 2600 19065 39054
16. Ciamis 6010 4590 3275 3700 3000 2500 23075 35100
Total 76553 59225 54731 58215 57010 51715 357449 662317
B. Realisasi (%)
1. Bogor 104.85 91.21 172.27 127.38 83.52 80.60 107.11 53.82
2. Sukabumi 101.29 88.93 92.52 99.15 96.89 66.77 91.10 48.36
3. Cianjur 67.65 70.43 69.95 93.30 71.46 53.96 70.80 37.43
4. Cirebon 100.00 100.00 100.00 94.88 241.43 149.94 119.23 76.82
5. Kuningan 100.00 100.00 100.00 113.40 100.00 111.49 104.13 52.82
6. Majalengka 100.00 100.00 100.00 131.25 132.00 148.15 113.64 70.85
7. Indramayu 136.32 83.33 38.44 150.74 203.51 151.96 125.37 66.27
8. Bekasi 161.97 77.45 116.94 60.50 57.17 123.91 102.30 54.02
9. Karawang 129.79 135.84 94.67 149.60 155.73 160.32 136.63 72.21
10. Purwakarta 141.07 136.90 129.10 131.94 125.00 207.96 144.99 76.71
11. Subang 100.81 69.35 32.72 107.31 149.57 150.53 100.02 52.88
12. Bandung 84.74 77.02 73.93 99.51 94.97 86.81 85.66 45.29
13. Sumedang 100.00 100.00 100.00 95.00 56.17 93.02 87.45 48.67
14. Garut 100.00 100.00 100.00 102.75 81.36 85.71 94.02 47.48
VI-108
15. Tasikmalaya 100.00 100.00 100.00 109.72 88.52 87.50 98.30 47.98
16. Ciamis 100.00 100.00 100.00 111.51 103.33 80.00 100.11 65.81
Rataan 105.29 92.56 85.21 112.56 113.66 109.86 103.29 55.74
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar, 2005 (diolah) Sampai dengan bulan Juni 2005, realisasi penyaluran pupuk Urea Bersubsidi di Propinsi Jawa Barat sudah mencapai 55,74 persen
dari rencana penyaluran pupuk dalam setahun dan sudah sekitar 103,29 persen dari rencana penyaluran sampai bulan Juni. Artinya,
realisasi penyaluran pupuk secara keseluruhan di Jawa Barat sudah sekitar 3,29 persen diatas rencana. Kelebihan realisasi penyaluran
pupuk masing-masing terjadi pada bulan Januari, April, Mei dan Juni, yaitu dengan penyaluran berkisar 105,29 – 113,66 persen.
Sementara realisasi penyaluran pupuk masih dibawah rencana hanya terjadi pada bulan Pebruari dan Maret, yaitu dengan penyaluran
berkisar 85,21 – 92,56 persen.
Realisasi penyaluran pupuk menurut kabupaten menunjukkan bahwa pada beberapa kabupaten tertentu sudah terjadi penyaluran
pupuk diatas rencana, sebaliknya pada beberapa kabupaten lainnya masih dibawah rencana. Sampai dengan bulan Juni, dari 16
kabupaten yang ada, sebanyak 10 kabupaten (Bogor, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang,
dan Ciamis) yang realisasi penyaluran pupuknya sudah diatas rencana penyaluran. Sementara realiasi penyaluran pupuk di 6 Kabupaten
yaitu Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, dan Tasikmalaya masih dibawah rencana.
Realisasi penyaluran pupuk baik diatas maupun dibawah rencana akan menyebabkan terjadinya langka pasok dan lonjak harga baik
antar musim maupun antar daerah. Sebagai contoh, adanya realisasi penyaluran pupuk diatas rencana pada bulan-bulan tertentu akan
menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan dan lonjak harga pada bulan-bulan lainnya, mengingat pupuk Urea bersubsidi jumlahnya
sudah ditentukan sebelumnya. Demikian juga, terjadinya realisasi penyaluran pupuk pada beberapa kabupaten sudah diatas rencana
menyebabkan terjadinya langka pasok dan lonjak harga pada kabupaten lainnya. Jika alokasi yang berlebih tersebut akan dipindahkan ke
wilayah yang langka maka sudah pasti akan meningkatkan harga jualnya karena peningkatan ongkos distribusi ke daerah langka tersebut.
Selain masalah pasokan atau jumlah dan harga, 6 azas tepat lainnya yang dapat dipastikan tidak dipenuhi dengan adanya ketidaksesuaian
antara rencana dan realisasi penyaluran adalah tempat, jenis dan waktu. Hanya aspek mutu saja yang diduga bisa terpenuhi.
2. Evaluasi Sistem Penyaluran Pupuk Bersubsidi
VI-109
Kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa sistem pendistribusian pupuk yang diterapkan selama ini belum
cukup efektif dalam upaya memenuhi 6 azas tepat yang selama ini menjadi target pemerintah dan para pelaku lainnya dalam
mendistribusikan pupuk ke tingkat petani. Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab terjadinya pendistribusian pupuk tidak sesuai
dengan rencana. Pertama, pemakaian pupuk Urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis
pemupukan Urea yang dianjurkan pemerintah sebanyak 250 kg/ha, akan tetapi dalam prakteknya kebanyakan petani menggunakan pupuk
jenis ini berkisar 350 – 500 kg/ha. Penggunaan pupuk yang berlebih terjadi karena petani masih beranggapan bahwa pupuk Urea
merupakan pupuk pokok dan mutlak diperlukan, sementara pupuk lainnya seperti SP36 dan KCl merupakan pupuk pelengkap. Sehingga
seringkali dijumpai banyak petani yang tidak menggunakan pupuk KCl disamping harganya memang relatif mahal. Kedua, pemilikan lahan
yang sempit ( < 0.3 ha) juga menyebabkan penggunaan pupuk kalau dikonversi kedalam satu hektar menjadi sangat tinggi. Ketiga, tidak
adanya ketepatan dalam menghitung luas pertanaman komoditas pangan (padi). Jumlah rencana kebutuhan pupuk yang ditetapkan Deptan
yang merupakan usulan Dinas Pertanian Propinsi dan Kabupaten secara umum lebih rendah dari luas pertanaman sesungguhnya,
sehingga jumlah permintaan pupuk selalu melebihi dari yang dialokasikan. Keempat, adanya ketidakdisiplinan petani dalam menentukan
pola tanam. Sebagai contoh, pada daerah tertentu yang biasanya menanam padi 2 kali, ketika begitu masih ada persediaan air mencukupi
pada gadu 2 (MK II) maka petani pada umumnya menanam padi lagi, sehingga terjadi lonjakan permintaan pupuk. Kebutuhan pupuk pada
tanaman hortikultura juga sangat sulit untuk dihitung, mengingat jenis komoditas yang ditanam petani tidak pasti dan selalu berubah-ubah
sesuai permintaan pasar. Kelima, terjadi penggunaan pupuk di tingkat petani untuk kebutuhan yang bukan bersubsidi. Di daerah pantura,
banyak permintaan pupuk dari petani untuk kebutuhan tambak, yang semestinya bukan merupakan alokasi pupuk bersubsidi. Penggunaan
pupuk Urea per hektar untuk tambak dalam setahun bisa mencapai 300 – 500 kg Urea.
Dalam memenuhi kebutuhan pupuk Urea di Jawa Barat, ada dua produsen pupuk yang ditunjuk untuk bertanggungjawab secara
penuh yaitu PT. Pusri dan PT. PKC. Kedua produsen ini bertanggung jawab menurut kabupaten yang telah ditetapkan. Ada 7 kabupaten
yang menjadi tanggung jawab PT. Pusri yaitu kabupaten: Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, dan Majalengka.
Sementara kabupaten-kabupaten yang menjadi tanggung jawab PT. PKC adalah Bogor, Sukabumi, Cianjur, Subang, Karawang, Indramayu,
Bekasi, Purwakarta, dan Bandung.
VI-110
Rencana dan realisasi penyaluran pupuk Urea bersubsidi dari PT. Pusri pada masing-masing kabupaten yang menjadi tanggung
jawabnya disajikan pada Tabel 2. Sampai dengan bulan Juli 2005, rencana penyaluran pupuk Urea dari PT. Pusri di 7 kabupaten yang
menjadi tanggungjawabnya sebesar 142,6 ribu ton. Sementara realisasinya penyaluran pupuk sudah mencapai 101,26 persen dari rencana
penyaluran. Pada bulan Januari sampai Maret, realisasi penyaluran pupuk yang dilakukan PT. Pusri sesuai kebutuhan, dan mulai bulan
April sampai Juni sudah diatas rencana, sebaliknya pada bulan Juli hanya sekitar 10 persen dibawah rencana penyaluran.
Tabel 2. Rencana dan Realisasi Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi oleh PT. Pusri di Jawa Barat, 2005 (Ton).
Kabupaten Jan Peb Mar Apr Mei Jun Juli Jan-Jul
A. Rencana
1. Sumedang 3625 2135 1575 3000 2500 2250 1530 16615
2. Garut 5425 2310 2925 3825 3500 3250 3350 24585
3. Tasikmalaya 3950 2665 3200 3600 3350 2200 2500 21465
4. Ciamis 6010 4590 3275 3700 3200 2000 1300 24075
5. Cirebon 5501 2465 1626 3297 4225 2699 1011 20824
6. Kuningan 2600 1860 1180 2500 2600 1500 1250 13490
7. Majalengka 5200 3500 3250 4000 2500 1850 1260 21560
Total 32311 19525 17031 23922 21875 15749 12201 142614
B. Realisasi
1. Sumedang 3625 2135 1575 2850 2275 2000 1675 16135
2. Garut 5425 2310 2925 3930 4190 3300 3025 25105
3. Tasikmalaya 3950 2665 3200 3950 2700 2275 1575 20315
4. Ciamis 6010 4590 3275 4125 3100 2000 1350 24450
5. Cirebon 5501 2465 1626 3297 4225 2699 1011 20824
6. Kuningan 2600 1860 1180 2835 2600 1650 1200 13925
7. Majalengka 5200 3500 3250 5250 3300 2000 1150 23650
Total 32311 19525 17031 26237 22390 15924 10986 144404
% thp rencana 100.00 100.00 100.00 109.68 102.35 101.11 90.04 101.26
Sumber: PPD Pusri Jabar, 2005 (diolah).
VI-111
Jumlah penyaluran pupuk oleh PT. PKC di 6 kabupaten selama bulan Januari – Juli sudah mencapai 17,4 ribu ton (Tabel 3).
Tampak bahwa penyaluran pupuk tertinggi terjadi pada Kabupaten Indramayu yaitu sebanyak 4,8 ribu ton, disusul Kabupaten Karawang
dan Subang berturut-turut 3,9 ribu ton dan 3,4 ribu ton. Dari data yang tersedia, sampai bulan Juli, terlihat bahwa belum ada distribusi
pupuk dari PT. PKC ke Kabupaten Bogor. Kondisi ini patut dicurigai, ada kemungkinan telah terjadi perembesan pupuk dari kabupaten
lainnya ke Bogor.
Tabel 3. Jumlah Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi oleh PT. Pupuk Kujang Cikampaek (PT. PKC) di Jawa Barat, 2005 (Ton).
Kabupaten Jan Peb Mar Apr Mei Jun Juli Jan-Jul 1. Bogor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2. Sukabumi 579.50 423.50 63.00 962.00 437.00 337.00 150.00 2952.00
3. Cianjur 425.00 288.00 512.00 550.00 250.00 157.00 218.00 2400.00
4. Subang 370.00 365.85 245.00 430.00 625.00 1015.00 360.00 3410.85
5. Karawang 715.00 700.00 250.00 452.00 773.00 575.00 385.00 3850.00
6. Indramayu 997.15 478.85 315.00 497.00 1194.00 987.00 352.00 4821.00
Total 3086.65 2256.20 1385.00 2891.00 3279.00 3071.00 1465.00 17433.85
Sumber: PT. Pupuk Kujang Cikampek, 2005
3.1.2. Kinerja Penyaluran Pupuk di Lini IV
1. Wilayah Kerja dan Volume Penyaluran
Fakta di lapang menunjukkan bahwa kinerja penyaluran pupuk di Lini IV (pengecer atau kios resmi) selain sangat ditentukan oleh
pengecer itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh kinerja dan pola pendistribusian yang dilakukan oleh distributor pada Lini III. Sebelum
melihat bagaimana kinerja penyaluran pupuk di Lini IV, maka dalam bahasan ini terlebih dahulu dilihat sekilas keragaan distributor pada
masing-masing kabupaten kajian (Subang daan Cirebon).
Kabupaten Subang merupakan wilayah tanggung jawab PT. PKC. Ada 9 distributor yang dipercaya PT. PKC dalam mendistribusikan
pupuk Urea (Tabel 4). Distirbutor terbesar PT. PKC di Kabupaten Subang adalah PT. Bumi Persada Sejati (BPS) dan PT. Angkasa Raya
Christa (ARC). Sampai bulan Juli, jumlah penyaluran pupuk pada ke dua distributor ini mencapai 38 persen dari jumlah keseluruhan di
VI-112
Kabupaten Subang. Distributor besar berikutnya adalah PT. Muara Teguh Persada dan PT. Reza Putra. Dari 9 distributor, tampaknya
penyaluran pupuk sampai bulan Juli belum pernah dilakukan ke PT. Selini Shakti. PT. Kujang sendiri punya gudang di Desa Tambak
Dahan, Kecamatan Binong yang biasanya disebut sebagai supply point dengan kapasitas 3000 ton. Sehingga dalam pendistribusian
pupuk, PT Kujang mendistribusikan pupuk tidak langsung ke gudang distributor dan hanya cukup ke supply point saja. Harga tebus
distributor di gudang ini Rp 965/kg.
Tabel 4. Jumlah Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi oleh PT. Pusri Menurut Distributor di Kabupaten Cirebon, 2005 (Ton).
No. Distributor Jan Peb Mar Apr Mei Jun Juli Jan-Jul Pangsa (%)
1. CV. Afiah 800.00 610.00 240.00 400.00 440.00 350.00 55.00 2895.00 13.90
2. Cv. Juwita 2100.00 650.00 230.00 650.00 1125.00 1275.00 495.00 6525.00 31.33
3. CV. Sinar Jaya 415.00 295.00 165.00 505.00 375.00 237.50 60.00 2052.50 9.86
4. CV. Sumber Sarana Tani 950.00 300.00 250.00 550.00 800.00 275.00 208.00 3333.00 16.01
5. CV. Sumber Tani 875.00 325.00 335.00 900.00 800.00 125.00 85.00 3445.00 16.54
6. CV. PPI Cirebon 246.00 225.00 196.00 172.00 300.00 299.00 87.00 1525.00 7.32
7. PT. Pertani 115.00 60.00 210.00 120.00 385.00 137.50 21.00 1048.50 5.04
Total 5501.00 2465.00 1626.00 3297.00 4225.00 2699.00 1011.00 20824.00 100.00
Sumber: PPD Pusri Jabar, 2005 (diolah).
Ada 7 distributor (CV. Afiah, CV. Juwita, CV. Sinar Jaya, CV. Sumber Sarana Tani, CV. Sumber Tani, CV, PPI Cirebon, dan PT.
Pertani) sebagai kepercayaan PT. Pusri dalam menyalurkan pupuk di Kabupaten Cirebon (Tabel 5). CV. Juwita merupakan distributor
terbesar di Kabupaten ini. Sampai Juli 2005, dari sebanyak 20,8 ribu ton yang disalurkan PT. Pusri, sebanyak 31,33 persen disalurkan ke
CV. Juwita. Distributor besar berikutnya adalah CV. Sumber Sarana Tani dan CV. Sumber Tani. Gudang PT. Pusri di Kabupaten Cirebon
berkapasitas 15000 ton. Sebagian distributor mengambil pupuk langsung ke gudang PT. Pusri dengan harga tebus Rp 980/kg dan
sebagian distributor menerima pupuk di gudang dengan harga sudah memperhitungan biaya transportasi sehingga harga menjadi lebih
tinggi dari Rp 980/kg.
VI-113
Tabel 5. Jumlah Penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi Oleh PT. Kujang Menurut Distributor di Kabupaten Subang 2005.
Distributor Jan Peb Mar Apr Mei Jun Juli Jan-Jul Pangsa (%)
1. PT. Angkasa Raya Christa 1075.00 575.00 175.00 600.00 1025.00 1200.00 640.50 5290.50 18.60
2. PT. Bumi Persada Sejati 1150.00 625.00 175.00 675.00 1025.00 1150.00 600.00 5400.00 18.98
3. PT. Dinamika Kembar Ut.ama 0.00 0.00 0.00 0.00 200.00 270.00 255.00 725.00 2.55
4. PT. Muara Teguh Persada 736.00 539.00 175.00 450.00 750.00 950.00 519.00 4119.00 14.48
5. PT. Pertani 729.00 501.00 195.00 375.00 639.00 734.00 520.00 3693.00 12.98
6. PT. Pusri 370.00 330.00 245.00 370.00 680.00 750.00 325.00 3070.00 10.79
7. Puskud Jabar 586.00 414.00 150.00 258.50 66.50 750.00 450.00 2675.00 9.40
8. PT. Reza Putra 668.50 379.00 202.50 400.00 600.00 768.00 457.00 3475.00 12.22
9. PT. Selini Shakti 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total 5314.50 3363.00 1317.50 3128.50 4985.50 6572.00 3766.50 28447.50 100.00
Sumber: PT. Pupuk Kujang Cikampek, 2005 (diolah).
2. Mekanisme Perolehan dan Penyaluran dan Tingkat Harga
Perilaku distributor dalam menyalurkan pupuk ke para pengecernya sangat beragam. Keragaman ini sangat ditentukan oleh
kedekatan pengecer kepada distributor dan juga kebijakan intern dari masing-masing distributor itu sendiri. Sebagai contoh, kebanyakan
distributor di Kabupaten Subang tidak mempunyai armada (truk) untuk mendistribusikan pupuk ke gudang pengecer. Hanya PT. Bumi
Persada Sejati (BPS) yang langsung mengantarkan pupuk ke gudang pengecernya, sementara yang lainnya tidak melakukan fungsi
pendistribusian. Kondisi yang sama juga umumnya terjadi di Kabupaten Cirebon. Sehingga kalau dikaitkan dengan fungsi dan tugas yang
harus dilakukan distributor, dapat dikatakan bahwa para distributor di Kabupaten Subang dan sebagian distributor di Kabupaten Cirebon
sudah tidak mentaati sistem pendistribusian pupuk yang sudah ditetapkan pemerintah. Dalam peraturan dan kesepakatan yang ada,
distributor bertugas untuk menyalurkan pupuk dari Lini III ke Lini IV (pengecer) dan selama penyaluran tersebut semua biaya transportasi
ditanggung oleh distributor, sehingga harga tebus yang dibayarkan pengecer di gudang pengecer diharapkan sebesar Rp 1020/kg dan
selanjutnya pengecer mampu menjual sesuai HET yang ditetapkan pemerintah (Rp 1050/kg).
Jumlah permintaan pupuk yang dilakukan oleh pengecer kepada distributor sebenarnya tidak berdasarkan kebutuhan yang pasti di
tingkat petani. Jumlah permintaan pupuk menurut musim lebih banyak ditentukan berdasarkan pengalaman jumlah permintaan pada musim-
VI-114
musim tanam tahun sebelumnya. Berdasarkan pengalaman ini para pengecer melakukan pemesanan pupuk ke masing-masing
distributornya yang dituangkan dalam bentuk delivery order (DO). Melalui DO ini biasanya distributor mengambil pupuk ke gudang
produsen (PT. PKC dan PT. Pusri) dan terus mendistribusikan ke pengecer sesuai permintaan dan pasokan pupuk. Atau pengecer cukup
membawa DO dari distributornya dan diijinkan untuk mengambil pupuk langsung ke gudang produsen (jual DO saja).
Berikut adalah keragaan jumlah dan harga tebus pupuk Urea dari Pengecer Pusaka Tani sebagai salah satu pengecer resmi di
Kecamatan Pusaka Negara Kabupaten Subang (Tabel 6). Ada sekitar 6 pengecer resmi yang beroperasi di Kecamatan Pusaka Negara.
Wilayah kerja yang menjadi tanggung jawab masing-masing pengecer tidak jelas. Hal ini terbukti pengecer tidak mengetahui secara pasti
berapa petani atau kelompok tani yang harus dilayani. Dalam prakteknya, pengecer akan melayani setiap petani dari mana pun asalnya.
Pengecer tidak pernah menanyakan dari mana asal petani dan untuk apa dia membeli pupuk. Prinsip pengecer yang penting pupuknya
terjual.
Tabel 6. Keragaan Jumlah dan Harga Beli Pupuk Urea Pada Pengecer Resmi (Pusaka Tani) di Kecamatan Pusaka Negara, Kabupaten
Subang, Juli 2005.
Sumber Pembelian (Distibutor)
Volume Perminggu (ton)
Harga Beli Sampai di Pengecer (Rp/kg)
1. PT. BPS 5 1030
2. PT. Reza 2 1060
3. PT. Pertani 2 1055
4. PT. Puskud 2 1060
5. PT. MTP 2 1060
6. PT. Pusri 2 1050
Total/Rataan 15 1055 Sumber: data primer
VI-115
Pada bulan Juli, rata-rata jumlah pupuk yang disalurkan pengecer Pusaka Tani hanya sekitar 15 ton per minggu. Pada musim-
musim permintaan pupuk tinggi dan pasokan pupuk cukup dari distributor, pengecer Pusaka Tani mampu menjual pupuk Urea mencapai 50
ton perminggu. Pusaka Tani sebenarnya merupakan pengecer resmi dari distributor PT. Reza Putra. Mengingat pada bulan Juli PT. Reza
Putra tidak mampu memenuhi permintaan Pusaka Tani, maka distributor PT. Reza Putra minta “tolong” ke distributor lainnya untuk
memenuhi permintaan Pusaka Tani dan termasuk beberapa pengecer dibawah binaannya.
Harga tebus yang harus dibayarkan Pusaka Tani sangat beragam menurut distributor. Keragaman ini terjadi karena distributor
menentukan harga secara sepihak tanpa mengindahkan harga tebus yang ditetapkan pemerintah. Sesuai peraturan pemerintah,
semestinya Pusaka Tani menebus harga pupuk Urea digudangnya sebesar Rp 1.020, sehingga jika dijual sesuai HET (Rp 1.050) masih ada
margin sebesar Rp 30/kg. Dalam kenyataannya harga tebus yang dibayar Pusaka Tani sudah diatas HET yang ditetapkan pemerintah,
kecuali jika mengambil pupuk dari Distributor PT. BPS yang langsung mengantarkannya ke tempat pengecer. Sementara jika mengambil
dari distributor lainnya, Pusaka Tani sendiri harus mengambilnya ke gudang supply point PT. PKC. Dengan harga tebus berkisar Rp 1.015 –
1.020 di gudang supply point PT. PKC ditambah ongkos angkut dan bongkar muat sekitar Rp 40/kg, maka harga tebus yang diibayar
Pusaka Tani sampai di tempat gudangnya menjadi Rp 1.055 -1.060/kg. Dengan tetap mempertahankan margin sebesar Rp 30/kg, maka
Pusaka Tani harus menjual pupuk ke petani berkisar Rp 1.095 – Rp 1.100 (di atas HET). Jika pengecer ingin memperoleh keuntungan
diluar fee yang lebih besar lagi maka penjualan pupuk dilakukan lebih tinggi lagi diatas HET.
3. Persepsi Pedagang Pengecer Terhadap Sistem Penyaluran Pupuk
Menurut para pengecer baik yang berkedudukan di Kabupaten Subang maupun di Kabupaten Cirebon, sistem pendistribusian pupuk
saat ini kurang bagus. Pertama, gudang distributor pada umumnya tidak berlokasi di sentra – sentra produksi atau pelayanan, sehingga
biaya transportasi menjadi mahal dan sering terjadi keterlambatan dalam pendistribusian. Tidak semua distributor mempunyai gudang dan
armada pengangkutan. Selain itu, banyak distributor yang tidak mempunyai armada angkutan, sehingga biaya transpsortasi pada
umumnya dibebankan ke pengecer, dan pengecer selanjutnya membebankan kepada petani. Temuan ini sebenarnya memperlihatkan
bahwa syarat-syarat menjadi distributor sebenarnya tidak dipenuhi. Kedua, sistem rayonisasi yang diciptakan di tingkat kabupaten
sebaiknya diikuti sistem rayonisasi di tingkat distributor dan pengecer. Distributor sebaiknya mempunyai pengecer yang hanya berada di
wilayah kecamatan tertentu saja yang menjadi binaannya. Pada kenyataannya lokasi pengecer dari masing-masing distributor di mana-
VI-116
mana. Pengecer tidak ada kewajiban untuk membeli pupuk dari satu distibutor saja, melainkan boleh ke mana-mana sesuai pasokan pupuk
di distributor. Ketiga, sebaiknya pemerintah mengawasi distribusi pupuk terutama di tingkat distributor agar harga tebus di tingkat pengecer
sama (Rp 1.020) sehingga penjualan pupuk ke petani bisa sesuai dengan harga HET yang ditetapkan pemerintah. Sementara ini margin
pemasaran pupuk terkesan menumpuk pada distributor. Keempat, adanya kenaikan harga BBM saat ini pemerintah sebaiknya juga
melakukan penyesuaian HET yang layak di tingkat pengecer.
3.1.3. Kinerja Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani/Kelompok Tani
1. Mekanisme Perolehan dan Harga Pupuk di Tingkat Petani
Sistem pendistribusian pupuk yang diterapkan saat ini menunjukkan kinerja yang kurang bagus. Hal ini dengan mudah dapat
dibuktikan dengan masih seringnya terjadi isu langka pasok dan lonjak harga pupuk di tingkat petani. Memang kurang berhasilnya sistem ini
menciptakan harga pupuk di tingkat pengecer sesuai HET tidak sepenuhnya disebabkan oleh sistem itu sendiri, tapi juga ada kontribusi
perilaku petani dalam menggunakan pupuk. Berikut akan dibahas kinerja penggunaan pupuk Urea di tingkat petani terutama dari aspek
mekanisme perolehan pupuk, tingkat harga dan jumlah penggunaan pupuk, serta persepsi petani terhadap sistem penyaluran pupuk
bersubsidi yang sedang berjalan saat ini.
Petani pada umumnya dalam memperoleh pupuk tidak melalui kelompok tani, melainkan secara sendiri-sendiri, mengingat banyak
kelompok tani pada saat sekarang tidak berfungsi. Petani membeli pupuk sesuai kebutuhan pada kios terdekat dengan harapan agar biaya
transportasi menjadi lebih murah. Kalau pada kios terdekat tidak ada pasokan pupuk, petani biasanya membeli pada kios lain walaupun
dengan harganya relatif mahal. Khusus untuk pupuk Urea, petani akan mengejar dimanapun ada dan akan berusaha membelinya dengan
harga berapa pun. Petani merasa tenang jika padinya terlihat hijau, sehingga sampai sekarang petani masih memandang pupuk Urea
merupkan pupuk pokok bagi tanaman padi, sementara pupuk lainnya, seperti SP-36 dan KCl hanya bersifat pelengkap saja. Fenomena ini
terbukti kebanyakan petani di Subang tidak menggunakan pupuk KCl karena harganya relatif mahal.
Keragaan tingkat harga dan jumlah penggunaan pupuk di tingkat petani di Kabupaten Subang dan Cirebon berturut-turut disajikan
pada Tabel 7 dan Tabel 8. Selama bulan Juli 2005, harga pupuk di tingkat pengecer yang harus dibayar petani di Subang sangat beragam
dan di semua desa sudah di atas HET (Tabel 7). Rata-rata harga pupuk di tingkat petani atau pengecer berkisar Rp 1.115 –
VI-117
1.238/kg. Harga pupuk di Desa Sukarata Kecamatan Pusaka Negara berkisar Rp 1.080 – 1.200/kg. Harga pupuk tertinggi dalam bulan Juli
pernah terjadi di desa Rawa Mekar, Kecamatan Blanakan yaitu mencapai Rp 1.300/kg. Hal ini terjadi diduga karena banyak petani di desa
yang membeli pupuk pada pengecer tidak resmi, mengingat di wilayah ini jumlah pengecer resmi relatif masih terbatas. Menurut informasi
dari beberapa petani, masih terbatasnya pengecer resmi pada beberapa lokasi menyebabkan munculnya pengecer tidak resmi yang
semestinya membeli pupuk pada pengecer resmi. Pada pengecer resmi harga jualnya sudah diatas HET, sehingga dapat dipastikan harga
pupuk di tingkat pengecer tidak resmi akan jauh diatas HET. Sementara itu, jika petani membeli pupuk secara eceran (tidak dalam satuan
zak) bisa mencapai Rp 1.300 – 1.500/kg.
Tabel 7. Keragaan Jumlah Pemakaian dan Harga Beli Pupuk Urea Pada Tingkat Petani Di Beberapa Wilayah Di Kabupaten Subang, Juli
2005.
Lokasi Harga Zak (Rp/kg)
Harga Eceran (Rp/kg)
1. Desa Sukarata, Kec Pusaka Negara 1.080 - 1.200 1.300 – 1.400
2. Desa Rancadaka, Kec Pusaka Negara 1.080 - 1.250 1.300 – 1.400
3. Desa Rawa Mekar, Kec Blanakan 1.200 - 1.300 1.350 -1.500
4. Desa Pemanukan, Kec. Pemanukan 1.100 - 1.200 1.300 – 1.450
Rataan 1.115 - 1.238 1.313 – 1.438
Volume Pemakaian Urea = 300 - 500 kg/ha
Penggunaan pupuk Urea di tingkat petani juga sudah jauh diatas dosis yang dianjurkan. Pemakaian pupuk di tingkat petani sudah
mencapai 300 – 500 kg/ha, sementara pemupukan Urea yang dianjurkan dan mendapat subsidi dari pemerintah hanya 250 kg/ha.
Penggunaan pupuk yang berlebih ini juga sebagai pemicu melonjaknya permintaan pupuk pada awal-awal musim tanam, yang berdampak
seakan-akan terjadi kelangkaan pupuk.
VI-118
Keragaan harga pupuk di tingkat petani di Kabupaten Cirebon hampir sama dengan Kabupaten Subang. Rata-rata harga pupuk
selama bulan Juli berkisar Rp 1.077 – 1.217/kg (Tabel 8). Harga tertinggi terjadi di Desa Susukan, Kecamatan Susukan yaitu mencapai Rp
1.250/kg. Di Desa ini, termasuk beberapa desa lainnya, ada kecenderungan petani masih fanatik menggunakan pupuk Urea produksi PT.
PKC, walaupun wilayah Cirebon merupakan tanggung jawab PT. Pusri. Alasannya, penggunaan pupuk Urea produksi PT. PKC
menyebabkan pertanaman padi cepat menghijau, sementara pupuk Urea produksi PT. Pusri agak lamban. Sehingga ketika petani
mempunyai modal, mereka akan lebih memilih menggunakan pupuk Urea produksi PT. PKC yang didatangkan dari kabupaten lainnya,
seperti Indramayu. Konsekuensinya petani harus membayar lebih mahal.
Tabel 8. Keragaan Jumlah Pemakaian dan Harga Beli Pupuk Urea Pada Tingkat Petani di Beberapa Wilayah di Kabupaten Cirebon, Juli
2005.
Lokasi Harga Zak (Rp/kg)
Harga Eceran (Rp/kg)
1. Desa Pagegaban, Kec Palimanan 1.080 – 1.200 1.350
2. Desa Beber, Kec Beber 1.080 – 1.200 1.350
3. Desa Susukan, Kec. Susukan 1.070 – 1.250 1.400
Rataan 1.077 – 1.217 1.367
Volume Pemakaian Urea = 300 - 450 kg/ha
Penggunaan pupuk Urea di tingkat petani di Kabupaten Subang juga sudah diatas dosis pemupukan yang dianjurkan. Menurut hasil
kajjian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Perkebunan setempat, bahwa dosis pemakaian
pupuk Urea yang dianjurkan berkisar 170 – 250/kg, sementara dalam kenyataan tingkat penggunaan pupuk jenis ini sudah mencapai 300 –
450 kg/ha.
3. Persepsi Petani Terhadap Sistim Penyaluran Pupuk Bersubsidi
VI-119
Secara umum persepsi petani terhadap sistem pendistribusian pupuk saat ini kurang baik. Hal ini terbukti petani sering kesulitan
dalam mendapatan pupuk. Kalaupun dapat, harganya sudah sangat mahal. Mereka membandingkan pada masa Bimas tidak ada masalah
dalam mendapatkan pupuk. Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab kurang efektifnya sistem pendistribusin pupuk. Pertama,
tidak adanya pengawasan secara ketat dari pemerintah dalam pengawasan pendistribusian pupuk pada Lini IV (pengecer). Petani dengan
bebas membeli pupuk kemana saja dan tidak juga pernah ditanya untuk apa. Bagi petani yang bermodal besar bisa membeli pupuk dalam
jumlah besar dan menyimpannya, dan selanjutnya seringkali menjual ke petani bermodal lemah dengan harga sangat mahal. Pemerintah
sebaiknya mengawasi secara ketat sehingga pendistribusian pupuk bersubsidi sampai kepada yang berhak dan tepat penggunaan. Kedua,
tidak berfungsinya kelompok tani dalam menjembatani petani untuk mendapatkan pupuk menyebabkan petani kalah bersaing dengan petani
bermodal untuk mendapatkan pupuk. Sebenarnya melalui kelompok tani seperti dulu ada jaminan petani akan mendapatkan pupuk sesuai
jumlah, jenis, dan waktu pemupukan yang tepat. Petani pun dapat membayar pupuk setelah panen (yarnen) melalui kelompok tani dengan
bunga yang terjangkau. Ketiga, sering munculnya kelompok tani siluman yang seringkali membeli pupuk dalam jumlah besar selanjutnya
untuk disimpan dan akan dijual kembali pada saat ada isu kelangkaan pupuk. Keempat, masih terbatasnya jumlah pengecer resmi terutama
pada daerah-daerah tertentu sehingga memicu munculnya pengecer-pengecer tidak resmi. Melalui perbanyakan pengecer resmi terutama
pada wilayah R2 (Ring 2) dan R3 (Ring 3) maka akan mampu menghambat munculnya pengecer tidak resmi dan pengecer musiman.
3.1.4. Alternatif Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi.
Subsidi dihitung pada tingkat pengecer. Sehingga pabrik bertanggung-jawab atas biaya angkut sampai ke pengecer. Pengecer
memperoleh biaya angkut dan marjin keuntungan dari pabrik dan bukan dari petani. Dengan demikian, pemerintah hanya fokus dengan
penyaluran pupuk dengan azas 6T.
Pelaksanaan subsidi tingkat pengecer menuntut pembebasan rayonisasi dan kuota sehingga siapapun dapat masuk ke dalam pasar.
Sehingga keadaan ini akan menciptakan persaingan melalui:
a. Peningkatan pelayanan kepada petani
b. Harga HET yang lebih rendah (menguntungkan petani dan pemerintah)
c. Terpenuhi azas 6T
VI-120
Kebijakan ini harus disertai dengan pembenahan sistem penerimaan antara pengecer dengan petani. Pemerintah harus dapat
menetapkan rencana kebutuhan pupuk untuk menentukan besaran subsidi dan ketersediaan pupuk bersubsidi diwilayah serta
menghindarkan dampak disparitas harga.
3.2. Kasus Jawa Tengah
3.2.1. Implementasi Sistem Distribusi Pupuk Urea
Kajian di Jawa Tengah menunjukkan bahwa petani cenderung menggunakan pupuk secara kurang berimbang. Umumnya petani
memberikan pupuk Nitrogen khususnya Urea cenderung berlebih jauh di atas dosis anjuran (300-450 kg vs 200-250 Kg/ha) dan sedikit
dibawah dosis untuk pupuk Phospor atau SP-36 (100 Kg vs 50-75 Kg/Ha, dan sangat kurang untuk pupuk Kalium atau pupuk KCl (50 Kg vs
0-25 Kg/Ha). Permasalahan ini menjadi kompleks karena petani menghadapi dua persoalan yaitu disatu sisi harga jual produk pertanian
cenderung stagnan dan pada sisi lain petani dihadapkan pada masalah meningkatnya biaya produksi dari waktu ke waktu. Kalau kondisi ini
dibiarkan terus berlanjut, dikawatirkan dapat menyebabkan terganggunya stabilitas produksi pertanian khususnya padi.
Kondisi dan permasalahan di atas menyebabkan tidak mudahnya menyusun perencanaan kebutuhan pupuk di suatu wilayah yang
memenuhi enam tepat, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan antara
rencana kebutuhan yang diajukan dan realisasi alokasi penyaluran pupuk di masing-masing daerah.
Dasar dan Mekanisme Pengajuan Kebutuhan Pupuk
Kebutuhan pupuk tingkat propinsi merupakan penjumlahan total dari kebutuhan pupuk di seluruh kabupaten dalam wilayah propinsi
yang bersangkutan. Pengajuan rencana jumlah kebutuhan pupuk didasarkan atas dosis pemupukan dan luas areal tanam suatu wilayah.
Dosis pupuk yang digunakan untuk menghitung kebutuhan pupuk bervariasi antar lokasi. Kasus di Kabupaten Sragen: dosis anjuran
pupuk oleh Dinas Pertanian Kabupaten sama dengan dosis anjuran rataan nasional; Kabupaten Klaten: dosis anjuran pupuk sama dengan
dosis rataan nasional, dan khusus untuk pupuk Urea ditambah 50 kg/ha; dan Kasus Kabupaten Boyolali: dosis pupuk aktual yang
dipraktekkan petani (300-450 kg/ha) dijadikan dasar untuk perencanaan kebutuhan pupuk. Sementara itu, alokasi pupuk bersubsidi
VI-121
didasarkan atas dosis pupuk yang dikeluarkan melalui SK Menteri Pertanian yang relatif seragam antar wilayah. Kondisi ini menyebabkan
adanya variasi kesenjangan antara rencana kebutuhan pupuk yang diajukan, dengan rencana dan realisasi penyaluran yang dilakukan oleh
Produsen Pupuk sesuai rayon wilayah pemasarannya.
Mekanisme pengajuan pupuk adalah sebagai berikut : (1) Dinas Pertanian Kabupaten mengusulkan rencana kebutuhan pupuk dan
ditandatangani melalui SK Bupati/Walikota; (2) Dari Kabupaten diajukan ke Propinsi melalui koordinasi Dinas Pertanian Propinsi dan
ditandatangani Gubernur melalui SK Gubernur; (3) Selanjutnya diajukan ke Pemerintah Pusat; (4) Realisasi alokasi pupuk bersubsidi
ternyata lebih mengacu pada SK Menteri Pertanian dibandingkan dosis pemupukan praktek petani; dan (5) Namun ada mekanisme tertentu
untuk mengajukan tambahan pupuk jika terjadi kelangkaan atau kekurangan pupuk, misalnya terjadi pergeseran pola tanam dari palawija ke
padi.
1. Rencana dan Realisasi Penyaluran Pupuk
Rencana Kebutuhan Urea
Rencana kebutuhan pupuk Urea Bersubsidi di Propinsi Jawa Tengah dapat disimak pada Lampiran 1, 4, dan 5. Berdasarkan tabel
tersebut dan hasil kajian di lapang memberikan beberapa informasi pokok sebagai berikut :
1. Total rencana kebutuhan pupuk Urea yang diajukan oleh Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2004 sebesar 672.031 ton dan pada tahun
2005 meningkat menjadi 719.280 ton.
2. Bulan-bulan dimana rencana kebutuhan pupuk tinggi, terjadi pada bulan Oktober, Nopember, dan Desember dengan rencana
kebutuhan pada periode (2004-2005) yang diajukan masing-masing sekitar 84 ribu – 88 ribu ton, 104 ribu –109 ribu ton, dan 70 ribu –78
ribu ton per bulan.
3. Bulan-bulan dimana rencana kebutuhan pupuk moderat terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni dengan rencana
kebutuhan yang diajukan masing-masing sekitar 53 ribu – 59 ribu ton, 56 ribu – 59 ribu ton, 59 ribu – 65 ribu ton, 64 ribu –67 ribu ton, 54
ribu – 59 ribu ton, dan 45 ribu – 47 ribu ton per bulan.
4. Bulan-bulan dimana rencana kebutuhan pupuk rendah, terjadi pada bulan Juli, Agustus, dan September dengan rencana kebutuhan
yang diajukan masing-masing sebesar 33 ribu – 36 ribu ton, 22 ribu – 23 ribu ton, dan 26 ribu – 28 ribu ton per bulan.
VI-122
5. Secara spasial, lokasi-lokasi dengan rencana kebutuhan pupuk tinggi pada periode (2004-2005) terjadi di Kabupaten Grobogan 76 ribu
– 77 ribu ton, Wonogiri 39 ribu – 42 ribu ton, Pati 38 ribu ton, Brebes 33 ribu – 35 ribu ton. Untuk periode yang sama di Kabupaten
Klaten dan Sragen yang merupakan sentra produksi padi membutuhkan 21 ribu ton dan 29 ribu – 32 ribu ton. Sementara itu, wilayah
rencana kebutuhan pupuknya relatif kecil adalah wilayah kota, seperti Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta,
dan Kota Magelang.
Realisasi Alokasi Pupuk Urea Bersubsidi
Realisasi alokasi pupuk Urea bersubsidi dan realisasi penyaluran dan penjualan pupuk Urea bersubsidi oleh PPD (Pemasaran
Pupuk Daerah) PUSRI di Propinsi Jawa Tengah dapat disimak pada Lampiran 2, 3, 7, 8, dan 9. Berdasarkan tabel tersebut dan hasil kajian
dilapang memberikan beberapa informasi pokok sebagai berikut :
1. Total realisasi alokasi pupuk Urea bersubsidi di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2004 sebesar 601.535 ton atau (89,51%) dari
rencana yang diajukan sebesar 672.031.
2. Bulan-bulan dimana realisasi alokasi pupuk tinggi, terjadi pada bulan Oktober, Nopember, dan Desember dengan alokasi pada tahun
2004 masing-masing sebesar 75.598 ton, 93.229 ton, dan 62.432 ton atau sebesar (89,51%) dari rencana kebutuhan per bulan.
3. Bulan-bulan dimana realisasi alokasi pupuk moderat, terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni dengan alokasi
masing-masing sebesar 47 ribu ton, 50 ribu ton, 53 ribu ton, 57 ribu ton, 48 ribu ton, dan 40 ribu ton atau (89,51 %) dari rencana
kebutuhan pupuk yang diajukan per bulan.
4. Bulan-bulan dimana realisasi alokasi pupuk rendah, terjadi pada bulan Juli, Agustus, dan September dengan realisasi alokasi masing-
masing sebesar 29 ribu ton, 21 ribu ton, dan 24 ribu ton atau (89,51%) dari rencana kebutuhan yang di ajukan per bulan.
5. Secara spasial, lokasi-lokasi dengan realisasi alokasi pupuk tinggi pada tahun 2004 terjadi di kabupaten-kabupaten Grobogan 68 ribu
ton, Wonogiri 35 ribu ton, Pati 34 ribu ton, Brebes 29 ribu ton atau (89,51%) dari rencana kebutuhan yang diajukan. Untuk periode yang
sama di Kabupaten Klaten dan Sragen yang merupakan sentra produksi padi realisasi alokasi masing-masing sebesar 18 ribu ton
(89,51%) dan 26 ribu ton (89,76%) dari rencana kebutuhan yang diajukan.
6. Nampak bawa terdapat kesenjangan antara rencana kebutuhan pupuk yang diajukan dengan realisasi alokasi yang disalurkan dengan
proporsi yang hampir sama (89,51%) yang disebabkan oleh perbedaan asumsi dosis pupuk yang digunakan dalam perhitungan.
VI-123
Realisasi Penjualan Pupuk Urea oleh PPD PUSRI-Jateng
Realisasi penjualan dan penyaluran pupuk Urea oleh PPD PUSRI (2004-2005) di Propinsi Jawa Tengah serta di Kabupaten Klaten
dan Sragen dapat disimak pada Lampiran 3, 7, 8, dan 9. Berdasarkan tabel tersebut dan hasil kajian di lapang memberikan beberapa
informasi pokok sebagai berikut :
1. Total realisasi penjualan pupuk Urea oleh PPD PUSRI-Jateng di Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2004 sebesar 735.158,11 ton dan
pada tahun 2005 hingga bulan Juli telah mencapai 421.602 ton.
2. Bulan-bulan dimana realisasi penjualan pupuk Urea moderat hingga tinggi terjadi pada bulan Oktober-Juli (2004-2005) berkisar antara
50 ribu – 103 ribu ton per bulan.
3. Bulan-bulan dimana rencana kebutuhan pupuk kecil terjadi pada bulan Agustus dan September masing-masing dengan realisasi
penjualan 33 ribu – 34 ribu ton per bulan.
4. Secara spasial, lokasi-lokasi dengan rencana kebutuhan pupuk tinggi pada periode (2004-2005) terjadi di Kabupaten-kabupaten
Grobogan, Blora, Sragen, dan Kabupaten Pati. Untuk periode yang sama di Kabupaten Klaten dan Sragen yang merupakan sentra
produksi padi realisasi penjualan mencapai sebesar 22.465,35 ton dan 41.093,75 ton. Sementara itu wilayah yang kecil realisasi
penjualan pupuknya adalah wilayah kota, seperti Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, dan Kota Magelang.
5. Nampak bahwa secara umum realisasi penjualan pupuk lebih besar dari rencana kebutuhan dan realisasi alokasi, hal ini antara lain
disebabkan oleh : (1) penjualan pupuk Urea oleh PUSRI mencakup kebutuhan untuk pupuk Urea bersubsidi (pangan dan perkebunan
rakyat) maupun yang tidak bersubsidi (perkebunan besar); (2) dosis pemupukan khususnya Urea yang dilakukan oleh petani di atas
dosis pemupukan rekomendasi; dan (3) adanya mekanisme penambahan pupuk oleh Pemda Kabupaten melalui Pemda Propinsi ke
PPD PUSRI, karena adanya pergeseran pola tanam dari palawija ke padi pada MK.
2. Evaluasi Sistem dan Mekanisme Distribusi Pupuk Bersubsidi
Prinsip Dasar Pemberian Subsidi Pupuk
Prinsip dasar kebijakan pemberian subsidi pupuk antara lain adalah : (1) terpenuhinya azas enam tepat dalam distribusi pupuk,
yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu, dengan demikian petani dapat didorong menggunakan pupuk sesuai teknologi
VI-124
pemupukan yang dianjurkan di masing-masing wilayah (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2004); (2) karena subsidi tersebut ditujukan untuk
petani, maka seharusnya subsidi tersebut betul-betul dapat diterima oleh petani, dengan indikasi keberhasilan apabila pengecer
menjual dan petani membayar harga pupuk tersebut sebesar HET; (3) kebijakan pemberian subsidi pupuk tersebut tidak merugikan
pabrikan pupuk, sehingga bagi pabrikan pupuk dapat menerima keuntungan yang wajar; (4) agar kebijakan pemberian subsidi pupuk yang
ditetapkan pemerintah dapat diamankan di tingkat pengecer atau petani, maka harus didukung oleh pola pendistribusian yang efektif dan
efisien; dan (5) perlunya seperangkat sistem dan mekanisme pengawasan yang baik dengan instrumen penerapan sanksi atau hukum
yang tegas bagi yang melakukan pelanggaran.
Sistem Rayonisasi
Adanya permasalahan dalam pendistribusian pupuk bersubsidi menyebabkan pemerintah kembali melakukan penyesuaian dalam
sistem distribusi pupuk melalui sistem rayonisasi. Pada sistem rayonisasi pabrik pupuk harus melayani pasokan ke tingkat kabupaten
atau Lini III, sementara itu pada sistem mekanisme distribusi dibebaskan produsen pupuk hanya bertanggung jawab hingga pemasaran di
Lini II (pemasokan di tingkat propinsi). Saat ini, pembelian pupuk oleh umum di Lini I dan II tidak diperbolehkan. Selain dilarang melakukan
pembelian pupuk di Lini I dan II, distributor diwajibkan membuat manajemen stok pupuk dan memenuhi berbagai persyaratan yang cukup
ketat. Kebijakan pembelian pupuk di lini I (pabrik) dan lini II (distributor Propinsi) ditetapkan atas usulan ‘Tim Interdep’ yang terdiri dari;
pengusaha (produsen), Deptan, Depperindag, Dephut, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menegkop, dan Usaha Kecil Menengah (UKM).
Tugas Tim Interdep adalah merumuskan rencana kebutuhan pupuk untuk sektor pertanian, yang dalam prakteknya yang banyak berperan
adalah Dinas Pertanian dan Bupati/Walikota.
Untuk distributor di wilayah Jawa diharuskan menyediakan stok untuk kebutuhan satu minggu, sedangkan untuk distributor di luar
Jawa harus menyediakan stok untuk kebutuhan dua minggu. Untuk menanggulangi harga pupuk yang dirasakan mahal oleh petani, maka
pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan subsidi transportasi pupuk, khusus untuk daerah terpencil (remote areas) sebesar Rp 200 per kg.
Sistem rayonisasi yang terakhir menggunakan subsidi bahan baku gas.
Namun demikian, implementasi kebijakan sistem rayonisasi dalam penyaluran pupuk masih belum efektif dan cenderung
menyebabkan terjadinya miss-alokasi penyaluran pupuk antar wilayah. Kasus terjadinya kelangkaan pupuk dan melonjaknya harga di atas
HET, terutama jenis Urea, kembali terjadi secara berulang pada setiap musim tanam atau musim penggunaan pupuk tinggi. Hasil kajian di
VI-125
lapang menunjukkan beberapa temuan berikut : (1) ketersediaan pupuk relatif terjamin terutama di tingkat distributor dan pengecer resmi,
sedangkan untuk distributor dan pengecer tidak resmi sering mengalami kekosongan; (2) harga eceran tertinggi (HET) pupuk melalui
distributor dan pengecer resmi masih relatif terkendali pada harga Rp. 1.050/kg, (3) HET pupuk melalui pengecer tidak resmi, kios-kios kecil,
dan kelompok tani di atas HET, karena menerima harga dari distributor atau pengecer resmi sebesar Rp. 1.050-1.100/kg, sehingga mereka
menjual ke petani dengan harga Rp. 1.100-1.300/kg tergantung kondisi pasar dan lokasi, (4) terjadi perembesan pupuk dari wilayah
pemasaran yang satu ke wilayah pemasaran yang lain dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi), yang menunjukkan tidak efektifnya Pola
Kerjasama Operasional (KSO) pada sistem rayonisasi; (5) Terjadinya lonjakan harga di tingkat pengecer dan petani, juga dipicu oleh HET
yang ditetapkan pemerintah sudah tidak realistis lagi, biaya tebus yang ditetapkan pemerintah di Lini II sebesar Rp. 980,-/kg, setelah
ditambah biaya transportasi Rp.20-30/kg dan bongkar muat Rp. 5/kg, fee distributor sebesar Rp 20/kg, dan biaya tidak resmi lainnya Rp.
5/kg, maka biaya pokok di tingkat distributor sekitar Rp.1.030-1035/kg. Kondisi ini mendorong distributor menjual dengan harga diatas HET.
3.2.2. Kinerja Penyaluran Pupuk di Lini IV
1. Wilayah Kerja dan Volume Penyaluran
Wilayah kerja dalam penyaluran pupuk melalui sistem rayonisasi dilakukan pembagian di antara produsen pupuk. Untuk Propinsi
Jawa Tengah menjadi tanggung jawab PT. PUSRI. Pada masing-masing wilayah pemasaran, Pemasaran Pupuk Daerah (PPD) menunjuk
distributor yang memenuhi beberapa persyaratan. Penunjukan sebagai distributor oleh PPD PUSRI harus memenuhi beberapa
persyaratan: (1) berbentuk badan hukum; (2) bergerak dalam bidang usaha perdagangan umum; (3) berpengalaman sebagai distributor
pupuk minimal 2 musim tanam dan telah menunjukkan kinerja distribusi yang baik sesuai penilaian produsen, hasil kajian di Kabupaten
Klaten dan Sragen distributor yang ditunjuk telah berpengalaman puluhan tahun dalam distribusi dan perdagangan pupuk; (4) memiliki
pengurus yang aktif menjalankan roda organisasi; (5) memenuhi persyaratan umum untuk melakukan kegiatan perdagangan yaitu Surat Izin
Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
yang semuanya telah dipenuhi; (6) memiliki atau menguasai sarana untuk kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi, berupa gudang
(pemilikan 1-2 unit) dengan kapasitas 500-750 ton/unit dan alat transportasi (2-3 unit) dengan kapasitas angkut 6-7,5 ton, sehingga dapat
menjamin kelancaran penyaluran sesuai dengan yang menjadi tanggung jawabnya ; (7) mempunyai jaminan distribusi di wilayah kerja yang
VI-126
ditetapkan oleh produsen minimal 1 (satu) pengecer di setiap kecamatan, kajian di lapang menunjukkan satu distributor memiliki (5-10
pengecer resmi); (8) Memiliki permodalan yang dapat dipercaya dan disepakati oleh produsen ; (9) memenihi persyaratan lain yang
ditetapkan oleh produsen.
Mekanisme kontrak SPJB antara produsen dengan distributor
Ketentuan umum pembuatan kontrak/SPJB (Surat Perjanjian Jual Beli) pupuk bersubsidi antara produsen dengan distributor
mencakup :(1) Kontrak/SPJB pupuk bersubsidi antara produsen dengan distributor dibuat untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, perpanjangan
kontrak dapat dilakukan apabila menurut penilaian produsen bahwa distributor tersebut memperlihatkan kinerja yang baik ; (2) Pada
dasarnya alokasi pupuk bersubsidi dari produsen kepada distributor yang akan dituangkan dalam kontrak/SPJB pupuk bersubsidi
berpedoman kepada rencana kebutuhan pupuk bersubsidi di wilayah pemasaran yang menjadi tanggung jawab produsen masing-masing,
kasus di Kabupaten Klaten dan Sragen secara rataan distributor dapat jatah penebusan 25-50 ton/dua hari (kecuali pada hari libur); (3)
Kontrak/SPJB pupuk bersubsidi harus memuat sangsi bagi distributor yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyaluran pupuk
bersubsidi, dan berdasarkan kajian dilapang ditemukan bahwa secara temporal terjadi pelanggaran, terutama dalam bentuk aliran pupuk ke
luar wilayah kerja pemasarannya.
Peran Distributor
Tugas dan tanggung jawab distributor antara lain adalah : (1) Bertanggung jawab atas kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi dari
Lini III ke Lini IV di wilayah kerjanya, di lapang ditemukan bahwa para distributor juga bertindak sebagai pengecer atau menjual langsung ke
kelompok-kelompok tani dengan harga yang dapat mencapai Rp. 55.000/50 kg; (2) Bertanggung jawab agar pupuk bersubsidi sesuai
dengan jumlah dan jenisnya sampai dan diterima oleh pengecer sesuai nama, alamat dan wilayah kerja yang diajukan pada saat pembelian;
(3) Menyalurkan pupuk bersubsidi hanya kepada pengecer yang ditunjuk sesuai dengan harga yang ditetapkan, dijumpai kasus-kasus
dalam jumlah terbatas terjadinya perdagangan pupuk antar wilayah pemasaran, masuknya pupuk Kujang ke Jateng dan diduga juga
terjadinya aliran pupuk Jateng ke Jatim terutama pada wilayah-wilayah berbatasan; (4) Bertanggungjawab dan menjamin tersedianya stok
pupuk bersubsidi di wilayah kerjanya untuk memenuhi minimal kebutuhan 1 (satu) minggu berikutnya, dalam distributor memiliki kebijakan
pupuk dari gudang PPK langsung kirim ke pengecer untuk efisiensi; (5) Melaksanakan sendiri kegiatan pembelian dan penyaluran pupuk
bersubsidi, karena itu : (a) tidak dibenarkan melaksanakan penjualan pupuk bersubsidi kepada pedagang dan atau pihak lain yang tidak
VI-127
ditunjuk sebagai pengecer resmi, ditemukan penjualan langsung oleh distributor ke kelompok tani dan kios-kios desa; dan (b) tidak
dibenarkan memberikan kuasa untuk pembelian pupuk bersubsidi kepada pihak lain, kecuali kepada petugas distributor yang bersangkutan
yang dibuktikan dengan Surat Kuasa dari pengurus/Manajer Distributor yang bersangkutan ; (6) Berperan aktif membantu produsen
melaksanakan penyuluhan dan promosi ; (7) Bersama-sama produsen melakukan pembinaan, pengawasan dan penilaian terhadap
pengecer di wilayah kerjanya ; (8) Diwajibkan memasang papan nama dengan ukuran 1 x 1,5 meter sebagai Distributor pupuk yang resmi di
wilayah kerjanya ; (9) Melaksanaan koordinasi secara periodik dengan instannsi terkait di wilayah kerjanya ; (10) diwajibkan menyampaikan
laporan pengadaan, penyaluran dan posisi stok di gudang yang dikelolanya secara periodik setiap akhir bulan kepada produsen dengan
tembusan kepada instansi terkait dengan menggunakan formulir laporan sebagaimana tercantum pada lampiran VI keputusan ini ; (11)
distributor menentukan cakupan wilayah penyaluran pupuk bersubsidi kepada para pengecer yang ditunjuknya, dalam prakteknya sulit
terutama pengecer-pengecer yang berlokasi di pasar dan di daerah-daerah perbatasan.
Beberapa persyaratan penunjukkan sebagai pengecer antara lain adalah : (1) Berbentuk usaha perorangan atau badan usaha yang
memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan; (2) Bergerak dalam bidang usaha di perdagangan umum; (3)
Berpengalaman sebagai pengecer pupuk minimal 2 musim tanam dan telah menunjukkan kinerja distribusi yang baik sesuai penilaian
distributor; (4) Memiliki pengurus yang aktif mengelola perusahaannya; (5) Memiliki atau menguasai sarana untuk kelancaran pelaksanaan
penyaluran pupuk bersubsidi yang dapat menjamin kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah kerja masing-masing; (6)
Mempunyai jaringan distribusi di wilayahnya yang ditetapkan oleh Distributor minimal 1 (satu) di setiap kecamatan; (7) Memiliki permodalan
yang dapat dipercaya dan disepakati oleh Distributor; dan (8) Memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan oleh Distributor.
Tanggung jawab pengecer antara lain adalah : (1) Bertanggung jawab atas pupuk bersubsidi yang diterima dari Distributor dan
kelancaran penyalurannya kepada petani; (2) Menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai peruntukannya; (3) Bertanggungjawab dan menjamin
tersedianya stok semua jenis pupuk bersubsidi di wilayah kerja masing-masing untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Distributor yang bersangkutan; (4) Hanya menerima pupuk bersubsidi dari Distributor yang ditunjuk oleh Produsen; (5)
Melaksanakan sendiri kegiatan penyaluran pupuk bersubsidi kepada Petani sesuai dengan cakupan wilayah penyalurannya; (6)
Menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai dengan Harga Eceran Teringgi (HET) yang berlaku dalam kemasan 50 kg termasuk NPK dalam
kemasan 20 Kg, di mana harga Urea Rp. 1.050/kg, dalam kenyataannya ditemukan pengecer yang menjual di atas HET yaitu sebesar Rp.
VI-128
1.100-1.200/kg; (7) Memasang papan nama dengan ukuran 0,50 X 0,75 meter sebagai pengecer resmi dari Distributor yang ditunjuk oleh
produsen ; dan (8) Memasang daftar harga sesuai HET yang berlaku.
2. Mekanisme Pengadaan, Penyaluran, dan Tingkat Harga
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk di Tingkat Distributor dan Tingkat Harga
Pengadaan dan penyaluran pupuk Urea di wilayah Jawa Tengah merupakan wilayah rayon yang menjadi tanggung jawab PT
PUSRI. Pengadaan pupuk Urea PUSRI masuk ke Propinsi Jawa Tengah melalui pelabuhan Cilacap dan Semarang. Kapasitas Unit
Pengantongan Pupuk (UPP) Semarang dan Cilacap sebesar 70 ribu ton/bulan. Harga jual pupuk Urea PUSRI di Lini II - Semarang dan
Cilacap sebesar Rp. 940.000-945.000,-/ton. Dari Lini II/UPP Semarang dan Cilacap didistribusikan Gudang Lini III Produsen PT. PUSRI
yang terdapat di masing-masing kabupaten. Harga penebusan Urea di Lini III (di Gudang PPK) oleh distributor sebesar Rp. 950-980/kg
(tergantung jarak dari UPP Semarang dan Cilacap ke kota-kota kabupaten). Mekanisme pengadaan pupuk di Jawa Tengah dilakukan
dengan sistem penjatahan menurut kabupaten berdasarkan realisasi alokasi pupuk bersubsidi dan distributor yang ditunjuk. Terdapat 181
distributor pupuk resmi yang ada di Propinsi Jawa Tengah, sedangkan hasil klarifikasi di tingkat propinsi, kabupaten dan di lapang terdapat
232 distributor. Sementara itu jumlah pengecer diperkirakan >2000. Setelah distributor mengirimkan atau memfax bukti pembayaran
melalui rekening Bank maka Distributor akan menerima DO atau bukti penebusan. Penebusan dilakukan di Gudang Lini III, di mana biaya
angkut ditanggung oleh Distributor. Tingkat harga yang dibayar oleh Distributor ke PPK Kabupaten Klaten dan Sragen atau harga
penebusan pupuk Urea oleh distributor sebesar Rp. 980/kg. Selanjutnya pupuk diangkut ke gudang distributor atau langsung ke gudang-
gudang pengecer resmi.
Persepsi PPD PUSRI dan Distributor pupuk di Jawa Tengan lebih baik kalau pasar pupuk dibebaskan saja, karena terbukti semakin
diatur menjadi semakin rumit dan tetap terjadi kelangkaan pupuk dan gejolak harga.
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk di Tingkat Pengecer dan Tingkat Harga
Jumlah Distributor pupuk Urea PUSRI di Kabupaten Klaten ada 11 (sebelas) pedagang. Masing-masing distributor membawai 6-8
pedagang pengecer dengan wilayah kerja setiap pengecer 2-4 kecamatan.
VI-129
Pengadaan pupuk Urea bersubsidi di terima di tempat pedagang pengecer resmi dengan harga Rp. 1.020/kg atau kalau kapasitas
pedagang pengecer terbatas mengambil sendiri ke distributor dengan harga yang sama Rp. 1.020/kg. Rata-rata kapasitas gudang di
pengecer sebesar 10 ton. Kemudian pupuk tersebut disalurkan ke kelompok tani dan petani secara langsung dengan harga Rp. 1.050/kg
dengan pembayaran kontan (70 %) dan bayar setelah panen/yarnen (30 %). Tetapi untuk daerah remote, harga eceran pupuk bisa
mencapai Rp, 1.300/kg. Untuk pembayaran dengan sistem yarnen dikenakan tingkat suku bunga sebesar 3 %/bulan. Rata-rata volume
penjualan oleh pedagang pengecer resmi sebesar 60 ton pada MH dan MK-I dan 40 ton pada MK-II.
3. Persepsi Pedagang Pengecer Terhadap Sistem Penyaluran Pupuk
Persepsi pedagang pengecer terhadap sistem penyaluran pupuk berbeda antar jenis pedagang pengecer. Bagi pedagang pengecer
resmi sistem penyaluran melalui sistem rayonisasi di pandang lebih baik dengan beberapa argumen sebagai berikut: (1) secara periodik
pengadaan pupuk lebih terjamin; (2) Penyaluran pupuk ke petani juga berjalan lancar, karena tidak terjadi persaingan pupuk antar produsen
dan antar pedagang pengecer, sehingga resiko kerugian hampir tidak ada; (3) Kelangkaan pupuk relatif dapat ditekan dengan harga yang
relatif stabil, dengan kisaran harga Rp 1.050 - Rp 1.100/kg dan untuk daerah remote area bisa mencapai Rp 1.200 – Rp 1.300/kg; dan (4)
Mekanisme sistem pembinaan dan pengawasan juga lebih mudah.
Bagi pengecer tidak resmi sistem rayonisasi di pandang kurang menguntungkan karena beberapa alasan: (1) adanya perbedaan
harga antara pedagang pengecer resmi dan tidak resmi meskipun membeli di pedagang distributor yang sama; (2) menciptakan persaingan
yang tidak sehat antar pedagang pengecer padahal sama-sama melayani masyarakat petani; (3) sistem ini hanya memberikan margin
tataniaga yang sangat tipis (Rp 50-100/kg) dengan volume penjualan yang relatif kecil, sehingga berjualan pupuk di pandang sebagai kerja
bakti, pedagang pengecer lebih mengandalkan mendapatkan keuntungan dari penjualan pestisida.
3.2.3. Kinerja Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani
1. Mekanisme Perolehan Pupuk di Tingkat Petani dan Tingkat Harga
VI-130
Pada saat distribusi pupuk dilakukan dengan sistem rayonisasi maka petani sebagian pesar memperoleh pupuk langsung dari
pedagang pengecer resmi (60%), langsung ke pedagang distributor di kota (10%) dengan harga sama dengan harga di pedagang
pengecer, dan melalui KUD/Koptan/Kelompok Tani pengecer (10%), dan melalui kios-kios pengecer tidak resmi (20%). Sistem transaksi di
tingkat petani sebagian besar dilakukan secara kontan atau bayar tunai (70%) dan bayar setelah panen (30%).
Tingkat harga yang dibayar petani bervariasi antar wilayah di dalam satu propinsi dan antar kecamatan atau desa dalam Kabupaten
yang sama. Hasil pemantuan dan evaluasi serta hasil kajian dilapang memberikan informasi tentang tingkat harga yang di jual pedagang
pengecer dan tingkat harga di bayar oleh petani. Secara lebih terperinci dapat disimak pada Tabel 9.
Tabel 9. Tingkat Perkembangan Harga Hasil Pemantauan dan Kajian di Propinsi Jawa Tengah, 2005.
Pengecer Resmi Pengecer Non Resmi No. Kabupaten Aksessibilitas
Baik Remote
Area Aksessibilitas
Baik Remote
Area 1. Jepara1) 1.050 1.100 1.200 1.300
2. Magelang1) 1.050 1.100 1.200 1.250-1.300
3. Tegal1) 1.050 1.100 1.100-1.150 1.200-1.300
4. Kendal1) 1.050 1.100 1.100-1.150 1.200
5. Klaten2) 1.050 1.100 1.080-1.140 1.200
6. Sragen2) 1.050 1.100 1.080-1.140 1.200
Sumber : 1) Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah, 2005 2) Data Primer, 2005
Beberapa temuan pokok hasil pemantauan dan evaluasi serta kajian di Kabupaten Klaten dan Sragen adalah sebagai berikut :
1. Ketersediaan Stok pupuk di gudang baik di Lini III, Distributor, dan pengecer resmi kurang memenuhi target yang ditetapkan, sehingga
produsen pupuk yang bertanggung jawab pada wilayah pemasaran diharapkan menambah pasokan pupuk setiap bulannya, hal ini
disebabkan jatah yang diterima para distributor berkisar antara 25-50 ton/2hari, namun yang sering terealisasi adalah 25 ton/2hari.
VI-131
2. Adanya variasi ketersediaan stok di distributor yang kurang merata, baik antar wilayah atau tempat maupun antar waktu, diperkirakan
pada saat musim tanam atau musim penggunaan pupuk tinggi akan terjadi kelangkaan pupuk dan harga di atas HET.
3. Adanya distributor yang berdomisili di luar wilayah kerjanya akan menyulitkan tim pemantau pupuk dan mendorong terjadinya aliran
pupuk ke luar wilayah layanan.
4. Masih ditemukan beredarnya pupuk Urea non PUSRI di wilayah Jawa Tengah, seperti pupuk Kujang dan Petrokimia Gresik, karena
adanya beberapa daerah yang fanatik terhadap merk pupuk Kujang, seperti yang dijumpai di Kabupaten Klaten.
Beberapa akibat yang ditimbulkan dari beberapa permasalahan di atas antara lain adalah :
1. Adanya kesenjangan antara rencana kebutuhan pupuk dengan kebutuhan riil petani, karena secara umum petani menggunakan pupuk
Urea jauh di atas dosis rekomendasi.
2. Peluang terjadinya kelangkaan pupuk yang akan berdampak pada peningkatan harga pupuk di atas harga HET.
3. Konsekuensinya adalah menambah beban biaya produksi yang harus ditanggung petani atau subsidi yang dikeluarkan pemerintah tidak
sepenuhnya diterima oleh petani.
4. Menimbulkan keraguan bagi kalangan masyarakat petani di pedesaan terhadap keseriusan pemerintah dalam memberikan subsidi
pupuk.
5. Meskipun telah dibentuk tim pengawas pupuk pada berbagai tingkatan, dalam prakteknya pemantauan dan pengawasan secara
keseluruhan sulit dilakukan, karena keterbatasan personil dan pendanaan.
6. Mengurangi alokasi dan ketersediaan pupuk Urea bersubsidi pada daerah-daerah terpencil.
2. Persepsi Petani Terhadap Terhadap Sistem Penyaluran Pupuk Bersubsidi
Fenomena terjadinya kelangkaan pupuk terutama jenis pupuk Urea, merupakan kasus kejadian yang berulang hampir setiap tahun,
terutama pada saat musim tanam atau menjelang dan saat pemupukan. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat
pengecer atau petani, jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah. Kelangkaan pupuk dan kenaikan harga pupuk di atas HET ini antara
VI-132
lain disebabkan beberapa faktor: (1) masih adanya kelemahan program kebijakan distribusi pupuk yang dibangun; (2) belum dipatuhinya
secara sempurna peraturan-peraturan tentang distribusi pupuk bersubsidi oleh pihak-pihak terkait dalam hal ini adalah produsen pupuk,
distributor, pengecer resmi dan kios-kios kecil atau pengecer tidak resmi; (3) masih adanya senjang dosis pemupukan yang dipakai dalam
penyusunan rencana kebutuhan pupuk yang diajukan dengan dosis pupuk yang dipraktekkan petani; (4) adanya aliran pupuk dari satu
wilayah ke wilayah lain dalam pasar pupuk yang sama (pasar bersubsidi), baik antar daerah dalam wilayah pemasaran yang sama maupun
antar propinsi atau wilayah pemasaran yang berbeda; dan (5) adanya ekspor pupuk Urea baik secara legal maupun ilegal karena adanya
disparitas harga yang cukup tinggi.
Pada prinsipnya para petani berfikir secara sederhana terhadap usahatani yang digelutinya, yaitu bagaimana usahatani yang
dilakukan dapat memberikan tingkat produktivitas tinggi dan output yang dihasilkan dapat laku dijual dengan harga yang layak. Persepsi
petani terhadap sistem penyaluran pupuk bersubsidi dengan mekanisme dan sistem yang manapun adalah bagaimana pupuk tersedia
secara cukup dengan harga yang seimbang antara harga pupuk dengan harga jual gabah atau beras.
Persepsi petani terhadap mekanisme dan sistem distribusi pupuk rayonisasi atau pembagian wilayah pemasaran adalah sebagai
berikut: (1) dalam sistem ini secara relatif ketersediaan pupuk dan harga cukup stabil, meskipun diakui secara temporal masih terjadi
kelangkaan dan harga di atas HET, sesungguhnya pada mekanisme pasar bebas tingkat ketersediaannya lebih baik namun jika ada gejolak
tidak ada yang bertanggung jawab; (2) sebagian besar petani di daerah-daerah sentra produksi padi dengan aksessibilitas baik dapat
menerima harga sesuai HET, meskipun terjadi kasus-kasus kecil harga di atas HET, terutama jika petani membeli dengan sistem
pembayaran setelah panen atau jika petani membeli dari pengecer tidak resmi; (3) secara umum petani di daerah-daerah terpencil atau
remote area membayar harga pupuk jauh di atas HET.
3.2.4. Alternatif Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi
Untuk menjamin ketersediaan pupuk yang memenuhi 6 (enam) azas tepat yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu
serta untuk dapat menjamin HET yang ditetapkan pemerintah aman sampai di tingkat pengecer atau petani pengguna, maka di perlukan
beberapa penyempurnaan dengan dukungan managemen operasional yang efektif dan efisien.
1. Pelaku Distribusi (Holding Company, Rayonisasi, Pasar Bebas)
VI-133
Holding Comapany dengan PT PUSRI sebagai Monopoli Distribusi
Berbagai permasalahan pokok yang dihadapi pada periode holding company antara lain adalah: (1) Tidak adanya standarisasi
produk pupuk Urea antar produsen pupuk, yang ada hanyalah pemberian kantong yang sama; (2) Kurang adanya persaingan yang sehat
menyebabkan kurangnya inovasi dalam industri pupuk dalam menghasilkan pupuk berkualitas; (3) Terjadinya perembesan atau aliran
pupuk bersubsidi ke non-subsidi (sub sektor tanaman ke sub sektor perkebunan besar); (4) Disinyalir terjadinya ekspor ilegal pupuk (Urea)
akibat terjadinya disparitas harga yang cukup tinggi antara pasar dalam negeri dan luar negeri; (5) Tingginya harga pupuk impor (KCL, TSP,
dan ZA) karena melemahnya nilai rupiah terhadap dolar.
Pelaku distribusi pada sistem holding company ini nyaris sepenuhnya dikuasai oleh PT. PUSRI dengan jaringan infrastruktur
kelembagaan baik berupa kantor PPD Propinsi dan PPK Kabupaten dan prasarana pergudangan yang relatif tersedia di seluruh wilayah.
Pada periode tersebut distribusi pupuk dilakukan melalui distributor yang ditunjuk oleh PT. PUSRI, namun belum menggunakan
persyaratan-persyaratan yang memadai, sehingga penyimpangan pada periode ini cukup besar, sehingga kelangkaan pupuk dan gejolak
harga masih sering terjadi.
Rayonisasi atau Pembagian Wilayah Pemasaran
Hasil kajian di lapang tentang sistem distribusi pupuk dengan sistem rayonisasi merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut:
(1) ketersediaan pupuk relatif tersedia terutama untuk distributor dan pengecer resmi, sedangkan untuk distributor dan pengecer tidak resmi
sering mengalami kekosongan; (2) Ditemukan adanya distributor yang menjual langsung ke kelompok tani atau kios pengecer tidak resmi,
dengan cara membuka Usaha Dagang (UD) lain dengan nama berbeda yang khusus ditujukan untuk melayani pengecer tidak resmi dan
kelompok tani dengan harga ditingkat distributor sebesar HET di tingkat pengecer; (3) harga eceran tertinggi (HET) pupuk melalui distributor
dan pengecer resmi masih relatif terkendali pada harga Rp 1.050/kg, namun harga pupuk melalui pengecer tidak resmi, kios-kios kecil, dan
kelompok tani di atas HET, karena dia menerima harga dari distributor atau pengecer resmi sebesar Rp 1.050 – Rp 1.100 /kg, sehingga
mereka menjual ke petani dengan harga Rp 1.100 – Rp 1.300/kg tergantung kondisi pasar dan lokasi; (4) terjadi perembesan pupuk dari
wilayah pemasaran yang satu ke wilayah pemasaran yang lain dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi), yang menunjukkan tidak
efektifnya Pola Kerjasama Operasional (KSO) pada sistem rayonisasi; (5) Terjadinya lonjakan harga di tingkat pengecer dan petani, juga
dipicu oleh HET yang ditetapkan pemerintah sudah tidak realistis lagi. Pada saat ini terdapat distribuor resmi sebanyak 181 unit yang
VI-134
tersebar di 29 Kabupaten atau Kota di wilayah Jawa Tengah. Namun hasil penelusuran di lapang diperoleh informasi bahwa jumlah
distributor ini sedikit lebih besar lagi. Sebagai ilustrasi di Kabupaten Klaten terdapat 6 distributor resmi, hasil klarifikasi di lapang ternyata
terdapat 11 distributor resmi, di mana 4 distributor berdomisili di Klaten dan 7 berdomisili di luar Klaten. Kasus yang sama ditemukan di
Kabupaten Sragen, distributor yang terdaftar di PPD PUSRI Jawa Tengah berjumlah 8 unit, namun hasil klarifikasi berjumlah 12 unit.
Sehingga secara keseluruhan jumlah distributor di Propinsi Jawa Tengan berjumlah 232 unit dengan pengecer di atas 2.000 unit.
Mekanisme Pasar Bebas
Sementara itu, dampak negatif dari kebijakan distribusi pupuk melalui mekanisme pasar bebas antara lain adalah: (1) tidak adanya
tanggung jawab bagi para pelaku ekonomi pupuk seperti produsen, distributor, dan pengecer dalam menjaga ketersediaan dan stabilitas
harga pupuk; (2) munculnya pelaku-pelaku tataniaga pupuk yang berperilaku hit and run, yaitu masuk ke pasar saat musim pemupukan dan
meninggalkan pasar saat harga kurang menarik; (3) munculnya pupuk alternatif yang relatif murah, namun dengan standar mutu produk
yang tidak terjamin; (4) menurunnya penggunaan pupuk SP-36, KCl, dan ZA oleh petani karena harganya relatif mahal, dan (4) pasar pupuk
yang mengarah ke oligopolistik, dimana hanya distributor bermodal kuat yang mampu membeli pupuk di Lini I dan II, serta bebas
menyalurkan pupuk ke daerah yang bukan wilayah kerjanya.
Pada sistem manapun yang dipilih, penyempurnaan yang perlu dilakukan, antara lain adalah: (1) adanya standarisasi produk pupuk
antar produsen baik secara fisik maupun kandungan unsur haranya, sehingga secara alami produsen pupuk akan menjual produk
kedaerah-daerah dalam jangkauan yang efektif dan efisien; (2) Setiap produsen pupuk wajib memiliki atau menguasai gudang hingga Lini III
pada wilayah-wilayah pemasarannya dan didukung oleh sarana dan prasarana pendukung secara baik; (3) Adanya persyaratan-persyaratan
yang memadai dalam penunjukkan distributor dan pengecer pupuk resmi; (4) Untuk mendorong tingkat persaingan yang kondusif maka
produsen dianjurkan melibatkan partisipasi berbagai kelembagaan ekonomi yang eksis dan memenuhi syarat di masing-masing wilayah,
seperti swasta, BUMN/BUMD, Koperasi/KUD/ Koptan, Kelembagaan Gaboktan dan Kelompok Tani; (6) Memperbanyak pengecer resmi
hingga merata di seluruh wilayah kecamatan-kecamatan dan pelosok desa; dan (8) Adanya sistem pengawasan yang handal dan didukung
oleh personil yang handal dan dukungan pendanaan untuk menghindari penumpukan pupuk secara berlebihan dan melindungi petani dari
pemalsuan pupuk; serta (9) Dapat ditegakkannya sistem hukum baik sistem reward and punishment yang dapat menunjang sistem distribusi
pupuk secara efektif dan efisien.
VI-135
2. Sistem Distribusi
Berdasarkan analisis terhadap sistem distribusi pupuk yang pernah diberlakukan mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-
masing. Beberapa penyempurnaan yang dipandang dapat memperlancar mekanisme dan sistem distribusi antara lain adalah :
1. Pemerintah Daerah melalui Dinas Teknis Pembina tingkat kabupaten/kota bersama produsen pupuk merencanakan kebutuhan pupuk
bersubsidi per musim tanam selama satu tahun, dirinci menurut kecamatan dan desa.
2. Adanya dualisme dalam penentuan dosis pemupukan yang digunakan yaitu berdasarkan SK Menteri Pertanian dan berdasarkan dosis
pupuk praktek petani harus ada solusi, khususnya untuk pupuk Urea, solusi dapat ditempuh dengan memberi toleransi lebih dalam
batas yang wajar (50 kg/ha).
3. Produsen pupuk menyiapkan stok pupuk bersubsidi di GPP (lini II) sesuai dengan SK Bupati/Walikota dan menyalurkan pupuk bersubsidi
tersebut sesuai dengan D.O. yang diminta oleh SPPB (Stasiun Penyaluran Pupuk Bersubsidi) atau distributor yang ditunjuk.
4. Jumlah distributor resmi/SPPB dan pengecer resmi yang ada dimasing-masing wilayah disesuaikan dengan wilayah kerja.
5. Disarankan bahwa distributor adalah pedagang yang telah berpengalaman dan berdomisili di kabupaten/kota yang menjadi wilayah
kerja.
6. Melibatkan kelembagaan ekonomi yang eksis di masing-masing wilayah (BUMD, Koperasi/KUD/Koptan) baik sebagai distributor maupun
pengecer resmi.
3. Sistem Penerimaan
Pada dasarnya penerima pupuk bersubsidi adalah masyarakat petani, baik secara berkelompok maupun secara individu. Beberapa
penyempurnaan yang perlu dilakukan antara lain adalah :
1. Memperbanyak pedagang pengecer resmi asli bukan dengan mengatasnamakan saudara/famili atau tenaga kerja yang dibayar,
terutama pada daerah-daerah remote area.
2. Kelembagaan Gapoktan/kelompok tani diberi akses untuk memperoleh pupuk sesuai kebutuhan kelompok dan harga yang sama
dengan harga yang diterima pedagang pengecer, karena kelompok masih harus meyalurkan kembali ke petani individu.
VI-136
3. Penyaluran pupuk bersubsidi oleh distributor diprioritaskan pada kelembagaan kelompok tani yang masih eksis di masing-masing
wilayah.
4. Sistem Pengawasan
Untuk memudahkan dalam pelaksanaan pengawasan maka disarankan :
1. Distributor hanya diperuntukkan yang berdomisili di kabupaten yang menjadi wilayah kerjanya.
2. Tenaga pengawas adalah petugas yang diberi wewenang untuk menerbitkan D.O. sekaligus sebagai petugas yang bertanggung jawab
atas akuntabilitas penyaluran pupuk bersubsidi.
3. Petugas pengawas merekapitulasi seluruh penebusan pupuk bersubsidi dan selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Teknis pembina yang
ditunjuk Bupati/Walikota sebagai koordinator pengawasan.
4. Secara berjenjang realisasi penebusan pupuk bersubsidi dilaporkan ke Dinas Teknis tingkat propinsi untuk selanjutnya dilaporkan ke
Departemen Pertanian dan Departemen Keuangan.
5. Jika terjadi penyimpangan dapat dilakukan tindakan hukum secara tegas tanpa pandang bulu.
3.3. Kasus Jawa Timur
3.3.1. Implementasi Sistem Distribusi Pupuk
1. Rencana dan Realisasi Penyaluran
Di wilayah Jawa Timur terdapat dua produsen pupuk yang ditunjuk pemerintah untuk menyalurkan Pupuk Bersubsidi (Urea, ZA,
SP36 dan Phonska), yaitu PT Petrokimia Gresik (PT PKG) dan PT Pupuk Kalimantan Timur Tbk (PT PKT). Rencana penyaluran Pupuk
Bersubsidi(selanjutnya disebut Pupuk) setiap tahun didasarkan atas rencana kebutuhan pupuk di seluruh wilayah Jawa Timur. Mekanisme
perencanaan kebutuhan pupuk adalah sebagai berikut :
(a) Masing-masing Dinas terkait lingkup pertanian (Pertanian, Perkebunan dan Peternakan) di tingkat Kabupaten/Kota membuat rencana
kebutuhan pupuk per tahun menurut kecamatan berdasarkan taksiran/prediksi luas tanam masing-masing komoditas yang menjadi
tanggungjawabnya. Komoditas pertanian terdiri dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat dan kebun pakan ternak rakyat.
VI-137
Rencana kebutuhan pupuk di masing-masing Kabupaten/Kota tersebut kemudian disampaikan kepada Dinas terkait di tingkat
Provinsi.
(b) Dinas terkait di tingkat Provinsi kemudian membuat rencana kebutuhan pupuk per tahun menurut Kabupaten/Kota. Rencana
kebutuhan pupuk se Jawa Timur per tahun kemudian disampaikan kepada Menteri Pertanian.
(c) Menteri Pertanian kemudian membuat SK mengenai rencana kebutuhan pupuk per tahun di seluruh provinsi di Indonesia.
(d) Gubernur Provinsi Jawa Timur membuat SK rencana kebutuhan pupuk menurut Kabupaten/Kota dengan mengacu pada SK Menteri
Pertanian pada butir (c) tersebut.
(e) Rencana kebutuhan pupuk se Jawa Timur kemudian dialokasikan kepada masing-masing Produsen Pupuk sesuai dengan wilayah
Kabupaten/Kota yang menjadi tanggungjawabnya. PT PKG menangani 12 Kabupaten/Kota untuk pupuk Urea, 38 Kabupaten/Kota
untuk pupuk ZA, SP36 dan Phonska, sedangkan PT PKT hanya menangani pupuk Urea di 26 Kabupaten/Kota.
Realisasi penyaluran pupuk Urea selama Januari – Juni 2005 di Jawa Timur tidak selalu sesuai dengan rencana, seperti terlihat
pada Tabel 10. Kebutuhan pupuk Urea menurut SK Mentan/Gubernur Jawa Timur untuk periode Januari – Juni 2005 lebih tinggi sekitar 10
persen dibanding perkiraan kebutuhan pupuk tersebut, namun jika diperinci menurut bulan maka dalam bulan-bulan tertentu lebih kecil atau
lebih besar.
Tabel 10. Perbandingan antara Kebutuhan dan Realisasi Penyaluraan Pupuk menurut Produsen di Provinsi JawaTimur Januari – Juni 2005
Uraian Jan Feb Mar Apr Mei Jun Total PT. PKG : 1. Kebutuhan (t) 2. SK Mentan/Gub (t) 3. Realisasi (t) Perbandingan (%): 3 terhadap 2 3 terhadap 1 2 terhadap 1
28910 23456 39374
167.86 136.20 81.13
15166 16069 31413
195.49 207.13 105.95
33803 30335 33400
110.10 98.81 89.74
32476 32184 39896
123.96 122.85
99.10
15585 22378 30238
135.12 194.02 143.59
15093 27635 25023
90.55
165.79 183.10
141033 152057 199344
131.10 141.35 107.82
PT. PKT :
VI-138
1. Kebutuhan (t) 2. SK Mentan/Gub (t) 3. Realisasi (t) Perbandingan (%): 3 terhadap 2 3 terhadap 1 2 terhadap 1
63566 51575 75158
145.73 118.24 81.14
41717 44201 42227
95.53
101.22 105.95
28494 25570 38465
150.43 134.99 89.74
41279 40909 53292
130.27 129.10
99.10
36355 52202 57135
109.45 157.16 143.59
26880 49216 50380
102.37 187.43 183.10
238291 263673 316657
120.09 132.89 110.65
Total Jatim : 1. Kebutuhan (t) 2. SK Mentan/Gub (t) 3. Realisasi (t) Perbandingan (%): 3 terhadap 2 3 terhadap 1 2 terhadap 1
92476 75031
114532
152.65 123.85 81.14
56883 60270 73640
122.18 129.46 105.95
62297 55905 71865
128.55 115.36 89.74
73755 73093 93188
127.49 126.35
99.10
51940 74580 87373
117.15 168.22 143.59
41973 76851 75403
98.12
179.65 183.10
379324 415730 516001
124.12 136.03 109.60
Sumber : Bahan Rapat di Jakarta, 12 Juli 2005.
Realisasi penyaluran pupuk Urea secara total (Januari sampai Juni 2005) jauh lebih besar daripada alokasi dalam SK
Mentan/Gubernur Jawa Timur, apalagi jika dibandingkan dengan perkiraan kebutuhan. Dalam rincian bulanan, hanya dalam bulan tertentu
saja realisasi penyaluran lebih rendah daripada target SK Mentan/Gubernur Jawa Timur, yaitu pada bulan Juni untuk PT PKG dan bulan
Februari untuk PT PKT atau bulan Juni untuk seluruh Jawa Timur. Lebih tingginya realisasi penyaluran pupuk Urea dibandingkan dengan
target SK Mentan/ Gubernur Jawa Timur disebabkan antara lain: (a) Lebih tingginya pemakaian pupuk oleh petani dibanding angka
target/rekomendasi, yaitu antara 300 – 350 kg versus 400 – 450 kg per hektar per musim untuk padi; (b) Adanya penggunaan pupuk di luar
yang diperhitungkan dalam target, misalnya karena perluasan areal tanam, konversi lahan hutan untuk pertanian, penggunaan pupuk untuk
kehutanan, tambak, dan lain-lain; dan (c) Adanya rembesan pupuk keluar Jawa Timur.
2. Evaluasi Sistem Pengadaan dan Penyaluran
Yang dimaksud dengan Pengadaan adalah proses penyediaan Pupuk oleh Produsen, sedangkan Penyaluran adalah proses
pendistribusian Pupuk dari Produsen sampai Petani. Untuk wilayah Jawa Timur terdapat 2 Produsen, yaitu PT PKG dan PT PKT.
Penyaluran untuk semua jenis pupuk dari Produsen hingga Petani di wilayah Jawa Timur ditunjukkan pada Gambar 1 untuk PT PKG (Urea,
ZA, SP36, Phonska) dan Gambar 2 untuk PT PKT (Urea).
VI-139
Gambar 1. Skema Panyaluran Pupuk PT Petrokimia Gresik.
Gambar 2. Skema Penyaluran Pupuk PT Pupuk Kalimantan Timur Tbk.
Pabrik di Bontang (Lini I)
Gdg di Surabaya (Lini II)
Gdg Distributor di Kab (Lini III)
Gdg Penyangga di Kab (Lini III)
Kios Pengecer Resmi (Lini IV) Petani
Pabrik di Gresik (Lini I)
Gdg di Gresik (Lini II)
Gdg Distributor di Kab (Lini III)
Gdg Penyangga di Kab (Lini III)
Kios Pengecer Resmi (Lini IV) Petani
VI-140
Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi secara 6 (enam) tepat (jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu) mulai dari Lini I
sampai dengan Lini III menjadi tanggung jawab Produsen di wilayah kerjanya. Produsen wajib mengutamakan pengadaan pupuk bersubsidi
untuk pemenuhan kebutuhan sektor pertanian di dalam negeri. Pengadaan dan penyaluran dari Lini III ke Lini IV menjadi tanggung jawab
Distributor, yaitu Badan Usaha yang berkedudukan di Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Produsen untuk melakukan pembelian,
penyimpanan, penjualan dan pemasaran Pupuk dalam partai besar untuk dijual kepada Petani melalui Pengecer-nya. Distributor pupuk PT
PKG yang lokasinya berdekatan dengan gudang pupuk di Gresik dan Distributor pupuk PT PKT yang lokasinya berdekatan dengan gudang
pupuk di Surabaya dapat mengambil pupuk langsung dari gudang-gudang terkait tersebut. Menurut peraturan yang berlaku, masing-masing
Distributor menyalurkan kepada seluruh Pengecer yang berlokasi di kota Kecamatan dan/atau Desa yang merupakan wilayah kerjanya.
Pengecer bisa berbentuk Badan Usaha atau usaha perseorangan yang berkedudukan di kota Kecamatan dan/atau Desa yang
bertanggungjawab menyalurkan pupuk dari Lini IV kepada Petani yang berlokasi di wilayah kecamatan yang menjadi tanggungjawabnya.
Ketentuan yang menyangkut harga dan biaya penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi saat ini berdasarkan nilai tukar Rp 8.600/US$
adalah sebagai berikut: (1) Harga jual Produsen kepada Distributor adalah Rp 980/kg di gudang Distributor; (2) Harga jual maksimum dari
Distributor ke Pengecer adalah Rp 1.020/kg; (3) Harga jual maksimum (HET) dari Pengecer ke Petani adalah Rp 1.050/kg; (4)
Marjin Distributor sebesar Rp 40/kg dialokasikan untuk fee Distributor Rp 18/kg dan sisanya Rp 22/kg untuk biaya angkutan dan
bongkar/muat; dan (5) Marjin Pengecer sebesar Rp 30/kg dialokasikan untuk fee Pengecer, biaya angkutan ke desa dan bongkar/muat.
Dengan turunnya nilai tukar dari Rp 8.600 menjadi Rp 9.700 saat ini, serta naiknya harga BBM, maka Distributor dan Pengecer mengalami
tekanan marjin (terutama biaya angkutan) yang makin berat.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi Distributor pupuk bersubsidi di Jawa Timur, yaitu: (1) Berbentuk
Badan Hukum (BUMN, BUMD, UD, CV, Koperasi, dll); (2) Bergerak dalam bidang usaha perdagangan umum; (3) Sudah berpengalaman
sebagai Distributor pupuk minimal selama 2 musim tanam dan telah menunjukkan kinerja yang baik sesuai dengan penilaian
Produsen; (4) Mempunyai pengurus yang aktif menjalankan roda organisasi; (5) Memenuhi syarat-syarat umum untuk melakukan kegiatan
perdaganagn yaitu Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dan TDG; (6) Memiliki atau menguasai sarana untuk kelancaran pelaksanaan penyaluran pupuk berupa gudang dan
alat transportasi; (7) Mempunyai jaringan distribusi minimal 1 (satu) Pengecer Resmi di setiap kecamatan wilayah kerjanya; (8) Memiliki
VI-141
modal yang dapat dipercaya dan disepakati oleh Produsen; (9) Memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan Produsen; dan (10) Mendapat
rekomendasi dari Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan di Kabupaten/Kota setempat.
Tugas dan tanggungjawab Distributor pupuk di Jawa Timur adalah: (1) Menjaga kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III
ke Lini IV di wilayah kerjanya; (2) Menjaga agar pupuk bersubsidi sesuai dengan jumlah dan jenisnya sampai dan diterima oleh Pengecer
sesuai dengan nama, alamat dan wilayah kerjanya yang diajukan pada saat pembelian; (3) Menyalurkan pupuk bersubsidi hanya kepada
Pengecer yang ditunjuk sesuai dengan harga yang ditetapkan; (4) Menjamin ketersediaan stok pupuk bersubsidi di wilayah kerjanya
minimal 1 (satu) minggu berikutnya; (5) Melaksanakan sendiri kegiatan pembelian dan penyaluran pupuk berubsidi; (6) Berperan aktif
membantu Produsen melaksanakan penyuluhan dan promosi; (7) Bersama Produsen melakukan pembinaan, pengawasan dan penilaian
terhadap Pengecer di wilayah kerjanya; (8) Wajib memasang papan nama berikuran 1 x 1,5 meter sebagai Distributor pupuk resmi di
wilayah kerjanya; (9) Melaksanakan koordinasi secara periodik dengan intansi terkait di wilayah kerjanya; (10) Wajib menyampaikan laporan
pengadaan, penyaluran dan posisi stok di gudang yang dikelolanya secara periodik setiap akhir bulan kepada Produsen dengan tembusan
kepada instansi terkait dengan menggunakan format standar tang telah ditentukan; dan (11) Distributor menetapkan cakupan wilayah
panyaluran pupuk bersubsidi kepada Pengecer yang ditunjuknya.
Ketentuan umum dalam penyaluran pupuk bersubsidi oleh Distributor di Jawa Timur adalah: (1) Hubungan kerja antara Produsen
dan Distributor serta antara Distributor dan Pengecer diatur dengan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB)/Kontrak; (2) Sistem pembayaran
adalah secara tunai; (3) Distributor di satu Kabupaten wajib menangani pemenuhan/penyaluran pupuk di seluruh Kecamatan yang ada di
Kabupaten tersebut (termasuk Kecamatan terpencil); (4) Jika terdapat lebih dari satu Distributor dalam satu Kabupaten yang mempunyai
beberapa Kecamatan terpencil, maka akan dilakukan pembagian tugas pemenuhan pupuk di masing-masing Kecamatan terpencil kepada
Distributor yang ada; (5) Apabila Distributor tidak mampu mengamankan kebutuhan pupuk di Kecamatan yang telah ditentukan, maka
Produsen pupuk akan mempertimbangkan Distributor yang bersangkutan untuk disesuaikan alokasinya; (6) Mempetimbangkan
keterbatasan tonase yang disubsidi oleh Pemerintah di wilayah kerja yang menjadi tanggungjawab Produsen, maka pemenuhan kebutuhan
Urea menurut Kabupaten akan disesuaikan dengan kebutuhan riil sesuai dengan angka Dinas Kabupaten yang bersangkutan; (7)
Distributor wajib mengetahui kebutuhan riil pupuk bersubsidi di masing-masing Kecamatan/ Kabupaten di wilayah kerjanya untuk
pemenuhan pupuk secara proporsional untuk menghindari kelebihan pasokan di satu Kabupaten yang dapat menyebabkan berkurangnya
alokasi pasokan ke Kabupaten lainnya serta untuk menghindari kebocoran (rembesan) pupuk ke Kabupaten lain; dan (8) Alokasi penyaluran
VI-142
Urea di suatu Kabupaten sama sekali tidak diperbolehkan disalurkan keluar Kabupaten yang bersangkutan, baik oleh Distributor maupun
Pengecernya. Produsen akan memberikan sanksi kepada Distributor jika Distributor tersebut atau Pengecernya melakukan penyaluran Urea
di luar peruntukan di Kabupaten yang bersangkutan.
Beberapa larangan bagi Distributor di Jawa Timur adalah: (1) Melakukan penyaluran atau menjual pupuk keluar Kabupaten
wilayahnya karena masing-masing Kabupaten telah tersedia Gudang milik Produsen; (2) Menjual pupuk kepada Pengecer yang menyaluran
pupuk keluar Kabupaten; (3) Melakukan pengoplosan atau mengganti kantong (overzak) serta menyalurkan/menjual pupuk kepada pihak
yang melakukan pengoplosan atau penggantian kantong; (4) Memproses Urea Bersubsidi dari bentuk pril ke tablet dan
menyalurkan/menjual Urea Bersubsidi kepada produsen Urea tablet lainnya; (5) Melakukan penimbunan DO Pupuk Bersubsidi; dan (6)
Memperjualbelikan DO Pupuk Bersubsidi.
Tugas dan tanggungjawab Pengecer Resmi adalah: (1) Bertanggung-jawab atas pupuk bersubsidi yang diterima dari Distributor dan
kelancaran penyalurannya kepada Petani; (2) Menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai dengan peruntukannya; (3) Bertanggungjawab dan
menjamin tersedianya stok semua jenis Pupuk Bersubsidi di wilayah kerjanya untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Distributor terkait; (4) Hanya menerima pupuk bersubsidi dari Distibutor yang ditunjuk oleh Produsen; (5) Melaksanakan
sendiri kegiatan penyaluran Pupuk Bersubsidi kepada petani di wilayah kerjanya; (6) Menyalurkan Pupuk Bersubsidi sesuai dengan HET
yang berlaku dalam kemasan @ 50 kg untuk Urea, ZA dan SP 36 dan atau @ 20 kg untuk pupuk NPK (Phonska); (7) Memasang papan
nama dengan ukuran 50 x 75 cm sebagai Pengecer Resmi dari Distributor yang ditunjuk oleh Produsen; dan (8) Memasang daftar harga
pupuk sesuai dengan HET yang berlaku.
Beberapa larangan bagi Pengecer Resmi di Jawa Timur adalah: (1) Melakukan penyaluran atau menjual pupuk keluar Kabupaten
karena di masing-masing Kabupaten telah tersedia Gudang milik Produsen; (2) Menjual pupuk kepada Pengecer lain yang menyalurkannya
keluar Kabupaten; (3) Menjual Pupuk Bersubsidi di atas HET; (4) Melakukan pengoplosan atau penggantian kantong (overzak) serta
menyalurkan/menjual pupuk kepada pihak yang melakukan pengoplosan atau penggantian kantong; (5) Memproses Urea Bersubsidi dari
bentuk pril ke tablet dan menyalurkan/menjual Urea Bersubsidi kepada produsen Urea tablet lainnya; (6) Melakukan penimbunan Pupuk
Bersubsidi; dan (7) Memperjualbelikan DO Pupuk Bersubsidi.
Dalam kenyataannya, ada beberapa jenis pelanggaran yang dilakukan oleh Distributor di Jawa Timur, antara lain: (1) Menjual Pupuk
Urea Bersubsidi di luar peruntukannya; (2) Tidak mempunyai sarana dan prasarana yang dipersyaratkan untuk menjadi distributor, seperti
VI-143
kantor, gudang dan armada pengangkutan. Distributor yang seperti kegiatannya hanya menjual DO saja; (3) Menolak melaksanakan
kewajiban untuk bekerjasama dengan Distributor lain yang berada dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota yang sama; (3) Menetapkan penunjukan
dan pemberhentian Pengecer Resmi-nya tanpa mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Jaminan; (4) Tidak
melaksanakan hubungan kerja dengan Pengecer Resmi-nya berdasarkan pada Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB)/Kontrak dan tidak
menyampaikan fotokopinya kepada Penerima Jaminan; (5) Tidak melakukan pembinaan, pengawasan dan penilaian terhadap Pengecer
Resmi-nya dalam melaksanakan penjualan Pupuk Urea Bersubsidi kepada petani; (6) Menjual Pupuk Urea Bersubsidi kepada bukan
Pengecer Resmi-nya (Pengecer Resmi seharusnya hanya membeli dari satu Distributor); (7) Lalai, gagal atau terlambat dalam menjamin
tersedianya stok Pupuk Urea Bersubsidi di Pengecer Resmi-nya di wilayah kerja yan menjadi tanggungjawabnya minimal untuk kebutuhan
1(satu) minggu berikutnya; (8) Melakukan pengemasan kembali (re-bagging) terhadap Pupuk Urea Bersubsidi tidak dengan merek dagang
aslinya yang mempunyai simbol tertentu dan bertuliskan “Pupuk Urea Bersubsidi Pemerintah”; dan (9) Tidak melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya dalam melaksanakan penyaluran Pupuk Urea Bersubsidi kepada Pengecer Resmi-nya di wilayah kerjanya.
3.3.2. Kinerja Penyaluran Pupuk di Lini IV (Pengecer Resmi)
1. Wilayah Kerja dan Volume Penyaluran
Jumlah Pengecer Resmi dalam satu kecamatan sentra produksi pertanian ada sekitar 3 – 4 Pengecer, sedangkan di kecamatan non
sentra hanya terdapat 1 Pengecer. Di wilayah sentra produksi, volume penyaluran terbesar Pupuk Urea Bersubsidi terjadi pada bulan-bulan
puncak tanam dengan rata-rata 7-8 ton per minggu, sedangkan volume penyaluran dalam jumlah kecil terjadi pada bulan-bulan di luar
musim tanam dengan rata-rata 2-3 ton per minggu. Pada puncak musim tanam, Pengecer sering kekurangan pasokan pupuk karena
permintaan dari petani sangat besar, sedangkan pasokan dari Distributor terbatas.
2. Mekanisme Perolehan dan Penyaluran dan Tingkat Harga
VI-144
Menurut peraturan yang ada, untuk memperoleh pupuk bersubsidi, Pengecer mengajukan permintaan kepada Distributor pupuk
bersubsidi yang telah ditunjuk dan distributor yang bersangkutan mengirimkan pupuk bersubsidi ke kios pengecer. Namun dalam
kenyataannya, banyak kejadian yang menunjukkan Pengecer mengambil sendiri pupuk bersubsidi yang diajukan dan disetujui distributor ke
gudang penyangga pupuk milik produsen yang ada di kabupaten terkait. Kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab, harga pupuk
bersubsidi tidak tepat harga (melampaui HET) pada saat diterima petani, karena pengecer harus mengeluarkan biaya transportasi yang
mestinya ditanggung oleh distributor.
Ketidaktertiban dalam menjalankan mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi inilah yang memicu timbulnya pelanggaran-
pelanggaran lebih lanjut, seperti antara lain : (a) Pengecer resmi menjual Pupuk Urea Bersubsidi dengan harga tunai di atas HET, yaitu
sekitar Rp 54.000 per karung (Rp 1.080/kg) sampai Rp 56.000 per karung (Rp 1.120/kg) kepada petani di pintu pengecer, walaupun pada
kios yang bersangkutan telah dipasang daftar harga pupuk HET untuk Urea Rp 1.050/kg; (b) pengecer (baik resmi maupun umum) membeli
pupuk dari Distributor lain dalam satu wilayah Kabupaten yang sama dan atau dari Kabupaten lain, untuk memenuhi kebutuhan petani
setempat. Kejadian inilah yang sering disebut dengan perembesan pupuk antar wilayah; dan (c) pengecer melakukan penggantian kantong
pupuk bersubsidi merk tertentu dengan merk lain (overzak) yang disukai oleh petani setempat.
Sebagai upaya untuk mendekatkan pupuk bersubsidi ke petani (tercapainya azas 6 tepat) Di Kabupaten Jombang (wilayah PT PKG)
saat ini telah terbentuk Asosiasi Pedagang Prasarana Pertanian Jombang (AP3J). Asosiasi tersebut anggotanya terdiri dari kelompok tani
atau unit usaha bersama di desa yang difungsikan sebagai pengecer pupuk bersubsidi. Kasus di kelompok tani Rukun Santosa, Desa
Tanggalrejo, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang menunjukkan bahwa dengan melakukan pembelian secara langsung ke
Distributor, mereka mendapatkan harga sekitar Rp. 1.030 per kg atau Rp. 51.500 per sak (50 kg). Dengan tingkat harga tersebut, maka
kelompok tani dapat menjual pupuk bersubsidi kepada anggotanya sesuai dengan HET (Rp. 1.050/kg). Selisih Rp. 1.000 per sak digunakan
untuk biaya manajemen dan simpanan bagi kelompok tani.
Selain melayani pembayaran secara tunai, kelompok tani Rukun Sentosa juga melayani pembelian anggotanya dengan cara kredit
yang dibayar setelah musim panen (yarnen). Harga pupuk bersubsidi pola yarnen tersebut ditetapkan sebesar Rp 1.200 per kg atau Rp
60.000 per sak. Ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil dari kasus kelompok tani Rukun Sentosa, yaitu: (a) pemanfaatan dan
pemberdayaan kelompok tani dapat membantu petani mendapatkan pupuk bersubsidi secara 6 tepat, (b) kelompok tani dapat membantu
VI-145
anggotanya yang mengalami keterbatasan permodalan (pola yarnen), dan (c) membantu mengarahkan penyaluran pupuk menjadi lebih
tepat sasaran (penyaluran pupuk menjadi lebih tertutup).
Anggota AP3J saat ini berjumlah 44 Pengecer yang tersebar di 21 Kecamatan. Visi organisasi adalah memberdayakan sosial-
ekonomi masyarakat miskin pedesaan, khususnya petani. Sementara misinya adalah menggerakkan ekonomi pedesaan khususnya
pertanian; memberdayakan petani agar mempunyai daya saing; dan menegakkan keadilan di tingkat petani. Program kerja jangka
pendeknya adalah mengaktifkan kegiatan mikro dan pembinaan petani di pedesan di wilayah Kabupaten Jombang dan menjual sarana
produksi pertanian sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah. Program jangka panjangnya adalah memperkuat lembaga ekonomi
mikro untuk pelayanan kepada petani dan pendampingan petani di wilayah Kabupaten Jombang agar mempunyai daya saing. Namun
dalam kenyataannya, proses perencanaan sampai dengan datangnya pupuk tidak transparan dan agar usaha dapat berjalan diperlukan
modal yang cukup besar untuk digunakan sebagai jaminan kredit (kolateral) karena AP3J melakukan penjualan secara tunai dan yarnen.
3. Persepsi Pengecer terhadap Sistem Penyaluran Pupuk
Keluhan utama Pengecer pupuk bersubsidi di daerah sentra produksi, baik di wilayah PT PKG maupun PT PKT, adalah
keterbatasan alokasi penyaluran pupuk bersubsidi (permintaan > alokasi pupuk yang ditetapkan). Akibatnya, Pengecer (baik resmi maupun
umum), khususnya yang besar, berupaya mendapatkan pupuk dari daerah lain untuk menjaga kontinyuitas usahanya dan ketersediaan
pupuk di wilayahnya. Perdagangan pupuk lintas wilayah dan antar kios inilah yang menyebabkan harga pupuk bersubsidi seringkali
melampui HET dan terjadinya langka pasok pada suatu daerah/wilayah sebagai akibat mengalirnya pupuk dari suatu daerah ke daerah lain.
Keluhan lainnya adalah bahwa marjin Pengecer untuk jalur normal (melalui Distributor terkaitnya) terlalu kecil sehingga sulit untuk menjual
dengan HET. Untuk Pengecer kecil, harga beli dari Distributor lebih tinggi yaitu Rp 1.030/kg, karena Distributor memperhitungkan biaya
angkutan.
Adanya perbedaan pola produksi pupuk (yang berjalan sepanjang tahun) dengan pola permintaan pupuk (berfluktuasi tergantung
musim), telah mendorong produsen pupuk untuk melakukan kontrak jual beli pupuk dengan distributor selama 1 tahun. Dengan adanya
kontrak tersebut, distributor diwajibkan untuk menyalurkan pupuk bersubsidi setiap bulan selama satu tahun penuh. Pada saat permintaan
tinggi, kontrak tersebut tidaklah memberatkan distributor, namun pada saat permintaan pupuk relatif rendah, distributor pada umumnya
VI-146
harus menanggung biaya stok pupuk yang wajib diambil setiap bulan dari produsen pupuk. Untuk mengatasi persoalan pada saat
permintaan pupuk rendah, pada umumnya distributor pada saat-saat tertentu (permintaan rendah) menerapkan strategi pembelian jenis
pupuk yang permintaannya relatif tinggi (untuk kasus Jawa Timur biasanya Urea dan ZA) harus sertai juga pembelian jenis pupuk lain yang
permintaannya relatif rendah (biasanya SP-36). Strategi lain yang biasanya diterapkan adalah menjual pupuk ke daerah/wilayah lain yang
permintaannya sedang tinggi. Bagi pengecer, pola pensyaratan pembelian pupuk oleh produsen tersebut sebenarnya cukup merugikan,
karena perputaran modal menjadi terhambat akibat harus turut menanggung penyaluran pupuk yang permintaannya relatif rendah.
3.3.3. Kinerja Penggunaan Pupuk Di Tingkat Petani/Kelompok Tani
1. Mekanisme Perolehan Pupuk
Pada umumnya petani membeli pupuk secara perseorangan ke Pengecer terdekat (di desa). Walaupun petani mengetahui kalau
membeli pupuk di pengecer resmi (biasanya di kota kecamatan) harganya relatif lebih murah (umumnya masih tetap di atas HET), namun
mereka lebih memilih membeli di kios/pengecer setempat dengan alasan lebih menghemat biaya transportasi dan menghemat waktu.
Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan kios pengecer resmi di tingkat desa sangat diperlukan, karena jumlah pupuk yang dibeli petani
pada setiap pembelian umumnya tidak terlalu banyak (1-2 sak), sementara biaya transportasi semakin meningkat seiring dengan kenaikkan
harga BBM.
Di desa tertentu, seperti di Desa Tanggalrejo, Kabupaten Jombang (wilayah PT PKG), pembelian pupuk dikoordinir oleh kelompok
tani setempat. Kegiatan pembelian pupuk bersubsidi melalui kelompok tani ini telah dimulai sejak musim tanam 2004/2005, dengan total
pembelian sebanyak 28 ton pupuk Urea dan NPK (Phonska), yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan 70 orang anggotanya dengan
total luasan sekitar 51 ha sawah. Pembelian dilakukan dalam empat tahap, dan pembelian setiap tahap ditentukan sekitar 7 ton. Penentuan
setiap pembelian sebesar 7 ton tersebut disesuaikan dengan tingkat optimalisasi biaya angkutan. Pembelian langsung ke Distributor
dilakukan karena mendapatkan harga yang lebih murah dibanding jika membeli dari Pengecer. Menurut Ketua Koptan tersebut, harga
pupuk di Pengecer di Kecamatan Mojoagung tetap diatas HET walapun musim sepi karena pasokan pupuk kurang. Modal Koptan diperoleh
dari dana abadi proyek PMI sebesar Rp 12,5 juta. Pola pembelian serupa juga terjadi di desa Karanganyar dan Apelgading, Kabupaten
Malang (wilayah PT PKT) dan sudah berjalan selama kurang lebih 4 tahun.
VI-147
2. Tingkat Harga yang Dibayar Petani
Tingkat harga pupuk bersubsidi yang dibayar petani bervariasi. Petani yang membeli dari Pengecer membayar pupuk Urea
bersubsidi dengan harga berkisar Rp. 54.000 – Rp. 56.000 per sak atau Rp. 1.080 – Rp. 1.120 per kg di pintu Pengecer. Bagi Koptan Rukun
Santosa di desa Tanggalrejo (Kabupaten Jombang) yang membeli langsung dari Distributor, dapat memperoleh harga di bawah HET yaitu
Rp 51.500 per sak atau Rp. 1.030/kg untuk Urea (HET Rp 1.050/kg) dan Rp 1.500/kg untuk NPK (HET Rp 1.600/kg), terima di desa. Uang
muka yang harus dibayar Koptan adalah 50 persen dari total nilai pembelian dan sisanya dilunasi 2 minggu kemudian setelah terima
barang. Pemesanan (order) pupuk dilakukan setengah bulan sebelum musim tanam (cukup dengan menggunakan telpon), sehingga
Distributor mempunyai waktu yang cukup untuk pengadaannya. Petani anggota Koptan yang membayar pupuk Urea secara tunai dikenai
harga sebesar HET, sedangkan petani yang membayar sesudah panen (yarnen) dikenai harga Rp. 60.000 per sak atau Rp. 1.200 per kg.
Sebagian besar petani membayar kepada Koptan secara tunai.
3. Persepsi Petani terhadap Sistem Penyaluran Pupuk
Menurut petani yang membentuk Koptan, sistem penyaluran yang ditempuhnya yaitu membeli pupuk langsung dari Distributor lebih
baik dibandingkan cara lama atau membeli ke Pengecer, karena dapat mengatasi masalah kelangkaan pupuk dan mendapatkan harga
yang lebih murah. Namun kemudahan ini belum dapat dilakukan oleh semua kelompok tani, karena membutuhkan persyaratan administrasi
yang rapi dan ketersediaan modal yang memadai untuk melakukan pembelian/penebusan pupuk ke distributor. Apabila kebutuhan pupuk
kelompok tani setiap kali pembelian sebanyak 7 ton, maka diperlukan uang kontan sebesar Rp. 7.120.000 atau minimal 50 persennya yang
harus dibayarkan ke distributor.
3.3.4. Alternatif Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi
1. Pelaku Distribusi
Sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian No. 356 Tahun 2004, pelaku distribusi pupuk bersubsidi adalah
distributor dan pengecer resmi. Distributor didefinisikan sebagai badan usaha yang sah yang ditunjuk oleh produsen pupuk untuk
melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan, serta pemasaran pupuk bersubsidi dalam partai besar untuk dijual kepada petani melalui
pengecernya. Sementara itu, pengecer resmi didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang ditunjuk oleh distributor, yang
VI-148
kegiatan pokoknya adalah melakukan penjualan pupuk secara langsung kepada petani. Apabila dicermati sebenarnya pengaturan pelaku
distribusi pupuk bersubsidi pada Kepmenperindag tersebut di atas sudah cukup baik. Penilaian ini didasarkan pada salah satu kalimat
dalam definsi pengecer resmi yang tertulis “…kegiatan pokoknya melakukan penjualan pupuk secara langsung kepada petani”. Kalimat
tersebut mestinya dimaknai bahwa tugas pengecer resmi adalah mendekatkan diri kepada petani agar dapat melakukan penjualan secara
langsung kepada petani. Dengan kata lain, pelaku distribusi yang diatur dalam Kepmenperindag No. 356 Tahun 2004, apabila
melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sebenarnya sudah cukup optimal untuk
menyalurkan pupuk bersubsidi hingga ke petani secara 6 tepat, khususnya tepat harga (petani membeli sesuai HET).
Namun demikian, alternatif penyempurnaan sistem distribusi pupuk bersubsidi, khususnya yang berkaitan dengan pelaku distribusi,
masih dimungkinkan sepanjang mampu memperbaiki kondisi yang terjadai saat ini. Salah satu alternatif pengaturan pelaku distribusi pupuk
bersubsidi adalah pelaku distributor pupuk diserahkan kepada BUMN yang bergerak dalam bidang usaha ekspedisi, sementara pengecer
tetap seperti yang ada saat ini. Keunggulan pengaturan ini adalah manajemen distributor pupuk ada dalam satu perusahaan, sehingga
perhitungan biaya distribusi, khususnya angkutan, dapat lebih efisien dan seragam. Efisien yang dimaksudkan disini adalah perhitungan
kompensasi biaya angkutan untuk lokasi yang relatif jauh dengan yang dekat dapat dengan mudah dilakukan. Sementara maksud seragam
disini lebih ditujukan pada manajemen bisnis. Keunggulan yang lain adalah kemudahan dalam kontrol dan pengawasan, karena distributor
hanya terdiri dari beberapa perusahaan saja di seluruh Indonesia.
2. Sistem Distribusi
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sistem distribusi yang ada saat ini sebenarnya sudah cukup baik sepanjang aturan
yang telah ditetapkan Kepmenperindag No. 356 Tahun 2004 dilaksanakan secara konsisten oleh distributor dan pengecer resmi. Untuk
distributor, konsistensi yang diperlukan adalah dalam hal pemenuhan syarat-syarat sebagai distributor, khususnya yang berkaitan dengan
alat kelengkapan yang harus dimiliki atau dikuasai oleh suatu distributor, seperti kantor, gudang dan armada angkutan. Selain itu, distributor
dilarang memperjualbelikan DO (delivery order) kepada pihak lain yang tidak berhak, karena akan mempersulit kontrol dan pengawasan
peredaran pupuk. Hal lain yang mestinya dilakukan oleh distributor adalah menunjuk beberapa pengecer resmi (tidak hanya satu) di lokasi
yang mudah dijangkau (desa) oleh petani, dan tidak terfokus pada peraturan yang menyatakan minimal mempunyai satu pengecer di tingkat
VI-149
kecamatan. Apabila hal ini dilakukan maka kewajiban pengecer resmi untuk menjual pupuk bersubsidi secara langsung kepada petani
sesuai dengan HET dapat terlaksana.
Alternatif penyempurnaan terhadap sistem distribusi di atas dapat dilakukan dengan menunjuk BUMN yang bergerak dalam bidang
usaha ekspedisi sebagai distributor pupuk seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Alternatif lain yang sedikit ekstrim adalah menyerahkan
sepenuhnya sistem distribusi kepada produsen pupuk. Salah satu keunggulan sistem ini adalah pemerintah relatif lebih mudah dalam
mengawasi pelaksanaan distribusi pupuk. Melalui sistem ini maka apabila terjadi lonjak harga dan/atau langka pupuk di suatu daerah,
pemerintah dapat dengan segera meminta pertanggungjawaban pihak produsen.
3. Sistem Penerimaan
Distribusi pupuk bersubsidi yang ada saat ini menganut sistem distribusi pasif. Artinya, petani secara sendiri-sendiri maupun
berkelompok yang membutuhkan pupuk bersubsidi datang sendiri ke kios pengecer resmi yang umumnya berada di kecamatan. Padahal
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua petani mampu membeli pupuk secara tunai atau bahkan tidak mampu membali
pupuk secara memadai, dan petani yang termasuk kategori ini umumnya melakukan sistem pembelian pupuk tunda bayar (hutang), dimana
pembayarannya dilakukan setelah panen (yarnen). Dengan demikian, sistem distribusi yang ada saat ini, selain pasif juga tidak lengkap.
Tidak lengkap artinya penyaluran pupuk bersubsidi hanya didukung oleh sistem distribusi saja, dan tidak didukung oleh sistem penerimaan
yang baik. Beberapa konsekuensi dari sistem penyaluran pupuk yang pasif dan tidak lengkap adalah : (a) tidak tepat sasaran, karena hanya
petani yang mampu membeli tunai dan dalam jumlah besar saja yang dapat menikmati HET, dan (b) rawan penyimpangan, yaitu pembelian
oleh yang tidak berhak.
Untuk itu perlu dibentuk sistem penerimaan dengan mengaktifkan kembali kelompok tani untuk menjembatani dan memfasilitasi
anggotanya (petani) memperoleh pupuk secara 6 tepat. Kasus di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menunjukkan bahwa pemberdayaan
kelompok tani sebagai penyalur pupuk bersubsidi ternyata mampu menjamin anggota kelompok tani dan petani lain di sekitarnya (di luar
anggota) memperoleh pupuk sesuai dengan HET dan tepat waktu. Kasus tersebut setidaknya menunjukkan bahwa kelompok tani yang
diberdayakan dan dikelola dengan manajemen yang baik, mampu berperan sebagai penyalur pupuk bersubsidi. Untuk dapat berfungsi juga
sebagai kontrol terhadap jumlah pupuk bersubsidi yang disalurkan, sistem penerimaan yang dibentuk dilengkapi juga dengan form
kebutuhan kelompok tani (semacam RDKK) yang disahkan oleh aparat instansi terkait, yang mudah ditemui oleh kelompok tani. Syarat
VI-150
mudah ditemui bagi aparat yang mengesahkan daftar kebutuhan pupuk kelompok tani ini perlu ditekankan untuk menghindari keterlambatan
pengajuan kebutuhan pupuk kelompok tani akibat dari aparat yang sulit atau terlalu sibuk untuk ditemui.
4. Sistem Pengawasan
Salah satu alternatif perbaikan sistem distribusi pupuk adalah dengan mengoptimalkan sistim pengawasan yang sudah ada
sekarang. Selama ini aturan yang ada hanya menghubungkan pengawasan yang dilakukan oleh pihak produsen dan tim pengawas yang
dibentuk pemerintah hanya melalui hasil pengawasan dan bukan pada pelaksanaannya. Oleh karena itu, untuk menyelaraskan pengawasan
yang dilakukan oleh pihak produsen dan tim pengawas pupuk propinsi dan kabupaten maka tata cara pengawasan dan koordinasinya
sebaiknya juga termaktub dalam surat keputusan pemerintah.
Pihak produsen pupuk sebenarnya telah menempatkan tenaga pengawas di tiap kabupaten yang menjadi wilayah penyalurannya. Di
Jawa Timur, Pupuk Kaltim menempatkan 7 orang sales reprensentative, sedangkan Pupuk Petrokimia Gresik menempatkan 8 orang sales
supervisor dan 36 orang asisten sales supervisor. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan pengawasan, diusulkan untuk menempatkan dua
orang staf pengawas dari pihak produsen untuk satu kabupaten yang merupakan wilayah tanggung jawab penyaluran pupuknya. Sebagai
tambahan, tugas dan wewenang yang dibebankan kepada pengawas ini harus sampai memeriksa kinerja dari mulai distributor hingga
pengecer. Disamping itu, wewenang juga harus diberikan sampai pada usulan untuk pemberian sangsi bagi distributor dan/atau pengecer
yang melanggar aturan distribusi.
Frekuensi pengawasan juga dapat lebih dikoordinasikan antara pihak pengawas dari produsen dan tim pengawas pupuk. Tujuannya
agar pengawasan di wilayah dapat dilakukan secara lebih intensif. Sebagai contoh, bila dalam seminggu tim pengawas hanya melakukan
pengawasan selama 2 hari, maka dengan koordinasi pengawas dari produsen maka dalam seminggu dapat dilakukan selama 4 hari,
dengan tambahan 2 hari pengawasan dari pihak pengawas produsen. Upaya perbaikan sistem pengawasan sebenarnya telah dilakukan
oleh PT. PKT dengan cara mendaftar armada pengangkutan yang diperbolehkan mengambil pupuk di Gudang Penyangga Pupuk
Kabupaten. Melalui sistem ini, upaya pengangkutan pupuk keluar wilayah dapat minimalisir.
IV. KESIMPULAN
VI-151
Dalam situasi normal (temuan di lapang bulan Agustus 2005) tanpa ada isu langka pasok, petani tetap membayar harga penebusan
pupuk bersubsidi berkisar 6,7 – 18,1 persen di atas HET. penyebab utama harga pupuk bersubsidi yang dibayar petani di atas HET adalah
(1) ulah distributor yang hanya menjual DO dan (2) ulah pengecer resmi yang mengambil marjin di atas ketentuan yang telah ditetapkan.
Dua hal tersebut dipicu oleh lemahnya kontrol produsen pupuk atas penyaluran pupuk dari Lini III ke Lini IV, padahal produsen tersebut
yang bertanggung jawab atas terjaminnya HET di Lini IV (wan prestasi terhadap pasal 4 ayat 2, SK Menperindag No 356 Tahun 2004).
Dengan sistem distribusi yang berlaku saat ini, sesungguhnya masih ada ruang untuk menjamin HET dengan cara menambah
receiving system, yaitu kelompok tani membeli langsung ke distributor (kasus kelompok tani Rukun Santosa, Jombang, Jawa Timur). Pada
kasus di Kabupaten Jombang, kelompok tani sebenarnya masih dimungkinkan untuk menjual pupuk bersubsidi di bawah HET, karena
kelompok tani tersebut mendapat harga Urea bersubsidi dari distributor franko tempat pembeli sebesar Rp. 1.020 per kg. Dengan kata lain,
apabila distributor benar-benar melaksanakan fungsinya, yaitu menjual pupuk sesuai dengan harga tebus (Rp 1.020) franko tempat pembeli,
maka lonjak harga ataupun harga pupuk bersubsidi melampaui HET tidak perlu terjadi.
Hasil pengamatan di lapang menunjukkan kinerja distributor dari produsen pupuk cukup baik, karena mereka sebenarnya lebih
berpengalaman dalam hal teknis penyaluran maupun administrasi pergudangan. Permasalahan justru muncul pada beberapa distributor
swasta yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi maupun teknis (tidak mempunyai kantor, gudang maupun sarana
transportasi), namun karena didukung oleh “kekuatan tertentu” mendapat lisensi dari produsen pupuk untuk menjadi distributor. Distributor
semacam inilah yang sebenarnya seringkali menyebabkan pasokan pupuk bersubsidi di suatu daerah menjadi langka atau mengalami
lonjak harga hingga melampui HET, karena mereka hanya menjual DO saja dan tidak bertanggung jawab terhadap arus penyaluran pupuk
di wilayah yang sebenarnya merupakan tanggung jawabnya.
Pengaturan sistem distribusi pupuk bersubsidi disarankan tetap menggunakan SK Menperindang No. 70/MPP/KEP/2/2003, yang
diubah menjadi SK Menperindag No. 356/MPP/KEP/5/2004, dengan beberapa penyempurnaan sebagai berikut: (1) menambah pengecer
resmi paling sedikit 2 (dua) buah di setiap kecamatan yang lokasinya berbeda desa; (2) kelompok tani dapat menjadi sebagai salah satu
pengecer resmi (saat ini kelompok tani sudah memiliki SIUP). Kasus di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, perlu didorong untuk propinsi
lainnya.
VI-152
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pertanian, Jateng. 2004. Rencana Kebutuhan Pupuk Sub Sektor Tanaman Pangan Propinsi Jawa Tengah. Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Propinsi Jawa Tengah. Ungaran. Dinas Pertanian, Jateng. 2004. Rencana Kebutuhan Pupuk Sub sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura Sesuai Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 64/Kpts/SR.130/3/2005. Propinsi Jawa Tengah. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Tengah. Ungaran. Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2004. Pedoman Pengawasan Pupuk Bersubsidi. Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Bina
Sarana Pertanian. Jakarta. Kariyasa, K, M. Maulana dan Sudi Mardianto. 2004. Usulan Tingkat Subsidi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang Relevan Serta
Perbaikan Pola Pendistribusian Pupuk Di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 2 Nomor 3, September 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
PPD PUSRI, Jateng. 2004. Realisasi Penjualan Pupuk Tahun 2004. Kantor Pemasaran Pupuk Daerah Propinsi Jawa Tengah. Semarang. PPD PUSRI, Jateng. 2005. Realisasi Penyaluran Pupuk Tahun 2005. Kantor Pemasaran Pupuk Daerah Propinsi Jawa Tengah.
Semarang. PPD PUSRI, Jateng. 2005. Stock Awal dan Stock Akhir Periode : 01 s/d 10 Agustus 2005. Kantor Pemasaran Pupuk Daerah Pupuk
Sriwijaya. Propinsi Jawa Tengah. Semarang. PPK PUSRI, Klaten. 2005. Realisasi Penjualan Pupuk Tahun 2005 Kabupaten Klaten. Kantor Pemasaran Pupuk Kabupaten Klaten.
Klaten. PPK PUSRI, Sragen. 2005. Realisasi Penjualan Pupuk Tahun 2005 Kabupaten Sragen. Kantor Pemasaran Pupuk Kabupaten Sragen.
Sragen. Rachman, B, Supriyati, dan S Friyatno. 2005. Ekonomi Kelembagaan Sistem Usahatani Padi di Indonesia. Jurnal Sosial-Ekonomi
Pertanian dan Agribisnis SOCA 5 (2) :123-128. Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Denpasar.
VI-153
Lampiran 1. Rencana Kebutuhan Pupuk Urea di Propinsi Jawa Tengah, Tahun 2004 (Ton)
No Kabupaten Jml kebutuhan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des
1 Brebes 33.017 5.359 2.883 1.978 3.755 2.460 2.020 1.839 1.437 1.375 1.980 2.720 5.212 2 Tegal 15.600 1.375 900 1.125 900 1.150 775 900 825 1.050 1.700 2.200 2.700 3 Kota Tegal 459 67 39 138 16 21 29 33 13 5 17 51 31 4 Pemalang 18.163 2.298 1.600 1.306 1.173 1.400 1.238 1.124 594 1.000 1.244 2.214 2.974 5 Pekalongan 11.577 2.202 662 23 1.055 1.909 1.107 741 412 415 415 980 1.856 6 Kota Pekalongan 692 123 130 46 24 101 67 121 29 15 33 4 - 7 Batang 9.992 828 382 276 380 1.325 1.401 685 385 280 600 1.536 1.915 8 Kendal 16.450 1.650 1.500 1.350 1.200 1.300 1.200 1.000 900 750 1.500 2.100 2.000 9 Semarang 9.627 903 1.400 745 529 217 215 465 685 1.054 821 1.378 1.215 10 Kota Semarang 1.295 138 92 163 107 142 111 35 39 51 77 162 179 11 Kota Salatiga 618 10 35 53 59 25 38 11 18 30 232 91 16 12 Demak 27.237 1.541 2.432 4.267 2.813 610 1.186 442 10 450 6.018 5.422 2.046 13 Grobogan 75.860 5.423 7.546 8.479 7.681 6.216 6.445 1.568 5 132 19.178 12.435 751 14 Kudus 15.273 205 367 1.733 3.873 586 445 530 194 85 2.305 3.423 1.630 15 Pati 37.878 968 6.181 5.327 2.122 1.732 1.860 1.202 716 355 5.944 8.667 2.795 16 Jepara 11.137 1.288 1.075 1.290 798 814 644 565 617 952 708 1.007 1.380 17 Rembang 16.240 740 1.190 845 1.120 1.075 1.050 495 100 20 3.080 3.350 3.175 18 Blora 34.898 3.152 3.096 1.878 2.007 3.163 3.545 1.146 107 482 6.275 6.479 3.568 19 Sragen 29.298 43 147 2.787 6.869 23 2.792 3.795 - - 5.460 7.381 - 20 Karanganyar 26.458 1.814 2.871 2.968 1.763 3.124 1.384 1.565 1.802 2.273 2.417 2.534 1.943 21 Wonogiri 38.642 3.633 3.576 3.424 2.995 2.699 2.340 2.214 2.182 3.182 4.332 3.845 4.220 22 Sukoharjo 13.564 800 1.792 1.365 1.065 740 1.187 1.114 631 637 1.071 1.739 1.422 23 Klaten 20.699 1.485 1.440 3.538 2.334 1.322 1.100 1.443 1.192 1.017 1.997 1.875 1.956 24 Boyolali 23.500 2.335 2.115 2.035 2.005 1.545 1.515 1.505 1.505 2.000 2.120 2.325 2.495 25 Kota Surakarta 84 10 11 12 6 7 7 8 3 - 11 6 4 26 Kota Magelang 105 8 8 8 8 7 6 7 8 17 9 109 10 27 Magelang 25.090 2.359 2.235 2.199 2.073 1.665 1.871 1.215 2.096 1.393 2.674 3.120 2.190 28 Temanggung 17.043 1.219 2.729 2.572 287 72 148 219 608 1.811 2.829 3.415 1.136 29 Wonosobo 24.934 2.106 2.786 2.038 1.545 1.622 1.439 2.068 2.152 2.067 2.101 2.434 2.576 30 Purworejo 14.089 1.074 250 478 3.078 2.439 631 106 - - 86 2.743 3.204 31 Kebumen 16.598 643 139 83 2.719 2.991 223 440 163 325 468 5.543 2.861 32 Banyumas 18.110 167 167 163 1.957 4.161 1.603 203 133 133 2.342 4.348 2.733 33 Banjarnegara 24.660 2.412 2.379 2.164 1.282 1.234 1.902 1.791 2.235 1.709 1.818 2.642 3.083 34 Purbalingga 16.562 1.468 1.101 1.032 1.432 1.442 1.567 1.199 729 1.269 1.685 1.893 1.747 35 Cilacap 26.582 3.127 1.113 1.436 3.040 4.450 1.617 1.066 664 156 912 4.074 4.927
Jumlah 672.031 52.971 56.369 59.321 64.071 53.697 44.707 32.858 23.187 26.490 84.457 104.155 69.749 Sumber: PT. PUSRI, PPD Jawa Tengah Lampiran 2. Realisasai Alokasi Pupuk Urea Bersubsidi di Propinsi Jawa Tengah, Tahun 2004 (Ton)
No Kabupaten Juml kebutuhan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des
VI-154
1 Brebes 29.554 4.797 2.581 1.771 3.361 2.202 1.080 1.645 1.286 1.231 1.772 2.435 4.665 2 Tegal 13.964 1.231 806 1.007 806 1.029 694 806 738 940 1.522 1.969 2.419 3 Kota Tegal 411 60 35 123 15 19 26 30 12 4 15 45 28 4 Pemalang 16.258 2.056 1.432 1.169 1.050 1.253 1.108 1.006 531 895 1.113 1.982 2.662 5 Pekalongan 10.363 1.971 593 21 944 1.709 991 663 369 371 371 877 1.482 6 Kota Pekalongan 619 110 116 41 22 91 60 109 26 13 29 4 - 7 Batang 8.943 741 341 247 340 1.186 1.254 613 345 250 537 1.375 1.714 8 Kendal 14.724 1.477 1.343 1.208 1.074 1.164 1.074 895 806 671 1.343 1.880 1.790 9 Semarang 8.617 808 1.253 667 474 194 192 416 613 943 735 1.233 1.088 10 Kota Semarang 1.159 123 82 146 96 127 100 31 35 46 69 145 160 11 Kota Salatiga 553 9 31 48 53 22 34 10 16 27 208 81 15 12 Demak 24.380 1.379 2.177 3.819 2.518 546 1.062 396 9 403 5.387 4.853 1.831 13 Grobogan 67.902 4.854 6.754 7.590 6.876 5.564 5.769 1.403 4 118 17.166 11.131 673 14 Kudus 13.671 183 329 1.551 3.466 435 398 474 174 76 2.063 3.064 1.459 15 Pati 33.905 866 5.533 4.768 1.899 1.550 1.665 1.076 641 318 5.320 7.766 2.502 16 Jepara 9.969 1.153 962 1.154 715 729 576 505 552 852 634 901 1.235 17 Rembang 14.536 662 1.065 756 1.003 962 940 443 90 18 2.757 2.999 2.842 18 Blora 31.237 2.821 2.771 1.681 1.796 2.831 3.173 1.026 96 431 5.617 5.799 3.194 19 Sragen 26.225 38 132 2.495 6.149 20 2.499 3.397 - - 4.888 6.607 - 20 Karanganyar 23.683 1.624 2.570 2.657 1.578 2.796 1.239 1.401 1.613 2.035 2.163 2.268 1.739 21 Wonogiri 34.588 3.252 3.201 3.065 2.681 2.416 2.095 1.982 1.953 2.848 3.878 3.442 3.777 22 Sukoharjo 12.141 716 1.604 1.221 953 663 1.062 998 565 570 959 1.557 1.273 23 Klaten 18.528 1.329 1.289 3.166 2.089 1.184 985 1.291 1.067 910 1.787 1.679 1.751 24 Boyolali 21.035 2.090 1.893 1.822 1.795 1.383 1.356 1.347 1.347 1.790 1.898 2.081 2.233 25 Kota Surakarta 75 9 10 11 6 6 6 7 2 - 10 5 3 26 Kota Magelang 94 8 7 7 7 6 6 6 7 15 8 9 9 27 Magelang 22.458 2.112 2.001 1.968 1.856 1.490 1.675 1.008 1.876 1.247 2.393 2.793 1.960 28 Temanggung 15.255 1.091 2.443 2.302 256 64 132 196 544 1.621 2.532 3.057 1.017 29 Wonosobo 22.319 1.885 2.494 1.824 1.383 1.452 1.288 1.851 1.926 1.850 1.880 2.178 2.306 30 Purworejo 12.611 961 224 428 2.755 2.183 565 95 - - 77 2.455 2.868 31 Kebumen 14.857 576 124 74 2.434 2.677 200 394 146 291 419 4.962 2.561 32 Banyumas 16.210 149 149 146 1.752 3.725 1.435 182 119 119 2.096 3.892 2.446 33 Banjarnegara 22.073 2.159 2.129 1.937 1.148 1.112 1.703 1.604 2.000 1.530 1.627 2.365 2.760 34 Purbalingga 14.825 1.312 986 924 1.282 1.291 1.403 1.073 653 1.136 1.508 1.694 1.564 35 Cilacap 23.793 2.799 997 1.285 2.721 3.983 1.448 954 594 139 817 3.647 4.410
Jumlah 601.535 47.415 50.456 53.099 57.350 48.064 40.017 29.411 20.755 23.711 75.598 93.229 62.432
Sumber: PT. PUSRI, PPD Jawa Tengah
VI-155
Lampiran 3. Realisasi Penjualan Pupuk oleh PPD PUSRI Propinsi Jawa Tengah, Tahun 2004 (Ton)
No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des Total 1 Brebes 3.175,00 3.150,00 3.750,00 2.575,00 2.050,00 2.550,00 2.950,00 1.575,00 1.125,00 1.225,00 2.475,00 4.300,00 30.900,00 2 Tegal 1.250,00 1.450,00 1.350,00 1.300,00 1.175,00 1.275,00 850,00 875,00 1.000,00 1.050,00 1.800,00 3.425,00 17.100,00 3 Pemalang 1.000,00 1.250,00 1.325,00 1.150,00 1.775,00 1.500,00 425,00 721,00 1.025,00 1.125,00 2.275,00 3.000,00 16.571,50 4 Pekalongan 2.050,00 1.350,00 1.425,00 1.450,00 1.425,00 1.200,00 1.925,00 775,00 900,00 900,00 1.000,00 1.775,00 16.175,00 5 Batang 1.150,00 600,00 850,00 650,00 850,00 900,00 625,00 550,00 650,00 725,00 650,00 1.125,00 9.325,00 6 Kendal 2.625,00 1.675,00 2.625,00 1.575,00 1.650,00 2.300,00 1.500,00 925,00 1.075,00 1.150,00 2.075,00 2.725,00 21.900,00 7 Semarang 2.475,00 1.975,00 2.346,88 1.425,00 1.400,00 1.625,00 1.575,00 857,20 1.075,00 1.325,00 1.850,00 2.275,00 20.204,07 8 Demak 3.725,00 1.800,00 5.010,00 2.325,00 2.975,00 3.050,00 2.875,00 1.225,00 1.450,00 3.100,00 3.900,00 5.275,00 36.710,00 9 Grobogan 4.950,00 3.400,00 6.575,00 4.700,00 3.725,00 3.650,00 4.610,00 2.350,00 2.125,00 4.900,00 7.725,00 11.275,00 59.985,00 10 Kudus 1.875,00 525,00 1.875,00 1.275,00 1.100,00 1.250,00 1.150,00 575,00 555,00 1.850,00 1.250,00 1.875,00 15.155,00 11 Jepara 2.200,00 1.275,00 2.100,00 1.375,00 1.375,00 951,94 650,00 600,00 425,00 1.175,00 1.925,00 1.425,00 15.476,94 12 Pati 3.350,00 5.000,00 4.500,00 2.575,00 2.750,00 2.375,00 2.425,00 1.325,00 1.275,00 2.425,00 3.625,00 5.375,00 37.000,00 13 Rembang 2.950,00 2.325,00 3.600,00 1.675,00 1.850,00 1.750,00 1.850,00 975,00 1.050,00 1.400,00 1.625,00 2.675,00 23.725,00 14 Blora 3.935,00 4.150,00 5.175,00 2.750,00 3.225,00 3.075,00 3.100,00 2.250,00 1.775,00 2.825,00 4.300,00 4.700,45 41.260,45 15 Cilacap 2.525,00 1.400,00 1.700,00 1.775,00 2.150,00 1.425,00 900,00 600,00 900,00 1.275,00 2.150,00 3.800,00 20.600,00 16 Banyumas 2.450,00 1.825,00 2.975,00 2.650,00 2.650,00 2.450,00 1.475,00 1.200,00 1.400,00 1.625,00 2.475,00 4.050,00 27.225,00 17 Purbalingga 1.850,00 1.400,00 1.700,00 1.225,00 1.975,00 1.425,00 1.110,85 875,00 1.150,00 1.275,00 1.975,00 2.600,00 18.560,85 18 Banjarnegara 2.580,17 1.450,00 2.150,40 1.750,00 1.800,00 1.625,00 1.466,25 900,00 1.025,00 1.225,00 1.075,00 2.625,00 20.571,82 19 Wonosobo 1.975,00 1.450,00 2.375,00 1.325,00 1.373,00 975,00 1.025,00 775,00 1.000,00 1.050,00 1.075,00 1.850,00 16.250,00 20 Temanggung 3.400,00 2.625,00 3.875,00 2.675,00 2.700,00 1.900,00 1.175,00 1.150,00 1.225,00 1.975,00 4.000,00 3.825,00 30.525,00 21 Kebumen 2.750,00 1.650,00 2.085,00 2.250,00 2.675,00 2.025,00 1.125,00 725,00 800,00 1.050,00 2.425,00 4.150,00 23.710,00 22 Purworejo 2.910,00 1.615,00 1.676,00 1.875,00 2.375,00 2.275,00 1.900,00 1.125,00 1.000,00 1.250,00 1.825,00 3.900,00 23.751,00 23 Magelang 3.325,00 1.625,00 3.402,01 2.175,00 2.550,00 1.825,00 1.350,00 1.100,00 1.300,00 1.400,00 1.675,00 3.800,00 25.527,01 24 Boyolali 2.300,00 1.825,00 2.775,00 1.275,00 1.625,00 1.425,00 1.800,00 1.150,00 1.075,00 1.875,00 3.325,00 3.075,00 23.525,00 25 Klaten 1.960,00 900,00 1.925,00 1.657,75 1.925,00 1.892,40 2.255,20 1.375,00 1.325,00 1.725,00 2.800,00 2.725,00 22.465,35 26 Sragen 3.350,00 2.750,00 4.525,80 2.894,55 2.650,00 2.900,00 3.900,00 2.225,00 1.875,00 2.550,00 6.298,40 5.175,00 41.093,75 27 Karanganyar 3.150,00 2.550,00 4.150,00 2.275,00 2.575,00 2.300,00 2.125,00 1.600,00 1.600,00 2.175,00 3.525,00 3.705,55 32.030,55 28 Sukoharjo 2.550,00 2.800,00 3.227,20 1.825,00 1.875,00 2.175,00 2.425,00 1.825,55 1.400,00 2.250,00 3.525,00 3.475,00 29.352,20 29 Wonogiri 1.700,00 1.350,00 1.450,00 775,00 1.100,00 925,00 1.050,00 875,00 1.075,00 2.150,00 3.107,61 2.925,00 18.482,61
Jumlah 75.485,17 57.140,00 82.498,29 55.202,30 59.235,00 55.294,34 51892,30 33.078,70 33.655,00 50.025,00 78.656,01 102.906,00 735.158,11 Sumber: PT. PUSRI, PPD Jawa Tengah
VI-156
Lampiran 4. Rencana Kebutuhan Pupuk Urea di Propinsi Jawa Tengah, Tahun 2005 (Ton) No Kabupaten Jml
kebutuhan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des Ketera-
ngan 1 Brebes 34.980,00 5.580,00 3.075,00 2.080,00 39,10 2.625,00 2.160,00 1.945,00 1.550,00 15,00 21,35 2.920,00 5.500,00 2 Tegal 15.833,00 151,00 990,00 1.273,00 990,00 12,65 852,00 990,00 907,00 1.455,00 187,00
2.420,00 2.970,00 =2004+
3 Kota Tegal 519,40 114,80 52,80 1,60 28,90 78,45 93,00 - 15,00 27,45 - 16,25 91,15 4 Pemalang 18.863,00 2.298,00 1.600,00 1.306,00 1.347,50 1.574,50 1.238,00 1.124,00 594,00 1.000,00 1.244,00 2.388,50 3.14850 5 Pekalongan 12.732,00 1.838,00 1.280,00 1.035,00 1.053,00 1.569,00 1.149,00 457,00 405,00 399,00 764,00 1.319,00 1.464,00 6 Kota
Pekalongan 650,00 125,00 27,50 17,50 105,00 105,00 75,00 37,50 12,50 12,50 15,00 17,50 100,00
7 Batang 10.124,00 1.063,20 722,30 604,40 625,80 1.148,00 1.067,80 638,50 456,30 446,50 61,85 813,30 1.919,70 8 Kendal 16.113,00 2.366,00 1.131,00 586,00 602,00 1.579,00 1.663,00 904,00 102,00 119,00 2.265,00 2.696,00 2.100,00 9 Semarang 10.738,00 972,00 1.475,00 841,00 592,00 239,00 235,00 488,00 738,00 1.210,00 1.020,00 1.537,00 1.391,00 10 Kota Semarang 1.225,00 122,50 116,50 131,25 107,00 115,00 54,00 35,00 32,50 31,25 51,25 181,00 248,25 11 Kota Salatiga 618,45 10,30 34,70 53,20 59,00 25,00 37,70 10,95 17,80 30,35 232,30 90,55 16,60 12 Demak 29.960,70 1.695,10 2.675,20 4.693,70 3.094,30 671,00 1.304,60 486,20 11,00 495,00 6.619,80 5.964,20 2.250,60 13 Grobogan 77.339,35 5.898,45 7.224,75 8.352,65 8.613,90 8.217,50 6.292,40 1.810,40 0,45 147,65 18.239,05 10.647,35 1.894,80 14 Kudus 15.469,80 1.064,50 631,00 2.255,00 2.349,60 872,00 107,00 130,10 113,10 503,40 2.171,90 3.167,20 2.105,00 15 Pati 37.333,00 1.952,00 60.84,00 4.842,00 1.996,00 2.143,00 1.509,00 1.077,00 199,00 411,00 5.548,00 8.947,00 302500 16 Jepara 11.516,71 1.333,23 11.10,49 1.334,38 826,20 814,36 666,04 584,22 638,38 985,23 732,86 1.041,70 1.449,,62 17 Rembang 15.088,00 1.611,00 1.741,00 936,00 765,00 683,00 540,00 791,00 224,00 53,00 1.355,00 3.248,00 3141,00 18 Blora 42.000,00 1.311,00 3.436,00 5.920,00 1.700,00 633,00 5.014,00 2.701,00 561,00 285,00 9.721,00 6.542,00 4176,00 19 Sragen 32.226,70 47,30 161,70 3.065,70 7.555,90 25,30 3.071,20 4.174,50 - - 6.006,00 8.119,10 - 20 Karanganyar 29.103,80 1.995,40 3.158,10 3.264,80 1.939,30 3.436,40 1.522,40 1.721,50 1.982,20 2.500,30 2.658,70 2.787,40 2.137,30 21 Wonogiri 4.256,20 3.996,30 3.933,60 3.766,40 3.294,50 2.968,90 2.574,00 2.435,40 2.400,20 3.500,20 4.765,20 4.229,50 4.642,00 22 Sukoharjo 16.805,15 1.559,60 1.357,15 1.478,70 1.574,10 1.933,45 994,25 732,20 1.043,20 1.360,60 1.243,90 1.984,15 1.543,85 23 Klaten 20.624,30 2.236,05 1.522,20 2.325,40 2.468,40 1.477,35 1.414,00 1.368,60 1.162,35 1.076,45 876,95 1.229,55 3.467,00 24 Boyolali 24.900,00 2.630,00 25,50 2.530,00 2.385,00 2.095,00 1.745,00 1.535,00 1.535,00 1.525,00 1.640,00 2.060,00 2.670,00 25 Kota Surakarta 64,40 - 5,10 3,60 6,85 5,50 5,10 6,00 4,35 - 5,10 17,10 5,70 26 Kota Magelang 95,60 8,20 7,80 7,80 7,60 6,80 6,40 6,80 7,60 8,20 9,00 9,60 9,80 27 Magelang 27.092,00 2.640,00 2.256,00 2.480,00 2.094,00 1.946,00 1.892,00 1.496,00 2.117,00 1.674,00 2.695,00 3.591,00 2.211,00 28 Temanggung 22.101,67 1.643,88 3.133,19 3.010,66 544,62 262,75 583,37 658,41 1.181,25 2.356,53 3.232,20 3.912,56 1.582,25 29 Wonosobo 26.161,66 2.188,47 2.622,41 2.227,28 1.679,78 1.683,01 1.415,24 2.185,70 2.221,81 2.517,01 2.173,57 2.584,01 2.663,37 30 Purworejo 17.327,00 1.289,00 300,00 573,00 3.693,00 2.927,00 778,00 178,00 150,00 100,00 153,00 3.341,00 3.845,00 31 Kebumen 22.578,00 779,00 115,00 199,00 3.446,00 4.076,00 278,00 1.325,00 367,00 556,00 198,00 7.478,00 3.761,00 32 Banyumas 18.604,00 341,00 347,00 395,00 1.936,00 4.115,00 1.586,00 360,00 84,00 80,00 2.319,00 4.301,00 2.740,00 33 Banjarnegara 21.508,00 3.310,00 1.599,00 1.133,00 1.245,00 1.921,00 1.546,00 1.414,00 803,00 708,00 2.626,00 2.931,00 2.272,00 34 Purbalingga 16.838,00 1.490,00 1.120,00 1.049,00 1.456,00 1.466,00 1.593,00 1.219,00 741,00 1.290,00 1.713,00 1.925,00 1.776,00 35 Cilacap 29.240,20 3.439,70 1.224,30 1.579,60 3.344,00 4.895,00 1.778,70 1.172,60 730,40 171,60 1.003,20 4.481,40 5.419,70
Jumlah 719.280,89 59.099,98 58.819,79 65.351,62 67.435,25 59.597,27 46.840,20 36.198,58 23.107,39 28.235,22 87.920,48 108.937,92 77.737,19
Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah Lampiran 5. Revisi Rencana Kebutuhan Pupuk Urea di Propinsi Jawa Tengah, Tahun 2005 Disesuaikan Dengan SK Mentan No Kabupaten Juml
kebutuhan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des Ketera-
ngan 1 Brebes 28.027,73 4.470,98 2.463,84 1.666,60 3.132,89 2.103,28 1.730,70 1.558,43 1.241,94 1201,88 1.710,67 2.339,65 4.406,88
VI-157
2 Tegal 12.686,19 120,99 793,24 1.019,99 793,24 1.013,58 682,67 793,24 726,73 925,44 1.498,34 1.939,03 2.379,71 =2004+ 3 Kota Tegal 416,17 91,98 42,31 1,28 23,16 62,86 74,52 - 12,02 21,99 - 13,02 73,03 4 Pemalang 15.113,98 1.841,27 1.282,00 1.046,43 1.097,68 1.261,57 991,95 900,61 475,94 801,25 996,76 1.913,79 2.522,74 5 Pekalongan 10.201,52 1.472,70 1.025,60 829,29 843,72 1.257,16 920,64 366,17 324,51 319,70 612,16 1.056,85 1.173,03 6 Kota
Pekalongan 520,81 100,16 22,03 14,02 84,13 84,13 60,09 30,05 10,02 10,02 12,02 14,02 80,13
7 Batang 8.112,10 851,89 578,74 484,28 501,42 919,84 855,57 511,60 365,61 357,76 495,57 651,66 1.538,16 8 Kendal 12.910,54 1.895,76 906,21 469,53 482,35 1.265,17 1.332,48 724,33 81,73 95,35 1.814,83 2.160,17 1.682,63 9 Semarang 8.603,82 778,82 1.181,84 673,85 474,34 191,50 188,29 391,01 591,32 969,51 817,28 1.231,52 1.114,54 10 Kota Semarang 981,93 98,15 93,35 105,16 85,73 92,14 43,27 28,04 26,04 25,04 41,06 145,03 198,91 11 Kota Salatiga 495,53 8,25 27,80 42,63 47,27 20,03 30,21 8,77 14,26 24,32 186,13 72,55 13,30 12 Demak 24.006,01 1.358,20 2.143,50 3.760,83 2.479,31 537,64 1.045,31 389,57 8,81 396,62 5.303,11 4.778,82 1.803,29 13 Grobogan 61.976,54 4.726,13 5.788,83 6.692,56 6.910,28 6.584,27 5.041,79 1.450,58 0,36 118,30 14.614,04 8.531,19 1.518,21 14 Kudus 12.395,18 852,93 505,59 1.806,82 1882,62 698,69 85,73 104,24 90,62 403,35 1.740,23 2.537,72 1.686,63 15 Pati 30.233,57 1.564,04 4.874,81 3.879,65 1.599,30 1.717,08 1.209,09 862,95 159,45 329,31 4.445,34 7.168,78 2.423,78 16 Jepara 9.227,76 1.068,25 889,78 1.069,17 661,99 652,51 533,66 468,11 511,50 789,42 587,20 834,66 1.161,51 17 Rembang 12089,26 1.290,81 1.394,98 749,97 612,96 547,25 432,68 633,79 179,48 42,47 1.085,69 2.602,46 2.516,73 18 Blora 33.652,50 1.050,44 2.753,10 4.743,40 1.362,13 507,19 4.017,47 2.164,18 449,50 228,36 7.788,95 5.241,78 3.346,02 19 Sragen 25.821,64 37,90 129,56 2.456,39 6.054,16 20,27 2.460,80 3.344,82 - - 4.812,31 6.505,43 - 20 Karanganyar 23.319,42 1.598,81 2.530,43 2.615,92 1.553,86 2.754,42 1.219,82 1.379,35 1.588,24 2003,37 2.130,28 2.233,40 1.712,51 21 Wonogiri 34.058,09 3.202,04 3.151,80 3.017,83 2.639,72 2.378,83 2.062,42 1.951,36 1.923,16 2804,54 3.818,12 3.388,89 3.719,40 22 Sukoharjo 13.465,13 1.249,63 1.087,42 1.184,81 1.261,25 1.549,18 796,64 586,68 835,86 1090,18 996,67 1.589,80 1.237,01 23 Klaten 16.525,22 1.791,64 1.219,66 1.863,23 1.977,81 1.183,73 1.132,97 1.096,59 931,33 862,51 702,66 985,18 2.777,93 24 Boyolali 19.951,13 2.107,29 2.043,19 2.027,16 1.910,98 1.678,62 1.398,18 1.229,92 1.229,92 1221,91 1.314,05 1.650,58 2.139,34 25 Kota Surakarta 51,60 - 4,09 2,88 5,49 4,41 4,09 4,81 3,49 - 4,09 13,70 4,57 26 Kota Magelang 76,60 6,57 6,25 6,25 6,09 5,45 5,13 5,45 6,09 6,57 7,21 7,69 7,85 27 Magelang 21.707,47 2.115,30 1.807,62 1.987,10 1.677,82 1.559,23 1.515,97 1.198,67 1.696,25 1341,29 2.159,37 2.877,29 1.771,56 28 Temanggung 17.708,97 1.317,16 2.510,47 2.412,29 436,82 210,53 467,43 527,55 946,48 18881,76 2.589,80 3.134,94 1.267,78 29 Wonosobo 20.962,03 1.753,51 2.101,21 1.784,61 1.345,92 1.348,51 1.133,96 1.751,29 1.780,23 2016,75 1.741,57 2.070,44 2.134,03 30 Purworejo 13.883,26 1.032,81 240,38 459,12 2.959,02 2.345,26 623,37 142,62 120,19 80,13 122,59 2.676,98 3.080,81 31 Kebumen 18.087,42 624,17 92,14 159,45 2.761,11 3.265,90 222,75 1.061,66 294,06 445,50 157,05 5.990,15 3.013,50 32 Banyumas 14.906,46 273,23 278,03 316,49 1.551,22 3.297,14 1.270,78 288,45 67,31 64,10 1.858,10 3.446,18 2.195,43 33 Banjarnegara 17.233,29 2.652,14 1.281,20 907,82 779,56 1.539,20 1.238,73 1.132,97 643,40 567,29 2.104,08 2.348,46 1.820,44 34 Purbalingga 13.491,45 1.193,86 897,40 840,51 1.166,62 1.174,63 1.276,39 976,72 593,73 1033,61 1.372,54 1.542,41 1.423,02 35 Cilacap 23.428,71 2.756,06 980,97 1.265,65 2.679,38 3.922,12 1.425,18 939,55 585,23 137,49 803,81 3.590,72 4.342,53
Jumlah 576.329,00 47.353,86 47.129,36 52.362,98 54.040,88 47.752,31 37.530,72 29.004,11 18.514,80 22623,47 70.444,68 87.284,91 62.286,92
Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah Lampiran 6. Revisi Kebutuhan Pupuk Urea di Jawa Tengah, Tahun 2005 Disesuaikan Dengan SK Mentan + Kelebihan Disbun (Ton) No Kabupaten Juml
kebutuhan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des Ketera-
ngan 1 Brebes 30.628,73 4.687,73 2.680,59 1.883,35 3.349,64 2.320,03 1.947,45 1.775,18 1.458,69 1.418,63 1.927,42 2.556,40 4.623,63 2 Tegal 15.287,19 337,74 1.009,99 1.236,74 1.009,99 1.230,33 899,42 1.009,99 943,48 1.142,19 1.715,09 2.155,78 2.596,46 =2004+ 3 Kota Tegal 3.017,17 352,08 302,41 261,38 283,26 322,96 334,62 - 272,12 282,09 - 273,12 333,13 4 Pemalang 17.714,98 2.058,02 1.498,75 1.263,18 1.296,43 1.478,32 1.208,70 1.117,36 692,69 1.018,00 1.213,51 2.130,54 2.739,49 5 Pekalongan 12.802,52 1.689,45 1.242,35 1.046,04 1.060,47 1.473,91 1.137,39 582,92 541,26 536,45 828,91 1.273,60 1.389,78 6 Kota
Pekalongan 3.121,81 316,91 238,78 230,77 300,88 300,88 276,84 246,80 226,77 226,77 228,77 230,77 296,88
7 Batang 10.713,10 1.068,64 795,49 701,03 718,17 1.136,59 1.072,32 728,35 582,36 574,51 712,32 868,41 1.754,91
VI-158
8 Kendal 15.511,54 2.112,51 1.122,96 686,28 699,10 1.481,92 1.549,23 941,08 298,48 312,10 2.031,58 2.376,92 1.899,38 9 Semarang 11.204,82 995,57 1.398,59 890,60 691,09 408,25 405,04 607,76 808,07 1.186,26 1.034,03 1.448,27 1.331,29 10 Kota
Semarang 3.582,93 314,90 310,10 321,91 302,48 308,89 260,02 244,79 242,79 241,79 257,81 361,78 415,66
11 Kota Salatiga 3.096,53 225,00 244,55 259,38 264,02 236,78 245,96 225,52 231,01 241,07 402,88 289,30 230,05 12 Demak 26.607,01 1.574,95 2.360,25 3.977,58 2.696,06 754,39 1.262,06 606,32 225,56 613,37 5.520,86 4.995,57 2.020,04 13 Grobogan 64.582,54 4.942,88 6.005,58 6.909,31 7.132,03 6.801,02 5.258,54 1.667,33 217,11 335,05 14.830,79 8.747,94 1.734,96 14 Kudus 14.996,18 1.069,68 722,34 2.023,57 2.099,37 915,44 302,48 320,99 307,37 620,10 1.956,98 2.754,47 1.903,38 15 Pati 32.834,57 1.780,79 5.091,56 4.096,40 1.816,05 1.933,83 1.425,84 1.079,70 376,20 546,06 4.662,09 7.385,53 2.640,53 16 Jepara 11.828,76 1.285,00 1.106,53 1.285,92 878,74 869,26 759,41 684,86 728,25 1.006,17 803,95 1.051,41 1.378,26 17 Rembang 14.690,26 1.507,56 1.611,73 966,72 829,71 764,00 649,43 850,54 396,23 259,22 1.302,44 2.819,21 2.733,48 18 Blora 36.253,50 1.267,19 2.969,85 4.960,15 1.578,88 723,94 4.234,22 2.380,93 666,25 445,11 8.005,70 5.458,53 3.562,77 19 Sragen 28.422,64 326,90 418,56 2.745,39 6.343,16 309,27 2.749,80 3.633,82 - - 5.101,31 6.794,43 - 20 Karanganyar 25.920,42 1.815,56 2.747,18 2.832,67 1.770,61 2.970,17 1.436,57 1.596,10 1.804,99 2.220,12 2.347,03 2.450,15 1.929,26 21 Wonogiri 36.659,09 3.418,79 3.368,55 3.234,58 2.856,47 2.595,58 2.279,17 2.168,11 2.139,91 3.021,29 4.034,87 3.605,64 3.936,15 22 Sukoharjo 16.066,13 1.466,38 1.304,17 1.401,56 1.478,00 1.765,93 1.013,39 803,43 1.052,61 1.306,93 1213,42 1.806,55 1.453,76 23 Klaten 19.126,22 2.008,39 1.436,41 2.079,98 2.194,56 1.400,48 1.349,72 1.313,34 1.148,08 1.079,26 919,41 1.201,93 2.994,68 24 Boyolali 22.552,13 2.324,04 2.259,94 2.243,91 2.127,73 1.895,37 1.614,93 1.446,67 1.446,67 1.438,66 1.530,80 1.867,33 2.356,09 25 Kota Surakarta 2.652,60 - 264,19 262,98 265,59 264,51 264,19 254,91 263,59 - 254,19 273,80 264,67 26 Kota Magelang 2.677,60 223,32 223,00 223,00 222,84 222,20 221,88 222,20 222,84 223,32 223,96 224,44 224,60 27 Magelang 24.308,47 2.332,05 2.024,37 2.203,85 1.894,57 1.775,98 1.732,72 1.415,42 1.913,00 1.558,04 2.376,12 3.094,04 1.988,31 28 Temanggung 20.309,97 1.533,91 2.727,22 2.629,04 653,13 427,28 684,18 744,30 1.163,23 2.104,92 2.806,55 3.351,69 1.484,53 29 Wonosobo 23.563,03 1.970,26 2.317,96 2.001,36 1.562,67 1.565,26 1.350,71 1.968,04 1.996,98 2.233,50 1.958,32 2.287,19 2.350,78 30 Purworejo 16.484,26 1.249,56 457,13 675,87 3.175,77 2.562,01 840,12 359,37 336,94 296,88 339,34 2.893,73 3.297,56 31 Kebumen 20.688,42 840,92 308,89 376,20 2.977,86 3.482,65 439,50 1.278,41 510,81 662,25 373,80 6.206,90 3.230,25 32 Banyumas 17.507,46 489,98 494,78 533,24 1.767,97 3.513,89 1.487,53 505,20 284,06 280,85 2.074,85 3.662,93 2.412,18 33 Banjarnegara 19.834,29 2.668,89 1.497,95 1.124,57 1.214,31 1.755,95 1.455,48 1.349,72 860,15 784,04 2.320,83 2.565,21 2.037,19 34 Purbalingga 16.092,45 1.410,61 1.114,15 1.057,26 1.383,37 1.991,38 1.493,15 1.193,47 810,48 1.250,36 1.589,29 1.759,16 1.639,77 35 Cilacap 26.029,71 2.972,81 1.197,72 1.482,40 2.896,13 4.138,87 1.641,93 1.156,30 801,98 354,24 1.020,56 3.807,47 4.559,28
Jumlah 667.369,00 54.838,96
54.874,56 60.108,18 61.791,08 55.497,51 45.275,92 36.489,21 25.971,00 29.819,57 77.929,78 95.030,11 69.743,12
Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah Lampiran 7. Realisasi Penyaluran Pupuk Urea di Jawa Tengah, Tahun 2005 (Ton)
No Kabupaten Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des Total 1 Brebes 3,400 2,200 2,225 2,325 2,400 1,525 1,925 16,000 2 Tegal 2,050 1,975 1,875 2,250 2,100 1,650 1,575 13,475 3 Pemalang 2,425 1,675 1,425 1,700 1,500 1,550 1,300 11,575 4 Pekalongan 2,000 1,400 1,125 1,175 1,175 1,425 1,225 9,525 5 Batang 975 900 925 950 ,825 1,150 1,025 6,750 6 Kendal 2,150 1,825 1,600 1,475 1,600 1,975 1,700 12,325 7 Semarang 2,129 1,975 1,800 1,600 1,250 1,325 1,350 11,329 8 Demak 3,000 2,650 3,350 3,300 2,225 2,000 2,050 18,575 9 Grobogan 5,975 4,375 5,650 6,550 3,475 3,375 3,975 33,375 10 Kudus 1,350 1,800 1,450 1,650 1,100 1,050 875 9,275 11 Jepara 1,500 1,375 1,025 1,450 900 875 750 7,875
VI-159
12 Pati 3,675 3,200 3,420 4,130 2,325 1,775 1,250 19,775 13 Rembang 2,325 1,450 2,000 1,725 1,075 900 800 10,275 14 Blora 4,325 3,850 3,900 3,800 2,275 2,225 2,250 22,625 15 Cilacap 2,600 2,400 2,350 2,775 3,200 2,037 1,850 17,212 16 Banyumas 2,175 2,275 1,775 2,075 2,725 1,775 1,700 14,500 17 Purbalingga 1,350 1,450 1,200 1,550 1,775 1,500 1,575 10,400 18 Banjarnegara 2,000 1,800 1,750 1,875 2,275 1,220 1,500 12,420 19 Wonosobo 1,300 1,375 1,325 1,500 1,550 1,325 1,250 9,625 20 Temanggung 3,075 2,200 2,300 2,750 2,075 1,625 1,750 15,775 21 Kebumen 2,325 1,550 1,255 1,725 2,200 1,825 1,225 12,105 22 Purworejo 2,750 1,850 1,575 2,325 2,575 1,525 1,475 14,075 23 Magelang 2,575 2,300 2,500 2,350 2,200 1,625 1,600 15,150 24 Boyolali 2,850 1,500 2,525 2,525 1,675 1,300 1,550 13,925 25 Klaten 2,125 2,100 2,425 2,850 1,975 1,600 1,900 14,975 26 Sragen 2,975 3,000 4,387 3,875 2,200 1,700 3,100 21,237 27 Karanganyar 2,650 2,375 3,325 2,711 2,100 2,025 2,100 17,286 28 Sukoharjo 2,375 2,200 2,150 2,350 1,750 1,400 1,550 13,775 29 Wonogiri 3,100 1,575 2,150 2,850 1,975 1,350 1,475 14,475
TOTAL 73,504 60,600 64,762 70,066 56,475 46,632 47,650 419,689 Perk. Besar - - 415 1,085 413 - - 1,913 Pertanian 73,504 60,600 65,177 71,151 56,888 46,632 47,650 421,602
Sumber: PT. PUSRI, PPD Jawa Tengah Lampiran 8. Realisasi Penjualan Pupuk Urea di Kabupaten Klaten, Tahun 2005 (Ton)
No Distributor Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des Total 1 UD Langgeng Tani 400.00 225.00 250.00 225.00 225.00 200.00 200.00 1.725.00 2 UD Manunggal Tani 450.00 350.00 350.00 325.00 300.00 275.00 275.00 2.325.00 3 UD Konco Tani 50.00 400.00 375.00 325.00 300.00 175.00 225.00 1.850.00 4 PT APV 250.00 250.00 175.00 225.00 150.00 100.00 150.00 1.300.00 5 PT Mega Eltra 175.00 150.00 50.00 175.00 50.00 50.00 50.00 700.00 6 CV Siar Jaya Indo 225.00 150.00 150.00 250.00 100.00 100.00 150.00 1.125.00 7 CV Lufi Jaya - 125.00 300.00 275.00 126.00 125.00 125.00 1.075.00 8 UPDT Sarana Tani - 50.00 275.00 275.00 225.00 200.00 250.00 1.275.00 9 PT Kebakkramat - - 50.00 175.00 100.00 75.00 100.00 500.00
10 UD Dian Tani 325.00 150.00 150.00 225.00 200.00 125.00 175.00 1.350.00 11 PT T2MP 225.00 225.00 275.00 350.00 200.00 150.00 175.00 1.600.00
Total 2.100.00 2.075.00 2.400.00 2.825.00 1.975.00 1.575.00 1.875.00 - - - - - 1.4825.00
VI-160
Rencana SPJB 1.350.00 1.350.00 2.100.00 1.400.00 1.150.00 .750.00 1.050.00 1.100.00 1.800.00 1.100.00 1.600.00 2.500.00 17.250.00 Prosentase 155.56 153.70 114.29 201.79 171.74 210.00 178.57 - - - - 85.94 SK Bupati 2.294.00 1.576.00 2.376.00 2.510.00 1.713.00 1.645.00 1.396.00 1.187..00 1.119.00 1.129.00 1.502.00 3.525.00 21.972.00 Prosentase 91.54 131.66 101.01 112.55 115.29 95.74 134.31 - - - - - 67.47 Sumber: PPK Kabupaten Klaten Lampiran 9. Realisasi Penjualan Pupuk Urea di Kabupaten Sragen, Tahun 2005 (Ton)
No Distributor Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des Total 1 PT Murni Srijaya 700.00 675.00 1.050.00 1.025.00 625.00 500.00 700.00 5.275.00 2 UD Wira Tani 325.00 300.00 500.00 450.00 275.00 200.00 325.00 2.375.00 3 UD Puspita Agung 300.00 300.00 500.00 450.00 300.00 200.00 300.00 2.250.00 4 UD Harum Tani 450.00 475.00 625.00 700.00 350.00 275.00 525.00 3.400.00 5 UD Santen Bumi 250.00 275.00 350.00 275.00 175.00 150.00 250.00 1.725.00 6 PT KB Kramat 300.00 425.00 375.00 325.00 150.00 75.00 200.00 1.850.00 7 CV Siar Jaya Ind 225.00 250.00 325.00 300.00 225.00 150.00 325.00 1.800.00 8 UD Dwi Jaya 250.00 225.00 425.00 275.00 100.00 100.00 175.00 1.550.00 9 PT P. Perdagangan 200.00 150.00 225.00 225.00 100.00 75.00 175.00 1.150.00
10 CV Lufi Jaya 125.00 125.00 11 Pemda Sragen (Kmt) 112.00 112.00
Total 3.000.00 3.075.00 4.487.00 4.025.00 2.200.00 1.725.00 3.100.00 - - - - - 21.612.00 Rencana SPJB 1.400.00 1.900.00 4.200.00 2.400.00 600.00 1.600.00 1.900.00 1.300.00 1.200.00 2.500.00 3.400.00 3.800.00 26.200.00 Prosentase 214.29 161.84 106.83 167.71 366.67 107.81 163.16 - - - - - 82.49 SK Bupati 1.135.00 1.026.00 6.442.00 2.074.00 1.156.00 1.205.00 2.340.00 2.900.00 2.750.00 1.120.00 7.000.00 5.340.00 34.488.00 Prosentase 264.32 299.71 69.65 194.07 190.31 143.15 132.48 - - - - - 62.67
VI-161
Jumlah tahun 2004 3.425.00 2.825.00 4.125.50 2.549.00 2.850.00 3.000.00 3.900.00 2.225.00 1.825.00 2.550.00 6.000.00 5.125.00 40.399.50 Prosentase 87.59 108.85 108.76 157.91 77.19 57.50 79.49 - - - - - 53.50 SK Mentan 3.300 3.000 2.900 2.600 2.600 2.700 2.300 19.00 19.00 27.00 27.00 38.00 32.400.00 Prosentase 91 103 155 155 85 64 135 - - - - - 67 Sumber: PPK Kabupaten Sragen.
VI-166
Lampiran 10. Posisi Stok Awal, Pengadaan, Penyaluran dan Stok Akhir Pupuk Urea PT. Sriwijaya PPD Jawa Tengah, Periode 01 – 10 Agustus 2005 (Ton).
No. Kabupaten Stock Awal 01-08-05
Penga-daan
Penya-luran
Stock Akhir Di Gudang
Kumul. Peny. 01 Jan s/d 10
Agst 05 1. Brebes 1.025 17.075 2. Tegal
2.116 1.395 625
1.861 14.050
3. Pemalang 450 12.050 4. Pekalongan 500 10.050 5. Batang
3.406
1.470
300
3.626
7.000 6. Kendal 949 550 550 949 12.900 7. Semarang 1.168 350 450 1.068 13.642 8. Demak 3.540 755 800 3.495 19.450 9. Grobogan 4.302 1.595 1.400 4.497 34.750
10. Kudus 400 9.675 11. Jepara
1.349 600 350
1.199 8.225
12. Pati 4.104 600 525 4.179 20.300 13. Rembang 1.296 350 400 1.246 10.675 14. Blora 4.269 1.030 825 4.474 23.450 15. Cilacap - 575 775 - 17.987 16. Banyumas 1.502 780 600 1.682 15.100 17. Purbalingga 436 450 600 286 11.000 18. Banjarnegara 930 600 550 980 13.020 19. Wonosobo 604 450 550 504 10.175 20 Temanggung 1.206 625 725 1.106 16.500 21. Kebumen 1.560 680 400 1.840 12.505 22. Purworejo 1.308 718 450 1.576 14.450 23. Magelang 3.527 650 700 3.477 15.850 24. Boyolali 750 15.025 25. Klaten
3.619 1.346 750
3.465 15.375
26. Sragen 3.150 1.445 1.150 3.445 22.387 27. Karangayar 3.876 820 900 3.796 18.186 28. Sukoharjo 700 14.500 29. Wonogiri
3.708 1.190 800
3.398 15.250
Jumlah 51.925 19.024 19.000 440.602 Sumber: PT. PUSRI, PPD Jawa Tengah
VI-167
D:\data\data\Anjak-2005\Kajian Sistem Distribusi