rangkuman diskusi sesi i -...

22
RANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor Penyebabnya (Dr. Sunaryo Urip/BPS) 2. Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Pedesaan (Dr. Togar A. Napitupulu/UN-CAPSA) Pembahas (Prof. Dr. Maman Haeruman K., MSc.) 1. Dari apa yang disampaikan Pak Sunaryo Urip kenaikan jumlah penduduk miskin di beberapa provinsi umumnya terjadi di daerah pedesaan, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Walaupun terdapat perbaikan dalam 2 tahun terakhir, tetapi angka kemiskinan tersebut secara absolut masih tinggi, mencapai 39 juta lebih. Sehubungan dengan itu, mutasi kemiskinan ini berhubungan dengan tumpuan kehidupan masyarakat desa, yaitu pertanian. Perkembangan pertanian selama ini masih lebih banyak menekankan pada aspek budidaya untuk menghasilkan produk primer bahan baku. Sebagai penghasil bahan baku, nilai tambah yang dinikmati oleh petani relatif kecil dan sebagian besar nilai tambah tersebut justru dinikmati oleh pelaku tata niaga dan industri pengolahan yang umumnya di luar jangkauan petani. Marjin tata niaga yang tinggi telah berakibat pada rendahnya harga penjualan di pintu petani dan mahalnya harga di tingkat konsumen. Dengan gambaran semacam ini, petani yang masih berkecimpung pada usaha menghasilkan produk primer tidak mungkin dapat memperoleh insentif bagi pengembangan usaha taninya. Ini memberikan sinyal bahwa sudah saatnya untuk memikirkan bagaimana mengembangkan industri di pedesaan yang mengolah hasil-hasil pertanian. 2. Menyikapi pendapatan petani yang rendah pada saat panen, dengan mengambil kasus petani padi-beras, Burhanuddin Abdullah (1985), mengungkapkan pemikiran perlunya kredit di masa panen. Dengan adanya kredit tersebut, petani-petani padi kecil yang terbiasa segera menjual hasil panennya dapat dikekang dan petani dapat menjual padinya di kemudian hari pada saat harga padi lebih tinggi. Dengan kata lain, melalui kredit ini petani padi dapat mengatur strategi penjualan hasil padinya agar dapat dijual pada tingkat harga yang lebih menguntungkan. Kredit ini bisa diberikan melalui koperasi dengan tata kerja yang cukup sederhana. Walaupun demikian, ada beberapa catatan yang dikemukakan Burhanuddin mengenai bentuk kredit khusus pertanian ini: 1) pelaksanaan kredit panen harus berdampingan dengan upaya dibangunnya kembali lumbung padi petani, 2) kredit panen ini tidak perlu dalam bentuk uang, bisa in natura, 3) perlu dipikirkan kemungkinan melonggarkan harga beras tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah (BULOG) untuk menjaga momentum keberhasilan swasembada beras menuju ke swasembada pangan, 4) kredit panen adalah kredit konsumsi yang diberikan pada saat-saat panen dengan maksud menambah nilai guna waktu dari

Upload: buikien

Post on 19-Jun-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

RANGKUMAN DISKUSI

Sesi I

1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor Penyebabnya (Dr. Sunaryo Urip/BPS)

2. Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Pedesaan (Dr. Togar A. Napitupulu/UN-CAPSA)

Pembahas (Prof. Dr. Maman Haeruman K., MSc.)

1. Dari apa yang disampaikan Pak Sunaryo Urip kenaikan jumlah penduduk miskin di beberapa provinsi umumnya terjadi di daerah pedesaan, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Walaupun terdapat perbaikan dalam 2 tahun terakhir, tetapi angka kemiskinan tersebut secara absolut masih tinggi, mencapai 39 juta lebih. Sehubungan dengan itu, mutasi kemiskinan ini berhubungan dengan tumpuan kehidupan masyarakat desa, yaitu pertanian. Perkembangan pertanian selama ini masih lebih banyak menekankan pada aspek budidaya untuk menghasilkan produk primer bahan baku. Sebagai penghasil bahan baku, nilai tambah yang dinikmati oleh petani relatif kecil dan sebagian besar nilai tambah tersebut justru dinikmati oleh pelaku tata niaga dan industri pengolahan yang umumnya di luar jangkauan petani. Marjin tata niaga yang tinggi telah berakibat pada rendahnya harga penjualan di pintu petani dan mahalnya harga di tingkat konsumen. Dengan gambaran semacam ini, petani yang masih berkecimpung pada usaha menghasilkan produk primer tidak mungkin dapat memperoleh insentif bagi pengembangan usaha taninya. Ini memberikan sinyal bahwa sudah saatnya untuk memikirkan bagaimana mengembangkan industri di pedesaan yang mengolah hasil-hasil pertanian.

2. Menyikapi pendapatan petani yang rendah pada saat panen, dengan mengambil kasus petani padi-beras, Burhanuddin Abdullah (1985), mengungkapkan pemikiran perlunya kredit di masa panen. Dengan adanya kredit tersebut, petani-petani padi kecil yang terbiasa segera menjual hasil panennya dapat dikekang dan petani dapat menjual padinya di kemudian hari pada saat harga padi lebih tinggi. Dengan kata lain, melalui kredit ini petani padi dapat mengatur strategi penjualan hasil padinya agar dapat dijual pada tingkat harga yang lebih menguntungkan. Kredit ini bisa diberikan melalui koperasi dengan tata kerja yang cukup sederhana. Walaupun demikian, ada beberapa catatan yang dikemukakan Burhanuddin mengenai bentuk kredit khusus pertanian ini: 1) pelaksanaan kredit panen harus berdampingan dengan upaya dibangunnya kembali lumbung padi petani, 2) kredit panen ini tidak perlu dalam bentuk uang, bisa in natura, 3) perlu dipikirkan kemungkinan melonggarkan harga beras tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah (BULOG) untuk menjaga momentum keberhasilan swasembada beras menuju ke swasembada pangan, 4) kredit panen adalah kredit konsumsi yang diberikan pada saat-saat panen dengan maksud menambah nilai guna waktu dari

Page 2: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

96

pemasaran hasil pertanian khususnya padi. Sehubungan dengan keanehan pemberian kredit di masa panen ini maka dalam pelaksanaannya perlu direncanakan dengan matang dan dilakukannya uji coba. Resi Gudang yang saat ini dalam tahap disosialisasikan merupakan salah satu wujud perkreditan yang sejalan dengan kredit di masa panen, dengan dukungan perundang-undangan (UU No 9 Tahun 2006)

3. Fundamentalisme industri dari Nurkse dan Lewis merasuk pemikiran pemuka-pemuka pemerintahan di berbagai negara, tak terkecuali pemerintahan Orde Baru kita yang memandang hanya industri yang dapat meningkatkan upah, memodernisasikan produksi pertanian dan memperluas kesempatan kerja. Pada gilirannya industri dibangun dengan ketergantungan pada teknologi, kapital dan keterampilan yang diimpor, sehingga berakhir dengan terjadinya discrepancy pendapatan lebih banyak menguntungkan pengusaha industri di atas kemelaratan petani, buruh dan konsumen secara keseluruhan. Dengan demikian, kesenjangan pendapatan maupun sosial ekonomi dalam arti luas tidak dapat dihindari. Sementara bobot perhatian terhadap hubungan komplementer antara sektor pertanian dengan sektor industri justru tertanggalkan. Walaupun rezim pemerintahan Orde Baru sudah berakhir akan tetapi pola-pola lama dalam sistem perekonomian seperti diuraikan di atas masih berlanjut sehingga berakibat pada semakin terpuruk dan termarjinalisasikannya sektor pertanian. Tidak mengherankan kalau di sektor pertanian muncul kantung-kantung kemiskinan yang notabene merupakan bagian masyarakat di pedesaan.

4. Terkait dengan penyebab itulah kemiskinan dikelompokkan menjadi dua, kemiskinan sementara dan kemiskinan kronis. Kemiskinan sementara dapat disebabkan oleh adanya goncangan ekonomi atau bencana alam sehingga berakibat pada rendahnya pendapatan yang dapat mereka peroleh. Akan tetapi mereka pada dasarnya memiliki potensi dan kemampuan kerja, sehingga kalau mereka mendapat sentuhan bantuan modal atau fasilitas tertentu kemampuan dan kinerja mereka tumbuh kembali. Lain halnya dengan kemiskinan kronis, karena selain dapat disebabkan oleh alasan ekonomi atau bencana alam ada sisi-sisi internal dalam diri mereka maupun lingkungan eksternal yang tidak mudah diatasi. Pandangan terhadap kemiskinan yang menarik, seperti dikutip Burhanuddin Abdullah (1992), adalah yang diungkapkan Eric Hopper. Dia bilang tidak perlu begitu risau kepada mereka yang miskin kronis karena mereka sudah lama miskin, turun temurun. Mereka justru menjadi orang miskin yang “dihormati” karena sudah sangat berpengalaman. Malah mereka terkagum-kagum pada nasibnya yang bertahan dalam kemiskinan tanpa perubahan.

5. Mereka yang perlu dirisaukan adalah (1) Orang Miskin Baru (OMB). Pengalamannya sebelum menjadi miskin dapat mengganggu ketenangan jiwanya, jangan-jangan menimbulkan kekacauan seperti revolusi kaum Puritan di abad ke-17 justru karena dukungan OMB.(2) Kelompok miskin yang tak berpengharapan (the abjectly poor). (3) Kelompok miskin yang bebas (the free poor) seperti pada zaman perbudakan. (4) Kelompok orang miskin yang kreatif (the creative poor) seperti pengrajin, penulis, seniman, dan ilmuwan “kere”,

Page 3: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

97

dan (5) Kelompok miskin yang bersatu (the unified poor), seperti kelompok agama yang kohesif jarang terkena depresi.

6. Pandangan yang lebih menyentuh esensi kemanusiaan dan lebih langsung, nyata, serta luas cakupannya diungkapkan Burhanuddin Abdullah (1992) dari pengalaman pribadinya belajar nyanyian miskin di madrasah ibtidaiyah: Miskin, miskin, miskin,.... Miskin teh sanes mung teu gaduh harta, tapi miskin keneh nu teu gaduh elmu, teu gaduh amal. Miskin itu tidak sebatas tidak punya harta, yang lebih miskin lagi adalah mereka yang tidak berilmu dan tidak beramal. ”........ Bila ada tetangga yang menderita, kirimlah beras dan ikan asin barang sejemput. Bila memasak sayur lodeh atau rendang, dan baunya diduga tercium oleh tetangga dekat, kirimlah barang secawan. Bila sudah sampai waktunya, dan pas takarannya bayarkanlah zakat dan bersedekahlah. Begitu saja.” Apakah solidaritas kehidupan semacam itu masih masih ada dalam relung hati kita yang paling dalam dan apakah kita mampu wujudkan dalam hidup keseharian kita?

7. Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Pedesaan yang diungkapkan oleh I Wayan Rusastra dan Togar Napitupulu, merupakan “hidangan ilmu kemiskinan”. Kemiskinan adalah adalah masalah konsepsi dan mempunyai banyak dimensi. Sementara itu ada pula yang berpandangan bahwa kemiskinan adalah konsep tentang keberadaan diri. Sehubungan dengan itu, uaraian yang sangat rinci mengenai faktor penting kemiskinan di Indonesia, karakteristik orang miskin serta wilayah tempat tinggal maupun profil rumah tangga mereka merupakan indikator sekaligus symptom yang dapat memberi pemahaman lebih baik bagi upaya mencari jalan ataupun cara-cara mengatasinya. Penanganan terhadap kemiskinan tidak lepas dari campur tangan pemerintah, seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan berbagai program turunannya. Sementara itu berkembang pemahaman bahwa orng miskin itu lemah dan perlu ditolong dan pada gilirannya melahirkan program-program top down yang melahirkan berbagai bantuan subsidi. Padahal subsidi laiknya opium (candu) yang dapat memanjakan sekaligus membius masyarakat miskin sehingga selalu tergantung dan kehilangan kemandiriannya.

8. Kalau dari data-data yang kita peroleh menunjukkan angka kemiskinan demikian tinggi yang secara absolut malah meningkat, apakah program yang sudah dibuat dan dilaksanakan memang sudah tepat? Kalau fenomena yang kita dapatkan bertentangan atau berbalikan dengan apa yang kita harapkan, berati ada sesuatu yang salah. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa mereka yang miskin sudah saatnya tidak dianggap lemah, diperlakukan secara lebih dewasa dan dapat mandiri. Perlakuan di tingkat mikro rumah tangga orang miskin melalui upaya semacam itu perlu juga disertai dengan diciptakannya kondisi makro yang kondusif. Stabilnya nilai mata uang serta kebijakan fiskal dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada orang miskin, terkait dengan aspek redistributif pajak atau kebijakan yang memposisikan orang kaya sebagai pihak yang menanggung beban pembangunan lebih besar.

Page 4: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

98

9. Sektor pertanian sebagai tumpuan hidup sebagian besar masyarakat pedesaan karakteristik utamanya adalah menyebar, terkait dengan kebutuhan akan energi matahari. Sehubungan dengan hal itu infrastruktur jalan dan kelancaran transportasi memiliki fungsi yang sangat penting dalam hubungan dengan penyaluran input-input didistribusikan secara tersebar sehingga sampai ke pelosok-pelosok lahan petani, dan sebaliknya output hasil pertanian yang tersebar dapat dihimpun dan disalurkan ke konsumen atau ke pasar. Dalam konteks ini kita mengenal jalan dengan berbagai status, sejak jalan negara, jalan provinsi, jalan kabupaten dan jalan desa. Sangat mudah ditebak, bahwa status jalan yang paling jelek adalah jalan desa karena dalam pembuatan dan perawatannya tidak memperoleh dukungan dana yang memadai. Tetapi anehnya di desa-desa banyak didapatkan tanah dengan status TN alias tanah negara. Kalau demikian halnya, seharusnya jalan yang menghubungkan dengan lahan-lahan TN-nya seharusnya jalan negara. Dengan kata lain, apakah tidak sebaiknya seluruh jalan dibuat dan diurus seluruhnya oleh negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?

10. Hal yang rasanya luput dari perhatian para penulis dengan kantung-kantung kemiskinan justru adanya di desa. Dalam era otonomi sekarang ini sebenarnya perlu dikaji secara lebih seksama, apa maknanya dari sisi authority pemerintahan desa dalam mengatur rumah tangga desanya. Kalau keberadaan desa hanya didasarkan hanya atas belas kasihan bupati, bagaimana desa bisa mandiri? Sebagai tingkat pemerintahan yang paling bawah, aparat desa itu sebenarnya lebih mengetahui siapa-siapa orang miskin yang ada di desanya. Akan tetapi, dalam saat-saat mereka dituntut untuk melakukan sesuatu untuk menyelamatkan mereka yang miskin sering dihadapkan kepada berbagai kendala fasilitas dan dana yang memang tidak mereka kuasai. Dalam upaya pengentasan kemiskinan di pedesaan “otonomi setengah hati” semacam ini seyogyanya jadi agenda utama wakil rakyat yang benar-benar berpihak pada masyarakat kecil dan miskin.

Prof. Dr. Kedi Suradisastra (PSEKP)

1. Dari pemaparan kedua pemakalah saya punya kesan sangat kuat kita tidak menempatkan diri kita pada posisi si miskin, sehingga apa yang dipikirkan adalah menurut pikiran-pikiran kita, yang baik menurut kita dan bisa dimanfaatkan menurut kita oleh kelompok miskin. Dalam kacamata sosial ini adalah semacam romanticising poverty, kita hanya meromantisasi kemiskinan.dan melihat semuanya dari sudut pandang kita dan keluar dengan solusi-solusi normatif, padahal yang mereka butuhkan adalah kita jangan meromantisasi kemiskinan tetapi romancing poverty, kita membuat romans yang baik tentang kemiskinan. Kita menempatkan diri kita dalam posisi orang miskin, kita memahami dari kacamata mereka, sehingga bisa keluar dengan analisis-analisis yang sifatnya menurut kebutuhan mereka. Yang ada sekarang adalah program-program yang muncul menurut pikiran kita.

2. Tadi Pak Togar menyampaikan tentang empowering the poor. Tentunya kalau empowering the poor mereka harus mempunyai sesuatu/potensi untuk

Page 5: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

99

diberdayakan, padahal yang namanya orang miskin sangat terbatas potensinya. Sebagai konsekuensinya, dari pemaparan saya melihat ada pemikiran penanggulangan kemiskinan yang sifatnya gebyar uyah dan hasilnya bisa terprediksi. Yang kedua kita bisa membuat program sendiri seperti yang terjadi selama ini dan menempatkan orang miskin sebagai kelompok sasaran, bukan sebagai mitra/stakeholder. Yang ketiga stakeholder caught strategy, dimana kita berusaha menempatkan orang miskin sebagai mitra pembangunan dalam penanggulangan kemiskinan. Konsekuensinya adalah kita harus mengidentifikasi kelompok miskin yang layak dibantu.dan tentunya mereka harus punya sesuatu sebagai potensi yang bisa diberdayakan supaya paradigma empowering the poor terpenuhi, paling tidak pengalaman mereka dalam kehidupan kemiskinan. Kalau kita hanya memilih kelompok yang layak diberdayakan, apa yang harus kita sampaikan pada mereka yang betul-betul tidak punya apa-apa? Ada tiga jalan keluar. Yang pertama program bantuan ringan, yang kedua empowerment secara selektif; yang ketiga program charity.

3. Dari sesi pertama belum terlihat upaya-upaya penanggulangan kemiskinan karena masih berupa potret-potret dan masih meromantisasi kemiskinan. Tuhan menakdirkan ada orang kaya dan orang miskin. Demikian juga kita tidak akan mampu kalau melakukan pengentasan kemiskinan; paling tidak mengurangi.

Dr. Iskandar Andi Nuhung

1. Apresiasi kepada kedua pemakalah yang diperkaya oleh Prof. Maman. Saya kira karakteristik kemiskinan telah terbedah dengan dua makalah ini.

2. Apa yang dikatakan oleh Prof. Maman sudah dicetuskan Belanda dulu. Belanda memberi upah yang rendah karena memang penduduk Indonesia terbiasa dengan upah rendah. Oleh kepada itu, buruh pada perkebunan digaji dengan upah yang sangat rendah, sehingga marjin lebih banyak dinikmati oleh Belanda.

3. Tolok ukur kemiskinan harus dilihat dengan cermat. Di Korea US$ 2 tidak bisa untuk membeli apa-apa, tetapi di Indonesia bisa untuk membeli 5 piring nasi goreng. Kita jangan terjebak dengan tolok ukur yang ditentukan dengan dollar itu.

4. Terkait dengan karakteristik kualitatif dari kemiskinan, barangkali penduduk yang kita sebut miskin tidak merasa miskin, meskipun pendapatan perkapitanya rendah mereka merasa bahagia. Kita kadang menyamakan kemiskinan dengan kesejahteraan, padahal belum tentu sama. Meskipun hanya makan sekali sehari, mereka bahagia karena bisa tenang hidupnya, tenang beribadah. Jangan-jangan masyarakat miskin fokusnya mengejar akhirat, jadi tidak perlu mengejar terlalu banyak duniawi..

5. Di masyarakat tradisional tradisi barter masih kuat, sehingga kalau dihitung pendapatannya mereka memang tergolong miskin. Masukan untuk BPS, ada

Page 6: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

100

satu kecamatan yang diklaim sebagai daerah termiskin tetapi di daerah tersebut rumahnya bagus-bagus, televisinya bagus-bagus karena ada pocket transfer dari saudaranya yang bekerja di Tawao, Sabah, Malaysia, dan hal itu tidak dihitung sebagai pendapatan oleh BPS. Perlu dicermati.

6. Pertanyaan mendasar apakah Deptan tugasnya juga harus memberantas kemiskinan. Terlalu berat tugas Deptan kalau juga diminta untuk memberantas kemiskinan. Harus diidentifikasi tugas Deptan sebetulnya apa, sehingga kita di Deptan bisa fokus apa yang harus kita prioritaskan, peningkatan produksi atau memberantas kemiskinan. Kalau harus dua-duanya bisa overload karena kemiskinan bukan hanya terkait dengan pertanian, tetapi kalau kita berbicara kemiskinan di pedesaan dsb seolah-olah domain dari pertanian. Ini harus diluruskan oleh kita semua.

Ir. Gatoet S. Hardono, MSi (PSEKP)

1. Tadi dijelaskan oleh pemrasaran bagaimana perkembangan angka-angka kemiskinan. Sesuai dengan komitmen dalam MDGs pada KTT Pangan tahun 1996 kita berkeinginan untuk menurunkan kemiskinan hingga 50 persen pada tahun 2015. Kalau kita melihat angka-angka yang disajikan Pak Sunaryo Urip, dari tahun 1996 sampai 2005 hanya berubah dari 17,5 persen menjadi 16 persen, jadi hanya penurunan 1 persen dalam jangka waktu 10 tahun. Sekarang tahun 2007, dan untuk sampai di tahun 2015 hanya tinggal 8 tahun lagi, namun angka kemiskinan masih 16 persen. Kalau kita mengikuti komitmen itu masih jauh. Bagaimana komentar Bapak dan bagaimana prospeknya?

2. Dalam salah satu publikasi World Bank tahun 2006, “Making the New Indonesian Work for the Poor”, disebutkan bahwa peningkatan kemiskinan di Indonesia tahun 2005-2006 bukan disebabkan karena peningkatan harga BBM tetapi lebih disebabkan karena peningkatan harga pangan, khususnya beras. Oleh karena itu, salah satu strategi yang disebutkan dalam publikasi tersebut adalah dicabutnya larangan impor beras. Statement semacam ini cenderung menyesatkan kita. Apakah itu salah satu upaya untuk mengobok-obok pasar beras domestik kita atau mungkin ada agenda yang lain. Mohon komentar Bapak.

Dr. Edi Basuno (PSEKP)

1. Saya belum mendapatkan komentar kritis dari kedua pembicara dan juga pembahas mengenai bagaimana sektor pertanian kita bisa mampu menanggulangi kemiskinan sesuai dengan tema seminar ini. Bagaimana supaya pertanian mampu mensejahterakan masyarakat kita di pedesaan, karena hanya dengan sejahtera mereka akan mampu menabung, kalau mereka mampu menabung mereka akan mempunyai daya beli, dan kalau mempunyai daya beli mereka akan membuka peluang usaha, kalau mereka mempunyai peluang usaha maka desa itu akan makmur, maju, hidup dan akan

Page 7: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

101

mengurangi orang yang bermigrasi ke kota. Ini sebenarnya idealisme dari pembangunan pertanian kita. Jadi bukan hanya petani, tetapi desa secara keseluruhan. Ini yang sering diserukan Pak Mentri.

2. Berbagai program dikerahkan, didanai untuk dilakukan di pedesaan, tetapi kita

jarang mengetahui dampaknya yang signifikan. BPS mengatakan begitu begitu

saja; as long as usual. Sebetulnya kesalahan kita dimana di dalam pertanian

ini. Adakah solusi-solusi praktis yang bisa kita lakukan? Apakah kita akan

selamanya merencanakan, membuat program-program, tanpa melihat dampak

signifikan di pedesaan? Mungkinkan kita mengembangkan suatu skenario

dimana kita mengimpor orang-orang dari negara-negara yang berhasil

mengangkat derajat masyarakat miskin mereka untuk membantu kita selama 5

tahun untuk memperbaiki birokrasi dan sistem kerja kita? Kita gaji/sewa

mereka selama 5 tahun tetapi dengan jaminan kita akan mampu seterusnya

melakukan pengentasan kemiskinan. Bagaimana kalau skenario itu kita

usulkan? Saya ingin mengetahui pendapat kedua pembicara dan pembahas.

3. Pembahasan Prof. Maman butir 5 halaman 3 pas sekali dengan yang selama

ini saya amati. Kita sebetulnya masih seperti yang dulu, kalau berbeda sedikit-

sedikit saja. Menurut pendapat saya ini merupakan akar masalah yang

tampaknya menjadi kendala terbesar dalam pengentasan kemiskinan.

Bagaimana pendapat para narasumber dalam hal ini?

Ir. Mewa Ariani, MS

1. Untuk Pak Sunaryo Urip. BPS sekarang dengan angka kemiskinan bisa

menjadi bulan-bulanan bisa menjadi penghargaan. Tadi Bapak menyebutkan

bahwa Bapak akan konsisten menggunakan acuan 2100 Kal. Di modul

Susenas sekarang variabel-variabelnya lebih banyak dengan memasukkan

makanan jadi, artinya data menjadi lebih akurat dibandingkan yang dulu.

Apakah ini berdampak dalam penghitungan 2100 Kal karena 2100 Kal kalau

dari pangan sumber karbohidrat saja harganya akan berbeda dengan pangan-

pangan yang lain? Jangan-jangan ini mempengaruhi validitas dalam

pengukuran kemiskinan karena ada perhitungan-perhitungan dalam Susenas

yang berubah.

2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa angka kemiskinan Maret 2007 lebih tinggi

daripada Juli 2006 dan juga penduduk miskin yang paling tinggi terdapat di

Jawa yang mempunyai kepadatan penduduk yang paling tinggi dibandingkan

di luar Jawa. Terkait dengan sampling apakah ada pengaruhnya jumlah

sampling penduduk miskin di Jawa jauh lebih banyak daripada di luar Jawa?

Mungkinkan ada sampling error?

3. Kalau kita ingin melihat apakah wilayah A lebih miskin daripada wilayah B,

apakah sebaiknya kita menggunakan data dengan basis 2100 Kal dan nonfood

basic need atau dengan BLT.yang notabene kedua data tersebut berasal dari

BPS. Mana yang lebih valid untuk menggambarkan data wilayah?

Page 8: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

102

Dr. Sunaryo Urip (BPS)

1. Untuk Bu Mewa: Untuk menganalisis wilayah, kalau mau tahu jumlah dan persentase penduduk miskinnya saja tanpa mau tahu dimana orang tersebut berada yang tepat adalah dengan hasil Susenas, tetapi kalau mau tahu di mana dan siapa mereka gunakan data penerima BLT. Penerima BLT tidak semua orang miskin, ada di antara mereka yang tidak miskin. Kami membedakan penerima BLT miskin dan sangat miskin, yang pada tahun 2005 angkanya tidak jauh berbeda jauh dengan Susenas 2005, sedangkan sisanya dikategorikan mendekati miskin karena dikatakan tidak miskin juga masih minta BLT. Kalau mau menganalisis wilayah data tersebut harus dipilah mana yang miskin dan mana yang mendekati miskin. Dari 19 juta rumah tangga penerima BLT, 8 juta bukan orang miskin. Kedua data dapat digunakan asalkan pada penggunaan data BLT dipilah mana yang miskin dan mana yang tidak miskin. Pemilahan ini tergantung wilayah dan berdasarkan karakteristik rumah tangganya.

2. Kita membedakan sampling error dan non sampling error. Non sampling error masih ada terkait dengan kemampuan menghingat karena yang direcord konsumsi seminggu yang lalu. Orang Jawa sudah mulai biasa mengingat apa yang dilakukan sehingga kalau ditanya data seminggu yang lalu masih ada perhatian. Sampling error tidak ada. Validitas 2100 Kal bukan karena sampling. Sampling didisain tergantung Susenasnya, ada Susenas konsumsi (modul) yang didesain untuk estimasi sampai tingkat provinsi, ada Susenat kor yang bisa mengestimasi sampai tingkat kabupaten/ kota. Panel yang diadakan tiap tahun hanya mampu mengestimasi pada tingkat nasional. Kalau Susenas modul digunakan untuk tingkat kabupaten tentu tidak valid lagi karena tidak didisain untuk itu.

3. Makanan yang dimakan di luar rumah kami hitung, tetapi komoditinya masih menggunakan komoditi tahun 2003. Untuk data terakhir baru tahun depan komoditas yang dikonsumsi akan diupdate. Kemungkinan ada komoditas-komuditas baru yang dibandingkan yang tidak tercakup, tetapi pada penduduk miskin konsumsi tidak bervariasi satu dengan yang lain. Kami yakin masih bisa menggambarkan keadaaan dari 2100 Kal tsb.

4. BPS tidak berkepentingan dengan target MDG. BPS hanya memotret. Target tercapai atau tidak instansi lain (Bappenas, Menko Kesra) yang harus berupaya menurunkannya. Yang jelas angka kemiskinan masih jauh dari target MDG tahun 2015.

5. BPS pernah melakukan penelitian dengan pendekatan antropologi (kualitatif) di NTT. Dengan pendekatan antropologi tersebut ditemukan memang penduduk miskin sudah berbahagia dalam kemiskinan mereka, sehingga sulit untuk menanggulanginya. Kalau menerima bantuan tidak dinikmati sendiri tetapi dibagi-bagikan kepada yang lain. Mereka lebih solider daripada yang tidak miskin

6. Untuk ukuran kemiskinan BPS tidak menghitung dengan dollar. Jangan keliru dengan kurs yang berlaku. Saat ini untuk kesebandingan antar negara World

Page 9: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

103

Bank menghitung purchasing power parity dengan standar konsumsi Hongkong untuk Asia. Konsumsi Hongkong dan konsumsi Indonesia disamakan sehingga konversinya disamakan dengan dollar Hongkong Dengan metode itu BPS berhasil menghitung kalau standarnya 1 dollar jumlah orang miskin lebih rendah, kalau 2 dollar makin meningkat. 1 dollar purchasing power parity posisi rupiah lebih kuat daripada dollar. BPS tidak menghitung dengan dollar melainkan dengan rupiah, sehingga kalau berbicara kemiskinan dengan menggunakan kurs dollar begitu saja agak sedikit mengaburkan.

Dr. Togar A. Napitupulu

1. Saya setuju sekali bahwa orang miskin akan selalu ada. Jangan berpikir untuk memberantasnya. Dalam Al Quran juga ada. Mungkin karena agama mereka mungkin bahagia dengan keadaan seperti itu, seperti temuan BPS. Filosofi the poor is always be there adalah filosofi kita untuk mulai bertindak, yang menggerakkan kita untuk mencoba care, karena Tuhan menciptakan orang miskin supaya yang kaya care pada orang miskin. Kalau tidak, maka hukum caring tidak ada lagi. Tataran filosofi itu juga yang diterjemahkan pemerintah untuk melakukan sesuatu terhadap orang miskin tadi. Kita positif thinking dalam tataran filosofi tersebut. Mudah-mudahan dengan berjalannya waktu mereka tertolong dengan itu, bergeser pada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

2. Karena pemerintah sudah mulai bertindak maka perlu ada ukuran-ukuran. Untuk ukuran pedesaan di Indonesia, US$ 2 atau sekitar Rp 20 ribu itu banyak, tetapi tidak salah juga kalau kita ingin mendekatkan rakyat yang miskin (sekalipun relatif sejahtera) menjadi seperti negara maju. Ekstrimnya kenapa petani kita tidak bisa menghasilkan US$ 100 setahun seperti di negara-negara maju? Ada kerinduan pemerintah yang merupakan perwakilan dari rakyat, yang memotivasi pemerintah untuk membantu kemiskinan. Jadi tidak ada perbedaan dalam tataran filosofinya, tetapi dalam menerjemahkannya harus dalam spirit positif thinking untuk membantu sesama, bukan untuk kepentingan sendiri Dalam perjalanannya ada penyelewengan-penyelewengan, namun itu sudah biasa di semua bidang.

3. Setuju dengan Pak Andi Nuhung bahwa dalam seminar ini secara penelitian tidak ada salahnya kita fokus kepada kemiskinan, tetapi terkait dengan tupoksi Deptan apakah itu tugas kita? Setuju dengan catatan beliau bukan karena kita tidak mau mengurusi orang miskin tetapi karena bebannya terlalu besar karena di sisi lain kita harus menjawab tantangan globalisasi pertanian. Di Malaysia, Thailand pemerintah turun tangan mengaitkan/memadukan petani dengan supermarket. Kapan kita seperti itu kalau bebannya terlalu berat? Jadi harus pemilahan tupoksi yang tegas. Barangkali masalah kemiskinan diserahkan ke departemen lain, sedangkan kita fokus kepada agribisnis.

4. Terkait dengan publikasi Word Bank, saya setuju dengan Pak Gatoet bahwa setiap kali kita menyederhanakan persoalan dengan satu jawaban pasti something fishy about it. Saya tidak mengatakan ada agenda di belakang itu.

Page 10: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

104

Persoalan harga menyangkut kemiskinan temporer. Kita lebih tertarik dengan kemiskinan struktural karena menyangkut jangka panjang.

5. Untuk Pak Edi: Kita perlu terobosan teknologi. Sudah jarang sekarang Beras dulu banyak mengubah status. Di awal-awal Bimas banyak mengangkat kemiskinan. Sekarang kita perlu mencari terobosan teknologi lagi. Sehubungan dengan skenario mengimpor orang terkait dengan asumsi mungkin orang lain lebih benar kerjanya. Mungkin asumsinya yang kita garap, kita perbaiki, barangkali kita bisa menjadi seperti mereka

Prof. Dr. Maman Haeruman, MSc

1. Untuk Pak Kedi: Tadi saya mengatakan bahwa kemiskinan sekarang menjadi shadow ilmu. Kalau shadow ilmu metodologinya harus tepat. Kalau Pak Kedi memandang bahwa pandangan-pandangan ini lebih banyak dari kacamata si peneliti sekarang bagaimana membuat metodologi sehingga kemiskinan itu dipetakan menurut kacamata si miskin. Saya setuju bahwa kita perlu mengembangkan metodologi sehingga makna kemiskinan itu bukan dari kacamata kita tetapi dari kacamata orang miskinnya.

2. Untuk Pak Andi Nuhung: Tingkat upah yang rendah terkait dengan pengembangan usaha Belanda di Indonesia, yaitu di perkebunan, yang memang ingin untung banyak dan salah satunya dengan cara menekan upah buruh sangat rendah. Jadi tidak aneh jika kemiskinan yang persisten umumnya terjadi di wilayah-wilayah perkebunan. Ini merupakan tantangan dan kita harus mencari jalan keluarnya.

3. Untuk Pak Edi: Sektor pertanian selalu menjadi tumpuan akar penyebabnya adalah karena tidak berjalannya reformasi ekonomi di Indonesia, sehingga tenaga kerja terus menumpuk di sektor pertanian. Sekarang beratnya beban di pertanian karena (1) orang dari luar pertanian malah masuk ke pertanian karena di-PHK, karena macetnya sektor rill, sehingga kembali lagi ke pertanian, (2) macetnya common property di dalam hak untuk beranak pinak karena ternyata tingkat kemiskinsn itu ditandai dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 5. Hak untuk beranak pinak ini perlu menjadi kajian karena celakanya kalau beranak pinak di keluarga miskin akan melahirkan keluarga miskin berikutnya. Masyarakat miskin dari keluarga miskin itu akan lebih berat lagi bebannya. Apa jalan keluarnya yang praktis saya kembalikan kepada pemenang Nobel Muhammad Yunus (Bangladesh) yang mempunyai tiga rumusan: (1) power of idea, bahwa kita mempunyai ide, (2) dilakukan dengan penuh kesabaran, (3) tidak pernah berhenti. Dia mempunyai ide, dia kembangkan dengan penuh kesabaran dan ketekunan, dan dia tak pernah berhenti, sehingga akhirnya beliau sukses dengan Grameen Banknya dan meraih hadiah Nobel.

4. Untuk Bu Mewa: Statistik menyulitkan karena membandingkan dengan ukuran yang berbeda. Semakin kita mengungkapkan indikator-indikator yang berkaitan dengan kemiskinan memang akan semakin rumit, tetapi itulah tugas ilmu kemiskinan.

Page 11: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

105

Dr. Delima H. Azahari

Tadi ditunjukkan Pak Sunaryo bahwa data kemiskinan tidak dapat menunjukkan siapa dan dimana orangnya, padahal kalau kita melihat program-program pemerintah sekarang tidak tepat sasaran karena kita tidak tahu secara detil mengenai siapa dan dimana orang miskin itu. Data menunjukkan tingkat kemiskinan menurun, ada yang keluar tetapi juga ada yang masuk. Bagaimana kita mengetahui ini? Ini penting karena suatu saat mungkin kita akan sampai kepada program social security (berdasarkan filosofi the poor is always be there), tetapi kita harus tahu siapa orangnya, bagaimana dan di mana dia. Kalau BPS terus-terus hanya sampling-menyampling tanpa meregister orang miskin tersebut bayangkan masalah data kesehatan, GAKIN, raskin yang menjadi abused.

Prof. Dr. Pantjar Simatupang (PSEKP)

1. Pada Tabel 1 kalau kita bandingkan angka tahun 2004 dengan 2007, jumlah penduduk miskin di pedesaan 24,8 juta pada tahun 2004 menurun menjadi 23,61 juta pada tahun 2007, tetapi persentasenya meningkat dari 20,11 persen menjadi 20,63 persen Bagi saya yang awam aritmatik hal ini dapat terjadi kalau jumlah penduduk desa meningkat. Yang kedua persentase desa dan kota meningkat tetapi persentase agregat menurun. Saya sulit membayangkan hal itu terjadi kecuali ada perubahan yang sangat mendasar dipaksakan. Apakah ini terjadi karena salah cetak, salah hitung, atau mungkin rekayasa?

2. Tabel 4 mengenai masuk-keluar. Apa makna masuk-keluar di sini? Kalau masuk dan keluar atau masuk dan tetap saja itu mengacu kepada angka awal, maka keluar dan tetap mestinya selalu lebih kecil dari awal. Tetapi angka itu tidak demikian. Apakah makna keluar dan tetap itu berbeda dari pandangan saya yang mestinya mengacu pada jumlah awal.

3. Bisakah BPS memberi potret jumlah penduduk miskin setiap saat yang dipilah menurut sektor?

Dr. Tri Pranadji (PSEKP)

1. Kalau saya tangkap secara keseluruhan penyebab utamanya adalah kebijakan politik kita yang salah, termasuk Deptan. Penyebabnya adalah kita tidak membangun sharing system yang bagus. Contohnya adalah kebijakan land reform yang tidak pernah jalan. Satu abad yang lalu beginilah keadaannya. Maka ada istilah ”modernisation without development” dan ini menjadi akar, termasuk distribusi aset-aset strategis, bukan hanya lahan, termasuk kapital, environment dsb. Ini terjadi karena kebijakan yang sangat bias, antara pertanian dan non pertanian, antara desa dan kota, antara kelompok elit dan rakyat. Kebijakan-kebijakan itu sangat specific interest. Mestinya Deptan, litbang, PSE harus sounding tentang penyebab ini.

2. Tentang nilai budaya, sistem social network dsb tidak jalan karena uangnya banyak yang dikorupsi. Sistemnya ada tetapi barangnya tidak ada. Ini

Page 12: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

106

penyebab-penyebab strategis: kebijakan kita tidak benar, dilema distribusi aset, tata nilai lahan tidak dibangun secara baik, dan elit pejabatnya termasuk Deptan tidak kompeten di dalam mengendalikan kebijakan yang pro kemiskinan. Saya kira ini lebih penting daripada membicarakan kebenaran data.

Sesi II

1. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin (Dr. Hermanto/Institut Pertanian Bogor)

2. Review Program-Program Sektor Pertanian Berorientasi Penanggulangan Kemiskinan (Dr Harniati, MS/Sekba SDM, Deptan)

Ringkasan/uraian Dr. Hermanto

Hasil analisis menunjukkan bahwa dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin cukup signifikan, namum magnitude pengaruh relatif tidak besar. Inflasi dan populasi penduduk juga berpengaruh terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruhnya relatif kecil. Peningkatan share sektor pertanian dan share industri juga berpengaruh signifikan terhadap pengurangan jumlah kemiskinan, disamping tingkat pendidikan.

Pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk mengurangi kemiskinan harus yang berkualitas dan berkeadilan. Untuk itu perlu dilakukan investasi dengan dalam bentuk mempercepat industrialisasi pertanian dan pedesaan, akumulasi modal manusia (diklat), serta pengembangan dan perbaikan infrastruktur pedesaan. Mengingat tingginya biaya investasi, maka harus melibatkan pemerintah dan swasta

Ringkasan/uraian Dr. Harniati

Pengalaman dari pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan menunjukkan bahwa masyarakat miskin sebetulnya memiliki kemampuan menemukan jalannya sendiriuntuk mengatasi masalah kemiskinan yang dihadapi. Masyarakat miskin bila diberi pembinaan yang baik dapat menampilkan karakter positip yang berpotensi untuk mengentaskan dari kemiskinan seperti: (i) kemampuan menabung, (ii) kemampuan dan kesadaran membayatr kembali pinjaman, (iii) kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, (iv) kemampuan berorganisasi, dan (v) kemampuan bekerja sama dengan pihak lain.

Pemerintah dapat membantu melalui (1) pemberdayaan dari dalam

masyarakat miskin sendiri, yaitu memperkuat kekuatan akses masyarakat miskin kepada sumberdaya yang tersedia berdasarkan kekauatan sendiri dan (2) pemberdayaan dari luar masyarakat miskin, yaitu degan mengurangi beban-beban hidup masyarakat misalnya dengan meringankan akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok.

Page 13: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

107

Komentar dari Pembahas (Dr. Pantjar Simatupang)

Dua paper yang disajikan pemakalah dapat menjadi bahan diskusi yang saling melengkapi. Makalah dari Dr. Hermanto boleh dipandang sebagai panduan untuk merancang/mengevaluasi program terkait dengan kemiskinan secara umum, sementara makalah kedua lebih fokus pada program khusus yang terkait.

Kalau kita lihat apa yang disajikan pada makalah dalam konteks kajian program kemiskinan secara umum atau dari sisi visi sudah banyak analisis seperti ini. Ada beberapa hal yang perlu dijawab.

(1) Dalam 3 tahun terakhir, kualitas pertumbuhan ekonomi rendah, sehingga perlu dicari sektor-sektor apa yang perlu menjadi fokus agar kualitas pertumbuhan meningkat. Hal ini dilakukan karena eratnya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan insiden kemiskinan.

(2) Ada reservasi terhadap model, yaitu:

Ada satu hal yang terlupakan yaitu dalam penyusunan model yaitu tidak melihat bagaimana kondisi awal. kondisi setiap variabel berbeda: secara empiris/teori ditunjukkan bahwa meningkatnya tahapan ertumbuhan akan menurunkan terhadap kualitas kemiskinan. Besaran elastisitas kurang pas, tetapi mungkin arahnya bisa digunakan. Disarankan untuk menggunakan total PDB atau pangsanya (sektor pertanian, sektor industri). kalaupun harus memilih kenapa yang satu ditonjolkan: sektor jasa padahal penting, tetapi luput dari perhatian

Karena digabung antara level dan share tidak mungkin bisa memperoleh elastisitas. Sektor jasa luput sebagai peubah implisit

Inflasi: inflasi lebih umum mengapa tidak harga beras sebagai peubah general;

Pemilihan elemen lain penentu kemiskinan, misalnya infrastruktur lain. Disana langsung diukur dengan kualitas SDM, kenapa yang relevan mungkin secara eksplisit adalah lulus SD.Justru dibalik yang residual adalah yang pendidikan lebih tinggi, karena yang relevan dengan penduduk miskin adalah lulusan rendah.Jadi penyusunan model – mungkin dapat dipakai adalah arahnya saja

Yang menarik adalah kemiskinan biologis, yaitu seseorang yang lahir langsung menjadi penduduk miskin. Apa yang dapat diperbuat untuk mengatasi hal ini? Mungkin saja pengendalian kelahiran.

(3) Kedua makalah menyinggung soal pertanian, tetapi Bapak Hermanto ragu-ragu dengan pernyataan bahwa industri lebih efektif, tetapi akhirnya agroindustri.Pernah dicoba dengan data yang berbeda, bukan industrinya. Kalau tujuannya mengatasi kemiskinan secara umum, maka sektor pertanian yang lebih baik.

Ada fenomena menyangkut besaran anggaran di deptan pada tiga tahun terakhir yang meningkat sangat besar yaitu 2 kali lipat disamping subisidi juga naik 100 persen. Dengan demikian jika pertanian dijadikan acuan tidak ada kaitan

Page 14: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

108

antara besaran anggaran dengan perbaikan pertumbuhan di sektor pertanian. Hasil kajian pertumbuhan di sektor pertanian <1%, ada apa dengan Deptan. Kenapa pertanian tidak mampu sebagai leading sector untuk mengurangi kemiskinan,

Faktor tersebut baru dikuatkan oleh Bu Harmiati, misalnya P4K sudah 25 tahun dilakukan tetapi masih banyak petani yang miskin. Terkait dengan pelaksanaan proyek ada 2 hal yang crucial:

1. ongkos administrasi sangat besar

2. tidak berfikir menjadikan sebagai program yang berkelanjutan. Kita tidak bisa melupakan kepentingan diri/kelompok terhadap progam.

Pertanyaan/Tanggapan

Bu Endang S. (Pusat Pembiayaan)

Dari makalah pak Hermanto dapat ditarik kesimpulan bahwa swasta dan pemerintah harus bergandeng tangan. Di Deptan sudah dicoba dengan menggandeng pihak perbankan. Bu Hermiati betul, bahwa intervensi pemerintah tinggi dan melibatkan keputusan yang bersifat politik. Kredit sektor pertanian dari perbankan masih sangat rendah yaitu hanya 6%. Bagaimana menggunakan dana pemertintah yaitu sebagai cash colateral yang bisa digunakan untuk mendapat gearing ratio yang diharapkan dapat 10 kali lipat.

Di peracis ada teori regulaton, konsep ekonomi yang menempatkan pemerintah hanya sebagai regulator untuk mengakomosasi upaya penanggulangan kemiskinan. Di Perancis: otda sudah berjalan 100 tahun lebih. Di deptan ada kredit ketahanan pangan : yang dudah tersalur Rp 4 triliun. Disamping ada skim-skim yang lain : pegadaian, SP3, dsb. Di SP3 bank sudah menyatakan setuju, tetapi ada keputusan politik sehingga bank jadi ragu. Mekanisme yang dibangun perlu menjadi perhatian bersama. Konsep-konsep yang sudah jalan di negara lain bisa dijadikan sebagai acuan.

Sri Wahyuni (PSEKP)

Sebagai informasi, bahwa di PSE-KP sudah pernah dilakukan penelitian tetantang persepsi masyarakat terhadap apa itu kemiskinan dengan studi kasus di Jatim dan NTT. Metode yang digunakan adalah fenomenologi, yaitu masyarakat diberi keleluasaan untuk mendefinisikan apa miskin itu. Ternyata hasilnya berbeda, di NTT dianggap miskin jika tidak mampu menyekolahkan anaknya. Di NTT, sandang, pangan, dan papan bisa tercukupi. Sementara di Jatim, masyarakat menganggap dirinya miskin jika tidak memiliki apa-apa, karena semua harus beli.

Harapan ke depan agar program Deptan untuk menangani kemiskinan harus spesifik lokasi. Untuk Bapak Hermanto, mungkin persepsi masyarakat terhadap apa itu miskin bisa dijadikan variabel. Selain itu koreksi untuk istilah kuatamaan gender, semestinya adalah gender perempuan.

Page 15: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

109

Benny Rahman (BPTP Banten)

Secara empiris, pertumbuhan penduduk akan mengurangi unemployment, sehingga unskilled labor bisa memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi untuk mendapatkan penghasilan.

Secara kualitatif, ada hubungan faktor penduduk atau populasi yang sangat nyata dalam mempengaruhi kemiskinan. Di paper, faktor penyebab kemiskinan sudah diakomodasi secara baik. Berkaitan dengan pertumbuhan ini, mengapa hanya human capital, dan tidak ada yang mwnyinggung peranan social capital. Padahal social capital sangat berperan untuk mengurangi kemiskinan.

Selain itu ada saran yaitu sebaiknya dicoba dijabarkan model tersebut agar lebih operasional. Paper visa dijadikan acuan untuk dijabarkan lebih lanjut, mungkin bisa jadi PR-untuk PSEKP

Respon/Tanggapan Pemakalah

Tanggapan Bapak Hermanto:

a. Untuk pembahas

1. Secara teori untuk model tersebut memang sebaiknya memasukkan kondisi awal. Akan tetapi secara empiris karena menyangkut regresi, maka kondisi awal hanya berpengaruh terhadap intersepnya, sementara slope tidak terpengaruh. Alternatif lain, bisa juga sebenarnya dibuat indeks.

2. Setuju dengan besaran pengaruh yang harus dilihat secara hati-hati, kita yang penting lihat arahnya,

3. Pangsa koefisien jika dimasukkan dapat menyebabkan multikoliner besar, sehingga residu adalah jasa. Pernah dicoba tetapi hasil kurang bagus. Jasa memang sangat complicated (pertanian, keuangan, dsb)

4. Kenapa industri agro, karena peranan pertanian sangat besar yang tercermin dari koefisien regresi agroindustri sangat besar. Berdasarkan subsektor agrobisnis sangat dominan terutama pangan, peternakan, dan produk hutan yang lebih dari 50%.

5. Penggabungan level dan share tidak dilakukan karena dapat menghambat penghitungan elastisitas

6. Harga beras tidak dipakai karena kita mau lihat secara lebih makro dari garis kemiskinan. Jika kemiskinan sangat sensitip maka harus lihat faktor penyebab kemiskinan: inflasi yang diakibatkan oleh pangan maupun non pangan.

7. Infrastruktur, ingin kita gunakan tetapi data sangat sulut didapatkan (provinsi dan rentang 11 tahun)

8. Program khusus untuk mengatasi kemiskinan, hendaknya targetted, misalnya apa yang dilakukan BKKBN perlu ditingkatkan lagi secara terpadu (misal: posyandu). Berdasarkan hasil kajian tentang Desentralisasi fiskal, penting

Page 16: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

110

dana dari Pemda lebih banyak disalurkan untuk penanganan kesehatan dan produski atau human reseacrh.

9. Fenomena di Deptan yang anggaran terus meningkat tetapi dampak terhadap

pertumbuhan kurang, mungkin terkait dengan tidak ada prediksi akan adanya

bencana. Dulu secara catur wulan, pada akhir kuartal IV 2005 sempat

meningkat, tetapi turun kembali. Meningkatnya anggaran tidak simetris dengan

efektivitas yang ditimbulkannya. Studi Desentralisasi fiskal juga menunjukkan

bahawa meningkatnya anggaran Pemda tidak berpengaruh terhadap

pertumbuhan perekonomian daerah (tidak terbukti)

b. Tanggapan pertanyaan Bu Endang:

Teori tersebut pantas untuk diterapkan. Kita sama sekali tidak berarti anti

pemerintah, tetapi untuk hal-hal tertentu pemerintah memang harus intervensi

untuk hal-hal yang strategis. Misalnya untuk subsidi, harus jelas jumlah dan span

waktu

c. Tanggapan Bu Sri Wahyuni:

Variabel tersebut bisa saja diakomodasi, tetapi untuk kasus Indonesia

tentu harus melihat seluruh provinsi, sehingga memerlukan usaha dan dana yang

besar.

d. Tanggapan untuk Bapak Benny Rachman

Untuk tataran operasional mungkin dapat dilakukan di Departemen, Tim

IPB hanya bersifat makro saja.

Tanggapan Bu Harmiati:

a. Tanggapan untuk pembahas

Pak Pantjar betul, menurut acuannya Budgeting juga merupakan

keputusan politik karena di putuskan oleh DPR. Dalam tataran program juga

mengandung unsur politis juga. Ada beberapa hal yang perlu dicatat mengenai

anggaran yang besar:

1. Banyak anggaran yang tidak langsung untuk program pengentasan

kemiskinan, misalnya untuk kendaraan, yang nilainya juga besar

2. Proyek yang bersifat loan, ongkos untuk menyewa konsultan sangat besar.

Kita tidak bisa berbuat apa-apa karena dalam agreement memang disebutkan

demikian.Bargaining kita dalam negosiasi loan lemah, bahkan di Kepres jika

terjadi pertentangan kepentingan antara Kepres dan donatur, maka yang

dipakai adalah aturan dari donatur.

Page 17: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

111

Terkait dengan penanggulangan kemiskinan, tiap daerah sangat spesifik dalam memandang kemiskinan, sehingga need juga berbeda

b. Tanggapan untuk Pak Benny:

Social capital memang memiliki pengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan. Walaupun demikian, di wilayah agrosistem yang berbeda pengaruhnya juga bervariasi, sehingga dalam konteks pengurangan kemiskinan juga memerlukan perlakukan yang berbeda.

Komentar tambahan dari Pak Pantjar dan Bu Endang :

Banyak program untuk peningkatan pendapatan guna menurunkan kemiskinan, diantaranya P4K, P4MI, Primatani, tahun depan ada dana untuk 10 ribu desa. Juga ada program sekitar 28 kegiatan yang diarahkan untuk menurunkan kemiskinan. Namun demikian program tersebut kurang efektif, karena tidak ada indikator efektivitasnya, akhirnya selesai program bikin lagi program baru dan jika terus demikian maka akan semakin besar biaya yang dibutuhkan dalam upaya pengentasan kemiskinan.

Sesi III

1. Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan (Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan/TKPK, Ketua Pelaksana Tim Pengendali PNPM-Mandiri) (Warno Hadi).

2. Pengalaman LSM Dalam Pendampingan dan Pemberdayaan Keluarga Miskin (Irawati H./LSM Bina Swadaya)

3. Pengalaman Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan di Pedesaan (Epi Kustiawan/Bappeda Jawa Barat).

Presentasi Bapak Warno Hadi

1. Program baru yang diluncurkan PNPM-Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri)

2. Target kemiskinan untuk menjadi 8,2% tahun 2009 dan populasi, padahal penurunan hanya 1-1,5% per tahun.

3. Perkembangan penduduk miskin dari tahun 1996-2007, terlihat peningkatan besar tahun 1998-1999.

4. Untuk penanggulangan kemiskinan, ada 3 hal penting yaitu pendanaan, pendataan, dan kelembagaan.

5. Selama ini koordinasi penanggulangan kemiskinan antar instansi tidak berjalan baik, sehingga distribusi kegiatan juga tidak baik.

Page 18: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

112

6. Dalam kelembagaan, kegiatan penanggulangan kemiskinan tersebar, tetapi

ada lembaga untuk koordinasi yaitu TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan

Kemiskinan).

7. Instrumen utama kegiatan :

- PNPM

- Program pengembangan BBN (bahan bakar nabati)

- Program keluarga harapan (PKH)

- Program pemerintah lain.

8. PNPM merupakan payung kegiatan-kegiatan yang menggunakan pendekatan

pemberdayaan. Kegiatan ini akan dijalankan sampai dengan tahun 2015.

Presentasi Ibu Irawati H. (LSM Bina Swadaya)

1. Globalisasi ekonomi mempengaruhi paradigma pembangunan pertanian, yang

selanjutnya menentukan peran LSM terhadap pembangunan.

2. Paradigma pembangunan pertanian bukan lagi peningkatan produksi, tetapi

pada peningkatan kesejahteraan petani.

3. Peran LSM: pioneer, fasilitator dan katalisator, dan advokasi.

4. Pendekatan LSM: sosiokaritatif, sosio-reformis, sosio-ekonomis, dan sosio-

transformis.

5. LSM Bina Swadaya melakukan berbagai kegiatan yaitu peningkatan kapasitas

aparatur pemerintah, CSR (Coorporate Social Responsibility), pengembangan

kelembagaan, keuangan mikro, dan pemanfaatan media massa.

Presentasi Bapak Epi Kustiawan (Bappeda Jawa Barat)

1. Jawa Barat memiliki jumlah penduduk miskin yang besar. Jumlah rumah

tangga miskin 2.905 rumah tangga (27%).

2. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dijadikan sebagai indikator dalam

pembangunan di Jawa Barat.

3. IPM Jawa Barat sesungguhnya diatas rata-rata nasional, tetapi kemiskinan

tetap besar.

4. Jawa Barat menetapkan ”Visi 2010”, yang dijalankan dengan misi: peningkatan

SDM, pengembangan perekonomian, pemantapan kinerja pemda,

pembangunan berkelanjutan, dan peningkatan kualitas kehidupan sosial.

5. Program khusus Jawa Barat : DAKA LABAREA, Program Raksa Desa, PPK-

IPM

Page 19: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

113

Pembahasan Dr. Endah Murniningtyas

1. Makalah tidak banyak menyinggung pertanian, tetapi pedesaan. Dalam hal pertanian, penanggulangan kemiskinan bisa bersifat langsung dan tidak langsung.

2. Rumah tangga petani yang miskin membutuhkan intervensi langsung.

3. Di Jawa Barat, pendekatan penanggulangan kemiskinan secara mainstreaming.

4. Tidak harus semua program pembangunan pertanian untuk petani miskin, karena ada direct intervention dan indirect intervention.

5. Total anggaran untuk penanggulangan kemiskinan bukan Rp 51 trilyun, namun yang khusus hanyalah Rp 19 trilyun, yaitu yang betul-betul langsung untuk keluarga miskin.

6. Tentang data. Beda instansi memakai data yang berbeda. Pada kegiatan BLT-BBM diperoleh data RTM (rumah tangga miskin).

7. Perlu jeli, program-program tersebut menuju yang mana: wilayah miskin, keluarga miskin, atau orang miskin.

8. Soal kelembagaan: apakah memang single pelaku perlu? Kalau untuk kegiatan langsung memang dibutuhkan.

9. Ada 5 hal untuk penanggulangan kemiskinan :

10. Stabilitas harga bahan-bahan pokok

11. Mendorong pertumbuhan yang pro rakyat miskin

12. Memperluas program yang berbasis masyarakat

13. Meningkatkan akses terhadap pelayanan

14. Menyempurnakan sistem perlindungan masyarakat.

15. LSM dapat bekerja sama dengan penyuluh, karena jumlah penyuluh yang masih terbatas.

16. Tantangan terbesar saat ini adalah kaitannya dengan desentralisasi. Bagaimana peran pemuda, sebagai penanggung jawab dan pelaku utama. Kemampuan aparat daerah yang belum siap, menjadi hal penting yang harus diperhatikan.

17. Intinya adalah bagaimana sektor pertanian dapat menjadi jalan untuk penanggulangan kemiskinan.

Penanya Dr. Nyak Ilham

1. Program-program yang disampaikan belum mencantumkan target-target secara kuantitatif, berapa yang mau dijadikan sasaran dan diturunkan?

Page 20: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

114

Penanya Dr. Sumaryanto

1. Jawa Barat adalah daerah tujuan migran (permanen maupun bukan) yang menciptakan kantong-kantong kemiskina. Apakah pernah diteliti, siapa yang mengisi kantong-kantong kemiskinan tersebut: penduduk asli atau migran ?

2. Tentang CSR, memang saat ini penting. Berdasarkan pengalaman: apa penyebab kemiskinan di lingkungan perusahaan-perusahaan tersebut? Apakah karena ketidak mampuannya atau kendala di perusahaan ?

3. Program-program sudah banyak, apa maksud dari pernyataan bahwa kita belum serius! Apa indikator dan implikasinya ?

Jawaban Bapak Warno Hadi

1. Sesungguhnya untuk PNPM-Mandiri sudah ada target-target untuk tahun 2008 misalnya. Namun, memang belum mampu menjawab berapa keluarga miskin yang bisa menjadi sasaran

2. Saat ini, sedang dilakukan konsolidasi dan kompilasi data-data dari berbagai pelaksana, untuk mengetahui berapa rumah tangga miskin yang sudah berhasil diperbaiki. Namun, memang data-data tersebut belum tertata baik.

3. Memang kita belum serius dalam menanggulangi kemiskinan. Hal ini terlihat dari data-data pengurangan rumah tangga per orang miskin yang belum besar. Penyababnya adalah koordinasi antar instansi yang belum baik, karena ego sektoral. Saat ini, sudah ada kesepakatan tiap-tiap instansi untuk berada dibawah payung program PNPM-Mandiri.

Jawaban Bapak Epi Kustiawan

1. Jawa Barat berupaya mengatasi paradoks perkembangan ekonomi yang dialami.

2. Hasil riset : penduduk pribumi banyak bergerak di pertanian, sedangkan migran pada sektor non pertanian.

3. Strategi Jawa Barat bertolak dari fakta bahwa investasi ekonomi saja tidak cukup, namun perlu sinergi aspek-aspek lain. Sebagai contoh, di Cikarang Bekasi sangat besar investasi masuk, tetapi malah tumbuh kantong-kantong kemiskinan.

Jawaban Ibu Irawati H.

1. Tentang CSR. Dari beberapa perusahaan, memang mereka mensyaratkan profesionalisme untuk merekrut tenaga kerja. Bukan persoalan warga asli atau bukan.

2. Tentang keseriusan, contoh keuangan mikro. Meskipun Indonesia sudah lama, namun bank dan kebijakan perbankan belum pro terhadap pengembangan lembaga keuangan mikro.

Page 21: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

115

3. Ada kesenjangan antar pelaku, terutama antara masyarakat dengan perbankan yang mindsetnya sangat berbeda.

4. Belum semua level memiliki komitmen untuk penanggulangan kemiskinan.

5. Usulan untuk Departemen Pertanian :

6. Agar peran LSM dapat lebih diberi peluang, baik untuk peningkatan kapasitas petani, keuangan mikro, dll. LSM memiliki kemampuan dalam pendampingan masyarakat.

7. Pendekatan agribisnis hanya menguntungkan pengusaha dan petani besar. Karena itu perlu perbaikan.

8. Perlu ada pemberdayaan untuk pelaku-pelaku pemberdayaan.

Jawaban Ibu Endah Murniningtyas

1. Targeting jelas penting. Jika targetnya wilayah, semestinya PNPM-Mandiri sebagai contoh, perlu tetap mengembangkan kelompok-kelompok terget. Bangun kelompok-kelompok yang establish, yang tetap, meskipun instansi pelaksananya bermacam-macam.

2. Dari sisi manusianya. Harus ada daftar manusia miskin yang pasti. Meskipun tidak semua dientaskan. Jangan selalu menggunakan moving target. Maka, pendataan menjadi sangat penting. Basis data RTM dari kegiatan BLT-BBM merupakan contoh yang baik, yang bisa dilanjutkan ke depan.

3. Government fund tidak bisa menjadi seed capital, harus sekali habis. Karena itu, untuk satu program mesti bergabung dengan yang lain.

Penanya Dr. Budiman Hutabarat

Kenapa program BLT-BBM diadopsi, karena merusak savety net (jaring pengaman) tradisional yang sudah ada. Bagaimana sekarang, apa masih diteruskan?

Jawaban Dr. Endah M.

1. Saat ini sedang digodok sistem pengaman jaring sosial nasional, untuk menggantikan BLT-BBM tersebut kaerna itu hanya program populis sementara.

2. Pemerintah berdasarkan UUD 45, harus bertanggung jawab terhadap kelompok-kelompok miskin.

3. Saat ini akan digulirkan BLT bersyarat. Bantuan disalurkan ke lembaga-lembaga sekolah misalnya.

Jawaban Bapak Warno Hadi

LT bersyarat merupakan penyempurnaan dari BLT sebelumnya. Menjadi PKH = Program Keluarga Harapan, untuk yang kategori “sangat miskin”. Untuk 2007

Page 22: RANGKUMAN DISKUSI Sesi I - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RD_PROS_2008.pdfRANGKUMAN DISKUSI Sesi I 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Faktor

116

sasaran sebanyak 5000 rumah tangga, terutama untuk anak-anak sekolah dan ibu hamil, yaitu pendidikan dan kesehatan.

Penutup (Kepala Pusat)

1. Masih menantang untuk merumuskan kembali batasan kemiskinan. Apakah batas 1 dollar AS sudah benar, sedang diperdebatkan.

2. Data-data masyarakat miskin juga belum sempurna, terutama dalam hal siapa dan dimana orang miskin tersebut.

3. Perlu juga dipikir ulang, bahwa mungkin harus ada pilihan hidup bagi orang-orang miskin, tidak harus semua orang hanya menggunakan satu ukuran dan pilihan.

4. Adanya masalah kualitas pertumbuhan perlu digarisbawahi. Bukan hanya target yang harus dicapai, tetapi juga kualitas pertumbuhan tersebut. Artinya, perlu strategi baru.

5. Selain strategi, perlu target yang jelas untuk kelompok-kelompok tertentu yang membutuhkan pendekatan khusus. Karena itu, data sangat penting, sehingga desain kegiatan menjadi fokus. Departemen Pertanian semestinya dapat menata ulang agar program-programnya lebih terfokus untuk masyarakat miskin.

6. Karena kompleks, koordinasi dari Menko Kesra menjadi penting bersama-sama dengan Bappenas. Dengan dana yang cukup besar, jika terfokus, akan lebih efektif.

7. Untuk penelitian, banyak hal yang masih dapat diungkapkan.

8. Tim perumus, agar merumuskan dalam bentuk policy brief.