visi dan arah pemb pert -...
TRANSCRIPT
VVII--11
VISI DAN ARAH PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA PANJANG 2005 – 2025
I. PENDAHULAUN
Walaupun peran sektor pertanian dalam memacu pertumbuhan ekonomi
nasional tidak sebesar sektor industri, namun peran sektor pertanian harus dilihat
lebih luas terutama dalam konteks mendistribusikan hasil-hasil pembangunan
utamanya kepada masyarakat miskin di wilayah pedesaan, sehingga sektor
pertanian tetap dipandang sebagai sektor strategis dalam pembangunan nasional.
Ada lima peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional yaitu (a)
sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi penduduk perdesaan
sekaligus sebagai penyedia tenaga kerja bagi sektor non-pertanian; (b) sebagai
penghasil pangan bagi penduduk yang jumlahnya terus bertambah; (c) sebagai
pemacu proses industrialisasi; (d) sebagai penyumbang devisa negara; (e)
sebagai pasar bagi produk dan jasa sektor non-pertanian. Walupun peran tersebut
sangat besar, namun hingga kini perhatian pemerintah terhadap pengembangan
sektor pertanian masih dinilai tidak sebanding dengan peran yang diembannya.
Dalam jangka panjang (2005-2025) diharapkan perhatian pemerintah terhadap
sektor pertanian makin meningkat, sehingga pada akhir tahun 2025 sektor
pertanian menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan struktur perekonomian
nasional menuju tinggal landas. Kegagalan pemerintah dalam menempatkan
sektor pertanian sebagai fondasi yang kokoh dalam struktur perekonomian
nasional akan menghilangkan kesempatan bangsa ini menuju struktur
perekonomian nasional yang kokoh dan lentur terhadap gejolak eksternal. Tak
satupun negara di dunia dapat maju dan kokoh struktur perekonomiannya tanpa
ditopang oleh sektor pertanian yang kuat. Oleh karena itu sasaran akhir
pembangunan pertanian jangka panjang adalah menempatkan sektor pertanian
sebagai fondasi struktur perekonomian yang kokoh dan lentur terhadap pengaruh
eksternal.
II. LINGKUNGAN STRATEGIS
Lingkungan strategis pada tingkat internasional yang paling dominan dalam
mendorong perubahan struktur perekonomian dan tatanan masyarakat dunia dalam
VVII--22
jangka panjang 20 tahun ke depan yang mempengaruhi arah dan sasaran
pembangunan pertanian ialah: (a) liberalisasi pasar global dan ketidakadilan
perdagangan internasional; (b) perubahan sistem dan manajemen produksi; (c)
perhatian pada perwujudan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan
(Millenium Development Goals); dan (d) kemajuan pesat dalam penemuan dan
pemanfaatan teknologi tinggi. Dilain pihak, lingkungan strategis tingkat nasional
yang dominan mempengaruhi perubahan struktur perekonomian dan tatanan
masyarakat Indonesia serta diperkirakan sangat berpengaruh terhadap arah dan
sasaran pembangunan pertanian di masa mendatang adalah: (a) dinamika
permintaan pangan dan bahan baku; (b) kelangkaan dan degradasi kualitas SDA
(lahan, air); dan (c) manajemen pembangunan : otonomi daerah dan partisipasi
masyarakat.
A. Internasional
1. Liberalisasi Pasar Global dan Ketidakadilan Perdagangan Internasional
Indonesia sebagai suatu negara yang turut meratifikasi perjanjian General
on Tariff and Trade dan World Trade Organization (GATT/WTO) tahun 1995, telah
mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan mengurangi semua
subsidi kepada petani. Komitmen menghilangkan kebijakan ekonomi dan
perdagangan yang dapat menimbulkan distortif pasar ternyata tidak dilaksanakan
oleh semua negara, sehingga petani Indonesia dihadapkan pada persaingan yang
tidak adil dengan petani dari negara lain yang dengan mudah mendapat
perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung. Oleh
karena itu, ke depan pemerintah masih harus menerapkan kebijakan proteksi
sekaligus promosi terhadap produk-produk pertanian strategis, seperti beras dan
gula. Kebijakan proteksi yang dapat dilakukan antara lain penetapan tarif impor
dan pengaturan impor, sedangkan untuk kebijakan promosi pemerintah dapat
memberikan subsidi sarana produksi, subsidi harga output maupun subsidi bunga
kredit untuk modal usahatani. Pada akhir tahun 2025 diharapkan seluruh bentuk
proteksi ditiadakan seiring dengan mantapnya daya saing produk pertanian.
Selain hal di atas, pembentukan ekonomi kawasan seperti North American
Free Trade Area (NAFTA), European Union (EU), ASEAN Free Trade Area
(AFTA) dan yang lebih luas lagi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) perlu
mendapat perhatian karena akan dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi baru
VVII--33
yang bukan lagi dalam hubungan antar negara namun dalam cakupan yang lebih
luas lagi yaitu antar kawasan/regional. Ketimpangan antar kawasan ini dapat
terjadi karena adanya proses pematangan kawasan ekonomi yang berbeda satu
dengan lainnya. Salah satu kawasan ekonomi yang diperkirakan akan sangat kuat
adalah Uni Eropa (European Union). Kawasan ini sudah mencapai suatu tahapan
penyatuan mata uang (mata uang tunggal Euro), yaitu suatu tahapan yang paling
maju dalam implementasi integrasi ekonomi. Kondisi ini akan semakin menyulitkan
ekspor produk pertanian Indonesia dan negara-negara lain di luar Eropa, karena
sudah pasti akan mendapat perlakukan yang berbeda (peraturan ekspor-impor
yang sangat ketat) dengan negara-negara yang berada di kawasan yang sama.
Untuk menghadapi masalah ini, Indonesia harus mulai mengembangkan produk
pertanian olahan dan mengutamakan pangsa pasar dalam negeri yang potensinya
juga sangat besar. Selain itu, pemerintah perlu mengembangkan kerjasama
perdagangan regional yang bersifat saling mengungtungkan untuk mendapatkan
manfaat skala perdagangan.
2. Perubahan Sistem dan Manajemen Produksi
Pada awal abad XXI diperkirakan akan terjadi perubahan radikal dalam
struktur pasar dan kesempatan kerja yang berimplikasi pada pembentukan pasar
baru, yaitu : (1) pada saat itu, kebutuhan dasar manusia telah tercukupi dan
selera manusia bergeser pada kebutuhan sekunder dan tersier, sehingga
kecenderungan ke depan, pasar jasa akan berkembang lebih cepat dibanding
pasar barang; (2) pendapatan masyarakat makin tinggi dan lebih mengutamakan
aktualisasi kepuasannya, sehingga segmentasi pasar makin mengarah pada
kelompok individu yang makin kecil; dan (3) terjadi pergeseran permintaan antar
individu dalam pasar barang dan jasa yang sama.
Sejalan dengan semakin ketatnya persaingan untuk memperoleh pangsa
pasar, para pelaku usaha mengembangkan strategi pengelolaan rantai pasokan
(Supply Chain Management, SCM) yang mengintegrasikan para pelaku dari
semua segmen rantai pasokan secara vertikal ke dalam usaha bersama
berlandaskan kesepakatan dan standarisasi proses dan produk yang bersifat
spesifik untuk setiap rantai pasokan. Kunci daya saing produk antar rantai
pasokan itu adalah efisiensi pada setiap segmen rantai pasokan dan keterkaitan
fungsional antar segmen dalam memelihara konsistensi setiap pelaku dalam
memenuhi kesepakatan dan standar yang digunakan. Untuk menciptakan hal
VVII--44
tersebut diperlukan selain integrasi vertikal antar segmen rantai pasokan juga
integrasi horizontal antar pelaku dalam satu segmen, misalnya integrasi diantara
para produsen, diantara para distributor, dan diantara para pengumpul di dalam
satu rantai pasokan yang sama. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian
dalam 20 tahun ke depan di arahkan untuk mengembangkan keharmonisan usaha
mulai dari hulu sampai hilir dalam bentuk koordinasi yang sinergis antar pelaku
usaha agribisnis.
3. Perhatian pada Perwujudan Ketahanan Pangan dan Pengentasan
Kemiskinan (Millenium Development Goals)
Pada tahun 1996, melalui pertemuan World Food Summit (WFS), dunia
telah bersepakat untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang dan
menghapuskan penduduk yang kelaparan di seluruh negara. Sasaran
kuantitatifnya adalah mengurangi jumlah penduduk rawan pangan menjadi
setengahnya paling lambat tahun 2015. karena jumlah rawan pangan di dunia
tahun 1996 diperkirakan sekitar 800 juta jiwa, maka sasaran pengurangannya
sebesar 400 juta jiwa selama 20 tahun, atau rata-rata 20 juta jiwa per tahun. Pada
tahun 2002, melalui pertemuan yang sama di Roma, dunia kembali mempertegas
dan memperbarui tekad komitmen global yang dibuat dalam Deklarasi Roma
1996. Karena kinerja pencapaian sasaran dalam lima tahun pertama tidak
memuaskan, maka pertemuan WFS 2002 memutuskan untuk meningkatkan
sasaran pengurangan penduduk rawan pangan sejak tahun 2002 menjadi rata-
rata sekitar 22 juta jiwa per tahun.
Salah satu komitmen penting dalam Deklarasi Roma 2002 adalah
penegasan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan dalam mengikis
kelaparan dan kemiskinan. Dunia menyadari bahwa pembangunan pertanian dan
pedesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena
70 persen penduduk miskin dunia hidup di pedesaan dan mengandalkan sumber
penghidupannya dari sektor pertanian. Gambaran kondisi ini ternyata sangat
relevan dengan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa
pada puncak krisis ekonomi tahun 1998, jumlah penduduk miskin hampir
mencapai 50 juta jiwa dan sekitar 64,4 persen tinggal di pedesaan. Pada tahun
1999, saat ekonomi menuju pemulihan, jumlah penduduk miskin turun menjadi
sekitar 37 juta jiwa dan sekitar 66,8 persen tinggal di pedesaan. Oleh karena itu,
tepat sekali argumen yang menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan dan
VVII--55
pengikisan kelaparan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan pertanian dan
pedesaan yang berkelanjutan, yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian,
produksi pangan dan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, pada akhir tahun
2025 diharapkan tidak lagi dijumpai insiden kemiskinan dan rawan pangan di
wilayah pedesaan.
4. Kemajuan Pesat dalam Penemuan dan Pemanfaatan Teknologi Tinggi
Kemajuan pesat terjadi di bidang bioteknologi tanaman dan hewan yang
didukung dengan kemajuan ilmu biologi molekuler dan berbagai ilmu
pendukungnya. Pemetaan genom berbagai organisme, keberhasilan transformasi
dan regenerasi organisme hasil rekayasa genetik (genetically modified organism/
GMO) membuka peluang bagi pengembangan industri berbasis sumberdaya
hayati. Penggunaan GMO dalam kaitan dengan keamanan pangan dan keamanan
hayati masih kontroversial. Namun arah pengembangan teknologi pertanian
menuju pada intensitas penggunaan bioteknologi yang makin tinggi. Oleh karena
itu, perlu diupayakan untuk mengembangkan bioteknogi secara konsisten dalam
bidang pertanian.
Secara umum posisi status teknologi Indonesia pada beberapa komoditas
pertanian masih relatif tertinggal dibandingkan dengan negara di kawasan
ASEAN. Untuk padi dan unggas Indonesia lebih unggul dibanding dengan negara-
negara di Asia Tenggara maupun Asia Tengah. Namun demikian untuk komoditas
perkebunan relatif tertinggal dari Malaysia dan hortikultura tertinggal dari Thailand.
Untuk produk olahan pangan, produk Indonesia relatif tertinggal dibanding dengan
Thailand dan Vietnam. Hal tersebut karena adanya perhatian pemerintah yang
bersangkutan yang lebih konsisten dalam membangun rantai agribisnis komoditas
dari hulu ke hilir sampai dengan kemudahan dalam pemasaran produk segar
maupun olahannya. Ke depan, perhatian pemerintah perlu ditekankan pada
pengembangan teknologi pertanian yang masih tertinggal dan dalam jangka
panjang produk unggulan pertanian sudah mempunyai daya saing yang tinggi baik
di pasar domestik maupun di pasar internasional.
B. Nasional
1. Dinamika Permintaan Pangan dan Bahan Baku
Dinamika penduduk Indonesia ditinjau dari kualitas, pasar tenga kerja, tingkat
pendidikan, mobilitas, dan aspek gender tentu akan sangat berpengaruh terhadap
VVII--66
keragaan pembangunan pertanian di masa mendatang. Dalam kaitan ini paling tidak
ada 3 (tiga) aspek yang perlu mendapat perhatian lebih yaitu: (a) meningkatnya
permintaan terhadap produk-produk pertanian, baik dalam jumlah kualitas, dan
keragamannya, (b) meningkatnya ketersediaan tenaga kerja, dan (c) meningkatnya
tekanan permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non-pertanian (pemukiman,
tapak industri, infrastruktur ekonomi). Meningkatnya permintaan terhadap produk-
produk pertanian dapat dipandang sebagai suatu peluang sekaligus sebagai
tantangan pembangunan pertanian. Peningkatan permintaan mengandung arti
tersedianya pasar bagi produk-produk pertanian. Di sisi lain, peningkatan permintaan
produk permintaan akan menimbulkan tekanan yang lebih besar untuk memacu
peningkatan produksi. Dalam kaitan ini, sasaran pada akhir tahun 2025 semua
kebutuhan pangan dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
Walau melimpahnya ketersediaan tenaga kerja di pedesaan kondusif bagi
pertumbuhan sektor pertanian, namun di sisi lain merupakan beban bagi sektor
pertanian karena pendapatan buruh tani dan produktivitas tenaga kerja sektor
pertanian semakin sulit ditingkatkan. Selain itu, melimpahnya tenaga kerja di sektor
pertanian justru menciptakan persoalan baru yaitu terjadinya fragmentasi lahan
dan menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga yang akan melahirkan
lebih banyak kemiskinan di sektor pertanian untuk masa yang akan datang.
Sebagai akibatnya ialah penduduk miskin di sekor pertanian akan melimpah pula.
Diperkirakan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan penduduk pedesaan
mencapai 131 juta sedikit lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang
mencapai 133 juta. Kesenjangan perekonomian pedesaan dan perkotaan masih
tetap tinggi, sehingga penduduk miskin di pedesaan tetap lebih banyak dibanding
perkotaan. Perkiraan ini menunjukkan perlunya pergeseran nyata dalam hal
penanganan masalah kemiskinan, ketidaktahanan pangan dan malnutrisi dari
pedesaan. Kondisi ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa penanganan
masalah kemiskinan dan ketahanan pangan dalam lima tahun ke depan tetap
menjadi prioritas utama.
2. Kelangkaan dan Degradasi Kualitas SDA (Lahan, Air)
Ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi pemerintah berkaitan
dengan masalah konversi lahan. Pertama, sangat timpangnya land rent antar
wilayah (Jawa vs Luar Jawa; kota vs desa; sawah vs lahan kering), yang
menyebabkan konversi lahan pertanian menjadi terkonsentrasi di Jawa, di lahan
VVII--77
sawah dan di perkotaan. Kedua, tingginya laju urbanisasi. Meningkatnya
permintaan lahan akibat pertumbuhan penduduk selain menyebabkan penurunan
luas baku lahan pertanian juga meningkatnya intensitas usahatani di daerah airan
sungai (DAS) hulu. Penurunan luas baku lahan pertanian, khususnya lahan
sawah, yang telah berlangsung sejak paruh kedua dekade 1980-an, saat ini
cenderung semakin besar seiring dengan peningkatan konversi ke non pertanian,
khususnya di pulau Jawa. Pada beberapa tahun terakhir, luas baku lahan sawah
di luar Jawa juga telah mengalami penurunan pula.
Dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dilakukan intensifikasi dan
ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu dampak dari ekstensifikasi
antara lain adalah penggundulan hutan. Luas hutan Indonesia telah mengalami
penurunan dari 65 persen dari total dataran pada tahun 1985 menjadi hanya 47
persen pada tahun 2000. Sementara itu di Pulau Jawa, konversi lahan sawah
irigasi menjadi pemukiman dan tapak industri juga terus berlangsung dengan
akselerasi yang makin meningkat. Dampak dari penggundulan hutan dan konversi
lahan tersebut antara lain berubahnya iklim secara global, erosi, banjir dan
kekeringan.
Penurunan luas baku sawah di daerah hilir pada kondisi jumlah petani
tetap bahkan bertambah mendorong peningkatan intensitas usahatani di daerah
hulu yang berakibat pada penurunan kualitas DAS. Penurunan kualitas DAS
menyebabkan efisiensi saluran irigasi menurun dan saat ini penurunan efisiensi
saluran irigasi tersebut makin bertambah karena kurangnya pemeliharaan dan
rehabilitasi yang disebabkan terbatasnya dana pemerintah. Penurunan efisiensi
saluran irigasi menyebabkan melambatnya perkembangan produktivitas pangan di
lahan sawah. Perpaduan antara penurunan luas baku lahan dan efisiensi saluran
irigasi menyebabkan kapasitas produksi pangan nasional mengalami penurunan.
3. Manajemen Pembangunan: Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat
a. Otonomi Daerah
Seiring dengan pelaksanaan era otonomi daerah yang telah dimulai sejak
tahun 2001, telah terjadi beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan
peran pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah yang sebelumnya sangat
dominan, saat ini berubah menjadi fasilitator, stimulator atau promotor
pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian pada era otonomi daerah akan
VVII--88
lebih mengandalkan kreativitas rakyat di setiap daerah. Selain itu, proses
perumusan kebijakan juga akan berubah dari pola top down dan sentralistik
menjadi pola bottom up dan desentralistik. Perencanaan dan pelaksanaan
program pembangunan akan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah.
Pemerintah pusat hanya akan menangani aspek-aspek pembangunan pertanian
yang tidak efektif dan efisien ditangani oleh pemerintah daerah atau menangani
aspek-aspek pembangunan pertanian yang mencakup kepentingan beberapa
daerah dan nasional. Dengan format lembaga pemerintah yang demikian maka
pengelolaan ketahanan pangan (food security) akan semakin kompleks. Oleh
karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, masalah ketahanan pangan
nasional mestinya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pada akhir
tahun 2025, manajemen ketahanan pangan nasional diharapkan semakin mantap
dan mandiri.
b. Partisipasi Masyarakat
Tuntutan jaman menghendaki pergeseran peranan masyarakat yang lebih
dominan daripada pemerintah. Dengan demikian, reformasi total menuntut
perlunya segera melaksanakan rekonstruksi kelembagaan pemerintahan publik
berdasarkan prinsip good governance dengan tiga karakteristik utama, yaitu
credibility, accountability, dan transparency. Kebijakan pembangunan dirancang
secara transparan dan melalui debat publik, dilaksanakan secara transparan pula
dan diawasi oleh publik, sedangkan pejabat pelaksana bertanggung jawab penuh
atas keberhasilan dari kebijakan tersebut. Dengan begitu, kebijakan
pembangunan akan lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak
(demokratis) dan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) menjadi semakin
sulit dilakukan. Demokratisasi kebijakan pembangunan dan pencegahan KKN
melalui good governance sangat bermanfaat untuk meminimalkan biaya ekonomi
tinggi (high-cost economy) dan distorsi pasar (monopoli dan monopsoni) akibat
kesalahan kebijakan. Dengan demikian, perekonomian akan lebih efisien dan
pertumbuhan kegiatan bisnis berdasarkan pada keunggulan kompetitif riilnya,
bukan karena proteksi atau dukungan pemerintah.
c. Perkembangan IPTEK Nasional
Sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan IPTEK yang
dituangkan dalam UU No. 18/2002, menimbulkan paradigma baru bagi penelitian
VVII--99
pengkajian dan pengembangan serta diseminasi hasil-hasil penelitian, karena: (a)
memberikan landasan hukum bagi pertumbuhan kemampuan semua unsur
kelembagaan dalam penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan IPTEK, (b)
mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan IPTEK secara lebih efektif, (c)
menggalakkan pembentukan jaringan kerjasama antar semua unsur kelembagaan
IPTEK secara sinergis sehingga kapasitas dan kemampuannya lebih optimal, (d)
mengikat semua pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat
untuk berperan serta secara aktif dalam pengembangan dan pendayagunaan
IPTEK. Paradigma baru yang timbul akibat dari UU No. 18/2002, adalah: a)
kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga tingkat pusat dan
lembaga tingkat daerah digalakkan, b) kerjasama penelitian dan pengembangan
antara lembaga publik dan lembaga swasta dirangsang, c) kerjasama penelitian
dan pengembangan antara lembaga nasional dan internasional diberi peluang
lebih besar.
Sistem IPTEK nasional menjadi peluang bagi Departemen Pertanian untuk
secara sungguh-sungguh membangun sistem IPTEK Pertanian mulai dari hulu
(penelitian dasar dan teknologi generik) sampai hilir (pengkajian teknologi spesifik
lokasi dan diseminasi penelitian kepada petani) secara efisien. Efisiensi sistem
IPTEK di sektor pertanian ini perlu dibangun melalui sinkronisasi program litbang
pertanian mulai dari hulu sampai hilir dan sinkronisasi program litbang pertanian
dengan lembaga penelitian lainnya. Selain itu, efisiensi sistem IPTEK pertanian ini
perlu didukung dengan sistem pendidikan pertanian yang mampu menghasilkan
peneliti yang berkemampuan (competent) dan (credible). Juga perlu dibangun
kembali sistem penyuluhan petani yang lebih efektif dan efisien. Pada akhir tahun
2025, diharapkan tercipta sistem inovasi pertanian yang efisien dan mantap.
III. MASALAH DAN TANTANGAN
1. Kelangkaan Sumberdaya Lahan dan Air
a. Sumberdaya Lahan
Faktor utama penentu kapasitas produksi pertanian adalah lahan dan air.
Luas lahan yang sesuai untuk usaha pertanian baik tanaman pangan dan
hortikultura maupun tanaman tahunan/perkebunan 100,8 juta ha dan telah
dimanfaatkan 68,8 juta ha, sehingga sisa yang belum dimanfaatkan 32 juta ha.
VVII--1100
Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar
11,5 juta ha dan pekarangan 5,4 juta ha belum termasuk lahan gambut dan lebak
yang potensinya cukup besar.
Sebagian besar lahan yang belum dimanfaatkan berlokasi di luar Jawa.
Untuk pertanian lahan basah (pangan semusim) terdapat di Papua, Sumatera dan
Kalimantan, sedangkan untuk pertanian lahan kering (tanaman semusim) terluas
terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Untuk tanaman tahunan/perkebunan lahan
kering terluas terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua, sedangkan di Jawa
pemanfaatan lahan sudah melampui ketersediaannya (over utilization). Selain
over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke
penggunaan non pertanian dengan laju yang makin tinggi. Pada periode tahun
1981-1999, terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas
1.627.514 ha dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa.
Tingkat kesuburan lahan di Jawa jauh lebih tinggi dibanding di Luar Jawa,
selain itu kondisi infrastruktur lahan di Jawa lebih mapan dibanding Luar Jawa.
Oleh karena itu, dalam rangka memantapkan kapasitas produksi pangan nasional,
maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa seperti lahan sawah
tetap perlu dipertahankan sebagai lahan pertanian dan diupayakan agar konversi
lahan tersebut dapat dicegah.
Kondisi lahan di Jawa makin memprihatinkan karena penguasaan lahan oleh
petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis, sehingga
usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Hasil penelitian
PATANAS (2000) menunjukkan bahwa di Jawa, sekitar 88 persen rumah tangga
petani menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar dan sekitar 76 persen
menguasai lahan sawah kurang dari 0,25 hektar.
Data secara nasional menunjukkan bahwa lebih dari 10,5 juta (53%) rumah
tangga petani menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar, dan lebih dari 6 juta (30%)
menguasai lahan kurang dari 0,25 hektar. Dari Sensus Pertanian (SP) 1993 jumlah
rumah tangga tani sebanyak 20 juta rumah tangga (RT), pada SP 2003 meningkat
menjadi 25,4 juta RT. Jumlah RT petani gurem dengan penguasaan lahan kurang
dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta KK
tahun 1993 menjadi 13,7 juta KK tahun 2003 (2,6%/tahun). Persentase RT petani
gurem terhadap RT pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen
(1993) menjadi 56,5 persen (2003).
VVII--1111
Dengan demikian, dalam jangka panjang Indonesia menghadapi dua
ancaman serius yang berkaitan dengan sumberdaya lahan yaitu over utilization di
Jawa dan penguasaan lahan yang sempit. Oleh karena itu, dalam jangka panjang
diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi tekanan pemanfaatan lahan sekaligus
meningkatkan produktivitas lahan di Jawa melalui pengembangan produksi
komoditas yang bernilai tinggi dengan muatan teknologi yang tinggi pula, sedangkan
untuk mencapai skala ekonomi minimum diperlukan upaya rekayasa kelembagaan
kerjasama antar petani.
b. Sumberdaya Air
Kebutuhan air pertanian relatif terpenuhi di wilayah irigasi teknis yang telah
dilengkapi dengan bendungan dan saluran-saluran irigasinya. Akhir-akhir ini
sumber tersebut mengalami kekurangan air apabila terjadi anomali iklim, yang
sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sedangkan pertanian tadah hujan,
terutama di wilayah beriklim kering seperti Indonesia Bagian Timur, selalu
terancam oleh risiko kekurangan air.
Dewasa ini, masalah meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya air di
beberapa tempat sudah semakin besar, disebabkan oleh peningkatan jumlah
penduduk dan permintaan akibat pertumbuhan ekonomi dan proses urbanisasi.
Lebih lanjut kelangkaan air akibat tekanan demografi, anomali iklim serta
rendahnya komitmen pemerintah dan masyarakat dalam mengelola air yang
tercemar menyebabkan ketersediaan air secara kualitas cenderung menurun.
Penurunan tersebut mempengaruhi pemenuhan air untuk kebutuhan rumah
tangga, sektor pertanian, industri, dan lingkungan. Sampai tahun 2020 permintaan
air masih dapat dipenuhi. Permintaan air pada tahun 2020 hanya 17.839 m3/detik
jauh di bawah ketersediaan air yang mencapai 101.664 m3/detik.
Walaupun ketersedian air secara nasional sampai tahun 2025 diperkirakan
masih memadai, namun Indonesia dalam jangka panjang akan menghadapi
ancaman kekurangan air untuk pertanian bagi wilayah-wilayah yang padat
penduduk seperti di Jawa seiring dengan menurunnya fungsi hidrologis Daerah
Aliran Sungai (DAS) karena over utilization dan rusaknya jaringan irigasi. Oleh
karena itu, dalam jangka panjang diperlukan upaya pengelolaan dan rehabilitasi
DAS dan jaringan irigasi yang rusak.
Patut dicacat UU Sumberdaya air yang ada saat ini dikuatirkan akan
mendorong swastanisasi pemanfaatan air yang dapat mengurangi pasokan air
VVII--1122
untuk pertanian. Untuk itu, Departemen Pertanian bersama Departemen
Pekerjaan Umum sudah mengusulkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Penggunaan dan Pengelolaan Air Irigasi.
2. Lemahnya Sistem Perbenihan Nasional
Selain lahan dan air, benih merupakan faktor esensial untuk peningkatan
kapasitas produksi pertanian. Tanpa benih yang baik mustahil kapasitas produksi
pertanian tinggi dan berkualitas. Hampir semua sistem perbenihan komoditas kita
masih lemah, kecuali sistem perbenihan padi yang sudah relatif kuat. Sistem
perbenihan yang lemah tersebut, selain tidak mampu menyediakan benih yang
baik dan berkualitas di pasar, juga tidak tersedia media untuk menggandakan
teknologi benih yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, sehingga terobosan
pertanian melalui benih berjalan amat lamban dan stagnasi. Pada akhir tahun
2025, kita akan mempunyai sistem perbenihan yang kuat dan mampu menjadi
media pengganda teknologi benih yang dihasilkan oleh lembaga penelitian serta
mampu menyediakan benih yang berkualitas di pasar.
3. Lemahnya Infrastruktur Pertanian
Daya saing produk pertanian yang tinggi berkelanjutan hanya dapat
dicapai dalam kondisi infrastruktur pertanian yang baik. Infrastruktur pertanian
meliputi jaringan irigasi, jalan pertanian dan pedesaan, listrik dan telekomunikasi
pedesaan serta infrastruktur pasar. Sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai
infrastruktur pertanian yang sangat jelek. Oleh karena itu, pada akhir tahun 2025
infrastruktur pertanian harus lengkap di seluruh wilayah pertanian Indonesia,
sehingga mampu mendukung keberlajutan daya saing produk pertanian kita.
4. Lemahnya Penguasaan Bioteknologi dan Teknologi Pascapanen dan
Pengolahan
Ke depan daya saing suatu komoditas akan ditentukan oleh muatan
teknologi dalam komoditas yang bersangkutan dan kemampuan dalam merespon
preferensi konsumen. Bioteknologi adalah teknologi yang dapat digunakan dalam
pengembangan komoditas pertanian yang mampu merespon preferensi konsumen
melalui manipulasi genetika. Dengan demikian, suka atau tidak suka diperlukan
penguasaan bioteknologi untuk membangun sistem pertanian yang mampu
merespon preferesi konsumen.
VVII--1133
Kaitan dengan kemampuan merespon preferensi konsumen, maka perlu
dikembangan produk-produk pertanian (product development) yang sesuai juga
preferensi konsumen. Saat ini, kita masih lemah dalam penguasaan teknologi
pascapanen dan pengolahan, karena selama ini konsentrasi kita pada teknologi
budidaya, khususnya padi.
Pada akhir tahun 2025 diharapkan kita telah menguasai bioteknologi dan
teknologi pasca panen dan pengolahan untuk mendukung kemampuan produksi
dalam merespon preferensi konsumen.
5 Lemahnya Sumberdaya Manusia Pertanian dan Sistem IPTEK
Hasil penelitian Word Bank (2002) menunjukkan bahwa di Indonesia,
Pilipina dan Thailand, kontribusi kualitas sumberdaya petani terhadap peningkatan
produksi pertanian cukup tinggi yaitu antara 11-14 persen. Dengan demikian
peningkatan kualitas sumberdaya manusia ini berpotensi untuk meningkatkan
produksi pertanian.
Dari segi jumlah, sumberdaya manusia (SDM) yang terlibat dalam kegiatan
agribisnis relatif sangat banyak, terutama di pedesaan. Namun jika dilihat dari
kualitas kemampuan SDM, dukungan untuk menempatkan kegiatan agribisnis atau
sektor pertanian menjadi andalan pembangunan nasional masih sangat kurang.
Dari segi mutu atau ketrampilan, SDM di pedesaan masih relatif kurang, dan oleh
karena itu peningkatan mutu SDM perlu mendapat perhatian serius. Selain faktor
ketrampilan, aspek perubahan cara berpikir (rasionalitas), antisipasi ke depan,
kemampuan ber-empati, melakukan mobilitas, partisipasi dan motivasi (sikap dan
tata nilai) berprestasi juga perlu ditingkatkan.
Pengusaha dan pekerja agribisnis modern dicirikan oleh rasionalitas yang
tinggi dalam arti senantiasa memahami dan menjelaskan suatu kejadian dan situasi
dalam hubungan sebab akibat berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, serta senantiasa
menyusun strategi tindakan berdasarkan hubungan cara-tujuan secara sistematis
dan dengan penuh perhitungan. Dengan perkataan lain, pengembangan pengusaha
dan pekerja agribisnis merupakan proses perubahan cara berpikir dari berdasarkan
perasaan menjadi berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, dan perubahan pengambilan
keputusan dari (semula) acak menjadi secara sistematis. Hal ini penting untuk
disadari, karena merupakan prasyarat keharusan agar suatu teknologi maju atau
VVII--1144
inovasi dapat diterapkan pada agribisnis dan agar agribisnis itu dapat dikelola
secara lebih efisien.
Kemampuan antisipasi adalah kemampuan untuk memperkirakan sesuatu
yang akan terjadi di masa mendatang, dan melakukan tindakan penyesuaian
(adjustment) yang tepat untuk itu. Pengusaha agribisnis modern dicirikan oleh sikap
atau cara berpikir yang tidak mengabaikan kepentingan jangka panjang, mampu
mengantisipasi dengan cukup tepat tentang apa yang akan terjadi di masa depan
dan melakukan tindakan penyesuaian yang tepat dengan prakiraan perubahan
tersebut. Hal yang sebaliknya terjadi pada pengusaha agribisnis tradisional.
Kemampuan empati adalah kemampuan untuk memahami cara berpikir,
sikap, dan pola tindak orang lain. Kemampuan empati ini sangat penting dimiliki oleh
pengusaha agribisnis, karena dengan daya empati seorang pelaku agribisnis dapat
menentukan strategi persaingan dan kerjasama bisnis yang lebih tepat, mempunyai
kemampuan memimpin perusahaan, dan mampu menentukan pengembangan
produk sesuai dengan preferensi konsumen.
Mobilitas sosial secara vertikal mengacu pada sikap dan kemampuan untuk
meraih status yang lebih baik. Pengusaha dan pekerja agribisnis modern dicirikan
oleh kemauan dan kemampuan yang tinggi untuk senantiasa meningkatkan
statusnya, baik secara ekonomi maupun sosial. Dengan perkataan lain, pengusaha
dan pekerja agribisnis modern harus bersikap dinamis, karena dengan sikap
tersebut agribisnis dapat tumbuh dan berkembang cepat.
Kemampuan partisipasi adalah kemampuan untuk meraih segala
kesempatan yang ada demi untuk peningkatan status. Pengusaha dan pekerja
agribisnis modern dicirikan oleh tingkat partisipasi yang cepat dan tinggi (optimis).
Sifat partisipasi yang tinggi merupakan faktor yang sangat menentukan agar suatu
teknologi dapat diadopsi secara cepat dan lengkap dan agar suatu kesempatan
usaha (pasar) dapat diraih secara cepat.
Sikap dan nilai mengacu pada motivasi dan pandangan hidup seseorang.
Sikap dan nilai modern dicirikan oleh motivasi untuk senantiasa berupaya meraih
kemajuan atau keberhasilan atau sikap untuk senantiasa bekerja keras, tidak atas
dasar dorongan imbalan jasa material semata. Hal ini sering disebut sebagai need
for achievement atau kebutuhan untuk meraih hasil dan kemajuan. Motivasi untuk
meraih kemajuan dapat dipandang sebagai landasan kuat bagi kemajuan usaha.
Permasalahan utama yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan
pemanfaatan IPTEK Pertanian adalah belum terbangunnya secara efisien sistem
VVII--1155
IPTEK Pertanian mulai dari hulu (penelitian tinggi dan strategis) sampai hilir
(pengkajian teknologi spesifik lokasi dan diseminasi penelitian kepada petani).
Efisiensi sistem IPTEK di sektor pertanian ini perlu dibangun melalui sinkronisasi
program litbang pertanian mulai dari hulu sampai hilir dan sinkronisasi program
litbang pertanian dengan lembaga penelitian lainnya. Selain itu, efisiensi sistem
IPTEK pertanian ini perlu didukung dengan sistem pendidikan pertanian yang
mampu menghasilkan peneliti yang berkemampuan (competent) dan produktif
(credible). Juga perlu dibangun kembali sistem penyuluhan petani yang lebih
efektif dan efisien.
6. Besarnya Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Primer
Salah satu ciri dari sektor pertanian primer adalah lentur terhadap
penyerapan tenaga kerja, sehingga walaupun penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian primer besar belum tentu mencerminkan kemampuan yang
sesungguhnya, sehingga hal tersebut menyebabkan produktivitas tenaga kerja di
sektor tersebut terus mengalami penurunan.
Saat ini Indonesia mengalami perubahan struktur ekonomi nasional yang
tidak matang (immature) di mana penurunan proporsi GDP sektor pertanian primer
tidak diikuti secara proporsional oleh penurunan tenaga kerja yang bekerja di
sektor tersebut menyebabkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian primer
mengalami penurunan. Pada tahun 2000 produktivitas tanaman pangan sebesar
25,21 persen dari produktivitas rata-rata nasional, sementara produktivitas industri
kimia mengalami kenaikan dari 280,39 menjadi 417,07 persen. Dengan demikian,
faktor yang memicu kesenjangan produktivitas yang makin lebar antara
produktivitas sektor pertanian dengan sektor industri (non pertanian) adalah
banyaknya angkatan kerja di sektor pertanian, sementara pertumbuhan nilai
tambah di sektor tersebut tidak terlalu tinggi. Di sektor industri sebaliknya, di mana
tenaga kerja di sektor tersebut tidak terlalu banyak tetapi pertumbuhan nilai
tambah sangat tinggi.
Kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mengalami
peningkatan yang cukup mengesankan dari 37,35 juta orang per tahun sebelum
masa krisis (1992-1997) menjadi 40,35 juta orang per tahun pada masa pemulihan
(2000-2002), atau sekitar 40 persen angkatan kerja nasional dan hanya berasal
dari kegiatan sektor pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier
sepanjang vertikal sistem komoditasnya. Apabila tenaga kerja yang terserap pada
VVII--1166
sektor sekunder dan tersiernya diperhitungkann, maka kemampuan sektor
pertanian tentu akan lebih besar lagi. Namun hal itu justru menjadi beban bagi
sektor pertanian dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Dalam jangka
panjang diharapkan terjadi perubahan struktur perekonomian nasional yang
matang dimana pengurangan tenaga kerja di sektor pertanian proporsional
dengan peningkatan nilai tambah di sektor tersebut. Secara nasional diperlukan
upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor
non pertanian dan sektor pertanian sekunder (pengolahan), sehingga secara
perlahan-lahan peran sektor pertanian primer dalam penyerapan tenaga kerja
menjadi makin kecil. Pada saat bersamaan dengan adanya pengembangan sektor
pengolahan atau agroindustri, maka nilai tambah sektor pertanian secara
keseluruhan mengalami peningkatan.
7. Rendahnya Investasi dan Sumber Pembiayaan Sektor Pertanian
Investasi merupakan sumber pertumbuhan sektor pertanian. Saat ini
investasi di sektor pertanian sangat rendah hanya sekitar 2 persen dari total
investasi nasional. Penyebab rendahnya investasi karena usaha di sektor
pertanian mempunyai resiko yang sangat besar, sehingga kurang menarik bagi
investor. Oleh karena itu, dalam jangka panjang perlu dikembangkan kebijakan
insentif investasi sektor pertanian.
Selain investasi yang rendah, sumber pembiayaan untuk memperkuat
modal petani juga kecil dan sistem perkreditan yang ada yang mensyaratkan
keharusan adanya jaminan (collateral) belum sesuai dengan kondisi kecilnya aset
yang dimiliki petani. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan sistem perbankan
khusus pertanian maupun kelembagan keuangan mikro serta asuransi pertanian
yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi petani, sehingga petani mampu
memperoleh kebutuhan dana investasi, modal kerja dan perlindungan resiko
usaha.
8. Liberalisasi Pasar Global dan Ketidakadilan Perdagangan Internasional
Petani Indonesia saat ini menghadapi pasar persaingan yang tidak adil
dengan petani dari negara lain yang dengan mudah mendapat perlindungan tarif
dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, ke depan
pemerintah akan mencari instrumen kebijakan perlindungan inovatif tidak saja
VVII--1177
berupa tarif tetapi juga perlindungan non-tarif maupun dukungan domestik lainnya
dalam rangka memperkuat daya saing produk pertanian, namun di akhir tahun
2025 semua jenis proteksi sudah tidak ada lagi.
Selain hal di atas, pembentukan ekonomi kawasan seperti North American
Free Trade Area (NAFTA), European Union (EU), ASEAN Free Trade Area
(AFTA) dan yang lebih luas lagi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) perlu
mendapat perhatian karena akan dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi baru
yang bukan lagi dalam hubungan antar negara namun dalam cakupan yang lebih
luas lagi yaitu antar kawasan/regional. Ketimpangan antar kawasan ini dapat
terjadi karena adanya proses pematangan kawasan ekonomi yang berbeda satu
dengan lainnya. Salah satu kawasan ekonomi yang diperkirakan akan sangat kuat
adalah Uni Eropa (European Union). Kawasan ini sudah mencapai suatu tahapan
penyatuan mata uang (mata uang tunggal Euro), yaitu suatu tahapan yang paling
maju dalam implementasi integrasi ekonomi. Kondisi ini akan semakin menyulitkan
ekspor produk pertanian Indonesia dan negara-negara lain di luar Eropa, karena
sudah pasti akan mendapat perlakukan yang berbeda (peraturan ekspor-impor
yang sangat ketat) dengan negara-negara yang berada di kawasan yang sama.
Untuk menghadapi masalah ini, dalam jangka panjang Indonesia harus mulai
mengembangkan produk pertanian olahan dan mengutamakan pangsa pasar
dalam negeri yang potensinya juga sangat besar.
9. Pola Produksi dan Konsumsi yang Belum Diversifikasi
Produksi komoditas pangan utama padi dan jagung baik sebelum krisis
ekonomi (1993-1997), masa krisis ekonomi (1998-1999), maupun pada masa
pemulihan ekonomi (2000-2004) terus meningkat, sebaliknya untuk komoditas
kedelai mengalami penurunan. Sebelum krisis ekonomi rata-rata produksi padi
dan jagung di Indonesia masing-masing 49 juta ton dan 7,9 juta ton per tahun,
pada masa krisis ekonomi meningkat menjadi 50,1 juta ton dan 9,7 juta ton per
tahun, dan pada masa pemulihan ekonomi juga terus meningkat menjadi 51,9 juta
ton dan 10,1 juta ton per tahun. Demikian juga pada kelompok komoditas sayur-
sayuran dan buah-buahan utama, kecuali pada komoditas cabai, produksi
komoditas kentang, tomat, jeruk, mangga, salak dan rambutan terus meningkat,
walaupun pada beberapa komoditas produksinya mengalami penurunan pada
masa krisis ekonomi. Namun yang sangat menggembirakan bahwa jumlah
VVII--1188
produksi semua komoditas tersebut (kecuali cabai) pada masa pemulihan
ekonomi sudah di atas produksi sebelum krisis ekonomi.
Produksi komoditas kelapa sawit, kakao, teh, dan kopi sebagai komoditas
perkebunan utama dalam tiga periode (sebelum dan saat krisis ekonomi, serta
masa pemulihan ekonomi) juga terus meningkat. Sementara produksi komoditas
tebu pada saat krisis ekonomi sempat turun, namun demikian pada masa
pemulihan ekonomi kembali meningkat, bahkan sudah menuju ke produksi normal
(sebelum krisis ekonomi).
Populasi sapi potong, ayam broiler dan ayam petelur sebelum krisis
ekonomi semuanya mengalami pertumbuhan yang positif, dan pada masa krisis
ekonomi semuanya mengalami pertumbuhan yang negatif. Namun demikian pada
masa pemulihan ekonomi kecuali sapi potong bebera komoditas kembali
mengalami pertumbuhan yang positif, bahkan rata-rata populasinya sudah
melebihi populasi sebelum krisis ekonomi. Dari sisi produksi terlihat juga bahwa
produksi daging sapi, susu, daging ayam broiler dan telur sebelum krisis ekonomi
mengalami peningkatan dan menurun pada masa krisis ekonomi. Namun
demikian padanmasa pemulihan ekonomi kembali meningkat termasuk produksi
daging sapi dengan rata-rata produksi lebih tinggi dari sebelum krisis ekonomi.
Walaupun secara umum produksi pangan (sumber karbohidrat) terus
meningkat dan kondisinya pada masa pemulihan ekonomi sudah lebih baik dari
masa sebelum krisis ekonomi, namun laju peningkatannya cenderung menurun
dan kondisi tersebut diperparah oleh terjadinya saturasi dalam revolusi hijau. Pada
masa datang diperkirakan permintaan terhadap pangan karbohidrat tidak akan
mengalami peningkatan secara signifikan, namun tetap perlu diupayakan
pemenuhannya untuk mencapai swasembada. Oleh karena itu, dalam jangka
panjang tetap diperlukan upaya untuk mempertahankan kapasitas produksi
pangan pada tingkat swasembada dan untuk mengurangi ketergantungan pada
sumber karbohidrat beras, diperlukan terobosan teknologi pangan sumber
karbohidrat non padi secara menyeluruh.
Peningkatan pendapatan penduduk dan urbanisasi mendorong perubahan
pola konsumsi penduduk ke arah lebih banyak mengkonsumsi produk peternakan,
terutama daging, telur dan susu. Permintaan daging terutama daging ayam, dan
telor selama dua puluh tahun terakhir meningkat dengan laju di atas 5 persen per
tahun, serta daging sapi dengan laju 2,5 persen per tahun. Diperkirakan
permintaan produk peternakan ini masih akan cukup tinggi di masa depan yang
VVII--1199
akan mendorong pula peningkatan permintaan pakan ternak terutama jagung.
Demikian juga dengan peningkatan permintaan pada minyak nabati dan
hortikultura akan cukup tinggi. Diperkirakan dalam jangka panjang akan terjadi
revolusi peternakan, perkebunan dan hortikultura yang didorong oleh permintaan.
Oleh karena itu, dalam jangka panjang diperlukan upaya inovasi teknologi
peternakan dan perkebunan serta hortikultura berorientasi pada permintaan
konsumen.
10. Struktur Usaha Pertanian yang Tidak Terkoordinatif
Dua sistem kelembagaan yang mempengaruhi produksi pertanian adalah
delivery system, dan receiving system. Delivery system merupakan sistem yang
memungkinkan pasokan input dari luar wilayah pertanian dan pemasaran output ke
luar wilayah pertanian berjalan lancar, sehingga penerapan teknologi oleh petani
menjadi optimal. Delivery system yang ada saat ini masih lemah. Contohnya KUD
sebagai lembaga penyalur saprodi sekaligus sebagai agen transfer teknologi
melalui pengembangan skema kredit paket KUT tidak banyak berfungsi. Akibatnya
petani tidak mampu untuk menerapkan teknologi secara optimal. Selain delivery
system, receiving system juga lemah. Kelompok tani contohnya belum berfungsi
secara maksimal terutama dalam memanfaatkan memanfaatkan skala ekonomi
dan harmonisasi kegiatan
Dengan demikian, struktur usaha pertanian saat ini masih bersifat dispersal
terpenca-pencar dan tidak terkoordinatif baik secara vertikal maupun secara
horizontal. Sementara sistem pertanian di negara lain telah mengembangkan
strategi pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain Management, SCM) yang
mengintegrasikan para pelaku dari semua segmen rantai pasokan secara vertikal
ke dalam usaha bersama berlandaskan kesepakatan dan standardisasi proses
dan produk yang bersifat spesifik untuk setiap rantai pasokan. Diharapkan dalam
jangka panjang delivery dan receiving sistem pertanian yang kokoh akan mampu
menerapkan SCM.
11. Dukungan Kebijakan Makro yang Lemah
Walaupun pemerintah memahami secara detail peran sektor pertanian
dalam perekonomian nasional secara keseluruhan, namun sampai saat ini
dukungan kebijakan makro belum sepenuhnya mendorong perkembangan sektor
pertanian. Banyak kebijakan makro pemerintah yang justru menguntungkan sektor
VVII--2200
industri. Oleh karena itu, dalam periode 20 tahun ke depan, diharapkan kebijakan
makro pemerintah secara konsisten mendukung sektor pertanian sehingga pada
akhir 2025 sektor pertanian tumbuh menjadi fondasi sektor ekonomi nasional
12. Kemandirian Pangan
Kemandirian pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu
bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah
yang cukup, mutu yang layak, aman dan juga halal, yang didasarkan pada
optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik.
Oleh karena itu, salah satu indikator untuk mengukur kemandirian pangan adalah
ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Data Neraca
Bahan Makanan yang diterbitkan FAO menunjukkan bahwa selama periode 2000-
2002, kemampuan penyediaan pangan Indonesia dalam kalori per kapita per hari
mencapai 3.313, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode krisis (1998-1999)
sebesar 2.832 maupun sebelum krisis (1993-1997) sebesar 2.849. Bahkan
kemampuan ekspor pangan Indonesia selama periode 2000-2002 juga meningkat
dibandingkan dengan dua periode sebelumnya, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh nilai net ekspor pangan yang mencapai 1.223 Kkal/kapita/hari. Rata-rata
pangsa produksi pangan dalam negeri terhadap total kebutuhan pangan dalam
negeri, selama periode 2000-2002 mencapai 111 persen, sementara impor dan
ekspornya masing-masing sebesar 13 dan 24 persen, sehingga secara
keseluruhan net ekspor pangan Indonesia mencapai 11 persen. Kondisi ini jauh
lebih baik dari dua periode sebelumnya, dimana pangsa produksi pangan dalam
negeri di bawah 100 persen dan net ekspornya negatif sekitar 1-3 persen.
Data BPS juga menunjukkan bahwa impor beberapa bahan pangan pokok,
seperti beras, jagung, kedelai dan gula, terhadap total kebutuhan dalam negeri
selama periode 2000-2003 relatif kecil. Impor beras masih di bawah 3 persen,
sementara impor kedelai dan gula sekitar 2 persen dan impor jagung di bawah 2
persen. Dengan demikian, kekhawatiran sebagian pihak bahwa Indonesia
sesungguhnya tidak berada dalam ancaman terperosok ke dalam perangkap
ketergantungan impor pangan. Namun demikian, pencapaian Pola Pangan
Harapan (PPH) masih jauh dari harapan dimana saat ini baru mencapai
skor 68,4. Inilah tantangan dalam jangka panjang.
VVII--2211
13. Kesejahteraan Petani
Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum ialah prevalensi
jumlah penduduk miskin. Pada periode sebelum krisis jumlah penduduk miskin di
perdesaan Indonesia telah mencapai tingkat yang cukup rendah yaitu 15,3 persen.
Namun krisis multidimensi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah
menyebabkan jumlah penduduk miskin di perdesaan meningkat kembali menjadi
sekitar 26 persen. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin di perdesaan turun
drastis menjadi sekitar 20 persen, bahkan BPS memperkirakan pada tahun 2004
jumlah penduduk miskin di perdesaan turun lagi menjadi sekitar 19.5 persen.
Dengan demikian, pada tahun 2004 persentase penduduk miskin di perdesaan
hampir sama dengan tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi). Dalam jangka panjang
diharapkan seluruh penduduk yang bekerja di sektor pertanian dapat dientaskan
dari kemiskinan.
Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan
pendapatan petani ialah produktivitas tenaga kerja yang diukur sebagai nilai PDB
per tenaga kerja di sektor pertanian. Berdasarkan data BPS, pada harga-harga
konstan 1993, setelah menurun pada tahun 1998-1999, pendapatan tenaga kerja
pertanian meningkat konsisten selama periode tahun 2000-2003 Rata-rata
pendapatan tenaga kerja pada periode tahun 2000-2003 sebesar Rp 1,67 juta
lebih tinggi dibanding periode sebelum krisis (1993-1997) yang mencapai Rp 1,66
per kapita per tahun. Hal ini merupakan bukti empiris bahwa, kesejahteraan petani
pada tahun 2000-2003 telah lebih baik dari pada masa sebelumnya.
Data di tingkat mikro menunjukkan perkembangan yang sama dimana
tingkat pendapatan riil petani juga mengalami peningkatan. Di Jawa Barat, jika
pada tahun 1984 tingkat pendapatan riil Rp 2,13 juta, maka pada tahun 1999
menurun menjadi Rp 2,06 juta dan pada tahun 2002 meningkat lagi menjadi Rp
4,75 juta atau mengalami peningkatan rata-rata 6,82 persen per tahun. Begitu juga
dengan di Sulawesi Selatan, dimana pada tahun 1984 tingkat pendapatan riil Rp
1,82 juta, maka pada tahun 1999 meningkat menjadi Rp 3,06 juta dan pada tahun
2002 meningkat lagi menjadi Rp 3,95 juta, atau mengalami peningkatan rata-rata
6,49 persen per tahun.
Walaupun ada perbaikan pendapatan, namun tingkat pendapatan petani
tersebut masih jauh dari mencukupi. Diharapkan dalam jangka panjang tingkat
pendapatan petani dapat mencapai U$ 2500 per kapita per tahun.
VVII--2222
IV. VISI PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA PANJANG 2005-2025
Tujuan akhir pembangunan pertanian adalah terwujudnya kesejahteraan
masyarakat pertanian melalui sistem pertanian industrial. Oleh karena itu,
pembangunan jangka panjang sektor pertanian berorientasi pada peningkatan
kualitas hidup masyarakat pertanian. Sasaran jangka panjang pembangunan
pertanian dapat dirinci sebagai beriktu:
1. Terwujudnya Sistem Pertanian Industrial Yang Berdayasaing
Sistem pertanian industrial dicirikan oleh usaha pertanian bernilai tambah
tinggi dan terintegrasi dalam satu rantai pasok (supply chain) berdasarkan relasi
kemitraan sinergis dan adil dengan bertumpu pada sumberdaya nasional, kearifan
lokal serta ilmu pengetahuan dan teknologi berwawasan lingkungan. Sistem
pertanian industrial adalah sosok pertanian ideal yang merupakan keharusan agar
usaha pertanian dapat bertahan hidup dan tumbuh berkembang secara
berkelanjutan dalam tatanan lingkungan persaingan global yang makin ketat.
2. Mantapnya Ketahanan Pangan Secara Mandiri
Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri berarti terpenuhinya
pasokan pangan dan terjaminnya akses pangan sesuai kebutuhan bagi seluruh
masyarakat dengan mengandalkan produksi dalam negeri dan kemampuan daya
beli masyarakat.
3. Terciptanya Kesempatan Kerja Penuh Bagi Masyarakat Pertanian
Dalam jangka panjang diharapkan seluruh angkatan kerja pertanian
mendapatkan pekerjaan penuh sehingga pengangguran terbuka maupun
terselubung tidak lagi terjadi secara permanen. Dengan demikian produktivitas
angkatan kerja pertanian meningkat secara nyata yang selanjutnya pendapatan
masyarakat tanipun meningkat secara nyata.
4. Terhapusnya Masyarakat Pertanian dari Kemiskinan dan Tercapainya
Pendapatan Petani US$ 2500/kapita/tahun
Berkurangnya jumlah masyarakat tani miskin dan meningkatnya
pendapatan petani merupakan prasyarat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
tani yang menjadi sasaran akhir pembangunan pertanian.
VVII--2233
Mengacu pada sasaran pembangunan jangka panjang di atas, maka visi
pembangunan pertanian tahun 2025 dirumuskan sebagai berikut: “Terwujudnya
sistem pertanian industrial berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan
guna menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat
pertanian”.
V. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA PANJANG 2005-2025
Visi pembangunan pertanian 2025 diimplementasikan melalui kebijakan
yang diarahkan untuk mendorong proses transformasi usaha pertanian menuju
sistim pertanian dengan peta jalan seperti pada gambar 1. Garis-garis besar
kebijakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Membangun Basis bagi Partisipasi Petani
Basis partisipasi petani perlu dibangun dengan kuat agar mereka mampu
berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan sehingga mereka mampu
memperoleh manfaat hasil-hasil pembangunan secara cukup, adil dan merata.
Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat strategis untuk dijadikan
sebagai instrumen dalam pengentasan penduduk miskin. Kemajuan sektor
pertanian akan memberikan kontribusi besar dalam penurunan jumlah penduduk
miskin di wilayah pedesaan. Demikian pula, basis bagi partisipasi petani untuk
melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan pertanian harus
dibangun sehingga petani mampu mengaktualisasikan kegiatan usahataninya
secara optimal untuk menunjang pertumbuhan pendapatannya. Hasil-hasil
pembangunan harus terdistribusi makin merata antar sektor, antar subsektor
dalam sektor pertanian dan antar lapisan masyarakat agar tidak ada lagi lapisan
masyarakat yang tertinggal dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan
meningkat.
2. Meningkatkan Potensi Basis Produksi dan Skala Usaha Pertanian
Lahan pertanian ditingkatkan melalui pembukaan areal baru khususnya di
Luar Jawa dengan memacu investasi swasta baik usaha pertanian rakyat maupun
perusahaan besar pertanian yang bermitra dengan usaha pertanian rakyat dengan
dukungan fasilitasi komplementer dan insentif dari pemerintah.
VVII--2244
Peningkatan potensi basis produksi dikembangkan dengan sasaran
penyeimbangan pemanfaatan lahan antar wilayah di Indonesia. Peningkatan
skala usaha pertanian dikembangkan melalui implementasi pertanian kooperatif
yang kokoh dan kuat baik kerjasama antar petani secara horizontal maupun
kerjasama dengan pelaku bisnis sepanjang alur vertikal sistem komoditas yang
bersangkutan.
3. Mewujudkan Pemenuhan Kebutuhan Sumberdaya Insani Pertanian Yang
Berkualitas
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia ini difokuskan pada
peningkatan kemampuan penguasaan teknologi, kewirausahaan dan manajemen
usaha tani melalui pengembangan sistem pendidikan dan penyuluhan pertanian.
Arah kebijakan ini diimplementasikan dalam bentuk revitalisasi sistem
pendidikan dan penyuluhan pertanian sehingga sistem tersebut mampu
menciptakan insan pertanian yang berkualitas mampu menguasai dan
menerapkan teknologi dan mampu mengelola usahataninya secara efisien.
4. Mewujudkan Pemenuhan Kebutuhan Infrastruktur Pertanian
Kebutuhan infrastruktur pertanian utamanya sarana irigasi, jalan pertanian
dan pedesaan, kelistrikan dan telekomunikasi pedesaan serta pasar pertanian
yang bersifat publik dibangun selengkap mungkin oleh pemerintah dengan
memberikan kesempatan kepada swasta untuk turut berpartisipasi pada bidang-
bidang tertentu yang mungkin diusahakan secara komersial.
Dengan terwujudnya infrastruktur pertanian yang mapan diharapkan daya
saing produk pertanian meningkat dan pendapatan petani meningkat pula.
5. Mewujudkan Sistem Pembiayaan Pertanian Tepat Guna
Sistem pembiayaan pertanian yang sesuai dengan karakteristik petani
dibangun dengan menumbuh kembangkan lembaga keuangan khusus yang
melayani pertanian, baik berupa bank pertanian maupun lembaga keuangan
mikro.
Landasan utama dari sistem keuangan moderen (modern capital market)
yang berlaku di Indonesia adalah tambahan modal (capital gain) atau dalam
bahasa sehari-hari adalah bunga dari setiap modal atau uang yang dipinjamkan.
Oleh karena itu, maka setiap pemodal (lenders) akan menuntut adanya agunan
(colleteral) dari setiap pemimjam (borrowers). Dengan demikian, dasar dari
VVII--2255
ekonomi moderen adalah agunan bukan kepercayaan, sehingga sistem ekonomi
moderen tidak mungkin berkembang dalam masyarakat miskin seperti petani kita
karena ketidakmampuan dalam menyediakan agunan. Kalau demikian halnya,
maka perlu dikembangkan sistem keuangan yang berdasarkan pada
kepercayaan. Sistem ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi Islam
yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan yang diimplentasikan ke
dalam sistem pembagian keuntungan dan resiko dari setiap usaha bersama.
Dengan dengan sistem ekonomi syariah maka petani dapat melakukan akses
kepada sistem tersebut sehingga mereka diharapkan mampu mengembangkan
teknologi tanpa kendala modal.
6. Mewujudkan Sistem Inovasi Pertanian
Sistem inovasi pertanian dibangun dengan lembaga penelitian pemerintah
sebagai penggerak utamanya dan lembaga penelitian swasta sebagai
komplementaritasnya. Sistem inovasi pertanian mengintegrasikan lembaga
penelitian penghasil IPTEK dasar, lembaga pemerintah atau swasta sebagai
pengganda IPTEK, lembaga penyuluhan sebagai fasilitator penyampaian IPTEK
tersebut kepada petani.
Sistem inovasi pertanian yang efisien akan mempercepat proses adopsi
inovasi oleh petani sehingga muatan teknologi dalam produk pertanian makin
meningkat dan daya saing menjadi kuat.
Penguasaan bioteknologi diperlukan dalam rangka membangun sistem
produksi yang mampu merespon preferensi konsumen untuk meningkatkan daya
saing produk yang bersangkutan. Pada akhir tahun 2025, bioteknologi harus
menjadi bagian dalam sistem pertanian industrial.
Kebijakan ini juga diarahkan untuk mengembangkan produk-produk
pertanian (product development) dalam rangka meningkatkan nilai tambah
komoditas melalui pengembangan agroindustri pedesaan. Selain peningkatan
nilai tambah, pengembangan agroindustri ini mampu menyerap tenaga kerja lebih
banyak di sektor pertanian primer sekaligus menjadi penampung tenaga kerja di
sektor pertanian primer sehingga produktivitas pertanian primer secara pasti
mengalami peningkatan.
VVII--2266
7. Penyediaan Sistem Insentif dan Perlindungan Bagi Petani
Penyediaan insentif dan perlindungan bagi petani dilakukan untuk
merangsang peningkatan produksi, investasi dan efisiensi usaha pertanian melalui
kebijakan makro meliputi kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan. Kebijakan
insentif mencakup pemberian jaminan harga, subsidi dan keringan pajak.
Perlindungan bagi petani mencakup praktek perdagangan yang tidak adil dan
gagal panen akibat anomali iklim.
Kebijakan sistem insentif ini sangat diperlukan untuk meningkatkan aliran
investasi ke sektor pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian.
Pada akhir tahun 2025 diharapkan seluruh kapasitas produksi pertanian dapat
dimanfaatkan secara penuh. Pengembangan kapsitas pertanian tidak hanya
menyangkut sumberdaya alam tetapi juga menyangkut teknologi dan managemen.
8. Mewujudkan Sistem Usahatani Bernilai Tinggi Melalui Intensifikasi
Diversifikasi dan Pewilayahan Pengembangan Komoditas Unggulan
Regionalisasi pengembangan komoditas unggulan diarahkan untuk
meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian dan mendorong
investasi baru berdasarkan keunggulan komparatif wilayah.
Dalam kaitan dengan efisiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian, maka
untuk mengurangi tekanan penggunaan lahan di Jawa, secara perlahan-lahan,
Jawa diarahkan untuk pengembangan komoditas bernilai tinggi (high value
commodities development) seperti hortikultura, sedangkan pengembangan
komoditas pangan diarahkan ke Kalimantan dan Sulawesi. Pengembangan
komoditas perkebunan diarahkan ke Papua dan Maluku. Pengembangan
komoditas peternakan berbasis lahan diarahkan ke Bali dan Nusa Tenggara
9. Mewujudkan Agroindustri Berbasis Pertanian Domestik di Pedesaan
Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah disepanjang alur
vertikal sistem komoditas pertanian melalui pengembangan produk agroindustri
yang berbasis sumberdaya domestik dan pedesaan. Dengan terwujudnya
agroindustri, maka kontribusi sektor pertanian terhadap nilai tambah dan
kesempatan kerja terhadap perekonomian pedesaan makin meningkat.
Agroindustri ini salah satu pilar sistem pertanian industrial yang akan menjadi
fondasi struktur ekonomi nasional pada akhir tahun 2025.
VVII--2277
10. Mewujudkan Sistem rantai Pasok Terpadu Berbasis Kelembagaan Pertanian Yang Kokoh
Pengembangan rantai pasok terpadu komoditas pertanian secara vertikal
dilakukan sistem kemitraan yang sehat dan adil. Pemerintah bertindak sebagai
fasilitator dan regulator yang kredibel dan adil untuk mewujudkan pertumbuhan
sektor pertanian yang berkelanjutan. Pertumbuhan sektor pertanian sangat
dibutuhkan untuk mengakselerasi perekonomian pedesaan. Sektor pertanian
Indonesia, hingga saat ini masih sangat tergantung pada hasil primer, sehingga
nilai tambah yang diperoleh masih rendah dan kurang kompetitif di pasar dalam
negeri maupun luar negeri. Ke depan, pemerintah harus dapat mendorong
perkembangan produk pertanian olahan primer, selain untuk meningkatkan nilai
tambah juga meningkatkan dan memperluas pangsa pasar di dalam dan luar
negeri. Negara berkembang penghasil produk pertanian, saat ini banyak yang
melakukan pengembangan produk pertanian untuk mensiasati perdagangan dunia
yang tidak adil. Apabila hal ini dapat dilakukan maka sektor pertanian akan
tumbuh lebih cepat dan tinggi lagi dibandingkan dengan yang telah dicapai selama
ini. Pertumbuhan sektor pertanian yang makin cepat akan memacu pertumbuhan
sektor-sektor lain secara lebih cepat melalui kaitan ke belakang dan ke depan
dalam kegiatan produksi dan konsumsi. Dengan demikian, sektor pertanian akan
lebih dikenal sebagai pengganda tenaga kerja, dan bukan sekedar pencipta
kesempatan kerja.
Pengembangan rantai pasok tersebut harus berbasis kelembagaan
pertanian yang kokoh yang merupakan perekat relasi semua komponen di dalam
sistem pertanian industrial. Kelembagan pertanian dibangun berdasarkan prinsip
kemitraan setara, sehat dan berkeadilan.
11. Menerapkan Praktek Pertanian dan Manufaktur yang Baik
Praktek pertanian yang baik merupakan salah satu prasyarat untuk
mewujudkan sistem pertanian industrial berdaya saing dan berwawasan
lingkungan. Mutu produk pertanian harus dapat dijamin dan ditelusuri sesuai
dengan standar pesyaratan internasional. Untuk itu pemerintah akan menyusun
protokol teknis dan insentif untuk merangsang penerapannya.
VVII--2288
12. Mewujudkan Pemerintahan yang Baik, Bersih dan Berpihak Kepada
Petani dan Pertanian
Pemerintahan yang baik dan bersih mutlak perlu untuk mewujudkan visi
pertanian di atas. Pemerintah yang berpihak terhadap petani dan pertanian
diwujudkan melalui kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan yang berpihak
untuk mendukung pembangunan pertanian. Cara penyelenggaraan pemerintahan
yang baik (good governance) sangat diperlukan dalam pelaksanaan
pembangunan pertanian, yaitu: bersih (clean), berkemampuan (competent),
memberikan hasil positif (credible) dan secara publik dapat dipertanggung-
jawabkan (accountable). Pembangunan pertanian akan berhasil jika diawali
dengan cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dimana pemerintah
merupakan agen pembangunan yang sangat menentukan keberhasilan
pencapaian sasaran pembangunan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana
membangun pemerintahan yang bersih, berkemampuan, berhasil dan dapat
dipertanggungjawabkan. Pada akhir tahun 2025 telah terwujud praktek
pemerintahan yang baik, bersih dan berpihak kepada petani.
D:\data\data\Anjak-2005\Visi dan Arah Pemb Pert
VVII--2299
Skala Integrasi Organisasi Pendorong kunci :
~ Migrasi ke luar ~ Inovasi teknologi
~ Transformasi ekonomi Proses / mekanisme : Peningkatan nilai Pendorong kunci : Proses :
~ Perluasan basis produksi tambah / pendalaman ~ Inovasi iptek ~ Diversifikasi ~ Optimalisasi skala usaha industri ~ Revalensi “super-hiper market” ~ Industrialisasi
~ Revalensi ICT ~ Konsolidasi, ~ Globalisasi koordinasi integrasi
Gambar 1. Peta jalan proses transformasi “menuju sistim pertanian industrial”
Pengusaha besar pertanian
Pengusaha Agro Industri Primer Perorangan
Perusahaan Agro Industri Sekunder Terpadu
Konglomerat Agribisnis Terpadu
Perusahaan Pertanian Skala Menengah
Usaha Tani Skala Kecil / Mikro
Perusahaan Agro Industri Primer Terkoordinasi
Perusahaan Agro Industri Sekunder Terkoordinasi
Perusahaan Agribisnis Terkoordinasi
Perusahaan Agro Industri primer Skala Kecil / Mikro
Usahatani Multi Komoditas
Perusahaan Agro Industri Skala Kecil / Mikro
Rantai Pasok Komoditas Olah Terpadu
Usahatani Kooperatif Multi Komoditas
Rantai Pasok Komoditas Primer Terpadu