icaserd working paper no. 48 -...

24
ICASERD WORKING PAPER No. 48 AKSESIBILITAS PETANI TERHADAP SUMBER PERMODALAN (Kasus Petani Padi Sawah dan Hortikultura di Jawa Barat & Nusa Tenggara Barat) Supadi dan Mat Syukur Maret 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Upload: buihanh

Post on 21-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

ICASERD WORKING PAPER No. 48

AKSESIBILITAS PETANI TERHADAP SUMBER PERMODALAN (Kasus Petani Padi Sawah dan Hortikultura di Jawa Barat & Nusa Tenggara Barat) Supadi dan Mat Syukur

Maret 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Page 2: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

ICASERD WORKING PAPER No. 48

AKSESIBILITAS PETANI TERHADAP SUMBER PERMODALAN (Kasus Petani Padi Sawah dan Hortikultura di Jawa Barat & Nusa Tenggara Barat) Supadi dan Mat Syukur

Maret 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari, M. Rahmat Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]

No. Dok.057.48.02.04

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Page 3: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

1

AKSESIBILITAS PETANI TERHADAP SUMBER PERMODALAN (Kasus Petani Padi Sawah dan Hortikultura

di Jawa Barat & Nusa Tenggara Barat)

Supadi dan Mat Syukur

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRAK Pada sektor pertanian primer, akses petani terhadap lembaga kredit formal seperti perbankan masih sangat rendah. Keterbatasan kepemilikan agunan masih menjadi kendala utama petani untuk akses pada sumber kredit formal. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui keragaan sumber permodalan, aksesibilitas petani terhadap sumber permodalan (formal/informal), intensitas hubungan dan efektivitas pemanfaatan modal. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah survei. Petani responden dibedakan menurut komoditas yaitu hortikultura dan padi sawah masing-masing 29 orang dan 28 orang di Jawa Barat dan 24 orang dan 36 orang di Nusa Tenggara Barat, yang diambil secara acak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BRI merupakan bank yang banyak diakses petani, sedangkan lembaga non-perbankan yang banyak diakses petani adalah koperasi (di Jawa Barat) dan pegadaian (di Nusa Tenggara Barat). Akses petani padi sawah terhadap kredit formal lebih tinggi dibandingkan petani hortikultura, sedangkan petani hortikultura lebih akses ke sumber informal (pedagang output/input). Tingginya akses petani padi terhadap lembaga formal karena berhasilnya mendapatkan kredit program secara berkelanjutan. Pada umumnya pinjaman digunakan untuk keperluan budidaya. Dalam penggunaan modal, petani Jawa Barat lebih efektif dibandingkan petani Nusa Tenggara Barat. Kata kunci : akses petani, padi sawah, hortikultura, kredit formal, kredit informal.

PENDAHULUAN Berbicara mengenai masalah permodalan dalam pertanian tidak bisa lepas dari

masalah kredit, karena kredit tidak lain adalah modal pertanian yang diperoleh dari

pinjaman (Mubyarto, 1977). Kredit adalah alat untuk membantu pembentukan modal.

Memang ada petani yang dapat memenuhi semua kebutuhan modalnya dari kekayaan

yang dimilikinya, bahkan petani kaya dapat meminjamkan modal kepada petani lain yang

membutuhkan. Secara ekonomi, modal pertanian dapat berasal dari milik sendiri atau

pinjaman dari luar. Modal yang berasal dari luar usahatani biasanya merupakan kredit.

Kredit pertanian adalah pinjaman yang diterima oleh petani dan secara langsung

digunakan untuk keperluan usahatani dan atau untuk konsumsi dalam rumah

tangga.Secara garis besar sumber kredit pertanian dapat dikelompokkan menjadi empat

kelompok yaitu (1) pemilik usaha (modal sendiri), (2) kredit formal, (3) kredit informal, dan

(4) kemitrausahaan (Manurung, 1998).

Page 4: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

2

Kredit formal dapat dibagi menjadi kredit program dan kredit non-program (kredit

komersial). Kredit program umumnya bersifat sektoral untuk mencapai sasaran yang

diinginkan, misalnya KUT (sekarang diganti dengan KKP). Contoh kelembagaan kredit

formal antara lain bank, koperasi dan pegadaian. Kelembagaan kredit informal pada

umumnya tidak memerlukan persyaratan yang rumit seperti agunan dan persyaratan

lainnya. Hubungan antara peminjam dengan pihak yang meminjamkan hanya didasarkan

pada sikap saling mempercayai satu sama lain. Contoh sumber kredit informal

saudara/kenalan, pedagang, pelepas uang dan lain-lain. Di dalam pasar kredit pedesaan

tersebut terjadi segmentasi pasar, karena dua kategori kredit yang menjadi sumber

modal masyarakat pedesaan tersebut masing-masing memiliki karakteristik yang khas.

Penerapan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas usahatani

bukan hanya membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga modal untuk

membeli input yang dibutuhkan. Faktor modal memegang peranan penting yang

dipertimbangkan petani sebelum melakukan usahatani (Hermanto, 1992). Modal

diperlukan terutama untuk pengadaan sarana produksi (benih/bibit, pupuk dan pestisida)

yang dirasakan petani semakin mahal harganya.

Sumber dana yang berasal dari rumah tangga petani sering dipandang tidak

cukup untuk membiayai peningkatan usahataninya, karena pada umumnya rumah

tangga petani di Indonesia adalah petani kecil dan bermodal lemah. Menurut Mudlak

(1988), perkembangan sektor pertanian tidak mungkin terjadi tanpa akumulasi modal.

Perubahan teknologi pertanian sebagai pemacu pertumbuhan sektor pertanian dalam arti

luas akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan modal.

Pada umumnya masalah yang dihadapi sebagian besar petani (terutama petani

kecil) adalah tidak sanggup membiayai usahataninya dengan biaya sendiri. Hermanto

dan Syukur (1994) melaporkan bahwa di Jawa Barat sekitar 53 persen petani tidak

mampu berswadana dalam usahataninya. Sementara itu Syukur et al., (1999) yang

melakukan kajian kasus petani program IP-300 di Kabupaten Cianjur mengemukakan

bahwa selama periode 1993-1998 lebih dari 90 persen petani mengandalkan modal

swadana.

Penyaluran kredit pertanian (formal) di Indonesia telah lama mendapat perhatian

dalam rangka peningkatan produksi dan pendapatan petani. Namun ketersediaan

maupun akses petani kepada sumber modal tersebut masih merupakan salah satu

kendala yang dihadapi dalam upaya memacu pengembangan usahatani.

Page 5: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

3

Berbagai masalah yang dihadapi petani selama ini dalam mendapatkan modal

yang berasal dari lembaga keuangan formal, memaksa mereka berpaling untuk

memanfaatkan kredit informal. Pada umumnya kredit informal untuk sektor pertanian

tersedia melalui pedagang (input/output), pelepas uang dan lainnya. Sistem pinjam-

meminjam ini tidak terlepas dari pola hubungan kerja dan kerja sama petani dengan

pemilik modal.

Modal adalah salah satu faktor penting untuk meningkatkan produktivitas usaha.

Bahkan pemerataan akses pada modal (kredit) bagi semua golongan masyarakat

diyakini sebagai salah satu alternatif untuk pemerataan pendapatan (Yunus, 1981). Hal

ini didasarkan pada pemikiran bahwa dengan modal (kredit) seseorang dapat

mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada dirinya untuk meningkatkan keuntungan

usahanya yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

keluarganya.

Makalah ini bertujuan untuk menganalisis akses petani terhadap sumber

permodalan dalam bentuk kredit dengan mengambil kasus petani padi sawah dan

hortikultura di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Jawa Barat mewakili wilayah

dengan tingkat perkembangan agribisnis yang sudah berkembang dan Nusa Tenggara

Barat mewakili wilayah dengan tingkat perkembangan agribisnis yang belum

berkembang.

METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei. Kegiatan ini

merupakan bagian dari Studi Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Agribisnis dan

Agroindustri di Pedesaan yang dilaksanakan oleh Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian

pada tahun 2002.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui keragaman sumber permodalan dan

aksesibilitas petani terhadap sumber permodalan baik yang berasal dari kredit formal

maupun informal, intensitas hubungan dan juga efektivitas penggunaan modal. Petani

responden dibedakan menurut komoditas yang diusahakan yaitu petani hortikultura dan

petani padi sawah. Di Jawa Barat terpilih Kabupaten Bandung (hortikultura) dan Subang

(padi sawah). Sedangkan di Nusa Tenggara Barat Kabupaten Lombok Timur

(hortikultura) dan Lombok Tengah (padi sawah). Penelitian difokuskan pada daerah

sentra produksi, sehingga dalam hal ini modal sangat dibutuhkan untuk kelangsungan

maupun pengembangan usahanya.

Page 6: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

4

Data yang dikumpulkan terutama berasal dari data primer yang diperoleh melalui

wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah responden di masing-

masing lokasi adalah 28 orang petani padi sawah dan 29 petani hortikultura (Jawa Barat)

dan 24 orang petani padi sawah dan petani hortikultura 36 orang petani hortikultura

(Nusa Tenggara Barat) yang diambil secara acak. Data sekunder diperoleh dari sejumlah

dinas dan instansi terkait seperti BPS, Dinas Pertanian, dan lain-lain di tingkat kabupaten

dan provinsi.Analisis dilakukan secara deskriptif auditik. Data disajikan dengan

menampilkan tabulasi tunggal dan silang terhadap persoalan yang dianalisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Pertanian di Daerah Penelitian Jawa Barat

Di Jawa Barat, Kabupaten Bandung merupakan daerah pertanian yang

mengusahakan komoditas hortikultura dan Kabupaten Subang sebagai daerah dengan

komoditas padi. Pada tahun 2000 sektor pertanian di Jawa Barat masih merupakan

sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Sektor ini menjadi lapangan kerja

utama bagi 26,29 persen penduduk usia produktif. Dalam sektor pertanian, subsektor

tanaman pangan merupakan kontributor utama. Sumbangan subsektor ini mencapai

74,74 persen dari total sumbangan sektor pertanian dalam struktur Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB).

Padi hingga kini masih merupakan salah satu komoditas andalan bagi Kabupaten

Subang. Kabupaten ini memiliki areal sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah

Kabupaten Karawang dan Indramayu. Keragaan luas tanam dan produksi beberapa

komoditas tanaman pangan di dua kabupaten penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Beberapa Komoditas Pangan Utama di Kabupaten Bandung dan Subang, 2000

Bandung Subang Jawa Barat Komoditas Luas panen

Ha (%) Produksi Ton (%)

Luas panen Ha (%)

Produksi Ton (%)

Luas panen Ha (%)

Produksi Ton (%)

1. Padi sawah

2. Jagung 3. Kedelai

111.009 (6,48) 12.551 (9,69) 1.954 (4,68)

556.854 (6,27) 43.826 (11,27) 2.186 (4,32)

155.994 (9,10) 1.796 (1,39) 141

(0,34)

846.293 (9,53) 4.630 (1,19) 181

(0,36)

1.714.244 (100)

129.573 (100)

41.740 (100)

8.879.388 (100)

388.781 (100)

50.544 (100)

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2001 dan BPS Kabupaten Subang, 2001 (diolah)

Page 7: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

5

Dari Tabel 1 terlihat bahwa kontribusi Kabupaten Bandung terhadap produksi

padi, jagung dan kedelai di Provinsi Jawa Barat masing-masing sebesar 6,27 persen,

11,27 persen dan 4,32 persen. Sementara kontribusi Kabupaten Subang untuk ketiga

komoditas pangan tersebut masing-masing sebesar 9,53 persen, 1,19 persen dan 0,36

persen.

Tabel 2. Luas Panen dan Produksi Beberapa Komoditas Hortikultura di Kabupaten Bandung dan Subang, 2000

Bandung Subang Jawa Barat Komoditas Luas panen

Ha (%) Produksi Ton (%)

Luas panen Ha (%)

Produksi Ton (%)

Luas panen Ha (%)

Produksi Ton (%)

1. Cabai 2. Bawang

merah 3. Bawang

putih 4. Kentang 5. Wortel

3.792 (17,21) 3.655

(27,66) 119

(55,61) 21.368 (74,47) 1.567

(23,48)

21.510 (6,02) 28.784 (28,76) 1.131

(54,43) 366.714 (71,91) 21.136 (18,41)

671 (3,04)

2 (0,02)

1 (0,47) 234

(0,81) 3

(0,04)

2.916 (0,81)

8 (0,01)

8 (0,38) 5.982 (1,17)

25 (0,02)

22.035 (100)

13.212 (100) 214

(100) 28.695 (100) 6.675 (100)

357.565 (100)

100.077 (100) 2.078 (100)

509.972 (100)

114.784 (100)

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2001 dan BPS Kabupaten Subang, 2001 (diolah)

Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah sentra produksi komoditas

hortikultura yang cukup penting di Jawa Barat. Tercatat sebanyak kurang lebih 18 jenis

komoditas sayuran diusahakan di Kabupaten Bandung yang memberikan kontribusi

mulai dari dua persen hingga 72 persen terhadap produksi sayuran Jawa Barat.

Keragaan luas panen dan produksi beberapa komoditas hortikultura disajikan pada

Tabel 2.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa Kabupaten Subang tidak memiliki keunggulan

komparatif dalam hal tanaman sayuran. Sementara itu Kabupaten Bandung relatif

memiliki keunggulan komparatif, terutama untuk komoditas kentang.

Nusa Tenggara Barat

Seperti halnya di Jawa Barat, sektor pertanian masih menjadi kontributor utama

dalam struktur PDRB Propinsi Nusa Tenggara Barat. Kontribusinya pada tahun 1999

mencapai 26,76 persen dari nilai total PDRB Propinsi Nusa Tenggara Barat.. Untuk

Kabupaten Lombok Tengah (komoditas padi) dan Kabupaten Lombok Timur (komoditas

hortikultura), kontribusi sektor pertanian di kedua kabupaten ini masing-masing sekitar 38

persen dan 40 persen dari nilai total PDRB.

Page 8: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

6

Subsektor tanaman pangan khususnya padi merupakan kontributor utama bagi

Kabupaten Lombok Tengah. Sementara itu dominasi produksi tanaman sayuran dimiliki

oleh Kabupaten Lombok Timur. Keragaman luas panen dan produksi beberapa

komoditas tanaman pangan dan hortikultura di dua kabupaten tersebut disajikan pada

Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Luas panen dan produksi Komoditas pangan utama Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 2000

Lombok Timur Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat Komoditas Luas Panen

Ha (%) Produksi Ton (%)

Luas Panen Ha (%)

Produksi Ton (%)

Luas Panen Ha (%)

Produksi Ton (%)

Padi Sawah 54228 256649 74896 332431 30003 1394627 (23.84) (18.40) (24.96) (23.84) (100) (100) Jagung 7336 15804 2597 4736 31948 66563 (22.96) (23.74) (8.13) (7.12) (100) (100) Kedelai 772 771 24201 27187 66919 73765 (1.15) (1.04) (36.16) (26.86) (100) (100)

Sumber: BPS Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2001 (diolah)

Tabel 4. Luas panen dan produksi Beberapa Komoditas Tanaman Hortikultura di Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 2000

Lombok Timur Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat Komoditas Luas Panen

Ha (%) Produksi Ton (%)

Luas Panen Ha (%)

Produksi Ton (%)

Luas Panen Ha (%)

Produksi Ton (%)

Cabai 23900 35850 875 1750 38932 50449 (61.79) (71.06) (2.25) (3.47) (100) (100) B. merah 992 9020 ─ ─ 4663 40346 (21.27) (22.36) ─ ─ (100) (100) B. putih 601 3134 ─ ─ 838 4940 (71.72) (63.44) ─ ─ (100) (100)

Sumber: BPS Propinsi Nusa Tenggara Barat (diolah)

Dari Tabel 3 dan 4 terlihat secara keseluruhan kontribusi Kabupaten Lombok

Tengah terhadap produksi tanaman pangan relatif lebih tinggi dibandingkan Kabupaten

Lombok Timur khususnya padi dan kedelai. Sebaliknya Kabupaten Lombok Timur relatif

memiliki keunggulan komparatif, untuk komoditas hortikultura.

Keragaan Pembiayaan Usahatani Jawa Barat

Kinerja Skim KUT di Provinsi Jawa Barat selama tahun pertanaman (TP) 1995/96

sampai dengan TP 1999/2000 relatif kurang baik. Posisi kredit per Desember 2001

(Tabel 3) menunjukkan akumulasi tunggakan selama periode tersebut mencapai Rp 1,86

trilyun atau 76,15 persen dari akumulasi penyaluran senilai Rp 2,45 trilyun.

Page 9: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

7

Tabel 5. Kinerja Skim KUT di Provinsi Jawa Barat TP 1995/1996 -TP 1999/2000

Tunggakan Tahun penyaluran

Realisasi (Rp juta) Rp (juta) %

1. TP 1996/96 2. TP 1996/97 3. TP 1997/98 4. TP 1998/99 5. TP 1999/00

45.353,95 25.878,87 52.234,04 2.038.798,81 286.588,62

12.500,89 4.307,56 8.352,74

1.576.946,86 262.588,65

27,56 16,65 15,99 77,35 91,63

Jumlah 2.448.854,29 1.864.696,70 76,15

Sumber: Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Barat, 2001.

Pada periode TP 1995/96-TP1997/98 kinerja pengembalian KUT relatif baik,

dengan tunggakan hanya sekitar 20 persen (15,99%-27,56%). Namun sejak 1998/99,

pada waktu itu terjadi perubahan kebijakan pemerintah dengan menaikkan plafond KUT

sangat besar dan juga didorong oleh upaya peningkatan produksi padi dan upaya

meredam dampak krisis pada sektor pertanian. Kebijakan ini ternyata berakibat

meningkatnya tunggakan kredit. Salah satu penyebab tingginya tunggakan kredit antara

lain karena penyaluran kredit yang salah sasaran.

Nusa Tenggara Barat

Akumulasi penyaluran kredit usahatani (KUT) di Nusa Tenggara Barat selama TP

95/96 relatif kurang baik. Posisi kredit per Maret 2002 menunjukkan bahwa sisa kredit

yang belum terlunasi mencapai kurang lebih Rp 102 milyar 60, 28 persen (Pada periode

TP 95/96-TP 97/98 kinerja pengembalian KUT relatif baik, dengan tunggakan sekitar

22 persen. Namun sejak 1998/99 sejalan dengan terjadinya pembiayaan massal atau

peningkatan penyaluran yang meningkat lebih dari 800 persen, persentase tunggakan

mulai meningkat tajam (Tabel 6).

Tabel 6. Kinerja Skim KUT di Propinsi Nusa Tenggara Barat TP 1995/1996–TP 1999/2000.

Tunggakan Tahun penyaluran Realisasi (Rp juta) (Rp juta) (%) 1. TP 1995/1996 6.454 1.301 20.16 2. TP 1996/1997 8.531 1.899 22.26 3. TP 1997/1998 13.244 3.058 23.09 4. TP 1998/1999 121.337 80.557 66.39 5. TP 1999/2000 18.520 14.057 75.90 6. TP 2000/2001 1.116 1.116 100.0 Jumlah 169.202 101.988 60.28

Sumber: Dinas Koperasi dan UKM Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2002.

Page 10: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

8

Berdasarkan data tersebut dapat dikemukakan bahwa kinerja pengembalian

kredit di propinsi ini relatif sama dengan kinerja pengembalian kredit yang terjadi di Jawa

Barat.

Akses Petani Terhadap Sumber Permodalan Menurut Mubyarto (1977), modal adalah nomor dua pentingnya setelah tanah

dalam produksi pertanian dalam arti sumbangannya pada nilai produksi. Sumber modal

petani sangat beragam baik yang berasal dari lembaga kredit formal maupun informal.

Petani sebagai pelaku agribisnis yang bergerak pada subsistem budidaya relatif

diharapkan pada risiko usaha yang sangat besar. Risiko ini terutama berkaitan dengan

sifat kegiatan pertanian yang tergantung pada musim. Ketergantungan pada musim

berarti menghadapi banyak ketidakpastian, sehingga dalam rangka mendukung usaha ini

diperlukan sumber modal yang lebih fleksibel. Selain itu untuk memproduksi lebih

banyak, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk benih/bibit unggul,

pestisida, pupuk dan alat-alat. Pengeluaran-pengeluaran seperti itu harus dibiayai dari

tabungan atau dengan meminjam (Mosher, 1966).

Dilihat dari sumber modal yang diakses petani baik di Jawa Barat maupun di

Nusa Tenggara Barat terlihat bahwa sumber modal yang berasal dari bank komersial

cabang adalah yang paling besar diakses oleh petani. Hal ini mudah dipahami karena

bank komersial cabang dalam hal ini BRI merupakan bank yang mengelola kredit

program KUT (Kredit Usaha Tani) yang kini menjadi KKP (Kredit Ketahanan Pangan).

Sampai saat ini masih banyak petani/kelompok tani yang masih menunggak KUT,

sehingga banyak petani/kelompok tani yang belum dapat memanfaatkan KKP. Akibatnya

kredit program yang telah disediakan tersebut belum dapat diserap secara optimal. Data

Direktorat Pembiayaan Departemen Pertanian (Sinar Tani, 2002) menunjukkan realisasi

KKP Tanaman Pangan di Indonesia sampai dengan April 2002 hanya 9,57 persen dan

merupakan yang paling kecil dibandingkan komoditas lainnya. Dengan rendahnya

realisasi KKP Tanaman Pangan, maka diadakan realokasi yaitu KKP Tanaman Pangan

yang semula Rp 1,85 triliun dikurangi menjadi Rp 785,135 milyar. Sisanya dialokasikan

untuk komoditas lain (budidaya tebu, peternakan, penangkapan ikan dan pengadaan

pangan).

Lembaga kredit informal yang menonjol di Jawa Barat adalah pedagang input

(kios saprotan) dan pedagang output (pedagang hasil pertanian). Sedangkan di Nusa

Tenggara Barat adalah yang berasal dari famili/tetangga/teman dan pelepas uang.

Dengan demikian pelaksanaan transaksi kredit informal umumnya bervariasi antar

Page 11: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

9

wilayah, bahkan bervariasi antara satu peminjam dan pemilik modal dengan peminjam

dan pemilik modal lainnya di dalam wilayah yang sama. Terdapat perbedaan sumber

permodalan antar daerah yang mengusahakan komoditas hortikultura dan padi sawah.

Selama ini untuk daerah padi sawah relatif lebih banyak mendapat bantuan permodalan

dari lembaga formal yang bersifat kredit program, sedangkan untuk daerah hortikultura

kucuran kredit program relatif sedikit. Sebagai contoh penyaluran KUT (sekarang diganti

KKP) untuk intensifikasi pertanian, tetapi untuk hortikultura diberikan secara selektif

berdasarkan daerah maupun komoditas dengan memperhatikan pola pembiayaan

hortikultura yang sudah berjalan di daerah bersangkutan dan juga harus mempunyai

jaminan pasar. Namun setelah KKP, kredit program untuk komoditas hortikultura tidak

disediakan. Penyaluran KKP untuk tanaman pangan penyerapannya masih rendah,

salah satu penyebabnya adalah petani/kelompok tani tidak bisa akses karena masih

banyak yang belum melunasi tunggakannya. Dari segi manajemen rendahnya akses

petani terhadap KKP tersebut merupakan pencerminan kurangnya tanggungjawab dan

disiplin petani/kelompok tani terhadap kesepakatan yang dibuat. Dilihat dari segi

kelembagaan “kelupaan petani untuk melunasi kredit” tersebut adalah masalah belum

mantapnya kelembagaan kelompok tani maupun kelembagaan perkreditan itu sendiri

(Soewardi, 1977). Padahal modal dalam bentuk sarana produksi pertanian (benih/bibit,

pupuk, pestisida) dan uang tunai merupakan sesuatu yang secara minimal harus ada

pada petani-petani di pedesaan dan setiap tahun merupakan masalah yang harus

dihadapi untuk memperolehnya. Secara umum situasi permodalan yang dihadapi petani

akan berbeda tergantung kepada komoditas yang diusahakan.

Gambaran yang lebih rinci tentang akses petani terhadap lembaga kredit di

masing-masing lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

Jawa Barat

Program pembiayaan massal untuk komoditas hortikultura memang masih

kurang.Untuk pertama kali dan hanya sekali petani hortikultura (khususnya petani

kentang) di Bandung (Kecamatan Pangalengan) memperoleh kredit program melalui

KUT pada tahun 1998/1999. Pada saat itu terjadi lonjakan plafond kredit yang

dikucurkan, sehingga terjadi lonjakan areal tanaman kentang. Keadaan ini diikuti dengan

melonjaknya produksi kentang, sehingga menyebabkan harga kentang merosot sampai

di bawah biaya produksi. Banyak petani yang mengalami kerugian. Karena alasan inilah

sebagian besar petani masih belum melunasi pinjaman KUT.

Page 12: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

10

Hampir semua petani responden menggunakan modal sendiri sebagai sumber

modal utama dalam menjalankan usahanya. Sumber modal lainnya berasal dari

pinjaman baik dari lembaga formal maupun informal. Lembaga pembiayaan formal

sebagai sumber modal antara lain BRI, Bukopin dan BPR yang mencapai 33,33 persen.

Sementara lembaga informal yang dapat diakses adalah pedagang input (kios sarana

produksi pertanian) dan pedagang output (pedagang hasil pertanian).

Seperti disebutkan di atas, berdasarkan intensitas pemanfaatan sumber

permodalan selain dari bank, sebagian besar petani responden meminjam kepada

sumber informal yaitu tengkulak (pedagang hasil pertanian), dengan bunga bervariasi

antara 2-3 persen per bulan. Ada juga petani yang tidak dikenakan bunga pinjaman,

namun petani diharuskan menjual seluruh hasil produksinya dengan harga di bawah

harga pasar (umumnya berkisar Rp 100/kg lebih rendah dibandingkan harga pasar).

Dengan demikian, jangka waktu pembayaran umumnya satu musim. Di sini tampak

adanya keterkaitan pasar modal dan pasar produk.

Bank merupakan alternatif yang dapat diakses oleh sebagian masyarakat. Petani

yang dapat meminjam ke bank harus memiliki agunan yang disyaratkan yaitu sertifikat

tanah atau bangunan. Persyaratan inilah yang selama ini menjadi kendala tingkat

aksesibilitas petani terhdap lembaga perbankan, karena sebagian besar petani belum

memiliki sertifikat atas tanahnya.

Sumber modal/pembiayaan dominan lainnya adalah pedagang input (kios sarana

produksi pertanian). Pedagang input pertanian memegang peranan cukup penting

sebagai sumber permodalan petani. Petani yang dapat meminjam harus sangat dikenal

dan dipercaya oleh pedagang. Waktu pembayaran beragam antara satu minggu sampai

satu musim. Jika pembayaran dilakukan sebelum satu bulan, umumnya tidak dikenakan

bunga, namun jika lebih, bunga yang diberikan beragam antara 2–3 persen per bulan.

Pada komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan berorientasi pasar seperti

hortikultura, memiliki akses terhadap lembaga pembiayaan (bank) yang lebih tinggi.

Sebagai contoh, untuk mengusahakan kentang di Pangalengan diperlukan biaya Rp. 20

– Rp.30 juta per hektarnya, sedangkan untuk padi hanya sekitar Rp 2 – Rp 3 juta per

hektarnya Dalam hal ini karena memerlukan biaya yang relatif besar maka petani

hortikultura harus lebih akses ke lembaga pembiayaan/bank. Penelitian Syukur et al.,

(1999), Rachman et al., (2000), Hutabarat et al., (2000), Mayrowani et al., (2000), dan

Hadi et al., (2001) menunjukkan rendahnya sumber modal usahatani yang berasal dari

kerdit komersial.

Page 13: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

11

Pada umumnya sumber permodalan petani di Subang berasal dari kredit program

yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP) sebagai pengganti KUT. Aplikasi kredit dilakukan

secara berkelompok dengan sistem tanggung renteng, dimana agunan yang dijadikan

jaminan kredit merupakan kekayaan milik ketua/pengurus kelompok tani sehingga

kelompok tani sangat selektif dalam memilih anggotanya.

Sumber kredit komersial yang diakses petani paling dominan adalah BRI

sebagian kecil lainnya BPD (Bank Jabar), Bukopin dan BPR. Kredit informal masih

mewarnai perekonomian desa, terutama pinjaman yang bersumber dari saudara/

tetangga/teman, pedagang input (kios sarana produksi pertanian) dan sebagian kecil

dijumpai yang pinjam kepada pelepas uang dan pedagang hasil pertanian. Meminjam

kepada pelepas uang dilakukan jika terpaksa menghadapi keadaan darurat, tetapi

umumnya bukan untuk modal usahatani.

Nusa Tenggara Barat

Seperti halnya di Bandung, untuk Lombok Timur yang mewakili sentra produksi

hortikultura (khususnya cabai), petani hortikultura untuk pertama kali dan hanya sekali

memperoleh kredit program melalui KUT pada TP 1998/99. Pada saat itu seperti halnya

di Jawa Barat terjadi lonjakan plafond kredit yang disalurkan, sehingga terjadi lonjakan

areal tanam cabai. Produksi berlimpah menyebabkan harga cabai merosot sampai di

bawah biaya produksi, sehingga banyak petani yang mengalami kerugian. Sehubungan

dengan hal tersebut, hampir semua petani menggunakan modal sendiri sebagai sumber

utama dalam menjalankan usahataninya.

Di provinsi ini lembaga kredit formal yang dapat diakses petani selain BRI adalah

BPD, Bank Kredit Desa/LDKP dan Pegadaian. Sementara lembaga informal yang dapat

diakses adalah pedagang input, pedagang out put dan pengolah hasil pertanian. Namun

di Lombok Timur sumber pembiayaan yang berasal dari famili/tetangga/teman dan

pelepas uang sangat menonjol. Tingkat bunga yang berlaku pada kredit informal ini

sangat beragam antara 0-4 persen per bulan tergantung kedekatan dan tingkat

kepercayan.

Meminjam kepada pedagang output dan input dalam bentuk uang tunai atau

natura (sarana produksi pertanian), dengan tingkat bunga beragam antara 2-3 persen

per bulan. Namun khusus pinjam dari pedagang output ada juga yang tidak dikenakan

jasa pinjaman,karena terdapat ikatan untuk menjual hasil produksinya ke pedagang

tersebut. Dalam transaksi pemberian pinjaman ini petani yang meminjam harus sudah

Page 14: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

12

sangat dikenal dan dipercaya oleh pedagang,sehingga dalam hal ini pedagang sangat

selektif.

Seperti halnya di Subang, sumber permodalan padi sawah di Lombok Tengah

berasal dari kredit program yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP) sebagai pengganti

KUT. Kasus di Lombok Tengah, agunan yang dijadikan jaminan kredit KKP cukup

dengan mengunakan SPOP (Surat Pemberitahuan Obyek Pajak) yang biasa digunakan

untuk menyetor PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

Tabel 7. Tingkat Aksesibilitas Petani Terhadap Sumber Pembiayaan di Kabupaten Bandung dan Subang,

Jawa Barat, 2002 (%)

No. Sumber Pembiayaan Bandung Subang Jawa Barat I. Formal:

1. Bank komersial/cabang 2. Bank komersial/pusat 3. BPR/BPRS 4. Koperasi 5. Bantuan BUMN

35,71 28,57 10,71 21,43 7,14

93,94

- 3,33 3,33

-

66,67 14,04 7,02 12,28 3,51

II. Informal: 1. Kios saprodi 2. Pedagang hasil pertanian 3. Pelepas uang 4. Lainnya (saudara/tetangga/teman)

28,57 46,43 7,14 7,14

20,69 3,33 3,33 30,0

24,56 24,56 5,26 19,30

Sumber: Data Primer, 2002.

Di provinsi ini sumber kredit komersial yang dapat diakses petani yang paling

menonjol adalah BRI, disusul Pegadaian dan Bank Kredit Desa. Kredit informal masih

mewarnai perekonomian desa, terutama pinjaman dari famili/tetangga/teman dan yang

paling mengkhawatirkan adalah masih menonjolnya pelepas uang. Sumber ini umumnya

dimanfaatkan oleh petani yang kurang mampu karena tidak berani meminjam kepada

bank (kredit formal).

Perlu dikemukakan bahwa terdapat perbedaan akses antar petani Jawa Barat

dan Nusa Tenggara Barat terhadap lembaga keuangan formal, yaitu petani Jawa Barat

memiliki akses yang lebih baik ke koperasi, BPR/S dan bantuan BUMN. Sedangkan

petani Nusa Tenggara Barat memiliki akses yang lebih baik ke Pegadaian dan LDKP. Di

kedua provinsi tersebut, lembaga keuangan informal yang sama-sama tidak diakses

petani adalah bank keliling dan BMT.

Untuk melihat lebih rinci perihal tingkat aksesibilitas petani terhadap sumber

pembiayaan untuk Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 7, sedangkan untuk Nusa

Tenggara Barat pada Tabel 8.

Page 15: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

13

Tabel 8. Tingkat Aksesibilitas Petani Terhadap Sumber Pembiayaan di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 2002 (%)

No. Sumber Pembiayaan Lombok Timur Lombok Tengah NTB I. Formal:

1. Bank komersial/cabang 2. Bank komersial/pusat 3. Pengadaian 4. Bank Kredit Desa/LDKP

27,78 11,11 2,78 8,33

62,52

─ 12,50 8,33

41,67 6,67 6,67 8,33

II. Informal: 1. Kios saprodi 2. Pengolah hasil pertanian 3. Pedagang hasil pertanian 4. Pelepas uang 5. Lainnya (saudara/tetangga/teman)

5,55 2,78 5,55

11,11 36,11

8,33

─ ─

25,0 4,67

6,67 1,67 3,33

16,67 38,33

Sumber: Data Primer, 2002.

Rata-rata Frekuensi Pinjam, Rata-rata Jumlah Pinjaman dan Lama Berhubungan Dengan Lembaga Kredit

Jawa Barat

Petani Subang lebih banyak meminjam ke lembaga formal dibandingkan petani

Bandung. Sedangkan petani Bandung lebih banyak meminjam ke lembaga informal.

Petani Subang lebih banyak meminjam ke lembaga formal karena memang pada

umumnya petani di daerah Subang memperoleh kredit program sejak masa KUT hingga

skim kredit KKP. Petani Subang dalam hal ini tidak pernah berhenti dalam memperoleh

kredit program. Sedangkan lembaga informal lebih banyak diakses oleh petani Bandung,

terutama karena peran pedagang yang sangat dominan (pedagang input dan output

pertanian). Mereka para pedagang seringkali tidak lain adalah penduduk/pedagang

setempat yang sudah dikenal baik oleh mereka. Dengan demikian sumber kredit yang

cukup penting bagi petani hortikultura di Bandung bersifat perorangan.

Di kedua lokasi terdapat kesamaan dalam hal frekuensi pinjam ke lembaga

informal dan lama berhubungan dengan lembaga informal. Di kedua lokasi penelitian

menunjukkan lembaga informal lebih menonjol dibandingkan dengan lembaga formal.

Namun nilai pinjam dari lembaga formal lebih besar dibandingkan ke lembaga informal.

Frekuensi pinjam petani hortikultura ke lembaga informal lebih tinggi dibandingkan

dengan petani padi. Sebaliknya petani padi lebih tinggi ke lembaga formal. Dilihat dari

lama berhubungan, petani padi (Subang) lebih lama berhubungan dengan lembaga

keuangan formal dibandingkan petani hortikultura (Bandung). Sebaliknya petani

hortikultura (Bandung) lebih mengutamakan berhubungan dengan lembaga informal. Hal

ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun berjalan, petani padi, khususnya

kelompok tani di Kecamatan Binong, tersebut telah berhasil membina hubungan yang

Page 16: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

14

baik dengan lembaga keuangan formal melalui pengembalian pinjaman kredit yang relatif

lancar. Di lain pihak petani hortikultura dalam hal ini petani di Kecamatan Pangalengan

lebih mengutamakan menjalin hubungan dengan lembaga informal, terutama dengan

pedagang hasil pertanian dan pedagang sarana produksi pertanian. Secara umum

nilai/jumlah pinjaman kredit petani Bandung (hortikultura) lebih besar dibandingkan

petani Subang baik yang berasal dari lembaga formal maupun informal. Keragaan data

disajikan pada Tabel 9.

Nusa Tenggara Barat

Rata-rata frekuensi pinjam, rata-rata jumlah pinjaman dan lama berhubungan

dengan lembaga kredit di tingkat petani di Nusa Tenggara Barat relatif sama dengan di

Jawa Barat, kecuali nilai pinjaman ke lembaga formal di Lombok Tengah lebih rendah

dibandingkan dengan ke lembaga informal. Kondisi di Lombok Tengah terjadi karena

kredit program yang diperoleh dari KKP nilainya relatif rendah seiring dengan sempitnya

lahan garapan sawah. Sedangkan di lain pihak, peranan kredit informal (pelepas uang

dan saudara/tetangga/teman) cukup menonjol. Petani Lombok Timur (hortikultura)

memiliki rata-rata frekuensi, nilai pinjaman dan lama berhubungan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan petani Lombok Tengah (Tabel 10).

Tingkat Penggunaan Pinjaman dan Posisi Kredit Menurut Mosher (1966) semakin maju pembangunan pertanian semakin banyak

petani yang menggunakan kredit produksi. Kredit produksi merupakan modal kerja dan

banyak digunakan petani-petani maju.

Terkait dengan pandangan Mosher ini di Subang maupun Bandung, pada

umumnya pinjaman digunakan untuk keperluan budidaya. Namun tampak bahwa di

Bandung tingkat penggunaan pinjaman untuk usaha budidaya lebih besar dibandingkan

dengan petani Subang. Dengan kata lain, petani Bandung, mempunyai efektivitas yang

lebih tinggi. Namun bila dilihat dari posisi kredit, nampaknya petani Subang lebih disiplin

dibandingkan dengan petani Bandung. Hal ini terlihat dari rendahnya persentase petani

di Subang yang belum lunas tapi sudah jatuh tempo. Dilihat dari segi kelembagaan,

secara umum petani lebih tertib/disiplin berhubungan dengan lembaga kredit informal

dibandingkan dengan lembaga kredit formal. Hal ini terlihat dari besarnya nilai kredit

yang sudah lunas di lembaga informal dibandingkan dengan di lembaga formal, seperti

yang ditunjukkan pada Tabel 11.

Page 17: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

15

Alokasi pinjaman dan posisi kredit di Nusa Tenggara Barat baik untuk lembaga

formal maupun informal lebih beragam. Namun secara umum sebagian besar (lebih dari

60 persen) pinjaman digunakan untuk budidaya disusul untuk keperluan kombinasi

lainnya. Di Nusa Tenggara Barat dijumpai sebagian pinjaman baik yang berasal dari

lembaga formal maupun informal digunakan untuk keperluan konsumtif. Masih

dijumpainya penggunaan pinjaman untuk keperluan konsumtif di daerah ini mudah

dipahami karena pada umumnya usahataninya bersifat subsisten. Menurut Mubyarto

(1977) dalam pertanian subsisten kegiatan produksi pertanian bercampur dengan

kegiatan konsumsi. Hasil-hasil produksi pertanian dibagi untuk konsumsi dan pasar.

Posisi kredit petani di Lombok Tengah lebih baik dibandingkan petani Lombok Timur.

Indikasi ini diperkuat karena seperti diketahui petani di Lombok Tengah merupakan

petani yang memperoleh KKP. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12.

Page 18: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

16

Tabel 9. Rata-rata Frekuensi Pinjam, Nilai Pinjam dan Lama Berhubungan dengan Lembaga Perkreditan di Kabupaten Bandung, Subang, Jawa Barat, 1997-2002

Frekuensi Pinjam Nilai Pinjam (Rp.000) Lama berhubungan No. Lembaga Perkreditan Bandung Subang Jabar Bandung Subang Jabar Bandung Subang Jabar 1. 2. 3. 4. 5.

Bank komersial cabang Bank komersial pusat BPR/BPRS Koperasi Bantuan BUMN

1,50 3,75 1,0

1,17 13,0

3,50 -

3,0 1,0 -

2,97 3,75 1,50 1,14 13,0

10.800 11.625 13,670 7.350 1.350

8.684 -

2.000 5.000

-

9.240 11.625 10.750 6.370 1.350

1,2 1,9 2 1 5

4,18 - 1 1 -

3,40 1,90 1,75

1 5

Rata-rata Formal 2,79 3,40 3,10 9.958 8.338 9.058 1,67 3,97 3,29 1. 2. 3. 4.

Kios saprotan Pedagang hasil pertanian Pelepas uang Lainnya

14,0 9,31 3,0 1,0

8,50 14,0 1,0 1,44

11,64 9,64 2,33 1,36

4.770 4.450 2.000 10.000

1.450 2.000 1.000 6.090

3.346 4.280 1.670 6.805

5 5 4

1,5

4,25 1,40

5 1,44

4,61 4,74 3,75 1,45

Rata-rata Informal 5,64 4,65 5,02 4.802 3.914 4.442 4,33 1,94 3,34 Sumber: Data Primer, 2002. Keterangan: Frekuensi : Berapa kali pinjam/jumlah responden Nilai : Jumlah uang/jumlah responden Lama berhubungan: Jumlah tahun/jumlah responden

Page 19: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

17

Tabel 10. Rata-rata Frekuensi Pinjam, Nilai Pinjam dan Lama Berhubungan dengan Lembaga Perkreditan di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 1997-2002

Frekuensi Pinjam Nilai Pinjam (Rp.000) Lama berhubungan

No. Lembaga Perkreditan Lotim Loteng NTB Lotim Loteng NTB Lotim Loteng NTB 1. 2. 3. 4. 5.

Bank komersial cabang Bank komersial pusat Pegadaian Bank Desa/LDKP

1,30 2,83 3,00 4,33

1,80 ─

1,33 1,50

1,60 4,25 1,75 3,20

3276 11250 150

1000

857 ─

310 214

1825 11250 270 686

1,90 3,00 3,00 2,67

1,40 ─

1,33 2,00

1,60 3,00 1,75 2,40

Rata-rata Formal 2,24 1,70 2,11 4495 711 2503 2,33 1,45 1,87

1. 2. 3. 4. 5.

Kios saprotan Pengolah hasil pertanian Pedagang hasil pertanian Pelepas uang Lainnya

5,00 3,00 4,00 1,75 3,15

7,50 ─ ─

2,50 2,10

6,25 3,00 4,00 2,20 2,70

1425 18100 3000 1875 1080

2525 ─ ─

1320 717

1975 18100 3000 1540 922

7,00 3,00 6,00 2,25 1,62

1,50 ─ ─

1,67 1,70

4,25 3,00 6,00 1,90 1,65

Rata-rata Informal 3,14 2,83 2,93 2068 1117 1640 2,68 1,67 2,23

Sumber: Data Primer, 2002. Keterangan: Frekuensi : Berapa kali pinjam/jumlah responden Nilai : Jumlah uang/jumlah responden Lama berhubungan: Jumlah tahun/jumlah responden

Page 20: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

18

Tabel 11. Tingkat Penggunaan Pinjaman dan Posisi Kredit Petani di Kabupaten Bandung dan Subang, Jawa Barat, 2002 (%)

No. Sumber Pembiayaan 1 3 4 6 1 2 3

I. Bandung 1. Formal 2. Informal

96,88 93,33 100,00

- - -

1,96 3,33

-

1,96 3,33

-

54,90 43,33 71,43

27,45 43,33 4,76

17,65 13,33 23,81

II. Subang 1. Formal 2. Informal

76,20 70,00 85,00

10,00 13,33 5,00

10,00 13,33 5,00

4,00 3,33 5,00

68,00 56,57 85,00

4,00 3,33 5,00

28,00 40,00 10,00

III. Jawa Barat 1. Formal 2. Informal

86,14 81,67 92,68

4,95 6,67 2,44

5,94 8,33 2,44

2,97 3,33 2,44

61,39 50,00 78,05

15,84 23,33 4,88

22,77 26,67 17,07

Sumber : Data Primer, 2002 Keterangan : - Penggunaan pinjaman : 1 = budidaya; 2 = pengolahan/pasca panen; 3 = pengadaan alsintan; 4 = kombinasi; 5 = konsumtif; 6 = lainnya - Posisi kredit : 1 = telah lunas; 2 = belum lunas sudah jatuh tempo; 3 = belum jatuh tempo; 4 = lainnya. Tabel 12. Tingkat Penggunaan Pinjaman dan Posisi Kredit Petani di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 2002 (%)

Penggunaan Pinjaman Posisi Kredit No. Sumber Pembiayaan 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 I. Lombok Timur

1. Formal 2. Informal

61,90 55,56 66,67

4,76 5,56 4,17

7,14 5,56 8,33

11,90 16,67 8,33

2,38 ─

4,17

11,90 16,67 8,33

61,90 50,00 70,83

16,67 22,22 12,00

14,29 22,22 8,33

7,14 5,56 8,33

II. Lombok Tengah 1. Formal 2. Informal

64,10 75,00 52,63

5,13 5,00 5,13

2,56 5,00

20,51 42,11

7,69 15,00

─ ─ ─

82,05 80,00 84,21

5,13 5,00 5,26

12,82 15,00 10,53

─ ─ ─

III. NTB 1. Formal 2. Informal

62,96 65,79 60,47

4,94 5,26 4,65

4,94 5,26 4,65

16,05 7,89

23,36

4,94 7,89 2,33

6,17 7,89 4,65

71,60 65,79 76,74

11,11 13,16 9,30

13,58 18,42 9,30

3,70 4,65 3,70

Sumber: : Data Primer, 2002 Keterangan : - Penggunaan pinjaman : 1 = budidaya; 2 = pengolahan/pasca panen; 3 = pengadaan alsintan; 4 = kombinasi; 5 = konsumtif; 6 = lainnya - Posisi kredit : 1 = telah lunas; 2 = belum lunas sudah jatuh tempo; 3 = belum jatuh tempo; 4 = lainnya.

Page 21: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

19

KESIMPULAN DAN SARAN Bank Pemerintah, terutama BRI baik di Jawa Barat maupun Nusa Tenggara

Barat masih menjadi pilihan utama responden sebagai sumber permodalan formal

bagi usahataninya. Karena BRI merupakan lembaga keuangan yang jaringannya

paling luas menjangkau sampai ke pelosok kecamatan/desa yang melayani berbagai

jenis kredit (program/non program) seperti KKP (dulu KUT), Kupedes, KIK, KMK, dan

sebagainya. Disusul Bank Pembangunan Daerah dan bank swasta (Bukopin dan

Bank Perkreditan Rakyat). Sedangkan lembaga pembiayaan non perbankan yang

umumnya diakses petani adalah koperasi di Jawa Barat dan Pegadaian di Nusa

Tenggara Barat.

Lembaga kredit informal yang sangat berperan membantu permodalan petani

di Jawa Barat adalah pedagang (input dan output). Di Bandung (daerah dengan

komoditas hortikultura), pedagang output lebih berperan sebagai sumber modal

petani dibandingkan pedagang input. Sedangkan di Subang (daerah dengan

komoditas padi sawah), yang paling menonjol adalah sumber modal informal dalam

bentuk kredit yang paling dominan adalah dari sumber lainnya

(saudara/tetangga/teman), kemudian disusul pedagang input. Di Nusa Tenggara

Barat baik di Lombok Timur maupun di Lombok Tengah sumber kredit informal yang

menonjol berasal dari famili/tetangga/teman, disusul pelepas uang dan pedagang

input.

Di Jawa Barat akses petani sawah terhadap lembaga kredit formal relatif lebih

tinggi dibandingkan dengan petani hortikultura. Hal ini disebabkan Subang

merupakan daerah pertanian padi sawah dengan dukungan pembiayaan usahatani

(kredit program) yang relatif memadai dibandingkan dengan pembiayaan usaha

untuk komoditas hortikultura. Demikian juga halnya dengan di Nusa Tenggara Barat.

Ini berarti petani padi sawah lebih akses terhadap lembaga kredit formal

dibandingkan petani hortikultura, karena tersedianya kredit program berupa KKP.

Secara umum rata-rata frekuensi meminjam ke sumber kredit informal lebih

tinggi dibandingkan dengan ke sumber kredit formal. Sebaliknya rata-rata nilai

pinjaman dari sumber kredit formal lebih besar dibandingkan dengan ke sumber

kredit informal. Nilai pinjaman total petani hortikultura lebih tinggi baik yang berasal

dari lembaga formal maupun informal dibanding petani padi. Hal ini diduga karena

Page 22: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

20

kebutuhan modal untuk usahatani hortikultura lebih tinggi dibandingkan usahatani

padi.

Pada umumnya pinjaman digunakan untuk usaha budidaya. Petani

hortikultura mempunyai efektivitas pemanfaatan kredit yang lebih tinggi dibandingkan

dengan petani padi. Namun dalam hal pengembalian pinjaman, petani padi lebih

disiplin dibandingkan petani hortikultura. Dalam hal ini petani Jawa Barat lebih efektif

dalam pengunaan modal untuk usaha budidaya dibandingkan petani Nusa Tenggara

Barat. Petani Nusa Tenggara Barat masih menggunakan pinjaman untuk keperluan

konsumtif.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, petani padi sawah di lokasi penelitian

telah berhasil menjalin hubungan yang baik dengan lembaga keuangan formal (BRI).

Hal ini disebabkan kinerja pengembalian pinjaman kredit program (KUT yang diganti

menjadi KKP) berjalan lancar. Sedangkan petani hortikultura lebih mengutamakan

berhubungan dengan lembaga keuangan informal (pedagang hasil pertanian dan

pedagang saprotan). Terbatasnya sumber kredit program untuk komoditas

hortikultura menyebabkan petani lebih akses pada sumber modal yang terakhir ini.

Bertitik tolak dari bukti-bukti empirik tersebut maka kreasi lembaga

pembiayaan yang tepat untuk sektor pertanian sangat mendesak. Dukungan

kebijakan, baik pemerintah pusat maupun daerah, dan keterlibatan sektor swasta

sangat diperlukan untuk mendorong terbentuknya lembaga pembiayaan yang kuat

dan sehat guna mendukung pengembangan pertanian di pedesaan.

Agar sejalan dengan semangat dan arah kebijakan perkreditan nasional yang

mengarah kepada mekanisme pasar, pemerintah perlu menempuh berbagai cara

diantaranya dengan lebih banyak mengembangkan lembaga pembiayaan (keuangan)

mikro-agro dengan introduksi berbagai model pengembangan. Untuk membantu

petani dapat memanfaatkan kredit tersebut perlu dipermudah cara mendapatkan

kredit dan diberi bimbingan mengenai cara menggunakanya, sehingga diharapkan

munculnya kesadaran dan kedisiplinan yang antara lain telah diperlihatkan oleh

petani padi sawah di Subang.

Page 23: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

21

DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2001. Lombok Tengah Dalam Angka 2000

BPS Kabupaten Lombok Timur, 2001. Lombok Timur Dalam Angka 2000

BPS Propinsi NTB dan Bappeda Propinsi NTB. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 2000

BPS Kabupaten Subang, 2001. Kabupaten Subang Dalam Angka 2000.

BPS Provinsi Jawa Barat. 2001. Jawa Barat Dalam Angka 2000.

Departemen Pertanian. 1997. Buku Pintar Intensifikasi Pertanian. Sekretariat Badan Pengendali Bimas. Jakarta.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bandung. Laporan Tahunan 2000.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang. Laporan Tahunan 2000.

Hadi, Prajogo U., Adimesra Djulin, Khairina M. Noekman, Maesti Mardiharini dan Sumedi. 2001. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Hermanto dan Mat Syukur. 1994. Kajian Sumber Modal Petani Sub Sektor Tanaman Pangan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Metoda Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian di BLPP Cihea-Cianjur, Jawa Barat, 12 Januari – 10 Februari 1994.

Hermanto. 1992. Keragaan Penyaluran Kredit Pertanian : Suatu Analisis Data Makro. Monograph Series No.3. Perkembangan Kredit Pertanian di Indonesia (Andin H. Taryoto, Abunawan Mintoro, Soentoro, Hermanto (Editor). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal.63-85.

Hutabarat, B., A. Husni Malian, Adimesra Djulin, Tri Bastuti P., dan Sumedi. 2000. Dampak Kebijaksanaan Moneter Terhadap Kinerja Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Manurung, V.T. 1998. Keragaan Kelembagaan Perkreditan Usaha Penangkapan Ikan Tuna Skala Kecil di Kawasan Indonesia Timur. FAE, Vol.16 No.2, Desember 1998. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal.62-74.

Mayrowani, Henny, Mat Syukur, Yuni Marisa, Syahyuti dan Suwarti. 2000. Peningkatan Peranan Kredit Dalam Menunjang Agribisnis di Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Mosher, A.T. 1966. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Syarat-syarat Pokok Pembangunan dan Modernisasi (Disadur : S. Krisnandhi dan Bahrin Samad) CV. Yasaguna Jakarta.

Mubyarto. 1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Sosial Ekonomi (LP3ES). Jakarta.

Mudlak, Y. 1988. Capital Accumulation: The Choice of Techniques and Agriculture Output, in Mellor and Achmad (Ed). Agriculture Price Policies for Development Countries. John Hopkins, London.

Page 24: ICASERD WORKING PAPER No. 48 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_48_2004.pdf · Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti

22

Rachman, Benny, Saptana, Supena Friyatno dan Sumedi. 2000. Food Policy Support Activity. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sinar Tani. E`disi 22-28, Mei 2002 No.2946 Th.XXXII.

Soewardi, H. 1977. Perkembangan Kelembagaan Untuk Menunjang Pembangunan Pertanian. Jurusan Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Unpad, Bandung.

Syukur, M, Endang Lestari Hastuti, Soentoro, Ade Supriatna, Supadi, Sumedi, Bagus W.D. Wicaksono. 2002. Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.

Syukur, M, Sumaryanto, Saptana, A. Rozany Nurmanaf, Budi Wiryono, Iwan Setiajie Anugerah, Sumedi. 1999. Kajian Skim Kredit Usahatani Menunjang Pengembangan IP-Padi-300 di Jawa Barat. Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan ARMP II, Badan Litbang Pertanian.

Yunus, M. 1981. Credit for Self-Employment: A Fundamental Human Right. Grameen Bank, Dhaka Bangladesh.