icaserd working paper no - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/wp_63_2004.pdfmengambil kasus...

24
ICASERD WORKING PAPER No.63 SISTEM JARINGAN DETEKSI DINI WILAYAH RAWAN PANGAN DALAM UPAYA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN Handewi P. S. Rachman Agustus 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Upload: vuongnhu

Post on 28-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

ICASERD WORKING PAPER No.63

SISTEM JARINGAN DETEKSI DINI WILAYAH RAWAN PANGAN DALAM UPAYA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN Handewi P. S. Rachman Agustus 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Page 2: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

ICASERD WORKING PAPER No. 63

SISTEM JARINGAN DETEKSI DINI WILAYAH RAWAN PANGAN DALAM UPAYA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN Handewi P. S. Rachman Agustus 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, Dr. Yusmichad Yusdja, Ir. Mewa Ariani, MS, Ir. Herman Supriyadi, MS, Ir. Saptana, M.Si dan Dr. Edi Basuno M.Phil; Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496

No. Dok.074.63.2.04

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Page 3: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

1

SISTEM JARINGAN DETEKSI DINI WILAYAH RAWAN PANGAN DALAM UPAYA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN

Handewi P. S. Rachman

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRAK

Deteksi dini wilayah rawan pangan merupakan suatu upaya untuk memberikan informasi awal dan secara dini memberikan sinyal kepada para pengambil keputusan di bidang pangan dan gizi. Hal ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk melakukan intervensi dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan gizi bagi masyarakat di suatu wilayah. Penelitian bertujuan untuk mempelajari konsep pengembangan sistem jaringan deteksi dini masalah rawan pangan dengan mengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur dikaitkan dengan pelaksanaan desentralisasi pembangunan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan RRA (Rapid Rural Appraisal). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pemahaman dan apresiasi serta aktualisasi dari semua aparat terhadap tugas dan wewenang masing-masing sesuai aturan yang telah disepakati merupakan kunci keberhasilan pemantapan ketahanan pangan, (2) perubahan struktur departemen dan otonomi daerah berdampak pada kinerja pelaksanaan SKPG di daerah yang belum berjalan dengan baik. Mengingat masalah pemantapan ketahanan pangan merupakan hal kompleks yang melibatkan lintas instansi/lintas sektor/dan lintas wilayah, maka koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi/antar sektor/dan antar wilayah menjadi kunci keberhasilan pemantapan ketahanan pangan.

Kata kunci : ketahanan pangan, SKPG, deteksi wilayah rawan pangan

PENDAHULUAN

Kebijaksanaan peningkatan ketahanan pangan yang ditetapkan dalam kerangka

pembangunan nasional berimplikasi bahwa pengkajian ketahanan pangan sebagai tolak

ukur keberhasilan pembangunan menjadi penting (Soetrisno, 1995). Konsep ketahanan

pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi pangan pada beberapa tingkatan

yaitu tingkat global, nasional, regional (daerah), dan tingkat rumah tangga serta individu

(Suhardjo, 1989; Simatupang, 1999).

Ketahanan pangan di suatu wilayah mempunyai sifat multidimensional, yang

ditentukan oleh berbagai faktor ekologis, sosial ekonomi dan budaya serta melibatkan

berbagai sektor (Saliem, et al., 2001). Mengacu pada karakteristik yang beragam tersebut

maka pemecahan masalah ketahanan pangan wilayah harus bersifat holistik. Namun untuk

efisiensi waktu dan tenaga, perlu dicari faktor-faktor dominan untuk menentukan wilayah

rawan pangan agar masalah pangan dan gizi yang ada di wilayah tersebut dapat segera

ditangani dan dapat dilakukan monitoring deteksi dini masalah pangan dan gizi.

Page 4: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

2

Deteksi dini wilayah rawan pangan merupakan suatu upaya untuk memberikan

informasi awal dan secara dini memberikan sinyal kepada para pengambil keputusan di

bidang pangan dan gizi. Informasi awal tentang deteksi dini tersebut diharapkan

merupakan dasar pertimbangan utama bagi pengambil keputusan untuk melakukan

intervensi dalam upaya meningkatkan kinerja ketahanan pangan dan gizi bagi

masyarakat di suatu wilayah (Anonimous, 2001). Penelitian bertujuan untuk mempelajari

konsep pengembangan sistem jaringan deteksi dini masalah rawan pangan dengan

mengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di

Provinsi D.I. Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur dikaitkan dengan pelaksaaan

desentralisasi pembangunan (otonomi daerah).

METODA PENELITIAN

Kerangka Analisis Analisis kelembagaan sistem jaringan deteksi dini wilayah rawan pangan

dilakukan melalui penelaahan institusi atau lembaga yang terlibat dalam perumusan

kebijakan, pelaksana kebijakan, mekanisme atau tata hubungan kerja dari berbagai

lembaga yang terkait, serta kinerja dari sistem deteksi dini wilayah rawan pangan.

Penelaahan sistem kelembagaan tersebut dilakukan melalui penelaahan dokumen,

wawancara dengan aparat di tingkat pusat dan daerah (provinsi, kabupaten,

kecamatan, desa), kelompok tani, tokoh masyarakat serta rumahtangga di daerah

penelitian.

Wawancara dilakukan dengan metoda RRA atau rapid rural appraisal dengan

menggunakan pedoman wawancara tentang berbagai aspek yang terkait dengan

perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi terhadap sistem jaringan

deteksi dini wilayah rawan pangan. Uraian diawali dengan pengertian, konsep atau

definisi tentang sistem kelembagaan jaringan deteksi dini wilayah rawan pangan,

perkembangan pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), kemudian

dilanjutkan dengan pembahasan kasus pelaksanaan SKPG di Provinsi D.I. Yogyakarta

dan NTT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian Kelembagaan Jaringan Deteksi Dini Wilayah Rawan Pangan Sistem kelembagaan jaringan deteksi wilayah rawan pangan dalam

operasionalnya dilakukan melalui program Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Page 5: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

3

(SKPG) Pengertian SKPG yang merupakan terjemahan dari Food and Nutrition

Surveillance adalah suatu rangkaian kegiatan yang berkesinambungan meliputi

penyediaan informasi situasi pangan dan gizi, pengambilan keputusan dan tindakan yang

berupa perumusan kebijakan, perencanaan, pengendalian program, serta tindakan yang

bersifat segera dan tepat waktu. Sistem tersebut dimaksudkan untuk memantau situasi

pangan dan gizi dari waktu ke waktu dalam rangka pengumpulan informasi bagi

pengambilan keputusan, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi program pangan dan

gizi (Suhardjo dan Khumaidi, 1992).

Dari pengertian SKPG di atas, terdapat setidaknya tiga kata kunci yang terkait

dengan kinerja dalam pelaksanaan SKPG tersebut. Ketiga kata kunci tersebut adalah (1)

data dan informasi tentang situasi pangan dan gizi secara berkesinambungan (berkala)

di suatu wilayah, (2) pengambilan keputusan dan tindakan secara cepat dan tepat untuk

penanggulangan masalah pangan dan gizi di wilayah yang bersangkutan, dan (3) bahan

perencanaan, pengelolaan dan evaluasi program pangan dan gizi. Dari ketiga kata kunci

tersebut amatlah penting untuk memahami berbagai faktor penentu kinerja SKPG di

suatu wilayah yang antara lain mencakup (a) lembaga formal dan informal yang terlibat

dalam kegiatan, (b) mekanisme dan ‘aturan main’ dari lembaga yang terlibat, dan (c)

wewenang dan tanggung jawab masing-masing pelaku dalam kegiatan SKPG.

Berdasar Instruksi Mendagri No.23 Tahun 1998, kegiatan SKPG memiliki tiga

komponen yaitu informasi, pengambilan keputusan, dan tindakan. Pelaksana dari

kegiatan SKPG dibagi dalam 3 (tiga) sub sistem yaitu SKPP (Sistem Kewaspadaan

Produksi dan Ketersediaan Pangan) dilaksanakan oleh sektor pertanian, SKDP (Sistem

Kewaspadaan Distribusi Pangan) dilaksanakan oleh Bulog, dan SKKG (Sistem

Kewaspadaan Konsumsi dan Gizi) oleh sektor kesehatan. Ketiga instansi tersebut (dan

mungkin ditambah instansi lain) dikukuhkan dalam suatu tim yang disebut Tim Pangan

dan Gizi (di daerah disebut Tim Pangan dan Gizi Daerah). Secara diagram kerangka

SKPG dapat disimak pada Gambar 1. Diagram alur dari input-proses-output dari

kegiatan SKPG dapat disimak pada Gambar 2.

Dari Gambar 1 terlihat bahwa institusi pelaksana utama dari kegiatan SKPG

tersebut adalah sektor pertanian, kesehatan, dan Bulog. Sementara itu Badan Pusat

Statistik (Pusat dan Daerah) berperan dalam penyediaan data dan informasi yang terkait

dengan pelaksanaan SKPG. Dalam operasionalnya, pimpinan daerah sebagai penguasa

di tingkat wilayah dituntut berperan dalam mengkoordinasikan dan mengkonsolidasikan

Page 6: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

4

semua institusi yang terkait dengan pelaksanaan SKPG. Instansi yang terkait dengan

pelaksanaan kegiatan SKPG antara lain adalah Departemen atau Kantor Tenaga Kerja,

Departemen atau Kantor Perindustrian dan Perdagangan, Departemen atau Dinas

Sosial, dan lain-lain.

PERTANIAN KESEHATAN

INSTANSI LAIN

NAKER DOLOG SOSIAL Sumber: 1) Anonimous, 2000. Situasi Pangan dan Gizi di Indonesia. Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat, Jakarta. 2) Anonimous, 2001. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta. Keterangan: SKPG : Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi SKPP : Sistem Kewaspadaan Produksi dan Ketersediaan Pangan SKDP : Sistem Kewaspadaan Distribusi Pangan SKKG : Sistem Kewaspadaan Konsumsi dan Gizi

Gambar 1. Kerangka Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)

INFORMASI

PANGAN DAN GIZI

1. PERTEMUAN

KOORDINASI 2. PENGAMBILAN

KEPUTUSAN

1 TINDAKAN TEPAT WAKTU

2. PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN

3. EVALUASI

PERTANIAN SKPP

BULOG SKDP

KESEHATAN

SKKG

BPS

Page 7: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

5

Sumber: 1) Anonimous, 2000. Situasi Pangan dan Gizi di Indonesia. Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat, Jakarta. 2) Anonimous, 2001. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Gambar 2. Bagan Input-Proses-Output Kegiatan SKP Perkembangan Pelaksanaan SKPG

Dalam perkembangannya, SKPG telah dilaksanakan sejak Pelita III (awal

tahun 80 an) dimana pada waktu itu sistem tersebut diterapkan untuk mencegah

timbulnya keadaan gizi buruk di kalangan penduduk terutama di daerah rawan

pangan. Peluang timbulnya rawan pangan sangat besar bila terjadi keadaan darurat

seperti bencana kekeringan, serangan hama/penyakit yang menimpa usaha

pertanian, banjir, dan juga kerusuhan antar etnis seperti yang terjadi pada periode

dua-tiga tahun terakhir yang menyebabkan banyak keluarga harus mengungsi dari

tempat tinggalnya, dan sebagainya. Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan SKPG

ini merupakan rangkaian kegiatan penyediaan data dan informasi tentang iklim,

produksi pangan, harga pangan, ketersediaan pangan setempat, wabah penyakit

INPUT 1. Pedoman/Juklak 2. Komitmen/Kebijakan

(SK) 3. Dana 4. Sumberdaya Manusia 5. Sekretariat

- Tempat pelayanan administrasi - Sistem manajemen informasi

6. Sarana - ATK - Komunikasi - Formulir - Transportasio

7. Laporan pemantauan dari tingkat administrasi yang lebih rendah

8. Indikator Pangan & Gizi

PROSES 1. Pembentukan Tim 2. Penyusunan mekanisme tata kerja 3. Pelatihan 4. Pertemuan/rakor umum 5. Pertemuan Tim Pangan 6. Pengumpulan data 7. Pengolahan data 8. Analisis data 9. Pelaporan/Penyajian laporan 10. Penyusunan konsep

program berdasarkan hasil analisis

OUTPUT 1. Pokja SKPG 2. Mekanisme kerja lintas

sektoral 3. Mekanisme informasi

lintas sektoral 4. Undangan rapat 5. Notulen rapat 6. Hasil pertemuan 7. Laporan / Publikasi 8. Tindakan - Intervensi - Penyempurnaan program 9. Konsep kebijakan

Page 8: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

6

tertentu dan atau status gizi penduduk (tercermin dari status gizi balita), dan informasi

lain yang mampu menjelaskan situasi pangan dan gizi suatu wilayah (provinsi,

kabupaten, kecamatan, desa). Data dan informasi tersebut diolah dan dianalisis

untuk kemudian dapat digunakan oleh pengambil keputusan atau pimpinan daerah

dalam mengambil keputusan dan tindakan penanganan yang tepat dan cepat.

Sampai dengan masa Pelita III, pengembangan SKPG lebih diarahkan kepada

masalah rawan pangan atau rawan konsumsi pangan, karena pada masa itu banyak

dijumpai masalah kurang pangan di berbagai daerah di Indonesia. Pelaksanaan

SKPG ini dilakukan dengan menerapkan Sistem Isyarat Dini dan Intervensi (SIDI)

sebagai sub-sistem dari SKPG (Suhardjo dan Khumaidi, 1992). SIDI sebagai bagian

dari SKPG pertama kali dikembangkan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen

Kesehatan R.I setelah melalui uji coba di beberapa daerah bersama Kelompok Pusat

Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan

bantuan tenaga ahli dari Cornell University. Sampai menjelang tahun 1990 telah

diterapkan di 13 provinsi meliputi 55 kabupaten di Indonesia. Untuk memantapkan

pelaksanaan SKPG/SIDI ini, dilakukan evaluasi dan dari hasil evaluasi tersebut

dilakukan perbaikan sesuai dengan masalah yang dihadapi di lapangan.

Perkembangan pelaksanaan SKPG tidak terlepas dengan perkembangan

pembangunan pertanian sebagai sektor yang menyediakan dan atau memproduksi

bahan pangan. Keberhasilan sektor pertanian khususnya di bidang produksi pangan

atau beras selama dua dekade lalu cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan

merubah posisi Indonesia dari negara pengimpor pangan (beras) dunia terbesar

menjadi negara yang mampu berswasembada dan mendapat pengakuan

internasional melalui penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada

tahun 1984. Keberhasilan pembangunan sektor pangan ini secara tidak langsung

menyebabkan situasi yang kurang kondusif untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan

SKPG di berbagai daerah karena tantangan terjadinya rawan pangan relatif

berkurang. Keberhasilan di sektor pangan beras ini juga membawa pelajaran mahal

bagi pembangunan pertanian di Indonesia yaitu relatif kurang intensifnya atau

terabaikannya penanganan sektor non-beras. Ketimpangan alokasi sumberdaya

pembangunan antar sub-sektor dan atau antar sektor dapat dirasakan setelah

Indonesia dan juga negara lain terutama di kawasan Asia dilanda krisis ekonomi.

Page 9: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

7

Diawali sekitar bulan Agustus 1998 terjadi krisis ekonomi yang diindikasikan

oleh merosotnya nilai tukar rupiah dari sekitar Rp 2.200/1US$ menjadi sekitar Rp

15.000/US $ dalam periode sekitar satu tahun berdampak pada perubahan tingkat

inflasi dan harga-harga komoditas termasuk harga pangan meningkat tajam.

Meningkatnya harga pangan sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan

terutama di tingkat rumahtangga dan individu, karena menurunnya akses terhadap

pangan yang dibutuhkan. Kondisi tersebut berlangsung sampai sekitar 2 tahun,

dibarengi pula dengan perubahan situasi politik dalam negeri yang mengarah ke

demokratisasi ternyata secara drastis menyebabkan krisis multi dimensi di Indonesia.

Krisis ekonomi yang berakibat pula terjadinya krisis pangan terutama di tingkat

rumahtangga dan individu. Hal ini diindikasikan oleh meningkatnya jumlah penduduk

miskin yang sangat tajam dan juga meningkatnya prevalensi penduduk yang kurang

energi protein (KEP). Studi yang dilakukan oleh Irawan dan Romdiati (2001)

menunjukkan dampak krisis ekonomi terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia.

Sementara itu Ariani, et al., (2000) menujukkan perubahan pola konsumsi dan

pengeluaran rumahtangga akibat adanya krisis ekonomi.

Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan tuntutan

lingkungan strategis baik domestik maupun internasional mendorong adanya

perubahan paradigma pembangunan nasional termasuk di dalamnya pembangunan

pertanian. Perubahan paradigma tersebut antara lain tercermin dari dirumuskannya

paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan. Paradigma baru ketahanan

pangan tersebut adalah sebagai berikut: (Anonimous, 2001)

1) Pendekatan pengembangan: Dari pemantapan ketahanan pangan pada tataran makro/agregat menjadi pemantapan ketahanan pangan rumahtangga

2) Pendekatan manajemen pembangunan: Dari pola sentralistis menjadi pola desentralistis

3) Pendekatan utama pembangunan: Dari dominasi pemerintah menjadi dominasi peran masyarakat

4) Fokus pengembangan komoditas pangan: Dari bertumpu pada beras menjadi pengembangan komoditas pangan secara keseluruhan

5) Upaya mewujudkan keterjangkauan rumahtangga atas pangan: Dari penyediaan pangan murah menjadi peningkatan daya beli.

Page 10: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

8

Tabel 1. Matriks capacity building pemantapan SKPG Kabupaten/Kota

Tingkat Sasaran Materi 1. Kepala Desa 1. Pengertian SKPG

2. Cara pembentukan tim yang terlibat berdasarkan potensi desa 3. Beberapa contoh soludi tindakan berdasarkan informasi kualitatif dari tim SKPG desa

2. Tim SKPG: - Bidan Desa - PPL - Lain-lain (sesuai kebutuhan)

1. Pengertian SKPG 2. Cara analisis data kualitatif dan kuantitatif yang berhubungan dengan permasalahan

yang dirasakan masyarakat 3. Cara kajian sederhana berdasarkan

analisis kuantitatif dan kualitatif 4. Contoh-contoh intervensi berdasarkan hasil

kajian

Desa

3. Organisasi Desa - LKMD - LSM

1. Pengertian SKPG 2. Cara sosialisasi SKPG tingkat desa yang

ditujukan pada masyarakat, tim SKPG agar sistem tetap bergulir (antisipasi pergantian pelaksana SKPG)

3. Cara advokasi untuk Kepala Desa, terutama pada Kepala Desa baru

4. Cara mencari bantuan ke kecamatan jika masalah tidak bisa dipecahkan oleh tim desa.

1. Camat 1. Pengertian SKPG

2. Pembentukan tim berdasarkan potensi kecamatan

3. Cara-cara solusi berdasarkan permasalahan yang datang dari desa

2. Tim SKPG: - Puskesmas - KCD - PLKB - Sektor lain sesuai tingkat kecamatan

1. Pengertian SKPG 2. Cara analisis berdasarkan data kualitatif

dan kuantitatif yang datang dari desa sesuai dengan permasalahan yang tidak terpecahkan oleh desa.

3. Cara kajian berdasarkan analisis kuantitatif untuk kepentingan keseluruhan desa

4. Contoh-contoh intervensi berdasarkan hasil kajian

Kecamatan

3. Organisasi Kecamatan - LSM

1. Pengertian SKPG 2. Cara Advokasi/sosialisasi SKPG pada

Camat 3. Cara meneruskan untuk minta bantuan ke

Kabupaten jika Kecamatan tidak bisa memecahkan permasalahan yang dihadapi.

Page 11: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

9

1. Bupati 1. Pengertian SKPG 2. Pembentukan tim berdasarkan potensi

kabupaten 3. Cara-cara solusi berdasarkan

permasalahan yang datang dari kecamatan

2. Tim SKPG: - Sektor terkait

1. Pengertian SKPG 2. Cara analisis berdasarkan data kualitatif

yang datang dari kecamatan sesuai dengan permasalahan yang tidak bisa terpecahkan oleh kecamatan

3. Cara kajian berdasarkan analisis kuantitatif untuk kepentingan keseluruhan kecamatan

4. Contoh-contoh intervensi berdasarkan hasil kajian

Kabupaten / Kota

3. Organisasi Kabupaten - LSM

1. Pengertian SKPG 2. Cara advokasi/sosialisasi SKPG pada

Bupati 3. Cara meneruskan untuk minta bantuan ke

Provinsi jika Kabupaten tidak bisa memecahkan permasalahan yang dihadapi

Sumber: Bahan capacity building Daerah, Departemen Kesehatan, 2001.

Perubahan paradigma pemantapan ketahanan pangan tersebut mendorong

pula adanya ”semangat baru” untuk memantapkan ketahanan pangan melalui

pemberdayaan kembali SKPG sebagai suatu sistem kelembagaan yang berperan

mewujudkan ketahanan pangan di tingkat wilayah dan rumahtangga maupun individu.

Terkait dengan upaya tersebut Departemen Kesehatan dan kooordinasi dengan

instansi terkait melakukan kegiatan revitalisasi atau pemantapan SKPG melalui

pemberdayaan pelaku (capacity building) SKPG di tingkat daerah. Adapun matriks

kegiatan capacity building di setiap tingkatan daerah disajikan pada Tabel 1.

Data dan informasi yang perlu dikumpulkan untuk diolah dan dianalisa lebih

lanjut serta proses dan mekanisme penyampaian informasi tersebut di masing-masing

tingkatan wilayah dapat diuraikan sebagai berikut.

Tingkat Desa

Informasi pangan dan gizi yang perlu diketahui oleh Kepala Desa adalah :

1. Informasi keadaan gizi balita (SKDN) yang dapat diperoleh dari Posyandu melalui Bidan Desa atau Ketua Kader Posyandu setiap bulan.

2. Jumlah ibu hamil/ibu nifas yang kurang gizi (KEK) dari Bidan desa atau Ketua Kader Posyandu

Page 12: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

10

3. Jumlah bayi berat lahir rendah dari bidan desa atau dukun bayi setiap saat.

4. Jumlah keluarga miskin (Pra Sejahtera dan Sejahtera I) dari PLKB secara berkala (setiap bulan)

5. Jumlah keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan makan keluarganya sehari-hari dari ketua-ketua RT/Kepala Dusun atau Kader Posyandu/PKK, atau LSM setempat.

6. Kemungkinan terjadinya gangguan produksi (pangan dan non-pangan) akibat adanya serangan hama, kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya.

Selanjutnya informasi tersebut dibawa ke dalam rapat atau rembug desa untuk

mencari upaya penanggulangannya dengan memanfaatkan sumberdaya (potensi)

yang ada di desa. Selain itu Tim SKPG tingkat desa juga diharapkan menyusun dan

mengevaluasi secara berkala tentang hal-hal berikut:

a. Membuat daftar nama penerima bantuan berdasarkan urutan yang paling

membutuhkan.

b. Membangkitkan rasa kepedulian atau gotong royong masyarakat untuk mengatasi

masalah sesama warga desa.

c. Melaporkan kepada Camat setempat tentang semua permasalahan yang sudah

dan yang belum dapat diselesaikan oleh kepala desa dan warganya.

d. Mencari bantuan (dana, bibit, dll. sesuai kebutuhan) dari berbagai sumber di

dalam dan di luar desa (termasuk LSM).

e. Menilai keadaan kemampuan pemenuhan konsumsi pangan dan status gizi balita

secara berkesinambungan (terus menerus).

Tingkat Kecamatan

Informasi pangan dan gizi yang perlu diketahui oleh Camat/Ketua Tim Pangan

dan Gizi Kecamatan adalah :

1. Informasi keadaan gizi balita (SKDN) yang dapat diperoleh dari Puskesmas dan Puskesmas pembantu setiap bulan.

2. Jumlah ibu hamil/ ibu nifas yang kurang energi protein (KEK) dari Puskesmas dan Puskesmas pembantu.

3. Jumlah bayi berat lahir rendah dari bidan desa atau dukun bayi setiap saat.

Page 13: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

11

4. Jumlah keluarga miskin (Pra Sejahtera dan Sejahtera I) dari PPLKB secara berkala (setiap bulan).

5. Jumlah keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan makan/keluarganya sehari-hari dari Kepala Desa atau PPLKB, Bidan Desa/Puskesmas, LSM.

6. Luas lahan, luas kerusakan dan luas panen dari formulir 1a dan 1b dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan.

7. Jumlah penduduk atau keluarga yang ke luar desa mencari penghasilan alternatif pada waktu-waktu tertentu dari masing-masing kepala desa.

Informasi tersebut di gabungkan bawa ke dalam pertemuan rutin Tim Pangan

dan Gizi Kecamatan untuk dibahas guna pengambilan keputusan tentang situasi

pangan dan gizi di kecamatan serta alternatif tindakannya. Kesimpulan (informasi)

tersebut disampaikan dalam Rakorcam (pertemuan bulanan) bersama semua instansi

tingkat kecamatan dan semua kepala desa guna dimintakan taggapan serta

partisipasi penanggulangan masalah. Selanjutnya Tim perlu memformulasikan hasil

kajian tersebut untuk disampaikan kepada Bupati/Walikota, Bappeda dan DPRD

Kabupaten/Kota serta permohonan tanggapan utuk peningkatan kualitas laporan.

Selanjutnya Tim SKPG kecamatan juga perlu mengidentifikasi hal-hal berikut :

a. Membuat daftar nama desa dan warga penerima bantuan berdasarkan urutan yang paling membutuhkan

b. Membangkitkan rasa kepedulian atau gotong royong masyarakat utuk mengatasi masalah sesama warga

c. Menilai keadaan kemampuan pemenuhan konsumsi pangan dan status gizi masyarakat secara berkesinambungan disertai pencegahan (konfirmasi) ke lapangan

d. Mencari bantuan dari sumber lain di luar kecamatan, termasuk dari LSM

e. Melaporkan kepada Bupati/Ketua Tim Pangan dan Gizi Kabupaten/Kota setempat tentang semua permasalahan yang sudah dan yang belum dapat diselesaikan

f. Menyusun perencanaan yang lebih terarah berdasarkan informasi (kecenderungan/ ramalan) situasi pangan dan gizi.

Tingkat Kabupaten / Kota

Informasi pangan dan gizi yang harus diketahui oleh Bupati/Walikota/Ketua

Tim Pangan dan Gizi Kabupaten/Kota adalah:

Page 14: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

12

1. Informasi keadaan gizi balita (SKDN) yang dapat diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

2. Jumlah ibu hamil/ibu nifas yang kurang gizi (KEK) dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

3. Jumlah bayi berat lahir rendah dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

4. Jumlah keluarga miskin (Pra Sejahtera dan Sejahtera I) dari BKKBN secara berkala (setiap bulan)

5. Jumlah keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan makan keluargaya sehari-hari dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan BKKBN

6. Luas lahan, luas kerusakan dan luas panen dari formulir 1a dan 1b dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan

7. Produksi perikanan, peternakan dan perkebunan dari instansi yang berkompeten.

Informasi tersebut dibahas/dikaji oleh Tim Pangan dan Gizi Kabupaten/Kota

dalam pertemuan rutin (bulanan, 3 bulanan) guna pengambilan kesimpulan tentang

situasi pangan dan gizi di Kabupaten/Kota serta alternatif tindakannya. Kesimpulan

(informasi) tersebut disampaikan dalam pertemuan bulanan bersama semua instansi

tingkat Kabupaten/Kota dan semua Camat untuk mendapat tanggapan serta

partisipasi penanggulangan masalah. Selain itu berbagai informasi berikut juga perlu

disusun oleh Tim SKPG Kabupaten/Kota.

a. Menentukan besar dan luas masalah rawan pangan dan gizi yang harus ditanggulangi segera, jangka menengah dan jangka panjang.

b. Menentukan jenis intervensi yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis permasalahan.

c. Menghimpun dan mengkoordinasikan sumber dana/bantuan dari berbagai instansi serta mencari sumber bantuan dari masyarakat dan LSM.

d. Menyusun perencanaan yang lebih terarah berdasarkan informasi (kecenderungan/ramalan) situasi pangan dan gizi.

e. Mengupayakan kepastian haga pasar terhadap komoditi sumber penghasilan masyarakat desa.

Kasus Pelaksanaan SKPG di Provinsi D.I. Yogyakarta Pada era otonomi daerah, keragaan SKPG di masing-masing daerah (provinsi,

kabupaten) bervariasi tergantung pada apresiasi dan persepsi pimpinan daerah

Page 15: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

13

terhadap SKPG dalam kaitannya dengan pencapaian target atau sasaran

keberhasilan ketahanan pangan di masing-masing daerah, perubahan struktur

organisasi dalam tatalaksana pemerintahan, dan kesiapan aparatur daerah terhadap

pelaksanaan SKPG secara berkelanjutan. Hal ini setidaknya terbukti di dua provinsi

penelitian terdapat variasi kinerja pelaksanaan SKPG tersebut baik antar provinsi

maupun antar kabupaten.

Seperti diketahui bahwa desentralisasi pembangunan atau otonomi daerah

secara umum perubahan sistem pemerintahan yang berlaku adalah perubahan dari

dominasi pemerintah pusat menjadi dominasi pemerintahan di daerah khususnya

kewenangan yang cukup dominan diberikan pada pemerintahan tingkat

kabupaten/kota. Perubahan ini mempunyai dampak yang hampir sama dalam

pelaksanaan SKPG di provinsi penelitian yaitu:

(1) Perubahan struktur organisasi dan tatalaksana pemerintahan yang baru berdampak pada penyesuaian sistem pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan pelaksanaan SKPG. Hal ini terkait dengan perubahan personil pelaksana maupun pemahaman terhadap konsep dan pengertian SKPG dari pelaksana yang baru; dan

(2) Kewenangan Pemerintahan Kabupaten / Kota yang cukup besar berdampak pada adanya semacam ‘arogansi’ bahwa Pemerintahan Kabupaten / Kota bukan lagi aparat pelaksana di bawah Pemerintahan Provinsi. Hal ini berdampak terhadap kelancaran pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan SKPG dari masing-masing kabupaten/kota ke tingkat provinsi. Padahal dalam beberapa hal pengalokasian sumberdaya pembangunan yang terkait dengan upaya penanganan masalah rawan pangan sangat ditentukan oleh data dan informasi yang disampaikan oleh Pemerintahan Provinsi ke Pemerintahan Pusat tentang keragaan pelaksanaan SKPG atau penanganan masalah pangan dan gizi secara umum di masing-masing kabupaten/kota.

Di Provinsi D.I. Yogyakarta, pelaksanaan SKPG secara umum juga

menghadapi dua masalah utama seperti diuraikan di atas. Sampai saat pengumpulan

data dilakukan (bulan Mei–Juni 2002), pelaksanaan SKPG di wilayah ini belum

berjalan dengan baik. Artinya kelancaran pengumpulan data dan informasi pangan

dan gizi, analisis dan pengolahan data tersebut serta koordinasi lintas instansi atau

lintas sektor belum dapat dilaksanakan secara kontinyu dan berkesinambungan. Ada

semacam kevakuman pelaksanaan SKPG sekitar 2 (dua) tahun sejak tahun 2000

Page 16: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

14

sampai tahun 2002. Hal ini disebabkan pada tahun 2000 merupakan awal

pelaksanaan perubahan sistem pemerintahan yang mengarah pada pelaksanaan

otonomi daerah, tahun 2001 sampai awal 2002 masih merupakan tahap penyesuaian

sistem pemerintahan yang baru dan tatakerja serta pengisian personil dalam

pelaksanaan pemerintahan.

Terkait dengan upaya pemantapan ketahanan pangan daerah, pada tanggal 4

Februari 2002 dikeluarkan S K Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002

tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta.

Sebenarnya pada tahun 2001 telah dibentuk Dewan Bimbingan Massal Ketahanan

Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta berdasar Surat Keputusan Gubernur Nomor 155

Tahun 2001, namun dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor

132 Tahun 2001 tentang Dewan Ketahanan Pangan, maka SK Gubernur D.I.

Yogyakarta Nomor 155 Tahun 2001 tersebut disempurnakan dan dikeluarkan SK

Gubernur yang baru yaitu SK Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002

tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta.

Tujuan dibentuknya Dewan Ketahanan Provinsi D.I Yogyakarta seperti

tertuang dalam SK Nomor 11 Tahun 2002 tersebut adalah: (1) menciptakan

keterpaduan dan keserasian antar berbagai komponen masyarakat dan pemerintah

dalam penyelenggaraan pemantapan ketahanan pangan, dan (2) menciptakan

koordinasi fungsional yang konstruktif dan saling menguntungkan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten / Kota.

Sesuai dengan mandat yang diberikan, Dewan Ketahanan Pangan Provinsi

(Dewan) kedudukannya sebagai lembaga non struktural yang dipimpin oleh seorang

Ketua. Dalam melaksanakan tugasnya Dewan bertanggung jawab kepada Gubernur.

Fungsi dari Dewan adalah sebagai pelaksana koordinasi dan perumusan

kebijaksanaan di bidang ketahanan pangan yang meliputi pertanian tanaman pangan,

peternakan, perkebunan/kehutanan, dan pangan lainnya, kewenangan sebagai

koordinasi dengan instansi terkait, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten / Kota.

Terkait dengan fungsi tersebut maka tugas yang diamanatkan kepada Dewan adalah:

(1) melakukan koordinasi perumusan kebijakan di bidang pemantapan ketahanan

pangan provinsi yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, konsumsi, keamanan

Page 17: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

15

pangan, kekurangan/kerawanan pangan, dan (2) melakukan evaluasi dan

pengendalian pemantapan ketahanan pangan provinsi.

Dalam melaksanakan fungsi dan tugas yang diamanatkan, sesuai SK

Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002 Ketua Organisasi Dewan Ketahanan

Pangan Provinsi adalah Gubernur D.I. Yogyakarta yang dalam pelaksanaan tugas

sehari-hari diketuai oleh Asisten Ekonomi Pembangunan Sekretaris Daerah Provinsi

D.I. Yogyakarta sebagai Ketua Harian dibantu oleh Kepala Dinas Pertanian Provinsi

D.I. Yogyakarta sebagai Wakil Ketua Harian. Sekretaris merangkap anggota Dewan

adalah Kepala Sub Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Pertanian Provinsi D.I.

Yogyakarta. Sementara itu berbagai instansi dan lembaga yang tergabung dalam

Dewan atau berstatus sebagai anggota Dewan adalah semua instansi dan organisasi

terkait tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta.

Anggota Dewan lingkup Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta tersebut

adalah: Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Kepala Badan Statistik,

Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan, Perguruan Tinggi di D.I. Yogyakarta,

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Kepala Badan Pengembangan

Perekonomian dan Investasi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Kepala

Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kepala

Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kepala Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan

Sosial, Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah, Kepala Dinas

Perhubungan, Kepala Dolog, Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah, Kepala Biro

Hukum Sekretariat Daerah, dan Kepala Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah

Provinsi D.I. Yogyakarta.

Dalam melaksanakan tugasnya Ketua harian Dewan dapat membentuk

Kelompok Kerja yang terdiri dari para ahli dan pejabat yang berkaitan dengan

penyelenggaraan ketahanan pangan. Selain itu untuk kelancaran pelaksanaan

tugasnya Ketua Dewan dapat mengundang pihak tertentu atau unsur-unsur lain yang

terkait untuk hadir dalam pertemuan Dewan dan mengikutsertakannya dalam upaya

pemantapan ketahanan pangan Provinsi D.I. Yogyakarta.

Dalam tatakerja Dewan Ketahanan Pangan Provinsi dirumuskan bahwa

Dewan mengadakan rapat-rapat pleno yang dipimpin oleh Ketua atau Ketua Harian

secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun dan sewaktu-waktu

Page 18: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

16

sesuai dengan keperluan. Laporan pelaksanaan tugas Dewan wajib disampaikan

kepada Gubernur secara berkala dan sewaktu-waktu sesuai dengan keperluan.

Selain itu ditegaskan pula dalam SK Gubernur bahwa setiap satuan organisasi di

lingkungan Dewan dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip

koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik di lingkungan instansi masing-masing

maupun antar organisasi di dalam dan di luar Dewan. Pembiayaan pelaksanaan

tugas Dewan tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta sumber-sumber

dana lain.

Menyimak apa yang tersurat dan tersirat di dalam Surat Keputusan Gubernur

D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002 tersebut maka pelaksanaan kebijakan

pemantapan ketahanan pangan di Provinsi D.I. Yogyakarta sudah jelas diatur

lembaga atau instansi yang terlibat, tugas dan tanggung jawab masing-masing

instansi serta tatakerja dalam melaksanakan tugas dan fungsi maupun kewajiban

Dewan dalam pelaksanaan tugas telah dirumuskan dengan jelas dalam dokumen

Surat Keputusan tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh mandat

tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.

Kinerja pelaksanaan kebijakan pemantapan ketahanan pangan daerah sangat

dipengaruhi setidaknya oleh dua faktor berikut:

(1) kesiapan aparat dalam mengapresiasi, memahami, serta mengaktualisasikan

tugas dan fungsi yang teramanatkan dalam SK tersebut dalam kegiatan konkrit

yang terkait upaya pemantapan ketahanan pangan diselaraskan dengan tugas

dan fungsi di masing-masing instansi,

(2) koordinasi, integrasi dan sinkronisasi lintas organisasi/institusi tentang fungsi,

tugas, kewajiban dan tanggungjawab seringkali menjadi alasan klise kekurang

berhasilan kinerja pembangunan di berbagai aspek. Oleh karena itu koordinasi

seringkali mudah diucapkan tetapi dalam pelaksanaan operasional yang terkait

dengan tugas dan fungsi sektoral sulit dilaksanakan merupakan faktor kunci

dalam menunjang kinerja pemantapan ketahanan pangan di D.I. Yogyakarta.

Selain itu selaras dengan paradigma baru dalam mewujudkan ketahanan

pangan nasional, daerah, maupun rumahtangga/individu, maka peranserta dan

Page 19: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

17

partisipasi masyarakat dalam kegiatan yang terkait dengan upaya pemantapan

ketahanan pangan perlu dikembangkan dan diperluas cakupan aktivitasnya.

Beberapa peran yang dapat dilakukan masyarakat dalam upaya perwujudan

ketahanan pangan antara lain adalah: (1) pemberdayaan kelembagaan dasawisma di

lingkungan tempat tinggal dalam memantau dan melaporkan kejadian kurang pangan

di masyarakat sekitar kepada pihak pengambil keputusan terdekat merupakan faktor

kunci terdeteksinya secara dini kasus kerawanan pangan di tingkat rumahtangga, (2)

kepedulian sosial masyarakat sekitar terhadap tetangga yang mengalami kekurangan

pangan dengan cara membantu mengatasi dan memenuhi pangan yang dibutuhkan

merupakan bentuk pemantapan ketahanan pangan masyarakat secara swadaya atau

mandiri tanpa menggantungkan bantuan dan uluran tangan pemerintah, dan (3)

partisipasi dan peran masyarakat terhadap terlaksananya berbagai program

pemantapan ketahanan pangan yang dilaksanakan pemerintah merupakan faktor

kunci keberhasilan perwujudan ketahanan pangan.

Di D.I Yogyakarta, lembaga struktural pemerintah yang mendapat tugas dan

fungsi sebagai pelaksana kebijakan ketahanan pangan di tingkat daerah diamanatkan

pada Dinas Pertanian Provinsi D.I. Yogyakarta, tepatnya pada Sub Dinas Ketahanan

Pangan. Walaupun kelembagaan Sub Dinas Ketahanan Pangan tidak merupakan

organisasi tersendiri tetapi bernaung dalam struktur Dinas Pertanian Provinsi, namun

dalam lembaga non struktural pemantapan ketahanan pangan yaitu dalam Dewan

Ketahanan Pangan Provinsi Kepala Sub Dinas Ketahanan Pangan menjadi Sekretaris

Dewan (merangkap Anggota). Peran tersebut dapat diaktualisasikan dalam

merumuskan kebijakan pemantapan ketahanan pangan daerah. Hal ini dapat

dilakukan mengingat tugas Dewan Ketahanan Pangan Provinsi adalah (1) melakukan

koordinasi perumusan kebijakan di bidang pemantapan ketahanan pangan Provinsi

yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, konsumsi, keamanan pangan,

kekurangan/kerawanan pangan, dan (2) melakukan evaluasi dan pengendalian

pemantapan ketahanan pangan provinsi. Oleh karena itu dalam melaksanakan

kebijakan pemantapan ketahanan pangan daerah, pejabat yang menduduki jabatan

Kepala Sub Dinas Ketahanan Pangan sekaligus dapat memberikan umpan balik pada

perumusan kebijakan di saat yang bersangkutan berperan sebagai Sekretaris Dewan

Ketahanan Pangan Provinsi. Hal ini apabila dapat dijalankan sesuai dengan amanat

yang tertuang dalam SK Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2002 maka

Page 20: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

18

perwujudan ketahanan pangan di D.I Yogyakarta secara mantap dan

berkesinambungan dapat dicapai.

Kasus Pelaksanaan SKPG di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Berbeda dengan kondisi di Provinsi D.I. Yogyakarta, lembaga struktural yang

menjalankan tugas dan fungsi pelaksana kebijakan pemantapan ketahanan pangan

daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berada pada Badan Bimas

Ketahanan Pangan Provinsi (BBKPP). Keberadaan BBKPP sebagai lembaga

struktural yang relatif baru di tingkat Pemerintah Daerah Provinsi NTT melalui

reorganisasi personal dan jabatan membawa konsekuensi positif dan negatif dalam

pelaksanaan pamantapan ketahanan pangan daerah khususnya terhadap pelaksaaan

program dan kegiatan SKPG. Dampak positif antara lain adalah dengan adanya

lembaga khusus yang menangani masalah ketahanan pangan daerah maka

pelaksanaan kooordinasi, integrasi dan sinkronisasi kebijakan pangan dan gizi dapat

dilaksanakan secara lebih fokus. Namun dalam pelaksanaan kegiatan tersebut

karena BBKPP merupakan lembaga struktural yang baru maka penyesuaian personal,

tatakerja dan pemahaman terhadap tugas dan fungsi yang diamanatkan pada

lembaga ini memerlukan waktu dan proses yang bertahap. Hal ini merupakan salah

satu dampak negatif dari dibentuknya lembaga baru dalam sistem pemerintahan.

Berdasar informasi dari Kepala BBKPP dan Kepala Dinas Pertanian Tanaman

Pangan dan Hortikultura Provinsi NTT, efektifitas lembaga BBKPP dalam

menjalankan tugas dan fungsinya dalam pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan

di daerah masih relatif kurang. Hal ini antara lain adalah karena (1) sosialisasi

tentang keberadaan, peran, dan bidang tugas lembaga tersebut kepada seluruh Dinas

/Instansi terkait baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota memerlukan waktu

yang cukup lama, (2) pemahaman dan aktualisasi para pejabat dan pelaksana

kebijakan di tingkat BBKPP sendiri memerlukan proses serta waktu yang tidak

singkat. Sebagai contoh dalam pelaksanaan SKPG yang merupakan salah program

dan kegiatan dari pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan daerah selama 2

(dua) tahun ini relatif vakum. Kevakuman ini antara lain karena pembagian tugas dan

wewenang dari berbagai instansi yang terkait langsung maupun tidak langsung belum

dapat dikoordinasikan dan disinkronkan secara baik.

Page 21: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

19

Sebagai salah satu kasus kekurang efektifan pelaksanaan kegiatan SKPG di

provinsi NTT antara lain terlihat di Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Semula Dinas

Kesehatan sebagai leading sector dalam pelaksanaan SKPG di Provinsi NTT, maka

sejak digulirkannya otonomi daerah dan diwujudkannya berbagai perubahan struktur

organisasi pemerintahan di daerah maka pelaksanaan pengumpulan data dan

informasi mengenai pangan dan gizi secara berkala dan berkesinambungan tidak lagi

dapat diwujudkan dengan baik. Hal ini terjadi antara lain karena dipindahkannya

petugas yang sudah terlatih pada kegiatan lain sementara pemegang tugas baru

belum memahami secara baik terhadap tugas dan tanggung jawab yang diembannya.

Selain itu dalam struktur yang baru, petugas yang dilibatkan untuk menganalisis data

status gizi adalah bagian gizi, padahal data tersebut ada di bagian pemantauan

penyakit. Keadaan tersebut juga dapat berdampak pada kinerja SKPG.

Permasalahan kekurang efektifan pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan

pemantapan ketahanan pangan di Provinsi NTT juga dirasakan oleh BBKPP.

Sebagai lembaga baru berbagai penyesuaian organisasi, tatakerja dan personal yang

terlibat dalam pelaksanaan kegiatan SKPG juga masih dirasakan belum efektif.

Kewenangan BBKPP sebagai lembaga khusus di daerah yang bertanggung jawab

terhadap pelaksanaan tugas perwujudan ketahanan pangan secara mantap di

Provinsi NTT belum didukung oleh sarana dan ketetapan yuridis dalam merumuskan

kebijakan ketahanan pangan daerah. Sampai saat pengumpulan data dan informasi

di Provinsi NTT dilakukan ( Juni-Juli 2002) SK Gubernur NTT tentang pembentukan

Dewan Ketahanan Pangan Provinsi NTT belum dapat diperoleh. Belajar dari

pengalaman memahami SK Gubernur D.I. Yogyakarta tentang pembentukan Dewan

Ketahanan Pangan D.I. Yogyakarta, maka dikeluarkannya Surat Keputusan serta

dijalankannya secara konsisten dari apa yang tersurat dan tersirat dalam SK

pembentukan Dewan Ketahanan Pangan Daerah oleh semua unsur yang terlibat

merupakan salah satu instrumen penting bagi terwujudnya ketahanan pangan di

daerah.

Keberadaan lembaga BBKPP di NTT merupakan salah satu modal dasar yang

dapat diberdayakan untuk mewujudkan ketahanan pangan di daerah ini. Peran

lembaga BBKPP dapat dimaksimalkan baik dalam perumusan kebijakan pemantapan

ketahanan pangan (terkait dengan peran Ketua BBKPP dalam Dewan Ketahanan

Page 22: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

20

Pangan Provinsi) maupun Ketua BBKPP sebagai penanggung jawab institusi

pelaksana kebijakan tersebut terkait dengan tugas dan mandatnya dalam BBKPP.

KESIMPULAN DAN SARAN

Perubahan dari dominasi pemerintah pusat menjadi dominasi pemerintah

daerah khususnya tingkat kabupaten/kota dalam pelaksanaan otonomi daerah

membawa konsekuensi dalam pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan di

daerah. Perubahan ini secara umum mempunyai dampak yang hampir sama dalam

pelaksanaan SKPG di dua provinsi penelitian yaitu: (1) Perubahan struktur organisasi

dan tatalaksana pemerintahan yang baru, berdampak pada penyesuaian sistem

pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan pelaksanaan SKPG. Hal ini

terkait dengan perubahan personil, sehingga masih diperlukan pemahaman terhadap

konsep dan pengertian SKPG untuk pelaksana yang baru; dan (2) Kewenangan

Pemerintahan Kabupaten/Kota yang besar berdampak pada adanya semacam

‘arogansi’ bahwa Pemerintahan Kabupaten/Kota bukan lagi aparat pelaksana di

bawah Pemerintahan Provinsi. Hal ini berdampak terhadap kelancaran pengumpulan

data dan informasi yang terkait dengan SKPG dari masing-masing kabupaten/kota ke

tingkat provinsi. Dalam beberapa hal, pengalokasian sumberdaya pembangunan yang

terkait dengan upaya penanganan masalah rawan pangan sangat ditentukan oleh

data dan informasi yang disampaikan oleh Pemerintahan Provinsi ke Pemerintahan

Pusat. Oleh karena itu pemahaman dan apresiasi serta aktualisasi dari semua aparat

terhadap tugas dan wewenang masing-masing sesuai aturan yang telah disepakati

merupakan kunci keberhasilan pemantapan ketahanan pangan.

Pada era otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, Pemerintah Pusat

dan Provinsi perlu membatasi perannya sesuai dengan peraturan yang berlaku,

khususnya pada urusan-urusan yang bersifat lintas daerah, serta membantu

Pemerintah Daerah (Kabupaten) sesuai permintaan. Dalam hal ini, Pemerintah

Kabupaten/Kota melaksanakan perannya sesuai kewenangan otonomnya, namun

tetap dalam kerangka sistem yang lebih luas. Setiap kebijakan yang dirumuskan

Pemerintah Kabupaten/Kota perlu mempertimbangkan keterkaitan timbal baliknya

dengan kebijakan di tingkat lokal, regional, nasional bahkan global.

Page 23: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

21

Dengan adanya krisis ekonomi, perubahan struktur departemen dan otonomi

daerah telah berdampak pada kinerja SKPG. Walaupun dilakukan revitalisasi SKPG,

namun pelaksanaan SKPG di daerah masih belum berjalan dengan baik karena

masih mencari format baik dalam hal struktur organisasi maupun penggandaan jenis

indikator yang digunakan terutama untuk indikator bidang pertanian. Selain itu

terdapat dualisme kegiatan SKPG, yaitu SKPG dengan “leading sector” Departemen

Kesehatan dan SKPG dengan “leading sector” Departemen Pertanian/Badan Bimas

Ketahanan pangan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah baik di tingkat Pusat

maupun Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) antara lain adalah: (1) peran sebagai

fasilitator atau memfasilitasi dengan menciptakan situasi yang kondusif bagi

pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan merupakan kunci utama dalam

pelaksanaan pemantapan ketahanan pangan di era desentralisasi pembangunan, (2)

ruang gerak dan peran aktif swasta serta masyarakat luas perlu dibuka lebar dengan

memberikan kebebasan dalam berkiprah di bidang pemantapan ketahanan pangan.

Namun demikian kebebasan tersebut masih terbingkai oleh acuan kebijakan nasional

terutama untuk jenis pangan strategis, dan (3) mengingat masalah pemantapan

ketahanan pangan merupakan hal kompleks yang melibatkan lintas instansi/lintas

sektor/dan lintas wilayah, maka koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar

instansi/antar sektor/dan antar wilayah menjadi kunci keberhasilan pemantapan

ketahanan pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2000. Situasi Pangan dan Gizi di Indonesia. Tim Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat. Jakarta.

Anonimous. 2001. Petunjuk Teknis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Anonimous. 2001. Bahan Raker Kerja. Departemen Pertanian dan DPR. Jakarta.

Anonimous. 2001. Paradigma Baru Ketahanan Pangan. Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta.

Ariani, M, H.P. Saliem, S.H. Suhartini, Wahida dan H. Supriadi. 2000. Analisis Kebijaksanaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Departemen Kesehatan 2001. Bahan Capacity Building Daerah. Departemen Kesehatan. R. I. Jakarta.

Page 24: ICASERD WORKING PAPER No - …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_63_2004.pdfmengambil kasus pelaksanaan sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Provinsi D.I. Yogyakarta

22

Irawan, P.B. dan H. Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya untuk Strategi Pembangunan. WKNPG, LIPI. Jakarta.

Saliem, H.P., E.M. Lokollo, M. Ariani, T.B. Purwantini, dan Y. Marisa. 2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Laporan Penelitian Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security : The Need for A New Paradigm. Paper Presented on International Seminar on Agricultural Sector During the Turbulence of Economic Crisis : Lessons and Future Direction. CASER.

Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan No.21 Vol. V. Bulog, Jakarta.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen. Pendidikan Tinggi dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.

Suhardjo dan M. Khumaidi. 1992. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.