ICASERD WORKING PAPER No. 48
AKSESIBILITAS PETANI TERHADAP SUMBER PERMODALAN (Kasus Petani Padi Sawah dan Hortikultura di Jawa Barat & Nusa Tenggara Barat) Supadi dan Mat Syukur
Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 48
AKSESIBILITAS PETANI TERHADAP SUMBER PERMODALAN (Kasus Petani Padi Sawah dan Hortikultura di Jawa Barat & Nusa Tenggara Barat) Supadi dan Mat Syukur
Maret 2004
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari, M. Rahmat Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]
No. Dok.057.48.02.04
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
1
AKSESIBILITAS PETANI TERHADAP SUMBER PERMODALAN (Kasus Petani Padi Sawah dan Hortikultura
di Jawa Barat & Nusa Tenggara Barat)
Supadi dan Mat Syukur
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK Pada sektor pertanian primer, akses petani terhadap lembaga kredit formal seperti perbankan masih sangat rendah. Keterbatasan kepemilikan agunan masih menjadi kendala utama petani untuk akses pada sumber kredit formal. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui keragaan sumber permodalan, aksesibilitas petani terhadap sumber permodalan (formal/informal), intensitas hubungan dan efektivitas pemanfaatan modal. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah survei. Petani responden dibedakan menurut komoditas yaitu hortikultura dan padi sawah masing-masing 29 orang dan 28 orang di Jawa Barat dan 24 orang dan 36 orang di Nusa Tenggara Barat, yang diambil secara acak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BRI merupakan bank yang banyak diakses petani, sedangkan lembaga non-perbankan yang banyak diakses petani adalah koperasi (di Jawa Barat) dan pegadaian (di Nusa Tenggara Barat). Akses petani padi sawah terhadap kredit formal lebih tinggi dibandingkan petani hortikultura, sedangkan petani hortikultura lebih akses ke sumber informal (pedagang output/input). Tingginya akses petani padi terhadap lembaga formal karena berhasilnya mendapatkan kredit program secara berkelanjutan. Pada umumnya pinjaman digunakan untuk keperluan budidaya. Dalam penggunaan modal, petani Jawa Barat lebih efektif dibandingkan petani Nusa Tenggara Barat. Kata kunci : akses petani, padi sawah, hortikultura, kredit formal, kredit informal.
PENDAHULUAN Berbicara mengenai masalah permodalan dalam pertanian tidak bisa lepas dari
masalah kredit, karena kredit tidak lain adalah modal pertanian yang diperoleh dari
pinjaman (Mubyarto, 1977). Kredit adalah alat untuk membantu pembentukan modal.
Memang ada petani yang dapat memenuhi semua kebutuhan modalnya dari kekayaan
yang dimilikinya, bahkan petani kaya dapat meminjamkan modal kepada petani lain yang
membutuhkan. Secara ekonomi, modal pertanian dapat berasal dari milik sendiri atau
pinjaman dari luar. Modal yang berasal dari luar usahatani biasanya merupakan kredit.
Kredit pertanian adalah pinjaman yang diterima oleh petani dan secara langsung
digunakan untuk keperluan usahatani dan atau untuk konsumsi dalam rumah
tangga.Secara garis besar sumber kredit pertanian dapat dikelompokkan menjadi empat
kelompok yaitu (1) pemilik usaha (modal sendiri), (2) kredit formal, (3) kredit informal, dan
(4) kemitrausahaan (Manurung, 1998).
2
Kredit formal dapat dibagi menjadi kredit program dan kredit non-program (kredit
komersial). Kredit program umumnya bersifat sektoral untuk mencapai sasaran yang
diinginkan, misalnya KUT (sekarang diganti dengan KKP). Contoh kelembagaan kredit
formal antara lain bank, koperasi dan pegadaian. Kelembagaan kredit informal pada
umumnya tidak memerlukan persyaratan yang rumit seperti agunan dan persyaratan
lainnya. Hubungan antara peminjam dengan pihak yang meminjamkan hanya didasarkan
pada sikap saling mempercayai satu sama lain. Contoh sumber kredit informal
saudara/kenalan, pedagang, pelepas uang dan lain-lain. Di dalam pasar kredit pedesaan
tersebut terjadi segmentasi pasar, karena dua kategori kredit yang menjadi sumber
modal masyarakat pedesaan tersebut masing-masing memiliki karakteristik yang khas.
Penerapan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas usahatani
bukan hanya membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga modal untuk
membeli input yang dibutuhkan. Faktor modal memegang peranan penting yang
dipertimbangkan petani sebelum melakukan usahatani (Hermanto, 1992). Modal
diperlukan terutama untuk pengadaan sarana produksi (benih/bibit, pupuk dan pestisida)
yang dirasakan petani semakin mahal harganya.
Sumber dana yang berasal dari rumah tangga petani sering dipandang tidak
cukup untuk membiayai peningkatan usahataninya, karena pada umumnya rumah
tangga petani di Indonesia adalah petani kecil dan bermodal lemah. Menurut Mudlak
(1988), perkembangan sektor pertanian tidak mungkin terjadi tanpa akumulasi modal.
Perubahan teknologi pertanian sebagai pemacu pertumbuhan sektor pertanian dalam arti
luas akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan modal.
Pada umumnya masalah yang dihadapi sebagian besar petani (terutama petani
kecil) adalah tidak sanggup membiayai usahataninya dengan biaya sendiri. Hermanto
dan Syukur (1994) melaporkan bahwa di Jawa Barat sekitar 53 persen petani tidak
mampu berswadana dalam usahataninya. Sementara itu Syukur et al., (1999) yang
melakukan kajian kasus petani program IP-300 di Kabupaten Cianjur mengemukakan
bahwa selama periode 1993-1998 lebih dari 90 persen petani mengandalkan modal
swadana.
Penyaluran kredit pertanian (formal) di Indonesia telah lama mendapat perhatian
dalam rangka peningkatan produksi dan pendapatan petani. Namun ketersediaan
maupun akses petani kepada sumber modal tersebut masih merupakan salah satu
kendala yang dihadapi dalam upaya memacu pengembangan usahatani.
3
Berbagai masalah yang dihadapi petani selama ini dalam mendapatkan modal
yang berasal dari lembaga keuangan formal, memaksa mereka berpaling untuk
memanfaatkan kredit informal. Pada umumnya kredit informal untuk sektor pertanian
tersedia melalui pedagang (input/output), pelepas uang dan lainnya. Sistem pinjam-
meminjam ini tidak terlepas dari pola hubungan kerja dan kerja sama petani dengan
pemilik modal.
Modal adalah salah satu faktor penting untuk meningkatkan produktivitas usaha.
Bahkan pemerataan akses pada modal (kredit) bagi semua golongan masyarakat
diyakini sebagai salah satu alternatif untuk pemerataan pendapatan (Yunus, 1981). Hal
ini didasarkan pada pemikiran bahwa dengan modal (kredit) seseorang dapat
mengoptimalkan sumberdaya yang ada pada dirinya untuk meningkatkan keuntungan
usahanya yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
keluarganya.
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis akses petani terhadap sumber
permodalan dalam bentuk kredit dengan mengambil kasus petani padi sawah dan
hortikultura di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Jawa Barat mewakili wilayah
dengan tingkat perkembangan agribisnis yang sudah berkembang dan Nusa Tenggara
Barat mewakili wilayah dengan tingkat perkembangan agribisnis yang belum
berkembang.
METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei. Kegiatan ini
merupakan bagian dari Studi Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Agribisnis dan
Agroindustri di Pedesaan yang dilaksanakan oleh Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian
pada tahun 2002.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui keragaman sumber permodalan dan
aksesibilitas petani terhadap sumber permodalan baik yang berasal dari kredit formal
maupun informal, intensitas hubungan dan juga efektivitas penggunaan modal. Petani
responden dibedakan menurut komoditas yang diusahakan yaitu petani hortikultura dan
petani padi sawah. Di Jawa Barat terpilih Kabupaten Bandung (hortikultura) dan Subang
(padi sawah). Sedangkan di Nusa Tenggara Barat Kabupaten Lombok Timur
(hortikultura) dan Lombok Tengah (padi sawah). Penelitian difokuskan pada daerah
sentra produksi, sehingga dalam hal ini modal sangat dibutuhkan untuk kelangsungan
maupun pengembangan usahanya.
4
Data yang dikumpulkan terutama berasal dari data primer yang diperoleh melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah responden di masing-
masing lokasi adalah 28 orang petani padi sawah dan 29 petani hortikultura (Jawa Barat)
dan 24 orang petani padi sawah dan petani hortikultura 36 orang petani hortikultura
(Nusa Tenggara Barat) yang diambil secara acak. Data sekunder diperoleh dari sejumlah
dinas dan instansi terkait seperti BPS, Dinas Pertanian, dan lain-lain di tingkat kabupaten
dan provinsi.Analisis dilakukan secara deskriptif auditik. Data disajikan dengan
menampilkan tabulasi tunggal dan silang terhadap persoalan yang dianalisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Pertanian di Daerah Penelitian Jawa Barat
Di Jawa Barat, Kabupaten Bandung merupakan daerah pertanian yang
mengusahakan komoditas hortikultura dan Kabupaten Subang sebagai daerah dengan
komoditas padi. Pada tahun 2000 sektor pertanian di Jawa Barat masih merupakan
sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Sektor ini menjadi lapangan kerja
utama bagi 26,29 persen penduduk usia produktif. Dalam sektor pertanian, subsektor
tanaman pangan merupakan kontributor utama. Sumbangan subsektor ini mencapai
74,74 persen dari total sumbangan sektor pertanian dalam struktur Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB).
Padi hingga kini masih merupakan salah satu komoditas andalan bagi Kabupaten
Subang. Kabupaten ini memiliki areal sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah
Kabupaten Karawang dan Indramayu. Keragaan luas tanam dan produksi beberapa
komoditas tanaman pangan di dua kabupaten penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Beberapa Komoditas Pangan Utama di Kabupaten Bandung dan Subang, 2000
Bandung Subang Jawa Barat Komoditas Luas panen
Ha (%) Produksi Ton (%)
Luas panen Ha (%)
Produksi Ton (%)
Luas panen Ha (%)
Produksi Ton (%)
1. Padi sawah
2. Jagung 3. Kedelai
111.009 (6,48) 12.551 (9,69) 1.954 (4,68)
556.854 (6,27) 43.826 (11,27) 2.186 (4,32)
155.994 (9,10) 1.796 (1,39) 141
(0,34)
846.293 (9,53) 4.630 (1,19) 181
(0,36)
1.714.244 (100)
129.573 (100)
41.740 (100)
8.879.388 (100)
388.781 (100)
50.544 (100)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2001 dan BPS Kabupaten Subang, 2001 (diolah)
5
Dari Tabel 1 terlihat bahwa kontribusi Kabupaten Bandung terhadap produksi
padi, jagung dan kedelai di Provinsi Jawa Barat masing-masing sebesar 6,27 persen,
11,27 persen dan 4,32 persen. Sementara kontribusi Kabupaten Subang untuk ketiga
komoditas pangan tersebut masing-masing sebesar 9,53 persen, 1,19 persen dan 0,36
persen.
Tabel 2. Luas Panen dan Produksi Beberapa Komoditas Hortikultura di Kabupaten Bandung dan Subang, 2000
Bandung Subang Jawa Barat Komoditas Luas panen
Ha (%) Produksi Ton (%)
Luas panen Ha (%)
Produksi Ton (%)
Luas panen Ha (%)
Produksi Ton (%)
1. Cabai 2. Bawang
merah 3. Bawang
putih 4. Kentang 5. Wortel
3.792 (17,21) 3.655
(27,66) 119
(55,61) 21.368 (74,47) 1.567
(23,48)
21.510 (6,02) 28.784 (28,76) 1.131
(54,43) 366.714 (71,91) 21.136 (18,41)
671 (3,04)
2 (0,02)
1 (0,47) 234
(0,81) 3
(0,04)
2.916 (0,81)
8 (0,01)
8 (0,38) 5.982 (1,17)
25 (0,02)
22.035 (100)
13.212 (100) 214
(100) 28.695 (100) 6.675 (100)
357.565 (100)
100.077 (100) 2.078 (100)
509.972 (100)
114.784 (100)
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2001 dan BPS Kabupaten Subang, 2001 (diolah)
Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah sentra produksi komoditas
hortikultura yang cukup penting di Jawa Barat. Tercatat sebanyak kurang lebih 18 jenis
komoditas sayuran diusahakan di Kabupaten Bandung yang memberikan kontribusi
mulai dari dua persen hingga 72 persen terhadap produksi sayuran Jawa Barat.
Keragaan luas panen dan produksi beberapa komoditas hortikultura disajikan pada
Tabel 2.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa Kabupaten Subang tidak memiliki keunggulan
komparatif dalam hal tanaman sayuran. Sementara itu Kabupaten Bandung relatif
memiliki keunggulan komparatif, terutama untuk komoditas kentang.
Nusa Tenggara Barat
Seperti halnya di Jawa Barat, sektor pertanian masih menjadi kontributor utama
dalam struktur PDRB Propinsi Nusa Tenggara Barat. Kontribusinya pada tahun 1999
mencapai 26,76 persen dari nilai total PDRB Propinsi Nusa Tenggara Barat.. Untuk
Kabupaten Lombok Tengah (komoditas padi) dan Kabupaten Lombok Timur (komoditas
hortikultura), kontribusi sektor pertanian di kedua kabupaten ini masing-masing sekitar 38
persen dan 40 persen dari nilai total PDRB.
6
Subsektor tanaman pangan khususnya padi merupakan kontributor utama bagi
Kabupaten Lombok Tengah. Sementara itu dominasi produksi tanaman sayuran dimiliki
oleh Kabupaten Lombok Timur. Keragaman luas panen dan produksi beberapa
komoditas tanaman pangan dan hortikultura di dua kabupaten tersebut disajikan pada
Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Luas panen dan produksi Komoditas pangan utama Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 2000
Lombok Timur Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat Komoditas Luas Panen
Ha (%) Produksi Ton (%)
Luas Panen Ha (%)
Produksi Ton (%)
Luas Panen Ha (%)
Produksi Ton (%)
Padi Sawah 54228 256649 74896 332431 30003 1394627 (23.84) (18.40) (24.96) (23.84) (100) (100) Jagung 7336 15804 2597 4736 31948 66563 (22.96) (23.74) (8.13) (7.12) (100) (100) Kedelai 772 771 24201 27187 66919 73765 (1.15) (1.04) (36.16) (26.86) (100) (100)
Sumber: BPS Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2001 (diolah)
Tabel 4. Luas panen dan produksi Beberapa Komoditas Tanaman Hortikultura di Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 2000
Lombok Timur Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat Komoditas Luas Panen
Ha (%) Produksi Ton (%)
Luas Panen Ha (%)
Produksi Ton (%)
Luas Panen Ha (%)
Produksi Ton (%)
Cabai 23900 35850 875 1750 38932 50449 (61.79) (71.06) (2.25) (3.47) (100) (100) B. merah 992 9020 ─ ─ 4663 40346 (21.27) (22.36) ─ ─ (100) (100) B. putih 601 3134 ─ ─ 838 4940 (71.72) (63.44) ─ ─ (100) (100)
Sumber: BPS Propinsi Nusa Tenggara Barat (diolah)
Dari Tabel 3 dan 4 terlihat secara keseluruhan kontribusi Kabupaten Lombok
Tengah terhadap produksi tanaman pangan relatif lebih tinggi dibandingkan Kabupaten
Lombok Timur khususnya padi dan kedelai. Sebaliknya Kabupaten Lombok Timur relatif
memiliki keunggulan komparatif, untuk komoditas hortikultura.
Keragaan Pembiayaan Usahatani Jawa Barat
Kinerja Skim KUT di Provinsi Jawa Barat selama tahun pertanaman (TP) 1995/96
sampai dengan TP 1999/2000 relatif kurang baik. Posisi kredit per Desember 2001
(Tabel 3) menunjukkan akumulasi tunggakan selama periode tersebut mencapai Rp 1,86
trilyun atau 76,15 persen dari akumulasi penyaluran senilai Rp 2,45 trilyun.
7
Tabel 5. Kinerja Skim KUT di Provinsi Jawa Barat TP 1995/1996 -TP 1999/2000
Tunggakan Tahun penyaluran
Realisasi (Rp juta) Rp (juta) %
1. TP 1996/96 2. TP 1996/97 3. TP 1997/98 4. TP 1998/99 5. TP 1999/00
45.353,95 25.878,87 52.234,04 2.038.798,81 286.588,62
12.500,89 4.307,56 8.352,74
1.576.946,86 262.588,65
27,56 16,65 15,99 77,35 91,63
Jumlah 2.448.854,29 1.864.696,70 76,15
Sumber: Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Barat, 2001.
Pada periode TP 1995/96-TP1997/98 kinerja pengembalian KUT relatif baik,
dengan tunggakan hanya sekitar 20 persen (15,99%-27,56%). Namun sejak 1998/99,
pada waktu itu terjadi perubahan kebijakan pemerintah dengan menaikkan plafond KUT
sangat besar dan juga didorong oleh upaya peningkatan produksi padi dan upaya
meredam dampak krisis pada sektor pertanian. Kebijakan ini ternyata berakibat
meningkatnya tunggakan kredit. Salah satu penyebab tingginya tunggakan kredit antara
lain karena penyaluran kredit yang salah sasaran.
Nusa Tenggara Barat
Akumulasi penyaluran kredit usahatani (KUT) di Nusa Tenggara Barat selama TP
95/96 relatif kurang baik. Posisi kredit per Maret 2002 menunjukkan bahwa sisa kredit
yang belum terlunasi mencapai kurang lebih Rp 102 milyar 60, 28 persen (Pada periode
TP 95/96-TP 97/98 kinerja pengembalian KUT relatif baik, dengan tunggakan sekitar
22 persen. Namun sejak 1998/99 sejalan dengan terjadinya pembiayaan massal atau
peningkatan penyaluran yang meningkat lebih dari 800 persen, persentase tunggakan
mulai meningkat tajam (Tabel 6).
Tabel 6. Kinerja Skim KUT di Propinsi Nusa Tenggara Barat TP 1995/1996–TP 1999/2000.
Tunggakan Tahun penyaluran Realisasi (Rp juta) (Rp juta) (%) 1. TP 1995/1996 6.454 1.301 20.16 2. TP 1996/1997 8.531 1.899 22.26 3. TP 1997/1998 13.244 3.058 23.09 4. TP 1998/1999 121.337 80.557 66.39 5. TP 1999/2000 18.520 14.057 75.90 6. TP 2000/2001 1.116 1.116 100.0 Jumlah 169.202 101.988 60.28
Sumber: Dinas Koperasi dan UKM Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2002.
8
Berdasarkan data tersebut dapat dikemukakan bahwa kinerja pengembalian
kredit di propinsi ini relatif sama dengan kinerja pengembalian kredit yang terjadi di Jawa
Barat.
Akses Petani Terhadap Sumber Permodalan Menurut Mubyarto (1977), modal adalah nomor dua pentingnya setelah tanah
dalam produksi pertanian dalam arti sumbangannya pada nilai produksi. Sumber modal
petani sangat beragam baik yang berasal dari lembaga kredit formal maupun informal.
Petani sebagai pelaku agribisnis yang bergerak pada subsistem budidaya relatif
diharapkan pada risiko usaha yang sangat besar. Risiko ini terutama berkaitan dengan
sifat kegiatan pertanian yang tergantung pada musim. Ketergantungan pada musim
berarti menghadapi banyak ketidakpastian, sehingga dalam rangka mendukung usaha ini
diperlukan sumber modal yang lebih fleksibel. Selain itu untuk memproduksi lebih
banyak, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk benih/bibit unggul,
pestisida, pupuk dan alat-alat. Pengeluaran-pengeluaran seperti itu harus dibiayai dari
tabungan atau dengan meminjam (Mosher, 1966).
Dilihat dari sumber modal yang diakses petani baik di Jawa Barat maupun di
Nusa Tenggara Barat terlihat bahwa sumber modal yang berasal dari bank komersial
cabang adalah yang paling besar diakses oleh petani. Hal ini mudah dipahami karena
bank komersial cabang dalam hal ini BRI merupakan bank yang mengelola kredit
program KUT (Kredit Usaha Tani) yang kini menjadi KKP (Kredit Ketahanan Pangan).
Sampai saat ini masih banyak petani/kelompok tani yang masih menunggak KUT,
sehingga banyak petani/kelompok tani yang belum dapat memanfaatkan KKP. Akibatnya
kredit program yang telah disediakan tersebut belum dapat diserap secara optimal. Data
Direktorat Pembiayaan Departemen Pertanian (Sinar Tani, 2002) menunjukkan realisasi
KKP Tanaman Pangan di Indonesia sampai dengan April 2002 hanya 9,57 persen dan
merupakan yang paling kecil dibandingkan komoditas lainnya. Dengan rendahnya
realisasi KKP Tanaman Pangan, maka diadakan realokasi yaitu KKP Tanaman Pangan
yang semula Rp 1,85 triliun dikurangi menjadi Rp 785,135 milyar. Sisanya dialokasikan
untuk komoditas lain (budidaya tebu, peternakan, penangkapan ikan dan pengadaan
pangan).
Lembaga kredit informal yang menonjol di Jawa Barat adalah pedagang input
(kios saprotan) dan pedagang output (pedagang hasil pertanian). Sedangkan di Nusa
Tenggara Barat adalah yang berasal dari famili/tetangga/teman dan pelepas uang.
Dengan demikian pelaksanaan transaksi kredit informal umumnya bervariasi antar
9
wilayah, bahkan bervariasi antara satu peminjam dan pemilik modal dengan peminjam
dan pemilik modal lainnya di dalam wilayah yang sama. Terdapat perbedaan sumber
permodalan antar daerah yang mengusahakan komoditas hortikultura dan padi sawah.
Selama ini untuk daerah padi sawah relatif lebih banyak mendapat bantuan permodalan
dari lembaga formal yang bersifat kredit program, sedangkan untuk daerah hortikultura
kucuran kredit program relatif sedikit. Sebagai contoh penyaluran KUT (sekarang diganti
KKP) untuk intensifikasi pertanian, tetapi untuk hortikultura diberikan secara selektif
berdasarkan daerah maupun komoditas dengan memperhatikan pola pembiayaan
hortikultura yang sudah berjalan di daerah bersangkutan dan juga harus mempunyai
jaminan pasar. Namun setelah KKP, kredit program untuk komoditas hortikultura tidak
disediakan. Penyaluran KKP untuk tanaman pangan penyerapannya masih rendah,
salah satu penyebabnya adalah petani/kelompok tani tidak bisa akses karena masih
banyak yang belum melunasi tunggakannya. Dari segi manajemen rendahnya akses
petani terhadap KKP tersebut merupakan pencerminan kurangnya tanggungjawab dan
disiplin petani/kelompok tani terhadap kesepakatan yang dibuat. Dilihat dari segi
kelembagaan “kelupaan petani untuk melunasi kredit” tersebut adalah masalah belum
mantapnya kelembagaan kelompok tani maupun kelembagaan perkreditan itu sendiri
(Soewardi, 1977). Padahal modal dalam bentuk sarana produksi pertanian (benih/bibit,
pupuk, pestisida) dan uang tunai merupakan sesuatu yang secara minimal harus ada
pada petani-petani di pedesaan dan setiap tahun merupakan masalah yang harus
dihadapi untuk memperolehnya. Secara umum situasi permodalan yang dihadapi petani
akan berbeda tergantung kepada komoditas yang diusahakan.
Gambaran yang lebih rinci tentang akses petani terhadap lembaga kredit di
masing-masing lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
Jawa Barat
Program pembiayaan massal untuk komoditas hortikultura memang masih
kurang.Untuk pertama kali dan hanya sekali petani hortikultura (khususnya petani
kentang) di Bandung (Kecamatan Pangalengan) memperoleh kredit program melalui
KUT pada tahun 1998/1999. Pada saat itu terjadi lonjakan plafond kredit yang
dikucurkan, sehingga terjadi lonjakan areal tanaman kentang. Keadaan ini diikuti dengan
melonjaknya produksi kentang, sehingga menyebabkan harga kentang merosot sampai
di bawah biaya produksi. Banyak petani yang mengalami kerugian. Karena alasan inilah
sebagian besar petani masih belum melunasi pinjaman KUT.
10
Hampir semua petani responden menggunakan modal sendiri sebagai sumber
modal utama dalam menjalankan usahanya. Sumber modal lainnya berasal dari
pinjaman baik dari lembaga formal maupun informal. Lembaga pembiayaan formal
sebagai sumber modal antara lain BRI, Bukopin dan BPR yang mencapai 33,33 persen.
Sementara lembaga informal yang dapat diakses adalah pedagang input (kios sarana
produksi pertanian) dan pedagang output (pedagang hasil pertanian).
Seperti disebutkan di atas, berdasarkan intensitas pemanfaatan sumber
permodalan selain dari bank, sebagian besar petani responden meminjam kepada
sumber informal yaitu tengkulak (pedagang hasil pertanian), dengan bunga bervariasi
antara 2-3 persen per bulan. Ada juga petani yang tidak dikenakan bunga pinjaman,
namun petani diharuskan menjual seluruh hasil produksinya dengan harga di bawah
harga pasar (umumnya berkisar Rp 100/kg lebih rendah dibandingkan harga pasar).
Dengan demikian, jangka waktu pembayaran umumnya satu musim. Di sini tampak
adanya keterkaitan pasar modal dan pasar produk.
Bank merupakan alternatif yang dapat diakses oleh sebagian masyarakat. Petani
yang dapat meminjam ke bank harus memiliki agunan yang disyaratkan yaitu sertifikat
tanah atau bangunan. Persyaratan inilah yang selama ini menjadi kendala tingkat
aksesibilitas petani terhdap lembaga perbankan, karena sebagian besar petani belum
memiliki sertifikat atas tanahnya.
Sumber modal/pembiayaan dominan lainnya adalah pedagang input (kios sarana
produksi pertanian). Pedagang input pertanian memegang peranan cukup penting
sebagai sumber permodalan petani. Petani yang dapat meminjam harus sangat dikenal
dan dipercaya oleh pedagang. Waktu pembayaran beragam antara satu minggu sampai
satu musim. Jika pembayaran dilakukan sebelum satu bulan, umumnya tidak dikenakan
bunga, namun jika lebih, bunga yang diberikan beragam antara 2–3 persen per bulan.
Pada komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan berorientasi pasar seperti
hortikultura, memiliki akses terhadap lembaga pembiayaan (bank) yang lebih tinggi.
Sebagai contoh, untuk mengusahakan kentang di Pangalengan diperlukan biaya Rp. 20
– Rp.30 juta per hektarnya, sedangkan untuk padi hanya sekitar Rp 2 – Rp 3 juta per
hektarnya Dalam hal ini karena memerlukan biaya yang relatif besar maka petani
hortikultura harus lebih akses ke lembaga pembiayaan/bank. Penelitian Syukur et al.,
(1999), Rachman et al., (2000), Hutabarat et al., (2000), Mayrowani et al., (2000), dan
Hadi et al., (2001) menunjukkan rendahnya sumber modal usahatani yang berasal dari
kerdit komersial.
11
Pada umumnya sumber permodalan petani di Subang berasal dari kredit program
yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP) sebagai pengganti KUT. Aplikasi kredit dilakukan
secara berkelompok dengan sistem tanggung renteng, dimana agunan yang dijadikan
jaminan kredit merupakan kekayaan milik ketua/pengurus kelompok tani sehingga
kelompok tani sangat selektif dalam memilih anggotanya.
Sumber kredit komersial yang diakses petani paling dominan adalah BRI
sebagian kecil lainnya BPD (Bank Jabar), Bukopin dan BPR. Kredit informal masih
mewarnai perekonomian desa, terutama pinjaman yang bersumber dari saudara/
tetangga/teman, pedagang input (kios sarana produksi pertanian) dan sebagian kecil
dijumpai yang pinjam kepada pelepas uang dan pedagang hasil pertanian. Meminjam
kepada pelepas uang dilakukan jika terpaksa menghadapi keadaan darurat, tetapi
umumnya bukan untuk modal usahatani.
Nusa Tenggara Barat
Seperti halnya di Bandung, untuk Lombok Timur yang mewakili sentra produksi
hortikultura (khususnya cabai), petani hortikultura untuk pertama kali dan hanya sekali
memperoleh kredit program melalui KUT pada TP 1998/99. Pada saat itu seperti halnya
di Jawa Barat terjadi lonjakan plafond kredit yang disalurkan, sehingga terjadi lonjakan
areal tanam cabai. Produksi berlimpah menyebabkan harga cabai merosot sampai di
bawah biaya produksi, sehingga banyak petani yang mengalami kerugian. Sehubungan
dengan hal tersebut, hampir semua petani menggunakan modal sendiri sebagai sumber
utama dalam menjalankan usahataninya.
Di provinsi ini lembaga kredit formal yang dapat diakses petani selain BRI adalah
BPD, Bank Kredit Desa/LDKP dan Pegadaian. Sementara lembaga informal yang dapat
diakses adalah pedagang input, pedagang out put dan pengolah hasil pertanian. Namun
di Lombok Timur sumber pembiayaan yang berasal dari famili/tetangga/teman dan
pelepas uang sangat menonjol. Tingkat bunga yang berlaku pada kredit informal ini
sangat beragam antara 0-4 persen per bulan tergantung kedekatan dan tingkat
kepercayan.
Meminjam kepada pedagang output dan input dalam bentuk uang tunai atau
natura (sarana produksi pertanian), dengan tingkat bunga beragam antara 2-3 persen
per bulan. Namun khusus pinjam dari pedagang output ada juga yang tidak dikenakan
jasa pinjaman,karena terdapat ikatan untuk menjual hasil produksinya ke pedagang
tersebut. Dalam transaksi pemberian pinjaman ini petani yang meminjam harus sudah
12
sangat dikenal dan dipercaya oleh pedagang,sehingga dalam hal ini pedagang sangat
selektif.
Seperti halnya di Subang, sumber permodalan padi sawah di Lombok Tengah
berasal dari kredit program yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP) sebagai pengganti
KUT. Kasus di Lombok Tengah, agunan yang dijadikan jaminan kredit KKP cukup
dengan mengunakan SPOP (Surat Pemberitahuan Obyek Pajak) yang biasa digunakan
untuk menyetor PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).
Tabel 7. Tingkat Aksesibilitas Petani Terhadap Sumber Pembiayaan di Kabupaten Bandung dan Subang,
Jawa Barat, 2002 (%)
No. Sumber Pembiayaan Bandung Subang Jawa Barat I. Formal:
1. Bank komersial/cabang 2. Bank komersial/pusat 3. BPR/BPRS 4. Koperasi 5. Bantuan BUMN
35,71 28,57 10,71 21,43 7,14
93,94
- 3,33 3,33
-
66,67 14,04 7,02 12,28 3,51
II. Informal: 1. Kios saprodi 2. Pedagang hasil pertanian 3. Pelepas uang 4. Lainnya (saudara/tetangga/teman)
28,57 46,43 7,14 7,14
20,69 3,33 3,33 30,0
24,56 24,56 5,26 19,30
Sumber: Data Primer, 2002.
Di provinsi ini sumber kredit komersial yang dapat diakses petani yang paling
menonjol adalah BRI, disusul Pegadaian dan Bank Kredit Desa. Kredit informal masih
mewarnai perekonomian desa, terutama pinjaman dari famili/tetangga/teman dan yang
paling mengkhawatirkan adalah masih menonjolnya pelepas uang. Sumber ini umumnya
dimanfaatkan oleh petani yang kurang mampu karena tidak berani meminjam kepada
bank (kredit formal).
Perlu dikemukakan bahwa terdapat perbedaan akses antar petani Jawa Barat
dan Nusa Tenggara Barat terhadap lembaga keuangan formal, yaitu petani Jawa Barat
memiliki akses yang lebih baik ke koperasi, BPR/S dan bantuan BUMN. Sedangkan
petani Nusa Tenggara Barat memiliki akses yang lebih baik ke Pegadaian dan LDKP. Di
kedua provinsi tersebut, lembaga keuangan informal yang sama-sama tidak diakses
petani adalah bank keliling dan BMT.
Untuk melihat lebih rinci perihal tingkat aksesibilitas petani terhadap sumber
pembiayaan untuk Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 7, sedangkan untuk Nusa
Tenggara Barat pada Tabel 8.
13
Tabel 8. Tingkat Aksesibilitas Petani Terhadap Sumber Pembiayaan di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 2002 (%)
No. Sumber Pembiayaan Lombok Timur Lombok Tengah NTB I. Formal:
1. Bank komersial/cabang 2. Bank komersial/pusat 3. Pengadaian 4. Bank Kredit Desa/LDKP
27,78 11,11 2,78 8,33
62,52
─ 12,50 8,33
41,67 6,67 6,67 8,33
II. Informal: 1. Kios saprodi 2. Pengolah hasil pertanian 3. Pedagang hasil pertanian 4. Pelepas uang 5. Lainnya (saudara/tetangga/teman)
5,55 2,78 5,55
11,11 36,11
8,33
─ ─
25,0 4,67
6,67 1,67 3,33
16,67 38,33
Sumber: Data Primer, 2002.
Rata-rata Frekuensi Pinjam, Rata-rata Jumlah Pinjaman dan Lama Berhubungan Dengan Lembaga Kredit
Jawa Barat
Petani Subang lebih banyak meminjam ke lembaga formal dibandingkan petani
Bandung. Sedangkan petani Bandung lebih banyak meminjam ke lembaga informal.
Petani Subang lebih banyak meminjam ke lembaga formal karena memang pada
umumnya petani di daerah Subang memperoleh kredit program sejak masa KUT hingga
skim kredit KKP. Petani Subang dalam hal ini tidak pernah berhenti dalam memperoleh
kredit program. Sedangkan lembaga informal lebih banyak diakses oleh petani Bandung,
terutama karena peran pedagang yang sangat dominan (pedagang input dan output
pertanian). Mereka para pedagang seringkali tidak lain adalah penduduk/pedagang
setempat yang sudah dikenal baik oleh mereka. Dengan demikian sumber kredit yang
cukup penting bagi petani hortikultura di Bandung bersifat perorangan.
Di kedua lokasi terdapat kesamaan dalam hal frekuensi pinjam ke lembaga
informal dan lama berhubungan dengan lembaga informal. Di kedua lokasi penelitian
menunjukkan lembaga informal lebih menonjol dibandingkan dengan lembaga formal.
Namun nilai pinjam dari lembaga formal lebih besar dibandingkan ke lembaga informal.
Frekuensi pinjam petani hortikultura ke lembaga informal lebih tinggi dibandingkan
dengan petani padi. Sebaliknya petani padi lebih tinggi ke lembaga formal. Dilihat dari
lama berhubungan, petani padi (Subang) lebih lama berhubungan dengan lembaga
keuangan formal dibandingkan petani hortikultura (Bandung). Sebaliknya petani
hortikultura (Bandung) lebih mengutamakan berhubungan dengan lembaga informal. Hal
ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun berjalan, petani padi, khususnya
kelompok tani di Kecamatan Binong, tersebut telah berhasil membina hubungan yang
14
baik dengan lembaga keuangan formal melalui pengembalian pinjaman kredit yang relatif
lancar. Di lain pihak petani hortikultura dalam hal ini petani di Kecamatan Pangalengan
lebih mengutamakan menjalin hubungan dengan lembaga informal, terutama dengan
pedagang hasil pertanian dan pedagang sarana produksi pertanian. Secara umum
nilai/jumlah pinjaman kredit petani Bandung (hortikultura) lebih besar dibandingkan
petani Subang baik yang berasal dari lembaga formal maupun informal. Keragaan data
disajikan pada Tabel 9.
Nusa Tenggara Barat
Rata-rata frekuensi pinjam, rata-rata jumlah pinjaman dan lama berhubungan
dengan lembaga kredit di tingkat petani di Nusa Tenggara Barat relatif sama dengan di
Jawa Barat, kecuali nilai pinjaman ke lembaga formal di Lombok Tengah lebih rendah
dibandingkan dengan ke lembaga informal. Kondisi di Lombok Tengah terjadi karena
kredit program yang diperoleh dari KKP nilainya relatif rendah seiring dengan sempitnya
lahan garapan sawah. Sedangkan di lain pihak, peranan kredit informal (pelepas uang
dan saudara/tetangga/teman) cukup menonjol. Petani Lombok Timur (hortikultura)
memiliki rata-rata frekuensi, nilai pinjaman dan lama berhubungan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan petani Lombok Tengah (Tabel 10).
Tingkat Penggunaan Pinjaman dan Posisi Kredit Menurut Mosher (1966) semakin maju pembangunan pertanian semakin banyak
petani yang menggunakan kredit produksi. Kredit produksi merupakan modal kerja dan
banyak digunakan petani-petani maju.
Terkait dengan pandangan Mosher ini di Subang maupun Bandung, pada
umumnya pinjaman digunakan untuk keperluan budidaya. Namun tampak bahwa di
Bandung tingkat penggunaan pinjaman untuk usaha budidaya lebih besar dibandingkan
dengan petani Subang. Dengan kata lain, petani Bandung, mempunyai efektivitas yang
lebih tinggi. Namun bila dilihat dari posisi kredit, nampaknya petani Subang lebih disiplin
dibandingkan dengan petani Bandung. Hal ini terlihat dari rendahnya persentase petani
di Subang yang belum lunas tapi sudah jatuh tempo. Dilihat dari segi kelembagaan,
secara umum petani lebih tertib/disiplin berhubungan dengan lembaga kredit informal
dibandingkan dengan lembaga kredit formal. Hal ini terlihat dari besarnya nilai kredit
yang sudah lunas di lembaga informal dibandingkan dengan di lembaga formal, seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 11.
15
Alokasi pinjaman dan posisi kredit di Nusa Tenggara Barat baik untuk lembaga
formal maupun informal lebih beragam. Namun secara umum sebagian besar (lebih dari
60 persen) pinjaman digunakan untuk budidaya disusul untuk keperluan kombinasi
lainnya. Di Nusa Tenggara Barat dijumpai sebagian pinjaman baik yang berasal dari
lembaga formal maupun informal digunakan untuk keperluan konsumtif. Masih
dijumpainya penggunaan pinjaman untuk keperluan konsumtif di daerah ini mudah
dipahami karena pada umumnya usahataninya bersifat subsisten. Menurut Mubyarto
(1977) dalam pertanian subsisten kegiatan produksi pertanian bercampur dengan
kegiatan konsumsi. Hasil-hasil produksi pertanian dibagi untuk konsumsi dan pasar.
Posisi kredit petani di Lombok Tengah lebih baik dibandingkan petani Lombok Timur.
Indikasi ini diperkuat karena seperti diketahui petani di Lombok Tengah merupakan
petani yang memperoleh KKP. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12.
16
Tabel 9. Rata-rata Frekuensi Pinjam, Nilai Pinjam dan Lama Berhubungan dengan Lembaga Perkreditan di Kabupaten Bandung, Subang, Jawa Barat, 1997-2002
Frekuensi Pinjam Nilai Pinjam (Rp.000) Lama berhubungan No. Lembaga Perkreditan Bandung Subang Jabar Bandung Subang Jabar Bandung Subang Jabar 1. 2. 3. 4. 5.
Bank komersial cabang Bank komersial pusat BPR/BPRS Koperasi Bantuan BUMN
1,50 3,75 1,0
1,17 13,0
3,50 -
3,0 1,0 -
2,97 3,75 1,50 1,14 13,0
10.800 11.625 13,670 7.350 1.350
8.684 -
2.000 5.000
-
9.240 11.625 10.750 6.370 1.350
1,2 1,9 2 1 5
4,18 - 1 1 -
3,40 1,90 1,75
1 5
Rata-rata Formal 2,79 3,40 3,10 9.958 8.338 9.058 1,67 3,97 3,29 1. 2. 3. 4.
Kios saprotan Pedagang hasil pertanian Pelepas uang Lainnya
14,0 9,31 3,0 1,0
8,50 14,0 1,0 1,44
11,64 9,64 2,33 1,36
4.770 4.450 2.000 10.000
1.450 2.000 1.000 6.090
3.346 4.280 1.670 6.805
5 5 4
1,5
4,25 1,40
5 1,44
4,61 4,74 3,75 1,45
Rata-rata Informal 5,64 4,65 5,02 4.802 3.914 4.442 4,33 1,94 3,34 Sumber: Data Primer, 2002. Keterangan: Frekuensi : Berapa kali pinjam/jumlah responden Nilai : Jumlah uang/jumlah responden Lama berhubungan: Jumlah tahun/jumlah responden
17
Tabel 10. Rata-rata Frekuensi Pinjam, Nilai Pinjam dan Lama Berhubungan dengan Lembaga Perkreditan di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 1997-2002
Frekuensi Pinjam Nilai Pinjam (Rp.000) Lama berhubungan
No. Lembaga Perkreditan Lotim Loteng NTB Lotim Loteng NTB Lotim Loteng NTB 1. 2. 3. 4. 5.
Bank komersial cabang Bank komersial pusat Pegadaian Bank Desa/LDKP
1,30 2,83 3,00 4,33
1,80 ─
1,33 1,50
1,60 4,25 1,75 3,20
3276 11250 150
1000
857 ─
310 214
1825 11250 270 686
1,90 3,00 3,00 2,67
1,40 ─
1,33 2,00
1,60 3,00 1,75 2,40
Rata-rata Formal 2,24 1,70 2,11 4495 711 2503 2,33 1,45 1,87
1. 2. 3. 4. 5.
Kios saprotan Pengolah hasil pertanian Pedagang hasil pertanian Pelepas uang Lainnya
5,00 3,00 4,00 1,75 3,15
7,50 ─ ─
2,50 2,10
6,25 3,00 4,00 2,20 2,70
1425 18100 3000 1875 1080
2525 ─ ─
1320 717
1975 18100 3000 1540 922
7,00 3,00 6,00 2,25 1,62
1,50 ─ ─
1,67 1,70
4,25 3,00 6,00 1,90 1,65
Rata-rata Informal 3,14 2,83 2,93 2068 1117 1640 2,68 1,67 2,23
Sumber: Data Primer, 2002. Keterangan: Frekuensi : Berapa kali pinjam/jumlah responden Nilai : Jumlah uang/jumlah responden Lama berhubungan: Jumlah tahun/jumlah responden
18
Tabel 11. Tingkat Penggunaan Pinjaman dan Posisi Kredit Petani di Kabupaten Bandung dan Subang, Jawa Barat, 2002 (%)
No. Sumber Pembiayaan 1 3 4 6 1 2 3
I. Bandung 1. Formal 2. Informal
96,88 93,33 100,00
- - -
1,96 3,33
-
1,96 3,33
-
54,90 43,33 71,43
27,45 43,33 4,76
17,65 13,33 23,81
II. Subang 1. Formal 2. Informal
76,20 70,00 85,00
10,00 13,33 5,00
10,00 13,33 5,00
4,00 3,33 5,00
68,00 56,57 85,00
4,00 3,33 5,00
28,00 40,00 10,00
III. Jawa Barat 1. Formal 2. Informal
86,14 81,67 92,68
4,95 6,67 2,44
5,94 8,33 2,44
2,97 3,33 2,44
61,39 50,00 78,05
15,84 23,33 4,88
22,77 26,67 17,07
Sumber : Data Primer, 2002 Keterangan : - Penggunaan pinjaman : 1 = budidaya; 2 = pengolahan/pasca panen; 3 = pengadaan alsintan; 4 = kombinasi; 5 = konsumtif; 6 = lainnya - Posisi kredit : 1 = telah lunas; 2 = belum lunas sudah jatuh tempo; 3 = belum jatuh tempo; 4 = lainnya. Tabel 12. Tingkat Penggunaan Pinjaman dan Posisi Kredit Petani di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 2002 (%)
Penggunaan Pinjaman Posisi Kredit No. Sumber Pembiayaan 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 I. Lombok Timur
1. Formal 2. Informal
61,90 55,56 66,67
4,76 5,56 4,17
7,14 5,56 8,33
11,90 16,67 8,33
2,38 ─
4,17
11,90 16,67 8,33
61,90 50,00 70,83
16,67 22,22 12,00
14,29 22,22 8,33
7,14 5,56 8,33
II. Lombok Tengah 1. Formal 2. Informal
64,10 75,00 52,63
5,13 5,00 5,13
2,56 5,00
─
20,51 42,11
─
7,69 15,00
─
─ ─ ─
82,05 80,00 84,21
5,13 5,00 5,26
12,82 15,00 10,53
─ ─ ─
III. NTB 1. Formal 2. Informal
62,96 65,79 60,47
4,94 5,26 4,65
4,94 5,26 4,65
16,05 7,89
23,36
4,94 7,89 2,33
6,17 7,89 4,65
71,60 65,79 76,74
11,11 13,16 9,30
13,58 18,42 9,30
3,70 4,65 3,70
Sumber: : Data Primer, 2002 Keterangan : - Penggunaan pinjaman : 1 = budidaya; 2 = pengolahan/pasca panen; 3 = pengadaan alsintan; 4 = kombinasi; 5 = konsumtif; 6 = lainnya - Posisi kredit : 1 = telah lunas; 2 = belum lunas sudah jatuh tempo; 3 = belum jatuh tempo; 4 = lainnya.
19
KESIMPULAN DAN SARAN Bank Pemerintah, terutama BRI baik di Jawa Barat maupun Nusa Tenggara
Barat masih menjadi pilihan utama responden sebagai sumber permodalan formal
bagi usahataninya. Karena BRI merupakan lembaga keuangan yang jaringannya
paling luas menjangkau sampai ke pelosok kecamatan/desa yang melayani berbagai
jenis kredit (program/non program) seperti KKP (dulu KUT), Kupedes, KIK, KMK, dan
sebagainya. Disusul Bank Pembangunan Daerah dan bank swasta (Bukopin dan
Bank Perkreditan Rakyat). Sedangkan lembaga pembiayaan non perbankan yang
umumnya diakses petani adalah koperasi di Jawa Barat dan Pegadaian di Nusa
Tenggara Barat.
Lembaga kredit informal yang sangat berperan membantu permodalan petani
di Jawa Barat adalah pedagang (input dan output). Di Bandung (daerah dengan
komoditas hortikultura), pedagang output lebih berperan sebagai sumber modal
petani dibandingkan pedagang input. Sedangkan di Subang (daerah dengan
komoditas padi sawah), yang paling menonjol adalah sumber modal informal dalam
bentuk kredit yang paling dominan adalah dari sumber lainnya
(saudara/tetangga/teman), kemudian disusul pedagang input. Di Nusa Tenggara
Barat baik di Lombok Timur maupun di Lombok Tengah sumber kredit informal yang
menonjol berasal dari famili/tetangga/teman, disusul pelepas uang dan pedagang
input.
Di Jawa Barat akses petani sawah terhadap lembaga kredit formal relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan petani hortikultura. Hal ini disebabkan Subang
merupakan daerah pertanian padi sawah dengan dukungan pembiayaan usahatani
(kredit program) yang relatif memadai dibandingkan dengan pembiayaan usaha
untuk komoditas hortikultura. Demikian juga halnya dengan di Nusa Tenggara Barat.
Ini berarti petani padi sawah lebih akses terhadap lembaga kredit formal
dibandingkan petani hortikultura, karena tersedianya kredit program berupa KKP.
Secara umum rata-rata frekuensi meminjam ke sumber kredit informal lebih
tinggi dibandingkan dengan ke sumber kredit formal. Sebaliknya rata-rata nilai
pinjaman dari sumber kredit formal lebih besar dibandingkan dengan ke sumber
kredit informal. Nilai pinjaman total petani hortikultura lebih tinggi baik yang berasal
dari lembaga formal maupun informal dibanding petani padi. Hal ini diduga karena
20
kebutuhan modal untuk usahatani hortikultura lebih tinggi dibandingkan usahatani
padi.
Pada umumnya pinjaman digunakan untuk usaha budidaya. Petani
hortikultura mempunyai efektivitas pemanfaatan kredit yang lebih tinggi dibandingkan
dengan petani padi. Namun dalam hal pengembalian pinjaman, petani padi lebih
disiplin dibandingkan petani hortikultura. Dalam hal ini petani Jawa Barat lebih efektif
dalam pengunaan modal untuk usaha budidaya dibandingkan petani Nusa Tenggara
Barat. Petani Nusa Tenggara Barat masih menggunakan pinjaman untuk keperluan
konsumtif.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, petani padi sawah di lokasi penelitian
telah berhasil menjalin hubungan yang baik dengan lembaga keuangan formal (BRI).
Hal ini disebabkan kinerja pengembalian pinjaman kredit program (KUT yang diganti
menjadi KKP) berjalan lancar. Sedangkan petani hortikultura lebih mengutamakan
berhubungan dengan lembaga keuangan informal (pedagang hasil pertanian dan
pedagang saprotan). Terbatasnya sumber kredit program untuk komoditas
hortikultura menyebabkan petani lebih akses pada sumber modal yang terakhir ini.
Bertitik tolak dari bukti-bukti empirik tersebut maka kreasi lembaga
pembiayaan yang tepat untuk sektor pertanian sangat mendesak. Dukungan
kebijakan, baik pemerintah pusat maupun daerah, dan keterlibatan sektor swasta
sangat diperlukan untuk mendorong terbentuknya lembaga pembiayaan yang kuat
dan sehat guna mendukung pengembangan pertanian di pedesaan.
Agar sejalan dengan semangat dan arah kebijakan perkreditan nasional yang
mengarah kepada mekanisme pasar, pemerintah perlu menempuh berbagai cara
diantaranya dengan lebih banyak mengembangkan lembaga pembiayaan (keuangan)
mikro-agro dengan introduksi berbagai model pengembangan. Untuk membantu
petani dapat memanfaatkan kredit tersebut perlu dipermudah cara mendapatkan
kredit dan diberi bimbingan mengenai cara menggunakanya, sehingga diharapkan
munculnya kesadaran dan kedisiplinan yang antara lain telah diperlihatkan oleh
petani padi sawah di Subang.
21
DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Lombok Tengah, 2001. Lombok Tengah Dalam Angka 2000
BPS Kabupaten Lombok Timur, 2001. Lombok Timur Dalam Angka 2000
BPS Propinsi NTB dan Bappeda Propinsi NTB. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 2000
BPS Kabupaten Subang, 2001. Kabupaten Subang Dalam Angka 2000.
BPS Provinsi Jawa Barat. 2001. Jawa Barat Dalam Angka 2000.
Departemen Pertanian. 1997. Buku Pintar Intensifikasi Pertanian. Sekretariat Badan Pengendali Bimas. Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bandung. Laporan Tahunan 2000.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang. Laporan Tahunan 2000.
Hadi, Prajogo U., Adimesra Djulin, Khairina M. Noekman, Maesti Mardiharini dan Sumedi. 2001. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Hermanto dan Mat Syukur. 1994. Kajian Sumber Modal Petani Sub Sektor Tanaman Pangan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Metoda Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian di BLPP Cihea-Cianjur, Jawa Barat, 12 Januari – 10 Februari 1994.
Hermanto. 1992. Keragaan Penyaluran Kredit Pertanian : Suatu Analisis Data Makro. Monograph Series No.3. Perkembangan Kredit Pertanian di Indonesia (Andin H. Taryoto, Abunawan Mintoro, Soentoro, Hermanto (Editor). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal.63-85.
Hutabarat, B., A. Husni Malian, Adimesra Djulin, Tri Bastuti P., dan Sumedi. 2000. Dampak Kebijaksanaan Moneter Terhadap Kinerja Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Manurung, V.T. 1998. Keragaan Kelembagaan Perkreditan Usaha Penangkapan Ikan Tuna Skala Kecil di Kawasan Indonesia Timur. FAE, Vol.16 No.2, Desember 1998. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal.62-74.
Mayrowani, Henny, Mat Syukur, Yuni Marisa, Syahyuti dan Suwarti. 2000. Peningkatan Peranan Kredit Dalam Menunjang Agribisnis di Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Mosher, A.T. 1966. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Syarat-syarat Pokok Pembangunan dan Modernisasi (Disadur : S. Krisnandhi dan Bahrin Samad) CV. Yasaguna Jakarta.
Mubyarto. 1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Sosial Ekonomi (LP3ES). Jakarta.
Mudlak, Y. 1988. Capital Accumulation: The Choice of Techniques and Agriculture Output, in Mellor and Achmad (Ed). Agriculture Price Policies for Development Countries. John Hopkins, London.
22
Rachman, Benny, Saptana, Supena Friyatno dan Sumedi. 2000. Food Policy Support Activity. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sinar Tani. E`disi 22-28, Mei 2002 No.2946 Th.XXXII.
Soewardi, H. 1977. Perkembangan Kelembagaan Untuk Menunjang Pembangunan Pertanian. Jurusan Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Unpad, Bandung.
Syukur, M, Endang Lestari Hastuti, Soentoro, Ade Supriatna, Supadi, Sumedi, Bagus W.D. Wicaksono. 2002. Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Syukur, M, Sumaryanto, Saptana, A. Rozany Nurmanaf, Budi Wiryono, Iwan Setiajie Anugerah, Sumedi. 1999. Kajian Skim Kredit Usahatani Menunjang Pengembangan IP-Padi-300 di Jawa Barat. Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan ARMP II, Badan Litbang Pertanian.
Yunus, M. 1981. Credit for Self-Employment: A Fundamental Human Right. Grameen Bank, Dhaka Bangladesh.