k. subroto - · pdf filedengan membakar desa, ... sastra-klasik penggelora semangat jihad fi...

56
K. Subroto

Upload: vomien

Post on 06-Feb-2018

300 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

K. Subroto

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

2

HIKAYAT PERANG SABILCenter of Gravity Jihad Aceh Melawan Kafir Belanda

K. Subroto

Laporan Khusus Edisi XX / September 2015

ABOUT USLaporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakangagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:

[email protected] laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

HIKAYAT PERANG SABIL

Center Of Gravity Jihad Aceh Melawan Kafir Belanda — 7Naskah Hikayat Perang Sabil — 10

Syair yang Berhasil Menginspirasi — 12

Pengaruh Hikayat Perang Sabil — 12

Isi Hikayat Perang Sabil — 14

Menerangkan Hukum Perang Sabil — 14

Ancaman dan Kritik bagi yang Enggan Perang — 15

Belanda Mengantar Surga — 16

Bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits — 17

Ayat Perang — 17

Dajjal dan Ajal — 18

Tujuh Balasan Perang Suci — 19

Disambut Bidadari — 20

Orang yang Syahid Tidak Mati — 21

Kisah Ainul Mardliyah — 21

Ringkasan Kisah — 21

Rincian Cerita Ainul Mardliyah — 23

Kisah Pasukan Gajah. — 32

Kisah Sa’id Salmi. — 32

Kisah Budak (Anak) Mati Hidup Kembali — 33

Perang Aceh yang Monumental — 33

Utusan Ke Turki — 35

Penentangan Perang dari Kalangan Belanda — 36

Pernyataan Perang 26 Maret 1873 (Agresi Belanda I) — 37

Agresi Kedua (9 Desember 1873) — 39

Habib Abdurrahman Menyerah — 43

Perang Jilid Tiga (1884 -1896) — 44

Pasukan Marsose — 45

Teuku Umar dan Teungku Saman di Tiro — 46

Peran Snouck Hurgronje — 48

Perang Periode Keempat (1898-1942) — 51

Kesimpulan — 55

Daftar Pustaka — 56

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

4

Waktu kafir menduduki negeri

Semua kita wajib berperang

Jangan diam bersunyi diri

Di dalam negeri bersenang-senang

Di waktu itu hukum fardhu ain

Harus yakin seperti sembahyang

Wajib kerjakan setiap waktu

Kalau tak begitu dosa hal abang

Tak sempurna sembahyang puasa

Jika tak mara ke medan perang

Fakir miskin, kecil dan besar

Tua, muda, pria dan wanita

Yang sanggup melawan kafir

Walaupun dia budaknya orang

Hukum fardhu ain di pundak kita

Meski tak sempat lunaskan hutang

Wajib harta disumbangkan

Kepada siapa yang mau berperang

— Hikayat Perang Sabil

Pengaruh Hikayat Perang Sabil (dengan

berbagai versinya) telah mendarah daging

dari generasi ke generasi di hati masyarakat

muslim Aceh. Sehingga mereka mampu

puluhan tahun, bahkan lebih dari itu, berperang

mempertahankan diri dan kehormatannya dari

orang kafir yang hendak merebutnya. Pejuang Aceh

mampu melawan Portugis lebih dari satu abad dan

melawan Penjajah Belanda selama 69 tahun (1873

sampai 1942).

Menarik untuk dikemukakan pendapat seorang pemuka Aceh yaitu Tgk. Syaikh Ibrahim Lam Bhuek, pejabat uleebalang Masjid Raya Kanan, dalam perkara seorang Aceh yang dituduh membunuh seorang Belanda. Di sidang pengadilan pada tanggal 1 April 1919 dia berkata; bahwa di masa lalu bila orang Aceh menghadapi kesusahan atau oleh karena sesuatu sebab tidak lagi menyukai hidup ini, ia bersiap untuk mati dengan berperang sabil memerangi kafir. Hal ini merupakan kepercayaan yang sudah berabad-abad diwariskan turun-temurun.

Pengertian seperti dikemukakan di atas masih tetap dianut rakyat meskipun perang telah usai. Apakah ia langsung terbunuh mati setelah membunuh kafir atau lama setelah itu, seorang Aceh yang sederhana masih menganggap bahwa dengan membunuh kafir ia akan memperoleh imbalan atas perbuatannya itu. Pada mulanya orang menganggap seseorang itu syahid, bila ia membunuh kafir dalam peperangan. Tetapi kemudian, bagi orang Aceh pengertian ini masih terus berlaku bagi orang yang membunuh kafir di luar peperangan.

Melalui hikayat-hikayat perang para pemimpin agama menyatakan bahwa berperang sabil dalam menghadapi orang kafir yang menduduki negeri Islam merupakan suatu kewajiban yang perlu dilaksanakan oleh setiap orang Islam (fardhu ‘ain), dan berdosalah ia bilamana setiap orang Islam tidak melakukannya. Dengan mengenal isi yang terkandung dalam Hikayat Perang Sabil kita akan lebih memahami

EXECUTIVE SUMMARY

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

5

pihak Aceh dalam melakukan peperangan yang mereka anggap sebagai perang di Jalan Allah.1

Syaikh Ibrahim Lam Bhuek juga menyatakan bahwa, pikiran berperang sabil melawan kafir ini sudah ada sejak Portugis menyerang Aceh. Hikayat Malem Dagang, yang ditulis pada abad XVII M. yang mengisahkan masa perlawanan Aceh terhadap Portugis, menyebut tentang perang sabil sebagai berikut:

Peue kataköt prang Yahudi

Nibak Nabi asay mula

Peue katakot prang sabi

Teuntee (tuan Teu) Ali neuböh panglima

Bak si’uroe raja muprang

Malem Dagang neuboh panglima.

artinya:

Mengapa takut perang Yahudi

Daripada Nabi asal mula

Mengapa takut perang sabil

Tuan kita Ali dijadikan panglima

Pada hari ini raja (Iskandar Muda) berperang

Malem Dagang dijadikan panglima2

Perang Aceh adalah perang terpanjang dan terakhir yang dilakukan oleh rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Dalam perang tersebut, ratusan ribu orang tewas, ratusan kampung dibakar oleh Belanda, dan bahkan begitu kesalnya Belanda pada rakyat Aceh, mereka juga membakar pohon dan tanaman yang mereka lewati demi memutus pasokan logistik pasukan Aceh.

Istana kerajaan Aceh pun sempat mereka kuasai, para pemimpin mereka bunuh dan sebagian menyerah. Bahkan, sebagian pemimpin Aceh dari kalangan hulubalang memberikan seruan agar para pemimpin agama yang masih

1 Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1987. h 136

2 Ibid. h 109

meneruskan jihad melawan penjajah Belanda untuk menyerah. Mereka beralasan bahwa Belanda tidak mengubah dan tidak melarang agama Islam sebagaimana rekomendasi dari Snouck Hourgronje bahwa umat Islam tidak dilarang untuk melakukan ibadah mahdhah, namun harus dijauhkan dari kancah hukum (hudud) dan politik. Namun, seruan tinggallah seruan.

Perlawanan masih terus berlangsung sampai penjajah Belanda meninggalkan Aceh. Dari sini, terdapat hal yang jauh lebih penting, yang menjadi bahan bakar bagi keberlangsungan jihad rakyat Aceh. Di sinilah Hikayat Perang Sabil memegang peran penting. Ia menjadi center of gravity dalam jihad rakyat Aceh melawan penjajah Belanda.

Center of gravity adalah pusat dari seluruh kekuatan dan gerakan, yang segala sesuatu bergantung padanya. Ia juga merupakan titik di mana seluruh energi harus diarahkan. Center of gravity juga merupakan sumber kekuatan yang memberikan kekuatan moral atau fisik, kebebasan untuk melakukan tindakan, atau kemauan untuk melakukan aksi.

Hikayat ini menjadi faktor terpenting yang terbukti ampuh menjadi faktor ideologis yang tak bisa dipadamkan. Selama doktrin yang diajarkan Hikayat Perang Sabil masih berada di hati masyarakat Aceh, perang melawan kaphe Belanda akan terus berlangsung. Hal ini terbukti dengan usaha-usaha mati-matian Belanda mengakhiri perang selama puluhan tahun dengan membakar desa, merusak tanaman yang menjadi persediaan makanan, serta menangkap para pemimpinnya dari kalangan uleebalang (bangsawan) maupun dari kalangan ulama. Tekad perlawanan tetap berkobar sampai Belanda angkat kaki meninggalkan bumi Aceh. Sampai saat-saat terakhir tentara Belanda di Aceh, mereka tidak bisa sepenuhnya menguasai dan mengontrol semua wilayah Aceh.

Hikayat Perang Sabil bukan karya sastra biasa. Tetapi ia adalah sebuah karya yang bersumber dari wahyu ilahi dan karenanya keberadaannya

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

6

akan terus berlangsung hingga akhir zaman. Para ulama Aceh berhasil menyampaikan pesan-pesan dari Al-Quran dan hadits dalam karya yang dipahami oleh masyarakat Islam di Aceh saat itu. Karena itu, tidak mengherankan jika akhirnya syair-syair jihad pun sampai bisa menjadi lagu pengantar tidur bagi anak-anak Aceh untuk menjadikan jihad sebagai jalan hidup mereka.

Faktor pendukung lainnya yang juga penting adalah peran ulama yang baik. Ulama yang baik dan murid-muridnya telah membuktikan diri sebagai teladan dalam melawan kezaliman dan ketidakadilan penjajah Belanda. Terbukti wilayah Pidie yang merupakan basis dayah (pesantren) menjadi wilayah terakhir yang bisa ditaklukkan Belanda.

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

7

Setelah dilanda perang berkepanjangan Aceh akhirnya menjadi Daerah Istimewa di Indonesia. Keistimewaan Aceh ditetapkan

dengan undang-undang oleh pemerintah Indonesia. Di antara hak istimewa yang tidak dimiliki daerah lainnya adalah diperbolehkannya menjalankan hukum Islam bagi warga Aceh. Sejak abad keenam belas Aceh sudah menjadi kesultanan Islam yang independen. Perang yang hampir selalu terjadi berabad-abad lamanya menjadikan masyarakat Aceh terkenal dengan keberanian dan keuletannya dalam pertempuran.

Cover depan Hikayat Perang Sabil

Gb.1. Naskah Hikayat Perang Sabil

Halaman 1 Naskah Perang Sabil

HIKAYAT PERANG SABILCenter Of Gravity Jihad Aceh Melawan Kafir Belanda

Memang, di masa jayanya, Aceh dikenal sebagai negara Islam yang sangat berpengaruh di wilayah tersebut. Aceh juga terlibat pertikaian berdarah melawan Portugis di Malaka selama abad enam belas dan paruh pertama abad ketujuh belas, belum lagi sejumlah konfrontasi militer dengan pasukan dari negara-negara lain di kawasan itu. Akhirnya, pada tahun 1873, mulai pecah perang panjang antara Aceh dan Belanda.1

Semangat pejuang Aceh dalam berperang melawan penjajahan Belanda yang berlangsung

1 Amirul Hadi, Exploring the Acehnese Conception of War and Peace (A Study of Hikayat Perang Sabil), First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies 24 – 27 February 2007. h 2

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

8

selama setengah abad membuat banyak ahli keheranan. Tidak ada di daerah lain yang bisa bertahan begitu lama melawan Belanda. Bahkan sampai Belanda angkat kaki, pergi meninggalkan Aceh api perlawanan belum padam juga. Hal inilah yang menarik perhatian banyak kalangan untuk menguak rahasia di balik kesuksesan para pejuang Aceh melawan aneksasi Belanda. Setelah dilakukan penelitian dan pencarian yang mendalam tertujulah semua mata pada sebuah naskah sastra berupa kumpulan syair yang pada masa lalu menjadi bacaan terlarang di era penjajahan Belanda, Hikayat Perang Sabil.

Sastra bukan sekedar kata. Sastra adalah bagian dari kehidupan. Sastra adalah ungkapan realitas kehidupan, sastra adalah gambaran harapan dan jutaan keinginan, sastra adalah penyemangat kehidupan. Di antara sejarah Nusantara yang melekatkan antara sastra dan semangat kehidupan adalah sejarah Aceh. Salah satu yang istimewa dari khazanah kesusastraan Aceh ialah banyaknya sastra yang menggelorakan semangat jihad fi sabilillah. Di antara karya sastra-klasik penggelora semangat jihad fi sabilillah adalah hikayat.

Hikayat adalah sastra Aceh yang berbentuk puisi di luar jenis pantun, nasihat, dan kisah. Bagi orang Aceh hikayat tidak berarti hanya cerita fiksi belaka, tetapi juga berisi hal-hal yang berkenaan dengan pengajaran moral dan kitab-kitab pelajaran sederhana asalkan ditulis dalam bentuk sajak. Bagi orang Aceh mendengarkan atau membaca hikayat merupakan hiburan yang utama, terutama sebagai bentuk hiburan yang bersifat mendidik. Dalam sastra Melayu, yang disebut hikayat adalah karya sastra yang berbentuk prosa. Di Aceh, uraian perang sabil disajikan dalam bentuk hikayat. Meskipun demikian, beberapa di antaranya ada yang disajikan dalam bentuk prosa.2

Berbeda dengan sastra Melayu yang mengenal hikayat sebagai prosa, dalam sastra Aceh hikayat adalah puisi di luar jenis pantun,

2 Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1987. h 110

nasihat, dan kisah. Hikayat ditulis dalam bentuk sajak. Kata hikayat berasal dari bahasa Arab yang artinya cerita, namun bagi orang Aceh tidak hanya berisi cerita fiksi belaka, tetapi berisi pula butir-butir yang menyangkut pengajaran moral.

Orang Aceh sangat senang mendengarkan pembacaan hikayat, yang sampai pada awal abad 20 merupakan hiburan yang utama. Pembacaan Hikayat Perang Sabil dilakukan sebelum orang maju ke medan pertempuran. Tradisi membaca hikayat sebelum orang terjun ke dalam peperangan adalah tradisi dalam kebudayaan Melayu. Ketika perang melawan Belanda, masyarakat Aceh membaca Hikayat Perang Sabil di dayah-dayah3 atau pesantren, di meunasah4, di rumah, maupun di tempat lain sebelum pergi berperang.5

Hikayat dituturkan oleh shahibul-hikayat atau tukang cerita, secara lisan dan diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan hikayat yang ditulis pun sebenarnya dimaksud untuk dibacakan. Dengan begitu, kitab hikayat dan shahibul-hikayat merupakan faktor utama; kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai media penyebar informasi pemikiran Islam, dakwah maupun hiburan di Nusantara.

Secara tradisional, masyarakat Aceh sangat menggemari hikayat yang selalu diciptakan dalam bentuk puisi. Reputasi seorang penyair dalam masyarakat ialah pada kemampuannya menyampaikan hikayat secara lisan dengan kemerduan suara dan kelihaian mengolah irama. Para ulama yang menjadi panutan masyarakat menyadari keadaan tersebut dan mengarahkan untuk kepentingan dakwah, baik untuk menanamkan ajaran agama secara sederhana kepada anak-anak maupun untuk lingkungan yang lebih luas. Para ibu di rumah sering memetik lagu dari hikayat sebagai lagu

3 dayah dari bahasa Arab zawiyah, arti harfiahnya adalah sudut, karena pengajian pada masa Rasulullah dilakukan di sudut-sudut masjid. Kemudian diartikan sebagai pesantren.

4 Meunasah berasal dari bahasa Arab Madrasah yaitu tempat belajar atau sekolah, sering juga dimaknai dengan langgar

5 Ensiklopedi NU, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,40512-lang,id-c,nasional-t,Hikayat+Perang+Sabil-.phpx

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

9

pengantar tidur. Secara tidak langsung, ikatan puisi yang dinyanyikan oleh ibu ini melekat ke dalam ingatan si anak, dan menjadikan ia akrab dengan bentuk-bentuk puisi yang ada dalam tradisi sastra Aceh.

Hikayat Perang Sabil sebagai media dakwah sanggup membangkitkan semangat perang, jihad fi sabilillah untuk melawan serdadu-serdadu penjajah Belanda. Hikayat Perang Sabil dipandang oleh pimpinan tentara pemerintahan militer Hindia Belanda sebagai senjata yang sangat berbahaya, sehingga dilarang membaca, menyimpan dan mengedarkannya.

Tetapi, Hikayat Perang Sabil di mata sarjana dan sastrawan Belanda merupakan satu hal yang sangat menarik untuk diteliti. Karena Hikayat Perang Sabil sanggup membangkitkan keberanian luar biasa dalam hati Rakyat Aceh, maka hal tersebut menarik perhatian sejumlah sarjana Belanda untuk meneliti dan mempelajarinya, terutama mereka yang ahli bahasa Aceh. Salah seorang di antara sarjana Belanda yang menaruh perhatian sangat besar terhadap Hikayat Perang Sabil, yaitu Prof. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje (1857—1936), seorang ahli Aceh yang banyak menghabiskan umurnya untuk meneliti Aceh untuk kepentingan Belanda. Karya Sastra Hikayat Perang Sabil juga menjadi salah satu bacaan wajib bagi para mahasiswa Fakultas Sastra Jurusan Sastra Aceh di Belanda, dan juga menjadi perhatian para mahasiswa Fakultas Sastra pada umumnya.6

Dari segi jenis, Hikayat Perang Sabil mempunyai dua genre, yakni tambeh dan epos. Hikayat Perang Sabil bergenre tambeh kebanyakan ditulis oleh para ulama yang berisi nasihat, ajakan, dan seruan untuk terjun ke medan jihad fi sabilillah, menegakkan agama Allah dari rongrongan kafir demi mendapatkan imbalan pahala yang besar. Hikayat jenis epos menggambarkan berbagai peperangan yang terjadi di Aceh. Digambarkan keberanian, kepahlawanan para pejuang sampai menjemput

6 A.Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda. Penerbit Bulan Bintang Jakarta.Cetakan Pertama – 1977. h.19-20

syahid. Yang masuk kategori epos di antaranya seperti Hikayat Perang Sigli (1878) dan Hikayat Perang Geudong (1898)

Hikayat Perang Sabil bergenre tambeh terawal berjudul Hadzihi Qishah Nafsiyah berupa saduran dari risalah berjudul Nasihat al‐-muslimin. Judul lengkap kitab ini adalah Nasihat al‐Muslimin watadzkirat al-mu’minin fi fadha’il al‐jihad fi sabil Allah wa‐karamat al‐mujahidin fi sabil Allah yang ditulis oleh seorang ulama tersohor, Syaikh Abdusshamad Al-Falimbani atau Abdusshamad Palembang. Saduran tersebut ditulis pada tahun 1834, hampir 40 tahun sebelum meletus Perang Aceh.

Dalam banyak pertempuran ditemukan beberapa naskah Hikayat Perang Sabil di tubuh mereka yang gugur. Bahkan, sampai pada tahun 1933 pada Perang Lhong masih ditemukan. 7

Gb. 2 Letak geografis daerah Aceh (dahulu: Residentie Atjeh en Onderhorigheden atau Keresidenan Aceh dan daerah-

daerah taklukannya)

7 Imran Teuku Abdullah, Hikayat Perang Shabi, Satu Bentuk Karya Sastra Perlawanan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Falkutas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada 14 Februari 2008. H 3-4

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

10

Naskah Hikayat Perang SabilTelah menjadi kebiasaan bagi pengarang-

pengarang dan pujangga-pujangga Aceh di masa yang lalu, tidak mencantumkan namanya pada buku-buku karyanya, baik buku itu prosa ataupun puisi.

Demikianlah, dalam hikayat-hikayat Aceh yang semuanya dalam bentuk puisi, yang ditulis tangan dalam huruf Arab, kita tidak bisa mengetahui siapa pengarangnya, karena namanya memang tidak ditulis di atasnya. Hal ini menimbulkan satu kesulitan bagi para peneliti kesusastraan Aceh. Memang ada juga satu-dua buku hikayat yang disebut di dalamnya nama pengarangnya. Tidak terkecuali dengan “Hikayat Perang Sabil”, di mana pada naskah-naskah yang disimpan oleh orang-orang yang berminat, samasekali tidak ditulis siapa pengarangnya.

Menurut penyelidikan Hasjmy yang benar pengarang Hikayat Perang Sabil yang Masyhur itu adalah Teungku Tjhik Pante Kulu yang bernama asli Haji Muhammad. Teungku Tjhik Tiro memang juga mengarang sebuah hikayat yang bernama Sa’labah, yang di dalamnya juga dicantumkan hal-hal yang berhubungan dengan “Perang Sabil”.

Anthony Reid, ahli sejarah Australia, dalam hal ini menyatakan, meskipun Teungku Tjhik Pante Kulu dari Dayah yang dekat dengan Tiro, termasyhur di Aceh yang mencipta Hikayat Perang Sabil dalam perjalanan pulangnya dari Mekkah sekitar 1880, namun hikayat ini dipopulerkan oleh Teungku Syekh Saman dengan maksud untuk mengobarkan semangat untuk berperang.8

8 Anthony Reid: The Contest for North Sumatra p. 204. A.Hasjmy, op.cit. H.49

Gb. 3. Teungku Chik Pante Kulu, Ulama, Penyair Penulis Hikayat Perang Sabil

Penyair perang terbesar Teungku Tjhik Hadji Muhammad Pante Kulu, dilahirkan dalam tahun 1251 H (1836 M) di desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kecamatan Kemalawati, Kabupaten Pidie, dalam suatu keluarga ulama yang masih ada hubungan kerabat dengan ulama Tiro.9

Setelah belajar Al Qur-an dan ilmu-ilmu agama Islam dalam bahasa Jawi (Melayu), pemuda Muhammad melanjutkan pelajarannya pada “Dayah Tiro” yang dipimpin oleh Teungku Haji Tjhik Muhammad Amin Dayah Tjut, seorang tokoh ulama Tiro yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, dan sangat besar pengaruhnya di Aceh. Setelah belajar beberapa tahun di “Dayah Tiro” sehingga mahir bahasa Arab dan menamatkan beberapa macam kitab ilmu pengetahuan, dengan izin gurunya Teungku Haji Tjhik Muhammad Amin, pemuda Muhammad yang telah bergelar Teungku di Rangkang (Asisten Dosen), melanjutkan studinya ke Mekkah sambil menunaikan ibadah Haji.

Di Mekkah beliau memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya. Di samping belajar, beliau menjalin hubungan dengan para pemimpin gerakan Wahabi juga dengan

9 Abdullah Arif: 10 t»hun Darussalam halaman 302. Tgk. M. Hasballah Saleh: Sinar Darussalam No. 5 hal. 78.dalam; A.Hasjmy, op.cit. hlm.49

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

11

pemimpin-pemimpin Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia. Kebangkitan Dunia Islam yang dikumandangkan oleh Gerakan Wahabi di bawah pimpinan Ulama Besar Muhammad bin Abdul Wahhab, telah meninggalkan pengaruh yang sangat mendalam dalam jiwa Muhammad Pante Kulu yang sudah menginjak dewasa.

Sebagai seorang yang berjiwa seni, beliau sangat gemar membaca buku-buku syair Arab, terutama karya penyair perang di zaman Rasul, seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik, Ka’ab bin Zubair. Syair-syair mereka itu membimbing jiwa pemuda Muhammad, sehingga akhirnya dia menjadi Penyair Perang terbesar dalam sejarah dan namanya diabadikan sebagai penyair perang. Di samping membaca kitab syair (diwaanusy-syi’r), beliau juga sangat gemar mempelajari sejarah pahlawan-pahlawan Islam yang kenamaan, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Khatthab, Hamzah, Usamah bin Zaid, Thariq bin Ziyad, dan lain-lain.

Setelah empat tahun bermukim di Mekkah, beliau telah menjadi ulama besar yang berhak memakai gelaran Syekh dipangkal namanya, sehingga jadi Teungku Tjhik (Guru Besar). Pada waktu pecah Perang Aceh sebagai akibat agresi Belanda, Teungku Tjhik Muhammad Pante Kulu berada di Tanah Suci. Sebagai seorang patriot yang ditempa oleh sejarah hidup pahlawan-pahlawan Islam kenamaan, maka beliau telah bertekad untuk pulang ke Aceh ikut berperang bersama-sama ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin serta rakyat Aceh.

Keinginannya tidak bisa ditahan-tahan lagi, setelah mendengar salah seorang sahabatnya, Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman telah diserahi tugas oleh kerajaan untuk memimpin perang semesta melawan serdadu-serdadu penjajah Belanda. Kira-kira pada akhir tahun 1881 M. Teungku Tjhik Muhammad Pante Kulu meninggalkan Mekkah menuju Tanah Aceh yang bergelar Serambi Mekkah. Dalam perjalanan pulang, di atas kapal antara Jeddah dengan Penang, beliau berhasil mengarang sebuah karya sastera yang sangat besar nilainya, yaitu

Hikayat Perang Sabil, sebagai sumbangsihnya untuk membangkitkan semangat jihad melawan Belanda.10

Yang mendorong beliau untuk mengarang sajak-riwayat Hikayat Perang Sabil, yaitu kesadaran beliau tentang betapa besar pengaruhnya syair-syair Penyair Hassan bin Tsabit dalam mengobarkan semangat jihad kepada kaum Muslimin pada zamanRasul.

Hikayat Perang Sabil yang dikarang Teungku Tjhik PanteKulu ini adalah dalam bentuk puisi yang terdiri dari empat cerita (kisah), yang sekalipun fiktif tetapi berdasarkan sejarah, Keempat kisah tersebut, yaitu :

1. Kisah Ainul Mardliyah,

2. Kisah Pasukan Gajah,

3. Kisah Sa’id Salmy,

4. Kisah Budak Mati Hidup Kembali.

Karya sastra yang amat berharga ini sesampainya di Aceh dipersembahkan kepada Teungku Tjhik di Tiro oleh pengarangnya Teungku Tjhik Pante Kulu, dalam suatu upacara khidmatdi Kuta Aneuk Galong.11

Teungku Tjhik Muhammad Pante Kulu mempunyai dua orang isteri: yang pertama berasal dari kampung Titeue, Kecamatan Kemalawati, Kabupaten Pidie, sementara isteri yang kedua Tgk. Njak Aisjah berasal dari Kampung Grot, Kecamatan Montasie, Kabupaten Aceh Besar. Dari isteri yang pertama, beliau memperoleh seorang putera yang kemudian ikut serta bertempur sebagai Mujahid di Aceh Besar.

Setelah menyertai Teungku Tjhik di Tiro dalam berbagai medan perang dengan senjata Hikayat Perang Sabil-nya, maka Teungku Tjhik Muhammad Pante Kulu berpulang ke rahmatullah di Lam Leuot, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar dan dimakamkan di sana.

Menurut Abdullah Arif, selain dari Hikayat Perang Sabil yang terkenal itu, masih ada lagi karya Teungku Tjhik Pante Kulu, baik dalam

10 M. Hasballah Saleh: Sinar Darussalam No. 5 h. 79.A.Hasjmy, op.cit. H.51

11 A.Hasjmy, op.cit., h.49-51

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

12

bentuk prosa ataupun puisi, baik dalam bahasa Melayu Jawi ataupun dalam bahasa Aceh sendiri, tetapi tidak begitu luas tersiarnya.12

Syair yang Berhasil MenginspirasiHikayat Perang Sabil sebagai karya sastra,

“puisi perang”, benar-benar telah berhasil mencapai sasarannya dan benar-benar telah membuat pimpinan dan serdadu-serdadu tentara penjajah Belanda ketakutan.

Pekabaran Al Qur-an akan direka,

Pinta kakanda pada adinda,13

Menolak kehendak layak tiada,

Meski karangan kurang sempurna.

Benarlah ini amalan terpuji,

Semoga Ilahi beri pahala,

Berguna hendaknya bagi semua,

Handai tolan sahabat segala.

Dari lukisan ini jelas kita lihat bahwa hikayat tersebut permintaan dari sang kakak, Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman untuk membangkitkan semangat perang sabil, sehingga mereka bersedia syahid dalam mempertahankan negerinya.

Dari kenyataan sejarah terbukti bahwa Hikayat Perang Sabil benar-benar telah menjiwai Perang Aceh lawan Belanda selama puluhan tahun, benar-benar telah membuat rakyat Aceh menjadi “Muslim Sejati” yang tidak takut mati untuk membela kebenaran, benar-benar telah melahirkan pahlawan-pahlawan yang tidak ingin pulang dari medan perang; benar-benar telah menjadikan Aceh sebagai neraka bagi tentara Belanda sepanjang sejarah penjajahan di Aceh.14

12 Abdullah Arif, 10 Tahun Darussalam halaman 307. A.Hasjmy, op.cit., h.51

13 Yang dimaksud kakanda, yaitu Teungku Tjhik di Tiro Muhammad Saman

14 A.Hasjmy, op.cit., h.53-54

Pengaruh Hikayat Perang SabilBagaimana besarnya pengaruh Hikayat

Perang Sabil dalam membangkitkan semangat perang, sehingga menyebabkan kedudukan tentara Hindia Belanda sangat terjepit, oleh seorang pengarang Belanda Zentgraaf dilukiskan sebagai berikut :

“Para pemuda meletakkan langkah pertamanya di medan perang atas pengaruh yang sangat besar dari karya-sastra ini (Hikayat Perang Sabil, menyentuh perasaan mereka yang mudah tersentuh hatinya dengan karya-sastra yang sangat berbahaya).15

Peneliti pada masa itu yang juga sangat tertarik dengan hikayat tersebut, C. Snouck Hurgronje menyatakan, “tidak hanya cerita-cerita fiksi dan legenda agama, tetapi juga karya instruksi moral dan pelajaran yang sederhana, ....”

Anthony Reid ahli sejarah Australia, melukiskan Hikayat Perang Sabil itu sebagai sesuatu yang sangat dahsyat: “Kegiatan para ulama sekitar tahun 1880, telah menghasilkan sejumlah karya sastra baru yang berbentuk puisi kepahlawanan populer dalam lingkungan rakyat Aceh. Hikayat Perang Sabil adalah yang paling masyhur dalam membangkitkan semangat perang-suci, bahkan Teungku Tiro, Teungku Kutakarang dan ulama-ulama lainnya, juga telah menyiarkan karya-karya pendek mereka yang melukiskan kelemahan pihak kafir dan kemenangan telah tersedia untuk rakyat Aceh apabila pada satu waktu nanti mereka telah menerima kebenaran ajaran-ajaran Islam. Para penyair juga telah mencipta sejumlah bacaan hiburan yang melukiskan kepahlawanan rakyat Aceh dan segi-segi kelucuan dari para politisi Belanda. Syair-syair ini, yang dibaca nyaring oleh salah seorang mereka, telah menjadi hiburan malam yang terpenting bagi para pemuda yang berkumpul di meunasah.16

15 Zentgraaf. Aceh halaman 244 (via Sinar Darussalam No. 5 halaman 79). Dalam: A.Hasjmy, op.cit., h.54

16 Anthony Reid . The Contest for North Sumatra halaman 252. Dalam: A.Hasjmy, op.cit., h.55

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

13

Betapa takutnya Belanda kepada pengaruh Hikayat Perang Sabil sehingga oleh pembesar Belanda yang sempat berkuasa di Aceh waktu itu dilarang membacanya. Apabila Belanda mengetahui ada orang yang menyimpan Hikayat Perang Sabil, akan dirampas dan penyimpannya dihukum, demikian pula terhadap siapa saja yang membacanya.

Ada seorang orang yang bernama Leem Abah, penduduk kampung Peurada kemukiman Kajeeadang daerah XXVI Mukim (sekarang Kecamatan Inginjaya). Pada suatu malam dia mendengar orang membaca Hikayat Perang Sabil. Besoknya, tanpa diketahui siapapun, pada pagi-pagi buta dia telah berada di Pekan Aceh di depan Sociëteit Atjeh Clup (sekarang Balai Teuku Umar), di mana dijumpainya seorang Belanda sedang berjalan. Dengan mendadak Leem Abah menghunus rencongnya yang disembunyikan dalam lipatan kain dan ditikamnya Belanda itu tepat di dadanya hingga jatuh terlentang dan mati seketika. Sesaat kemudian, Leem Abah ditangkap dan akhirnya dibuang ke Pulau Jawa serta tidak pernah pulang lagi ke Aceh.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1907, pada waktu pertama kali Belanda menetapkan wajib bayar pajak bagi orang Aceh. Selain peristiwa tersebut, pada masa itu masih banyak lagi kejadian-kejadian yang serupa, di mana satu dua orang masuk kota dan membunuh Belanda, sehingga terpaksa diadakan penjagaan yang ketat, dan siapa saja yang dicurigai akan ditangkap.

Hikayat Perang Sabil yang dilantunkan oleh juru hikayat pada malam hari telah menggerakkan semangat mereka yang mempunyai berbagai masalah dalam hidupnya untuk lebih cinta mati syahid. Mengharap balasan surga dari Allah. Mereka menghadang patroli Belanda secara sporadis di masa-masa akhir sebelum kepergian Belanda, karena terbakar semangatnya oleh Hikayat Perang Sabil.

Antara tahun 1910 – 1921 tercatat 79 kali terjadi pembunuhan kafir (Aceh; poh kaphe, bunuh kafir) yang disebut dalam bahasa Belanda

Atjeh-moorden. Korbannya 99 orang tewas dan luka.17

Demikianlah Hikayat Perang Sabil telah begitu dalam berhasil mengobarkan semangat jihad fi sabilillah. Karena itulah, maka Belanda sangat takut kepada orang yang membaca ataupun mendengar Hikayat Perang Sabil tersebut. Lantaran itu, di mana saja diketahui ada orang yang menyimpan, hikayat tersebut akan disita dan penyimpannya dihukum berat agar orang lain menjadi ketakutan.

Sungguhpun demikian, Hikayat Perang Sabil tersebut tetap disimpan orang Aceh dengan cara sembunyi-sembunyi, ataupun ditulis kembali karena banyak orang yang menghafalnya. Sebab itulah, maka kadang-kadang terdapat sedikit perbedaan antara satu naskah dengan lainnya.”18

Bagi Belanda, Hikayat Perang Sabil dianggap sebagai karya subversif yang sangat berbahaya. Oleh karena itu ketika ditemukan atau saat penggeledahan, Belanda selalu menyita dan memusnahkan naskah-naskah yang ditemukan serta menahan pemiliknya. Hal itu menyebabkan naskah asli maupun salinan menjadi sangat langka, sehingga sesudah tahun 1924 hanya dibawakan secara lisan saja karena kebanyakan naskah sudah disita atau dimusnahkan.19

Dari uraian-uraian yang telah diketengahkan di atas, jelaslah bahwa Hikayat Perang Sabil sebagai suatu “karya-sastra”, “puisi-perang”, “epic-poetry” telah berhasil dengan gemilang, dan penulisnya Teungku Tjhik Pante Kulu berhak mendapat gelar “Penyair Perang”.

17 Imran Teuku Abdulah, Op.Cit. h 1518 Anzib, Pengantar Naskah Hikayat Perang Sabil halaman 89.

A.Hasjmy, op.cit.. h.56-5719 Imran Teuku Abdullah, Hikayat Perang Shabi, Satu Bentuk Karya Sastra

Perlawanan. h 4

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

14

Isi Hikayat Perang Sabil

Menerangkan Hukum Perang Sabil

Di dalam Hikayat Perang Sabil disebutkan bahwa perang sabil ini hukumnya adalah fardhu ain, yakni diwajibkan kepada semua orang mukmin, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, termasuk anak-anak. Dalam Hikayat Perang Sabil tertua yang ditemukan (tahun 1710 M) terdapat syair, sebagai berikut:

Wates jitueng naggroe le kaphe

dum ta sare wajeb tamuPerang

Han jeued ta’lem peuseungue droe

duek lam naggroe tameuseunang

Bak wates nyan fardhu ain

beu tayakin sang seumahyang

Wajeb tapubuet jeuep kutika

meunghan deesya teu hai abang

Han sampurna seumahyang puasa

meunghan tapeukeue tajak muPerang

Fakir meuseukin dum cut raya

tuha muda agam inong

Yang na dapat lawan kaphe

meski bahle lamiet urang

Pardhu ain cit u ateueh

beu that be’teulheueh bak habeh utang

Arta wajeb tamubeulanja

keu soe nyeung na tem jak muPerang.

Terjemahnya:

Waktu kafir menduduki negeri

Semua kita wajib berperang

Jangan diam bersunyi diri

Di dalam negeri bersenang-senang

Di waktu itu hukum fardhu ain

Harus yakin seperti sembahyang

Wajib kerjakan setiap waktu

Kalau tak begitu dosa hal abang

Tak sempurna sembahyang puasa

Jika tak mara ke medan perang

Fakir miskin, kecil dan besar

Tua, muda, pria dan wanita

Yang sanggup melawan kafir

Walaupun dia budaknya orang

Hukum fardhu ain di pundak kita

Meski tak sempat lunaskan hutang

Wajib harta disumbangkan

Kepada siapa yang mau berperang

Kemudian ikuti pula kutipan dari Hikayat Perang Sabil ini:

Got ureueng binoe got ureueng lakoe

Dum sinaroe tuha muda

Aqil baligh, kanak-kanak

Dum ijmak wajeb seureuta

Saleh, pasek, alem, jahe

Wajeb sare tekeureuja

Raja, rakyat, uleebalang20

Wajeb muPerang dum beurata

Kaphe nyang Perang nanggroe geutanyoe

Wajeb sinoe lawan rata

Hareuem taplueng wajeb lawan

Peureulee in ateueh geutanyoe.

20 Uleebalang (Melayu: hulubalang) adalah golongan bangsawan dalam masyarakat Aceh yang memimpin sebuah kenegerian atau nanggroë, yaitu wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang. Uleebalang digelari dengan gelar Teuku untuk laki-laki atau Cut untuk perempuan.

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

15

Terjemah:

Baik wanita atau pria

Semuanya, tua dan muda

Akil balig, kanak-kanak

Menurut ijmak ikut serta

Saleh, fasik, alim, jahil,

Wajib semua mengambil bagian

Raja, rakyat, uleebalang

Wajib berperang sama rata

Kafir yang menyerang negeri kita

Wajib di sini lawan segera

Haram lari, wajib melawan

Fardhu ain kepada kita.21

Ancaman dan Kritik bagi yang Enggan Perang

Pengarang mengancam dengan tajam para uleebalang dan ulama yang telah bekerjasama dengan Belanda atau yang diam;

Wahai saudara, adik dan abang,

Jangan bimbang, mari berperang,

Tak usah hiraukan hulubalang,

Mereka lah sesat ikut setan.

Mengapa Agama tersia-sia,

Dunia laksana akan fana.

Ulama membisu bicara tiada,

Medan perang sunyi tiada bergema ?

Manusia penaka kehilangan diri,

Jihad tiada hiraukan lagi,

Tinggal seorang berakal-budi,

Teungku di Tiro teladani Nabi

Ulama lain ai mana-mana,

Diam dalam seribu bahasa,

21 Ibrahim Alfian, Op.Cit. h 112-114

Disangkanya akan bebas saja,

Waktu diperiksa Mahakuasa.

Saat nanti di pengadilan Ilahi,

Tiada jalan berlepas diri,

Di dalam kitab demikian pasti,

Firman Allah dan Hadis Nabi.

Syair dalam bahasa Aceh;

“Dum ulama narit tan le, keu Perang kaphe han padoli

Lidah ulama dum habeh klo, tan le hiro buet Perang sabi

Meulaenkan nyang na ngon izin po, Teungku di Tiro neubadai Nabi

Ulama laen dum jeut naggroe, peuseungap droe tan padoli

Ba’geukira ek leupaih droe, uroe dudoe jan geusudi.”

Terjemahannya:

Banyak ulama tak bersuara lagi, urusan perang Sabil tak peduli

Lidah ulama sudah terkunci, tak hiraukan hal sabi

Kecuali dengan kehendak Rabbi, Teungku Di Tiro pengganti Nabi

Ulama lain di tiap negri, berdiam diri tak peduli

Mereka kira bisa lepas diri, di hari kemudian akan ditanyai22

Oh, saudaraku teungku penghulu,

Bahari dan kini tiada bedanya,

Mengapa disangka tiada menentu,

Dahulu dan sekarang sama segala.

22 Syarwan Ahmad, Teungku Chik Ditiro Dan Hikayat Perang Sabil, Research Fellow of the Scaliger Institute Leiden University, 2006. h 3

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

16

Jihad sekarang perang suci,

Perjuangan utama lebih mulia,

Karena berjihad kehendak sendiri,

Raja negeri ikut tiada.

Wahai teungku raja jauhari,

Mengapa gelisah tenteram tiada,

Jika tiada memerangi musuh Ilahi,

Menyesal nanti tiada berguna.

Oh, saudaraku kaum bangsawan,

Firman Tuhan tegas nyata,

Harus percaya ayat Qur’an,

Segala ajaran di dalamnya ada.

Itu firman Kalam Allah,

Mengapa gundah wahai bentara,

Makna maksud maklum sudah,

Mengurai panjang berguna tiada.

Siapa enggan memerangi Belanda,

Siksa mereka dibalas Tuhan,

Demikian kataku adik dan abang,

Jangan bimbang senantiasa23

Anak dan isteri sayang mengapa,

Allah Ta’ala pelihara pasti,

Jihad wajib hukumnya nyata,

Mukmin sekalian harus taati.

Azab dahsyat di Padang Mahsyar,

Pria wanita berkumpul ke sana,

Ingat saudara jangan kesasar,

Azab di sana bandingan tiada.

23 Ali Hasjmy, Op.Cit. h 130

Karena itu lengah jangan,

Ibadat tuan semasa di dunia,

Apapun ada kerja amalan,

Jihad berperang lebih utama.

Jihad wajib atasmu tuan,

Hukumnya pasti ragu tiada,

Mula syahadat dua sembahyang,

Tiga berperang lawan Belanda.24

Belanda Mengantar Surga

Di sisi lain kedatangan kafir Belanda ke Aceh adalah rahmat untuk muslim Aceh. karena dengan kedatangan mereka terbuka jalan untuk berjihad dan masuk surga sehingga dikatakan bahwa Belanda datang mengantar Surga.

Sejak dahulu saudaraku tuan,

Kafir tiada di pulau ruja,

Kini ini zaman pilihan,

Belanda datang antar surga.

Demikian kataku muda pahlawan,

Jangan rawan semua kita,

Sejak nenek dahulu zaman,

Nasib begini ada tiada.

Setelah lama masa dahulu,

Zaman Rasul Penghulu Nabi,

Perang Sabil tiada berlaku,

Kini baru datang lagi.

Tuhan kita pengasih penyayang,

Cinta berganda kepada hamba,

Buka jalan lurus memanjang,

Menuju surga taman bahagia25.

24 Ibid h 21325 Ibid. h 129

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

17

Bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits

Setelah mengkritik para hulubalang dan ulama yang tidak mau ambil bagian dalam peperangan melawan Belanda, terutama mereka yang telah menyerah dan bekerjasama dengan musuh, maka pengarang dengan cara yang sangat menarik dan bahasa yang amat tajam menyeru rakyat turun ke medan perang; berjihad di Jalan Allah untuk mengusir serdadu-serdadu penjajah Belanda. Pengarang juga menjelaskan, bahwa kandungan dari karangannya itu adalah berdasarkan Al Qur-an dan Al-Hadis, sekalipun tidak disebut lafal bahasa Arabnya:

Yakinlah saudaraku sayang,

Ada firman dalam Al Qur’an:

Berperang di Jalan Allah,

Adalah penghulu ibadah.

Asli hadis kusebut tiada,

Makna saja kurakam di sini,

Peringatan agar siap-siaga,

Tiada siapa yang alpa diri

Renungkan saudaraku sayang,

Tidaklah hamba mangada-ada,

Benar ini berita Al Qur-an,

Bukan khabaran tiada berpunca.26

Ayat Perang

Ayat-ayat Qur’an yang kerap ditemukan dalam berbagai Hikayat Perang Sabil adalah surah At-Taubah ayat 111 dan Al-Baqarah ayat 195. Ayat-ayat tersebut sebagai rujukan mengenai janji Allah bagi mereka yang melaksanakan ibadah perang sabil dengan sungguh-sungguh.

Terjemahannya berbunyi: “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di

26 Hasjmy. Op.Cit. h 81

jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menetapi janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (At-Taubah: 111).

“Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195).27

Dalam Al Qur-an terakam ayat,

Firman Allah Mahakuasa,

Hadis Rasul pemimpin umat

Jangan lupakan saudara tercinta.

Hadis Nabi benar berkata,

Berperang di jalan Allah,

Balasan akan datang nyata,

Sorga tersedia sudah.

Demikian tersurat di dalam Kitab,

Firman Allah Ilahi Rabbi,

Dengar kata makna ayat,

Raja ibadah perang suci

Tubuhmu sayang dibeli Tuhan,

Sorga tinggi harganya pasti,

Yakinlah kita wahai budiman,

Orang beriman berbahagia nanti,

Siapa serahkan nyawa dan harta,

Biaya perang di jalan Ilahi,

Dibeli Allah harganya berganda,

Sorga tinggi tukarannya pasti.28

27 Ibrahim Alfian. Op.Cit. h 120-121 dan Imran Teuku Abdullah, Op.Cit. h 10

28 Sebagaimana dalam QS. At-Taubah: 111

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

18

Demikian saudara karunia Rabbi,

Pahala jihad di padang bakti,

Begitu suratan janji Ilahi,

Apalagi yang dinanti29

Dajjal dan Ajal

Ditegaskan, kalau nanti pintu tobat telah terkunci erat, semua ibadah dan segala jihad sudah tidak ada gunanya lagi. Pintu yang kini terbuka, sebentar lagi akan tertutup rapat, usia dunia sudah akan berakhir. Sebelum Dajjal datang dan segalanya terlambat, marilah berjihad; beramal dan berjihad:

Wahai pemudaku intan baiduri,

Usia dunia akan berakhir,

Janji Ilahi akan berbukti,

Seperti dalam suratan takdir.

Selagi langit belum berantakan,

Beberapa tanda telah nyata,

Di dunia Dajjal gentayangan,

Berkeliaran di mana-mana.

Sebelum datang Dajjal hakiki,

Sudah di dunia antek-anteknya,

Bila masa kehadirannya nanti,

Segala amal tiada berguna.

Arti ibadah sudah tiada,

Masa bakti Tuhan akhiri,

Segala amal sia-sia,

Pintu ibadah terkunci erat.

Jangan lalai saudaraku.

Berjihad kumpulkan bekal akhirat,

Selagi pintu taubat masih terbuka,

Kini masanya memeras keringat.

29 Hasjmy. Op.Cit. h 82

Sebelum datang Malaikat Izrail,

Suruh Hadlarat menjemput nyawa,

Baiklah datang sebelum dipanggil.

Serahkan rela, sayang mengapa.

Teungku Tjhik Pante Kulu juga menekankan masalah kematian, di mana kebanyakan orang takut kepada mati, padahal mati itu sesuatu yang harus dihadapi oleh setiap yang hidup:

Saudara-saudara kaum sebangsa,

Nyawa melayang sudahlah pasti,

Biar raja Rum yang hebat kuasa30

Yang menguasai seantero negeri

Kemana kita akan berlindung,

Di sana mati telah menanti,

Seperti Firman Tuhan Pelindung,

Dalam Al-Qur’an jelas pasti

Akan berlindung dalam Kota berbeton besi,

Di sana maut sudah menanti31

Karena itu, muda bestari,

Siap siaga, mawas diri.

Kendati Muhammad Rasul utama,

Maut telah merenggut nyawanya,

Menyerah kepada Mahakuasa,

Bukan ini pertanda nyata?

Bila masanya ajal menjemput,

Datang merenggut nyawa di badan

Tangguh sesaat jangan harapkan,32

Yang pergi takkan kembali

30 Yang dimaksud dengan negeri Rum oleh orang-orang Aceh dahulu, yaitu Kerajaan Turki Usmani

31 Yang disyairkan pengarang dalam bait ini, yaitu ayat 78 dari Surat An-Nisa

32 Surat Al-A'raf ayat 34, ayat 49 dari Surat Yunus, dan ayat 61 Surat An-Nahl,

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

19

Renungkan muda bangsawan,

Bawa ke mana intan berlain,

Siapa saja makhluk Tuhan,

Mati pasti, jin ataupun insan,

Kita tidak tahu kapan,

Tiada daya menerka iradat Tuhan,

Sadari dan mengertilah teman,

Kecuali Ilahi semua mati.33

Entah sedang berpadu kasih,

Perpisahan datang merenggut cinta,

Entah di jalan, entah di mana,

Maut mengadang mencengkeram nyawa34

Sebab itu, saudaraku sayang,

Ke medan perang marilah kita,

Daripada mati konyol di ladang,

Baiklah tewas di medan laga.

Alangkah hina dan pedihnya, teman,

Andai mati di pangkuan isteri,

Sakit nyawa keluar di badan,

Kecuali mati mengadang Kompeni.

Tidak mengapa, sayang.

Di medan perang berbantal pedang,

Badan terkapar rebah terlentang.

Menantang musuh di gelanggang.35

Tujuh Balasan Perang Suci

Di dalam sebuah hikayat yang disimpan di dalam Special Collections Reading Room, Perpustakaan Universitas Leiden (Cod. Or. 10996, ff. 92‐97) disebutkan bahwa ada tujuh kelebihan

33 Surat Al-Furqan ayat 58,34 Surat Ibrahim ayat 1735 Hasjmy, Hikayat Perang Shabi, Op.Cit. h 83-86

yang Tuhan akan anugrahkan kepada mereka yang ambil bagian dalam Perang Suci. Ganjaran-‐ganjaran tersebut adalah:

(1) dosa mereka akan diampuni;

(2) bagi yang gugur akan dipersiapkan kebahagiaan juga kenikmatan di dalam surga;

(3) mereka akan aman sentosa di dalam kubur dan kuburnya akan menyenangkan;

(4) mereka akan terlindungi dari keadaan binasa di yaumil mahsyar (hari pembalasan);

(5) mereka akan dianugrahi pakaian mewah bersama hiasan intan permata di dalam surga;

(6) mereka akan beristrikan 72 bidadari‐ bidadari yang cantik jelita dan hidup bersama di dalam sebuah istana;

(7) semua dosa dari 70 orang terdekat dalam keluarga akan dihapuskan oleh Allah. Di samping itu, mereka yang secara material dan finansial membantu perang juga akan dibolehkan masuk surga.

Berikut bait-‐bait Hikayat Perang Sabil dalam bahasa Aceh:

Hana saket oh keunong bude, umpama aneuk miet geucutiet le ma

Ohlheuh gata keunong timbak, budiadari jak keunan teuka

Budiadari trok sambot jasat, jawong teubiet hana teurasa

Gata jimueng darah dilhab, sira diucap pujoe Rabbana

Terjemahannya:

Tidak sakit ketika kena tembakan, layaknya anak dicubit oleh ibunya

Setelah Anda tertembak, bidadari datang segera kepada Anda

Bidadari sampai jemput jasat, nyawa keluar tanpa terasa

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

20

Anda dipangku darah dilap, seraya berucap puji Rabbana

Tujoh ploh droe nyang khidemat, rupa jroh that hana sakri

Tangieng mantong kaseb lazat, hanpue tamat dengan jari

Nyandum bulueng neubri le Allah, he meutuah jak Perang sabi

Bek le taduek nanggroe sosah, woe bak Allah nyang that suci

Bah le tinggay inong ceudah, bah teukeubah nyang bee basi

Terjemahannya:

Tujuh puluh orang yang khidmat, rupanya tidak ada tara cantik sekali

Kita lihat saja sudah cukup lezat, tak usah dijabat dengan jari

Itulah bagian dari Allah, mari kita ke perang suci

Jangan lagi tinggal di negri susah, kembali ke Allah yang Mahasuci

Biarlah tinggal isteri Anda, tinggalkan saja yang bau basi

Beuthat ta eu nyawong ka tan, bek he tolan takheun mate

Toh saboh treuk nyang sa ngon nyan, he budiman cuba pike

Gobnyan hudep nibak Tuhan, lam sukaan hanjeut kheun le

Nyan dum leubeh syahid bak Tuhan, toh teuladan nyang na sabe

Terjemahannya:

Biarpun kita lihat nyawa tiada, jangan dikata mereka mati,

Mana lagi yang sama dengan yang demikian, hai budiman coba pikiri,

Mereka hidup pada Tuhan, dalam sukaan tiada henti,

Begitulah kelebihan syahid demi Tuhan, teladan mana yang sama dengan ini.36

Disambut Bidadari

Digambarkan, bahwa seorang pahlawan yang syahid belum akan rubuh tubuhnya ke bumi, sebelum dara-dara surga sampai untuk memangku badannya yang berlumuran darah:

Menurut kata Pesuruh Allah,

Tubuhmu yang tertembak berlumuran darah,

Tidak akan terkapar rebah,

Kecuali dalam pangkuan Ainulmardhiyah

Sebelum datang dara rupawan,

Tubuh pahlawan rubuh tiada,

Dara senyum mengulur tangan,

Barulah jasad terhantar bahagia.

Dara berlomba menadah tangan,

Jemput junjungan kekasih hati,

Dalam pangkuan gadis rupawan,

Nyawa di badan keluar sendiri

Melayanglah nyawa alhamdulillah,

Lazat bahagia tidak terkata,

Yang mengetahui hanya Allah,

Betapa mujahid mendapat pahala.

Saudaraku teungku hulubalang,

Janganlah ragu diam membisu,

Sayang adik mati di ladang,

Rindukan abang di medan kuru.37

36 Syarwan Ahmad, Pesona Hikayat Perang Sabil, Research Fellow of the Scaliger Institute, Leiden University, 2006, h 2-4

37 Hasjmy. Op.Cit. h 88

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

21

Orang yang Syahid Tidak Mati

Untuk lebih memperdalam rasa cinta di medan perang serta tidak ingin pulang, maka pengarang menekankan bahwa orang-orang yang syahid di medan perang bukanlah mati, tetapi hidup abadi di sisi Allah:

Jangan katakan mati,

Mujahid yang tewas di medan perang.

Mereka hidup bahagia,

Bermandikan rahmat Tuhan.38

Jangan dianggap mati,

Meski nyatanya demikian,

Jangan ragukan kekasih hati,

Ada firman Tuhan.39

Jangan sebutkan mati,

Meski nyawa sudah tiada,

Di sisi Ilahi ia abadi,

Senantiasa bersukaria.

Kalau begitu saudaraku sayang,

Di medan perang hidup dan mati,

Cinta kampung, sayang halaman,

Kikis habis di dalam hati

Kalau harta dan istri cantik tercinta yang takut ditinggalkan, itu semua nanti akan ada gantinya yang lebih sempurna di sisi Allah: surga Jannatun Na’im dengan bidadari yang cantik rupawan.

Anak dan isteri tercinta,

Tiada mengapa tinggal di dunia,

Di sana menanti bidadari surga,

Dara-dara usia sebaya.

Orang dahulu waktu berperang,

Cinta harta tiada lagi,

38 Al-Baqarah: 154, dan Ali Imran: 15739 Ali Imran: 169 - 170

Nyawa dan badan segala barang,

Nyerah semua rela di hati.

Mengapa kita, saudaraku sayang,

Ragu hati pergi berperang,

Begitu kasihnya Tuhan Penyayang,

Patutkah kita berhati bimbang?40

Kisah Ainul MardliyahKisah Ainul Mardliyah adalah cerita fiktif

yang inti ceritanya diambil dari Al Qur’an dan Al-Hadits. Penulis hikayat mengambil latar cerita di “Zaman Madinah”, zaman Rasul telah memindahkan pusat perjuangan kaum Muslimin dari Mekkah ke Yastrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah Rasul, yang sekaligus menjadi Ibukota Daulah Islamiyah (Negara Islam).

Ringkasan Kisah

Dalam rangka melaksanakan panggilan jihad yang telah diizinkan Allah, seorang ulama berpengaruh, Abdul Wahid, akan mengadakan misi jihad di sekitar Madinah. Dalam diskusi mengenai jihad “Fi Sabilillah”, hadir banyak pemuda yang masih remaja. Abdul Wahid menjelaskan tujuan perang suci dalam Islam dengan mengemukakan ayat-ayat Al Qur’an dan Al-Hadits, yang diselingi pembacaan ayat-ayat jihad, qital, dengan suara yang merdu oleh para pembantunya, seorang pemuda yang baru berusia 20 tahun tampil kedepan menanyakan penjelasan kepastian tentang pahala orang yang mati syahid di medan perang.

Setelah mendapat penjelasan yang memuaskan, maka pemuda tersebut mendaftarkan diri untuk ikut ke medan jihad bersama Abdul Wahid. Mudabelia ini adalah yatim-piatu, yang sejak beberapa tahun yang lalu telah ditinggalkan oleh ayah dan ibunya, dengan meninggalkan kepadanya harta kekayaan yang cukup banyak.

40 Hasjmy, Hikayat Perang Shabi, Op.Cit. h 87-89

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

22

Menjelang hari berangkat yang telah ditetapkan, mudabelia terus mempersiapkan dirinya dengan membeli segala macam perlengkapan perang untuk dirinya sendiri, bahkan juga untuk teman-temannya para pemuda yang lain yang tidak berkemampuan, sehingga kekayaan yang ditinggalkan oleh ayah bundanya habis semuanya.

Tibalah hari keberangkatan pasukan Islam yang dipimpin oleh Abdul Wahid, termasuk mudabelia yang tampan. Dia minta agar boleh berangkat di barisan terdepan, yang berangkat duluan sekitar satu hari perjalanan, dan permintaannya dikabulkan oleh Abdul Wahid.

Demikianlah, dengan semangat jihad yang menyala-nyala mudabelia berangkat ke medan perang. Sesampainya pada suatu tempat pemberhentian untuk istirahat sambil menunggu induk pasukan bersama Panglimanya Abdul Wahid, barisan depan itu berhenti, dan mudabelia pun tertidur nyenyak karena lelah.

Setelah tertidur lama, dia tersentak bangun. Sambil mengusap-usap matanya terus menangis tersedu-sedu, sementara mulutnya berulang-ulang mengucapkan pelan-pelan kata-kata “Ainul Mardliyah” terus menerus. Teman-temannya sebarisan tercengang keheranan melihat kelakuan mudabelia setelah terbangun dari tidurnya. Ditanyakan sebab dia menangis dan tiada henti-hentinya menyebut-nyebut nama “Ainul Mardliyah”, namun dia tidak menjawab, kecuali terus gelisah dan menangis.

Abdul Wahid pun sampai ke tempat itu, seraya menanyakan apa gerangan yang telah terjadi. Setelah didengar suara gurunya maka mudabelia terus membuka matanya dan berhenti dari menangis. Dia mencium tangan gurunya Abdul Wahid, seraya diceritakannya apa yang dialaminya.

Diceritakannya, saat tidur nyenyak dia bermimpi seakan-akan berjalan ke suatu taman yang sangat indah, yang belum pernah dilihatnya. Dia masuk ke dalam taman yang indah permai itu, di mana bunga-bunga mengembang harum

aneka warna, dan di tengah-tengahnya mengalir sungai yang bening airnya, berpantai perak dan bertebing suasa.41

Berjalanlah dia sepanjang sungai, dilihatnya dara-dara bidadari surga, baik yang sedang berjemur di pantai, yang sedang mandi di air bening, ataupun yang sedang bercengkerama di bawah pohon-pohon yang rimbun dan berbuah ranum.

Pada waktu pertama kali dia menjumpai kumpulan dara-dara yang cantik rupawan itu, gairah cintanya menyala dan dicobalah hendak menawarkan cintanya kepada bidadari itu. Dengan halus mereka menolak, karena mereka itu hanyalah dayang-dayang dari tuan puteri yang sedang istirahat dalam kemahnya yang jauh di depan.

Mudabelia berjalan terus sambil berpikir, bahwa kalau dayang-dayang saja sudah demikian cantiknya, bagaimana pula rupanya tuan puteri itu sendiri. Dia berjalan terus dan lagi-lagi berjumpa sekumpulan dara seperti yang pertama tadi, yang ternyata juga dayang-dayang, belum dijumpainya tuan puteri yang dicarinya.

Akhirnya sampailah dia pada suatu tempat, baik sungainya, tamannya dan apa saja jauh lebih sempurna daripada yang terdahulu, terutama sekali dara-daranya. Setelah saling berbalas pantun dengan dara-dara yang sedang berjemur di pantai, ditunjukinya kemah di mana tuan puteri sedang istirahat.

Kedatangan mudabelia itu diberitakan kepada tuan puteri, dan nampaknya tuan puteri pun sudah lama memendam rindu tidak tertahan lagi. Mudabelia dipersilakan masuk istana yang disambut oleh tuan puteri sampai di pintu.

Diceritakan pula bagaimana mesranya perjumpaan dengan tuan puteri di dalam istana, tuan puteri bernama “Ainul Mardliyah”; pertemuan yang sangat romantis. Setelah lama bercakap-cakap, mudabelia pun diserang rasa rindu yang tak terkendalikan lagi, sehingga

41 Suasa adalah bahan yang terbuat dari campuran emas dan perak serta tembaga,dengan kadar campuran emas 20%, perak 10%, dan tembaga 70%.

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

23

dengan serta merta dicobanya hendak memeluk-mencium dara rupawan itu. Tetapi, Ainul Mardliyah dengan halus menolaknya seraya berkata: “Adinda hanya berhak dimiliki oleh pemuda yang mati syahid di medan perang melawan kafir”.

Dengan penolakan yang halus itu, terbangunlah mudabelia dari tidur dan mimpi indahnya. Demikian ceritanya pada Abdul Wahid. Setelah itu, pasukan Islam yang dipimpin Abdul Wahid itu terus berangkat menyongsong musuh, sehingga terjadilah pertempuran yang sangat seru, di mana pemuda belia berperang luar biasa tangkas dan beraninya, dan akhirnya syahid. Arwahnya disambut Ainul Mardliyah serta dibawanya ke surga.

Demikian ringkasan Kisah Ainul Mardliyah. Namun semuanya dilukiskan dengan puisi yang sangat indah. Berikut ini saya tampilkan sebagian terjemahan dari puisi tersebut.42

Rincian Cerita Ainul Mardliyah

Setelah sumpah diikrarkan dan mendapat doa restu dari Abdul Wahid, mudabelia mengadakan persiapan-persiapan perang yang diperlukan seperti halnya pemuda-pemuda yang lain. Dibelinya segala keperluan untuk dirinya sendiri, juga perlengkapan perang bagi kaum Muslimin yang miskin, bahkan seluruh hartanya diserahkan untuk biaya perang.

Pada hari yang telah ditentukan, pasukan pertama berangkat dengan keyakinan menang, termasuk mudabelia. Kemudian berangkat berturut-turut pasukan demi pasukan, dan akhirnya induk pasukan bersama dengan panglimanya Abdul Wahid.

Pada pemberhentian yang telah ditetapkan, di mana semua pasukan harus berkumpul dan istirahat, sambil menunggu sampainya Panglima dengan induk pasukannya. Di tempat itu, mudabelia tertidur nyenyak sekali. Setelah terbangun dia menangis tersedu-sedu sambil menyebut-nyebut nama Ainul Mardliyah, sementara pertanyaan-pertanyaan dari teman-

42 Hasjmy, Hikayat Perang Shabi, Op.Cit. h 93-97

temannya tidak dijawab. Dia gelisah memendam rindu.

Setelah panglima Abdul Wahid sampai, barulah mudabelia membuka mata dan meminta nasihat dari gurunya itu. Dengan airmata bercucuran mudabelia mengisahkan mimpinya yang ajaib itu kepada Abdul Wahid dan para sahabatnya,

Muda pahlawan lanjutkan Kissah:

“Rasa hamba berjalan sendiri,

Sepanjang sungai beralam indah,

Ribuan lampu warna-warni.

Lampu bergantung tanpa tali,

Berbuah indah karunia Allah,

Batu pantai intan baiduri,

Cahaya cemerlang sinar berseri.

Demikian rupa siang dan malam,

Kehendak Tuhan Ilahi Rabbi,

Termenung hamba tunduk diam,

Hilang akal, hilang budi.

Cahaya zamrut penaka bintang,

Sinar pualam setahun lari,

Rasakan pingsan hamba memandang,

Akal melayang, ingatan khali.

Telapak kaki terasa tiada,

Jatuh terkulai pantun diri,

Sungai bening manis rasanya,

Kalkausar nama dari Ilahi.

Minum seteguk nyaman rasa,

Lezat nikmat tidak terperi,

Kurnia Allah Mahakuasa,

Tuhan kaya Khaliqulbahri.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

24

Laksana susu ataupun madu,

Lain rupa kurnia Ilahi,

Mewangi harus tercium bau,

Laksana gaharu atau kesturi.

Hamba berahi rindu hati,

Aneka rupa terpandang mata,

Pemberian Allah Rabbuljali,

Tuhanku Rabbi Mahapencipta.

Tebing emas sebelah menyebelah,

Kuning cemerlang bagaikan siang,

Hati bimbang rindu gelisah,

Nikmat Allah indah terpuji.

Lata hamba lukiskan rupa,

Allah hanya Mahamengetahui,

Sepanjang sungai kemah dara,

Berumbai emas cawardi.

Seribu tahun nembus ke depan,

Terang benderang langit dan bumi,

Di dalam bercindan dara rupawan.

Remaja puteri bidadari.

Tiap kemah penuh dara,

Cantik rupawan kurnia Ilahi,

Pandang rupa rindu jiwa,

Allah hanya yang mengetahui.

Dara turun mandi bersama,

Di air bening kecimpung riang,

Kulit kuning memancar cahaya,

Dalam sungai sinar cemerlang.

Sambil mandi dara bernyanyi,

Berbalas pantun lagu rindu,

Suara merdu bagaikan nafiri,

Mengalun nyaman menyentuh kalbu.

Kain tipis lilit di badan,

Kalung mutiara pakai di dada,

Umur sebaya, rupa sepadan,

Muda remaja gadis jelita.

Sayu rindu mata memandang,

Penaka metia di dalam kaca,

Limpah cahaya gilang gemilang,

Tiada di sini rupa serupa.

Rupa cantik bulan purnama,

Sinar lembut mengulur rindu,

Kalah mata memandang dara,

Senyum kulum menunduk kalbu.

Berjalan hamba sepanjang sungai.

Terang benderang laksana siang,

Cahaya pantai intan berderai,

Tenteram hati, hilang bimbang.

Selintas dara memandang hamba,

Panah asmara menyentuh kalbu,

Lemah lunglai seluruh anggota,

Hilang nyawa dibawa rindu.

Akal ada terasa tiada,

Lagi berjalan terasa pingsan,

Demikian kurnia Mahakuasa,

Ciptaan Tuhan Khaliqulinsan.

Termenung bingung, tunduk terpekur,

Menilai kurnia sanggup tiada,

Bagaikan panah keluar busur,

Demikian seakan ruh dan nyawa.

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

25

Bila sekejap berperang pandang,

Nyawa melayang terasa tiada,

Penaka bumi sunyi lengang,

Tubuh rapuh jiwa merana.

Setelah dia melukiskan kepada Abdul Wahid keadaan di sepanjang sungai yang bernama “Kalkausar” maka dilanjutkan ceritanya mengenai percakapan dia dengan dara-dara yang sedang bersukaria sepanjang sungai yang berpantai landai.

Dara jenaka mengedip hamba,

Bercumbu kata seperti tadi;

“Sampailah janji, jodoh pun tiba,

Menyongsong adinda gahara puteri”

Termenung heran wahai guruku,

Mendengar cumbu kata dara,

Lihat rupa bulan syahdu:

“Apa gerangan kata adinda?”

Tuanku ampun raja kami,

Puteri dendam dalam istana,

Kasih bergelut di dalam hati,

Siang malam rindukan kakanda.

Kami ini dayang-dayang,

Hanya pelayan tuan puteri”

Kemudian hamba terus berjalan,

Jumpa lagi sungai suci.

Dalam melanjutkan perjalanan, mudabelia menjumpai lagi taman dan tepian yang lebih indah dari yang sudah dilaluinya. Demikian pula gadis-gadis yang lebih cantik jelita, lebih jenaka dan lebih merayu matanya. Demikian gairahnya hati mudabelia memandang dara-dara jelita yang jinak-jinak merpati itu, yang seakan-akan acuh

tak acuh kepadanya, sehingga kali ini terpaksalah dia yang memulai.

Setelah sejenak bercakap-cakap dengan gadis-gadis jelita yang ternyata hanya dayang-dayang tuan puteri, mudabelia melanjutkan perjalanan, ingin cepat-cepat sampai ke tepian di mana tuan puteri telah menanti. Dilaluinya beberapa tepian yang penuh dengan dara-dara yang juga sangat jelita, tetapi rupanya masih belum dijumpai lagi tuan puteri yang dicari.

Akhirnya sampailah dia pada satu tepian yang menurut dugaannya di sinilah tempatnya tuan puteri Ainul Mardliyah, karena dilihatnya belasan dara lagi mandi di air bening, di mana parasnya jauh lebih cantik dari yang pernah dijumpai sebelum itu. Berceritalah dia selanjutnya kepada panglimanya Abdul Wahid:

Rindu hati memberi salam,

Dara rupawan lagi mandi,

Hati bimbang mengamuk di dalam,

Kalah mata memanah puteri,

“Assalamualaikum, dara pilihan,

Di mana gerangan tunangan hamba?

Ainulmardliyah puteri rupawan,

Di tempat mana dia bertakhta?

“Alaikumsalam, kekasih Allah,

Alhamdulillah tuan kemari,

Ziarah tunangan Ainulmardliyah,

Hadiah Allah Ilahi Rabbi.

Berbahagialah tuan pahlawan kami,

Rasalah pahala wahai mahkota,

Hadiah jihad mujahid berani,

Puteri menanti dalam surga.

Mari pahlawan mujahid budiman,

Gegas berjalan sebentar lagi,

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

26

Nun di sana di dalam taman,

Tuan puteri rindu menanti.

Apalah arti kami ini,

Dayang pelayan gahara tuanku,

Pergi oh tuan, lekas pergi,

Di sana tunangan memendam rindu. “

Diceritakan selanjutnya, bahwa setelah didengarnya pesan dara-dara yang sedang mandi itu, dia terus melanjutkan perjalanannya. Seperti yang sudah-sudah, ditemuinya juga bermacam pemandangan yang mengasyikkan, bahkan lebih dari yang sudah-sudah. Tiap ditemuinya dara-dara yang sedang mandi, terus ditanyakan kalau-kalau Ainul Mardliyah ada di situ, yang selalu mendapat jawaban: tidak ada.

Di satu tepian yang lain, ditegurnya dara-dara yang lagi asyik bersendau gurau dalam taman setelah puas mandi di air sejuk, yang dijawab oleh mereka dengan suara yang bagaikan biola:

“Sudalah sampai duli tuanku,

Puteri rindu gundah gulana,

Berdarah jiwa disayat pilu,

Sabar tiada menanti kakanda.

Tiga tepian masih di jalan,

Barulah tiba di tempat adinda,

Kami ini hanya pelayan,

Dayang-dayang puteri jauhari.

Tunangan tuanku mahkota alam,

Indah rupawan tidak terperi,

Bijak bestari, pandangan tajam,

Sopan santun bawaan diri.

Nanti akan berperang pandang,

Dalam pertemuan di istana bahagia,

Alhamdulillah rahmat mendatang,

Syukurkan Tuhan Mahakuasa.

Datang, oh datang pahlawan kami,

Tuan puteri tlah lama menanti,

Jangan bingung, lekas pergi,

Tinggalkan saja kami ini.

Nun di sana dalam istana,

Tuan puteri berdandan sendiri,

Lekas, lekas wahai mahkota,

Dara tak sabar lama menanti.

Hanya tiga tepian lagi yang harus dilaluinya, dan setelah itu mudabelia akan sampai ke taman tempat istana Ainul Mardliyah, demikian pikirnya sambil berjalan terus menempuh jalan lurus yang ditunjukkan.

Apa yang dilihatnya sepanjang jalan, di mana dia menjumpai pemandangan-pemandangan yang indah nan ajaib sekali, semuanya dikisahkannya kepada panglimanya Abdul Wahid. Diceritakannya, bahwa setelah dilaluinya tiga buah tepian yang penuh dengan dara-dara jelita seperti yang sudah-sudah juga, sampailah dia ke sebuah kota yang dahsyat, dengan gedung-gedung dan taman-tamannya yang sangat indah.

Jalan-jalan lebar rindang dirimbuni cendana gaharu yang harum mewangi, sementara di taman merimbun kayu berbuah ranum dan bunga-bunga aneka warna, sementara angin sepoi bermain ria dan ranting mengeluarkan lagu merdu bagaikan nafiri.

Di tengah-tengah taman berdiri istana yang indah tiada bandingnya, sementara ribuan lampu bergantung tanpa tali menerangi istana bagaikan hari. Istana terbuat dari batu pualam bertatahkan intan baiduri, berkalungkan zamrut hijau muda, berkubah emas tempayan, beratapkan suasa lembut cahaya, berjendelakan kaca intan yang gemerlapan berpagarkan batu pualam warna-warni.

Setelah dia memasuki gapura istana, dilihatnya taman istana berbungakan antasari, bertanahkan campuran kesturi, bersendikan

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

27

yakut hijau kemilau, berukiran suratan kalimah syahadah, sehingga tidak mampu dilukiskan dengan nyata segala-galanya, seperti diakuinya sendiri:

Dibandingkan dengan ini,

Yang lalu itu tiada arti,

Indahnya tiada terperi,

Ciptaan Ilahi Mahasuci.

Arwah melayang rasa-rasanya,

Demikian peri wahai ya saidi,

Ciptaan Tuhan meribu rupa,

Lezat rasa tiada khali.

Entah nada suara biola,

Entah lagu buluh perindu,

Entah irama suling rebana,

Tiada di sini rupa laku.

Dayang-dayang cantik rupawan,

Badan ramping gempal berisi,

Intan pudi pakaian di badan,

Cincin berlian pakai di jari.

Menyanyi ria berdendang sayang,

Elok budi dayang puteri,

Berjalan gontai sedap dipandang,

Kaya Tuhan Rabbuljali.

Balai kencana emas tempawan,

Tempat dayang bermain ria,

Asyik maksyuk mabuk kepayang,

Senyum bermain di bibirnya.

Kemudian, selain menceritakan betapa rindu mengamuk di dalam hatinya, juga dikisahkan bahwa setelah dayang-dayang tuan

puteri melihat dia, disapalah dengan salam, dan kemudian memberitakan kepada tuan puteri di istana tentang kedatangannya itu:

“Alhamdulillah kurnia Ilahi,

Pahlawan kami telah tiba.”

Dayang-dayang lunglai berlari,

Pada puteri laporkan berita:

“Lihat wahai puteri andalan,

Jodoh tuan kemala negeri,

Itu di taman muda pahlawan,

Rindu dendam di dalam hati.

Rupa cantik indah gemilang,

Kalah bulan dan matahari,

Kami ini mabuk kepayang,

Rindu terpendam di dalam hati.

Benar rupa tiada bertara,

Demikian cantiknya muda pahlawan.”

Demi puteri mendengar kata.

Tunduk hati memuji Tuhan;

“Alhamdulillah puji dan puja,

Rahmat kurnia Ilahi Rabbi.”

Bangkit dara dibawa cinta,

Memandang belia di taman sari.

Layang mata lewat jendela,

Lihat hamba bermenung sendiri.

Demi kami berperang pandang,

Rasa hilang nyawa di badan.

Setelah diceritakan seakan-akan nyawanya hilang dan badannya sudah tidak berdaya lagi, maka ditambahnya lagi bahwa setelah dia mendengar tuan puteri Ainul Mardliyah memuji Allah dan menyapa mengucapkan selamat

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

28

datang kepadanya, terasalah nyawanya datang kembali:

“Ya Allah Tuhan Penyayang,

Mahasempurna kurnia-Mu ini,

Jodohku kekasih sayang,

Kemala negeri telah kembali.

Cinta melanda pantai hatiku,

Panah rindu mengamuk di dalam,

Kini kami sudahlah bertemu,

Kekasihku datang bawakan manikam.

Sampailah saat kandaku datang,

Kurnia Engkau, wahai Ilahi.”

Kemudian sapa kepada dagang;

“Aduhai kakanda mainan hati,

Engkau sayang taruhan jiwaku,

Kenangan kalbu siang dan malam,

Bertahun masa dimabuk rindu,

Kini baru berpadu azam.

Mari kemari buah hatiku,

Takhta tersedia untuk kakanda,

Silakan tuan memadu rindu,

Pahala bagi Mujahid Setia.”

Setelah itu, dilukiskannya kepada Abdul Wahid betapa terharu perasaannya mendengar tegur sapa tuan puteri yang suaranya laksana buluh perindu, ruhnya seakan keluar, matanya berkunang-kunang, lemah segala sendi anggota, telah hilang keseimbangan dalam dirinya; benar-benar dia merasa tidak sadarkan dirinya lagi, bagaikan pingsan, hatta dia sadar kembali waktu suara puteri yang merindu merayu lagi:

“Aduhai kakanda kemala hati,

Mujahid sejati kekasih Allah,

Hatiku gairah mari kemari,

Adik menanti berhati gelisah.

Kemari sayang ke atas peraduan,

Bantal tilam emas bersuji,

Silakan mari kakandaku tuan,

Cinta bergelut di dalam hati.

Malu mengapa kemala negeri,

Istana ini pusaka Ilahi,

Untuk kakanda Mujahid berani,

Pejuang Sabil dalam perang suci.

Setelah didengarnya rayuan yang bernadakan cinta dari tuan puteri yang mengulurkan mukanya dari jendela yang berkaca intan, dia menjadi segar kembali dan dengan dibimbing oleh semangat rindu yang bertalu, dia pun memasuki istana tuan puteri. Dilukiskanlah kepada Panglima Abdul Wahid, keadaan istana serta upacara penyambutan:

Pintu istana ajaib mendasyat,

Cerlang mengilat bagaikan mentari,

Bercelupkan emas kehendak hadlarat,

Bertatahkan metia intan baiduri.

Masuklah hamba berjalan pelan,

Cahaya berkilauan kanan dan kiri,

bertatahkan mutiara pudi dan intan,

Kekayaan Allah Khalikulbahri.

Putih kuning lembut menyayu,

Penaka mutu emas urai,

Berjalan lunglai dara perayu,

Suara merdu, badan semampai.

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

29

Dara-dara berdiri ta ‘zim,

Kipas metia pegang dijari,

Tangan gemulai kipasi hamba,

Suara merdu menegur sapa:

“Berbahagialah wahai muda rupawan,

Kemala negeri telah kembali.”

Demikian sapa dayang-dayang,

Suara mengalun bagaikan nafiri.

Lemah lembut laksana biola,

Nada penaka suling gembala,

Kerling mata memanah hamba,

Cahaya muka bulan purnama.

Badan layah lemah gemulai,

Gemerincing genta gelang di kaki,

Tak cukup kata untuk mengurai,

Nikmat surga meribu arti.

Pakaian di badan gemerlapan,

Kalung mutiara intan baiduri,

Aneka rupa harum wangian,

Kurnia Tuhan Rabbul ‘izzati.

Berkata mesra dara rupawan,

Senyum mengulum hamburkan peri:

“Mari silakan pahlawan sayang,

Masuk istana duduk di korsi.”

Demi mendengar demikian peri,

Hambapun melangkah masuk istana,

Heran ta’ajub wahai ya saidi,

Pintu emas bertatahkan metia.

Diceritakannya lagi, bahwa setelah dia sampai di dalam istana, Ainul Mardliyah telah siap menanti, seraya disapanya dengan suara yang merdu:

“Alhamdulillah sampailah hajat,

Wahai daulat kekasih hati,

Mari kakanda padukan hasrat,

Duduk bersanding di atas korsi.”

Setelah Ainul Mardliyah menyapanya, dibimbinglah tangannya dan dibawa berjalan pelahan ke tempat singgasana yang telah tersedia. Dia didudukan di atas tilam yang bertatahkan intan baiduri yang aneka rupa; merah, putih, dan hijau. Disifatkan betapa indahnya isi istana itu, tempat tidur dengan kasur dan bantalnya yang bersulamkan emas, lampu-lampu aneka rupa dan sebagainya.

Diceritakan juga dengan lukisan yang indah sekali puteri Ainul Mardliyah yang sangat cantik, yang menyebabkan dia terdampar pingsan, karena terlalu gairah memandang wajahnya. Setelah puteri Ainul Mardliyah memandikannya dengan air mawar, dia siuman kembali, di mana didapati dirinya telah duduk di atas singgasana berdampingan dengan puteri yang jelita itu, yang makin lama makin mendekat. Dengan suara mesra kemanjaan, tuan puteri pun merayu:

Seraya tawa dara berkata:

“Wahai junjungan mahkota hati,

Gembira bercanda ditasik jiwa,

Sampailah hajat kurnia Ilahi.

Janji Allah Mahakuasa,

Mujahid perang akan dibeli,43

Kami ini untuk kakanda,

Di mana ada cacat terjadi?

Aduhai kakanda pahlawanku sayang.

Pahala juang telah tersedia,

Kami ini mempelai perang,

Rindukan abang kembali pulang.

43 At-Taubah:111

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

30

Aduhai kakanda muda bahagia,

Rahmat berganda Tuhan sedia,

Untuk mujahid perang yang setia;

Keganti payah masa di dunia,

Hamba ini jodoh tuanku,

Hadiah Allah sah pasti,

Entahlah cacat sifat laku,

Baiklah tuanku sidik cari.

Wahai teungku pahlawan jihad,

Sampailah hajat kurnia Ilahi,

Malam nanti tidur setempat,

Rindu bernajat di dalam hati.

Wahai kakanda muda rupawan,

Janji lama berbukti kini,

Kemari nanti buka puasa,

Bersama kami di atas takhta!”

Selesai puteri Ainul Mardliyah merayu, rindunya mengamuk tak terkendalikan lagi, sehingga dengan serta merta hendak dipeluk tubuh tuan puteri yang gempal berisi; tetapi ditolaknya dengan halus:

Gemetar tubuhku sekujur badan,

Hilang keseimbangan dalam diri,

Ingin memeluk dara rupawan,

Tetapi puteri mengelak diri:

“Aduhai tuan mainan hatiku,

Sabar dulu kemala negeri,

Sebentar lagi datanglah waktu,

Sekembali abang dari Perang Suci.

Aduhai sayang pahlawan setia,

Malam ini sampailah janji,

Sekejab tangguh pinta adinda,

Jiwa kakanda belumlah suci.

Pinta kakanda makbul sudah,

Kembalilah sayang ke medan perang,

Asalkan niat ikhlas lillah,

Meninggikan Kalimah Tuhan Penyayang.”44

Setelah itu, Muda Belia melanjutkan kisahnya dengan melukiskan sifat-sifat dari Ainul Mardliyah yang amat cantik, yang belum pernah dia melihatnya bandingannya, sehingga menyebabkan dia hilang keseimbangan dalam dirinya, dirasa nyawanya telah melayang, badannya hoyong seperti orang gila, bahkan dia merasa putus asa karena ditinggalkan Ainul Mardliyah. Waktu didengarnya suara Abdul Wahid, guru dan panglimanya, mudabelia pun tambah menangis karena terharu, sehingga gurunya pun memberi nasihat:

Terisak menangis Abdul Wahid,

Mencium kening muda jauhari;

“Berbahagialah engkau pahlawan abid,

Berangkat kembali ke negeri suci.”

Menangislah Teungku45 tambah sedu,

Sayangkan anak46 akan pergi;

“Berangkatlah sayang buah hatiku,

Jangan lupakan gurumu ini.

Mintalah aku dikurniai Ilahi,

Seperti engkau kekasih Tuhan,

Di dalam surga bertemu nanti,

Engkau dan aku bersuka-sukaan.”

44 Ali Hasjmy, Hikayat Perang Shabi, Op.Cit. h 12345 Yang dimaksud dengan "Teungku" di sini, yaitu Abdul Wahid, istilah

teungku dalam bahasa Aceh dipakai untuk gelar ulama.46 Yang dimaksud "anak" di sini, yaitu Mudabelia sebagai murid dan

bawahan dari Abdul Wahid

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

31

Muda jauhari menjawab segera:

“Insya Allah wahai ya saidi,

Allah akan berikan surga,

Untuk ayahda di hari nanti.”

Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, mudabelia pun mencium lutut gurunya meminta restu, lalu memacu kudanya menuju medan perang. Demikian kencang lari kudanya sehingga banyak teman-temannya tertinggal di belakang. Sesampainya di medan perang dia bertempur dengan hebat sekali.

Muda belia sangat garang,

Kafir dicincang tikam berganda,

Akhirnya terkepung muda pahlawan,

Jalan lepas sudah tiada.

Sembilan kafir mati ditikam,

Muda pahlawan berjuang berani,

Setelah sepuluh musuh dicincang,

Belia syahid menemui Ilahi.

Alhamdulillah sampailah janji,

Puteri jauhari rindu menanti,

Waktu baik rembang petang,

Pahlawan muda pulang ke baka.

Hari Jumat saat ketika.

Muda belia penuhi janji,

Di medan lah menanti bidadari,

Jemput suami bawa pulang.

Demi rebah muda rupawan,

Disambut dara penuh cinta,

Sapu darah membelai sayang,

Memuji Tuhan Mahakuasa.

Keadaan mudabelia yang syahid dan bersukaria di taman surga, dilukiskan pengarang sebagai berikut:

Sampailah janji puteri rupawan,

Buka puasa bersama kakanda,

Alhamdulillah cinta berlimpahan,

Muda pahlawan sampailah pinta.

Bersuka ria siang dan malam,

Di taman surga bersama dara,

Lemah penaku melukis kalam,

Hanya Ilahi mengetahui segala

Setelah wafat mudabelia, keadaan menjadi panas, pemuda-pemuda teman sebaya mudabelia semakin terbakar semangatnya. Mereka semua ingin tidak kembali lagi ke rumah, ingin syahid menyusul pahlawan muda yang telah pergi, ingin jasadnya disambut tangan halus dara-dara surga. Abdul Wahid sendiri tampil bertempur dengan sangat gagah berani sehingga banyak serdadu-serdadu kafir yang mati konyol. Akhirnya Tentara Islam pulang membawa kemenangan. 47

Penulis ingin menyampaikan dengan kisah ini akan balasan yang besar bagi yang mati membela agama dan negeri dari gangguan orang kafir. Kisah ini juga sebagai motivasi bagi mereka yang tidak mau berperang dengan alasan belum menikah. Karena Allah akan memberinya bidadari yang lebih cantik daripada gadis-gadis impiannya di dunia.

Untuk kisah-kisah lain dalam Hikayat Perang Sabil tidak penulis tampilkan secara lengkap agar tulisan tidak terlalu panjang. Kisah lainnya hanya akan penulis ulas secara singkat pada beberapa paragraf berikut.

47 Ali Hasjmy, Hikayat, Op.Cit. h 127

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

32

Kisah Pasukan Gajah.Peristiwa Pasukan Gajah di bawah pimpinan

Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah, oleh penyair diambil sebagai tamsil ibarat, untuk menjadi perhatian rakyat Aceh yang sedang berperang melawan penjajah Belanda. Pengarang memperingatkan, bahwa kalau rakyat Aceh sendiri tidak mau berjihad memerangi Belanda, nanti Allah akan kirim pasukan lain untuk melawannya; sebagaimana yang berlaku pada Tentara Bergajah, Kerajaan Romawi (Kristen) dari Yaman (570M).

Kisah Sa’id Salmi.Kisah Sa’id Salmi ini merupakan suatu cerita

fiktif yang dijalin pengarang dalam bentuk puisi. Kejadiannya di zaman hidup Nabi Muhammad SAW, yaitu di zaman Madinah. Dikisahkan seorang pemuda bernama “Sa’id Salmi”, seorang budak keturunan Habsyi yang telah dimerdekakan tuannya. Rupanya buruk sekali, hitam pekat, dengan muka penuh parut-parut bekas diiris pisau. Belum beristri, karena tidak seorangpun yang mau bersuamikan dia.

Pada suatu hari dia datang menghadap Rasulullah. Ditanyakannya kepada Rasul, apakah dalam Islam seorang bekas budak yang buruk seperti dia, sama dengan orang-orang Islam lainnya; mendapat balasan yang serupa di akhirat nanti. Rasulullah SAW menerangkan bahwa menurut ajaran Islam, semua penganutnya sama derajatnya di sisi Allah. Akan mendapat balasan yang sama di akhirat nanti; siapa beriman dan berbuat baik masuk surga dan kalau tidak beriman serta berbuat jahat akan masuk neraka.

Rasulullah SAW juga menerangkan; siapa saja yang pergi berperang di Jalan Allah dan mati syahid, dia akan dibalas dengan surga; yang penuh dengan bermacam kesenangan dan kenikmatan, dengan bidadari yang cantik jelita. Tidak ada beda antara orang Arab dengan Ajam. Tidak ada beda antara orang kaya dengan orang miskin. Dan tidak ada beda antara orang putih dengan yang hitam.

Mendengar penerangan itu, Sa’id Salmi menyatakan Islam-nya di hadapan Nabi SAW. Seterusnya dia bertekad dan berjanji akan ikut serta dalam Perang Sabil untuk menegakkan kebenaran Islam.

Kemudian Nabi akan menikahkan Said dengan anak dari salah seorang sahabatnya. Dia diminta datang menemui orang tua gadis itu sebagai utusan Rasulullah untuk meminangnya. Melihat Said yang begitu jelek wajahnya dan hitam kulitnya, orang tua gadis itu langsung menolaknya.

Setelah Said berlalu anak gadis menangis tersedu mengetahui penolakan orangtuanya pada orang pilihan Rasul untuknya. Walaupun buruk wajahnya dia mau menikah dengan pemuda pilihan Rasul itu. Karena kemuliaan dinilai dari ketakwaannya, bukan keadaan fisiknya. Sahabat inipun segera menghadap Nabi dan minta maaf atas perbuatannya, dan segera menikahkan Said dengan putrinya.

Setelah dinikahkan Said Salmi segera bersiap memadu kasih dengan istrinya. Namun, belum lagi terlaksana panggilan jihad bergema. Said segera bersiap menyambutnya dengan suka cita. Bahkan seakan ia lupa dengan istrinya yang baru saja dinikahinya dan belum disentuhnya. Akhirnya Said segera berangkat memenuhi panggilan jihad bersama kaum muslimin yang lain. Dalam peperangan Said berperang dengan sangat garang dan akhirnya gugur sebagai syahid.

Dikisahkan Said yang syahid sebenarnya tidak mati, tetapi hidup di sisi Allah. Pada malam hari setelah dia syahid, dia diizinkan pulang menemui istrinya dan paginya pergi kembali. Hal itu berlangsung sampai istrinya melahirkan tiga orang anak dan Allah tidak mengizinkan Said untuk menemui istrinya lagi. 48

Penulis hikayat ingin menerangkan dengan kisah Said salmi ini bahwa sesungguhya orang yang mati syahid tidak mati. Dia tetap hidup di sisi Allah dan mendapat nikmat yang banyak.

48 Hasjmy. Op.Cit. h 149-154

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

33

Sehingga kalau Allah mengizinkan orang yang syahid bisa pulang ke rumah menemui istrinya.

Kisah Budak (Anak) Mati Hidup KembaliKisah keempat yang menjadi tema dari

Hikayat Perang Sabil ialah “Kisah Budak Mati Hidup Kembali”. Ada sebuah keluarga yang telah lama kawin, tetapi belum lagi dikurnia seorang anakpun. Kedua laki isteri itu sangat rindu kepada anak. Bermacam usaha telah dilakukan, namun masih belum berhasil.

Setelah hampir putus asa dari mendapat anak, maka dengan rahmat Allah mengandunglah isterinya; sebulan, dua bulan, tiga bulan dan seterusnya sampailah delapan bulan serta akan masuk bulan ke sembilan, saat-saat bayi akan lahir hanya menanti harinya. Panggilan jihad menggema ketika sedang menanti kelahiran anak yang sudah sekian lama dinanti-nantikan. Hal ini membuatnya khawatir terhadap anak dan istrinya apabila ditinggal berjihad.

Singkat cerita, akhirnya ia berangkat ke medan jihad untuk membela Islam dari gangguan orang-orang kafir. Dia berdoa kepada Allah agar menyelamatkan istrinya dan menitipkan pada Allah anaknya yang masih dalam kandungan istrinya.

Dengan semangat membara dia berjuang bersama pasukan Islam hingga akhirnya mendapat kemenangan. Setelah pulang betapa sedihnya sehingga sampai pingsan setelah mendengar kabar bahwa istrinya sudah meninggal sebelum melahirkan dan telah dikuburkan tidak jauh dari rumahnya.

Setelah siuman kembali dari pingsannya, menangislah dia meronta-ronta, memanggil-manggil isteri dan anaknya, serta menadah tangan ke langit menyeru Allah, menanyakan di mana anaknya yang tadinya telah dititipkan kepada-Nya. Dalam keadaan demikian, hari pun malamlah. Sekonyong-konyong dia melihat cahaya memancar sinar terang di atas kuburan isterinya yang tidak jauh dari rumahnya. Dengan bergegas, larilah mujahid kita ke pusara isterinya untuk mengetahui cahaya apakah itu gerangan.

Alangkah takjubnya, waktu dilihat seorang anak sedang duduk di atas pusara isterinya; budak (anak) yang cantik sekali. Dengan amat sukacita dipangku anaknya itu, dan sambil mencium anak dia menangis terisak-isak memanggil-manggil isterinya. Bermunajatlah dia meminta kepada Allah agar isterinya dikembalikan juga seperti anaknya.

Dari ketinggian seperti tadi didengar lagi suara sayup-sayup yang mengatakan, bahwa dia dahulu tidak pernah menitipkan isterinya kepada Allah, hanya anaknya saja. Karena itu, sekarang tidak ada alasan bagi dia untuk meminta dikembalikan isterinya oleh Allah.49

Dalam kisah ini penulis hikayat ingin menyampaikan pada orang yang enggan berjihad karena khawatir dengan keselamatan keluarganya. Bahwa Allah akan menjaganya ketika dia menitipkannya pada Allah. Jadi, tidak ada lasan untuk menhkhawatirkan keluarganya lagi.

Apabila kita coba cermati; rahasia kekuatan sebenar Kitab Perang Sabil bukan hanya pada isi ataupun cara penyampaiannya. Lebih jauh dari itu hakekatnya ia mengandungi ruh jihad yang telah ada sejak permulaan Islam. Makna yang dapat mengganti dan mengubah kehidupan fana kepada kehidupan abadi (baqa’/kekal); kesenangan dunia kepada kenikmatan akhirat. Membuat hidup dan kehidupan manusia bermakna dan penuh arti.

Perang Aceh yang MonumentalBelanda tidak pernah melakukan perang

yang lebih besar dari Perang Aceh. Perang berlangsung dalam kurun yang sangat panjang, hampir 80 tahun. Perang panjang ini telah menelan korban meninggal dari kedua belah pihak lebih dari seratus ribu jiwa. Secara militer, Perang Aceh juga merupakan perang terbesar melawan penjajah Belanda di Indonesia.

Bagi Belanda, Perang Aceh tidak hanya pertikaian senjata, tetapi merupakan urusan

49 Hasjmy. Op. Cit. h 199-201

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

34

politik nasional, penjajah, dan internasional selama satu abad, yang mengantarkan ke dunia modern.

Sejak tahun 1873 Perang Aceh diiringi oleh dua pertanyaan yang tidak terjawab. Pertanyaan yang satu militer sifatnya. Apakah perang ini dilakukan dengan cara yang tepat? Strategi militer, taktik, dan kepahlawanan dipersoalkan di sini; bukan hanya itu, tetapi juga provokasi, teror, dan kekejaman. Semua panglima tertinggi yang silih berganti, di antaranya terdapat jenderal-jenderal masyhur, seperti J. Van Swieten, K. van der Heijden, dan J.B. van Heutsz, terlibat dalam pertentangan-pertentangan itu.

Pertanyaan lain yang tidak terjawab sifatnya susila dan politik. Apakah perang ini dapat dibenarkan? Perdebatan ini pun memakan waktu tiga perempat abad dan belum selesai. Turut menyertainya Multatuli, Busken Huet, Abraham Kuyper, Snouck Hurgronje, Troelstra, Ratu Wilhelmina, Volin, dan masih banyak lagi. Ya, bahkan ada kalanya terdengar suara orang Indonesia, walaupun sedikit banyaknya perang ini lebih merupakan persoalan Belanda dan Hindia daripada persoalan Indonesia.50

Gb. 4. Pejuang-pejuang Aceh lengkap dengan persenjataannya

Peperangan penjajah yang dimulai sejak tanggal 6 April 1873 sampai dengan tahun

50 Paul van't Veer, Perang Aceh Kisah kegagalan Snouck Hourgronje, terjemahan buku berhasa Belanda De Atjeh-Oorlog, Grafitipers Jakarta 1985.

1914 saja, menurut data pihak Belanda,51 telah menimbulkan korban sebagai berikut:

z pihak Belanda tewas 37.500 orang

z pihak Aceh 70.000 orang

Jadi korban meninggal dari kedua belah pihak berjumlah tidak kurang dari 100.000 orang ditambah lagi dengan yang luka-luka sejumlah 500.000 orang.

Namun, dari semua pemimpin peperangan yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.52

Perang Belanda di Aceh tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang seutas benang merah ke tahun 1942, sebuah jejak pembunuhan dan pemukulan sampai mati, dari perlawanan di bawah tanah sampai terang-terangan menyebar luas sedemikian rupa, dari tahun-tahun 1925 sampai tahun 1927, kemudian pada tahun 1933 sehingga kemudian terjadi pemberontakan-pemberontakan lokal. Puluhan “pertempuran Aceh” yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui di seluruh Hindia Belanda. Pada masa-masa belakangan ini disadari bahwa benang merah itu menunjukkan dari tahun 1914 ke tahun 1942 sehingga sejarahnya sejak tahun 1873 sampai dengan tahun 1942, yakni saat orang-orang Belanda meninggalkan daerah Aceh untuk selama-lamanya.

Aceh adalah daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda pada tahun 1942 sebelum kedatangan Jepang adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Dan pada tahun ketika Belanda meninggalkan Aceh (1942) masih terjadi perlawanan dari muslim Aceh.53

51 Paul van't Veer, De Atjeh-Oorlog, p. 211, 311 dalam; Ismail Sofyan dkk, Perang Penjajah Belanda di Aceh h.251

52 H.C. Zentgraaff, Atjeh, p. 63.Ismail Sofyan dkk, op.cit. h.25253 Paul van 't Veer, De Atjeh-oorlog, p. 293 dan 301 (1969). Ismail

Sofyan dkk, op.cit. h.253

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

35

Paul van ‘t Veer dalam bukunya De Atjeh-oorlog membagi Perang Aceh menjadi empat bagian. Empat perang ini adalah perang besar. Adapun di luar itu masih banyak pertempuran dengan sekala yang lebih kecil.

1. Invasi Belanda pertama terhadap Kesultanan Aceh Darussalam terjadi pada tahuan 1873.

2. Invasi yang kedua terjadi pada tahun 1874 sampai tahun 1880.

3. Perang Ketiga terjadi antara tahun 1884 sampai 1896.

4. Dan terakhir, perang besar yang keempat terjadi pada tahun 1898 sampai tahun 1942.

Pada tahun 1824 Inggris dan Belanda berusaha menyelesaikan semua persengketaan akibat serah terima jajahan tahun 1816 (sebagian besar adalah kerja Raffles) dalam Traktat London. Bengkulu pun ditukar dengan pangkalan Belanda, yaitu Malaka yang sudah bobrok. Inggris melepaskan semua tuntutannya di Sumatera.

Raffles kehilangan jabatan pemerintahannya yang terakhir dan kembali ke Inggris dengan perasaan jengkel. Namun, ia masih sempat memasukkan sebuah bom waktu ke dalam traktat itu. Pemerintah di Den Haag telah berjanji bahwa dalam usaha perluasan kekuasaan selanjutnya di Sumatera tidak akan mengusik kemerdekaan Aceh. Hubungan dengan Aceh segera akan diatur demikian rupa “hingga negara ini, tanpa sedikitpun kehilangan kemerdekaannya, akan senantiasa menjamin keamanan kepada pelaut dan pedagang, yang tampaknya hanya dapat terlaksana dengan menggunakan cukup banyak pengaruh Eropa.”54

Utusan Ke TurkiPertama-tama, kerusuhan di Sumatera yang

terkenal, yang kian lama kian terdengar juga gelegarnya di Negeri Belanda. Kasus Siak telah menimbulkan protes-protes Inggris, melalui surat atau lisan oleh Duta Inggris di Den Haag, Laksamana Muda E.A.J. Harris. Erat hubungannya

54 Paul van't Veer, Op.Cit. h 2

dengan ini adalah kepastian bahwa Sumatera, setelah pembukaan Terusan Suez, akan lebih penting artinya. Lalu lintas pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu lewat Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo melalui Selat Malaka. Bagian terbesar pantai timur Sumatera memang sudah di bawah pengaruh Belanda, tetapi ujungnya, yaitu Aceh, belum.

Diduga akan timbul kesulitan-kesulitan karena Aceh. Tidak terutama disebabkan pembajakan di laut, seperti yang sudah lama dilakukan dalam bentuk “penggarongan” kapal-kapal yang kandas atau yang lego jangkar di pelabuhan. Terjadi peristiwa-peristiwa gawat, tetapi di daerah-daerah lain pun, tempat tampuk kedaulatan Belanda telah lama diakui, hal ini terjadi juga. Jadi, kesulitan-kesulitan yang diduga akan terjadi bersifat diplomatis dan politis.

Aceh pun telah mengetahui rencana pembukaan Terusan Suez. Pada tahun 1868 rombongan delegasi Aceh berlayar ke Istambul untuk memohon kepada kekuasaan kekhalifahan tertinggi Turki agar menjadi pelindung atas negara Islam Aceh. Turki hampir-hampir sudah tidak berdaya untuk menambah persoalan baru dalam hubungan luas dibukanya Terusan Suez. Karena kedaulatannya atas Mesir, Turki merasa berat terlibat dalam pertentangan-pertentangan Prancis-Inggris mengenai pembuatan terusan itu, yang akhirnya direbut oleh Inggris.

Pada tahun 1867 Sultan Abdul Hamid naik tahta. Ia mencoba memperkokoh kekuasaan dengan memberikan nilai yang lebih besar kepada kekhalifahan sebagai pusat dunia Islam. Gerakan pan-lslam memperoleh kemajuan di semua negara Muslim bagai sejenis pranasionalisme. Namun, pada tahun 1868 Aceh masih jauh letaknya. Delegasi Aceh ditolak, tetapi mereka akan kembali lagi.

Belanda pun mulai khawatir dengan usaha-usaha yang dilakukan Aceh dengan menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Traktat London tahun 1824 untuk mempererat hubungan dengan

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

36

Inggris. Bom waktu yang diletakkan Raffles kian lama kian terdengar juga detaknya.55

Belanda berharap dengan sedikit ancaman dan tekanan militer barangkali, Aceh akan mengakui “kedaulatan” Belanda dan dimasukkan ke dalam wilayah pabean Hindia Belanda. Dan, bagi Belanda, Aceh dapat tetap merdeka dan mempunyai pemerintahan sendiri. Demikian pula bunyi petunjuk-petunjuk yang dikirimkan oleh pemerintah sebelumnya pada bulan September 1871 ke Batavia.

Pada bulan itu juga muncul sebuah kapal perang Belanda di pelabuhan Aceh. Di kapal terdapat pejabat Pemerintahan Dalam Negeri E.R Krayenhoff. Dia mengadakan pertemuan dengan Habib Abdurrahman yang memangku jabatan perdana menteri Aceh, seorang Arab, yang banyak sekali merepotkan Belanda. Abdurrahman dengan angkuh mengemukakan hubungan diplomatiknya dengan Turki, Inggris, Prancis, dan banyak negara lain.

Namun, kenyataannya Inggris sedang sibuk membuat perjanjian baru dengan Belanda, dan Turki masih sama saja sikapnya seperti pada tahun 1868. Kepada Duta Belanda di Istambul yang menanyakan hal ini, memang ditekankan bahwa Sultan Turki adalah khalifah dan dengan demikian memikul tanggung jawab mengenai segala sesuatu yang terjadi dalam dunia Islam, tetapi kali ini pun hanya begitu.

Agar benar-benar mendapat kepastian, duta Belanda mendapat perintah untuk menjelaskan pendirian Belanda di Istambul. Sebab, demikian tulis Fransen van de Putte kepada rekan sejawatnya di Kementerian Luar Negeri pada tanggal 3 Januari 1873, “Adalah penting sekali bagi kita, agar Aceh tidak membayangkan yang bukan-bukan, bahwa dengan menentang kehendak kita untuk menanamkan pengaruh di Sumatera Utara, yang mutlak diperlukan untuk menegakkan ketertiban dan keamanan di sana, akan memperoleh simpati dan bantuan dari negara yang beradab.”

55 Ibid. h 17-18

Jawaban Turki cukup jelas. Pada kunjungan Duta Heldewier kepada menteri Turki Khalil Pasha, pejabat tinggi kekhalifahan ini berucap dengan menenangkan, “Kami sama sekali tidak mempedulikan segala pengaduan raja-raja biadab macam ini.”56

Penentangan Perang dari Kalangan BelandaPada bulan Oktober 1872 terbit surat terbuka

Multatuli57, yang menentang perang melawan kerajaan Islam Aceh, Surat kepada Raja, dengan bagian yang mengandung ramalan: “Gubernur Jenderal, Tuanku, dengan bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan provokasi yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada Sultan Aceh, dengan tujuan merampas kedaulatan kesultanan itu. Tuanku, perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur, tidak jujur, dan tidak bijaksana.58

Pada tahun 1873 Pendeta J.H. Gunning di Den Haag menerbitkan buku dengan judul yang sarat makna, Acchin, een waarshuwing Dods aan ons (Aceh, suatu peringatan Tuhan kepada kita), sebuah khotbah tentang ekspedisi yang gagal itu. Ia mengutip di dalamnya bagaimana Tuhan menurut Joshua VII menghukum anak-anak Israel dengan menimpakan kekalahan. “Lebih daripada pencurian uang dan barang yang telah kita lakukan terhadap Hindia Timur,” kata Gunning dalam khotbahnya.

“Tidak kita berikan kepada mereka kehidupan yang ada dalam Yesus Kristus. Karena itu, di dalam dan di luar batas-batas jajahan kita tumbuhkan kehidupan yang bermusuhan dan berbalik melawan kita. Kita harus mengakui dan memberantas dosa-dosa terhadap tanah jajahan Hindia Timur.

56 Ibid. h 24-2557 Multatuli merupakan nama samaran dari Eduard Douwes Dekker.

Nama Multatuli diambil dari bahasa Latin yang berarti “Aku sudah menderita cukup banyak” atau “Aku sudah banyak menderita”. Multatuli lahir di Amsterdam, Belanda pada tanggal 2 Maret 1820 tepatnya di Korsjespoorsteeg. Multatuli memiliki saudara bernama Jan. Jan tak lain adalah kakek dari Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (lebih dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi atau Setiabudi) Pahlawan Nasional.

58 Ibid. h 24

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

37

Sifat mementingkan diri dalam diri kita dan nenek moyang kita janganlah lagi kita hiasi dengan nama yang indah-indah, dan jangan kita lanjutkan. Keadilan untuk orang bawah, dalam pemerintahan negara dan hubungan perdagangan pertama-tama ditegakkannya keadilan kembali, dengan langkah yang tetap, bersih, dan juga bermanfaat tujuannya. Kemudian kebebasan, pengabaran Injil yang tiada dihalang-halangi bagi mereka yang belum mengenalnya.”59

Pernyataan Perang 26 Maret 1873 (Agresi Belanda I)Setelah terjadi beberapa kali surat menyurat

yang tegang antara Sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Komisaris Pemerintah Belanda Nieuwenhuijzen yang berlindung di atas kapal perang “Citadel van Antwerpen”, maka surat “Pernyataan Perang” Belanda kepada Kerajaan Aceh yang telah ditulis pada tanggal 26 Maret 1873, disampaikan kepada Sultan pada tanggal 1 April 1873; pernyataan mana selengkapnya berbunyi :

“Komisaris Gubernemen Hindia Belanda untuk Aceh;

Menimbang bahwa bagi Gubernemen Hindia Belanda terpikul kewajiban untuk membersihkan segala rintangan dalam memelihara kepentingan umum atas perniagaan dan pelayaran di kepulauan Hindia Timur;

bahwa kepentingan umum itu telah terganggu oleh berlanjutnya pertentangan antara sesama negeri rantau Aceh, di antaranya ada yang telah datang meminta bantuan Gubernemen Hindia Belanda, tetapi masih saja belum bisa diberikan;

bahwa keinginan yang berulang-ulang dikemukakan oleh Gubernemen supaya keadaan demikian jangan terjadi lagi dan keinginan supaya ditentukan

59 Ibid. h 53

kedudukan Aceh dalam hubungan yang lebih tepat kepada Gubernemen Hindia Belanda, tetapi selalu saja terhambat oleh keengganan dari pihak pemerintah Kerajaan Aceh dan oleh kelengahan kerajaan untuk memelihara ketertiban dan keamanan yang diperlukan di daerah kekuasaannya;

bahwa percobaan untuk keperluan itu telah disambut dengan amat curang di kala Gubernemen Hindia Belanda sedang didekati dengan maksud membina perhubungan lebih akrab dengan Aceh;

bahwa telah diminta penjelasan kepada Sultan Aceh, pertama dengan surat tanggal 22 bulan ini sesudah itu pada tanggal 24, hasilnya tidak hanya tidak diberikan sama sekali penjelasan, tetapi juga telah tidak membantah segala apa yang didakwakan dalam surat itu dan lebih dari itu pula telah digiatkan mengumpul apa saja untuk mengadakan perlawanan;

bahwa dengan itu tidak bisa lain artinya selain bahwa Aceh menantang Gubernemen Belanda dan sikap permusuhannya;

bahwa karena itu pemerintah kerajaan Aceh telah bersalah melanggar perjanjian yang sudah diikatnya dengan Gubernemen Hindia Belanda bertanggal 30 Maret 1857 tentang perniagaan, perdamaian, dan persahabatan, yang karena itu meyakinkan bahwa pemerintah kerajaan tersebut tidak dapat dipercayai;

bahwa permintaan Hindia Belanda dalam keadaan seperti ini tidak mungkin lagi mempertahankan kepentingan umum yang diperlukan demi keamanan di bagian utara Sumatera, apabila tidak diambil tindakan kekerasan.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

38

Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah Hindia Belanda, atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sultan Aceh. Dengan pernyataan ini setiap orang diperingatkan terhadap beradanya mereka di bawah akibat perang dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam perang.

Termaktub di kapal perang “Citadel van Antwerpen” yang berlabuh di Aceh besar, pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873, (Tertanda) Nieuwenhuijzen.60

Surat ini kemudian dibalas oleh Sultan Aceh pada tanggal 1 April 1873 yang bunyinya sebagai berikut:

“Surat yang telah kita kirimkan pada hari Ahad yang baru lalu telah tidak diberi tanggal hari bulan, hanya karena kesilapan belaka. Mengenai dengan permakluman yang dimaksud dalam surat kita itu, isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari pihak kita tidak ada tumbuh sedikitpun keinginan untuk mengubah hubungan persahabatan yang sudah diikat. Sebab, kita hanya seorang miskin dan muda dan kita—sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda—berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Akhirulkalam kita sampaikan kepada tuan-tuan sekaliannya. Termaktub pada 1 hari bulan Safar 1290 (1 April 1873).”

Bila dicermati surat balasan Sultan Aceh menunjukkan keyakinan yang kuat kesultanan Islam Aceh untuk tidak tunduk dengan ancaman Belanda dan menyatakan bahwa perlidungan terbaik adalah dari Yang Maha Esa.

60 Muhammad Said: Aceh Sepanjang Abad halaman 389-400. Ismail Jakob: Teungku Tjhik di Tiro halaman 15-1 6. A.Hasjmy, op. cit. h. 29-30.

Agresi Belanda I di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler dengan kekuatan 168 orang perwira dan 3800 serdadu Belanda dan sewaan, dilakukan pada pagi hari tanggal 10 Muharram 1290 (5 April 1873) telah dihancurkan oleh Angkatan Perang Aceh yang gagah berani, sehingga setelah 18 hari bertempur, sisa-sisa serdadu Belanda lari pontang-panting ke kapal-kapalnya, dengan meninggalkan sekian banyak bangkai serdadunya yang mati konyol sementara bangkai panglimanya Mayor Jenderal J.H.R. Kohier pada tanggal 15 April 1873 masih sempat dilarikan ke kapal, sedangkan Komisaris Nieuwenhuijzen lari menyelamatkan diri ke Penang dengan kapal perang “Citadel van Antwerpen,” pada tanggal 1 April 1873 setelah dia menyampaikan kepada Sultan “Pernyataan Perang 26 Maret 1873.”

Kalau Pernyataan Perang 26 Maret 1873 tidak ada, tentu 50 tahun Perang Aceh lawan Belanda tidak ada pula, dan kalau Perang Aceh lawan Belanda tidak ada, tentu Teungku Tjhik Pante Kulu tidak akan muncul sebagai “Penyair Perang Terbesar di dunia dengan karya-sasteranya, Hikayat Perang Sabil.

Deklarasi Perang Belanda tersebut menjadi tonggak sejarah perjuangan pejuang-pejuang Aceh dalam mempertahankan akidah dan kehormatan mereka dari Penjajah Belanda.61

Agresi Belanda I gagal. Pejuang Aceh Darussalam dapat mempertahankan Aceh, bahkan Jenderal Kohler beserta 8 opsir62 terbunuh di samping banyak tentara Belanda yang juga tewas.63

61 A.Hasjmy, op.cit.h.32-3462 Opsir adalah perwira (pangkat kemiliteran Belanda)63 Imran Teuku Abdullah, Op. Cit. h. 4

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

39

Gb.5. Pohon geulumpang atau kelumpang ( Sterculia foetida, L1NN), yang tumbuh di halaman Mesjid Raya, oleh pihak Belanda dinamakan Köhlerboom ( = pohon Köhler)

karena tak jauh dari situ Jenderal Köhler tewas pada tanggal 14 April 1873

Agresi Kedua (9 Desember 1873)Kegagalan total dalam agresi pertama

tidak membuat Belanda menjadi sadar, malah dengan angkuh Belanda mempersiapkan agresi keduanya, yang didahului dengan gerakan mata-mata di bawah pimpinan konsulnya di Penang, G. Lavino.

Setelah usaha Kepala Intelijen G. Lavino dianggap matang maka Gubernur Jenderal Hindia Belanda Loudon mengangkat Letnan Jenderal J. Van Swieten menjadi Panglima agresi kedua tentara Hindia Belanda merangkap menjadi Komisaris Pemerintah Belanda untuk Aceh.

Dengan dibebani tugas untuk menaklukkan Aceh dengan kekerasan, yang dibuat dalam sebuah instruksi oleh Loudon bertanggal 16 November 1873, pada tanggal 16 November 1873 berangkatlah panglima agresi kedua. Letnan Jenderal J. Van Swieten menuju Aceh dengan membawa 60 buah kapal perang. Armada ini dilengkapi dengan 206 pucuk meriam, 22 pucuk mortir, 389 perwira, 7888 serdadu biasa, 32

orang perwira dokter, 3565 orang tawanan laki-laki yang dipaksa untuk berperang, 243 orang tawanan perempuan yang mungkin dijadikan tempat serdadu-serdadunya melampiaskan hawa nafsunya, pastor, guru agama, antek-antek kaki tangannya seperti Sidi Tahil, Datok Setia Abuhasan, Mas Sumo Widikdjo, Mohammad Arsyad, Ke Beng Swie, Pie Auw, Josee Massang, Li Bieng Tjhet, Tjo Gee, Si Diman, Ramasamy, Si Kitab, Ameran, Malela dan Said Muhammad bin Abdurrahman Maysore.64 Total pasukan yang dibawa Letnan Jenderal J. Van Swieten kurang lebih 13.000 orang.65

Pada tanggal 28 November 1873 tentara penjajah Belanda di bawah pimpinan Van Swieten tiba di pelabuhan Aceh dan pada tanggal 9 Desember 1873 tentara penjajah Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal Verspijck mendarat di pantai Kuala Lue dan besoknya berkumpul di Kuala Gigieng. Setelah enam hari kemudian mereka baru dapat mencapai Kuala Aceh, yang kemudian menuju Peunayong dan Gampong Jawa, di mana sejak hari pertama mereka mendarat sampai direbutnya keraton mendapat perlawanan dahsyat dari angkatan perang dan rakyat Aceh.

Setelah menderita korban yang sangat banyak, maka pada tanggal 24 Januari 1873 bertepatan dengan 6 Dzulhijjah 1290, panglima agresor Letnan Jenderal J. Van Swieten dapat menduduki “Istana Kerajaan” yang telah dikosongkan. Ia kemudian mengirim kawat kemenangannya kepada Gubernur Jenderal Loudon di Jakarta, yang berbunyi: “24 Januari kraton raja dan tanah air sudah di tangan kita, diucapkan selamat atas kemenangan ini”

Di samping kawat itu, Van Swieten mengeluarkan pula sebuah proklamasi yang berbunyi: “Bahwa Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum perang, menjadi hak-milik Kerajaan Belanda.” Banda Aceh kemudian dinamainya

64 A.Hasjmy, Op.cit. h.36-3765 Joko P. Putranto, ACEH CONFLICT RESOLUTION: LESSONS

LEARNED AND THE FUTURE OF ACEH, Naval Postgraduate School Monterey California, June 2009. h

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

40

“Kutaraja” dengan mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat pada tanggal 16 Maret 1874.

Jatuhnya Keraton Kerajaan Aceh pada 31 Januari 1874 dan meninggalnya Sultan Mahmud Syah di pengungsian di daerah Pagar Ayer karena wabah kolera dianggap sebagai kemenangan oleh pihak Belanda. Setelah mengusai ibukota dan sebagian kecil wilayah Aceh Besar serta memploklamirkan kemenangan, Belanda berharap seluruh wilayah Aceh yang lain menyerah.

Harapan dan prediksi Belanda ternyata meleset. Bahkan perlawanan rakyat Aceh semakin meningkat, ulama yang kebanyakan adalah pimpinan dayah (pesantren) ikut mengobarkan perlawanan bersama santri-santrinya.

Sepeninggal Mahmud Syah, tampuk pemerintahan dijalankan oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda selaku Mangkubumi karena Sultan Muhammad Dawud Syah masih kecil. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Keumala, Pidie.66

Setelah beberapa tempat penting di Aceh Besar direbut juga maka keadaan sudah sangat kritis. Untuk mengatasi keadaan yang sudah demikian gawatnya, beberapa langkah penting diambil, sehingga situasi dapat dikendalikan kembali. Kira-kira 500 orang pemimpin terkemuka mengadakan satu musyawarah kemudian mengikrarkan satu baiat di bawah pimpinan Imam Lungbata dan Teuku Lamnga; baiat yang diucapkan bersama dengan suara yang mengguntur, yang menyatakan “wajib perang sabil” untuk mengusir kafir Belanda yang telah melakukan agresi terhadap Kerajaan Aceh Darussalam.

Atas dasar wajib jihad yang diikrarkan bersama dalam musyawarah itu maka ulama-ulama aktif dan mengambil peran penting, baik sebagai pemimpin perang maupun sebagai pengawas koordinasi perlawanan total rakyat terhadap Belanda.

66 Imran Teuku Abdullah, Op.Cit. h 5

Ketentuan-ketentuan terhadap rakyat awam, menurut keputusan musyawarah itu ialah:

1. Sifat jihad, rakyat yang diwajibkan turut serta memanggul senapang atau kelewang (tegasnya bertempur) adalah mereka yang sudah menyatakan sukarela untuk ambil bagian langsung;

2. Rakyat diwajibkan gotong-royong untuk segera memperbaiki masjid yang rusak akibat perang supaya kewajiban ibadah tetap terpelihara;

3. Rakyat diwajibkan gotong-royong untuk bersama-sama mengatasi akibat perang;

4. Dalam masa perang dilarang mengadakan pertemuan-pertemuan sukaria yang tiada bertalian dengan agama, seperti seudati dan yang seperti itu;

5. Setiap yang membutuhkan bantuan, wajib diberi bantuan oleh penduduk, terutama jika mereka memerlukan pemondokan dan persembunyian;

6. Apabila diperlukan untuk membikin benteng (kuta), rakyat diwajibkan bergotong-royong;

7. Ulama setempat berwenang memberikan bantuan dan/atau menerima pengaduan-pengaduan rakyat di dalam mengatasikesulitan yang dideritanya.

Di samping konsolidasi dalam negeri yang berhasil dijalankan, Dewan Delapan yang berkedudukan di Penang dan diketuai oleh Teuku Paja juga menjalankan kegiatan diplomasi. Dengan suratnya yang bertanggal 20 Muharram 1291 (8 Maret 1874), dari Penang Dewan Delapan melaporkan kepada Kerajaan Aceh Darussalam dengan perantaraan Teuku Panglima Polem. Surat laporan yang mengandung dorongan bertempur disambut dengan hangat di Aceh.

Di Lamsie, Aceh Besar, diadakan pula sebuah rapat rahasia yang dihadiri oleh Teuku Panglima Polem, Teungku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abee, dan sejumlah ulama-ulama dan uleebalang-uleebalang yang belum menyerah kepada Kompeni Belanda. Yang menjadi tema

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

41

pertemuan, yaitu menggiatkan perang jihad untuk mengusir Belanda.

Dalam rapat itu Teungku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abee menegaskan “bahwa tenaga perjuangan masih belum hancur seluruhnya, tetapi yang sudah kurang yaitu kesucian batin dan kekuatan iman,” yang akhirnya beliau menutup nasihatnya dengan kata-kata yang sangat berkesan:

“Sebelum kita memerangi musuh lahir, perangilah musuh batin dahulu, yaitu hawa nafsu. Harta rakyat yang ada pada kita masing-masing, yang telah diambil karena menurut hawa nafsu, serahkanlah kembali dengan segera.

Janganlah rakyat itu selalu teraniaya, tegakkanlah keadilan di tengah-tengah kita terlebih dahulu, sebelum kita minta keadilan pada orang lain. Bertobatlah, wahai teuku-teuku, dahulu sebelum mengajak rakyat memerangi Kompeni. Kalau tidak juga dikembalikan harta rakyat yang diambil dengan jalan yang tidak sah, yakinlah rakyat akan membelakangi kita dan kita akan tersapu bersih dari Aceh ini, melebihi dari yang sudah-sudah.

Kalau yang saya minta teuku-teuku penuhi maka saya akan bersama-sama teuku-teuku ke medan perang. Bila tidak, saya dan murid-murid saya jangan dibawa serta.”

Nasihat Teungku Tjhik Tanoh Abee ini dikuatkan oleh Teuku Panglima Polem, yang menganjurkan agar semua hulubalang kembali kepada ajaran Allah.

Kaum mujahid yang bergerak sekitar Lembah Seulawah berkumpul mengadakan rapat rahasia di Gunung Biram, Seulimeum. Dalam rapat tersebut, kecuali membicarakan masalah taktik dan strategi perang gerilya melawan serdadu-serdadu Belanda, juga diputuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Pidie untuk Teungku Tjhik Dayah Tjut Tiro, yaitu Teungku Muhammad Amin, seorang ulama yang amat besar pengaruhnya.

Dalam suatu pertemuan dengan para ulama dan pemimpin rakyat terkemuka di Tiro yang

dipimpin oleh Teungku Tjhik Muhammad Amin Dayah Tjut, delegasi dari Gunung Biram mengemukakan kegawatan yang sedang melanda Aceh Besar. Akhirnya rapat memutuskan untuk membantu perang ke Aceh Besar dengan mengirim sejumlah ulama di bawah pimpinan kemenakan Teungku Tjhik Dayah Tjut sendiri, yaitu Teungku Haji Muhammad Saman yang baru kembali dari Mekkah, yang kemudian namanya termasyhur dengan “Teungku Tjhik di Tiro”.

Teungku Haji Muhammad Saman tidak saja mendapat mandat dan restu dari pamannya, Teungku Tjhik Dayah Tjut, tapi juga Sultan. Ia, yang sudah berkedudukan di Keumala, memberi wewenang kepadanya untuk memimpin “Perang Sabil” melawan Belanda dengan mengangkat beliau menjadi Wazir Sultan atau Menteri.

Dalam perjalanan dari Tiro ke Aceh Besar, di berbagai tempat sepanjang jalan, Teungku Haji Muhammad Saman mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para ulama dan pemimpin rakyat dalam rangka mengobarkan semangat jihad, seperti di Garut, Padangtiji, Gunung Biram, Tanoh Abee, Je Alang, dan Lamsie. Para ulama dan pemimpin rakyat yang dijumpainya, termasuk Teungku Panglima Polem dan Teungku Tjhik Tanoh Abee, telah menjanjikan akan membantu usaha perang Teungku Tjhik di Tiro.

Setelah mengunjungi beberapa tempat, akhirnya Teungku Tjhik di Tiro membangun markas besarnya di Mureu dekat Indrapuri, dari sanalah beliau mengirim utusan ke segala penjuru Aceh untuk menemui para Ulama dan pemimpin rakyat, sehingga dalam waktu tiga bulan saja keadaan di seluruh Aceh, terutama di Aceh Besar, telah terbakar oleh panasnya api jihad.

Saat Teungku Tjhik di Tiro sedang sibuk mempersiapkan angkatan Perang Sabil, datanglah Teungku Haji Muhammad Pante Kulu yang baru saja pulang dari Mekkah, yang dikirim oleh pamannya, Teungku Tjhik Dayah Tjut. Teungku Haji Muhammad Pante Kulu, yang lebih terkenal dengan nama Teungku Tjhik Pante

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

42

Kulu, mempersembahkan kepada Teungku Tjhik di Tiro, sebagai Panglima Perang Angkatan Sabil, sebuah karya sastra yang bernama Hikayat Perang Sabil untuk membangkitkan semangat jihad.

Perang Sabil yang dilancarkan rakyat Aceh di bawah pimpinan para ulama, di mana Teungku Tjhik di Tiro duduk sebagai pemimpin tertinggi, benar-benar telah memusingkan kepala pimpinan Angkatan Perang Hindia Belanda yang sedang mabuk menang perang.

Teungku Tjhik di Tiro, Syekh Saman, dan barisan sabilnya yang berjumlah 6000 orang menggencarkan serangan atas garis pertahanan. Ia mendirikan benteng-benteng yang berderet letaknya, seolah-olah mengurung Kompeni dalam garis konsentrasinya. Benteng-benteng ini memungkinkan bagi pasukannya melakukan aksi sewaktu-waktu. Dari benteng-benteng ini keluar kelompok-kelompok kecil, yang menyeberangi garis demarkasi Kompeni yang lebarnya 1 km dan sampai ke batas pagar-besi Kompeni.

Berbagai gerombolan berhasil menyusup melewati pagar besi sampai ke tengah-tengah daerah musuh dan mengamuk di sana. Banyak bencana yang mereka sebabkan; juga kaum wanita masuk ke dalam benteng musuh, dengan menyamar sebagai penjual makanan di siang hari dan pejuang gerilya di waktu malam. Kian besar kemenangan mereka, kian hebat pula anjuran penyair Hikayat Perang Sabil untuk melakukan perang sabil.

Tentara Kompeni hampir tidak bisa bergerak: jalan kereta api dan jalan trem rusak, kawat telepon yang menghubungkan benteng satu dengan yang lain digunting. Menurut catatan administrasi ketentaraan, kawat yang hilang dirampas dalam setahun saja panjangnya mencapai 51 km.

Teungku di Tiro juga menulis surat kepada Residen Van Langen, yaitu memajukan syarat-syarat perdamaian di Aceh agar dapat dilaksanakan (bunyinya antara lain ) :

“Setahun yang lalu kami dalam sebuah surat kepada Tuan tentang mengadakan perdamaian memajukan dengan tegas syarat kami: Demi Tuan Besar masuk dalam agama Islam dengan mengucapkan Syahadat maka kami sudi mengadakan perjanjian dengan Tuan.”

Demikian mulai surat Ulama yang masyhur itu. Ia menguraikan pula betapa lemah kedudukan Kompeni sejak ia mengurung diri dalam daerah konsentrasi :

“Tapi, hingga sekarang kami tidak mendapat balasan dari Tuan atas surat kami. Sesungguhnya, apabila Tuan-Tuan memeluk agama Islam dan mengikuti Sunnah Rasul Allah, ini adalah yang sebaik-baiknya bagi Tuan-Tuan. Tuan akan selamat di dunia, tidak akan menderita bahaya dan ancaman dibunuh, tidak dihinakan harus lari menyelamatkan diri lewat sawah-sawah, pipa air, hutan, dan jalan; sedangkan sekarang kehinaan yang sebesar-besarnya menanti Tuan, yakni bahwa Kompeni harus meninggalkan Aceh seluruhnya, miliknya dirampas semuanya oleh tangan kaum muslimin Aceh yang miskin dan lemah ini! Malapetaka yang paling besar masih menanti Tuan; ialah hukuman hari kiamat, yakni di neraka, menurut hukum Tuhan Seru Sekalian Alam!”

Pemerintah Belanda tidak segera memberi jawaban atas ancaman ulama ini. Pemerintah di Den Haag baru mendapat “jurus yang tepat untuk menjawab tuntutan yang diajukan itu” pada tahun 1888 Menteri Daerah Jajahan Keuchenius menulis di Buitenzorg :

“Tuntutan yang tidak benar, bahwa kita harus masuk agama Islam, agaknya akan diakui juga oleh Teungku di Tiro, kalau ia membaca ayat 257 Surah ke-2 dari Al-Qur’an yang berbunyi: ‘Janganlah ada paksaan dalam agama; siapa yang menyangkal tahyul dan percaya Allah, dialah bersandar pada tongkat yang tidak akan patah-patah’.”67

67 Yang benar surat Al-Baqarah ayat 256 (bukan ayat 257 seperti yang disebut Menteri Jajahan Belanda tersebut). Terjemah lengkapnya: "Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu, siapa saja yang ingkar

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

43

Dari jawaban menteri ini terbukti betapa Pemerintah Belanda menyegani musuhnya. Sebaliknya, Belanda merasa malu, karena Aceh dalam waktu 15 tahun belum tunduk juga, sedangkan di daerah lain kekuasaan penjajah semakin kokoh. Dari uraian-uraian di atas jelaslah betapa besar peranan para ulama dalam masa 50 tahun Perang Aceh melawan Belanda.68

Biaya perang sudah naik mencapai jumlah yang pada waktu itu adalah luar biasa besarnya, yaitu 1.5 juta gulden setiap bulan.

Habib Abdurrahman MenyerahVan der Heijden diperintahkan mengejar

tentara-tentara Abdurrahman yang kecil di sekitar Mukim XXII dan XXVI seluruhnya. Pengejaran membawa hasil pada tanggal 25 Agustus 1878. Pada hari itu muncul tiga orang utusan Habib di pos Belanda Lam Baro dengan permohonan tertulis meminta ampun dan minta berunding serta menyerah. Dalam hubungan tertulis itu ternyata Abdurrahman bersedia menghentikan peperangan, syaratnya ia beserta empat ratus orang anggota keluarga dan pengikutnya diperkenankan berangkat ke Arab dengan kapal Belanda dan menerima pensiun di sana. Tuntutan ini tidak kecil, tetapi Van Lansberge dan Van der Heijden yakin bahwa menyerahnya Abdurrahman akan membuat peperangan ini lain jadinya.

Pada bulan Oktober menyusul persetujuan setelah ada perkenan dari Pemerintah Belanda. Abdurrahman akan diangkut ke Mekkah bersama dengan dua puluh orang pengikut naik kapal Belanda dan di sana seumur hidupnya ia akan menerima uang tahunan sebanyak 10.000 ringgit Spanyol. Sebelum berangkat pada tanggal 24 Desember, melalui nasihat tertulis dicobanya menganjurkan para pemuka Aceh agar menyerah. Akan tetapi sia-sia. Para pemuka feodal, yang dalam tahap perang ini seluruhnya telah diungguli oleh kaum ulama, ternyata

kepada thaghut dan beriman pada Allah, sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

68 A.Hasjmy, Op.cit. h.38-44

selama ini sudah tidak baik hubungannya dengan Abdurrahman. Sekarang benar-benar mereka dapat menudingnya sebagai pengkhianat. Dia telah kehilangan pengaruhnya.69

Menyerahnya Abdurahman tidak diikuti penyerahan para pemimpin lain secara besar-besaran. Bulan Maret sampai Agustus 1879 Belanda kemudian melakukan pembantaian berdarah di Aceh Besar sampai Indrapuri.

Para pemimpin pejuang, Teungku di Tiro, Panglima Polim, dan Imam Lueng Bata mundur menarik kekuatan ke pedalaman Pidie. Membawa serta sekitar 3000 orang, 18 meriam gunung, dan 1700 tukang pikul. Dengan mundurnya para pejuang operasi militer kedua dinyatakan berakhir oleh Van Lansberge.

Korban dari pihak NIL tahun 1879 berjumlah 865 orang. Dari kalangan tawanan perang yang dipaksa berperang dari 3200 orang 1548 di antaranya tewas. Korban di pihak Aceh tidak diumumkan. Namun, Jenderal Van Swieten memperkirakan antara tahun 1874–1880 sekitar 3000 orang Aceh gugur dan 400 sampai 500 kampung dibakar.70

Van Swieten, yang sebelumnya juga telah menulis sesuatu tentang Aceh, pada tahun 1879 menulis dengan judul yang berani De waarheid over onze vestiging in Atjeh (Kenyataan sebenarnya tentang pendudukan kita di Aceh). Segalanya dibongkar, semua penulis brosur dan teman-teman sekutu mereka digarap. Disesalkannya “dasar-dasar kemanusiaan yang keliru”. Ia mengemukakan penyesalan yang lebih berat kepada Verspijck. Verspijck bersalah, “kena penyakit gila yang seolah-olah telah menjangkiti seluruh tentara Hindia,” yaitu membakari kampung-kampung. “Muncullah di sini kekeliruan. Celakanya, banyak panglima kita keranjingan, di samping menggunakan kelewang juga main bakar dengan obor.”

Sesudah keberangkatannya dari Aceh, demikian menurut Van Swieten, penyokong-penyokong kekerasan perang yang kasar ini

69 Paul Van T Veer. Op.Cit. h 9470 Ibid. h 96

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

44

dapat bersorak gembira. “Sebab, bagaimanapun tercelanya prinsip mereka, tindakan ini dilakukan dengan kekejaman yang tiada taranya, tidak hanya terhadap kampung-kampung yang mempertahankan diri, tetapi juga terhadap kampung-kampung yang ditinggalkan, kalau-kalau mereka besok atau lusa akan dapat mempertahankan diri.

Akibatnya, dalam peta Aceh Besar yang dibuat pada bulan Maret 1876 terdapat 230 kampung yang habis terbakar. Untuk menutupi tindakan-tindakan keji itu, dalam laporan-laporan tidak terbaca lagi pembakaran kampung-kampung. Sekarang tindakan itu disebut penghukuman, yang tidak lain daripada ungkapan eufemistis untuk membakari rumah, memusnahkan panen, dan menebangi pohon buah-buahan. Dan orang merasa heran bahwa perang begitu lama berlangsung dan orang Aceh tidak mau takluk kepada suatu bangsa, yang tentaranya mereka lihat begitu keji melakukan pembersihan.”

Masih dalam tahun itu juga, Van Swieten juga menulis dengan judul De luitenant-Generaal Van Swieten contra den Luitenant-Generaal Verspijck. Ia mengemukakan sampai tahun 1880 sudah 400 sampai 500 kampung yang dibakar dan sesudah tahun 1874 sampai 1880, 30.000 korban lagi tewas. Inilah neraca Perang Aceh Van Swieten: “Pada bagian debet: 30.000 jiwa manusia, lebih dari 160 juta gulden di samping mengenakan pajak-pajak baru di Negeri Belanda dan di Hindia agar sistemnya dapat bertahan. Pada bagian kredit: rakyat dendam, dan suatu negeri hancur, yang dimusnahkan oleh Belanda, dan harus ditaburi bayonet untuk dapat mempertahankan bagian kecil yang direbut.”71

71 Ibid. h 100-101

Gb. 6. Korban Pembantaian di Kampung Likat sebanyak 432 orang, termasuk 212 wanita dan anak-anak, hasil serbuan

pasukan Van Daalen

Perang Jilid Tiga (1884 -1896)Keadaan Kutaraja yang selalu diteror oleh

para pejuang Aceh membuat Belanda tidak nyaman. Pemimpin-pemimpin perang dari kalangan ulama seperti Teungku di Tiro dari Pidie yang tegar, serta di pihak lain Teuku Umar yang tidak punya ngeri dan liberal cepat memperoleh dukungan pasukan tempur. Selama tahun 1883 perang akan pecah lagi dengan hebat. Gubernur Jenderal Jacob yang mengunjungi Aceh pada bulan Agustus kecewa. Tujuan kunjungannya untuk menyelidiki apakah penyusutan kekuatan pasukan Belanda dapat dilakukan agar bisa dilakukan pengurangan biaya perang secara drastis.

Di Negeri Belanda tampil kabinet yang bercorak konservatif dan liberal kanan pada bulan April. Menteri jajahan yang baru, F.G. van Bloemen Paanders, mempunyai pandangan pribadi untuk mengakhiri perang. Sebagai bekas pejabat Hindia, bekas direktur Dalam Negeri (BB), dia melihat kemungkinan-kemungkinan untuk

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

45

memulihkan kesultanan di bawah pimpinan Belanda. Apa yang berjalan di tanah kerajaan di Jawa, di Siak, dan di tempat lain yang begitu lancar jalannya, mestinya dapat juga dilakukan di Aceh. Sebelum rencananya dapat terwujud, Nusantara dilanda oleh beberapa malapetaka, antara lain letusan Gunung Krakatau, yang pada bulan Agustus 1883 menelan 36.000 jiwa manusia di daerah pesisir di Selat Sunda.72

Pasukan Marsose Pada masa konsentrasi, pasukan gerilya

kecil-kecil menyusup sampai ke lini benteng-benteng, taktik tradisional dan perlengkapan tradisional tidak mempan. Pada tahun 1889 dibentuk dua detasemen pengawalan mobil yang dianggap sebagai pelopor korps yang sesudah dua puluh tahun kemudian akhirnya merupakan jawaban terhadap masalah-masalah militer yang dikemukakan oleh Perang Aceh. Korps ini adalah Korps Marsose Jalan Kaki.

Korps ini dibentuk pada 20 April 1890 atas usul seorang Hindia yang menjadi jaksa kepala pada pengadilan di Kutaraja, bernama Muhamad Arif. Ia menasihati gubernur militer Aceh ketika itu, Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya, seorang kapten yang bernama J.B. van Heutsz, untuk membentuk sejumlah detasemen mobil kecil-kecil yang terdiri dari orang-orang yang cukup berani untuk mencari gerilyawan dan melawannya dengan senjata-senjata mereka sendiri. Kontra gerilya sebagai jawaban atas gerilya.

Usul ini diterima. Nama korps baru ini menunjukkan bahwa pada mulanya ia dimaksudkan sebagai polisi militer. Pembentukan pertama korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing-masing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa di bawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia.

Pada tahun 1897 menyusul peluasan sampai dua divisi, dan pada tahun 1899 sampai

72 Ibid h 112-113

lima divisi, semuanya berjumlah 1.200 orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi marsose di Jawa, tetapi korps ini tidak pernah menjadi lebih besar. Dalam renungan-renungan kemudian, dengan nada romantis tentang Perang Aceh, digambarkan seakan-akan 1.200 orang inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala tentara yang sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar. Secara kekuatan efektif, kekuatan pasukan seluruhnya di Aceh di bawah Van Heutsz lebih besar daripada kekuatan-kekuatan sebelumnya. Memang benar, dan ini tidak kecil artinya, bahwa marsose mempunyai semangat yang lebih jika dibandingkan dengan infanteri lama.

Di bawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak terlukiskan dan ekspedisi-ekspedisi teror oleh brigade-brigade marsose, yang mengakibatkan ratusan orang laki-laki, perempuan, serta anak-anak terbunuh. Tetapi, ada pula pekerjaan brigade marsose kecil-kecil yang beroperasi sendiri di daerah musuh, dengan daya tahan yang luar biasa disertai keberanian yang hebat, yang dapat disebut kepahlawanan militer dalam Perang Aceh.

Kemandirian brigade merupakan rahasia besar marsose. Persenjataannya sebaik-baik persenjataan pada masa itulah: karaben pendek, bukan senapan panjang-panjang, kelewang dan rencong, sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan segera juga topi anyaman sebagai pengganti helm yang tidak praktis. Memang brigade-brigade itu membawa beberapa narapidana kerja paksa untuk mengangkut dua layar tenda, satu untuk ‘sang pemimpin’, satu untuk brigade, dan bagasi umum lain, tetapi seluruhnya mereka berdikari. Masing-masing di antara mereka memasak dalam periuknya sendiri dan membawa perbekalannya sendiri-sendiri.73

73 Ibid h 141-142

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

46

Teuku Umar dan Teungku Saman di TiroSejak dulu, siapa yang memperoleh

kekuasaan tertinggi di seluruh negeri: kaum agama atau kaum feodal? Keduanya sama-sama menghadapi kesulitan dari para tipe petualang seperti Teuku Umar, yang sekaligus melakukan perang sabil—perang suci terhadap Belanda—dan melakukan penyergapan-penyergapan di daerah pantai barat, tetapi dan tidak pula enggan menguasai dana perang muslim.

Teungku Syekh Saman di Tiro adalah pemimpin kaum agama. Ia menekankan bahwa perang suci haruslah dilaksanakan seluruhnya menurut aturan-aturan agama, barulah Allah memperkenankan hasil. Dia berhasil menghimpun pasukan-pasukan yang baik persenjataannya dan teguh disiplinnya, yang terdiri dari ratusan anggota, kadang-kadang dengan bantuan desertir-desertir Belanda yang disambutnya dengan gembira.

Ia mengirimi para uleebalang surat dengan anjuran-anjuran: “Takutilah Allah Yang Mahabesar dan Mahakuasa dan kerjakanlah perintah-Nya; jauhi apa yang telah menjadi larangan-Nya, anjurkanlah kaum Muslimin berbuat demikian, dan suruh mereka bersiap melakukan perjuangan terhadap kaum kafir Jangan terpedaya Tuan-Tuan dengan kuasa kafir ini dan banyak (hartanya dan kuat perkakasnya serta banyak serdadunya) dibandingkan dengan kuasa kami, harta kami, perkakas kami, dan rakyat Muslimin karena tiada kuasa dan tiada yang lebih kaya serta tiada yang lebih banyak tentaranya melainkan Allah Ta’ala Yang Mahabesar. Tiada yang memiliki manfaat dan mudarat melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tiada yang memberi teladan menang melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki semesta alam.

Antara tahun 1884 dan 1889 Syekh Saman bahkan berulang kali mengirim surat kepada pemerintah di Kutaraja. Di dalamnya ia menganjurkan orang Belanda masuk Islam: “Jika Tuan-Tuan dengar dan turut seperti nasihat kami

ini dapat untung baik, dapat kemegahan, jadi Tuan akan menjadi kepala kami dan dapat harta, seperti mereka yang telah lari ke pihak kami telah memperoleh harta dan hidup dengan senang serta berjalan tanpa mengikuti perintah orang lain, tenang tidur dan makan tanpa menghindari mereka atau menyalahkan mereka, bebas sebagai burung di hutan dan ikan dalam air, dan mendapat sejumlah wanita yang baik-baik serta tidak bergaul dengan orang lain, semua menurut hukum-hukum Islam.

Umar berasal dari keturunan hulubalang di pantai barat. Berangsur-angsur dia berhasil meluaskan kekuasaannya dengan menguasai kebun-kebun ladanya dengan baik, dengan kecerdasan, tipu daya, keberanian, perkawinan-perkawinan yang menguntungkan, teror, dan entah apa lagi. Pada tahun 1870 dia kawin dengan putri hulubalang yang fanatik, Cut Nya’ Din, yang besar pengaruhnya padanya. Seperti Syekh Saman diangkat oleh Sultan menjadi Raja Laut. Gelar-gelar ini mempunyai satu persamaan. Artinya, bisa segala apa saja atau sama sekali tidak apa-apa, bergantung kepada si pemakainya memberikan isi pada gelar-gelar ini.

Termasuk dalam taktik Umar adalah mengadakan pendekatan berkala pada Belanda dalam masa panen lada tiap tahun jika dia mencari kemungkinan pengapalan. Antara panen dan gairah, dia memainkan peranan satria penyamun berdasarkan kebangsaan atau kedaerahan, dengan menggunakan ketentuan ajaran-ajaran agama.

Pada zaman Nisero dia telah memainkan peranan. Pada tahun 1866 dia sendiri membuat perkara Nisero. Pada tanggal 14 Juni dia menyerang bersama gerombolannya yang memuat lada di Teluk Rigas di pantai barat dan menyelundupkan senjata. Dengan kedok hendak bertemu secara bersahabat, mereka naik ke kapal dan tiba-tiba saja Teuku Umar dan orang-orangnya menerkam perwira-perwira kapal orang Eropa.

Kapten Hansen, orang Den, dan juru Mesin Robert McCuIIogh dibunuh. Istri kapten dan

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

47

juru mudi satu dibawa untuk menuntut uang tebusan. Kapal itu dirampok dan ditinggalkan, kemudian awak kapalnya oleh orang-orang Melayu dilayarkan ke Olehleh. Tampaknya peristiwa Nisero berulang. Sebagiannya memanglah begitu. Koran-koran Pinang dan Singapura mencaci maki habis Belanda. Tetapi, dalam hal ini jelas, berbeda dengan peristiwa Nisero, bahwa para pemilik orang Hofe Canton di Pinanglah yang dalam perdagangan selundupan seperti ini harus menanggung risiko sendiri. Bencana militer seluruhnya diulangi. Sebuah ekspedisi kecil yang dikirim dari Olehleh ke seberang harus kembali dengan sia-sia. Nyonya Hansen, yang menderita luka, dan Fay diangkut ke sana kemari. Kemudian mereka dibebaskan dengan uang tebusan 25.000 ringgit.

Pada bulan Januari 1891 timbul harapan baru bagi Belanda. Tidak lama berselang meninggal berturut-turut dua orang pemimpin perlawanan yang paling gigih terhadap Belanda dalam kedua kelompok perlawanan: Panglima Polim dan Teungku di Tiro. Kematian mereka ternyata tidaklah mempunyai arti sepenting yang diduga. Perlawanan menjadi terpecah-pecah, tetapi dengan demikian belum berarti lebih mudah menghadapinya. Walau demikian, baik di kalangan hulubalang maupun di kalangan ulama tidak timbul lagi pemimpin-pemimpin dengan wibawa moral yang begitu besar seperti Tiro Tua dan Panglima Polim. Anak-anak mereka memang mewarisi gelar dan pangkat, tetapi tidak mewarisi wibawa mereka. Putra sulung Syekh Saman, yang juga disebut Teungku di Tiro (nama yang sebenarnya Teungku Mat Amin) bukan tandingan bapaknya. Panglima Polim yang baru, kepala sagi Mukim XXII, lebih mempunyai prestise. Kepemimpinan feodal memang mempunyai pewaris yang lebih baik daripada kekuasaan kerohanian. Tetapi, dia bukanlah benar-benar seorang pemimpin besar.74

Umar ingin mengambil keuntungan dari kondisi ini. Ia ingin jadi penguasa di bawah Belanda. Kemudian ia menawarkan kerjasama

74 Ibid h 144-147

dengan Belanda untuk membantu menghadapi pejuang kaum ulama dengan syarat dia diampuni dan didukung penuh. Tawaran ini disambut baik oleh Belanda. Deijkerhoff mengampuni Teuku Umar dan memberinya senjata-senjata untuk bertempur di Mukim VI.

Pada bulan Juli dan Agustus 1893 untuk pertama kalinya Teuku Umar tampil dengan bantuan Belanda dalam Mukim XXV dan XXVI; dari sinilah daerah-’nya’ diserang. Hasilnya besar. Penduduk yang melarikan diri kembali pulang dan hulubalang-hulubalang yang penting dari kedua sagi menggabung pada Umar. Pada tanggal 30 Desember—bahkan dalam suatu upacara di Kutaraja—dia diangkat menjadi Panglima Perang besar oleh pemerintah. Dia kemudian mempunyai nama baru yang diakui oleh Belanda: Teuku Johan Pahlawan. Bersama dengan lima belas panglimanya sang panglima besar menyatakan sumpah setia kepada Belanda.

Gubernur memerintahkan penyelenggaraan upacara besar-besaran. Semua pejabat pemerintah dan perwira-perwira tinggi hadir serta semua pemuka yang bersahabat dari dalam dan luar Lini. Dalam rangka mengonsolidasikan sukses Umar, dibuat beberapa benteng sementara dengan penghuni campuran Aceh dan Belanda. Demikian besarnya kepercayaan Deijkerhoff kepada Teuku Johan sehingga dia pribadi akan melindunginya. Untuk segala persoalan Teuku Johan akan langsung berhubungan dengan Gubernur dan hanya menerima perintah-perintah pribadi dari dia. Ada suatu soal kecil lagi: pantai barat sementara tetap ditutup, tetapi Teuku Johan mendapat izin mengangkut ladanya lewat Olehleh.

Pada bulan-bulan akhir tahun 1893 Panglima Besar melanjutkan operasinya yang sangat berhasil. Pada bulan November dia memiliki tentara yang terdiri dari dua ribu orang bersenjata, senjata Belanda. Pada tanggal 30 Oktober bahkan dia menaklukkan Anenk Galong, markas militer yang terpenting dari Panglima Polim (muda) di lembah. Deijkerhoff menetapkan penempatan 140 orang dengan lima orang perwira dan

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

48

menyuruh mengibarkan bendera Belanda lagi di atas pos yang dikosongkan pada tahun 1884. Dalam waktu setengah tahun, berkat Johan Pahlawan, seluruh daerah Mukim XXV dan XXVI, bahkan sebagian dari Mukim XXII, dibersihkan dari musuh. Para pejabat Belanda optimis bahwa perang segera berakhir. Sebagian besar percaya dengan kesetiaan Umar.75

Di Kutaraja mulai beredar desas-desus bahwa Panglima Perang Besar, yang berada dalam keadaan terjepit karena perintah-perintah Deijkerhoff, bermaksud berkhianat terhadap Belanda. Deijkerhoff tidak percaya. Menurut Teuku Johan, legiunnya tidak cukup diperlengkapi untuk melakukan operasi.

Deijkerhoff memenuhi permintaannya. Gerakan akan dimulai pada tanggal 30 Maret 1896. Pada tanggal 26 Maret, Teuku Johan untuk melengkapi perbekalannya dapat menerima: 380 senapan kokang modern dan 500 senapan lantak kuno, 25.000 pelor, 500 kilo mesiu, 120.000 sumbu mesiu, dan 5.000 kilo timah untuk mengisi sendiri persediaan amunisi. Selanjutnya persediaan candu yang banyak dan 18.000 ringgit Spanyol sebagai dana perang, atau bila perlu membagi-bagikan “hadiah” kepada pemuka-pemuka di Lam Krak. Tetapi, permintaan Johan agar diberikan meriam lapangan tidak dipenuhi.

Pada hari itu juga beberapa orang mata-mata Aceh melaporkan lagi bahwa Teuku Johan merencanakan hendak membelot. Hari berikutnya “pengkhianatan Teuku Umar’” menjadi kenyataan. Umar segera secara resmi menanggalkan jabatannya sebagai panglima perang besar Teuku Johan Pahlawan, menolak melaksanakan perintah-perintah Deijkerhoff, dan wakil-wakil panglimanya pada hari itu juga mulai dengan memanfaatkan dengan baik senjata-senjata barunya melakukan pertempuran terhadap pasukan Belanda.76

Dari semua sagi77 berdatangan orang-orang menggabungkan diri dengan pasukan T. Umar di

75 Ibid. h 149-15076 Ibid. h 16477 Sagi adalah gabungan negeri-negeri yang merupakan pengelompokan

mukim-mukim dalam kesatuan yang besar. Mukim terbentuk dari

Mukim VI. Dalam pertempuran memperebutkan benteng-benteng yang dikuasai pasukan T. Umar, di pihak Belanda jatuh korban 230 orang luka dan mati, di antaranya 8 orang opsir. Pada bulan Mei 1896 Belanda dapat membersihkan Mukim VI dari barisan muslimin.

Dalam pertempuran seru yang memperebutkan benteng Aneuk Galöng, Aceh Besar, pada 28 Juni 1896, gugur 110 orang di pihak muslimin, yang kebanyakan berasal dari Pidie, sedangkan di pihak Belanda hanya mati 6 orang dan 33 luka-luka, di antaranya 4 orang opsir. Serangan tiba-tiba terhadap Aneuk Galong ini dianggap oleh Belanda sebagai salah satu lembaran yang terindah dalam sejarah korps marsose. Di antara para pejuang Aceh yang gugur terdapat Tgk. M. Amin, putra Tgk. Chik di Tiro M. Saman, dan uleebalang Aree, T. Cut. Pertempuran ini sangat merugikan Aceh.78

Peran Snouck HurgronjeNamun ada juga yang menentang kebijakan

Deijkerhoff terhadap umar tersebut. Diantaranya adalah Snouck Hurgronje dan Van Heutsz. Pada tahun 1889 Snouck Hurgronje sebagai ahli bahasa Arab yang berusia 32 tahun telah mendapat pengakuan internasional dalam lingkungan ahli-ahli tentang Islam dengan sebuah publikasi yang istimewa. Karya ini adalah telaah tentang kehidupan di Mekkah yang tersembunyi dan terlarang bagi kalangan bukan Muslim. Dengan nama Abd al-Ghaffar dia dapat sempat belajar di sana pada tahun 1884 dan 1885.

Karena banyak sekali pengetahuannya tentang persoalan ini, para ulama Arab mengakuinya sebagai salah seorang ulama. Banyak sekali romantika yang berlebih-lebihan terjalin di sekitar permukimannya di kota suci Mekkah dan terutama tentang keberangkatannya yang sangat tergesa-gesa ketika dia “ketahuan”. Sebenarnya, semua yang bersangkutan dengannya mengetahui identitas

minimal empat gampong. Setiap mukim dipimpin oleh seorang Uleebalang atau seorang Imuem. Sagi dipimpin oleh Panglima Sagi.

78 Ibrahim Alfian. Op. Cit. h 190

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

49

sarjana Belandanya dan antara lain dia mendapat bantuan sepenuhnya dari Gubernur Turki.

Turki masih menguasai seluruh Semenanjung Arab. Keberangkatannya yang tergesa-gesa terjadi justru atas permintaan Gubernur, yang khawatir timbul kesulitan ketika oleh berita-berita dalam pers Barat memunculkan kesan bahwa Abd al-Ghaffar bukanah sarjana tetapi mata-mata. Kertas-kertas kerjanya dikirimkan kemudian dengan rapi kepadanya dan tidak seorang Muslim pun yang menyatakan keberatan terhadap publikasi-publikasinya tentang Mekkah. Karyanya itu disusun sebagai suatu penelitian lapangan yang sangat modern untuk waktu itu, yang menunjukkan banyak sekali orisinalitas Snouck, keberaniannya mengabdi pada ilmu serta daya pemahamannya akan ilmu bahasa dan ilmu bangsa-bangsa.

Dia bertemu dengan haji-haji dari Indonesia di Mekkah, yang menarik perhatian dengan cerita-cerita tentang Perang Aceh. Hal ini menimbulkan pikiran padanya untuk mengadakan penelitian semacam ini di Aceh, seperti yang telah dilakukannya di Mekkah dan Jeddah. Tentu saja tugas demikian lebih menggairahkan baginya daripada kursi lektor bahasa Arab dan hukum Islam yang disediakan baginya di Leiden. Rencananya ialah secara incognito (umpamanya sebagai ‘musafir Eropa’ tanpa tujuan) berangkat dari Pinang menuju bagian Aceh yang tidak diduduki.

Den Haag dan Batavia menyatakan persetujuan mereka, tetapi ketika ia tiba di Pinang pada bulan April 1889, Gubernur Van Teijn mengemukakan keberatan. Dia khawatir kalau-kalau upaya pendekatan dengan istana di Keumala terancam bahaya karenanya.

Snouck meneruskan pelayaran ke Batavia, dan dalam waktu singkat pada tahun 1891 dia diangkat menjadi penasihat untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Pada tahun itu juga Van Teijn meminta pula Snouck Hurgronje datang ke Aceh untuk menyelidiki kedudukan kaum ulama setelah meninggalnya Teungku di Tiro.

Dari tanggal 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892 Snouck berada di Aceh, tidak di luar tetapi di dalam Lini. Di sini dia berhasil memperoleh kepercayaan orang-orang Aceh terkemuka, para ulama, dan lain-lain. Sambil lalu dia belajar bahasa Aceh, seperti dia telah mempelajari secara mendasar bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda selama berdiam satu setengah tahun di Jawa.79

Sebelum Snouck tidak ada yang sempat mengetahui adanya hikayat-hikayat, peringatan-peringatan, dan perjanjian-perjanjian sebagai propaganda perang yang demikian penting. Snouck memperolehnya di dalam Lini Aceh. Hal ini terjadi karena dialah orang Belanda pertama yang mempunyai minat dalam hal ini. Dia mengadakan temu wicara dengan seorang penyair Aceh, Dokarim, yang bagaikan penyanyi dari Abad Pertengahan Eropa, mengelilingi Aceh dengan Hikajat Perang Kompeuni-nya, syair kepahlawanan Perang Aceh, dengan senantiasa mengolah peristiwa-peristiwa terbaru.80

Pendapatnya tentang orang-orang Indonesia yang menjadi penasihat-penasihat utama gubernur tidak begitu baik. Penghulu kepala di Kutaraja (artinya, pemuka masjid yang paling utama) menurut dia adalah “bajingan kurang ajar yang tidak tahu malu, lancang lagi dungu”. Jaksa kepala “banyak disuap, sewenang-wenang dan bersimaharajalela, yang kadang-kadang secara besar-besaran ikut menyelundup banyak untung”.

Termasyhur pula bagian bagian kesimpulan tentang tidak perlunya mengadakan pendekatan dengan istana di Keumala, yang menurut dia sama sekali tidak ada artinya. Juga, nasihatnya untuk bertindak terhadap pemimpin-pemimpin gerombolan yang “menurut ajaran dan kepentingan diri sendiri hanyalah akan menyerah terhadap kekerasan. Memberikan pukulan keras, sehingga orang Aceh menjadi takut dan tidak menggabungkan diri dengan pemimpin-pemimpin gerombolan yang makin

79 Paul Van T Veer, Op.Cit. h 151-15280 Ibid h.153

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

50

berbahaya, merupakan syarat mutlak bagi pulihnya ketenangan di Aceh Besar.”

Ada kecaman yang lebih hakiki dikemukakan terhadap Laporan Politik-Agama—demikian namanya biasa disebut. Bahwa si penulis sama sekali tidak memperhatikan segala latar belakang sosial dan sebagian besar latar belakang ekonomis perang. Snouck pertama kali mengemukakan bahwa terdapat tiga pihak. Dari ketiga pihak ini; pihak Sultan dapat diabaikan dan pihak ulama, sebagai pihak yang paling tidak kenal damai, harus “dipukul” paling keras. Ini cenderung pada pola penjajah tradisional memberikan dukungan kepada “pihak adat”.

Yang baru adalah bahwa dia mengakui arti penting Islam dalam pola Aceh. Pengetahuannya yang luas tentang Islam memungkinkannya ‘membuktikan” dari Quran bahwa kaum Muslimin akan menyatakan takluk terhadap kekuasaan Belanda bila mereka dihadapkan pada ‘kekuatan lebih besar yang tidak terkalahkan’, tetapi berdasarkan ajaran-ajaran agama wajiblah mereka untuk melawan sedapat-dapatnya selama kekuatan yang terlalu besar ini tidak terbukti kenyataannya.

Laporan Politik-Agama disampaikan kepada Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk, yang memberitahukannya kepada Gubernur Deijkerhoff. Mula-mula sang jenderal menjawab bahwa dia dapat menggunakan waktunya lebih baik daripada menjawab brosur-brosur dan laporan orang-orang yang sok tau di luar Aceh, yang bagaimanapun tidak mengemukakan sesuatu yang baru.

Pada bulan Juli 1893 persoalannya lebih didalaminya. Dituduhnya Snouck Hurgronje bahwa ia memanfaatkan seenaknya “hobi lslam”-nya dan terlalu membesar-besarkan arti penting pihak ulama. Musuh-musuh Belanda yang paling berbahaya, demikian tulis Deijkerhoff, tidak terdapat di dalam, tetapi di luar Aceh. Tukang-tukang selingkuh dan pengecam-pengecam busuk ini dapat bercermin kepada cinta tanah air keturunan Tiro dan pemimpin-pemimpin Aceh yang lain.

Tidaklah berlebih-lebihan bila dikatakan bahwa sebetulnya hanya ada satu orang perwira, yang secara terbuka menentang pendapat ini, yaitu Mayor J.B. van Heutsz, bekas kepala staf Jenderal Van Teijn di Aceh. Pada tahun 1892 dia menulis dua buah artikel dalam Indisch Militair Tijdschrift, yang kemudian terbit sebagai brosur dengan judul De onderwerping van Atjeh (Penaklukan Aceh).

Semboyan yang mereka gunakan adalah: “Perang Aceh menggerogoti tanah jajahan kita dan harus berakhir. Marilah akhirnya kita tunjukkan kepada dunia yang beradab bahwa kita mampu melakukannya.” Walaupun dari semboyan yang agak mentereng (kedengarannya tiga perempat abad sesudah saatnya jauh lebih mentereng daripada tahun 1892), ternyata bahwa si penulis tidak takut pada dampak-dampak negatif.

Kesimpulan utamanya sangat dekat dengan kesimpulan Snouck Hurgronje. “Hanyalah orang yang menunjukkan memiliki kekuasaan untuk memaksakan keinginannya yang dihormati, di mana pun juga dan dalam keadaan bagaimanapun juga, dan di mana perlu, dengan menggunakan tangan besi yang berdaya guna, dialah yang akan menaklukkan Aceh sepenuhnya, yang akan membuat rakyat Aceh yang berani dan cinta damai bertekuk lutut.” 81

Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah penjajah Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan, yang selama ini selalu berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama. Menurut Snouck Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut.

Secara lebih detail, Snouck Hurgronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh, antara lain :

81 Ibid. h 154-157

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

51

z Hentikan usaha mendekati Sultan dan orang besarnya.

z Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.

z Rebut lagi Aceh Besar.

z Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.

z Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal-ihwal rakyat dan negeri Aceh.

z Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh.

z Membentuk korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah

Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan Muhammad Dawud kepada Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap berlangsung.82

Perang Periode Keempat (1898-1942)Teuku Umar memberikan kesan yang

menghancurkan di Negeri Belanda. Bagaimana besarnya ketakutan dan kebencian sehubungan dengan ini nyata dari lagu-lagu jalanan yang timbul ketika itu dan sempat bertahan sampai setengah abad atau lebih: Teuku Umar die moet hangen (Teuku Umar mesti digantung) dan Aan een touw, aan een touw Teuku Umar en zijn

82 Said, Mohammad, H., a. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama). Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada medan. H 97

vrouw (Gantung di tali, gantung di tali, Teuku Umar dan istrinya).

Peristiwa-peristiwa tahun 1896 sesudah tahun 1873 dan tahun 1884 merupakan Bencana Aceh yang ketiga. Menurut beberapa perhitungan, perang telah memakan biaya lima ratus juta gulden. Berapa banyak korban yang telah tewas, lebih sulit menaksirnya. Pasti sudah kira-kira: 10.000 orang anggota militer NIL (Tentara Hindia Belanda) dan 15.000 orang narapidana kerja paksa sejak tahun 1873 yang tewas atau meninggal dunia karena sakit dan penderitaan, 35.000 ribu orang Aceh terbunuh, menurut sumber-sumber Belanda yang tersebar, seperti dalam buku-buku Kruisheer dan Van Swieten, yang dapat dipercaya. Hanya angka-angka kerugian NIL merupakan angka resmi. Baru sesudah tahun 1899, semua kerugian dari pihak Aceh juga dilaporkan secara resmi.83

Gb. 7. Keadaan di kubu pertahanan Kutö Rèh yang dibantai pasukan Van Daalen pada tanggal 14 Juni 1904. Jumlah korban 516 orang, di antaranya 248 orang wanita dan

anak-anak. Pada gambar terlihat satu-satunya korban yang masih hidup, yakni seorang anak kecil.

83 Paul van T Veer. Op.Cit. h 175

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

52

Pada 1900 dari 100 lebih uleebalang, 82 daripadanya telah menandatangani korte verklaring atau perjanjian pendek dengan pihak Belanda. Isi perjanjian ini secara singkat adalah: (1) bahwa negeri yang dikepalai oleh uleebalang itu merupakan bagian dari Hindia Belanda dan berada di bawah kekuasaan Nederland; uleebalang tetap setia kepada Ratu Belanda dan kepada wakilnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda, (2) tidak mengadakan hubungan dengan negara-negara asing; (3) tunduk pada perintah Gubernur Atjeh.84

Setelah dikejar-kejar Belanda di daerah Samalanga, Peudada, dan Peusangan, Panglima Polem menuju hulu Keureutoe dan Geudong di Aceh Utara, sedangkan Sultan mengundurkan diri ke daerah Gayo pada bulan September 1901. Daerah ini dijadikan pusat pertahanan pihak Aceh dan tempat persiapan untuk menyerang kembali musuh. Pihak Belanda ingin menguasai daerah ini, apalagi mengingat bahwa rakyat Gayo mengambil bagian aktif dalam peperangan melawan Belanda serta menyokong usaha perang sabil dengan perbekalan beras. Di samping itu, keujruen-keujruen atau raja-raja di daerah Danau Laut Tawar dan Deret itu memberikan segala bantuan kepada Sultan.

Dari berbagai-bagai jurusan Belanda kembali mengejar Sultan dan Panglima Polem yang mengundurkan diri ke Gayo, daerah pedalaman yang belum pernah dimasuki oleh Belanda. Meskipun Belanda dapat mengalahkan lawannya di sana-sini, namun setelah mengitari Danau Laut Tawar dan daerah sekitarnya, usaha Belanda untuk menghabiskan Sultan dan Panglima Polem tidak tercapai. Sultan tidak berhasil ditemukan di tanah Gayo. Selama dua bulan Belanda terus-menerus menjelajah seluruh wilayah Danau Laut Tawar tetapi karena sikap permusuhan rakyat Gayo, maka hampir tidak dapat diperoleh berita mengenai tempat bertahannya Sultan.

Pasukan marsose di bawah pimpinan H. Christoffel menyerbu dan menangkap istri Sultan, Teungku Putroe, di Glumpang Payong

84 Ibrahim Alfian, Op.Cit. h 196

pada 26 November 1902 dan sebulan kemudian, yakni pada hari Natal, K. van der Maaten berhasil menahan istri Sultan yang seorang lagi, Pocut Murong, serta Tuanku Ibrahim, putra Sultan, di Lam Meulo, Pidie. Dengan keberhasilan ini maka gubernur sipil dan militer Van Heutsz mengancam Sultan. Jika baginda tidak menyerah dalam tempo satu bulan, kedua istrinya akan dibuang. Akhirnya, Tuanku Muhammad Dawud Syah terpaksa menyerah pada 10 Januari 1903.

Dengan menyerahnya Sultan, kekuatan pasukan Belanda dapat sepenuhnya dipakai untuk mengejar T. Panglima Polem. Pada 24 Januari 1903 Christoffel berhasil menemukan tempat persembunyian Panglima Polem dan dapat menangkap istrinya, tetapi pemimpin itu lolos. Beberapa bulan kemudian (20 Mei malam) Mayor van der Maaten menyergap ibu dari Panglima Polem, salah seorang istrinya, dan beberapa anggota keluarganya di Tangse, Pidie. Setelah berkali-kali patroli di bawah Colijn atau Christoffel memberikan pukulan berat, Panglima Polem disertai Tuanku Raja Keumala menyerah bersama lebih kurang 150 orang pengikutnya. Ia diterima Colijn di Lhok Seumawe pada 6 September 1903.85

Walaupun Sultan dan beberapa pemimpin telah menyerah namum perjuangan rakyat Aceh belum padam. Ulama Tgk. Cut Cicem yang mengepalai pasukan-pasukan Tgk. Chik di Tiro adalah contoh yang menarik. Meskipun berkali-kali mengalami pukulan-pukulan berat dari pasukan marsose Belanda, namun jumlah anggota pasukannya tidak berkurang. Ia selalu dapat mengumpulkan para pemuda untuk menggabungkan diri dalam barisannya. Jadi tidaklah sukar bagi pihak muslimin untuk menambah barisan. Sebab setiap karaben86 yang dapat mereka rampas berarti bertambah martabat di mata rakyat. Kecuali mempertinggi martabatnya dengan penguasaan senjata bagi pasukan muslimin, juga memperbesar kekuatan dan kekuasaan.

85 ibid. h 19886 Senapan

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

53

Pada permulaan 1902, menurut taksiran Struyvenberg, terdapat kira-kira dua atau tiga ribu pejuang Aceh yang berada di Pidie. Meskipun antara 1902—1905 ada kira-kira 4.000 orang Aceh yang dapat ditewaskan, jumlah barisan muslimin pada pertengahan 1905 di daerah ini ada sekitar 2.000 orang. Meskipun Sultan Aceh menyerah pada 1903, ulama Tgk. Cot Plieng terus menyerukan agar orang-orang Aceh tetap gigih berjihad melawan kafir. Para ulama yang terkemuka yang masih meneruskan perjuangan antara lain, adalah Tgk. di Lam Cut, Di Tanoh Mirah, Habib Teupin Wan, ketiganya berasal dari Mukim XXVI, Aceh Besar, Tgk Lam U dari Mukim XXII, Aceh Besar, Tgk. di Barat, dan Tgk. di Mata le, di Aceh Utara. Di samping itu putra Tgk. Chik di Tiro Muhammad Saman masih terus mengibarkan panji-panji perjuangan bersenjata.87

Pada 3 Februari 1903, Muhammad Dawud Syah diintenir (tahanan rumah) di kampung Kedah, Banda Aceh. Dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di sekitar Kuta Raja. Walau Muhammad Dawud Syah berada dalam tahanan rumah, menurut penyelidikan intelijen Belanda, dia masih memberi dukungan pada para pemimpin gerilyawan Aceh. Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih sebagai perantara. Ketika tempat kediaman Sultan Muhammad Dawud Syah digeledah pada Agustus 1907, ditemukan sejumlah surat milik Sultan yang ditujukan kepada para pejuang. Di samping itu, terjadinya serangan kilat ke markas Belanda di Kuta Raja pada 6 Maret 1907 malam, secara tidak langsung juga diatur oleh Sultan Muhammad Dawud Syah.

Pada 2 Juli 1905 Tgk. Cot Plieng, yang terus-menerus dikejar Belanda, dapat ditembak pasukan Letnan Terwogt di hulu KruengTiro. Sebulan kemudian (14 Agustus 1905), Tgk. Di Alue Keutapang, seorang ulama di Samalanga yang terkenal dengan doanya dalam perang sabil, syahid terkena peluru Letnan Velsing di hulu Krueng Meureudu.

87 Ibrahim Alfian, Op.Cit. h 206

Tgk. Cot Cicem masih meneruskan perlawanan. Dengan lebih dari 400 anggota pasukan yang berseragam hitam ia dapat mengacaukan pasukan-pasukan Belanda. Pasukan Cot Cicem ini adalah contoh dalam usaha meniru teknologi kemiliteran Belanda. Berbaris dengan tatacara yang rapi, memakai aba-aba terompet, dan sebagainya, pasukan ini hampir-hampir tak berbeda dengan gaya pasukan marsose Belanda. Kesemuanya adalah hasil latihan yang diberikan oleh tentara Belanda yang membelot kepada pihak Aceh.

Setelah mengalami kekalahan berat dari Letnan Dersjant, Tgk. Cot Cicem mengubah taktik perlawanannya dengan membagi anggota-anggotanya dalam pasukan kecil-kecil untuk melakukan penembakan dalam jarak jauh, penghancuran jalan kereta api, jaringan telepon, dan sebagainya. Ulama ini bersama 11 orang pengikutnya gugur dalam suatu pertempuran di hulu sungai Krueng Barö, pada 29 Maret 1906.88

Pada 6 Maret 1907 malam, terjadi serangan atas Kutaraja, kota yang dianggap sangat aman bagi Belanda. Pada 7 Juni bivak Seudu, di Aceh Besar, diserang oleh penduduk Leupueng dan pada 16 Juni tahun itu juga Peukan Bada, Mukim VI, Aceh Besar, diserang oleh sepasukan muslimin yang bergabung dengan penduduk kampung.

Tahun 1907 oleh para ulama dianggap sebagai tahun yang membawa angin baik bagi pihak muslimin untuk mengusir Kompeni, asalkan semua penganut agama Islam di Aceh dapat bersatu padu. Setelah berbulan-bulan mengadakan penyelidikan, Belanda berkesimpulan bahwa serangan ini dipimpin oleh Keuchik Seuman dan Pang Usuih, yang mendapat bantuan berupa uang, perbekalan, tempat persembunyian, dan penunjukan jalan dari Keuchik Syekh, Panglima Nyak Asan, dan Nyak Abaih. Kesemua itu rupanya juga direncanakan oleh Sultan Dawud, T. Johan, Panglima Nyak Asan, serta Nyak Abaih. Belanda menuduh bahwa penembakan di Kutaraja dan

88 Ibid h 206

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XX / September 2015

54

penyerangan terhadap Seudu dan Peukan Bada di Aceh Besar diatur oleh Sultan Dawud.

Karena khawatir akan mengguncangkan masyarakat Aceh, jika diajukan ke depan meja hijau, maka Van Daalen mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar Sultan Dawud diasingkan. Demikianlah, dengan ketetapan 24 Desember 1907, Pemerintah Hindia Belanda membuang Sultan ke Ambon bersama empat orang putranya. T. Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh, dan Nyak Abas. Pada tahun 1918, Sultan dipindahkan kembali ke Rawamangun, Jakarta, sampai beliau menghembuskan nafas terakhir pada 6 Februari 1939.89

Selama 1908 pihak Aceh mendapat pukulan yang berat di Pidie. Belanda dapat menewaskan 269 orang Aceh, antaranya 17 orang pang, 7 orang teungku. Di antara teungku-teungku yang syahid ialah Tgk. Hasan Titeue alias Tgk Pan te Kulu, tangan kanan ulama-ulama Tiro.

Akan tetapi, pengejaran terhadap anasir perlawanan makin digiatkan. Letnan H.J. Schmidt bahkan khusus ditugaskan untuk mengejar ulama-ulama Tiro, yang tetap mengangkat senjata. Tgk. di Bukit alias Tgk. Beb, putra Tgk. Chik di Tiro Muhammad Saman, gugur dalam suatu pertempuran pada 29 Mei 1910 di Gunung Meureuseue. Menyusul pula kemudian Tgk. Chik Mayet yang syahid dalam kontak senjata pada 5 September 1910 di hulu Alue Simie. Pada 2 Desember 1911 gugur pula Tgk. Chik Maat dalam pertempuran dekat Tangse. Sebulan sebelumnya gugur Habib Teupin Wan, yang jadi lawan Belanda sejak 1873, dalam suatu pertempuran di Pidie pada 29 September 1911. Bengkel senjata Tgk. Chik di Tiro yang terdapat di Beunga dapat pula dirampas oleh Belanda pada September 1912.90

Melihat teguhnya sikap Belanda untuk menghancurkan perlawanan pihak Aceh serta akibat-akibat daripadanya, pada bulan Agustus 1909 tiga orang pemimpin Aceh dari kalangan

89 Ibid. h 20190 Ibid h 208-209

uleebalang, yakni Tuanku Mahmud, Tuanku Raja Keumala dan T. Panglima Polem berseru kepada para pemimpin agama yang masih meneruskan perjuangan melawan kafir, yaitu Habib Wan dan teungku-teungku keturunan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman agar taslim atau menyerah kepada Belanda.

Tuanku Mahmud, Tuanku Raja Keumala, dan T. Panglima Polem menyatakan bahwa mereka melakukan ijtihad, serta memandang dengan mata kepala sendiri akan keadaan yang sulit yang dihadapi kerajaan-kerajaan Islam, dan keadaan dunia bukanlah lagi seperti dahulu ketika orang-orang Aceh semuanya berperang dengan Kompeni Belanda. Mereka menyatakan pula bahwa jikalau ikhtiar sudah habis dan kemampuan untuk melawan telah tiada, maka tak ada salahnya untuk taslim. Apalagi Belanda tidak mengubah dan tidak melarang agama Islam.91

Selain itu taslim, bukanlah suatu kebiasaan yang dimulai oleh Aceh, akan tetapi telah berlaku di negeri-negeri, misalnya di India, yang semuanya taslim di bawah perintah Kompeni Inggris. Orang-orang Islam taslim ketika merasa lemah, sebab takut rusak agama dan negerinya, dan setelah mereka taslim dapat memelihara agamanya semampunya agar tiada hilang semuanya.

Akan tetapi, seruan hanyalah seruan, tiada gema sambutan dari para pemimpin agama. Perlawanan tetap berlangsung sampai Belanda Meninggalkan Aceh.92 Provinsi Aceh dan Daerah Takluknya pada tahun 1942 adalah satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang pada bulan-bulan sebelum Jepang mendarat masih melakukan perlawanan secara teratur terhadap kekuasaan Belanda.93

91 Sesuai rekomendasi Snouck orang Islam dibebaskan dalam hal ibadah mahdhah namun dijauhkan dalam urusan politik dan hukum (hudud).

92 Ibrahim Alfian, Op.Cit. h 20593 Paul van T Veer. Op.Cit. h 246

Edisi XX / September 2015 Laporan Khusus SYAMINA

55

Kesimpulan Perang Aceh adalah perang terpanjang dan

terakhir yang dilakukan oleh rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Dalam perang tersebut, ratusan ribu orang tewas, ratusan kampung dibakar oleh Belanda, dan bahkan begitu kesalnya Belanda pada rakyat Aceh, mereka juga membakar pohon dan tanaman yang mereka lewati demi memutus pasokan logistik pasukan Aceh.

Istana kerajaan Aceh pun sempat mereka kuasai, para pemimpin mereka bunuh, dan sebagian menyerah. Bahkan, sebagian pemimpin Aceh dari kalangan uleebalang memberikan seruan agar para pemimpin agama yang masih meneruskan jihad melawan penjajah Belanda untuk menyerah. Mereka beralasan bahwa Belanda tidak mengubah dan tidak melarang agama Islam, sebagaimana rekomendasi dari Snouck Hourgronje bahwa umat Islam tidak dilarang untuk melakukan ibadah mahdhah, namun harus dijauhkan dari kancah hukum (hudud) dan politik.

Namun, seruan tinggallah seruan. Perlawanan masih terus berlangsung sampai penjajah Belanda meninggalkan Aceh. Dari sini, terdapat hal yang jauh lebih penting yang menjadi bahan bakar bagi keberlangsungan jihad rakyat Aceh. Di sinilah Hikayat Perang Sabil memegang peran penting. Ia menjadi center of gravity dalam jihad rakyat Aceh melawan penjajah Belanda.

Center of gravity adalah pusat dari seluruh kekuatan dan gerakan, yang segala sesuatu bergantung padanya. Ia juga merupakan titik di mana seluruh energi harus diarahkan. Center of gravity juga merupakan sumber kekuatan yang memberikan kekuatan moral atau fisik, kebebasan untuk melakukan tindakan, atau kemauan untuk melakukan aksi.94

94 General Carl Von Clausewitz (2009). On War: The Complete Edition. Wildside Press LLC. Dictionary of Military and Associated Terms. Joint Publication 1-02. 2008.

Hikayat ini menjadi faktor terpenting yang terbukti ampuh menjadi faktor idiologis yang tak bisa dipadamkan. Selama doktrin yang diajarkan Hikayat Perang Sabil masih berada di hati masyarakat Aceh, perang melawan kaphe Belanda akan terus berlangsung. Hal ini terbukti dengan usaha mati-matian Belanda mengakhiri perang selama puluhan tahun dengan membakar desa, merusak tanaman yang menjadi persediaan makanan, serta menangkap para pemimpinnya dari kalangan uleubalang (bangsawan) maupun dari kalangan ulama. Namun, perlawanan tetap berkobar sampai Belanda angkat kaki meninggalkan bumi Aceh. Sampai saat-saat terakhir tentara Belanda di Aceh, mereka tidak bisa sepenuhnya menguasai dan mengontrol semua wilayah Aceh.

Hikayat Perang Sabil bukan karya sastra biasa. Tetapi ia adalah sebuah karya yang bersumber dari wahyu ilahi dan karenanya keberadaannya akan terus berlangsung hingga akhir zaman. Para ulama Aceh berhasil menyampaikan pesan-pesan dari Al-Quran dan Al-Hadits dalam karya yang dipahami oleh masyarakat Islam di Aceh saat itu. Karena itu, tidak mengherankan jika akhirnya syair-syair jihad pun sampai bisa menjadi lagu pengantar tidur bagi anak-anak Aceh untuk menjadikan jihad sebagai jalan hidup mereka.

Faktor pendukung lainnya yang juga penting adalah peran ulama yang baik. Ulama yang baik dan murid-muridnya telah membuktikan diri sebagai teladan dalam melawan kezaliman dan ketidak adilan penjajah Belanda. Terbukti wilayah Pidie yang merupakan basis dayah (pesantren) menjadi wilayah terakhir yang bisa ditaklukkan Belanda. (K. Subroto)

A.Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, Cetakan Pertama 1977.

Amirul Hadi, Exploring the Acehnese Conception of War and Peace (A Study of Hikayat Perang Sabi), First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies 24 – 27 February 2007.

Anthony Reid, The Blood Of The People Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, Oxford University Press Oxford Newyork Melbourne 1979.

Francis Robinson, The Islamic World in the Age of Western Dominance, The New Cambridge History Of Islam Volume 5, Cambridge Histories Online Cambridge University Press, 2011.

Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1987

Imran Teuku Abdullah, Hikayat Perang Shabi, Satu Bentuk Karya Sastra Perlawanan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Falkutas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada 14 Februari 2008.

Ismail Jakob, Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman) : pahlawan besar dalam Perang Atjeh (1881-1891), Bulan Bintang Jakarta, 1960.

Ismail Sofyan dkk, Perang Kolonial Belanda di Aceh. The Dutch Colonial War In Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh Jalan Jendral Sudirman No. 5 Banda Aceh Indonesia, Cetakan I, 1977.

Daftar Pustaka

Joko P. Putranto, Aceh Conflict Resolution: Lessons Learned And The Future Of Aceh, Naval Postgraduate School (NPS) Monterey California, June 2009.

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid Pertama, PT Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1981.

Muhammad Said : Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua, P.T.Harian Waspada Medan. 1985

Paul Van T Veer, Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Diterjemahkan dari De Atjeh-Oorlog. PT. Grafiti Pers. 1985.

Syarwan Ahmad, Pesona Hikayat Perang Sabi, Research Fellow of the Scaliger Institute, Leiden University, 2006

Syarwan Ahmad, Teungku Chik Ditiro Dan Hikayat Perang Sabi, Research Fellow of the Scaliger Institute Leiden University, 2006