jurnal reading mutia neuro

12
Jumlah testosteron dan gejala neuropsikiatri pada pria usia lanjut dengan penyakit Alzheimer James R Hall1,2*, April R Wiechmann1,2, Rebecca L Cunningham1,3, Leigh A Johnson1,4, Melissa Edwards4, Robert C Barber1,3, Meharvan Singh1,3, Scott Winter2, and Sid E O’Bryant1,4 for the Texas Alzheimer’s Research and Care Consortium ABSTRAK Pendahuluan: Telah ada peningkatan yang signifikan dalam penggunaan testosteron pada pria yang mengalami penuaan, namun sedikit penyelidikan atau penelitian mengenai dampaknya pada pria dengan penyakit Alzheimer (AD). Temuan dari beberapa studi yang telah dilakukan adalah tidak konsisten. Dalam penelitian ini, kami meneliti hubungan antara testosteron total (TT) dan Gejala neuropsikiatri (NPS) dalam sampel yang baik dari pria usia lanjut dengan AD ringan samai sedang. Metode: Sampel yang diambil dari Texas Alzheimer’s Research Care Consortium Longitudinal Research Cohort, termasuk 87 orang yang memenuhi kriteria untuk AD ringan sampai dengan sedang. Terjadinya NPS dikumpulkan dari pengasuh dan atau anggota keluarga dengan Inventarisasi Neuropsychiatric. TT dianalisis, dan sampel dibagi menjadi kelompok rendah testosteron (TT ≤2.5 ng / ml; n = 44) dan dalam ambang batas / kelompok normal (TT ≥2.6 ng / ml; n = 43). Hasil: TT berkorelasi dengan gejala halusinasi, delusi, agitasi, iritabilitas dan aktivitas motorik. Perbatasan / kelompok normal secara signifikan lebih mungkin untuk memiliki halusinasi (rasio odds (OR) = 5.56), delusi (OR = 3,87), aktivitas motorik (OR = 3,13) dan iritabilitas (OR = 2,77) dibandingkan dengan kelompok rendah testosteron. Status 1

Upload: mutia-rizki

Post on 06-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

j

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Reading Mutia Neuro

Jumlah testosteron dan gejala neuropsikiatri pada pria usia lanjut dengan penyakit Alzheimer

James R Hall1,2*, April R Wiechmann1,2, Rebecca L Cunningham1,3, Leigh A Johnson1,4, Melissa Edwards4, Robert C Barber1,3, Meharvan Singh1,3, Scott Winter2, and Sid E

O’Bryant1,4 for the Texas Alzheimer’s Research and Care Consortium

ABSTRAK

Pendahuluan: Telah ada peningkatan yang signifikan dalam penggunaan testosteron pada pria yang mengalami penuaan, namun sedikit penyelidikan atau penelitian mengenai dampaknya pada pria dengan penyakit Alzheimer (AD). Temuan dari beberapa studi yang telah dilakukan adalah tidak konsisten. Dalam penelitian ini, kami meneliti hubungan antara testosteron total (TT) dan Gejala neuropsikiatri (NPS) dalam sampel yang baik dari pria usia lanjut dengan AD ringan samai sedang.Metode: Sampel yang diambil dari Texas Alzheimer’s Research Care Consortium Longitudinal Research Cohort, termasuk 87 orang yang memenuhi kriteria untuk AD ringan sampai dengan sedang. Terjadinya NPS dikumpulkan dari pengasuh dan atau anggota keluarga dengan Inventarisasi Neuropsychiatric. TT dianalisis, dan sampel dibagi menjadi kelompok rendah testosteron (TT ≤2.5 ng / ml; n = 44) dan dalam ambang batas / kelompok normal (TT ≥2.6 ng / ml; n = 43).Hasil: TT berkorelasi dengan gejala halusinasi, delusi, agitasi, iritabilitas dan aktivitas motorik.Perbatasan / kelompok normal secara signifikan lebih mungkin untuk memiliki halusinasi (rasio odds (OR) = 5.56), delusi (OR = 3,87), aktivitas motorik (OR = 3,13) dan iritabilitas (OR = 2,77) dibandingkan dengan kelompok rendah testosteron. Status kesehatan dan status apolipoprotein E ε4 bukan merupakan faktor yang signifikan.Kesimpulan: Temuan dari penelitian ini memiliki implikasi untuk penggunaan terapi pengganti testosterone pada pria dengan AD atau tahap prodromal dari penyakit ini.

PENDAHULUAN

Mayoritas individu dengan penyakit Alzheimer (AD) mengalami satu atau lebih gejala neuropsikiatri (NPS) selama perjalanan penyakitnya. Munculnya gejala ini memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup, baik untuk pasien dan untuk pengasuh mereka, dan meningkatkan risiko penempatan pasien pada panti jompo dan kematian. Terjadinya gejala ini pada AD dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk jenis kelamin, riwayat psikiatri sebelumnya, tahap penyakit dan faktor situasional. Dalam penelitian sebelumnya, peneliti mulai mengidentifikasi potensial NPS biomarker berdasarkan darah pada AD.Pola-seks spesifik biomarker muncul, dengan disregulasi biomarker inflamasi yang terkait dengan terjadinya NPS pada wanita dan peningkatan jumlah kolesterol yang tinggi terkait dengan NPS pada pria. Pola yang berbeda dari biomarker inflamasi ditemukan untuk ε4

1

Page 2: Jurnal Reading Mutia Neuro

apolipoprotein E pada perempuan (APOE ε4) pembawa atau carrier dan non carrier, sedangkan status ε4 APOE bukan merupakan faktor untuk pria. Perbedaan jenis kelamin ini menunjukkan bahwa hormon seks mungkin terkait dengan terjadinya NPS di AD.

Sejumlah penelitian telah melaporkan hubungan antara kadar testosteron rendah dan risiko untuk timbulnya AD. Testosteron telah diusulkan untuk menjadi neuroprotektif dengan cara mempengaruhi metabolisme protein amiloid-β dan stres oksidatif. Rendahnya tingkat testosteron telah terkait dengan minimnya rasa kesejahteraan psikologis dan subsyndromal tingkat depresi dan kecemasan pada pria tua yang sehat. Tingginya kadar testosteron mungkin memiliki efek positif, tetapi juga dapat merugikan. Studi mengenai agresifitas pada pria telah menemukan hubungan antara kadar tinggi testosteron dan kekerasan dan agresi. Bufkin dan Luttrell, dalam studinya tentang neuroimaging yang berkaitan dengan perilaku emosional dan agresif menemukan bahwa substruktur prefrontal, temporal dan subkortikal dari hipotalamus dan amigdala-lah yang terlibat. Batrinos, dalam pembahasannya tentang testosteron dan perilaku agresif, menggambarkan struktur subkortikal dari hipotalamus dan amigdala sebagai tempat di mana agresi dan emosi "lahir" dan struktur kognitif prefrontal sebagai tempat di mana mereka "dirasakan dan dikendalikan. Tingginya kadar testosteron dipandang sebagai interaksi downregulating antara sistem kognitif dan emosional dan mengurangi efektivitas pengendalian kognitif. Penyakit Alzheimer memiliki dampak yang signifikan pada area otak yang terlibat dalam ekspresi dan kontrol perilaku emosional. Kemungkinan hubungan antara testosteron dan agresi dan gejala NPS lainnya pada AD belum pernah diteliti, dan hasil penelitian yang telah dilakukan secara terbatas cenderung bertentangan. Orengo dkk, menemukan hubungan antara kadar testosteron dan perilaku agresi pada pria lanjut usia dengan demensia. Tidak ada hubungan antara testosteron dan skor total pada Inventarisasi Neuropsychiatric (NPI), tindakan terjadinya dan tingkat keparahan NPS. Xing dkk. tidak menemukan hubungan antara kadar hormon seks, termasuk testosteron, dan NPS dalam sampel orang dengan demensia vaskular, meskipun hormon seks dikaitkan dengan NPS di kalangan wanita. Dalam sebuah studi dari dampak status ε4 APOE pada hubungan antara hormon seks dan NPS pada AD, efek seks-spesifik testosteron ditemukan mengenai terjadinya agitasi dan atau agresi, tapi sekali lagi hanya untuk perempuan, bukan untuk laki-laki.

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk memperjelas hubungan antara testosteron dan NPS pada AD dengan menyelidiki hubungan testosteron total (TT) dengan terjadinya NPS dalam sampel laki-laki usia lanjut dengan AD.

METODE

PesertaSampel diambil dari individu yang terdaftar dalam Longitudinal Research Cohort of the Texas Alzheimer’s Research Care Consortium TARCC) yang memiliki panel biomarker serum lengkap dan sudah selesai wawancara NPI. TARCC adalah kohort multisite longitudinal pasien dengan AD dan normal kontrol di mana setiap peserta mengalami

2

Page 3: Jurnal Reading Mutia Neuro

evaluasi tahunan yang mencakup pemeriksaan kesehatan, wawancara, tes neuropsikologi dan pemeriksaan darah. Seperti yang akan diteliti yaitu peran testosteron pada pria lanjut usia, hanya laki-laki lah yang termasuk dalam sampel. Sampel akhir terdiri dari 87 laki-laki yang memenuhi kriteria diagnostik untuk AD. Usia rata-rata dari sampel adalah 75,67 tahun (standar deviasi (SD) = 8.03); rata-rata tingkat pendidikan adalah 13,44 tahun (SD = 4,32); nilai rata-rata Mini Mental State Examination (MMSE) adalah 20,07 (SD = 6.79); nilai rata-rata skala Clinical Dementia Rating (CDR) adalah 1,10 (SD = 0,73); dan nilai rata-rata CDR Sum box adalah 6.62 (SD = 4.47). Pendidikan terakhir pasien sesuai dengan laporan dari pasien sendiri. Pembawa APOE ε4 sebanyak 54% dari peserta, dan 96% dari peserta non-Hispanik Kaukasia.

Sebagai bagian dari evaluasi TARCC, individu yang akrab atau memahami perilaku peserta (yaitu, pengasuh dan atau anggota keluarga) yang menemani peserta untuk evaluasi diberikan angket NPI,yang merupakan instrumen singkat, valid dan reliabel digunakan dalam penilaian NPS. Bila lebih dari satu pengasuh yang menghadiri evaluasi, NPI dilakukan dengan pengasuh yang paling mengetahui perilaku peserta. Konsisten dengan penelitian sebelumnya, analisis dalam penelitian ini difokuskan kepada ada atau tidak adanya perilaku, bukan dilihat dari tingkat keparahan gejala yang muncul. Dalam analisis ini dilaporkan timbulnya kejadian NPS dan jumlah dari gejala yang muncul sebagaimana hal tersebut mirip dengan gejala-gejala yang spesifik yang keluar sebagai hasil utama.

BiomarkersPlatform penelitian TARCC menggunakan Myriad RBM Huma Multi Analyte Profile multiplexed immunoassay untuk menganalisis biomarker berbasis (dengan menggunakan) darah.

Assays (Test)Sampel dimasukkan ke dalam jarum berukuran 21-23 G yang berisi serum pemisah (tiger top) vacutainer tube pada saat wawancara. Sampel dibekukan dalam suhu kamar selama 30 menit sebelum disentrifugasi pada 1.300 x g selama 10 menit. Berikutnya, aliquot 1-ml diteteskan ke tabung polypropylene cryovial dan ditempatkan pada suhu freezer -20 ° C atau -80 ° C sampai pengiriman ke TARCC Biobank untuk jangka panjang penyimpanan pada suhu -80 ° C. Total waktu pemrosesan (dari jarum suntik sampai penyimpanan dalam freezer) adalah 2 jam atau kurang.

Analisis DataMasing-masing peserta telah ditentukan TT nya. Peserta dikelompokkan menjadi hipogonadisme atau dalam ambang batas normal. Alzheimer's Research & Therapy, berdasarkan pada pedoman praktek klinis mendefinisikan hipogonadisme sebagai TT ≤2.5 ng / ml. Peserta dikelompokkan menjadi kelompok testosterone rendah (Low T) (TT ≤2.5 ng / ml) atau testosteran dalam ambang batas atau normal (T Normal) (TT ≥2.6 ng / ml). Jumlah

3

Page 4: Jurnal Reading Mutia Neuro

peserta dengan TT ≤2.5 ng / ml adalah 44, dan 43 peserta TT ≥2.6 ng / ml dan dengan demikian berada di kelompok testosterone normal. Status ε4 APOE (carrier vs noncarrier) juga dianalisis. Data dianalisis dengan menggunakan korelasi momen-produk, t-tes dan analisis multivariat.HasilPada tabel 1 menunjukkan bahwa sampel terdiri dari pria usia tua dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi dan berada pada tahap perkembangan penyakit yang ringan. Ketika peserta dipisahkan berdasarkan jumlah testosteron, 2 kelompok tersebut tidak memperhatikan usia, pendidikan terakhir, atau tingkat kerusakan kognitif (sebagai mana yang telah dinilai dengan menggunakan MMSE dan skor CDR global). Tidak didapatkan adanya perbedaan dalam perkembangan penyakit (sebagaimana yang telah dinilai oleh CDR sum of boxes). Tidak ada pula perbedaan antara kelompok yang berkaitan dengan presentase pembawa APOE ε4. Jumlah total kejadian NPS untuk masing-masing kelompok tidak ada yang secara signifikan berbeda. Analisis dari dua kelompok mengenai riwayat kesehatan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam persentase individu dengan hipertensi, hiperlipidemia, diabetes atau obesitas. Korelasi momen-produk (Tabel 2) mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan (P <0,05) antara TT dan laporan jumlah kejadian NPS bersama dengan gejala halusinasi, delusi, agitasi, iritabilitas dan aktivitas motorik. Analisis multivariat varians menunjukkan tidak ada efek utama yang signifikan untuk TT.

Analisis multivariat varians dilakukan untuk menilai perbedaan antara dua tingkat testosteronpada domain gejala spesifik dari NPI. Efeknya dari APOE Status ε4 juga dinilai. Analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok tingkat testosteron pada laporan terjadinya halusinasi, halusinasi (F (1, 86) = 4,339 (P = 0,04)), gejala iritabilitas (F (1, 86) = 5,747, P = 0,022)) dan gejala aktivitas motorik (F (1, 86) = 5,708, P = 0,019)). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk gejala lain yang telah dinilai menggunakan NPI. Status ε4 APOE juga bukan faktor signifikan, dan tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditemukan antar kelompok untuk frekuensi APOE ε4 carrier dibandingkan noncarrier.

4

Page 5: Jurnal Reading Mutia Neuro

Odds ratio (OR) dihitung untuk gejala NPI (Tabel 3) dengan membandingkan dua kelompok berdasarkan tingkat testosteron. Kemungkinan terjadinya halusinasi yang dilaporkan adalah 13 kali lebih besar untuk kelompok dengan testosterone normal. 1 dari 44 peserta dengan testosteron rendah melaporkan halusinasi dan 10 dari 43 peserta dengan testosteron normal melaporkannya juga. Delusi hampir empat kali dilaporkan (OR = 3,87, 95% interval kepercayaan (CI): 1,137-13,177; P = 0,022) dan lebih mungkin pada kelompok peserta testosteron normal, dengan pelaporan dua belas orang terjadi delusi dibandingkan dengan empat orang pada kelompok testosteron rendah. Iritabilitas, yang terdapat pada NPI yang berkaitan dengan rewel, tidak sabar atau mengalami kesulitan dalam usaha penundaan atau menunggu, relatif sering dilaporkan adanya gejala yang timbul pada 20 anggota kelompok testosteron rendah dan 30 dari kelompok normal testosterone. Iritabilitas dilaporkan hampir tiga kali (OR = 2,77; 95% CI: 1,148-6,681, P = 0,018) lebih sering terjadi pada kelompok testosterone normal dibandingkan dengan kelompok testosteron rendah. Perilaku motorik yang menyimpang dijelaskan NPI sebagai kegiatan berulang, seperti mondar-mandir atau melakukan hal-hal berulang-ulang, dilaporkan hampir tiga kali (OR = 2,942, 95% CI: 1,104-7,841, P = 0,024) lebih sering terjadi pada kelompok testosteron normal, dengan delapan individu dalam kelompok testosteron rendah dan tujuh belas di kelompok testosteron normal.

5

Page 6: Jurnal Reading Mutia Neuro

Diskusi

Telah ada peningkatan yang signifikan dalam penggunaan terapi pengganti testosteron (TRT) untuk pria yang lebih tua atau usia lanjut tanpa adanya bukti yang jelas mengenai dampak testosteron pada perilaku dalam suatu penyakit dimana fungsi kognitif telah dikompromikan. Penelitian terbaru melaporkan adanya hubungan antara tingkat atau jumlah testosteron dan kejadian NPS spesifik pada pria usia lanjut dengan AD. Hubungan ini merupakan gejala yang dapat digambarkan sebagai "Aktif," atau "bertindak diluar batas (acting out)" atau dalam istilah biasa digunakan untuk menggambarkan gejala positif skizofrenia. Tidak ada hubungan yang ditemukan untuk depresi, apatis atau gangguan tidur atau nafsu makan. Individu dengan tingkat testosteron dalam ambang batas sampai normal secara signifikan lebih cenderung memiliki halusinasi, delusi, aktivitas motorik menyimpang dan iritabilitas dibandingkan dengan testosteron rendah. Dapat dikatakan bahwa mereka dengan testosteron rendah akan lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki energi untuk terlibat dalam acting out. Kelemahan dan kehilangan semangat yang dapat menyertai testosteron rendah tidak dapat menjelaskan perbedaan antara halusinasi dan delusi.

Sejumlah mekanisme telah diusulkan untuk menjelaskan efek neuroprotektif testosteron terkait dengan risiko mengembangkan AD, namun terdapat kekurangan dalam paradigma untuk menjelaskan apa yang sudah ditemukan dalam penelitian. Perubahan patologis yang terjadi pada AD khususnya degenerasi di hippocampus, dapat membuat otak lebih rentan terhadap efek sekalipun berasal dari tingkat testosteron yang normal. Hippocampus memiliki

6

Page 7: Jurnal Reading Mutia Neuro

hubungan dengan hipotalamus dan amigdala, yaitu struktur yang terlibat dalam reaktivitas emosi dan penghambatan perilaku emosional melalui proyeksi ke system otonom dan endokrin. Jaringan salience, yang memiliki koneksi atau hubungan dengan struktur ini, dikatakan terlibat dalam reaktivitas terhadap rangsangan emosional. Balthazar dkk, berpendapat bahwa perubahan konektivitas jaringan salience terkait dengan timbulnya gejala hiperaktif di AD. Pada dasarnya individu menjadi lebih reaktif terhadap rangsangan afektif dan menjadi kurang cerdas. Struktur yang terlibat dalam proses ini memiliki reseptor hormone seks yang responsif terhadap testosteron. Jaringan salience juga mungkin terlibat dalam pembentukan delusi. Dalam penelitian pasien dengan psikotik, stimulus yang irrelevan diberikan dan ternyata memiliki hubungan atau porsi yang lebih besar pada jaringan salience. Seiring dengan pengaruhnya terhadap reaktivitas, testosteron menurunkan fungsi dari konektivitas antara sub kortikal dan kortikal dengan mengurangi hambatan emosional melalui struktur korteks yang lebih tinggi. Testosteron menurunkan control pengaturan dari korteks orbitofrontal dari amygdala. Mega dkk menemukan perfusi jaringan yang rendah di lobus frontal dan terkait struktur subkortikal pada pasien dengan AD yang manifestasinya timbul delusi dan halusinasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa testosteron mungkin memiliki interaksi atau hubungan dengan perubahan yang terjadi pada otak dalam penyakit Alzheimer dan mempengaruhi timbulnya NPS.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi generalisasi hasil pada penelitian ini. Walaupun sampel yang digunakan berasal dari karakteristik AD yang baik, tetap saja butuh sampel yang lebih besar lagi untuk mendukung penelitian ini. Selain itu, penelitian ini merupakan suatu cross-sectional dan mengkaji hubungan kasus AD ringan sampai sedang dalam satu waktu. Penelitian longitudinal penting dalam kasus ini, mengingat usia terkait dengan perubahan testosteron yang terjadi, serta perubahan dalam prevalensi berbagai NPS dari waktu ke waktu. Total testosterone mungkin bukan merupakan estimasi jumlah yang terbaik dalam pengaruhnya pada otak. Yang penting, tidak ada kontrol atau batasan atas waktu hari ketika sampel tersebut digunakan, dan kadar testosteron diketahui berfluktuasi sepanjang hari. Selain itu tidak ada data yang menunjukkan penggunaan suplemen testosteron atau obat-obatan lainnya yang mungkin berdampak pada peningkatan testosteron. Dan terdapat adanya batasan dalam mengumpulkan informasi yang hanya berdasarkan dengan data informan. Data mengenai munculnya NPS adalah tergantung pada laporan pengasuh, dan, meskipun data dikumpulkan oleh pewawancara yang terlatih, interpretasi gejala mungkin bervariasi dari informan ke informan. Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dipelajari selama perjalanan penyakit akan berguna untuk memperjelas hubungan antara testosteron dan NPS di AD.

Temuan dari penelitian ini disarankan bahwa tingkat testosteron mungkin memainkan peran dalam terjadinya gejala acting out seperti ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya pada testosteron dan kognisi. Testosteron mungkin memiliki efek yang merugikan daripada menguntungkan pada keadaan-keadaan tertentu.

Ada sejumlah implikasi dari temuan peneliti. Strategi menggunakan TRT untuk meningkatkan mood di hipogonadisme pria dengan AD mungkin memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan, dan karena itu TRT harus digunakan secara bijaksana. Menilai fungsi

7

Page 8: Jurnal Reading Mutia Neuro

kognitif mungkin diperlukan untuk membantu dalam menentukan apakah perlu TRT untuk pria yang lebih tua atau usia lanjut yang mungkin teridentifikasi AD prodromal. Selain itu, pengukuran testosteron pada pria yang lebih tua dengan AD dapat membantu dalam mengidentifikasi individu yang memiliki kemungkinan lebih besar terkena NPS sebagai penyakit berkembang.

Kesimpulan

Penelitian cross-sectional ini pada sampel dari pria dengan penyakit Alzheimer ringan sampai moderat menemukan bahwa pria dengan tingkat kolesterol total normal memiliki frekuensi secara signifikan lebih tinggi dari gejala neuropsychiatri syndrome seperti halusinasi, delusi, aktivitas motorik dan lekas marah atau iritabel daripada pria yang diklasifikasikan sebagai hipogonadisme. Temuan ini, jika didukung oleh penelitian lebih lanjut, makan akan memiliki implikasi yang signifikan untuk penggunaan TRT pada AD dan menyarankan mekanisme-mekanisme yang digunakan untuk mengidentifikasi mereka yang memiliki resiko tinggi untuk berkembangnya suatu gejala neuropsikiatri.

8