jurnal pnelitian nia

21
Awas, Bising Bisa Bikin Tuli Penulis : Lusia Kus Anna | Kamis, 29 April 2010 | 11:04 WIB. KOMPAS.com — Terpapar bunyi keras atau suara bising bisa mengganggu pendengaran. Diperkirakan 38 juta penduduk mengalami gangguan pendengaran dan ketulian akibat polusi kebisingan di kota-kota besar di Indonesia. Suara keras dan bising tidak cuma berasal dari tempat kerja, tetapi juga tempat rekreasi, atau mendengar musik keras, termasuk lewat earphone. Kajian Komisi Eropa menunjukkan, kebiasaan mendengar musik dengan earphone dengan volume tinggi (di atas 100 desibel), lebih dari satu jam sehari dalam jangka minimal lima tahun, membawa risiko gangguan pendengaran permanen. Saat ini, 50-100 juta orang diperkirakan aktif mendengar musik melalui earphone setiap harinya. Berdasarkan penelitian, sebagian besar mereka menyetel volume hingga di atas 89 desibel untuk mengimbangi kebisingan lalu lintas.Gangguan pendengaran karena bising merupakan gangguan pendengan tipe saraf (tuli sensorineural) akibat kerusakan koklea atau saraf sensoris. Menurut dr Ronny Suwento, SpTHT, dari Departemen Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT), RSCM, Jakarta, getaran kuat akibat gelombang suara keras akan merusak sel-sel rambut koklea dalam telinga dalam. "Kerusakan itu akan menghambat impuls listrik mencapai saraf pendengaran sehingga tidak ada yang diteruskan ke otak untuk

Upload: viiee-lolittee

Post on 12-Aug-2015

127 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

sfgfgv

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Pnelitian Nia

Awas, Bising Bisa Bikin Tuli

Penulis : Lusia Kus Anna | Kamis, 29 April 2010 | 11:04 WIB.

KOMPAS.com — Terpapar bunyi keras atau suara bising bisa mengganggu

pendengaran. Diperkirakan 38 juta penduduk mengalami gangguan pendengaran dan ketulian

akibat polusi kebisingan di kota-kota besar di Indonesia. Suara keras dan bising tidak cuma

berasal dari tempat kerja, tetapi juga tempat rekreasi, atau mendengar musik keras, termasuk

lewat earphone. Kajian Komisi Eropa menunjukkan, kebiasaan mendengar musik dengan

earphone dengan volume tinggi (di atas 100 desibel), lebih dari satu jam sehari dalam jangka

minimal lima tahun, membawa risiko gangguan pendengaran permanen.

Saat ini, 50-100 juta orang diperkirakan aktif mendengar musik melalui earphone setiap

harinya. Berdasarkan penelitian, sebagian besar mereka menyetel volume hingga di atas 89

desibel untuk mengimbangi kebisingan lalu lintas.Gangguan pendengaran karena bising

merupakan gangguan pendengan tipe saraf (tuli sensorineural) akibat kerusakan koklea atau saraf

sensoris. Menurut dr Ronny Suwento, SpTHT, dari Departemen Telinga Hidung dan

Tenggorokan (THT), RSCM, Jakarta, getaran kuat akibat gelombang suara keras akan merusak

sel-sel rambut koklea dalam telinga dalam.

"Kerusakan itu akan menghambat impuls listrik mencapai saraf pendengaran sehingga

tidak ada yang diteruskan ke otak untuk diinterpretasi sebagai suara," kata dr Ronny. Gangguan

pendengaran akibat paparan suara bising terjadi secara bertahap. "Mungkin pada tahun-tahun

awal orang itu tidak akan merasakan gangguan karena suara yang kita gunakan dalam

komunikasi sehari-hari hanya 500-4000 desibel," tambahnya. Kendati demikian, orang yang

mengalami kerusakan koklea tidak bisa mendengar suara pada nada tinggi, seperti suara peluit

kereta atau peluit wasit di sepak bola. "Lambat laun ambang batas pendengarannya makin

menurun sampai akhirnya tidak bisa mendengar suara lagi," kata dr Ronny.

Sekitar 50 persen gangguan pendengaran yang dapat dicegah, antara lain, adalah

gangguan pendengaran akibat kebisingan. Untuk itu, penting sekali menggunakan pelindung

telinga jika Anda terpapar suara keras. "Untuk para pekerja di pabrik atau pemain musik, sangat

Page 2: Jurnal Pnelitian Nia

penting menggunakan pelindung telinga. Kurangi juga volume musik dari earphone demi

pendengaran yang sehat," saran dr Ronny.

"Earphone" Merusak Pendengaran

Penulis : Lusia Kus Anna | Rabu, 18 Agustus 2010 | 08:18 WIB

KOMPAS.com — Bila Anda termasuk orang yang hobi mendengarkan musik lewat

earphone, maka sebaiknya perhatikan volume pemutar musik Anda. Pasalnya, suara bising dari

pemutar musik secara berangsur-angsur akan menurunkan kualitas pendengaran Anda.

Hal tersebut secara nyata terbukti pada para remaja di Amerika Serikat. Survei terbaru

menunjukkan, 1 dari 5 remaja di sana mengalami gangguan pendengaran. Kebiasaan

mendengarkan musik dari pemutar digital dengan volume keras dituding menjadi penyebabnya.

Penelitian yang dilakukan para ahli dari Harvard itu menunjukkan prevalensi gangguan

pendengaran meningkat dari 15 persen pada tahun 1988-1994 menjadi 19,5 persen pada survei

tahun 2005-2006.

Mayoritas gangguan pendengaran termasuk "ringan", yaitu ketidakmampuan mendengar

suara pada desibel 16-24 atau suara setara bisikan atau gemerisik daun. Namun, gangguan

pendengaran ini secara berangsur bisa memburuk.

"Gangguan pendengaran ringan ini masih memungkinkan mereka untuk mendengar suara

vokal dengan jelas. Namun, mungkin ada sebagaian suara konsonan yang kurang begitu jelas,

misalnya huruf-huruf T, K, dan S," kata dr Gary Curhan, salah satu peneliti.

Walaupun para peneliti tidak secara khusus menuding iPod sebagai biang keladi,

peningkatan jumlah penderita gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi terus meningkat.

Penelitian terbaru di Australia juga menunjukkan hasil yang tak jauh beda.

"Dalam jangka panjang, kebiasaan mendengarkan musik dari player dengan volume

keras memang bisa mengganggu pendengaran, tapi bukan berarti anak-anak tidak boleh

menggunakan MP3 player," kata Curhan.

Page 3: Jurnal Pnelitian Nia

Kenali Faktor Perusak Indera Pendengaran.

Penulis : Lusia Kus Anna | Sabtu, 19 November 2011 | 09:51 WIB

Kompas.com - Sebuah penelitian terbaru menyebutkan sekitar 1 dari 5 orang Amerika

berusia di atas 12 tahun menderita gangguan pendengaran. Kebanyakan dari mereka bahkan

tidak menyadari kemampuan indera pendengaran mereka menurun.

"Gangguan pendengaran terjadi secara bertahap selama sehingga orang yang

mengalaminya menjadi terbiasa dan merasa tidak ada yang salah karena prosesnya sangat

lambat," kata Dr.Frank R.Lin, yang melakukan penelitian ini.

Kendati risiko gangguan pendengaran akan meningkat seiring dengan usia, tetapi orang

yang masih muda bukan berarti bebas dari risiko ini. Sekitar 0,5 persen pria berusia 20-an

diketahui mengalami gangguan pendengaran, sementara itu 2,5 persen pria berusia 30 tahun dan

9 persen pria usia 40-an tahun juga mengalaminya.

Menurut Lin pria lebih rentan mengalami gangguan pendengaran dibanding wanita. "Hal

ini terjadi karena kebanyakan yang bekerja di bidang konstruksi dan industri adalah pria. Mereka

lebih sering terpapar suara bising yang menyebabkan penurunan pendengaran," paparnya.

Gangguan pendengaran akibat bising paling banyak terjadi. Biasanya terjadi akibat

terpapar bunyi keras (lebih dari 90 desibel) secara terus menerus selama bertahun-tahun. Getaran

suara keras ini akan merusak sel-sel rambut koklea di dalam telinga dalam sehingga menghambat

impuls listrik mencapai saraf pendengaran.

Sebuah penelitian menunjukkan hormon estrogen dalam tubuh wanita ikut melindungi

lapisan dalam telinga sehingga indera pendengaran kaum hawa lebih tahan.

Menurut Lin ada beberapa tanda yang bisa dikenali sebagai gejala gangguan

pendengaran, misalnya saja suara yang didengar tidak lagi jernih atau kesulitan mendengar

perbincaraan di lingkungan yang bising. "Bila Anda mencurigai adanya kemampuan dengar

segera periksakan ke dokter THT," katanya.

Page 4: Jurnal Pnelitian Nia

Meski indera pendengaran Anda berada dalam kondisi prima saat ini, tak ada salahnya

mulai melindungi diri untuk mencegah gangguan pendengaran di masa datang. Mulailah dengan

mengecilkan volume earphone. Bila orang lain di dekat Anda bisa mendengarkan musik yang

berasal dari pemutar musik Anda, berarti volumenya terlalu keras.

Viagra Picu Gangguan Pendengaran?

Selasa, 24 Mei 2011 | 14:38 WIB

KOMPAS.com - Penggunaan viagra dan obat-obat impotensi sejenisnya ternyata

berisiko menimbulkan efek samping terhadap kesehatan pendengaran. Laporan terbaru di Inggris

menyebutkan,  obat kejantanan ini berkaitan dengan ratusan kasus hilangnya pendengaran di

kalangan Kaum Adam.

Alhasil, para ahli medis pun mulai memberi peringatan kalau obat impotensi ini

berpotensi mengganggu organ pendengaran.  Peneliti dari Rumah Sakit Charing Cross London,

RS Stoke Mandeville Buckinghamshire dan Rumah Sakit Royal Marsden di London melaporkan

adanya kasus gangguan pendengaran yang dikaitkan dengan konsumsi viagra.  Mereka

mengusulkan agar temuan ini ditindaklanjuti oleh badan pengawas resmi di beberapa benua.

Seperti yang dilaporkan dalam jurnal The Laryngoscope, sejumlah pengguna Viagra di

beberapa benua yakni Eropa, Amerika, Asia Timur dan Australia melaporkan bahwa mereka

kehilangan pendengaran setelah menggunakan pil tersebut.

Tercatat 47 pria yang diduga mengalami gangguan pendengaran sensorineural (sudden

sensorineural hearing loss/SSHL) yang berkaitan dengan Viagra dan obat sejenisnya yakni

Cialis dan Levitra.  SSHL merupakan sejenis gangguan pendengaran pada bagian dalam struktur

salah satu atau kedua telinga yang dapat mengakibatkan hilangnya pendengaran secara

permanen.

Di Inggris, tercatat ada 8 pengguna mengalami keluhan yang sama.  Sementara itu di

Amerika, ada 223 kasus meski kemudian dianggap tidak valid karena datanya tidak detil.

Page 5: Jurnal Pnelitian Nia

Hingga kini, para ahli belum mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan Viagra

dapat memengaruhi pendengaran seseorang. Diduga hal itu ada kaitannya dengan reaksi kimia

berantai yang memicu ketukan pada telinga bagian dalam.

Riset itu melaporkan bahwa rata-rata pria yang terkena efek samping Viagra adalah

mereka yang berusia  57 tahun, meski ada dua pria lainnya yang baru berusia 37.

Salah seorang juru bicara dalam laporan riset itu menegaskan bahwa laporan mengenai

reaksi yang timbul akibat obat-obat ini tidak serta-merta membuktikan bahwa hal itu diakibatkan

oleh penggunaan obat.

Diabetes Juga Merusak Indera Pendengaran.

Kompas.com - Komplikasi yang ditimbulkan penyakit diabetes sangat luas, mulai dari

penyakit ginjal, jantung, kerusakan saraf, dan kebutaan. Menurut studi terbaru diabetes juga

terkait dengan gangguan pendengaran.

Dalam hasil analisis beberapa penelitian sebelumnya, tim ilmuwan dari Jepang

menemukan penyakit kencing manis meningkatkan risiko gangguan pendengaran sampai dua

kali lipat. Pada penyandang diabetes yang berusia muda risikonya lebih besar lagi.

Penelitian tersebut adalah yang pertama yang menemukan kaitan antara diabetes dan

kehilangan pendengaran.

Pada tahun 2008 peneliti dari U.S National Institute of Health (NIH) menemukan pola

serupa pada 11.000 sampel responden. Dalam studi tersebut orang yang menderita diabetes lebih

banyak yang mengalami tuli atau gangguan pendengaran dibanding orang yang tak menderita

diabetes.

Secara umum, gangguan pendengaran didefinisikan sebagai kesulitan mengerti apa yang

orang katakan dalam suara berbisik dan tidak bisa mendengar beberapa kata dalam volume suara

biasa.

Page 6: Jurnal Pnelitian Nia

The American Diabetes Association memperkirakan saat ini ada 16 juta orang penderita

diabetes di AS. Sementara itu, menurut data NIH, ada 36 juta orang Amerika yang dilaporkan

mengalami gangguan pendengaran dalam berbagai tingkatan.

Peningkatan kadar gula darah diketahui akan memicu kerusakan pembuluh darah di

sekitar telinga sehingga menyebabkan gangguan pendengaran.

"Hasil penelitian ini bisa menjadi acuan bagi penderita diabetes untuk melakukan

pemeriksaan telinga sejak dini dibandingkan dengan orang yang tak menderita diabetes," kata

Chika Horikawa, peneliti dari Niigata University Faculty of Medicine, Jepang.

Gangguan Pendengaran Masih Terabaikan.

Penulis : Lusia Kus Anna | Sabtu, 1 Desember 2012 | 12:23 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Gangguan pendengaran saat ini masih terabaikan, padahal

sebenarnya dapat dicegah.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 50 persen gangguan pendengaran yang

dapat dicegah ialah gangguan pendengaran karena infeksi, kebisingan, pemakaian obat ototoksik,

dan akibat pernikahan antarkeluarga.

Demikian antara lain terungkap dalam pidato pengukuhan Jenny Endang Bashiruddin

sebagai guru besar dalam ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher (THT-

KL) Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Sabtu (9/1). Pada hari yang sama

ditetapkan pula Herkutanto sebagai guru besar tTetap dalam ilmu kedokteran forensik dan

medikolegal FKUI. Herkutanto membawakan pidato berjudul Penyelesaian Masalah

Medikolegal dengan Penerapan Model Forcier-Lacerte pada Kasus Forensik Hukum Kesehatan

dan Asuransi.

Dalam pidatonya bertajuk Pencegahan Gangguan Pendengaran, Tantangan, dan Harapan

dalam Implementasi Program Sound Hearing 2030, Endang menyatakan, berdasar survei Multi

Center Study di Asia Tenggara, Indonesia termasuk empat negara dengan prevalensi ketulian

cukup tinggi, yakni 4,6 persen.

Page 7: Jurnal Pnelitian Nia

Negara lainnya ialah Myanmar, India, dan Sri Lanka. Prevalensi ketulian yang cukup

tinggi dapat menimbulkan masalah sosial. Diperkirakan 36 juta orang menderita gangguan

pendengaran dan 800.000 orang menderita ketulian di Indonesia.

Otitis media supuratif kronik (OMSK), yaitu infeksi telinga tengah (yang) menahun,

merupakan penyakit paling sering menyebabkan tuli permanen. Prevalensi OMSK di Indonesia

secara umum 3 persen. Ini termasuk tinggi menurut WHO karena ada di kisaran 2-4 persen.

Infeksi telinga tengah ditandai dengan pecahnya gendang pendengaran dan keluarnya

cairan berulang berupa nanah dan lendir. Jika tidak ada pengobatan, dapat menimbulkan

komplikasi.

Infeksi telinga tengah menahun itu merupakan lanjutan dari otitis media akut yang sering

terjadi bayi dan anak. Menurut penelitian, 83 persen anak berusia kurang dari satu tahun pernah

mengalami infeksi telinga tengah akut paling sedikit tiga kali.

Ketulian Dapat Dicegah.

Jenny mengatakan, angka kejadian infeksi telinga tengah menahun tinggi karena

kurangnya kesadaran masyarakat akan kesehatan telinga sehingga ketika terjadi infeksi tidak

segera ke dokter. Akibatnya, penyakit bertambah berat sehingga membutuhkan operasi.

Penyembuhan total infeksi telinga tengah ialah dengan mengatasi reaksi peradangan dan

menutup lubang gendang telinga. Untuk penyembuhan total biasanya butuh pembedahan.

Di Indonesia sudah dapat dilakukan seluruh jenis bedah rekonstruksi pendengaran, tetapi

jumlah spesialis masih sedikit. Sampai pertengahan 2007, ada sekitar 777 spesialis THT-KL.

Dari jumlah itu hanya sekitar 68 spesialis melakukan bedah telinga secara rutin dan sekitar 20

yang sudah mahir rekonstruksi pendengaran. ”Masih begitu banyak tantangan dan kendala untuk

mengatasi masalah gangguan pendengaran,” ujarnya.

Dengan keterbatasan itu, usaha yang harus lebih giat dilakuan ialah meningkatkan

kesadaran masyarakat melalui penyuluhan dan meningkatkan kemampuan dokter umum sebagai

lini terdepan. (INE).

Page 8: Jurnal Pnelitian Nia

Obat Impotensi Picu Gangguan Pendengaran.

Senin, 11 Januari 2010 | 07:58 WIB.

Kompas.com - Para pria yang mengonsumsi obat anti impotensi dalam jangka panjang

diingatkan akan bahaya berkurangnya pendengaran. Hasil studi ini disimpulkan dari penelitian

terhadap 11.525 pria berusia di atas 40 tahun yang mengonsumsi obat anti impotensi golongan

phosphodiesterase type 5 inhibitor (PDE-51).

Obat-obatan anti impotensi yang menggunakan PDE-51 antara lain obat sildenafil

(viagra), tadalafil (cialis), dan vardenafil (levitra).

Pada tahun 2007, badan obat dan makanan Amerika (FDA) mengumumkan para

produsen obat anti impotensi untuk mencantumkan efek samping gangguan pendengaran dalam

labelnya. Aturan baru ini dikeluarkan setelah beberapa kasus gangguan pendengaran setelah

memakai obat golongan PDE-51.

Pakar epidemiologi dari Universitas Alabama, profesor Gerald McGwin, baru-baru ini

mempublikasikan hasil studi epidemiologi mengenai kaitan antara obat PDE-51 dengan

gangguan pendengaran. Epidemiologi adalah studi yang mengaitkan distribusi penyakit atau

masalah kesehatan dalam sebuah populasi yang mungkin berkaitan dengan faktor tertentu.

Studi tersebut memang tidak menemukan kaitan langsung antara obat PDE-51 dengan

gangguan pendengaran, tetapi memang ditunjukkan adanya kaitan antara dua hal itu. Hasil studi

juga menemukan adanya kondisi lain yang mungkin memicu gangguan pendengaran.

'Meski ada batasan dari hasil studi ini, tapi pasien yang mengonsumsi obat anti impotensi

diminta untuk memperhatikan tanda dan gejala berkurangnya fungsi pendengaran. Segeralah

mencari bantuan medis untuk mencegah gangguan yang sifatnya permanen," kata McGwin.

PDE-51 pada awalnya diciptakan untuk mengobati hipertensi paru, namun kini secara

luas digunakan untuk mengatasi disfungsi ereksi. McGwin mengatakan mungkin memang ada

mekanisme biologi bagaimana obat ini menyebabkan gangguan pendengaran.

Page 9: Jurnal Pnelitian Nia

"Cara kerja PDE-51 pada pasien impoten adalah dengan meningkatkan aliran darah ke

jaringan tertentu di tubuh. Ada dugaan mungkin efeknya sama pada selaput di pendengaran.

Peningkatan sirkulasi darah di telinga memang bisa menyebabkan gangguan pendengaran,"

katanya.

Asap Rokok Juga Ganggu Pendengaran.

Rabu, 27 Juli 2011 | 09:20 WIB

KOMPAS.com — Efek buruk asap rokok bagi kesehatan memang tak terbantahkan, baik

pada mereka yang menghisap rokok maupun bagi perokok pasif yang terpapar asap pembakaran

rokok atau juga dikenal dengan istilah secondhand smoke. Penelitian terbaru menunjukkan,

remaja yang terpapar asap rokok memiliki risiko hampir dua kali lipat mengalami gangguan

pendengaran.

Para peneliti dari New York University School of Medicine menganalisis lebih dari 1.500

anak muda berusia 12-19 tahun yang berpartisipasi dalam riset gizi dan nutrisi berskala nasional

tahun 2005-2006.

Peserta menjalani tes darah untuk mengukur tingkat zat kimia yang disebut continine,

suatu bentuk pecahan dari nikotin. Para remaja ini juga diperiksa fungsi pendengarannya.

Hasilnya menunjukkan, remaja yang terpapar asap rokok lebih cenderung memiliki

gangguan pendengaran yang berhubungan dengan masalah koklea. Koklea merupakan organ

pendengaran yang berfungsi mengirim pesan ke syaraf pendengaran dan otak.

"Ini merupakan jenis gangguan pendengaran yang biasanya terjadi akibat faktor usia atau

dialami anak yang lahir dengan tuli bawaan," kata Dr Michael Weitzman yang memublikasikan

risetnya dalam  jurnal Archives of Otolarygonology.

Peneliti lainnya, dr Anil Lalwani, menilai, fakta mengenai asap rokok yang dapat

menimbulkan gangguan pendengaran di kalangan remaja ini memiliki implikasi bagi kesehatan

masyarakat.

Page 10: Jurnal Pnelitian Nia

Sementara dr Ralph Holme dari UK Charity Action on Hearing Loss,  menyatakan

perlunya penelitian lebih lanjut tentang gangguan pendengaran untuk membuktikan hubungan

kausal antara asap rokok dan gangguan pendengaran.

"Tetapi, sebagai tindakan pencegahan dan perlindungan terhadap pendengaran anak

Anda, dianjurkan untuk menghindari asap rokok di sekitar mereka," ujarnya. (M05-11).

Diabetes Picu Gangguan Pendengaran.

Penulis : Bramirus Mikail | Jumat, 9 Maret 2012 | 10:22 WIB

KOMPAS.com - Penelitian terbaru mengindikasikan, penyakit diabetes dapat

memengaruhi gangguan pendengaran khususnya pada perempuan seiring dengan bertambahnya

usia. Hal ini bisa terjadi jika gangguan metabolisme tidak dapat dikontrol baik dengan pemberian

obat-obatan.

Para ilmuwan dari Henry Ford Hospital Detroit Amerika Serikat, mengatakan bahwa

wanita penderita diabetes (usia 60-75 tahun) yang mampu mengontrol gula darah cenderung

memiliki pendengaran lebih baik ketimbang wanita yang  diabetesnya tidak terkontrol .

Penelitian ini juga menunjukkan, gangguan pendengaran secara signifikan lebih buruk

pada semua wanita penderita diabetes yang berusia lebih muda dari 60 tahun, sekalipun mampu

mengendalikan diabetes dengan baik. Sementara pada pria, risiko terjadinya gangguan

pendengaran lebih mungkin terjadi tanpa memandang usia mereka atau apakah mereka

menderita diabetes.

"Gangguan pendengaran adalah hal yang normal dari proses penuaan untuk semua orang,

tetapi kondisi ini bisa lebih cepat terjadi pada pasien dengan diabetes, terutama jika tingkat

glukosa darah tidak dikontrol dengan obat dan diet," kata Derek J Handzo, DO, dari Departemen

THT Bagian Bedah Kepala dan Leher di Rumah Sakit Henry Ford.

"Studi kami benar-benar menunjuk pentingnya pasien mengontrol diabetes mereka,

terutama dengan bertambahnya usia mereka, terkait kemungkinan terjadinya gangguan

pendengaran," tambahnya.

Page 11: Jurnal Pnelitian Nia

Asosiasi Diabetes Amerika mencatat, hampir 26 juta orang di AS mengidap diabetes, dan

34,5 juta lainnya mengalami gangguan pendengaran dengan tingkat yang berbeda-beda. Tanda-

tanda gangguan pendengaran termasuk di antaranya kesulitan mendengar suara latar belakang

atau mendengar percakapan dalam kelompok besar, serta sering mengubah volume radio atau

TV.

Janin yang Terpapar HIV Berisiko Tuli.

Penulis : Bramirus Mikail | Jumat, 22 Juni 2012 | 17:02 WIB

KOMPAS.com — Gangguan pendengaran ternyata berisiko tinggi diderita oleh janin

yang terpapar virus HIV. Menurut penelitian terbaru, gangguan pendengaran itu bisa terjadi

ketika anak-anak tersebut berusia 16 tahun.

Menurut riset yang dilakukan ilmuwan dari National Institute of Health Research

Network, risiko gangguan pendengaran anak yang terinfeksi HIV adalah 9-15 persen. Sementara

itu, anak yang bebas HIV tetapi terlahir dari ibu yang terinfeksi HIV, risikonya adalah 5-8

persen.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan gangguan pendengaran sebagai

berkurangnya kemampuan mendengar pada empat frekuensi (500, 1.000, 2.000, dan 4.000 Hz)

yang sangat penting untuk memahami bahasa, atau 20 desibel atau lebih tinggi daripada level

normal pendengaran telinga.

"Anak-anak yang terpapar HIV sebelum kelahiran berada pada risiko lebih tinggi

mengalami gangguan pendengaran. Hal ini penting untuk mereka, juga bagi penyedia layanan

kesehatan yang merawat mereka agar menyadari hal ini," kata George K Siberry, MD, dari

Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development (NICHD).

Temuan ini dipublikasikan secara online dalam The Pediatric Infectious Disease Journal.

Menurut peneliti, dibandingkan anak lain, anak dengan infeksi HIV pada 200 sampai 300 persen

lebih mungkin untuk mengalami gangguan pendengaran. Anak-anak yang lahir tanpa HIV dari

ibu yang memiliki HIV, sebanyak 20 persen lebih mungkin mengalami gangguan pendengaran.

Page 12: Jurnal Pnelitian Nia

"Jika orangtua dan guru tahu anak mengalami masalah pendengaran, mereka mungkin

mengambil langkah-langkah untuk membuat pengaturan komunikasi yang berbeda, seperti

menempatkan anak untuk duduk di barisan depan kelas atau menghindari suara bising," urai

Howard Hoffman, MA, Direktur Epidemiologi dan Statistik Program dari National Institute on

Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD), yang menyediakan dana untuk

penelitian ini.

Kehilangan pendengaran ringan pada anak-anak dapat menunda kemampuan bahasa.

Untuk gangguan pendengaran yang lebih parah, mungkin mereka memerlukan penggunaan alat

bantu dengar.

Dalam kajiannya, peneliti melibatkan lebih dari 200 anak dan remaja. Semua telah

terkena HIV sebelum kelahiran, dan sekitar 60 persen adalah HIV positif pada saat penelitian.

Peneliti melakukan tes pendengaran pada anak-anak bila orangtua atau pengasuh

melaporkan ada masalah pendengaran. Anak-anak ini juga cenderung memiliki skor yang rendah

saat menjalani tes kemampuan bahasa atau masalah pendengaran.

Temuan menunjukkan, proporsi lebih besar dari kasus gangguan pendengaran terjadi

pada anak-anak dengan HIV positif, dan peneliti menemukan bahwa mereka yang telah

mengembangkan AIDS pada level berapa pun bahkan lebih mungkin memiliki gangguan

pendengaran, meski penyakit dapat dikendalikan pada saat penelitian berlangsung.

Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa anak dengan HIV rentan terhadap infeksi

telinga tengah. Infeksi telinga tengah yang berulang dapat menyebabkan gangguan pendengaran.

Namun, 60 persen kasus dalam penelitian ini menunjukkan gangguan pendengaran lebih

diakibatkan oleh masalah transmisi suara dari saraf telinga ke otak, bukan kerusakan di telinga

tengah akibat infeksi telinga.

Page 13: Jurnal Pnelitian Nia

Perokok Pasif Terancam Tuli.

Penulis : Lusia Kus Anna | Kamis, 18 November 2010 | 15:01 WIB

Kompas.com — Sedihnya menjadi perokok pasif, meski tidak menghisap rokok, tetapi mereka

harus ikut kena getahnya. Selain berisiko gangguan paru dan pernapasan, indera pendengaran perokok

pasif ikut terancam asap rokok yang dikepulkan oleh orang lain.

Beberapa penelitian telah mengindikasikan bahwa perokok, baik yang sudah berhenti maupun

masih merokok, berisiko mengalami gangguan pendengaran. Namun, tidak diketahui apakah perokok

pasif ikut memiliki risiko yang sama.

Asap rokok yang terisap memiliki kandungan bahan kimia yang bisa mengganggu sirkulasi darah

di pembuluh darah kecil di dalam telinga. Akibatnya, organ-organ tersebut kekurangan oksigen dan

terbentuknya sisa-sisa toksik sehingga telinga rusak. Kerusakan akibat paparan asap rokok ini berbeda

dengan yang disebabkan oleh paparan suara bising atau penuaan.

Dalam sebuah riset, para peneliti dari Universitas Miami dan Florida International University

melakukan analisis hasil tes pendengaran terhadap 3.307 orang bukan perokok, yakni para mantan

perokok dan orang yang tidak pernah merokok sama sekali.

Selain dilakukan tes pendengaran, para ahli juga melakukan tes darah untuk mengetahui kadar

nikotin yang disebut cotinine, yang dibentuk tubuh ketika kontak dengan asap rokok.

Hasilnya, perokok pasif memiliki gangguan pendengaran yang lebih buruk dibanding orang yang

tidak terpapar. Gangguan pendengaran ini terutama mereka tidak bisa menangkap pembicaraan yang

dilakukan di lingkungan yang agak berisik. Bukan hanya itu, perokok pasif juga terancam mengalami tuli

berdasarkan pemeriksaan seluruh frekuensi suara.

"Kami belum tahu batasan asap rokok yang aman agar terhindar dari risiko gangguan telinga.

Namun, yang paling aman adalah tidak terpapar sama sekali," kata Dr David Fabry, peneliti.

Itu sebabnya, sebelum menyalakan rokok Anda, perhatikan dulu apakah dampaknya bagi orang

lain di sekitar Anda yang terpaksa ikut "menelan" asap rokok yang dikepulkan.

Page 14: Jurnal Pnelitian Nia

JURNAL

SISTEM SENSORI DAN PERSEPSI

RESDI BUDAYA S.kep Ners

Disusun Oleh 3A2

1. Baniah 1180200054

2. Helisa Mulya P. 1180200053

3. Hartini 1180200051

4. Desmi Ribayana 1180200047

5. Eti Supriati 1180200056

6. Juita Puspa E. 1180200055

7. Elisnawati 1180200052

8. Yosi Ostriani 1180200050

9. Melda Gusmarni 1180200049

10. Thomas Eko Putra 1180200048

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU

2013.