jurnal keracunan oksigen
DESCRIPTION
vdszdvdTRANSCRIPT
Jurnal Anatesi
Auliadi Anshar S. Ked/Kiani Laras S. Ked
OKSIGEN: MENCAPAI KESEIMBANGAN RASIONAL DALAM PERAWATAN ANESTESI
Manusia telah berevolusi untuk berkembang mencapai atau mendekati 21% oksigen
inspirasi (FiO2 = 0.21). setelah mencapai jalur nafas yang selama anestesi, klinisi menghadapi 3
kekhawatiran yang berkaitan dengan oksigen: pengiriman, pemanfaatan, dan toksisitas.
Walaupun pengiriman dan pemanfaatan telah diketahui, toksisitas masih belum diperhitungkan.
Terlalu sedikit dan terlalu banyak oksigen memiliki banyak konsekuensi. Toksisitas pada
berbagai kasus sangat dramatis, halus, atau terlambat.
Pengobatan kontemporer “budaya oksigen” selalu menganggap oksigen sangat aman.
Asumsi ini tidak semestinya dilakukan. Kebiasaan yang selalu dilakukan para klinisi, oksimetri
nadi dan kesalahan membaca hasil analisa gas darah, dan tidak terbiasanya dengan ilmu oksigen
dasar ikut menambah permasalahan.
Sisi positifnya, berbagai pedoman baru menggabungkan pengetahuan tentang toksisitas
oksigen kedalam strategi untuk menjamin penggunaan dan pengiriman oksigen sewaktu
meminimalisir risiko bahaya dari gas.
Artikel ini mengasumsikan toksisitas dalam kaitannya dengan pengiriman dan
pemanfaatannya sebagai risiko yang ada dimana saja, terutama pada perawatan anestesi. Maksud
yang dapat diambil adalah: “antioksidan” terbaik adalah membatasi penggunaan oksigen. Ketika
standard “tingkat oksigen terendah yang dapat diterima” (LOLA) sesuai dengan kebutuhan klinis
dan sesuai dengan data yang digunakan, toksisitas oksigen dapat dikurangi, namun tidak dapat
dihilangkan.
Pengiriman oksigen
Menjamin pengiriman oksigen membutuhkan sebuah jalur nafas yang baik. Jalur terbuka
memungkinkan oksigen; karbon dioksida; nitrogen; uap air; dan bagian lain yang dihirup,
dihembuskan, atau gas hasil metabolic untuk bergerak sepanjang gradien tekanan parsial terpisah
menuju ekuilibrium.
Ventilasi membuka jalur nafas dan alveoli sehingga aliran gas dua arah tidak terhalang.
Pertukaran gas alveolar-kapiler menghasilkan tekanan gradien parsial yang adekuat.
Proses respirasi membutuhkan oksigen untuk menghasilkan adenosine trifosfat (ATP).
Karbon dioksida dan air merupakan hasilnya. Mitokondria menghasilkan 90% ATP seluler, yang
berjumlah jutaan, melalui fosforilasi oksidatif. Menyediakan mitokondria dengan oksigen yang
cukup untuk bernafas membutuhkan pengiriman yang sangat baik.
Sebagian besar penyedia anestesi memahami bahwa pengiriman oksigen (DO2) sama
dengan cardiac output (CO) dikalikan kandungan oksigen arterial (CaO2) ; DO2 = COxCaO2.
Banyak faktor yang diabaikan pada perumusan tersebut perlu dibahas. Seperti pengukuran
umum, DO2 tidak dipengaruhi kondisi lokal. Organ-organ berperilaku secara berbeda-beda.
Respons vaskuler tidak seragam. Perubahan pada tekanan oksigen mempengaruhi efisiensi
pengiriman oksigen. Oksigen dikirim langsung ke jaringan melalui sirkulasi darah. Paparan
oksigen direk yang berlebihan berisiko menyebabkan cedera jaringan. Selain itu, kompartemen
yang mengandung gas, seperti sinus respirasi, dan segmen gastrointestinal, mengalami
pengiriman dan penggunaan gas secara langsung. Secara teori, pengiriman mikrobiom
menghasilkan efek metagenom yang mempengaruhi pengiriman local.
Penguraian DO2 sangat instruktif. Cardiak Output sama dengan Heart Rate (HR) dikalikan
dengan Stroke Volume (SV);CO = HR x SV. Hal ini juga berarti rata-rata tekanan arterial
(MAP) dikurangi tekanan vena sentral (CVP) dibagi dengan resistensi vaskuler sistemik (SVR);
CO = MAP – CVP/SVR. Karena kedua rumus tersebut sama dengan CO, sehingga
menghasilkan rumus persamaan lainnya yaitu; CO = HR x SV = MAP – CVP/SVR.
CaO2 lebih rumit lagi. Konsentrasi hemoglobin arterial ([Hb] g/dL) dikalikan dengan
saturasi oksigen arteri (SaO2% /100) dikalikan dengan volume oksigen tetap ke Hb normal dalam
volume darah (1.39 mL/g), ditambahkan dengan hasil dari koefisien kelarutan oksigen (0.003
mL O2/100 mL plasma/mm Hg) dikali dengan tekanan parsial oksigen arterial (PaO2 mm Hg)
sama dengan CaO2.
Untuk dokter, rumus DO2 tersebut memunculkan 7 faktor yang dapat dimanipulasi: Hb,
PaO2, HR, SV, MAP, CVP, dan SVR. Susunan ini sangat dikenal. Studi menggunakan MRI
menunjukkan bahwa peningkatan FiO2 ke 1 meningkatkan tekanan jaringan oksigen parsial
(PtO2) secara signifikan pada otak, ginjal, hati, usus, otot, dan kulit tikus. Dengan demikian jelas
bahwa peningkatan FiO2 ketika saturasi O2 menurun merupakan manuver bawaan untuk
meningkatkan PaO2 dan PtO2 yang menghasilkan efek samping submolekuler.
Penggunaan Oksigen
Penggunaan dan pengiriman oksigen terhubung secara metabolik dengan mekanisme
penginderaan yang masih belum dipahami. Perfusi normal diatur melalui penggunaan oksigen
pada seluruh organ kecuali ginjal. Hubungan tersebut berarti bahwa pengaruh CO pada
pengiriman oksigen memiliki batasan. Malah, pada kadar CO rendah, kebutuhan untuk
meningkatkan FiO2 untuk meningkatkan DO2 dianggap terbukti. Apabila tidak terdapat
hipoksemia signifikan, maka intervensi ini tidak diperlukan. Perlu penelitian lebih lanjut untuk
menemukan parameter yang lebih relevan.
Mekanisme penginderaan untuk regulasi oksigen tergantung pada daerah local untuk energi
mitokondria, ketersediaan substrat, kadar spesies oksigen reaktif (ROS), keseimbangan
antioksidan/prooksidan, kalsium dan kontrol ion fluks, pemeliharaan membrane dalam atau
gradient matriks elektrokimia, keadaan fungsional dari mitokondria transmembran potensial dan
transisi pori, dan status cedera dari DNA mitokondria. Faktor hipoksia diinduksi berperan
penting dalam respons sel pada hipoksia dan hiperoksia.
Gambar I
Sel eukariotik menyesuaikan diri dengan mudah untuk menggeser kadar oksigen dalam
jarak yang kecil merupakan kunci untuk kehidupan dan kesehatan. Lebih dari 200 reaksi sel
menggunakan oksigen. Walaupun oksigen merupakan oksidan biologis utama untuk mengurai
reduktan, oksigen juga membangun molekul dan mengatur berbagai fungsi rantai non-
respiratorik.
Pada akhirnya, seluruh penggunaan oksigen mencerminkan PtO2, yang pada gilirannya
menentukan tekanan parsial oksigen mitokondria (PmitO2). PmitO2 minimal yang diperlukan
untuk mendukung metabolisme sangatlah rendah. Ambang batas atas yang dikonsumsi oksigen
mitokondria tetap dihasilkan secara independen adalah 0.1 kPa atau 0,75 mmHg. Hasilnya,
PmitO2 diatas nilai tersebut tidak meningkatkan fungsi mitokondria.
Mitokondria mengkonsumsi 90% oksigen yang diabsorbsi; non-mitokondria
menggunakan sekitar 10% sisanya. Dari 90% yang dikonsumsi, 80%nya langsung dipasangkan
dengan sintesis ATP, dan 20%nya tidak dilepaskan dari produsi pada molekul. Proses ini terjadi
melalui pelepasan proton mitokondria yang berhubungan dengan produksi energi bebas,
hilangnya panas, degradasi protein, dan aktivitas pompa ion sodium dan kalsium.
80% penggunaan oksigen dipasangkan dengan hasil ATP terjadi pada kompleks IV
(sitokrom C oksidase). Pada bagian ini, oksigen menerima electron rantai respiratorik yang
dibutuhkan untuk mengatur sintesis ATP Compleks IV-mediated (ATPase) dari fosforus
inorganic dan ikatan adenosine 5’-difosfat. Secara serentak, electron ke 4 ditransfer ke ion O2
pompa hydrogen dari celah intermembran mitokondria dan kembali kedalam matriks
mitokondria. Aksi ini mempertahankan gradien kemiosmotik yang mendukung keseimbangan
elektrokimia didalam mitokondria yang mampu memperkuat fungsi rantai respiratorik dan
integritas mitokondria (gambar 1).
Sebagai catatan, efisiensi rantai respiratorik tidaklah 100%. Sekitar 1%-2% dari 80%
penggunaan oksigen mitokondria ditujukan pada kegagalan produksi ATP untuk membuat ATP.
Lepasnya electron menghasilkan reduksi electron oksigen tunggal didalam mitokondria,
khususnya pada kompleks I dan III, bagian yang terpengaruh oleh anestesi. Bentuk ion
superoksida diubah menjadi hydrogen peroksida yang terdifusi oleh antioksidan superoksida
yang terdismutase, merupakan bentuk mitokondria khusus. Superoksida dan hydrogen peroksida
menjadi perantara dalam suasana kompleks sinyal sel. ROS lain, seperti hidroksil radikal yang
sangat reaktif tapi berumur singkat, dan spesies nitrogen reaktif (RNS) juga dibentuk dari
pertahanan yang kurang dipahami. Hal tersebut bereaksi dalam jalur perusakan dengan lipid,
protein, DNA, dan metal transisi seperti ion ferrous, sulfur, dan copper. Secara serentak, kadar
abnormal ROS dan RNS memperkuat toksisitas oksigen pada seluruh jaringan kecuali khususnya
neuron, glia, dan myelin pada system saraf.
Toksisitas oksigen
Comroe dkk pertama kali melakukan studi secara sistematis pada toksisitas oksigen
manusia pada tahun 1945. Subjek diekspos dengan oksigen 100% pada permukaan laut selama
24 jam dan ketinggian simulasi sekitar 180.000 kaki menunjukkan tanda dan gejala toksisitas
oksigen seperti batuk, radang tenggorokan, kongesti nasal, iritasi mata, ketidaknyamanan telinga
dan gigi, distress substernal, penurunan kapasitas vital dan ukuran lumen gastrointestinal,
atelectasis, “iritasi paru”, kelelahan, nyeri sendi, paraestesi, myalgia, kebingungan, perubahan
tekanan darah, respiratory rate, dan parameter hematologis.
Pada monograf tahun 1950, Comroe dan Dripps mengkatalogikan beberapa perubahan:
reduksi nitrogen, depresi respiratorik sebelum stimulasi respiratorik, gangguan akibat hilangnya
karbon dioksida, depresi sirkulasi, peningkatan tekanan diastolic, bradikardi, penurunan CO,
konstriksi arteri sistemik, penurunan aliran darah coroner, konstriksi arteri retina, depresi fungsi
kortikal serebral, perubahan aliran darah paru, dan penekanan sumsum tulang.
Tahun 1951, Weschler dkk menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa konsumsi oksigen
serebral menurun selama anestesi thiopental. Tahun 1954, Gerschman menunjukkan bahwa
toksisitas dari oksigen dan radiasi berbagi mekanisme, mengantisipasi studi tentang ROS
selanjutnya. Tahun 1956, Kinsey menunjukkan bahwa fibroplasia retrolental sangat terkait
dengan durasi paparan dengan oksigen-kondisi pediatric pertama yang begitu terkait.
Setelah bertahun-tahun penelitian oleh berbagai peneliti untuk menemukan stress oksidatif,
ROS, dan detail toksisitas oksigen berdasarkan tanda dan gejala klinis yang diamati.
Toksisitas oksigen terjadi ketika faktor intra-mitokondria prooksidan/antioksidan tidak
seimbang (gambar 2), ROS berlebihan membanjiri antioksidan intra-mitokondria, yang menurun
seiring usia, reaksi berantai antara struktur ROS yang rentan untuk mengalami kematian dengan
memicu apoptosis dan atau nekrosis. Perioksidasi kardiolipin, membanjiri membrane dalam
mitokondria, penting untuk apoptosis. Pelepasan sitokrom C kedalam celah intermembran
memicu caspase cascade, yang menghasilkan apoptosis intrinsic. Apoptosis ekstrinsik, dipicu
oleh suasana membrane luar mitokondria, yang relevan terhadap anestesi pada cara yang belum
dipahami.
Gambar II
Hiperoksia, yang meningkatkan PtO2 dan PmitO2 diatas kadar biologis normal,
memberikan keuntungan terhadap rantai reaksi ROS-termediasi melalui aksi massa. Sedangkan
anoksia-hiperoksia setelah reperfusi iskemik menggoyangkan PtO2 dan PmitO2 secara patologis
mencapai konsentrasi ROS didalam mitokondria dan sel, pergeseran yang mirip terjadi ketika
perfusi normal tidak mencederai sel terbelah antara kondisi normoksida dan hiperoksida. Namun,
pergeseran terinduksi secara iatrogenic didalam PO2 umum terjadi selama perawatan rutin
anestesi. Ketika jalur nafas sudah patent dan penggunaan oksigen sel berkurang dibawah kadar
tidak teranestesi, terdapat sedikit rasional untuk suplementasi oksigen rutin diatas sadar atau
konsentrasi dasar.
Implikasi klinis
Toksisitas menyamai efek fisiologis dan submolekuler. Beberapa tanda klinis, seperti
absorbsi atelectasis atau vasokonstriksi arterial; beberapa tidak terjadi, seperti perioksidasi lipid
dan mitokondrial dan kerusakan DNA akibat nuklir.
Tiga contoh klinis pada literature neonatologi dapat mencukupi untuk mengilustrasikan
bahwa oksigen yang lebih banyak tidak berarti lebih baik atau diperlukan. Berbagai bukti yang
muncul bahwa kadar oksigen yang sedang memungkinkan dan mencukupi, namun terdapat
banyak pendapatskeptis terhadap penelitian ini. Sulit untuk mengubah kebiasaan pemberian
oksigen dan melawan kebiasaan yang terjadi.
Oksigen tidak dapat disimpan didalam paru tapi bernafas dengan 100% oksigen (FiO2=1)
dapat meningkatkan waktu untuk desaturasi signifikan, yang merupakan ukuran tidak tetap
sebagai PaO2 lebih penting, setelah nafas berhenti. Preoksigenasi dan denitrogenasi telah
dipelajari menggunakan gas darah dan studi pencitraan sejak tahun 1940an hingga tahun 2000an,
tapi bukan merupakan hubungan dengan kejadian seluler yang dapat terjadi bahkan dari paparan
hiperoksemik atau hiperoksik. Studi biomarker stress oksidatif yang lebih relevan untuk
penggunaan anestesi klinis masih dilakukan. Walaupun tidak terdapat bukti biomarker, Lindahl
dkk telah mengemukakan pendapat rasional untuk “pemanggilan ulang oksigen” sebelum,
selama, dan setelah intubasi dan ekstubasi, dan selama penyembuhan. Dokter tidak perlu
menunggu untuk menghiraukan data atau saran lainnya.
Contoh lain dimana hiperoksia klinis terbukti bermasalah adalah pada trauma otak. Studi
yang provokatif namun kecil tersebut meninjau aliran darah menggunakan pencitraan tomografi
emisi positron dan hasil pada pasien yang merekomendasikan untuk tidak menggunakan oksigen
100% pada seluruh kasus. Kadar aman tidak ditemukan namun memelihara normoksia lebih
disarankan. Lebih lanjut, kombinasi hiperoksemia dan hiperventilasi menyebabkan hipokarbia
yang bersamaan menurunkan aliran darah serebral sehingga kedua mekanisme berkontribusi
untuk perluasan area iskemik dan kerusakan penumbra.
Contoh ketiga dimana perhatian terhadap oksigen disarankan adalah dalam perawatan
pasien dengan penyakit yang berhubungan dengan stress oksidatif. Hal ini termasuk gangguan
spectrum autism, penyakit Alzheimer, Parkinson, diabetes tipe 1, kanker, dan penyakit
kardiovaskular. Pasien dengan kondisi ini membutuhkan operasi berkelanjutan. Karena mereka
telah terbebani dengan stress oksidatif, hiperoksemia dan hiperoksia memberikan beban
tambahan yang semakin memacu perjalanan penyakit. Disebutkan bahwa, individu yang sehat
juga berisiko mengalami peningkatan stress oksidatif selama operasi. Menggunakan jumlah
paling sedikit dari oksigen dibutuhkan untuk mendukung agar homeostasis terjaga pada kadar
yang rasional.
Kesimpulan
Pada permulaan, standard LOLA diajukan sebagai strategi “antioksidan” klinis. Seperti
konsep Martin dan Grocott tentang “control yang tepat terhadap oksigenasi arteri” (PCOA) dan
“hipoksemia yang dibolehkan” (PH), standard LOLA juga ditujukan pada perhatian yang sama
yaitu: hipoksemia. Seperti PCOA dan PH, LOLA membutuhkan data acuan, berupa data
penggunaan oksigen secara ilmiah.
Tantangan signifikan terhadap LOLA, adalah sifat alamiah manusia. Oksimetri nadi
memfasilitasi pengawasan terhadap SaO2; namun hal tersebut juga bias terhadap suplementasi
berlebihan. Pada kadar 100%, SaO2/PaO2 oksigen Hb memisahkan hubungan yang dapat
bervariasi sebanyak 6 kali lipat (100-600 mmHg). Penurunan nada dengan penurunan pada SaO2
dari 100% ke 97% tidak sesuai dengan proporsi yang dibutuhkan untuk proses fisiologis yang
signifikan. Responnya dapat meningkatkan FiO2. Dengan oksimeter denyut kerikandikembalikan
menjadi 100%, sehingga pasiennya dapat berisiko kembali mengalami overdosis. Secara tak
tampak,ROS mengakumulasikan antara kebutuhan dan kapasitas antioksidan intrinsik; invisibly,
kerusakan tidak dapat dideteksi atau salah dipahami pada pemeriksaan pasca operasi.
Dokter menggunakan oksigen supplemental untuk “menjamin” pengiriman gas. Tapi,
jendela oksigen terapi terbatas.Nilai standard LOLA atau PCOA merupakan suatu perhatian
terhadap kejadian overdosisnya oksigen yang membutuhkan solusi. Jika keamanan merupakan
bebas dari bahaya, satu tujuan keamanan seharusnya dapat meminimalisir kerusakan
submolekuler. Tujuan ini dapat diraih bahkan sewaktu ilmu pengetahuan tersebut bermaksud
untuk menjawab pertanyaan yang lain.