jurnal keracunan oksigen

14
Jurnal Anatesi Auliadi Anshar S. Ked/Kiani Laras S. Ked OKSIGEN: MENCAPAI KESEIMBANGAN RASIONAL DALAM PERAWATAN ANESTESI Manusia telah berevolusi untuk berkembang mencapai atau mendekati 21% oksigen inspirasi (FiO 2 = 0.21). setelah mencapai jalur nafas yang selama anestesi, klinisi menghadapi 3 kekhawatiran yang berkaitan dengan oksigen: pengiriman, pemanfaatan, dan toksisitas. Walaupun pengiriman dan pemanfaatan telah diketahui, toksisitas masih belum diperhitungkan. Terlalu sedikit dan terlalu banyak oksigen memiliki banyak konsekuensi. Toksisitas pada berbagai kasus sangat dramatis, halus, atau terlambat. Pengobatan kontemporer “budaya oksigen” selalu menganggap oksigen sangat aman. Asumsi ini tidak semestinya dilakukan. Kebiasaan yang selalu dilakukan para klinisi, oksimetri nadi dan kesalahan membaca hasil analisa gas darah, dan tidak terbiasanya dengan ilmu oksigen dasar ikut menambah permasalahan. Sisi positifnya, berbagai pedoman baru menggabungkan pengetahuan tentang toksisitas oksigen kedalam strategi untuk menjamin penggunaan dan pengiriman oksigen sewaktu meminimalisir risiko bahaya dari gas. Artikel ini mengasumsikan toksisitas dalam kaitannya dengan pengiriman dan pemanfaatannya sebagai risiko yang ada dimana

Upload: auliadi-anshar

Post on 14-Feb-2016

31 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

vdszdvd

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN

Jurnal Anatesi

Auliadi Anshar S. Ked/Kiani Laras S. Ked

OKSIGEN: MENCAPAI KESEIMBANGAN RASIONAL DALAM PERAWATAN ANESTESI

Manusia telah berevolusi untuk berkembang mencapai atau mendekati 21% oksigen

inspirasi (FiO2 = 0.21). setelah mencapai jalur nafas yang selama anestesi, klinisi menghadapi 3

kekhawatiran yang berkaitan dengan oksigen: pengiriman, pemanfaatan, dan toksisitas.

Walaupun pengiriman dan pemanfaatan telah diketahui, toksisitas masih belum diperhitungkan.

Terlalu sedikit dan terlalu banyak oksigen memiliki banyak konsekuensi. Toksisitas pada

berbagai kasus sangat dramatis, halus, atau terlambat.

Pengobatan kontemporer “budaya oksigen” selalu menganggap oksigen sangat aman.

Asumsi ini tidak semestinya dilakukan. Kebiasaan yang selalu dilakukan para klinisi, oksimetri

nadi dan kesalahan membaca hasil analisa gas darah, dan tidak terbiasanya dengan ilmu oksigen

dasar ikut menambah permasalahan.

Sisi positifnya, berbagai pedoman baru menggabungkan pengetahuan tentang toksisitas

oksigen kedalam strategi untuk menjamin penggunaan dan pengiriman oksigen sewaktu

meminimalisir risiko bahaya dari gas.

Artikel ini mengasumsikan toksisitas dalam kaitannya dengan pengiriman dan

pemanfaatannya sebagai risiko yang ada dimana saja, terutama pada perawatan anestesi. Maksud

yang dapat diambil adalah: “antioksidan” terbaik adalah membatasi penggunaan oksigen. Ketika

standard “tingkat oksigen terendah yang dapat diterima” (LOLA) sesuai dengan kebutuhan klinis

dan sesuai dengan data yang digunakan, toksisitas oksigen dapat dikurangi, namun tidak dapat

dihilangkan.

Pengiriman oksigen

Menjamin pengiriman oksigen membutuhkan sebuah jalur nafas yang baik. Jalur terbuka

memungkinkan oksigen; karbon dioksida; nitrogen; uap air; dan bagian lain yang dihirup,

dihembuskan, atau gas hasil metabolic untuk bergerak sepanjang gradien tekanan parsial terpisah

menuju ekuilibrium.

Page 2: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN

Ventilasi membuka jalur nafas dan alveoli sehingga aliran gas dua arah tidak terhalang.

Pertukaran gas alveolar-kapiler menghasilkan tekanan gradien parsial yang adekuat.

Proses respirasi membutuhkan oksigen untuk menghasilkan adenosine trifosfat (ATP).

Karbon dioksida dan air merupakan hasilnya. Mitokondria menghasilkan 90% ATP seluler, yang

berjumlah jutaan, melalui fosforilasi oksidatif. Menyediakan mitokondria dengan oksigen yang

cukup untuk bernafas membutuhkan pengiriman yang sangat baik.

Sebagian besar penyedia anestesi memahami bahwa pengiriman oksigen (DO2) sama

dengan cardiac output (CO) dikalikan kandungan oksigen arterial (CaO2) ; DO2 = COxCaO2.

Banyak faktor yang diabaikan pada perumusan tersebut perlu dibahas. Seperti pengukuran

umum, DO2 tidak dipengaruhi kondisi lokal. Organ-organ berperilaku secara berbeda-beda.

Respons vaskuler tidak seragam. Perubahan pada tekanan oksigen mempengaruhi efisiensi

pengiriman oksigen. Oksigen dikirim langsung ke jaringan melalui sirkulasi darah. Paparan

oksigen direk yang berlebihan berisiko menyebabkan cedera jaringan. Selain itu, kompartemen

yang mengandung gas, seperti sinus respirasi, dan segmen gastrointestinal, mengalami

pengiriman dan penggunaan gas secara langsung. Secara teori, pengiriman mikrobiom

menghasilkan efek metagenom yang mempengaruhi pengiriman local.

Penguraian DO2 sangat instruktif. Cardiak Output sama dengan Heart Rate (HR) dikalikan

dengan Stroke Volume (SV);CO = HR x SV. Hal ini juga berarti rata-rata tekanan arterial

(MAP) dikurangi tekanan vena sentral (CVP) dibagi dengan resistensi vaskuler sistemik (SVR);

CO = MAP – CVP/SVR. Karena kedua rumus tersebut sama dengan CO, sehingga

menghasilkan rumus persamaan lainnya yaitu; CO = HR x SV = MAP – CVP/SVR.

CaO2 lebih rumit lagi. Konsentrasi hemoglobin arterial ([Hb] g/dL) dikalikan dengan

saturasi oksigen arteri (SaO2% /100) dikalikan dengan volume oksigen tetap ke Hb normal dalam

volume darah (1.39 mL/g), ditambahkan dengan hasil dari koefisien kelarutan oksigen (0.003

mL O2/100 mL plasma/mm Hg) dikali dengan tekanan parsial oksigen arterial (PaO2 mm Hg)

sama dengan CaO2.

Untuk dokter, rumus DO2 tersebut memunculkan 7 faktor yang dapat dimanipulasi: Hb,

PaO2, HR, SV, MAP, CVP, dan SVR. Susunan ini sangat dikenal. Studi menggunakan MRI

menunjukkan bahwa peningkatan FiO2 ke 1 meningkatkan tekanan jaringan oksigen parsial

(PtO2) secara signifikan pada otak, ginjal, hati, usus, otot, dan kulit tikus. Dengan demikian jelas

Page 3: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN

bahwa peningkatan FiO2 ketika saturasi O2 menurun merupakan manuver bawaan untuk

meningkatkan PaO2 dan PtO2 yang menghasilkan efek samping submolekuler.

Penggunaan Oksigen

Penggunaan dan pengiriman oksigen terhubung secara metabolik dengan mekanisme

penginderaan yang masih belum dipahami. Perfusi normal diatur melalui penggunaan oksigen

pada seluruh organ kecuali ginjal. Hubungan tersebut berarti bahwa pengaruh CO pada

pengiriman oksigen memiliki batasan. Malah, pada kadar CO rendah, kebutuhan untuk

meningkatkan FiO2 untuk meningkatkan DO2 dianggap terbukti. Apabila tidak terdapat

hipoksemia signifikan, maka intervensi ini tidak diperlukan. Perlu penelitian lebih lanjut untuk

menemukan parameter yang lebih relevan.

Mekanisme penginderaan untuk regulasi oksigen tergantung pada daerah local untuk energi

mitokondria, ketersediaan substrat, kadar spesies oksigen reaktif (ROS), keseimbangan

antioksidan/prooksidan, kalsium dan kontrol ion fluks, pemeliharaan membrane dalam atau

gradient matriks elektrokimia, keadaan fungsional dari mitokondria transmembran potensial dan

transisi pori, dan status cedera dari DNA mitokondria. Faktor hipoksia diinduksi berperan

penting dalam respons sel pada hipoksia dan hiperoksia.

Gambar I

Page 4: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN

Sel eukariotik menyesuaikan diri dengan mudah untuk menggeser kadar oksigen dalam

jarak yang kecil merupakan kunci untuk kehidupan dan kesehatan. Lebih dari 200 reaksi sel

menggunakan oksigen. Walaupun oksigen merupakan oksidan biologis utama untuk mengurai

reduktan, oksigen juga membangun molekul dan mengatur berbagai fungsi rantai non-

respiratorik.

Pada akhirnya, seluruh penggunaan oksigen mencerminkan PtO2, yang pada gilirannya

menentukan tekanan parsial oksigen mitokondria (PmitO2). PmitO2 minimal yang diperlukan

untuk mendukung metabolisme sangatlah rendah. Ambang batas atas yang dikonsumsi oksigen

mitokondria tetap dihasilkan secara independen adalah 0.1 kPa atau 0,75 mmHg. Hasilnya,

PmitO2 diatas nilai tersebut tidak meningkatkan fungsi mitokondria.

Mitokondria mengkonsumsi 90% oksigen yang diabsorbsi; non-mitokondria

menggunakan sekitar 10% sisanya. Dari 90% yang dikonsumsi, 80%nya langsung dipasangkan

dengan sintesis ATP, dan 20%nya tidak dilepaskan dari produsi pada molekul. Proses ini terjadi

melalui pelepasan proton mitokondria yang berhubungan dengan produksi energi bebas,

hilangnya panas, degradasi protein, dan aktivitas pompa ion sodium dan kalsium.

80% penggunaan oksigen dipasangkan dengan hasil ATP terjadi pada kompleks IV

(sitokrom C oksidase). Pada bagian ini, oksigen menerima electron rantai respiratorik yang

dibutuhkan untuk mengatur sintesis ATP Compleks IV-mediated (ATPase) dari fosforus

inorganic dan ikatan adenosine 5’-difosfat. Secara serentak, electron ke 4 ditransfer ke ion O2

pompa hydrogen dari celah intermembran mitokondria dan kembali kedalam matriks

mitokondria. Aksi ini mempertahankan gradien kemiosmotik yang mendukung keseimbangan

elektrokimia didalam mitokondria yang mampu memperkuat fungsi rantai respiratorik dan

integritas mitokondria (gambar 1).

Sebagai catatan, efisiensi rantai respiratorik tidaklah 100%. Sekitar 1%-2% dari 80%

penggunaan oksigen mitokondria ditujukan pada kegagalan produksi ATP untuk membuat ATP.

Lepasnya electron menghasilkan reduksi electron oksigen tunggal didalam mitokondria,

khususnya pada kompleks I dan III, bagian yang terpengaruh oleh anestesi. Bentuk ion

superoksida diubah menjadi hydrogen peroksida yang terdifusi oleh antioksidan superoksida

yang terdismutase, merupakan bentuk mitokondria khusus. Superoksida dan hydrogen peroksida

menjadi perantara dalam suasana kompleks sinyal sel. ROS lain, seperti hidroksil radikal yang

sangat reaktif tapi berumur singkat, dan spesies nitrogen reaktif (RNS) juga dibentuk dari

Page 5: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN

pertahanan yang kurang dipahami. Hal tersebut bereaksi dalam jalur perusakan dengan lipid,

protein, DNA, dan metal transisi seperti ion ferrous, sulfur, dan copper. Secara serentak, kadar

abnormal ROS dan RNS memperkuat toksisitas oksigen pada seluruh jaringan kecuali khususnya

neuron, glia, dan myelin pada system saraf.

Toksisitas oksigen

Comroe dkk pertama kali melakukan studi secara sistematis pada toksisitas oksigen

manusia pada tahun 1945. Subjek diekspos dengan oksigen 100% pada permukaan laut selama

24 jam dan ketinggian simulasi sekitar 180.000 kaki menunjukkan tanda dan gejala toksisitas

oksigen seperti batuk, radang tenggorokan, kongesti nasal, iritasi mata, ketidaknyamanan telinga

dan gigi, distress substernal, penurunan kapasitas vital dan ukuran lumen gastrointestinal,

atelectasis, “iritasi paru”, kelelahan, nyeri sendi, paraestesi, myalgia, kebingungan, perubahan

tekanan darah, respiratory rate, dan parameter hematologis.

Pada monograf tahun 1950, Comroe dan Dripps mengkatalogikan beberapa perubahan:

reduksi nitrogen, depresi respiratorik sebelum stimulasi respiratorik, gangguan akibat hilangnya

karbon dioksida, depresi sirkulasi, peningkatan tekanan diastolic, bradikardi, penurunan CO,

konstriksi arteri sistemik, penurunan aliran darah coroner, konstriksi arteri retina, depresi fungsi

kortikal serebral, perubahan aliran darah paru, dan penekanan sumsum tulang.

Tahun 1951, Weschler dkk menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa konsumsi oksigen

serebral menurun selama anestesi thiopental. Tahun 1954, Gerschman menunjukkan bahwa

toksisitas dari oksigen dan radiasi berbagi mekanisme, mengantisipasi studi tentang ROS

selanjutnya. Tahun 1956, Kinsey menunjukkan bahwa fibroplasia retrolental sangat terkait

dengan durasi paparan dengan oksigen-kondisi pediatric pertama yang begitu terkait.

Setelah bertahun-tahun penelitian oleh berbagai peneliti untuk menemukan stress oksidatif,

ROS, dan detail toksisitas oksigen berdasarkan tanda dan gejala klinis yang diamati.

Toksisitas oksigen terjadi ketika faktor intra-mitokondria prooksidan/antioksidan tidak

seimbang (gambar 2), ROS berlebihan membanjiri antioksidan intra-mitokondria, yang menurun

seiring usia, reaksi berantai antara struktur ROS yang rentan untuk mengalami kematian dengan

memicu apoptosis dan atau nekrosis. Perioksidasi kardiolipin, membanjiri membrane dalam

mitokondria, penting untuk apoptosis. Pelepasan sitokrom C kedalam celah intermembran

memicu caspase cascade, yang menghasilkan apoptosis intrinsic. Apoptosis ekstrinsik, dipicu

Page 6: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN

oleh suasana membrane luar mitokondria, yang relevan terhadap anestesi pada cara yang belum

dipahami.

Gambar II

Hiperoksia, yang meningkatkan PtO2 dan PmitO2 diatas kadar biologis normal,

memberikan keuntungan terhadap rantai reaksi ROS-termediasi melalui aksi massa. Sedangkan

anoksia-hiperoksia setelah reperfusi iskemik menggoyangkan PtO2 dan PmitO2 secara patologis

mencapai konsentrasi ROS didalam mitokondria dan sel, pergeseran yang mirip terjadi ketika

perfusi normal tidak mencederai sel terbelah antara kondisi normoksida dan hiperoksida. Namun,

pergeseran terinduksi secara iatrogenic didalam PO2 umum terjadi selama perawatan rutin

anestesi. Ketika jalur nafas sudah patent dan penggunaan oksigen sel berkurang dibawah kadar

tidak teranestesi, terdapat sedikit rasional untuk suplementasi oksigen rutin diatas sadar atau

konsentrasi dasar.

Page 7: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN

Implikasi klinis

Toksisitas menyamai efek fisiologis dan submolekuler. Beberapa tanda klinis, seperti

absorbsi atelectasis atau vasokonstriksi arterial; beberapa tidak terjadi, seperti perioksidasi lipid

dan mitokondrial dan kerusakan DNA akibat nuklir.

Tiga contoh klinis pada literature neonatologi dapat mencukupi untuk mengilustrasikan

bahwa oksigen yang lebih banyak tidak berarti lebih baik atau diperlukan. Berbagai bukti yang

muncul bahwa kadar oksigen yang sedang memungkinkan dan mencukupi, namun terdapat

banyak pendapatskeptis terhadap penelitian ini. Sulit untuk mengubah kebiasaan pemberian

oksigen dan melawan kebiasaan yang terjadi.

Oksigen tidak dapat disimpan didalam paru tapi bernafas dengan 100% oksigen (FiO2=1)

dapat meningkatkan waktu untuk desaturasi signifikan, yang merupakan ukuran tidak tetap

sebagai PaO2 lebih penting, setelah nafas berhenti. Preoksigenasi dan denitrogenasi telah

dipelajari menggunakan gas darah dan studi pencitraan sejak tahun 1940an hingga tahun 2000an,

tapi bukan merupakan hubungan dengan kejadian seluler yang dapat terjadi bahkan dari paparan

hiperoksemik atau hiperoksik. Studi biomarker stress oksidatif yang lebih relevan untuk

penggunaan anestesi klinis masih dilakukan. Walaupun tidak terdapat bukti biomarker, Lindahl

dkk telah mengemukakan pendapat rasional untuk “pemanggilan ulang oksigen” sebelum,

selama, dan setelah intubasi dan ekstubasi, dan selama penyembuhan. Dokter tidak perlu

menunggu untuk menghiraukan data atau saran lainnya.

Contoh lain dimana hiperoksia klinis terbukti bermasalah adalah pada trauma otak. Studi

yang provokatif namun kecil tersebut meninjau aliran darah menggunakan pencitraan tomografi

emisi positron dan hasil pada pasien yang merekomendasikan untuk tidak menggunakan oksigen

100% pada seluruh kasus. Kadar aman tidak ditemukan namun memelihara normoksia lebih

disarankan. Lebih lanjut, kombinasi hiperoksemia dan hiperventilasi menyebabkan hipokarbia

yang bersamaan menurunkan aliran darah serebral sehingga kedua mekanisme berkontribusi

untuk perluasan area iskemik dan kerusakan penumbra.

Contoh ketiga dimana perhatian terhadap oksigen disarankan adalah dalam perawatan

pasien dengan penyakit yang berhubungan dengan stress oksidatif. Hal ini termasuk gangguan

spectrum autism, penyakit Alzheimer, Parkinson, diabetes tipe 1, kanker, dan penyakit

kardiovaskular. Pasien dengan kondisi ini membutuhkan operasi berkelanjutan. Karena mereka

telah terbebani dengan stress oksidatif, hiperoksemia dan hiperoksia memberikan beban

Page 8: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN

tambahan yang semakin memacu perjalanan penyakit. Disebutkan bahwa, individu yang sehat

juga berisiko mengalami peningkatan stress oksidatif selama operasi. Menggunakan jumlah

paling sedikit dari oksigen dibutuhkan untuk mendukung agar homeostasis terjaga pada kadar

yang rasional.

Kesimpulan

Pada permulaan, standard LOLA diajukan sebagai strategi “antioksidan” klinis. Seperti

konsep Martin dan Grocott tentang “control yang tepat terhadap oksigenasi arteri” (PCOA) dan

“hipoksemia yang dibolehkan” (PH), standard LOLA juga ditujukan pada perhatian yang sama

yaitu: hipoksemia. Seperti PCOA dan PH, LOLA membutuhkan data acuan, berupa data

penggunaan oksigen secara ilmiah.

Tantangan signifikan terhadap LOLA, adalah sifat alamiah manusia. Oksimetri nadi

memfasilitasi pengawasan terhadap SaO2; namun hal tersebut juga bias terhadap suplementasi

berlebihan. Pada kadar 100%, SaO2/PaO2 oksigen Hb memisahkan hubungan yang dapat

bervariasi sebanyak 6 kali lipat (100-600 mmHg). Penurunan nada dengan penurunan pada SaO2

dari 100% ke 97% tidak sesuai dengan proporsi yang dibutuhkan untuk proses fisiologis yang

signifikan. Responnya dapat meningkatkan FiO2. Dengan oksimeter denyut kerikandikembalikan

menjadi 100%, sehingga pasiennya dapat berisiko kembali mengalami overdosis. Secara tak

tampak,ROS mengakumulasikan antara kebutuhan dan kapasitas antioksidan intrinsik; invisibly,

kerusakan tidak dapat dideteksi atau salah dipahami pada pemeriksaan pasca operasi.

Dokter menggunakan oksigen supplemental untuk “menjamin” pengiriman gas. Tapi,

jendela oksigen terapi terbatas.Nilai standard LOLA atau PCOA merupakan suatu perhatian

terhadap kejadian overdosisnya oksigen yang membutuhkan solusi. Jika keamanan merupakan

bebas dari bahaya, satu tujuan keamanan seharusnya dapat meminimalisir kerusakan

submolekuler. Tujuan ini dapat diraih bahkan sewaktu ilmu pengetahuan tersebut bermaksud

untuk menjawab pertanyaan yang lain.

Page 9: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN
Page 10: JURNAL KERACUNAN OKSIGEN