jurnal hasil telaah literatur
TRANSCRIPT
LEMBAR KERJA PENYUSUNAN ARTIKEL ILMIAH UNTUK JURNAL
ARTIKEL ILMIAH KAJIAN TEORI
1. Judul Artikel PENDIDIK SAATNYA MENJADIKAN PENDIDIKAN INKLUSI SEBAGAI ALTERNATIF MODEL PENDIDIKAN
UNTUK SEMUA
2. Nama Penulis Imam Nashokha
3. Alamat Penulis Jl. Anggrek 2 Pembataan Kec. Murung Pudak, Kab. Tabalong, Kalimantan Selatan, 08133445196; [email protected]
4. Abstrak dan Kata Kunci Profesionalitas pendidik dapat diukur dari kecakapan untuk merencanakan dan mengelola
perubahan baik bersifat kebijakan administratif maupun substansi pendidikan yang bersifat makro,
messeo dan mikro pembelajaran. Responsif, dinamis, memiliki kecerdasan universal dan multi disiplin
serta terus berupaya meningkatkan wawasan kependidikan secara adaptif.
Konsep pendidikan inklusi yang berusah memberikan format pendidikan tanpa batas, untuk semua,
cross culture of education, adalah desain baru pendidikan yang juga harus bisa dipahami dan mampu
diimplementasikan dalam praktik kependidikan. Tuntutan untuk terus siap menerima perubahan
sistem pendidikan global dan mempersiapkan perencanaan pendidikan dengan baik adalah skill yang
harus tetap dipertahankan dan dikembangkan.
Kata Kunci: Pendidik, Pendidikan Inklusi
5. Pendahuluan Pendidikan yang mampu melayani semua anak dalam keragaman dan perbedaan, dengan fokus
untuk mengoptimalkan potensi anak secara penuh, kini menjadi kecenderungan reformasi
pendidikan yang tengah dikembangkan oleh banyak negara. Karena itu, semangat baru pendidikan ini
harus secepatnya mampu direspon dan dipahami oleh para pendidik dan pengelola pendidikan di
negeri ini dalam upaya menyuguhkan model pendidikan terbaik untuk semua.
Kompetensi pendidikan dan pengajaran yang meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan
profesional, baik bersifat pribadi, sosial maupun akademis dalam bidang keguruan bagi tenaga
kependidikan, saatnya diterapkan secara aplikatif dan mampu merespons segala bentuk
pengembangan atau desain pendidikan yang sarat perubahan lebih baik. Bahkan tambah Surya
(dalam Kunandar, 2007: 47), profesionalisme pendidik akan tercermin dalam pelaksanaan
pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi dan metode, terus
menghargai dan mengembangkan dirinya dalam berbagai upaya pendidikan serta memiliki tanggung
jawab moral yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya.
Menjalankan profesi sebagai pendidik, menurut Soedijarto (dalam Kunandar, 2007: 57) guru atau
pendidik harus memiliki kemampuan: (a) merancang dan merencanakan program pembelajaran dan
model pendidikan; (b) mengembangakn program pembelajaran atau pendidikan; (c) mengelola
pelaksanaan program pembelajaran dan pendidikan; (d) menilai proses dan hasil pembelajaran dan
pendidikan; dan (e) mendiagnosis faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran dan
pendidikan. Dengan kata lain, adaptasi dan pengembangan pendidikan inklusi sebagai alternatif
model pendidikan karakteristik kultural modern (cross culture of education), juga menjadi hal yang
sangat penting untuk dikuasai pendidik sebagai unsur profesionalitasnya.
6. Kajian Literatur Pendidikan Inklusi Format pendidikan inklusi dinilai dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan untuk
semua (education for all), tanpa ada seorang pun yang tertinggal dari layanan sistem pendidikan.
Pendidikan inklusi ini juga diyakini membuat sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik. Ke depan
pendidikan inklusi juga bisa menghancurkan eksklusifitas sosial dalam masyarakat. Sheldon Shaeffer
dari Biro Pendidikan Regional Asia Pasifik UNESCO, dalam konferensi Persiapan regional Asia Pasifik
mengenai pendidikan inklusi di Denpasar Bali, akhir Mei lalu (baca: Kompas) menjelaskan, pendidikan
inklusi merupakan sebuah proses menuju dan merespons keragaman kebutuhan peserta didik
melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat serta mengurangi
ketertinggalan dalam dan dari pendidikan.
Semangat pendidikan inklusi memandang perbedaan diantara para siswa sebagai sebuah tantangan
yang memberikan keuntungan, bukan hambatan dalam pembelajaran di sekolah. Pendidikan yang
demikian mampu terlaksana jika individu mengakui bahwa semua anak berhak mendapat pendidikan
berkualitas. Pendidikan inklusi, tidak hanya bagaimana mengintegrasikan sekelompok anak dalam
suatu pendidikan khusus. Perlu difokuskan bagaimana mengembangkan strategi menghilangkan
hambatan-hambatan dalam belajar dan sebaliknya semua anak bisa berpartisipasi. Hanya dengan
cara ini, kita dapat mencapai pendidikan berkualitas bagi semua. Karena itu, perlu diciptakan sekolah
ramah anak supaya mereka sadar akan hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan berkualitas
baik. Sheldon, juga menyebutkan sekolah ramah anak adalah sekolah yang mencari anak. Artinya
sekolah itu, harus mau mengidentifikasi anak-anak yang tidak terjangkau dan membantu mereka
untuk mendapatkan hak pendidikan.
Sekolah juga harus berpusat pada anak, yaitu mengembangkan potensi anak secara penuh meliputi
semua perkembangan anak, yakni kesehatan, status gizi, dan kesejahteraan serta peduli terhadap
apa yang terjadi pada anak sebelum masuk sekolah dan setelah lulus. Terpenting dari semua adalah
sekolah harus memiliki kualitas lingkungan belajar yang baik, yakni yang responsif jender, mendorong
partisipasi anak-anak, keluarga dan masyarakat. Namun, pada kenyataannya masih banyak anak-anak
yang tertinggal dari layanan pendidikan. Mereka adalah anak-anak penyandang ketunaan atau
berkebutuhan khusus, anak-anak jalanan dan pekerja anak, anak-anak yang berada di lingkungan
sulit seperti konflik bersenjata dan bencana alam, anak-anak yatim piatu dan dibuang, anak-anak dari
keluarga sangat miskin, anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS, serta anak-anak migran atau pengungsi.
Renato Opertti dari Biro Pendidikan Internasional UNESCO (baca: Kompas) mengatakan, pendidikan
inklusi telah tumbuh menjadi perhatian dunia yang menantang proses reformasi pendidikan di
negara maju dan berkembang. Sasarannya adalah memberikan layanan pendidikan berkualitas yang
didefinisikan kembali sebagai proses belajar dengan memperhitungkan kemampuan belajar anak
yang berbeda, mengurangi ekslusifitas, dan tidak mengajarkan pengetahuan akademik yang tinggi
semata. Karena itu, untuk dapat melaksanakan pendidikan inklusi ini dibutuhkan sistem pendidikan
dan peran pendidik atau guru yang mengarah pada paradigma baru pendidikan, yaitu mampu
memanusiakan anak-anak didik. Untuk komitmen menurut Iwa Kuntadi (2007: 2), dibutuhkan
pengajaran kuat pada guru atau pendidik sejak pendidikan di perguruan tinggi hingga pendidikan
selama menjadi guru. Melalui School Based Teacher Education (SBTE); Academic Based Teacher
Education (ABTE); Collaborative Teacher Education (CTE); Performance Based Teacher Education
(PBTE); dan Competency Based Teacher Education (CBTE).
Pengajaran guru seharusnya didasarkan pada paradigma untuk bisa memahami siswa dalam
keberadaannya. Dengan kurikulum yang fleksibel, pendidik atau guru akan mudah mengerti
mengenai perbedaan anak-anak yang memiliki kapasitas khas. Karena bagi H.A.R.Tilaar (1999: 281),
memandang profesi guru pada abad ke 21 merupakan suatu interaksi antara pendidik dan peserta
didik serta berhadapan dengan tiga karakteristik, yaitu; (1) masyarakat teknologi, (2) masyarakat
terbuka, (3) masyarakat madani. Adapun proses pendidikan yang adalah interaksi yang terjadi di
masa depan sesuai dengan teknologi yang ada, masyarakat yang terbuka dan demokrasi. Atas dasar
itu, pendidikan inklusi itu juga merespons kebutuhan budaya dan kelompok sosial beragam. Ini
tantangan tidak mudah, tetapi pendidikan sedang menuju kepada pembiasaan untuk menerima
keragaman mulai dari sekolah.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, kebijakan pendidikan Indonesia
mengharuskan tidak boleh ada anak tertinggal layanan pendidikan dan pendidikan dilakukan secara
holistik (baca: Kompas). Tantangan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar, heterogen dan
wilayah yang sangat luas. Upaya menjangkau semua warga untuk menikmati pendidikan terus
dilakukan dan ditingkatkan. Anak-anak berkebutuhan khusus seperti penyandang berbagai ketunaan
dan anak cerdas istimewa mendapat pendidikan khusus, dengan sekolah atau kelas khusus
(akselerasi). Sedangkan untuk anak-anak jalanan, di daerah terisolasi, miskin, pengungsi atau daerah
konflik dan bencana alam juga diberikan pendidikan layanan khusus. Tidak terlupakan tuntutan
tenaga kependidikan untuk dapat memiliki kualifikasi, kompetensi dan dedikasi yang tinggi dalam
menjalankan tugas profesionalnya terus diupayakan (Kunandar, 2007: 40).
7. Kesimpulan dan Saran Untuk menjadi profesional, para pendidik tidak saja harus menguasai bahan mengajar dan kurikulum
sekolah, mampu mengelola program belajar-mengajar, mengelola kelas dengan baik, ahli
menggunakan media pembelajaran, tetapi juga harus menguasai landasan dan filosofis pendidikan.
Format pendidikan inklusi, yang menawarkan desain pendidikan untuk semua, tidak membedakan,
relationship, inklusif dan terbuka untuk semua kalangan anak tanpa kecuali, merupakan elemen
pendidikan yang juga menuntut keahlian para pendidik untuk terus berlomba-lomba mewujudkan
sistem pendidikan terbaik bagi masyarakat, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
negara, yang bermoral dan bermartabat kemanusiaan.
8. Daftar Pustaka Iwa Kuntadi. 2007. Profesionalisme Guru untuk Meningkatan Mutu Pendidikan dalam Era Teknologi
Informasi. _______
Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan
Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press.
Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen pendidikan nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
UNESCO. 1997. Training of Teacher/Trainers in Technical and Vocational Education Section for
Technical and Vocational Education.
Yusuf, Indra. 2008. Menakar Kualitas Pendidikan Kita. Harian Kompas, edisi 21 Juli 2008.
----------. 2008. Proposed Outcomes in TVET Asia Pacific Conference. Adelaide.
----------. 2008. Arah Baru Pendidikan, Harian Kompas, edisi 9 Juni 2008