jurnal dikbud tahun 2012

174
489 INDEKS PENGARANG JURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012 A Ahmad Jamalong, “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau” 18(4): 394-411 Al Musanna, “Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya” 18(3): 328-341 Al Musanna, “Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan terhadap Ranah Kurikulum yang Terlupakan” 18(1): 1-11 B Bambang Indriyanto, “Dimensi Pembangunan Karakter dan Strategi Pendidikan” 18(1): 21-33 Bambang Indriyanto, “Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan” 18(4): 440-452 D Dian Ruharman lihat I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman Didi Tarsidi, “Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa” 18(1): 85-97 E Eka Kasah Gordah, “Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Peserta Didik Melalui Pendekatan Open Ended” 18(3): 264-279 F Fanny Henry Tondo, “Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan Etnolinguistik” 18 (2): 204-215 H Handaru Catu Bagus, “Administrasi Ujian Nasional (UN) dengan Menggunakan Model Computerized Adaptive Testing (CAT)” 18(1): 45-53 Hayadin, “Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi Pendidikan” 18(2): 181- 191 Hendarman, “Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan” 18(1): 34- 44 Hermana Somantrie, “Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah” 18(1): 12-20 Herry Widyastono, “Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap Manajemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah” 18(3): 342-351 Herry Widyastono, “Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” 18(3): 244-253 Herry Widyastono, “Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah” 18(4): 467-476

Upload: muhammad-daut-siagian

Post on 20-Jan-2016

558 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal dikbud tahun 2012

489

Indeks

INDEKS PENGARANGJURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012

A

Ahmad Jamalong, “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMANegeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau” 18(4): 394-411

Al Musanna, “Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yangMemiliki Kompetensi Budaya” 18(3): 328-341

Al Musanna, “Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan terhadap Ranah Kurikulumyang Terlupakan” 18(1): 1-11

B

Bambang Indriyanto, “Dimensi Pembangunan Karakter dan Strategi Pendidikan” 18(1): 21-33

Bambang Indriyanto, “Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan MutuPendidikan” 18(4): 440-452

D

Dian Ruharman lihat I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman

Didi Tarsidi, “Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa”18(1): 85-97

E

Eka Kasah Gordah, “Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan MasalahMatematis Peserta Didik Melalui Pendekatan Open Ended” 18(3): 264-279

F

Fanny Henry Tondo, “Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan Etnolinguistik” 18(2): 204-215

H

Handaru Catu Bagus, “Administrasi Ujian Nasional (UN) dengan Menggunakan Model ComputerizedAdaptive Testing (CAT)” 18(1): 45-53

Hayadin, “Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi Pendidikan” 18(2): 181-191

Hendarman, “Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Pendidikan” 18(1): 34-44

Hermana Somantrie, “Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan MataPelajaran dalam Kurikulum Sekolah” 18(1): 12-20

Herry Widyastono, “Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap ManajemenPengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah” 18(3): 342-351

Herry Widyastono, “Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” 18(3):244-253

Herry Widyastono, “Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah”18(4): 467-476

Page 2: jurnal dikbud tahun 2012

490

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

I

I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman, “Aplikasi Mobile Learning Fisika dengan MenggunakanAdobe Flash sebagai Media Pembelajaran Pendukung” 18(2): 174-180

Ida Kintamani Dewi Hermawan, “Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pengumpulan DataPendidikan Nonformal Tidak Tepat Waktu dan Tidak Berkualitas” 18(3): 294-309

Ida Kintamani Dewi Hermawan, “Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Jenis PendidikanNonformal” 18(1): 65-84

L

L. Kaluge lihat Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge

Leo Agung S., “Implementasi Model Pembelajaran IPS Terpadu (Suatu Studi Evaluatif di SMP KotaSurakarta)” 18(2): 145-155

Leo Agung S., “Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter diSolo Raya” 18(4): 412-426

M

Masganti Sit, “Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini dengan Metode Bermain Peran (StudiKasus di Raudhatul Athfal Muhajirin-Medan)” 18(1): 98-106

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, “Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam KonteksPendidikan Dasar” 18(4): 353-367

Munawir Yusuf, “Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif”18(4): 382-393

Munir Tanrere dan Sumiati Side, “Pengembangan Media Chemo-Edutainment melalui SoftwareMacromedia Flash MX pada Pembelajaran IPA Kimia SMP” 18(2): 156-162

N

Nugroho Trisnu Brata, “Korelasi Budaya Perkebunan dan Fenomena “Buruh Borong” PerkebunanSawit di Kalimantan Barat” 18(3): 280-293

O

Oos M. Anwas, “Model PAUD Posdaya sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia DiniBerbasis Masyarakat” 18(3): 319-327

P

Prayekti dan Rasyimah, “Lesson Study untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA bagi Siswa SekolahDasar” 18(1) 54-64

R

Rasmadi, “Korelasi antara Komunikasi Antarpersonal, Etos Kerja, dan Budaya Organisasi denganPelayanan” 18(1): 107-119

Rasyimah lihat Prayekti dan Rasyimah

Rogers Pakpahan, “Model Alternatif Ujian Akhir” 18(2): 121-131

Page 3: jurnal dikbud tahun 2012

491

Indeks

S

Sahat Saragih dan Vira Afriati, “Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri SiswaSMK melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph” 18(4): 368-381

Simon Sili Sabon, “Potensi TIK dalam Meningkatkan Daya Tampung LPTK bagi Guru dalam Jabatan diSulawesi Selatan” 18(3): 254-263

Siswantari, “Kompetensi Keahlian di SMKN 6 Pertanian Jeneponto Sulawesi Selatan” 18(2): 216-227

Siswo Wiratno lihat Subijanto dan Siswo Wiratno

Siswo Wiratno, “Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi” 18(4): 453-466

Soebagyo Brotosedjati, “Pengaruh Supervisi Kunjungan Kelas oleh Kepala Sekolah dan Kompensasiterhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kecamatan Sukoharjo” 18(3): 229-243

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, “Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melaluiPermainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan Bencana” 18(4): 427-439

Subijanto dan Siswo Wiratno, “Analisis Kinerja Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah” 18(3):310-318

Subijanto, “Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan” 18(2): 163-173

Sudaryono, “Kajian Metode Deteksi Differential Item Function (DIF) Butir Soal Ujian Nasional denganTeori Tes Klasik” 18(2): 132-144

Sumiati Side lihat Munir Tanrere dan Sumiati Side

Sunardi, “Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa” 18(2): 192-203

U

Umiatin lihat I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman

V

Vira Afriati lihat Sahat Saragih dan Vira Afriati

Y

Yudi Setianto, “Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah” 18(4): 477-488

Page 4: jurnal dikbud tahun 2012

492

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

INDEKS JUDULJURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012

A

Administrasi Ujian Nasional (UN) dengan Menggunakan Model Computerized Adaptive Testing (CAT)Handaru Catu BagusJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 45-53

Analisis Kinerja Badan Akreditasi Nasional Sekolah/MadrasahSubijanto dan Siswo WiratnoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 310-318

Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah KejuruanSubijantoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 163-173

Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum SekolahHermana SomantrieJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 12-20

Aplikasi Mobile Learning Fisika dengan Menggunakan Adobe Flash sebagai Media Pembelajaran PendukungI Made Astra, Umiatin, dan Dian RuharmanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 174-180

Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki KompetensiBudayaAl MusannaJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 328-341

B

Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan EtnolinguistikFanny Henry TondoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 204-215

D

Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran SejarahYudi SetiantoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 477-488

Dimensi Pembangunan Karakter dan Strategi PendidikanBambang IndriyantoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 21-33

F

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pengumpulan Data Pendidikan Nonformal Tidak Tepat Waktudan Tidak BerkualitasIda Kintamani Dewi HermawanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 294-309

Page 5: jurnal dikbud tahun 2012

493

Indeks

I

Implementasi Model Pembelajaran IPS Terpadu (Suatu Studi Evaluatif di SMP Kota Surakarta)Leo Agung S.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 145-155

Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap Manajemen Pengembangan KurikulumPendidikan Dasar dan MenengahHerry WidyastonoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 342-351

K

Kajian Metode Deteksi Differential Item Function (DIF) Butir Soal Ujian Nasional dengan Teori Tes KlasikSudaryonoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 132-144

Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanHerry WidyastonoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 244-253

Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan InklusifMunawir YusufJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 382-393

Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Jenis Pendidikan NonformalIda Kintamani Dewi HermawanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 65-84

Kompetensi Keahlian di SMKN 6 Pertanian Jeneponto Sulawesi SelatanSiswantariJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 216-227

Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit PurwaSunardiJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 192-203

Korelasi antara Komunikasi Antarpersonal, Etos Kerja, dan Budaya Organisasi dengan PelayananRasmadiJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 107-119

Korelasi Budaya Perkebunan dan Fenomena “Buruh Borong” Perkebunan Sawit di Kalimantan BaratNugroho Trisnu BrataJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 280-293

L

Lesson Study untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Bagi Siswa Sekolah DasarPrayekti dan RasyimahJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 54-64

M

Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia DewasaDidi TarsidiJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 85-97

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai KabupatenSanggau

Page 6: jurnal dikbud tahun 2012

494

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Ahmad JamalongJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 394-411

Model Alternatif Ujian AkhirRogers PakpahanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 121-131

Model PAUD Posdaya sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis MasyarakatOos M. AnwasJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 319-327

Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan MenengahHerry WidyastonoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 467-476

P

Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan TinggiSiswo WiratnoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 453-466

Pengaruh Supervisi Kunjungan Kelas oleh Kepala Sekolah dan Kompensasi terhadap Kinerja Guru SDNegeri di Kecamatan SukoharjoSoebagyo BrotosedjatiJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 229-243

Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi PendidikanHayadinJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 181-191

Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu PendidikanBambang IndriyantoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 440-452

Pengembangan Media Chemo-Edutainment melalui Software Macromedia Flash MX pada PembelajaranIPA Kimia SMPMunir Tanrere dan Sumiati SideJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol 18 Nomor 2, hal 156-162

Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo RayaLeo Agung S.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 412-426

Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas3 SD di Daerah Rawan BencanaSri Tatminingsih dan SudarwoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 427-439

Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini Dengan Metode Bermain Peran (Studi Kasus di RaudhatulAthfal Muhajirin-Medan)Masganti SitJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 98-106

Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan TerbimbingBerbantuan Software AutographSahat Saragih dan Vira AfriatiJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 368-381

Page 7: jurnal dikbud tahun 2012

495

Indeks

Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan PendidikanHendarmanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 34-44

Potensi TIK dalam Meningkatkan Daya Tampung LPTK bagi Guru dalam Jabatan di Sulawesi SelatanSimon Sili SabonJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 254-263

Q

Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan terhadap Ranah Kurikulum yang TerlupakanAl MusannaJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 1, hal 1-11

S

Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan DasarMieske Theresia Tulung dan L. KalugeJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol 18 Nomor 4, hal 353-367

U

Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Masalah MatematisPeserta Didik Melalui Pendekatan Open EndedEka Kasah GordahJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol 18 Nomor 3, hal 264-279

Page 8: jurnal dikbud tahun 2012

496

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Ucapan Terima Kasih

Tim Penyusunan Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Madyo Eko Susilo, M.Ed. (Universitas Veteran Sukoharjo/Manajemen Pendidikan),2. Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. (Universitas Negeri Yogyakarta/Teknik),3. Dr. Retno Dwi Suyanti (Universitas Negeri Medan/Kebijakan Pendidikan),4. Prof. Dr. Muhammad Sidin Ali, M.Pd. (Universitas Negeri Makassar/Evaluasi Pendidikan),5. Nonny Swediaty, Ph.D. (Institute for Research, Training & Development/Psikometri, PAUD,

Educational & Brain)

Sebagai Mitra Bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel-artikel Jurnal Pendidikan danKebudayaan

Page 9: jurnal dikbud tahun 2012

477

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

DIKOTOMI BEBAS NILAI DAN NILAI PENDIDIKANDALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

(THE DICHOTOMY BETWEEN VALUE - FREE AND EDUCATIONAL VALUEIN HISTORY LEARNING)

Yudi SetiantoPPPPTK PKn-IPS Malang, Jl. Raya Arhanud, Pendem, Batu,

e-mail: [email protected]

Diterima tanggal:10/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 10/11/2012, Disetujui tanggal:20/12/2012

Abstrak: Tujuan penulisan artikel ini untuk menemukan win-win solution, dalam rangkamemisahkan sekaligus saling menghormati antara Sejarah dalam ranah ilmu murni dan Sejarahdalam domain pendidikan atau pembelajaran ke siswa. Penulisan ini menggunakan pendekatankualitatif deskriptif. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, dan tetap menjaga kebebasan nilai(value-free). Dalam konteks Sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagai kebenaran dankejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalamranah pembelajaran Sejarah, Sejarah tidak mungkin dikemukakan secara objektif. Hal ini bukanberarti jika pembelajaran bersifat subyektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebihbijaksana, polarisasi Sejarah, yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotismeserta tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tidak mungkin disandingkan dengan sejarah sebagaialat legitimasi konflik sosial, bahkan disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah tetap bersifat objektifdalam mengungkap fakta Sejarah, sementara itu tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagiandari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasardan tujuan Pendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi tertentudan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankanprinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-faktaSejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar Sejarah menjadikan yang mempelajarinyalebih bijaksana.

Kata kunci: ilmu Sejarah, bebas nilai, objektivitas sejarah, dan pendidikan Sejarah

Abstract: The aim of writing this article is to offer a win-win solution to put history learning,both as a pure social science as well as an education and learning tools for students. This studyused qualitative descriptive approach. As a science, history should be objective and at thesame time keep the value-free concept. In the context of history, objectivity means truth andhonesty, that is all facts must be disclosed transparantly. However, in history learning, not allthe historical facts should be revealed fully. Yet, it does not necessarily mean that historylearning is not objective or even denying the facts. For the wiser purpose, the history polarisationaiming at growing students’ nationalisme, patriotism, and other noble educational objectives, itis not possible to treat history as a tool to legitimate social conflicts or even the nationdisintegration. History in learning should keep objective in uncovering historical facts, whilealso maintain the purpose of the learning itself. History as a learning must be built upon thefoundation and aim of the national education system. Thus, history as a school subject havingparticular education objectives must be put in line, side by side, compromise with its position asa social science, without eliminating the principles of one or both of them. History learning usesfiltered historic facts, so the learners are led to be wise people.

Keywords: the science of history, value-free, objectivity of history, and history learning

Page 10: jurnal dikbud tahun 2012

478

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PendahuluanIlmu Sejarah adalah ilmu yang menyelidiki danmenceritakan peristiwa-peristiwa dalam waktudan ruang yang dihubungkan dengan perkem-bangan aktivitas manusia. Sebagaimana ilmupengetahuan lainnya, Ilmu Sejarah juga bersifatbebas nilai (value-free). Namun, perlu disadaribahwa dalam perjalanan Sejarah peradaban didunia, konflik sosial sering terjadi. Konflik ini bisaterjadi antara negara, dan juga dalam suatunegara. Berbagai konflik, tak jarang disebabkanoleh legitimasi sejarah. Konflik tersebut tak lepasdari penghargaan yang tinggi terhadap “the gloriuspast” dari masing-masing suku, ras, agama, danbangsanya. Ilmu Sejarah yang value-free, seringkali harus bertanggung jawab terhadap konflik-konflik tersebut.

Sementara itu, Pendidikan Sejarah yangmerupakan pembelajaran Sejarah di sekolahmengungkap fakta sejarah secara lebih bijak agardampak sejarah bagi siklus konflik mendapatreduksi. Namun demikian, dalam kontek SejarahNasional Indonesia, ser ing kali sejarawanmengkritisi official history atau penulisan Sejarahresmi yang dibuat pemegang kekuasaan. Officialhistory memang sering dijadikan rujukan dalampembelajaran Sejarah, termasuk di dalamnyaSejarah Kontemporer. Pembelajaran Sejarahsering dikritik mengabaikan temuan fakta dari IlmuSejarah, demi tujuan pendidikan secara umum.Dalam menyikapi perbedaan paradigma IlmuSejarah dan Pendidikan Sejarah, tentunya harusada titik temu.

Dari gambaran di atas, muncul rumusanpermasalahan sebagai berikut: 1) bagaimanaperbedaan tinjuan Ilmu Sejarah dan PendidikanSejarah?; dan 2) bagaimana jalan tengah darikontroversi Ilmu Sejarah dan Pendidikan Sejarah,dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia?

Penulisan ini bertujuan untuk mencari formatdalam rangka menemukan titik temu antara duaparadigma yang berbeda, yaitu sejarah sebagaiilmu, dan sejarah dalam ranah pembelajaran ataupendidikan, khususnya dalam membahas sejarahnasional Indonesia. Perbedaan antara ilmu yangbersifat value-free, dan nilai-nilai pendidikan dalamSejarah, dapat dipadukan, dengan melihat tujuandan fungsi masing-masing.

Kajian Literatur dan PembahasanPembelajaran SejarahPengajaran terdiri atas proses belajar danmengajar. Belajar-mengajar sebagai suatu sisteminstruksional mengacu kepada pengertian sebagaiseperangkat komponen yang saling bergantungsatu dengan lainnya dalam mencapai tujuan.Sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputisuatu komponen seperti: tujuan, bahan, siswa,guru, metode, situasi dan evaluasi. Tujuantersebut dapat tercapai jika semua komponendiorganisasikan, sehingga terjadi kerja samaantarkomponen (Djamarah & Zain, 1996). Secarasederhana, pengajaran Sejarah diartikan sebagaisuatu sistem belajar mengajar Sejarah.Pengajaran Sejarah berkaitan dengan perpaduanantara teori-teori pendidikan dan Ilmu Sejarah.Berbeda dengan Ilmu Sejarah, yang secarakhusus intens mengembangkan keilmuan, makapembelajaran Sejarah atau mata pelajaranSejarah dalam kurikulum sekolah, memang tidaksecara khusus bertujuan untuk memajukan ilmuatau untuk menelorkan calon ahli Sejarah.Penekanan pengajaran Sejarah, tetap terkaitdengan tujuan pendidikan pada umumnya, yaituikut membangun kepribadian dan sikap mentalsiswa. Tujuan pendidikan tidak hanya membentukkemampuan intelektual semata, tetapi juga sikapdan berbagai keterampilan. Jika pendidikan hanyamemberikan kemampuan intelektual tanpadidasari nilai-nilai dan moralitas dalam diri siswa,maka intelektualitas dapat menjadi salah arah.

Pembelajaran harus memiliki muatan konsepkurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yangmeliputi nilai-nilai yang dipromosikan oleh sekolah,penekanan yang diberikan oleh guru, derajatantusiasme guru, iklim fisik dan sosial sekolah(Oliva 1982). Istilah hidden curriculum menunjukpada kenyataan bahwa para guru dan sekolahterlibat dalam pendidikan moral, tanpa secaraeksplisit dan filosofis membahas atau merumuskantujuan dan metodenya (Kohlberg, 1995).

Sejarah sebagai mata pelajaran yangmempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentudan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalamkonsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Hal tersebut penting, agar kekhawatiran tentangsubjektivitas sejarah dalam pembelajaran Sejarah

Page 11: jurnal dikbud tahun 2012

479

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

tidak mengorbankan ilmu Sejarah itu sendiri.Meskipun demikian, sebagai materi pelajaran disekolah, Sejarah harus menghindarkan hal-halsebagai berikut: pertama, Sejarah sebagai bahanpelajaran harus dihindarkan pada kecenderunganantikuriat, yaitu kisah masa lalu dipelajari hanyasekedar pelipur lara atau bahan hafalan yangmenjemukan. Kedua, pelajaran Sejarah sebaiknyamenjauhkan diri dari keterangan sejarah (historicalexplanation) yang ideologis tanpa pertanggung-jawaban yang rasional (Abdullah, 1996).

Secara sederhana, pengajaran Sejarahdiartikan sebagai suatu sistem belajar mengajarSejarah. Pengajaran Sejarah berkaitan denganteori-teori pembelajaran dan keSejarahan.Berbeda dengan ilmu Sejarah, pembelajaranSejarah atau mata pelajaran Sejarah dalamkurikulum sekolah memang tidak secara khususbertujuan untuk memajukan ilmu atau untukmenelorkan calon ahli Sejarah. Penekanannya,dalam pengajaran Sejarah tetap terkait dengantujuan pendidikan pada umumnya, yaitu ikutmembangun kepribadian dan sikap mental siswa.

Dalam masa pembangunan bangsa, salahsatu fungsi utama pendidikan adalah pengem-bangan kesadaran nasional sebagai sumber dayamental dalam proses pembangunan kepribadiannasional beserta identitasnya (Kartodirdjo, 1993).Hal ini juga diperkuat oleh pemerintah melaluiUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 20tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionalyang menyatakan:

“Pendidikan nasional berfungsi mengem-bangkan kemampuan dan membentuk watakserta peradaban bangsa yang bermartabatdalam rangka mencerdaskan kehidupanbangsa, bertujuan untuk berkembangnyapeserta didik agar menjadi manusia yangberiman dan bertakwa kepada Tuhan YangMaha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab” (Pasal 3).Memperhatikan fungsi dan tujuan Pendidikan

Nasional tersebut, jelas bahwa yang dicapai bukanhanya kemampuan intelektualitas saja, tetapilebih menekankan kepada tiga ranah secaramerata, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik.Berkaitan dengan itulah, di samping di sekolah

diajarkan ilmu-ilmu yang dapat meningkatkankemampuan dan keterampilan, perlu dilengkapijuga dengan pengetahuan yang mampumembentuk sikap dan mentalitas, seperti matapelajaran Sejarah. Menurut Ali (2005), pengajaranSejarah penting dalam pembentukan j iwapatriotisme dan rasa kebangsaan.

Sementara itu, Hasan berpendapat, terdapatbeberapa pemaknaan terhadap PendidikanSejarah. Pertama, secara tradisional PendidikanSejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentran-sfer kemegahan bangsa di masa lampau kepadagenerasi muda. Dengan posisi yang demikian,Pendidikan Sejarah adalah wahana bagipewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melaluiposisi ini Pendidikan Sejarah ditujukan untukmembangun kebanggaan bangsa dan pelestariankeunggulan tersebut. Kedua, Pendidikan Sejarahberkenaan dengan upaya memperkenalkanpeserta didik terhadap disiplin Ilmu Sejarah. Olehkarena itu, kualitas seperti berpikir kronologis,pemahaman sejarah, kemampuan analisis danpenafsiran sejarah, kemampuan penelitiansejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilankeputusan (historical issues-analysis and decisionmaking) menjadi tujuan penting dalam PendidikanSejarah (Hasan, 2007).

I Gde Widja menyatakan bahwa pem-belajaran Sejarah adalah perpaduan antaraaktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnyamempelajari tentang peristiwa masa lampau yangerat kaitannya dengan masa kini (Widja,1989).Pendapat Widya tersebut dapat disimpulkan,bahwa mata pelajaran Sejarah merupakan bidangstudi yang terkait dengan fakta-fakta dalam IlmuSejarah namun tetap memperhatikan tujuanpendidikan pada umumnya. Dalam Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 1957,Padmopuspito berpendapat bahwa pertama,penyusunan pelajaran Sejarah harus bersifatilmiah. Kedua, siswa perlu bimbangan dalamberfikir, tetapi tafsiran dan penilaian tidak bolehdipaksakan, karena dapat mematikan daya pikirsiswa (Gazalba,1966). Dalam bidang pengajaranSejarah, terdapat tiga faktor yang harus dipahamitentang materi Sejarah. Pertama, hakikat faktaSejarah. Kedua, hakikat penjelasan dalam Sejarah.Ketiga, masalah obyektivitas Sejarah (Hariyono,1995).

Page 12: jurnal dikbud tahun 2012

480

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Ilmu SejarahDi sisi lain, Sejarah merupakan cabang ilmupengetahuan yang berkembang, dengan metodedan standar tersendiri. Ilmu Sejarah dalammengungkap fakta, harus memperhatikannetralitas nilai ketika melakukan penelitiansejarah. Ini berarti bahwa ia harus menyingkirkanasumsi ideologis atau nonilmiah dari penelitian.Ini sebagai konsekuensi, bahwa ilmu penge-tahuan bersifat bebas nilai (value-free). Bebas nilaiartinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiahagar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuanitu sendiri. Tokoh sosiologi, Max Weber, menya-takan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapiia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harusmenjadi nilai yang relevan (value-relevant).Mempelajari Sejarah merupakan suatu jenisberpikir tertentu yang disebut pemikiran historis.Sebagai sebuah ilmu, Sejarah telah memenuhisyarat-syaratnya seperti (Hugiono & Poerwan-tana, 1987), yaitu: 1) pengetahuan yang dicapaisecara metodis dan berhubungan secarasistematis; 2) meliputi kelompok besar darikebenaran umum; dan 3) bersifat objektif.

Sebagaimana pandangan Bacon, bahwa“histories make man wise”, Sejarah diharapkanyang mempelajari menjadi lebih bijaksana (dalamWidja,1989). Syarat Ilmu Sejarah adalah objektif.Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, karena ilmutanpa obyektivitas tidak mempunyai nilai ilmiah.Objektif bisa diartikan bersifat tidak memihak.Suatu penulisan sejarah dapat bersifat subyektif,apabila sejarawan membiarkan politik atauetisnya turut berperan, atau nilai-nilai turutberperan dalam penulisan sejarahnya (Siswantodan Sukamto, 1991).

Hal ini menjadi berbeda jika Sejarah sebagaimata pelajaran dan materi pembelajaran disekolah. Bagaimanapun, pembelajaran Sejarahmempunyai misi dan visi tertentu, yang merupakanbagian dari tujuan pendidikan. Jika tujuan pendi-dikan suatu negara bersifat subjektif, bagaimanadengan pendidikan Sejarah dalam pembelajarandi sekolah? Dikotomi semacam ini, seringkalimuncul dari para sejarawan untuk menggugatobjektivitas fakta dalam pem-belajaran Sejarah.Materi pembelajaran Sejarah, apalagi SejarahKontemporer, tak lepas dari produk “sejarahresmi” dari pemerintah atau penguasa.

Kritik Terhadap Pembelajaran SejarahSejarawan Italia, Benedetto Croce mengatakan,merekonstruksi Sejarah, pasti akan terjadibenturan antara realita dan pemikiran, maksuddan peristiwa, historical dan philosophical. Jikamerekonstruksi fakta Sejarah saja, Croce masihmengkhawatirkan adanya subjektivitas yang“disengaja” dalam pengungkapan fakta sejarah,maka tentunya akan lebih khawatir jika sejarahbersanding dengan tujuan pendidikan suatunegara. Sebagaimana pandangan Taufik Abdullahbahwa, sejarah sebagai alat pemupuk ideologi,betapapun luhurnya mempunyai resiko yang bisameniadakan validitas dari apa yang akandisampaikan. Seakan-akan, sejarah dapat bersifatsubyektif, demi didapatkan kearifan yang afektif(Abdullah, 1996). Mengutip pernyataan dari Elton,sering muncul kecurigaan di kalangan sejarawanbahkan para pendidik, terhadap alasan meng-kaitkan Sejarah dengan proses pendidikan.Proses pendidikan Sejarah dianggap hanyamenjadi sumber kecenderungan etnosentris,bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara itu,Namier (dalam Widja, 1997) berpendapat bahwaperan sejarah sebagai “moral precepts” atauajaran moral dianggap dapat menjelma menjadiindoktrinasi sebagai legitimasi doktrin atauideologi tertentu (Widja,1997).

Selain itu sejarawan lain, yakni Mahasinberpandangan bahwa krit ik umum kepadapendukung nilai edukatif Sejarah dalam pena-naman nilai-nilai sejarah melalui proses pendi-dikan yang lebih menonjol adalah pencapaiantujuan-tujuan edukatif yang bersifat ekstrinsikatau instrumental. Padahal dalam teori belajaryang lebih utama adalah nilai instrinsik.Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumentaldalam Pendidikan Sejarah akan lebih mengarahpada pemahaman nilai sejarah sebagai landasanbagi pembentukan semacam alat cetakmembentuk manusia yang sudah ditentukansebelumnya (predefined person), baik dalamrangka “cultural transmission” maupun dalampenyiapan” moral precepts” bagi generasi baru.Dalam kerangka berpikir seperti ini, muncul ke-cenderungan atau dorongan pemujaan berlebihanterhadap masa lampau yang pada gilirannyamemberi peluang bagi kekaburan realitas sejarahdemi kepentingan masa kini atau kecenderungan

Page 13: jurnal dikbud tahun 2012

481

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

presentisme. Pengaburan seperti ini bisamendorong generasi baru hanya terpesona ataumengagumi masa lampau tanpa pernah berpikirsecara kreatif merencanakan bangunan masadepannya (Widja, 1997).

Menurut Abdullah (1996), jika disimpulkan,Sejarah sebagai wacana intelektual akan tampilsecara bertahap dengan berbagai wajah.Pertama, sebagai Sejarah yang bernadamoralistik, yang merupakan pertanggungjawabanrasional akan keharusan hidup bermasyarakat.Kedua, Sejarah sebagai alat pengetahuan praktis,yaitu sebagai kaca pembanding untuk mengetahuistruktur hari dan dunia kini. Ketiga, Sejarahsebagai pembimbing ke arah pemahaman, yaitusebagai alat dan penolong untuk memungkinkanterjadinya dialog yang kreatif dengan pergolakanjaman yang melintas dalam pengalaman hidupnyaatau alat untuk memahami dunia intelligently(Abdullah, 1996).

Dalam konteks Sejarah Nasional Indonesia,tentunya Ilmu Sejarah bukanlah sebagai pedangbermata dua, di satu sisi sebagai alat pemupukideologi, perekat persatuan-kesatuan bangsa,namun di sisi lainnya sebagai instrumen dalamdisintegrasi bangsa. Jika “pedang sejarah”bermata dua, maka istilah histories make man wisemenjadi tidak berlaku lagi. Hal ini perlu disadari,konflik horisontal di masyarakat, gerakan sparatis,pemberontakan atau hal-hal lain terkait konflikinternal dalam suatu negara, ser ing terjadidisebabkan oleh pedang bermata dua tersebut.Dendam sejarah dalam konflik vertikal danhorisontal dalam suatu negara tak lepas dari faktaSejarah.

Di samping itu, sejarah suatu bangsa jugatak lepas dari tokoh besar. Thomas Cartyledengan “the great man theory”-nya, berpendapatbahwa, “the great man dominates all history”. Dalamranah Ilmu Sejarah, maka The Great Man akandikupas tuntas, terkait dengan perjalanansejarahnya berdasarkan fakta yang ada. Ranahobjektivitas sejarah, tentunya sang tokoh akandikupas kelebihan dan kekurangan, jasa dankesalahan serta hal-hal lain berdasar hitam putihperjalananannya, sehingga menjadi tokoh.

Namun, dalam ranah pembelajaran, haltersebut memunculkan kontroversial. Tokohbangsa, dikarenakan jasa-jasa atau per-

juangannya sering diangkat sebagai pahlawanbangsa di negaranya masing-masing. Di hampirsemua negara, sosok pahlawan tetap selaludidasari unsur subjektivitas yang dibalut kerangkaobjektivitas. Keberadaan pahlawan ataupengkhianat, terkait dengan kepentinganpenguasa politik dan demi kepentingan negara,melalui official history atau penulisan Sejarah resmiyang dibuat pemegang kekuasaan. Sejarawanterkenal Italia, Benedetto Croce mengatakan,merekonstruksi Sejarah, termasuk kisah The GreatMan, pasti akan terjadi benturan antara realitadan pemikiran ,maksud dan peristiwa, historicaldan philosophical.

Kewajaran Pembelajaran SejarahBerbagai fungsi sejarah dapat dikatagorikansebagai sejarah yang berfungsi secara pragmatis,antara lain untuk legitimasi dan justitikasieksistensi suatu bangsa, keduanya menyangkutfungsi pragmatis. Di samping itu, ada dua fungsilain yang mempunyai relevansi bagi pembelajaranSejarah, yaitu fungsi genet is dan didaktis(Kartodirdjo, 1993). Pembelajaran Sejarahmerupakan perpaduan antara pembelajaran itusendiri dan ilmu Sejarah, yang mana keduanyatetap memperhatikan tujuan pendidikan secaraumum.

Pemerintah sebagai pemegang otoritaspendidikan berpendapat tentang tujuan dari matapelajaran Sejarah melalui Peraturan MenteriPendidikan Nasional. Menurut Peraturan MenteriPendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22tahun 2006 tentang standar isi yang tercantumdalam lampiran Peraturan Menteri ini, bahwamata pelajaran Sejarah bertujuan agar pesertadidik memiliki kemampuan sebagai berikut:1) membangun kesadaran peserta didik tentangpentingnya waktu dan tempat yang merupakansebuah proses dari masa lampau, masa kini, danmasa depan; 2) melatih daya kritis peserta didikuntuk memahami fakta Sejarah secara benardengan didasarkan pada pendekatan ilmiah danmetodologi keilmuan; 3) menumbuhkan apresiasidan penghargaan peserta didik terhadappeninggalan Sejarah sebagai bukti peradabanbangsa Indonesia di masa lampau; 4) menum-buhkan pemahaman peserta didik terhadapproses terbentuknya bangsa Indonesia melalui

Page 14: jurnal dikbud tahun 2012

482

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

sejarah yang panjang dan masih berproseshingga masa kini dan masa yang akan datang;dan 5) menumbuhkan kesadaran dalam diripeserta didik sebagai bagian dari bangsaIndonesia yang memiliki rasa bangga dan cintatanah air yang dapat diimplementasikan dalamberbagai bidang kehidupan, baik nasional maupuninternasional.

Menurut Hasan (1997) dalam KongresNasional Sejarah tahun 1996, secara tradisionaltujuan kurikulum pendidikan Sejarah selaludiasosiasikan dengan tiga pandangan, yaitu:1) “perenialisme” yang memandang bahwapendidikan Sejarah haruslah mengembangkantugas sebagai wahana “transmission of culture”.Pengajaran Sejarah hendaklah diajarkan sebagaipengetahuan yang dapat membawa siswakepada penghargaan yang tinggi terhadap “ theglorius past”. Kurikulum Sejarah diharapkan dapatmengembangkan kemampuan anak didik dangenerasi penerus untuk mampu menghargai hasilkarya agung bangsa di masa lampau, memupukrasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanahair, persatuan dan kesatuan nasional; 2) esen-sialisme, menurut pandangan ini, kurikulumSejarah haruslah mengembangkan pendidikanSejarah sebagai pendidikan disiplin ilmu danbukan hanya terbatas pada pendidikanpengetahuan Sejarah. Dalam pandangan aliranesensialisme, siswa yang belajar Sejarah harusdiasah kemampuan intelektualnya sesuai dengantradisi intelektual Sejarah sebagai disiplin ilmu.Kemampuan intelektual keilmuan antara lainmenghendaki kemampuan berfikir kritis dananalitis, terutama dikaitkan dalam konteks berfikiryang didasarkan filsafat keilmuan; dan 3) rekon-struksi sosial, pandangan ini menganggap bahwakurikulum pendidikan Sejarah haruslah diarahkanpada kajian yang mengangkut kehidupan masakini dengan problema masa kini. PengetahuanSejarah diharapkan dapat membantu siswamengkaj i masalah untuk memecahkan per-masalahan. Kecenderungan-kecenderungan yangterjadi dalam Sejarah masa lampau sebagaipelajaran yang dapat dimanfaatkan bagikehidupan siswa masa kini (Hasan, 2007).

Namun, klasifikasi seperti pandangan di atastidak perlu dijadikan pegangan mutlak danterpisah oleh para pengembang kurikulum Sejarah.

Sebagai wahana pendidikan, kurikulum Sejarahharus diarahkan untuk mencapai berbagai tujuanseperti pengembangan rasa kebangsaan,kebanggaan atas prestasi gemilang masa lalubangsa, mampu menarik pelajaran dari peristiwamasa lampau untuk digunakan dalam melanjutkanprestasi gemilang bangsa bagi kehidupan masasekarang dan yang akan datang.

Hal yang wajar terjadi perbedaan sudutpandang dalam memahami kenyataan sosialtermasuk dalam masalah Sejarah. Hal ini jugadikemukakan oleh Abdullah (1996), bahwaSejarah sebagai ingatan kolektif memberikankeprihatinan sosial-kultural akan hasratpeneguhan integrasi. Dalam konteks ini,terkaburlah batas-batas antara “kepastianSejarah” dengan “kewajaran Sejarah”, antara“apa yang sesungguhnya telah terjadi’ dan “apayang semestinya harus terjadi”. Ungkapan lainuntuk menjelaskan hal tersebut adalah terbaurlahhasil rekonstruksi kritis terhadap sumber Sejarahdengan keinginan akan masa lalu sebagailandasan kearifan masa kini (Hasan, 2007).

Demikian, usaha untuk menjadikan Sejarahsebagai sumber inspirasi ataupun sebagailandasan nilai merupakan hal yang sah, baik secaraakademis maupun secara etis (Hasan, 2007).Pengajaran Sejarah lebih bersifat “confluent”,artinya dapat untuk mengembangkan berbagairanah sekaligus. Ranah kognisi, afeksi, dan konasisecara bersama-sama membentuk “sikapkeseluruhan”. Aspek kognisi merupakanpenggerak perubahan karena informasi yangditerima menentukan perasaan dan kemauanuntuk bert indak. Kognisi yang salah akanmenimbulkan afeksi dan konasi yang salah pula.Afeksi dan konasi yang benar hanya dapatdihasilkan oleh kognisi yang benar (Mar’at, 1982).Ini berarti bahwa pengajaran Sejarah yang salahakan menimbulkan sikap yang salah, palsu ataumunafik. Bila salah, maka tindakan lahirnya jugamenghasilkan tindakan yang salah (Moedjanto,1985).

Berfokus pada fungsi pengajaran Sejarahuntuk meningkatkan proses penyadaran diri,maka dua aspek didaktik Sejarah perlu ditonjolkanyaitu: 1) segi teknik penyampaian atau metodenyadan 2) segi substansialnya atau silabus. Keduaaspek mempunyai pengaruh timbal bal ik,

Page 15: jurnal dikbud tahun 2012

483

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

keduanya bertalian dengan usia serta tingkatpendidikan anak didik. Prinsip pemilihan substansidalam didaktif sejarah, yaitu: a) pendekatansecara lokosentris, mulai dengan mengenal lokasisejarah di sekitarnya; b) pendekatan konsentris,mulai lingkungan dekat meluas ke lingkup nasionalsampai ke yang internasional; c) temasentris,yaitu pilihan tema tertentu yang menarik sekitarpahlawan atau monumen, dan lain sebagainya;d) kronologi yaitu urutan kejadian menurut waktu;e) tingkatan presentasi dari deskriptif-naratif kedeskriptif-analitis, mulai dari cerita tentang“bagaimana” terjadinya, sampai pada “mengapa”-nya; dan f) sejarah garis besar dan menyeluruh(Kartodirdjo,1993).

Pengajaran Sejarah penting dalam pem-bentukan jiwa patriotisme dan rasa kebangsaan.Suatu pengetahuan Sejarah yang ditunjangpengalaman praktis warga negara yang baik disekolah membantu memperkuat loyalitas danmembantu anak-anak menemukan dirinya denganlatar belakang Sejarah luas. Rowse (1963)menegaskan bahwa Sejarah adalah suatu matapelajaran yang bernilai pendidikan tinggi. Dalamkonteks pembentukan ident itas nasional,pengetahuan Sejarah mempunyai fungsifundamental (Kartodirdjo,1993). Inti pembelajaranSejarah adalah bagaimana menanamkan nilai-nilaikepahlawanan, kecintaan terhadap bangsa, jatidiri, dan budi pekerti kepada anak didik. Bukupelajaran Sejarah hendaknya disusun denganketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskanpada tujuan pendidikan nasional (Hugiono &Poerwantana, 1987). Melalui proses belajarSejarah bukan semata-mata menghapal fakta,tetapi siswa dapat mengenal kehidupanbangsanya secara lebih baik dan mempersiapkankehidupan pribadi dan bangsanya yang lebih siapuntuk jangka selanjutnya (Hasan, 1997).Sementara itu, Krug (1967) berpendapat bahwapengajaran Sejarah bangsa merupakan upayaterbaik untuk memperkuat kesatuan nasional danuntuk menanamkan semangat cinta tanah air danjiwa patriotik.

Kartodirdjo (1993) menyatakan, perananstrategis pengajaran Sejarah dalam rangkapembangunan bangsa menuntut suatu penye-lenggaran pengajaran Sejarah sebagai pema-haman dan penyadaran, sehingga mampu

membangkitkan semangat pengabdian yangtinggi, penuh rasa tanggung jawab serta ke-wajiban. Kepekaannya terhadap sejarah akanmelahirkan aspirasi dan inspirasi untuk melak-sanakan tugasnya sebagai warga negara.

Sejarahlah yang menjadi sumber inspirasi danaspirasi generasi muda dengan pengungkapanmodel-model tokoh sejarah dan pelbagai bidang.Maka dari itu, sejarah masih relevan untuk dipakaimenjadi perbendaharaan suri-tauladan, ber-korban untuk tanah air, berdedikasi tinggi dalampengabdian, tanggung jawab sosial besar,kewajiban, serta keterlibatan penuh dalam hal-ihwal bangsa dan tanah air. Kartodirdjo (1993)berpendapat bahwa pembelajaran Sejarahberkedudukan sangat strategis dalam pendidikannasional sebagai “soko guru” dalam pem-bangunan bangsa. Pembelajaran Sejarah perludisempurnakan agar dapat berfungsi secara lebihefektif, yaitu penyadaran warga negara dalammelaksanakan tugas kewajibannya dalam rangkapembangunan nasional.

Tujuan pelajaran Sejarah Nasional, yaitu:a) membangkitkan, mengembangkan, sertamemelihara semangat kebangsaan; b) mem-bangkitkan hasrat mewujudkan cita-cita kebang-saan dalam segala lapangan; c) mem-bangkitkanhasrat mempelajari Sejarah kebangsaan danmempelajarinya sebagai bagian dari Sejarahdunia; dan d) menyadarkan anak tentang cita-cita nasional untuk mewujudkan cita-cita itusepanjang masa (Ali, 2005).

Menurut Wahid Siswoyo dalam bukunya“Seminar Sejarah”, dikemukakan beberapa hal,antara lain: 1) sejarah dapat menumbuhkan rasanasionalisme; 2) sejarah yang mempunyai fungsipedagogis serta merupakan alat bagi pendidikanmembutuhkan pedoman atau pegangan yangdapat digunakan untuk mencapai cita-citaPendidikan Nasional.

Melalui pendidikan Sejarah, yakni dalambentuk kegiatan belajar mengajar, prosessosialisasi sikap nasionalisme dapat dilaksanakansecara lebih sistematik dan terencana, yaitumelalui proses internalisasi. Proses internalisasimerupakan proses untuk menjadikan suatu sikapsebagai bagian dari kepribadian seseorang.Dalam upaya mensosialisasikan sikap nasio-nalisme, strategi belajar mengajar pendidikan

Page 16: jurnal dikbud tahun 2012

484

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Sejarah dilakukan melalui tahap pengenalandan pemahaman, tahap penerimaan, dan tahappengintegrasian (Hizam, 2007). Meskipundemikian, sejarah Bangsa Indonesia harusdigambarkan kebesaran dan keagungannyasecara ilmiah, sehingga tidak mengorbankanobjektivitas demi penggambaran yang demikian.

Konsep Win-Win SolutionIlmu pengetahuan dikaitkan dengan kebutuhanmanusia, maka ilmu pengetahuan akan terdistorsi,tidak akan didapati kebenaran yang objektif.Sebagai sebuah ilmu, sejarah telah memenuhisyarat-syarat ilmiah dan akademis. Dengandemikian, ilmu Sejarah tetap bersifat objektifdalam mengungkap fakta Sejarah tanpa didasarikepent ingan yang mengiringinya, sehinggamengurangi kadar keilmiahan. Masalah objek-tivitas dan subjektivitas Sejarah merupakanmasalah yang klasik. Sejarah disusun olehmanusia yang juga disebut subjek. Hal inimenempatkan manusia berfungsi ganda, yaitusebagai obyek sekaligus subjek Sejarah.Obyektivitas dalam hal ini diartikan sebagai upayamendekatkan subyek pada objek, sehinggasubjektivitas dapat dikurangi untuk mendekatiobjektivitas. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif,karena ilmu tanpa objektivitas tidak mempunyainilai ilmiah. Perlu disadari, menulis Sejarah denganobyektivitas seratus persen merupakan harapanyang berlebihan. Apa yang sebenarnya terjadidalam kehidupan nyata terlebih terkait masa lalu,tidak akan pernah terekam secara lengkap.

Penulisan sejarah bersifat subjektif, apabilamembiarkan politik, etisnya, dan nilai-nilai turutberperan. Perlu ditegaskan, bahwa otonomi ilmupengetahuan tetaplah harus terjamin, termasukdalam pengungkapan fakta sejarah. Meskipundemikian, penelitian ilmiah apalagi terkait dengansejarah nasional, tidak luput dari pertimbanganetis meski hal ini sering dituding menghambatkemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifatuniversal. Ketika “sejarah” telah masuk dalamranah pendidikan, maka nilai etis menjadi halpenting. Tujuan mempelajari sejarah tidaklahsama dengan tujuan sejarah, menyangkutpersoalan didaktis dan juga filsafat. Tujuanpelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuanpendidikan.

Sejarah sebagai bahan pelajaran harusdisusun searah dengan dasar dan tujuanPendidikan Nasional. Anak didik harus mampumenemukan nilai-nilai yang ada pada materiSejarah yang dipelajarinya dan mampu mere-konstruksi hubungan antarnilai-nilai yang ter-kandung dalam materi pelajaran Sejarah tersebut,baik dalam konteks hubungan antarnilai-nilai yangterdapat dalam materi Sejarah yang disampaikansecara parsial maupun hubungannya dengan nilai-nilai yang terjadi saat ini. Sebab pengalaman-pengalaman dalam Sejarah bukan hanya untukdiketahui, tetapi diharapkan dapat dipakai untukmemperbaiki usaha-usaha di masa mendatang(Imam Barnadib, 1973)

Sebagai jalan tengah memahami perma-salahan di atas, perlu ditekankam strategi dasarberupa penanaman nilai yang dinamis progresif.Dalam perspektif ini, apabila dalam proses belajar-mengajar Sejarah tidak bisa dihindarkan meng-ajak siswa untuk mengambil nilai-nilai dari masalampau, bukanlah dimaksudkan agar siswaterpaku dan terpesona pada kegemilangan masalampau. Nilai-nilai masa lampau diperlukan untukmenjadi kekuatan motivasi menghadapi tan-tangan masa depan. I Gde Widja menyatakan,bahwa pembelajaran Sejarah adalah perpaduanantara aktivitas belajar dan mengajar yang didalamnya mempelajari tentang peristiwa masalampau yang erat kaitannya dengan masa kini. (IGde Widja, 1989). Pendapat I Gde Widya tersebutdapat disimpulkan jika mata pelajaran Sejarahmerupakan bidang studi yang terkait denganfakta-fakta dalam ilmu Sejarah namun tetap mem-perhatikan tujuan pendidikan pada umumnya.

Mata pelajaran Sejarah sebagai alatmengabdi kepada tujuan pendidikan yang multi-aspek. Meski demikian, Sejarah sebagai matapelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsipkeilmuan, konsep dasar, dan prinsip keilmuan.Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyaimisi atau tujuan pendidikan tertentu dan sejarahsebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yangjelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salahsatunya atau keduanya. Hal tersebut penting,agar kekhawatiran tentang subjektivitas Sejarahdalam pembelajaran Sejarah tidak mengorbankanilmu Sejarah. Jalan tengah menyikapi sudutpandang yang berbeda, dapat diselesaikan

Page 17: jurnal dikbud tahun 2012

485

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

melalui slogan: “histor ies make man wise”,sehingga perbedaan pandangan tersebut jugaharus disikapi dengan bijaksana.

Dalam kontek Sejarah Nasional Indonesia,khususnya untuk pembelajaran, tampaknya tidaklayak jika kepahlawanan seorang tokoh, diungkapdari sisi kekurangannya, bahkan kesalahannyadalam perjalanan kehidupan. Sebaliknya, tidaklayak jika content pembelajaran, memuatperjuangan tokoh bangsa, namun paradigma,prinsip perjuangan dan ideologinya bertentangandengan ideologi dan falsafah bangsa. Demikianjuga kasus-kasus konflik sosial berbau SARA,seperti Konflik Ambon, Peristiwa Sampit sertakonflik di daerah lain. Termasuk di dalamnyaSejarah di daerah, yang merupakan bagian narrownasionalism, namun menjadi pemicu separatismeseperti yang pernah terjadi di Aceh.

Tampaknya, kita perlu belajar dari penga-laman bangsa lain, di mana fakta Sejarah seringmenjadi pemicu konflik sosial, separatismebahkan pemberontakan tanpa akhir, seperti yangterjadi di Spanyol (Separatis Basque), Philippina(Moro), Irlandia (Pemberontakan IRA), Srilanka(Gerakan Tamil), India (Kashmir), Turki (Suku Kurdi),serta kasus-kasus lainnya yang serupa. Demikianjuga konflik antar negara, dikarenakan alasanSejarah, sepert i India-Pakistan(Kashmir),Thailand-Kamboja (Candi Preah Vihear), Palestina-Israel, Irak-Kuwait (pada masa Saddam Hussain),Inggris-Argent ina (Pulau Malvinas) sertapermasalahan serupa di tempat lain. Sebagiankonflik tersebut tak lepas dari penghargaan yangtinggi terhadap “the glorius past dari masing-masing suku, ras, agama, dan bangsanya. Seba-gian besar dari konflik berurat dan berakar,berlanjut meski sudah berabad-abad karenaSejarah sering dijadikan acuan legitimasi konflik.

Salah satu penyelesaian kasus semacam itu,melalui proses pembelajaran Sejarah, di managenerasi sekarang dan berikutnya tidak melihatfakta konflik secara tekstual dalam ranah ilmuSejarah, termasuk melihat the glorious past.Sejarah, bisa disampaikan dalam kajian pendidikanatau pembelajaran Sejarah. Dengan demikian,dendam sejarah sesama generasi bangsa dangenerasi antarbangsa tidak berlanjut seiringpemahaman sejarah dalam pembelajaran.Diharapkan, dalam pembelajaran Sejarah, terkait

konflik sosial juga menekankan pada resolusikonflik. Bagi pendidikan di Indonesia, matapelajaran Sejarah tentunya bukan pisau bermatadua. Di sisi lain, mata pelajaran Sejarah untukmenumbuhkan nasionalisme, patriotisme sertatujuan pendidikan lainnya. Sisi lainnya, matapelajaran Sejarah mengungkap fakta sejarah,yang berimbas pada disintegrasi bangsa. IlmuSejarah yang bebas nilai, dalam aplikasi dilapangan, khususnya dalam pembelajaran harusmemperhatikan etika yang ada dan dampak yangditimbulkan. Pendidikan Sejarah merupakanalternatif solusi permasalahan tersebut. Hal iniberbeda jika Sejarah berada di perguruan tinggi,dimana kajian murni ilmu Sejarah secara akademikdapat diberikan. Alasannya, perkembangan polapikir peserta didik sudah lebih berkembang danmatang.

Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta sejarah yang disaring, demi tujuanpendidikan. Fakta yang disaring bukan sebagaiunsur “kebohongan sejarah”, namun menjelaskanfakta sejarah berdasarkan tingkat penalaransiswa. Sekali lagi, fakta sejarah yang disaring,bukan untuk memutarbalikkan fakta itu sendiri.Fakta sejarah dalam pembelajaran tetapmerupakan hal yang objektif dan berdasar ilmuSejarah, namun terdapat prinsip memilih danmemilah. Tujuannya agar fakta sejarah sesuaislogan “histories make man wise”. Slogan tersebutperlu diimplementasikan secara kontekstual didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, danbernegara.

Sejarah bukan merupakan sumber ilmiahsekaligus sumber konflik dan dendam antaragenerasi bangsa. Apalagi dalam masyarakatmultikultural, di mana perbedaan suku, ras,agama, dan ideologi seperti di Indonesia, seringmenjadi pemicu konflik. Pendidikan Sejarah jugaberfungsi efektif menjaga ideologi dan falsafahbangsa. Kompromi antara ilmu Sejarah danpendidikan Sejarah merupakan konsep jalantengah, agar ada titik temu. Titik temu ini, tetapmenghormati dan menghargai prinsip keduanyadan tidak mengorbankan prinsip salah satunya.Kompromi yang dimaksud tetap dalam kerangka,yang dapat dipertanggungjawabkan secarailmiah. Perpaduan antara keduanya, ibaratpermainan orkestra, yang terdir i berbagai

Page 18: jurnal dikbud tahun 2012

486

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

instrumen musik, untuk menghasilkan musik yangindah dan harmoni. Harmoni bagi keselarasanuntuk hidup bermasyarakat, berbangsa, danbernegara. Harmoni yang tetap menjaga integritasdan menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai duniaakademik.

Jika hal tersebut terjadi, maka slogankebesaran ilmu Sejarah, Historia Vitae Magistra,benar-benar terwujud. Sejarah akan menjadi gurukehidupan, sebagaimana harapan dari pencetusslogan, sejarawan dan filsuf Romawi Kuno, MarcusTullius Cicero. Para “sejarawan idealis” perlumenyadari, bahwa pembelajaran Sejarah,merupakan perpaduan antara ilmu Sejarah danilmu Pendidikan, sehingga kritik yang selama iniditujukan kepada pembelajaran Sejarah, memangbukan ranah keilmuan Sejarah secara murnikarena Ilmu murni Sejarah terdapat di ranahperguruan tinggi. Nilai-nilai dan falsafat kepen-didikan, ikut mendominasi dalam pem-belajaranSejarah. Tujuan pendidikan tidak hanya mem-bentuk kemampuan intelektual semata, tetapi jugaetika, moral, sikap, serta berbagai keterampilan.

Simpulan dan SaranSimpulanPembelajaran Sejarah tidak mengkhususkanmempelajari fakta-fakta dalam sejarah sebagaiilmu, namun perpaduan antara Sejarah dan tujuanpendidikan pada umumnya. Meski demikian,pembelajaran Sejarah berusaha menampilkanfakta sejarah secara objektif, dan tetap dalamkerangka fakta sejarah yang sesuai dengantujuan pendidikan itu sendiri. Persepsi tentangsejarah harus jelas bagi guru yang mengajarkanSejarah sebagai mata pelajaran. Tujuan ilmuSejarah berbeda dengan tujuan pengajaranSejarah. Tujuan Sejarah dapat bersifat filosofis,tetapi pengajaran Sejarah mempunyai tujuantertentu dalam rangka pendidikan atau bersifatdidaktis. Harus disadari bahwa pembelajaranSejarah tidak harus bersifat ilmu murni, apalagiuntuk pendidikan tingkat dasar dan menengah.

Hal ini berbeda jika Sejarah berada di perguruantinggi, di mana ilmu Sejarah dikupas sesuai kajianmurni akademik.

Mata pelajaran Sejarah merupakan alatmengabdi kepada tujuan pendidikan yang multi-aspek. Meskipun demikian, Sejarah sebagai matapelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsipkeilmuan. Ditarik kesimpulan, bahwa pembel-ajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta sejarahyang disaring, demi tujuan pendidikan. Fakta yangdisaring bukan diartikan sebagai unsur “kebo-hongan sejarah”, namun menjelaskan faktaSejarah berdasarkan tingkat penalaran siswa.Dengan demikian, Sejarah sebagai mata pel-ajaran, tidak melupakan prinsip-prinsip dari tujuanpendidikan, termasuk tujuan dari pendidikanSejarah yang telah digariskan pemerintah.

SaranBagi kepentingan bangsa dan negara, sejarahjangan seperti pisau bermata dua, yang bisamelukai dirinya sendiri. Dalam konteks ke-Indonesiaan, sejarah dapat mempereratpersatuan-kesatuan bangsa dan menjagaideologi-falsafah negara atau kepentinganbangsa yang lebih luas, bukan sebaliknya, menjadipemicu disintegrasi NKRI. Bukan juga sebagai alatlegitimasi kepentingan sesaat, terutama bagikepentingan politik penguasa.

Jika menyangkut Sejarah Kontemporer, makasejarah yang mengupas konflik SARA, perludisampaikan secara sangat hat i-hati danbijaksana, agar dendam sejarah dari siklus yangberkepanjangan, tidak menumbuhkan semangatkonflik antara generasi bangsa bahkan generasiantarbangsa. Konflik sosial, separatisme,pemberontakan serta konflik lainnya yangdisebabkan perjalanan Sejarah, dapat diredammelalui pendidikan Sejarah. Sejarawan yangsering mengkritik objektivitas pembelajaranSejarah, perlu memahami hal ini, bahwapembelajaran Sejarah berbeda dengan Sejarahmurni atau ilmu Sejarah.

Page 19: jurnal dikbud tahun 2012

487

Yudi Setianto, Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah

Pustaka Acuan

Abdullah. Taufik. 1996. Di Sekitar Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif. Dalam JurnalSejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 6 oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia. Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama.

Ali, Moh. R. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LkiS.

Barnadib, Imam. 1973. Dasar-Dasar Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP-IKIP Yogyakarta.

Djamarah, Syaiful B. & Zain. Aswan. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Gde. Widja I. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: SatyaWacana. 

Gazalba. Sidi. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.

Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hasan. Hamid. S. 1997. Kurikulum dan Buku Teks Sejarah dalam Kongres Nasional Sejarah 1996Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah.Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat JenderalKebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hasan, Hamid. S. 2007. Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah pada SeminarNasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (Ikahimsi) XII. Semarang, 16 April2007.

Hugiono & Poerwantana, P.K. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta : PT Bina Aksara.

Hizam, Ibnu. 2007. Kontribusi Minat Belajar dan Kemampuan Klarifikasi Nilai Sejarah dalamPembentukan Sikap Nasionalisme dalam Jurnal Penelitian Ke-Islaman, Vol. 3, No. 2, Juni 2007.

Kartodirdjo, Sartono.1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT GramediaPustaka Utama.

Kohlberg, Lawrence. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Moral. (Edisi terjemahan oleh John de Santosdan Agus Cremers SUD. Yogyakarta: Kanisius.

Krug, Mark. M. 1967. History and the Social Sciences. Walthan Mass: Braisdell.

Mar’at. 1982. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Moedjanto, G. 1985. Pengembangan Konsep Diri Lewat Pengajaran Sejarah. Dalam Seminar Nasional IVdi Yogyakarta tanggal 16 s/d 19 Desember 1985. Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah danNilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Oliva, Peter F. 1982. Developing The Curriculum. Boston, Toronto: Little Brown and Company.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (besertalampirannya).

Rowse, A.L. 1963. The Use of History. London: Macmillan & Co.

Siswanto dan G.M. Sukamto. 1991. Penafsiran Sejarah. Malang: Pusat Pengembangan Penataran GuruIPS dan PMP.

Page 20: jurnal dikbud tahun 2012

488

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia.

Widja. 1997. Permasalahan Metodologi dalam Pengajaran Sejarah di Indonesia Suatu Tinjauan Reflektifdalam Mengantisipasi Perkembangan Abad XXI dalam Kongres Nasional Sejarah 1996 JakartaSub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta:Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal KebudayaanDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Widja. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

Page 21: jurnal dikbud tahun 2012

467

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

MUATAN PENDIDIKAN HOLISTIKDALAM KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

(HOLISTIC EDUCATIONIN THE CURRICULUM OF THE BASIC AND SECONDARY EDUCATION)

Herry WidyastonoPusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud

e-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 29/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 3/12/2012

Abstrak: Pendidikan holistik merupakan pendidikan yang mengembangkan seluruh potensisiswa secara harmonis, meliputi potensi intelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, danspiritual. Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang ada tidaknya muatanpendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Selain itu juga memberikangambaran tentang implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran di pendidikan dasardan menengah. Permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah kurikulum pendidikandasar dan menengah sudah memuat pendidikan holistik? 2) Bila sudah, bagaimana imple-mentasi pendidikan holistik dalam pembelajaran? Kajian menyimpulkan bahwa: 1) Dokumenkurikulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sudah memuat pendidikan holistik,karena prinsip, acuan, dan prosedur pengembangan kurikulum sejalan dengan pengertian,tujuan, dan prinsip pendidikan holistik; 2) Pendidikan holistik belum diimplementasikan secarakomprehensif dalam pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan holistikdalam pembelajaran, direkomendasikan agar guru dalam melaksanakan pembelajaran tidakhanya mengembangkan ranah pengetahuan, melainkan juga ranah keterampilan dan sikap,melalui pendekatan belajar siswa aktif.

Kata kunci: pendidikan holistik, kurikulum, pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Abstract: Holistic education is the education which develops all students potentials in harmonycomprises intellectual, emotional, physical, social, esthetic, and spiritual potentials. This articleis aimed at describing on whether or not there is the degree of holistic approach in education,particularly for the basic and secondary education. In addition, this describes its implementationat the schools within the basic and secondary education. The problems are formulated as follows1) whether the basic and secondary education has already been regarded as holistic education?,2) if yes, how its implementation at the schools concerned. This concludes that: 1) the basic andsecondary curriculums have, in principle, been as holistic ones because its principles, reference,and procedure to develop the curriculum are in line with the definition, objective, and theprinciples which support to it. 2) The holistic education is not yet implemented comprehensivelyat the schools. In terms of its implementation it is, therefore, advisable that all teachers, whileteaching in the classroom, should give the students to have ample opportunities to develop notonly their cognitive domain, but their psychomotor and affective ones through active learning.

Keywords: holistic education, curriculum, cognitive, psychomotor, and affective.

Page 22: jurnal dikbud tahun 2012

468

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PendahuluanNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)merupakan negara yang sangat unik. Dari segisosial budaya, merupakan negara multisosial-kultural. Hal ini terlihat dari banyaknya sukubangsa, etnik, adat istiadat, agama, bahasa, danbudaya. Secara geografis, NKRI juga tergolongsebagai negara kepulauan paling luas di dunia,dengan jumlah tidak kurang 17.000 pulau besardan kecil, dan jumlah penduduk sekitar 240 jutajiwa, terdiri atas 300 suku yang menggunakanhampir 200 bahasa (daerah) yang berbeda. Selainitu, juga penganut agama yang plural, seperti:Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha,Khonghucu, serta berbagai macam alirankepercayaan lainnya (Wahab, dalam Musfah (Ed.),2012)).

Keragaman ini merupakan aset yang potensialmenimbulkan berbagai macam persoalan, seperti:premanisme, tawuran antarsiswa - antar-mahasiswa - antarwarga, konflik politik,kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakanlingkungan, korupsi, kolusi dan nepotisme, sertaaneka tindakan amoral lainnya.

Tawuran antarsiswa, antarmahasiswa,antarwarga belum lama menjadi berita yangmengagetkan kita semua. Antara siswa SMAN Xdan SMAN Y yang letaknya berdampingan diJakarta Selatan telah mengakibatkan terbunuh-nya salah seorang siswa di antaranya. Demikianpula, tawuran antarmahasiswa calon gurusekampus di Makassar yang telah mengakibatkanterbunuhnya dua orang calon guru di antaramereka. Seolah-olah nyawa manusia sudah tidakada nilainya. Demikian pula tawuran antarwargasering sekali kita lihat di berbagai media massa.Selain itu, tindakan amoral semakin merisaukankita semua. Dalam situs Badan Kependudukandan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2008)terungkap hasil survei tahun 2008 yangmengejutkan, sehingga rasanya sulit dipercaya.Sebanyak 63% persen remaja di Indonesia usiaSMP dan SMA sudah melakukan hubungansesksual di luar nikah, 21% di antaranya melaku-kan aborsi. Persentase remaja yang melakukanhubungan seksual pranikah ini mengalamipeningkatan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasar data penelitian padatahun 2005-2006 di kota-kota besar mulai

Jabodetabek, Medan, Bandung, Surabaya, danMakasar, masih berkisar 47,54% remaja yangmelakukan hubungan seks sebelum menikah.

Selanjutnya, hasil penelitian di Yogyakartatahun 2010 (BKKBN, 2010), dari 1.160 mahasiswa,sekitar 37% mengalami kehamilan sebelummenikah. Selain itu, data tentang penyalahgunaannarkoba menunjukkan bahwa dari 3,2 juta jiwayang ketagihan narkoba, 78% adalah remaja.

Meskipun demikian, masih ada pelajar yangpatut dibanggakan, yang mengharumkan namabangsa Indonesia, seperti mereka yang telahmenjuarai olimpiade sains, baik di tingkat nasionalmaupun internasional. Bahkan, pelajar Indonesiamenjadi juara umum dalam International Con-ference of Young Scientists (ICYS) atau KonferensiInternasional Ilmuwan Muda se-Dunia yang diikutiratusan pelajar SMA dari 19 negara di Bali padatanggal 12–17 April 2010 (Judiani, 2010).

Korupsi, kolusi, dan nepotisme meski gencardiberantas dengan dibentuknya Komite Pembe-rantasan Korupsi (KPK) tetapi juga masih sajaterjadi di segala lapisan, baik di lembagaeksekutif, lembaga legislatif, maupun lembagayudikatif. Bahkan akhir-akhir ini kita dikagetkandengan berita adanya kong-kalingkong antaraoknum pejabat di kementerian dan oknumanggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Andaikan semua elemen bangsa ini masihmenjadikan kejujuran sebagai spirit dan etikadalam menjalankan tugas dan peranannyamasing-masing, niscaya tidak perlu dibentukberbagai lembaga pengawasan yang berlapis-lapis, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan(BPKP), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Badan Pengawasan Daerah (Bawasda), danlembaga lainnya (Munip, 2009).

Terdapat banyak faktor yang menyebabkanterjadinya gejala-gejala di atas, dan terdapatbanyak faktor pula yang dapat menekan ataumeminimalisirnya, satu di antaranya yaitupenyelenggaraan pendidikan holistik.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, makapermasalahan yang dapat dirumuskan sebagaiberikut: 1) apakah kurikulum pendidikan dasar danmenengah sudah memuat pendidikan holistik?;2) bila sudah, bagaimana implementasi pen-didikan holistik dalam pembelajaran?

Page 23: jurnal dikbud tahun 2012

469

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

Tujuan penulisan artikel ini untuk memberikangambaran tentang ada t idaknya muatanpendidikan holistik dalam kurikulum pendidikandasar dan menengah. Selain itu juga memberikangambaran tentang implementasi pendidikanholistik dalam pembelajaran di pendidikan dasardan menengah.

Kajian Literatur dan PembahasanPendidikan HolistikPendidikan holistik merupakan filsafat pendidikanyang berangkat dari pemikiran bahwa padadasarnya seorang individu dapat menemukanidentitias, makna, dan tujuan hidup melaluihubungannya dengan masyarakat, lingkunganalam, dan nilai-nilai spiritual.

Pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yangbaru. Beberapa tokoh perintis pendidikan holistik,di antaranya (Martin, 2002): Jean Rousseau, RalphWaldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott,Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel, dan FranciscoFerrer. Pendukungnya yaitu: Rudolf Steiner, MariaMontessori, Francis Parker, John Dewey, JohnCaldwell Holt, George Dennison Kieran Egan,Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung,Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman,Ivan Illich, dan Paulo Freire. Pemikiran dangagasan inti dari para perintis pendidikan holistiksempat tenggelam sampai dengan terjadinyaloncatan paradigm kultural pada tahun 1960-an.Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untukmenggali kembali gagasan dari kalanganpenganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikanterjadi ketika dilaksanakan konferensi pertamapendidikan holistik yang diselenggarakan olehUniversitas California pada bulan Juli 1979,dengan menghadirkan The Mandala Society dan TheNational Center for the Exploration of HumanPotential.

Enam tahun kemudian, para penganutpendidikan holistik mulai memperkenalkan tentangdasar pendidikan holistik, yaitu interaksi atauhubungan antara individu dengan lingkungannya(relation), tanggung jawab untuk menciptrakandan menjaga hubungan yang harmonis dansinergis dengan alam semesta (responsibility),upaya menjaga keseimbangan dengan tetapmengedepankan aspek normatif dan sarat nilaiyang merupakan suatu kehormatan bagi manusia

sebagai makhluk sempurna (reverence), yangkemudian diberi sebutan 3R yang merupakanakronim dari Relationship, Responsibility, danReverence; bukan 3R yang dikenal dengan writing,reading, dan arithmetic (membaca, menulis,berhitung).

Miller, dkk., (2005) merumuskan bahwapendidikan holistik adalah pendidikan yangmengembangkan seluruh potensi siswa secaraharmonis (terpadu dan seimbang), meliputipotensi intelektual (intellectual), emosional(emotional), phisik (physical), sosial (sosial),estetika (aesthetic), dan spiritual. Masing-masingpotensi hendaknya dikembangkan secara harmo-nis. Jangan sampai terjadi kemampuan intelek-tualnya berkembang jauh melebihi sikap danketerampilannya. Manusia yang mampu mengem-bangkan seluruh potensinya merupakan manusiayang holistik, yaitu manusia pembelajar sejatiyang selalu menyadari bahwa dirinya merupakanbagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas,sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positifdan terbaik kepada lingkungannya.

Tujuan pendidikan holistik adalah membantumengembangkan potensi individu dalam suasanapembelajaran yang lebih menyenangkan danmenggairahkan, demokratis, dan humanis melaluipengalaman dalam berinteraksi denganlingkungannya. Melalui pendidikan holistik, siswadiharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learningto be), dalam arti dapat memperoleh kebebasanpsikologis, mengambil keputusan yang baik, danbelajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya.

Prinsip pendidikan holistik, yaitu: 1) berpusatpada Tuhan yang menciptakan dan menjagakehidupan; 2) pendidikan untuk transformasi; 3)berkaitan dengan pengembangan individu secarautuh di dalam masyarakat; 4) menghargaikeunikan dan kreativitas individu dan masyarakatyang didasarkan pada kesalinghubungannya; 5)memungkinan partisipasi aktif di masyarakat; 6)memperkukuh spiritualitas sebagai inti hidup dansekaligus pusat pendidikan; 7) mengajukansebuah praksis mengetahui, mengajar, danbelajar; 8) berhubungan dan berinteraksi denganpendekatan dan perspektif yang berbeda-beda(Schreiner et. al., 2010).

Selanjutnya, Miller, dkk. (2005) mengemu-kakan prinsip penyelenggaraan pendidikan

Page 24: jurnal dikbud tahun 2012

470

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

holistik, yaitu: 1) keterhubungan (connectedness);2) keterbukaan (inclusion); dan (3) keseimbangan(balance). Keterhubungan, dimaksudkan bahwapendidikan hendaknya selalu dihubungkandengan lingkungan f isik, lingkungan alam,lingkungan sosial, dan lingkungan budaya.Keterbukaan, dimaksudkan bahwa pendidikanhendaknya menjangkau semua anak tanpakecuali. Semua anak pada hakikatnya berhakmemperoleh pendidikan. Keseimbangan, dimak-sudkan bahwa pendidikan hendaknya mampumengembangkan ranah pengetahuan, sikap, danketerampilan secara seimbang. Termasukseimbang dalam kemampuan intelektual,emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual.

Pendidikan holistik dapat dilihat dalam tigakesatuan dimensi yang utuh dan tidak bolehdipisahkan, karena antara yang satu denganlainnya saling berkaitan. Ketiga dimensi tersebutyaitu: 1) dimensi isi; 2) dimensi insentif; dan 3)dimensi interaksi (Illeris, 2007). Dimensi isiberkaitan dengan pengetahuan, sikap, danketerampilan. Pendidikan hendaknya mampumemberikan pengetahuan, sikap, sekaligusketerampilan sesuai dengan apa yang dibutuhkansiswa dan masyarakat. Dimensi insentif berkaitandengan motivasi, emosi, dan kemauan. Pendidikanhendaknya memperhatikan kondisi psikhologissiswa. Dimensi interaksi berkaitan dengan aksi,komunikasi, dan kerja sama. Proses pendidikanakan efektif apabila terjadi aksi, komunikasi, dankerjasama antara pendidik dan siswa.

Untuk mengimplementasikan pendidikanholistik, karakteristik pendidik holistik antara lain(Rinke, dalam Miller, at.al., 2005) yaitu: 1) Pendidikholistik mengembangkan keragaman strategipembelajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa;2) Pendidik holistik membantu siswa untukmengembangkan potensinya; 3) Pendidik holistikmenyusun lingkungan pembelajaran yang dapatmengembangkan seluruh potensi siswa; dan 4)Pendidik holistik mengimplmentasikan strategipenilaian yang beragam.

Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritasguru untuk memimpin dan mengontrol kegiatanpembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyakberperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator.Forbes and Robin (2004) mengibaratkan peranguru seperti seorang teman dalam perjalanan

yang telah berpengalaman dan menyenangkan.Sekolah hendaknya menjadi tempat siswa danguru bekerja guna mencapai tujuan yang salingmenguntungkan. Komunikasi yang terbuka danjujur sangat penting, perbedaan individu dihargaidan kerja sama (kooperatif) lebih utama dari padapersaingan (kompetitif).

KurikulumPendidikan adalah usaha sadar dan terencanauntuk mewujudkan suasana belajar dan prosespembelajaran agar siswa secara aktif mengem-bangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatanspiritual keagamaan, pengendalian diri, ke-pribadian, kecerdasan, akhlak mulia, sertaketerampilan yang diperlukan dirinya, masya-rakat, bangsa, dan Negara. Untuk mewujudkanhal tersebut perlu disusun kurikulum. DalamUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2003)dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkatrencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,dan bahan pelajaran serta cara yang digunakansebagai pedoman penyelenggaraan kegiatanpembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikiantertentu. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwakurikulum pendidikan dasar dan menengahdikembangkan sesuai dengan relevansinya olehsetiap kelompok atau satuan pendidikan dankomite sekolah/madrasah di bawah koordinasidan supervisi dinas pendidikan atau kantorDepartemen Agama Kabupaten/Kota untukpendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikanmenengah, berdasarkan Standar KompetensiLulusan dan Standar Isi dan berpedoman padaPanduan Penyusunan KTSP.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun2005 tentang Standar Nasional Pendidikan(Depdiknas, 2005) dinyatakan bahwa kurikulumoperasional yang disusun oleh dan dilaksanakandi masing-masing satuan pendidikan disebutdengan ist ilah Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP). KTSP terdiri atas tujuanpendidikan tingkat satuan pendidikan, strukturdan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan,kalender pendidikan, dan silabus, serta rencanapelaksanaan pembelajaran (RPP). Penyusunantujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan,struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan

Page 25: jurnal dikbud tahun 2012

471

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

pendidikan, serta kalender pendidikan yangbertanggung jawab, yaitu kepala satuanpendidikan; sedangkan silabus dan RPP yangmenyusun para guru, yang dapat dilakukan secaraberkelompok atau secara perseorangan.

Penyusunan KTSP mengacu pada tujuanpendidikan nasional dan tujuan masing-masingjenjang pendidikan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional, Pendidikan Nasionalbertujuan untuk berkembangnya potensi siswaagar menjadi manusia yang beriman danbertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, danmenjadi warga negara yang demokratis sertabertanggung jawab. Selanjutnya, pendidikandasar bertujuan membangun landasan bagiberkembangnya potensi siswa agar menjadimanusia yang: 1) beriman dan bertakwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, danberkepribadian luhur; 2) berilmu, cakap, kritis,kreatif, dan inovatif; 3) sehat, mandiri, danpercaya dir i; dan 4) toleran, peka sosial,demokratis, dan bertanggung jawab. Adapunpendidikan menengah bertujuan membentuksiswa menjadi insan yang: 1) beriman danbertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakmulia, dan berkepribadian luhur; 2) berilmu, cakap,kritis, kreatif, dan inovatif; 3) sehat, mandiri, danpercaya dir i; dan 4) toleran, peka sosial,demokratis, dan bertanggung jawab (Depdiknas,2003).

KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Berpusat pada potensi,perkembangan, kebutuhan, dan kepentingansiswa dan lingkungannya; 2) Beragam danterpadu; 3) Tanggap terhadap perkembangan ilmupengetahuan, teknologi dan seni; 4) Relevandengan kebutuhan kehidupan; 5) Menyeluruh danberkesinambungan; 6) Belajar sepanjang hayat;7) Seimbang antara kepentingan nasional dankepentingan daerah (BSNP, 2006).

Berpusat pada potensi, perkembangan,kebutuhan, dan kepentingan siswa dan ling-kungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkanprinsip bahwa siswa memiliki posisi sentral untukmengembangkan kompetensinya agar menjadimanusia yang beriman dan bertakwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang demokrat is serta bertanggungjawab. Untuk mendukung pencapaian tujuantersebut pengembangan kompetensi siswadisesuaikan dengan potensi, perkembangan,kebutuhan, dan kepentingan siswa serta tuntutanlingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatanpembelajaran berpusat pada siswa.

Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembang-kan dengan memperhatikan keragamankarakteristik siswa, kondisi daerah, jenjang danjenis pendidikan, serta menghargai dan tidakdiskriminatif terhadap perbedaan agama, suku,budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, danjender. Kurikulum meliputi substansi komponenmuatan wajib kurikulum, muatan lokal, danpengembangan diri secara terpadu, serta disusundalam keterkaitan dan kesinambungan yangbermakna dan tepat antarsubstansi.

Tanggap terhadap perkembangan i lmupengetahuan, teknologi dan seni. Kurikulumdikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmupengetahuan, teknologi dan seni yang ber-kembang secara dinamis. Oleh karena itu, se-mangat dan isi kurikulum memberikan pengalamanbelajar siswa untuk mengikuti dan memanfaatkanperkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, danseni.

Relevan dengan kebutuhan kehidupan.Pengembangan kurikulum dilakukan denganmelibatkan pemangku kepentingan (stakeholders)untuk menjamin relevansi pendidikan dengankebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnyakehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dandunia kerja. Oleh karena itu, pengembanganketerampilan pribadi, keterampilan berpikir,keterampilan sosial, keterampilan akademik, danketerampilan vokasional merupakan keniscayaan.

Menyeluruh dan berkesinambungan. Sub-stansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensikompetensi, bidang kajian keilmuan dan matapelajaran yang direncanakan dan disajikan secaraberkesinambungan antarsemua jenjang pendi-dikan.

Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarah-kan pada proses pengembangan, pembudayaan,dan pemberdayaan siswa agar mampu dan maubelajar yang berlangsung sepanjang hayat.Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara

Page 26: jurnal dikbud tahun 2012

472

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, daninformal dengan memperhatikan kondisi dantuntutan lingkungan yang selalu berkembangserta arah pengembangan manusia seutuhnya.

Seimbang antara kepentingan nasional dankepentingan daerah. Kurikulum dikembangkandengan memperhatikan kepentingan nasional dankepentingan daerah untuk membangun kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Kepentingan nasional dan kepentingan daerahharus saling mengisi dan memberdayakan sejalandengan motto Bhineka Tunggal Ika dalamkerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).

Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa acuanoperasional penyususnan KTSP sebagai berikut:1) Peningkatan iman dan takwa serta akhlakmulia; 2) Peningkatan potensi, kecerdasan, danminat sesuai dengan tingkat perkembangan dankemampuan siswa; 3) Keragaman potensi dankarakteristik daerah dan lingkungan; 4) Tuntutanpembangunan daerah dan nasional; 5) Tuntutandunia kerja; 6) Perkembangan ilmu pengetahuan,teknologi, dan seni; 7) Agama; 8) Dinamikaperkembangan global; 9) Persatuan nasional dannilai-nilai kebangsaan; 10) Kondisi sosial budayamasyarakat setempat; 11) Kesetaraan jender;dan 12) Karakteristik satuan pendidikan (BSNP,2006).

Peningkatan iman dan takwa serta akhlakmulia. Keimanan dan ketakwaan serta akhlakmulia menjadi dasar pembentukan kepribadiansiswa secara utuh. Kurikulum disusun agar sejauhmungkin semua mata pelajaran dapat menunjangpeningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.

Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minatsesuai dengan t ingkat perkembangan dankemampuan siswa. Pendidikan merupakan prosessistematik untuk meningkatkan martabat manusiasecara holistik yang memungkinkan potensi diri(sikap, pengetahuan, psikomotor) berkembangsecara optimal. Sejalan dengan itu, kurikulumdisusun dengan memperhatikan potensi, tingkatperkembangan, minat, kecerdasan intelektual,emosional dan sosial, spritual, dan kinestetiksiswa.

Keragaman potensi dan karakteristik daerahdan lingkungan. Daerah memiliki potensi,kebutuhan, tantangan, dan keragaman karak-

ter istik lingkungan. Masing-masing daerahmemerlukan pendidikan sesuai dengan karak-teristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari.Oleh karena itu, kurikulum harus memuatkeragaman tersebut untuk menghasilkan lulusanyang relevan dengan kebutuhan pengembangandaerah.

Tuntutan pembangunan daerah dan nasional.Dalam era otonomi dan desentralisasi untukmewujudkan pendidikan yang otonom dandemokratis perlu memperhatikan keragaman danmendorong partisipasi masyarakat dengan tetapmengedepankan wawasan nasional. Untuk itu,keduanya harus ditampung secara berimbang dansaling mengisi.

Tuntutan dunia kerja. Kegiatan pembelajaranharus dapat mendukung tumbuh kembangnyapribadi siswa yang berjiwa kewirausahaan danmempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu,kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untukmembekali siswa memasuki dunia kerja. Hal inisangat penting terutama bagi satuan pendidikankejuruan dan siswa yang tidak melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi.

Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,dan seni. Pendidikan perlu mengantisipasi dampakglobal yang membawa masyarakat berbasispengetahuan di mana Ipteks sangat berperansebagai penggerak utama perubahan. Pendidikanharus terus menerus melakukan adaptasi danpenyesuaian perkembangan Ipteks, sehinggatetap relevan dan kontekstual dengan perubahan.Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkansecara berkala dan berkesinambungan sejalandengan perkembangan Ilmu pengetahuan,teknologi, dan seni.

Agama. Kurikulum harus dikembangkan untukmendukung peningkatan iman dan taqwa sertaakhlak mulia dengan tetap memelihara toleransidan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu,muatan kurikulum semua mata pelajaran harusikut mendukung peningkatan iman, taqwa, danakhlak mulia.

Dinamika perkembangan global. Pendidikanharus menciptakan kemandir ian, baik padaindividu maupun bangsa, yang sangat pentingdalam dinamika perkembangan global di manapasar bebas sangat berpengaruh pada semuaaspek kehidupan semua bangsa. Pergaulan

Page 27: jurnal dikbud tahun 2012

473

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

antarbangsa yang semakin dekat memerlukanindividu yang mandiri dan mampu bersaing sertamempunyai kemampuan untuk hidup ber-dampingan dengan suku dan bangsa lain.

Persatuan nasional dan nilai-nilai kebang-saan. Pendidikan diarahkan untuk membangunkarakter dan wawasan kebangsaan siswa yangmenjadi landasan penting bagi upaya memeliharapersatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangkaNKRI. Kurikulum harus dapat mendorong ber-kembangnya wawasan dan sikap kebangsaanserta persatuan nasional untuk memperkuatkeutuhan bangsa dalam wilayah NKRI. Muatankekhasan daerah harus dilakukan secaraproporsional.

Kondisi sosial budaya masyarakat setempat,bahwa kurikulum harus dikembangkan denganmemperhatikan karakteristik sosial budayamasyarakat setempat dan menunjang pelestariankeragaman budaya. Penghayatan dan apresiasipada budaya setempat harus terlebih dahuluditumbuhkan sebelum mempelajari budaya daridaerah dan bangsa lain. Sedangkan kesetaraanjender, bahwa kurikulum harus diarahkan kepadaterciptanya pendidikan yang berkeadilan danmendukung upaya kesetaraan jender. Selan-jutnya, karakteristik satuan pendidikan, bahwakurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi,misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuanpendidikan.

Pelaksanaan PembelajaranPelaksanaan pembelajaran merupakan imple-mentasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaranmengacu pada Peraturan Menteri PendidikanNasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang StandarProses untuk Satuan Pendidikan Dasar danMenengah (Depdiknas, 2007), yang langkah-langkahnya meliputi: 1) kegiatan pendahuluan,2) kegiatan inti, dan 3) kegiatan penutup.

Dalam kegiatan pendahuluan, guru: a) me-nyiapkan siswa secara psikis dan fisik untukmengikuti proses pembelajaran; b) mengajukanpertanyaan-pertanyaan yang mengaitkanpengetahuan sebelumnya dengan materi yangakan dipelajari; c) menjelaskan tujuan pem-belajaran atau kompetensi dasar yang akandicapai; dan d) menyampaikan cakupan materi danpenjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.

Pelaksanaan kegiatan inti merupakan prosespembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukansecara interaktif, inspiratif, menyenangkan,menantang, memotivasi siswa untuk berpar-tisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukupbagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuaidengan bakat, minat dan perkembangan fisik sertapsikologis siswa. Kegiatan inti menggunakanmetode yang disesuaikan dengan karakteristiksiswa dan mata pelajaran, yang dapat meliputiproses: 1) eksplorasi, 2) elaborasi, dan 3) kon-firmasi, dengan menggunakan pendekatan belajarsiswa aktif, guru sebagai fasilitator. Dalamkegiatan eksplorasi, guru: a) melibatkan siswamencari informasi yang luas dan dalam tentangtopik/tema materi yang akan dipelajari denganmenerapkan prinsip alam takambang jadi guru danbelajar dari aneka sumber; b) menggunakanberagam pendekatan pembelajaran, mediapembelajaran, dan sumber belajar lain; c) mem-fasilitasi terjadinya interaksi antarsiswa sertaantara siswa dengan guru, lingkungan, dansumber belajar lainnya; d) melibatkan siswasecara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran;dan e) memfasilitasi siswa melakukan percobaandi laboratorium, studio, atau lapangan. Dalamkegiatan elaborasi, guru: a) membiasakan siswamembaca dan menulis yang beragam melaluitugas-tugas tertentuyang bermakna; b) mem-fasilitasi siswa melalui pemberian tugas, diskusi,dan lain-lain untuk memunculkan gagasan barubaik secara lisan maupun tertulis; c) memberikesempatan untuk berpikir, menganalisis,menyelesaikan masalah, dan bertindak tanparasa takut; d) memfasi litasi siswa dalampembelajaran kooperatif dan kolaboratif; e) mem-fasilitasi siswa berkompetisi secara sehat untukmeningkatkan prestasi belajar; f) memfasilitasisiswa membuat laporan eksplorasi yang dilakukanbaik lisan maupun tertulis, secara individualmaupun kelompok; g) memfasilitasi siswa untukmenyaj ikan hasil kerja individual maupunkelompok; h) memfasilitasi siswa melakukanpameran, turnamen, festival, serta produk yangdihasilkan; i) memfasilitasi siswa melakukankegiatan yang menumbuhkan kebanggaan danrasa percaya diri siswa. Dalam kegiatankonfirmasi, guru: a) memberikan umpan balikpositif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan,

Page 28: jurnal dikbud tahun 2012

474

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilansiswa; b) memberikan konfirmasi terhadap hasileksplorasi dan elaborasi siswa melalui berbagaisumber; c) memfasilitasi siswa melakukan refleksiuntuk memperoleh pengalaman belajar yang telahdilakukan; d) memfasilitasi siswa untuk mem-peroleh pengalaman yang bermakna dalammencapai kompetensi dasar: (1) berfungsi sebagainarasumber dan fasilitator dalam menjawabpertanyaan siswa yang menghadapi kesulitan,dengan menggunakan bahasa yang baku danbenar; (2) membantu menyelesaikan masalah;(3) memberi acuan agar siswa dapat melakukanpengecekan hasil eksplorasi; (4) memberiinformasi untuk bereksplorasi lebih jauh; dan(5) memberikan motivasi kepada siswa yangkurang atau belum berpartisipasi aktif.

Dalam kegiatan penutup, guru: a) bersama-sama dengan siswa dan/atau sendiri membuatrangkuman/simpulan pelajaran; b) melakukanpenilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatanyang sudah dilaksanakan secara konsisten danterprogram; c) memberikan umpan balik terhadapproses dan hasil pembelajaran; d) merencanakankegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaranremedi, program pengayaan, layanan konselingdan/atau memberikan tugas baik tugas individualmaupun kelompok sesuai dengan hasil belajarsiswa; dan e) menyampaikan rencana pem-belajaran pada pertemuan berikutnya.

Berdasar uraian tentang pengertian, tujuan,dan prinsip pendidikan holistik serta berbagaiketentuan mengenai penyusunan kurikulum sertapelaksanaan pembelajaran di atas, maka dapatdisimpulkan bahwa: 1) Dokumen kurikulumpendidikan dasar dan menengah pada hakikatnyasudah memuat pendidikan holistik; dan2) Implementasi pendidikan holistik dalampembelajaran dapat dilakukan dengan caramenggunakan pendekatan belajar siswa aktif,yang langkah-langkahnya dapat berupa:a) Kegiatan pendahuluan, yang tujuannya agarsiswa siap secara fisik dan mental untuk mencariinformasi baru, bisa berupa pengetahuan,keterampilan, maupun sikap; b) Kegiatan inti,berupa siswa melakukan eksplorasi dan elaborasi.Siswa memperoleh informasi baru bukandiberitahu oleh guru tetapi mencari tahu dariberbagai sumber belajar yang relevan. Untuk

memiliki informasi baru tentang pengetahuan,dapat belajar mulai dari: 1) mengetahui;2) memahami; 3) menerapkan; 4) menganalisis;5) mensintesis; dan 6) mengevaluasi. Untukmemiliki keterampilan, dapat belajar melalui:1) mengamati; 2) menanya; 3) mencoba; 4) meng-olah; 5) menyajikan; 6) menalar; dan 7) mencipta.Untuk memiliki sikap, dapat belajar melalui:1) menerima; 2) menanggapi; 3) menghargai;4) menghayati; dan 5) mengamalkan (Bloom,1956). Selanjutnya, setelah siswa memperolehinformasi baru, baik berupa pengetahuan,keterampilan, maupun sikap, yang kemungkinanberbeda antara siswa yang satu dengan yanglain, atau berbeda antara kelompok yang satudengan yang lain, kemudian perlu penegasan(konfirmasi) yang difasilitasi oleh guru. c) Kegiatanpenutup, berupa evaluasi formatif untuk mengukurdaya serap siswa. Yang sudah tuntas dapatdilanjutkan dengan mempelajari kompetensiberikutnya, sedangkan yang belum tuntas perludilakukan remedial teaching terlebih dulu sebelummelanjutkan kompetensi berikutnya.

Namun, dalam pelaksanaannya di satuanpendidikan sering menyimpang. Guru cenderunghanya mengembangkan ranah pengetahuansemata-mata dengan cara memberi tahu siswa,bukan siswa yang mencari tahu; belummengembangkan ranah sikap dan keterampilan.Hal ini terbukti karena para guru ketika ditanyagradasi ranah pengetahuan, pada umumnyamampu menjawab, yakni: 1) pengetahuan,2) pemahaman, 3) penerapan, 4) analisis,5) sintesis, dan 6) evaluasi, yang dapat diartikanbahwa pada umumnya guru telah meng-implementasikannya dalam pembelajaran. Tetapi,ketika ditanya tentang gradasi ranah kete-rampilan dan sikap, tidak satupun guru mampumenjelaskannya. Dapat disimpulkan bahwapendidikan holistik belum diimplementasikansecara komprehensif dalam pembelajaran.Pembelajaran baru mengembangkan ranahpengetahuan, belum mengembangkan ranahketerampilan dan ranah sikap siswa.

Padahal pengembangan ranah keterampilandan sikap tidak kalah pentingnya dibanding ranahpengetahuan. Pengembangan ranah pengeta-huan siswa diharapkan menjadi pribadi yangmenguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni,

Page 29: jurnal dikbud tahun 2012

475

Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

budaya yang berwawasan kemanusiaan, ke-bangsaan, kenegaraan, dan peradaban. Sedang-kan pengembangan ranah keterampilan siswadiharapkan menjadi pribadi yang berkemampuanpikir dan tindak yang efekif dan kreatif dalamranah abstrak dan konkret. Demikian pula,pengembangan ranah sikap siswa diharapkanmenjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia,percaya diri, dan bertangung jawab dalamberinteraksi secara efektif dengan lingkungansosial, alam sekitar, serta dunia dan pera-dabannya (Kemdikbud, 2012).

Pendidikan hendaknya mampu mengem-bangkan seluruh potensi siswa secara harmonis(terpadu dan seimbang), meliputi potensiintelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, danspiritual, menjadi perilaku nyata dalam kehidupansehari-hari. Masing-masing potensi hendaknyadikembangkan secara harmonis. Jangan sampaiterjadi kemampuan intelektualnya berkembangjauh melebihi kemampuan aspek lainnya. Manusiayang mampu mengembangkan seluruh poten-sinya merupakan manusia yang holistik, yaitumanusia pembelajar sejati yang selalu menyadaribahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistemkehidupan yang luas, sehingga selalu inginmemberikan kontribusi positif dan terbaik kepadalingkungannya.

Simpulan dan SaranSimpulanBerdasar pembahasan di atas, dapat disimpulkanbahwa: 1) Dokumen kurikulum pendidikan dasardan menengah pada hakikatnya sudah memuatpendidikan holistik, karena prinsip, acuan, danprosedur pengembangan kurikulum sejalandengan pengertian, tujuan, dan prinsippendidikan holistik; 2) Pendidikan holistik belumdiimplementasikan secara komprehensif dalampembelajaran. Pembelajaran pada umumnya barumengembangkan ranah pengetahuan, belummengembangkan ranah keterampilan dan ranahsikap siswa.

SaranBerdasar simpulan di atas, dalam rangkaimplementasi pendidikan holistik, disarankan agarguru dalam melaksanakan pembelajaran tidakhanya mengembangkan ranah pengetahuansemata-mata, melainkan juga mengembangkanranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatanbelajar siswa aktif. Langkah-langkah pem-belajaran siswa aktif dapat berupa: a) Kegiatanpendahuluan, yang tujuannya agar siswa siapsecara fisik dan mental untuk mencari informasibaru, bisa berupa sikap, keterampilan, maupunpengetahuan; b) Kegiatan inti, berupa siswamelakukan eksplorasi, elaborasi, dilanjutkankonfirmasi. Siswa memperoleh informasi barubukan diberitahu oleh guru tetapi mencari tahudari berbagai sumber belajar yang relevan.Pengembangan ranah pengetahuan, siswadibiasakan belajar mulai dari: 1) mengetahui,2) memahami, 3) menerapkan, 4) menganalisis,5) mensintesis, 6) mengevaluasi, sehinggamenjadi pribadi yang menguasai ilmu pegetahuan,teknologi, seni, budaya yang berwawasankemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, danperadaban. Pengembangan ranah keterampilan,siswa dibiasakan belajar mulai dari: 1) mengamati,2) menanya, 3) mencoba, 4) mengolah, 5) menyaji,6) menalar, dan 7) mencipta sehinga menjadipribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yangefekif dan kreatif dalam ranah abstrak dankonkret. Pengembangan ranah sikap, siswadibiasakan belajar mulai dari: 1) menerima,2) menanggapi, 3) menghargai, 4) menghayati,dan 5) mengamalkan sehinga menjadi pribadiyang beriman, berakhlak mulkia, percaya diri, danbertangung jawab dalam berinteraksi secaraefektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar,serta dunia dan peradabannya; c) KegiatanPenutup, berupa evaluasi formatif untuk mengukurdaya serap siswa. Yang sudah tuntas dapatdilanjutkan dengan mempelajari kompetensiberikutnya, sedangkan yang belum tuntas perludilakukan remedial teaching terlebih dulu sebelummelanjutkan kompetensi berikutnya.

Page 30: jurnal dikbud tahun 2012

476

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Pustaka Acuan

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.Jakarta.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 2008. 63 Persen RemajaBerhubungan Seks di Luar Nikah. http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/63-persen-remaja-berhubungan-seks-di-luar-nikah. Diunduh 30 Januari 2011.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 2010. 51 Persen RemajaJabodetabek Tidak Perawan. Hileud.com. Minggu 28 November 2010. Diunduh 30 Januari 2011.

Bloom, Benyamin S. 1956. Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals,Handbook I Cognitive Domain. New York: Longman Inc.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistimPendidikan Nasional. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang StandarNasional Pendidikan. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Bahan Uji Publik Kurikulum 2013. Jakarta.

Forbes, Schott H., and Robin Ann Martin. 2004. What Holistik Education Claims About Itself: An Analysisof Holistik Schools’ Literature: Paper presented at the American Education Research AssociationAnnual Conference. San Diego, California, April 2004.

Illeris, Knud. 2007. How We Learn: Learning and Non-Learning in School and Beyond. London and NewYork: Routledge.

Judiani, Sri. 2010. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar melalui PenguatanPelaksanaan Kurikulum. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober2010.

Martin, Robin Ann. 2002. Alternatives in Education: An Exploration of Learner-Centered, Progrssive, andHolistik Education. Paper Presented at the Annual Meeting of the American EducationalResearch Association. New Orleans: L.A. April 1-5.

Miller, John P., Selia Karsten, Diana Denton, Deborah Orr, Isabella Colalillo Kates. 2005. HolistikLearning and Spirituality in Education: Breaking New Ground. New York: State University of NewYork Press.

Munip, Abdul. 2009, Reinventing Nilai-nilai Islam Mengenai Peranan Guru dalam Pendidikan Karakter.http://www.scribd.com/doc/12991475/ Guru Dalam Pendidikan Karakter. Diunduh 30/1/2011.

Musfah, Jejen (Ed.). 2012. “Pendidikan Islam Holistik Berbasis Nilai dalam Perspektif Sirah Nabi”.Pendidikan Holistik Pendekatan Lintas Perspektif. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.

Schreiner, Peter., J. Hare., Robert V. Kail. 2010. Holistik Education Resource Book: Learning and Teachingin an Ecumenical Context. New York: Waxmann Munster.

Page 31: jurnal dikbud tahun 2012

453

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

PELAKSANAAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PENDIDIKAN TINGGI

(THE IMPLEMTATION OF ENTERPRENEURSHIP EDUCATIONIN THE HIGHER EDUCATION)

Siswo WiratnoPusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaane-mail: [email protected]

Diterima tangagal:1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 2/11/2012, Disetujui tanggal: 28/11/2012

Abstrak: Tujuan kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan pendidikankewirausahaan di perguruan tinggi, kaitannya dengan kompetensi lulusan yang diharapkanoleh dunia kerja dan kompetensi pendukung lainnya. Permasalahan yang berkaitan denganpendidikan kewirausahaan antara lain: 1) persiapan dan pelaksanaan program kewirausahaandan peran unit baru yang berfungsi dan bertugas sebagai pengelola program kewirausahaanbelum optimal; 2) penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan kewirausahaan yangmasih terbatas (sarana dan prasarana, mitra kerja, dana,dan tenaga dosen yang berkompetensidalam memberi bekal keterampilan kewirausahaan Hasil kajian menunjukkan bahwa: 1) pelak-sanaan pendidikan kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi belum dilaksanakan secaraoptimal, antara lain disebabkan oleh belum optimalnya peran dan fungsi unit pengelolakewirausahaan; 2) kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhiharapan dunia kerja, di mana diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensiakademik, keterampilan berpikir, keterampilan manajemen dan keterampilan berkomunikasi.Di samping itu, lulusan belum cukup dibekali dengan keterampilan hidup (live skill), kemampuanberadaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan kerja serta belajar sepanjang hayat (life-long education).

Kata kunci: pendidikan kewirausahaan, perguruan tinggi, kompetensi lulusan, dan dunia kerja

Abstract: The aims of this study is to analyze the implementation of entrepreneurship educationin higher education, in relation to the competencies of graduates as expected by labour marketand other supporting competencies. Problems related to entrepreneurship education, amongothers include: 1) preparation and implementation of entrepreneurship education program aswell as the role of a new unit responsible to manage the program is not optimal; 2) provision offacilities and infrastructure for entrepreneurial implementation is still limited (means andinfrastructure, partners, funding and competent lecturers in the subject of entrepreneurial skills).The assessment results showed that: 1) implementation of entrepreneurship education in varioushigher education institutios is not yet optimal, partly due to the failure of entrepreneurialmanagement unit in optimizing its role and function; 2) competency of higher education graduateshas not fully meet the expectations of the labour market, as they are expected to have academiccompetency, thinking skills, management skills and communication skills. In addition, graduatesare not equipped with adequate live skills, ability to adapt and socialize with the workingenvironment and life-long education.

Keywords: entrepreneurship education, graduate competencies, higher education, and labourmarket

Page 32: jurnal dikbud tahun 2012

454

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PendahuluanSecara nasional, implementasi pelaksanaanpendidikan kewirausahaan di lingkungan per-guruan tinggi dilakukan secara bertahap danberkelanjutan. Dalam perjalanannya, pendidikankewirausahaan di lingkungan perguruan tinggiakhir-akhir ini menjadi kaj ian di berbagaikesempatan, baik melalui diskusi, seminar,lokakarya, dan bahkan dijadikan lesson learndengan menghadirkan sosok keberhasi lan“alumni” dalam berwirausaha dan sekaligussebagai bench marking. Dalam penyelenggaraanpendidikan kewirausahaan di lingkungan per-guruan tinggi, permasalahan yang dihadapiantara lain adanya isu pengangguran. Haltersebut diasumsikan ada faktor yang mempe-ngaruhinya, yaitu: kompetensi keahlian lulusanperguruan tinggi belum memenuhi kebutuhanpasar kerja, lulusan perguruan tinggi (prodi ilmu-ilmu sosial) kalah bersaing dengan lulusan dariprogram studi bidang keteknikan di dunia kerja.Sementara itu, lulusan program studi teknikbanyak dibutuhkan namun kompetensi keahli-annya masih belum memadai (Hendarman, 2011).Di samping itu, keragaman kesiapan masing-masing perguruan t inggi dalam mengelolakewirusahaan sepert i Program MahasiswaWirausaha (PMW), Program Kreativitas Mahasiswa(PKM), pelaksanaan Kuliah Kerja Usaha (PKU),Program Magang Kewirausahhaan (MKU), danInkubator Bisnis (INBIS) masih belum sesuaidengan tujuan yang diharapkan. Selanjutnya, hasilsurvei Litbang Media Group yang ditulis dalamEditorial Media Indonesia tanggal 30 April 2007berjudul “Minimnya Minat menjadi Pengusaha”menunjukkan bahwa motivasi masyarakatIndonesia (termasuk lulusan perguruan tinggi)untuk menjadi pengusaha masih sangat rendah.Hasil survei tersebut sejalan dengan hasil SurveiTenaga Kerja Nasional 2001 hingga 2006 (dalamBalitbang, 2010a) menyatakan bahwa profiltenaga kerja Indonesia memang dikuasai pekerja.Dari total pekerja 25 juta orang, jumlah yangmenjadi pengusaha kurang dari seperlimanya.Terhadap pertanyaan dalam survei yang samayaitu “mayoritas orang Indonesia ingin menjadiapa?” diperoleh jawaban bahwa 70% inginmenjadi pegawai negeri sipil (PNS), hanya 20%ingin menjadi pengusaha. Angka ini jelas

mencerminkan kondisi ri il yang selama inidirasakan oleh para pencari kerja, termasuklulusan perguruan tinggi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (2008)tingkat pengangguran terbuka di Indonesia telahmencapai 7,87%. Dari jumlah penduduk yangbekerja menurut jenis pendidikan tertinggimenunjukkan bahwa lulusan diploma danuniversitas mengalami kenaikan. Pekerja yangberasal dari lulusan diploma mencapai 2,79 jutaorang (2,55%) dan pekerja yang berasal darilulusan sarjana mencapai 4,66 juta (4,44%).Tampaknya, dari tahun ke tahun, jumlah pengang-guran yang berasal dari kalangan sarjana secarasignifikan mengalami kenaikan dibanding denganpekerja yang berasal dari diploma. Hal inimengindikasikan bahwa kurang lebih 20% darijumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnyabelum mendapatkan pekerjaan.

Permasalahan yang diasumsikan terjadiberkaitan dengan penyelenggaraan programpendidikan kewirausahaan, yaitu beragamnyaperguruan tinggi dalam: 1) persiapan danpelaksanaan program kewirausahaan dan peranunit baru yang berfungsi dan bertugas sebagaipengelola program kewirausahaan belum optimal;2) penyediaan sarana dan prasarana untukpenyelenggaraan kewirausahaan masih terbatas(sarana dan prasarana, mitra kerja, dana, dantenaga dosen yang berkompetensi dalammemberi bekal keterampilan kewirausahaan,sehingga bekal berbagai kompetensi belum me-madai. Berkaitan dengan masalah tersebut, kajianini dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaanpendidikan kewirausahaan di perguruan tinggikaitannya dengan kompetensi lulusan dankompetensi pendukung lainnya sesuai denganyang diharapkan oleh dunia kerja.

Kajian LiteraturKewirausahaan (Entrepreneurship)Secara bebas kewirausahaan (entrepreneurship)dapat dimaknai sebagai jiwa, semangat, sikap,perilaku, dan potensi kemampuan seseorangdalam menangani usaha dan atau kegiatan yangmengarah pada upaya mencari, menciptakan,menerapkan cara kerja, teknologi, dan produkbaru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangkamemberikan pelayanan yang lebih baik untuk

Page 33: jurnal dikbud tahun 2012

455

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

memperoleh keuntungan yang lebih besar”(Subijanto, 2012). Dengan kata lain, kewira-usahaan dalam hal ini merupakan suatukreativitas dan inovasi yang dimiliki para lulusanperguruan tinggi untuk menghasilkan nilai tambahbagi dirinya dan bermanfaat bagi orang lain/masyarakat serta mendatangkan kemaslahatanbersama.

Pada hakikatnya, kewirausahaan merupakansifat, ciri, dan watak seseorang yang memilikikemauan dan kemampuan dalam mewujudkangagasan inovatif dalam dunia nyata (bisnis) secarakreatif dan produktif. Seseorang yang memilikipotensi atau jiwa kewirausahaan, ia mampumelihat dan menilai kesempatan-kesempatanbisnis, mengumpulkan berbagai sumber dayayang dibutuhkan untuk mengambil tindakansecara tepat dan mengambil keuntungan meraihpeluang bisnis.

Secara epistimologis, kewirausahaan padaprinsipnya merupakan suatu kemampuan berpikirkreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikandasar, sumber daya, motivator, tujuan, siasat/strategi, dan kiat-kiat dalam menghadapi tan-tangan hidupnya (Hunger dan Wheelen, 2003).Kewirausahaan (enterpreeneurship) munculmanakala seseorang berani mengembangkanusaha-usahanya dan ide-ide barunya yang cerdasdan cermat dengan mengantisipasi berbagai risikoyang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu, esensikewirausahaan yaitu menciptakan nilai tambahmelalui proses pengkombinasian berbagai sumberdaya dengan cara-cara baru yang berbeda,sehingga mampu bersaing secara bebas di pasarbisnis.

Kewirausahaan menurut Sukidjo (2011)mencerminkan semangat, sikap, dan perilakusebagai teladan dalam keberanian mengambilresiko yang telah diperhitungkan berdasar ataskemauan dan kemampuan sendiri. Orang yangmemiliki sikap-sikap tersebut dikatakan sebagaiwiraswasta atau wirausaha. Sementara itu,Suryana (2006) berpendapat bahwa kewira-usahaan merupakan suatu disiplin ilmu yangmemperlajari tentang nilai, kemampuan, danperilaku seseorang dalam menghadapi tantanganhidup untuk memperoleh peluang denganberbagai resiko yang mungkin dihadapinya.

Percaya diri merupakan sikap dan keyakinanuntuk memulai, melakukan, dan menyelesaikantugas atau pekerjaan yang dihadapi. Berorientasipada tugas dan hasi l mencir ikan bahwaseseorang wirausahawan harus berkonsentrasipada tugas dan hasil dari apa pun pekerjaannyaserta harus jelas hasilnya. Apa yang dilakukanseorang wirausahawan merupakan usaha untukmencapai tujuan yang telah ditargetkan.Keberhasilan tersebut akan sangat ditentukanoleh motivasi berprestasi, berorientasi padakeuntungan, kekuatan dan ketabahan/keuletanberusaha, kerja keras, enerjik, dan inisiatif(Hunger dan Wheelen, 2003).

Lebih lanjut, mengambil risiko dicirikan olehseseorang (wirausahawan) yang harus menge-tahui peluang kegagalan (di mana sumberkegagalan dan seberapa besar peluang kega-galan), sehingga dapat meminimalis risiko.Karakter kepemimpinan dicirikan oleh seseorang(wirausahawan) yang dapat memberikan suritauladan, berpikir positif, tidak antikritik, danmemiliki kecakapan dalam berkomunikasi danbersosialisasi (Hunger dan Wheelen, 2003).Kepemimpinan yang dimaksud bukan hanyamemberikan pengaruh kepada orang lain ataubawahannya, melainkan juga sigap untukmengantisipasi setiap perubahan. Di samping itu,mampu memimpin untuk melakukan perubahandengan menawarkan produk-produk baru danmenjadi pelopor dalam penciptaan produk yangunggul atau memberikan nilai tambah yangberbeda dibandingkan dengan para pesaing.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwakewirausahaan akan melibatkan pembentukansikap/ pola pikir (attitude), pengembanganketerampilan (skill), dan pembekalan pengeta-huan (knowledge). Dengan kata lain, kewira-usahaan merupakan potensi yang dimilikiseseorang untuk dikembangkan melalui pen-didikan dan pelatihan dalam bentuk pengalaman,tantangan, dan keberanian untuk mengambilresiko dalam bekerja dan/atau menciptakanpekerjaan.

Kebijakan Pendidikan KewirausahaanDalam implementasi program pendidikan ke-wirausahaan, terdapat dua kebijakan terkaitdengan kewirausahaan, yaitu: 1) kewirausahaan

Page 34: jurnal dikbud tahun 2012

456

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

sebagai mata pelajaran di tingkat pendidikanmenengah, dan sebagai mata kuliah pada jenjangpendidikan tinggi, serta 2) kewirausahaan sebagaikeahlian yang mengacu pada standar kompetensi(Depdiknas, 2010).

Sekalipun nama mata pelajaran/mata kuliah,baik di tingkat pendidikan menengah maupunpendidikan tinggi berbeda-beda, namun padahakikatnya memiliki kandungan makna yang sama.Sebagai contoh, di lingkunagn sekolah menengahkejuruan (SMK), kewirausahaan pada umumnyadikenal dengan sebutan “unit produksi”. Dikalangan LPTK (eks IKIP), pada bidang keahlianpengelolaan makanan, busana/kecantikan dikenaldengan “pengelolaan boga” atau “usaha boga”.Di bidang busana, pengelolaan busana (termasukusaha kecantikan), sedangkan pada universitaslebih dikenal dengan “inkubator bisnis” (inbis).Salah satu contoh pengembangan inbis yangdapat dijadikan model, yaitu model inbis Uni-versitas Barawijaya, Malang (Balitbang, 2010b).

Program Pendidikan Kewirausahaan diPerguruan TingiBeberapa pembekalan program Kewirausahaanyang dapat dilakukan di perguruan tinggi dalammempersiapkan para lulusannya sebagai calonwirausaha baru sebagai berikut.

Program Mahasiswa Wirausaha (PMW)Kedudukan Program Mahasiswa Wirausaha(PMW) merupakan bagian dari sistem pendidikandi perguruan tinggi yang telah diluncurkansemenjak tahun 2009. Dalam pelaksanaannya,PMW terintegrasi dengan pendidikan kewira-usahaan yang sudah ada, antara lain dengan:Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Kuliah KerjaUsaha (KKU) dan program kewirausahaan lain.

Tujuan penyelenggaraan PMW dimaksudkanuntuk: 1) menumbuhkan motivasi berwirausahadi kalangan mahasiswa; 2) membangun sikapmental wirausaha, yakni: percaya diri, sadar akanjati dirinya, bermotivasi untuk meraih suatu cita-cita, pantang menyerah, mampu bekerja keras,kreatif, inovatif, berani mengambil risiko denganperhitungan, berperilaku pemimpin dan memilikivisi ke depan, tanggap terhadap saran dan kritik,memiliki kemampuan empati dan keterampilansosial; 3) meningkatkan kecakapan dan kete-

rampilan para mahasiswa khususnya sense ofbusiness; 4) menumbuhkembangkan wirausaha-wirausaha baru yang berpendidikan t inggi,5) menciptakan unit bisnis baru yang berbasis ilmupengetahuan, teknologi dan seni; dan 6) mem-bangun jejaring bisnis antarpelaku bisnis,khususnya antara wirausaha pemula danpengusaha yang sudah mapan. Alokasi dana PMWtidak seluruhnya untuk modal mahasiswa (DitjenDikti, 2009a).

Mekanisme pelaksana program PMW diawalidengan: 1) melakukan sosialisasi kepada paramahasiswa; 2) identifikasi dan seleksi mahasiswa;3) pembekalan kewirausahaan; 4) penyusunanrencana bisnis sambil magang di UKM (Ditjen Dikti,2009a). Selanjutnya, untuk mendapatkandukungan permodalan dalam rangka pendirianusaha baru mahasiswa wajib mengajukanrencana bisnis yang layak untuk diseleksi oleh“Tim Seleksi” yang terdiri atas unsur perbankan,UKM, dan perguruan tinggi pelaksana. Pengusahadilibatkan secara aktif untuk memberikanbimbingan operasional kewirausahaan.

Keberadaan kelembagaan yang bertang-gungjawab atas program-program pendidikankewirausahaan merupakan salah satu per-timbangan penting bagi Direktorat JenderalPendidikan Tinggi untuk memberikan dukunganpada perguruan tinggi yang bersangkutan. Dalamusaha mewujudkan calon-calon pengusaha mudadan terdidik atau pengusaha muda pemula,menumbuhkembangkan budaya kewirausahaandi perguruan tinggi dapat dimulai melalui programKuliah Kewirausahaan/KWU (Ditjen Dikti, 2010b).

Selama program PMW berjalan, perguruantinggi bekerja sama dengan para pengusaha, baikdengan UKM Koperasi maupun perusahaan besarlainnya. Pengusaha dilibatkan secara aktif untukmemberikan bimbingan praktis kewirausahaan,dimulai dari pendidikan dan pelatihan, pema-gangan, menyusun rencana bisnis, dan pendam-pingan secara terpadu. Oleh karena itu, perludihindari terjadinya persaingan yang tidak sehatdi antara mahasiswa dan UKM pendamping.Sebaliknya, diperlukan adanya “sinergitas” antarajenis usaha yang dikembangkan mahasiswa danjenis usaha yang dikembangkan oleh UKMpendamping.

Page 35: jurnal dikbud tahun 2012

457

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

Persyaratan pertama untuk menjaminkeberhasilan dan keberlanjutan PMW, perguruantinggi pelaksana harus mempunyai lembaga yangmemiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pengelola(perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,pengawasan dan pengevaluasian) serta pe-ngembangan (penelitian dan pengembangan)program-program pendidikan kewirausahaan bagimahasiswa dan program lain yang terkait denganhubungan antarlembaga. Lembaga yang dimak-sud dapat bersifat formal struktural ataupunfungsional yang bertanggung jawab langsungkepada pimpinan perguruan tinggi (Ditjen Dikti,2009b).

Program Kuliah Kewirausahaan (KWU)Dalam usaha mewujudkan calon-calon pengusahamuda terdidik atau pengusaha muda pemula danmenumbuhkembangkan budaya kewirausahaandi perguruan tinggi dapat dimulai dengan programKWU. Penyelenggaraan KWU dimaksudkansebagai upaya memperkenalkan dunia kewi-rausahaan agar dapat menumbuhkembangkanjiwa kewirausahaan bagi kalangan mahasiswa.Di samping itu, KWU dilaksanakan untuk mem-berikan pengetahuan kewirausahaan, pengalihanpengalaman berwirausaha dan mendorongtumbuhnya motivasi berwirausaha sebagai bentukkegiatan awal mahasiswa calon wirausahawanbaru (Ditjen Dikti, 2010b). Agar terjadi interaksiantarmahasiswa dari berbagai bidang studi dalamproses pembelajaran kewirausahaan, makapeserta KWU diharapkan berasal dari berbagaimahasiswa dari program studi/jurusan/fakultaslainnya.

Dalam upaya mewujudkan program tersebut,setiap perguruan tinggi diharapkan mampu:1) meningkatkan pemahaman dan penjiwaankewirausahaan di kalangan mahasiswa agarmampu menjadi wirausahawan yang berwawasanjauh ke depan dan luas berbasis ilmu yangdiperolehnya; 2) mengenal pola berpikir wirausahaserta meningkatkan pemahaman manajemen(organisasi, produksi, keuangan dan pemasaran);dan 3) memperkenalkan cara melakukan aksesinformasi dan pasar serta teknologi, carapembentukan kemitraan usaha, strategi dan etikabisnis, serta pembuatan rencana bisnis atau studikelayakan yang diperlukan mahasiswa agar lebih

siap dalam pengelolaan usaha yang sedang akandilaksanakan (Ditjen Dikti, 2010a).

Program Magang Kewirausahaan (MKU)Program “magang kewirausahaan” merupakankegiatan mahasiswa untuk belajar bekerja secaranyata (praktik) pada usaha kecil menengah, yangdiharapkan dapat menjadi wahana penumbuhanjiwa kewirausahaan. Magang merupakan salahsatu cara mempersiapkan diri untuk menjadiwirausaha. Selama magang mahasiswa bekerjasebagai tenaga kerja di perusahaan mitra,sehingga mampu menyerap berbagai pengalamanpraktik, seperti: 1) memahami proses produksiyang dihasilkan secara utuh; 2) mengenal metodeyang dilakukan baik dari aspek teknologi maupunorganisasi; 3) mengenal pasar dari produk yangdihasilkan; 4) memahami permasalahan yangdihadapi dan cara mengatasi permasalahan; dan5) berkembangnya sifat kreatif dan inovatifmahasiswa untuk bergerak di bidang wirausaha(Ditjen Dikti, 2010b).

Magang Kewirausahaan dilaksanakan untukmemberikan pengalaman praktis kewirausahaankepada mahasiswa dengan cara ikut bekerjasehari-hari pada usaha kecil dan menengah.Secara khusus tujuan MKU: 1) meningkatkankemampuan untuk menerapkan pengetahuan danketerampilan yang dimiliki; 2) meningkatkanpengetahuan kewirausahaan mahasiswa, baikdalam hal keilmuan maupun pengalaman ber-wirausaha; 3) meningkatkan kemampuan ber-komunikasi dan bersosialisasi dengan kalanganmasyarakat di perusahaan; 4) memacu motivasikewirausahaan mahasiswa yang berminat menjadicalon wirausaha; 5) membuka peluang untukmemperoleh pengalaman praktis kewirausahaanbagi dosen pembimbing mahasiswa; dan 6) men-ciptakan keterkaitan dan kesepadanan antaraperguruan tinggi dengan usaha kecil danmenengah (Ditjen Dikti, 2010b).

Lebih lanjut, kegiatan MKU dilaksanakandalam lingkup: 1) penetapan usaha kecil mene-ngah yang layak untuk tempat magang (peru-sahaan mitra); 2) pembekalan magang maha-siswa oleh dosen pembimbing; 3) temu gagasanantara perguruan t inggi dengan pimpinanperusahaan mitra; 4) pelaksanaan MKU; 5)pemantauan dan pembimbingan oleh dosen

Page 36: jurnal dikbud tahun 2012

458

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

pembimbing dan perusahaan tempat magang;6) evaluasi pelaksanaan magang oleh mahasiswa,pengusaha dan dosen pembimbing; 7) penyu-sunan business plan oleh mahasiswa pesertamagang; 8) penulisan laporan magang olehmahasiswa; dan 9) pembahasan hasil magangyang diikuti semua pihak yang terkait (Ditjen Dikti,2009b).

Beberapa indikator pelaksanaan MKUdikatakan berhasil manakala: 1) pengusahatempat magang merasakan manfaat MKU;2) mahasiswa memperoleh pengetahuan, kompe-tensi, dan pengalaman serta manfaat, baik darisegi pengetahuan maupun keterampilan yangberguna sebagai bekal untuk berwirausaha; dan3) mahasiswa menjalankan tugas dengan disiplindan mematuhi aturan perusahaan yang berlaku(Ditjen Dikti, 2010b).

Program Kuliah Kerja Usaha (KKU)Jumlah lulusan pergururan tinggi (sarjana) yangmampu menciptakan lapangan kerja masih sangatterbatas. Hal ini diasumsikan, antara lain karenamasih rendahnya kemampuan lulusan dalamberwirausaha. Naluri bisnis/jiwa kewirausahaantidak akan tumbuh berkembang manakala tidakdilengkapi dengan pelatihan dan pembinaansecara intensif melalui kerja nyata berwirausaha.

Untuk menjadi wirausahawan, mahasiswaperlu dibekali kemampuan praktis yang mencakupketerampilan menerapkan Iptek, keterampilanmanajerial wirausaha dan pemasaran sertaadopsi inovasi teknologi (Balitbang, 2010a).Pengalaman ini dapat diperoleh mahasiswamelalui Kuliah Kerja Usaha (KKU), di manakemampuan praktis ditumbuhkembangkandengan berperan aktif, antara lain membantuusaha rumah tangga atau usaha kecil menengahtempat mahasiswa bermitra. Oleh karena itu,kegiatan KKU, diharapkan dapat menumbuh-kembangkan calon wirausahawan yang handaldan mandiri dari kalangan mahasiswa melaluiproses aktif yang berprinsip pada keberpihakandan pemberdayaan masyarakat dalam rangkamendorong peningkatan pertumbuhan usaha kecilmenengah. Tujuan khusus yang ingin dicapai dariKKU, yaitu: 1) berkembangnya budaya kewira-usahaan di perguruan tinggi; 2) terwujudnya calonsarjana yang cendekiawan dan berjiwa

kewirausahaan serta sadar dengan masalahlingkungannya; dan 3) menumbuhkembangkanusaha kecil menengah yang memiliki daya saingtinggi dari segi kualitas produk/jasa, kinerja danpemasaran (Ditjen Dikti, 2010a).

Mahasiswa yang melaksanakan KKU, selainbelajar berwirausaha, juga menerapkan Iptekyang dikuasai, seperti penyempurnaan prosesproduksi, peningkatan kualitas produk dan jasa,penyempurnaan manajemen usaha, maupun pem-benahan metoda pemasaran. Sambil membantumenata proses produksi atau pemasaran produk.Di samping itu, mahasiswa belajar bagaimana caraberkomunikasi dengan mitra bisnisnya (pengu-saha, pegawai, konsumen, tengkulak, penjualeceran dan grosir), sehingga mendorong tum-buhnya kedewasaan berpikir, berkomunikasi, danbertindak.

Inkubator Wirausaha Baru (INWUB)Inkubator Wirausaha Baru (INWUB) adalah suatufasilitas fisik yang dikelola oleh sejumlah staf danmenawarkan suatu paket terpadu kepada alumniperguruan t inggi yang berminat menjadiwirausahawan dengan biaya terjangkau selamajangka waktu tertentu (2–3 tahun). Paket terpadutersebut, antara lain meliputi: 1) sarana fisik atauruang produksi dan fasilitas kantor yang dapatdipakai bersama; 2) kesempatan akses danpembentukan jar ingan kerja dengan jasapendukung teknologi dan bisnis, sumberdayateknologi dan informasi, sumber daya bahan baku,dan keuangan; 3) pelayanan konsultasi yangmeliputi aspek teknologi, manajemen, danpemasaran; 4) pembentukan jaringan kerja antarpengusaha, dan 5) pengembangan produkpenelitian untuk dapat diproduksi secarakomersial (Ditjen Dikti, 2010a).

Sebagai contoh rintisan inkubator wirausahabaru atau inkubator bisnis yaitu UniversitasBrawijaya (UB) Malang telah berhasil dalammenyelenggarakan program kewirausahaan dansampai sekarang masih terus dikembangkanmanajemennya secara professional (Balitbang,2010b). Model inkubator bisnis UniversitasBrawijaya kiranya dapat dipergunakan sebagaisalah satu bench marking bagi perguruan tinggidi Indonesia.

Page 37: jurnal dikbud tahun 2012

459

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

Tujuan dibentuknya INWUB, yaitu untuk:1) menciptakan lapangan kerja baru sehinggameningkatkan standar hidup golongan ekonomilemah; 2) menciptakan UKM yang mandiri danberlandaskan iptek untuk memperkuat strukturekonomi nasional; 3) membantu alih teknologi dariteknologi konvensional ke teknologi mutakhir(state of the art technology) yang tepat gunatermasuk teknologi hasil putaran (spin off) industribesar, perguruan tinggi atau lembaga penelitian;dan 4) mempercepat perkembangan kewira-usahaan di Indonesia untuk mencapai pengem-bangan ketahanan ekonomi yang berkelanjutandalam menghadapi era perdagangan bebas(Ditjen Dikti, 2010a).

Berbagai komponen tersebut di atas,merupakan wujud nyata Pemerintah (Ditjen Dikti,2010a) dalam mewujudkan lulusan perguruantinggi memiliki kompetensi kewirausahaan sesuaidengan kebutuhan masyarakat. Namun demikian,sampai saat ini hasil tersebut belum sesuaidengan tujuan penyelenggaraan dimaksud lebihdikarenakan masih dalam taraf pengembangandan penyempurnaan di berbagai aspek yangmendukung terwujudnya sarjana berwirausaha.Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring danevaluasi secara berkala dan berkesinambungansebagai bahan masukan untuk peraikan danpenyempurnaan program dimaksud. Selanjutnya,evaluasi diri bagi penyelenggaraan program dapatdilakukan secara mandiri dan akan lebih tepat lagijika hal tersebut dilakukan oleh sebuah organisasiindependen untuk mengevaluasinya. Lebih lanjut,perlu juga dilakukan “external audit” dalampenyelenggaraan program kewirausahaansebagai bentuk akuntabilitas publik.

Kurikulum Perguruan TinggiKurikulum perguruan tinggi selalu dituntut untukmengikuti perkembangan iptek dan tren kebu-tuhan dunia kerja. Sekalipun setiap perguruantinggi memiliki otonomi dalam pengembanganinstitusinya (termasuk kurikulum), namunkecenderungan kebutuhan masing-masingperguruan tinggi akan sama. Kompetensi lulusanmerupakan hal yang wajib dikembangkan sesuaidengan ciri dan karakter perguruan tinggi itusendiri. Di samping itu, kecenderungan dalampemenuhan kompetensi lulusan pergururn tinggi,

kurikulum yang dirancang perlu berorientasi pada:1) berbasis kompetensi, dimaksudkan agarperguruan tinggi menjadi individu-individu yangmemiliki pengetahuan dan keterampilan yangdituntut pekerjaan tertentu dan memiliki jiwavisioner yang mampu menerima berbagaitantangan, mampu melihat peluang, dan beranimengambil risiko, termasuk melatih menganalisispermasalahan dan mengambil keputusan dengantepat sasaran; 2) memfasilitasi intensifikasiketerampilan, talenta, dan kreativitas; serta3) program yang seimbang antara hard sciencedengan soft science (seni dan ilmu sosial) bagilulusan perguruan tinggi (Kepmendiknas RI Nomor045/U/2002).

Upaya untuk mewujudkan gagasan tersebut,antara lain dapat dilakukan dengan cara:1) meningkatkan efektivitas penyelenggaraanpendidikan link and match di tingkat perguruantinggi dengan melakukan prakarsa untukmengkonversi pengetahuan kewirausaan yangada di Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) kemasyarakat akademik. Pendidikan tinggi telahmelakukan dan bahkan telah menjadi tradisisebagai masyarakat keilmuan, yaitu melakukankombinasi dari explicit knowledge ke explicitknowledge lainnya, yaitu proses mensiste-matisasikan konsep ke dalam pengetahuan.Konversi pengetahuan ini mencakup mengga-bungkan body of knowledge yang berbeda-bedasehingga diperoleh new body of knowledge;2) internalization dari explicit knowledge ke tacitknowledge. Hal ini merupakan proses mewujudkanexplicit knowledge menjadi tacit knowledge. Prosestersebut erat kaitannya dengan “learning by doing”.Manakala pengalaman yang dimiliki individudigabungkan dengan explicit knowledge, kemudiandiinternalisasikan melalui sosialisasi, ekster-nalisasi, dan kombinasi sehingga terbentuk tacitknowledge (Balitbang, 2010a).

Tacit knowledge yang menjadi basis mentalmodel merupakan aset yang sangat berhargabagi institusi. Tacit knowledge yang ada pada levelindividu harus disebarkan ke level institusi. Denganpenyebaran tersebut dimulailah suatu new spiralknowledge creation. Perguruan tinggi yang berhasilmenempatkan dirinya sebagai perguruan tinggiunggulan dan banyak melahirkan entrepreneurtacit knowledge ini juga memberikan sumbangan

Page 38: jurnal dikbud tahun 2012

460

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

bagi terbentuknya core competency; 3) ekster-nalisasi, yaitu proses mengartikulasikan tacitknowledge menjadi explicit knowledge. Hal inimerupakan inti dari proses pembentukanpengetahuan, tacit knowledge diubah menjadiexplicit knowledge.

Perguruan tinggi seharusnya proakt ifmelakukan dialog dengan komunitas yang memilikitacit knowledge (dalam hal ini kalanganentrepreneur) dengan masyarakat akademik,sehingga akan menciptakan proliferasi penge-tahuan (yang sifatnya tacit) dan akhirnya menjadiexplicit. Mengundang para entrepreneur dankalangan dunia usaha ke kampus untuk berbagipengalaman secara berkesinambungan me-mungkinkan masyarakat akademik dapatmengkonstruksi pengetahuan kewirausahaanmelalui metafora, analogi, konsep, atau modelkewirausahaan yang eksplisit dan dapat dipelajarioleh siapapun; dan 4) sosialisasi, yaitu prosesberbagi pengalaman (http://www.suara-pembaruan.com/News/2004/ 02/27/index.html).

Permagangan di industri atau kerja magangmerupakan salah satu cara untuk mendapatkantacit knowledge, dari magang individu dapatmelakukan observasi, imitasi, dan mempraktikkanapa yang telah dipelajarinya. Sampai saat ini masihterbatas mahasiswa atau dosen yang melakukanmagang di industri dan sebaliknya, masih terbatasjumlah perusahaan yang memberikan kesem-patan kepada mahasiswa atau dosen untukmelakukan “magang” atau kuliah kerja lapangan(KKL). Hal ini dapat diasumsikan bahwa pihakindustri belum memperoleh sosialisasi programpendidikan kewirausahaan dari perguruan tinggi.Alasan yang cukup klasik dari industri dan yangmasih sering ditemui bahwa magang ataupun KKLmengganggu proses industri dan bahkanadakalanya membebani perusahaan. Oleh karenaitu, sosialisasi penting dilakukan dan seharusnyadengan adanya CSR (corporate social responsibil-ity) oleh industri sudah merupakan keniscayaanbagi industri untuk berbagai (sharing) dalam halpeningkatan kualitas SDM melalui pendidikan danpelatihan secara sinergi.

Dalam upaya menumbuhkembangkan jiwakewirausahaan dan meningkatkan akt ivitaskewirausahaan sehingga para lulusan perguruantinggi berorientasi pada pencipta lapangan kerja

(job creator), daripada pencari kerja (job seeker),oleh karenanya perlu dilakukan usaha nyata.Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi KementerianPendidikan dan Kebudayaan telah mengem-bangkan Program Mahasiswa Wirausaha (StudentEuntrepeneur Program) yang merupakan kelan-jutan dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)dan Coorperative Education (Co-op) yang men-dukung terciptanya lulusan yang siap kerja danmenciptakan kerja. Hasil-hasil karya mahasiswamelalui kedua program tersebut belum di-tindaklanjuti secara komersial menjadi embrioberbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek).Dengan demikian, program penguatan kelem-bagaan yang mendorong peningkatan kreativitasberwirausaha dan percepatan pertumbuhanwirausaha baru dengan basis Iptek perludikembangkan.

Oleh karena itu, salah satu upaya untukmenindaklanjuti pogram unggulan di perguruantinggi perlu ditindaklanjuti dengan suatu programstar-up business, di mana mahasiswa dibimbingdan diarahkan ke dunia nyata, yaitu wirausahaberbasis Iptek berbasis komersial (profit-benefit).Program ini sejalan dengan strategi PerguruanTinggi dalam kurun waktu 2003-2010 (Depdiknas,2010a). Program tersebut menekankan bahwakompetensi lulusan pergururan tinggi dalam suatubidang ilmu tidak lagi mencukupi untuk memasukilapangan kerja yang semakin kompetitif. Disamping lulusan perguruan tinggi dituntut untukmemiliki kompetensi di bidang tertentu, kemam-puan lainnya seperti belajar sepanjang hayat,kemampuan menganalisis, mensintesis, kemam-puan memanfaatkan peluang dengan keberanianmengambil risiko yang diperhitungkan (entrepre-neurial spirit), diperlukan juga kompetensi entre-preneurial. Hal ini sejalan dengan InstruksiPresiden tentang pengembangan ekonomi kreatif(Inpres Nomor: 6/2009).

Lulusan Perguruan Tinggi dan Daya SaingSalah satu cara pendekatan dalam meningkatkankualitas perguruan tinggi yang dianggap cukupsignifikan, yaitu menumbuhkan dan membang-kitkan etos kerja lulusan sebelum menjadipimpinan organissasi/perusahaan dan/ataupendiri kewirausahaan. Pemahaman etos kerjaberangkat dari pengertian etos (ethos) yang

Page 39: jurnal dikbud tahun 2012

461

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

secara etimologis terdapat tiga istilah dalambahasa Inggris, yaitu ethic, ethics dan ethos. Ethicdiartikan sebagai standar moral atau nilai-nilai;ethics sebagai filsafat moral (moral philosophy)dan ethos bermakna watak atau character (Noah,1979).

Etos kerja yang mencerminkan semangatjuang banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yangdianut oleh seseorang dalam melakukanpekerjaan, sedangkan nilai-nilai itu sendiri selaluberubah dan berkembang. Etos juga merupakanlandasan ide, cita-cita, pikiran yang akanmenentukan sistem tindakan. Hal ini, karena etosmenentukan penilaian seseorang atas suatupekerjaan, maka ia akan menentukan pula hasil-hasil yang akan dicapai secara kualitatif maupunsecara kuantitatif. Hal tersebut sesuai pendapatHalexandria (2004) bahwa etos kerja adalah sifatyang khas (characteristic) semangat seseorangatau kelompok terhadap suatu pekerjaan.

Hasil pendidikan yang bermutu padahakikatnya berakhir pada kemampuan daya saing.Daya saing atau persaingan/kompetisi merupakanusaha untuk mengalahkan lawan atau berusahamelawan standar internal dan eksternal dalammencapai tujuan. Lebih lanjut, Pettgrew (1993)mengemukakan bahwa persaingan pada dasar-nya merupakan kemampuan untuk menyesuaikanperubahan yang terjadi di lingkunganya.Perubahan dalam hal ini, yaitu adanya proseskemajuan yang terjadi di lingkungan perusahaanatau masyarakat sehingga pendidikan menjadisuatu kebutuhan bagi setiap orang ataukaryawan. Hal tersebut sejalan dengan apa yangdikemukakan Garell i (2003) bahwa t ingkatpendidikan dan pelatihan sebagai upayapeningkatan pengetahuan bagi seorang pekerjamerupakan dasar dalam persaingan.

Sementara itu, Israel (2001) mengatakanbahwa daya saing atau rivalitas merupakanperilaku pembawaan atau kualitas/potensi individuyang dimilikinya. Setiap orang tidak dapatmenghindarkan dirinya dari kondisi bersaing yangterjadi di lingkunganya. Pada kesempatan lain,Ivancevich, et.al (1995) mengemukakan bahwadaya saing (competitiveness) menunjukkan posisirelatif seseorang, unit, perusahaan atau suatunegara dibandingkan dengan seseorang, unit,perusahaan, atau negara lain. Posisi relatif

seseorang tersebut menunjukkan bagaimanakedudukan seseorang dengan orang ataulembaga dengan lembaga lain yang berhubungandengan keunggulan dengan yang lainnya.Keunggulan seseorang atau pemimpin mem-berikan peluang untuk keberhasilan mencapaitujuan pribadi atau tujuan organisasi. Salah satufaktor keunggulan tersebut dapat dicapai melaluipendidikan dan pelatihan dalam bentuk tingkatketerampilan (kompetensi) yang dimiliki sese-orang atau pemimpin (Callon, 1996). Oleh karenaitu, daya saing dalam kewirausahaan difahamisebagai kesanggupan individu atau wirausa-hawan dalam berkompetisi dengan wirausahawanlain dalam lingkungan kelompoknya, sebagaicerminan adanya indikator pengembangan diriyang memiliki, yaitu kemandirian, memiliki dayainovasi, dan keberanian menghadapi perubahanmeskipun mengandung risiko.

Metode KajianMetode kaj ian ini dilakukan dengan carasederhana melalui “analisis” dari berbagaidokumen sebagai sumber acuan yang terkaitdengan peraturan perundangan-undangan yangrelevan dengan pendidikan Kewirausahaan,pembahasan kewirausahaan dari jurnal, PanduanPelaksanaan Kewirausahaan, Teori pendukung,dan hasil kajian Pendidikan Kewirausahaan diperguruan tinggi, serta Hasil Penelitian Balitbangtentang Alternatif Pelaksanaan PendidikanKewirausahaan di perguruan tinggi.

Hasil Kajian dan PembahasanKompetensi Keahlian Lulusan PerguruanTinggiKomitmen Pemerintah yang secara eksplisit telahmenjadi prioritas nasional dalam pembangunanpendidikan 2010-2014, yaitu pembangunanpendidikan diarahkan untuk tercapainya per-tumbuhan ekonomi yang didukung oleh kese-larasan antara ketersediaan tenaga pendidikdengan kemampuan: 1) menciptakan lapangankerja atau kewirausahaan; dan 2) menjawabtantangan kebutuhan tenaga kerja (Depdiknas,2010a).

Paradigma pendidikan yang bersifat supplydriven yang cenderung menghasilkan lulusandalam jumlah banyak, sudah seharusnya ber-

Page 40: jurnal dikbud tahun 2012

462

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

geser menjadi demand driven yang lebihmempertimbangkan pada aspek permintaan duniakerja. Lulusan perguruan tinggi dituntut untukmemiliki berbagai kompetensi seperti academicknowledge, skill of thinking, management skill dancommunication skill. Sinergitas keempat kompe-tensi tersebut akan tercermin melalui kemampuanlulusan dalam kecepatan menemukan solusi ataspersoalan-persoalan atau tantangan-tantanganyang dihadapinya. Lulusan harus dibekali jugaketerampilan hidup (live skill) dan kemampuanberadaptasi dengan kemampuan berkomunikasibergaul dan berinteraksi dalam masyarakat ilmiahdan masyarakat profesi; kemampuan untukbekerja dalam kelompok; kemampuan untukmenggunakan khasanah pengetahuan; memilikiintegritas pribadi, moral dan etika profesi yangtinggi (soft skill).

Dari tahun ke tahun, jumlah pengangguranlulusan sarjana secara nyata lebih tinggidibanding lulusan diploma. Kondisi tersebutmengindikasikan bahwa sekurang-kurangnyasekitar 20% dari jumlah lulusan perguruan tinggisetiap tahunnya belum mendapatkan pekerjaantetap. Atas dasar tersebut, ada kecenderunganbahwa lulusan perguruan tinggi pada umumnyasebagai pencari kerja (job-seeker) daripadapencipta kerja (job creator). Di samping itu, aktivitaskewirausahaan masih relatif rendah dan cukupbervariasi antara perguruan tinggi yang satudengan yang lainnya. Aktivitas kewirausahaandimaknai sebagai individu aktif dalam memulaibisnis baru dan dinyatakan dalam persen totalpenduduk aktif bekerja. Semakin tinggi indeksaktivitas kewirausahaan (enterpreneurship activity)maka semakin tinggi entrepreneurship level suatunegara (Boulton dan Turner, 2005 dalamHendarman, 2011).

Dalam mengatisipasi kebutuhan kompetensiyang dibutuhkan tenaga kerja, perlu dilakukan up-date analisis kebutuhan dunia kerja yangmencakup dimensi kualitas/kompetensi dankuantitas lulusan terhadap proyeksi kebutuhanDUDI. Proyeksi kebutuhan harus mengacu padakarakteristik khusus dan potensi yang dimiliki olehpotensi masing-masing daerah dan kebutuh-annya. Untuk menjawab persoalan tersebut salahsatunya diperlukan program penguatan relevansiantara dunia pendidikan dan kebutuhan tenaga

kerja sesuai dengan pasokan (supply driven)maupun permintaan (demand driven).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwakompetensi lulusan perguruan tinggi masih belumsepenuhnya memenuhi harapan dunia kerja. Agarkebutuhan dunia kerja dapat terpenuhi, makapara lulusan perguruan tinggi diharapkan memilikibeberapa kompetensi sesuai dengan i lmupengetahuan dan teknologi serta seni (Ipteks)yaitu berupa kompetensi akademik, kompetensiberpikir, kompetensi manajemen dan kompetensiberkomunikasi. Di samping itu, lulusan hendaknyadibekali dengan keterampilan hidup (live skill),kompetensi beradaptasi dan bersosialisasidengan lingkungan kerja serta kemauan belajarsepanjang hayat (life-long education).

Pemenuhan berbagai kompetensi tersebutnampaknya akan mengalami tantangan manakala“peluang bisnis” bagi tamatan perguruan tinggitidak seimbang dengan jumlah lulusan yangberpotensi untuk melakukan bisnis. Idealnya,peluang bisnis harus diciptakan oleh lulusanperguruan tinggi itu sendiri, namun perangkatpendukung lainnya perlu disinergikan denganDUDI dalam wujud jejaring kerja sama (network-ing) yang dapat mewujudkan suasana timbal balikdalam wujud saling pengertian (mutual under-standing), dan saling menguntungkan (mutualbenefit).

Pelaksanaan Pendidikan KewirausahaanKondisi lulusan program studi dengan pengem-bangan kurikulum yang digunakan sampai saatini, memiliki keterkaitan yang rendah dengankebutuhan atau tuntutan dari user (stakeholders).Pendapat Antonius (2008) dalam Balitbang(2010a) bahwa fenomena tersebut didukung olehdata bahwa hampir sekitar 35% lulusan per-guruan tinggi tidak terserap di pasar kerja, atausekitar 322.750 pengangguran terdidik. Jumlah ituakan meningkat menjadi dua kalinya bila ditambahdengan mereka yang kini mengalami PHK, danpada tahun 2008 mencapai 50,3%.

Tingginya angka pengangguran terdidiktersebut tidak lepas dari rendahnya etos kerjalulusan perguruan tinggi dan kurangnya entrepre-neurial mindset. Lebih lanjut, Antonius (2008)dalam Balitbang (2010a) menyatakan bahwapenyebab utama terjadinya pengangguran

Page 41: jurnal dikbud tahun 2012

463

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

terdidik antara lain kurang selarasnya peren-canaan pembangunan pada sektor pendidikandengan perkembangan lapangan kerja, sehinggalulusan dari perguruan tinggi hanya sebagianyang terserap untuk pasar kerja.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlumenerapkan konsep link and match antara duniapendidikan dan dunia ketenagakerjaan denganpendekatan market labour based. Dalam konteksini, program-program yang memungkinkantumbuhnya jiwa kewirausahaan atau enterpre-neurship dalam lembaga pendidikan tinggi menjadisebuah alternatif dalam menjawab fenomenaseperti yang dijelaskan di atas.

Hasil penelitian Pendidikan KewirausahaanBalitbang (2010a) menunjukkan bahwa kurikulumyang berorientasi kreatif dan pembentukan jiwakewirausahaan perlu ditumbuhkembangkan dalamdunia pendidikan. Kurikulum yang dimaksudkan,yaitu: 1) kurikulum yang membentuk kompetensiagar lulusan menjadi individu-individu visioneryang mampu menerima berbagai skenariotantangan, melihat peluang dan berani mengambilresiko, termasuk melatih kemampuan mencernapermasalahan dan mengambil keputusan dengantepat walaupun tanpa adanya panduan yangcukup; 2) kurikulum yang memfasilitasi intensifikasiketerampilan, talenta dan kreativitas; serta 3)kurikulum yang mengandung program yangseimbang antara hard science dengan soft science(seni dan ilmu sosial).

Untuk mewujudkan gagasan tersebut antaralain dapat dilakukan melalui: pertama, perguruantinggi harus mau mengambil prakarsa meng-konversi pengetahuan kewirausaan yang ada didunia usaha ke dalam masyarakat akademik. Halini telah dilakukan oleh perguruan tinggi danmenjadi tradisi sebagai masyarakat keilmuan yaitumelakukan combination dari explicit knowledge yangsatu ke explicit knowledge lainnya, yaitu prosesmensistematisasikan konsep ke dalam sistempengetahuan. Konversi pengetahuan ini men-cakup menggabungkan body of knowledge yangberbeda-beda, sehingga diperoleh new body ofknowledge.

Kedua, internalization dari explicit knowledgeke tacit knowledge. Ini merupakan prosesmewujudkan explicit knowledge menjadi tacitknowledge. Proses ini erat kaitannya dengan

“learning by doing”. Ketika pengalaman yangdimiliki individu digabungkan dengan explicitknowledge, hal itu dapat diinternalisasikan melaluisosialisasi, eksternalisasi, dan kombinasi makaterbentuk tacit knowledge. Tacit knowledge yangmenjadi basis mental model itu merupakan asetyang sangat berharga bagi organisasi. Tacitknowledge yang ada pada level individu harusdisebarkan ke level organisasi. Dengan penye-baran tersebut dimulailah suatu new spiralknowledge creation. Perguruan Tinggi yang berhasilmenempatkan dirinya sebagai perguruan tinggiunggulan dan banyak melahirkan entrepreneur,salah satunya disebabkan oleh kemauan dankemampuan melakukan internalisasi pengalamandan pengetahuan, sehingga dapat membentuktacit knowledge pada komunitas akademik. Tacitknowledge ini juga memberikan sumbangan bagiterbentuknya core competency (Ditjen Dikti, 2010a)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaanmelalui Direrktorat Pendidikan Tinggi sedangmengembangkan sebuah Program MahasiswaWirausaha (Student Euntrepeneur Program) yangmeliputi program: Pendidikan Kewirausahaan(PMW, Kuliah Kewirausahaan (KWU), MagangKewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU),Coorperative Education (Co-op) dan inkubator bisnis(INBIS) yang mendukung terciptanya lulusanyang siap kerja dan job creator (Ditjen Dikti, 2010b).

Hasil-hasil karya mahasiswa melalui keduaprogram tersebut belum ditindaklanjuti secarakomersial menjadi sebuah embrio berbasis IlmuPengetahuan dan Teknologi (Iptek). Programpenguatan kelembagaan yang mendorongpeningkatan kreativitas berwirausaha danpercepatan pertumbuhan wirausaha baru denganbasis Iptek masih perlu dikembangkan dandiperkuat sebagai lembaga yang berwenangdalama pengembangan kewirausahaan (DitjenDikti, 2010a).

Dalam upaya menindaklanjuti pogram kreatifmahasiswa dan program kerja usaha yang telahmelahirkan karya-karya inovatif dan kreatifmahasiswa, maka perlu ditindaklanjuti denganprogram star-up business, di mana sebaiknyamahasiswa dihantarkan dan dibawa dalam dunianyata wirausaha berbasis Iptek yang komersial(profit-benefit). Program ini sejalan denganStrategi Perguruan Tinggi jangka panjang 2003-

Page 42: jurnal dikbud tahun 2012

464

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

2010 (HELTS 2003-2010) yang menjelaskanbahwa, kompetensi lulusan dalam suatu bidangilmu saja tidak lagi mencukupi untuk memasukilapangan kerja yang semakin kompetitif. Lulusanharus pula memiliki kemampuan untuk belajarsepanjang hayat, kemampuan untuk menganalisisdan mensintesis, kemampuan untuk memanfa-atkan peluang dengan keberanian mengambilresiko yang diperhitungkan (entrepreneurial spirit),sehingga diperlukan perubahan bukan saja padaproses pembelajaran tetapi juga pengembanganbudaya dan spirit entrepreneurial. Hal ini sesuaipula dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6tahun 2009 tentang pengembangan ekonomikreatif dengan enam sasaran utama tahun 2009-2015 (Depdiknas, 2010).

Atas dasar uraian tersebut di atas dapatdisimpulkan bahwa pelaksanaan programkewirausahaan di berbagai perguruan tinggidalam tahap pelaksanaannya dalam hal persiapandan pelaksanaan program kewirausahaan danperan unit baru yang berfungsi dan bertugassebagai pengelola program kewirausahaan belumoptimal. Di samping itu, penyediaan sarana danprasarana penyelenggaraan kewirausahaan yangmasih terbatas (sarana dan prsarana, mitra kerja,dana,dan tenaga dosen yang berkompetensidalam memberi bekal keterampilan kewira-usahaan Lebih lanjut, dalam implementasiprogram kewirausahaan masing-masing per-guruan tinggi belum memiliki standar minimal yangsama dalam operasionalisasi pelaksanaannyadan para alumni masih belum optimal menin-daklanjuti/mewujudkan sebagai wirausaha sesuaidengan pengetahuan dan pengalaman sertaketerampilan melalui pemagangan di mitra kerjaselama mengikuti perkuliahan.

Pelaksanaan kewirausahaan akan lebihsempurna manakala perguruan tinggi memilikijejaring kerja sama dengan DUDI untuk mem-bentuk para lulusannya memiliki pengalamanlangsung jenis bisnis yang akan dikembangkan.Untuk mewujudkan hal tersebut, antara lain dapatdilakukan melalui jejaring kerja dengan paraalumni di mana mereka bekerja. Hal ini sebagaisalah satu wujud kepedulian alumni terhadapalmameter yang secara psikologis memilikihubungan emosional yang lebih dekat dengansesama alumni.

Simpulan dan SaranSimpulanBerdasarkan hasil kajian dan pembahasan dapatdisimpulkan bahwa: pertama, kompetensi lulusanperguruan tinggi yang dibutuhkan oleh parapemangku kepentingan (stakeholders) belumsepenuhnya memenuhi kebutuhan dunia kerja.Diharapkan para lulusan perguruan tinggi memilikiberbagai kompetensi, antara lain academicknowledge, skill of thinking, management skill dancommunication skill. Kedua, para lulusan perguruantinggi diharapkan pula memiliki keterampilan hidup(live skill) dan kemampuan beradaptasi sertakemampuan bersosialisasi (soft skill) terhadaplingkungan kerja dan memiliki kemauan belajarsepanjang hayat (life-long education). Ketiga,pelaksanaan pendidikan kewirausahaan diperguruan tinggi masih belum berhasil sesuaidengan yang diharapkan, di mana masing-masingperguruan tinggi belum memiliki standar minimalpelayanan yang sama dalam melayani maha-siswanya yang mengikuti program pendidikankewirausahaan. Keempat, beberapa perguruantinggi telah berhasil dalam melaksanakan danmengembangkan program pendidikan kewira-usahaan, misalnya Universitas Brawijaya Malangdi mana dalam pelaksanaan tersebut berbagaisarana dan prasarana telah cukup memadaitermasuk jejaring kerja dengan mitra kerja bagimahasiswa serta dosen pengampu programPendidikan Kewirausahaan. Perguruan tinggiswasta seperti Universitas Ciputra Surabaya jugatelah dinilai berhasil karena sarana dan prasaranalebih memadai, terutama mitra kerja uni-versitasnya sebagian besar berada dalamkawasan industri pemilik universitas Ciputra(perusahaan milik Ciputra) sehingga sekaligusdapat menerima lulusan universitas tersebutsecara bertahap dan berkesinambungan. Bagiperguruan tinggi yang telah dan sedang menye-lenggarakan program kewirausahaan padaumumnya memiliki kendala belum optimalnya unitbaru yang khusus bertugas dan berfungsi sebagaipengelola kewirausahaan, serta masih belumefektifnya pemberdayaan unit konsultasi bisnisdan penempatan kerja (KBPK).

Page 43: jurnal dikbud tahun 2012

465

Siswo Wiratno, Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi

SaranAtas dasar simpulan, maka disarankan agarperguruan tinggi: 1) memberikan materi Kewi-rausahaan lebih banyak praktik lapangan (learningby doing) dibandingkan pemberian materi yangsifatnya simulasi dalam kondisi yang tidak riil. Disamping itu, dalam membekali berbagai kom-petensi, perguruan tinggi melakukan updatekurikulum yang berorientasi pada kebutuhandunia kerja (demand driven) seperti academicknowledge, analitical skil, managerial skill dancommunication skill; 2) memberikan keterampilantambahan seperti keterampilan hidup (live skill)dan kemampuan beradaptasi serta kemampuanbersosialisasi (soft skill) terhadap lingkungan kerjadan memiliki kemauan belajar sepanjang hayat(life-long education); 3) mengusahakan standarpelayanan minimal dalam menyelenggarakanprogram pendidikan kewirausahaan sehinggapola penyelenggaraan kewirausahaan dapatmencapai sasaran secara optimal; 4) mening-katkan penerapkan Keputusan Presiden Nomor 6

Tahun 2009 tentang Ekonomi Kreatif dengansegala komponen yang diperlukan, antara lainmelalui: a) pembenahan dan pemberdayaankeberadaan unit baru sebagai unit pengelolaprogram Pendidikan Kewirausahaan dankonsultasi bisnis dan penempatan kerja (KBPK)dengan merumuskan kebijakan agar masing-masing mahasiswa secara individu maupunpasangan/kelompok melakukan usaha “kewira-usahaan” atau “pengelolaan usaha” sesuai bakatdan minatnya melalui pemberian “dana bergulir”;dan b) perguruan tinggi perlu merencanakansecara terencana, bertahap, dan berkesinam-bungan, dalam menyediakan infra struktur untukmenunjang kelancaran dan keberhasilan penye-lengggaraan “kewirausahaan” di berbagaiprogram studi. Di samping itu, koordinasi dankerja sama/kemitraan atau jejaring kerja denganDUDI sebagai mitra kerja perguruan tinggi jugaperlu ditingkatkan serta memberdayakan alumniuntuk melakukan jejaring kerja dan sinergi dalamdunia kewirausahaan.

Pustaka Acuan

Anonim, Kurikulum Pendidikan Kewirausahaan Perlu Dirumuskan. (http://www.suarapembaruan.com/News/2004/02/27/index.html) diakses pada tanggal 30 November, 2010.

Badan Pusat Statistik. 2008. Sakernas Februari 2008: Penduduk Usia Kerja di Indonesia menurutPendidikan Daerah 2008. http://www.nakertrans.go.id/pusdatin.html,3,291,pnaker. Diakses25 April 2009

Badan Penelitian dan Pengembangan. 2010a. Laporan Hasil Penelitian Alternatif Pelaksanaan PendidikanKewirausahaan di Perguruan Tinggi, bekerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta,Kemdiknas, Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan. 2010b. Pedoman Umum Pengembangan Model Inkubator BisnisPerguruan Tinggi, Balitbang Kemdiknas bekerja sama dengan Universitas Brawijaya, Malang.

Callon, Jack D.1996. Competitive Adventage Trough Information Technology, Singapore, McGraw-HillBookCo.

David Hunger. J. and Wheelen. Thomas L. 2003. Manajemen Strategis, ANDI: Yogyakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang sistemPendidikan Nasional. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang(HELTS 2003-2010). Kemendiknas. Jakarta.

Page 44: jurnal dikbud tahun 2012

466

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2009a. Pedoman Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) Dikti.Jakarta: Direktorat Kelembagaan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2009b. Laporan PMW di Perguruan Tinggi (tidak dipublikasikan).Jakarta: Direktorat Kelembagaan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010a. Pedoman Program Kreatifitas Mahasiswa. DirekturPenelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,Depdiknas. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010b. Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan. Bab V.Panduan Pengelolaan Program Hibah DP2M Ditjen Dikti – Edisi VII. Jakarta.

Halexandria. 2004. (http://Halexandria.org/dward 333htm) diunduh pada tanggal 11 Juni 2009.

Hendarman. 2011. Kajian Kebijakan PMW (Program Mahasiswa Wirausaha) dalam Jurnal Pendidikandan Kebudayaan Vol. 17. No. 8. Edisi November 2011, Balitbang, Kemdiknas, Jakarta.

Ivancevich, John M., Donnely James H., Jr. James L Gibson. 1995. Fundamental of Management , USA:Richard D Irwin Inc,.

Israel, Giana E. 2001. Competitiveness. (http//www.firelily.com/gender/giana) diakses pada tanggal12 Desember 2009.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.Jakarta.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 045/U/2002 Tentang KurikulumInti Pendidikan Tinggi. Jakarta.

Media Indonesia, 30 April 2007. Minimnya Minat Menjadi Pengusaha dalam Editorial Media Indonesiadiunduh tanggal 1 Juni 2008.

Stephane Garelli. 2003, Competitiveness of Nations: The Fundamentals, (http://members.shaw.ca/compilerpress1/anno/gareel/ Fundamentals.htm, diunduh pada bulan Oktober 2009.

Subijanto. 2012. Analisis Kebijakan Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuruan, dalamJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 18, No. 2 Edisi Juni 2012, Balitbang, Kemdikbud.

Sukidjo. 2011. Membudayakan Kewirausahaan. WUNY Majalah Ilmiah Populer Tahun XII, Nomor 1,Januari 2011. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Suryana. 2006. KEWIRAUSAHAAN Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses. (edisi 3). Jakarta:Salemba Empat.

Webster Noah. 1979. Webster’s New Twentieth Century: Dictionary Unabridged, USA: William CollinsPublishers.

Page 45: jurnal dikbud tahun 2012

440

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PENGEMBANGAN KURIKULUM SEBAGAI INTERVENSI KEBIJAKAN PENINGKATANMUTU PENDIDIKAN

(CURRICULUM DEVELOPMENT AS A MEANS FOR THE IMPROVEMENT OFEDUCATION QUALITY)

Bambang IndriyantoPusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaane-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 23/12/2012, Dikembalikan untuk revisi: 29/12/2012, Disetujui tanggal: 31/12/2012

Abstrak: Tujuan dari tulisan ini adalah mengajukan pengertian bahwa kurikulum dapat menjadititik tolak bagi peningkatan mutu pendidikan. Berdasarkan pernyataan tersebut, tulisan inimengajukan argumentasi bahwa efektivitas implementasi kurikulum tidak hanya terletak padaisi konsep yang komprehensif, tetapi juga pada kondisi kurikulum tersebut akan dilaksanakan.Kondisi tersebut meliputi kompetensi guru dan kecukupan ketersediaan sarana pendidikanpada tingkat sekolah. Pengembangan Kurikulum 2013 oleh Kementerian Pendidikan danKebudayaan yang sekarang sedang berlangsung sedang dicermati oleh anggota masyarakat.Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi kurikulum sebagai bagian dari kebijakan pendidikan.Ada yang mempertanyakan tentang konsepnya, tetapi ada juga yang setuju dengan idePengembangan Kurikulum 2013. Namun demikian tulisan ini berpendapat, meskipun ada yangtidak setuju atau setuju, bahwa faktor yang mendasari efektivitas pelaksanaan kurikulum adalahfaktor manajemen. Faktor manajemen yang dimaksud meliputi manajemen pada tingkat sekolahdan kelas. Kehadiran teknologi informasi praktis pada setiap aspek kehidupan membawa dampakyang positif terhadap dunia pendidikan.

Kata kunci: mutu pendidikan, kurikulum, manajemen pendidikan, kepemimpinan

Abstract: The objective of this paper is to foster the notion that curriculum can serve as astandpoint to improving the quality of education. By stating so, it proposes an argument thatthe effectiveness of their implementations do not only depend on comprehensiveness of theconcept, but also on their relevance to the circumstances in which they are going to beimplemented. They include teacher competencies and the adequate availability of educationfacilities at school level. The on going curriculum development called Curriculum 2013 by theMinistry of Education and Culture are undergoing scrutinization by publics. This has been aconsequence of curriculum as a part of education policies. Some cast doubts about the concept,some other support the idea of the development of curriculum 2013. This paper, however,argues, in spite of pro and cons, that management is an underlying factor which ensures theeffectiveness of the implementation of the curriculum 2013. The concept of management consistsof that in school and classroom levels. The present of information technology virtually in anywalk of life, has positive impacts on education.

Keywords: quality education, curriculum, education management, leadership.

PendahuluanKebijakan peningkatan mutu pendidikanmerupakan kebijakan yang sangat dinamis,karena peningkatan mutu pendidikan tidak pernahakan berhenti pada satu titik tertentu. Per-

kembangan berbagai aspek kehidupan, baiksosial, politik, dan ekonomi, serta terutamaindustr i, i lmu pengetahuan, dan teknologimemerlukan sumber daya manusia yang bermutu.

Page 46: jurnal dikbud tahun 2012

441

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

Pendidikan merupakan sarana untukmenghantar pembentukan sumber daya manusiayang bermutu. Dasar teoritis dari argumentasi iniyaitu human capital theory. Argumentasi yangdikemukakan oleh teori ini yakni investasi padamanusia akan meningkatkan kompetensinya,sehingga memberikan kontr ibusi terhadappertumbuhan ekonomi (Schultz, 1977; Checchi,2005). Seiring dengan adanya bukti empiris yangmenunjukkan kontribusi pendidikan terhadappertumbuhan ekonomi yang semakin nyata, makapada sekitar pertengahan tahun 1990 humancapital theory dikembangkan menjadi konsepknowledge based economy. Konsep ini memperkuathuman capital theory dengan penekanan bahwasumber daya manusia tidak hanya memberikankontribusi yang lebih tinggi dibanding denganfaktor mesin dalam proses produksi, tetapi faktorsumber daya manusia merupakan faktor produksiyang terbarukan dan tersedia dalam jumlah yangmelimpah (non-scarcity) (Petters, 2010; Powell &Snellman, 2004; McInstosh, 2008).

Meskipun dari perspektif ekonomi, kontribusipendidikan cenderung dilihat dari kontribusinyaterhadap pertumbuhan ekonomi, kontribusipendidikan terhadap ekonomi mempunyaidampak externality. Sumber daya yang berkualitastidak hanyak untuk mendukung pertumbuhanekonomi, tetapi juga sebagai modal sosialpembentukan harmonisasi dalam lingkungan kerja(Flap & Boxman, 2001) dan menciptakan suasanakehidupan yang liberal dan demokratis (Dewey,2004 & Hutchin, 1999).

Berdasarkan pada pembahasan yangdiketengahkan di atas, maka peningkatan mutupendidikan tentu saja t idak hanya berartimeningkatkan prestasi akademis saja, tetapimembentuk sikap. Sosok manusia berkualitastidak hanya tercermin dalam kompetensi berpikir,tetapi juga pada kompetensi bersikap danberperilaku. Dalam ungkapan Ki Hajar Dewantara,pendidikan merupakan suatu metode:

“memberi ilmu atau pengetahuan, serta jugamemberi kecakapan kepada anak-anak, yangkedua-duanya dapat berfaedah buat hidupanak-anak baik lahir maupun batin” (MajelisLuhur Persatuan Taman Siswa, 1977).Untuk mendukung kebijakan peningkatan

mutu pendidikan intervensi diarahkan pada faktor-

faktor yang secara langsung berpengaruh dalamproses kegiatan belajar mengajar. Secarakategoris faktor tersebut meliputi hardware yangterdiri atas sarana dan prasarana, humanwareyang terdiri atas pendidik dan tenaga kepen-didikan, dan software yang terdiri atas kurikulum,metode mengajar. Efektivitas ketiga faktortersebut tergantung dari sistem manajemen,terutama yang diadopsi oleh sekolah, karenasistem manjemen menentukan kombinasipemanfaatan ketiga secara lebih efisien. Disamping itu, dengan adanya konteks birokrasi dangeografis yang berbeda-beda antar satu sekolahdengan sekolah lainnya, manajemen menjadifaktor strategis sebagai dasar untuk mencapaitarget pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah.Manajemen pada salah satu sekolah dapat sajamemusatkan pada pemanfaatan sarana yangsudah tersedia di sekolahnya, dan manajemenpada sekolah lain lebih memusatkan padapenyediaan sarana pendidikan, karena di sekolahtersebut belum tersedia sarana yang memadaiuntuk mendukung kegiatan belajar-mengajaryang efektif di sekolah.

Kurikulum merupakan bagian dari softwarebagi berlangsungnya kegiatan belajar danmengajar yang efektif. Tidak seperti hardware danhumanware, kurikulum tidak merupakan faktordeterminan terhadap keberhasilan kegiatanbelajar mengajar di ruang kelas. Kurikulum tidakbisa dimanipulasi agar kegiatan belajar-mengajardi kelas dapat berlangsung lebih efektif.Sebaliknya, kurikulum menjadi titik tolak untukmemanipulasi hardware dan humanware, sehinggakegiatan berlajar menjadi lebih efektif.

Searah dengan upaya Kementerian Pen-didikan dan Kebudayaan yang pada saat inisedang melakukan Pengembangan Kurikulum2013, tujuan tulisan ini yaitu untuk menge-tengahkan argumentasi di balik upaya Pengem-bangan Kurikulum 2013. Argumentasi tersebutyaitu bahwa Pengembangan Kurikulum 2013merupakan intervensi kebijakan mutu pendi-didikan dengan mempertimbangkan keseim-bangan keterampilan, sikap, dan pengetahuan.Dalam mengetengahkan argumentasi tersebutperspektif yang digunakan bukan perspektifpedagogis yang secara mendalam melihatkomponen-komponen pandangan filosofis

Page 47: jurnal dikbud tahun 2012

442

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

maupun epistimologis tentang pengembangankurikulum. Sebaliknya, tulisan ini melihatPengembangan Kurikulum 2013 sebagai suatuagenda kebijakan peningkatan mutu pendidikan.Meskipun demikian, tulisan ini tidak bisa samasekali menghindari diskusi berkenaan kurikulumdalam perspektif pedagogis.

Di samping untuk menjawab keberhasilanimplementasi Kurikulum 2013 tersebut, tulisan inijuga mengajukan argumentasi bahwa faktorkemampuan guru menjadi faktor utama bagikeberhasilan implementasi Kurikulum 2013.Namun demikian, kemampuan guru dapatmendukung keberhasilan implementasi Kurikulum2013, jika kepemimpinan kepala sekolah sebagaimanajer sekolah dan kepemimpinan pedagogisguru dapat berlangsung secara efektif.

Pada saat tulisan ini disusun, PengembanganKurikulum 2013 sedang pada taraf uji publik,sehingga masih terbuka pintu kemungkinan terjadiperubahan walaupun perubahan tersebutdiharapkan tidak secara mendasar akan meng-ubah niat Kementerian Pendidikan dan Kebu-dayaan untuk melakukan PengembanganKurikulum 2013. Artinya hasil uji publik diharapkantidak menghentikan upaya pengembangankurikulum tersebut. Pengembangan kurikulumtelah menjadi keputusan Pemerintah.

Dengan argumentasi tersebut, tulisan inimengajukan suatu proposisi bahwa pengem-bangan kurikulum merupakan langkah imperatifsebagai titik tolak peningkatan mutu pendidikan.Pengembangan kurikulum memang akanmenimbulkan konsekuensi terhadap tata kelolapada tingkat kelas dan sekolah, bahkan sampaipada ekstra-organisasi sekolah seperti dinaspendidikan dan kementerian. Namun, baik adamaupun tidak ada pengembangan kurikulum,perubahan tata kelola tersebut akan terjadi.Perubahan secara sistematis dan terkoordinasidiharapkan akan terjadi ketika inisiat ifpengembangan kurikulum merupakan intervensikebijakan pendidikan dari Pemerintah.

Kajian Literatur dan PembahasanKurikulum sebagai Entitas KebijakanSalah satu indikator utama untuk mendeteksibahwa Pengembangan Kurikulum 2013 merupakanintervensi kebijakan peningkatan mutu pen-

didikan, jika isi Kurikulum 2013 tersebutmempunyai keterkaitan linier dengan rumusanpada peraturan perundang-undangan. Pengem-bangan Kurikulum 2013 merujuk pada tujuansistem pendidikan nasional sepert i yangdinyatakan pada Pasal 2 Undang-Unidang nomor20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional yang berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengem-bangkan kemampuan dan membentuk watakserta peradaban bangsa yang bermartabatdalam rangka mencerdaskan kehidupanbangsa, bertujuan untuk berkembangnyapotensi peserta didik agar menjadi manusiayang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadiwarga negara yang demokratis serta ber-tanggung jawab” (Depdiknas, 2003).Misi yang disampaikan pada Pasal ini

mempunyai keterkaitan dalam tiga hal. Pertama,pendidikan tidak hanya dimaksudkan untukmengembangkan kecerdasan intelektual, tetapijuga kecerdasan emosional dan kecerdasanreligius. Kedua, Pasal ini juga menekankan bahwapendidikan mendorong terhadap pembentukanmanusia Indonesia yang sehat, dan ketiga Pasalini menekankan adanya sikap mandiri. Keman-dirian merupakan modal bangsa untuk menjadibangsa yang mandiri dan sejajar dengan bangsalain.

Sebagai intervensi kebijakan, PengembanganKurikulum 2013 mendapat tanggapan dariberbagai kalangan anggota masyarakat denganberbagai latar belakang sosial dan politik. Tidakmenutup kemungkinan tanggapan tersebutcenderung mengandung kesalahan interpretasi.Pada harian Kompas hari Senin, 26 November2012 terdapat artikel berjudul “Prospek KurikulumBaru” terdapat pernyataan yang tidak tepat.Pernyataan tersebut berbunyi “Di SD misalnya,guru bidang studi studi IPA, IPS, dan BahasaInggris akan bagaikan di-PHK” (Suwignyo, 2012).Pernyataan ini mengandung dua ketidaksesuaian.Pertama, guru di SD pada umumnya merupakanguru kelas. Bukan selureuhnya guru matapelajaran. Oleh karena itu, tidak akan ada guruyang di PHK meskipun dalam PengembanganKurikulum 2013 ada skenario mengintegrasikan

Page 48: jurnal dikbud tahun 2012

443

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

mata pelajaran IPA ke dalam matapelajaranBahasa Indonesia. Jika skenario tersebutterrealisasi, maka tidak akan ada guru SD yang diPHK. Kedua, pada kurikulum SD tidak pernah adamatapelajaran Bahasa Inggris yang diwajibkanuntuk diajarkan. Jika Pengembangan Kurikulum2013 diimplementasikan tidak ada guru BahasaInggris yang akan di-PHK karena memang padakurikulum yang lama (sebelumnya) tidak adamatapelajaran Bahasa Inggris yang diwajibkandiajarkan di SD.

Adanya matapelajaran bahasa Inggris yangdiajarkan kepada siswa SD bukan merupakankewajiban yang ditetapkan oleh Pemerintah, baikPusat maupun daerah. Ide untuk mengajarkanmatapelajaran Bahasa Inggris kepada siswa SDmerupakan inisiatif dari SD yang bersangkutan.Pemerintah tidak melarang atau membolehkanjika ada SD yang mengajarkan matapelajaranBahasa Inggris kepada siswanya denganbeberapa syarat, antara lain: tidak mengganggupencapaian matapelajaran yang diwajibkan di SDdan jika ada guru SD yang mengajar BahasaInggris, maka konsekuensi untuk memberikan gajikepada guru tersebut merupakan tanggungjawab SD yang bersangkutan.

Di samping itu, dimensi politik selalu akanmuncul dalam proses pegembangan Kurikulum2013. Harian Jakarta Globe (29 November 2012)menyaj ikan judul artikel yang cenderungmenyampaikan pesan pesimisme, sabagai berikut“Plans for New Curriculum Have Led to Confusion,Lack of Confidence”. Lebih lanjut, pada tubuh artikeldisajikan kalimat berbunyi “People in the upperrungs of bureaucracy seem to compete with eachother in issuing more and more confusingstatements and expalanations”. Komentar tersebutlebih melihat pengembangan kurikulum yangsedang dilaksanakan oleh Kementerian Pendi-dikan dan Kebudayaan sebagai proses politikdaripada proses pedagogis. Menteri Pendidikandan Kebudayaan pada acara uji publik Pengem-bangan Kurikulum 2013 yang diselenggarakan diJakarta pada tanggal 30 November 2013,menyatakan bahwa perubahan kurikulummerupakan suatu keharusan, karena adanyapengembangan peradaban. Tidak hanya itu, padaabad ini terjadi perubahan dalam pembelajaran.Perubahan tersebut meliputi empat aspek, yaitu:

informasi, komputasi, otomasi dan komunikasi.Aspek informasi menekankan bahwa siswadidorong untuk mencari tahu, di sampingmendapatkan pengetahuan dari guru. Penge-tahuan dari guru menjadi dasar bagi siswa untukmencari informasi lebih lanjut. Komputasimerupakan suatu proses pengembangan dayanalar siswa dengan tidak hanya mampu menjawabpersoalan yang dihadapi, tetapi juga mengem-bangkan sikap bertanya (skeptisme) terhadappersoalan yang dihadapi oleh siswa.

Penekanan pada otomasi mendorong siswauntuk lebih berpikir analitis. Setiap kejadian yangada di sekitar mereka t idak terjadi secaraindependen, tetapi ada hal lain yang mem-pengaruhi. Kemampuan untuk mengetahuiketerkaitan antara satu kejadian dengan kejadianlainnya menjadi siswa mempunyai sikap curiousterhadap apa yang terjadi. Semakin tinggi jenjangpendidikan yang ditapakinya, semakin abstraksikap courious yang dimiliki oleh siswa. Komunikasimerupakan suatu keterampialn untuk menyam-paikan pendapat tentang apa yang diketahuaikepada siswa lain, dan menerima pendapat darisiswa lain. Proses komunikasi ini merupakansarana akumulasi pengetahuan pada diri siswa.

Dengan mempertimbangkan empat aspektersebut, kurikulum yang rencananya akandiberlakukan pada bulan Jul i 2013 akanmengantarkan siswa Indonesia menjadi siswayang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Hal tersebutterefleksi pada sikap, keterampilan, danpengetahuan. Kompetensi sikap merefleksikanrasa tanggung jawab kepada diri sendiri, dan jugakepada masyarakat dan lingkungan di mana diahidup. Keterampilan merupakan indikatorkompetensi yang mengekspresikan kemampuanpribadi, baik dalam hal memecahkan masalah yangdihadapi diri sendiri maupun masalah-masalahlingkungan sosial maupun fisik. Pengetahuanmerupakan dasar bagi pengembangan keduaindikator kompetensi, yaitu sikap dan kete-rampilan. Pengetahuan merupakan kompetensiyang t idak secara langsung nampak ketikaseseorang tidak telibat dalam suatu aktivitas.Dengan kata lain, perwujudan pengetahuandapat terlaksana melalui media kompetensi, sikap,dan keterampilan.

Page 49: jurnal dikbud tahun 2012

444

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Di samping pertimbangan di atas, pe-ngembangan Kurikulum 2013 merupakan responsterhadap berbagai kritik dan komentar dariberbagai lapisan dan kelompok masyarakat.Wapres Boediono (2012) di harian Kompas,misalnya, melontarkan kritiknya. Dalam artikelyang berjudul “Pendidikan Kunci Pembangunan”Wapres Boediono menyatakan bahwa belumterwujudnya hasil pendidikan yang maksimalkarena belum adanya konsep pendidikan yangjelas. Akibatnya, kurikulum cenderung memuatbeban berlebihan yang harus dipelajari oleh siswa.Di lain pihak, meskipun kurikulum telah memuatberbagai hal, tetapi masih dinilai belum meng-hasilkan kompetensi seimbang antara penguatankarakter dan daya nalar siswa. Komentar yangdikemukakan oleh S. Rohman (2012) dan A. Wisnu(2009) menunjukkan kurangnya muatan karakterpada kurikulum yang berlaku saat ini, sementaraargumentasi lain menyatakan bahwa kurikulummasih belum meningkatkan kemampuan analisissiswa karena pengajaran Sains masih sebatasteori (Kompas, 7 Juni 2012). Tulisan ini tidakbermaksud membenarkan atau menyalahkan kritiktersebut, tetapi menunjukkan suatu kecende-rungan, yaitu ketika pendapat tersebut telahmenyebar di publik, maka pendapat tersebut akanmembentuk opini publik, seolah-olah memang haltersebut yang menjadi permasalahan kurikulum.

Kurikulum sebagai intervensi kebijakanpeningkatan mutu pendidikan mempunyaiberbagai bentuk yang memungkinkan menim-bulkan berbagai interpretasi. Scott (2006),misalnya mengidentifikasi enam sudut pandangtentang kurikulum. Keenam sudut pandang inimenyajikan perbedaan sosok kurikulum yangterdiri atas foundationalism, conventionalism,instrumentalism, technical rationality, criticalpedagogy, dan transgression. Keenam sudutpandang tersebut akan dielaborasi secara lebihrinci di bawah ini.

Foundationalism menyajikan sosok kurikulumsebagai dasar pembentukan pola perilaku, polasikap, dan pola berpikir. Sebagai dasarpembentukan ketiga pola tersebut, maka menjadisuatu keharusan bahwa setiap programpengajaran mempunyai dasar kurikulum yangsecara seimbang mengandung aspek sikap,perilaku, serta pemikiran.

Dalam melihat sosok kurikulum seperti itu,sudut pandang foundationalism mengemukakanargumentasi bahwa knowlegde merupakan titikdasar untuk membentuk ketiga pola. Dalam halini sudut pandang foundationalism membedakanantara knowledge dengan rationality. Knowledgemerupakan muatan informasi yang disebutdengan pengetahuan, sedangkan rationality lebihmerupakan pemanfaatan knowledge dalam suatutindakan yang diekspresikan dalam pola sikap,pola perilaku, dan pola pikir.

Conventionalism memandang kurikulumsebagai “canonical texts that constitute the variousdisciplinary traditions” (Scott, 2006) yang perluuntuk dipreservasi sebagai suatu tradisi susunanpengetahuan (body of knowledge). Tidak sepertipandangan yang diajukan oleh foundationalism,pandangan conventionalism mempunyai sudutpandang lebih praktis. Kurikulum merupakansarana untuk menghantarkan siswa menjadimanusia yang mempunyai kompetensi sehinggadia mampu bersaing dalam pasar kerja. Olehkarena itu, sudut pandang convensionalismcenderung lebih mengarah pada kejuruandaripada akademis. Namun demikian, bukanberarti bahwa sudut pandang conventionalismtidak setuju dengan pendidikan umum sepertiSMA, penekanan sudut pandang ini yakni bahwasetiap kurikulum ditujukan untuk memberikanbekal kepada para siswa, sehingga mereka siapuntuk memasuki pasar kerja,

Instrumentalism memandang kurikulumsebagai alat (instrumen) untuk menjadikan(bukan mengantarkan) setiap siswa menjadimanusia yang bertanggung jawab terhadapdirinya, sehingga mereka dapat hidup bahagia(having good life). Kritik yang disampaikanterhadap pandangan instrumentalism yaitutentang definisi hidup bahagia yang tidak bisadiukur. Pandangan ini memang tidak memberikandefinisi yang jelas tentang hidup bahagia. Namundemikian, pandangan ini tidak juga menolakbahwa hidup bahagia dapat diukur dengan kriteriaekonomi (economism), tetapi kriteria ekonomibukan satu-satunya ukuran hidup bahagia.

Technical rationality merupakan pandanganyang tidak beda, terutama dengan pandanganinstrumentalism dalam konteks bahwa kurikulummerupakan sarana untuk menghantarkan siswa

Page 50: jurnal dikbud tahun 2012

445

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab. Pandangan ini juga mempunyai kesamaandengan sudut pandang dari foundationalism,conventionalism dalam arti kurikulum mempunyaimuatan knowledge di dalamnya. Perbedaanpandangan technical rationality dengan pan-dangan lainnya terletak pada penekanan konsepknoweledge yang terkandung dalam kurikulum.Pandangan ini secara eksplisit membedakanantara knowledge yang sudah terkandung dalamkurikulum dengan knowledge creation. Knowledgecreat ion merupakan proses pengembanganberdasarkan knwoledge yang para siswa perolehdari kurikulum. Knowledge creation ini akanmenghantarkan mereka menjadi mandiri danbertanggung jawab ketika mereka tumbuhdewasa.

Dalam perspektif ekonomi, knowledge yangsudah terkandung dalam kurikulum merupakaninitial endowment. Kemampuan kurikulum untukmenjadikan setiap siswa mempunyai nilai tambahketika dalam proses belajar tersebut tumbuh dariknowledge creation. Dalam konsep ini, kurikulumhampir sama maknanya dengan learning. Dalamkonsep learning terdapat proses dialogis antarguru sebagai sumber dan siswa sebagai penerimaknowledge. Lebih tepatnya konsep learning yangdimaksud yaitu learning maps, seperti yangdidefinisikan oleh Rose dan Nicholl (1997): ..”area dynamic way to capture points of informations”.Dalam definisi ini kata points of informationmengandung makna bahwa informasi yang di-maksud bukan sekedar informasi dalam pe-ngertian khalayak pada umumnya, tetapi informasiyang mengandung makna knowledge creation.

Critical pedagogy menyajikan kurikulumsebagai entitas yang lebih radikal, karena dalampandangan ini menjadikan kurikulum bukan hanyasebagai sarana untuk mentransfer knowledge dariguru kepada siswa, tetapi “the curriculum shouldbe enacted so as to identify and unmask thosehuman beliefs and practices that limit freedom,justice and democracy” (Scott, 2006). Dalamperspektif politik yang ekstrim, kurikulummerupakan sarana “indoktrinasi” bagi siswa,sehingga mereka akan mempunyai suatupemahaman tentang kehidupan sosial yangmereka hadapi sesuai dengan apa yang merekayakini.

Transgression menampilkan sosok kurikulumyang didasarkan pada perspektif postmodernism.Di antara ciri-ciri yang menonjol dari pandangantransgression yaitu melihat kurikulum dari sudutpandang yang lain daripada apa yang secarakonvensional orang memandang kurikulum.Pandangan ini melihat kurikulum sebagai kemauanpenguasa. Dengan pendekatan binary, pengem-bangan kurikulum merupakan dekostruksikemauan penguasa kepada “pihak lain”. Namundemikian, tidak ada definsi yang jelas apa yangdimaksud dengan “pihak lain” tersebut. Upayadekonstruksi tidak hanya pada isi kurikulum, tetapijuga termasuk pada bahasa dan isi dari buku teksyang digunakan dalam proses kegiatan belajarmengajar.

Dengan demikian, permasalahan yangmenjadi pusat perhatian dari sudut pandang iniyakni yang penting dari sosok kurikulum, bukanseberapa komprehensif isi kurikulum tersebut,tetapi apakah isi kurikulum tersebut sebagairefleksi dari kemauan penguasa atau bukan.Dalam konteks pengembangannya ada suatuproses dialogis antara penguasa dan “pihak lain”(guru?) jika kurikulum harus mempunyai tingkatakseptabilitas tinggi (Reid, 2005). Dalam prosesnegosiasi, lebih dari sekedar dialog, baikpenguasa atau “pihak lain” sebagai pelaksanakurikulum mempunyai daya tawar padaproporsinya masing-masing. Konsekuensi jikatidak tercapai kesepakatan, maka kurikulum tidakdilaksanakan.

Dalam suatu sistem pendidikan, meskipunmelalui proses negosiasi yang mungkinberlangsung lama, tidak ada kegiatan belajarmengajar yang tidak didasarkan pada kurikulum.Kurikulum tetap merupakan suatu dasar bagidilaksanakannya kegiatan mengajar. Ketikakurikulum diarahkan untuk mengakumulasikemaslahatan pedagogis bagi semua siswasecara non-diskriminatif, maka pengembangankurikulum senantiasa didasarkan pada per-timbangan moral (Hausman dan McPherson,2006). Memasukkan pertimbangan moral tidakberarti meniadakan proses negosiasi denganpihak sekolah, negosiasi yang berlangsung tidakdidasarkan pada mempertahankan kepentinganmasing-masing, tetapi lebih penting daripada itu,negosiasi merupakan cara untuk merekonsiliasi

Page 51: jurnal dikbud tahun 2012

446

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

subyektivitas dari masing-masing pihak, sehinggakurikulum dapat memfasilitasi minat dan bakatsiswa dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda, baik perbedaan itu adalah agama,stratifikasi sosial, atau karakter pribadi siswa.

Faktor Pendukung Implementasi KurikulumEfektivitas kurikulum sebagai intervensi kebijakanpeningkatan mutu pendidikan bukan terletakpada perumusan isinya, tetapi terutama padapelaksanaannya. Namun demikian, pelaksanaankurikulum tidak juga bisa dilaksanakan jika misidan isi kurikulum di luar kemampuan para guruuntuk memahaminya, sehingga mereka tidakdapat mengartikulasikan isi kurikulum menjaditopik bahasan dari satu atau lebih mata pelajaran.Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ketikamisi dan isi kurikulum merupakan ungkapan utopis(Halpin, 2006), kecil kemungkinan isi kurikulumtersebut dapat direalisasi dalam suatu prosesinteraksi di dalam ruang kelas melalui kegiatanbelajar mengajar yang melibatkan pihak, yaituguru dan siswa. Walker (1992) meringkasnyadengan pernyataan sebagai berikut: “Nocurr iculum development is possible withoutassumptions about how learning and teaching canand should proceed”.

Salah satu argumentasi menyatakan bahwaefektivitas implementasi kurikulum tergantungpada kompetensi guru dan sarana yang tersediadi sekolah yang memfasilitasi guru dalammengartikulasi topik-topik bahasan yangdianjurkan kurikulum. Diperlukan software untukmemfasilitasi maksimalisasi peran guru danpemanfaatan sarana untuk mencapai hasil yangmaksimal. Sofware tersebut yaitu manajemenpendidikan, baik di tingkat kelas, sekolah maupunekstra-organisasi sekolah seperti kantor dinasatau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Tulisan ini memusatkan perhatian padamanajemen sebagai media untuk maksimalisasiperan guru dan ketersediaan sarana di sekolah.Manajemen yang dimaksud yaitu manajemensekolah yang berada di bawah pengendaliankepala sekolah, manajemen kelas yang beradadi bawah pengendalian guru.

Secara definisi manajemen merupakan suatuproses pengalokasian dan pengaturan sumberdaya untuk memperoleh hasil optimal (Coleman,

2010) dan proses optimalisasi tersebut hanyadapat berlangsung dalam suatu organisasi karena“Management is the specific and distinguishing organof any and all organizations” (Drucker, 1999).Mengapa demikian? karena dalam suatuorganisasi terdapat aturan main yang diformalkandan pimpinan yang mengatur proses tersebut.Peran pemimpin yang menentukan arah alokasidan mobilisasi sumber daya yang tersedia di suatuorganisasi.

Dalam konteks pelaksanaan kurikulum kepalasekolah merupakan pemimpin organisasipendidikan yang disebut sekolah. Kepala sekolahmenentukan alokasi sumber dana dan memo-bilisasinya menjadi target-target pendidikan yangakan dicapai pada periode tertentu. Karena peranini, maka kepala sekolah menjadi critical factor bagikeberhasilan pelaksanaan kegiatan mengajar disekolah (Earley dan Weindling; 2004).

Dalam mengelola kurikulum sebagai programpendidikan yang harus dijabarkan dalam kegiatanbelajar, kepala sekolah mempunyai dua peran,yaitu sebagai manajer kurikulum dan manajerprogram. “It is classroom practice that has the mostdirect impact on student learning” demikiandinyakatan oleh Hopkins (2001). Implikasi daripernyatan ini yaitu bahwa pusat perhatian kepalasekolah, baik dalam fungsinya sebagai manajerprogram maupun manajer kurikulum dinamikayang terjadi pada ruang kelas. Apa yang terjadidalam kelas memang merupakan black box yanghanya diketahui oleh guru dan siswa. Namundemikan, apa yang terjadi di dalam kelas bukanmerupakan suatu kondisi di luar kendali kepalasekolah.

Kegiatan belajar mengajar yang terjadi dalamruang kelas melibatkan tiga faktor yaitu: guru,siswa, dan sarana pendidikan yang dimanfaatkanoleh guru dalam mengajar. Di antara tiga faktortersebut, faktor sarana yang berada dalam kendalipenuh kepala sekolah, dalam arti kepala sekolahdapat menentukan jumlah dan jenis sarana yangdiperlukan. Adapun faktor guru dan siswa meru-pakan dua faktor yang tidak dapat sepenuhnyadalam kendali kepala sekolah. Dimensi kecerdasandan motivasi tidak sepenuhnya dalam kendalikepala sekolah. Berkenaan dengan motivasi dankecerdasan guru dan siswa yang dapat dilakukanoleh kepala sekolah yaitu menciptakan kondisi

Page 52: jurnal dikbud tahun 2012

447

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

yang kondusif bagi terciptanya kegiatan belajar-mengajar di kelas yang efektif.

Penciptaan kondisi yang kondusif bagiterselengaranya kegiatan belajar dan mengajaryang efektif muncul dalam peran kepala sekolahsebagai manajer kurikulum. Sebagai manajerkurikulum, kepala sekolah memastikan empat hal.Pertama, terciptAnya kesempatan bagi guru untukmengartikulasikan isi kurikulum menjadi topik-topik bahasan yang kontekstual dan relevandengan tingkat daya pikir siswa dan lingkungansosial siswa. Kedua, terciptanya kondisi bagiperubahan dan pengembangan, baik pada gurumaupun siswa sebagai bagian dari proses kreatif.Ketiga, terciptanya kesempatan, terutama bagiguru, untuk mendapatkan masukan terhadapmetode belajar yang digunakan oleh guru dalammenciptakan kegiatan belajar mengajar yangefektif di kelas. Masukan tersebut berasal dariberbagai pihak termasuk dari siswa. Keempat,mendorong guru untuk mempunyai sensitivitasterhadap berbagai perubahan untuk dipertim-bangkan dan diadopsi dalam pengembanganmetode belajar dan cara pencapaian isi kurikulumkepada siswa (Duignan & Macpherson, 1992).

Dalam prakt iknya peran kepala sekolahsebagai manajer kurikulum dan manajer programberhimpit. Perbedaan yang ada hanya padatataran akademis. Dengan alasan itu, tulisan inimengidentif ikasi dua peran kepala sekolahsebagai program manajer. Pertama adalahkemampuan untuk menetapkan tujuan strategispendidikan pada tingkat sekolah. Kemampuan inimenjadi dasar dalam alokasi sumber dankompetensi guru yang diperlukan untuk dapatmerealisasikan misi sekolah. Tujuan strategis initentu saja tidak hanya merujuk pada pencapaianyang telah diperoleh oleh sekolah pada masa lalu,tetapi juga menyesuaikan dengan perkembangandi luar bidang pendidikan. Penentuan tujuanstrategis ini didasarkan satu argumentasi bahwahasil pendidikan tidak diarahkan pada pen-caipaian internal utility, tetatpi lebih dari itu, yaituexternal utili ty di mana kegunaan untukmendukung, misalnya, pertumbuhan ekonomi,demokratisasi, serta perkembangan i lmupengetahuan dan teknologi. Kedua, kemampuanuntuk mengidentifikasi learning needs siswa yangterdaftar pada sekolah yang dipimpinnya.

Pemahaman learning needs menentukan tingkatkebutuhan sarana dan gaya mengajar guru agarsetiap siswa dapat mengembangkan minat danbakatnya secara maksimal. Kemampuan untukmengidentif ikasi learning needs ini lebihberorientasi pada kondisi internal sekolahdaripada eksternal sekolah (Conger & Xin 2000).

Efektivitas peran kepala sekolah sebagaimanajer kurikulum dan manajer programmerupakan dua sisi dari satu mata uang. Keduasisi tersebut harus hadir secara bersama-samadalam proporsi yang setara. PengembanganKurikulum 2013 yang sedang dilaksanakan olehKementerian Pendidikan dan Kebudayaan padasaat ini memerlukan dukungan kepala sekolahdengan dua sisi kepemimpinan ini. Kedua sisikepemimpinan kepala sekolah ini merupakankepemimpinan edukatif, dengan elaborasi sebagaiberikut:

“……… the educative leader is a negotiator, ananalyst of educational situations, an evaluatorof the relative merits of a variety of oftenconflicting viewpoints, a confident decisionmaker, a teacher, and, most importantly, alearner. The leader brings all these together incurriculum development” (Walker, 1992).Sebagaimana diketengahkan di atas

efektivitas implementasi kurikulum merupakanhasil “rekayasa” kepemimpinan kepala sekolah,baik sebagai manajer kurikulum maupun manajerprogram. Pada pembahasan di atas juga di-ketengahkan bahwa apa yang terjadi di ruangkelas merupakan fenomena black box. Hanya gurudan siswa yang mengetahui apa yang sesung-guhnya terjadi di dalam ruang kelas ketikakegiatan belajar mengajar terjadi. Kepala sekolahtidak bisa secara langsung mengintervensiterhadap apa yang terjadi di dalam ruang kelas.Sebaliknya, peran kepemimpinan kepala sekolahmenciptakan kondisi yang memungkinan kegiatanbelajar mengajar di ruang kelas yang berlangsungsecara efektif dapat terwujud jika didukung olehpara guru yang kompeten.

Kompetensi guru merupakan faktor deter-minan agar apa yang terjadi di dalam ruang kelaskondusif bagi terjadinya kegiatan belajar-mengajar yang efektif. Kompetensi guru meru-pakan salah satu konsep yang menjelaskantentang karakteristik guru dalam mengelola

Page 53: jurnal dikbud tahun 2012

448

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

kegiatan belajar di kelas (Holland, 2001). Dalamkonteks manajemen kelas tulisan ini mengajukankonsep kepemimpinan pedagogis guru sebagairefleksi kompetensi untuk mendukung keber-langsungan kegiatan belajar-mengajar yangefektif di kelas. Pada tulisan ini kepemimpinanpedagogis merujuk pada kemampuan danketerampilan dalam tiga hal, yaitu artikulasi isikurikulum menjadi topik bahasan yang kom-prehensif dan kontekstual, komunsikasi konseptersebut menjadi suatu penjelasan yang ilustratifbagi siswa, dan evaluasi tingkat pemahamansiswa terhadap apa yang diajarkan.

Berbagai literatur (misal. Danielson, 2006;Quinn, at.al. 2010) tidak secara eksplisit menyebutkepemimpinan pedagogis, tetapi mereka me-nyebutnya kepemimpinan guru. Meskipundemikian, dalam menjelaskan tentang karak-teristik kepemimpinan guru tersebut terdapatmakna yang sama dengan kepemimpinanpedagogis yang dimaksud dalam tulisan ini. Dalampenjelasan yang dikemukakan mereka, kepe-mimpinan oleh guru mempunyai pengetahuan danketerampilan dalam mengendalikan kelas. Secaralebih eksplisit, Danielson (2006) menyebutkankarakterisitik kepemimpinan guru “It entailsmobilizing and energizing others with the goal ofimproving the school’s performance of its criticalresponsibilities related to teaching and learning”.Oleh karena itu, agar kepemimpinan guru dapatmewujudkan kegiatan belajar-mengajar yangefektif yaitu kemampuan untuk memanfaatkandan memobilisasi berbagai sumber belajar yangtersededia dan mendorong siswa untuk me-ningkatkan motivasi belajar dan memantau danmengevaluasi kemajuan belajar siswa.

Teknologi informasi telah merupakan bagiandari kehidupan praktis hampir setiap orang dariberbagai profesi, termasuk siswa. Teknologiinformasi, terutama pada sekolah-sekolah di kotabesar, telah menjadi bagian dari sarana kegiatanbelajar di kelas. Dengan teknologi informasikegiatan belajar dapat berlangsung secara lebihvisual, sehingga siswa dapat menangkap konsepyang dia pelajari, karena konsep tersebut dapatdivisualisasikan oleh teknologi informasi. Tidakhanya itu, teknologi informasi memungkinkan bagisiswa secara bersama-sama mempelajari suatukonsep, karena teknologi informasi dapat

menyajikan informasi pada tempat dan waktuyang bersamaan kepada lebih dari satupengguna (Amelung, 2007). Ke depan, peng-gunaan teknologi informasi secara lebih luasmenjadi sarana kegiatan belajar-mengajar dikelas, sehingga siswa yang berada di daerahpedesaan dan perkotaan mempunyai akses yangsama terdahap konsep yang mereka pelajari padat ingkat comprehensiveness yang sama juga.Penggunaan teknologi informasi bagi siswa TamanKanak-kanak di Hongkong memungkinkan parasiswa untuk menyimpan hasil kerjanya. Hasil kerjatersebut dapat dilihat lagi serta diperbaiki olehsiswa (Leung, 2003). Dengan penggunaanteknologi informasi bagi siswa Taman Kanak-kanaktidak saja belajar menjadi lebih menyenangkan,tetapi anak terdorong untuk melakukanperbaikan-perbaikan. Dalam melakukan penilaianguru tidak hanya memperhatikan apa yang telahdicapai oleh siswa, tetapi juga kemajuan yangdicapai oleh siswa.

Mengingat pent ingnya peran teknologiinformasi untuk mendukung kegiatan belajar dikelas, CERI (2009) mengajukan paling tidak empatsaran untuk mengadopsi teknologi informasidalam kegiatan belajar-mengajar. Saran tersebutdidasarkan pada hasil studi yang dilakukan dinegara-negara Nordic, Eropa yaitu Denmark,Finlandia, Iceland, dan Norwegia, serta Swedia.Keempat saran tersebut, yaitu: pertama,membuka kesadaran para guru tentang kebe-radaan teknologi informasi yang semakinpersuasif. Ekspos siswa terhadap informasiberkenaan dengan apa yang dipelajari di kelasakan semakin luas dan jumlah yang tidak terbatas.Kedua, sekolah perlu segera menyediakansumber-sumber belajar yang berbasis teknologiinformasi. Implikasi dari hal ini yaitu bahwa konsepperpustakaan sekolah akan berubah secara fisik,yang semula perpustakaan terdiri atas susunanrak buku, akan menjadi work-station yangmemungkinkan siswa melakukan eksplorasiinformasi dari berbagai sumber. Meskipundemikian, keberadaan buku teks tidak akan hilangsama sekali. Ketiga, perlu dibentuk mekanismeyang coherence antara sistem belajar-mengajardi kelas yang berbasis tekonologi informasi dengansistem evaluasi kemajuan belajar siswa yang jugamenggunakan teknologi informasi. Keempat,

Page 54: jurnal dikbud tahun 2012

449

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

konsekuensi dari ketiga hal tersebut, programpelatihan teknologi informasi kepada kepalasekolah dan guru menjadi kebutuhan mendesak.Dalam konteks Indonesia, pelatihan ini dapatdilakukan secara bertahap mulai dari sekolah-sekolah yang mempunyai akses internet, baik dikota besar, kota kabupaten/kota atau daerahpinggiran kota yang telah mempunyai aksesterhadap internet. Paling tidak, pelatihan dapatdiprioritaskan kepada sekolah yang sudahdilengkapi dengan aliran listrik, karena padasekolah ini siswa dapat melakukan eksposinformasi berkenaan dengan konsep-konsep yangdipelajar menggunaan komputer off-line.

Simpulan dan saranSimpulanPengembangan Kurikulum 2013 yang sedangdikembangkan oleh Kementerian Pendidikan danKebudayaan mempunyai misi utama untukmeningkatkan mutu pendidikan. Pengembanganini merupakan konsekuensi logis dari perubahanberbagai segi kehidupan, terutama ilmu penge-tahuan dan teknologi, serta ekonomi dan politik.Namun demikian, karena kurikulum merupakanbagian dari kebijakan publik pendidikan, selaluterdapat dua jenis tanggapan yaitu setuju dantidak setuju dengan ide pengembangankurikulum.

Konsekuensi lebih lanjut dengan statuskurikulum sebagai kebijakan publik pendidikanadalah bahwa dalam pelaksanaannya tidak akanmemuaskan semua pihak. Hal ini didasarkan padasuatu real ita bahwa masih adanya t ingkatperbedaan perkembangan pendidikan, baikantarprovinsi dan apalagi antar kabupaten/kota.

Namun demikian, Pengembangan Kurikulum2013 telah menjadi keputusan Pemerintah. KetikaPengembangan Kurikulum 2013 tersebut telahmenjadi keputusan Pemerintah, maka tantanganyang dihadapi oleh Kementerian Pendidikan danKebudayaan yaitu mencari strategi paling efektifdan efisien agar kurikulum tersebut dapat segeradilaksanakan. Keputusan yang telah diambil padabulan Juni 2013 kurikulum tersebut akanditerapkan.

Di antara berbagai tantangan, kompetensiguru menjadi tantangan yang paling menonjol.Guru diasumsikan tidak akan siap melaksanakan

Kurikulum 2013 jika dilaksanakan pada bulan Juni2013. Dengan kata lain, Pemerintah dianggaptergesa-gesa dalam menerapkan Kurikulum 2013.Di lain pihak, tanggapan yang pesimis menya-takan bahwa pemerintah tergesa-gesa meng-ambil keputusan untuk mengubah kurikulum,karena pelaksanaan kurikulum yang sekarangberlaku saja belum sepenuhnya dipahami.

Dengan memperhatikan berbagai pro dankontra berkenaan dengan kemungkinan dite-rapkannya Kurikulum 2013, tulisan ini mengajukansuatu proposisi yang menyatakan bahwakeberhasilan pelaksanaan kurikulum tergantungpada faktor manajemen. Dalam konteks inimanajemen yang dimaksud yaitu manajemenpada tingkat sekolah dan kelas. Inti dari faktormanajemen tersebut adalah kepemimpinan.

Kepemimpinan pada tingkat sekolah meliputidua peran, yaitu kepala sekolah sebagai manajerkurikulum dan manajer program. Meskipunkeduanya merupakan dua konsep yang berbeda,tetapi dalam praktiknya kepala sekolah tidak bisamemisahkan satu dengan lainnya. Keduanyabahkan bisa berlangsung secara bersamaan atausaling melengkapi. Keduanya mendorong ke arahterwujudnya kegiatan belajar-mengajar yangefektif di kelas. Kriteria ini dapat terwujud melaluipembinaan dan bimbingan kepada guru sertapenentuan alokasi sumber daya yang tersedia disekolah.

Adanya fenomena black box dalam kegiatanbelajar-mengajar di kelas, maka kepemimpinankepala sekolah dalam mewujudkan kegiatanbelajar mengajar yang efektif di kelas dapat ter-selenggara ketika kepemimpinan guru menjadifaktor pendukung (complementary factor). Dalamtulisan ini kepemimpinan guru disebut dengankepemimpinan pedagogis. Karakteristik darikepemimpinan pedagogis meliputi tiga hal, yaitukompetensi menjabarkan isi kurikulum, ke-mampuan mengkomunikasikan isi kurikulumkepada siswa, dan kemampuan untuk melakukanpenilaian.

Teknologi informasi telah menjadi saranapendidikan yang semakin pervasif. Hal ini tentusaja mempunyai konsekuensi positif terhadapkegiatan belajar mengajar di sekolah. Siswasemakin mudah untuk melakukan ekplorasiinformasi untuk memperdalam pemahamannya

Page 55: jurnal dikbud tahun 2012

450

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Peranguru memang masih menjadi faktor utama, tetapitidak lagi menjadi sumber belajar satu-satunya.Konsekuensinya guru juga dituntut untuk segerameningkatkan kemampuannya dalam pengu-asaan teknologi informasi, jika t idak ingintertinggal dari siswanya. Hal ini dapat dilakukansecara bertahap.

SaranSaran yang diajukan pada tulisan ini diarahkanpada upaya menjamin efektivitas implementasiPengembangan Kurikulum 2013. Berkenaandengan hal tersebut, saran secara spesifikmemusatkan pada sudut pandang Kurikulum 2013sebagai entitas kebijakan publik bidang pen-didikan. Dikatakan demikian, karena ketikaKurikulum 2013 diimplementasikan akan meli-batkan guru dan siswa seluruh Indonesia. Orangtua sebagai salah satu pemangku kepentingan(stake holder) pendidikan sangat berkepentinganterhadap kemanjuran Kurikulum 2013 sebagaiupaya untuk meningkatkan prestasi akademissiswa.

Saran yang kedua yaitu pada tingkat strategidengan mempertimbangkan faktor manajemenpada tingkat sekolah dan kelas. Faktor utamayang akan diketengahkan yakni kepemimpinankepala sekolah dan guru.

Oleh karena Pengembangan Kurikulum 2013telah menjadi keputusan Pemerintah, maka posisipengembangan ini telah berada pada tahap pointof no return. Saran yang diajukan yaitu: uji publiksecara ekstensif menjadi suatu keharusansebelum Kurikulum 2013 ditetapkan sebagaikebijakan efektif. Tujuan utama uji publik yaitumenggali pendapat dari berbagai pihak danmengakomodasikan pendapat tersebut dalamfinalisasi konsep. Namun, dalam mengako-modasikan pendapat tersebut, terdapat berbagaikelompok yang antara lain terdiri atas guru, kepalasekolah, pengamat pendidikan, orang tua siswa,anggota organisasi profesi, dan anggotamasyarakat pada umumnya. Dari berbagai ke-lompok tersebut, tulisan ini mengajukan pendapatguru dan kepala sekolah perlu mendapatkanprioritas utama untuk diakomodasikan dalampenyempurnaan dokumen. Pertimbangan utamakarena guru dan kepala sekolah merupakan

constituent Kurikulum 2013. Mereka merupakanpihak yang secara langsung menjadi target utamapelaksanaan hasil Pengembangan Kurikulum 2013dan bertanggung jawab terhadap keberhasilpeserta didik. Pendapat dari orang tua siswa patutmendapatkan perhatian karena mereka jugamenjadi constituent dari orang hasil pendidikananaknya.

Pendapat dari kelompok lain merupakanrefleksi stake holders. Untuk mengakomodasikanpendapat mereka diharapkan tidak secarasignifikan mengubah masukan dari consituent.Pendapat stakeholder melengkapi pendapat guru,kepala sekolah, dan orang tua dan bukan sebagaisubsitusi pendapat mereka.

Pada tingkat implementasi, sebagaimanadikemukakan pada diskusi, faktor manajemensekolah dan kelas menjadi determinan untukmenjamin efektivitas implementasi Kurikulum 2013.Inti dari manajemen pada kedua tingkat tersebutyaitu kepemimpinan. Oleh karena itu, agarimplementasi Kuriklum 2013 dapat didukungdengan kepemimpinan yang efektif di dua tingkattersebut, disarankan bahwa implementasi Kuri-kulum 2013 membawa dampak positif terhadappeningkatan profesionalisme kepala sekolah danguru. Profesionalisme yang dimaksudkan yaitusistem pengangkatan kepala sekolah dan gurumenuju jabatan profesional agar lebih terukur dantransparan. Dengan dua kriteria tersebut, makamekanisme pengangkatan kepala sekolah danguru pada jabatan profesional dapat meminimalirunsur politik, terutama politik pemerintah daerah.

Bagi kepala sekolah dan guru yang telahmendapatkan jabatan fungsional, maka sesuaidengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah,perlu untuk diberikan diskresi dalam mengelolasekolah bagi kepala sekolah dan kelas bagi gurusecara independen. Ketika diskresi sudah di-berikan kepada kepala sekolah dan guru makamereka dapat dituntut untuk menetapkanbenchmark yang akan dicapai pada periodetertentu. Dengan pencapaian benchmark tidakhanya mendorong kepala sekolah dan guru lebihtransparan dalam menjalankan tugas yang telahmenjadi tanggungjawabnya. Akuntabilitasmenjadi kriteria pertanggungjawaban pelak-sanaan tugasnya.

Page 56: jurnal dikbud tahun 2012

451

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

Ketika teknologi informasi telah bagian yangtidak terpisahkan dalam kegiatan belajarmengajar, maka penggunaan teknologi informasipada sebagian besar sekolah di Indonesia hanyamasalah waktu. Implikasi dari situasi ini baikkepala sekolah maupun guru tidak bisa lagi imundari penggunaan teknologi informasi; atau pilihanlain mereka merelakan dirinya tertinggal olehkemajuan zaman yang semakin berorientasi padapenggunaan teknologi informasi. Penguasaan danpenguasaan teknologi bagi kepala sekolah danguru merupakan suatu keharusan. Bagi kepalasekolah penggunaan teknologi informasi diarah-kan pada penyusunan program yang didasarkanpada data yang akurat dan tepat waktu, sehinggaimplementasi Kurikulum 2013 dapat berlangsungsecara tepat waktu.

Bagi guru, pemanfaatan teknologi informasidiarahkan pada visualisasi konsep abstrak men-

jadi lebih visual sehingga siswa, terutama untuksiswa SD dan SMP pada kelas-kelas awal, dapatmenangkap makna dari suatu konsep yangdijelaskan oleh guru. Dengan teknologi informasiguru diharapkan dapat melakukan penilaian yanglebih obyektif dalam arti mempertimbangkanproses daripada hasil akhir dari suatu pekerjaan.Dalam skenario Pengembangan Kurikulum 2013,pendekatan kegiatan belajar mengajar SD akanmenggunakan pendekatan tematik. Berdasarkanpendekatan ini siswa tidak akan secara spesifikbelajar konsep, tetapi tema bahasan. Denganteknologi informasi ada dua informasi yangdiharapkan dapat diperoleh oleh guru tentangsiswa yaitu proses akumulasi pengetahuan yangdiperloleh oleh siswa, dan pemahaman kompre-hensif siswa terhadap apa yang dipelajari.

Pustaka Acuan

Anonim. 29 November 2012. Plans for New Curriculum Have Led To Confusion, Lack of Confidence.Jakarta Globe. Hal. 10.

Amelung, C. 2007. Using Social Context and E-Learner Identity as a Framework for an E-Learning.International Journal on ELearning; 6, 4; Hal. 501-517.

Boediono, 27 Agustus, 2012. Pendidikan Kunci Pembangunan. Kompas. Hal 5.

Centre for Educational Research and Innovations (CERI). 2009. Beyond Textbooks: Digital learningresources as systemic innovation in the Nordic countries. OECD: CERI.

Checchi, D. 2005. The Economics of Education: Human Capital, Family Background and Inequality.Cambridge: Cambridge University Press

Coleman, P. 2010. Management Briefs: Management and Leadership Theory Made Simple.Bookboon.com. Coleman Patterson & Ventus publishing Apps.

Conger, J.A. dan Xin, K. 2000. Executive Education in the 21st century. Journal of Management. 24, 1.Hal.73-101.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional, Jakarta.

Danielson, C. 2006. Teacher Leadership that Strengthens Professional Practice. Alexandria, VA: ASCDpublications

Dewey, J. 2004. Democracy and Education. Mineola, New York: Dover Publication. Inc.

Drucker, P.F. 1999. Management Challenges for the 21st Century. New York: Harper Collins PublishersInc.

Page 57: jurnal dikbud tahun 2012

452

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Duignan, P.A. & Macpherson, R.J.S. 1992. Educational Leadership for Curriculum Development: ASynthesis and a Comentary. Dalam Educative Leadership: A Practical Theory for NewAdministrators and Managers. London: The Falmer Press. Hal. 83-84.

Earley, P. & Weindling, D. P. 2004. Understanding School Leadership. London: Chapman Publishing

Flap, H. & Boxman, E. 2001. Getting Started: The Influence of Social Capital on the Start of theOccupational Career. Dalam Lin, N; Cook; K; dan Burt, R.S. (Eds). Social capital; theory andresearch. New York: Aldine de Gruyter.

Halpin, D. 2006. Understanding Curriculum as Utopian Text. Dalam Moore, A.(eds) Schooling, Societyand Curriculum, New York: Routledge.

Hausman, D.M. & McPherson, M.S. 2006. Economic Analysis, Moral Philosophy, and Public Policy (SecondEdition). Cambridge: Cambridge University Press

Holland, R. 2001. How to Build a Better Teacher. Policy Review; 106. Hal. 37-47.

Hopkins, D. 2001. School Improvement for Real. New York: Routledge Falmer.

Hutchin, R.M. 1999. Pendidikan Liberal Sejati. Dalam Freire, P; Illich, I, dan Fromm, E. (eds,terjemahan). Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Leung, W. M. 2003. The Shift from a Traditional to a Digital Classroom: Hongkong Kindergarteens.Childhood Education; 80, 1. Hal 12-17.

Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1977. (Cetakan ke 2). Karya Ki Hadjar Dewantar. Bagianpertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

McInstosh, S 2008. Education and Employment in OECD Countries. UNESCO, International Institute forEducational Planning.

Petters, M.A., 2010. Creativity, Openess, and The Global Knowledge Economy: The Advent of User-generated Cultures. Economic, Management and Financial Markets. Vol. 5 (3). Hal. 15-36.

Powell, W. W & Snellman. K 2004. The Knowledge Economy. Annual Review of So­ciology. 30. Hal. 199-220.

Pultorak. E. G. (eds). The Purposes, Practices, and Professionalism of Teacher Reflectivity: Insights forTwenty-First-Century Teachers and Students. Lanham: Rowman & Littlefield Education

Reid, J. 2005. Negotiating Education. Dalam Boomer, G et.al. (2005). Negotiating the Curriculum:Educating for the 21st Century. London: The Falmer Press.

Rohman, S. 3 Agustus, 2012. Kurikulum Berbasis Kekerasan. Kompas. Hal. 6.

Rose, C. & Nicholl, M.J. 1997. Accelerated Learning for the 21st century. New York: Delacorte Press.

Schultz, T.W. 1977. Investment in Human Capital. Dalam Karabel, J. dan Halsey A.H. Power andIdelology in Education. New York: Oxford University Press.

Scott, D. 2006. Six Curriculum Discourses: Contestation and Edification. Dalam Moore, A. (eds) Schooling,Society and Curriculum New York: Routledge.

Suwignyo, A. 26 November 2012. Prospek Kurikulum Baru. Kompas, hal. 7.

Walker. J.C. 1992. A Philosophy of Leadership in Curriculum Development: A Pragmatic and HolisticApproach. Dalam Educative Leadership: A Practical theory for new administrators and managers.London: The Falmer Press.

Page 58: jurnal dikbud tahun 2012

453

Bambang Indriyanto, Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan

Wisnu. A. 22 Mei 2009. Character Bulding: The Missing Link in Indonesia’s Public School Curriculum,The Jakarta Post. Hal. 19.

Wisnu, A. 7 Juni 2012. Pendidikan Sains Masih Sebatas Teori. Kompas. Hal. 7.

__________. 1977. (Cetakan ke 2). Karya Ki Hadjar Dewantar. Bagian pertama: Pendidikan.Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

__________. 29 November 2012. menyajikan judul artikel yang cenderung menyampaikan pesanpesimisme, sabagai berikut Plans for New Curriculum Have Led to Confusion, Lak of Confidence.Jakarta Globe. Hal, 10.

Page 59: jurnal dikbud tahun 2012

427

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di DaerahRawan Bencana

PENGEMBANGAN PAKET DAN STRATEGI PEMBELAJARAN IPA MELALUIPERMAINAN TRADISIONAL UNTUK SISWA KELAS 3 SD

DI DAERAH RAWAN BENCANAStudi Kasus di SD Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit, Sukabumi

(DEVELOPMENT OF SCIENCE LEARNING PACKAGE AND STRATEGY THROUGHTRADITIONAL GAME FOR THIRD GRADE STUDENTS IN DISASTER PRONE AREA

Case Study at Puncak Manis Primary School, Kadudampit District, Sukabumi)

Sri Tatminingsih dan SudarwoUniversitas Terbuka, Jl. Raya Pondok Cabe, Tangerang Selatan

e-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 15/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 20/12/2012

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permainan tradisional, karakteristik,dan mengembangkan ujicoba paket dan strategi pembelajaran kelas 3 SD di wilayah rawanbencana di Propinsi Jawa Barat. Sampel penelitian terdiri atas siswa dan guru kelas 3 di SDNPuncak Manis dan Pemuka masyarakat di Kecamatan Kedungpi, Kabupaten Sukabumi JawaBarat. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkanbahwa hampir semua siswa tidak mengenal permainan tradisional di wilayahnya, namun terdapatbeberapa permainan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Kadudampit,di antaranya Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda dan Egrang. Karakterisitik siswa SDdi daerah rawan bencana umumnya pasif dan kurang kreatif, bergantung pada guru. Paketpembelajaran yang sesuai siswa kelas 3 SD di wilayah rawan bencana berupa bahan ajarcetak, buku bergambar, dan video. Hasil ujicoba menunjukkan adanya peningkatan pemahamansiswa terhadap materi pembelajaran IPA untuk materi banjir sebesar 0,58 dan untuk materigempa bumi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paket pembelajaran yangberupa booklet dan buku siswa tentang materi mitigasi dan sanitasi terkait dengan bencanabanjir dan gempa bumi yang disampaikan melalui permainan tradisional membantu siswadalam memahami materi tersebut.

Kata kunci: paket dan strategi pembelajaran IPA, permainan tradisional, daerah rawanbencana, dan sekolah dasar

Abstract: This research aims to identify traditional games and the characteristics of thirdgrade elementary school students, as well as to develop packages and learning strategies thatare appropriate for third grade elementary school students in the disaster-prone area in WestJava Province. This study employed research and development as the research design by usingthird grade students and teachers in elementary school Puncak Manis as well as the communityof district Kadudampit, Sukabumi in West Java as the samples. Interviews and observationwere used as data collection techniques. The results showed that almost all students are notfamiliar with the games, but there are some traditional games that are still known by thecommunity of district Kadudampit such as Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda andEgrang. The characteristics of elementary school students in the area of disaster-prone aregenerally passive, dependent on teachers and less creative. Learning packages in a form ofprinted or picture books and videos that are appropriate for the third grade elementary schoolstudents in disaster-prone areas were delivered through traditional games as the strategy. Thetry out results showed an increase in students’ understanding of science teaching materialsespecially for the topics of “flood” that is 0.58 and for “earthquake” that is 0.76. This suggeststhat the use of the learning package in the form of booklets and books students on material

Page 60: jurnal dikbud tahun 2012

428

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

related to disaster mitigation and sanitation floods and earthquakes which are delivered throughtraditional games (like Oray-orayan, Ciripit and Cing Pacici-cici Putri) assisted students inunderstanding the material about mitigation and sanitation related floods and earthquakes.

Keywords: packages and learning strategies for science, traditional games, disaster-pronearea, dan elementary school

kebutuhan mahluk hidup, penggolongan makhlukhidup, benda dan sifatnya dan kesehatanlingkungan, gerak benda dan energi, penerapanenergi, permukaan bumi, cuaca dan sumber dayaalam dan lingkungannya (Rositawaty danMuharam, 2008). Dalam materi sumber daya alamdan lingkungan disinggung sedikit tentangbencana alam namun hanya jenis-jenisnya saja.Padahal, bencana alam merupakan materi yangsifatnya nyata dan kemungkinan terjadi di negarakita sangat besar.

Indonesia merupakan negara yang rentanterhadap bencana alam, sehingga berada diurutan atas ranking bencana dunia. Bencana yangsering terjadi di Negara Indonesia di antaranyaadalah gempa bumi, letusan gunung berapi,tsunami, badai, banjir, kekeringan, tanah longsor,gelombang panas dan penyakit epidemik.Minimnya infrastruktur ditambah kepadatanberlebihan dalam suatu area dengan risiko tinggiseperti dataran rawan banjir, muara sungai, lerengterjal dan tanah reklamasi menjadi penyebabtertinggi terjadinya bencana. Selain itu, tingkatkesadaran penduduk terhadap kondisi lingkungansekitar juga mendukung sebagai penyebabterjadinya bencana alam. Indonesia sebagaiNegara yang rentan dengan bencana alam, setiapwarganegaranya seharusnya memiliki penge-tahuan yang memadai tentang bencana alam ini,termasuk anak-anak.

Untuk wilayah Jawa Barat, pada saat terjadigempa besar yang terjadi pada tanggal 2September 2009 dengan pusat sumber gempa diTasikmalaya, berdasarkan data Satkorlak JawaBarat, tercatat jumlah sekolah yang rusaksebanyak 1.314 sekolah. Dari jumlah tersebut, 32sekolah di antaranya hancur, 674 sekolah lainnyarusak berat, dan 608 bangunan sekolah rusakringan dan sedang (Kompas, 12 September 2009(dalam Rahayu, dkk. 2010a). Dengan kondisi yangdemikian, maka tidak dapat dihindari bahwaterpaksa kegiatan belajar menjadi terhambat.

PendahuluanPada saat ini, teknologi canggih sudah merambahhampir seluruh wilayah tanah air seperti televisi,komputer dan internet mulai masuk ke rumah-rumah dan semakin menyempitnya lahan untukarena bermain anak membuat kegiatan bermainanak-anak semakin berkurang. Anak lebih sukaduduk diam di depan televisi untuk menontonataupun bermain game atau permainan di dalamrumah lainnya yang bersifat individu. Hal inibanyak terjadi di daerah perkotaan. Sekarang inijarang sekali kita melihat anak-anak di daerahperkotaan yang bermain–main bersama denganteman–temannya, berlari-lari ataupun bersenang-senang berkelompok. Mereka umumnya sudahterlalu sibuk dengan kegiatannya masing-masingseperti sekolah, kursus piano, musik, les bahasaInggris, les matematika, tennis, berenangataupun kegiatan lainnya yang membuat anaktidak sempat menikmati indahnya dunia anak–anak melalui bermain dengan teman sebayanya.(Tatminingsih, 2009).

Pesatnya perkembangan teknologi informasi(TI) ini secara langsung maupun tidak langsungmenjadi salah satu penyebab tergusurnyaberbagai permainan tradisional yang dimiliki olehbangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan denganbanyaknya anak-anak yang lebih banyak, bahkancenderung lebih menyukai permainan berbasis TI.Permainan tradisional pun kini sudah ditinggalkan,bahkan hampir dilupakan. Kenyataan ini dapatdibuktikan dengan jawaban anak-anak saatditanyakan apakah mereka mengetahui anekapermainan tradisional. Banyak anak yang tidaktahu beragam permainan tradisional yang duludiwariskan turun temurun.

Pembelajaran IPA merupakan salah satumata pelajaran yang sudah mulai dikenalkan sejakanak duduk di kelas 3 sekolah dasar (SD). Matapelajaran ini diberikan dengan bobot 2 jam perminggu. Materi yang diajarkan meliputi beberapahal di antaranya adalah tentang ciri-ciri dan

Page 61: jurnal dikbud tahun 2012

429

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di DaerahRawan Bencana

Tidak menutup kemungkinan sekolah ataukegiatan pembelajaran terpaksa berhentisementara (Rahayu, dkk. 2010a).

Berdasarkan latar belakang tersebut,terdapat beberapa masalah yang dapat di-identifikasi terkait dengan pembelajaran di daerahrawan bencana, permainan tradisional danstrategi pembelajaran pada anak-anak SD yangsekolah atau wilayahnya terkena bencana alam.Permasalahan yang muncul dirumuskan sebagaiberikut.

Permasalahan yang dirumuskan dalampenelitian ini, yaitu: 1) Apa saja permainantradisional yang terdapat di Propinsi Jawa Barat?;2) Bagaimana karakteristik siswa SD kelas 3 diwilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat?;3) Bagaimana paket pembelajaran IPA yangsesuai untuk siswa SD kelas 3 di wilayah rawanbencana di Propinsi Jawa Barat?; 4) Bagaimanastrategi pembelajaran berbasis permainantradisional bagi siswa SD kelas 3 di wilayah rawanbencana di Propinsi Jawa Barat?; dan 5) Bagai-mana hasil ujicoba strategi pembelajaran berbasispermainan tradisional terhadap siswa SD kelas 3di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat?

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk:1) mengidentifikasi permainan trasisional yangterdapat di Propinsi Jawa Barat; 2) meng-identifikasi karakteristik siswa SD kelas 3 diwilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat;3) mengidentifikasi paket pembelajaran yangsesuai untuk siswa SD kelas 3 di wilayah rawanbencana di Propinsi Jawa Barat; 4) mengem-bangkan strategi pembelajaran berbasispermainan tradisional bagi siswa SD kelas 3 diwilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat;dan 5) mengujicoba strategi pembelajaranberbasis permainan tradisional bagi siswa SD kelas3 di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat.Artikel ilmiah ini merupakan bagian dari laporanpenelitian Strategis Nasional yang dilakukan olehUcu Rahayu, Sri Tatminingsih, MestikaSekarwinahyu dan Amalia Sapriati dengan judulPengembangan Paket Pembelajaran untuk SiswaSekolah Dasar di Daerah Rawan Bencana tahun2010.

Kajian LiteraturBencana Alam (Gempa Bumi dan Banjir)Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadidalam kehidupan masyarakat. Tergantung padacakupannya, bencana ini bisa mengubah polakehidupan dari kondisi kehidupan masyarakatyang normal menjadi rusak, menghilangkan hartabenda dan jiwa manusia, merusak struktur sosialmasyarakat, serta menimbulkan lonjakankebutuhan dasar (Yayasan IDEP, 2007a). Bencanaalam di antaranya adalah gempa bumi dan banjir.

Gempa bumi terjadi karena pergesekanantara lempeng-lempeng tektonik yang beradajauh di bawah permukaan bumi. Pergesekan inimengeluarkan energi yang luar biasa danmenimbulkan goncangan di permukaan. Indonesiasangat rawan gempa karena berada dekatdengan lempeng-lempeng yang aktif dan salingberhubungan satu sama lain, serta karena adanyagunung-gunung berapi yang juga aktif. Gempabumi dapat menyebabkan kerusakan saranaseperti bangunan dan jalan-jalan yang hebat danluas. Gempa juga dapat diikuti bencana alamberbahaya seperti tanah longsor dan tsunami.Korban jiwa biasanya terjadi karena tertimpabagian-bagian bangunan yang roboh atau objekberat yang lain seperti pohon dan tiang listrik.Orang banyak yang terperangkap dalambangunan yang runtuh. Gempa bumi sering diikutioleh gempa susulan dalam beberapa jam atau hariatau bahkan minggu setelah yang pertama,walaupun sering tidak sekuat yang pertama.Bahaya gempa susulan adalah penghancuranbangunan yang telah goyah akibat gempapertama (Yayasan IDEP, 2007a).

Banjir merupakan bencana alam yang palingsering terjadi dan paling banyak merugikan, baikdalam segi kemanusiaan maupun ekonomi. Sekitar90% dari kejadian bencana alam (tidak termasukbencana kekeringan), berhubungan denganbanjir. Banjir dapat disebabkan antara lain olehhujan dalam jangka waktu yang panjang atauhujan deras selama berhari-hari, erosi tanah atauburuknya penanganan sampah yang menyebab-kan air dari sungai dan saluran-saluran meluapdan membanjiri daerah sekitarnya, pembangunandan perkembangan tempat permukiman, di manatanah kosong diubah menjadi jalan atau tempatparkir yang menyebabkan hilangnya daya serap

Page 62: jurnal dikbud tahun 2012

430

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

air hujan, bendungan dan saluran air yang rusak,tertutupnya tanah oleh semen, paving atau aspalsehingga sama sekali tidak menyerap air (YayasanIDEP, 2007b).

Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002)secara umum penyebab terjadinya banjir dapatdiklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir yangdisebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjiryang diakibatkan oleh tindakan manusia. Hal-halyang termasuk sebab-sebab alami di antaranyacurah hujan, pengaruh fisiografi, erosi dan sedi-mentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainaseyang tidak memadai, pengaruh air pasang.Sementara itu, yang termasuk sebab-sebab banjirkarena tindakan manusia adalah perubahanDaerah Aliran Sungai (DAS), kawasan kumuh,sampah, drainase lahan, bendung dan bangunanair, kerusakan bangunan pengendali banjir, danperencanaan sistem pengendalian banjir yangtidak tepat.

Di daerah yang gersang di dunia, tanahnyamempunyai daya serapan air yang buruk, ataujumlah curah hujan melebihi kemampuan tanahuntuk menyerap air. Ketika hujan turun, yangkadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba yangdiakibatkan terisinya saluran air kering denganair. Banjir semacam ini disebut banjir bandang.Banjir tidak dapat sepenuhnya dihindari, namunmasyarakat dapat mengurangi kemungkinanterjadinya banjir dan mengurangi dampaknyadengan melakukan tindakan-tindakan pence-gahan atau mitigasi.

Mitigasi yaitu mengurangi kerugian yang akanditimbulkan oleh bencana. Usaha mitigasi adalahmeningkatkan ketahanan dan kesiapsiagaanmasyarakat dalam menghadapi bencana alamsehingga resiko bencana alam dapat dikurangi.Kearifan lokal sangat membantu kesuksesanmit igasi (Ridwan, 2008). Kegiatan mitigasibencana hendaknya merupakan kegiatan yangbersifat rutin dan berkelanjutan.

Permainan TradisionalIndonesia sebagai negara yang terdiri dari ribuanpulau, budaya dan berbagai suku bangsa yangberbeda antara satu dengan lainnya memilikibanyak sekali permainan tradisional ataupermainan rakyat. Kekayaan ini dimungkinkankarena setiap daerah biasanya memiliki ciri dan

bentuk permainannya sendiri yang berbedadengan daerah lainnya. Walaupun mungkin sajaada beberapa permainan tradisional suatu daerahmempunyai kemiripan dengan permainan daerahyang lainnya. Misalnya Sonda (Betawi), Engklek(Jawa Tengah), Ultop (Sumatra Utara) dan DorPletok (Jawa Tengah).

Permainan tradisional/rakyat merupakansalah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia,maka tugas kitalah untuk melestarikannya.Mengingat saat ini berbagai macam permainantradisional tampaknya banyak yang mulai tergusurdengan hadirnya permainan-permainan imporyang lebih modern serta semakin menyempitnyalahan untuk bermain ditambah lagi denganenggannya orangtua jika melihat anaknya bermaindengan sesuatu yang kotor dan tampak ‘jorok’.

Permainan tradisonal merupakan simbolisasidari pengetahuan yang turun temurun danmempunyai bermacam-macam fungsi atau pesandi baliknya, di mana pada prinsipnya permainananak tetap merupakan permainan anak. Dengandemikian bentuk atau wujudnya tetap menye-nangkan dan menggembirakan anak karenatujuannya sebagai media permainan. Aktivitaspermainan yang dapat mengembangkan aspek-aspek psikologis anak dapat dijadikan saranabelajar sebagai persiapan menuju dunia orangdewasa (Tatminingsih, 2009).

Karakteristik Siswa Sekolah DasarMasa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enamtahun hingga kira-kira usia sebelas tahun ataudua belas tahun. Karakteristik utama siswasekolah dasar adalah mereka menampilkanperbedaan-perbedaan individual dalam banyaksegi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalamintelegensi, kemampuan dalam kognitif danbahasa, perkembangan kepribadian dan per-kembangan fisik anak.

Menurut Piaget, ada empat aspek dalamperkembangan kognitif seseorang, yaitu 1) ke-matangan, sebagai hasil perkembangan susunansyaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbalbalik antara orgnisme dengan dunianya; 3) inte-raksi sosial, yaitu pengaruh-pengaruh yangdiperoleh dalam hubungannya dengan lingkungansocial, dan 4) ekullibrasi, yaitu adanya kemam-

Page 63: jurnal dikbud tahun 2012

431

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di DaerahRawan Bencana

puan atau sistem mengatur dalam diri organismeagar dia selalu mempau mempertahankankeseimbangan dan penyesuaian diri terhadaplingkungannya (dalam Utomo, 2011).

Piaget (dalam Utomo, 2011) mengiden-tifikasikan tahapan perkembangan intelektualyang dilalui anak, yaitu: a) tahap sensorik motorusia 0-2 tahun; b) tahap operasional usia 2-6tahun; c) tahap operasional kongkrit usia 7-11atau 12 tahun; d) tahap operasional formal usia11 atau 12 tahun ke atas. Berdasarkan haltersebut, siswa sekolah dasar berada pada tahapoperasional kongkrit, pada tahap ini anakmengembangkan pemikiran logis, masih sangatterikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anakmampu berfikir logis, tetapi masih terbatas padaobjek-objek kongkrit, dan mampu melakukankonservasi

Menurut Darmodjo (dalam Rahayu, dkk.2010a) anak usia sekolah dasar adalah anak yangsedang mengalami pertumbuhan baik per-tumbuhan intelektual, emosional maupunpertumbuhan badaniyah, di mana kecepatanpertumbuhan anak pada masing-masing aspektersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagaivariasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspektersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkanadanya perbedaan individual pada anak-anaksekolah dasar walaupun mereka dalam usia yangsama. Dengan karakteristik siswa tersebut, gurudituntut untuk dapat mengemas perencanaan danpengalaman belajar yang akan diberikan kepadasiswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yangada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajaritidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak.Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatanuntuk pro aktif dan mendapatkan pengalamanlangsung baik secara individual maupun dalamkelompok.

Strategi PembelajaranPendekatan pembelajaran dapat diartikansebagai titik tolak atau sudut pandang kitaterhadap proses pembelajaran, yang merujukpada pandangan tentang terjadinya suatu prosesyang sifatnya masih sangat umum, di dalamnyamewadahi, menginsiprasi, menguatkan, danmelatari metode pembelajaran dengan cakupan

teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya,pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan,yaitu: 1) pendekatan pembelajaran yangberorientasi atau berpusat pada siswa (studentcentered approach) dan 2) pendekatan pem-belajaran yang berorientasi atau berpusat padaguru (teacher centered approach) (Samsyudin, 2003dalam Rahayu, dkk.2010a). Dari pendekatanpembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnyaditurunkan ke dalam strategi pembelajaran.Newman dan Logan (dalam Rahayu, 2010a)merumuskan: 1) Menetapkan spesifikasi dankualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahanprofil peri laku dan pribadi peserta didik;2) Mempertimbangkan dan memilih sistempendekatan pembelajaran yang dipandang palingefektif; 3) Mempertimbangkan dan menetapkanlangkah-langkah atau prosedur, metode danteknik pembelajaran; dan 4) Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilanatau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.

Sementara itu, Kemp (dalam Senjaya, 2008)mengemukakan bahwa strategi pembelajaranadalah suatu kegiatan pembelajaran yang harusdikerjakan guru dan siswa agar tujuan pem-belajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran David(dalam Senjaya, 2008) menyebutkan bahwadalam strategi pembelajaran terkandung maknaperencanaan. Artinya, bahwa strategi padadasarnya masih bersifat konseptual tentangkeputusan-keputusan yang akan diambil dalamsuatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat daristrateginya, pembelajaran dapat dikelompokkanke dalam dua bagian pula, yaitu: 1) exposition-discovery learning dan 2) group-individual learning(Rowntree dalam Senjaya, 2008). Ditinjau daricara penyajian dan cara pengolahannya, strategipembelajaran dapat dibedakan antara strategipembelajaran induktif dan strategi pembelajarandeduktif.

Metodologi PenelitianDesain penelitian yang digunakan termasukPenelitian dan Pengembangan (R&D). Menurut DeVilliers (dalam Rahayu, dkk. 2010a) penelitian inimemfokuskan pada: 1) pengembangan cara-carapraktis dan inovatif untuk memecahkanpermasalahan nyata dan 2) pengajuan prinsip-

Page 64: jurnal dikbud tahun 2012

432

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

prinsip rancangan umum untuk menginformasikankeputusan di masa yang akan datang. Dalam halini, peneliti mencoba mengembangkan cara-carapraktis dan inovatif dalam memecahkan masalahyang terjadi dalam kegiatan belajar pada anak-anak SD di daerah rawan bencana. Penelitiandilakukan dalam periode waktu dari April 2010sampai dengan Desember 2010. Penelitiandilakukan di SD Puncak Manis, Desa Puncak Manis,Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumidengan siswa dan guru kelas 3 SD Puncak Manis,Desa Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit,Sukabumi Jawa Barat sebagai responden. Populasipenelitian ini mencakup siswa dan guru kelas 3dan kelas 5 di wilayah Jawa Barat. Sampelpenelitian terdiri atas siswa dan guru SD kelas 3dan kelas 5 di Cirebon (SDN Kebon Baru 4) yangmewakili wilayah rawan bencana tsunami danbanjir, lalu di Sukabumi (SDN Puncak Manis danSDN Cibunar 2) yang mewakili wilayah rawangunung meletus dan tanah longsor serta di

karakteristik siswa, dan bahan kepustakaanlainnya; 3) Kuesioner, untuk mengetahui kondisisebelum dan setelah dilaksanakannya uji coba.Kuesioner diberikan kepada guru dan siswa kelas3 yang menjadi sampel dalam penelitian; 4) Pre-tes dan postes, dilakukan untuk mengetahui adaatau tidak adanya peningkatan kemampuanbelajar siswa; dan 5) Observasi, dilakukan untukmengetahui pelaksanaan pembelajaran denganmenggunakan permainan tradisional. TahapanPenelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Teknik Pengolahan DataData mengenai penggunaan buku siswa danpetunjuk guru yang terkumpul dianalisis secarakualitatif prosentase dengan analisis deskriptif,dan data hasil belajar siswa yang berupa pretesdan postes dianalisis secara kuantitatif denganmenggunakan t-tes untuk mengetahui ada tidakadanya peningkatan pemahaman siswa terhadapmateri yang disampaikan (Rahayu, dkk. 2010a).

Pengalengan (SDN Pengalengan 4 dan 8) yangmewakili wilayah rawan longsor, gempa bumi danbanjir.

Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data dilakukan denganberbagai macam teknik, yaitu: 1) Wawancara,dilakukan untuk mendapatkan data tentangkerakterist ik belajar siswa dan permainantradisional anak yang dilakukan terhadap guru,siswa dan pemuka adat setempat; 2) Studidokumentasi, dilakukan untuk mengumpulkandata tentang permainan tradisional anak,

Hasil Penelitian dan PembahasanIdentifikasi Permainan TradisionalMengenai permainan tradisional, melalui salahsatu pertanyaan dalam kuesioner terhadap siswa,menunjukkan bahwa sebagian besar siswamenjawab tidak tahu dan tidak mengenal budayadi daerahnya. Sedangkan berdasarkan hasilwawancara dengan pemuka masyarakat, 4 orangguru SD di Kecamatan Kadudampit (SD Cibunar 2dan SD Puncak Manis), diidentifikasikan bahwakaulinan barudak (permainan anak) tradisional diKecamatan Kadudampit, Kabupaten SukabumiJawa Barat, yaitu Bancakan, Perepet Jengkol, Oray-

Gambar 1. Tahapan Penelitian (Rahayu, dkk.2010a)

Studi Pendahuluan:

Identifikasi kearifan lokal dan karakteristik siswa.

Uji Coba Penerapan Paket dan strategi Pembelajaran untuk siswa SD di wilayah rawan bencana Berbasis permainan tradisional.

Pengembangan Paket dan strategi Pembelajaran untuk siswa SD di wilayah rawan bencana Berbasis permainan tradisional.

Analisis dan Interpretasi Data.

Penyusunan Laporan

Uji Coba penerapan strategi pembelajaran dengan menggunakan permainan tradisional.

Page 65: jurnal dikbud tahun 2012

433

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di DaerahRawan Bencana

orayan, Loncat Tinggi, Sonda, Egrang, Cing Ciripitdan Pacici Putri. Setelah dianalisis lebih lanjut makapermainan tradisional yang mungkin untukditerapkan yaitu Oray-orayan, Cing Ciripit dan PaciciPutri.

Dari permainan yang teridentifikasi tersebut,dipilih permainan Oray-orayan, Cing Ciripit danPacici Putri. Ketiga permainan ini dipilih, karena

para guru yang akan menerapkan permainan inimenyatakan bahwa mereka mengenal dan tahutentang memainkan permainan ini. Dengandemikian, para guru akan dapat mengajarkanpermainan ini pada anak-anak didiknya.

Ketiga permainan tersebut dijabarkan padaTabel 1.

Tabel 1. Jenis Permainan Tradisional

Oray-orayan Pacici-cici Putri Cing Ciripit Cara bermain (asli) Permainan ini seperti permainan ular naga, anak yang berada paling akhir kemudian ditangkap dan ditanya mau pilih bulan atau bintang (2 pilihan yang lain juga bisa) kalau anak yang ditangkap tersebut pilih bintang misalnya, maka anak tersebut harus ikut di belakang orang yang punya pilihan bintang.

Permainan ini melibatkan 3 anak atau lebih. Satu orang berperan sebagai pemimpin. Anak-anak yang lain menelungkupkan kedua telapak tangannya, dan anak yang jadi pemimpin menekan punggung tangan anak buahnya memakai telunjuk sambil “kawih” ketika di akhir lagu “ kalau mau kembang apa” anak yang tangannya terakhir ditunjuk harus menjawab… setelah menjawab tangan yang ditunjuk harus disimpan di pundaknya (kalau tangan kanan disimpan di pundak kiri, kalau tangan kiri disimpan di pundak kanan)

Permainan ini melibatkan 3 anak atau lebih. Satu orang menelentangkan telapak tangan kirinya, anak-anak yang lain menekan telapak tangan anak tersebut dengan telunjuk mereka sambil menyanyika lagu. Ketika di akhir lagu : “mawa wayang jrekjreknong” telapak tangan tersebut mencoba untuk menangkap telunjuk yang menempel di tangannya

Lagu pengiring (Bahasa Sunda) Oray-orayan luar leor mapay sawah Entong ka sawah parena keur sedeng beukah Oray-orayan luar leor mapay sawah, Entong ka sawah parena keur sedeng beukah, Mending ge teuleum, Di leuwi loba nu mandi, Saha nu mandi, Anu mandina pandeuri………. Kok…kok…kok….

“Pacici-cici putri térélék kembang celempung ada nona ada tuan kalau mau kembang apa........?" "Hayang kembang naon?" cék Inah nanya ka Titi bari nyekel kana leungeun katuhu Titi. "Hayang kembang sebé........!" témbal Titi. "Heeh........kabogohna ka anak Mang Lebé ... !"

Cingciripit tulang bajing kacapit Kacapit ku bulu pare Bulu pare seuseukeutna Jol Pa Dalang Mawa wayang, jrekjreknong!

Page 66: jurnal dikbud tahun 2012

434

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Identifikasi Karateristik dan Gaya BelajarSiswa SD Kelas 3Untuk mengidentifikasi karakteristik dan gayabelajar siswa SD kelas 3, digunakan kuesioneryang sifatntya terbuka dan tertutup. Terbukaarinya pertanyaan yang diajukan dapat dijawabsiswa secara bebas sesuai dengan pema-hamannya sendiri. Tartutup artinya pertanyaandalam kuesioner dapat dijawab siswa denganmemilih salah satu atau lebih jawaban yang sudahdisediakan dalam kuesioner tersebut. Kuesionertentang karakteristik dan gaya belajar siswadiberikan kepada siswa kelas 3 SD.

Untuk mengisi kuesioner tersebut, siswadibantu oleh guru. Caranya, yaitu dengan mem-bacakan tiap pertanyaan lalu guru menjelaskan

maksud dari pertanyaan tersebut. Pada saatmenjawab, guru dan peneliti tidak melakukanintervensi sama sekali terhadap jawaban yangdituliskan siswa.

Berdasarkan kuesioner yang menggalipendapat siswa tentang karakteristik dan gayabelajar mereka, yang disebar kepada 28 siswakelas 3 SD Puncak Manis Kabupaten Sukabumidiperoleh hasil sebagai berikut. Sebanyak 20%siswa dapat menerima pembelajaran dengancepat dan 10% menerima pembelajaran denganlambat dan 70% menyatakan antara cepat danlambat.

Ketika ditanyakan apakah mereka pernahmeminta bantuan guru untuk menjelasakanmateri pembelajaran yang disampaikan, sebagian

Sumber: Rahayu, dkk. 2010b)

Cara bermain (dalam penerapan pembelajaran) Sebelum permainan ini dimulai, tentukan dua anak yang akan menjadi penjaga. Permainan dilakukan seperti permainan aslinya. Anak yang berada di paling belakang akan ditangkap oleh dua penjaga. Anak yang tertangkap tersebut akan diberikan pertanyaan sesuai dengan kartu yang dipilihnya yang dipegang oleh salah satu dari anak yang menjadi penjaga. Bila anak yang tertangkap menjawab benar, maka dia akan masuk kelompok “Pemenang”, bila anak tersebut menjawab salah maka dia akan masuk kelompok “Kalah”. Permainan ini berakhir jika semua anak sudah tertangkap dan masuk menjadi anggota kelompok. Bagi anak-anak yang masuk kelompok “kalah” maka ia akan mendapat hukuman, yaitu menirukan salah satu gerakan penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa bumi dan banjir.

Sebelum permainan ini dimulai, tentukan satu anak yang akan menjadi pemimpin permainan. Di akhir lagu, anak yang tangannya ditunjuk harus menjawab pertanyaan dari kartu pertanyaan yang dipilih. Bila anak menjawab benar, maka dia akan masuk kelompok “Pemenang”, bila anak tersebut menjawab salah maka dia akan masuk kelompok “Kalah”. Permainan ini berakhir jika semua anak sudah masuk menjadi anggota kelompok. Bagi anak-anak yang masuk kelompok “kalah” maka ia akan mendapat hukuman, yaitu menirukan salah satu gerakan penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa bumi dan banjir.

Sebelum permainan ini dimulai, tentukan satu anak yang akan menjadi pemimpin permainan. Di akhir lagu, pemimpin permainan akan menangkap telunjuk salah satu peserta permainan, dan anak tersebut harus menjawab pertanyaan dari kartu pertanyaan yang dipilih. Bila anak menjawab benar, maka dia akan masuk kelompok “Pemenang”. Bila anak tersebut menjawab salah, maka dia akan masuk kelompok “Kalah”. Permainan ini berakhir jika semua anak sudah masuk menjadi anggota kelompok. Bagi anak-anak yang masuk kelompok “kalah” maka ia akan mendapat hukuman, yaitu menirukan salah satu gerakan penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa bumi dan banjir.

Setelah kegiatan permainan selesai, guru akan mengulas kembali jawaban-jawaban siswa dalam kegiatan permainan tersebut.

Page 67: jurnal dikbud tahun 2012

435

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di DaerahRawan Bencana

besar 70% menyatakan tidak pernah bertanyaatau meminta bantuan guru. Alasan siswabertanya atau meminta bantuan kepada guruadalah 48% siswa menginginkan pengulanganpenjelasan, 26% siswa mengharapkan klarifikasidari yang dijelaskan guru, dan 20% meng-harapkan diberikan contoh atau pendalaman ataupengayaan.

Data tentang lamanya siswa dapat ber-konsentrasi pada pelajaran menunjukan bahwa50% siswa menyatakan dapat berkonsentrasisampai dengan pelajaran selesai. Selama gurumenjelaskan pelajaran di kelas 100% siswamemperhatikan penjelasan guru dan mencatat.Selain itu, 90% siswa menyatakan bahwa orangtuanya membiasakan mereka untuk belajar padajam tertentu. Tindakan orang tua apabila anaktidak belajar setiap hari: 30% menasehati danmenemani 30% memarahi dengan kata-kata, 20%mendiamkan saja, dan sisinya (20%) tidakmenjawab. Waktu yang disukai anak untukbelajar: 70% pada malam hari. Alasannya adalahkarena pada malam hari waktunya lebih panjang,tidak panas dan bisa belajar sambil bertanya padaorang tua/orang lain. Lama belajar pada waktuyang disukai adalah 30% siswa belajar selama30 menit - 1 jam, 50% siswa belajar selama 1-2jam dan 30% siswa belajar lebih dari 3 jam. Hasiltersebut menunjukkan bahwa siswa SD di daerahtersebut memiliki karakteristik antara cepat danlambat dan dapat berkonsetrasi dalam menerimapelajaran yang disampaikan. Adapun untukbelajar di rumah, mereka hanya akan belajar jikaada PR atau tugas dari sekolah. Mereka juga lebihnyaman belajar pada malam hari antara 30 menithingga 2 jam. Orang tua tidak memaksa anaknyauntuk belajar, namun hanya mengarahkan saja.Selain itu, bila anak mereka tidak belajar orangtua akan menasehati dan menemani hinggamemarahi anak mereka.

Identifikasi Paket Pembelajaran yang Sesuaiuntuk Siswa SD Kelas 3Identifikasi paket pembelajaran yang sesuai untuksiswa SD kelas 3 didapat dari hasil kuesioner yangdiberikan kepada siswa SD kelas 3 dengan sampelyang sama. 26% siswa menyatakan bahwa gurusering menggunakan alat peraga, 38% siswamenyatakan bahawa guru jarang menggunakan

alat peraga, dan 36% siswa menyatakan bahawaguru tidak pernah menggunakan alat peraga.92% siswa menyatakan bahwa mereka mem-perhatikan penjelasan yang disampaikan gurupada saat guru menggunakan alat peraga dan8% lainnya tidak memperhatikannya.

Media yang paling disukai untuk digunakandalam pembelajaran oleh 26% siswa adalahgambar, 21% siswa menyukai buku, 17% siswamenyukai benda sebenarnya, 13% siswa menyu-kai film, 8% siswa menyukai benda tiruan (model),8% siswa menyukai benda yang mengandungunsur seni, dan 7% siswa menyukai media audio/radio. Berdasarkan data tersebut, maka paketpembelajaran yang dapat digunakan dalampenelitian ini antara lain berupa bahan ajar cetak(buku yang dilengkapi gambar), audio (kaset ataucompact disk) dan video

Pengembangan Paket dan StrategiPembelajaranDalam penelitian ini, dikembangkan paketpembelajaran adalah materi yang terkait denganmateri pelajaran IPA SD yang dikaitkan denganbencana alam. Paket pembelajaran dalampenelitian yang dikembangkan dijabarkan sebagaiberikut: 1) Buku petunjuk guru yang di dalamnyamemuat tentang Rancangan PelaksanaanPembelajaran (strategi) dengan model PAKEM; 2)Buku siswa yang memuat materi dan petunjukkerja bagi siswa yang dikaitkan dengan permainananak dengan lagu pengiring berbahasa Sunda;3) Booklet seri bencana yang terdiri atas 5 booklet.yaitu Bencana Gempa Bumi, Bencana Banjir,Bencana Longsor, Bencana Gunung Meletus, danBencana Tsunami. Booklet ini dirancang bergambardan berwarna, serta menggunakan bahasa yangkomunikatif. Dalam artikel ini booklet yangdigunakan hanya booklet yang diterapkan di SDNPuncak Manis, yaitu booklet tentang BencanaGempa Bumi, Bencana Banjir; 4) Program videoyang menggambarkan/mencontohkan permainananak yang diintegrasikan ke dalam pembelajaranyang aktif kreatif dan menyenangkan terkaitdengan topik bencana; 5) Perangkat kartu soaluntuk materi bencana: gempa bumi dan banjir.Pertanyaan yang ada pada kartu soal meliputimateri bencana itu sendiri, mitigasi dan sanitasi.Kartu soal memuat pertanyaan dan jawaban.

Page 68: jurnal dikbud tahun 2012

436

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Kartu soal dibuat dengan menggunakan kertaswarna agar menarik bagi siswa (Rahayu, dkk.2010a).

Selain Paket Pembelajaran, dikembangkanpula strategi dalam membelajarkan materitersebut dengan mengintegrasikan permainantradisional anak. Strategi pembelajaran digam-barkan pada Gambar 2.

memahami materi. Untuk materi mitigasi dansanitasi terkait bencana banjir, penguasaan danpemahaman siswa kelas 3 SDN Puncak Manismengalami peningkatan sebesar 0,58%. Hal inimenunjukkan bahwa isi materi booklet mitigasi dansanitasi terkait bencana banjir sesuai untuk siswakelas 3 SD dan penggunaan permainan tradisional(Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici-cici Putri) dapatmembantu siswa memahami materi tersebut.

Uji Coba Penerapan Pembelajaran MelaluiKegiatan Permainan Tradisional bagi SiswaKelas 3 SDHasil Pretest dan posttest

Nilai Materi Gempa Bumi

Materi Banjir Keterangan

Pretes Postes Pretes Postes

Rata-Rata 3,15 3,95 2,89 3,47

Peningkatan dalam%

0,79 0.58

Dari data tersebut tampak bahwa untukmateri mitigasi dan sanitasi terkait bencana gempabumi, rata-rata pemahaman siswa kelas 3 SDNPuncak Manis Sukabumi mengalami peningkatansebesar 0,79%. Hal ini menunjukkan bahwapenggunaan paket pembelajaran yang berupabooklet dan buku siswa tentang materi mitigasidan sanitasi terkait bencana gempa bumi yangdisampaikan melalui kegiatan permainantradisional seperti Oray-orayan, Cing Ciripit danPacici-cici Putri, dapat lebih membatu siswa

Hasil kuesioner siswa sebelum ujicobapenerapan pembelajaran melalui permainantradisionalSebelum strategi pembelajaran diterapkan, siswadiberikan kuesioner dengan pertanyaan terbuka.Berikut adalah rangkuman jawaban siswa.Sebagian besar siswa menyatakan menyukaipelajaran IPA, dengan alasan pelajaran IPAsangat menarik, menyenangkan, asyik dan tidakmembosankan. Hanya 10% siswa yang tidakmenyukai pelajaran IPA dengan alasan pelajaran

Gambar 2. Alur Strategi Pembelajaran

Pretest Kuesioner

siswa awal

Menjelaskan Tujuan Topik Manfaat

Mengondisikan kelas

Membagi dan belajar booklet Nonton DVD

Bermain: Oray-

orayan Pacici Putri Cing caripit

Mengulas kembali materi Melengkapi

buku siswa

Posttest Kuesioner

siswa akhir

Menegaskan cara bermain

Membagi siswa menjadi 3 kelompok

Mengisi buku siswa

Page 69: jurnal dikbud tahun 2012

437

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di DaerahRawan Bencana

IPA sulit dipelajari. Sebagian besar siswa (95%)juga menyatakan kesulitan dalam mempelajariIPA, karena mata pelajaran tersebut memang sulitdan tidak mudah dimengerti.

Hasil kuesioner siswa dan guru setelahujicoba penerapan paket pembelajaranmelalui permainan tradisionalSetelah selesai penerapan pembelajaran melaluipermainan tradisional, siswa diberikan kuesioneruntuk mengetahui pendapat mereka terhadappelaksanaan pembelajaran melalui permainantradisional. Berikut adalah rangkuman jawabansiswa. Sebanyak 26% siswa menyatakan tidakmenyukai pelajaran IPA melalui permainan,karena menurut mereka, belajar IPA seharusnyatidak sambil bermain karena akan mengganggukonsentrasi dan 74% siswa yang menyatakansenang atau suka jika pelajaran IPA dilakukanmelalui permainan dengan bernyanyi dan bermainkarena akan semakin menyenangkan.

Selain itu, sebanyak 65% siswa menyatakanmereka tidak mengalami kesulitan dalammempelajari pelajaran IPA dengan alasan adabuku bergambar yang membantu mereka belajar,dilakukan dengan permainan sehingga perasaanmereka senang dan gembira, serta belajarnya didalam dan di luar kelas. Ketika ditanyakantentang perasaan mereka saat pelaksanaanpembelajaran melalui permainan, sebagian besarsiswa (85%) menyatakan sangat menyukai danmenyenanginya karena pelajaran IPA menjaditidak sulit, tidak menegangkan, menyenangkan,gembira dan bisa lebih bebas bermain. Ada 15%siswa yang tetap menyatakan bosan, alasanmereka adalah dengan belajar IPA melaluipermainan tradisional, menjadi tidak serius, tidakbisa konsentrasi dan kegiatannya menjadimembosankan dan membuat mereka berpikirterus.

Hasil ini menunjukkan bahwa denganmenggunakan permainan tradisional dengan carayang menyenangkan dalam pembelajaran IPA diSD akan membuat sebagian besar siswamenyukai pelajaran IPA ini. Selain itu, penggunaanpaket berupa booklet berupa buku bergambarakan membuat siswa semakin tertarik untukmempelajari dan memahami materi pelajaran IPA.

Menurut pendapat guru, penerapan pem-belajaran IPA dengan fokus materi Banjir danGempa bumi untuk siswa kelas 3 SD adalah sangatbaik dan sangat membantu guru dalam menyam-paikan materi pembelajaran. Strategi yangdikembangkan juga sangat mudah untukditerapkan dan tidak membutuhkan pelatihanyang panjang. Namun, untuk menerapkannyadiperlukan perangkat multi media, seperti videoplayer agar keseluruhan materi dan paketpembelajaran yang disediakan dapat diman-faatkan lebih optimal. Namun, dengan bahan ajarcetak yang tersedia (booklet, buku siswa dan bukupetunjuk guru serta kartu soal) materi tersebutdapat tersampaikan dengan baik. Apalagiditerapkannya melalui permainan tradisional yangmembuat kegiatan pembelajaran menjadi menarikdan menyenangkan. Dengan cara ini juga, anak-anak dapat lebih kreatif dan semangat mengikutipembelajaran.

Kondisi SekolahPuncak Manis terletak di Desa Suka ManisKecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi.Lokasi sekolah ini terletak di puncak bukit di kakiGunung Gede. Kelas-kelas terdapat dalam dualokasi yang berbeda. Kelas 1, 2, 3, 6 terletak dibagian atas dan terlihat bagus dengan bangunantembok yang permanen. Meskipun di beberapatempat terdapat retakan yang menurut guru dansiswa adalah akibat gempa yang terjadi padqatanggal 2 September 2009 (yang berpusat diTasikmalaya). Dua kelas lainnya terletak di bagianbawah. Antara kelas bagian atas dan kelas bagianbawah di hubungkan dengan anak tangga yangterbuat dari adukan semen. Kemiringan letakantara kelas di atas dan di bawah adalah sekitar90 0 dan berjarak kurang lebih 50 meter. Kondisiruang kelas yang terdapat pada bagian bawahmerupakan dua ruangan yang terpisah. Salahsatunya berukuran kurang lebih 6X6 meter danyang satunya lagi berukuran 4 X 5 meter. Dindingdi kedua ruangan itu cukup memprihatinkan.Bagian temboknya sudah berlubang dan ditutupipapan triplek. Di antara kelas yang terletak diatas dan kelas yang di bawah, pada bagiantengah terdapat kamar mandi yang terdiri dari 2kamar mandi. Meski kondisinya kurang bagus,namun kamar mandi ini tampak bersih dengan

Page 70: jurnal dikbud tahun 2012

438

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

sumber air yang jernih dan mengalir lancar. SD NPuncak Manis memiliki 177 murid yang terdiri darikelas 1 hingga kelas 6 masing-masing yangtergabung dalam satu rombongan belajar.

Simpulan dan SaranSimpulanBerdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukandengan populasi siswa SD kelas 3 SDN PuncakManis Kecamatan Kadudampit Sukabumi,diperoleh hasil yang disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, permainan tradisional anak-anak(Kaulinan Barudak) termasuk budaya yang hampirdilupakan oleh sebagian masyarakat Jawa Barat,khususnya anak-anak sebagai generasi penerusbangsa. Hampir seluruh siswa kelas 3 di SDNPuncak Manis t idak mengetahui permainantradisional yang ada di daerahnya. Kedua,karakteristik siswa di SDN Puncak Manis Keca-matan Kadudampit-Sukabumi yang dapat ter-identifikasi adalah bahwa sebagian besar siswamerasakan trauma terhadap bencana, khususnyagempa bumi dan banjir. Selain itu, siswa di daerahsampel memiliki ketergantungan yang cukup tinggidengan guru, kurang kreatif, kurang memilikikeberanian untuk bertanya dan menjawabpertanyaan. Selain itu, kemampuan membacanyamasih belum mahir dan kemampuan memahamimateri masih cukup terbatas sehingga materi yangakan disampaikan harus jelas dan rinci sertamenarik. Ketiga, berdasarkan hasil identifikasikarakteristik siswa dan permainan tradisional diwilayah sampel, maka paket pembelajaran yangpaling sesuai untuk siswa kelas 3 SDN PuncakManis adalah paket dengan multi media, yaituberupa bahan ajar cetak yang juga dilengkapidengan media video. Paket pembelajaran yangdikembangkan meliputi materi pembelajaran IPAdengan fokus pada bencana gempa bumi danbanjir yang dirancang dalam bentuk buku siswadan buku petunjuk guru serta booklet bergambaryang diintegrasikan dengan permainan trasisionalanak (Oray-orayan, Cing Ciripit dan Pacici Putri) yangdikemas dalam bentuk video sehingga menarikdan menyenangkan. Keempat, hasil penerapanstrategi pembelajaran berbasis permainantradisional ini cukup memuaskan. Hal ini dapatdilihat dari hasil kuseioner untuk siswa dan gurudiperoleh hasil bahwa paket pembelajaran inidapat meningkatkan keaktifan, kreativitas dan

hasil belajar siswa. Menurut guru, strategi inimudah diterapkan, hanya kendalanya adalahtidak adanya perangkat untuk memutar videoyang terdapat dalam paket pembelajaran ini.Kelima, hasil uji coba penerapan pembelajaranmelalui permainan tradisional ini menunjukkanadanya peningkatan pemahaman siswa kelas 3SDN Puncak manis terhadap materi yang di-sampaikan, yaitu untuk materi gempa bumi terjadipeningkatan sebesar 0,79 dan untuk materi banjirterjadi peningkatan sebesar 0,58 dengan rentangnilai 0-10. Skor tertinggi yang diperoleh siswaadalah 8 (dari sepuluh soal yang diberikan)

SaranBerdasarkan simpulan yang telah diuraikantersebut, rekomendasi yang dapat disampaikanadalah sebagai berikut.

Pertama, sebaiknya kearifan lokal diinte-grasikan dalam kegiatan pembelajaran, khusus-nya permainan trasisional anak. Selain untukmelestarikan kearifan masing-masing daerah jugauntuk mengenalkan dan menanamkan padasiswa tentang budaya lokal yang dimilikidaerahnya masing-masing. Pengintegraian ini jugadapat digunakan untuk membuat pelajaranmenjadi lebih bervariasi, menarik dan menye-nangkan. Kedua, karakteristik siswa di tiap wilayahberbeda-beda. Sebaiknya dalam menyampaikanpelajaran, mengembangkan suatu model ataupaket pembelajaran pengembang perlu mem-perhatikan karakteristik yang dimiliki oleh siswayang akan menggunakannya. Ketiga, sebaiknyadikembangkan paket pembelajaran yang bisamengoptimalkan belajar anak yang meliputibahan ajar cetak, video dan audio sehinggakemampuan belajar siswa yang berupa auditif,visual dan audio visual dan reading, writing dapatterakomodasi dengan baik. Keempat, meskipunstrategi pembelajaran ini dapat meningkatkankreativitas, keaktifan dan hasil belajar siswanamun peran guru/pendamping tetap tidak dapatdigantikan dengan media. Kelima, Strategipembelajaran ini masih jauh dari sempurna,semoga ada pihak lain yang merasa berkepen-tingan yang akan melakukan penelitian danpengembangan lanjutan sehingga hasilnyasemakin sempurna dan apat diterapkan padasiswa SD kelas 3.

Page 71: jurnal dikbud tahun 2012

439

Sri Tatminingsih dan Sudarwo, Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD di DaerahRawan Bencana

Pustaka Acuan

Kodoatie Robert J. dan Sugiyanto. 2002. Banjir Berberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannyadalam Perspektif Lingkungan, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Rahayu. U, Sekarwinahyu, M., Tatminingsih, S. 2010a. Pengembangan Paket Pembelajaran untuk SiswaSekolah Dasar di Daerah Rawan Bencana, Laporan Penelitian Strategis Nasional, Jakarta:Kemendiknas.

Rahayu. U, Sekarwinahyu, M., Tatminingsih, S. 2010b. Paket Pembelajaran di Daerah Rawan Bencana(Petunjuk Guru). Bagian dari Laporan Penelitian Strategis Nasional, Jakarta: Kemendiknas.

Ridwan N. A. 2008. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, Diambil 9 Pebruari 2009 dari http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf

Rositawaty dan Muharam, Anis. 2008. Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam 3 (untuk SekolahDasar/Madrasah Ibtidaiyah KelasIII). Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.

Senjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:Kencana Prenada Media Group.

Tatminingsih, Sri. 2009. Membisikan Pesan-Permainan Sederhana Berguna Luar Biasa: ModifikasiPermainan Tradisional Sebagai Sarana Pengembangan Kemampuan Anak. Jurnal OnlineJendela. Jakarta: Pusat Studi Psikologi dan Pendidikan Anak.

Utomo, Pristiadi. 2011. Ilmuwan Muda, Piaget dan Teorinya. Diunduh pada 15 Desember, 2011 pkl15.33. http://ilmuwanmuda.wordpress.com/piaget-dan-teorinya.

Yayasan IDEP. 2007a. Gempa Bumi! Cerita Tentang Peran Masyarakat Desa Saat Menghadapi BencanaGempa. Bali: Yayasan IDEP.

Yayasan IDEP. 2007b. Banjir! Cerita tentang Peran Masyarakat Saat Terjadi Banjir. Bali: Yayasan IDEP.

Page 72: jurnal dikbud tahun 2012

412

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH SMABERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SOLO RAYA

(DEVELOPMENT HISTORY OF SMA-BASED LEARNING MODELIN SOLO RAYA CHARACTER EDUCATION)

Leo Agung S.Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P.IPS FKIP-UNS

Jl.Ir. Sutami No.36 A, Kentingan, Surakartae-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 20/12/2012

Abstrak: Penelitian eksploratif ini bertujuan untuk: 1) mengetahui tujuan, materi, metode,media, dan evaluasi pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA); 2) mengidentifikasifaktor-faktor pendukung dan penghambat pembelajaran Sejarah di SMA; 3) mengeksploitasipemahaman guru-guru Sejarah di SMA terhadap model-model pembelajaran Sejarah; dan 4)menyusun model Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter. Subjek penelitian adalahguru-guru Sejarah SMA Solo Raya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi,wawancara, analisis dokumen, angket dan Focus Group Discussion. Metode analisis datamenggunakan analisis kualitatif model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa: 1) tujuanpembelajaran Sejarah menanamkan semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air; materisesuai dengan Standar Isi; metode ceramah bervariasi, media power point, film dan LiquidCrystal Display, sedangkan evaluasinya masih banyak pada aspek kognitif; 2) Faktor pendukungpembelajaran Sejarah, yaitu adanya model-model pembelajaran inovatif, faktor penghambatnyabuku BSE yang minim, dan adanya diskriminatif mata pelajaran; 3) sebagian besar guru-guruSMA telah memahami model-model pembelajaran; dan 4) tersusunnya model Kritis, Kreatif,Berantai dan Berkarakter (KKBB).

Kata kunci: pembelajaran Sejarah, guru Sejarah, Sekolah Menengah Atas, dan pendidikankarakter

Abstract: This exploratory study aims to: 1) determine objectives, materials, methods, mediaand evaluation of history teaching in senior secondary schools; 2) identify factors that supportand inhibit history teaching in senior secondary schools; 3) exploit the understanding of historyteachers of senior secondary schools on history teaching models; and 4) establish a model forcharacter education based-history learning. Research subjects are history teachers of seniorsecondary schools in Solo Raya. Data were collected using observation, interviews, documentanalysis, questionnaire and Focus Group Discussion techniques, and analyzed using the methodof qualitative interactive model. The results showed that: 1) purpose of history teaching inculcatethe spirit of nationalism, love of nation and homeland; materials in accordance with the ContentStandards; lecture methods varies, power point media, film and Liquid Crystal Display, whilethe evaluation is still tend to focus on cognitive aspects; 2) supporting factor of history teachingis the development of innovative learning models, while the inhibiting factors are the lacknumber of BSE book and discrimination on the subjects; 3) majority of history teachers ofsenior secondary schools have understood the learning models, and 4) completion of the Critical,Creative, Chain and Character model (KKBB).

Keywords: history teaching, the history teacher, senior secondary schools, and charactereducation

Page 73: jurnal dikbud tahun 2012

413

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

PendahuluanUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwapendidikan nasional berfungsi mengembangkankemampuan dan memberikan watak sertaperadaban bangsa yang bermartabat dalamrangka mencerdaskan kehidupan bangsa, ber-tujuan untuk mengembangkan potensi pesertadidik agar menjadi manusia yang beriman,bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, ber-akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,mandiri, dan menjadi warga negara yangdemokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3, UUNomor 20/2003).

Rumusan tujuan pendidikan tersebut sangatideal dan komprehensif. Hal ini dimaksudkan untukmemberikan suasana kebatinan dan semangatserta memberi motivasi bagi setiap komponenmanusia yang terkait untuk terus berusahamencapai cita-cita yang ideal. Dalam pelak-sanaannya pendidikan sebagai proses pembinaanbangsa, masih sangat memprihatinkan. Per-kembangan kehidupan masyarakat masih ditandaidengan berbagai ketimpangan moral, akhlak,masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan jatidiri bangsa. Inilah problem-problem yang kinibanyak mengemuka di Indonesia. Hal inimenunjukkan bahwa pendidikan kita belummampu mengembangkan manusia danmasyarakat Indonesia sebagaimana yangdiharapkan (Rokhman, Nurhadi, dan Muhsinatun,2006).

Hal ini tidak sesuai dengan makna danmaksud pembelajaran Sejarah. Mata pelajaranSejarah memiliki arti strategis dalam pemben-tukan watak dan peradaban bangsa yangbermartabat serta dalam pembentukan manusiaIndonesia yang memiliki rasa kebangsaan dancinta tanah air. Menurut Permendiknas Nomor 22Tahun 2006 materi Sejarah: 1) Mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan,patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantangmenyerah yang mendasari proses pembentukanwatak dan kepribadian peserta didik; 2) Memuatkhasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa,termasuk peradaban Bangsa Indonesia. Materitersebut merupakan bahan pendidikan yangmendasar bagi proses pembentukan danpenciptaan peradaban Bangsa Indonesia di masa

depan; 3) Menanamkan kesadaran persatuan danpersaudaraan serta solidaritas untuk menjadiperekat bangsa dalam menghadapi ancamandisintegrasi bangsa; 4) Sarat dengan ajaran moraldan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisismultidimensi yang dihadapi dalam kehidupansehari-hari; dan 5) Berguna untuk menanamkandan mengembangkan sikap bertanggung jawabdalam memelihara keseimbangan dan kelestarianlingkungan hidup.

Merujuk pendapat Kartodirdjo (1988) bahwadalam rangka pembangunan bangsa, pengajaranSejarah tidak semata-mata berfungsi untukmemberikan pengetahuan Sejarah, sebagaikumpulan informasi fakta Sejarah tetapi jugabertujuan menyadarkan peserta didik ataumembangkitkan kesadaran Sejarahnya. Sebab,seperti yang tertuang dalam Peraturam MenteriPendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006tentang Standar Isi, pelajaran Sejarah ataupengetahuan masa lampau tersebut mengandungnilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untukmelatih kecerdasan, membentuk sikap, watak,dan kepribadian peserta didik. Untuk itu, nilai-nilaiSejarah harus dapat tercermin dalam pola perilakunyata peserta didik. Dengan melihat pola perilakuyang tampak, dapat mengetahui kondisi kejiwaanberada pada tingkat penghayatan pada maknadan hakikat Sejarah pada masa kini dan masamendatang. Dengan kata lain, pembelajaranSejarah memiliki peranan penting dalampembentukan karakter peserta didik.

Berkaitan dengan pendidikan karakter, telahdilakukan beberapa penelitian, antara lain olehGhufron (2010) menyatakan bahwa salah satumasalah krusial Bangsa Indonesia, terutama yangberkaitan dengan penyiapan SDM siap ber-kompetitif di era global adalah krisis nilai-nilaikarakter bangsa. Oleh karena itu, perlu adanyaintegrasi nilai-ni lai karakter bangsa dalamkegiatan pembelajaran untuk semua matapelajaran di sekolah.

Penelitian Wardhani (2010) menyatakanbahwa upaya mewujudkan peradaban bangsamelalui pendidikan karakter tidak pernah terlepasdari lingkungan pendidikan baik di dalam keluarga,sekolah, dan masyarakat. Guru memiliki tanggungjawab besar dalam menghasilkan generasi yangberkarakter, berbudaya, dan bermoral. Untuk

Page 74: jurnal dikbud tahun 2012

414

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

mewujudkan manusia Indonesia yang berkarakterkuat, perlu kiranya diterapkan konsep pendidikanKi Hajar Dewantara dengan sistem among, tutwurihandayani, dan tringa (ngerti, ngroso, nglakoni).

Penelitian Syukur (2010) menyatakan bahwapada tahun 2010 Kementerian PendidikanNasional RI menetapkan pembangunan karakterbangsa menjadi program pendidikan nasionaluntuk menyelamatkan Bangsa Indonesia dariketerpurukan akibat krisis multidimensional yangmasih berlangsung hingga saat ini.

Meskipun cukup banyak penelitian tentangpendidikan karakter, namun dari berbagaipenelitian tersebut masih sangat sedikit penelitianyang mengimplementasikan nilai-nilai karakterdalam pembelajaran Sejarah. Dengan demikian,penelitian tentang: “Pengembangan ModelPembelajaran Sejarah SMA Berbasis PendidikanKarakter di Solo Raya’ perlu dilakukan dalammendukung program pemerintah umumnya danprogram kebijakan Wali Kota Surakarta khu-susnya tentang implementasi pendidikan karakterdalam pembelajaran yang mulai dicanangkan padatahun pelajaran 2011-2012 (Solo Pos, 19 Juni2011).

Berdasarkan paparan seperti yang telahdijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalampenelitian, yaitu: 1) bagaimanakah tujuan, materi,metode, media dan evaluasi pembelajaranSejarah yang dilaksanakan di SMA Solo Raya?;2) apakah yang menjadi faktor penghambat danfaktor pendukung terhadap pembelajaran Sejarahyang dilaksanakan di SMA Solo Raya?; 3) bagai-manakah pemahaman guru-guru Sejarah SMA diSolo Raya terhadap model-model pembelajaran?;dan 4) bagaimanakah merumuskan rancanganmodel pembelajaran Sejarah berbasis pendidikankarakter di SMA sebagai upaya memperkuat jatidiri bangsa.

Secara umum, penelitian dan pengembanganini bertujuan untuk menghasilkan modelpembelajaran Sejarah SMA Berbasis PendidikanKarakter. Adapun secara khusus, tujuan yanghendak dicapai melalui penelitian dan pengem-bangan ini, sebagai berikut: 1) mengidentifikasitujuan, materi, metode, media dan evaluasipembelajaran Sejarah; 2) mengeksplorasi faktorpenghambat dan faktor pendukung terhadappembelajaran Sejarah; 3) mengekplorasi pema-

haman guru-guru Sejarah SMA terhadap model-model pembelajaran; dan 4) merumuskanrancangan model Pembelajaran Sejarah BerbasisPendidikan Karakter di SMA sebagai upayameningkatkan kualitas pembelajaran Sejarah danmemperkuat jati diri bangsa.

Kajian LiteraturPasal 3 Undang Undang Sistem PendidikanNasional No. 20 Tahun 2003 disebutkan, bahwa“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkandan membentuk watak serta peradaban bangsayang bermartabat dalam rangka mencerdaskankehidupan bangsa, bertujuan untuk berkem-bangnya potensi peserta didik agar menjadimanusia yang beriman dan bertakwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokrat is serta bertanggungjawab”. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003bermaksud agar pendidikan t idak hanyamembentuk insan Indonesia yang cerdas, namunjuga berkepribadian atau berkarakter, sehingganantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuhberkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama (Suyanto, 2010).Tujuan pendidikan nasional itu merupakanrumusan mengenai kualitas manusia Indonesiayang harus dikembangkan oleh setiap satuanpendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuanpendidikan nasional menjadi dasar dalampengembangan pendidikan budaya dan karakterbangsa.

Pendidikan Budaya dan Karakter BangsaBudaya diartikan sebagai keseluruhan sistemberpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief)manusia yang dihasilkan masyarakat (Kemdiknas,2010a). Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dankeyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusiadengan sesamanya dan lingkungan alamnya.Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, ataukepribadian seseorang yang terbentuk dari hasilinternalisasi berbagai kebajikan (virtues) yangdiyakini dan digunakan sebagai landasan untukcara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak(Kemdiknas, 2010b). Kebajikan terdiri atassejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur,berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat

Page 75: jurnal dikbud tahun 2012

415

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

kepada orang lain. Interaksi seseorang denganorang lain menumbuhkan karakter masyarakatdan karakter bangsa. Oleh karena itu, pe-ngembangan karakter bangsa hanya dapatdi lakukan melalui pengembangan karakterindividu seseorang. Akan tetapi, karena manusiahidup dalam lingkungan sosial dan budayatertentu, maka pengembangan karakter individuseserang hanya dapat dilakukan dalamlingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan.Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalahPancasila; jadi pendidikan budaya dan karakterbangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila.Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakterbangsa adalah mengembangkan nilai-nilaiPancasi la pada diri peserta didik melaluipendidikan hati, otak, dan fisik.

Pendidikan karakter adalah suatu sistempenanaman nilai-nilai karakter kepada wargasekolah yang meliputi komponen pengetahuan,kesadaran atau kemauan, dan tindakan untukmelaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadapTuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,lingkungan, maupun kebangsaan sehinggamenjadi manusia insan kamil (Kemdiknas, 2010b).

Berdasarkan pengertian budaya, karakterbangsa, dan pendidikan yang telah dikemukakandi atas, maka pendidikan budaya dan karakterbangsa dimaknai sebagai pendidikan yangmengembangkan nilai-nilai budaya dan karakterbangsa pada diri peserta didik, sehingga memilikinilai dan karakter, menerapkan nilai-nilai tersebutdalam kehidupannya, baik sebagai anggotamasyarakat, maupun sebagai warganegara yangreligius, nasionalis, produktif dan kreatif.Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dankarakater bangsa diintegrasikan dalam setiappokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP.

Model PembelajaranJacobsen, Eggen, dan Kauchak (2009) menya-takan bahwa model pembelajaran dimaksudkansebagai strategi perspektif pembelajaran yangdirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran.Arends (1977) menyatakan bahwa modelpembelajaran mengacu pada pendekatanpembelajaran yang akan diterapkan. Ada empatciri khas model pembelajaran yang dikemukakan

oleh Arends, yaitu: 1) rasional teoritis yangbersifat logis yang bersumber dari perancangan;2) dasar pemikiran tentang tugas pembelajaranyang hendak dicapai dan bagaimana siswa belajaruntuk mencapai tujuan tersebut; 3) aktivitas guruyang diperlukan agar model pembelajaran dapatdilaksanakan; dan 4) lingkungan belajar yangdiperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwamodel pembelajaran merupakan petunjuk bagiguru dalam merencanakan dan melaksanakanpembelajaran di kelas. Lebih lanjut Joyce, Weil,dan Showers (2002) mengemukakan adanya limaunsur penting dari suatu model pembelajaran,kelima unsur tersebut adalah syntac, socialsystem, principle of reaction, support system daninstructional and nurturent effecs.

Terkait dengan model-model pembelajaran,Joyce, Weil dan Calhoun (2009) mengemukakanadanya empat family/rumpun, yaitu: 1) rumpunsosial, 2) rumpun proses informasi, 3) rumpunpersonal, dan 4) rumpun perilaku. ModelPembelajaran Sejarah SMA Berbasis PendidikanKarakter ini mengacu kepada model yangdikemukakan oleh Joyce, Weil dan Calhoun (2009)sepert i yang dikemukakan di atas, yakniperubahan perilaku ke arah yang diharapkan, baikdalam aspek kognitif maupun aspek afektif. Olehkarena itu, model ini lebih mengacu pada RumpunPerilaku.

Pendidikan Nilai dan Pendekatan KlarifikasiNilaiMenurut Kaswadi (1993) pendidikan nilai adalahpenanaman dan pengembangan nilai-nilai padadiri seseorang. Mardiatmadja (1996) mendefi-nisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadappeserta didik untuk menyadari dan mengalaminilai-nilai serta menempatkannya secara integraldalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai,pada dasarnya merupakan proses penanamannilai kepada peserta didik dengan harapan agarpeserta didik dapat berperilaku sesuai denganpandangan yang dianggapnya baik dan tidakbertentangan dengan norma-norma yang berlaku(Sanjaya, 2010).

Dari beberapa pendapat di atas dapatdisimpulkan bahwa pendidikan nilai adalah prosespenanaman nilai-nilai luhur kepada peserta didik

Page 76: jurnal dikbud tahun 2012

416

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

dengan harapan agar peserta didik dapatberperilaku sesuai norma-norma yang berlaku.Oleh karena itu, untuk dapat melahirkan pesertadidik yang mampu memilah dan memilih secaracerdas terhadap nilai-nilai moral atau nilai-nilaikarakter adalah dengan pendekatan klarifikasinilai (Values Clarification Technique= VCT).

Pendekatan klarifikasi nilai (VCT) adalah suatupendekatan yang bertujuan untuk menumbuhkankesadaran dan mengembangkan kemampuanpeserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilaimereka sendiri dan nilai-nilai orang lain (Zuriah,2007, dan Zaim 2008). Proses pemahaman nilaidilakukan melalui proses analisis nilai yang sudahada sebelumnya dalam diri peserta didik kemudianmenyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yanghendak ditanamkan kepada peserta didik(Sanjaya, 2010).

MetodologiMetode penelitian tahun pertama ini dilakukandengan dua tahapan tindakan, yakni: 1) penelitianpenjelajahan (eksploratif); dan 2) melakukanpenyusunan draf model pengembangan dengancara Focus Group Discussion (FGD). Lokasipenelitian SMA Solo Raya yang meliputi: 1) KotaSurakarta; 2) Kabupaten Klaten; 3) KabupatenSukoharjo; 4) Kabupaten Karangnyar; dan5) Kabupaten Boyolali.

Sumber data meliputi: 1) sumber informan;2) sumber tempat dan peristiwa; dan 3) sumberdokumentasi/arsip. Informan yang dimintaiketerangan meliputi Kadinas, Kasubdin SMA,Ketua MKKS SMA, Kepala SMA dan Guru-guruSejarah SMA. Sumber tempat dan peristiwa yangdigunakan sebagai fokus informasi adalah ruangpembelajaran Sejarah di kelas. Sumber dokumen/arsip terkait dengan kurikulum, silabus dan RPPserta buku-buku sumber.

Sesuai dengan metode penelitian kualitatif,maka teknik sampling (cuplikan) yang digunakandalam penelitian ini adalah jenis purposive sampling(Sutopo, 2002). Teknik pengumpulan data padaawalnya digunakan metode penyebaran angketkepada responden, yakni guru-guru SMA SoloRaya, kemudian ditindaklanjuti dengan teknikwawancara, pengamatan dan mencatat dokumen.Dengan demikian, teknik pengumpulan datadilakukan dengan cara: 1) wawancara mendalam;

2) pengamatan langsung atau obervasi;3) analisis dokumen; dan 4) FGD.

Untuk memperoleh derajad validitas tinggi,dilakukan dengan teknik trianggulasi, recheck danpeer debriefinf (Sutopo, 2002). Pengolahan datahasil penelitian eksploratif dilakukan dengan teknikanalisis model interaktif (Miles dan Huberman,1984). Analisis interaktif meliputi tahapan:1) pengumpulan data; 2) reduksi data; 3) sajiandata; dan 4) verifikasi/menarik kesimpulan.

Pengembangan ini dilakukan atas dasar hasiltemuan ekslporatif, kemudian dikembangkanuntuk mencari model pembelajaran Sejarahmelalui Focus Group Discussion (FGD).

Hasil Penelitian dan PembahasanTujuan, Materi, Metode, Media dan EvaluasiPembelajaran SejarahTerkait dengan tujuan, materi, metode, media danevaluasi pembelajaran Sejarah yang dilaksanakandi SMA di Solo Raya saat ini, dapat diungkapkanseperti uraian berikut ini.

Tujuan Pembelajaran SejarahTerkait dengan tujuan pembelajaran Sejarah SMA,hasil angket, rekaman observasi, dan wawancaradari guru-guru Sejarah SMA dan beberapa kepalasekolah dan kepala seksi kurikulum di Solo Rayaserta dari studi pustaka dapat dikemukakansebagai berikut.

Ibu Sara dari SMA Negeri 8 Surakartamenyatakan: ”bahwa tujuan pembelajaranSejarah adalah untuk membentuk pribadi yangtidak lupa akan masa lampau untuk mewujudkanmasa depan dan menjadi manusia yang berimandan bertaqwa”. Bapak Darmono dari SMA Negeri2 Sukoharjo menyatakan “bahwa tujuan pem-belajaran di SMA adalah untuk meningkatkan rasajiwa kebangsaan dan nasionalisme, patriotisme,serta meningkatkan perasaan persatuan dankesatuan bagi peserta didik”. Ibu Titik dari SMANegeri Ngemplak Boyolali menyatakan “bahwatujuan pembelajaran Sejarah SMA adalah selainmengembangkan komptensi kognitif jugapengembangan sikap, terutama menumbuh-kembangkan rasa nasionalisme, cinta tanah airdan penghargaan terhadap pahlawan bangsapendahulu negeri ini” tegasnya.

Page 77: jurnal dikbud tahun 2012

417

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

Masih terkait dengan tujuan pembelajaranSejarah SMA, lebih lanjut Ibu Anik dari SMA negeri2 Karanganyar secara rinci menyatakan: ”bahwatujuan pembelajaran Sejarah SMA yaitu:1) menumbuhkan cinta tanah air; 2) mengetahuiproses terbentuknya sebuah Negara Indonesia;3) Memahami proses kemajuan peradabanmanusia Indonesia; dan 4) menanamkan sikappatriotisme” ungkapnya.

Dari beberapa pendapat di atas dapatdisimpulkan bahwa tujuan pembelajaran Sejarahdi SMA antara lain: 1) menanamkan semangatcinta tanah air; 2) mengetahui proses ter-bentuknya Negara Indonesia; 3) meningkatkanrasa persatuan dan kesatuan bagi peserta didik;dan 4) mengetahui proses peradaban manusiaIndonesia, khususnya dan masyarakat dunia padaumumnya dari masa dulu hingga sekarang.

Materi Pembelajaran SejarahMateri mata pelajaran Sejarah untuk sekolahmenengah atas (SMA) meliputi aspek-aspeksebagai berikut: a) Prinsip dasar ilmu Sejarah;b) Peradaban awal masyarakat dunia danIndonesia; c) Perkembangan negara-negara

tradisional di Indonesia; d) Indonesia pada masapenjajahan; e) Pergerakan kebangsaan, danf) Proklamasi dan perkembangan negarakebangsaan Indonesia.

Dalam penelitian dan pengembangan inimemfokuskan kelas X, sebab: 1) Kelas X masihmerupakan kelas yang umum, dan semua kelasmendapatkan materi yang sama; 2) Kelas Xmerupakan kelas awal siswa masuk SMA,sehingga sebagai pijakan untuk penanaman nilai;khususnya nilai karakter dan jati diri bangsa.Khusus untuk kelas X, cakupan materinya terdiriatas: 1) Prinsip dasar ilmu Sejarah; 2) Peradabanawal masyarakat dunia dan Indonesia yangtercemin dalam Standar Kompetensi (SK) danKomptensi Dasar (KD) (Permendiknas Nomor 22/2006) yakni seperti Tabel 1.

Terkait dengan Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP) selain materi seperti yangtertera dalam KD-KD tersebut, semestinya gurumengembangkan apa yang menjadi “ localwisdom”. Ada beberapa guru yang menyatakanbelum, dengan alasan materi Sejarah sudahsangat banyak; namun ada beberapa guru yangmenyatakan sudah. Bagi guru Sejarah yang

Sumber: Permendiknas No.22/2006

Tabel 1. Materi Pembelajaran Sejarah Kelas X

Kelas X , Semester 1

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

1. Memahami prinsip dasar ilmu Sejarah 1.1 Menjelaskan pengertian dan ruang lingkup ilmu Sejarah

1.2 Mendeskripsikan tradisi Sejarah dalam masyarakat Indonesia masa praaksara dan masa aksara

1.3 Menggunakan prinsip-prinsip dasar penelitian Sejarah

Kelas X , Semester 2

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

2. Menganalisis peradaban Indonesia dan dunia

2.1 Menganalisis kehidupan awal masyarakat Indonesia

2.2 Mengidentifikasi peradaban awal masyarakat di dunia yang berpengaruh terhadap peradaban Indonesia

2.3 Menganalisis asal-usul dan persebaran manusia di kepulauan Indonesia

Page 78: jurnal dikbud tahun 2012

418

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

menuliskan dan menyatakan sudah, seperti BapakDarmono dari SMA Negeri 2 Sukoharjo, dari materiSejarah Kelas XI tentang “Perlawanan UntungSuropati ketika menghadapi Belanda yangdipimpin oleh Kapten Tack, dan Boyongan Kratondari Kartasura ke Surakarta Hadiningrat.Menyinggung Perlawanan Untung Surapatitermasuk local wisdom lebih lanjut Bapak Darmonomenyatakan bahwa Untung sebagai pemimpinperlawanan berhasil menghancurkan tentaraBelanda dan berhasil membunuh Kapten Tackmerupakan suatu prestasi yang gemilang. Dariperistiwa ini, banyak nilai-nilai karakter yang perluditeladani oleh bangsa Indonesia, khususnya parapeserta didik, seperti nilai keberanian karenabenar, jiwa kepahlawanan, jiwa nasionalismemembela bangsa dan Negara, rela berkorbandengan senjata seadanya mampu menghan-curkan tentara Belanda dengan pasukan lengkap”ungkapnya.

Lebih lanjut, Ibu Titik dari SMA NgemplakBoyolali, “menyatakan ada local wisdom yangdikembangkan yakni Penulisan tentang SejarahBoyolali. Guru memberikan tugas untuk mene-lusuri, baik lewat wawancara, angket atau pundokumentasi yang selanjutnya membuat laporantentang Sejarah Boyolali dan dipresentasikan dikelas” tuturnya.

Dengan gambaran di atas, dapat diketahuibahwa dengan diberlakukannya KTSP, mem-berikan keleluasaan bagi guru untuk dapatmengembangkan materi-materi Sejarah lokal yangdapat menunjang materi pembelajaran Sejarahsecara nasional.

Metode PembelajaranTerkait dengan metode pembelajaran yang seringdigunakan guru-guru SMA di Solo Raya, antaralain: ceramah, tanya jawab, diskusi, bermainperan, problem solving, dan pemberian tugas baikterstruktur maupun mandiri. Sepert i yangdiungkapkan Bapak Teguh dari SMA Negeri Sragenbahwa “Guru Sejarah kebanyakan menggunakanmetode Ceramah atau Ceramah Bervariasi, yaknimetode ceramah yang divariasikan denganmetode lain, seperti diskusi, tanya jawab danpemberian tugas”.

Hal senada juga diungkapkan Ibu Sara dariSMA Negeri 8 Surakarta:”karena materi Sejarah

yang banyak, sedangkan jamnya sedikit, olehkarenanya metode mengajar yang digunakanadalah Cermah Bervariasi”, katanya. “Metodecemarah, kemudian dikombinasikan denganmetode lain, seperti diskusi, tanya jawab danpemberian tugas, termasuk misalnya ada event-event tertentu, seperti 1 Muharam, dan Sekatensering menugaskan anak-anak untuk membuatklipping”, tambahnya.

Terkait dengan metode mengajar Sejarah,dalam prakteknya tidak digunakan sendiri-sendiri,melainkan merupakan kombinasi dari beberapametode mengajar, seperti ceramah, diskusi, tanyajawab, dan pemberian tugas; sosiodrama, dan lainsebagainya (Suryani, 2012).

Media Pembelajaran SejarahPembelajaran akan berlangsung dengan efektifdan efisien jika ditunjang dengan mediapembelajaran. Terkait dengan media pembel-ajaran yang digunakan oleh guru-guru SejarahSMA Solo Raya antara lain: gambar, peta Sejarah,peta Indonesia, peta dunia, peta konsep, mediapohon pintar, kartu soal/pernyataan, microsofpower point, CD film, LCD. Seperti yang di-ungkapkan ibu Tatik dari SMA Negeri Ngemplak“bahwa untuk media pembelajaran Sejarah yangsering saya gunakan adalah media pohon pintar,kartu soal/pernyataan, microsof power point, CDfilm, LCD” tegasnya.

Ibu Ida dari SMA Negeri Kartasura, me-nyatakan “terkait media yang sering saya gunakanadalah media kartu soal atau pernyataan, petakonsep, dan LCD dengan power point dan ternyataini sangat menarik bagi anak-anak” katanya.“Dengan power point kita sebagai guru juga enakhanya perlu persiapan yang matang, sedangkanbagi siswa ternyata sangat menarik, perhatiananak-anak terpusat” tambahnya.

Dilihat dari media pembelajaran yangditerapkan guru-guru Sejarah di Solo Raya, untukpenggunaan media dalam pembelajaran Sejarahtampaknya sudah bervariasi mulai dari yangsederhana seperti gambar/foto sampai denganLCD.

Evaluasi Pembelajaran SejarahTerkait dengan evaluasi pembelajaran Sejarahguru-guru Sejarah SMA Solo Raya menang-

Page 79: jurnal dikbud tahun 2012

419

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

gapinya bervariasi. Ada beberapa guru yangmenyatakan bahwa evaluasi yang seringdigunakan dalam pembelajaran Sejarah adalahtes lisan dan tes tertulis yang meliputi obyektiftes dan essay. Hal ini seperti yang dikemukakanIbu Tita dari SMA Negeri 5 Surakarta:”untukevaluasi pembelajaran Sejarah tes lisan dan testertulis yang meliputi obyektif tes dan essay atauuraian” katanya.

Ada juga yang menyebutkan tes pilihan gandaatau obyektif dan uraian atau essay, bahkan adayang menyebutkan penilaian kognitif dan penilaianafektif. Hal ini seperti yang dikemukakan BapakHeri dari SMA Negeri Surakarta “bahwa untukevaluasi pembelajaran Sejarah soal pilihan gandaatau obyektif dan uraian atau essay” paparnya.

Faktor Penghambat dan PendukungPembelajaran Sejarah SMAUntuk menelusuri faktor-faktor penghambat danfaktor pendukung dalam pembelajaran SejarahSMA di Solo Raya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Faktor Penghambat Pembelajaran SejarahTerkait dengan faktor penghambat dari hasilangket dan wawancara dapat dikemukakansebagai berikut. Bapak Darmono dari SMA Negeri2 Sukoharjo menyatakan: “bahwa faktorpenghambat pembelajaran Sejarah, yaituterbatasnya waktu, khususnya untuk kelas X jampelajaran Sejarah hanya 1 jam yakni 1 x 45 menit,dan kelas XI-IPA juga hanya 1 jam (1 x 45 menit).Padahal materi Sejarah Kelas X dan materiSejarah Kelas XI IPS sangat banyak, sehinggapembahasannya sering tidak tuntas” tegasnya.“Itulah sebabnya metode mengajar yangdigunakan adalah ceramah, dan pemberiantugas”. Bapak Sarjoko dari SMA Negeri 2 Boyolalimenyatakan: “bahwa faktor penghambatpelaksanaan pembelajaran Sejarah, yaitu:1) minimnya buku-buku sumber, khususnyapegangan siswa maupun referensi lain yangmenunjang pembelajaran; 2) tidak adanyalaboratorium atau lab IPS/Sejarah; dan 3) sulitdan mahalnya mengakses arsip nasional”.

Masih terkait dengan faktor penghambatpembelajaran Sejarah, Ibu Ana dari SMA Negeri 2Karanganyar menyatakan: “bahwa yang menjadifaktor penghambat pembelajaran Sejarah adalah:

1) kurangnya buku Sejarah yang dimiliki siswa,2) adanya diskr iminasi dari publik tentangpelajaran yang di-UAN-kan dan tidak di-UAN-kan;3) siswa kurang semangat membaca; 4) kurangmengikuti perkembangan teknologi; dan5) sarana yang disediakan sekolah untuk IPS/Sejarah kurang”. Ibu Titik dari SMA NgemplakBoyolali menyatakan: “faktor penghambatpembelajaran Sejarah, yakni: 1) Buku Paket BSEtidak ada; 2) minimnya literatur Sejarah; 3) LCDyang terbatas sehingga power point yang telahdisiapkan terkadang tidak dapat disampaikansecara optimal, dan 4) guru Sejarah sendiri yangdalam mengajarnya monoton, sehingga berlakustigma “Sejarah membosankan”.

Terkait dengan minimnya jam pelajaran untukSejarah, sebenarnya guru sebagai desainerpembelajaran diharapkan mampu untuk menge-mas materi dan menyusun atau mengatur waktusedemikian rupa, sehingga keterbatasan jamdapat diatasi. Demikian pula agar pembelajaranSejarah dapat manarik dan menyenangkan, guruSejarah harus mampu membuat “mukjizat”(Meulen, 1987); sebab Sejarah merupakanperistiwa masa lampau, peristiwa yang sudahmati, maka tugas guru membuat peristiwa masalampau yang mati itu seolah-olah hidup kembali.

Faktor Pendukung Pembelajaran SejarahTerkait faktor pendukung ada gambaran yangbervariasi juga, antara lain ada yang menye-butkan bahwa faktor pendukung pembelajaranSejarah adalah adanya semangat siswa untukmemiliki atau membeli buku dan LKS Sejarahsebagai pegangan. Ada yang menyebutkan faktorpendukung adalah adanya tambahan penge-tahuan dari internet. Lain lagi seperti yangdikemukan oleh Ibu Titik dari SMA Negeri Ngemplakbahwa faktor pendukung pembelajaran Sejarahadalah adanya penerapan berbagai modelpembelajaran yang diterapkan, sehingga pem-belajaran Sejarah menjadi “fun” dan siswamenunggu “seorang guru Sejarah” tegasnya.

Pemahaman Guru Sejarah SMA TerhadapModel-Model PembelajaranTerkait dengan model-model pembelajaraninovatif, sebagian besar guru-guru Sejarah SMAdi Solo Raya telah memahami, namun dalam

Page 80: jurnal dikbud tahun 2012

420

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

praktek pembelajaran belum banyak yangmenerapkannya. Model-model pembelajaran yangpernah dipraktekkan antara lain: PembelajaranKontekstual atau Contextual Teaching and Learning(CTL), Pembelajaran Kooperatif, seperti StudentTeam Achievement Division (STAD), Jigsaw, ModelIndex Card Macth, Teams Games Tournament (TGT),Metode Struktural seperti Mencari Pasangan,Benar Salah Berantai dan Peta Konsep. Variasimodel-model pembelajaran inovatif dapat dilihatpada Tabel 2.

Bagaimana kesan para siswa ketika gurumenerapkan model-model pembelajaran inovatif,seperti sangat menyenangkan, bersemangat,pembelajaran Sejarah menjadi hidup, siswamenjadi lebih aktif dalam pembelajaran. Sepertiyang diungkapkan Bapak Sriyanto dari SMA NegeriNgemplak Boyolali, bahwa “pembelajaran denganmodel-model pembelajaran yang inovatif sangatmenyenangkan, siswa menjadi lebih aktif danpembelajaran menjadi bermakna” ungkapnya. Halsenada juga diungkapkan Ibu Tatik dari SMANegeri Ngemplak Boyolali, bahwa “kalau

Dari data di atas dapat diketahui bahwa guru-guru SMA di Solo Raya sebagian besar pernahmenerapkan model pembelajaran Kontekstual.Dengan demikian, pembelajaran Sejarahdiharapkan menjadi lebih menarik dan bermaknabagi peserta didik. Untuk model-model yang lainmasih banyak yang belum dipraktekkan secaraoptimal. Alasan guru-guru klasik, yakni materinyasangat banyak, sedangkan jamnya sedikit.Padahal dengan mempraktekkan model-modelpembelajaran dapat menghemat waktu dan bagisiswa sangat menarik dan menyenangkan(Sugiyanto, 2010).

menerapkan model pembelajaran yang inovatifanak-anak senang, ceria; mereka aktif dan kreatifdalam pembelajaran, sehingga pembelajaranmenjadi menarik, bermakna, dan menyenangkan”.

Terkait dengan rumusan 1 ,2 dan 3 yang eratkaitanya dengan upaya guru Sejarah di Solo Rayameningkatkan kualitas pembelajarannya adalahkegiatan mengikuti Penataran, Seminar, Loka-karya, Workshop dan sejenisnya sebagaitambahan wawasan pengetahuan. Seperti yangdilakukan oleh Ibu Ana dari SMA 2 Karanganyar.

Tabel 2. Model-Model Pembelajaran Inovatif yang pernah dipraktekkan

No. Pernyataan Frekuensi Prosentase

1 Kontekstual 20 80

2 Kooperatif: STAD, Jigsaw, Model Index Card Macth, Metode Struktural seperti Mencari Pasangan, dan Benar Salah Berantai

15 60

3 Quantum: Peta Konsep 10 40 4 Model lainnnya 15 60

Tabel 3. Kegiatan Seminar/Diklat/Workshoup Ibu Ana

No Jenis Kegiatan

Judul Kegiatan Tahun

1 Seminar Eksistensi Mata pelajaran Sejarah dalam KTSP 2008 2 Seminar Profesionalisme Guru 2008 3 Diklat Analisis Hasil Tes 2008 4 Seminar Revitalisasi Nilia-Nilai Perjuangan RA Kartini

dalam Pendidikan 2009

5 Diklat Basic Hipno Class Length of Time for Studying 2009 6 Diklat Percepatan Belajar siswa 2009 7 Workshop In House Training (IHT) 2010

Page 81: jurnal dikbud tahun 2012

421

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

Adapun budaya yang telah ditanamkan di SMAse-Solo Raya terkait dengan penanaman nilai-nilaikarakter kepada warga SMA, khususnya pesertadidik, seperti yang diungkapkan oleh BapakDarmono dari SMA Negeri 2 Sukoharjo, “Di SMANegeri 2 Sukoharjo, upaya untuk menamkan nilai-nilai karakter siswa, misalnya: 1) berjabat tangandengan Bapak/Ibu guru yang sedang tugas piketdi depan pintu gerbang sekolah pada pagi hari;2) Mengucapkan salam kepada Bapak/Ibu guru;3) Pembelajaran diawali dan diakhiri dengan doa,4) Bagi siswa yang terlambat diadakan pembinaansebelum diijinkan masuk, dan 5) Melepas jaketapabila memasuki l ingkungan sekolah”ungkapnya.

Dengan demikian, secara implisit terkaitdengan pembelajaran yang mengimplementasi-kan pendidikan karakter, sekolah-sekolah SMA diSolo Raya telah menanamkan pendidikan karakterkepada warga SMA, khususnya kepada pesertadidik. Pembelajaran Sejarah sarat dengan nilai,oleh karena itu guru Sejarah tidak hanya sekedar“transfer of knowledge”, tetapi juga “transfer ofvalues” (Sardiman, 2002). Nilai-nilai karakterseperti religius, semangat kebangsaan, cintatanah air, rela berkorban, rasa tanggung jawab,disiplin, toleransi, kerja sama, cinta damai, kerjakeras dan kreatif perlu ditumbuhkembangkanterus lewat pembelajaran Sejarah. Hal inidiperkuat oleh penelitian Ghufron (2010) yangmenyatakan bahwa salah satu masalah krusialbangsa Indonesia, terutama yang berkaitandengan penyiapan SDM siap berkompetitif di eraglobal adalah krisis nilai-nilai karakter bangsa.Oleh karena itu, perlu adanya integrasi nilai-nilaikarakter bangsa dalam kegiatan pembelajaranuntuk semua mata pelajaran di sekolah, termasukmata pelajaran Sejarah. Dengan ini diharapkanpara peserta didik kelak menjadi anak-anakbangsa dan cerdas dan beraklak mulia, gunamencapai Indonesia emas di masa-masamendatang.

Prosedur Penyusunan Model PembelajaranSejarah SMA Berbasis Pendidikan KarakterProsedur dimaksud meliputi:1) Pengembangan model Pembelajaran Sejarah

SMA Berbasis Pendidikan Karakter di SoloRaya, pada tahap awalnya dirumuskan

berdasarkan data yang dikumpulkan melaluiwawancara;

2) Tahap berikutnya perumusan model final yangdilakukan secara partisifatif dengan melibat-kan seluruh pemangku kepentingan (stake-holder) terkait, yakni dinas pendidikan, KepalaSekolah, dan guru-guru Sejarah SMA di SoloRaya sebagai ujung tombak pelaksanaanpembelajaran di kelas;

3. Perumusan model tahap akhir dilaksanakanmelalui diskusi kelompok terarah (FGD). DiFGD ini akhirnya disepatai model yang akandiimplementasikan, yakni Model Kritis, Kreatif,Berantai dan Berkarakter (KKBB).Contoh Silabus Sejarah SMA berkarakter

(Kelas X Semester 1) dan sintak atau langkah-langkah model KKBB, dapat dilihat pada Contoh1.

Sintak/Langkah-langkah Model PembelajaranKritis Kreatif Berantai dan Berkarakter(KKBB)Sebelum pelaksanaan pembelajaran Model KKBB,guru perlu menginformasikan kepada siswa:1. Topik yang akan dipelajari dan bahan

bacaannya.2. Dari bahan yang dibahas akan dibuat

pertanyaan/pernyataan (40-45 soal) yangmengandung unsur kritis dan kreatif, danterbagi menjadi 8-9 Kartu Soal.

3. Kelas akan dibagi menjadi 8-9 kelompok danmasing-masing kelompok menggunakannama pahlawan nasional, dan nama tersebutditulis dalam Kartu Soal.

4. Setiap kartu soal diberi tanda A, B, C, D, E, F,G, H,dan I.Langkah-langkah Model Pembelajaran Kritis

Kreatif Berantai dan Berkarakter (KKBB) dapatdilihat pada Contoh 2.

Page 82: jurnal dikbud tahun 2012

422

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Con

toh

1.

Sila

bus

Pem

bela

jara

n Se

jara

h Be

rbas

is P

endi

dika

n Kar

akte

r K

elas

X S

emes

ter

1

Nam

a S

ekol

ah:

SM

A…

……

…..

Mat

a Pe

laja

ran

: S

ejar

ahK

elas

Sem

este

r:

X/

1S

tand

ar K

ompe

tens

i:

1. M

emah

ami

Prin

sip

Das

ar I

lmu

Sej

arah

.

……

……

…,

……

……

……

….2

012

Men

geta

hui

Kep

ala

Sek

olah

Gur

u S

ejar

ah

……

……

……

……

……

……

……

……

……

……

……

…..

NIP

. …

……

……

……

……

NIP

……

……

……

……

……

Page 83: jurnal dikbud tahun 2012

423

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

No Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

1 Fase 1 Menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa

a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi belajar siswa

b. Guru menyampaikan nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan

a. Siswa memperhatikan tujuan pembelajaran dan merespon motivasi belajar dari guru.

b. Memperhatikan dan memahami Nilai

2

Fase 2 Penyajian materi dan pembagian kartu soal yang berisi materi dan nailai-nailai karakter yang dapat dipetik dan dikembangkan

a. Guru menjelaskan garis besar

materi Prinsip-prinsip Dasar Penelitian Sejarah

b. Guru menjelaskan langkah-langkah model pembelajaran Kritis Kreatif Berantai dan Berkarakter (KKBB).

c. Guru membagi siswa dalam 9 kelompok, dan setiap kelompok terdiri dari 4 orang. Cara membagi kelompok yakni siswa satu persatu menyebutkan nomor urut 1 s.d 9. Siswa yang menyebut angka 1 berkumpul menjadi satu kelompok, siswa yang menyebut angka 2 berkumpul menjadi satu kelompok, dan seterusnya.

d. Nama-nama kelompok diambil dari nama pahlawan Indonesia, yakni kelompok Soekarno, Moh. Hatta, Dr Soetomo. Dr Wahidin Sudirohusodo, Dowes Dekker, Moh Yamin, RA Kartini. Ki Hajar Dewantara, dan Slamet Riyadi. Setiap kelompok memilih dan mengambil satu kartu nama kelompok tersebut.

a. Siswa pemperhatikan dan

merespon penjelasan guru, baik mengenai materi, sintak pembelajaran, maupun nilai-nilai karakter

b. Siswa merespon dengan mengelompok menjadi 9 kelompok, dan nama-nama masing-masing kelompok ditulis dalam kartu soal.

c. Setiap kelompok memilih dan mengambil satu kartu nama kelompok tersebut.

d. Memilah dan memilih nilai

Contoh 2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kritis KreatifBerantai dan Berkarakter (KKBB)

Page 84: jurnal dikbud tahun 2012

424

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

3 Fase 3 Mengorganisir ke dalam kelompok-kelompok belajar

a. Guru memberikan satu kartu yang berisi 5 pernyataan untuk setiap kelompok. Kelompok pertama diberi kartu A, kelompok kedua diberi kartu B, dan seterusnya

b. Guru meminta siswa untuk setiap kelompok mendiskusikan pernyataan tersebut, kemudian mengkritisi apakah pernyataan tersebut Benar atau Salah.

c. Guru menginformasikan, jika jawaban salah, maka tugas tiap kelompok menuliskan jawaban yang benar.

a. Setiap kelompok mendapat satu kartu yang berisi 5 pernyataan, Kelompok pertama diberi kartu A, kelompok kedua diberi kartu B dan seterusnya, hingga kartu I

b. Tugas setiap kelompok adalah mendiskusikan pernyataan tersebut, kemudian mengkritisi apakah pernyataan tersebut Benar atau Salah.

c. Siswa merespon informasi

guru untuk mencermati setiap jawaban, dan jika jawaban salah, maka tugas tiap kelompok menuliskan jawaban yang benar.

d. Mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai

4 Fase 4 Membimbing kelompok kerjasama dan mengerjakan tugas

a. Guru menginformasikan setelah semua kelompok selesai melakukan tugas, kartu soal diputar untuk diberikan kelompok di sampingnya. Dengan demikian, kelompok 2 akan mendapatkan kartu pernyataan baru, yakni kartu C, dan seterusnya.

b. Setelah masing-masing kelompok menerima kertas yang baru, tugas seperti pada langkah nomor 6 diulangi sampai pada kartu soal kesembilan, artinya sampai semua kelompok mendapatkan semua kartu pernyataan.

a. Siswa merespon informasi guru.

b. Masing-masing kelompok menerima kartu soal yang baru, dan mengerjakan tugas tersebut sampai pada kartu soal kesembilan.

c. Mengekpresikan dan menghargai nilai

Simpulan dan SaranSimpulanMengacu pada hasil penelitian dan pembahasan,disimpulkan sebagai berikut. Tujuan pembelajaranSejarah dimaksudkan untuk menanamkansemangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanahair. Dalam penyampaian materi Sejarah telahsesuai dengan Standar Isi (SI) Kurikulum SejarahSMA. Pada umumnya metode pembelajaran

Sejarah dilakukan melalui ceramah bervariasi, danmedianya menggunakan IT dalam bentuk mediapower point, film, dan LCD. Adapun pelaksanaanevaluasi pembelajarannya pada umumnyacenderung masih didominasi aspek kognitif,dibandingkan dengan aspek afektif dan spi-komotoriknya.

Faktor pendukung keberhasilan pembelajaranSejarah, yaitu adanya model-model pembelajaran

Page 85: jurnal dikbud tahun 2012

425

Leo Agung S., Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya

inovatif dari guru Sejarah sendiri, sedangkanfaktor penghambatnya antara lain buku BSE yangminim, jam pelajaran yang kurang (hanya 1 jampelajaran/minggu) khususnya Kelas X dan kelasXI IPA), serta materinya banyak. Bahkan terkesanterjadi diskriminatif antara mata pelajaran yangdi UAN-kan dan yang tidak di UAN-kan.

Sebagian besar guru-guru SMA di Solo Rayatelah memahami dan mempraktikkan model-modelpembelajaran yang inovatif. Terkait denganpengembangan model, telah tersusun modelpembelajaran Sejarah SMA berbasis pendidikankarakter, yakni Model Kritis, Kreatif Berantai, danBerkarakter (KKBB).

SaranBerdasarkan pada simpulan penelitian,disarankan agar: 1) Guru Sejarah sebagaiseorang disainer harus mampu mengemas materidan mengatur waktu dengan baik. Di samping itu,guru berusaha mengoptimalkan penggunaanmodel-model pembelajaran, karena denganmenerapkan model-model pembelajaran dapatmeminimalkan waktu, sehingga pembelajaranmenjadi menarik dan menyenangkan. Untuk dapat

menyajikan materi dengan baik dan menarik,disarankan agar guru Sejarah menguasai materidan media pembelajaran Sejarah; 2) Untukmengatasi kekurangan buku sejarah, sekolahdapat menyarankan kepada setiap lulusan SMA,baik secara orang per orang atau kelompokmemberikan sumbangan buku Sejarah yangdiperlukan oleh adik kelasnya. Di samping itu,setiap SMA wajib menganggarkan sekurang-kurangnya 5% dari RAPBS diperuntukkan untukpembelian buku-buku pelajaran SMA secaraproporsional; 3) Pembelajaran Sejarah saratdengan nilai, oleh karena itu guru Sejarah tidakhanya sekedar “transfer of knowledge”, akan tetapijuga “transfer of values”. Nilai-nilai karakter yangdapat dikembangkan lewat pembelajaranSejarah, antara lain: religius, semangat ke-bangsaan, cinta tanah air, rela berkorban, rasatanggung jawab, menghargai prestasi, disiplin,toleransi, kerja keras, mandiri dan kreatif. Dalamhal model pembelajaran, guru Sejarah diwajibkanuntuk mengembangkan model-model pembel-ajaran Sejarah lainnya, sehingga pembelajaranSejarah akan lebih efektif dan efisien sertamenarik siswa untuk belajar lebih aktif.

Pustaka Acuan

Arends, Ricahrd I. 2000. Learning to Teach. New York: Mc Graw Hill.

Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Ghufron, Anik. 2010. Integrasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa Pada Kegiatan Pembelajaran. CakrawalaPendidikan. Mei 2010. Tahun XXIX. Edisi Khusus Dies Natalis UNY.

Jacobsen, David A, Eggen, Paul, and Kauchak, Donald. 2009. Methods For Teaching. New Jersey:Pearson Education, Inc.

Joyce, Bruce; Weil, Marsha, & Showers, B. 2002. Models of Teaching. Seventh Edition. Boston: Alylyn &Bacon.

Joyce, Bruce, Weil, Marsha, and Calhoun, Emily.2009. Models of Teaching. New Jersey: PearsonEducation, Inc.

Kartodirdjo, Sartono. 1988. Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional. HarianKompas, 26 September 1988.

Kaswadi, E.K. 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT Gramedia WidiasaranaIndoensia.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010a. Bahan Pelatihan Pengembangan Pendidikan Budaya danKarakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

Page 86: jurnal dikbud tahun 2012

426

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010b. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah MenengahPertama.   Jakarta:  Kemendiknas.

Mardiatmadja, B.S.1996. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius

Meulen, van der. 1987. Ilmu Sejarah dan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Miles, Matthew B & Huberman, A Michael. 1984. Qualitative Data Analysis. London-New Delhi: SagePublications.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk PendidikanDasar dan Menengah.

Rokhman, Nurhadi, dan Muhsinatun S. 2006. Pengembangan Kurikulum Pengetahuan Sosial Terpadusecara Tematik di Tingkat SLTP: Sebuah Pemikiran Awal. ISTORIA. Jurnal Pendidikan dan IlmuSejarah. Vol.1 No.2, Maret 2006. Yogyakarta: FISE.

Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Cetakan ke-7.Jakarta: Prenada Media Group.

Sardiman, A.M. 2002. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Solo Pos. 19 Juni, 2011. Pendidikan Karakter Dicanangkan: Siswa Harus SMK.

Sugiyanto. 2010. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru (PSG) Rayon 13Surakarta.

Suryani, Nunuk. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Ombak.

Sutopo, H.B. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Suyanto. 2010. Urgensi Pendidikan Karakter. http://www.mandikdasmen. depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html, diunduh 11 April 2011.

Syukur, Abdul. 2010. Membangun Karakter Bangsa Lewat Sejarah (Refleksi 65 Tahun PengajaranSejarah di Indonesia. Artikel. diunduh, 21 Juni 2012.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2005.Jakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Wardhani, Kristi. 2010. Peran Guru dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki HajarDewsantara. Proceeding of The 4th International Conference on Teacher Education; Join ConferenceUPI & UPSI Bandung, 8-10 November 2010, diunduh 21 Juni 2012.

Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: BumiAksara.

Page 87: jurnal dikbud tahun 2012

394

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL KOOPERATIFNUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) DI KELAS X SMA NEGERI 1 BEDUAI

KABUPATEN SANGGAU

IMPROVING STUDENTS ACHIEVMENTS BY USING COOPERATIVE MODEL OFNUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) AT CLASS X OF PUBLIC SENIOR HIGHT

SCHOOL 1 BEDUAI SANGGAU

Ahmad JamalongSTKIP PGRI Pontianak

e-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 4/04/2012, Dikembalikan untuk revisi: 6/08/2012 Disetujui tanggal: 20/12/2012

Abstrak: Penelitan ini bertujuan untuk menganalisis hasil belajar siswa dengan penggunaansebuah model kooperatif Numbered Heads Together (NHT). Penelitian dilakukan pada Kelas Xdi SMAN 1 Beduai Kabupaten Sanggau tahun pelajaran 2011/2012 dengan menggunakan metodePenelitian Tindakan Kelas (PTK). Subyek penelitian sebanyak 38 siswa kelas X yang dipilihsecara random sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan tes, kemudian dilakukantindakan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas. Tindakan penelitian dilakukan sebanyak 2siklus dengan materi Sistem Hukum Nasional untuk siklus I, Peran dan Fungsi Lembaga Peradilanuntuk siklus II. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, danrefleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa sebelum dilaksanakan tindakantidak ada satu pun siswa yang mencapai tingkat ketuntasan. Setelah dilaksanakan tindakanpada siklus I terjadi peningkatan hasil belajar pada siswa yang mencapai ketuntasan sebanyak11 siswa (34,38%) dan tindakan pada siklus II terdapat 20 siswa (54,82%) yang mencapaiketuntasan belajar. Hal ini dinyatakan bahwa model kooperatif Numbered Heads Together (NHT),sangat efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya pada pembelajaran PendidikanKewarganegaraan (PKn).

Kata kunci: model kerja sama, teknik belajar mengajar kepala bernomor, hasil belajar, danPendidikan Kewarganegaraan

Abstract: The purpose of the research is to analyze the students’ achievements by usingCooperative Model of Numbered Heads Together (NHT). The research was applied to class X ofPublic Senior High School 1 Beduai Sanggau in academic year of 2011/2012 by using classroomaction research (CAR). The research subject consist of 38 students of class X that were chosenby using random sampling. The data were collected by using test, then action was applied byusing classroom action research. Action research was applied for 2 cycles with “Sistem HukumNasional” in the first cycle and “Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan” in the second cycle.Every cycle consist of planning, action, observation and reflection. The result of study shownthat there were no students’ achievements before the action applied. In the cycle 1 there werean increasing achievements to 11 students (34.38%) dan action in the cycle II shown therewere an increasing achievement to 20 students (54.82%). It can be stated that CooperativeModel of Numbered Heads Together (NHT) is very effective to improve students’ achievementsespecially in “Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)” subject.

Keywords: model, cooperative numbered heads together (NHT), achievements, and CivicsEducation.

Page 88: jurnal dikbud tahun 2012

395

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

PendahuluanPasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20/2003tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkanbahwa “Pendidikan adalah usaha sadar danterencana untuk mewujudkan suasana belajardan proses pembelajaran agar peserta didiksecara aktif mengembangkan potensi dirinyauntuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlakmulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan bernegara” (Depdiknas,2003)

Pendidikan sebagai suatu upaya mencer-daskan kehidupan bangsa diharapkan mampumemberikan peran dan andilnya dalam me-ningkatkan pembangunan. Oleh karena itu,pendidikan haruslah mampu memberikankontribusi yang nyata terhadap pembangunantersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, makawujud nyata dari kebijakan Pemerintah denganmenetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionalsebagaimana Pasal 3 bahwa: “Pendidikannasional berfungsi mengembangkan kemampuandan membentuk watak serta peradaban bangsayang bermatabat dalam rangka mencerdaskankehidupan bangsa, bertujuan untuk berkem-bangnya peserta didik agar dapat menjadimanusia yang beriman dan bertaqwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi wargaNegara yang demokratis serta bertanggungjawab” (Depdiknas, 2003).

Guru merupakan komponen yang palingpenting perannya dalam kegiatan pembelajaranyang mengendalikan suasana di kelas. Olehkarena itu, sedini mungkin guru haruslah mampuberperan sebagai pelaku dalam prosespembelajaran dan juga sekaligus sebagaievaluator terhadap proses pembelajaran yangdiberikan kepada siswa. Sebagai pelaku, gurumerupakan orang yang bertindak sebagai sumberbelajar yang menyimpan dan menyalurkan pesankepada siswa. Guru juga sebagai perantara dalammenyampaikan pesan materi atau bahan belajarkepada siswa. Sebagai pengelola prosespembelajaran, guru mengatur dan menciptakankondisi belajar yang kondusif dengan melakukanperencanaan pengajaran, penyiapan media

belajar, dan penerapan. Sebagai evaluator, gurumelakukan tes, pengukuran dan penilaian atauevaluasi untuk dapat melihat ketercapaian danketuntasan tujuan pendidikan dan pengajaran.

Pendidikan kewarganegaraan (PKn) di SMAbertujuan agar peserta didik memiliki kemampuanmembentuk sikap positif terhadap kepribadiandirinya dalam kehidupan sehari-hari baik dalamkeluarga, masyarakat, dan negara, memupuksikap ilmiah yang jujur, objektif, terbuka, kritis dandapat bekerja sama dengan orang lain. Melaluimata pelajaran PKn diharapkan agar siswa dapatmemahami konsep dan prinsip PKn sertaketerkaitannya dan penerapannya untukmenyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian terhadap pembelajaran Pkndiperoleh antara lain temuan yang menunjukkanbahwa dalam mengajar guru sering menggunakanmetode direct interaction (pembelajaran langsung)dengan model ceramah, tanya jawab, danpenyampaiaan informasi, sehingga guru monotonpada saat proses pembelajaran berlangsung.Pembelajaran diawali dengan perkenalan diriter lebih dahulu. Pada saat penyajian, gurulangsung memberikan informasi tentang tatatertib saat proses belajar berlangsung, kemudianguru langsung menyampaikan materi yang akandisampaikan selama satu semester dan gurumencatat di papan tulis. Keadaan seperti ini,mengakibatkan siswa lebih banyak mencatat apayang dicatat di papan tulis dan mendengarkanapa yang dijelaskan. Bahkan pada saat gurumenjelaskan, masih ada juga siswa yang masihmencatat. Pembelajaran seperti ini dapatmengakibatkan siswa tidak bergairah untukmengikuti pelajaran berlangsung, sehinggamereka menjadi kurang bersemangat danbermalas-malasan.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian iniyaitu apakah dengan penerapan model kooperatifNumbered Heads Together (NHT) dapat me-ningkatkan hasil belajar siswa kelas XA SMA Negeri1 Beduai Kabupaten Sanggau? Secara khususmasalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanahasil belajar siswa kelas XA SMA Negeri 1 BeduaiKabupaten Sanggau sebelum dan sesudahdilaksanakannya tindakan?

Page 89: jurnal dikbud tahun 2012

396

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Kajian LiteraturPembelajaran Kooperatif menurut Slavin (1995)adalah pembelajaran yang dilakukan secaraberkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikandalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yangdifasilitasi oleh guru (dalam Yuliarni, 2009).Menurut Riyanto (2010) bahwa pembelajarankooperatif merupakan model pembelajaran yangdirancang untuk membelajarkan kecakapanakademik, sekaligus keterampilan sosial.Sementara itu, Hayati (2002) menyatakan bahwapembelajaran kooperatif merupakan strategipembelajaran yang melibatkan partisipasi siswadalam suatu kelompok keci l untuk salingberinteraksi. Dalam sistem kooperatif, siswabelajar bekerja sama dengan anggota lainnya.Dalam model ini, siswa memiliki dua tanggungjawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiridan membantu sesama anggota kelompok untukbelajar. Siswa belajar bersama dalam sebuahkelompok kecil dan mereka melakukan seorangdiri (Rusman, 2011).

Cooperative learning merupakan kegiatanbelajar siswa yang dilakukan dengan caraberkelompok. Model pembelajaran kelompokadalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukanoleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentuuntuk mencapai tujuan pembelajaran yang telahdirumuskan (Senjaya dalam Yatim Riyanto, 2010).

Dari pendapat para ahli, dapat disimpulkanbahwa pembelajaran kooperatif adalah bentukpembelajaran dengan cara siswa belajar danbekerja sama dalam kelompok-kelompok kecilsecara kolaboratif yang anggotanya terdiri atasempat sampai lima orang siswa dengan strukturkelompok yang bersifat heterogen.

Unsur-unsur Pembelajaran KooperatifUnsur-unsur pembelajarn kooperatif (Rusman,2011) yaitu sebagai berikut: 1) siswa dalamkelompoknya haruslah beranggapan bahwamereka sehidup sepenanggungan bersama;2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatudalam kelompoknya seperti milik mereka sendiri;3) siswa haruslah melihat bahwa semua anggotadi dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama;4) siswa haruslah membagi tugas dan tanggungjawab yang sama di antara anggota kelompoknya;

5) siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikanhadiah/penghargaan yang akan dikenakan untuksemua anggota kelompok; 6) siswa berbagikepemimpinan dan mereka membutuhkanketerampilan untuk belajar bersama selamaproses belajarnya; dan 7) siswa dimintamempertanggungjawabkan secara individualmateri yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Menurut Riyanto (2010) unsur-unsur dalampembelajaran kooperatif sebagai berikut:1) mengembangkan interaksi yang silih asah, silihasih, dan silih asuh antar sesama sebagai latihanhidup bermasyarakat; 2) saling ketergantunganpositif antara individu (setiap individu mempunyaikontribusi dalam mencapai tujuan); 3) tanggungjawab secara individu; 4) temu muka dalamproses pembelajaran; 5) komunikasi antaraanggota kelompok; dan 6) evaluasi prosespembelajaran kelompok.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas,dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur yangpenting dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:1) adanya rasa tanggung jawab antaranggotakelompok; 2) adanya tenggang rasa danmenghargai antaranggota kelompok dalambelajar, sehingga tercipta komunikasi yang baik;3) adanya rasa kebersamaan dalam belajarsehingga setiap siswa bisa memahami makna danhasil belajar mereka; dan 4) adanya presentasihasil kerja sama antaranggota kelompok yangkemudian hasil itu akan menentukan merekaterhadap evaluasi/penghargaan dari guru.

Prinsip Pembelajarn KooperatifAda lima prinsip yang mendasari pembelajarankooperatif (Riyanto, 2010), yaitu: 1) Positiveindependence, artinya adanya saling keter-gantungan posit if, yakni anggota kelompokmenyadari pentingnya kerja sama dalammencapai tujuan; 2) Face to face interaction,artinya antaranggota berinteraksi dengan salingberhadapan; 3) Individual accountability, artinyasetiap anggota kelompok harus belajar dan aktifmemberikan kontribusi untuk mencapai ke-berhasilan kelompok; 4) Use of collaborative/socialskill, artinya harus menggunakan keterampilanbekerja sama dan bersosialisasi. Antara siswamampu berkolaborasi perlu adanya bimbinganguru; dan 5) Group processing, artinya siswa perlu

Page 90: jurnal dikbud tahun 2012

397

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

menilai bagaimana mereka bekerja sama secaraefektif.

Langkah-langkah Pembelajaran KooperatifYat im Riyanto (2010) berpendapat bahwalangkah-langkah pembelajaran kooperatif sebagaiberikut: 1) berikan informasi dan sampaikan tujuansera skenario pembelajaran; 2) organisasikansiswa/peserta didik dalam kelompok kooperatif;3) bimbingan siswa/peserta didik untukmelakukan kegiatan/berkooperatif; 4) evaluasi;dan 5) berikan penghargaan. Dengan kata lain,pendapat tersebut mengandung makna bahwalangkah-langkah pembelajaran kooperat ifmencakup: 1) menyampaikan materi danmelaksanakan pembelajaran; 2) membentukkelompok siswa; 3) memberikan arahan kepadasiswa; 4) memberikan penilaian/evaluasi; dan5) memberikan penghargaan atau pengakuan tim.

Model-Model Pembelajaran KooperatifAda beberapa variasi model pembelajarankooperatif (Hamdani Mulya, 2012), walaupunprinsip dasar dari pembelajaran kooperatif ini tidakberubah. Jenis-jenis model tersebut adalahsebagai berikut: 1) Tipe Student TeamsAchievement Division (STAD), 2) Tipe Team GameTournament (TGT), 3) Tipe Jigsaw, 4) Tipe kelompokInvestigasi, 5) Tipe Numbered Heads Together(NHT), 6) Tipe Think-Pair-Share (TPS), 7) TipeDebat, dan 8) Tipe Picture and Picture (PP). Dalampenelitian ini, dilakukan penerapan pembelajarankooperatif model Numbered Heads Together padamata pelajaran PKn di kelas XA SMA Negeri 1Beduai Kabupaten Sanggau.

Kooperatif Numbered Heads TogetherTeknik belajar mengajar kepala bernomor (NumberHeads Together) dikembangkan oleh Kagan (1992).Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswauntuk saling membagikan ide-ide dan mem-pertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selainitu, teknik ini mendorong siswa untuk me-ningkatkan semangat kerja sama mereka. Teknikini bisa digunakan dalam semua materi padapembelajaran PKn. Teknik ini juga dapatdilaksanakan pada semua tingkatan usia anakdidik (Lie, 2010).

Langkah-langkah model kooperatif NumberedHeads Together sebagai berikut: 1) siswa dibagidalam kelompok, setiap siswa dalam setiapkelompok mendapat nomor; 2) guru memberikantugas dan masing-masing kelompok menger-jakannya; 3) kelompok mendiskusikan jawabanyang benar dan memastikan t iap anggotakelompok dapat mengerjakannya; 4) gurumemanggil salah satu nomor siswa dengan nomoryang dipanggil dan melaporkan hasil kerja samamereka; 5) meminta tanggapan dari teman yanglain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain;dan 6) kesimpulan.

Pengertian Belajar dan Hasil BelajarBelajarPlato (1986), melihat bahwa pengetahuan sebagaisuatu yang ada dalam diri manusia dibawa sejaklahir. Sementara itu, Aristoteles (1992), melihatpengetahuan sebagai suatu yang ada dalamdunia fisik bukan dalam pikiran. Kedua pendapattersebut memberikan gambaran tentang belajar.Bagi penganut falsafah idealisme hakikat realitayang terdapat dalam pikiran, sumber pengetahuanyaitu ide dalam diri manusia. Proses belajarmerupakan pengembangan ide yang telah adadalam pikiran. Bagi penganut realisme, realitaterdapat dalam dunia fisik, sumber pengetahuanmerupakan pengalaman sensori, dan belajarmerupakan kontak atau interaksi individu denganlingkungan fisik.

Belajar pada hakikatnya proses perubahanperilaku berkat pengalaman dan pelatihan(Ahmadi, Abu., dan Tri Prasetya, Joko, 2005).Artinya, tujuan kegiatan belajar yaitu perubahantingkah laku baik yang menyangkut pengetahuan,keterampilan, maupun sikap, dan bahkan meliputisegenap aspek pribadi yang dimiliki oleh individu.

Sementara itu, Gagne (1989) menyatakanbahwa belajar merupakan kecenderunganperubahan pada diri manusia yang dapatdipertahankan selama proses pertumbuhan(dalam Riyanto, 2010). Dalam penjelasan Gagne,belajar merupakan suatu peristiwa yang terjadidi dalam kondisi yang dapat diamati, diubah, dandikontrol.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkanbahwa belajar merupakan proses yang mengacupada perubahan perilaku akibat dari proses

Page 91: jurnal dikbud tahun 2012

398

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

pengalaman, baik yang dialami ataupun yangsengaja dirancang.

Hasil BelajarMenurut Hamalik (1995), “hasil belajar adalahperubahan tingkah laku subjek yang meliputikemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor dalamsituasi tertentu berkat pengalamannya berulang-ulang”. Adapun menurut Sudjana (2010), hasilbelajar adalah suatu akibat dari proses belajardengan menggunakan alat pengukuran, berupates yang disusun secara terencana, baik, testertulis, tes l isan, maupun tes perbuatan.Pendapat tersebut mengartikan bahwa hasilbelajar tersebut diperoleh dari alat ukur yangtelah direncanakan sebelumnya dan dilakukansetelah proses pembelajaran berlangsung.Sementara itu, Bloom (dalam Sudjana, 2010)untuk mendapatkan hasi l belajar kognit ifseseorang memiliki enam tingkatan kognitif, yakni:1) Pengetahuan (knowledge), yaitu sebagaiperilaku mengingat atau mengenali informasi(materi pembelajaran) yang telah dicapaisebelumnya; 2) Pemahaman (Comprehension),yaitu sebagai kemampuan memperoleh makna darimateri pembelajaran. Hal ini ditujukan melaluipenerjemahan materi pembelajaran; 3) Pene-rapan (application), yaitu penerapan yangmengacu pada kemampuan menggunakanpembelajaran yang telah dipelajari di dalamsituasi baru dan konkrit. Ini mencakup penerapanhal-hal seperti aturan, metode, konsep, prinsip-prinsip, dalil, dan teori; 4) Analisis (analysis), yaitumengacu pada kemampuan memecahkan materike dalam bagian-bagian, sehingga dapat dipahamistruktur organisasinya. Hal ini mencakupidentifikasi bagian-bagian, analisis antarbagian,dan mengenali prinsip-prinsip pengorganisasian;5) Sintesis (synthesis), yaitu mengacu padakemampuan menggabungkan bagian-bagiandalam rangka membentuk struktur yang baru. Halini mencakup komunikasi yang unik (tema ataupercakapan), perencanaan operasional (pro-posal), atau seperangkat hubungan yang abstrak(skema untuk mengklasifikasi informasi); dan6) Penilaian (evaluation), yaitu mengacu padakemampuan membuat keputusan tentang nilaimateri pembelajaran untuk tujuan tertentu.

Dalam pembelajaran sebagaimana yangdijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwauntuk mendapatkan hasil belajar harus mem-perhatikan aspek kognit if, yaitu ingatan,pengetahuan, analisis, aplikasi, sintesis, danevaluasi.

Lebih lanjut Gagne, (dalam Sudjana, 2010)hasil belajar pada proses belajar ditentukan olehlima faktor, yaitu: 1) Informasi Verbal (VerbalInformation) yaitu pengetahuan awal/dasar yangdimiliki seseorang dan dapat diungkapkan dalambentuk bahasa, lisan, dan tulisan. Apabila siswahendak belajar/menerima pelajaran suatu pokokbahasan, maka pengetahuan awal sebelum pokokbahasan diberikan siswa harus sudah menguasai;2) Kemahiran Intelektual (Intelectual Skill) adalahkemampuan untuk berhubungan denganlingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam bentuksuatu representasi. Intelektual atau kecerdasanbila dikembangkan dapat berupa IntellegenceQuotient (IQ), Emotional Intelligence (EI), SpiritualIntelligence (IS). IQ berhubungan denganintelegensi atau kecerdasan otak, EI berkaitandengan emosi atau tingkat pengendalian diri, ISberhubungan dengan tingkat keyakinan kepadaTuhan, strategi kognitif (pengaturan kegiatankognitif) merupakan aktivitas mentalnya sendiri,sedangkan ruang gerak kemahiran intelektualmerupakan representasi dalam kesadaranterhadap lingkungan hidup dan diri sendiri;3) Strategi kognitif mencakup penggunaan konsepdan kaidah yang telah dimiliki, terutama bilasedang menghadapi suatu problem; 4) Kete-rampilan Motorik (Motor Skill) yaitu kemampuanmelakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasma-niah dalam urutan tertentu yang terkoordinasikandan terpadu. Ciri khas dari keterampilan motorikyakni otomatisme, yaitu rangkaian gerak-gerikberlangsung secara teratur dan berjalan secaralancar dan luwes tanpa banyak dibutuhkanrefleksi tentang apa yang harus dilakukan danmengapa diikuti gerak-gerik tertentu; dan 5) Sikap(attitude) yaitu kecenderungan menerima ataumenolak suatu objek berdasarkan penilaianterhadap objek itu serta berguna/berharga atautidak sering dinyatakan sebagai suatu sikap danbila dimungkinkan adanya berbagai tindakan. Daripenjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasilbelajar siswa dilihat dari 5 faktor utama, yaitu:

Page 92: jurnal dikbud tahun 2012

399

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

informasi verbal, kemahiran intelektual, strategikognitif, keterampilan motorik dan sikap.

Hasil belajar dapat dilihat dari hasil ulanganharian (tes formatif ), ni lai ulangan tengahsemester (subtes sumatif), dan ulangan semester(tes sumatif). Dalam penelitian tindakan kelas iniyang dimaksud dengan hasil belajar siswa adalahhasil nilai yang diberikan pada awal pembelajaran(pre test) dan di akhir pembelajaran (post test).

Pendidikan KewarganegaraanHakikat Pendidikan KewarganegaraanHakikat Pendidikan Kewarganegaraan adalahupaya sadar dan terencana untuk mencerdaskankehidupan bangsa bagi warga negara denganmenumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagailandasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalambela negara, demi kelangsungan kehidupan dankejayaan bangsa dan negara (dalam http://tharra.wordpress.com/2010/02/24/). Hal iniberarti Pkn mempersiapkan peserta didik untukmemahami moral bangsa, serta memahami hakdan kewajiban sebagai warga negara yangPancasilais.

Darmadi (2010) mengatakan bahwa hakikatPendidikan Moral Pancasila dari berbagai segi,yang keseluruhannya menjadi ciri khususPendidikan Moral Pancasila, dalam hal inipendidikan tidak terlepas dari proses interaksibelajar, karena pendidikan akan tercapai apabilaada interaksi yang baik antara siswa dan guru dikelas.

Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkanpendapat di atas dapat merupakan salah satumata pelajaran yang dilakukan secara sadar, dimana untuk mempersiapkan peserta didik menjadiwarga negara yang memahami hak dan ke-waj iban dan dapat mengembangkan sertamelestarikan nilai-nilai luhur bangsa dalam bentukperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan Pendidikan KewarganegaraanTujuan PKn dalam Depdiknas (2006) yaitu untukmemberikan kompetensi sebagai berikut: a) ber-pikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menggapaiisu kewarganegaraan; b) berpartisipasi secaracerdas dan tanggung jawab serta bertindaksecara sadar dalam kegiatan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara; c) berkembang secara

positif dan demokratis untuk membentuk diriberdasarkan karakter-karakter masyarakat diIndonesia agar hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain; dan d) berinteraksi dengan bangsalain dan mematuhi peraturan dunia secaralangsung dengan memanfaatkan teknologiinformatika dan komunikasi.

Darmadi (2010) juga menjelaskan bahwatujuan PKn yaitu untuk: a) meningkatkankesadaran dan kemampuan diri pribadi siswasebagai insan pancasilais; dan b) meningkatkandiri siswa sebagai warga negara yang pancasilaisyang mahir dalam hubungan sosial.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkanbahwa tujuan PKn secara garis besar: a) mem-persiapkan peserta didik untuk berpikir kritis;rasional, dan kreatif; b) berpartisipasi secaracerdas dan bertanggung jawab; c) berkembangsecara demokratis untuk membentuk karakter diriyang sesuai dengan masyarakat Indonesia;d) berinteraksi dengan sesama, baik nasional daninternasional; e) meningkatkan kesadaransebagai manusia pancasilais; dan f) meningkatkankesadaran sebagai makhuk sosial.

Metode PenelitianMetode yang digunakan adalah penelitiantindakan kelas yang dilaksanakan pada kelas Xdi SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau, yangterletak di Jalan Raya Beduai. Penelitian inidilaksanakan selama 8 bulan, yaitu mulai bulanMaret sampai bulan Agustus 2011. Subjek dalampenelitian ini yaitu siswa kelas X yang berjumlah38 orang dengan rincian 17 orang siswa laki-lakidan 21 orang siswa perempuan, dengan obyekhasil belalar-mengajar melalui penerapan modelKooperatif Numbered Heads Together (NHT).

Pelaksanaan PenelitianPelaksanaan penelitian tindakan kelas meliputibeberapa siklus. Tiap siklus tersebut meliputi:Pertama, perencanaan tindakan (planning):a) Penyusunan rencana pembelajaran yang berisilangkah-langkah pembelajaran model KooperatifNumbered Heads Together yang akan digunakanpada siklus I dan siklus selanjutnya; b) Membuatinstrumen penelitian (LKS, kisi-kisi soal post test,dan post test tindakan) yang digunakan dalamsiklus I dan siklus selanjutnya; c) Penyusunan

Page 93: jurnal dikbud tahun 2012

400

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

alat-alat evaluasi tindakan berupa lembarobservasi KBM dan lembar jawaban siswa.

Kedua, pelaksanaan tindakan (acting):a) Pendahuluan; b) Guru menyampaikan tujuanpembelajaran dan memotivasi siswa; dan c) Gurumenjelaskan secara singkat tentang model NHT

Kegiatan inti: a) Guru menyampaikan materipembelajaran kepada siswa; b) Mengorgani-sasikan siswa dalam kelompok belajar; c) Gurumeminta siswa untuk berdiskusi dengan kelompokyang telah ditentukan; d) Membimbing siswauntuk menyelesaikan soal; dan e) Melakukanevaluasi, meliputi: 1) Guru memanggil siswa untukmengambil nomor kelompok dan nomor siswa;2) Siswa yang nomornya terpilih mengambil nomorsoal dan mempresentasikan jawaban dari soaltersebut berdasarkan hasil kerja kelompokmereka di depan kelas; 3) Siswa dari kelompoklain menanggapi dan guru bertindak sebagaifasilitator; 4) Guru memanggil nomor yangberbeda dari kelompok yang sama untukmembantu menjelaskan; 5) Guru mengulangikegiatan di atas, sehingga semua kelompokmendapatkan giliran untuk melaporkan hasil kerjamereka; dan 6) Memberikan penghargaan berupapujian,atau motivasi lainnya.

Kegiatan PenutupGuru bersama-sama siswa menarik kesimpulandari materi yang telah dipelajari, yaitu;1) Observasi pelaksanaan pembelajarandilakukan secara kolaboratif antara guru danpenelit i dengan menggunakan instrumenmonitoring yang telah direncanakan; dan2) Refleksi ini dilakukan dengan cara berdiskusiantara guru dan peneliti terhadap masalah yangdiperoleh pada saat observasi dan melihat apakahtindakan yang telah dilakukan dapat mening-katkan hasi l belajar siswa dalam mencapaiketuntasan belajar. Melalui refleksi inilah, penelitiakan menentukan keputusan untuk melaksa-nakan siklus lanjutan ataukah berhenti.

Dalam setiap siklus, tindakan dilakukansecara bervariasi dan disertai dengan lembarpengamatan/observasi. Hal ini dimaksudkan untukmelihat apakah tindakan yang dilakukan dapatmemberikan peningkatan hasil belajar siswa. Padatahap refleksi, pengajar dan peneliti berdiskusitentang hasil yang didapat pada siklus tersebut

dan memutuskan apakah siklus dilanjutkan atautidak. Jika siklus dilanjutkan, maka akan disusunkembali perencanaan untuk tindakan pada siklusselanjutnya.

Untuk kegiatan pembelajaran pada sikluskedua dipengaruhi oleh hasil kegiatan pada sikluspertama, begitu pula kegiatan siklus ketiga akandipengaruhi oleh hasi l siklus kedua danseterusnya. Setiap siklus selalu diakhiri dengantes. Jika siklus menunjukkan jumlah siswa yangmencapai ketuntasan belajar minimal 50% makasiklus berakhir.

Teknik Pengumpulan DataSugiyono (2011) menjelaskan teknik pengum-pulan data merupakan langkah yang palingstrategis dalam penelitian, karena tujuan utamadari penelitian yaitu mendapatkan data. Daripenjelasan tersebut peneliti harus menentukanteknik yang digunakan dalam penelitannya.

Sehubungan dengan itu, Nawawi (2007)mengatakan teknik pengumpulan data dapatdibedakan menjadi enam teknik penelitiansebagai cara yang dapat ditempuh untukmengumpulkan data, yaitu: 1) teknik observasilangsung; 2) observasi tidak langsung; 3) ko-munikasi langsung; 4) komunikasi tidak langsung;5) teknik pengukuran; dan 6) teknik studidokumenter.

Menurut Trianto (2011) menyebutkanbeberapa teknik pengumpulan data, yakni:1) Catatan Lapangan; 2) Angket (questionnaire);3) Daftar Cocok atau Ceklis (Checklist); 4) LembarPengamatan (observasi); 5) Wawancara(interview); dan 6) Tes Hasil Belajar.

Dari pendapat yang ada, penelit ian inimenggunakan teknik pengumpul data observasilangsung, komunikasi langsung, pengukuran, danstudi dokumenter. Nawawi (2007) menjelaskanbahwa teknik observasi langsung merupakan caramengumpulkan data yang dilakukan melaluipengamatan dan pencatatan gejala-gejala yangtampak pada objek penelitian yang pelak-sanaannya langsung pada tempat suatuperistiwa, keadaan, atau situasi yang sedangterjadi. Teknik ini digunakan untuk melihat aktivitasguru maupun siswa.

Nawawi (2007) menjelaskan bahwa teknikkomunikasi langsung merupakan cara mengum-

Page 94: jurnal dikbud tahun 2012

401

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

pulkan data yang mengharuskan penelitimengadakan kontak langsung secara lisan atautatap muka (face to face) dengan sumber data,baik dalam situasi yang sebenarnya maupundalam situasi yang sengaja dibuat untuk keperluantersebut. Selanjutnya, Nawawi (2007) menje-laskan bahwa teknik pengukuran adalah caramengumpulkan data yang bersifat kuantitatifuntuk mengetahui tingkat atau derajad aspektertentu dibandingkan dengan norma tertentu pulasebagai satuan ukur yang relevan. Teknik inidigunakan untuk melihat tingkat hasil belajarsiswa.

Lebih lanjut, Nawawi (2007) menjelaskanbahwa teknik studi dokumenter adalah caramengumpulkan data yang dilakukan dengankategori dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yangberhubungan dengan masalah penelitian, baik darisumber dokumen maupun buku-buku, koran, danlain-lain. Teknik ini untuk mengumpulkan data hasilbelajar dan mendokumentasikan setiap kegiatandilakukan saat penelitian berlangsung.

Alat Pengumpul DataAlat pengumpul data dalam penelitian ini yaitu:lembar observasi langsung, panduan wawancara,tes, dan dokementasi.

Lembar observasi digunakan sebagai alatmengukur atau menilai dalam melakukanpengamatan aktivitas siswa pada saat kegiatanpembelajaran berlangsung dengan modelKooperatif Numbered Heads Together (NHT) dimulaidari kegiatan awal, inti, dan penutup yangdilakukan oleh peneliti.

Panduan wawancara digunakan untukmenghimpun data, terutama untuk mengetahuitanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan,motivasi bagi objek yang akan diwawancarai,setelah kegiatan pembelajaran berlangsungdengan model kooperatif Numbered Heads Together(NHT).

Trianto (2011) mengatakan bahwa pemberiantes dilakukan dua kali, yaitu sebelum prosespembelajaran dimulai (pretest) dan sesudahproses pembelajaran (post test). Soal tes yangdigunakan dalam penelitian ini yaitu tes tertulisdalam bentuk essai. Menurut Arikunto (2010)instrumen yang berupa tes dapat digunakanuntuk mengukur kemampuan dasar dan

pencapaian hasil belajar (dalam Yuliarni, 2009).Dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkandata berupa dokumen-dokumen seperti RPP,si labus, soal, hasil belajar, foto, dan lainsebagainya yang dapat memperkuat data olehpeneliti dalam pelaksanaan kegiatan pem-belajaran model kooperat if Numbered HeadsTogether (NHT).

Teknik Analis DataData yang diperoleh melalui hasil belajar diolahmenjadi nilai dan persentase ketuntasan. Untukmengolah hasil belajar berupa nilai siswadigunakan rumus sebagai berikut:

Rumus : 100xTSSKB

Keterangan:KB : Ketuntasan BelajarS : SkorTS : Total Skor( Trianto; 2011)

Untuk melihat persentase ketuntasan belajarsiswa menggunakan rumus persentase, yaitu:

Rumus %100xBA% .

Keterangan:% : Persentase siswaA : Jumlah siswa yang tuntasB : Jumlah siswa seluruhnya(Trianto:2011)

Hasil Penelitian dan PembahasanBentuk penelitian ini yaitu penelitian tindakankelas, bertujuan untuk meningkatkan hasil belajarsiswa pada mata pelajaran PKn. Penelitian inidilakukan pada kelas XA SMAN 1 Beduai Kabu-paten Sanggau yang mengambil populasi 38siswa. Pelaksanaan penelitian menggunakan 2siklus, di mana setiap siklusnya terdiri atas tahapperencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi.Satu siklus terdiri atas satu pertemuan meng-gunakan alokasi waktu 2 x 45 menit denganmenggunakan satu rencana pelaksanaan pem-belajaran yang telah disiapkan dan materi yangdi bahas sesuai dengan rencana pembelajaran.

Pada penelitian ini, peneliti dan guruberkolaborasi membuat rencana pelaksanaanpembelajaran dengan menyusun skenariotindakan dengan model pembelajaran kooperatif

Page 95: jurnal dikbud tahun 2012

402

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Numbered Heads Together (NHT). Dalam pem-bahasan ini akan dijabarkan perkembangankegiatan belajar mengajar mulai dari prasiklussampai pelaksanaan siklus terhadap hasil belajarsiswa selama tindakan berlangsung.

PrasiklusBerdasarkan hasil observasi yang dilaksanakanpada praobservasi tanggal 6 Agustus 2011, gurulebih dominan menggunakan metode ceramah,dan mencatat materi di papan tulis, sehinggasiswa kurang bersemangat dalam pelaksanaanpembelajaran. Banyak di antara siswa tidakmemperhatikan guru menjelaskan, dan ada jugayang berbicara pada teman sebangkunya. Hasilpost test yang dilaksanakan pada tanggal 22Oktober 2011, menunjukkan bahwa tidak adasatu pun siswa yang tuntas. Oleh karena itu,diperlukan strategi yang dapat meningkatkan hasilbelajar siswa melalui model kooperatif NumberedHeads Together (NHT).

Siklus 1Siklus I dilakukan dalam 1 kali pertemuan dandilakukan pada hari Sabtu tanggal 5 September2011 dari pukul 07.00–08.30 WIB. Siklus I inimembahas tentang materi Sistem Hukum Nasional.Siklus ini terdiri atas tahap perencanaan, tindakan,observasi, dan refleksi.

Pada tahap perencanaan dirancangperangkat dan instrumen pembelajaran (rencanapelaksanaan pembelajaran model kooperatifNumbered Heads Together, LKS, post test, danlembar observasi). Perangkat ini disusun olehpeneliti dan didiskusikan bersama guru matapelajaran PKn SMA Negeri 1 Beduai KabupatenSanggau. Sebelum tahap tindakan pada siklus I,terlebih dahulu dilakukan post test dengan alokasiwaktu 45 menit. Post test ini dilakukan untukmelihat kemampuan awal siswa sebelumdilakukan tindakan. Pemberian post test diberikanpada tanggal 22 Okober 2011, untuk melihatkemampuan awal siswa dan pembentukankelompok belajar siswa.

Dalam pemberian post test diikuti siswasebanyak 23 orang. Hasil post test tidak ada satupun siswa yang mencapai ketuntasan belajar.Adapun hasil post test dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Post Test

No Nama JK Kelas Skor Jumlah

Skor Nilai

1 2 3

1 Ali Imran L XA 1 10 1 12 48 2 Andi Sopianus L XA 2 2 1 5 20 3 Andreas Enggi L XA 0 0 0 0 0 4 Anis Yuniasari P XA 1 8 2 11 44 5 Marselinus Aprianus L XA 2 5 2 9 36 6 Bayu Alhuda L XA 0 0 0 0 0 7 Budi Irawan L XA 0 10 0 10 40 8 Clara Erna P XA 2 5 2 9 36 9 Dessy Andri Yani P XA 0 0 0 0 0

10 Emilia Tiwi P XA 2 7 1 10 40 11 Erni P XA 0 0 0 0 0 12 Faleria Selvi P XA 5 1 1 7 28 13 Fransiskus Leonardo L XA 0 0 0 0 0 14 Hilarius Aprianto L XA 0 0 0 0 0 15 Indah Roida Simaremare P XA 0 0 0 0 0 16 Kornelius A'ad L XA 0 0 0 0 0 17 Kristina Kaleng P XA 0 0 0 0 0 18 Mariana Kartini P XA 0 0 0 0 0

Page 96: jurnal dikbud tahun 2012

403

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

19 Marselius Silvester L XA 0 0 0 0 0 20 Marsiana Kamsiar P XA 0 0 0 0 0 21 Muhamad Tri Hanafi L XA 0 0 0 0 0 22 Nataria Donata P XA 5 5 1 11 44 23 Palentinus Rulli Junardi L XA 2 8 2 12 48 24 Pasiah Tatah P XA 2 2 1 5 20 25 Pransiskus Eki L XA 2 2 2 6 24 26 Ratmiyati P XA 1 8 1 10 40 27 Sele Endah Lestari P XA 1 5 2 8 32 28 Silvester Sandika A. P XA 2 1 2 5 20 29 Suliyani P XA 1 10 2 13 52 30 Tasiana Meri P XA 1 2 2 5 20 31 Uvi Srirahayu P XA 0 0 0 0 0 32 Viktor Use L XA 2 2 1 5 20 33 Yohana P XA 1 2 2 5 20 34 Yohanes Vicky L XA 1 5 2 8 32 35 Yosep Wely P XA 0 0 0 0 0 36 Yuli Herlina L XA 1 10 0 11 44 37 Yuliana Yulia P XA 1 5 1 7 28 38 Adhi Prabowo L XA 0 10 1 11 44

Tahap selanjutnya adalah tindakan dengan

menggunakan model kooperatif Numbered HeadsTogether (NHT). Tindakan dilakukan dengan alokasiwaktu selama 2 x 45 menit. Pertama-tama gurumembuka pelajaran dengan mengabsen siswa.Selanjutnya, menyampaikan tujuan pembelajarandan memotivasi siswa dengan mengulas materisebelumnya, yaitu tentang konsepsi dari hukum.Namun, guru tidak menanyakan LKS yangdiberikan sudah dipelajari atau belum. Kegiatanini memakan waktu kurang lebih 10-12 menit.

Dalam pembelajaran kooperatif NumberedHeads Together (NHT) terdapat 6 fase, yaitu: dalamfase 1, di awal pelaksanaan pembelajaranberlangsung disampaikan tujuan dan motivasisiswa dengan mengulas sedikit materi sebe-lumnya, yakni dengan melontarkan pertanyaanseperti konsepsi hukum, sumber hukum, danpasal berapa yang menyatakan bahwa negaraIndonesia adalah negara hukum. Siswa masihbelum aktif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan oleh guru dan mereka sibuk untukmencari jawaban. Setelah beberapa lama, barulahmereka menjawab pertanyaan guru. Waktu yangdigunakan dalam fase 1 ini selama sekitar10menit.

Dalam fase 2, guru menyampaikan informasikepada siswa selama 20 menit (07.10–07.30

WIB). Guru menjelaskan bahwa penggolonganhukum dapat dibagi menjadi beberapa aspek,yaitu berdasarkan bentuk, waktu, subjek, isi, danfungsinya. Pada saat guru menyampaikan materi,guru sering meminta siswa untuk berpendapattentang contoh hukum berdasarkan isi, ruanglingkup, tugas, dan fungsinya. Selanjutnya, gurumenjelaskan tentang sumber hukum, hukumterdiri atas undang-undang, kebiasaan,keputusan hakim, traktat, dan dokrin. Guru jugamenyelipkan sedikit pertanyaan kepada siswaagar siswa mengeluarkan pendapat sendiri. Materiselanjutnya mengenai urutan peraturanperundang-undangan menurut Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 dan menurut Undang-Undang No 10Tahun 2004. Namun, selama guru menjelaskanmateri tidak ada siswa yang bertanya kepadaguru terhadap materi yang kurang difahami.

Pada fase 3, mengorganisasikan siswa dalamkelompok belajar. Pada saat pembagian kelompok,suasana kelas menjadi ribut dan waktu yangdibutuhkan 5 menit (07.30–07.35). Pada saatpembagian kelompok guru hanya mengarahkanposisi kelompok masing-masing. Kelompoktersebut sudah dibentuk seminggu sebelumnyaoleh guru. Setelah pembagian kelompok, gurumenjelaskan mekanisme pembelajaran pada saatevaluasi.

Page 97: jurnal dikbud tahun 2012

404

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Fase 4, membimbing kelompok belajar siswa.Pada fase ini guru terlihat tidak memberi bimbingankepada kelompok belajar siswa dalam berdiskusimenyelesaikan soal-soal yang ada di LKS, tetapiguru hanya memberikan kesempatan kepadasiswa untuk menyelesaikan tugas pada LKS. Padasaat diskusi guru hanya memberikan waktu 10menit (07.35-07.45 WIB) untuk menyelesaikandiskusi.

Pada fase 5, yaitu tahap evaluasi terlihatsiswa lebih bersemangat untuk belajar dan siswamasih mengerjakan soal di LKS. Waktu yangdiperlukan dalam fase ini adalah 30 menit (07.45–08.15 WIB). Guru menyuruh siswa untukmemanggil nomor kelompok yang akanmempresentasikan di depan kelas. Kemudian gurumemberikan kepada kelompok yang lain untukmemanggil nomor-nomor siswa dan nomor soal.Begitu seterusnya sampai waktu yang ditentukanselesai, dan bagi kelompok yang belum mendapatgiliran dipanggil minggu depan.

Kelompok yang pertama maju yaitu kelompokD dan nomor siswa yang dipanggil yang pertamaD1 dengan nomor soal nomor 11, yaitu bagaimanapendapat anda mengenai hukum di Indonesia?Kemudian D1 menjelaskan pendapatnya mengenaihukum di Indonesia, selanjutnya guru memintatanggapan dari kelompok lain dengan nomor yangsama, yaitu nomor 1. Setelah semua kelompokmemberi tanggapan guru tidak memberipenghargaan kepada siswa yang telah memberitanggapannya.

Selanjutnya, guru meminta kepada siswakembali untuk mengambil nomor siswa dan nomorsoal. Nomor yang dipanggil yaitu nomor D4 dansoal nomor 3, yaitu sebutkan penggolonganhukum. Guru melakukan hal yang sama padapelaksanaan sebelumnya. Setelah 15 menitberakhir guru memanggil kelompok selanjutnya,kelompok yang dipanggil, yakni kelompok G. Halyang sama dilakukan seperti yang dilaksanakandalam kelompok D sebelumnya.

Fase 6, pemberian penghargaan kepadasiswa. Namun, dalam pelaksanaannya gurukurang memberikan penghargaan kepada siswabaik yang menjawab, memberikan tanggapan,maupun kelompok yang telah berpresentasi didepan kelas.

Pada kegiatan penutup selama 15 menit(08.15-18 30 WIB), yakni penarikan simpulanterlihat siswa kurang memperhatikan guru, karenasibuk untuk mencari tempat duduk. Gurumenanyakan sedikit kepada siswa tentang apayang telah dipelajari tadi dan siswa pun menjawabdengan baik dari pertanyaan yang disampaikanguru. Selanjutnya, guru memberikan post testuntuk mengukur hasil belajar siswa.

Pada tahap ketiga observasi guru melakukantindakan, sedangkan peneliti bertugas sebagaiobserver. Tujuan dari observasi dalam penelitianini yaitu untuk mengetahui dan memperolehgambaran lengkap secara objekt if tentangperkembangan proses dan pengaruh tindakanyang dipil ih terhadap pembelajaran yangdilakukan pendidik dalam menyampaikan materisistem hukum nasional dengan model kooperatifNumbered Heads Together (NHT). Secara lengkaphasil observasi sebagai berikut: a) Pada siklus 1,ada fase yang tidak dilakukan oleh guru, yaitu fase4 mengenai bimbingan guru kepada siswa dalamkelompok belajar mereka; b) Pada saatmenyampaikan informasi (fase 2) guru terlihatterburu-buru, sehingga membuat siswa kurangterfokus terhadap apa yang disampaikan olehguru; c) Pada saat pengorganisasian kelompok,suasana kelas menjadi r ibut; d) Pada saatmenyelesaikan tugas, terlihat hanya 6 kelompokyang melaksanakan diskusi dengan baik,sedangkan 2 kelompok lainnya masih belumberdiskusi dengan baik karena hanya sebagiandari kelompoknya yang mengerjakan tugas yangada di LKS. Terlihat mereka kurang bertanggungjawab terhadap pekerjaan kelompoknya; e) Padasaat membahas hasil kerja kelompok, hanya 2orang siswa yang memberikan tanggapan laindari nomor soal yang ada; f) Setelah siswamenjawab pertanyaan ataupun tanggapan, gurukurang memberikan penghargaan kepada siswa;dan g) Di akhir pelajaran guru tidak menariksimpulan, namun langsung menanyakan kepadasiswa apa yang telah dipelajari. Alangkah baiknyaguru menyimpulkan sedikit dari pembahasankelompok, terutama soal-soal yang diambil.

Berdasarkan hasil observasi pada tindakan,peneliti melakukan refleksi dengan guru padasiklus I (pertama), walaupun hasil belajar danproses pembelajaran sudah mengalami sedikit

Page 98: jurnal dikbud tahun 2012

405

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

perubahan, kekurangan-kekurangan masihditemui. Berikut hasil refleksi peneliti dengan guru,yaitu: a) pada awal pembelajaran guru masihbelum menanyakan kepada siswa apakah LKSyang dibagikan sudah dipelajari. Solusinya, padasiklus II guru terlebih dahulu menanyakan kepadasiswa sudah atau belum mempelajari LKS; b) gurubelum membimbing siswa dalam kelompok ketikadiskusi kelompok. Hal ini dikarenakan guru belumpernah melaksanakan model kooperatif NumberedHeads Together (NHT). Di siklus II, guru lebihbersifat sosial terhadap siswa dalam membimbingkelompok belajar siswa untuk menyelesaikan soal-soal yang ada pada LKS; c) guru terlihat terburu-buru dalam penyampaian materi. Ini dikarenakanguru takut kehabisan waktu yang akandilaksanakan pada fase berikutnya. Untukmengatasi hal tersebut, guru meminta siswa untukmempelajari LKS yang telah diberikan; d) siswacanggung dalam berinteraksi dengan siswa laindalam berdiskusi kelompok, sehingga masihbanyak terdapat kelompok yang pasif. Hal inidikarenakan siswa jarang melakukan diskusikelompok. Solusinya, pada siklus II guru lebih

memberikan motivasi dan mendorong siswa untukdapat bekerja sama dengan kelompoknya; e)Siswa masih terlihat canggung dalam menjawabpertanyaan dan mengeluarkan pendapat. Inidikarenakan mereka tidak terbiasa untuk bertanyaatau mengemukakan pendapat. Disepakati padasikus II guru dapat memancing siswa untuk beranibertanya dan menjawab pertanyaan yangdiberikan; f) Guru kurang memberikan peng-hargaan kepada siswa yang telah menjawabpertanyaan maupun memberikan tanggapan.Untuk siklus II guru lebih sering memberikanpenghargaan kepada siswa yang mengemukakanpendapat dan menjawab pertanyaan, serta sudahberani tampil.

Untuk mengetahui hasil belajar siswa padasiklus I diberikan post test. Kemampuan akhir siswadalam menguasai materi sistem hukum nasionalsetelah melalui pembelajaran dengan tindakankelas berupa pembelajaran dengan modelkooperatif Numbered Heads Together (NHT) padasikus I mengalami peningkatan dapat dilihat padaTabel 2.

No Nama JK Kelas Nilai

Pra tindakan Siklus I Skor Nilai Skor Nilai

1 Ali Imran L XA 12 48 40 80 2 Andi Sopianus L XA 5 20 18 36 3 Andreas Enggi L XA 0 0 40 80 4 Anis Yuniasari P XA 11 44 43 86 5 Marselinus Aprianus L XA 9 36 39 78 6 Bayu Alhuda L XA 0 0 33 66 7 Budi Irawan L XA 10 40 0 0 8 Clara Erna P XA 9 36 29 58 9 Dessy Andri Yani P XA 0 0 16 32

10 Emilia Tiwi P XA 10 40 31 62 11 Erni P XA 0 0 0 0 12 Faleria Selvi P XA 7 28 12 24 13 Fransiskus Leonardo L XA 0 0 31 62 14 Hilarius Aprianto L XA 0 0 20 40 15 Indah Roida Simaremare P XA 0 0 33 66 16 Kornelius A'ad L XA 0 0 33 66 17 Kristina Kaleng P XA 0 0 22 44 18 Mariana Kartini P XA 0 0 32 64

Tabel. 2 Hasil Post Test Prasiklus dan Siklus I

Page 99: jurnal dikbud tahun 2012

406

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

19 Marselius Silvester L XA 0 0 35 70 20 Marsiana Kamsiar P XA 0 0 35 70 21 Muhamad Tri Hanafi L XA 0 0 0 0 22 Nataria Donata P XA 11 44 34 68 23 Palentinus Rulli Junardi L XA 12 48 0 0 24 Pasiah Tatah P XA 5 20 28 56 25 Pransiskus Eki L XA 6 24 18 36 26 Ratmiyati P XA 10 40 32 64 27 Sele Endah Lestari P XA 8 32 33 66 28 Silvester Sandika A. P XA 5 20 43 86 29 Suliyani P XA 13 52 43 86 30 Tasiana Meri P XA 5 20 32 64 31 Uvi Srirahayu P XA 0 0 32 64 32 Viktor Use L XA 5 20 32 64 33 Yohana P XA 5 20 0 0 34 Yohanes Vicky L XA 8 32 29 58 35 Yosep Wely P XA 0 0 0 0 36 Yuli Herlina L XA 11 44 35 70 37 Yuliana Yulia P XA 7 28 35 70

38 Adhi Prabowo L XA 11 44 48 96 JUMLAH

780 2032

Rata-rata

32,5

61,58

Dari Tabel 2, dapat dilihat perkembangan hasilbelajar yang diperoleh oleh siswa saat diberikanpretest dan post test pada siklus I. Siswa yangmengalami ketuntasan belajar atau yangmemperoleh nilai ketuntasan 70-100 pada siklusI sekitar 11 siswa dari jumlah keseluruhan (32siswa yang hadir dari 38 siswa) dan dapatpersentasi siswa yang tuntas yaitu 34,38%.

Hasil tindakan pada siklus I menunjukkanbahwa hasil belajar yang didapat belum mencapaiindikator yang ditentukan untuk hasil belajar (>50% dari siswa yang mencapai ketuntasan belajarKKM = 70 pada materi yang disampaikan) dan padaproses pembelajaran masih banyak kekurangandan berdasarkan hasil kesepakatan antara penelitidengan guru PKn SMAN 1 Beduai KabupatenSanggau, diputuskan untuk melanjutkan padasiklus II

Siklus 2Siklus II terdiri atas 1 kali pertemuan dandilaksanakan pada hari Senin, 14 Nopember 2011,dengan alokasi waktu 2 x 45 menit (10.30 – 12.00WIB.) dan materi yang diajarkan adalah lembaga-lembaga peradilan nasional. Tahap-tahap yang

dilakukan pada siklus II sama dengan tahap siklusI, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dandiakhiri dengan refleksi. Pada siklus II terjadiperubahan hari dan jam, karena pada tanggal10-12 Nopember 2011 sekolah tidak melak-sanakan pembelajaran. Berdasarkan hasil diskusibersama dengan guru mata pelajaran PKn, bahwajadwalnya diubah dari hari Sabtu menjadi hariSenin.

Perencanaan merupakan kegiatan lanjutandari siklus I. Berdasarkan pada beberapapermasalahan dan solusi yang sudah didiskusikanoleh peneliti dan guru dirancanglah kegiatanpembelajaran siklus II. Tahap-tahap kegiatanpembelajaran sama dengan siklus I, namunsebelum dilaksanakan siklus II siswa dimintamengerjakan soal di LKS di rumah terlebih dahulu.Hal ini bertujuan agar siswa mempelajari materiyang diberikan dan pada saat penyampaikanmateri tidak memakan waktu yang lama.

Tahap tindakan pada siklus II sudah lebih baikdari siklus I. Sama seperti siklus I, pada kegiatanpendahuluan guru mengulas materi yang telahdisampaikan pada siklus I tentang Sistem HukumNasional. Sebelumnya, guru terlebih dahulu

Page 100: jurnal dikbud tahun 2012

407

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

menanyakan kepada siswa apakah LKS yang telahdibagikan sudah dipelajari. Pada saat mengulasmateri, siswa terlihat aktif dalam menjawabpertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh gurutentang materi sebelumnya. Setiap pertanyaanyang diberikan guru langsung dijawab oleh siswa.Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikantujuan pembelajaran. Pada siklus II ini tidakdilakukan lagi pembagian kelompok.

Dalam fase 1, terlihat lebih baik dari siklussebelumnya, guru menyampaikan tujuanpembelajaran dan motivasi siswa denganmengulas sedikit materi sebelumnya, yaknidengan melontarkan pertanyaan seperti konsepsihukum, sumber hukum, dan pasal berapa yangmenyatakan bahwa negara Indonesia adalahnegara hukum. Siswa terlihat aktif dalammenjawab pertanyaan-pertanyaan guru dansudah berani mengeluarkan pendapatnya. Waktuyang digunakan dalan fase 1 ini adalah 10 menit.

Dalam fase 2, guru menyampaikan informasikepada siswa selama 15 menit (10.40–10.55WIB). Guru menjelaskan lembaga-lembagaperadilan yang ada di Indonesia, dimulai daripengadilan tingkat 1, tingkat banding atau tingkat2, dan tingkat kasasi. Sama seperti di siklussebelumnya saat guru menyampaikan materi, gurusering meminta siswa untuk berpendapat tentangperadilan nasional ini. Guru juga menyelingkansedikit pertanyaan kepada siswa agar siswamengeluarkan pendapat sendiri. Saat gurumelontarkan kesempatan kepada siswa untukbertanya, siswa sudah mau bertanya hal yangbelum mereka ketahui akan materi yangdisampaikan.

Pada fase 3, mengorganisasikan siswa dalamkelompok belajar. Pada saat pembagian kelompok,suasana kelas masih seperti siklus I, namun siswalangsung mencari anggota kelompoknya danwaktu yang dibutuhkan 5 menit (10.55–11.00WIB). Setelah pembagian kelompok, gurumenjelaskan mekanisme pembelajaran pada saatevaluasi.

Sama seperti siklus I, fase 4 membimbingkelompok belajar siswa. Pada fase ini guru sudahterlihat memberi bimbingan kepada kelompokbelajar siswa dalam berdiskusi menyelesaikansoal-soal yang ada di LKS, guru juga memberikansedikit pengarahan untuk menyelesaikan soal-soal

di LKS kepada siswa. Pada saat diskusi guru hanyamemberikan waktu 10 menit (11.00–11.10 WIB)untuk menyelesaikan diskusi.

Pada fase 5, tahap evaluasi terlihat siswalebih bersemangat untuk belajar dan siswa masihada kelompok yang mengerjakan soal di LKS.Waktu yang diperlukan dalam fase ini adalah 30menit (11.10–11.40 WIB). Guru menyuruh siswauntuk memanggil nomor kelompok yang akanmempresentasikan di depan kelas. Kemudian gurumemberikan kepada kelompok yang lain untukmemanggil nomor siswa dan nomor soal. Begituseterusnya sampai waktu yang ditentukan selesai.

Kelompok yang terpanggil yaitu kelompok Adan nomor siswa yang dipanggil adalah yangpertama A3 dengan nomor soal nomor 10, yaitumenurut anda apakah peradilan yang ada diIndonesia sudah berjalan dengan baik sesuaidengan prosedur, tugas dan wewenang darisuatu peradilan? Kemudian A3 menjelaskanpendapatnya, selanjutnya guru memintatanggapan dari kelompok lain dengan nomor yangsama, yaitu nomor B3, C3, D3, E3, F3, dan G3.Setelah semua kelompok memberi tanggapanguru tampak sudah memberi penghargaankepada siswa yang telah memberi tanggapan.

Selanjutnya, guru meminta kepada siswakembali untuk mengambil nomor siswa dan nomorsoal. Nomor yang dipanggil adalah nomor A4 dansoal nomor 8, yaitu sebutkan dan jelaskan tugasdan wewenang pengadilan agama dan pengadilantinggi agama. Guru melakukan hal yang samapada pelaksanaan sebelumnya. Setelah 15 menitberakhir, guru memanggil kelompok selanjutnya,kelompok yang dipanggil adalah kelompok C. Halyang sama dilakukan seperti yang dilaksanakandalam kelompok A sebelumnya.

Fase 6, pemberian penghargaan kepadasiswa. Dalam pelaksanaannya guru sudahmemberikan penghargaan berupa pujian kepadasiswa, baik yang menjawab, memberikantanggapan, maupun kelompok yang telahberpresentasi di depan kelas. Pada fase ini siswatampak senang dan antusias lebih dari siklus I.

Pada kegiatan penutup diperlukan waktu 20menit (11.40–12.00 WIB), yakni penarikansimpulan dimana terlihat siswa lebih mem-perhatikan guru. Guru meminta siswa untukmenyimpulkan sendiri materi yang disampaikan

Page 101: jurnal dikbud tahun 2012

408

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

pada hari ini dengan bertanya kepada setiapkelompok. Sedikit guru menanyakan kepada siswatentang apa yang telah dipelajari. Siswa punmenjawab dengan baik dari pertanyaan yangdisampaikan guru, yang selanjutnya, gurumemberikan postes untuk mengukur hasil belajarsiswa.

Sama seperti siklus I, observasi pada siklusII juga memerlukan observer. Pada siklus II initelah banyak mengalami perubahan. Hal ini dapatdilihat dari hasil observasi sebagai berikut: 1) Padasiklus II semua langkah-langkah pembelajaran(fase-fase) telah dilaksanakan; 2) Pengalokasianwaktu sesuai dengan yang direncanakan; 3)Terlihat sebagian siswa telah dapat mengikutipembelajaran dan memperhatikan guru saatmenyampaikan materi dengan baik. Hal inimenunjukkan bahwa mereka telah merasa ikutambil bagian dalam pembelajaran ini; 4) Keaktifansiswa dalam bertanya ataupun menjawab mulaiterlat ih, terl ihat siswa sudah berani untukmengeluarkan pendapatnya masing-masing, baikdalam penyampaian materi maupun dalam diskusikelompok; 5) Dari 11 soal di LKS, hanya soal nomor11 saja mereka sedikit keliru mengerjakannya;dan 6) Guru telah memberikan penghargaankepada siswa yang menjawab, ataupun yangbertanya kepada guru atau kepada temannyasaat menyampaikan materi dan diskusiberlangsung; 7) Guru telah meminta siswa untuk

bersama-sama menyimpulkan tentang materiyang telah dipelajari; dan 8) Setelah pelaksanaanpembelajaran berlangsung, dilanjutkan denganrefleksi untuk membahas hasil observasi. Prosespembelajaran yang mengalami perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik padapembelajaran dengan metode Numbered HeadsTogether (NHT) setelah 2 siklus dapatmeningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaranPKn.

Hasil refleksi antara guru dan peneliti sebagaiberikut: a) Guru telah memberikan bimbingankepada siswa saat dalam berdiskusi kelompok;b) Guru sudah dapat mengalokasikan waktudengan baik; c) Siswa sudah tidak canggunguntuk berinteraksi dengan siswa dalamkelompoknya, dan untuk bertanya maupunmenjawab; serta d) Siswa sudah aktif dalambertanya dan menjawab pertanyaan dari guru.

Suasana pembelajaran dirasakan lebih baikdibandingkan siklus I. Hal ini tampak dari hasilobservasi pada kegiatan belajar-mengajar. Samahalnya dengan siklus I, untuk melihat hasil belajardilakukan post test. Kemampuan akhir siswa dalammenguasai materi lembaga peradilan nasionalsetelah melalui pembelajaran dengan tindakankelas yang berupa pembelajaran dengan modelkooperatif Numbered Heads Together (NHT) padasikus I dan II mengalami peningkatan. Dapatdilihat pada Tabel 3.

Tabel. 3 Hasil Post Test dari Prasiklus, Siklus 1 dan Siklus 2

No Nama JK Kelas Nilai

Pra tindakan Siklus I Siklus 2 Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai

1 Ali Imran L XA 12 48 40 80 35 70 2 Andi Sopianus L XA 5 20 18 36 35 70 3 Andreas Enggi L XA 0 0 40 80 32 64 4 Anis Yuniasari P XA 11 44 43 86 38 76 5 Marselinus Aprianus L XA 9 36 39 78 35 70 6 Bayu Alhuda L XA 0 0 33 66 35 70 7 Budi Irawan L XA 10 40 0 0 30 60 8 Clara Erna P XA 9 36 29 58 38 76 9 Dessy Andri Yani P XA 0 0 16 32 35 70

10 Emilia Tiwi P XA 10 40 31 62 38 76 11 Erni P XA 0 0 0 0 45 90 12 Faleria Selvi P XA 7 28 12 24 37 74 13 Fransiskus Leonardo L XA 0 0 31 62 32 64

Page 102: jurnal dikbud tahun 2012

409

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

Dari Tabel 3 dapat dilihat perkembangan hasilbelajar yang diperoleh oleh siswa saat diberikanpost test, yaitu post test pada siklus I, dan posttest siklus II. Siswa yang mengalami ketuntasanbelajar atau yang memperoleh nilai ketuntasan70-100 pada siklus II sekitar 20 siswa dari jumlahkeseluruhan (34 siswa yang hadir dari 38 siswa)dan dapat persentasi siswa yang tuntas sebesar54,82%.

Hasil tindakan pada siklus II menunjukkanbahwa hasil belajar yang didapat sudah mencapaiindikator yang ditentukan untuk hasil belajar(>50% dari siswa yang mencapai ketuntasanbelajar KKM = 70 pada materi yang disampaikan)

dan pada proses pembelajaran sudah banyakmengalami perubahan yang lebih baik darisebelumnya. Berdasarkan hasil kesepakatanantara peneliti dengan guru PKn SMAN 1 BeduaiKabupaten Sanggau, maka siklus pembelajarantidak dilanjutkan.

Peningkatan Hasil BelajarPeningkatan hasil belajar dapat diketahui darihasi l post test yang diberikan set iap akhirpembelajaran dengan model Kooperatif NumberedHeads Together (NHT) pada pra tindakan, siklus I,dan siklus II. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

No Siklus Jumlah siswa

Nilai Rata-rata kelas

Ketuntasan belajar (%) ≤ 70 ≥ 70

1 Pra siklus 38 38 0 32,50 0% 2 I 38 27 11 61,58 34,38% 3 II 38 18 20 71,88 54,82%

Tabel. 4 Ketuntasan Belajar Siswa pada Setiap Siklus

14 Hilarius Aprianto L XA 0 0 20 40 45 90 15 Indah Roida Simaremare P XA 0 0 33 66 40 80 16 Kornelius A'ad L XA 0 0 33 66 64 64 17 Kristina Kaleng P XA 0 0 22 44 33 66 18 Mariana Kartini P XA 0 0 32 64 0 0 19 Marselius Silvester L XA 0 0 35 70 40 80 20 Marsiana Kamsiar P XA 0 0 35 70 0 0 21 Muhamad Tri Hanafi L XA 0 0 0 0 0 0 22 Nataria Donata P XA 11 44 34 68 35 70 23 Palentinus Rulli Junardi L XA 12 48 0 0 34 68 24 Pasiah Tatah P XA 5 20 28 56 38 76 25 Pransiskus Eki L XA 6 24 18 36 30 60 26 Ratmiyati P XA 10 40 32 64 45 90 27 Sele Endah Lestari P XA 8 32 33 66 38 76 28 Silvester Sandika A. P XA 5 20 43 86 32 64 29 Suliyani P XA 13 52 43 86 38 76 30 Tasiana Meri P XA 5 20 32 64 34 68 31 Uvi Srirahayu P XA 0 0 32 64 34 68 32 Viktor Use L XA 5 20 32 64 30 60 33 Yohana P XA 5 20 0 0 34 68 34 Yohanes Vicky L XA 8 32 29 58 33 66 35 Yosep Wely P XA 0 0 0 0 0 0 36 Yuli Herlina L XA 11 44 35 70 34 68 37 Yuliana Yulia P XA 7 28 35 70 38 76 38 Adhi Prabowo L XA 11 44 48 96 40 80 JUMLAH 780 2032 2444 RATA-RATA

32,5

61,58

71,88

Page 103: jurnal dikbud tahun 2012

410

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Pada siklus I diketahui siswa yang tuntashanya 34,38%. Hal ini disebabkan siswa belummenguasai materi dan tingkat soal yang diberikantergolong kategori tinggi, sehingga tampakbanyak yang tidak tuntas. Ketuntasan belajarsiswa meningkat menjadi 54,82%, karena siswasudah lebih memahami materi dibandingkan siklussebelumnya dan soal yang diberikan tingkatannyasedikit direndahkan.

Dari hasil perolehan post test pratindakan,siklus 1 dan siklus 2, banyak ditemukanperubahan-perubahan pada perolehan hasilbelajar siswa. Ada beberapa siswa memiliki nilaistatis dan ada yang mengalami peningkatanmaupun penurunan. Hal ini disebabkan kekeliruandalam menganalisis soal, sehingga hasil jawabanyang dimaksud tidak mencapai skor maksimal.

Simpulan dan SaranSimpulanBerdasarkan hasil tindakan dan data yangdiperoleh dari tes hasil belajar pada siklus I dansiklus II dapat ditarik kesimpulan bahwa secaraumum bahwa penerapan Model Kooperat ifNumbered Heads Together (NHT) dapat mening-katkan hasil belajar siswa kelas XA SMA Negeri 1Beduai, Kabupaten Sanggau, sedangkan secarakhusus sebagai berikut.

Hasil belajar siswa kelas XA sebelumdilaksanakan tindakan dengan Model KooperatifNumbered Heads Together (NHT) dapat dikatakansangat rendah, tidak ada satu siswa yang tuntasdilihat dari post test yang diberikan pada saat

pratindakan. Nilai minimal yang diperoleh siswa20, dan nilai maksimal yang diperoleh siswa 48dari KKM yang ditetapkan, yaitu 70.

Hasil belajar siswa kelas XA sesudahdilaksanakan tindakan dengan Model KooperatifNumbered Heads Together (NHT) dapat mening-katkan hasil belajar. Hal ini dapat dilihat dari nilaiPost Test siswa setelah dilaksanakan siklus 1 dansiklus 2 menunjukkan adanya peningkatan. Padasiklus 2 indikator keberhasilan yang ditentukandapat tercapai, sebanyak 20 siswa (54,82%)sudah mencapai ketuntasan dalam belajar, nilaiminimal yang diperoleh siswa 64, dan nilaimaksimal yang diperoleh siswa 90 dari KKM yangditetapkan, yaitu 70.

SaranBerdasarkan tindakan yang telah dilakukan padasaat penelitian tindakan kelas, penelitimenyarankan hal-hal sebagai berikut. Pertama,pembelajaran melalui model kooperatif tekniknumbered heads together dapat menjadi salah satualternatif bagi guru. Dalam pelaksanaannya guruharus merencanakan alokasi waktu untuk setiapfase-fase dalam pembelajaran, sehingga tidakmenyebabkan kurangnya waktu. Guru harusmembimbing siswa dalam kegiatan diskusi, dansiswa sebaiknya ditugaskan untuk mempelajarimateri yang akan disampaikan terlebih dahulu.Pengelompokan siswa harus benar-benarheterogen dari segi tingkat kecerdasan karenasangat menentukan keberhasilan kelompok.

Pustaka Acuan

Ahmadi, Abu dan Tri Prasetya, Joko. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung: Pustaka Setia

Aristoteles. 1992. The Story of Philosophy, Kinsington Publishing Corp: Citadel Press

Astilia Pratiwi. 2010. Pentingnya Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan bagi Mahasiswa. Makalahdipublikasikan melalui http://tharra.wordpress.com. Diakses pada tanggal 24 Pebruari 2010.

Darmadi, Hamid. 2010. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indodesia No. 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Pendidikan Kewargarnegaraan. http://www.gudangmateri.com /2011 /05/tujuan-pendidikan-kewarganegaraan.html. Diakses tanggal11 oktober 2011)

Page 104: jurnal dikbud tahun 2012

411

Ahmad Jamalong, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten Sanggau

Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 tentangGuru dan Dosen. Bandung

Gagne, Robert, M. 1989. The Conditions of Learning and Teory of Instruction. Fourth edition. Publisherby Horlt, Rinehart and Wiston. Diterjemahkan oleh Pusat Antar University Pengembangan danPeningkatan Aktivitas Instruksional (PAU-PPAI) Universitas Terbuka.

Ibrahim, H. Muslimin. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press

Hamalik. 1995. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Hayati, Nurul. 2002. Model Cooperative Learning. Jakarta: Erlangga

Lie, Anita. 2010. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas.Jakarta: PT. Grasindo.

Kagan, Spencer. 1992. The Structural Approach to Cooperative Learning,” in Cooperative Learning: AResponse to Linguistic and Cultural Diversity. Edited by Daniel D. Holt. McHenry, Ill. andWashington, D.C.: Delta Systems and Center for Applied Linguistics,

Mulya, Hamdani. 2012. Metode Pembelajaran Kooperatif. STAIN Malikussaleh Lhokseumaweh: UnimalPress.

Nawawi, Hadari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Plato.1986. Ilmu Filsafat. Bandung: Sinar baru

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-Undangan. Jakarta

Ketetapan MPR. Nomor III/MPR/2000. Peraturan Perundang Undangan tentang Sumber dan TataUrutan Peraturan Perundang-Undangan

Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Rusman, 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Slavin. 1995. An Introduction to Cooperative Learning Research. London: Plenum Press.

Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas (Classrooom Action Research).Surabaya:Prestasi Pustakaraya.

Yuliarni, Asri. 2009. Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Siswa melalui Model Kooperatif Teknik Think PairShare (TPS) pada Materi Hidrokarbon Kelas X SMAN 02 Sekayam. Skripsi Sarjana Pendidikan padaUniversitas Tanjungputa Pontianak.

Widyaningsih, Wahyu. 2008. Kel. 3 Cooperative Learning sebagai Model Pembelajaran Alternatif untukMeningkatkan Motivasi Siswa pada Mata Pelajaran Matematika. Makalah dipbulikasikan melaluihttp://tpcommunity05.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10 Januari 2013).

Page 105: jurnal dikbud tahun 2012

382

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN GURUDALAM MENGIMPLEMENTASIKAN PENDIDIKAN INKLUSIF

(TEACHER AND HEADMASTER PERFORMANCEON THE IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION)

Munawir YusufUniversitas Sebelas Maret Surakartae-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 29/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 3/12/2012

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja kepala sekolah dan guru dalammengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah dasar (SD). Untuk mencapai tujuan tersebut,dilakukan penelitian survei ke SD penyelenggara pendidikan inklusif di 4 (empat) wilayahkabupaten/kota, yaitu Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali, Provinsi Jawa Tengah.Jumlah sampel dalam penelitian ini 51 SD Inklusi, 51 kepala sekolah, dan 103 guru kelas. Datadikumpulkan dengan menggunakan angket dan diolah secara statistik deskriptif. Validitas angketkepala sekolah berada dalam rentang 0.312 - 0.796 dengan reliabilitas 0.962. Validitas angketguru berada dalam rentang 0.290 - 0.815 dengan reliabilitas 0.956. Hasil penelitian menunjukkanbahwa: 1) kinerja kepala sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalamkategori sedang; 2) kinerja guru kelas dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif beradadalam kategori sedang; dan 3) skor kinerja kepala sekolah rata-rata (65,45%), lebih tinggidibanding skor rata-rata yang dicapai guru (62,3%).

Kata kunci: pendidikan inklusif, sekolah inklusif, kinerja guru, kepala sekolah, dan SD

Abstract: This study aimed to describe the performance of school principals and teachers inimplementing inclusive education in primary school. To achieve these objectives, a researchsurvey has been conducted at primary schools that organize inclusive education in 4 areadistricts, namely Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo and Boyolali, in Central Java Province.The numbers of samples in this study were 51 inclusion elementary schools, 51 school principals,and 103 classroom teachers. Data were collected and processed using questionnaires anddescriptive statistics, respectively. Questionnaire Validity for School Principals is in the range of0312-0796 with 0962 reliability. Questionnaire Validity for Teachers is in the range of 0290-0815 with 0956 reliability. The results can be summarized as follows: 1) The performance ofschool principals in implementing inclusive education is in the medium category; 2) performanceof classroom teachers in implementing inclusive education is in the medium category; and 3)Principal performance score average (65.45 %), higher than the average score achieved byteachers (62.3%).

Keywords: inclusive education, school Inclusive, teacher and school principal performance,elementary school

PendahuluanUndang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional telah meng-amanatkan bahwa pendidikan bagi anak yangmengalami hambatan belajar karena kelainan fisik,mental, intelektual, emosi dan sosial atau yang

memiliki potensi-potensi kecerdasan dan bakatistimewa, diselenggarakan secara inklusif atauberupa satuan pendidikan khusus (penjelasanPasal 15). Sesuai dengan Peraturan MenteriPendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2010tentang Pendidikan Inklusif. Pendidikan Inklusif

Page 106: jurnal dikbud tahun 2012

383

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yangmemberikan kesempatan kepada semua pesertadidik yang memiliki kelainan dan memiliki potensikecerdasan dan/atau bakat istimewa untukmengikuti pendidikan atau pembelajaran dalamsatu lingkungan pendidikan secara bersama-samadengan peserta didik pada umumnya (Pasal 1).Salah satu tujuan pendidikan inklusif dikem-bangkan di Indonesia, yaitu untuk mewujudkanpenyelenggaraan pendidikan yang menghargaikeanekaragaman dan tidak diskriminatif bagisemua peserta didik (Pasal 2).

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, makasetiap sekolah reguler yang menyelenggarakanpendidikan inklusif perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian, baik dari aspek manajemen sekolahyang merupakan tugas dan tanggung jawabkepala sekolah maupun manajemen kelas danpembelajaran yang merupakan tugas dan tang-gung jawab guru. Manajemen sekolah termasukdi dalamnya: 1) manajemen kurikulum danpembelajaran; 2) manajemen kesiswaan; 3)manajemen sarana dan prasarana; 4) manajemenSDM; 5) manajemen keuangan; dan 6) mana-jemen kerja sama dan kehumasan.

Adapun manajemen kelas termasuk didalamnya: 1) penyusunan perangkat pem-belajaran; 2) pelaksanaan pembelajaran; 3) pe-nilaian; 4) penggunaan media dan sumber belajar;dan 5) pengaturan tempat duduk. Beberapadimensi manajemen sekolah dan manajemenkelas tersebut akan mengalami penyesuaian,perubahan, dan/atau adaptasi ketika sekolahregular biasa berubah menjadi sekolah inklusi.Oleh karena itu, pihak sekolah perlu memilikipemahaman yang sama tentang apa danbagaimana mengelola sekolah inklusi yang baikdan benar berdasarkan standar dan/atau kriteriayang diakui dan berlaku secara nasional, sertadapat dipertanggung jawabkan secara akademikmaupun administratif.

Keberhasilan dalam penyelenggaraanpendidikan inklusif sangat tergantung padabanyak faktor. Di tingkat satuan pendidikan, kuncikeberhasilan pendidikan inklusif terletak padakepala sekolah dan guru. Dengan demikian,kinerja kepala sekolah dan guru sangat pentingmenjadi perhatian bagi semua pihak dalam

rangka mewujudkan pendidikan inklusif yang lebihbaik pada tingkat sekolah.

Berdasarkan latar belakang pemikirantersebut, dirumuskan masalah penelitian sebagaiberikut: 1) bagaimana tingkat kinerja kepalasekolah dalam mengimplementasikan pendidikaninklusif? 2) bagaimana tingkat kinerja guru dalammengimplementasikan pendidikan inklusif?3) apakah ada perbedaan kinerja kepala sekolahdan guru dalam mengimplementasikan pendidikaninklusif?

Dengan mengacu pada rumusan masalahtersebut, maka tujuan penelitian ini dimaksudkanuntuk mengetahui: 1) tingkat kinerja kepalasekolah dalam mengimplementasikan pendidikaninklusif; 2) untuk mengetahui tingkat kinerja Gurudalam mengimplementasikan pendidikan inklusif;dan 3) untuk mengetahui perbedaan kinerjakepala sekolah dan guru dalam mengimple-mentasikan pendidikan inklusif di tingkat satuanpendidikan.

Kajian LiteraturPendidikan InklusifPendidikan inklusif pada dasarnya merupakansebuah evolusi, yakni proses perubahanparadigma pendidikan bagi Anak BerkebutuhanKhusus (ABK). Paradigma lama memandang ABKsebagai sumber hambatan untuk kemajuanpendidikannya. Oleh karena itu, agar mudahdalam pengelolaannya, pendidikan bagi ABKharus dipisahkan dari anak lain yang sebaya.Dengan memisahkan ABK dari komunitas ’peergroup’nya dianggap dapat menjadi solusi terbaikuntuk kemajuan pendidikannya. Model pendidikanyang memisahkan ABK dari komunitas ’peergroup’nya disebut model ’segregatif’. Dalamperspektif keilmuan Pendidikan BerkebutuhanKhusus, model pendidikan segregatif bagi ABKdikenal dengan pendekatan medis (Barnes &Mercer, 2003). Anak-anak penyandang disabilitasdipandang sebagai problem medis sebagai akibatkekurangan atau kerusakan fisik dan mental(impairment) dan oleh sebab itu mereka harus’disembuhkan’. Pandangan tersebut dikenaldengan istilah ’personal tragedy theory, individualmodel atau medical model (Oliver, 1990, Barnes &Mercer, 2003). Inti dari pandangan lama tersebut

Page 107: jurnal dikbud tahun 2012

384

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

yaitu: 1) disabilitas merupakan problem pada levelindividu (individual model); 2) disabilitas disamakandengan kekurangan atau keterbatasan fisik/mental (impairment); dan 3) solusi yang dianggappaling tepat untuk mengatasi disabilitas intervensimedis, psikologis, dan psikiatris.

Paradigma baru muncul sebagai sebuahprotes atas ketidakadilan dan perlakuandiskriminatif akibat pandangan medis terhadapdisabilitas. Sekitar tahun 1976 UPIAS (Union of thePhysically Impaired Against Segregation) sebuahorganisasi para difabel Inggris, mengusung idebaru bahwa disabilitas merupakan problem yangdiakibatkan oleh hambatan-hambatan lingkungandan sosial (social barriers). Disabilitas adalahketerbatasan aktivitas yang disebabkan olehkarena pengaturan/pengorganisasian masya-rakat kontemporer yang tidak atau sangat sedikitmempertimbangkan individu yang memilikikekurangan fisik dan bahkan kemudianmengucilkan mereka dari aktivitas sosial (UPIAS,dalam Ro’fah, dkk. 2010).

Persepsi UPIAS ini kemudian dikembangkanlebih lanjut oleh ilmuwan-ilmuwan penyandangdisabilitas di Inggris, di antaranya Michael Oliver(1990) dan Barnes, Colin (2003) sehingga menjadisebuah pendekatan baru yang kemudian dikenalluas dengan istilah ’Social Model of Disability’.Pendekatan baru meyakini bahwa faktor–faktorlingkungan dan pengorganisasian sosialmerupakan kunci pendidikan bagi penyandangdisabilitas (ABK). Jika kondisi lingkungan danpengorganisasian sosial dapat diubah sedemikianrupa sehingga memungkinkan setiap anakmendapatkan akses dan pelayanan pendidikanyang sesuai dan layak, maka ABK akan tumbuhdan berkembang secara optimal seperti anak-anak lain pada umumnya.

Implikasi dari pergeseran paradigmapendidikan ABK dari model medis ke model sosial,maka sistem pendidikan ABK bergeser dari sistemsegregasi ke sistem integrasi dan inklusi. Sistemsegregasi, adalah sebuah sistem pendidikan yangmelayani ABK berdasarkan jenis kelainannyadalam satu atau beberapa unit sekolah untuk satuatau beberapa jenis kelainan. Anak-anak denganjenis kelainan tertentu dikelompokkan dalam satusatuan pendidikan khusus sepanjang hari,sehingga membatasi mereka untuk secara bebas

bergaul dan berteman dengan ’teman se-bayanya’. Secara sadar atau tidak sadar sistemini telah menempatkan ABK ke dalam komunitasyang eksklusif, mengurangi hak mereka untukhidup secara wajar dalam komunitas masyarakatyang ’normal’.

Pendidikan integrasi atau terpadu adalahsistem yang dikembangkan untuk mengatasikelemahan dari sistem segregasi. Pendidikanterpadu memberikan kesempatan yang lebih luasbagi ABK untuk mengikuti pendidikan di sekolahreguler bersama-sama dengan anak-anak sebayayang lain. Banyak hal positif dapat diperoleh dalampendidikan terpadu, terutama berkembangnyadimensi ’soft skills’ ABK, misalnya kemandirian,keterampilan sosial, komunikasi, sikap danperilaku, kepemimpinan, dan lain-lain. Stainback& Stainback (1996) mengatakan bahwa “allchildren are enriched by having the opportunity tolearn from one another, grow to care for one another,and gain the attitudes, skills, and values necessaryfor our communities to support the inclusion of allcitizens” (p. 4).

Perkembangan ilmu pengetahuan danteknologi dalam bidang pendidikan ABK,menemukan banyak bukti baru, bahwa ABKdengan berbagai hambatan fisik dan/atauintelektualnya, mereka mampu mengikutipendidikan di sekolah-sekolah reguler setelahguru dan sumberdaya lain tersedia di sekolah,kurikulum dan pembelajaran didesain khusussehingga memungkinkan setiap individumendapatkan layanan yang sesuai dengankebutuhan masing-masing (Ding, et.al., 2006).Temuan semacam ini memperjelas bahwapendekatan sosial dapat mengatasi hambatanpendidikan bagi ABK dan sekaligus mempertegasbahwa pendekatan medis bukan satu-satunyasolusi dalam mengatasi hambatan pendidikanbagi ABK.

Lahirnya paradigma pendekatan sosial dalampelayanan pendidikan bagi semua anak, menjadisalah satu titik tolak kelahiran pendidikan inklusif.Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yangmemberikan kesempatan yang sama kepadasemua anak untuk dapat belajar bersamameskipun dengan tuntutan kurikulum danpembelajaran yang berbeda. Pendidikan inklusifmerupakan filosofi dan sekaligus metodologi

Page 108: jurnal dikbud tahun 2012

385

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

dalam mewujudkan sebuah lingkungan sosial danpendidikan yang memungkinkan semua anak akanmendapatkan pelayanan yang sesuai dengankebutuhan masing-masing individu. Melaluiasesmen profesional, kurikulum dan pembelajaranyang diadaptasi, sistem penilaian yang adil, sertamedia dan sarana prasarana yang disesuaikan,maka setiap anak akan dapat mengikutipendidikan yang layak dan bermutu dalam settingpendidikan inklusif (Yusuf dan Indianto, 2009).Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak sajabernilai penting untuk pemerataan pendidikan,akan tetapi juga mutu dan relevansi pendidikan.

Kinerja Kepala Sekolah dan GuruKinerja atau sering juga disebut performancesecara etimologis adalah ’the act of performing’atau tindakan menampilkan, penampilan kerja,unjuk kerja, melaksanakan suatu pekerjaan atauperilaku kerja. Menurut Direktorat TenagaKependidikan (2008) kinerja dapat diartikansebagai prestasi kerja, atau pelaksanaan kerjaatau hasil unjuk kerja.

Kinerja kepala sekolah dan guru dalampenelitian ini dimaknai sebagai pelaksanaan kerjaatau unjuk kerja kepala sekolah dan guru dalammengimplementasikan program pendidikan inklusifdi tingkat satuan pendidikan. Untuk mengetahuitingkatan unjuk kerja perlu ada standar ataukriteria yang dijadikan ukuran. Menurut Ivancevichdalam Direktorat Tenaga Kependidikan (2008)patokan atau ukuran dalam menentukan tingkatkinerja kepala sekolah atau guru, berhubungandengan: 1) hasil, mengacu pada ukuran output;2) efisien, mengacu pada penggunaan sumberdaya; 3) kepuasan, mengacu pada pelayanan;4) keadaptasian, mengacu pada inovasi danperubahan. Pendapat ini juga sejalan dengan PietA. Sahertian dalam Direktorat Tenaga Kepen-didikan (2008), bahwa standar kinerja gurumengacu pada kualitas guru dalam menjalankantugasnya, seperti: 1) bekerja dengan siswa secaraindividual; 2) persiapan dan perencanaanpembelajaran; 3) pendayagunaan media pem-belajaran; 4) melibatkan siswa dalam berbagaipengalaman belajar; dan 5) kepemimpinan yangefektif.

Studi tentang unjuk kerja kepala sekolah danguru dalam pendidikan inklusif, telah banyak

dilakukan, baik di luar maupun dalam negeri. Studiterhadap 72 guru sekolah reguler di Serbia (Kalyvaet.al., 2007) menyimpulkan bahwa guru-gurusekolah reguler lebih bersikap negatif dibandingdengan guru-guru yang telah berpengalamandalam menangani anak SEN (Special EducationalNeeds) dalam memandang pendidikan inklusif.Dalam hal ini sosialisasi dan pelatihan dianggapcukup membantu dalam rangka mewujudkanpendidikan inklusif yang lebih baik. Salah satustudi yang dilakukan oleh Mdikana, et.al. (2007)terhadap sejumlah mahasiswa semester akhir diUniversitas Witwatersrand di Johannesburgprogram Post Graduate Certificate dalampendidikan, B. Phys. Ed. Dan BA (Ed.) dengan 22mahasiswa pria dan 17 mahasiswa perempuan,rata-rata mempersepsi pendidikan inklusif sebagaihal yang positif. Tidak ada perbedaan sikap positifantara laki-laki dan perempuan. Hal inimenggambarkan bahwa penting bagi calon gurumendapatkan bekal mengenai pendidikan inklusifdalam kurikulum mereka. Sementara guru-guruyang sedah bekerja, rata-rata belum men-dapatkan materi pendidikan inklusif ket ikamengikuti kuliah.

Masih rendahnya persepsi dan sikap guruterhadap pendidikan inklusif, sebagian disebabkankarena menyangkut inovasi dan perubahan nilai.Charema (2010) dalam penelitiannya tentangpendidikan inklusif di Sub Saharan Afrika,menyimpulkan bahwa jalan menuju inklusi tidakmudah karena melibatkan perubahan sikap,perubahan nilai, perubahan program pelatihanguru dan perubahan sistem sekolah. Sementaraitu, perubahan merupakan salah satu daribeberapa aspek permanen dalam kehidupan dantidak banyak orang yang nyaman dengan itu.Studi yang dilakukan Andrews dan Frankel (2010)di Guyana menyimpulkan bahwa ada empat faktorutama yang menjadi hambatan potensial untukpelaksanaan pendidikan inklusif, yaitu: 1) sikapdan persepsi terhadap ABK; 2) agen perubahan;3) sumber daya; dan 4) pengalaman dalampelibatan dengan ABK.

Studi yang dilakukan oleh Yusuf dan Indianto(2010) tentang profil sekolah inklusi di salah satukabupaten di Provinsi Jawa Tengah, menemukanbahwa dari 74 SD inklusi yang diteliti, dalam halimplementasi penyelenggaraan pendidikan

Page 109: jurnal dikbud tahun 2012

386

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

inklusif, termasuk kategori baik (24,18%), dansisanya (74,82%) masuk kategori sedang dankurang baik. Penelitian serupa dilakukan olehSunardi, dkk (2010) telah mengkaji 184 sekolahpenyelenggara pendidikan inklusif di beberapaprovinsi di Indonesia. Ada 7 (tujuh) aspek yangdiukur untuk menggambarkan kinerja sekolahberdasarkan kriteria ideal sekolah inklusif, yaitu:1) aspek manajemen dan kelembagaan; 2) aspekkesiswaan; 3) aspek identifikasi dan asesmen;4) aspek kurikulum; 5) aspek pembelajaran;6) aspek penilaian; dan 7) aspek dukungan.Berdasarkan aspek-aspek tersebut, tingkat kinerjasekolah inklusi sebagai berikut: 1) skor aspekmanajemen dan kelembagaan 61%; 2) skor aspekkesiswaan 38%; 3) skor aspek identifikasi danasesmen 46,6%; 4) skor aspek kurikulum 34,6%;5) aspek pembelajaran 63,6%; 6) aspek penilaian69,4%; dan 7) aspek dukungan 67,9%. Temuanini menunjukkan bahwa di lapangan masih banyakpermasalahan dalam implementasi pendidikaninklusif.

Berdasarkan fenomena tersebut, dapatdisimpulkan bahwa dalam implementasi pen-didikan inklusif, hampir semua aspek yangdiharapkan berubah, masih jauh dari terlaksanadengan baik. Faktor-faktor persepsi yang masihberagam, kebijakan Pemerintah yang kurangtersosialisasi ke tingkat pengambil kebijakan dilevel bawah, terbatasnya instrumen pendukungyang disediakan Pemerintah, sikap danpenerimaan masyarakat terhadap ABK yang belummerata, tentu saja berakibat pada kinerja sekolahyang kurang optimal dalam penyelenggaraanpendidikan inklusif. Untuk mencapai kinerjasekolah yang efektif dan ideal sebagai sekolahinklusi, maka perlu dicarikan solusi mendasar yangdapat membantu meningkakan kinerja kepalasekolah dan guru dalam mengelola sekolahinklusif secara efektif dan efisien.

Model pengukuran kinerja kepala sekolah danguru yang digunakan dalam penelitian ini, akanmengadopsi studi Sunardi dkk (2010) melalui LP2MUNS. Setidaknya, ada tujuh dimensi atau aspekyang mengalami perubahan sebagai implikasimanajerial sekolah inklusi. Ketujuh dimensi atauaspek tersebut yaitu: 1) aspek manajemen dankelembagaan; 2) aspek kesiswaan; 3) aspekidentifikasi dan asesmen; 4) aspek kurikulum; 5)

aspek pembelajaran; 6) aspek penilaian; dan7) aspek dukungan. Ketujuh dimensi ini akandilakukan penysuaian sehingga menjadi enamdimensi.

Dimensi kelembagaan, mencakup enamindikator, yaitu: surat legalitas; struktur organisasisekolah; sosialisasi; perencanaan; koordinasi; danpengendalian. Dimensi kurikulum, pembelajaran,dan evaluasi, mencakup tiga indikator, yaitu:modifikasi kurikulum; modifikasi pembelajaran;dan modifikasi penilaian. Dimensi kesiswaan,mencakup empat indikator, yaitu: seleksi;identifikasi dan asesmen; tindak lanjut; sertapengembangan bakat khusus. Dimensi guru dantenaga kependidikan, mencakup empat indikator,yaitu: kualifikasi dan kompetensi; komitmen;keberadaan guru pembimbing khusus; dankeberadaan tenaga terapis atau ahli lain. Dimensisarana dan prasarana sekolah, mencakup empatindikator, yaitu: keberadaan kelas khusus; saranapembelajaran; aksesibi litas f isik; dan per-pustakaan. Dimensi pembiayaan, mencakup tigaindikator, yaitu: alokasi pembiayaan; dukunganpembiayaan; dan laporan penggunaan dana.Aspek-aspek ini akan digunakan sebagai kriteriadalam mengukur kinerja kepala sekolah dan gurudalam mengimplementasikan pendidikan inklusifdi sekolah dasar.

Untuk mengukur kinerja kepala sekolah danguru, akan digunakan indikator manajemensekolah dalam implementasi pendidikan inklusifyang terdiri atas aspek: 1) kelembagaan;2) kurikulum; pembelajaran; dan penilaian;3) kesiswaan; 4) sarana dan prasarana; 5) sumberdaya manusia (SDM); dan 6) keuangan. Seberapabanyak dan berkualitas dari setiap aspekterimplementasi di sekolah mengindikasikaantinggi rendahnya kinerja kepala sekolah dan gurudalam mengimplementasikan pendidikan inklusif.

Garis arah dari kotak kinerja kepala sekolahmenuju kotak kinerja guru mengindikasikansecara hipotetik kinerja kepala sekolah akanberdampak positif atau negatif terhadap kinerjaguru. Secara skematik kerangka berpikir dalampenelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 110: jurnal dikbud tahun 2012

387

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

Metodologi PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian survei denganmelibatkan banyak subyek di beberapa wilayahyang relatif luas. Alasan memilih jenis Suvei karenasesuai tujuan penelitian, yaitu untuk mendes-kripsikan tentang fenomena yang ada sehinggadapat dijadikan titik tolak dalam kegiatan maupunkajian lebih lanjut yang bersifat kebijakan dan/atau pengembangan.

Penelitian ini mengambil lokasi di Solo Rayayang terdiri atas tujuh kabupaten/kota. Karenaluasnya wilayah, selanjutnya diambil empatwilayah secara random sebagai sampel wilayah,terpilih Solo, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali.Jumlah SD penyelenggara pendidikan inklusif diempat wilayah tersebut ada sekitar 185 sekolah.Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya dipilihsecara acak proporsional sehingga diperoleh limapuluh satu (51) SD sebagai sampel sekolah.Semua kepala sekolah dijadikan responden,sedangkan untuk responden guru, ditetapkan duaorang setiap sekolah. Penetapan dua orang gurusetiap sekolah diserahkan penunjukannya olehkepala sekolah berdasarkan kriteria yang

ditetapkan peneliti. Kriteria itu antara lain statusguru sebagai guru tetap/PNS, guru kelas, masakerja di atas lima tahun. Dengan demikian, sampelguru diambil dengan menggunakan teknikpurposif. Jumlah sampel guru akhirnya ada 103orang karena satu sekolah ada yang terlanjurmenunjuk tiga guru sebagai responden.

Teknik pengumpulan data menggunakanangket dengan empat pilihan jawaban yang darisetiap jawaban yang tersedia menggambarkantingkat frekuensi atau kualitas dalam mengim-plementasikan aspek-aspek yang telah dijabarkanke dalam butir angket. Ada enam aspek yangdiukur dari kinerja Kepala Sekolah (lihat kerangkaberpikir), dan dikembangkan menjadi enam puluhtiga (63) butir pernyataan/pertanyaan. AngketGuru dikembangkan dari enam aspek imple-mentasi pendidikan inklusif (lihat kerangkaberpikir), dan dikembangkan menjadi empatpuluhdelapan (48) butir pernyataan/pertanyaan.

Hasil hitung validitas dan reliabilitas angketdengan menggunakan teknik Chronbach,disimpulkan telah memenuhi persyaratan validitasdan reliabilitas yang terlihat pada Tabel 1.

PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH

Indikator Manajemen Sekolah dalam Implementasi Pendidikan Inklusif dari Perspektif Kepala Sekolah: 1. Aspek kelembagaan 2. Aspek kurikulum, pembelajaran dan

penilaian 3. Aspek kesiswaan 4. Aspek sarana dan prasarana 5. Aspek SDM 6. Aspek keuangan

PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH

Indikator Implementasi Pendidikan Inklusif dari Perspektif Guru: 1. Aspek kelembagaan 2. Aspek kurikulum, pembelajaran dan

penilaian 3. Aspek kesiswaan 4. Aspek sarana dan prasarana 5. Aspek SDM

Tingkat Keterlaksanaannya di Sekolah oleh Kepala Sekolah

Kinerja Kepala Sekolah di Sekolah Inklusif

Tingkat Keterlaksanaannya di Sekolah oleh Guru

Kinerja Guru di Sekolah Inklusif

Gambar 1. Kerangka Berfikir

Page 111: jurnal dikbud tahun 2012

388

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Hasil Penelitian dan PembahasanKinerja Kepala Sekolah dalam ImplementasiPendidikan Inklusif

(67,8%) serta aspek pembiayaan (62,3%).Adapun kinerja terrendah ada pada aspek saranaprasarana (50%). Dengan bantuan diagram balok,hasil penelitian ini dapat digambarkan sepertipada Diagram 1.

Tabel 1. Validitas dan Reliabilitas

Tabel 2. Kinerja Kepala Sekolah dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif(N = 51 Responden Kepala Sekolah)

Dari enam aspek implementasi pendidikaninklusif yang diukur, dapat disimpulkan bahwarata-rata kinerja kepala sekolah mencapai 65,5%.Kinerja tertinggi kepala sekolah ada pada aspekkelembagaan (77,5%) dan sumber daya manusia

No Skala Validitas Reliabilitas Indeks Daya

Beda Item Valid

Item Gugur

1 Kepala sekolah (pilihan a,b,c,d)

0,312 - 0,796 61 2 (no 30, 54)

0,962

2 Guru (pilihan a,b,c,d)

0,290 - 0,815 48 - 0,956

No Aspek Skor Rata-rata Skor Ideal

1 Kelembagaan 31 (77,5%) 40

2 Kurikulum & Pembelajaran 48 (63,3%) 76

3 Kesiswaan 26 (64,7%) 40

4 Sumber Daya Manusia 30 (67,8%) 44

5 Sarana Prasarana 10 (50,0%) 20

6 Pembiayaan 15 (62,3%) 24

Rata-rata semua aspek 160 (65,5%) 244 (100%)

Page 112: jurnal dikbud tahun 2012

389

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwakinerja kepala sekolah, cenderung berada dalamkategori sedang dan tinggi (68,7%), tetapi jikadilihat dari rerata empirik, dengan skor 159,76berada pada posisi sedang.

Temuan dalam penelitian ini sedikit banyakmemberikan pemahaman dan penguatan kepadapeneliti bahwa pendidikan inklusif yang dikem-bangkan di Indonesia, telah diterima dengan

menemukan rata-rata implementasi pendidikaninklusif masih di bawah 50% dengan angkatertinggi pada aspek kelembagaan yang hanya(52,2%), sedangkan penelitian saat ini telahmencapai skor rata-rata (65,5%) dengan skortertinggi (77,5%) pada aspek yang sama yaitukelembagaan. Dapat disimpulkan bahwa semakintahun kinerja kepala sekolah semakin baik dalammengimplementasikan pendidikan inklusif.

Tabel 3. Kategorisasi Tingkat Kinerja Kepala Sekolah Dibandingkan dengan Kriteria Ideal

Kuesioner Kategorisasi Subjek Rerata Empirik

Skor Kategori Frek (N)

Prosen (%)

Kepala Sekolah

61< X <97,6 Sangat rendah 1 2.0

159,76

97,6 < X <134,2 Rendah 12 23.5

134,2 < X < 170,8 Sedang 16 31.4

170,8 < X <207,4 Tinggi 19 37.3

207,4 < X <244 Sangat tinggi 3 5.9

Pertanyaan berikutnya yang harus dijawab,yaitu apakah skor yang dicapai oleh kepalasekolah sudah memenuhi standar atau kriteriaideal seperti yang diharapkan. Untuk menjawabpertanyaan tersebut di lakukan uji statist ikdeskriptif, yang hasilnya dapat ditunjukkan padaTabel 3 .

cukup baik di kalangan sekolah dan terus semakinmeningkat. Jika dibandingkan dengan penelitiansebelumnya (lihat Yusuf dan Indianto, 2009 dan2010; Sunardi, dkk. 2010), sangat jelas adapergeseran yang sangat berarti dalam bentukpeningkatan kualitas dalam implementasipendidikan inklusif. Kalau penelitian sebelumnya

Kinerja Guru dalam MengimplementasikanPendidikan Inklusif

Tabel 4. Kinerja Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif (N = 103 Responden Guru)

No Aspek Skor Rata-rata Skor Edeal

1 Kelembagaan 14 (70,3%) 20

2 Kurikulum & Pembelajaran 47 (62,3%) 76

3 Kesiswaan 21 (59,4%) 36

4 Sumber Daya Manusia 25 (62,3%) 40

5 Sarana Prasarana 6 (56,1%) 12

6 Pembiayaan 5 (61,7%) 8

Rata-rata semua aspek 118 (61,45%) 192 (100%)

Page 113: jurnal dikbud tahun 2012

390

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Dari Tabel 4 diketahui bahwa dari semua aspekimplementasi pendidikan inklusif yang diukur,dapat disimpulkan rata-rata kinerja gurumencapai (61,45%). Aspek-aspek yang men-dapatkan skor rata-rata tinggi ada pada aspekelembagaan (70,3%), aspek kurikulum,pembelajaran dan penilaian (62,3%), aspeksumberdaya manusia (62,3%), aspek pembiayaan(61,7%). Dua aspek yang lain berada dalamkategori rendah, yaitu aspek kesiswaan (59,4%)dan sarana prasarana (56,1%). Berdasarkan hasilpenelitian pada Tabel 3. Selanjutnya, dapatdilukiskan dalam bentuk Diagram 2.

Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa tingkatkinerja guru dalam implementasi pendidikaninklusif memperoleh rerata empirik 119,43 beradadalam kategori sedang. Temuan ini masih cukupkonsisten jika dilihat dari hasil hitung persentase,yaitu jika diakumulasi persentase antara yangsedang ke atas dan sedang ke bawah, hasil hitungtampaknya tetap cukup berimbang, yang berartirata-rata.

Sebagai studi awal tentang kinerja gurudalam implementasi pendidikan inklusif, temuanini cukup pent ing karena dapat menjawabpermasalahan di lapangan. Ketika masa-masa

Tabel 5. Posisi Kinerja Guru dibandingkan dengan Kriteria Ideal

Kuesioner Kategorisasi Subjek Rerata Empirik

Skor Kategori Frek (N) Persen (%)

Guru 48< X <76,8 Sangat rendah 4 3.9

119,43 76,8< X <105,6 Rendah 34 33.0

105,6< X <134,4 Sedang 26 25.2

134,4< X <163,2 Tinggi 33 32.0

163,2< X <192 Sangat tinggi 6 5.8

Untuk mengetahui di posisi mana kinerja gurudilihat dari standar ideal, maka berdasarkan ujistat istik deskriptif lanjutan, hasi lnya dapatdigambarkan pada Tabel 5.

awal sosialisasi pendidikan inklusif disodorkankepada guru, pada umumnya mereka merasaberkeberatan, bahkan ada yang menolak untukmenjadi guru di kelas inklusi. Namun, setelah

Page 114: jurnal dikbud tahun 2012

391

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

dilakukan penelusuran ke sekolah-sekolahpenyelenggara pendidikan inklusif, dari enamaspek yang memiliki tingkat relevansi dengantugas dan tanggung jawab guru, rata-rata beradadalam kategori sedang. Ini menunjukkan bahwameskipun dengan segala keterbatasan dandiawali dengan rasa berat, akhirnya guru dapatbekerja dengan baik dalam mengimplementasikanpendidikan inklusif.

Perbedaan kinerja Kepala Sekolah dan GuruDari Tabel 2 dan Tabel 4 dapat diketahui bahwaada perbedaan tingkat kinerja kepala sekolah danguru dalam mengimplementasikan programpendidikan inklusif. Kinerja kepala sekolahcenderung lebih tinggi dibanding dengan kinerjaguru. Meskipun rerata empirik kinerja kepalasekolah dan guru sama-sama berada dalamkategori sedang, namun persentase kepalasekolah sedikit di atas persentase guru. Jika skorkinerja kedua kelompok subyek disandingkanmelalui grafik, dapat dilihat seperti pada Grafik 1.

yang sama. Ini menunjukkan bahwa telah terjadikesamaan pemahaman antara kedua subyekdalam mengimplementasikan pendidikan inklusif.Aspek kedua, yaitu kurikulum, pembelajaran danpenilaian. Pada aspek yang ketiga (C) yaituketenagaan subyek kepala sekolah kembali lebihtinggi dari subyek guru. Ketenagaan juga lebihmerupakan wilayah tugas dari kepala sekolah.Pada aspek yang keempat (D) yaitu kesiswaan,skor kepala sekolah masih lebih tinggi dari skorguru. Temuan ini agak unik karena urusankesiswaan sesungguhnya lebih dekat padaurusan guru dari pada kepala sekolah. Rupanyadalam aspek pendidikan inklusif, pelayanan ABKsejak awal anak masuk sampai posespembelajaran dan kelulusan, peran kepalasekolah sebagai pengambil kebijakan masihsangat diperlukan oleh guru. Adapun interaksiguru dengan siswa ABK lebih banyak dalamkonteks pembelajaran di kelas. Pada aspek yangkelima (E) yaitu sarana prasarana, justru kinerjaguru lebih tinggi dari kepala sekolah. Hal ini

Grafik 1. Kinerja KepalaSekolah dan Guru

Keterangan: A (kelembagaan), B (kurikulum, pembelajaran dan penilaian),C (ketenagaan), D (kesiswaan), E (sarana prasarana), F (keuangan).

Aspek kelembagaan kedua subyek agakberbeda, yaitu subyek kepala sekolah lebih tinggidari subyek guru. Hal ini wajar karena aspekkelembagaan lebih banyak menyangkut wilayahkerja kepala sekolah. Yang menarik, yaitu padaaspek kedua (B), kedua subyek berada dalam titik

disebabkan karena penggunaan sarana danprasarana khusus untuk melayani ABK lebihbanyak dilakukan guru untuk keperluanpembelajaran daripada kepala sekolah yang lebihbanyak pada tataran pengadaannya, bukanpenggunnaannya. Pada aspek yang keenam (F)

Page 115: jurnal dikbud tahun 2012

392

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

pembiayaan, kedua subyek memiliki kinerja yangsama, yaitu sama-sama menggunakan sumber-dana yang ada secaa baik untuk keperluanprogram pendidikan inklusif pada wilayahnyamasing-masing.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa tidakterjadi perbedaan yang cukup menyolok padakinerja kepala sekolah dan guru untuk hampirsemua aspek yang dijadikan kriteria implementasipendidikan inklusif. Kepala sekolah memilikipersepsi dan kebijakan tertentu untuk keber-hasilan program pendidikan inklusif, dan ternyatadiikuti oleh sikap dan penerimaan guru untukmengimplementasikannya dalam pelayanan ABKdi sekolah inklusi dengan baik. Meskipun demikian,secara deskriptif, kinerja kepala sekolah relatifsedikit lebih baik dibandingkan dengan kinerjaguru. Perbedaan ini diduga kuat terkait denganfrekuensi kepala sekolah dalam mengikutiberbagai forum dan pertemuan yang berhubungandengan penidikan inklusif. Hasil wawancara dananalisis data profil responden, diketahui bahwadi Kabupaten Karanganyar dan KabupatenBoyolali, telah terbentuk forum sekolah inklusiyang setiap bulan sekali kepala sekolahmenyelenggarakan pertemuan bulanan. Per-temuan-pertemuan tersebut memperkuatkesadaran dan komitmen kepala sekolah dalammengembangkan pendidikan inklusif yang lebihmaju. Sayangnya, untuk kelompok guru belumterbangun kesadaran seperti itu.

Simpulan dan SaranSimpulanKinerja kepala sekolah dalam mengimplemen-tasikan pendidikan inklusif, untuk semua aspek/dimensi berdasarkan analisis deskriptif kategorik,rerata empirik berada dalam kategori sedang.Demikian juga kinerja guru dalam mengimple-mentasikan pendidikan inklusif untuk semuaaspek/dimensi cenderung berada dalam kategorisedang. Meskipun demikian, dilihat dari skorcapaian prosentasi masing-masing aspek (6

aspek), kedua subyek sedikit berbeda kepalasekolah memiliki skor capaian rata-rata (65,45%)lebih baik dibanding dengan skor capaian guru(62,3%). Perbedaan ini kemungkinan besarkarena kepala sekolah lebih sering mengikutiforum pertemuan sekolah inklusi, sedangkan gururelatif jarang mendapatkan kesempatan untukterlibat dalam forum pendidikan inklusif.

SaranMengacu pada simpulan, maka disarankan agarkepala sekolah masih perlu meningkatkankinerjanya dalam mengimplementasikan programpendidikan inklusif agar semakin optimal. Skorcapaian rata-rata (65,45%) menunjukkan masihada sekitar (35%) cakupan pekerjaan yangberhubungan dengan program iklusi yang belumdapat dijalankan dengan baik. Upaya untukmemperbaiki kinerja kepala sekolah tersebutdapat dilakukan dengan sering melakukanevaluasi diri, yaitu melihat kembali apa yang sudahdan perlu ditingkatkan dan apa yang belum danperlu dilakukan.

Kepala sekolah perlu lebih memainkan perandan kewenangannya dalam mendorong para guruagar meningkatkan kinerja mereka dalammengimplementasikan pendidikan inklusif yanglebih baik. Kepala sekolah juga diharapkan dapatmemberikan kesempatan yang lebih banyakkepada para guru untuk mengikuti berbagaikegiatan yang berhubungan dengan peningkatanpengetahuan dan kompetensi mereka dalampendidikan inklusif.

Guru sekolah regular perlu lebih seringdiberikan kesempatan dan dilibatkan dalamberbagai forum pendidikan inklusif agarpemahaman dan kompetensinya dalam mena-ngani ABK semakin meningkat. Skor pelayanankesiswaan ABK yang masih rendah oleh Guru,seharusnya tidak perlu terjadi jika Guru lebihsering diberikan pelatihan tentang bagaimanamenangani ABK di sekolah inklusi.

Page 116: jurnal dikbud tahun 2012

393

Munawir Yusuf, Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif

Pustaka Acuan

Andrews, Amanda Ajodhia & Frankel, Elaine: Ryerson University. 2010. Inclusive Education inGuyana: A Call For Change, International Journal of Special Education, Vol. 25 No. 1, 2010.

Barnes, C. & Mercer, G. 2003. Disability Cambridge, UK: Polity Press (Chapter 1-Disability and Choicesof Model).

Charema, John: Mophato Education Centre. 2010. Inclusive Education in Developing Countries in TheSub Saharan Africa: From Theory to Practice, International Journal of Special Education, Vol. 25No. 1, 2010.

Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan TenagaKependidikan. 2008. Penilaian Kinerja Guru, Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta.

Kalyva, Efrosini; Gojkovic, Dina; & Tsakiris, Vlastaris’ City Liberal Studies, Thessaloniki, Greece. 2007.Serbian Teachers’ Attitudes Towards Inclusion, International Journal of Special Education, Vol.22, No. 3, 2007.

Mdikana, Andile; Ntshangase, Sibusiso & Mayekiso, Tokozile: University of the Witwatersrand (2009),International Journal of Special Education, Vol.22, No. 1. 2007.

Oliver, M. 1990. The Politics of Disablement: A Sociological Approach, New York: St Martin’s Press.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2010 tentang Pendidikan Inklusif bagiPeserta Didik Berkelainan dan/atau Peserta Didik dengan Potensi Kecerdasan dan BakatIstimewa.

Ro’fah, Andayani, dan Muhrisun. 2010. Membangun Kampus Inklusif, Best Practices PengorganisasianUnit Layanan Difabel, Diterbitkan oleh Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) UIN SunanKalijaga Yogyakarta.

Stainback, Susan & Stainback, William. 1996. Inclusion, A Guide for Educators, Paul. H. BrokesPubisihing, Co. Baltimore, London, Toronto, Sydney.

Sunardi; Yusuf, Munawir; Gunarhadi; Priono. 2010. The Implementation of Inclusive Education inIndonesia, Research Report International Collaborative Research Grant Funded by World ClassUniversity Project DIPA Sebelas Maret University.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Yi Ding; Gerken, Kathryn C.; VanDyke Don C.; and Fei Xiao. 2006. Parents’ and Special EducationTeachers’ Perspectives of Implementing Individualized Instruction in P.R. China: An Empiricaland Sociocultural Approach, International Joournal of Special Education, Vol.21 No. 3, 2006.

Yusuf, Munawir dan Indianto, R. 2009. Kajian tentang Implementasi Pendidikan Inklusif sebagai AlternatifPenuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Kabupaten Boyolali,Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas SebelasMaret.

Yusuf, Munawir dan Indianto, R. 2010. Kajian tentang Implementasi Pendidikan Inklusif sebagaiAlternatif Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi Anak Berkebutuhan Khusus diKabupaten Boyolali, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Edisi Khusus II, Agustus, 2010,Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, hal. 136-148.

Page 117: jurnal dikbud tahun 2012

368

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP GRAFIK FUNGSI TRIGONOMETRI SISWASMK MELALUI PENEMUAN TERBIMBING BERBANTUAN SOFTWARE AUTOGRAPH

(THE INCREASE OF SMK STUDENT’S CONCEPTUAL UNDERSTANDING OFTRIGONOMETRIC FUNCTION GRAPH THROUGH GUIDED

INQUIRY USING AUTOGRAPH)

Sahat SaragihPPs. UNIMED

Jl. Wilem Iskandar Psr. V Medane-mail: [email protected]

Vira AfriatiSMA Negeri 13 Medan

Jl. Brigjen Zein Hamid Km.7, Medane-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 2/11/2012, Disetujui tanggal: 14/12/2012

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) apakah peningkatan pemahaman konsepsiswa pada grafik fungsi trigonometri dengan penemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutograph lebih tinggi daripada siswa yang diberi pendekatan biasa; dan 2) bagaimanaketuntasan dan aktivitas belajar siswa dengan penemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutograph. Penelitian ini merupakan studi eksperimen di SMK Telkom Sandhy Putra dan SMKSandhy Putra II Medan (Kelompok Pariwisata) dengan mengambil sampel 2 kelas dari masing-masing sekolah secara acak. Data yang diperoleh secara ternormalisasi dinalisis denganmenggunakan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) peningkatan pemahaman konsepsiswa pada grafik fungsi trigonometri yang memperoleh pendekatan penemuan terbimbingberbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa;dan 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pendekatan penemuanterbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatanbiasa.

Kata kunci: pemahaman konsep, konsep grafik, penemuan terbimbing, fungsi trigonometri,software autograph, dan SMK

Abstract: This research is aimed to know 1) if the increase of student’s conceptual understandingon trigonometric function graph through guided inquiry using Autograph software is greaterthan those with usual approach, 2) how the student’s mastery in learning and student’s learningactivity are. This is an experimental research conducted in SMK Telkom Sandhy Putra and SMKSandhy Putra II Medan (tourism group) with the population are all the students in grade XI ofthe schools and two classes from each school were randomly taken as samples. t – test isapplied to analyze the normalized gain of students’ conceptual understanding. The researchshows that the increase of student’s conceptual understanding on trigonometric function graphthrough guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2)the mastery in learning and learning activity of students implementing guided inquiry usingAutograph is greater than those with usual approach So, teachers should apply guided inquiryapproach using Autograph as one of learning approach alternatives.

Keywords: conceptual understanding, graphic concept, guided inquiry, trygonometry function,autograph software, and vocational school

Page 118: jurnal dikbud tahun 2012

369

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing BerbantuanSoftware Autograph

PendahuluanMatematika disadari sangat penting peranannya.Namun, tingginya tuntutan untuk menguasaimatematika tidak berbanding lurus dengan hasilbelajar matematika siswa. Kenyataan yang adamenunjukkan hasil belajar siswa pada bidangstudi matematika kurang menggembirakan. Rata-rata nilai ulangan harian 1 seluruh siswa kelas 2SMK Telkom Sandhy Putra dan SMK Sandhy PutraII Medan (Kelompok Pariwisata) belum mencapaiketuntasan, yaitu 66,58 padahal KKM sekolahtersebut 70 (Sumber: dokumentasi SMK TelkomSandhy Putra Medan dan SMK Sandhy Putra - 2Medan)

Kenyataan yang kurang memuaskantersebut, salah satunya disebabkan karenapemahaman konsep Matematika siswa masihrendah. Siswa pada umumnya belum memilikipemahaman konsep yang baik, khususnya padamateri grafik fungsi trigonometri. Hal ini terlihatdari jawaban siswa 2TS1 SMK Telkom SandhyPutra saat ulangan harian 1 untuk kompetensidasar menggambar atau membaca grafik fungsitrigonometri. Misalnya, ketika siswa diminta untukmenggambar grafik fungsi trigonometri, siswatidak mampu menggambarnya dengan benar,sehingga tidak dapat memberikan alasan ataupenjelasan yang benar atas grafik tersebut,seperti terlihat pada gambar berikut.

Salah satu penyebab rendahnya pemahamankonsep siswa adalah proses pembelajaran yangberpusat pada guru. Siswa tidak banyak terlibatdalam mengkonstruksi pengetahuannya, hanyamenerima informasi yang disampaikan searah dariguru. Dengan pembelajaran konvensional sepertiini siswa cenderung cepat lupa pada materi yangtelah diajarkan guru. Jika siswa diberi soal yangberbeda dengan contoh soal mereka kebingungankarena tidak tahu harus mulai dari mana merekabekerja (Mettes dalam Ansari, 2009).

Berbeda halnya jika siswa mengkonstruksipengetahuannya sendiri. Siswa menyelidiki,

menginvestigasi, mencoba, dan akhirnyamenemukan sendiri konsep Matematika yangdimaksud. Para pakar matematika berpendapatbahwa pengetahuan tidak diterima secara pasifseperti sebuah hadiah, tetapi harus secara aktifdiciptakan, ditemukan atau dikonstruksi siswa.Piaget (Reys, 2001) menyatakan, “mathematicsia made (constructed) by children, not found like arock nor received from others as a gift”. Reys (2001)mengatakan hal serupa, “knowledge is notpassively received; rather, knowledge is activelycreated or invented (constructed) by students”.Begitu juga Fruedenthal (Markaban, 2006)mengatakan, “mathematics as a human activity.Education should give students the “guided”opportunity to “reinvent” mathematics by doing it”.

Berdasarkan pendapat para pakar Mate-matika tersebut, maka Guided Inquiry ataupendekatan penemuan terbimbing dapat menjadisalah satu alternatif yang dapat meningkatkanpemahaman konsep siswa. Pada pendekatan inisiswa terlibat aktif bekerja sama mencari,menggali, mengeksplorasi, mencoba-coba,menyelidiki dari berbagai keadaan, untukmenemukan dan mengkonstruksi ide baru,pengetahuan baru, berdasarkan berbagai sumberinformasi dan pengetahuan awal atau konsepyang telah dikuasai sebelumnya, dan selanjutnyamenyimpulkan, menguji simpulannya dan memberilaporan atas hasil kerjanya.

Selama melakukan proses inquiry, siswa akanlebih mudah melakukannya jika penemuanterbimbing dipadu dengan penggunaan ICT.Penggunaan ICT termasuk salah satu dari enamprinsip sekolah Matematika. Menurut NCTM(1991), “Technology is essential in teaching andlearning mathematics; it influences the mathematicsthat is taught and enhances students’ learning.”Untuk penerapan di kelas, penggunaan ICT dapatdiintegrasikan dengan beberapa pendekatanbelajar. Seperti dikatakan Karnasih (2008),” Thereare four different approaches can be implemented inintegrating ICT teaching and learning mathematics:1) Expository learning; 2) Inquiry based learning;3) Cooperative learning; and 4) Individual learning”.Pernyataan Karnasih di atas menunjukkanpenggunaan ICT sangat cocok jika diintegrasikandengan penemuan terbimbing. Software Mate-matika yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

Page 119: jurnal dikbud tahun 2012

370

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Autograph. Autograph sendiri telah direkomen-dasikan oleh NCTM (the National Council of Teachersof Mathematics) pada Curriculum and EvaluationStandards for School Mathematics (1989) yangmenyarankan:

All student should have a calculator, posibly onethat has graphing capabilities, a computershould be available at all times in everyclassroom for demonstration purposes and allstudents should have access to computers forindividual and group work.Dengan Autograph siswa dapat melakukan

eksplorasi, investigasi, dan pencarian. Siswadapat menguji lebih banyak contoh dalam waktusingkat daripada hanya menggunakan tangan,sehingga dari ekperimennya siswa dapatmenemukan, mengkonstruksi dan menyimpulkanprinsip-prinsip matematika, dan akhirnya pahambagaimana menggambar dan membaca grafikfungsi trigonometri dengan benar.

Sayangnya penggunaan media komputer disekolah-sekolah masih belum dioptimalkan,terutama saat belajar Matematika. Malah banyakguru yang menentang penggunaan mediaberbasis ICT dalam pembelajaran Matematikadikarenakan masalah waktu dan ketidakmampuandalam memanfaatkan media tersebut. Minimnyapengetahuan guru dalam pemanfaatan mediakomputer dan Software Matematika menjadi salahsatu faktor tidak digunakannya ICT dalampembelajaran Matematika.

Ketika mempelajari grafik fungsi trigonometriguru lebih memilih menggambarnya di papan tulisdan siswa menggambar di bukunya masing-masing. Tentunya cara ini memakan waktu lamadan siswa hanya menggambar sedikit contohgrafik fungsi trigonometri tersebut. Denganmengandalkan apa yang disampaikan guru, takjarang siswa lupa atau bingung ketika dimintamenggambarkan kembali atau menuliskanpersamaan fungsi dari gambar grafik yangtersedia. Sebaliknya jika menggunakan Autographsiswa dapat berulangkali mencoba-cobamenghasilkan banyak contoh grafik fungsitrigonometri, sampai akhirnya siswa dapatmengambil simpulan tentang bagaimana gambargrafik sinus, grafik cosinus, grafik tangen, berapanilai maksimum dan minimumnya, dan jika siswaragu siswa dapat mencoba lagi berulang kali

sampai yakin dan terbukti benar simpulan yangdiambilnya.

Berdasarkan uraian pada latar belakang,maka rumusan masalah dalam penelitian iniadalah: 1) apakah peningkatan pemahamankonsep Matematika siswa dengan penemuanterbimbing berbantuan Software Autograph lebihtinggi daripada siswa yang diberi pendekatanbiasa? 2) bagaimanakah ketuntasan dan aktivitasbelajar siswa dengan penemuan terbimbingberbantuan Software Autograph?

Berdasarkan uraian latar belakang danrumusan masalah, maka tujuan dari penelitian iniyaitu 1) untuk mengetahui apakah peningkatanpemahaman konsep siswa dengan penemuanterbimbing berbantuan Software Autograph lebihtinggi daripada siswa yang diberi pendekatanbiasa; 2) untuk mengetahui bagaimanakahketuntasan dan aktivitas belajar siswa denganpenemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutograph.

Kajian LiteraturPemahaman KonsepDalam kamus besar Bahasa Indonesia, katapemahaman mengandung arti kesanggupanintelegensi untuk menangkap makna suatu situasiatau perbuatan (Depdikbud, 1989). Menurut Driverdan Leach (dalam Hasanah, 2004) pemahamanadalah kemampuan untuk menjelaskan suatusituasi atau suatu tindakan. Pemahamantermasuk dalam ranah kognitif taksonomi Bloomyang dikenali dari kemampuan untuk membacadan memahami gambaran, laporan, tabel,diagram, arahan, dan sebagainya.

Konsep adalah suatu abstraksi yang mewakilikelas objek-objek, kejadian-kejadian, atauhubungan-hubungan yang mempunyai atributyang sama (Rosser dalam Dahar, 1996). Dahar(1996) menyimpulkan konsep adalah suatuabstraksi mental yang memiliki suatu kelasstimulus-stiimulus. Adapun pengertian konsepmenurut Soedjadi (dalam Ahmad, 2011) adalahide abstrak yang dapat digunakan untukmengadakan klasifikasi atau penggolongan. Jadi,konsep adalah suatu ide abstrak yang memung-kinkan seseorang untuk mengklasifikasikan objek-objek atau kejadian-kejadian, sehingga dapatmenentukan apakah objek atau kejadian itu

Page 120: jurnal dikbud tahun 2012

371

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing BerbantuanSoftware Autograph

merupakan contoh atau bukan contoh dari idetersebut.

Dalam kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003)dinyatakan bahwa “...beberapa kemampuan yangperlu diperhatikan dalam penilaian Matematikaadalah pemahaman konsep yang meliputikemampuan mendefinisikan konsep, mengiden-tifikasi konsep dan memberi contoh dan bukancontoh dari konsep”. Adapun tujuh indikatorpemahaman konsep menurut Depdiknas (TimPLPG, 2008) yaitu: 1) menyatakan ulang sebuahkonsep; 2) mengklasifikasikan objek menurut sifattertentu; 3) memberi contoh dan bukan contoh;4) menyajikan konsep dalam berbagai repre-sentasi matematik; 5) mengembangkan syaratperlu dan syarat cukup suatu konsep; 6) meng-gunakan, memanfaatkan, dan memilih proseduratau operasi tertentu; dan 7) mengaplikasikankonsep ke pemecahan masalah. Berdasarkanuraian tersebut maka yang menjadi indikatorpemahaman konsep dalam penelitian ini yaitu:1) menyatakan ulang sebuah konsep; 2) membericontoh dan bukan contoh; dan 3) mengaplikasikankonsep ke pemecahan masalah.

Pendekatan Penemuan TerbimbingPembelajaran penemuan terbimbing dikem-bangkan berdasarkan pandangan kognitif tentangpembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis.Menurut prinsip ini siswa dilatih dan didoronguntuk dapat belajar secara mandiri. Secara tegasAmin (dalam Suriadi, 2006) mengemukakan bahwasuatu kegiatan “discovery atau penemuan” ialahsuatu kegiatan atau pembelajaran yangdirancang sedemikian rupa, sehingga siswa dapatmenemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsipmelalui proses mentalnya sendiri. Dalam hal inipenemuan terjadi apabila siswa dalam prosesmentalnya seperti mengamati, menggolongkan,membuat dugaan, mengukur, menjelaskan,menarik kesimpulan dan sebagainya menemukanbeberapa konsep atau prinsip.

Sementara Suryosubroto (dalam Suriadi,2006) mengemukakan bahwa salah satu metodemengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakandi sekolah-sekolah yang sudah maju adalahmetode discovery. Hal ini disebabkan metode ini:1) merupakan suatu cara untuk mengembangkancara belajar siswa aktif; 2) dengan menemukan

dan menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperolehakan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidakmudah dilupakan anak; 3) pengertian yangditemukan sendiri merupakan pengertian yangbetul-betul dikuasai dan mudah digunakan atauditransfer dalam situasi lain; 4) dengan menggu-nakan strategi discovery anak belajar menguasaisalah satu metode ilmiah yang akan dapatdikembangkan sendiri; dan 5) dengan metode ini,anak belajar berpikir analisis dan mencoba meme-cahkan masalah yang dihadapi, kebiasaan ini akanditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.

Ruseffendi (dalam Suriadi, 2006) menyatakanbahwa belajar melalui penemuan itu pentingsebab: 1) pada hakikatnya ilmu-ilmu itu diperolehmelalui penemuan; 2) Matematika adalah bahasayang abstrak, konsep dan lain-lainnya itu akanlebih melekat bila melalui penemuan dengan jalanmemanipulasi dan pengalaman benda-bendakongrit; 3) generalisasi itu penting, karena melaluipenemuan generalisasi yang diperoleh akanmantap; 4) dapat meningkatkan kemampuanpemecahan masalah; 5) setiap anak adalahmakhluk kreatif; dan 6) menemukan sesuatu olehsiswa dapat menumbuhkan rasa percaya dirinyasendiri, dapat meningkatkan motivasi, melakukanpengkajian lebih lanjut, dan dapat menumbuhkansikap positif terhadap manusia.

Dalam pendekatan penemuan terbimbing,siswa dan guru berkolaborasi bekerja sama untukmenemukan ide-ide. Siswa bekerja sebagaikomunitas belajar, saling membantu dan belajarsatu sama lain, tidak hanya sebagai individu-individu yang bekerja sendirian menyelesaikantugas pribadinya. Ciri-ciri penemuan terbimbingdapat lebih jelas dilihat dari enam prinsippenemuan terbimbing yang dijabarkan Kuhlthau(2007), yaitu: 1) siswa belajar secara aktif dili-batkan dalam pengalaman dan merefleksikanpengalaman tersebut; 2) siswa belajar denganmembangun pengetahuan berdasarakan dari apayang telah mereka ketahui; 3) siswa mengem-bangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi melaluibimbingan dalam proses belajarnya; 4) siswamempunyai banyak cara belajar; 5) siswa belajarmelalui interaksi sosial dengan yang lain; dan6) siswa belajar melalui petunjuk dan pengalamanyang sesuai dengan perkembangan kognitifmereka.

Page 121: jurnal dikbud tahun 2012

372

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Langkah-langkah dalam PenemuanTerbimbingAgar pelaksanaan pendekatan penemuanterbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapalangkah yang perlu ditempuh oleh gurumatematika dijabarkan Markaban (2006), yaitu:1) merumuskan masalah yang akan diberikankepada siswa dengan data secukupnya,perumusannya harus jelas, hindari pernyataanyang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yangditempuh siswa tidak salah; 2) dari data yangdiberikan guru, siswa menyusun, memproses,mengorganisir, dan menganalisis data tersebut.Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikansejauh yang diperlukan saja. Bimbingan inisebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkahke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau lembar aktivitas siswa (LAS);3) siswa menyusun konjektur (prakiraan) darihasil analisis yang dilakukannya; 4) bila dipandangperlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebutdiatas diperiksa oleh guru. Hal ini pentingdilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraansiswa, sehingga akan menuju arah yang hendakdicapai; 5) apabila telah diperoleh kepastiantentang kebenaran konjektur tersebut, makaverbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan jugakepada siswa untuk menyusunnya; 6) di samping

itu perlu diingat pula bahwa induksi tidakmenjamin 100% kebenaran konjektur; 7) sesudahsiswa menemukan apa yang dicari, hendaknyaguru menyediakan soal lat ihan atau soaltambahan untuk memeriksa apakah hasilpenemuan itu benar.

Dalam penemuan terbimbing guru dapatmenggunakan strategi intervensi yang me-mungkinkan siswa mengkonstruksi pema-hamannya sendiri. Strategi ini membantu siswamencari fakta, menjelaskan dan sintesa terhadapfakta-fakta. Strategi yang dimaksud menurutKuhlthau (2007) terlihat pada Tabel 1.

Kekuatan dan Kelemahan PendekatanPenemuan TerbimbingManfaat pembelajaran penemuan terbimbing bagisiswa dan guru menurut Khulthau (2007) sebagaiberikut. Manfaat untuk siswa: a) mengembangkankemampuan berinteraksi sosial; b) berbahasa danmembaca; c) menyusun pemahaman merekasendiri; d) meningkatkan kebebasan dalammeneliti dan belajar; e) mengembangkan motivasidan keterlibatan tingkat tinggi; dan f) mempelajaristrategi dan kemampuan mentransfer ke bentukpenemuan yang lain. Keuntungan untuk guru:berbagi tanggung jawab dengan teman timpengajar lainnya, berbagi keahlian antara

Tabel 1. Strategi Penemuan Terbimbing Intervention Strategies for Guided Inquiry

Intervention Strategies for Guided Inquiry The Six Cs

1. collaborate kolaborasi

Work jointly with others Bekerja sama dengan yang lain

2. converse membicarakan

Talk about ideas for clarity and further questions Membicarakan tentang kejelasan ide dan pertanyaan lebih jauh

3. continue berkesinambungan

Develop understanding over a period of time Mengembangkan pemahaman terus-menerus

4. choose memilih

Select what is intere sting and pertinent Memilih apa yang penting dan cocok

5. chart grafik

Visualize ideas using pictures, timelines, and graphic organizers Menggambarkan ide-ide menggunakan gambar, time line, dan grafik

6. compose menyusun

Write all the way along, not just at end; keep journals Menuliskan semua langkah-langkah, tidak hanya hasilnya, buat jurnalnya.

Sumber: Kuhlthau (2007)

Page 122: jurnal dikbud tahun 2012

373

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing BerbantuanSoftware Autograph

anggota tim, memunculkan ide dan membuatperencanaan dengan lebih kreatif, meningkatkanpengalaman terhadap keluasan isi kurikulum.

Selain manfaat di atas, dapat diidentifikasikekuatan dan kelemahan pendekatan penemuanterbimbing. Soedjana (1986) menguraikankekuatan dan kelemahan tersebut. Kekuatannyayaitu: 1) siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebabia berpikir dan menggunakan kemampuan untukmenemukan hasil akhir; 2) siswa memahami benarbahan pelajaran, sebab mengalami sendiri prosesmenemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengancara ini lebih lama diingat; 3) menemukan sendirimenimbulkan rasa puas. Kepuasan intrinsik inimendorongnya ingin melakukan penemuan lagihingga minat belajarnya meningkat; 4) siswa yangmemperoleh pengetahuan dengan metodepenemuan akan lebih mampu mentransferpenegtahuannya ke berbagai konteks; dan5) metode ini melatih siswa untuk lebih banyakbelajar sendiri. Adapun kelemahannya yaitu:1) metode ini banyak menyita waktu, juga tidakmenjamin siswa tetap bersemangat menemukan;2) tidak setiap guru mempunyai selera ataukemampuan mengajar dengan cara penemuan,selain itu tugas guru sekarang cukup sarat;3) tidak semua anak mampu melakukanpenemuan. Apabila bimbingan guru tidak sesuaidengan kesiapan intelektual siswa, ini dapatmerusak struktur pengetahuannya. Bimbinganyang terlalu banyak juga dapat mematikaninisiatifnya; 4) metode ini tidak dapat digunakanuntuk mengajarkan setiap topik; 5) kelas yangbanyak muridnya akan sangat merepotkan gurudalam memberikan bimbingan dan pengarahanbelajar dengan metode penemuan.

Bruner (dalam Dahar, 1996) mengemukakanpengetahuan yang diperoleh dengan belajardiscovery menunjukkan beberapa kebaikan.Pertama, pengetahuan itu bertahan lama ataulama diingat, atau lebih mudah diingat. Kedua,hasil belajar discovery mempunyai efek transferyang lebih baik daripada hasil lainnya. Ketiga,secara menyeluruh belajar discovery mening-katkan penalaran siswa dalam kemampuan untukberfikir secara bebas.

Dari uraian di atas maka penemuanterbimbing yang dimaksud dalam penelitian iniyaitu proses di mana siswa berfikir, mengamati,

mencerna, mengerti, membuat dugaan, men-jelaskan, menganalisis, sehingga dapat meng-konstruksi dan menemukan sendiri prinsip umumyang diinginkan dengan bimbingan dan petunjukdari guru dan lembar kerjanya, berupa perta-nyaan-pertanyaan yang mengarahkan. Pende-katan penemuan terbimbing ini tentunya berbedadengan pendekatan biasa atau konvensional yangsering diterapkan guru di kelas.

Pendekatan BiasaPendekatan biasa disebut juga pendekatankonvensional atau pendekatan tradisional, yaitupendekatan belajar yang biasa diterapkan guru.Menurut Turmudi (2008) pendekatan pembel-ajaran tradisional yang sering digunakan lebihmenekankan guru mendemonstrasikan materi,siswa dianggap berhasil apabila menyelesaikanlat ihan dengan langkah-langkah yang telahdiajarkan guru. Menurut Ruseffendi (dalam Suriadi,2006) pembelajaran biasa diawali denganpemberian informasi (ceramah). Guru memulaidengan menerangkan suatu konsep, mende-monstrasikan keterampilannya mengenai pola/aturan/dalil tentang konsep itu, kemudian siswabertanya, guru memeriksa (mengecek) apakahsiswa sudah mengerti atau belum. Kegiatanselanjutnya ialah guru memberikan contoh-contohsoal aplikasi konsep itu. Selanjutnya memintasiswa untuk menyelesaikan soal-soal di papantulis atau di mejanya. Siswa dapat bekerjaindividual atau bekerja sama dengan teman yangduduk di sampingnya, dan sedikit ada tanyajawab. Hal senada juga diungkapkan oleh Saragih(2007) yang menjelaskan ciri-ciri dari pendekatanmatematika biasa adalah guru berperan sebagaisumber belajar, menjelaskan konsep, menje-laskan contoh soal, memberi soal-soal latihanyang harus dikerjakan dan mengevaluasi hasilbelajar siswa.

Berdasarkan uraian di atas maka pendekatanbiasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalahprosedur yang pada umumnya digunakan gurudalam mengajar yang langkah-langkahnyamenjelaskan materi pelajaran, guru membericontoh, siswa diberikan kesempatan bertanya,siswa mengerjakan latihan, guru dan siswamembahas latihan. Sedangkan pendekatanpenemuan terbimbing yang telah dijabarkan

Page 123: jurnal dikbud tahun 2012

374

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

sebelumnya menitikberatkan pada aktivitas siswauntuk menemukan dan mengkonstruksi sendiripengetahuannya, mengambil simpulan daripercobaan-percobaannya, dengan bimbingan danpetunjuk dari guru berupa pertanyaan-pertanyaanyang mengarahkan.

Perbedaan pendekatan penemuan terbim-bing dan pendekatan biasa di atas sejalan denganperbedaan yang diberikan Kuhlthau (2007) yangmengatakan belajar dengan penemuan ter-bimbing berbeda dengan belajar konvensional.Penemuan terbimbing merupakan persiapan untukbelajar seumur hidup, menggunakan banyaksumber, menyertakan siswa dalam setiap tahappembelajaran dari perencanaan sampai hasilakhir, tercipta komunitas belajar yang bekerjabersama, guru dan siswa bekerja sama danpenemuan terbimbing menekankan pada prosesdan hasil. Pada belajar konvensional siswadipersiapkan hanya untuk tes, menjawabpertanyaan, berpegangan hanya pada satu bukuteks, siswa secara individu bekerja untuk tugastertentu, pembelajaran terjadi searah dari gurudan terlalu menekankan pada hasil akhir saja.

Media Software AutographAutograph merupakan program komputer baruyang dikembangkan oleh Douglas Butler.Ditawarkan 3 pilihan dalam penggunaannya, yaitu1D untuk statistika, 2D untuk grafik, koordinat,transformasi dan geometri, 3D untuk grafik,koordinat, dan transformasi. Autograph sebagaisalah satu media pembelajaran menitikberatkanperan aktif siswa dalam belajar eksplorasi daninvestigasi. Desain Autograph melibatkan tigaprinsip utama dalam belajar, yaitu fleksibilitas,berulang-ulang, dan menarik simpulan. Prinsip inisangat selaras dengan ciri-cir i penemuanterbimbing yang mengarahkan siswa padapengalaman investigasi dalam belajar Matematika.

Dengan menggunakan Software Autographdiharapkan dapat membantu para pendidik dananak didik dalam proses belajar dan pembelajarandi sekolah, sebagaimana dinyatakan Karnasih(2008) mengatakan bahwa “Most teachers findAutograph as a powerful tool in teaching studentsof different age groups or different ability group soas to inject pace and animation into a challengingtopic for the less motivated student”.

Autograph membentuk siswa untuk belajardengan eksplorasi dan investigasi. Siswamenggunakan teknologi yang memerlukan klikdan point. Program Autograph menggunakanwarna dan animasi dan menyediakan fasilitas“help” sebagai bantuan saat menggunakannya.Siswa dapat menggunakan autograph untukmenggambarkan sendiri grafik yang merekainginkan dan mengembangkan pemahamanmereka sendiri. Misalnya, siswa diminta meng-gambar grafik fungsi trigonometri, menuliskankembali gambar grafik yang diperolehnya danmemberi penjelasan terhadap grafik tersebut.

Pembelajaran Grafik Fungsi Trigonometridengan Pendekatan Penemuan TerbimbingBerbantuan Software AutographAdapun contoh kegiatan siswa selama belajargrafik fungsi trigonometri dengan penemuanterbimbing berbantuan Software Autographsebagai berikut:1. Masing-masing kelompok siswa mengguna-

kan komputer yang telah diinstal Softwareautograph

2. Masing-masing siswa mendapatkan lembaraktivitas siswa (LAS) yang juga bergunasebagai panduan selama melakukanpercobaan

3. Siswa membuka autograph dengan mendoubleclik ikon Autograph yang ada pada desktopatau dengan meng-klik START =>PROGRAMS => AUTOGRAPH 3.0. Akanmuncul worksheet dua dimensi seperti berikut.

Page 124: jurnal dikbud tahun 2012

375

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing BerbantuanSoftware Autograph

4. Jika ingin mengganti axes maka siswa mengklik axes => edit axes => mengganti range maksimumminimum sesuai yang diinginkan, misal sumbu x dari 0 sampai 2 dan sumbu y dari -1 sampai 1

5. Klik ok, akan terlihat sheet sebagai berikut.

Page 125: jurnal dikbud tahun 2012

376

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

6. Untuk menggambar grafik, siswa dapatmengklik kanan =>ENTER EQUATION, atau

mengklik

7. Siswa menuliskan persamaan y=sin x padabaris kosong yang disediakan, OK

8. Akan muncul tampilan grafik y = sin x sepertiberikut.

9. Siswa menggambar grafik y = a sin x, hinggamuncul grafik y = a sin x dengan a = 1 sepertidi bawah ini.

10. mengklik CONSTANT CONTROLLER, akanmuncul kotak

11. Siswa mengklik tombol untuk menambah

nilai a menjadi semakin besar dan mengklik

tombol untuk mengurangi nilai a menjadi

semakin kecil12. Siswa akan melihat bahwa nilai maksimum

grafik fungsi sinus sama dengan nilai a dannilai minimum sama dengan –a, begitu jugaamplitudonya.

13. Setiap kali siswa mendapat hasil berupagambar grafik, siswa menggambarkannya dilembar aktivitas siswa (LAS). Setelahbeberapa kali percobaan siswa berfikir untukmengambil simpulan dan menuliskannya dilembar aktivitas siswa (LAS), misalnya siswamenyimpulkan cara menggambar grafik y = asin x

14. Akhirnya, siswa menguji simpulannya, yaitudengan menggambar terlebih dahulu dilembar aktivitas siswa (LAS), misalnya grafiky = a sin x dengan konstanta a yang dipilihnya.Setelah selesai menggambar di lembarakt ivitas siswa (LAS) siswa memeriksadengan Autograph apakah gambar di lembaraktivitas siswa (LAS) sama dengan yangditunjukkan Autograph.

Page 126: jurnal dikbud tahun 2012

377

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing BerbantuanSoftware Autograph

Metodologi PenelitianPopulasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswaSMK kelas XI se Kodya Medan yang terakreditasiA pada tahun 2010. Dari sekolah-sekolahberakreditasi A, terpilihlah SMK Telkom SandhyPutra Medan dan SMK Sandhy Putra II Medan(Kelompok Pariwisata). Penelitian dilaksanakanpada bulan Maret – April 2011. Teknik pengambilansampel kelompok secara acak (cluster randomsampling). Sampel yang terpilih di SMK TelkomSandhy Putra Medan adalah siswa kelas 2 TKJ 2sebagai kelompok eksperimen dan 2 TKJ 3sebagai kelompok kontrol. Adapun di SMK SandhyPutra II Medan (kelompok pariwisata) siswa kelas2 AP sebagai kelompok eksperimen dan 2 UPJsebagai kelompok kontrol. Kelompok eksperimenterdiri atas 73 siswa diberi perlakuan pendekatanpenemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutograph, sedangkan kelompok kontrol terdiri dari71 siswa diberi perlakuan pendekatan biasa.

Penelit ian ini dikategorikan ke dalampenelitian eksperimen semu (quasi experiment)dengan rancangan penelitian Pretes PosttestControl Group Design. Menurut Saragih (2007)rancangan penelitian tersebut dapat digambarkanseperti dalam diagram berikut:

A O X O A O - O

Pada rancangan ini, pengelompokan subjekpenelitian dilakukan secara acak kelas (A),kelompok eksprimen diberi perlakuan pem-belajaran dengan pendekatan penemuanterbimbing berbantuan Software Autograph (X), dankelompok kontrol diberi perlakuan pende-katanbiasa, kemudian masing-masing kelompok diberipretes dan postes (O).

Data diperoleh melalui tes pemahamankonsep berupa soal-soal grafik fungsi trigonometrisebanyak 4 soal uraian yang disusun berdasarkanindikator pemahaman konsep serta lembarobservasi aktivitas siswa. Untuk menguji

perbedaan peningkatan pemahaman konsepantara kedua kelompok digunakan uji beda,dengan sebelumnya menguji normalitas danhomogenitas dari data gain ternormalisasi skorpretes-postest. Selain itu, data skor postestpemahaman konsep juga digunakan untukmenjelaskan tentang ketuntasan, apakahmencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) > 65.Peneliti juga mengkaji keaktivan belajar siswa darihasil lembar observasi aktivitas siswa.

Hasil Penelitian dan PembahasanAnalisis Peningkatan Pemahaman KonsepSiswaDari hasil uji persyaratan analisis terhadap datapeningkatan (gain ternormalisasi) pemahamankonsep pada masing-masing kelompok perlakuandiperoleh data berdistribusi normal, tetapi tidakhomogen maka dengan demikian untuk melihatperbedaan peningkatan pemahaman konsepantara kelompok eksperimen dengan kelompokkontrol dapat dilakukan statistik parametrik uji t’pada taraf signifikan =0,05, dengan kriteriapengujian Ho yang menyatakan tidak terdapatperbedaan peningkatan pemahaman konsepantara siswa kelompok eksperimen dengan siswakelompok kontrol diterima jika thitung < tTabel

sedangkan untuk hal lain Ho ditolak. Rangkumanhasil perhitungan uji beda dengan uji t’ disajikanpada Tabel 2.

Berdasarkan hasil pengujian di atas diperolehthitung = 4,82 > tTabel = 1,65, dengan demikian Hoditolak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapatperbedaan peningkatan pemahaman konsepsiswa antara eksperimen dengan kelompokkontrol. Dengan kata lain peningkatan pe-mahaman konsep siswa yang diajar melaluipenemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutograph lebih tinggi dibandingkan siswa yangdiajar melalui pendekatan pembelajaran biasa.

Tabel 2. Rangkuman Uji Perbedaan Rerata Peningkatan Pemahaman Konsep

Aspek Kelompok Eksperimen

Kelompok Kontrol

thitung tTabel Simpulan

푥̅푒 푥̅푘 Peningkatan Pemahaman Konsep

0,668

0,532

4,82

1,65

Tolak Ho

Page 127: jurnal dikbud tahun 2012

378

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Analisis Ketuntasan Klasikal PemahamanKonsepHasil perhitungan rerata skor peningkatan (gain)dan persentase ketuntasan pemahaman konsepsiswa pada materi grafik fungsi trigonometri untukkelompok eksperimen dan kelompok kontroldirangkum dalam Tabel 3.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa pening-katan (gain) di kelompok eksperimen lebih tinggidari kelompok kontrol dan secara klasikal siswakelompok eksperimen telah memenuhi kriteriaketuntasan, sedangkan pada kelompok kontrolbelum memenuhi ketuntasan. Hal ini menunjukkanbahwa penemuan terbimbing berbantuanSoftware Autograph lebih dapat meningkatkanpemahaman konsep dan mampu membantu siswamencapai ketuntasan belajar dibandingkanpendekatan biasa.

Analisis Aktivitas Siswa Selama ProsesPembelajaranRerata keaktifan siswa yang mendapat pembel-ajaran dengan penemuan terbimbing berbantuanSoftware Autograph sebesar 4,15 atau 83% yangberarti siswa beraktivitas dengan baik. Sedangkanrerata keaktifan siswa yang mendapat pembel-ajaran biasa sebesar 3,44 atau 68,78% yangberarti siswa beraktivitas dengan cukup baik.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwapeningkatan pemahaman konsep siswa sertaketuntasan dan keaktifan belajar siswa melaluipendekatan penemuan terbimbing berbantuanSoftware Autograph lebih tinggi dari siswa yangmemperoleh pendekatan biasa. Hal ini dikare-nakan penemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutoraph memiliki keunggulan dibandingkanpendekatan biasa. Keunggulan tersebut dapatdilihat dari lima hal, yaitu bahan ajar, guru,keaktifan siswa, interaksi siswa, dan mediaAutograph.

Pertama, bahan ajar dalam penemuanterbimbing berupa LAS yang dirancang untukmembantu siswa melakukan proses pencarian daninvestigasi, sehingga dengan melakukan pene-muan siswa mengkontruksi sendiri pengeta-huannya. LAS berperan sebagai panduan (guided)yang berisi pertanyaan-pertanyaan untukmengarahkan siswa mengambil kesimpulan daribeberapa percobaannya. LAS diberikan ke tiapsiswa agar semua siswa mengerjakannya, tidakhanya asyik dengan Autograph. Dengan me-ngerjakan LAS tersebut siswa melakukan prosesinquiry. Karena siswa sendiri yang menemukansuatu konsep, maka siswa memperoleh pema-haman konsep yang lebih baik dibanding jika siswahanya mendengar dari guru. Berbeda denganpendekatan biasa di mana bahan ajar yangdigunakan adalah buku paket yang biasa dipakaiguru. Buku paket tersebut memberikanpengetahuan dalam bentuk jadi, memberikancontoh-contoh soal dan pertanyaan latihan. Bahanajar dalam buku paket membuat siswa sebagaipenerima informasi pasif yang belajar dengan carameniru contoh soal untuk mengerjakan soal-soallatihan yang tersedia.

Kedua, guru dalam penemuan terbimbing ber-bantuan Software Autograph berperan sebagaifasilitator, mediator, dan partner yang mendam-pingi siswa dalam proses inquirynya. Dibutuhkankreativitas guru yang tinggi dalam merancangbahan ajar agar pengetahuan tidak disajikandalam bentuk jadi. Guru diharapkan untuk tidakmendominasi, dan tidak terlalu banyak memberipenjelasan yang akhirnya kembali sepertipendekatan biasa. Guru memberikan bantuanberupa pertanyaan-pertanyaan pancingan,pembenaran setuju atau tidak setuju, refleksi danevaluasi. Peran guru di atas memberi kesempatanbagi siswa untuk lebih kritis, lebih mandiri,mencari, menemukan dan membangun sendiripengetahuannya, bukan menghafal rumus dan

Tabel 3. Rangkuman Rerata Skor Gain dan Persentase Ketuntasan Pemahaman Konsep

Kelompok Aspek

Pretest Postest Gain Jumlah siswa tuntas

% ketuntasan

Eksperimen 34,3 77,74 43,44 67 dari 73 91,78%

Kontrol 32,2 66,66 34,46 44 dari 71 61,97%

Page 128: jurnal dikbud tahun 2012

379

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing BerbantuanSoftware Autograph

meniru contoh. Sebaliknya, dengan pendekatanbiasa guru berperan sebagai sumber belajarmenjelaskan konsep, memberikan contoh soal,memberikan soal-soal latihan yang mirip contohdan memeriksanya. Peran guru seperti inimengakibatkan siswa menghafal prosedurpenyelesaian soal bukan memahaminya. Siswamenjadi robot yang harus mengikuti cara guru.

Ketiga, siswa lebih berperan aktif dalampenemuan t erbimbing berbantuan SoftwareAutograph. Siswa lebih dituntut untuk berfikir,menemukan sendiri suatu konsep dan bukanmenghapal materi yang diberikan guru. Prosespenemuan terjadi ketika siswa dalam prosesmentalnya melakukan seperti: mengamati,menggolongkan, membuat dugaan, mengukur,menjelaskan, menarik simpulan dan sebagainyauntuk menemukan beberapa konsep atau prinsip.Kegiatan penemuan terbimbing tersebut membuatsiswa lebih memahami materi, menguasai materitersebut, lebih ingat dan mampu mentransfernya.Seperti yang dikatakan Suryosubroto (dalamSuriadi, 2006) bahwa dengan menemukan sendiri,menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperolehakan tetap dan tahan lama dalam ingatan,sehingga tak mudah dilupakan siswa. Pengertianyang ditemukan sendiri merupakan pengertianyang betul-betul dikuasai dan mudah digunakanatau ditransfer dalam situasi lain. Sebaliknya,dengan pendekatan biasa siswa berperansebagai penerima informasi yang diberikan guru,mendengarkan penjelasan guru, memperhatikancontoh soal yang diberikan dan mengerjakanlatihan. Pengetahuan jadi yang diterima siswaseperti ini akan lebih mudah hilang dan siswa punbelum tentu memahami konsepnya. Siswa lebihmemilih menghapal prosedur penyelesaian soaluntuk mendapatkan jawaban soal tersebut.

Keempat, interaksi siswa kepada temannyadan kepada guru di kelompok eksperimen jauhlebih dinamis dan multiarah. Siswa yang mendapatpendekatan biasa hanya mendengar penjelasanguru dan mencatat. Sedikit sekali siswa yangbertanya agar lebih memahami penjelasan gurutersebut. Adapun siswa pada kelompokpenemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutograph silih berganti bertanya kepada guru danberdiskusi dengan temannya dalam menye-lesaikan LASnya. Dalam pembelajaran ini semua

siswa terpaksa harus aktif bekerja dan harusmemahami hasil kerjanya agar dapat menye-lasaikan LAS dan memperoleh kesimpulannya.Dengan demikian, siswa pada kelompok ekspe-rimen lebih sering berinteraksi, yaitu berdiskusidengan temannya dan tidak sungkan bertanyapada guru.

Kelima, media belajar Autograph dalampenemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutograph membantu siswa lebih mudah me-lakukan proses inquiry. Siswa dapat mengum-pulkan banyak gambar grafik untuk dianalisis.Siswa dapat lebih fokus pada proses inquiry,menganalisis gambar-gambar grafik yangdihasilkan melalui media Autograph daripadamenghabiskan waktu menggambar di buku,memindahkan gambar guru yang ada di papantulis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Evan(Karnasih, 2008) yang menjabarkan keunggulanAutograph,

“This package can support most graph topicsand has a good statistic section. One of the mostpowerful features is its ability to draw graphsquickly and accurately, allowing the student toconcentrate on the outcome, rather than themanual task of drawing the graph..”Pernyataan Evan menjelaskan bahwa

Autograph dapat membantu di topik-topik grafik.Autograph mampu menggambar grafik dengancepat dan akurat, sehingga membuat siswa dapatlebih berkonsentrasi pada analisis grafik daripadamenggambar grafik secara manual.

Berbeda dengan pendekatan biasa yangtidak menggunakan media belajar, guru hanyamenggunakan papan tulis untuk menjelaskangambar-gambar grafik dan siswa mencatat grafiktersebut ke buku tulisnya. Tentu saja visualisasiyang manual ini tidak sejelas jika menggunakanSoftware Autograph dan waktu lebih banyakterpakai untuk menggambar bukan menganalisisgambar tersebut.

Simpulan dan SaranSimpulanBerdasarkan hasil temuan yang telah dikemuka-kan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagaiberikut: 1) siswa yang memperoleh pembelajarandengan pendekatan penemuan terbimbingberbantuan Software Autograph memiliki

Page 129: jurnal dikbud tahun 2012

380

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

peningkatan pemahaman konsep secara signifikanlebih baik jika dibandingkan dengan siswa yangmemperoleh pembelajaran pendekatan biasa;2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yangmemperoleh pembelajaran dengan pendekatanpenemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutograph secara signifikan lebih tinggi daripadasiswa yang memperoleh pembelajaran denganpendekatan biasa. Lebih lanjut, siswa yangmemperoleh pembelajaran dengan pendekatanpenemuan terbimbing berbantuan SoftwareAutograph telah mencapai ketuntasan, sedangkansiswa yang memperoleh pembelajaran denganpendekatan biasa belum mencapai ketuntasan.

SaranBerdasarkan simpulan di atas, disarankan: 1) Pen-dekatan penemuan terbimbing berbantuansoftware Autograph sangat potensial untukditerapkan dalam pembelajaran matematika,khususnya pada materi grafik fungsi trigonometrimaupun pada materi matematika yang sesuai;dan 2) Untuk lebih meningkatkan ketuntasan danaktivitas belajar siswa, sebaiknya guru dan siswamenerapkan pendekatan penemuan terbimbingberbantuan software Autograph dengan bahan ajardan perangkat pembelajaran yang dirancangsecara khusus dalam bentuk lembar aktivitas siswa(LAS).

Pustaka Acuan

Ansari, B.I. 2009. Komunikasi Matematik. Banda Aceh: Yayasan Pena.

Ahmad, B. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Sebagai Upaya MeningkatkanKemampuan Pemahaman Konsep Matematika dan Komunikasi Matematik Siswa SekolahMenengah.Tesis. Medan: Program Pascasarjana UNIMED Medan.

Dahar, R.W. 1996. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat KurikulumBalitbang Depdiknas.

Dokumentasi SMK Telkom Sandhy Putra Medan dan SMK Sandhy Putra - 2 Medan.

Hasanah, A. 2004. Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SekolahMenengah Pertama melalui Pembelajaran Berbasis Masalah yang Menekankan pada RepresentasiMatematik. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung.

Karnasih, I. 2008. Paper Presented in International Worksop : ICT for Teaching and LearningMathematics, Unimed, Medan. (In Collaboration between UNIMED and QED Education KualaLumpur, Malaysia, 23-24 May 2008).

Kuhlthau, C. C. 2007. Guided Inqury: Learning in The 21st Century School. Wesport, CT: LibrariesUnlimited.

Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing, (http://p4tkmatematika.org /downloads /ppp/ PPP Penemuan-terbimbing.pdf, diakses pada 25 Maret2010).

National Council of Teachers of Mathematics. 1989. Curriculum and Evaluation Standard for SchoolMathematics. Reston, VA: NCTM.

National Council of Teachers of Mathematics. 1991. Professional Standar for Teaching Mathematics.Reston, VA: NCTM

Page 130: jurnal dikbud tahun 2012

381

Sahat Saragih dan Vira Afriati, Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan Terbimbing BerbantuanSoftware Autograph

Reys, E.R. 2001. Helping Children Learn Mathematics, John Wiley and Sons, Inc, United States ofAmerica.

Saragih, S., 2007. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa SekolahMenengah Pertama Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. Bandung: PendidikanMatematika UPI Bandung.

Suriadi. 2006. Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang Menekankan Aspek Analogi untukMeningkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis. Bandung:Program Pascasarjana UPI Bandung.

Soedjana, W. 1986. Strategi Belajar Mengajar Matematika, Modul 1-3, Jakarta: Karunika.

Tim PLPG. 2008. Metodologi Pembelajaran Matematika, Modul Pelatihan Pendidikan Guru. Medan: JurusanPendidikan Matematik, Unimed.

Turmudi. 2008. Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif danInvestigatif). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

Page 131: jurnal dikbud tahun 2012

353

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

SUASANA KERJA DAN PENGARUH KEPEMIMPINANDALAM KONTEKS PENDIDIKAN DASAR

(WORKING CLIMATE AND THE EFFECT OF LEADERSHIPIN THE CONTEXT OF BASIC EDUCATION)

Mieske Theresia TulungSMPK Renya Rosari Lilitira

Rantepao – Toraja Utara, Sulawesi Selatane-mail: [email protected]

L. KalugeUniversitas Kanjuruhan Malang

e-mail: [email protected]

Diterima tanggal: 1/10/2012, Dikembalikan untuk revisi: 3/11/2012, Disetujui tanggal: 20/12/2012

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengungkap suasana kerja di sekolah yang dikondisikanoleh persepsi kepemimpinan. Fokus dari tujuan tersebut, yaitu: gambaran suasana kerja, persepsipara guru, dan hubungan kausal antara keduanya. Metode yang ditempuh bersifat kuantitatif.Sampel sebanyak 386 guru diambil dari 24 SMP Negeri dan Swasta di kota Manado secara acakdengan memperhatikan cluster proportionate. Data dianalisis secara deskriptif serta inferensial.Delapan konstrak kepemimpinan dan dua konstrak suasana kerja terbukti valid dan reliabel.Dengan rentangan 0-4, rerata suasana kerja di sekolah sebesar 2,9 untuk semangat kerja, dan2,8 untuk suasana kreatif. Juga dengan rentangan yang sama, rerata kedelapan subskalakepemimpinan berkisar 2,55 dan 3,19. Analisis regresi mengungkapkan tidak semua komponenkepemimpinan merupakan faktor signifikan untuk pengembangan suasana kerja di sekolah.Kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, dan mendukung berpengaruh signifikanterhadap semangat kerja para guru, dan pengembangan suasana kreatif dipengaruhi secarasignifikan oleh kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, mendukung, danmemberdayakan. Temuan ini bermanfaat bagi kebijakan pendidikan dan pengembangan sekolah.

Kata kunci: persepsi kepemimpinan, kepala sekolah, suasana kerja, guru, dan sekolahmenengah pertama.

Abstract: This study aimed at discovering the leadership perception in conditioning the workingclimate at schools. Three objectives of the aim were describing working climate, teachers’perception on leadership, and the causal relationship between them. The cluster proportionaterandom sampling obtained 386 teachers from 24 state and private junior-secondary-schools inthe city of Manado. Data were collected through questionnaire administration and analyzedusing descriptive and inferential methods. Eight leadership constructs and two working climatewere proven to be valid and reliable. Using range criteria of 0-4, the averages of workingclimate were 2.9 and 2.8 for working spirit and creative climate. On the other hand, using thesame criteria, the average of the eight leadership sub-scales ranged between 2.55 and 3.19.The regression analyses found that not all of the leadership components were significant factorsfor developing the school working climate. Disciplining, listening, and supporting were significantfactors for teachers’ working spirit. Whereas, the creative climate of teachers was affectedsignificantly by disciplining, listening, supporting, and empowering factors. The results would beof benefit for educational policies and school improvement.

Keywords: perceived leadership, school principals, working climate, teachers, and juniorsecondary school.

Page 132: jurnal dikbud tahun 2012

354

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

PendahuluanKualitas pendidikan selalu menjadi topik menarikbagi masyarakat Indonesia karena pendidikanmemiliki andil masa depan dan martabat bangsa.Diakui bahwa kualitas pendidikan pada umumnyadan prestasi belajar siswa di sekolah padakhususnya merupakan hasil dari proses interaksiberbagai faktor seperti guru, siswa, kurikulum,buku paket, laboratorium, metodologi pem-belajaran, peraturan perundang-undangan dibidang pendidikan dan berbagai input sertakondisi proses lainnya (Agung, 2009; Ismail, 2006;Koster, 2006).

Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagaibagian dari pendidikan dasar sembilan tahunmerupakan sektor esensial dalam pembangunanpendidikan. Penyelenggaraan pendidikan SMP diIndonesia mempunyai misi luhur, yaitu sesuaidengan misi pendidikan nasional yang bertujuanagar peserta didik memiliki akhlak mulia, bersifatkreatif dan inovatif, berwawasan kebangsaan,cerdas dan sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab. Oleh sebab itu, penyelenggaraannyadimaksudkan sebagai upaya menangkal nilai-nilaibudaya dari luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaidampak globalisasi yang tidak mengenal batasanruang dan waktu. Salah satu syarat yang takkalah pent ing adalah pengetahuan dankemampuan para kepala sekolah memimpinsekolahnya.

Rimba masalah pembangunan pendidikansaat ini amat kompleks. Kurangnya pembinaanmemadai tentang kepemimpinan kepala sekolahberada dalam rimba tersebut. Sesungguhnya,sebesar apa pun masukan persekolahanditambah atau diperbaiki, keluarannya tetap tidakakan optimal, apabila faktor kepemimpinan kepalasekolah yang merupakan aspek sangat strategisdalam proses belajar mengajar dibiarkan terlantaratau tidak diberikan perhatian yang serius.

Kepemimpinan merupakan suatu kekuatanpenting dalam menggerakkan orang lain untukmenjalankan kegiatan manajemen. Kepemim-pinanlah yang menentukan arah dan tujuan,memberikan bimbingan dan menciptakan iklimkerja yang mendukung pelaksanaan prosesmanajemen secara keseluruhan (Hoy & Miskel,2008; McBeath, 2005). Dengan demikian, dapatlah

dikatakan bahwa kepala sekolah adalah pelakukependidikan yang berperan besar bagikeberhasilan pengelolaan sekolah. Kualitaskepemimpinan kepala sekolah yang di dalamnyatermasuk kepribadian dan keterampilan me-nangani masalah terasa di sekolah. Kemampuanmenjalin hubungan antara manusia serta gayakepemimpinan sangat menentukan dan memilikipengaruh yang besar terhadap pencapaian tujuansekolah. Namun, kenyataannya tidak semuakepala sekolah ketika mengelola sekolah yangdipimpinnya mampu berperan sesuai denganfungsi yang sebenarnya karena terlalu mem-fokuskan diri pada pengelolaan administrasi rutinsemata.

Keefektifan kepemimpinan kepala sekolahmemiliki pengaruh yang besar dalam penciptaaniklim kerja yang kondusif bagi pencapaian tujuanyang dicita-citakan. Dengan demikian, diharapkandapat terwujud semangat kerja maksimal dariseluruh komponen personal yang ada di sekolah.Agar relevan dan efisien, diperlukan pember-dayaan kepala sekolah, yaitu berupa pembenahankepemimpinan kepala sekolah sebagai unsurutama dalam manajemen peningkatan mutuberbasis satuan pendidikan, sehingga sekolahdapat mandiri, kreatif dan inovatif dalammelaksanakan kegiatan pendidikan sesuaidengan daya pendidikan yang ada (Sidi, 2001;Suraji, 2010). Apalagi bekerja dengan kondisipara guru di tanahair yang saat ini terungkapmemprihatinkan (Emy, 2012; Wedhaswary, 2012).

Ulasan di atas mengandung masalah pene-litian yang dirumuskan dalam tiga pertanyaanberikut. Pertama, bagaimanakah suasana kerjadi sekolah? Kedua, bagaimana persepsi para gurutentang kepemimpinan kepala sekolah? Ketiga,apakah kepemimpinan berpengaruh terhadappengembangan suasana kerja para guru disekolah? Ketiga pertanyaan tersebut bertujuanuntuk memahami lebih rinci persepsi kepemim-pinan kepala sekolah dan situasi lingkungan kerjapara guru.

Page 133: jurnal dikbud tahun 2012

355

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Kajian LiteraturSuasana Kerja dan Persepsi Kepemimpinan diSekolahSuasana Kerja Para GuruAda banyak cara membahas dan mencermatisuasana kerja para guru di sekolah dari berbagaiaspek. Lazimnya, suasana lingkungan kerjadibahas dari segi fisik dan sosio-psikologis(Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2005;Owens, 2004). Pada kesempatan ini dicermatiaspek sosio-psikologis. Suasana lingkungan kerjadi sekolah, dalam artikel ini dibataskan dalam duatema pokok, yaitu semangat kerja kelompok dankreativitas kerja.

Pertama, semangat kerja. Semangat kerjamerupakan gejala psikologis, seperti perasaan,sikap, suasana batin, dan reaksi mental yangdiekspresikan dalam rasa senang atau tidaksenang, rasa bergairah atau tidak bergairah, danbergejolak atau sebaliknya. Semangat kerjamuncul dari kepuasan para pekerja dalammenjalankan pekerjaan dan interrelasi merekadengan lingkungan tempat kerjanya. Dalamsatuan pendidikan, kepala sekolah sebagaipemimpin berperan penting dalam memberisemangat kepada guru-guru yang dipimpinnya(Sion, 2007; Sulton, 2006). Semangat kerjakelompok yang tinggi ditandai dengan kegairahanpara guru dalam menjalankan tugasnya. Pimpinansekolah dapat membina kerja sama kelompokdalam memecahkan masalah, melibatkan wargasekolah dalam mengambil keputusan dan seluruhstaf didorong untuk mencapai potensinya (Adams,2006).

Kedua, kreativitas kerja. Dari segi proses,secara garis besar kreativitas kerja mengacu padaupaya-upaya menciptakan kondisi yang meng-galakan kerja kelompok, menumbuhkan rasasaling percaya, dan melibatkan anggota dalamkegiatan-kegiatan sekolah. Dengan demikian,terjalin hubungan interpersonal yang baik antarasesama anggota, dan terwujud suasana kerjayang kondusif (Fink & Brayman, 2006). Salah satufaktor penting dalam memimpin bawahan adalahfaktor kreativitas. Dari segi dampak, kreativitassering mengandung arti kemampuan dankekuasaan untuk mengem-bangkan gagasan-gagasan baru.

Demi suasana sekolah yang kondusifseyogyanya para guru merasa diperlakukansesuai dengan bakat dan keterampilan, ke-mampuan dan minat masing-masing, dan mem-beri dorongan sehingga mereka leluasa untukmengemukakan keluhan, pendapat, harapanyang semuanya itu mendukung lancarnya prosespencapaian tujuan sekolah. Melalui kepemimpinankepala sekolah segenap potensi staf dikem-bangkan dan dimanfaatkan untuk membina mutuorganisasi.

Kepemimpinan Kepala SekolahPosisi jabatan kepala sekolah pada dasarnya tidaklepas dari aspek kepemimpinan pada umumnya.Menurut definisinya, kepemimpinan kepalasekolah diartikan sebagai kemampuan dalammemengaruhi, mendorong, mengarahkan,memacu, berkomunikasi dan membimbing stafnya(terutama guru) dalam rangka mencapai tujuansekolah (Nawawi, 2003).

Seluk-beluk kepemimpinan dijelaskan dalamsejumlah teori dan penelit ian. Sekurang-kurangnya ada t iga klasifikasi dasar teorikepemimpinan, yaitu pendekatan sifat, perilaku,dan situasional (contingency). Pendekatanpertama memandang kepemimpinan sebagaikombinasi sifat-sifat (traits) yang tampak.Pendekatan kedua bermaksud mengidenti-fikasikan perilaku-perilaku (behaviors) pribadi yangberhubungan dengan kepemimpinan efektif.Kedua pendekatan ini beranggapan bahwaseorang individu yang memiliki sifat-sifat tertentuatau memperagakan perilaku-perilaku tertentuakan muncul sebagai pemimpin dalam situasikelompok apa pun di mana ia berada. Pendekatanyang ketiga, yaitu pandangan situasional.Pandangan ini menganggap bahwa kondisi yangmenentukan keefektifan kepemimpinan bervariasidalam situasi – tugas-tugas yang dilakukan,keterampilan dan pengharapan bawahan, dansebagainya. Pandangan ini terwujud dalampendekatan “contingency” pada kepemimpinandengan menjelaskan faktor-faktor situasionalyang menentukan keefektifan gaya kepemim-pinan tertentu.

Kepemimpinan situasional menjadi fokusutama dalam artikel ini lantaran dua alasan.Pertama, teori ini didasarkan atas asumsi bahwa

Page 134: jurnal dikbud tahun 2012

356

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

keberhasilan memimpin suatu lembaga tidakhanya bergantung pada perilaku dan sifat-sifatpemimpin. Tiap lembaga memiliki ciri-ciri yang unik.Bahkan, lembaga yang sejenis pun dapatmenghadapi masalah yang berbeda karenalingkungan, semangat dan watak bawahan yangberbeda. Kedua, pertimbangan bahwa salah satufaktor yang menunjukkan adanya perbedaansituasi organisasi adalah tingkat kematangan danperilaku kelompok atau bawahan (Purwanto,2003). Tinggi rendahnya tingkat kematangankelompok turut menentukan ke mana kecen-derungan gaya kepemimpinan seorang pemimpinharus diarahkan.

Gaya kepemimpinan kepala sekolah sangattergantung pada situasi dan kondisi staf yangdipimpinnya. Jika menghadapi staf yang memilikikemampuan yang kurang baik dan motivasi kerjajuga kurang baik maka gaya kepemimpinan tellingpaling efektif. Artinya, kepala sekolah lebih banyakmemberi petunjuk yang spesifik dan secara ketatmengawasi staf/guru dalam melaksanakantugasnya. Jika menghadapi staf yang memilikikemampuan yang kurang baik, tetapi memilikimotivasi kerja baik maka gaya kepemimpinanselling paling efektif. Artinya, kepala sekolahbanyak memberikan bimbingan sehinggakemampuan staf secara bertahap meningkat. Jikamenghadapi staf yang memiliki kemampuan kerjayang baik, tetapi motivasi kerjanya kurang makakepemimpinan participating paling efektif. Artinya,kepala sekolah berpartisipasi aktif dalammendorong staf untuk menggunakan kemampuansecara optimal. Jika menghadapi staf yang memilikikemampuan baik dan motivasi kerja juga baikmaka gaya kepemimpinan delegating paling efektif.Artinya, kepala sekolah lebih banyak memberikandukungan dan mendelegasikan tugas danwewenang kepada staf/guru.

Kondisi kepemimpinan tersebut mengandungdelapan makna generik, yaitu: menjelaskan,mengarahkan, mendisiplinkan, memantau,melibatkan, mendengarkan, memberikandukungan dan memberdayakan (Ivancevich,Konopaske, & Matteson, 2005; Owens, 2004).Kedelapan elemen itu umumnya diterapkan olehkepala sekolah dalam kepemimpinannya. Berikutini akan diulas setiap elemen tersebut.

Pertama, menjelaskan. Menjelaskan adalahproses komunikasi dari pimpinan kepada parabawahan, rekan sejawat, dan pihak luar yangmemberi kontribusi penting kepada kegiatan unitkerja agar tidak terjadi kesalahpahaman.Menjelaskan kepada bawahan menyangkut komu-nikasi rencana-rencana, kebijakan-kebijakan,serta harapan peran serta instruksi tentangpekerjaan. Empat buah subkategori mengenaimenjelaskan, yaitu: a) menetapkan tanggungjawab kerja bagi para bawahan atau anggota tim;b) menetapkan tujuan-tujuan kinerja dan otorisasirencana tindakan untuk mencapainya;c) menugaskan pekerjaan; dan d) memberikaninstruksi mengenai cara suatu tugas harusdilakukan menyangkut pembagian tugas,tanggung jawab pekerjaan, peraturan danprosedur, mengkomunikasikan prioritas,menetapkan tujuan-tujuan kinerja yang spesifikbagi seorang bawahan, menetapkan batas-bataswaktu yang spesifik untuk suatu penugasan,memberi persetujuan atau menguji kembalirencana-rencana tindakan untuk mencapaitujuan-tujuan prestasi kerja, dan memberiinstruksi dalam mengerjakan tugas.

Kedua, mengarahkan. Untuk menjaga agarapa yang telah direncanakan dapat berjalansepert i yang dikehendaki maka diperlukanpengarahan. Semua orang bekerja demi tujuanyang ditetapkan dan secara konsisten berpacumenuju tujuan itu. Kadang-kadang karenabeberapa faktor, perumusan tujuan tidak jelas,sehingga upaya pencapaiannya pun tidak jelas.Agar pengarahan ini sesuai dengan yangditetapkan, pengarah perlu mempunyai ke-mampuan kepemimpinan, yaitu memengaruhiorang lain sehingga mau bekerja sebaik-baiknyadalam mencapai tujuan bersama (Suryosubroto,2004).

Ketiga, mendisiplinkan. Menegakkan kedi-siplinan adalah hal yang penting bagi suatuorganisasi pendidikan. Dengan kedisiplinan,diharapkan peraturan-peraturan dilaksanakansecara efektif dan efisien. Sekolah yang tertib,aman, dan teratur merupakan prasyarat agarsiswa dapat belajar secara optimal. Kondisisemacam ini terjadi jika disiplin di sekolah berjalandengan baik (Watson & Scribner, 2007). Kepalasekolah memegang peran penting dalam

Page 135: jurnal dikbud tahun 2012

357

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

mendisiplinkan sekolah, mulai dari merancang,melaksanakan dan menjaganya.

Keempat, memantau. Memantau adalahkegiatan mengumpulkan data dalam rangkamengetahui seberapa jauh kegiatan pendidikantelah mencapai tujuannya dan kesulitan apa yangditemui dalam kegiatan sekolah. Pemantauandilakukan untuk memastikan apakah tujuan bakaltercapai atau tidak (McBeath, 2005). Data itudipakai untuk mengidentifikasikan apakah prosespencapaian tujuan berjalan dengan baik, apakahada penyimpangan dalam kegiatan itu sertakelemahan apa yang didapatkan dalam penye-lenggaraan kegiatan tersebut.

Kelima, melibatkan. Pengambilan keputusanmerupakan kegiatan yang selalu dijumpai dalamsetiap kegiatan kepemimpinan. Bahkan, dapatjuga dikatakan, cara pengambilan keputusanyang dilakukan seseorang pemimpin menunjukkangaya kepemimpinannya. Keberhasilan darikeputusan yang tepat maupun pemecahanmasalah organisasi secara memuaskan hanyadapat dicapai melalui kadar usaha pemimpinmelibatkan anggota-anggotanya. Hasi l-hasilpenelitian menunjukkan bahwa pengambilankeputusan yang berpartisipatif dapat mening-katkan keefektifan organisasi atau lembaga(Owens, 2004).

Keenam, mendengarkan. Mendengarkanadalah kegiatan penting yang untuk memastikanbahwa seseorang berkomunikasi dengan baikuntuk memperoleh pengertian yang sama.Pengert ian yang sama ini adalah int i darikomunikasi dan harus dicapai bila ingin menjadipemimpin yang sukses (Adams, 2006). Men-dengarkan merupakan metode utama dalammenerima pesan-pesan. Carl Rogers (dalamTirtamihardja, 2005) mengatakan bahwaketidakmampuan orang berkomunikasi meru-pakan hasil dari kegagalan mendengarkan secaraefektif, kurang terampil dan kurang memilikipengertian pada orang lain.

Ketujuh, memberi dukungan. Memberidukungan termasuk perilaku pemimpin yangmemperlihatkan pertimbangan, penerimaan, danperhatian terhadap kebutuhan dan perasaanorang lain. Perilaku memberi dukungan membantumembangun dan mempertahankan hubunganantar pribadi yang efektif, serta merupakan

komponen inti dari kepemimpinan yang suportif(Clarke, 2009; McBeath, 2005). Sasaran lain dariperilaku memberi dukungan adalah untukmeningkatkan kepuasan kerja para bawahanatau para rekan sejawat. Pemberian dukungandiperlihatkan melalui pujian dan apresiasiterhadap orang lain demi kinerja yang efektif,keberhasilan yang memadai, serta kontribusikepada organisasi.

Kedelapan, memberdayakan. Member-dayakan adalah perwujudan dari ide bahwakaryawan merupakan kontributor berhargaterhadap kesuksesan organisasi. Keadaan inimemungkinkan karyawan belajar dari kesalahanmereka dan secara efektif bekerja lebih baik danlebih cerdas. Tipe pemimpin yang paling baikadalah yang memanfaatkan potensi dari parapekerja. Pemimpin mendorong, meyakinkan, danmembantu mengembangkan berbagai keteram-pilan dan bakat mereka.

Keberhasilan dalam memimpin bergantungjuga pada kemampuan dalam mendelegasikantugas dan tanggung jawab kepada bawahansecara efektif. Yang jelas, pemimpin yang baiktidaklah melakukan tugas-tugas yang bersifatteknis-operasional yang semest inya cukupdidelegasikan kepada bawahan (Holtappels,2009; Precey & Entrena, 2011). Keuntungan dariproses pendelegasian juga dapat dirasakandalam mempersiapkan kader-kader pimpinansehingga secara kontinu pembiasaan kepe-mimpinan staf dapat terwujud dan pada gilirannyamereka akan memberikan pengaruh yang positifbagi peningkatan mutu lembaga.

Persepsi Kepemimpinan dan Suasana Kerja diSekolahSekolah adalah suatu sistem interaksi sosial, yangterdiri atas pribadi-pribadi yang berinteraksibersama di dalam hubungan keorganisasian.Sebagai sistem sosial, sekolah ditandai oleh salingketergantungan antara bagian-bagiannya, dimana populasinya didefinisikan secara jelas.Sekolah memiliki lingkungannya sendiri, suatujaringan hubungan sosial yang kompleks danbudayanya yang unik (Hoy & Miskel, 2008).

Watson dan Scribner (2007) juga menjelaskanbahwa esensi dari hubungan antarpribadi, antaralain saling pengertian dan kedekatan untuk

Page 136: jurnal dikbud tahun 2012

358

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

mencapai tujuan bersama. Sementara itu,keefektifan kepemimpinan juga memberi pene-kanan pada hubungan antarpribadi dan upayauntuk mencapai tujuan. Faktor-faktor yangberpengaruh pada komunikasi antarpribadiantara lain hubungan antarpribadi, rasa simpatidan empati, keterbukaan dan saling percayaantarpersonal yang terlibat. Sementara itu, salahsatu orientasi utama dari keefektifan kepe-mimpinan adalah hubungan antarpimpinandengan bawahan yang menekankan pada aspekhumanis.

Uraian di atas mengindikasikan adanyahubungan secara teoretis antara komunikasiantarpribadi dengan keberhasilan kepemimpinankepala sekolah. Wiyono (2000) mengemukakanbahwa para guru ataupun staf lainnya akan dapatbekerja dengan baik dan penuh semangat bilakepala sekolah mampu menerapkan kepemim-pinan yang efektif. Oleh karena itu, untukmeningkatkan semangat kerja guru, perludiperhatikan kepemimpinan yang diterapkan olehkepala sekolah. Hal ini sejalan dengan temuanSulaiman (1992) yang memperlihatkan adanyahubungan antara dimensi perilaku kepemimpinandengan semangat guru, dan Darmadi (1994) yangmenyatakan bahwa perilaku kepemimpinan akansangat efektif untuk mengarahkan guru.

Sementara untuk mendukung terciptanyasuasana sekolah yang kondusif seyogyanyaseorang pemimpin memperlakukan bawahansesuai dengan bakat dan keterampilan,kemampuan dan minat masing-masing danmemberi dorongan sedemikian sehingga merekaleluasa mengemukakan keluhan, pendapat,harapan yang semuanya itu mendukunglancarnya proses pencapaian tujuan sekolah.

Selanjutnya, menurut teori situasi ataukontingensi ada lima prinsip dasar yang perludiperhatikan dan penting untuk dipahami sertadilaksanakan oleh para pemimpin. Pertama,kepemimpinan yang efektif selalu menyesuaikandiri dengan tingkat kematangan bawahan. Kedua,pemimpin yang efektif selalu membantu bawahanuntuk berkembang dari tidak atau belum dewasamenjadi dewasa. Ketiga, perilaku pemimpin yangcenderung berbeda-beda dari satu situasi kesituasi lain. Keempat, pemimpin melakukandiagnosis dengan baik terhadap situasi. Kelima,

pemimpin mampu mengubah-ubah perilakunyasesuai dengan situasi dan memperlakukan sesuaitingkat kematangannya.

Penerapan gaya kepemimpinan yang tepatakan berdampak pada peningkatan keefektifankepemimpinan dalam mencapai tujuan lembaga.Hal ini didukung oleh penelitian Goleman (2003)yang menunjukkan bahwa semakin banyak gayayang dipraktikkan oleh seorang pimpinan makaakan semakin baik hasilnya. Para pimpinan yangmenguasai empat atau lebih gaya kepemimpinan,terutama gaya otoriter, demokratis, afiliatif, dancoaching, akan mendapat suasana kerja dankinerja bisnis yang terbaik. Pimpinan paling efektifakan mampu mengganti gaya kepemimpinannyasecara fleksibel dari satu gaya ke gaya lainsebagaimana dibutuhkan.

Persepsi Aktivitas Kepemimpinan

X1 MenjelaskanX2 Mengarahkan Lingkungan KerjaX3 MendisiplinkanX4 Memantau Y1 Semangat KerjaX5 Melibatkan Y2 Suasana kreatifX6 MendengarkanX7 Memberi dukunganX8 Memberdayakan

Ilustrasi 1. Diagram Rancangan Penelitian

Metode PenelitianPendekatan PenelitianPendekatan penelitian ini adalah kuantitatif.Dengan pendekatan ini dijabarkan hubungansebab-akibat antara persepsi aktivitas kepe-mimpinan kepala sekolah terhadap lingkungankerja para guru SMP. Ilustrasi 1 memaparkanrancangan penelitian ini. L ingkungan kerjameliputi semangat kerja dan suasana kreatif.Faktor persepsi kepemimpinan mencakup delapanvariabel aktivitas, yaitu menjelaskan, meng-arahkan, mendisiplinkan, memantau, melibatkan,mendengarkan, memberi dukungan, danmemberdayakan.

Page 137: jurnal dikbud tahun 2012

359

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Populasi dan SampelPopulasi adalah kelompok yang menjadi perhatianpeneliti untuk rujukan generalisasi hasil penelitian(Fraenkel & Wallen, 2008). Sehubungan denganhal tersebut, populasi dalam penelitian ini adalahguru SMP Kota Manado, baik negeri maupunswasta. Jumlah SMP di Kota Manado sebanyak 78sekolah dengan tenaga pengajar sebanyak 1.360orang.

Pengambilan sampel guru ditempuh denganproportionate random sampling. Teknik ini selaindilakukan secara acak, juga diperhatikan proporsisampel di tiap sekolah, sehingga sebandingdengan besarnya dalam populasi. Jumlah sampelguru sebanyak 386 orang, sekitar 28,4% daripopulasi guru SMP.

SMP yang dijadikan sampel dalam penelitianini sebanyak 24 sekolah dengan r incian 12berstatus negeri dan 12 swasta. Pengambilansampel SMP dilakukan dengan cluster proportion-ate random sampling. Dengan teknik ini sampeldiambil secara acak dari sekolah negeri danswasta.

Pengembangan Instrumen dan PengumpulanDataData yang dikumpulkan berkaitan dengan dua hal,yaitu persepsi aktivitas pemimpin dan suasanakerja SMP baik di sekolah negeri maupun swasta.Oleh karena itu, angket yang disusun berisi butir-butir pernyataan yang mencerminkan kedua haltersebut dengan empat urutan pilihan jawabanyaitu selalu, sering, jarang, dan tidak pernah. Butir-butir kedua hal tersebut disusun oleh peneliti dandikaji oleh pakar yang membidanginya.Pernyataan-pernyataan yang dirumuskantergambar dalam Tabel 1 agar tercermin skemakedua konsep utama beserta komponennya.

Untuk pernyataan yang mendukung(favourable), pemberian skor dimulai dari “sering”dengan angka 4 dan bergerak ke “tidak pernah”dengan angka 1. Sebaliknya untuk pernyataanyang tidak mendukung (unfavourable), pemberianskor terbalik, yaitu 1 untuk “sering” dan 4 untuk“tidak pernah”.

Validitas dan ReliabilitasAgar data yang diperoleh mempunyai tingkatakurasi dan keajegan yang tinggi, oleh karenanya

instrumen yang disusun perlu diuji validitas danreliabilitasnya.

Uji validitas dilakukan dengan memeriksakoefisien korelasi antarbutir dan skor total, apabilarendah (r < 0,3), maka butir bersangkutan gugur.Berdasarkan hasil analisis korelasi uji validitasdiketahui bahwa berkaitan dengan kedelapankomponen dari kepemimpinan kont ingensidiperoleh 47 butir yang valid, sedangkan padakedua komponen suasana kerja diperoleh butir-butir valid sebanyak 20 buah.

Reliabilitas dalam penelitian ini diartikansebagai konsistensi internal antarbutir dalamsebuah komponen tertentu. Uji reliabilitas yangdigunakan yaitu untuk mengestimasi alpha ()Cronbach. Patokan yang dipakai ialah 0,65sebagai suatu kewajaran minimum (Mehrens &Lehmann, 1984) untuk skala instrumen demikian.Apabila lebih besar daripada patokan tersebut,maka dapat dikatakan reliabel.

Analisis DataMasalah penelitian yang terumus di depan perludijawab lewat penganalisisan data. Sebagaipenelitian kuantitatif, digunakan analisis statistikdeskriptif dan inferensial. Analisis deskriptifdilakukan untuk memaparkan gambaran umumpersepsi responden tentang kepemimpinankontingensi dan suasana kerja di lingkungan SMPKota Manado. Diawali dengan analisis deskriptifberupa rerata, deviasi baku; diikuti korelasi antarafaktor untuk memast ikan adanya peluangmultikoliniaritas antarvariabel pada analisisberikutnya.

Kemudian analisis statistik inferensial, regresiganda, dipakai untuk menguji hubungan sebabakibat antara kedua konsep besar, yaitukepemimpinan kontingensi dan suasana kerja disekolah. Sesuai dengan karakteristik data setiapkomponen yang dijadikan variabel utama, dipilihlahanalisis regresi ganda setelah teruji asumsidasarnya.

Hasil dan Pembahasan PenelitianHasil PenelitianData yang terkumpul dideskripsikan sebagaiberikut. Dalam hal suasana kerja, sebagian besarkepala SMP di Manado menciptakan suasanakreatif (sebesar 82%); dan mendorong semangat

Page 138: jurnal dikbud tahun 2012

360

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Tabel 1. Deskripsi Konstrak dalam Penelitian

No Konstrak setiap konsep Rerata Deviasi baku

Minimum Maksimum Alpha

1 Kepemimpinan kontingensi Menjelaskan Mengarahkan Mendisiplinkan Memantau Melibatkan Mendengarkan Memberi dukungan Memberdayakan

2.83 3.19 2.65 2.73 2.82 2.55 2.71 2.82

0.39 0.53 0.39 0.46 0.52 0.46 0.37 0.52

1.50 1.33 1.17 1.33 1.67 1.14 1.57 1.33

9.00 4.00 3.83 4.00 7.33 9.14 4.00 4.00

0.77 0.84 0.65 0.74 0.77 0.73 0.78 0.79

2 Suasana kerja di sekolah Semangat kerja Suasana kreatif

2.9 2.8

0.45 0.36

1.67

10.00

7.50

22.00

0.71 0.82

Keterangan: setiap konstrak terdiri atas 6 butir pernyataan yang valid.

kerja (sebesar 77%). Data tersebut menunjukkanbahwa tingkat keefektifan kepemimpinan parakepala sekolah memiliki kualitas yang berkategoribaik.

Mengenai persepsi para guru, terungkapbahwa sebagian besar kepala sekolah mene-rapkan perilaku kepemimpinan kontingensi yangsangat tinggi, yaitu telling dan selling yangmencakup: menjelaskan sebesar 82%; meng-arahkan sebesar 83%, dan mendisiplinkan se-besar 82%. Yang dikatakan tinggi, yakniparticipating dan delegating yang mencakup:melibatkan 83%, mendengarkan 85%; memberidukungan 88% dan memberdayakan 85%.Dikatakan agak tinggi, yaitu memantau sebesar74%. Data tersebut menunjukkan bahwa padadasarnya para kepala sekolah dalam menjalankanpraktek kepemimpinannya telah mampumenerapkan gaya kepemimpinan kontingensi.

Deskripsi pada Tabel 1 menjelaskan bahwakedelapan komponen kepemimpinan kontingensiyang dipersepsi para guru reratanya berkisar2,55–3,19 dengan simpangan bakunya berkisar0,37–0,52. Selain itu, kedua komponen suasanakerja di sekolah reratanya berkisar 2,8–2,9dengan simpangan bakunya berkisar 0,36-0,45.Dengan mempertimbangkan rerata, deviasi baku,mínimum dan maksimum, disimpulkan distribusikesepuluh konstrak umumnya masih wajar walauada kecenderungan skewed atau tidak terdis-tribusi secara normal.

Tabel 1 menunjukkan alpha kedelapankomponen persepsi kepemimpinan kontingensiberkisar 0,65 – 0,84, sedangkan kedua komponensuasana kerja sekolah berkisar 0,71 (dorongansemangat kerja) dan 0,82 (suasana kreatif).Dengan demikian, kesepuluh komponen tersebutreliabel dan dapat digunakan untuk analisisselanjutnya.

Korelasi antara kedua konstrak dependen,yaitu suasana kerja dan dorongan kreat ifsignifikan dengan besaran r = 0.38 (p <0,00).Interkorelasi antarkedelapan konstrak inde-penden, pada Tabel 2 berkisar 0,01–0,62,dianggap sebagai hal yang wajar dalam artiantidak terlampau tinggi, sehingga tidak berpeluangmenimbulkan masalah multikoliniaritas dalamanalisis regresi ganda. Matriks interkorelasimenunjukkan bahwa semua koefisien korelasisignifikan (p<0,05), kecuali dua koefisien. Keduakoefisien yang tidak signifikan ialah korelasi‘mengarahkan’-‘mendengarkan’ (r=0,010,p>0,05), dan ‘melibatkan’-‘mendengarkan’(r=0,094, p>0,05). Hal ini mencerminkan bahwahubungan antara keempat konstrak tersebutbersifat ortogonal dan baik untuk digunakansebagai variabel independen pada analisisinferensial berikutnya.

Page 139: jurnal dikbud tahun 2012

361

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Tabel 2. Interkorelasi Konstrak Persepsi Aktivitas Kepemimpinan Kontingensi(N = 386)

JLS ARH DSP MMN LBT DNG DKN BRD JLS ARH DSP MMN LBT DNG DKN BRD

1.00 .595 .424 .448 .283 .124 .387 .233

1.00 .481 .461 .399 .010* .466 .218

1.00 .622 .334 .159 .494 .247

1.00 .339 .156 .445 .211

1.00 .094* .416 .179

1.00 .202 .136

1.00 .298

1.00

Keterangan: JLS=menjelaskan, ARH=mengarahkan, DSP=mendisiplinkan, MMN= memantau, LBT=melibatkan, DNG=mendengarkan, DKN=mendukung, BRD=memberdayakan. Semua koefisien signifikan, p<0,01 kecuali yang bertanda* memiliki p>0,05 sehingga tidak signifikan.

Variabel bebas

Estimasi regresi Kebermaknaan B SE B Beta t Signifikansi

X1-Menjelaskan X2-Mengarahkan X3-Mendisiplinkan X4-Memantau X5-Melibatkan X6-Mendengarkan X7-Mendukung X8-Memberdayakan

-.031 .074 .169 .024 -.002 .112 .212 .072

.068

.054

.074

.061

.045

.047

.073

.043

-.027 .086 .144 .024 .002 .113 .172 .083

-.452 1.344 2.269 .390 .052 2.344 2.905 .692

.65

.18

.02*

.69

.95

.02*

.003*

.09 Intersep =0.964 (SE= 4.487); R2= .162; F = 9.473 (df = 9), p < 0,000

Keterangan: * signifikan (p <0,05).

Tabel 3. Regresi Ganda antara Dorongan Semangat Kerja dan Kepemimpinan Kepala Sekolah

Penggunaan analisis regresi dimaksudkanuntuk memprediksi nilai variabel terikatberdasarkan nilai variabel bebas atau prediktor.Gambaran tentang pengaruh atau hubungankausal variabel prediktor (menjelaskan, meng-arahkan, mendisiplinkan, memantau, melibatkan,mendengarkan, memberi dukungan dan member-dayakan) terhadap suasana kerja sekolah (doro-ngan semangat kerja, dan penciptaan suasanakreatif) diperoleh lewat analisis regresi ganda.

Analisis regresi hanya tepat digunakanapabila memenuhi asumsi dasar tertentu. Asumsiitu ialah adanya hubungan linear, data terdistribusisecara normal dan heteroskedasitas. Pengujianasumsi itu telah dilakukan dan ternyata hasilnyamemenuhi syarat penggunaan analisis regresiganda.

Dalam hal dorongan semangat, pada Tabel3, tampak tiga faktor yang signifikan, yaitu men-disiplinkan, mendengarkan, dan memberidukungan; sedangkan empat faktor lainnya, yaitu:menjelaskan, mengarahkan, memantau, meli-batkan, dan memberdayakan tidak signifikan.Koefisien regresi sebesar 0,169 (mendisiplinkan),0,112 (mendengarkan) dan 0,212 (mendukung)menggambarkan besarnya pengaruh faktor-faktortersebut terhadap tingkat keefektifan kepribadiankepala sekolah dalam melaksanakan kepe-mimpinannya. Koefisien R2 pada Tabel 3menunjukkan bahwa kontribusi faktor-faktor padavariabel bebas secara bersama-sama terhadaptingkat keefektifan kepribadian sebesar 16,2%,suatu gambaran yang moderat.

Page 140: jurnal dikbud tahun 2012

362

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Tabel 4. Regresi Ganda antara Suasana Kreatif dan Kepemimpinan Kepala Sekolah

Variabel bebas

Estimasi regresi Kebermaknaan B SE B Beta t Signifikansi

X1-Menjelaskan X2-Mengarahkan X3-Mendisiplinkan X4-Memantau X5-Melibatkan X6-Mendengarkan X7-Mendukung X8-Memberdayakan

.045

.103

.095

.063

.056

.083

.106

.097

.049

.039

.054

.044

.033

.034

.053

.031

.051

.155

.104

.083

.084

.107

.111

.142

.912 2.601 1.762 1.432 1.704 2.393 2.007 3.121

.65

.17

.02*

.69

.95

.02*

.003*

.01*

Intersep = 0.976 (SE = 0.156); R2= 0,28; F =19.049 (df = 9), p < 0,000

Keterangan: * signifikan (p <0,05).

Suasana sekolah yang kreatif, pada Tabel 4,secara signifikan dipengaruhi oleh empat faktor.Keempat faktor itu, yakni mendisipl inkan,mendengarkan, memberi dukungan, dan mem-berdayakan. Koefisien regresi masing-masingsebesar 0,095 (mendisiplinkan), 0,083 (men-dengarkan), 0,106 (memberi dukungan), dan0,097 (memberdayakan). Determinasi kelimafaktor tersebut sebesar 28%.

Secara umum dapat dikatakan bahwa:1) mendorong semangat kerja dipengaruhi olehperilaku mendisiplinkan, mendengarkan, memberidukungan dan memberdayakan; dan 2) suasanakreatif dipengaruhi oleh perilaku menjelaskan,memantau, melibatkan, mendengarkan, danmemberdayakan. Patut diwaspadai, pemberiandukungan tidak selalu berdampak positif. Dalamupaya mendorong semangat kerja, malahpemberian dukungan berpengaruh negatif dansignifikan. Dengan kata lain, pemberian dukungandari pihak kepala sekolah dapat menurunkansemangat kerja para staf pendidik.

Tiga hal yang hendak diulas dalam pem-bahasan ini, yakni pelaksanaan dan pengaruhkepemimpinan kontingensi kepala sekolah sertaketerbatasan penelitian untuk peluang tindaklanjut.

Pertama, pelaksanaan kepemimpinankontingensi kepala sekolah. Perilaku kepe-mimpinan kontingensi yang ditunjukkan melaluikemampuan para kepala sekolah dalam me-laksanakan tugas dan tanggung jawabnya sudahmencerminkan suatu pola kerja yang dapatmeningkatkan mutu pendidikan ke arah yang lebihbaik. Dengan perilaku tersebut ditunjukkan

bahwa pada saat tertentu para kepala sekolahmampu mengambil gaya kepemimpinan yangpaling tepat sesuai dengan kondisi yang terjadi,sehingga kepemimpinannya efektif. Pada keadaantertentu gaya yang satu lebih menonjol daripadagaya yang lainnya, dan ini tergantung padabawahan yang dihadapi serta pada t ingkatkedewasaan bawahan tersebut. Keyakinan inidibuktikan dengan besarnya persentase parakepala sekolah yang memiliki kemampuanmenerapkan perilaku kepemimpinan kontingensiyang sangat tinggi sesuai dengan lingkunganpendidikan dasar.

Temuan ini didukung oleh teori Hersey danBlanchard (Hersey, Blanchard, & Johnson, 2012)yang mengemukakan bahwa kepemimpinan yangefektif dapat diwujudkan melalui kemampuanmemilih dan menyerasikan perilaku atau gayakepemimpinan yang tepat berdasarkan tingkatkesiapan (readiness) dan kematangan (matura-tion) anggota organisasi atau bawahan. Tinggirendahnya tingkat kematangan kelompok turutmenentukan ke mana kecenderungan gayakepemimpinan seorang pemimpin harusdiarahkan.

Dari temuan penelitian ini terungkap bahwapemilihan dan penggunaan gaya kepemimpinanharus disesuaikan dengan situasi dan kondisimasing-masing sekolah. Semakin mampu kepalasekolah menyesuaikan kepemimpinannya dengansituasi dan kebutuhan para bawahannya, semakinefektif ia dapat mencapai tujuan yang telahditetapkan sekolahnya (Raharjo, 2008; Safari,2008).

Page 141: jurnal dikbud tahun 2012

363

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Penelitian ini menemukan bahwa para kepalasekolah telah memiliki kemampuan danketerampilan yang baik untuk mewujudkanperanannya sebagai pemimpin dalam upayamemajukan dan meningkatkan suasana kerja disekolahnya. Dengan kata lain, bahwa para kepalasekolah mampu melaksanakan perannya secaraprofesional. Hal ini sejalan dengan pendapat yangdikemukakan Sanusi dkk (dalam Winardi, 2000)bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang efektifsesungguhnya adalah kepemimpinan yangprofesional. Untuk disebut sebagai kepala sekolahyang profesional diperlukan persyaratan yangkhusus, yaitu: 1) kemampuan untuk menjalankantanggung jawab yang diserahkan kepadanya;2) kemampuan untuk menerapkan keterampilan-keterampilan konseptual, manusiawi dan teknis;3) kemampuan memotivasi para bawahan untukbekerja sama secara sukarela; dan 4) ke-mampuan untuk memahami implikasi-implikasi dariperubahan sosial, ekonomis, politik, danpendidikan.

Hasil penelitian ini juga mendukung hasilpenelitian terdahulu, yaitu Sulaiman (1992) yangmemperl ihatkan adanya hubungan antaraperilaku kepemimpinan dengan semangat kerjaguru dan Darmadi (1994) yang menyatakan bahwaperilaku kepemimpinan akan sangat efektif dalammengarahkan guru; serta Ekosiswoyo (2007)yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan,upaya-upaya strategis demi penciptaan kondisiyang kondusif memungkinkan kepala sekolahmemiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi.Di samping itu, komunikasi antara pribadi perlumenjadi keterampilan dasar bagi calon kepalasekolah. Ketiga penelitian tersebut sama-samamenunjukkan bahwa kepemimpinan kepalasekolah sangat berpengaruh terhadap ke-efektifan pengelolaan sekolah.

Kedua, pengaruh kepemimpinan kontingensikepala sekolah. Hasil analisis data memper-lihatkan bahwa faktor-faktor kepemimpinankontingensi berhubungan fungsional dan efektifterhadap suasana kerja di sekolah. Kenyataan inimemberikan pemahaman bahwa keefektifankepemimpinan kepala sekolah tidak berdiri sendiri,melainkan sangat dipengaruhi oleh elemen-elemen kegiatan berupa interaksi sosial yangterjadi di antara pemimpin dan bawahan dengan

komponen yang lain dalam sekolah. Namun,pengaruh dari beberapa faktor tersebut tidaksemua pada tingkatan yang sama, artinya nilaiyang dihasilkan ada perbedaan antara satu faktordengan faktor yang lain. Bahkan, ada beberapafaktor yang tidak memiliki pengaruh yangsignifikan. Hal ini dapat dimengerti karena adanyaperbedaan karakteristik individu yang berinteraksidi dalam sekolah.

Masalah semangat kerja amat penting dalamsetiap usaha kerja sama sekelompok orang dalammencapai tujuan tertentu dari kelompok tersebut.Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwahubungan antara gaya kepemimpinan dansemangat kerja kelompok timbul di antaranyadengan memberikan dorongan, sedangkandorongan itu sendiri adalah kegiatan pimpinan.Temuan ini mendukung penelitian Sulaiman (1992)dan Sulton (2006) yang mengatakan salah satufaktor yang berhubungan dengan semangat kerjabawahan adalah bagaimana hubungan antarabawahan dengan pemimpinnya. Dengan kata lain,salah satu faktor yang berpengaruh terhadapsemangat kerja bawahan adalah perilakukepemimpinan atasannya.

Dalam konteks ini kepala sekolah sebagaipemimpin dalam suatu sekolah mempunyaiperanan yang penting dalam memberi dorongansemangat kerja guru-guru yang dipimpinnya. Halini sejalan dengan temuan Diana (2009) bahwakepala sekolah sebagai figur kunci dalammendorong perkembangan dan kemajuansekolah.

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahuibahwa terdapat tiga faktor signifikan terhadapsemangat kerja, yaitu mendisiplinkan, men-dengarkan, dan memberi dukungan. Faktormenjelaskan, mengarahkan, memantau danmelibatkan, dan memberdayakan bawahan tidaksignifikan. Faktor-faktor tidak signif ikan inidikarenakan: 1) menjelaskan tidak banyakdibutuhkan jika sekolah memiliki bawahan yangterlatih-profesional, berpengalaman dan terampilmelakukan pekerjaannya; 2) kepala sekolahcenderung membiarkan staf mengalami ke-bingungan/kesulitan dalam tugas; 3) kepalasekolah mengawasi guru terlalu ketat; dan4) kepala sekolah kurang melibatkan guru/stafdalam pengambilan suatu kebijakan.

Page 142: jurnal dikbud tahun 2012

364

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Salah satu kondisi yang dapat mendukungterciptanya suasana sekolah yang kondusif, yaitupraktik kepemimpinan. Seorang pemimpinmemperlakukan bawahan sesuai dengan bakatdan keterampilan, kemampuan dan minat masing-masing dan memberi dorongan sehingga merekaleluasa untuk mengemukakan keluhan, pendapat,harapan yang semuanya itu mendukunglancarnya proses pencapaian tujuan sekolah(Durrant, Ekins, Grimes, & Precey, 2009; Hulpia &Devos, 2009). Dengan kata lain, dalam rangkamembina proses pengajaran, kepala sekolahberperan penting. Melalui kepemimpinan kepalasekolah segenap potensi staf hendaknyadikembangkan dan dimanfaatkan untuk membinamutu organisasi.

Temuan dalam penelitian ini menunjukkanbahwa hubungan antara gaya kepemimpinan danmenciptakan suasana sekolah yang kreatif sangatsignifikan dalam mengefektifkan suatu sekolah.Hal ini didukung oleh pendapat beberapa penulis(Goleman, 2003; Holtapples, 2009; Hoy & Miskel,2008) bahwa untuk mengejar segala ketinggalanakibat pergeseran ilmu pengetahuan teknologidan peradaban manusia yang begitu drastis,diperlukan orang-orang yang mempunyaikreativitas tinggi. Untuk menumbuhkan sikapdemikian sangat ditentukan pula oleh tindak-tanduk kepemimpinan yang mampu membang-kitkan kreativitas orang-orang yang dipimpinnya(Watson & Scribner, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian ini empat faktorberpengaruh terhadap suasana sekolah yangkreatif, yakni mendisiplinkan, mendengarkan,memberi dukungan, dan memberdayakan. Faktormenjelaskan, mengarahkan, dan memantau tidaksignifikan. Ketidaksignifikansi tersebut disebabkanoleh 1) kegiatan menjelaskan dan mengarahkanmerupakan suatu usaha untuk menjaga agar apayang direncanakan dapat berjalan seperti yangdikehendaki. Bila hal ini terlalu dominan dilakukanoleh pemimpin atau hanya terjadi komunikasi satuarah maka akan mengurangi peluang untukmenciptakan suasana sekolah yang kreatif karenabawahan bersifat pasif; dan 2) kegiatanmemantau menjadi tidak efektif karena kepalasekolah cenderung mencari kesalahan dan tidakmemotivasi guru untuk mengembangkan danmenyalurkan bakat serta potensi yang dimiliki.

Implikasi temuan ini terhadap keefektifankepemimpinan adalah: diharapkan para kepalasekolah tidak hanya membuat aturan-aturan danpedoman yang jelas, melainkan juga dituntutuntuk menciptakan suasana kerja yang harmonis.Suasana kerja demikian bercirikan suasana penuhkeakraban di antara personalia sekolah, mem-percayai, dan mendorong staf agar melaksanakantugas-tugasnya secara bertanggung jawab(McBeth, 2005; Precey & Entrena, 2011). Dalamsuasana seperti itu, para staf diberi peluang dandukungan mengembangkan kemampuannya agarberunjuk kerja sebaik mungkin dan bertumbuhsecara berkelanjutan sehingga mencapaipengembangan karier yang maksimal dan optimal.

Ket iga, keterbatasan Penelitian. Kepe-mimpinan merupakan katalisator bukan pada levelindividu melainkan pada level lembaga. Penelitianini masih terbatas pada analisis datar (flat) di manadata para guru dari berbagai sekolah dipadukandan dianalisis. Hal ini amat lumrah dan terbiasadilakukan oleh kebanyakan penelitian di negarasedang berkembang, tetapi sesungguhnyamengandung kelemahan serius (Creemers &Kyriakides, 2010). Dengan cara demikian penelititidak mampu menganalisis dan mencermativariabel mana yang berpengaruh terhadap individuguru, dan mana yang berpengaruh besarterhadap suatu lembaga secara umum. Besarnyasumbangan setiap variabel pada masing-masinglevel tidak dapat diestimasi. Padahal informasi perjenjang tersebut amat penting bagi pembenahansekolah dan pengembangan kebijakanpendidikan.

Temuan dari penelitian demikian bisamengungkap lebih banyak apabila menggunakanpendekatan kualitatif. Padahal penelitian inibersifat kuantitatif semata. Oleh karena itu, datadan analisis kualitatif belum tersentuh denganbaik. Persepsi para guru terkadang tidak dapatdidalami dengan mudah karena baru sekedarekspresi individual, yang masih perlu direnungkanatau direfleksikan lebih mendalam sepertididemonstrasikan oleh Elmeski (2012), danHoltappels (2009). Apalagi dengan banyaknyasampel sekolah dari beberapa setting me-mungkinkan terjadinya analisis multisitus, haltersebut belum dilakukan dalam studi ini.

Page 143: jurnal dikbud tahun 2012

365

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

Simpulan dan SaranSimpulanSimpulan utama merupakan jawaban umumterhadap masalah penelitian yang diutarakan didepan. Ada tiga pertanyaan yang akan dijawabsatu per satu dalam konteks pendidikan dasar.Pertama, tentang suasana kerja di sekolah,suasana kreatif paling tinggi (82%) diikuti olehdorongan semangat kerja (77%). Secara umumsuasana kerja di sekolah termasuk positif tinggi.Kedua, gambaran persepsi kepemimpinan parakepala sekolah sebagai berikut. Yang memenuhikriteria sangat t inggi ialah telling dan selling,kriteria tinggi adalah participating dan delegating,sedangkan agak tinggi adalah monitoring. Ketiga,tidak semua komponen persepsi kepemimpinankontingensi berpengaruh terhadap pengem-bangan suasana kerja para guru di sekolah. Faktormendisiplinkan, mendengarkan, dan memberidukungan kepada para guru berpengaruh secaraberarti terhadap upaya mendorong semangatkerja. Terhadap penciptaan suasana kerja yangkreatif, faktor-faktor yang signifikan adalahmendisiplinkan, mendengarkan, memberidukungan, dan memberdayakan staf.

SaranBerdasarkan temuan dan diskusi keterbatasanpenelitian ini, diajukan beberapa saran berikut.Pertama, bagi kepala sekolah agar penerapankepemimpinan kontingensi lebih cermat mem-perhatikan kondisi kesiapan dan kematanganbawahan. Kedua, dalam situasi perkembanganteknologi komunikasi yang amat unik dan cepatsaat ini, perlu fleksibilitas pimpinan untukmenyesuaikan pola tindak kepemimpinannyayang bervariasi dan tidak monoton. Ketiga, untukkepentingan penelitian perlu pengembangandesain hirarkis dari level individu sampai padalevel institusi dan geografis; serta pengujianpengaruh langsung dan tidak langsung yang lebihcermat termasuk kondisi berbagai level penelitian.Di samping itu, masih perlu masukan imbanganterkait dari penelitian yang bersifat kualitatif untukmemperkaya wawasan dan diskusi tentangpembinaan serta pengembangan suasana kerjapara guru dari segi kepemimpinan situasional.

Pustaka Acuan

Adams, B. 2006. Memahami Segalanya tentang Kepemimpinan (Terjemahan oleh A. Sindoro). Batam:Penerbit Karisma Publishing Group.

Agung, I. 2009. Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar (Learning Organization): StrategiPeningkatan Mutu Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 15(2), 281-312.

Clarke, P. 2009. Sustainability and Improvement: A Problem of Education and for Education. ImprovingSchools. 12(1), 11-17.

Creemers, B.P.M., & Kyriakides, L. 2010. Improving Quality in Education: Dynamic Approaches to SchoolIimprovement. London: Routledge as an imprint of Taylor & Francis Group.

Darmadi, H. 1994. Studi Hubungan antara Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dengan Kepuasan KerjaGuru pada Sekolah Menengah Atas Negeri Kotamadya Pontianak. Tesis tidak dipublikasi. ProgramPascasarjana IKIP Malang.

Diana, N. 2009. Pengaruh Kepemimpinan, Lingkungan Kerja dan Motivasi Kerja terhadap KepuasanGuru. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 15(4), 684-705.

Durrant, J., Ekins, A., Grimes, P., & Precey, R. 2009. Leadership, Learning and Inclusion: ExploringInnovative Approaches to School Improvement. Paper Presented at the ICSE Conference, 4-7January 2009, Vancouver-Canada.

Page 144: jurnal dikbud tahun 2012

366

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Ekosiswoyo, R. 2007. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Efektif Kunci Pencapaian KualitasPendidikan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 14(2), 76-82.

Emy. 2012. Pendidikan – Kualitas Guru Masih Rendah. (http://www.sstv.co.id/pendidikan-kualitas-guru-masih-rendah)., diakses 17 Juni 2012)

Elmeski. M. 2012. The Art of the Possible in the Leadership of Place in Morocco: Case Studies fromThree Urban Schools. ICSEI conference paper, Malmo – Swedia, 5-8 January 2012.

Fink, D., & Brayman, C. 2006. School leadership succession and the challenges of change. EducationalAdministration Quarterly, 42 (1), 62-89.

Fraenkel, J. R., & Wallen, N.E. 2008. How to Design and Evaluate Research in Education. New York:McGraw-Hill.

Goleman, D. 2003. Kepemimpinan yang Mendatangkan Hasil (Terjemahan oleh P. D. Nugraheny).Yogyakarta: Penerbit Amara Books.

Hersey, P., Blanchard, K.H., & Johnson, D.E. 2012. Management of Organizational Behavior: LeadingHuman Resources. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.

Holtappels, H. G. 2009. School Improvement through Leadership and Professional Collaboration in Self-Managing Schools. Paper presented at the ICSEI Conference, 4-7 January 2009, Vancouver-Canada.

Hoy, W. K., & Miskel, C.G. 2008. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York:McGraw-Hill.

Hulpia, H., & Devos, G. 2009. Does Distributed Leadership Affect Teachers’ Organizational Commitment?A Multilevel Analysis. Paper presented at the ICSEI Conference, 4-7 January 2009, Vancouver-Canada.

Ismail, H. 2006. Hubungan antara Persepsi terhadap Dunia Usaha, Kecerdasan Emosional, Sikapterhadap Profesi Akuntan dan Motivasi Berprestasi Mahasiswa Akuntansi. Jurnal Pendidikandan Kebudayaan, 12(61), 448-472.

Ivancevich, J.M., Konopaske, R., Matteson, M.T. 2005. Organizational Behavior and Management. NewYork: McGraw-Hill.

Koster, W. 2006. Membangun Kemandirian dan Peradaban Bangsa melalui Pendidikan. JurnalPendidikan dan Kebudayaan, 12(61), 500-511.

McBeath, J. 2005. Leadership as Distributed: A Matter of Practice. School Leadership and Management,25(4), 349-366.

Mehrens, W. A., & Lehmann, I.J. 1984. Measurement and Evaluation in Education and Psychology. NewYork: Holt, Rinehart and Winston.

Nawawi, H. H. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress.

Owens, R. G. 2004. Organizational Behavior in Education - Adaptive Leadership and School Reform.Boston, MA: Pearson Education, Inc.

Precey, R., & Entrena, M.J.R. 2011. Developing the Leaders We Want to Follow: Lessons from an

Page 145: jurnal dikbud tahun 2012

367

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge, Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar

International Leadership Development Programme. ICSEI Conference Paper, Limassol-Cyprus 4-7 January 2011.

Purwanto, N. 2003. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Raharjo, S. B. 2008. Pengaruh Motivasi Berprestasi, Pengetahuan Pengelolaan Informasi, GayaKepemimpinan dan Etos Kerja terhadap Daya Saing Kepala Sekolah Dasar di Kota Malang,Jawa Timur (2004). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 14(74), 868-887.

Safari. 2008. Leadership Kepala Sekolah dan Tingkat Penguasaan Guru terhadap Materi UjianNasional. Jurnal Universitas Paramadina, 5(3), 232-242.

Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta:Paramadina.

Sion, H. 2007. Hubungan Keterampilan Manajerial Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja Guru denganPerformansi Mengajar Guru. Jurnal Ilmu Pendidikan, 14(2), 83-90.

Sulaiman. 1992. Hubungan antara Perilaku dan Semangat Kerja Guru-guru Sekolah Dasar Negeri diKotamadya Banjarmasin. Tesis tidak dipublikasi. Program Pascasarjana IKIP Malang.

Sulton, H. M. 2006. Kontribusi Perilaku Kepemimpinan dan Perilaku Supervisi Kepala Sekolah terhadapSemangat Kerja Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Jember. Pancaran Pendidikan, 19(63), 438-447.

Suradji, A. 2010. Pemimpin, Keberanian dan Perubahan. Kompas, 6 September, hlm. 6.

Suryosubroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Tirtamihardja. 2005. Seni Kepemimpinan Mendengarkan adalah Emas. Tangerang: YASKI.

Wedhaswary, I.D. 2012. Kualitas Guru Masih Rendah. (http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/07/08304834/Kualitas.Guru.Masih.Rendah, diakses 20 Mei 2012)

Watson, S. T., & Scribner, J. P. 2007. Beyond Distributed Leadership: Collaboration, Interaction, andEmergent Reciprocal Influence. Journal of School Leadership, 17(4), 443-468.

Winardi. 2000. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Wiyono, B. B. 2000. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Semangat Kerja Guru dalamMelaksanakan Tugas Jabatan di Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan, 27(1), 71-83.

Page 146: jurnal dikbud tahun 2012

Editorial ........................................................................................................................................ ii-ivSubijanto

Lembar Abstrak ............................................................................................................................ v-xxvii

Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan Dasar ............................... 353-367Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge

Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK melalui Penemuan ............ 368-381Terbimbing Berbantuan Software AutographSahat Saragih dan Vira Afriati

Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif ......................... 382-393Munawir Yusuf

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif NHT di Kelas X ...................................... 394-411SMA Negeri 1 Beduai Kabupaten SanggauAhmad Jamalong

Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo Raya ......... 412-426Leo Agung S.

Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA melalui Permainan Tradisional ....................... 427-439untuk Siswa Kelas 3 SD di Daerah Rawan BencanaSri Tatminingsih dan Sudarwo

Pengembangan Kurikulum sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan .................... 440-452Bambang Indriyanto

Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan Tinggi .......................................................... 453-466Siswo Wiratno

Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah ................................ 467-476Herry Widyastono

Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah .......................................... 477-488Yudi Setianto

Indeks .......................................................................................................................................... 489-495

i

Daftar IsiVol. 18, Nomor 2, Juni 2012Daftar Isi

Vol. 18, Nomor 4, Desember 2012

Page 147: jurnal dikbud tahun 2012

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi-ke 4 Bulan Desember 2012 ini menyajikan sepuluh artikel darihasil penelitian dan kajian sebagai berikut.

Mieske Theresia Tulung dan L. Kaluge memaparkan hasil penelitiannya tentang suasana kerjadan pengaruh kepemimpinan dalam konteks pendidikan dasar, menunjukkan bahwa delapan konstrakkepemimpinan dan dua konstrak suasana kerja terbukti valid dan reliabel. Dengan rentangan 0-4,rerata suasana kerja di sekolah sebesar 2,9 untuk semangat kerja, dan 2,8 untuk suasana kreatif.Dengan rentangan yang sama, rerata kedelapan subskala kepemimpinan berkisar 2,55 dan 3,19. Analisisregresi mengungkapkan tidak semua komponen kepemimpinan merupakan faktor signifikan untukpengembangan suasana kerja di sekolah. Kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, danmendukung berpengaruh signifikan terhadap semangat kerja para guru. Pengembangan suasana kreatifdipengaruhi secara signifikan oleh kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, mendukung,dan memberdayakan.

Hasil penelitian Sahat Saragih dan Vira Afriati tentang peningkatan pemahaman konsep grafikfungsi trigonometri siswa SMK melalui penemuan terbimbing berbantuan software autograph menunjukkanbahwa: 1) peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri yang memperolehpendekatan penemuan terbimbing berbantuan software autograph lebih tinggi dari siswa yang memperolehpendekatan biasa; dan 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pendekatanpenemuan terbimbing berbantuan software autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatanbiasa.

Munawir Yusuf memaparkan hasil penelitian tentang pengembangan model evaluasi diri sekolahinklusi untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dan guru menunjukkan bahwa: 1) kinerja kepalasekolah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang dan tinggi; 2)kinerja guru kelas dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang danrendah; 3) content materi evaluasi diri sekolah inklusi yang disetujui kepala sekolah ada 61 butir (96,8%)dan tidak disepakati ada 2 butir ( 3,2%); 4) content materi evaluasi diri sekolah inklusi yang disetujuiguru ada 39 butir (81,25%) dan tidak disepakati ada 9 butir (18,75%).

Penelitian Ahmad Jamalong tentang meningkatkan hasil belajar siswa melalui model kooperatifnumbered heads together (NHT) di kelas x SMA Negeri 1 Beduai, Kabupaten Sanggau menunjukkanbahwa hasil belajar siswa sebelum dilaksanakan tindakan tidak ada satu pun siswa yang mencapaitingkat ketuntasan. Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I terjadi peningkatan hasil belajar padasiswa yang mencapai ketuntasan sebanyak 11 siswa (34,38%) dan tindakan pada siklus II terdapat20 siswa (54,82%) yang mencapai ketuntasan belajar. Hal ini menyatakan bahwa model KooperatifNumbered Heads Together (NHT), sangat efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnyapada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Leo Agung S. memaparkan hasil penelitiannya tentang pengembangan model pembelajaran SejarahSMA berbasis pendidikan karakter di Solo Raya, menunjukkan bahwa: 1) tujuan pembelajaran Sejarahmenanamkan semangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air; materi sesuai dengan Standar Isi;metode ceramah bervariasi, media power point, film dan Liquid Crystal Display, sedangkan evaluasinyamasih banyak ke aspek kognitif; 2) faktor pendukung pembelajaran Sejarah yaitu adanya model-modelpembelajaran inovatif, faktor penghambatnya buku BSE yang minim, dan adanya diskriminatif matapelajaran; 3) sebagian besar guru-guru SMA telah memahami model-model pembelajaran, dan 4)tersusunnya model Kritis, Kreatif, Berantai dan berkarakter (KKBB).

Hasil penelitian Tatminingsih dan Sudarwo tentang pengembangan paket dan strategipembelajaran IPA melalui permainan tradisional untuk siswa kelas 3 SD di daerah rawan bencana,

ii

Editorial

Page 148: jurnal dikbud tahun 2012

iii

menunjukkan bahwa hampir semua siswa tidak mengenal permainan tradisional di wilayahnya, namunterdapat beberapa permainan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Kadudampit,di antaranya Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda dan Egrang. Karakterisitik siswa SD di daerahrawan bencana umumnya pasif dan kurang kreatif, bergantung pada guru. Paket pembelajaran yangsesuai siswa kelas 3 SD di wilayah rawan bencana berupa bahan ajar cetak, buku bergambar, danvideo. Hasil ujicoba menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaranIPA untuk materi Banjir sebesar 0,58 dan untuk materi gempa bumi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkanbahwa penggunaan paket pembelajaran yang berupa booklet dan buku siswa tentang materi mitigasidan sanitasi terkait bencana banjir dan gempa bumi yang disampaikan melalui permainan tradisionalmembantu siswa dalam memahami materi tersebut.

Bambang Indriyanto mengkaji tentang pengembangan kurikulum sebagai intervensi kebijakanpeningkatan mutu pendidikan, menunjukkan bahwa kurikulum dapat menjadi titik tolak bagi peningkatanmutu pendidikan dengan argumentasi bahwa efektivitas implementasi kurikulum tidak hanya terletakpada isi konsep yang komprehensif, tetapi juga pada kondisi kurikulum tersebut akan dilaksanakan.Kondisi tersebut meliputi kompetensi guru dan kecukupan ketersediaan sarana pendidikan pada tingkatsekolah. Pengembangan Kurikulum 2013 yang sedang dilakukan Kementerian Pendidikan danKebudayaan sedang dicermati oleh anggota masyarakat. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensikurikulum sebagai bagian dari kebijakan pendidikan. Ada yang mempertanyakan tentang konsepnyatetapi ada juga yang setuju dengan ide Pengembangan Kurikulum 2013. Namun demikian, penulisberpendapat bahwa meskipun ada yang tidak setuju dan ada yang setuju, faktor yang mendasariefektivitas pelaksanaan kurikulum yaitu faktor manajemen. Faktor tersebut meliputi: manajemen padatingkat sekolah dan kelas. Di samping itu, kehadiran teknologi informasi praktis pada setiap aspekkehidupan membawa dampak yang positif terhadap dunia pendidikan.

Hasil kajian Siswo Wiratno tentang pelaksanaan pendidikan Kewirausahaan di pendidikan tinggimenunjukkan bahwa: 1) pelaksanaan pendidikan Kewirausahaan di berbagai perguruan tinggi belumdilaksanakan secara optimal, antara lain disebabkan oleh belum optimalnya peran dan fungsi unitpengelola kewirausahaan; 2) kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhiharapan dunia kerja, di mana diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi akademik,keterampilan berpikir, keterampilan manajemen dan keterampilan berkomunikasi. Di samping itu, lulusanbelum cukup dibekali dengan keterampilan hidup (live skill), kemampuan beradaptasi dan bersosialisasidengan lingkungan kerja serta belajar sepanjang hayat (life-long education).

Herry Widyastono memaparkan hasil kajiannya tentang muatan pendidikan holistik dalam kurikulumpendidikan dasar dan menengah, menunjukkan bahwa: 1) dokumen kurikulum pendidikan dasar danmenengah pada hakikatnya sudah memuat pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan prosedurpengembangan kurikulum sejalan dengan pengertian, tujuan, dan prinsip pendidikan holistik; 2)pendidikan holistik belum diimplementasikan secara komprehensif dalam pembelajaran. Dalam rangkamengimplementasikan pendidikan holistik dalam pembelajaran, direkomendasikan agar guru dalammelaksanakan pembelajaran tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan, melainkan juga ranahketerampilan dan sikap, melalui pendekatan belajar siswa aktif.

Hasil kajian Yudi Setianto tentang dikotomi bebas nilai dan nilai pendidikan dalam pembelajaranSejarah menunjukkan bahwa dalam konteks sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagai kebenarandan kejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalam ranahpembelajaran Sejarah, sejarah tidak mungkin dikemukakan secara obyektif. Hal ini bukan berarti jikapembelajaran bersifat subjektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebih bijaksana, polarisasisejarah yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan-tujuan pendidikanlainnya, tidak mungkin disandingkan dengan sejarah sebagai alat legitimasi konflik sosial bahkandisintegrasi bangsa. Ilmu Sejarah tetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta sejarah, sementaraitu tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaranharus disusun searah dengan dasar dan tujuan Pendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran

Page 149: jurnal dikbud tahun 2012

yang mempunyai misi tertentu dan sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelastanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Pembelajaran Sejarah menempatkanfakta-fakta sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar sejarah menjadikan yang mempelajarinyalebih bijaksana.

Editor

Subijanto

iv

Page 150: jurnal dikbud tahun 2012

v

Lembar abstrak

LEMBAR ABSTRAKJURNAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN VOLUME 18, 2012

375Al Musanna (Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon, Aceh Tengah, [email protected]./[email protected])

Quo Vadis Praksis Evaluasi Kurikulum: Studi Pendahuluan Terhadap Ranah Kurikulum yang TerlupakanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 1-11

AbstrakSetiap kurikulum merupakan produk zaman, sehingga keberadaannya senantiasa merepre-sentasikan semangatzaman ketika kurikulum tersebut dikembangkan. Untuk mengetahui relevansi teori dan praktik (praksis) kurikulumdengan tuntutan semangat zaman diperlukan adanya evaluasi kurikulum. Melalui evaluasi kurikulum dapat diketahuiapakah kurikulum mampu berkontribusi mempersiapkan peserta didik bertahan hidup dan pada saat bersamaanmampu membekali peserta didik untuk menjalani dan memuliakan kehidupan (nobelling life). Dalam realitasaktualnya, evaluasi kurikulum belum mendapat perhatian proporsional di kalangan akademisi maupun praktisipendidikan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Untuk itu, upaya memahami dan menyebar-luaskan kesadaran mengenai signifikansi evaluasi kurikulum dalam reformulasi kebijakan pendidikan merupakanprasyarat dalam pembenahan pendidikan pada masa-masa mendatang. Tulisan ini bertujuan untuk melakukanstudi literatur mengenai dinamika dan kompleksitas teori dan praktik evaluasi kurikulum yang diharapkan dapatmemberi secercah terang mengenai salah satu ranah kajian dalam displin ilmu kurikulum.Kata Kunci: evaluasi, kurikulum, positivistik, naturalistik dan pragmatis

The curriculum is a product of the time, it has always been a representation of passion of time. The existence ofcurriculum evaluation plays a strategic role to find out the practical relevance of the curriculum and spirit of thetimes. The curriculum evaluation can determine not only whether the curriculum can contribute to prepare studentsto survive but also whether the curriculum is able to equip learners to live a noble life. Actually, the evaluation ofthe curriculum has not received sufficient attention from both academics and practitioners of education in developingcountries, including in Indonesia. Efforts to understand and spread awareness about the significance of curriculumevaluation in reformulation of education policy are prerequisites in the improvement of education. This paper aimsto conduct a literature review to give a spotlight on the dynamics of curriculum evaluation praxis.Keywords: curriculum, evaluation, positivistic, naturalistic, and pragmatism.

375Hermana Somantrie ([email protected]/[email protected])Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan Terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum SekolahJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 12-20

AbstrakMata pelajaran dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia telah dikelompokkan secara irasionalke dalam dua jenis labeling (penamaan atau pelabelan). Di satu sisi, beberapa mata pelajaran menggunakanlabel “pendidikan”; di sisi lain beberapa mata pelajaran tidak menggunakannya. Kedua jenis pelabelan itu perludipertanyakan secara kritis melalui pertanyaan filosofis: 1) mengapa pelabelan ini telah terjadi dalam kurikulumsekolah?, dan 2) apa filosofi dasar untuk pelabelan ini? Pada kenyataannya, kurikulum merupakan suatu instrumenpenting pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, semua mata pelajaran dalamkurikulum semestinya mempunyai label pendidikan yang sama atau sebaliknya. Hal ini tampak sebagai suatumasalah krusial dalam dunia pendidikan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengembangkan kurikulumbaru. Untuk melakukan hal tersebut, semua ahli pendidikan, pengembang kurikulum, birokrasi pendidikan harusmemiliki persepktif yang kuat mengenai filsafat pengetahuan.Kata kunci: filsafat, pengetahuan, kurikulum, dan mata pelajaran.

The subject matters in Indonesian elementary and secondary education curriculum have been clustered irrationallyby two kinds of labeling. On one side, there are some subject matters using “education” label; on the other side,the rests are without “education” label. Both kinds of labeling need to be asked critically through philosophicalquestions: 1) why has this clustering happened in the school curriculum? and 2) what is the basic philosophy forthis clustering? As a matter of fact, curriculum is a pivotal instrument of education in attaining the National Education

Page 151: jurnal dikbud tahun 2012

vi

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Aim; therefore, all subject matters in the curriculum should have the same “education” label or should not haveone. It seems to be a crucial problem in education world that need to be overcome at the first place beforedeveloping a new curriculum. In doing so, all education experts, curriculum developer, and education bureaucraciesshould have a strong perspective on the matter of “knowledge philosophy”.Keywords: philosophy; knowledge; perception; conception; curriculum; and subject matters.

375Bambang Indriyanto (Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang, Email: [email protected])Dimensi Pembangunan Karakter Dan Strategi PendidikanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 21-33

AbstrakTujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengidentifikasi strategi pendidikan yang mempromosikan pembangunankarakter. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini mengajukan suatu tesis tentang dua peran pendidikan yaknitransfer dan transformasi. Peran transfer menekankan pada penyampaian ilmu pengetahuan yang ditujukanuntuk mendukung pengembangan kompetensi berpikir analitis, sedangkan peran transformasi menekankan padapenanaman nilai yang mengembangkan kompetensi afektif. Pembangunan karakter yang menjadi pusat perhatianpada tulisan ini berorientasi pada pencapaian kehidupan yang harmonis dan kemampuan mengatasi tantangan kedepan. Dua dimensi pembangunan karakter ini menjadi dasar untuk memelihara stabilitas kehidupan dan kemajuankehidupan sosial. Kedua dimensi menjadi syarat bagi Indonesia sebagai suatu bangsa dan bangsa Indonesiauntuk memasuki kompetisi global. Tulisan ini mengajukan saran bahwa agar strategi pendidikan dapat memberikansumbangan terhadap dua dimensi pembangunan karakter tersebut yakni pencapaian kehidupan yang harmonisdan kemampuan mengatasi tantangan ke depan maka strategi pendidikan yang dimaksud meliputi misi kurikulumyang komprehensif dan saling berkaitan dengan tujuan dan isi; strategi pengajaran yang relevan, dan penilaianpendidikan yang komprehensif.Kata kunci: karakter, strategi kurikulum, strategi mengajar

The objective of this paper is to identify an educational strategy which promotes character buildings. To achievethe objective, this paper proposes a thesis about two roles of education: transferring and transforming. Theprevious role emphasizes knowledge transfer which boosts analytical thinking competences, while the lateremphasizes inculcating values which promotes affective competences. The character buildings being concerned inthis matter are oriented in achieving harmonious life and in coping with future challenges. These two dimensionsof character building serve as foundations for maintaining social stabilities and social progresses. They are twofactors required by the nation of Indonesia and Indonesians to enter a global competition. This paper suggests thatthe education strategy which contributes to the two dimensions of character building i.e. orientations on achievingharmonious life and coping with future challenges comprise comprehensive and congruence curriculum missions,objectives, and content; relevant teaching strategy, and comprehensive education evaluation.Keywords: characters, curriculum strategy, teaching strategy

371Hendarman (Balitbang Kemdikbud/FKIP, Universitas Pakuan Bogor email: [email protected])Peran Dewan Pendidikan dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan PendidikanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 34-44

AbstrakKeberadaan Dewan Pendidikan masih dipertanyakan terkait dengan peningkatan mutu pelayanan pendidikan.Meskipun sudah dibentuk di berbagai provinsi/kabupaten/kota, tampaknya dewan ini masih belum dianggap sebagaimitra bagi berbagai pemangku kepentingan khususnya pemerintah daerah dalam rangka peningkatan mutupelayanan pendidikan. Penelitian ini mengkaji berbagai kegiatan atau terobosan yang telah dilakukan DewanPendidikan khususnya dalam kaitan peningkatan mutu pelayanan pendidikan serta kendala-kendala yang dihadapiuntuk melaksanakan peran tersebut. Data dan informasi diperoleh dari data primer dan sekunder yang berasaldari hasil wawancara dan analisis informasi terkait yang dimunculkan dalam berbagai media termasuk suratkabar dan situs-situs. Secara umum, dewan pendidikan telah berpartisipasi dan memberikan kontribusi dalamupaya meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan merujuk kepada standar nasional pendidikan. Kendala-kendala yang dihadapi dewan pendidikan lebih sebagai akibat belum adanya persepsi dan apresiasi yang samadari pemerintah daerah terhadap keberadaan dan peran dari dewan pendidikan.Kata kunci: dewan pendidikan, mutu pelayanan pendidikan, masyarakat

Page 152: jurnal dikbud tahun 2012

vii

Lembar abstrak

Board of education has been established the issuance of Minister of National Education’s decree number 044/U/2002 concerning Board of Education and School Committee and the Government Gazette number 17 year 2010concerning the implementation and management of education. In principle, this board plays the role as societyrepresentatives in improving quality improvement, equality and efficiency of educational management. Also, thisboard could play as the mediator for the needs and aspiration of society related to educational policies taken bylocal government and schools. This study focused on the analysis of 2 (two) main research questions, namely towhat extent the stakeholders are aware of this board and its roles, and the barriers that this board encounters inits implementation. The findings showed that this board has yet to 1) be the strategic partner of the local governmentand schools, 2) maximally function in a number of districts/cities, and 3) contribute for the education advancement.It is recommended that the establishment of this board shall be based on the principles of transparent, accountable,and democratic. In addition, it is suggested to encourage the regular meetings between local education authoritiesand board of education aims for the analysis of critical issues in the local areas for its solutions.Keywords: board of education, educational management, and society

371.2Handaru Catu Bagus (Puspendik Balitbang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail: [email protected]/[email protected])Administrasi Ujian Nasional (UN) Dengan Menggunakan Model Computerized Adaptive Testing (CAT)Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 45-53

AbstrakModel Penilaian yang mengabaikan kemampuan variasi individu menyebabkan informasi yang diterima tidakakan optimal. Model computerized adaptive testing (CAT) dapat mengatasi kelemahan ini karena tingkat kesukaransoal menyesuaikan dengan kemampuan penempuh didik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisisefektifitas, efisiensi dan keakuratan model CAT apabila digunakan sebagai alternatif pengganti model penilaiankonvensional dalam ujian nasional (UN). Metodologi penelitian adalah kuantitatif komparatif. Penelit ian inimenggunakan data populasi dari jawaban penempuh didik yang mengikuti UN di propinsi Daerah istimewa Yogyakarta(DIY) tahun 2009 dengan mata pelajaran matematika dan fisika. Hasil penelitian ini terlihat bahwa jumlah soalyang dipilih oleh model CAT lebih sedikit dibandingkan dengan model PPT dan soal tersebut menyesuaikan dengantingkat kemampuan penempuh serta terdapat hubungan yang signifikan dengan model PPT. Oleh karena itu,model CAT lebih efisien dalam hal waktu karena jumlah soal lebih sedikit dibandingkan dengan model PPT, efektifkarena menyesuaikan dengan kemampuan peserta dan memiliki keakuratan yang sama dibandingkan denganmodel PPT.Kata kunci: komputer, Computerized Adaptive Testing, Ujian Nasional, , penilaian, model adaptif, dan teori responsoal

Assessment model that ignores individual variations ability may cause information to be un-optimally received.Model of computerized adaptive testing (CAT) can get over these weaknesses because the level of difficulty of theitem is adjusted with the abilities of students. The purpose of this study is to analyze the effectiveness, efficiencyand accuracy of CAT models when used as an alternative replacement of conventional assessment models innational examinations (UN). Methodology of this research was quantitative comparative. This research usedpopulation of student answers that follow the UN province of Yogyakarta in 2009 with the subjects of mathematicsand physics. The results of this study showed that the number of items selected by the CAT model is less than PPTmodel; the ability is adjusted to the level of participants; and there is a significant correlation with the PPTmodel. Therefore, CAT model  is more efficient  in  term of  time because  it has fewer  items than PPT model. It  is alsoeffective because it is adjusted to the ability of participants yet has the same accuracy compared to the PPT model.Keywords: computerized adaptive testing, national examination, computer, assessment, adaptive model, itemresponse theory.

371.1Prayekti ([email protected]) dan Rasyimah ([email protected]) Universitas TerbukaLesson Study Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Bagi Siswa Sekolah DasarJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 54-64

AbstrakTujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa sekolah dasar (SD). Pengumpulan datadilakukan pada bulan Maret-April 2011. Peneliti berkolaborasi dengan sekelompok guru IPA kelas IV dan V SD

Page 153: jurnal dikbud tahun 2012

viii

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Negeri di Jakarta Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah lesson study pemahaman para guru menjadilebih baik dalam hal: bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; pemanfaatan kegiatan refleksi dan pengamatanteman sejawat; pembelajaran secara sistematis berdasarkan refleksi dan masukan dari teman sejawat secarakolaboratif; menimba pengetahuan dari guru lainnya; mendokumentasikan kemajuan kerjanya; memperolehumpan balik dari teman guru; mampu mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari lesson study. Hasilyang diperoleh siswa, selain terlibat langsung dalam proses pembelajaran, kreativitas lebih meningkat baikdalam kegiatan diskusi maupun melaksanakan percobaan IPA dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukanterkait dengan materi yang sedang dibahas. Dalam kegiatan diskusi kelompok nampak siswa-siswa yang lebihmenonjol dari teman–teman satu kelompoknya, sehingga pembelajaran IPA menjadi hidup dan kegiatan lebihterpusat pada siswa, dan lebih berkembang.Kata Kunci: lesson study, kerja sama, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, kegiatan, dan Ilmu Pengetahuan Alam(IPA).

The research objective is to improve science learning outcomes of students in elementary schools. The data wascollected in March-April 2011. Researchers collaborated with a group of science teachers in grade IV and VElementary School in East Jakarta. The results showed the existence of teachers’ better understanding about howstudents learn and teachers teach, benefit of the reflection and peer observation, systematic learning improvementbased on reflection and input from colleagues in a collaborative manner, knowledge exchange among teachers,teachers’ documentation of their work progress, feedback exchange among teachers, and publicity and disseminationof the final results of Lesson Study. Meanwhile, the results obtained by students, in addition to direct involvementin the learning process, are the improvement of creativity in both discussion and in the establishment of scienceexperiments upon the posed questions related to the material being discussed. In group discussions, there havebeen students who stand out their friends in a group. Therefore, the science learning activity becomes developedand focused on students more.Keywords : lesson study, colaborative, plan, do, check, act, and science

371Ida Kintamani Dewi Hermawan (e-mail [email protected])Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Jenis Pendidikan NonformalJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 65-84

AbstrakTujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis sasaran pendidikan kesetaraan, profil pendidikan kesetaraan, dankinerja pendidikan kesetaraan. Metode yang digunakan adalah studi dokumentasi menggunakan tiga terbitan,yaitu Profil Pendidikan Kesetaraan dalam Fakta dan Angka, Statistik Pendidikan Nonformal, dan Profil PendidikanNonformal. Data yang digunakan pada tingkat nasional dengan menghitung lima indikator pemerataan dan tujuhindikator mutu pendidikan. Kinerja pendidikan kesetaraan diperoleh melalui rata-rata perhitungan nilai pemerataandan mutu pendidikan kemudian dibagi dua. Hasilnya menunjukkan bahwa pemerataan Paket A yang terbesardengan nilai 87,22 dan Paket C yang terkecil dengan nilai 79,77 sehingga rata-rata pendidikan kesetaraan sebesar83,24. Sebaliknya, nilai mutu Paket B yang terbesar dengan nilai 64,61 dan Paket A yang terkecil dengan nilai48,03 sedangkan rata-rata pendidikan kesetaraan sebesar 54,86. Berdasarkan nilai pemerataan dan mutu makakinerja Paket B yang terbesar dengan nilai 73,68 dan Paket C yang terkecil dengan nilai 65,85. Dengan demikian,kinerja pendidikan kesetaraan sebesar 69,05 atau hanya tercapai kurang dari 70%.Kata kunci: potensi daerah, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendidikan kesetaraan, kinerja

This paper aims to analyze the goals, the profile and the performance of equality education. This study employsthe documentation method by using the three publications: facts and figures of educational equality profile, statisticsof non-formal education, and profile of non-formal education. This study analyzes the national level data attainedby calculating the five indicators of equity and seven indicators of the quality of education. Performance of equalityeducation is attained from the average value of education equity and quality. The results showed that the equity ofPackage A is the biggest (87.22) and the smallest is Package C (79.77), so that the average value of equity ofequality education is 83.24. In contrast, the quality of Package B is the largest (64.61) and Package A is thesmallest (48.03) so that the average value of quality of equality education is 54.86. On the basis of the equity andquality value, the largest performance is Package B with the value of 73.68 and the smallest is Package C with thevalue of 65.85. Thus, the performance of equality education only achieves 69.05 or less than 70%.Keywords: potential regions, formal education, non-formal education, equality education, and performance

Page 154: jurnal dikbud tahun 2012

ix

Lembar abstrak

371.9Didi Tarsidi (Universitas Pendidikan Indonesia)Mengatasi Masalah-Masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia DewasaJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 85-97

AbstrakPenelitian ini dilakukan berdasarkan berbagai teori dan temuan penelitian yang menyatakan bahwa ketunanetraanyang terjadi pada usia dewasa lebih banyak menimbulkan permasalahan daripada ketunanetraan yang terjadipada awal kehidupan. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan suatu model konseling rehabilitasi yang dapatdigunakan untuk membantu para tunanetra dewasa mengatasi secara lebih efektif masalah-masalah psikososialyang diakibatkan oleh ketunanetraannya, agar mereka dapat memperoleh kembali kemandiriannya dan mampumencapai kehidupan yang bermakna. Model konseling tersebut dikembangkan melalui penelitian yang dilakukanmenggunakan exploratory mixed methods research design. Konstruk model dikembangkan berdasarkan datahasil studi kasus terhadap enam orang yang ketunanetraannya terjadi pada usia dewasa dan telah terbukti berhasildalam kehidupannya, sedangkan model divalidasi dengan expert judgment dan diujicobakan dengan desain single-subject research pada dua orang klien yang relatif baru mengalami ketunanetraan.Kata Kunci: konseling rehabilitasi, tunanetra dewasa, psikososial, dan strategi coping

This research has been conducted based on various theories and research findings revealing that blindness occurringduring adulthood cause more problems than that occurring earlier in life. The research has been done to find arehabilitation counseling model that can be used to help blind adults to more effectively overcome psychosocialproblems caused by their blindness so that they will be able to regain their independence and will be able toachieve meaningful life. The rehabilitation counseling Model has been developed through research using exploratorymixed methods research design. The construct of the model has been developed based on the data of case studieson six persons whose blindness occurred during adulthood and they have proved to be successful in their lives.The model has been validated with expert judgment and tried out using single-subject research design on tworelatively newly blind clients.Keywords: rehabilitation counseling, adult blindness, and coping strategies.

371.3Masganti Sit Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara ( [email protected] )Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini dengan Metode Bermain Peran (Studi Kasus di Raudhatul AthfalMuhajirin-Medan)Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 98-106

AbstrakTujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi sosial anak usia dini dengan menggunakan metodebermain peran. Penelitian dilakukan di Raudhatul Athfal al-Muhajirin pada tahun 2010 dengan jumlah sampelsebanyak 24 orang anak. Penelitian tindakan kelas ini menggunakan model dari Kemmis (1997) dan Taggartdengan tiga siklus. Setiap siklus memiliki empat langkah yaitu:1) perencanaan; 2) tindakan; 3) pengamatan; dan4) refleksi. Analisis data menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis kualitatif menunjukkanbahwa metode bermain peran dilakukan dengan tiga tahapan yaitu bermain peran personifikasi, bermain peranberdua dengan menggunakan media, dan bermain peran dengan situasi sosial. Hasil analisis kuantitatif menunjukkanbahwa terdapat peningkatan nilai rata-rata antara asesmen awal dan akhir tiap siklus pada nilai kompetensi sosialanak usia dini.Kata Kunci: kompetensi sosial, anak usia dini, dan metode bermain peran

The objective of this research is to increase early childhood’s social competence by using role playing method. Thestudy was conducted at Raudhatul Athfal al-Muhajirin in Medan in the year of 2010 with n = 24. This classroomaction research was using Kemmis and Taggart (1997) model with three cycles. Each cycle has four steps. Theyare follows: 1) plan; (2) action; 3) observe; and 4) reflect. To analyze the data, qualitative and quantitativeresearch method were used. The result of the qualitative analysis shows that the role playing method conductedwith three steps are personification role playing, role playing with media, and role playing with social condition.The result of the quantitative analysis shows that there are significant differences between pre and post assessmentof early childhood’s social competence.Keywords: early childhood’s social competence, and role playing method

Page 155: jurnal dikbud tahun 2012

x

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

384R a s m a d i (Universitas Pamulang)Korelasi Antara Komunikasi Antarpersonal, Etos Kerja, dan Budaya Organisasi Dengan PelayananJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Maret 2012, Vol. 18, Nomor 1, hal. 107-119

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasidengan pelayanan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Penelitian dilaksanakan di PusdiklatPegawai Departemen Pendidikan Nasional. Penelitian mengambil sampel 90 orang, dilakukan dengan sampelacak. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa, terdapat hubungan positif antara komunikasi antarpersonal, etoskerja, dan budaya organisasi dengan pelayanan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.Semakin tinggi komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi, maka semakin tinggi mutu pelayananaparatur. Sehubungan dengan itu, upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan aparatur, dapat dilakukan denganmeningkatkan pengetahuan komunikasi antarpersonal, etos kerja, dan budaya organisasi.Kata kunci: komunikasi antarpersonal, etos kerja, budaya organisasi, dan pelayanan.

The objective of the research is to study the relationship between Interpersonal Communication, Work Ethos, andOrganizational Culture with Services. The survey was conducted at Training Center for Employees the Ministry ofEducation and Cukture (MoEC). Sample of 90 respondents were selected randomly. The study finds out that thereare positive correlation, between : a) Interpersonal Comunication (X1) and Services (Y); b) Work Ethos (X2) andServices (Y); c) Organizational Culture (X3) and Services (Y); d) Finally the study concludes that those threeindependent variables all together show positive correlation with Services. Furthermore, the employee servicecould be improved by improving interpersonal communication, Work Ethos, and Organizational Culture.Keywords: interpersonal comunication, work ethos, organizational culture, and services

371.2Rogers Pakpahan (Pusat Penilaian Pendidikan, Jl Gunung Sahari Raya, Jakarta Pusat, e-mail:[email protected])Model Alternatif Ujian AkhirJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 121-131

AbstrakTulisan ini dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran dalam penyelenggaraan ujian akhir di tingkat satuanpendidikan. Berbagai permasalahan muncul dalam pelaksanaan ujian akhir nasional sehingga diperlukan upayaperbaikan melalui pembentukan lembaga penilaian mandiri dan model penyiapan bahan ujian. Penyusunan bahanujian dilakukan dalam dua model. Model pertama merupakan penyusunan kisi-kisi oleh sekolah/daerah dan soaldisusun oleh lembaga penilaian atau sebaliknya kisi-kisi disusun lembaga penilaian dan soal disusun oleh sekolahatau lembaga independen. Model kedua, soal disediakan oleh lembaga penilaian atau soal disiapkan oleh sekolah.Pada setiap model lembaga penilaian berperan untuk penetapan skor dari seluruh peserta ujian sehingga skalaberlaku nasional. Untuk itu, lembaga penilaian menyetarakan skor atau nilai yang dikeluarkan sekolah, sehingganilai tersebut dapat digunakan untuk sertifikasi, pemetaan mutu, dan untuk seleksi penerimaan siswa baru. Penentuanstandar skor dilakukan melalui serangkaian pertimbangan dengan mengacu pada kemampuan peserta ujian.Standar skor setiap tahun dapat diubah sesuai dengan perkembangan pencapaian kompetensi siswa setiap tahun.Kata kunci: ujian akhir, lembaga penilaian, kisi-kisi, bahan ujian moderasi, dan tes

This paper is intended as a contribution of idea to the implementation of final examination at the education unitlevel. Various problems arising in the implementation of the national final examination require improvementefforts through the establishment of an independent assessment agency and an examination material preparationmodel. Preparation of test materials is done in two models. The first model is the map of questions is prepared bythe school/regional office of education and the question is prepared by the assessment body or the map isprepared by the assessment body while the question is prepared by the school/independent body. The secondmodel, the questions are prepared by the assessment body or the questions are prepared by the school. At eachmodel, the assessment body plays its role to set the score for all examinees so that the scale can be appliednationally. It is therefore the assessment body equalizes the score or grade given by the school so that the scorecan be used for certification, quality mapping, and enrollment. Determination of score standard is done through aseries of considerations with reference to the ability of the examinee. The score standard may be changed pursuantto the student’s competence achievement at every year.Keywords: final exam, assessment agency, map of questions, moderation examination materials, and tests

Page 156: jurnal dikbud tahun 2012

xi

Lembar abstrak

371.2Sudaryono (STMIK Raharja Tangerang, Jl. Jend. Sudirman No. 40 Cikokol-Tangerang, email:[email protected])Kajian Metode Deteksi Differential Item Function (DIF) Butir Soal Ujian Nasional dengan Teori Tes KlasikJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 132-144

AbstrakTujuan umum kajian ini dimaksudkan untuk menjelaskan berbagai metode pendeteksian keberadaan DifferentialItem Function (DIF) pada butir-butir soal ujian nasional dengan teori tes klasik. Tujuan khusus penulisan inidimaksudkan untuk menjelaskan: 1) berbagai metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan DIFpada butir soal ujian nasional berdasarkan teori tes klasik (classical test theory); dan 2) kelebihan dan kekuranganmasing-masing metode yang digunakan dan mengetahui metode mana yang paling sensitif dalam mendeteksikeberadaan DIF butir soal ujian nasional. Permasalahan kajian ini adalah: 1) metode apa saja yang dapat digunakanuntuk mendeteksi keberadaan DIF pada butir soal ujian nasional berdasarkan teori tes klasik?; 2) metode manayang paling sensitif dalam mendeteksi keberadaan DIF pada butir soal ujian nasional tersebut berdasarkan teorites klasik. Metodologi yang digunakan adalah melakukan kajian pustaka dari buku-buku, jurnal-jurnal dan telaahhasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Ada banyak cara untuk mendeteksi butir bias dan uji tes bias pada skoryang dicapai melalui teori skor klasik, yaitu: korelasi kelompok tunggal, korelasi diferensial, prosedur diskriminasibutir, metode plot delta, metode Standarisasi, metode Chi-square Scheuneman, metode Chi-square Camilli, metodeMantel-Haenszel, prosedur standar yang telah dikembangkan oleh Dorans dan Kulick, dan metode estimasi biasbutir dengan Analisis Faktor Konfirmatori.Kata kunci: differential item function, butir soal ujian, teori tes klasik, plot delta, dan estimasi bias butir

The general objective of this study is intended to explain the various methods of detecting the existence ofDifferential Item Function (DIF) in items of national exam with classical test theory. While the specific purpose ofwriting the article is intended to explain: 1) the various methods that can be used to detect the presence of DIF initems of national exam based on classical test theory, and 2) the advantages and disadvantages of each methodused and find out which method is most sensitive in detecting the presence of DIF items the national exam.Problems of this study are: 1) what methods can be used to detect the presence of DIF in items based on thenational exam classical test theory? 2) which method is most sensitive in detecting the presence of DIF in itemssuch national exam based on classical test theory. The methodology used is to review literature from books,journals and study the results of research that has been done. There are many ways to detect item bias and biastest the scores achieved by the theory of classical scores, namely: single group validity, differential validity, itemdiscrimination procedure, the delta plot method, methods of standardization, Scheuneman chi-squared approach,Camilli chi-square approach, Mantel-Haenszel method, a standard procedure which has been developed by Doransand Kulick, and item bias estimation method with Confirmatory factor Analysis.Keywords: differential item function, item national exam, classical test theory, the delta plot, and estimate the DIF

371.3Leo Agung S. (Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan PIPS FKIP-UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami, KampusKentingan Surakarta, e-mail: [email protected])Implementasi Model Pembelajaran IPS Terpadu (Suatu Studi Evaluatif di SMP Kota Surakarta)Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 145-155

AbstractPenelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui implementasi model pembelajaran IPS Terpadu di SMP Kota Surakarta;2) mengidentifikasi faktor-faktor penghambat, dan 3) mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh guru IPSdalam meningkatkan profesionalisme. Penelitian ini merupakan studi evaluasi dengan menggunakan metodepenelitian deskriptif kualitatif. Bentuk penelitian cenderung menggunakan studi kasus tunggal. Subyek penelitian,yaitu guru-guru IPS di SMP/MTs Kota Surakarta. Teknik dan alat pengumpul data yang digunakan, yaitu: wawancara,observasi, dan mencatat arsip serta dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) dalam implementasinyapembelajaran IPS di SMP/MTs masih terdapat banyak perbedaan. Ada yang melaksanakan pembelajaran IPSterpadu secara penuh, setengah terpadu, dan tidak terpadu; 2) hambatan yang dihadapi, antara lain: (a) kurangpemahaman/penguasaan terhadap materi di luar bidangnya; (b) kurangnya pengetahuan dan pemahaman model-model pembelajaran IPS Terpadu; (c) kesulitan dalam menerapkan konsep pembelajaran IPS Terpadu; dan (d)sikap skeptis dari guru IPS itu sendiri; 3) upaya yang dilakukan guru IPS dalam meningkatkan kompetensiprofesionalnya, antara lain: (a) bertanya kepada guru IPS yang lain; (b) membaca buku-buku referensi tentang

Page 157: jurnal dikbud tahun 2012

xii

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

IPS; (c) mengikuti pelatihan, sosialisasi, workshop, seminar, semiloka; dan (d) berbagai (sharing) pengalaman.Kata kunci: model pembelajaran, IPS terpadu, studi evaluasi, guru IPS, dan Sekolah Menengah Pertama

The objective of this study is: 1) to obtain information in relation to the implementation of instructional model ofintegrated social science at Junior Secondary School in Surakarta City; 2) to identify the inhibiting factors; and 3)to know some efforts performed by Social Science teachers to enhance their professionalism. This study is anevaluation study using qualitative-descriptive research method. This research tends to use a single case study.The subject of this research is Social Science teachers of SMP/MTs (Junior Secondary School/Islamic Junior SecondarySchool) in Surakarta City. The data was collected through interviews, observation, and archival records anddocuments. The findings showed that: 1) there were still many differences in the implementation of Social Scienceinstruction at SMP/MTs. There were teachers who delivered Social Science in integrated way, semi integrated andpartially; 2) there were many obstacles faced by the teachers, among others: (a) lack of understanding/masteryof the material outside their competency, (b) lack of knowledge and understanding of instructional models ofIntegrated Social Science, (c) difficulties to apply the instructional concepts of Integrated Social Science, and (d)a skeptical attitude of Social Science teachers; 3) some efforts performed by Social Science teachers to improvetheir professionalism, among others: (a) asking other Social Science teachers, (b) reading Social Science-relatedreference books, (c) attending training, socializaion, seminar, workshop, and (d) sharing experiences.Keywords: instructional model, integrated social science, evaluation study, social science teachers, and JuniorSecondary School.

371.3Munir Tanrere dan Sumiati Side (Jurusan Kimia FMIPA UNM Makassar, Jl. Daeng Tata, Parang Tambung)Pengembangan Media Chemo-Edutainment Melalui Software Macromedia Flash MX pada Pembelajaran IPA KimiaSMPJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 156-162

AbstractPenelitian ini bertujuan untuk: 1) menghasilkan media pembelajaran berupa CD interaktif chemo-edutainmentyang memanfaatkan software macromedia flash dalam pembelajaran Kimia SMP; 2) menguji keterandalan danefektivitas pembelajaran dengan menggunakan CD interaktif chemo-edutainment melalui pembelajaran di sekolah.Hasil penelitian tahun pertama adalah CD pembelajaran interaktif untuk materi pokok asam, basa, dan garam.Kesimpulan hasil penelitian, yaitu: 1) media CD pembelajaran dapat digunakan dengan baik oleh siswa; 2)media CD pembelajaran adalah efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa.Kata kunci: pembelajaran kimia, macromedia flash, CD pembelajaran interaktif, chemo-edutainment, dan hasilbelajar.

The aims of this research are: 1) to produce an interactive instructional CD - Chemo-edutainment that utilizesmacromedia flash software for Chemistry instruction at Junior Secondary School; 2) to examine the reliability andeffectiveness of learning by using interactive instructional CD - Chemo-edutainment through instruction at school.The products in the first year of research are an interactive instructional CD for main material of acid, base andsalt. The conclusions of the study are: 1) the instructional CD media can be used well by students; and 2) theinstructional CD media is effective for improving student learning outcomes.Keywords: teaching learning media, macromedia flash, chemo-edutainment, chemistry instruction, interactiveinstructional CD, and learning outcomes.

370.1Subijanto (Sekretariat Balitbang Kemdikbud, Jln. Jenderal Sudirman, Senayan-Jakarta Pusat, e-mail:[email protected])Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah KejuruanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 163-173

AbstractTujuan penulisan artikel ini dimaksudkan untuk menganalisais perkembangan pelaksanaan pendidikan kewirausahaandi SMK. Permasalahan yang dirumuskan: 1) bagaimana kondisi sarana dan prasarana pelaksanaan pendidikankewirausahaan di SMK?; 2) bagaimana pola kerjasama yang dilakukan antara SMK dengan dunia usaha/duniaindustri? 3) bagaimana pengelolaan SMK khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan? Hasilanalisis menunjukkan bahwa: 1) penyelenggaraan pendidikan kewirausahaan belum didukung oleh sarana dan

Page 158: jurnal dikbud tahun 2012

xiii

Lembar abstrak

prasarana pelatihan/praktik yang memadai; 2) pola kerjasama penyelenggaraan pendidikan kewirausahaanantara SMK dengan dunia usaha dan industri (DUDI) belum dirumuskan secara operasional; dan 3) penyelenggarapendidikan kejuruan belum dikelola secara optimal, khususnya dalam hal kerjasama dan sharing berbagai saranapembelajaran.Kata kunci: pendidikan kewirausahaan, sekolah menengah kejuruan, model kolaborasi, dunia usaha/industri

The objective of this article is to analyze the development of implementation for entrepreneurship education atsenior vocational school. The problem formulation of this article are as follow: 1) how is the condition of facilitiesand infrastructure for implementation of entrepreneurship education at senior vocational school?; 2) how is themodel of collaboration between Senior Vocational School and business/industry?; 3) how is the management ofSenior Vocational School particularly for the implementation of entrepreneurship education? The result of analysisshows that: 1) the implementation of entrepreneurship education has not yet supported by sufficient facilities andinfrastructure for training/practice; 2) collaboration model for the implementation of entrepreneurship educationbetween Senior Vocation School and business or industry has not formulated operationally; and 3) the vocationaleducation has not yet managed optimally, particularly in term of collaboration and sharing of various learningfacilities.Keywords: entrepreneurship education, the model of collaboration, senior vocational school, and business/industry.

371.3I Made Astra, Umiatin, dan Dian Ruharman (Jurusan Fisika, FMIPA,Universitas Negeri Jakarta Kampus B, JalanPemuda Rawamangun, Jakarta Timur, e-mail: [email protected])Aplikasi Mobile Learning Fisika dengan Menggunakan Adobe Flash Sebagai Media Pembelajaran PendukungJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 174-180

AbstractPenelitian ini bertujuan untuk menghasilkan media pembelajaran pendukung berbentuk mobile learning padamateri esensial untuk siswa SMA. Mobile learning yang dibuat dijalankan pada handphone yang mendukung flashplayer terutama berbasis symbian S60 3rd. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitiandan pengembangan (Research and Development). Tahap pertama dibatasi pada materi perpindahan kalor. Ujicoba aplikasi dilakukan kepada 2 orang dosen ahli materi dan 2 orang ahli media, dan 2 guru fisika SMA, serta 44siswa SMA Diponegoro 1 Jakarta. Indikator yang digunakan untuk menilai media pembelajaran yang dibuat, yaitukesesuaian isi dan tujuan, kesesuaian pembelajaran dan kualitas teknis . Nilai dari ketiga indikator berada di atas80%, sehingga mobile learning yang dibuat dikategorikan sangat baik. Berdasarkan hasil penelitian, dapatdisimpulkan bahwa media pembelajaran berbentuk mobile learning dapat dijadikan sebagai media pembelajaranpendukung pada pelajaran Fisika untuk siswa SMA.Kata kunci: media pembelajaran, mobile learning, perpindahan kalor, Fisika, dan SMA

The objective of this research is to create a supporting instructional media in the form of mobile learning of mainmaterial for Senior Secondary School students. The created mobile learning was played on mobile phone thatsupports flash player, mainly Symbian S60 3rd-based mobile phone. The method applied in this research wasresearch and development. The first step was limited on material of heat transfer. The trial of application wasconducted to 2 specialized lecturers, 2 media experts, 2 Physics teachers of Senior Secondary School, and 44students of Diponegoro Senior Secondary School, Jakarta. Indicators used to assess the created instructionalmedia were appropriateness of the content to the purpose, appropriateness of instruction to the technical quality.Marks of the three indicators were above 80%, so that the created mobile learning was categorized as very good.Based on the findings, it may be concluded that the instructional media in the form of mobile learning can be usedas a supporting instructional media for Senior Secondary School students to learn Physics subject.Keywords: instructional media, mobile learning, heat transfer, physic subject, and Senior Secondary School.

371.7Hayadin (Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI. Jl. Lapangan Banteng, JakartaPusat)Pengelolaan Guru Pendidikan Agama dalam Konteks Desentralisasi PendidikanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 181-191

AbstractPenelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses pengelolaan guru pendidikan agama di era desentralisasi pendi-dikan di Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini merupakan studi kasus yang bersifat kualitatif

Page 159: jurnal dikbud tahun 2012

xiv

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

yang dilakukan pada tahun 2010. Pengumpulan data dilakukan secara langsung di Kota Palangkaraya, dengansumber data primer dan sekunder yang berasal dari data dan dokumen yang diperoleh di kantor KementerianAgama, Dinas Pendidikan dan Badan Kepegawaian Daerah Kota Palangkaraya. Untuk mengumpulkan data tersebut,peneliti menggunakan metode wawancara, dan studi dokumen, dengan instrumen pedoman wawancara dan cheklistkelengkapan dokumen. Proses verifikasi data melalui triangulasi kepada beberapa narasumber terhadap satu isuyang diteliti dilakukan untuk menjamin keabsahan dan kebenaran data yang diambil. Hasil penelitian menunjukkanbahwa: 1) rekruitmen tenaga pendidik guru pendidikan agama di era desentralisasi turut dilakukan oleh pemerintahdaerah Kota Palangkaraya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan guru agama di daerah tersebut. Hal tersebutkarena jumlah tenaga kependidikan yang diangkat oleh pemerintah pusat (c.q, Kementerian Agama RI) masihsangat kurang; 2) dalam proses pembinaan karir dan kesejahteraan, tenaga pendidik guru pendidikan agamamendapatkan perlakuan yang sama dengan guru lainnya; 3) kondisi sosial politik dan kejelasan Peraturan BadanKepegawaian Daerah tentang Manajemen Pegawai Daerah merupakan salah satu faktor pendukung dari pengelolaanguru pendidikan agama di Kota Palangkaraya.Kata kunci: desentralisasi pendidikan, pengelolaan guru, guru pendidikan agama, pengadaan guru pendidikanagama, dan pembinaan karir guru pendidikan agama.

The objective of this study is to describe the process of managing religious education teachers in the era ofdecentralization of education in Palangkaraya City, Central Kalimantan Province. This study was a case study –qualitative in nature which was conducted in 2010. The data was collected directly in Palangkaraya City usingprimary and secondary data sources, which is information and document from office of the Ministry of ReligiousAffairs, education office, and local personnel board of Palangkaraya City. To collect the data, the researcher usedinterview and document study with interview sheets and checklist. The data was verified through triangulation tosome resource persons in relation to the one research problem in order to ensure the validity and reliability. Thefindings showed that: 1) recruitment of religious education teachers was also conducted by Palangkaraya localadministration in order to meet the requirement of religious teachers in the city because the number of teachersappointed by the central government (cq, Ministry of Religious Affairs) is so small; 2) In the process of careerdevelopment and welfare, religious education teacher is treated with the same respect as other teachers; 3)Social-political conditions and the clarity of Regional Personnel Board Regulation concerning management of localpersonnel are other factors contributing to the management of religious education teachers in Palangkaraya City.Keywords: decentralization of education, teacher management, religious education teachers, provision of religiouseducation teachers, career development of religious education teachers.

791.5Sunardi (Institut Seni Indonesia Surakarta, Jalan Ki Hajar Dewantara No 19, Kentingan, Jebres – Surakarta, e-mail: [email protected])Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit PurwaJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 192-203

AbstrakTulisan ini bertujuan membahas konsep rasa dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Konsep rasa dipergunakansebagai landasan utama dalam menyajikan dan mengapresiasi pertunjukan wayang. Rasa dihadirkan dalangmelalui ekspresi unsur-unsur pertunjukan wayang, yaitu bahasa, gerak, dan musik dalam kesatuan lakon wayang.Ada empat rasa dominan yang selalu muncul dalam pertunjukan wayang, yaitu rasa regu (agung), sedhih (sedih),dan greget (semangat), serta prenès (asmara dan humor). Dalam pertunjukan wayang, rasa hadir dalam berbagaipola, seperti: oposisi berpasangan dan siklus. Rasa menjadi konsep kunci untuk memahami pertunjukan wayang.Kata kunci: konsep rasa, pertunjukan wayang, dalang, dan pola estetika

This article aims to discuss the concept of rasa in a wayang performance. The concept of rasa is used as the mainbasis in presenting and appreciating a wayang performance. Rasa is presented by the puppeteer (dalang) throughthe expression of the wayang performance elements, such as language, movement, and music in the unity ofpuppet story. There are four dominant rasa, which always emerge in every wayang performance, that is rasa regu(exalted), sedhih (sad), greget (enthusiasm), and prenes (love and humor). In a wayang performance, these rasapresent in a various patterns, such as coupled opposition and cycle. The rasa has become the key concept inunderstanding a wayang performance.Keywords: the sense of concept, wayang performance, puppeteer, and aesthetic patterns

Page 160: jurnal dikbud tahun 2012

xv

Lembar abstrak

495.5Fanny Henry Tondo (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(PMB-LIPI), Email: [email protected])Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan EtnolinguistikJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 204-215

AbstrakArtikel ini mengkaji bentuk-bentuk bahasa yang digunakan oleh orang Hamap di perkebunan jagung. Studi kualitatifini bersifat interdisipliner, karena menggabungkan dua disiplin ilmu, yaitu linguistik dan antropologi (etnolinguistik).Berdasarkan perspektif ini, ditemukan bahwa dalam era modern sekarang ini orang Hamap masih mempertahankantradisi asli mereka. Tradisi ini dapat ditemukan pada saat penanaman jagung yang diekspresikan melalui nama-nama alat perkebunan, jagung dan bagian-bagiannya, proses penanaman jagung, dan nyanyian tradisi yangmenyertai penanaman jagung. Bentuk-bentuk bahasa ini secara implisit menggambarkan bahwa meskipun tergolongminoritas dan berpotensi terancam punah, bahasa Hamap masih digunakan dalam perkebunan jagung.Kata Kunci: bahasa minoritas, bentuk bahasa, perkebunan jagung, bahasa yang terancam punah, dan etnolinguistik.

This objective of this article is to analyze the linguistic forms used by Hamap people in a corn plantation. Thisqualitative study is interdisciplinary, because it combines two scientific disciplinaries, namely linguistics andanthropology (ethnolinguistics). Based on this perspective, it is found that in this modern era Hamap people stillretain their original traditions. The traditions can be found in the corn plantation which is expressed by the namesof plantation tools, corn and its traditional names, the process of corn plantation, and traditional songs accompanyingthe corn planting process. These linguistic forms implicitly describe that although Hamap language is minor andincludes potential endangered language it is still used in the corn plantation.Keywords: minor language, linguistic forms, corn plantation, potential endangered language, and ethnolinguistics

370.1Siswantari (Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Kemdikbud, Jalan Jenderal Sudirman, Senayan - Jakarta Pusat,e-mail: [email protected] )Kompetensi Keahlian di SMKN 6 Pertanian Jeneponto Sulawesi SelatanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 216-227

AbstrakTujuan studi ini dimaksudkan untuk meneliti kesenjangan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia usaha/industri(DUDI) dengan yang dihasilkan oleh SMKN 6 Jeneponto, Sulawesi Selatan. Studi dilaksanakan, karena terdorongoleh rendahnya lulusan SMK yang diserap oleh dunia kerja. Fokus studi terkait dengan kompetensi yang perludikembangkan oleh SMK sesuai dengan potensi daerah dan kebutuhan DUDI. Pengumpulan data penelitiandilaksanakan melalui wawancara dengan para pemangku kepentingan. Hasil studi menunjukkan bahwa SMK belummengembangkan kompetensi yang dibutuhkan oleh mitra kerjasama lokal.Kata kunci: sekolah menengah kejuruan, pengembangan kompetensi, pengembangan pendidikan, potensi lokal,dan kebutuhan dunia industri.

The aims of this study is to investigate the gap between industrial needs and the competences earned at vocationalschool of agricultural that has been conducted at SMK 6 Jeneponto, South Sulawesi. The study was motivated bythe fact that the SMK 6 alumni are suffered from unemployed. The investigation has been performed throughinterview with stakeholders and focused on how the competency development conducted at the school could fulfillthe local industry needs. It has been found that the school lacks of competences which are required by the localpartners.Keywords: vocational school, competency development, education development, local potential, and industryneeds.

371.2Soebagyo Brotosedjati (FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara SukoharjoJl. Letjen Sudjono Humardani No. 1 Kampus Jombor Sukoharjo, e-mail: [email protected])Pengaruh Supervisi Kunjungan Kelas oleh Kepala Sekolah dan Kompensasi terhadap Kinerja Guru SD Negeri diKecamatan SukoharjoJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 229-243

Page 161: jurnal dikbud tahun 2012

xvi

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolahdan kompensasi terhadap kinerja guru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional kausal.Sampel penelitian ini adalah 170 guru SD Negeri se Kecamatan Sukoharjo. Pengumpulan data menggunakanangket. Data hasil penelitian dianalisis dengan bantuan komputer program SPSS Versi 17. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa: 1) ada pengaruh yang signifikan supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah terhadapkinerja guru; 2) ada pengaruh yang signifikan kompensasi terhadap kinerja guru; dan 3) secara bersama-samaada pengaruh yang signifikan supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolah dan kompensasi terhadap kinerjaguru. Kompensasi mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada supervisi kunjungan kelas oleh kepala sekolahdalam meningkatkan kinerja guru SD.Kata kunci: supervisi kunjungan kelas, kompensasi, dan kinerja guru.

This study aimed to determine whether there is an effect of classroom visit supervision by the principal andcompensation to teacher’s performance. This study uses a quantitative approach to causal correlation. The samplewas 170 elementary school teachers in Sukoharjo District. Data collection was using questionnaires. Data wereanalyzed with the aid of a computer program SPSS version 17. The results showed that: 1) there was a significanteffect of classroom visit supervision by principals on teacher performance, 2) there is a significant influence ofcompensation to teacher’s performance, and 3) simultaneously there is a significant influence of a classroom visitsupervision by principals and compensation to teacher’s performance. Compensation has a greater influence thanthe classroom visits supervision by principals in improving the performance of elementary school teachers.Keywords: classroom visit supervision, compensation, and teachers’ performance.

371.1Herry Widyastono (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud Jl. Gunung Sahari IV - Jakarta Pusat, e-mail: [email protected] )Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 244-253

AbstrakStudi bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan guru dalam menyusun kurikulum tingkat satuanpendidikan. Studi ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulandata dilaksanakan pada bulan September 2011. Responden berasal dari Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, danTangerang sebanyak 150 orang guru yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Terdiri atas 30 orang guruSD, 50 orang guru SMP, dan 70 orang guru SMA, mengajar Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Fisika, Kimia,atau Biologi. Teknik pengolahan datanya adalah studi analisis dokumen. Triangulasi dilakukan dengan cara diskusifokus di dalam kelas (6 kelas), yang kemudian dilanjutkan dengan wawancara mendalam terhadap orang-orangtertentu untuk memvalidasi data dan informasi. Hasil studi menyimpulkan bahwa kemampuan guru dalam menyusunkurikulum tingkat satuan pendidikan (silabus), yang meliputi komponen: 1) standar kompetensi; 2) kompetensidasar; 3) materi pokok; 4) kegiatan pembelajaran; 5) indikator; 6) penilaian; 7) alokasi waktu; dan 8) sumberbelajar, masih sangat rendah, bahkan kebanyakan hanya mengadopsi kurikulum dari satuan pendidikan lain ataudari penerbit buku yang belum tentu sesuai dengan satuan pendidikannya. Oleh karena itu, disarankan kepadapemerintah pusat agar melakukan penataan ulang kurikulum tingkat satuan pendidikan menjadi kurikulum tingkatnasional, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan.Kata kunci: kemampuan guru, kurikulum tingkat satuan pendidikan, silabus.

The objective of the study is to obtain the information on the teachers’ ability in enacting the school-basedcurriculum. This is a descriptive research using qualitative approach. The data collection was conducted in September2011. The respondents of the research are from Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, and Tangerang as much of 150teachers, and they are chosen based on the purposive technique sampling. They consist of 30 primary teachers,50 junior high teachers, and 70 senior high teachers. Some of whom are teaching Math, Science, Physics, Chemistry,or Biology. The data of the document is analised, and the triangulation was conducted through focus discussion ina classroom (6 classroom), which then be continued by interviewing comprehensively to some of them in order toget the valid data. The research concludes that the teachers’ ability in writing up school-based curriculum (syllabus)which comprises the components of 1) standard competence; 2) basic competence; 3) core content; 4) learningactivities; 5) indicator; 6) evaluation; 7) time allotment; and 8) learning resource are still very low and even mostof them merely adobt other school curriculum or using them produced by book-publishers which are not actuallysuitable to themselves. It is therefore, advisable that the government should do some serious effort to redesign

Page 162: jurnal dikbud tahun 2012

xvii

Lembar abstrak

the in effect curriculum to become the national, province, district, and school curriculums.Keywords: the teachers’ ability, school-based curriculum, syllabus.

378.1Simon Sili Sabon (Puslitjak, Balitbang Kemdikbud, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta Pusat, e-mail:[email protected] )Potensi TIK dalam Meningkatkan Daya Tampung LPTK bagi Guru dalam Jabatan di Sulawesi SelatanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 254-263

AbstrakTujuan studi ini dimaksudkan untuk: 1) mengidentifikasi berbagai jenis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)yang saat ini dimanfaatkan LPTK dalam perkuliahan dan 2) mengidentifikasi berbagai jenis TIK lainnya yangberpotensi dapat dimanfaatkan LPTK. Studi ini merupakan suatu studi kasus yang dilakukan di Sulawesi Selatan.Pengumpulan data studi ini menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak-pihak yangberkepentingan dalam peningkatan kualifikasi akademik guru dalam jabatan. Temuan studi adalah: 1) jenis-jenisTIK yang digunakan oleh LPTK saat ini antara lain komputer/laptop, LCD atau in-focus dan juga pemanfaatanteknologi internet. Pada umumnya jenis TIK yang digunakan ini hanya sebagai pelengkap atau suplemen saja,yaitu memperlancar perkuliahan. Pemanfaatan jenis TIK ini belum dapat meningkatkan daya tampung LPTK; 2)dari berbagai jenis TIK yang berpotensi meningkatkan daya tampung LPTK bagi guru dalam jabatan yaitu televisidan radio. Selain itu, materi kuliah yang disimpan dalam bentuk kaset/CD/VCD/DVD akan sangat bermanfaatdalam meningkatkan daya tampung LPTK.Kata kunci: TIK, guru dalam jabatan, dan kualifikasi akademik guru

The goals of this study are: 1) to identify various kinds of Information and Communication Technology (ICT) whichare currently used by teacher’s colleges (TC) in lecturing process, and 2) to identify any other kinds of ICT’s whichcan be used by TC. This study is a case study conducted in South Sulawesi. The data collecting method is FocusGroup Discussion (FGD) with the stakeholders of the academic qualification upgrading of the in-service-teachers.Study findings are: 1) the currently ICT used by TC are computer/laptop, LCD/in-focus and also internet technology.The use this kinds of ICT is only as supplement, just for smoothing the lecturing process. The use of this kinds ofICT is not yet for increasing the capacity of TC; 2) among the various kinds of ICT which are potential to increasethe capacity of TC are television and radio. Besides that, the lecturing materials saved in the form of cassette/CD/VCD/DVD will be very useful for increasing the capacity of TC.Keywords: ICT, in-service-teachers, and teacher’s academic qualification

371.1Eka Kasah Gordah (Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP PGRI Pontianak, e-mail: [email protected])Upaya Guru Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Peserta Didik melaluiPendekatan Open EndedJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 264-279

AbstrakTujuan penelitian ini yaitu untuk melihat peningkatan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematispeserta didik dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan open ended. Penelitian dilaksanakan di SMANegeri 9 Bandung pada tahun pelajaran 2008/2009. Sampel penelitian dipilih dua kelas dari delapan kelas yangada pada kelas X semester genap dengan teknik purposive sampling. Metode penelitian yang digunakan adalahmetode eksperimen dengan desain penelitian “disain kelompok kontrol pretes-postes”. Adapun hasil penelitian iniadalah pembelajaran melalui pendekatan open ended dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan pemecahanmasalah matematis peserta didik yang lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Pembelajaran melaluipendekatan open ended dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematis pesertadidik dengan kualitas peningkatan tergolong sedang.Kata Kunci: pendekatan open ended, koneksi, pemecahan masalah, dan masalah matematis

The purpose of this study is to study increased connections abilities and mathematical problem solving of thestudent in the learning of mathematics through open-ended approach. This research was conducted at SMA Negeri9 Bandung in the academic year of 2008/2009. The sample of this research was two classes of the eight availableclasses of grade X of even semester which were selected by using purposive sampling technique. The methodused experimental method by using “pretest-postest group control design”. The results of this research was

Page 163: jurnal dikbud tahun 2012

xviii

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

learning through open-ended approach could increase the ability of connections and solving mathematical problemsof the students which was better than conventional learning. Learning through open ended approach could increasethe ability of connections and solving mathematical problems of the students in the average level.Keywords: open ended approach, connection, problem solving, and mathematics problems

331.7Nugroho Trisnu Brata (Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, e-mail: [email protected])Korelasi Budaya Perkebunan dan Fenomena “Buruh Borong” Perkebunan Sawit di Kalimantan BaratJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 280-293

AbstrakTujuan penulisan risalah artikel ini mengkaji fenomena kebudayaan masyarakat yang kemudian dihubungkandengan keberadaan pekerja “buruh borong” di area perkebunan sawit. Setiap kebudayaan masyarakat diasumsikanmemiliki karakter yang tergantung pada konteks spasial (tempat) maupun temporal (waktu). Salah satu aspekkebudayaan adalah nilai budaya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah, “Nilai apa saja yang menjadi penuntunkomunitas buruh borong (BB) dalam bekerja di area perkebunan sawit?”. Metode penelitian yang digunakanadalah metode penelitian kualitatif. Penelitian dilakukan selama satu bulan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkanbahwa orang-orang yang bekerja di perkebunan sawit latar belakangnya berbeda-beda. Nilai-nilai budaya yangmenjadi bagian dari kebudayaan ternyata juga muncul dalam fenomena para pekerja perkebunan. Konsep nilaimenjadi konsep kunci dalam teori tindakan (theory of action). Bekerja sebagai fenomena sosial pun bisa diletakkandi atas kerangka pikir orientasi nilai maupun teori tindakan. Pada kelompok pekerja “buruh borong” terdapat nilaisaling percaya, nilai kebersamaan, nilai perlawanan kultural, nilai religi, relasi patron-klien, dan nilai ketekunan.Kata kunci: buruh borong, perkebunan, sawit, nilai, dan fenomena kebudayaan

This essay aims at analyzing a connection of a community cultural phenomenon in oil palm plantation area and theexistence of ‘buruh borong’. Each community cultural phenomenon is assumed to have characteristic which dependon both spatial and temporal context. One of cultural aspects is cultural value. The problem scope of this researchis cultural value which guide the buruh borong (BB) in oil palm plantation area. Qualitative method is applied on theresearch. The research lasts for a month on field. The result of the research shows that the people working in oilpalm plantation have various background. Cultural values as parts of culture appear in the phenomenon of plantationworkers. The concept of value is the main concept in theory of action. Working as a social phenomenon is alsodone in the framework of value orientation and theory of action. Among the workers of buruh borong, there arevalues of trusting each other, togetherness, cultural defence, religion, patron-client relation, and diligence.Keywords: buruh borong, plantation, palm oil, value, and culture phenomena

371.4Ida Kintamani Dewi Hermawan (Pusat Data dan Statistik Pendidikan, Sekretariat Jenderal Kemdikbud, Jl. Sudirman,Senayan - Jakarta Pusat, e-mail: [email protected] )Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Pengumpulan Data Pendidikan Nonformal Tidak Tepat Waktu dan TidakBerkualitasJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 294-309

AbstrakTujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor penyebab pengumpulan data pendidikan nonformal(PNF) tidak tepat waktu dan tidak berkualitas. Metode yang digunakan yakni survei dengan populasi dinas pendidikankabupaten/kota di seluruh Indonesia, sedangkan metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposivesampling dengan teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh faktor, yaitu pemahamanpendataan, sumber daya manusia, dukungan dinas pendidikan kabupaten/kota, dana, infrastruktur pendataan,monitoring dan evaluasi, dan kondisi geografis yang mempengaruhi pengumpulan data PNF tidak tepat waktu dantidak berkualitas, terdapat empat faktor yang sangat mempengaruhi. Keempat faktor tersebut ialah dukungandari dinas pendidikan kabupaten/kota (26,00%), monitoring dan evaluasi (31,57%), dana (32,25%), dan infrastruktur(39,40%). Bila ketujuh variabel tersebut digabungkan, maka rata-rata sebesar 36,75% berarti juga sangatmempengaruhi pengumpulan data PNF tidak tepat waktu dan tidak berkualitas. Dengan demikian, disarankanagar ada dukungan dari dinas pendidikan kabupaten/kota terhadap pendataan PNF, monitoring dan evaluasipendataan PNF di tingkat satuan pendidikan sampai kabupaten/kota dapat dilaksanakan, dukungan dana bagipengelola pendataan PNF dan peningkatan infrastruktur, baik dalam kuantitas maupun kualitas.Kata kunci: pendidikan nonformal (PNF), pengumpulan data, tidak tepat waktu, tidak berkualitas, dan dukungandinas

Page 164: jurnal dikbud tahun 2012

xix

Lembar abstrak

The purpose of this research is to find out the cause of the factors in the Non-formal education collection of datanot timely and not quality. The method used is the population of the survey in office of education at district levelthroughout the country. The taking of a sample of the method used is a purposive sampling techniques and ofanalysis with a descriptive . The result showed that seven of the factors, these are the understanding , humanresources , the support of the office of education at district level, the fund, monitoring and evaluation , infrastructure;and geography affect the collection of data of Non-formal education not timely and not quality and there are fourfactors that are strongly influence. The four factors are the support of the office of education at district level(26,00%), monitoring and evaluation (31,57%), funding (32,25%), and infrastructure (39,40%). When these variablesare combined then the average by 36,75% means also greatly affects the data collection of the Non-formaleducation did not timely and not quality. Thus, it is recommended that the support of the Non-formal Educationservice by Office of education at district level, monitoring and evaluation at the unit level in the case of the Non-formal Education can be implemented. In addition, the necessary support funding for the logging manager and andthe improvement of the infrastructure both in quantity as well as quality.Keywords: nonformal education, data collection, not on time, not qualified, and official support

379.1Subijanto dan Siswo Wiratno (Pusat Penelitian dan Kebijakan, Balitbang KemdikbudJl. Jenderal Sudirman, Senayan-Jakarta, e-mail: [email protected]; swiratno2002@yahoo com)Analisis Kinerja Badan Akreditasi Nasional Sekolah/MadrasahJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 310-318

AbstrakTujuan dari analisis ini dimakudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang kinerja BAN S/M. Permasalahanyang dirumuskan antara lain: 1) berapa banyak satuan pendidikan yang telah diakreditasi oleh Badan AkreditasiNasional Sekolah/Madrasah bekerja sama dengan Badan Akreditasi Propinsi (BAP); 2) Bagaimana ketersediaantenaga asesor untuk melakukan akreditasi pada setiap jenis dan jenjang satuan pendidikan; 3) sejauh mana hasilakreditasi pada satuan dan jenis pendidikan disosialisasikan secara internal dan dipergunakan sebagai acuandalam mencapai layanan pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Hasil analisis menunjukkanbahwa sekalipun jumlah asesor terbatas: 1) Tata kelola BAN S/M cukup efektif dengan telah diakreditasinya212.137 satuan pendidikan dan program keahlian selama kurun waktu 5 tahun; 2) Capaian BAN S/M menunjukkan:(a) sebagian kecil dari satuan pendidikan dan program keahlian terakreditasi dapat memenuhi tingkat mutusesuai SNP; (b) terdapat jumlah satuan pendidikan yang cukup besar tidak memenuhi SNP sehingga memerlukandukungan dana dari pemerintah agar dapat memenuhi SNP; dan (c) komponen SNP yang belum sepenuhnyadapat dipenuhi terkait dengan: standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, serta saranaprasarana.Kata kunci: asesor, kinerja, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, Badan Akreditasi Propinsi, dan StandarNasional Pendidikan

The aim of this analysis is to find data and an information about the performance National Board Accreditation forSchool/Madrasah. The analysis shows that: 1) the management of the National Board Accreditation for School/Madrasah is an effective enough with the 212.137 educational unit and study program has been accrediting; 2) theachievenment of this accreditationshows that: (a) the only small education unit and study program shown thequality of national educational standar: (b) Most of the educational unit shown that does not achieve for nationaleducation standard therefore the local goverment should be allocated budget for supporting in order to thateducational unit can achieve national education standar; (c) a number of national educational standar componenswhich can not be able to achieve yet are: graduation standar; teacher and education administration; and educationalfacilities.Keywords: assessors, performance, National Accreditation Board for School/Madrasah, Provincial AccreditationBoard, and National Standard of Education

372.2Oos M. Anwas (Pustekkom, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, e-mail: [email protected] )Model Paud Posdaya sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis MasyarakatJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 319-327

AbstrakPartisipasi masyarakat dalam mensukseskan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting. Pos PemberdayaanMasyarakat (Posdaya) merupakan forum komunikasi dan wahana pemberdayaan masyarakat di tingkat akar

Page 165: jurnal dikbud tahun 2012

xx

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

rumput. Pembentukan Posdaya tidak harus membentuk kelembagaan baru tetapi dapat menguatkan danmenyatukan kelembagaan yang telah ada melalui berbagai kegiatan pemberdayaan. Begitu pula Model PAUDPosdaya dikembangkan dengan cara membentuk PAUD baru dan menguatkan PAUD yang telah ada. Model PAUDPosdaya menjadi kuat karena menyatukan dan menselaraskan berbagai kelembagaan masyarakat dalam wahanaPosdaya. Kelembagaan masyarakat tersebut misalnya: Bina Keluarga Balita, Posyandu, Bina Keluarga Remaja,PKK, Koperasi, Kelompok Usaha (UKM), Kelompok Lansia, Kelompok Masjid, Kelompok Arisan, Orsos, dan kelompokmasyarakat lainnya. Kelompok masyarakat tersebut menyatu dalam wahana Posdaya guna mensukseskan PAUDsesuai potensi dan perannya masing-masing. Keunggulan lainnya adalah partisipasi masyarakat menjadi meningkatmelalui berbagai kegiatan pemberdayaan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan,keagamaan maupun bidang lainnya yang ada dalam wahana Posdaya.Kata kunci: Model PAUD Posdaya, kelembagaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan partisipasimasyarakat

Community participation in the success of Early Childhood Education (PAUD) is very important. The Family andCommunity Empowering is a communication forum and vehicle for community empowerment at the grassrootslevel. The development of a Posdaya can be done by strengthening and unifying the existing institution throughempowerment activities instead of developing a new one. Similarly, the PAUD Posdaya model is developed byestablishing a new institution or by strengthening the existing Early Chilhood Education. PAUD Posdaya modelbecomes powerful since it unifies and harmonizes various community institutions within Posdaya vehicle. Amongthe institutions are: Bina Keluarga Balita, Posyandu, Bina Keluarga Remaja, PKK, Koperasi, Group of enterprises(Kelompok Usaha), Elder Community Group (Kelompok Lansia), Mosque Community Group (Kelompok Masjid),Kelompok Arisan, Social Organization, and other community groups. All the community groups are gatheredwithin Posdaya vehicle in order to succeed the Early Childhood Education according their potential and roles. Theother advantage of PAUD Posdaya is the increasing participation of community in various empowering activitiessuch as education, economics, environment, religion, and other sectors within Posdaya.Keywords: early childhood education (PAUD) Posdaya model, community institutions, community empowerment,and community participation

371.1Al Musanna (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Gajah Putih Takengon, Aceh Tengah, e-mail:[email protected] )Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi BudayaJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 328-341

AbstrakTulisan ini bertujuan mengemukakan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal. Signifikansi pembahasanterkait minimnya perhatian akademisi dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan praksis (teori dan praktik)pendidikan guru yang berpijak pada kearifan lokal, sehingga berimplikasi pada minimnya kompetensi budayaguru dalam menjalankan tugas profesinya. Terdapat tiga masalah yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini:teori yang melandasi pengembangan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal; hakikat kompetensi budayaguru, serta prasyarat yang diperlukan untuk mengembangkan model pendidikan guru berbasis kearifan lokal.Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kearifan lokal mengandung nilai-nilai potensial yang diperlukan untukmewujudkan pendidikan yang lebih bermakna dan relevan dengan situasi sosial-budaya. Revitalisasi kearifanlokal melalui pendidikan menuntut adanya guru yang mempunyai kompetensi budaya dan hal ini hanya akanmungkin dicapai apabila pendidikan guru memberi perhatian secara proporsional untuk menginternalisasikankearifan lokal.Kata Kunci: model pendidikan guru, kearifan lokal, kompetensi budaya, kompetensi budaya guru, dan situasisosial budaya.

The following discussion summarized from the literature review present an alternative model of teacher educationbased on local wisdom to enhance the cultural competency of teachers. There are three issues that became thefocus of this paper: the theory that underlies the development of teacher education based on local wisdom; natureof the cultural competency of teachers, as well as the necessary prerequisite for developing teacher educationbased on local wisdom. The results indicate that local wisdom contains the values needed to realize the potentialof education more meaningful and relevant. Revitalization of local wisdom through education requires teacherswho have cultural competence and this will only be achieved if teacher education give proper attention to internalizethe local wisdom synergistically. Marginalization of local wisdom in praxis of teacher education has impacted onalienation of teachers from the context of his/her life.

Page 166: jurnal dikbud tahun 2012

xxi

Lembar abstrak

Keywords: teacher education model, local wisdom, cultural competency, culturally competence teacher, and culturalsocial situation

375Herry Widyastono (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud, Jl. Gunung Sahari - Jakarta Pusat, e-mail: [email protected])Implikasi RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan terhadap Manajemen Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasardan MenengahJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, September 2012, Vol. 18, Nomor 3, hal. 342-351

AbstrakTujuan penulisan untuk menyusun rencana strategi pengembangan kurikulum nasional, daerah, dan satuanpendidikan sesuai amanah RPJMN 2010-2014 sektor pendidikan. Hasil kajian menyimpulkan: a) Secara umumdibedakan antara manajemen pengembangan kurikulum terpusat (sentralistik), tersebar (desentralistik), dansentral-desentral; b) KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masingsatuan pendidikan, dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan. KTSP merupakan manajemen pengembangankurikulum sentral-desentral; c) Pada umumnya guru hanya mengadaptasi bahkan mengadopsi KTSP dari satuanpendidikan lain yang belum tentu sesuai dengan karakteristik satuan pendidikannya; d) Pemberian kewenanganlebih baik berjenjang, mulai dari kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, direkomendasikan agar unit-unit kerja terkait,melakukan: a) penyusunan dan penetapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang PenataanKurikulum Nasional, Daerah, dan Sekolah; b) sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan pendidikan ditingkat pusat dan daerah; c) bantuan profesional pengembangan kurikulum dan pembinaan teknis kepada parapenyelenggara pendidikan; d) pelatihan bagi para pendidik dan tenaga kependidikan; dan e) penyiapan danpenggandaan seluruh sarana pembelajaran yang diperlukan.Kata Kunci: strategi manajemen kurikulum nasional, kurikulum daerah, standar nasional pendidikan, dan kurikulumsatuan pendidikan.

The goal of writing this article is to set a management strategy of national curriculum development, regionalcurriculum, and school curriculum in accordance with RPJMN 2010-2014 education sector. The results of the studyare as follows: a) In general, distinguished between centralized curriculum development management (centralized),spread (decentralized), and central-decentralized; b) KTSP is the operational curriculum developed by andimplemented in each school, with reference to the National Education Standards. So the KTSP is the central -decentralized management of curriculum development, c) In general, teachers are adapting even adopt KTSPfrom other schools that do not necessarily correspond to the characteristics of their schools, d) The authorizationbetter tiered, ranging from the authority of the central government, provincial, district/city governments, andschools. Based on these conclusions, it is recommended that the relevant work units, in accordance with the dutiesand functions, shall: a) preparing and determining the Regulation of Minister of Education and Culture on theNational Curriculum Arrangement, District, and School, as well as all the conflicting rules regarding curriculumrevoked and is no longer valid; b) socialization to all education stakeholders at national and regional levels, c)giving technical and professional training on curriculum development, d) giving training for educators and educationpersonnel, and (e) prepare and copying all the necessary learning tool.Keywords: management strategy national curriculum, regional curriculum, national standard of education, andschool curriculum

371.1Mieske Theresia Tulung SMPK Renya Rosari Lilitira (Rantepao – Toraja Utara, Sulawesi Selatan, e-mail:[email protected] ) dan L. Kaluge Universitas Kanjuruhan Malang, e-mail: [email protected] )Suasana Kerja dan Pengaruh Kepemimpinan dalam Konteks Pendidikan DasarJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 353-367

AbstrakPenelitian ini bertujuan mengungkap suasana kerja di sekolah yang dikondisikan oleh persepsi kepemimpinan.Fokus dari tujuan tersebut, yaitu: gambaran suasana kerja, persepsi para guru, dan hubungan kausal antarakeduanya. Metode yang ditempuh bersifat kuantitatif. Sampel sebanyak 386 guru diambil dari 24 SMP Negeri danSwasta di kota Manado secara acak dengan memperhatikan cluster proportionate. Data dianalisis secara deskriptifserta inferensial. Delapan konstrak kepemimpinan dan dua konstrak suasana kerja terbukti valid dan reliabel.

Page 167: jurnal dikbud tahun 2012

xxii

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Dengan rentangan 0-4, rerata suasana kerja di sekolah sebesar 2,9 untuk semangat kerja, dan 2,8 untuk suasanakreatif. Juga dengan rentangan yang sama, rerata kedelapan subskala kepemimpinan berkisar 2,55 dan 3,19.Analisis regresi mengungkapkan tidak semua komponen kepemimpinan merupakan faktor signifikan untukpengembangan suasana kerja di sekolah. Kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, dan mendukungberpengaruh signifikan terhadap semangat kerja para guru, dan pengembangan suasana kreatif dipengaruhisecara signifikan oleh kepemimpinan yang mendisiplinkan, mendengarkan, mendukung, dan memberdayakan.Temuan ini bermanfaat bagi kebijakan pendidikan dan pengembangan sekolah.Kata kunci: persepsi kepemimpinan, kepala sekolah, suasana kerja, guru, dan sekolah menengah pertama.

This study aimed at discovering the leadership perception in conditioning the working climate at schools. Threeobjectives of the aim were describing working climate, teachers’ perception on leadership, and the causal relationshipbetween them. The cluster proportionate random sampling obtained 386 teachers from 24 state and privatejunior-secondary-schools in the city of Manado. Data were collected through questionnaire administration andanalyzed using descriptive and inferential methods. Eight leadership constructs and two working climate wereproven to be valid and reliable. Using range criteria of 0-4, the averages of working climate were 2.9 and 2.8 forworking spirit and creative climate. On the other hand, using the same criteria, the average of the eight leadershipsub-scales ranged between 2.55 and 3.19. The regression analyses found that not all of the leadership componentswere significant factors for developing the school working climate. Disciplining, listening, and supporting weresignificant factors for teachers’ working spirit. Whereas, the creative climate of teachers was affected significantlyby disciplining, listening, supporting, and empowering factors. The results would be of benefit for educationalpolicies and school improvement.Keywords: perceived leadership, school principals, working climate, teachers, and junior secondary school.

371.1Sahat Saragih PPs. UNIMED Jl. Wilem Iskandar Psr. V Medan, e-mail: [email protected] ) dan Vira AfriatiSMA Negeri 13 Medan Jl. Brigjen Zein Hamid Km.7, Medan (e-mail: [email protected])Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK Melalui Penemuan Terbimbing BerbantuanSoftware AutographJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 368-381

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) apakah peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsitrigonometri dengan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi daripada siswa yang diberipendekatan biasa; dan 2) bagaimana ketuntasan dan aktivitas belajar siswa dengan penemuan terbimbingberbantuan Software Autograph. Penelitian ini merupakan studi eksperimen di SMK Telkom Sandhy Putra danSMK Sandhy Putra II Medan (Kelompok Pariwisata) dengan mengambil sampel 2 kelas dari masing-masing sekolahsecara acak. Data yang diperoleh secara ternormalisasi dinalisis dengan menggunakan uji t. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa: 1) peningkatan pemahaman konsep siswa pada grafik fungsi trigonometri yang memperolehpendekatan penemuan terbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperolehpendekatan biasa; dan 2) ketuntasan dan aktivitas belajar siswa yang memperoleh pendekatan penemuanterbimbing berbantuan Software Autograph lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pendekatan biasa.Kata kunci: pemahaman konsep, konsep grafik, penemuan terbimbing, fungsi trigonometri, software autograph,dan SMK

This research is aimed to know 1) if the increase of student’s conceptual understanding on trigonometric functiongraph through guided inquiry using Autograph software is greater than those with usual approach, 2) how thestudent’s mastery in learning and student’s learning activity are. This is an experimental research conducted inSMK Telkom Sandhy Putra and SMK Sandhy Putra II Medan (tourism group) with the population are all thestudents in grade XI of the schools and two classes from each school were randomly taken as samples. t – test isapplied to analyze the normalized gain of students’ conceptual understanding. The research shows that the increaseof student’s conceptual understanding on trigonometric function graph through guided inquiry using Autographsoftware is greater than those with usual approach, 2) the mastery in learning and learning activity of studentsimplementing guided inquiry using Autograph is greater than those with usual approach So, teachers should applyguided inquiry approach using Autograph as one of learning approach alternatives.Keywords: conceptual understanding, graphic concept, guided inquiry, trygonometry function, autograph software,and vocational school

Page 168: jurnal dikbud tahun 2012

xxiii

Lembar abstrak

371.9Munawir Yusuf (Universitas Sebelas Maret Surakarta, e-mail: [email protected])Kinerja Kepala Sekolah dan Guru dalam Mengimplementasikan Pendidikan InklusifJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 382-393

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikanpendidikan inklusif di sekolah dasar (SD). Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian survei ke SDpenyelenggara pendidikan inklusif di 4 (empat) wilayah kabupaten/kota, yaitu Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo,dan Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Jumlah sampel dalam penelitian ini 51 SD Inklusi, 51 kepala sekolah, dan 103guru kelas. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dan diolah secara statistik deskriptif. Validitas angketkepala sekolah berada dalam rentang 0.312 - 0.796 dengan reliabilitas 0.962. Validitas angket guru berada dalamrentang 0.290 - 0.815 dengan reliabilitas 0.956. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kinerja kepala sekolahdalam mengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; 2) kinerja guru kelas dalammengimplementasikan pendidikan inklusif berada dalam kategori sedang; dan 3) skor kinerja kepala sekolahrata-rata (65,45%), lebih tinggi dibanding skor rata-rata yang dicapai guru (62,3%).Kata kunci: pendidikan inklusif, sekolah inklusif, kinerja guru, kepala sekolah, dan SD

This study aimed to describe the performance of school principals and teachers in implementing inclusive educationin primary school. To achieve these objectives, a research survey has been conducted at primary schools thatorganize inclusive education in 4 area districts, namely Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo and Boyolali, in CentralJava Province. The numbers of samples in this study were 51 inclusion elementary schools, 51 school principals,and 103 classroom teachers. Data were collected and processed using questionnaires and descriptive statistics,respectively. Questionnaire Validity for School Principals is in the range of 0312-0796 with 0962 reliability.Questionnaire Validity for Teachers is in the range of 0290-0815 with 0956 reliability. The results can be summarizedas follows: 1) The performance of school principals in implementing inclusive education is in the medium category;2) performance of classroom teachers in implementing inclusive education is in the medium category; and 3)Principal performance score average (65.45 %), higher than the average score achieved by teachers (62.3%).Keywords: inclusive education, school Inclusive, teacher and school principal performance, elementary school

371.3Ahmad Jamalong (STKIP PGRI Pontianak, e-mail: [email protected])Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Kooperatif Numbered Heads Together (NHT) di Kelas X SmaNegeri 1 Beduai Kabupaten SanggauJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 394-411

AbstrakPenelitan ini bertujuan untuk menganalisis hasil belajar siswa dengan penggunaan sebuah model kooperatifNumbered Heads Together (NHT). Penelitian dilakukan pada Kelas X di SMAN 1 Beduai Kabupaten Sanggau tahunpelajaran 2011/2012 dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subyek penelitian sebanyak38 siswa kelas X yang dipilih secara random sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan tes, kemudiandilakukan tindakan menggunakan Penelitian Tindakan Kelas. Tindakan penelitian dilakukan sebanyak 2 siklusdengan materi Sistem Hukum Nasional untuk siklus I, Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan untuk siklus II. Setiapsiklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkanbahwa hasil belajar siswa sebelum dilaksanakan tindakan tidak ada satu pun siswa yang mencapai tingkat ketuntasan.Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I terjadi peningkatan hasil belajar pada siswa yang mencapai ketuntasansebanyak 11 siswa (34,38%) dan tindakan pada siklus II terdapat 20 siswa (54,82%) yang mencapai ketuntasanbelajar. Hal ini dinyatakan bahwa model kooperatif Numbered Heads Together (NHT), sangat efektif dapatmeningkatkan hasil belajar siswa, khususnya pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).Kata kunci: model kerja sama, teknik belajar mengajar kepala bernomor, hasil belajar, dan PendidikanKewarganegaraan

The purpose of the research is to analyze the students’ achievements by using Cooperative Model of NumberedHeads Together (NHT). The research was applied to class X of Public Senior High School 1 Beduai Sanggau inacademic year of 2011/2012 by using classroom action research (CAR). The research subject consist of 38students of class X that were chosen by using random sampling. The data were collected by using test, then actionwas applied by using classroom action research. Action research was applied for 2 cycles with “Sistem Hukum

Page 169: jurnal dikbud tahun 2012

xxiv

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

Nasional” in the first cycle and “Peran dan Fungsi Lembaga Peradilan” in the second cycle. Every cycle consist ofplanning, action, observation and reflection. The result of study shown that there were no students’ achievementsbefore the action applied. In the cycle 1 there were an increasing achievements to 11 students (34.38%) danaction in the cycle II shown there were an increasing achievement to 20 students (54.82%). It can be stated thatCooperative Model of Numbered Heads Together (NHT) is very effective to improve students’ achievements especiallyin “Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)” subject.Keywords: model, cooperative numbered heads together (NHT), achievements, and Civics Education.

371.3Leo Agung S. (Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan IPS FKIP-UNS, Jl.Ir. Sutami No.36 A, Kentingan, Surakarta,e-mail: [email protected])Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah SMA Berbasis Pendidikan Karakter di Solo RayaJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 412-426

AbstrakPenelitian eksploratif ini bertujuan untuk: 1) mengetahui tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi pembelajaranSejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA); 2) mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambatpembelajaran Sejarah di SMA; 3) mengeksploitasi pemahaman guru-guru Sejarah di SMA terhadap model-modelpembelajaran Sejarah; dan 4) menyusun model Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter. Subjekpenelitian adalah guru-guru Sejarah SMA Solo Raya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi,wawancara, analisis dokumen, angket dan Focus Group Discussion. Metode analisis data menggunakan analisiskualitatif model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa: 1) tujuan pembelajaran Sejarah menanamkansemangat kebangsaan, cinta bangsa dan tanah air; materi sesuai dengan Standar Isi; metode ceramah bervariasi,media power point, film dan Liquid Crystal Display, sedangkan evaluasinya masih banyak pada aspek kognitif; 2)Faktor pendukung pembelajaran Sejarah, yaitu adanya model-model pembelajaran inovatif, faktor penghambatnyabuku BSE yang minim, dan adanya diskriminatif mata pelajaran; 3) sebagian besar guru-guru SMA telah memahamimodel-model pembelajaran; dan 4) tersusunnya model Kritis, Kreatif, Berantai dan Berkarakter (KKBB).Kata kunci: pembelajaran Sejarah, guru Sejarah, Sekolah Menengah Atas, dan pendidikan karakter

This exploratory study aims to: 1) determine objectives, materials, methods, media and evaluation of historyteaching in senior secondary schools; 2) identify factors that support and inhibit history teaching in senior secondaryschools; 3) exploit the understanding of history teachers of senior secondary schools on history teaching models;and 4) establish a model for character education based-history learning. Research subjects are history teachers ofsenior secondary schools in Solo Raya. Data were collected using observation, interviews, document analysis,questionnaire and Focus Group Discussion techniques, and analyzed using the method of qualitative interactivemodel. The results showed that: 1) purpose of history teaching inculcate the spirit of nationalism, love of nationand homeland; materials in accordance with the Content Standards; lecture methods varies, power point media,film and Liquid Crystal Display, while the evaluation is still tend to focus on cognitive aspects; 2) supporting factorof history teaching is the development of innovative learning models, while the inhibiting factors are the lacknumber of BSE book and discrimination on the subjects; 3) majority of history teachers of senior secondaryschools have understood the learning models, and 4) completion of the Critical, Creative, Chain and Charactermodel (KKBB).Keywords: history teaching, the history teacher, senior secondary schools, and character education

371.3Sri Tatminingsih dan Sudarwo (Universitas Terbuka, Jl. Raya Pondok Cabe, Tangerang Selatan, e-mail:[email protected])Pengembangan Paket dan Strategi Pembelajaran IPA Melalui Permainan Tradisional untuk Siswa Kelas 3 SD diDaerah Rawan Bencana (Studi Kasus di SD Puncak Manis, Kecamatan Kadudampit, Sukabumi)Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 427-439

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permainan tradisional, karakteristik, dan mengembangkan ujicobapaket dan strategi pembelajaran kelas 3 SD di wilayah rawan bencana di Propinsi Jawa Barat. Sampel penelitianterdiri atas siswa dan guru kelas 3 di SDN Puncak Manis dan Pemuka masyarakat di Kecamatan Kedungpi,Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa hampir semua siswa tidak mengenal permainan tradisional di wilayahnya, namun terdapat

Page 170: jurnal dikbud tahun 2012

xxv

Lembar abstrak

beberapa permainan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat di Kecamatan Kadudampit, di antaranyaOray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda dan Egrang. Karakterisitik siswa SD di daerah rawan bencanaumumnya pasif dan kurang kreatif, bergantung pada guru. Paket pembelajaran yang sesuai siswa kelas 3 SD diwilayah rawan bencana berupa bahan ajar cetak, buku bergambar, dan video. Hasil ujicoba menunjukkan adanyapeningkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran IPA untuk materi banjir sebesar 0,58 dan untukmateri gempa bumi sebesar 0,76. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paket pembelajaran yang berupabooklet dan buku siswa tentang materi mitigasi dan sanitasi terkait dengan bencana banjir dan gempa bumi yangdisampaikan melalui permainan tradisional membantu siswa dalam memahami materi tersebut.Kata kunci: paket dan strategi pembelajaran IPA, permainan tradisional, daerah rawan bencana, dan sekolahdasar

This research aims to identify traditional games and the characteristics of third grade elementary school students,as well as to develop packages and learning strategies that are appropriate for third grade elementary schoolstudents in the disaster-prone area in West Java Province. This study employed research and development as theresearch design by using third grade students and teachers in elementary school Puncak Manis as well as thecommunity of district Kadudampit, Sukabumi in West Java as the samples. Interviews and observation were usedas data collection techniques. The results showed that almost all students are not familiar with the games, butthere are some traditional games that are still known by the community of district Kadudampit such as Oray-orayan, Cing Ciripit, Pacici Putri, Sonda and Egrang. The characteristics of elementary school students in the areaof disaster-prone are generally passive, dependent on teachers and less creative. Learning packages in a form ofprinted or picture books and videos that are appropriate for the third grade elementary school students in disaster-prone areas were delivered through traditional games as the strategy. The try out results showed an increase instudents’ understanding of science teaching materials especially for the topics of “flood” that is 0.58 and for“earthquake” that is 0.76. This suggests that the use of the learning package in the form of booklets and booksstudents on material related to disaster mitigation and sanitation floods and earthquakes which are deliveredthrough traditional games (like Oray-orayan, Ciripit and Cing Pacici-cici Putri) assisted students in understandingthe material about mitigation and sanitation related floods and earthquakes.Keywords: packages and learning strategies for science, traditional games, disaster-prone area, dan elementaryschool

375Bambang Indriyanto (Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikandan Kebudayaan, e-mail: [email protected])Pengembangan Kurikulum Sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu PendidikanJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 440-452

AbstrakTujuan dari tulisan ini adalah mengajukan pengertian bahwa kurikulum dapat menjadi titik tolak bagi peningkatanmutu pendidikan. Berdasarkan pernyataan tersebut, tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa efektivitasimplementasi kurikulum tidak hanya terletak pada isi konsep yang komprehensif, tetapi juga pada kondisi kurikulumtersebut akan dilaksanakan. Kondisi tersebut meliputi kompetensi guru dan kecukupan ketersediaan saranapendidikan pada tingkat sekolah. Pengembangan Kurikulum 2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaanyang sekarang sedang berlangsung sedang dicermati oleh anggota masyarakat. Hal ini tentu saja merupakankonsekuensi kurikulum sebagai bagian dari kebijakan pendidikan. Ada yang mempertanyakan tentang konsepnya,tetapi ada juga yang setuju dengan ide Pengembangan Kurikulum 2013. Namun demikian tulisan ini berpendapat,meskipun ada yang tidak setuju atau setuju, bahwa faktor yang mendasari efektivitas pelaksanaan kurikulumadalah faktor manajemen. Faktor manajemen yang dimaksud meliputi manajemen pada tingkat sekolah dankelas. Kehadiran teknologi informasi praktis pada setiap aspek kehidupan membawa dampak yang positif terhadapdunia pendidikan.Kata kunci: mutu pendidikan, kurikulum, manajemen pendidikan, kepemimpinan

The objective of this paper is to foster the notion that curriculum can serve as a standpoint to improving the qualityof education. By stating so, it proposes an argument that the effectiveness of their implementations do not onlydepend on comprehensiveness of the concept, but also on their relevance to the circumstances in which they aregoing to be implemented. They include teacher competencies and the adequate availability of education facilitiesat school level. The on going curriculum development called Curriculum 2013 by the Ministry of Education andCulture are undergoing scrutinization by publics. This has been a consequence of curriculum as a part of education

Page 171: jurnal dikbud tahun 2012

xxvi

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, 2012

policies. Some cast doubts about the concept, some other support the idea of the development of curriculum 2013.This paper, however, argues, in spite of pro and cons, that management is an underlying factor which ensures theeffectiveness of the implementation of the curriculum 2013. The concept of management consists of that in schooland classroom levels. The present of information technology virtually in any walk of life, has positive impacts oneducation.Keywords: quality education, curriculum, education management, leadership.

378.1Siswo Wiratno (Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan danKebudayaan, e-mail: [email protected] )Pelaksanaan Pendidikan Kewirausahaan di Pendidikan TinggiJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 453-466

AbstrakTujuan kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis pelaksanaan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi,kaitannya dengan kompetensi lulusan yang diharapkan oleh dunia kerja dan kompetensi pendukung lainnya.Permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan kewirausahaan antara lain: 1) persiapan dan pelaksanaanprogram kewirausahaan dan peran unit baru yang berfungsi dan bertugas sebagai pengelola program kewirausahaanbelum optimal; 2) penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan kewirausahaan yang masih terbatas (saranadan prasarana, mitra kerja, dana,dan tenaga dosen yang berkompetensi dalam memberi bekal keterampilankewirausahaan Hasil kajian menunjukkan bahwa: 1) pelak-sanaan pendidikan kewirausahaan di berbagai perguruantinggi belum dilaksanakan secara optimal, antara lain disebabkan oleh belum optimalnya peran dan fungsi unitpengelola kewirausahaan; 2) kompetensi lulusan perguruan tinggi masih belum sepenuhnya memenuhi harapandunia kerja, di mana diharapkan para lulusan perguruan tinggi memiliki kompetensi akademik, keterampilanberpikir, keterampilan manajemen dan keterampilan berkomunikasi. Di samping itu, lulusan belum cukup dibekalidengan keterampilan hidup (live skill), kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan kerja sertabelajar sepanjang hayat (life-long education).Kata kunci: pendidikan kewirausahaan, perguruan tinggi, kompetensi lulusan, dan dunia kerja

The aims of this study is to analyze the implementation of entrepreneurship education in higher education, inrelation to the competencies of graduates as expected by labour market and other supporting competencies.Problems related to entrepreneurship education, among others include: 1) preparation and implementation ofentrepreneurship education program as well as the role of a new unit responsible to manage the program is notoptimal; 2) provision of facilities and infrastructure for entrepreneurial implementation is still limited (means andinfrastructure, partners, funding and competent lecturers in the subject of entrepreneurial skills). The assessmentresults showed that: 1) implementation of entrepreneurship education in various higher education institutios is notyet optimal, partly due to the failure of entrepreneurial management unit in optimizing its role and function; 2)competency of higher education graduates has not fully meet the expectations of the labour market, as they areexpected to have academic competency, thinking skills, management skills and communication skills. In addition,graduates are not equipped with adequate live skills, ability to adapt and socialize with the working environmentand life-long education.Keywords: entrepreneurship education, graduate competencies, higher education, and labour market

375Herry Widyastono (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud, e-mail: [email protected])Muatan Pendidikan Holistik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan MenengahJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 467-476

AbstrakPendidikan holistik merupakan pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi siswa secara harmonis, meliputipotensi intelektual, emosional, phisik, sosial, estetika, dan spiritual. Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambarantentang ada tidaknya muatan pendidikan holistik dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Selain itujuga memberikan gambaran tentang implementasi pendidikan holistik dalam pembelajaran di pendidikan dasardan menengah. Permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah kurikulum pendidikan dasar dan menengahsudah memuat pendidikan holistik? 2) Bila sudah, bagaimana imple-mentasi pendidikan holistik dalam pembelajaran?Kajian menyimpulkan bahwa: 1) Dokumen kurikulum pendidikan dasar dan menengah pada hakikatnya sudahmemuat pendidikan holistik, karena prinsip, acuan, dan prosedur pengembangan kurikulum sejalan dengan

Page 172: jurnal dikbud tahun 2012

xxvii

Lembar abstrak

pengertian, tujuan, dan prinsip pendidikan holistik; 2) Pendidikan holistik belum diimplementasikan secarakomprehensif dalam pembelajaran. Dalam rangka mengimplementasikan pendidikan holistik dalam pembelajaran,direkomendasikan agar guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan,melainkan juga ranah keterampilan dan sikap, melalui pendekatan belajar siswa aktif.Kata kunci: pendidikan holistik, kurikulum, pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Holistic education is the education which develops all students potentials in harmony comprises intellectual, emotional,physical, social, esthetic, and spiritual potentials. This article is aimed at describing on whether or not there is thedegree of holistic approach in education, particularly for the basic and secondary education. In addition, thisdescribes its implementation at the schools within the basic and secondary education. The problems are formulatedas follows 1) whether the basic and secondary education has already been regarded as holistic education?, 2) ifyes, how its implementation at the schools concerned. This concludes that: 1) the basic and secondary curriculumshave, in principle, been as holistic ones because its principles, reference, and procedure to develop the curriculumare in line with the definition, objective, and the principles which support to it. 2) The holistic education is not yetimplemented comprehensively at the schools. In terms of its implementation it is, therefore, advisable that allteachers, while teaching in the classroom, should give the students to have ample opportunities to develop notonly their cognitive domain, but their psychomotor and affective ones through active learning.Keywords: holistic education, curriculum, cognitive, psychomotor, and affective.

901Yudi Setianto (PPPPTK PKn-IPS Malang, Jl. Raya Arhanud, Pendem, Batu, e-mail: [email protected])Dikotomi Bebas Nilai dan Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran SejarahJurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Desember 2012, Vol. 18, Nomor 4, hal. 477-488

AbstrakTujuan penulisan artikel ini untuk menemukan win-win solution, dalam rangka memisahkan sekaligus sal ingmenghormati antara Sejarah dalam ranah ilmu murni dan Sejarah dalam domain pendidikan atau pembelajaranke siswa. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, dantetap menjaga kebebasan nilai (value-free). Dalam konteks Sejarah, objektivitas bisa diterjemahkan sebagaikebenaran dan kejujuran, fakta yang direkonstruksi dituntut dikemukakan secara transparan. Namun, dalamranah pembelajaran Sejarah, Sejarah tidak mungkin dikemukakan secara objektif. Hal ini bukan berarti jikapembelajaran bersifat subyektif ataupun mengingkari fakta. Bagi tujuan yang lebih bijaksana, polarisasi Sejarah,yaitu dalam rangka menumbuhkan nasionalisme, patriotisme serta tujuan-tujuan pendidikan lainnya, tidak mungkindisandingkan dengan sejarah sebagai alat legitimasi konflik sosial, bahkan disintegrasi bangsa. Ilmu Sejarahtetap bersifat objektif dalam mengungkap fakta Sejarah, sementara itu tujuan pelajaran Sejarah merupakanbagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasar dan tujuanPendidikan Nasional. Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi tertentu dan Sejarah sebagai ilmu,harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya.Pembelajaran Sejarah menempatkan fakta-fakta Sejarah yang disaring, demi tujuan pendidikan agar Sejarahmenjadikan yang mempelajarinya lebih bijaksana.Kata kunci: ilmu Sejarah, bebas nilai, objektivitas sejarah, dan pendidikan Sejarah

The aim of writing this article is to offer a win-win solution to put history learning, both as a pure social science aswell as an education and learning tools for students. This study used qualitative descriptive approach. As a science,history should be objective and at the same time keep the value-free concept. In the context of history, objectivitymeans truth and honesty, that is all facts must be disclosed transparantly. However, in history learning, not all thehistorical facts should be revealed fully. Yet, it does not necessarily mean that history learning is not objective oreven denying the facts. For the wiser purpose, the history polarisation aiming at growing students’ nationalisme,patriotism, and other noble educational objectives, it is not possible to treat history as a tool to legitimate socialconflicts or even the nation disintegration. History in learning should keep objective in uncovering historical facts,while also maintain the purpose of the learning itself. History as a learning must be built upon the foundation andaim of the national education system. Thus, history as a school subject having particular education objectivesmust be put in line, side by side, compromise with its position as a social science, without eliminating the principlesof one or both of them. History learning uses filtered historic facts, so the learners are led to be wise people.Keywords: the science of history, value-free, objectivity of history, and history learning

Page 173: jurnal dikbud tahun 2012

ISSN 0215-2673

Penanggungjawab:Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.Redaktur:Ir. Hendarman, M.Sc., Ph.D.Dr. Bambang IndriyantoRamon Mohandas, Ph.DIr. Hari Setiadi, Ph.D.Dr. Hurip Danu Ismadi, M.Pd.Ketua Penyunting:Dr. Subijanto, M.Ed. (Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan)Penyunting:Dr. Herry Widyastono, M.Pd. (Kurikulum untuk Ilmu Pendidikan), Drs. Philip Suprastowo (Kebijakan Pendidikan), Dra. Ida Kintamani Dewi,M.Sc. (Kebijakan Pendidikan), Drs. Sutjipto, M.Pd. (Kurikulum untuk Ilmu Pendidikan), Dra. Nur Listiawati, M.Ed. (Kebijakan Pendidikan),Dr. Sabar Budi Raharjo, M.Pd. (Kebijakan Pendidikan), Dr. Ence Oos Mukhamad Anwas, M.Si. (Komunikasi/Penyuluhan Pembangunan),Dra. Ariani Soelistyarini, M.A. (Penilaian Pendidikan), dan Drs. Nasrudin (Budaya/Sastra)Mitra Bestari:Prof. Dr. Madyo Eko Susilo, M.Ed. (Universitas Veteran Sukoharjo/Manajemen Pendidikan), Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. (Universitas NegeriYogyakarta/Teknik), Dr. Retno Dwi Suyanti (Universitas Negeri Medan/Kebijakan Pendidikan), Prof. Dr. Muhammad Sidin Ali, M.Pd. (UniversitasNegeri Makassar/Evaluasi Pendidikan), Nonny Swediaty, Ph.D. (Institute for Research, Training & Development/Psikometri, PAUD, Educational& Brain)Desain GrafisDra. Agus Prayitno, Eko Purwanto,Sekretariat:Bandiyah, S.IP., Rochana, S.S., Erwin, S.Pd., Dodi R. Pribadi Nugroho, S.S.Penerbit:Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan KebudayaanIzin Terbit:SK MENPEN No. 1045/SK/Ditjen PPG/STT/1986 Tgl. 7 Agustus 1986 danSK MENPEN No. 88/Ditjen PPG/K/1995 Tgl. 30 Mei 1995Alamat Penyunting dan Redaksi:Sekretariat Balitbang Kemdikbud Gedung EJalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta 10270Telepon : (021) 5727044, 57900406Faksimile: (021) 57900406Email : [email protected]; [email protected]:Bagian Hukum dan Kepegawaian, Sekretariat Balitbang Kemdikbud

Sekretariat menerima artikel tentang kebijakan, penelitian, pemikiran, reviu/teori/konsep/metodologi/resensi buku baru, daninformasi lain yang berkaitan dengan permasalahan pendidikan dan kebudayaan

“Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis”

Mulai 2012 terbit empat kali setahun pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember

Page 174: jurnal dikbud tahun 2012

ISSN 0215-2673

1. Naskah belum pernah dimuat/diterbitkan di media lain, diketik dengan 2 spasipada kertas A4 dengan huruf Time Romans berukuran 12, jumlah 10-30halaman dilengkapi: judul maksimal 14 kata (Bahasa Indonesia dan bahasaInggris); abstrak sebanyak 100-150 kata (Bahasa Indonesia dan BahasaInggris); dan kata kunci sebanyak 3-5 pengertian (deskriptor). Naskahdikirim ke alamat Sekretariat Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan dalambentuk printout dan disertai softcopynya.

2. Naskah yang dapat dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang kebijakan,penelitian, pemikiran, reviu teori/konsep/metodologi, resensi buku baru, daninformasi lain yang berkaitan dengan permasalahan pendidikan dankebudayaan.

3. Artikel hasil penelitian memuat judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, danisi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta persentase jumlahhalaman sebagai berikut.a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan

penelitian (10%).b. Kajian Literatur mencakup kajian teori dan hasil penelitian terdahulu

yang relevan (15%).c. Metodologi yang berisi rancangan/model, sampel dan data, tempat

dan waktu, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data (10%).d. Hasil dan Pembahasan (50%).e. Simpulan dan Saran (15%).f. Pustaka Acuan.

(Sistematika/struktur ini hanya sebagai pedoman umum. Penulis dapatmengembangkannya sendiri asalkan sepadan dengan pedoman ini).

4. Artikel pemikiran/gagasan dan atau reviu teori memuat judul, nama penulis,abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematikaserta persentasenya dari jumlah halaman sebagai berikut.a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah dan tujuan

penulisan (10%)b. Kajian literatur dan pembahasan serta pengembangan teori/konsep

(70%).c. Simpulan dan saran (20%)d. Pustaka Acuan.

(Sistematika/struktur ini hanya sebagai pedoman umum. Penulis dapatmengembangkannya sendiri asalkan sepadan).

5. Artikel resensi buku selain menginformasikan bagian-bagian penting daribuku yang diresensi juga menunjukkan bahasan secara mendalam kelebihandan kelemahan buku tersebut serta membandingkan teori/konsep yang adadalam buku tersebut dengan teori/konsep dari sumber-sumber lain.

6. Khusus naskah hasil penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harusada pernyataan (acknowledgement) yang berisi informasi sponsor yangmendanai dan ucapan terima kasih kepada sponsor tersebut.

7. 80% atau lebih Pustaka yang diacu hendaknya bersumber dari hasil-hasilpenelitian, gagasan, teori/konsep) yang telah diterbitkan di jurnal (komposisisumber acuan dari hasil penelitian lebih banyak daripada sumber yang diacudari buku teks). Hasil penelitian paling lama 10 tahun terakhir, kecuali PustakaAcuan yang klasik (tua) yang memang dimanfaatkan sebagai bahan kajianhistoris. Penulisan pustaka acuan yang bersumber dari internet, agar ditulissecara berurutan sebagai berikut: penulis, judul, alamat web, dan tanggalunduh (down load).Unsur yang ditulis dalam Daftar Rujukan secara berturut-turut meliputi: 1)nama pengarang ditulis dengan urutan: nama akhir, nama awal, dan namatengah, tanpa gelar akademik; 2) tahun penerbitan; 3) judul, termasuksubjudul; 4) tempat penerbitan; dan 5) nama penerbit. Unsur-unsur tersebutdapat bervariasi tergantung jenis sumber pustakanya.Rujukan dari buku, contoh:

Dekker, N. 1992. Pancasila sebagai Ideology Bangsa: dari PilihanSatu-satunya ke Satu-satunya Azas. Malang: FPIPS IKIPMalang.

Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yangsama dan diterbitkan dalam tahun yang sama pula, data tahun penerbitandiikuti oleh lambang a, b, c, dan seterusnya yang urutannya ditentukan secarakronologis atau berdasarkan abjad judul buku-bukunya. Contoh:

Cornet, L. & Weeks, K. 1985a. Career Ladder Plans. Altanta GA:Career Ladder Clearinghouse.

Cornet, L. & Weeks, K. 1985b. Planning Carrer Ladder: Lessonfrom the States. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse.

Rujukan dari buku yang berisi kumpulan artikel (ada editornya). Ditambahdengan ed jika satu editor, eds jika editornya lebih dari satu. Contoh:

Denzin, N.K., Lincoln, Y. S., ed. 2009. Handbook of QualitativeResearch. Terj. Daryatmo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya) contoh:Hasan, M.Z. 1990. Karakteristik Penelitian Kualitatif. Dalam

Aminuddin (Ed.). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalamBidang Bahasa dan Sastra. Malang: HISKI Komisariat danYA3.

Rujukan dari artikel dalam jurnal, contoh:Dali S, Naga. 1998. Karakteristik Butir pada Alat Ukur Model

Dikotomi. Jurnal Ilmiah Psikologi, III 4 34-42Rujukan dari artikel dalam Majalah atau Koran, contoh:

Alka, David Krisna. 4 januari 2011. Republik Rawan Kekerasan?Suara Karya hlm. 11

Rujukan dari Koran tanpa penulis, contoh:Kompas. 19 September, 2011. Sosok: Herlambang Bayu Aji,

Berkreasi dengan Wayang di Eropa, hlm. 16Rujukan dari dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbittanpa pengarang dan tanpa lembaga, contoh:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentangSistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: diperbanyak olehPT Armas Duta Jaya.

Rujukan dari lembaga yang ditulis atas nama lembaga tersebut, contoh:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Panduan

Manajemen Sekolah. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.Jakarta.

Rujukan dari karya terjemahan, contoh:Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial (Terjemahan

Alimandan) Jakarta: Penerbit PrenadaRujukan berupa skripsi, tesis, atau disertasi, contoh:

Indarno, Jasman. 2002. Kontribusi Penerapan Berbasis Sekolahterhadap Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Tingkat Dasardi Jawa Tengah. Tesis. Semarang: Program Pasca SarjanaUniversitas Diponegoro.

Rujukan berupa makalah yang disajikan dalam seminar, penataran, ataulokakarya, contoh:

Siskandar. 2003. Teknologi Pembelajaran dalam KurikulumBerbasis Kompetensi. Makalah: Disajikan pada SeminarNasional Teknologi Pembelajaran pada Tanggal 22-23 Agustus2003 di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.

Rujukan dari internet, contoh:Wikipedia. 2007. Lesson Study (Online) (http://en.wikipedia.org/wiki/

Lesson_study) diunduh 9 April 2011

8. Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tandabaca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesiayang Disempurnakan (terbaru).

9. Pengiriman naskah disertai dengan alamat, nomor telepon, fax dan E-mail(bila ada). Pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secaratertulis. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali ataspermintaan penulis. Kepada penulis diberikan 2 eksemplar jurnal sebagaitanda bukti pemuatan.

Pedoman Penulisan