jurnal rechtsvinding bphn agustus 2012

168

Click here to load reader

Upload: rocky-marbun

Post on 30-Dec-2015

222 views

Category:

Documents


36 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012
Page 2: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum yang berupa hasil peneli an; kajian teori; studi kepustakaan; dan analisa / njauan putusan pengadilan.

Jurnal RechtsVinding terbit secara berkala ga nomor dalam setahun pada bulan April, Agustus dan Desember.

PembinaAdviser

: Dr. Wicipto Se adi, S.H., M.H.Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI

Pemimpin UmumChief Execu ve Offi cer

: Noor M. Aziz, S.H., M.H., M.M.Kepala Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN

Wakil Pemimpin UmumVice Chief Execu ve Offi cer

: Purwanto, S.H., M.H. (Hukum Bisnis)

Pemimpin RedaksiEditor in Chief

: Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara)

Anggota Dewan RedaksiEditorial Board

: Suherman Toha, S.H., M.H., APU. (Hukum Tata Negara)Ahyar Ari Gayo, S.H., M.H., APU. (Hukum Islam dan Adat)Suharyo, S.H., M.H. (Hukum Pidana)

Mitra BestariPeer Reviewer

: Prof. Dr. IBR Supancana, S.H., LL.M. (Hukum Bisnis)Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M. (Hukum Perdata)Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D. (Hukum Pidana)Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. (Hukum Pidana)Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N. (Hukum Perdata)

Redaktur PelaksanaManaging Editor

: Ade Irawan Taufi k, S.H.

SekretarisSecretaries

: Apri Lis yanto, S.H.Teguh Imansyah, S.IP., M.Si.Ema Elviyani Br. Sembiring, S.H.

Tata UsahaAdministra on

: Nunuk Febriananingsih, S.H., M.H. Endang Wahyuni Setyawa , S.E.Eko Noer Kris yanto, S.H.Nevey Varida Ariani, S.H., M.H.

Desain LayoutLayout and cover

: Tyas Dian Anggraeni, S.H., M.H.

Alamat:Redaksi Jurnal RechtsVinding

Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum NasionalBadan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI

Jl. Mayjen Sutoyo Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105, Fax.: 021-8002265e-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]

Isi Jurnal RechtsVinding dapat diku p dengan menyebutkan sumbernya(Cita on is permi ed with acknowledgement of the source)

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Page 3: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Page 4: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 5: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

i

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPENGANTAR REDAKSI

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas perkenan-Nya Jurnal RechtsVinding (JRV) Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012 ini dapat diterbitkan. JRV edisi ini memuat pokok bahasan bertema perkembangan hukum bisnis dengan berbagai variannya, yang tertuang dalam 8 (delapan) ar kel, yang ditulis oleh Prof. Dr. Y. Sogar Simamora, S.H., M.Hum., Dr. Herlien Budiono, S.H., Purwanto, S.H., M.H., Ade Irawan Taufi k, S.H., Dr. Suyud Margono, S.H., M.Hum., Ahyar Ari Gayo, S.H., M.H., Nevey Varida Ariani, S.H., M.Hum., Subianta Mandala, S.H.,LL.M.

Prof. Dr. Y. Sogar Simamora, S.H., M.Hum., membuka ar kel jurnal ini dengan membahas Karakteris k, Pengelolaan Dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan Di Indonesia. Beberapa permasalahan seper polemik digunakannya Yayasan sebagai lembaga bisnis disinggung dalam ar kel ini karena secara fi losofi pendirian yayasan bersifat nirlaba. Selanjutnya Dr. Herlien Budiono, S.H. membahas arah pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam menghadapi era global. Tulisan ini menguraikan pen ngnya regulasi terkait Perseroan Terbatas sebagai landasan bagi dunia usaha dan perekonomian nasional, dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia di era globalisasi.

Kemudian berturut-turut dilanjutkan dengan Purwanto, S.H., M.H., membahas mengenai Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Jaminan Fidusia, yang menganalisa kesenjangan antara regulasi dengan praktek fi dusia. Ade Irawan Taufi k, S.H. membahas mengenai Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi Dalam Upaya Mewujudkan Struktur Usaha Yang Kokoh, Andal, Berdaya Saing Tinggi Dan Pekerjaan Konstruksi Yang Berkualitas. Tulisan ini bisa menjadi solusi bagi penguatan usaha jasa konstruksi di Indonesia ke ka berhadapan dan bersaing dalam era global. Selanjutnya Dr. Suyud Margono, S.H., M.Hum, menguraikan mengenai Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta. Beliau menganalisa Kontradiksi Kaedah Penda aran Ciptaan dengan Asas Kepemilikan Publikasi Pertama Kali. Tulisan ini banyak mengkri k sistem penda aran Hak Cipta di Indonesia yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal HaKI Kementerian Hukum dan HAM RI.

Dalam tulisan berikutnya ditunjukkan bahwa perkembangan hukum bisnis di Indonesia juga mendapat pengaruh kuat dari beberapa sub sistem hukum nasional seper hukum Islam dan hukum Adat, selain juga hukum internasional. Di wilayah hukum bisnis Islam, Akhyar Ari Gayo, S.H.,M.H. dan Ade Irawan Taufi k, S.H., membahas Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Dalam Mendorong Perkembangan Bisnis Perbankan Syariah. Tulisan ini melihat sejauh mana Fatwa MUI berpengaruh terhadap persepsi masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah yang pada akhirnya akan mendorong kemajuan Perbankan Syariah. Berikutnya akan dibahas juga perkembangan hukum adat dalam hukum bisnis oleh Nevey Varida Ariani, S.H.,M.Hum. Tulisan yang berjudul Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Luar Pengadilan tersebut memasukkan unsur hukum adat di dalamnya sebagai salah satu tawaran alterna f. Sebagai tulisan penutup, terdapat perspek f hukum internasional dari Subianta Mandala, S.H., LL.M, yang membahas mengenai Pembaruan Hukum Kontrak Indonesia Dalam Kerangka Harmonisasi Hukum Kontrak ASEAN.

Semoga gagasan-gagasan yang dibangun dan dipaparkan dari berbagai judul di Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012 ini dapat berkontribusi bagi pembangunan hukum yang berkeadilan dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat.

Redaksi

Page 6: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

ii

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 7: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

iii

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNDAFTAR ISI

Pengantar Redaksi ………………………………………………………………………………………………………… i

Da ar Abstrak

Karakteris k, Pengelolaan Dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan Di Indonesia Y. Sogar Simamora ……………………………………………………………………………………….…..…………… 175-186

Arah Pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007Tentang Perseroan Terbatas Dalam Menghadapi Era GlobalHerlien Budiono ………………………………………………………………………..…………………..……………… 187-198

Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Jaminan FidusiaPurwanto …………………………………………………………………………………….………………………………… 199-214

Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi Dalam Upaya Mewujudkan Struktur Usaha Yang Kokoh, Andal, Berdaya Saing Tinggi Dan Pekerjaan Konstruksi Yang BerkualitasAde Irawan Taufi k ….……………………………………………………………………………..……..….…………… 215-235

Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta: Kontradiksi Kaedah Penda aran Ciptaan dengan Asas Kepemilikan Publikasi Pertama KaliSuyud Margono .…………………………………………………………..……………………………….……………… 237-255

Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Dalam Mendorong Perkembangan Bisnis Perbankan Syariah: Perspek f Hukum Perbankan SyariahAhyar Ari Gayo dan Ade Irawan Taufi k ……………………………………………………….…………………. 257-275

Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Luar PengadilanNevey Varida Ariani ………………………………………………………………………………………………………. 277-294

Pembaruan Hukum Kontrak Indonesia Dalam Kerangka Harmonisasi Hukum Kontrak ASEAN Subianta Mandala ………………………..……………………………………………………………..................… 295-306

Biodata Penulis Indeks Pedoman Penulisan Jurnal RechtsVinding

Page 8: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 9: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNKata Kunci Bersumber dari ar kel.

Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 347.19

Y. Sogar Simamora

Karakteris k, Pengelolaan dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 175-186

Yayasan adalah badan hukum yang didirikan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Pendirian yayasan diawali dengan pemisahan harta kekayaan pendiri untuk dimasukkan sebagai modal awal yayasan. Pemisahan harta kekayaan pendiri ke dalam yayasan tersebut dak dapat diberi makna investasi karena secara fi losofi pendirian yayasan bersifat nirlaba. Dalam prak knya terjadi penyimpangan dalam pengelolaan, konfl ik antar pengurus serta penyalahgunaan lembaga yayasan. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana prinsip dan aturan hukum dalam pengelolaan yayasan sebagai hukum privat dan bagaimana pengelolaan oleh organ yayasan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan menggunakan metode yuridis norma f dapat disimpulkan bahwa berdasarkan cara pendiriannya yayasan tergolong badan hukum privat. Prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mewujudkan good governance dalam pengelolaan yayasan diperlukan untuk memas kan bahwa organ yayasan menjalankan tugasnya semata-mata untuk mencapai tujuan yayasan, selain itu perlu adanya pemeriksaan terhadap yayasan untuk memas kan organ yayasan dak melakukan pelanggaran hukum dan lalai dalam menjalankan tugasnyaKata kunci: yayasan, pengelolaan, pemeriksaan, transparansi, akuntabilitas

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wri ng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 347.19

Y. Sogar Simamora

Character, Management and Examina on Charity Founda on in Indonesia

RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 2, August 2012, page 175-186

The founda on is a legal en ty established to achieve specifi c goals in the areas of social, religious, and humanitarian. The establishment of the founda on begins with the separa on of founder(s) assets to be incorporated as the authorized capital founda on. Separa on founder(s) assets into founda ons can not be given meaning as investment, because the founding founda ons philosophy is non-profi t. In prac ce there are devia ons in the management of the confl ict between the board and the abuse of the ins tu on founda on. This paper will examine how the principles and the rule of law in the management of a founda on and how management by organs of the founda on based on principles of transparency and accountability. By using norma ve methods can be concluded that based on the way its establishment, the founda on belonging to private legal en es. Principles of transparency and accountability in achieving good governance in the management founda on required to ensure that the founda on organ du es solely to achieve the purpose of the founda on, in addi on to the need for an examina on of the founda on to ensure that the fund did not perform organ off ense and negligent in performing their du es.Keywords: founda ons, management, inspec on, transparency, accountability

Page 10: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HNKata Kunci Bersumber dari ar kel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 347.191

Herlien Budiono

Arah Pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Dalam Menghadapi Era Global

Jurnal RechtsVinding Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 187-198

Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) merupakan salah satu pilar yang memberikan landasan bagi dunia usaha dan perekonomian nasional, dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia di era globalisasi. Meski telah ada berbagai penyempurnaan sejak tahun 2007, tetapi masih terdapat beberapa permasalahan terkait dengan iden tas Perseroan Terbatas (PT) sebagai sebuah badan hukum, serta permasalahan lain terkait dengan proses pendiriannya. Dengan menggunakan pendekatan norma f terlihat bahwa meski PT sebagai sebuah badan hukum disebutkan secara jelas dalam Pasal 1 angka 1 UUPT tetapi dak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan badan hukum. Dengan begitu maka iden tasnya lebih banyak ditentukan secara doktrinal lewat berbagai teori. Sedangkan permasalahan terkait pendirian PT dideka dengan menggunakan metode sosio hukum untuk menjelaskan mengenai unsur perjanjian yang masih berpolemik untuk dipenuhi. Begitu juga dengan jumlah pendiri PT, proses pengesahan, penyetoran modal dan jenis mata uang, keputusan di luar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), serta sarana pendukungnya. Untuk itu disarankan perlunya sinkronisasi yang bersifat teori s bagi penyempurnaan atas beberapa kelemahan UU PT yang ada saat ini, di samping pembenahan di ngkat pelaksanaan yang masih terasa birokra s.Kata Kunci: tanggung gugat, globalisasi, perseroan terbatas

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wri ng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 347.191

Herlien Budiono

Regula on for the Direc on in which the Law Number 40 of 2007 with Respect to the Limited Liability Company to be Dealt with in the Era of Globaliza on

RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 2, August 2012, page 187-198

A Limited Liability Company Act is one of the pillars that provide the founda on for the business world and na onal economy, in the face of world economic developments in the globaliza on era. Although there have been many im-provements since 2007, but s ll there are some problems related to the iden ty of the Limited Liability Company (PT) as a legal en ty, as well as other issues related to the establishment of a PT. By using the norma ve approach is seen that although the Limited Liability Company (PT) as a legal en ty is clearly stated in Ar cle 1 number 1 but did not explain what is meant by a legal en ty. That way, the iden ty is determined more doctrinally through various theories. While the problems related to the establishment of a PT approximated using socio-legal methods to explain the elements of the agreement are s ll debated to be met. So is the number of the founder of the PT number, the process of ra fi ca on, the deposit of capital and types of currency, a decision outside the General Mee ng of Shareholders, as well as support fa-cili es. It is recommended the need for synchroniza on of a theore cal nature for the improvement of some weaknesses of exis ng PT laws today, in addi on to improvements in the implementa on of which was are s ll bureaucra c.Keywords: liability, globaliza on, Limited Liability Company

Page 11: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNKata Kunci Bersumber dari ar kel.

Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 341.223.3

Purwanto

Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Jaminan Fidusia

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 199-214

Lembaga pembiayaan konsumen merupakan replika dari pembiayaan perusahaan atau yang dikenal dengan leasing. Lembaga pembiayaan jenis ini berimplikasi pula dengan jenis jaminan. Jaminan merupakan hal pen ng yang diperlukan dalam se ap perjanjian pinjam meminjam. Dalam bentuk jaminan, dikenal jaminan perorangan dan jaminan kebendaan atau fi dusia. Tulisan ini membahas praktek transaksi pembiayaan dengan jaminan fi dusia dan pelanggaran yang sering muncul dalam perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fi dusia. Dari hasil peneli an terlihat bahwa untuk memberikan legi masi bagi para pihak maka perjanjian dibuat dengan akta oten k, dan dida arkan pada kantor penda aran fi dusia guna mendapatkan hak preference bagi kreditur. Eksekusi atas obyek jaminan dalam perjanjian pembiayaan konsumen masih banyak mengalami masalah seper dak dilaksanaannya penda aran jaminan fi dusia pada kantor penda aran fi dusia sebagaimana diatur dalam undang-undang jaminan fi dusia dan peraturan pelaksanaannya. Disamping itu informasi dan pemahaman yang kurang dari debitur atas jaminan fi dusia juga mengakibatkan penyelesaian sengketa antara debitur dan kreditur dak elegan.Kata kunci: fi ducia, jaminan, debitur, kreditur, pembiayaan

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wri ng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 341.223.3

Purwanto

Some Issues Consumer Financing Agreement with Fiduciary

RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 2, August 2012, page 199-214

Consumer fi nance is a fi nancing alterna ve that can be given to the consumer of the goods with installment payments are made regularly. General fi nancing agreement with the main guarantee good collateral, guarantees principal and addi onal collateral to an cipate a default or conges on in loan repayments. The growth of consumer fi nance agency is actually a replica of the fi nance company, known as leasing. The types of fi nancial ins tu ons also have implica ons for the types of collateral. However warran es are important and necessary in any agreement, especially with the lending and borrowing. Regarding the form of guarantees, commonly known personal guarantees and collateral material or fi duciary. In this paper will discuss the transac on and viola ons that o en appear in consumer fi nancing agreement with the fi duciary. From research shows that to provide legi macy to the par es the agreement made with authen c deed and registered at the registrar’s offi ce in order to get the right preference fi duciary for the creditors. The execu on of the object of the agreement guarantees the consumer fi nance is s ll a lot of problems such as no registra on has fi duciary at the registra on offi ce as s pulated in fi duciary law and implemen ng regula ons. Besides the lack of informa on and understanding of the fi duciary debtor also resulted in the se lement of disputes between debtors and creditors are not elegant. Keywords: fi duciary, collateral, debitur, creditur, fi nancing

Page 12: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HNKata Kunci Bersumber dari ar kel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 347.446

Ade Irawan Taufi k

Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi Dalam Upaya Mewujudkan Struktur Usaha Yang Kokoh, Andal, Berdaya Saing Tinggi dan Pekerjaan Konstruksi yang Berkualitas

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jasa konstruksi mempunyai peranan pen ng dan strategis dalam menghasilkan prasarana dan sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang. Dalam mendukung tujuan pembangunan tersebut, pengembangan jasa konstruksi diarahkan untuk memiliki daya saing dan struktur usaha kokoh yang tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifi kasi umum, spesialis, dan terampil. Permasalahan yang diteli adalah bagaimana kondisi pengaturan jasa konstruksi saat ini dan bagaimana arah pembaharuan regulasi konstruksi di masa depan dalam mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkulitas. Dengan menggunakan metode peneli an norma f empirik dihasilkan dapat diketahui bahwa kondisi jasa usaha konstruksi pada saat ini belum mewujudkan struktur usaha jasa konstruksi yang kokoh, andal, berdaya saing nggi. Regulasi jasa konstruksi saat ini belum memadai sehingga perlu segera dilakukan pembaharuan regulasi mengenai hal ini.Kata kunci: regulasi, jasa konstruksi, kemitraan, daya saing

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wri ng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 347.446

Ade Irawan Taufi k Construc on Services Regula on Reform in Eff orts to Realize a Solid, Reliably, Highly Compe ve and Quality of Construc on Work

RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 2, August 2012, page 215-235

Construc on services have an important and strategic role in producing a func oning infrastructure and facili es to support growth and development of various fi elds. In support of these development objec ves, development of construc on services geared to be compe ve and have a solid business structure that is refl ected by the establishment of a synergis c partnership between service providers, both large-scale, medium, and small, as well as a public, specialists, and skilled service providers. The problems studied are the condi on of the current regula on of construc on services; and how to reform the regula on of construc on in the future in crea ng a solid business structure, reliable and highly compe ve and qualifi ed construc on work outcome. By using norma ve empirical research method, can be seen that the condi on of the construc on business services nowadays have not crea ng a solid, reliable and highly compe ve business structure. Regula on of construc on services is currently inadequate to treat the condi on so it need an immediate regulatory reform.Keywords: regula on, construc ons services, partnership, compe on

Page 13: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNKata Kunci Bersumber dari ar kel.

Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 347.78.01

Suyud Margono

Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta : Kontradiksi Kaedah Penda aran Ciptaan Dengan Asas Kepemili-kan Publikasi Pertama Kali

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Hukum Hak Cipta Indonesia memiliki regulasi tentang Penda aran Hak Cipta. Penda arannya bisa dilakukan oleh pemohon baik Pencipta atau Pemegang Hak Cipta ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Ser fi kat Penda aran Hak Cipta menjadi alat buk jika terjadi sengketa melalui proses penyelesaian di Pengadilan atau non-pengadilan. Ketentuan Penda aran Ciptaan ini dak seimbang dan mengeyampingkan keberadaan karya-karya Cipta yang dak dida arkan dalam jumlah jutaan. Sebenarnya, dalam prinsip universal dan perlindungan hak cipta internasional dak mewajibkan untuk se ap penda aran bagi penciptaan kepada lembaga di satu negara tertentu. Sebuah doktrin

universal yang digunakan, untuk perlindungan hak cipta telah mendapat perlindungan hukum setelah dibuat, dan dapat diketahui, didengar, dilihat oleh pihak lain. Prinsip ini dikenal dengan Prinsip Deklara f. Ini berar ekspresi penciptaan memiliki perlindungan sejak publikasi pertama kalinya. Oleh karena itu, berdasarkan permasalah pertentangan antara Penda aran Hak Cipta dan perlindungan penciptaan yang mengiku sistem deklara f, maka perlu pemikiran ulang pengaturan penda aran hak cipta yang bertentangan dengan kepemilikan hak cipta yang didapat sejak saat penciptaan pertama dipublikasikan. Kata Kunci: Perlindungan, Kekayaan Intelektual, Hak Cipta, Penda aran, Prinsip Deklara f

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wri ng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 347.78.01

Suyud Margono

Declara ve Principle on Copyright Registra on: Contradic on between the crea on and First Publica on Principle

RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 2, August 2012, page 237-255

Indonesian Copyright Law has regula on about Copyright Registra on. Its registra on can be done by applicant(s) even Creator or the Owner of Copyrights to Directorate General Intellectual Property (Indonesia IP Offi ce). Cer fi cate of Creature Registra on will make easy proved if dispute happening event takes proceedings at Court or non-court se lement. This rule of Copyright Registra on made in-balance for the un-register crea on in fact a million crea on that doesn’t listed in General of registered creature. Actually, in universal principle and based on interna onal conven on concerning copyright protec on not knows or not make compulsory for any sense registra on for crea on or given authority to the ins tu on at one par cular state. An Universal doctrine that is u lized for copyright protec on which is a creature has go en law protec on since that creature fi nish is made, and gets to be known, heard, seen by other Party this principle recognised with Declara ve Principal. Its mean a that crea on is not an ideas but cons tute protected expression of ideas or have protec on since fi rst me publica on, but especially at Indonesia has rule and mechanism of copyrights Registra on event its registra on is not compulsary. Therefore, based on problema c contradic ng among Copyright Registra on and protec on of crea on that follow declara ve system this research is rethinking the existence copyright registra on rule causes to be breached copyright ownership compossed to be go en since that crea on fi rst me is publicized (fi rst to publish).

Keywords : Protec on, Intellectual Property, Copyright, Registra on, Declara ve Principle

Page 14: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HNKata Kunci Bersumber dari ar kel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 348.972.7

Ahyar Ari Gayo dan Ade Irawan Taufi k Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Dalam Mendorong Perkembangan Bisnis Perbankan Syariah (Perspek f Hukum Perbankan Syariah)

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Di dalam perbankan syariah, disamping peraturan perundang-undangan, para prak si perbankan syariah juga memerlukan Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai acuan dalam mejalankan praktek perbankan syariah. Permasalahannya adalah apakah Fatwa DSN-MUI secara langsung mengikat bagi pelaku perbankan syariah. Dengan menggunakan metode peneli an yuridis sosiologis diperoleh jawaban bahwa Fatwa DSN-MUI merupakan perangkat aturan yang bersifat dak mengikat dan dak ada paksaan secara hukum bagi sasaran diterbitkannya fatwa untuk mematuhi ketentuan fatwa tersebut, namun di sisi lain, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, adanya kewajiban bagi regulator (Bank Indonesia) agar materi muatan yang terkandung dalam Fatwa DSN-MUI diserap dan ditransformasikan sebagai prinsip-prinsip syariah dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Keberadaan Fatwa DSN-MUI semakin menunjukan peranannya sebagai pedoman pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dalam perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hambatan dalam penerapan Fatwa DSN-MUI dalam kegiatan perbankan syariah, antara lain fatwa yang sulit untuk diterjemahkan atau sulit diaplikasikan dalam peraturan perbankan dan fatwa DSN-MUI yang dak selaras dengan hukum posi f.Kata kunci: Fatwa, DSN-MUI, Perbankan Syariah

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wri ng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 348.972.7

Ahyar Ari Gayo and Ade Irawan Taufi k

Posi on of The Na onal Sharia Board – Indonesian Council Of Ulema’s Fatwa In S mulate The Development Of Islamic Banking Business (Islamic Banking Law Perspec ve)

RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 2, August 2012, page 257-275

In the Islamic banking, besides legisla on, the prac oners of Islamic banking also requires the Na onal Sharia Board – Indonesian Council of Ulema’s Fatwa (DSN-MUI) as a reference in prac ce carry out Islamic banking. The problem is is whether the DSN-MUI Fatwa is directly ed to the perpetrators of Islamic banking. By using the methods of sociological juridical research obtained answers that DSN-MUI Fatwa is a set of rules which are not binding and there is no legal compulsion for the target to comply with the fatwa issued the fatwa, but on the other side, based on legisla on in force, the obliga on for the regulator (Bank Indonesia) that the substance contained in the DSN-MUI Fatwa absorbed and transformed the Islamic principles in the substance of legisla on. The presence of DSN-MUI Fatwa has grown from its role as the guidelines for the implementa on of sharia principles in Islamic banking since the enactment of Law No. 21 of 2008 on Islamic Banking. Obstacles in the implementa on of DSN-MUI fatwa in Islamic banking ac vi es, including fatwas that are diffi cult to translate or diffi cult to apply in banking regula on and DSN-MUI fatwa is not aligned with the posi ve lawKeywords: Fatwa, DSN-MUI, Islamic Banking

Page 15: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNKata Kunci Bersumber dari ar kel.

Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 341.634

Nevey Varida Ariani

Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Luar Pengadilan

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Alterna f sengketa di Luar pengadilan saat ini menjadi alterna f bagi kalangan bisnis untuk dapat menyelesaikan sengketa bisnis diluar pengadilan hal ini disebabkan karena penyelesian melalui proses pengadilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), Lamban dan buang waktu (waste of me), Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepen ngan umum atau dianggap terlampau formalis k (formalis c) dan terlampau teknis (technically). Dengan penyelesaian sengketa berdasarkan undang-undang melalui arbitrase dan alterna f penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mekanisme konsiliasi, mediasi, negosiasi dan pendapat ahli serta penyelesaian sengketa menurut masyarakat adat dapat mencerminkan proses penyelesian sengketa secara adil karena diharapkan dapat menggali nilai-nilai yang hidup dalam masayarakat secara cepat, biaya ringan, damai dengan win-win solu on bukan win lose solu on. Oleh karena itu perlu lembaga-lembaga alterna f penyelesian sengketa terutama dalam hal pelaksanaan eksekusi.Kata kunci : alterna f penyelesian sengketa, proses diluar pengadilan, masyarakat adat, keadilan

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wri ng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 341.634

Nevey Varida Ariani

Non-Li ga on Alterna ves Business Dispute Resolu on

RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 2, August 2012, page 277-294

Today alterna ve dispute resulu on non li ga on to be an alterna ve for businesses to be able to resolve disputes resolu on business and this is because through the court process, is considered to have the burden which overloaded, Slow and waste of me, very expensive and unresponsive to the public interest, formalis c and technically. Alterna ve dispute Resolu on with statutory arbitra on and alterna ve dispute resolu on mechanisms outside the court through concilia on, media on, nego a on and dispute resolu on expert opinion and according to the indigenous peoples may refl ect disputes resolu on in a fair process because it is expected to explore the values that live in society as a fast, low cost, peace with the win-win solu on rather than lose win solu on. Therefore, the courts and state agencies need to respect and protect the decisions issued by the ins tu ons of alterna ve dispute resolu on, especially in terms of execu on.Keywords: alterna ve dispute resolu on, Non Li ga on, indigenous people, jus ce

Page 16: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HNKata Kunci Bersumber dari ar kel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 341.176

Subianta Mandala

Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia Dalam Kerangka Harmonisasi Hukum Kontrak ASEAN

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 295-306

Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 telah mendorong Negara Anggota ASEAN untuk mereformasi undang-undang mereka. Ini adalah momentum yang baik bagi Indonesia untuk mereformasi hukum kontrak dan pada saat yang sama untuk mencapai komitmen ASEAN untuk harmonisasi hukum ASEAN. Dalam tulisan ini akan dibahas, pendekatan hukum dapat diambil oleh Indonesia dalam upaya untuk mereformasi hukum kontrak sehingga konsisten dengan tujuan harmonisasi ASEAN hukum; dan seberapa luas atau apa lingkup substansi untuk dimasukkan dalam undang-undang untuk bisa menjadi undang-undang baru yang kompa bel dengan hukum kontrak Negara ASEAN lainnya. Tulisan ini menggunakan metode peneli an hukum norma f dengan analisa kualita f. Kesimpulan yang diperoleh dari peneli an ini adalah bahwa pendekatan yang diambil untuk mereformasi hukum kontrak Indonesia saat ini adalah dengan menggunakan instrumen hukum internasional seper Konvensi PBB tentang Kontrak untuk Penjualan Barang Internasional (CISG) 1980 dan Prinsip UNIDROIT Kontrak Komersial Internasional (UPICCs) sebagai referensi untuk hukum kontrak Indonesia yang baru. Sedangkan lingkup substansi yang akan direformasi terbatas pada prinsip-prinsip umum dan aturan hukum kontrak internasional dan ketentuan untuk penjualan barang. Untuk mempercepat reformasi, penulis menunjukkan bahwa hukum kontrak diprioritaskan dengan memasukkannya ke dalam Program Hukum Nasional (Prolegnas) dari periode 2015-2019.Kata kunci: hukum kontrak, harmonisasi hukum, ASEAN.

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in wri ng. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 341.176

Subianta Mandala

Indonesian Contract Law Reform on the Legal Framework Contract ASEAN Harmoniza on

RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 2, August 2012, page 295-306

The establishment of ASEAN Economic Community by 2015 has encouraged ASEAN Member States to reform their laws for harmoniza on, including contract law. This is a good momentum for Indonesia to reform its contract law and at the same me to achieve ASEAN commitment for ASEAN legal harmoniza on. Having said that, the ques ons are (1) what legal approach can be taken by Indonesia in its eff ort to reform its contract law so that it is consistent with the objec ve of ASEAN legal harmoniza on, (2) how broad or what the scope of substance to be included in the new law can be so that the new law will be compa ble with the contract laws of other ASEAN Countries. To answer those ques ons, minor research has been conducted. A method of norma ve legal research is used to collect data which is mainly from books, academic dra s, na onal legisla on and interna onal trea es (secondary data). Those data is, then, analyzed using qualita ve method. In conclusion, (1) the approach taken to reform the current Indonesian contract law is by using interna onal legal instruments such as United Na ons Conven on on Contracts for the Interna onal Sale of Goods (CISG) 1980 and UNIDROIT Principles of Interna onal Commercial Contracts (UPICCs) as references for the new Indonesian contract law, (2) the scope of the substance to be reformed is restricted to the general principles and rules of interna onal contract law and provisions for sale of goods. To speed up the reform, the writer suggests that contract law be priori zed by pu ng it into the Na onal Legal Program (Prolegnas) of 2015-2019 period. Keywords: contract law, legal harmoniza on, ASEAN.

Page 17: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Page 18: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 19: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

175

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Karakteris k, Pengelolaan dan Pemeriksaan … (Y. Sogar Simamora)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNKARAKTERISTIK, PENGELOLAAN DAN PEMERIKSAAN

BADAN HUKUM YAYASAN DI INDONESIA(Character, Management and Examina on Charity Founda on in Indonesia)

Y. Sogar SimamoraFakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya

Jl. Darmawangsa Dalam Selatan Surabaya, 60222 Jawa Timur

Naskah diterima: 04 Mei 2012; revisi: 28 Juni 2012; disetujui: 09 Juli 2012

AbstrakYayasan adalah badan hukum yang didirikan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Pendirian yayasan diawali dengan pemisahan harta kekayaan pendiri untuk dimasukkan sebagai modal awal yayasan. Pemisahan harta kekayaan pendiri ke dalam yayasan tersebut dak dapat diberi makna investasi karena secara fi losofi pendirian yayasan bersifat nirlaba. Dalam prak knya terjadi penyimpangan dalam pengelolaan, konfl ik antar pengurus serta penyalahgunaan lembaga yayasan. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana prinsip dan aturan hukum dalam pengelolaan yayasan sebagai hukum privat dan bagaimana pengelolaan oleh organ yayasan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan menggunakan metode yuridis norma f dapat disimpulkan bahwa berdasarkan cara pendiriannya yayasan tergolong badan hukum privat. Prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mewujudkan good governance dalam pengelolaan yayasan diperlukan untuk memas kan bahwa organ yayasan menjalankan tugasnya semata-mata untuk mencapai tujuan yayasan, selain itu perlu adanya pemeriksaan terhadap yayasan untuk memas kan organ yayasan dak melakukan pelanggaran hukum dan lalai dalam menjalankan tugasnyaKata kunci: yayasan, pengelolaan, pemeriksaan, transparansi, akuntabilitas

AbstractThe founda on is a legal en ty established to achieve specifi c goals in the areas of social, religious, and humanitarian. The establishment of the founda on begins with the separa on of founder(s) assets to be incorporated as the authorized capital founda on. Separa on founder(s) assets into founda ons can not be given meaning as investment, because the founding founda ons philosophy is non-profi t. In prac ce there are devia ons in the management of the confl ict between the board and the abuse of the ins tu on founda on. This paper will examine how the principles and the rule of law in the management of a founda on and how management by organs of the founda on based on principles of transparency and accountability. By using norma ve methods can be concluded that based on the way its establishment, the founda on belonging to private legal en es. Principles of transparency and accountability in achieving good governance in the management founda on required to ensure that the founda on organ du es solely to achieve the purpose of the founda on, in addi on to the need for an examina on of the founda on to ensure that the fund did not perform organ off ense and negligent in performing their du es.Keywords: founda ons, management, inspec on, transparency, accountability

Page 20: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

176

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 175-186

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNA. Pendahuluan1

Yayasan sebagai badan hukum mempunyai karakter yang khas. Jenis badan hukum ini lahir karena adanya suatu perbuatan hukum yakni pemisahan sejumlah kekayaan dari pendiri dengan tujuan tertentu. Tujuan ini umumnya bukan untuk meraih keuntungan. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UU No. 16/2001) yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16/2001 (UU No. 28/2004) tujuan yayasan ditetapkan secara limita f yakni, sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Di samping kekayaan dan tujuan, diperlukan organisasi untuk menuju tercapainya tujuan pendirian.

Dalam UU No. 16/2001 diatur ga organ ya-yasan, yakni: pembina, pengurus dan penga was. Tiga organ inilah yang mempunyai tanggung jawab dan kewenangan dalam pengelolaan ya-ya san agar tujuan yayasan tercapai sesuai de-ngan maksud pendiriannya.

Kenyataan dalam prak k menunjukkan adanya penyimpangan dalam pengelolaan, konfl ik antar pengurus atau penyalahgunaan lembaga yayasan. Fokus tulisan ini diarahkan pada pembahasan tentang prinsip-prinsip dan aturan hukum dalam pengelolaan yayasan sebagai badan hukum privat, dan pengelolaan oleh organ yayasan bertumpu pada prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam kaitannya dengan upaya mencegah penyalahgunaan lembaga yayasan.

B. Permasalahan

Dari uraian di atas, dirumuskan permasalah-an sebagai berikut:1. Bagaimana karakteris k dan aturan hu kum

dalam pendirian yayasan sebagai hukum privat?

2. Bagaimana pengelolaan dan pemerik sa an organ yayasan berdasarkan prinsip trans pa-ransi dan akuntabilitas?

C. Metodologi Peneli an

Penulisan ini didasarkan pada peneli an hukum norma f. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum yang diperoleh melalui dari buku kepustakaan, ar kel, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan karakteris k, pengelolaan dan pemeriksaan badan hukum yayasan di Indonesia.

D. Pembahasan 1. Karakteris k Badan Hukum Yayasan

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 16/2001 ditentukan yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang dak mempunyai anggota. Perlu penjelasan mengenai batasan tersebut.

a. Yayasan Sebagai Badan Hukum

Seper halnya perseroan terbatas (PT) dan koperasi, yayasan adalah ba dan hu kum yang tergolong badan hukum privat. Ini untuk membedakan dengan badan hu kum publik.

1 Tulisan ini diolah kembali dari makalah yang penulis sampaikan dalam Seminar Tentang Aspek-Aspek Hukum Yayasan Di Indonesia, yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, pada 26 April 2012 di Surabaya.

Page 21: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

177

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Karakteris k, Pengelolaan dan Pemeriksaan … (Y. Sogar Simamora)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPerbedaan antara badan hu kum publik dan privat

terutama terletak pada cara pendiriannya sebagai-mana di atur dalam Pasal 1653 KUH Perdata. Cara pendirian dalam hal ini terkait dengan un dang-undang yang mengatur bagaimana badan hukum itu didirikan. Bahwa suatu yayasan didirikan oleh lembaga publik (pemerintah) dak mengubah statusnya sebagai badan hukum privat. Sekalipun selaku pendiri adalah organ publik atau pejabat publik, yayasan yang didirikan dak mempunyai wewenang publik me lainkan hanya dalam lingkup hubungan keperdataan (privat). Status yayasan juga tetap sebagai badan hukum privat seka lipun kekayaan awal yang dimaksud da lam pendirian berasal dari atau merupa kan aset (keuangan) negara.2

Demikian juga terkait dengan lapangan ke-giatan yayasan. Kegiatan yayasan dalam be-berapa hal ditujukan untuk kepen ngan umum atau menjalankan fungsi yang menjadi tugas pemerintah, misalnya da lam lapangan pendidikan atau pelayanan kesehatan (rumah sakit). Sekalipun kegiat an yayasan ditujukan untuk kepen ngan umum atau secara fungsional membantu pemerintah, menurut Penulis hal tersebut dak mengakibatkan yayasan yang ber-sangkutan berubah bentuknya menjadi badan hukum publik.

Sekalipun suatu yayasan turut ber pe ran serta membantu pemerintah menja lankan fungsi pemerintahan, apa yang dilakukan oleh yayasan itu dak dapat dikualifi kasikan sebagai perbuatan

yang dilakukan oleh badan tata usaha negara. Jika dalam situasi demikian yayasan dinilai memperoleh kewenangan atribu f dari undang-undang, dan karena itu jika yayasan menerbitkan suatu keputusan di anggap sebagai keputusan tata usaha negara maka penilaian yang demikian me nurut Penulia dak tepat.3 Penilaian yang demikian ini akan mengaburkan status yayasan sebagai badan privat.

b. Kekayaan Yang Dipisahkan

Elemen utama dari yayasan adalah harta kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendirinya. Perbuatan hukum memisahkan me-ngandung makna ada kesukarelaan dari pendiri untuk me le pas kan suatu kekayaan. Dengan per-buat an itu, pendiri demikian juga ahli warisnya, dak lagi berhak atas kekayaan yang dipisahkan

dan dilepas itu. Kekayaan yang dipisahkan itu kemudian berubah statusnya sebagai badan hukum, yakni yayasan. Dengan demikian dak ada orang atau badan yang berstatus sebagai pemilik atas suatu yayasan.

Kekayaan yang dipisahkan untuk pen-dirian yayasan dapat berupa berbagai jenis benda. Untuk yayasan yang didirikan oleh orang Indonesia, jumlah kekayaan awal yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi paling sedikit senilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sedangkan untuk yayasan yang didirikan oleh orang asing, atau orang asing dengan orang

2 Mengenai Yayasan Pemerintah periksa, Lex Rieff el dan Karaniya Dharmasaputra, Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah, (Jakarta: Freedom Institute, 2008).

3 Dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diatur bahwa masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Ada yang menafsir ketentuan ini sebagai sumber kewenangan atributif bagi yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Implikasinya keputusan yang diterbitkan oleh yayasan tersebut dikuali ikasikan sebagai keputusan tata usaha negara. Lihat, Putusan Nomor 13/G/20 10/PTUN. BKL. Selanjutnya, terkait pelayanan kesehatan dapat diperiksa Pasal 7 ayat (4) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menentukan bahwa rumah sakit dapat didirikan oleh swasta yang berbadan hukum.

Page 22: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

178

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 175-186

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNIndonesia, paling sedikit senilai Rp 100.000.000,00

(seratus juta rupiah).4 Dalam kaitan dengan kekayaan yang

dipisahkan, menarik untuk disimak penje lasan Pasal 9 ayat (1) UU No. 16/2001 yang menyatakan bahwa yang dimaksud ”orang” adalah orang perseorangan atau badan hukum. Mengacu pada ketentuan ini maka dapat saja yayasan didirikan oleh badan hukum, baik publik maupun privat. Jika selaku pendiri adalah badan publik, maka pendirian memerlukan persetujuan dewan (parlemen) karena kekayaan yang akan digunakan untuk pendirian yayasan akan menjadi milik yayasan. Demikian juga jika selaku pendiri adalah perseroan terbatas, maka diperlukan persetujuan pemegang saham sebelum kekayaan perseroan akan dilepas sebagai kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan pendirian yayasan. Hal yang sama akan berlaku jika suatu yayasan akan mendirikan badan hukum lainnya.

Dengan demikian secara norma f ba dan hukum dapat mendirikan yayasan. Namun demikian, diperlukan suatu ins tru men hukum untuk mencegah dila ku kannya penyalah-gunaan lembaga ya ya san sebagai suatu badan hukum privat untuk kepen ngan pribadi atau golongan. Transparansi dan akuntabilitas sangat diperlukan, tetapi lebih dari itu perlu pe negakkan hukum yang konsisten terhadap penyalahgunaan lembaga yayasan.

Peluang untuk menyalahgunakan yayasan dapat terjadi, karena sebagaimana diatur dalam UU No. 16/2001, yayasan dapat mela kukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan pendirian yayasan dengan

cara mendirikan badan usaha atau ikut serta dalam suatu badan usaha.5

Pada umumnya dipahami bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang kegiatannya dak berorientasi mencari keuntungan (nirlaba).

Di sisi lain, badan usaha adalah untuk mencari keuntungan. Agaknya terdapat kontradiksi antara ketentuan tersebut di atas dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 16/2001 yang menentukan bahwa tujuan yayasan adalah di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Yayasan memerlukan dana untuk men-jalankan kegiatannya. Jika dana itu se mata-mata bersumber dari kekayaan awal, tentu tujuan pendirian yayasan sulit tercapai.

Dana yang diperoleh dari kegiatan usaha memang diperlukan untuk men cukupi kebutuhan operasional yayasan dan pengembangan yayasan. Namun demikian, jika kegiatan itu dilakukan atas nama yayasan maka segala pendapatan yang diperoleh adalah milik yayasan. Demikian sebaliknya jika kegiatan itu menimbulkan suatu kewajiban pem ba yaran kepada pihak lain maka hal itu merupakan kewajiban yayasan. Prin sip nya, se ap transaksi dengan pihak lain yang menim-bulkan hak dan kewajiban bagi yayasan wajib dicantumkan dalam laporan tahunan.6 Dalam hal yayasan memperoleh bantuan atau sumbangan maka hal tersebut juga merupakan milik yayasan. Itulah sebabnya se ap kekayaan yayasan dilarang dialihkan kepada pembina, pengurus maupun pengawas. Pengecualian terhadap ketentuan ini adalah pengurus dapat diberi gaji, upah atau honorarium sepanjang pengurus tersebut bukan

4 Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan5 Pasal 3 ayat (1) UU No. 16/2001.6 Pasal 49 UU No. 16/2001.

Page 23: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

179

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Karakteris k, Pengelolaan dan Pemeriksaan … (Y. Sogar Simamora)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNpendiri yayasan dan dak terafi liasi dengan

pendiri, pembina dan pengawas.7

c. Tujuan Pendirian Yayasan

Kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri ditujukan untuk tujuan tertentu dalam lingkup sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini. Tetapi dalam penjelasan Pasal 8 UU No. 16/2001 disebutkan bahwa kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakup an yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian yayasan dapat melakukan kegiatan apa saja sepanjang dak bertentangan dengan keter ban umum,

kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika kita memperha kan penjelasan Pasal 8 di atas, agaknya perlu diper m bangkan rumusan:

”...tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan...”

sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 16/2001. Tidakkah rumusan itu cukup ”tujuan tertentu” tanpa harus dikaitkan dengan tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Sebagai perbandingan dapat kita lihat rumusan founda on dalam Ar cle 285 The Civil Code of the Netherlands (CCN) yang menentukan:

”A founda on is a legal person created by a legal act which has no members and whose purpose is to realize an object stated in its ar cles using capital allocated to such purpose”.8

d. Tidak Mempunyai Anggota

Berbeda dengan badan hukum kopera si atau perkumpulan yang berbadan hu kum, yayasan dak mempunyai anggota. Pembina, pengurus

dan pengawas dalam yayasan bukanlah anggota melainkan organ yayasan. Ini dapat dipahami karena dalam badan hukum yayasan, badan hu-kum terbentuk karena adanya harta keka yaan yang dipisahkan. Sedangkan dalam koperasi dan perkumpulan, badan hukum terbentuk karena adanya anggota.

Karena yang menjadi unsur esensial dari yayasan adalah harta kekayaan maka jika kemudian dalam perjalanannya suatu yayasan habis kekayaannya maka yayasan itu tentu dak dapat lagi menjalankan kegiatan guna mencapai tujuannya. Ar nya, secara materiil yayasan bubar. Dalam hal yayasan dak mampu membayar utang setelah dinyatakan pailit maka pembubaran terjadi karena adanya putusan (penetapan?) pengadilan negeri.9

e. Pendirian Yayasan dan Anggaran Dasar

Terkait pendirian yayasan, Pasal 9 UU No. 16/2001 mengatur bahwa yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kakayaan awal. Pendirian itu dilakukan dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia.10

Lahirnya yayasan sebagai badan hukum pada saat setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri. Dengan demikian organ yayasan belum dapat mengikatkan yayasan dengan pihak lain dalam suatu hubungan hukum

7 Pasal 5 UU No. 28/2004 jo. UU No. 16/2001.8 Hans Warendorf, et.al., The Civil Code of the Netherlands, (US: Kluwer Law International, 2009).9 Pasal 62 huruf c UU N0. 16/2001.10 Sama seperti di Belanda, pendirian juga harus dengan akta notaris (notarial deed). Lihat, Article 286 CCN.

Page 24: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

180

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 175-186

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNsebelum diperoleh pengesahan atas anggaran

dasar tersebut. Pelanggaran terhadap prinsip ini mengakibatkan organ yang melakukan perbuatan hukum atas nama yayasan akan bertanggung gugat secara pribadi.

Prinsip ini selanjutnya dapat kita lihat dalam UU No. 28/2004 yang menentukan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan sebelum yayasan memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pengurus secara tanggung renteng.11

Anggaran Dasar adalah aturan internal yayasan yang harus dipatuhi baik oleh pembina, pengurus maupun pengawas. Dalam hal terjadi dugaan penyimpangan atau perselisihan maka Anggaran Dasar menjadi dasar bagi penegak hukum baik penyidik, hakim maupun auditor. Dalam kaitan ini sangat pen ng untuk memas kan keabsahan suatu Anggaran Dasar sebelum diberikan pengesahannya. Dalam Pasal 14 UU N0. 16/2001, ditentukan Anggaran Dasar Yayasan sekurang-kurangnya me muat:1) Nama dan tempat kedudukan;2) Maksud dan tujuan serta ke giatan untuk

mencapai maksud dan tujuan tersebut;3) Jangka waktu pendirian;4) Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari

kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda;

5) Cara memperoleh dan peng gu naan ke ka-yaan;

6) Tata cara pengangkatan, pem ber hen an, dan penggan an anggota pembina, pengurus dan pengawas;

7) Hak dan kewajiban anggota pem bina, pengurus, dan pengawas;

8) Tata cara penyelenggaraan rapat organ ya-yasan;

9) Ketentuan mengenai perubahan Ang garan Dasar;

10) Penggabungan dan pembubaran ya yasan; dan,

11) Penggunaan kekayaan sisa li kuidasi atau pe-nyaluran keka yaan yayasan setelah pembu-baran.

2. Pengelolaan dan Pemeriksaan Terha-dap Yayasan

Untuk dapat melaksanakan ak vitas guna mencapai tujuan pendiriannya, suatu badan hukum seper manusia memerlukan organ. Suatu badan hukum membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organnya seper manusia yang mengungkapkan kehendaknya melalui mulut atau tangannya. Seper halnya manusia biasa, badan hukum adalah organisme yang hidup. Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, mewujudkannya melalui organ-organnya. Inilah esensi teori Organ.12

Dalam kaitan dengan badan hukum ya-ya san, UU No. 16/2001 menentukan ga jenis organ, yaitu: pembina, pengurus dan pengawas. Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang dak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-undang atau anggaran dasar.13 Sedangkan pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan14, dan pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat

11 Pasal 13 UU No. 28/2004 jo. UU No. 16/2001.12 Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 32-33. 13 Pasal 28 UU No. 16/2001.14 Pasal 31 (1) UU No. 16/2001.

Page 25: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

181

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Karakteris k, Pengelolaan dan Pemeriksaan … (Y. Sogar Simamora)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkepada pengurus dalam menjalankan kegiatan

yayasan.15

Kewenangan organ Pembina melipu : ke-putusan perubahan anggaran dasar, peng-angkatan dan pemberhen an pengurus dan pengawas, penetapan kebijakan umum yayasan, pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan, dan penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan.16

Siapa yang dapat menjadi Pembina diatur dalam Pasal 28 ayat (3) UU No. 16/ 2001. Dalam hal ini yang dapat diangkat adalah orang perseorangan selaku pendiri atau orang yang dinilai mempunyai dedikasi nggi untuk mencapai tujuan yayasan.

Berapa jumlah pembina dak diatur dalam undang-undang. Dengan demikian dimungkinkan hanya satu orang pembina dalam suatu yayasan. Mengingat kewenangan yang ada maka pembina dapat membuat keputusan sesuka ha karena dak ada mekanisme check and balances.

Mengenai pengangkatan dan pember-hen an pengurus misalnya, pembina dapat menjalankan kewenangannya berdasarkan per mbangan subjek f dirinya sendiri. Dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 16/2001 disebutkan bahwa dalam hal pengurus dinilai merugikan yayasan maka pembina dapat diberhen kan sebelum berakhir masa kepengurusannya.

Ini adalah salah satu kelemahan yang dapat dimanfaatkan untuk menyalahgunakan lembaga yayasan. Idealnya Pembina dalam bentuk dewan dengan jumlah anggota sekurang-kurang lima orang dan dalam jumlah ganjil. Ini untuk

menyelaraskan dengan ketentuan dalam Pasal 30 UU No. 16/2001 yang mengatur bahwa rapat pembina sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Tentu dak perlu rapat jika hanya ada satu orang pembina.

Demikian juga halnya syarat persetujuan pembina dalam hal pengalihan atau pembebanan kekayaan yayasan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 16/2001. Yang lebih pen ng adalah terkait Pasal 57 ayat (4) UU No. 16/2001 yang mengatur qorum rapat dalam rangka penggabungan yang mensyaratkan ¾ dari jumlah anggota. Qorum ¾ dak mungkin terpenuhi jika jumlah pembina ga orang, jumlah empat membuka peluang adanya suara sama dalam vo ng.

Mengacu pada ketentuan Pasal 28 (2) (e) UU No. 16/2001 yang mengatur tentang kewenangan dalam penggabungan dan pembubaran yayasan, seharusnya diatur juga qorum dalam rangka pembubaran Yayasan. Tetapi ternyata tentang hal ini dak diatur dalam Bab X tentang Pembubaran mulai pasal 62 sampai pasal 68. Dari sisi perancangan perundang-undangan ini dapat dikategorikan bad law seper yang dikemukakan oleh A yah:

Laws may be bad because they are technically bad; for instance, because they are obscure, ambiguous, internally inconsistent, diffi cult to discover, or hard to apply to a variety of circumstances. And secondly, laws be substan vely bad simply in the sense that they produce unacceptable results, injus ce or plain idiocy, or less extremely, because they are ineffi cient and expensive, or produce inconsistency or anomaly between like cases.17

15 Pasal 40 UU No. 16/2001.16 Pasal 28 (2) UU N0. 16/2001.17 P.S. Atiyah, Law & Modern Society, (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 203.

Page 26: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

182

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 175-186

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNSelanjutnya mengenai organ Pengurus, Pasal

35 UU No. 16/2001 menentukan:1) Pengurus bertanggung jawab penuh atas

kepengurusan yayasan dan berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun diluar pengadilan.

2) Se ap Pengurus menjalankan tugas dengan i kad baik dan penuh tanggung jawab.

3) Se ap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya dak sesuai dengan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ke ga.Kewenangan dalam menjalankan ndakan

kepengurusan pada organ Pengurus melipu segenap ndakan dalam ruang lingkup kepengurusan. Dalam badan hukum perseroan terbatas hal ini lazim disebut daden van beheer.18

Untuk ndakan jenis ini pengurus mempu-nyai kebebasan sejauh ndakan itu dilakukan untuk kepen ngan dan tujuan yayasan serta dengan i kad baik. Limitasi atas kewenangan pengurus adalah adalah dalam ndakan yang mengakibatkan beralihnya kekayaan atau membebani kekayaan. Ini lazim disebut daden van beschikking.19

Dalam ndakan jenis yang kedua ini limitasi dapat kita jumpai dalam Pasal 37 ayat (1) UU No. 16/2001 yang menentukan bahwa Pengurus dak berwenang mengikat Yayasan sebagai penjamin utang, mengalihkan kekayaan yayasan kecuali atas persetujuan pembina, dan membebani kekayaan yayasan untuk kepen ngan pihak lain. Lebih lanjut dalam dalam Pasal 37 ayat (2) ditentukan bahwa Anggaran

Dasar dapat membatasi kewenangan pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan. Menarik untuk diperha kan penjelasan ketentuan ini yang menyatakan:

Jika Pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan, Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan/atau Pengawas, misalnya untuk menjaminkan kekayaan Yayasan 20 guna membangun sekolah atau rumah sakit.

Jika pembentuk undang-undang memak-sudkan ndakan yang perlu dibatasi termasuk juga membebani atau menjaminkan kekayaan atas suatu hutang untuk kepen ngan yayasan maka hal ini seharusnya diatur dalam ayat (1)nya.

Pembatasan dengan demikian ditujukan untuk ndakan yang dikelompokkan sebagai ndakan pemilikkan (daden van beschikking).

Tindakan ini hanya dapat dilakukan setelah ada persetujuan tertulis dari Pembina.

Dalam menjalan ndakan kepengurusan, Pengurus wajib beri kad baik. UU No. 16/2001 dak memberikan penjelasan lebih lanjut. I kad

baik pada hakikatnya adalah kewajiban hukum untuk ber ndak secara jujur, ar nya, Pengurus dituntut untuk menjalankan kewajibannya secara jujur guna tercapainya tujuan yayasan. Memang dak ada parameter pas untuk mengukur jujur daknya pengurus dalam menjalankan tugasnya.

Dalam kaitan ini ukuran itu terutama adalah Anggaran Dasar dan undang-undang. Hubungan antara Pengurus dengan yayasan adalah

18 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 210.19 Ibid., hlm. 211.20 Garis bawah oleh Penulis.

Page 27: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

183

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Karakteris k, Pengelolaan dan Pemeriksaan … (Y. Sogar Simamora)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNhubungan fi duciary duty. Pengurus dalam hal

ini mempunyai kewajiban untuk ber ndak jujur dan patut seper seorang agen yang mewakili prinsipalnya.

Pengurus wajib ber ndak dalam koridor sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar dan berusaha mencegah mbulnya kerugian pada yayasan. Dengan demikian Anggaran Dasar merupakan instrumen utama dalam menilai apakah Pengurus telah menjalankan kepengurusan dengan i kad baik atau dak. Kewajiban untuk ber ndak atas dasar i kad baik juga dituntut oleh undang-undang. Oleh sebab itu undang-undang juga merupakan instrumen dalam menilai ada daknya i kad baik pada organ Pengurus yayasan. Jika terjadi masalah hukum, penerapan tentang kewajiban beri kad baik akan dinilai oleh hakim dengan ber k tolak dari kedua instrumen tersebut. Inilah yang pen ng untuk dipahami oleh orang yang duduk sebagai organ yayasan, baik pembina, pengurus maupun pengawas agar terhindar dari tuntutan hukum karena ndakan- ndakan yang tergolong ultra vires.

Dalam hal ndakan Pengurus dak sesuai dengan Anggaran Dasar dan mengakibatkan kerugian pada yayasan maka pengurus bertanggung jawab secara pribadi. Aturan ini mengandung prinsip ultra vires yang mengandung makna ndakan diluar batas kewenangan (beyond the power).

Sebagai contoh tentang larangan bagi pengurus untuk mengikat yayasan sebagai penjamin utang seper diatur dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a UU No. 16/2001. Ini adalah suatu larangan dalam mana pengurus dak boleh melakukan atau dak berwenang melakukan. Jika hal ini dilakukan maka atas ndakan tersebut yayasan yang diwakili dak terikat atau dak bertanggung gugat. Yang bertanggung

gugat untuk membayar utang terhadap kreditur manakala debitur yang dijamin wanprestasi adalah Pengurus itu sendiri secara pribadi. Perjanjian penjaminan utang (penanggungan) yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus atas nama yayasan demikian itu adalah batal demi hukum (nie g van rechtswege).

Organ yang mempunyai kewenangan melakukan pengawasan atas ndakan kepengurusan adalah pengawas. Di samping pengawasan, pengurus juga mempunyai tugas memberikan nasihat kepada Pengurus. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang adalah memberhen kan sementara anggota Pengurus. Dalam yayasan sekurang-kurangnya terdapat satu orang pengawas, dan pengawas tersebut dak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus.

Terkait dengan kewenangan untuk mem-berhen kan sementara anggota pengurus, dak ada penjelasan lebih lanjut. Sekalipun sifat

pemberhen an bersifat sementara, ketentuan ini menurut hemat saya berlebihan. Di samping pemberhen an adalah kewenangan Pembina, akibat pemberhen an akan menimbulkan kevakuman kepengu rus an, sekalipun hanya 7 hari. Jika pada akhirnya tentang status pemberhen an itu dikembalikan pada Pembina untuk memutuskan seper diatur dalam Pasal 43 ayat (4) UU No. 16/2001 maka lebih baik jika sejak awal kewenangan pemberhen an sementara itu diserahkan kepada Pembina. Jika pengurus diberhen kan sementara, organ yang mana yang akan menjalankan kepengurusan interim dak ada aturan lebih lanjut. Sebaliknya jika kewenangan itu diserahkan kepada Pembina maka Pembina dapat memberhen kan sementara Pengurus dan sekaligus mengangkat pengurus interim.

Page 28: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

184

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 175-186

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNSeper halnya Pengurus, dalam menjalankan

tugasnya, Pengawas wajib menerapkan i kad baik. Sekalipun dak diatur adanya kewajiban untuk bertanggung gugat secara pribadi manakala terjadi kerugian pada yayasan akibat kesalahan dalam pengawasan, pengawas dapat saja turut bertanggung gugat jika ndakan Pengurus yang merugikan yayasan terjadi karena adanya andil dari pengawas. Pengawas yang mempunyai andil yang mengakibatkan adanya ndakan kesalahan oleh pengurus yang merugikan yayasan mempunyai akibat yang sama seper pengurus, yakni bertanggung gugat secara pribadi.21 Tanggung gugat pribadi ini pada Pengawas ini juga berlaku dalam hal terjadi kepailitan pada yayasan yang terjadi akibat kesalahan dalam melakukan tugas pengawasan.22 Dalam hal yayasan pailit, dan itu terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengawas maka se ap anggota Pengawas secara bertanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Selanjutnya yang perlu mendapat perha an adalah penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan yayasan. Pengelolaan yayasan dak saja mencakup ndakan pengurusan oleh organ Pengurus,

tetapi juga segenap ndakan yang dilakukan oleh organ lain yakni Pembina dan Pengawas. Sekalipun ga organ yayasan mempunyai kewenangan dan tanggung jawab berbeda namun semua ndakan yang dilakukan adalah untuk kepen ngan yayasan. Prinsip transparansi dan akuntabilitas dengan demikian wajib dijalankan oleh ke ga organ tersebut.

Urgensi transparansi dan akuntabilitas diperlukan untuk memas kan bahwa organ yayasan menjalankan tugasnya semata-mata untuk mencapai tujuan yayasan, dan bukan tujuan lain. Sebagai bagian dari pilar good governance, transparansi dan akuntabilitas dak saja perlu diterapkan oleh organ publik,

tetapi juga organ privat. Sekalipun yayasan adalah organ privat, terdapat tuntutan oleh stakeholder agar kekayaan yayasan dak digunakan untuk tujuan lain oleh organ yayasan selain daripada tujuan sebagaimana dituangkan dalam anggaran dasar.

Sekalipun dalam organ yayasan terdapat pengawas, ke adaan transparansi potensial mengakibatkan pemanfaatan kekayaan yayasan yang dak akuntabel. Bukan dak mungkin terjadi persekongkolan oleh ga organ yang merugikan yayasan. Transparansi dan akuntabilitas dengan demikian juga berfungsi sebagai sarana kontrol oleh publik atas kinerja yang dilakukan oleh organ yayasan dan sekaligus untuk melindungi kekayaan yayasan agar dak disalahgunakan.23

Transparansi dalam pengelolaan yayasan se daknya mencakup dua hal, yakni: adanya pengumuman dalam Tambahan Berita Negara atas Anggaran Dasar, dan pengumuman laporan tahunan. Yang pertama adalah konsekuensi yayasan sebagai badan hukum. Dengan adanya pengumuman dalam TBN maka publik dapat mengakses informasi atas suatu yayasan. Sedangkan terkait pengumuman laporan tahunan, masyarakat atau publik dapat memperoleh informasi yang berhubungan dengan keadaan dan kegiatan yayasan, serta

21 Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 105.22 Pasal 47 UU No. 16/2001.23 Yohanes Sogar Simamora, Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Kontrak Pemerintah Di Indonesia,

disampaikan pada Pidato Guru Besar, Universitas Airlangga, Surabaya, 2008, hlm. 6.

Page 29: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

185

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Karakteris k, Pengelolaan dan Pemeriksaan … (Y. Sogar Simamora)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNlaporan keuangan yang terdiri atas laporan posisi

keuangan pada akhir periode, laporan ak vitas, laporan arus kas, dan catatan laporan keuangan. Demikian juga jika yayasan mengadakan transaksi dengan pihak lain yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yayasan, transaksi tersebut juga wajib dicantumkan dalam laporan tahunan.24 Namun demikian, sekalipun laporan tahunan bersifat wajib (mandatory), dak ada sanksi hukum atas pengabaian kewajiban ini.

Sanksi yang diatur hanya terkait larangan pengalihan kekayaan yayasan, yakni ancaman penjara lima tahun. Sedangkan pelanggaran atau pengabaian atas kewajiban-kewajiban lain, termasuk kewajiban membuat dan mengumumkan laporan tahunan, dak kita jumpai sanksi hukumnya dalam UU No. 16/2001 dan UU N0. 28/2004. Laporan tahunan sebagai penerapan prinsip transparansi dan akuntabli as sangat pen ng untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan lembaga yayasan. Oleh sebab itu diperlukan aturan yang lebih jelas jika kewajiban itu diabaikan.

Yayasan yang bagaimana yang wajib mem-buat dan mengumumkan laporan tahunan, UU No. 16 Tahun 2001 dak mengatur. Ar nya se ap yayasan wajib membuat dan mengumumkan laporan. Ke depan perlu dipikirkan apakah di-perlukan pengecualian, misalnya untuk yayasan dengan jumlah kekayaan yang rela f kecil.

Selanjutnya yang perlu diperha kan dalam kaitan dengan penerapan good governance dalam pengelolaan yayasan adalah pemeriksaan terhadap yayasan. Terkait pemeriksanaan, Pasal 53 ayat (1) UU No. 16/2001 menentukan

bahwa pemeriksaan terhadap yayasan untuk mendapatkan data atau keterangan dapat dilakukan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan:1) Melakukan perbuatan melawan hukum atau

bertentangan dengan Anggaran Dasar;2) Lalai dalam melaksanakan tugasnya;3) Melakukan perbuatan yang merugikan

Yayasan atau pihak ke ga; dan,4) Melakukan perbuatan yang merugikan

Negara.Prosedur dalam melakukan pemeriksaan

diatur lebih lanjut dalam Pasal 53 ayat (2) yang menentukan bahwa pemeriksaan hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan tertulis pihak ke ga yang berkepen ngan disertai alasan. Kejaksaan juga dapat mengajukan permohonan pemeriksaan mewakili kepen ngan umum.

Terhadap permohonan pemeriksaan pengadilan dapat menolak atau mengabulkan. Jika permohonan itu dikabulkan maka pengadilan mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan mengangkat paling banyak ga orang ahli sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.25 Terkait pengangkatan ahli, dalam permohonan pemeriksaan pemohon sekaligus meminta siapa ahli yang diajukan agar hakim dapat memeriksa kompetensi orang yang diajukan. Hal ini pen ng karena penetapan pemeriksaan tanpa pengangkatan ahli menjadi dak bermanfaat.26

Objek pemeriksaan adalah semua dokumen dan kekayaan Yayasan. Semua dokumen dan hasil pemeriksaan dilarang untuk diumumkan

24 Pasal 49 UU No. 16/2001.25 Pasal 54 UU No. 16/2001.26 Gatot Supramono, op.cit., h. 131.

Page 30: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

186

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 175-186

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNatau diberitahukan kepada pihak lain. Hasil

pemeriksaan wajib disampaikan kepada Ketua Pengadilan dan selanjutnya Ketua Pengadilan memberikan salinannya kepada pemohon dan yayasan yang bersangkutan.

E. Penutup1. Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas dapat disim-pulkan bahwa yayasan adalah badan hukum privat. Sekalipun dalam pendirian ber ndak selaku pendiri adalah pejabat publik, dan kekayaan yang dipisahkan adalah kekayaan negara. Demikian juga terhadap yayasan yang menjalankan kegiatan untuk membantu fungsi pemerintahan, misalnya dalam bidang pendidikan atau kesehatan, status yayasan yang bersangkutan tetap sebagai badan hukum privat.

Prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan yayasan diperlukan untuk memas kan bahwa organ yayasan menjalankan tugasnya semata-mata untuk mencapai tujuan yayasan, dan bukan tujuan lain dan juga dalam mewujudkan good governance dalam pengelolaan yayasan. Selain itu penerapan good governance dalam pengelolaan yayasan adalah pemeriksaan terhadap yayasan untuk memas kan organ yayasan dak melakukan pelanggaran hukum dan lalai dalam menjalankan tugasnya.

2. Saran

Berdasarkan rumusan kesimpulan tersebut di atas, maka perlu penyempurnaan terhadap UU No. 16/2001 jo. UU No. 28/2004, baik

menyangkut organ, khususnya pembina, maupun pengaturan sanksi yang jelas atas pelanggaran atau pengabaian atas kewajiban yayasan, misalnya kewajiban pembuatan dan pengumuman laporan tahunan. Hal ini merupakan konsekuensi penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang diiperlukan untuk mencegah penyalahgunaan lembaga yayasan.

DAFTAR PUSTAKA

BukuAli, Chidir, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 2005).A yah, P.S., Law and Modern Society, (Oxford:

Oxford University Press, 1995).Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan

Terbatas, (Jakarta: Citra Aditya Bak , 1996).Rieff el, Lex dan Dharmasaputra, Karaniya, Di Balik

Korupsi Yayasan Pemerintah, (Jakarta: Freedom Ins tute, 2008).

Supramono, Gatot, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).

Warendorf, Hans, et al., The Civil Code of the Netherlands, (New York: Kluwer Law Interna onal, 2009).

Makalah/Ar kel/Prosiding/Hasil Peneli an Simamora, Yohanes Sogar, Prinsip Transparansi

Dan Akuntabilitas Dalam Kontrak Pemerintah Di Indonesia, Pidato Guru Besar, Universitas Airlangga, Surabaya, 2008.

PeraturanUndang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang

YayasanUndang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan.

Page 31: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

187Arah Pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 … (Herlien Budiono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNARAH PENGATURAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS DALAM MENGHADAPI ERA GLOBAL(Regula on for the direc on in which the Law Number 40 of 2007

with respect to the Limited Liability Company to be dealt with in the era of Globaliza on)

Herlien BudionoFakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung

Jalan Ciumbuleuit 94, Bandung

Naskah diterima: 07 Mei 2012; revisi: 02 Juli 2012; disetujui: 11 Juli 2012

AbstrakUndang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) merupakan salah satu pilar yang memberikan landasan bagi dunia usaha dan perekonomian nasional, dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia di era globalisasi. Meski telah ada berbagai penyempurnaan sejak tahun 2007, tetapi masih terdapat beberapa permasalahan terkait dengan iden tas Perseroan Terbatas (PT) sebagai sebuah badan hukum, serta permasalahan lain terkait dengan proses pendiriannya. Dengan menggunakan pendekatan norma f terlihat bahwa meski PT sebagai sebuah badan hukum disebutkan secara jelas dalam Pasal 1 angka 1 UUPT tetapi dak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan badan hukum. Dengan begitu maka iden tasnya lebih banyak ditentukan secara doktrinal lewat berbagai teori. Sedangkan permasalahan terkait pendirian PT dideka dengan menggunakan metode sosio hukum untuk menjelaskan mengenai unsur perjanjian yang masih berpolemik untuk dipenuhi. Begitu juga dengan jumlah pendiri PT, proses pengesahan, penyetoran modal dan jenis mata uang, keputusan di luar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), serta sarana pendukungnya. Untuk itu disarankan perlunya sinkronisasi yang bersifat teori s bagi penyempurnaan atas beberapa kelemahan UU PT yang ada saat ini, di samping pembenahan di ngkat pelaksanaan yang masih terasa birokra s.Kata Kunci: tanggung gugat, globalisasi, perseroan terbatas

AbstractA Limited Liability Company Act is one of the pillars that provide the founda on for the business world and na onal econ-omy, in the face of world economic developments in the globaliza on era. Although there have been many improvements since 2007, but s ll there are some problems related to the iden ty of the Limited Liability Company (PT) as a legal en ty, as well as other issues related to the establishment of a PT. By using the norma ve approach is seen that although the Limited Liability Company (PT) as a legal en ty is clearly stated in Ar cle 1 number 1 but did not explain what is meant by a legal en ty. That way, the iden ty is determined more doctrinally through various theories. While the problems related to the establishment of a PT approximated using socio-legal methods to explain the elements of the agreement are s ll debated to be met. So is the number of the founder of the PT number, the process of ra fi ca on, the deposit of capital and types of currency, a decision outside the General Mee ng of Shareholders, as well as support facili es. It is recommended the need for synchroniza on of a theore cal nature for the improvement of some weaknesses of exis ng PT laws today, in addi on to improvements in the implementa on of which was are s ll bureaucra c.Keywords: liability, globaliza on, Limited Liability Company

Page 32: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

188

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 187-198

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNA. Pendahuluan1

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efi siensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, ke-mandirian, serta dengan menjaga ke seim-bangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, demikian bunyi salah satu konsideran dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Untuk meningkatkan pembangunan perekonomian nasional, maka UUPT merupakan salah satu pilar yang telah memberikan landasan bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi2 pada masa mendatang.

Meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepas an hukum serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha mendorong kebutuhan untuk dirumuskannya beberapa pengaturan mengenai perseroan terbatas yang lebih dapat menampung iklim investasi dan dunia perdagangan. Walaupun UUPT telah mengakomodasi hal-hal yang signifi kan berkaitan dengan hakikat perseroan

tetapi perlu kiranya meninjau beberapa hal berkaitan dengan UUPT yang dapat lebih menampung aspirasi dunia perdagangan dan perubahan yang terjadi khususnya dalam menghadapi era ruang lingkup dunia.

B. Permasalahan

1. Bagaimanakah iden tas Perseroan Terbatas (PT) sebagai sebuah badan hukum, dalam substansi UUPT yang ada saat ini?

2. Permasalahan apakah yang ada dalam pembentukan PT terkait keberadaan UUPT yang berlaku saat ini?

C. Metode Peneli an

Berdasarkan iden fi kasi masalah seba-gaimana diuraikan di atas, maka tulisan ini masuk dalam peneli an hukum yang norma f dengan studi kepustakaan. Untuk itu tulisan ini mempergunakan metode peneli an norma f.3 Namun demikian tetap akan menggunakan data peneli an empiris4 sebagai pendukung. Dengan demikian pokok permasalahan diteli secara yuridis norma f.

1 Tulisan ini diolah kembali dari makalah yang Penulis sampaikan pada ”Seminar Tentang Problematika dan Perspektif Perseroan Terbatas di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, di Semarang 6 Juni 2012.

2 Globalisasi = Proses masuknya ke ruang lingkup dunia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 366.

3 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm. 15. Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1) asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4) perbandingan hukum, (5) sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet.v, (Jakarta: PT Raja Gra indo Persada, 2001), hlm. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979), hlm. 15.

4 Penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, ibid.

Page 33: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

189Arah Pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 … (Herlien Budiono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNTulisan ini juga menggunakan pen dekatan

sosio hukum, dengan maksud ingin melihat lebih jauh daripada sekedar pendekatan doktrinal, sehingga memiliki perspek f lebih luas dengan melihat hukum dalam hubungannya dengan sistem sosial, poli k, dan ekonomi masyarakat.5

D. Pembahasan1. Perseroan Terbatas Sebagai Badan

Hukum

Jika beberapa orang secara bersama-sama bermaksud untuk mencapai tujuan yang sama, akan terdapat dua kemungkinan, yakni pertama terjadi di antara mereka suatu kerja sama, hubungan dan kepen ngan mbal balik saling mengikat. Kemungkinan yang ke dua adalah terjadi suatu kesatuan dimana hubungan diantara mereka terhadap pihak ke ga bukan merupakan ndakan masing-masing melainkan ndakan dari satu kesatuan sedangkan

hubungan di antara mereka bukan hubungan satu terhadap yang lain, melainkan merupakan hubungan dengan kesatuannya. Hubungan hukum yang disebutkan terakhir dikenal sebagai badan hukum.

Subyek hukum dan badan hukum me rupakan is lah teknis yuridis yakni sebagai pendukung hak dan kewajiban di bidang hukum. Perseroan

Terbatas (PT) merupakan salah satu badan hukum yang diatur di dalam UUPT. Di dalam UUPT dak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan badan hukum, walaupun Pasal 1 angka 1 UUPT menyebutkan bahwa:

”Perseroan Terbatas, yang selanjutnya dise-but Perseroan, adalah badan hukum (...)”;

demikian pula Pasal 7 ayat (4) menyebutkan kapan perseroan memperoleh status badan hukum yakni pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Badan hukum dapat terjadi karena un-dang-undang menyatakannya dengan tegas sebagaimana halnya Pasal 1 angka 1 UUPT, tetapi dapat pula diakui sebagai badan hukum karena adanya ciri-ciri tertentu. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dak pernah secara tegas menyatakan apa yang dimaksudkan dengan badan hukum6. Yayasan adalah badan hukum yang dinyatakan dengan tegas oleh Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Teori-teori mengenai badan hukum7 men-coba untuk menerangkan gejala hukum yakni

5 Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia (Jakarta: Cyberconsult, 1999) hlm. 153.

6 Di dalam Pasal 40 ayat (2), Pasal 43, dan Pasal 45 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ditemukan unsur-unsur yang cukup untuk menentukan bahwa PT adalah badan hukum. Pada waktu itu pengesahan sebagai badan hukum dilakukan dengan keputusan Menteri Kehakiman (Penetapan Menteri Kehakiman 4 Nopember 1971 Nomor J.A. 5/159/1), sedangkan sejak 1958 hingga 1971 berdasarkan Penetapan Menteri Kehakiman 16 September 1958 Nomor J.A. 5/84/24-TBNRI 752/159), status badan hukum PT baru diperoleh setelah pengesahan Menteri Kehakiman diikuti pendaftaran dan pengumuman di TBNRI, R. Ali Ridho, Hukum Dagang tentang Aspek-Aspek Hukum dalam Asuransi Udara, Asuransi Jiwa dan Perkembangan Perseroan Terbatas, (Jakarta: CV Remadja Karya, 1986), hlm. 306.

7 Diantaranya teori-teori: teori ictie (Von Savigny, Opzoomer), realiteitstheorie (teori realitas, Von Gierke), theorie van het doelsubject (teori tujuan subjektif, Van der Heyden), collectieve eigendom (teori pemilikan kolektif, Molengraaff ), Pitlo Het Nederlands burgerlijk recht Deel 2, Vennootschaps-en rechtspersonenrecht, M.J.G.C.Raaijmakers, vierde, geheel herziene druk, Gouda Quint, Deventer, 2000, hlm. 39.

Page 34: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

190

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 187-198

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNadanya suatu organisasi yang mempunyai hak

dan kewajiban yang sama dengan orang. Di satu pihak hanya oranglah yang dapat menyatakan kehendaknya tetapi di lain pihak harus diakui adanya suatu bentuk ”kerja sama” atau kesatuan yang mempunyai hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban orang yang melakukan ndakan hukum atas nama kesatuan tersebut.

Unsur-unsur suatu badan hukum menurut doktrin yang hingga kini diterima adalah:a) Adanya harta kekayaan yang ter pisah;b) Mempunyai tujuan tertentu;c) Mempunyai kepen ngan sendiri; dand) Adanya organisasi yang teratur8.

Menurut Asser-Van der Grinten9, teori hukum adalah teori dari gejala hukum yang ada di dalam masyarakat serta di dalam kesadaran orang sehingga teori hukum dapat dan akan mempengaruhi aturan hukum. Hukum posi f sadar atau dak sadar akan tunduk pada teori hukum walaupun teori hukum mempunyai ruang lingkup sendiri tetapi dengan adanya gejala-gejala baru yang mbul, teori hukum akan dapat ”memaksa” untuk dilakukan peninjauan atau pembaharuan hukum. Teori hukum memberi bentuk dan mengejawantahkannya ke dalam hukum posi f. Singkat kata, teori adalah pertanyaan atas kebenaran, merupakan suatu ajaran dan pengetahuan tetapi bukan suatu perintah atau apa yang harus dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Dengan perkataan

lain, pembuat undang-undang dak harus tunduk pada teori hukum.

Diakui atau diterimanya suatu teori hukum akan mempengaruhi pula keputusan yang diambil oleh pembuat undang-undang tatkala menyusun suatu undang-undang. Kriteria mengenai badan hukum perlu ditentukan, misalnya saja melalui menyusun undang-undang tersendiri mengenai badan hukum, ini menjadi sebuah kebutuhan mengingat kemungkinan ikut sertanya badan usaha dari luar negeri sebagai pendiri atau pemegang saham PT sehingga dapat menentukan apakah badan usaha tersebut dapat dikategorikan sebagai badan hukum yang dapat ikut serta di dalam lalu lintas hukum menurut hukum posi f kita.

2. Beberapa Permasalahan Dalam Per-seroan Terbatas

a. Sifat Pendirian Perseroan Terbatas

1) pendirian PT berdasarkan perjan jian

Sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPT, suatu PT didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Diperjelas oleh Pasal 1 angka 1 UUPT, bahwa PT didirikan berdasarkan perjanjian10. Di dalam perjanjian pendirian PT sekaligus memuat anggaran dasar dan keterangan-keterangan lain berkaitan dengan pendirian tersebut (Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 15 UUPT). Oleh karena pendirian PT mendasarkan pada perjanjian, maka dengan

8 R. Ali Ridho, Op.Cit., hlm. 303.9 C.Asser-Van der Grinten, Vertegenwoordiging en Rechtspersoon, De Rechtspersoon, vierde druk, (W.E.J.Tjeenk

Willink, Zwolle, 1976), hlm. 5.10 ”Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang

merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, di mana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan”, diterjemahkan oleh penulis dari C. Asser-A.S.Hartkamp 4-II, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, tiende druk, (W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle, 1989), hlm. 10.

Page 35: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

191Arah Pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 … (Herlien Budiono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNsendirinya semua unsur-unsur perjanjian dan

syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur di dalam Buku III KUHPerd, harus pula dipenuhi, dengan kekecualian sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (7) UUPT.

Ini berar , bahwa agar suatu perbuatan hu-kum dapat digol ongkan pada perjanjian, unsur-unsur perjanjian sebagai berikut harus di penuhi:• Adanya kata sepakat dari dua pihak atau

lebih;• Kata sepakat yang tercapai harus bergantung

pada para pihak; • Keinginan atau tujuan para pihak untuk

mbulnya akibat hukum;• Akibat hukum untuk kepen ngan pihak yang

satu dan atas beban pihak yang lain atau mbal balik; dan

• Dibuat dengan mengindahkan ke tentuan perundang-undangan.11

Hingga kini, pendirian PT sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUPT, digolongkan pada perbuatan hukum berganda12 yang merupakan perjanjian. Salah satu unsur, yakni adanya kepen ngan serta hubungan antara para pihak yang satu terhadap yang lain atau mbal balik dak tampak pada perbuatan

hukum untuk terbentuknya suatu korporasi (corpora e). Meskipun dak dipungkiri adanya kesepakatan diantara para pendiri sebelum atau pada saat pendirian – tujuan utama dari pihak-pihak adalah terbentuknya korporasi dan bukan suatu hubungan hukum mbal balik diantara para pihak. Ada bentuk hukum (rechtsfi guren)

yang dak memenuhi unsur tersebut sehingga sulit untuk digolongkan pada perbuatan hukum berganda yang merupakan perjanjian. Bentuk hukum semacam itu yang tujuan utamanya adalah terbentuknya korporasi kita kenal, misalnya pendirian perkumpulan13 apalagi setelah korporasi tersebut memperoleh status badan hukum.

Pada korporasi seper maatschap, perseroan fi rma dan perseroan komanditer, yang dak digolongkan pada badan hukum, tampak jelas adanya hubungan mbal balik diantara para pesero, baik sebelum, pada saat pendirian maupun selama perseroan berjalan. Janji-janji diantara para pesero seper kewajiban pemasukan (inbreng), larangan konkurensi, beding-beding meneruskan, mengambil alih, dan klausula berakhirnya perseroan harus dipenuhi oleh para pesero secara mbal balik. Mengingat pada sifat perjanjian ( mbal balik) yang harus memenuhi unsur perjanjian dan syarat sahnya perjanjian terbuk pada maatschap, perseroan fi rma dan perseroan komanditer yang baik pada saat pendirian maupun selama perseroan berjalan, pembuatan akta-aktanya menggunakan bentuk akta pihak bukan akta berita acara (relaas).

Pada korporasi seper pada perkumpulan dan yayasan yang pendiriannya digolongkan pada ndakan hukum sepihak14, akta pendiriannya

dibuat dalam bentuk akta pihak (par j) tetapi sejak memperoleh status badan hukum maka berlakulah anggaran dasar dari badan hukum

11 C.Asser-A.S.Hartkamp, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, (W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle, 1989), hlm. 9-14.

12 ”Tindakan hukum berganda adalah tindakan yang memerlukan kerja sama dari dua pihak atau lebih untuk memunculkan akibat hukum”.

13 C.Asser-A.S.Hartkamp, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, (W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle, 1989), hlm. 13-14.

14 Tindakan hukum sepihak adalah tindakan yang dilakukan oleh satu pihak saja dan yang menimbulkan, berubah, dan berakhirnya suatu hak.

Page 36: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

192

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 187-198

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNtersebut dan keputusan yang diambil dak dapat

digolongkan pada kesepakatan yang tercapai seper pada perjanjian. Oleh karenanya doktrin menggolongkan sifat tercapainya kata sepakat pada rapat-rapat organ perkumpulan, yayasan demikian pula pada PT, sebagai Gesamtakt15, suatu perbuatan hukum yang terjadi karena kerja sama dari beberapa orang (pihak) tetapi dak dapat digolongkan pada perjanjian. Kesepakatan yang tercapai pada rapat adalah berdasarkan telah terpenuhinya korum kehadiran dan korum keputusan yang dak tergantung pada kesepakatan dari semua pihak. Lagipula keputusan tersebut dak berakibat untuk kepen ngan yang satu atas

beban yang lain atau mbal balik diantara para pihak. Dalam hal ini, karena sifat peris wa hukum tersebut bukan perjanjian, maka bentuk aktanya adalah akta berita acara (relaas).

2) Pendirian PT sebagai ndakan hukum sepihak

PT didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih berdasarkan perjanjian dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Setelah PT memperoleh status badan hukum, maka berlakulah anggaran dasar (dan peraturan perundang-undangan lainnya) sepanjang dak bertentangan dengan UUPT. Jika pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau PT mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Sanksi atas dilampauinya jangka waktu pengalihan sebagian saham kepada

orang lain atau dikeluarkannya saham baru kepada orang lain mengakibatkan bahwa pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi dan atas permohonan pihak yang berkepen ngan, pengadilan negeri dapat membubarkan PT tersebut.

Sebagaimana kita ketahui salah satu ciri dari PT sebagai badan hukum yang diakui oleh doktrin adalah adanya kekayaan yang terpisah antara kekayaan PT dan kekayaan pemegang saham, demikian pula tanggung jawab pemegang saham hanya terbatas pada jumlah saham yang disetorkan (Pasal 3 ayat (1) UUPT). Ketentuan tersebut dak berlaku apabila terjadi hal yang disebutkan di dalam ayat (2)nya. PT didirikan dengan tujuan untuk terbentuknya badan hukum dengan akibat adanya kekayaan yang terpisah dari pemegang saham serta tanggung jawab yang terbatas.

Oleh karena itu pendirian PT oleh satu orang, dua orang atau lebih dak menyebabkan tanggung jawabnya menjadi berbeda. Modal PT sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) yang akan menjadi jaminan serta tanggung jawab PT terhadap pihak ke ga dak akan berbeda apakah saham PT dimiliki oleh satu orang pemegang saham atau dimiliki oleh 100 (seratus) orang pemegang saham. Selain mengenai kekayaan yang terpisah serta tanggung jawab yang terbatas, pendirian PT berdasarkan perjanjian telah dak memenuhi teori hukum perjanjian, sehingga adalah lebih logis untuk menggolongkan pendirian PT pada ndakan hukum sepihak sebagaimana halnya dengan pendirian perkumpulan dan yayasan. 16

15 C.Asser-A.S.Hartkamp, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, (W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle, 1989), hlm. 14.

16 Pasal 2:175 ayat 2 NBW: De vennootschap wordt door een of meer personen bij notarieële akte (...).

Page 37: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

193Arah Pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 … (Herlien Budiono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNDengan demikian ketentuan mengenai

keharusan adanya sekurang-kurangnya 2 (dua) orang pemegang saham setelah PT memperoleh status badan hukum dak diperlukan lagi. Ancam-an sanksi bahwa pemegang harus bertanggung jawab secara pribadi dan atas permohonan pihak yang berkepen ngan, pengadilan negeri dapat membubarkan PT tersebut dapat menggangu hubungan hukum antara pihak ke ga dengan PT yang bersangkutan malahan mungkin dapat merugikan para pihak. Kelanggengan hubungan hukum dan/atau perdagangan antara PT dengan pihak ke ga perlu dijamin dengan peraturan perundang-undangan. Jikalau ditakutkan bahwa PT sebagai pemilik tunggal saham PT akan menguasai kegiatan usaha di bidang tertentu, dapat ditentukan persyaratan dengan peraturan menteri terkait yang dapat menjamin kepen ngan umum. Inipun dak berbeda dengan keadaan sekarang dimana pemerintah mengeluarkan persyaratan khusus untuk kegiatan usaha tertentu seper di bidang kedirgantaraan, pertambangan, perbankan dan lain lain.

Di dalam prak k ketentuan pendirian PT berdasarkan perjanjian, demikian pula ketentuan keharusan agar saham-saham PT dimiliki oleh 2 (dua) orang pemegang saham menimbulkan penyelundupan hukum dengan menggunakan perjanjian pura-pura (simulasi)17 atau memakai nominee (stroman). PT didirikan oleh A dan B di mana A dengan akta di bawah tangan telah mengalihkan sahamnya kepada B atau dengan cara A mengakui dan menyatakan bahwa saham yang secara formil adalah milikinya sebetulnya

adalah milik B. Hal yang sama dilakukan dengan membuat perjanjian pura-pura agar seakan-akan PT tetap mempunyai 2 (dua) orang pemegang saham setelah PT memperoleh status badan hukum. Perjanjian simulasi atau menggunakan nominee (stroman) dak perlu terjadi jika dak disyaratkan adanya ketentuan yang mengharuskan PT didirikan berdasarkan perjanjian dan keharuskan adanya 2 (dua) orang pemegang saham setelah PT memperoleh status badan hukum.

b. Proses pengesahan PT sebagai badan hukum

Di dalam ketentuan Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 UUPT telah dirinci tata cara memperoleh Keputusan Menteri Hukum dan Ham mengenai pengesahan badan hukum suatu PT. Jangka waktu pengajuan akta pendirian untuk memperoleh status badan hukum telah ditentukan secara ketat. Dalam hal permohonan untuk memperoleh keputusan menteri mengenai pengesahan dak diajukan tepat waktu yakni 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditandatangani akan mengakibatkan akta pendirian menjadi batal sejak lewatnya jangka waktu tersebut dan PT bubar karena hukum dan pemberesan harus dilakukan oleh pendiri. Sebelum PT memperoleh status badan hukum maka perbuatan hukum atas nama PT hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris yang semuanya bertanggung jawab renteng atas perbuatan

17 Suatu perjanjian di mana secara sadar dilakukan suatu perbuatan hukum yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya atau di mana kemauan (wil) tidak sesuai dengan pernyataan (verklaring), C. Asser-A.S.Hartkamp, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1989, hlm. 113; Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, cet. ke-3, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 86-91.

Page 38: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

194

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 187-198

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNhukum tersebut (Pasal 14 UUPT). Masalah yang

mbul dan dapat merugikan pihak ke ga adalah jika PT telah mengadakan perjanjian dengan pihak ke ga tetapi karena keterlambatan permohonan pengesahan mengakibatkan PT bubar karena hukum. Walaupun adanya tanggung jawab secara tanggung renteng diantara Direksi, Dewan Komisaris dan pendiri tetapi dengan bubarnya PT memerlukan penyelesaian tersendiri. Bukankah pihak ke ga yang beri kad baik harus dilindungi. Lain halnya jika mengiku tata cara diperolehnya terlebih dahulu keterangan dak keberatan dari Menteri Hukum dan Ham sebelum akta pendirian PT ditandatangani dihadapan notaris18, tentunya dengan mengirimkan konsep akta pendiriannya terlebih dahulu kepada Menteri Hukum dan HAM. PT memperoleh status badan hukum dengan ditandatanganinya akta pendirian PT dalam jangka waktu yang ditentukan. Dengan cara demikian dapat dihindari kerugian yang diderita oleh pihak ke ga karena telah melakukan perjanjian dengan PT yang bubar karena terlambat pengajuan permohonan pengesahannya. Cara yang sama dapat pula diberlakukan terhadap perubahan anggaran dasar yang memerlukan persetujuan dari Menteri Hukum dan Ham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) UUPT.

c. Penyetoran atas modal saham

PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal guna menunjang kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Se ap pendiri PT wajib

mengambil bagian saham pada saat PT didirikan. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya. Mengingat dalam rangka menghadapi era global dapat kiranya dimungkinkan penyetoran atas modal saham dilakukan dalam bentuk mata uang asing, asalkan di dalam anggaran dasarnya dimuat ketentuan mengenai hal tersebut. Penyetoran dengan menggunakan mata uang asing harus dilakukan dalam jumlah yang senilai dengan rupiah dan dengan ketentuan bahwa mata uang asing tersebut dapat dikonversi dengan rupiah. Penentuan dari kurs ditetapkan pada hari penyetoran dan jika telah dilakukan lebih lama dari sebulan (atau jangka waktu lain), maka kurs ditetapkan pada tanggal pendirian PT. Sebagai contoh19: 1) penyetoran atas modal saham dapat

dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya;

2) Sebelum atau pada saat pendirian perseroan, penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam mata uang asing yang hanya dapat dilakukan jika di dalam akta pendirian perseroan dinyatakan diperbolehkan bahwa penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam mata uang asing; penyetoran atas modal saham dalam mata uang asing atas pengeluaran saham lebih lanjut harus disetujui oleh perseroan;

3) Dengan penyetoran atas modal saham dalam mata uang berar telah dipenuhi kewajiban penyetoran atas modal saham untuk jumlah

18 Di Nederland telah memakai sistem pengesahan PT dengan mengeluarkan terlebih dahulu suatu surat tidak keberatan (een verklaring van geen bezwaar) sebelum akta pendirian PT ditandatangani yakni notaris mengirimkan terlebih dahulu konsep akta pendiriannya kepada menteri kehakiman. Sejak Wet 7 juli 2010 no 280 telah diubah Pasal 4 ayat pertama buku 2 NBW, yakni dihilangkannya kalimat ”of een verklaring van geen bezwaar” (atau keterangan tidak keberatan) yang berarti PT memperoleh status badan hukum sejak ditandatanganinya akta pendirian dihadapan notaris tanpa diperlukan keterangan tidak keberatan dari menteri kehakiman.

19 Mengambil contoh dari Pasal 2:191a NBW.

Page 39: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

195Arah Pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 … (Herlien Budiono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNyang senilai dengan jumlah yang harus

disetor dan dapat ditukarkan dalam mata uang di Indonesia. Kurs atas mata uang asing yang menentukan adalah pada hari penyetoran dilakukan dan jika penyetoran tersebut dilakukan lebih lama dari 1 (satu) bulan sebelum pendirian perseroan maka kurs tersebut adalah pada hari perseroan didirikan.Transaksi dalam mata uang asing sudah

lazim di dalam dunia perdagangan internasional sehingga UUPT seyogyanya dapat menampung kemungkinan masalah penyetoran dalam bentuk mata uang asing. Dipaksakannya penyetoran dalam bentuk rupiah dalam konstelasi era global akan memberi kesan kurang aspira f serta dapat merugikan pihak asing sebagai pemegang saham karena berar harus dikonversikan mata uang yang dimiliki (calon) pemegang saham, sehingga akan ada perbedaan pada kurs beli/jual.

d. Keputusan pemegang saham di luar RUPS

Setelah PT memperoleh status badan hukum, maka semua keputusan yang diambil oleh para pemegang saham pada umumnya adalah melalui RUPS, RUPS merupakan organ PT yang mempunyai wewenang yang dak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau anggaran dasar (Pasal 75 ayat (1) UUPT). Jikalau suatu PT mempunyai pemegang saham saham yang rela f sedikit, maka lebih mudah mengumpulkan mereka dibandingkan dengan PT yang pemegang sahamnya banyak baik untuk rapat yang risalah-nya dibuat secara di bawah tangan atau risalah

rapatnya yang dihadiri dan dibuat oleh seorang notaris. UUPT sendiri telah cukup fl eksibel di dalam menghadapi kemungkinan sulitnya mengumpulkan para pemegang saham pada satu saat dan pada suatu tempat (rapat). Oleh UUPT telah ditampung dengan baik masalah berkaitan dengan dilakukannya RUPS dengan menggunakan lembaga perwakilan melalui surat kuasa (Pasal 85 ayat (1) UUPT), dimungkinkannya penyelenggaraan RUPS melalui media telekonferensi, video konferensi atau sarana elektronik lainnya (Pasal 77 UUPT). Dengan kemajuan di bidang teknologi informasi, UUPT telah pula memanfaatkan sarana tersebut yakni dalam rangka pengajuan permohonan pengesahan, perubahan anggaran dasar PT melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik (Pasal ( UUPT).

Selain pengambilan keputusan para peme-gang saham melalui RUPS, dikenal pula peng-am bilan keputusan yang mengikat di luar RUPS asalkan semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan (pasal 91 UUPT). Dalam rangka menghadapi era global diusulkan agar para pemegang saham selain memberikan persetujuan secara menandatangani usul yang bersangkutan dapat pula dilakukan secara elektronik. Contoh 20:(1) Pemegang saham dapat juga mengambil

keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan;

(2) Kecuali anggaran dasar menentukan lain pemberian persetujuan untuk pengambilan

20 Mengambil contoh dari usulan perubahan atas Pasal 2:238 NBW kepada Tweede Kamer der Staten-Generaal, Vergader jaar 2009-2010, 32426, nr.2, ISSN 0921-7371. s’Gravenhage 2010.

Page 40: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

196

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 187-198

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkeputusan sebagai ma na dimaksud pada

ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik. Cara pengambilan keputusan secara elek-tronik diberitahukan terlebih dahulu kepada Direksi dan Dewan Komisaris yang diberi kesempatan untuk mem be rikan pendapat dan nasihat mereka mengenai cara pengambilan kepu tusan secara elektronik tersebut.

e. Sarana pendukung

Sarana pendukung yang dimaksud dalam tulisan ini dak langsung berkaitan dengan UUPT tetapi erat berhubungan dengan lancarnya pelaksanaan UUPT didalam prak k. Sebagaimana diketahui, notaris berwenang membuat akta oten k mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepen ngan untuk dinyatakan dalam akta oten k. Di dalam melaksanakan jabatannya, notaris terikat pada tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota walaupun notaris mempunyai wilayah jabatan melipu seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 18 UUJN21). Ini berar , bahwa siapapun yang membutuhkan bantuan notaris dan datang ke kantor notaris untuk minta bantuan berkaitan dengan pembuatan akta notaris, maka notaris wajib memberikan bantuannya, sepanjang pembuatan akta tersebut dak dilarang baik oleh UUJN maupun perundang-undangan lainnya. Jika para pendiri PT datang kepada notaris di kota A untuk mendirikan PT dengan tempat kedudukan di kota B, maka akta pendirian PT dapat dilakukan oleh notaris di kota A. Adanya penolakan yang terjadi atas pengeluaran izin usaha karena akta

pendirian perseroan dak dibuat dihadapan notaris ditempat kedudukan perseroan tersebut atau karena direktur perseroan dak mempunyai kartu tanda penduduk ditempat kedudukan perseroan. Mudah-mudahan dak akan terjadi penolakan pengeluaran izin usaha PT di kota B karena akta pendirian PT-nya dibuat oleh notaris di kota A.

Singkat kata, di beberapa kota/daerah ada ke dak sinkronan antara UUPT dengan peraturan daerah kota/kabupaten dan/atau instansi terkait dengan PT yang dapat menghambat lancarnya iklim investasi khu susnya menghadapi era global. Alangkah baiknya jika nan akan diberlakukan peru bahan atas UUPT dilakukan pula pe nyuluhan kepada instansi terkait sehingga PT dak mengalami hambatan di dalam menjalankan kegiatannya. Selain kurangnya pengetahuan yang up-to-date dari pejabat dari instansi yang bersangkutan, juga perlu dikurangi birokrasi yang masih dirasakan oleh para pengusaha.

E. Penutup1. Kesimpulan

Perseroan Terbatas (PT) sebagai sebuah badan hukum disebutkan secara jelas dalam Pasal 1 angka 1 UUPT yang menyebutkan bahwa: ”Perseroan Terbatas adalah badan hukum”. Meski demikian, di dalam UUPT dak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan badan hukum. Badan hukum dapat terjadi karena undang-undang menyatakannya dengan tegas sebagaimana halnya Pasal 1 angka 1 UUPT, tetapi dapat pula diakui sebagai badan hukum karena adanya ciri-ciri tertentu. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dak pernah secara tegas menyatakan apa yang dimaksudkan

21 UUJN = Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Page 41: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

197Arah Pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 … (Herlien Budiono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNdengan badan hukum. Teori-teori mengenai

badan hukum mencoba untuk menerangkan gejala hukum yakni adanya suatu organisasi yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang. Di satu pihak hanya oranglah yang dapat menyatakan kehendaknya tetapi di lain pihak harus diakui adanya suatu bentuk ”kerja sama” atau kesatuan yang mempunyai hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban orang yang melakukan ndakan hukum atas nama kesatuan tersebut. Unsur-unsur suatu badan hukum menurut doktrin yang hingga kini diterima adalah: Adanya harta kekayaan yang terpisah; Mempunyai tujuan tertentu; Mempunyai kepen ngan sendiri; dan Adanya organisasi yang teratur.

Permasalahan yang ada dalam pembentukan PT terkait keberadaan UUPT yang berlaku saat ini antara lain adalah sifat pendirian PT yang pada dasarnya adalah perjanjian, namun salah satu unsur perjanjian dak tampak pada perbuatan hukum untuk terbentuknya suatu korporasi (corpora e). Permasalahan lain yang mbul akibat dasar pendirian PT adalah perjanjian, maka PT didirikan oleh 2 orang atau lebih, sehingga adanya keharusan minimal 2 (dua) orang pemegang saham, namun dengan adanya kekayaan yang terpisah dari pemegang saham serta tanggung jawab yang terbatas, maka syarat ini seharusnya dak diperlukan lagi. Selain itu, apabila terjadi keterlambatan permohonan pengesahan, maka PT bubar karena hukum, sehingga mbul masalah, yaitu kerugian pada pihak ke ga yang telah mengadakan perjanjian dengan PT. Fakta di lapangan sering pula mbul masalah terkait dengan adanya penolakan yang terjadi atas pengeluaran izin usaha karena akta pendirian perseroan dak dibuat dihadapan notaris ditempat kedudukan perseroan ter-sebut atau karena direktur perseroan dak

mempunyai kartu tanda penduduk ditempat kedudukan perseroan, selain itu adanya ke wa-jiban penyetoran dalam bentuk rupiah dalam konstelasi era global akan memberi kesan kurang aspira f serta dapat merugikan pihak asing sebagai pemegang saham.

2. Saran

Perlu dilakukan peneli an hukum mengenai beberapa permasalahan PT secara empirik (yang bersifat socio-legal) yang melihat hukum bukan semata-mata sebagai norma hukum posi f saja, tetapi sebagai hukum yang hidup.

Oleh karena itu antara lain perlu dilakukan perubahan atas UUPT sebagai penyempurnaan atas beberapa kelemahan yang ada saat ini; perlu sinkronisasi antara UUPT dengan peraturan daerah kota/kabupaten dan/atau instansi terkait dengan PT yang dapat menghambat lancarnya iklim investasi khususnya menghadapi era global; perlu meng-up-to-date pengetahuan tentang PT dari pejabat instansi yang bersangkutan; perlu dikurangi birokrasi yang masih dirasakan oleh para pengusaha.

Jika nan akan diberlakukan perubahan atas UUPT, maka perlu penyuluhan kepada instansi terkait sehingga PT dak mengalami hambatan di dalam menjalankan kegiatannya.

DAFTAR PUSTAKA

BukuC. Asser-Van der Grinten, Vertegenwoordiging en

Rechtspersoon, De Rechtspersoon, vierde druk, (W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle, 1976).

C. Asser-A.S.Hartkamp 4-II, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, ende druk, (W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle), 1989.

Budiono, Herlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, cet. ke-3, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bak , 2011).

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)

Page 42: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

198

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 187-198

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Pitlo Het Nederlands burgerlijk recht Deel 2, Vennootschaps-en rechtspersonenrecht, M.J.G.C.Raaijmakers, vierde, geheel herziene druk, Gouda Quint, Deventer, 2000.

Ridho, R. Ali, Hukum Dagang tentang Aspek-Aspek Hukum dalam Asuransi Udara, Asuransi Jiwa dan Perkembangan Perseroan Terbatas, (Jakarta: CV Remadja Karya, 1986).

Reformasi Hukum di Indonesia, Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia (Jakarta: Cyberconsult, 1999).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Peneli an Hukum Norma f, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Peneli an Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979).

Page 43: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

199Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan …. (Purwanto)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNBEBERAPA PERMASALAHAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN

KONSUMEN DENGAN JAMINAN FIDUSIA(Some Issues Consumer Financing Agreement with Fiduciary)

PurwantoBPHN - Kementerian Hukum dan HAM

Jl. Mayjen Soetoyo, Cililitan, Jakarta Timure-mail: [email protected]

Naskah diterima: 11 Mei 2012; revisi: 09 Juli 2012; disetujui: 17 Juli 2012

AbstrakLembaga pembiayaan konsumen merupakan replika dari pembiayaan perusahaan atau yang dikenal dengan leasing. Lembaga pembiayaan jenis ini berimplikasi pula dengan jenis jaminan. Jaminan merupakan hal pen ng yang diperlukan dalam se ap perjanjian pinjam meminjam. Dalam bentuk jaminan, dikenal jaminan perorangan dan jaminan kebendaan atau fi dusia. Tulisan ini membahas praktek transaksi pembiayaan dengan jaminan fi dusia dan pelanggaran yang sering muncul dalam perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fi dusia. Dari hasil peneli an terlihat bahwa untuk memberikan legi masi bagi para pihak maka perjanjian dibuat dengan akta oten k, dan dida arkan pada kantor penda aran fi dusia guna mendapatkan hak preference bagi kreditur. Eksekusi atas obyek jaminan dalam dalam perjanjian pembiayaan konsumen masih banyak mengalami masalah seper dak dilaksanaannya penda aran jaminan fi dusia pada kantor penda aran fi dusia sebagaimana diatur dalam undang-undang jaminan fi dusia dan peraturan pelaksanaannya. Disamping itu informasi dan pemahaman yang kurang dari debitur atas jaminan fi dusia juga mengakibatkan penyelesaian sengketa antara debitur dan kreditur dak elegan.Kata kunci: fi ducia, jaminan, debitur, kreditur, pembiayaan

AbstractConsumer fi nance is a fi nancing alterna ve that can be given to the consumer of the goods with installment payments are made regularly. General fi nancing agreement with the main guarantee good collateral, guarantees principal and addi onal collateral to an cipate a default or conges on in loan repayments. The growth of consumer fi nance agency is actually a replica of the fi nance company, known as leasing. The types of fi nancial ins tu ons also have implica ons for the types of collateral. However warran es are important and necessary in any agreement, especially with the lending and borrowing. Regarding the form of guarantees, commonly known personal guarantees and collateral material or fi duciary. In this paper will discuss the transac on and viola ons that o en appear in consumer fi nancing agreement with the fi duciary. From research shows that to provide legi macy to the par es the agreement made with authen c deed and registered at the registrar’s offi ce in order to get the right preference fi duciary for the creditors. The execu on of the object of the agreement guarantees the consumer fi nance is s ll a lot of problems such as no registra on has fi duciary at the registra on offi ce as s pulated in fi duciary law and implemen ng regula ons. Besides the lack of informa on and understanding of the fi duciary debtor also resulted in the se lement of disputes between debtors and creditors are not elegant. Keywords: fi duciary, collateral, debitur, creditur, fi nancing

Page 44: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

200

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 199-214

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNA. Pendahuluan

Pembiayaan konsumen saat ini marak dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar. Pembiayaan konsumen yang berkembang dalam sepuluh tahun terakhir ini pada umumnya terfokus pada pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor, baik untuk roda dua maupun roda empat. Tumbuhnya lembaga pembiayaan konsumen sebenarnya merupakan replika dari pembiayaan perusahaan atau yang dikenal dengan leasing1. Ciri khas dari usaha leasing adalah penyewaan atas obyek modal untuk jangka waktu tertentu dimana pada akhir masa sewa terdapat hak opsi atas sewa barang, berupa membeli obyek leasing, menyewa lagi atau tanpa opsi membeli2. Senada dengan pembiayaan perusahaan, maka konsumen yang dak memiliki uang cukup saat ini banyak diberikan talangan oleh lembaga pembiayaan tersebut. Dasar pelaksanaan untuk mengimplementasikan pembiayaan konsumen umumnya iden k dengan leasing3. Untuk melaksanakan perjanjian leasing, faktor terpen ng adalah kepercayaan, karenanya i kad baik merupakan kunci dari

terlaksananya perjanjian leasing, khususnya dalam hal pembiayaan konsumen.

Berkembangnya lembaga pembiayaan jenis ini berimplikasi pula dengan jenis jaminan. Bagaimanapun jaminan merupakan hal pen ng dan diperlukan dalam se ap perjanjian, terlebih dengan pinjam meminjam4. Mengenai bentuk jaminan, umumnya dikenal jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Dan, salah satu jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum posi f adalah jaminan fi dusia5.

Perjanjian pembiayaan adalah suatu perjanjian penyediaan dana dan atau barang modal yang melipu antara lain usaha–usaha pembiayaan konsumen, sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), usaha kartu kredit, modal ventura (venture capital) dan perdagangan surat berharga, karenanya perjanjian pembiayaaan ini terkait erat dengan hal keuangan. Penger an pembiayaan konsumen menurut keputusan Menteri keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988, adalah:

”Suatu kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran”.

1 Leasing sebagai lembaga pembiayaan bertujuan membantu pengusaha dari sisi permodalan. Industri pembiayaan (multi inance) di Indonesia mulai tumbuh sekitar 1974. Kelahirannya didasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan. Pada awalnya, usaha leasing dii Indonesia terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yaitu; Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia.

2 Leasing dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu Operational lease, dikenal sebagai leasing yang tanpa opsi membeli dan Finansial lease, yaitu leasing yang memberikan opsi membeli pada akhir masa sewa obyek leased.

3 Perjanjian leasing secara khusus tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dengan mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak muncul suatu perjajanjian leasing. Ini merupakan implementasi dari asas pokok hukum perjanjian dimana dalam Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa ”Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan sepakat bersama kedua pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

4 Setiap perjanjian kredit terutama perjanjian leasing, jaminan merupakan hal yang penting karena jaminan adalah sesuatu yang diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk memberikan keyakinan atau kepastian bahwa debitur akan memenuhi prestasinya sesuai yang diperjanjikan.

5 Sebagai lembaga jaminan atas benda bergerak untuk pembiayaan konsumen, jaminan idusia banyak digunakan oleh masyarakat bisnis. Jaminan idusia juga digunakan dalam perusahaan pembiayaan.

Page 45: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

201Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan …. (Purwanto)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNDengan banyaknya usaha–usaha pem-

biayaan yang ada saat ini, tulisan ini akan membatasi pada perjanjian pembiayaan kredit untuk kendaraan bermotor, yang notabene merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan untuk pembiayaan konsumen. Pembiayaan konsumen sesungguhnya adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau kredit, yang bertujuan untuk membantu perorangan ataupun perusahaan dalam pemenuhan kebutuhan dan permodalan mereka, khususnya untuk pembelian kendaraan bermotor. Hal ini ditujukan untuk membantu masyarakat yang memerlukan kendaraaan bermotor tetapi memiliki keterbatasan modal, oleh karena itu dalam perjanjian pembiayaan, pelunasan hutang debitor dilakukan secara angsuran atau kredit6. Perjanjian pembiayaan konsumen merupakan suatu bentuk persetujuan dimana pemberi fasilitas / kreditor setuju memberikan pinjaman uang melalui fasilitas pembiayaan dengan Jaminan hak milik secara Fidusia kepada penerima fasilitas pembiayaan/debitor.

Pemberian pinjaman uang dalam perjanjian ini disebut dengan is lah pembiayaan.

Dengan menerima fasilitas dana pembiayaan itu, maka penerima fasilitas menyatakan secara sah berhutang kepada pemberi fasilitas. Dengan tercapainya kesepakatan ini maka pemberi fasilitas berkewajiban untuk mencairkan dana pembiayaan yang merupakan hak bagi penerima fasilitas dan secara otoma s sang debitor memikul kewajiban untuk membayar kembali hutang pembiayaan dengan cara yang telah disepeka . Proses pembiayaan konsumen ini melibatkan ga pihak (triangular transac on) yaitu perusahaan yang bergerak dibidang pembiayaan konsumen yang melakukan kegiat-an usaha berupa penyediaan dana untuk mem-beli barang yang ber ndak sebagai pemberi fasilitas atau kreditor, konsumen sebagai penerima fasilitas atau debitor dan dealer/supplier/showroom sebagai penyedia barang dan melakukan penjualan. Agar terwujud sikap saling percaya (trus g environment) dan rasa aman (secure) bagi kedua belah pihak, maka pembuatan perjanjian pembiayaan konsumen dilaksanakan dan diiku dengan penyerahaan Jaminan hak milik secara Fidusia7.

6 Ini sesuai dengan tujuan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan perkreditan dalam rangka pembangunan, yaitu untuk membantu para pengusaha untuk menambah permodalannya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup dari masyarakat golongan ekonomi lemah maupun dari golongan menengah. Hal ini diatur dalam Pasal 1 butir 12 Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan.

7 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Gra ika, 2008), hal 96. Adanya janji bahwa penerima fasilitas memenuhi janji untuk setiap waktu melakukan pencicilan hutang yang dikhawatirkan oleh pihak perusahaan pembiayaan atau pemberi fasilitas tidak akan memenuhi janji itu. Selain itu, mungkin saja jaminan sudah dijual atau dimiliki orang ketiga yang berakibat pemberi fasilitas dirugikan. Penerima fasilitas meskipun tidak memegang hak kepemilikan atas obyek Jaminan Fidusia namun barang Jaminan itu berada dalam tangan penerima fasilitas. Jika hutang pemberi Fidusia/ penerima fasilitas telah dibayar berjumlah sama dengan harga pembelian berikut dengan bunganya maka barang yang dijaminkan menjadi hak miliknya secara utuh. Dengan demikian dapat dihindari kemungkinan bahwa sebelum jumlah total hutang dibayar, barang Jaminannya sudah dijual kepada orang lain. Sebab kalau penerima fasilitas menjualnya, ia dapat dihukum pidana berdasarkan atas pelanggaran Pasal 372 KUHPidana yakni penggelapan barang yang merupakan kejahatan. Dengan perjanjian seperti itu kedua belah pihak tertolong, artinya penerima fasilitas dapat memilik barang dengan mendapatkan dana pembiayaan yang dapat dilunasi secara cicil yang mana ia sendiri tidak mampu membayar secara tunai dan seketika dapat menikmati barangnya, sedangkan dilain pihak pemberi fasilitas merasa aman karena barang Jaminan tidak akan dihilangkan oleh Penerima fasilitas selama hutang belum dibayar lunas karena ia takut terjerat ancaman pidana yakni penggelapan.

Page 46: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

202

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 199-214

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNJaminan fi dusia sendiri diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Di dalam Pasal 1 disebutkan: ”Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar keper cayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Jaminan fi dusia merupakan hak jaminan atas benda, hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang dak berwujud dan benda dak bergerak, khususnya bangunan yang dak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Fidusia merupakan terobosan bagi dunia usaha dan untuk memberikan jaminan kepada investor, oleh karena itu obyek fi dusia juga dida arkan8 guna kepen ngan investor sendiri. Hal-hal terkait dengan perjanjian lembaga pembiayaan dengan jaminan fi dusia ini ini adalah: 1). Piutang, yaitu hak untuk menerima pembayaran; 2). Benda, yaitu segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang dak berwujud, yang terda ar maupun yang dak terda ar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang dak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.

B. Permasalahan

Persoalan yang muncul dalam perjanjian lembaga pembiayaan konsumen umumnya ke ka debitur lalai mengembalikan uang pinjaman pada saat yang ditentukan. Hal ini menyebabkan kreditur merasa dak aman, dan untuk memas kan pengembalian uangnya, maka kreditur tentu akan meminta kepada debitur untuk mengadakan perjanjian tambahan, guna menjamin dilunasinya kewajiban debitur pada waktu yang telah ditentukan, dan disepaka sebelumnya diantara kreditur dan debitur. Oleh karena itu dalam penulisan ini penulis akan membahas 2 (dua) persoalan terkait dengan perjanjian pembiayaan konsumen, yaitu:1. Bagaimana transaksi pembiayaan konsumen

dengan jaminan fi dusia ini dilaksanakan?2. Pelanggaran apa yang sering muncul da lam

perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fi dusia?

C. Metode Peneli an

Berdasarkan permasalahan peneli an di atas, peneli an ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris9, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat gejala-gejala sosial yang berkaitan dengan hukum di tengah masyarakat. Pendekatan yuridis empiris meng-kaji bagaimana ketentuan norma f diwujudkan senyatanya di masyarakat.

8 Lihat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, Pasal 11.9 Penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang

diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm. 15.

Page 47: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

203Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan …. (Purwanto)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHND. Pembahasan

1. Pembiayaan Konsumen Dengan Jaminan Fidusia

Fidusia merupakan kata atau is lah dari bahasa asing yang sudah dibakukan ke dalam bahasa Indonesia dan sudah menjadi is lah resmi dalam hukum di Indonesia. Fidusia dalam bahasa Belanda secara lengkap disebut dengan ”Fiduciaire Eigendoms Overdracht”, dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan is lah ”Fiduciary Transfer of Ownership”10. Menurut asal katanya, fi dusia berasal dari bahasa La n ”fi des” yang berar ”kepercayaan”11. Menurut A.Hamzah dan Senjun Manullang Fiducia merupakan suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitor), berdasarkan adanya suatu perjanjian pokok (perjanjian hutang piutang) kepada kreditor, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridische levering dan hanya dimiliki oleh kreditor secara kepercayaan saja (sebagai jaminan hutang debitor) sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitor tetapi bukan lagi sebagai eigenaar maupun bezi er melainkan hanya sebagai detentor atau houder

untuk dan atas nama kreditor eigenaar”.12 Sedangkan Munir Fuady menyatakan fi dusia ini disebut juga dengan is lah Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan13. Oey Hoey Tiong menyebut bahwa fi dusia atau lengkapnya Fiduciaire Eigendoms Overdracht sering disebut sebagai Jaminan Hak Milik Secara Kepercayaan dan merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda bergerak disamping gadai yang dikembangkan oleh yurisprudensi.14 Dan, Gunawan Widjaja & Ahmad Yani menyatakan bahwa fi dusia berdasarkan asal katanya ”fi des” yang berar kepercayaan”.15

Sumber-sumber hukum yang melandasi lembaga jaminan fi dusia ini ada yang bersifat umum dan adapula yang bersifat khusus. Aturan yang bersifat umum adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian yang mereka buat, sepanjang dak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan keter ban umum.

10 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cet. II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 3-4. Dalam literatur Belanda kita jumpai pula pengungkapan jaminan idusia ini dengan istilah-istilah sebagai berikut: Zekerheids eigendom (hak milik sebagai jaminan); 1. Bezitloos Zekerheidsrecht (jaminan tanpa menguasai); 2. Verruimd Pand Begrip (gadai yang diperluas); 3. Eigendom Overdracht tot Zekerheid (penyerahan hak milik secara jaminan); 4. Bezitloos Pand (gadai tanpa penguasaan); 5. Een Verkapt Pand Recht (gadai berselubung); 6. Uitbaouw dari Pand (gadai yang diperluas).

11 Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 21. Memang konstruksi idusia adalah, bahwa hubungan hukum antara debitur pemberi idusia dan kreditur penerima idusia merupakan suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Pemberi idusia percaya bahwa kreditur penerima idusia mau mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitur melunasi utangnya. Kreditur juga percaya bahwa pemberi idusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya dan mau memelihara barang jaminan tersebut selaku bapak rumah yang baik

12 A. Hamzah dan Senjun Manullang, Lembaga Fidusia Dan Penerapannya Di Indonesia, (Jakarta: Indhill Co., 1987), hlm. 37.

13 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 3.14 Oey Hoey Tiong, Op. Cit., hlm. 21.15 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia (Seri Hukum Bisnis), Cet. II, (Jakarta: Raja Gra indo Persada,

2001), hlm. 113.

Page 48: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

204

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 199-214

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNSedangkan aturan yang bersifat khusus antara

lain:16

1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, LN.75, TLN.3318;

2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, LN.168, TLN.3889;

3) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999, LN.58, TLN.3837, jo.Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kehakiman, LN.171, TLN.4006;

4) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penda aran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, LN.170, TLN.4005;

5) Keputusan Presiden Nomor 139 Tahun 2000 tanggal 30 September 2000 tentang Pembentukan Kantor Penda aran Fidusia Di Se ap Ibukota Propinsi Di Wilayah Negara Republik Indonesia;

6) Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.UM.01.06 Tahun 2000 tanggal 30 Oktober 2000 tentang Bentuk Formulir Dan Tata Cara Penda aran Jaminan Fidusia;

7) Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.08.UM.07.01 Tahun 2000 tanggal 30 Oktober 2000 tentang Pembukaan Kantor Penda aran Fidusia;

8) Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 2001 tanggal 30

Maret 2001 tentang Pembukaan Kantor Penda aran Fidusia Di Seluruh Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;

9) Surat Edaran Direktur Jenderal Admi nistrasi Hukum Umum Departemen Keha kiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C.UM.01.10-11 tanggal 19 Januari 2001 tentang Penghitungan Penetapan Jangka Waktu Penyesuaian Dan Penda aran Perjanjian Jaminan Fidusia.Obyek jaminan fi dusia pada awalnya

ditujukan hanya untuk benda bergerak, akan tetapi dalam perkembangannya, obyek fi dusia dak hanya benda bergerak saja, tetapi juga

melipu benda dak bergerak17. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menyebutkan bahwa obyek jaminan fi dusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang dak berwujud, yang terda ar maupun yang dak terda ar dan benda dak bergerak yang dak dapat dibebani hak tanggungan maupun

hipo k18. Sedangkan J. Satrio menyatakan bahwa benda yang dapat menjadi obyek Jaminan Fidusia sekarang ini melipu : Benda Bergerak dan Benda Tetap Tertentu yaitu benda tetap yang dak bisa dijaminkan melalui lembaga jaminan

hak tanggungan atau hipo k dan dengan syarat benda tetap tersebut dapat dimiliki dan dapat dialihkan.19

Lebih lanjut dalam ketetuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

16 A.Hamzah dan Senjun Manullang, Op.Cit., hlm. 41-42.17 Hal ini dapat dilihat dari Keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 158/1950/Pdt tanggal 22 Maret 1950

dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 372 K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971, yang menyatakan bahwa idusia hanya sah sepanjang mengenai barang-barang bergerak.

18 Lihat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,Pasal 1 ayat (2) dan ayat (4).19 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 179.

Page 49: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

205Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan …. (Purwanto)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNFidusia menyatakan, bahwa Jaminan Fidusia

dak berlaku terhadap:1. Hak tanggungan yang berkaitan dengan

tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib dida ar;

2. Hipotek atas kapal yang terda ar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih;

3. Hipotek atas pesawat terbang; dan4. Gadai.

Dengan demikian, obyek jaminan fi dusia adalah benda bergerak dan benda dak bergerak, khususnya bangunan yang dak bisa dibebani dengan hak tanggungan. Akan tetapi dalam prakteknya, kebanyakan jaminan fi dusia berupa benda bergerak, antara lain kendaraan bermotor, stok barang dagangan (inventory). Sedangkan jaminan fi dusia berupa benda dak bergerak seper kios jarang digunakan. Hal ini berkaitan dengan tempat penda aran yang dirasakan kurang menjamin kepas an hukum terhadap kreditur, dan kemungkinan meng-hadapi kesulitan lebih besar dibandingkan dengan benda bergerak dalam eksekusi benda

jaminan dikemudian hari. Sehingga secara prak s obyek jaminan fi dusia hanya berupa benda bergerak saja.

Mengenai benda yang menjadi jaminan fi dusia, Undang-Undang Fidusia pada Pasal 5 ayat (1) menentukan, bahwa pembebanan benda dengan jaminan fi dusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fi dusia. Dalam akta jaminan fi dusia, selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan waktu (jam) pembuatan akta tersebut. Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) tersebut, maka pembebanan jaminan fi dusia yang merupakan perjanjian fi dusia dibuat dalam bentuk tertulis dengan akta notaris20.

Di njau dari sudut pembuk an yang berlaku di Indonesia, maka akta oten k merupakan alat buk yang paling kuat dalam hal terjadi sengketa diantara para pihak. Akta oten k merupakan suatu buk yang sempurna yang dak bisa dibantah kebenarannya oleh para

pihak, kecuali ada unsur penipuan, paksaaan atau kekeliruan yang harus dibuk kan oleh pihak yang membantahnya. Pasal 1870 KUHPerdata menentukan, bahwa: ”Suatu akta oten k memberikan diantara para pihak

20 Notaris merupakan pegawai/pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, demikian menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang menyatakan: ”Notaris adalah pegawai umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh sesuatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan agar dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kebenaran tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya itu sebegitu jauh pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pegawai umum lainnya”.

Pengertian Notaris menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Pengertian akta otentik sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, bahwa: ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Dari pengertian Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, maka suatu akta untuk dapat dikatakan akta otentik harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: a. Dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum; b. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; c. Pegawai umum itu berwenang membuat akta itu.

Page 50: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

206

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 199-214

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNbeserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-

orang yang mendapat hak dari mereka, suatu buk yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”

Jadi ketentuan untuk pembebanan jaminan fi dusia dalam bentuk akta notaris merupakan upaya dalam memberikan kepas an dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait, karena pada umumnya benda yang menjadi obyek jaminan fi dusia adalah barang yang dak terda ar.

Dalam fi dusia, penda aran merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebagai syarat lahirnya jaminan fi dusia untuk memenuhi asas publisitas. Ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Fidusia yang berbunyi: ”benda yang dibebani dengan jaminan fi dusia wajib dida arkan”.

Penda aran tersebut memiliki ar yuridis sebagai suatu rangkaian yang dak terpisah dari proses terjadinya perjanjian jaminan fi dusia, dan selain itu penda aran jaminan fi dusia merupakan perwujudan dari asas publisitas dan kepas an hukum.21 Hal ini sesuai juga dengan ketentuan dalam Pasal 14 ayat

(3) Undang-Undang Fidusia, bahwa jaminan fi dusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Da ar Fidusia. Dalam sistem hukum yang ada penda aran melipu penda aran benda dan penda aran ikatan jaminan22.

Penda aran fi dusia yang diatur dalam Undang-Undang Fidusia dimaksudkan untuk memberikan kepas an hukum terhadap para pihak yang terkait dalam fi dusia. Karena sebelum keluarnya Undang-Undang Fidusia penda aran fi dusia dak diwajibkan. Permohonan Penda aran Jaminan Fidusia dilakukan oleh pihak penerima fi dusia atau wakilnya atau kuasanya dengan melampirkan pernyataan Penda aran Jaminan Fidusia, hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Permohonan penda aran jaminan fi dusia tersebut dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia melalui Kantor Penda aran Fidusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penda aran

21 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 213.

22 Pendaftaran suatu benda merupakan suatu pembukuan/registrasi benda tertentu, dimana dalam buku register tersebut dicatat dengan teliti ciri-ciri benda dan pemilik benda yang bersangkutan, dan benda yang telah didaftarkan tersebut disebut dengan istilah benda terdaftar atau benda atas nama. Berdasarkan keterangan di atas, maka orang yang namanya terdaftar dalam buku pendaftaran benda/register menjadi pemilik dari benda yang bersangkutan. Dengan demikian hak dari pemilik benda menjadi terdaftar yang kemudian terhadap pemilik benda terdaftar tersebut akan dikeluarkan bukti kepemilikan. Selain itu karena hak yang terdaftar adalah hak si pemilik atas suatu benda, maka berdasarkan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak si pemilik merupakan hak kebendaan, suatu hak yang bersifat absolute, sehingga bisa ditujukan dan dipertahankan terhadap siapa saja. Hal lain yang juga berkaitan dengan sifat kebendaan adalah droit de suite. Terhadap benda yang telah didaftarkan atau benda terdaftar dalam penyerahan dan pembebanannya dilakukan dengan mendaftarkan kata peralihannya atau akta pembebanannya dalam buku register yang bersangkutan. Terhadap benda terdaftar ini, bagi pihak ketiga yang melakukan pengoperan atau melakukan pemindahan hak dari pihak yang tidak berhak, tidak dapat membenarkan perolehannya hanya berdasarkan itikad baik semata. Sedangkan pendaftaran ikatan jaminan yang berlaku dalam sistem hokum kita adalah Pendaftaran ikatan jaminan atas benda terdaftar. Contohnya adalah ikatan jaminan yang ada pada hipotik dan hak tanggungan, dimana ikatan jaminannya merupakan ikatan jaminan terhadap benda terdaftar. Keadaan yang sama juga berlaku terhadap tanah dimana tanah yang akan dijadikan jaminan harus didaftarkan dahulu baru bisa dijadikan jaminan.

Page 51: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

207Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan …. (Purwanto)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNJaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta

Jaminan Fidusia.Permohonan penda aran fi dusia dilakukan

oleh penerima fi dusia atau wakilnya atau kuasanya dengan melampirkan pernyataan penda aran jaminan fi dusia, yang memuat: 1) Iden tas pihak pemberi dan penerima fi dusia; 2)Tanggal, nomor akta jaminan fi dusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fi dusia; 3) Data perjanjian pokok yang dijamin fi dusia; 4) Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fi dusia; 5) Nilai penjaminan; 6) Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fi dusia. Sebagai buk bahwa kreditur telah melakukan penda aran jaminan fi dusia adalah diterbitkannya ser fi kat jaminan fi dusia oleh Kantor Penda aran Fidusia, pada hari penda aran dilakukan. Ser fi kat jaminan fi dusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap. Ar nya bahwa ser fi kat jaminan fi dusia dapat langsung dipakai sebagai alat eksekusi terhadap obyek jaminan fi dusia tanpa melalui proses pengadilan, bersifat fi nal dan mengikat. Apabila setelah dida arkan terjadi perubahan dalam hal jaminan fi dusia, maka penerima fi dusia wajib mengajukan permohonan penda aran atas perubahan tersebut ke Kantor Penda aran Fidusia, dan perubahan tersebut dak perlu dilakukan dengan akta notaris.

Penda aran jaminan fi dusia dilakukan di Kantor Penda aran Fidusia, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 Undang-Undang Fidusia. Kantor Penda aran Fidusia berada dalam lingkup Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang bertempat di Jakarta. Kantor penda aran

Fidusia didirikan untuk pertama kali di Jakarta dan secara bertahap sesuai keperluan akan didirikan di ibukota propinsi di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Penda aran Fidusia di Se ap Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia, bahwa Kantor Penda aran Fidusia didirikan di se ap ibukota propinsi dan berada dalam lingkup Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Sedangkan untuk pendirian Kantor Penda aran Fidusia di daerah ngkat II dapat disesuaikan dengan Undang-

undang tentang Pemerintahan Daerah, hal ini sesuai dengan keterangan dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Fidusia.

Dengan dilakukannya penda aran jaminan fi dusia di Kantor Panda aran Fidusia serta diterbitkannya ser fi kat jaminan fi dusia, maka benda atau obyek yang menjadi jaminan fi dusia juga beralih kepemilikannya dari pemberi kepada penerima fi dusia, walaupun penguasaannya diberikan secara sukarela kepada pemberi fi dusia. Pemberi fi dusia dak lagi berhak untuk memperjualbelikan atau memindahtangankan obyek jaminan fi dusia tersebut, kecuali untuk obyek jaminan fi dusia yang berupa benda persediaan/stok barang dagangan (inventory). Pemberi fi dusia bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan obyek jaminan fi dusia sebagai akibat pemakaian dan keadaan obyek jaminan fi dusia yang berada dalam penguasaannya karena obyek jaminan fi dusia sepenuhnya berada dalam penguasaan pemberi fi dusia termasuk memperoleh manfaat dari obyek jaminan fi dusia tersebut.23 Bagi penerima fi dusia setelah dilakukan penda aran jaminan

23 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit., hlm. 129.

Page 52: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

208

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 199-214

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNfi dusia, maka penerima fi dusia menjadi kreditur

preferen atau mempunyai hak didahulukan un-tuk mengambil pelunasan piutangnya atas ha-sil eksekusi benda yang menjadi obyek jamina n fi dusia. Dengan diterbitkannya ser fi kat jaminan fi dusia, maka penerima fi dusia mempunyai hak eksekutorial yaitu penerima fi dusia langsung dapat melaksanakan eksekusi terhadap obyek jaminan fi dusia apabila pemberi fi dusia mela-kukan cidera janji terhadap pelunasan utang yang dijamin dengan benda yang menjadi obyek jaminan fi dusia tanpa harus melalui pangadilan dan bersifat fi nal serta mengikat para pihak untuk melaksanakannya.

Jaminan fi dusia akan hapus manakala hu-tang yang dijamin dengan fi dusia hapus, ada-nya pelepasan hak atas jaminan fi dusia oleh penerima fi dusia, dan benda yang menjadi obyek jaminan fi dusia musnah24. Dengan hapusnya jaminan fi dusia, Kantor Penda aran Fidusia akan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan ser fi kat jaminan fi dusia yang bersangkutan dak berlaku lagi.

2. Permasalahan Hukum Berkaitan De-ngan Pembiayaan Konsumen Dengan Jaminan Fidusia

a. Transaksi Pembiayaan Konsumen De-ngan Jaminan Fidusia

Dalam praktek lembaga pembiayaan kon su-men ini sangat dimina oleh para konsumen. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan bahwa proses/ prosedur permohonan untuk mendapatkan pembiayaan sangat mudah serta dak diperlukan adanya jaminan barang-barang lain selain barang

yang bersangkutan dijadikan obyek jaminanyang pengikatannya dilakukan secara Fidusia.

Sama seper pemberian kredit oleh bank, pada lembaga pembiayaan konsumen juga memerlukan jaminan dalam ar keyakinan bagi perusahaan pembiayaan bahwa konsumen akan dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian pembiayaan yang telah ditandatangani. Seper diketahui pemberian pembiayaan oleh perusahaan.

Pembiayaan kepada konsumen dituangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian pembiayaan.

Jaminan-jaminan yang diberikan dalam transaksi pembiayaan konsumen ini pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian kredit bank. Untuk itu, jaminan dalam pembiayaan konsumen dibagi kedalam jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan tambahan.

1. Jaminan utama

Sebagai suatu kredit, maka jaminan pokoknya adalah kepercayaan dari kreditur (perusahaan pembiayaan) kepada debitur (konsumen), bahwa pihak konsumen dapat dipercaya dan sanggup memenuhi kewajibannya. Jadi disini prinsip pemberian kredit yang dikenal dengan prinsip 5C (character, capital, capacity, condi on of economic dan collateral) juga berlaku dan diterapkan pada pembiayaan konsumen. Untuk mengetahui dan menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit, pada umumnya dunia perbankan menggunakan instrument analisa 5C (the fi ve of credit) ini25.

24 Dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan idusia musnah, dan apabila terdapat jaminan asuransinya maka klaim asuransi tersebut menjadi hak dari penerima idusia. Penerima idusia mempunyai kewajiban untuk memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya jaminan idusia, dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya hutang, pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan idusia.

25 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 92.

Page 53: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

209Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan …. (Purwanto)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN2. Jaminan Pokok

Sebagai jaminan pokok terhadap transaksi pembiayaan konsumen adalah barang yang dibeli dengan dana atau pembiayaan dari perusahaan pembiayaan tersebut. Jika dana tersebut diberikan misalnya untuk membeli mobil, maka mobil yang bersangkutan menjadi jaminan pokoknya. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam bentuk ”Fiduciary Transfer of Ownership” (Fidusia).26

Mengingat dalam pembiayaan konsumen umumnya adalah barang kebutuhan konsumen, seper ; komputer, alat elektronik, alat berat, kendaraan bermotor, dan lain-lainnya, yang notabena masuk katagori barang bergerak, maka pembebanannya atau pengikatannya memakai lembaga jaminan fi dusia.

3. Jaminan Tambahan

Sering juga dalam praktek pem biayaan kon-sumen dimintakan jaminan tambahan, walaupun dak seketat jaminan untuk pemberian kredit oleh

bank. Dalam pengamatan Munir Fuady, biasanya jaminan tambahan terhadap transaksi ini adalah berupa: Surat pengakuan utang (promissory notes), atau acknowledgment of indebtedues, kuasa menjual barang, dan assignment of proceed (cossie) dari asuransi. Disamping itu sering juga dimintakan ”persetujuan istri/suami” untuk kon-sumen pribadi, dan persetujuan komisaris / RUPS untuk konsumen perusahaan sesuai ketentuan Anggaran Dasarnya27.

Pembebanan atau pengikatan barang yang menjadi obyek pembiayaan konsumen dilakukan dengan membuatkan perjanjian tambahan yaitu perjanjian pemberian jaminan fi dusia yang

mengiku perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pembiayaan konsumen.

Pada dasarnya dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen di Indonesia, dak hanya dibuat satu macam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga dibuat berbagai jenis perjanjian lainnya. Perjanjian pokoknya adalah perjanjian pembiayaan konsumen, dan dari perjanjian pembiayaan ini, maka lahirlah perjanjian tambahan atau perjanjian accessoir lainnya, seper perjanjian jaminan fi dusia28. Bila dicerma dalam praktek, masing-masing lembaga pembiayaan mempunyai jenis perjanjian tambahan yang berlaku antara satu dengan yang lainnya. Namun yang pas , pada se ap perjanjian tambahan umumnya ada dibuat perjanjian pemberian jaminan Fidusianya, seper praktek yang dilakukan selama ini oleh perusahaan pembiayaan.

Perjanjian tambahan tersebut meli pu :a) Perjanjian pemberian jaminan fi dusiab) Perjanjian oleh debiturc) Perjanjian pemberian kuasa.

Perjanjian pemberian fi dusia meru pakan perjanjian yang dibuat antara pemberi fi dusia dengan penerima fi dusia, dimana pemberi fi dusia menyerahkan benda jaminan berdasarkan kepercayaan kepada penerima fi dusia, untuk jaminan suatu utang. Pemberi fi dusia adalah penerima fasil as kredit dari lembaga pembiayaan sedangkan penerima fi du sia adalah perusahaan pembiayaan. Biasanya yang diserahkan oleh pemberi fi dusia berupa BPKB kendaraan bermotor (barang) yang menjadi obyek perjanjian pembiayaan konsumen. BPKB inilah yang ditahan

26 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2000), hlm. 168.27 Ibid.28 H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUP Perdata, (Jakarta: PT. Raja Gra indo Persada, 2008), hlm.

135.

Page 54: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

210

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 199-214

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNoleh penerima Fidusia sampai dengan pemberi

fi dusia dapat melunsi utang-utangnya29.Perjanjian pemberian jaminan fi dusia dibuat

dengan akta notaries dalam bahasa Indonesia yang merupakan akta jaminan fi dusia (pasal 5 ayat 1 UU Jaminan Fidusia. Sejalan dengan ketentuan mengenai hipo k dan hak tanggungan, maka akta jaminan fi dusia wajib dibuat dengan akta oten k (akta notaris). Sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta itu adalah notaris yang ditunjuk undang-undang.

Akta oten k adalah suatu akta yang didalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk ditempa dimana akta dibuatnya (pasal 1868 KUH Perdata). Sementara R. Supomo memberikan penger an akta oten k sebagai berikut:

Akta oten k adalah surat yang dibuat oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat tersebut sebagai alat buk 30. Sedangkan akta dibawah tangan adalah surat yang ditandatangani dan dimuat dengan maksud untuk dijadikan buk dari perbuatan hukum31.

Ketentuan pasal 1870 KUH Perdata me-nyatakan bahwa akta notaris merupakan akta oten k yang memiliki kekuatan pembuk an sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya diantara para pihak beserta para ahli wrisnya, atau para penggan haknya. Hal inilah yang menyebabkan UU Jaminan fi dusia menetapkan perjanjian fi dusia harus dibuat dengan akta notaris.32

Alasan lain kenapa akta jaminan fi dusia harus dibuat dengan akta oten k (akta notaris) adalah

mengingat obyek jaminan fi dusia dak saja barang-barang bergerak yang sudah terda ar, tetapi pada umumnya adalah barang bergerak yang dak terda ar, maka sudah sewajarnya bentuk akta oten klah yang dianggap paling dapat menjamin kepas an hukum berkenaan dengan obyek jaminan fi dusia.

Untuk memberikan kepas an hukum, maka pasal 11 UU jaminan fi dusia (UU No. 42 tahun 1999) mewajibkan benda yang dibebani jaminan fi dusia dida arkan pada Kantor Penda aran Fidusia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun benda yang dibebani jaminan fi dusia berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia.

b. Pelanggaran Hukum Perjanjian Lem-baga Pembiayaan Dengan Jaminan Fidusia

Sulitnya pelaksanaan eksekusi dalam per-janjian pembiayaan konsumen oleh lem baga pembiayaan yang juga merupakan kreditur sesungguhnya merupakan implikasi atas dak ter bnya pelaksanaan perjanjian. Kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh pihak kreditur dak dilaksanaan, se hingga pada kemudian hari terjadi beberapa kesulitan dalam pelaksanaan eksekusi. Di samping itu kurangnya informasi atas jaminan fi dusia kepada dibitur juga meng akibatkan pelaksanaan penyelesaian seng-keta antara debitur dan kreditur sering terjadi dalam pelaksanaan eksekusi obyek jaminan. Kesulitan-kesulitan ini sebenarnya ber kem bang atas adanya pelanggaran hukum yang terjadi dalam perjanjian lembaga pembiayaan dengan jaminan fi dusia.

29 Ibid, hlm. 136. 30 R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 76-77.31 Ibid.32 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT. Raja Gra indo Persada, 2000), hlm. 136.

Page 55: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

211Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan …. (Purwanto)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNDapat dimenger bahwa dalam suatu

perjanjian dak mustahil terjadinya suatu pelanggaran. Demikian halnya dengan per janjian pembiayaan konsumen dengan ja minan fi dusia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebenarnya telah secara tegas dan rinci mengatur tentang tata cara pelaksanaan pen-da aran jaminan fi dusia, namun dalam praktek, terjadi berbagai bentuk pelanggar an hukum. Pelanggaran-pelanggaran hukum dilakukan baik oleh pihak kreditur (penerima fi dusia) maupun oleh pihak debitur (pemberi fi dusia).

1. Pelanggaran oleh pihak kreditur

Pelanggaran-pelanggaran yang sering dila-kukan oleh kreditur umumnya adalah kreditur dak menda arkan obyek jamin an fi dusia di

Kantor Pen da aran Fidusia. Banyak kreditur dari lembaga pembiayaan konsumen dak menda arkan obyek ja minan fi dusia di Kantor Penda aran Fi dusia. Padahal Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia di dalam Pasal 11 ayat (1) secara tegas mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fi dusia wajib dida arkan. Terhadap jaminan fi dusia yang dak dida arkan maka ketentuan-ketentuan

dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia dak berlaku. Dengan kata lain keberlakuan

ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia harus dipenuhi syarat benda jaminan fi dusia itu dida arkan. Oleh karena itu kreditur yang dak menda arkan obyek jaminan fi dusia di Kantor Penda aran Fidusia dak bisa menikma keuntungan-keuntungan

dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang jaminan fi dusia, seper misalnya hak preferen atau hak didahulukan.

Konsekwensi lain dengan dak dida arkan-nya suatu obyek jaminan fi dusia adalah apabila debitur wanprestasi maka kreditur dak bisa

langsung melakukan eksekusi terhadap jaminan fi dusia namun harus menempuh gugatan secara perdata di pengadilan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka baru dapat dimintakan eksekusi terhadap obyek jaminan fi dusia.

Bentuk pelanggaran hukum lainnya yang cukup fatal adalah adanya penda aran fi dusia yang dilakukan manakala debitur wanprestasi. Hal ini juga masih banyak dilakukan oleh lembaga pembiayaan (fi nance) dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pada saat debitur mulai wanprestasi, perusahaan fi nance baru menda arkan obyek jaminan fi dusia dalam rangka untuk memenuhi persyaratan untuk melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fi dusia. Pemicu ndakan lembaga fi nance ini dikarenakan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia dak diatur ketentuan mengenai daluarsa penda aran jaminan fi dusia sehingga Kantor Penda aran Fidusia dak punya alasan untuk menolak permohonan penda aran fi dusia yang perjanjian kreditnya sudah ditandatangani dalam waktu yang lama (biasanya 2-3 tahun sebelum dida arkan). Meskipun aturan mengenai daluarsa penda aran jaminan fi dusia dak ada namun dalam Pasal 14 sub 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah diatur bahwa jaminan fi dusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal penda aran jaminan fi dusia sebagaimana tercatat dalam Buku Da ar Fidusia. Oleh sebab itu, apabila ada perjanjian kredit yang dibuat beberapa tahun yang lalu namun penda aran jaminan fi dusianya baru dilakukan belakangan maka ber lakunya jaminan fi dusia itu adalah pada saat dida arkan bukan pada saat perjanjian kredit ditandatangani atau pada saat penandatanganan akta notariil.

Page 56: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

212

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 199-214

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNKonsekwensinya adalah peris wa-peris wa

hukum yang terjadi sebelum pen da aran jaminan fi dusia dak berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.

Masih terdapat bentuk pelanggaran lain yang cukup signifi kan, misalnya kreditur melakukan ek-sekusi terhadap obyek jaminan fi dusia dak ses-uai ketentuan Pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia33. Apabila debitur wanprestasi dengan dak melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan, maka dapat dilakukan eksekusi ter-hadap obyek jaminan fi du sia yang telah dida ar-kan di Kantor Penda aran Fidusia guna peluna-san utang tersebut.

Hal yang sering dilanggar oleh lembaga pembiayaan (fi nance) dalam melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan umum nya prosedur pelaksanaan eksekusi dak dilaksanan sesuai ketentu an. Seper misalnya eksekusi yang dilakukan dengan penjualan di bawah tangan hanya boleh dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepen ngan dan diumumkan minimal dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Ini umumnya dak dilakukan, dan biasanya Finance akan menggunakan jasa debt collector yang langsung mendatangi debitor dan mengambil kendaraan obyek jaminan dan kemudian oleh fi nance akan men jualnya kepada pedagang yang sudah menjadi relasinya. Hasil penjualan dak diberitahukan kepada debitur apakah ada sisa atau masih ada kekurangan dibandingkan dengan

hutang debitur. Sesungguhnya terhadap eksekusi yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 berakibat eksekusi dak sah sehingga pihak pemberi fi dusia (debitur) dapat menggugat untuk pembatalan.

2. Pelanggaran oleh pihak debitur

Selain dilakukan oleh pihak kreditur, pe-langgaran hukum terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 juga dapat dilakukan oleh pihak debitur. Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan debitur adalah sebagai berikut:a. Melakukan ndakan tanpa seijin penerima

fi dusia (kreditur).Perbuatan atau ndakan tanpa seijin

penerima fi dusia oleh debitur umumnya adalah adalah pemberi fi dusia (debitur) menggadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan fi dusia tanpa seijin penerima fi dusia (kreditur). Tindakan ini biasanya dilakukan oleh debitur yang telah mendapatkan pembiayaan dari perusahaan fi nance untuk pembelian kendaraan bermotor, di mana hutangnya belum lunas tapi kendaraannya telah digadaikan secara di bawah tangan kepada pihak ke ga. Terhadap perbuatan tersebut, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mengatur ancaman pidana bagi debitur yang mengadaikan atau mengalihakan obyek jaminan fi dusia tanpa seijin kreditur yaitu diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

33 Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diatur mengenai cara melakukan eksekusi yaitu: 1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Dalam serti ikat jaminan idusia terdapat irah-irah ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 2. Penjualan benda obyek jaminan idusia atas kekuasaan penerima idusia sendiri melalui pelelangan umum; 3.Penjualan di bawah tangan yang

dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima idusia untuk memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Page 57: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

213Beberapa Permasalahan Perjanjian Pembiayaan …. (Purwanto)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNb. Menurunkan kualitas obyek ja minan

fi dusia.Umumnya perbuatan ini dilakukan oleh

debitur dengan mengubah dan atau menggan isi dari benda yang menjadi obyek jaminan sehingga kualitasnya menjadi turun (jelek). Misalnya menggan onderdil ken daraan bermotor dengan onderdil palsu atau onderdil bekas.

Perbuatan debitur tersebut dak dapat dibenarkan karena pada saat ditandatanganinya perjanjian kredit dan perjanjian jaminan fi dusia, hak kepemilikan atas obyek jaminan fi dusia telah ”beralih” dari pemberi fi dusia (debitur) kepada penerima fi dusia (kreditur), sehingga pemberi fi dusia (debitur) hanya ”dianggap sebagai penyewa” yang mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan memakai obyek jaminan yang dikuasainya dengan baik.

c. Menjaminkan kembali obyek fi dusiaSeringkali terjadi debitur menjamin kan

kembali obyek jaminan fi dusia kepada pihak lain. Sesungguhnya dalam prinsip jaminan fi dusia terdapat larangan untuk melakukan fi dusia ulang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia. Hal ini ditujukan untuk melindungi kepen ngan pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada debitur. Ketentuan tersebut sangat logis karena atas obyek jaminan fi dusia dimaksud hak kepemilikannya telah ”beralih” dari pemberi fi dusia (debitur) kepada penerima fi dusia (kreditur) sehingga dak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila atas benda yang sama menjadi obyek jaminan fi dusia lebih dari satu perjanjian jaminan fi dusia maka hak yang didahulukan diberikan kepada pihak yang lebih dahulu menda arkannya di Kantor Penda aran Fidusia.

E. PENUTUP1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, pem-biayaan konsumen merupakan salah satu alterna f pembiayaan yang dapat diberikan kepada konsumen atas suatu barang dengan pembayaran angsuran yang dilakukan secara berkala. Perjanjian pembiayaan umumnya disertai barang jaminan baik jaminan utama, jaminan pokok, dan jaminan tambahan untuk meng an sipasi terjadinya wanprestasi atau kemacetan dalam pengembalian kredit. Salah satu jaminan tambahan dalam dalam perjanjian pembiayaan konsumen adalah jaminan fi dusia. Untuk memberikan legi masi bagi para pihak maka perjanjian dibuat dengan akta okta oten k, dan dida arkan pada kantor penda aran fi dusia guna mendapatkan hak preference bagi kreditur. Berdasarkan praktek, perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fi dusia belum sepenuhnya dipahami oleh debitur. Hal ini terungkap setelah terjadi persengketaan antara kreditur dan debitur dan terjadinya eksekusi terhadap jaminan fi dusia.

Eksekusi atas obyek jaminan dalam dalam perjanjian pembiayaan konsumen masih ba-nyak mengalami masalah. Permasalahan ini umumnya terjadi karena dak dilaksanakannnya kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh pihak kreditur, seper dak dilaksanaannya penda aran jaminan fi dusia pada kantor penda aran fi dusia sebagaimana diatur dalam undang-undang jaminan fi dusia dan peraturan pelaksanaannya. Disamping itu informasi dan pemahaman yang kurang dari debitur atas jaminan fi dusia juga mengakibatkan penye-lesaian sengketa antara debitur dan kreditur dak elegan.

Page 58: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

214

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 199-214

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN2. Saran

Talangan pembiayaan oleh lembaga pem-biayaan konsumen kepada debitur yang lebih banyak menimbulkan sifat-sifat komsum f masyarakat karena mereka belum memahami jaminan fi dusia atas perjanjian pembiayaan konsumen sehingga seringkali apabila terjadi wanprestasi mereka belum rela untuk dilakukan eksekusi atas obyek jaminan. Oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai kerugian dan dampak nega f dari penerimaan talangan dari lembaga pembiayaan konsumen.

Penyelesaian sengketa perjanjian lembaga pembiayaan konsumen dengan jaminan fi dusia dak elegan bahkan cenderung menimbulkan

sengketa yang kadang menjurus kearah kriminal. Oleh karena itu proses eksekusi atas obyek jaminan dari perjanjian pembiayaan konsumen harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

BukuFuady, Munir, Jaminan Fidusia, Cet. II, (Bandung:

Citra Aditya Bak , 2003).Fuady, Munir, Jaminan Fidusia, (Bandung: PT. Citra

Aditya, 2000).Hamzah, A., dan Senjun Manullang, Lembaga Fidusia

Dan Penerapannya Di Indonesia, (Jakarta: Indhill Co., 1987).

HS, H. Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUP Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafi ndo Persada, 2008).

Kamelo, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, (Bandung: Alumni, 2006)

Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya Bak , 2002).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peneli an Hukum Norma : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990)

Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafi ka, 2008).

Supomo, R., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980)

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2004)

Tiong, Oey Hoey, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985).

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia (Seri Hukum Bisnis), Cet. II, (Jakarta: Raja Grafi ndo Persada, 2001).

Widjaja, Gunawan, & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT. Raja Grafi ndo Persada, 2000).

Page 59: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

215Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPEMBAHARUAN REGULASI JASA KONSTRUKSI DALAM UPAYA

MEWUJUDKAN STRUKTUR USAHA YANG KOKOH, ANDAL, BERDAYA SAING TINGGI DAN PEKERJAAN KONSTRUKSI YANG BERKUALITAS

(Construc on Services Regula on Reform in Eff orts to Realize a Solid, Reliably, Highly Compe ve and Quality of Construc on Work)

Ade Irawan Taufi kBadan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Jl. Mayjen Soetoyo, Cililitan, Jakarta Timure-mail: ade.taufi [email protected] / [email protected]

Naskah diterima: 11 Mei 2012; revisi: 02 Juli 2012; disetujui: 19 Juli 2012

Abstrak Jasa konstruksi mempunyai peranan pen ng dan strategis dalam menghasilkan prasarana dan sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang. Dalam mendukung tujuan pembangunan tersebut, pengembangan jasa konstruksi diarahkan untuk memiliki daya saing dan struktur usaha kokoh yang tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifi kasi umum, spesialis, dan terampil. Permasalahan yang diteli adalah bagaimana kondisi pengaturan jasa konstruksi saat ini dan bagaimana arah pembaharuan regulasi konstruksi di masa depan dalam mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkulitas. Dengan menggunakan metode peneli an norma f empirik dihasilkan dapat diketahui bahwa kondisi jasa usaha konstruksi pada saat ini belum mewujudkan struktur usaha jasa konstruksi yang kokoh, andal, berdaya saing nggi. Regulasi jasa konstruksi saat ini belum memadai sehingga perlu segera dilakukan pembaharuan regulasi mengenai hal ini.Kata kunci: regulasi, jasa konstruksi, kemitraan, daya saing

AbstractConstruc on services have an important and strategic role in producing a func oning infrastructure and facili es to support growth and development of various fi elds. In support of these development objec ves, development of construc on services geared to be compe ve and have a solid business structure that is refl ected by the establishment of a synergis c partnership between service providers, both large-scale, medium, and small, as well as a public, specialists, and skilled service providers. The problems studied are the condi on of the current regula on of construc on services; and how to reform the regula on of construc on in the future in crea ng a solid business structure, reliable and highly compe ve and qualifi ed construc on work outcome. By using norma ve empirical research method, can be seen that the condi on of the construc on business services nowadays have not crea ng a solid, reliable and highly compe ve business structure. Regula on of construc on services is currently inadequate to treat the condi on so it need an immediate regulatory reform.Keywords: regula on, construc ons services, partnership, compe on

Page 60: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

216

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNA. Pendahuluan

Konstruksi merupakan sektor perekonomian yang sangat pen ng untuk menghasilkan suatu produk bangunan, baik dalam fungsinya sebagai infrastruktur1 maupun proper , serta penyumbang Produk Domes k Bruto (PDB) yang signifi kan. Keluaran (output) dari sektor ini sangat pen ng bagi pembangunan sosial ekonomi bangsa dan merupakan masukan (input) bagi sektor-sektor perekonomian lain-nya. Sektor konstruksi juga berperan pen ng dalam pembentukan Gross Fixed Capital Forma on (GFCF)2. Sebagai aset fi sik, infra-struktur berfungsi memberi layanan bagi berbagai ak vitas sosial ekonomi masyarakat dan menjadi social overhead capital3 bagi pembangunan suatu bangsa. Selanjutnya, produk sektor konstruksi seper jaringan jalan, jembatan, bendungan dan jaringan irigasi, perumahan dan permukiman, gedung tempat

nggal dan perdagangan, bandar udara dan pelabuhan menjadi pembentuk lingkungan terbangun (built environment).4

Dalam pembangunan nasional, jasa kon-struksi mempunyai peranan pen ng dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fi sik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bi dang ekonomi, sosial, dan budaya. Jasa konstruksi nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya dalam pem bangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pe-kerjaan konstruksi yang berkualitas.5 Perha an terhadap pengembangan jasa konstruksi sebagai salah satu sektor dalam mewujudkan tujuan pembangunan, sebagaimana tertuang dalam

1 Infrastruktur merupakan prasarana atau segala sesuatu yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya), Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 331 dan 699. Di dalam Black’s Law Dictionary, infrastruktur atau infrastructure diartikan sebagai ”the underlying framework of a system; esp., public services and facilities (such as highways, schools, bridges, sewers, and water systems) needed to support commerce as well as economic and residential development)”, Bryan A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary 9th Edition, (St. Paul Minnesota, USA: Thomas Reuters, 2010), hlm. 668. Infrastruktur dalam konteks pembangunan isik diartikan sebagai sebagai komponen-komponen tributari (yang sengaja dibangun, manmade) untuk mendukung/mempermudah masyarakat terhadap akses mobilitas manusia, barang dan jasa, pemanfaatan dan pengendalian sumber daya air, akses dan mobilitas sumber daya energi, akses komunikasi, serta akses atas sarana dan prasarana permukiman/tempat tinggal (sumber: Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, Glossary Sumber Daya Investasi, http://pusbinsdi.net/glossary.php?lagi=0, diakses tanggal 10 Juni 2012).

2 Gross Fixed Capital Formation (GFCF) meliputi pekerjaan tanah (pagar, selokan, saluran air, dan sebagainya); pabrik, mesin, dan pembelian peralatan, dan pembangunan jalan, kereta api, dan sejenisnya, termasuk sekolah, kantor, rumah sakit, tempat tinggal perumahan swasta, dan bangunan komersial dan industri (sumber: http://data.worldbank.org/indicator/NE.GDI.FTOT.CD, diakses tanggal 01 Juli 2012).

3 Social Overhead Capital merupakan barang-barang modal yang menjadi dasar atau sarana penting bagi keperluan masyarakat yang secara tidak langsung bermanfaat dalam usaha meningkatkan produksi, seperti perumahan, sekolah, rumah sakit dan lain-lain.

4 Tim Penyusun Buku Konstruksi Indonesia 2011, Konstruksi Indonesia 2011, Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan, Inovasi Investasi dan Dukungan Sektor Konstruksi Indonesia, (Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, 2011), hlm. 6.

5 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833).

Page 61: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

217Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNRencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, yaitu melalui percepatan pembangunan infrastruktur yang memadai untuk peningkatan daya saing perekonomian dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas.6

Dalam mendukung tujuan pembangunan tersebut, pengembangan jasa konstruksi diarahkan untuk memiliki daya saing dan kemampuan menyelenggarakan pekerjaan kon struksi secara lebih efi sien dan efek f, se-dang kan struktur usaha yang kokoh tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifi kasi umum, spesialis, dan terampil, serta perlu diwujudkan pula keter ban penyelenggaraan jasa konstruksi untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban.

Upaya pemerintah dalam mengem bangkan jasa usaha konstruksi yang berkualitas, tepat waktu dan efi sien secara norma f diformulasikan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) dan berbagai peraturan perundang-undangan pelaksana dari UUJK tersebut. Pengaturan jasa konstruksi dalam UUJK yang berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan,

kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepen ngan masyarakat, bangsa, dan negara, bertujuan untuk memberikan arah pertumbuh-an dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas; mewujudkan ter b penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara peng-guna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.7

Namun kondisi dunia jasa konstruksi saat ini masih jauh dari yang dicita-citakan tersebut. Permasalahan yang melanda, yaitu mudahnya membuat perusahaan jasa konstruksi, hal ini menyebabkan jumlah perusahaan jasa konstruksi yang besar8 dengan latar belakang keberadaan dan kemampuannya yang sangat beragam dengan jumlah sekitar kurang lebih 90% (sembilan puluh persen) adalah golongan kecil9 yang masih membutuhkan waktu untuk dibina. Permasalahan lainnya adalah kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa dalam berbagai klasifi kasi dan/atau kualifi kasi dalam iklim usaha yang bersih dan sehat, ter b hukum, bere ka bisnis dan profesi belum terbangun, ke-mampuan manajemen; penguasaan teknologi

6 Lihat Lampiran Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014.

7 Lihat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833).

8 Jumlah total badan usaha jasa konstruksi yang terregistrasi pada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Tahun 2012 adalah sebanyak 204.548 perusahaan. Sumber: http://www.lpjk.net/gra ik-jasa-kontruksi.php, diakses tanggal 05 Juni 2012.

9 Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN), Tri Widjajanto mengatakan saat ini jumlah kontraktor saat ini 182.800 dengan proporsi 13% kontraktor nonkecil yang diduga menguasai 80% pasar, sedangkan 87% kontraktor kecil diduga hanya mampu merebut 20% pasar (sumber: http://www.bisnis.com/articles/jasa-konstruksi-kontraktor-kecil-butuh-perlindungan, diakses tanggal 14 Juli 2012).

Page 62: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

218

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNdan permodalan rela f lemah; lemahnya sumber

daya manusia di bidang jasa konstruksi dengan keterbatasan tenaga ahli dan tenaga terampil yang tersebar merata di seluruh daerah; masih sangat menggantungkan diri pada proyek-proyek pemerintah; belum efek fnya asosiasi berperan dalam pembinaan pengembangan badan usaha anggotanya, kekurangsetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa, belum mantapnya dukungan di berbagai sektor secara langsung maupun dak langsung yang mempengaruhi kinerja dan keandalan jasa konstruksi nasional, antara lain akses kepada permodalan, pengembangan profesi keahlian dan keterampilan, ketersediaan bahan bangunan yang standar; belum tertatanya pembinaan jasa kontruksi secara nasional, masih bersifat parsial dan sektoral, belum sepenuhnya tertata iklim usaha yang kondusif dalam: 1) kepranataan usaha, 2) pengembangan usaha 3) par sipasi masyarakat 4) pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan.10

Terkait dengan kompleksnya permasalahan dunia konstruksi di Indonesia, maka pada perkembangannya saat ini DPR bersama Pemerintah sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. RUU ini merupakan RUU Prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2012.11 RUU ini sendiri merupakan RUU luncuran dari Prolegnas RUU Prioritas tahun

2011.12 Oleh karena itu, terkait dengan lama dan alotnya pembahasan RUU tersebut, penulis merasa pen ng untuk membahasnya dengan mencoba melakukan problem iden fi ca on (menangkap realita/Das Sein yang terjadi) dan problem solving terutama dalam lingkup salah satu tujuan dibuat UUJK yaitu pengaturan pelaku jasa konstruksi dalam mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.

B. Permasalahan

1. Bagaimana kondisi pengaturan jasa konstruksi saat ini dalam mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas?

2. Bagaimana arah pembaharuan regulasi konstruksi di masa depan dalam me-wujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkulitas?

C. Metode Peneli an

Peneli an ini bersifat norma f empirik, yaitu peneli an hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek teori, sejarah, fi losofi , perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan

10 Agus G. Kartasasmita, Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah Menurut Pelaku Usaha (makalah) disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema ”Upaya Perbaikan Sistim Penyelenggaraan Barang / Jasa Pemerintah”, diselenggarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Hotel Nikko Jakarta, 23 Agustus 2006.

11 Lihat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Nomor 08/DPR RI/II/2011-2012 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2012.

12 Lihat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Nomor 02B/DPR RI/II/2010-2011 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun Anggaran 2011.

Page 63: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

219Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkekuatan mengikat suatu undang-undang, serta

bahasa hukum yang digunakan.13 Peneli an norma f ini disebut juga sebagai peneli an hukum kepustakaan14 atau dapat juga disebut peneli an hukum doktrinal, yang bertujuan untuk menemukan jawaban yang benar dengan mendasarkan pada preskripsi-preskripsi hukum yang tertulis dan juga ajaran atau doktrin,15 dan lebih cenderung bersifat kualita f ( dak berbentuk angka) berdasarkan data sekunder.16

Pendekatan analisa dalam peneli an ini adalah deskrip f kualita f, yaitu tata cara peneli an yang menghasilkan data deskrip f terhadap permasalahan serta usaha pemecahannya.17 Analisa kualita f dalam peneli an ini juga merupakan suatu usaha untuk menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, dak tumpang ndih dan efek f sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.18

Data yang digunakan dalam peneli an ini berupa data sekunder, yaitu berbagai informasi yang tertulis. Data sekunder yang digunakan berupa bahan hukum primer (primary sources or authori es), yaitu peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder (secondary sources or authori es), yaitu berupa buku-buku literatur, makalah-makalah dan berita dari internet.19

D. Pembahasan1. Kondisi pengaturan jasa konstruksi

saat ini terhadap struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkulitas

Pertumbuhan sektor usaha jasa konstruksi yang ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah badan usaha jasa konstruksi (BUJK) dan pasar konstruksi yang meningkat dari tahun ke tahun. Namun peningkatan tersebut belum berbanding lurus dalam mewujudkan struktur usaha jasa konstruksi yang kokoh, andal, berdaya saing nggi dan menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas.

Hal ini disebabkan oleh karena persyaratan usaha serta persyaratan keahlian dan ke-terampilan belum diarahkan untuk me-wujudkan keandalan usaha yang profesional. Dengan ngkat kualifi kasi dan kinerja tersebut, pada umumnya pangsa pasar pekerjaan konstruksi yang berteknologi nggi belum sepenuhnya dapat dikuasai oleh usaha jasa konstruksi nasional. Kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi perlu di ngkatkan, termasuk kepatuhan para pihak, yakni pengguna jasa dan penyedia jasa, dalam pemenuhan kewajibannya serta pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan

13 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 13214 Rachmat Trijono (Ed.), Pola Penelitian dan Pengkajian Hukum Dalam Pembentukan Sistem Hukum Nasional,

(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2011), hlm. 815 Soetandyo Wignjosoebroto, Ragam-ragam Penelitian Hukum. Dalam Irianto, Sulistyowati dan Shidarta (Ed.).

Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Re leksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Jakarta, 2011), hlm. 121.16 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 2.17 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 51.18 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004).19 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 2006), hlm.

134.

Page 64: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

220

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNlingkungan, agar dapat mewujudkan bangunan

yang berkualitas dan mampu berfungsi sebagaimana yang direncanakan.

Kondisi jasa konstruksi nasional dewasa ini sebagaimana tercermin dalam uraian tersebut di atas disebabkan oleh dua faktor:20

a. faktor internal, yakni:

1) pada umumnya jasa konstruksi na sional masih mempunyai kele mah an dalam manajemen, penguasaan teknologi, dan permodalan, serta keterbatasan tenaga ahli dan tenaga terampil;

2) struktur usaha jasa konstruksi na sional belum tertata secara utuh dan kokoh yang tercermin dalam kenyataan belum terwujudnya kemi traan yang sinergis antar penyedia jasa dalam berbagai klasifi kasi dan/atau kualifi kasi;

b. faktor eksternal, yakni:

1) kekurangsetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa;

2) belum mantapnya dukungan berbagai sektor secara langsung maupun dak langsung yang mempengaruhi kinerja dan keandalan jasa konstruksi nasional, antara lain akses kepada permodalan, pengembangan profesi keahlian dan profesi keterampilan, ketersediaan bahan dan komponen bangunan yang standar;

3) belum tertatanya pembinaan jasa konstruksi secara nasional, masih bersifat parsial dan sektoral.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, ruang lingkup pembahasan dalm tulisan ini akan mengungkapkan kondisi struktur usaha jasa konstruksi. Kondisi masuknya BUJK asing juga akan diungkapkan karena berkorelasi antara kesiapan struktur usaha jasa konstruksi nasional terhadap daya saing dengan BUJK asing. Kondisi pembinaan jasa konstruksi juga akan dibahas, karena keseriusan dan kejelasan dan kepas an program pembinaan jasa konstruksi akan membawa pada kesiapan struktur usaha industri konstruksi dalam menghadapi daya saing dengan sesama BUJK nasional maupun asing.

a) Kondisi struktur usaha jasa konstruksi

Jasa konstruksi nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya dalam pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Struktur usaha yang kokoh tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifi kasi umum, spesialis, dan terampil.

Rela f mudahnya mendirikan BUJK menyebabkan meningkatnya jumlah BUJK yang sangat signifi kan saat ini. Regulasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi meskipun dak dipungkiri adanya faktor-faktor lain.21 Industri konstruksi nasional melibatkan 182.800 BUJK dengan kualifi kasi besar (1%),

20 Lihat Penjelasan Umum UUJK.21 Faktor-faktor lain tersebut terkait dengan sejarah perkembangan dunia jasa usaha konstruksi

Indonesia, dimana pada awal dekade tujuh puluhan, dunia konstruksi Indonesia mulai mendapatkan angin, ketika Soeharto mencanangkan pembangunan yang bertumpu kepada terciptanya prasarana (infrastruktur) pembangunan ekonomi. Hingga pada dekade delapan puluh sampai dengan sembilan puluhan, pembangunan konstruksi mencapai klimaksnya atau ”booming”.

Page 65: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

221Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkualifi kasi menengah (12%) dan kualifi kasi kecil

(87%). Komposisi ini didominasi BUJK umum (general contractors) dan sedikit BUJK khusus (specialist contractors). Secara hipote k, 85% nilai pasar konstruksi dikuasai oleh non-kecil dengan jumlah 13% dari total 182.800 BUJK, sedangkan 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh BUJK kecil dengan jumlah 87% dari total 182.800 BUJK.22 Sebagai perbandingan, proporsi jumlah BUJK besar dan kecil ini dari tahun ke tahun menunjukan prosentase yang sama, hal ini dapat terlihat dari data tahun 2002 yang menunjukan bahwa jumlah BUJK besar jasa konstruksi hanya sekitar 1.1% saja dari total perusahaan jasa konstruksi Indonesia. Sementara 7% tergolong ke dalam kelompok kontraktor menengah dan 91% tergolong ke dalam kelompok kontraktor kecil.23

Fakta yang menunjukan bahwa struktur usaha yang kokoh, andal, dan berdaya saing belum terbentuk adalah dengan indikator jumlah kontraktor lebih dari 150.000 dan hampir 70%-80% berada di Jawa. Kemitraan antara badan usaha besar, sedang, dan kecil belum terwujud secara sinergis, saling menguntungkan dan resiprokal. Disamping itu, jumlah kontraktor kecil lebih banyak bersifat umum dan dak spesialis; jumlah kontraktor spesialis hampir dak ada. Struktur industri konstruksi terfragmentasi

sehingga banyak transaksi dan banyak kontrak. Dengan demikian, biaya transaksi nggi sering terjadi. Seharusnya terdiferensiasi menjadi generalis dan spesialis bila diarahkan dapat terbangun dengan struktur yang seimbang.

Apabila dilihat dari komposisi BUJK besar, menengah dan kecil tersebut di atas terhadap nilai pasar konstruksi yang dikuasai BUJK besar, menengah dan kecil, maka kondisi struktur usaha jasa konstruksi saat ini Indonesia mengalami ke mpangan struktur pasar dan industri konstruksi. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi skala kecil menjadi dak sehat dan terdistorsi.

Struktur industri konstruksi nasional di-dominasi oleh BUJK berbagai skala bersifat umum. Spesialisasi BUJK masih belum berkembang dan spesialisasi dipandang akan mempersempit peluang usaha. Keterbatasan kesempatan usaha bagi BUJK skala kecil. BUJK skala besar seper BUMN masih ditengarahi memiliki dominasi dan bahkan melakukan prak k mengambil pasar konstruksi skala kecil menengah serta ekploitasi subkontraktor.

Kontraktor besar dinilai belum ikut serta mem-berdayakan atau memberi kesempatan kepada kontraktor skala kecil lokal dimana pekerjaan konstruksi berada. Kapasitas, kompetensi dan

Banyaknya proyek konstruksi, sebagaimana hukum ekonomi tentang supply dan demand, yaitu terjadinya ”Booming” lahirnya puluhan ribu, bahkan tercatat jumlah kontraktor di Indonesia hingga tahun 90-an pun telah mencapai 100 ribu. Karena jumlah perusahaan (pengusaha) kontraktor mengimbangi ”demand” atau pasar konstruksi dalam negeri terutama proyek-proyek konstruksi yang dibiayai oleh APBN dan investor Luar Negeri. Market share tercapai. Maka hingga dekade sembilan puluh lima-an adalah merupakan masa-masa emas bagi pengusaha kontraktor dan jasa konstruksi lainnya (Bambang Pranoto, Nasionalisme Konstruksi Indonesia (makalah), disampaikan pada Civil Engineering Conference – Unika Soegijapranata di Semarang pada tanggal 17-18 Juni 2005).

22 Akhmad Suraji & Krishna S Pribadi (Ed.), Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional Yang Kokoh, Andal Dan Berdayasaing Serta Memberikan Kesempatan Kepada Para Pelaku Usaha Tumbuh dan Berkembang Secara Adil Melalui Restrukturisasi Sistem, Diseminasi Hasil Rumusan Seminar Konstruksi Nasional Indonesia I Tahun 2012, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Konstruksi (BP-Konstruksi) Kementerian PU, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN), dan GAPENSI).

23 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Position Paper KPPU Terhadap Perkembangan Sektor Jasa Konstruksi, (Jakarta: KPPU, tanpa tahun), hlm. 8

Page 66: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

222

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNdaya saing kontraktor skala kecil terbatas. Per-

masalahan ini dipicu oleh keterbatasan kom pe-tensi SDM, akses permodalan dan kemampuan peralatan/ teknologi.24

Kondisi usaha industri konstruksi yang didominasi pelaku usaha besar dikarenakan adanya kebutuhan pendanaan yang rela f besar dan juga pool of resources yang memungkinkan tercapainya skala ekonomis. Kontraktor lokal dan asing memiliki segmen pasarnya masing-masing terutama berkaitan dengan infrastruktur di sektor migas. Hambatan untuk masuk ke pasar cukup besar bagi pelaku usaha baru sehingga pertambahan pelaku usaha di sektor jasa konstruksi cenderung sangat minim.25

Hasil kajian KPPU memperlihatkan bahwa dalam industri jasa konstruksi, pelaku usaha berpotensi untuk melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam beberapa bentuk kolusi tender; kartel; pemboikotan; menciptakan entry barrier melalui proses ser fi kasi; menjadikan ke anggotaan asosiasi sebagai entry barrier.26

Kondisi struktur usaha industri konstruksi yang tergambarkan di atas menyebabkan usaha industri konstruksi terbawa pada penilaian bahwa usaha industri kontruksi adalah (i) mengesankan menjadi tempat permainan kotor, (ii) dimanfaatkan untuk meminta jatah, (iii) persaingan sangat keras dapat cenderung berbahaya, (iv) lebih berdasar keterampilan dari pada pengetahuan, (iv) banyak

pekerjaan dilakukan dilapangan, (vi) biaya murah dan nilai tambah rendah; (vii) cara berhubungan yang cenderung memicu konfl ik/bersifat adversarial; (viii) terfragmentasi, terpecah pecah dan berasal dari banyak latar belakang berbeda dan (ix) entry barrier rendah dan persaingan berdasarkan harga murah. Secara umum kondisi tersebut menjadikan industri konstruksi kurang efi sien, kurang produk f, kurang innova f.27

b) Kondisi Terhadap Kehadiran BUJK Asing

Dalam kondisi ekonomi Indonesia yang sedang membangun seper sekarang ini, ternyata dak semua kue pembangunan nasional dinikma oleh BUJK nasional. Pasar konstruksi Indonesia yang besarnya sekitar Rp 208 triliun pada tahun 2011, ternyata yang menikma adalah BUJK asing. Porsi yang dinikma oleh BUJK asing itu, yaitu 70%. Hal ini berar dana konstruksi Indonesia yang terbang ke luar negeri, sekitar Rp 145,6 triliun.28

Jumlah kontraktor dan konsultan asing yang masuk ke Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat (22%) sejak dicanangkannya program Masterplan Percepatan Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Saat ini jumlahnya telah mencapai 262 BUJK yang sebagian besar berasal dari Jepang (77 BUJK), Korea Selatan (69 BUJK), China (42 BUJK), dan Eropa (33 BUJK). Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Soeharsojo mengatakan membanjirnya kontraktor asing seharusnya dapat

24 Akhmad Suraji & Krishna S Pribadi (Ed.), Op.Cit.25 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Persaingan Usaha dan Jasa Konstruksi (Makalah). Sumber: www.kppu.go.id,

diakses tanggal 20 Juni 2012.26 Ibid.27 Ibid.28 Agoes S. Soerono, Pasar Konstruksi Indonesia 70% Digerogoti Asing, Harian Ekonomi Neraca, 20 Juni 2012,

sumber: http://www.neraca.co.id/2012/06/20/pasar-konstruksi-indonesia-70-digerogoti-asing/, diakses tanggal 1 Juli 2012.

Page 67: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

223Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNmenjadi kesempatan bagi kontraktor lokal untuk

mendapatkan ilmu dan pengalaman baru.29

Ketergantungan pada teknologi, material dan peralatan konstruksi dari luar negeri menyebabkan pasar konstruksi nasional masih banyak dikuasai penyedia BUJK asing, terutama di sektor migas. Di sektor migas justru banyak ”Barrier”, sehingga BUJK nasional sulit memenuhi persyaratan kualifi kasi, akibatnya dak berkesempatan mengiku pelelangan.

Kondisi usaha industri konstruksi yang juga dikuasai oleh BUJK asing membawa pada kehancuran BUJK nasional. Seharusnya kehadiran BUJK asing membawa pembaharuan dalam usaha industri konstruksi kita dalam hal transfer of konwledge, karena dari faktor pengetahuan dan teknologi yang digunakan oleh BUJK asing mungkin lebih nggi dan berkualitas dari pada BUJK asing. Selain hal tersebut apabila dibandingkan dengan jumlah pelaku usaha nasional secara keseluruhan mungkin sangat sedikit, tetapi skala kemampuan fi nansial mereka yang sangat nggi menyebabkan mereka cukup berperan dalam melakukan penetrasi pasarnya.

c) Kondisi Pembinaan Terhadap Usaha Jasa Konstruksi

Pelaksanaan pembinaan jasa konstruksi dak semata-mata merupakan domain dari

Pemerintah. Di dalam Pasal 35 UUJK disebutkan bahwa Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat jasa konstruksi melaksanakan pembinaan jasa konstruksi. Dalam pelaksanaan pembinaan yang dilakukan bersama dengan masyarakat jasa konstruksi, pembinaan dilakukan oleh Pemerintah melalui suatu kegiatan dalam

bentuk forum dan lembaga. Forum merupakan fasilitas dan/atau sarana untuk mendorong terciptanya pemanfaatan dan pengawasan secara op mal terhadap penyelenggaraan jasa konstruksi nasional bagi masyarakat pada umumnya dan atau masyarakat jasa konstruksi pada khususnya. Lembaga merupakan wadah pembinaan pelaksanaan pengembangan jasa konstruksi.

Peran asosiasi dan lembaga (dalam hal ini Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional / LPJKN) memiliki posisi yang sangat pen ng dalam proses pembinaan usaha industri jasa konstruksi. Namun kondisinya saat ini terjadi kegundahan tentang perkembangan asosiasi yang kontra produk f terhadap semangat UUJK, sehingga perlu adanya penataan Asosiasi dan LPJK agar kembali ke khitahnya sebagai lembaga yang dapat mengembangkan industri jasa konstruksi nasional.

Regulasi yang mengatur mengenai ser fi kasi kontraktor dan klasifi kasi bidang usaha jasa konstruksi, hingga saat ini aturan bakunya belum tegas. Kontraktor disinyalir dapat seenaknya mengantongi ser fi kat. Begitu juga untuk mendirikan badan usaha, dapat dengan mudah memperoleh izin asalkan ada asosiasi anggota lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK) yang menyetujuinya. Akibatnya, bermunculan asosiasi konstruksi dadakan yang didirikan hanya untuk kepen ngan membidik proyek tertentu.30

Data menunjukan saat ini terdapat 38 ( ga puluh delapan) asosiasi badan usaha jasa konstruksi dan 43 (empat puluh ga) asosiasi profesi jasa konstruksi. Asosiasi badan usaha jasa konstruksi adalah satu atau lebih wadah

29 Sumber: http://www.bisnis.com/articles/jumlah-kontraktor-asing-meningkat-pesat, diakses pada tanggal 15 Juni 2012.

30 A. Dadan Muhanda, Jasa Konstruksi Masuki Babak Baru, sumber: http://www.lkpp.go.id/v2/berita-detail.php?id=1668785862, diakses pada tanggal 15 Juli 2012.

Page 68: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

224

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNorganisasi dan atau himpunan para pengusaha

yang bergerak di bidang jasa konstruksi untuk memperjuangkan kepen ngan dan aspirasi para anggotanya. Sedangkan Asosiasi profesi jasa konstruksi, adalah satu atau lebih wadah organisasi atau himpunan perorangan, atas dasar kesamaan disiplin keilmuan dibidang konstruksi atau kesamaan profesi dibidang jasa konstruksi, dalam usaha mengembangkan keahlian dan memperjuangkan aspirasi anggota.31

Asosiasi baru yang muncul bukan saja asosiasi-asosiasi yang lebih spesialis bi dangnya, tetapi juga asosiasi-asosiasi sejenis yang sudah ada dan bersifat umum. Padahal sebelum diberlakukannya UUJK, kita hanya mengenal Gapensi dan AKI sebagai asosiasi perusahaan kontraktor dan Inkindo untuk asosiasi perusahaan konsultan. Setelah 10 tahun usia UUJK, disinyalir munculnya asosiasi baru bukan karena kebutuhan anggota, tetapi seringkali karena merupakan tandingan dari asosiasi yang sudah ada akibat adanya konfl ik di ngkat elit pengurus asosiasi. Adanya aturan UUJK yang membuka peluang bagi asosiasi untuk melakukan ser fi kasi, diduga menjadi salah satu daya tarik berdirinya asosiasi asoisasi, karena asosiasi lebih menjadi semacam profi t-center daripada services-center. Kondisi semacam itu menyebabkan asosiasi-asosiasi dak op mal atau bahkan merasa dak perlu melakukan peningkatan profesionalisme anggota. Karena tanpa menjalankan fungsi pembinaan, asosiasi-asosiasi tetap dibutuhkan karena ser fi katnya dapat memenuhi persyaratan dalam proses

pengadaan barang dan jasa pemerintah. Padahal spirit dari UUJK adalah untuk memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas, dimana asosiasi sebagai ujung tombak dalam pembinaan profesionalisme penyedia jasa konstruksi.32

Kehadiran Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), dengan dua kewenangan utamanya yakni melakukan ser fi kasi profesi dan ser fi kasi badan usaha jasa konstruksi. Dalam praktek di lapangan seringkali ke we nangan ini dijadikan sandaran bagi munculnya perilaku yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, antara lain dalam bentuk hadirnya entry barrier berupa kesulitan mendapatkan ser fi kasi badan usaha dalam bidang tertentu.33

Kewenangan Asosiasi mengeluarkan ser fi kat digunakan sebagai alat untuk men diskriminasi pelaku usaha pesaing, dengan cara: a) Ser fi kat hanya diberikan kepada pelaku usaha yang berada di kelompok tertentu; b) Persyaratan ser fi kat menjadi Entry Barrier bagi pelaku usaha pesaing. Kecenderungan untuk membentuk asosiasi tertentu dengan ruang lingkup pekerjaan yang semakin spesifi k. Kehadiran asosiasi untuk menciptakan peluang memenangkan tender dan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Kasus yang terjadi Asosiasi Aspal Beton Indonesia (AABI) telah mempraktekkan diri menjadi kartel (di Medan). Perkara ini pernah ditangani oleh KPPU.34

31 Pusat Pembinaan Usaha Dan Kelembagaan Badan Pembinaan Konstruksi - Kementerian Pekerjaan Umum, Tahun 2011. Sumber: http://www.jasakonstruksi.net/index.php/frontyard/article/index/asosiasi_bu dan http://www.jasakonstruksi.net/index.php/frontyard/article/index/asosiasi_jakon, diakses pada tanggal 13 Juli 2012.

32 Mengantisipasi Dampak Perubahan Regulasi Bidang Jasa Konstruksi (Majalah trenKonstruksi edisi Juni 2010).33 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Position Paper KPPU Terhadap Perkembangan Sektor Jasa Konstruksi, Op.Cit.,

hlm. 2.34 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Persaingan Usaha dan Jasa Konstruksi (makalah). Sumber: www.kppu.go.id,

diakses tanggal 20 Juni 2012.

Page 69: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

225Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN2. Arah pembaharuan regulasi konstruksi

di masa depan dalam mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkulitas

Beranjak dari tujuan dibuatnya UUJK, yaitu untuk memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing nggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas; mewujudkan ter b penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi, maka penulis berusaha meneli apakah tujuan yang hendak dicapai itu menjadi suatu realita dalam usaha industri konstruksi. Realita yang dijumpai adalah adanya suatu keadaan yang belum mencapai tujuan dari dibuatnya regulasi, yaitu sebuah realita yang telah penulis deskripsikan di atas. Terjadinya kesenjangan antara tujuan ideal dan realita yang terjadi (Das Sollen dan Das Sein) tersebut di atas, maka penulis berusaha mengkajinya berdasarkan perspek f aspek legal substance atau materi muatan yang diatur di dalam UUJK dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu pembahasan asas-asas hukum yang mendasari pembentukan UUJK dan peraturan pelaksananya akan menjadi sangat pen ng, karena apakah asas-asas hukum yang terdapat dalam UUJK benar-benar telah

menjelma dalam mendasari materi muatan yang diatur dalam UUJK.

Asas-asas pembentukan peraturan perun-dang-undangan adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan per-aturan perundang-undangan yang baik.35

Paul Scholten dalam ‘Algemeen Deel’ meng-ungkapkan bahwa asas hukum (rechtsbenginsel) adalah pen ng untuk dapat melihat jalur ”benang merah” dari sistem hukum posi f yang ditelusuri dan diteli . Melalui konstruksi dengan cara membatasi beberapa aturan tertentu menjadi aturan yang lebih mempunyai ruang lingkup atau tujuan yang umum, maka dapat dicari apa yang menjadi ra o legis atau tujuan umum aturan-aturan tersebut.36

Di dalam pembentukan peraturan per-undang-undangan Indonesia, seba gai mana halnya di negara lain, terdapat dua asas hukum yang perlu diperha kan, yaitu asas hukum umum yang khusus memberikan pedoman dan bimbingan bagi ”pembentukan” isi peraturan, dan asas hukum lainnya yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan peraturan ke dalam bentuk dan susunannya, bagi metode pembentukannya, dan bagi proses serta prosedur pembentukannya.37

Di dalam Pasal 5 dan 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang melipu : a) kejelasan tujuan;

35 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Jakarta: Kanisius, 2007), hlm. 252.

36 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV (Disertasi), (Jakarta, Fakultas Pascasarjana UI, 1990), hlm. 299.

37 Ibid., hlm. 304.

Page 70: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

226

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNb) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang

tepat; c) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d) dapat dilaksanakan; e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; f) kejelasan rumusan; dan g) keterbukaan. Kemudian Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a) pengayoman; b) kemanusiaan; c) kebangsaan; d) kekeluargaan; e) kenusantaraan; f) bhinneka tunggal ika; g) keadilan; h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i) keter ban dan kepas an hukum; dan/atau j) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain mencerminkan asas sebagaimana tersebut di atas, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Di dalam UUJK, pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan kea-

dilan,38 manfaat,39 keserasian,40 keseimbang-an,41 kemandirian,42 keterbukaan,43 kemitraan,44 keamanan dan keselamatan demi kepen ngan masyarakat, bangsa, dan negara.45

Berdasarkan asas-asas yang terdapat dalam UUJK tersebut penulis akan mengkaji apakah keberadaan asas-asas tersebut melandasi materi muatan yang terkait permasalahan struktur usaha jasa konstruksi, pengaturan BUJK asing dan pembinaan jasa usaha konstruksi, yang akan diuraikan di bawah ini.

a) Pembaharuan regulasi struktur usaha jasa konstruksi

Bahwa indikator struktur usaha jasa konstruksi yang kokoh tercermin dari ter wujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang ber kualifi kasi umum, spesialis, dan terampil.

38 Asas Kejujuran dan Keadilan mengandung pengertian kesadaran akan fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya (Lihat Penjelasan Pasal 2 UUJK).

39 Asas Manfaat mengandung pengertian bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, e isiensi dan efekti itas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional (Lihat Penjelasan Pasal 2 UUJK).

40 Asas Keserasian mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi (Lihat Penjelasan Pasal 2 UUJK).

41 Asas Keseimbangan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa

42 Asas Kemandirian mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa konstruksi nasional (Lihat Penjelasan Pasal 2 UUJK).

43 Asas Keterbukaan mengandung pengertian ketersediaan informasi yang dapat diakses sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajiban secara optimal dan kepastian akan hak dan untuk memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan (Lihat Penjelasan Pasal 2 UUJK).

44 Asas Kemitraan mengandung pengertian hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat imbal balik, dan sinergis (Lihat Penjelasan Pasal 2 UUJK).

45 Asas Keamanan dan Keselamatan mengandung pengertian terpenuhinya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja, serta pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum (Lihat Penjelasan Pasal 2 UUJK).

Page 71: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

227Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNSeper yang telah dijelaskan di atas bahwa reali-

ta yang terjadi adalah BUJK kecil berjum lah yaitu berjumlah 87%, namun ironisnya kue pasar konstruksi yang mereka nikma hanya sebesar 15% dari total pasar konstruksi.

Struktur usaha industri konstruksi yang mpang tersebut, secara norma f didasarkan

pada lemahnya regulasi, yaitu terkait pengaturan perizinan usaha jasa konstruksi yang rela f mudah; ruang lingkup jenis usaha jasa konstruksi; bentuk usaha jasa konstruksi; dan bidang usaha jasa konstruksi.

Terkait dengan perizinan jasa usaha kon-struksi, BUJK yang menyelenggarakan usaha jasa konstruksi wajib memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah di tempat domisilinya.46 Namun untuk mengan sipasi ke dak seragaman/keteraturan pengaturan pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) di berbagai daerah dan untuk memberikan kepas an hukum serta untuk melindungi kepen ngan masyarakat dan pembinaan di bidang jasa konstruksi, pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 04/PRT/M/2011 tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional.

Pemberian IUJK akan diberikan kepada BUJK apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:47 a. mengisi Formulir Permohonan;b. menyerahkan rekaman Akta Pendirian

BUJK;

c. menyerahkan rekaman Ser fi kat Badan Usaha (SBU) yang telah diregistrasi oleh Lembaga;

d. menyerahkan rekaman Ser fi kat Keahlian (SKA) dan/atau Ser fi kat Keterampilan (SKT) dari Penanggung Jawab Teknik Badan Usaha (PJT-BU) yang telah diregistrasi oleh Lembaga;

e. menyerahkan rekaman Kartu Penanggung Jawab Teknik Badan Usaha (PJT-BU) yang dilengkapi surat pernyataan pengikatan diri Tenaga Ahli/Terampil dengan Penanggung Jawab Utama Badan Usaha (PJU-BU). Pengaturan bagi usaha orang perorangan yang

akan menyelenggarakan usaha jasa konstruksi cukup dengan kewajiban memiliki SKA/SKT dan terda ar pada unit kerja / instansi pemberi IUJK dan diberikan Kartu Tanda Da ar.48

Apabila melihat persyaratan-persyaratan di atas dalam hal untuk mendapat IUJK, maka hal yang pokok atau syarat mutlak untuk dimiliki terlebih dahulu oleh BUJK adalah SBU dan SKA/SKT. Persyaratan administrasi yang rela f mudah tersebut mengakibatkan kondisi usaha jasa konstruksi saat ini jauh dari proporsional yang diidamkan oleh pembentuk peraturan. Kemudian pertanyaannya adalah siapa yang berwenang menerbitkan SBU dan SKA/SKT tersebut. Hal ini akan dibahas pada masalah regulasi pembinaan jasa konstruksi.

Kemudian mengenai ruang lingkup jenis usaha jasa usaha konstruksi, berdasarkan Pasal 1

46 Lihat Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. Pemerintah Kabupaten / Kota memiliki wewenang untuk memberikan IUJK kepada badan usaha jasa konstruksi berdasarkan tempat domisili (Lihat Pasal 4 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 04/PRT/M/2011 tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional).

47 Lihat Pasal 8 UUJK jo. Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 jo. Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 04/PRT/M/2011.

48 Lihat Pasal 9 ayat (1-2) UUJK jo. Pasal 9 ayat (1-2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 jo. Pasal 9 ayat (1-2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 04/PRT/M/2011.

Page 72: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

228

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNangka (2) UUJK disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Kemudian di dalam Pasal 1 angka (3) UUJK disebutkan yang dimaksud dengan Pekerjaan Konstruksi adalah Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pe-laksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fi sik lain. Berdasarkan Pasal tersebut secara garis besar ruang lingkup jenis usaha jasa konstruksi kita terbagi menjadi 3 ( ga), yaitu:i. Jasa Konsultasi Perencanaan untuk pekerja-

an arsitektural, sipil, meka nikal, elektrikal, dan tata lingkungan;

ii. Jasa Pelaksanaan untuk pekerjaan ar-sitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan; dan

iii. Jasa Konsultansi Pengawasan untuk peker-jaan arsitektural, sipil, meka nikal, elektrikal, dan tata lingkungan.Ruang lingkup pekerjaan arsitektural, sipil,

mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan dijabarkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, yaitu: i. Bidang pekerjaan Arsitektural antara

lain arsitektur bangunan berteknolo-gi sederhana, arsitektur bangunan ber-teknologi menengah, arsitektur bangunan berteknologi nggi, arsitek tur ruang dalam bangunan (interior), arsitektur lansekap, termasuk pera watannya.

ii. Bidang pekerjaan Sipil, antara lain jalan dan jembatan, jalan kereta api, landasan, terowongan, jalan bawah tanah, saluran drainase dan pengen dalian banjir, pelabuhan, ben dung/bendungan, bangunan dan jaringan pengairan atau prasarana sumber daya air, struktur bangunan gedung, geoteknik, konstruksi tambang dan pabrik, termasuk perawatannya, dan pekerjaan penghancuran bangunan (demoli on).

iii. Bidang pekerjaan Mekanikal, antara lain instalasi tata udara/AC, instalasi minyak/gas/geotermal, instalasi in dustri, isolasi termal dan suara, kon struksi li dan eskalator, perpipaan, termasuk perawatannya.

iv. Bidang pekerjaan Elektrikal, antara lain instalasi pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi, instalasi lis trik, sinyal dan telekomunikasi kere ta api, bangunan pemancar radio, telekomunikasi dan sarana bantu navigasi udara dan laut, jaringan telekomunikasi, sentral telekomu nikasi, instrumentasi, penangkal pe r, termasuk perawatannya.

v. Bidang pekerjaan Tata Lingkungan, antara lain penataan perkotaan/ planologi, analisa dampak lingkungan, teknik lingkungan, tata lingkungan lainnya, pengembangan wilayah, bangunan pengolahan air bersih dan pengolahan limbah, perpipaan air bersih dan perpipaan limbah, termasuk perawatannya.Namun ruang lingkup bidang pekerjaan

sebagaimana diatur di atas dipersempit de ngan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. Di dalam Pasal 7 ayat (1 dan 2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 disebutkan bahwa bidang usaha jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi

Page 73: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

229Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNterdiri atas bidang usaha yang bersifat umum

dan spesialis dan bidang usaha jasa pelaksana konstruksi terdiri atas bidang usaha yang bersifat umum, spesialis dan keterampilan.

Berdasarkan bidang usaha tersebut, diklasifi kasikan49 menjadi: a) arsitektur; b) rekayasa (engineering); c) penataan ruang dan d) jasa konsultasi lainnya untuk bidang usaha jasa perencaan dan pengawasan, sedangkan untuk bidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi diklasifi kasikan menjadi: a) bangunan gedung; b) bangunan sipil; c) instalasi mekanikal dan elektrikal; dan jasa pelaksanaan lainnya. Dari klasifi kasi bidang usaha tersebut dikualifi kasikan menjadi: a) kualifi kasi usaha besar; b) kualifi kasi usaha menengah; dan kualifi kasi usaha kecil.

Pembahasan selanjutnya adalah bagaimana hubungan antara jenis usaha, bentuk usaha dan bidang usaha beserta klasifi kasi dan kualifi kasi bidang usaha tersebut di atas dalam menciptakan suatu struktur usaha industri konstruksi yang kokoh dan handal? Berdasarkan hasil kajian secara norma f terhadap UUJK maupun peraturan perundang-undangan pelaksanaanya dak ditemukan pengaturan hubungan hukum

antara sesama BUJK maupun suatu kewajiban dari pengguna jasa konstruksi untuk memperha kan kelangsungan usaha BUJK.

Pengaturan mengenai struktur usaha industri konstruksi di dalam UUJK hanya mengatur bahwa usaha jasa konstruksi dikembangkan untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh dan efi sien melalui kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta antara usaha

yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu.50 Di dalam penjelasan pengaturan tersebut disebutkan bahwa dengan pendekatan ini diharapkan terwujud restrukturisasi bidang usaha jasa konstruksi yang menunjang efi siensi usaha, karena kemampuan penyedia jasa baik dalam skala usaha maupun kualifi kasi usaha akan saling mengisi dalam kemitraan yang sinergis dan komplementer, karena saling memerlukan, yang dalam hubungan transaksionalnya dilandasi oleh kesetaraan dalam hak dan kewajiban.

Selain hal tersebut pengaturan mengenai hubungan kerja antara BUJK, diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUJK. Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat menggunakan subpenyedia jasa yang mempunyai keahlian khusus sesuai dengan masing-masing tahapan pekerjaan konstruksi. Di dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa pengikutsertaan subpenyedia jasa dibatasi oleh adanya tuntutan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus dan ditempuh melalui mekanisme subkontrak, dengan dak mengurangi tanggung jawab penyedia jasa

terhadap seluruh hasil pekerjaannya. Bagian pekerjaan yang akan dilaksanakan subpenyedia jasa harus mendapat persetujuan pengguna jasa. Pengikutsertaan subpenyedia jasa bertujuan memberikan peluang bagi subpenyedia jasa yang mempunyai keahlian spesifi k melalui mekanisme keterkaitan dengan penyedia jasa.

Ketentuan Pasal 24 ayat (1) di atas, bukanlah suatu keharusan yang dibebankan UUJK terhadap penyedia jasa dalam meng-subkan

49 Klasi ikasi adalah bagian kegiatan registrasi untuk menetapkan penggolongan usaha di bidang jasa konstruksi menurut bidang dan sub bidang usaha atau penggolongan profesi keterampilan dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan/atau keterampilan tertentu dan/atau kefungsian dan/atau keahlian masing-masing (Lihat Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010).

50 Lihat Pasal 12 UUJK.

Page 74: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

230

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNpekerjaannya kepada penyedia jasa. Frasa ‘dapat’

dalam pasal tersebut mengandung ar suatu pilihan hukum, dalam ar penyedia jasa boleh menggunakan subpenyedia jasa dan juga boleh dak menggunakan subpenyedia jasa.

Asas Kemitraan yang mengandung pe-nger an hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat mbal balik, dan sinergis yang melandasi pengaturan di dalam UUJK pada dasarnya telah menjelma dari pengaturan di atas. Namun belum memuat suatu norma yang mengatur bagaimana bentuk/pola dan hubungan dari kemitraan sinergis antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta antara usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu. Pengaturan ini pen ng karena di dalamnya memuat bagaimana hak dan kewajiban antara usaha BUJK tersebut serta apa yang diperbolehkan atau dak boleh diantara mereka. Selain pengaturan tersebut, pen ng juga mengatur peran pemerintah dalam membuat suatu regulasi pengadaan barang dan jasa dalam mengakomodir keberadaan BUJK dalam membentuk hubungan transaksionalnya dilandasi oleh kesetaraan dalam hak dan kewajiban.

Sebagai bahan perbandingan struktur usaha industri konstruksi, maka dak salah apabila kita melihat upaya negara lain dalam menciptakan struktur usaha industri konstruksi yang kokoh.

Negara-negara seper USA, Jepang dan UK serta China memiliki postur kontraktor umum dan spesialis yang proporsional. Komposisi kontraktor generalis dan kontraktor spesialis seper Jepang, Amerika dan Inggris memiliki komposisi hampir 30:70 dan China dengan 50:50. Sebelum tahun 2001, China mengalami jumlah kontraktor sebanyak 90.000 perusahaan

dengan komposisi 74% umum; 26% spesialis. Sesudah 2002, Pemerintah China melakukan restrukturisasi sehingga menjadi 64.600 perusahaan dengan 52% umum dan 48% spesialis melalui suatu new qualifi ca on standards dan pembinaan yang progresif. Workshop terbatas Gapensi dan Tsinghua University (Beijing, 20 Juli 2012) dan diskusi Gapensi dan CHINCA (Beijing, 20 Juli 2012) menginformasikan bahwa jumlah kontraktor di China kurang lebih 30.000. Struktur klasifi kasi dan kualifi kasi kontraktor di China, sangat natural; struktur kontraktor berbentuk piramid dengan kontraktor besar: jumlah sedikit; harus mampu memperbesar skala ekonomi, cross region; transna onal, mul project. Kemudian kontraktor spesialis biasanya perusahaan kecil, kemampuan terbatas, perlu fl eksibel, responsif kepada pasar dan jumlah seharusnya bisa banyak jika dibina dengan baik. Dalam hal ini, faktor yang mempengaruhi demand kontraktor spesialis akan sangat tergantung ada daknya kontraktor besar serta peluang usaha terbatas, ada proteksi regional dan departemental, kompe si dari kontraktor asing rendah dan ada proteksi.51

b) Pembaharuan regulasi kehadiran BUJK Asing

Pemberian izin bagi BUJK asing yang akan menyelenggarakan usaha jasa konstruksi di Indonesia diatur di dalam Pasal 14 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 dan secara teknis diatur di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011 tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing. BUJK asing yang akan menyelenggarakan usaha jasa usaha konstruksi di Indonesia wajib memiliki

51 Akhmad Suraji & Krishna S Pribadi (Ed.), Op.Cit.

Page 75: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

231Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNIzin Perwakilan BUJK Asing.52 Izin Perwakilan BUJK

Asing diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dan hanya diberikan kepada BUJK yang memiliki kualifi kasi besar.53

Keberadaan BUJK asing di dalam UUJK diakui, yaitu dalam hal pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi nggi dan/atau yang berbiaya besar. Pengaturan

mengenai kriteria pekerjaan apa saja yang dapat dilakukan, dan pengaturan pola hubungan dengan BUJK nasional dan hak dan kewajiban BUJK asing dak diatur dalam UUJK. Formula pengaturan

BUJK asing di dalam UUJK dipersamakan dengan BUJK nasional dengan kualifi kasi besar. Dengan kondisi BUJK yang belum cukup mampu bersaing dengan BUJK asing yang secara kemampuan teknologi dan fi nansial lebih nggi dari BUJK nasional, maka pembiaran kondisi seper ini dak mendasarkan pada asas keadilan, asas

kemadirian dan asas keseimbangan.Pengaturan BUJK asing secara lebih men-

da lam justru diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011 tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing. Materi muatan yang diatur dalam Permen tersebut lebih mempunyai nilai fungsi sebagai materi muatan yang seharusnya dimuat dalam undang-undang dalam hal UUJK. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang salah satunya berisi ketentuan

mengenai pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Oleh karena itu pengaturan BUJK asing dalam UUJK lebih diperluas dan dipertegas kembali sehingga tercipta struktur usaha yang lebih kokoh dan besinergis antara BUJK nasional dengan BUJK asing.

c) Pembaharuan regulasi pembinaan jasa usaha konstruksi

Pemerintah berdasarkan Pasal 35 ayat (1-5) UUJK melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan, dan pelaksanaan pembinaan tersebut dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat jasa konstruksi.

Masyarakat jasa konstruksi di Indonesia dalam realitas keberadaannya dipengaruhi berbagai hal. Pertama, Lingkungan eksternal, dalam hal ini menyangkut kecenderungan global jasa konstruksi, situasi moneter, keamanan nasional, dinamika poli k hingga regulasi yang dibuat. Kedua, lingkungan internal, dalam hal ini kondisi yang dialami masyarakat jasa konstruksi, baik secara sendiri-sendiri maupun jaringan keasosiasian. Pemahaman terhadap lingkungan kebijakan adalah cara untuk memahami konstelasi posisional jasa konstruksi.54

Masyarakat jasa konstruksi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepen ngan dan/atau kegiatan yang ber-hubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa

52 Pengertian BUJK Asing adalah badan usaha yang didirikan menurut hukum dan berdomisili di negara asing, memiliki kantor perwakilan di Indonesia, dan dipersamakan dengan badan hukum Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi (lihat Pasal 1 angka (3) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011).

53 Penetapan memiliki kuali ikasi besar didapatkan setelah BUJK Asing mendapatkan penyetaraan klasi ikasi dan kuali ikasi yang dinyatakan dalam bentuk serti ikat dari Lembaga (lihat Pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011).

54 Iwan Kartiwan, Kamajaya Al Katuuk, Hendra N. Soenardji, Wajah Jasa Konstruksi Indonesia, Tinjauan Keberpihakan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 9.

Page 76: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

232

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkonstruksi.55 Apabila melihat unsur-unsur56 yang

terdapat dalam masyarakat jasa konstruksi, maka dapat diibaratkan masyarakat jasa konstruksi merupakan induk dari segala kegiatan konstruksi di Indonesia yang berperan dalam pengembangan jasa konstruksi dan juga melakukan pembinaan jasa konstruksi.

Keterlibatan peran masyarakat jasa kon struksi yang cukup besar dalam pembinaan (pengaturan, pemberdayaan dan pengawas an) yang dalam pelaksanaan pengembang annya dilaksanakan oleh suatu forum jasa konstruksi dan lembaga menimbulkan suatu permasalahan tersendiri.

Tugas dan wewenang dari lembaga yang begitu besar menimbulkan permasalahan yaitu peran pembinaan pemerintah belum efek f dan kurang tegas dinyatakan siapa yang mewakili pemerintah. Disamping itu, koordinasi yang lemah antara stakeholders dan saling mengharapkan antara pemerintah dan LPJKN/D. Peran LPJKN/D terbatas dan kemampuan pendanaan yang terbatas. Disamping itu, lembaga ini dak sepenuhnya mendapat dukungan pendanaan dari pe merintah. Dalam kondisi keterbatasan ter se but, konsentrasi peran masih sebatas ser -fi kasi dan registrasi badan usaha, tenaga ahli dan tenaga terampil. Sistem dan tatakelola proses ser fi kasi masih diwarnai oleh confl ict of interest dan juga menciptakan adanya barrier dalam proses ser fi kasi.

Oleh karena itu untuk mendapatkan suatu kepas an hukum dan mencegah adanya confl ict of interest, proses pembinaan dalam kerangka penerbitan SBU perlu dilakukan per ubahan tata kelola ser fi kasi badan usaha dan profesi. Perlunya pengaturan dan penataan ter hadap asosiasi dan penyelenggaraan pros es ser fi kasi yang akuntabel. Penataan asosia si diperlukan, karena asosiasi memiliki fungsi mendasar, yaitu untuk melakukan pembinaan anggotanya, baik aspek profesionalisme, pengembangan pasar, dan perlindungan mau pun penegakkan e ka profesi. Dengan de mi kian fungsi asosiasi bukan hanya mem produksi KTA dan SBU/SKA semata.

E. Penutup

Struktur usaha yang kokoh tercermin de-ngan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifi kasi umum, spesialis, dan terampil. Kondisi kemitraan antara badan usaha besar, sedang, dan kecil belum terwujud secara sinergis, saling menguntungkan dan resiprokal, disamping itu, jumlah kontraktor kecil lebih banyak bersifat umum. Kondisi tersebut menyebabkan struktur usaha jasa konstruksi saat ini Indonesia mengalami ke mpangan struktur pasar dan industri konstruksi. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi skala kecil menjadi dak sehat dan

55 Lihat Pasal 31 ayat (1) UUJK.56 Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi dilaksanakan melalui suatu forum jasa konstruksi. Forum

Jasa konstruksi ini terdiri dari unsur a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi; b. asosiasi profesi jasa konstruksi; c. asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha jasa konstruksi; d. masyarakat intelektual; e. organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dan berkepentingan di bidang jasa konstruksi dan/atau yang mewakili konsumen jasa konstruksi; f. instansi Pemerintah; dan g. unsur-unsur lain yang dianggap perlu. Sedangkan dalam pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri, yang beranggotakan asosiasi perusahaan jasa konstruksi; b. asosiasi profesi jasa konstruksi; c. pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa konstruksi; dan d. instansi Pemerintah yang terkait (Lihat Pasal 31-33 UUJK).

Page 77: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

233Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNterdistorsi. Selain hal itu kondisi usaha industri

konstruksi yang juga dikuasai oleh BUJK asing membawa pada kehancuran BUJK nasional. Seharusnya kehadiran BUJK asing membawa pembaharuan dalam usaha industri konstruksi kita dalam hal transfer of konwledge. Peran pembinaan yang dak berjalan juga menambah permasalahan. Peran asosiasi dan lembaga (dalam hal ini Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional / LPJKN) memiliki posisi yang sangat pen ng dalam proses pembinaan usaha industri jasa konstruksi. Namun kondisinya saat ini terjadi kegundahan tentang perkembangan asosiasi yang kontra produk f terhadap semangat UUJK. Kontraktor disinyalir dapat seenaknya mengantongi ser fi kat. Begitu juga untuk mendirikan badan usaha.

Berdasarkan hasil kajian secara norma f terhadap UUJK maupun peraturan perundang-undangan pelaksanaanya dak ditemukan pengaturan hubungan hukum antara sesama BUJK maupun suatu kewajiban dari pengguna jasa konstruksi untuk memperha kan kelangsungan usaha BUJK. Asas Kemitraan mengandung penger an hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat mbal balik, dan sinergis yang melandasi pengaturan di dalam UUJK pada dasarnya telah menjelma dari pengaturan di atas, namun belum memuat suatu norma yang mengatur bagaimana bentuk/pola dan hubungan dari kemitraan sinergis antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta antara usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu. Pengaturan ini pen ng karena di dalamnya memuat bagaimana hak dan kewajiban antara usaha BUJK tersebut serta apa yang diperbolehkan atau dak boleh diantara mereka. Selain pengaturan tersebut, pen ng juga mengatur peran pemerintah dalam

membuat suatu regulasi pengadaan barang dan jasa dalam mengakomodir keberadaan BUJK dalam membentuk hubungan transaksionalnya dilandasi oleh kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Formula pengaturan BUJK asing di dalam UUJK dipersamakan dengan BUJK nasional dengan kualifi kasi besar, sehingga BUJK belum cukup mampu bersaing dengan BUJK asing, maka pembiaran kondisi seper ini idak berdasarkan atau dak mendasarkan pada asas keadilan, asas kemandirian dan asas keseimbangan. Pengaturan BUJK asing secara lebih mendalam justru diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011. Materi muatan yang diatur dalam Permen tersebut lebih mempunyai nilai fungsi sebagai materi muatan yang seharusnya dimuat dalam undang-undang dalam hal UUJK. Oleh karena itu untuk mendapatkan suatu kepas an hukum dan mencegah adanya confl ict of interest, proses pembinaan dalam kerangka penerbitan SBU perlu dilakukan perubahan tata kelola ser fi kasi badan usaha dan profesi. Perlunya pengaturan dan penataan terhadap asosiasi dan penyelenggaraan proses ser fi kasi yang akuntabel dan penataan asosiasi.

DAFTAR PUSTAKA

BukuA amimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden

Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV (Disertasi), (Jakarta, Fakultas Pascasarjana UI, 1990).

Farida Indra S, Maria., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Jakarta: Kanisius, 2007).

Garner, Bryan A. (Ed.), Black’s Law Dic onary 9th Edi on, (St. Paul Minnesota, USA: Thomas Reuters, 2010).

Page 78: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

234

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 215-235

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Hartono, C.F.G. Sunarya , Peneli an Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 2006).

Kar wan, Iwan, Kamajaya Al Katuuk, Hendra N. Soenardji, Wajah Jasa Konstruksi Indonesia, Tinjauan Keberpihakan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Posi on Paper KPPU Terhadap Perkembangan Sektor Jasa Konstruksi, (Jakarta: KPPU, tanpa tahun).

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Peneli an Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bak , 2004).

Soekanto, Soerjono, Pengantar Peneli an Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986).

Supranto, J., Metode Peneli an Hukum dan Sta s k, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003).

Trijono, Rachmat (Ed.), Pola Peneli an dan Pengkajian Hukum Dalam Pembentukan Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2011).

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).

Tim Penyusun Buku Konstruksi Indonesia 2011, Konstruksi Indonesia 2011, Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan, Inovasi Investasi dan Dukungan Sektor Konstruksi Indonesia, (Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum, 2011).

Wignjosoebroto, Soetandyo, Ragam-ragam Peneli an Hukum. Dalam Irianto, Sulistyowa dan Shidarta (Ed.). Metode Peneli an Hukum Konstelasi dan Refl eksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Jakarta, 2011).

Makalah / Ar kel / Prosiding / Hasil Peneli anKartasasmita, Agus G., “Pengadaan Barang / Jasa

Pemerintah Menurut Pelaku Usaha” (makalah disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “Upaya Perbaikan Sis m Penyelenggaraan Barang / Jasa Pemerintah”, diselenggarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Hotel Nikko Jakarta, 23 Agustus 2006).

Mengan sipasi Dampak Perubahan Regulasi Bidang Jasa Konstruksi (Majalah Tren Konstruksi edisi Juni 2010).

Pranoto, Bambang, “Nasionalisme Konstruksi Indonesia” (makalah), disampaikan pada Civil

Engineering Conference – Unika Soegijapranata di Semarang pada tanggal 17-18 Juni 2005.

Suraji, Akhmad & Krishna S Pribadi (Ed.), Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional Yang Kokoh, Andal Dan Berdayasaing Serta Memberikan Kesempatan Kepada Para Pelaku Usaha Tumbuh Dan Berkembang Secara Adil Melalui Restrukturisasi Sistem, Diseminasi Hasil Rumusan Seminar Konstruksi Nasional Indonesia I Tahun 2012, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Konstruksi (BP-Konstruksi) Kementerian PU, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN), dan GAPENSI).

InternetBadan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan

Umum, Glossary Sumber Daya Investasi, h p://pusbinsdi.net/glossary.php?lagi=0, (diakses 10 Juni 2012).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Persaingan Usaha dan Jasa Konstruksi (Makalah). Sumber: www.kppu.go.id, (diakses 20 Juni 2012).

Muhanda, Dadan, Jasa Konstruksi Masuki Babak Baru, sumber: h p://www.lkpp.go.id/v2/berita-detail.php?id=1668785862, (diakses 15 Juli 2012).

Soerono, Agoes S., Pasar Konstruksi Indonesia 70% Digerogo Asing, Harian Ekonomi Neraca, 20 Juni 2012, sumber: h p://www.neraca.co.id/2012/06/20/pasar-konstruksi-indonesia-70-digerogo -asing/, (diakses 1 Juli 2012).

h p://data.worldbank.org/indicator/NE.GDI.FTOT.CD, (diakses tanggal 01 Juli 2012).

http://www.lpjk.net/grafik-jasa-kontruksi.php, (diakses 05 Juni 2012).

http://www.bisnis.com/articles/jasa-konstruksi-kontraktor-kecil-butuh-perlindungan, (diakses 14 Juli 2012).

h p://www.bisnis.com/ar cles/jumlah-kontraktor-asing-meningkat-pesat, (diakses 15 Juni 2012).

http://www.jasakonstruks i .net/ index.php/frontyard/ar cle/index/asosiasi_bu dan h p://www.jasakonstruksi.net/index.php/frontyard/ar cle/index/asosiasi_jakon, (diakses 13 Juli 2012).

Peraturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik

Page 79: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

235Pembaharuan Regulasi Jasa Konstruksi … (Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNIndonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833)

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 63)

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956)

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3957)

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5092)

Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 95)

Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 157)

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Nomor 08/DPR RI/II/2011-2012 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2012

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Nomor 02B/DPR RI/II/2010-2011 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun Anggaran 2011

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 04/PRT/M/2011 tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011 Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing

Page 80: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN”Halaman ini dikosongkan”

Page 81: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

237Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPRINSIP DEKLARATIF PENDAFTARAN HAK CIPTA:

Kontradiksi Kaedah Penda aran Ciptaan dengan Asas Kepemilikan Publikasi Pertama Kali

(Declara ve Principle on Copyright Registra on: Contradic on between the crea on and First Publica on Principle)

Suyud MargonoFakultas Hukum Universitas Tarumanagara

dan Magister Ilmu Hukum Universitas Mpu Tantular dan Universitas Parahyangan

Naskah diterima: 10 Mei 2012; revisi: 03 Juli 2012; disetujui: 20 Juli 2012

ABSTRAKHukum Hak Cipta Indonesia memiliki regulasi tentang Penda aran Hak Cipta. Penda arannya bisa dilakukan oleh pemohon baik Pencipta atau Pemegang Hak Cipta ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Ser fi kat Penda aran Hak Cipta menjadi alat buk jika terjadi sengketa melalui proses penyelesaian di Pengadilan atau non-pengadilan. Ketentuan Penda aran Ciptaan ini dak seimbang dan mengeyampingkan keberadaan karya-karya Cipta yang dak dida arkan dalam jumlah jutaan. Sebenarnya, dalam prinsip universal dan perlindungan hak cipta internasional dak mewajibkan untuk se ap penda aran bagi penciptaan kepada lembaga di satu negara tertentu. Sebuah doktrin universal yang digunakan, untuk perlindungan hak cipta telah mendapat perlindungan hukum setelah dibuat, dan dapat diketahui, didengar, dilihat oleh pihak lain. Prinsip ini dikenal dengan Prinsip Deklara f. Ini berar ekspresi penciptaan memiliki perlindungan sejak publikasi pertama kalinya. Oleh karena itu, berdasarkan permasalah pertentangan antara Penda aran Hak Cipta dan perlindungan penciptaan yang mengiku sistem deklara f, maka perlu pemikiran ulang pengaturan penda aran hak cipta yang bertentangan dengan kepemilikan hak cipta yang didapat sejak saat penciptaan pertama dipublikasikan. Kata Kunci: Perlindungan, Kekayaan Intelektual, Hak Cipta, Penda aran, Prinsip Deklara f

ABSTRACTIndonesian Copyright Law has regula on about Copyright Registra on. Its registra on can be done by applicant(s) even Creator or the Owner of Copyrights to Directorate General Intellectual Property (Indonesia IP Offi ce). Cer fi cate of Creature Registra on will make easy proved if dispute happening event takes proceedings at Court or non-court se lement. This rule of Copyright Registra on made in-balance for the un-register crea on in fact a million crea on that doesn’t listed in General of registered creature. Actually, in universal principle and based on interna onal conven on concerning copyright protec on not knows or not make compulsory for any sense registra on for crea on or given authority to the ins tu on at one par cular state. An Universal doctrine that is u lized for copyright protec on which is a creature has go en law protec on since that creature fi nish is made, and gets to be known, heard, seen by other Party this principle recognised with Declara ve Principal. Its mean a that crea on is not an ideas but cons tute protected expression of ideas or have protec on since fi rst me publica on, but especially at Indonesia has rule and mechanism of copyrights Registra on event its registra on is not compulsary. Therefore, based on problema c contradic ng among Copyright Registra on and protec on of crea on that follow declara ve system this research is rethinking the existence copyright registra on rule causes to be breached copyright ownership compossed to be go en since that crea on fi rst me is publicized (fi rst to publish). Keywords : Protec on, Intellectual Property, Copyright, Registra on, Declara ve Principle

Page 82: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

238

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNA. Pendahuluan

Krea fi tas dan inovasi teknologi seba-gaimana peningkatan ekonomi sangat dibu-tuhkan bagi pertumbuhan masyarakat dan pengembangan industri. Melalui kreasi dan inovasi teknologi mendatangkan kemak muran dan pertumbuhan ekonomi bagi kehidupan masyarakat. Sebagai contoh dalam rangka pengembangan teknologi di bidang piran lunak (so ware) komputer atau teknologi informasi yang baru diperlukan biaya, waktu dan tenaga kerja yang membutuhkan keahlian tertentu. Di sisi lain kegiatan menggandakan / mengkopi, menggunakan, atau memalsukan krea fi tas dan inovasi yang telah dikembangkan oleh orang lain merupakan sesuatu yang mudah.

Penggunaan atau perbanyakan oleh orang lain tanpa hak menyebabkan do rongan untuk mengembangkan inovasi lain akan menurun atau bahkan hilang dan akibatnya pertumbuhan krea fi tas manusia dan pengembangan in-dustri krea f dapat terhambat. Dari sudut pandang tersebut, dikembangkan suatu kaidah hukum yang dapat mendorong peneli an dan pengembangan dengan memberikan per-lindungan bagi teknologi baru yang tercipta selama waktu tertentu dengan memberikan Hak Eksklusif bagi para pengembang seper Hak Kekayaan Intelektual.

Perlindungan hukum tersebut diperlukan dak hanya untuk industri krea f ataupun

teknologi, namun juga untuk karya sastra (literary works), seni (ar s c works) yang pada akhirnya menjadi produk kebudayaan. Begitupun dalam hal perlindungan tanda dagang (brand name),

proteksi dak hanya bagi pemegang merek namun juga para konsumen. Adalah pen ng untuk melindungi merek yang memiliki fungsi jaminan atau kualitas barang dan memiliki daya tarik bagi konsumen dan juga untuk mempertahankan kredibilitas orang-orang yang berkecimpung dalam produksi atau penjualan, terhadap pihak lain yang dak berhak. Dengan cara ini, sistem yang terbentuk menyatakan bahwa siapapun dak dapat menggunakan hasil kreasi intelektual di bidang teknologi, seni dan ilmu pengetahuan, dan sebagainya, dan tanda dagang komersil, tanpa persetujuan dari Pemiliknya (Pencipta (Authors) atau Pemegang Hak (Holders). Pengklasifi kasian kepemilikan suatu karya cipta dengan kedudukan Pencipta atau pemegang hak ini semata-mata dalam rangka memberikan perlindungan Hak Moral (Moral Rights) bagi Pencipta (Authors).

Indonesia mengakui dan memberikan peng-hargaan terhadap karya cipta dan mekanisme perlindungan Haknya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002), yang dari segi substansi, terdapat beberapa ketentuan pen ng yang saling terkait dan bahkan akan dapat menjadi instrumen strategis dalam menunjang proses dan mekanisme penegakan hukum Hak Cipta. Secara khusus UUHC mengatur tentang Penda aran Ciptaan1. Penda aran Ciptaan dapat dilakukan oleh Pemohon baik oleh Pencipta ataupun Pemegang Haknya. Untuk permohonan pen-da aran (applica on to register) dari Luar Negeri diwajibkan bagi Pemohon Asing (Foreign Applicant) untuk mengajukan permohonan

1 Ketentuan Pendaftaran Ciptaan untuk pertama ditentukan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (UUHC 1982) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 (UUHC 1987) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 (UUHC 1997).

Page 83: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

239Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPenda aran melalui kuasa, kuasa tersebut

adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Ter-da ar pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Ditjen HKI).

Dengan dibentuknya sistem Penda aran Ciptaan akan berlanjut dengan dibuatnya ke-tentuan pelaksanaan untuk mekanisme admi-nistra f dari proses aplikasi, pemeriksaan, ser fi kasi, dan dokumentasi. Diterbitkannya ser fi kat berupa Surat Tanda Penda aran Ciptaan ini dianggap akan memudahkan pem-buk an apabila terjadi sengketa mengenai Hak Cipta baik itu perkara di pengadilan atau di luar pengadilan. Ketentuan Penda aran Ciptaan ini dak seimbang dan mengeyampingkan keberadaan karya-karya Cipta yang dak dida arkan, dengan kata lain terhadap ciptaan yang dak dida arkan akan lebih sukar dan lebih memakan waktu pembuk an hak ciptanya dari ciptaan yang dida arkan.

Berdasarkan ketentuan konvensi Interna-sional dibidang Hak Cipta, termasuk dalam praktek perlindungan atas kreasi terhadap karya seni dan karya sastra dak mengenal atau dak mewajibkan adanya Penda aran Ciptaan

pada instansi tertentu pada suatu negara. Suatu doktrin yang digunakan untuk memproteksi Hak Cipta yaitu suatu ciptaan sudah mendapatkan perlindungan hukum sejak ciptaan tersebut selesai dibuat, dan dapat diketahui, didengar, dilihat oleh pihak lain (fi rst to publish) yang menimbulkan kepemilikan Hak bagi Pencipta ataupun Pemegang Haknya prinsip ini dikenal dengan Asas Deklara f (Declara ve Principal). Ar nya suatu Ciptaan tersebut bukan berupa ide-ide atau gagasan namun merupakan ungkapan nyata dari ide-ide atau gagasan tersebut (protected expression of ideas). Dalam ar luas ketentuan kepemilikan suatu

Ciptaan dak ditentukan oleh adanya registrasi karena suatu karya cipta tersebut sudah mendapatkan perlindungan sejak pertama kali dimumkan, namun secara khusus di Indonesia diselenggarakan meka nisme Penda aran Ciptaan.

Maka, berdasarkan problema ka ter hadap ke daksesuaian antara Perlindungan Ciptaan Hak Cipta yang menganut sistem deklara f dengan ketentuan Penda aran Ciptaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Hak Cipta ini menarik perha an peneli untuk mengkaji kembali eksistensi apakah ketentuan Penda aran Ciptaan tersebut menyebabkan dilanggarnya asas kepemilikan karya cipta diperoleh sejak ciptaan tersebut pertama kali dipublikasikan (since publica on).

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, diru mus-kan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah Undang-Undang Hak Cipta telah

sesuai dan efek f dalam kerangka per lin-dungan dan pembuk an terhadap perkara Hak Cipta?

2. Bagaimana penjabaran prinsip deklara f dalam memberikan perlindungan hak cipta?

3. Apakah dengan adanya ketentuan Pen daf-taran Ciptaan sebagaimana diatur dalam UUHC 2002 menyebabkan di langgarnya Asas Deklara f (Declara ve Principle)”?

C. Metode Peneli an

Tulisan ini menggunakan pendekatan yuridis norma f yang didasarkan pada peneli an kepustakaan dengan mempergunakan data sekunder dalam bidang hukum. Sifat peneli an ini adalah deskrip f anali s, karena melalui tulisan ini diharapkan akan diperoleh gambaran

Page 84: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

240

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNsecara sistema s dan faktual terkait data

hukum yang ada.

D. Pembahasan1. Ketentuan Penda aran Ciptaan

Dalam rangka pembentukan hukum nasio-nal, pada tanggal 12 April 1982, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut Auteurswet (selanjutnya disingkat menjadi A.W) 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 dan sekaligus mengundangkan UUHC 1982 yang dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15.

Terdapat dua dasar per mbangan hukum untuk diundangkannya UUHC, seper dimuat dalam Mukadimah UUHC 1982, untuk mencabut A.W. 1912, yaitu:1) Dalam rangka pembangunan di bidang

hukum sebagaimana termaksud dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ke te tapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1918), serta untuk men dorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa dalam wahana Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka perlu disusun Undang-undang tentang Hak Cipta;

2) Berdasarkan hal tersebut pada huruf 1 di atas maka pengaturan tentang Hak Cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 perlu dicabut karena sudah dak sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita hukum Nasional.Beberapa penger an umum yang digunakan

sebagi dasar untuk menggan A.W. 1912 dengan UUHC 1982 seper dimuat dalam Penjelasan

atas UUHC 1982, yang perinciannya dalam bu r-bu r penjelasan kami ku pkan sebagai berikut:1) Dalam rangka pembangunan di bidang

hukum demi mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil karya ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan, kecerdasan kehidupan bangsa perlu dibentuk Undang-undang tentang Hak Cipta. Undang-undang tentang Hak Cipta Auteurswet 1912 Staatsblad No. 60 Tahun 1912, perlu digan karena sudah dak sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita

hukum nasional.2) Dalam undang-undang ini selain di-

maksudkan unsur baru mengingat per-kembangan teknologi, diletakkan juga unsur kepribadian Indonesia yang me ngayomi baik kepen ngan individu maupun masyarakat sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara kedua kepen ngan termaksud.Pasal 2 UUHC tahun 1982, ditentukan

bahwa: ”Hak Cipta adalah Hak Khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi ijin untuk itu dengan dak me-ngu rangi pem batasan-pembatasan me nu rut peraturan perundang-undangan yang ber-laku”

Walaupun dalam Pasal 2 UUHC 1982 ini ditentukan hak cipta adalah hak khusus tetapi sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka ia mempunyai fungsi sosial dalam ar ia dapat dibatasi untuk kepen ngan umum. Hal ini dapat kiranya dilihat:a. pada kemungkinan membatasi hak cipta

demi kepen ngan umum/ nasional de ngan keharusan memberikan gan rugi pada penciptanya.

Page 85: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

241Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNb. pada penyingkatan waktu berlakunya hak

cipta dari 50 (lima puluh) tahun menurut peraturan yang lama menjadi 25 (dua puluh lima) tahun.

c. dengan diberikannya hak cipta kepada negara atas benda budaya nasional.Secara khusus dalam UUHC 1982 terse but

diatur ketentuan tentang Penda aran Ciptaan. Tujuan dari ketentuan Penda aran Ciptaan ini dibuat dalam rangka agar negara melalui pemerintah sebagai pelaksananya dapat me-ngetahui secara posi f kepemilikan suatu Ciptaan yang beredar dimasyarakat atau ada dalam wilayah Republik Indonesia, dalam hal ini dapat mengetahui secara formal Pencipta, Pemegang Hak, jenis ciptaan. Dengan adanya penda aran ini diharapkan dapat menjadi buk kepemilikan Hak dan selanjutnya dapat memberikan kepas an hukum baik bagi Pemilik dan Pihak yang berkepen ngan.

Disamping Penda aran Ciptaan tersebut da-pat memberikan kepas an hukum kepemilikan Hak Cipta, pembentukan Sistem Penda aran Ciptaan yang konsepnya diatur dalam suatu undang-undang akan memberikan peran stra-tegis bahwa Pemerintah Republik Indonesia sangat concern atas perlindungan Hak Cipta sehingga bersedia menyediakan perangkat dak saja suatu kaedah hukum namun juga perangkat administra f dalam menata ciptaan yang akan dida arkan oleh Pemiliknya. Ketentuan tentang Penda aran Ciptaan tersebut dak dicabut atau mengalami perubahan sampai dengan diundangkannya UUHC 2002.

Ketentuan mengenai penda aran Hak Cipta, diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 43 UUHC 2002. Kantor Ditjen HKI, menyelenggarakan Penda aran Ciptaan dan dicatat dalam Da ar Umum Ciptaan. Da ar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh se ap

orang tanpa dikenai biaya. Namun apabila orang ingin memperoleh Da ar Ciptaan untuk dirinya sendiri suatu pe kan dari Da ar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.

Dalam Pasal 35 ayat (4) ditentukan bahwa Penda aran Hak Cipta dak meru pakan ke-wajiban untuk mendapatkan Hak Cipta. Keten-tuan dalam Pasal 35 ayat (4) ini merupakan poin pen ng dalam kerangka perlindungan Hak Cipta. Penda aran Ciptaan bukan merupakan suatu keharusan tetapi kerelaan (voluntary) bagi pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Dan perlu ditegaskan bahwa mbulnya perlindungan suatu Ciptaan dimulai sejak Ciptaan itu ada atau terwujud (material form) dan bukan karena suatu penda aran. Ar nya disini bahwa Hak Cipta baik terda ar maupun dak terda ar tetap mendapat perlindungan yang sama oleh Undang-undang.

Peran Kantor Ditjen HKI berfungsi untuk mengadministrasi dan mengelola Penda aran Hak Cipta (Pasal 52 UU No. 19 Tahun 2002). Kantor Direktorat Hak Cipta dak mempunyai wewenang untuk menjus fi kasi Hak Cipta tersebut layak dida ar atau dak, kecuali memang Hak Cipta tersebut bertentangan dengan Undang-Undang, misalnya: gambar marka jalan lalu lintas, dak dapat dida ar, karena gambar tersebut telah menjadi milik umum.

Sehubungan dengan masalah ter se but, Pasal 36 Undang-Undang Hak Cipta menentukan bahwa, ”Penda aran Ciptaan dalam Da ar Umum Ciptaan dak mengandung ar sebagai pengesahan atau isi, ar , maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang dida ar. Hal ini berar bahwa Kantor Ditjen HKI dak bertanggungjawab atas isi, ar , maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang terda ar.

Page 86: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

242

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNDalam Da ar Umum Ciptaan memuat, an-

tara lain:a. nama Pencipta dan pemegang Hak Cipta;b. tanggal penerimaan surat permohonan;c. tanggal lengkapnya persyaratan; dand. nomor penda aran Ciptaan.

Dalam Pasal 37 ayat (1) UUHC 2002 me-nentukan bahwa Penda aran Ciptaan dalam Da ar Umum Ciptaan dilakukan atas Per mo-honan yang diajukan oleh Pencipta atau Pe-megang Hak Cipta atau Kuasa. Sebagaimana juga telah ditentukan dalam Undang-Undang Hak kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) lainnya bahwa yang dimaksud dengan kuasa adalah Konsultan HKI yaitu orang yang memiliki keahlian di bidang HKI dan secara khusus memberikan jasa mengurus permohonan Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri serta bi-dang-bidang Hak Kekayaan lainnya selanjutnya terda ar sebagai Konsultan HKI di Kantor Ditjen HKI.

Permohonan diajukan kepada Kantor Ditjen HKI dengan surat rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan atau penggan nya dengan dikenai biaya. Contoh Ciptaan dilampirkan, namun apabila Ciptaan yang dilampirkan dak dimungkinkan, maka digan dengan miniatur atau fotonya. Setelah melalui permohonan, maka dalam wak tu paling lama 9 (sembilan) bulan sejak dite ri manya permohonan Penda aran secara lengkap Direktorat Jenderal harus memberikan keputusan diterima atau ditolaknya penda aran Hak Cipta.

Pasal 38 UUHC 2002 menentukan bahwa, dalam hal permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau suatu badan hukum yang secara bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan, Permohonan tersebut dilampiri salinan resmi atau keterangan tertulis yang membuk kan hak

tersebut. Apabila Penda aran diterima oleh Kantor Direktorat Hak Cipta, maka Penda aran, diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal. Apabila terdapat Pemindahan atas Penda aran Hak Cipta, secara khusus ditentukan dalam Pasal 41 UU No. 19 Tahun 2002, kami ku pkan sebagai berikut:1) Pemindahan hak atas penda aran

Ciptaan, yang terda ar menurut pasal 39 yang terda ar dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika seluruh Ciptaan yang terda ar itu dipindahkan haknya kepada penerima hak.

2) Pemindahan hak tersebut dicatat dalam Da ar Umum Ciptaan atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan dikenai biaya.

3) Pencatatan pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.Apabila terdapat perubahan nama dan/atau

perubahan alamat orang atau badan hukum yang namanya tercatat dalam Da ar Umum Ciptaan sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, maka atas permintaan tertulis dari Pencipta atau pemegang Hak dicatat dalam Da ar Umum Ciptaan. Perubahan nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.

Sebagaimana telah uraikan diatas bahwa penda aran Hak Cipta dak memberikan akibat juridis bahwa Hak Cipta yang telah terda ar tersebut mempunyai kekuatan hukum sehingga dak dapat digangu gugat oleh pihak lain.

Untuk permasalahan ini Pasal 44 UUHC 2002 memberikan penegasan, bahwa kekuatan hu-kum dari suatu penda aran Ciptaan hapus karena:

Page 87: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

243Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNa. penghapusan atas permohonan orang

atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;

b. lampau waktu; c. dinyatakan batal oleh putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Walaupun UUHC 2002 ini diadakan ketentuan

dan perangkat mengenai Penda aran Ciptaan, namun Penda aran Ciptaan ini dak mutlak atau dak diwajibkan (non-compulsory), karena tanpa penda aranpun hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Hanya mengenai ciptaan yang dak dida arkan akan lebih sukar dan lebih

memakan waktu pembuk an hak ciptanya dari ciptaan yang dida arkan.

Dengan demikian Penda aran ciptaan dilakukan secara pasif, ar nya bahwa semua permohonan penda aran diterima dengan dak terlalu mengadakan pemeriksaan me-

ngenai validitas aplikasi yang diajukan oleh Pemohon, kecuali jika aplikasi dari Pemohon yang bersangkutan secara nyata bertentangan dengan undang-undang atau dak termasuk kualifi kasi Ciptaan sudah jelas ternyata ada pelanggaran hak cipta. Maka, dalam undang-undang ini dianut sistem penda aran nega f-deklara f, seper pada umumnya dalam hal sengketa, kepada hakim diserahkan kewenangan untuk mengambil keputusan.

Berikut ini adalah mekanisme Penda aran Ciptaan sebagaimana ditentukan dalam UUHC 2002 melipu proses permohonan sampai dengan ser fi kasi, sebagai berikut:

Skema 1: Mekanisme Penda aran Ciptaan

Berkenaan permohonan Penda aran Ciptaan telah memperoleh ser fi kat sebagai surat tanda penda aran dari Ditjen HKI, apabila terjadi pelanggaran maka ser fi kat sebagai tanda buk kepemilikan sebagai salah satu buk untuk diajukan kepada pihak penyidik dan menjadi per mbangan hakim untuk mengambil keputusan. Berikut ini kami uraikan tabel proses gugatan/ tuntutan apabila terjadi pelanggaran Hak Cipta.

Skema 2: Proses Gugatan/Tuntutan Pelanggaran Hak Cipta

Page 88: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

244

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN2. Prinsip Deklara f dalam Perlindungan

Hak Cipta

Prinsip dalam membedakan perlindungan Hak Cipta dengan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual lainnya adalah bahwa Hak Cipta melindungi karya sastra (literary works) dan karya seni (ar s c works) dengan segala bentuk perkembangannya di dunia ini. Sebagai contoh karya sastra dapat berupa buku pelajaran, teks lagu, tulisan, dan lain-lain, sedangkan karya seni dapat berupa lagu/ musik, tarian, lukisan, dan lain-lain.

Hak Cipta adalah bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang pengaturannya terdapat dalam ilmu hukum dan dinamakan Hukum HKI. Hukum HKI ini, melipu suatu bidang hukum yang membidangi hak-hak yuridis dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah pikir manusia bertautan dengan kepen ngan-kepen ngan yang bersifat ekonomi dan moral. Bidang yang dicakup dalam hak-hak atas kekayaan intelektual sangat luas, karena termasuk didalamnya semua kekayaan intelektual yang dapat terdiri dari: ciptaan sastra, seni, dan ilmu pengetahuan.

Skema 3: Pembagian Umum Hak Cipta

Menurut WIPO2 dan oleh praktek negara-negara, HKI dikelompokkan secara tradisional kedalam dua kelompok kekayaan intelektual (juga bandingkan dengan tabel objek Hak Cipta sebagai bagian dari perlindungan Hak kekayaan Intelektual (HKI):1) Kekayaan industrial (industrial property)

terdiri dari:a. Invensi teknologi (paten);b. merek;c. desain industri;d. rahasia dagang;e. indikasi geografi s.2) Hak cipta (copy rights) dan Hak-hak yang

Berkaitan (Neighboring Rights) yang terdiri antara lain:

a. karya-karya tulis;b. karya musik;c. rekaman suara;d. pertunjukan pemusik, aktor dan penyanyi.

Pada umumnya, hukum kekayaan intelektual bertujuan untuk melindungi para pencipta dan produser barang dan jasa intelektual lainnya melalui pemberian hak tertentu secara terbatas untuk mengontrol penggunaan yang dilakukan produser tersebut. Hak itu dak berlaku pada barang-barang fi sik dimana kreasi dapat diwujudkan tetapi sebagai penggan kreasi intelektual itu saja.

Penger an tentang intellectual property bukan merupakan penger an baku, dalam hal ini Pendapat WIPO dalam General Informa on, sebagai berikut3:

2 WIPO didirikan berdasarkan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, yang ditandatangani 14 Juli 1976 di Stockholm dan mulai berlaku 1970. WIPO menjadi organisasi internasional bagaian dari United Nations (PBB) pada Desember 1974).

3 World Intellectual Property Organization, General Information, (Geneva: WIPO Publication No. 400 (E), 1993), hlm. 131.

Page 89: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

245Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNNo interna onal treaty defi nes these

concepts, and the various countries diff e form each other on several important points. It is not posibble, therefore, to give universally accepted defi ni ons of the various forms of interna onal property.

Walaupun suatu defi nisi tentang kekayaan intelektual (kekayaan industrial dan hak cipta) yang diterima secara umum/ universal dak ada (no single generic term)4. Namun, untuk dipakai sebagai pedoman dalam melakukan pembahasan selanjutnya ada baiknya di sini dikemukakan beberapa defi nisi yang dikemukakan beberapa penulis,5 bahwa untuk mencakup dalam suatu defi nisi yang memuaskan semua yang tergolong kekayaan intelektual adalah dak dimungkinkan, dan pendapatnya, sebagai berikut:

”There is no single generic term that sa s-factorily covers them all, Tradi onally, the term ”intellectual property” was used to refer to the rights conferred by the grant of a copyright in literary, ar s c and musical works.”

Secara tradisional kekayaan intelektual di-bagi menjadi dua cabang: ”kekayaan industri” dan ”hak cipta”. ”Kekayaan industri” men-cakup perlindungan invensi melalui paten, perlindungan kepen ngan komersial tertentu melalui undang-undang merek dan undang-undang tentang nama dagang, dan undang-undang tentang perlindungan desain industri. Disamping itu, kekayaan industri melipu pengendalian persaingan yang dak wajar. ”Hak cipta” memberikan hak-hak tertentu kepada para pengarang atau pencipta karya intelektual lainnya (sastra, musik dan seni) untuk memberikan wewenang atau melarang

untuk menggunakan karya tersebut selama waktu tertentu. Secara luas, hak cipta mencakup ketentuan-ketentuan tentang perlindungan hak cipta menurut penger an kata yang tepat dan juga perlindungan terhadap apa yang biasanya disebut ”hak-hak terkait”, sehingga eksklusif sifatnya.

Perjanjian TRIP’s dak mendefi nisikan ke-kayaan intelektual, tetapi Pasal 1. 2 - nya me-nyebutkan bahwa kekayaan intelektual terdiri dari:

hak cipta dan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta (seper hak dari ar s pertunjukan, produser rekaman suara dan organisasi penyiaran);

merek; indikasi geografi s; desain industri; paten; desain rangkaian listrik terpadu; rahasia dagang dan data mengenai test (test

data); varietas tanaman baru.

Jadi kekayaan intelektual berhubungan de-ngan permohonan perlindungan atas gagasan-gagasan dan informasi yang mempunyai nilai komersial. Kekayaan intelektual merupakan kekayaan pribadi yang bisa dimiliki dan dialihkan kepada orang lain sebagaimana halnya jenis-jenis kekayaan lainnya, termasuk dijual dan dilisensikan.

Konsepsi yang mendasar dalam rezim hu-kum hak cipta adalah bahwa hak cipta dak melindungi ide-ide, informasi atau fakta-fakta, tetapi lebih melindungi bentuk dari peng ung-

4 W.R. Cornish, Intellectual Property, Patent, Copyright, Trade Marks and Allied Rights, (Sweet & Maxwell, 2nd Edition, 1989),, hlm. 3.

5 Stainforth Ricketson and M. Richardson, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, (Butterwoths, 2nd edition, 1998), hlm. 3.

Page 90: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

246

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkapan ide-ide, informasi atau fakta-fakta tersebut

(expression of ideas). Hal mana juga diatur ditentukan oleh negara-negara anggota WIPO, Australia misalnya, Hak cipta didefi nisikan:6

”Copyright is form of intellectual property protec on for a variaty of crea ve works. It is not ideas but their expression which are subject to copyright.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hak cipta adalah ada (exist) dalam bentuk nyata (real), dan bukan ide-ide itu sendiri. Maka Hak Cipta dak melindungi ide-ide atau informasi sampai ide atau informasi tersebut dituangkan dalam bentuk yang dapat dihitung dalam bentuk materi, dan dapat diproduksi ulang.

3. Keterkaitan Penda aran Ciptaan de-ngan Prinsip Deklara f

Munculnya suatu karya telah begitu meli-batkan tenaga, waktu, dan biaya, apabila di kon-versikan ke dalam angka-angka akan me nun-jukkan nilai karya yang memiliki manfaat atau nilai ekonomi pada suatu karya cipta. Selanjut-nya mbullah kemudian konsepsi mengenai kekayaan, yang pada gilirannya, tumbuh konsepsi hukum mengenai hak dan kebutuhan untuk melindunginya. Pengembangan konsepsi hukum ini, bila dilihat dari segi usaha untuk mendorong tumbuhnya sikap dan budaya menghorma atau menghargai jerih payah atau hasil karya orang lain, memiliki ar yang pen ng. Apabila kalau hal ini di njau dari kebutuhan negara untuk mewujudkan tatanan kehidupan ekonomi yang tetap memberikan penghormatan terhadap

hak-hak perseorangan secara seimbang dengan kepen ngan masyarakat bangsanya.

Menurut Megan Richarson, keuntungan ekonomi (economic benefi t) dari Hak Cipta, dengan memper mbangkan beberapa hal sebagai berikut:7

a. wheather material incen ve provided by copyright are relevant to the innova ve process behind copyright works and others subject ma er;

b. wheather, given that we import more copyright material than we export, Australia is a net loser from a copyright system that rewards innova on;

c. wheather the cost associated with the gran ng proprietary rights over informa on outweigh the benefi t of copyright.Manfaat lain, umumnya dialami oleh pelaku

seni (ar st) melalui perlindungan Hak Cipta, sangat memberikan keuntungan ekonomis bagi pencipta dan pemegang Hak Cipta, dimana pen-dapat mereka sangat tergantung pada pasar:8

Almost all ar st who have done anything approaching fi rst-rate work have been thoroughly bourgeois people – leading quiet, unostenta ous lives, indiff erent to the world’s praise or blame, and far to much interest in their job to spend their me kicking over the traces.

Dasar pemikiran diberikannya kepada se-orang atau individu untuk perlindungan hukum terhadap ”ciptaan” bermula dari teori yang dak lepas dari dominasi pemikiran Mazhab atau Dokrin Hukum Alam yang menekankan pada faktor manusia dan pengunaan akal seper

6 CAL (Copyright Agency Ltd), Copyright Information Sheet, (Sydney: Copyright Agency Ltd, 2nd Edition, 2000), hlm. 12.

7 Megan Richardson, etc., The Bene its and Costs of Copyrights: an Economic Perspective, (Discussion Papers for The Centre for Copyright Studies Ltd., June 2000), hlm. 7.

8 CLRC. Australia, Copyright Reform: Consideration of Rationales, Interest and Objectives, (1996), hlm. 18., juga lihat Of ice Regulation Review., An Economic Analysis of Copyright Reform, (1995), hlm. 4.

Page 91: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

247Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNyang dikenal dalam Sistem Hukum Sipil (Civil

Law System) yang merupakan sistem hukum umum yang dipakai di Indonesia.9

Pengaruh Mazhab Hukum Alam dalam Civil Law System ini terhadap seorang individu yang menciptakan pelbagai ciptaan yang kemudian memperoleh perlindungan hukum atas cip-taan yang merupakan kekayaan intelektual. Perkembangan ini juga dikemukakan oleh S. Stewart dengan:10

Countries that follow the civil law tradi on, however, regard authors’ rights as natural human rights, or part of one’s right of personalit. As apart of this tradi on, in addi on to the protec on of the author’s economic rights, the protec on of the author’s ”moral right” is an essen al part of the system.

Stewart mengajukan sebuah summary Prinsip-prinsip Hak Cipta Internasional dan sinopsis Hukum Hak Cipta di beberapa negara. Stewart juga telah mengiden fi kasi Hukum Hak Cipta negara-negara penganut Sosialis (Socialist Copyrights Law) sebagai satu kategori. Menurutnya bagaimanapun juga, sejak ber-akhirnya Uni Soviet (USSR), banyak negara-negara bekas sosialis telah bergerak dengan perundang-undangan Hak Cipta Modern (modern copyrights legisla on). Misalnya Hukum Hak Cipta dari Republik Rakyat China dan Rusia menganut model civil law system.

Melalui pengakuan secara universal ini, sudah dak diragukan lagi bahwa suatu ciptaan mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia (life worthy) dan mempunyai nilai ekonomi sehingga menimbulkan adanya ga macam konsepsi:11 (1) Konsepsi Kekayaan; (2) Konsepsi Hak; dan (3) Konsepsi Perlindungan Hukum.

Bertolak dari hasil uraian tentang berbagai pendapat di atas, situasi pada masa kini sangat kondusif bagi penciptaan suatu kepas an hukum dan pengayoman atau perlindungan hukum yang berin kan keadilan dan kebenaran, sehingga pembangunan hukum pada umumnya, dan perlindungan HKI pada khususnya perlu segera di ngkatkan lebih cepat menuju terwujudnya sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu.

Hal yang paling mendasar bagi perlindungan hak atas kekayaan intelektual adalah bahwa seseorang yang telah mencurahkan usahanya untuk menciptakan/ menemukan sesuatu selanjutnya mempunyai hak alamiah/ dasar untuk memiliki dan mengontrol apa-apa yang telah diciptakannya.

Menurut Pasal 27 (2) dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declara on of Human Rights), menyebutkan bahwa:

”Everyone has the right to the protect of the moral and material interest resul ng form any scien fi c, literary, or ar s c produc on of which he/she is the author”.

”Se ap orang mempunyai hak untuk menlindungi kepen ngan moral dan material yang berasal dari ilmu pengetahuan, sastra atau hasil seni yang mana dia merupakan penciptanya”.

Secara substan f penger an HKI dapat di deskripsikan sebagai ”Hak atas kekayaan yang mbul atau lahir karena kemampuan intelektual

manusia”. Penggambaran di atas pada dasarnya memberikan kejelasan bahwa HKI memang menjadikan karya-karya yang mbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia sebagai in dan objek pengaturannya. Demikian juga dalam Hak Cipta yang merupakan bagian dari

9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Cet. Pertama, (Bandung: Alumni, 1972), hlm. 292.10 S. Stewart., International Copyright and Neighboring Right, 2nd Edition, (1989), hlm. 33.11 Eddy Damian, Op.Cit., hlm. 18.

Page 92: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

248

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNHKI, pemahaman mengenai hak atas kekayaan

yang mbul atau lahir karena kemampuan intelektual tersebut, telah berwujud karya cipta.12

Dalam kerangka permasalan inilah ke ha-diran Undang-undang Hak Cipta perlu mem-peroleh perha an sewajarnya. Seper terurai sebelumnya, yang baru bagi bangsa Indonesia pada dasarnya hanyalah pengenalan konsepsi tentang pengaturan secara lugas dalam sistem hukum nasional. Dalam ilmu hukum, Hak Cipta seper halnya hak-hak lainnya yang dikenal dalam HKI digolongkan sebagai hak milik perorangan yang dak berwujud. Hak ini bersifat khusus, karena hak tersebut hanya diberikan kepada pemilik atau pemegang hak yang bersangkutan untuk dalam waktu tertentu memperoleh perlindungan hukum guna mengumumkan, memperbanyak, mengedarkan, dan lain-lain hasil karya ciptanya, atau memberi ijin kepada orang lain untuk melaksanakannya. Hak Cipta sering pula dikatakan eksklusif, karena mengenyampingkan orang lain untuk mengumumkan, memperbanyak, atau meng-edarkan dan lain-lain kecuali atas ijin pemilik atau pemegang hak yang bersangkutan. Ciri-ciri seper itu pula yang kemudian sering mengundang semacam kri k, bahwa Hak Cipta berkembang dari paham ”individualisme”, bertentangan dengan paham kekeluargaan dan kegotong-royongan bangsa Indonesia.13

Lebih jauh, pembangunan ekonomi nasional harus berlandasan UUD 1945 dan Pancasila

sebagai moral kehidupan bangsa. Dengan berlandasan pada Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan diharapkan dapat tercipta suatu keseimbangan dalam kegiatan usaha besar, menengah dan kecil dalam pola kemitraan usaha. Dalam sistem ekonomi yang berasaskan kebersamaan dan kekeluargaan tersebut diharapkan semua pihak dapat bersaing secara kekeluargaan, saling membina agar bersama-sama dapat maju dalam mengembangkan perekonomian nasional yang efi sien.14

Untuk dapat mewujudkan pembangunan ekonomi yang diciptakan tersebut, diperlukan adanya perlindungan hukum bagi hak ekonomi individu. Di Indonesia, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi:(1) ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya

di dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan dak ada kecuali”

(2) ”Tiap- ap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”Berdasarkan uraian di atas, selain diatur

persamaan hak-hak dasar warga negara, juga tersirat makna bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya yang lemah dari segi ekonomi Hal ini dimaksudkan agar dalam proses berekonomi, secara bertahap dapat bersaing secara wajar dengan pengusaha atau negara lainnya yang telah lebih dahulu mampu berkompe si, berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi.15

12 Suyud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, Cet. Pertama, 2003), hlm. 4 – 5.

13 Bambang Kesowo., Op.Cit., hlm. 8.14 Djuhaedah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang melekat pada Tanah dalam

Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, Cet. Pertama), hlm. 12.15 Sri Edi Swasono, Membangun Sistem Ekonomi dan Demokrasi ekonomi, (Jakarta: UI-Press, Cet. Kedua, 1985), hlm.

99.

Page 93: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

249Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNSalah satu bagian pen ng dari pembangunan

ekonomi adalah pembangunan di bidang indus-tri, Pembangunan industri yang berlangsung di Indonesia diarahkan untuk menciptakan kemandirian Perekonomian nasional dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peran serta ak f Masyarakat yang didukung oleh produk fi tas masyarakat yang sehat dalam menghasilkan barang dan jasa. Diharapkan dalam pembangunan industri yang berlangsung dapat meningkatkan penguasaan pasar dalam negri dan memperluas pasar luar negeri.16

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bah-wa hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa adanya keteraturan atau keter ban itu merupakan suatu hal yang diinginkan, bahkan dipandang perlu. Lebih jauh lagi anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah hukum dalam ar kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam ar penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.17

Roscue Pound berpendapat ”Law as a toll of social engineering”18 bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial, hukum dak pasif, tetapi harus mampu digunakan untuk mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu ke arah yang

dituju sesuai dengan kemauan masyrakatnya.19 Dengan demikian, hukum menciptakan keadaan yang rela f sangat baru, dak sekadar mengatur keadaan yang telah berjalan. Komar Kantatmadja menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan hukum sebagai sarana pembaharuan adalah sebagai berikut:20

”Hukum harus mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan ngkat kemajuan serta tahapan pembangunan di segala bidang sehingga dapat diciptakan keter ban dan Kepas an hukum untuk menjamin serta memperlancar pelaksanaan pembangunan”.

Sumantoro menyatakan bahwa hukum da-pat berfungsi sebagai agent of moderniza on and instrument of social engineering.21 Dengan demikian, pembangunan hukum juga dapat berjalan di depan bersama pembangunan eko-nomi dalam upaya mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Mendukung pendapat di atas, Sunarya Hartono menyatakan bahwa makna dari pembangunan hukum melipu empat hal sebagai berikut:22

1. menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik);

2. mengubah agar menjadi lebih baik dan modern;

3. mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada, atau;

4. meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama karena dak diperlukan dan dak cocok dengan sistem baru.

16 Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 2004), hlm. 27.

17 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Cet. Pertama, 1976), hlm. 4.

18 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra AdityaBakti, Cet. Kedua, 1996), hlm. 83.19 W. Friedman, Legal Theory, (London: Steven & Sons Limited, 1960), hlm. 293-296.20 Komar Kantaatmadja, Perandan Fungsi ProfesiHukum Dalam Undang-UndangPerpajakan, makalah, dalam

Seminar Nasional Hukum Pajak, IMNO-UNPAD, Bandung, Juli 1985.21 Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta: UI Press, Cet. Kedua, 1986), hlm. 180.22 Sunaryati Hartono, ”Sejarah Pekembangan Hukum Nasional Indonesia Menuju Sistem Hukum Nasional”, Makalah,

1991.

Page 94: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

250

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNBertolak dari pemahaman mengenai segala

hal terdahulu dan dalam kerangka menghindari suatu pelanggaran dalam Hak Cipta, rambu-rambu pengaturannya secara seksama telah diformulasikan dalam perundang-undangan, Di Indonesia sejak tahun 1970-an upaya pengaturan Hak Cipta ini dimulai dan kemudian memberikan hasil berupa UUHC 1982. Pada tanggal 12 April 1982, oleh pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut Auteurs Wet,Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 dan sekaligus mengundangkan Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15 Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta ditujukan karena Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Selanjutnya, sistem Hukum Hak Cipta juga mengalami perubahan yang signifi kan dari sudut substansi, hal ini dak hanya dialami oleh Indonesia namun juga oleh negara-negara anggota yang menandatanggani perjanjian WTO (World Trade Organiza on).

Indonesia merupakan salah satu dari 110 negara yang menandatangani hasil akhir Pu-taran Uruguay. Selanjutnya Indonesia dengan resmi telah mengesahkan keikutsertaan dan menerima Conven on Establishing the World Trade Organiza on dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Sebagai konsekuensi dari keang-gotaan Indonesia di WTO, Indonesia antara lain harus menyelaraskan segala pranata peraturan perundang-undangan di bidang HaKI dengan norma dan standar yang disepaka . Sesuai dengan Pasal 65 Persetujuan TRIPs (Trade Re-lated Aspect on Intellectual Property Rights and Counterfeit Goods Agreement), Indonesia seba-gai negara berkembang mendapatkan teng gang waktu sampai 1 Januari 2002.

Pasca penandatangganan TRIPS Agreement tersebut, memberikan konsekuensi produk Hu-kum Hak Cipta di Indonesia untuk diadakan per-ubahan dalam rangka memenuhi standarisasi pemberlakukan TRIPS Agreement tersebut. Perubahan Undang-Undang dilakukan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 tentang perubahan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1987 dan perubahan terakhir kali dengan diundangkannya UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dianggap telah memenuhi seluruh ketentuan dalam TRIPs Agreement termasuk beberapa Current Issues internasional di bidang Hak Cipta Tradisional khususnya perlindungan atas expression of folklore.

Persetujuan TRIPs Agreement, menim bulkan kebutuhan untuk menghadirkan beberapa ketentuan internasional bidang Hak Cipta dengan beberapa ciri pokok pengaturannya masing-masing dan unsur-unsur yang dimaksud dalam TRIPs Agreement. Terhadap hukum nasional yang berlaku bagi masing-masing negara anggota penan datangan, bentuk pemberlakuan ketentuan-ketentuan Hak Cipta dalam skala internasional antara lain berupa:(1) memberlakukan Konvensi Bern 1971 yang

belum berlaku bagi Indonesia;(2) mencabut ketentuan-ketentuan Hak Cipta

yang dak sesuai dan menggan nya dengan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan TRIPs;

(3) menetapkan penambahan ciptaan-ciptaan yang diatur dalam Persetujuan TRIPs yang dinamakan Hak-hak yang Berkaitan dengan Hak Cipta.Konvensi Bern, dikatakan sebagai sebagai

dasar dan acuan pengaturan hukum Hak Cipta bagi Negara-negara di dunia atau disebut

Page 95: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

251Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNdengan law making treaty, sebagaimana kami

ku pkan bahwa Negara-negara anggota WTO harus memenuhi seluruh ketentuan Konvensi Bern dalam produk Hukum Hak Cipta masing-masing, yaitu dalam bagian II Sec on 1: Copy-right and Related Rights, TRIPs Agreement, Pasal 9 berkaitan dengan Berne Conven on:

”Members shall comply with Ar cle 1 through 21 of the Berne Conven on (1971) and the Appendix thereto. However, Members shall not have rights or obliga ons under this Agreement in respect of the rights conferred under Ar cle 6bis of that Conven on or of the rights derived therefrom”.

Konvensi Bern 1886, pada garis besarnya memuat prinsip dasar mengenai sekumpulan ketentuan yang mengatur standar minimum perlindungan hukum (minimum standart of protec on) yang diberikan kepada pencipta dan sekumpulan ketentuan yang berlaku khusus bagi negara-negara anggota WTO. Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern memuat ga prinsip dasar yang menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasionalnya di bidang hak cipta, yaitu:

(1) Prinsip na onal treatment:

Ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian (yaitu ciptaan seorang warga-negara dari negara peserta perjanjian, atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan di salah satu negara peserta perjanjian) harus mendapat perlindungan hukum Hak Cipta yang sama seper diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri.

(2) Prinsip automa c protec on:

Pemberian perlindungan hukum harus di be-rikan secara langsung tanpa harus memenuhi

syarat apapun (no condi onal upon compliance with any formality).

(3) Prinsip independence of protec on:

Bentuk perlindungan hukum Hak Cipta dibe-rikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta.

Ku pan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Konvensi Bern sebagai berikut:(1) Authors shall enjoy, in respect of works for which

they are protected under this Conven on, in countries of the Union others than the country of origin, the rights which their respec ve laws do now or may herea er grant to their na onals, as well as the rights specially granted by this Conven on.

(2) The enjoyment and the exercise of this rights shall not be subject to any formality; such enjoyment and such exercise shall be independent of the existence of protec on in the country of origin of the works. Consequently, apart from the provision of this Conven on, the extent of protec on, as well as the means of redness aff orded to the authors to protect his rights shall be governed exclusively by the laws of the country where protec on is claimed.Dengan mengacu pada keberlakukan ke-

tentuan konvensi internasional di bidang Hak Cipta khususnya Konvensi Bern, se ap ciptaan sudah mendapatkan perlindungan secara otoma s (automa c protec on) sejak Ciptaan menjadi nyata (real expression), perlindungannya diberikan langsung tanpa bergantung dari Negara asal pencipta (direct and independent protec on), dan pemberlakukan ketentuan ini berlaku sama bagi seluruh negara-negara yang telah mera fi kasi Konvensi Bern termasuk negara-negara anggota WTO yang juga menandatanggani TRIPS Agreement. Dengan demikian dak diperlukan intervensi negara termasuk suatu negara membentuk suatu sistem registrasi suatu karya cipta yang

Page 96: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

252

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNselanjutnya menjadi buk atau formalitas suatu

kepemilikan ciptaan.Ketentuan prinsip deklara f dalam Konvensi

internasional dibidang Hak Cipta ini sesuai dengan doktrin dan asas hukum perlindungan ciptaan. Asas yang mendasar dalam rezim hukum hak cipta adalah bahwa hak cipta dak melindungi ide-ide, informasi atau fakta-

fakta, tetapi lebih melindungi bentuk dari pengungkapan ide-ide, informasi atau fakta-fakta tersebut (protectedexpression of ideas). Hal mana juga diatur ditentukan oleh negara-negara anggota WIPO, Australia misalnya, Hak cipta didefi nisikan:23 ”Copyright is form of intellectual property protec on for a variaty of crea ve works. It is not ideas but their expression which are subject to copyright”.

Dapat dikatakan bahwa Hak cipta adalah ada (exist) dalam bentuk nyata (real), dan bukan ide-ide itu sendiri. Maka Hak Cipta dak melindungi ide-ide atau informasi sampai ide atau informasi tersebut dituangkan dalam bentuk yang dapat dihitung dalam bentuk materi (material form), dan dapat dipublikasi (publica on) ataupun diproduksi ulang (reproduc on) yang kemudian berkembang menjadi konsep kekayaan yang memberikan manfaat ekonomi bagi Pencipta atau Pemegang Hak-nya.

Hak Cipta sebagai bagian dari per lin dungan Kekayaan intelektual memilki hak-hak yang di mbulkan atas kekayaan yang dimilikinya, dalam hal ini pemilik Hak Cipta dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu atas kekayaan yang dimilikinya. Hak-hak yang

mbul dari suatu Ciptaan dalam Hak Cipta oleh Hukum diberikan secara bersamaan dengan keis mewaan-keis mewaan tertentu, yaitu Hak untuk mengeksploitasi ciptaannya. Konsepsi kekayaan dalam Hak Cipta yang bersifat eksklusif ini juga disampaikan menurut Bruce A. Lehman, berpendapat: 24

”Ownership of a copyright, or any of the exclusive rights under a copyright, is dis nct from ownership of any material object in which the work is embodied. Transfer of ownership of any material object, including the copy or phonorecord in which the work is fi rst fi xed, does not of itself convey any rights in the copyrighted work embodied in the object; nor, in the absence of an agreement, does transfer of ownership of a copyright or of any exclusive rights under a copyright convey property rights in any material object”.

Konsepsi kepemilikan (possesion), kekayaan atau hak-hak kekayaan lain yang melekat kepada atau terkait dengan mengkopi dari karya cipta (copyrighted work), termasuk hak untuk mendapatkan akses melalui media network komputer, dak seorangpun dapat menguasai dan menjalankan hak-hak eksklusif dari pemilik Hak Cipta (copyright owner), (misal hak untuk mengumumkan kepada publik (to perform it publicly) atau hak untuk mereproduksi).

Kepemilikan Hak Cipta terkait dengan hak-hak yang melekat atau dimiliki pemegang Hak Cipta. Pada Umumnya Hukum Hak Cipta memberikan beberapa hak yang dikenal dengan Hak Eksklusif (a number exclusive rights). Berikut ini kami ku pkan beberapa hak eksklusif terhadap suatu karya Cipta, yaitu: 25

23 CAL (Copyright Agency Ltd), Op.Cit.,hlm. 12.24 Bruce A. Lehman, Intellectual Property and The National Infrastructure: The Report of The Working Group on

Intellectual Property Rights, Information Infrastructure Task Force, (Washington D.C: USPTO, September 1995), hlm. 137.

25 Attorney General’s, Department Copyright Law Australia, Short Guide Copyrights Information, (Attorney General’s Department Copyright Law in Australia, January 2000).

Page 97: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

253Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN”These exclusive rights vary according to the

diff erent types of works and other subject-ma er protected by copyright.The owner of copyright in a literary, drama c or musical work has the following exclusive rights:

1. to reproduce the work in a material form (which includes making a sound recording or fi lm of the work or including the work in a database);

2. to publish the work (that is, to make copies of the work available to the public for the fi rst me);

3. to perform the work in public;

4. to broadcast the work;

5. to make an adapta on of the work (which includes an arrangement of a musical work and a drama sa on or transla on of a literary work);

6. cable television), and;

7. in the case of computer programs, and works recorded in sound recordings, to commercially rent the sound recording or computer program”.

Hak Pencipta dan Pemegang Hak dalam ruang lingkup karya seni memiliki beberapa hak eksklusif sebagai berikut:

to reproduce the work in a material form (which includes reproducing a two-dimensional work in a three-dimensional form and vice versa);

to public the works; to include the work in a television broadcasts,

and; to transmit a television program which

includes that work to subscribers to a television services.Bagi Indonesia, dengan adanya ketentuan

Penda aran Ciptaan ini, memberikan kon se-kuensi Kantor Ditjen HKI memiliki kewenangan berdasarkan Undang-Undang untuk mengelola Penda aran Ciptaan tersebut, termasuk admi-nistrasi yaitu Ditjen HKI ber ndak menerima, memeriksa dan menerbitkannya dalam Da ar

Umum Ciptaan. Konsekuensi dari ketentuan tentang Penda aran Ciptaan ini Kantor Ditjen HKI ber ndak selaku Pemeriksa dan menentukan suatu karya cipta tersebut layak atau dak layak untuk dida ar. Padahal dalam Penda aran Ciptaan dak terdapat pemeriksaan Substan f (Substa ve Examina on), hal ini akan menjadi masalah khususnya tentang objek fi tas dari pemeriksa.

Ketentuan Penda aran Ciptaan belum cu-kup efek f dalam memberikan perlindungan Hak Cipta, ketentuan ini hanya memberikan kesan bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia secara ak f memberikan proteksi bagi perlindungan Hak Cipta. Ketentuan Penda aran Ciptaan ini terdapat ke daksesuaian karena perlindungan Hak Cipta itu seharusnya sejak Ciptaan tersebut selesai dibuat, ar nya tanpa penda aran pun suatu karya Cipta diakui dan mendapatkan perlindungan. Dengan demikian ketentuan Penda aran Ciptaan dalam Undang-Undang Hak Cipta dak mutlak atau dak diwajibkan (non-compulsary). Dengan kata lain, Penda aran ciptaan dilakukan secara pasif dan bersifat sukarela (voluntary applica on), ar nya bahwa semua permohonan penda aran diterima dengan dak terlalu mengadakan pemeriksaan secara substan f mengenai materi Aplikasi Ciptaan, kecuali jika sudah jelas ternyata ada pelanggaran atas syarat Hak Cipta.

Sebetulnya dalam UUHC 2002 tentang Hak Cipta menganut sistem deklara f, namun terdapat ketentuan Penda aran Ciptaan yang sebetulnya bertentangan dengan sistem deklara f. Mekanisme atau Konsep registrasi sebetulnya adalah kelanjutan dari perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual dengan sistem kons tu f (Cons tu ve Principal) dimana kepemilikan suatu Hak Kekayaan Intelektual diperoleh karena suatu penda aran pertama

Page 98: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

254

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 237-255

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkali (fi rst to fi le). Sistem Kons tu f ini pada

umumnya dikhususkan untuk proteksi dibidang Hak Kekayaan Industrial (Industrial Property Right) yang terdiri atas Paten (Patents), Merek (Trademarks), Desain Industri (Industrial Designs).

Dengan demikian, berdasarkan kerangka pemikiran ini sementara bahwa dengan adanya ketentuan Penda aran Ciptaan sebagaimana diatur dalam UUHC 2002 menyebabkan dilanggarnya Asas Deklara f (declara ve principle) yaitu suatu Ciptaan dilindungi sejak pertama kali dipublikasikan.

E. Penutup

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, ketentuan Penda aran Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam UUHC 2002 sebagai hukum norma f tentang Hak Cipta di Indonesia. Dengan adanya ketentuan Penda aran Ciptaan ini, memberikan konsekuensi Kantor Ditjen HKI memiliki kewenangan berdasarkan Undang-Undang untuk mengelola Penda aran Ciptaan tersebut termasuk administrasi yaitu Kantor Ditjen HKI ber ndak menerima, memeriksa dan menerbitkannya dalam Da ar Umum Ciptaan. Konsekuensi dari ketentuan tentang Penda aran Ciptaan ini Kantor Ditjen HKI ber ndak selaku Pemeriksa dan menentukan suatu karya cipta tersebut layak atau dak layak untuk dida ar.

Prinsip Deklara f dalam Perlindungan Hak Cipta berdasarkan ketentuan hukum inter-nasional dan doktrin hukum yang berlaku dalam praktek perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dimana secara universal mengacu pada keberlakukan ketentuan konvensi internasional di bidang Hak Cipta khususnya Konvensi Bern,

dimana se ap ciptaan sudah mendapatkan perlindungan secara otoma s (automa c protec on) sejak Ciptaan menjadi nyata (real expression), perlindungannya diberikan langsung tanpa bergantung dari negara asal pencipta (direct and independent protec on). Pemberlakukan ketentuan ini berlaku sama bagi seluruh negara-negara yang telah mera fi kasi Konvensi Bern termasuk negara-negara anggota WTO yang juga menandatanggani TRIPS Agreement. Dengan demikian dak diperlukan intervensi Negara termasuk suatu Negara mem-bentuk suatu sistem registrasi suatu karya cipta yang selanjutnya menjadi buk atau formalitas suatu kepemilkan ciptaan.

Hubungan antara Penda aran Ciptaan ber dasarkan UUHC 2002 tentang Hak Cipta dilakukan dengan tetap diberlakukan secara nega f-deklara f, dengan demikian ketentuan Penda aran Ciptaan tersebut menyebabkan dilanggarnya asas kepemilikan karya cipta diperoleh sejak ciptaan tersebut pertama kali dipublikasikan (Declara ve Principle).

2. Saran

Perlu meneli kembali apakah perlindungan hukum bidang HKI khususnya Hak Cipta, berdasarkan beberapa perundang-undangan nasional terutama Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 khususnya dengan mengkaji kembali secara juridis norma f ketentuan ten-tang Penda aran Ciptaan apakah telah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di kalangan masyarakat internasional, khususnya pengaturan seper yang ditetapkan dalam per-janjian TRIPs and Counterfeit Goods, yang telah dira fi kasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1994.

Page 99: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

255Prinsip Deklara f Penda aran Hak Cipta…. (Suyud Margono)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNDAFTAR PUSTAKA

Buku A orney General’s, Department Copyright Law

Australia, Short Guide Copyrights Informa on, (A orney General’s Department Copyright Law in Australia, January 2000).

CAL (Copyright Agency Ltd), Copyright Informa on Sheet, (Copyright Agency Ltd, 2nd Edi on, Sydney, 2000).

Cornish, W. R., Intellectual Property, Patent, Copyright, Trade Marks and Allied Rights, (Sweet & Maxwell, 2nd Edi on, 1989).

Damian, Eddy. Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT. Alumni, Cet. Kedua, 2004).

Friedman, W, Legal Theory, (London: Steven & Sons Limited, 1960).

Galaner, Marc.,”The Moderniza on of Law The Dynamic of Growth” dalam Syamsudin, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, (Yogyakarta: FH UII, Cet. Pertama, 1998).

Hartono, Sunarya , ”Sejarah Pekembangan Hukum Nasional Indonesia Menuju Sistem Hukum Nasional”, Makalah, 1991.

Hasan, Djuhaedah, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, (Bandung: Citra Aditya Bak , Cet. Pertama, 2000).

Kesowo, Bambang, Pengantar Umum Mengenai HAKI di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Negara RI., terbit tanpa Tahun).

Kusumaatmadja, Mochtar., Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Cet.Pertama, 1976).

________, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, Cetakan Keempat, 2002).

Lehman, A, Bruce., Intellectual Property and The Na onal Informa on Infrastructure., The report of the Working Group on Intellectual Property Rights, September 2003.

Margono, Suyud, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri., Cet. Pertama, Jakarta, 2003).

Mayana, Ran Fauza., Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Cet. Pertama, 2004)

Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, Cet. Pertama, Bandung, 1982).

Rasjidi, Lili., Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bak , Cet. Kedua, 1996).

Richardson, Megan, etc., The Benefi ts and Costs of Copyrights: an Economic Perspec ve., Discussion Papers for The Centre for Copyright Studies Ltd., (Australia, Published in June 2000).

Ricketson, Stainforth and M. Richardson, Intellectual Property: Cases, Materials and Commentary, (Bu erwoths, 2nd edi on, 1998.)

Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta UI Press, Cet. Kedua, 1986).

Stewart, S, Interna onal Copyright and Neighboring Right, (2d Edi on, 1989).

World Intellectual Property Organiza on, General Informa on, (Geneva: WIPO Publica on No. 400 (E), 1993).

PeraturanAgreement on Trade – Related Aspects of Intellectual

Property Right, Marrakesh, 15 April 1994.Bern Conven on for the Protec on of Literary and

Ar s c Works, Paris Act of July 24, 1971 as amended on September 28, 1979.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organiza on (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Page 100: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN”Halaman ini dikosongkan”

Page 101: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

257Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNKEDUDUKAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA

INDONESIA DALAM MENDORONG PERKEMBANGAN BISNIS PERBANKAN SYARIAH (PERSPEKTIF HUKUM PERBANKAN SYARIAH)

(Posi on of The Na onal Sharia Board – Indonesian Council Of Ulema's Fatwa In S mulate The Development Of Islamic Banking Business – Islamic Banking Law Perspec ve)

Ahyar Ari Gayo dan Ade Irawan Taufi kBadan Pembinaan Hukum Nasonal Kementerian Hukum dan HAM RI

Jl. Mayjen. Soetoyo, Cililitan, Jakarta Timur

Naskah diterima: 14 Mei 2012; revisi: 10 Juli 2012; disetujui: 20 Juli 2012

ABSTRAKDi dalam perbankan syariah, disamping peraturan perundang-undangan, para prak si perbankan syariah juga memerlukan Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai acuan dalam mejalankan praktek perbankan syariah. Permasalahannya adalah apakah Fatwa DSN-MUI secara langsung mengikat bagi pelaku perbankan syariah. Dengan menggunakan metode peneli an yuridis sosiologis diperoleh jawaban bahwa Fatwa DSN-MUI merupakan perangkat aturan yang bersifat dak mengikat dan dak ada paksaan secara hukum bagi sasaran diterbitkannya fatwa untuk mematuhi ketentuan fatwa tersebut, namun di sisi lain, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, adanya kewajiban bagi regulator (Bank Indonesia) agar materi muatan yang terkandung dalam Fatwa DSN-MUI diserap dan ditransformasikan sebagai prinsip-prinsip syariah dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Keberadaan Fatwa DSN-MUI semakin menunjukan peranannya sebagai pedoman pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dalam perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hambatan dalam penerapan Fatwa DSN-MUI dalam kegiatan perbankan syariah, antara lain fatwa yang sulit untuk diterjemahkan atau sulit diaplikasikan dalam peraturan perbankan dan fatwa DSN-MUI yang dak selaras dengan hukum posi f.Kata kunci: Fatwa, DSN-MUI, Perbankan Syariah

ABSTRACTIn the Islamic banking, besides legisla on, the prac oners of Islamic banking also requires the Na onal Sharia Board – Indonesian Council of Ulema’s Fatwa (DSN-MUI) as a reference in prac ce carry out Islamic banking. The problem is is whether the DSN-MUI Fatwa is directly ed to the perpetrators of Islamic banking. By using the methods of sociological juridical research obtained answers that DSN-MUI Fatwa is a set of rules which are not binding and there is no legal compulsion for the target to comply with the fatwa issued the fatwa, but on the other side, based on legisla on in force, the obliga on for the regulator (Bank Indonesia) that the substance contained in the DSN-MUI Fatwa absorbed and transformed the Islamic principles in the substance of legisla on. The presence of DSN-MUI Fatwa has grown from its role as the guidelines for the implementa on of sharia principles in Islamic banking since the enactment of Law No. 21 of 2008 on Islamic Banking. Obstacles in the implementa on of DSN-MUI fatwa in Islamic banking ac vi es, including fatwas that are diffi cult to translate or diffi cult to apply in banking regula on and DSN-MUI fatwa is not aligned with the posi ve lawKeywords: Fatwa, DSN-MUI, Islamic Banking

Page 102: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

258

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNA. Pendahuluan

Terdapat rambu-rambu hukum Islam yang mengatur ke ka manusia melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rambu-rambu hukum dimaksud, ada yang bersifat pengaturan dari Alquran, Alhadis, peraturan perundang-undangan (ij had kolek f), ijma qiyas, is hsan, maslahat mursalah, maqashidus syariah, maupun is lah lainnya dalam teori-teori hukum Islam.. Rambu-rambu pengaturan dalam berak fi tas dimaksud, baik dalam bentuk hukum perbankan, jual beli, asuransi, gadai, utang piutang, maupun dalam bentuk lainnya dalam bidang hukum ekonomi atau ekonomi syariah.1

Sejarah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia secara formal sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1911, yaitu sejak berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para entrepreneur dan para tokoh Muslim saat itu. Bahkan jika kita menarik sejarah jauh ke belakang, jauh sebelum tahun 1911, peran dan kiprah para santri (umat Islam) dalam dunia perdagangan cukup besar. Dalam buku Pedlers and Princes, (1955), Cliff ord Geertz, seorang antropolog dari Amerika Serikat, menyatakan bahwa di Jawa, para santri reformis mempunyai profesi sebagai pedagang atau wirausahawan dengan etos entrepreneurship yang nggi. Sementara dalam buku ”The Religion of Java” (1960), Geertz menulis, ”Pengusaha

santri (muslim) adalah mereka yang dipengaruhi oleh etos kerja Islam yang hidup di lingkungan di mana mereka bekerja.2

Pada dasawarsa terakhir, perha an umat Islam Indonesia terhadap ajaran ekonomi yang berdasarkan syariah mulai tumbuh dan ber kembang. Hal tersebut disebabkan, selain karena sistem ekonomi konvensional ternyata dak dapat memenuhi harapan, kesadaran

umat untuk syariah secara kaff ah (menyeluruh) dalam berbagai aspek kehidupan ternyata juga terus meningkat.

Momentum pergerakan ekonomi syariah di-mulai ke ka lahirnya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 sebagai bank pertama di Indonesia yang berlandaskan pada prinsip syariah dalam kegiatan transaksinya.3 Kelahiran bank syariah ini kemudian diiku oleh bank-bank lain, baik yang berbentuk full branch maupun yang hanya berbentuk divisi atau unit usaha syariah. Tak ke nggalan, lembaga keuangan lainnya pun, seper perusahaan asu ransi dengan prinsip syariah; pasar modal yang berbasiskan produk syariah dan lembaga pembiayaan non bank dengan prinsip syariah terus bermunculan.

Perkembangan ekonomi syariah dalam bidang usaha perbankan syariah, sampai dengan triwulan III 2010 jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha syariah meningkat seiring dengan munculnya pemain-pemain baru baik dalam

1 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Sinar Gra ika, 2008), hlm. 1.2 Agustianto, Implementasi Ekonomi Syariah, sumber: http://www.agustiantocentre.com/?p=459, diakses tanggal

29 April 2011.3 PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk. didirikan pada 24 Rabius Tsani 1412 H atau 1 Nopember 1991, diprakarsai

oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan operasinya pada 27 Syawal 1412 H atau 1 Mei 1992. Dengan dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim. Pendirian Bank Muamalat juga menerima dukungan masyarakat, terbukti dari komitmen pembelian saham Perseroan senilai Rp 84 miliar pada saat penandatanganan akta pendirian Perseroan, sumber: http://www.muamalatbank.com/index.php/home/about/pro ile, diakses tanggal 29 April 2011.

Page 103: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

259Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNbentuk Bank Umum Syariah (BUS) maupun

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). BUS yang pada akhir tahun 2009 berjumlah 6 BUS bertambah 4 BUS dimana 2 BUS merupakan hasil konversi Bank Umum Konvensional dan 2 BUS hasil spin off Unit Usaha Syariahnya (UUS) sehingga jumlah UUS di tahun 2010 ini berkurang menjadi 23 UUS. Peningkatan jaringan kantor BUS dan UUS sampai triwulan III 2010 meningkat sebanyak 387 kantor, peningkatan ini terutama dari pembukaan kantor cabang terutama kantor cabang pembantu. Sedangkan untuk layanan syariah mengalami penurunan sebanyak 652 menjadi 1140 pada triwulan III 2010.4

Dalam menghadapi perkembangan ekonomi syariah yang signifi kan di Indonesia, diperlukan suatu perangkat peraturan perundangan-un-dangan yang dapat memberikan kepas an hukum kepada para prak si ekonomi syariah dalam menjalankan ekonomi syariah. Di dalam kons tusi, kegiatan ekonomi syariah secara implisit didasarkan pada Pasal 29 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kemudian pengaturan ekonomi syariah di Indonesia tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah pula dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992; Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Bank Indonesia; Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara; dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan maupun Peraturan Bapepam-LK.

Selain peraturan perundang-undangan tersebut di atas, para prak si ekonomi syariah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa terkait ekonomi syariah dari para ulama atau lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi Islam lainnya yang berkompeten mengeluarkan fatwa-fatwa sebagai suatu pegangan atau petunjuk untuk melaksanakan kegiatan ekonomi syariah. Perkembangan lembaga ekonomi syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa ekonomi syariah yang valid dan akurat. Untuk lebih meningkatkan khidmah dan memenuhi harapan umat yang demikian besar terhadap ekonomi syariah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Tahun 1999 telah

4 Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011, diterbitkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2010, sumber: www.bi.go.id, diakses tanggal 02 Mei 2011.

Page 104: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

260

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNmembentuk Dewan Syariah Nasional (DSN).

Lembaga ini, yang beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha’) serta ahli dan prak si ekonomi, terutama sektor keuangan, bank maupun non-bank, berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi ummat, di samping itu, lembaga ini pun bertugas, antara lain, untuk menggali, menguji dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syariah, serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya.

Sejak berdiri tahun 1999, DSN, telah mengeluarkan lebih dari 80 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli saham, is shna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syariah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan ak va produk f dalam Lembaga Keuangan Syariah, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli is sna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di Lembaga Keuangan Syariah, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Le er of Credit (LC) impor syariah, LC untuk ekspor, Ser fi kat Wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, ser fi kat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dan sebagainya.

Permasalahannya adalah apakah para pelaku ekonomi syariah dapat secara langsung menjadikan Fatwa MUI sebagai dasar untuk menerapkan prinsip-prinsip ekonomi syariah sebagai dasar operasional kegiatan perbankan syariah atau dituangkan terlebih dahulu ke dalam peraturan perundang-undangan, sehingga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mengingat Fatwa MUI dak termasuk ke dalam jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

B. Permasalahan

1. Bagaimana kedudukan Fatwa DSN–MUI dalam perspek f hukum perbankan syariah di Indonesia?

2. Bagaimana Peran fatwa DSN-MUI dalam mendorong pelaksanaan ekonomi syariah dalam bidang usaha perbankan syariah di Indonesia?

3. Faktor apa saja yang menjadi hambatan dalam penerapan Fatwa DSN-MUI dalam mendorong pelaksanaan bidang usaha perbankan syariah di Indonesia?

C. Metode Peneli an

Peneli an ini merupakan peneli an yuridis sosiologis, yaitu meneli tentang keberadaan Fatwa-fatwa MUI dan perkembangan ekonomi syariah dan bagaimana hubungan hukum antara fatwa MUI dan pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Data peneli an yang digunakan dalam peneli an ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan yaitu data yang diperoleh langsung dari objek peneli an yang diperoleh melalui metode instrumen wawancara kepada pihak

Page 105: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

261Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNregulator dalam hal ini Bank Indonesia dan

pelaku usaha perbankan syariah5 dan juga para pakar yang mempunyai kompetensi di bidang ekonomi syariah.

D. Pembahasan1. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah

Nasional – Majelis Ulama Indonesia Dalam Perspek f Hukum Perbankan Syariah di Indonesia

a. Konsepsi Fatwa DSN MUI

Penger an fatwa secara terminologis, seba-gaimana dikemukakan oleh Zamakhsyari adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Menurut as-Sya bi, fatwa dalam ar al-i aa berar keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang dak mengikat untuk diiku . Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafi ) baik secara perorangan atau kolek f.6

Fatwa merupakan suatu keputusan hukum atas suatu masalah yang dilakukan oleh seorang ulama yang berkompeten baik dari segi ilmu atau kewaraannya. Fatwa dikeluarkan baik diminta ataupun dak, karena itu perkembangan fatwa

dalam sistem hukum Islam sangat pen ng seiring dengan permasalahan sosial yang semakin hari semakin banyak dan kompleks dibandingkan dengan permasalahan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad, SAW, dan para sahabat. Permasalahan yang dialami Rasulullah dan para sahabatnya dak serumit yang dihadapi sekarang, disisi lain Allah, SWT telah mencukupkan wahyu-Nya dan hadits yang disampaikan Rasulullah un-tuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada.7

Keberadaan pihak-pihak pemberi fatwa di Indonesia, pada awalnya pada abad ke-20 dikeluarkan oleh ulama secara individu. Pada pertengahan kedua abad ke-20, beberapa fatwa mulai dikeluarkan oleh para ulama secara berkelompok. Pada tahun 1926, para ulama tradisionalis mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan mulai mengeluarkan fatwa untuk para pengikutnya melalui sebuah lajnah yang dinamakan Lajnah Bahts al-Masa’il. Sedangkan para ulama modernis yang memiliki pendirian ij had secara langsung merujuk al-Quran dan al-Sunnah, mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912. Pada awalnya Muhammadiyah dak memberi penekanan dalam persoalan

fatwa, namun pada tahun 1927, organisasi itu membentuk pani a khusus diberi nama Majelis Tarjih. Tugas utama majelis ini meng-

5 Pelaku usaha perbankan syariah yang diwawancarai, yaitu PT. Bank BNI Syariah; PT. Bank Syariah Mandiri; PT. Bank Danamon Indonesia Unit Usaha Syariah; PT. Bank Mega Syariah; PT. Bank BJB Syariah; PT. Bank Maybank Syariah Indonesia (dua responden, yaitu Direktur Kepatuhan dan Kepala Divisi Risk Management) dan PT. Bank Tabungan Negara Unit Usaha Syariah. Pemilihan 8 (delapan) responden lembaga perbankan syariah tersebut di atas sebagai sample untuk diwawancarai adalah didasarkan pada pemikiran: 1) Bahwa jumlah total populasi lembaga perbankan syariah di Indonesia adalah berjumlah 34 (tiga puluh empat) lembaga perbankan syariah (diluar Bank Pembiayaan Syariah), dengan perincian, bank umum syariah berjumlah 11 (sebelas) dan bank dengan pelayanan unit usaha syariah berjumlah 23 (dua puluh tiga) unit usaha syariah); 2) Jangka waktu penelitian yang relatif pendek, sehingga tidak memungkinkan untuk mewawancarai seluruh populasi lembaga perbankan syariah, maka jumlah responden dibatasi sampai dengan 25% dari jumlah total populasi, yaitu kurang lebih 8 (delapan) sample responden yang dianggap mereprentasikan total populasi.

6 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), hlm. 19.7 Ridwan Nurdin, Kedudukan Fatwa MUI Dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Indonesia, makalah disampaikan

dalam diskusi dengan Penulis, tanggal 17 Juni 2011.

Page 106: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

262

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkaji permasalahan yang berhubungan dengan

keagamaan (agama Islam) secara umum, dan menerapkan hukumnya secara khusus ber-landaskan syariat Islam.8

Pada perkembangan berikutnya, tahun 1975, dibentuk Majelis Ulama Indonesia. Majelis ini beranggotakan para ulama dari pelbagai kalangan, baik kalangan tradisionalis maupun modernis. Sejak pendiriannya hing ga sekarang, MUI telah mengeluarkan banyak fatwa, baik berkaitan dengan masalah ritual keagamaan, pernikahan, kebudayaan, poli k, ilmu pengetahuan, maupun transaksi ekonomi. Perkembangan berikutnya, MUI menganggap perlu mendirikan Dewan Syariah Nasional (DSN), untuk menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah, me-ngeluarkan fatwa yang berhubungan dengan jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, termasuk juga bank-bank syariah.9

DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh MUI yang secara struktural berada di bawah MUI. Tugas DSN adalah menjalankan tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi syariah, baik yang berhubungan dengan ak vitas lembaga keuangan syariah atau-pun yang lainnya.10 Untuk melaksanakan tugas utama tersebut, DSN memiliki otoritas untuk:11

a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing Lem-baga Keuangan Syariah dan menjadi dasar ndakan hukum pihak terkait.

b. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan

oleh ins tusi yang berhak, seper Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

c. Memberikan dukungan dan/atau men cabut dan menyokong nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu Lembaga Keuangan Syariah.

d. Mengundang para ahli untuk men jelaskan suatu masalah yang diper lukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.

e. Memberikan rekomendasi kepada Lembaga keuangan Syariah untuk menghen kan pe-nyim pangan dari fatwa yang telah dike-luarkan oleh Dewan Syariah Nasional.

f. Mengusulkan kepada ins tusi yang berhak untuk mengambil ndakan apabila perintah dak didengar.

b. Konsepsi Perbankan Syariah

Ekonomi syariah adalah ekonomi yang di-dasarkan pada petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan menurut Abdul Manan, bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang melipu bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah. 12

8 M. Cholil Na is, Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI Press, 2011), hlm. 4.9 Ibid., hlm. 610 Ibid., hlm. 82.11 Ibid., hlm. 89.12 M. Arsyad Harahap, Ekonomi Syariah dan Ruang Lingkup Pembahasannya, sumber: http://ekonomisyariah.blog.

gunadarma.ac.id/2010/05/25/ekonomi-syari%E2%80%99ah-dan-ruang-lingkup-pembahasannya-oleh-drs-m-arsyad-harahap/, diakses pada tanggal 29 April 2011. Lihat juga Agustianto, Blueprint Ekonomi Syariah di Indonesia, sumber: http://www.agustiantocentre.com/?p=783, diakses tanggal 29 April 2011

Page 107: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

263Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNDi dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah pula dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, merumuskan ”ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, melipu : bank syari’ah; asuransi syari’ah; reasuransi syari’ah; reksadana syari’ah; obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; sekuritas syari’ah; pembiayaan syari’ah; pegadaian syari’ah; dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; bisnis syari’ah; dan lembaga keuangan mikro syari’ah.

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa yang dimaksud dengan Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya, kemudian di dalam Pasal 1 angka (7) undang-undang tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Prinsip syariah itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka (12) adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Pada dasarnya sistem perbankan syariah memiliki ga ciri yang mendasar, yaitu (a) prinsip keadilan, (b) menghindari kegiatan yang dilarang, dan (c) memperha kan aspek kemanfaatan. Dalam pelaksanaan operasional sistem perbankan syariah akan tercermin prinsip ekonomi syariah dalam bentuk nilai-nilai yang secara umum dapat dibagi dalam dua persek f, yaitu mikro dan makro. Nilai-nilai syariah dalam perspek f mikro menekankan aspek kompetensi / profesionalisme dan sikap amanah; sedangkan dalam perspek f makro nilai-nilai syariah menekankan aspek distribusi, pelarangan riba dan kegiatan ekonomi yang dak memberi manfaat secara nyata kepada sistem perekonomian.13

Merujuk pada pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, disebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah melipu :a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan

berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang diper sa makan dengan itu berda sarkan Akad wadi'ah atau Akad lain yang dak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. menghimpun dana dalam bentuk In vestasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang diper samakan dengan itu berda sarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang dak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil ber da-sarkan Akad mudharabah, Akad musya ra-kah, atau Akad lain yang dak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d. menyalurkan Pembiayaan berda sar kan Akad murabahah, Akad salam, Akad is shna', atau Akad lain yang dak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

13 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Gra ika, 2008), hlm. 20.

Page 108: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

264

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNe. menyalurkan Pembiayaan berdasar kan Akad

qardh atau Akad lain yang dak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau dak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bi amlik atau Akad lain yang dak bertentang an dengan Prinsip Syariah;

g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang dak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ke ga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seper Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;

j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ke ga atau antar pihak ke ga berdasarkan Prinsip Syariah;

l. melakukan Peni pan untuk kepen ngan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;

m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

n. memindahkan uang, baik untuk kepen ngan sendiri maupun untuk kepen ngan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;

p. memberikan fasilitas le er of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan

q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang dak ber tentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Kedudukan Fatwa DSN MUI dalam Perspek f Hukum Perbankan Syariah

Ada beberapa dasar per mbangan di sah-kannya Rancangan Undang-Undang Per bankan Syariah menjadi Undang-Undang antara lain: Pertama, secara yuridis, kehadiran Undang-Undang Perbankan syariah adalah didasarkan pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Jadi, penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 di sebutkan bahwa negara menjamin kemer dekaan ap- ap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata ”menjamin” sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945 tersebut bersifat ”impera f”, ar nya negara berkewajiban secara ak f melakukan upaya-upaya agar ap- ap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Sebenarnya, melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun dak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum posi f nasional.

Page 109: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

265Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNKeharusan adanya materi kons tusi dan

peraturan perundang-undangan yang ber ten-tangan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa tersebut adalah konsekuensi diterapkannya Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah prinsip dasar penye leng garaan negara, oleh karenanya kehadiran kedua undang-undang ekonomi syariah ter sebut, dak bertantangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan dak mengganggu keutuhan NKRI.14

Merujuk beberapa negara saat ini, fungsi fatwa dalam sebuah negara dapat dibedakan melalui ga fungsi utama. Pertama, negara yang menjadikan syariah Islam sebagai dasar dan undang-undang negara yang dilaksanakan secara menyeluruh dan sempurna, maka fatwa memainkan peranan sangat pen ng. Kedua, negara yang mengaplikasikan hukum sekuler, maka fatwa dak mempunyai peranan dan dak berfungsi dalam negara. Ke ga, negara yang menggabungkan penerapan hukum sekuler dan hukum Islam, maka fungsi fatwa lebih bertumpu dalam ruang lingkup hukum Islam saja. Indonesia adala negara yang mengaplikasikan pola pemerintahan ke ga, sehingga menjadikan kajian fatwa di Indonesia begitu menarik.15

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pem bentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hie-rarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai beri kut:a. Undang-Undang Dasar Negara Repu blik

Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;c. Undang-Undang/Peraturan Peme rin tah

Peng gan Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;e. Peraturan Presiden;f. Peraturan Daerah Provinsi; dang. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kemudian di dalam Pasal 8 ayat (1 dan 2) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 disebutkan pula bahwa keberadaan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Kons tusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang se ngkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupa /Walikota, Kepala Desa atau yang se ngkat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat se-pan jang diperintahkan oleh peraturan per un-dang-undangan yang lebih nggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Apabila merujuk jenis dan hierarkhi se ba-gaimana tersebut dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tersebut, maka posisi Fatwa DSN – MUI dak merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum.

Kemudian bagaimana kedudukan fatwa DSN-MUI dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kedudukan Fatwa DSN-MUI terdapat dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan.

14 Agustianto, Inklusivisme Ekonomi Syariah (Rekleksi menanti Kelahiran UU SBSN dan UU Perbankan Syariah), sumber: http://www.agustiantocentre.com/?p=816, diakses pada tanggal 29 April 2011.

15 M. Cholil Na is, Op.Cit., hlm. 3.

Page 110: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

266

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNDalam catatan sejarah sejak berdirinya MUI

sampai dengan sekarang, telah banyak fatwa dan nasihat MUI sebagai produk pemikiran hukum Islam yang terserap16 dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan khususnya di bidang Hukum Ekonomi Syariah. Indikator yang mendukung kecenderungan tersebut dapat dilihat dari lahirnya beberapa Peraturan Perundang-undangan, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan: Di dalam Pasal 6 huruf (m) undang-undang

tersebut, disebutkan bahwa usaha bank umum melipu menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ke ten tuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai peraturan pelak sa na dari ketentuan pasal tersebut, diber lakukan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dari ketentuan Pasal 6 huruf (m) dan PP No. 72 Tahun 1992, meski dak disebutkan secara eksplisit kata-kata bank syariah, namun dapat diar kan bahwa bank dengan prinsip bagi hasil adalah suatu ketentuan prinsip muamalah berdasarkan syariah;2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 me-

rupakan suatu k awal pengakuan perbankan syariah secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 disebutkan secara tegas kata ”Prinsip Syariah” di dalam Pasal 1 angka (3, 4, 12, 13, 18), Pasal 6 huruf (M), Pasal 7 huruf (c), Pasal 8 ayat (1&2), Pasal 11 ayat (1&3);

3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;Dalam Pasal 109 Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 dinyatakan:(1) Perseroan yang menjalankan ke giatan

usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai De wan Pengawas Syariah.

(2) Dewan Pengawas Syariah seba gaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.Dewan Pengawas Syariah sebagai ma na di-

maksud pada ayat (1) bertugas mem berikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008

tentang Surat Berharga Syariah Negara;Dalam Pasal 25 Undang-Undang Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2008 dinyatakan:”Dalam rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa atau per nyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsip prinsip syariah dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”

Dalam penjelasan Pasal 25 tersebut dinyata-kan bahwa:

”Yang dimaksud dengan "lembaga yang memiliki kewenangan dalam me netapkan fatwa di bidang syariah" adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah.”

5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; Dalam Pasal 26 Undang-Undang No mor 21

Tahun 2008 dinyatakan:

16 Istilah ”penyerapan” digunakan untuk menunjukkan bahwa hukum Islam yang diformulasikan oleg fatwa tidak diterapkan secara menyeluruh ke dalam hukum nasional, akan tetapi hanya menjadi nilai atau dasar yang kemudian disahkan menjadi peraturan perundang-undangan. M. CholilNa is, Op.Cit., hlm. 234.

Page 111: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

267Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN(1) Kegiatan usaha sebagaimana di maksud

dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.

(2) Prinsip Syariah sebagaimana di maksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.

(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pa da ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.

(4) Dalam rangka penyusunan Pera turan Bank Indonesia sebagai mana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia membentuk ko mite perbankan syariah.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keang gotaan, dan tugas komite per ban kan syariah sebagaimana dimak sud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

(6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komodi .Dalam Pasal II angka 1 (a) Undang-Undang

tersebut dinyatakan:”Sebelum dibentuknya Peraturan Perundang-undangan yang menga tur tentang per-dagangan berjangka komodi syariah, maka penye leng garaan Kontrak Deriva f Syariah di tetapkan berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia.”

6) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/1999Dalam Pasal 31 Surat Keputusan ter sebut

disebutkan bahwa ”untuk melak sanakan ke-giatan-kegiatan usaha nya, bank umum syariah diwajibkan untuk mem per ha kan fatwa DSN-MUI”, kemu dian di dalam Surat Keputusan

tersebut dinyatakan bahwa dalam hal bank akan melakukan kegiatan usaha, jika ternyata usaha yang dimaksudkan belum difatwakan oleh DSN, maka bank wajib meminta persetujuan DSN sebelum melaksanakan kegiatan usaha tersebut.

Berdasarkan hasil peneli an, sebagai pihak regulator kegiatan perbankan syariah, Bank Indonesia, juga mempunyai keterikatan dengan Fatwa yang dihasilkan oleh DSN-MUI. Dalam membuat Peraturan Bank Indonesia, Bank Indonesia menggunakan Fatwa DSN-MUI sebagai bahan referensi dalam penyusunan Peraturan Bank Indonesia dan juga Surat Edaran yang bersifat eksternal. Dalam praktek pembuatan PBI terkait dengan perbankan syariah Bank Indonesia hanya boleh merujuk Fatwa DSN-MUI dalam menyusun PBI, dan dak merujuk pada fatwa yang dikeluarkan oleh ins tusi selain DSN-MUI.17

Apabila melihat kedudukan fatwa DSN-MUI yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, maka fatwa DSN-MUI merupakan perangkat aturan kehidupan masyarakat yang bersifat mengikat bagi Bank Indonesia sebagai regulator, yaitu adanya kewajiban agar materi muatan yang terkandung dalam Fatwa MUI dapat diserap dan ditransformasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip syariah dalam bidang perbankan syariah menjadi materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat umum. Oleh karena itu Bank Indonesia, dak dapat membuat suatu peraturan terkait perbankan syariah yang bertentang dengan prinsip-prinsip syariah yang ditentukan dalam fatwa DSN-MUI, selain itu hanya fatwa DSN-MUI yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan Peraturan Bank Indonesia, ar nya Bank Indonesia dak boleh mengacu

17 Instrumen Penelitian: Wawancara Responden/Informan dengan Kepala Biro Penelitian, Pengembangan dan Pengaturan Perbankan Syariah, Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia.

Page 112: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

268

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNpada fatwa yang diterbitkan oleh ins tusi lainnya

meskipun ins tusi yang mengeluarkan fatwa tersebut adalah ins tusi yang berkompeten dalam mengeluarkan fatwa.

Berdasarkan hasil peneli an yang dila kukan terhadap lembaga perbankan syariah, ditemukan bahwa lembaga perbankan syariah mempunyai keterikatan terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Menurut lembaga perbankan syariah yang diwawancarai, keterikatan terhadap fatwa DSN-MUI dikarenakan adanya peraturan perundang-undangan yang mewajibkan lem baga perbankan syariah untuk patuh terhadap fatwa DSN-MUI, selain hal tersebut, Fatwa DSN-MUI merupakan syarat yang paling mendasar dalam pembuatan dan pengembangan produk baru yang dikeluarkan oleh lembaga perbankan syariah serta operasional kegiatan perbankan syariah.

Yeni Salma Barin mengatakan bahwa fatwa DSN-MUI mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga harus dipatuhi oleh pelaku ekonomi syariah. Kekuatan hukum ini didasarkan pada beberapa ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan, baik secara lang-sung maupun dak langsung. Secara langsung adalah disebut dengan jelas dalam peraturan bahwa fatwa menjadi prinsip syariah yang harus dipatuhi, apabila dak dipatuhi, pelaku ekonomi syariah akan dikenakan sanksi administrasi. Secara dak langsung adalah disebutkannya peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus berada di lembaga perbankan syariah. Dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas syariah, DPS harus berpedoman kepada fatwa-fatwa yang diterbitkan oleh DSN-MUI.18

Apabila melihat pada persepsi lembaga perbankan syariah dan keterangan ahli tersebut

di atas, maka kekuatan mengikat dari fatwa DSN-MUI tersebut bukan saja terjadi ke ka fatwa DSN-MUI tersebut menjadi materi muatan dalam Peraturan Bank Indonesia, namun juga diperlukan sebagai pedoman bagi pihak perbankan syariah dalam dalam pembuatan dan pengembangan produk baru yang dikeluarkan serta operasional kegiatan perbankan syariah serta kewajiban Dewan Pengawas Syariah di lembaga perbankan syariah untuk berpedoman kepada fatwa DSN-MUI.

Pembentukan fatwa merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh DSN-MUI dalam rangka menciptakan kepas an hukum penyelenggaraan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia, mengupayakan agar kegiatan ekonomi syariah di Indonesia dapat berjalan dengan ter b, dan tentunya dengan adanya fatwa tersebut diharapkan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia dapat berkembang dengan lebih cepat. Pada awal pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia belum terdapat hukum nasional atau Peraturan Perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syariah tersebut, sehingga Fatwa MUI sangat dibutuhkan eksistensinya sebagai landasan hukum untuk menutupi kekosongan hukum di bidang ekonomi syariah.

2. Peran Fatwa DSN-MUI dalam mendorong pelaksanaan ekonomi syariah dalam bidang usaha perbankan syariah di Indonesia

Hampir seluruh fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terserap dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia yang akan mengikat seluruh perbankan syariah dan pelaku fi qih muamalah, meskipun beberapa fatwa

18 Instrumen Penelitian: Wawancara Responden/Informan dengan Yeni Salma Barlinti (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia).

Page 113: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

269Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNdiadaptasi dan digabung menjadi satu Peraturan

Bank Indonesia.19

Dalam prak k pelaksanaan perbankan syariah, Bank Indonesia telah banyak me-nge luarkan peraturan sebagai tuntunan pelaksanaan prinsip-prinsip syariah. Fatwa pada dasarnya memiliki sifat sesuai dengan keadaan dan situasi tempat dan mengiku pemahaman kontemporer, sehingga fatwa dapat mengalami perubahan. Apabila terjadi perubahan fatwa DSN-MUI terhadap permasalahan tertentu, maka hal ini bukan dak mungkin berakibat pada perubahan ketentuan Bank Indonesia. Namun dalam prakteknya, berdasarkan data peneli an belum ada perubahan Peraturan Bank Indonesia akibat perubahan fatwa dari DSN-MUI.20

Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Uang dan Penyalurannya bagi Bank yang Melaksanakan Transaksi Berdasarkan Prinsip Syariah telah digan dengan Peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Uang dan Penyalurannya serta Layanan Jasa Bank Syariah. Penggan an ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI, dalam hal inilah proses menjadikan fatwa berkekuatan mengikat, yaitu terjadinya ‘transformasi’ hukum Islam menjadi hukum nasional.21

Diterbitkannya fatwa bahwa bunga bank adalah riba nasi’ah yang diharamkan oleh MUI pada tanggal 24 Januari 2004 menjadi salah satu pendorong pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia. Pasca kehadiran fatwa tersebut

berpengaruh terhadap beralihnya sebagian nasabah yang beragama Islam ke bank syariah.

Keberadaan fatwa DSN-MUI semakin me-nunjukkan peranannya dalam sebagai pedoman pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dalam per bankan syariah sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 mewajibkan para stakeholders untuk memperha kan dan menyesuaikan kegiatan-kegiatan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang tersebut dalam Fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI.

Sebagai undang-undang yang khusus meng-atur perbankan syariah, dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Untuk menindaklanju implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk Komite Perbankan Syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang.22

Dalam proses implementasi atau penuangan fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/32/PBI/2008 tentang Komite Perbankan Syariah, yang bertugas menjabarkan fatwa MUI yang berhubungan dengan perban-

19 M. Cholil Na is, Op.Cit., hlm. 137.20 Instrumen Penelitian: Wawancara Responden / Informan dengan Kepala Biro Penelitian, Pengembangan dan

Pengaturan Perbankan Syariah, Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia21 M. Cholil Na is, Op.Cit., hlm. 239.22 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang No. 21 Tahun 2008.

Page 114: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

270

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkan syariah, memberikan sumbangan dalam

rangka penyerapan fatwa dalam Peraturan Bank Indonesia dan melaksanakan pembangunan industri perbankan syariah.

Penyusunan ketentuan Bank Indonesia di-mulai dengan riset atau peneli an, selanjutnya akan dilakukan diskusi dengan stakeholders antara lain industri perbankan syariah dan juga dengan MUI dalam hal terkait pembahasan mengenai fatwa.

Peranan Fatwa DSN-MUI sebagai pemberi pedoman prinsip-prinsip syariah dak hanya dalam tataran untuk diserap dalam peraturan Bank Indonesia atau syariah compliance dalam internal lembaga perbankan syariah, namun juga pada hakikatnya fatwa-fatwa DSN-MUI telah diserap dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dalam hal jenis-jenis transaksi yang disebutkan dalam undang-undang tersebut.

Pola-pola penyerapan jenis-jenis transaksi dalam fatwa DSN-MUI ke dalam produk-produk perbankan syariah terlihat sebagai berikut:1. Pengimpunan Dana, berupa Giro Syariah

(Fatwa DSN No. 1/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro); Tabungan Syariah (Fatwa DSN-MUI yang mendasarinya Fatwa DSN No. 2/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan); Deposito Syariah (Fatwa DSN No. 3/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito).

2. Penyaluran Dana, berupa Pembiayaan atas dasar akad mudharabah (Fatwa DSN No. 7/DSN-MUI/IV/2000 ten tang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)); Pembiayaan atas dasar akad musyarakah. (Fatwa DSN No. 8/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah); Pembiayaan atas dasar akad murabahah (Fatwa DSN No. 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah; Fatwa DSN No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang

Wakalah;Fatwa DSN No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah;Fatwa DSN No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Muraba-hah;Fatwa DSN No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah; Fatwa DSN No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Mu-rabahah (Khashm Fi Al Murabahah);Fatwa DSN No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penye-lesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar; Fatwa DSN No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Pen jadwalan Kembali tentang Tagihan Murabahah;Fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Kon-versi Akad Muraba hah); Pembiayaan atas dasar akad salam (Fatwa DSN No. 5/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam); Pembiayaan atas dasar akad is shna (Fatwa DSN No. 6/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Is shna', dan Fatwa DSN No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Is shna' Paralel); Pembiayaan atas dasar akad ijarah (Fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah dan FatwaDSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al- Tamlik); Pembiayaan atas dasar akad qardh (Fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al qardh); Pembiayaan Mul jasa (Fatwa DSN No. 44/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Pembiayaan Mul jasa).

3. Pelayanan Jasa, berupa Le er of credit (L/C) Impor syariah (Fatwa DSN No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Le er of Credit(L/C) Impor Syariah); Bank Garansi Syariah (Fatwa DSN Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah); Penukaran Valuta Asing (Sharf), Fatwa DSN No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al Sharf).

Page 115: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

271Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPeranan fatwa DSN-MUI berdasarkan data

peneli an, pada prakteknya sebagian besar fatwa DSN-MUI yang telah diterbitkan telah menjawab kebutuhan perbankan syariah, mes-kipun masih terdapat beberapa hal yang belum terjawab atau belum tersedianya fatwa DSN-MUI dalam mendukung pengembangan produk baru dan kegiatan operasional perbankan syariah.

Peranan Fatwa DSN-MUI dalam mendorong pelaksanaan perbankan syariah dapat diin-dikasikan juga dengan banyaknya bank umum syariah dan bank dengan unit usaha syariah yang memulai kegiatan operasinya setelah MUI membentuk Dewan Syariah Nasional. Sebelum periode tahun 2008 jumlah bank umum syariah hanya berjumlah ga bank, pada tahun 2011 ini jumlah bank umum syariah meningkat menjadi 11 (sebelas) bank umum syariah, begitu pula dengan BPR Syariah, sebelum periode tahun 2008 jumlah BPR Syariah hanya berjumlah 114 bank, pada tahun 2011 ini jumlah BPR Syariah meningkat menjadi 154 bank.

3. Hambatan dalam penerapan Fatwa DSN-MUI dalam mendorong pelak-sanaan ekonomi syariah dalam bidang usaha perbankan syariah di Indonesia

Hampir seluruh fatwa-fatwa yang dikeluar-kan oleh DSN-MUI terserap dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia yang akan mengikat seluruh perbankan syariah dan masyarakat pelaku perbankan syariah, namun ada beberapa fatwa yang sulit untuk diterjemahkan dalam peraturan perbankan sehingga hal ini menjadi kendala dalam pengembangan usaha perbankan syariah.

Berdasarkan data peneli an yang diperoleh ada beberapa kendala penerapan Fatwa DSN-MUI dalam pelaksanaan perbankan syariah. Dalam hal ini Bank Indonesia mengakui bahwa

kendala yang dihadapi yaitu hal yang terkait dengan hukum posi f yang berlaku yang sering dak sejalan dengan hukum Islam. Dalam hukum

posi f hanya mengenal transaksi utang piutang dalam perbankan, sehingga fatwa MUI terkait mudharabah, musyarakah, ijarah dan lainnya dak dapat dilaksanakan secara utuh.

Pihak lembaga perbankan syariah juga meng-akui bahwa ada kendala-kendala yang dihadapi dalam penerpan fatwa DSN-MUI, antara lain:a. Paradigma nasabah yang belum me nge nal

produk dan operasional perbankan syariah;b. Regulasi belum selaras dengan fatwa,

seper produk IMBT apabila dilaksanakan sesuai dengan fatwa maka objek IMBT harus atas nama bank, apabila demikian maka akan menimbulkan cost yang nggi seper regulasi pajak;

c. Perbedaan persepsi antara DSN-MUI dan Bank Indonesia mengenai fatwa ekonomi syariah;

d. Adanya fatwa DSN-MUI yang dak terlalu detail sehingga untuk hal-hal teknis terkadang menimbulkan pertanyaan / perdebatan;

e. Adanya fatwa yang belum aplika f, seper fatwa DSN-MUI No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam LKS;

f. Belum dapat mengadaptasi prinsip-prin sip syariah dalam pergerakan money market yang ekspansif

g. Tidak semua fatwa ekonomi relevan dari sisi bisnis. Sebab, LKS dak akan membuat sebuah produk yang kurang menguntungkan dan dak dapat diserap oleh pihak ke ga;

h. Kendala Support Pemerintah. Seringkali kebijakan pemerintah menjadi kendala bagi terlaksananya Fatwa DSN-MUI oleh LKS. Misalnya double tax yang pernah diberlakukan untuk akad Murabahah (sebab

Page 116: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

272

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNbarang harus dibeli dulu oleh bank dan

kemudian baru dijual kepada nasabah);i. Kendala dalam produk dengan akad

musyarakah, PBI mensyaratkan pembatasan proyeksi pendapatan minimal 80% terkait pembiayaan, maka jika kurang dari 80% maka akan masuk NPf.Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi

perbankan syariah dalam mengembangkan usa-hanya berdasarkan persepsi lembaga perbankan syariah dan Bank Indoensia, antara lain:a. Mindset deposan yang masih berpikir

secara konvensional dan masih ada kesan di sebagian masyarakat bahwa bank syariah bersifat ekslusif dalam ar an bahwa bank syariah hanya ditujukan untuk masyarakat muslim dan melibatkan kaum yang beragama muslim saja, hal ini dikarenakan sosialisasi perbankan syariah yang belum op mal. Oleh sebab fatwa menggunakan is lah-is lah berbahasa arab (terutama jenis akad) dan PBI juga menggunakan is lah yang sama, maka perlu waktu bagi perbankan untuk melakukan sosialisasi kepada pihak ke ga (masyarakat) terhadap produk-produk perbankan yang menggunakan is lah berbahasa arab. Selain itu, minimnya budget untuk marke ng dan promosi juga menjadi kendala perbankan syariah untuk semakin dikenal di mata masyarakat luas;

b. Peraturan untuk membuat iklim investasi di industri syariah masih kurang fl eksibel, aturan perpajakan dan pertumbuhan produk dan jasa baru belum didukung maksimal dengan landasan hukum yang memadai dalam bentuk fatwa DSN-MUI maupun PBI;

c. Keterbatasan sumber daya manusia yang memahami produk dan sistem syariah;

d. Masih kurangnya modal yang dimiliki perbankan syariah;

e. Lembaga arbitrase syariah nasional yang ada sekarang bukan dibentuk oleh pemerintah tetapi oleh MUI. Hal ini menyebabkan lembaga ini dak memiliki kewenangan yang mengikat;

f. Fasilitas dari pemerintah terkait penye-lesaian pembiayaan bermasalah;

g. Kendala tekhnis, berupa sistem informasi (IT). Semisal mekanisme bagi hasil (Profi t Share) kepada pihak ke ga yang harusnya fl uktua f se ap bulan (tergantung ke untungan bank). Sementara ini masih terkendala sistem yang ter ”set up” tetap (fi x) se ap bulan.Menurut Yeni Salma Barlin , kendala-ken-

dala dalam penerapan fatwa ekonomi syariah, antara lain disebabkan dak semua pelaku ekonomi syariah mengetahui adanya fatwa DSN-MUI; masih banyaknya anggapan bahwa fatwa DSN-MUI dak memiliki kekuatan hukum; fatwa DSN-MUI dak dapat diterapkan secara sempurna karena adanya hukum-hukum yang telah berlaku yang harus dipatuhi oleh pelaku ekonomi syariah dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum menunjang pelaksanaan fatwa DSN-MUI.23

Merujuk perihal kendala-kendala sebagai-mana tersebut di atas, maka letak permasalahan secara garis besar terletak pada:a. Produk fatwa DSN-MUI itu sendiri yang

belum menjawab kebutuhan kegiatan perbankan syariah;

23 Instrumen Penelitian: Wawancara Responden/Informan dengan Yeni Salma Barlinti (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia).

Page 117: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

273Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNb. Proses ‘penterjemaahan’ atau ‘penye-

rapan’ Fatwa DSN-MUI ke dalam pera turan perundang-undangan;

c. Kesiapan pihak perbankan syariah untuk menyesuaikan kegiatan operasional dan produk perbankan mereka dengan Fatwa DSN-MUI;Berdasarkan kendala-kendala dalam pene-

rapan fatwa DSN-MUI tersebut dalam pelak-sanaan ekonomi syariah, maka untuk memi-nimalkan kendala tersebut yang dapat dilakukan antara lain yaitu:a. Perkembangan perbankan syariah yang

dinamis dak diiku oleh kedinamisan fatwa DSN-MUI yang dapat menjawab kebutuhan perbankan syariah. Oleh karena itu perlunya dilibatkan lebih ak f par sipasi stakeholders (dalam hal ini Bank Indonesia dan lembaga perbankan syariah) oleh DSN-MUI dalam se ap penyusunan Fatwa DSN-MUI, sehingga fatwa-fatwa yang dihasilkan dapat menjawab kebutuhan perbankan syariah dan dalam proses ‘penterjemaahan’ dan ‘penyerapan’ dak menimbulkan mul tafsir dan dapat

langsung diim ple mentasikan sehingga aspek keha -ha an dalam kegiatan perbankan syariah dapat terjaga.

b. Peningkatan kualitas sumber daya ma-nusia dari pihak perbankan syariah perlu dilakukan sebagai langkah ak f dari pihak perbankan syariah untuk siap dan faham terhadap prinsip-prinsip perbankan syariah. Hal ini mengingat masih banyak sumber daya manusia dari pihak perbankan syariah yang masih menggunakan perspek f prinsip perbankan konvensional ke ka menjalankan perbankan syariah, sehingga apabila tetap dengan menggunakan perspek f ini, maka akan menimbulkan kesulitan untuk mene-

rap kan prinsip perbankan syariah secara murni.

E. Penutup1. Kesimpulan

Fatwa DSN-MUI merupakan perangkat aturan kehidupan masyarakat yang bersifat dak mengikat dan dak ada paksaan secara

hukum bagi sasaran diterbitkannya fatwa untuk mematuhi ketentuan fatwa tersebut. Namun di sisi lain, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, melalui pola-pola tertentu, adanya kewajiban bagi regulator dalam hal ini Bank Indonesia agar materi muatan yang terkandung dalam Fatwa MUI dapat diserap dan ditransformasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip syariah dalam bidang perekonomian dan keuangan syariah menjadi materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat umum.

Diterbitkannya fatwa yang menetapkan bahwa bunga bank adalah riba nasi’ah yang diharamkan oleh MUI menjadi salah satu pendorong pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia, selain itu keberadaan fatwa DSN-MUI semakin menunjukan peranannya sebagai pedoman pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dalam perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang mewajibkan para stakeholders untuk memperha kan dan menye-suaikan kegiatan-kegiatan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang tersebut dalam Fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI. Peranan Fatwa DSN-MUI dalam mendorong pelaksanaan perbankan syariah dapat diindikasikan juga dengan banyaknya bank umum syariah dan

Page 118: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

274

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 257-275

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNbank dengan unit usaha syariah yang memulai

kegiatan operasinya setelah MUI membentuk Dewan Syariah Nasional.

Dalam penerapan Fatwa DSN-MUI terdapat beberapa hambatan yang ditemui dalam kegiat-an perbankan syariah, antara lain fatwa yang sulit untuk diterjemahkan atau sulit diaplikasikan dalam peraturan perbankan, fatwa DSN-MUI yang dak selaras dengan hukum posi f dan beberapa kendala lainnya.

2. Saran

Pelibatan yang lebih ak f dan par sipasi stakeholders amat diperlukan (dalam hal ini Bank Indonesia dan lembaga perbankan syariah) oleh DSN-MUI dalam se ap penyusunan Fatwa DSN-MUI, sehingga fatwa-fatwa yang dihasilkan dapat langsung diimplementasikan sehingga aspek keha -ha an dalam kegiatan perbankan syariah dapat terjaga.

Dukungan pemerintah dan DPR juga diper-lukan dalam merancang peraturan perundang-undangan yang lebih harmonis dalam men-dukung pelaksanaan transaksi perbankan syariah.

Sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif mengenai produk-produk perbankan syariah harus terus dilakukan kepada masyarakat luas, dan juga para prak si perbankan syariah sehingga perbankan syariah dapat berkembang lebih cepat

DAFTAR PUSTAKABuku Ali, Zainuddin, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta:

Sinar Grafi ka, 2008).----------------, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta:

Sinar Grafi ka, 2008).Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam,

(Jakarta: Elsas, 2008).Fatah, Rohadi Abdul, Analisis Fatwa Keagamaan

Dalam Fikih Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006).

Nafi s, M. Cholil, Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI Press, 2011).

Rohilina, Wisam dan Yusuf Wibisono, Perbankan Syariah Mengokohkan Fondasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Yang Berkelanjutan, dalam Indonesia Syariah Economic Outlook (ISEO) 2001, Yusuf Wibisono (Ed.), (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2011).

Sjafi ’i, Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, 2001).

Soekanto, Soerjono, Pengantar Peneli an Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986).

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1999).

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Makalah / Ar kel / Prosiding / Hasil Peneli anBadan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga

Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Laporan Tahunan (Annual Report) Tahun 2009”.

Nurdin, Ridwan, Kedudukan Fatwa MUI Dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Indonesia (makalah).

InternetAgus anto, “Implementasi Ekonomi Syariah”, h p://

www.agus antocentre.com/?p=459, (diakses 29 April 2011).

Agus anto, “Blueprint Ekonomi Syariah di Indonesia”, http://www.agustiantocentre.com/?p=783, (diakses 29 April 2011).

Agus anto, “Ekonomi Syariah Sebagai Solusi”, h p://www.agus antocentre.com/?p=761, (diakses 29 April 2011).

Agus anto, “Inklusivisme Ekonomi Syariah (Rekleksi menan Kelahiran UU SBSN dan UU Perbankan Syariah)”, h p://www.agus antocentre.com/?p=816, (diakses 29 April 2011).

Agus anto, “Blueprint Ekonomi Syariah di Indonesia”, http://www.agustiantocentre.com/?p=783, (diakses 29 April 2011).

Dewan Syari’ah Nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah, www.scrib.com/doc/57565656/Makalah-Dewan-Syari’ah-Nasional-Dan-Dewan-Pengawas-Syari’ah

Page 119: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

275Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional… (Ahyar A. Gayo dan Ade Irawan Taufi k)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNDirektorat Perbankan Syariah Bank Indonesia,

“Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011”, www.bi.go.id

Faradibah, “Kedudukan Fatwa MUI”, sumber: http://freearsy.wordpress.com/2009/07/10/kedudukan-fatwa-mui/, (diakses 29 April 2011).

h p://www.muamalatbank.com/index.php/home/about/profi le, (diakses 29 April 2011).

http://www.takaful.com/index.php/profile/list/, (diakses 29 April 2011).

Profi l MUI, sumber: www.mui.or.id, (diakses 29 April 2011).

M. Arsyad Harahap, “Ekonomi Syariah dan Ruang Lingkup Pembahasannya”, h p://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2010/ 05/25/ekonomi-syari%E2%80%99ah-dan-ruang-lingkup-pembahasannya-oleh-drs-m-arsyad-harahap/, (diakses 29 April 2011).

Sta s k Perbankan Indonesia (Indonesian Banking Sta s cs), Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia, Vol. 9, No. 8, Juli 2011

Tentang Dewan Syariah Nasional, sumber sumber: www.mui.or.id

Page 120: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN”Halaman ini dikosongkan”

Page 121: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

277Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis… (Nevey Varida Ariani)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI LUAR PENGADILAN

(Non-Li ga on Alterna ves Business Dispute Resolu on)

Nevey Varida ArianiPusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional

Badan Pembinaan Hukum NasionalJl. Mayjen. Soetoyo, Cililitan Jakarta Timur

Naskah diterima: 16 Mei 2012; revisi: 09 Juli 2012; disetujui: 23 Juli 2012

AbstrakAlterna f sengketa di Luar pengadilan saat ini menjadi alterna f bagi kalangan bisnis untuk dapat menyelesaikan sengketa bisnis diluar pengadilan hal ini disebabkan karena penyelesian melalui proses pengadilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), Lamban dan buang waktu (waste of me), Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepen ngan umum atau dianggap terlampau formalis k (formalis c) dan terlampau teknis (technically). Dengan penyelesaian sengketa berdasarkan undang-undang melalui arbitrase dan alterna f penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mekanisme konsiliasi, mediasi, negosiasi dan pendapat ahli serta penyelesaian sengketa menurut masyarakat adat dapat mencerminkan proses penyelesian sengketa secara adil karena diharapkan dapat menggali nilai-nilai yang hidup dalam masayarakat secara cepat, biaya ringan, damai dengan win-win solu on bukan win lose solu on. Oleh karena itu perlu lembaga-lembaga alterna f penyelesian sengketa terutama dalam hal pelaksanaan eksekusi.Kata kunci : alterna f penyelesian sengketa, proses diluar pengadilan, masyarakat adat, keadilan

AbstractToday alterna ve dispute resulu on non li ga on to be an alterna ve for businesses to be able to resolve disputes resolu on business and this is because through the court process, is considered to have the burden which overloaded, Slow and waste of me, very expensive and unresponsive to the public interest, formalis c and technically. Alterna ve dispute Resolu on with statutory arbitra on and alterna ve dispute resolu on mechanisms outside the court through concilia on, media on, nego a on and dispute resolu on expert opinion and according to the indigenous peoples may refl ect disputes resolu on in a fair process because it is expected to explore the values that live in society as a fast, low cost, peace with the win-win solu on rather than lose win solu on. Therefore, the courts and state agencies need to respect and protect the decisions issued by the ins tu ons of alterna ve dispute resolu on, especially in terms of execu on.Keywords: alterna ve dispute resolu on, Non Li ga on, indigenous people, jus ce

Page 122: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

278

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNA. Pendahuluan

Aterna f proses penyelesaian sengketa bisnis yang diupayakan pihak-pihak di luar pengadilan, merupakan realita perubahan kecenderungan manusia dalam masyarakat yang harus diterima. Apabila selama ini mekanisme penyelesaian sengketa mengiku pola yang terstruktur mela lui pengadilan negeri, namun melalui mekanisme yang lebih sederhana diharapkan dak terjadi distorsi pada penegakan hukum

sehingga hasilnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusian keadilan terbuk menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang menjadi faktor penyebab adalah karena peradilan modern sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh sebab itu, keadilan yang diperoleh masyarakat modern dak lain adalah keadilan birokra s.1

Namun dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kri k yang cukup tajam, baik dari prak si maupun teori si hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded). Lamban dan buang waktu (waste of me). Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepen ngan umum. Atau dianggap terlampau formalis k (formalis c) dan terlampau teknis (technically).

Meskipun demikian, sebagian besar perkara yang terjadi di masyarakat tetap mengalir ke pengadilan untuk diperiksa dan diputus dalam rangka memperoleh penyelesaian yang adil. Hal

itu disebabkan jumlah serta sebaran pengadilan yang hampir merata di seluruh pelosok daerah di tanah air. Akan tetapi seiring perkembangan masyarakat, lalu lintas perdagangan dan dunia usaha nasional maupun internasional, serta perkembangan hukum itu sendiri, rasio jumlah perkara yang harus diselesaikan oleh pengadilan semakin dak sebanding dengan kapasitas serta kemampuan pengadilan untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang masuk.

Di samping faktor eksternal semacam itu, ada juga faktor internal pengadilan yang menyebabkan masyarakat menilai pengadilan serta sumberdaya manusianya semakin dak berpihak kepada tuntutan rasa keadilan masyarakat. Para hakim di Indonesia selama beberapa dekade telah menjadi bagian hegemoni pegawai negeri sipil yang dikondisikan untuk mendukung kepen ngan poli k pihak yang berkuasa. Bahkan sampai kini disinyalir hakim-hakim di Indonesia masih rentan ter-hadap upaya penyuapan, sehingga putusan yang dikeluarkan pengadilan sulit diramalkan, acapkali memihak penguasa atau orang kaya yang pada akhirnya bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat karena penyelesaian sengketa di pengadilan telah menjauhkan pihak-pihak yang bersengketa dari nilai-nilai keadilan.2 Oleh karena itu, apabila pengusaha menghadapi sengketa, tentu saja akan memilih cara-cara yang lebih sederhana prosedurnya serta ditentukan secara limita f waktu penyelesaiannya. Untuk menghindari mekanisme penyelesaian sengketa dipengadilan yang memerlukan waktu bertahun-tahun. Dengan penyelesaian sengketa

1 S. Susanto, ”Lembaga Peradilan dan Demokrasi”, Makalah pada Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 12-13 Nopember 1996, hal 3.

2 Eman Suparman. Op.Cit.

Page 123: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

279Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis… (Nevey Varida Ariani)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNdi luar pengadilan, waktu dan biaya rela f

dapat dihemat, juga yang terpen ng adalah penyelesaian dilakukan secara damai, sehingga semua pihak yang bersengketa menjadi ‘pemenang’. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dijamin kerahasiaannya, sehingga dak perlu was-was apa yang terjadi selama

proses penyelesaian akan diketahui orang lain atau media massa. 3

Suatu perselisihan itu muncul ke permukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah dan tahu dak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan, perselisihan itu dak ada atau berakhir tatkala ke dak benaran disadari. Di dalam pergaulan masyarakat, kedamaian adalah merupakan idaman se ap anggota masyarakat. Kedamaian akan terwujud antara lain kalau aneka kepen ngan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat dak saling bertabrakan. Pertentangan kepen ngan itulah yang menimbulkan perselisihan dan untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata ter b, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaedah hukum, yang harus ditaa oleh se ap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang ditentukan itu, se ap orang diharuskan untuk ber ngkah laku sedemikaian rupa, sehingga kepen ngan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi.

Menurut Erman Rajagukguk, masya-rakat khususnya kaum bisnis lebih menyukai

penyelesaian sengketa di luar pengadilan disebabkan karena ga alasan, yaitu: Pertama, penyelesaian sengketa di pengadilan adalah terbuka, kaum bisnis lebih menyukai sengketa mereka diselesaikan tertutup, tanpa diketahui oleh publik. Kedua, sebagian masyarakat, khususnya orang bisnis menganggap hakim dak selalu ahli dalam permasalahan sengketa yang mbul. Dan yang Ke ga, penyelesaian sengketa

di Pengadilan akan mencari pihak mana yang salah dan yang benar, sedangkan putusan penyelesaian sengketa di luar pengadilan akan dicapai melalui kompromi. 4

Kompleksitas dan ngginya perkem-bangan di dunia bisnis, cenderung ber potensi menimbulkan konfl ik atau sengketa. Penyelesaian sengketa bisnis yang dak tertangani secara adil di suatu negara dapat mengganggu hubungan baik suatu negara dengan negara lainnya dan menghambat kedatangan investor asing. Keberadaan paradigma non li gasi yang disebut alterna f penyelesaian sengketa sebenarnya masih berlangsung dalam prak k-prak k penyelesaian sengketa di masyarakat. Namun penyelenggaraannya belum dikembangkan secara ilmiah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis modern yang mul kompleks.

Selain media ADR yang dikemas secara modern, perlu juga digali kembali potensi media penyelesaian sengketa yang sudah tumbuh secara tradisional dalam masyarakat hukum adat. Berbicara tentang lembaga adat sebenarnya sudah dari zaman dahulu kita mengenalnya dan telah lama dipraktekkan untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi atau sengketa yang ada di dalam masyarakat hukum

3 ”Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian dalam Aspek Hukum Indonesia” sumber: www.google.com, diakses, 28 Mei 2011.

4 Eman Rajaguguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001) hlm. 30.

Page 124: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

280

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNadat. Cara ini ditempuh diantaranya untuk

mengurangi biaya perkara yang mahal karena dalam proses pengadilan berindikasi akan ada pihak yang menang dan yang kalah. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dengan adanya putusan sehingga prosesnya akan memakan waktu yang lama dan berbelit-belit. Selain itu juga terjadinya penumpukan perkara yang terjadi di Mahkamah Agung yang memerlukan penyelesaian yang cepat.5

B. Permasalahan

Dari uraian diatas dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:1. Bagimana proses penyelesaian sengketa bis-

nis di luar pengadilan berdasarkan Undang-Undang?

2. Bagimana alterna f penyelesaian seng keta bisnis menurut masyarakat adat?

C. Metodologi Peneli an

Berdasarkan iden fi kasi masalah sebagai-mana diuraikan diatas, maka tulisan ini masuk dalam peneli an hukum norma f dengan studi kepustakaan. Untuk itu tulisan ini menggunakan metode peneli an yuridis norma f. Tulisan ini juga mengunakan pendekatan sosio hukum, sehingga memiliki perspek f lebih luas dengan melihat hukum dalam hubungannya dengan sistem sosial, poli k, dan ekonomi masyarakat.

D. Pembahasan1. Penyelesain Sengketa Bisnis di luar

Pengadilan Menurut Peraturan PerUndang-Undangan

Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat. Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata6 maupun lembaga7 hukum. Implikasiter hadap pranata hukum di-sebabkan sangat dak memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi, dengan membuat peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis.8

Sementara itu, implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan9 yang dianggap dak profesional untuk menangani sengketa-

sengketa bisnis, dak independen, bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas moral10 tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ke ka menerima, memeriksa,mengadili, serta menyelesaikan se ap sengketa yang diajukan,

5 Lili Suarni, Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Adat di Nagari Kambang Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan, (Program Pascasarjana Universitas Andalas, Tahun 2008)

6 Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks SituasiGlobal; dalam Problema Globalisasi – Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, & Agama. (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), hal 13.

7 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi dalam Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis / Hak Kekayaan Intelektual (Semarang: Disertasi, PDIH, 2002), hlm. 4.

8 Normin S. Pakpahan, Pembaharuan Hukum di Bidang Kegiatan Ekonomi, Makalah pada Temu Karya Hukum Perseroan dan Arbitrase; (Jakarta, 22-23 Januari 1991), hlm. 31.

9 Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia”, (Jurnal Hukum, No. 9, Vol. 4, 1997), hlm. 2.10 Lihat Mas Achmad Santosa, ”Independensi Peradilan dan TAP MPR RI No. X/MPR/1998”; (Kompas, 11 Januari

1999).

Page 125: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

281Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis… (Nevey Varida Ariani)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNdianggap sebagai tempat menyelesaikan seng-

keta yang dak efek f dan efi sien.11

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alterna f Penyelessaian sengketa Umum, Pasal 1 angka 10, merumuskan bahwa:

”Alterna f Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepaka para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”

a. Konsultasi

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun ar dari konsultasi. Jika melihat pada Black's Law Dic onary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi (consulta on) adalah: Act of consul ng or conferring: e.g. pa ent with doctor, client with lawyer. Delibera on of persons on some subject.12

Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dic onary tersebut dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu ndakan yang bersifat personal antara suatu

pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersbut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat keterikatan atau kewajiban untuk memenuhi dan mengiku pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. Ini berar klien adalah bebas untuk menentukan sendiri kepu tus-

an yang akan ia ambil untuk kepen ngannya sen-diri, walau demikian dak menutup kemungkin-an klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berar dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alterna f penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada ndakan dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun ada kalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penye lesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.13

b. Negosiasi dan Mediasi

Jika rumusan yang diberikan dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999, di sana dikatakan bahwa pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang mbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Ketentuan tersebut mengingatkan pada ketentuan yang serupa yang diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan 1864 Bab Kedelapanbelas Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perdamaian. Berdasarkan defi nisi yang diberikan dikatakan bahwa Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu

11 Adi Sulistiyono, Mengembangkan… Op. Cit., hlm. 4.12 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Editor in Chief, 2004, hlm. 1003.13 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian dalam Aspek Hukum Indonesia, sumber: www.google.com, diakses tanggal

28 Mei 2011

Page 126: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

282

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNbarang, mengakhiri suatu perkara yang sedang

bergantung atau mencegah mbulnya suatu perkara. Persetujuan perdamaian ini oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata diwajibkan untuk dibuat pula secara tertulis, dengan ancaman dak sah. Jika dikaji secara seksama dapat dikatakan bahwa kata-kata yang tertuang dalam rumusan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 memiliki makna objek f yang hampir sama dengan yang diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata, hanya saja negosiasi menurut rumusan Pasal 6 ayat (2) UU No. 33 Tahun 1999 tersebut:a. Diberikan tenggang waktu penye lesaian

paling lama 14 hari; danb. Penyelesaian sengketa tersebut harus

dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan antara para pihak yang bersengketa.Selain itu perlu dicatat pula bahwa negoisasi,

merupakan salah satu lembag alterna f penyelesaian sengketa yang dilak sanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan, maupun setelah sidang peradilan dilak sanakan, baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan (Pasal 130 HIR).14

Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU No. 30 Tahun 1999, Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 adalah merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. Menurut rumusan dari Pasal 6 ayat (3) Undang-undang No.30 Tahun 1999 tersebut

dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator. Undang-undang dak memberikan rumusan defi nisi atau penger an yang jelas dari mediasi maupun mediator. Dari literatur hukum, misalnya adalah Black's Law Dic onary dikatakan bahwa mediasi dan mediator adalah: Media on is a method of non binding dispute revela on involving a neutral third party who tries to help the dispu ng par es reach a mutually agreeable solu on.15 Mediasi merupakan model penyelesaian sengketa di mana pihak luar dak memihak dan netral (mediator) membantu pihak-pihak yang bersengketa guna memperoleh penyelesaian sengketa yang disepaka para pihak.

Mediasi, dari penger an yang diberikan, jelas melibatkan keberadaan pihak ke ga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen) yang besifat netral dan dak memihak, yang akan berfungsi sebagai

mediator. Sebagai pihak ke ga yang netral, independen, dak memihak dan ditunjuk oleh para pihak secara langsung maupun melalui lembaga mediasi, mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak.

Walau demikian ada suatu pola umum yang dapat diiku dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak di luar perkara, yang dak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok

14 M. Husni, Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesian Sengketa Bisnis di luar Pengadilan, (Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008).

15 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Editor in Chief, 2004, hlm. 1003.

Page 127: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

283Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis… (Nevey Varida Ariani)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNpersoalan yang dipersengketakan oleh para pihak.

Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, baru kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba menyusun proposal penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung. Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.

Baru setelah diperoleh persetujuan dari para pihak atas proposal yang diajukan beserta segala revisi atau perubahnnya untuk penyelesaiaan masalah yang dipersengketakan, mediator kemudian menyusun kesepakatan itu secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak. Tidak hanya sampai disitu, mediator juga dihrapkan dapat membantu pelaksanaan dari kesepakatan tertulis yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Menurut UU No. 30 Tahun 1999, kesepakatan penyelesaian sengketa atas beda pendapat secara tertulis adalah fi nal dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan i kad baik. Kesepakatan tertulis tersebut wajib dida arkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama ( ga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 ( ga puluh) hari sejak penda aran.16

Dalam pasal 6 (4) UU No. Tahun 1999 dikatakan bahwa UU membedakan mediator ke dalam:i. mediator yang ditunjuk secara bersama oleh

para pihak (Pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999, dan

ii. mediator yang ditunjuk oleh lembaga abritase atau lembaga alterna ve penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (Pasal 6 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999.Meskipun diberikan suatu jangka waktu

yang jelas, kedua ketentuan tersebut terkesan memperanjang jangka waktu alterna ve penye-lesaian sengketa di luar pengadilan. Tidak ada suatu kejelasan apakah ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dapat disimpangi oleh para pihak. Seper halnya konsultasi, negosiasi maupun mediasi, UU No. 30 Tahun 1999 dak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas penger an atau defi nisi dari konsiliasi ini.

c. Konsiliasi

Dalam Black's Law Dic onary dikatakan bahwa konsiliasi adalah: Consillia on is the adjustment and se lement of a dispute in a friendly, unantagonis c manner used in court before trial with a view towards avoiding trial in labor disputes before arbitra on. Court of Concilia on is a court which proposes terms of adjustment, so as to avoid ligi on.17

Consillia on dalam bahasa Inggeris berar perdamaian dalam bahasa Indonesia. Kemudian dalam Blak's Law Dictonary dika takan bahwa pada prisnispnya konsiliasi merupakan perdamaian. Dalam hal yang demikian sebagaimana yang diatur dalam pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab kedelapan belas Buku III UU Hukum Perdata, berar segala sesuatu yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi tunduk pada ketentuan KUH Perdata, dan secara khusus Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864. Ini berar hasil kesepakatan melalui alterna f penyelesaian

16 Munir Fuadi, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesian Sengketa Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 42.

17 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Editor in Chief, 2004, hlm. 1003.

Page 128: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

284

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNsengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara

tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (7) jo Pasal 6 ayat (8) UU No. 30 Tahun 1999. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebutpun harus dida arkan di Pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 ( ga puluh) hari terhitung sejak tanggal penda aran di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat fi nal dan mengikat para pihak.18

Berbeda dengan negosiasi, konsiliasi, dari penger an yang diberikan dalam Black's Law Dic onary, merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan (ligitasi) dilaksanakan. Bahkan diatur dalam KUHP, dengan berasumsi bahwa yang dimaksud dengan konsiliasi dalam UU No. 30 Tahun 1999 adalah iden k dengan perdamaian yang diatur dalam KUHP. Dengan demikian berar konsiliasi dak hanya dapat dilakukan untuk mencegah dilaksanakannya proses ligitasi, melainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak, dalam se ap ngkat peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa di mana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dak dapat dilakukan konsiliasi.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 juga mengenal is lah pendapat ahli sebagai bagian dari alterna f penyelesaian sengketa. Dan bahwa ternyata arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan, dak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi di antara para pihak dalam suatu perjanjian. Pemberian

opini atau pendapat hukum tersebut dapat merupakan suatu masukan bagi para pihak. Sewaktu menyusun atau membuat perjanjian yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian. Maupun dalam memberikan penafsiran ataupun terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak untuk memperjelas pelaksanaannya.

Jika pada uraian di atas dibahas konsiliasi dalam penger an yang sangat umum, termasuk dalam pemberian opini atau pendapat hukum dalam suatu mediasi atau konsiliasi. Pendapat hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase, yang bersifat mengikat guna menyelesaikan suatu bentuk perbedaan paham, atau perselisihan pendapat ataupun mengenai suatu ke dakjelasan akan suatu hubungan hukum ataupun rumusan dalam perjanjian, yang dihadapi para pihak dalam suatu perjanjian dengan klausula arbitrase, sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alterna f Penyelesaian Sengketa.

Dalam Pasal 2 Ruang lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma adalah:1. Peraturan Mahkamah Agung ini hanya

berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.

2. Se ap hakim, mediator dan para pihak wajib mengiku prosedur pe nye lesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini.

3. Tidak menempuh prosedur mediasi ber da-sarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

18 Munir Fuadi, Op.Cit.

Page 129: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

285Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis… (Nevey Varida Ariani)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN4. Hakim dalam per mbangan putusan perkara

wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah di upayakan perdamaian melalui me diasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang ber sangkutan.Ini berbeda dalam proses negosiasi dengan

orang Cina, Jepang, Korea. Mereka akan bertanya, jika anda membawa lawyer, apakah anda mau berbisnis atau mencari-cari kesalahan. Ada perbedaan persepsi terhadap ”lawyer” dalam masyarakat Amerika dan Jepang. Begitu pula ada perbedaan persepsi mengenai kontrak. Untuk orang Jepang kontrak adalah simbol kerjasama untuk saling menguntungkan dan bukan merupakan suatu dokumen hukum. Dalam berbisnis masyarakat Jepang menganggap ”trust the people rather paper”. Dalam proses negosiasi, kedua belah pihak perlu memahami juga perbedaan budaya berkenaan dengan karakter dan kebiasaan masing-masing pihak. Orang Amerika cenderung berkata terus terang dan langsung, sedangkan orang Jepang biasa mengataka ”ya” dak selalu berar ”setuju”.19

Mediasi juga merupakan salah satu cara penyelesaian melalui pihak ke ga. Pihak ke ga tersebut disebut dengan mediator. Ia bisa negara, Organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (poli kus, ahli hukum, atau ilmuan). Ia ikut serta secara ak f dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Jika cara penyelesaian dengan menggunakan diatas gagal atau dak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lain seper penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase. Arbitrase adalah ins tusi hukum alterna f bagi penyelesaian sengketa di luar

pengadilan. Sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang mbul diantara mereka melalui arbitrase dari pada pengadilan. Biasanya arbiter pertama-tama membahas masalah yang mbul, berusaha mencapai konsesus. Jika usaha ini gagal, negosiasi diantara anggota panel biasanya melahirkan putusan yang kompromis. Tidak selalu harus melalui pemungutan suara.

Lembaga arbitrase dak lain merupakan suatu jalur musyawarah yang melibatkan pihak ke ga sebagai wasitnya. Dengan perkataan lain, arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa atau perselisihan bisnis dengan bantuan pihak ke ga, bukan hakim, walaupun dalam pelaksanaan putusannya harus dengan bantuan hakim. Apabila salah satu pihak kemudian enggan memberikan bantuannya untuk pengambilan keputusan atau dak mentaa keputusan yang telah diambil oleh orang yang mereka berikan wewenang untuk sengketa tersebut, pihak itu dianggap melakukan breach of contract atau melanggar perjanjian.

Memilih forum di luar pengadilan negeri untuk menyelesaikan sengketa komersial dalam bidang bisnis pada dasarnya merupakan bagian dari kebebasan para pihak dalam membuat kesepakatan mengenai berbagai objek per-janjian. Kesepakatan memilih forum dapat dilakukan melalui dua cara. (i) sebelum terjadi sengketa dan dicantumkan dalam perjanjian pokok, dinamakan pactum de compromi endo; atau (ii)sesudah terjadi sengketa, dibuat dalam bentuk tertulis terpisah dari perjanjian pokok, disebut akta kompromis. Akan tetapi, menurut hukum Indonesia, dak se ap sengketa dapat diselesai kan melalui forum arbitrase yang

19 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian dalam Aspek Hukum Indonesia, sumber: www.google.com, diakses tanggal 28 Mei 2011.

Page 130: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

286

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNdipilih para pihak. Lebih dari itu, arbitrase diakui

sebagai model penyelesaian sengketa yang mengedepankan pencapaian keadilan dengan pendekatan konsensus dan mendasarkan pada kepen ngan para pihak dalam rangka mencapai win-win solu on.20

Akan tetapi di balik semua kelebihan arbitrase, ternyata ada satu hal yang sangat dak memuaskan para pihak dari seluruh rangkaian proses arbitrase. Ke dak-puasan para pihak dalam proses arbitrase terutama pada saat pelaksanaan (eksekusi) putusan. Pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional apalagi putusan arbitrase internasional, di Indonesia selalu menghadapi kesulitan dan hambatan. Kesulitan serta hambatan untuk melaksanakan putusan arbitrase disebabkan antara lain karena norma hukum yang ambivalen. Di satu pihak, arbitrase diakui sebagai salah satu model penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Akan tetapi di lain pihak, badan peradilan terkesan belum sepenuhnya memberikan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa komersial kepada forum arbitrase. Oleh karena itu, peran pengadilan masih sangat dominan dalam keseluruhan proses arbitrase.21

2. Alterna f Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Menurut Masyarakat Adat

Di berbagai wilayah di Nusantara ini telah terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat yang teratur, yang dikelola oleh suatu sistem nilai yang bersifat tradisional dan dipercaya secara turun-temurun. Sistem nilai yang hidup di dalam masyarakat yang mengelola keteraturan

di antara mereka inilah yang oleh Snouck Hurgronje dinamakan sebagai Adatrecht atau yang kemudian biasa diterjemahkan sebagai Hukum Adat. Hukum adat adalah hukum yang bersumber pada ugeran-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang langsung mbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli dalam hal ini sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih, sehingga jelas sekali terlihat bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang dibuat oleh masyarakat Indonesia sendiri secara turun-temurun ber-dasarkan value consciousness mereka yang ter-ma nifestasi dalam kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa keadilan mereka.

Di samping itu eksistensi ins tusi lokal termasuk lembaga adat akhir-akhir ini adalah sebuah fenomena yang menarik untuk dicerma , lembaga adat yang dulunya mampu eksis dan berperan dalam penyelesaian kasus atau perkara di dalam masyarakat namun sekarang telah terjadi pergeseran paradigma penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Hal ini dibuk kan dengan berbagai ak fi tas penyelesaian sengketa di kalangan masyarakat mengalami kemunduran dan dak mampu berbuat banyak dalam pe-nyelesaian sengketa khususnya penyelesaian sengketa waris, bisnis dan lain-lain di mana untuk penyelesaian sengketa, masyarakat cenderung lebih menggunakan penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan.

Hal ini salah satunya disebabkan, karena dilahirkannya kebijakan-kebijakan antara lain pemerintah berupaya melakukan penyeragaman peradilan melalui Undang-undang No. 1 tahun

20 Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hlm. 333.

21 Ibid., hlm. 335.

Page 131: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

287Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis… (Nevey Varida Ariani)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN1951, peradilan adat sebagaimana dimaksud

dalam Stb. 1932 No. 80 yang dihapuskan secara berangsur-angsur, sedangkan peradilan desa sebagaimana dimaksud dalam Stb. 1935 No. 102 masih tetap dipertahankan terus termasuk keterkaitanya dengan Peradilan Umum. Melalui ketentuan Pasal 3a RO (Reglement of de Rechtelijke Organisa e in Het Beleid der Jus e in Indonesia) yang dikaitkan secara khusus dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku baik dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) maupun RB(Rechtsreglement Buitengewesten) yang meminta agar hakim memperha kan putusan dari Hakim Perdamaian Desa.22

Dalam Pasal 120 a, HIR/143 a RBg dinyatakan dalam ayat satu (1) ”jika gugatan yang diajukan itu berhubungan dengan perkara yang sudah diputuskan oleh Hakim perdamaian desa, maka penggugat harus menyebutkan isi putusan itu dalam gugatannya; sedapatnya salinan putusan itu dilampirkan. Ayat dua (2) Ketua Pengadilan Negeri memperingatkan kepada penggugat akan kewajibannya yang ditetapkan dalam ayat 1 pada waktu atau sesudah menerima gugatan atau pada permulaan persidangan.”23

Dalam ketentuan ini dapat dilihat bahwa masih diakuinya keberadaan putusan Hakim perdamaian desa, dan wajib dijadikan sebagai pedoman oleh Hakim dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri, karena HIR dan RBg merupakan salah satu sumber hukum dalam hukum acara perdata di Indonesia. Dalam Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah menghapus bentuk peradilan

adat, dimana dalam pasal 7 menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan fungsi hukum sebagai pengayoman, dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Meliter dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dan dalam Undang-Undang ini dak menyebutkan tentang Peradilan Adat.

Kemudian Undang-undang No.14 Tahun 1970 (yang terakhir diubah dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009) Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (3) berbunyi bahwa semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan Undang-Undang, namun dak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa dilakukan di luar peradilan negara yaitu melalui perdamaian dan arbitrase. Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa penyelesaian sengketa di luar peradilan negara masih bisa diberlakukan. Walaupun Undang-undang ini membuka peluang bagi hakim untuk menemukan hukum berdasarkan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, namun dalam realitanya nilai-nilai yang terdapat di dalam sis m penyelesaian yang ada di masyarakat tersebut dak bisa diakomodasikan oleh sis m peradilan formal.24

Di satu sisi harapan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga pengadilan justeru kembali menemukan permasalahan baru berupa resistensi atas sebuah keputusan pengadilan terhadap perkara tertentu karena dianggap oleh sebagaian

22 Abdurrahman Saleh, Dialog Interaktif Membangun Mitra dan Ruang Partisipasi dalam Penyelesaian Sengketa Sako dan Pusako di Sumatera Barat, (2004), hlm. 3.

23 K. Wantjik Saleh. Hukum Acara Perdata RBg / HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 18-19.24 Lili Suarni, Op Cit.

Page 132: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

288

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNmasyarakat dak menyentuh rasa keadilan

masyarakat.Paradoks dengan hal ini, tujuan hukum

sebagai proses harmonisasi dan integrasi sosial dalam beberapa produk hukum berupa putusan pengadilan cenderung bernuasa sebagai mesin pencetak konfl ik sosial sehingga perlu kembali memberikan peranan yang lebih besar kepada lembaga hukum adat dalam menyelesaikan sengketa dalam masyarakat.

Fenomena dimana masih sulitnya keadilan bagi masyarakat banyak untuk dipenuhi oleh Hukum Indonesia, dan hal itu jelas merupakan suatu permasalahan yang cukup serius dalam ruang pembangunan hukum Indonesia yang sekaligus merupakan permasalahan dalam Sistem Hukum Indonesia yang mengadopsi Civil Law System sebagai sistem hukum warisan kolonial. Di sisi lain, Indonesia pada hakekatnya disebut demikian karena secara faktual eksistensinya kini makin dilupakan dan di nggalkan memiliki sistem hukumnya sendiri yang telah ada jauh sebelum kolonialisme asing dengan transplantasi hukumnya hadir di Indonesia yakni Sistem Hukum Adat dengan karakteris knya yang khas.

Dalam pengembangan Hukum Indonesia, mulai dari proses pembentukan hingga penegakannya, seringkali justru dak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan oleh masyarakat banyak, sehingga kemudian banyak menimbulkan reaksi nega f hingga

resistensi atau penolakan dari banyak pihak. Namun, walaupun dak sesuai dengan harapan masyarakat, segala macam proses pengemban-an hukum tersebut telah dapat dikatakan sah secara yuridis, atau dengan kata lain telah memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk dapat dikatakan sebagai hukum Jika proses pengembangan hukum tersebut dikatakan dak sesuai dengan apa yang diharapkan rakyat karena dirasakan bertentangan atau melanggar rasa keadilan masyarakat, maka berdasarkan contoh-contoh permasalahan hukum di Indonesia se-bagaimana dijabarkan di atas dapat diketahui bahwa pengembanan Hukum Indonesia daklah linier dengan tuntutan keadilan yang

diharapkan oleh masyarakat banyak sebagai subyek sasaran dari adanya hukum tersebut. Jika demikian, maka jelas dalam banyak hal secara rela f dapat dikatakan bahwa Hukum Indonesia daklah bertujuan secara pertama dan utama

memberikan keadilan.25

Von Savigny mengatakan bahwa hukum adalah cerminan jiwa rakyat, maka hukum adatlah yang merupakan cerminan jiwa bangsa Indonesia.26 Hal di atas kiranya akan lebih diperjelas dengan melihat kepada kerakteris k hukum adat. Hukum adat memiliki corak, dan karakteris k sebagai berikut:1. Komunalis k, ar nya manusia menurut

hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat.

25 Efendi, Peranan Lembaga Adat Penjelasan Sengketa Waris di Lombok Tengah, sumber: www.google.com, diakses tanggal 21 Januari 2012

26 Von Savigny terkenal dengan konsep jiwa bangsa (volksgeist) sebagai sumber hukum. Menurut Savigny, ‘law as an expression of the common consciousness or spirit of the people”. Menurut guru besar Hukum Romawi ini, hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Savigny mengembangkan pikirannya tatkala pada abad XIX, Jerman berencana membuat kodi ikasi hukum perdata German dengan berkiblat pada kode Napoleon. Pada waktu itu, Savigny berpolemik dengan seorang ahli hukum A.F.J. Thibaut, yang justru membenarkan rencana kodi ikasi tersebut.

Page 133: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

289Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis… (Nevey Varida Ariani)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN2. Religio-magis, ar nya hukum adat selalu

berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme (kepercayaan atas roh-roh nenek moyang, dsb).

3. Konkrit, ar nya perhubungan-per hu bungan hidup yang ada dalam hukum adat adalah perhubungan-perhubungan yang konkrit atau nyata. Seper halnya, dalam hukum adat is lah jual-beli hanya dimaknai secara nyata yakni jika telah benar-benar ada pertukaran uang dan barang secara kontan, sehingga dalam hukum adat dak dikenal sistem jual-beli secara kredit sebagaimana yang dikenal di BW.

4. Visual, ar nya dalam hukum adat perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (seper halnya sistem panjer, peningset, dll).Karakter-karakter hukum adat sebagaimana

dikemukakan di atas adalah cermin dari karakter masyarakat Indonesia. Sifat komunalis k dapat terlihat dari kebiasaan gotong-royong dan gugur-gunung yang biasa dilakukan dalam menghadapi pekerjaan besar secara bersama-sama, ataupun dalam mekanisme musyawarah yang biasa dilakukan masyarakat kita sejak berabad-abad lampau dalam memecahkan suatu permasalahan bersama.

Hukum adat yang dijalankan oleh lembaga adat merupakan perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat dan merupakan sesuatu yang given, oleh karena itu Hukum Adat baik secara yuridis norma f, fi losofi s, maupun secara sosiologis sebagai sentral seharusnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah segala macam aturan hukum posi p Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya

disamping itu pula berguna terciptanya sebuah Hukum Indonesia yang lebih baik. Yakni Hukum Indonesia yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sendiri, Hukum Indonesia yang berke-Indonesia-an, Hukum Indonesia yang beradatkan Indonesia, Hukum Indonesia yang berdasarkan Hukum Adat Indonesia.

Keadilan berasal dari Tuhan YME dan se ap orang diberi kemampuan, kecakapan untuk meraba dan merasakan keadilan itu. Dan segala apa yang di dunia ini sudah semes nya menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia. Dengan demikian, hukum dak hanya mencarikan keseimbangan antara berbagai kepen ngan yang bertentangan satu sama lain, akan tetapi juga untuk mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan ”Keter ban” atau ”Kepas an Hukum”.

Jika terjadi fenomena adanya eksistensi suatu hukum yang justru bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka dalam hal ini dapat dikatakan telah terjadi suatu legal gap, yakni adanya gap atau jurang perbedaan antara apa yang diatur atau dikandung dalam substansi hukum posi p yang ada dengan apa yang diharapkan serta diidealkan masyarakat menurut nilai-nilai dan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam dimensi ba niah mereka. Dalam fenomena ini, terjadi perbedaaan value consciousness atau kesadaran akan nilai-nilai tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang benar dan yang salah, apa yang sesuai hukum dan yang bertentangan dengan hukum, antara kesadaran yang ada di masyarakat dan kesadaran yang dijabarkan di dalam hukum posi p yang ada. Jika demikian maka nalar keadilan antara yang diharapkan oleh masyarakat dengan yang dikonsepkan dalam substansi aturan hukum yang ada jelas akan berbeda.

Page 134: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

290

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNFriederich Carl von Savigny, memiliki pe-

mikiran yang terkenal: ”Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke” yang ar nya bahwa hukum itu dak dibuat, melainkan tumbuh berkembang bersama masyarakat. Secara lebih lanjut, von Savigny menyatakan bahwa hukum adalah cerminan jiwa rakyat (volksgeist). Dari sini kiranya jelas bahwa hukum pada hakekatnya adalah manifestasi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, sehingga dengan demikian hukum tumbuh dan berkembang seiring perkembangan masyarakat karena hukum adalah bagian dari masyarakat, cerminan dari jiwa masyarakat, cerminan dari rasa keadilan rakyat. Sehingga, jika suatu hukum hendak dibuat dalam bentuk formal oleh negara maka hal yang seharusnya dijadikan sebagai sumber pembentuk substansi hukum tersebut dak lain adalah nilai-nilai yang hidup di masyarakat, dengan demikian hukum posi p dak lain adalah formulasi formal dari value consciousness masyarakat dengan nalar keadilan berdasarkan rasa keadilan rakyat. Jika konsep di atas dilaksanakan dalam proses pengembanan Hukum Indonesia, maka dipas kan fenomena legal gap dapat dicegah dalam kegiatan pembentukan hukum.

Ada ga penyebab utama diper gu na kannya cara non-ligitas dalam penye le sai an sengketa terutama perkara perdata di Indonesia. Penyelesaiannya di luar pengadilan dengan cara perdamaian. Pertama,di Indonesia tata cara penyelesaian sengketa damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warga. Kedua, adanya ke dakpuasaan atas penyelesaian perkara melalui pengadilan, seper mahalnya ongkos perkara, lamanya waktu dan rumitnya beracara, maka berbagai negara di dunia termasuk Indonesia mulai berpaling kepada penyelesaian perkara secara non ligitasi di luar pengadilan. Ke ga, pada masyarakat Banjar terdapat kecenderungan penyelesaikan sengketa dengan cara badamai atau adat badamai. Sebagai sarana penyelesaian sengketa hukum adat badamai (nonligitasi) sampai saat ini masih efek f, dalam aspek perdata maupun aspek pidana.27

Adat badamai adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar. Adat badamai bermakna pula sebagai hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah. Adat badamai dilakukan dalam rangka meng-hindarkan persengketaan yang dapat mem-bahayakan tatanan sosial. Putusan Badamai yang dihasilkan melalui mekanisme musyawarah merupakan upaya alterna f dalam mencari jalan keluar guna memecahkan persoalan yang terjadi dalam masyarakat, maka warga masyarakat berkecenderungan menyelesaikan secara badamai. Warga masyarakat enggan menyelesaikan sengketa itu melalui lembaga ligitasi (jalur lembaga peradilan). 28Adat

27 Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non Ligitasi) Menurut Peraturan Perundang-undangan (AL-BANJARI: Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007)

28 Sebagaimana penyelesaian kasus pidana dalam sidang adat pada warga suku Ayer dan Asyrem di Papua yang menewaskan seorang kakek bernama Daniel Ayer, 63 tahun dari warga Ayer yang tewas ditombak Ever Asyrem, 35 tahun dalam pertikaian pada 20 Nopember 1993 diselesaiakan dengan sidang adat dengan alasan warga Ayer tidak mau menyelesaikan kasus pembunuhan itu lewat jalur hukum formal (nasional). Penyelesaian secara

Page 135: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

291Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis… (Nevey Varida Ariani)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNbadamai ini diakui efek f dalam menyelesaikan

per kaian atau persengketaan. Sekaligus mampu menghilangkan perasaan dendam berperan menciptakan keamanan keter ban dan perdamaian. Adat badamai ini lazim pula disebut dengan, babaikan, baparbaik, bapatut atau mamatut, baakuran dan penyelesaian dengan cara suluh.29

Pada dasarnya budaya untuk konsiliasi atau musyawarah30 merupakan nilai masya rakat yang meluas di Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian sengketa secara damai, misalnya masyarakat Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Irian Jaya, dan masyarakat Toraja. Sedangkan menurut Kawashima, bagi masyarakat Jepang, ligitasi telah dinilai salah secara moral, bersifat subversif atau memberontak, dan dipandang membahayakan hubungan social yang harmonis. Mochrani membagi penyelesaian sengketa itu kepada dua hal, pertama penyelesaian dalam masalah agama yaitu dengan cara mengadakan hujjah

dan kedua penyelesaian konfl ik yang bersifat fi sik yang berkaitan dengan kasus penganiayaan, perkelahian, pelanggaran lalu lintas maupun sengketa pembagian harta warisan. Jika terjadi konfl ik atau persengketaan antara warga dan dak dilakukan adat badamai diyakini akan

merusak tatanan harmoni yang merupakan pelanggaran terhadap kearifan tradisional. Jika konfl ik terjadi apalagi yang berkaitan dengan peris wa pidana, maka tokoh-tokoh masyarakat (tetuha kampung) berinsia f untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Diupayakan pertemuan (musyawarah) ke-luarga, dilanjutkan acara selamatan, dengan bermaaf-maafan dan terkadang disertai dengan perjanjian dak akan memperpanjang sengketa dan permusuhan. Bahkan diantara kedua belah pihak diikat dalam sebuah persaudaraan yang lazim disebut sebagai baangkat dangsanak (dipersaudarakan) atau baangkat kuitan (menjadi orang tua dan anak angkat). Ciri khas yang membedakan adat badamai dengan penyelesaian damai pada masyarakat lainnya

adat ini memiliki kelebihan, yakni dendam antarmarga bisa berakhir setelah mereka melakukan upacara ritual bersama. Sedangkan jika diputus lewat hukum pidana biasa, menurut salah seorang pemuka adat bisa jadi ada pihak yang tidak puas, lantas memelihara dendam. (Gatra, 17 Agustus 1996).

29 Istilah Baparbaik dan Bapatut lebih mengarah kepada penyelesaian perkara pidana seperti terjadinya tindak penganiayaan, perkelahian atau pelanggaran lalu lintas, namun istilah badamai mengandung pengerian umum artinya penyelesaian masalah apa saja, termasuk juga di dalamnya penyelesaian perdata hubungan hukum antar orang perorang. Adapun Suluh lebih dekat pengertiannya kepada istilah Ishlah menurut konsep agama yang dapat digunakan dalam pengertian penyelesaian keperdataan semisal pembagian waris, maupun keperdataan lainnya. Lihat Alfani Daud, Islam dan MasyarakatBanjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, PT. Raja Gra indo Persada, Jakarta, 1997, hlm..198.

30 Dalam bahasa Arab, perkataan musyawarah berasal dari kata dasar syawarayasyuru-musyawarah atau syura yang artinya tanda, petunjuk, nasehat, pertimbangan. Dengan demikian, berdasarkan asal-muasalnya, kata musyawarah merupakan kata kerja yang dibendakan dan mengandung makna ”saling memberi isyarat, petunjuk, atau pertimbangan yang bermakna resiprokal dan mutual”. Kata ”musyawarah” dalam terminology ketatanegaraan Indonesia biasanya disandingkan dengan kata ”mufakat” yang berasal dari bahasa Arab. Istilah ini bersal dari asal kata itifaq-muwafawah yang berarti ”memberikan persetujuan atau kesepakatan”. Persetujuan di sini dapat berupa suara yang terbanyak dan secara teknis dilakukan lewat pemungutan suara atau consensus bulat. Akan tetapi, dalam pengertian teknis di Indonesia dewasa ini, istilah ”musyawarah mufakat” mengandung pengertian ”consensus bulat.” Lihat Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 194. dan M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 361. Dan Lihat Adi Sulistyono, Mengembangkan Paradigma Non-Ligitasi di Indonesia, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006), hlm. 31.

Page 136: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

292

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNadalah: adanya nilai-nilai atau norma yang harus

dipatuhi, adanya upacara yang mengiriingi se-bagai simbol tuntasnya sengketa atau per -kaian, adanya acara maangkat dangsanak atau maangkat.31

E. Penutup 1. Kesimpulan

Secara yuridis formal penyelesaian seng-keta di luar pengadilan yang di maksud kan dalam undang-undang adalah meng op malkan peranan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan yang mengatur penggunaan alterna f penyelesaian sengketa (seper UU No. 30 Tahun 1999 dan PERMA No. 1 Tahun 2008), diantaranya adalah bagaimana agar pengadilan dapat menghorma putusan-putusan yang dike luarkan oleh lembaga-lembaga alterna f penyelesaian sengketa terutama dalam hal pe laksanaan eksekusi. Secara sosiologis di masyarakat masih terjadi permasalahan di an-taranya penyelesaian sengketa yang dilakukan masih mengacuh pada ranah hukum posi f yang ar nya lembaga peradilan turut berperan dalam persolan ini sehingga masyarakat cenderung jarang menempuh jalur demikian karena dianggap bagian dari proses pengadilan yang dianggap lambat, berbelit-belit, mahal dan hampir sama dengan proses di persidangan dengan mengedepankan upaya mendamaikan kedua belah pihak, dan di masyarakat jarang terjadi dalam suatu putusan selesai dalam tahap ini.

Dengan kembali mengedepankan pada tradisi dan budaya yang ada di masyarakat membuat negara ini mengakui ja dari bangsa

sebab adanya suatu bangsa adalah sekumpulan masyarakat yang hidup dalam komunitas karena adanya persamaan nasib dan sepenanggungan. Berangkat dari hal tersebut maka budaya bangsa yang berangkat dari sikap kegotong-royongan dan mau untuk berdamai demi kesejahteraan masyarakat sekitar yang telah dilakukan oleh pendahulu kita perlu mendapat apresiasi kembali seper penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh masyarakat adat zaman dahulu bahwa penyelesaian sengketa cukup dilakukan oleh kedua belah pihak dan dihadiri oleh kepala adat atau kepala desa sebagai pemimpin dalam suatu masyarakat terkecil, atau tokoh agama dengan memper mbangkan kemaslahatan wilayah serta keadilan dan kepas an dalam masyarakat sehingga dengan proses penyelesaian sengaketa yang dilakukan oleh masyarakat sendiri di nilai dapat mencakup suatu proses yang cepat, biaya murah dan dak berbelit-belit dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Mengembangkan dan merasionalkan budaya musyawarah agar bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis. Penegakan e ka bisnis sebagai upaya membangun kepercayaan masyarakat pada paradigma non li gasi. Hal ini pen ng karena alterna f penyelesaian sengketa ini dak mempunyai daya pemaksa dalam pelaksanaan hasil putusannya, dan hanya didasarkan pada kesepakatan antara para pihak.Namun demikian perlu juga Menggunakan pendidikan (formal, keluarga, dan lembaga publik) sebagai sarana untuk mengembangkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan paradigma non li gasi

31 Ahmadi Husain, Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non Litigasi) Menurut Peraturan Perundang-undangan, (AL-BANJARI Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007).

Page 137: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

293Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis… (Nevey Varida Ariani)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN2. Saran

Dalam rangka upaya memaksimalkan ke a-dilan yang ada di masyarakat sebagai bagian dari proses keadilan yang dimiliki oleh masyarakat kiranya dalam proses penyelesian sengketa yang ada dalam masyarakat maka hal yang pertama dilakukan adalah menyelesaian persolan ter-se but (baik itu persoalan bisnis, sengketa per-tanahan, perkawinan, waris dan lain-lain) terlebih dahulu harus diselesaian antara kedua belah pihak dengan melalui musyawarah mufakat jika dak bisa selesai maka persoalan tersebut dibawah kelembaga peradilan adat dalam hal ini ketua adat atau kepala desa atau lurah atau tokoh masyarakat yang ditunjuk berkewajiban untuk menyelesaian persoalan yang ada dalam lingkungan masyarakat atau yang termasuk dalam bagian warganya untuk dapat menyelesiakan perkara yang dilakuan oleh warga masyarakat dengan berkiblat pada hukum adat yang sudah merupakan perpadauan antara nilai Agama, nilai moral, nilai kesusilaan yang tercermin dalam e ka hidup bermasayarakat yang diakui kebenarannya.

Namun demikian jika upaya maksimal ter-sebut dak dapat dilakukan maka menye le-sai kan persoalan tersebut dapat dilakukan melaui prores peradilan baik peradilan umum maupun peradilan abritrase nasional yang telah dilegalisasikan oleh negara dengan menjunjung nggi dan berhen pada upaya perdamian

sehingga meminimalisir penumpukan perkara di pengadilan yang berdampak pada lambatnya penyelesaian perkara, berbelit-belit, dengan biaya yang mahal sehingga nilai keadilan dan kepas an dak menjadi jaminan. Oleh karenanya dalam suatu perkara yang masuk kepengadilan perlu kiranya sengketa tersebut telah diketahui dan telah diselesikan melalui penyelesaian

secara adat terlebih dahulu dengan memperoleh legilalisasi formal jika belum dapat diselesaikan barulah menggunakan upaya terakhir melalui lembaga peradilan sebagai ul mum remidium.

DAFTAR PUSTAKABukuAbdulrrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alterna f

Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, (Jakarta: Fikaha Aneska, 2002).

Darmodihardjo, D, dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2004).

Dimya , Khudzaifah, Teori sasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 - 1990, (Surakarta Muhammadyah University Press, 2004).

Fuady, Munir, Arbitrase Nasional: Alterna f Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bak , 2000).

Garner, Bryan A., Black’s Law Dic onary, Editor in Chief, 2004, hlm. 1003.

Rajagukguk, Erman, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001).

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Altena f Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta: Tatanusa, 2004).

Sulistyono, Adi, Mengembangkan Paradigma Non-Ligitasi di Indonesia, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006).

Suparman, Eman, Pillihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: Tatanusa, 2004).

Usman, Rachmadi, Hukum Arbitrase Nasional, (Jakarta: Gramedia Widisarana Indonesia, 2002).

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Alterna f Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafi ndo Persada, 2001).

Makalah / Ar kel / Prosiding / Hasil Peneli anHasan, Ahmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum

Berdasarkan Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tahun 2007).

Page 138: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

294

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 277-294

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPeraturan

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alterna f Penyelesaian Sengketa.

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung

Page 139: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

295Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia… (Subianta Mandala)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPEMBAHARUAN HUKUM KONTRAK INDONESIA

DALAM KERANGKA HARMONISASI HUKUM KONTRAK ASEAN (Indonesian Contract Law Reform on the

Legal Framework Contract ASEAN Harmoniza on)

Subianta MandalaBadan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM

Jl. Mayjen. Soetoyo Cililitan Jakarta Timur

Naskah diterima: 18 Mei 2012; revisi: 12 Juli 2012; disetujui: 23 Juli 2012

AbstrakPembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 telah mendorong Negara Anggota ASEAN untuk mereformasi undang-undang mereka. Ini adalah momentum yang baik bagi Indonesia untuk mereformasi hukum kontrak dan pada saat yang sama untuk mencapai komitmen ASEAN untuk harmonisasi hukum ASEAN. Dalam tulisan ini akan dibahas, pendekatan hukum dapat diambil oleh Indonesia dalam upaya untuk mereformasi hukum kontrak sehingga konsisten dengan tujuan harmonisasi ASEAN hukum; dan seberapa luas atau apa lingkup substansi untuk dimasukkan dalam undang-undang untuk bisa menjadi undang-undang baru yang kompa bel dengan hukum kontrak Negara ASEAN lainnya. Tulisan ini menggunakan metode peneli an hukum norma f dengan analisa kualita f. Kesimpulan yang diperoleh dari peneli an ini adalah bahwa pendekatan yang diambil untuk mereformasi hukum kontrak Indonesia saat ini adalah dengan menggunakan instrumen hukum internasional seper Konvensi PBB tentang Kontrak untuk Penjualan Barang Internasional (CISG) 1980 dan Prinsip UNIDROIT Kontrak Komersial Internasional (UPICCs) sebagai referensi untuk hukum kontrak Indonesia yang baru. Sedangkan lingkup substansi yang akan direformasi terbatas pada prinsip-prinsip umum dan aturan hukum kontrak internasional dan ketentuan untuk penjualan barang. Untuk mempercepat reformasi, penulis menunjukkan bahwa hukum kontrak diprioritaskan dengan memasukkannya ke dalam Program Hukum Nasional (Prolegnas) dari periode 2015-2019.Kata kunci: hukum kontrak, harmonisasi hukum, ASEAN.

AbstractThe establishment of ASEAN Economic Community by 2015 has encouraged ASEAN Member States to reform their laws for harmoniza on, including contract law. This is a good momentum for Indonesia to reform its contract law and at the same me to achieve ASEAN commitment for ASEAN legal harmoniza on. Having said that, the ques ons are (1) what legal approach can be taken by Indonesia in its eff ort to reform its contract law so that it is consistent with the objec ve of ASEAN legal harmoniza on, (2) how broad or what the scope of substance to be included in the new law can be so that the new law will be compa ble with the contract laws of other ASEAN Countries. To answer those ques ons, minor research has been conducted. A method of norma ve legal research is used to collect data which is mainly from books, academic dra s, na onal legisla on and interna onal trea es (secondary data). Those data is, then, analyzed using qualita ve method. In conclusion, (1) the approach taken to reform the current Indonesian contract law is by using interna onal legal instruments such as United Na ons Conven on on Contracts for the Interna onal Sale of Goods (CISG) 1980 and UNIDROIT Principles of Interna onal Commercial Contracts (UPICCs) as references for the new Indonesian contract law, (2) the scope of the substance to be reformed is restricted to the general principles and rules of interna onal contract law and provisions for sale of goods. To speed up the reform, the writer suggests that contract law be priori zed by pu ng it into the Na onal Legal Program (Prolegnas) of 2015-2019 period. Keywords: contract law, legal harmoniza on, ASEAN.

Page 140: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

296

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 295-306

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNA. Pendahuluan

Hukum kontrak merupakan bidang hukum yang sangat pen ng di era globalisasi terutama dalam mendukung kegiatan di sektor perda gang-an dan transaksi bisnis internasional. Lahirnya kesepakatan per dagangan di antara Negara-negara di dunia, antara lain GATT/WTO, NAFTA, APEC, EU dan AFTA dan lainnya turut memper-cepat globalisasi ekonomi dan perdagangan. Proses globalisasi ini pada gilirannya memaksa Negara-negara di dunia untuk membuka diri.

Perkembangan pen ng yang terjadi di dalam ASEAN baru baru ini adalah ditanda-tanganinya Piagam ASEAN pada bulan Nopember 2007 yang mengindikasikan komitmen Negara-negara ASEAN untuk memperkuat kerjasama regional melalui pembentukan masyarakat ASEAN (ASEAN Community), termasuk Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang diharapkan terwujud pada tahun 2015.1

Dalam rangka mewujudkan suatu Masya-rakat Ekonomi ASEAN yang lebih terin tegrasi tersebut maka peran hukum akan semakin sentral. Pengembangan hukum perdagangan ASEAN sedang menjadi kajian dan pembahasan secara intensif di ASEAN. Salah satu bidang hukum yang mendapat prioritas di ASEAN untuk diharmoniskan adalah hukum kontrak dagang Internasional. Hukum kontrak (internasional) akan menjadi bidang hukum yang semakin pen ng dalam upaya mendukung kegiatan per-dagangan dan transaksi bisnis dalam Masyarakat

Ekonomi ASEAN karena ak fi tas perdagangan dan transaksi bisnis diwujudkan dalam bentuk kontrak-kontrak dagang internasional.

Hukum kontrak Indonesia sekarang ini, yang menganut tradisi civil law, masih berpedoman pada aturan yang merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) atau Burgerlijk Wetboek (BW) khususnya Buku III tentang Perikatan dan lebih khusus lagi diatur dalam Bab II tentang Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Hukum kontrak Indonesia adalah produk hukum yang sudah out of date dan belum mengakomodir perkembangan yang ada, terutama menyangkut kontrak-kontrak dagang internasional.2

Belanda sendiri, sebagai negara yang mem-bawa BW ke Indonesia sudah menggan de-ngan yang baru, yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) yang muatannya sudah sangat berbeda dengan BW. NBW yang saat ini berlaku di Belanda sebagai The Dutch Civil Code sudah jauh lebih maju baik dari segi substansi maupun sistema ka sebagai koreksi atas kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam BW.

Gagasan untuk memperbarui hukum kontrak Indonesia sudah lama diper bin cangkan. Berba-gai konsep mengenai hukum kontrak/perjanjian/perikatan yang baru pernah dibuat, baik dalam bentuk kajian/peneli an ilmiah maupun naskah akademik, dan bahkan sudah dalam bentuk rancangan undang-undang. Namun, keinginan

1 Piagam ASEAN ditanda-tangani oleh 10 Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN tanggal 20 Nopember 2007 pada KTT ke-13 di Singapore dan mulai berlaku efektif tanggal 15 Desember 2008 setelah kesepuluh Negara anggota ASEAN menyampaikan instrument rati ikasi. Piagam ASEAN utamanya berisi keinginan untuk membentuk Masyarakat ASEAN yang ditopang oleh 3 pilar Masyarakat ASEAN, yaitu: Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN. Untuk mewujudkan ke 3 pilar tesebut, ASEAN juga telah mengeluarkan blueprint untuk masing-masing pilar tersebut.

2 Lihat Taryana Sunandar, Prinsip Prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian sengketa (Jakarta: Sinar Gra ika, 2004), hlm. 3.

Page 141: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

297Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia… (Subianta Mandala)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNuntuk mewujudkan sebuah hukum perjanjian/

kontrak yang baru belum bisa terwujud sampai kini.

Momentum untuk menghidupkan kem-bali gagasan memperbarui atau memo derni-sasi hukum kontrak Indonesia telah ba ke ka ASEAN mengambil inisia f untuk melakukan harmonisasi di bidang hukum perdagangan, termasuk hukum kontrak.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diurai-kan di atas, maka tulisan ini akan membahas permasalahan-permasalahan sebagai beri kut:1. Bagaimanakah metoda pendekatan yang

paling efek f untuk memperbaharui hukum kontrak / hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata dalam rangka mendukung terwujudnya harmonisasi hukum kontrak ASEAN.

2. Sampai sejauh manakah substansi perubah-an hukum kontrak yang harus diwujudkan sehingga hukum kontrak Indonesia masa depan juga sekaligus harmonis dengan hukum kontrak Negara-negara anggota ASEAN;

C. Metodole Peneli an

Untuk mengkaji permasalahan di atas, pe-nulis menggunakan motode pene li an hukum norma f. Peneli an ini meni k be ratkan pada studi literatur (data sekunder). Studi literatur (kepustakaan) dilakukan untuk mendapatkan dan mengkaji sumber-sumber tertulis yang melipu : (1) bahan hukum primer yaitu Buku III KUHPerdata, dan perjanjian internasional seper United Na ons Conven on on Contracts

for the Interna onal Sale of Goods (CISG) 1980 dan peraturan perundang-undangan nasional dan konvensi internasional lainnya yang terka , (2) bahan hukum sekunder yakni bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, seper Nas-kah Akademik dan Rancangan Undang-undang Hukum Perikatan, Naskah Akademik tentang Kontrak di Bidang Perdagangan. Disamping itu, sebagai bahan hukum sekunder, penulis juga menggunakan model law atau Legal Principles seper UNIDROIT Principles of Interna onal Commercial Contracts. Bahan hukum sekunder lainnya yang digunakan adalah buku, karya tulis/paper/makalah dan hasil peneli an yang berkaitan dengan hukum kontrak dan har-monisasi hukum.

Keseluruhan data yang diperoleh baik dari bahan primer maupun sekunder diana lisis secara kualita f dan diberikan peng gambaran (deskrip-si) secara mendalam me ngenai pendekatan dan substansi pembaruan hukum kontrak Indonesia. Kesimpulan di ambil berdasarkan pada metoda penalaran deduk f dan Induk f.

D. Pembahasan

1. Metoda Pendekatan Yang Paling Efek f Untuk Memperbarui Hukum Kontrak

a. Upaya Pembaruan Hukum Kontrak Indonesia

Perubahan hukum kontrak Indonesia ada lah urgen dan perlu diprioritaskan.3 Dikatakan urgen dan perlu diprioritaskan terutama karena negara kita telah berada di tengah perkembangan perdagangan bebas dan global yang dak dapat begitu saja dielakkan atau dihindari. Dalam

3 Dalam Prolegnas 2010-2014, hukum kontrak belum masuk dalam daftar RUU Prioritas.

Page 142: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

298

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 295-306

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNposisinya sebagai salah satu negara ASEAN

yang telah bertekad untuk berkembang sebagai sebuah rule based regional organiza on dan menuju sebuah Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia akan dituntut untuk memberikan lebih banyak komitmen untuk berperan serta dalam upaya pengembangan perekonomian regional dan inter-regional (dengan mitra-mitra ASEAN di berbagai region).

Sebagaimana telah disinggung di bagian Pendahuluan tulisan ini, usaha-usaha untuk menggan , merombak dan memperbarui hukum kontrak Indonesia sudah berlangsung lama. Gagasan Awal untuk melakukan pem-baruan hukum kontrak nasional diajukan oleh Wirjono Projodikoro yang menurut beliau hukum perjanjian adalah satu satunya bagian hukum perdata yang segera dapat dilakukan kodifi kasi karena bidang hukum tersebut dianggap cukup netral.

Semangat yang mengedepan dalam diri Wirjono Projodikoro adalah menghidupkan lembaga perjanjian dalam Hukum Adat. Hukum Adat pada hakikatnya hukum yang berbeda di berbagai daerah. Namun demikian, perbedaan yang ada dalam Hukum Adat ini, khususnya Hukum Perjanjian, dak begitu tajam bila dibandingkan dengan Hukum Waris atau Perkawinan yang sarat akan nilai nilai. Wirjono Projodikoro secara tegas menyatakan sebagai berikut:4

”Lain halnya dengan Hukum Perjanjian, yang ternyata dak memperlihatkan begitu banyak perbedaan yang men dalam di antara hukum yang berlaku bagi pelbagai golongan dan daerah di Indonesia. Maka dari itu, saya

berke yakinan, bahwa dengan sekuat tenaga dan kemauan yang baik dapat diusahakan agar dalam jangka pendek diketemukan suatu perumusan Hukum Perjanjian di Indonesia, yang dapat ditetapkan berlaku bagi segenap warga negara Indonesia. Untuk permulaan, dapat dimulai dengan bagian umum dari Hukum Perjanjian itu”.

Pada tahun 1974 pernah disusun sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Perikatan yang diketui oleh Prof. R. Soebek . Sis ma ka RUU ini mengiku sis ma ka Buku III KUHPerdata.5 Tercatat pula pada tahun 1992 BPHN pernah membentuk Tim Kerja Penyusunan Naskah Akademis Peraturan Perundang–undangan tentang Kontrak di Bidang Perdagangan yang diketuai oleh Prof. Sunarya Hartono.6 Dalam Naskah Akademik tersebut dibahas mengenai asas-asas hukum kontrak, kontrak baku, kontrak pemerintah, dan kontrak internasional.

Upaya pembaruan hukum kontrak ter a-khir pernah dilakukan oleh R. Se awan me la-lui penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Perikatan pada tahun 1994.7 R. Se awan ber pendapat bahwa sebagian ketentuan Hukum Perikatan dalam KUHPerdata sudah dak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada, dan sebagian yang lain masih relevan untuk dipertahankan. Seiring dengan era globalisasi yang menyentuh hampir semua aspek kehidupan masyarakat indonesia, R. Se awan secara tegas menyatakan bahwa bidang hukum, khususnya Hukum Perjanjian, mulai terkena pengaruh apa yang dikenal sebagai Conven on Law dan Community Law. Lebih lanjut,

4 Wirjono Prodjodikuro, Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung: Mandar Madju, 2000), hlm. 160.5 Lihat Naskah Akademik Peraturtan Perundang-undangan tentang hukum Perikatan, BPHN, Departemen

Kehakiman RI, 1976/1977.6 Naskah Akademik tentang Kontrak di Bidang Perdagangan, BPHN Departemen Kehakiman, 1994.7 Tau iqurrahman, Karakter Pilihan Hukum, Kajian tentang Lingkup Penerapan the United Nations Convention on

Contracts for the International Sale of Goods (CISG) 1980 (Surabaya: Bayumedia, 2010), hlm. 350.

Page 143: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

299Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia… (Subianta Mandala)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNR. Se awan menyatakan bahwa Hukum Perikatan

dalam konteks internasional dihadapkan pada masalah yang berkaitan dengan harmonisasi hukum.

Ke ga naskah akademik RUU tersebut di atas yang dimaksudkan sebagai upaya pembaruan hukum nasional di bidang Hukum Kontrak tampaknya masih terfokus pada pengaturan terhadap transaksi-transaksi yang bersifat domes k. Sekalipun perkembangan-perkembangan internasional turut juga mem-pengaruhi perancang dalam menyusun naskah RUU tersebut, sebagaimana R. Se awan, tetapi rumusan naskahnya masih bermuara pada kepen ngan-kepen ngan domes k. Eksistensi kontrak-kontrak inter nasional dalam lalu-lintas perdagangan belum mendapat sentuhan yang berar secara konseptual.8

Upaya menghidupkan kembali gagasan pembaruan hukum kontrak Indonesia mbul belakangan ini terkait dengan perkembangan yang terjadi pada organisasi ASEAN - yaitu keinginan untuk mewujudkan suatu masyarakat ASEAN yang lebih terintegrasi secara ekonomi pada tahun 2015. Dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut, pejabat nggi hu kum ASEAN yang tergabung dalam ASEAN Senior Offi cials Mee ngs (ASLOM) dalam program kerjanya telah men canangkan untuk melakukan harmonisasi

hukum dagang ASEAN, termasuk hukum jual beli barang internasional (interna onal sale of goods).9

b. Harmonisasi Hukum Kontrak ASEAN

Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 201510 dan juga dalam rangka melaksanakan ASEAN Free Trade Area (AFTA)11 men jadikan hukum kontrak sebagai bidang hu kum yang sangat pen ng dalam mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bis-nis internasional dikawasan ASEAN. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup ASEAN bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara.

Negara Negara ASEAN yaitu: Indonesia, Thailand dan Vietnam dapat digolongkan peng-anut sistem hukum civil law, sedangkan Singapore, Malaysia dan Brunei Darussalam adalah penganut sistem hukum common law.12

Perbedaan sistem hukum sebagaimana di-sebutkan di atas memberikan pengaruh yang signifi kan kepada masing-masing negara dalam pembentukan hukum (undang-undang) yang mengatur mengenai kontrak baik dari aspek formil maupun materiilnya. Hukum kontrak pada

8 bid. hlm. 351.9 Selain hukum jual beli barang internasional, bidang hukum dagang lain yang diharmonisasikan adalah

international commercial arbitration, government procurement, dan e-commerce.10 Untuk membantu pencapaian integrasi regional ASEAN yang diinginkan- yaitu Masyarakat ASEAN pada tahun

2015, telah dikeluarkan blueprint yang berisi langkah-langkah strategis yang harus dilaksanakan oleh ASEAN. Salah satu strategi yang disebutkan dalam blueprint adalah melakukan kerjasama untuk mengembangkan strategi-strategi untuk memperkuat supremasi hukum (rule of law) dan sistem peradilan (judiciary system) serta infrastruktur hukum (legal infrastructure) di ASEAN.

11 AFTA diberlakukan secara penuh untuk 6 negara ASEAN sejak 1 Januari 2002 dengan leksibilitas (terhadap produk-produk tertentu tarifnya masih diperkenankan lebih dari 0-5%). Target tersebut diterapkan untuk 6 negara ASEAN sedangkan untuk negara baru: Vietnam (2006); Laos dan Myanmar (2008); dan Cambodia (2010).

12 Lihat Allan D. Rose A.O, ”The Challenges for Uniform Law in the Twenty-First Century”, Uniform Law Review, NS-Vol.1, (2005):9-25.

Page 144: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

300

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 295-306

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNkenyataanya sangat beragam karena adanya

perbedaan sistem hukum di masing-masing negara tersebut.13 Kalaupun ada persamaan, hanya terkait dengan prinsip-prinsip umum yang belum dapat diaplikasikan secara nyata sebagai pedoman dalam pembentukan kontrak internasional yang lingkup objeknya begitu luas, sedangkan aturan-aturan yang sifatnya substan f berbeda di masing-masing negara. Kondisi seper ini tentunya dak kondusif bagi ak vitas perdagangan dan bisnis ASEAN. Adanya perbedaan aturan di masing-masing negara akan menghambat terlaksananya transaksi bisnis internasional yang menghendaki kecepatan dan kepas an.

Pembahasan menyangkut harmonisasi hu-kum dagang ASEAN, termasuk di dalamnya har-monisasi hukum jual beli barang internasional, sedang dilakukan oleh ASEAN Senior Law Offi cials Mee ng (ASLOM), sebuah badan sektoral di bawah ASEAN yang keanggotaannya terdiri dari para pejabat nggi hukum ASEAN. Kelompok kerja ASLOM (ASLOM Working Group) yang bertugas mengkaji dan membahas harmonisasi hukum kontrak telah merekomendasikan kepada negara-

negara ASEAN untuk mengubah atau membuat hukum kontrak yang sesuai dengan aturan yang berlaku secara universal atau best prac ces. Secara spesifi k, ASLOM merekomendasikan untuk mengadopsi prinsip-prinsip hukum kontrak internasional yang ada dalam United Na ons Conven on on Contracts for the Interna onal Sale of Goods (CISG) 1980 dan UNIDROIT Principles of Interna onal Commercial Contracts (UPICCs) pada tahun 1994 yang kemudian telah direvisi pada tahun 2010.14

c. Metoda Pendekatan: CISG dan UNIDROIT Principles

Dengan argumentasi bahwa pembaruan hukum kontrak Indonesia harus sejalan de-ngan arah perkembangan harmonisasi hu kum kontrak ASEAN, maka pendekatan yang dilaku-kan dalam perubahan hukum perjan jian yang terdapat dalam Buku III KUHPer data harus sejalan dengan rekomendasi yang dijalankan oleh ASEAN. Diantara berbagai pendekatan yang telah dikaji15, ASEAN mere komendasikan agar Negara-negara anggota ASEAN mera fi kasi CISG16 atau memperba harui hukum kontrak nasionalnya

13 Wayne R. Barnes, Contemplating A Civil Law Paradigm for a Future International Commercial Code,( Lousiana Law Review 677, 2005), hlm. 76. Menurut Barnes sistem hukum yang paling banyak dipraktekan di dunia adalah civil law dan common law. Negara-negara yang mempraktekan sistem hukum ini ada yang secara penuh dan yang campuran. Indonesia dikategorikan menganut sistem hukum campuran, yaitu civil law, hukum adat dan hukum islam.

14 Upaya harmonisasi hukum kontrak dalam konteks internasional secara efektif dilakukan oleh lembaga atau organisasi internasional, baik yang sifatnya publik seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan badan kelengkapannya seperti United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) atau organisasi internasional yang independen seperti International Institute for the Uni ication of Private Law atau Institut International Pour L’uni ication Du Droit Prive yang lazim dikenal dengan UNIDROIT. Peran yang dilakukan oleh berbagai organisasi internasional ini adalah mengeluarkan berbagai perjanjian atau kesepakatan internasional yang dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan kontrak internasional. Dalam hal ini UNCITRAL telah mengeluarkan 1980 - United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) dan UNIDROIT telah mengeluarkan UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) pada tahun 1994 yang kemudian telah direvisi beberapa kali dan terakhir tahun 2010.

15 Berbagai pendekatan dikaji diantaranya adalah ASEAN membuat sendiri sebuah binding treaty on ASEAN contract law yang bersifat hard law atau membuat sebuah Model Law yang sifatnya persuasif (soft law).

16 Satu-satunya negara anggota ASEAN yang telah merati ikasi CISG adalah Singapura.

Page 145: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

301Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia… (Subianta Mandala)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNdengan merujuk pada CISG. Disamping itu,

ASEAN memberikan al terna f kepada anggotanya untuk me man faatkan UNIDROIT Principles of Interna onal Commercial Contracts (UPICCs) sebagai refer ensi bagi pembaruan hukum kontrak nasio nalnya. Nampak disini bahwa pendekatannya adalah bersifat persuasif de-ngan memberikan keleluasaan kepada Negara-negara anggota ASEAN untuk mem perbarui atau membuat hukum kontrak nasionalnya dengan mengacu kepada pe rangkat atau instrument interna sional yang ada yang diyakini merupakan best contrac ng prac ces atau yang diakui keber-lakuannya secara universal.

Disamping itu, dapat dikatakan bahwa pen-dekatan yang dipilih adalah metoda harmo-nisasi dan bukan unifi kasi.17 Walaupun mere-komendasikan untuk mera fi kassi CISG, yaitu agar terwujudnya suatu unifi kasi di bidang hukum kontrak, khususnya kontrak jual beli ba-rang internasional, namun ASEAN memberikan kemungkinan kepada anggotanya untuk meng-gunakan pendekatan yang lebih lunak atau fl eksibel yaitu melalui harmonisasi hukum, de-ngan menggunakan prinsip-prinsip hukum yang ada dalam CISG dan UPICCs sebagai rujukan dalam memperbaharui atau membuat hukum kontrak nasionalnya.

Untuk mempercepat pembaruan hukum kontrak Indonesia beberapa pihak meng u-sulkan agar Indonesia segera mengaksesi CISG. Per mbangannya adalah diantaranya CISG me-

rupakan hasil kompromi dari asas-asas hukum yang dianut dalam sistem hukum common law dan civil law dan di susun berdasarkan pada best prac ces da lam transaksi-transaksi perdagangan inter nasional, sehingga aksesi Indonesia ini akan berguna sebagai langkah modernisasi hukum perjanjian Indonesia, khususnya seba gai sumber asas-asas hukum kontrak jual beli barang internasional. Penulis berpen dapat bahwa aksesi terhadap CISG adalah satu alterna f yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia, namun ndakan tersebut belum memberikan jawaban

bagi pembaruan hukum kontrak nasional yang komprehensif karena CISG hanya mengatur satu jenis transaksi yaitu jual beli barang internasional. CISG dak atau belum tentu dapat diterapkan pada jenis-jenis transaksi lain dalam perdagangan internasional seper faranchise, distributorship, commercial agency countertrade, dan lain lain.

Disamping itu, tanpa aksesi terhadap CISG pun, dalam praktek di Indonesia ternyata CISG sudah sering berlaku terhadap kontrak-kontrak dagang internasional ke ka para para pihak dalam kontrak sepakat untuk menggunakan CISG sebagai governing law atas kontrak mereka, atau berlakunya CISG berdasarkan kaedah aturan hukum perdata internasional (confl ict of law rules). Di sisi lain, CISG memberikan kebebasan, dak saja kepada Negara-negara yang mera fi kasi atau mengaksesi, tetapi juga bagi pihak-pihak dalam kontrak jual beli, untuk mengesampingkan berlakunya asas-asas yang

17 Lihat Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). 31-32. Menurut Huala Adolf istilah ”uni ikasi” dan ”harmonisasi” hukum sebenarnya memiliki makna yang sama, yaitu sebagai upaya penyeragaman substansi pengaturan dari sistem hukum yang ada. Perbedaan kedua istilah tersebut hanya terletak pada derajat upaya penyeragaman yang dilakukan. Penyeragaman melalui uni ikasi dilakukan lebih dalam dibandingkan melalui harmonisasi. Cakupan uni ikasi meliputi penghapusan dan penggantian atas suatu sistem hukum yang ada dengan suatu sistem hukum yang sama sekali baru. Berbeda dengan uni ikasi, harmonisasi diartikan sebagai proses-proses dalam rangka untuk menghindari kon lik dan menghasilkan perimbangan. Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari kesergaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada.

Page 146: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

302

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 295-306

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNada di dalamnya. Dengan demikian, CISG yang

seharusnya berfungsi sebagai hard law, tetapi di sana-sini dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang ”melemahkan” daya ikatnya.18 Oleh karena itu menjadi pertanyaan bagi kita mengenai urgensi Indonesia untuk mengaksesi CISG. Yang lebih baik dilakukan Indonesia adalah menjadikan CISG sebagai model law untuk merombak, menambah, dan menyempurnakan Buku III Bab V tentang Perjanjian Jual Beli, dengan penyesuaian-penyesuan untuk jual beli domes k dan internasional. Pendekatan ini tentu masih sejalan dengan rekomendasi yang dibuat oleh ASEAN dalam upaya harmonisasi hukum kontrak nasional di Negara-negara ASEAN.

Selain menjadikan CISG sebagai model dalam pembaruan hukum kontrak Indonesia, dan sesuai dengan pendekatan yang direkomendasikan oleh ASEAN, Indonesia dapat menggunakan UPICCs sebagai referensi bagi pembaruan hukum kontraknya. Berbeda dengan CISG yang secara khusus mengatur tentang jual beli barang internasional, UPICCs memuat prinsip-prinsip atau asas-asas hukum kontrak internasional yang bersifat umum yang dapat diterapkan untuk semua jenis transaksi internasional.

UPICCs dianggap berhasil merumuskan kembali keseluruhan asas, aturan dan standar kontrak-kontrak perdagangan inter na sional pada umumnya, dan menye suai kannya dengan best prac ces yang ber kem bang dalam bisnis dan perdagangan internasional.19 Sebagai sebuah Restatement of Interna onal Contract Law, UPICC pada dasarnya disediakan sebagai op on untuk

dipilih oleh pihak-pihak pembuat kontrak dengan menyatakannya secara tegas di dalam klausula pilihan hukum sebagai the governing law bagi kontrak mereka. UPICC memuat 211 Ar cles yang ditata di dalam sebelas Bab 20 secara sistema k dan mencakup seluruh siklus-hidup sebuah kontrak (dari Forma on s/d discharge), termasuk penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaannya (non-performance, hardship, assignments, set-off , termina on, dsb).

Selama perjalanan 18 tahun UPICC di pu-blikasikan kepada umum, berbagai per kem-bangan serta kebutuhan baru dalam prak k ber kontrak secara internasional ditambahkan dan dijadikan dasar untuk penyempurnaan se- ap edisi. Yang lebih pen ng lagi, asas-asas dan

aturan-aturan di dalamnya dak saja digunakan sebagai ”the chosen legal system” oleh para pihak dalam kontrak, tetapi juga dijadikan referensi oleh forum-forum arbitrase perdagangan internasional dan pengadilan berbagai negara di dunia dalam memberikan dasar hukum atas keputusan-keputusan hukum yang dibuat. Pengakuan terhadap manfaat UPICC juga terbuk dari kenyataan bahwa UPICC telah diterjemahkan secara resmi ke dalam beberapa bahasa, dan proses penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia juga dewasa ini sedang berlangsung.

Pembukaan (Preamble) dari UPICC mene-gaskan 6 (enam) tujuan utama penerbitan UPICC (Purpose of the Principles). Walaupun tujuan utama adalah ”... to be applied when the par es have agreed that the contract be governed by them” dan tujuan pen ng lain adalah ”... they

18 Bayu Seto Hardjowahono, UNIDROIT Principles on International Commercial Contracts dan Relevansinya bagi Pembaruan hukum Kontrak Indonesia, (Makalah disampaikan pada Forum Harmonisasi hukum Nasional dan Hukum Internasional, BPHN, 7 Maret 2012).

19 Lihat Michael Joachim Bonell, an International Restatement of Contract Law, the UNIDROIT Principles of International Commercial Contract (USA: Transnational Publishers, Inc, 2005), hlm. 35.

20 Edisi Pertama diterbitkan pada tahun 1994, edisi Kedua terbit pada tahun 2004, dan edisi Ketiga terbit pada tahun 2011 (disebut UNIDROIT Principles 2010).

Page 147: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

303Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia… (Subianta Mandala)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNmay be applied when the par es have not chosen

any law to govern their contract”, namun dalam konteks tulisan ini tujuan UPICC yang menjadi pen ng adalah bahwa UPICC ”... may serve as a model for na onal and interna onal legislators.

Dengan memperha kan salah satu tu-juan dari pembuatan UPICCs, maka penulis cenderung untuk berpandangan bahwa pem-baruan hukum kontrak Indonesia sebaiknya mengacu pada UPICC sebagai Model Law, disertai dengan modifi kasi-modifi kasi serta tambahan-tambahan yang dianggap perlu untuk tetap dapat dipergunakan sum ber hukum kontrak domes k dan tran saksi-transaksi dan kontrak-kontrak per -dagangan internasional. Penggunaan UPICCs sebagai model bagi pembaharuan hukum kontrak Indonesia akan juga sekaligus mengharmoniskan hukum kontrak nasional Indonesia dengan hukum kontrak Negara-negara anggota ASEAN lainnya, atau se dak daknya asas, aturan dan standar hukum kontrak Indonesia ke depan akan compa ble dengan kontrak-kontrak perdagangan di kawasan ASEAN.

2. Ruang Lingkup Perubahan

Diskusi mengenai ruang lingkup perubahan hukum perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata cukup beragam. Sebagaimana diuraikan di bagian depan dari tulisan, tampak bahwa ada keinginan untuk menggan secara keseluruhan Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Ini berar bukan saja menggan atau merubah ketentuan hukum perikatan yang lahir dari perjanjian (kontrak), tetapi juga ingin mengan kan ketentuan mengenai perjanjian yang lahir dari undang-undang, perikatan pada umumnya, hapusnya perikatan dan perjanjian tertentu. Namun ada pula perubahan yang diinginkan hanya mencakup asas-asas hukum kontrak dan beberapa jenis perjanjian tertentu,

seper kontrak baku, kontak pemerintah dan kontrak internasional.

Menjadi pertanyaan sampai sejauh mana lingkup perubahan hukum kontrak yang harus dilakukan sekarang ini dalam menghadapi perkembangan perdagangan internasional dan secara khusus per kembangan perdagangan dikawasan ASEAN. Komitmen untuk mewujudkan harmonisasi hukum ASEAN tampaknya sudah menjadi sesuatu ”diujung jalan”. Sebelum, atau se dak- daknya bersamaan dengan upaya harmonisasi hukum regional itu, Indonesia harus mulai untuk mempercepat proses pe-nyempurnaan hukum kontrak nasionalnya.

Dengan argumentasi bahwa pembaruan hukum kontrak Indonesia harus sejalan dengan arah perkembangan harmonisasi hukum kontrak ASEAN, maka lingkup perubahan sebaiknya hanya menyangkut prinsip prinsip dan ketentuan-ketentuan umum hukum perjanjian (general principles and rules on contracts). Dengan melihat pesatnya perkembangan tran-saksi jual beli internasional, dan berdasarkan rekomendasi ASEAN untuk mengadopsi CISG, perubahan dapat juga dilakukan terhadap Buku III Bab V mengenai Jual Beli. Dengan demikian maka perubahan akan fokus pada Buku III, Bab I (Perikatan pada Umumnya) Bagian I (Ketentuan Umum), Buku III, Bab II (mengenai Perikatan yang lahir dari perjanjian), (Bagian 1 mengenai Ketentuan Umum), Bab V (Jual Beli). Perubahan parsial dari Buku III KUHPerdata tersebut didasarkan juga pada alasan prak s, yaitu sisa waktu yang ada untuk mempersiapkan perubahan sangat terbatas, yaitu hanya nggal 3 tahun lagi sebelum terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015.

Berkaitan dengan perubahan yang me-nyangkut prinsip-prinsip atau asas-asas hukum kontrak, Indonesia dapat menggunakan

Page 148: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

304

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 295-306

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNasas-asas yang terdapat dalam UPICCs. Asas-

asas dan aturan-aturan hukum kontrak yang dituangkan di dalam UPICC cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan perubahan yang diinginkan. Disamping UPICC, beberapa prinsip hukum kontrak juga dapat diperoleh dari referensi lain, misalnya CENTRAL List of Lex Mercatoria Principles, Rules And Standards, dan Principles of European Contract Law. Secara umum ada beberapa prinsip hukum kontrak yang hampir selalu ada dalam se ap sistem hukum, yaitu: prinsip freedom of contract (party autonomy), prinsip pacta sunt servanda, good faith, kekuatan mengikat dari praktek kebiasaan dan prinsip overmacht atau impossibility of performance. 21

Pengaturan prinsip prinsip serta aturan umum hukum kontrak dalam perubahan hukum kontrak Indonesia, disamping untuk mempermudah penyelarasan dengan praktek kontrak internasional juga harus mampu mengakomodasi perkembangan-perkembangan dalam transaksi-transaksi bisnis serta kontrak-kontrak yang bersifat transnasional dan/atau mengandung unsur-unsur asing. Dalam kaitan ini, pengembangan asas-asas dan aturan umum hukum kontrak harus senan asa dilandasi kesadaran bahwa ia harus memiliki ngkat aplikabilitas dan fl eksibilitas yang baik untuk diterapkan baik pada kontrak-kontrak yang sepenuhnya bersifat domes k maupun yang mengandung unsur-unsur transnasional. Prinsip-

prinsip tersebut juga harus dapat menjadi pegangan agar terwujud ngkat keseragaman serta untuk mengakomodir kepen ngan kontrak/perjanjian yang bersifat lintas sektoral.22

E. Penutup1. Kesimpulan

Sebagaimana pepatah ”sekali menda yung dua ga pulau terlampaui”, pembaruan hukum kontrak nasional Indonesia harus sekaligus dilakukan dalam kerangka harmonisasi hukum kontrak ASEAN. Oleh karena itu, metoda pendekatan dan lingkup substansi pengaturan pembaruan hukum kontrak Indonesia harus memperha kan konsep harmonisasi hukum kontrak ASEAN yang ada. Berbeda dengan konsep Uni Eropa yang menggunakan pendekatan hard law – yaitu dengan membuat European Contract Law, ASEAN cenderung menggunakan pendekatan so law dengan meminta ang-gotanya menyusun atau memperbarui hukum kontraknya nasional masing masing dengan menggunakan instrument hukum internasional yang ada seper CISG dan UPICCs sebagai model law. Pendekatan ini memberikan keleluasaan bagi Negara anggota ASEAN untuk mengadopsi atau mengambil alih prinsip/asas dan aturan hukum dari CISG dan UPICCs yang dianggap perlu dan sesuai kebutuhan dari masing masing Negara anggota.

Dalam memperbarui hukum kontrak nasio-nal Indonesia, Indonesia dapat mempergunakan

21 Uraian mengenai prinsip prinsip tersebut lihat Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Re ika Aditama, 2010), hlm. 19-29.

22 Hukum kontrak untuk sektor tertentu adalah hukum yang materi muatannya mengatur juga mengenai kontrak misalnya adanya Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, Undang-Undang tentang Penanaman Modal, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan peraturan perundang-undangan sektoral lainnya yang dalam materi muatannya diatur juga mengenai kontrak/perjanjian, misalnya Peraturan Pemerintah tentang Waralaba. Pembaruan hukum kontrak secara sektoral memang memberikan kepastian hukum dalam sektor terkait. Namun tetap diperlukan prinsip-prinsip serta aturan umum hukum kontrak

Page 149: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

305Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia… (Subianta Mandala)

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNUPICCs sebagai model law bagi bagi pengaturan

hukum perjanjian secara umum, terutama me-nyangkut asas-asas dan aturan umum hukum kontrak internasional. Terhadap CISG, Indonesia dapat memper mbangkan untuk mera fi kasi konvensi tersebut, namun akan dirasakan lebih bermanfaat apabila prinsip atau asas-asas yang ada dalam CISG diadopsi ke dalam hukum kontrak Indonesia, khususnya bagi pengaturan kontrak jual beli. Untuk saat ini, pembaruan yang terbatas pada prinsip-prinsip dan aturan umum hukum kontrak ditambah pengaturan kontrak jual beli dirasakan cukup memadai untuk mengan sipasi perkembangan transaksi-transaksi bisnis di kawasan ASEAN menjelang lahirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015. Perubahan terbatas yang hanya menyangkut prinsip dan aturan umum hukum kontrak menjadikan hukum kontrak Indonesia ke depan akan lebih compa ble dengan hukum kontrak nasional Negara Negara ASEAN lainnya dan dengan hukum kontrak internasional yang berlaku di belahan dunia lainnya. Selain itu, undang-undang hukum kontrak tersebut dapat menjadi undang-undang payung bagi pengaturan lebih lanjut kontrak-kontrak jenis tertentu yang dibuat dimasa depan.

2. Saran-saran

Diharapkan agar penyusunan hukum kon-trak Indonesia dapat dijadikan prioritas dalam legislasi nasional dengan memasukan RUU Hukum Kontrak ke dalam Prolegnas 2015-2019, dan pembahasannya di Dewan Perwakilan Rakyat sudah dapat dilakukan selambat-lambatnya tahun 2015 (sebagai prioritas tahun 2015).

Indonesia sebagai anggota UNIDROIT sejak tahun 2008 perlu meminta bantuan teknis ke ka

menyusun undang-undang kontrak sehingga dapat menerapkan UPICCs secara benar dan sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh pasal-pasal UPICCs tersebut. Bantuan teknis oleh UNIDROIT kepada anggotanya sudah jamak dilakukan seper kepada Negara-negara Afrika (yang tergabung dalam OHADA) dan China ke ka mereka menyusun hukum kontraknya.

Sekalipun secara prinsip CISG dan UPICCs digunakan sebagai model atau referensi dalam pembaruan hukum kontrak Indonesia, hukum adat tentang jual beli dan juga hukum islam yang masih relevan harus tetap diperha kan dalam penyusunan undang-undang hukum kontrak yang baru. Demikan pula, walaupun pembaruan hukum kontrak Indonesia dimaksudkan dalam kerangka mengan sipasi perkembangan per-dagangan internasional, dan secara khusus dalam kerangka lahirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015, penyusunan hukum kontrak yang baru nan harus tetap berorientasi kepada kepen ngan nasional.

DAFTAR PUSTAKABukuAdolf, Huala, Dasar-Dasar Hukum Kontrak

Internasional, (Bandung: Refi ka Aditama, 2010).Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional

(Jakarta: Rajawali Pers, 2011). Bonell, Michael Joachim, an Interna onal

Restatement of Contract Law, the UNIDROIT Principles of Interna onal Commercial Contract (USA: Transna onal Publishers, Inc, 2005).

Prodjodikuro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung: Mandar Madju, 2000).

Sunandar, Taryana, Prinsip Prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian sengketa (Jakarta: Sinar Grafi ka, 2004).

Taufi qurrahman, Karakter Pilihan Hukum, Kajian tentang Lingkup Penerapan the United Na ons Conven on on Contracts for the Interna onal Sale of Goods (CISG) 1980 (Surabaya: Bayumedia, 2010).

Page 150: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

306

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 2, Agustus 2012, hlm. 295-306

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNMakalah / Ar kel / Prosiding / Hasil Peneli an

Allan D. Rose A.O, The Challenges for Uniform Law in the Twenty-First Century, (Uniform Law Review, NS-Vol.1, 2005).

Bayu Seto Hardjowahono, UNIDROIT Principles on Interna onal Commercial Contracts dan Relevansinya bagi Pembaruan hukum Kontrak Indonesia, (Makalah disampaikan pada Forum Harmonisasi hukum Nasional dan Hukum Internasional, BPHN, 7 Maret 2012).

Wayne R. Barnes, Contempla ng A Civil Law Paradigm for a Future Interna onal Commercial Code, (Lousiana Law Review 677, 2005).

Naskah Akademik Peraturaan Perundang-undangan tentang Hukum Perikatan, BPHN, Departemen Kehakiman RI, 1976/1977.

Naskah Akademik tentang Kontrak di Bidang Perdagangan, BPHN Departemen Kehakiman, 1994.

Page 151: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI

Segenap pengelola Jurnal RechtsVinding menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya

atas sumbangsih :

Prof. Dr. IBR Supancana, S.H., LL.M.

Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N.

Dr. Freddy Haris, S.H., LL.M.

sebagai Mitra Bestari yang telah melakukan peer review

terhadap naskah Jurnal RechtsVinding Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012.

Page 152: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN”Halaman ini dikosongkan”

Page 153: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNBIODATA PENULIS

Yohanes Sogar Simamora, lahir di Sidoarjo, 27 Januari 1961, adalah Guru Besar Fakultas Hukum Uni-versitas Airlangga Surabaya. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya tahun 1985. Selanjutnya beliau juga meraih gelar Magister Humaniora pada 1996, dan Dok-tor Ilmu Hukum pada 2005 di Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Beberapa pela han yang pernah diiku adalah Pre-Departure English Traing Course (PDETC), Pascasarjana IKIP Malang (1988), Kursus Bahasa Belanda, Erasmus Huis, Surabaya (1989), Pela han Arbitrase dan Alterna f Penyelesa-ian Sengketa, ICEL, Cisarua Bogor (1995), Training on Intellectual Property Right, Kerjasama Pemerin-tah Indonesia dengan Australia, oleh Sekretariat Negara RI, Jakarta (1995), Shortcourse on Commercial Law pada University of New South Wales, Australia (1996), Training Quality Assurance pada Pusat Pen-ingkatan dan Pengembangan Pendidikan Universitas Airlangga (P4UA), Surabaya (2005), dan Pela han Pengadaan Barang dan Jasa, Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Universitas Indonesia, Jakarta (2005). Di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, pernah menjabat sebagai Sekretaris Unit Hukum Bisnis (2000), Ketua Unit Penjaminan Mutu (2005), Ketua Minat Studi Hukum Bisnis, Program Magister Hukum Bisnis (2006), Ketua Unit Perancangan Hukum dan Kontrak Bisnis / UPHKB) (2008), dan Ketua Program Studi S1 (2008). Selain menjadi Narasumber di berbagai seminar ilmiah, beliau juga pernah menjadi Sekretaris Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Surabaya (2000-2008), Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris Wilayah Surabaya (2006), Pengawas Ikatan ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) Ja m (2011), dan Dewan Pakar Ikatan Sar-jana Hukum Indonesia (ISHI) Ja m (2012).

Herlien Budiono, lahir di Semarang, 1 Oktober 1942. Meraih Sarjana Hukum dari Universitas Parahyan-gan, Bandung (1966). Menyelesaikan Candidat Notaris pada Universitas Padjadjaran Bandung (1970). Mengiku Summer Course on Private Interna onal Law (non degree) pada The Hague Academy of In-terna onal Law, The Netherlands (1986), dan Pendidikan Reksadana bagi Profesi Penunjang untuk No-taris Pasar Modal pada Lembaga Manajemen Keuangan dan Akuntansi (non degree), Jakarta (1997). Pada tahun 2001 meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum dari Universitas Leiden, Netherland. Mengawali profesi sebagai asisten dosen, diantaranya pada alm. Prof. Wirjono Prodjodikoro S.H. dan alm. Prof. Subek S.H. dan dosen pada Universitas Parahyangan (1966─1991) dan dosen pada Pendidi-kan Kenotariatan Universitas Padjadjaran (sekarang Program Studi Magister Kenotariatan) sejak 1984. Dosen pada Program Studi Kenotariatan, Universitas Surabaya di Surabaya sejak 2003. Mengajar kem-bali pada Program Studi Magister Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (2002─2006) dan pada Fakultas Hukum Universitas Parahyangan sejak 2008. Profesi utama yang digelu nya adalah sebagai notaris di Bandung (1971─ 2009) dan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Bandung (1973─2007). Buku-buku yang telah diterbitkan antara lain: Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wiga Indonesia yang merupakan terjemah- an dari diser-tasinya berjudul Het Evenwichtsbeginsel voor het Indonesisch Contractenrecht, Contractenrecht op het Indonesisch beginselen geschoeid (PT Citra Aditya Bak , 2006). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan (PT Citra Aditya Bak , 2007, dan dicetak ulang 2008). Ajaran Umum Hukum Per-janjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan (PT Citra Aditya Bak 2009. dicetak ulang 2010 dan 2011), Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua (PT Citra Aditya Bak , 2010). Sejumlah ar kel telah dimuat di Media Notariat, Renvoi, Oten k, dan Jurnal Legislasi Indonesia dan Dialogia Luridica mengenai masalah-masalah perdata dan e k di bidang kenotariatan.

Page 154: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

310

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HNSubianta Mandala, lahir di Singaraja, Bali, 2 Agustus 1963. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Univer-sitas Atmajaya, Yogyakarta, tahun 1990, kemudian sempat mengiku Pendidikan program Notariat di Universitas Gadjah Mada selama satu tahun (1991). Master Hukum (LLM) dari Universitas Melbourne tahun 2002. Saat ini masih mengiku Program Doktoral (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran. Per-nah mengiku Pendidikan singkat (3 bulan) di bidang Commercial Law di Universitas New South Wales Australia pada tahun 1998, Training on Australian Legal Process and Legal Ins tu ons di Universitas Melbourne Australia tahun 1999, Studi Perbandingan di bidang sistem hukum dan peradilan di Osaka/Tokyo selama dua bulan pada tahun 2003, Program Magang di Australian’s A orney General Australia pada 2005, Peneli an hukum di Kantor UNIDROIT, Roma, Italia, 15 Februari-15 April 2007, Training ”Dispute Resolu on System: Policies, Structures and Strategies” di Singapore, 4 November sampai 12 November 2008. Beliau juga ak f menghadiri berbagai forum internasional di bidang hukum di beber-apa negara seper , Singapore, China, Malaysia, Philippine, Rusia, Australia, Oman, Brunei, Thailand, dan Kamboja. Saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Rencana dan Fasilitasi Pembangunan Hukum Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, BPHN – Kementerian Hukum dan HAM. Sebelum-nya memulai karier sebagai Staf pada Direktorat Penyuluhan Hukum Ditjen Hukum dan Perundang-undangan (Ditjen Kumdang) Departemen Kehakiman (1990-1997), Direktorat Hukum Perdata, Ditjen Hukum dan Perundang-undangan (Ditjen Kumdang), Departemen Kehakiman (1997 – 2002), Kepala Seksi Kerjasama Bilateral Direktorat Hukum Internasional, Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Kehakiman & HAM (2002 – 2007), dan Kepala Bidang Kerjasama Pengembangan Hukum Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum, BPHN, Kementerian Hukum dan HAM. Selain karier di Pe-merintahan, beliau juga pernah menjadi Pengajar Lembaga Bahasa LIA Jakarta/Bogor (1993-2009), dan Dosen Tidak Tetap Fakultas Hukum Universitas Nasional, Jakarta (2002-sekarang).

Suyud Margono, lahir di Jakarta, 28 Januari 1976. Merupakan Advokat, Konsultan HKI Terda ar, Aka-demisi/Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara dan Magister Ilmu Hukum Universitas Mpu Tantular, Universitas Parahyangan serta Perguruan Tinggi lain, Peneli dibidang Hukum salah satunya pada Kegiatan Peneli an Hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) – Kemente-rian Hukum dan HAM R.I. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum, Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta (1994 – 1998); kemudian melanjutkan S2 pada Program Pascasarjana, Magister Ilmu Hukum, Univer-sitas Tarumanagara, Jakarta (2002 – 2004); dan memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (2009-2011).

Ahyar Ari Gayo, lahir di Bale Takengon (Aceh Tengah), 21 April 1966. Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Islam Djakarta, tamat tahun 1991. Gelar Master Hukum diperoleh dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum ”IBLAM” Tahun 2002. Selain pendidikan formal juga mengiku la han dan khursus, yaitu Pela han Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Angkatan ke V Tahun 1992, Penyelenggara Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tahun 1993, Pela han Tenaga Teknis Perencana Hukum Angkatan ke I Tahun 1993/1994. Jabatan Fungsional Peneli Hukum pada Puslitbangkum BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI Jabatan 1 Mei 1996 diangkat sebagai Ajun Peneli Muda pada PUSBINSIS BPHN, 1 juni 1997. Pada 1 Juni 2008 diangkat sebagai Peneli Utama pada Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional (Puslitbangkum) BPHN De-partemen Hukum dan HAM RI. Kegiatan lainnya sampai saat ini Ketua Dewan Redaksi Jurnal Hukum De Jure APHI, Penulis diberbagai Jurnal dan Majalah Ilmiah; dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Page 155: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

311

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPurwanto, lahir di Jakarta, 1 April 1962, memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum

Universitas Islam Jakarta pada 1999, kemudian melanjutkan kuliah di Program Pasca Sarjana Ins tut Law Bussines and Manajemen (STIH IBLAM), dan memperoleh gelar Magister Hukum pada 2002. Beberapa pela han yang pernah diiku antara lain adalah Perencanaan Hukum, Pusdiklat Departe-men Kehakiman, Jakarta, Tahun 1994; Hukum Kepailitan, A orneys General’s of the Commenwealth of Australia, Faculty of Law University of Melbourne, 1998; Commercial Law, Monash University Australia, 2001; Instructor for Development of the Internet for Asean Law, BPHN dan AusTLII, Ja-karta, 2001; Pendidikan dan Pela han Kepemimpinan (Pertama) di Departemen Hukum dan HAM RI, 1996; Pendidikan dan Pela han Kepemimpinan (Kedua) di Departemen Hukum dan HAM RI, 2000. Mengawali karier sebagai Staf Bidang Hukum Transnasional pada Pusat Perencanaan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan HAM RI (1989-1996); kemudian dian-gkat sebagai Kepala Sub Bidang Pelayanan Teknis pada Pusat Pembinaan Sistem dan Pranata Hukum (1997-1999); Kepala Sub Bidang Penyusunan Program pada Pusat Peneli an dan Pengembangan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan HAM RI (1999-2006); Kepala Bidang Penyusunan Program dan Pelayanan Teknis pada Pusat Peneli an dan Pengembangan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan HAM RI (2006-2011); dan Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Prov. Maluku (2011-sekarang). Selain berkarier di Pemerintahan, ak f juga sebagai Dosen Luar Biasa di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 dan Universitas Sahid Jakarta. Dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Ade Irawan Taufi k, lahir di Jakarta, 26 Mei 1980. Lulus S1 Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung. Saat ini bekerja sebagai fungsional peneli hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional – Kementerian Hukum dan HAM RI, sebelumnya pernah bekerja sebagai Legal Offi cer di salah satu kontraktor BUMN dan juga kontraktor PMA. Dapat dihubungi melalui: [email protected] / ade.taufi [email protected].

Nevey Varida Ariani, lahir di Lamongan, 12 Mei 1982. Saat ini bekerja sebagai Analis Hukum pada Pusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Ma-lang pada 2005, dan S2 di Universitas yang sama pada 2008. Pernah mengiku Pendidikan Profesi Advokat pada 2005, dan bekerja pada Advocates & Solicitors Othman Hashsim & Co di Malaysia pada 2007. Dapat dihubungi melalui: [email protected].

Page 156: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN”Halaman ini dikosongkan”

Page 157: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNINDEKS

Bezwaar 194 Birokrasi 196, 197, 278 Bisnis Syari’ah 263 BPHN 199, 298, 302, 306, 310, 311Breach of Contract 285Bruce A. Lehman 252 Buku III KUHPerdata 297, 298, 303BurgerlijkWetboek (BW) 296

CCAL (Copyright Agency Ltd.) 246, 252 Capital 175, 179, 200, 208, 216CENTRAL List of Lex Mercatoria 304 Charity 175 Check and balances 181 CISG 295, 297, 300, 305 Civil Law System 247, 288Commercial Agency Countertrade 301 Common Law 299, 301Community Law 298 Confl ict of law rules 301 Contoh Ciptaan 242 Copy Rights 244Copyright Informa on Sheet 246 Cross Region 230

DData Sekunder 219, 239, 260, 297 Debitur 183, 199, 202, 208, 210, 212Declara ve Principal 239 Deklarasi Universal HAM 247 Demokrasi Ekonomi 188, 248 Desain Industri 242, 244, 254 Desain Rangkaian Listrik Terpadu 245 Dewan Pengawas Syariah 262, 266, 268Dewan Perwakilan Rakyat 235, 265 Diferensiasi 221 Direksi 266, 267 Dir.Jend. Hak Kekayaan Intelektual 239 Distorsi 278 Distributorship 301 Djuhaedah Hasan 248 Dokrin Hukum Alam 246 Double Tax 271

AAccountability 175Adat badamai 290, 291,293Adatrecht 286Ade Irawan Taufi k 215, 257Ahyar Ari Gayo 257Akad hawalah 264

Ijarah 260, 264, 270, 271- Mudharabah 263, 270- Musyarakah- 270, 272Qardh 263, 270- wadi’ah 263, 271-

Aktanotaries - 209oten k - 205

Akuntabilitas 176, 177, 178, 183, 186 Algemeen Deel 225 Ali Ridho 189, 190Alterna f 77, 279, 280, 281, 282, 283, 285Ancaman pidana 201, 212Anggaran Dasar 179, 184, 190, 195Arbiter 285Arbitrase 285, 286, 287, 293Ar cle 179, 217, 223, 234Asas Publisitas 206 A yah 181Australia 246, 252, 255, 309, 310Auteurs Wet 250Auteurswet 240Authors 238, 247, 251

BBaakuran 291 Babaikan 291 Bad Law 181 Badan Hukum 175, 180, 186, 189, 192 Bahts al-Masa’il 261Bambang Kesowo 248Bank Syari’ah 263 Baparbaik 291Bapatut 291, 222, 223, 224 Barrier 222, 223, 224, 232 Beding-Beding 191 Benda Bergerak 200, 202, 204, 205Benda Teta 204 Berita Resmi Ciptaan 242 Berne Conven on 251 Beschikking 182

Page 158: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HNEEddy Damian 247 Eksekusi 199, 205, 207, 210, 212, 214Eksistensi 239, 268, 286, 289, 299 Ekspansif 271 Eraglobalisasi 187, 188, 296, 298European Contract Law 304 Examina on 175, 253

FFactoring 200 Fatwa 257, 258, 259, 261, 265, 267Fiduciary 203, 209 Formalis c 277, 278 Formil 193, 299Founda on 175, 179, 187 Freedom Ins tute 177 Full Branch 258 Fuqaha’ 260

GGadai 203, 205, 258, 260Garis-Garis Besar Haluan Negara 240 Gatot Supramono 184, 185Geoteknik 228 Giro 260, 263, 270 Global 187, 188, 194, 196, 231, 297 Globalisasi 187, 188, 296, 298Globaliza on 187 Good Faith 104 Good Governance 175, 184, 185, 186Governing Law 301, 302Gross Fixed Capital Forma on 216

HHak Cipta 237, 239, 241, 243, 245, 247

- Modern 247Hak Eksklusif 238, 252, 253Hak Kekayaan Intelektual 238, 242, 253Hak Kepemilikan 202, 213 Hak Moral 238 Hak Tanggungan 202, 204, 210Hans Warendorf 179Hard Law 302, 204Hardship 302Harmonisasi 288, 295, 299, 300, 303Hawalah 260, 264 Hegomoni 278 Herlin Budiono 309 Herziene Indonesisch Reglement 287

Hindia Belanda 296 Hipo k 206Hirarki Tata Hukum 289 HKI 239, 241, 243, 244, 247, 253 Honorarium 178 Hujjah 291 Hukum Adat 279, 286, 288, 289, 293

Doktrinal - 219 Internasional - 295, 304, 306Kontrak - 209, 214, 295, 298 299Kontrak Nasional - 300, 302, 304Nasional - 310, 323, 326

Hutang Debitor 201, 203

IIjarah Muntahiyah 260 Ijma’ 258 Impossibility of Performance 304Inbreng 191 Independence of Protec on 251 Indikasi Geografi s 244, 245 Infrastruktur 216, 222, 234, 299 Inovasi 216, 234, 238 Inovasi Teknologi 238 Inspec on 175 Ins tute 177, 300Instrument Internasional 301 Integritas Moral 280Intellectual Property 237, 244, 245, 250Inter-regional 298 Invensi Teknologi 244 Investasi 175, 188, 196, 216, 234

JJaminan 238, 248, 255

- Fidusia 199, 203, 204, 206, 211

KKafalah 260, 264, 270 Karya Cipta 237, 239, 246, 251, 254Karya Musik 244 Karya Sastra 238, 244 Karya Seni 239, 244, 253Kekayaan Industrial 245, 254 Kekuatan Eksekutorial 207, 212 Kekuatan Mengikat 219, 265, 268, 304Kepustakaan 323, 176, 188, 219, 239Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 265 Komanditer 191 KomarKantaatmadja 249

Page 159: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNKomisaris 193, 194, 196, 209, 266

Komunalis k 288, 289Konkurensi 191Konsepsi Hak 247 Konsepsi Kekayaan 247, 252 Konsepsi Perlindungan Hukum 247 Konsiliasi 277, 281, 283, 291Konstruksi 215, 218, 221, 225, 228 Konsultan Hak Kekayaan Intelektual 239Konsultasi 324, 228, 281, 283Konsumen 179, 199, 200, 208, 210, 214Kontradiksi 178, 237Kontrak Baku 298, 303 Kontrak Dagang 296, 301 Kontrak Internasional 295, 298, 303 Kontrak Pemerintah 184, 186, 298Konvensi Bern 197, 250 Konvensi Internasional 239, 251, 254 Konvensional 258, 259, 272 Koperasi 176, 179 Korporasi 191, 197 Kreditur 199, 202, 205, 208, 211, 213Kualita f 219, 295, 297

LLajnah 261 Law Making Treaty 251 Leasing 199, 200Legal 175, 179, 187, 197, 225, 255Legal Gap 289, 290 Legal Principles 297 Legal Substance 225 Legislasi Nasional 218, 235Lembaga

Arbitrase - 272, 277, 281, 284Arbitrase Syariah - 272 Keuangan - 258, 260

Le er of Credit 260, 264, 270 Lili Rasjidi 249 Lintas Sektoral 304

MMajelis Tarjih 261 Management 175, 261 Maqashidus Syariah 258 Marc Galaner 255 Maslahat 258, 292 Masyarakat Ekonomi ASEAN 296, 298, 299, 299,

303, 305 Mediasi 281, 282, 283, 284, 285Mediator 282, 283, 284, 285

Megan Richardson 246 Merek 238, 242, 244, 245 Metode 188, 202, 218, 225, 239, 260, 280 Mochtar Kusumaatmadja 249 Modal 192, 194, 200, 201, 216, 218, 220, 222, 258,

259, 260, 272, 304 Model Law 297, 300, 302, 303, 304, 305Mursalah 258 Mustafi 261 Musyawarah 285, 289, 290, 291, 292, 293

NNaskah Akademik 296, 297, 298, 299 Na onal Treatment 251 Negosiasi 281, 282, 283, 284, 285 Netherlands 179Nevey Varida Ariani 277Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) 296 Nirlaba 178Non li gasi 280 Non-performance 302Norma f Empirik 218

OObligasi Syari’ah 263 Obyek jaminan fi dusia 204 OHADA 305 Operasional 178, 260, 263, 268, 271, 273

PPactum de Compromittendo 285Pancasila 240, 248, 264, 265, 287 Panjer 289 Parlemen 178 Paten 242, 244, 245, 254 PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) 244, 285, 300 Pembiayaan Konsumen 200, 201, 202, 203, 208,

209, 210, 211, 213, 214Pembiayaan Syari’ah 263 Pemegang Hak Cipta 241, 242, 243, 246, 252 Pemerintahan Kolonial 296 Pencipta 238, 239, 240, 241, 242, 243 Penda aran Ciptaan 238, 240, 241, 242, 243, 246,

253, 254 Penda aran Hak Cipta 241, 242 Peneli an Hukum Norma ve 188, 202 Penilaian Ahli 281 Peningset 289 Peradilan Adat 287, 293

Page 160: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Peradilan Formal 287 Perbuatan Hukum 176, 177, 180, 182, 191, 210, 252 Perjanjian Pemberian Fidusia 209Perjanjian Pembiayaan 199, 200, 208, 210, 213Perlindungan Kekayaan Intelektual 252, 254 Perseroan Terbatas 176, 182, 187, 189, 190, 196Piagam ASEAN 296 Piutang 200, 202, 203, 208, 258, 270 Pranata alterna ve 281 Pranata Hukum 280 Principles of European Contract Law 304 Prinsip Deklara f 237 Prinsip Freedom of Contract (party autonomy) 304 Prinsip Overmacht 304 Prinsip Pacta Sunt Servanda 304Prinsip Pemberian Kredit 208 Produk Domes k Bruto 216 Profi t Share 272 Prolegnas 218, 305 Proteksi 230, 238, 253 Purwanto 199Putaran Uruguay 250

QQiyas 258

RRaha 260 Rahasia Dagang 244, 245 Ran Fauza Mayana 249Ra fi kasi 296, 300, 305Reasuransi Syari’ah 263 Rechtsreglement Buitengewesten 287Reformasi 280Regional 230, 296, 298, 303 Regulator 259, 261, 267, 273 Rekaman Suara 244 Reksadana Syari’ah 263Relaas 191, 192Religio-magis 289 Renteng 180, 184, 193 Republik Rakyat China 247Resistensi 287, 288 Restatement of Interna onal Contract Law 302 Roscue Pound 249 Rudhi Prasetya 182 Rule Based Regional Organiza on 298 Rules and Standards 304 Rules on Contracts 303

RUPS 195, 209, 266 Rusia 247

SS. Stewart 247 Safe Deposit Box 260 Saham 178, 190, 194 Satjipto Rahardjo 247, 280 Sekuritas Syari’ah 263Ser fi kat Wadiah 260 Set-off 302 Simulasi 193 Sinkronisasi 197 Sistem Hukum 206, 225, 247, 250, 261, 288, 299,

301 Sistem Hukum Sipil 247 Soerjono Soekanto 188, 202, 219 So Law 300 Sogar Simamora 175, 184 Sosio Hukum 189, 280 Sri Edi Swasono 248 Sri Mamuji 188 Stainforth Ricketson 245 Stakeholder 184, 232, 269, 273, 274Stroman 193 Subianta Mandala 295Subversif 291 Suluh 291 Sumantoro 249 Sunarya Hartono 219, 249, 255 Surat Berharga Syari’ah 263Surat Tanda Penda aran Ciptaan 238 Suyud Margono 237, 248Syara’ 261 Syariah 257, 258, 260, 262, 266

TTalangan 200, 214Tanggung Gugat 180, 183, 187Tata Usaha Negara 177, 287 Teknologi Informasi 195, 238 The Dutch Civil Code 296 Transnasional 304, 311 Transparansi 175, 176, 178, 184, 186TRIP’s 250TRIP’s Agreement 245Trust the People Rather Paper 285

Page 161: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNU

Ul mumremidium 293 Ultra Vires 183 Undang-Undang Hak Cipta 239, 241, 248Uni Eropa 304UNIDROIT 295, 297, 300, 305Universal 237, 245, 247, 254,300 Universal Declara on of Human Rights 247 UPICCs 295, 300, 302, 305 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 248,

259, 264, 265 UUJN 196

VValue Consciousness 286, 289, 290Van der Grinten 190, 197 Varietas Tanaman Baru 245 Visual 289 Volksgeist 288, 290

WW.Friedman 249W.R. Cornish 245 Wakalah 260, 269Wali Amanat 264 Wanprestasi 183, 211, 213, 214Win-Win Solu on 277, 286 WIPO 244, 246, 255 Wirjono Prodjodikoro 309 WTO 250, 231, 254, 296

YYuridis Norma f 188, 239, 280Yayasan 175, 176, 179, 182, 185, 186

Page 162: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN”Halaman ini dikosongkan”

Page 163: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNPETUNJUK PENULISAN NASKAH

JURNAL RECHTSVINDING

Jurnal RechtsVinding merupakan media caturwulanan di bidang hukum, terbit sebanyak 3 ( ga) nomor dalam setahun (April; Agustus; dan Desember). Jurnal RechtsVinding diisi oleh para pakar hukum, akademisi, penyelenggara negara, prak si serta pemerha dan penggiat hukum. Redaksi Jurnal RechtsVinding menerima naskah karya tulis ilmiah di bidang hukum yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Redaksi menerima naskah karya tulis ilmiah bidang Hukum dari dalam dan luar lingkungan Pusat

Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

2. Jurnal RechtsVinding menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaksi. Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang akan masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap dak memenuhi ketentuan.

3. Naskah dikirim berbentuk Karya Tulis Ilmiah berupa:a. Hasil Peneli an;b. Kajian Teori; c. Studi Kepustakaan; dan d. Analisa / njauan putusan lembaga peradilan.

4. Judul naskah harus singkat dan mencerminkan isi tulisan serta dak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital dengan posisi tengah (centre) dan huruf tebal (bold). Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Apabila naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka judul dalam Bahasa Indonesia ditulis di atas Bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Judul kedua ditulis miring (italic) dan di dalam kurung.

5. Abstrak memuat latar belakang, permasalahan, metode peneli an, kesimpulan dan saran. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia (maksimal 200 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 150 kata). Abstrak ditulis dengan huruf cetak miring (italic) dalam 1 (satu) alinea dengan spasi 1 (satu) dan bentuk lurus margin kanan dan kiri / jus fy. Hindari pengunaan singkatan dalam abstrak. Di bawah abstrak dicantumkan minimal 3 ( ga) dan maksimal 5 (lima) kata kunci, ditulis dengan huruf cetak miring (italic). Abstract dalam Bahasa Inggris maka diiku kata kunci (Keywords) dalam Bahasa Inggris. Abstrak dalam Bahasa Indonesia maka diiku kata kunci dalam Bahasa Indonesia.

6. Sistema ka Penulisan:Sistema ka penulisan harus memenuhi dan secara berurutan mencakup:

- Judul; - Nama Penulis (dike k di bawah judul ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar. Jika penulis

terdiri lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung ’dan’ (bukan lambang ’&’);

- Nama Instansi Penulis;- Abstrak;- Kata Kunci;- Pendahuluan (berisi latar belakang);

Page 164: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN- Permasalahan;- Metode Peneli an (berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan

tempat jika diperlukan);- Pembahasan; - Penutup (berisi kesimpulan dan saran).

7. Aturan Teknis Penulisan:a. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, diserahkan dalam bentuk fi le

elektronik (so copy) dalam program MS Offi ce Word serta 2 (dua) rangkap dalam bentuk cetakan (print out).

b. Jumlah halaman naskah 20 s.d. 25 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan da ar pustaka. Bila lebih dari 25 halaman, redaksi berhak untuk menyun ng ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.

c. Ditulis dengan menggunakan MS Offi ce Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Calibri ukuran 12, spasi 1,5 (satu koma lima), kecuali tabel (spasi 1,0). Batas / margin atas, batas bawah, tepi kiri dan tepi kanan 3 cm.

d. Penyebutan is lah di luar Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic).

e. Penyajian Tabel dan Gambar:- Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan

font Calibri ukuran 12;- Judul gambar ditampilkan di bagian bawah tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan

font Calibri ukuran 12;- Tulisan ‘Tabel’ / ‘Gambar’ dan ‘nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis

normal;- Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran judul tabel / gambar;- Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center);- Jenis dan ukuran font untuk isi tabel bisa disesuaikan menurut kebutuhan (Times New

Roman atau Arial Narrow ukuran 8—11) dengan jarak spasi tunggal);- Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel, rata kiri, menggunakan

font Calibri ukuran 10.f. Penulisan ku pan menggunakan model catatan kaki (foot note). Penulisan model catatan

kaki menggunakan font Cambria 10. Penulisan model catatan kaki dengan tata cara penulisan sebagai berikut:- Buku (1 orang penulis): Wendy Doniger, Spli ng the Diff erence (Chicago: University of

Chicago Press, 1999), hlm. 65.- Buku (2 orang penulis): Guy Cowlishaw and Robin Dunbar, Primate Conserva on Biology

(Chicago: University of Chicago Press, 2000), hlm. 104–7.- Buku (4 orang atau lebih penulis): Edward O. Laumann et al., The Social Organiza on of

Sexuality: Sexual Prac ces in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hlm. 262.

- Ar kel dalam Jurnal: John Maynard Smith, “The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998): 639.

- Ar kel dalam jurnal on-line: Mark A. Hlatky et al., “Quality-of-Life and Depressive Symptoms

Page 165: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHNin Postmenopausal Women a er Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and

Estrogen/Proges n Replacement Study (HERS) Trial,” Journal of the American Medical Associa on 287, no. 5 (2002), h p://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004).

- Tulisan dalam seminar : Brian Doyle, “Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (makalah disampaikan pada the Annual Interna onal Mee ng for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).

- Website / internet : Evanston Public Library Board of Trustees, “Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, h p://www.epl.org/library/strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).

g. Penulisan Da ar Pustaka:- Bahan referensi yang dijadikan bahan rujukan hendaknya menggunakan edisi paling

muktahir;- Penulisan da ar pustaka diklasifi kasikan berdasarkan jenis acuan yang digunakan, misal

Buku; Makalah / Ar kel / Prosiding / Hasil Peneli an; Internet dan Peraturan;- Penulisan da ar pustaka disusun berdasarkan alphabet;- Penggunaan referensi dari internet hendaknya menggunakan situs resmi yang dapat

dipertanggungjawabkan validitasnya.- Penulisan model Da ar Pustaka dengan tata cara penulisan sebagai berikut:

• Buku (1 orang penulis): Doniger, Wendy, Spli ng the Diff erence (Chicago: University of Chicago Press, 1999).

• Buku (2 orang penulis): Cowlishaw, Guy and Robin Dunbar, Primate Conserva on Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000).

• Buku (4 orang atau lebih penulis): Laumann, Edward O. et al., The Social Organiza on of Sexuality: Sexual Prac ces in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994).

• Ar kel dalam Jurnal: Smith, John Maynard, “The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998).• Ar kel dalam jurnal on-line: Hlatky, Mark A. et al., “Quality-of-Life and Depressive

Symptoms in Postmenopausal Women a er Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Proges n Replacement Study (HERS) Trial,” Journal of the American Medical Associa on 287, no. 5 (2002), h p://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004).

• Tulisan dalam seminar : Brian Doyle, “Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (makalah disampaikan pada the annual interna onal mee ng for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).

• Website / internet : Evanston Public Library Board of Trustees, “Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, h p://www.epl.org/library/strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).

8. Naskah dikirimkan dalam bentuk fi le elektronik (so copy) dan cetakan (hardcopy) yang dilampiri dengan biodata singkat (CV) penulis, alamat e-mail, nomor telepon, naskah dapat dikirim melalui: [email protected]; [email protected] dan [email protected].

Page 166: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN9. Naskah dapat dikirimkan atau diserahkan secara langsung kepada:

Redaksi Jurnal RechtsVindingPusat Peneli an dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RIJl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta,

Telp.: 021-8091908 ext.105; Fax.: 021-8002265.

10. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan di atas dak akan diseleksi. Dewan Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit ar kel yang masuk tanpa mengubah substansi. Kepas an atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan ar kel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Dewan Redaksi Jurnal RechtsVinding.

Page 167: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 168: Jurnal Rechtsvinding BPHN Agustus 2012