jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/jrvvol7no3-2018.pdf · jurnal...

204

Upload: vuongthu

Post on 11-Apr-2019

247 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum
Page 2: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum. Jurnal RechtsVinding terbit secara berkala tiga nomor dalam setahun di bulan April, Agustus, dan Desember.

PembinaAdviser

: Prof. Dr. H. R. Benny Riyanto, S.H., M.H., CN.Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Pemimpin UmumChief Executive Officer

: Liestiarini Wulandari, S.H., M.H.Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN

Wakil Pemimpin UmumVice Chief Executive Officer

: Apri Listiyanto, S.H. (Hukum Pidana, BPHN, Jakarta)

Pemimpin RedaksiEditor in Chief

: Dwi Agustine Kurniasih, S.H., M.H. (Hukum Perdata, BPHN, Jakarta)

Anggota Dewan RedaksiEditorial Board

: Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara, BPHN, Jakarta)Nunuk Febriananingsih, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan, BPHN, Jakarta)Tyas Dian Anggaraeni, S.H., M.H. (Hukum Bisnis, BPHN, Jakarta)Erna Priliasari, S.H., M.H. (Hukum Bisnis, BPHN, Jakarta)Ade Irawan Taufik, S.H. (Hukum Bisnis , BPHN, Jakarta)Aisyah Lailiyah, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan, BPHN, Jakarta)Sukesti Iriani, S.H.,M.H. (Hukum Bisnis, BPHN, Jakarta)Danang Risdianto, S.E., S.H., M.Si (Hukum Pertahanan, BPHN, Jakarta)

Mitra BestariPeer Reviewer

: Prof. Dr. M. Fauzan, S.H., M.Hum. (Hukum Tata Negara, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto) Dr. Bayu Dwi Anggono (Hukum Tata Negara, Universitas Jember, Jember)Dr. Jimmy Z. Usfunan (Hukum Tata negara, Universitas Udayana, Bali)Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo S.H., M.S. (Hukum Acara, Kapuslitbang Kumdil MA, Jakarta)Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M. (Hukum Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung)Prof. Dr. IBR Supancana, S.H. (Hukum Internasional, Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta)Dr. Wicipto Setiadi (Hukum Tata Negara, Universitas UPN Veteran, Jakarta)Dr. Sidharta, S.H., M.Hum. (Hukum Bisnis, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H. (Hukum Perdata, Universitas Airlangga, Surabaya)

Redaktur PelaksanaManaging Editor

: Viona Wijaya, S.H.

SekretarisSecretaries

: Endang Wahyuni Setyawati, S.E.

Tata UsahaAdministration

: Lewinda Oletta, S.H.Melasari, S.H.

Desain Layout Layout and cover

: Sakti Maulana, S.H.

Sikulasi dan DistribusiCirculation and Distribution

: Hasanuddin, S.H.,M.H.

Alamat:Redaksi Jurnal RechtsVinding

Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum NasionalBadan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI

Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105, Fax.: 021-8011754e-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]

website: www.rechtsvinding.bphn.go.id

Isi Jurnal RechtsVinding dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya(Citation is permitted with acknowledgement of the source)

Volume 7 Nomor 3, Desember 2018

Page 3: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7 Nomor 3, Desember 2018

dengan Tema:

”Membangun Regulasi Pusat dan Daerah yang Mendukung Kemudahan Berusaha dalam Sistem Hukum Nasional”

Page 4: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum
Page 5: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

iii

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

PENGANTAR REDAKSI

Puji syukur atas limpahan nikmat ilmu dan karunia yang diberikan oleh Alloh SWT sehingga Jurnal Rechtsvinding Volume 7 Nomor 3 Tahun 2018 sebagai edisi penutup di tahun ini dapat terbit tepat waktu. Pada edisi ini menyajikan naskah-naskah bertema ”Membangun Regulasi Pusat dan Daerah yang Mendukung Kemudahan Berusaha dalam Sistem Hukum Nasional”. Tema ini diangkat untuk mendukung komitmen pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk meningkatkan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dipublikasikan oleh World Bank. Dengan berbagai artikel yang tersaji dalam edisi kali ini diharapkan mampu memberikan arah dan gambaran perkembangan regulasi baik di pusat maupun di daerah yang dapat mendukung ease of doing business.

Jurnal edisi ini diawali dengan tulisan Wicipto Setiadi yang menggambarkan kondisi regulasi nasional yang over regulated, saling tumpang tindih, disharmoni dan menimbulkan konflik. Dalam sektor berusaha, jumlah peraturan perundang-undangan yang mengaturnya bisa dikatakan sangat banyak, baik yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Daerah. Belum lagi kewenangan kementerian/lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi di sektor berusaha dapat membentuk peraturan dalam bentuk Peraturan Menteri atau Peraturan Kepala Lembaga. Begitu banyaknya peraturan yang mengatur sektor berusaha maka kegiatan dalam sektor berusaha baik di Pusat maupun di Daerah menjadi semakin tidak mudah. Sehingga diperlukan langkah tepat untuk mengatasi hal tersebut dengan melakukan simplifikasi peraturan perundang-undangan, dimana dilakukan upaya penyederhanaan dan pemangkasan peraturan perundang-undangan di sektor berusaha. Menyambung upaya tersebut, Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya dalam artikel yang ditulisnya menguraikan lebih dalam mengenai kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk menguji dan membatalkan Peraturan Daerah yang dianggap menghambat iklim investasi dari sisi legal historis. Kewenangan pengujian dan pembatalan terhadap produk hukum daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dianggap sebagai salah satu langkah preventif untuk tetap menciptakan iklim berusaha yang kondusif. Akibatnya dalam kurun waktu 2007 – 2015 terdapat setidaknya 1765 Perda Kabupaten/Kota yang dicabut oleh Mendagri. Namun kewenangan ini kemudian dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dalam 2 (dua) putusannya, yaitu Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016.

Menjadi dilema ketika Pemerintah Daerah menyusun produk hukum daerah diselimuti semangat otonomi daerah untuk memperoleh sebanyak mungkin pendapatan daerah yang berakibat dalam implementasinya malah menghambat kemudahan berusaha, menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana diulas oleh Budi S.P. Nababan. Menurut pandangannya salah satu contoh peraturan daerah yang malah bertentangan dengan niat baik pemerintah untuk mendorong kemudahan berusaha adalah peraturan daerah tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Perda ini dianggap tidak bersahabat dengan investasi, karena pengaturan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dalam Perda hanya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan melahirkan pungutan ganda yang harus ditanggung oleh pengusaha atau perusahaan disamping pembayaran pajak.

Page 6: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

iv

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Selanjutnya, dari sisi pengelolaan wilayah pesisir, Dian Agung Wicaksono menguraikan dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Keppres Reklamasi). Dinamika ini menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi indikator kemudahan berusaha pada lahan yang dihasilkan dari reklamasi, setidaknya pada indikator registering property, dealing with construction permits, dan enforcing contracts. Perbedaan persepsi atas konsep subdelegasi sebagai sumber kewenangan Badan Pelaksana yang diberikan oleh Keppres Reklamasi mengakibatkan terjadinya dinamika kelembagaan Badan Pelaksana.

Berangkat dari isu simplifikasi peraturan perundang-undangan sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan yang umum terjadi pada regulasi nasional, maka aspek yang juga perlu mendapat perhatian adalah aspek perlindungan hukum terhadap kepentingan nasional di tengah upaya peningkatan peringkat ease of doing business. Pada aspek ini, Fajar Sugianto dan Syofyan Hadi dalam artikelnya mengulas hasil tinjauan terhadap Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan menggunakakan perspektif economic analysis of law. Dalam kajiannya peraturan presiden tersebut masih belum memenuhi kriteria efisiensi terutama dalam hal pengaturannya terkait pembagian klasifikasi tenaga kerja asing sehingga perlu dikembalikan lagi hakikat efisiensi baik dalam aspek birokrasi maupun ketepatan sasaran penggunaan tenaga kerja asing berdasarkan perbedaan keterampilan dan keahlian.

Aspek perlindungan hukum terhadap pelaku usaha juga diuraikan oleh Tri Salamun yang dalam artikelnya memotret pelaksanaan izin gangguan dalam usaha kedai kopi yang sedang berkembang di Kota Banda Aceh. Usaha kedai kopi dalam melaksanakan kegiatannya harus memenuhi dan mematuhi ketentuan yang diatur oleh pemerintah kota dalam hal ini terkait dengan izin gangguan baik yang terdapat dalam peraturan maupun dalam surat keputusan penerbitan Izin Gangguan, sehingga dapat tercipta tertib administrasi dan juga ketertiban dalam kegiatan usaha yang terdapat di Kota Banda Aceh.

Keberpihakan terhadap pelaku usaha tidak dapat dipisahkan dalam konsep kemudahan berusaha yang dipublikasikan oleh World Bank. Pelaku usaha yang dimaksud tidak hanya terhadap pelaku usaha besar namun juga terhadap pelaku usaha kecil termasuk juga badan usaha milik desa. Gagasan hukum keberpihakan terhadap pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ini dapat dilihat dalam tulisan Eka N.A.M. Sihombing yang mengulas kebijakan afirmatif yang dikeluarkan oleh pemerintah di bidang kekayaan intelektual. Walaupun terdapat beberapa hambatan pemanfaatan sistem kekayaan intelektual oleh UMKM namun tidak menyurutkan niat pemerintah untuk mendorong pemajuan usaha UMKM.

Bentuk dukungan lain yang diberikan pemerintah terhadap usaha kecil ini juga menyasar pada aspek permodalan unit usaha. Fahrurozi dalam tulisannya menyampaikan secara yuridis, kekhawatiran mengenai pendanaan atau permodalan untuk UMKM yang sebenarnya sudah diakomodir dalam peraturan mengenai UMKM, dimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Namun sudah saatnya bagi UMUM untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan yang efektif, maka perlu didorong UMKM berbentuk badan usaha formal dalam hal ini Perseoran Terbatas. Adanya fakta ketidakharmonisan antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha

Page 7: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

v

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Mikro, Kecil, dan Menengah terkait dengan syarat pendirian perusahaan minimum oleh 2 (dua) orang yang dianggap tidak sejalan dengan konsep UMKM yang didirikan dan dijalankan hanya oleh 1 (satu) orang, sehingga perlu adanya pembaruan hukum terkait hal tersebut.

Menutup edisi ini, artikel yang ditulis oleh Anom Surya Putra menjadi artikel pamungkas yang mengulas mengenai perdebatan status badan hukum dari Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum. Penelitian dilakukan terhadap BUM Desa ”Tirta Mandiri” yang merupakan badan usaha yang dimiliki oleh Desa Ponggok, Klaten Jawa Tengah. Artikel ini menyebutkan diskursus pengakuan badan hukum terhadap BUM Desa amat kompleks sehingga dibutuhkan pendekatan yuridis-empiris yang mendalam karena keterbatasan teori badan hukum di Indonesia. Personalitas Desa sebagai badan hukum adalah bagian dari Dunia-kehidupan (Lebenswelt) Desa yang butuh pengakuan dari hukum publik-negara.

Semoga beragam pemikiran yang terangkum dalam edisi penutup di tahun 2018 yang berisi gagasan dalam membangun regulasi pusat-daerah yang mendukung kemudahan berusaha dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan sistem hukum nasional dan mewujudkan perekonomian nasional yang kuat dan mandiri.

Redaksi

Page 8: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum
Page 9: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

vii

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi………………………………………………………………………………………………….............………..… iii–vDaftar IsiDaftar Abstrak

Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Rangka Mendukung Kemudahan BerusahaWicipto Setiadi ........................................................................................................................... 321–334

Legal Historis Kewenangan Pengujian dan Pembatalan Peraturan Daerah Serta Implikasinya Terhadap Kemudahan BerusahaMuhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya ...................................... 335–352

Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Tengah Iklim Kemudahan Berusaha dalam Perspektif Teori Perundang-UndanganBudi S.P. Nababan ....................................................................................................................... 353–371

Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Implikasinya Terhadap Kemudahan Berusaha Pada Lahan Hasil ReklamasiDian Agung Wicaksono ................................................................................................................ 373–392

Efisiensi dan Daya Saing Free Flow Of Skilled Labour Dalam Perspektif Economic Analysis Of Law: Telaah Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018Fajar Sugianto dan Syofyan Hadi ................................................................................................. 393–408

Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh Tri Salamun ................................................................................................................................ 409–425

Kebijakan Afirmatif Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan IntelektualEka N.A.M. Sihombing ............................................................................................................... 427–444

Mendukung Kemudahan Berusaha Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum Dengan Gagasan Pendirian Perseroan Terbatas Oleh Pemegang Saham TunggalFahrurozi .................................................................................................................................... 445–463

Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” di Desa PonggokAnom Surya Putra ....................................................................................................................... 465–480

Biodata PenulisIndeksPetunjuk Penulisan Naskah Jurnal Rechtsvinding

Page 10: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum
Page 11: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 340.134

Wicipto Setiadi

Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 321–334

Peraturan perundang-undangan di sektor berusaha cenderung mengarah pada over-regulated, saling tumpang tindih, disharmoni dan menimbulkan konflik. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah untuk mengatasinya. Salah satu cara untuk mengatasi kondisi over-regulated tersebut adalah dengan cara melakukan simplifikasi peraturan perundang-undangan, dengan melakukan penyederhanaan dan pemangkasan peraturan perundang-undangan di sektor berusaha. Penelitian ini dilakukan dengan metode sosiologis atau empriik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simplifikasi peraturan perundang-undangan akan berhasil apabila didukung penuh oleh pimpinan negara tertinggi (Presiden) dan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Simplifikasi peraturan perundang-undangan, selain akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang berkualitas, sederhana, tertib juga akan meningkatkan investasi, terbukanya lapangan kerja, berkurangnya beban masyarakat serta efisiensi anggaran negara.Kata kunci: simplifikasi, peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan sektor usaha

UDC: 34.094.7

Muhammad Reza Winata; Mery Christian Putri; dan Zaka Firma Aditya

Legal Historis Kewenangan Pengujian dan Pembatalan Peraturan Daerah Serta Implikasinya Terhadap Kemudahan Berusaha

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Harmonisasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah (Perda) penting dilakukan untuk mendukung peningkatan kemudahan berusaha di Indonesia. Hal ini juga dipengaruhi oleh kewenangan pengujian dan pembatalan Perda yang menghambat kemudahan berusaha. Tulisan ini hendak membahas mengenai legal historis pengaturan pengujian dan pembatalan Perda, serta dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 terhadap kemudahan berusaha di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersifat preskriptif analitis dengan pendekatan regulasi, doktrinal, dan putusan. Hasil penelitian menunjukan secara legal historis kewenangan Pemerintah Pusat menguji dan membatalkan Perda mengalami dinamika sampai akhirnya kewenangan ini ekslusif hanya dimiliki kepada Mahkamah Agung. Penghapusan kewenangan Pemerintah Pusat menguji dan membatalkan Perda yang dianggap menghambat investasi akan berimplikasi negatif terhadap kemudahan berusaha dan dapat menurunkan rangking Ease of Doing Business Indonesia. Kata kunci: pembatalan, Peraturan Daerah, dampak, kemudahan berusaha, investasi

Page 12: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 34.094.7

Budi S. P. Nababan

Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Tengah Iklim Kemudahan Berusaha dalam Perspektif Teori Perundang-Undangan

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Semangat Pemerintah untuk mendorong kemudahan berusaha kurang didukung oleh Pemerintahan Daerah seperti masih banyaknya Pemerintah Daerah yang menetapkan peraturan daerah yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial di lingkungan perusahaan. Dengan harapan akan meningkatkan pendapatan daerah, daerah berlomba-lomba mengatur hal tersebut dalam peraturan daerahnya. Dalam konteks ini, keberadaan peraturan daerah tentang tanggung jawab sosial ini di tengah iklim kemudahan berusaha serta kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan merupakan topik yang menarik untuk menjadi obyek kajian. Melalui penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang, ditemukan bahwa peraturan daerah yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial ini hanya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga akan menghambat laju investasi di daerah, sehingga sejatinya tidak perlu untuk dibuat dalam bentuk peraturan daerah yang secara khusus mengatur mengenai tanggung jawab sosial perusahaan. Selain itu mengenai kedudukan peraturan daerah ini dalam peraturan perundang-undangan adalah bertentangan dengan peraturan lebih tinggi dan harus dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.Kata Kunci: kemudahan berusaha, otonomi daerah, peraturan daerah, tanggung jawab sosial perusahaan

UDC: 631.61

Dian Agung Wicaksono

Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Implikasinya Terhadap Kemudahan Berusaha Pada Lahan Hasil Reklamasi

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Reklamasi hampir selalu menuai polemik di seluruh Indonesia, karena disinyalir memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, walaupun reklamasi juga menjadi pilihan untuk meningkatkan fungsi suatu kawasan. Khusus dalam konteks reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta, problematika tidak kunjung usai, terlebih dengan adanya nuansa politik elektoral dalam penyelenggaraan reklamasi. Penelitian ini mencoba melihat dari perspektif kajian hukum pemerintahan daerah, khususnya mengenai permasalahan konstruksi pengaturan, dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta, serta implikasinya terhadap pelaksanaan reklamasi Pantura Jakarta dan kemudahan berusaha. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menganalisis data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan pustaka yang terkait dengan pelaksanaan reklamasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta berimplikasi pada pelaksanaan reklamasi dan kontra produktif dengan semangat penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta sebagaimana diamanatkan oleh Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Keppres Reklamasi), serta mempengaruhi indikator kemudahan berusaha. Dengan demikian aspek pengaturan penataan ruang reklamasi Pantura Jakarta perlu ditelaah kembali.Kata Kunci: dinamika kelembagaan, reklamasi, DKI Jakarta

Page 13: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 349.21

Fajar Sugianto dan Syofyan Hadi

Efisiensi dan Daya Saing Free Flow Of Skilled Labour Dalam Perspektif Economic Analysis Of Law: Telaah Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 393–408

Indonesia telah melakukan upaya-upaya mempersiapkan kebijakan serta mewujudkan regulasi khususnya tentang Tenaga Kerja Asing (TKA).Tujuan utama dari upaya-upaya ini selain turut serta dalam arus bebas tenaga kerja terampil, juga menjamin hak-hak warga Negara agar tetap mendapatkan pekerjaan dan kelayakan kehidupan. Indonesia juga berkewajiban memfasilitasi pergerakan tenaga kerja terampil. Terkait hal tersebut, pemberlakuan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing perlu ditelaah sejauh mana efisiensi pemberlakuan dan ketepatan substansi pengaturannya? Metode penelitian yang digunakan ialah Economic Analysis of Law sebagai analisis hukum dengan menggunakan bantuan ilmu ekonomi, dalam hal ini konsep efisiensi. Hasil penelitian menunjukkan masih terdapat banyak pengaturan yang inefisien dalam Peraturan Presiden ini seperti belum menekankan kepada daya saing, pencegahan kegagalan alih teknologi dan keahlian, belum mempromosikan kepentingan publik serta belum mampu mewajibkan informasi asimetris karena tidak melibatkan Tenaga Kerja Indonesia untuk memastikan kebutuhan riil penggunaan Tenaga Kerja Asing. Namun Peraturan Presiden ini sudah cukup efisien dalam hal pemangkasan birokrasi. Ke depannya, perlu dikembalikan lagi hakikat efisiensi baik dalam aspek birokrasi maupun ketepatan sasaran penggunaan TKA berdasarkan perbedaan keterampilan dan keahlian.Kata kunci: Tenaga Kerja Asing, Daya Saing, Free Flow of Skilled Labour, Economic Analysis of Law

UDC: 381.591

Tri Salamun

Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 409–425

Keberadaan kedai kopi di Kota Banda Aceh semakin marak seiring dengan pulihnya kondisi perekonomian masyarakat pasca bencana Tsunami yang melanda Aceh pada akhir Tahun 2004. Bisnis café dan kedai kopi khususnya di Kota Banda Aceh berkembang menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dalam melakukan rutinitas kesehariannya dengan latar belakang yang beragam.Banyaknya kedai kopi ini disertai juga dengan dampak buruk antara lain menimbulkan terhadap lingkungan sekitar, atau kerugian-kerugian lainnya. Oleh karena itu untuk mengetahui pelaksanaan Izin Gangguan bagi usaha kedai kopi, untuk menjelaskan sebab penyelenggara usaha kedai kopi yang tidak sesuai Izin Gangguan dan untuk mengetahui upaya dari Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pengendalian Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Dengan pendekatan yuridis empiris terhadap permasalahan ini dihasilkan data bahwa pelaksanaan ketentuan Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi di Kota Banda Aceh belum dilaksanakan sepenuhnya. Ada yang telah melaksanakan sepenuhnya ketentuan dan ada yang belum melaksanakan sepenuhnya ketentuan. Sehingga seharusnya para pelaku usaha melaksanakan kegiatan usaha sesuai ketentuan Izin Gangguan. Selain itu Pemerintah Kota Banda Aceh perlu meningkatkan pengawasan terhadap Izin Gangguan, serta segera menyelesaikan pembuatan peraturan baru tentang Izin Gangguan.Kata Kunci: Izin Gangguan, kedai kopi, Kota Banda Aceh

Page 14: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 334.746.4

Eka N. A. M. Sihombing

Kebijakan Afirmatif Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Mengingat peran Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) yang sangat strategis dalam perekonomian nasional di mana kegiatan usahanya mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, maka perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) harus dapat dimanfaatkan secara optimal oleh UMKM. Uraian mengenai kebijakan affirmatif yang seharusnya diberlakukan bagi UMKM di bidang Kekayaan intelektual menjadi obyek yang menarik untuk dikaji. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif terhadap pemanfaatan sistem HKI bagi UMKM, hasil kajian menemukan beberapa hambatan dalam pemanfaatan sistem HKI oleh UMKM yang disebabkan karena beberapa faktor, antara lain: prosedur pendaftaran yang panjang dan kompleks, biaya registrasi/pendaftaran yang mahal dan lemahnya penegakan hukum bagi pelanggaran HKI. Untuk itu perlu diberikan keistimewaan bagi UMKM khususnya di bidang kekayaan intelektual melalui kebijakan-kebijakan affirmatif yang harus segera diwujudkan guna mendukung pemajuan usaha UMKM dengan melakukan percepatan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HKI.Kata Kunci: kebijakan afirmatif, Kekayaan Intelektual, UMKM

UDC: 347.191

Fahrurozi

Mendukung Kemudahan Berusaha Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum dengan Gagasan Pendirian Perseroan Terbatas oleh Pemegang Saham Tunggal

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Kebijakan kemudahan berusaha yang diterapkan oleh Pemerintah diharapkan mampu mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk dapat meningkatkan perekonomian nasional. Meskipun UMKM memiliki kelebihan, UMKM juga memiliki beberapa kendala khususnya mengenai pembiayaan. Pembiayaan UMKM di Indonesia umumnya terkendala karena bentuk UMKM yang informal sulit untuk mendapatkan fasilitas bantuan atau pinjaman dana. Akibatnya, UMKM di Indonesia umumnya masih bermodalkan harta dan kekayaan pribadi pendirinya. Hal ini jelas mengganggu kelangsungan UMKM. Untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan yang efektif, maka UMKM sudah waktunya berbentuk badan usaha formal dalam hal ini Perseoran Terbatas. Dengan metode yuridis normatif, tulisan ini akan berfokus pada pendekatan teoritis terhadap UMKM dan Perseroan Terbatas. Dari analisis kualitatif yang dilakukan, ditemukan fakta bahwa terdapat ketidakharmonisan antara Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Di mana ketentuan untuk mendirikan Perseroan Terbatas yang mensyaratkan didirikan minimum oleh 2 (dua) orang, dinilai tidak sejalan dengan konsep UMKM yang dapat didirikan dan dijalankan oleh 1 (satu) orang saja. Dari pemahaman di atas, tulisan ini menilai bahwa perlu adanya pembaruan hukum terkait hal tersebut.Kata Kunci: kemudahan berusaha, perseroan terbatas, UMKM

Page 15: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Kata Kunci Bersumber dari artikel.Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC: 347.191

Anom Surya Putra

Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” di Desa Ponggok

Jurnal Rechtsvinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 465–480

Perdebatan tentang status badan hukum dari Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) berakar dari tradisi keilmuan hukum Indonesia dan konteks kolonialisme. Diskursus badan hukum terfokus pada rekognisi (pengakuan) melalui hukum publik yang dimonopoli oleh negara. BUM Desa diasumsikan sebagai personalitas fiksi daripada entitas nyata. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sosiologi hukum dan menyatakan secara luas bahwa BUM Desa Tirta Mandiri di Desa Ponggok mempunyai legitimasinya sendiri melalui hukum rekognisi. Diskursus hukum rekognisi ini tidak membentuk BUM Desa, tetapi melekat untuk mengakui dan menghormati eksistensi nyata BUM Desa. Diskursus ini memberikan rekomendasi bahwa BUM Desa diakui sebagai Badan Hukum Desa (Dorpsrechtspersoon) melalui hukum rekognisi pada skala lokal Desa. Dan selanjutnya Menteri Desa mengakui BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik melalui regulasi kementerian.Kata kunci: Badan Usaha Milik Desa, BUM Desa, Desa Ponggok, teori personalitas, badan hukum

Page 16: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 340.134

Wicipto Setiadi

Simplification of Regulations in Order to Support Ease of Doing Business

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 3, December 2018, page 321–334

Regulation in business sector tends to over-regulated, overlapping, disharmony and potentially cause conflict. Therefore, certain steps need to be taken to resolve that problem. One way to solve that condition is by simplifying the legislation and trimming the regulation in the business sector. This research is conducted using sociological or empirical method. The result reveals that simplification of regulations will be successful if supported by the highest state leadership (President) and all stakeholders. Simplification of regulations, in addition to produce a good, simple, orderly regulations, will also increase investment, employment opportunities, reduce the burden of society and increase efficiency of the state budget.Keyword: simplification, legislation, legislation in business sector

UDC: 34.094.7

Muhammad Reza Winata; Mery Christian Putri; dan Zaka Firma Aditya

Legal History of Local Regulation Review and Cancellation and Implication Towards Ease of Doing Business

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 3, December 2018, page 335–352

Harmonization of the Central Regulations and Regional Regulations (Perda) is important to improve Ease of Doing Business (EoDB) in Indonesia. This rank is also affected by the authority to review and cancel Perda that hinder the EoDB. This paper would like to discuss the legal history of regulations for review and cancellation of Perda and then the impact of Constitutional Court (MK) Decision No. 137/PUU-XIII/2015 and Decisions No. 56/PUU-XIV/2016 on (EoDB). The research method used in this study is normative juridical which is prescriptive analytical with regulatory, doctrinal, and decision approaches. The research results show that in legal history persepctive, the authority of Central Government to review and cancel Perda has experienced dynamics until finally this authority is exclusively owned by the Supreme Court. The cancellation of Central Government authority to review and cancel Perda that are considered to hamper investment will have negative implications for EODB and can reduce Indonesia ranking.Keywords : cancellation, Local Regulation, impact, Ease of Doing Business, investment

Page 17: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 34.094.7

Budi S. P. Nababan

Analysis of Regional Regulation on Corporate Social Responsibility in The Middle of Ease of Doing Business Climate in Perspective of Legislation Theory

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 3, December 2018, page 353–371

The spirit of the Government to encourage the ease of doing business is not gaining enough support from the local governments. For example, there are still many local governments that stipulate regional regulation on corporate social responsibility (CSR). Hoping that it will increase regional income, regions compete to regulate corporate social responsibility through regional regulation. In this context, the existence of the regional regulation on CSR amid the ease of doing business climate and its position within the national legislation is interesting to be examined. Through normative legal research method with a statute approach, it is found that: the regional regulation on CSR will cause a high cost economy that will hamper the rate of investment in the region, so there is no need to make a regional regulation on CSR; the position of the regional regulation on CSR within thenational legislation is contrary to the higher regulations and must be cancelled in accordance with the applicable mechanism.Keywords: ease of doing business, regional autonomy, regional regulation, corporate social responsibility

UDC: 631.61

Dian Agung Wicaksono

Quo Vadis of Institutional Design of the Reclamation Agency of North Beach Jakarta and Its Implication towards Ease of Doing Business on the Land Resulted by Reclamation

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 3, December 2018, page 373–392

Reclamation is almost reaped polemics throughout Indonesia because it is alleged that has a negative impact on the environment, although reclamation is also an option to improve the function of an area. Especially in the context of the Jakarta North Coast reclamation, the problem is not over, especially with the presence of electoral politics in the implementation of reclamation. This study tries to look with the study of local government law perspective, specifically on regulations construction problems, the institutional dynamics of the Jakarta North Coast Reclamation Implementing Agency, and the impact for implementation of reclamation and Ease of Doing Business. This is normative-legal research that analyse secondary data, such as legislation and literature related to the implementation of reclamation. The results of this study indicate that the institutional dynamics of the North Coast Jakarta Reclamation Implementing Agency have implications for the implementation of reclamation and counter-productive in the spirit of organizing the Jakarta North Coast reclamation as mandated by Presidential Decree Number 52 of 1995 Concerning Reclamation of North Shore Jakarta (Presidential Decree on Reclamation), and influencing the Ease of Doing Business indicators. Therefore the regulatory aspects of North Coast Jakarta Reclamationt need to be reviewed.Keywords: institutional dynamics, reclamation, DKI Jakarta

Page 18: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 349.21

Fajar Sugianto dan Syofyan Hadi

Economic Analysis of Law Perspective of Efficiency, Sovereignty, and Competitiveness of Free Flow of Skilled Labour: Analysis of the President Order Number 20 Year 2018

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 3, December 2018, page 393–408

Indonesia has performed special effort in order to prepare policy and regulation to compete in the free flow of skilled labour of ASEAN Economic Community. The main objective of this action is not only to participate in the free flow of skilled labour but also to guarantee the fundamental right of the citizens to have work and decent life. Indonesia is also obliged to facilitate the free flow of skilled labours. In that context, there is need to analyze the effectiveness of the Presidential Regulation Number 20 Year 2018 on the use of foreign workers in terms of its implementation and regulation. This paper uses Economic Analysis of Law method which uses economic theory, in this context, efficiency concept, to analyze the object. The research concludes that there are still many inefficient provisions in this presidential regulation such as: there’s no stressing on competition, no anticipation provision for failed transfer of technology and skill, no enough promotion on public interest, and no obligation of providing asymetrical information because it doesn’t involve Indonesian Workers to determine the need of Foreign Workers. However, this Presidential Decree is quite efficient in terms of debirocration. It is suggested that the Presiden Order need to expand the meaning of efficiency both in terms of birocration and the use of foreign workers based on labor, skill and expertise.Keywords: foreign labor, competitiveness, free flow of skilled labor, Economic Analysis of Law

UDC: 381.591

Tri Salamun

Nuisance Permit Implementation Toward Coffee Shops Business in Banda Aceh

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 3, December 2018, page 409–425

Coffee shops in Banda Aceh are expanding along with the economy recovery after Tsunami disaster hit Aceh in the end of 2004. Cafe and coffee shop businesses, particularly in Banda Aceh has developed into a meeting point for people from various backround. However, this development has also brought negative implications toward the neighbourhood and others. Therefore, to investigate the implementation of the nuisance permit for the coffee shop business, and to explain why the organizers of the coffee shop business that does not fit the nuisance permit and to determine the efforts of Government of Banda Aceh in the control of nuisance permit in the coffee shop business becomes interesting. Using empirical juridical approach, this study found that the nuisance permit is not yet fully implemented. Some have fully implemented the provisions and some have not fully implemented the provisions. This study suggests that the businessmen should carry out business activities in accordance with this permit. Beside that, The Government of Banda Aceh have to improve the supervision of the nuisance permit, and immediately complete the creation of new regulations on the nuisance permit.Keywords: Nuisance Permit, coffee shop, Banda Aceh CIty

Page 19: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 334.746.4

Eka N. A. M. Sihombing

Affirmative Policy for Micro, Small and Medium Enterprises in the Field of Intellectual Property

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 3, December 2018, page 427–444

Given the very strategic role of Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) in the national economy where its business activities are able to expand employment and provide broad economic services to the public, Intellectual Property Rights (IPR) protection must be utilized optimally by MSMEs. Using normative juridical research methods towards the utilization of the IPR system for MSMEs, this research found out there are various obstacles in the use of IPR systems by MSMEs due to several factors, such as, long and complex registration procedures, expensive registration/ registration fees and weak enforcement law for IPR violations. For this reason it is necessary to provide privileges for MSMEs, especially in the field of intellectual property through affirmative policies that must be immediately realized to support the promotion of MSME businesses by accelerating changes in various laws and regulations related to IPR.Keywords: affirmative policy, intellectual property, MSMEs

UDC: 347.191

Muhammad Fahrurozi

Supporting Ease Of Doing Business For Micro, Small, And Medium Enterprises In Legal Entity Form Through Single Shareholder Idea In Limited Liability Company Establishment

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 3, December 2018, page 445–463

Ease of doing business policy is expected by the Government to improve national economics through Micro, Small and Medium Enterprise (UMKM). UMKM has its strength, but it also has constraints especially in financing issue. Financing UMKM through loan in Indonesia is generally difficult due to UMKM informality. Therefore, most UMKM in Indonesia are still funded privately. It is time for UMKM to be formally established, in this case is in Limited Liability Company (PT) form. With juridical normative method, this article will focus on theoretical approach regarding UMKM and PT. From qualitative analysis conducted, it is found that there is disharmony between Law Number 40 of 2007 on PT and Law Number 20 of 2008 on UMKM. It requires two persons to establish a PT, which against UMKM concept that can be established by just one person. This article assesses the urgency to reform the law regarding such issue. Key Word: ease of doing business, limited liability company, MSMEs

Page 20: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 347.191

Anom Surya Putra

Recognition Discourse, Legal Entity, and Phenomenon of The Village-Owned Enterprises of ”Tirta Mandiri” in Ponggok Village

Rechtsvinding Journal, Vol. 7 No. 3, December 2018, page 465–480

The debate on the corporate legal entity of the Village-Owned Enterprises (Badan Usaha Milik Desa, BUM Desa) was well-rooted in Indonesian jurisprudential traditions and the collonialism context. This legal discourse focused on recognition through public law and monopolized by the state. It was assumed that the BUM Desa also called as the fictitious personality rather than the real entity. This research conducted through sociology of law and holds that the BUM Desa Tirta Mandiri in Ponggok Village have its legitimation by recognition law. This discourse of recognition law does not create BUM Desa, but it is inherent to recognize and respect the real existence of BUM Desa. The discourse suggests that BUM Desa recognized as village legal entity by recognition law in village level. And then ministry of village recognize BUM Desa as public legal entity through ministry regulation.Keywords: Village-Owned Enterprises, Ponggok Village, personality theory, legal entity

Page 21: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7 Nomor 3, Desember 2018

Page 22: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum
Page 23: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

321Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha (Wicipto Setiadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

SIMPLIFIKASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA

(Simplification of Regulations in Order to Support Ease of Doing Business)

Wicipto SetiadiFakultas Hukum Universitas Pembangunanan Nasional (UPN) ”Veteran” Jakarta

Jl. RS. Fatmawati No. 1 Pondok Labu, Jakarta Selatan 12450Email: [email protected]

Naskah diterima: 18 Agustus 2018; revisi: 1 November 2018; disetujui: 5 November 2018

AbstrakPeraturan perundang-undangan di sektor berusaha cenderung mengarah pada over-regulated, saling tumpang tindih, disharmoni dan menimbulkan konflik. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah untuk mengatasinya. Salah satu cara untuk mengatasi kondisi over-regulated tersebut adalah dengan cara melakukan simplifikasi peraturan perundang-undangan, dengan melakukan penyederhanaan dan pemangkasan peraturan perundang-undangan di sektor berusaha. Penelitian ini dilakukan dengan metode sosiologis atau empriik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simplifikasi peraturan perundang-undangan akan berhasil apabila didukung penuh oleh pimpinan negara tertinggi (Presiden) dan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Simplifikasi peraturan perundang-undangan, selain akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang berkualitas, sederhana, tertib juga akan meningkatkan investasi, terbukanya lapangan kerja, berkurangnya beban masyarakat serta efisiensi anggaran negara.Kata kunci: simplifikasi, peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan sektor usaha

AbstractRegulation in business sector tends to over-regulated, overlapping, disharmony and potentially cause conflict. Therefore, certain steps need to be taken to resolve that problem. One way to solve that condition is by simplifying the legislation and trimming the regulation in the business sector. This research is conducted using sociological or empirical method. The result reveals that simplification of regulations will be successful if supported by the highest state leadership (President) and all stakeholders. Simplification of regulations, in addition to produce a good, simple, orderly regulations, will also increase investment, employment opportunities, reduce the burden of society and increase efficiency of the state budget.Keyword: simplification, legislation, legislation in business sector

Page 24: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

322 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 321–334

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

A. Pendahuluan

Siapa yang bisa menghitung secara pasti berapa jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat maupun Daerah, dari sejak Republik Indonesia merdeka (tahun 1945) sampai sekarang? Siapa pun akan sulit untuk bisa menunjukkan secara pasti berapa jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa begitu banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sehingga siapa pun tidak bisa menunjukkan berapa jumlah secara pasti. Yang bisa disampaikan dalam rangka menjawab pertanyaan di atas kepada khalayak adalah bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia itu banyak sekali jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah belum sepenuhnya menganggap betapa pentingnya database peraturan perundang-undangan yang baik. Memang sudah banyak lembaga yang menyediakan database peraturan perundang-undangan, tetapi masing-masing lembaga membuat database peraturan perundang-undangan dengan caranya sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi antara database yang satu dengan database yang lainnya.

Untuk membantu menghitung berapa jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, penulis mencoba menggunakan data yang ada pada database Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM. Apabila dirinci jumlah peraturan perundang-undangan dari tahun 1945 sampai dengan 2018 adalah:1 1) Undang Undang Dasar (UUD) sebanyak 10; 2) Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebanyak 5; 3) Undang-Undang (UU) sebanyak 1902; 4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) sebanyak 172; 5) Peraturan Pemerintah (PP) sebanyak 4836; 6) Peraturan Presiden (PERPRES) sebanyak 1882; 7) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebanyak 24; 8) Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebanyak 123; 9) Peraturan Menteri (PERMEN) sebanyak 12.829; 10) Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sebanyak 3652; 11) Peraturan Daerah (PERDA) sebanyak 15.205; 12) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) sebanyak 263. Dari data peraturan perundang-undangan tersebut, apabila dijumlah secara total terdapat sebanyak 40.903 peraturan perundang-undangan.

Jumlah sebanyak 40.903 peraturan perundang-undangan dari tahun 1945 sampai sekarang ini menurut penulis belum pasti (fixed) karena belum semua Peraturan Daerah (baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota), Peraturan Menteri, Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian dimasukkan dalam database. Selain itu, bisa saja terjadi perbedaan jumlah di antara penyedia database. Sebagai contoh terjadi perbedaan jumlah antara undang-undang berdasarkan database yang disediakan oleh peraturan.go.id, yaitu sebanyak 1902 dengan jumlah undang-undang yang terdapat dalam aplikasi Themis Reader Pro, yaitu sebanyak 1623 undang-undang.

Jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak tersebut sudah tidak proporsional atau malah sudah terlalu banyak

1 Diambil dari database peraturan perundang-undangan pada situs yang dikelola Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan. Lihat: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, https://www.peraturan.go.id (diakses 22 Agustus 2018).

Page 25: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

323Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha (Wicipto Setiadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

sehingga mengarah pada over-regulated. Selain over-regulated, juga sangat mungkin antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya saling tumpang tindih (overlapping), disharmoni, menimbulkan konflik. Kondisi semacam ini bisa terjadi pada semua sektor, termasuk dalam sektor berusaha. Banyaknya peraturan perundang-undangan di Indonesia antara lain disebabkan karena banyak orang yang mempunyai pemikiran bahwa setiap kebijakan yang dijalankan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara diperlukan payung hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Padahal pemikiran semacam ini tidak sepenuhnya benar karena bisa saja dilakukan dengan instrumen lain selain peraturan perundang-undangan. Dengan pemikiran setiap kebijakan diperlukan payung peraturan perundang-undangan maka akan semakin memperbanyak jumlah peraturan perundang-undangan dan rentetan berikutnya potensi untuk terjadi tumpang tindih dan disharmoni semakin besar.

Dalam sektor berusaha, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, baik yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Daerah. Di samping itu, hampir setiap kementerian/lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi di sektor berusaha juga mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Menteri atau Peraturan Kepala Lembaga. Begitu banyaknya peraturan yang mengatur sektor berusaha maka kegiatan dalam sektor berusaha baik di Pusat maupun di Daerah menjadi semakin tidak mudah.

Langkah penyatuatapan dalam sektor berusaha sudah dilakukan, tetapi dalam praktik tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Langkah penyatuatapan terkait dengan kegiatan sektor berusaha sudah ditempuh, namun kenyataannya masih harus melalui banyak pintu, banyak meja dan banyak petugas.

Tidak optimalnya fungsi peraturan perundang-undangan dalam sektor berusaha disebabkan oleh kualitas peraturan perundang-undangan yang tidak baik sehingga dapat menimbulkan konflik, inkonsisten, duplikasi, disharmoni, tumpang tindih bahkan dalam praktik sangat mungkin tidak bisa dilaksanakan. Kondisi semacam ini sebagai akibat ketidakmampuan para pembentuk peraturan perundang-undangan atau pengambil keputusan untuk memahami apa fungsi sebetulnya dari peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan di atas. Dalam praktik bahkan bisa ditemukan adanya penyimpangan fungsi peraturan perundang-undangan yang justru digunakan sebagai alat atau pembenaran untuk melakukan pungutan.2

Melihat problematika peraturan perundang-undangan yang ada, disertai belum terdapatnya kebijakan yang secara sistematis mampu menekan laju pertumbuhan pembentukan peraturan perundang-undangan, maka penting untuk dilakukan penelitian terhadap simplifikasi peraturan perundang-undangan yang mendukung kemudahan berusaha di Indonesia, atas hal tersebut penelitian ini difokuskan pada Bagaimana simplifikasi dan metode simplifikasi peraturan perundang-undangan yang mendukung kemudahan berusaha? Bagaimana dampak simplifikasi peraturan perundang-

2 Ibid.

Page 26: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

324 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 321–334

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

undangan terhadap kemudahan berusaha di Indonesia?

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode sosiologis atau empiris. Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris ini, maka penelitian awal dilakukan dengan pengambilan data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan. Dalam penelitian hukum sosiologis atau empiris tidak selalu diperlukan hipotesis, kecuali apabila penelitiannya bersifat eksplanatoris. Pada penelitian yang non eksplanatoris, kadang-kadang juga diperlukan hipotesis tersendiri.3

Pengumpulan data dilakukan dengan meneliti data mengenai jumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tema yang akan diangkat oleh penulis. Selain itu penulis juga mengumpulkan data mengenai proses Ease of Doing Business (EoDB) yang tengah dilakukan oleh Pemerintah saat ini.

Sedangkan untuk teknik pengumpulan data bagi kegiatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan4. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari landasan teoretis (filosofis, yuridis, ekonomi) juga berbagai informasi mengenai simplifikasi regulasi di Indonesia.

Bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu buku-buku, karya ilmiah dan hasil penelitian yang berkaitan dengan objek yang dibahas. Pengumpulan data dilengkapi pula dengan artikel hukum dari internet ataupun

artikel ilmiah lainnya yang dapat mendukung kelengkapan data dalam penelitian ini. Data dari hasil penelitian ini kemudian dianalisa secara kualitatif, artinya data kepustakaan dianalisis secara mendalam, holistik, dan komprehensif.

C. Pembahasan

1. Simplifikasi dan Metode Simplifikasi yang Mendukung Kemudahan Berusaha

Secara umum dapat dikatakan bahwa kuantitas atau jumlah peraturan perundang-undangan di sektor berusaha tidak proporsional, bahkan cenderung over-regulated. Hampir setiap instansi yang tugas dan fungsinya terkait dengan sektor berusaha membentuk peraturan dan dalam pembentukan peraturan tersebut tidak saling berkoordinasi dan justru saling mengedepankan sektornya masing-masing. Ditambah lagi para pembentuk peraturan tidak bisa/mau menyadari bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan sejatinya merupakan proses penyatuan atau pengharmonisasian dari berbagai kepentingan.

Berdasarkan pada kondisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan di sektor berusaha tidak dapat berfungsi secara optimal. Prof. Dr. Ida Bagus Rahmadi Supancana menyatakan ada 3 fungsi regulasi, yaitu:5

a. Sebagai sarana ketertiban atau pedoman perilaku, i.e. regulasi menjadi pedoman untuk terselenggaranya dinamika sosial,

3 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 52-53. 4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004), hlm. 29-33.5 Prof. Dr. Ida Bagus Rahmadi Supancana, ”Better Regulations Tools in Policy Formulation” (bahan paparan berupa

powerpoint, kerja sama antara Pusat Kajian Regulasi (Center For Regulatory Research), The World Bank, Swiss Confederation, Kingdom of the Netherlands, dan Kementerian Perekonomian, Bandung, 25-26 September 2017).

Page 27: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

325Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha (Wicipto Setiadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dalam hal ini baik terhadap kegiatan formal maupun informal;

b. Sebagai instrumen pembangunan, i.e. regulasi menggerakkan sumber daya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan; dan

c. Sebagai faktor integrasi, i.e. regulasi mengintegrasikan wilayah maupun kebijakan-kebijakan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan ke dalam suatu Sistem Regulasi Nasional yang merupakan agregasi dari semua regulasi yang ada.

Sebagaimana diketahui, pembentuk peraturan perundang-undangan di negara kita juga banyak sekali yang tersebar pada berbagai instansi baik di tingkat pusat maupun daerah. Ketersebaran para pembentuk peraturan perundang-undangan ini tambah disulitkan dengan tidak adanya institusi/lembaga yang mempunyai kewenangan tunggal untuk melakukan quality control. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di lingkungan Pemerintah sebetulnya sudah ada peran yang hampir sama fungsinya untuk melakukan quality control, yaitu pengharmonisasian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM. Tujuan dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan salah satunya adalah sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas Peraturan Perundang-undangan.6 Namun, proses pengharmonisasian yang dilakukan oleh

Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan masih belum berjalan secara optimal, artinya masalah yang timbul belum bisa diselesaikan secara tuntas.

Dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undangan, lembaga yang berperan juga melaksanakan quality control selain Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM adalah Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet. Sering terjadi, rancangan peraturan perundang-undangan yang sudah melalui proses pengharmonisasian di Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan masih dibahas lagi di Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet. Mengapa dibahas lagi di Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet? Karena setiap peraturan perundang-undangan yang akan disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan pengesahan atau penetapan harus melalui Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet terlebih dahulu. Oleh karena itu, sering muncul pertanyaan dari Kementerian/Lembaga, kenapa Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet masih membahas lagi rancangan peraturan perundang-undangan yang sudah melalui proses pengharmonisasian di Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meskipun harus diakui bahwa hasil pengharmonisasian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM belum sepenuhnya optimal.

Hal ini semua, baik yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-

6 Wicipto Setiadi, ”Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki Kualitas Peraturan Perundang-undangan” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 2, Juni 2007, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM RI, hlm. 45.

Page 28: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

326 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 321–334

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Sekretariat Negara maupun Sekretariat Kabinet adalah dalam rangka melakukan quality qontrol, walaupun dengan alasan atau standar yang berbeda. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sebetulnya sudah ada lembaga yang melakukan quality control, tetapi masih belum optimal hasilnya karena dilakukan oleh beberapa lembaga (bukan lembaga tunggal) dan dengan cara atau standar yang berbeda pula.

Akibatnya, masih banyak peraturan perundang-undangan meskipun sudah melalui proses ”quality control” tetapi masih tumpang tindih, menimbulkan konflik, disharmoni atau dengan istilah yang ekstrem peraturan perundang-undangan yang dihasilkan tersebut masih tetap buruk kualitasnya. Kondisi semacam ini terjadi juga di sektor berusaha, sehingga akibatnya:7

a. kinerja penyelenggaraan negara dan pembangunan terkendala karena peraturan perundang-undangan (regulasi) yang tidak memberikan kepastian;

b. bagi pekerja akan berkonsekuensi iklim kerja yang tidak kondusif, kesalahan yang besar;

c. inefisiensi anggaran negara;d. investasi terhambat karena persyaratan

yang memberatkan serta prosedur yang berkepanjangan, dan pungutan yang berlebihan;

e. lapangan kerja terhambat karena investasi terhambat;

f. tingkat kesejahteraan terhambat/tidak meningkat.

Dengan kondisi jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia yang cenderung tidak proporsional dan bahkan mengarah ke over-

regulated, maka untuk mengatasinya perlu dilakukan langkah-langkah solusi. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah kebijakan simplifikasi peraturan perundang-undangan. Langkah simplifikasi peraturan perundang-undangan bisa dilakukan baik secara menyeluruh di semua sektor maupun per sektor, misalnya sektor berusaha.

Simplifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti penyederhanaan. Dikaitkan dengan jumlah peraturan perundang-undangan yang cenderung tidak proporsional bahkan mengarah pada over-regulated berarti jumlah peraturan perundang-undangan di sektor berusaha perlu disederhanakan. Langkah penyederhanaan ini bisa dilakukan dengan cara memangkas atau mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan di sektor berusaha pada saat ini yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga yang berwenang dalam sektor berusaha sehingga sudah mengarah overlapping antara peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh satu lembaga dengan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga lain.

Simplifikasi atau penyederhanaan peraturan perundang-undangan dilakukan dalam rangka mengurangi peraturan perundang-undangan yang ada sehingga proporsional jumlahnya. Alternatif yang dilakukan dalam simplifikasi adalah mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan yang tidak perlu dan/atau bermasalah. Simplifikasi peraturan perundang-undangan juga penting untuk dapat memastikan efektivitas dan mencegah tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Selain itu, simplifikasi peraturan perundang-undangan

7 Prof. Dr. Ida Bagus Rahmadi Supancana, op cit.

Page 29: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

327Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha (Wicipto Setiadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

berusaha di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Kemudian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut, merevisi dan menyusun Peraturan Menteri ESDM terkait dengan sektor berusaha di bidang energi, pertambangan dan sumber daya mineral. Langkah yang sudah dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ESDM perlu diikuti oleh Kementerian/Lembaga lain yang terkait dengan sektor berusaha, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan,

juga dapat memangkas prosedur yang panjang dan bertele-tele serta memperkecil atau mengurangi biaya yang berlebihan.

Beberapa negara telah berhasil melaksanakan program simplifikasi atau pemangkasan peraturan perundang-undangan. Hasilnya adalah meningkatnya kemudahan berusaha atau dalam melakukan bisnis dan berhasil menarik lebih banyak investasi. Negara-negara yang berhasil melaksanakan program simplifikasi peraturan perundang-undangan (regulasi) antara lain: Korea Selatan, Mexico, Moldova, Ukraina.

Tabel 1: Best Practices Simplifikasi Regulasi8

Negara Target Sebelum Simplifikasi

Dicabut% Simplifikasi

Korea(11 bulan)

Regulations 11.125 48.8% 21.7%

Mexico(5 tahun)

Formalities 2.038 54.1% 51.2%

Moldova(16 minggu)

RegulationsFee Based Permits

1.130400

44.5%68.0%

12.5%20.3%

Ukraine(12 minggu)

Regulations 15.000 46.7% 43.3%

Dikutip dan diterjemahkan dari www.regulatoryreform.com tanggal 1 April 2017

Indonesia sebetulnya juga telah melakukan simplifikasi peraturan perundang-undangan di sektor berusaha meskipun baru secara sektoral. Misalnya, simplikasi peraturan perundang-undangan sektor berusaha yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dengan mencabut, merevisi dan menyusun Peraturan Menteri Dalam Negeri yang terkait dengan sektor

8 Ibid., hlm. 13.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pariwisata dan sebagainya.

Saat ini dalam rangka kemudahan berusaha telah diundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan

Page 30: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

328 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 321–334

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik pada tanggal 21 Juni 2018. Dengan berlakunya PP Nomor 24 Tahun 2018 ini maka semua perizinan dalam sektor berusaha harus berdasarkan pada PP tersebut. PP ini menurut penulis juga merupakan salah satu simplifikasi peraturan perundang-undangan dalam sektor kemudahan berusaha, karena semua perizinan prosedurnya terintegrasi dan dilakukan secara elektronik. Konsekuensinya, tidak ada lagi Kementerian/Lembaga dalam melakukan pelayanan perizinan berusaha tanpa terintegrasi dan tidak melalui elektronik.

Dalam PP ini disebutkan bahwa Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS) adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri, Pimpinan Lembaga, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.9 Berdasarkan pada ketentuan ini dapat dikatakan bahwa meskipun pemberian izin dilakukan secara terintegrasi, namun kewenangan pemberian izin masih tetap berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan kewenangan sektor serta daerah. Sehingga pelaksanaan PP ini tetap tidak sederhana dan tidak mudah, oleh karena itu sangat mungkin masih ditemukan adanya ketidakmudahan dalam berusaha.

Ketentuan yang sangat penting dalam PP ini adalah perintah untuk melaksanakan Reformasi Perizinan Berusaha Sektor.10 Pelaksanaan

reformasi tersebut meliputi perizinan berusaha pada sektor:11

a. ketenagalistrikan;b. pertanian;c. lingkungan hidup dan kehutanan;d. pekerjaan umum dan perumahan rakyat;e. kelautan dan perikanan;f. kesehatan;g. obat dan makanan;h. perindustrian;i. perdagangan;j. perhubungan;k. komunikasi dan informatika;l. keuangan;m. pariwisata;n. pendidikan dan kebudayaan;o. pendidikan tinggi;p. agama dan keagamaan;q. ketenagakerjaan;r. kepolisian;s. perkoperasian dan usaha mikro, kecil,

menengah; dant. ketenaganukliran.

Dari kebutuhan simplifikasi regulasi yang mendukung kemudahan berusaha perlu dilakukan dengan metode dan langkah-langkah yang mendukung proses simplifikasi regulasi tersebut, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan identifikasi masalah mengapa terjadi ketidakmudahan dalam sektor berusaha. Masalah utama yang bisa dikemukakan adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sektor berusaha. Selain itu,

9 Lihat Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

10 Lihat Pasal 84 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

11 Lihat Pasal 85 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

Page 31: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

329Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha (Wicipto Setiadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

terkait juga dengan banyaknya lembaga yang berwenang dalam sektor berusaha. Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan dan lembaga yang berwenang dalam sektor berusaha maka akan tidak mudah bagi siapa pun yang akan melakukan usaha di Indonesia.

Selanjutnya, langkah yang harus dilakukan untuk saat ini adalah melakukan inventarisasi berbagai peraturan terkait dengan sektor berusaha. Setelah dilakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan dalam sektor berusaha, maka dilakukan analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan untuk menemukan mana peraturan perundang-undangan yang bermasalah dan mana peraturan perundang-undangan yang tidak bermasalah. Dalam analisis dan evaluasi tersebut dapat direkomendasikan untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan karena menghambat sektor berusaha, melakukan revisi atau perubahan terhadap peraturan perundang-undangan sektor berusaha yang diperlukan tetapi berkualitas buruk, dan tetap mempertahankan peraturan perundang-undangan yang berkualitas baik dan masih diperlukan.

Simplifikasi peraturan perundang-undangan merupakan metode tercepat untuk melakukan penyederhanaan peraturan perundang-undangan dengan cara menganalisis, mengevaluasi dan me-review serta menata kembali (rekonstruksi) sistem peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan sendiri. Ada beberapa kriteria yang diperlukan dalam rangka melakukan simplifikasi.

Yang pertama, menyangkut kualitas peraturan perundang-undangan. Kualitas peraturan perundang-undangan ini terkait dengan masalah apakah peraturan perundang-

undangan tersebut bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang sederajat. Selain itu, terkait pula dengan masalah peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih (overlapping), duplikasi, multitafsir, disharmoni, dan lain-lain. Dalam rangka ini, sebaiknya pembentukan peraturan perundang-undangan harus melalui studi, kajian atau penelitian yang mendalam, tidak bersifat dadakan atau instan.

Yang kedua, menyangkut kebutuhan bukan keinginan. Kebutuhan peraturan perundang-undangan harus disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggara negara dan masyarakat. Kebutuhan ini sering dikaitkan dengan kebijakan pemerintah yang biasanya dituangkan dalam dokumen perencanaan. Dulu kita mengenal apa yang disebut dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sekarang dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) – 25 tahunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) – 5 tahunan, dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) – 1 tahunan. Apabila kita konsisten, maka pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan yang dituangkan dalam dokumen perencanaan di atas. Namun, dalam praktik pembentukan peraturan perundang-undngan masih banyak yang didasarkan pada keinginan semata. Antara Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tidak sejalan dengan dokumen perencanaan pembangunan.

Yang ketiga, terkait dengan masalah keramahan, khususnya dalam sektor berusaha. Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sektor berusaha seharusnya berisi ketentuan yang memudahkan sehingga orang akan tertarik untuk melakukan usaha, jangan sampai sebaliknya malah mempersulit.

Page 32: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

330 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 321–334

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam sektor berusaha justru menimbulkan pungutan yang berlebihan, persyaratan yang memberatkan, proses yang berlarut, pengaturan yang diskriminatif, dan lain sebagainya. Dengan kondisi semacam ini maka para investor akan ”hengkang” dari Indonesia dan pindah ke negara lain yang lebih ramah investasi.

Langkah simplifikasi peraturan perundang-undangan diperlukan dalam rangka mewujudkan sistem peraturan perundang-undangan nasional yang baik, sederhana, tertib dan yang terpenting adalah dalam rangka implementasi pencapaian tujuan utama, yaitu kemudahan dalam sektor berusaha. Agar dalam melakukan simplifikasi peraturan perundang-undangan ini berhasil, maka perlu dibangun komitmen politik antara Kementerian/Lembaga terkait. Hal yang paling penting adalah adanya kemauan politik (political will) dari pemimpin negara tertinggi (Presiden) untuk melakukan kebijakan ini, karena tanpa kemauan politik yang tinggi dari pimpinan negara tertinggi (Presiden), maka kebijakan simplifikasi peraturan perundang-undangan akan menjadi sia-sia.

Presiden dalam melaksanakan program ini harus dibantu oleh sebuah lembaga yang kuat dan berwibawa serta mempunyai otoritas tunggal/penuh untuk memutus masalah kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Apa yang sudah diputuskan oleh lembaga tersebut tidak perlu dibawa ke lembaga lain lagi (misalnya: ke Sekretariat Negara/Sekretariat Kabinet, Kementerian Koordinator) dan Presiden juga tidak perlu meragukan putusan tersebut, singkatnya Presiden tinggal tanda tangan saja. Ide yang saya sampaikan adalah bahwa lembaga yang kuat dan berwibawa tersebut cukup dengan memanfaatkan lembaga yang sudah ada (tidak perlu mendirikan lembaga baru) dan

penguatan SDM yang ada, yang merupakan gabungan antara SDM di Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan Kementerian/Lembaga lain. Kelembagaannya langsung berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Setelah terwujud lembaga tersebut, kemudian dilakukanlah pemangkasan dengan mengikuti waktu/jadwal yang ditetapkan. Dalam melakukan pemangkasan, lembaga tersebut melakukan komunikasi dengan berbagai Kementerian/Lembaga terkait, pelaku usaha dan masyarakat (stakeholders). Kementerian/Lembaga juga harus punya ”kesadaran” bahwa peraturan yang akan dipangkas memang menimbulkan masalah. ”Kesadaran” ini yang tampaknya belum dipunyai oleh Kementerian/Lembaga yang terkait, yang sering ditemui adalah justru keinginan untuk menonjolkan/menunjukkan kewenangan atau kekuasaannya.

Keberhasilan dari program pemangkasan peraturan perundang-undangan di sektor berusaha sangat bergantung pada kredibilitas dari pimpinan tertinggi negara dan juga komitmen politik yang jelas terhadap kemudahan berusaha. Kemudian, faktor independensi kelembagaan dalam melakukan review dan pengambilan keputusan juga ikut berperan. Selanjutnya, dalam melakukan review juga harus ada kriteria yang jelas dan konsisten. Hal yang tidak kalah penting juga adalah faktor transparansi dan pelibatan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam melakukan review dan pengambilan keputusan.

Selain itu, penerapan sanksi/disinsentif dan insentif secara konsisten juga memegang perang yang penting. Last but not least dan tidak boleh diremehkan adalah faktor kesejahteraan yang memadai bagi SDM dalam lembaga

Page 33: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

331Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha (Wicipto Setiadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

tersebut. Karena begitu tidak diperhatikan faktor kesejahteraannya maka SDM tersebut akan ”bermain” dalam pengambilan keputusan. Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan harus mendukung penuh pendanaan dalam rangka terlaksananya program ini.

Setelah dilakukan simplifikasi peraturan perundang-undangan, langkah yang perlu dilakukan untuk masa depan adalah melakukan pembenahan atau penataan kelembagaan yang terkait dengan sektor berusaha dan kelembagaan yang terkait dengan quality control dalam bidang peraturan perundang-undangan. Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah penguatan atau pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang perumusan kebijakan dan perancangan peraturan perundang-undangan. Selain pemberdayaan atau penguatan SDM juga perlu dihilangkan adanya ego sektoral, ego Kementerian/Lembaga, dan ego kedaerahan. Akan menjadi tidak banyak artinya kalau penyederhanaan peraturan perundang-undangan tidak diiringi dengan penyederhanaan atau rekonstruksi kelembagaan di sektor usaha dan lembaga yang melakukan quality control dalam bidang perancangan peraturan perundang-undangan, peningkatan kualitas SDM, dan sikap lebih mengutamakan kepentingan bersama (negara) daripada kepentingan sektor, Kementerian/Lembaga atau daerah.

2. Dampak Simplifikasi Peraturan Perundang-undangan dalam Mendukung Kemudahan Berusaha

Efek yang sudah pasti dengan adanya simplifikasi peraturan perundang-undangan adalah sederhananya peraturan perundang-undangan terutama dari sisi jumlah, sehingga menjadi proporsional jumlahnya. Hukum nasional harus mengabdi kepada kepentingan nasional dan menjadi pilar demokrasi untuk tercapainya kesejahteraan rakyat dan secara sosiologis menjadi sarana tercapainya keadilan dan ketertiban masyarakat.12 Dengan demikian, terwujudlah sistem peraturan perundang-undangan yang sederhana, tertib dalam rangka mencapai tujuan utamanya yaitu kemudahan dalam sektor berusaha.

Terkait dengan sektor berusaha ini sudah banyak dilakukan kebijakan, misalnya ada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Namun, dalam praktik PTSP belum berjalan sesuai dengan tujuannya. Memang pelayanan sudah dilakukan melalui satu pintu, tetapi kenyataannya masih harus melewati banyak meja dan banyak orang/petugas. Masing-masing meja dan orang/petugas yang dilewati tersebut tidak gratis.

Dari sisi aspek ekonomi, penyederhanaan peraturan perundang-undangan dalam sektor berusaha juga pasti ada efeknya. Efek pertama, yang bisa dirasakan dengan adanya simplifikasi peraturan perundang-undangan di sektor berusaha sudah barang tentu meningkatnya investasi, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri. Investasi akan merambah ke berbagai bidang usaha. Efek kedua, dengan

12 Wicipto Setiadi, ”Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Development of Law in Order to Enhancement Supremacy of Law)”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1 Nomor 1, April 2012, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, hlm. 9.

Page 34: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

332 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 321–334

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

meningkatnya investasi secara otomatis akan berimbas pada terbukanya lapangan kerja. Efek ketiga, dengan adanya program simplifikasi peraturan perundang-undangan maka akan berkurangnya beban masyarakat berupa pembayaran ekstra.

Apabila semuanya berjalan dengan pasti, baik menyangkut prosedur, jangka waktu pelayanan maupun biayanya. Sebelum adanya simplifikasi peraturan perundang-undangan di sektor berusaha, terjadi adanya beban atau pembayaran ekstra. Bukan rahasia lagi bahwa untuk mengurus perizinan di sektor usaha itu tidak ada yang gratis. Bahkan muncul ungkapan yang sangat ekstrem, yaitu ”kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”, ini untuk menggambarkan bahwa hampir semua hal yang terkait dengan sektor berusaha tidak ada yang gratis, there is no free for lunch.

Efek keempat adalah efisiensi anggaran negara, terutama yang terkait dengan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya simplifikasi peraturan perundang-undangan di sektor usaha, maka penerapan peraturan menjadi lebih sederhana karena jumlahnya proporsional. Kemudian, penegakan peraturan perundang-undangan juga semakin lebih mudah. Dengan demikian, simplifikasi peraturan perundang-undangan akan langsung berimbas pada efisiensi anggaran negara.

Sebagai bahan perbandingan, di bawah ini ditampilkan matriks yang dikutip dari bahan paparan Prof. Dr. Ida Bagus Rahmadi Supancana terkait dengan efek ekonomi di Korea setelah diterapkan kebijakan pemangkasan peraturan perundang-undangan (regulasi).

13 Ibid., hlm. 14.

Tabel 2: Economic Effects of Korea After Guillotine 1998 (Regulations Reform Committee)13

Economic Effect Nilai

Berkurangnya Beban Masyarakat(Pembiayaan Ekstra)

$ 18.7 Billion (4.4% dari GDP 1997)

Efisiensi Anggaran Negara(Penerapan & Penegakan)

$590 Million

Meningkatnya Foreign DirectInvestment

$ 36.5 Billion, ekstra FDI dalam 5 Tahun ke depan

Terbukanya Lapangan Kerja 1.066.200 Lapangan Kerja

Dikutip dan diterjemahkan dari www.regulatoryreform.com tanggal 1 April 2017

Page 35: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

333Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha (Wicipto Setiadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Simplifikasi regulasi harus membuat suatu regulasi sinkron satu sama lain dan sejalan dengan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, serta kepentingan nasional. Regulasi yang tidak sinkron, tumpang tindih, dan membuat segala sesuatunya menjadi berbelit/rumit, harus dievaluasi. Pengaturan ketentuan dalam regulasi harus sederhana, tetapi memiliki kekuatan yang mengikat. Pembentukan regulasi baru tidak boleh lagi dilihat sebagai proyek tahunan, tetapi benar-benar harus diperhatikan apakah aturan itu memiliki landasan yang kuat secara konstitusional.

Sejalan dengan hal tersebut, melalui Reformasi Hukum Jilid II telah dicanangkan agenda Penataan Regulasi sebagai prioritas reformasi hukum nasional.14 Agenda Penataan mencakup 3 (tiga) hal, yaitu:a. Penguatan pembentukan peraturan

perundang-undangan;b. Evaluasi seluruh peraturan perundang-

undangan;c. Pembuatan database peraturan perundang-

undangan yang terintegrasi.

Penguatan pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan karena disinyalir masih terdapat penyelundupan isu-isu primordial, sektarian, kepentingan asing dan ego sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini akan dapat menimbulkan ketidaksinkronan perencanaan pembentukan peraturan dengan kebijakan pembangunan serta tidak menjaga marwah amanat Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan

serta Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.

Penataan Regulasi harus dilakukan melalui evaluasi atas berbagai peraturan agar sejalan dengan jiwa Pancasila, amanat konstitusi dan kepentingan nasional. Dengan dilakukannya penilaian terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya akan memperbaiki materi hukum yang ada (existing), namun juga memperbaiki sistem hukum yang mencakup materi hukum; kelembagaan dan penegakan hukum; pelayanan hukum; serta kesadaran hukum masyarakat.

D. Penutup

Simplifikasi peraturan perundang-undangan merupakan salah satu cara untuk menghasilkan jumlah peraturan perundang-undangan yang proporsional dan sekaligus meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan agar tidak saling tumpang tindih, disharmoni, menimbulkan konflik, duplikasi. Simplifikasi peraturan perundang-undangan akan berhasil apabila didukung oleh kemauan politik (political will) pimpinan tertinggi negara dengan dibantu oleh lembaga yang mempunyai otoritas tunggal, kuat dan berwibawa serta didukung semua pemangku kepentingan.

Daftar Pustaka

BukuAstomo, Putera, Ilmu Perundang-undangan, Teori

dan Praktik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2018).

Kementerian Hukum dan HAM, Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi

14 Pada 17 Januari 2017, Presiden Joko Widodo kembali merumuskan paket kebijakan reformasi hukum jilid II. ‎Paket kebijakan reformasi hukum jilid II ini dilakukan guna penataan sejumlah regulasi dari berbagai aturan yang ada di Indonesia.

Page 36: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

334 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 321–334

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Rancangan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, 2010).

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Arah Pembangunan Hukum Nasional, Kajian Legislasi & Opini Tahun 2013, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2013).

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986)

Yani, Ahmad, Pembentukan Undang-Undang & Perda, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianAsshiddiqie, Jimly, Kebudayaan Konstitusi dan

Pembangunan Masyarakat Hukum Indonesia, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Indonesia ke 93, November 2017.

Supancana, Ida Bagus Rahmadi, Better Regulation Tools in Policy Formulation, Modul Bahan Paparan pada Pelatihan Penerapan Better Regulation Tools Dalam Rangka Perumusan Kebijakan dan Regulasi, Kerja sama Pusat Kajian Regulasi, The World Bank, Swiss Confederation, Kingdom of the Netherland, dan Kementerian Perekonomian, Bandung, 25-26 September 2017.

Setiadi, Wicipto, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki Kualitas Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 2, Juni 2007, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM RI.

Setiadi, Wicipto, Pembangunan Hukum Dalam Rangka Peningkatan Supremasi Hukum (Development of Law in Order to Enhancement Supremacy of Law), Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1 Nomor 1, April 2012, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta.

Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

Page 37: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

335Legal Historis Kewenangan Pengujian ... (Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

LEGAL HISTORIS KEWENANGAN PENGUJIAN DAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP

KEMUDAHAN BERUSAHA(Legal History of Local Regulation Review and Cancellation

and Implication Towards Ease of Doing Business)

Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma AdityaPusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Perpustakaan

Mahkamah Konstitusi Republik IndonesiaJalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat

Email: [email protected]

Naskah diterima: 18 Agustus 2018; revisi: 8 Oktober 2018; disetujui: 29 Oktober 2018

AbstrakHarmonisasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah (Perda) penting dilakukan untuk mendukung peningkatan kemudahan berusaha di Indonesia. Hal ini juga dipengaruhi oleh kewenangan pengujian dan pembatalan Perda yang menghambat kemudahan berusaha. Tulisan ini hendak membahas mengenai legal historis pengaturan pengujian dan pembatalan Perda, serta dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 terhadap kemudahan berusaha di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersifat preskriptif analitis dengan pendekatan regulasi, doktrinal, dan putusan. Hasil penelitian menunjukan secara legal historis kewenangan Pemerintah Pusat menguji dan membatalkan Perda mengalami dinamika sampai akhirnya kewenangan ini ekslusif hanya dimiliki kepada Mahkamah Agung. Penghapusan kewenangan Pemerintah Pusat menguji dan membatalkan Perda yang dianggap menghambat investasi akan berimplikasi negatif terhadap kemudahan berusaha dan dapat menurunkan rangking Ease of Doing Business Indonesia. Kata kunci: pembatalan, Peraturan Daerah, dampak, kemudahan berusaha, investasi

AbstractHarmonization of the Central Regulations and Regional Regulations (Perda) is important to improve Ease of Doing Business (EoDB) in Indonesia. This rank is also affected by the authority to review and cancel Perda that hinder the EoDB. This paper would like to discuss the legal history of regulations for review and cancellation of Perda and then the impact of Constitutional Court (MK) Decision No. 137/PUU-XIII/2015 and Decisions No. 56/PUU-XIV/2016 on (EoDB). The research method used in this study is normative juridical which is prescriptive analytical with regulatory, doctrinal, and decision approaches. The research results show that in legal history persepctive, the authority of Central Government to review and cancel Perda has experienced dynamics until finally this authority is exclusively owned by the Supreme Court. The cancellation of Central Government authority to review and cancel Perda that are considered to hamper investment will have negative implications for EODB and can reduce Indonesia ranking.Keywords : cancellation, Local Regulation, impact, Ease of Doing Business, investment

Page 38: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

336 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

A. Pendahuluan

Upaya dari rezim pemerintahan Jokowi dalam memperbaiki iklim berusaha di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini tercermin dari naiknya peringkat Indonesia terhadap kemudahan berusaha dan berinvestasi. Dalam survei World Bank bertajuk Ease of Doing Bussiness (EoDB) tahun 2018, Indonesia menempati posisi ke 72 dengan skor 66.47 sebagai negara dengan tingkat kemudahan berbisnis dari 190 negara di dunia.1 Angka ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak Presiden Jokowi menjabat sebagai kepala pemerintahan ditahun 2014, yaitu peringkat 120 (2014), peringkat 114 (2015), peringkat 106 (2016), dan peringkat 91 (2017).2

Capaian fantastis yang diperoleh Indonesia dalam Ease of Doing Bussiness ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintahan Jokowi yang menerapkan paket kebijakan ekonomi jilid 1 hingga jilid 16 serta kebijakan memangkas jalur birokrasi dan regulasi dengan tujuan untuk mempermudah para investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Akan tetapi, peringkat Indonesia ini masih kalah jauh dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara, yakni Vietnam (68), Brunei Darussalam (56), Thailand (26), Malaysia (24) dan Singapura (2). Selengkapnya capaian Ease of Doing Bussiness negara di kawasan Asia Tenggara dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

1 International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs, A World Bank Group Flagship Report (Washington: International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, 2018), hlm. 4.

2 Lihat Edward James Sinaga, ”Upaya Pemerintah dalam Merealisasikan Kemudahan Berusaha di Indonesia”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 3, Desember (2017): 330.

3 International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, Loc.Cit.

Tabel 1. Ease of Doing Bussiness rangking 20183

Negara 2014 2015 2016 2017 2018 Skor

Singapura 1 1 1 1 2 84.57

Malaysia 6 18 18 23 24 78.43

Thailand 18 26 49 46 26 77.44

Brunei Darussalam 59 101 84 72 56 70.60

Vietnam 99 78 90 82 68 67.93

Indonesia 120 114 106 91 72 66.47

Philipina 108 95 103 99 113 58.74

Kamboja 137 135 127 131 135 54.47

Myanmar - 177 167 170 171 44.21

Timor Leste 172 172 173 175 178 40.62

Page 39: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

337Legal Historis Kewenangan Pengujian ... (Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk tingkat ASEAN saja, Indonesia masih tertinggal cukup jauh dari negara tetangga dan hanya berada di peringkat ke-6 dari 11 negara di kawasan ASEAN. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia. Salah satu caranya adalah melalui penguatan peran hukum yang tidak hanya untuk memberikan fasilitas kemudahan dalam berusaha, tetapi juga memberikan perlindungan bagi persaingan usaha. Adapun regulasi yang dibangun harus mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan tidak hanya untuk kepentingan investor saja, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan negara dan masyarakat luas.

Permasalahan yang sering terjadi adalah banyaknya regulasi yang saling tumpang tindih satu sama lain terutama antara peraturan di tingkat pusat dengan peraturan pelaksananya sampai dengan peraturan di tingkat daerah. Apalagi, menguatnya sistem desentralisasi dan otonomi daerah menjadikan daerah memiliki kekuasaan yang cukup luas dalam menentukan produk hukum daerahnya sesuai dengan perspektif daerahnya masing-masing. Oleh sebab itu, dalam rezim pemerintahan daerah saat ini, produk hukum daerah yang subtansinya tidak sejalan dengan produk hukum pemerintahan pusat dapat dengan mudah ditemui.

Sebagai langkah preventif untuk tetap menciptakan iklim berusaha yang kondusif, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat diberikan kewenangan untuk melakukan menguji dan membatalkan Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap dapat menghambat investasi. Kewenangan tersebut diberikan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang dapat menguji dan membatalkan Perda Provinsi, serta Gubernur yang dapat menguji dan membatalkan Perda Kabupaten/Kota.4 Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dalam kurun waktu 2007 – 2015 terdapat setidaknya 1765 Perda Kabupaten/Kota yang dicabut oleh Mendagri, dan 1267 Perda Kabupaten/Kota yang telah dibatalkan oleh Gubernur.5 Beberapa Perda yang dibatalkan tersebut adalah Perda pajak, Perda retribusi, Perda perizinan, Perda retribusi izin gangguan, Perda pengambilan dan pengelolaan galian C, serta Perda yang berhubungan dengan sumber daya alam dan mineral.6

Menariknya, kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam menguji dan membatalkan Perda ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 137/

4 Pembatalan Perda dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diatur dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.(2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

5 Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Daftar Perda/Perkada dan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang Dibatalkan/Direvisi, 2016, hlm. 2-104.

6 Ibid.

Page 40: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

338 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

PUU-XIII/20157 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016.8 Secara umum, terdapat 5 (lima) alasan Mahkamah Konstitusi dalam mencabut kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam membatalkan Perda, antara lain:1. Keberadaan judicial review di dalam suatu

negara hukum, merupakan salah satu syarat tegaknya negara hukum itu sendiri, sebagaimana tersurat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Peraturan perundang-undangan hanya layak diuji oleh suatu lembaga yustisi.

2. Menurut UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perda jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dengan hierarki di bawah UU. Maka sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh lembaga lain.

3. Eksekutif bisa membatalkan Perda menyimpangi logika dan bangunan negara hukum Indonesia sebagaimana amanah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU in casu Perda Kabupaten/Kota

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

4. Ekses dari produk hukum pembatalan Perda dalam lingkup eksekutif dengan produk hukum ketetapan Gubernur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 251 ayat (4) UU Pemda berpotensi menimbulkan dualisme putusan pengadilan jika kewenangan pengujian atau pembatalan Perda terdapat pada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif.

5. Jika peraturan daerah itu sudah mengikat umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan peraturan daerah yang bersangkutan sesuai dengan sistem yang dianut dan dikembangkan menurut UUD 1945 yakni ”centralized model of judicial review”, bukan ”decentralized model”, seperti ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Mendagri kemudian merespon Putusan MK tersebut dengan menyatakan bahwa Putusan MK menghalangi proses deregulasi terhadap Perda yang menghambat kemudahan berusaha. Logika dari pemerintah adalah bahwa pembatalan Perda yang dilakukan oleh Mendagri

7 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang sepanjang frasa ”...pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”, serta menyatakan frasa ”Perda Kabupaten/Kota dan” dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (4), frasa ”Perda Kabupaten/Kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3), dan frasa ”penyelenggara Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan” dan frasa ”Perda Kabupaten/Kota atau” dalam Pasal 251 ayat (8) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Undang-Undang.

8 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV/2016 dalam amar putusannya menyatakan menyatakan frasa ”Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4), dan frasa ”Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (7), serta Pasal 251 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Page 41: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

339Legal Historis Kewenangan Pengujian ... (Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

adalah salah satu langkah dalam menumbuhkan iklim berusaha di Indonesia. Perda-Perda yang dibatalkan dan direvisi adalah Perda-Perda yang secara subtansi bertentangan dengan kebijakan dan peraturan diatasnya. Untuk itu, Mendagri menganggap bahwa Putusan No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan No. 56/PUU-XIV/2016 justru telah menghambat investasi dan iklim berusaha di Indonesia.9

Untuk itulah, terdapat urgensi mengkaji diskursus ketatanegaraan ini dengan kebaruan gagasan dalam jurnal ini yaitu menjelaskan legal historis pengaturan kewenangan pengujian dan pembatalan peraturan daerah, serta implikasi Putusan No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan No. 56/PUU-XIV/2016 terhadap kemudahan berusaha (ease of doing business) di Indonesia.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan metode hukum normatif yang bersifat preskriptif. Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa pendekatan dalam penelitian hukum terdiri atas pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).10 Dalam penulisan ini menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.11 Sedangkan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dikaji.12

C. Pembahasan

1. Legal Historis Pengaturan Kewenangan Pengujian dan Pembatalan Peraturan Daerah dalam Konstitusi dan Undang-Undang

Peraturan daerah (Perda) merupakan salah satu instrumen hukum penting dalam sistem hukum di Indonesia sebagai pelaksanaaan otonomi daerah. Dalam bingkai negara kesatuan, dibutuhkan mekanisme yang menjamin keselarasan peraturan di daerah dengan di tingkat pusat yaitu melalui pengujian dan pembatalan Perda yang dianggap bermasalah.13 Perkembangan pengaturan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda

9 Metro TV, ”Mendagri Sebut Putusan MK Hambat Investasi”, http://news.metrotvnews.com/politik/1bV6ejQb-mendagri-sebut-putusan-mk-hambat-investasi (diakses 15 Agustus 2018).

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Media Group, 2014), hlm. 93.11 Ibid., hlm.135.12 Ibid., hlm. 133.13 Terminologi Perda bermasalah yang dimaksud merupakan Perda yang cenderung membebani masyarakat

dengan biaya tinggi dan keruwetan birokrasi, hal ini disebabkan pemerintah daerah ingin meningkatkan pendapatan daerah, namun dapat merusak iklim usaha dan berdampak negatif pada perekonomian nasional. Lihat Sutra Ningsi, ”Inventarisasi dan Evaluasi Perda”, bab dalam Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia (Jakarta: Yayasan Pusaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 187.

Page 42: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

340 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dapat ditelusuri berdasarkan legal historis14 penerapan hukumnya di Indonesia. Tulisan ini, menelaah pengaturan di tingkat konstitusi sebagai sumber legitimasi kewenangan15 dan pengaturan di tingkat undang-undang yang mengatur berkaitan dengan kewenangan tersebut.16

Sejarah mencatat, berdirinya negara konstitusional merupakan proses panjang perkembangan ketatanegaraan dalam suatu negara yang dipengaruhi perubahan dan penggantian konstitusi.17 Hal ini, juga terjadi di Indonesia yang telah menerapkan konstitusi dalam beberapa periode, antara lain: Undang-Undang Dasar 1945 (naskah asli); Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS); Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950); dan Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen).18

Dalam UUD 1945 (naskah asli), Pasal 24 mengatur bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang, sedangkan susunan dan kekuasaan

badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Dalam konstitusi pertama Indonesia ini tidak dapat ditemukan secara tegas pengaturan yang memberikan kewenangan menguji dan membatalkan Perda oleh suatu lembaga negara tertentu.

Berikutnya Pasal 113 Konstitusi RIS menyatakan bahwa Mahkamah Agung Indonesia susunan dan kekuasaannya diatur dengan undang-undang federal. Mahkamah Agung juga berkuasa menyatakan dengan tegas bahwa suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau dalam undang-undang daerah bagian tidak seusai Konstitusi. Terlihat dalam konstitusi ini, bahwa Indonesia secara konstitusional pertama kali mengenal mekanisme pengujian dan pembatalan Perda oleh lembaga negara tertentu yaitu Mahkamah Agung sebagai cabang kekuasaan kehakiman.

Selanjutnya dalam Pasal 78 UUDS 1950, menjelaskan bahwa susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung diatur dengan undang-undang. Dalam perubahan konstitusi Indonesia ini juga tidak dapat ditemukan norma yang

14 Legal historis merupakan analisis terhadap perkembangan aturan yang berlaku, penulis berfokus mengkaji legal historis internal yang menunjukan perubahan norma-norma dalam peraturan perundang-undangan. Lihat Philip Handler yang menjelaskan metode ini sebagai berikut,”A core aim of legal history is to provide insight into the mechanisms and dynamics of legal change. Internal legal history may be described as the history of law, but external legal history encroaches onto the political, intellectual and social realm”, Philip Handler, ”Legal History”, bab dalamResearch Methods in Law (New York: Routledge, 2013), hlm. 22.

15 Jimly Asshidiqie menjelaskan terdapat sepuluh fungsi konstitusi, berkaitan dengan analisis legal historis kewenangan dalam konstitusi, maka fungsi yang dimaksud adalah sebagai pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara. Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 27-28.

16 Undang-Undang yang mengatur mengenai kewenangan pengujian dan pembatalan Peraturan Daerah, antara lain: Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman; dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung.

17 M. Agus Santoso, ”Perkembangan Konstitusi di Indonesia”, Jurnal Yustisia, Vol. 2, No. 3 September-Desember (2013): 121.

18 Jimly Asshidiqie menjelaskan terjadinya beberapa penerapan konstitusi dikarenakan setiap konstitusi merupakan produk resultante pada waktu tertentu sehingga jika situasinya berubah maka konstitusinya akan berubah kembali dengan resultante baru agar sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan zaman. Jimly Asshidiqie, Seminar Konstitusi ”Kontroversi Amandemen UUD 1945 dan Pengaruhnya Terhadap Sistem Ketatanegaraan,” makalah disampaikan pada Seminar Konstitusi, Jakarta, 12 April 2007).

Page 43: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

341Legal Historis Kewenangan Pengujian ... (Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

mengatur kewenangan pengujian dan pembatalan Perda dilaksanakan oleh lembaga negara tertentu.

Sedangkan dalam Pasal 24A UUD 1945 (amandemen), mengatur bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peratuan Perundang-undangan,19 Perda termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.20

Berdasarkan uraian diatas, perkembangan pengaturan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda dalam konstitusi yang pernah dan saat ini berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

Pada tingkat undang-undang, khususnya Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, serta Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur kembali kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji dan membatalkan Perda sebagaimana pengaturan kewenangan yang diatur dalam UUD 1945 amandemen.21

Selain lembaga peradilan (judicial review), pengujian dan pembatalan Perda juga dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat terhadap pemerintah daerah (executive review). Hal ini merupakan implementasi dari konsepsi negara kesatuan serta hubungan pusat dengan daerah.

19 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

20 Jimly Asshidiqie menyatakan Perda tidak termasuk pengertian allgemeine verbindende voorschriften (peraturan yang mengikat untuk umum), tetapi tetap dapat disebut sebagai peraturan tingkat daerah. Lihat Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 227-228.

21 Penulis tidak menguraikan legal historis Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena tidak terdapat perbedaan pengaturan yang signifikan terkait kewenangan pengujian Perda dengan yang diatur dalam UUD 1945 amandemen.

Tabel 2. Perbandingan Pengujian dan pembatalan Peraturan daerah

UUD 1945 Asli Konstitusi RIS UUDS 1950UUD 1945

AmandemenLembaga Penguji

PerdaTidak diatur Mahkamah Agung Tidak diatur Mahkamah Agung

Page 44: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

342 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Dalam analisis legal historis, pola dinamika pengaturan kewenangan pengujian Perda di Indonesia dapat ditemukan pada pengaturan undang-undang mengenai Pemerintahan Daerah semenjak era kemerdekaan sampai dengan pasca reformasi saat ini.

Pengaturan kewenangan menguji Perda secara normatif pertama kali diatur di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dalam Pasal 80 yang menyatakan, keputusan-keputusan pemerintah daerah jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi daerah tingkat I dan oleh kepala daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain daerah. Meskipun menggunakan istilah keputusan, namun dalam penjelasan undang-undang ini menyatakan bahwa pengawasan represif yang dimaksud tersebut bukan hanya membatalkan keputusan daerah, namun juga terhadap Perda.

Selanjutnya, kewenangan pengujian Perda kembali diatur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dalam Pasal 70 yang menyebutkan bahwa peraturan daerah dan atau keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah tingkat atasnya ditangguhkan berlakunya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang. Dalam pengaturan ini, terlihat

penggunaan peristilahan produk hukum yang diuji secara lebih jelas yaitu peraturan daerah.

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tepatnya dalam Pasal 114 mengatur bahwa Pemerintah dapat membatalkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya beserta alasan-alasannya. Selanjutnya daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan, dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukannya kepada Pemerintah. Melalui pengaturan ini, mulai dikenal lembaga negara lain yang dapat menentukan keberatan dari pembatalan Perda.

Lalu dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,22 pada Pasal 145 diatur bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden, apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung dan jika dikabulkan maka Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Berikutnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

22 Dalam praktik, pembatalan Perda dianggap tidak sesuai dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 karena menggunakan Kepmendagri untuk membatalkan, padahal seharusnya secara normatif menggunakan Peraturan Presiden. Lihat Yuri Sulistyo, Antikowati, & Rosita Indrayati, ”Pengawasan Pemerintah Terhadap Produk Hukum Daerah (Peraturan Daerah) Melalui Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”, Lentera Hukum, (April 2014): 10.

Page 45: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

343Legal Historis Kewenangan Pengujian ... (Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

(UU Pemda) yang berlaku saat ini,23 pada Pasal 251 mengatur bahwa Perda Provinsi dan peraturan Gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri, sedangkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih

tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Gubernur atau Menteri. Jika terjadi keberatan pembatalan, Bupati/ Walikota dapat mengajukan ke Menteri, sedangkan Gubernur dapat mengajukan ke Presiden.

Berdasarkan uraian diatas, perkembangan pengaturan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda dalam undang-undang di Indonesia adalah sebagai berikut:

23 Meskipun dalam proses pembentukan produk hukum daerah dalam hal ini Peraturan Daerah telah diberikan pedoman berupa fasilitasi dan evaluasi, masih terdapat Peraturan Daerah yang dibatal karena adanya asas keberlakuan hukum. Lihat Angreime Igir, ”Pembatalan Terhadap Peraturan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014”, Lex Privatum Vol. V/No. 3 (Mei 2017): 65.

Tabel 3. Perbandingan Pengaturan Kewenangan Pengujian dan Pembatalan Perda

UU 18/1965 UU 5/1974 UU 22/1999 UU 32/2004 UU 23 /2014

Lembaga Penguji Perda Provinsi

Menteri Dalam Negeri

Menteri Dalam Negeri Pemerintah Pemerintah Menteri Dalam

Negeri

Lembaga Penguji Perda Kabupaten /Kota

Kepala Daerah Tingkat Atasnya

Gubernur / Menteri Dalam Negeri

Pemerintah PemerintahGubernur / Menteri Dalam Negeri

Lembaga Penguji Keberatan Pembatalan Perda

- -

Mahkamah Agung setelah mengajukan ke Pemerintah

Mahkamah Agung

Gubernur ke Presiden, Bupati/ Walikota ke Menteri Dalam Negeri

Alasan pembatalan

- Kepentingan umum

- Undang-undang,- Peraturan

Pemerintah- Peraturan

Daerah yang lebih tinggi tingkatan-nya

- Kepenting-an umum

- Peraturan perundang-undangan

- Peraturan Daerah tingkat atasnya

- Kepentingan umum

- Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

- Peraturan perundang-undangan lainnya

- Kepentingan umum

- Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

- Perundang-undangan lebih tinggi

- Kepentingan umum

- Kesusilaan

Page 46: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

344 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Setelah mengulas pengaturan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda dalam Konstitusi dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya akan diuraikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 yang memberikan pembaruan pengaturan mengenai kewenangan tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang sepanjang frasa ”...pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”, serta menyatakan frasa ”Perda Kabupaten/Kota dan” dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (4), frasa ”Perda Kabupaten/Kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3), dan frasa ”penyelenggara Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan” dan frasa ”Perda Kabupaten/Kota atau” dalam Pasal 251 ayat (8)bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Undang-Undang.

Hakim Konstitusi memberikan argumentasi mengabulkan, antara lain dengan menyatakan: Pertama, pemberian kewenangan kepada Menteri dan Gubernur membatalkan Perda kabupaten/kota dianggap tidak sejalan dengan prinsip Negara hukum. Kedua, menegaskan MA sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang.

Ketiga, penilaian kepentingan umum dan/atau kesusilaan yang menjadi tolok ukur menilai Perda juga merupakan kewenangan kekuasaan yudikatif. Keempat, pembatalan Perda kabupaten/kota dengan Keputusan Gubernur juga dinilai tidak tepat karena tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak mengenal keputusan gubernur dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, MK menilai hal ini bisa mengakibatkan adanya dualisme putusan pengadilan.24

Akan tetapi, terdapat beberapa Hakim Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan mendalilkan Pertama, Indonesia menganut sistem satu kesatuan hukum antara pusat dan daerah. Kedua, kewenangan membentuk Perda merupakan bentuk kewenangan atribusi. Ketiga, Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi pemerintahan mempunyai kewenangan mengambil tindakan terhadap produk hukum penyelenggara pemerintahan yang mengandung cacat. Keempat, Presiden berkepentingan memastikan penyelenggaraan pemerintahan di bawah tanggung jawabnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepentingan umum dan kesusilaan. Kelima, materi muatan Perda adalah materi yang bersubstansikan urusan Pemerintahan. Keenam, pembatalan Perda merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif dan tidak dimaksudkan menggantikan kewenangan judicial review. Pihak yang merasa dirugikan masih dapat mengajukan judicial review.25

Apabila dikaji berdasarkan metode penafsiran konstitusi, maka akan ditemukan

24 Putusan Mahkamah No. 137/PUU-XIII/2015, hlm. 202-207.25 Putusan Mahkamah No. 137/PUU-XIII/2015, hlm. 212-217.

Page 47: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

345Legal Historis Kewenangan Pengujian ... (Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

interpretasi yang digunakan oleh Hakim Konstitusi dalam memberikan putusan tersebut. Untuk 5 (lima) Hakim Konstitusi yang mengabulkan permohonan terlihat menggunakan metode interpretasi gramatikal, yaitu dengan memaknai konstitusi menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya.26

Berdasarkan penafsiran ini ketika UUD 1945 hanya memberikan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda kepada Mahkamah Agung (MA), maka hanya MA yang berhak melakukannya. Sedangkan untuk 4 (empat) Hakim Konstitusi yang menolak permohonan menunjukan penggunaan penafsiran penafsiran tekstual, yaitu pemaknaan yang menekankan pada pengertian atau pemahaman terhadap kata-kata yang tertera dalam konstitusi27 dan penafsiran doktrinal, yaitu memahami konstitusi melalui preseden atau melalui praktik peradilan.28 Berdasarkan penafsiran ini Hakim Konstitusi mengkonstruksikan pemaknaan dari doktrin Negara Kesatuan yang seharusnya tetap memberikan ruang kepada Pemerintah Pusat untuk dapat mengawasi Perda, meskipun kewenangan tersebut tidak diatur secara gramatikal di konstitusi.

Selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV/2016 dalam amar putusannya menyatakan menyatakan frasa ”Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4), dan frasa ”Perda Provinsi dan” dalam Pasal 251 ayat (7), serta Pasal 251 ayat

(5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan ini memiliki karakteristik yang sama dengan Putusan No. 137/PUU-XIII/2015, sehingga Hakim Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan mengikuti argumentasi hukum dalam putusan sebelumnya.29

Beberapa kelompok masyarakat merespon Putusan MK ini dengan menyatakan bahwa putusan ini mengakhiri perdebatan panjang dalam menentukan lembaga mana yang paling berhak membatalkan Perda karena berdasarkan rezim perundang-undangan lebih melihat Perda sebagai produk legislatif sehingga pengujiannya harus ditempuh melalui judicial review, sedangkan berdasarkan rezim Pemerintahan Daerah melihat Perda sebagai produk hukum yang dibentuk oleh pemerintahan daerah sehingga pembatalan dapat melalui excecutive review.30 Perbedaan pemaknaan rezim ini yang dapat dikatakan menjadi dasar argumentasi memberikan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda.

Terdapat pandangan yang menekankan, seharusnya dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten,

26 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010), hlm. 70.

27 Ibid., hlm. 74.28 Ibid., hlm. 75. 29 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV/2016, hlm. 97-99.30 M. Nur Sholikin, ”Penghapusan Kewenangan Pemerintah untuk Membatalkan Perda; Momentum Mengefektifkan

Pengawasan Preventif Dan Pelaksanaan Hak Uji Materiil Mahkamah Agung”, Jurnal RechtVinding Online, (12 Mei 2017), http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/Putusan%20PUU%20Pembatalan%20Perda.pdf (diakses 15 Agustus 2018).

Page 48: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

346 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dan Kota yang lahir di daerah.31 Selain itu, meskipun UUD 1945 mengatur mekanisme pengujian Perda melalui judicial review oleh Mahkamah Agung, hal itu tidak serta merta menegasikan bahwa fungsi kontrol Pemerintah Pusat terhadap Perda karena Pemerintah Pusat sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan juga sebagai pembina dan pengawas daerah tetap memiliki andil dalam pengawasan Perda dalam formulasi yang proporsional.32

Dampak Putusan MK mengenai pembatalan Perda ini, juga akan mempengaruhi hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah khususnya keselarasan peraturan dan kebijakan. Meskipun daerah dapat dikatakan merupakan simbol diversity (perbedaan), namun seharusnya daerah tetap menjadi avant garde (garda terdepan) persatuan bangsa agar tercipta keselarasan relasi yang memusat sekaligus mendaerah melalui peraturan.33 Selain itu, Putusan MK berpotensi meningkatkan permohonan Hak Uji Materi di MA, serta menghilangkan pengawasan serta penyelarasan pembangunan daerah, putusan tersebut juga tidak memperhatikan keberadaan pasal lain yang terdampak sehingga menghilangkan daya guna pasal-pasal dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah.34 Catatan-catatan ini menunjukan bahwa masih terdapat permasalahan dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menghilangkan kewenangan

pengujian dan pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat.

Berdasarkan analisis legal historis pengaturan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda, ditemukan bahwa terjadi perkembangan yang signifikan mulai semenjak Indonesia merdeka sampai saat ini di tingkat konstitusi maupun Undang-undang. Pada level konstitusi, MA ternyata telah diberikan kewenangan untuk menguji Perda semenjak Konstitusi RIS dan diatur kembali ketika UUD 1945 amandemen, namun tidak dtemukan secara tegas kewenangan Pemerintah Pusat untuk menguji dan membatalkan Perda dalam tingkat konstitusi.

Pada jenjang undang-undang, kewenangan MA itu ditegaskan kembali pengaturannya dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan kekuasaan Pemerintah Pusat menguji dan membatalkan Perda telah mengalami dinamika kewenangan mulai semenjak undang-undang mengenai Pemerintah Daerah yang pertama kali berlaku sampai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang mempengaruhi Undang-undang mengenai Pemerintah Daerah saat ini. Putusan tersebut, menghapuskan kewenangan Pemerintah Pusat yang telah berlaku dalam sistem hukum Indonesia selama 50 tahun.

31 Eka NAM Sihombing, ”Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah”, Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 2 (Agustus 2017): 232.

32 Imam M. Nasef dalam Fathorrahman, ”Telaah Hukum Tentang Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemerintah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 56/PUU-XIV/2016”, Jurnal Rechtens, Vol. 6, No. 1 (Juni 2017): 71.

33 I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: PT. Alumni, 2009), hlm. 72-73. 34 Muhammad Amin Putra, ”Masalah Pembatalan Perda oleh Mahkamah Konstitusi”, Kolom Hukum Online,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58fd70f334428/masalah-pembatalan-Perda-oleh-mahkamah-konstitusi-oleh--muhammad-amin-putra (diakses 13 Agustus 2018).

Page 49: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

347Legal Historis Kewenangan Pengujian ... (Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Tentunya Putusan tersebut berimplikasi terhadap hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah khususnya dalam mengharmonisasi peraturan di tingkat pusat dan daerah.

2. Implikasi Perkembangan Kewenangan Pengujian dan Pembatalan Peraturan Daerah terhadap Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business)

Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan dalam berusaha merupakan sebuah indeks yang mengukur sejauh mana regulasi dapat mempengaruhi 11 aspek dalam kemudahan berusaha. Indeks kemudahan berusaha (EoDB) ini awalnya diciptakan oleh Simeon Djankov di World Bank Group. Sebuah riset akademis dilaksanakan bersama-sama dengan Prof Oliver dan Andrei Shleifer.35 Di dalam rangking EODB ini, Peringkat yang lebih tinggi (nilai yang kecil) mengindikasikan nilai terbaik, biasanya terwujud dalam regulasi yang lebih mudah dalam hal usaha serta perlindungan hak cipta yang lebih kuat. Riset empiris yang didanai Bank Dunia menjadi justifikasi yang menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat tajam sebagai dampak peningkatan regulasi terkait. 36

Laporan kemudahan berusaha pertama kali diinisasi oleh Simeon Djankov dengan bekerjasama dengan World Bank Group pada 2003 dan dipublikasikan setiap tahun dengantujuan untuk mengukur kemudahan berinvestasi di 190 negara. Studi tentang Doing Business ini telah menjadi acuan dari World Bank Group dalam aspek pengembangan sektor publik dan diklaim dapat mendukung

desain reformasi regulasi di negara-negara berkembang. Penelitian tentang EoDB ini dapat menunjukan analisis detail tentang biaya, syarat dan prosedur yang spesifik dari pendaftaran usaha / investasi sektor swasta yang disyaratkan di semua negara dan kemudian diciptakan peringkat dari setiap negara. Selain itu juga dapat mendukung upaya komunikasi yang luas, dan dengan penciptaan peringkat, hasil studi akan menampilkan negara dan pemimpin yang melaksanakan reformasi regulasi di bidang kemudahan berusaha.37

Setidaknya terdapat 10 (sepuluh) indikator yang menjadi dasar penilaian EoDB , yaitu : a. Memulai Usaha / Starting Businessb. Perizinan Terkait Pendirian Bangunan /

Dealing With Construction Permit c. Pembayaran Pajak / Tax Payment d. Pendaftaran Properti / Registering Property e. Akses Perkreditan / Getting Loan f. Penegakan Kontrak / Enforcing Contract g. Ketersediaan Listrik / Getting Electricity h. Perdagangan Lintas Negara / Trading Across

Borders i. Penyelesaian Perkara Kepailitan / Resolving

Insolvencyj. Perlindungan Terhadap Investor / Protecting

Minority Investors

Indonesia sebagai Negara berkembang secara perlahan mengalami kenaikan peringkat EoDB sejak tahun 2015. EoDB Report tahun 2016 yang bertema Measuring Regulatory and Quality and Efficiency, Indonesia mencapai posisi 106, pada tahun 2017 Indonesia masuk peringkat 91 dan di tahun 2018 ini Indonesia

35 World Bank, Loc. Cit. 36 Ibid.37 World Bank: ”Doing Business 2010”, World Bank Group, 2010, hlm. 15.

Page 50: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

348 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

masuk peringkat 72. Pada indikator starting a business, Indonesia dinilai sebagai negara dengan prosedur yang cukup banyak dan biaya yang cukup tnggi. Seperti yang dirilis oleh Bank Dunia pada awal tahun 2016, Indonesia di peringkat 173, karena harus melewati 13 prosedur dengan waktu 46 hari dan biaya yang besar, Malaysia di peringkat 14, karena cukup dengan 3 prosedur dan waktu selama 4 hari‎. Sementara Singapura ada di peringkat 10. Prosedurnya sama dengan Malaysia, namun lebih singkat, karena cukup selama 2 hari.38 Indonesia masuk ke peringkat 72 dalam Doing Business Report tahun 2018 dari 192 negara yang disurvey, hal ini menunjukan kenaikan 19 peringkat dibandingkan dengan posisi Indonesia pada Doing Business Report 2017.

Pada EoDB Report 2017 yang bertema Equal Opportunity for All, Indonesia telah berhasil melaksanakan 7 dari indikator penilaian kemudahan berusaha.39 Adapun 7 perbaikan tersebut adalah : a. Modal minimum disetor sesuai kesepakatan

para pihak;b. Mengurangi waktu dan biaya untuk

mendapatkan sambungan listrik;c. Digitalisasi data kadastral dan pemanfaatan

sistem GIS; d. Mempermudah akses perkreditan melalui

pendaftaran agunan modern; e. Pembayaran pajak secara online; f. Mempermudah ekspor dan impor melalui

peningkatan kepabeanan dan pengajuan dokumen (PEB dan PIB);

g. Adanya prosedur gugatan sederhana di pengadilan niaga.

Sementara itu, pada EoDB Report 2018 dengan tema Reforming to Create Jobs, Indonesia mengalami perbaikan pada aspek berikut :40

a. Mengurangi biaya pendaftaran badan usaha sehingga memulai usaha semakin berbiaya rendah dan mudah;

b. Mengurangi koneksi dan biaya sertifikasi kabel, sehingga peroleh listrik lebih mudah dan murah;

c. Pendaftaran tanah dan hak atas tanah menjadi lebih murah dengan adanya pengurangan biaya pajak peralihan hak;

d. Meningkatkan akses ke informasi pinjaman dana melalui UMKM;

e. Memberikan perlindungan kepada investor dengan meningkatkan hak pemegang saham dan mensyaratkan keterbukaan dan transparasi korporasi;

f. Mengurangi pajak penghasilan dari 5 % menjadi 2.5 % serta memudahkan pembayaran pajak dengan adanya pendaftaran dan pendataan pajak secara online;

g. Memudahkan impor dan Perdagangan antar negara dengan memperkenalkan electronic single billing system.

Pemerintah menargetkan Indonesia dapat mencapai rangking 40 dalam Ease of Doing Business Report 2019, dan untuk membuktikan keseriusan pemerintah untuk meningkatkan

38 James Sinaga, ”Upaya Pemerintah dalam Merealisasikan Kemudahan Berusaha di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding”, Vol. 6 No. 3, (2007) : 331.

39 BKPM, Perbaikan Pelaksanaan Kemudahan Berusaha Ease of Doing Business di Indonesia, https://www.bkpm.go.id/images/uploads/whyinvest_file/Greenlab_BKPM_Web_2017_Materi_Download-EoDB_Ind_20171110.pdf (diakses 7 Agustus 2018).

40 International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank , Doing Business Report 2018 Reforming to Create Jobs, hlm. 132.

Page 51: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

349Legal Historis Kewenangan Pengujian ... (Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

iklim investasi di Indonesia dibentuk pula satgas (satuan tugas) khusus di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.41 Tidaklah sulit mencapai rangking EoDB sesuai target, mengingat pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi di bidang investasi dan ekonomi bisnis secara komprehensif yang mendukung peningkatan investasi di tingkat pusat. Permasalahannya adalah bagaimana peran daerah dalam mencapai target tersebut.

Indonesia memiliki banyak daerah yang sangat potensial terhadap pendirian usaha baru atau penanaman investasi, namun seringkali tidak dapat dipungkiri peraturan daerah menghambat kemudahan berusaha dikarenakan Perda mengatur persyaratan yang lebih rigid dan ketat untuk melakukan kegiatan usaha. Untuk itu, Pemerintah melalui UU Pemda mencoba membatasi kebebasan Pemda dalam membuat Perda dengan membatalkan Perda-Perda yang dianggap dapat berpotensi menghambat kemudahan berusaha dan menghambat iklim investasi. Namun, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan pada bagian sebelumnya, putusan MK Putusan No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan No. 56/PUU-XIV/2016 telah mencabut kewenangan Kemendagri melakukan pembatalan Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota, sehingga Pemerintah tidak lagi memiliki kewenangan mengawasi secara represif terbitnya Perda yang telah ada.

Dalam praktik, berdasarkan data yang dirilis oleh Kemendagri, terdapat 3.143 Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah pada tahun 2016

melalui mekanisme executive review baik oleh Gubernur maupun oleh Kemendagri dengan berbagai alasan, salah satu alasan yang paling dominan dikarenakan menghambat kemudahan berusaha.42 Banyaknya terjadi pengujian dan pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat berdasarkan data ini, menunjukkan fakta bahwa memang banyak terjadi Perda yang menghambat kemudahan berusaha di Indonesia. Untuk itu, penghapusan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat, tentunya akan berdampak terhadap pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda-Perda yang bersubstansikan norma yang menghambat kemudahan berusaha.

Jawa Timur merupakan daerah dengan jumlah Perda terbanyak yang dibatalkan melalui mekanisme executive review tersebut. Banyaknya Perda yang dibatalkan di Jawa Timur pada saat itu, salah satunya disebabkan oleh adanya kekhawatiran terhambatnya investasi karena beberapa Perda yang dibatalkan tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya serta tidak mendukung program pemerintah dalam deregulasi pengaturan investasi untuk meningkatkan investasi. Dalam hal ini, Kemendagri sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat cenderung menggunakan penafsiran secara politis terhadap hukum (political intepretation on law) dalam

41 CNBC Indonesia, Jokowi dan Obsesinya pada Ease of Doing Business, https://www.cnbcindonesia.com/news/20180125174422-4-2526/jokowi-dan-obsesinya-pada-ease-of-doing-business, (diakses pada 8 Agustus 2018)

42 Kementerian Dalam Negeri, Daftar Perda/ Perkada dan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang Dibatalkan/Direvisi, 2016.

Page 52: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

350 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

menentukan suatu peraturan daerah tersebut bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.42

Namun tidak dapat dipungkiri, sebagai ekses dari otonomi daerah, setiap daerah seringkali merasa memiliki hak untuk membatasi tangan eksternal (investor dalam negeri dan asing) dalam pengelolaan sumber daya maupun daerahnya dengan cara menyusun Perda yang cenderung memberatkan syarat-syarat berusaha. Dari 10 (sepuluh) indikator penilaian EoDB, setidaknya 4 (empat) diantaranya menjadi kewenangan daerah untuk menentukan aturan di daerahnya sendiri yaitu melalui regulasi mengenai starting business, perizinan pendirian bangunan, pendaftaran properti, dan jumlah serta metode pembayaran pajak. Hal ini menunjukan Pemda memiliki kewenangan untuk menyusun Perda yang benar-benar dapat menghambat kemudahan berusaha.

Perlu diingat juga bahwa standar dan indikator kemudahan berusaha pada setiap rezim Pemerintah Pusat yang berkuasa akan mengalami perubahan dan perkembangan, mungkin saja di era Pemerintah Pusat sebelumnya Pemerintah Pusat meloloskan izin pembentukan Perda, namun di era Pemerintahan Pusat selanjutnya menganggap bahwa Pemda tersebut secara nyata menghambat kemudahan berusaha dan iklim investasi di daerah. Untuk itu, hilangnya kewenangan Pemerintah Pusat mengharmonisasi peraturan di tingkat pusat dengan peraturan di tingkat daerah melalui pengujian dan pembatalan Perda dapat berdampak signifikan terhadap kemudahan kegiatan berusaha di daerah.

Implikasi dari hilangnya kewenangan Pemerintah Pusat mengawasi kewenangan Pemda dalam membuat Perda yang dapat menghambat kemudahan berusaha dikarenakan Putusan No. 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan No. 56/PUU-XIV/2016, telah mendapat keluhan dari beberapa pengusaha dan investor, terutama terkait lamanya proses penerbitan izin dan dinamika perubahan regulasi di tingkat daerah.43 Untuk itu, perubahan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda ini, secara nyata akan dapat mempengaruhi rangking EoDB Indonesia, karena dikhawatirkan kedepannya masih terdapat Pemda yang menerbitkan Perda yang tidak sejalan dengan program pemerintah pusat dalam hal kemudahan berusaha dan menjaga iklim investasi.

D. Penutup

Legal historis pengaturan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda menunjukan perkembangan signifikan mulai semenjak Indonesia merdeka sampai saat ini di tingkat konstitusi maupun Undang-undang. Pada tingkat konstitusi, Mahkamah Agung telah diberikan kewenangan tersebut dan diatur kembali ketika amandemen UUD 1945. Sedangkan pada jenjang undang-undang, kewenangan MA itu ditegaskan kembali pengaturannya dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi, kewenangan Pemerintah Pusat menguji dan

43 William Bosworth dalam Muhammad Siddiq Armia, ”Eksekutif Review terhadap Perda Retribusi di Daerah Otonomi Khusus,” Jurnal Rechtsvinding, Vol. 5 No. 2, (Agustus 2016): 247.

44 Pratomo, Harwanto Bimo, ”5 Keluhan Investor pada Iklim Investasi Indonesia, Salah Satunya Aturan Capai 43.000”, Merdeka.com, https://www.merdeka.com/uang/5-keluhan-investor-pada-iklim-investasi-indonesia-salah-satunya-aturan-capai-43000.html (diakses 16 Agustus 2018).

Page 53: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

351Legal Historis Kewenangan Pengujian ... (Muhammad Reza Winata, Mery Christian Putri, dan Zaka Firma Aditya)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

membatalkan Perda telah mengalami dinamika kewenangan mulai semenjak undang-undang mengenai Pemerintah Daerah yang pertama kali berlaku sampai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 yang memberikan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda secara ekslusif hanya kepada Mahkamah Agung, sehingga Pemerintah Pusat tidak dapat lagi mengawasi secara langsung Perda yang bermasalah.

Perkembangan kewenangan pengujian dan pembatalan Perda yang menghilangkan kewenangan Pemerintah Pusat dapat berimplikasi negatif terhadap rangking EoDB Indonesia, karena setidaknya 4 dari 10 indikator penilaian EoDB yaitu regulasi mengenai starting business, perizinan pendirian bangunan, pendaftaran properti, dan jumlah serta metode pembayaran pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Ketika ditemukan Perda yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya khususnya meningkatkan kemudahan berusaha, maka Pemerintah Pusat tidak memiliki kewenangan langsung untuk menguji dan membatalkan Perda bermasalah tersebut. Hal ini tentu akan berimplikasi terhambatnya agenda deregulasi Perda yang dianggap menghambat kemudahan berusaha oleh Pemerintah Pusat, sehingga juga dapat berdampak terjadinya penurunan rangking Ease of Doing Business Indonesia.

Daftar Pustaka

BukuAsshidiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme

(Jakarta: Konstitusi Press, 2005).Asshidiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata

Negara Jilid I (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006).

Astawa, I Gde Pantja. Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: PT. Alumni, 2009).

Handler, Philip. Legal History, Research Methods in Law (New York: Routledge, 2013).

International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs, A World Bank Group Flagship Report (Washington: International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, 2018).

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Daftar Perda/Perkada dan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang Dibatalkan/Direvisi, (2016).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Media Group, 2014).

Ningsi, Sutra. Inventarisasi dan Evaluasi Perda Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia (Jakarta: Yayasan Pusaka Obor Indonesia, 2010).

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianAsshidiqie, Jimly. Seminar Konstitusi ”Kontroversi

Amandemen UUD 1945 dan Pengaruhnya Terhadap Sistem Ketatanegaraan,” makalah disampaikan pada Seminar Konstitusi, Jakarta, 12 April 2007).

Igir, Angreime. ”Pembatalan Terhadap Peraturan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014”, Lex Privatum Vol. V/No. 3 (Mei 2017).

Fathorrahman. ”Telaah Hukum Tentang Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemerintah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 56/PUU-XIV/2016”, Jurnal Rechtens, Vol. 6, No. 1 (Juni 2017).

Santoso, M. Agus. ”Perkembangan Konstitusi di Indonesia”, Jurnal Yustisia, Vol. 2, No. 3 September-Desember (2013).

Sinaga, Edward James. ”Upaya Pemerintah dalam Merealisasikan Kemudahan Berusaha di Indonesia”, Jurnal Rechtsvending, Vol. 6 No. 3, Desember (2017).

Sihombing, Eka NAM. ”Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah”, Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 2 (Agustus 2017).

Page 54: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

352 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 335–352

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Sulistyo, Yuri,Antikowati, & Rosita Indrayati. ”Pengawasan Pemerintah Terhadap Produk Hukum Daerah (Peraturan Daerah) Melalui Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”, Lentera Hukum (April 2014).

James Sinaga, Upaya Pemerintah dalam Merealisasikan Kemudahan Berusaha di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 6 Nomor 3, (2007).

William Bosworth, ”An INTEPRETATION OF Political Argumen,” European Journal of Political Theory (2016).

InternetBadan Koordinasi Penanaman Modal, ”Perbaikan

Pelaksanaan Kemudahan Berusaha Ease of Doing Business di Indonesia”, BKPM, https://www.bkpm.go.id/images/uploads/whyinvest_file/Greenlab_BKPM_Web_2017_Materi_Download-EoDB_Ind_20171110.pdf (diakses pada 7 Agustus 2018)

MetroTV News, ”Mendagri Sebut Putusan MK Hambat Investasi”, MetroTV News, http://news.metrotvnews.com/politik/1bV6ejQb-mendagri-sebut-putusan-mk-hambat-investasi (diakses 15 Agustus 2018).

World Bank Group, ”Doing Business report series – World Bank Group”, World bank, http://www.doingbusiness.org/en/reports/global-reports/doing-business-2019, (diakses pada 7 Agustus 2018)

Pratomo, Harwanto Bimo, ”5 Keluhan Investor pada Iklim Investasi Indonesia, Salah Satunya Aturan Capai 43.000”, Merdeka.com, https://www.merdeka.com/uang/5-keluhan-investor-pada-iklim-investasi-indonesia-salah-satunya-aturan-capai-43000.html (diakses 16 Agustus 2018)

Putra, Muhammad Amin. ”Masalah Pembatalan Perda oleh Mahkamah Konstitusi”, Kolom Hukum Online, Hukum Online, http://w w w. h u k u m o n l i n e . c o m / b e r i t a / b a c a /lt58fd70f334428/masalah-pembatalan-Perda-oleh-mahkamah-konstitusi-oleh--muhammad-amin-putra (diakses 13 Agustus 2018).

Setiaji, Hidayat, ”Jokowi dan Obsesinya Pada Ease of Doing Business”, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20180125174422-4-2526/jokowi-dan-obsesinya-pada-ease-of-doing-business (diakses 8 Agustus 2018)

Sholikin, M. Nur. ”Penghapusan Kewenangan Pemerintah untuk Membatalkan Perda; Momentum Mengefektifkan Pengawasan Preventif Dan Pelaksanaan Hak Uji Materiil Mahkamah Agung”, Jurnal Recht Vinding Online, (12 Mei 2017),http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/Putusan%20PUU%20 Pembatalan%20Perda.pdf (diakses 8 Agustus 2018).

PeraturanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (naskah asli)Konstitusi Republik Indonesia SerikatUndang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (amandemen)Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor No. 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor. 14 tahun 1985 sebagaimana

telah diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 dan UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Putusan Mahkamah KonstitusiPutusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-

XIII/2015Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV/2016

Page 55: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

353Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

ANALISIS PERATURAN DAERAH TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI TENGAH IKLIM KEMUDAHAN BERUSAHA DALAM

PERSPEKTIF TEORI PERUNDANG-UNDANGAN(Analysis of Regional Regulation on Corporate Social Responsibility in The Middle of Ease of Doing

Business Climate in Perspective of Legislation Theory)

Budi S.P. NababanKantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara

Jalan Putri Hijau No. 4 MedanEmail: [email protected]

Naskah diterima: 16 Agustus 2018; revisi: 31 Oktober 2018; disetujui: 5 November 2018

AbstrakSemangat Pemerintah untuk mendorong kemudahan berusaha kurang didukung oleh Pemerintahan Daerah seperti masih banyaknya Pemerintah Daerah yang menetapkan peraturan daerah yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial di lingkungan perusahaan. Dengan harapan akan meningkatkan pendapatan daerah, daerah berlomba-lomba mengatur hal tersebut dalam peraturan daerahnya. Dalam konteks ini, keberadaan peraturan daerah tentang tanggung jawab sosial ini di tengah iklim kemudahan berusaha serta kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan merupakan topik yang menarik untuk menjadi obyek kajian. Melalui penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang, ditemukan bahwa peraturan daerah yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial ini hanya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga akan menghambat laju investasi di daerah, sehingga sejatinya tidak perlu untuk dibuat dalam bentuk peraturan daerah yang secara khusus mengatur mengenai tanggung jawab sosial perusahaan. Selain itu mengenai kedudukan peraturan daerah ini dalam peraturan perundang-undangan adalah bertentangan dengan peraturan lebih tinggi dan harus dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.Kata Kunci: kemudahan berusaha, otonomi daerah, peraturan daerah, tanggung jawab sosial perusahaan

Abstract The spirit of the Government to encourage the ease of doing business is not gaining enough support from the local governments. For example, there are still many local governments that stipulate regional regulation on corporate social responsibility (CSR). Hoping that it will increase regional income, regions compete to regulate corporate social responsibility through regional regulation. In this context, the existence of the regional regulation on CSR amid the ease of doing business climate and its position within the national legislation is interesting to be examined. Through normative legal research method with a statute approach, it is found that: the regional regulation on CSR will cause a high cost economy that will hamper the rate of investment in the region, so there is no need to make a regional regulation on CSR; the position of the regional regulation on CSR within thenational legislation is contrary to the higher regulations and must be cancelled in accordance with the applicable mechanism.Keywords: ease of doing business, regional autonomy, regional regulation, corporate social responsibility

Page 56: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

354 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

A. Pendahuluan

Kemudahan berusaha (ease of doing business) adalah survey global yang dilakukan sejak tahun 2012 oleh International Finance Corporation terhadap tidak kurang 180 negara di seluruh dunia. Survey dilakukan untuk mengukur seberapa kondusif kerangka regulasi dan kebijakan yang ada di suatu negara terkait dalam hal dimulainya berusaha dan kegiatan suatu usaha lokal. Survey menggunakan metodologi standar untuk melihat respon sistem hukum terhadap situasi yang relatif sama (situasi kemudahan berusaha), terlepas dari ragam sistem hukum yang ada di masing-masing negara yang disurvey.1 Meskipun peringkat Indonesia masih jauh dari harapan dibandingkan dengan negara-negara tetangga, namun dalam laporan terbaru The World Bank, peringkat Indonesia dalam ease of doing business naik dari posisi 91 pada tahun 2017 ke posisi 72 untuk tahun 2018.2 Kenaikan posisi dalam

ease of doing business tersebut merupakan kerja keras Pemerintah melalui sejumlah paket kebijakan, pembatalan Perda bermasalah, upaya deregulasi dan debirokratisasi.

Namun semangat Pemerintah untuk mendorong ease of doing business kurang didukung oleh Pemerintahan Daerah3 dalam menyusun Produk Hukum Daerah4 yang tidak mendukung kemudahan berusaha. Hal ini dapat dilihat masih ada Pemerintahan Daerah menyusun rancangan Perda mengenai tanggung jawab sosial lingkungan perusahaan (corporate social responsibility) (Perda CSR) dalam Program Pembentukan Perda5, seperti Kabupaten Serdang Bedagai6 dan Kabupaten Labuhanbatu7 di Sumatera Utara. Bahkan beberapa daerah telah menetapkan Perda CSR, seperti: Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2017, Perda Kota Banjarmasin Nomor 14 Tahun 2016, Perda Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2016, Perda Kota Surakarta Nomor 2

1 Tentang Kemudahan Berusaha, http://pembaruanperadilan.net/kemudahanberusaha/ (diakses 13 Agustus 2018).

2 Naik 19 Peringkat, Kemudahan Berusaha RI Di Atas China dan India, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3708649/naik-19-peringkat-kemudahan-berusaha-ri-di-atas-china-dan-india, (diakses 13 Agustus 2018).

3 Pemerintahan Daerah menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat juga Pemerintahan Daerah dalam Pasal angka 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

4 Produk Hukum Daerah menurut Pasal 1 angka 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah adalah produk hukum berbentuk peraturan meliputi perda atau nama lainnya, perkada, PB KDH, peraturan DPRD dan berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD.

5 Program Pembentukan Perda menurut Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan perda provinsi dan perda kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.

6 Program Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2017, ppid.serdangbedagaikab.go.id/front/dokumen/download/300003019 (diakses 4 Oktober 2018).

7 Keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Nomor 3/DPRD/ Tahun 2018 tentang Program Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2018.

Page 57: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

355Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Tahun 2015, Perda Kota Magelang Nomor 11 Tahun 2017, Perda Kabupaten Buleleng Nomor 7 Tahun 2017, Perda Kota Jambi Nomor 1 Tahun 2016, Perda Provinsi Kalimantan Barat Nomor 4 Tahun 2016. Padahal Perda CSR termasuk dalam 1765 Perda yang dibatalkan Pemerintah tahun 20168, sebelum kewenangan pembatalan Perda dipangkas Mahkamah Konstitusi (MK)

melalui Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 tanggal 5 April 2017 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 tanggal 14 Juni 2017.9 Ribuan Perda tersebut bermasalah karena menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat kemudahan berusaha dan bertentangan dengan

8 Dari 1765 perda dan peraturan kepala daerah dibatalkan Kementerian Dalam Negeri dalam Daftar Perda/Perkada Dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Yang Dibatalkan/Revisi, terdapat 16 perda mengenai CSR, yaitu: Perda Kabupaten Gunung Mas Nomor 4 Tahun 2015, Perda Kabupaten Barito Utara Nomor 3 Tahun 2015, Perda Kabupaten Mojokerto Nomor 7 Tahun 2015, Perda Kabupaten Mukomuko Nomor 3 Tahun 2014, Perda Kabupaten Pandeglang Nomor 8 Tahun 2011, Perda Kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2013, Perda Kota Bekasi Nomor 6 Tahun 2015, Perda Kota Cimahi Nomor 10 Tahun 2013, Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3 Tahun 2013, Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur Nomor 13 Tahun 2013, Perda Kabupaten Maluku Tenggara Barat Nomor 9 Tahun 2014, Perda Kabupaten Bengkayang Nomor 11 Tahun 2014, Perda Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 7 Tahun 2014, Perda Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 11 Tahun 2012, dan Perda Kota Batam Nomor 2 Tahun 2012. Diolah dari Daftar Perda/Perkada Dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Yang Dibatalkan/Revisi, https://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2016/06/21/b/a/batal_perda_21_juni_2016.pdf (diakses 3 Oktober 2018). Sebenarnya perihal pembatalan perda bukanlah hal baru, sebagaimana dalam penelitian Taufik H Simatupang yang mengemukakan sejumlah fakta empirik bahwa: 1. pada tahun tahun 2002-2009 sudah ada 1879 perda yang dibatalkan.2. pada tahun 2010 dari klarifikasi 3000 perda ditemukan 407 perda yang bermasalah.3. pada tahun 2011 dari klarifikasi 9000 perda ditemukan 351 perda yang bermasalah.4. pada tahun 2012 dari klarifikasi 3000 perda ditemukan 173 perda yang bermasalah.5. pada tahun 2013 dari klarifikasi 2500 perda ditemukan 215 perda yang bermasalah. 6. pada tahun 2014 dari klarifikasi 2500 perda ditemukan 354 perda yang bermasalah.7. pada tahun 2016 sebanyak 1765 perda dan peraturan kepala daerah dibatalkan.

Taufik H Simatupang, ”Peran Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Dalam Rangka Harmonisasi Peraturan Daerah”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 11 No. 1 Maret (2017): 14-15.

9 Sebelum lahirnya Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 tanggal 5 April 2017, kewenangan untuk membatalkan perda merupakan kewenangan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Oleh MK dalam amar putusannya dinyatakan bahwa frasa ”peraturan daerah kabupaten/kota dan” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (4) UU 23/2014, frasa ”peraturan daerah kabupaten/kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3) UU 23/2014, dan frasa ”penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan perda kabupaten/kota dan” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (7) dan ayat (8) UU 23/2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian baik Menteri Dalam Negeri maupun gubernur tidak lagi berwenang membatalkan perda kabupaten/kota, sehingga pembatalan perda harus dilakukan melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung. Putusan ini juga dilengkapi/diperkuat dengan Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 tanggal 14 Juni 2017 yang menyatakan bahwa pembatalan perda kabupaten/kota melalui executive review adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena dalam Pasal 251 ayat (1) UU 23/2014 mengatur mengenai pembatalan perda provinsi juga melalui executive review, maka MK berpendapat Pasal 251 ayat (1) UU 23/2014 sepanjang frasa ”peraturan daerah provisi dan”bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan pertimbangan hukum seperti dalam Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 tanggal 5 April 2017. Dengan lahirnya kedua putusan MK ini maka Pemerintah tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan perda, baik peraturan daerah provinsi maupun perda kabupaten/kota.

Page 58: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

356 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

10 Presiden Umumkan Pembatalan 3.143 Perda Bermasalah, https://www.kemendagri.go.id/blog/4334-Presiden-Umunkan-Pembatalan-3143-Perda-Bermasalah, (diakses 3 Oktober 2018).

11 Lihat lebih lanjut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

12 Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003 ini kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Kemudian diganti dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-07/MBU/05/2015 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Kemudian selang 1 (satu) bulan, diganti lagi dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.10

Pemerintahan Daerah ketika menyusun Perda diselimuti semangat otonomi daerah untuk memperoleh sebanyak mungkin Pendapatan Daerah, yaitu hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.11 Padahal konsideran menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) menyebutkan: ”Bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Bila rumusan konsideran UU 23/2014 ini dihubungkan dengan semangat Pemerintah untuk menciptakan iklim kemudahan berusaha, maka Pemerintahan Daerah seharusnya mendukung kebijakan tersebut dengan menyusun produk hukum

daerah yang mendukung kemudahan berusaha, bersinergi dengan regulasi pusat dalam kesatuan sistem hukum nasional.

Dalam peraturan perundang-undangan, klausul yang setidaknya mirip dengan CSR pertama sekali diatur dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (KepmenBUMN 236/MBU/2003)12 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tata cara pelaksanaan program kemitraan dan program bina lingkungan. Kemudian CSR secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012), serta secara implisit disisipkan dalam berbagai undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Gas Bumi (UU 22/2001), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU 25/2007), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (UU 21/2014). Dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak

Page 59: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

357Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

mendelegasikan kepada daerah untuk mengatur CSR.

CSR erat kaitannya dengan anggaran yang diperhitungkan sebagai biaya perusahaan yang akan disalurkan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran kepada masyarakat.13 Namun keberadaan CSR disalahartikan oleh Pemerintahan Daerah dengan menjadikan CSR sebagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan daerah, seperti di Kota Bandung14, Kota Jakarta15 dan Kabupaten Kotabaru.16 Bahkan di Kabupaten Bengkulu Utara CSR dijadikan komponen pendapatan daerah sebagaimana disampaikan Bupati Bengkulu Utara dalam nota pengantar keuangan RAPBD 2017 yang mengatakan perlu dibuat Perda CSR untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).17

Padahal Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU 33/2004) menyebutkan jika sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintahan Daerah berasal dari PAD, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.18 PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan inilah yang merupakan Pendapatan Daerah.19 PAD bersumber dari: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah meliputi: a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b. jasa giro; c. pendapatan bunga; d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.20

13 Lihat lebih lanjut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

14 Pakai Dana CSR, Ridwan Kamil Diingatkan Soal Serapan APBD, https://nasional.tempo.co/read/670014/pakai-dana-csr-ridwan-kamil-diingatkan-soal-serapan-apbd/full&view=ok, (diakses 4 Oktober 2018).

15 Memanjakan Warga Jakarta Dengan Produk-Produk CSR, https://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/05/06030031/Memanjakan.Warga.Jakarta.dengan.Produk-produk.CSR, (diakses 4 Oktober 2018).

16 Dalam penelitian Hasa Noor Hasadi et. al., salah satu program CSR berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Perda Kabupaten Nomor 19 Tahun 2013 program/kegiatan pemerintah daerah yang tidak terakomodir melalui APBD/APBN dapat berupa: kegiatan penelitian dan pengembangan; pembangunan fasilitas publik; dan pengembangan organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, keagamaan, seni dan budaya. Hasa Noor Hasadi et al., ”Pengaruh Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Sebuku Iron Lateritic Ores (PT. SILO) Terhadap Tingkat Pendapatan Masyarakat Di Desa Tanjung Mangkuk, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru”, JPG (Jurnal Pendidikan Geografi) Vol. 1 No. 1 Juli (2014): 59.

17 Pemkab Garap Perda CSR, http://pedomanbengkulu.com/2016/12/pemkab-garap-perda-csr/, (diakses 2 Oktober 2018).

18 Penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

19 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Bandingkan dengan pendapatan daerah menurut Pasal 285 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

20 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Bandingkan dengan Pasal 285 ayat (1) huruf a dan Pasal 195 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Page 60: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

358 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Maka berkaitan dengan keberadaan Perda CSR ini menjadi topik bahasan yang menarik untuk dikaji bagaimana keberadaan Perda CSR di tengah iklim kemudahan berusaha dan bagaimana kedudukan Perda CSR dalam peraturan perundang-undangan.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji21, sebab penelitian dalam tulisan ini dilakukan terhadap data sekunder berupa bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan putusan MK yang diperoleh dari perpustakaan maupun dari internet, sebagai berikut:a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak Gas Bumi;b. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;

c. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

f. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

h. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi;

i. Putusan MK Nomor 53/PUU-VI/2008;j. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun

2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas;

k. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; serta

l. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Adapun pendekatan analisis yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) sebagaimana yang dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki22, sebab menelaah semua data sekunder berupa bahan hukum primer yang telah disebutkan sebelumnya.

Sedangkan sifat penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah preskriptif sebagaimana

21 Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dinamakan dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 14.

22 Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), hlm. 131.

Page 61: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

359Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

juga dikemukakan Peter Mahmud Marzuki23, sebab yang dihasilkan dalam penelitian ini bukanlah asas hukum yang baru atau teori hukum yang baru, melainkan sebuah argumentasi hukum mengenai keberadaan Perda CSR.

C. Pembahasan

1. Dasar Hukum Keberadaan Perda mengenai CSR di tengah Iklim Kemudahan Berusaha

Menurut World Bank, CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve the quality of life, in ways that are both good for business and good for development.24 Menurut Kamar Dagang Industri, tanggung jawab sosial perusahaan sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang transparan dan etis; yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; memperhatikan kepentingan dari para stakeholder; sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional; terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi.25

Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan, dalam UU 25/2007 disebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat25 dan menurut UU 40/2007, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.26

Dalam dekade terakhir wacana CSR di Indonesia semakin mengemuka seiring dengan kerusakan lingkungan hidup.27 CSR mulai dipopulerkan pada tahun 1953 dengan terbitnya buku Howard R. Bowen yang berjudul ”Social Responsibilities of the Businessman”, yang periode selanjutnya isu-isu CSR terus berkembang pada tahun 1960-an yang dilandasi oleh permasalahan kemiskinan dan keterbelakangan yang mulai mendapat perhatian lebih luas dari berbagai kalangan.28 Perkembangan CSR tidak terlepas

23 Menurut Peter Mahmud Marzuki, dalam memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya merupakan esensial dari penelitian hukum, baik untuk keperluan praktik hukum maupun untuk keperluan akademis yang berpegang pada karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat dan mungkin untuk diterapkan. Oleh karena itu yang dihasilkan oleh penelitian hukum, sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori baru, paling tidak argumentasi baru. Peter Mahmud Marzuki, Ibid., hlm. 251.

24 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, 2009), hlm. 7.

25 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, Ibid., hlm. 8.26 Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.27 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.28 M. Azis Firdaus, ”Kemitraan Pemerintah Dan Swasta Dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia Melalui

Implementasi CSR”, dalam Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah: Best Practices Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, (Serang: FISIP Untirta dan Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta, 2011), hlm. 30.

Page 62: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

360 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development)29, namun konsep CSR tidaklah sama dengan karikatif (charity) ataupun kedermawanan (philanthropy) yang lebih spontan pemberiannya oleh perusahaan dan kurang memiliki efek jangka panjang bagi masyarakat dalam arti pemberdayaan mereka secara ekonomi, sosial, dan budaya.30 Sebenarnya jika ditelusuri secara mendalam, konsep CSR sudah dikenal dalam hukum adat di Indonesia, yaitu berupaya mencegah terjadinya dishamonisasi, dalam arti selalu menjaga keseimbangan alam (konsep magis religius). Konsep magis religius dalam hukum adat inilah mirip dengan konsep CSR.

Telah disampaikan sebelumnya jika CSR pertama sekali diatur oleh pemerintah dalam KepmenBUMN 236/MBU/2003, dimana Kepmen ini telah diganti dan bahkan beberapa kali mengalami perubahan, adapun kini yang berlaku adalah Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PermenBUMN 09/MBU/07/2015).31 Sedangkan untuk badan usaha lain selain BUMN seperti: koperasi, CV, firma, dan usaha dagang juga mempunyai

kewajiban CSR, secara tersirat dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 34 UU 25/2007.

Selain diatur dalam PermenBUMN 09/MBU/07/2015 dan UU 25/2007, kegiatan yang konsepnya sama dengan CSR juga diatur dalam beberapa undang-undang, seperti UU 22/200132 serta UU 32/200933, UU 21/2014.34 Kemudian secara tegas CSR diatur dalam UU 40/200735, setidaknya dengan 2 (dua) argumen: pertama, karena keprihatinan Pemerintah atas praktik korporasi yang mengabaikan aspek sosial lingkungan yang mengakibatkan kerugian di masyarakat, kedua sebagai wujud upaya entitas negara dalam penentuan standar aktivitas sosial lingkungan yang sesuai dengan konteks nasional maupun lokal.36

Di dalam Pasal 74 ayat (4) UU 40/2007 tersebut, Pemerintah diberi amanat untuk membentuk PP yang mengatur CSR yaitu melalui PP 47/2012 yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya maupun Perseroan itu sendiri dalam rangka terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi,

29 Rahmatullah, Op. cit, hlm. 198.30 Badaruddin, ”Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Masyarakat Melalui Pemanfaatan

Potensi Modal Sosial: Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Sosiologi Perkotaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 12 April 2008, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2008), hlm. 2.

31 Dalam Pasal 1 angka 6 dan angka 7 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, Program Kemitraan BUMN adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri. Program Bina Lingkungan adalah adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN.

32 Lihat lebih lanjut Pasal 11 ayat 3 (p) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.33 Lihat lebih lanjut Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal

55 ayat (1), dan Pasal 68 Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

34 Lihat lebih lanjut Pasal 65 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.35 Lihat lebih lanjut Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.36 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, Op. cit, hlm. 34.

Page 63: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

361Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.37

Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait CSR seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak ada 1 (satu) pasal pun yang memberikan kewenangan bagi Pemerintahan Daerah untuk mengatur CSR. Sehingga tidak ada dasar hukum Pemerintahan Daerah mengatur CSR dalam Perda, apalagi menjadikan CSR sebagai salah satu komponen pendapatan daerah seperti yang terjadi: di Provinsi Sulawesi Tengah, dana CSR dicantumkan dalam APBD Perubahan 2016 sebagai dana

hibah38; di Kota Surakarta dicantumkan dana CSR dalam APBD 2017 sebagai dana yang bersifat non budgetary39; di Kabupaten Jeneponto, Ketua Baleg DPRD Kabupaten Jeneponto mengatakan untuk peningkatan PAD telah lahir 3 (tiga) Perda, salah satunya Perda CSR, namun tidak dijalankan, kalau Perda CSR dijalankan PAD akan meningkat, sebab CSR 2% dari total keuntungan perusahaan harus diperoleh daerah40; dan di Kota Pekanbaru, anggota DPRD Kota Pekanbaru mengatakan salah satu upaya agar Pemko Pekanbaru meningkatkan sumber PAD yakni

37 Perseroan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas jauh lebih luas jika dibandingkan dengan perseroan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, perseroan yaitu yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Lahirnya PP 47/2012 ini untuk:1. meningkatkan kesadaran Perseroan terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan di

Indonesia;2. memenuhi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat mengenai tanggung jawab sosial dan

lingkungan; dan3. menguatkan pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan sesuai dengan bidang kegiatan usaha Perseoan yang bersangkutan. Adapun Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan Perseroan Terbatas meliputi:1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh Perseroan dalam menjalankan kegiatan usahanya

di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan Undang-Undang;2. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dilakukan di dalam ataupun di luar lingkungan Perseroan;3. Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan berdasarkan rencana kerja tahunan yang memuat

rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya;4. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan disusun dengan memperhatikan kepatutan dan

kewajaran;5. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan wajib dimuat dalam laporan tahunan Perseroan untuk

dipertanggungjawabkan kepada RUPS;6. Penegasan pengaturan pengenaan sanksi Perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan

lingkungan; dan7. Perseroan yang telah berperan dan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat diberikan

penghargaan oleh instansi yang berwenang.38 Dana CSR Jadi Hibah dan Masuk APBD, KPK Diminta Usut Gubernur Longky Djanggola, http://www.aktual.com/

dana-csr-jadi-hibah-dan-masuk-apbd-kpk-diminta-usut-gubernur-longky-djanggola/ (diakses 1 Oktober 2018). Dana CSR Dijadikan PAD, http://realitanusantara.blogspot.com/2011/04/dana-csr-dijadikan-pad.html (diakses 1 Oktober 2018).

39 Lebihi Target, Pendapatan Daerah Surakarta 2017 Capai 100,33%, https://jatengprov.go.id/beritadaerah/lebihi-target-pendapatan-daerah-surakarta-2017-capai-10033/ (diakses 1 Oktober 2018).

40 Pemkab Abaikan Perda Peningkatan PAD, Segini Kerugian Daerah Menurut Ketua Baleg DPRD Jeneponto, http://makassar.tribunnews.com/2017/09/11/pemkab-abaikan-perda-peningkatan-pad-segini-kerugian-daerah-menurut-ketua-banggar-dprd-jeneponto (diakses 1 Oktober 2018).

Page 64: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

362 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

41 Pemko Lirik Dana CSR Sebagai Sumber PAD, https://www.riaumandiri.co/read/detail/52555/pemko-lirik-dana-csr-sebagai-sumber-pad.html (diakses 1 Oktober 2018).

42 Rahmatullah, ”CSR Dan Kepentingan Pemerintah Daerah”, Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah: Best Practices Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, (Serang: FISIP Untirta dan Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta, 2011), hlm. 197.

43 Rahmatullah, Ibid., hlm. 197.

mengesahkan ranPerda CSR41, selain itu juga menurut Wakil Ketua DPRD Kota Pekanbaru pada saat pembahasan rancangan Perda CSR, bahwa dana CSR bisa dibelanjakan untuk meubeller sekolah, ruang kelas baru atau infrastruktur, sehingga bisa menjadi sumber PAD baru bagi Kota Pekanbaru.

Pengaturan CSR tersebut tentu memberatkan pengusaha, sebab menimbulkan pungutan ganda yang harus ditanggung perusahaan di daerah. Namun beberapa Pemerintahan Daerah bersikukuh menerbitkan Perda CSR, seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Menurut pengamatan Rahmatullah42 munculnya Perda CSR karena 4 (empat) kemungkinan: pertama, ada kesan pemerintah daerah (pemda) berupaya membagi beban tanggung jawab pembangunan kepada perusahaan; kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga; ketiga, pemda berupaya mengelola program CSR satu atap yang dikoordinir oleh pemda, walaupun belum jelas pola dan tata laksananya; keempat, pihak perusahaan tidak serius dalam mendesain dan melaksanakan program CSR.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, Pemerintahan Daerah ketika menyusun Perda diselimuti semangat untuk memperoleh sebanyak mungkin pendapatan daerah. Hal ini merupakan imbas negatif dari otonomi daerah, sehingga beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah namun tidak sepenuhnya dilatarbelakangi oleh kajian terhadap kebutuhan masyarakat maupun

unsur pemangku kepentingan (stakeholder) lain, yang pada akhirnya tidak memberikan dampak manfaat secara langsung43, misalnya dengan maraknya pembuatan Perda CSR yang tidak ada dasar hukum yang mensahkan pembuatan Perda CSR tersebut.

Selain tidak sesuai dengan iklim kemudahan berusaha, keberadaan Perda CSR akan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang akan menghambat laju investasi di daerah. Namun, masih banyak Perda CSR yang belum dibatalkan maupun dicantumkan dalam program pembentukan Perda. Perda CSR menjadi penghambat laju investasi di daerah sebab Perda CSR akan menimbulkan kewajiban ganda bagi pengusaha/perusahaan yang harus dibayar selain pajak. Tentunya hal tersebut menjadi komponen penambah bagi perusahaan dalam memproduksi suatu barang/jasa. Tidak mungkin pengusaha tidak menghitungnya ke dalam biaya produksi barang/jasa, sebab tidak ada pengusaha yang menginginkan kerugian, sehingga tentu akan memasukkannya dalam biaya produksi barang/jasa tersebut. Secara otomatis juga memberi pengaruh terhadap harga barang/jasa yang dijual ke pasar. Kenaikan harga barang/jasa yang dijual ke pasar akan berpengaruh terhadap permintaan terhadap barang/jasa tersebut, bila permintaan terhadap barang/jasa tersebut sedikit, maka laba perusahaan tentu akan berkurang. Berkurangnya laba perusahaan secara terus menerus tentu akan berpengaruh terhadap kesehatan keuangan perusahaan tersebut,

Page 65: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

363Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

otonomi daerah dan tugas pembantuan, atau penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, ataupun memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun, apakah memang Pemerintahan Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur CSR dalam suatu Perda. Guna mengetahuinya, setidaknya perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai otonomi daerah.

Pada Alinea ke IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa:

”..... suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, Perdamaian abadi dan keadilan sosial, .....”

Alinea ke IV inilah yang menjiwai Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa:

”Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.

Sebagai implementasi dari amanat Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka di dalam UU 23/2014 disebutkan bahwa:

”Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

44 Buchari Zaenun, Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990), hlm. 5.

yang akan berpotensi menyebabkan pailit. Jika perusahaan pailit maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja inilah yang menyebabkan pengangguran, dimana dalam kajian kriminologi pengangguran rawan menimbulkan kejahatan.

2. Kewenangan Pemerintahan Daerah membentuk Perda CSR

Buchari Zaenun pernah mengatakan jika keberadaan Perda dalam otonomi daerah sangat penting artinya, sebab Perda merupakan konsekuensi logis dari wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.44 Pendapat tersebut mirip dengan ketentuan Pasal 236 UU 23/2014 yang menyebutkan: ”Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda”.

Mencermati apa yang dikemukakan oleh Buchari Zaenun tersebut serta ketentuan Pasal 236 UU 23/2014 maka diketahui Perda lahir karena perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, otonomi daerah dan tugas pembantuan dan kondisi kekhususan. Inilah 3 (tiga) hal yang memberikan kebebasan bagi Daerah untuk melahirkan Perda. Namun, hal ini bukan berarti Pemerintahan Daerah dengan sebebasnya membentuk Perda, sebab ada rambu-rambu hukum tertentu dalam pembentukan Perda, seperti: asas pembentukan dan asas materi muatan serta asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, materi muatan Perda haruslah berupa penyelenggaraan

Page 66: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

364 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.45

Dalam makalahnya, Marzuki mengatakan bahwa otonomi daerah harus dimaknai dengan pemberian kebebasan dan kemandirian (verijheid en zelfstandigheid) untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri atas sebagian urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebebasan dan kemandirian (verijheid en zelfstandigheid) dalam otonomi yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukanlah kemerdekaan (independency), akan tetapi kebebasan dan kemandirian (verijheid en zelfstandigheid) dalam ikatan kesatuan yang lebih besar.46

Otonomi daerah yang dianut juga bukan merupakan desentralisasi secara total karena terdapat 2 (dua) konsep lain yang juga dilaksanakan bersamaan, yakni dekonsentrasi dan tugas pembantuan47 dengan pengertian masing-masing sebagai berikut:48 a. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan

Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.

b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,

kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.

c. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

Dalam otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan kesempatan agar berkembang sesuai dengan kemampuan sendiri dan tidak bergantung sepenuhnya pada Pemerintah Pusat. Selain itu dalam otonomi daerah terjadi efisiensi alokasi arus barang publik ke daerah, sekaligus mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang diberikan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pembentukan Perda. Sejak era reformasi hingga tahun 2015 diketahui bahwasanya jumlah Perda provinsi sebanyak 3.177, sedangkan jumlah Perda

45 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

46 Marzuki, ”Peranan Program Legislasi Daerah/Program Pembentuksan Peraturan Daerah Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah” (makalah disampaikan pada Bimbingan Teknis Program Legislasi Daerah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Medan, 23 April 2015), hlm. 1-2.

47 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional 2015-2019, (Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2014), hlm. 76.

48 Pasal 1 angka 8, 9 dan 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Page 67: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

365Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

kabupaten/kota sebanyak 25.575.49 Banyaknya jumlah Perda tersebut menyiratkan sejak era reformasi Pemerintahan Daerah telah diberikan hak untuk membuat produk hukum daerah, baik untuk hal yang belum ada ketentuannya maupun untuk hal yang sesungguhnya sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan di atasnya.

Menurut Jimly Asshiddiqie, Perda adalah salah satu bentuk peraturan pelaksana undang-undang.50 Perda termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Sebelum menyusun Perda, haruslah dipahami terlebih dahulu apakah Perda yang akan dibentuk tersebut merupakan Perda yang dibentuk karena kewenangan atribusi ataukah karena delegasi.51

Kewenangan Pemerintahan Daerah berdasarkan atribusi merupakan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Kewenangan atribusi telah diatur dalam UU 23/2014 yaitu sebanyak 32 (tiga puluh dua) urusan pemerintahan. Kewenangan Pemerintahan Daerah berdasarkan delegasi merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, biasanya dirumuskan dalam dalam undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden hingga peraturan menteri dengan frasa ”diatur

dengan Perda” atau ”diatur lebih lanjut dengan Perda”.

Setelah mengetahui kewenangan dalam membentuk Perda, maka selajutnya harus mengetahui materi muatan Perda. Secara normatif, materi muatan Perda dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 14 UU 12/2011 yang menyatakan bahwa: ”Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Ketentuan tersebut senafas dengan ketentuan Pasal 236 ayat (3) dan ayat (4) UU 23/2014 dan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Permendagri 80/2015, yang menyebutkan Perda memuat materi muatan: a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; selain itu Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan menurut Sihombing mengandung makna bahwa pembentukan Perda harus didasarkan pada pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah

49 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Strategi Nasional Reformasi Regulasi Mewujudkan Regulasi Yang Sederhana Dan Tertib, (Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2015), hlm. 7.

50 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 16.51 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang dimaksud dengan

atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang, sedangkan delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.

Page 68: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

366 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan sektoral lainnya.52 Berkaitan dengan materi muatan daerah dalam rangka menampung kondisi khusus daerah, mengandung makna bahwa Perda sebagai peraturan yang mengabstraksi nilai-nilai masyarakat di daerah yang berisi materi muatan nilai-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Berkaitan dengan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bermakna bahwa secara yuridis pembentukan Perda bersumber kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain pembentukan Perda harus berdasarkan pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Materi muatan Perda harus diperhatikan oleh Pemerintahan Daerah dalam menyusun Perda, agar Perda yang dihasilkan nantinya benar-benar merupakan kewenangan daerah. Kurangnya pemahaman Pemerintahan Daerah mengenai kewenangannya sering kali mengakibatkan banyaknya Perda yang dipaksakan (tanpa dasar hukum yang jelas), seperti Perda CSR.

Jika berpedoman pada pengertian kewenangan atribusi ataupun kewenangan delegasi untuk membentuk Perda sebagaimana telah diuraikan sebelumnya serta dilihat dari materi muatan Perda, maka Perda CSR bukanlah

untuk penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan ataupun penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apalagi untuk memuat materi muatan lokal.

Berdasarkan penelusuran dalam: a) peraturan di bidang otonomi daerah, yakni UU 23/2014 dan UU 33/2004; b) perundang-undangan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni UU 12/2011 dan Permendagri 80/2015; dan c) peraturan perundang-undangan yang mengatur CSR seperti UU 25/2007, UU 40/2007, UU 22/2001, UU 32/2009, UU 21/2014, PP 47/2012, serta PermenBUMN 09/MBU/07/2015, diketahui ternyata CSR bukan kewenangan Pemerintahan Daerah. Kewenangan CSR merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 74 ayat (4) UU 40/2007 yang menyatakan ”Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Bahkan MK dalam Putusan MK Nomor 53/PUU-VI/2008 berpendapat bahwa pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan Perda yang berkenaan dengan CSR, sebab perintah berdasarkan Pasal 74 ayat (4) UU 40/2007 adalah hanya diatur dengan PP.53 Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

”…………Pasal 74 ayat (4) UU 40/2007 dengan jelas menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai TJSL diatur dengan Peraturan Pemerintah;

52 Eka N.A.M. Sihombing, Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, (Malang: Intelgensia Media, 2018), hlm. 51.53 Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi ini yang dibacakan dalam sidang terbuka tanggal 15 April 2009 bukan

untuk menguji kewenangan Pemerintah Daerah di bidang CSR, namun putusan ini bermanfaat untuk dijadikan referensi bagi eksekutif dan legislatif daerah ketika hendak menyusun perda tentang CSR. Hemat penulis putusan Mahkamah Konstitusi ini justru menegaskan kembali jika kewenangan di bidang CSR merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Page 69: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

367Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Bahwa dengan telah diatur TJSL berdasarkan Pasal 74 ayat (4) UU 40/2007 maka sudah jelas pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkenaan dengan TJSL, sebab perintah Undang-Undang berdasarkan Pasal 74 ayat (4) bersifat imperatif yaitu hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Perintah Pasal 74 ayat (4) UU 40/2007 bersifat imperatif, yaitu kaidah hukum yang harus ditaati, bisa juga diartikan hukum yang dalam keadaan kongkret harus ditaati atau hukum yang tidak boleh di tinggalkan oleh para pihak dan harus diikuti54, sehingga tertutup pintu bagi daerah untuk mengatur CSR dalam Produk Hukum Daerah. Dengan adanya PP 47/2012, lantas bagaimana dengan beberapa Pemerintahan Daerah yang telah menetapkan Perda tentang CSR.

Untuk mengetahuinya, terlebih dahulu harus dipahami mengenai hierarki peraturan perundang-undangan. Hierarki peraturan perundang-undangan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011 adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Hierarki tersebut mengandung makna bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 12/2011 tersebut diadopsi dari teori stufenbau (stufenbau des rechts theorie) yang dikemukakan oleh Hans

Kelsen. Menurut Hans Kelsen norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya dan bahwa ini regrus diakhiri oleh suatu paling tinggi, norma dasar menjadi pertimbangan bagi kebenaran keseluruhan tata hukum. Teori Stufenbau milik Hans Kelsen diilhami dari pendapat muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechsantliz). Lebih lanjut menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum dibawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskraht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya sehingga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus.55 Teori stufenbau juga diadopsi dalam ketentuan Pasal 250 ayat (1) UU 23/2014 yang menyebutkan: ”Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan”.

Hierarki peraturan perundang-undangan secara kontekstual berintikan 3 (tiga) asas mendasar dalam hukum perundang-undangan yaitu: asas lex superior derogat lex inferior, lex specialist derogat lex generalis, lex posterior

54 Lihat lebih lanjut Purnandi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 49.

55 Rachmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2013), hlm. 49.

Page 70: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

368 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

derogat lex priori.56 Sehingga bila hierarki dipegang teguh dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, maka dengan sendirinya ketiga asas hukum perundang-undangan tersebut tidak dilanggar, yang akan berimbas pada terciptanya keharmonisan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada yang levelnya lebih tinggi maupun yang levelnya setara. Oleh karena itu setiap Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, hal ini telah diamanatkan dalam UU 12/2011 bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan (dibaca Perda) harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan perturan perundang-undangan yang baik, diantaranya asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.57

Perda CSR telah melanggar asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, sehingga apabila Perda CSR tersebut dipertahankan maka dikhawatirkan banyak perusahaan akan hengkang karena Perda CSR membuat pengusaha terkekang.58 Selain itu adanya Perda CSR justru akan melegitimasi bentuk-bentuk baru korupsi59, yaitu dengan dalih sumbangan Pemerintahan Daerah memungut sumbangan dari perusahaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu.

Sejatinya fungsi Perda adalah:60

a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah;

b. Merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan fungsi inilah Perda tunduk pada ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.

Dengan demikian ditinjau dari konsep otonomi daerah di Indonesia, Pemerintahan Daerah tidak boleh membentuk Perda CSR dengan dalih apapun, sebab pengaturan CSR bukanlah kewenangan daerah. Pelaksanaan CSR merupakan mandatory karena telah diatur dalam beberapa regulasi pusat yang berkaitan dengan CSR tanpa mendelegasikan kepada Pemerintahan Daerah untuk mengatur CSR.

56 Lihat lebih lanjut Jazim Hamidi, et. al., Teori & Hukum Perancangan Perda, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2012), hlm. 19..

57 Lihat lebih lanjut Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan penjelasannya.

58 Pengusaha Terancam Kabur Dari Tangsel Kelola CSR Tidak Perlu Perda, http://tangselpos.co.id/2015/04/29/pengusaha-terancam-kabur-dari-tangsel-kelola-csr-tidak-perlu-perda/ (diakses 5 Maret 2016).

59 Meregulasi CSR: Keluar Dari Jebakan ”Mengepul Uang”, http://www.academia.edu/21596708/MEREGULASI_CSR_Keluar_Dari_Jebakan_Mengepul_Uang_ (diakses 1 Februari 2016).

60 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, (Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2011), hlm. 9.

Page 71: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

369Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

D. Penutup

Keberadaan Perda CSR di tengah iklim kemudahan berusaha bertentangan dengan niat baik Pemerintah untuk mewujudkan kemudahan berusaha. Perda CSR tidak bersahabat dengan investasi, sebab pengaturan CSR dalam Perda hanya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga akan menghambat laju investasi di daerah, sebab akan melahirkan pungutan ganda yang harus ditanggung oleh pengusaha/perusahaan disamping pembayaran pajak. Untuk menutupi biaya ganda tersebut maka akan diperhitungkan sebagai komponen tambahan dalam memproduksi suatu barang/jasa yang tentunya akan mempengaruhi harga jual barang/jasa tersebut, permintaan barang/jasa tersebut, laba perusahaan, kesehatan keuangan perusahaan, serta jumlah karyawan yang dipekerjakan. Karena itu hendaknya bagi eksekutif dan legislatif di daerah ketika akan membentuk suatu Perda harus terlebih dahulu memahami rambu-rambu hukum dalam pembentukan Perda, seperti kewenangan daerah dan kewenangan pembentukan Perda serta substansi materi yang akan diatur, serta melakukan analisis biaya dan manfaat (cost and benefit analysis) terhadap penyusunan suatu Perda sehingga tidak perlu membuat Perda CSR.

Adapun kedudukan Perda CSR dalam peraturan perundang-undangan adalah bertentangan dengan peraturan lebih tinggi dan harus dibatalkan, sebab tidak ada ketentuan 1 (satu) pasal pun dalam: (a) konsep otonomi daerah yang diatur dalam UU 23/2014 dan UU 33/2004; (b) kewenangan pembentukan Perda yang diatur dalam UU 12/2011 dan Pemendagri 80/2015; dan (c) pengaturan CSR dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait CSR seperti UU 25/2007, UU 40/2007, UU 22/2001, UU 32/2009, UU

21/2014, PP 47/2012, serta PermenBUMN 09/MBU/07/2015 yang memberikan legalitas bagi Pemerintahan Daerah untuk mengatur CSR dalam Perda. Secara tegas pengaturan CSR merupakan kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada Pasal 74 ayat (4) UU 40/2007. Hal ini juga diaminkan oleh pendapat MK dalam Putusan MK Nomor 53/PUU-VI/2008. Karena itu Perda CSR harus segera dicabut oleh Pemerintahan Daerah itu sendiri untuk menciptakan kenyamanan berusaha dalam rangka ease of doing business. Selain itu pengusaha yang keberatan terhadap Perda CSR yang telah ada dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.

Daftar Pustaka

Buku Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2010).Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen

Hukum dan HAM, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, 2009).

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional 2015-2019, (Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2014).

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, (Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2011).

Hamidi, Jazim, et. al., Teori & Hukum Perancangan Perda, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2012).

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011).

Purbacaraka, Purnandi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007).

Sihombing, Eka N.A.M., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, (Malang: Intelgensia Media, 2018).

Page 72: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

370 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 353–371

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Trijono, Rachmat, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2013).

Untung, Hendrik Budi, Corporate Sosial Responsibility, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

Zaenun, Buchari, Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianBadaruddin, ”Implementasi Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan Terhadap Masyarakat Melalui Pemanfaatan Potensi Modal Sosial: Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Sosiologi Perkotaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 12 April 2008, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2008).

Firdaus, M. Azis, ”Kemitraan Pemerintah Dan Swasta Dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia Melalui Implementasi CSR”, dalam Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah: Best Practices Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, (Serang: FISIP Untirta dan Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta, 2011).

Hasadi, Hasa Noor et al., ”Pengaruh Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Sebuku Iron Lateritic Ores (PT. SILO) Terhadap Tingkat Pendapatan Masyarakat Di Desa Tanjung Mangkuk, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru”, JPG (Jurnal Pendidikan Geografi) (Vol. 1, No 1 Juli 2014).

Marzuki, ”Peranan Program Legislasi Daerah/Program Pembentuksan Peraturan Daerah Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah”, (makalah disampaikan dalam Bimbingan Teknis Program Legislasi Daerah, Medan, 23 April 2015).

Rahmatullah, ”CSR dan Kepentingan Pemerintah Daerah”, dalam Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah: Best Practices Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, (Serang: FISIP Untirta dan Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta, 2011).

Simatupang, Taufik H, ”Peran Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Dalam Rangka Harmonisasi Peraturan Daerah”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum (Vol. 11 No. 1 Maret 2017).

Internet Tentang Kemudahan Berusaha, http://

pembaruanperadilan.net/kemudahanberusaha/ (diakses 13 Agustus 2018).

Naik 19 Peringkat, Kemudahan Berusaha RI Di Atas China dan India, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3708649/naik-19-peringkat-kemudahan-berusaha-ri-di-atas-china-dan-india (diakses 13 Agustus 2018).

Daftar Perda/Perkada Dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Yang Dibatalkan/Revisi, https ://www.kemendagr i . go . id/media/filemanager/2016/06/21/b/a/batal_Perda_21_juni_2016.pdf (diakses 3 Oktober 2018).

Presiden Umumkan Pembatalan 3.143 Perda Bermasalah, https://www.kemendagri.go.id/blog/4334-Presiden-Umunkan-Pembatalan-3143-Perda-Bermasalah (diakses 3 Oktober 2018).

Pakai Dana CSR, Ridwan Kamil Diingatkan Soal Serapan APBD, https://nasional.tempo.co/read/670014/pakai-dana-csr-ridwan-kamil-diingatkan-soal-serapan-apbd/full&view=ok (diakses 4 Oktober 2018).

Memanjakan Warga Jakarta Dengan Produk-Produk CSR, https://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/05/06030031/Memanjakan.Warga.Jakarta.dengan.Produk-produk.CSR (diakses 4 Oktober 2018).

Pemkab Garap Perda CSR, http://pedomanbengkulu.com/2016/12/pemkab-garap-Perda-csr/ (diakses 2 Oktober 2018).

Dana CSR Jadi Hibah Dan Masuk APBD KPK Diminta Usut Gubernur Longky Djanggola, http://www.aktual.com/dana-csr-jadi-hibah-dan-masuk-apbd-kpk-diminta-usut-gubernur-longky-djanggola/ (diakses 1 Oktober 2018).

Dana CSR Dijadikan PAD, http://realitanusantara.blogspot.com/2011/04/dana-csr-dijadikan-pad.html (diakses 1 Oktober 2018).

Lebihi Target, Pendapatan Daerah Surakarta 2017 Capai 100,33%, https://jatengprov.go.id/beritadaerah/lebihi-target-pendapatan-daerah-surakarta-2017-capai-10033/ (diakses 1 Oktober 2018).

Pemkab Abaikan Perda Peningkatan PAD, Segini Kerugian Daerah Menurut Ketua Baleg DPRD Jeneponto, http://makassar.tribunnews.com/2017/09/11/pemkab-abaikan-Perda-peningkatan-pad-segini-kerugian-daerah-

Page 73: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

371Analisis Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... (Budi S.P. Nababan)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

menurut-ketua-banggar-dprd-jeneponto (diakses 1 Oktober 2018).

Pemko Lirik Dana CSR Sebagai Sumber PAD, https://www.riaumandiri .co/read/detail/52555/pemko-lirik-dana-csr-sebagai-sumber-pad.html (diakses 1 Oktober 2018).

Pengusaha Terancam Kabur Dari Tangsel, Kelola CSR Tidak Perlu Perda, http://tangselpos.co.id/2015/04/29/pengusaha-terancam-kabur-dari-tangsel-kelola-csr-tidak-perlu-Perda/ (diakses 5 Maret 2016).

Meregulasi CSR: Keluar Dari Jebakan Mengepul Uang, http://www.academia.edu/21596708/MEREGULASI_CSR_Keluar_Dari_Jebakan_Mengepul_Uang_ (diakses 1 Februari 2016).

Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008.

Page 74: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

372 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Page 75: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

373Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

QUO VADIS KELEMBAGAAN BADAN PELAKSANA REKLAMASI PANTAI UTARA JAKARTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEMUDAHAN BERUSAHA

PADA LAHAN HASIL REKLAMASI(Quo Vadis of Institutional Design of the Reclamation Agency of North Beach Jakarta and Its

Implication towards Ease of Doing Business on the Land Resulted by Reclamation)

Dian Agung WicaksonoDepartemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Jl. Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman, D.I. YogyakartaEmail: [email protected]

Naskah diterima: 18 Agustus 2018; revisi: 31 Oktober 2018; disetujui: 5 November 2018

Abstrak Reklamasi hampir selalu menuai polemik di seluruh Indonesia, karena disinyalir memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, walaupun reklamasi juga menjadi pilihan untuk meningkatkan fungsi suatu kawasan. Khusus dalam konteks reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta, problematika tidak kunjung usai, terlebih dengan adanya nuansa politik elektoral dalam penyelenggaraan reklamasi. Penelitian ini mencoba melihat dari perspektif kajian hukum pemerintahan daerah, khususnya mengenai permasalahan konstruksi pengaturan, dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta, serta implikasinya terhadap pelaksanaan reklamasi Pantura Jakarta dan kemudahan berusaha. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menganalisis data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan pustaka yang terkait dengan pelaksanaan reklamasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta berimplikasi pada pelaksanaan reklamasi dan kontra produktif dengan semangat penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta sebagaimana diamanatkan oleh Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Keppres Reklamasi), serta mempengaruhi indikator kemudahan berusaha. Dengan demikian aspek pengaturan penataan ruang reklamasi Pantura Jakarta perlu ditelaah kembali.Kata Kunci: dinamika kelembagaan, reklamasi, DKI Jakarta

AbstractReclamation is almost reaped polemics throughout Indonesia because it is alleged that has a negative impact on the environment, although reclamation is also an option to improve the function of an area. Especially in the context of the Jakarta North Coast reclamation, the problem is not over, especially with the presence of electoral politics in the implementation of reclamation. This study tries to look with the study of local government law perspective, specifically on regulations construction problems, the institutional dynamics of the Jakarta North Coast Reclamation Implementing Agency, and the impact for implementation of reclamation and Ease of Doing Business. This is normative-legal research that analyse secondary data, such as legislation and literature related to the implementation of reclamation. The results of this study indicate that the institutional dynamics of the North Coast Jakarta Reclamation Implementing Agency have implications for the implementation of reclamation and counter-productive in the spirit of organizing the Jakarta North Coast reclamation as mandated by Presidential Decree Number 52 of 1995 Concerning Reclamation of North Shore Jakarta (Presidential Decree on Reclamation), and influencing the Ease of Doing Business indicators. Therefore the regulatory aspects of North Coast Jakarta Reclamationt need to be reviewed.Keywords: institutional dynamics, reclamation, DKI Jakarta

Page 76: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

374 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

A. Pendahuluan

Pengaturan mengenai reklamasi diatur dalam Pasal 34 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), yang kemudian ditindaklanjuti dalam Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perpres Reklamasi). Baik dalam UU PWP3K maupun dalam Perpres Reklamasi, mengatur bahwa yang dimaksud dengan reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.1 Spesifik dalam konteks reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta, dasar hukum yang digunakan tidak merujuk pada kedua pengaturan tersebut, melainkan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Keppres Reklamasi). Dengan mendasarkan pada asas bahwa hukum tidak dapat berlaku surut (non-retroaktif), maka mutatis mutandis UU PWP3K dan Perpres Reklamasi tidak dapat diberlakukan untuk menjadi dasar pelaksanaan reklamasi Pantura Jakarta.

Namun demikian, walaupun UU PWP3K dan Perpres Reklamasi tidak dapat diterapkan sebagai dasar pelaksanaan reklamasi Pantura Jakarta, namun pada dasarnya reklamasi Pantura Jakarta juga memiliki tujuan yang senada, yaitu untuk meningkatkan manfaat sumber

daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi, yang dalam Keppres Reklamasi disebutkan untuk mewujudkan fungsi kawasan yang mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota, diperlukan upaya penataan dan pengembangan Kawasan Pantai Utara Jakarta melalui reklamasi Pantura Jakarta dan sekaligus menata ruang daratan pantai yang ada secara terarah dan terpadu.2

Salah satu materi muatan dalam Keppres Reklamasi yang patut dicermati lebih lanjut adalah adanya delegasi eksplisit pada Pasal 4 Keppres Reklamasi berupa wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.3 Dalam Keppres a quo juga menegaskan bahwa untuk menyelenggarakan Reklamasi Pantura, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta membentuk sebuah Badan Pelaksana, yang mana dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pelaksana dapat melakukan kerja sama usaha dengan pihak lain dengan syarat-syarat, tata cara dan bentuk kerja sama usaha yang diatur oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.4

Menjadi hal yang menarik adalah bila mencermati keberadaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta sebagaimana dimandatkan oleh Keppres a quo untuk dibentuk oleh Gubernur DKI Jakarta. Bila hendak dirunut, berikut adalah beberapa kali pengaturan pembentukan Badan Pelaksana yang pernah dikeluarkan:

1 Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lihat juga Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

2 Bagian Menimbang huruf a dan b Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

3 Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. 4 Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Page 77: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

375Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Tabel 1. Pengaturan Pembentukan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta

No. Produk Hukum

1. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 972 Tahun 1995 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 220 Tahun 1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta

2. Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1900/2009 tentang Pembubaran Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta

3. Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1901/2009 tentang Pembentukan Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

4. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1922 Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 1901/2009 tentang Pembentukan Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

5. Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

5 Soedjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.

6 Soerdjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 132.

Mencermati tabel di atas, setidaknya dapat dilihat beberapa variasi penamaan kelembagaan Badan Pelaksana, yang secara definitif sebenarnya nomenklatur nama lembaga telah ditentukan dalam Keppres a quo. Berbagai variasi penamaan kelembagaan Badan Pelaksana tersebut mengindikasikan bahwa pada masing-masing periode kepemimpinan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki persepsi yang sama mengenai penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta. Hal ini tentu secara simultan berdampak pada tidak kunjung selesainya penyelenggaraan reklamasi dan memunculkan berbagai permasalahan hukum sebagai konsekuensi logis tidak adanya kesamaan persepsi tersebut.

Penelitian ini secara spesifik mencoba untuk menelisik dari aspek hukum pemerintahan daerah, khususnya dikaitkan dengan: Pertama, bagaimana konstruksi pengaturan dalam penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta

oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta? Kedua, bagaimana dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta dan implikasinya terhadap pelaksanaan reklamasi Pantura Jakarta dan kemudahan berusaha pada lahan yang telah dihasilkan dari reklamasi Pantura Jakarta?

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif,5 dengan menggunakan bahan pustaka, yang terdiri dari 2 (dua) bahan hukum yaitu: (1) bahan hukum primer yang terdiri dari norma dasar atau kaidah, ketentuan atau peraturan dasar, serta peraturan perundang-undangan; dan (2) bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih lanjut dari bahan hukum primer berupa literatur, artikel jurnal, dan juga hasil penelitian yang relevan.6 Pengambilan data dilakukan dengan

Page 78: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

376 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

studi pustaka terhadap buku, artikel, hasil penelitian, dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini.

C. Pembahasan

1. Konstruksi Pengaturan dalam Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Sebelum masuk dalam pembahasan, Penulis bermaksud memberikan kejelasan bahwa yang dimaksud dengan konstruksi pengaturan dimaknai sebagai ”hubungan”7 pengaturan dalam penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta, yang mana hal ini berbeda dengan konstruksi hukum dalam ranah teori penemuan hukum, yang memaknai konstruksi hukum sebagai metode penemuan hukum dalam hal peraturannya memang tidak ada.8 Dengan demikian, penggunaan diksi konstruksi dalam pembahasan ini berfokus pada hubungan antar pengaturan dalam penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta.

Penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta tidak dapat dilepaskan dari Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Keppres Reklamasi), yang menegaskan dalam bagian Menimbang bahwa untuk mewujudkan fungsi Kawasan Pantai Utara

Jakarta sebagai Kawasan Andalan, diperlukan upaya penataan dan pengembangan Kawasan Pantura melalui reklamasi Pantura dan sekaligus menata ruang daratan pantai yang ada secara terarah dan terpadu.9 Namun demikian, terdapat ketidakjernihan dan kesimpangsiuran dalam memahami reklamasi Pantura Jakarta karena seringkali reklamasi Pantura Jakarta dijadikan sebagai isu politik dengan mengabaikan aspek legal formal yang mendasarinya. Mendasarkan pada kondisi tersebut, maka pada bagian ini akan menguraikan beberapa pemahaman yang perlu diluruskan terkait pijakan hukum yang mendasari dilaksanakannya reklamasi Pantura Jakarta, yaitu:

Pemahaman Pertama, menjernihkan kewenangan pelaksanaan reklamasi. Pelaksanaan reklamasi menurut Keppres a quo memang mendudukkan Gubernur sebagai pemegang wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura,10 yang mana untuk menyelenggarakan Reklamasi Pantura, Gubernur membentuk sebuah Badan Pelaksana.11 Keppres a quo menyebutkan bahwa Badan Pelaksana dapat melakukan kerja sama usaha dengan pihak lain,12 dengan syarat-syarat, tata cara dan bentuk kerja sama usaha yang diatur oleh Gubernur.13 Bahkan dalam Keppres a quo juga menegaskan bahwa penyelenggaraan Reklamasi Pantura dan kerja sama usaha tidak mengurangi wewenang dan tanggung jawab Gubernur,14

7 Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”konstruksi”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konstruksi, (diakses 29 Oktober 2018).

8 Lebih lanjut lihat Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum (Sejarah, Filsafat & Metode Tafsir) Edisi Revisi, (Malang: UB Press, 2014).

9 Bagian Menimbang huruf b Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.10 Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.11 Pasal 8 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.12 Pasal 8 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.13 Pasal 8 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.14 Pasal 8 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Page 79: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

377Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

yang mana pengaturan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) yang menyatakan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.15

Secara konseptual, memang terjadi pertentangan antara teori kewenangan, dalam hal ini delegasi, dengan pengaturan dalam UU Adpem. J.B.J.M. Ten Berge, sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, menyatakan bahwa salah satu syarat dari delegasi adalah definitif, yang artinya delegans (pemberi/pelimpah wewenang) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan kepada delegataris.16 Pada konteks ini Penulis berpendapat bahwa ketentuan dalam UU Adpem yang mengatur berbeda dengan teori delegasi dapat diutamakan pelaksanaannya daripada mendasarkan pada konsep delegasi. Hal ini dikarenakan materi muatan dalam UU Adpem merupakan wujud politik hukum yang telah mendapatkan justifikasi dan legitimasi, baik secara politik maupun secara hukum. Setidaknya pengaturan dalam UU Adpem adalah wujud pilihan kebijakan pembentuk UU yang memang memiliki dasar kewenangan yang sah dan konstitusional.

Mendasarkan pada penormaan di atas, setidaknya terdapat beberapa catatan yang perlu dijadikan sebagai pondasi berpikir dalam

perspektif yuridis, yaitu: Catatan Pertama, Gubernur DKI Jakarta merupakan penerima delegasi kewenangan dari Pemerintah Pusat. Catatan ini menjadi peletak dasar dalam memahami pengaturan dalam pelaksanaan reklamasi Pantura Jakarta, terlebih bila hendak mencari sejatinya siapa pemilik kewenangan dan sumber dari kewenangan tersebut. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Keppres a quo, Gubernur DKI Jakarta secara tegas merupakan penerima delegasi kewenangan dari Pemerintah Pusat cq. Presiden selaku pemegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar,17 karena kewenangan tersebut didapatkan dari penormaan dalam Keppres Reklamasi Jakarta.

Logika berpikir ini sejalan dengan norma dalam UU Adpem, yang menyatakan bahwa kewenangan diperoleh melalui atribusi, delegasi, dan/atau mandat.18 Dengan demikian, sejatinya kewenangan selalu mengenal asal atau sumber kewenangan. Dengan menggunakan pola pikir tersebut, maka Gubernur DKI Jakarta yang memperoleh kewenangan melalui Keppres a quo, dengan jelas harus memahami bahwa kewenangan yang dipegangnya merupakan wujud delegasi dari Presiden.

Lebih lanjut, aspek yang mendukung bahwa kewenangan reklamasi memang bukan kewenangan yang secara atributif dimiliki oleh Gubernur DKI Jakarta adalah dengan mencermati ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang

15 Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 16 Philipus M. Hadjon, ”Tentang Wewenang”, Jurnal Yuridika Vol. 7, No. 5-6 (1997): 5. Lihat juga J.B.J.M. Ten Berge,

Bestuuren door de Overheid - Netherlands Algemeen Bestuursrecht 1, Tweede Druk, (Deventer: Tjeenk Willink, 1997), hlm. 89.

17 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 18 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Page 80: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

378 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU DKI Jakarta) yang tidak menyebutkan adanya urusan pemerintahan konkuren19 terkait reklamasi yang melekat pada lingkup Pemerintah Provinsi. Bahkan bila merujuk pada UU DKI Jakarta, Gubernur dalam penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan yang diatur dalam UU a quo, Gubernur tetap bertanggung jawab kepada Presiden.20 Hal ini dengan jelas menunjukkan asal dan sumber kewenangan reklamasi berasal dari Presiden, sedangkan Gubernur merupakan penerima delegasi kewenangan. Apabila Presiden berkehendak, kewenangan tersebut dapat diambil kembali.

Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam UU Adpem yang secara tegas menyatakan dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan delegasi menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian kewenangan dapat menarik kembali wewenang yang telah didelegasikan.21 Dalam perkembangan kekinian, dibentuk Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta dengan anggota berasal dari Kementerian LHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Sekretaris Kabinet, serta Kementerian Koordinator Maritim, sementara dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diwakili oleh Deputi Gubernur, Bappeda, Asisten Pembangunan, dan Tim Gubernur.22 Hal ini semakin menunjukkan bahwa sejatinya

kewenangan reklamasi memang bukan domain mutlak kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq. Gubernur, melainkan merupakan kewenangan yang berasal dari Pemerintah Pusat cq. Presiden.

Catatan Kedua, Badan Pelaksana adalah bagian dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dengan sangat jelas dapat dilihat dari ketentuan dalam Keppres Reklamasi Jakarta yang menyatakan bahwa untuk menyelenggarakan Reklamasi Pantura, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta membentuk sebuah Badan Pelaksana, yang dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pelaksana dapat melakukan kerja sama usaha dengan pihak lain. Dalam Keppres a quo juga ditegaskan bahwa penyelenggaraan Reklamasi Pantura dan kerjasama usaha tidak mengurangi wewenang dan tanggung jawab Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hal ini semakin menegaskan bahwa Badan Pelaksana merupakan bagian dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan kewenangan yang dijalankan oleh Badan Pelaksana merupakan wujud dari subdelegasi dengan pengaturan yang ditentukan bersamaan dengan lahirnya delegasi kewenangan ke Gubernur melalui Keppres a quo.

Secara teoritis, prinsip subdelegasi hanya dapat dilakukan jika kewenangan untuk melakukannya ditentukan secara tegas dalam peraturan yang memberikan delegasi pertama, dengan didasarkan pada asas delegatus non

19 Lihat Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.20 Pasal 26 ayat (7) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.21 Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.22 Bagus Prihantoro Nugroho, ”Pemerintah Pusat dan DKI Bentuk Komite Bersama Bahas Reklamasi Jakarta”,

https://news.detik.com/berita/3190940/pemerintah-pusat-dan-dki-bentuk-komite-bersama-bahas-reklamasi-jakarta, (diakses 17 Agustus 2018).

Page 81: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

379Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

potest delegare (the delegate may not delegate).23 Hal ini senada dengan pengaturan dalam UU Adpem, yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.24 Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi baru dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan ketentuan: (a) dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang dilaksanakan; (b) dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan (c) paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.25 Berpijak pada pengaturan tersebut, eksistensi Badan Pelaksana dapat dikualifikasikan sebagai wujud subdelegasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, yang mutatis mutandis Badan Pelaksana seharusnya merupakan institusi dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri dan merupakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.

Pengaturan tersebut bersesuaian dengan praktik yang terjadi selama ini, misalnya dalam konteks Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT

Kapuk Naga Indah (PT KNI) tentang Perjanjian Kerja Sama Pengembangan Penyelenggaraan Reklamasi pada Areal Blok I dan IV di Sub Kawasan Barat di Sebelah Utara Pantai Indah Kapuk, yang menunjukkan bahwa Badan Pelaksana merupakan institusi yang merupakan satu kesatuan dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bahkan sebelum adanya Perjanjian Kerja Sama, kedua belah pihak telah menyusun Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding), yang mana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diwakili langsung oleh Gubernur selaku Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.26

Pemahaman Kedua, menjernihkan pengaturan penataan ruang reklamasi. Muncul perdebatan mengenai bagaimana penataan ruang yang berlaku pada reklamasi Pantura Jakarta? Apakah Keppres Reklamasi masih berlaku? Apakah Keppres a quo masih layak dijadikan dasar hukum pelaksanaan reklamasi Pantura Jakarta? Bagaimana kedudukan hukum Keppres a quo bila disandingkan dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Perpres Jabodetabekpunjur)?

Hal ini dapat dijawab dengan mengurai satu per satu polemik yang muncul, yaitu: Catatan Pertama, Keputusan Presiden dengan materi

23 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 341. Bandingkan dengan S.A. de Smith, ”Sub-Delegation and Circulars”, The Modern Law Review, Vol. 12, No. 1, January (1949): 37-43. Bandingkan juga dengan Alf Ross, ”Delegation of Power: Meaning and Validity of the Maxim Delegata Potestas Non Potest Delegari”, The American Journal of Comparative Law, Vol. 7, No. 1, Winter (1958): 1-22. Lihat juga Patrick W. Duff dan Horace E. Whiteside, ”Delegata Potestas Non Potest Delegari: A Maxim of American Constitutional Law”, Cornell L. Rev. Vol. 14, Issue 2 February (1929): 168-196. Lihat juga Horst P. Ehmke, ”Delegata Potestas Non Potest Delegari: A Maxim of American Constitutional Law”, Cornell L. Rev., Vol. 47, Issue 1 Fall (1961): 50-60.

24 Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.25 Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.26 Lihat pihak dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Kapuk Naga Indah

Nomor 589 Tahun 1997 | Nomor 051/KNI-SP/IV/1997 tentang Pengembangan Penyelenggaraan Reklamasi pada Areal Blok I dan IV di Sub Kawasan Barat di Sebelah Utara Pantai Indah Kapuk, tertanggal 11 April 1997.

Page 82: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

380 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

muatan berupa pengaturan harus dibaca sebagai Peraturan Presiden. Pemahaman ini didasarkan dari ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), yang menyatakan semua keputusan yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum UU P3 berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU P3.27 Dengan demikian, Keppres Reklamasi Jakarta memiliki kualifikasi hukum yang sederajat dengan Perpres Jabodetabekpunjur, karena di dalam materi muatan Keppres a quo sejatinya berisi materi muatan berupa pengaturan (regeling).

Catatan Kedua, Perpres Jabodetabekpunjur merupakan lex posteriori dari Keppres Reklamasi. Mendasarkan pada asas lex posterior derogat legi priori bahwa hukum yang baru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama (prior), maka dengan jelas, Perpres a quo merupakan hukum yang lebih baru yang mutatis mutandis menegasikan keberlakuan Keppres a quo. Namun demikian, penegasian tersebut tidak secara mutlak terjadi mengingat Perpres a quo mengatur sesuatu yang lebih luas, yaitu terkait penataan ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, sedangkan pengaturan dalam Keppres a quo hanya mengatur mengenai reklamasi Pantura Jakarta. Hal tersebut juga secara tegas telah disebutkan dalam Perpres a quo bahwa, ”Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini: […] c. Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun

1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, sepanjang yang terkait dengan penataan ruang; […], dinyatakan tidak berlaku.”28 Dengan demikian, Perpres a quo hanya menegasikan pengaturan dalam Keppres a quo sepanjang hanya terkait dengan penataan ruang. Pertanyaan selanjutnya, apa saja ruang lingkup yang dimaksud dengan penataan ruang?

Merujuk pada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU PR), yang dimaksud penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.29 Mendasarkan pada ketentuan tersebut, maka pokok dari penataan ruang berada pada aspek: (a) perencanaan tata ruang; (b) pemanfaatan ruang; dan (c) pengendalian pemanfaatan ruang. Kembali dalam konteks Keppres Reklamasi, pengaturan manakah yang terkait dengan penataan ruang yang dinegasikan oleh Perpres Jabodetabekpunjur? Berikut pemetaan materi muatan Keppres a quo yang terkait dengan penataan ruang:

27 Pasal 100 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

28 Pasal 72 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

29 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Page 83: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

381Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Tabel 2. Pengaturan Mengenai Penataan Ruang dalam Keppres Reklamasi

Letak Pengaturan Materi Muatan Kategori Penataan

Ruang

Pasal 1 angka 2

Kawasan Pantai Utara Jakarta, selanjutnya disebut Kawasan Pantura, adalah sebagian wilayah Kotamadya Jakarta Utara yang meliputi areal daratan pantai utara Jakarta yang ada dan areal Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Perencanaan Tata Ruang

Pasal 3 (1) Reklamasi Pantura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut sampai garis yang menghubungkan titik-titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut 8 meter.

(2) Batas-batas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tergambar dalam peta yang menjadi Lampiran I Keputusan Presiden ini.

Perencanaan Tata Ruang

Pasal 9 (1) Areal hasil Reklamasi Pantura diberikan status Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(2) Areal hasil Reklamasi Pantura dimanfaatkan sesuai dengan rencana pembagian zona Kawasan Pantura sebagaimana tergambar dalam peta yang menjadi Lampiran II Keputusan Presiden ini.

Pemanfaatan Ruang

Pasal 10 ayat (1)

Perencanaan pelaksanaan dan pengelolaan Reklamasi Pantura sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penataan Kawasan Pantura.

Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang

Pasal 10 ayat (2)

Penataan Kawasan Pantura sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam satu rencana tata ruang sebagai bagian dari Tata Ruang Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Perencanaan Tata Ruang

30 Pasal 70 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

Mendasarkan pada tabel di atas, maka dapat dilihat pengaturan mana dalam Keppres Reklamasi yang masih berlaku dan mana pengaturan yang dinegasikan oleh Perpres Jabodetabekpunjur. Setidaknya dapat dilihat pengaturan yang terkait dengan penetapan dan deliniasi kawasan, serta arahan pemanfaatan dalam Keppres a quo, mutatis mutandis tidak berlaku dengan adanya Perpres a quo. Bahkan bila benar-benar mencermati Perpres a quo dengan penafsiran argumentum a contrario, bukan saja pengaturan dalam Keppres a quo yang dinegasikan, tetapi juga peraturan pelaksanaan

yang lahir dan mendasarkan pada Keppres a quo bila bertentangan dengan Perpres a quo.30

Catatan Ketiga, Keppres Reklamasi merupakan lex specialis dari Perpres Jabodetabekpunjur. Mendasarkan pada asas lex specialis derogat legi generali bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), maka dengan jelas Keppres a quo merupakan hukum yang lebih khusus, mutatis mutandis menegasikan keberlakuan Perpres a quo. Namun demikian, penegasian tersebut tidak secara mutlak terjadi,

Page 84: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

382 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

mengingat: (a) Perpres a quo mengatur lebih luas daripada yang diatur pada Keppres a quo; dan (b) Perpres a quo yang ditetapkan lebih baru daripada Keppres a quo memberikan ketentuan spesifik materi muatan mana yang dinegasikan dari Keppres a quo. Mendasarkan pada pertimbangan tersebut, maka Keppres a quo menjadi lex specialis sepanjang pada materi muatan yang dikecualikan oleh Perpres a quo, yaitu pengaturan selain terkait dengan penataan ruang.

31 Disarikan dari:1. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 972 Tahun 1995 tentang Pembentukan,

Organisasi, dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 220 Tahun 1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta;

2. Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1900/2009 tentang Pembubaran Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta;

3. Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1901/2009 tentang Pembentukan Tim Sementara Care Taker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta;

4. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1922 Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 1901/2009 tentang Pembentukan Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta; dan

5. Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

2. Dinamika Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Implikasinya terhadap Pelaksanaan Reklamasi dan Kemudahan Berusaha pada Lahan yang Dihasilkan dari Reklamasi

Menarik kemudian bila hendak dirunut perjalanan historis yuridis kelembagaan Badan Pelaksana sebagai pelaksanaan dari Keppres Reklamasi, khususnya memperhatikan terkait apakah Badan Pelaksana merupakan institusi dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri dan apakah Badan Pelaksana merupakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawah Gubernur, yang dalam perkembangannya dapat ditelusuri sebagai berikut:31

Tabel 3. Perkembangan Pengaturan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta

No. Produk Hukum Pokok Pengaturan

1. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 972 Tahun 1995 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 220 Tahun 1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta

Badan Pelaksana merupakan perangkat daerah, sehingga Badan Pelaksana merupakan institusi dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri dan merupakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang 1 (satu) tingkat di bawah Gubernur.

Page 85: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

383Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

No. Produk Hukum Pokok Pengaturan

2. Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1900/2009 tentang Pembubaran Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Dengan dibubarkannya Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta, maka tindak lanjut penyelesaian tugas dan wewenang Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta dilakukan oleh Tim Sementara (Tim Caretaker) Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang akan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur sampai dibentuknya lembaga baru yang definitif.

3. Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1901/2009 tentang Pembentukan Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Bahwa dengan pembubaran Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta, kelangsungan tugas, fungsi, hak, kewajiban dan tanggung jawab Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta harus tetap berjalan.

Membentuk Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Tugas Tim Sementara Caretaker antara lain adalah sebagai berikut:1. Melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pelaksana

Reklamasi Pantai Utara Jakarta selama ini (sebelum pembubaran);

2. Melaksanakan hubungan kerja, koordinasi dan kerja sama dengan pihak yang selama ini (sebelum pembubaran) mempunyai hubungan kerja dan/atau kerja sama dengan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta;

3. ...4. …5. …

Fungsi Badan Pelaksana melekat pada Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang di dalamnya berisi perangkat daerah, sehingga pelaksana fungsi Badan Pelaksana merupakan institusi dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri dan merupakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang 1 (satu) tingkat di bawah Gubernur.

Page 86: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

384 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

No. Produk Hukum Pokok Pengaturan

4. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1922 Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 1901/2009 tentang Pembentukan Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Bahwa dengan berlakunya Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, seluruh urusan pemerintahan sudah terbagi habis kepada Perangkat Daerah sesuai tugas pokok dan fungsinya, oleh karena itu maka keberadaan Tim Sementara Caretaker sudah tidak relevan.

Fungsi Badan Pelaksana melekat pada perangkat daerah yang relevan, sehingga pelaksana fungsi Badan Pelaksana merupakan institusi dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri dan merupakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang 1 (satu) tingkat di bawah Gubernur.

5. Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Bahwa berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1922 Tahun 2017, Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dibubarkan dengan dicabutnya Keputusan Gubernur Nomor 1901/2009 sehingga tidak terdapat lagi kelembagaan yang secara khusus mengoordinasikan pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Bahwa dengan dibubarkannya Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak terkoordinasi dengan baik dan tidak dapat berjalan secara optimal, terpadu dan holistik, oleh karena itu perlu dibentuk suatu Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang bersifat ad hoc untuk mempercepat penyelesaian penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta sesuai amanat Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.

BKP Pantura Jakarta merupakan lembaga yang bersifat ad hoc non Perangkat Daerah dalam pelaksanaan koordinasi pengelolaan Reklamasi Pantura Jakarta, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur.

Fungsi Badan Pelaksana melekat pada Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, yang di dalamnya berisi perangkat daerah, sehingga pelaksana fungsi Badan Pelaksana merupakan institusi dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri dan merupakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang 1 (satu) tingkat di bawah Gubernur.

Page 87: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

385Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Mencermati tabel di atas, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa Badan Pelaksana ataupun lembaga yang dilekati fungsi Badan Pelaksana, notabene merupakan perangkat daerah, sehingga pelaksana fungsi Badan Pelaksana merupakan institusi dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri dan pelaksana merupakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang 1 (satu) tingkat di bawah Gubernur. Dengan demikian, dapat disimpulkan Badan Pelaksana atau lembaga yang dilekati fungsi Badan Pelaksana merupakan wujud subdelegasi dari Gubernur.

Mendasarkan pada tabel di atas, setidaknya terdapat beberapa catatan yang harus dicermati, yaitu: Catatan Pertama, pembentukan Badan Pelaksana hanya menjadi kebijakan transisional yang berkepanjangan. Hal ini terlihat dari tidak adanya sinergi dan keberlanjutan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari satu periode gubernur ke periode gubernur selanjutnya. Kelembagaan Badan Pelaksana dibubarkan oleh Gubernur Fauzi Bowo dan dibentuk Tim Caretaker sampai dibentuknya lembaga baru yang definitif. Bahkan oleh Gubernur Djarot Saiful Hidayat membubarkan Tim Caretaker dan sepenuhnya melekatkan fungsi Badan Pelaksana pada Perangkat Daerah yang tersebar dalam beberapa lingkungan jabatan. Namun, pada perkembangan terakhir justru Gubernur Anies Baswedan malah membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (BKP Reklamasi), yang notabene memiliki nomenklatur nama lembaga yang berbeda dari amanat Keppres Reklamasi dan sangat kental citarasa Tim Caretaker. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari desain kelembagaan BKP

32 Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Reklamasi yang hanya bersifat ex-officio, yang berarti pelaksanaan tugas dan fungsi pemangku jabatan dalam kelembagaan BKP Reklamasi hanya pekerjaan sampingan dan bukan tugas pokok dan fungsi yang utama.

Catatan Kedua, ketidakjelasan pengampu fungsi Badan Pelaksana. Hal ini terlihat jelas pasca Gubernur Djarot Saiful Hidayat membubarkan Tim Caretaker dan melekatkan pada beberapa lingkungan jabatan dalam Perangkat Daerah Provinsi DKI Jakarta, tidak jelas kemudian siapa yang mengkoordinasikan pelaksanaan fungsi Badan Pelaksana. Namun demikian, pasca dibentuknya BKP Reklamasi, terjadi pergeseran fokus kewenangan yang signifikan, yang semula Badan Pelaksana bertugas menyelenggarakan reklamasi Pantura Jakarta, namun BKP Reklamasi hanya dapat melakukan koordinasi dan bukan sebagai penyelenggara reklamasi.

Bila kemudian tugas pokok dan fungsi dari BKP Reklamasi hanya melakukan koordinasi, lantas siapakah penyelenggara reklamasi Pantura Jakarta? Apakah diselenggarakan sepenuhnya oleh Gubernur DKI Jakarta sebagai pihak yang diberikan wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantai Utara Jakarta32? Bila iya, maka BKP Reklamasi dapat ditafsirkan bukanlah lembaga yang dimaksud oleh Keppres Reklamasi dengan nomenklatur Badan Pelaksana. Hal ini menjadi jawaban mengapa dari aspek penamaan BKP Reklamasi tidak sesuai dengan amanat Keppres Reklamasi. Bila memang demikian, lantas mengapa mencantumkan Keppres Reklamasi dalam Bagian Menimbang Pergub BKP Reklamasi, yang berbunyi, ”[…] pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak terkoordinasi dengan baik dan tidak

Page 88: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

386 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dapat berjalan secara optimal, terpadu dan holistik, oleh karena itu perlu dibentuk suatu Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang bersifat ad hoc untuk mempercepat penyelesaian penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta sesuai amanat Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995”?33 Hal ini menjadi pertanda ketidakjelasan pengampu fungsi Badan Pelaksana sebagaimana diamanatkan dalam Keppres Reklamasi.

Catatan Ketiga, stagnasi pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Implikasi lanjutan dari ketidakjelasan pelaksanaan fungsi Badan Pelaksana, secara simultan menjadikan pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta tidak kunjung tuntas. Selain karena selalu dicecar dengan aspek politik keberpihakan, ketidakjelasan pelaksanaan fungsi Badan Pelaksana juga membuat reklamasi Pantai Utara Jakarta menjadi stagnan dan sepenuhnya harus bergantung pada kebijakan Gubernur DKI Jakarta sebagai pihak yang diberikan wewenang dan tanggung jawab reklamasi Pantura Jakarta, mengingat tugas dan fungsi BKP Reklamasi hanya pada ranah koordinasi. Dengan demikian, pelaksanaan reklamasi Pantura Jakarta akan sepenuhnya menjadi domain kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang sedang aktif menjabat dan hal ini akan semakin menghambat pelaksanaan reklamasi bila Gubernur DKI Jakarta definitif tidak memahami hubungan hukum dalam pelaksanaan reklamasi yang telah dimulai oleh Gubernur DKI Jakarta pada periode-periode sebelumnya.

Catatan Keempat, ketiadaan pemahaman bahwa Badan Pelaksana bertindak untuk dan

atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mendasarkan dari tabulasi di atas, maka hal ini penting untuk dijernihkan bahwa sejatinya Badan Pelaksana atau lembaga yang dilekati fungsi Badan Pelaksana merupakan entitas yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq. Gubernur karena alas bertindaknya berasal dari subdelegasi yang berasal dari kewenangan Gubernur dalam Keppres Reklamasi. Dengan demikian, walaupun Badan Pelaksana telah dibubarkan atau kewenangannya telah dialihkan oleh Gubernur dengan dilekatkan pada lembaga lain, maka tidak serta merta perbuatan hukum yang sebelumnya telah diperbuat oleh Badan Pelaksana dinyatakan dianulir dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan pemahaman bahwa Badan Pelaksana merupakan entitas yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, maka pasca Badan Pelaksana dibubarkan atau dialihkan kewenangannya pada lembaga lain, mutatis mutandis perbuatan hukum yang telah dilakukan sebelumnya beralih kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq. Gubernur sebagai sumber kewenangan subdelegasi, beserta seluruh hak dan kewajiban yang dilahirkan oleh perbuatan hukum tersebut. Adapun perbuatan hukum yang telah dilakukan per tahun 2009 setidaknya telah disebutkan secara lengkap pada Lampiran III Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1900/2009 tentang Pembubaran Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta34 sebagai bentuk peralihan dari Badan Pelaksana kepada lembaga baru yang dilekati fungsi Badan Pelaksana.

33 Bagian Menimbang huruf c Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

34 Lihat Lampiran III Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1900/2009 tentang Pembubaran Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Page 89: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

387Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Spesifik terkait pemenuhan hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan Pelaksana sebelum dibubarkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq. Gubernur harus tetap mengacu pada segala ketentuan yang lahir dari perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh Badan Pelaksana sebelum dibubarkan atau lembaga yang dilekati fungsi Badan Pelaksana saat ini. Penundaan pemenuhan hak dan kewajiban tersebut dapat dikualifikasikan sebagai bentuk wanprestasi, terkecuali disepakati oleh kedua belah pihak. Prestasi yang timbul dari Perjanjian Kerja Sama tidak serta merta hilang atau dapat ditunda pemenuhannya tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak dalam Perjanjian Kerja Sama.

Logika berpikir tersebut sejalan bila hendak dirujuk dari aspek hukum kerja sama daerah yang diatur secara umum pada UU Pemda dan lebih lanjut diatur pada PP Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah (PP KSD), bahwa kerja sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan perusahaan dalam penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta merupakan salah satu bentuk kerja sama Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga berupa badan usaha35. Dalam PP a quo disebutkan bahwa kerja sama daerah tidak berakhir karena pergantian pemerintahan di daerah.36 Dengan demikian, kerja sama yang telah dibuat oleh pemerintahan daerah terdahulu tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak selama tidak ada perubahan yang disepakati oleh para pihak dalam perjanjian kerja sama daerah.

Bahkan dalam PP a quo disebutkan pengakhiran kerja sama tidak akan mempengaruhi penyelesaian objek kerja sama yang dibuat dalam perjanjian atau dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama sampai terselesaikannya objek kerja sama tersebut.37 Dengan menggunakan argumentum per analogiam, bila perjanjian kerja sama yang diakhiri saja tidak akan mempengaruhi penyelesaian objek kerja sama yang dibuat dalam perjanjian atau dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama sampai terselesaikannya objek kerja sama tersebut, maka bila perjanjian kerja sama masih berlaku dan tidak diakhiri, maka sepatutnya penyelesaian objek kerja sama yang dibuat dalam perjanjian atau dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, termasuk pemenuhan hak dan kewajiban yang lahir dari perjanjian kerja sama tersebut.

Lebih lanjut, bila mendasarkan pada analisis dan uraian di atas, dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta membawa implikasi terhadap indikator kemudahan berusaha (ease of doing business) pada lahan yang dihasilkan dari reklamasi, yang meliputi:38

a. Starting A Business: Prosedur, waktu, biaya dan modal minimum untuk membangun perusahaan.

b. Registering Property: Prosedur, waktu dan biaya untuk mentransfer properti dan sistem administrasi pertanahan.

c. Getting Credit: Sistem informasi hukum dan kredit.

35 Lihat Pasal 3 huruf d dan Penjelasan Pasal 3 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

36 Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.37 Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah 38 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, ”Indikator EODB”, http://eodb.ekon.go.id/

indikator-eodb/, (diakses 17 Agustus 2018).

Page 90: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

388 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

d. Getting Electricity: Prosedur, waktu dan biaya untuk memperoleh koneksi jaringan listrik, pasokan listrik yang baik, dan biaya konsumsi listrik.

e. Resolving Insolvency: Waktu, biaya, hasil dan tingkat pemulihan untuk kebangkrutan komersial dan kekuatan kerangka hukum kepailitan.

f. Dealing with Construction Permits: Prosedur, waktu dan biaya yang digunakan untuk melengkapi formalitas untuk membangun gudang dan kualitas kontrol, mekanisme keamanan di sistem ijin konstruksi.

g. Paying Taxes: Pembayaran, waktu dan total pajak untuk perusahaan menurut peraturan pajak yang berlaku.

h. Enforcing Contracts: Biaya dan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan perdagangan dan kualitas proses hukum.

i. Trading Across Borders: Biaya dan waktu untuk ekspor barang dari perusahaan yang mempunyai keunggulan komparatif dan impor suku cadang.

j. Protecting Minority Investors: Hak pemegang saham minoritas dalam transaksi terkait dan tata kelola perusahaan.

Setidaknya dari kesepuluh indikator di atas, terdapat 3 indikator yang terdampak

dari dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta, yaitu: Indikator Pertama, registering property. Penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi salah satu permasalahan yang muncul dalam polemik reklamasi Pantura Jakarta. Permasalahan ini diawali dengan permohonan Gubernur Anies Baswedan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk membatalkan sertifikat HGB pada Pulau C, D, dan G sebagai pulau hasil reklamasi, yang telah terbit sertifikatnya pada masa Gubernur Djarot Syaiful Hidayat.39 Gubernur Anies Baswedan menilai terdapat cacat administrasi dalam penerbitan sertifikat HGB tersebut dan memohon pembatalan.40 Hal ini menjadi diskursus publik karena pihak BPN menolak permohonan Gubernur Anies Baswedan.41 Terlepas dari permasalahan adanya cacat administrasi, tentu hal ini menyebabkan kerentanan dalam kemudahan berusaha, khususnya pada aspek pendaftaran tanah dan properti.

Indikator Kedua, dealing with construction permits. Permasalahan lain yang muncul dalam reklamasi Pantura Jakarta adalah terkait penyegelan bangunan oleh Gubernur Anies Baswedan yang dinilai belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).42 Langkah ini

39 Mochamad Zhacky, ”Ini Dasar Pembatalan HGB Pulau Reklamasi Menurut Anies”, https://news.detik.com/berita/3813622/ini-dasar-pembatalan-hgb-pulau-reklamasi-menurut-anies, (diakses 17 Agustus 2018)..

40 Tiara Sutari, ”Anies: HGB Reklamasi Era Djarot Terbit Tak Sesuai Prosedur”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180110140146-20-267903/anies-hgb-reklamasi-era-djarot-terbit-tak-sesuai-prosedur, (diakses 17 Agustus 2018). Lihat juga Theresia Felisiani, ”Pakar Menilai Tidak Ada Keanehan Terbitnya Sertifikat HGB Reklamasi Teluk Jakarta”, http://www.tribunnews.com/metropolitan/2018/01/13/pakar-menilai-tidak-ada-keanehan-terbitnya-sertifikat-hgb-reklamasi-teluk-jakarta, (diakses 17 Agustus 2018).

41 Danu Damarjati, ”Anies Ingin HGB Reklamasi Dibatalkan, Yusril: Itu Tidak Mudah”, https://news.detik.com/berita/d-3809425/anies-ingin-hgb-reklamasi-dibatalkan-yusril-itu-tidak-mudah, (diakses 17 Agustus 2018). Lihat juga David Oliver Purba, ”Menanti Langkah Anies Pasca-Permohonan Pembatalan HGB Reklamasi Ditolak BPN”, https://megapolitan.kompas.com/read/2018/01/12/10494541/menanti-langkah-anies-pasca-permohonan-pembatalan-hgb-reklamasi-ditolak, (diakses 17 Agustus 2018).

42 Dian Anditya Mutiara, ”Ada 932 Bangunan Disegel Tanpa IMB di Pulau D Reklamasi”, http://wartakota.tribunnews.com/2018/06/08/ada-932-bangunan-disegel-tanpa-imb-di-pulau-d-reklamasi?page=all, (diakses 17 Agustus 2018).

Page 91: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

389Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

pun tidak luput dari diskursus publik karena menimbulkan kerugian dari pihak konsumen atas penyegelan yang dilakukan.43 Reklamasi sebagai proyek yang berskala besar tentu permasalahan ketiadaan IMB bukan seharusnya terjadi,44 namun dengan adanya fakta belum adanya IMB tentu menjadi catatan tersendiri dalam indikator kemudahan berusaha, khususnya pada aspek pengurusan perizinan yang terkait dengan bangunan.

Indikator Ketiga, enforcing contracts. Permasalahan hukum yang timbul dari berbagai polemik soal reklamasi Pantura Jakarta adalah mengenai indikasi wanprestasi terhadap perjanjian yang dibuat antara perusahaan pengembang dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Hal ini terkait dengan HGB misalnya, dalam perjanjian diantara kewajiban Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah memberikan HGB pada bagian dari tanah hasil reklamasi yang sudah berstatus Hak Pengelolaan atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada perusahaan pengembang untuk dapat diusahakan.45 Tidak dipenuhi prestasi tersebut, maka pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dikualifikasikan wanprestasi oleh pihak perusahaan pengembang karena memang tertuang dalam

perjanjian dan disepakati bersama. Tentu hal ini juga berdampak pada indikator kemudahan berusaha dari aspek penegakan kontrak. Terlebih dalam hal ini pihak dalam perjanjian adalah pemerintah daerah. Khusus mengenai penegakan kontrak dalam penyelenggaraan reklamasi, Peneliti memberikan penekanan bahwa perbuatan hukum berupa perjanjian kerja sama antara perusahaan pengembang dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang diwakili oleh Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta, mengikat kepada para pihak selama belum disepakati untuk diubah. Jadi, siapapun Gubernur DKI Jakarta definitif, ketertundukan terhadap perjanjian yang telah dibuat adalah hal yang mutlak, karena Badan Pelaksana bertindak bukan untuk atas nama pribadi Gubernur DKI Jakarta ketika perjanjian dibuat, melainkan dalam kapasitas mewakili Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Dengan mencermati ketiga indikator di atas, terlihat bahwa ketiga indikator kemudahan berusaha tersebut terdampak dari ketidakjelasan pengampu fungsi Badan Pelaksana sebagaimana diamanatkan oleh Keppres Reklamasi. Peralihan Gubernur DKI Jakarta dan perbedaan persepsi dalam memahami pengaturan penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta sedikit banyak mempengaruhi kebijakan yang diambil, sehingga

43 Indra Cahya, ”Disegel Anies, Bagaimana Nasib Investasi Properti di Pulau Reklamasi?”, https://www.merdeka.com/peristiwa/disegel-anies-bagaimana-nasib-investasi-properti-di-pulau-reklamasi.html, (diakses 17 Agustus 2018).

44 Jessi Carina, ”Kalau IMB Tidak Ada dan Ada Bangunan, Apa Gubernur Harus Diam Saja?”, https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/08/12034231/kalau-imb-tidak-ada-dan-ada-bangunan-apa-gubernur-harus-diam-saja, (diakses 17 Agustus 2018). Lihat juga Dedy Priatmojo, ”Segel Pulau Reklamasi, Anies: Urus IMB Dulu Baru Bangun”, https://www.viva.co.id/berita/metro/1043858-segel-pulau-reklamasi-anies-urus-imb-dulu-baru-bangun, (diakses 17 Agustus 2018). Lihat juga Eva Safitri, ”Fakta Penyegelan Pulau D di Zaman Ahok sampai Anies”, https://news.detik.com/berita/4059107/fakta-penyegelan-pulau-d-di-zaman-ahok-sampai-anies, (diakses 17 Agustus 2018).

45 Audrey Santoso, ”Bila HGB Batal, Pakar: Pengembang Pulau Bisa Nilai DKI Wanprestasi”, https://news.detik.com/berita/3812991/bila-hgb-batal-pakar-pengembang-pulau-bisa-nilai-dki-wanprestasi, (diakses 17 Agustus 2018).

Page 92: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

390 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

berdampak pada tidak terdapatnya kontinuitas dan sinergitas kebijakan dalam menafsirkan pengampu fungsi Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Ketidakjelasan pengampu fungsi Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta menyebabkan reklamasi Pantura Jakarta hanya berjalan di tempat dan tidak kunjung selesai. Terlebih bila penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta dibalut dengan aspek politik elektoral dan keberpihakan, maka reklamasi Pantura Jakarta tidak akan pernah sampai pada tujuan untuk mewujudkan fungsi kawasan yang mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota, sekaligus menata ruang daratan pantai yang ada secara terarah dan terpadu.

D. Penutup

Berdasarkan analisis dan uraikan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pengaturan dalam penyelenggaraan reklamasi Pantura Jakarta difokuskan pada analisis untuk menjernihkan kewenangan pelaksanaan reklamasi, yaitu: (a) Gubernur DKI Jakarta merupakan penerima delegasi kewenangan dari Pemerintah Pusat (dalam hal ini Presiden, selaku pemegang kekuasaan pemerintahan); dan (b) Badan Pelaksana adalah bagian dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, aspek pengaturan penataan ruang reklamasi Pantura Jakarta juga perlu ditelaah kembali, yaitu: (a) Keputusan Presiden dengan materi muatan berupa pengaturan harus dibaca sebagai Peraturan Presiden; (b) Perpres Jabodetabekpunjur merupakan lex posterior dari Keppres Reklamasi; dan (c) Keppres Reklamasi merupakan lex specialis dari Perpres Jabodetabekpunjur.

Kedua, dinamika kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta

menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi indikator kemudahan berusaha pada lahan yang dihasilkan dari reklamasi, setidaknya pada indikator registering property, dealing with construction permits, dan enforcing contracts. Dinamika kelembagaan Badan Pelaksana terjadi dikarenakan ketiadaan persepsi yang sama untuk memahami konsep subdelegasi sebagai sumber kewenangan Badan Pelaksana yang diberikan oleh Keppres Reklamasi, sehingga berdampak pada: (a) pembentukan Badan Pelaksana hanya menjadi kebijakan transisional yang berkepanjangan; (b) ketidakjelasan pengampu fungsi Badan Pelaksana; (c) stagnasi pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta; dan (d) ketiadaan pemahaman bahwa Badan Pelaksana bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Daftar Pustaka

Buku Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Indonesia

Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007).

Berge, J.B.J.M. Ten, Bestuuren door de Overheid - Netherlands Algemeen Bestuursrecht 1, Tweede Druk, (Deventer: Tjeenk Willink, 1997).

Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum (Sejarah, Filsafat & Metode Tafsir) Edisi Revisi, (Malang: UB Press, 2014).

Soekanto, Soedjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).

Soekanto, Soerdjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986).

ArtikelDuff, Patrick W., dan Whiteside, Horace E., ”Delegata

Potestas Non Potest Delegari: A Maxim of American Constitutional Law”, Cornell L. Rev. Vol. 14 (1929).

Ehmke, Horst P., ”Delegata Potestas Non Potest Delegari: A Maxim of American Constitutional Law”, Cornell L. Rev., Vol. 47 (1961).

Page 93: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

391Quo Vadis Kelembagaan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta ... (Dian Agung Wicaksono)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Hadjon, Philipus M., ”Tentang Wewenang”, Jurnal Yuridika Vol. 7, No. 5-6 (1997).

Smith, S.A. de, ”Sub-Delegation and Circulars”, The Modern Law Review, Vol. 12, No. 1 (1949).

Ross, Alf, ”Delegation of Power: Meaning and Validity of the Maxim Delegata Potestas Non Potest Delegari”, The American Journal of Comparative Law, Vol. 7, No. 1 (1958).

InternetCahya, Indra, ”Disegel Anies, Bagaimana Nasib

Investasi Properti di Pulau Reklamasi?”, https://www.merdeka.com/peristiwa/disegel-anies-bagaimana-nasib-investasi-properti-di-pulau-reklamasi.html, (diakses 17 Agustus 2018).

Carina, Jessi, ”Kalau IMB Tidak Ada dan Ada Bangunan, Apa Gubernur Harus Diam Saja?”, https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/08/12034231/kalau-imb-tidak-ada-dan-ada-bangunan-apa-gubernur-harus-diam-saja, (diakses 17 Agustus 2018).

Damarjati, Danu, ”Anies Ingin HGB Reklamasi Dibatalkan, Yusril: Itu Tidak Mudah”, https://news.detik.com/berita/d-3809425/anies-ingin-hgb-reklamasi-dibatalkan-yusril-itu-tidak-mudah, (diakses 17 Agustus 2018).

Felisiani, Theresia, ”Pakar Menilai Tidak Ada Keanehan Terbitnya Sertifikat HGB Reklamasi Teluk Jakarta”, http://www.tribunnews.com/metropolitan/2018/01/13/pakar-menilai-tidak-ada-keanehan-terbitnya-sertifikat-hgb-reklamasi-teluk-jakarta, (diakses 17 Agustus 2018).

Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”konstruksi”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konstruksi, (diakses 29 Oktober 2018).

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, ”Indikator EODB”, http://eodb.ekon.go.id/indikator-eodb/, (diakses 17 Agustus 2018).

Mutiara, Dian Anditya, ”Ada 932 Bangunan Disegel Tanpa IMB di Pulau D Reklamasi”, http://wartakota.tribunnews.com/2018/06/08/ada-932-bangunan-disegel-tanpa-imb-di-pulau-d-reklamasi?page=all, (diakses 17 Agustus 2018).

Nugroho, Bagus Prihantoro, ”Pemerintah Pusat dan DKI Bentuk Komite Bersama Bahas Reklamasi Jakarta”, https://news.detik.com/berita/3190940/pemerintah-pusat-dan-dki-bentuk-komite-bersama-bahas-reklamasi-jakarta, (diakses 17 Agustus 2018).

Priatmojo, Dedy, ”Segel Pulau Reklamasi, Anies: Urus IMB Dulu Baru Bangun”, https://www.viva.co.id/berita/metro/1043858-segel-pulau-reklamasi-anies-urus-imb-dulu-baru-bangun, (diakses 17 Agustus 2018).

Purba, David Oliver, ”Menanti Langkah Anies Pasca-Permohonan Pembatalan HGB Reklamasi Ditolak BPN”, https://megapolitan.kompas.com/read/2018/01/12/10494541/menanti-langkah-anies-pasca-permohonan-pembatalan-hgb-reklamasi-ditolak, (diakses 17 Agustus 2018).

Safitri, Eva, ”Fakta Penyegelan Pulau D di Zaman Ahok sampai Anies”, https://news.detik.com/berita/4059107/fakta-penyegelan-pulau-d-di-zaman-ahok-sampai-anies, (diakses 17 Agustus 2018).

Santoso, Audrey, ”Bila HGB Batal, Pakar: Pengembang Pulau Bisa Nilai DKI Wanprestasi”, https://news.detik.com/berita/3812991/bila-hgb-batal-pakar-pengembang-pulau-bisa-nilai-dki-wanprestasi, (diakses 17 Agustus 2018).

Sutari, Tiara, ”Anies: HGB Reklamasi Era Djarot Terbit Tak Sesuai Prosedur”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180110140146-20-267903/anies-hgb-reklamasi-era-djarot-terbit-tak-sesuai-prosedur, (diakses 17 Agustus 2018).

Zhacky, Mochamad, ”Ini Dasar Pembatalan HGB Pulau Reklamasi Menurut Anies”, https://news.detik.com/berita/3813622/ini-dasar-pembatalan-hgb-pulau-reklamasi-menurut-anies, (diakses 17 Agustus 2018).

Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Page 94: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

392 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 373–392

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.

Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 972 Tahun 1995 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 220 Tahun 1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta.

Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1900/2009 tentang Pembubaran Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1901/2009 tentang Pembentukan

Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1922 Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 1901/2009 tentang Pembentukan Tim Sementara Caretaker Pelaksanaan Tugas Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Dokumen LainnyaNota Kesepahaman antara Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta dengan PT Kapuk Naga Indah Nomor 589 Tahun 1997 | Nomor 051/KNI-SP/IV/1997 tentang Pengembangan Penyelenggaraan Reklamasi pada Areal Blok I dan IV di Sub Kawasan Barat di Sebelah Utara Pantai Indah Kapuk, tertanggal 11 April 1997.

Page 95: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

393Efisiensi dan Daya Saing Free Flow of Skilled Labour ... (Fajar Sugianto; Syofyan Hadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

EFISIENSI DAN DAYA SAING FREE FLOW OF SKILLED LABOUR DALAM PERSPEKTIF ECONOMIC ANALYSIS OF LAW: TELAAH PERATURAN PRESIDEN

NOMOR 20 TAHUN 2018(Economic Analysis of Law Perspective of Efficiency, Sovereignty, and Competitiveness of Free Flow of

Skilled Labour: Analysis of the President Order Number 20 Year 2018)

Fajar Sugianto; Syofyan HadiUniversitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Jl. Semolowaru No.45, Sukolilo, Surabaya Email: [email protected]; [email protected]

Naskah diterima: 18 Agustus 2018; revisi: 31 Oktober 2018; disetujui: 5 November 2018

AbstrakIndonesia telah melakukan upaya-upaya mempersiapkan kebijakan serta mewujudkan regulasi khususnya tentang Tenaga Kerja Asing (TKA).Tujuan utama dari upaya-upaya ini selain turut serta dalam arus bebas tenaga kerja terampil, juga menjamin hak-hak warga Negara agar tetap mendapatkan pekerjaan dan kelayakan kehidupan. Indonesia juga berkewajiban memfasilitasi pergerakan tenaga kerja terampil. Terkait hal tersebut, pemberlakuan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing perlu ditelaah sejauh mana efisiensi pemberlakuan dan ketepatan substansi pengaturannya? Metode penelitian yang digunakan ialah Economic Analysis of Law sebagai analisis hukum dengan menggunakan bantuan ilmu ekonomi, dalam hal ini konsep efisiensi. Hasil penelitian menunjukkan masih terdapat banyak pengaturan yang inefisien dalam Peraturan Presiden ini seperti belum menekankan kepada daya saing, pencegahan kegagalan alih teknologi dan keahlian, belum mempromosikan kepentingan publik serta belum mampu mewajibkan informasi asimetris karena tidak melibatkan Tenaga Kerja Indonesia untuk memastikan kebutuhan riil penggunaan Tenaga Kerja Asing. Namun Peraturan Presiden ini sudah cukup efisien dalam hal pemangkasan birokrasi. Ke depannya, perlu dikembalikan lagi hakikat efisiensi baik dalam aspek birokrasi maupun ketepatan sasaran penggunaan TKA berdasarkan perbedaan keterampilan dan keahlian.Kata kunci: Tenaga Kerja Asing, Daya Saing, Free Flow of Skilled Labour, Economic Analysis of Law

AbstractIndonesia has performed special effort in order to prepare policy and regulation to compete in the free flow of skilled labour of ASEAN Economic Community. The main objective of this action is not only to participate in the free flow of skilled labour but also to guarantee the fundamental right of the citizens to have work and decent life. Indonesia is also obliged to facilitate the free flow of skilled labours. In that context, there is need to analyze the effectiveness of the Presidential Regulation Number 20 Year 2018 on the use of foreign workers in terms of its implementation and regulation. This paper uses Economic Analysis of Law method which uses economic theory, in this context, efficiency concept, to analyze the object. The research concludes that there are still many inefficient provisions in this presidential regulation such as: there’s no stressing on competition, no anticipation provision for failed transfer of technology and skill, no enough promotion on public interest, and no obligation of providing asymetrical information because it doesn’t involve Indonesian Workers to determine the need of Foreign Workers. However, this Presidential Decree is quite efficient in terms of debirocration. It is suggested that the Presiden Order need to expand the meaning of efficiency both in terms of birocration and the use of foreign workers based on labor, skill and expertise.Keywords: Foreign Labor, Competitiveness, Free Flow of Skilled Labor, Economic Analysis of Law

Page 96: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

394 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 393–408

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

A. Pendahuluan

Sejak menghadapi arus bebas tenaga kerja terampil (free flow of skilled labour) dari tahun 2008 hingga 2015 sebagaimana tertuang dalam ASEAN Economic Community (AEC 2015), Indonesia telah melakukan upaya-upaya khususnya dalam hal mempersiapkan kebijakan serta regulasi khususnya terkait Tenaga Kerja Asing (TKA). Selain membentuk Pasar Tunggal Berbasis Produksi (Single Market Production Base), kebijakan ini bertujuan juga menjamin hak-hak warga Negara agar tetap mendapatkan pekerjaan dan kelayakan kehidupan seperti diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan amanat ini maka secara prinsip setiap warga negara, dalam hal ini Tenaga Kerja Indonesia (TKI), berhak untuk bekerja (right to work) dan hak-hak dalam pekerjaan (rights at work).

Hal tersebut memiliki akibat hukum kepada negara untuk melindungi setiap warga negaranya agar mendapatkan penghasilan melalui standar penghidupan yang baik sehingga mampu memenuhi kehidupannya secara wajar atas dasar harkat dan martabat kemanusiaan.1 Kewajiban negara tersebut juga perlu memperhatikan wujud nyata globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia yang telah membentuk liberalisasi pasar yang terbuka dan bebas. Terbukanya pasar bebas dan terbuka ini merupakan grand design yang sulit dibendung sehingga tidak mungkin dapat

dihindari terutama karena kuatnya pengaruh negara-negara maju (pro-globalisasi) yang secara ekonomi dan politik lebih kuat dan matang dibandingan negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Fenomena globalisasi secara umum bertujuan untuk mengintegrasikan aspek-aspek kehidupan dari seluruh negara-negara di dunia. Dengan demikian secara sempit, dapat dimaknai bahwa globalisasi memengaruhi aspek kehidupan setiap warga negara dan secara luas berdampak pada kedaulatan negara karena globalisasi dianggap memudarkan eksistensi negara itu sendiri. Menanggapi hal tersebut, Waters menjelaskan salah satu dari 4 (empat) alasan tentang posisi negara yang diperlemah akibat adanya globalisasi yakni dikarenakan meningkatnya hubungan ekonomi dan budaya yang mereduksi kekuatan negara sehingga kontrol pemerintah dalam kebijakan internal tidak efektif.2

Di sisi lain Campbell melihat globalisasi ekonomi sebagai ancaman bagi ekspor negara, tingkat manipulasi harga yang tinggi, dan terjadi dislokasi harga. Namun ia berpendapat bahwa globalisasi jelas merusak hubungan antarbangsa karena sifatnya yang borderless. Campbell menyarankan bahwa negara seharusnya memiliki pertahanan untuk menghadang arus globalisasi demi terciptanya unsur keamanan3.

Berbagai bentuk fenomena globalisasi seharusnya tidak berpengaruh terhadap negara yang berdaulat karena hakikat negara terletak pada kedaulatannya. Kedaulatan merupakan esensi dari negara, karena tanpa kedaulatan

1 Abraham H. Maslow dalam Syamsu Yusuf dan Achmad Juntika, Teori Kepribadian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 165.

2 Malcom Waters, Globalization (London: Routledge, 2003), hlm. 123.3 John L. Campbell, Institutional Change and Globalization (Princton: Princeton University Press, 2004), hlm. 18-

23.

Page 97: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

395Efisiensi dan Daya Saing Free Flow of Skilled Labour ... (Fajar Sugianto; Syofyan Hadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

maka tidak ada negara.4 Menurut teori monistis, bahwa kekuasaan negara merupakan keuasaan tertinggi dan tidak terbatas, yang memaksakan perintah-perintahnya dengan tidak mengindahkan perintah-perintah lainnya.5 Lebih lanjut lagi, F. Isjwara menambahkan negara yang memiliki kekuasaan tertinggi itu menghendaki penataan mutlak dari semua warga negara. Kekuasaan negara yang mutlak itu terjelma dalam bidang peraturan perundang-undangan, di mana negara merupakan pembentuk undang-undang yang tertinggi6.

Dalam hal terjadinya arus bebas tenaga kerja terampil sebagaimana tertuang dalam AEC 2015 guna menciptakan pasar tunggal berbasis produksi dengan cara meningkatkan dinamika dan pasar kompetitif, semua negara anggota ASEAN berkomitmen untuk memfasilitasi penerbitan visa dan ijin kerja untuk tenaga profesional dan terampil yang terlibat dalam perdangan lintas batas dan kegiatan terkait investasi. Dalam ASEAN Economic Community Scorecard: Performance and Perception disebutkan bahwa:

In allowing for managed mobility or facilitated entry for the movement of natural persons engaged in trade of goods, services, and investments, according to the prevailing regulations of the receiving country, ASEAN is working to: facilitate the issuance of visas and employment passes for ASEAN professionals and skilled labour who are engaged in cross-border trade and investment related activities.7 (Terjemahan

bebas, dalam memungkinkan mobilitas yang dikelola atau difasilitasi masuknya pergerakan orang perorangan yang terlibat dalam perdangan barang, jasa, dan investasi sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara penerima, ASEAN bekerja untuk memfasilitasi penerbitan visa dan ijin kerja untuk tenaga profesional dan terampil yang terlibat dalam perdangan lintas batas dan kegiatan terkait investasi).

ASEAN sendiri mendeklarasikan telah berhasil mengintegrasikan ekonomi regional ASEAN sejak pembentukan AEC (2008-2015) dengan menawarkan peluang dalam bentuk pasar sebesar US$ 2,6 Triliun dan lebih dari 622 juta orang. Hasilnya, pada tahun 2014 AEC secara kolektif menjadi ekonomi terbesar ketiga di Asia dan ketujuh terbesar di dunia.8 Dari sudut pandang ini, negara-negara anggota ASEAN memiliki visi AEC 2025 yang bertumpu pada sikap inovatif dan dinamis; peningkatan konektivitas dan kerjasama sektoral; dan komunitas yang lebih tangguh, inklusif, dan berorientasi pada masyarakat yang terintegrasi dengan ekonomi global.

Dalam hal ketenagakerjaan, ASEAN menganggap telah berhasil memfasilitasi pergerakan tenaga kerja terampil. Maka kini agenda terbesar yang ada adalah untuk mewujudkan karakteristik ke-lima, yakni Facilitating Movement of Skilled Labour and Business Visitors melalui salah satu langkah strategis dengan cara mengurangi dokumentasi

4 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2013), hlm. 88. 5 Hufron dan Syofyan Hadi, Ilmu Negara Kontemporer; Telaah Teoritis Asal Mula, Tujuan dan Fungsi Negara, Negara

Hukum dan Negara Demokrasi (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2016), hlm. 99. 6 F. Ijswara, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Binacipta, 1992), hlm. 108.7 Sanchita Basu Das, ASEAN Economic Community Scorecard: Performance and Perception (Singapore: ISEAS, 2013),

hlm. 114.8 Van Eechoud, The defendant usually resides in the same state in which it carries out its activities and is often the only state with jurisdiction di dalam Lydia Lundstedt, Territoriality in intellectual property law, Stockholm University (Stockholm:Sweden by Holmbergs,2003), hlm. 33.

8 Ibid.

Page 98: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

396 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 393–408

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

9 Fajar Sugianto, Economic Analysis of Law, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm 22.

10 Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument, (University of Westminster, 2007), hlm. 1.

11 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Edisi 7 (New York: Aspen Publishers, 2007), hlm. 15.

perijinan, jika tidak terstandarisasi, untuk memfasilitasi pergerakan lintas batas sementara.

Meresponi perkembangan ini, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Perpres TKA) . Meski demikian, pemerintah harus secara bijak mengambil sikap tidak saja mengikuti globalisasi ekonomi dalam ruang lingkup ASEAN tetapi juga memperhatikan kesiapan kebijakan dan regulasi dengan cara memperhatikan efisiensi peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dengan tetap berporos pada hak konstitusional warga Negara melalui regulasi. Efisien dalam konteks berdaya guna, tepat sasaran sehingga mencapai keberhasilan maksimum dalam suatu tindakan dalam keadaan kompetitif. Pembentukan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Perpres TKA) karena itu menarik untuk ditelaah lebih jauh efisiensi pemberlakuannya dan ketepatan substansi pengaturannya

B. Metode Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut tulisan ini mengangkat isu hukum tentang efisiensi, kedaulatan negara dan daya saing Free Flow of Skilled Labour dalam perspektif Economic Analysis of Law (EAL). EAL merupakan analisis hukum dengan menggunakan konsep-konsep, alasan serta pertimbangan ekonomi dalam menjawab permasalahan hukum.9 Dengan tetap mengarahkan analisis hukum, bantuan ilmu ekonomi menjadi salah satu pendekatan guna menjawab permasalahan hukum secara

lebih luas, khususnya pada aspek tertentu yang tidak dapat dijelaskan lebih komprehensif oleh ilmu hukum.

EAL dapat dijadikan suatu metode untuk menjawab permasalahan hukum dengan mengutarakan definisi berbeda dan asumsi yang berbeda, dalam hal ini dari sudut pandang ekonomi, untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan (satisfaction) dan peningkatan kebahagiaan (maximization of happiness) yang erat kaitannya dengan keadilan hukum. Untuk melakukannya maka hukum dijadikan economic tools guna mencapai maximization of happiness.10

EAL sebagai suatu metode selain berisikan analisis ekonomi terhadap permasalahan hukum, juga harus disusun dengan pertimbangan ekonomi dengan tidak menghilangkan keadilan, sehingga keadilan selalu menjadi economic standard terhadap pemberlakukan hukum (the economic conception of justice).11 Dengan demikian, EAL dalam tulisan ini berguna sebagai metode yang menilai sampai sejauh mana dampak pemberlakukan Perpres TKA terhadap masyarakat luas, sehingga lebih mudah diketahui reaksi masyarakat dan kemafaatan yang mampu diberikan oleh Perpres TKA tersebut. Dengan menggunakan telaah EAL yang dikonstruksikan melalui alasan-alasan ekonomi untuk menjelaskan akibat hukum, mengevaluasi dan mengestimasi sifat dasar, kemampuan dan kualitas Perpres TKA yang efisien sehingga dapat diprediksi model pengaturan Perpres TKA yang patut diberlakukan.

Page 99: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

397Efisiensi dan Daya Saing Free Flow of Skilled Labour ... (Fajar Sugianto; Syofyan Hadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

C. Pembahasan

1. Landasan Teori dan Uraian Konsep

a. Konsep Efisiensi

Secara harafiah, konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan pengertian penghematan yang terkait dengan penilaian ekonomis dari suatu barang dan/atau jasa. Efisien yang bersifat ekonomis berarti ”tingkat yang dapat dicapai oleh produksi maksimal dengan pengorbanan minimal”. Efisiensi suatu perusahaan diukur oleh keuntungan dan biaya, sebab produsen yang paling efektif adalah dia yang keuntungannya mencapai tingkat yang maksimal dan biaya-biayanya merupakan suatu kombinasi yang tepat daripada faktor-faktor produksi, dapat diperkecil serendah-rendahnya”12. Efisiensi dapat diukur dari tingkat keberhasilan maksimum dalam suatu tindakan ekonomi dengan memperhatikan daya saing (produce and the allocation of goods).13 Di sisi lain, Cooter dan Ulen menggarisbawahi bahwa suatu produk dapat dikatakan efisien dan melalui proses produksi yang efisien juga apabila mutu kapasitasnya atau kesanggupan, daya produksi, kemampuan untuk menghasilkan hasil yang diinginkan secara tetap, memiliki daya guna, dan tepat sasaran.14

Lebih lanjut lagi, Vilfredo Pareto mengemukakan konsep allocative efficiency yang hingga sekarang dikenal dengan Pareto Efficiency yang pada dasanya menitikberatkan pada pencapaian kepuasan seseorang. Menurutnya, suatu peristiwa dapat menghasilkan nilai

efisiensi apabila dapat membuat para pihak di dalamnya menjadi lebih baik, atau paling tidak, tidak ada satu pihak yang menjadi sengsara.15 Lanjutnya, allocative efficency terbangun dari 2 (dua) konsep, yaitu superiority dan optimality. Pareto superiority adalah suatu keadaan ekonomi yang pertukarannya dapat dilakukan untuk membawa keuntungan kepada seseorang dan tidak merugikan seorangpun. Ketika pertukaran semacam ini tidak dapat dilaksanakan, maka situasinya menjadi pareto optimality yaitu suatu keadaan ekonomi yang tidak membuat seorang pun menjadi lebih baik tanpa merugikan atau menjadikan seseorang lebih buruk.

Konsep efisiensi lainnya yang umum diadopsi dalam Hukum dan Ekonomi ialah Kaldor-Hicks Efficiency. Menurut mereka, ”efficiency is a situation in which all possible wealth-maximizing changes have occurred.16 Sehingga dapat dipahami bahwa suatu keadaan dikatakan efisien apabila dihasilkan dari suatu pertukaran alokasi sumber daya yang menguntungkan si pemenangnya. Dikatakan pemenang apabila ia lebih mendapatkan keuntungan dengan cara memperoleh manfaat dari pertukaran tersebut, tidak dengan cara mengeksploitasi atau merugikan pihak lainnya.

Ronald H. Coase melihat efisiensi dapat diukur dari besarnya biaya transaksi (transaction cost) sebagai eksternalitas. Biaya transaksi adalah segala biaya yang dikeluarkan dalam melakukan pertukaran.17 Dapat berupa hal-hal seperti biaya yang timbul dari pengkomunikasian

12 A. Abdurachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan (Jakarta: Paradnya Paramita, 1980), hlm. 378. 13 Svetozar Pejovich, Law, Informal Rules and Economic Performance (USA: EE, 2008), hlm. 9. 14 Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics (London: Pearson Addison Wesley, 2008), hlm. 17. 15 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, 8th edition (USA: Thompson West Group, 2004), hlm. 1147.16 Ibid.17 Ronald H. Coase, ”The Problem of Social Cost”, The Journal of Law and Economics, The University of Chicago

Press (1960), hlm. 67.

Page 100: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

398 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 393–408

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dan merupakan biaya yang menghambat pertukaran. Dari sini dapat dipahami bahwa pertukaran seharusnya berhasil ketika biaya transaksi adalah nol.

Pada saat suatu keadaan memiliki biaya transaksi tinggi, seharusnya peraturan perundang-undangan menekan biaya transaksi tersebut sehingga para pihak yang terlibat di dalamnya dapat melakukan pertukaran yang saling menguntungkan. Dalam hal efisiensi pengaturan penggunaan TKA, setidak-tidaknya dapat diukur ketika biaya transaksi menjadi endogen terhadap sistem hukum yang ada, dalam pengertian, pengaturan TKA dapat menekan hambatan-hambatan dalam private bargaining yang berpotensi berbiaya tinggi, seperti biaya pencarian (search cost), biaya pertukaran (bargaining cost), dan biaya penegakkan (enforcement cost). Ketika Perpres TKA mampu melancarkan interaksi dan transaksi (bargaining) dengan cara pertukaran secara volunter, maka pengaturan tersebut efisien. Sebaliknya, jika dengan diberlakukannya Perpres TKA justru menciptakan celah (gap) dalam bentuk risiko dan keadaan tidak menentu maka dapat dipastikan keberlakuannya tidak efisien.

b. Konsep Free flow of Skilled Labour

AEC 2015 berisikan 4 (empat) karakteristik yakni: i) Single Market Production Base; ii) Competitive Economic Region; iii) Equitable Economic Region; dan iv) Linkages with Global Economy. Masing-masing karakteristik tersebut berisikan berbagai indikator, termasuk kebijakan tentang tenaga kerja. Pada karakteristik pertama, Single Market Production Base dicirikan dengan berbagai arus bebas, termasuk di dalamnya arus bebas tenaga kerja terampil (free flow of skilled labour) di wilayah Asia Tenggara, bukan tenaga

kerja belum terampil. Hal ini memberikan kesempatan bagi setiap warga negara anggota ASEAN untuk turut menikmati keterbukaan lapangan kerja. Oleh karena yang menjadi objek arus bebas adalah tenaga kerja yang terampil, maka untuk menikmatinya TKI harus memiliki keahlian dan keterampilan yang memadai sesuai dengan profesinya masing-masing.

Tidak semua profesi masuk ke dalam kategori terampil yang diarusbebaskan. Hal ini sudah ditentukan di dalam ASEAN Qualification Reference Framework (AQRF) yang disahkan oleh para Menteri Ekonomi ASEAN di tahun 2014, para Menteri Pendidikan ASEAN juga di tahun 2014, dan para Menteri Ketenagakerjaan ASEAN pada tahun 2015. Selain AQRF, Mutual Recognition of Skills (MRS) yang diinisiasi oleh International Labor Organization khusus mengenai keterampilan teknis/vokasi juga menjadi tolak ukur profesi apa saja yang dapat dikategori sebagai tenaga kerja terampil sehingga dapat mengikuti arus bebas tersebut. Hasilnya, keduanya memberikan pengakuan bahwa profesi-profesi yang dapat diarusbebaskan ialah yang terlibat dalam bidang ilmu: teknik, keperawatan, arsitektur, survei tanah, medis, dokter gigi, akutansi, dan pariwisata. Dengan demikian, sangat jelas bahwa dalam hal arus bebas tenaga kerja terampil tidak berarti pergerakan bebas manusia (free movement of people) tetapi arus bebas tenaga kerja yang memiliki keterampilan di bidang-bidang yang telah ditentukan tersebut.

Menurut konsep daya saing dan konsep free flow of skilled labour, maka persaingan akan terjadi di 8 (delapan) bidang pekerjaan tersebut dengan memperhatikan kesanggupan, kemampuan dan kekuatan untuk saling bersaing antara profesional satu dengan yang lain dengan memacu keunggulan masing-masing

Page 101: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

399Efisiensi dan Daya Saing Free Flow of Skilled Labour ... (Fajar Sugianto; Syofyan Hadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

baik secara komparatif maupun kompetitif. Keunggulan komparatif dapat ditinjau dengan cara saling membandingkan kualitas keterampilan di bidangnya masing-masing (sesama profesi) dengan profesi yang sama dari negara anggota ASEAN yang lain. Cara seperti ini akan menumbukan persaingan sehat yang pada akhirnya pasar akan memilih dan memakai tenaga kerja yang dirasa paling terampil dengan berbagai macam pertimbangannya, seperti upah, etos kerja, kesadaran, dedikasi, dan lain sebagainya. Keunggulan kompetitif dapat ditinjau dari pada kemampuan negara untuk memformulasikan strategi peningkatan keterampilan dan keahlian yang siap pakai sesuai dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada, seperti pendidikan lanjutan, etos kerja, dedikasi, dan hal lain yang menjadi nilai tambah di dalam keunggulan komperatif tenaga kerja itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa suatu keunggulan walaupun bisa dibedakan menjadi keunggulan komperatif dan kompetitif, namun keduanya sangat berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dalam hal daya saing arus bebas tenaga kerja terampil. Agar dapat mengikuti arus bebas tersebut, sebagai tenaga kerja profesional harus mampu meningkatkan keahlian dan keterampilannya di 8 (delapan) bidang tersebut agar dapat bersaing dengan tenaga kerja profesional dari negara anggota ASEAN yang lain. Begitupula dengan negara harus mampu meningkatkan kualitas tenga kerja profesionalnya serta menggunakan strategi yang efisien agar:1) tenaga kerja profesional Indonesia dapat

mengikuti arus bebas tenaga kerja terampil

dengan cara menyiapkan kualitas tenaga kerja profesional Indonesia sesuai dengan jenis lapangan pekerjaan yang ada di negara anggota ASEAN; dan

2) tenaga kerja profesional Indonesia yang belum dapat mengikuti arus bebas tenaga kerja terampil dapat bertahan menghadapi kedatangan tenaga kerja profesional dari negara anggota ASEAN yang lain.

Agar daya saing ini dapat terjaga, negara berdaulat yang memiliki segala kekuasaan harus konsisten mengatur lalu lintas arus bebas tenaga kerja terampil yang masuk ke Indonesia dengan cara memfasilitasi pergerakan tenaga kerja terampil dan pengunjung bisnis (Facilitating Movement of Skilled Labour and Business Visitors) melalui salah satu langkah strategis dengan cara mengurangi dokumentasi perijinan, jika tidak terstandarisasi untuk memfasilitasi pergerakan lintas batas sementara hanya kepada tenaga kerja terampil, bukan terhadap tenaga kerja tidak terampil (unskilled labour).

c. Teori Daya Saing

Menurut Porter, daya saing adalah tingkat produktivitas yang diartikan sebagai output yang dihasilkan oleh suatu tenaga kerja.18 Pendapat ini menyatakan bahwa suatu negara memperoleh keunggulan daya saing jika perusahaan yang ada di negara tersebut kompetitif. Tambunan menambahkan bahwa daya saing merupakan keunggulan pembeda dari yang lain yang terdiri dari comparative advantage (faktor keunggulan

18 Michael Porter, ”The Competitive Advantage of Nations” https://hbr.org/1990/03/the-competitive-advantage-of-nations, Harvard Business Review (diakses 22 Mei 2018).

Page 102: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

400 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 393–408

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

komparatif) dan competitive advantage (faktor keunggulan kompetitif).19

Dalam hal tenaga kerja, keunggulan komperatif menekankan tentang cara untuk mencapai tujuan bersama dengan segala keunggulan yang dimiliki baik oleh tenga kerja yang satu terhadap tenaga kerja lainnya. Sedangkan keunggulan kompetitif menekankan tentang cara memanfaatkan keunggulan yang dimiliki tenaga kerja tersebut agar dapat mendapatkan tujuan bekerja dengan cara berkompetisi dengan tenaga kerja lainnya. Oleh karena yang menjadi objek kompetisi adalah lapangan pekerjaan yang saling diperebutkan oleh antar individu atau antara beberapa komunitas, maka persaingan dalam konteks ini memiliki fungsi sebagai alat untuk melakukan seleksi sosial dan untuk menghasilkan pembagian kerja yang tepat dan efektif.

Seleksi sosial dapat dilakukan ketika persaingan disadari oleh dasar pemikiran sehat sehingga pada akhirnya individu atau komunitas tertentu akan bertahan dan akan tetap tersedia lapangan pekerjaan baginya karena memiliki kualitas dan keterampilan yang lebih baik dibandingkan dengan tenaga kerja yang lain dengan biaya yang sama. Dalam menghasilkan pembagian kerja yang tepat dan efektif, dengan adanya persaingan kerja, kemampuan serta kualitas akan terlihat jelas sehingga segala bentuk kekurangan dan kelebihan tenaga kerja tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya persaingan, pasar akan menentukan posisi dan kedudukan setiap tenaga kerja yang tepat sesuai

dengan kemampuan dan keterampilannya sehingga kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan efektif.

Penjelasan tersebut memberikan pemahaman bahwa ketersediaan lapangan pekerjaan di era kompetitif sekarang ini erat kaitannya dengan keterampilan. Survey 2015 menunjukan bahwa Indonesia masih memiliki rasio 8:2 antara tenaga kerja terampil (skilled worker) dengan yang tidak terampil (unskilled worker). Angka ini masih relatif lebih baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti Vietnam (7:3), Malaysia (3:7), dan Thailand (2:8).20

Dalam hal tingkat kesiapan keterampilan (skill preparedness) pada saat ini dan di masa yang akan datang, Indonesia masih berada di tingkat kesiapan pada saat ini 50:50 antara rendah dan tinggi, sementara dalam hal kesiapan di masa datang, Indonesia menduduki posisi di bawah rata-rata.21

2. Economic Analysis of Law Terhadap Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Banyak perbedaan pengelompokan keterampilan tenaga kerja oleh para pakar, dalam penulisan ini guna mendapatkan kejelasan terhadap arus bebas TKA berdasarkan AEC 2015 cukup dikelompokan menjadi 2 (dua), yakni TKA terampil (skilled) dan TKA berketerampilan rendah (low skilled).

19 Tulus Tambunan, Makalah: ”Pengusaha KADIN Brebes Di Dalam Era Globalisasi: Tantangan dan Ancaman” (Makalah Diskusi dalam Temu Usaha Kadin Brebes 20 Desember 2004).

20 The Federation of Thai Industries, ASEAN Affairs Department of Foreign Affairs Ministry and the International Labour Organisation, 2015.

21 Gad Levanon et all, ”Help Wanted: What Looming Labor Shortages Mean for Yor Business” (The Conference Board, Research Report R-1601-16RR, 2016).

Page 103: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

401Efisiensi dan Daya Saing Free Flow of Skilled Labour ... (Fajar Sugianto; Syofyan Hadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Dengan mengetahui kejelasan tentang arus bebas tenaga kerja terampil (free flow of skilled labour) yang tidak sama dengan pergerakan bebas manusia (free movement of people) maka terbuka keleluasaan perspektif tentang keberadaan tenaga kerja yang tidak terkategori berkerampilan rendah (low skilled labour). Ada yang berpendapat bahwa arus bebas tenaga kerja terampil masih dirasa tidak optimal karena setiap negara anggota ASEAN memiliki lembaga dan pengaturan hukum ketenagakerjaan yang berbeda-beda dan hingga saat ini belum tercapai unifikasi terhadapnya. Permasalahan lain disebabkan oleh belum adanya kesesuaian pendapat secara lebih luas mengenai pengakuan keterampilan dari dan antara negara anggota ASEAN. Dalam konteks daya saing, tujuannya ialah persaingan secara alami yang pada akhirnya terjadi seleksi sosial. Berdasarkan perkembangan seperti ini, liberalisasi pasar tenaga kerja akan menawarkan manfaat kepada tenaga kerja berketerampilan rendah, mengingat selain belum diatur pergerakannya tetapi juga jumlah kebutuhan keterampilan tersebut di Indonesia masih terbuka. Selain itu tenaga kerja daerah sebagian besar masih didominasi oleh pekerja berketerampilan rendah.22

Terdapat 2 (dua) alasan dasar untuk menguji ketepatan-sasaran suatu kebijakan yang terdapat dalam suatu regulasi, yakni, pertama alasan ekonomi, dengan mempertimbangkan tujuan seperti pencegahan monopoli, internalisasi eksternalitas, mendorong alih teknologi, kepentingan publik, dan informasi asimetris. Kedua, alasan hukum (sebagai alasan non ekonomi) dengan tetap memperhatikan

tujuan seperti mencapai keadilan distributif, nilai-nilai komunitas, dan kesejahteraan individu.23 Dengan pemberlakuan Perpres TKA, kajian EAL terhadapnya dilakukan dengan mengutarakan alasan-asalan ekonomi dan hukum guna mendapatkan jawaban terhadap efisiensi kebijakan pemberlakuan Perpres TKA.

Dalam melakukan pengujian terhadap Perpres TKA, alasan ekonomi yang menjadi pertimbangan, yaitu: Pertama, Mencegah monopoli atau mengurangi dampaknya. Persaingan merupakan pusat ekonomi pasar. Teori umum mengasumsikan bahwa konsumen memiliki pilihan terhadap kualitas barang/jasa yang mereka beli. Oleh karena itu pasar hanya akan memilih hasil terbaik dari hasil persaingan ini. Praktek monopoli akan membatasi pasokan dan menjaga harga terlalu tinggi. Ketika pemerintah dengan terpaksa memelihara monopoli alami, maka langkah efektif yang dapat dilakukan ialah mencegah penyalahgunaan monopoli. Persaingan berdasarkan keterampilan dan keahlian merupakan pusat perhatian pengusaha. Para pengusaha dalam hal ini akan memilih kualitas tenaga kerja yang mereka pekerjakan. Oleh karenanya pengusaha akan hanya memilih tenaga kerja yang dianggapnya paling efisien sesuai dengan kebutuhan pekerjaannya berdasarkan rasionalitas yang ada. Efisien tidaknya tenaga kerja menurut alasan ini tidak berpengaruh kepada nasionalitas tenaga kerja itu sendiri melaintkan menitikberatkan kepada keterampilan dan keahlian yang dimiliki tenaga kerja tersebut agar dapat membawa keuntungan kepada pengusaha.

22 Gad Levanon et all, ”Help Wanted: What Looming Labor Shortages Mean for Yor Business” (The Conference Board, Research Report R-1601-16RR, 2016).

23 David Kraybill dan Maureen Kilkenny, Economic Rationales for and Against Place-Based Policies (USA: Cornell University, 2002), hlm. 3-5.

Page 104: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

402 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 393–408

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Arus bebas tenaga kerja terampil akan menjadi efisien jika hanya bertujuan untuk menghilangkan monopoli atau penyalahgunaan monopoli, contohnya dominasi tenaga kerja Malaysia terhadap TKI di sektor-sektor tertentu.24 Hal ini sesuai dengan asas kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Oleh karenanya, Perpres TKA jika ditelaah berdasar asas tersebut, TKA seharusnya baru mendapatkan pekerjaan di Indonesia hanya jika tidak ada lagi pilihan lain berdasarkan keterampilan dan keahlian yang diinginkan oleh pengusaha. Namun tidak diwajibkan kepada Pemberi Kerja TKA untuk mempublikasikan kebutuhan TKA yang belum dapat diduduki oleh TKI selain dengan cara mengajukan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Menteri.

Keharusan TKA yang bekerja di Indonesia menyertakan tenaga kerja pendamping berwarganegara Indonesia disertai dengan surat pernyataan penunjukan tenaga kerja pendamping menjadi efisien jika diatur pula tentang sanksi hukum terhadap pelanggaran pernyataan tersebut. Hal ini menunjukan adanya penjaminan terhadap proses alih teknologi dan alih keahlian, tidak saja terhadap tenaga kerja pendamping yang diharuskan mendapatkan pelatihan tetapi juga kepada TKA yang pada akhirnya mampu berbahasa Indonesia.

Dalam hal terjadi keunggulan komparatif sama dengan keunggulan kompetitif, artinya keterampilan dan keahlian TKA ternyata dimiliki oleh TKI namun TKA tersebut mendapatkan

pekerjaan di Indonesia. Fenomena ini dapat dijelaskan oleh alasan ekonomi selanjutnya.

Kedua, menginternalisasi eksternalitas (dampak pihak ketiga). Dampak pihak ketiga dapat menjadi salah satu penyebab kegagalan pasar. Dalam hal TKA berketerampilan rendah mendapatkan pekerjaan di Indonesia sementara jumlah ketersediaan angka dan keterampilan TKI masih mencukupi, maka telah terjadi kegagalan pasar. Jika arus pergerakan TKA berketerampilan rendah tidak diatur, atau dibiarkan tidak diatur, maka pengusaha tidak akan menginternalisasi eksternalitas tersebut. Karena sangat jelas yang diberikan kemudahan dalam arus bebas tenaga kerja adalah yang memiliki keterampilan di 8 (delapan) bidang profesi dan warga negara anggota ASEAN. Dalam hal lapangan pekerjaan ternyata didominasi oleh TKA low skilled di luar wilayah ASEAN, maka Perpres TKA seharusnya mengintervensi dengan pengertian berusaha untuk mencegah atau memperbaiki masalah ini berdasarkan kondisi pasar, yakni AEC, dan risiko yang ditimbulkan dari pihak ketiga. Sehingga pembenahan sistem yang memperketat pengawasan dan penegakkan hukum ialah sistem penggunaan TKA berketerampilan rendah dari negara non ASEAN yang masuk ke Indonesia.

Dengan mendasarkan pada tujuan ini, kriteria TKA menurut Pasal 1 angka 1 Perpres TKA belum mampu menginternalisasi eksternalitas karena tidak membedakan pergerakan TKA ASEAN maupun Non ASEAN, terlebih lagi tidak menarik batas jelas antara TKA terampil dan TKA berketerampilan rendah.

Selain itu pada sisi alih teknologi dan alih keahlian, Perpres TKA tidak menginternalisasi

24 Satrio Widianto, ”Tenaga Kerja Asing Dari 5 Negara Masih Dominan” ,http://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2014/08/17/293351/tenaga-kerja-asing-dari-5-negara-masih-dominan, Pikiran Rakyat (diakses 25 Mei 2018)

Page 105: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

403Efisiensi dan Daya Saing Free Flow of Skilled Labour ... (Fajar Sugianto; Syofyan Hadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

ekternalitas dalam hal tidak terjadinya alih teknologi dan alih keahlian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 Perpres TKA tanpa menentukan sanksi jika proses alih ini tidak terjadi. Jika ini terjadi, dengan sendirinya kebutuhan penggunaan TKA tidak akan berkurang dan kehadiran tenaga kerja pendamping di setiap penggunaan TKA akan memperbesar jumlah eksternalitas. Di sisi lain, Perpres TKA memberikan kejelasan tentang pembagian kewenangan antara Direktorat Jendral Imigrasi dan Direktorat Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Kejelasan ini menunjukan bahwa Perpres TKA telah menginternalisasi eksternalitas terhadap potensi risiko dalam perijinan dan pengawasan TKA.

Ketiga, mempromosikan kepentingan publik. Kepentingan publik ada ketika salah satu pihak yang menggunakannya tidak mempengaruhi penggunaan pihak lain, dan pihak pemasok tidak dapat mengeluarkannya. Dalam hal TKA terampil, maka keharusan untuk adanya tenaga kerja pendamping adalah efisien karena TKA terampil tersebut wajib mengikutksertakan tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga kerja pendamping. Namun, jika penggunaan TKA low skilled di Indonesia membawa pengaruh kepada sesama tenaga kerja dalam negeri yang berketerampilan rendah, maka kegiatan tersebut tidak efisien karena tidak mempromosikan kepentingan publik. Perpres TKA menurut alasan ini harus mengedepankan kepentingan publik karena salah satu pertimbangan pembentukannya ialah untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi. Oleh karenanya kepentingan publik akan tetap terjaga jika perluasan kesempatan kerja bagi TKI termuat

dalam proses persetujuan penggunaan TKA melalui Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Sudah seharusnya calon pemberi kerja TKA melakukan penyaringan TKI terlebih dahulu yang hasilnya nanti dapat iikutsertakan di dalam RPTKA. Sehingga penggunaan TKA merupakan jalan terakhir bagi pengusaha jika pada akhirnya dan pada kenyataannya TKI tidak bisa menduduki posisi pekerjaan tersebut.

Selain itu, alasan ini menekankan tentang pemisahan secara jelas antara TKA terampil dan belum terampil agar tujuan pengaturan bisa lebih tepat sesuai dengan peruntukannya dan tetap pada kepentingan publik. Kepentingan publik belum terakomodir, walaupun telah ditentukan bahwa TKA baru dapat digunakan jika posisi tersebut tidak dapat diisi oleh TKI, ketidakjelasan basis keterampilan dan keahlian menyebabkan Perpres TKA tidak efisien. Selain itu, oleh karena negara memiliki kekuasaan mutlak untuk membentuk hukumnya melalui pemerintah, maka sesuai dengan Teori Kedaulatan Negara pemerintah berwenang untuk mengatur kembali tentang perizinan penggunaan TKA terampil, bukan TKA secara umum.

Keempat, mendorong alih teknologi dan alih keahlian. Mendorong alih teknologi yang berasal dari TKA terampil dapat menghasilkan eksternalitas positif, baik dalam teknologi produksi untuk perusahaan tersebut dan perusahaan lain, juga mengembangkan kapasitas kemampuan dan keterampilan TKI sebagai tenaga kerja pendamping. Tujuan ini telah ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 27 Perpres TKA. Menurut penjelasan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja pendamping

Page 106: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

404 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 393–408

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

TKA tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan TKA yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih bertujuan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan tertentu sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti TKA yang didampinginya. Terdapat sanksi administratif jika Pemberi Kerja TKA tidak melaksanakan alih teknologi dan alih keahlian.

Namun, dalam hal alih tersebut dilakukan namun tujuan alih teknologi dan alih keahlian tidak tercapai maka tujuan alih teknologi dan keahlian selama memperkerjakan TKA sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak terpenuhi. Oleh karenanya Perpres TKA perlu mendorong sekaligus memastikan keberhasilan tujuan proses alih teknologi dan alih keahlian tersebut. Artinya, perlu ditentukan sanksi administratif dalam hal terjadi kegagalan tujuan alih teknologi dan alih keahlian. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan jika proses alih teknologi dan alih keahlian ini gagal dan pengusaha akan tetap menggunakan TKA secara berkelanjutkan karena belum dapat diisi oleh TKI. Perpres TKA juga menjadi tidak efisien jika selama masa hubungan kerja ternyata alih teknologi dan alih keahlian kepada TKA saja yang berhasil dilakukan. Walaupun terdapat kewajiban melaksanakan program penggantian TKA kepada TKI, tidak hanya pengawasan yang diperlukan tetapi menentukan dan menetapkan cara-cara tertentu sehingga hasil akhir dari proses alih teknologi dan alih keahlian ini pada akhirnya dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu sangat perlu adanya cara penyaringan calon-calon yang capable dan profesional sehingga

proses alih teknologi dan alih keahlian tersebut benar-benar dapat dijalankan (applicable).

Penyaringan calon TKI harus dilakukan bersama-sama, artinya tidak lagi dilakukan salah satu pihak seperti berdasarkan persyaratan perusahaan atau melalui seleksi yang diselenggarakan oleh Disnaker Kabupaten/Kota setempat atau bersama-sama dengan instansi teknis lain. Perlu juga didukung dengan kepastian kelancaran komunikasi melalui kemampuan berbahasa. Karena menurut alasan ini, proses alih teknologi dan alih keahlian wajib terlaksanakan secara bertimbal balik, dari dan antara TKA dan TKI, sehingga Perpres TKA harus mampu memastikan keberhasilan proses alih teknologi dan alih keahlian. Melihat pengaturan proses ini Perpres TKA mendelegasikan kembali kepada Menteri, sementara menurut prinsip delegatus non potes delegare, seharusnya Perpres TKA tidak lagi mendelegasikan pengaturan tersebut kepada Menteri karena sudah mendapatkan delegasi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013 tentang Tenaga Kerja.

Kelima, informasi asimetris. Informasi asimetris terjadi ketika salah satu pihak, pengusaha atau pekerja memiliki informasi banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya. Secara umum, ini lebih mengarah kepada pihak produsen, dalam hal ini pengusaha, tentang kebutuhan penggunaan TKA terampil maupun belum terampil dibanding pihak pekerja, meskipun mungkin saja terjadi keadaan sebaliknya. Keberadaan peraturan seharusnya dapat membantu memastikan bahwa TKI memiliki akses ke tingkat informasi yang lebih optimal tentang kebutuhan penggunaan TKA oleh pengguna TKA baik yang terampil maupun yang belum terampil. Hal ini dapat dialkukan dengan membuat persyaratan untuk

Page 107: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

405Efisiensi dan Daya Saing Free Flow of Skilled Labour ... (Fajar Sugianto; Syofyan Hadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

membuka informasi kebutuhan penggunaan TKA sehingga dapat memberikan kejelasan tentang kebutuhan TKA, termasuk keterampilan dan keahlian tertentu serta tanggungjawab para pihak. Dengan adanya kewajiban membuka informasi tersebut dapat dipastikan ketersediaan informasi kepada publik tentang kebutuhan TKA. Dengan demikian jika pada akhirnya tidak dapat diisi oleh TKI, keberadaan TKA untuk mendapatkan pekerjaan di Indonesia menjadi efisien.

Sementara Perpres TKA mewajibkan Pemberi Kerja TKA harus memiliki RPTKA dengan cara mengajukan permohonan kepada Meteri atau pejabat yang ditunjuk untuk mendapatkan pengesahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 Perpres TKA, tanpa terlebih dahulu menyebarluaskan kebutuhan penggunaan tenaga kerja kepada TKI. Kepastian informasi asimetris ini jika dilakukan maka penggunaan TKA dapat dilakukan hanya dalam keadaan pekerjaan tersebut benar-benar tidak ada dapat diisi atau dilakukan lagi oleh TKI sehingga pengusaha baru dapat menjadi Pemberi Kerja TKA jika ini menjadi pilihan terakhir.

Selain alasan ekonomi yang dijadikan dasar dalam melakukan pengujian terhadap Perpres TKA, diketahui juga alasan hukum (alasan non-ekonomi) yang menjadi pertimbangan, antara lain: Pertama, Mencapai keadilan distributif. Menurut Aristoteles, keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi suatu hak pada subjek yang juga menilai dari proporsionalitas ataupun kesebandingan yang berdasarkan jasa, kebutuhan dan juga kecakapan.25

Melalui regulasi, pemerintah seharusnya mampu mencapai tujuan ini dengan memastikan hak-hak konstitusional TKI, yakni hak untuk mendapatkan pekerjaan (right to work) dan hak dalam pekerjaan (right at work) sekaligus menetapkan hak minimal TKI untuk mendapatkan pelayanan, misalnya informasi asimetris, yang tidak dapat diakses oleh TKI yang memiliki kekuatan tawar yang rendah. Dengan adanya kewajiban membuka informasi tersebut sekaligus memastikan ketersediaan informasi kepada publik tentang kebutuhan TKA maka jika pada akhirnya tidak dapat diisi oleh TKI keberadaan TKA mendapatkan pekerjaan di Indonesia adalah efisien karena mencerminkan keadilan distributif dari alasan informasi asimetris. Dalam hal proses alih teknologi dan alih keahlian, keadilan distributif akan tercapai jika terdapat cara-cara tertentu yang dapat pula memastikan proses ini dapat berhasil sehingga pada akhirnya posisi awal yang hanya bisa diisi oleh TKA dapat tergantikan dengan TKI. Ketika proses ini tidak berhasil, maka tidak berkeadilan jika posisi pekerjaan tersebut hanya terus menerus hanya bisa diisi oleh TKA.

Kedua, Merefleksikan nilai-nilai komunitas. Menurut ajaran umum, pasar dan harga selalu mencerminkan preferensi pribadi konsumen terhadap barang dan jasa yang tersedia. Meskipun preferensi pribadi konsumen berbeda-beda terhadap barang dan jasa tertentu, secara alami mereka akan membentuk komunitasnya sendiri. Dalam hal ketenagakerjaan, perspektif ini memberikan kejelasan bahwa kehadiran TKA menunjukkan bahwa tidak ada permintaan terhadap kebutuhan penggunaan TKI. Jika hal

25 Manuel Knoll, ”The Meaning of Distributive Justice for Aristotle’s Theory of Constitutions” UC3M Universidad Carlos III de Madrid, No.1 (2016), http://e-revistas.uc3m.es/index.php/FONS/article/download/2529/1705 (diakses 30 Oktober 2018).

Page 108: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

406 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 393–408

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

ini terjadi, sementara pasokan TKI setidaknya masih sama besar dengan kebutuhan pengusaha maka menurut alasan ini Perpres TKA masih belum merefleksikan nilai-nilai komunitas TKI. Sebab, baik Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun Perpres TKA belum membedakan tenaga kerja baik TKA maupun TKI berdasarkan keterampilan dan keahlian, sehingga dalam hal penempatan TKA yang tidak terampil (unskilled) sekalipun menjadi seolah-olah tidak berbeda dengan TKI yang terampil.

Efisiensi Perpres TKA dapat ditelaah lebih lanjut dengan cara mendudukkan kembali klasifikasi TKA yang sudah terbagi menjadi 2 yaitu terampil (skilled) dan yang belum terampil. Jika keterampilan dan keahlian TKA menjadi salah satu parameter penggunaan TKA, maka memperkerjakan TKA terampil untuk mengisi kekosongan TKI terampil merupakan pertukaran sempurna (trade off).

Pembedaan tenaga kerja berdasarkan keterampilan dan keahlian juga telah ditentukan dalam karakteristik ke-lima AEC, yakni Facilitating Movement of Skilled Labour and Business Visitors melalui salah satu langkah strategis dengan cara mengurangi dokumentasi perizinan, jika tidak terstandarisasi, untuk memfasilitasi pergerakan lintas batas sementara.

Mengingat traktat merupakan salah satu sumber hukum formal di Indonesia, hal mana AEC merupakan traktat maka lebih tepat jika TKA terampillah yang diatur dalam kepres, bukan TKA secara umum. Jika klasifikasi ini tidak dilakukan maka nilai-nilai komunitas TKA terampil dan belum terampil akan terus mendapatkan generalisasi yang mengaburkan hak-hak konstitusional masing-masing komunitas.

Ketiga, mendukung kesejahteraan individu. Regulasi terkadang dapat membatasi kebebasan tenaga kerja dalam pencapaian kesejahteraan individu. Menurut alasan ini, jika terdapat regulasi yang belum mendukung secara luas kesejahteraan individu TKI untuk mendapatkan pekerjaan, maka perlu diperlukan penyesuaian antara kebijakan publik dengan peruntukannya untuk meningkatkan daya saing.

Jika mendasarkan pada pertimbangan dalam pemberlakuan Perpres TKA sebagaimana tercantum dalam Konsideran Menimbang butir a dan b Perpres tersebut yaitu: a) bahwa untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja memlalui peningkatan investasi, perlu pengaturan kembali perizinan penggunaan tenaga kerja asing; b) bahwa pengaturan perizinan penggunaan tenaga kerja asing yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping, perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan untuk peningkatan investasi. Maka pada hakikatnya, penyederhanaan perizinan TKA untuk bekerja di Indonesia adalah untuk kepentingan investasi sekaligus memperluas lapangan pekerjaan. Sementara itu, klasifikasi TKA sudah terbagi menjadi 2 yaitu terampil (skilled) dan yang belum terampil. Dalam hal kemudahan perizinan TKA, AEC hanya diperuntukan untuk TKA terampil sesuai dengan karakteristik ke-lima AEC, yakni Facilitating Movement of Skilled Labour and Business Visitors melalui salah satu langkah strategis dengan cara mengurangi dokumentasi perizinan, jika tidak terstandarisasi untuk memfasilitasi pergerakan lintas batas sementara. Mengingat traktat merupakan salah satu sumber hukum formal di Indonesia, hal

Page 109: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

407Efisiensi dan Daya Saing Free Flow of Skilled Labour ... (Fajar Sugianto; Syofyan Hadi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

mana AEC merupakan traktat maka lebih tepat jika TKA terampilah yang diatur dalam Perpres, bukan TKA secara umum.

Pemisahan secara jelas antara TKA terampil dan belum terampil harus dapat dilakukan agar tujuan pengaturan bisa lebih tepat peruntukaanya. Selain itu, oleh karena negara memiliki kekuasaan mutlak untuk membentuk hukumnya melalui pemerintah, maka pemerintah berwenang untuk mengatur kembali tentang perizinan penggunaan TKA terampil, bukan TKA secara umum.

Dalam hal titik fokus Perpres TKA mengarah kepada penyederhanaan perizinan, maka akan efisien jika judul Perpres tersebut menjadi Penyederhanaan Perizinan TKA Terampil, sekali lagi bukan TKA secara umum. Ketika ini terjadi maka pengaturan inti yang memangkas proses perizinan yang sebelumnya memakan waktu 20 hari sekarang menjadi 6 hari.

Lebih lanjut lagi, Perpres TKA akan menjadi efisien jika penyederhanaan perizinan ini bertujuan untuk mengikuti globalisasi dan liberalisasi tenaga kerja serta daya saing, bukan peningkatan investasi. Jika quad non keikutsertaan TKI diarahkan melalui Perpres ini, maka sifatnya akan menjadi daya saing melalui keunggulan komperatif yang harus diiringi dengan pengaturan tentang peningkatan kualitas (keunggulan kompetitif). Oleh karena itu dalam pertimbangan Perpres TKA harus ditambah peningkatan daya saing dalam hal ini memangkas proses perizinan yang sebelumnya memakan waktu 20 hari sekarang menjadi 6 hari. Jika titik fokus Perpres mengarah kepada penyederhanaan perizinan maka judulnya berubah menjadi penyederhanaan perizinan. Perpres TKA menjadi efisien jika penyederhanaan birokrasi ini diarahkan untuk mendukung daya saing secara komperatif, bukan

peningkatan investasi, yang harus diikuti dengan peningkatan kualitas (keunggulan kompetitif). Dengan ditingkatkannya keunggulan ini dalam jangka panjang akan membantu peningkatan kesejahteraan individu, khususnya TKI

D. Penutup

Berdasarkan hasil telaahan dengan menggunakan metode EAL dengan mengutarakan alasan-alasan ekonomi dan alasan hukum terhadap Perpres TKA, maka dapat disimpulkan bahwa Perpres TKA masih belum memenuhi kriteria efisiensi terutama dalam hal pengaturannya terkait pembagian klasifikasi KA. Oleh karenanya perlu dikembalikan lagi hakikat efisiensi baik dalam aspek birokrasi maupun ketepatan sasaran penggunaan TKA berdasarkan perbedaan keterampilan dan keahlian. Hasil yang diperoleh melalui telaah EAL dapat diperluas melalui analisis dampak regulasi (Regulatory Impact Analysis) untuk mengukur sekaligus meningkatkan efektivitas dan efisiensi sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan di dalamnya, khususnya dalam hal reformasi peraturan perundang-undangan dalam hal ini Perpres TKA.

Daftar Pustaka

BukuAbdurachman, A., Ensiklopedia Ekonomi Keuangan

Perdagangan (Jakarta: Paradnya Paramita, 1980).

Affandi, Muchtar, Ilmu-ilmu Kenegaraan: Suatu Studi Perbandingan (Bandung: Lembaga Penerbit Fakultas Sosial Politik Universitas Padjajaran, 1982).

Campbell, L. John, Institutional Change and Globalization (Princton: Princeton University Press, 2004).

Cooter, Robert dan Ulen, Robert, Law and Economics (London: Pearson Addison Wesley, 2008).

Page 110: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

408 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 393–408

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Das, Sanchita Basu, ASEAN Economic Community Scorecard: Performance and Perception (Singapore: ISEAS, 2013).

Garner, A. Bryan, Black’s Law Dictionary, 8th edition (USA: Thompson West Group, 2004).

Hufron dan Hadi, Syofyan, Ilmu Negara Kontemporer; Telaah Teoritis Asal Mula, Tujuan dan Fungsi Negara, Negara Hukum dan Negara Demokrasi (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2016).

Ijswara, F., Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Binacipta, 1992).

Levanon, Gad, et all, Help Wanted: What Looming Labor Shortages Mean for Your Business (The Conference Board, Research Report R-1601-16RR, 2016).

Komadar, Bushan J. Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument (University of Westminster, 2007).

Martin, A. Elizabeth, Oxford Dictionay of Law, 5th edition (Oxford: Oxford University Press, 2003).

Maslow, H. Abraham dalam Syamsu Yusuf dan Achmad Juntika, Teori Kepribadian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011).

Pejovich, Svetozar, Law, Informal Rules and Economic Performance (USA: EE, 2008).

Posner, Richard A., Economic Analysis of Law, Edisi 7 (New York: Aspen Publishers, 2007).

Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2013).The Federation of Thai Industries, ASEAN Affairs

Department of Foreign Affairs (Ministry and the International Labour Organisation, 2015).

Waters, Malcom, Globalization (London: Routledge, 2003).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianCoase, H. Ronald, ”The Problem of Social Cost”, The

Journal of Law and Economics (1960).Manuel Knoll, ”The Meaning of Distributive Justice

for Aristotle’s Theory of Constitutions” UC3M Universidad Carlos III de Madrid, No.1 (2016), http://e-revistas.uc3m.es/index.php/FONS/article/download/2529/1705 (diakses 30 Oktober 2018).

Tambunan, Tulus, Makalah: ”Pengusaha KADIN Brebes Di Dalam Era Globalisasi: Tantangan dan Ancaman” (Makalah Diskusi dalam Temu Usaha Kadin Brebes 20 Desember 2004).

InternetBINUS University International, ”Talking Asean: The

Business Series Asean @50: Making The Aec Work For The People”, http://international.binus.ac.id/2017/08/29/talking-asean-the-business-series-asean-50-making-the-aec-work-for-the-people/, BINUS University International (diakses 25 Mei 2018).

Satrio Widianto, ”Tenaga Kerja Asing Dari 5 Negara Masih Dominan” ,http://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2014/08/17/293351/tenaga-kerja-asing-dari-5-negara-masih-dominan, Pikiran Rakyat (diakses 25 Mei 2018)

ASEAN, ”ASEAN Economic Community”, ASEAN, http://asean.org/asean-economic-community/ (diakses 21 Mei 2018).

Michael A. Porter, ”The Competitive Advantage of Nations”, https://hbr.org/1990/03/the-competitive-advantage-of-nations, Harvard Business Review (diakses 22 Mei 2018).

Page 111: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

409Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh (Tri Salamun)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

PELAKSANAAN IZIN GANGGUAN DALAM USAHA KEDAI KOPI DI KOTA BANDA ACEH

(Nuisance Permit Implementation Toward Coffee Shops Business in Banda Aceh)

Tri SalamunMagister Ilmu Hukum Universitas Padjajaran

Jalan Banda No.42 BandungEmail: [email protected]

Naskah diterima: 18 Agustus 2018; revisi: 4 November 2018; disetujui: 5 November 2018

AbstrakKeberadaan kedai kopi di Kota Banda Aceh semakin marak seiring dengan pulihnya kondisi perekonomian masyarakat pasca bencana Tsunami yang melanda Aceh pada akhir Tahun 2004. Bisnis café dan kedai kopi khususnya di Kota Banda Aceh berkembang menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dalam melakukan rutinitas kesehariannya dengan latar belakang yang beragam.Banyaknya kedai kopi ini disertai juga dengan dampak buruk antara lain menimbulkan terhadap lingkungan sekitar, atau kerugian-kerugian lainnya. Oleh karena itu untuk mengetahui pelaksanaan Izin Gangguan bagi usaha kedai kopi, untuk menjelaskan sebab penyelenggara usaha kedai kopi yang tidak sesuai Izin Gangguan dan untuk mengetahui upaya dari Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pengendalian Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Dengan pendekatan yuridis empiris terhadap permasalahan ini dihasilkan data bahwa pelaksanaan ketentuan Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi di Kota Banda Aceh belum dilaksanakan sepenuhnya. Ada yang telah melaksanakan sepenuhnya ketentuan dan ada yang belum melaksanakan sepenuhnya ketentuan. Sehingga seharusnya para pelaku usaha melaksanakan kegiatan usaha sesuai ketentuan Izin Gangguan. Selain itu Pemerintah Kota Banda Aceh perlu meningkatkan pengawasan terhadap Izin Gangguan, serta segera menyelesaikan pembuatan peraturan baru tentang Izin Gangguan.Kata Kunci: Izin Gangguan, kedai kopi, Kota Banda Aceh

AbstractCoffee shops in Banda Aceh are expanding along with the economy recovery after Tsunami disaster hit Aceh in the end of 2004. Cafe and coffee shop businesses, particularly in Banda Aceh has developed into a meeting point for people from various background. However, this development has also brought negative implications toward the neighbourhood and others. Therefore, to investigate the implementation of the nuisance permit for the coffee shop business, and to explain why the organizers of the coffee shop business that does not fit the nuisance permit and to determine the efforts of Government of Banda Aceh in the control of nuisance permit in the coffee shop business becomes interesting. Using empirical juridical approach, this study found that the nuisance permit is not yet fully implemented. Some have fully implemented the provisions and some have not fully implemented the provisions. This study suggests that the businessmen should carry out business activities in accordance with this permit. Beside that, The Government of Banda Aceh have to improve the supervision of the nuisance permit, and immediately complete the creation of new regulations on the nuisance permit.Keywords: Nuisance Permit, coffee shop, Banda Aceh CIty

Page 112: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

410 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 409–425

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

A. Pendahuluan

Bencana gempa dan tsunami di akhir tahun 2004 mengakibatkan terpuruknya perekonomian di Aceh. Akibat dari bencana tersebut hancurnya berbagai bisnis yang telah dirintis sejak lama dan masih banyak lagi dampak-dampak negatif dari bencana yang melanda Aceh tersebut. Akan tetapi, dengan semakin pulihnya kondisi perekonomian di daerah Aceh akhir-akhir ini dan semakin kreatifnya para pelaku usaha untuk mencari hal-hal baru sebagai lahan bisnisnya maka berdampak pula dengan semakin maraknya bisnis-bisnis di segala bidang usaha. Salah satu bidang bisnis yang mempunyai prospek cerah adalah bisnis di bidang penjualan barang dan jasa seperti halnya bisnis café dan kedai kopi yang sedang marak di Kota Banda Aceh.

Keberadaan kedai kopi yang terus berkembang telah menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dalam melakukan rutinitas kesehariannya dengan latar belakang yang beragam. Keberadaan kedai kopi di Banda Aceh sedemikian pentingnya dalam keseharian masyarakatnya. Bagi kaum muda khususnya pelajar dan mahasiswa, warung kopi lebih dimanfaatkan untuk mengerjakan tugas, diskusi kelompok, rapat organisasi. Sedangkan oleh kaum tua, warung kopi lebih dimanfaatkan sebagai tempat melakukan berbagai perbincangan terkait dinamika politik, sosial ekonomi, dan kebubudayaan di Aceh, perbincangan seputar urusan pekerjaan, serta tempat melakukan negosiasi dan juga kesepakatan kerjasama bisnis. Selain itu, warung kopi di Kota Banda Aceh juga menyajikan suasana kemeriahan event-event olahraga seperti siaran pertandingan sepak bola dan berbagai event menarik lainnya.

Bisnis kedai kopi merupakan salah satu bisnis yang banyak dilirik oleh para pelaku usaha karena prospek bisnis ini relatif menguntungkan. Akan tetapi seiring dengan menjamurnya bisnis kedai kopi maka diikuti pula dengan banyaknya dampak-dampak buruk yang menyertainya. Dampak buruk itu ialah menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitar, atau kerugian-kerugian lainnya, untuk itu diperlukan Izin Gangguan untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut.

Izin Gangguan adalah izin kegiatan usaha kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang berpotensi menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan ketentraman atau ketertiban umum. Mengenai Izin Gangguan diatur dalam Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonantie) Stbl. 1926 Nomor 226 Jo. Stbl. 1940 Nomor 14 dan Nomor 450 tentang Izin Gangguan dan diatur juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri selanjutnya disingkat dengan Permendagri yaitu Permendagri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No. 22 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah. Untuk mengatur tentang Izin Gangguan, Pemerintah Kota Banda Aceh menggunakan peraturan yang lebih khusus mengatur mengenai Izin Gangguan yaitu Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh Nomor 7 Tahun 1999 tentang Retribusi Izin Gangguan. Dalam Peraturan Daerah ini diatur bahwa Setiap orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan kegiatan usaha dan atau memiliki tempat usaha wajib memiliki Izin Gangguan dari Kepala Daerah.

Page 113: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

411Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh (Tri Salamun)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Untuk tidak mengganggu lingkungan sekitar maka para pelaku usaha, dalam hal ini usaha kedai kopi harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat didalam Izin Gangguan tersebut. Beberapa hal yang harus diperhatikan seperti: tidak dibenarkan memperluas tempat usaha sebelum mendapat izin tertulis dari pemerintah setempat, wajib menjaga kebersihan tempat usaha dan lingkungan sekitar, dilarang menempatkan barang dan bekerja diluar ruangan/kaki lima/berem/trotoar, waktu operasional mulai 08:00 s/d 23:00 WIB kecuali tempat pelayanan kesehatan, tetapi pada kenyataannya banyak para pelaku usaha yang tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan tersebut.

Yang kemudian menarik untuk diketahui lebih lanjut adalah mengenai bagaimana pelaksanaan Izin Gangguan dalam kegiatan usaha kedai kopi di kota Banda Aceh serta upaya apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pengendalian izin ini. Bagian selanjutnya dalam tulisan ini akan membahas mengenai hal-hal tersebut.

B. Metode Penelitian

Dalam Penelitian ini digunakan pendekatan yuridis empiris, dimana mnurut Soerjono Soekanto dikatakan bahwa penelitian yuridis empiris merupakan suatu upata untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realita yang ada.1 Jadi, pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini maksudnya adalah bahwa dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan hukum

(yang merupakan data sekunder) dengan data primer yang diperoleh di lapangan. Dalam hal ini data primer diambil dari wawancara dengan pemilik keda kopi di Wilayah Kota Banda Aceh. Pemilihan lokasi ini atas pertimbangan, banyak kedai kopi yang tidak melaksanakan ketentuan sesuai dengan yang diatur dalam Izin Gangguan. Secara umum kawasan penelitian ini dilakukan pada kedai kopi yang berada di Kota Banda Aceh. Namun, karena jumlah kedai kopi yang terlalu banyak, peneliti membatasi objek penelitian dengan batasan 5 Kecamatan dari 9 Kecamatan yang terdapat di wilayah Kota Banda Aceh. 5 Kecamatan tersebut adalah: Baiturrahman, Kuta Alam, Syiah Kuala, Ulee Kareng, Lueng Bata.

Pengambilan sampel dilakukan cara Purposive Sampling, yaitu ditujukan untuk memperoleh informasi secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian. Artinya, secara ciri-ciri sampel dimaksud telah dikenal sebelumnya. Adapun sampel pada penelitian ini diambil dari beberapa orang dari keseluruhan populasi yang terdiri dari responden dan informan. Alasan pengambilan teknik penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sampel yang diambil merupakan sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian berdasarkan objek penelitian, guna dapat menjawab permasalahan yang ada.

C. Pembahasan1. Implementasi Pemberian Izin

Gangguan dalam Kegiatan Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Retribusi Izin Gangguan, ”Setiap orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan kegiatan usaha dan

1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Pers Jakarta: Universitas Indonesia, 1983) hlm. 41.

Page 114: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

412 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 409–425

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

2 Soekadji, Anatomi Pariwisata, (Jakrta: PT, Gramedia Pustaka Utama, 1977), hlm. 253 JB. JM. Ten Berger, Pengantar Hukum Perizinan, (Tanpa penertbit, 1991), hlm. 44 Sajchran Basah, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi, Makalah pada Penataran Hukum

Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, hlm. 1-2., dikutip dari Adrian Sutedi, 2010. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta.1995). hlm. 167.

atau memiliki tempat usaha wajib memiliki Izin Gangguan dari Kepala Daerah”. Dalam hal ini kepala daerah adalah Walikota Banda Aceh.

Izin Gangguan ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban usaha ditinjau dari lokasi usaha dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu para pelaku usaha dalam hal ini adalah pelaku usaha Warung Kopi harus memenuhi dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Pemerintah Kota Banda Aceh baik yang terdapat dalam peraturan maupun dalam surat keputusan penerbitan Izin Gangguan, sehingga dapat tercipta tertib administrasi dan juga ketertiban dalam kegiatan usaha yang terdapat di Kota Banda Aceh.

Hukum Administrasi Negara merupakan hukum dan peraturan-peraturan yang berkenaan dalam pemerintahan dalam arti sempit atau administrasi Negara merupakan peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh Lembaga Legislatif untuk mengatur tindakan pemerintah dalam hubungannya dengan warga Negara dan sebagai peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi Negara. Hukum Perizinan merupakan salah satu cabang ilmu yang terdapat didalam Hukum Administrasi Negara dimana perizinan tersebut dapat diartikan merupakan suatu bentuk campur tangan pemerintah dalam rangka melakukan pelayanan publiknya terhadap masyarakat.

Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin adalah persetujuan dari

pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin pemerintah memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang ini menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.2

Dengan memberi izin, pemerintah memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang, ini menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin. Didalamnya dapat diadakan perbedaan berdasarkan berbagai figur hukum. Tanda pengenal bersama figur hukum ini ialah bahwa semuanya menimbulkan akibat yang kurang lebih sama, yakni bahwa dalam bentuk tertentu diberi perkenaan melakukan sesuatu yang mestinya dilarang. Bentuk-bentuk hukum lain yang sejenis dengan izin ialah misalnya kewajiban melaporkan, penarikan pajak, pengujian, perolehan, perkenaan dan pemberian kuasa.3

Dalam rangka untuk ketertiban dan kenyamanan usaha perlu ditata dengan menggunakan instrumen izin. Agak sulit memberikan definisi izin. Hal ini dikemukakan oleh Sajchran Basah.4 Pendapat yang dikatakan Sajchran Basah agaknya sama dengan yang berlaku di negeri Belanda, seperti dikemukakan

Page 115: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

413Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh (Tri Salamun)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

van der Pot, Het is uiterst moelijk voor begrip vergunning een definitie te vinden (sangat sukar membuat definisi untuk menyatakan pengertian izin itu).5 Hal ini disebabkan para pakar tidak terdapat persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek yang didefinisikannya. Sukar memberikan definisi bukan berarti tidak terdapat definisi, bahkan ditemukan sejumlah definisi yang beragam.6

Menurut Utrecht, bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).7

Izin (vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Izin dapat juga diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.8

Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur

sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.9

Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.10

Menurut ahli hukum Belanda N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, izin merupakan suatu persetujuan dan penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundangan (izin dalam arti sempit).11

Izin merupakan perangkat hukum administrasi yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan warganya agar berjalan dengan teratur.12 Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan. Hal ini berarti lewat izin dapat diketahui bagaimana gambaran masyarakat adil dan makmur itu terwujud. Ini berarti persyaratan-persyaratan, yang terkandung dalam izin merupakan pengen-dali dalam memfungsikan izin itu sendiri.13

Izin merupakan pernyataan mengabulkan (tiada melarang dan sebagainya) dan atau persetujuan yang diperbolehkan.14 Tujuan izin

5 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:Ichtiar 1957), hlm. 187.6 Ibid., hlm. 186.7 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta. 2010). hlm. 167.8 Sjachran Basah, disunting Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta. 2011).

hlm.168.9 Ibid., hlm. 17010 Ibid.11 N.m.Spelt dan J.B.J.M. ten Berger disunting Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, (Jakarta. 2010). hlm. 77.12 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,

(Bandung. 2009). hlm. 92.13 Ibid., hlm. 217.14 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamu Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1998), hlm. 723

Page 116: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

414 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 409–425

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

adalah menghilangkan suatu larangan menjadi diperbolehkan. Izin juga merupakan alat instrumen pemerintah yang bertujuan untuk pengendalian terhadap perilaku masyarakat dan merupakan salah satu instrumen yuridis yang paling banyak digunkan dalam hukum administrasi.

Salah satu bentuk izin yang dikenal dan diterapkan di Indonesia adalah Izin Gangguan. Izin Gangguan dalam Permendagri No. 27 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No. 22 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah adalah ”Izin Gangguan yang selanjutnya disebut izin adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.”

Adanya pemberlakuan Izin Gangguan dimulai di eropa pada tahun 1836 yaitu dengan adanya Resolusi 1836 yang isinya tentang keharusan adanya Izin Gangguan bagi tempat-tempat yang ditenggarai dapat menimnbulkan bahaya, kebakaran, dan bahaya lainnya. Latar belakang yang mengakibatkan dibentuknya undang-undang ini adalah terjadinya modernisasi disegala bidang dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Pabrik-pabrik seakan menjamur dimana-mana, kaum bangsawan berlomba-lomba untuk mendirikan pabrik-pabrik. Akan tetapi seiring denga semakin banyaknya pabrik-pabrik yang didirikan, maka secara otomatis mempengaruhi

15 John Salindeho, Undang-undang Gangguan dan Masalah Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993). hlm. 23.16 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993). hlm. 178.

berbagai kondisi disekitar lingkungan pabrik tersebut. Saat itu banyak para pengusaha yang tidak mengindahkan tentang bahaya yang mengancam di lingkungan sekitar tempat pabrik mereka berdiri. Bahaya seperti kebakaran, gangguan kesehatan lingkungan semakin dirasakan oleh masyarakat disekita pabrik.15

Sedangkan di Indonesia sendiri Undang-Undang Gangguan dibuat dengan menggunakan Asas Konkordansi dari negeri Belanda. Asas konkordansi adalah asas keselarasan atau asas berlakunya sistem hukum Indonesia yang diselaraskan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Asas konkordansi diatur dalam I.S. Pasal 131 ayat 2 yang berbunyi: ”Untuk golongan bangsa Belanda untuk itu harus dianut undang-undang di negeri Belanda”. Hal ini berarti, bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di Indonesia harus dipersamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda.16

Berdasarkan Asas Konkordansi atau asas keselarasan berlakunya sistem hukum Indonesia yang diselaraskan dengan hukum yang berlaku di Belanda maka Stbl. Tentang izin ganguan diberlakukan di Indonesia. Undang-Undang yang mengatur tentang Izin Gangguan (Hinder Ordonantie) adalah Undang-Undang Gangguan Stbl. 1926-226 yang mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1926 dan mengalami beberapa perubahan dan penambahan yakni dengan Stbl. 1927-No. 499 kemudian diubah lagi dengan Stbl. 1932- No. 80 dan No. 341, hingga paling akhir dengan Stbl. 1940- No. 14 dan No. 450 yang dikeluarkan pada tahun 1941. Sedangkan dalam Surat Edaran Government Secretaris tanggal 18 April 1928 No. 792/II (Bb. 11629) diperingatkan

Page 117: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

415Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh (Tri Salamun)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

cara-cara melaksanakan beberapa ketentuan dari Undang-Udang Gangguan ini.

Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan pada Bab XX dimana isinya berbunyi: ”Warung-warung dalam bangunan yang tetap; demikian pula segala pendirian-pendirian yang lain yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan maka harus ada izin atasnya”. Berdasarkan ketentuan UU diatas maka dalam hal ini kedai kopi dapat dikategorikan sebagai warung dalam bangunan tetap, sehingga untuk kedai kopi diperlukan adanya Izin Gangguan.

Izin Gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Usaha kedai kopi yang telah melaksanakan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan seperti Warkop Zakir Darussalam, Warkop Cek Wan, dan Warkop 3in1. Pengelola usaha Warkop Zakir Darussalam menyatakan bahwa mereka telah memiliki surat Izin Gangguan dan telah melaksanakan kegiatan usaha sesuai ketentuan seperti jam operasional dari jam 08:00-23:00 dan tidak menempatkan barang dan bekerja diluar ruangan/kaki lima/berem/trotoar. Lebih lanjut lagi disebutkan kalau ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan tersebut harus dijalankan walaupun terkadang bisa menyebabkan kekecewaan bagi para pengunjung kedai kopi tersebut seperti jam operasional yang terkadang dianggap para pengunjung kedai kopi ini terlalu cepat tutup. Mereka tetap mematuhi ketentuan mengenai

jam operasional tersebut sesuai seperti yang terdapat dalam Izin Gangguan.17

Pengelola Usaha Kedai kopi 3in1 mengemukakan bahwa mereka telah memiliki Izin Gangguan dan baru saja memperpanjang surat Izin Gangguan mereka serta sudah melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan. Izin-izin tersebut harus dibuat dan dilaksanakan supaya tidak terkena teguran maupun sanksi dikemudian hari oleh Pemerintah Kota Banda Aceh.18 Hal yang sama juga ditemui di kedai kopi Warkop Cek Wan yang mengatakan bahwa mereka juga telah melaksanakan keseluruhan ketentuan Izin Gangguan tersebut.

Berdasarkan penelitian juga diketahui ada sejumlah kedai kopi yang tidak melaksanakan ketentuan Izin Gangguan sepenuhnya seperti Kedai Kopi Uncle.Co, Warkop De Helsinki, Kedai Kopi Cut Zen, Warkop Cut Nun, Blang Padang Coffe Luwak Arabica Gayo, Warkop Dhapu Kupi dan Warkop Black Coffe. Pemilik Usaha kedai kopi Uncle.Co mengatakan bahwa mereka juga telah memiliki Izin Gangguan dan mereka mengakui bahwa mereka belum melakukan keseluruhan aturan yang terdapat dalam Izin Gangguan tersebut seperti ketentuan mengenai jam operasional dari jam 08:00-23:00. Menurut pemilik usaha kedai kopi ini alasan mereka tidak melaksanakannnya karena terkadang pada saat jam 12 masih ada para pengunjung yang belum meninggalkan kedai kopi dan mereka tidak mungkin mengusir pengunjung tersebut. Mengenai ketentuan lain yang terdapat dalam Izin Gangguan sudah mereka laksanakan semuanya. Pemilik kedai kopi ini menyatakan

17 Nanda, Wawancara, Pengelola Usaha Warkop Zakir, Pada Tanggal 19 Mei 2016.18 Wahyu, Wawancara, Pengelola Usaha Kedai Kopi 3in1, Pada tanggal 3 Mei 2016.

Page 118: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

416 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 409–425

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

19 Shiddiq, Wawancara, Pemilik Usaha Kedai Kopi Uncle.Co., Pada Tanggal 24 Mei 2016.20 Cut, Wawancara, Masyarakat yang Berada di Lingkungan Sekitar Usaha Kedai Kopi Uncle.Co.,Pada Tanggal 24

Mei 2016.21 Makmun,Wawancara, Pelaku Usaha Kedai Kopi Cut Zen, Pada tanggal 5 Mei 2016.22 Okta,Wawancara, Pelaku Usaha disekitar usaha Kedai Kopi, pada tanggal 5 Mei 2016.23 Riski, Wawancara, Pengelola Usaha Kedai Kopi Dhapu Kupi, pada tanggal 18 Mei 2016.

bahwa penyelenggaraan kedai kopi mereka saat ini tidak menimbulkan permasalahan.19

Pernyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan dari masyarakat sekitar tempat usaha ini dimana menurut pengakuan mereka sampai saat ini kedai kopi ini tidak mengganggu mereka maupun lingkungan sekitar mereka dan jika suatu hari nanti menurut mereka kedai kopi ini sudah mengganggu maka mereka akan memberikan teguran kepada kedai kopi tersebut dan apabila tetap tidak diperdulikan mereka akan melaporkan kepada pihak yang berwenang seperti kepada Walikota Banda Aceh.20

Dari penelitian juga ditemukan para pelaku usaha yang tidak melaksanakan kegiatan usaha mereka sesuai ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan tersebut, tetapi mereka merasa tidak melanggar atau merasa bahwa mereka telah melaksanakan kegiatan usaha mereka sesuai dengan ketentuan Izin Gangguan. Hal ini misalnya ditemui pada penyelenggaraan usaha Kedai Kopi Cut Zen, Warkop Cut Nun, Blang Padang Coffe Luwak Arabica Gayo, Warkop Dhapu Kupi dan Warkop Black coffe.

Pelaku usaha kedai kopi Cut Zen, mengemukakan bahwa mereka telah memiliki surat Izin Gangguan dan izin-izin yang berkaitan dengan usaha mereka, dan sudah melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh seperti jam operasional dari jam 08:00-23:00. Kedai kopi ini hanya beroperasi dari jam 08:00-18:00 dan tidak menempatkan barang

dan bekerja di luar ruangan/kaki lima/berem/trotoar.21

Menurut masyarakat atau pelaku usaha yang berdampingan dengan usaha kedai kopi Cut Zen ini, kedai kopi ini masih menimbulkan gangguan bagi mereka seperti penggunaan lahan parkir dari kedai kopi ini yang menyebabkan akses ke tempat usaha mereka terganggu dan juga parkir yang memakan badan jalan sehingga menimbulkan kemacetan, tetapi menurut mereka gangguan yang ditimbulkan masih dapat ditoleransi karena belum terlalu memberikan efek gangguan yang besar bagi mereka.22

Berdasarkan pengamatan diketahui kedai kopi ini masih banyak menimbulkan gangguan dan melanggar ketentuan seperti penempatan barang dan bekerja di luar ruangan/kaki lima/berem/trotoar serta lahan parkir yang tidak memadai sehingga menggunakan lahan parkir dari usaha yang bersebelahan dengan mereka dan memakai badan jalan sebagai lahan parkir bagi para pengunjung kedai kopi ini.

Pengelola usaha kedai kopi Dhapu Kupi yang terletak di persimpangan simpang Surabaya mengemukakan bahwa mereka telah memiliki Izin Gangguan dan telah melaksanakan Izin Gangguan tersebut. Mengenai aturan jam operasional dari jam 08:00-23:00, yang terdapat dalam Izin Gangguan tersebut mereka mengatakan bahwa jam operasional dari kedai kopi ini yang buka 24 jam tidak menimbulkan gangguan bagi masyarakat sekitar tempat usaha tersebut.23

Page 119: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

417Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh (Tri Salamun)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Menurut masyarakat sekitar efek gangguan dari kedai kopi tersebut sampai saat ini belum terlalu dirasakan tetapi apabila kedepannya kedai kopi ini sudah terlalu mengganggu bagi lingkungan sekitarnya maka mereka akan melaporkan kedai kopi ini kepada pihak berwajib sehingga dapat dilakukan tindakan oleh pihak berwajib.24

Berdasarkan pengamatan, kedai kopi ini melanggar beberapa ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan dan menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya seperti jam operasional kedai kopi ini yang buka selama 24 jam, lahan parkirnya menggunakan badan jalan dan itu sangat mengganggu pengguna lalu lintas lainnya.

Penyelenggaraan usaha kedai kopi yang melanggar ketentuan Izin Gangguan juga ditemui pada usaha kedai kopi lain yakni kedai kopi ”Blang Padang Coffe Arabica Luwak Gayo”, pelaku usaha kedai kopi ini mengatakan bahwa kedai kopi miliknya telah memliki Izin Gangguan yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Banda Aceh, mereka juga mengatakan bahwa kedai kopinya telah menjalankan semua ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan usaha miliknya itu.25 Pada Kenyataannya masih ada ketentuan yang tidak dilaksanakan oleh kedai kopi ini seperti pada ketentuan tentang larangan menempatkan barang dan bekerja di luar ruangan/kaki lima/berem/trotoar, seperti yang terdapat dalam Izin Gangguan yang dimiliki oleh kedai kopi ini karena pada kenyataannya kedai kopi ini menggunakan trotoar/kaki lima

sebagai tempat duduk bagi para pengunjung kedai kopi ini.

Mengenai permasalahan itu pelaku usaha kedai kopi ini mengatakan bahwa menurut mereka selama tidak ada yang terganggu mengenai penggunaan trotoar/kaki lima sebagai tempat duduk bagi para pengunjungnya jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan dan mereka juga mengatakan mereka hanya menempatkan tempat duduk itu pada saat jam-jam tertentu saja atau dengan kata lain mereka hanya menempatkannya pada waktu malam hari saja.26

Mengenai hal ini sebenarnya pelaku usaha kedai kopi ini belum melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan tersebut karena penempatan barang seperti tempat duduk yang menggunakan trotoar melanggar ketentuan dalam Izin Gangguan dan sangat memberikan efek gangguan bagi lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan kalau sebagian besar dari responden menjawab kalau mereka telah melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan tetapi menurut data yang ada masih ada kedai kopi yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Izin Gangguan walaupun tidak menimbulkan gangguan bagi masyarakat sekitar dan ada kedai kopi yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Izin Gangguan menimbulkan gangguan bagi masyarakat sekitar.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Banda Aceh dan juga hasil penelitian lapangan terdapat beberapa kedai

24 Wanda, Wawancara, Masyarakat disekitar tempat Usaha Kedai Kopi Dhapu Kupi, pada tanggal 18 Mei 2016.25 Doni, Wawancara, Pelaku Usaha Kedai Kopi Blang Padang Coffe Arabica Luwak Gayo, pada tanggal 21 Mei 2016.26 Ibid.

Page 120: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

418 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 409–425

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

kopi yang telah memiliki Izin Gangguan dan 10 diantaranya diambil sebagai sampel penelitian, yang diperkirakan mampu menggambarkan kedai kopi yang memiliki Izin Gangguan baik yang telah melaksanakan ketentuan yang terdapat di dalam Izin Gangguan maupun yang belum melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Izin Gangguan tersebut yang terdapat di Kota Banda Aceh seperti yang terdapat dalam tabel berikut:

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa sebab kenapa para pelaku atau pengelola usaha kedai kopi menyelenggarakan usaha kedai kopi mereka tidak sesuai Izin Gangguan yaitu tidak adanya kesadaran hukum dari para pelaku atau pengelola usaha kedai kopi, kelalaian dari para pelaku usaha, kurangnya pengawasan mengenai pelaksanaan Izin Gangguan dari Pemerintah Kota Banda Aceh, tidak adanya aturan yang tegas yang

Tabel 1. Kedai Kopi di Kota Banda Aceh Yang Diambil Sebagai Sampel Yang Memiliki Surat Izin Gangguan

Nama Usaha Alamat Usaha Keterangan

Kedai Kopi Cut Zen JL. T. ISKANDAR GP. BEURAWE KEC. KUTA ALAM

Baru danBelum Melaksanakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Warkop De Helsinki JL. T. ISKANDAR GP. BEURAWE KEC. KUTA ALAM

Baru danBelum Melaksanakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Warkop 3 IN 1 JL.P.NYAK MAKAM NO. 31 GP. LAMBHUK, KEC. ULEE KARENG

Perpanjangan dan Telah Melaksakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Warkop Cut Nun JL.P.NYAK MAKAM GP. LAMBHUK, KEC. ULEE KARENG

Baru danBelum Melaksanakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Blang Padang Coffe Luwak Arabica Gayo

JL. IMAM BONJOL KEC. BAITURRAHMAN

Baru danBelum Melaksanakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Uncle.co JL. T. M. PAHLAWAN NO. 58 GP. PEUNITI KEC. BAITURRAHMAN

Baru danBelum Melaksanakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Warkop Cek Wan JL. T. NYAK ARIEF GP. LAMGUGOB KEC. SYIAH KUALA

Perpanjangan danTelah Melaksanakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Warung Kopi Zakir Darussalam

JL. T. NYAK ARIEF LAMNYONG KEC. SYIAH KUALA

Baru danTelah Melaksanakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Warkop Dhapu Kupi PERSIMPANGAN SIMPANG SURABAYA KEC. LUENG BATA

Perpanjangan danBelum Melaksanakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Warkop Black Coffe JL. DR. MR. MOHD HASAN GP. BATOH KEC. LUENG BATA

Baru danBelum Melaksanakan Ketentuan dalam Izin Gangguan

Sumber: Kantor Pelayanan Perizinian Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh

Page 121: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

419Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh (Tri Salamun)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

mengatur mengenai pengawasan Izin Gangguan dan adanya izin lisan dari pejabat tertentu untu melanggar ketentuan yang terdapat dalam izin. Sebab-sebab penyelenggara usaha kedai kopi tidak melaksanakan kegiatan usaha sesuai Izin Gangguan tersebut seperti diuraikan dibawah ini:a. Kurangnya kesadaran hukum dari pelaku

usaha;b. Kelalaian dari pihak pelaku usaha kedai kopi;c. Kurangnya pengawasan dari pemerintah;d. Tidak adanya aturan yang secara tegas

mengatur mengenai pengawasan Izin Gangguan; dan

e. Pembiaran oleh aparatur pemerintah di lapangan.

2. Upaya Pemerintah Kota Banda Aceh dalam Pengendalian Izin Gangguan terhadap Usaha Kedai Kopi

Seperti yang telah dibahas di atas mengenai pelaksanaan Izin Gangguan, di mana ditemui masih ada usaha kedai kopi yang tidak melaksanakan seluruh ketentuan yang ada dalam Izin Gangguan dan juga sebab-sebab penyelenggara usaha kedai kopi yang tidak sesuai dengan Izin Gangguan, ditemukan salah satu alasannya adalah kurangnya pengawasan dari Pemerintah mengenai Izin Gangguan. Oleh karena itu pada bagian ini akan coba dikemukakan upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pengendalian Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi.

Pemerintah merupakan suatu bentuk organisasi yang bekerja dan menjalankan tugas untuk mengelola sistem pemerintah

dan menetapkan kebijakan dalam mencapai tujuan negara. Menurut Adam Smith (1976), pemerintah suatu negara mempunyai tiga fungsi pokok sebagai berikut:a. Memelihara keamanan dan pertahanan

dalam negeri.b. Menyelenggarakan peradilan.c. Menyediakan barang-barang yang tidak

disediakan oleh pihak swasta.

Di dunia dan khususnya di Indonesia dikenal prinsip Good Governance, tata laksana pemerintahan yang baik (good governance) adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi untuk menentukan keputusan. Good Governance merujuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah, tetapi menekankan pada pelaksanaan fungsi pemerintahan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan pihak swasta. Good governance juga berarti implementasi kebijakan sosial-politik untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran perorangan atau kelompok tertentu.

Prinsip-prinsip dari good governance menurut UNDP adalah: partisipasi, transparansi, akuntabilitas, consensusoriented dan equality and inclusiveness. Dinilai dari prinsip-prinsip ini Indonesia termasuk Negara asia yang kualitas good governance terburuk.27

Dalam referensi lain disebutkan bahwa otonomi yang bergulir di Indonesia sejak tahun 2001 merupakan kesempatan yang bagus untuk mewujudkan good governance, tapi sayangnya kesempatan ini tidak dimanfaatkan secara baik

27 Samudra Wibawa, Reformasi Administrasi Negara (Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik), Gaya Media, Yogyakarta, 2005, hlm. 359-360.

Page 122: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

420 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 409–425

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

28 Ibid., hlm, 360.29 Samudra Wibawa dalam Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik (Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 2008), hlm. 90.30 Ibid., hlm. 360.31 Mu’in Fahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih

(Yogyakarta:UII Press, 2006), hlm. 61.

atau bahkan diabaikan oleh elit politik di daerah untuk menciptakan iklim good gevernance yang ada di daerahnya masing-masing (good local governance).28

Untuk mewujudkan good local governance harus dibenahi permasalahan-permasalahan dan menyembuhkan penyakit yang dihadapi. Menunggu dan bersikap apatis hanya akan menjauhkan dari konsep good governance atau good local governance.29 Akan tetapi, upaya untuk mewujudkan good governance atau good local governance tergantung dari stakeholders yang terlibat dalam governance itu. Yaitu lembaga-lembaga pemerintah, semi pemerintah dan non-pemerintah.30 Sementara dalam referensi lain juga disebutkan bahwa good governance mencerminkan kesinergian antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Good governance sebagai norma pemerintah adalah suatu sasaran yang akan dituju dan diwujudkan dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik.31

Instrumen-instrumen tersebut memungkinkan pemerintah melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya secara baik terhadap seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Pada bagian ini dapat dikatakan pihak yang berwenang mengeluarkan izin tersebut adalah Pemerintah. Hanya saja dalam hal yang demikian harus dapat dilihat izin yang bagaimanakah yang dimohonkan oleh masyarakat, sehingga dengan demikian akan dapat diketahui instansi pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin tersebut.

Dalam kajian pihak-pihak yang berwenang mengeluarkan izin maka dasarnya yang perlu dikaji adalah kedudukan aparatur pemerintah yang melakukan tugasnya di bidang administrasi negara pemberian izin kepada masyarakat. Agar aparatur pemerintah sebagai bagian dari unsur administrasi negara dapat melaksanakan fungsinya, maka kepadanya harus diberikan keleluasaan. Keleluasaan ini langsung diberikan oleh undang-undang itu sendiri kepada penguasa setempat. Hal seperti ini biasanya disebut dengan kekeluasaan delegasi kepada pemerintah seperti Gubemur, Bupati/Walikota untuk bertindak atas dasar hukum dan atau dasar kebijaksanaan.

Di samping keleluasaan tadi, kepada aparatur pemerintah selaku pelaksana fungsi dalam administrasi negara juga diberikan suatu pembatasan agar pelaksanaan perbuatan-perbuatannya itu tidak menjadi apa yang disebut sebagai ”onrechtmatig overheaddaat”. Setidaknya perbuatan itu tidak boleh melawan hukum balk formil maupun materiil. Tidak boleh melampaui penyelewengan kewenangan menurut undang-undang.

Memperhatikan batasan, ruang lingkup serta perbuatan-perbuatan dari Administrasi Negara di atas jelaslah bahwa Hukum Administrasi Negara itu adalah merupakan suatu perangkat ketentuan yang memuat sekaligus memberikan cara bagaimana agar organ-organ di dalam suatu organisasi yang lazim disebut ”negara” dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya demi terwujudnya suatu tujuan yang dikehendaki

Page 123: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

421Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh (Tri Salamun)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

bersama. Dalarn praktek kehidupan sehari-hari acapkali kita menyebutkan bahwa peristiwa-peristiwa pada saat kewenangan aparatur pemerintah itu direncanakan dan dilaksanakan sebagai suatu ”Keputusan Pemerintah”. Selanjutnya menurut Hukum Administrasi Negara bahwa Pemerintah itu mempunyai tugas-tugas istimewa, yakni tugas yang dapat dirumuskan secara singkat sebagai suatu tugas ”Penyelenggaraan Kepentingan Umum”. Dalam hal pengendalian terhadap izin diperlukan pengawasan oleh pemerintah agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran terhadap izin yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin semua pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.

Secara bahasa, pengawasan adalah penilikan atau penjagaan. Menurut S.P. Siagiaan, pengawasan merupakan proses pengamatan pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.32 Sementara itu dari segi Hukum Administrasi Negara, pengawasan dimaknai sebagai proses kegiatan membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.

Menurut Adrian Sutedi, pengawasan adalah suatu kegiatan untuk menjamin atau menjaga agar rencana dapat diwujudkan dengan efektif. Masing-masing organisasi mempunyai rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk menjaga agar organisasi itu dapat mencapai tujuannya, mutlak diperlukan pengawasan.33 Menurut Ridwan HR, rencana

merupakan bagian tak terelakkan dalam suatu organisasi sebagai tahap awal untuk pencapaian tujuan.34

Dalam hal Izin Gangguan yang melakukan pengendalian adalah pemerintah daerah melalui instansi atau dinas terkait, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa salah satu bentuk dari pengendalian adalah pengawasan dimana tujuannya adalah sebagai tolak ukur atau pembanding untuk mengetahu apakah pelaksanaan kegiatan pokok organisasi atau dinas tersebut telah berjalan dengan baik atau tidak.

Mengenai upaya dari pemerintah dalam pengendalian Izin Gangguan dalam Usaha kedai kopi antara lain dengan pembinaan dan pengawasan seperti yang telah diatur pada Pasal 1 ayat (5) dan (6) Permendagri No. 27 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No. 22 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah, dalam hal ini yang melakukan pembinaan dan pengawasan adalah Walikota Banda Aceh melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Banda Aceh yang berwenang mengenai Izin Gangguan tersebut.

Selain dari pembinaan dan pengawasan ada upaya-upaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dalam upaya untuk pengendalian Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi, upaya-upaya tersebut adalah:

a. Memperbaharui aturan mengenai Izin Gangguan

Salah satu upaya dari Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pengendalian Izin Gangguan adalah

32 S.P Siagiaan, Administrasi Pembangunan, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1980), hlm. 2.33 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Kepabean, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 58.34 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 194

Page 124: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

422 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 409–425

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

membuat aturan mengenai Izin Gangguan sehingga Penyelenggaraan serta pengendalian mengenai Izin Gangguan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Selain memiliki peraturan tingkat nasional mengenai Izin Gangguan yang diatur dalam Stbl. 1926 Nomor 226 Jo. Stbl. 1940 Nomor 14 dan Nomor 450 tentang Izin Gangguan dan juga dalam Permendagri No. 27 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No. 22 Tahun 2016 tentang perubahan atas Permendagri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah, Pemerintah Kota Banda Aceh juga membuat peraturan yang lebih khusus mengenai Izin Gangguan. Peraturan tentang Izin Gangguan terdapat pada Peraturan Daerah No. 7 Tahun 1999 tentang Retribusi Izin Gangguan, sekarang sedang dibuat Qanun baru. Pertama Qanun tentang Penyelenggaraan Izin Gangguan dan yang kedua Qanun tentang Retribusi Izin Gangguan, kedua rancangan qanun tersebut sekarang ini sedang dibahas di DPRK Kota Banda Aceh.

Mengenai Peraturan Izin Gangguan dan Retribusi Izin Gangguan sebenarnya telah dimiliki oleh Kota Banda Aceh tetapi karena peraturan itu sudah lama dan dianggap tidak lagi sesuai sekarang, maka Pemerintah Kota Banda Aceh sedang membuat aturan baru dalam bentuk Qanun yang sedang dibahas di DPRK Banda Aceh.

b. Menunjuk KPPTSP Sebagai Instansi yang Melayani tentang Pembuatan Izin Gangguan

Upaya dari Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pengendalian Izin Gangguan adalah menunjuk Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota Banda Aceh sebagai Instansi atau lembaga yang melayani tentang pembuatan Izin-Izin yang terdapat di Kota Banda Aceh termasuk pembuatan Izin Gangguan.

Sesuai dengan data yang diperoleh dari KPPTSP Kota Banda Aceh, mengenai peran dari pemerintah Kota Banda Aceh dalam melakukan pengendalian Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi, dalam hal ini KPPTSP hanya melakukan tugasnya sebagai penerbit dan pendataan mengenai surat Izin Gangguan bagi para pelaku usaha kedai kopi. Pelaku usaha mengajukan permintaan untuk penerbitan surat Izin Gangguan kepada KPPTSP. KPPTSP menanggapi permintaan tersebut dengan membentuk tim yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan ke lapangan guna melihat apakah tempat dari usaha tersebut memenuhi ketentuan seperti: kebersihan, lahan parkir, kelayakan dari bahan baku yang akan digunakan dan juga lingkungan dari sekitar tempat usaha kedai kopi tersebut, tim tersebut terdiri dari dinas atau instansi yang berwenang menilai tentang hal tersebut.35

Dinas atau instansi terkait yang melakukan penilaian atau pemantau terhadap Izin Gangguan usaha kedai kopi adalah:36

1) Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH);

2) Dinas Kesehatan; 3) Dinas Perhubungan;

35 Siti Nurhayati, S.Sos., Seksi Pelayanan Informasi dan Pengaduan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu, Wawancara Pada Tanggal 12 Mei 2016.

36 Ibid.

Page 125: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

423Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh (Tri Salamun)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

4) Camat;5) Geuchik.

Setelah disetujui oleh pihak-pihak tersebut dan telah membayar retribusi untuk pembuatan Izin Gangguan, maka KPPTSP bisa menerbitkan Izin Gangguan yang diajukan oleh si pelaku usaha kedai kopi.

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Izin Gangguan

Pemerintah Kota Banda Aceh telah melaksanakan pengawasan mengenai pelaksanaan Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi hal tersebut seperti dikemukakan oleh Siti Nurhayati, S.Sos. Seksi Pelayanan Informasi dan Pengaduan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh sejauh ini sudah dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, apabila ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha kedai kopi maka sudah ditindak sesuai aturan yang berlaku seperti peringatan secara lisan atau tulisan ataupun dicabut izin usahanya dan usaha tersebut langsung disegel atau ditutup oleh pemerintah Kota Banda Aceh dalam hal ini dinas atau instansi terkait.37 Namun berdasarkan wawancara dengan Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh mengatakan mereka akan menindak usaha kedai kopi yang melanggar ketentuan Izin Gangguan atas dasar laporan dari masyarakat dan laporan dari KPPTSP untuk menindak para pelaku usaha tersebut38.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi di Banda Aceh telah dilaksanakan oleh

Pemerintah Kota Banda Aceh tetapi masih sangat kurang sehingga masih harus ditingkatkan kembali agar para pelaku usaha kedai kopi dapat melaksanakan seluruh ketentuan dalam Izin Gangguan.

D. Penutup

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan dan saran yang ada hubungannya dengan pembahasan ini. Dalam pelaksanaan ketentuan Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi di Kota Banda Aceh belum dilaksanakan sepenuhnya. Ada yang telah melaksanakan sepenuhnya ketentuan dan ada yang belum melaksanakan sepenuhnya ketentuan. Beberapa ketentuan yang belum dilaksanakan seperti jam operasional, penempatan barang dan bekerja diluar ruangan, serta pemakaian ruang parkir yang mengganggu lalu lintas dan pelaku usaha di sekitar. Penyebab para pelaku usaha kedai kopi tidak melaksanakan secara sepenuhnya ketentuan yang terdapat dalam Izin Gangguan karena kurangnya kesadaran hukum dari pelaku usaha kedai kopi, kelalaian dari pelaku usaha kedai kopi, kurangnya pengawasan dari Pemerintah Kota Banda Aceh mengenai pelaksanaan Izin Gangguan, tidak adanya aturan yang tegas yang mengatur mengenai pengawasan Izin Gangguan dan adanya pembiaran dari aparatur pemerintah di lapangan.

Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pengendalian Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi meliputi pembaruan peraturan mengenai Izin Gangguan dimana

37 Siti Nurhayati, Op.cit.38 Evendi A. Latief. S.Ag.,Wawancara, Kasie Ketertiban dan Keamanan Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Pada

tanggal 18 Mei 2016

Page 126: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

424 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 409–425

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

peraturan tersebut sedang dibahas di DPRK Kota Banda Aceh, menunjuk Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sebagai instansi yang melayani pembuatan Izin Gangguan dan melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Izin Gangguan dalam usaha kedai kopi, tetapi pengawasan tersebut masih terbatas.

Sehingga pada dasarnya bagi para pelaku usaha kedai kopi disarankan untuk melaksanakan kegiatan usaha sesuai ketentuan dalam Izin Gangguan sehingga tidak menimbulkan gangguan bagi masyarakat dan lingkungan sekitar tempat usaha kedai kopi dan kepada Pemerintah Kota Banda Aceh untuk melakukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran hukum para pelaku usaha Kedai Kopi. Selain itu, bagi Pemerintah Kota Banda Aceh perlu untuk meningkatkan pengendalian pengawasan bagi para pelaku usaha kedai kopi agar menjalankan kegiatan usaha berdasarkan ketentuan Izin Gangguan dan melakukan tindakan tegas bagi para pelaku usaha yang tidak menjalankan kegiatan usaha berdasarkan ketentuan Izin Gangguan, serta dapat segera menyelesaikan pembuatan peraturan baru tentang Izin Gangguan sehingga dapat memperjelas bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab terhadap Izin Gangguan tersebut.

Daftar Pustaka

BukuEsmara, Hendra, Perencanaan dan Pembangunan Di

Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986).Fahmal, Mu’in, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan

yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, (Yogyakarta: UII Press, 2006).

Ichsan, Achmad, Hukum Perdata, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1996).

Kansil C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka).

-------------,Modul Hukum Administrasi Negara, PT. Pradya Paramitha, (Jakarta: 1997).

Machmudin, Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2001).

Mertokusumo, Sudikno, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, (Yogyakarta: Cetakan Pertama, Edisi Pertama, Liberty, 1981).

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993).

Ridwan, Juniarso Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, (Bandung: 2009).

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006).

Saleh, Asri Muhammad, Menegakan Hukum Atau Mendirikan Hukum, (Pekanbaru: Bina Mandiri Press, 2003).

Salindeho, John, Undang-undang Gangguan dan Masalah Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993).

Siagiaan S.P., .Administrasi Pembangunan, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1980).

Soekadji, Anatomi Pariwisata, (Jakarta: PT, Gramedia Pustaka Utama, 1977).

Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Edisi Pertama, CV. Rajawali, 1982).

Spelt N.M. dan Ten Berger JB. JM. disunting Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, (Jakarta: 2010).

Sutedi, Adrian, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta 2010).

-------------Aspek Hukum Kepabean, Sinar Grafika, Jakarta 2012.

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999).

Ten Berge JB. JM., Pengantar Hukum Perizinan, Tanpa Penerbit, 1991.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamu Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998).

Utrecht E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:Ichtiar 1957).

Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998).

Wibawa, Samudra, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008).

Page 127: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

425Pelaksanaan Izin Gangguan dalam Usaha Kedai Kopi di Kota Banda Aceh (Tri Salamun)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

-----------------------,Reformasi Administrasi Negara (Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik, (Yogyakarta: Gaya Media, 2005).

Wignnjidipero, Soerjono, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianSajchran Basah, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi

Hukum Administrasi, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair, Surabaya 1995

InternetPemerintah.net, ”Fungsi Pemerintah”, http://

pemerintah.net/fungsi-pemerintah/ (diakses pada 25 Juli 2018).

Pendidikan Jogjakarta, ”Karakteristik good governance”, http://pendidikan.jogjakarta.co.id (diakses pada 9 Mei 2018).

Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonantie)

Stbl. 1926 Nomor 226 Jo. Stbl. 1940 Nomor 14 dan Nomor 450 tentang Izin Gangguan.

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh No. 7 Tahun 1999 tentang Retribusi Izin Gangguan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah.

Qanun Kota Banda Aceh No. 2 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Banda Aceh.

Page 128: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

426 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Page 129: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

427Kebijakan Afirmatif bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual (Eka N.A.M. Sihombing)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

KEBIJAKAN AFIRMATIF BAGI USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DI BIDANG KEKAYAAN INTELEKTUAL

(Affirmative Policy for Micro, Small and Medium Enterprises in the Field of Intellectual Property)

Eka N.A.M. Sihombing Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Jl. Kapten Muchtar Basri No. 3, Medan 20238 E-mail: [email protected]

Naskah diterima: 18 Agustus 2018; revisi: 29 Oktober 2018; disetujui: 5 November 2018

AbstrakMengingat peran Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) yang sangat strategis dalam perekonomian nasional di mana kegiatan usahanya mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, maka perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) harus dapat dimanfaatkan secara optimal oleh UMKM. Uraian mengenai kebijakan affirmatif yang seharusnya diberlakukan bagi UMKM di bidang Kekayaan intelektual menjadi obyek yang menarik untuk dikaji. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif terhadap pemanfaatan sistem HKI bagi UMKM, hasil kajian menemukan beberapa hambatan dalam pemanfaatan sistem HKI oleh UMKM yang disebabkan karena beberapa faktor, antara lain: prosedur pendaftaran yang panjang dan kompleks, biaya registrasi/pendaftaran yang mahal dan lemahnya penegakan hukum bagi pelanggaran HKI. Untuk itu perlu diberikan keistimewaan bagi UMKM khususnya di bidang kekayaan intelektual melalui kebijakan-kebijakan affirmatif yang harus segera diwujudkan guna mendukung pemajuan usaha UMKM dengan melakukan percepatan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HKI.Kata Kunci: kebijakan afirmatif, Kekayaan Intelektual, UMKM

AbstractGiven the very strategic role of Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) in the national economy where its business activities are able to expand employment and provide broad economic services to the public, Intellectual Property Rights (IPR) protection must be utilized optimally by MSMEs. Using normative juridical research methods towards the utilization of the IPR system for MSMEs, this research found out there are various obstacles in the use of IPR systems by MSMEs due to several factors, such as, long and complex registration procedures, expensive registration/ registration fees and weak enforcement law for IPR violations. For this reason it is necessary to provide privileges for MSMEs, especially in the field of intellectual property through affirmative policies that must be immediately realized to support the promotion of MSME businesses by accelerating changes in various laws and regulations related to IPR.Keywords: affirmative policy, Intellectual Property, MSMEs

Page 130: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

428 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

A. Pendahuluan

Salah satu cita-cita yang hendak dicapai bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 adalah mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hal ini bermakna bahwa seluruh tumpah darah Indonesia mendapatkan perlakuan yang adil dalam berbagai bidang, tak terkecuali di bidang ekonomi, tidak ada perbedaan strata antara usaha besar dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di dalamnya, semua usaha yang dilakukan oleh masyarakat mendapatkan hak-hak yang seharusnya diperoleh dengan adil.Untuk mencapai keadilan substantif dan menambal kesenjangan antar kelompok usaha,dapat saja untuk sementara waktu dibuka kemungkinan penerapan kebijakan affirmatif atau perlakuan berbeda dengan memberikan keistimewaan tertentu kepada orang, gender atau profesi tertentu,1 hal ini secara konstitusional mendapatkan pembenaran melalui rumusan Pasal 28 H UUDNRI Tahun 1945 yang berbunyi: ” Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Dalam konteks untuk menumbuhkembangkan iklim usaha, berbagai kebijakan affirmatif bagi UMKM telah diimplementasikan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UU UMKM) yang disusun dengan maksud sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam perekonomian nasional.2 Dalam ketentuan Pasal 7 UU UMKM ditegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan Iklim Usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek: a. pendanaan; b. sarana dan prasarana; c. informasi usaha; d. kemitraan; e. perizinan usaha; f. kesempatan berusaha; g. promosi dagang; dan h. dukungan kelembagaan. Selain itu Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga diperintahkan UU UMKM untuk memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang: a. produksi dan pengolahan; b. pemasaran; c. sumber daya manusia; dan d. desain dan teknologi.

Dalam hal menumbuhkan iklim usaha dan fasilitasi pengembangan usaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pemilikan hak atas kekayaan intelektual atas produk dan desain Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam kegiatan usaha dalam negeri dan ekspor serta mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual.3

Sebagaimana diketahui bahwa Perlindungan atas Kekayaan Intelektual memiliki arti penting bagi dunia usaha. Kekayaan intelektual merupakan kunci persaingan serta

1 Affirmative action (tindakan afirmatif) adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu, Klinik Hukum, ”Affirmative Action”, Hukum Online, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action (diakses 1 Agustus 2018).

2 Lihat Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah3 Lihat Pasal 14 ayat (1) huruf d dan Pasal 20 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah.

Page 131: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

429Kebijakan Afirmatif bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual (Eka N.A.M. Sihombing)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

pengembangan sebuah usaha. Pemahaman akan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tidak hanya berguna untuk melindungi bisnis, tetapi juga menjaga agar suatu usaha tidak melanggar hukum akibat pelanggaran HKI.4 UMKM sebagai pelaku ekonomi nasional yang mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian,5 hal ini dikarenakan kegiatan usahanya mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat.6 Maka sudah sepatutnya UMKM perlu memperoleh kesempatan yang sama dan bahkan harus diberikan keistimewaan khususnya di bidang kekayaan intelektual. Berdasarkan hal tersebut, maka tulisan ini dimaksudkan untuk mengurai kebijakan affirmatif yang seharusnya diberlakukan bagi UMKM di bidang Kekayaan intelektual.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif. Suatu penelitian normatif, haruslah

menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute Approach), hal ini dikarenakan yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum.7

Adapun sifat penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah preskriptif, berpegang pada karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat dan mungkin untuk diterapkan.8 Oleh karena itu yang dihasilkan oleh penelitian hukum, sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori baru, paling tidak argumentasi baru.9

C. Pembahasan

1. Peran UMKM dalam Perekonomian Nasional

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 juncto Pasal 6 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 disebutkan bahwa : a. Usaha mikro adalah usaha produktif milik

orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria

4 Berinovasi.com, ”Pentingnya Kekayaan Intelektual dalam Dunia Usaha” , Berinovasi.com, http://berinovasi.com/wp-content/uploads/2018/01/Ebook-Pentingnya-Kekayaan-Intelektual-dalam-Dunia-Usaha.pdf (diakses 5 Agustus 2018).

5 Candra Purnama, ”Perlindungan Hukum Produk UMKM melalui HKI (Hak Kekayaan Intelektual)”, Dinkop UMKM Provinsi Jawa Tengah, http://dinkop-umkm.jatengprov.go.id/assets/upload/files/HAK%20MEREK%20UMKM.pdf (diakses 5 Agustus 2018)

6 UMKM sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional yang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang sangat signifikan, tercatat pada akhir tahun 2017 kontribusi UMKM terhadap PDB nasional adalah Rp 7.005.950 milyar atau sekitar 62,57% dari total PDB. Lihat : Lei-KO2, ”Ini Kontribusi Koperasi dan UMKM Terhadap PDB Nasional 2017”, Legal Era.Id, https://legaleraindonesia.com/ini-kontribusi-koperasi-dan-umkm-terhadap-pdb-nasional-2017/, (diakses 5 Agustus 2018)

7 Peneliti harus melihat hukum sebagai suatu sistem yang tertutup, dengan ciri-ciri sebagai berikut: • Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan yang lainnya

secara logis;• All Inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum

yang ada, sehingga tidak aka nada kekurangan hukum;• Systematic, bahwa norma-norma hukum tersebut, disamping bertautan antara satu dengan yang lain juga

tersusun secara hirarkis.• Lebih lanjut lihat Joenaidi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum (Normatif dan Empiris),

(Jakarta : Prenada Media, 2018), hlm, 132. 8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada media, 2011), hlm 251.9 Ibid.

Page 132: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

430 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan kriteria memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00

(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Selain menggunakan nilai moneter sebagai kriteria untuk menentukan jenis UMKM, sejumlah lembaga pemerintah, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), selama ini juga menggunakan jumlah pekerja sebagai ukuran untuk membedakan skala usaha antara usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar.10 Menurut BPS, usaha mikro (atau di sektor industri manufaktur umum disebut industri rumah tangga) adalah unit usaha dengan jumlah pekerja tetap hingga 4 orang, usaha kecil antara 5 hingga 19 pekerja; dan usaha menengah antara 20 sampai dengan 99 pekerja.11

Rahmana sebagaimana dikutip Sudaryanto, dkk mengelompokkan UMKM dengan melihat dari sudut pandang perkembangannya dalam beberapa kriteria, yaitu:12

a. Livelihood Activities, merupakan Usaha Kecil Menengah yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Contohnya adalah pedagang kaki lima.

b. Micro Enterprise, merupakan Usaha Kecil Menengah yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan.

10 Ade Irawan Taufik, ”Evaluasi Regulasi Dalam Menciptakan Kemudahan Berusaha Bagi UMKM”, Jurnal Rechtsvinding Volume 6, Nomor 3, (2017):375.

11 Ibid.12 Sudaryanto, et.al., ”Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar Bebas Asean”, Kementerian Keuangan,

https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/strategi%20pemberdayaan%20umkm.pdf (diakses 5 Agustus 2018)

Page 133: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

431Kebijakan Afirmatif bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual (Eka N.A.M. Sihombing)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

c. Small Dynamic Enterprise, merupakan Usaha Kecil Menengah yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor.

d. Fast Moving Enterprise, merupakam Usaha Kecil Menengah yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB).

Sektor UMKM mempunyai peran yang sangat strategis dalam perekonomian Indonesia, selain catatan sejarah yang menunjukkan bahwa hanya sektor UMKM yang bertahan dari kolapsnya dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, sementara sektor usaha yang lebih besar justru tumbang oleh krisis.13 Beberapa sebab yang membuat sektor UMKM dapat bertahan di kala krisis tidak terlepas dari karakteristik pelaku UMKM sebagaimana disampaikan Prawirokusumo sebagaimana dikutip Hempri Suyatna, yaitu sebagai berikut:14

a. Fleksibel, dalam arti jika menghadapi hambatan dalam menjalankan usahanya akan mudah berpindah ke usaha lain.

b. Dalam permodalannya, tidak selalu tergantungpada modal dari luar, tetapi dia bisa berkembang dengan kekuatan modal sendiri.

c. Dalam hal pinjaman (terutama pengusaha kecil sector tertentu seperti pedagang)

sanggup mengembalikan pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi.

d. UMKM tersebar di seluruh Indonesia dengan kegiatan usaha di berbagai sektor, merupakan sarana dan distributor barang dan jasa dalam melayani kebutuhan masyarakat.

Tak hanya itu, lebih lanjut menurut Hempri Suyatna saat ini sektor produktif UMKM telah mampu membuktikan diri sebagai salah satu solusi pertumbuhan angkatan kerja baru di Indonesia yang sangat tinggi.15 Perannya yang sangat signifikan dalam penyerapan tenaga kerja itu menjadikan UMKM sangat efektif menjadi piranti memperkuat stabilitas nasional.16 Tercatat sektor produktif UMKM dapat mempekerjakan lebih dari 107,6 juta penduduk Indonesia.17 Selain itu UMKM juga berkontribusi dan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi di daerah, hal ini dapat dilihat dari salah satu hasil penelitian yang diuraikan oleh Nining Sudiyarti, dkk. 18 yang mengambil sampel di Kabupaten Sumbawa. Dalam kesimpulan penelitian tersebut dinyatakan bahwa variabel UMKM berkolerasi dan mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif terhadap variabel pertumbuhan ekonomi khususnya di kabupaten Sumbawa. UMKM juga memberi kontribusi yang besar dalam perekonomian di Jawa Timur, di mana berdasarkan fakta empiris di lapangan

13 Pradnya Paramita Hapsari, et.al, ”Pengaruh Pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi di Pemerintah Kota Batu)”, Jurnal Wacana Volume 17, Nomor 2 (2014):89.

14 Hempri Suyatna, ”Peran Strategis UMKM dan Tantangan di Era Globalisasi”, dalam Rachmawan Budiarto, et.al.,, Pengembangan UMKM antara Konseptual dan Pengalaman Praktis, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2015), hlm 5.

15 Ibid., hlm. 4.16 Ibid.17 Putri Syifa Nurfadilah, ”UMKM Mampu Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi” , Kompas.com, https://ekonomi.

kompas.com/read/2018/07/10/200246326/umkm-mampu-dongkrak-pertumbuhan-ekonomi (diakses 5 Agustus 2018).

18 Lebih lanjut lihat Nining Sudiyarti, et.al., ”Pengaruh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Kabupaten Sumbawa Tahun 2011-2015”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume 14 Nomor 2 (2017).

Page 134: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

432 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dalam lima tahun terakhir share terhadap pertumbuhan ekonomi nasional semakin meningkat, dari 19,91 persen pada tahun 2013 meningkat menjadi 21,70 persen pada tahun 2017.19

Di Yogyakarta, UMKM masih menjadi penopang utama perekonomian, daya tahan UMKM membuat pertumbuhan ekonominya tumbuh di atas ekonomi Indonesia. Bahkan kontribusi UMKM terhadap perekonomian Yogyakarta mencapai 94,6 persen.20 Sedangkan di Kota Bogor, sektor UMKM menjadi tumpuan bagi pertumbuhan ekonomi, Selama 2017, UMKM menyumbang 70 persen dari seluruh pendapatan asli daerah Kota Bogor.21 Secara nasional UMKM memberikan kontribusi terhadap PDB nasional 2017 sekitar 62,57% dari total PDB.22

Lebih lanjut Supriyanto menguraikan beberapa keunggulan UMKM terhadap usaha besar, antara lain:23

a. Inovasi dalam teknologi yang telah dengan mudah terjadi dalam pengembangan produk.

b. Hubungan kemanusiaan yang akrab didalam perusahaan kecil.

c. Kemampuan menciptakan kesempatan kerja cukup banyak atau penyerapannya terhadap tenaga kerja.

d. Fleksibilitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap kondisi pasar yang berubah dengan cepat dibanding dengan perusahaan skala besaryang pada umumnya birokratis.

e. Terdapatnya dinamisme managerial dan peranan kewirausahaan

Berbagai data dan fakta tersebut diatas, membuktikan bahwa UMKM menjadi salah satu elemen penting dalam perekonomian nasional. Posisi seperti itu menempatkan peran UMKM sebagai salah satu sokoguru pengembangan sistem ekonomi kerakyatan sebagai wujud bangunan ekonomi nasional.24

2. Pentingnya HKI bagi UMKM

Sesuai dengan perkembangan zaman, pengaturan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia termasuk halnya dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan sebuah keniscayaan.25 HKI atau Intellectual Property Rights (IPR) merupakan hak yang lahir

19 Sri Handi Lestari, ”Kontribusi UMKM terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jatim Diklaim Terus Tumbuh Positif”, Surabaya Tribun News, http://surabaya.tribunnews.com/2018/06/22/kontribusi-umkm-terhadap-pertumbuhan-ekonomi-jatim-diklaim-terus-tumbuh-positif (diakses 1 Oktober 2018).

20 Arif Wicaksono, ”UMKM Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi Yogyakarta Lampaui Nasional”, MetroTV News, http://ekonomi.metrotvnews.com/mikro/8N0V8mAk-umkm-dongkrak-pertumbuhan-ekonomi-yogyakarta-lampaui-nasional (diakses 01 Oktober 2018).

21 Lihat ”Ini Kontribusi Koperasi dan UMKM terhadap PDB Nasional 2017”, https://legaleraindonesia.com/ini-kontribusi-koperasi-dan-umkm-terhadap-pdb-nasional-2017/ (diakses 05 Agustus 2018).

22 Supriyanto, ”Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Kemiskinan”, Jurnal Ekonomi dan Pendidikan, Volume 3 Nomor 1, (2006):1.

23 Hempri Suyatna, ”Peran Strategis UMKM dan Tantangan di Era Globalisasi”, dalam Rachmawan Budiarto, et.al.,, Pengembangan UMKM antara Konseptual dan Pengalaman Praktis, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2015), hlm 4.

24 Hempri Suyatna, ”Peran Strategis UMKM dan Tantangan di Era Globalisasi”, dalam Rachmawan Budiarto, et.al.,, Pengembangan UMKM antara Konseptual dan Pengalaman Praktis, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2015), hlm 4.

25 Djulaeka, Konsep Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Perspektif Kajian Filosofis HaKI Kolektif Komunal), (Malang : Setara Press, , 2014), hlm 1

Page 135: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

433Kebijakan Afirmatif bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual (Eka N.A.M. Sihombing)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dari hasil olah pikir manusia yang diwujudkan dalam bentuk karya intelektual. Wiradirja dan Munzil menyatakan bahwa HKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi.26 Mengingat HKI merupakan hasil kegiatan kreatif, maka sudah sepatutnya HKI perlu mendapatkan perlindungan secara hukum. Robert M. Sherwood sebagaimana dikutip Wiradirja dan Munzil mengemukakan berbagai teori yang mendasari perlunya perlindungan hukum bagi HKI, yaitu :27

1. Reward Theory, yang memiliki makna yang sangat mendalam terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/ menciptakan karya karya intelektual tersebut.

2. Recovery Theory, menyatakan bahwa penemu/pencipta atau pendesain yang telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut.

3. Incentive Theory, yang mengaitkan pengembangan kreatifitas dengan

memberikan insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna.

4. Risk Theory, bahwa HKI merupakan suatu hasil karya yang mengandung risiko. HKI yang merupakan hasil dari suatu penelitian mengandung risiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu meneumkan cara tersebut atau memperbaikinya sehingga dengan demikian adalah wajar untuk memberikan perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung risiko.

5. Economic Growth Stimulus Theory, teori ini mengakui bahwa perlindungan atas HKI merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi dan yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem perlindungan atas HKI yang efektif.

Berbagai teori yang dikemukakan tersebut, semakin memperkuat pemahaman bahwa HKI merupakan objek yang sangat perlu mendapatkan perlindungan hukum, tanpa perlindungan hukum yang memadai maka dapat dipastikan akan mempengaruhi laju kreatifitas suatu Negara dalam melahirkan karya-karya baru. Kotler sebagaimana dikutip Sean Matthew menyatakan bahwa HKI merupakan salah

26 Imas Rosidawati Wiradirja dan Fontian Munzil, Pengetahuan Tradisional dan Hak Kekayaan Intelektual (Perlindungan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan Asas Keadilan Sui Generis Intellectual Property System), (Bandung : Refika Aditama, 2018), hlm 30.

27 Ibid.28 Menurut Kotler beberapa modal yang menjadi faktor yang mempengaruhi kesejahteraan suatu bangsa ialah

pertama: Natural Capital (modal alami) ; air, tanah, kayu, mineral dan sebagainya, kedua: Physical Capital (modal fisik) ; Mesin, bangunan, pabrik, fasilitas publik lainnya, ketiga: Human Capital (modal insani); nilai produktif manusia, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan keempat: Social Capital (modal sosial): nilai-nilai keluarga, masyarakat, berbagai organisasi yang dibentuk dalam masyarakat. Lihat Sean Matthew, ”Analisis Terhadap Pengaturan Hukum Hak Merek Yang Dijaminkan Melalui Mekanisme Fidusia”, Kanal Hukum, http://kanalhukum.id/kanalis/analisis-terhadap-pengaturan-hukum-hak-merek-yang-dijaminkan-melalui-mekanisme-fidusia/43 (diakses 6 Agustus 2018)

Page 136: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

434 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

satu modal yang menjadi faktor berpengaruh terhadap kesejahteraan suatu bangsa.28

Secara garis besar HKI dipilah menjadi 2 (dua) bagian, yaitu Hak Cipta (copyrights) meliputi hak cipta dan hak-hak yang terkait

29 Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, (Bandung : Mandar Maju, 2012), hlm 3.

(neighbouring right) sertaHak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) meliputi merek, paten, desain industri, rahasia dagang, desain tata letak sirkuit terpadu,29 secara rinci dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1. Jenis Kekayaan Intelektual dan Lingkup Perlindungannya

No Jenis Kekayaan Intelektual

Lingkup Perlindungan Dasar Hukum

1 Cipta Seni, Sastra dan Ilmu Pengetahuan Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

2 Merek Tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa

Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

3 Indikasi Geografis

Suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan

Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

4 Paten Invensi di bidang Teknologi Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

5 Rahasia Dagang

informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang

Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

6 Desain Industri Suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan

Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

Page 137: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

435Kebijakan Afirmatif bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual (Eka N.A.M. Sihombing)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

7 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

• suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik

• kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain dan Tata Letak Sirkuit Terpadu

HKI merupakan sumber kekayaan material bagi pemiliknya, dan salah satu aspek hak khusus pada HKI adalah hak ekonomi (economy rights).30 Hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan intelektual.31 Hak ekonomi itu diperhitungkan karena HKI dapat digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain dalam perindustrian atau perdagangan yang mendatangkan keuntungan, dengan kata lain HKI adalah objek perdagangan.32 Dalam kegiatan industri dan perdagangan, keuntungan ekonomi tidak hanya dapat dinikmati oleh pemilik tetapi juga oleh pihak lain.33 Cara memperoleh keuntungan ekonomi tersebut, antara lain:34

a. HKI digunakan untuk menjalankan suatu bisnis tertentu bagi pemiliknya sendiri, misalnya merek dagang dan merek jasa.

b. HKI diwujudkan dalam bentuk model rancang bangun suatu produk industri kemudian dipasarkan kepada para konsumen, misalnya karya arsitektur.

c. HKI dialihkan pemanfaatannya kepada pihak lain melalui lisensi (izin) sehingga pemilik memperoleh keuntungan ganda dari penggunaan sendiri dan dari lisensi misalnya hak cipta dilisensikan kepada produser, hak merek dilisensikan kepada perusahaan perdagangan, paten dilisensikan kepada perusahaan industri.

Dalam konteks UMKM, HKI memiliki pengaruh positif, paling tidak terdapat beberapa manfaat yang dapat dilihat dari sisi ekonomi, perlindungan hukum maupun dari sisi pemacu kreatifitas, antara lain :35

a. Sebagai Aset Perusahaan, HKI merupakan salah satu kunci pendukung agar usaha dapat sukses karena dapat digunakan sebagai aset finansial perusahaan. HKI dapat dieksploitasi oleh pemiliknya melalui penjualan, lisensi, pengalihan atau dapat juga dijadikan sebagai sarana perencanaan

30 Abdul Kadir Muhammad, Kajian Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007),hlm 23. 31 Ibid. 32 Ibid.33 Ibid., hlm 14.34 Ibid.35 Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual - Departemen Kehakiman dan HAM RI, Membangun Usaha Kecil

Menengah Berbasis Pendayagunaan Sistem Hak Kekayaan Intelektual (Kiat Melindungi Usaha), (Jakarta : DJHKI-APEC-IPAustralia, 2004), hlm 13-14.

Page 138: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

436 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

36 Bisnis UKM, ”Pentingnya HKI bagi UKM”, Bisnis UKM, https://bisnisukm.com/pentingnya-hki-bagi-ukm.html (diakses 6 Agustus 2018).

modal. Bahkan Paten inventor/industriawan karena menjanjikan keuntungan yang tidak kecil, dan dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperolehkan/menambah modal/keuntungan.

b. Sebagai Pendukung Pengembangan Usaha, Sebuah usaha yang dalam memproduksi produk/jasa tertentu senantiasa mengupayakan untuk mempertahankan agar kualitas produk/jasa yang dihasilkannya selalu baik, dijamin akan segera meraih kepercayaan masyarakat. Untuk menarik perhatian masyarakat dan sekaligus memperkenalkannya secara cepat dan taktis penggunaan merek tertentu diharapkan dapat merealisasikan keinginnan itu. Produk berbasis HKI yang telah dipercaya oleh masyarakat akan mampu mendukung pengembangan usaha Iebih Ianjut. Pengembangan usaha yang dapat dilakukan tidak hanya mencakup peningkatan jumlah produksi produk/jasa tersebut. melainkan dapat juga berkembang dalam bentuk produk-produk/jasa-jasa lain, atau pun dengan semakin meningkatnya jumlah tempat usaha.

c. Sebagai Perlindungan Hukum dan Pencegah Persaingan Usaha tidak sehat serta Peningkat Daya Saing, Setiap bisnis/usaha tidak akan terlepas dari persaingan, baik dalam skala Iokal, regional, maupun internasional. Dengan tersedianya sistem HKI diharapkan timbulnya persaingan yang tidak sehat dapat dicegah/ditiadakan. Dalam prakteknya, sistem perlindungan HKI jarang digunakan untuk melarang para pesaing untuk memproduksi barang/jasa

yang sama/mirip. Sebaliknya, melalui sistem tersebut, upaya untuk membatas para pesaing dilakukan dengan menawarkan kemungkinan untuk memperoleh lisensi. Melalui mekanisme ini, diharapkan pendistribusian produk dan teknologi terkait kepada penerima lisensi dapat dilakukan. Pada saat yang sama, imbalan royalti yang sepadan diharapkan bisa diperoleh pemilik HKI.Produk, jasa dan hasil karya lain yang memberdayakan sistem HKI dan telah dipercaya oleh masyarakat tidak hanya akan mendukung pengembangan usaha lebih lanjut melainkan juga dapat meningkatkan daya saing dan meraih pasar yang lebih luas.

d. Sebagai Pemacu Inovasi dan Kreatifitas, HKI merupakan hak eksklusif yang dibebankan oleh negara sebagai penghargaan atas hasilkarya intelektual seseorang. Melalui penghargaan tersebut inventor/kreator diharapkan akan terpacu/terangsang untuk berinovasi dalam mengembangkan lebih lanjut karya intelektualnya.

e. Sebagai Image Building, Suatu produk berkualitas yang dilindungi HKI akan mudah dikenal dan digemari masyarakat.Selanjutnya, penggunaan HKI secara terus menerus akan membentuk image terhadap produk terkait.

Mengingat UMKM yang sangat strategis dalam perekonomian nasional, perlindungan HKI harus dapat dimanfaatkan secara optimal oleh UMKM, karena tanpa disadari, produk-produk yang diproduksi oleh UMKM di Indonesia banyak yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki keunikan terutama apabila sudah masuk dalam pasar perdagangan.36 Hal ini pula

Page 139: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

437Kebijakan Afirmatif bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual (Eka N.A.M. Sihombing)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

yang dapat memicu ketertarikan pihak yang tidak memiliki itikad baik untuk meniru produk tersebut yang kemudian didaftarkan oleh si peniru yang pada akhirnya UMKM tersebut tidak lagi dapat menggunakan produk yang telah didaftarkan oleh si peniru tersebut.

3. Kebijakan Afirmatif bagi UMKM di bidang HKI

Dari hasil observasi37 dan penelitian menunjukkan bahwa masih banyak UMKM yang enggan untuk memanfaatkan sistem HKI, adapun beberapa faktor penyebab keengganan UMKM untuk memanfaatkan sistem HKI sebagaimana diuraikan oleh Selvie Sinaga, yaitu:38 Pertama, Prosedur pendaftaran yang panjang dan kompleks; Kedua, Biaya registrasi/pendaftaran yang mahal; dan Ketiga, Lemahnya penegakan hukum bagi pelanggaran HKI. Lebih lanjut dapat diurai sebagai berikut : Pertama, berkaitan

dengan prosedur pendaftaran yang panjang dan kompleks, meskipun beberapa regulasi di bidang Kekayaan Intelektual saat ini telah memangkas jangka waktu, seperti halnya dalam pendaftaran Merek39 dapat ditelusuri dalam Naskah Akademik RUU tentang Merek bahwa salah satu alasan perlunya penyederhanaan waktu dikarenakan Proses permohonan Merek yang berlaku pada saat UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dianggap masih kurang efektif dan memakan waktu cukup lama, sehingga diperlukan penyederhanaan waktu proses pendaftaran.40 Namun dalam praktiknya proses pendaftaran hingga penerbitan sertifikat relatif lebih lama daripada waktu yang ditentukan.41 Lamanya jangka waktu yang ditentukan tersebut juga tidak menjamin permohonan tersebut dikabulkan. Selain itu, dalam hal tempat pendaftaran, selain hak cipta42 pendaftaran HKI hanya dapat dilakukan melalui Direktorat

37 Informasi mengenai berbagai faktor penghambat yang dialami oleh UMKM dalam pemanfaatan sistem HKI didapatkan Penulis setelah dalam kurun 2010 sampai dengan saat ini menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan seminar HKI khususnya bagi UMKM yang diselenggarakan oleh berbagai instansi.

38 V. Selvie Sinaga, ”Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penggunaan Hak Kekayaan Intelektual di Kalangan Usaha Kecil Menegah Batik”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 21, Nomor 1 (2014):71.

39 Jangka waktu proses pendaftaran hingga penerbitan sertifikat merek berdasarkan ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memakan waktu sekitar 9 (sembilan). Adapun Jangka waktu proses pendaftaran hingga penerbitan sertifikat Paten biasa berdasarkan ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten memakan waktu sekitar 3 (tiga) tahun.

40 Penyederhanaan waktu proses pendaftaran dilakukan dengan cara pelaksanaan pengumuman sebelum dilakukan permeriksaan substantif apabila permohonan sudah diterima secara lengkap. Lebih lanjut apabila terdapat keberatan terhadap permohonan Merek yang diumumkan, maka sekaligus materi keberatan dimaksud dijadikan bahan untuk melakukan pemeriksaan substantif, sehingga proses pemeriksaan permohonan pendaftaran Merek akan menjadi lebih singkat. Lebih lanjut lihat Kementerian Hukum dan HAM RI, Draft Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan RUU Tentang Merek, (Jakarta : BPHN-Kemenkumham RI, 2015), hlm 69.

41 Sebagai contoh Pengajuan permohonan merek pemohon dengan nomor permohonan merek: • D022016XXXXXX tanggal penerimaan 19 Desember 2016;• D022017XXXXXX tanggal penerimaan 11 Desember 2017;• sampai saat ini (10/18) sertifikat merek nya belum juga diterima oleh si pemohon (sumber diambil dari

pangkalan data KI melalui http://pdki-indonesia.dgip.go.id. dan informasi yang langsung diberikan oleh pemohon).

42 Untuk pendaftaran Hak cipta, selain ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM yang terdapat di setiap Provinsi dan Konsultan HKI masyarakat dapat mendaftarkan melalui Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Lembaga Pendidikan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Sentra HKI, UMKM, institusi lain, badan hukum dan Perorangan yang telah memiliki akun resmi yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.

Page 140: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

438 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Jenderal Kekayaan Intelektual, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAMyang terdapat di setiap Provinsi dan Konsultan HKI. Sehingga, tidak semua UMKM yang tersebar di berbagai wilayah dapat dengan mudah untuk mengakses pendaftaran tersebut.

Kedua,berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, UMKM mendapatkan keringanan

biaya pendaftaran HKI, akan tetapi biaya tersebut masih dianggap memberatkan khususnya bagi usaha mikro dan kecil43, bahkan apabila suatu permohonan ditolak uang pendaftaran yang telah dikeluarkan oleh pemohon tidak dikembalikan.secara rinci biaya pendaftaran HKI dapat diuraikan sebagai berikut:

Tabel 2. Daftar biaya pendaftaran HKI berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

43 Hasil wawancara dengan beberapa UMKM pada saat kegiatan Sosialisasi HAKI bagi UMKM di Kabupaten Deli Serdang T.A. 2018 pada hari Selasa 15 Mei 2018 dan Pada Kegiatan Bimtek HaKI dan Labelisasi Halal di Kabupaten Serdang Bedagai T.A. 2018 pada tanggal 03 Juli 2018.

NoJenis HKI

Per Permohonan

Biaya Permohonan Pendaftaran

UMKM Non UMKM

1 Cipta a. Secara elektronik (On line)b. Secara non elektronik (manual)

a. 200.000b. 250.000

a. 400.000b. 500.000

2 Desain Industria. Secara elektronik (On line)

1. Satu desain industri2. Satu kesatuan desain

b. Secara non elektronik (manual)1. Satu desain industri2. Satu kesatuan desain

1. 250.0002. 550.000

1. 300.0002. 600.000

1. 800.0002. 1.250.000

1. 1.000.0002. 1.500.000

3 Patena. Secara elektronik (On line)b. Secara non elektronik (manual)

a. 350.000b. 450.000

a. 1.250.000b. 1.500.000

4 Paten Sederhanaa. Secara elektronik (On line)b. Secara non elektronik (manual)

a. 200.000b. 250.000

a. 800.000b. 1.250.000

5 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu 100.000 200.000

Page 141: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

439Kebijakan Afirmatif bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual (Eka N.A.M. Sihombing)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

6 Merek a. Secara elektronik (On line)b. Secara non elektronik (manual)

a. 500.000b. 600.000

a. 1.800.000b. 2.000.000

7 Indikasi Geografisa. Secara elektronik (On line)b. Secara non elektronik (manual)

a. 450.000b. 500.000

c. 450.000d. 500.000

Walaupun selama ini lembaga pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai program pemberian insentif dengan memberikan bantuan secara cuma-cuma bagi UMKM untuk mendaftarkan HKI, akan tetapi jumlah pemberian insentif tersebut tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan dan menjangkau seluruh UMKM yang ada di Indonesia. Sebagai gambaran, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) sepanjang tahun 2017 telah memfasilitasi 3000 (tiga ribu) lebih pelaku UMKM untuk mendapatkan HKI.44 Padahal di Provinsi Sumatera Utarapertumbuhan UMKM pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 mengalami peningkatan, pada tahun 2017 jumlah UMKM yang terdapat di Sumatera Utara saja berjumlah 2.857.12445, dan dukungan Perolehan Hak Merk, Hak Paten dan HKI Bagi Usaha Kecil sampai dengan April 2018 di Sumatera Utara sebanyak 33046, sehingga wajar saja apabila masih sangat banyak UMKM yang tidak terfasilitasi oleh program insentif tersebut.

Ketiga, berkaitan dengan adanya anggapan bahwa penegakan hukum bagi pelanggaran

HKI sangat lemah, hal ini dapat difahami dikarenakan masyarakat kurang memahami bahwa seluruh delik pidana yang terdapat dalam berbagai Undang-Undang di bidang HKI merupakan delik aduan, sehingga ketika terjadi pelanggaran HKI, apabila si pemegang HKI tidak melakukan pengaduan kepada penegak hukum, maka perkara tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bidang Kekayaan Intelektual pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara juga menyatakan bahwa PPNS tidak dapat menindaklanjuti ketika menemukan dugaan pelanggaran HKI yang tidak diadukan oleh si pemilik HKI47 dan bahkan dalam kurun tahun 2015-2018 PPNS Bidang Kekayaan Intelektual pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara sama sekali tidak pernah menangani pelanggaran HKI.48 Pertimbangan utama delik aduan adalah memberikan hak yang lebih kuat kepada pemegang HKI ketika berperkara.49

Sehubungan dengan Peran UMKM yang sangat signifikan dalam memajukan

44 Maizal Walfajri, ”3000 UKM dapat Fasilitas Hak Cipta dan Merek Gratis”, Kontan http://keuangan.kontan.co.id/news/3000-ukm-dapat-fasilitas-hak-cipta-merek-gratis (diakses 5 Agustus 2018).

45 ”Paparan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Sumatera Utara pada Rakornas Bidang KUMKM Tahun 2018” http://www.depkop.go.id/uploads/tx_rtgfiles/10._Paparan_Rakornas_Yogyakarta_2018_-_Sumatera_Utara.pdf (diakses 6 Agustus 2018).

46 Ibid.47 Hasil Wawancara dengan Ibu Juraini Sulaiman dan Ali Marwan yang merupakan PPNS bidang Kekayaan

Intelektual pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara pada tanggal 03 Oktober 2018.48 Sumber data dari Bidang Pelayanan Hukum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara.49 LEI-02, ”Ini dia yang sering dilanggar dalam bidang Kekayaan Intelektual”, Legal Era id., https://legaleraindonesia.

com/ini-dia-yang-sering-dilanggar-dalam-bidang-hak-kekayaan-intelektual/ (diakses 6 Agustus 2018)

Page 142: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

440 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

50 Eka NAM Sihombing dan Nur Fatmah G, ”Mendorong Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif”, Jurnal Legislasi, Volume 9 Nomor 4 (2012): 599.

51 Hendri Sayuti, ”Hakikat Affirmative Action dalam Hukum Indonesia (Ikhtiar Pemberdayaan yang Terpinggirkan)”, Jurnal Menara, Volume 12 Nomor 1 (2013): 41.

52 Ibid.53 Marten Bunga, ”Konsepsi Affirmative Action sebagai Bentuk Penerapan Equality Before The Law dalam

Mewujudkan Demokrasi Di Indonesia”, Jurnal Legalitas Volume 7 Nomor 1 (2014): 14.54 Ibid.

perekonomian nasional, maka sudah seharusnya pemerintah maupun pemerintah daerah melahirkan kebijakan-kebijakan yang bersifat affirmatif bagi UMKM tidak terkecuali di bidang HKI. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dalam memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu.50 Hanya dengan perlakuan khusus atau tindakan affirmatif tersebut, dapat dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara.Hendri Sayuti menyatakan bahwa tindakan affrimatif ini merupakan jalan yang banyak dipilih oleh Negara sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif.51 Tindakan affirmatif ini pada dasarnya hadir dengan memiliki sebuah tujuan jangka panjang yang berfungsi dalam mengurangi bentuk diskriminasi antar kelompok.52 Tindakan affirmatif akan berbanding lurus dengan keberadaan tujuan hukum berupa keadilan dan kemanfaatan.53

Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki kesadaran terhadap affirmative action.54 Hal ini tercermin dalam UUDNRI Tahun 1945 secara tegas memberikan jaminan perlakuan khusus bagi kelompok masyarakat tertentu sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 menyatakan ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. UMKM merupakan masyarakat yang sangat memerlukan perlakuan khusus melalui kebijakan afirmatif khususnya di bidang HKI, selama ini UMKM mengalami kesulitan untuk mempromosikan produknya dikarenakan ada ketakutan apabila UMKM mempromosikan produknya yang belum terdaftar ternyata memiliki persamaan dengan produk terdaftar sebelumnya.

Sejalan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tentang UMKM mengamanahkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menumbuhkan iklim usaha melalui penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek: a. pendanaan; b. sarana dan prasarana; c. informasi usaha; d. kemitraan; e. perizinan usaha; f. kesempatan berusaha; g. promosi dagang; dan h. dukungan kelembagaan. Lebih lanjut, dalam penumbuhan iklim usaha melalui penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijakan dalam aspek promosi dagang, salah satunya ditujukan untuk memfasilitasi pemilikan hak atas kekayaan intelektual atas produk dan desain Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam kegiatan usaha dalam negeri dan ekspor, serta mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual. Berkaitan dengan hal tersebut maka sudah sepatutnya Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI mendorong lahirnya kebijakan

Page 143: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

441Kebijakan Afirmatif bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual (Eka N.A.M. Sihombing)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

afirmatif yang lebih mendukung UMKM untuk memanfaatkan sistem HKI, berupa pembebasan biaya pendaftaran HKI khususnya bagi Usaha Mikro dan memberi keringanan biaya kepada usaha kecil dan menengah meskipun saat ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 terdapat perbedaan biaya pendaftaran bagi UMKM, namun sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa biaya tersebut masih dianggap memberatkan, khususnya bagi usaha mikro yang notabene memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pembebasan biaya bagi Usaha mikro dan memberi keringanan bagi Usaha Kecil dan Menengah didasarkan atas sinkronisasi dan analogi terhadap Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang membebaskan biaya perizinan bagi usaha mikro dan memberi keringanan biaya kepada usaha kecil dan menengah. Keberhasilan Pemerintah dalam mendorong UMKM melalui kebijakan afirmatif untuk memperoleh sertfikat HKI juga berdampak dapat membantu para pelaku UMKM memperluas sumber untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah, hal ini dikarenakan berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Cipta, Pasal 108 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Paten, baik hak cipta maupun hak paten secara tegas dinyatakan dapat dijadikan jaminan fidusia.55 Namun, berbeda halnya dengan hak merek yang tidak dinyatakan secara tegas dalam UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis bahwa hak merek dapat dijaminkan melalui skema fidusia begitu juga halnya dengan bidang HKI yang lain seperti Desain Industri, rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu.

Meskipun di dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa benda tak berwujud termasuk kategori benda yang dapat dijadikan jaminan fidusia, akan tetapi perlu ditegaskan kembali bahwa seluruh bidang HKI dapat dijadikan objek jaminan fidusia dalam setiap Undang-Undang di bidang HKI, penegasan ini sejalan dengan amanah tersirat pada sidang ke -13 United Nations Comission on International Trade Law (UNCITRAL), WorkingGroup VI on Security Interest, secured transaction law, New York19-23 Mei 2008 yang mengharapkan kepada masing-masing Negara membuat aturan HKI sebagai jaminan, tentunya dengan tidak bertentangan dengan ketentuan HKI yang ada di masing-masing Negara dan juga perjanjian internasional di bidang HKI yang telah dibuat antar Negara.56 Selain itu penegasan HKI sebagai jaminan fidusia juga sangat penting untuk menunjukkan konsistensi dan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan, juga untuk lebih memperkuat dan

55 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 42 Tahun 1999, Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak bewujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

56 Sri Mulyani, ”Pengembangan Hak Kekayaan intelektual sebagai Collateral (agunan) untuk Mendapatkan Kredit Perbankan di Indonesia”, Jurnal DInamika Hukum, Volume 12 Nomor 3 (2012): 577.

Page 144: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

442 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

menjamin pelaksanaan fidusia dengan objek HKI, terkhusus HKI yang dimiliki oleh UMKM. Penegasan ini juga dihrapakan dapat menjaga geliat kegiatan usaha sektor UMKM dan dapat mendukung pemajuan usaha UMKM serta meningkatkan perekonomian nasional. Untuk itu diperlukan terobosan hukum dengan melakukan percepatan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HKI. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Hendri Sayuti bahwa salah satu sarana terpenting untuk menerapkan affirmative action ini adalah adanya jaminan pelaksanaannya dalam konstitusi dan Undang-Undang.57

D. Penutup

Mengingat peran UMKM yang sangat strategis dalam perekonomian nasional di mana kegiatan usahanya mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, maka perlindungan HKI harus dapat dimanfaatkan secara optimal oleh UMKM, hal ini sangat penting, agar produk-produk yang diproduksi oleh UMKM di Indonesia dapat dilindungi dan tidak mudah untuk ditiru oleh orang lain sehingga dapat merugikan kepentingan UMKM. Namun terdapat berbagai hambatan dalam pemanfaatan sistem HKI oleh UMKM yang disebabkan beberapa faktor, antara lain, Prosedur pendaftaran yang panjang dan kompleks, Biaya registrasi/pendaftaran yang mahal dan lemahnya penegakan hukum bagi pelanggaran HKI.

Dalam rangka menumbuhkembangkan iklim usaha yang mendukung UMKM,juga

perlu diupayakan peningkatan kemampuan dan peran serta kelembagaan UMKM secara integratif, dengan memberikan kesempatan yang sama bagi UMKM dan bahkan harus diberikan keistimewaan khususnya di bidang kekayaan intelektual melalui kebijakan-kebijakan affirmatif. Karena, hanya dengan perlakuan khusus dalam kebijakan affirmatif tersebut, dapat dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional setiap warga Negara.

Adapun kebijakan afirmatif yang harus segera diwujudkan guna mendukung pemajuan usaha UMKM adalah penghapusan biaya pendaftaran permohonan HKI bagi Usaha Mikro dan pemberian keringanan bagi Usaha Kecil dan Menengah serta memberikan penegasan bahwa seluruh bidang HKI harus dapat dijadikan jaminan fidusia. Untuk itu diperlukan terobosan hukum dengan melakukan percepatan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HKI, diantaranya UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU Nomor 31 Tahun 2001 tentang Desain Industri, UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya yang terkait dengan penetapan tarif PNBP permohonan pendaftaran HKI

57 Hendri Sayuti, op. cit., hlm 43.

Page 145: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

443Kebijakan Afirmatif bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Bidang Kekayaan Intelektual (Eka N.A.M. Sihombing)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Daftar Pustaka

BukuBudiarto, Rachmawan et.al., Pengembangan UMKM

antara Konseptual dan Pengalaman Praktis, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2015).

Djulaeka, Konsep Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Perspektif Kajian Filosofis HaKI Kolektif Komunal), (Malang : Setara Press, 2014).

Efendi, Joenaidi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum (Normatif dan Empiris), (Jakarta : Prenada Media, Cet. Kedua, 2018).

Marzuki, Peter Mahmud Penelitian Hukum, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2011).

Muhammad, Abdul Kadir Kajian Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007).

Purwaningsih, Endang, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, (Bandung : Mandar Maju, 2012).

Wiradirja, Imas Rosidawati dan Fontian Munzil, Pengetahuan Tradisional dan Hak Kekayaan Intelektual (Perlindungan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan Asas Keadilan Sui Generis Intellectual Property System), (Bandung : Refika Aditama, 2018).

BPHN-Kementerian Hukum dan HAM RI, ”Draft Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan RUU Tentang Merek”, (Jakarta : BPHN-Kementerian Hukum dan HAM RI, 2015).

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual - Departemen Kehakiman dan HAM RI, Membangun Usaha Kecil Menengah Berbasis Pendayagunaan Sistem Hak Kekayaan Intelektual (Kiat Melindungi Usaha), (Jakarta : DJHKI-Dep. Kehakiman dan HAM RI, 2004).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian dan lain-lain

Bunga, Marten ”Konsepsi Affirmative Action sebagai Bentuk Penerapan Equality Before The Law dalam Mewujudkan Demokrasi Di Indonesia”, Jurnal Legalitas (2014)

Hapsari, Pradnya Paramita et.al, Pengaruh Pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi di Pemerintah Kota Batu), Jurnal Wacana (2014).

Mulyani, Sri ”Pengembangan Hak Kekayaan intelektual sebagai Collateral (agunan) untuk

Mendapatkan Kredit Perbankan di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, (2012)

Sayuti, Hendri ”Hakikat Affirmative Action dalam Hukum Indonesia (Ikhtiar Pemberdayaan yang Terpinggirkan)”, Jurnal Menara (2013)

Sihombing, Eka NAM dan Nur Fatmah G, ”Mendorong Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif”, Jurnal Legislasi (2012)

Sinaga, V. Selvie, ”Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penggunaan Hak Kekayaan Intelektual di Kalangan Usaha Kecil Menegah Batik”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum (2014)

Supriyanto, ”Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Kemiskinan”, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, (2006)

Taufik, Ade Irawan ”Evaluasi Regulasi Dalam Menciptakan Kemudahan Berusaha Bagi UMKM”, Jurnal Rechtsvinding (2017)

Internet Arif Wicaksono, ”UMKM Dongkrak Pertumbuhan

Ekonomi Yogyakarta Lampaui Nasional”, MetroTV News, http://ekonomi.metrotvnews.com/mikro/8N0V8mAk-umkm-dongkrak-pertumbuhan-ekonomi-yogyakarta-lampaui-nasional (diakses 01 Oktober 2018)

Berinovasi.com, ”Pentingnya Kekayaan Intelektual dalam Dunia Usaha” , Berinovasi.com, http://berinovasi.com/wp-content/uploads/2018/01/Ebook-Pentingnya-Kekayaan-Intelektual-dalam-Dunia-Usaha.pdf (diakses 5 Agustus 2018).

Bisnis UKM, ”Pentingnya HKI bagi UKM”, Bisnis UKM, https://bisnisukm.com/pentingnya-hki-bagi-ukm.html (diakses 6 Agustus 2018)

Klinik Hukum, ”Affirmative Action”, Hukum Online, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action (diakses 1 Agustus 2018).

LEI-02, ”Ini dia yang sering dilanggar dalam bidang Kekayaan Intelektual”, Legal Era Id., https://legaleraindonesia.com/ini-dia-yang-sering-dilanggar-dalam-bidang-hak-kekayaan-intelektual/(diakses 6 Agustus 2018)

Lei-KO2, ”Ini Kontribusi Koperasi dan UMKM Terhadap PDB Nasional 2017”, Legal Era.Id, https://legaleraindonesia.com/ini-kontribusi-koperasi-dan-umkm-terhadap-pdb-nasional-2017/, (diakses 5 Agustus 2018)

Maizal Walfajri, ”3000 UKM dapat Fasilitas Hak Cipta dan Merek Gratis”, Kontan http://keuangan.

Page 146: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

444 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 427–444

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

kontan.co.id/news/3000-ukm-dapat-fasilitas-hak-cipta-merek-gratis (diakses 5 Agustus 2018).

Matthew, Sean ”Analisis Terhadap Pengaturan Hukum Hak Merek Yang Dijaminkan Melalui Mekanisme Fidusia”, http://kanalhukum.id/kanalis/analisis-terhadap-pengaturan-hukum-hak-merek-yang-dijaminkan-melalui-mekanisme-fidusia/43 (diakses 6 Agustus 2018)

NN, ”Paparan Kepala Dinas Kopersai dan UKM Provinsi Sumatera Utara pada Rakornas Bidang KUMKM Tahun 2018”, http://www.depkop.go. id/uploads/tx_rtgf i les/10._Paparan_Rakornas_Yogyakarta_2018_-_Sumatera_Utara.pdf (diakses 6 Agustus 2018)

Purnama, Candra ”Perlindungan Hukum Produk UMKM melalui HKI (Hak Kekayaan Intelektual)”, http://dinkop-umkm.jatengprov.go.id/assets/upload/f i les/HAK%20MEREK%20UMKM.pdfhttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action (diakses 5 Agustus 2018)

Putri Syifa Nurfadilah, ”UMKM Mampu Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi” , Kompas.com, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/10/200246326/umkm-mampu-dongkrak-pertumbuhan-ekonomi (diakses 5 Agustus 2018)

Sri Handi Lestari, ”Kontribusi UMKM terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jatim Diklaim Terus Tumbuh Positif”, Surabaya Tribun News, http://surabaya.tribunnews.com/2018/06/22/kontribusi-umkm-terhadap-pertumbuhan-ekonomi-jatim-diklaim-terus-tumbuh-positif (diakses 1 Oktober 2018)

Sudaryanto, et.al, ”Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar Bebas Asean”, https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/strategi%20pemberdayaan%20umkm.pdf (diakses 5 Agustus 2018)

Page 147: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

445Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA BAGI USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH BERBADAN HUKUM DENGAN GAGASAN PENDIRIAN

PERSEROAN TERBATAS OLEH PEMEGANG SAHAM TUNGGAL(Supporting Ease Of Doing Business For Micro, Small, And Medium Enterprises In Legal Entity Form

Through Single Shareholder Idea In Limited Liability Company Establishment)

FahruroziDirektorat Jenderal Administrasi Hukum Umum

Kementerian Hukum dan HAM RI Jalan. H.R. Rasuna Said Kav X-6/8, Jakarta

Email: [email protected]

Naskah diterima: 18 Agustus 2018; revisi: 30 Oktober 2018; disetujui: 5 November 2018

AbstrakKebijakan kemudahan berusaha yang diterapkan oleh Pemerintah diharapkan mampu mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk dapat meningkatkan perekonomian nasional. Meskipun UMKM memiliki kelebihan, UMKM juga memiliki beberapa kendala khususnya mengenai pembiayaan. Pembiayaan UMKM di Indonesia umumnya terkendala karena bentuk UMKM yang informal sulit untuk mendapatkan fasilitas bantuan atau pinjaman dana. Akibatnya, UMKM di Indonesia umumnya masih bermodalkan harta dan kekayaan pribadi pendirinya. Hal ini jelas mengganggu kelangsungan UMKM. Untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan yang efektif, maka UMKM sudah waktunya berbentuk badan usaha formal dalam hal ini Perseoran Terbatas. Dengan metode yuridis normatif, tulisan ini akan berfokus pada pendekatan teoritis terhadap UMKM dan Perseroan Terbatas. Dari analisis kualitatif yang dilakukan, ditemukan fakta bahwa terdapat ketidakharmonisan antara Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Di mana ketentuan untuk mendirikan Perseroan Terbatas yang mensyaratkan didirikan minimum oleh 2 (dua) orang, dinilai tidak sejalan dengan konsep UMKM yang dapat didirikan dan dijalankan oleh 1 (satu) orang saja. Dari pemahaman di atas, tulisan ini menilai bahwa perlu adanya pembaruan hukum terkait hal tersebut.Kata Kunci: kemudahan berusaha, perseroan terbatas, UMKM

AbstractEase of doing business policy is expected by the Government to improve national economics through Micro, Small and Medium Enterprise (UMKM). UMKM has its strength, but it also has constraints especially in financing issue. Financing UMKM through loan in Indonesia is generally difficult due to UMKM informality. Therefore, most UMKM in Indonesia are still funded privately. It is time for UMKM to be formally established, in this case is in Limited Liability Company (PT) form. With juridical normative method, this article will focus on theoretical approach regarding UMKM and PT. From qualitative analysis conducted, it is found that there is disharmony between Law Number 40 of 2007 on PT and Law Number 20 of 2008 on UMKM. It requires two persons to establish a PT, which against UMKM concept that can be established by just one person. This article assesses the urgency to reform the law regarding such issue. Key Word: ease of doing business, limited liability company, UMKM

Page 148: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

446 Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

A. Pendahuluan

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kerap disebut sebagai salah satu penunjang perekonomian. UMKM identik dengan kelompok-kelompok pengusaha yang klasifikasi modal, aset, atau profitnya tergolong cukup rendah. Sehingga membutuhkan perlakuan tertentu agar usahanya dapat berjalan dengan baik. Indonesia melalui Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU UMKM), mendefinisikan UMKM melalui kategori independensi badan usaha, total kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan.1 Salah satu elemen penting dalam UU UMKM adalah ”orang perorangan” dapat memulai UMKM.

Meskipun istilah UMKM muncul di Indonesia sejak disahkannya UU UMKM, praktek bisnis UMKM sudah dikenal sejak lama secara global. Dalam istilah Inggris, UMKM dalam dikenal dengan istilah ”Small and Medium Enterprises” atau sering disingkat sebagai ”SMEs”. Esuh Ossai-Igwe Lucky mengatakan bahwa UMKM dapat ditentukan berdasarkan besarnya modal dan aset atau nilai profit yang dapat dihasilkan dari bisnis yang dijalankan.2 Selain itu, adapula

pendapat yang mengklasifikasikan UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dapat terserap.3 Pada pokoknya, Lucky menjelaskan bahwa definisi UMKM harus dilihat dari segi bisnis yang luas, tidak hanya terbatas pada ukuran besarnya perusahaan atau seberapa banyak tenaga kerja yang dapat terserap. Sebagai contoh, bisa saja suatu perusahaan hanya terdiri dari 1 (satu) orang pekerja yang merangkap pendiri perusahaan namun memiliki aset yang besar sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai UMKM.

UMKM dianggap sebagai elemen penting dalam perekonomian internasional. Uni Eropa mengklaim bahwa UMKM merepresentasikan 99% bisnis di Uni Eropa.4 Dalam 5 (lima) tahun terakhir, UMKM telah menciptakan 85% lapangan kerja dan menyerap 2/3 (dua per tiga) ketenagakerjaan sektor privat.5

Angka ini menunjukkan signifikansi UMKM dalam menunjang perekonomian Uni Eropa sebagai suatu entitas negara-negara yang perekonomiannya dapat dikatakan paling baik di dunia. Secara khusus World Bank mengamini pentingnya UMKM khususnya bagi negara-

1 Kategorisasi ini terdapat dalam Pasal 1 UU UMKM:1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang

memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan

atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

2 Esuh Ossai-Igwe Lucky, ”Is Small and Medium (SMEs) an Enterpreneurship?” Human Resource Management Academic Research http://www.hrmars.com/admin/pics/545.pdf Society (diakses pada 12 September 2018).

3 Ibid.4 Growth: Internal Market, Industry, Entrepreneurship and SMEs, ”Entrepreneurship and Small and medium-

sized enterprises”, European Union https://ec.europa.eu/growth/smes_en (diakses pada 12 September 2018).5 Ibid.

Page 149: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

447Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

negara berkembang.6 UMKM formal yang terdaftar secara resmi berkontribusi hingga 45% dari total penyerapan tenaga kerja dan 33% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di negara berkembang.7 Angka tersebut belum mengakomodir UMKM informal yang tidak terdaftar secara resmi misalnya seperti pedagang kaki lima yang belum terdata. Berdasarkan estimasi World Bank, 600 juta pekerjaan akan dibutuhkan dalam 15 tahun kedepan untuk menyerap tenaga kerja di Asia dan Afrika.8

Secara global, UMKM dan wirausaha memiliki keterkaitan yang erat. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengklasifikasikan UMKM dan wirausaha sebagai suatu kesatuan dan memiliki tujuan yang sama, yaitu mendukung pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan berperan penting dalam kohesi dan integrasi sosial.9 Sedangkan Uni Eropa menambahkan bahwa UMKM merupakan salah satu metode yang dapat mendorong wirausaha karena UMKM memiliki akses-akses dan kemudahan lainnya dibandingkan pola wirausaha lama.10 Dengan demikian, sebagai salah satu negara berkembang di wilayah Asia,

Pemerintah Indonesia perlu terus menopang keterselenggaraan UMKM.

Dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia, UMKM semakin mendapat perhatian masyarakat yang ingin melakukan usaha namun memiliki keterbatasan sumber daya khususnya finansial. UMKM merupakan bagian penting dunia usaha yang mempunyai kedudukan, potensi, peranan yang strategis dalam mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi.11 Seiring perkembangan ekonomi, peran UMKM dalam perekonomian domestik semakin meningkat khususnya paska krisis nasional tahun 1997.12 Saat ini, UMKM memiliki peran strategis dalam struktur perekonomian Indonesia, dimana sekitar 99,9 % unit bisnis di Indonesia merupakan UMKM.13

Pada masa krisis moneter 1998, UMKM menunjukkan kemampuannya dalam menghadapi krisis, sedangkan usaha besar banyak yang terpuruk karena banyak bergantung pada pinjaman luar negeri.14 Kemampuan UMKM sebagaimana dimaksud adalah kemampuan dalam mengalirkan dana (cash flow) dari dan ke masyarakat sehingga kegiatan perekonomian

6 The World Bank, ”Small And Medium Enterprises (Smes) Finance: Improving SMEs’ access to finance and finding innovative solutions to unlock sources of capital.” https://www.worldbank.org/en/topic/smefinance (diakses pada 13 September 2018).

7 Ibid.8 Ibid.9 OECD, ”OECD Studies on SMEs and Entrepreneurship”, OECD iLibrary, https://www.oecd-ilibrary.org/industry-

and-services/sme-and-entrepreneurship-policy-in-israel-2016_9789264262324-en. 10 Growth: Internal Market, Industry, Entrepreneurship and SMEs, ”Promoting entrepreneurship” European Union,

https://ec.europa.eu/growth/smes/promoting-entrepreneurship_en (diakses pada 12 September 2018).11 Bank Indonesia, ”Kajian Inkubator Bisnis dalam rangka Pengembangan UMKM” , Kajian dan Publikasi Sektor Riil

Bank Indonesia, http://www.bi.go.id/id/umkm/penelitian/nasional/kajian/Pages/riil6.aspx. (diakses pada 11 September 2018).

12 Ibid.13 Ade Irawan Taufik, ”Evaluasi Regulasi Dalam Menciptakan Kemudahan Berusaha Bagi UMKM”, Jurnal

Rechtsvinding, Volume 6 Nomor 3 (2017), https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal/680030JURNAL%20VOLUME%206%20NO%203_rev%202.pdf (diakses pada 16 September 2018).

14 Bank Indonesia, ”Kajian Inkubator Bisnis dalam rangka Pengembangan UMKM, Op.Cit.

Page 150: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

448 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

nasional khususnya untuk pemenuhan pangan tetap dapat dipenuhi. Selain daripada itu, keseriusan Pemerintah Indonesia mendukung UMKM dapat dilihat dalam usaha Pemerintah menembus peringkat 40 (empat puluh) besar program Ease of Doing Business (EoDB). EoDB merupakan survei yang diselenggarakan oleh World Bank, dimana EoDB terdiri atas 10 (sepuluh) indikator untuk meningkatkan iklim berbisnis di 189 negara di dunia.15 Kesepuluh indikator tersebut adalah: aspek memulai usaha, pengurusan izin konstruksi, akses mendapatkan listrik, pendaftaran properti, mendapatkan kredit, perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, pembayaran pajak, perdagangan lintas perbatasan, penegakan kontrak, dan penyelesaian kepailitan. Pada tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat 72 setelah sebelumnya menduduki peringkat 91 pada tahun 2017. Pada tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat 109 setelah sebelumnya pada tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 120.16

World Bank juga menyebut bahwa apabila kesepuluh indikator tersebut mendapatkan penilaian yang baik dari hasil survei kepada pelaku usaha sebagai responden, maka hal ini tidak hanya berdampak positif bagi UMKM saja, tetapi dunia bisnis Indonesia secara keseluruhan.17 Namun demikian, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dalam

penelitiannya menyampaikan bahwa dari instrumen studi dan indikator EoDB, kemudahan berusaha yang diadvokasi jelas menyasar kepada bisnis skala UMKM.18 Menariknya, EoDB hanya memberikan penilaiannya terhadap bentuk usaha PT (Standardized Company).19 Artinya secara tidak langsung, kebijakan EoDB yang bermanfaat untuk UMKM di Indonesia, hanya akan mendapat pengakuan positif dari World Bank apabila UMKM tersebut berbentuk PT. Padahal, dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mensyaratkan bahwa PT harus didirikan minimum 2 (dua) orang. Hal ini tentu kontras dengan semangat UMKM di Indonesia sendiri yang mendorong orang-perorangan untuk melakukan bisnis UMKM. Berdasarkan uraian singkat di atas, tulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai pentingnya sistem hukum Indonesia mengkomodir gagasan PT agar dapat didirikan oleh 1 (satu) orang, demi mendukung bisnis UMKM dalam rangka meningkatkan peringkat Indonesia dalam survei EoDB.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode yuridis normatif merupakan metode yang menekankan penggunaan data sekunder.20 Adapun metode pengumpulan data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian

15 The World Bank, ”About Doing Business”, http://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/Annual-Reports/English/DB18-Chapters/DB18-About-Doing-Business.pdf (diakses pada 13 September 2018).

16 The World Bank Group, ”Doing Business 2018: Reforming Business to Create Jobs”, The World Bank Group Flagship Report, http://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/country/i/indonesia/IDN.pdf (diakses pada 14 September 2018).

17 Ibid.18 Ibid.19 Ibid.20 Sri Mamudji, Et. Al., Metode Penelitian dan Penulisah Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2005), hlm. 6.

Page 151: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

449Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

kepustakaan. Metode penelitian kepustakaan ini penekanannya pada analsis data sekunder yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian.21 Peraturan perundangan-undangan yang dimaksud meliputi peraturan dalam bidang hukum perdata khususnya terkait organisasi perusahaan. Sedangkan untuk buku-buku, jurnal atau hasil penelitian yang digunakan berfokus pada tulisan mengenai kemudahan berusahan dan prinsip-prinsip UMKM.

Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif maksudnya adalah suatu metode penelitian yang menghasilkan bentuk penelitian deskriptif analitis.22 Dimana hasil penelitian dinyatakan secara lisan atau tertulis.23 Penelitian ini juga tidak dilakukan dengan tahap pengukuran berupa statistik dan sebagainya.

C. Pembahasan

1. Ciri dan Karakteristik Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

a. Prinsip dasar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Untuk melihat mengapa UMKM menjadi perhatian Pemerinah, kita perlu melihat secara mendalam apa itu UMKM dan mengapa UMKM tidak dapat disamakan dengan bisnis biasa. Sebagai jenis usaha yang mempunyai karakteristik khusus, maka perlu dilihat prinsip-prinsip dasar UMKM dan apa tujuan yang ingin dicapai. Secara garis besar di Indonesia, prinsip tersebut dapat dilihat dalam asas-asas UMKM yang dapat ditemukan dalam Pasal 2 UU UMKM yaitu asas:24

1) kekeluargaan;2) demokrasi ekonomi;

21 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 107. 22 Sri Mamudji, Op Cit., hlm. 67. 23 Ibid.24 Dalam penjelasan Pasal 2 UU UMKM dijabarkan mengenai pengertian asas-asas tersebut sebagai berikut:

• Yang dimaksud dengan ”asas kekeluargaan” adalah asas yang melandasi upaya pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai bagian dari perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

• Yang dimaksud dengan ”asas demokrasi ekonomi” adalah pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diselenggarakan sebagai kesatuan dari pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.

• Yang dimaksud dengan ”asas kebersamaan” adalah asas yang mendorong peran seluruh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Dunia Usaha secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

• Yang dimaksud dengan ”asas efisiensi berkeadilan” adalah asas yang mendasari pelaksanaan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.

• Yang dimaksud dengan ”asas berkelanjutan” adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangungan melalui pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga terbentuk perekonomian yang tangguh dan mandiri.

• Yang dimaksud dengan ”asas berwawasan lingkungan” adalah asas pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

• Yang dimaksud dengan ”asas kemandirian” adalah asas pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang dilakukan dengan tetap menjaga dan mengedepankan potensi, kemampuan, dan kemandirian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Page 152: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

450 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

• Yang dimaksud dengan ”asas keseimbangan kemajuan” adalah asas pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.

• Yang dimaksud dengan ”asas kesatuan ekonomi nasional” adalah asas pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang merupakan bagian dari pembangunan kesatuan ekonomi nasional.

25 Ibid., Pasal 3. 26 European Union, ”Think Small First” - A ”Small Business Act”, European”, EUR-Lex, http://eur-lex.europa.eu/

legal-content/EN/TXT/?uri=CELEX:52008DC0394 (diakses pada 14 September 2018).

3) kebersamaan;4) efisiensi berkeadilan;5) berkelanjutan;6) berwawasan lingkungan;7) kemandirian;8) keseimbangan kemajuan; dan9) kesatuan ekonomi nasional.

Adapun tujuan daripada UMKM di Indonesia adalah menumbuhkan dan mengembangkan usaha dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan.25 Sebagai pembanding, Uni Eropa (UE) memiliki The Small Business Act (SBA) yang merupakan peraturan yang mengatur mengenai UMKM bagi negara anggota Uni Eropa. UMKM di Uni Eropa memiliki asas-asas yang sifatnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan asas-asas dalam UU UMKM yaitu:26

1) Promoting entrepreneurship (mendorong wirausaha). Mengingat laju pertumbuhan penduduk yang pesat serta angka migrasi yang tinggi, maka Uni Eropa berupaya mendorong sumber daya manusia yang ada untuk melakukan wirausaha. Dengan semakin banyaknya sumber daya manusia yang memilih untuk berwirausaha, maka akan muncul lapangan kerja baru yang secara otomatis mampu menyerap angka pengangguran;

2) Less regulatory burden (mengurangi peraturan yang menghambat). SBA diterbitkan oleh Uni Eropa tidak lain

dimaksudkan agar seluruh negara di Eropa juga memberikan kemudahan untuk mendukung UMKM. Salah satu cara yang dikampanyekan adalah mengurangi peraturan yang menghambat aktivitas UMKM baik itu terkait pendirian maupun dalam hal melaksanakan usahanya. Hal ini juga dikenal dengan istilah deregulasi;

3) Access to finance (akses untuk pendanaan). Salah satu kendala UMKM adalah kemudahan dalam mendapatkan pendanaan, baik itu di awal pendirian maupun dalam melaksanakan usahanya. Terutama bagi UMKM yang merupakan perusahaan perorangan atau badan usaha informal lainnya. Hal ini dikarenakan perusahaan pembiayaan dan perbankan merasa ragu dengan kemampuan UMKM dalam membayarkan utangnya. Selain itu, minimnya aset baik harta bergerak/tidak bergerak membuat sulit bagi UMKM menjaminkan hartanya. Maka dari itu, SBA juga mengharapkan agar negara-negara anggota EU dan pelaku usaha pembiayaan lebih memberikan kemudahan bagi UMKM untuk mendapatkan pendanaan.

4) Access to markets and internationalisation (akses menuju pasar dan internasionalisasi). Dengan keterbatasan biaya produksi, tentu saja untuk melakukan pemasaran UMKM akan mengalami kesulitan. Maka dari itu, Uni Eropa juga berupaya agar UMKM mampu menemukan target pasar sehingga

Page 153: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

451Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

bisnisnya sampai kepada konsumen. Selain itu, meskipun di satu sisi mereka mengakui bahwa UMKM masih mengalami kendala dalam pendanaan, Uni Eropa juga tetap memiliki visi agar UMKM mampu beroperasi secara global. Uni Eropa mendorong bagi para negara untuk terus memberikan kemudahan agar UMKM di Uni Eropa mampu menghasilkan produk bertaraf internasional, yang selanjutnya diharapkan mampu menjadi perusahaan besar dengan skala internasional pula. Hal ini tidak ditemukan dalam UU UMKM.

Selain daripada asas, SBA juga juga memiliki tujuan spesifik dalam penyelenggaraan UMKM di Uni Eropa. Tujuannya adalah meningkatkan pendekatan kewirausahaan di Eropa, mensimplifikasi peraturan dan kebijakan untuk UMKM, serta menghilangkan hambatan yang ada untuk pengembangan bisnis UMKM.27

Di sisi lain, World Bank secara prinsip hanya menargetkan agar UMKM mampu menyerap tenaga kerja khususnya bagi negara-negara berkembang.28 Meskipun terkesan sederhana, upaya World Bank dalam mewujudkan UMKM yang mampu menyerap tenaga kerja dilakukan melalui berbagai macam kebijakan khususnya terkait dengan pendanaan.29 Salah satu upaya dalam mewujudkan UMKM yang mampu menyerap tenaga kerja dengan maksimal adalah indikator usaha dalam EoDB. Instrumen dalam 10 (sepuluh) indikator EoDB dirancang agar

mendukung kemudahan bagi UMKM dalam melaksanakan usahanya.

b. Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Pada pendahuluan telah dijelaskan sebelumnya bahwa kriteria UMKM di Indonesia berdasarkan pada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. Maka dari itu, dalam bagian ini akan dijelaskan lebih mendalam mengenai klasifikasi kekayaan bersih bagi jenis UMKM. Mengenai Usaha Mikro, dalam istilah asing UMKM (SMEs) tidak terdapat adanya kata ”micro” karena singkatan tersebut hanya terdiri dari small (Usaha Kecil) dan medium (Usaha Menengah). Akan tetapi dalam implementasinya, jenis Usaha Mikro banyak yang digolongkan sebagai bagian dari Usaha Kecil. Sebagai pembanding, di Amerika Serikat Usaha Mikro digolongkan sebagai bagian dari terkecil dari UMKM dengan melihat jumlah pekerja yang dipekerjakan.30 Biro Sensus Amerika Serikat mengkategorikan Usaha Mikro sebagai: SOHO (Small Office - Home Office), non-employer business (maksudnya tidak ada pemberi kerja/atasan), dan non-employee business (maksudnya bisnis yang tidak memiliki pekerja termasuk bisnis yang kurang dari 5 (lima) pegawai).31

Adapun di Indonesia, kriteria Usaha Mikro adalah memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan

27 European Union, ”Think Small First” - A ”Small Business Act”, European”, Op.Cit.28 World Bank, ”Small And Medium Enterprises (Smes) Finance: Improving SMEs’ access to finance and finding

innovative solutions to unlock sources of capital.”, Op.Cit.29 Ibid.30 Esuh Ossai-Igwe Lucky, ”Is Small and Medium (SMEs) an Enterpreneurship?”, Op.Cit.31 Ibid.

Page 154: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

452 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).32 Kriteria Usaha Kecil adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).33

Secara garis besar, kriteria Usaha Kecil dalam UU UMKM memiliki kemiripan dengan definisi Usaha Kecil menurut Lucky, yaitu usaha yang yang lebih besar dari Usaha Mikro dari segi ukuran, jumlah pekerja, struktur, modal, dan kontribusi ekonomi.34 Sedangkan Usaha Menengah tentu saja lebih besar daripada kedua jenis usaha tersebut. Terkait Usaha Mikro dan Kecil, di beberapa Negara terdapat perbedaan kriteria jumlah pekerja dengan penekanan bahwa maksimum mempekerjakan 249 pekerja di Inggris, 250 di Uni Eropa, 200 di Australia dan 500 di Amerika Serikat.35 Artinya, tiap negara bisa memiliki kriteria UMKM yang berbeda-beda namun parameternya memiliki pola yang sama (jumlah pekerja, aset, dan lainnya).

Dalam UU UMKM, kriteria Usaha Menengah adalah memiliki kekayaan bersih

lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).36 Diatas nominal tersebut, maka usaha tersebut dapat digolongkan sebagai usaha besar. Akan tetapi, nilai nominal bagi UMKM tersebut dapat diubah sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan perekonomian yang nantinya diatur secara khusus dengan Peraturan Presiden.37

c. Kendala Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Penting untuk diingat bahwa sekalipun UMKM memiliki peran yang kuat dalam perekonomian global, UMKM memiliki beberapa kendala dalam pengimplementasiannya khususnya di Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merangkum hal-hal yang menjadi kendala bagi UMKM untuk dapat berkembang di Indonesia:38

1) Tingkat produktivitas rendah. Meskipun secara kuantitas, jumlah UMKM meningkat, namun hal ini tidak berbanding lurus dengan

32 Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU UMKM disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”kekayaan bersih” adalah hasil pengurangan total nilai kekayaan usaha (aset) dengan total nilai kewajiban, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan ”hasil penjualan tahunan” adalah hasil penjualan bersih (netto) yang berasal dari penjualan barang dan jasa usahanya dalam satu tahun buku.

33 Pasal 6 ayat (2) UU UMKM.34 Esuh Ossai-Igwe Lucky, ”Is Small and Medium (SMEs) an Enterpreneurship?”, Op.Cit.35 Ibid.36 Pasal 6 Ayat (3) UU UMKM.37 Pasal 6 Ayat (4) UU UMKM.38 Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), ”Empowerment of Cooperatives

and Micro, Small, and Medium Enterprise”, https://www.bappenas.go.id/files/8913/4986/4554/chapter-20-empowerment-of-cooperatives-and-micro-small-and-medium-enterprise.pdf (Diakses pada 23 September 2018).

Page 155: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

453Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

produktivitas dan kualitas. Terutama untuk usaha jenis mikro. Hal ini menjadikan UMKM harus meningkatkan produktivitasnya guna mampu bersaing dengan jenis usaha besar. Menurut Bappenas, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia, keterbatasan dalam manajemen, keorganisasian, penguasaan teknologi, dan pemasaran UMKM, serta rendahnya kompetensi kewirausahaan dalam UMKM.39

2) Terbatasnya akses untuk mendapatkan sumber daya, khususnya permodalan, teknologi, informasi dan pemasaran. Meskipun UMKM memiliki beberapa keunggulan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, UMKM memiliki permasalahan khusus terkait pendanaan. World Bank menilai bahwa UMKM dianggap lebih sulit untuk mendapatkan pinjaman bank dibanding perusahaan besar.40 UMKM kerap bergantung pada modal dan harta pribadi untuk menjalankan usahanya. Dimana apabila UMKM mengalami utang atas harta pribadi, maka bukan hanya bisnisnya saja yang bankrut, tetapi harta pribadinya pun dapat terkena imbasnya.

Secara yuridis, kekhawatiran pendanaan tersebut sudah diakomodir dalam Pasal 21 UU UMKM. Dimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil.41 Akan tetapi, tidak dijelaskan secara pasti mengenai frase ”menyediakan

pembiayaan” tersebut dan mekanismenya. Secara analogi, ketentuan tersebut memungkinkan adanya pembiayaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketentuan tersebut juga memungkinkan adanya pembiayaan melalui PNBP atau diberikan oleh badan usaha swasta (berupa hibah) yang Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah bertindak sebagai fasilitator saja. Perlu diingat dalam hal ini, fasilitas tersebut hanya untuk jenis Usaha Mikro dan Usaha Kecil saja. Tidak diberikan pada Usaha Menengah.

Selain daripada Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.42 Usaha Besar nasional dan asing juga dapat menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.43 Adapun Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.44 Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga dapat memberikan insentif dalam

39 Ibid.40 The World Bank, ”Small And Medium Enterprises (Smes) Finance: Improving SMEs’ access to finance and finding

innovative solutions to unlock sources of capital.”, Op. Cit41 Pasal 21 ayat (1) UU UMKM42 Pasal 21 ayat (2) UU UMKM43 Pasal 21 ayat (3) UU UMKM44 Pasal 21 ayat (4) UU UMKM

Page 156: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

454 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.45 Hal ini juga bermakna sebagai pemberian fasilitas yang ditujukan untuk memudahkan UMKM. Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa ketentuan dalam norma-norma tersebut hanya menggunakan kata ”dapat”. Penggunaan kata ”dapat” ini berarti tidak mewajibkan untuk dilaksanakan.

Adapun mengenai Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Menengah diatur secara singkat dalam Pasal 24 UU UMKM.46 Pengaturan tersebut secara pokok menekankan pada peningkatan pembiayaan modal dan investasi melalui pasar modal, lembaga pembiayaan, lembaga penjamin kredit, dan lembaga penjamin ekspor. Penekanan dalam Pasal 24 ini menjadi ironis bagi UMKM orang-perorangan dalam menjalankan usahanya. Terlebih apabila berbicara pembiayaan melalui pasar modal, maka secara otomatis bentuk UMKM tersebut sudah harus berbentuk PT. Artinya, UU UMKM pun secara tidak langsung sudah menyadari bahwa masalah pembiayaan modal bagi UMKM dapat lebih maksimal apabila UMKM tersebut berbentuk PT.

Selain daripada itu, salah satu kebijakan Pemerintah dalam mendukung EoDB khususnya terkait kemudahan memulai usaha (Starting Business) dapat dilihat melalui perubahan ketentuan modal dasar untuk mendirikan PT. Dimana dalam Pasal 32 ayat (1) UUPT, diatur bahwa modal dasar Perseroan yang disetor paling sedikit berjumlah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas.47 Dengan diterbitkannya peraturan tersebut, maka modal minimum bagi UMKM untuk mendirikan PT ditentukan berdasarkan kesepakatan para pendiri saja. Dengan diterbitkannya peraturan tersebut, Pemerintah mendorong agar UMKM mau mendirikan usahanya dalam bentuk PT.

3) Rendahnya kualitas operasional organisasi. Meskipun secara statistik UMKM sudah mulai banyak muncul di tengah masyarakat, dalam prakteknya UMKM yang benar-benar beroperasi sesuai dengan kaidah hukum yang terkait masih sangat sedikit. Sebagai contoh, untuk jenis badan usaha berbentuk firma atau Commanditaire Venootschap (CV), para sekutu tidak melakukan hal yang sebagaimana mestinya. Selain itu, UMKM secara umum masih belum melakukan tata

45 Pasal 24 ayat (5) UU UMKM.46 Pasal 24 UU UMKM berbunyi: Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan

penjaminan dengan:a. memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber

dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga pembiayaan lainnya; danb. mengembangkan lembaga penjamin kredit, dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor.

47 Selanjutnya peraturan tersebut dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas, yang pada intinya membuka peluang bagi seluruh jenis bidang usaha agar dapat mendirikan PT dengan modal yang disepakati para pihak. World Bank dalam survei EoDB-nya mencatat bahwa ketentuant tersebut memungkinkan bagi PT untuk dapat didirikan dengan modal Rp 0,- (nol rupiah). Meskipun secara teori, hal ini kurang tepat bagi bentuk usaha PT karena PT adalah persekutuan modal.

Page 157: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

455Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

kelola badan usaha dengan baik (Good Corporate Governance).

4) Rendahnya kualitas koperasi. Salah satu bentuk badan usaha yang seharusnya dapat dipercaya dalam berusaha adalah koperasi. Dalam menjalankan koperasi, banyak faktor-faktor yang harus diselenggarakan secara bersama-sama antara pendiri, pengurus, dan pekerja. Hal ini tidak dilaksanakan dengan benar karena pada dasarnya koperasi-koperasi di Indonesia tidak taat asas dengan aturan-aturan koperasi yang lebih terstruktur. Sehingga koperasi yang seharusnya dapat dijadikan badan usaha formal bagi UMKM, malah menjadi badan usaha yang tidak mematuhi peraturan yang berlaku. Di sisi lain, persyaratan untuk mendirikan koperasi yang harus didirikan sekurang-kurangnya oleh 20 (dua puluh) orang dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, semakin bertentangan dengan semangat usaha perorangan yang terdapat dalam UU UMKM. Maka dari itu, saat ini Pemerintah mendorong UMKM untuk segera memformalkan bentuk badan usahanya dalam bentuk PT.

5) Iklim usaha yang tidak kondusif. UMKM pada dasarnya berada dalam iklim usaha yang tidak kondusif di Indonesia. Bappenas menguraikan hal tersebut diakibatkan oleh ketidakpastian dan ambivalensi dalam prosedur perizinan untuk UMKM sehingga biaya usahanya menjadi tinggi (termasuk biaya illegal atau pungutan liar), iklim bisnis

yang tidak sehat, dan lemahnya koordinasi antarlembaga untuk mendukung UMKM.

d. Banyaknya UMKM yang tidak berbentuk usaha formal

Sebagaimana telah dijelaskan diatas mengenai kendala-kendala bagi UMKM, maka setidaknya mengubah pola UMKM sebagai badan usaha informal menjadi formal adalah salah satu upaya untuk memberikan kepastian hukum bagi UMKM. Hal ini berkaca pada fakta bahwa jenis usaha besar yang memiliki produktivitas, laba, dan aset yang lebih baik ketimbang UMKM mayoritas telah berbentuk badan usaha formal.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh World Bank, saat ini jenis UMKM berbadan usaha informal atau tanpa bentuk usaha yang jelas, jauh lebih banyak ketimbang UMKM berbadan usaha formal dalam bentuk PT, CV, Firma, dan sebagainya48 dengan rentang jumlah 70 juta s.d. 100 juta UMKM formal dan 285 juta s.d. 345 juta UMKM informal.49 Di sinilah World Bank pun menilai bahwa UMKM akan lebih stabil dalam menjalankan usahanya apabila sudah berbentuk formal, karena akan mendapatkan akses pendanaan yang lebih baik, profit yang lebih baik, dan berdampak pada meningkatnya pajak negara.50

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seyogyanya UMKM perlu didorong agar segera berdiri dalam bentuk badan usaha formal. Mengingat saat ini badan usaha di Indonesia yang mampu memberikan kepastian hukum terbaik adalah PT, maka UMKM juga perlu

48 The World Bank, ”Small And Medium Enterprises (SMEs) Finance: Improving SMEs’ Access to Finance and Finding Innovative Solutions to Unlock Sources of Capital.”, Op.Cit.

49 Ibid.50 Ibid.

Page 158: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

456 Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

didorong dengan membentuk PT. Dorongan sebagaimana dimaksud tentu saja dengan memberikan berbagai fasilitas dan akses kemudahan bagi UMKM untuk mendirikan PT.

2. Gagasan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berbentuk Perseroan Terbatas

Sebagaimana telah disinggung diatas, ketentuan bahwa UMKM dapat didirikan oleh ”orang perorangan” dalam UU UMKM tentunya menjadi menarik apabila dikaitkan dengan UMKM yang ingin didirikan dalam bentuk PT. Pasalnya di Indonesia saat ini untuk mendirikan PT, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mencari mitra yang memiliki tujuan sama untuk mendirikan PT tersebut. Hal ini dikarenakan PT di Indonesia hanya dapat didirikan oleh dua orang atau lebih sesuai dengan bunyi Pasal 1 Ayat (1) UUPT di mana PT adalah adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) UUPT diatur bahwa PT didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, satu orang individu tidak dapat mendirikan PT seorang sendiri.

Secara historis, filosofi pendirian PT di Indonesia harus dilakukan oleh dua orang atau

lebih berangkat dari ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia atau Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW). Pasal 1653 BW mengamanatkan bahwa PT merupakan perkumpulan orang-orang sebagai badan hukum. Selain itu, pembahasan mengenai PT dalam BW disinggung secara singkat dalam Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab IX tentang Badan Hukum (Van Zedelijke Ligchamen).51 Di mana dalam bab sebelumnya yaitu Bab VIII, yang diatur adalah mengenai Persekutuan Perdata (Van Maatschap). Artinya, secara sistematika memang konsep yang dibangun oleh para legislator BW pada zaman dahulu memang badan hukum PT merupakan bagian dari Persekutuan Perdata. Akan tetapi, PT memiliki karakteristik yang berbeda dengan Persekutuan Perdata pada umumnya: mengakui tanggung jawab terbatas antara subyek hukum dengan badan usaha yang didirikan. Penggunaan frase ”Para Persero” dalam Pasal 36 s.d. 56, Bagian 3 BW tentang Perseroan Terbatas, Kitab Undang-undang Hukum Dagang/Wetboek van Koophandel (WvK) juga menyiratkan makna bahwa, PT memang merupakan bentuk persekutuan perdata berbadan hukum.

Dengan adanya frase ”didirikan berdasarkan perjanjian” dalam UUPT, maka untuk membentuk PT, langkah selanjutnya adalah membuat perjanjian pendirian PT antara para

51 Sebagaimana kodifikasi pada umumnya, rangkaian pasal yang tersusun dalam BW memiliki sistematika yang memiliki korelasi antara pasal-pasal sebelum dan sesudahnya. Dimana dalam Pasal 1653 BW, Badan Hukum yang diakui oleh Pemerintah Belanda pada saat itu (termasuk namun tidak terbatas pada PT) merupakan bentuk lain dari Persekutuan Perdata (Maatschap). Hal ini dapat diketahui dari naskah asli Pasal 1653 BW dalam bahasa Belanda sebagai berikut: ”Behalve de eigenlijke maatschap erkent de wet ook vereenigingen van personen als zedelijke ligchamen, het zij dezelve op openbaar gezag als zoodanig ingesteld of erkend, ...” yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti: ”Selain persekutuan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, ...”. Dengan demikian, persepsi PT sebagai Badan Hukum yang diatur dalam BW pada dasarnya merupakan Persekutuan Perdata, atau harus didirikan oleh dua orang atau lebih.

Page 159: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

457Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

inisiator atau calon pemodal awal.52 Hal ini semakin menegaskan perlunya dua orang atau lebih untuk mendirikan PT karena dalam sistem hukum Indonesia, perjanjian harus tunduk dengan ketentuan dalam syarat sah perjanjian khususnya Pasal 1320 BW.53

Perjanjian pendirian sebagaimana dimaksud harus dibuat dengan Akte Notaris. Artinya, perjanjian pendirian PT tersebut tidak dapat dibuat di bawah tangan, tetapi harus dibuat oleh Notaris yang ditunjuk untuk membuat akta pendirian tersebut. Maka dari itu, prinsip konsensual dalam hukum perjanjian tidak serta merta dapat diaplikasikan mengingat kewajiban perjanjian tersebut dituangkan dalam Akta Autentik.54 Lebih lanjut dalam Pasal 7 Ayat (4) UUPT juga ditentukan bahwa suatu PT baru memiliki status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) mengenai pengesahan badan hukum PT yang bersangkutan. Ketentuan ini menegaskan bahwa perbuatan hukum PT sebagai badan hukum mulai berlaku sejak tanggal diterbitkan

keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum PT.55 Maka dari itu, tindakan hukum sebelum pengesahan tersebut menjadi tanggung jawab setiap pendiri secara tanggung renteng.56

Dari sini dapat diketahui bahwa PT telah sah berdiri dan memiliki status badan hukum dengan adanya otorisasi dari Pemerintah.57 Hal ini tentunya berbeda dengan konsep Persekutuan Perdata murni yang diatur dalam Pasal 1624 BW, di mana Persekutuan Perdata mulai sah terbentuk setelah perjanjian pendiriannya disepakati para pihak tanpa suatu otorisasi Pemerintah.58

Atas pemikiran tersebut, Penulis mengasumsikan bahwa pada dasarnya hal utama untuk mendirikan suatu PT adalah lahirnya status badan hukum melalui pengesahan oleh Pemerintah. Tanpa pengesahan tersebut maka PT yang bersangkutan, meskipun dalam klausul perjanjian pendiriannya disebutkan bahwa bentuk usaha yang didirikan adalah PT, hanya akan berbentuk Persekutuan Perdata biasa.

52 Agus Sardjono, et al., Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 4. 53 Pasal 1320 BW berbunyi: Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

• kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;• kecakapan untuk membuat suatu perikatan;• suatu pokok persoalan tertentu;• suatu sebab yang tidak terlarang.

54 Yang dimaksud dengan Akta Autentik dalam UUPT dikenal dengan Akta Notaris. Hal ini terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UUPT yang berbunyi: Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

55 Freddy Harris & Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas : Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 21.

56 Ibid.57 Hal ini juga dipertegas dengan tidak diakuinya tindakan hukum pendiri PT apabila PT tersebut belum

mendapatkan pengesahan oleh Menkumham, kecuali tindakan hukum tersebut diakui sebagai tindakan PT dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) UUPT: ”Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum apabila RUPS pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya.”

58 Pasal 1624 BW berbunyi: ”Perseroan perdata mulai berjalan pada saat persetujuan diadakan, kecuali jika ditentukan waktu lain dalam persetujuan itu.”

Page 160: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

458 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Perspektif ini tentunya mengisyaratkan bahwa PT baru dapat disebut sebagai badan hukum apabila terdapat otorisasi Pemerintah. Dimana hal ini berarti Pemerintah berhak menentukan kriteria PT yang bahkan dapat berbeda konsep dengan Persekutuan Perdata murni. Sebagai badan hukum yang disahkan Pemerintah, tentunya Pemerintah juga memiliki hak untuk menentukan apa saja syarat-syarat suatu PT dapat disahkan atas pertimbangan sendiri.

3. Perseroan Terbatas sebagai Persekutuan Modal

Merujuk ke Pasal 1 Ayat (1) UUPT, PT di Indonesia dapat diklasifikasikan memiliki 4 (empat) unsur utama yaitu: berbentuk badan hukum; merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian; dan melakukan kegiatan dengan modal dasar yang terbagi dalam saham. PT sebagai persekutuan modal maksudnya adalah PT menghimpun atau mengumpulkan modal sebesar-sebesarnya dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang juga sebesar-besarnya.

Sebagai badan usaha yang didirikan dengan maksud mencapai keuntungan sebesar-besarnya, maka PT juga membutuhkan modal yang mampu menggerakkan roda organisasi PT secara maksimal. Maka dari itulah, PT dikenal sebagai perkumpulan modal karena pada dasarnya PT memang dibentuk untuk menghimpun modal sebesar-besarnya demi mencapai keuntungan yang maksimal. Paham

ini juga merupakan pandangan global mengenai konsep PT di seluruh dunia.

Penegasan PT sebagai persekutuan modal memiliki makna bahwa PT tidak mementingkan sifat kepribadian para pemegang saham yang ada di dalamnya.59 Sebagai persekutuan modal, PT lebih berpotensi untuk menghimpun modal sebesar-besarnya dibandingkan dengan Firma atau CV.60 Salah satu alasan utama mengapa PT lebih mudah dalam menghimpun dana adalah kepemilikan PT yang berbentuk saham. Untuk mendapatkan tambahan modal, pihak PT cukup menjual saham baru, dimana saham tersebut dapat dijual kepada pihak investor untuk meningkatkan modal usaha. Selain daripada itu, pengalihan hak atas saham atau pemindahtanganan kepemilikan dalam PT cukup mudah. Caranya cukup dengan melakukan jual beli saham antara pemegang saham lama dengan calon pemegang saham baru. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa PT lebih mudah menghimpun dana dibandingkan dengan Firma atau CV.

Selain daripada hal tersebut di atas, dalam mekanisme jual beli saham dikenal istilah pasar modal. Pasar modal adalah salah satu sarana bagi PT yang ingin menghimpun dana publik untuk digunakan sebagai modal PT.61 Selain itu, pasar modal terdapat di berbagai kota-kota besar di seluruh dunia. Sehingga proses transaksi saham di pasar modal relatif lebih luas dan tidak mengenal batasan jarak dalam mempertemukan pembeli dan penjual saham. Namun perlu diingat bahwa modal yang dimaksud disini adalah modal saham, dan

59 Ridwan Khairandi, ”Badan Usaha Milik Negara” Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, http://law.uii.ac.id/images/stories/Karya-Ilmiah-Dosen/Buku-Prof-Ridwan-Khairandy/Bab7/ISI%20KOmplet-2_hal%20%20167.pdf (diakses pada 25 September 2018).

60 Agus Sardjono, Op. Cit., hlm. 73.61 Agus Sardjono, Op.Cit.

Page 161: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

459Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

bukan modal kerja yang biasanya diperoleh atau bersumber dari pinjaman bank.62

Jika kita melihat pengaturan PT di beberapa negara maju, konsep PT sebagai badan hukum di Amerika juga dikenal dalam bentuk Limited Liability Company (LLC). Menurut Bainbridge, salah satu ciri utama LLC adalah pendiriannya didasarkan pada adanya perkumpulan modal untuk mendirikan LLC (Association of Capital).63 Bainbridge lebih lanjut menyatakan bahwa di Amerika Serikat, PT dapat didirikan cukup oleh 1 (satu) orang saja.64 Sedangkan di Inggris Raya, pendirian PT juga dimungkinkan dilakukan oleh 1 (satu) orang pendiri saja. Hal ini terlihat dalam Pasal 7 ayat (1) Companies Act 2006 yang berbunyi: ”A company is formed under this Act by one or more persons”.

Sebagai negara yang mengadopsi sistem hukum Belanda, Belanda sendiri sejak tahun 1992 melalui Nieuw Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda) telah membuka peluang bahwa PT dapat didirikan oleh 1 (satu) orang saja. Hal ini dapat dilihat dalam terjemahannya pada Buku 2 mengenai Legal Persons, Title 4 mengenai Companies Limited By Shares, Bagian 1 Pasal 64 ayat 2: ”A company shall be incorporated by one or more persons by notarial deed”. Ironis ketika Indonesia menerbitkan UU PT pada tahun 2007 masih mengadopsi sistem hukum lama Belanda. Dimana pada tahun 1992 Belanda sudah membuka pintu bagi PT untuk didirikan oleh perorangan.

Fakta tersebut diperkuat oleh pernyataan Agus Sardjono. Beliau mengatakan bahwa memang pada dasarnya, PT adalah persekutuan modal (Association of Capital).65 Hal ini berbeda dengan bentuk usaha persekutuan, baik Firma maupun CV yang merupakan perkumpulan orang-orang (Association of Persons).66 Kewajiban PT harus didirikan melalui perjanjian antara dua orang atau lebih merupakan konsep yang ditetapkan oleh legislator Indonesia dengan mengadopsi aspek historis ketentuan yang terdapat dalam BW. Dimana PT merupakan perhimpunan orang-orang. Dari uraian singkat ini dapat dipastikan bahwa PT seyogyanya dapat didirikan oleh orang-perorangan karena PT merupakan kumpulan modal, bukan kumpulan orang. Sehingga tidak perlu lagi adanya kewajiban didirikan oleh minimum 2 (dua) orang atau lebih.

4. Kepemilikan Saham Tunggal (Single Shareholder) dalam Perseroan Terbatas di Indonesia

Secara tegas UUPT mensyaratkan minimum terdapat 2 (dua) pendiri untuk mendirikan PT sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Namun dalam prakteknya di Indonesia, terdapat celah regulasi yang memang memungkinkan untuk suatu PT sahamnya dikuasai oleh 1 (satu) pendiri dan pemegang saham secara terbatas (Single Shareholder). Yakni PT milik negara atau Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN), dan PT dalam keadaan pemegang sahamnya menjadi kurang dari 2 (dua) orang.

62 Ibid.63 Stephen M. Bainbridge, Limited Liability Companies: A Primer on Value Creation through Choice of Form,

Coporation and Economics, (Los Angeles: Foundation Press, 2001), hlm. 3.64 Freddy Harris, Op. Cit., hlm. 18.65 Agus Sardjono, Op. Cit., hlm. 73.66 Ibid.

Page 162: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

460 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Meskipun UUPT mensyaratkan minimum terdapat 2 (dua) pendiri untuk mendirikan PT, terdapat ketentuan Lex Specialis dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang mengatur bahwa BUMN dapat dimiliki Pemerintah secara tunggal.67 Ketentuan ini menegaskan bahwa di Indonesia dimungkinkan suatu PT BUMN didirikan oleh satu pendiri, dalam hal ini Pemerintah Indonesia. Secara historis, Undang-undang ini disahkan lebih dulu daripada UUPT. Artinya, memang pada saat penyusunan UUPT tahun 2007 sudah ada suatu keadaan hukum dimana dimungkinkan suatu PT didirikan dan dimiliki sahamnya oleh 1 (satu) pendiri saja. Meskipun PT yang dimaksud adalah PT BUMN yang memang diperbolehkan untuk mendapatkan keistimewaan tertentu (privilege) dari Pemerintah.

Dengan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih, tentunya terdapat kemungkinan salah satu pemegang saham suatu PT melepas sahamnya ke pemegang saham yang satunya. Hal ini sudah diperhitungkan oleh para legislator UUPT. Dalam UUPT hal ini diantisipasi dengan dimungkinkannya suatu PT dimiliki oleh 1 (satu) orang pemegang saham saja secara limitatif.68 Limitasinya yaitu dalam jangka waktu paling

lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau PT mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Ketentuan ini menegaskan bahwa kepemilikan atas saham suatu PT tidak boleh dimonopoli oleh 1 (satu) orang. Maka dari itu, dalam hal suatu PT yang hanya memiliki 1 (satu) pemegang saham saja dalam waktu 6 (enam) bulan setelah mendapatkan pengesahan badan hukum, pemegang saham tunggal tersebut harus menjual sahamnya kepada orang lain atau menerbitkan saham baru untuk dijual kepada orang lain sehingga saham PT tersebut tidak hanya dimiliki oleh 1 (satu) orang pemegang saham saja.69

Konsekuensi dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut telah dilampaui namun pemilik sahamnya tetap tunggal, maka pemilik saham yang bersangkutan bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian PT.70 Selain itu, atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan PT tersebut. Pihak berkepentingan dalam hal ini adalah kejaksaan untuk kepentingan umum, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, kreditor, dan/atau stakeholders lainnya.71

67 Pasal 1 Angka 2 Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi: ”Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

68 Pasal 7 ayat (5) UUPT berbunyi: Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.

69 Ibid.70 Pasal 7 Ayat 6 UUPT berbunyi: Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui,

pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.

71 Ibid.

Page 163: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

461Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Meskipun ada pembatasan jangka waktu kepemilikan saham tunggal, faktanya legislator UUPT sudah memprediksikan kemungkinan keadaan suatu PT setelah disahkan dimiliki oleh 1 (satu) pemegang saham saja. Namun demikian, legislator menghiraukan keadaan ini dan tetap menekankan bahwa PT harus tetap didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih.

Selain daripada itu, tidak diatur pula apabila pemegang saham tunggal yang beritikad baik, gagal menjual sahamnya kepada pihak lain. Akan sangat ironis apabila kegagalan penjualan tersebut yang diluar kehendak pemegang saham tunggal, mengakibatkan perbuatan hukum PT yang bersangkutan menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham. Hal ini tentu berseberangan dengan konsepsi pemisahan tanggung jawab dalam badan hukum itu sendiri.

Kedua penjelasan diatas menunjukkan bahwa terdapat situasi-situasi tertentu dimana dimungkinkan suatu PT dapat didirikan sendiri, dan dapat pula dimiliki oleh satu pemegang saham saja. Dalam konteks pemegang saham berkurang menjadi pemegang saham tunggal, tentunya keadaan ini bukanlah keadaan yang diharapkan terjadi oleh legislator, namun legislator menyadari bahwa hal ini adalah suatu keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Sayangnya, hal tersebut tidak diatur lebih komprehensif dan legislator lebih berpegang pada konsepsi bahwa PT harus didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih.

D. Penutup

UMKM memang dapat menjadi solusi jangka pendek maupun jangka panjang perekonomian nasional. Dalam pembahasan diatas secara jelas diketahui bahwa UMKM berbentuk informal akan mengalami kesulitan pembiayaan. Terlebih lagi, UU UMKM sendiri mengklasifikasikan pasar

modal sebagai solusi pendanaan bagi UMKM. Hal ini secara jelas memang mensyaratkan bahwa UMKM akan dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih baik apabila berbentuk PT. Selain itu, dengan berbentuk informal, banyak pengusaha UMKM yang pada akhirnya gagal dalam menjalankan bisnisnya. Keadaan tersebut diperparah dengan adanya utang dan kerugian lainnya yang berimbas pada harta pribadi. Dengan demikian, upaya Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru dapat berimbas pada meningkatnya angka kemiskinan akibat bankrut.

Memang dengan mengubah bentuk bisnis informal menjadi berbentuk PT, tidak secara otomatis akan meningkatkan jumlah UMKM di Indonesia. Namun setidaknya, dengan berbentuk PT mencerminkan pengelolaan UMKM yang lebih profesional, dan berpotensi menarik minat investor untuk memberikan bantuan atau pinjaman. Selain daripada itu, PT sebagai badan hukum yang mengenal pemisahan harta pribadi dengan harta perusahaan dapat memberikan perlindungan dalam hal perusahaan terjadi pailit. Disini Pemerintah sebagai regulator juga memberikan suatu perlindungan bagi masyarakat agar tidak jatuh miskin akibat utang. Hal ini akan dapat terwujud apabila orang perorangan dapat memulai UMKM dalam bentuk PT (Single Shareholder) tanpa harus mencari mitra terlebih dahulu.

Atas dasar pemikiran tersebut, sudah sewajarnya PT dapat didirikan secara tunggal tanpa harus dipersyaratkan 2 (dua) orang minimum. Permasalahan ini harus menjadi salah satu fokus dalam revisi peraturan mengenai PT nantinya. Baik itu dalam revisi UUPT maupun dalam penyusunan RUU Badan Usaha. Apabila hal ini dapat diterapkan, maka Pemerintah tidak hanya mendorong kemudahan berusaha bagi

Page 164: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

462 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 445–463

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

UMKM di Indonesia, tetapi juga memperbaiki disharmoni yang ada antara UUPT dan UU UMKM terkait memulai UMKM.

Daftar Pustaka

Buku

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2010)

Bainbridge, Stephen M. Limited Liability Companies: A Primer on Value Creation through Choice of Form, Coporation and Economics, (Los Angeles: Foundation Press, 2001)

Harris, Freddy & Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).

Mamudji, Sri, Et. Al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005).

Radjagukguk, Erman. Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013).

Ridho, Ali. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, dan Wakaf, (Bandung: Alumni, 1999).

Sardjono, Agus, et al., Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014).

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianTaufik, Ade Irawan, ”Evaluasi Regulasi dalam

Menciptakan Kemudahan Berusaha bagi UMKM”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 6 Nomor 3 (2017), https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal/680030JURNAL%20VOLUME%206%20NO%203_rev%202.pdf (diakses pada 16 September 2018).

InternetBank Indonesia, ”Kajian Inkubator Bisnis dalam

rangka Pengembangan UMKM” , Kajian dan Publikasi Sektor Riil Bank Indonesia, http://www.bi.go.id/id/umkm/penelitian/nasional/kajian/Pages/riil6.aspx. (diakses pada 11 September 2018).

Esuh Ossai-Igwe Lucky, ”Is Small and Medium (SMEs) an Enterpreneurship?” Human Resource Management Academic Research http://

www.hrmars.com/admin/pics/545.pdf Society (diakses pada 12 September 2018).

European Union, ”Think Small First” - A ”Small Business Act”, European”, EUR-Lex, http://e u r- l e x . e u r o p a . e u / l e g a l - c o n t e n t / E N /TXT/?uri=CELEX:52008DC0394 (diakses pada 14 September 2018).

Growth: Internal Market, Industry, Entrepreneurship and SMEs, ”Entrepreneurship and Small and medium-sized enterprises”, European Union https://ec.europa.eu/growth/smes_en (diakses pada 12 September 2018).

Growth: Internal Market, Industry, Entrepreneurship and SMEs, ”Promoting entrepreneurship” European Union, https://ec.europa.eu/growth/smes/promoting-entrepreneurship_en (diakses pada 12 September 2018).

Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), ”Empowerment of Cooperatives and Micro, Small, and Medium Enterprise”, https://www.bappenas.go.id/fi les/8913/4986/4554/chapter-20-empowerment-of-cooperatives-and-micro-small-and-medium-enterprise.pdf (diakses pada 23 September 2018).

OECD, ”OECD Studies on SMEs and Entrepreneurship”, OECD iLibrary, https://www.oecd-ilibrary.org/industry-and-services/sme-and-entrepreneurship-policy-in-israel-2016_9789264262324-en

Ridwan Khairandi, ”Badan Usaha Milik Negara” Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, http://law.uii.ac.id/images/stories/Karya-Ilmiah-Dosen/Buku-Prof-Ridwan-Khairandy/Bab7/ISI%20KOmplet-2_hal%20%20167.pdf. (diakses pada 25 September 2018).

The World Bank Group, ”Doing Business 2018: Reforming Business to Create Jobs”, The World Bank Group Flagship Report, http://w w w.do ingbus iness .org /content/dam/doingBusiness/country/i/indonesia/IDN.pdf (diakses pada 14 September 2018).

The World Bank, ”About Doing Business” http://w w w.do ingbus iness .org /content/dam/doingBusiness/media/Annual-Reports/English/DB18-Chapters/DB18-About-Doing-Business.pdf (diakses pada 13 September 2018).

The World Bank, ”Small And Medium Enterprises (Smes) Finance: Improving SMEs’ access to finance and finding innovative solutions to unlock sources of capital.” https://www.

Page 165: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

463Mendukung Kemudahan Berusaha bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Berbadan Hukum ... (Fahrurozi)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

worldbank.org/en/topic/smefinance (diakses pada 13 September 2018).

Peraturan Perundang-UndanganIndonesia, Undang-undang Badan Usaha Milik

Negara, UU No. 19 Tahun 2003, LN No. 70 Tahun 2003, TLN No. 4362

------------, Undang-undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756.

------------, Undang-undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UU No. 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.

------------, Peraturan Pemerintah Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas, PP No. 7 Tahun 2016, LN No. 54 Tahun 2016, TLN No. 5862.

Belanda, Nieuw Burgerlijk Wetboek 1992.Inggris Raya, Companies Act 2006.

Page 166: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

464 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Page 167: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

465Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” ... (Anom Surya Putra)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

DISKURSUS PENGAKUAN, BADAN HUKUM, DAN FENOMENA BADAN USAHA MILIK DESA ”TIRTA MANDIRI” DI DESA PONGGOK

(Recognition Discourse, Legal Entity, and Phenomenon of The Village-Owned Enterprises of ”Tirta Mandiri” in Ponggok Village)

Anom Surya PutraPerkumpulan Jaringan Komunikasi Desa

Jl. Barito IV A No. 12, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur 64412Email: [email protected]

Naskah diterima: 5 Agustus 2018; revisi: 5 November 2018; disetujui: 7 November 2018

AbstrakPerdebatan tentang status badan hukum dari Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) berakar dari tradisi keilmuan hukum Indonesia dan konteks kolonialisme. Diskursus badan hukum terfokus pada rekognisi (pengakuan) melalui hukum publik yang dimonopoli oleh negara. BUM Desa diasumsikan sebagai personalitas fiksi daripada entitas nyata. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sosiologi hukum dan menyatakan secara luas bahwa BUM Desa Tirta Mandiri di Desa Ponggok mempunyai legitimasinya sendiri melalui hukum rekognisi. Diskursus hukum rekognisi ini tidak membentuk BUM Desa, tetapi melekat untuk mengakui dan menghormati eksistensi nyata BUM Desa. Diskursus ini memberikan rekomendasi bahwa BUM Desa diakui sebagai Badan Hukum Desa (Dorpsrechtspersoon) melalui hukum rekognisi pada skala lokal Desa. Selanjutnya Menteri Desa mengakui BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik melalui regulasi kementerian.Kata kunci: Badan Usaha Milik Desa, Desa Ponggok, teori personalitas, badan hukum

AbstractThe debate on the corporate legal entity of the Village-Owned Enterprises (Badan Usaha Milik Desa, BUM Desa) was well-rooted in Indonesian jurisprudential traditions and the collonialism context. This legal discourse focused on recognition through public law and monopolized by the state. It was assumed that the BUM Desa also called as the fictitious personality rather than the real entity. This research conducted through sociology of law and holds that the BUM Desa Tirta Mandiri in Ponggok Village have its legitimation by recognition law. This discourse of recognition law does not create BUM Desa, but it is inherent to recognize and respect the real existence of BUM Desa. The discourse suggests that BUM Desa recognized as village legal entity by recognition law in village level. And then ministry of village recognize BUM Desa as public legal entity through ministry regulation.Keywords: Village-Owned Enterprises, Ponggok Village, personality theory, legal entity

Page 168: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

466 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 465–481

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

1 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

2 Surya Anom Putra, Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif Desa, Serial Bahan Bacaan Buku Ke-7, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, 2015.

3 ”Kemendes PDTT Jajaki Peluang Kerjasama E-Commerce dengan Amerika Serikat,” Majalah Info Desa, Pusat Data dan Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (BALILATFO), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Februari 2017, hlm. 13.

A. Pendahuluan

Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) dikenal luas di media publik sebagai badan usaha bercirikan Desa setelah terbit Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (selanjutnya disebut Kementerian Desa PDTT) merupakan kementerian baru yang berwenang menangani sebagian urusan pemerintahan Desa termasuk urusan tentang BUM Desa.1

Kementerian Desa PDTT melakukan kampanye yang masif tentang BUM Desa melalui penerbitan buku mengenai BUM Desa,2 bantuan keuangan (permodalan, perluasan akses pasar, peningkatan skala ekonomi, dan infrastruktur pasca panen) kepada BUM Desa,3 dan Peraturan Menteri Desa No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.

Secara historis, sejak tahun 2004 BUM Desa dirancang sebagai badan hukum. BUM Desa telah diatur kedalam peraturan perundang-undangan tentang desentralisasi dan otonomi daerah melalui Pasal 213 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 81 sampai dengan Pasal 88 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Rumusan bahasa hukum dalam Pasal 213 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengandung norma kewenangan delegasi bahwa bentuk

badan hukum BUM Desa diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Penjelasan Pasal 213 ayat (1) Undang-Undang a quo menyatakan BUM Desa adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, tanpa ada kejelasan mengenai jenis badan hukum dari BUM Desa itu sendiri. Kedudukan hukum BUM Desa ditentukan oleh otoritas dan kekuasaan pemerintahan daerah karena masih menjadi bagian dari diskursus desentralisasi administrasi (pelimpahan urusan dari aras pusat ke daerah).

Rentang waktu sepuluh tahun kemudian rumusan normatif BUM Desa dalam diskursus desentralisasi administrasi berubah menjadi badan usaha bercirikan Desa dan tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti Perseroan Terbatas, CV dan Koperasi. Hal ini terdapat dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juncto Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015. BUM Desa menjadi bagian dari kewenangan lokal skala Desa dan dipisahkan ciri-cirinya dari jenis badan hukum privat seperti Perseroan Terbatas, CV dan Koperasi.

Di tengah perubahan norma mengenai status badan hukum BUM Desa terdapat fenomena keberhasilan BUM Desa Tirta Mandiri di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Provinsi Jawa Tengah. BUM Desa Tirta Mandiri

Page 169: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

467Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” ... (Anom Surya Putra)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

mengelola wisata berbasis sumber air (umbul; Jawa). Informasi keberhasilan BUM Desa Tirta Mandiri awalnya tersedia melalui pemberitaan di media sebelum banyak dimulai kajian akademis tentang fenomena BUM Desa Tirta Mandiri.4 Manajemen BUM Desa Tirta Mandiri nampak mempunyai strategi memasarkan foto underwater di dalam umbul melalui jejaring media sosial dan media online.

BUM Desa Tirta Mandiri berhasil mengelola aset lokal berupa umbul (sumber air di Desa setempat) dan mencapai hasil usaha yang meningkat dari 6,5 milyar (2015) menjadi 10 milyar rupiah (2016).5 Desa Ponggok menjadi contoh salah satu Desa yang berhasil mengelola tempat pemandian kuno dan sumber air bagi petani setempat menjadi usaha wisata yang menarik bagi publik.

Keberhasilan BUM Desa Tirta Mandiri menarik perhatian Menteri Desa PDTT, Menteri Keuangan, dan pejabat lainnya untuk mengunjungi dan mendengar langsung kisah pemberdayaan masyarakat di Desa Ponggok.6 Menteri Keuangan juga memuji BUM Desa Tirta Mandiri sebagai contoh penggunaan Dana Desa yang bermanfaat bagi warga Desa.7

Salah satu rahasia kesuksesan BUM Desa Tirta Mandiri adalah siasat membentuk unit usaha BUM Desa berstatus badan hukum privat pada akhir tahun 2016 sampai dengan awal tahun 2017. BUM Desa Tirta Mandiri membentuk unit usaha PT. Umbul Ponggok yang mengelola destinasi wisata Umbul Ponggok, PT. Sumber Panguripan yang mengelola Toko Desa dan PT. Artha Tirta Ponggok yang mengelola perkreditan rakyat.8 Legalitas BUM Desa Tirta Mandiri ditentukan oleh Peraturan Desa Ponggok Nomor 6 Tahun 2009 tentang Badan Usaha Milik Desa yang belum diubah mengikuti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan-kebijakan (beleidsregel) derivatifnya. Konsekuensinya, BUM Desa menjadi badan usaha yang bersifat campuran (hybrid) antara legalitas berbasis hukum publik (Peraturan Desa) dan legalitas berbasis hukum privat (akta pendirian BUM Desa yang disahkan oleh notaris).

Di sisi lain pada level pemerintahan pusat terdapat respons yang variatif. Pada tahun 2016 Kementerian Desa PDTT memastikan BUM Desa akan berbadan hukum koperasi berdasar pertimbangan asas kolektivitas.9 Pernyataan ini sulit dilaksanakan dalam bentuk

4 Arina Milya Sa’adah, ”Status Badan Usaha Milik Desa dalam Akta Pendirian Unit Usaha yang Berbadan Hukum (Studi Kasus di Kabupaten Klaten),” Tesis, (Yogyakarta: Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2017).

5 Anton Hermansyah, ”Ponggok, example of independent village financially,” The Jakarta Post, 24 Agustus 2017, http://www.thejakartapost.com/news/2017/08/24/ponggok-example-of-independent-village-financially.html (diakses 30 November 2017).

6 Ungkapan Menteri Desa Eko Putro Sandjojo, ”Kreatif Membangun Ekonomi Desa,” Majalah Info Desa, op.cit. Oktober 2016, hlm. 12.

7 Sri Mulyani Puji, ”Desa Ponggok di Klaten yang Sukses Kelola Dana Desa,” Kumparan News, , https://kumparan.com/wiji-nurhayat/sri-mulyani-puji-desa-ponggok-di-klaten-yang-sukses-kelola-dana-desa. (diakses 1 Desember 2017).

8 Pemerintah Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. ”Pengelolaan dan Perencanaan Usaha BUMDes Tirta Mandiri”, t.t.

9 ”BUMDES Dipastikan Berbadan Hukum Koperasi,” Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal, dari http://ditjenpdt.kemendesa.go.id/news/read/161108/302-bumdes-dipastikan-berbadan-hukum-koperasi (diakses 30 November 2017)

Page 170: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

468 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 465–481

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

10 Sunnaholomi Halakrispen, ”BUMDes Punya Payung Hukum Membentuk Unit Usaha,” 27 Februari 2018, Metrotvnews, dari http://ekonomi.metrotvnews.com/mikro/aNrVrA2N-bumdes-punya-payung-hukum-membentuk-unit-usaha.(diakses 1 Maret 2018).

11 C. Wright Mills menguraikan Grand Theory sebagai kritik terhadap Teori Sistem Sosial (The Social System) yang digagas sebelumnya oleh Talcott Parsons. C. Wright Mills, ”Grand Theory”, dalam The Sociological Imagination (New York: Oxford University Press, Inc., 2000), hlm. 25-49.

12 Talcott Parsons, The Social System, (London: The Free Press of Glencoe, Collier-Macmillan Limited, 1951).

tindakan konkret di Desa. Kolektivitas koperasi beralas pada rapat anggota dan selanjutnya akta pendiriannya disahkan oleh notaris maupun Kementerian Hukum dan HAM. Di lain pihak kolektivitas BUM Desa beralas pada Musyawarah Desa dan selanjutnya Kepala Desa menandatangani Peraturan Desa tentang pendirian BUM Desa.

Tindakan kebijakan Kementerian Desa PDTT berubah lagi pada tahun 2018 setelah Menteri Desa PDTT melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung. Pertemuan konsultasi itu menghasilkan kesepakatan bahwa status BUM Desa sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sehingga BUM Desa bisa membentuk unit usaha yang berbadan hukum.10 Koperasi bukan lagi menjadi pilihan badan hukum bagi BUM Desa, tapi terbuka untuk saling bekerjasama.

Masalah yang muncul selanjutnya adalah status badan hukum dari BUM Desa Tirta Mandiri. Unit usaha BUM Desa Tirta Mandiri diakui sebagai badan hukum, sedangkan BUM Desa tetap menjadi badan usaha bercirikan Desa yang tidak menyandang status badan hukum. BUM Desa tetap diragukan statusnya dalam mengadakan perjanjian kerjasama bisnis. Pengelola organisasi (perseroan terbatas) dari unit usaha BUM Desa yang lebih berwenang menyelenggarakan kerjasama bisnis dengan mitra kerja dari luar Desa. Personalitas badan hukum perseoran terbatas dari BUM Desa itu

rawan dituduh menjadi bagian dari privatisasi atas kepentingan kolektif Desa.

Apabila diskursus badan hukum BUM Desa tidak segera mengarah pada konsensus dari lokal Desa sampai dengan pemerintahan pusat, maka BUM Desa Tirta Mandiri maupun BUM Desa lainnya selalu terhalang dengan diskursus pragmatis badan hukum. Akibatnya, BUM Desa kurang kokoh dalam mengorganisasi warga Desa, memanfaatkan aset lokal, jejaring usaha dalam skala yang lebih luas, dan menyerahkan sebagian hasil usahanya ke Pemerintah Desa sebagai Pendapatan Asli Desa (PADesa).

Fenomena BUM Desa Tirta Mandiri yang telah membentuk unit usaha berbadan hukum privat masih mengalami kesenjangan (gap) dengan teori badan hukum. Untuk menyelesaikan kesenjangan (gap) tersebut peneliti melakukan identifikasi masalah dengan pertimbangan teori sosiologis. Pertama, Grand Theory merupakan salah satu bagian dari karya C. Wright Mills mengenai Imajinasi Sosiologis (The Sociological Imagination).11 Batasan Grand Theory disajikan terlebih dahulu oleh peneliti untuk meletakkan hukum dalam keseluruhan kehidupan masyarakat yang komunikatif. Grand Theory12 Restorasi Republik Desa terdiri atas studi hukum adat dan perubahan orientasi pada Republik Desa. Fokus teori adalah investigasi cara berhukum dari Desa dan cara berhukum di Desa. Penggunaan teori ditujukan untuk menemukan badan hukum BUM Desa sebagai entitas nyata dengan pertimbangan tradisi

Page 171: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

469Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” ... (Anom Surya Putra)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Berdesa, kemandirian Desa, ketahanan Desa, demokrasi Desa, dan sintesis Desa Membangun dan Membangun Desa.13 Hasil investigasi teoritis dari lokasi penelitian selanjutnya dihubungkan dengan pengakuan Sistem (negara dan pasar; kekuasaan dan uang)14 terhadap status badan hukum BUM Desa.

Kedua, teori sosiologis pada middle-range theory adalah teori personalitas yang melandasi keragaman teori badan hukum. Teori sosiologis ini mengikuti pendapat Robert K. Merton15 untuk membangun middle-range theory bersumber dari penelitian empiris dan bukan preskriptif-normatif.16 Pilihan teoritis yang lebih didalami adalah teori organis badan hukum (Otto von Gierke) yang menemukan badan hukum khas dari Jerman setelah menelusuri sejarah korporasi dan filsafat Jerman (Hegel).17 Fokus teori adalah investigasi atas diskursus hukum rekognisi, hukum pasar, dan hukum inkorporasi yang sebelumnya dikonstruksi oleh aliran atau kelompok teori badan hukum. Penggunaan teoritis ditujukan untuk menemukan personalitas badan hukum dari BUM Desa dan unit usahanya.

Ketiga, panduan praktis penelitian dibantu dengan teori terapan (applied theory). Teori terapan penelitian adalah Analisis Dampak Pengaturan (Regulatory Impact Analysis)18 dan teknikalitas pembentukan peraturan dalam hukum publik (legislative drafting) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Fokus teori terapan adalah melakukan kategorisasi (fenomena) dampak dan kebijakan baru mengenai rekognisi BUM Desa sebagai badan hukum publik. Penggunaan teoritis ditujukan untuk merancang peraturan di Desa yang relevan untuk mendorong konsensus tentang BUM Desa sebagai badan hukum publik.

Pertimbangan teori sosiologis pada uraian sebelumnya bersifat hipotetis dan memerlukan pengujian pada fenomena badan hukum BUM Desa di lokasi penelitian. Penulis akan membahas terkait proses BUM Desa memiliki status badan hukum dan cara menentukan entitas nyata BUM Desa sebagai badan hukum.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum yuridis

13 Sutoro Eko, et.al, Desa Baru, Negara Lama, Yogyakarta: Pascasarjana STPMD-”APMD”, 2017).14 Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, second

printing, diterjemahkan oleh William Rehg, dari judul asal Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats, (Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 1996).

15 Robert K Merton, ”On Sociological Theories of The Middle Range”, dalam Social Theory and Social Structure, (New York: The Free Press, 1968, Enlarged Edition), hlm. 39.

16 Proposisi preskriptf-normatif misalnya, JJ.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Cetakan ke-IV, diterjemahkan B. Arief Sidharta, dari Rechts-Reflecties (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015).

17 Otto von Gierke, Die Genossenschaftstheorie und Die Deutsche Rechtsprechung (Berlin: Weidmannsche Buchhandlung, 1887).

18 ”Kajian Ringkas Pengembangan dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) di Kementerian PPN/BAPPENAS, Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS, Juli 2011. ”Introductory Handbook for Undertaking Regulatory Impact Analysis (RIA),” Organisation for Economic Co-operation and Development, Version 1.0 October 2008. ”Regulatory Impact Assessment (RIA): Dokumentasi Uji Coba Pendekatan RIA untuk Review Regulasi Air Bersih dan Sanitasi,” USAID Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH), 2016.

Page 172: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

470 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 465–481

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 14.20 Peter M., Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 133.21 Dikembangkan dari Hanneman Samuel, Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia: Dari Kolonialisme Belanda

hingga Modernisme Amerika, (Depok: Penerbit Buku Kepik Ungu, 2010). Daniel S. Lev, ”Van Vollenhoven dan Hukum Adat” dalam Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, diterjemahkan oleh Nirwono dan AE Priyono, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1990). Tania Murray Li, The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan, diterjemah oleh Hery Santoso dan Pujo Semedi dari The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2012).

normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.19 Penelitian normatif dilakukan dengan pendekatan masalah berupa pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Metode penelitian hukum normatif leboh terfokus pada library based, focusing on reading analysis of the primary and secondary materials.

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang dikaji,21 khususnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan aturan hukum lain yang relevan. Selain itu penelitian juga dilakukan dengan melihat bagaimana praktek empiris dalam pengakuan badan hukum BUM Desa Tirta Mandiri dan menghasilkan generalisasi mengenai badan hukum BUM Desa sebagai entitas nyata (the real entity) di Desa Ponggok.

C. Pembahasan

1. Berhukum Dari Desa

Cara berhukum dari Desa menempatkan Desa sebagai arena sumber pengetahuan-normatif dan tindakan komunikatif. Desa merupakan sumber pengetahuan yang kokoh bagi Undang-Undang Dasar pada awal revolusi

kemerdekaan, tetapi selanjutnya pengetahuan berbasis Desa mengalami nasib memilukan di bawah rezim Desa sebagai pemerintahan bawahan. Studi hukum Desa terpecah pada 2 (dua) aliran yaitu pemahaman positivistik yang mereduksi studi hukum adat mengenai kebiasaan masyarakat yang berkonsekuensi hukum, dan studi Hukum Tata Negara (normatif) warisan diskursus Indologi (kolonial) dan diskursus Amerikanis.22 Studi hukum adat melaju sendiri tanpa melihat Desa sebagai kesatuan karena sejak terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, studi atas hukum Desa meletakkan Desa sebagai unit administrasi pemerintahan paling bawah dan seragam, namun masyarakat hukum adat dikesampingkan dari Desa itu sendiri. Hukum Tata Negara terlalu kaku membicarakan perbedaan antara desa sebagai unit administrasi pemerintahan dan masyarakat hukum adat. Akibatnya, cara pandang atas Desa tidak pernah mengalami restorasi menjadi Real politik (hadir nyata dalam poros komunikasi negara, pasar dan masyarakat). Ironis karena Desa hanya menarik dibicarakan ketika ada kepentingan ekstraksi kapital (investasi, pajak dan retribusi) terhadap Desa.

Peneliti melakukan restorasi atas diskursus Republik Desa (Dorpsrepubliek) menjadi cara berhukum dari Desa. Studi hukum adat tentang Republik Desa terbagi dalam 2 (dua) kategori. Pertama, penelitian hukum empiris tentang Republik Desa di wilayah tertentu. V.

Page 173: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

471Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” ... (Anom Surya Putra)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

E. Korn menulis disertasi tentang hukum adat di Bali (1924) dan Republik Desa Tenganan Pagringsingan (1933).22 W. P. van Dam meneliti dampak desentralisasi terhadap unit administratif bawahan (Indonesisch dorp) di luar Jawa dan Madura (1937).23 Desa sebagai unit administratif (Indonesisch dorp) dibentuk oleh rezim kolonial untuk melakukan agenda pengendalian secara birokratis dan berujung pada terserapnya kapital Desa ke pemerintah kolonial di Belanda.

Kedua, penelitian hukum empiris tentang Republik Desa secara tematis dan memiliki keragaman pertautan antar-tema. Lucien Adam menulis dampak Inlandsche Gemeente Ordonnantie terhadap otonomi Desa (Dorpsautonomie) Indonesia (1924).24 Hampir selama 20 (dua puluh) tahun pemerintah kolonial mengarahkan otonomi Desa di Indonesia dari berbasis adat menjadi otonomi bercorak Barat (westersche autonomie). Kewenangan penugasan (medebewind) merupakan otonomi Desa dengan cita rasa budaya Eropa masa kolonial. Cornelis van Vollenhoven (1931) menulis secara tematik tentang kongsi-kongsi dagang imigran China di Kalimantan Barat sebagai Republik Desa (dorpsrepubliekjes),25 dan Republik Desa (republieken) sebagai salah satu unsur ketatanegaraan Asia Timur pasca

Majapahit.26 Politik antar-golongan masih membayangi studi Republik Desa sehingga belum terdapat orientasi konsolidasi antar-golongan (kekeluargaan) untuk merebut akses dan aset bersama bagi kepentingan ekonomi Desa.

Ter Haar mengaitkan Republik Desa dan badan hukum.27 Desa dalam artian sebagai masyarakat hukum adat otonom (Inlandsche gemeente) diakui sebagai badan hukum (Rechtspersoon) oleh pemerintah kolonial melalui Inlandsche Gemeente Ordonnantie.28 Ter Haar mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar wakaf, perkumpulan, koperasi dan lainnya diakui sebagai badan hukum pribumi (Inlands Rechtspersoon) daripada diakui sebagai badan hukum perdata oleh pemerintah kolonial. Rekognisi atas wakaf sebagai Rechtsfiguur yang semula pada alam fakta menjadi badan hukum perdata akan menghancurkan perkembangan hukum Islam di masyarakat. Spirit kooperasi yang awalnya sebadan dengan Desa dan hak menguasai tanah (beschikkingsrecht) berubah drastis ketika spirit kooperasi direduksi menjadi badan hukum privat Koperasi melalui aturan hukum. Koperasi dan Desa terpisah satu sama lain dan menjadi unit bawahan dari pemerintahan dengan sebutan Koperasi Unit Desa.

22 S. Pompe, ”A Short Review of Doctoral Theses on the Netherlands-Indies Accepted at the Faculty of Law of Leiden University in the Period 1850-1940,” dalam Indonesia 55-56, (1993), hlm. 83. Bandingkan dengan J.M. Otto dan S. Pompe. ”Dissertations on Netherlands Indies Law 1850-1945,” on microfiche, (The Netherlands: Van Vollenhoven Institute, Leiden University, 1990).

23 S. Pompe, ibid., 1990.24 Adam Lucien, De Autonomie van Het Indonesisch Dorp, (Boekdrukkerij S. W. Melchor, Amersfoort, 1924). 25 C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië, Tweede Deel, (Leiden: Boekhandel en Drukkerij

Voorheen E. J. Brill, 1931), hlm. 18. 26 C. van Vollenhoven, ”Oriënteering in Het Staatsrecht Overzee” (1933), dalam Mr. C. van Vollehonven’s Verspreide

Geschriften: Indiën, Herdenkingen, Overige Schriften, Registers, Derde Deel, (Haarlem – ‘s-Gravenhage: H.D. Tjeenk Willink en Zoon N.V.-Martinus Nijhoff, 1935), hlm. 610.

27 B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto, dari Beginselen en stelsel van het adatrecht, Cetakan Ke-12, (Jakarta: PT Pradnya Paramita).

28 B. Ter Haar, ibid., hlm. 137.

Page 174: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

472 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 465–481

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Hubungan Republik Desa dan badan hukum yang diulas Ter Haar menarik kita lihat dalam kondisi saat ini. Lurah Kepala Desa Ponggok, Junaedi, menyampaikan bahwa umbul Ponggok sebelumnya tidak terawat, tidak jelas kepemilikannya, dan masyarakat Desa hanya tahu umbul itu selalu digunakan bersama untuk kebutuhan mengairi lahan, minum, dan padusan (pembersihan diri). Setelah strategi pengelolaan umbul mencapai omset 6 (enam) milyar dan marak di media sosial barulah muncul pemberitahuan bahwa air permukaan umbul itu aset pemerintah daerah Jawa Tengah. Informasi itu dibenarkan oleh Yani, Carik (Sekretaris Desa) Ponggok, secara historis umbul Ponggok digunakan secara kolektif oleh warga Desa Ponggok maupun warga dari Desa lainnya. Keunggulannya adalah pengelolaan umbul melalui BUM Desa Tirta Mandiri menghasilkan keuntungan bagi warga Desa dan Pendapatan Asli Desa, dibandingkan dengan mata air di desa lain yang dikelola oleh swasta tapi warga Desa tetap miskin. Problem aset itu menjadi masalah yang rumit ketika dikaitkan dengan aset bersama (common pool resources), aset Desa, dan aset BUM Desa.

Kisah menarik hubungan Desa dan korporasi swasta terjadi di Desa Ponggok. Awalnya warga Desa Ponggok mengalami kontestasi kontraktual dengan perusahaan Aqua/Danone dan pada masa Lurah Kepala Desa Junaedi kontestasi itu mereda, berujung pada kesepakatan dana sosial (corporate social responsibiity) masuk ke APBDesa. Di dekat lokasi umbul Ponggok terdapat umbul Ciblon, awalnya dikelola pihak swasta lalu beralih dikelola BUMDesa. Direktur utama BUMDesa Tirta Mandiri, Joko, menyatakan pengalihan pengelolaan umbul

Ciblon dari perusahaan swasta ke BUM Desa tidaklah mudah. BUMDesa tidak diakui sebagai badan hukum seperti perusahaan swasta sebelumnya. Lurah, Carik (Sekretaris Desa), dan Direktur Utama BUM Desa Tirta Mandiri sama-sama menjelaskan adanya Musyawarah Desa yang memutuskan legalitas BUM Desa diurus ke Notaris. Dampaknya adalah pajak yang dikenakan pada BUM Desa mencapai 300 juta pada tahun 2016 dan 2017. Fenomena yang terjadi di Ponggok ini merupakan keberulangan dari apa yang dianalisis peneliti Republik Desa masa kolonial (Ter Haar) bahwa negara dan pasar hadir melalui diskursus badan hukum, ketika kapital manusia, kapital uang, dan kapital sumber daya alam menarik perhatian mereka untuk diekstraksi ke sistem (kekuasaan dan uang) luar Desa.

Soetardjo Kartohadikoesoemo menelusuri studi hukum dan sosiologis tentang Desa sejak masa Raffles dan Muntinghe pada awal abad XIX.29 Melalui karya klasik tentang Desa dari Soetardjo, peneliti memperoleh wawasan bahwa otonomi Desa, rekognisi dan medebewind mengalami pasang surut dan berulang secara ajeg (cakra manggilingan; Jawa) sampai abad XXI di Indonesia. Sistem pengetahuan ala kolonialis atas Desa cenderung fokus pada pengendalian kekuasaan Kepala Desa. Ini mengikuti rekomendasi Muntinghe dan Raffles tentang pemilihan kepala desa. Desa otonom dalam melakukan pemilihan kepala Desa dan mengatur urusannya sendiri, tetapi kepala Desa hasil pemilihan itu dikendalikan secara administratif oleh Gubernur Jenderal untuk kepentingan korporasi swasta kolonial.

Pada titik inilah pendapat Muhammad Yamin tentang Desa sebagai pemerintahan

29 Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).

Page 175: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

473Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” ... (Anom Surya Putra)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

bawahan atau pemerintahan kaki menemukan jalan yang sama meski asumsinya berbeda.30 Ketika penyusunan UUD 1945 dan demokrasi terpimpin, Yamin menebar asumsi bahwa seluruh ordonansi kolonial harus diubah dengan semangat revolusi semisal Gubernur Jenderal diganti dengan Presiden, residen diganti dengan Bupati/Walikota, dan seterusnya. Pendapat ini hingga saat ini masih diikuti dalam bentuk pendekatan konstitusionalisme. Desa sebagai pemerintahan kaki berkonsekuensi pada negara sebagai badan hukum yang dapat membentuk badan hukum lain secara fungsional. Melalui diskursus pemerintahan kaki, maka Desa sebagai badan hukum menjadi hilang dan menyisakan masyarakat adat yang terdapat di Desa Adat sebagai badan hukum secara teoritis.

Perdebatan tentang badan hukum publik, privat, primer, sekunder, tersier dan lainnya sebenarnya hanya fiksi bagi warga Desa. Diskursus badan hukum tidak mencerminkan apa yang dirasakan, dikerjakan, dan dikomunikasikan didalam Desa. Sri Muljono, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ponggok, kritis menyampaikan bahwa isu badan hukum dari BUM Desa membuat Musyawarah Desa marak membicarakan status aset yang dikelola BUM Desa sebagai aset Pemerintah Desa atau sebaliknya menjadi aset BUM Desa. BUM Desa membeli tanah dan membangun bangunan (homestay) penginapan untuk pengunjung wisata. Inovasi ini tepat dilakukan untuk memberi contoh standar penginapan

yang sehat, tanpa menghilangkan peluang usaha penginapan yang diusahakan warga Desa lainnya di rumah masing-masing. Inovasi BUM Desa itu diwarnai pemahaman yang belum kokoh tentang pemisahan kekayaan Desa ke BUM Desa (versi Peraturan Desa) dan unit usaha BUM Desa (versi akta pendirian notariat). Diskursus badan hukum bertautan dengan kekayaan Desa dan kekayaan BUM Desa.

Cara berhukum dari Desa lebih kokoh bila menutup perdebatan normatif tentang negara dan Desa pada masa kolonial, kembali ke Desa, dan memaknai ulang fenomena transformasi Desa baik sebagai paguyuban (Gemeinschaft) dan masyarakat (Gesellschaft). Perkembangan masyarakat Desa Ponggok sudah melangkah ke perkembangan masyarakat yang kompleks (Marktgesellschaft), lebih kompleks daripada pembagian kerja dalam masyarakat (Gesellschaft).31 Cara berhukum dari Desa tidak bisa lagi mempertahankan hubungan negara dan Desa tapi hubungan Sistem dan Dunia-kehidupan Desa. Sistem (Parsons) mengalami perluasan makna sebagai kekuasaan politis dari negara dan kekuasaan uang dari kekuatan anonim pasar.32 Keragaman budaya, tradisi, dan personalitas (Persönlichkeit) badan hukum merupakan dunia-kehidupan Desa Ponggok yang kompleks.

Pertanyaannya, apakah hukum yang relevan untuk menghubungkan Sistem dan dunia-kehidupan Desa itu? Perdebatan adat dan hukum,33 hukum adat (Adatrecht) dan

30 Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, t.p., t.t. Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, Tjetakan Kedua, (Djakarta: Penerbit Siguntang, 1971). Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit Sapta-Parwa III, (Djakarta: Jajasan Prapantja, 1962).

31 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas’, cet. 5, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009).

32 Habermas, op.cit. dan F. Budi Hardiman, ibid.33 Jan Michiel Otto dan Sebastian Pompe memberi ulasan secara gramatikal bahwa Hurgronje awalnya menggunakan

kata adat-recht yang bermakna adat dan hukum secara terpisah pada De Atjehers Volume I. Barulah kemudian

Page 176: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

474 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 465–481

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Hurgronje menggunakan istilah Adatrecht yang menyatukan adat dan hukum pada De Atjehers Volume II. Fenomena kebiasaan disatukan dengan fenomena hukum sehingga menjadi kebiasaan yang berkonsekuensi hukum. Jan Michiel Otto dan Sebastian Pompe, ”Aras Hukum Oriental”, dalam Sulistyowati Irianto et.al, Kajian Sosio-Legal, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen. 2012), hlm. 30.

25 Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, diterjemahkan Dariyatno dan Derta Sri Widowatie dari judul asal Law and Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory, (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2007).

26 Ali Rido, op.cit. 27 Hans Kelsen, The Pure Theory of Law, diterjemahkan Max Knight dari Reine Rechtslehre, unveränderter

nachdruck, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1970). Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press dan Syaamil Cipta Media, 2006).

adat hukum (Rechtsadat) dalam Teori Hukum Kritis sama-sama disebut sebagai hukum interaksional (interactional law).25 Konsensus dari masyarakat hukum adat otonom (Inlandsche gemeente) menjadi cara berhukum dengan hukum interaksional. Hukum adat yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lebih tepat dimaknai secara sosiologis sebagai hukum rekognisi. Hukum rekognisi merupakan cara berhukum dari Desa dengan melakukan investigasi atas pengetahuan dan tindakan berbasis hak asal usul Desa. Orientasi investigasi adalah melakukan restorasi atas masyarakat hukum adat otonom (Inlandsche gemeente) atau konsep positivisme hukum tentang kesatuan masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschappen). Pengakuan pemerintah provinsi atas kesatuan masyarakat hukum adat menjadi Desa Adat merupakan agenda politik hukum rekognisi dan didukung dengan tindakan investigatif atas kewenangan hak asal usul. Ini mungkin kurang relevan bagi Desa Ponggok yang bukan tipikal Desa Adat.

Terkait status umbul air sebagai wilayah eks-kraton Surakarta atau kewenangan pemerintahan daerah Jawa Tengah, hal ini bisa diatasi melalui hukum subsidiaritas. Hukum subsidiaritas secara sosiologis merupakan cara berhukum dari Desa dengan meletakkan kebiasaan dan hukum tertulis secara terpisah, lalu dilakukan

restorasi melalui tindakan komunikatif antara Desa dan pemerintah kabupaten/kota. Daftar inventarisasi kewenangan lokal berskala Desa menjadi arena tindakan komunikatif antara Desa dan pemerintah kabupaten/kota. Isi kewenangan lokal berskala Desa menentukan penggunaan Dana Desa oleh Pemerintah Desa bersama institusi Desa lainnya untuk BUM Desa. Disinilah Peraturan Desa yang mengatur BUM Desa perlu dikoreksi secara demokrasi-deliberatif, melibatkan semua warga, berkonsensus melalui Musyawarah Desa. Keputusan Musyawarah Desa relevan menjadi fokus studi hukum interaksional daripada studi hukum adat warisan Indologi. Isu hukumnya bukan lagi hukum tertulis atau hukum tidak tertulis melainkan prosedur komunikasi yang tercatat dalam keputusan komunitarian-deliberatif pada berita acara Musyawarah Desa.

2. Berhukum Menentukan Badan Hukum BUM Desa

Diskursus badan hukum di Indonesia amat beragam dan belum terdapat kesepakatan utuh mengenai badan hukum itu sendiri. Ali Ridlo menulis karya klasik tentang badan hukum meliputi teori fiktif (Carl von Savigny), teori harta kekayaan bertujuan (Brinz), teori organ (Otto von Gierke), teori propriété collective (Planio dan Molengraaff).26 Hans Kelsen menulis teori badan hukum (juristic personality) yang dihasilkan dari ajaran hukum murni (Reine Rechtslehre).27 Inti gagasan dari kelompok teori badan hukum ini

Page 177: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

475Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” ... (Anom Surya Putra)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

adalah adanya otoritas dan wewenang negara untuk menentukan status badan usaha sebagai badan hukum publik atau badan hukum privat. Kelompok teori hukum tentang badan hukum ini bermanfaat untuk menjelaskan status badan hukum privat dari unit usaha BUM Desa Tirta Mandiri, tetapi kurang memiliki relevan yang kuat untuk menjelaskan status badan hukum dari BUM Desa Tirta Mandiri berdasar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Diskursus teori badan hukum publik sedikit dibahas oleh C.S.T. Kansil dengan memberi contoh negara dan pemerintah sebagai badan hukum publik.28 Jimly Ashshiddiqie mengembangkan tulisan Ali Rido dan C. S. T. Kansil dengan menajamkan pemilahan badan hukum publik dan badan hukum privat sehingga mempengaruhi kedudukan hukum (legal standing) suatu badan hukum dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi.29 Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan Desa sebagai badan hukum sejak masa kolonial Belanda untuk melaksanakan layanan publik.30 Sebaliknya, Jimly menempatkan desa sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atau Desa Adat sebagai badan hukum publik namun tidak setuju dengan definisi yuridis Desa yang mencampur Desa Adat dan Desa (unit administratif).31 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a menulis Republik Desa secara normatif dan bertautan dengan Desa sebagai badan hukum

dan studi hukum adat (Adatrecht) pada masa kolonial.32 Sutoro Eko menyampaikan Restorasi Republik Desa sebagai pengetahuan pasca-kolonial untuk mengembangkan studi Republik Desa agar memiliki relevansi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.33 Inti gagasan dari Desa sebagai badan hukum adalah badan hukum dibangun dari interaksi antara kewenangan Desa dan pengakuan Negara terhadap Desa sebagai badan hukum.

Peneliti berdikusi dengan pegiat Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di Desa Ponggok. Visi Lurah Kepala Desa Ponggok adalah melibatkan komunitas sadar wisata ini berbagi peran dengan BUM Desa. Pokdarwis mengelola tempat wisata Umbul Kapilaler yang bersesambungan dengan Desa Karanglo. Masalah yang muncul sekali lagi adalah badan hukum dari Pokdarwis karena mengelola umbul yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan bagi Desa. Lurah kepala Desa Ponggok, Junaedi, maupun pegiat Pokdarwis merasa organisasi ini harus dibawa ke notaris supaya sah secara hukum. Masalah yang muncul adalah ketika Pokdarwis sah dihadapan notaris maka kedudukannya menjadi organisasi berbadan hukum privat. Ini berkebalikan dengan spirit Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang membuka kerangka hukum pengakuan terhadap lembaga kemasyarakatan di Desa. Perkumpulan warga di Pokdarwis merupakan entitas yang nyata, eksis

28 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil. Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011).29 Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cetakan Kedua, (Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 67.30 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Masalah, (Jakarta: Perkumpulan HUMA, 2002).31 Jimly Asshiddiqie, ”Konstitusi Masyarakat Desa (Piagam Tanggungjawab dan Hak Asasi Warga Desa), t.t., http://

www.jimly.com/makalah/namafile/176/KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf (diakses 1 Desember 2017).32 Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a. Republik Desa: Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain

Otonomi Desa (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2010).33 Sutoro Eko, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa, (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015).

Page 178: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

476 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 465–481

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

dalam kehidupan sosial di Desa, sehingga cukup diakui melalui kesepakatan dalam Musyawarah Desa. Keputusan dalam Musyawarah Desa menjadi basis legitimasi hukum untuk membuat Peraturan Desa tentang lembaga kemasyarakatan Desa. Pokdarwis seketika menjadi badan hukum yang legitimasi dalam skala lokal Desa. Hak dan kewajibannya inheren sebagai mitra pemerintah Desa dan BUM Desa. Hasil usaha melalui tiket masuk dan layanan lainnya disepakati untuk diserahkan menjadi Pendapatan Asli Desa dan sebagian digunakan Pokdarwis sebagai lembaga kemasyarakatan Desa nirlaba.

Fenomena Pokdarwis atau BUM Desa berhak menyandang status badan hukum atau tidak penting ditelusuri dengan filsafat badan hukum yakni personalitas (persönlichkeit). Pemikir filsafat, politik, dan hukum di Indonesia menerjemahkan personalitas (persönlichkeit) sebagai kepribadian. Untuk mencapai kesempurnaan dalam membangun diri maka muncul gagasan moral tentang pengakuan negara atas personalitas manusia melalui diskursus badan hukum (Rechtspersoon; Belanda). Padanan kata dari badan hukum (Rechtspersoon) adalah kepribadian hukum atau pribadi hukum. Kepribadian hukum atau pribadi hukum mengalami reduksi makna akhir-akhir ini karena jumbuh dengan karakter (character) sebagai diskursus personalitas (persönlichkeit) yang diproduksi diskursus praktis psikologi, politik, sastra dan bahasa sehari-hari (daily speech).

Pemerintah Desa, BUM Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan warga Desa mempunyai pemahaman tersendiri sebagai personalitas (persönlichkeit). Manusia Desa

merupakan manusia secara keseluruhan, baik individu, persona dan personalitas yang mempunyai kesadaran merasa sebagai satu kelompok, satu Desa. Kesadaran itu mewujud dari dalam untuk hidup lebih makmur dan sejahtera melalui personalitas badan hukum BUM Desa (corporate legal personality).

Teori entitas nyata dan teori organis badan hukum (Otto von Gierke) menjadi klasik-romantik dalam kehidupan Berdesa yang kompleks. Kompleksitas kehidupan berdesa ditandai dengan entitas nyata pada BUM Desa Tirta Mandiri, Desa Ponggok, yang mendapatkan status badan hukumnya disatu sisi melalui hukum publik (Musyawarah Desa dan Peraturan Desa), dan disisi lain menyandang status badan hukum perseroan terbatas (akta penegasan dan akta pendirian).

Teori Diskursus Hukum meletakkan kultur, solidaritas, dan personalitas sebagai bagian dari dunia-kehidupan (Lebenswelt).34 Terdapat Sistem yang terdiri dari kekuasaan dan uang maupun negara dan pasar yang melakukan tindakan strategis bagi Desa. Hukum berposisi menjadi sabuk integrasi antara Sistem dan Lebenswelt.

Fenomena BUM Desa Tirta Mandiri menampakkan personalitas BUM Desa sebagai dunia-kehidupan (Lebenswelt) yang mengalami perubahan dari masyarakat pembagian kerja (Gesellschaft) menjadi masyarakat pasar (Marktgesellschaft). Dilain pihak Sistem terdiri dari kekuasaan untuk menjalankan praksis rekognisi-subsidiaritas dan uang (Dana Desa dan bantuan akses permodalan BUM Desa). Varian sosiologis berupa hukum rekognisi, hukum subsidiaritas, hukum inkorporasi dan hukum kontraktual yang diuraikan sebelumnya

34 Jürgen Habermas, op.cit. F. Budi Hardiman, op.cit.

Page 179: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

477Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” ... (Anom Surya Putra)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

tidak sepenuhnya menjadi prosedur rasionalitas hukum ketika proses pengambilan keputusan. Hukum administratif lebih mendominasi urusan BUM Desa sehingga menipiskan Lebenswelt Desa. Akibatnya Sistem mengkoloni Lebenswelt Desa.

Investigasi pengetahuan dan praksis badan hukum BUM Desa Tirta Mandiri menghasilkan 3 (tiga) opsi restorasi BUM Desa:

a. Cara berhukum dengan badan hukum melalui hukum rekognisi. BUM Desa Tirta Mandiri dipandang sebagai

entitas nyata, terbukti eksistensinya secara sosial. Hukum publik melakukan rekognisi dan menghormati eksistensinya. Rekognisi dan penghormatan eksistensinya dilakukan melalui Musyawarah Desa sebagai arena demokrasi deliberatif. Rasio prosedural yang difungsikan dalam Musyawarah Desa adalah BUM Desa ”dari rakyat Desa, oleh rakyat Desa, untuk rakyat Desa”. Keputusan Musyawarah Desa terarah untuk mendorong konsensus atas restorasi BUM Desa sesuai kaidah Pasal 87 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. BUM Desa tidak dapat disamakan dengan badan hukum privat seperti perseroan terbatas. Legitimasi BUM Desa ini hanya diperoleh melalui pengakuan dari Musyawarah Desa mengalir ke Peraturan Desa mengenai BUM Desa Tirta Mandiri. Peraturan Desa merupakan hukum publik-subsidiaritas. Peraturan Desa dilakukan perubahan supaya mengakui eksistensi BUM Desa Tirta Mandiri. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BUM Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa, sesuai PP No. 47 Tahun 2015. Pasal 87 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juncto Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. BUM Desa menjadi bagian dari kewenangan lokal skala Desa dan dipisahkan ciri-cirinya dari jenis badan hukum privat seperti Perseroan Terbatas, CV dan Koperasi. Unit usaha BUM Desa yang berstatus perseroan terbatas atau non perseroan terbatas, diakui sebagai unit usaha BUM Desa (satu kesatuan dengan BUM Desa), melalui Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa yang diuraikan sebelumnya. Hukum rekognisi ini membentuk BUM Desa dalam teori organis sebagai Badan Hukum Desa.

b. Cara berhukum dengan badan hukum melalui hukum kontraktual. Unit usaha BUM Desa berbentuk perseroan

terbatas diradikalisasi menjadi entitas hukum yang baru (the new legal entity) dibawah kekuasaan BUM Desa sebagai organisasi payung (holding). Unit usaha BUM Desa diakui berdasar hukum kontraktual dan diabsahkan dihadapan notaris. Aktor pasar seperti korporasi swasta, perbankan dan lainnya berhak mengadakan perjanjian kerjasama kontraktual dengan BUM Desa dengan mengakui kepentingan dan keuntungan Desa.

c. Cara berhukum dengan badan hukum melalui hukum inkorporasi. Menteri Desa sebagai pihak otoritatif untuk

memfasilitasi BUM Desa pada skala nasional melakukan rekognisi melalui kebijakan hukum baik kesepakatan antar kementerian/lembaga, peradilan dan ajudikasi, maupun kewenangan diskresioner menetapkan BUM Desa sebagai badan hukum melalui Peraturan Menteri. BUM Desa masuk kategori sebagai Badan Hukum

Page 180: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

478 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 465–481

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Publik seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dibentuk oleh Negara.35 Kekayaan yang dipisahkan, manajemen organisasi terpisah, tetapi tetap satu kesatuan organis dengan institusi Desa lainnya.

D. Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diskursus pengakuan badan hukum terhadap BUM Desa amat kompleks. Pendekatan yuridis-empiris dibutuhkan secara mendalam karena keterbatasan teori badan hukum di Indonesia. Cara berhukum dari Desa menentukan bentuk dan praksis teori badan hukum di Indonesia. Teori badan hukum mengalami reduksi sejak masa kolonial Belanda, terutama kegagalan badan hukum dalam melakukan rekognisi atas badan usaha di Desa. Teori badan hukum yang bekerja di Desa cenderung melalui hukum inkorporasi. Untuk memutar balik hukum inkorporasi menjadi hukum rekognisi, studi hukum adat dan Republik Desa bertransformasi menjadi hukum interaksional dengan meletakkan hukum di Desa sebagai sumber pengetahuan dan tindakan komunikatif antara Sistem dan Dunia-kehidupan (Lebenswelt) Desa. Personalitas Desa sebagai badan hukum adalah bagian dari Dunia-kehidupan (Lebenswelt) Desa yang butuh pengakuan dari hukum publik-negara. Studi hukum adat diputar balik menjadi studi hukum yang mendayagunakan penelitian hukum empiris supaya terhindar dari rekomendasi teknokratis, instruktif dan positivistik yang merendahkan kemampuan Desa.

Sedangkan masukan yang dapat diberikan Penulis yaitu studi hukum tata negara

memanfaatkan hasil studi hukum interaksional untuk mengakhiri perdebatan Desa dan Desa Adat, sehingga Desa kokoh sebagai pengetahuan otentik tentang ketatanegaraan di Indonesia. Desa juga menyelenggarakan Musyawarah Desa sebagai tindakan komunikatif untuk melakukan restorasi BUM Desa, baik BUM Desa sebagai badan hukum Desa maupun badan hukum publik. Tindakan komunikatif akan berlanjut pada model laporan kinerja yang menonjolkan kemanfaatan ekonomi bagi warga Desa, dan bukan semata omset milyaran rupiah yang berkonsekuensi pada nilai pajak BUM Desa bernilai ratusan juta.

Daftar Pustaka

BukuAdam, Lucien. ”De Autonomie van Het Indonesisch

Dorp.” Disertasi. Boekdrukkerij S. W. Melchor (Amersfoort, 1924).

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press dan Syaamil Cipta Media, 2006).

Bruggink, JJ.H. Refleksi tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Cet. 4, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, dari Rechts-Reflecties (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015).

Eko, Sutoro, et.al. Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015).

-----------. Desa Baru, Negara Lama (Yogyakarta: Pascasarjana STPMD-”APMD”, 2017).

Gueci, Rizal Sofyan. 1999. Verfassungsstaat, traditionelles Recht und Genossenschaftstheorie in Indonesien: eine Studie zu den Verbindungen zwischen Otto von Gierkes Genossenschaftstheorie und Supomos Staats- und Gesellschaftstheorie. Frankfurt am Main; Berlin; Bern; New York; Paris; Wien: Lang (Europäische Hochschulschriften: Reihe 2,

35 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, ”BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang ini”.

Page 181: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

479Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” ... (Anom Surya Putra)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Rechtswissenschaft; Bd. 2386). Zugl.: Frankfurt (Main), (Univ. Diss., 1997).

Habermas, Jürgen, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, second printing, diterjemahkan oleh William Rehg, dari judul asal Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats (Cambridge Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 1996).

Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas’, Ceta. 5, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009).

Irianto, Sulistyowati, et.al. Kajian Sosio-Legal. (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012).

Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011).

Kelsen, Hans, The Pure Theory of Law, diterjemahkan Max Knight dari Reine Rechtslehre, unveränderter nachdruck. Berkeley, Los Angeles (London: University of California Press, 1970).

Lev, Daniel S. ”Van Vollenhoven dan Hukum Adat” dalam Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, diterjemahkan oleh Nirwono dan AE Priyono (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1990).

Merton, Robert K., ”On Sociological Theories of The Middle Range”, dalam Social Theory and Social Structure, Enlarged Edition (New York: The Free Press, 1968).

Mills, C. Wright., ”Grand Theory”, dalam The Sociological Imagination (New York: Oxford University Press, Inc, 2000).

Murray Li, Tania, The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan, diterjemah oleh Hery Santoso dan Pujo Semedi dari The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2012).

Parsons, Talcott, The Social System (London: The Free Press of Glencoe, Collier-Macmillan Limited, 1951).

Putra, Anom Surya, Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif Desa, Serial Bahan Bacaan Buku Ke-7, (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigras, 2015).

Rido, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Cet. 3, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2012).

Samuel, Hanneman, Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia: Dari Kolonialisme Belanda hingga Modernisme Amerika, (Depok: Penerbit Buku Kepik Ungu, 2010).

Stake, Robert E., ”Studi Kasus Kualitatif” dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.). The Sage Handbook of Qualitative Research (Edisi Ketiga), terjemahan dari ”The Sage Handbook of Qualitative Research”, (Third Edition), Cet. I. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).

Sudiarja, A, et.al., Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006).

Syafrudin, Ateng dan Suprin Na’a., Republik Desa: Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2010.).

Ter Haar, B., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti Poesponoto, dari Beginselen en stelsel van het adatrecht, Cet. 12, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1999).

Unger, Roberto M., Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern. Diterjemahkan Dariyatno dan Derta Sri Widowatie dari judul asal Law and Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory, 2007.

Van Vollenhoven, C., Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië. Tweede Deel, (Leiden: Boekhandel en Drukkerij Voorheen E. J. Brill, 1931).

-----------. ”Oriënteering in Het Staatsrecht Overzee” (1933), dalam Mr. C. van Vollehonven’s Verspreide Geschriften: Indiën, Herdenkingen, Overige Schriften, Registers, Derde Deel, (Haarlem – ‘s-Gravenhage: H.D. Tjeenk Willink en Zoon N.V.-Martinus Nijhoff, 1935.

von Gierke, Otto. Die Genossenschaftstheorie und Die Deutsche Rechtsprechung, (Berlin: Weidmannsche Buchhandlung, 1887).

-----------. Otto, Political Theories of The Middle Age, diterjemahkan Frederic William Maitland dari judul asal Die publicistischen Lehren des Mittleaters, bagian dari Volume 3 dari Das deutsche Genossenschaftsrecht (1881), (London: Cambridge University Press, 1913).

Yamin, Muhammad, Tatanegara Madjapahit Sapta-Parwa III, (Djakarta: Jajasan Prapantja, 1962).

-----------. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, Tjetakan Kedua. (Djakarta: Penerbit Siguntang, 1971).

Page 182: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

480 Jurnal RechtsVinding, Vol. 7 No. 3, Desember 2018, hlm. 465–481

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

-----------. t.t.. Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, t.p.

Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil PenelitianBiro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS, ”Kajian

Ringkas Pengembangan dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) di Kementerian PPN/BAPPENAS, Juli 2011.

Harris, Ron, ”The Transplantation of The Legal Discourse on Corporate Personality Theories: From German Codification to British Political Pluralism and American Big Business.” Journal: Wash & Lee L. Rev, Volume 63, 2006.

Kumparan News. ”Kemendes PDTT Jajagi Peluang Kerjasama E-Commerce dengan Amerika Serikat,” 2017. Pusat Data dan Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (BALILATFO), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Februari 2017.

Majalah Info Desa, ”Kreatif Membangun Ekonomi Desa,” Pusat Data dan Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (BALILATFO), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Oktober 2016.

Otto, J.M. dan S. Pompe, ”Dissertations on Netherlands Indies Law 1850-1945, on microfiche. (The Netherlands: Van Vollenhoven Institute, Leiden University, 1990).

Pemerintah Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. t.t. ”Pengelolaan dan Perencanaan Usaha BUMDes Tirta Mandiri”.

Pompe, S. ”A Short Review of Doctoral Theses on the Netherlands-Indies Accepted at the Faculty of Law of Leiden University in the Period 1850-1940,” dalam Indonesia 55-56, 1993.

Sa’adah, Arina Milya, ”Status Badan Usaha Milik Desa dalam Akta Pendirian Unit Usaha yang Berbadan Hukum (Studi Kasus di Kabupaten Klaten).” Tesis. Yogyakarta: Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2017.

InternetAsshiddiqie, Jimly, t.t. ”Konstitusi Masyarakat

Desa (Piagam Tanggungjawab dan Hak Asasi Warga Desa), http://www.jimly.com/makalah/

namafile/176/KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf, (diakses 1 Desember 2017).

Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal. 2016. ”BUMDES Dipastikan Berbadan Hukum Koperasi,” http://ditjenpdt.kemendesa.go.id/news/read/161108/302-bumdes-dipastikan-berbadan-hukum-koperasi, 8 November 2016, (diakses 30 November 2017).

Halakrispen, Sunnaholomi, ”BUMDes Punya Payung Hukum Membentuk Unit Usaha,” 27 Februari 2018. Metrotvnews, melalui http://ekonomi.metrotvnews.com/mikro/aNrVrA2N-bumdes-punya-payung-hukum-membentuk-unit-usaha, 2018, (diakses 1 Maret 2018).

Hermansyah, Anton, ”Ponggok, example of independent village financially,” The Jakarta Post, http://www.thejakartapost.com/news/2017/08/24/ponggok-example-of-independent-village-financially.html., 2017 (diakses 30 November 2017).

Kumparan News, ”Sri Mulyani Puji Desa Ponggok di Klaten yang Sukses Kelola Dana Desa,” Kumparan, Rabu 23 Agustus 2017, dari https://kumparan.com/wiji-nurhayat/sri-mulyani-puji-desa-ponggok-di-klaten-yang-sukses-kelola-dana-desa, 2017 (diakses 1 Desember 2017).

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang

Badan Penyelenggara Jaminan SosialUndang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah.Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2015 tentang

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Page 183: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

481Diskursus Pengakuan, Badan Hukum, dan Fenomena Badan Usaha Milik Desa ”Tirta Mandiri” ... (Anom Surya Putra)

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Putusan PengadilanPutusan Perkara Nomor 010/PUU-I/2003 tentang

Pengujian Undang-undang Repubplik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 184: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

482 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Page 185: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI

Segenap pengelola Jurnal RechtsVinding menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya

atas sumbangsih:

Prof. Dr. M. Fauzan

Dr. Bayu Dwi Anggono

Dr. Jimmy Z. Usfunan

sebagai Mitra Bestari yang telah melakukan peer review terhadap naskah Jurnal RechtsVinding Volume 7 Nomor 3, Desember 2018

Page 186: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

484 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Page 187: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

BIODATA PENULIS

Wicipto Setiadi, lahir di Purbalingga, 11 September 1957. Menyelesaikan S1 bidang Hukum Tata Negara di Universitas Gajah Mada. Kemudian melanjutkan S2 pada bidang yang sama di Universitas Padjajaran dan S3 di Universitas Indonesia. Sebelumnya pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan dan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

M. Reza Winata, lahir 30 Mei 1992 di Medan. Lulus Sarja Hukum di Universitas Sumatera Utara pada tahun 2014 dan sedang menyelesaikan Master Magister Hukum di Universitas Indonesia. Saat ini bertugas sebagai Peneliti di Penelitian dan Pengkajian Perkara, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected]

Mery Christian Putri, lahir 24 April 1989 di Surakarta. Lulus Sarjana Hukum tahun 2011 di Universitas Sebelas Maret, dan Magister Hukum 2013 di Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, sedang menempuh studi doktoral di Universitas Sebelas Maret. Penulis saat ini aktif sebagai peneliti di Puslitka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected]

Zaka Firma Aditya, lahir di Tegal, 29 Mei 1992. Memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Negeri Semarang pada Tahun 2014, dan gelar Magister Hukum dari Universitas Airlangga pada tahun 2017. Saat ini bekerja sebagai Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected].

Budi S.P. Nababan, lahir di Medan. Menyelesaikan S1 Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara, Medan pada tahun 2008. Diangkat sebagai Perancang Peraturan Perundang-undangan Pertama pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara sejak 30 November 2012. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Dian Agung Wicaksono, lahir di Blitar, 11 Januari 1989. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011. Pada tahun 2012, menerima Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan menyelesaikan studi pada tahun 2013. Saat ini bertugas sebagai Dosen dan Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Fajar Sugianto, lahir di Banjarmasin pada tahun 1976. Saat ini menjadi dosen tetap Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Mengajar baik pada progam studi Sarjana, Magister, dan Doktoral. Penulis aktif menulis artikel di berbagai jurnal ilmiah baik di tingkat nasional maupun internasional serta menjadi pembicara dalam seminar nasional. Meraih penghargaan sebagai. Penulis juga menjadi member pada Bali International Arbitration Mediation Center.

Page 188: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Syofyan Hadi, lahir di Lombok Tengah, 7 Desember 1988. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Mataram (2011) dan gelar Magister Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (2013) dengan konsentrasi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi. Saat ini, Penulis merupakan dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Penulis banyak terlibat sebagai tenaga ahli hukum pada penyusunan Peraturan Daerah di beberapa daerah dan telah menghasilkan 3 (tiga) buah buku serta beberapa jurnal yang terkait dengan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Tri Salamun, lahir di Banda Aceh, 13 September 1993. Menyelesaikan S1 Ilmu Hukum di Universitas Syiah Kuala pada tahun 2016. Penulis saat ini tengah menempuh studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Eka N. A. M. Sihombing, lahir di Medan, pada tanggal 11 Nopember 1979. Menyelesaikan S1 Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 2003, dan S2 Ilmu Hukum SPS di universitas yang sama. Saat ini bekerja sebagai Perancang Peraturan Perundang-Undangan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Fahrurozi, lahir di Jakarta 25 Oktober 1989. Meraih gelar sarjana (2011) dan magister hukum (2016) pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis saat ini merupakan pegawai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan terlibat aktif dalam penyusunan regulasi terkait kemudahan berusaha. Sebelumnya, beliau juga pernah aktif sebagai asisten bidang studi Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Anom Surya Putra, lahir di Surabaya, 28 Januari 1975. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga pada tahun 1998. Penulis banyak terlibat sebagai tenaga ahli hukum dalam asistensi teknis penyusunan beragam peraturan perundangang-undangan terkait desa. Selain itu Penulis juga menulis buku dan artikel mengenai teori hukum dan desa. Saat ini, Penulis merupakan Ketua Umum Perkumpulan Badan Hukum, Jaringan Komunikasi Desa (Jarkom Desa). Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]

Page 189: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

INDEKS PENGARANG

AA. Abdurachman 397A. Sony Keraf 224Abd Aziz Billah 67Abdul Ghofur Anshori 36, 38Abdul Kadir Muhammad 435Abdul Manap Pulungan 5Abdurrahman 36Abraham H. Maslow 394Ade Irawan Taufik 430, 447Adel Candra 13Adi Sulistyo 135Adinda Ade Mustami 5Agung Putranto Wibowo 24Agus Budianto 128Agus Kristiyanto 20 Agus Santoso 340 Agus Sardjono 457, 458, 459 Agus Suwandono 71, 75Agustin Setyo Madrani 16Ahmad Yani 334Ahmadi Miru 15Ali Afandi 298Ali Ridho 462 Andreas Von Staden 90Andrei Shleifer 347Antinomi 157Amy J. Schmithz 90Andrew Vincent 26Andre Newcombe 93Andrianto Dwi Nugroho 304Annamaria Bonomo 317APG Hens 287Arfian Setiantoro 1, 11Arif Wicaksono 432Arthur von Mehren 95, 236, Artidjo Alkostar 125, 127Axelle Lemaire 93

BBachtiar Efendi 244Bagir Manan 22Bambang Sutiyoso 249Barda Nawawi Arif 127Basuki Rekso Wibowo 169Bayu Seto Hardjowahono 236, 240Bernard Arief Shidarta 52, 282

Bettina Yahya 126Boedi Harsono 262, 287Bryan A. Garner 397Buchari Zaenun 363Budi Riyanto 288Budi S.P. Nababan 353Budi Suhariyanto 113,120, 122, 123Bunser Muhammad 287Burhan Ashshofa 304Bushan J. Komadar 396 Bushar Muhammad 299

CCandra Purnama 429C Van Vollenhoven 287, 288CCJ Maasen 287

DDadan Muttaqiem 40,Damianus Andreas 9Darji 77Darmodihardjo 77David Kraybill 401 Deborah E. Bouchoux 233Deviana Yuanitassari 71, 75 Djuhaenda Hasan 289Djulaeka 432Donny Afroni Dora Marta Gruner 91Drahozar C.R. 250Dwidja Priyatno 128

EE. Gultom 4Eddy Ruchiyat 287Edward James Sinaga 335, 348Efendi Eka N.AM. Sihombing 346, 427, 440Eko Noer Kristianto 19, 21, 25, 28Egle Kbartiene 13Eka N.A.M. Sihombing 366Elviriadi 287Elli Ruslina 77Ema Rahmawati 71Endang Purwaningsih 434Enrico Simanjuntak 301

Page 190: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Erman Rajagukguk 29, 84, 282, 251, 308, 462Erman Suparman 84Eralda 305Erwan Agus 319Esuh Ossai 451Eugenia Levine 93

FF. Ijswara 395Fahrurozi 445Faizal Adi Surya 119Fajar Sugianto 393, 396 Fakhrurazi Reno Sutan 37Farida Pattinggi 287Farizal F. Kamal 5Fayreizha Destika Putri 1 Feby Novalius 6Feliskas Petrauskas 13Ferril Dennys 31Francis Fukuyama 2Franck Latty 27Franck S.D. 248Frans Hendra Winata 30, 245Fransisca Romana Harjiyatni 303Freddy Harris 457, 459 Freddy Poernomo 318Freedman 136Fontain Munzil 433

GG. Kertasapoetra 287Gad Levanon 400Gatot Soemartono 252Gerald Aksen 85Graham Hughe 297Gratianus Prikasetya 261Groepsrecht 154Gunarto Suhardi 134, 136Gunawan Widjaja 70, 77Gunawan Wiradi 299

HHarmono 316Helitha Novianty Muchtar 229Helmi Kasim 79, 87, 88Hempri Suyatna 431, 432Hendarman Supanji 128Hendras Budi Paningkat 270Hendri Sayuti 440,442Henry Donal Toruan 123Herman Soewardi 68Herlambang Wiratman 303

Hinca IP Pandjaitan 20, 31H.J. Laski 26Howard R. Bowen 359, Howard Vollmer 297Hoogstra, N. G., 319HP Panggabean 30Husain Sahatah 37

II Dewa Gede Palguna 136I Gde Pantja Astawa 346Igwe Lucky 446, 451, 452Ihami Ginang Pratinida 236I Made Pasek Diantha 304Ida Bagus Rahmadi Supancana 324, 326Imam M. Nasef 346Imas Rosidawati Wiradirja 433Indriyanto Seno Aji 115Indroharto 305Inlanders 152Intergentiel recht 149Iossa E 248Iskandar Oeripkartawinata 235, 244Ismail Saleh 68Iwan Nurdin 291

JJames McGill Buchanan 143James W Hurst 295Jamal Ibrahim H 312Janus Sidabalok 15Jean R. Sternlight 245Jacques Pelkmans 318 Jerome Frank 295Jeroen M.J. 240Jimly Asshiddiqie 26, 134, 136, 137, 143, 144, 334,

340, 341, 365, Jimmy Joses Sembiring 15J.J.H Bruggink 61John L. Campbell 394John S. Bell 316Joni Emirzon 248Jonker Sihombing 70, 77Jum Anggraini 30

KKartika Widya Utama 315Katsh E. Rifkin 13Kelik Pramudya 35Keneth I Winston 297Ken Foster 32

Page 191: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Klein 280Krisna Harahap 127Kristian 128Kus Sri Antoro 266K. J. de Graaf 319

LLaurie Kratky Doré 89Leon E. Trakman 96Lia Farokhah 4, 7 Lim Sing Meij 118, 264Lisa Schultz Bressman 317Listyo Budi Santoso 40,Lukmanul Hakim 69, 78

MM Aschari 303M Khoidin 244M Pattinson 4M Sornarajah 80M M Djojodigoeno 286M Nur Sholikin 345 M S Tumanggor 68M Yahya Harahap 238Maizal Walfajri 439Maksymilian Del 318Malcom Waters 394 Maman Suherman 71, 77Manuel Knoll 405 Mansur D.M.A. 4Maria S W Sumardjono 232, 288Marieke van Hooijdonk 240Mark Aronson 306Markus H Simarmata 283Marten Bunga 440Martin P Golding 297Marwah M Diah 248Maureen Kilkenny 401 Max Travers 281Merza Gamal 298Mery Christian Putri 335Michael Porter 399Mieke Komar Kantaatmadja 233Mohammad Ikbal 7Muhamad Amirulloh 229, 230, Muhamad Djumhana 233Muhammad Koesnoe 286Muhamad Yasin 302Muhammad 36Muhammad Abdulkadir 133Muhammad Amin Putra 346Muhammad Reza Winata 335

Muhammad Rustamaji 135Muhammad Sidiq Armia 350Muhammad Syafi’i Antonio 36Muhammad Yamin 20 Muladi 127Munir Fuady 317

NNatangsa Surbakti 120Neni Sri Imaniyati 134Noer Fauzi 299Nur Syarifah 121Neville Brown 316Nurnaningsih Amriani 244

OOly Viana Agustine 131Oswald Jansen 306Otje Salman Soemadiningrat 286

PPedro Alberto 231Peter Eijsvoogel 240Peter Mahmud Marzuki, 22, 54, 118, 247, 339, 358,

429Peter Van Den Bossche 50Philip Handler 351Phillip F.E. Adipraja 4, 7Phillip Nonet 285, 297Phillip Seiznick 285, 297Plato 282Pompe Sebastian 95 Pradnya Paramita Hapsari 431Pramdia Arhando Julianto 6 Priyatna Abdurrasyid 84, 252, Puak 155Pujiyono 243Purnadi Purbacaraka 282Purnawidhi W Purbacaraka 282Putera Astomo 333Putri Syifa Nurfadilah 431

RR.M. Panggabean 137R. Setiawan 238R. Tjitrosudibio 119Rachmadi Usman 27Rahmat Sulistiyo 29Rai Mantili 71Ramlan Surbakti 27Ramli Hutabarat 29Retnowulan Sutantio 235, 244

Page 192: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Reza Banakar 281Richard A. Posner 396 Richard Schlatter 282Ricardo Simanjuntak 303Ridwan 302Ridwan Halim 282Ridwan Khairandi 458Risky Maulana 4Riza Hufaida 29Rober R. Goodin 20 Robert Cooter 397Ronald H. Coase 397Roni Hanitjo Soemitro 3, 134Roscoe Pound 30, 295Rudi Prasetyo 119Rusli Muhammad 25

SSajchran Basah 412Safri Nugraha 308Sanchita Basu Das 395Sanford H. Kadish 297Satjipto Rahardjo 144Satria Sakti Utama 22Satrio Widianto 402Sean Matthew 433Sedarmayanti 309Sewart K 244Sidharta 118, 264Sigit Riyanto 318Simeon Djankov 347Singgih Praptodihardjo 282Siti Nurhayati 45Soehino 395 Soepomo 287Soerjono Soekanto 3, 22, 38, 69, 264, 287, 321, 358Sondang Siagian 77Sri A.K. Dewi 4, 7 Sri Handi Lestari 432Sri Mamudji 3, 22, 38, 286, 299, 324, 358, 448, 449 Sri Mulyani 441Subekti 23, 71, 119, 234, Sudargo Gautama 231, 273, 274, 275, Sudarsono 49Sudaryanto 430Sudikno Mertokusumo 143,232, 235, 276Suhendar 127Suhrawardi K Lubis 39Sukardi 68Sulistiyowati Irianto 52, 118, 264, 279Supandi 302Supriyanto 432

Surojo Wignjodipuro 284Susanti Adi Nugroho 15Sutan Remi Sjahdeini 119Sutarman Yodo 15Suyud Margono 37, 40Stephen M. Bainbridge 459Svetozar Pejovich 397Syofyan Hadi 393, 395

TTasya Safiranita 229Takeo Hoshi 312Teddy Anggoro 457 Ter Haar 287Titiek Sri Djatmiati 315Tita Nur Fitria 36,Trevor C. Hartley 236Tri Salamun 409Tulus Tambunan 400

UUrip Santoso 265Utama Satria Sakti 32Utrecht 413

VV Selvie Sinaga 437Van Eechoud 231Vilvredo Pareto 397 Violetta Simatupang 32Volker F. Krey 89Vera Parisio 302

WWertheim 280Wibowo Agung Putranto 32Wicipto Setiadi 321, 325, 331William Bosworth 350William Eskridge Jr. 91William W. Burke-White 90William Twining 318 Wirjono Projodikroro 236

YYahya Harapan 95Yansen Darmanto Latif 23Yudha Bhakti Ardiwisastra 30 Yu Un Oppusunggu 147

ZZainuddin Ali 3, 449, 462Zaka Firma Aditya 335

Page 193: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

INDEKS SUBJEK

AAdministratve inacton 305Addresat putusan 132, 144Affirmative action 440, 441Affirmative policy 263, 271Agent of development 136Agus del Tunari SA v. The Republic of Bolivia 93Agrarische Wet 267Ajudikasi 76, 84, 91Algemeene Bepalingen van Wetgeving (AB) 280Alih teknologi 402Alternatif penyelesaian sengketa 2, 13, 40, 46, 72,

77, 81, 298Alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah

38Amco Asia Corporation and others vs Republic of

Indonesia 87Amerika 93 Amicus Curiae 82, 92, 94Aparatur Sipil Negara (ASN) 45, 47Arbiter 40, 73, 76, 84, 235, Arbitrase 22, 39, 73, 76, 81, 135Arbitrase ad-hoc 85 Arbitrase internasional 82, 84, 91Articles of confideration 143Atribusi 344Asas fair trial 117ASEAN 33, 399, 402ASEAN Charter 303ASEAN Committee on Consumer Protection 13ASEAN Economic Community 13, 302, 394, 395,

398 Asosiasi Pemain Sepakbola Profesional Indonesia

(APPI) 24Asuransi syariah 41Aturan Bosman (Bosman Ruling) 26 Auteurswet 160

BBadan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan

Penjaminan Indonesia (BAMPPI) 75Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) 29Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) 39Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) 39, 236,

255, Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI) 29Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) 39,

75, 100Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) 39Badan Hukum 114, 119Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) 87,

327, 348Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP) 75Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia

(BMAI) 75, 76Badan Mediasi Pembiayaan, Penggadaian, dan

Ventura Indonesia (BMPPVI) 76Badan Usaha Milik Daerah 114Badan Usaha Milik Negara 114, 136Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 69Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) 3,

11, 14Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung 46Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) 14Badan Pertanahan Nasional (BPN) 272, 271, 293Badan Pusat Statistik (BPS) 289, 430Bahrain 84Banda Aceh 409, 411Banding 55, 76Banding Administratif 59Bank Indonesia 5, 69, 87Bappenas 8Belanda 93Berita Resmi Merek 53, 56Beschikking 62Beschikkingsrecht 286, 287, 288Bilateral Investment Treaty (BIT) 81, 87, 88, 90, 93Birokrasi 50Bisnis syariah 37,Blanko gugatan 42,Borderless 6, 185

CCashless society 6Certification Authority 7Class action 94Cita hukum 144Citizen lawsuit 94Civil law 137Common law 137Conditio sie qua non 148Constitutionalism 136Corporate Social Responsibility (CSR) 354, 356, 359,

361, 368,

Page 194: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Court of Arbitration for Sport (CAS) 27Cybersquatting 237, Cybersquatter 235, 237,

DDana pensiun lembaga keuangan syariah 41De presterende 136Dekonsentrasi 269Deregulasi 338Desentralisasi 264, 336Deskriptif Analitis 3Dewan Perwakilan Rakyat 69Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama 45Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan

325Dissenting opinion 344Diskriminatif 330Dispute resolution 72Doktrin 136Domein verklaring 267Domestik 98Dual jurisdiction 51Dualisme kewenangan 57Due process of law 126Dwingend recht 174

EEase of Doing Business 335, 347, 351, 354Economic Analysis of Law 396, 406 Economic Growth Stimulus Theory 433Eigendom 267Ekonomi kapitalistik 68Ekonomi Islam 36,Ekonomi nasional 132Ekonomi politik (political economy) 143Ekonomi produktif 430Ekonomi syariah 36Eksekusi 40Electronic cash 5Era global 50Etika konstitusi (constitutional ethics) 136Ex aequo et bono 174Executive review 341, 345, 349E-commerce 3, 5, 14, 230, 234, E-money 6

FFacebook 234, 235Fast Moving Enterprise 431Fault of ommision 316Favourable legal environment 182Federasi Sepak Bola 24, 27

Fiksi Hukum 302, 305Final and Binding 243, 252, First come first out 51First to file principle 51, 56Forum Penyelesaian Sengketa 100, 101, 103Free flow of skilled labour 394, 396, 398, 401

GGanti rugi 13Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 329Gemeenschappen 288Good Governance 303Gugatan Perorangan 236 Gugatan Kebendaan 236Gugatan sederhana 44

HHakim 38,45, 47, 122, 126, 129, 137Hak Cipta (copyrights) 434Hak guna bangunan 269, 293Hak guna usaha 269, 293Hak Kekayan Industri (Industrial Property Rights)

433Hak Kekayaan Intelektual (HKI) 428, 429, 432, 433,

435, 439, 442Hak konsumen 7, 9, 90Hak konstitusional 132Hak milik 267Hak pakai 269Hak siar televisi 21Hak ulayat 284, 285, 286Hak veto 74Hak warganegara 90Harmonisasi 51, 61, 64Health insurance act 136Hibah 41Hukum adat 284, 286, 287Hukum administrasi 135Hukum agraria 285, 289Hukum antargolongan 148Hukum antar tata hukum (HATAH) 147, 156, 264,

273Hukum formil 53Hukum kekayaan Intelektual 231Hukum konstitusi (constitutional law) 136Hukum materiil merek 53Hukum perdata 102, 104, 107Hukum perdata Internasional 231, 236, 273Hukum perdata Keluarga 41Hukum perizinan 412Hukum pidana 102Hukum publik 53, 90, 94

Page 195: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Hukum primer 101Hukum privat 53Hukum responsif 285, 294, 295Hukum siber 231

IICSID 86, 92Iklim Usaha 335, 428Incentive Theory 433Indeks Keberdayaan Konsumen (IKI) 7Indikasi Geografis 58Industri olahraga 20 Informasi asimetris 404 Inggris 93Inkonstitusional 140Inkracht 122Inovatif 50Intellectual Property Rights (IPR) 432Intergentiele grondenregel 264, 280International Chamber of Commerce (ICC) 81International Olympic Committee 28iura ofcialibus consilia 302Ius Curia Novit 46Investasi 98, 99, 104, 332, 348Investor 80, 92, 273, 297, 335, 350Izin 409Izin gangguan 415

JJaksa 122Jaksa Penuntut Umum 126Jenewa 88Jurusita 38

KKaidah hukum 143Kanada 93Kasasi 55, 76Keadilan (gerechtigkeit) 144Kebebasan berkontrak 90Keberlakuan (gelding) 61Keberatan 11, 55Kebijakan afirmatif 428, 429, 441, 442Kedai kopi 411, 416Kekayaan Negara 114Kekuasaan kehakiman 340Kemanfaatan (zweckmassigkeit) 144Kementerian Dalam Negeri 327, 337, 349Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 327Kementerian Hukum dan HAM 327Kementerian Kelautan dan Perikanan 327Kementerian Kesehatan 327

Kementerian Keuangan 327Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

349Kementerian Pariwisata 327Kementerian Perdagangan 327Kementerian Perhubungan 327Kementerian Pertanian 327Kementerian Sekretariat Negara 325, 326Kementerian Perindustrian 327Kemudahan berusaha 301, 347, 354, 445Kepastian Hukum 50, 51, 144, 265Keppres Pengesahan Konvensi Paris 50Keppres Pengesahan Traktat Hukum Merek 50Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) 53Keputusan Menteri 51, 54Kerugian Negara 116, 129Kesejahteraan sosial 134Kesepakatan Bersama 245 Ketidakimbangan informasi (Informational

asymmetry) 89Keuangan negara 114, 126, 128, 129Kewajiban Konsumen 7Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) 115Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 118Klausul 40, 100, 102Klub Sepak Bola 21Kodifikasi 135Komisi Banding 53Komisi Banding Merek 55, 58, 60Kompetensi Absolut 248, 249Konsiliasi 11,40, 73, 82, 135Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 291Konstitusi 68, 91, 134, 136, 340Konsultasi 11,40Konsumen cerdas 8Kontrak 23, 26Konvensi hukum internasional 118Konvensi New York 87Korea Selatan 327Korporasi 114, 115, 117, 119, 122, 129KPPTSP 422Krisis ekonomi 431Kualitas 50

LLegal historis 340, 342, 346Landraad 150Land reform 284Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)

69, 71, 75, 77Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa

Page 196: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Perbankan Indonesia (LAPSPI) 75Lembaga jasa keuangan 68, 71Lembaga keuangan mikro syariah 41,Lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat 10, 14Lembaga regulator internasional 91, 93Legal standing 94 Lex sportiva 28Lex silencio positvo 306Lintas batas negara 6Litigasi 2, 39, 46, 89Livelihood Activities 430

MMachtstaat 68Majelis hakim 44Mahkamah Agung 38, 55, 58, 64, 116, 129, 137,

252, 340, 342, 343 Mahkamah Konstitusi 94, 132, 137, 337, 344Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2, 9, 14Masyarakat hukum adat 292Mediasi 11, 40, 73, 76, 82Menteri Dalam Negeri 342, 343Merek 50, 235Mexico 327Micro Enterprise 430Moldova 327Monopoli 401Musyawarah mufakat 81

NNama Domain 232, 239National Dispute Resolution Chamber (NDRC) 22,

26, 31Negara hukum klasik (liberale rechtsstaat) 50Negosiasi 11, 25, 40Nielsen 5Nilai moneter 430Non-ajudikasi 83Non-litigasi 2, 15, 39, 46Non-preseden 39,Nyon 22

OObligasi syariah 41One share one vote 159Online Dispute Resolution 12, 15Online Single Submission (OSS) 328Openbaar 82, 88Organizational Imperatives 26Otonom 277Otonomi Daerah 335, 339, 350, 363, 368,

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 69, 77, 102Over-regulated 323, 324, 326Overlapping 323, 326, 329 PPacta sunt servanda 181Pancasila 68, 136Panitera 38Pareto efficiency 397Paris Convention for the Protection of Industrial

Property (Konvensi Paris) 50Pasar Bebas 394Pasar Modal 98, 99, 101Pasar Tunggal Berbasis Produksi 394 Pattern setting group 144Pejabat TUN 54Pelanggaran Merek 60, 61Penanaman modal asing 80Pendapatan Asli Daerah (PAD) 356, 361Pendekatan kasus (case approach) 118Pendekatan konseptual (conseptual approach) 118Pendekatan perundang-undangan (statute

approach) 118, 358Penegakan hukum 144Pembangunan ekonomi 29, 68, 132, 135, 136, 429Pembangunan Nasional 134Pembiayaan syariah 41Pemegang merek 51Pemeriksaan Substantif Merek 55Pemerintah Daerah 356, 362, Pemilik Merek 53, 55, 58Pemuliaan tanaman 132,145Pendaftaran Merek 51, 52Pengadilan Agama 38, 41Pengadilan Anak 61Pengadilan Hak Asasi Manusia 61Pengadilan Hubungan Industrial 61Pengadilan Khusus 57, 60Pengadilan Negeri 57, 104, 137, 246, 250Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 25, 87, 124Pengadilan Niaga 50, 52, 55, 57, 60, 61, 64Pengadilan Pajak 62Pengadilan Perikanan 62Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) 50, 52, 57, 58,

64Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 61Pengadilan Tinggi 137Pengadilan Umum 39Penggadaian syariah 41Penghapusan Merek 58, 60Penilaian ahli 40Pengujian peraturan perundang-undangan (Judicial

Page 197: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

review) 91, 338, 344Penuntut Umum 126Penyelesaian sengketa 9, 23, 3, 72, 235 Penyitaan 115Pembangunan ekonomi nasional 23, 77Pembatalan Peraturan Daerah 337, 340Peraturan Daerah (Perda) 337, 349, 355, 361, 365,

369Peradilan agama 38, 41, 61Peradilan keluarga 41Peradilan Militer 61Peradilan TUN 61 Peradilan umum 57, 60, 61, 84Peraturan perundang-undangan sektor usaha 323,

327Peraturan Presiden tentang Penggunaan Tenaga

Kerja Asing 396, 406Perbuatan Melawan Hukum 234Perbankan syariah 36,Perdagangan global 50Perekonomian nasional 134, 428, 440Perekonomian Negara 114, 128, 134Perizinan 301, 407Perlindungan HAM 21, 31Perlindungan Hukum 7Perlindungan konsumen 2, 15, 68, 73Permenkumham Pendaftaran Merek 52, 54, 59Permohonan Fiktif Positif 58Permohonan Pendaftaran Merek 55Perpanjangan Merek 55, 59Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) 21,

24, 31Perseroan Terbatas 21, 445, Pertamina vs Karaha Bodas 87, 88Perusahaan multinasional (MNc) 80Pluralisme hukum 22, 31Public Private Actor 302Pidana pokok 117Pidana tambahan 117, 129PPAT 273Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) 439Pra ajudikasi 115Prasarana Hukum 98Prediktabilitas 135Primary Jurisdiction 88Prinsip bonafide 172Prinsip Fiktif Positif 301Prinsip syariah 37, 41Produk domestik kotor (GDP) 50PT Persija Jaya 25Publisitas 88Putusan hakim 132, 136, 137

Putusan MK 132, 137, 144Putusan pengadilan 118

QQui tacet consentre videtur 305

RRafat Ali Rifzi vs Republic Indonesia 87Ratio legis 118Reasuransi syariah 41Rechtstaat 68Recovery Theory 433Regelend recht 176Regulator (sturende) 136Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)

403 Reksadana syariah 41Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 329Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN)

329Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 329Res judicata pro veretatur habetur 46Reward Theory 433Rijksblaad 266, 267Risk Theory 433

SSachnormen 175Secondary jurisdiction 88Sekretariat Kabinet 325, 326Sekuritas syariah 41Sengketa 22, 30, 71, 76, 94, 244Sengketa administratif 83 Sengketa bisnis 180, 243, 248, 250Sengketa merek 51, 53Sengketa merek fiktif positif 59, 62Sengketa teknis 83Sengketa tata usaha negara 58Sengketa perdata 39Sepak bola profesional 20Sertifikat Merek 54, 55, 59Shadaqah 41Simplifikasi 324, 326, 327Sistem ekonomi 136Sistem hukum nasional 31 Sistem hukum transnasional 31Sistem ketatanegaraan 136Sistem peradilan 38,Sistem Peradilan Indonesia 61Sistem perekonomian nasional 68Small claims court 42, 44Small Dynamic Enterprise 431

Page 198: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Socio-legal 264Social security act 136Sociale rechtstaat 136Social welfare state 136Standar Internasional 99Standar Nasional Indonesia (SNI) 8 Statuta FIFA 21, 25Starting business 348, 350Studi kepustakaan 23, 232, 248Sumber Daya Manusia 98, 99Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 63, 64Surat berharga berjangka syariah 41Surat dakwaan 126Swiss 87

TTahkim 39Tanah ulayat 285, 286Tanggapan atas Penolakan Pendaftaran 55Tanggungjawab pidana 10Tanggungjawab Sosial Perusahaan 359, Tenaga Kerja Asing (TKA) 394, 398, 402 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) 394, 402 Teori Stufenbau 367 Tindakan Hukum TUN 54Tindak pidana (corporate crime) 114Tindak pidana korupsi 116, 129Titik taut primer 279Titik taur sekunder 279Titik-titik pertalian 274, 275Toko online 7Transaksi online 5Transfer teknologi 80Training of Trainer 45Trademark Law Treaty 50Tsunami 410Tugas Pembantuan 364, 365, 368Twitter 234, 235

UUang Pengganti 115, 116, 117, 119, 126Ukraina 327Ultimum Remedium 44Unconscionability 89 United Nation Covention Against Corruption

(UNCAC) 2003 118 United National Commission on International Trade

Law (UNCITRAL) 81, 87United Nations on Trade and Development

(UNCTAD) 82, 84Upaya paksa (dwang middelen) 114, 115Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) 428,

429, 430, 431, 432, 435, 439, 442UUD NRI Tahun 1945 68, 82, 132, 138, 363, 428UU Administrasi Pemerintahan 51, 52, 53, 54, 58,

59UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

3, 10, 31, 39, 69, 84, 250UU Bank Indonesia 69UU Desain Industri 434, 442UU Desain dan Tata Letak Sirkuit Terpadu 435, 442UU Hak Cipta 434, 441UU Informasi dan Transaksi Elektronik 7UU Jaminan Fidusia 441UU Kehutanan 292UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta 276UU Kekuasaan Kehakiman 61, 62, 237, 250UU Ketenagakerjaan 402, 404 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 132, 140, 141UU Merek 50, 52, 53, 56, 57, 60, 62, 434, 437, 441,

442UU Otoritas Jasa Keuangan 69, 71UU Paten 434UU Pemerintahan Daerah 277, 366, 341, 349UU Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta 277UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 115,

117, 128UU Penanaman Modal 80, 8, 359, UU Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai

Pemerintahan Sendiri Daerah-Daerah 277UU Peradilan Agama 40,41, 46UU Peradilan Tata Usaha Negara 51, 53UU Perbankan 36, UU Perbankan Syariah 40, 45UU Perdagangan 7UU Perkawinan 274UU Perkebunan 132UU Perlindungan Konsumen 2, 9, 75UU Perseroan Terbatas 259, UU Pokok-Pokok Agraria 262, 284, 292UU Rahasia Dagang 434, 442UU Sistem Budidaya Tanaman 140UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

365, UU UMKM 428, 440, 441, 446

VVerbatim 158Vicarious liability 128Vera Parisio 319 Vergunning 413Volunteer 41

Page 199: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

WWakaf 41Wasiat 41Welfare state 20, 30Willekeur 317World Bank 336, 347

YYayasan 114Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 6Youtube 234, 235Yuridis Normatif 3Yurisdiksi 6, 13, Yurisdiksi in rem 232, 239

ZZakat 41

Page 200: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

498 Jurnal RechtsVinding, Vol. 4 No. 2, Agustus 2015, hlm. 21-41

”Halaman ini dikosongkan”

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

Page 201: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL RECHTSVINDING

Jurnal RechtsVinding merupakan media caturwulanan di bidang hukum, terbit sebanyak 3 (tiga) nomor dalam setahun (April; Agustus; dan Desember). Jurnal RechtsVinding diisi oleh para pakar hukum, akademisi, penyelenggara negara, praktisi serta pemerhati dan penggiat hukum. Redaksi Jurnal RechtsVinding menerima naskah karya tulis ilmiah di bidang hukum yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Redaksi menerima naskah karya tulis ilmiah bidang Hukum dari dalam dan luar lingkungan Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

2. Jurnal RechtsVinding menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaksi. Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang akan masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan.

3. Naskah dikirim berbentuk Karya Tulis Ilmiah berupa:a. Hasil Penelitian;b. Kajian Teori; c. Studi Kepustakaan; dan d. Analisa / tinjauan putusan lembaga peradilan.

4. Judul naskah harus singkat dan mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital dengan posisi tengah (centre) dan huruf tebal (bold). Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Apabila naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka judul dalam Bahasa Indonesia ditulis di atas Bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Judul kedua ditulis miring (italic) dan di dalam kurung.

5. Abstrak memuat latar belakang, permasalahan, metode penelitian, kesimpulan dan saran. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia (maksimal 200 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 150 kata). Abstrak ditulis dalam 1 (satu) alinea dengan spasi 1 (satu) dan bentuk lurus margin kanan dan kiri / justify. Abstrak dalam Bahasa Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic). Di bawah abstrak dicantumkan minimal 3 (tiga) dan maksimal 5 (lima) kata kunci. Abstract dalam Bahasa Inggris diikuti kata kunci (Keywords) dalam Bahasa Inggris. Abstrak dalam Bahasa Indonesia diikuti kata kunci dalam Bahasa Indonesia. Hindari pengunaan singkatan dalam abstrak.

6. Sistematika Penulisan:Penulisan harus memenuhi secara berurutan hal-hal sebagai berikut:- Judul; - Nama Penulis (diketik di bawah judul ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar. Jika penulis terdiri lebih

dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung ’dan’ (bukan lambang ’&’);- Nama Instansi Penulis (tanpa menyebutkan jabatan atau pekerjaan di instansi yang ditulis;- Abstrak;- Kata Kunci;- Pendahuluan (berisi latar belakang dan permasalahan);- Metode Penelitian;- Pembahasan; - Penutup (berisi deskripsi kesimpulan dan saran).

Sistematika artikel adalah sebagai berikut:A. Pendahuluan

Pendahuluan berisi diskripsi latar belakang dan permasalahan.

Page 202: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

B. Metode Penelitian Metode Penelitian berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat jika diperlukan);

C. PembahasanPembahasan berisi analisa atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian sebagaimana tertuang dalam pendahuluan. Jumlah pokok-pokok bahasan disesuaikan dengan jumlah permasalahan yang diangkat.

D. Penutup Penutup berisi diskripsi kesimpulan dan saran atau rekomendasi.

7. Aturan Teknis Penulisan:a. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, diserahkan dalam bentuk naskah elektronik

(soft copy) dalam program MS Office Word serta 2 (dua) rangkap dalam bentuk cetakan (print out).b. Jumlah halaman naskah 20 s.d. 25 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka.

Bila lebih dari 25 halaman, redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.

c. Ditulis dengan menggunakan MS Office Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Calibri ukuran 12, spasi 1,5 (satu koma lima), kecuali tabel (spasi 1,0). Batas / margin atas, batas bawah, tepi kiri dan tepi kanan 3 cm.

d. Penyebutan istilah di luar Bahasa Indonesia (bagi naskah yang menggunakan Bahasa Indonesia) atau Bahasa Inggris (bagi naskah yang menggunakan Bahasa Inggris) harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic).

e. Penyajian Tabel dan Gambar:- Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Calibri

ukuran 12;- Judul gambar ditampilkan di bagian bagian bawah gambar, rata kiri (bukan center), ditulis

menggunakan font Calibri ukuran 12;- Tulisan ’Tabel’ / ’Gambar’ dan ’nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal;- Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran judul tabel / gambar;- Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center);- Jenis dan ukuran font untuk isi tabel bisa disesuaikan menurut kebutuhan (Times New Roman atau

Arial Narrow ukuran 8—11) dengan jarak spasi tunggal);- Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel atau gambar, rata kiri, menggunakan

font Calibri ukuran 10.f. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (foot note). Penulisan model catatan kaki

menggunakan font Cambria 10. Penulisan model catatan kaki dengan tata cara penulisan sebagai berikut:- Buku (1 orang penulis): Wendy Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago

Press, 1999), hlm. 65.- Buku (2 orang penulis): Guy Cowlishaw and Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago:

University of Chicago Press, 2000), hlm. 104–7.- Buku (4 orang atau lebih penulis): Edward O. Laumann et al., The Social Organization of Sexuality:

Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hlm. 262.- Artikel dalam Jurnal: John Maynard Smith, ”The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998): 639.- Artikel dalam jurnal on-line: Mark A. Hlatky et al., ”Quality-of-Life and Depressive Symptoms in

Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS) Trial,” Journal of the American Medical Association 287, no. 5 (2002), http://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004).

- Tulisan dalam seminar: Brian Doyle, ”Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59”

Page 203: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum

Volume 7, Nomor 3, Desember 2018

(makalah disampaikan pada the Annual International Meeting for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).

- Website/internet: Evanston Public Library Board of Trustees, ”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, http://www.epl.org/library/strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).

g. Penulisan Daftar Pustaka:- Bahan referensi yang dijadikan bahan rujukan hendaknya menggunakan edisi paling muktahir;- Penulisan daftar pustaka diklasifikasikan berdasarkan jenis acuan yang digunakan, misal Buku;

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian; Internet dan Peraturan;- Penulisan daftar pustaka disusun berdasarkan alphabet;- Penggunaan referensi dari internet hendaknya menggunakan situs resmi yang dapat

dipertanggungjawabkan validitasnya.- Penulisan model Daftar Pustaka dengan tata cara penulisan sebagai berikut:

• Buku (1 orang penulis): Doniger, Wendy, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999).

• Buku (2 orang penulis): Cowlishaw, Guy and Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000).

• Buku (4 orang atau lebih penulis): Laumann, Edward O. et al., The Social Organization of Sexuality: Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994).

• Artikel dalam Jurnal: Smith, John Maynard, ”The Origin of Altruism,” Nature 393 (1998).• Artikel dalam jurnal on-line: Hlatky, Mark A. et al., ”Quality-of-Life and Depressive Symptoms in

Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS) Trial,” Journal of the American Medical Association 287, no. 5 (2002), http://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari 2004).

• Tulisan dalam seminar: Brian Doyle, ”Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (makalah disampaikan pada the annual international meeting for the Society of Biblical Literature, Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).

• Website/internet: Evanston Public Library Board of Trustees, ”Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, http://www.epl.org/library/strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).

8. Naskah harus dikirimkan dalam bentuk elektronik (softcopy) melalui:a. Fitur Open Journal System (OJS) dengan mengakses: http://www.rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal

yang akan digunakan untuk mengelola naskah jurnal ilmiah, danb. Email: [email protected]. yang akan digunakan sebagai sarana korespondensi dan

pengiriman kelengkapan data diri penulis (biodata lengkap (CV) penulis, copy KTP/identitas yang berlaku, alamat e-mail, nomor telepon).

9. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan Jurnal Rechtsvinding dapat menghubungi:

Redaksi Jurnal RechtsVindingPusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RIJl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta,

Telp.: 021-8091908 ext.118; Fax.: 021-8011754.

10. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan di atas tidak akan diseleksi. Dewan Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk tanpa mengubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan urutan naskah yang masuk ke Dewan Redaksi Jurnal RechtsVinding.

Page 204: jdihn.bphn.go.idjdihn.bphn.go.id/penelusuran/www/storage/document/JRVVOL7NO3-2018.pdf · Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum