jurnal ilkom juni 2012 vol 1

102
ULTIMA COMM Jurnal Ilmu Komunikasi The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara • Dessy Kania Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan • Dr. Irwansyah, MA Propaganda dan Ilmu Komunikasi • Moeryanto Ginting Munthe Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan • Suharsono Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi R. Masri Sareb Putra Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo Indiwan Seto Wahyu Wibowo Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta) • Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si Volume IV, Nomor 1• Juni 2012 ISSN 1979-1232 Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern Hendri Prasetyo

Upload: indiwan-seto-wahyu-wibowo

Post on 24-Jul-2015

437 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Jurnal Ilmiah bidang Ilmu Komunikasi diterbitkan oleh Pusat Kajian Ilmu Komunikasi (PUSKA) Universitas Multimedia Nusantara.Redaksi menerima kiriman naskah dari praktisi dan akademisi Komunikasi. Naskah bisa dikirimkan via email ke : [email protected] atau dikirim ke sekretaraiat Redaksi di Fakltas Ilkom UMN jalan Boulevard Gading Serpong Tangerang Banten

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

ULTIMA COMMJurnal Ilmu Komunikasi

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara • Dessy Kania

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan• Dr. Irwansyah, MA

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan• Suharsono

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi• R. Masri Sareb Putra

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Volume IV, Nomor 1• Juni 2012

ISSN 1979-1232

Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern• Hendri Prasetyo

Page 2: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1
Page 3: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Pelindung Rektor UMN

Dr Ninok Leksono

Penanggung jawabDekan Ilkom

Ir Andrey Andoko M.Sc

Ketua Jurusan Ilmu KomunikasiDra Bertha Sri Eko M.Si

Ketua PenyuntingDrs Indiwan Seto Wahyu Wibowo M.Si

Desain dan LayoutMohammad Rizaldi, S.T., M.Ds

SekretarisDra. Joice Caroll Siagian, M.Si

Dewan PenyuntingAmbang PriyonggoMasri Sareb Putra

Dr Endah MuwarniAugustinus Roni Siahaan M.Si

Sirkulasi & DistribusiAugustinus Roni Siahaan M.Si

Alamat Redaksi :Jl. Boulevard Gading Serpong Tangerang – Banten

Telp : (021) 5422 0808/ 3703 9777Fax : (021) 5422 0800

ULTIMA COMMJurnal Ilmu Komunikasi

Volume IV, Nomor 1• Juni 2012ISSN 1979-1232

Jurnal Ilmu Komunikasi diterbitkan tiga kali dalam satu tahun sebagai media infor-masi karya ilmiah untuk bidang kajian Ilmu Komunikasi di Indonesia. Redaksi me-nerima naskah berupa artikel ilmiah, ringkasan hasil penelitian atau resensi buku. Redaksi berhak untuk menyunting isi naskah tanpa mengubah substansinya.

Page 4: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

KATA PENGANTAR

ULTIMA COMMJurnal Ilmu Komunikasi

Volume IV, Nomor 1• Juni 2012ISSN 1979-1232

Kata komunikasi merupakan kata yang sangat ajaib. Komunikasi menjadi kata kunci yang menjadi pembicaraan karena sangat berpenga-ruh dalam kehidupan kita sehari-hari. Salah satu fungsi dari komunikasi adalah memberikan informasi dan pengetahuan dan bisa mencerdaskan. Begitu juga dengan Jurnal Ilmu Komunikasi ‘ULTIMA COMM” yang hadir di hadapan para pembaca. Kami hadir dan mencoba meramaikan panggung wacana sepu-tar Ilmu komunikasi di tengah perkembangan teknologi komunikasi dan social media. Dalam edisi kali ini, jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara menyampaikan sejumlah topik bahasan. Di antaranya, ada artikel terkait dengan perkembangan Sosial Media dan Media Baru. Artikel berjudul Pengaruh Tingkat Kepercay-aan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terha-dap Perilaku Beli Mahasiswa (Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta) ditulis oleh Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si. Masih terkait dengan perkembangan teknologi komunikasi, ada artikel mengenai teknologi awan ( Cloud Technology ) yang dilihat dari perspektif wartawan oleh Dr. Irwansyah, MA. Ada juga soal “ Cyber Community, Cyber Cultures: Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Mod-ern,” oleh Hendri Prasetyo Di bidang media massa, edisi jurnal kali ini mengangkat soal lingkungan hidup dan komunikasi, soal propaganda, tradisi hermeneu-tika, Propaganda dan Ilmu Komunikasi dan peranan media dalam dunia turisme begitu juga analisis teks yang menggunakan Metode semiotika, Redaksi sangat berterimakasih atas partisipasi teman sejawat, dan penulis-penulis di bidang Komunikasi. Kami selalu menunggu ha-sil karya teman-teman, praktisi Komunikasi dan bapak ibu dosen dalam penerbitan jurnal berikutnya.

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1ii

Page 5: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

DAFTAR ISI

ULTIMA COMMJurnal Ilmu Komunikasi

Volume IV, Nomor 1• Juni 2012ISSN 1979-1232

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta) Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif WartawanDr. Irwansyah, MA

Cyber Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.Hendri Prasetyo

Propaganda dan Ilmu KomunikasiMoeryanto Ginting Munthe

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover TempoIndiwan Seto Wahyu Wibowo

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa TenggaraDessy Kania

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi KomunikasiR. Masri Sareb Putra

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli LingkunganSuharsono Suharsono

Volume IV, Nomor 1• Juni 2012 iii

Page 6: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 10

Page 7: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 1

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Dosen Partimer (Lepas) Universitas Multimedia Nusantara email: [email protected]

ABSTRACT Theresearchexamineseffectoftheconfidencelevelofstudentsinsocialmediatocom-municatetotheirbuyingbehavior.Thetheoriesusedinthisresearchareimpersonalinterper-sonalcommunicationmodeldevelopedbyMillerDeVitocontinuumofinterpersonalandWordofMouthmodel’sIanSafko.Thisisaquantitativestudyusingassociativeeffectsamongvari-ablesKnowing,Confidenceandbuyingbehavior. Thusresearchusessemanticdifferentialscalewithastudentpopulationofinforma-tiontechnologyataprivateuniversityinJakartawithasimplesampleabout92peopleastherandomsamplingmodel.Fromthissurveyresultsthatthereisinfluencebetweenthelevelofconfidencetocommunicateinsocialmediapurchasingbehaviorstudent,butverysmall.Equa-tionthatthereisaY(buyingbehavior)=0.136+1.16X1(Confidence)+0.049X2(Knowing)

Keywords:internet,socialmedia,interpersonalcommunication,wordofmouth

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa

(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

1. PENDAHULUAN

Dunia saat ini sudah berkembang men-jadi kampung kecil seperti yang konseptual-isasikan oleh Mc Luhan. Kondisi dimana ti-dak ada lagi batas geografis, kekuatan politik, hukum dan ekonomi negara, semua yang ada adalah hubungan antar manusia atau interfaces. Konseptualisasi Mc Luhan ini menjadi terbukti dengan kehadiran internet, sebagai gawai super cepat dan handal untuk keperluan apapun. Pre-diksi bahwa interkoneksitas sosial merupakan

modal dasar agar jaringan informasi bergerak cepat dan berkembang sudah terbukti saat ini dengan maraknya berbagai bentuk jejaringan sosial yang pada banyak literatur disebut den-gan istilah social media. Dengan kemudahan akses informasi dan murahnya melakukan in-terkoneksi internet membuat setiap orang pasti menggunakan jejaringan sosial ini. Apalagi den-gan berkembangnya telepon cerdas blackberry dan android (Straubhaar and La Rose. 2004:20). Orang bisa dimana saja, kapan saja melakukan akses internet dan berhubungan den-

Page 8: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 12

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

gan orang lain dalam kisaran nano detik. Tidak ada kerahasiaan dan semua bisa dipertukarkan dengan orang lain demi mendapatkan masukkan dan pertimbangan dalam melakukan sesuatu, mulai dari sesuatu yang besar sampai yang se-pele (remeh temeh). Jejaringan sosial dijadikan patokan (referensi) orang melakukan sesuatu dan menentukan sikap. Tidak ada lagi keraguan dalam bersikap dan orang dapat menilai sesuatu lebih cepat dan dapat waspada terhadap sesuatu terlebih dahulu. Dari hasil penelitian survei terhadap 1.000 pembisnis di Amerika Serikat diketahui, bahwa ada 99,1% yang mengetahui jejarin-gan sosial dan imbasnya terhadap efek mereka bekerja dan beraktivitas (Safko, 2010: ix). Den-gan demikian jelas, bahwa jejaringan sosial bu-kanlah barang baru bagi kebanyakan orang dan di sini ada ketertarikan untuk mengkaji hal-hal penting dalam operasi kerja jejaringan sosial dan apa saja yang dilakukan di gawai tersebut? Ten-tu saja dalam tulisan ini tidak akan dibahas ten-tang bahasa pemrograman, atau stuktur arsitek data dari jejaringan sosial, namun akan dilihat dari sisi komunikasi yang menonjol, terutama sehubungan dengan tingkat kepercayaan netter terhadap isi informasi yang dapat dikategorikan sebagai pola berkomunikasi dalam jejaringan sosial di internet. Jejaringan sosial yang marak saat ini dapat dikategorikan dengan gawai keseharian manusia dalam berinteraksi dengan orang lain. Gambaran bahwa orang yang menggunakan internet akan asosial, mudah tersinggung dan menjadi aneh karena jauh dari kehidupan ma-nusia terbantahkan. Kondisi saat ini malah ter-balik, bahwa mereka yang menggunakan jeja-ringan sosial (socialmedia) lebih pro aktif dan peka dengan segala isu yang beredar di jejar-ingan sosial. Perhatian yang besar dengan hal ihwal di jejaringan sosial ini menjadikan dunia digital lebih interaktif dalam memaknai hubun-gan antar manusia. Pendapat yang menyebutkan bahwa di era digital yang ada adalah penguasaan akan informasi, bukan kapital (penguasaan alat-alat

produksi). Pemikiran model kapitalis mulai dit-inggalkan karena dianggap kuno oleh banyak orang. Informasi adalah modal utama dalam mereka berhubungan dengan orang lain, dan mereka yang tidak memiliki akan terlindas dan terpuruk (Straubhaar and La Rose, 2004: 48). Kondisi ini akhirnya yang membaiat bahwa memiliki informasi berarti harus mengecap bangku sekolah. Demikianlah pandangan kon-servatif dari orang-orang Asia, yang mengenal sistem hirarki patrilineal para aristokrat. Senti-men ini muncul karena memang negara-negara Asia dan Timur lebih menganut budaya konteks tinggi (high context culture). Kekuatan akan Raja, Kaisar dan Pemimpin adat masih kental dan semua dominasi hanya bisa dilawan dengan adanya kepandaian (kecerdasan) yang diakui secara akademis bangku sekolah. Tak heran akhirnya gelar kesarjanaan dianggap sebagai pengganti gelar kebang-sawanan dalam sistem aristokrat yang hi-lang karena dorongan angin keras demokrasi dalam konteks negara Republik. Kondisi sedemikian didukung oleh budaya konteks tinggi bangsa Asia dan Timur yang masih belum bisa meninggalkan budaya kraton dan istana yang dianggap adiluhung dan lebih agung daripada nilai dari manapun, termasuk budaya asing. Tingkat keterpengaruhan dalam konteks budaya tinggi inilah yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini, apakah orang Indonesia masih memegang nilai-nilai budaya. Jejaringan sosial dalam dunia internet (micro-blogging) atau social media dalam kategori; vlog, podscast, blog, lifecasting, followes,flaming,tags,SEOdanSAM (Safko, 2010:5). Social media, seperti; facebook, twitter, Linke-dIn, What ups atau blogging, dll. 2. KAJIAN TEORI2.1. Komunikasi Antar Pribadi Komunikasi antar pribadi adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih, fungsi komunikasi ini adalah un-tuk meningkatkan hubungan, menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi

Page 9: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 3

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

ketidakpastian, serta meningkatkan berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Budiman, 2009:3). Sedangkan menurut Beebe (2008:3) komunikasi antar pribadi adalah dis-tinctive, transaction form of human communica-tion involving mutual influence, usually for the purpose of managing relationships. Suatu bentuk transaksi komunikasi manusia dengan ciri khas melibatkan tindakan saling memengaruhi bertu-juan mengatur hubungan satu sama lain. Ada juga yang berpendapat komunikasi antar pribadi adalah komunikasi informal, dima-na seseorang tidaklah berbicara sebagai seseorang yang profesional atau komunikator komersial, tetapi lebih cenderung menjadi seorang teman yang lebih persuasif karena pengirim pesan tidak mempunyai kepentingan sama sekali atas tinda-kan si penerima setelah itu Prasetijo (2005: 131). Komunikasi antar pribadi ada dalam bentuk kontinum, mulai dari peran informasi pribadi yang berisi kepercayaan dan identitas pribadi seseorang yang berkaitan dengan peran individual dalam konteks pelanggan. Satu yang diakui bahwa peran pribadi ini sangat unik pada tiap kelompok dan orang. Peran kedua adalah

kehidupan sosial dan aturan pribadi dan ketiga adalah prediktif penjelasan data (Miller dalam Devito, 2009:5).

2.2. Elemen Komunikasi Antar Pribadi Elemen-elemen yang menjadi faktor utama dalam komunikasi antar pribadi antara lain (Cangara, 2005: 8) :1. Sumber : sumber komunikasi berupa orang, ataupun kelompok. 2. Pesan : sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan se-cara tatap muka atau melalui media komunikasi3. Media : alat yan digunakan untuk memindah-kan pesan dari sumber kepada penerima. 4. Penerima : pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber.5. Pengaruh : perbedaan antara apa yang dip-ikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.6. Tanggapan balik : salah satu bentuk dari pen-garuh yang telah yang berasal dari penerima7. Lingkungan : adalah faktor-faktor tertentu yang bisa mempengaruhi jalannya komunikasi, (Cangara, 2005: 8).

Sumber Pesan Media Penerima Pengaruh

Tanggapan Balik

Lingkungann

Gambar. 1 - Model Komunikasi Antar Pribadi

2.3. Perilaku KonsumenDefinisi perilaku konsumen adalah proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, mem-beli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertin-dak pasca konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya

(Kanuk dalam Prasejito, 2005: 9). Studi-studi perilaku konsumen adalah bagaimana pembuat keputusan (decision unit), baik individu, kelom-pok ataupun organisasi, dalam melakukan kepu-tusan beli atau melakukan transaksi pembelian suatu produk dan mengkonsumsinya.

Page 10: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 14

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Berbeda dengan itu Mangkunegara (2002:4) mendefinisikan perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengam-bilan keputusan dalam mendapatkan, meng-gunakan barang-barang atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi lingkungan.

Peneliti menyimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa perilaku konsumen adalah tindakan tindakan yang dilakukan indi-vidu, kelompok, atau organisasi dalam menca-ri, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan tindakan setelah menggunakan produk atau jasa yang diharapkan bisa memenuhi kebutu-hannya (Prasetijo, 2005: 14).

2.4. Proses Terbentuknya Perilaku Konsumen Proses terbentuknya perilaku konsumen meliputi beberapa tahapan, yakni (Prasetijo, 2005: 10) : 1. Tahap perolehan (acquisition)Mencari (searching) dan membeli (purchasing)2. Tahap konsumsi (consumption)Menggunakan (using) dan mengevaluasi (eval-uating)3. Tahap tindakan Pasca Beli (disposition)Apa yang dilakukan oleh konsumen setelah produk itu digunakan atau dikonsumsi.

Gambar. 2 - Model Perilaku Konsumen

2.5. Faktor Dalam Perilaku Konsumen Ada dua kelompok faktor yang mem-pengaruhi perilaku konsumen menurut Sujoto (2009: 60) :1. Sifat individuala. Faktor kebudayaanPerilaku setiap orang sangat dipengaruhi oleh ke-budayaan dimana mereka hidup dan tinggal

b. Faktor sosialPerilaku seseorang ditentukan oleh berbagai fak-tor sosial seperti keanggotannya dalam kelompok sosial, keluarga, dan kedudukannya di masyarakat

Page 11: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 5

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

c. Faktor orang peroranganPerilaku seseorang ditentukan berbagai faktor pribadi atau Individual, seperti usia, gender, peker-jaan, dan jumlah penghasilan tetap.

d. Faktor PsikologisPerilaku konsumen dipengaruhi oleh tiga macam faktor psikologis yakni motivasi, per-sepsi, dan kepercayaan diri

2. Proses pengambilan keputusanProses pengambilan keputusan ditentukan oleh 5 tahap yakni :a. Pengenalan kebutuhan, rasa membutuhkan sesuatu yang disebabkan dorongan untuk mem-beli suatu produk apabila mendapat pengaruh dari luar diri konsumen

b. Pencarian alternatif informasi, internsitas upa-ya konsumen untuk mencari informasi tentang produk yang mereka butuhkan.

c. Penilaian terhadap berbagai macam informasi yang terkumpul , mempergunakan informasi tentang berbagai macam produk yang berhasil mereka butuhkan sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan pilihan pada produk dengan merek dagang tertentu.

d. Keputusan untuk membeli, bila tidak ada fak-tor-faktor lain yang mempengaruhinya biasanya konsumen membeli produk dengan merek ter-tentu yang menjanjikan paling banyak atribut yang dianggap sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.

e. Evaluasi sesudah pembelian, pengalaman kon-sumen setelah menggunakan produk yang mem-berikan pengaruh dalam pengambilan keputusan untuk membeli lagi produk yang sama saat mer-eka membutuhkannya lagi.

3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan model anal-isis data kunatitatif dengan paradigma positivis-tik. Skala yang digunakan adalah Semantic Dif-

ferential, sehingga data yang dihasilkan berupa rasio dan interval, dengan rentang nilai 1 s/d 9. Jenis penelitian adalah penelitian assosiatif sebab akibat dengan pengolahan data menggu-nakan uji regresi. Penelitian menggunakan dua variabel yakni; Tingkat Kepercayaan Berkomu-nikasi Mahasiswa Dalam mengakses Jejaringan Sosial dengan Perilaku Beli Mahasiswa di dunia Maya. Guna mengetahui kualitas penelitian maka digunakan uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan nilai Alpha Cronbach un-tuk melihat nilai keajegan (konstan) penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan populasi mahasiswa jurusan Teknik Informatika di satu universitas swasta di Jakarta. Jumlah populasi sebesar 1.200 orang dengan menggunakan ru-mus Slovin maka didapat nilai sampel sebesar 92 orang Penarikan sampel dengan menggunakan Simpel Random Sampling dengan menggunak-an penommoran yang kemudian diacak nilainya untuk dimasukkan sebagai obyek dalam pene-litian. Dalam pelaksanaannya penelitian ini di-lakukan selama dua bulan dengan penyebaran kuesioner secara insidental.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEM-BAHASAN

4.1 Kualitas Penelitian 4.1.1. Uji Validitas Penelitian Penelitian ini melakukan penyebaran uji kelayakan pre-test pada 30 orang respon-den. Tujuannya untuk mengetahui pemahaman terhadap pernyataan-pernyataan pada butir kue-sioner. Oleh sebab itu dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen penelitian, bila nilai validitas dan reliabilitas yang rendah hal itu menunjukkan bahwa kalimat dari per-nyataan-pernyataan dalam kuesioner sulit dipa-hami oleh responden. Dengan demikian harus dilakukan perbaikan pada indikator instrumen penelitian. Uji validitas digunakan untuk men-getahui kelayakan butir-butir dalam suatu daf-tar (konstruk) pertanyaan dalam mendefinisi-

Page 12: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 16

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

kan suatu variabel. Daftar pertanyaan ini pada umumnya mendukung suatu kelompok variabel tertentu. (Nugroho, 2005: 67). Penentu pertan-yaan valid atau tidak, peneliti menggunakan ni-lai r-tabel yang diperoleh melalui df (degreeoffreedom) = n – k. k merupakan jumlah butir per-tanyaan dalam suatu variabel. Peneliti melaku-kan pre-test terhadap 30 orang responden den-gan demikian perhitungannya adalah Variabel Kepercayaan Berkomunikasi Jejarin-gan Social Media Mahasiswa

Tabel 1 – Validitas Variabel Tingkat kepercayaan berkomunikasi Maha-siswa di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) (X)

df = 30 – 10 = 20, r-tabel 20 = 0,423 dengan α sebesar 5%

Variabel Perilaku BeliDf = 30 – 8 = 22r-tabel 22 = 0,404 dengan α sebesar 5%

Dengan demikian butir pertanyaan yang diaju-kan responden dikatakan valid jika nilai r-hitung yang merupakan nilai dari CorrectedItem-TotalCorrelation> Dari r-tabel.

Terlihat bahwa nilai Corrected Item-Total Correlation sebagai nilai r-hitung > r-tabel yakni 0,423. Sehingga dapat dikatakan statemen dalam pertanyaan yang valid kuesioner memiliki nilai

validitas yang sesuai dengan diharapkan. Dengan demikian semua masuk dalam daerah HA, peno-lakan H0. Dalam uji validitas penelitian untuk melihat ketepatan jawaban responden.

Tabel 2 - Hasil Uji Validitas Variabel Perilaku Beli Mahasiswa (Y)

Page 13: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 7

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Berdasarkan uji validitas untuk variabel perilaku juga didapat bahwa semua pertanyaan dalam statemen kuesioner variabel dinyatakan valid karena nilai r-hitung yang berasal dari Corrected Item-Total Correlation > (lebih be-sar) dari r-tabel yakni 0,404. Dengan demikian, maka uji hipotesis validitas berada pada ruang HA, dengan penolakan H0.

4.1.2. Uji Reliabilitas Penelitian

Terlihat nilai Cronbach’s Alpha untuk variabel Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jeja-ringan Sosial Internet (Social Media) adalah sebesar 0,956 termasuk dalam koefisien yang

Tabel 3 - Nilai Reliabilitas Variabel Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan

Sosial Internet (Social Media) (X)

sangat tinggi. Dengan demikian berada pada wilayah HA dengan penolakan H0.

Terlihat, bahwa nilai Cronbach’s Alpha untuk variabel perilaku beli mahasiswa adalah sebesar 0,960, dan nilai tersebut termasuk golongan sangat tinggi. Dengan demikian maka penelitian ini dalam uji reliabilitas berada pada ruang penerimaan HA dengan penolakan H0.

Dari pengujian validitas dan reliabilitas jelas penelitian ini memiliki kualitas penelitian yang tinggi karena semua berada pada penerimaan HA dengan penolakan H0. Dalam rentang ni-lai juga penelitian menunjukkan memiliki nilai obyektivitas yang tinggi, sehingga penelitian

Tabel 4 - Nilai Reliabilitas Variabel Perilaku Beli Mahasiswa (Y)

Page 14: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

bisa dilanjutkan untuk diuji dalam hipotesis hubungan asosiatif untuk model bivariat.

4.2. Analisis Deskriptif Sebelum dilakukan penelitian analitis terlebih dahulu dilakukan analisis deskriptif, maksudnya adalah data deskriptif tentang re-sponden yang ada dapat mendukung pembena-ran bahwa responden adalah pihak yang tepat menjadi sumber utama penelitian.

4.2.1. Data Demografi

Dari tabel 5 terlihat bahwa responden yang terjadi kebanyakan adalah mereka yang beru-sia 20 tahun yakni ada 45 orang (48,9%) sedangkan yang kedua adalah mereka beru-sia 19 tahun ada 30 orang (32,6%). Dengan demikian jelas bahwa responden dalam pene-litian ini adalah mereka yang sudah mengenal dan akrab dengan gawai internet, karena usia sedemikian tergolong muda dan pasti gan-drung dengan internet.

Tabel. 5 - Usia responden

Tabel. 6 – Frekuensi Responden Mengakses internet

Gambar. 4 – Frekuensi menggunakan internet

Gambar. 3 – Jenjang Usia Responden

Dari tabel data 6 di atas juga terlihat bahwa frekuensi responden dalam mengakses in-ternet juga tinggi, terlihat responden yang setiap saat mengakses internet ada 56 orang (60,9% ) adalah jumlah tertinggi. Sedangkan minimal responden mengakses sekali dalam sehari ada 30 orang (32,6%) dan mereka yang dalam 2-3 hari sekali mengakses ada 6 orang (6,5%). Dengan demikian dapat dik-etahui bahwa memang frekuensi mengakses internet mereka tergolong tinggi ada sekitar hampir seluruhnya mengakses internet dalam hidup keseharian mereka.

Tabel. 7 - Media Yang Digunakan Dalam Akses Internet

8

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Page 15: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Dari data pada tabel 7 diketahui bahwa re-sponden kebanyakan mengakses internet dengan menggunakan komputer/laptop, ada 60 orang (65,2%). Sedangkan sisanya menggunakan akses melalui Blackberry 16 orang (17,4%). Mereka yang mengakses in-ternet melalui Warnet tergolong kecil hanya 10 orang (10,9%), sedangkan yang men-gakses internet melalui telepon gengganm (handphone) adalah yang terendah sebesar 6 orang (6,5%). Dengan demikian jelas re-sponden adalah mereka yang mengakses internet dalam kondisi serius dan bukan un-tuk hanya pengisi waktu luang, atau hanya iseng-iseng daja, terlihat dalam penggu-naan gawai akses komputer yang berarti sedemikian perlu informasi yang ada dalam internet, bukan sepintas lalu saja.

Gambar. 5 – Media Akses Internet Yang Digunakan

Tabel 8 - Seberapa sering Responden mengakses kaskus.us

Tabel 9 - Descriptive Statistics

Dari data tabel. 8 di atas jelas terlihat bahwa pal-ing banyak responden dalam seminggu meng-gunakan 3-5 kali ada 53 orang (57,6%). Dengan demikian dapat diketahui bahwa memang re-sponden bukan pihak yang setiap hari mengak-ses jejaringan ini namun dalam seminggu pasti mereka mengakses kaskus. Berbeda dengan ini ada sebanyak 17 responden (18,5%) yang mengaku mengakses kaskus 2-3 kali dalam seminggu. Jumlah ini termasuk besar yang arti-nya mereka jarang sekali menggunakan kaskus. Sedangkan responden yang mengaku mengak-ses setiap hari kaskus hanya ada 9 orang (9,8%). Dengan demikian kemungkinan pembenaran dan jawaban subyektif terhadap penelitian ini kecil, karena responden termasuk yang sedang dalam mengakses kaskus.

4.2.2. Analisis Deskriptif Pervariabel Dari pengujian deskriptif didapat nilai mean dari masing-masing variabel sedemikian;

Gambar. 6 – Frekuensi Menggunakan Social Media Kaskus

9

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Page 16: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Variabel Kepercayaan Berkomunikasi di je-jaringan sosial (Social media) mahasiswa terdiri dari 2 (dua) sub variabel, yakni Keyakinan dan Knowing, sedangkan untuk perilaku beli tetap menggunakan satu varia-bel yaitu Perilaku Beli. Dari nilai Mean dik-etahui bahwa nilai tertinggi adalah Knowing (8,30). Artinya bahwa pemahaman maha-siswa tinggi tentang keberadaan Kaskus sebagai jejaringan sosial untuk forum jual beli. Namun bila melihat nilai keyakinan terlihat bahwa responden masih sangsi ten-tang keberadaan dan kebenaran melakukan transaksi di sana (5.00). Namun dari nilai Perilaku termasuk sedang karena responden masih sering juga melakukan jual beli lewat kaskus (6,34).

4.3. Uji Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Terha-dap Perilaku Beli Mahasiswa. Guna mengetahui apakah ada hubun-gan yang signifikan secara tepat maka digu-nakanlah uji hipotesis untuk penelitian. Den-gan demikian penelitian ini menggunakan hipotesis sebagai berikut;

H0 : Tidak ada pengaruh Tingkat Keper-cayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (social media) terhadap perilaku beli,

HA : Ada pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (social media) terhadap perilaku beli.

10

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Tabel 10 - Correlations

Tabel 11 - Model Summary (c)

Tabel 12 - Coefficients (a)

Dari uji korelasi diketahui bahwa antara varia-bel Knowing dengan Perilaku beli nilai r sebe-sar 0,410 dan nilai pvalue sebesar 0,000 karena nilai tersebut di bawah 0,05 dengan demikian dapat dikatakan ada hubungan antar variabel tersebut sebesar 0,410 tergolong lemah. Sedan-gkan untuk hubungan variabel Keyakinan den-gan Knowing terlihat nilai 0,536 dengan nilai pvalue sebesar 0,000 karena nilai tersebut di bawah 0,05 maka dapat dikatakan ada hubungan antar variabel dengan kategori sedang. Berbeda dengan itu hubungan antar variabel Keyakinan dengan perilaku bernilai 0,711 dengan p value sebesar 0,00 karena berada di bawah 0,05, maka ada hubungan di kedua variabel dalam kategori kuat karena berada di nilai 0,711.

a Predictors: (Constant), KEYAKINANb Predictors: (Constant), KEYAKINAN, KNOWINGc DependentVariable: PERILAKU BELI

Guna mengetahui berapa kuat hubungan antar kedua variabel, dapat diketahui bahwa ni-lai 0,506 dengan kategori ada pengaruh tetapi hanya dalam kategori sedang, karena berada di atas 0,5. Artinya ada pengaruh signifikan antara keyakinan dan pengetahuan akan kaskus re-sponden terhadap perilaku beli mereka di dunia maya.

a DependentVariable: KEYAKINAN

Page 17: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 11

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Tabel 12 - Collinearity Diagnostics(a)

Tabel 8 - Bentuk Grafik Uji Kolinearitas

Guna mengetahui nilai pertambahan atau pen-gurangan antar variabel maka dapat dijelaskan dari persamaan di atas. Dengan demikian maka persamaan yang dapat dibuat adalah;

Y(perilaku beli) = 0,136 +1,16X1 (Keyakinan) + 0,049X2 (Knowing)

Apakah persamaan ini bisa berlaku, maka dalam uji colinearity sebagai berikut;

a DependentVariable: KEYAKINAN

Dari uji kolinearitas diketahui nilai Eigenvalue Knowing adalah 0,020 dankeyakinan adalah 0,014 dengan demikian keduanya di bawah 0,05 dengan demikian berada di ruang HA, maka persamaan tersebut dapat berlaku dalam pene-litian ini. Bila digambarkan dalam bentuk grafik, sedemikian:

Terlihat bahwa dalam gambar grafik data tersebar merata sehingga dapat di-katakan bahwa penelitian ini memang bisa menggunakan rumus yang ada, karena antar data seimbang.

5. KESIMPULAN

1. Ada pengaruh antara tingkat kepercayaan berkomunikasi di jejaringan sosial internet (so-cial media) mahasiswa terhadap perilaku beli mereka, namun pengaruhnya dalam kategori biasa saja.

2. Pengetahuan mahasiswa terhadap kaskus su-dah tinggi, namun pemahaman tersebut tidak menggiring pada perilaku beli hanya kepada keyakinan mereka terhadap kaskus.

3.Tingkat kepercayaan berkomunikasi dan perilaku beli mahasiswa dalam menggunakan kaskus hanya dalam kategori biasa saja (sedang), meski dalam mengakses tergolong sering.

Page 18: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

DAFTAR PUSTAKA

Beebe, Stephen. 2008. InterpersonalCommunI cation:RelatingtoOthers. United States: Pearson Education Inc.Budiman, C. Hartati. 2009. KomunikasiBisnis Efektif. Tangerang: PT Pustaka Mandiri.Cangara, Hafied. 2005. PengantarIlmuKomu nikasi. Jakarta Raja Grafindo.Devito, Joseph. A. 2009. TheInterpersonal CommunicationBook. Boston: Pearson

Prasetijo, Ristiyanti dan Jhon J.O. Ihalauw. 2005. PerilakuKonsumen. Yogyakarta: ANDI. Safko, Lon. 2010. TheSocialmediabible:tac- tics,tools,andstrategiesforbusinees success. 2nd.ed. New Jersey: Wiley. Straubhaar and La Rose. 2004. Medianow: understandingmedia,culture,andtech nology. Belmont: Wadsworth.Sutojo, Siswanto. 2009. ManajemenPemasa- ran;UntukEksekutifNon-Pemasaran. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka.

12

Pengaruh Tingkat Kepercayaan Berkomunikasi di Jejaringan Sosial Internet (Social Media) Terhadap Perilaku Beli Mahasiswa(Survei Asosiatif Netter Kaskus Mahasiwa Jurusan Teknologi Informasi di beberapa Kampus di Jakarta)

• Dr. Ilham Prisgunanto, SS, M.Si

Page 19: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 12 13

Dr. Irwansyah, MA

Dosen Teknologi Komunikasi di Universitas Indonesia, Universitas Multimedia Nusantara, Universitas Mercubuana, Universitas Pelita Harapan

dan Ketua Pusat Kajian (Laboratorium) Komunikasi Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

ABSTRAK Tahun2011merupakanerabaruteknologikomputasiawan(CloudComputing).Teknologikomputasiawanadalahsolusiteknologiinformasidankomunikasiyangmemberikankesempatankepadakonsumenuntukdapatmenyewalayananteknologidaripenyedia(provid-er).Penyediamemberikanjasapengelolaaninfrastruktur,platform,danaplikasijasateknologiinformasisehinggamemudahkankonsumentanpaharusberinvestasi.Hanyasaja,ketikamediabaikmediamassacetakdanmediaonlinemenyebarluaskaninformasitentangteknologikom-putasiawan,yangterjadiadalahpenggunaanistilah-istilahteknologiyangberadapadalevelpakar(expertsphere)yangsulitdimengertiolehmasyarakatluas.AnalisisyangdigunakanadalahtigakategoriteknologikomputasiawansepertiPlatformasaService(PaaS),Infra-structureasaService(IaaS),danSoftwareasaService(SaaS);dualapisandarimodelArnoldPaceysepertilapisanpakar(expertsphere)danpengguna(usersphere)dalampemanfaatanteknologi;danduapendekatandariArnoldPaceytentangpendekatanobyek(objectapproach)danmanusia(humanapproach).Denganmetodeanalisisisidiperolehbahwapemberitaanten-tangteknologikomputasiawanlebihbanyakpadakategoriPaaS,expertsphere,danobjectap-proach.Kemudianpenelitianinimemperlihatadanyakecenderunganpenggunaanbahasadantulisanwartawanyangtidakseimbang.Denganmenggunakananalisisframing,penelitianinimemperlihatkanadanyabingkaitertentuyangdilakukanolehwartawandalammenulisartikeldanberitaterkaitdenganteknologikomputasiawan.

Katakunci:TeknologiKomputasiAwan,LevelPakardanPengguna,PendekatanObyekdanManusia,BingkaiMedia

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

PENDAHULUAN Tahun 2011 adalah babak baru era transisi teknologi informasi dan komunika-si (TIK) dari komputasi berbasis klien atau server menuju ke komputasi awan atau cloudcomputing. Berbeda dengan komputasi klien atau server, komputasi awan memungkinkan

konsumen untuk menyewa layanan teknologi dari provider seperti software, penyimpanan, platform infrastruktur dan aplikasi layanan teknologi melalui jaringan internet. Dengan layanan komputasi awan, konsumen hanya menggunakan layanan sesuai yang dibutuhkan dan membayar sesuai layanan yang dipakai.

Page 20: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

14

Teknologi komputasi awan menguntungkan konsumen karena konsumen tidak perlu lagi mengeluarkan investasi besar-besaran untuk software dan aplikasi data, penyimpanannya dan perawatannya. Babak baru perkembangan komputasi awan ini ditandai dengan aksi peng-gelontoran dana investasi besar-besaran dari pemain-pemain besar TIK seperti IBM, Intel, Google, Fujitsu, dan Microsoft untuk mengem-bangkan bisnis komputasi awan. Dikatakan babak baru karena transisi menuju cloudcomputing pada dasarnya sudah dimulai sejak tahun 1960 ketika John McCar-thy (1960) memperkirakan suatu hari kom-putasi akan menjadi infrastruktur publik sep-erti listrik dan telepon. Visi tersebut kemudian dilanjutkan oleh Larry Ellison (1995) yang memunculkan ide network computing. Kuali-tas jaringan komputer yang belum memadai membuat network computing ditinggalkan. Baru kemudian di era 1990-an awal muncul konsep Application Service Provider (ASP) yang memungkinkan pemilik data centremenawarkan fasilitas ‘hosting’ aplikasi yang dapat diakses pelanggan melalui jaringan computer (Falahuddin, 2010). Lebih lanjut, jargon atau istilah cloud computing sendiri mulai menggema di indus-tri TIK pada tahun 2005 terutama sejak nama-nama besar di dunia TIK seperti Amazon.com meluncurkan AmazonElasticComputeCloud (EC2), kemudian Google dengan google appengine, dan IBM dengan BlueCloudInitiative. Babak demi babak transisi ini kemudian sam-pai pada tahun 2011 ketika IBM pada tanggal 7 Maret 2011 yang lalu mengumumkan investasi sebesar US$38 Miliar untuk membangun pu-sat data yang dinamai “IBMAsiaPacificCloudComputingDataCentre” di Singapura. Tidak main-main, fasilitas baru ini menambah ke-mampuan IBM sebagai jaringan pelayanan awan global yang terintegrasi dengan pusat-pusat IBM lainnya seperti Jerman, Kanada, dan Amerika Serikat. Integrasi juga mencakup 13 laboratorum awan global yang dimiliki IBM, yang tujuh diantaranya ada di Asia Pasifik –

China, India, Korea, Jepang, Hong Kong, Viet-nam dan Singapura (IBM, 2011). Sementara itu, Fujitsu juga meng-investasikan dana US$1.1 Miliar sekaligus melakukan pelatihan kepada 5.000 spesialis teknologi komputasi awan hingga akhir 2012 untuk mengembangkan infrastruktur kom-putasi awan Fujitsu “Infastructure as a Ser-vice” (IAAS). Dengan fasilitas IAAS yang sudah ada sebelumnya, pelayanan komputasi awan Fujitsu telah menghasilkan US$ 14 juta. Dengan pengembangan yang masih terus ber-jalan, Fujitsu menargetkan bisa mendapat-kan revenue dari bisnis layananan komputasi awan sebesar US$ 17 Miliar pada tahun 2016 (www.fujitsu.com, 2011). Meski tidak menyebutkan jumlah in-vestasinya, nama besar lain seperti Google dan Intel juga sudah mengarahkan gerbong bis-nisnya menuju pengembangan layanan cloud computing. Jika Google sudah bersiap dengan sistem operasi Cloud ChromeOS (Falahud-din, 2010), Intel juga menetapkan pergeseran menuju komputasi awan dalam visi Intel’s Cloud 2015 melalui IntelCloudBuilder (Intel, 2010). Dalam visi ini komputasi awan difed-erasi, diotomatisasi dan sadar akan kliennya. Terfederasi artinya komunikasi, data, dan lay-anan dapat berpindah secara mudah di dalam maupun melintasi infrastruktur komputasi awan. Terotomatisasi artinya layanan dan sumberdaya komputasi awan dapat ditetap-kan, ditempatkan dan disiapkan secara aman hampir tanpa interaksi manusia. Sementara yang dimaksud dengan sadar klien adalah aplikasi yang berbasis awan dapat secara dinamis memahami dan memberi keuntungan pada penggunanya dengan cara mengoptimal-kan kemampuan device yang dimiliki klien dan meningkatkan kapabilitas layanan dengan cara yang aman (Intel, 2010). Jika beberapa pemain besar sedang mulai membangun dan memantapkan infra-strukturnya untuk menuju era komputasi awan, Microsoft mengaku bahwa secara keseluruhan (all in) sudah berada di awan (Harms & Ya-

Page 21: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

15

martino, 2010). Microsoft sudah mulai me-langkah dengan layanan komersial “Softwareas a Service” (SaaS) dengan Office 365 dan platform komputasi awan yang disebut “Win-dowsAzure Platform”. Office 365 menonjol-kan aplikasi yang familiar dengan pelanggan misalnya pertukaran e-mail dan kolaborasi sharepoint melalui awan milik Microsoft. Se-mentara “WindowsAzure” merupakan platform komputasi awan yang memungkinkan pelang-gan untuk membangun sendiri aplikasinya dan mengoperasikan IT-nya dengan cara aman dan terukur di dalam awan. Membentuk aplikasi yang terukur dan sempurna tidak mudah, oleh karena itu Microsoft membangun “WindowsAzure” dengan memanfaatkan keahlian ahli di Microsoft dalam membangun aplikasi yang memaksimalkan awan, misalnya “Office365”, “Bing” dan “WindowsLiveHotmail“ (Foley, 2011). Tidak hanya sekedar memindahkan mesin virtual ke dalam awan, Microsoft juga membangun platform sebagai layanan yang mengurangi kompleksitas pengembang dan administrator teknologi informasi (Harms & Yamartino, 2010). Dalam pengembangan komputasi awa-nnya Microsoft juga membangun hubungan dengan 600.000 rekanan yang tersebar di seki-tar 200 negara (Harms & Yamartino, 2010). Microsoft juga telah melayani jutaan bisnis dan berkolaborasi dengan ribuan rekanan di dalam transisi awan. Demi mengembangkan layanan komputasi awan yang paling aman, paling bisa diandalkan, paling tersedia dan paling terukur, Microsoft gencar mengadakan pengenalan dan edukasi teknologi komputa-si awan di negara-negara yang bekerja sama dengan Microsoft, salah satunya Indonesia (Harms & Yamartino, 2010). Tidak banyak yang tahu jika di Indo-nesia Microsoft telah melakukan pengenalan teknologi komputasi awan tidak hanya untuk dunia bisnis tetapi juga di dunia pendidikan. Sutanto Hartono (2010) mengatakan bahwa Microsoft membantu edukasi di Indonesia untuk menuju era digital dalam mewujudkan

knowledgebasesociety. Salah satu kerjasama yang dibangun adalah bersama dengan Pri-magama. Primagama saat ini telah mengadopsi layanan cloudcomputingdari Microsoft secara keseluruhan yang terdiri dari infrastruktur, platform, dan software karena menggunakan server Microsoft (Zuhri, 2011). Bahkan un-tuk memperkuat sosialisasi teknologi kom-putasi awan di Indonesia, Microsoft Indonesia juga menyelenggarakan kompetisi penulisan jurnalistik teknologi komputasi awan. Den-gan menggunakan tema “komputasi awan” diharapkan reporter sebagai ujung tombak sosialisasi dengan menggunakan media dapat memberikan penjelasan yang baik tentang komputasi awan. Hal ini dikatakan oleh Zuhri (2011) bahwa komputasi awan bukan hal baru dalam sektor teknologi informasi dan komuni-kasi, namun bagi masyarakat umum yang tidak terlalu bersinggungan dengan TIK, komputasi awan merupakan hal yang baru. Selama ini, teknologi komputasi awan belum banyak dimengerti oleh masyarakat awam dan terus dianggap sebagai barang baru yang sulit untuk dipahami. Hal ini salah satunya diakibatkan oleh pemberitaan me-dia massa baik media konvensional maupun media baru (online) di Indonesia yang mem-beritakan komputasi awan yang ditengarai menggunakan bahasa yang berada pada level expert sphere atau level pakar. Sehingga ar-tikel-artikel yang muncul menggunakan isti-lah-istilah teknologi yang hanya dimengerti oleh orang yang berkecimpung di dunia TIK. Padahal media dianggap sebagai saluran yang digunakan untuk membuat masyarakat melek terhadap teknologi (technological literacy). Media dianggap sebagai bagian dari sistem edukasi informal yang menyediakan kesem-patan untuk masyarakat untuk mempelajari dan menjadi terlibat dalam beragam isu yang berhubungan dengan teknologi. Media di-anggap memiliki dampak yang bisa diukur dalam membuat khalayak memperoleh pen-getahuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Miller, 2002).

Page 22: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

16

Penyebarluasan informasi tentang teknologi komputasi awan, yang dilakukan oleh media massa di Indonesia masih sering menggunakan istilah-istilah yang berada pada level pakar karena umumnya reporter yang meliput kegiatan-kegiatan yang terkait den-gan teknologi komputasi awan di Indonesia seringkali tidak memiliki latar belakang TIK. Selain itu seringkali media yang memberita-kan teknologi komputasi awan adalah media massa umum yang tidak memiliki segmentasi di bidang TIK. Sehingga jika di dalam me-dia massa umum yang tidak segmentasi TIK muncul liputan-liputan komputasi awan yang menggunakan bahasa level pakar, maka pem-baca umum yang tidak memiliki latar belakang TIK menjadi sulit memahami komputasi awan tersebut. Karena pemilihan kata, kalimat dan frase yang kurang sesuai dengan kebutuhan in-formasi khalayak umum yang notabene tidak semuanya memiliki dasar TIK, maka fung-si media yang membuat masyarakat melek teknologi sulit terpenuhi. Beranjak dari permasalahan tersebut maka penelitian ini mencoba menggali lebih dalam model dan jenis pemberitaan tentang teknologi komputasi awan yang dimuat oleh media massa baik itu media cetak atau media online. Adapun permasalahan dalam pene-litian ini diuraikan secara lebih rinci adalah: (1) media-media apa saja yang memberitakan perkembangan teknologi komputasi awan di Indonesia? (2) bagaimana media-media terse-but memberitakan teknologi komputasi awan? (3) bagaimana perbandingan lapisan (sphere) pada pemberitaan teknologi komputasi awan dalam pemberitaan media-media tersebut? Pertanyaan penelitian yang diajukan terkait dengan tujuan dan signifikansi pene-litian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis media yang memberitakan perkembangan teknologi komputasi awan di Indonesia, mengetahui kategori-kategori yang dibuat oleh media terkait dengan pemberitaan teknologi komputasi awan dan mengetahui perbandingan lapisan (sphere) yang terdapat

dalam pemberitaan teknologi komputasi awan di media massa dan online. Kemudian signifi-kansi teoritis dan akademis yang terkait bahwa belum adanya pengkajian teknologi komputasi awan secara konseptul dari perspektif teknolo-gi komunikasi khususnya dari perspektif media yang spesifik kepada reporternya. Sementara dalam konteks signifikansi praktis, peneli-tian memperlihatkan perlu adanya perubahan dalam gaya penulisan reporter terkait dengan pemberitaan dan peristiwa teknologi.

KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian ini menggunakan tiga kon-sep pemikiran untuk menganalisis pemberitaan teknologi komputasi awan. Konsep pemikiran yang pertama menjelaskan mengenai kom-putasi awan. Kemudian konsep pemikiran ked-ua menjelaskan budaya teknologi komputasi awan dan konsep pemikiran ketiga menjelas-kan mengenai agenda setting teknologi kom-putasi awan yang kemudian dijadikan dasar untuk melakukan framing.

Teknologi Komputasi Awan Komputasi awan muncul karena menin-gkatnya tuntutan permintaan pusat data (datacenter) dengan kapasitas tinggi dan sumber-daya yang semakin terintegrasi. Permintaan ini dibarengi dengan meningkatnya kebutuhan un-tuk mengelola pertumbuhan bisnis dan menin-gkatnya fleksibilitas TIK (Harms & Yamartino, 2010). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, komputasi awan berkembang secara bertahap dalam dua bentuk. Pertama dalam bentuk awan publik (publiccloud) yang dikembangkan oleh perusahaan internet, telekomunikasi, provider layanan hosting dan sebagainya. Bentuk yang kedua adalah awan pribadi atau awan perusa-haan (privatecloudorenterprisecloud) yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan dengan menggunakan firewall untuk penggu-naan internal organisasi (Intel, 2010). Selain tuntutan permintaan pusat data dan sum-berdaya yang terintegrasi, teknologi komputasi awan juga muncul karena adanya pergeseran

Page 23: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

17

yang mendasar dalam ekonomi TIK. Kom-putasi awan membuat standarisasi dan meng-umpulkan sumberdaya TIK serta mengotoma-tisasi beberapa tugas dan fungsi yang selama ini masih dikerjakan secara manual. Desain awan memfasilitasi konsumsi secara elastis dan fleksibel, layanan mandiri, dan harga yang sesuai dengan penggunaan fasilitas. Komputa-si awan juga memungkinkan infrastruktur TIK yang paling mendasar dapat diubah menjadi pusat data yang luas, sehingga secara ekono-mis, komputasi awan memberikan tiga keun-tungan (Intel, 2010). Keuntungan teknologi komputasi awan yang pertama adalah penghematan dari sisi supply, yaitu pusat data yang berskala luas (Large-datacenters–DC’s) dapat menghemat biaya yang dikeluarkan untuk server. Yang kedua pengkombinasian dari sisi permintaan. Pengkombinasian permintaan dari komputasi untuk melancarkan komunikasi memungkink-an peningkatan pemanfaatan server. Sementara yang terakhir adalah efisiensi multi sewa (mul-ty-tenancy) (Intel, 2010) . Ketika berganti ke dalam model aplikasi yang multi sewa, maka komputasi awan dapat menghemat biaya yang dikeluarkan untuk sewa dan pengelolaan ap-likasi (Harms & Yamartino, 2010). Secara praktis, komputasi awan memberikan keuntungan karena sifat dasar komputasi awan adalah menggunakan pusat data yang besar sehingga bisa menyebarkan sumberdaya komputasi dengan biaya yang jauh lebih murah dari pada menggunakan pusat data yang lebih kecil. Selain itu per-mintaan penyatuan (pooling) dalam suatu pusat data yang luas memungkinkan peing-katan pemanfaatan sumberdaya, terutama dalam awan publik (public cloud). Kemu-dian penyedia sewa aplikasi yang multise-wa (multy-tenancy) dapat menghemat biaya tenaga kerja dan perawatan aplikasi. Kom-putasi awan juga menjanjikan penawaran yang elastis dan ketangkasan yang memung-kinkan berkembangnya solusi dan aplikasi baru (Intel, 2010).

Komputasi awan memiliki layanan yang dapat dibagi menjadi tiga segmen. Seg-men tersebut adalah software (perangkat lu-nak), platform, dan infrastruktur. Masing-masing segmen ini memiliki tujuan berbeda dan menawarkan produk yang berbeda untuk bisnis dan individu di seluruh dunia. Layanan yang pertama adalah Software as a Service(SaaS), yaitu layanan yang berbasis pada kon-sep menyewakan software dari sebuah pro-vider layanan sehingga pelanggan tidak perlu membeli software. Dari SaaS, industri berpin-dah menuju PlatformasaService(PaaS) yang menawarkan pengembangan platform untuk para developer. Pengguna layanan ini membuat kode mereka sendiri, kemudian provider PaaS mengunggah dan menampilkannya di web. PaaS menyediakan layanan untuk mengem-bangkan, menguji, menyebarkan, menjadi host dan menjaga aplikasi di dalam lingkungan pengembangan yang sama. Segmen terakhir dari komputasi awan adalah InfrastructureasaService (IaaS) yang memungkinkan pengguna komputasi awan untuk membeli infrastuktur berdasarkan kebutuhan mereka. Keuntungan-nya adalah pengguna hanya membayar layanan sesuai dengan yang mereka gunakan, sehingga tidak perlu membayar mahal untuk membeli layanan yang pada dasarnya jarang digunakan (cloudtweaks.com, 2011).

Budaya Teknologi Konsep teknologi Arnold Pacey dapat digunakan untuk memahami budaya teknologi komputasi awan. Pacey (2000) membantu me-luruskan pemahaman tentang teknologi di era sebelumnya yang selalu diasosiasikan dengan mesin. Menurut Pacey, teknologi memiliki tiga aspek. Aspek pertama adalah aspek or-ganisasi yang merepresentasikan keran-keran administrasi, kebijakan publik yang berhubun-gan dengan aktifitas desainer, insinyur, teknisi, pekerja, dan juga kepedulian kepada peng-guna dan konsumen. Aspek kedua adalah as-pek teknikal yang berhubungan dengan mesin, teknik pengetahuan dan hal-hal penting lainnya

Page 24: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

18

yang memungkinkan teknologi dapat berjalan. Kedua aspek ini bersamaan dengan beragam keyakinan dan kebiasaan berpikir yang meru-pakan karakter dari aktivitas teknis dan ilmiah dapat diindikasikan sebagai aspek budaya dari teknologi. Kemudian, Pacey (2000) juga melihat adanya aspek organisasional yang mencak-up aktivitas ekonomi, industri, professional, pengguna dan konsumen. Sementara aspek teknis mencakup pengetahuan, keahlian dan teknik, peralatan, mesin, bahan kimia, sumber-daya, produk dan limbahnya. Sedangkan as-pek kultural mencakup tujuan, nilai dan kode etik, keyakinan pada kemajuan, kesadaran dan kreativitas. Dalam sebuah teknologi, selalu ada aspek teknis yang dapat menimbulkan masalah misalnya kerusakan alat atau teknologi terlalu sulit untuk digunakan. Kemudian secara organ-isasional, sering kali ada kesulitan dalam per-awatan (maintenance) teknologi. Kemudian teknologi selalu memiliki aspek budaya, yaitu teknologi yang diciptakan sesuai dengan bu-daya (keyakinan dan kebiasaan berpikir) para pencipta teknologi. Dari ketiga aspek ini maka dari segi utilisasi, teknologi dapat dibedakan menjadi dua ruang, yakni ruang ahli/pakar (ex-pertsphere) dan ruang pengguna (usersphere). Dengan menggunakan model Arnold Pacey (2000) mengenai tiga aspek teknologi dan dua sphere teknologi, maka penelitian ini menggali pemberitaan teknologi komputasi awan di media massa Indonesia. Berdasarkan tiga aspek teknologi Pacey, idealnya pemberi-taan di media massa mengenai teknologi kom-putasi awan juga mencakup ketiga area ini. Na-mun pada kenyataannya baik dari penciptaan, pelayanan maupun ulasan di media sering kali terjadi ketimpangan antara ketiga area terse-but. Begitu pula dengan pembagian ruang teknologi pada ulasan media. Ulasan teknologi pada media harus mengakomodasi kedua ru-ang, baik expert dan user secara proporsional. Adanya dua lapisan: pakar (expertsphere) dan pengguna (user sphere) dalam pemanfaatan teknologi, penelitian ini bermaksud membedah

pemberitaan-pemberitaan media massa di In-donesia mengenai teknologi komputasi awan. Dengan dua sphere Pacey, penelitian ini ber-maksud mencari tahu kecenderungan penggu-naan bahasa dan tulisan wartawan yang tidak seimbang antara bahasa expert sphere dan user sphere. Sesuai konsep Pacey, idealnya penu-lisan artikel teknologi komputasi awan pada media massa di Indonesia tidak hanya dibatasi pada hal teknis, namun juga memperhatikan dimensi lain seperti politik, sosial, dan eko-nomi untuk menyelaraskan ruang expert dan ruang user dalam ulasan di media. Kemudian dari tiga aspek teknologi, Pacey (2001) juga mengungkapkan adanya dua pendekatan pada teknologi yaitu pendeka-tan objek (object approach) dan pendekatan manusia (humanapproach). Perbedaan antara pendekatan obyek dan pendekatan manusia muncul karena adanya dua ide dasar yang ada. Disatu sisi, ada komitmen yang nyata pada kemanusiaan dan niat yang benar-benar murni berpusatkan pada kehidupan para ilmuwan dan insinyur. Namun di sisi lain ada antusiasme dan dorongan yang berhubungan dengan mesin yang berkekuatan tinggi, yang membuat pola visual dan eksplorasi yang sama sekali tidak memiliki kaitan langsung dengan hal-hal yang berhubungan dengan manusia (Pacey, 2001). Agenda Setting Teknologi Komputasi Awan Teori agenda setting yang dikemukakan oleh Maxwell Mc Combs dan Donald Shaw (1972) adalah salah satu teori tentang proses dampak media atau efek komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya. Teori ini ter-masuk dalam Phase 3 dari ThePrimesOfMe-diaEffectyakniPowerfulMediaRediscovered (McQuail, 2000). Agenda setting menggam-barkan kekuatan pengaruh media yang sangat kuat terhadap pembentukan opini masyara-kat. ”… media massa dengan memberikan perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terha-dap pendapat umum. Orang akan cenderung mengetahui tentang hal-hal yang diberitakan

Page 25: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

19

media massa dan menerima susunan prioritas yang diberikan media massa terhadap isu-isu yang berbeda” (Sendjaja, 2000: 1999). Me-dia massa memiliki kemampuan untuk mem-beritahukan kepada masyarakat atau khalayak tentang isu-isu tertentu yang dianggap penting dan kemudian khalayak tidak hanya mempe-lajari dan memahami isu-isu pemberitaan tapi juga seberapa penting arti suatu isu atau topik berdasarkan cara media massa memberikan penekanan terhadap isu tersebut. Jadi sesuatu yang dianggap penting dan menjadi agenda media maka itu pulalah yang juga dianggap penting dan menjadi me-dia bagi khalayak. Menurut Bernard Cohen, "Thepressmaynotbesuccessfulmuchofthetimeintellingitsreaderswhattothink,butitis stunningly successful in telling its readerswhat to think about" (1963: 13). Untuk itu, media melakukan seleksi sebelum melaporkan berita kemudian melakukan gatekeeping terha-dap informasi. Kemudian media membuat pili-han terhadap sesuatu yang akan diberitakan. Dengan demikian sesuatu yang diketahui oleh khalayak pada umumnya merupakan hasil dari mediagatekeeping (Shoemaker & Vos, 2009). Ada tiga proses agenda setting : Perta-ma, media agenda yaitu ketika isu didiskusikan dalam media. Kedua, publicagendayaitu ke-tika isu didiskusikan dan secara pribadi sesuai dengan khalayak. Ketiga, policyagenda yaitu pada saat para pembuat kebijaksanaan me-nyadari pentingnya isu tersebut. Secara umum, ketiga proses agenda setting saling terkait satu sama lain, agenda media dapat mempengaruhi agenda publik, dan agenda publiklah yang nantinya akan menentukan agenda kebijakan. Namun, saling berkaitannya variabel-variabel tersebut bisa jadi tidaklah linear, melainkan bisa timbal balik, hanya besar dan luasnya tingkat keterpengaruhan itu bisa dijadikan ba-han kajian lanjut (McQuail, 2000). Kekuatan media banyak bergantung kepada hubungannya dengan pusat kekuasaan. Jika media erat hubungannya dengan para elit kekuasaan, maka akan terpengaruh oleh kekua-

saan, dan media agenda juga bisa terpengaruh olehnya. Sehingga keadaan ini membuat me-dia bisa menjadi bagian dari ideologi dominan dalam masyarakat, dan jika ini terjadi, maka pada gilirannya ideologi dominan tersebut akan merembes ke dalam agenda publik. Jadi media massa mempunyai kemampuan untuk memilih dan menekankan topik tertentu yang dianggap-nya penting (menetapkan ‘agenda’) sehingga membuat publik berpikir bahwa isu yang dipi-lih media itu penting (McQuail, 2000). Eksplorasi pada efek ageda setting telah mengobservasi fenomena komunikasi massa dari berbagai perspektif. Salah satunya adalah tipologi Acapulco (McCombs, 1981 dalam McCombs, 2005) yang dapat digunakan untuk menerangkan agenda setting. Tipologi Acapul-co terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi per-tama, fokus pada keseluruhan item-item yang paling mengartikan suatu agenda kemudian di-mensi kedua, membagi pengukuran kesesuaian agenda media dengan agenda publik menjadi dua, mendeskripsikan pengukuran keseluruhan grup atau populasi atau mendeskripsikan pen-gukuran secara individu (McCombs, 2005). Tipologi Acapulco juga terdiri dari em-pat perspektif; yaitu perspektif pertama, dari perspektif agenda media, nilai kepentingan dari sebuah isu dapat dilihat dari jumlah total artikel yang membahas tentang isu tersebut. Kemudian dari perspektif publik, dapat dilihat berdasarkan jumlah khalayak yang “tergerak” setelah isu tersebut dijadikan perhatian publik. Selanjutnya perspektif kedua, hampir sama dengan perspektif pertama, hanya pada pers-pektif ini fokusnya lebih pada agenda publik secara individu. Sedangkan perspektif ketiga, fokus pada tingkat koresponden antara agenda media dan agenda publik yang naik turun ber-dasarkan waktu. Terakhir perspektif keempat, fokus pada individu di tingkat kepentingan tunggal agenda (McCombs, 2005). Agenda setting menggambarkan kekua-tan pengaruh media yang sangat kuat dalam pembentukan opini masyarakat. Media massa mempunyai kemampuan untuk memilih dan

Page 26: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

20

menekankan topik tertentu yang dianggap-nya penting (menetapkan ‘agenda’ / agenda media) sehingga membuat publik berpikir bahwa isu yang dipilih media itu penting dan menjadi agenda publik. Menurut teori Agenda Setting ada tiga proses agenda set-ting yakni media agenda, public agenda dan policyagenda(McCombs, 2005). Pada penelitian ini teori agenda setting difokus-kan untuk melihat agenda media.

METODOLOGI Penelitian ini menganalisis pemberitaan media di Indonesia baik cetak maupun online mengenai teknologi komputasi awan selama periode November 2010 hingga Februari 2011. Periode ini berdasarkan periode yang digunak-an oleh Microsoft Indonesia dalam melaku-kan kompetisi penulisan jurnalistik teknologi komputasi awan. Pengumuman periode ini telah dilakukan pada bulan Maret 2011 yang lalu. Kemudian dengan menggunakan metode analisis isi yang dikembangkan dalam analisis framing, penelitian ini memperlihatkan adanya bingkai tertentu yang dilakukan oleh wartawan dalam menulis artikel dan berita terkait dengan teknologi komputasi awan. Untuk memudah-kan pengumpulan data melalui studi literature yaitu menganalisa artikel, maka dipergunakan kategorisasi dan penggunaan indikator atau kata kunci. Kategorisasi dan kata indikator ini dibuat sesuai dengan permasalah penelitian. Dalam permasalahan penelitian ter-dapat tiga pertanyaan yang dapat dijawab den-gan menggunkan pendekatan-pendekatan yang dijabarkan dalam kerangka konsep. Untuk menjelaskan cara media-media di Indonesia memberitakan teknologi komputasi awan di-gunakan dua kategori. Kategori pertama adalah pendekatan atau fokus yang memiliki dua indi-kator yaitu fokus pada obyek yang menjelas-kan bahwa artikel lebih menekankan pada as-pek teknis perkembangan teknologi, dan fokus pada manusia yang menjelaskan bahwa artikel lebih menekankan pada pengembangan ke-mampuan manusia dengan adanya teknologi.

Kategori kedua adalah layanan yang terbagi dalam tiga indikator yaitu PlatformasaService (PaaS), SoftwareasaService (SaaS) dan Infra-structureasaService (IaaS) yang menjelaskan kecenderungan media massa Indonesia dalam membahas layanan komputasi awan. Katego-ri terakhir yaitu kategori lapisan digunakan untuk menjawab pertanyaan perbandingan lapisan (sphere) pada pemberitaan teknologi komputasi awan di media massa. Kategori ini memiliki dua indikator yaitu lapisan pengguna (usersphere) dan lapisan ahli (expertsphere) yang dapat menganalisa kecenderungan pem-beritaan artikel komputasi awan di Indonesia. Setelah data kualitatif telah terkumpul seluruhnya, selanjutnya dilakukan pengko-dean. Analisis data dilakukan pada setiap kode atau kategori. Dalam penelitian ini digunakan dua coder yang masing-masing menghasilkan coding dari seluruh artikel yang dianalisis. Ke-mudian hasil kategori dari dua coder diuji reli-abilitasnya dengan menggunakan rumus Holsti (1969). Coefisien reliabilitas (CR) diperoleh dengan pembagian dari jumlah pernyataan yang disetujui oleh dua coder (M) dengan jum-lah objek yang dikategorikan (Holsti, 1969). Dari hasil perhitungan coefisien reli-abitas, maka ditemukan observed agreement yang diperoleh dari penelitian. Hasil pengujian reliabilitas antar coder dengan rumus Hostli memperlihatkan angka 0.96 yang berarti bah-wa terdapat 96 persen tingkat kesepakatan yang terjadi antara dua coder. Hasil pengkod-ingan yang tidak sesuai antara kedua coder dikeluarkan dari analisis. Kemudian dari hasil yang terbanyak secara kuantiatif (frekuensi tertinggi) dari setiap kategori dipilih masing-masing tiga artikel menjadi bahan dasar untuk melakukan framing. Pemilihan tiga artikel dari masing-masing kategori berdasarkan pada tiga artikel yang berada pada tiga rangking di atas yang sering muncul di setiap kategori. Metode framing yang digunakan adalah model Pan dan Konsicki. Hal ini dise-babkan karena model Pan dan Konsicki (2001) berasumsi bahwa setiap berita mempunyai

Page 27: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

21

frame yang berfungsi sebagai pusat dari organ-isasi ide. Frame ini merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, seperti kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat terten-tu, ke dalam teks secara keseluruhan. Dalam pendekatan ini, perangkat framing dibagi ke dalam empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis, berhubungan dengan cara wartawan menyusun fakta berdasarkan peristiwa, per-nyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peris-tiwa. Pengamatan dilakukan pada headline, lead, latar belakang informasi, kutipan sumber, pernyataan, dan penutup. Kedua, struktur skrip atau terkait dengan kelengkapan berita. Hal ini berhubungan dengan wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Pengamatan kelengkapan berita dilihat dari what, who, where, when, why (5W) dan how (1H). Kemudian selanjutnya yang ketiga adalah struktur tematik. Hal ini berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pan-dangannya atas peristiwa. Pengamatan dilaku-kan ketika wartawan mengisahkan fakta secara detail, koherensi, bentuk kalimat, dan kata ganti. Indikatornya adalah adanya pernyataan dalam paragraf, preposisi, kalimat atau hubun-gan antar kalimat yang membentuk teks se-cara keseluruhan. Yang terakhir atau keempat adalah struktur retoris. Bagian ini berhubungan dengan cara wartawan menekankan fakta den-gan arti tertentu ke dalam berita. Pengamatan dilakukan pada leksikon, grafis, dan metafora. Indikator dilihat dari kata, idiom, gambar/foto, dan grafik. Dalam analisisnya, keempat struk-tur tersebut merupakan rangkaian yang dapat menunjukan framing dalam suatu media (Pan & Kosicki, 2001; Eriyanto, 2002).

HASIL DAN DISKUSI Dari hasil penelusuran artikel menge-nai teknologi komputasi awan selama periode November hingga Februari 2011, terdapat 23 media yang disepakati memberitakan secara khusus tentang teknologi komputasi awan. Sesuai dengan pertanyaan pertama, maka

penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat 10 media online (43,49%) dan 13 (56,51%) di-antaranya adalah media cetak. Dari 13 media cetak yang mengulas mengenai teknologi kom-putasi awan ini, hanya ada satu (7,69%) yang berasal dari majalah, sementara 12 (92,31%) lainnya adalah surat kabar. Kemudian dari 23 media massa yang dianalisis, terkumpul dan disepakati 35 artikel yang membahas teknologi komputasi awan. Untuk menganalisa artikel-artikel ini digunak-an tiga kategori yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan kedua dalam penelitian ini. Kategori pertama adalah kategori fokus atau pendekatan yang terbagi menjadi dua indikator yaitu fokus atau pendekatan pada obyek dan fokus atau pendekatan pada manu-sia. Kategori kedua adalah kategori layanan, yaitu PaaS, SaaS, dan IaaS. Kedua kategori ini digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian cara media-media memberitakan teknologi komputasi awan. Kemudian kategori yang ketiga adalah kategori lapisan (sphere) yaitu lapisan ahli (expert sphere) dan lapisan pengguna (usersphere), yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ketiga, yaitu perbandingan lapisan (sphere) pada pem-beritaan teknologi dalam pemberitaan media massa di Indonesia.

Fokus atau Pendekatan Pemberitaan Komputasi Awan Untuk kategori pertama, yaitu fokus ar-tikel, dari 35 artikel terdapat 26 artikel (74,3%) yang berfokus pada cloud computing sebagai obyek dan praktek penggunaannya. Sementara itu artikel yang lebih memfokuskan pada ma-nusia sebagai pengguna yang dapat mening-katkan kemampuan dengan teknologi ini hanya ada sembilan (9) artikel (25,7%). Contoh ar-tikel yang memfokuskan pada objek teknologi komputasi awan adalah artikel di media yang berjudul “MicrosoftCloudSummit 2011:Mi-crosoftCloudRoad toPrepareForConsum-ers” (thepresidentpost.com, 2011). Dari segi sintaksis, artikel ini memiliki lead dan head-

Page 28: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

22

line yang orientasinya lebih ke obyek teknolo-gi daripada unsur manusia. Berikut adalah cup-likan lead artikel ini,

“Microsoft once again proves that the com-pany’s software development of cloud com-puting.Microsoft has more than 15 years experience in cloud computing and has a total commitment to develop….” (thepres-identpost.com, 21 Januari 2011).

Dari awal, artikel ini sudah lebih merujuk ke-pada obyek komputasi awan dibanding pening-katan kemampuan manusia dengan komputasi awan. Contoh lead lain yang lebih merujuk kepada objek daripada manusia adalah ar-tikel dari media online yang berjudul “Micro-softLyncDiperkenalkandiPasar Indonesia” (SWA-Online.com, 2010). Berikut adalah lead artikel ini,

“Apakah perusahaan anda sudah men-gaplikasikan Microsoft Lync?Jika belum, ada kabar baik karena per 17 Nopember 2010, konsumen bisnis di Indonesia dapat mengunduh versi percobaan Lynch secara cuma-cuma…dan dapat dibeli di pasa-ran…” (SWA-Online.com, 16 November 2010).

Cuplikan artikel di atas alih-alih bersifat in-formatif dengan fokus manusia dapat me-manfaatkan teknologi untuk meningkatkan kemampuan, namun ternyata justru seperti kalimat awal sebuah iklan mengenai teknologi baru. Selain cenderung berpromosi, artikel ini sangat fokus pada objek teknologi. Contoh artikel lain yang lebih cenderung mengarah pada obyek adalah artikel media online yang berjudul “MicrosoftReaches forCloudsWithIndonesia Ambitions” (thejakartaglobe.com, 2011) dengan lead sebagai berikut,

“Software giant Microsoft is looking to invest around $2,5 billion in Indonesia to develop cloud computing system….cloud comput-ing in which vast data banks and program can be eccesed remotely using a personal

comuter connected to the…” (thejakarta-globe.com, 21 Januari 2011).

Ketiga contoh artikel dari “thepresi-dentpost.com”, “Swa-Online” dan “the Ja-karta Globe” menunjukkan bahwa secara sintaksis, dari lead dan headline menggam-barkan body artikel yang lebih berfokus dari objek. Secara sintaksis, kecenderungan fokus pada objek juga diperlihatkan dari pernyata-an penutup, misalnya kalimat penutup artikel “MicrosoftLyncDiperkenalkandiPasarIndo-nesia” yang berbunyi “Lynconline termasukmenyediakan layanan pesan singkat, kehadi-ransecaramaya/online,konferensiaudiodanvideo serta telfon suara …” (SWA-Online.com, 16 November 2010), atau pada per-nyataan penutup artikel “Microsoft Reachesfor CloudsWith IndonesiaAmbitions” yang berbunyi “Sharp said competing firms offer-ingcloudserviceswoulddrivecompanieslikeMicrosoft to develop better technology andproducts..”(thepresidentpost.com, 21 Januari 2011). Selain itu kutipan-kutipan dari sumber juga lebih fokus pada pendekatan obyek dari pada manusia, misalnya “Microsoft is veryflexible,wedesignedaplanandasystemac-cordingtotheneedsofeverybusiness...” (the-presidentpost.com, 21 Januari 2011). Hal yang sama seperti “Cloudcomputingisnowthecen-terofallthethingswedo...it’sanevolutionofvirtualization...” (thejakartaglobe.com, 21 jan-uari 2011). Dari segi kelengkapan berita, ketiga artikel yang dianalisis ini memiliki unsur ber-ita 5 W dan 1 H yang lengkap dan memiliki pendekatan yang sangat fokus pada obyek. Umumnya unsur dalam artikel-artikel ini sama, yaitu unsur what adalah urgensi komputasi awan, unsur who adalah Microsoft atau pemi-lik layanan komputasi awan, unsur why adalah alasan-alasan yang menjelaskan urgensi kom-putasi awan, unsur when adalah tahun perkem-bangan komputasi awan dari tahun 2009 hing-ga 2011 dan unsur where adalah Indonesia sebagai lokasi yang dipandang urgent untuk

Page 29: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

23

mengembangkan komputasi awan. Sedangkan untuk unsur how cara penyebaran teknologi komputasi awan di Indonesia misalnya pada kalimat “kamidapatmembangunsolusiinidiatas sistem inidanbekerjadalam jangkauanset sistem yang terluas..”(SWA-Online.com, 16 November 2010). Kemudian di media on-line tertulis,

“Through cloud summit participants can obtain the latest information about Cloud that delivered by a number of internation-al expert speakers as well as to study the opportunity to begin to make the transi-tion cloud, through a number of birds and plans…”(thepresidentpost.com, 21 Janu-ari 2011).

Dari segi tematik atau cara wartawan menulis fakta dan dari segi retoris atau cara wartawan menekankan fakta, paragraf-paragraf yang di-gunakan dan kata-kata juga idiom juga lebih fokus pada pendekatan secara obyek. Mis-alnya saja “Microsoft once again proves thatthe company’s software development worldis the leader in the development of cloudcomputing...”(thepresidentpost, 21 Januari 2011). Kemudian seperti pernyataan penutup “Now, all the company needs is a computerandbroadband(tobenefitfrom)cloudcomput-ing...” (thejakartaglobe.com, 21 Januari 2011), yang jelas-jelas tidak menggunakan pendeka-tan manusia sama sekali karena menekankan bahwa dalam era komputasi awan, yang dibu-tuhkan hanya sebuah komputer dan jaringan broadband, tanpa menyebut unsur manusia.

Pemberitaan Layanan Komputasi Awan Kategori yang kedua adalah kategori layanan yang dapat digunakan untuk mengeta-hui kecenderungan artikel-artikel media massa dan online di Indonesia dalam membahas lay-anan komputasi awan. Hasil analisa menunjuk-kan bahwa dari 35 artikel terdapat 11 artikel (31,42%) yang mengupas semua tiga layanan yaitu platformasaservice (PaaS), softwareasaservice (SaaS), dan infrastrukturasaservice

(IaaS). Namun demikian, yang paling banyak menjadi fokus artikel dari sisi layanan kom-putasi awan adalah PaaS, yaitu sebanyak 28 artikel (80%). Hal ini seperti artikel dari maja-lah SWA (9-19 Desember, 2010) yang berjudul “KomunikasiMulus,AsetMigasTerurus”. Dari segi sintaksis, artikel “Komunika-siMulus,AsetMigasTerurus” menggunakan lead dan headline yang jelas memfokuskan isi berita pada layanan komputasi awan PaaS. Misalnya saja headline artikel tersebut yang mengungkapkan “Dengan memadukan solusiERP,BPMdanteknologiUnifiedcommunica-tion, manajemen PT Medco E&P Internasi-onal tidak lagi kesulitan...”(SWA, Desember, 2010). Contoh lain artikel yang secara sin-taksis lebih mengupas layanan PaaS adalah artikel yang berjudul “JalinKomunikasiden-gan Lync” (Koran Tempo, 2010). Headline dari artikel ini adalah, “Mengintegrasikan layanan pesan, audio, video, serta konferensi web dan suara…Microsoft Lync merupakan platform tunggal yang mengintegrasikan lay-anan pesan, kehadiran secara online, audio,video...”(KoranTempo, 2010). Contoh lain artikel yang secara sintaksis yaitu dari headline dan lead lebih menekankan pada layanan PaaS adalah artikel surat kabar harian yang berjudul “Komunikasi SatuPlat-formsaja” (Media Indonesia, 2010). Artikel ini memiliki lead sebagai berikut, “Waktuproduk-tif pekerja bisa terkikis gara-gara mengirime-mail,pesansingkat,danmenelepondenganplatform yang beragam...”(Media Indonesia, 20 November 2010). Secara sintaksis, dari segi kutipan sum-ber artikel-artikel ini juga lebih menegaskan pada layanan PaaS misalnya artikel majalah SWA yang mengupas pengalaman PT MEPI dalam menggunakan PaaS komputasi awan yang tergambar dalam pernyataan “MEPItelahmengadopsiplatforteknologiUnifiedCommu-nication(UC)darisalahsatuvendor…dengansolusiUCini,kamibisamelakukankolaborasikerja secara virtual, sekaligus menggantikansistem PABX di kantor pusat...” (Swa, 9-19

Page 30: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

24

Desember 2010). Contoh lain adalah kutipan dari General Manager of Information System Planning Departement Nikon Corp di Koran Tempo (2010) yang menegaskan keuntungan penggunaan layanan PaaS komputasi awan se-bagai berikut,

“Penggunaan Microsoft Lync dengan share-Point dan Exchange dapat meningkatkan produktifitas karyawan perusahaan…kami ingin bergerak lebih jauh lagi ketimbang hanya mengandalkan alat komunikasi ter-tentu seperti e-mail..” (Koran Tempo, 22 November 2010).

Dari segi sintaksis, jika dilihat me-lalui pernyataan penutup, ketiga artikel “JalinKoneksidenganLynch” (Koran Tempo, 2010), “KomunikasiSatuPlatformSaja” (Media In-donesia, 2010) dan “KomunikasiMulusMi-gasTerurus” (SWA, 2010) juga sangat fokus kepada layanan PaaS. Hal ini terungkap den-gan penutup yang menyatakan “cloud men-jadipilihanyangbaik,perusahaantakperlurepot-repot membangun server sendiri yangkompleks..,”(Media Indonesia, 20 Novem-ber 2010). Kemudian penutup artikel yang menyatakan “melalui cloud computing... inimenjadilayanankomunikasiyangterintegra-si, murah, dan sederhana...”(Koran Tempo, 22 November 2010). Dari segi kelengkapan berita, ketiga artikel yang dianalisis ini memiliki semua unsur 5W+1H. Umumnya yang menjadi un-sur what dalam artikel adalah layanan kom-putasi awan PaaS. Kemudian yang menjadi unsur who adalah para pengguna yang telah berpengalaman menggunakan teknologi PaaS seperti PT MEPI atau Nikon Corp. Kemudian yang menjadi unsur why adalah alasan para pengguna dalam memanfaatkan layanan PaaS untuk bisnisnya, sedangkan unsur when adalah tahun 2010 dan unsur where adalah di Indonesia. Untuk unsur how, ketiga artikel yang dianalisis men-gungkapkan cara pengimplementasian lay-anan PaaS dalam bisnis.

Dari segi tematik dan retoris artikel “Komunikasi Mulus, Aset Migas Terurus” (SWA, 2010) juga lebih berfokus pada PaaS. Hal ini diperlihatkan dengan paragraf-paragraf dan kata yang merujuk pada hal-hal yang han-ya berhubungan dengan PaaS. Hal ini seperti pada kalimat “PadasolusiERPmulaidiimple-mentasikan sebagai backbone untuk semuatransaksi...” (SWA, 9-19 Desember 2010) atau “FungsiBPM ini sebagaiworkflowdangov-ernance atas semua proses …” (SWA, 9-19 Desember 2010) dan “melihat benefit dariplatformUCberbasisOCSini jauh lebihbe-sar, maka...”(SWA, 9-19 Desember 2010). Demikian juga pada artikel “KomunikasiSatuPlatformSaja” (Media Indonesia, 2010) yang banyak memunculkan kalimat-kalimat yang mengandung kata platform seperti “...diAmerikamisalnya,seorangpekerjabisasibuksendiri dengan lima platform komunikasi...” (Media Indonesia, 20 November 2010), atau pada kalimat “...takhanyamampumenginte-grasikan berbagai macam platform komuni-kasi, Lync jugamenyajikan…” (Media Indo-nesia, 20 November 2010).

Lapisan Ahli dan Pengguna dalam Artikel Komputasi Awan Berdasarkan kategorisasi mengenai lapisan pengguna teknologi yaitu user spheredan expert sphere yang dioperasionalisasikan berdasarkan kerangka teori, maka dari 35 ar-tikel yang terkumpul, 24 artikel (68,57%) di-antaranya menggunakan bahasa yang lebih mengacu pada expert sphere. Hanya 11 ar-tikel (31,43%) yang berada pada tataran usersphere. Contoh artikel yang lebih mengacu pada expert sphere adalah artikel di media Online yang berjudul “Teknologi KomputasiAwanMulaiDigunakanPerusahaanStartUp” (SWA-Online, 15 Desember 2010). Secara sin-taksis dari skema berita, headline, lead, hingga pernyataan penutup disusun dengan bahasa yang cenderung mengarah pada expert, salah satunya kalimat “...cloud memungkinkan biaya start-up yang rendah dan hilangnya investasi

Page 31: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

25

modal…” (SWA-Online, 15 Desember 2010). Pada paragraf sebelumnya artikel ini tidak menjelaskan konsep dasar awan dan definisi atau pemahaman mengenai start-up. Hal ini memperlihatkan bahwa artikel ini lebih dituju-kan untuk pembaca yang berada pada lapisan atau level expert. Contoh lain artikel berita yang secara sintaksis dari segi lead dan headline mengacu kepada lapisan ahli adalah artikel dari media cetak yang berjudul “CloudComputing YangTidak Terbatas” (Media Indonesia, 24 Janu-ari 2011) yang memiliki lead sebagai berikut, “Bagi pecinta film pasti sepakat film fiksi il-miah avatar karya James Cameron memangluar biasa…” (Media Indonesia, 24 Januari 2011). Dari kalimat pertama saja artikel ini sudah mengerucutkan pembacanya dengan kalimat “bagipecintafilmpastisepakat”. Ke-mudian contoh kecondongan yang cukup jelas dapat dilihat pada artikel di media online kom-pas.com yang berjudul “FleksibilitasLayananKomputasi Awan” (Kompas.com, 20 Januari 2011) yang leadnya sebagai berikut,

“Layanan komputasi awan (cloud com-puting) menawarkan fleksibilitas kepada perusahaan untuk….dengan teknologi inilah perusahaan bisa memilih skala in-frastruktur yang dibutuhkannya tanpa ter-bebani total cost ownership (TCO) atau ongkos investasi di awal” (Kompas.com, 20 Januari 2011).

Secara keseluruhan artikel-artikel yai-tu “Fleksibilitas Layanan Komputasi Awan” (Kompas.com, 20 Januari 2011), “TeknologiKomputasi Awan Mulai Digunakan Peru-sahaan Start Up” (Swa-Online, 15 Desem-ber 2010), dan “Cloud Computing YangTidakTerbatas” (Media Indonesia, 24 Janu-ari 2011), ketiganya menggunakan sumber yang merupakan pemilik layanan, dan mitra pengembang layanan komputasi awan, bukan dari sisi pengguna yang sudah menggunakan teknologi ini. Dalam ketiga artikel ini, sum-ber yang digunakan umumnya berasal dari

Microsoft Indonesia yang merupakan expert dari teknologi komputasi awan. Sumber lain juga adalah sumber yang ahli di bidang TIK seperti Analis dari VP Gartner. Dari sintaksis berita dari segi per-nyataan penutup, semua artikel ini menggu-nakan paragraph dan kalimat penutup yang sulit dipahami oleh pengguna awam. Misal-nya saja pada artikel “Fleksibilitas LayananKomputasi Awan” yang memiliki pernyataan penutup, “Biayasebesar112miliardollarASakandibelanjakansecarakumulatifuntuksoft-wareasaaservice,platformasaservicedaninfrastructureasaservicedalamkurunwaktu5tahunmendatang(Kompas.com, 20 Januari 2011). Demikian juga pada artikel “TeknologiKomputasi Awan Mulai Digunakan Perusa-haan Start Up” yang memiliki pernyataan penutup sebagai berikut, “Sifat JangkauansolusiMicrosoftpunmencakupPublicCloud,PriveteCloud, danHybridCloud” (Swa-On-line, 15 Desember 2010). Juga penutup pada artikel “CloudComputing Yang Tidak Terba-tas” yang menyatakan “Namun kalau untukmengakses data-data seperti banking appli-cation, memang butuh internet berkecepatantinggi” (Media Indonesia, 24 Januari 2011). Dari segi skrip, artikel berita ini sudah memenuhi unsur 5 W dan 1 H. Umumnya yang menjadi unsur what adalah perkembangan komputasi awan, unsur who adalah layanan komputasi awan yang tidak terbatas, unsur why adalah alasan-alasan yang menjelaskan pent-ingnya komputasi awan, unsur when adalah tahun masuknya komputasi awan di Indonesia yaitu tahun 2010 dan unsur where adalah Indo-nesia sebagai lokasi perkembangan komputasi awan. Sedangkan untuk unsur how cara penye-baran teknologi komputasi awan di Indonesia. Dari segi tematik dan retoris, fakta, kalimat yang digunakan, kata-kata juga idiom yang digunakan juga mengacu ke pembaca ex-pert. Kata-kata seperti cloud, start up, SaaS,PaaS,IaaS,PublicCloud,PrivateCloud, dan HybridCloud muncul dalam artikel “Teknolo-gi Komputasi Awan Mulai Digunakan Peru-

Page 32: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

26

sahaan Start Up” (Swa-Online, 15 Desem-ber 2010) tanpa ada penjelasan yang dapat digunakan pembaca yang awam untuk me-mahami kata-kata tersebut. Demikian juga kata-kata seperti kapasitas broadband dan banking application dan siapa atau apa VP Gartner yang muncul tanpa penjelasan dalam artikel “Cloud Computing Yang Tidak Ter-batas” (Media Indonesia, 24 Januari 2011), akan membingungkan pembaca yang tidak mengikuti perkembangan TIK.

KESIMPULAN Teknologi komputasi awan adalah salah satu solusi layanan TIK yang memung-kinkan penggunanya menyewa layanan TIK dari penyedia jasa layanan (provider) baik itu layanan software, platform mau-pun infrastruktur. Perkembangan teknologi komputasi awan pada tahun 2011 semakin pesat dengan banyaknya investasi dari pe-rusahaan-perusahaan besar yang bermain di industri TIK, misalnya Microsoft, Fujitsu, Google, IBM dan Intel. Tidak hanya di luar negeri, perkembangan teknologi komputasi awan juga sudah merambah Indonesia den-gan banyaknya lembaga dan korporasi di Idonesia yang mulai menggunakan teknolo-gi komputasi awan misalnya Primagama dan PT Medco E&P Internasional. Meskipun sudah banyak perusahaan yang menggunakan layanan komputasi awan, namun gaung komputasi awan di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat awam be-lum begitu kencang terdengar. Padahal tidak menutup kemungkinan, perkembangan kom-putasi awan di Indonesia bisa sampai pada level pengguna individu, tidak hanya pada perusahaan besar saja. Hal ini disebabkan oleh penyebaran informasi tentang teknolo-gi komputasi awan yang dilakukan oleh media massa cetak dan online di Indonesia masih sering menggunakan istilah-istilah yang kurang sesuai dengan kebutuhan infor-masi khalayak umum yang notabene tidak semuanya memiliki dasar TIK.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media yang dominan mengupas teknologi komputasi awan adalah surat kabar dan me-dia online. Penelitian ini memperlihatkan juga cara media memberitakan teknologi komputasi awan yang kebanyakan masih memfokuskan pada komputasi awan sebagai obyek, bukan pada manusia sebagai pengguna komputasi awan yang dapat meningkatkan kemampuan-nya dalam berkomunikasi dengan menggu-nakan teknologi komputasi awan. Kemudian, sebagian besar artikel juga masih memfokus-kan pokok bahasan pada PlatformasaService (PaaS), padahal perlu adanya keseimbangan dalam pemberitaan mengenai tiga layanan komputasi awan agar masyarakat memahami dengan baik layanan-layanan komputasi awan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas artikel di Indonesia masih mengacu pada lapisan ahli (expertsphere). Dari lead, hingga kata-kata yang digunakan sampai sumber berita, sebagian besar masih berada di level expert padahal artikel tersebut ditulis oleh media yang pangsa pasarnya umum atau tidak tersegmentasi pada para ahli atau pakar TIK. Hal ini tentu meyurutkan minat pembaca untuk berusaha memahami lebih lanjut tentang teknologi komputasi awan. Kata-kata dan id-iom yang tidak dijelaskan artinya tentu tidak akan dipahami oleh masyarakat awam. Dari hasil penelitian ini, maka dapat di-simpulkan bahwa informasi mengenai teknolo-gi komputasi awan dalam pemberitaan pada media massa baik cetak maupun online di In-donesia masih belum seimbang, baik itu dari fokus bahasan yang masih memfokuskan pada teknologi sebagai obyek maupun informasi mengenai layanan. Selain itu pemberitaan di media massa juga masih cenderung mengacu pada lapisan ahli sehingga sulit dipahami oleh masyarakat awam. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan bagi para pemang-ku kepentingan di media massa baik cetak maupun online dalam melakukan pemberi-taan, sehingga masyarakat dapat mudah me-mahami teknologi komputasi awan. Idealnya,

Page 33: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

27

sebuah berita harus seimbang. Khususnya untuk pemberitaan mengenai teknologi, pem-beritaan harus coverbothside dari sisi lapisan pengguna (user sphere) maupun lapisan ahli (expertsphere).

REFERENSI

Cloudtweaks.com (2011) Unleashedcloud performance:Makingthepromiseof cloudreality,diaksesdarihttp://www. cloudtweaks.com/2011/03/unleashing- cloud-performance-making-the- promise-of-cloud-a-reality/, tanggal 29 Maret 2011, pukul 08.00 WIB.Cohen, B.C. (1963). Thepressandforeignpol icy. Princeton, NJ: Princeton.de Vreese, C. H. (2005) Newsframing: Theoryandtypology,InformationDesignJournal+DocumentDesign, 13 (1), 51-62.Eriyanto (2002), AnalisisFraming, Yogyakar ta: LkiS.Falahuddin, M.J. (2010) LebihJauh MengenalKomputasiAwan, diakses dari http://www.detik.com/read/ 2010/02/24/lebih-jauh-mengenal-kom putasi-awan, tanggal 25 Maret 2011, pukul 14.00 WIB Foley, Mary Jo.MicrosoftDeliverToolkit forUsingWindowsAzureto BuildWindowsPhone7Apps, diakses dari, http://www.zdnet.com/ microsoft/microsoft-deliver-toolkit- for-using-windows-azure-to- build-windows-phone-7-apps/8993, tanggal 28 Maret 2011, pukul 16.00 WIB Fujitsu.com (2011) Cloudcomputingtobe comeFujitsucornerstonestrategyin 2011, diakses dari http://www.fujitsu. com/id/news/pr/20110125-en. html, tanggal 20 Februari 2011, pukul 12.31 WIB.Harms, R., & Yamartino, M. (2010) The eco nomicsofclouds, Microsoft.

Holsti, O.R. (1969).ContentAnalysis fortheSocialSciencesandHumani ties.Reading, MA: Addison-Wesley.

IBM (2011) IBMinvestsUS$38Mincloud computingdatacentretoaddressAsia Pacificgrowth, diakses dari http://www-03.ibm.com/press/us/en/ pressrelease/33974.wss, tanggal 3 ma ret 2011, pukul 9.53 WIB.Intel, (2010) Intel’svisionoftheongoingshift tocloudcomputing:Executivesumma ry, diakses dari www.intel.com/go/ cloud tanggal 24 Februari 2011 pukul 13.30 WIBJanssen, M. C. (2005) Aframinganalysisof weblogsandonlinenewspapers,tesis master,paper3811, diakses dari http:// scholarworks.sjsu.edu/etd_the ses/3811, tanggal 21 Februari 2011, pu kul 15.00 WIBMcCombs, M. (2005). “ALookatagenda setting:Past,presentandfuture.” Jour nalism Studies 6, 4. 543-557.McCombs, M., & Shaw, D. (1972), Theagen da-settingfunctionofmassmedia, Public Opinion Quarterly, 36, 176-187.McQuail, D. (2000). McQuail’smasscommu nicationtheory(4th ed.).Thousand Oaks, CA: Sage Publications.Miller, J. H. (2002) Getalife!Thewaywelive (nowandthen): Paper disajikan pada the Digital Culture Workshop, Univer sity of California, Irvine, January 2003. Pacey, A. (2000) Cultureoftechnology, Bos ton: MIT Press.Pacey, A. (2001) Meaningintechnology, Bos ton: MIT Press. Pan, Z., & Kosicki, G. (2001) "FramingasStra tegicAction"inReese,S.,Gandy,O., &Grant,A.,(eds.)FramingPublicLife: PerspectivesonMediaandourunder standingofthesocialworld. Mahwah, N.J: Lawrence Erlbaum. Reese, S. (2005). FramingPublicLife:A BridgingModelforMediaRe

Page 34: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Membingkai Teknologi Komputasi Awan: Perspektif Wartawan

• Dr. Irwansyah, MA

28

searchdalamReese,S.,Gandy, O.&GrantA.(eds),Framing PublicLife:PerspectivesonMediaan dourUnderstandingoftheSocial World. Hillsdale, NJ: Lawrence Erl baum &Associates. 7-33. Reese, S. D. (2007) TheFramingproject:A bridgingmodelformediaresearchre visited. Journal of Communication 57: 148–54.Scheufele, D. A. (1999) Framingasatheory ofmediaeffects, Journal of Communi cation, 103-123.Scheufele, D. A., & Tewksbury, D.(2007) Framing,agendasetting,andpriming:The evolutionofthreemediaeffectsmodels.

Journal of Communication 57: 9–20.Sendjaja, S. D., (2000) TeoriKomunikasi, Ja karta, Jakarta: Universitas Terbuka.Shoemaker, P. J., & Vos, T. P., (2009) Gate keepingtheory,New York: Routledge.Weaver, D. H. (2007) Thoughtsonagendaset ting,framing,andpriming.Journalof Communication 57: 142–47. Zhou, Y., & Moy, P. (2007) Parsingframing processes:Theinterplaybetweenon linepublicopinionandmediacover age. Journal of Communication 57: 79–98. Zuhri, (2011) SiapkahRImengadopsicloud computing,BisnisIndonesia, Kamis 22 Januari 2011.

Page 35: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo

29

Hendri Prasetyo

Dosen komunikasi di universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

ABSTRACT Cyberspaceisabravenewworldthatcreatesanewculturalformcomesfromdailylifeinteractionamongtheuserbycomputernetworktechnology.Peoplecreatesselvesthroughsocialinteractionsandbuiltsenseofcommunity–virtualcommunity.Meaningandrealitythatconstructedandsharedwithinthecyberspaceturnstocyberculturescontainingwithfeelings,attitude,emotionalandpatternofbehavior-alsospecificcommunicationbehavior.Patternofcommunicationbehaviorexistingasetofnorms,valuethatmaintainingthroughcontinuousinteractionandbecomeasocialmapofmeaning.ThispapertrytocapturecyberspaceandcyberculturesfromGidden’sstructurationsstandpointthatviewauserasanagentthatcon-structingmeaningandsubjectiverealityofcyberspacewiththeirculturalperspective.It’sof-feringauniquephenomenawhenpeoplefromdifferentculturedealingwithcyberspaceactivityandcreatingspecificcybercultures

Keywords:Cyberspace,CyberCommunity

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

Media komunikasi dan informasi meru-pakan mesin pendorong proses social yang me-mungkinkan terjadinya interaksi antar manusia, mengukuhkan keberadaannya sebagai makhluk social. Dalam kehidupannya, manusia berinteraksi dengan beragam. cara, mulai dari yang se-alamiah mungkin hingga yang melibatkan penggunaan perangkat-perangkat teknis. Berbagai media ko-munikasi diciptakan dan dikembangkan dalam peradaban komunikasi manusia - Sejak peradaban manual, mekanis hingga era elektronika modern, banyak sudah perangkat-perangkat komunikasi manusia. Loncatan teknologi pada era elektronik tidak hanya menempatkan media sebagai wahana penyampaian pesan semata (transportasional), na-mun media mampu menyimpan dan mengolah informasi-informasi tersebut.

Konsepsi mediamorfosis (Fidler, 2003:23) bukan sebagai rangkaian perkembangan media se-mata, melainkan suatu alur pikir yang memberi-kan pemahaman secara menyeluruh mengenai bentukan teknologi yang ada sebagai bagian dari suatu sistem yang saling terkait. Di dalamnya ter-catat berbagai kesamaan dan hubungan antara bentuk dan sifat media yang muncul di masa lalu, masa sekarang dan yang masih berada dalam proses kemunculannya. Pendeknya, ketika ben-tukan media baru muncul bukan berarti media lama begitu saja mati, melainkan akan melebur dan menemukan bentukan baru yang adaptatif. Sebagaimana yang dideskripsikan oleh Lievrouw dan Livingstone dalam bukunya, NewMedia:SocialShapingandSocialConse-quences of ICT’s:

Page 36: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

“New media have not replaced older me-dia. Rather, people’s information and com-munication environment have become ever more individualized and commoditized, integrating pint, audio, still and moving image, broadcasting, telecommunication, computing and other mode and channel of communication and information sharing” (Lievrouw and Livingstone, 2006:1).

Media baru lahir sebagai hibridasi dari kemampuan media-media konvensional sehingga membentuk media dengan dimensi ganda. Tidak hanya itu, media baru didasarkan pada system komputerisasi dan pola jaringan yang terintegrasi secara global. Media baru didefinisikan oleh Manuel Castell (1996) se-bagai “new system of communication basedon digitized networked integration of mul-tiple communication modes” (lihat Holmes, 2005:8). Istilah media baru sendiri merujuk pada pembedaannya dengan media lama dikaitkan dengan kemampuan dan konsekuensi teknolo-gisnya. Ron Rice (1984, dalam Lievrouw et.al, 2006:21-25) mengatakan,”newmediaascom-munication technologies typically involvingcomputercapabilitiesthatallowandfacilitateinterctivityamongusersorbetweenusersandinformation”. Media baru lebih menekankan pada kondisi keterhubungan (network) yang dalam aplikasinya dapat bersifat one to one,onetomanydan manytomany. Jaringan computer digunakan untuk membuat dunia parallel dan memfasilitasi ko-munikasi antar manusia melalui dasar teknolo-gi yang disebut dengan “ComputerMediatedCommunication” - CMC. istilah CMC meru-juk pada suatu proses tempat manusia mencip-takan, merubah dan mempersepsikan informa-si dengan menggunakan sistem telekomunikasi jaringan yang memfasilitasi terjadinya encod-ing, transmitting dan decoding suatu pesan. Tidak hanya terjadi secara one to one, CMC dapat dikembangkan untuk berkomu-nikasi secara many to many tergantung dari bagaimana kita menggunakannya. Dengan

demikian maka CMC dapat dijadikan wahana bagi pembentukan komunitas bersama. Dalam perspsektif ini, komputer meru-pakan sarana untuk masuk dalam jaringan cy-ber. Namun begitu terdapat beberapa anggapan yang membedakan CMC dengan konsepsi me-dia baru yaitu:

1. CMC lebih memfokuskan pada keunikan peristiwa komunikasi yang terjadi pada ruang maya.

2. Lebih memfokuskan pada proses inter-aksi daripada integrasi. Dengan demikian makan kajiannya lebih pada proses antar individu daripada keseluruhan konteks so-sial – dan juga tradisi bagaimana komuni-kasi berlangsung.

3. Mencoba memahami faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi proses pengunaannya. (Lievrouw dan Livingstone, 2006: )

Meskipun lebih melihat pada proses interaksi daripada integrasi, CMC mencoba memahami integrasi dalam hal penyebaran informasi yang terjadi “integration of in-formation”. Jones mengatakan, One of thecentral tenets of CMC theory is that CMCenablesaformof“sociallyproducedspace” (Jones, 1995:17). Beragam kegiatan layaknya kegiatan sosial pada dunia riil dapat dilakukan pada interaksi melalui CMC. Para pengguna sal-ing berkenalan, bertegur sapa, berbisnis, be-ragumentasi, melontarkan ide, gagasan kritik, ancaman dan mereka pun saling jatuh cinta melalui mediasi ini. Hanya saja mereka me-ninggalkan dunia fisik (body). Interaksi me-lalui CMC menciptkan ruang alternative baru bagi interaksi social manusia. Aktivitas so-cial melalui CMC melibatkan berbagai kon-teks komunikasi, baik yang bersifat personal, kelompok ataupun massa. Sebagaimana ke-hidupan ruang nyata, para pengguna CMC berinteraksi, bertransaksi, mendiami suatu alamat dan bersosialisasi dalam ruang maya yang dikenal dengan cyberspace.

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo

30

Page 37: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo• Hendri Prasetyo

31

Asal kata cyberspace muncul melalui novel trilogy fiksi ilmiah karya William Gib-son yang berjudul Neuromancer (1984), CountZero (1986) dan MonaLisaOverdrive (1988). Cyberspace digunakan untuk menyebut tem-pat kata, hubungan manusia, data, kekayaan dijalankan melalui aktivitas menggunakan teknologi CMC (Bell, 2001:22). Jelas, pada awalnya kehidupan maya berasal dari fanta-si manusia tentang realitas dunia yang lebih maju, sebuah hiper-realitas manusia tentang nilai, citra, dan makna kehidupan manusia sebagai simbol pembebasan (escaping) ma-nusia akan kekuatan materi dan alam semesta (Bungin, 2006:160). Dan ketika teknologi memungkinkan semua itu, maka terbentuklah ruang baru bagi manusia di dalam dunia hiper realitas (hyperreality). Konsepsi cyberspace melalui CMC mengingatkan pada apa yang disebut dengan “Agora” pada jaman Yunani Kuno. Agora adalah suatu ruang terbuka dimana informasi dan barang dipertukarkan. Informasi hadir darimulut ke mulut atau tertuliskan pada suatu dinding besar. Wadah ini kemudian dimod-ernisasikan dalam bentuk yang disebut seb-agai “cosmopolitancoffeehouse” – inilah yang menjadi cikal bakal kemunculan cyberspace yang melakukan itu semua melalui mediasi komputer yang saling terhubung secara global. Deskripsi lainnya mengenai cyber-space diberikan oleh Michael Benedikt sebagai berikut :

“Cyberspace: A common mental ge-ography, built, in turn, by consensus and revolution, canon and experiment; a terri-tory swarming with data and lies, with mind stuff and memoriesof nature, with a million voices and two million eyes in a silent, invis-ible concert to enquiry, deal making, deram sharing and simple beholding” (dalam Bell, 2001:7).

Saat ini, keterhubungan antar indivi-du baik secara one to one, one, tomany dan many tomany sudah dapat terselenggara me-

lalui berbagai fasilitas dalam aplikasi inter-net. Keterhubungan da pembentukan jaringan antar pengguna ini baik bersifat asyncronous maupun synchronous. CMC menyediakan ru-ang baru bagi pembentukan keterhubungan antar manusia dengan menanggalkan batasan waktu dan tempat. Holmes (2005:45) mengatakan, “Anymedium which enclose human communica-tioninanelectronicallygeneratedspacecouldbea formofcyberspace”.Cyberspace sering kali disandingkan dengan internet, mengingat ruang maya ini terbentuk dari kondisi keter-hubungan komputer dalam suatu jaringan (net-work). Bell (2001:7) mengungkapkan, “wecandefine cyberspace in terms of hardware – asa global network computers, linked throughcommunications infrastructures that facilitateform of interaction between remote actors”. Keterhubungan ini tidak hanya bersifat perang-kat teknis semata antar komputer (hardwarenetwork) – namun harus dipahami pula bahwa keterhubungan manusia penggunanya ini me-mungkinkan terjadinya pertukaran makna sim-bolik hingga membentuk suatu realitas baru. Lebih lanjut, Bell mengatakan,

“a definition partly on the ‘symbolic trope’ could define cyberspace as an imagine space between computer in which people might build new selves, new world – Cy-berspace is all this; it is hardware and soft-ware, and it is images and ideas – the two are inseparable”(2007:9).

Sejalan dengan definisi tersebut, Holm-es dalam bukunya “VirtualPolitics:Identity&Community Cyberspace” (1997:3) mengung-kapkan bahwa ruang maya merupakan dunia dimana terbentuk nilai-nilai budaya (newcul-tural form) baru yang terbangun melalui ine-traksi keseharian (daily life interaction) dian-tara penggunanya melalui mediasi teknologi. Dalam ruang maya, masyarakat penggunanya membangun dirinya dengan melakukan inter-aksi dan proses social dalam kehidupan ke-lompok (jaringan) intra dan antar sesama ang-

Page 38: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo

32

gota masyarakat maya. Konstruksi masyarakat maya (cybercommunity) pada awalnya kecil dan berkembang menggunakan pola jaring laba-laba sehingga terbentuklah masyarakat yang besar. Dengan demikian, keberadaan ruang maya selalu terkait dengan komunitas virtual, yaitu mereka yang saling berinteraksi meng-gunakan teknologi komputer (cyberspace-cy-bercommunity), karena melalui interaksi antar mereka ruang itu tebentuk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Oswald, “Thecriticalcom-ponent of any definition of cyberspace is theelementofcommunity” (Oswald, dalam Holm-es, 2005:45). Anggota masyarakat maya tidak terikat secara territorial atau bahkan tidak per-nah bertemu muka sekalipun. Melalui sarana virtual mereka ber-interaksi, mempertukarkan makna dan membangun realitas dunia. Ke-lompok masyarakat ini diberikan label sebagai virtualcommunities. “Virtualcommunitiesaresocial aggregation that emerge from the netwhenenoughpeoplecarryonthosepublicdis-cussion,withsufficienthumanfeeling,toformwebsof personal relationship in cyberspace” (Rheingold 1993:5)

Lebih lanjut, Holmes menguraikan,

“Virtual communities are formed and func-tion within cyberspace – the space that exist within the connection and networks of communication technologies. They are presented by growing number of writers as exciting new form of community which liber-ate the individual form the social constraints of embodied identity and from the restric-tions of geographically embodied space; which equalize through the removal em-bodied hierarchical structures; and promote the sense of connectedness (or fraternity) among interactive participants” (Holmes, 1997: 148).

Beberapa definisi tersebut menekank-an bahwa komunitas maya sama sekali tidak menekankan adanya struktur dan pertemuan tatap muka sebagaimana yang biasanya men-

jadi karakteristik dari komunitas secara kon-vensional namun lebih memusatkan perhatian-nya pada proses komunikasi yang berlangsung (ongoingcommunication). Anggapan seperti itu sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Hagel dan Am-strong (1997) yang memusatkan perhatianya pada isi dan aspek-aspek komunikasi. “Vir-tual communities are computer mediatedspaceswherethereisapotentialforainte-gration of content and communicationwithanemphasisonmembergeneratedcontent”. (dalam Wibawa, 2001) Fiona Lee (2003) menggaris bawahi karakteristik cyber communities yang diberi-kan oleh Rheingold:

•Thenet/cyberspacereferstoactivitiescarriedoutincyberspace,todifferenti-atethemfromrealcommunityactivities;•Publicdiscussionsuggests thatpartici-pant have discussionwith one another,whether to share opinions, knowledge,feelings, or common interest. There istheimplicationthattopicsaregeneratedbyparticipantsratherthanwebsiteco-ordinators.• Personal relationship indicates thatwith sufficient time, participants devel-opaself-sustainingrelationshipamongthemselves.

Dari definisi dan deskripsi yang ada, dapat disimpulkan bahwa ruang-ruang berdi-mensi computer memiliki arti yang sama den-gan cyberspace dan ruang internet ketika diak-ses melalui teknologi; dan muatan (content) yang ada mengacu pada data, informasi, disku-si, ekspresi dan perasaan-perasaan yang timbul dalam diskusi yang terjadi sesama anggota. Secara sosial keberadaan komunitas biasanya akan memunculkan apa yang disebut sebagai “senseofcommunity” yakni karakteris-tik suatu komunitas yang ditandai oleh perilaku saling membantu dan secara emosional adal perasaaan memiliki “attachment”. Demikian

Page 39: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo• Hendri Prasetyo

33

halnya dengan komunitas virtual, perasaan berkelompok muncul melalui pertukaran du-kungan dan rasa kepercayaan yang ditanamkan ketika melakukan interaksi. Komunitas virtual bahkan memberikan cara dan kemudahan bagi individu mendapatkan perasaan diikutsertakan (inclusion), terutama bagi para individu yang mencari orang-orang yang berfikiran sama dengan mereka. Pandangan mengenai komunitas dan pembentukan komunitas maya hingga saat ini memang masih menjadi perdebatan, bebera-pa kalangan masih melihat komunitas dalam bentukan yang nyata dalam suatu ikatan wilayah, meskipun tidak semua orang yang berada dalam satu lingkungan yang sama dapat dikatakan komunitas, dapat dikatakan komunitas jika anggota anggota yang ada di dalamnya memiliki pengalaman yang sama dan rasa sebagai suatu komunitas “sense of community”. Jones (1997) mengatakan, ko-munitas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu ko-munitas yang berdasarkan pada lingkungan yang sama “placebasedcommunity” dan ko-munitas yang berdasarkan kepentingan ber-sama “communitiesofinterest” Sementara itu, Schement membagi kat-egori komunitas menjadi dua berdasarkan si-fat hubungannya yakni: Primary relationshipdan Secondaryrelationship. Komunitas virtual masuk dalam kategori secondaryrelationship. “internet communities are really made up ofsecondary relationship in which pople onlyknoweachotherinsingle,orfewdimension” (Schement dalam Livingstone, 2006:98) Sementara itu Van Djik membeda-kan bentukan komunitas ini menjadi apa yang disebutnya sebagai “organic community” dan “virtual community”.Komunitas organic real-tif memiliki homogenitas diantara anggotanya, berbeda dengan komunitas virtual yang lebih heterogen dan sifatnya melengkapi “virtualcommunitiescan’treplaceorganiccommunitiessince since they are limited, but perhaps theycansupplementandstrengthenorganiccommu-nities” (Lievrouw dan Living stone, 2006:99)

Umumnya, kajian mengenai komunitas lebih banyak pada jenis komunitas berdasarkan tempat. Meskipun perilaku khas komunitas sepertihalnya memberikan perhatian dan du-kungan emosional juga terjadi pada komunitas yang berdasarkan kepentingan bersama tanpa batasan tempat. Pool (1983) menjelaskan, Cy-berspace involvement can create alternativecommunities that are valuable and useful asour family, physically located communities” (dalam Lievrouw dan Livingstone, 2006:99). McMillan dan Chavis mengatakan, rasa komunitas “sense of community” adalah perasaan memiliki, perasaan menjadi satu ke-satuan dengan anggota lain dan perasaan ber-bagi. Terdapat empat dimensi dalam melihat komunitas yaitu :

Pertama feeling of membership yaitu mempunyai rasa memiliki dan mengi-dentifkasikan dirinya dalam suatu ko-munitas, kedua feelingofinfluence, rasa memiliki pengaruh dan dipengaruhi oleh komunitasnya dan ketiga adalah integrationandfulfillmentofneed atau rasa di dukung oleh anggota lain yang berada pada komunitas tersebut. Dan terakhir adalah shared emotional con-nection, atau memiliki hubungan emo-sional sehingga menciptakan spirit ko-munitas.

Senseofcommunityyang diungkapkan oleh Chavis tersebut hidup dan ada pada ko-munitas virtual. Ketika rasa itu tercipta maka proses sosial terjadi; seperti saling memberi-kan dukungan, berbagi infomasi, menciptakan memelihara dan menjalankan norma dan ba-tasan, memberikan control social dan dukun-gan emosional hingga material. Mc Millan dan Chavis mengungkapkan, dalam sense of virtual community, anggota dalam komunitas virtual mulai melakukan kegiatan komunitas sebagaimana disebutkan di atas. Kegiatan ini dilakukan terus menerus sehingga terkukuhkan melalui aktivitas CMC.

Page 40: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo

34

Dalam realitas komunitas virtual ban-yak hal yang sebangun dan serupa dengan re-alitas social yang terdapat di dunia nyata, se-bagaimana yang digambarkan oleh Rheingold berikut ini:

“In cyberspace, we chat and argue, engage in intellectual intercourse, performs act and commerce, exchange knowledge, share emotional support, make plans, brainstorm, gossip, fall in love, play games, create a lit-tle art and a lot of idle talk. We do everything people do when they get together, but we do it in computer screen, leaving our bod-ies behind. Million of us have already built communities where our identities commin-gle and interact electronically, independent of local time and location”. (Rheingold, 1999:414).

Lebih lanjut, Rheingold (dalam Gibson, 1996:5) mengungkapkan, ketika CMC terjadi diantara dua orang atau satu orang dan banyak kelompok secara berkelanjutan, maka komu-nitas virtual terwujud. Menurutnya, komunitas virtual adalah agregasi social yang muncul dari Net ketika orang melangsungkan interaksi dan diskusi secara terus menerus dengan menyer-takan perasaan pembentukan hubungan per-sonal di ruang maya. Jadi, komunitas virtual berisi sejumlah orang yang secara regular ber-hubungan dan terhubungkan melalui interest, keahlian, masalah, ide, gagasan dan keinginan yang sama pada hal-hal tertentu. Meskipun demikian, dikalangan para ahli masih banyak yang mempermasalahan keabsahan komunitas maya sebagai suatu komunitas. Sebagian lain tetap mempertah-ankan bahwa komunitas virtual dapat saja terbentuk sepanjang perasaan berkelompok itu ada pada anggotanya. Peter L. Berger mengatakan masyarakat sebagai suatu kese-luruhan kompleks hubungan manusia. Dalam pandangan Cresswell masyarakat merupakan kelompk social, suatu commite yaitu seke-lompok orang orang yang membangun dan berbagi kebudayaan, nilai, kepercayaan dan asumsi-asumsi bersama.

Intinya, komunitas adalah hasil dari interaksi dan mempertahankannya melalui in-teraksi yang berlanjutan. Komunitas virtual menggunakan jaringan social internet sebagai tempat (space) bertemunya anggota-anggot-anya sebagai upaya mempertahan afiliasinya sehingga interaksi dan keterhubungan tersebut dapat terus berlangsung. Dengan demikian, se-tiap komunitas virtual memiliki budaya kolab-oratif yang dibentuk, dipelihara, dipertahankan dan dikembang oleh partisipannya. Budaya ini mempengaruhi bagaimana orang berperilaku di dalamnya, dan orang berinteraksi untuk ber-bagi nilai, makna dan juga identitas mereka. Inilah mengapa keberadaan komunitas virtual selalu memunculkan budaya virtual, sehingga pembahasan mengenai komunitas maya ini ti-dak terpisahkan dengan bentukan norma dan tata nilai diantara mereka (cyberculture). Nilai dan Norma Masyarakat Virtual (Cy-berculture). Ruang maya (cyberspace) dengan ben-tukan realitas sosial budaya yang terdapat di dalamnya membentuk cyberculture, yang ter-bangun dari, oleh dan untuk penggunanya (cy-bercommunity).

“Cyberspace is always cyber cultures, in that we cannot separate cyberspace from its cultural context…. Cyber culture as an environment saturated by technology, so we need to read those technologies them-selves as cultural” (Bell, 2001: 7).

Dunia maya merupakan bentukan alter-natif ruang sosial di samping dunia nyata. Di dalamnya terbangun interaksi dengan beragam bentuk dan tujuan yang dibangun oleh mereka yang menghidupinya. Pertukaran makna, pen-ciptaan identitas, aktivitas wacana, pertemanan dan penciptaan nilai-nilai tertentu, layaknya di dunia nyata. Pendeknya, terdapat banyak ke-miripan bentuk interaksi yang tedapat di duni maya dengan realitas nyata keseharian. Ketika interaksi terbangun secara berkelanjutan dalam kurun waktu yang lama

Page 41: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo• Hendri Prasetyo

35

diantara sejumlah pengguna, maka terajutlah pemaknaan-pemaknaan bersama yang lahir dari dan untuk mereka (pengguna). Tata ni-lai dan norma interaksi melalui CMC muncul secara alamiah. Jika tata aturan pengopera-sionalan CMC tercipta secara teknis, maka tata nilai dan pemaknaan bersamaan ini ter-bentuk secara sosiologis. Inilah yang disebut sebagai cybercultures. Jika ruang maya “cyberspace” meru-juk pada ruang baru dimana penggunanya membangun interaksi hingga terbentuklah suatu masyarakat maya (cybercommunity), maka cyberculture atau budaya maya meru-juk pada seperangkat realitas yang hidup di dalamnya. Dibangun melalui proses pemak-naan bersama diantara para penggunanya. Tidak seperti tata aturan pengoperasionalan CMC yang bersifat teknis dan berlaku univer-sal, tata nilai social dalam interaksi melalui CMC ini dapat terbentuk secara parsial, dan sangat dipengaruhi oleh konteks social dan budaya dimana teknologi tersebut digunakan. Interaksi dua arah diantara teknologi, pengguna dan konsepsi social budaya dimana teknologi itu digunakan melahirkan karakter-sitik dan keunikan makna mengenai teknologi itu sendiri. Ketika teknologi dimaknai secara subyektif dengan latar social budaya peng-gunanya, maka teknologi itu akan ter-redefi-nisi dan terekonstruksi sedemikian rupa yang dapat nampak pada perlakuan pengunanya pada perangkat tersebut. Lebih lanjut, tidak hanya perangkat tersebut yang ter-redefinisi, namun lebih jauh pola perlakuan dan pemaknaan atas perangkat tersebut pada saatnya akan memaknai realitas kehidupan penggunanya. Memahami budaya maya (cybercul-ture) berarti mengabungkan antara dunia maya “cyber” dan budaya culture. Christine Hine (2000) mengungkapkan bahwa ruang maya se-bagai suatu budaya dan menjadi artefak buda-ya. Pemahaman mengenai cyberspace menun-tut untuk melihat pada beberapa dimensi yang terkait di dalamnya; sebagai material, secara

simbolik dan dimensi experiental. Sebagai suatu teknologi, cyberspace menyediakan ru-ang bagi penciptaan dan pertukaran pesan yang di dalamnya makna diciptakan, dikonstruksi, dikembangkan dan dijalankan. Pertukaran pesan dan pemaknaan ini tentu saja melibatkan (dan merupakan) dimensi simbolik sebagai suatu aktivitas social, dan ketika pemaknaan social itu terjadi maka konsepsi budaya selalu ada sebagai cetak biru Berangkat dari pemahaman tersebut maka cyberspace merupakan konsepsi budaya cyberspace as culture, dimana di dalamnya terdapat realitas yang hidup, dibangun dan dipelihara melalui interaksi keseharian pen-gunanya. Realitas dan makna yang terbangun dalam ruang inilah yang menjadi budaya dunia maya “cybercultures”. Sebagai sebuah artefak cultural, realitas tersebut senantiasa berubah, berkembang dan sebagian lainnya hilang. Masyarakat maya sepenuhnya mem-bangun dirinya melalui interaksi social dan proses sosial yang terjadi dalam jaringan an-tar sesame pengguna. Proses relasi social (so-cial relation) masyarakat maya ini ada yang bersifat menetap, artinya pengguna (individu) menciptakan alamat (address) tinggal, ter-gabung dalam suatu kelompok social dengan beragam tujuan dan kepentingan atau yang hanya sekedar “berjalan-jalan” melalui aktifi-tas browsing atau search. Sepertihalnya yang terdapat pada masyarakat nyata, substansi utama pada ma-syarakat maya adalah berlangsungnya kontak social “socialcontact” dan proses komunika-si. Meskipun secara teknis mereka terhubung melalui gelombang pada alur (bandwidht) yang bersifat teknologis, namun sejatinya hubungan yang dibangun oleh masyarakat maya ini merupakan hubungan yang yang memiliki makna yang luas. Mereka saling membangun makna dalam dunia intersubjek-tif tentang dunia yang dihuninya.Salah satu ciri dari masyarakat adalah aktif menciptakan kebudayaan, baik yang bersifat artefak atau nilai-nilai. Budaya yang dikem-

Page 42: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo

36

bangkan pada masyarakat maya adalah buda-ya-budaya pencitraan dan makna yang setiap saat dapat dipertukarkan ke dalam ruang inter-aksi simbolis. Budaya ini sangat subyektif atau lebih objektif lagi jika disebut sebagai inter-subyektif yang sangat didominasi oleh kreator dan imajinater yang setiap saat membangun makna tersebut (Bungin, 2006:166). Kebudayaan secara umum dapat di-katakan sebagai sesuatu yang dimiliki ber-sama oleh sekelompok orang dan meruipakan hasil interaksi antarindividu. Rosalie Wax sebagaimana yang dikuti oleh Kuswarno (2008:39) mendefinisikan sebagai suatu ke-nyataan dari “pengertian yang dialami ber-sama” (shared meaning), sehingga budaya merupakan milik sekelompok orang atau seti-daknya dua orang, karena ada sesuatu yang dimiliki dan dibagi bersama. Konsepsi budaya suatu masyarakat dapat terlihat pada pemaknan yang mereka berikan pada objek social yang berada pada lingkungannya. Proses pemberian makna inilah yang selalu melibatkan penggunaan bahasa baik sebagai penyampai pesan, penamaan (naming) atau pelabelan (label-ing). Sehingga bahasa dan penggunaan ba-hasa dalam peristiwa komunikasi pada ke-lompok masyarakat akan memperlihatkan pola budaya yang tumbuh di baliknya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, komunitas dunia maya (cybercommunity) mem-bangun seperangkat pemahaman dan nilai-nilai bersama melalui aktivitas komunikasinya. Ben-tukan dan pola komunikasi yang berlangsung di dalamnya merupakan wujud dari tata nilai yang disepakati dan dipelihara dari dan oleh mereka. Dari sudut pandang etnografi komunikas, inilah yang disebut sebagai masyarakat komunikatif. Etnografi komunikasi memandang bahwa kai-dah-kaidah komunikasi dapat berbeda dari satu kelompok dengan kelompok, mereka memiliki kaidah dan variasi linguistic. Dengan demikian keberagaman tidak komunikasi memiliki im-plikasi bentuk linguistic dan norma-norma so-cial. (Kuswarno, 2008:41).

Cyber Cultures dalam Tinjauan Teori Struk-turasi (Anthony Giddens) Webster (1998) mengungkapkan, pembahasan mengenai teknologi media ko-munikasi menempatkan manusia (audience) pada tiga posisi, yakni, audience-as-mass,audience-as-outcome dan audience-as-agent (dalam Thompson dan Bryant, 2002:370). Konsepsi mengenai determinisme teknologi melihat teknologi sebagai sentral yang me-munculkan dampak-dampak di masyarakat (audience as outcomes) mereka (audience) diasumsikan sebagai pihak yang pasif me-nerima terpaan teknologi. Berbeda dengan pandangan determin-isme teknologi, konsepsi sosioteknologi mema-hami teknologi sebagai sebuah produk social-budaya masyarakat penciptanya. Teknologi tidak diciptakan dalam situasi hampa social. Maka aspek sosial budaya terbenam dalam proses penciptaan teknologi tersebut. Manusia sebagai agent yang memiliki kapasitas dalam memilih hingga merekayasa bentukan teknolo-gi tersebut, baik secara teknis mapun sosial. Teori Strukturasi dari Giddens dapat digunakan untuk menjelaskan dialektikan yang terbentuk dalam interaksi antara teknolo-gi CMC dengan penggunanya. Penggunaan teknologi CMC oleh komunitas sebagai suatu praktik sosial, yang mana di dalamnya tercip-ta suatu bentukan realitas sosial yang terban-gun melalui aktivitas penggunanya. Teknolo-gi memiliki bentukan struktur yang tercipta melalui konsepsi pemikiran penciptanya. Ma-nusia pengguna adalah agen yang berinteraksi dengan struktur tersebut melalui suatu kon-sepsi social budaya. Sebagaimana yang diungkapkan se-belumnya, bahwa tindakan dibatasi dan di-mungkinkan oleh struktur yang diproduksi dan diperroduksi oleh tindakan tersebut. Dalam penelitian ini agen merujuk pada pengguna atau mereka yang berinteraksi melalui CMC dan tin-dakan (act) dapat dianalogikan sebagai peng-gunaan CMC pada jejaring sosial,sedangkan ‘struktur’ adalah pola komunikasi dan tata cara

Page 43: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo• Hendri Prasetyo

37

interaksi yang berkembang pada penggunaan CMC. Maka penggunaan CMC dapat dibatasi (diarahkan, dibentuk atau dikonstruksi) oleh pola komunikasi dan interaksi CMC, namun pada akhirnya pola komunikasi yang baru akan terbentuk dari proses penggunaan CMC yang dikembangkan oleg agen melalui proses timbale balik dan pemaknaan terhadap objek. Hubungan dua arah ini menghasilkan interplay yang berkesinambungan dan menghasilkan re-definisi serta restrukturasi. Suatu kelompok akan secara aktif men-gadaptasi teknologi CMC yang kemudian di-rekstrukturisasi ke dalam bentukan interaksi ke-lompok tersebut. Lebih lanjut, Giddens (dalam Livingstone, 2006:123) mengatakan bahwa ke-lompok sosial akan memilih teknologi yang di-inginkannya dan secara sosial mengkonstruksi makna-makna dari keberadaan teknologi terse-but. Konstruksi pemaknaan inilah yang dapat terlihat melalui pola perilaku komunikasi yang terajadi melalui penggunaan CMC. Dalam pandangan tersebut, individu memainkan peran sentral melalui penilaian dan interpretasinya pada kejadian di sekitarnya (pengalaman). Asumsi yang mendasari kon-struksi realitas secara social adalah sebagai berikut :• Realitas tidak hadir dengan sendirinya, teta-

pi siketahui dan dipahami melalui pengala-man yang dipengaruhi oleh bahasa.

• Realitas dipahami melalui bahasa yang tum-buh dari interaksi social pada saat dan tem-pat tertentu

• Bagaimana realitas dipahami bergantung pada konvensi-konvensi social yang ada.

• Pemahaman terhadap realitas yang tersu-sun secara social membentuk banyak aspek penting dalam kehidupan, seperti aktivitas berfikir dan berperilaku.

Dikaitkan dengan keberadaan ruang maya “cyberspace” sebagai hasil bentukan in-teraksi individu melalui CMC, budaya virtual terbangun melalui aktivitas bersama tersebut, dan pada gilirannya melandasi proses interaksi yang terjadi di dalamnya (cybercultures). Real-

itas yang terbangun menjadi suatu tata perilaku dan melandasi aktifitas berfikir yang juga merupakan peta pemaknaan (mapsofmeaning) diantara para penggunanya (cybercommunity). Seseorang hidup dalam kehidupan-nya mengembangkan perilaku yang berulang, disebut sebagai kebiasaan (habits). Kebiasaan inilah yang akan menuntut manusia mengatasi suatu permasalahan secara otomatis. Dalam suatu interaksi, setiap actor saling mengamati dan merespon kebiasaan orang lain (actor lain-nya). Kebiasaan tersebut bernteraksi, diper-tukarkan dan membentuk pembedaan dalam aktifitas tindakan actor. Inilah yang dikatakan sebagai pengkhasan (tipikasi). Dari interaksi yang berkelanjutan itu, beberapa kebiasaan menjadi milik bersama seluruh anggota ko-munitas dunia maya, maka terbentuklah suatu lembaga (institution). Melalui institusi inilah komunitas maya mengkategorikasasikan dirin-ya, nilai-nilai, norma dan aturan yang mereka anut bersama. Institusi ini memungkinkan terbangun-nya suatu susunan peran (roles), atau kumpu-lan kebisaan (habitual behavior). Norma dan nilai hadir sebagai perangkat yang mengatur peranan-peranan tersebut. Dengan demkian maka institusi menjadi kendali social (socialcontrol) yang mengarahkan realitas sosial yang terjadi diantara komunitas dunia maya terse-but. Semua itu terlegitimasi melalui interaksi keseharian yang berulang sehingga institusi tersebut dapat eksis diantara para pengguna CMC. Selanjutnya, roles dan habitual be-havior inilah yang tersusun mengkonstruksi realitas sosial komunitas jejaring social dunia maya. Pemaknaan subyektif masyarakat atas realitas dunia akan memunculkan cetak biru la-hirnya teknologi dalam masyarakat. KonsepsiSocial Construction of Technology (SCOT) mengungkapkan bahwa peta pemaknaan in-dividu akan menentukan makna yang terben-tuk atas teknologi tersebut dan pada akhirnya menentukan proses penggunaan dan pengem-bangannya (Bijker 1987, dalam Livingstone,

Page 44: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Cyber Community, Cyber Cultures :Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern.

• Hendri Prasetyo

38

2002:249). Demikian halnya ketika teknologi tersebut dioperasionalisasikan. Konsepsi sosial budaya pengguna akan menentukan bagaima-na teknologi tersebut dimaknai. Proses pemaknaan terhadap bentukan teknologi tersebut lahir dari proses interaksi diantara individu sehingga melahirkan peta pemaknaan. Peta pemaknaan (mapsofmean-ing) inilah yang akan menentukan bagaimana teknologi tersebut diperlakukan. Demikian selanjutanya hingga terjadi interplay yang ru-mit diantara aspek-aspek dalam social budaya masyarakat hingga pada kemunculan bentukan teknologi selanjutnya. Dengan demikian, perbedaan social budaya akan memunculkan pemaknaan yang berbeda hingga akhirnya teknologi akan diper-lakukan secara berbeda-beda. Bucciarelli men-gatakan,

“technology design is a fundamentally communicative process that brings object, actions and social relationship together; design is best seen as a social process of negotiation and consensus, a consensus somewhat awkwardly expressed in the final product” (1994:20).

Makna-makna subyetif tersebut ditran-saksikan melalui proses interaksi sehingga me-munculkan makna bersama (shared meaning), dan sebagai muaranya adalah tindakan social yang teramati. Di sinilah pemaknaan social ter-bentuk menjadi budaya masyarakat maya (cy-bercultures) yang dibangun dan dikembangkan melalui aktivitas CMC.

DAFTAR PUSTAKA

Fidler, Roger. 2003. Mediamorphosis:Mema hamiMediaBaru. Terjemahan: Harto no hadikusumo. Yogyakarta: Bentang. Lievrouw, Leah and Sonia Livingstone, 2006. HandbookofNewMedia:Updated Student. London; Sage Publ.Holmes, David. 2005. CommunicationTheory. Media,TechnologyansSociety. Lon don: Sage Publishing.Bell, David. 2001. Inroductiontocybercul tures. London. Routhledge.Bungin, Burhan.2006. SosiologiKomunikasi. Teori,ParadigmadanDiskur susTeknologidimasyarakat. Jakarta.

Page 45: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe• Hendri Prasetyo

39

Moeryanto Ginting Munthe

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Jalan Raya Lenteng Agung 32 Jakarta Selatan 12610 Tel 021-7806223, Fax:021-7817630 -

email:[email protected].

ABSTRAK/ ABSTRACT Dalamkehidupansehari-harikitaseringmendengarkatapropaganda.Sayangnya,meskipunsekadarmendengarkatapropaganda,dalampikiranseseoranglangsungmunculsuatupersepsiyangburuk.Demikianjeleknyacitrayangmelekatpadapropaganda,karenadianggapsebagaisuatukegiatanyangnegatip.sehinggatidakjarangditabukanorang.Sebena-rnya,propagandahanyalahalat,sebagaisalahsatuteknikkomunikasi,sebagaibagiandariilmukomunikasi.Yangburukbukanpropagandanya,tetapibagaimanaatauuntukapaorangyangmelakukanataumempergunakannya.Dengandemikian,sangatperludiketahuihakekatpropagandadalamkaitandenganilmukomunikasi,yangcobadiungkapdalamtulisanini.

Inourdailylife,weoftenlistenthewordpropaganda.Itisapity,thatalthoughmerelylisteningtheword,insomebody’sminddirectlyappearsabadperception.Abadimageisat-tachedtopropagandabecauseitisconcideredasanegativeactivityresultingataboo.Infact,propagandaisamediumofoneofthetechniqueofcommunicationsasadivisionofcommuni-cationscience.Thebadsideisnotpropagandaitself,buthowandforwhatpurposeitwouldbeimplementedandapplied.Withthisunderstanding,itisimportanttoknowthenatureofpropa-gandainitsrelationwiththecommunicationscienceattemptedtobereviewedinthisarticle.

Keywords:komunikasi,propaganda.

Propaganda dan Ilmu Komunikasi

A. PENDAHULUAN Istilah atau terminology Propaganda mungkin sering kita dengar dari percaka-pan, atau kita lihat dan baca dari berbagai sumber bahan bacaan seperti buku, surat kabar atau dokumen lain.Membaca atau mendengar istilah propaganda acapkali membuat orang langsung menafsirkan-nya sebagai suatu kegiatan atau tindakan yang negatip. Kata “propaganda” langsung mencetak gambaran di benak orang sebagai suatu tindakan yang buruk.

Mungkin ungkapan-ungkapan bernada seperti berikut pernah anda dengar: Si A telah beru-saha mempropagandai si B. Jangan sampai kamu termakan oleh propaganda si Polan. Perpecahan Partai Siang Malam terjadi karena keberhasilan propagandist (kadang- kadang ditulis tanpa huruf t).Pemerintah Negara X senantiasa mempropagan-dai pemerintah Negara Y. Ah, jangan percaya, tak usah dipikirkan, semua itu hanya propaganda. Pada awal tahun 2011 ramai diberita-kan oleh media massa bagaimana keberhasilan pengikut aliran NII mempengaruhi beberapa

Page 46: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

40

korban dari kalangan dunia pendidikan untuk mengikuti aliran mereka. Akibatnya, beberapa orang diberitakan hilang, atau minggat dari rumah orang tuanya, dan tidak mau pulang. Ternyata keyakinan sampai tingkah laku mer-eka berubah secara total. Tentu tidak dapat di-sangkal bahwa hal ini juga merupakan keber-hasilan kegiatan propaganda yang dilakukan oleh propagandis. Istilah propaganda bisa jadi telah men-gukirkan suatu gambaran negatif atau hal bu-ruk di dalam pikiran seseorang. Akibatnya, mungkin banyak orang beranggapan bahwa mempelajari propaganda adalah sesuatu yang buruk, tidak ada kebaikannya.Karena itu lebih baik tidak perlu diketahui, apalagi dipelajari. Hasil penelitian dan tulisan Harold D. Lasswellkhusus mengenai propaganda ter-catat sebagai temuan yang sangat bernilai. Lasswell meneliti kegiatan propaganda khu-susnya pada perang dunia pertama.Ketika disertasi doctoral Harold Lasswell tentang penggunaan propaganda pada Perang Dunia I itu dipublikasikan sebagai sebuah buku pada tahun 1927 (Propaganda Technique in The World War), banyak mendapat reaksi, malah ada yang meminta supaya segera dihancur-kan.Reaksi para pengulas menunjukkan ad-anya semacam ketakutan memandang teknik-teknik propaganda setelah Perang Dunia I (Severin; Tankard Jr, 2007:127). Pada dunia akademis atau jajaran per-guruan tinggi pun,propaganda tersebut seakan ditabukan. Kegiatanpropaganda memang san-gat terkait dengan kepentingan politik.Keg-iatan propaganda paling mencolok mendapat sorotan adalah propaganda Hitler dalam mem-pengaruhi bangsa Jerman dengan ajaran atau paham Nazi.Penggunaan propaganda secara intensif dalam bidang politik dilakukan oleh Hitler bersama dengan menteri propagandanya Joseph Goebbels. Kebohongan-kebohongan, ancaman, dilakukan dalam menyebarkan, menanamkan dan menumbuhkembangkan idiologi fasisme nazional socialisme (Nazi) terutama untuk merebut, meraih, memperluas,

dan mempertahankan kekuasaannya. Yang penting, bagi Hitler untuk mencapai suatu tu-juan segala cara dapat dihalalkan. Menurut Ardial (2009:186) sejak itu, istilah propagan-da mendapat reaksi negatif di negara-negara demokrasi, karena dengan propaganda Nazi, banyak korban jiwa...Semua negara demokrasi yang dipelopori Amerika serikat, sangat anti terhadap kegiatan propaganda.Propaganda sedikit pun tidak ada memberikan pencitraan yang baik, tetapi melulu menimbulkan kesan yang buruk. Dalam dunia ilmu komunikasi sendiri pun demikian.Ilmu tentang propaganda diang-gap tidak mempunyai manfaat yang berarti.Barangkali propaganda lebih cocok dipelajari oleh orang yang memang ditargetkan untuk mendalami kegiatan perang, seperti dunia mi-liter. Hal ini sangat relevan dikaitkan dengan pendapat Lasswell (dalam Severin; Tankard Jr, 2007:129) bahwa tujuan utama propaganda adalah: 1. untuk menumbuhkan kebencian ter-hadap musuh; 2. untuk melestarikan persaha-batan sekutu; 3. untuk mempertahankan per-sahabatan dan, jika mungkin, untuk menjalin kerja sama dengan pihak-pihak netral, dan 4. untuk menghancurkan semangat musuh. Dari rangkaian tujuan utama propa-ganda menurut Lasswell tersebut terlihat jelas bahwa kegiatan propaganda dilakukan semata-mata terbatas pada waktu terjadi permusuhan atau peperangan, atau setidak-tidaknya ketika terjadi konflik antara satu pihak dengan pihak lainnya.Pada saat konflik terutama jika telah terjadi perang total, propaganda telah diakui sebagai suatu alat untuk memenangkan per-ang.Dalam kondisi seperti itu sangat diperlu-kan upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk membangkitkan, meningkatkan semangat pi-hak sendiri, upaya-upaya untuk meraih, mem-peroleh dukungan dari pihak ketiga mencakup sahabat dan juga pihak-pihak netral. Contohnya, berkaitan dengan konflik kasus Ambalat antara Indonesia dan Malaysia. Sejak peristiwa klaim Malaysia atas Ambalat itu, langkah-langkah mempengaruhi pihak lain

Page 47: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

41

pun dilakukan oleh`Malaysia dan Indonesia un-tuk memperjuangkan kepentingan, membena-rkan alasan-alasan, juga untuk memperoleh dukungan dari berbagai pihak. Intinya, kedua pihak ingin memenangkan pengaruh sekaligus memenangkan kepemilikan terhadap Ambalat (Ginting Munthe, 2006:14).Sama halnya pada tahun 2003, dalam peristiwa penyerangan Irak oleh Amerika Serikat bersama sekutunya…ter-jadilah perang argumentasi, perang informasi, perang fakta, perang propaganda, dan rang-kaian kegiatan perang urat syaraf antara kedua kubu (Ginting Munthe,2006a:65).Tujuan po-kok semua kegiatan itudilakukan adalah guna menghancurkan, melemahkan pihak musuh, sehingga dalam pertikaian, konflik, atau peper-angan itu diperoleh kemenangan. Padahal, apabila ditelaah lebih mendalam, propaganda tidak hanya dilakukan pada waktu perang, teta-pi dalam situasi apa pun bisa digunakan untuk mempengaruhi pihak lain agar melakukan ses-uatu sesuai dengan keinginan si propagandis. Mungkin juga karena itu, Lasswell, sepuluh tahun kemudian, tahun 1937 mendefi-nisikan “propagandadalamartiyangpalingluasadalahteknikmemengaruhitindakanma-nusiadenganmemanipulasi representasi (pe-nyajian). Representasi bisa berbentuk lisan,tulisan,gambarataumusik” (Severin; Tankard Jr, 2007:128). Dalam pengertian seperti ini, penggunaan propaganda terlihat lebih umum, tidak terikat pada waktu, kondisi, situasi ter-tentu.Artinya, setiap saat bisa dilakukan, baik perang maupun damai, baik dalam keadaan genting atau keadaan biasa-biasa saja, propa-ganda dapat dilakukan. Kata memanipulasi menunjukkan bahwa dalam kegiatan propa-ganda diperlukan dan diperkenankan berbagai cara (jujur atau tidak jujur, halus atau kasar, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik) dalam menyajikan sesuatu kepada sasaran. Yang penting adalah supaya dapat diterima, dipercaya, diyakini, akhirnya didukung oleh sasaran/penerima. Pengungkapan sesuatu yang diharapkan diterima itu pun bisa diwujudkan melalui berbagai bentuk lambang komunikasi

seperti kata-kata lisan, tertulis, suara musik, lagu, coretan, gambar maupun bentuk lain. Di Indonesia, pada era tahun 1990an, mata kuliah Propaganda dijadikan sebagai salah satu mata ujian Negara pada jurusan ilmu komunikasi. Pada waktu itu status per-guruan tinggi swasta (PTS) masih dibagi men-jadi tiga katagori, yaitu Terdaftar, Diakui, dan Disamakan.Lulusan PTS diwajibkan menem-puh beberapa mata kuliah yang diberlakukan sebagai mata ujian Negara. Dewasa ini, terkait dengan status, perguruan tinggi tidak dibeda-kan antara perguruan tinggi yang dikelola oleh Negara (PTN) maupun oleh swasta (PTS). Dengan demikian, semua perguruan tinggi di-anggap sama martabatnya, yang mempunyai otoritas masing-masing. Namun, semua pro-gram studi yang diasuh harus mendapatkan akreditasi. Meskipun status terakreditasi mem-punyai tingkatan A,B,C tetapi tidak dikenakan lagi kewajiban ujian Negara meliputi mata ku-liah tertentu. Kini, jika diperhatikan kurikulum ilmu komunikasi di beberapa perguruan tinggi, ternyata banyak yang telah menghilangkan ataudengan kata lain, tidak mengajarkan mata kuliah Propaganda. Terlepas dari itu, kenyataan menunjuk-kan bahwa ada pihak yang memandang pro-paganda hanya sebagai kegiatan. Kegiatan tersebut pun sekadar mencerminkan tindakan yang buruk. Ada pula pihak yang melihat pro-paganda sebagai suatu teknik seni dari keg-iatan yang buruk tadi. Namun, di sisi lain, ada pula pihak yang memandang propaganda seb-agai suatu ilmu, sehingga kedudukannya lebih tinggi. Semua pandangan tersebut sah-sah saja karena masing-masing memiliki argumentasi. Beranjak dari kenyataan di atas, san-gatlah diperlukan suatu pemahaman tentang propaganda.Apalagi sebagai suatu ilmu, yang dapat dikaji atau dipelajari.Suatu ilmu dipela-jari untuk mengetahui hakekatnya.Suatu ilmu juga dapat diterapkan atau diaplikasikan untuk kepentingan kehidupan manusia yang mem-pelajarinya.Ilmu tentu tidak ada yang jelek. Mungkin, yang membuat jelek suatu istilah

Page 48: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

42

atau suatu ilmu adalah faktor ulah manusia yang menggunakannya, atau menerapkannya. Termasuk begitu buruknya persepsi orang ter-hadap propaganda, terjadi akibat ulah manusia yang menerapkannya.Karena itu, ada baiknya kita coba mempelajarinya secara lebih objek-tif.Apalagi jika dikaitkan dengan propaganda yang semakin banyak dilakukan oleh manu-sia, baik secara sadar atau tidak, melingkupi berbagai aspek kepentingan, politik, sosial, ekonomi dan sebagainya.Dari cakupan yang sempit sampai yang luas menggelobal.Berkai-tan dengan kelompok yang kecil atau organ-isasi sederhana di dalam satu negara, sampai kelompok yang lebih besar, satu negara atau kumpulan beberapa negara. Untuk kepentin-gan pribadi, kelompok, lokal, nasional, mau-pun internasional. Dalam hubungan antarnegara pun ke-giatan propaganda sangat lazim dipraktekkan, meskipun kadang-kadang dilakukan secara tersamar atau tidak diakui sebagai kegiatan propaganda. Hal itu diakuiL. John Martin, yang dalam tulisannya berjudul Keefektifan propaganda Internasional mendefinisikan pro-paganda sebagai kegiatan komunikasi persuasif sebuah pemerintahan yang ditujukan kepada khalayak asing. Menurutnya, hanya sebagian pemerintahan yang mengakui menjalankan propaganda secara terbuka, karena istilah ini memiliki makna buruk. Biasanya dipilih atau dilakukan cara penghalusan (eufemisme) sep-erti program informasi atau kegiatan kebu-dayaan. (dalam Malik; Rakhmat; dan Shoelhi, 1993:183, 185). Karenanya, wajar Edward Bernays menyatakan bahwa propaganda bu-kanlah usaha beberapa orang yang patut dicela untuk meracuni pikiran kita dengan kebohon-gan.Lebih dari itu, propaganda merupakan suatu usaha terorganisasi untuk menyebarluas-kan suatu kepercayaan atau opini.Propaganda baru (new propaganda) merupakan sesuatu yang tersebar lebih jauh lagi, lebih kuat, dan lebih penting daripada sekadar perkemban-gan informasi. Secara lebih tandas Bernay-smengungkapkan, apa pun kepentingan sosial

yang dilakukan sekarang . . . harus dilakukan dengan propaganda . . . sehingga propaganda sangat dibutuhkan bagi peradaban ini (Combs dan Nimmo,1994:57). Dari pendapat tersebut, terlihatlah betapa penting dan besarnya peran propaganda dalam perkembangan sosial atau peradaban manusia.Beranjak dari paparan di atas, tulisan ini men-coba melihat propaganda secara lebih jernih, sehingga akan terurai kaitan propaganda den-gan komunikasi, atau ilmu komunikasi. Juga mengupas sejarah propaganda dari aspek keg-iatan dan terminology.

B. PEMBAHASAN1. Bermula dari Komunikasi Mempelajari propaganda kita mulai penelusuran dari “komunikasi”.Istilah komuni-kasi bagi masyarakat umum tentu tidak asing, bahkan komunikasi dianggap sebagai suatu hal yang rutin dalam kegiatan manusia.Coba cer-mati kegiatan kita sehari-hari, dominan diisi dengan kegiatan komunikasi. Penelitian mem-buktikan bahwa 75 persen waktu bangun kita berada dalam kegiatan komunikasi. . . .dapat dipastikan bahwa sebagian besar komunikasi itu dilakukan secara lisan (Rakhmat,2002:2). Hal itu wajar terjadi, karena kita adalah makh-luk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan manusia lain. Mulai dari manusia dalam lingk-up anggota keluarga kita, selanjutnya manusia lain yang menjadi tetangga kita, diteruskan ke manusia pada lingkungan yang lebih luas lagi pada masyarakat. Jadi, wajarlah bahwa ko-munikasi merupakan hal yang umum bagi se-seorang.Tetapi, apakah yang dimaksud dengan komunikasi? Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa Latin Communicatio, asal kat-anya Communis=sama. Kesamaan arti atau makna mengenai sesuatu. Secara terminologi komunikasi adalah proses penyampaian per-nyataan oleh seseorang kepada orang lain. Secara pragmatis komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang ke-pada orang lain untuk memberitahu atau un-

Page 49: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

43

tuk mengubah sikap, pendapat, atau prilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media (Effendy, dalam Ar-dial,2009:21). Everet M. Rogers menekankan bahwa komunikasi adalah proses di mana ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud mengubah tingkah laku mereka. Kemudian dikembangkan Kin-caid (1981), komunikasi adalah proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melaku-kan pertukaran informasi satu sama lainnya yang pada gilirannya timbul saling pengertian yang mendalam(Ardial,2009:21).Sedangkan Hovland mengartikan, communication is theprocesstomodifythebehavioroftheotherin-dividuals– proses memodifikasi tingkah laku atau perbuatan seseorang, tentu sesuai dengan yang kita kehendaki, atau yang kita inginkan. Berbagai pengertian diungkapkan orang tentang konsep komunikasi, bermacam definisi, bahkan bisa mencapai ratusan, di-sodorkan para ahli mengenai komunikasi. Ada yang mengemukakan definisi dengan menekankan prosesnya, ada yang menekankan tindakannya, ada pula yang menekankan kan-dungan unsur-unsurnya, serta ada juga yang melihat tujuannya. Yang pasti, masing-mas-ing definisi ditentukan berdasarkan cakrawala pandangan, minat atau keahlian individu yang mengungkapkannya, dan bisa saja masing-ma-sing pendekatan yang dilakukan itu unik. Hal ini menurut West dan Turner (2008:5) terjadi karena para ahli cenderung melihat fenomena manusia melalui sudut pandang mereka send-iri . . .Artinya, ahli dalam bidang komunikasi akan menggunakan pendekatan yang berbeda dalam menginterpretasikan komunikasi karena nilai-nilai yang mereka miliki juga berbeda. Berkaitan dengan pengertian komunikasi yang diberikan pun, bisa mengalami perubahan, berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban, kebudayaan, ketrampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehubungan dengan pandangan di atas, West bersama Turner, (2008:5-8) mendefi-nisikan komunikasi (communication) adalah

proses sosial di mana individu-individu meng-gunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam ling-kungan mereka. Definisi dari West dan Turner ini mengandung lima kata kunci yaitu sosial, proses, symbol, makna, dan lingkungan. Sebagai suatu proses sosial menunjuk-kan bahwa komunikasi selalu melibatkan ma-nusia serta interaksi. Ketika dipandang secara sosial, komunikasi selalu melibatkan dua orang yang berinteraksi dengan berbagai niat, moti-vasi dan kemampuan . . . komunikasi sebagai proses, berarti komunikasi mempunyai sifat yang berkesinambungan dan tidak memiliki akhir.Ko-munikasi juga bersifat dinamis, kompleks, dan senantiasa berubah.Simbol (symbol) adalah se-buah label arbitrer atau representasi dari fenom-ena. Biasanya telah disepakati bersama dalam sebuah kelompok, tetapi mungkin saja tidak di-mengerti di luar kelompok tersebut.Dalam hal ini ada simbol konkrit (concretesymbol) – symbol yang merepresentasikan benda – dan simbol ab-strak (abstract symbols) - simbol yang merep-resentasikan suatu pemikiran atau ide. Makna adalah yang diambil orang dari suatu pesan. Pesan dapat memiliki lebih dari satu makna.Lingkungan (environment) adalah situasi atau konteks di mana komunikasi terjadi.Lingkun-gan terdiri dari beberapa elemen, seperti waktu, tempat, periode sejarah, relasi, dan latar be-lakang budaya pembicara dan pendengar. Dengan uraian yang lengkap mengenai masing-masing pengertian dan keterkaitan anta-ra kata-kata kunci yang terdapat dalam definisi tersebut, kemudian Turner dan West memberi-kan gambaran secara skema sebagai berikut:

Gambar 1

Page 50: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

44

Begitu banyak definisi komunikasi, se-hingga menurut Dan Nimmo seakan-akan dio-bral. Nimmo (2005:7) pun mendefinisikan, ko-munikasi sebagai proses interaksi social yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk ber-tukar citra itu melalui symbol-simbol. Di samping definisi ahli dari asing yang begitu banyak, dari Indonesia pun tidak ketingga-lan. Mungkin pembaca sendiri juga mempunyai pengertian atau definisi komunikasi. Itu sah saja. Salah satu definisi dikemukakan di bawah ini dan dikembangkan di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, seb-agai perguruan tinggi yang tertua mendalami dan mengembangkan ilmu komunikasi (berdiri tanggal 5 Desember 1953 dengan nama Per-guruan Tinggi Ilmu Djurnalistik – salah satu pendirinya adalah almarhum A.M. Hoeta Soe-hoet). Dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Komunikasi, Hoeta Soehoet (2002:2) menge-mukakan bahwa Ilmu komunikasi adalah suatu ilmu yang mempelajari usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataannya ke-pada manusia lain. Sebagai ilmu, maka komu-nikasi memiliki objek kajian yaitu usaha ma-nusia dalam menyampaikan isi pernyataannya kepada manusia lain. Dari definisi tersebut dapat kita tarik satu pengertian bahwa komunikasi adalah suatu proses yang menggambarkan kegiatan manusia dalam menyampaikan isi pernyataan-nya kepada manusia lain. Dari pengertian ini pula kita dapat melihat adanya tiga unsur po-kok komunikasi yaitu: 1. Manusiayanginginmenyampaikan isi pernyataan. Dalam istilah lain yang populer disebut sebagai komunika-tor. Dalam pengertian yang lain ada menyebut-nya sebagai Sumber (source), ada pula yang menyebutnya dalam konteks teknis sebagai Encoder; 2. Isipernyataan yang ingin disam-paikan. Dalam istilah lain yang populer dise-but sebagai message, atau pesan, ada pula yang menyebutnya sebagai lambang; dan 3. Manu-sialain yang menjadi sasaran/tujuan penyam-

paian isi pernyataan. Dalam istilah lain yang populer disebut sebagai komunikan. Mungkin juga ada menyebutnya sebagai Sasaran, Tujuan (Destination), Decoder. Mengapa orang berkomunikasi? Se-tiap orang melakukan tindak komunikasi pasti mempunyai alasan. Alasan atau hal yang men-dorong seseorang untuk menyampaikan isi pernyataannya kepada orang lain disebut motif komunikasi. Menurut Hoeta Soehoet (2002a: 48) ada enam gradasi intensitas (tingkat kekua-tan) yang dapat dicapai isi pernyataan, yaitu 1. pemberitahuan, 2. penerangan, 3. pembujukan atau persuasi, 4. propaganda, 5. agitasi, dan 6. indoktrinasi. Dari paparan di atas terlihat bahwa tingkat gradasi keempat, adalah propaganda. Pada tingkatan propaganda, komunikator seka-ligus sebagai propagandis menyampaikan isi pernyataan kepada komunikan yang bisa men-gandung fakta dan nonfakta. Kandungan atau muatan isi pernyataan dapat dicampur antara hal-hal yang benar terjadi dengan yang ti-dak benar terjadi, dicampur antara fakta yang benar sebagaimana adanya atau dicampur dengan fakta yang dibuat berdasarkan kebo-hongann atau hasil rekayasa, manipulasi.Sesu-dah itu komunikator/propagandis memibujuk komunikan supaya menyetujui kandungan isi pernyataan untuk kepentingan komunikator.Gradasi intensitas dikandung oleh motif komu-nikasi komunikator adalah supaya komunikan melaksanakan isi pernyataan untuk kepentin-gan komunikator.

2. Bagian Ilmu Komunikasi Dalam buku Teori Komunikasi 1, Hoe-ta Soehoet, (2002a: 9) mengatakan, Ilmu Ko-munikasi teoritika adalah ilmu yang mempe-lajari usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataannya kepada manusia lain. Ilmu ko-munikasi praktika adalah ilmu yang mempela-jari penggunaan ilmu komunikasi teoritika un-tuk mencapai beberapa tujuan hidup. … Ilmu komunikasi teoritika digunakan untuk men-cari kebenaran, semata-mata untuk kebena-

Page 51: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

45

ran saja.Ilmu komunikasi praktika, digunakan untuk mencapai beberapa tujuan hidup. Dari ilmu komunikasi teoritika dapat disusun lebih dari satu ilmu komunikasi praktika…(Hoeta Soehoet,2002a:16,17). Dengan demikian lahir-lah beberapa ilmu komunikasi praktika yang digunakan atau diaplikasikan manusia sesuai dengan beberapa tujuan hidup dalam usaha manusia mencapai atau memperoleh kebaha-giaan. Di antaranya termasuk ilmu perang urat syaraf, ilmu propaganda, ilmu retorika. Ilmu Propaganda adalah salah satu ilmu komunikasi praktika.Ilmu teoritikanya adalah ilmu komunikasi teoritika.Ilmu teori-tika ini digunakan untuk mencapai keba-hagiaan di bidang politik. Objek kajiannya adalah bagaimana caranya menyampaikan isi pernyataan agar komunikan memahami isi pernyataan tersebut sebagaimana dimaksud-kan oleh komunikator dan komunikan melak-sanakannya untuk kepentingan komunikator (Hoeta Soehoet,2002a:19). Ilmu Retorika adalah salah satu ilmu komunikasi praktika.Ilmu teoritikanya adalah ilmu komunikasi teoritika.Ilmu teoritika ini digunakan untuk mencapai kebahagiaan di bidang komunikasi lisan. Objek kajiannya adalah bagaimana caranya menyampaikan isi pernyataan dengan lisan agar komunikan me-mahami isi pernyataan tersebut sebagaimana dimaksudkan oleh komunikator (Hoeta Soe-hoet, 2002a: 19). Mengenai retorika sebagai ilmu, ada yang menyebutnya sebagai Ilmu bicara atau ilmu bertutur kata. Namun, terkait dengan pro-paganda, retorika pun sering dianggap orang sebagai suatu kegiatan yang negatif seperti dikemukakan oleh Y.B.Mangunwijaya, seb-agaimana dikutip Rakhmat (2002: v) bahwa: pengertian retorika biasanya kita anggap nega-tif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manu-sia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa se-

laku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran.

3. Sejarah Propaganda Propaganda berasal dari kata Latin Propagare (kata kerja) yang mempunyai arti menyebarkan, menaburkan, membibitkan, yang dalam bahasa Inggris diartikan dengan to propagate,generate, atautoproduce. Dengan demikian, kata propagare bermakna mena-namkan, atau memperbanyak tanaman. Secara singkat tindakan propagare bertujuan untuk memperbanyak populasi tanaman yang bisa di-lakukan dengan semaian bibit, dengan memo-tong atau stek, mencangkok. Kata propagare tadinya memang banyak digunakan dalam ilmu biologi terutama bidang pertanian. Kemudian kata ini tumbuh subur setelah berada pada ilmu sosial, dalam arti penyebaran ide atau gagasan, keyakinan, isme tertentu. Dalam Ensiklopedia Indonesia (Reda-ksi, h 2778) disebutkan kata Propagare = per-luasan. Dalam upaya perluasan yang dimak-sud, kegiatan propaganda berarti mengandung informasi terpilih, benar atau salah, yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut sesuatu keyakinan, sikap, atau arah tindakan tertentu.Selama abad ke-20 semua idiologi politik menggunakan propa-ganda serta memanfaatkan media modern un-tuk mencapai pendengarnya. Propaganda juga memainkan peranan penting dalam peperangan modern, dan selama Perang Dunia II, biro-biro dan badan-badan khusus telah diadakan untuk memperteguh moral pihak sendiri, dan seba-liknya, melumpuhkan pihak lawan. Di sisi lain, menyangkut suatu lem-baga, disebutkan: Propaganda Fide sebagai 1). Kongregasi di Roma untuk menyebarkan iman; nama baru SacraCongregatioproGen-tiumEvangelisatione, instansi gerejani terting-gi yang mengurus misi serta, kegiatannya dan membagi-bagi daerah misi menjadi wilayah perserikatan-perserikatan misi, mengangkat prefek-prefek dan vikaris-vikaris apostolik (berhubungan dengan atau berdasarkan aja-

Page 52: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 146

ran para rasul – pen. ) 2). Perguruan tinggi di Roma yang dibiayai Kongregasi Propaganda Fide bagi pendidikan imam-imam pribumi untuk tanah misi. Untuk meneliti arti propaganda, ada baiknya ditinjau kembali ”saat kelahiran” istilah itu pada perbendaharaan kata manu-sia. Pengertian kata propaganda dalam arti yang baik sangat erat hubungannya den-gan sejarah perkembangan agama Nasrani, yaitu berupa kegiatan-kegiatan para Mis-ionaris atau para Apostel yang memasuki segala pelosok dunia untuk menyebarkan kebesaran dan kesucian Tuhan pada seluruh umat manusia. Penggunaan kata propagan-da secara populer pertama kalinya adalah untuk penyebaran agama Kristen di mana pada tanggal 6 Januari 1622 Paus Grego-rius ke XV mengeluarkan sebuah dekrit yang mendirikan badan bernama: ”SacraCongregatio dePropagandaFideatau Sa-cred Congregation for Propagation of theFaith” (Perhimpunan Suci untuk penyeba-ran Agama) yang dalam hal ini penyebaran agama Kristen Roma Katolik (Simatupang, dalam Deppen RI,1995: 68). Berkaitan dengan pendirian lembaga itu, Nimmo (2005:124) menyebutkan tahun 1622 Paus Gregorius XV membentuk suatu komisi para kardinal, Cogregatio de Propa-ganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan Kristiani di antara bangsa-bangsa lain . . . para misioner ditugasi untuk menyebarkan doktrin, seorang misioner untuk satu kelompok yang terdiri atas beberapa ribu pemeluk baru yang diharapkan. Severin; Tankard Jr, (2007:128) mengatakan pendirian lembaga tersebut ter-catat sebagai penggunaan istilah propaganda pertama sekali dilakukan. Paus sebagai pimpi-nan Gereja Roma Katolik mendirikan sebuah lembaga bernama Congregatiodepropagandafide atauCongregationforthePropagationofFaith, saat terjadinya reformasi, di mana berb-agai kelompok membelot dari Gereja Katolik dan jemaat tersebut adalah bagian dari gereja kontra-Reformasi. Isu yang besar dalam peri-

ode ini adalah pertentangan antara ilmu penge-tahuan dan agama sebagai sumber ilmu tentang dunia.Seorang tokoh utama dalam pertentan-gan ini adalah Galileo, yang beragumentasi berdasarkan observasi melalui sebuah teleskop bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.Pe-mikiran ini secara langsung menentang ajaran agama Katolik, yang merupakan salah satu teori yang dilarang gereja.Galileo diadili dan dijatuhi hukuman dalam pengadilan tahun 1633 dan diminta untuk menarik pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Nama lembaga yang didirikan Paus itu akhirnya mempopulerkan kata propaganda. Adapun tugas lembaga tersebut antara lain untuk mempersiapkan bahan-bahan untuk penyebaran agama katolik, mempersiapkan tenaga-tenaga untuk ditugaskan sebagai pe-nyebar agama katolik, mempersiapkan dan menentukan metode penyebaran agama kato-lik yang disesuaikan dengan sasaran, juga me-nampung dan mempelajari laporan-laporan para penyebar (misionaris), serta mengadakan evaluasi terhadap semua kegiatan yang telah dilakukan, sehingga dapat disempurnakan rencana penyebaran yang lebih baik. Pada dasarnya suatu propaganda se-bagai bagian dari kegiatan komunikasi se-harusnya merupakan “symbolic interaction” dengan menggunakan lambang-lambang komunikasi yang penuh arti, yaitu: bahasa (lisan dan atau tulis), gambar-gambar, tanda-tanda, isyarat-isyarat, dan telah dirumuskan/di-encode sedemikian rupa sehingga dapat merangsang jiwa komunikan untuk menerima pesan dan kemudian memberikan reaksinya yang pada akhirnya menumbuhkan efek atau hasil seperti yang telah direncanakan atau ditetapkan oleh komunikator. Dalam hubun-gan dengan symbolicinteraction, kegiatannya bersifat kejiwaan atau psikologis. Namun, karena perkembangan dari ilmu itu sendiri sesuai dengan zamannya, maka ke-nyataan itu merupakan fakta untuk diterima yang bertujuan untuk mengadakan perubahan sikap, pandangan, dan tingkah laku komunikan.

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

Page 53: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 47

Propaganda pada dasarnya bersifat persuasi. Metode persuasi menggunakan him-bauan, rayuan, ajakan, ”iming-iming” dengan tujuan agar komunikan dengan senang hati, su-karela melakukan sesuatu sesuai dengan pola yang ditentukan komunikator. Persuasi meru-pakan suatu gejala kejiwaan atau psychologis, ia menyangkut kepada suatu penggerakan jiwa untuk melakukan sesuatu dengan rela dan ke-hendak sendiri. Namun, sifat persuasi di sini hanyalah sebagai bagian dari teknik untuk mempengaruhi orang agar melakukan sesuatu, dalam konteks orientasinya adalah untuk ke-pentingan komunikator. Penggunaan istilah atau terminologi propaganda pertama sekali tercetus pada saat Paus mendirikan lembaga penyebaran agama sacra congregatio de propaganda fide.Pen-gungkapan istilah pertama kali ini dianggap sebagai kelahiran terminologi propaganda.Hal ini juga menyiratkan bahwa propaganda seb-agai istilah lahir dalam konteks penyebaran agama. Namun karena akhirnya propaganda lebih banyak dilakukan untuk menanamkan suatu ajaran politik dalam kerangka mencari dukungan, mencari kekuasaan, maka justru propaganda dalam konteks politik ini yang sangat membesarkan kegiatan propaganda, yang akhirnya memperoleh citra buruk. Maka timbul pertanyaan, sejak kapankah kegiatan propaganda dilakukan?Sebelum men-jawab pertanyaan tersebut, ada baiknya ditin-jau lebih dahulu masalah pokok atau kajian po-kok propaganda.Dari pengertian propaganda dapat ditarik suatu landasan mengenai objek kajian propaganda.Dalam kaitan itu, R.M. Si-matupang mengatakan, beragam alasan orang melakukan berbagai kegiatan propaganda baik di bidang politik, di bidang ekonomi, di bidang agama dan lain-lain.Menurutnya, persoalan pokok di dalam propaganda adalah ”How toinfluence and to control the mind’s of men’’ - Bagaimana mempengaruhi dan menguasai pikiran manusia (Deppen RI,1995: 31). Mem-pengaruhi dalam hal ini berarti adanya suatu kekuatan di dalam diri seseorang yang ber-

peran sebagai propagandis untuk mengarah-kan atau menanamkan sesuatu kepada orang lain (propagande). Arahan ini bisa dalam ben-tuk pengertian, pemahaman, mengenai suatu objek dalam pesan yang disampaikan. Sedan-gkan menguasai berarti kita bisa mengarahkan pemahaman itu untuk ditindaklanjuti dengan perbuatan oleh propagande. Tindakan yang dimaksud tentu saja dalam rangka mencapai tujuan atau kepentingan propagandis. Dengan demikian propaganda mempunyai targetsam-pai pada tingkah laku atau perbuatan orang yang dipropagandai, sesuai dengan yang di-arahkan, diinginkan, atau kepentingan dari orang yang mempropagandai. Hanya dengan kenyataan seperti itu maka dapat dikatakan bahwa kita sudah menguasai pikiran ses-eorang.Bagaimana caranya? Banyak cara yang dapat dilakukan un-tuk mempengaruhi jalan pikiran manusia. Bisa dengan memakai kata-kata bujukan atau ra-yuan supaya dia mengikuti apa yang kita in-ginkan. Bisa dengan mengiming-iming atau menjanjikan sesuatu yang sangat indah, se-hingga menarik baginya, yang apabila dia ikuti setidaknya akan menguntungkan kepadanya. Atau sebaliknya, bisa pula dengan mengung-kapkan sesuatu sedemikian rupa, yang kadang-kadang dibumbui dengan kenyataan semu atau kebohongan supaya dia merasakan suatu yang buruk terhadap dirinya.Adanya rasa takut yang dapat menekan tindakannya. Bisa dilakukan dengan menyogok, agar mempengaruhi pan-dangan atau pendapatnya, dengan janji muluk- muluk dan lain-lain cara atau tindakan. Setelah jalan pikiran manusia dikua-sai atau dapat dikendalikan dengan sendir-inya tindakan-tindakannya dikuasai juga.Dengan demikian, kegiatan propaganda hakekatnya menghendaki sampai seseorang melakukan sesuatu seperti yang diarahkan atau yang diinginkan. Bukan sekadar sasa-ran telah menerima, memahami sesuatu, atau menyetujui sesuatu. Tetapi lebih jauh dari itu, pemahaman, penerimaan, persetujuan terha-dap sesuatu itu harus direalisasikan sampai

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

Page 54: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 148

ke tingkat tindakan atau perbuatannya. Di situlah terwujud keberhasilan propaganda. Dengan demikian, kembali pada per-tanyaan di atas, sejak kapankah kegiatan pro-paganda dilakukan? Tentu dikaitkan ke ka-jian pokok ‘Bagaimana mempengaruhi danmenguasaipikiranmanusia’ agar orang yang dipropagandai melakukan tindakan untuk mencapai tujuan propagandis. Jawaban yang diberikan bisa bermacam-macam, dengan alasan yang beragam pula. Namun, hakekat jawaban itu harus menggambarkan suatu awal tindakan manusia yang dapat disebut sebagai tindakan atau kegiatan propaganda. Jika ada yang mengatakan bahwa kegiatan propaganda untuk pertama kalinya dilakukan sejak manu-sia berinteraksi dengan manusia lainnya, maka itu berarti terjadi sejak manusia diciptakan Tu-han yaitu Adam dan Hawa. Lihatcatatan1) Setelah membaca Catatan 1). Apakah anda melihat adanya propaganda di situ? Apak-ah anda setuju dengan pernyataan bahwa pada peristiwa itulah kejadian propaganda yang per-tama? Kalau setuju mengapa dan kalau tidak setuju apa pula alasannya?

1 Setelah Tuhan menciptakan bumi beserta isinya termasuk manusia, kemudian diurai-kan dalam KEJADIAN 2:15-17 Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkan-nya dalam taman Eden untuk mengusa-hakan dan memelihara taman itu. Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada manusia: ”Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kamu makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pas-tilah engkau mati”. Kej.3:1-13 Adapun ular ialah yang paling cerdik dari binatang di da-rat yang dijadikan oleh Tuhan Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Al-lah berfirman: semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: “Buah pohon-pohon dalam taman ini boleh kami makan, tetapi buah pohon yang ada di ten-gah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan

kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati”. Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya, matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Al-lah, tahu tentang yang baik dan yang jahat”. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatan-nya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan memakannya dan diberikan-nya juga kepada suaminya, yang bersama-sama dengan dia dan suaminya pun me-makannya. Dan terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun po-hon ara dan membuat cawat. Ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi Tu-han Allah memanggil manusia itu dan berfir-man kepadanya: “Di manakah engkau?” Ia menjawab:”Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi”. Firman-Nya: “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?” Manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang mem-beri dari buah pohon itu kepadaku, maka ku-makan”. Kemudian berfirmanlah Tuhan Allah kepada perempuan itu: “Apakah yang telah kauperbuat ini?” Jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan”. (Sumber: Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Penerjemah Nugroho Ha-naniel, Cetakan kedelapan, Penerbit Gan-dum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta,2004).

C. KESIMPULAN Dari paparan yang dikemukakan di atas dapat ditarik beberapakesimpulan. Komunika-si merupakan perilaku manusia yang berproses dalam penyampaian isi pernyataan meliputi pikiran, kehendak, atau perasaannya kepada orang lain, baik secara lisan maupun tertulis,

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

Page 55: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 49

diiringi gerak gerik, sikap tubuh dan mimik, serta lambang-lambang lainnya.Jika dikaitkan dengan kegiatan komunikasi maka propaganda merupakan bagian dari kegiatan komunikasi.Komunikasi dilakukan dengan berbagai tingkat tujuan.Propaganda merupakan suatu tujuan pencapaian isi pernyataan dalam melakukan komunikasi yaitu agar komunikan memahami isi pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keinginan komunikator dan komunikan melak-sanakannya untuk kepentingan komunikator.Faktor kepentingan komunikator dalam propa-ganda menjadi patokan.Untuk mencapai tujuan tersebut, kandungan isi pernyataan bisa berupa fakta atau nonfakta, bisa kebenaran atau kebo-hongan.Semua isi itu dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu keyakinan, sikap, sampai pada arah tindakan tertentu. Apabila dikaitkan dengan konteks ilmu maka ilmu propaganda merupakan salah satu ilmu praktika dari ilmu komunikasi. Propaganda mempunyai kajian pokok “Howtoinfluenceandtocontrolthemind’sofmen’’ - Bagaimana mempengaruhi dan men-guasai pikiran manusia. Tindakan ini sebagai bagian dari upaya membujuk orang lain agar mengikuti atau melakukan sesuai keinginan propagandis telah dilakukan pada awal pen-ciptaan manusia (KisahAdamdanHawapadaCatatan1). Sebagai suatu peristilahan, penggu-naan kata propaganda diawali pada lingkungan agama Roma Katolik ketika Paus Gregorius XV mendirikan lembaga SacraCongregatiodePropagandaFide pada awal abad ke-17. Jadi istilah propaganda lahir dalam upaya penyeba-ran suatu keyakinan/agama. Namun, pada abad berikutnya propaganda justru lebih banyak di-gunakan dalam tujuan politik, sehingga propa-ganda lebih berkembang di bidang politik. ***

DAFTAR PUSTAKAArdial. 2009.KomunikasiPolitik, PT Indeks, Jakarta.Combs, James E.; Nimmo, Dan. 1994.Propa gandaBaru,KediktatoranPerundingan

dalamPolitikMasaKini,Penerjemah : Lien Amalia, Remaja Rosdakarya, Bandung.Deppen RI.1995.PengetahuanPenerangan BagiPetugasPenerangan,ProyekOp erasiPenerangan, Kanwil Deppen RI Provinsi Jawa Barat.Ginting Munthe, Moeryanto. KonflikMenge naiBlokAmbalatDalamPres pektifPerangUratSyaraf. Jurnal ilmiah COMMUNIQUE Vol 2 No.2 Januari 2006, FISIP, Universitas Pelita harapan, Tangerang, Hal 13-31.--------, PropagandadanPerangUratSyaraf (KasusInvasiASkeIrak2003).Jurnal IISIP, Edisi 02/Januari 2006, Yayasan kampus Tercinta, Hal 63-82.Hoeta Soehoet,A.M. 2002.PengantarIlmuKo munikasi, Yayasan Kampus Tercinta- IISIP Jakarta. --------. 2002a.TeoriKomunikasi1, Yayasan Kampus Tercinta-IISIP Jakarta. Malik, Dedy Djamaluddin; Rakhmat, Jalalu ddin; Shoelhi, Mohammad. 1993. KomunikasiInternasional,LP3Kdan RemajaRosdakarya, Bandung.Nimmo,Dan.2005. KomunikasiPolitik komunikator,Pesan,dan Media,Cetakan keenam,Penerjemah Tjun Surjaman, PT Remadja Rosdakarya, Bandung.Rakhmat, Jalaluddin. 2002.RetorikaModern PendekatanPendekatanPraktis, Ce takan kedelapan, PT Remaja Rosda karya, Bandung.Redaksi.EnsiklopediaIndonesia Edisi Khusus, Jilid 5, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.Severin, Werner J; Tankard Jr, James W. 2007. TeoriKomunikasiSejarah,Metode, danTerapandiDalamMedia Massa, Edisi Ke-5, Dialihbahasakan oleh Sugeng Hariyanto, Cetakan ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.Tim Editor. 2004.AlkitabPenuntunHidup Berkelimpahan, Penerjemah Nugroho Hananiel, Cetakan kedelapan, Penerbit

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

Page 56: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 150

Gandum Mas dan Lembaga Alkitab In donesia, Jakarta.Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa. 2008. KamusBesarBahasaIndonesia, Edisi Keempat, cetakan pertama, Ja karta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional dan

PT Gramedia Pustaka Utama.

West, Richard; Turner, Lynn H. 2008. Pengan tarTeoriKomunikasiAnalisisdanAp likasi Edisi 3, Buku 1, Penerjemah: Maria Natalia Damayanti Maer, Salemba Humanika, Jakarta.

Propaganda dan Ilmu Komunikasi• Moeryanto Ginting Munthe

Page 57: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 51

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

Indiwan Seto Wahju Wibowo

Dosen Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, penulis buku SemiotikaKomunikasi(2011) terbitan Mitra Wacana Media

E-mail: [email protected]

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

Soeharto’sdeathbecomesamajortopicofTempoMagazine,issueNo.50/XXXVI/04-10February,2008speciallyinthemagazine’scover.AndthiscoverissocontroversialasdescribesSoehartoasJesusatthelastsupperaniconicChristianitysymbol.ThelastsupperisthefinalmealthataccordingtoChristianbelief,JesussharedwithhisapostlesinJerusalembeforehiscrucifixion.ThisresearchisabouttodescribewhatTempoMagazineplaytheirroleassocialcontrolandit’srivalitationtowardsSoeharto.ThepurposeofthisResearchistofindoutthemeaningbehindtheTempoMagazineCoverasdescribesSoeharto–theformerIndonesiaPresident-asJesus.

Katakunci:maknakematianSoeharto,SemiotikaCharlesSanderPeirce,Kualitatif

ABSTRACT

1.1 LATAR BELAKANG Berita adalah komoditi yang dijual be-bas. Sesuai konsep dagang, terkadang apapun dilakukan, demi urusan ’komoditi’ inilah ter-kadang pers terjebak dalam kebebasan mereka sendiri tidak mau peduli terhadap nilai-nilai moral atau nilai-nilai yang dianut kelompok-kelompok masyarakat. Contoh yang paling hangat adalah kontroversi pemuatan cover Soeharto tak lama setelah kematian mantan orang kuat negeri ini. sampul depan majalah tersebut mirip lukisan The Last Supper (per-jamuan terakhir) karya Leonardo da Vinci. Dalam lukisan aslinya, gambar itu adalah gam-bar Yesus dan murid-muridnya . Di dunia politik, komunikasi simbol dalam bentuk lain juga menunjukkan eskalasi ke-pentingan kelompok . Kandidat presiden Ameri-ka Barack Obama sangat marah ketika fotonya yang memakai sorban saat di Kenya, tanah air ayahnya di tahun 2006 disebarkan di berbagai Gambar 1 : Cover Tempo

Page 58: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

media. Ketegangan dengan kubu Hillary Clin-ton tidak terhindarkan. Tengok pula bagaimana fluktuasi emosi massa mengemuka ketika sim-bol-simbol agama dipakai secara tidak tepat di Denmark (kasus kartun Nabi Muhammad) dan cover Tempo 'TheLastSupper' itu muncul. Deretan kasus lainnya: cover album Iwan Fals 'Manusia1/2Dewa' harus berurusan dengan umat Hindu, termasuk juga cover buku Supernova, Dewi Lestari yang memuat simbol/huruf AUM yang merupakan simbol suci umat Bali itu. Termasuk juga suatu kali desain post-er film Amerika "HollywoodBuddha" dengan seorang pria duduk di atas pundak patung Bud-dha dengan alat vitalnya menyentuh tengkuk Buddha. Reaksi keras dari dunia pun bertubi-tubi menghampiri.[1] Komunikasi simbol ini bisa berdam-pak negatif apabila ditanggapi secara radikal oleh mereka yang merasa tersinggung, seb-agaimana yang terjadi pada kasus pemuatan cover majalah Tempo beberapa waktu lalu. Dalam cover edisi no 50/XXXVI/04 - 10 Februari 2008, majalah berita mingguan, Tem-po memuat laporan khusus mengenai mening-galnya mantan presiden Soeharto. Pada sampul depan dengan judul laporan utama Setelah Dia Pergi itu, digambarkan Soeharto duduk di sebuah meja dikelilingi anak-anaknya. Ilustrasi posisi duduk keluarga Cendana dalam sampul halaman depan Tempo tersebut mirip dengan lukisan PerjamuanTerakhirkarya Leonardo da Vinci. Yakni, ketika Yesus Kristus duduk dikelilingi murid-muridnya, menjelang penyaliban.[2] Masalah majalah Tempo itu adalah karena sampulnya mirip dengan TheLastSup-per, lukisan karya Leonardo da Vinci. Dan memang, menurut Kendra Paramita sang ilustrator, sampul tersebut dibuat karena ter-inspirasi TheLastSupper karya Leonardo da Vinci. Sejumlah orang, yang mengaku sebagai perwakilan umat Katolik, mendatangi kantor majalah Tempo untuk mempertanyakan sam-pul majalah itu. Para perwakilan tersebut me-nilai bahwa sampul itu menyinggung perasaan umat Katolik karena menyamakan posisi Yesus

dalam TheLastSupperdengan posisi Soeharto dalam ilustrasi sampul Tempo. "Kami meminta majalah Tempo untuk edisi tersebut ditarik dari peredaran. Itu agar tidak menimbulkan keresahan," kata Hermawi Taslim, Ketua Forum Komunikasi PMKRI usai bertemu Pemimpin Redaksi (Pemred) Tempo, Toriq Hadad, Selasa (5/2/2008). Hermawi yang juga Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini me-nyatakan, dalam pertemuan sekitar 1 jam dengan redaksi Majalah Tempo itu, terjadi perbedaan penafsiran antara umat Kristiani dengan Tempo terkait cover tersebut. Ada tiga poin yang disinggung Hermawi dan PMKRI di dalam pertemuan tersebut. Pertama, mereka menegaskan bahwa cover Tempo tersebut me-nyingung hati nurani dan keimanan umat Kato-lik. Sebab, jelas Hermawi, foto penjamuan tersebut merupakan perlengkapan ibadah bagi kaum Kristiani. "Karena itu, kami minta klari-fikasi dan maaf, serta pertanggungjawaban dari pihak Tempo," katanya. Hermawi juga men-gatakan, dengan dialog di kantor Majalah Tem-po, mereka ingin memastikan bahwa peristiwa yang meresahkan umat beragama seperti itu tidak akan terulang lagi di masa-masa men-datang. "Terutama bagi seluruh umat beragama lainnya di Indonesia," pungkasnya. Perbedaannya cover majalah Tem-po itu adalah tiruan dari sebuah duplikasi lukisan (bukan reproduksi potret/foto diri Yesus). Yang ditiru adalah hasil imajinasi atau khayalan Leonardo di Ser Piero da Vinci pada tahun 1495-1497 (bukan rekaman len-sa kamera yang menampakkan wujud Yesus sesungguhnya—sebab ketika itu belum ada kamera). Mahakarya Leonardo Da Vinci, pe-lukis Renaisans Italia (15 April 1452 – 2 Mei 1519) itu sendiri mesti dipertanyakan akur-asinya sebab posisi duduk semua orang yang digambar disitu tidak sama dengan ketika Yesus dan murid-muridNya duduk makan. Lukisan yang digambar pada dinding biara Santa Maria di Milan itu telah rusak aki-bat dimakan waktu, sehingga yang beredar

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

52

Page 59: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

kemudian adalah duplikasinya yang tidak di-maksudkan Da Vinci—dan tak dapat dinobat-kan—sebagai suatu obyek kudus dalam iman Kristen, sebab selain Da Vinci ada banyak pelukis di berbagai penjuru dunia yang juga menghasilkan gambar serupa itu. Da Vinci menjadi tersohor juga bukan semata-mata karena lukisannya, melainkan karena ia bekerja untuk Raja Louis XII dari Per-ancis di Milan dan untuk Paus Leo X di Roma. Yang jadi masalah adalah mengapa Soeharto yang ditempatkan pada posisi ’Yesus’. Mengapa tokoh kuat di era orde baru ini yang ditempatkan di tengah sebagai simbol perjamuan terakhir menjelang kema-tiannya. Interpretasi yang terlalu berlebihan dari Tempo sedikit banyak melukai perasaan warga Kristen di tanah air. Meski tidak me-ledak-ledak dan keras sebagaimana terjadi pasca pemuatan kartun yang menghina Nabi Muhammad beberapa waktu lalu. . Cover itu sendiri diakui oleh peran-cangnya diilhami oleh lukisan Leonardo Da-vinci The Last Supper, perjamuan terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya sebelum Dia disalib. Namun tokoh-tokoh yang duduk di sekitar meja perjamuan itu adalah Soeharto, dan anak-anaknya (Tutut di kanan dan Sigit di kiri, dan Tomi sedang berbisik entah apa). Postur tubuh tokoh-tokohnya persis lukisan The Last Supper. Sementara Pemred Maja-lah Tempo, Toriq Hadad menyampaikan maaf secara langsung kepada umat Kristiani atas pemuatan cover tabloidnya yang beredar sejak

Senin (5/2). "Atas nama seluruh wartawan dan institusi Tempo, kami meminta maaf jika telah melukai hati umat Kristiani dalam penggunaan poster tersebut. Ke depannya, Tempo akan bersikap lebih hati-hati dalam produk jurnalis kami ke depan," kata Toriq Hadad. Ia mengatakan bahwa Tempo sama sekali tidak melakukan kesengajaan untuk menciderai umat Kristiani dalam pemuatan cover itu. Dia menegaskan, sama sekali tidak bermaksud melecehkan atau merendahkan agama mana pun. Toriq menuturkan, cover majalah tersebut memang dibuat sebagai in-terpretasi dari lukisan Leonardo da Vinci, The Last Supper. "Tetapi bukan mengilustrasikan kejadian di Kitab Suci. Yang jelas, untuk se-gala hal yang menimbulkan ketersinggungan, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan sakit hati, saya sebagai pemimpin Tempo sekali lagi mohon maaf," ujar Toriq.

1.2 RUMUSAN MASALAH Jadi rumusan masalah dalam peneli-tian ini adalah : Apa makna dari tanda ikon, in-deks dan simbol yang ada pada cover majalah Tempo edisi no 50/XXXVI/04 - 10 Februari 2008 ‘ versi ‘Setelahdiapergi’ ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna di balik cover majalah Tempo terkait dengan kematian mantan Pres-iden Soeharto, sekaligus ingin mengetahui bagaimana media massa dalam hal ini maja-lah Tempo mengkonstruksi makna kematian mantan presiden Soeharto

1.4 SIGNIFIKANSI PENELITIAN1.4.1 Signifikansi Akademis Secara teoritis, penelitian ini ingin memberikan pemahaman tentang bagaimana makna yang muncul oleh pemberitaan media terutama makna verbal non verbal. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan akan mem-perkaya studi analisis semiotika dengan para-digma konstruktivisme yang membahas ma-

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

53

Gambar 2 : The Last Supper

Page 60: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

salah penggambaran realitas kematian tokoh terkenal di Indonesia lewat pemakaian gambar dan warna pada cover majalah Tempo. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman teori tentang semiotika media dan konstruksi sosial atas realitas yang dihubung-kan dengan komunikasi politik. Penelitian ini akan menggambarkan realitas kematian man-tan presiden RI Soeharto yang ditampilkan dalam cover majalah, khususnya yang berkai-tan dengan makna-makna yang kontroversial yang ditimbulkannya.

1.4.2 Signifikansi Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis, pengamat media, praktisi partai, para pekerja media khu-susnya surat kabar dan majalah di Indonesia .

KERANGKA PEMIKIRAN2.1. Interpretasi media Persoalan interpretasi. Itu adalah per-nyataan yang paling tepat untuk menganalisis perang simbolik di media massa, terutama saat membahas kontroversi cover tempo. Interpre-tasi lambang simbolik ini paling pas bila kita menggunakan Semiotika. Dalam perkemban-gan semiotik, ada beberapa tokoh yang me-nonjol dan mempengaruhi laju perkembangan-nya, misalnya Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Eco, dan Charles Sanders Peirce. Konsep Barthes banyak dipengaruhi oleh Sau-ssure, sementara konsep Eco mewarisi konsep Peirce. Menurut Aart Van Zoest (1992), Sau-ssure dan Peirce ditahbiskan sebagai Bapak Semiotika Modern.[3]

2.2 Semiotika Istilah semiotik atau semiotika sendiri lebih mengacu pada tradisi Peirce, sementara dalam tradisi Saussure istilah yang dipakai adalah semiologi.Antara Saussure dan Peirce tidak saling mengenal. Saussure tokoh awal linguistik umum, sementara Peirce salah satu ahli filsafat . Latar belakang yang berbeda ini tampaknya berdampak pada perbedaan-

perbedaan penting, terutama dalam penerapan konsep semiotik, yang dijelaskan keduanya. Perbedaan ini juga menurun pada orang-orang yang berkiblat pada keduanya. Sebut saja Barthes, tokoh yang berjasa menjelaskan lebih dinamis konsep semiotik Saussure, tak ayal memiliki perbedaan mendasar dengan Peirce dalam menjelaskan ilmu tentang tanda ini. Untuk membahas interpretasi terhadap cover majalah Tempo kita menggunakan Mod-el tanda trikotomis atau triadik dari Charles Sander Peirce. Konsep ini tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali, pertamakali dikemuka-kan oleh Peirce. Prinsip dasar dari model tanda trikotomis ialah bahwa tanda bersifat represen-tatif. Dengan prinsip dasar seperti itu, tanda menjadi sesuatu yang menjelaskan sesuatu yang lain (something that represent something else). Karenanya, Peirce menjadikan proses pemaknaan tanda mengikuti hubungan antara tiga titik berikut: representamen (R) -- objek (O) -- interpertant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi (secara fisik atau). Pada bagian inilah, seorang manusia mempersepsi dasar (ground). Selanjutnya, tanda ini merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Bagian ini menuntun seseorang mengaitkan dasar (ground) dengan suatu pengalaman. I sendiri merupakan bagian dari proses yang menafsirkan hubungan R dengan O. Di sini-lah, seseorang bisa menafsirkan persepsi atas dasar yang merujuk pada objek tertentu.Den-gan cara pandang demikian, Peirce menjadi-kan tanda tidak hanya sebagai representatif, tetapi juga interpretatif.[4] Maksudnya, tanda tidak hanya me-wakili sesuatu, tetapi juga membuka peluang bagi penafsiran kepada yang memakai dan menerimanya. Jadi,setiap tanda diberi mak-na oleh manusia dengan mengikuti proses yang disebutnya semiosis. Teori Peirce ten-tang tanda memperlihatkan pemaknaan tan-da menjadi suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur.

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

54

Page 61: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

2.3 Proses Semiosis semiotika Charles Sander Peirce Proses semiosis adalah suatu proses pemaknan tanda yang bermula dari persepsi atas dasar, kemudian dasar merujuk pada ob-jek, akhirnya terjadi proses interpretan.[5] Penerapan dari model trikotomis Peirce ini dapat dilihat dalam contoh berikut: apabila seseorang melihat sebuah bendera warna kun-ing ( R ) yang membuatnya merujuk pada suatu O, yakni dilekatkan pada sebuah kayu yang dipegang oleh seorang pengendara motor. Proses selanjutnya ialah saat menafsir-kannya, misalnya, bahwa bendera itu menan-dakan bahwa ada orang yang meninggal dan si pemegang bendera hendak mengantar si jen-azah ke pekuburan (I). Pada saat tanda (ben-dera berwarna kuning) ini masih dalam tataran antara R dan O, maka tanda itu masih menun-jukkan identitas (dasar: identitas). Inilah nanti yang disebut dengan ikon. Selanjutnya, bila dalam kognisi pemakai tanda itu, ia menafsir-kan bahwa bendera kuning adalah simbol ada kematian maka tanda seperti itu disebut lam-bang, yaitu hubungan antara R dan O bersi-fat konvensional (seseorang harus memahami konvensi tentang hubungan antara bendera berwarna kuning dengan “kematian” Bagi Peirce, makna tanda yang sebena-rnya adalah mengemukakan sesuatu. Jadi, suatu tanda mengacu pada suatu acuan, dan represen-tasi seperti itu menjadi fungsi utamanya. Representasi juga baru dapat berfung-si apabila ada bantuan dari sesuatu (ground). Sering kali ground suatu tanda merupakan kode, namun ini tidak berlaku mutlak. Kode sendiri merupakan suatu sistem peraturan yang bersifat transindividual (melampaui batas individu).[6] Namun demikian, banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat in-dividual. Seperti dikemukakan di atas, tanda juga diinterpretasikan. Jadi, tanda selalu dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkem-bang suatu tanda baru (interpertant). Jadi, tanda selalu terdapat hubungan segitiga (ground, objek, interpertant) yang satu sama lain saling terikat.

Berdasarkan sifat hubungan antara ground dan objek-nya, Peirce membagi tanda men-jadi tiga jenis: indeks, ikon, dan lambang. In-deks adalah melihat keterkaitan atau hubungan kausal antara dasar dan objeknya. Misalnya, asap adalah indeks dari adanya kebakaran; bau wangi adalah indeks dari model cantik. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa hubungan kemiripan.Dengan kata lain, terjadi kemiripan identitas antara tanda dan objeknya. Contoh, foto yang menjadi ikon dari gambar orang atau tanda yang tersimpan di dompet seseorang. Lambang sendiri adalah hubungan yang terbentuk secara konvensional. Jadi, ter-jadinya hubungan antara dasar dan obyeknya itu didasarkan pada konvensi, meskipun tidak ada kemiripan antara dasar dan obyek yang di-acunya dan tidak mempunyai kedekatan den-gan objek tersebut. Menurut konsep Peirce, ada sejumlah tingkat pemahaman. Yakni : kepertamaan (first-ness), kekeduaan (secondness), dan keketigaan thirdness). Kepertamaan adalah tingkat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Maksudnya, pemahaman dan keberlakuan tan-da masih bersifat ”kemungkinan”;”perasaan”;, atau ”masih potensial” ;.Tingkat Kekeduaan adalah tingkat pemahaman dan keberlakuan yang sudah ”berkonfrontasi/berhadapam den-gan kenyataan” atau merupakan ”pertemuan dengan dunia luar” atau ”apa yang sudah bera-da” ;, namun tanda ini masih dimaknai secara in-dividual. Keketigaan adalah tingkat pemahaman dan keberlakuan yang sudah bersifat ”aturan” atau “ hukum”, ”yang sudah berlaku umum”. Artinya, saat di tahap ini tanda dimak-nai secara tetap sebagai suatu konvensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebu-dayaan tersebut. Sesuai dengan tingkat-tingkat keberlakuan tanda di atas, jenis tanda ada yang berupa qualisign (quality sign), sinsign (singu-lar sign), dan legisign (dari lex, hukum). Jadi, kertas berwarna kuning itu masih berada pada

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

55

Page 62: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

tingkat kepertamaan karena masih bersifat potensial untuk menjadi tanda yang mewakili ”ada orang meninggal”; Kertas minyak ber-warna kuning itu masih berada pada tingkat kepertamaan karena masih ada kemungkinan penafsiran lain. Akan tetapi bila kertas minyak berwarna kuning itu sudah dibentuk menjadi bendera dan diletakkan di tempat yang seha-rusnya (biasanya pada tiang listrik, pohon, atau tiang di mulut jalan), maka ia sudah menjadi sinsign, tanda yang berlaku khusus untuk me-nyatakan ” ada orang meninggal di daerah ini”; dan sudah berada pada tingkat kekeduaan. Dengan demikian, ia berbeda dengan kain kuning, baju kuning, atau pun bunga kun-ing. Akhirnya, jika setiap kertas minyak berwar-na kuning berbentuk bendera dan ditempatkan di tempat tertentu secara umum bagi suatu masyara-kat mewakili pesan ”ada yang meninggal di dae-rah ini”, maka tanda tersebut sudah berada pada tingkat legsign, yakni tingkat ketigaan (karena sudah berlaku umum dalam masyarakat tertentu).

2.4. Cover kontroversial Tempo Sebenarnya secara umum, kasus ’in-terpretasi’ terhadap karya Leonardo Da Vin-ci bukan hal baru. Ada sejumlah karya baik yang mirip atau bahkan kontroversial sudah dibuat mengenai ‘mitos’ The Last Supper ini. Secara objek, lukisan Leonardo itu send-iri belum menggambarkan sisi-sisi kebena-ran yang benar-benar sesungguhnya. Karya tersebut juga merupakan hasil ‘interpretasi’ pelukisnya terhadap hari-hari terakhir Yesus sebelum ‘dipercaya’ oleh umat Kristen men-galami kematian di kayu salib. Di sejumlah negera Barat , soal in-trepretasi dan interpretasi ulang terhadap peristiwa perjamuan terakhir Yesus banyak terjadi dan tidak memunculkan protes ber-lebihan. Lihat saja interpretasi bebas dari seniman Francis dibawah ini. Interpretasi be-bas The Last Supper bahkan memakai figur wanita cantik sebagai personifikasi Yesus dan murid-muridnya saat perjamuan terakhir.

Gambar 3 : Intrepretasi bebas The Last SupperSumber: http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://voyage.typepad.com/lfc_images/

The_Last_Supper_Francois_Girbaud.jpg&imgrefurl=http://voyage.typepad.com

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

56

Page 63: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Dilihat dari Prinsip dasar dari model tan-da trikotomis Peirce ialah bahwa tanda bersifat representatif. Dengan prinsip dasar seperti itu, maka lukisan atau cover Soeharto menjadi ses-uatu yang menjelaskan sesuatu yang lain (some-thing that represent something else). Karenan-ya, Peirce menjadikan proses pemaknaan tanda mengikuti hubungan antara tiga titik berikut: representamen (R) --objek (O) --interpertant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi.

METODOLOGI3.1 Paradigma Penelitian Paradigma didefinisikan Guba sebagai ”..........a setofbasicbeliefs (ormetaphysics)that deals with ultimates or first principles......aworldviewthatdefines,foritsholder,thenatureoftheworld”.....” [7] Studi ini memakai paradigma konstruk-tivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaning-ful action melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting kes-eharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memeli-hara/mengelola dunia sosial mereka. Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa penge-tahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengeta-huan bukanlah gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui keg-iatan seseorang. Pada proses ini seseorang mem-bentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengeta-huan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi meru-pakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya.[8] Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat / sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah in-

deranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium dan merasakannya. Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus men-terjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari suatu pengertian/makna dan melakukan klarifi-kasi tentang apa dan bagaimana dari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tinda-kan yang dilakukan oleh aktor/pelaku sosialnya. Konstruktivis anti pada esensialis, karena konstruktivis menyimpulkan bahwa apa yang kita terima sebagai suatu kenyataan diri (misalnya, laki-laki, perempuan, kebena-ran, konsep tentang diri sendiri) sebenarnya merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman manusia yang rumit dan tidak saling berhubun-gan antara satu dengan lainnya. Sebenarnya kita semua adalah konstruktivis bila kita per-caya bahwa pikiran/otak kita berperan secara aktif dalam membentuk suatu pengetahuan. Sebagian dari kita akan setuju bahwa menge-tahui sesuatu bukanlah didapat secara pasif tetapi secara aktif. Dalam pengertian seperti ini, konstruktivisme dalam membangun ilmu pengetahuan daripada sekedar pasif yaitu men-emukan pengetahuan. Jadi ”kebenaran” dan ”pengetahuan objektif” bukan ditemukan, me-lainkan diciptakan individu. Apa yang terlihat nyata tak lain merupakan konstruksi dan ber-makna. ”Kebenaran” disini berkaitan dengan banyaknya informasi dan konstruksi secara kon-sensus dianggap terbaik pada saat tertentu. Pada sisi ini konstruktivisme bersifat memilih subjek-tif, karena jika realitas hanya mewujud dalam benak individu-individu, maka interaksi subjek-tif hanyalah satu-satunya cara untuk menang-kap dan memahami pikiran mereka. Oleh kare-nanya, konstruktivisme biasanya menggunakan metode dialektik dan hermeunetik. Konstruktivisme mempunyai dua kri-teria dalam menilai kualitas penelitian, yaitu pertama, trustworthiness, terdiri atas credibil-ity (paralel dengan validitas internal), transfer-ability (paralel dengan validitas eksternal, con-

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

57

Page 64: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

firmability (paralel dengan objektivitas). Yang kedua, authenticity, meliputi, ontological au-thenticity (memperbesar konstruksi personal), educative authenticity (menggiring pemaha-man terhadap orang lain), catalicauthenticity (merangsang aksi),tecticalauthenticity (mem-berdayakan aksi). Dalam pandangan konstruksionis, media massa dilihat tidak sekedar sebagai sebuah saluran yang bebas, ia adalah sub-jek yang mengkonstruksi realitas, di mana realitas yang dikonstruksi berdasarkan reali-tas sesungguhnya tersebut juga mengandung adanya pandangan, bias dan pemihakannya dari para pekerja media yang mempersiap-kan berita yang akan disajikan. Sebagai se-buah ”arena pertarungan” dari kekuatan-kekuatan sosial politik yang saling bersaing untuk memperebutkan wacana tentang defi-nisi suatu ”realitas”, industri media massa sebagai pabrik wacana tidak dilihat sebagai institusi yang objektif, karena media massa tidak mungkin dapat menyajikan seluruh re-alitas sosial dalam medium yang terbatas se-hingga ada proses seleksi ketika para editor sebagai gatekeeper memilih berita-berita apa saja yang akan dimuat atau yang tidak. Pe-milihan ini jelas sangat subjektif dan bergan-tung pada misi, visi, nilai atau ideologi yang ingin disampaikan media massa itu kepada masyarakat luas. Oleh karenanya ketika me-dia massa melakukan seleksi terhadap ber-ita yang akan dimuat, maka media itu telah berpihak terhadap suatu nilai. Menegaskan hal tersebut Lippman[9] (1965:223) me-nyatakan bahwa, ”Suatu surat kabar ketika mencapai pembacanya adalah hasil serang-kaian proses seleksi”.

3.2 Jenis Penelitian Penelitian teks media ini menggu-nakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif dan memakai teknik penelitian teks yaitu analisis semiotika menggunakan teknik analisis charles Sander Peirce dalam melihat cover media majalah Tempo.

Metode penelitian deskriptif adalah suatu motode yang digunakan untuk menekankan pengetahuan yang seluas-lu-asnya terhadap objek penelitian pada suatu saat tertentu Tujuan utama dalam meng-gunakan metode deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian di-lakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.[10] Dengan demiki-an, penelitian ini hanya memaparkan situ-asi/peristiwa, membuat deskriptif, gamba-ran/lukisan secara sistematis.

3.3 Unit Analisis Unit analisis adalah setiap unit yang akan dianalisa, digambarkan atau dijelaskan dengan peryataan-peryataan deskriptif.[11] Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah tanda-tanda verbal maupun non verbal yang ada pada cover majalah Tempo Penelitian ini difokuskan pada makna mas-ing-masing tanda baik berupa ikon, indeks maupun symbol yang ada pada cover ma-jalah Tempo. Karena itu unit analisis pene-litian ini adalah tanda-tanda verbal dan non verbal yang ada pada cover.

3.4 Teknik Analisis Data Proses semiosis adalah suatu proses pemaknan tanda yang bermula dari persepsi atas dasar, kemudian dasar merujuk pada ob-jek, akhirnya terjadi proses interpretan. [12]Penerapan dari model trikotomis Peirce ini dilakukan dalam penelitian ini sebagai beri-kut: bagaimana peneliti melihat gambar atau tanda-tanda yang ada pada cover majalah Tempo ( R ) yang membuatnya merujuk pada suatu O, yakni dilekatkan pada sebuah kon-sep keyakinan kelompok tertentu yang meli-hatnya sebagai peristiwa yang sakral. Proses selanjutnya ialah saat menafsirkannya, mis-alnya, bahwa gambar tersebut menandakan bahwa ada sebuah perjamuan terakhir dan sipemimpin berada di tengah hendak ber-pamitan kepada teman-teman nya.

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

58

Page 65: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Deskripsi Singkat PT TEMPO Tempo adalah salah satu media cetak mingguan yang bertahan di kancah di Indo-nesia. Bahkan, Tempo Grup juga telah me-miliki satu surat kabar harian yang mampu bersaing di pasaran, yaitu KoranTempo. Ma-jalah Tempo pun memiliki dua edisi berbeda pada setiap minggunya, yaitu Tempo edisi bahasa Indonesia dan TempoMagazine ed-

isi bahasa Inggris. Keduanya hanya dibeda-kan dalam bahasa, tetapi isi beritanya sama. Tempo terbit pertama kali di era pemerintah-an Soeharto, presiden kedua Republik Indo-nesia. Sejak mula, majalah ini dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah. Mereka juga tak jarang "menyerang" kalangan lain, di an-taranya pengusaha kakap yang dinilai sering merugikan rakyat.

B. Deskripsi cover kontraversial Tempo

Tabel 1 : Tabel penggolongan tanda verbal dan non verbal

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

59

Page 66: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

ANALISIS DAN PEMBAHASAN Meskipun pada akhirnya Tempo me-minta maaf kepada sejumlah kecil umat kristiani usai pemuatan cover majalah ini, tapi Cover ini tidak ditarik dari peredarannya. Pemred Maja-lahBeritaMingguan (MBM) Tempo meminta maaf atas pemuatan cover Tempo edisi 4-10

Februari 2008 yang mendapat reaksi keras umat Kristiani. Namun, majalah itu tidak ditarik. “Saya atas nama seluruh wartawan dan institusi Tempo, memohon maaf. Karenanya permohonan maaf ini akan kita muat dalam Koran Tempo edisi besok, situs Tempo inter-aktifonline dan MajalahTempo edisi minggu

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

60

Page 67: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

depan,” ujar Pemred MBM Tempo Toriq Ha-dad dalam jumpa pers di gedung Tempo Jalan Proklamasi Jakarta Pusat, Selasa (5/2). Toriq mengatakan, pihaknya tidak ber-maksud melukai perasaan umat Katolik dengan memuat cover di majalah Tempo. “Ini hanya salah tafsir. Ternyata penafsiran kita berbeda. Kami hanya mengambil inspirasi dari Leonar-do Da Vinci. Ternyata foto itu diagungkan oleh umat Kristiani,” ujar pria berkacamata ini. Cover itu sendiri diakui oleh perancang-nya diilhami oleh lukisan Leonardo Davinci The LastSupper, perjamuan terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya sebelum Dia disalib. Namun tokoh-tokoh yang duduk di sekitar meja per-jamuan itu adalah Soeharto, dan anak-anaknya (Tutut di kanan dan Sigit di kiri, dan Tomi se-dang berbisik entah apa). Postur tubuh tokoh-tokohnya persis lukisan TheLastSupper. Perbedaannya cover majalah Tempo itu adalah tiruan dari sebuah duplikasi lukisan (bukan reproduksi potret/foto diri Yesus). Yang ditiru adalah hasil imajinasi atau khaya-lan Leonardo di Ser Piero da Vinci pada tahun 1495-1497 (bukan rekaman lensa kamera yang menampakkan wujud Yesus sesungguhnya—sebab ketika itu belum ada kamera). Maha-karya Leonardo Da Vinci, pelukis Renaisans Italia (15 April 1452 – 2 Mei 1519) itu sendiri mesti dipertanyakan akurasinya sebab posisi duduk semua orang yang digambar disitu tidak sama dengan ketika Yesus dan murid-murid-Nya duduk makan Dari analisis menggunakan semiotika Charles Sanders Peirce, terbukti bahwa memang ada konotasi yang lain saat melihat cover Soehar-to edisi SetelahDiaPergi ini. Ada upaya serius dari perancang grafis cover ini untuk menya-makan ‘kondisi hari terakhir’ Soeharto dengan kondisi hari-hari terakhir Yesus Kristus sebelum akhirnya Nabi yang dipuja dan dihormati Umat Kristiani itu ditangkap dan disalib di Golgotha. Pemilihan gambar Soeharto yang di-analogikan dengan kisah terakhir Yesus ini bisa melukai perasaan umat Krsitiani karena degan begitu seolah menyamakan Yesus dengan Soe-

harto. Soeharto adalah manusia fana yang dis-ingkirkan dan dipaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden Indonesia coba dipadankan dengan Yesus yang memiliki pengikut secara rohani dominan di dunia. Konotasi yang mun-cul dari cover itu adalah mencoba menyamak-an kesalehan, kebaikan dan segala sifat baik dari Yesus dengan Soeharto yang dalam ban-yak hal memiliki sejumlah kelemahan sebagai manusia biasa.

KESIMPULAN DAN SARANA.Kesimpulan Dari hasil penelitian dan kajian peneliti menggunakan semiotika Peirce bisa disimpul-kan bahwa :

1. KoranTempo mencoba menyamakan so-sok Soeharto dengan sosok Yesus Kritus dalam penggambaran hari-hari terakhir sebelum keduanya meninggal dunia

2. Dari sisi konotasi, penggunaan lukisan Leonardo Da Vinci ini memang tidak serta merta merupakan realitas sesungguhnya dari saat-saat terakhir Yesus, meski begitu secara tradisional umat kristiani mengang-gap bahwa hari-hari terakhir Yesus me-mang seperti itu, dia melakukan perjamuan terakhir dengan para muridnya sebelum akhirnya dia ditangkap dan dijatuhi huku-man salib. Sedangkan Soeharto meninggal karena sakit, dan dia tidak diadili secara ‘serius’ oleh pengandilan resmi di Indone-sia. Jadi bisa disimpulkan terdapat upaya simplikasi dan analogi yang keliru untuk menyamakan Yesus dengan Soeharto.

B.SARAN1. Semestinya Tempo lebih peduli ter-

hadap nilai-nilai yang dianggap sakral oleh agama manapun, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri dan aspek pen-jualan produk majalah yang mereka mi-liki.

2. Kepada pengelola media, perlu sekali memahami pandangan serta nilai-nilai yang dianggap sebagai ajaran dan ke-

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

61

Page 68: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

benaran oleh penganut agama apapun seperti halnya cover MajalahTempo

3. Penelitian ini bisa ditingkatkan pada penelitian lain yang mencoba menguak bagaimana persepsi keluarga Soeharto menanggapi pemberitaan terkait Soe-harto termasuk penerbitan cover maja-lahTempo yang menganalogikan Soe-harto dengan Yesus.

REFERENSI[1] http://andriewongso.com/awartikel-1390- Artikel_Tetap-Menarik_Simpati_Den gan_Komunikasi_Simbol[2] Persda Network/Februari 2008[3] Van Zoest, Aart dan Panuti Sudjiman. 1992. Serba-SerbiSemiotika Gramedia Pustaka utama: Jakarta.[4] Hoed, B.H. 2002,Strukturalisme,Pragma tik,DanSemiotikDalamKajianBuda ya; dalam T. Christomy (penyunting), Indonesia: TandaYangRetak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.[5] Ibid. hal 28[6] Van Zoest, Aart dan Panuti Sudjiman. 1992. Serba-SerbiSemiotika Gramedia Pustaka utama: Jakarta.[7] Denzin dan Lincoln, 1994:107[8] Suparno, 1997:11-15[9] Lipmann, 1965, Opcit.hal 223

[10] Consuelo G Sevilla et.all, 1993 :71[11] Jalaludin Rakhmat, Op. Cit., hal. 92[12] Ibid. hal 28

DAFTAR PUSTAKAHoed, B.H. 2002,Strukturalisme,Pragmatik, DanSemiotikDalamKajianBudaya; dalam T. Christomy (penyunting), In donesia: TandaYangRetak. Jakarta: Wedatama Widya SastraShoemaker, pamela J and Stephen D Reese, 1996 , MediatingTheMessage,Theories OfInfluencesonMassMediaContent, Longman PublisherWerner J. Severin with James W. Tankard, Jr., CommunicationTheories, Longman London, 2nd edition, 1998Van Zoest, Aart dan Panuti Sudjiman. 1992. Serba-SerbiSemiotika Grame dia Pustaka utama: Jakarta

Website:http://andriewongso.com/awartikel-1390-Ar tikel_Tetap Menarik_Simpati_Den gan_Komunikasi_Simbolhttp://images.google.co.id/ imgres?imgurl=http://voyage. typepad.com/lfc_images/ The_Last_Supper_Francois_Girbaud. jpg&imgrefurl=http://voyage.typepad.com

Mengungkap Makna Kematian Soeharto pada Cover Tempo

• Indiwan Seto Wahyu Wibowo

62

Page 69: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania

63

Dessy Kania

Universitas Bakrie, [email protected]

TourismisanimportantcomponentoftheIndonesianeconomyaswellasasignificantsourceofthecountry’sforeignexchangerevenues.AccordingtotheCenterofDataandInforma-tion-MinistryofCultureandTourism,thegrowthofforeignvisitorarrivalstoIndonesiahasincreasedrapidlyby9.61percentsince2010tothepresent. OneofthemostpotentialtourismdestinationsisKomodoIslandlocatedinEastNusaTenggara.Withtheisland’suniquequalities,whichincludethehabitatoftheKomododragonsandbeautifulandexoticmarinelife,itislikelytobeoneofthepromisingtourismdestinationsinIndonesiaandintheworld.In1986,theislandhasbeendeclaredasaWorldHeritageSitebyUNESCO. TheMinistryofCultureandTourismcontinuouslypromotesmanyofthecountry’snaturalpotentialintourismthroughvariousmedia:printedmedia,televisionandespeciallynewmedia.However,therearechallengesfortheIndonesiantourismindustryinfacilitatingentrepreneurshipskillsamongthelocalpeopleinEastNusaTenggara.AccordingtotheCentralBureauofStatis-tics(2011),EastNusaTenggaraisconsideredasoneofthepoorestprovincesinIndonesiawheretheeconomyislowerthantheaverage,withahighinflationof15%,andunemploymentof30%.Thisresearchisneededtoexplorefurtherthephenomenonbehindtheabovefacts,aimingatex-aminingtheroleofnewmediainfacilitatingentrepreneurshipinthetourismindustryinKomodoIsland.TheresultsofthisstudyareexpectedtoprovideinsightsthatcanhelplocaltourisminEastNusaTenggara.

Keywords:Tourism,Entrepreneurship,NewMedia

ABSTRACT

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island

in East Nusa Tenggara

I. BACKGROUND It is inevitable that tourism in Indo-nesia has become an important indicator in stimulating the economy of the country. In 2009, tourism was considered as one third of the foreign exchange revenue after oil, natu-ral gas and palm oil. According to the Cen-tral Bureau of Statistics (BPS), tourists who visited Indonesia in August 2011 reached 621,084 people, where the number is rising by

7.32% compared to the number of tourists in the same period in 2010 as many as 4.63 mil-lion people (http://www.mediaindonesia.com/read/2011/10/03/264996/4/2/621.084-Turis-Berkunjung-ke-Indonesia-selama-Agustus-, accessed on October 18 2011). An Indonesian Economist, Faisal Basri, indicated in his speech, “Indonesian Economic Development Roadmap 2009-2014”, that the tourism sector is project-ed to become the driving force of the economy

Page 70: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

in the coming period of 2009-2014, and that the sector will be able to contribute about 10 percent to 15 percent of the Gross Domestic Growth (GDP) in the coming year (http://nasi-onal.kompas.com/read/2009/10/15/1756231/, accessed on October 18, 2011). The number of foreign tourists visiting In-donesia has increased periodically. This is due to the wealth and natural beauty, historical heritage and the diversity of Indonesia’s culture. These are considered as important elements in supporting the country’s tourism. In addition, Indonesia is known as the largest archipelagic country in the world that has the fourth longest coastline in the world with approximately 17,480 islands. With its geographical layout, "Indonesia located below the equator has resulted for hav-ing tropical and wet climate throughout the year. Moreover, its position which mediates the conti-nents of Asia and Australia and the Indian Ocean and Pacific, Indonesia has a very strategic loca-tion" (http://www.wisatalk.com/ accessed on Oc-tober 18, 2011). In addition to natural conditions that sup-port the potential of tourism in Indonesia, the government also issued laws and regulations that support its citizens for having and experiencing tourism activities. According to the country’s law:

“Freedom to travel and spend your spare time travelling is a part of human rights.”(Undang-Undang Kepariwisataan, UU NO.10, 2009)

With support from its natural and physical beauty and the government in pro-moting tourism in Indonesia, the next stage is the selection of tourism destinations. When it comes to tourism destinations, one might consider choosing between going abroad or exploring the country. Unfortunately, many Indonesian people are more interested in go-ing abroad for travel. As urged by the Chair-man of the National Mandate Party, Soe-trisno Bachir, adapted by Imam Prihandoko in Kompas (http://nasional.kompas.com/

read/2008/12/02/09454362/berwisatalah.di.dalam.negeri accessed on October 3 2011):

"Travel in your own country, we will definitely obtain beauty that is no less more interesting than places abroad. Help this nation by not having spending sprees buying international products, including not buying the beauty of other nations"

From various selections for tourist desti-nations in Indonesia, East Nusa Tenggara is con-sidered as a very popular tourist destination and well-loved foreign destination. Although the prov-ince of East Nusa Tenggara is one of the poorest provinces in Indonesia, its natural scenery and diversity for tourist attractions encompasses it as an amazing tourist destination. As illustrated in the following quote (http://www.tourismntt.com/ (ac-cessed on October 3, 2011):

“…traditional ceremonies like the Pasola of Sumba, the whip fighting of Flores and the war dances of Sabu. See the prehistoric Dragons of Komodo, the three colored crater lakes of Keli Mutu in Flores; dive in the world renowned diving destinations of Alor and Komodo; surf the waves of Rote and Sumba…”

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania

64

Picture 1: East Nusa Tenggara Tourism MapSource: www.indonesia-tourism.com

Page 71: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

From all tourist destinations located in Flores, the uniqueness of the Komodo National Park (with area of 1,817 km ²) is one of the sought after destinations which lead to become as one of the finalists in "The New Seven Wonders of Nature". This is due to the existence of the Komodo Drag-on’s habitat (Varadus komodoensis), which is one of endangered species that occupies the island of Komodo, Rinca and Gili Mo-tang. In 2008, the number of foreign tour-ists who visited the Komodo Island amount-ed to 21.000 people. In 2009, the number of tourists increased to 36.000 people. In 2010, it increased to 45.000 people. Most of the visitors are “foreign tourists who come mainly from Australia, Southeast Asia, and the United States (http://www.indonesia.travel/id/news/detail/471/promosi-mandiri-indonesia-untuk-taman-nasional-komodo-the-real-wonder-of-the-world accessed on October 3, 2011). In facilitating to promote the Ko-modo National Park, the Indonesia gov-ernment through Ministry of Culture and Tourism is also assisted by a non-profit organization named Swisscontact. The or-ganization developed a program known as the Regional Tourism Development Project (WISATA) which began in 2009-2013 and includes the island of Flores in province of East Nusa Tenggara (NTT). The main ac-tivities will focus on developing local des-tination management organizations with two entry points to Flores: Labuan Bajo and Maumere. (http://www.swisscontact.or.id/projects/eastern-indonesia/wisata-–-region-al-tourism-development-on-flores-island/ accessed on October 3 2011). Since 2010, the Ministry of Culture and Tourism has set a new program in In-donesia in order to increase tourist visits: "Destination Management" (DMO). There are 15 tourism destinations which will be developed by applying the concept of DMO in the period of 2010 to 2015. Tourist des-

tinations include: Kota Tua (Jakarta), Pan-gandaran (West Java), Borobudur (Java), Bromo-Tengger-Semeru (East Java), Toba (North Sumatra), Sabang (Aceh), Lake Ba-tur (Bali), Rinjani (NTB ), Komodo, Flores-Flores (NTT), Tanjung Putting (Borneo), Derawan (East Kalimantan), Toraja (South Sulawesi), Bunaken (North Sulawesi), Wakatobi (North Sulawesi), and Raja Ampat (Papua) (http://nttonlinenews.com/ntt/index.php?option=com_content&view=article&id=10697:pakar-pariwisata-dunia-akan-bahas-wisata-ri&catid=40:pariwisata&Itemid=57 accessed on October 3 2011) Due to its very far whereabouts, many tourists seek information regarding accom-modations, attractions, services of tour op-erators, as well as the restaurants surround-ing The Komodo National Park that can be accessed through the internet. Fares for Avi-ation and maritime transport services con-necting from the main port of Labuan Bajo to Komodo National Park are all available in the Internet. The use of the Internet for ob-taining information is on high demand and can be illustrated from the picture below:

From the background described above, there is a need for further research in order to examine how the role of new me-dia, government and other agencies facilitate tourism and entrepreneurship in Komodo Island in Nusa Tenggara. In addition, this research will also study efforts from the In-donesian government and other agencies in promoting Komodo Island.

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania• Dessy Kania

65

Picture 2: Visitor’s Flag CounterSource: www.TourismNTT.com

Page 72: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania

66

II. LITERATURE REVIEWII.1. New Media and Entrepreneurship The way we communicate and pro-mote products and/or services is highly influ-enced by the medium we use. Many entrepre-neurs use various mediums such as television, radio, and newspapers to promote its prod-ucts. Equally important, the current medium of choice is "New Media". New media is a form of interactive communication that uses the Internet, including podcasts, RSS feeds, social networking, text messaging, blogs, wi-kis, and other virtual worlds. There are many uses of New Me-dia. New media allows for anyone to cre-ate, modify, and share content and share it with others, using a relatively simple tool that is often free or inexpensive. New media requires a computer or mobile device with internet access (http://aids.gov/using-new-media/basics/what-is-new-media/ accessed on October 3 2011). The role of new media in facilitating entrepreneurship can be seen from the arti-cles Jaya Akunuri adapted by Nwankwo and Gbadamosi in his book "Entrepreneurship Marketing: Principles and Practice of SME Marketing" (2010: 177):

“It has been well documented in academic literature that entrepreneurs rely hugely on both personal and social networking con-tact. Online media further enables entre-preneurs to do what they are best at – inter-act with people, build relationship and talk with their customers.”

The use of the Internet for small and medium entrepreneurs has increase along with the uprising of business and mar-ket development. As said by Kuratko and Hodgetts (2007: 14), small businesses use the Internet for various operations, includ-ing customer-based identification, advertis-ing, consumer sales, business to business transactions, email and private internal net-work for employees.

II.3. Tourism and Destination Management There are several approaches to de-fining tourism. Reid, in his book "Tourism, Globalization and Development: Responsible Tourism Planning" (2003: 111), states:

“Tourism is also defined economically among entrepreneurs, according to con-sumption patterns, and by profit and loss. In many developing countries, the prices charged for many exhibits maintained by government agencies changes based on whether the visitor is a non-national tour-ist or a citizen of the country. In a sense, then, there are two distinct types of visitors to such exhibits, even though the attraction may be the same. For these purposes, do-mestic tourism is seen as much as a recre-ation as it is a form of tourism.”

One definition of tourism that empha-sizes the importance of experience gained from tourists proposed by Urry (1990) adapted by Lobo in his article "Cultural Tourism and the Leisure Paradigm: The Australian Experience" in the book "The Tourism and Leisure Indus-try: Shaping the Future" (2005:136):

“Tourism is a departure from everyday experi-ence. He describes tourism as experience and as a free-time activity that contracts with the daily routine and which can chiefly be identi-fied by means of “signs” bringing significance to the attention of the tourist (for example, beauty, romance, nature).”

Macleod and Carrier, in their book "Tourism, Power and Culture: Anthropological Insights" (2010), says that:

“Tourism as an experience and an industry is infused by culture in its various dimensions, and influenced throughout by relationships of power; this is particularly apparent at the destination site.”

One of the concepts that need to be ex-amined in connection with the concept of tour-ism that has been described above is the con-

Page 73: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania• Dessy Kania

67

cept of "destination". According to Steven Pike in his book Destination Marketing - An Inte-grated Marketing Communication Approach (2008: 24):

“A destination is a geographical space in which a cluster of tourism resources exist, rather than a political boundary.“

Pike, adapted from rubies (2001:39), also describes the Cluster as:

“an accumulation of tourist resources and attractions, infrastructures, equipments, ser-vice providers, other support sectors and administrative organisms whose integrated and coordinated activities provide customers with the experiences they expected from the destination they chose to visit”

There are various categories of tour-ism activities. Here are the categories based on Reid, Fuller, Haywood and Bryden, (1993) adapted by Reid (2003:108):

Picture 3: Categories of Tourism ActivitiesSource: Reid, Fuller, Haywood and Bryden, 1993

Eco-tourism is one of the categories of tourism activities that are currently favored by many local and foreign tourists. According to Hammitt and Symmonds in his article "Wilder-

ness" Weaver in his book "The Encyclopedia of Ecotourism" (2001: 327):

“Ecotourism is travel to fragile, pristine, and unusually protected areas that strive to be low impact and (usually) small scale. It helps educate the traveler; provides funds for conservation; directly benefits the econom-ic development and political empowerment of local communities; and foster respect for different cultures for human rights”.

III. METHODS In this research, a qualitative approach is applied. The research period took place from August 28 until October 22, 2011. The methods used in collecting data for this study consisted of semi-structured personal interviews, exami-nation of documents and personal observations. Application of multiple methods or triangulation in social research has been supported by many researchers because they help to overcome the shortcomings inherent in the use of one method. Case studies are used as a research strategy be-cause the focus of this study is the island of Ko-modo as a tourist destination. Retrieval of data using techniques such as in-depth interviews to a key informant and also informants for this study was needed. The key informant in this study was Ir. Firmansyah Rahim, MM, as the Director General of Tour-ism Destination Development (PDP) Ministry of Culture and Tourism. Informants from Swiss-contact were Mr. Christian Maramis as a Field Office Manager of Eastern Flores Swisscontact (Indonesian Swiss Development Cooperation) for the program TOURISM - Tourism Destina-tion Development Flores located in Maumere. Other informants included Mr. Frans Teguh M.A as the Head of Planning and Le-gal Directorate General of Tourism Destina-tion Development (DG PDP), who was an im-portant informant, especially for detailed data with respect to the program Destination Man-agement in Flores. Researchers also included Mr. Anang Subiantoro, as the first entrepre-neur of an internet café available for tourists,

Page 74: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania

68

was chosen for this research. Internet Apik; owned by Mr. Anang is an internet café lo-cated in Labuan Bajo.

IV. FINDINGS AND DISCUSSIONIV.1.The Role of New Media (Internet) in promoting Flores and Komodo Island When researchers examined the role of new media, especially the Internet, the first step was to inspect and search the Internet net-work facilities that are available in the area; for this study, the target area was Labuan Bajo, Flores. Interestingly, there are only two Inter-net providers in Labuan Bajo, which are Tel-komsel and Indosat. According to Mr. Anang, an internet café entrepreneur, Internet Apik, said that internet connection was established in 1998 by Telkomnet using a long distance rate. He stated that:

“In 2004 Telkomnet instant with local rate was installed. However, it only existed for three years. During that period, I used GPRS system from Indosat IM3 which is better than Telkomsel Flash. After that, most internet café owner uses IM2 Satellite. For the past two years, we have faster Internet access from Telkom Speedy.”

To access the Internet, most tourists come to Internet cafes along the main road in Labuan Bajo. These services are provided by many cafes and restaurants in Labuan Bajo and the connection is generally the same at 1 Mb / s, which is good for Skype and Youtube connections. This result leads to a challenge for the tourism industry in the area when it comes to providing Internet service as well as price competitiveness for the available Inter-net services. This situation is very contrast compare to tourism destinations such as Bali, where tourists have various internet provider options. With the wide range of Internet providers in an area, small businesses and tourism will be able to flourish alongside with the fast development of global opportunity. This is due to the abil-

ity of each provider offering a range of facili-ties and ease for surfing in cyberspace, includ-ing options in price and/or in quality. Other areas, such as Pontianak in East Kalimantan (as one of the poorest provinces in Indonesia according to BPS, 2011) that has just received aid from the Ministry of Communications and Information Technology (Menkominfo) RI, a five-unit Car Internet Service Center District (M-PLIK) sees the importance of the Internet for its community. According to the Head of Department of Transportation, Tourism and Culture (P2K) Pontianak regency, Suharjo Lie (http://www.equator-news.com/lintas-barat/kab-pontianak/20111029/dunia-maya-rambah-masyarakat-terpencil accessed on 31 October 2011):

"There are so many positive impacts with the internet service. Community can easily obtain all information needed for the gener-al public, students and others. As a source for communication between communities and between regions of the other regions,"

In terms of obtaining information us-ing the internet, when a researcher entered the keyword "Flores, Indonesia" into the Google search engine, there were about 6,100,000 search results in categories from all sources. While using the keyword "Komodo Island" there was about 737.000 results in the same category. All sources mean that it includes Im-ages, Maps, Videos, News, Shopping, More. When a researcher compared the above results by entering the keyword "Bali", there were about 67,900,000 results, and the key-word "Lombok" resulted in about 38,100,000 sources which confirmed the gap in the infor-mation the internet provided using the Google search engine. In contrast to other tourist desti-nations that have a unique Eco-Tourism attrac-tion such as Raja Ampat and Wakatobi, Ko-modo Island is still lagging far behind. (With the keyword "Raja Ampat", there were about 1,040,000 results and about 845.000 results for "Wakatobi Island"). These findings reveal that

Page 75: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania• Dessy Kania

69

the Komodo Island obviously needs more sup-port in order to make it one of the prime tourist destinations in Indonesia. Internet facilities in Flores, especially Labuan Bajo as the main port to Komodo Is-land, have only been running for about 2-3 years. Here is an excerpt regarding the avail-able internet facilities by Mr. Rahim Firman-syah as the Directorate General PDP Ministry of Tourism and Culture:

“I requested Telkomsel to build their sta-tion in Komodo because the Vice President was coming... When the Vice President was there, he couldn’t do this and that, so he told us to do it (activate the internet)... The Vice President told us to activate the internet connection quickly when he was there.” (In-terview in October 7, 2011)

Mr. Christian of the Swisscontact, who sees the importance of internet facilities to the community as a learning device, added:

“Oh yes, it’s very important. A broader range will facilitate them in capacity building, so they can learn, right? It wil make it easier for them to obtain information that is smart enough. The problem is, provinces usually have it better, almost all government offices have access to the internet so everything goes smoothly. This is because Kupang is actually the capital city of a province, but if you see regions, it’s so unfortunate. The Tourism Office in Maumere has no internet connection, even though it’s a tourism office. So it’s a tourism office, but it has no internet connection, it’s quite depressing." (Inter-view on October 13, 2011)

The above statements reveal how both the Ministry of Culture and Tourism and Swiss-contact feel that there is a lack of internet fa-cilities in tourist areas and the island of Labuan Bajo Komodo. It is not in line with the concept put forward by Jaya Akunuri where more on-line media allows employers to do what they are best at, ie: interact with people, build rela-tionships and talk with their customers.

IV.2. Tourism and Destination Management Each destination has its own uniqueness and distinctiveness of the present-owned tour-ist attraction. The uniqueness is what makes a tourist area more prominent than other regions. Therefore, the concept of destination manage-ment proposed by the Ministry of Culture and Tourism can provide a competitive advantage for every 15 existing destinations in Indonesia. One of the backgrounds of why this concept will benefit tourism destinations in Indonesia is due to geographical differences in comparison with other countries. As noted by Mr. Firmansyah:

"What country would you like to compare it to? Singapore? Indonesia is too vast. But for me, that’s not an obstacle, it’s an asset. The differ-ence is Singapore or Thailand has a short dis-tance... We have different characteristics, and that’s what makes it interesting for me. That’s where our uniqueness lies. Plus, we’re divided by the ocean. That could be an obstacle, but for me, that’s actually what makes it interest-ing.” (Interview on October 7, 2011).

The same was said by Mr. Frans Teguh to explain the differences between Indonesia’s tourism with other countries, which can be seen from the location map of where Indone-sia consists of many islands, while other Asian countries do not have as many islands as Indo-nesia (interview on October 11, 2011). A tourism concept proposed by Reid (2003) and Urry (1990) which focuses on 'ex-perience' in line with what was raised by Mr. Frans is as follows:

“...A link chain must be built in a certain desti-nation, which means it should begin from the tourist arriving at the airport, or the docks, or whatever transportation he or she used. As for information, he or she will need a guide. He eats at a restaurant, sleeps in a hotel, buys culinary souvenirs, he or she may use or buy transportation, meet the community. This is a design of a tourism product where the expe-rience is created by experience. Experience that is arranged, experience that must be cre-ated”. (Interview on October 11, 2011).

Page 76: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania

70

By supporting the concept of destina-tion management up until fully executing the idea, tourists will be able to focus more on sub-merging themselves in the adventure and feel of the area. Thus, creating a more lively and remarkable experience. One finding from the interview with Mr. Christian of Swisscontact is a different cat-egory of tourist activities made for the island of Komodo, which is Eco-tourism. It was ex-pressed as follows:

“For us, those who designed the project, also from the inputs by the stakeholders, we try to avoid making it like Bali, so we avoid that type of max tourism. We avoid it. We pre-fer it to be more on the lines of ecotourism. That’s why in the master plan, there will be more inputs, designs and other things that avoid max tourism. We avoid it because it can become ‘uncontrollable’. So we will also avoid manufactures. One of our famous vi-sions is Flores, which challenges manufac-turers, because it’s still natural. That’s what we will try hard to maintain in the future, so there won’t be too many things or attractions or manufactured buildings." (Interview on October 13, 2011)

As seen from the suggestion put forward by Mr. Christian, one of the uniqueness of the management of destinations (Destination Man-agement) is the different categories of tourism such as Eco-tourism for the island of Komodo. Eco-tourism destinations have become one of the most sought after areas for those who crave a different experience for their holiday. It is unique because it provides a different expe-rience compared to other tourist destinations. Adventure, knowledge and an ambience that is different than what we experience in our daily lives are only a few things that eco-tourism can offer. The Komodo Island is a perfect destina-tion to experience all that, and many more. The Komodo Island is obviously widely acknowledged as the habitat of the endangered Komodo dragon, the largest lizard on earth. Yet aside from that, the island has much more to

offer. Several other animals have nestled on the island such as the Javan Deer, buffalos, cocka-toos, and others. The island is also bordered by a beautiful beach with rare pink sand that can only be found in a handful of areas around the world. It is also a popular spot for diving and exploring the creatures that lie beneath the ocean. By executing destination management well and promoting Flores as one of the prima-ry targets for alternate vacations spots, such as eco-tourism destinations, the pristine Komodo Island can be an experience that local and in-ternational tourists will never forget.

V. CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS Tourism is an important element for the growth of the Indonesian economy. Although Komodo Island is one of the most promising destinations in Indonesia, it still faces many challenges in facilitating entrepreneurship skills among the local people in East Nusa Tenggara. Based on the observation, there are a few things that need to be accomplished in order to maximize the area’s potential. With Flores as one of the prime tour-ist destinations, there are some crucial points that need to be observed. First, internet or new media is a very important tool in the field of tourism. This study has shown that through this, we can appeal to a wider range of tourists, locally and internationally, by upgrading the promotional tools, expanding networking and others. Second, entrepreneu-rism is still lacking in Flores. By helping the people develop this area of expertise, it can facilitate the tourists in enjoying their expe-rience when they arrive at their destination. Third, destination management can support the promotion of tourism in Indonesia by providing experience that can be engineered through a synergy among the stakeholders in their respective destinations. With destina-tion management, it will be known that eco-tourism is one of the unique qualities that can be found in Flores.

Page 77: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania• Dessy Kania

71

There are also some research sug-gestions that could be conducted in order to further enhance Indonesian tourism. It is known that some destinations still have very minimal internet facilities that can support the facilitation of communication and promotion of tourism, both for local and international tourists. Further studies to determine the interest in entrepreneur-ship at each destination is needed so that a program can be proposed to a non-profit or-ganization, such as Swisscontact, and also create a synergy with destination manage-ment programs from the Ministry of Culture and Tourism. Based on this analysis, there are still many things that need to be done in order to further enhance the growth of tourism in East Nusa Tenggara, specifically the Komo-do Island. Hopefully, aiding this area will be able to boost Indonesia’s tourism indus-try in the years to come.

VI. BIBLIOGRAPHYhttp://aids.gov/using-new-media/basics/what- is-new-media/ accessed on October 3 2011http://nasional.kompas.com/ read/2008/12/02/09454362/berwisa talah.di.dalam.negeri accessed on October 18 2011http://nasional.kompas.com/ read/2009/10/15/1756231/, ac cessed on October 18 2011http://nttonlinenews.com/ntt/index. php?option=com_content&view=arti cle&id=10697:pakar-pariwisata-dunia- akan-bahas-wisata-ri&catid=40:pariwi sata&Itemid=57 accessed on October 3 2011http://www.equator-news.com/lintas-barat/ kab-pontianak/20111029/dunia-maya- rambah-masyarakat-terpencil accessed on October 31 2011www.indonesia-tourism.comhttp://www.indonesia.travel/id/news/de tail/471/promosi-mandiri-indo

nesia-untuk-taman-nasional-komodo- the-real-wonder-of-the-world accessed on October 18 2011http://www.mediaindonesia.com/ read/2011/10/03/264996/4/2/621.084- Turis-Berkunjung-ke-Indonesia-sela ma-Agustus- accessed on October 18 2011http://www.swisscontact.or.id/projects/east ern-indonesia/wisata-–-regional-tour ism-development-on-flores-island/ ac cessed on October 3 2011http://www.tourismntt.com/ accessed on Oc tober 3 2011http://www.wisatalk.com/ accessed on October 18 2011Kuratko, Donald F; Hodgetts, Richard M, En trepreneurship:Theory,Process,Prac tice, South-Western College Pub; 6 edi tions, 2003Macleod, Donald V. L; Carrier, James G. “Tourism,PowerandCulture:Anthro pologicalInsights”, Channel View Publications, Bristol, UK, 2010Maramis, Christian. Field Office Manager of Eastern Flores Swisscontact. Personal Interview. October 13 2011. Nila, Sari. Communications Consultant at PT Putri Naga Komodo / founder of Ta man Bacaan Pelangi in Labuan Bajo. Personal Interview. Nwankwo, Sonny; Gbadamosi, Ayantunji. (2010), Entrepreneurshipmarketing :principlesandpracticeofSME marketing, New York : Routledge, 2011Rahim, Firmansyah. Director General of Tour ism Destination Development (PDP) Ministry of Culture and Tour ism. Personal Interview. Conducted On October 7 2011. Raja, John. Field Office Manager, West Flores. Personal Interview. Reid, Donald G., Tourism, Globalization and Development: Responsible Tourism Planning, Pluto Press, 2003

Page 78: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

The Role of New Media in Facilitating Entrepreneurship in Tourism - Case Study: Promoting Komodo Island in East Nusa Tenggara

• Dessy Kania

72

Teguh, Frans. Head of Planning and Legal Directorate General of Tourism Destination Development. Personal in terview. October 11 2011.Undang – Undang Republik Indonesia Nomor

10. Tahun 2009 Tentang KepariwisataanWeiermair, Klau; Mathies, Christine,TheTour ismandLeisureIndustry:Shapingthe Future, Routledge, 2004www.google.com accessed on October 18 2011

Page 79: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra• Dessy Kania

73

R. Masri Sareb Putra

Universitas Multimedia NusantaraJl. Boulevard, Gading Serpong

Telp. 021-54220808, 37039777, e-mail: [email protected]

ABSTRAK Tradisi“hermeneutika”sudahdikenaldalammitologiYunanilewatfigurHermesyangdikenalpiawaimenafsirkanpesan“duniaatas”ataurealitasontologisuntukdisampaikankepadamanusia.Kemudian,hermeneutikadipraktikkanparapakaruntukmenemukanmaknahakikisebuahteksAkitab. SekolahFrankfurtkemudianmengembangkanmetodehermeneutikasebagaicabangfilsafatyangmencapaipuncaknyapadaGadamer.Akantetapi,hermeneutikabarumenarikperhatianparapakarkomunikasiAmerikapada1976. DiIndonesia,hermeneutikabelumbanyakdigunakanuntukstudikomunikasi,padahalhermeneutikadapatmembongkarmaknayangterselubungdibalikrealitasyangadadibalikteksdanwacanasecararadikal. Katakunci:Hermeneutika,eksegese,makna,filsafat,komunikasi,wacana,teks.

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

PENDAHULUAN Filsafat adalah induk dan cikal bakal dari semua ilmu (Grant, 1996; Barrett dan Ai-ken; 1962; Agushevits, 2008). Jika demikian, maka ilmu komunikasi yang kita kenal saat ini juga asal mulanya dari filsafat. Sebagaimana diketahui bahwa makna atau trueconditionsadalah inti dari penelitian kualitatif. Hermeneutika ialah usaha rasional mencari makna suatu teks atau realitas dengan jalan menafsirkannya. Di dalam proses penaf-siran tersebut, si penafsir dituntun oleh vorur-teil (prejudice), yakni sejumlah pengalaman dan seperangkat pengetahuannya. Berdasarkan

vorurteil tersebut, si penafsir coba mencari hakikat sebuah teks atau realitas dalam konteks sejarah dan tradisi pada saat teks atau realitas lahir. Inilah yang disebut “lingkaran herme-neutika”, sebuah horizon yang terus berposes dan berkembang dalam usaha rasional men-emukan hakikat. Terkait dengan topik pembahasan, struktur paper ini mula-mula menggali lebih dahulu etimologi dan sejarah hermeneutika, praktik hermeneutika pada studi dan penaf-siran Alkitab, hermeneutika sebagai cabang filsafat, dan pada bagian akhir bagaimana fil-safat hermeneutika berproses dan berdialek-

Page 80: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 174

tika sehingga diadopsi menjadi salah satu metode penelitian komunikasi untuk menc-ari makna (sensus plenior/trueconditions) atau hakikat sesuatu lewat usaha rasional berupa penafsiran.

PEMBAHASAN Menelisik kembali asal usul kata, ker-ap sangat membantu upaya kita memahami sesuatu. Dalam konteks ini, untuk memahami “hermeneutika”, kita perlu terlebih dahulu menggali etimologinya. Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuō yang berarti: saya menasfirkan. Terminologi ini dipetik dari nama Hermes dalam epik karya Homeros[1] yaitu Ililiad dan Odyssey. Dikisahkan bahwa Hermes adalah utusan dewa, ia mengemban tugas membawa pesan Zeus dari dunia dewa kepada alam ma-nusia, terutama agar “bahasa dewa” dapat di-mengerti dan diterjemahkan ke dalam “bahasa manusia” (Palmer, 1999). Hermes dikisahkan sangat piawai menasfirkan tanda yang diberi-kan dewa-dewa dan memiliki kemampuan menerjemahkan pesan-pesan tersebut dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. SEJARAH HERMENEUTIKA Di dalam mengemban tugas tersebut, Hermes menjembatani apa yang disebut “gap ontologis” (ontologicalgap) yakni gap antara pemikiran atau alam dewa dan pemikiran atau alam manusia. Dalam mitos, dikisahkan bah-wa Hermes memiliki kemampuan muncul dan menghilang kapan saja, punya kemampuan lari secepat kilat, dan punya daya magis untuk membuat orang tertidur atau bangun. Dikisah-kan pula bahwa Hemes bukan hanya sanggup menjembatani antara jarak fisik (physicaldis-tance) dan jarak ontologis (ontological gap) antara dunia dewa (illahi) dan dunia manu-siawi (Palmer, hlm. 2). Tugas hemeneutika, seperti halnya tu-gas dewa, ialah: menjembatani gap antara on-tologi (realitas) dan apa yang tampak di per-mukaan (fenomena). Dengan demikian, terjadi

verifikasi sesuatu yang tampak di permukaan dengan substansi atau realitas yang merupakan “ada” atau being yang sesungguhnya. Inilah inti hermeneutika, sebagaimana namanya (dari nama dewa Hermes) yang piawai menafsirkan dan menjembatani jarak ontologis dunia dewa dan jarak fisik dunia manusia. Dalam salah satu karya Aristoteles “DeInterpretatione”[2] (tentang Interpretasi) kembali muncul istilah yang kurang lebih sama dengan Hermes, yakni “Peri Hermenias” yang mengacu kepada penafsiran dalam arti sempit, yakni penafasiran yang mengandung benar/salah. Dalam tradisi pemikiran Yunani, penafsiran sep-erti ini diarahkan pada teks pidato (retorika) seperti pidato Homeros dan syair-syairnya. Pada abad pertengahan, para Bapa Ge-reja menafsirkan Alkitab secara lebih sistematis dan metodis dengan mencari makna alegorinya (sensusallegoricus) yang coba memahami teks berkenaan dengan isi doktrinal dari dogma Ge-reja, sehingga yang menjelaskan setiap elemen literal yang memiliki makna simbolis. Hermenutika kemudian berkembang dan diadopsi para pakar Akitab (Kristen) yang mengembangkan studi penasfiran kitab suci secara ilmiah, dengan melihat konteks (kapan, di mana, lingkungan sosial budaya, serta ciri tekstual/struktur sastra) Alkitab tersebut untuk coba menangkap pesan (mak-na) yang dimaksudkan si penulis teks terse-but agar tidak bias dan maknanya tidak lari dari maksud si penulis. Dalam metode penasfiran Alkitab[3] tersebut, sejarah dan tradisi tidak boleh lepas dari konteks. Oleh karena itu, metodolog-inya disebut “eksegese” (penafsiran), yakni sebuah usaha rasional melakukan interpre-tasi secara sistematis. Cara kerja seperti ini hanya dapat ditemukan pada Philo dari Alek-sandria, yang melakukan refleksi tentang makna alegoris dari Perjanjian Lama yang berasumsi bahwa makna literer dari sebuah teks dapat menyembunyikan arti non-literer (trueconditions) yang hanya dapat ditelusuri melalui kerja interpretasi yang sistematis.

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

Page 81: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

St. Origenes (185-254) dari Alexandria selanjutnya mengembangkan studi interpre-tasi Kitab Suci secara sistematis dan dengan berani menyatakan bahwa Alkitab memiliki tiga tingkatan makna, seperti bangun segitiga yakni: tubuh, jiwa, dan semangat yang masing-masing mencerminkan tahap yang semakin lebih maju kepada pemahaman Kitab Suci se-cara lebih menyeluruh dan mendekati kepenu-han atau plenior (Seiler, 1835: 4). Dengan kata lain, Alkitab dilihat bukan semata-mata sebuah teks-tertulis perse (tubuh), akan tetapi Alkitab juga memiliki dimensi makna (jiwa), dan di-mensi power atau semangat yang dapat meng-gerakkan orang (afeksi, kognisi, dan behav-ioral). Konsep segitiga “temuan” Origenes ini nantinya memengaruhi teori-teori psikologi, yang selanjutnya mempengaruhi teori komuni-kasi, terutama mengenai dampak dari isi atau pesan komunikasi.[4]

Power (spirit)

Tubuh (teks) Jiwa (makna)

Selanjutnya, St. Agustinus dari Hippo (354-430) adalah salah seorang pemikir yang berpengaruh terhadap hermeneutika modern seperti diakui oleh Dilthey, Heidegger, dan Gadamer. Menurut Gadamer, justru Augus-tinuslah yang pertama kali memperkenalkan universalitas hermeneutika. Pernyataan ini didasarkan pada bagaimana Agustinus me-mandang hubungan antara bahasa dan in-terpretasi, juga bagaimana penafsiran Kitab Suci melibatkan tingkatan yang lebih eksis-tensial dari sekadar pemahaman atas teks itu sendiri. Karya Thomas Aquinas (SummaTheologia), di mana Heidegger banyak men-

Gambar 1: Segitiga tingkatan makna Alkitab menurut St. Origenes

curahkan perhatian dan mendapatkan inspi-rasi, juga berpengaruh pada perkembangan hermeneutika modern. Sebagaimana diketa-hui bahwa Thomas Aquinas membagi empat lapis makna Alkitab, yakni

1) theliteralorhistoricallevel(Alkitab seb-agai teks itu sendiri),

2) the allegorical[5] level (peristiwa literal berkaitan dengan pristiwa Perjanjian Baru),

3) themorallevel(menjelaskan pelajaran ab-strak moral yang bisa ditarik dari peristiwa literal), dan

4) theanagogicallevel (yang berkaitan den-gan makna) yang juga kerap disebut seb-agai “heavenlythings”.

Layer yang keempat ini oleh Brown dise-but sebagai “sensusplenior” yakni fuller sense atau cita rasa yang purna dari Alkitab. Inilah makna yang sesungguhnya dari seluruh kegiatan penafsiran, yakni upaya menemukan true condi-tions, sesuai dengan arti anagoge: tingkatan tertinggi yang melampaui apa yang kelihatan. Filsuf lain yang turut mempengaruhi ta-hap awal hermeneutika modern adalah Spinoza. Dalam bab ketujuh dari Tractatus theologico-politicus (1670), Spinoza mengusulkan bahwa untuk memahami bagian paling esensial dan paling sulit dari Kitab Suci, si penafsir harus-lah berangkat dari cakrawala historis di mana teks-teks tersebut ditulis dan merekonstruksi bagaimana Alkitab tersebut diproduksi. Dengan demikian, Alkitab bukanlah pertama-tama se-buah teks-mati, melainkan mengandung makna terdalam seperti dicatat Caroll (2002:6) bahwa

…in traditional Christian and Jewish circles the Bible is read as the story of the Jewish nation or the Church –from the creation of the world until the end of time—give or take a few centuries. It also read as the “story of salvation” (Heilsgesclichte) by many Chris-tian reading communities.

Selanjutnya, Caroll (hlm. 7) menekank-an bahwa tradisi hermeneutik Kristen di dalam

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

75

Page 82: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

menafsirkan Alkitab tidak pernah lepas-lepas, melainkan selalu dilihat secara “intertextual”. Jalan dialektika bagaimana para pakar dalam tradisi Kristen menafsirkan Alkitab se-cara hermeneutik seperti dilukiskan di atas panjang sekali. Sejarah dan tradisi menafsir-kan itu sendiri adalah kegiatan hermeneutik di mana konteks tradisi dan sejarah tidak dapat dilepaskan dari sang penasfir, sehingga mer-eka bersepakat memandang bahwa Alkitab pertama-tama bukanlah sebuah teks-mati; na-mun harus dapat menangkap maknanya yang terdalam pada tataran anagogical atau sensusplenior. Dalam perkembangan selanjutnya, metode eksegese ini juga dipakai ilmu sastra (menasfirkan teks/terjemahan) dan psikologi (menafsirkan mimpi).

TIPE-TIPE HERMENEUTIKA Menurut Palmer (1999), selain Ga-damer, terdapat dua belas filsuf yang pemiki-ran dan karyanya berkorelasi dengan herme-neutika yakni:

1) Plato (metode dialogis yang dikembang-kannya dari Sokrates, mitos tidak berten-tangan dengan rasio/logos)

2) Aristoteles (Organon, terutama de Inter-pretatione)

3) Hegel (dialektika: tesis, antitesis, sintesis)4) Husserl (fenomenologi)5) Heidegger (fenomenologi, terutama Be-

ing and Time)6) Wittgenstein (filsafat bahasa)7) Adorno (teori kritis Frankfurt School)8) Habermas (hermeneutika salah satu di-

mensi teori kritik sosial).9) Derrida (mendekati hermeneutika dari

latar post-structuralist theory)10) Foucault (strukturalis/ "interpretative an-

alytics").11) Rorty (menggunakan hermeneutika un-

tuk membangun posisi menentang episte-mologi yang berbasis-filsafat, masa lam-pau, dan masa kini)

12) Davidson (menafsirkan Alkitab sebagai dialog hermeneutikal)

76

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

TUJUAN YANG INGIN DICAPAI DARI HERMENEUTIKA Tentu saja, dalam kertas kerja ini tidak mungkin membahas secara mendetail semua pemikiran para filsuf tersebut terkait dengan hermeneutika. Untuk itu, akan dipilihkan be-berapa saja yang dianggap mewakili atau di-anggap cukup fenomenal baik karena pemiki-rannya yang luar biasa maupun karena diakui berjasa meletakkan fondasi bagi pemikiran dan metode hermenutika. Oleh karena Gadamer dianggap se-bagai “bapak hermeneutika modern” maka porsi pembahasannya cukup panjang lebar, terlebih lagi mengingat bahwa hermeneutika Gadamer diadopsi para pakar untuk memban-gun teori komunikasi (Deetz, 1976; Palmer, 1999). Dengan demikian, mengelaborasi bagaimana filsafat hermeneutika berproses dan berdialektika menjadi teori komunikasi sangatlah menarik dan sangat relevan dengan perkuliahan “Metodologi Penelitian Kualita-tif”. Sekaligus melalui usaha elaborasi ini di-paparkan bagaimana proses terjadinya konsep dan teori baru dalam ilmu komunikasi –dalam hal ini hermeneutika-- dan bagaimana para to-koh membangun teori ini secara induktif-lo-gis. Pada akhirnya, hermeneutika adalah upa-ya rasional menafsirkan realitas (ontologis) untuk mengungkapkan hakikat atau substansi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada (being) yang dalam bahasa teknis-ilmiah disebut sebagai “trueconditions”. Menurut Ricour (1991), hermeneu-tika ialah “thetheoryofoperationsofunder-standing in their relation to the interpreta-tion of text (1991: 53). Dengan kata yang sederhana dapat disebutkan bahwa metode filsafat hermenutika ialah: kegiatan olah pikir yang menafsirkan dan memahami makna suatu teks (realitas) secara rasional untuk mencari/menemukan hakikatnya. Filsafat hermenutika dibangun dan dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. To-kohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, Hegel, dan Heidegger[6]. Gadamer yang dianggap

Page 83: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

77

sebagai filsuf hermeneutika modern dipenga-ruhi oleh fenomenologi Heidegger (terutama melalui Being and Time) karena Gadamer adalah murid Heidegger. Pengaruh pemiki-ran fenomenologi[7] ini nantinya cukup ken-tal dalam karya Gadamer yakni Wahrheit unMethode (1960) atau Truth and Method dan atas “temuan”-nya ini Gadamer dipandang se-bagai tokoh filsafat hermenutika modern yang mengelaborasi penafsiran sebagai usaha me-mahami realitas yang hakiki dalam konteks se-jarah dan tradisi. Gadamer menegaskan bahwa kontem-plasi metodikal berlawanan dengan pengala-man dan refleksi. Menurut Gadamer, manusia dapat meraih kebenaran hanya dengan menger-ti atau bahkan menguasai pengalamannya. Oleh karena metode hermeneutika mengandal-kan olah akal budi rasional dalam upaya me-mahami realitas/ontologi (menafsirkan teks) dan kontemplasi ini maka hermeneutika oleh Habermas disebut sebagai metode kritis (Wa-chterhauser, 1986: 243-276) dan oleh Ricoeur disebut sebagai “kritik atas ideologi” (Wa-chterhauser, hlm. 400). Pengalaman, menurut Gadamer, tida-klah tetap, melainkan berubah-ubah; dan pen-galaman tersebut selalu menunjukkan perspe-ktif waktu. Gadamer menunjukkan pada kita bahwa kita tidak pernah dapat melangkah kelu-ar dari tradisi. Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan adalah: berusaha atau mencoba untuk memahami tradisi tadi. Konsep atau proposisi ini kemudian mengelaborasi atau menguraikan gagasan tentang lingkaran hermeneutika. Bagi Gadamer, sejarah bukanlah mi-lik kita, tetapi kita adalah milik sejarah. Lama sebelum kita bisa memahami diri kita (autoshepa), kita memahami siapa diri kita dalam cara yang terbukti dengan sendirinya, yakni kita ada dalam keluarga, masyarakat, negara, dan tempat tinggal kita (tradisi). Inilah yang disebut dengan “realitas historis”. Konsep yang penting dalam pandangan Gadamer ialah bah-wa Gadamer melihat realitas sebagai sebuah teks. Gadamer juga meyakini bahwa jika kita

mengerti teks maka penasfiran adalah metode [8] atau jalan untuk mencapai pengertian yang ada di balik teks tersebut. Dengan demikian, Filsafat Hermeneutik adalah kritis, bahkan cenderung skeptis (salah satu sikap ilmuwan untuk tidak mudah percaya begitu saja). Ketika kita menafsirkan teks, maka ada jarak waktu (dialektis). Teks mempengaruhi saya. Terjadi proses dialektis antara teks dan saya, oleh karena itu, ada horizon. Teks juga dimengerti dalam dialektis perpaduan horizon. Jadi, tahap ini aktual ti-dak hanya pada zaman dulu. Di dalam upaya memahami realitas sebagai teks: ada vorurteil (prejudice), praduga. Vorurteil ini dipakai un-tuk membaca teks. Inilah syarat supaya pema-haman akan sebuah teks terjadi. Dengan demikian, menurut Gadamer, pengalaman individu selalu hermeneutik, se-lalu berkembang dalam proses penafsiran. Karena itu, pengalaman negatif dalam teks ha-rus dipelajari dengan baik. Sejarah yang nega-tif, misalnya Gerakan 30-S/PKI dan Tragedi Mei 1998, karena itu, menjadi penting. Men-gapa? Karena peristiwa tersebut merupakan “peristiwa sosial” yang dalam bahsa Ricoeur disebut sebagai “symbolofevil”[9] dan hanya dapat dipahami secara utuh-menyeluruh dalam konteks sejarah. Sebagai contoh, (teks) lagu “Genjer-Genjer”, hanya dapat dimengerti se-cara purna apabila dikaitkan dengan peristiwa sosial jelang G30S/PKI tahun 1965. Bagi para saksi sejarah yang hari ini masih hidup lagu tersebut adalah sebuah “teks” yang mengand-ung realitas ontologis yang, apabila ditafsirkan dalam konteks sejarah pada waktu itu, dapat menyingkap banyak hal. Sebaliknya, bagi gen-erasi sekarang, lagu yang sama hanyalah seba-tas teks (tubuh) saja. Demikian halnya dengan teks atau tu-lisan “Milik Pribumi” yang ditulis di tembok, depan toko, ruko, atau barang-barang tertentu pada Kerusuhan Mei 1998. Teks tersebut untuk saat ini “tidak berbunyi” apabila tidak dikait-kan dengan sejarah atau peristiwa sosial pada saat itu. Amuk massa sebagai pelampiasan

Page 84: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 178

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

kekecewaan dan dendam yang terpendam pada Pemerintahan Orde Baru dilampiaskan pada kalangan nonpri, sehingga apa pun yang me-nyimbolkan nonpri halal untuk dirusak dan dijarah; namun “milik pribumi” haram hukum-nya untuk diganggu, apalagi dirusak. Makna terdalam atau sensus plenior dari teks “Milik Pribumi” hanya dapat dimengerti dalam kon-teks sejarah dan pengalaman kolektif pada saat itu dan pendekatan hermeneutika dapat menjelaskan makna di balik sebuah teks. Dalam konteks itulah Gadamer berpan-dangan bahwa hermeneutika adalah metode yang terus berproses dalam lingkaran histo-ris sebagai usaha rasional untuk memahami ontologis. Teks adalah realitas yang tampak, teks yang tampak tersebut haruslah ditafsirkan dalam tiga dimensi: 1) psikologis, 2) struktur, dan 3) historis untuk menemukan kebena-ran (realitas) yang sejati –yang dalam bahasa Thomas Aquinas disebut sebagai “anagogicallevel”, upaya menemukan sensusplenior dari sesuatu. Jadi, whatistruth? Teks adalah petun-juk (clue) to something. Aletheia (kebenaran) menampakkan diri dalam seluruh dialektis (in-teraksi antara aku-teks: aku sebagai si penafsir dan teks sebagai objek yang ditafsir) dan agar sampai pada pemahaman yang purna (sensusplenior) mengenai hakikat segala sesuatu yang ada (being) maka interaksi aku-teks ini ber-langsung dalam lingkaran hermeneutika.

HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENELITIAN KOMUNIKASI Menurut Gadamer, manusia adalah makhluk yang tidak dapat lepas dari bahasa. Melalui bahasa, dunia ini terbuka bagi kita. Kita belajar untuk mengetahui dunia dengan belajar menguasai bahasa. Oleh karena itu, kita tidak dapat benar-benar memahami diri kita kecuali kita memahami diri sebagai bagian dari budaya dan bahasa dalam dimensi ruang dan waktu yang menyejarah. Hal ini membawa konsekuensi dalam pemahaman kita tentang

seni, budaya, dan sejarah teks. Sejarah (teks) merupakan bagian dari tradisi kita sendiri, karya-karya sejarah tidak terutama menampil-kan diri kepada kita sebagai objek netral dan bebas-nilai dari penyelidikan ilmiah. Sejarah (teks) adalah bagian dari cakrawala di mana kita hidup dan melalui cakrawala tersebut pandangan kita terhadap dunia akan dibentuk. Dengan kata lain, kita dibentuk oleh karya-karya besar (tradisi dan histori) sebelum kita mendapatkan kesempatan untuk mendekatinya dengan tatapan yang objektif. Melalui usahaa interpretatif untuk me-mahami realitas yang sejati, kita mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan lebih men-dalam tidak hanya sebatas apa yang disaji-kan oleh teks yang menurut istilah Origenes “tubuh”, akan tetapi juga memahami diri kita sendiri (autos hepa). Hal inilah yang diangkat Deetz (1976) dalam Kolokuium Komunikasi Verbal di Florida, Juli 1976. Deetz antara lain menekankan hal yang berikut ini.

However, when these concepts are taught and make their way into everyday language, they are often understood as representing things rather than experiences and process. “self,” “attitudes,” norms,” “culture,” and so forth are example of concepts suffering from this reification. Explanation using these con-cepts in understood as one thing causing another rather than chosen way of structur-ing the experience on continuity. The experi-ence is thus explained away in abstraction rather than brought to clearer understanding. For example, what does it mean to say that a communication problem is a result of cul-tural differences? And how does that move us towards solving the problem? Concepts do not need to be seen as tools of classi-fication (in a categorical sense) but can be seen as opening experience in interpretative sensee.” (Deetz, hlm. 23-24).

Pemahaman akan realitas sejati dan pemahaman akan diri ini terus-menerus berpros-es dalam apa yang dinamakan “lingkaran herme-neutik” seperti gambar berikut ini di mana teks (realitas) terus berputar dan tidak pernah selesai.

Page 85: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

79

Dalam upaya memahami sebuah teks secara utuh-menyeluruh maka interpretasi harus terus-menerus mengikutinya. Dalam konteks ini-lah penafsiran harus diletakkan dalam dimensi waktu (sejarah) dan tradisi –sesuatu yang meng-ingatkan kita akan Berger dan Luckmann[1] (1966) mengenai kesadaran kolektif yang mem-bentuk konsepsi mengenai realitas sosial. Relasi antarmanusia dan kesadaran-sejarah ini kembali ditekankan Deetz (hlm. 24) bahwa hermeneutika, terutama Gadamer, mem-berikan kontribusi penting bagi studi komu-nikasi yang intinya ialah bahwa: makna (trueconditions) dari segala sesuatu yang ada baru dapat dipahami seutuhnya jika dikaitkan dengan kesadaran-sejarah (historicalconsciousness). Apa relevansi filsafat hermenutika den-gan studi-studi ilmu komunikasi? Deetz me-nyebutkan bahwa hermeneutika sangat men-arik bagi para pakar ilmu komunikasi Amerika. Alasannya: metode filsafat hermeneutika san-gat cocok dan relevan untuk studi komunikasi, terutama karena hemerneutika membantu studi komunikasi di dalam “understandingthemes-sage becomes primarily an instrumental acttowardsthisend” (Deetz, hlm. 10).

Gambar 2: Lingkaran hermeneutikaSumber: http://www.friesian.com/hermenut.htm

Di tempat lain, Palmer dalam “TheRel-evanceofGadamer’sPhilosopicalHermeneu-tics to Thirty-Six Topics or Fields ofHumanActivity” menyebutkan terdapat 36 topik yang relevan dengan filsafat hermeneutika Gadamer, salah satu di antaranya untuk studi komunikasi, yakni topik ke-35 “Communication Theory”, terutama menyangkut bahasa sebagai alat ko-munikasi (verbal), bagaimana bahasa bekerja, serta bagaimana metode penasfiran hermeneu-tika Gadamer dipakai untuk menafsirkan meta-bahasa atau realitas di balik bahasa verbal. Sebagai metode dalam penelitian/studi komunikasi, hermeneutika mengikuti langkah yang berikut ini:

1) Menetapkan being atau objek material (teks, objek, fenomena) yang hendak diselidiki atau diamati.

2) Berusaha menafsirkan being tersebut dengan mengikuti “segitiga” tingkatan makna Origenes.

3) Lalu berupaya mencari sensus plenior (hakikat terdalam/true conditions) dari being tersebut.

4) Jika si penafsir yang sudah sampai pada sen-sus plenior di mana ia sudah berhasil menjadi jembatan (mediator/messenger) dan berhasil menunaikan tugas seperti yang dilakukan Hermes yaitu berhasil menjembatani gap ontologis realitas yang sesungguhnya den-gan apa yang tampak, maka hermeneutika sudah sampai pada metode penelitian kual-itatif: menemukan makna terdalam dari segala sesuatu yang ada (being).

PROSES KESAHIHAN DAN KEABSAH-AN DATA Terdapat beberapa faktor yang memen-garuhi kesahihan data (validitas) dan keandalan (realibilitas) data dalam penelitian kualitatif, yakni nilai subjektivitas, metode pengumpu-lan data, dan sumber data dalam penelitian. Dalam hermeneutik, si penafsir adalah subjek yang tidak dapat dihindarkan karena di dalam upaya memahami makna sebuah realitas (teks) ia berada pada posisi menafsirkan dan dalam

Page 86: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 180

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

penafsiran tersebut di balik kepala si subjek diandaikan adanya vorurteil, prejudice[11] (Gadamer,273 ) “Actually‘prejudice’meansajudgement that isrenderedbeforeall theele-mentsthatdetermineasituationhavebeenfi-nallyexamined.InGermanlegalterminologya‘prejudice’isaprovisiallegalverdictbeforethefinalverdictisreached.” Cita rasa prejudice dalam bahasa Ing-gris tidak sepenuhnya dapat menjelaskan apa yang Gadamer maksudkan sebagai vorurteil yang dalam bahasa Latin, praejudicium yang berarti: adverse effect, disadvantage, harm. Cita rasa negatif kata tersebut hanyalah deriva-tif, konsekuensi negatifnya sangat bergantung pada validitas positif, nilai dari “provisialde-cission” sebagai prejudgement, sebagaimana halnya setiap preseden. Dengan demikian, “prejudice” sebagaimana dimaksudkan Ga-damer, ialah “certainly does not necessarilymeana false judgement, but part of the ideaisthatitcanhaveeitherapositiveornegativevalue.” (Gadamer, hlm. 273). Dengan demikian, “subjektif” dalam hermeneutika tidak identik maknanya den-gan subjektif sebagaimana yang kita menger-ti sehari-hari, yakni mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau halnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 1095). Metode pengumpulan data dalam studi hermeneutika ialah bahwa data terdapat dalam teks atau dalam wacana. Dapat tunggal (da-tum) dapat juga jamak (data) bergantung pada sifat atau lingkup unit analisisnya. Adapun sumber data dalam pene-litian hermeneutika haruslah orisinal atau sumber primer.

PENERAPAN METODE HERMENEUTI-KA DALAM STUDI KOMUNIKASI Oleh pakar komunikasi, hermeneutika dimasukkan ke dalam teori kritis (Littlejohn, 2009: xiv; 469-474). Diakui bahwa metode hermeneutika memberikan perspektif baru dalam studi komunikasi.

“At the heart of hermeneutics is a novel viewof the structure of discursive understanding,whichittakestobecircularratherthanlinear.Analyticlogicmovesonestepatatimetowarda conclusion and attempts to exclude presup-positions or predeterminations. Hermeneuticsnotonlyaffirmstheimpoverishmentofthiskindof thinking, but it makes predispositions andprederminationsconstitutiveandcentraltothecommunicationprocessitself.”

Hermeneutika ialah upaya rasional mencari dan menemukan makna atau sensus plenior dari sebuah teks (realitas); sementara hakikat dari penelitian kualitatif juga mencari makna hakiki dari being, segala sesuatu yang ada yang hendak diteliti. Sebagai contoh, seseorang hendak meneliti teks/wacana Orde Baru yakni “amank-an”. Mendapatkan prefiks ke-an, kata dasar wa-cana ini adalah “aman” yang berarti: bebas dari gangguan, terlindung atau tersembunyi, tenter-am[12]. Arti kamus ini menurut Origenes adalah “tubuh” atau teks perse. Untuk mengerti makna dan peristiwa (sosial) di balik teks “amankan” ini, kita (peneliti) harus dapat menangkap jiwa dari kata tersebut, yaitu bukan benar-benar ter-lindung atau tenteram sebagaimana tersurat dalam pengertian kamus; sebaliknya seseorang yang “diamankan” dalam konteks sejarah Orde Baru justru berarti hilang (diculik atau dibunuh) agar yang bersangkutan tidak mengganggu sepak terjang dan menghalang-halangi peny-elenggaraan pemerintahan pada saat itu. Makna terdalam dari wacana ini dapat dijelaskan dengan pendekatan hermeneutika, yakni dengan mencari sensus plenior-nya, ti-dak hanya sebatas teks saja. Jika hanya mene-laah teks maka makna hakiki dari wacana tersebut tidak terungkap. Untuk mengung-kap secara utuh-menyeluruh teks tersebut, pendekatan hermeneutika dapat membantu dengan menempatkan objek material (unit analisis) “amankan” ke semua aras dari bangun segitiga Origenes dan mengangkatnya ke aras anagogikal (anagogical level) sebagaimana yang disarankan oleh Thomas Aquinas. Kemu-

Page 87: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

81

dian, menempatkannya dalam konteks sejarah (dan tradisi) sesuai dengan yang dianjurkan Gadamer di mana aku (penafsir) terus-menerus berdialog dengan teks, dan dalam dialektika tersebut, ada horizon yang memungkinkan se-buah teks atau realitas ditangkap secara utuh-menyeluruh. Penafsiran (hermeneutika) ini berlangsung dalam sebuah siklus yang disebut “lingkaran hermeneutika”.

Gambar 3: Tampilan struktur spiral turun yang sama dengan tabel “siklus realistis hermeneutika”Sumber: http://www.friesian.com/hermenut.htm

Sebagaimana tampak dalam gambar di atas, penafsiran hermeneutik dibatasi oleh teks, atau oleh bukti empiris, atau oleh hal lain, sehingga ada kemungkinan bahwa siklus hermeneu-tik justru bukan mempersempit spiral di luar kendali. Limit dari spiral, apakah tercapai atau tidak, merupakan prinsip objektivitas dan re-alitas. Seperti dalam mekanika kuantum itu sendiri, akan ada kisaran yang lebih besar atau lebih kecil dari ketidakpastian, tetapi ini hany-alah kisaran, bukan sebuah kemungkinan tak terhingga atau tak terbatas. Jika teks “amankan” dimasukkan ke dalam siklus hermeneutika dan coba di-cari maknanya yang paling hakiki maka aku (penafsir) terus-menerus berdialog dengan teks (realitas), di dalam proses dialektis terse-but ada jarak waktu tersebut ada horizon yakni garis yang sejajar antara batas pendekatan atau usaha rasional untuk mengerti teks (approach

limit) dan dan garis batas ontologis yang (ma-sih) terkendala oleh realitas. Gap antarkedua garis ini yang coba dijembatani atau dihubung-kan si penafsir dan dalam horizon yang bersifat dialektis inilah si penafsir menemukan kepur-naan makna sebuah teks. Dengan demikian, teks “amankan” yang ontologis sebagai “bahasa dan jargon dewa” berusaha dijembatani oleh si penafsir dengan menemukan sensus plenior-nya per-tama-tama memang melalui salah satu kaki segitiga Origenes yakni “tubuh/teks”. Akan tetapi, hal yang jauh lebih penting setelah itu ialah melihat kaki-kaki yang lain, yakni jiwa dan spiritnya dalam peristiwa sejarah dan ke-adaan pada saat itu. Begitu dari dunia dewa datang titah untuk “mengamankan” seseorang maka itulah isi pesan yang langsung dapat di-mengerti warga dunia atas, namun yang tidak sepenuhnya dimengerti orang kebanyakan. Si penafsir akan bertindak selaku Hermes dan ia akan menjadi mediator antara dunia dewa dan dunia manusia, sehingga manusia yang melak-sanakan pesan itu di lapangan melakukan apa yang dikehendaki dewa. Dalam upaya menemukan sensus ple-nior inilah agaknya kita memahami apa yang ditekankan Gadamer berikut ini.

All the beginning of all historical hermeneu-tics, then, the abstract thesis between tradi-tion and historical research, between history and the knowlede of it, must be discarded. The effect (Wirkung) of a living tradition and effect of historical study must constitute a unity of effect, the analysis of which would reveal only a texture of reciprocal effects. Hence we would do well not regard histori-cal consciousness as something radically new –as it seems at first—but as a new ele-ment in what has always constituted the hu-man relation to the past. In other words, we have to recognize the element of tradition in historical research and inquire into its her-meneutic productivity. That element of tradition affects the hu-man sciences despite the methodical purity of their procedures, an element that con-stitutes their real nature and distinguishing

Page 88: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 182

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

mark, is immediately clear if we examine the history of research and note the difference between the human and the natural sci-ences with regard to their history. Ofcourse none of man’s finite historical endeavors can completely erase the trace of this fini-tude. (Gadamer, hlm. 283-284).

Dalam upaya mencari dan menemu-kan kepurnaan makna teks “amankan” maka pendekatan hermeneutika pertama-tama harus menempatkan teks tersebut dalam bingkai se-jarah untuk menemukan sensus plenior-nya. Aspek kesadaran akan sejarah dan vorurteil inilah yang membedakan Gadamer dari Haber-mas seperti yang dicatat Palmer.

What separates Heidegger and Gadamer is Gadamer's concept of wirkungsgeschichtli-ches Bewußtsein, a consciousness in which history is always at work. For Gadamer there is no escape from history or from prejudic-es, although one must continually become aware of them. But they are the basis of our understanding at all, so "prejudgments" are always already there (Palmer).

Gadamer memandang teks (bahasa) sebagai “the house of Being”. Untuk mengungkap sekaligus menemukan makna yang purna dari “Being” tersebut, pertama-tama si penafsir haruslah lebih dahulu masuk ke dalam rumah Being dimaksud sebagai upaya awal mengurai apa yang oleh Gadamer disebut sebagai “her-meneuticcircle”. Dari perspektif studi komuni-kasi, menurut Boldonova (2008: 504), konsep lingkaran hermeneutik ini penting untuk diurai karena

…hermeneutic circle provide the explanation of the circular movement of understanding, which runs from the part of the conversation to the whole conversation, and back. The interlocutor calls the expectation of mean-ing a force-conception of completeness: this solve the problem of contradiction between something unknown and the familiar.

Menurut Gadamer, hermeneutic circle adalah dialektika antara knowledge and fore-knowl-edge. Dialektika tersebut tidak lain tidak bukan adalah apa yang disebut sebagai “temporaldis-tance” yakni jarak antara dua horizon: horizon masa lampau yang menyejarah (thehorizonofthepast) dan horizon masa kini (thehorizonofpresent). Thehorizonof thepast (ofanobjectitself)ialah bingkai tempat segala sesuatu ter-jadi atau tempat peristiwa historis berlangsung. Sementarathehorizonofpresent(ofaninter-preter) ialah segala usaha yang coba mema-hami dan menginterpretasi suatu objek atau peristiwa. Salah satu aspek penting dari herme-neutik kontemporer ialah sudut pandang bah-wa setiap usaha yang dianggap berhasil dari pemahaman atau interpretasi suatu teks (reali-tas) ialah memahami hakikatnya. “... inorderto understandGadamer’s contribution to thestudyofinterpersonalunderstanding,onemustrealizethatunderstandingiscommunicative.” (Boldonova, hlm. 490). Apabila sang interpreter atau penafsir berhasil memecahkaan persoalan antara some-thingunknownandthefamiliar-- yang dalam istilah filsafat menjembatani antara jarak fisik (physicaldistance) dan jarak ontologis (onto-logicalgap)-- maka ia sama melakukan tugas seperti dilakukan Hermes. Komunikasi dan pemahaman tejadi ketika interlokutor mencapai kesepahaman (commonality). Gadamer menyebut ini seb-agai fenomenon fusi dari horizon (fusion ofhorizon) dan menggambarkan tipe ini sebagai “konversasi hermeneutik” ketika makna yang sama sudah terbangun. Menurut Boldonova (hlm. 496) kon-sep hermeneutik lain dari Gadamer dapat juga diterapkan pada komunikasi antarpribadi. “Ap-plication is connected with feedback is theformofverbalexpressionoractionsasaresultof understanding. In interpersonal communi-cation,interlocultorsmusthaveproperlisten-ing skills, interpretative competence, and the

Page 89: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

83

abilitytogiveimmediatefeedback.” Sumbangan hermeneutika, terutama Gadamer, untuk studi komunikasi tidak dira-gukan lagi seperti dicatat Deetz berikut ini.

Gadamer would have communication stud-ies become aware of time not as a variable to be considered as “timing” not as some-thing along side interaction (as interaction happens through time) but as an integral part of the structure of interaction itself…. Meaning is not extra wordly ut is subject to change in time and thus open to new sig-nificance. Meaningful everyday interaction like a great literary work is never closed in meaning but able to speak again in a dif-ferent but significant way…. Communication directed toward increased understanding is opening of meaning to time and change and the interactants to new experience (Deetz, hlm. 18).

Deetz sesungguhnya menegaskan kem-bali makna sebuah teks sebagaimana dikatakan Gadamer, “…thetaskofunderstandingiscon-cernedinthefirstplacewiththemeaningofthetextitself (Gadamer, hlm. 335). Adapun krite-ria untuk memahami sebuah teks “The criteria forunderstandingmustbetheharmonyofallthedetailsitself(Gadamer, hlm. 259). Dengan kata lain, makna sebuah teks dipahami secara intertextual. Akhirnya, Deetz menyimpulkan bahwa hermeneutika terutama memberikan sumbang-sih bagi studi komunikasi untuk mengkonstruk bodyofknowledge.“Itshouldclear thatGa-damer'sanalysisofcharacterofundertandingmakesproblematicthebasicassumedgoalofcommunicationstudiestoconstructabodyofknowledge” (Deetz, hlm. 22).

SIMPULAN Relevansi filsafat hermeneutika dalam studi komunikasi ialah: Filsafat hermeneutika memberikan kontribusi pada studi komunikasi untuk melihat realitas di balik data (meta data), menyingkap meta-teks dengan coba mem-bongkar ada apa di balik teks tersebut, meny-

ingkap realitas di balik data yang terselubung, dan bagaimana menangkap makna di balik hal-hal yang tampak di permukaan (ucapan, teks, gesture). Hermeneutika memberikan sumban-gan pada metode penelitian komunikasi untuk menemukan makna yang purna (sensuspleni-or) dari segala sesuatu yang ada (being).

END NOTE[1] Homeros hidup sekitar abad 8 sebelum

Masehi. Jika diakui sebagai karya Homeros maka Ililiad dan Odyssey diperkirakan lahir bersamaan waktunya dengan masa kehidupan sang penciptanya. Boleh di-katakan bahwa epik tersebut adalah awal mula dari literatur Barat yang selanjutnya sangat mempengaruhi sejarah sastra.

[2] Sebagaimana diketahui dalam karya Aris-toteles, Organon, salah satu dia antaranya De Interpretatione ini atau dalam ba-hasa Yunaninya Peri Hermenias. Karya ini terdiri atas delapan bab, pada intinya dibahas di dalamnya hubungan antara ba-hasa dan logika. Selengkapnya lihat Ar-istotle’sCategoriesandPropositions(Deinterpretatione), 1980.

[3] Lihat misalnya Davidson, The Old Tes-tament (1857) di mana Aklitab secara hermeneutis dikritisi latar teksnya, dengan metode hermeneutika yakni dengan meng-kritisi (interpretasi) teks tersebut dalam hubungannya dengan tradisi dan sejarah bangsa Ibrani pada saat teks itu ditulis.

[4] Leon Festinger misalnya, dalam teori Cog-nitiveDissonace menekankan tiga efek ko-munikasi yang jika dicermati dengan saksa-ma mirip dengan bangun segitiga Origenes.

[5] Dari kata Yunani anagoge yang secara harfiah berarti: “naik” atau “pendakian”.

[6] Untuk melihat bagaimana pengaruh fenom-enologi demikian kuat dalam diri Gadam-er, baca misalnya Wachterhauser,Herme-neuticsandModernPhilosophy(1986).

[7] Sedemikian kuatnya pengaruh Hei-degger pada Gadamer dilukiskan Palm-

Page 90: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 184

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

er sebagai berikut “…then a Germanphilosopher, Hans-Georg Gadamer,whohadbeenHeidegger’sassistantforfiveyearsinMarburg,from1923-1928,while Heidegger was writing Beingand Time,came to see in Heidegger’sthought-both in Being and Time andin the1935essay,“DerUrsprungdesKunstwerkes”(“TheOriginoftheWorkofArt,” pp. 139-212 in Heidegger,Ba-sic Writings) the basis for a “philo-sophical hermeneutics.” Hermeneutika Gadamer yang menekankan interpretasi dalam bingkai waktu sejarah dan tradi-si ada benang merahnya dengan karya Heidegger, BeingandTime.

[8] Metode dalam bahasa Latin, methodus yang diderivasi dari kata Yunani, mé-thodos (metá: sesudah dan hodós: jalan) yang secara harfiah berarti: orang yang mengikuti jalan tertentu.

[9] Untuk mendalaminya, baca buku The SymbolofEvil (1967) Paul Ricoeur yang diterjemahkan E. Buchanan.

[10] Berger dan Luckmann dalam buku So-cial Construction of Reality (1966) membahas sosiologi pengetahuan dan melihat bahwa apa yang disebut dengan “realitas” ialah hasil dari konstruksi so-sial yang menjadi nyata dalam kerangka sejarah. “…Humansdoconstructsociallife,butthissociallife,becomesreal,aseriesof‘socialfacts’.Thiscanbeseenclearlyinhistoricalterms—andthefa-mous‘castawaysonadesertisland’ex-amplemakethisclear.”

[11] Oleh karena cita rasa prejudice dalam bahasa Inggris kurang sanggup men-transfer seluruhnya cita rasa vorurteil dalam bahasa Jerman, banyak pakar ti-dak menggunakan bahasa Inggris, tetapi tetap mempertahankan aslinya. Ini juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses hermeneutika di mana istilah tersebut coba dicari makna hakikinya.

[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 35.

DAFTAR PUSTAKAAgushevits, Reuven. 2008. PrinciplesofPhi losophy. Jersey City: KTAV Publishing House.Apostle, Hippocrates George (terj.) 1980. Aris totle'sCategoriesandPropositions(De interpretatione). California:Peripatetic Press.Barret, William dan Henry David Aiken. 1962. PhilosophyintheTwentiethCentury: AnAnthology, Volume 1. New York: Random House.Berger, P. dan Luckmann T. 1966. TheSocial ConstructionofReality:ATreatiseon theSociologyofKnowledge. London: Penguin University Books.Bertens, K. 1999. SejarahFilsafatYunani. Yo gyakarta: Kanisius.Boldonova, Irina. 2008. “OnH.G.Gadamer’s TruthandMethod:TheHermeneutics ofInterpersonalCommunica tion” dalam William Sweet (ed.), TheDialoqueofCultural Traditions:AGlobalPerspec tive. Washington: The Council for Research in Values and Philosophy.Caroll, Robert P. 2002. “RemovingAnAncient Landmark:ReadingTheBibleasCul turalProduction” dalam Martin O’Kane (ed.), Borders,Boundariesand theBible. New York: Sheffield Academic Press ltd.Davidson D.D., Samuel. 1857. The Text of the OldTestament. London: Longman.Deetz, Stanley. 1976. “Gadamer’sHermeneu ticsandAmericanCommunication Studies”, paper presented at the Annual International Colloquium on Verbal Communication.Gadamer, Hans-Georg. 1975. TruthandMeth od. London-New York: Continuum. Grant, Edward. 1996. TheFoundationsof ModernScienceinTheMiddleAges: TheirReligious,Insti tutional,andIntellectualCon text. Cambridge: Cambridge University Press.Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss (edi

Page 91: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi

• R. Masri Sareb Putra

85

tors). 2009. EncyclopediaofCommuni cationTheory. California: Sage.Ricoeur, Paul. 1973 “TheHermeneutical FunctionofDistanciation” dalam Phi losophyToday17. -----------------. 1967. TheSymbolofEvil (ter jemahan oleh E. Buchanan. New York: Harper & Row. -----------------. 1991. FromTexttoAction:Es saysinHermeneutics, II. Illio nis: Northwestern University Press.Seiler, Georg Friedrich, Jodocus Heringa

&William Wright. 1835. Bibli calHermeneutics;or,TheArtofInter pretation. London: Kessinger Publishing.Vatimmo, Gianni. 1997. BeyondInterpreta tion:TheMeaningofHermeneuticsof Philosophy. Standford, Califor nia: Standford University Press. Wachterhauser, Brice R. (ed.). 1986. Herme neuticandModernPhilosophy. New York: State University of New York.http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-log ic/ diunduh pada 5 Maret 2011.

Page 92: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 186

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan

• Suharsono

Suharsono

Penulis adalah pemerhati masalah sosial, budaya dan organisasi. Mengajar di FIABIKOM UAJ, FTI Usakti, dan FIKOM UMN.

ABSTRAK Kotamasihmenjadipusatharapanbagisebagianbesarmasyarakatyangtinggaldiluarwilayahperkotaan.Kotadipandangsebagaiwilayahyangmampumemenuhiharapanitu,olehkarenaitusetiaptahunjumlahpenduduknyasemakinbertambah.Disisilainpen-ingkatanjumlahpendudukmenyebabkanpenambahanbebandalammenyediakanberbagaifasilitasdanaksesyanglain.Salainitukarenakebijakanpembangunanperkotaanyangkurangmemperhatikankelestarianlingkunganhidupmakaakhirnyamenimbulkanberbagaimasalahperkotaansepertibanjir,kepadatanpenduduk,lingkunganyangkumuh,kemacetandanlain-nya.Kotatidakberkembangsebagaikotayangmanusiawi(humanopolis)dannyamansecaraekologi(ecopolis).Persoalaninidapatdiatasiantaralaindenganmeningkatkanpartisipasidalammenciptakanbudayagayahiduppedulilingkunganmelaluiperankomunikasiinterperdanprosessosialisasi.Dengandemikianperkembangankotadiharapkanmenjadikotayangberkelanjutan(sustainability).

Katakunci:BudayaGayaHidupPeduliLingkungan,KomunikasiInterpersonal,Sosialisasi,danPartisipasi.

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota

untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan

1. PENDAHULUAN Membicarakan kota atau perkotaan khususnya di Indonesia memiliki daya tarik tersendiri, mengapa ? Kota terutama kota-kota besar seperti Jakarta seolah memiliki kekuatan atau magnit yang luar biasa be-sarnya. Meskipun sebagian sudah ada yang merasa penat tetapi justru sebagian besar

masyarakat daerah masih banyak yang me-rindukan untuk datang ke Jakarta. Mereka datang bukan untuk melihat persidangan ber-bagai kasus korupsi yang tidak kunjung sele-sai dan justru memunculkan persoalan baru, tetapi mereka ingin memperjuangkan nasib dengan mencari peluang pekerjaan yang ter-sisa. Fenomena ini kiranya sangat mudah

Page 93: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan

• Suharsono • Suharsono

87

dilihat misalnya ketika terjadi mudik Idul Fitri (Lebaran) atau Natal dan Tahun Baru. Arus pertambahan jumlah penduduk ini pada gilirannya menimbulkan dampak pada dae-rah perkotaan misalnya tingkat kepadatan pen-duduk, akses pelayanan berbagai kebutuhan dasar seperti, bahan makanan, air bersih, transportasi dan sarana-sarana umum lainnya (Irwan Abdul-lah, 2009:27). Oleh karena itu ketika berbicara tentang kota atau perkotaan maka yang terbayang adalah berbagai kepadatan ruang, bangunan, ma-nusia, barang, lalu lintas dan lain-lain demikian dikatakan oleh Eko Budihardjo dalam pengantar buku Inoguchi (2003: ix). Selanjutnya dikatakan bahwa karena kepadatan ruang dan manusia maka berkembang pemukiman kumuh dalam ben-tuk perkampungan kumuh legal (slum) maupun perkampungan kumuh liar (squatters). Terkesan hanya mereka inilah yang menjadi persoalan dae-rah perkotaan. Keberadaan kelompok miskin ini dianggap mengganggu keindahan dan kenyaman kota. Oleh karena itu tindakan yang sering diam-bil oleh para pengambil keputusan biasanya den-gan menggusur mereka dan menggantikannya dengan bangunan-bangunan baru seperti pusat perbelanjaan (mall), perkantoran atau apartemen. Secara sosiologis keberadaan mereka tetap dibu-tuhkan bagi perkembangan kota yang aman, nya-man dan menyenangkan bagi masyarakat kota. Selain itu menurut Koswara dalam bukunya Ir-wan Abdullah (2009:30) dikatakan bahwa paling tidak ada empat persoalan dalam pembangunan perkotaan, (1) fasilitas-fasilitas lingkungan dan infrastruktur yang kurang memadahi, (2) kon-disi perumahan yang kurang sehat, (3) tingginya tingkat kepadatan penduduk dan pola penggu-naan tanah yang tidak teratur, dan (4) tatanan kehidupan sosial yang kurang teratur. Dengan demikian yang lebih penting adalah bagaimana menata daerah perkotaan menjadi daerah hunian yang aman, nyaman dan menyenangkan untuk berbagai aktivitas baik ekonomi, bisnis, sosial, politik dan budaya. Menurut Eko Budihardjo (ibid) pem-bangunan kota-kota di Indonesia lebih tepat jika berorientasi pada pembangunan kota yang

manusiawi (humanopolis), dan kota yang ber-sahabat dengan lingkungan (ecopolis). Pem-bangunan kota yang manusiawi pada dasarnya adalah pembangunan kota yang memperhati-kan aspek kebutuhan sosial dan budaya ma-syarakat. Sebagai contoh misalnya ruang un-tuk saling berinteraksi diantara warga seperti tempat bermain untuk anak, ruang fasilitas so-sial dan umum. Sedangkan pembangunan kota ecopolis pada dasarnya merupaka pembangu-nan kota yang memperhatikan aspek keles-tarian lingkungan seperti tersedianya ruang hijau, kebersihan air, resapan, terjaganya kes-uburan tanah dan sebagainya. Semua ini demi tercapainya pembangunan kota yang mem-perhatikan daya dukung alam yang berkelan-jutan (sustainability). Dalam bukunya yang lain Eko Budihardjo (1993: 231) mengatakan bahwa dalam perspektif ekopolis maka lahan-lahan yang terletak di daerah pantai, daerah resapan air dan kawasan lindung merupakan tempat yang harus dihindari untuk pemban-gunan fisik untuk mempertahankan daur hi-drologi dan daur kehidupan. Dewasa ini sering kita mendengar kelu-han dari masyarakat bahwa tinggal di wilayah perkotaan sekarang ini sudah tidak nyaman lagi, gerah, kotor, macet, banjir dan masih ban-yak lagi kata-kata yang senada. Kondisi seperti ini ditangkap oleh para pelaku bisnis peruma-han sebagai peluang baru dengan sama-sama mengangkat isu lingkungan namun dengan tindakan (action) yang berbeda. Oleh karena itu maka banyak pengembang yang menawar-kan hasil produknya dengan kemasan penataan lingkungan yang nyaman melalui berbagai me-dia. Tetapi sayangnya realitanya justru berbalik dengan apa yang ditawarkan lewat berbagai iklan itu. Proses pembangunan justru sering kurang memperhatikan faktor kelestarian ling-kungan, sehingga memunculkan masalah baru, seperti banjir, kemacetan, kekumuhan baru. Seperti dikatakan oleh Takashi Inoguchi dkk. bahwa pembangunan perkotaan secara nyata merusak lingkungan alam dan wilayah-wilayah di sekitarnya (2003:2). Seperti juga dikatakan

Page 94: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 188

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan

• Suharsono

oleh Le Corbusier seorang arsitek dari Prancis (Eko Budihardjo, 1993: 230) bahwa “…suatu kenyataan, bahwa kota-kota besar yang ada sekarang merupakan hasil dari pembantaian terhadap alam (anassaultonnature). Demiki-an juga Sonny Keraf (2010:1) mengatakan bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang sekarang terjadi baik pada tingkat global mau-pun nasional bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab. Bagi masyarakat perkotaan isu peles-tarian lingkungan dan ketersediaan ruang un-tuk kebutuhan sosial dan budaya masyarakat kota menjadi sangat penting dan mendesak karena mereka yang paling banyak merasakan akibat dari kerusakan lingkungan tersebut. Dalam situasi seperti di atas maka ada satu sisi yang bisa dilakukan untuk pelestarian ling-kungan yaitu mengubah gaya hidup yang ta-dinya kurang memperhatikan lingkungan men-jadi peduli terhadap lingkungan. Oleh karena itu yang menjadi persoalan dalam tulisan ini adalah bagaimana meningkatkan partsipasi masyarakat perkotaan dalam menciptakan bu-daya gaya hidup peduli lingkungan ? 2. BUDAYA GAYA HIDUP PEDULI LINGKUNGAN Jika diperhatikan, pembangunan wilayah perkotaan (baru) misalnya perumah-an-perumahan baru, pertokoan, perkantoran dan pusat-pusat belanja (mall), kurang mem-perhatikan kelestarian lingkungan, misalnya kurang menyediakan ruang hijau, resapan air dan sebagainya. Yang terjadi kemudian orang merasakan kepengapan atau panas yang luar bisa pada musim kemarau dan kesusahan keti-ka banjir terjadi disana sini pada musim hujan tiba. Sebagai contoh mari kita coba perhatikan pembangunan berbagai komplek perumahan di sekitar tempat tinggal kita, dapat dikatakan bahwa sebagian besar sudah kurang memper-hatikan faktor kelestararian lingkungan. Sep-erti dikatakan oleh Eko Budihardjo (Inoguchi, dkk., hal. xi) bahwa selama ini para pengusaha real estate lebih banyak membangun rumah-

rumah, rumah ditambah toko (ruko), rumah ditambah kantor (rukan) dan sarana lain yang lebih menguntungkan secara finansial. Ironis sekali memang tetapi begitulah hasilnya. Se-bagai gantinya mereka lebih banyak menggu-nakan AC untuk penyejuk ruangan dan meng-ganti pohon dengan pohon imitasi. Isu tentang pelestarian lingkungan pada dasarnya sudah menjadi pengetahuan umum kita semua baik masyarakat, pemerintah maupun pengembang. Tetapi perwujudannya masih lebih banyak pada tataran pengetahuan dalam bentuk semi-nar, sepanduk dan tulisan-tulisan lainnya, be-lum banyak menyentuh pada bentuk perilaku konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu mari kita coba perhatikan fenomena lain misalnya jika rata-rata setiap hari setiap keluarga menghasilkan 2 kg saja sampah rumah tangga, maka berapa banyak (kilo atau ton) sampah yang menjadi beban lingkungan untuk satu komplek perumahan. Kenapa menjadi beban, selama ini sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa sam-pah, sekali lagi sampah maka harus dibuang, dibuang jauh dari rumah. Oleh karena itu maka biasanya setiap komplek perumahan, pasar, pertokoan memiliki armada dan petugas khu-sus sebagai “kolektor” dan sekaligus tenaga pembuang sampah. Pola pikir dan perilaku ini sebenarnya dapat dikatakan tidak bertanggung-jawab karena sampah atau limbah yang di-hasilkan dilimpahkan kepada pihak lain. Pihak lainlah yang harus menanggung efek negatif-nya seperti bau busuk, kotor, pencemaran air dan sebaginya. Selain itu jika pohon-pohon sebagai media pengatur udara, penahan panas dan penyaring debu sudah banyak ditebang, jalan-jalan diaspal atau beton sehingga tidak ada kesempatan air meresap ke tanah kembali maka semakin lengkap kerusakan lingkungan di perkotaan. Kondisi ini oleh Takashi Inogu-chi digambarkan sebagai akibat tidak baiknya sistem manajemen lingkungan dan gagalnya para tokoh perkotaan bekerjasama meyam-paikan berbagai masalah dengan semangat persamaan dan persatuan (ibid: hal 3). Sedan-

Page 95: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 89

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan

• Suharsono • Suharsono

gkan Sonny Keraf (2010:3) menggambarkan kondisi ini sebagai akibat kesalahan manu-sia dalam memandang alam dan menempatkan diri dalam konteks kehidupan alam semesta. Dengan demikian maka untuk mengembalikan atau sekurang-kurangnya menjaga kerusakan alam yang lebih parah dapat dilakukan dengan mengubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam. Perubahan tersebut dilakukan dengan menciptakan budaya gaya hidup pedu-li lingkungan. Seperti dikatakan oleh Yukio Aoshima dalam pengantar buku Kota danLingkungan (Inoguchi dkk., 2003: halaman xv) bahwa salah satu akar persoalan lingkun-gan perkotaan adalah gaya hidup. Koentjaraningrat dalam bukunya Kebu-dayaan,MentalitetdanPembangunan (1990: 1-4) menggambarkan bahwa memahami bu-daya itu begitu luasnya karena menyangkut se-luruh kompleks pemikiran, perasaan, perilaku dan hasil karya manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mempermudah dalam memahami kebudayaan maka dapat dilihat dari wujudnya. Ada tiga wujud kebudayaan yaitu (1) ide-ide, gagasan, norma-norma, peraturan dan sebag-inya, (2) Suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, (3) Benda-benda hasil karya manusia. Soedjatmoko dalam pengantar buku yang ditulis van Peursen berjudul Strategi Kebudayaan (1989:5), mengatakan sebagai berikut :

“usaha pembangunan dan modernisasi kita menghadapkan kita secara langsung dengan masaalah kebudayaan Indonesia ….. , dan dengan proses kebudayaan kita memperbaharui diri dalam kita menjawab tantangan-tantangan kehidupan modern”.

Selanjutnya dikatakan bahwa van Peursen memandang kebudayan sebagai siasat manusia menghadapi masa depan dan sebagai proses pembelajaran (learning proces) yang berlangsung terus menerus. Dalam proses ini penilaian kritis menjadi sangat penting agar manusia dapat mengabil tanggungjawab se-cara bebas dan dewasa atas keadaannya dan

teknologi yang dipakai dan dikembangkannya. Van Peursen (ibid:) kemudian mengatakan bahwa “manusia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiahnya sebagai solusi persoalan hidupnya”. Dapat disimpulkan bahwa budaya dalam konteks ini dipandang sebagai strategi atau cara manusia untuk mengatasi persoalan hidupnya. Dari penjelasan di atas dalam tulisan ini pemahaman kebudayaan ditekankan pada wujud kebudayaan yang kedua yaitu segenap perilaku berpola individu dalam masyarakat sebagai cara untuk mengatasi permasalahan hidup. Segenap perilaku yang dimaksud dalam tulisan ini adalah menciptakan atau memben-tuk perilaku atau gaya hidup yang peduli ling-kungan. Kepedulian ini tidak berhenti pada batas kesadaran saja tetapi harus sampai pada tingkat tindakan (action) yang juga menjadi gaya hidup baru. Selanjutnya dikatakan bah-wa di Jepang masyarakat peduli lingkungan ini disebut dengan “masyarakat berwawasan ekologi”. Meskipun belum banyak definisi yang digunkan dalam membahas topik ini, pengertian yang diajukan oleh Yukio Aoshami ini dapat digunakan sebagai acuan dalam me-mahami dan mengembangkan lebih lanjut ten-tang masyarakat peduli lingkungan pada ma-syarakat kota khususnya di Indonesia yaitu :

“Sebuah masyarakat yang peduli terhadap sinar matahari, udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan hijau, dan karunia-karunia alam lainnya, sebuah masyarakat yang men-gendalikan konsumsi sumber-sumber alam dan energi secara massal dan sebuah gen-erasi yang tidak berguna, yang berusaha keras mendaur ulang menggunakan sum-ber-sumber alam secara efektif; sebuah masyarakat yang berusaha keras kembali ke alam dengan membuang sampah yang telah diolah atau didaur ulang untuk mem-perkecil beban lingkungan”.

Secara umum tujuan masyarakat peduli lingkungan menurut Takashi Inoguchi (2003, 4) adalah :

1. Menyampaikan masalah-masalah yang se-cara nyata ada dan cenderung memburuk.

Page 96: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 190

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan

• Suharsono

2. Menjadikan kota sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk bekerja, hidup, danmembesarkan anak-anak, tanpa meru-sak kemampuan generasi masa depan un-tuk berbuat hal yang sama.

3. Kepedulian hidup berdampingan dengan alam dalam penyelenggaraan perkotaan.

Tujuan tersebut konkritnya adalah : mengurangi polusi udara dan air di perkotaan, memperkecil dan mengatur sampah rumah tang-ga dan industri lebih baik, mengatur sistem air seefisien dan seadil mungkin, merawat tempat-tempat rekreasi yang alamiah dan menyenang-kan, mengembangkan sistem transportasi yang efisien dan adil bagi seluruh masyarakat dan merencanakan pembangunan perumahan yang sesuai dengan kebutuhan umat manusia dan kesinambungan ekologis di wilayah perkotaan. Nenek moyang kita sebenarnya secara tidak langsung telah mengajarkan kepada kita untuk hidup harmonis berdampingan dengan alam. Oleh karena itu dalam tatanan kehidupan mereka diciptakan sistem budaya untuk peduli dalam melestarikan lingkungan yang diwariskan secara turun-temurun. Yang masih ada dalam in-gatan penulis misalnya, tidak boleh menebang pohon “sembarangan” karena ada penunggu-nya, menebang pohon dengan perhitungan-perhitungan tertentu, sehingga tidak setiap saat boleh menebang pohon. Selain itu tidak boleh membuang sampah di sembarang tempat karena ada yang “baurekso”, tetapi harus di buang di “pawuhan”, yaitu tempat sampah yang dibuat dengan menggali tanah, biasanya di belakang rumah atau disamping rumah. Membuang sam-pah pada “pawuhan” ini ternyata memiliki nilai pelestarian ekologis yang kompleks, misalnya berkaitan dengan aspek estetika, polusi, kesub-uran tanah, dan resapan air. Uraian di atas pada dasarnya menggambarkan masyarakat yang peduli lingkungan melalui kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan agar terjaga hubungan kehidupan yang harmonis berdampingan den-gan alam yang saling menguntungkan. Sekarang persoalannya bagaimana dengan masyarakat perkotaan yang sudah ti-

dak banyak yang mengenal cerita-cerita sep-erti di atas dan bahkan cenderung terkena vi-rus budaya instan yaitu beli, pakai dan buang? Meminjam istilah yang sering digunakan pada masa pemerintahan Orde Baru, “mau ti-dak mau, suka tidak suka” harus menciptakan budaya peduli lingkungan bagi masyarakat perkotaan. Banyak yang bisa dilakukan ma-syarakat perkotaan sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan, misalnya dimulai dengan peduli sampah rumah tangga dan lingkungan sekitar tepat tinggal. Sebagai contoh misalnya memisahkan sampah organik dan non-organik, membuat biopori dan kompos sampah rumah tangga. Selain itu sudah mulai tumbuh berbagai aksi peduli lingkungan baik komunitas maupun individu dengan mengubah gaya hidup dengan prinsip 4R yaitu Reduce, Reproduce, Reuse dan Recicle. Namun demikian untuk mencip-takan budaya gaya hidup peduli lingkungan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun bukan berarti tidak bisa. Budaya ini dapat dimulai dari tingkat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Secara individu , misalnya dapat dilakukan oleh seorang dosen dengan memberi contoh, tidak meninggalkan sampah di kelas, menyediakan tempat sampah di setiap ruang kelas. Dalam lingkup keluarga dapat dilakukan misalnya dengan memisahkan sampah basah dan kering, sampah organik dan non-organik. Selain itu menanam pohon di seki-tar rumah, kalau sudah tidak ada lahan dapat digunakan dengan media pot, atau membuat lobang biopori. Demikian juga pada lingkup kelompok dan masyarakat, dapat dilakukan hal yang sama di atas. Disinilah pentingnya peran komunkasi interpersonal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan bu-daya gaya hidup peduli lingkungan. 3. PERAN KOMUNIKASI INTER-PERSONAL DAN PROSES SOSIALISASI Dari berbagai literatur yang memba-has tentang komunikasi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya komunikasi adalah pros-es penyampaian informasi dari komunikator

Page 97: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1 91

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan

• Suharsono • Suharsono

(source-sumber) kepada komunikan (reciever-penerima). Proses komunikasi itu terjadi apa-bila pesan yang disampaikan itu menghasil-kan dampak (respon-reaksi) bagi penerimanya yang berupa tanggapan atau perilaku (feed-back). Dalam konteks peningkatan partisipasi dalam menciptakan budaya gaya hidup peduli lingkungan, komunkasi interpersonal dipilih karena diharapkan dapat memiliki pengaruh langsung kepada pihak yang terlibat. Dari berbagai sumber misalnya Hard-jana, A.M., (2003), Yuyun Wirasasmita (2002), Joseph A. DeVito (2007), Richard West dan Lynn H. Turner (2006), dan Onong U. Effen-di (2005), selengkapnya dapat dibaca dalam makalah penulis (Suharsono,2008), dapat di-simpulkan bahwa komunikasi interpersosal pada dasarnya merupakan komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang besi-fat langsung dan dialogis. Langsung dan dia-logis yang dimaksudkan adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam proses komunikasi dapat diketahui pada saat itu juga, misalnya kalau ada yang kurang jelas maka dapat di-tanyakan dan dijawab pada saat itu sehingga diharapkan dapat lebih efektif. Dengan proses komunikasi yang langsung, dialogis dan berja-lan secara akrab diharapkan akan memberikan dampak yang lebih kuat pengaruhnya bagi pi-hak lain yang mendengar dan melihat apa yang menjadi pokok pembicaraan. Di atas telah dijelaskan bahwa mencip-takan budaya gaya hidup peduli lingkungan tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena menyangkut perubahan baik pola pikir maupun perilaku yang selama ini jarang diper-hatikan bahkan cenderung bertolak belakang dengan kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan orang. Dengan konsep peduli lingkungan maka pola pikir dan perilakunya harus berubah. Singkatnya harus ada peruba-han pola pikir dan perilaku baik individu, ke-lompok atau masyarakat harus peduli terhadap lingkungannya masing-masing. Untuk men-gubah pola pikir dan perilaku tersebut dapat dilakukan dengan proses sosialisasi.

Dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa sosialisasi dalam kehidupan sehari-hari berarti proses belajar untuk mengenal dan me-mahami bagaimana hidup bersama dengan orang lain. Dengan demikian orang tahu apa yang ha-rus dilakukan sebagai anggota suatu masyarakat. Proses belajar ini dilakukan secara terus menerus sepanjang hidup manusia. Demikian pula dalam konteks peduli lingkungan ini, apabila dilaku-kan secara terus menerus dengan contoh-contoh langsung maka diharapkan dapat mempengaruhi orang lain untuk ikut peduli terhadap lingkun-gannya sendiri. Dengan demikian maka budaya gaya hidup peduli lingkungan akan tercipta.

4. BAGAIMANA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT ? Pada dasarnya keberhasilan pemban-gunan itu tergantung antara lain pada parti-sipasi semua pihak. Seperti dikatakan Eko Budihardjo bahwa dalam rangka mencapai pembangunan perkotaan berkelanjutan yang manusiawi dan ramah terhadap lingkungan antara lain tergantung pada partisipasi warga kota dan segenap stakeholders. Secara umum partisipasi sering diar-tikan sebagai bentuk keterlibatan individu atau kelompok secara fisik yang meliputi tenaga, uang atau barang. Sedangkan menu-rut Koentjaraningrat (1982: 79), pengertian partisipasi dibagi 2 yaitu :

a. Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas ber-sama dalam proyek pembangunan yang khusus (biasanya bersifat fisik-memaksa).

b. Partisipasi sebagai individu di luar aktivi-tas bersama dalam pembangunan (bersifat sukarela-individual).

Selama ini partisipasi lebih banyak dipahami hanya sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat secara fisik dalam melaksanakan suatu program. Sebagai contoh ketika ada program pembanguan jalan, maka bentuk partisipasi masyarakat berupa tenaga, dana atau bentuk fisik lainnya seperti makanan dan minuman. Sedangkan menurut Norman Up-hoff, partisipasi tidak sebatas keterlibatan se-

Page 98: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan

• Suharsono

cara fisik saja tetapi merupakan keterlibatan seseorang dalam proses pembangunan mulai dari merencanakan, melaksanakan, menik-mati, memelihara dan mengevaluasi. Demikan pula dalam tuisan ini, pemahaman partisipasi berkaitan dengan kepedulian masyarakat ter-hadap lingkungan mengacu pada pendapat Norman Aphoff di atas. Pemahaman partisi-pasi seperti ini menjadi bagian dalam mem-budayakan masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan. Dengan keikutsertaan mulai dari merencanakan, sampai dengan evaluasi, maka kepedulian terhadap lingkungan ini diharapkan dapat menjadi bagian hidup keseharian ma-syarakat, khususnya masyarakat perkotaan. Selanjutnya bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menumbuh-kembangkan budaya gaya hidup peduli ling-kungan? Agar dapat meningkatkan partisipasi maka harus menghindarkan berbagai persoalan partisipasi masyarakat dalam pembangunan seperti yang diidentifikasi oleh Loekman Soe-trisno (1995) sebagai berikut.a. Interaksi Aparat dan Masyarakat Selama ini ada anggapan Aparat pem-bangunan bahwa : (1) Proyek pembangunan yang datang dari atas (pemerintah-dinas) di-anggap sebagai proyek yang sungguh-sung-guh merupakan pemenuhan kebutuhan raky-at. (2) Sedangkan yang datang dari bawah (rakyat) hanya merupakan “keinginan” saja yang tidak harus diperhatikan atau dipenuhi. Sikap seperti ini menimbulkan dampak perilaku, bagi aparat pemerintah, cenderung merasa lebih tahu segalanya dan meremeh-kan masyarakat. Bagi masyarakat, cenderung merasa hanya sebagai obyek, tidak pernah dipedulikan dan hanya akan menerima begi-tu saja apa yang menjadi program pemerin-tah tanpa sikap kritis yang berorientasi pada kemanfaatan dan masa depan.b. Penggunaan Bahasa (yang berlebihan) Penggunaan bahasa, akronim dan ba-hasa asing yang cenderung berlebihan dalam proses pembangunan di Indonesia sering me-nimbulkan kebingungan bagi masyarakat

dan tidak menutup kemungkinan bagi aparat pemerintah sendiri. Sebagai contoh misalnya berbagai akronim (singkatan) dan bahasa asing yang digunakan dalam berbagai bentuk keg-iatan pembangunan tetapi realitanya dipertan-yakan sehingga hanya “NATO” saja. c. Sikap Paternalistik Masyarakat Indonesia dikenal memiliki sikap paternalistik. Dalam konteks pembangunan dapat dilihat dari dua sisi yaitu (1) Aparat pemer-intah atau pemimpin yang memposisikan dirinya sebagai “bapak” dan (2) Masyarakat yang mem-posisikan dirinya sebagai “anaknya”. Dalam hubungan bapak dan anak ini maka sering kali pemimpin atau aparat pemerintah lebih bersikap seperti “bapak” dalam keluarga yang merasa wa-jib memberi bantuan terhadap segala permasalah-an dan kebutuhan masyarakat. Mereka bertindak seperti sinterklas. Menurut Loekman Soetrisno, perilaku seperti di atas menimbulkan sikap sense ofinadequacy (sikap ketidakmampuan) yang me-nyebabkan masyarakat kurang kreatif dan inova-tif. Selain itu juga sikap dan perilaku yang kurang mandiri karena selalu meminta “petunjuk” atau “restu”, bukan “bagaimana” mereka memecah-kan masalahnya sendiri (alternatif-mandiri). Menurut Koentjaraningrat (1990:69) ada segi positif dari masyarakat yang memi-liki nilai berorientasi ke atas yaitu mereka akan lebih mudah diajak untuk berpartisipasi den-gan memberi contoh-contoh perilaku konkrit bukan sekedar anjuran apalagi hanya perintah. d. Sikap Traumatik Dalam berbagai kasus masyarakat mera-sa tertipu oleh program-program yang dicanan-gkan pemerintah, sehingga mengalami berbagai kekecewaan. Sebagai contoh ketika pemerintah mencanangkan penanaman jarak untuk men-gatasi krisis energi, sebagian masyarakat sudah menanam tetapi ternyata tidak ada tindak lanjut-nya. Ketika pemerintah mencanangkan program penanaman sejuta kemudian semilyar pohon, tetapi realitanya dipertanyakan. Koperasi yang katanya sebagai soko guru perekonomi Indone-sia, tetapi prakteknya justru sering digunakan se-bgai sarana untuk menipu, maka muncul lawak

92

Page 99: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Peran Komunikasi Interpersonal dan Proses Sosialisasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Kota untuk Menciptakan Budaya Gaya Hidup yang Peduli Lingkungan

• Suharsono • Suharsono

(“dagelan”-bahasa Jawa) misalnya KUD artinya “Ketua Untung Duluan” atau “Kongkonan Utang Duit”. Oleh karena itu maka harus ada usaha untuk meyakinkan masyarakat bahwa program yang dilakukan itu akan mendatang-kan kemanfatan bagi semua pihak. Selain itu menurut Koentjaraningrat (1990:74) masyarakat kita memiliki “mentalitas menarabas”. Menarabas dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya, memperoleh kekayaan, kekuasan, status sosial, ingin lulus ujian (di kam-pus) dengan cara yang tidak wajar dan cend-erung hanya untuk kebutuhan sesaat atau jangka pendek saja. Sedangkan Irwan Abdulah (2009: 32-35) menggambarkan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat kota (satelit) yang tidak sekedar untuk pemenuhan fisik tetapi berubah menjadi pola konsumsi simbolis yang menjadi lambang identitas dan citra (image). Gaya kon-sumsi seperti ini cenderung boros dan sekaligus sebagai pemisah individu dengan kelompoknya karena masing-masing berusaha mencari barang konsumsi yang membedakan satu dengan yang lain sebagai nilai tambah (valueadded). Selain itu sebagai dampak dari pola hidup bersaing satu dengan yang lain ini maka cenderung kurang memperhatikan lingkungan. Dalam situasi seper-ti ini untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, Koentjaraningrat menawarkan beberapa konsep antara lain (1) hidup yang berorientasi ke masa depan, (2) hemat, (3) bertanggungjawab sendiri.

5. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan pembangunan dae-rah perkotaan sekarang ini cenderung kurang memperhatikan faktor lingkungan. Kurang tersedianya berbagai fasilitas kota seperti tem-pat hunian yang murah dan layak, transportasi, air bersih, listrik, pedagang informal, ruang terbuka hijau dan sebaginya. Ditambah dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan kota yang kurang memperhatikan aspek ling-kungan sehingga kehidupan wilayah kota ter-lihat menjadi lebih padat penduduk dan kenda-raan (macet), kumuh, panas dan kotor. Dengan

kata lain kota menjadi kurang aman dan nya-man secara manusiawi dan ekologis.Kondisi di atas dapat diatasi setidak-tidaknya terkurangai permasalahannya dengan mencip-takan budaya gaya hidup peduli lingkungan. Menanamkan budaya ini dapat dilakukan den-ga proses sosialisasi yang terus menerus den-gan perilaku konkrit melalui peran komunkasi interpersonal. Dengan komunikasi interper-sonal ini diharapkan masing-masing individu dapat berbagi informasi secara langsung se-hingga lebih mudah dalam proses perubahan perilaku. Selanjutnya dengan proses sosialisasi dan komunikasi interpersonal ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat perkotaan untuk peduli terhadap lingkungan. Meskipun tidak semudah membalik-kan telapak tangan dalam menciptakan bu-daya gaya hidup peduli lingkungan, namun dapat dilakukan mulai dari diri sendiri, ke-lompok dan masyarakat dengan tindakan yang paling sederhana di sekitar kita.

DAFTAR PUSTAKAA. Sonny Keraf, EtikaLingkunganHidup, Penerbit Kompas, Jakarta, 2010C.A. van Peursen, StrategiKebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1989.Eko Budihardjo dan Sudanti Hardjohubo jo, KotaBerwawasanLingkun gan, Penerbit Alumni, Bandung, 1993.Irwan Abdullah, KonstruksidanReproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.Iwan J. Azis, dkk., (editor), Pembangunan Berkelanjutan,perandankon tribusiEmilSalim, Gramedia, Jakarta, 2010Koentjaraningrat,Kebudayaan,Mentalitasdan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1990.Loekman Soetrisno, MenujuMasyarakatParti sipatif, Kanisius, Yogyakarta, 1995.Suharsono, KomunikasiInterpersonaldanKe berhasilanKepemimpinan, Jurnal Ilmu Komunikasi, UBM, Desember 2008.Takashi Inoguchi, dkk. (editor), KotadanLing kungan,PendekatanBaruMasyarakat BerwawasanEkologi, LP3ES, Jakarta, 2003.

93

Page 100: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

1. Artikel berupa hasil penelitian, baik penelitian lapangan maupun kajian pustaka atau yang setara dengan hasil penelitian, serta kajian konseptual di bidang komunikasi

2. Bisa juga memuat hasil penelitian/skripsi dari mahasiswa yang sudah dinyatakan lulus tetapi dalam penulisannya didampingi oleh pembimbingnya dan disesuaikan dengan for-mat yang ditentukan

3. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bila artikel menggunakan baha-sa Indonesia abstraknya menggunakan bahasa Inggris, sedangkan bila artikel menggunakan bahasa Inggris, abstraknya berbahasa Indonesia

4. Abstrak ditulis sebanyak 100-150 kata, ditulis dengan huruf miring serta dilengkapi dengan ka-ta-kata kunci. Bila artikel yang ditulis merupakan hasil penelitian maka abstrak harus memuat latarbelakang,dan perumusan masalah,tujuan,metode,hasil atau kesimpulan penelitian

5. Panjang naskah sekitar 18-22 (maksimal) halaman Quarto, di luar bagan,gambar/foto dan referensi

6. Pengetikan naskah menggunakan program Microsoft Word, spasi ganda (Spasi 2), jenis huruf Times News Roman, ukuran 12. Marjin kanan-kiri, atas bawah 3 cm.

7. Setiap naskah diserahkan dalam bentuk 1 print out (hard copy) dan 1 soft copy yang dikir-imkan via e-mail atau dikemas dalam CD dengan format rtf atau Doc

8. Komposisi artikel hasil penelitian : (1) Judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), di bawah nama penulis dicantumkan afiliasi/alumni, (3) abstrak, (4) kata kunci, (5) Pendahuluan (tan-pa sub judul), (6) Tinjauan Pustaka/Kerangka Teori , (7) Metodologi Penelitian, (8) Hasil dan Pembahasan (9) Simpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel

9. Komposisi artikel konseptual: (1) Judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), (3) abstrak, (4) Kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Sub judul- sub judul sesuai kebutuhan, (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel).

10. Penulisan kutipan dibuat dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang,tahun penulisan, dan halaman penulisan.

Contoh: Satu penulis :…………….(McQuail,1994:43) Dua penulis :…………….(Green dan Vivian,2005:56) Lebih dari dua penulis :…………….( Chesney,dkk,1996:59)11. Penulisan daftar pustaka menggunakan model: Nama Belakang, nama depan.Tahun

Penerbitan,JudulBuku(cetak miring).Kota:penerbit. Contoh: Conboy,Martin.2003.ThePressandPopularCulture.London:Sage Publication.12. Print Out dan soft copy artikel ( dalam format RTF/doc) bisa dikirimkan paling lambat satu

bulan sebelum periode penerbitan kepada :

PUSKA (PUSAT KAJIAN KOMUNIKASI) PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASIUNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN)Jalan Boulevard Gading Serpong Tangerang BantenTelp + 6221 5422 0808Fax +6221 5422 0800. Atau bisa dikirimkan via email ke: Ketua Penyunting Jurnal Komunikasi ,Indiwan seto di alamat email: [email protected]

PEDOMAN PENULISAN JURNAL KOMUNIKASI

94

Page 101: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

Juni 2012 • Volume IV, Nomor 1

Page 102: Jurnal Ilkom Juni 2012 Vol 1

PUSKA (PUSAT KAJIAN ILMU KOMUNIKASI) Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN)Jalan Boulevard Gading Serpong Tangerang BantenTelp + 6221 5422 0808Fax +6221 5422 0800.