jurnal warda maret 2012

25
1 GAMBARAN PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR PADA ANAK YANG TERPASANG INFUS DI RUANG PERAWATAN ANAK RSUD BATARA GURU BELOPA Oleh : Warda.M Staf Pengajar Akper Sawerigading Pemda Luwu ABSTRAK Sakit dan dirawat di rumah sakit jauh dari menyenangkan bagi anak, hal ini merupakan suatu stresor karena mereka tidak mengerti mengapa mereka dirawat. Rumah sakit merupakan tempat dimana anak dapat mengalami prosedur yang menyakitkan seperti pemasangan infus. Mengingat prosedur invasif seperti pemasangan infus dapat menimbulkan gangguan tidur pada anak, dan gangguan tidur dapat berdampak negatif terhadap kesehatan anak baik secara fisik maupun psikis, perlu kiranya dilakukan perhatian yang lebih jauh terhadap keadaan ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan tidur pada anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Belopa. Desain penelitian adalah metode deskriptif murni karena bertujuan untuk menggambarkan fenomena pemenuhan kebutuhan tidur pada anak yang terpasang infus. Jumlah sampel 30 anak usia 0-12 tahun yang ditetapkan dengan teknik purposif sampling. Penelitian ini dilakukan mulai dari tanggal 9 Agustus s/d 10 September 2012. Proses pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Hasil penelitian dari 30 anak 58,1% yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Belopa mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif, 1

Upload: haeruddin-syafaat

Post on 09-Aug-2015

818 views

Category:

Documents


42 download

DESCRIPTION

jurnal riset keperawatan

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Warda Maret 2012

1

GAMBARAN PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR PADA ANAK YANG

TERPASANG INFUS DI RUANG PERAWATAN ANAK RSUD BATARA GURU

BELOPA

Oleh : Warda.M

Staf Pengajar Akper Sawerigading Pemda Luwu

ABSTRAK

Sakit dan dirawat di rumah sakit jauh dari menyenangkan bagi anak, hal ini merupakan suatu stresor karena mereka tidak mengerti mengapa mereka dirawat. Rumah sakit merupakan tempat dimana anak dapat mengalami prosedur yang menyakitkan seperti pemasangan infus. Mengingat prosedur invasif seperti pemasangan infus dapat menimbulkan gangguan tidur pada anak, dan gangguan tidur dapat berdampak negatif terhadap kesehatan anak baik secara fisik maupun psikis, perlu kiranya dilakukan perhatian yang lebih jauh terhadap keadaan ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan tidur pada anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Belopa. Desain penelitian adalah metode deskriptif murni karena bertujuan untuk menggambarkan fenomena pemenuhan kebutuhan tidur pada anak yang terpasang infus. Jumlah sampel 30 anak usia 0-12 tahun yang ditetapkan dengan teknik purposif sampling. Penelitian ini dilakukan mulai dari tanggal 9 Agustus s/d 10 September 2012. Proses pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan lembar observasi.

Hasil penelitian dari 30 anak 58,1% yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Belopa mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif, 90,3% mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur secara kualitatif.

Rekomendasi : Perlunya memperhatikan posisi yang ideal bagi anak yang terpasang infus terutama pada saat anak sedang menjalani tidur supaya dapat dicegah seminimal mungkin kusulitan posisi tidur anak akibat terapi tersebut.

Kata Kunci : Kebutuhan Tidur, Infus

1

Page 2: Jurnal Warda Maret 2012

2

PENDAHULUAN

Pemasangan infus merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan

cara invasif yang dapat menimbulkan reaksi tidak menyenangkan pada pasien

khususnya pada anak. Reaksi individu terhadap pemasangan infus sangat

bervariasi, namun dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu reaksi psikologis

dan fisiologis (Kozier, dkk, 1989, dalam Keliat, 2001). Pada tingkat reaksi

psikologi yang ditunjukkan anak ada yang bertindak agresif yaitu sebagai

pertahanan diri, bertindak dengan mengekspresikan secara verbal yaitu dengan

mengeluarkan kata-kata penolakan, membentak dan sebagainya, serta dapat

bersikap dependen yaitu menutup diri, tidak kooperatif, dan reaksi fisiologi dapat

berupa gangguan pemenuhan kebutuhan istrahat tidur akibat ketidaknyamanan

oleh nyeri (Potter & Perry, 2005).

Reaksi nyeri sangat erat hubungannya terganggunya pemenuhan

kebutuhan istirahat khususnya pada anak (Paice 1991, dalam Potter & Perry,

2005), melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengakibatkan bagian

sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang. Nyeri dan takut

sakit adalah respon anak akibat tindakan pemasangan intravena . Pada waktu

infus IV mulai dipasang, pasien akan merasakan penusukan jarum untuk

memasukkan kateter ke dalam vena. Ini akan menimbulkan nyeri pada daerah

penusukan jarum (Sugeng H., 2008)

Respon anak dengan orang dewasa dalam menerima tindakan invasif

berbeda. Pada anak tindakan invasif dapat dipersepsikan sebagai suatu

ancaman ini terkait terhadap rasa aman yang dapat menyebabkan terjadinya

kecemasan. Ancaman ini disebabkan karena menerima pengobatan yang

membuat bertambah sakit atau nyeri. Tindakan pemasang infus membuat anak

merasa kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan merupakan stresor bagi

gangguan pemenuhan istirahat tidur (Sugeng H., 2008).

Ancaman terhadap integritas fisik seseorang meliputi ketidakmampuan

fisiologis atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-

hari. Kejadian ini menyebabkan kecemasan dimana timbul akibat kekhawatiran

2

Page 3: Jurnal Warda Maret 2012

3

terhadap tindakan pemasangan infus yang mempengaruhi integritas tubuh

secara keseluruhan . Pada anak yang dirawat di rumah sakit timbul kecemasan

karena ketidakmampuan fisiologis dan menurunnya kapasitas untuk melakukan

aktivitas sehari-hari, seperti bermain, belajar bagi anak usia sekolah, dan lain

sebagainya. Selama tidur, sistem retikulum mengalami beberapa stimulasi dari

korteks serebral dan dari tepi tubuh. Keadaan terbangun terjadi apabila sistem

retikulum diaktivasi dengan stimulasi dari korteks serebral dan dari sel dan organ

sensori tepi oleh persepsi nyeri (Paice 1991, dalam Potter & Perry, 2005).

Di tingkat fisiologis, tubuh secara otomatis mempersiapkan diri untuk

memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur. Istirahat dan tidur merupakan

kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua orang. Untuk dapat berfungsi

secara optimal maka setiap orang memerlukan istirahat dan tidur yang cukup.

Demikian pula anak yang sedang menderita sakit, mereka juga membutuhkan

istirahat dan tidur yang memadai. Namun dalam keadaan sakit pola tidur

seseorang biasanya terganggu (gangguan pola tidur), sehingga perawat perlu

berupaya untuk memenuhi kebutuhan tidur yang normal. Istirahat merupakan

keadaan yang tenang, rileks tanpa tekanan emosional dan bebas dari

kegelisahan atau kecemasan. Sebagian besar orang dapat istirahat sewaktu

mereka merasa bahwa segala sesuatu dapat diatasi, merasa diterima,

mengetahui apa yang sedang terjadi, bebas dari gangguan dan

ketidaknyamanan, mempunyai rencana-rencana kegiatan yang memuaskan

mengetahui adanya bantuan sewaktu diperlukan (Paice 1991, dalam Potter &

Perry, 2005).

Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah : “Bagaimanakah pemenuhan

kebutuhan tidur secara kuantitatif dan kualitatif pada anak yang terpasang infus

di ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Kabupaten Luwu?

3

Page 4: Jurnal Warda Maret 2012

4

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif pada

anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Sawerigading

Palopo.

2. Mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan tidur secara kualitatif pada

anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Sawerigading

Palopo

4

Page 5: Jurnal Warda Maret 2012

5

TINJAUAN TEORI

Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi

oleh semua orang. Istirahat dan tidur yang cukup, akan membuat tubuh baru

dapat berfungsi secara optimal. Istirahat dan tidur sendiri memiliki makna yang

berbeda pada setiap individu. Istirahat berarti suatu keadaan tenang, relaks,

tanpa tekanan emosional, dan bebas dari perasaan gelisah. Beristirahat bukan

berarti tidak melakukan aktivitas sama sekali. Berjalan-jalan di taman terkadang

juga bisa dikatakan sebagai suatu bentuk istirahat (Lanywati, 2001).

Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada batang otak, yaitu

Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). RAS

di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat

mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran, memberi stimulus visual,

pendengaran, nyeri, dan sensori raba, serta emosi dan proses berfikir. RAS

melepaskan katekolamin pada saat sadar, sedangkan pada saat tidur terjadi

pelepasan serum serotonin dari BSR (Guyton,2001).

Lama tidur yang dibutuhkan oleh seseorang tergantung pada usia. Semakin

tua usia seseorang semakin sedikit pula lama tidur yang diperlukan

(Lumbantobing,2004). Seorang bayi yang baru lahir biasanya membutuhkan tidur

selama 20 jam sehari; anak berusia 6 tahun membutuhkan 12 jam; anak berusia

12 tahun 9 jam; orang dewasa 7-8 jam. Tetapi perkiraan ini sangat bervariasi.

Para ahli tidur telah memberikan aturan umum yaitu: kebutuhan tidur anda dapat

terpenuhi jika anda tidak mengantuk/terkantuk pada waktu siang hari dan benar-

benar terjaga dan merasa bugar (Dianweb, 2005).

Anak yang sakit dan mendapat terapi infus cenderung mengalami gangguan

pemenuhan kebutuhan tidur yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain

faktor patofisiologis yaitu penyakit yang diderita anak, faktor tindakan seperti

pemasangan infus, faktor situasi seperti nyeri karena terpasang infus, gejala

penyakit, serta faktor maturasi yang berhubungan dengan perkembangan dan

keaktifan anak.

5

Page 6: Jurnal Warda Maret 2012

6

Pemenuhan kebutuhan tidur pada anak tersebut dapat terganggu baik

secara kualitatif (seperti sering terbangun, mimpi buruk, mengompol) maupun

kuantitatif dimana kebutuhan jam tidur anak tidak terpenuhi. Jika pola tidur

terganggu/tidak terpenuhi, anak akan tampak kelelahan, emosi negatif, tekanan

darah naik, kurang bergairah, dan merasa tertekan. Sebaliknya, jika pola tidur

anak terpenuhi/tidak terganggu, anak akan tetap segar dan homeostasis tubuh

dapat tercapai.

Respon anak untuk memahami nyeri yang diakibatkan oleh prosedur invasif

yang menyakitkan bagi anak tergantung pada usia anak, tingkat perkembangan

anak, dan faktor situasi lainnya . Sebagai contoh adalah bayi tidak mampu

mengantisipasi nyeri sehingga memungkinkan tidak menunjukkan perilaku yang

spesifik terkait dengan respon terhadap nyeri. Anak yang lebih kecil tidak mampu

menggambarkan dengan spesifik nyeri yang mereka rasakan karena

keterbatasan kosakata dan pengalaman nyeri. Tergantung usia perkembangan,

anak menggunakan strategi koping seperti melarikan diri, menghindar,

penangguhan tindakan, imagery, dan lain-lain.

Karakteristik anak usia dalam berespon terhadap nyeri diantaranya dengan

menangis keras atau berteriak; mengungkapkan secara verbal, memukul tangan

atau kaki; mendorong hal yang menyebabkan nyeri; kurang kooperatif;

membutuhkan restrain; meminta untuk mengakhiri tindakan yang menyebabkan

nyeri; menempel atau berpegangan pada orangtua, perawat atau yang lain;

membutuhkan dukungan emosi seperti pelukan; melemah; antisipasi terhadap

nyeri aktual (Nursalam, 2004).

Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia adalah dengan

menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan

tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Ketakutan anak terhadap

perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya

mengancam integritas tubuhnya. Hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan

marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah,

tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orangtua

6

Page 7: Jurnal Warda Maret 2012

Anak sakit dan mendapat terapi infus

Faktor patofisiologis: Penyakit

Faktor tindakan: Pemasangan infus

Faktor maturasi: perkembangan, keaktifan anak

Faktor situasi: nyeri, cemas

Kualitatif: Berhubungan dengan siklus tidur :

fase REM-NREM Gejala: sering terbangun, mimpi

buruk, ngompol, mengigau, menangis kesakitan

Kuantitatif: Berhubungan dengan jumlah jam

tidur :Bayi 0-1 tahun : 20 jam/hari; anak 1-6 tahun : 12 jam/hari; anak 7-12 tahun : 9 jam/hari;

Gejala: sulit tidur, terbangun lebih awal

Pemenuhan kebutuhan tidur

Terpenuhi Tidak terpenuhiAbnormal Normal

7

(Supartini, 2004). Anak prasekolah akan mendorong orang yang akan

melakukan prosedur yang menyakitkan agar menjauh, mencoba mengamankan

peralatan, atau berusaha mengunci diri di tempat yang aman. (Wong. 2009).

Terkait prosedur yang menyakitkan, proses pemasangan infus merupakan salah

satu prosedur yang menyakitkan bagi anak.

Dari uraian teoritis diatas dapat di gambarkan kerangka konsep penelitian

sebagai berikut :

Gbr. 1 Kerangka Konsep Penelitian

7

Page 8: Jurnal Warda Maret 2012

8

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian

Desain penelitian adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi

pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif pada anak yang terpasang infus di

ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Kabupaten Luwu.

Teknik Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien usia prasekolah berusia 1-12

tahun. Hasil survei pendahuluan diperoleh data pada bulan Maret 2012 jumlah

pasien di ruang perawatan anak yang berusia 1 – 12 tahun yang dirawat di

RSUD Batara Guru Kabupaten Luwu sebanyak 30 orang. Adapun kriteria sampel

dalam penelitian ini adalah: usia anak 1- 12 tahun, dalam kondisi sadar

penuh,mendapatkan terapi pemasangan infus, klien telah dirawat minimal 2 hari

masa perawatan.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah consecutif

sampling dengan mengambil semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi

sebagai sebagai subjek penelitian

Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner yang terdiri dari data

demografi anak ( Jenis kelamin, usia, lama hari rawat) dan lembar observasi

pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian

pemenuhan kebutuhan tidur diobservasi selama 24 jam.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Batara Guru Kabupaten Luwu, yang

dilaksanakan selama 2 bulan ( April s/d Mei 2012).

8

Page 9: Jurnal Warda Maret 2012

9

Defenisi Operasional

Pemenuhan kebutuhan tidur adalah pemenuhan kebutuhan secara kuantitas dan

kualitas dari tidur yang diperlukan oleh anak berdasarkan usia.

a. Kuantitas tidur:

1) Terpenuhi jika jumlah jam tidur cukup sesuai usia :

a) Usia 1 – 6 tahun : 11 – 14 jam

b) Usia 7 – 12 tahun : 8 – 10 jam

2) Tidak terpenuhi jika jumlah jam tidur anak:

a) Usia 1 – 6 tahun : kurang dari 11 jam

b) Usia 7 – 12 tahun : kurang dari 8 jam

b. Kualitas tidur :

1) Abnormal jika selama tidur ada gejala-gejala sebagai berikut:

a) Usia 1 – 6 tahun : menangis kesakitan, sering terbangun, enuresis

b) Usia 7 – 12 tahun: menangis kesakitan, sering terbangun, enuresis,

mimpi buruk

2) Kualitas tidur normal jika selama tidur tidak ada gejala-gejala sesuai

kategori di atas.

Analisa Data

Analisa data dilakukan secara analisa dekriptif. Dilihat dari sifatnya, analisis

data bersifat objektif, asli dan untuk menginterpretasi data peneliti mengaitkan

temuan dan data dengan teori yang dibangun di awal. Selanjutnya berikan

konteks, makna, atau implikasi data temuan tersebut dengan kondisi dan situasi

atau setting penelitian secara lebih luas. Setelah analisis dan interpretasi data

selanjutnya peneliti menyusun kesimpulan dan rekomendasi.

9

Page 10: Jurnal Warda Maret 2012

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Karakteristik Responden

Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Di Ruang Perawatan Anak RSUD Batara Guru Tahun 2012

Usia Anak Frekuensi Prosentase (%)

1 – 6 tahun 17 56,7

7 – 12 tahun 13 43,3

Total 30 100Sumber: Data Primer

Dari data pada tabel 4.1 di atas diketahui bahwa anak yang berusia antara

1 – 6 tahun lebih banyak yaitu 57.7 % dibandingkan dengan anak usia 7 – 2

tahun dengan prosentase 43,3 %.

Tabel 4.2Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Anak Dirawat Di

Ruang Perawatan Anak RSUD Batara Guru Tahun 2012

Lama masa perawatan Frekuensi Prosentase (%)

2 – 6 hari 27 907 – 13 hari 3 10Lebih dari 13 hari 0 0

Total 30 100 Sumber: Data Primer

Dari tabel 4.2 di atas diketahui bahwa prosentase tertinggi 90 % dengan

lama rawat inap 2-6 hari.

10

Page 11: Jurnal Warda Maret 2012

11

Tabel 4.3

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyakit Anak di Ruang Perawatan Anak RSUD Batara Guru Belopa Tahun 2012

Penyakit Frekuensi Prosentase (%)

Gastroenteritis 14 46,7ISPA 4 13,3DHF 3 10,0Febris Convulsion 4 13.3OF 5 16,7

Total 30 100 Sumber: Data Primer

Dari tabel 4.3 di atas diketahui bahwa mayoritas responden menderita

Gastroenteritis (ada yang disertai gejala lain seperti vomiting, diare sedang)

mempunyai prosentase yang paling tinggi 46,7%.

Data Khusus

Pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif pada anak yang terpasang

infus diklasifikasikan ke dalam 2 kategori.

Tabel 4.4

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Tidur Secara Kuantitatif Pada Anak Di Ruang Perawatan Anak RSUD Batara

Guru Belopa Tahun 2012

Kuantitas Tidur Frekuensi Prosentase (%)

Terpenuhi 13 43.3

Tidak terpenuhi 17 56.3

Total 30 100

Sumber: Data Primer

11

Page 12: Jurnal Warda Maret 2012

12

Berdasarkan hasil penelitian seperti tertera pada tabel 4.4 di atas, diketahui

bahwa kebutuhan tidur anak dengan prosentase tertinggi 56,3 % dengan

kuantitas tidur tidak terpenuhi.

Tabel 4.5

Distribusi Frekuensi Responde Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Tidur Secara Kualitatif Pada Anak Di Ruang Perawatan Anak RSUD Batara Guru

Belopa Tahun 2012

Kualitas Tidur Frekuensi Prosentase (%)

Normal 4 13,3Abnormal 26 86,7

Total 30 100Sumber: Data Primer

Berdasarkan hasil penelitian seperti tertera pada tabel 4.5 di atas, diketahui

bahwa pemenuhan kebutuhan tidur secara kualitatif dengan prosentase tertinggi

86,7 % dengan kalitas tidur abnormal.

Pembahasan

1. Pemenuhan Kebutuhan Tidur Secara Kuantitatif Pada Anak Yang

Terpasang Infus

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan tidur anak yang

terpenuhi secara kuantitatif sebesar 43,3%, sedangkan yang tidak terpenuhi

sebesar 56,3%. Data ini menunjukkan bahwa secara kuantitas (lama tidur)

anak sebagian tidak terpenuhi.

Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya karena

situasi baru anak menjalani perawatan/hospitalisasi di rumah sakit. Kondisi

ini didukung oleh data bahwa hampir seluruh anak (90%) menjalani masa

perawatan kurang dari satu minggu. Hasil penelitian ini sesuai dengan

pendapat Carpenito (2001) bahwa gangguan tidur dapat terjadi karena

12

Page 13: Jurnal Warda Maret 2012

13

adanya faktor situasional seperti perubahan lingkungan, misalnya perawatan

di rumah sakit, kebisingan, atau ketakutan (Carpenito, 2001:382).

Selain akibat faktor situasi, kondisi patologis anak juga mempengaruhi

pemenuhan kebutuhan tidur anak. Hal ini didukung oleh data bahwa banyak

anak yang mengalami penyakit Gastroenteritis (46,7%) dan Febris

Convulsion dan ISPA (13,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat

Carpenito (2001) bahwa gangguan pemenuhan kebutuhan tidur dapat terjadi

karena adanya faktor patofisiologis seperti angina, arteriosclerosis perifer,

diare, gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi, dan lain-lain (Carpenito,

2001:382).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Endang Lanywati

(2001) yang mengatakan bahwa gangguan tidur berupa insomnia jangka

pendek, merupakan gangguan sulit tidur yang terjadi pada penderita sakit

fisik (misalnya batuk, rematik) atau mendapat stres situasional (misalnya

kehilangan/kematian orang terdekat, pindah pekerjaan). Gangguan ini

biasanya dapat sembuh beberapa saat setelah terjadi adaptasi, pengobatan

atau perbaikan suasana tidur (Lanywati, 2001:15).

Berbagai kondisi patofisiologis seperti penyakit yang diderita klien

dapat mempengaruhi gangguan pemenuhan kebutuhan tidur berupa

kesulitan memulai tidur dan bangun terlalu awal. Kesulitan memulai tidur

(initial insomnia) biasanya disebabkan oleh adanya gangguan

emosi/ketegangan atau gangguan fisik. Bangun terlalu awal (early

awakening) yaitu dapat memulai tidur dengan normal, namun tidur mudah

terputus dan atau bangun lebih awal dari waktu tidur biasanya, serta

kemudian tidak bisa tidur lagi. Gejala ini sering muncul seiring dengan

bertambanya usia seseorang atau karena depresi dan berbagai penyebab

lainnya (Lanywati, 2001:13).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perubahan situasi

misalnya karena hospitalisasi pada anak, serta adanya kondisi patologis atau

penyakit yang diderita anak dapat menyebabkan gangguan pemenuhan

13

Page 14: Jurnal Warda Maret 2012

14

kebutuhan tidur secara kuantitas pada anak. Hal ini wajar terjadi, misalnya

pada anak yang mengalami diare maka mereka akan kesulitan untuk

memulai tidur atau bahkan terbangun lebih awal karena terganggu oleh

keinginan untuk buang air besar. Demikian pula dengan perubahan situasi

seperti pada anak yang mengalami hospitalisasi, mereka dapat mengalami

kecemasan dan ketakutan sehingga sulit untuk memulai tidur. Hal ini dapat

menyebabkan kuantitas tidur anak berkurang.

2. Pemenuhan Kebutuhan Tidur Secara Kualitatif Pada Anak Yang

Terpasang Infus

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan tidur

secara kualitatif pada anak yang dikategorikan normal sebanyak 13,3%,

sedangkan kualitas tidur anak yang dikategorikan abnormal sebanyak 86,7%.

Data ini menunjukkan bahwa hampir seluruh anak kualitas tidurnya

terganggu.

Berbagai faktor dapat menyebabkan kualitas tidur anak menjadi

terganggu. Kondisi ini didukung oleh data bahwa banyak anak sering

terbangun di saat sedang tidur (90,3%), anak mengalami kesakitan dan

menangis (58,1%) dan mengompol saat tidur yang dialami oleh sebanyak

67,7% responden. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Carpenito

(2001) yang mengatakan bahwa gangguan tidur pada anak seringkali

berhubungan dengan ketakutan, eneuresis atau respon tidak konsisten dari

orang tua terhadap permintaan anak untuk mengubah peraturan dalam tidur

seperti permintaan untuk tidur larut malam. Data yang mendukung adanya

gangguan tidur adalah anak enggan untuk istirahat, sering bangun waktu

malam, keinginan untuk tidur dengan orang tua (Carpenito, 2001:382).

Tindakan invasif tertentu yang dilakukan pada anak juga membuat

kebutuhan tidur anak terganggu. Seluruh anak dalam penelitian ini mendapat

terapi infus, dan hampir seluruh anak (90,3%) mengalami gangguan kualitas

tidur. Anak yang terpasang infus dapat mengalami kesulitan posisi untuk

14

Page 15: Jurnal Warda Maret 2012

15

tidur. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Carpenito (2001) yang

mengatakan bahwa gangguan tidur pada anak dapat terjadi karena faktor

tindakan yang berhubungan, yang menimbulkan kesulitan menjalani posisi

yang biasa seperti pemasangan infus, bidai, traksi dan tindakan yang

menimbulkan nyeri (Carpenito, 2001:381).

Kondisi sering terbangun, eneuresis, ketakutan, menangis karena

kesakitan atau nyeri pada saat anak seharusnya menjalani tidur memang

dapat membuat tidur menjadi tidak nyenyak. Apalagi jika anak dirawat di

rumah sakit dan mendapat terapi infus. Hal ini dapat terjadi karena rasa nyeri

saat dilakukan pemasangan infus menimbulkan trauma dan ketakutan pada

anak, selain gejala patologis akibat penyakit yang diderita anak. Berbagai

kondisi ini menimbulkan kualitas tidur anak terganggu.

15

Page 16: Jurnal Warda Maret 2012

16

PENUTUP

Kesimpulan

1. Dari 30 responden anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak

RSUD Batara Guru Belopa sebanyak 58,1% mengalami gangguan

pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif, yang terjadi karena faktor

hospitalisasi dan kondisi patofisiologis pada anak.

2. Dari 30 responden anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak

RSUD Batara Guru Belopa sebanyak 90,3% mengalami gangguan

pemenuhan kebutuhan tidur secara kualitatif, yang terjadi karena anak sering

terbangun, nyeri, dan eneuresis, dan kesulitan mengatur posisi.

Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka rekomendasi untuk penanganan

kebutuhan tidur pada anak yang terpasang infus sebagai berikut :

1. Perlunya mengkondisikan ruang perawatan anak yang tidak menimbulkan

ketakutan pada anak dan seyogyanya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa

membuat anak merasa seperti di rumah sendiri, misalnya pengaturan interior

ruangan yang disukai anak, menyediakan fasilitas bermain bagi anak,

petugas yang menunjukkan selera humor tinggi dan keakraban pada anak,

melibatkan orang tua dalam berbagai tindakan yang memungkinkan, dan lain

sebagainya.

2. Perlunya memperhatikan posisi yang ideal bagi anak yang terpasang infus

terutama pada saat anak sedang menjalani tidur supaya dapat dicegah

seminimal mungkin kusulitan posisi tidur anak akibat terapi tersebut. Hal ini

dapat dilakukan misalnya dengan memasang infus pada bagian yang tidak

banyak digerakkan, memberikan bantalan pada bagian yang terpasang infus

saat anak sedang tidur.

3. Perawat Diharapkan perawat dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan

khususnya pemenuhan kebutuhan tidur terkait dengan pemasangan infus

16

Page 17: Jurnal Warda Maret 2012

17

yang dilakukan pada anak sehingga program terapi dapat tetap berjalan

tanpa mengganggu kebutuhan dasar anak maupun kebutuhan akan

pertumbuhan dan perkembangan

17

Page 18: Jurnal Warda Maret 2012

18

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur & Hall (2001). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Hidayat. Azis (2007) Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data, Salemba Medika: Jakarta.

Lanywati, Endang. 2001. Insomnia, Gangguan Sulit Tidur. Kanisius: Yogyakarta.

Lumbantobing (2004). Gangguan Tidur.www.medicastore.com [Accessed 25 Pebruari 2012]

Medicastore, 2003. Insomnia. http://www.medicastore.com. Diakses tanggal 10 Pebruari 2012.

Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Salemba Medika: Jakarta

Nursalam. dkk (2004). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika. Jakarta

Nusaindah, 2005. Insomnia. http://nusaindah.tripod.com/insomnia2.htm. Diakses tanggal 10 Pebruari 2012

Perry dan Potter, 2005. Buku Saku Keterampilan Dan Prosedur Dasar. EGC: Jakarta

Sugeng H., 2008. Hubungan Pendekatan Komuniasi Teraputik Perawat Dalam (Memasang dan Merawat Infus) Terhadap Peneriamaan Anak. Available from: http://skripsi-d-3-perawat.blogspot.com/ [accessed 10 Pebruari 2012].

Supartini (2004), Buku Ajar konsep dasar keperawatan anak, Editor Monica Ester, EGC. Jakarta

Wong (2009), Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta

18

Page 19: Jurnal Warda Maret 2012

19

19