Download - Jurnal Warda Maret 2012
1
GAMBARAN PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR PADA ANAK YANG
TERPASANG INFUS DI RUANG PERAWATAN ANAK RSUD BATARA GURU
BELOPA
Oleh : Warda.M
Staf Pengajar Akper Sawerigading Pemda Luwu
ABSTRAK
Sakit dan dirawat di rumah sakit jauh dari menyenangkan bagi anak, hal ini merupakan suatu stresor karena mereka tidak mengerti mengapa mereka dirawat. Rumah sakit merupakan tempat dimana anak dapat mengalami prosedur yang menyakitkan seperti pemasangan infus. Mengingat prosedur invasif seperti pemasangan infus dapat menimbulkan gangguan tidur pada anak, dan gangguan tidur dapat berdampak negatif terhadap kesehatan anak baik secara fisik maupun psikis, perlu kiranya dilakukan perhatian yang lebih jauh terhadap keadaan ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan tidur pada anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Belopa. Desain penelitian adalah metode deskriptif murni karena bertujuan untuk menggambarkan fenomena pemenuhan kebutuhan tidur pada anak yang terpasang infus. Jumlah sampel 30 anak usia 0-12 tahun yang ditetapkan dengan teknik purposif sampling. Penelitian ini dilakukan mulai dari tanggal 9 Agustus s/d 10 September 2012. Proses pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan lembar observasi.
Hasil penelitian dari 30 anak 58,1% yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Belopa mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif, 90,3% mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur secara kualitatif.
Rekomendasi : Perlunya memperhatikan posisi yang ideal bagi anak yang terpasang infus terutama pada saat anak sedang menjalani tidur supaya dapat dicegah seminimal mungkin kusulitan posisi tidur anak akibat terapi tersebut.
Kata Kunci : Kebutuhan Tidur, Infus
1
2
PENDAHULUAN
Pemasangan infus merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan
cara invasif yang dapat menimbulkan reaksi tidak menyenangkan pada pasien
khususnya pada anak. Reaksi individu terhadap pemasangan infus sangat
bervariasi, namun dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu reaksi psikologis
dan fisiologis (Kozier, dkk, 1989, dalam Keliat, 2001). Pada tingkat reaksi
psikologi yang ditunjukkan anak ada yang bertindak agresif yaitu sebagai
pertahanan diri, bertindak dengan mengekspresikan secara verbal yaitu dengan
mengeluarkan kata-kata penolakan, membentak dan sebagainya, serta dapat
bersikap dependen yaitu menutup diri, tidak kooperatif, dan reaksi fisiologi dapat
berupa gangguan pemenuhan kebutuhan istrahat tidur akibat ketidaknyamanan
oleh nyeri (Potter & Perry, 2005).
Reaksi nyeri sangat erat hubungannya terganggunya pemenuhan
kebutuhan istirahat khususnya pada anak (Paice 1991, dalam Potter & Perry,
2005), melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengakibatkan bagian
sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang. Nyeri dan takut
sakit adalah respon anak akibat tindakan pemasangan intravena . Pada waktu
infus IV mulai dipasang, pasien akan merasakan penusukan jarum untuk
memasukkan kateter ke dalam vena. Ini akan menimbulkan nyeri pada daerah
penusukan jarum (Sugeng H., 2008)
Respon anak dengan orang dewasa dalam menerima tindakan invasif
berbeda. Pada anak tindakan invasif dapat dipersepsikan sebagai suatu
ancaman ini terkait terhadap rasa aman yang dapat menyebabkan terjadinya
kecemasan. Ancaman ini disebabkan karena menerima pengobatan yang
membuat bertambah sakit atau nyeri. Tindakan pemasang infus membuat anak
merasa kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan merupakan stresor bagi
gangguan pemenuhan istirahat tidur (Sugeng H., 2008).
Ancaman terhadap integritas fisik seseorang meliputi ketidakmampuan
fisiologis atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-
hari. Kejadian ini menyebabkan kecemasan dimana timbul akibat kekhawatiran
2
3
terhadap tindakan pemasangan infus yang mempengaruhi integritas tubuh
secara keseluruhan . Pada anak yang dirawat di rumah sakit timbul kecemasan
karena ketidakmampuan fisiologis dan menurunnya kapasitas untuk melakukan
aktivitas sehari-hari, seperti bermain, belajar bagi anak usia sekolah, dan lain
sebagainya. Selama tidur, sistem retikulum mengalami beberapa stimulasi dari
korteks serebral dan dari tepi tubuh. Keadaan terbangun terjadi apabila sistem
retikulum diaktivasi dengan stimulasi dari korteks serebral dan dari sel dan organ
sensori tepi oleh persepsi nyeri (Paice 1991, dalam Potter & Perry, 2005).
Di tingkat fisiologis, tubuh secara otomatis mempersiapkan diri untuk
memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur. Istirahat dan tidur merupakan
kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua orang. Untuk dapat berfungsi
secara optimal maka setiap orang memerlukan istirahat dan tidur yang cukup.
Demikian pula anak yang sedang menderita sakit, mereka juga membutuhkan
istirahat dan tidur yang memadai. Namun dalam keadaan sakit pola tidur
seseorang biasanya terganggu (gangguan pola tidur), sehingga perawat perlu
berupaya untuk memenuhi kebutuhan tidur yang normal. Istirahat merupakan
keadaan yang tenang, rileks tanpa tekanan emosional dan bebas dari
kegelisahan atau kecemasan. Sebagian besar orang dapat istirahat sewaktu
mereka merasa bahwa segala sesuatu dapat diatasi, merasa diterima,
mengetahui apa yang sedang terjadi, bebas dari gangguan dan
ketidaknyamanan, mempunyai rencana-rencana kegiatan yang memuaskan
mengetahui adanya bantuan sewaktu diperlukan (Paice 1991, dalam Potter &
Perry, 2005).
Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah : “Bagaimanakah pemenuhan
kebutuhan tidur secara kuantitatif dan kualitatif pada anak yang terpasang infus
di ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Kabupaten Luwu?
3
4
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif pada
anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Sawerigading
Palopo.
2. Mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan tidur secara kualitatif pada
anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak RSUD Sawerigading
Palopo
4
5
TINJAUAN TEORI
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi
oleh semua orang. Istirahat dan tidur yang cukup, akan membuat tubuh baru
dapat berfungsi secara optimal. Istirahat dan tidur sendiri memiliki makna yang
berbeda pada setiap individu. Istirahat berarti suatu keadaan tenang, relaks,
tanpa tekanan emosional, dan bebas dari perasaan gelisah. Beristirahat bukan
berarti tidak melakukan aktivitas sama sekali. Berjalan-jalan di taman terkadang
juga bisa dikatakan sebagai suatu bentuk istirahat (Lanywati, 2001).
Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada batang otak, yaitu
Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). RAS
di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat
mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran, memberi stimulus visual,
pendengaran, nyeri, dan sensori raba, serta emosi dan proses berfikir. RAS
melepaskan katekolamin pada saat sadar, sedangkan pada saat tidur terjadi
pelepasan serum serotonin dari BSR (Guyton,2001).
Lama tidur yang dibutuhkan oleh seseorang tergantung pada usia. Semakin
tua usia seseorang semakin sedikit pula lama tidur yang diperlukan
(Lumbantobing,2004). Seorang bayi yang baru lahir biasanya membutuhkan tidur
selama 20 jam sehari; anak berusia 6 tahun membutuhkan 12 jam; anak berusia
12 tahun 9 jam; orang dewasa 7-8 jam. Tetapi perkiraan ini sangat bervariasi.
Para ahli tidur telah memberikan aturan umum yaitu: kebutuhan tidur anda dapat
terpenuhi jika anda tidak mengantuk/terkantuk pada waktu siang hari dan benar-
benar terjaga dan merasa bugar (Dianweb, 2005).
Anak yang sakit dan mendapat terapi infus cenderung mengalami gangguan
pemenuhan kebutuhan tidur yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
faktor patofisiologis yaitu penyakit yang diderita anak, faktor tindakan seperti
pemasangan infus, faktor situasi seperti nyeri karena terpasang infus, gejala
penyakit, serta faktor maturasi yang berhubungan dengan perkembangan dan
keaktifan anak.
5
6
Pemenuhan kebutuhan tidur pada anak tersebut dapat terganggu baik
secara kualitatif (seperti sering terbangun, mimpi buruk, mengompol) maupun
kuantitatif dimana kebutuhan jam tidur anak tidak terpenuhi. Jika pola tidur
terganggu/tidak terpenuhi, anak akan tampak kelelahan, emosi negatif, tekanan
darah naik, kurang bergairah, dan merasa tertekan. Sebaliknya, jika pola tidur
anak terpenuhi/tidak terganggu, anak akan tetap segar dan homeostasis tubuh
dapat tercapai.
Respon anak untuk memahami nyeri yang diakibatkan oleh prosedur invasif
yang menyakitkan bagi anak tergantung pada usia anak, tingkat perkembangan
anak, dan faktor situasi lainnya . Sebagai contoh adalah bayi tidak mampu
mengantisipasi nyeri sehingga memungkinkan tidak menunjukkan perilaku yang
spesifik terkait dengan respon terhadap nyeri. Anak yang lebih kecil tidak mampu
menggambarkan dengan spesifik nyeri yang mereka rasakan karena
keterbatasan kosakata dan pengalaman nyeri. Tergantung usia perkembangan,
anak menggunakan strategi koping seperti melarikan diri, menghindar,
penangguhan tindakan, imagery, dan lain-lain.
Karakteristik anak usia dalam berespon terhadap nyeri diantaranya dengan
menangis keras atau berteriak; mengungkapkan secara verbal, memukul tangan
atau kaki; mendorong hal yang menyebabkan nyeri; kurang kooperatif;
membutuhkan restrain; meminta untuk mengakhiri tindakan yang menyebabkan
nyeri; menempel atau berpegangan pada orangtua, perawat atau yang lain;
membutuhkan dukungan emosi seperti pelukan; melemah; antisipasi terhadap
nyeri aktual (Nursalam, 2004).
Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia adalah dengan
menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan
tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Ketakutan anak terhadap
perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya
mengancam integritas tubuhnya. Hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan
marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah,
tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orangtua
6
Anak sakit dan mendapat terapi infus
Faktor patofisiologis: Penyakit
Faktor tindakan: Pemasangan infus
Faktor maturasi: perkembangan, keaktifan anak
Faktor situasi: nyeri, cemas
Kualitatif: Berhubungan dengan siklus tidur :
fase REM-NREM Gejala: sering terbangun, mimpi
buruk, ngompol, mengigau, menangis kesakitan
Kuantitatif: Berhubungan dengan jumlah jam
tidur :Bayi 0-1 tahun : 20 jam/hari; anak 1-6 tahun : 12 jam/hari; anak 7-12 tahun : 9 jam/hari;
Gejala: sulit tidur, terbangun lebih awal
Pemenuhan kebutuhan tidur
Terpenuhi Tidak terpenuhiAbnormal Normal
7
(Supartini, 2004). Anak prasekolah akan mendorong orang yang akan
melakukan prosedur yang menyakitkan agar menjauh, mencoba mengamankan
peralatan, atau berusaha mengunci diri di tempat yang aman. (Wong. 2009).
Terkait prosedur yang menyakitkan, proses pemasangan infus merupakan salah
satu prosedur yang menyakitkan bagi anak.
Dari uraian teoritis diatas dapat di gambarkan kerangka konsep penelitian
sebagai berikut :
Gbr. 1 Kerangka Konsep Penelitian
7
8
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian
Desain penelitian adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi
pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif pada anak yang terpasang infus di
ruang perawatan anak RSUD Batara Guru Kabupaten Luwu.
Teknik Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien usia prasekolah berusia 1-12
tahun. Hasil survei pendahuluan diperoleh data pada bulan Maret 2012 jumlah
pasien di ruang perawatan anak yang berusia 1 – 12 tahun yang dirawat di
RSUD Batara Guru Kabupaten Luwu sebanyak 30 orang. Adapun kriteria sampel
dalam penelitian ini adalah: usia anak 1- 12 tahun, dalam kondisi sadar
penuh,mendapatkan terapi pemasangan infus, klien telah dirawat minimal 2 hari
masa perawatan.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah consecutif
sampling dengan mengambil semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi
sebagai sebagai subjek penelitian
Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner yang terdiri dari data
demografi anak ( Jenis kelamin, usia, lama hari rawat) dan lembar observasi
pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian
pemenuhan kebutuhan tidur diobservasi selama 24 jam.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Batara Guru Kabupaten Luwu, yang
dilaksanakan selama 2 bulan ( April s/d Mei 2012).
8
9
Defenisi Operasional
Pemenuhan kebutuhan tidur adalah pemenuhan kebutuhan secara kuantitas dan
kualitas dari tidur yang diperlukan oleh anak berdasarkan usia.
a. Kuantitas tidur:
1) Terpenuhi jika jumlah jam tidur cukup sesuai usia :
a) Usia 1 – 6 tahun : 11 – 14 jam
b) Usia 7 – 12 tahun : 8 – 10 jam
2) Tidak terpenuhi jika jumlah jam tidur anak:
a) Usia 1 – 6 tahun : kurang dari 11 jam
b) Usia 7 – 12 tahun : kurang dari 8 jam
b. Kualitas tidur :
1) Abnormal jika selama tidur ada gejala-gejala sebagai berikut:
a) Usia 1 – 6 tahun : menangis kesakitan, sering terbangun, enuresis
b) Usia 7 – 12 tahun: menangis kesakitan, sering terbangun, enuresis,
mimpi buruk
2) Kualitas tidur normal jika selama tidur tidak ada gejala-gejala sesuai
kategori di atas.
Analisa Data
Analisa data dilakukan secara analisa dekriptif. Dilihat dari sifatnya, analisis
data bersifat objektif, asli dan untuk menginterpretasi data peneliti mengaitkan
temuan dan data dengan teori yang dibangun di awal. Selanjutnya berikan
konteks, makna, atau implikasi data temuan tersebut dengan kondisi dan situasi
atau setting penelitian secara lebih luas. Setelah analisis dan interpretasi data
selanjutnya peneliti menyusun kesimpulan dan rekomendasi.
9
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik Responden
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Di Ruang Perawatan Anak RSUD Batara Guru Tahun 2012
Usia Anak Frekuensi Prosentase (%)
1 – 6 tahun 17 56,7
7 – 12 tahun 13 43,3
Total 30 100Sumber: Data Primer
Dari data pada tabel 4.1 di atas diketahui bahwa anak yang berusia antara
1 – 6 tahun lebih banyak yaitu 57.7 % dibandingkan dengan anak usia 7 – 2
tahun dengan prosentase 43,3 %.
Tabel 4.2Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Anak Dirawat Di
Ruang Perawatan Anak RSUD Batara Guru Tahun 2012
Lama masa perawatan Frekuensi Prosentase (%)
2 – 6 hari 27 907 – 13 hari 3 10Lebih dari 13 hari 0 0
Total 30 100 Sumber: Data Primer
Dari tabel 4.2 di atas diketahui bahwa prosentase tertinggi 90 % dengan
lama rawat inap 2-6 hari.
10
11
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyakit Anak di Ruang Perawatan Anak RSUD Batara Guru Belopa Tahun 2012
Penyakit Frekuensi Prosentase (%)
Gastroenteritis 14 46,7ISPA 4 13,3DHF 3 10,0Febris Convulsion 4 13.3OF 5 16,7
Total 30 100 Sumber: Data Primer
Dari tabel 4.3 di atas diketahui bahwa mayoritas responden menderita
Gastroenteritis (ada yang disertai gejala lain seperti vomiting, diare sedang)
mempunyai prosentase yang paling tinggi 46,7%.
Data Khusus
Pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif pada anak yang terpasang
infus diklasifikasikan ke dalam 2 kategori.
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Tidur Secara Kuantitatif Pada Anak Di Ruang Perawatan Anak RSUD Batara
Guru Belopa Tahun 2012
Kuantitas Tidur Frekuensi Prosentase (%)
Terpenuhi 13 43.3
Tidak terpenuhi 17 56.3
Total 30 100
Sumber: Data Primer
11
12
Berdasarkan hasil penelitian seperti tertera pada tabel 4.4 di atas, diketahui
bahwa kebutuhan tidur anak dengan prosentase tertinggi 56,3 % dengan
kuantitas tidur tidak terpenuhi.
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Responde Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Tidur Secara Kualitatif Pada Anak Di Ruang Perawatan Anak RSUD Batara Guru
Belopa Tahun 2012
Kualitas Tidur Frekuensi Prosentase (%)
Normal 4 13,3Abnormal 26 86,7
Total 30 100Sumber: Data Primer
Berdasarkan hasil penelitian seperti tertera pada tabel 4.5 di atas, diketahui
bahwa pemenuhan kebutuhan tidur secara kualitatif dengan prosentase tertinggi
86,7 % dengan kalitas tidur abnormal.
Pembahasan
1. Pemenuhan Kebutuhan Tidur Secara Kuantitatif Pada Anak Yang
Terpasang Infus
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan tidur anak yang
terpenuhi secara kuantitatif sebesar 43,3%, sedangkan yang tidak terpenuhi
sebesar 56,3%. Data ini menunjukkan bahwa secara kuantitas (lama tidur)
anak sebagian tidak terpenuhi.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya karena
situasi baru anak menjalani perawatan/hospitalisasi di rumah sakit. Kondisi
ini didukung oleh data bahwa hampir seluruh anak (90%) menjalani masa
perawatan kurang dari satu minggu. Hasil penelitian ini sesuai dengan
pendapat Carpenito (2001) bahwa gangguan tidur dapat terjadi karena
12
13
adanya faktor situasional seperti perubahan lingkungan, misalnya perawatan
di rumah sakit, kebisingan, atau ketakutan (Carpenito, 2001:382).
Selain akibat faktor situasi, kondisi patologis anak juga mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan tidur anak. Hal ini didukung oleh data bahwa banyak
anak yang mengalami penyakit Gastroenteritis (46,7%) dan Febris
Convulsion dan ISPA (13,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat
Carpenito (2001) bahwa gangguan pemenuhan kebutuhan tidur dapat terjadi
karena adanya faktor patofisiologis seperti angina, arteriosclerosis perifer,
diare, gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi, dan lain-lain (Carpenito,
2001:382).
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Endang Lanywati
(2001) yang mengatakan bahwa gangguan tidur berupa insomnia jangka
pendek, merupakan gangguan sulit tidur yang terjadi pada penderita sakit
fisik (misalnya batuk, rematik) atau mendapat stres situasional (misalnya
kehilangan/kematian orang terdekat, pindah pekerjaan). Gangguan ini
biasanya dapat sembuh beberapa saat setelah terjadi adaptasi, pengobatan
atau perbaikan suasana tidur (Lanywati, 2001:15).
Berbagai kondisi patofisiologis seperti penyakit yang diderita klien
dapat mempengaruhi gangguan pemenuhan kebutuhan tidur berupa
kesulitan memulai tidur dan bangun terlalu awal. Kesulitan memulai tidur
(initial insomnia) biasanya disebabkan oleh adanya gangguan
emosi/ketegangan atau gangguan fisik. Bangun terlalu awal (early
awakening) yaitu dapat memulai tidur dengan normal, namun tidur mudah
terputus dan atau bangun lebih awal dari waktu tidur biasanya, serta
kemudian tidak bisa tidur lagi. Gejala ini sering muncul seiring dengan
bertambanya usia seseorang atau karena depresi dan berbagai penyebab
lainnya (Lanywati, 2001:13).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perubahan situasi
misalnya karena hospitalisasi pada anak, serta adanya kondisi patologis atau
penyakit yang diderita anak dapat menyebabkan gangguan pemenuhan
13
14
kebutuhan tidur secara kuantitas pada anak. Hal ini wajar terjadi, misalnya
pada anak yang mengalami diare maka mereka akan kesulitan untuk
memulai tidur atau bahkan terbangun lebih awal karena terganggu oleh
keinginan untuk buang air besar. Demikian pula dengan perubahan situasi
seperti pada anak yang mengalami hospitalisasi, mereka dapat mengalami
kecemasan dan ketakutan sehingga sulit untuk memulai tidur. Hal ini dapat
menyebabkan kuantitas tidur anak berkurang.
2. Pemenuhan Kebutuhan Tidur Secara Kualitatif Pada Anak Yang
Terpasang Infus
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan tidur
secara kualitatif pada anak yang dikategorikan normal sebanyak 13,3%,
sedangkan kualitas tidur anak yang dikategorikan abnormal sebanyak 86,7%.
Data ini menunjukkan bahwa hampir seluruh anak kualitas tidurnya
terganggu.
Berbagai faktor dapat menyebabkan kualitas tidur anak menjadi
terganggu. Kondisi ini didukung oleh data bahwa banyak anak sering
terbangun di saat sedang tidur (90,3%), anak mengalami kesakitan dan
menangis (58,1%) dan mengompol saat tidur yang dialami oleh sebanyak
67,7% responden. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Carpenito
(2001) yang mengatakan bahwa gangguan tidur pada anak seringkali
berhubungan dengan ketakutan, eneuresis atau respon tidak konsisten dari
orang tua terhadap permintaan anak untuk mengubah peraturan dalam tidur
seperti permintaan untuk tidur larut malam. Data yang mendukung adanya
gangguan tidur adalah anak enggan untuk istirahat, sering bangun waktu
malam, keinginan untuk tidur dengan orang tua (Carpenito, 2001:382).
Tindakan invasif tertentu yang dilakukan pada anak juga membuat
kebutuhan tidur anak terganggu. Seluruh anak dalam penelitian ini mendapat
terapi infus, dan hampir seluruh anak (90,3%) mengalami gangguan kualitas
tidur. Anak yang terpasang infus dapat mengalami kesulitan posisi untuk
14
15
tidur. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Carpenito (2001) yang
mengatakan bahwa gangguan tidur pada anak dapat terjadi karena faktor
tindakan yang berhubungan, yang menimbulkan kesulitan menjalani posisi
yang biasa seperti pemasangan infus, bidai, traksi dan tindakan yang
menimbulkan nyeri (Carpenito, 2001:381).
Kondisi sering terbangun, eneuresis, ketakutan, menangis karena
kesakitan atau nyeri pada saat anak seharusnya menjalani tidur memang
dapat membuat tidur menjadi tidak nyenyak. Apalagi jika anak dirawat di
rumah sakit dan mendapat terapi infus. Hal ini dapat terjadi karena rasa nyeri
saat dilakukan pemasangan infus menimbulkan trauma dan ketakutan pada
anak, selain gejala patologis akibat penyakit yang diderita anak. Berbagai
kondisi ini menimbulkan kualitas tidur anak terganggu.
15
16
PENUTUP
Kesimpulan
1. Dari 30 responden anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak
RSUD Batara Guru Belopa sebanyak 58,1% mengalami gangguan
pemenuhan kebutuhan tidur secara kuantitatif, yang terjadi karena faktor
hospitalisasi dan kondisi patofisiologis pada anak.
2. Dari 30 responden anak yang terpasang infus di ruang perawatan anak
RSUD Batara Guru Belopa sebanyak 90,3% mengalami gangguan
pemenuhan kebutuhan tidur secara kualitatif, yang terjadi karena anak sering
terbangun, nyeri, dan eneuresis, dan kesulitan mengatur posisi.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka rekomendasi untuk penanganan
kebutuhan tidur pada anak yang terpasang infus sebagai berikut :
1. Perlunya mengkondisikan ruang perawatan anak yang tidak menimbulkan
ketakutan pada anak dan seyogyanya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa
membuat anak merasa seperti di rumah sendiri, misalnya pengaturan interior
ruangan yang disukai anak, menyediakan fasilitas bermain bagi anak,
petugas yang menunjukkan selera humor tinggi dan keakraban pada anak,
melibatkan orang tua dalam berbagai tindakan yang memungkinkan, dan lain
sebagainya.
2. Perlunya memperhatikan posisi yang ideal bagi anak yang terpasang infus
terutama pada saat anak sedang menjalani tidur supaya dapat dicegah
seminimal mungkin kusulitan posisi tidur anak akibat terapi tersebut. Hal ini
dapat dilakukan misalnya dengan memasang infus pada bagian yang tidak
banyak digerakkan, memberikan bantalan pada bagian yang terpasang infus
saat anak sedang tidur.
3. Perawat Diharapkan perawat dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan
khususnya pemenuhan kebutuhan tidur terkait dengan pemasangan infus
16
17
yang dilakukan pada anak sehingga program terapi dapat tetap berjalan
tanpa mengganggu kebutuhan dasar anak maupun kebutuhan akan
pertumbuhan dan perkembangan
17
18
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur & Hall (2001). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Hidayat. Azis (2007) Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data, Salemba Medika: Jakarta.
Lanywati, Endang. 2001. Insomnia, Gangguan Sulit Tidur. Kanisius: Yogyakarta.
Lumbantobing (2004). Gangguan Tidur.www.medicastore.com [Accessed 25 Pebruari 2012]
Medicastore, 2003. Insomnia. http://www.medicastore.com. Diakses tanggal 10 Pebruari 2012.
Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Salemba Medika: Jakarta
Nursalam. dkk (2004). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika. Jakarta
Nusaindah, 2005. Insomnia. http://nusaindah.tripod.com/insomnia2.htm. Diakses tanggal 10 Pebruari 2012
Perry dan Potter, 2005. Buku Saku Keterampilan Dan Prosedur Dasar. EGC: Jakarta
Sugeng H., 2008. Hubungan Pendekatan Komuniasi Teraputik Perawat Dalam (Memasang dan Merawat Infus) Terhadap Peneriamaan Anak. Available from: http://skripsi-d-3-perawat.blogspot.com/ [accessed 10 Pebruari 2012].
Supartini (2004), Buku Ajar konsep dasar keperawatan anak, Editor Monica Ester, EGC. Jakarta
Wong (2009), Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta
18
19
19