jurnal anestesiologi indonesia -...
TRANSCRIPT
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
1
2
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
3
Sejawat terhormat,
Jurnal Anestesiologi Indonesia nomor ini memuat artikel penelitian mengenai Kadar
Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien
Kraniotomi, Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur
Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria, Efek Blok
Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik
Pascabedah Herniorafi, Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache II, Sofa, Dan
Customized Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan
Mortalitas Pasien Non-Bedah Yang Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif, Ketamin, -
Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi Pada Anak
dan Meperidin, ketamine dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada Sectio Secaria
dengan anestesi spinal
Semoga bermanfaat
Salam,
dr. Uripno Budiono, SpAn
Ucapan Terima Kasih:
Kepada Mitra Bestari Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol. VII No. 2 Tahun 2015:
Prof. dr.Soenarjo, SpAn, KMN, KAKV (Semarang) Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang) Dr. dr. Mohamad Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)
4
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN Hal
Bondan Irtani Cahyadi, Hariyo Satoto, Heru Dwi Jatmiko 67
Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien
Kraniotomi
The Effect Of Perioperative Intravenous Paracetamol On Serum Substance P Level In Craniotomy Patient
Syafri Kamsul Arif, Iwan Setiawan 79
Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal
Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria
A Comparison Between The Effect Of Injection Rate Of 0,4 ml/sec And 0,2 ml/sec In Spinal
Anesthesia Procedure On Hypotension Incidence In Sectio Caesaria
Nur Asdarina , Syamsul Hilal Salam, A. Husni Tanra 89
Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik
Pascabedah Herniorafi
The Effect of Transversus Abdominis Plane Block Landmark Technique on the Analgesic Requirement
Postoperative Herniorrhaphy
Stefanus Taofik, Tjokorda Gde Agung Senapathi, Made Wiryana 102
Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache Ii, Sofa, Dan Customized Sequential Organ
Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien Non-Bedah Yang
Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif
Comparison Of Validity Apache Ii, Sofa And Customized Sequential Organ Failure Assessment
(Csofa) For Predicting Non-Surgical Patient
Nur Hajriya Brahmi, Doso Sutiyono 114
Ketamin Dan Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi
Pada Anak
Ketamin And Peritonsiller Infiltration As Post Operative Tonsillectomi Pain Management In
Children.
Uripno Budiono 120
Meperidin, ketamine dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada Sectio Secaria dengan
anestesi spinal
Meperidine, ketamine and clonidine effective for the treatment of shivering in Sectio Secaria with
spinal anesthesia
DAFTAR ISI
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
67
PENELITIAN
Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena
Perioperatif Pada Pasien Kraniotomi
ABSTRACT
Background: Pain management after craniotomy is very important, 60-84% patient
experience moderate to severe pain. Postoperative pain especially transmitted by C
fiber neurons involved neuropeptide Substance P (SP). Postoperative opioid analgesia
gives some adverse effect, such as allergy, gastrointestinal effect, nausea. vomiting,
hypotension, sedation, repiratory depression and urinary retention. Paracetamol has
opioid sparing effect that may reduce the need of opioid analgesia, and also inhibits
SP mediated hyperalgesia.
Objective: To study the effect of perioperative intravenous paracetamol on SP level in
post craniotomy patient
Methods: Forty subject aged 18 – 45 years underwent elective craniotomy
intracerebral tumour resection who have ASA physical status I-II, divided into 2
groups. P group received 1000 mg intravenous paracetamol every 6 hours during 24
hours postoperative, K group received placebo. Postoperative analgesia using
morphine syringe pump 0,01 mg/Kg/hour titration to VAS. SP serum levels were
examined with Cusabio substance Elisa kit ELx 800 before and 12 hours after surgery.
Visual Analog Scale noted in 1, 6, 12, and 24 hours postoperative. Total amount of
morphine given, nausea and vomiting was noted.
Results: Preoperative SP level in P group was 16,89± 31,395 pg/ml and 36,58 ±
46,960 pg/ml postoperatively. Preoperative SP Level in K group was 9,58 ± 10,656 pg/
ml and 26,09 ± 22,506 pg/ml postoperatively. SP level elevation in P group and K
group were 19,69± 28,625 pg/ml and 16,51 ± 14,972 pg/ml. Postoperative SP level
and the elevation were not significantly different between two groups (p=0,793 and
p=0,540), VAS and total amount of morphine given was significantly different
(p<0,05).
Conclusion: Perioperative intravenous paracetamol reduced morphine consumption
and gave better VAS in post craniotomy patient, but did not affected postoperative SP
level.
Keywords :Intravenous paracetamol, Substance P, VAS, Morphine, Craniotomy
* Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Korespondensi/ Correspondence: [email protected]
The Effect Of Perioperative Intravenous Paracetamol On Serum Substance P
Level In Craniotomy Patient
Bondan Irtani Cahyadi *, Hariyo Satoto*, Heru Dwi Jatmiko*
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014
68
Jurnal Anestesiologi Indonesia
ABSTRAK
Latar belakang: Manajemen nyeri pasca kraniotomi sangat penting karena 60-84%
pasien pasca kraniotomi merasakan nyeri sedang hingga berat. Rasa nyeri ini
ditransmisikan olehserabutsaraf C yang melibatkan neuropeptida substansi P (SP).
Pemberian analgetik golongan opioid memiliki efek samping seperti alergi, gangguan
gastrointestinal, mual, muntah, hipotensi, depresi nafas maupun retensi urin.
Paracetamol memiliki efek yang mengurangi kebutuhan analgesia opioid, dan
menghambat hiperalgesia yang dimediasi oleh SP.
Tujuan: Mengetahui efek pemberian parasetamol intravena perioperatif terhadap
kadar SP serum pasca kraniotomi.
Metode: Empat puluh responden berusia 18-45 tahun akan menjalani kraniotomi
reseksi tumor intraserebral elektif, ASA I-II, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok P
diberikan paracetamol 1000 mg intravena per 6 jam selama 24 jam pasca operasi,
kelompok K mendapat plasebo. Analgetik pasca operasi menggunakan morfin syringe
pump 0,01 mg/kg/jam titrasi sesuai VAS. Level SP serum diperiksa menggunakan
Cusabio SP ELISA kit sebelum operasi dan 12 jam setelah operasi. VAS dinilai pada
jam 1, 6, 12, dan 24 jam pasca operasi. Jumlah total pemakaian morfin dalam 24 jam
dan efek mual muntah dicatat.
Hasil: Kadar SP pra operasi pada kelompok P 16,89± 31,395 pg/ml dan pasca
operasi 36,58 ± 46,960 pg/ml. Level SP pra operasi kelompok K 9,58 ± 10,656 pg/ml
dan pasca operasi 26,09 ± 22,506 pg/ml. Peningkatan kadar SP pasca operasi
kelompok P sebesar 19,69± 28,625 pg/ml, sedangkan kelompok K 16,51 ± 14,972 pg/
ml. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar SP dan peningkatannya pada
kedua kelompok penelitian (p=0,793 dan p=0,540), sedangkan nilai VAS dan jumlah
morfin yang diberikan berbeda bermakna (p<0,05).
Simpulan: Pemberian parasetamol intravena perioperatif pada pasien kraniotomi
mengurangi kebutuhan morfin dan nilai VAS lebih baik, namun tidak mempengaruhi
kadar SP pasca operasi.
Kata Kunci : Paracetamol intravena, Substansi P, VAS, Morfin, Kraniotomi
PENDAHULUAN
Sekitar 60-84% pasien pasca
kraniotomi mengalami nyeri moderat
hingga berat.1,2 Nyeri pasca kraniotomi
paling sering terjadi dalam 48 jam setelah
operasi, terutama setelah 12 jam pasca
operasi. Manajemen nyeri pada pasien
pasca kraniotomi masih belum banyak
diteliti. Disamping itu, panduan klinis
mengenai manajemen nyeri pasca
kraniotomi di rumah sakit juga belum
didukung dengan bukti klinis hasil
penelitian yang adekuat.
Ada banyak mediator yang
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
69
berperan dalam proses terjadinya nyeri,
seperti histamin, prostaglandin,
bradikinin dan substansi P. Substansi P
merupakan mediator nyeri yang paling
dominan.3 Menurut Dunbar et al nyeri
pada pasien pasca kraniotomi justru
membutuhkan lebih sedikit analgetik
dibanding dengan tindakan
pembedahan mayor lainnya.4
Penggunaan opioid pasca operasi
memiliki beberapa efek samping yang
merugikan, diantaranya alergi, efek
gastrointestinal, mual muntah,
hipotensi, sedasi, depresi respirasi dan
retensi urin.5
Parasetamol merupakan obat
anti-inflamasi non steroid yang
memiliki efek anti-piretik dan
analgetik.Efek analgetik parasetamol
karena perannya dalam menghambat
enzim siklooksigenase baik di sentral
maupun perifer. Mekanisme lain
melalui jalur nitric oxide, dimana
parasetamol menghambat hiperalgesia
yang dimediasi substansi P.6 Penelitian
oleh Maund menunjukkan bahwa
parasetamol memiliki efek opioid
sparing sehingga mengurangi
kebutuhan opioid untuk analgetik pasca
operasi.7
Potensi parasetamol intravena
sebagai analgesia preemptif pada pasien
kraniotomi menarik untuk diteliti. Perlu
diketahui efeknya sebagai antinosisepsi
dengan cara mengukur kadar substansi
P dalam serum dan hubungannya
dengan skor nyeri menggunakan Visual
Analog Scale (VAS).
METODE
Penelitian ini termasuk jenis uji
klinis acak tersamar ganda. Kriteria
inklusi: dewasa usia 18 – 45 tahun,
menjalani operasi kraniotomi reseksi
tumor intraserebral elektif , Body Mass
Index (BMI) normal (18.5 - 25 kg/m2),
status Fisik ASA I-II, mampu
komunikasi secara verbal, mampu
menggunakan Visual Analog Scale
(VAS) dan durasi operasi kurang dari
360 menit. Kriteria eksklusi: alergi
parasetamol, morfin atau agen anestesi
lain yang digunakan dalam penelitian,
konsumsi parasetamol, NSAID atau
analgesik lain secara rutin, gangguan
hepar (kadar transaminase > 1,5x kadar
normal atas) atau insufisiensi ginjal
(kreatinin > 2 mg/dL), riwayat atau
suspek konsumsi alkohol atau
penyalahgunaan obat, hamil atau
menyusui, keterbatasan komunikasi
karena gangguan kesadaran atau
kognitif dan hipertensi tidak terkontrol.
Sampel sebanyak 40 subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,
dibagi dalam dua kelompok: kelompok
K mendapat infus NaCl 0,9% 100 cc
tiap 6 jam selama 24 jam, kelompok P
mendapat infus parasetamol 1000 mg
(100 cc) tiap 6 jam selama 24 jam.
Kedua kelompok mendapat analgetik
morfin syring pump 0,01 mg/kgBB/jam,
dosisnya dinaikkan bila nilai VAS > 3.
Kebutuhan analgetik opioid pasca
operasi dan komplikasi pasca operasi
seperti mual, muntah dan sedasi dicatat.
Pemberian analgetik OAINS lain tidak
diperbolehkan. Sampel darah untuk
70
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pemeriksaan substansi P diambil
sebelum operasi dan 12 jam setelah
operasi.
HASIL
Didapatkan 40 subjek
penelitian masuk dalam kriteria
inklusi. 2 orang subjek dieksklusi
karena mengalami kejadian tidak
diharapkan yaitu satu subjek
meninggal saat operasi (kelompok
kontrol) da satu subjek dengan
penundaan operasioleh dokter bedah
(kelompok parasetamol). Dengan
demikian, sampel penelitian ini adalah
sebanyak 19 pasien dari kelompok K
dan 19 pasien dari kelompok P. Pada
kelompok kontrol, diperoleh subjek
laki-laki berjumlah 6 orang dan subjek
perempuan berjumlah 13 orang.Pada
kelompok perlakuan, diperoleh 5 orang
subjek laki-laki dan 14 orang subjek
perempuan (Tabel 1). Rerata usia
untuk kelompok kontrol adalah 37,95±
11,754 dan untuk kelompok perlakuan
42,47 ± 12,712 (p = 0,262). Hal ini
menunjukkan bahwa usia subjek
penelitian diantara kedua kelompok
tidak berbeda bermakna. Rerata Body
Mass Index (BMI) untuk kelompok
kontrol adalah 21,69± 2,532 dan untuk
kelompok perlakuan 22,58 ± 2,626 (p =
0,315). Lama operasi untuk kedua
kelompok tidak berbeda bermakna,
yaitu pada kelompok kontrol 277,89±
77,358 menit dan kelompok perlakuan
293,68 ± 96,348 menit dengan p =
0,581 (Tabel 3). Kedua kelompok dapat
dikatakan homogen.
Penilaian tingkat keparahan
nyeri pasca operasi menggunakan
Visual Analog Scale (VAS). Pada Tabel
4, rerata nilai VAS 1 jam pasca operasi
pada kelompok kontrol adalah 2,42 ±
1,017, berbeda bermakna dengan rerata
nilai VAS 1 jam pasca operasi pada
kelompok perlakuan, yaitu 1,11 ± 1,243
(p = 0,002). VAS 6 jam pasca operasi
pada kelompok kontrol 2,37 ± 0,761
dan pada kelompok perlakuan 1,11 ±
1,197, berbeda bermakna dengan nilai p
Variabel Kelompok
p Kontrol Perlakuan
Jenis kelamin
Laki-laki 6 (31,6%) 5 (26,3%) 0,721¥
Perempuan 13 (68,4%) 14 (73,7%)
Umur 37,95 ± 11,754 42,47 ± 12,712 0,262¤
BMI 21,69 ± 2,532 22,58 ± 2,626 0,315¤
Lama operasi 277,89 ± 77,358 293,68 ± 96,348 0,581¤
Tabel 1. Karakteristik Data
Keterangan : ¥ Pearson Chi-Square Test ¤ Independent t-Test
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
71
= 0,001. VAS 12 jam pasca operasi pada
kelompok kontrol 1,89 ± 0,459, berbeda
bermakna jika dibandingkan dengan VAS
12 jam pasca operasi pada kelompok
perlakuan , yaitu 1,11 ± 1,100 (p = 0,008).
Setelah 24 jam pasca operasi, rerata nilai
VAS pada kelompok kontrol adalah 1,95 ±
0,524 dan pada kelompok perlakuan 1,00
± 1,000, berbeda bermakna dengan p =
0,001 (Tabel 2).
Intensitas nyeri pasca kraniotomi
pada kelompok perlakuan lebih rendah
dibanding kelompok kontrol. Nilai VAS
pada kelompok perlakuan stabil diantara
nilai 1 dan 1,5 dalam 24 jam pasca
kraniotomi. Nilai VAS pada kelompok
kontrol dalam 6 jam pasca kraniotomi
sekitar 2-2,5 kemudian turun menjadi 1,5-
2 pada 12-24 jam pasca kraniotomi (Grafik
1).
Rerata total pemakaian morfin
sebagai analgetik pasca operasi pada
kelompok kontrol adalah 18,97 ± 3,946
mg, berbeda bermakna dibanding dengan
total pemakaian morfin pada kelompok
perlakuan, yaitu 11,95 ± 5,876 mg (p <
0,001). Pemakaian morfin lebih sedikit
pada kelompok perlakuan dibanding
kelompok kontrol (Tabel 3).
Pada diagram batang tampak
bahwa pemakaian morfin sebagai
analgetik pasca kraniotomi lebih sedikit
pada kelompok perlakuan dibandung
kelompok kontrol dalam 24 jam pasca
kraniotomi. Selisih jumlah morfin
Tabel 2. Nilai VAS 1, VAS 6, VAS 12 dan VAS 24 jam pasca operasi
VAS Kontrol Perlakuan p§
VAS 1 2,42 ± 1,017 1,11 ± 1,243 0,002
VAS 6 2,37 ± 0,761 1,11 ± 1,197 0,001
VAS 12 1,89 ± 0,459 1,11 ± 1,100 0,008
VAS 24 1,95 ± 0,524 1,00 ± 1,000 0,001
Keterangan : § Mann-Whitney Test
Grafik 1. Nilai VAS 1, VAS 6, VAS 12 dan VAS 24 jam pasca operasi
72
Jurnal Anestesiologi Indonesia
sebanyak 7,02 mg (Grafik 2)
Pada kelompok kontrol ditemukan
kejadian mual pada 2 subjek dan muntah
pada 2 subjek, sedangkan pada kelompok
kontrol tidak ditemukan kejadian mual
atau muntah (Tabel 4).
Rerata kadar substansi P sebelum
operasi pada kelompok kontrol adalah
9,58± 10,656 pg/ml, tidak berbeda
bermakna dengan kadar substansi P
sebelum operasi pada kelompok
perlakuan, yaitu 16,89 ± 31,395 pg/ml (p =
0,918). Hal ini menunjukkan bahwa kadar
substansi P sebelum operasi pada kedua
kelompok relatif sama atau homogen.
Setelah 12 jam pasca operasi, rerata kadar
substansi P pada kelompok kontrol
menjadi 26,09± 22,506 pg/ml, sedangkan
pada kelompok perlakuan 36,58 ±
46,960pg/ml. Pada kedua kelompok,
peningkatan kadar substansi P setelah 12
jam pasca operasi berbeda bermakna (p
< 0,001) (Tabel 5)
Kadar substansi P kelompok
kontrol 12 jam pasca operasi meningkat
sebesar 16,51 ± 14,972pg/ml.
Sedangkan pada kelompok perlakuan,
peningkatannya sebesar 19,69 ± 28,625
pg/ml. Kedua peningkatan ini tidak
berbeda bermakna dengan p = 0,540
(Tabel 6).
Pada penelitian ini, pemberian
parasetamol intravena perioperatif
memberikan tingkat analgesia yang
Tabel 3. Pemakaian analgetik morfin saat pasca operasi
Kelompok Morfin p§
Kontrol 18,97 ± 3,946 < 0,001
Perlakuan 11,95 ± 5,876
Keterangan : § Mann-Whitney Test
Grafik 2. Pemakaian morfin pasca operasi
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
73
lebih baik dibanding dengan
kontrol.Intensitas nyeri dalam 24 jam
setelah operasi (dinilai dengan VAS
pada jam 1, 6, 12 dan 24 pascaoperasi)
lebih rendah dengan pemberian
parasetamol dibanding tanpa pemberian
parasetamol. Hal ini dikarenakan onset
analgesik parasetamol tercapai dalam
waktu singkat dalam 5-10 menit setelah
pemberian intravena.Efek analgesik
puncak tercapai dalam waktu 1 jam dan
bertahan selama 4-6 jam.8
Nyeri pasca bedah, khususnya
pada operasi kraniotomi paling sering
terjadi dalam 48 jam setelah operasi,
terutama setelah 12 jam pasca operasi.2
Dengan pemberian parasetamol
perioperatif, nyeri akut ini dapat
tertangani. Hal ini sesuai dengan
penelitian Savvina et al. yang
menyebutkan bahwa pemberian
parasetamol sebagai analgesia
preemptif pada pasien pediatrik yang
menjalani bedah saraf memberikan
analgesia pasca operasi yang adekuat,
dimana nilai VAS pasca operasi 0-2
atau tidak nyeri.9 Wininger et al. juga
menyebutkan bahwa pemberian
parasetamol intravena juga mengurangi
nyeri dalam 24 jam pasca operasi pada
operasi bedah laparoskopi abdomen.10
Durasi analgesia juga menjadi lebih
lama dan waktu pemberian analgetik
rescue pertama juga tertunda lebih lama
dengan pemberian parasetamol
intravena.11
Efek analgesia parasetamol
kemungkinan melalui beberapa cara
yaitu: menghambat sintesis
prostaglandin di sistem saraf pusat (aksi
sentral), memblok timbulnya impuls
nyeri di perifer, memperkuat jalur
desendens penghambat nyeri
serotonergik, inhibisi produksi nitric
oxide (NO) dan hiperalgesia yang
diinduksi N-methyl-D-aspartate
(NMDA) atau substansi P, dan berperan
pada jalur endokanabinoid dan opioid.12
-15
Pemakaian morfin sebagai
analgesia pasca kraniotomi berkurang
sebesar 37 % pada penelitian ini. Hal
ini sesuai dengan penelitian Remy et al.
yang menyebutkan bahwa parasetamol
memiliki opioid sparing effect, dimana
pada bedah mayor yang memerlukan
morfin sebagai analgesia pasca operasi,
kebutuhan morfin berkurang 20%.12
Nour AA juga menyebutkan
bahwa parasetamol intravena
mengurangi konsumsi Patient
Controlled Analgesia (PCA) morfin
74
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 4. Kejadian mual muntah pasca operasi
Kelompok Mual Muntah
Kontrol 2 2
Perlakuan 0 0
Tabel 5. Kadar Substansi P sebelum dan 12 jam setelah operasi
Kelompok SP pre SP post p (berpasangan)
Kontrol 9,58 ± 10,656 26,09 ± 22,506 <0,001†
Perlakuan 16,89 ± 31,395 36,58 ± 46,960 <0,001†
p (tidak berpasangan) 0,918§ 0,793§
Keterangan : § Mann-Whitney Test † Wilcoxon Test
Tabel 6. Peningkatan kadar substansi P setelah 12 jam pasca operasi
Kelompok Selisih SP p§
Kontrol 16,51 ± 14,972 0,540
Perlakuan 19,69 ± 28,625
Keterangan : § Mann-Whitney Test
hingga 30% pada pasien yang
menjalani abdomenoplasti 16 dan 33%
pada pasien bedah orthopedi mayor.11
Efek opioid sparing dikarenakan
pemberian parasetamol secara
preemptif analgesia, yaitu diberikan
sejak sebelum ada rangsang nyeri
karena insisi bedah, kemudian
dilanjutkan pemberiannya dengan
interval tertentu selama dan setelah
operasi. Dengan metode pemberian
seperti ini, maka proses nyeri karena
adanya input dari nosiseptor dapat
berkurang dan mencegah terjadinya
proses hipersensitivitas yang
menyebabkan nyeri akut berkembang
menjadi nyeri kronik.17,18
Bertolini et al. menemukan
adanya kesamaan antara parasetamol
dan kanabinoid. Parasetamol seperti
halnya kanabinoid diduga memiliki
efek antinosisepsi melalui jalur
serotoninergik desendens di spinal,
terutama melalui reseptor CB1.
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
75
Antinosisepsi yang diinduksi
kanabinoid tergantung pada pelepasan
peptida opioid dan interaksinya dengan
reseptor μ di otak dan κ di spinal.15
Kemungkinan mekanisme ini yang
menyebabkan parasetamol mampu
mengurangi dosis morfin sebagai
analgetik pasca operasi pada penelitian
ini.
Dengan berkurangnya jumlah
pemakaian morfin pasca operasi, dapat
mengurangi efek samping terkait opioid
seperti mual muntah. Pada penelitian
ini ditemukan efek samping berupa
mual muntah pada kelompok yang
tidak mendapat parasetamol intravena.
Penelitian Maund E et al
menunjukkan bahwa parasetamol dapat
mengurangi kejadian mual muntah
karena morfin pada bedah mayor,
namun tidak signifikan.19
Pada penelitian ini,kadar
substansi P sebelum dan setelah operasi
relatif sama antara kelompok
parasetamol dan plasebo. Selisih
peningkatan kadar substansi P juga
tidak berbeda bermakna antara
kelompok parasetamol dan plasebo.
Kadar substansi P pasca operasi
sedikit lebih tinggi pada kelompok
parasetamol kemungkinan karena lama
operasi pada kelompok parasetamol
lebih lama sekitar 15,79 menit
dibanding plasebo. Durasi trauma atau
stress operasi mempengaruhi kadar
substansi P dalam darah. Panjang insisi
kulit juga mempengaruhi kadar
substansi P karena derajat trauma
menjadi lebih tinggi. Hal ini sesuai
dengan penelitian Papp Aet al, yang
menyebutkan bahwa pelepasan
substansi P terjadi saat trauma jaringan
dan peningkatannya berhubungan
dengan lama dan besar kecilnya tingkat
trauma.20
Penghambatan peningkatan
kadar substansi P kemungkinan karena
efek parasetamol untuk mencegah
hiperalgesia di sentral maupun
sensitisasi di perifer. Substansi P
dihasilkan baik di sentral maupun
perifer oleh neuron sensorik.21,22
Substansi P menurunkan ambang batas
nosiseptif dan meningkatkan
eksitabilitas membran saraf, sehingga
menimbulkan hiperalgesia dan
allodinia. Parasetamol menghambat
jalur L-arginine-nitric oxide (NO) di
sentral. Jalur ini memproduksi NO yang
terkait erat dengan NMDA dan
substansi P.23
Penelitian ini menggunakan dosis
parasetamol 4000 mg/ hari, tidak
melebihi dosis toksik yang
76
Jurnal Anestesiologi Indonesia
direkomendasikan.24,25
Parasetamol memberikan efek
menghambat hanya hiperalgesia sentral
pada dosis 25 mg/kgBB, dan
menghambat hiperalgesia baik sentral
maupun perifer pada dosis 50-100 mg/
kgBB.26 Kemungkinan hal ini juga
yang menyebabkan selisih peningkatan
kadar substansi P serum tidak berbeda
bermakna antara kelompok kontrol dan
perlakuan. Untuk menghambat
hiperalgesia memerlukan dosis yang
besar dan dikhawatirkan melebihi dosis
yang direkomendasikan pada manusia.
SIMPULAN
Pemberian parasetamol intravena
perioperatif tidak terbukti menurunkan
kadar substansi P serum pada pasien
kraniotomi dan tidak terbukti
menghambat peningkatan kadar
substansi P serum pada pasien
kraniotomi. Akan tetapi, pemberian
parasetamol intravena perioperatif
mengurangi intensitas nyeri pasca
kraniotomi yang ditunjukkan dengan
nilai VAS yang lebih rendah dan
mengurangi kebutuhan morfin sebagai
analgesia pasca kraniotomi serta
mengurangi kejadian mual muntah
sebagai efek samping terkait morfin.
DAFTAR PUSTAKA
1. De Benedittis G, Lorenzetti A,
Migliore M, Spagnoli D, Tiberio
F, Villai RM. Postoperative Pain
In Neurosurgery: A Pilot Study In
Brain Surgery. Neurosurg 1996;
38: 466–70
2. Quiney N, Cooper R, Stoneham
M, Walters F. Pain After
Craniotomy. A Time For
Reappraisal? Br J Neurosurg
1996; 10: 295–299
3. Kidd BL, Urban LA. Mechanisms
Of Inflammatory Pain. Br J
Anaesth 2001; 87(1): 3-11
4. Dunbar PJ, Visco E, Lam AM.
Craniotomy Procedures Are
Associated With Less Analgesic
Requirements Than Other
Surgical Procedures. Anesth
Analg 1999;88:335–40
5. Sinatra RS, Jahr JS. Multimodal
Management Of Acute Pain: The
Role Of IV NSAIDS. Special
Report. Anesthesiology News
June 2011; 1-8
6. Bujalska M. Effects Of Nitric
Oxide Synthase Inhibition On
Antinociceptive Action Of
Different Doses Of
Acetaminophen. Polish J Pharma
2004;56:605-10
7. Maund E, Mcdaid C, Rice S,
Wright K, Jenkins B, Woolacott
N. Paracetamol And Selective
And Non-Selective Non-Steroidal
Anti-Inflammatory Drugs For
The Reduction In Morphine-
Related Side-Effects After Major
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
77
Surgery: A Systematic Review.
Br J Anaesth 2011; 106 (3): 292–
7
8. Duggan ST And Scott LJ.
Intravenous Paracetamol
(Acetaminophen).Drugs
2009;69:101-13
9. Savvina IA, Lebedeva AO,
Driagina NV. Preemptive
Analgesia with Paracetamol in
Pediatric Neurosurgical Patients.
Anesteziol Reanimatol 2010; 1: 4
-6
10. Wininger SJ, Miller H,
Minkowitz HS, Royal MA, Ang
RY, Breitmeyer JB, et al. A
randomized, double-blind,
placebo-controlled, multicenter,
repeat-dose study of two
intravenous acetaminophen
dosing regimens for the treatment
of pain after abdominal
laparoscopic surgery. Clinical
Therapeutics 2010; 32(14): 2348–
69
11. Sinatra RS, Jahr JS, Reynolds
LW, Viscusi ER, Groudine SB,
Payen-Champenois C. Efficacy
and safety of single and repeated
administration of 1 gram
intravenous acetaminophen
injection (paracetamol) for pain
management after major
orthopedic surgery.
Anesthesiology 2005;102(4): 822
–31
12. Aronoff DM, Oates JA, Boutaud
O. New Insights Into The
Mechanism Of Action Of
Acetaminophen: Its Clinical
Pharmacologic Characteristics
Reflect Its Inhibition Of The Two
Prostaglandin H2 Synthases. Clin
Pharmacol Ther. 2006 Jan;79
(1):9-19
13. Smith HS. Potential Analgesic
Mechanisms Of Acetaminophen.
Pain Physician 2009; 12:269-280
14. Malaise O, Bruyere O, Reginster
JY. Intravenous Paracetamol: A
Review Of Efficacy And Safety
In Therapeutic Use. Future
Neurology 2007; 22 (6): 673-88
15. Bertolini A, Ferrari A, Ottani A,
Guerzoni S, Tacchi R, Leone S.
Paracetamol: New Vistas Of An
Old Drug. CNS Drug Reviews
2006; 12 ( 3–4): 250–75
16. Nour AA. Study Of The Effect Of
Paracetamol In Reducing
Postoperative Morphine
Consumption By
PatientControlled Analgesia After
Abdomenoplasty. Alexandria
Journal of Anesthesia and
Intensive Care 2006; 9(3): 44-48
17. Gottschalk A, Smith DS. New
concepts in acute pain therapy:
preemptive analgesia. Am Fam
Physician 2001; 63(10): 1979-84
18. Woolf CK, Chong MS.
Preemptive analgesia-treating
postoperative pain by preventing
the establishment of central
sensitization. Anesth Analg 1993;
77(2): 362-367
78
Jurnal Anestesiologi Indonesia
19. Maund E, McDaid C, Rice S,
Wright K, Jenkins B, Woolacott
N. Paracetamol and selective and
non-selective non-steroidal anti-
inflammatory drugs for the
reduction in morphine-related
side-effects after major surgery:a
systematic review. Br J Anaesth
2011; 106 (3): 292–7
20. Papp A, Valtonen P. Tissue
substance P levels in acute
experimental burns. Burns 2006;
32: 842–5
21. Substance P. Wikipedia
[internet]. 2013 May 8 [cited
2013 June 16]. Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/
Substance_P
22. Harrison S, Geppeti P. Substance
P. Int J Biochem Cell Biol 2001;
33: 555-76
23. Mattia C, Coluzzi F. What
Anesthesiologists Should Know
About Paracetamol
(Acetaminophen). Minerva
Anesth 2009; 75(11): 644-53
24. OFIRMEV (acetaminophen)
injection prescribing information.
San Diego, CA: Cadence
Pharmaceuticals, Inc.; November
2010. http://www.ofirmev.com/
pdf/OFIRMEV
PrescribingInformation.pdf.
Diakses 20 Juni 2013
25. U.S. Food and Drug
Administration. Acetaminophen
overdose and liver injury-
background and options for
reducing injury; 22 Mei 2009.
http://www.fda.gov/ohrms/
dockets/ac/09/briefing/2009–
4429b1–01-FDA.pdf. Diakses 20
Juni 2013
26. Bianchi M, Panerai AE. The dose
-related effects of paracetamol on
hyperalgesia and nociception in
the rat. Br J Pharmacol 1996;
117: 130-32
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
79
PENELITIAN
Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur
Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria
Syafri Kamsul Arif*, Iwan Setiawan*
ABSTRACT
Background: Spinal anesthesia is a regional anesthetic technique most commonly
used in cesarean section procedures. This technique is a simple technique, also has a
strong block quality even with volume and small doses and side effects are minimal
when compared with general anesthesia. The effect usually appears after spinal
anesthesia, among others hypotension. Incidence of hypotension after spinal
anesthesia reach 30-80% in cesarean section deliveries
Objective: To determine whether spinal anesthesia injection slower can reduce the
incidence of hypotension in cesarean section without affecting the onset of anesthesia
blocks.
Methods: The research used single blind randomized method with 48 samples who
fulfilled the inclusion criteria. The samples were divided into two groups, fast and slow
group. Spinal anesthesia was given using hyperbaric bupivacaine 0,5% of 10 mg and
fentanyl 25 mcg. The fast group received spinal anesthesia injection with a rate 0,4
mL/sec, while the slow group received spinal anesthesia injection with a rate of 0,2
mL/sec. Hypotension incidence, onset block and the incidence of post spinal anesthesia
side effects were recorded and analyzed statistically.
Results: Aanesthesia injection with a rate of 0,2 mL/sec can reduce the incidence of
hypotension after spinal anesthesia without reducing the onset and block height.
Conclusion: Spinal anesthesia with a speed of 0.2 mL / can reduce the incidence of
hypotension after spinal anesthesia without affecting the onset and the block height.
Keywords : Spinal anesthesia, hypotension, pregnant mothers, injection rate.
ABSTRAK
Latar belakang: Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling
sering digunakan pada prosedur seksio sesaria, selain karena teknik yang sederhana,
* Bagian Anestesiologi, Perawatan intensif dan Manajemen nyeri, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar
Korespondensi/ Correspondence: [email protected]
A Comparison Between The Effect Of Injection Rate Of 0,4 ml/sec And 0,2
ml/sec In Spinal Anesthesia Procedure On Hypotension Incidence In Sectio
Caesaria
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014
80
Jurnal Anestesiologi Indonesia
juga memiliki kualitas blok yang kuat walaupun dengan volume dan dosis yang kecil, efek
samping yang minimal bila dibandingkan dengan anestesi umum. Efek yang biasanya
muncul pasca anestesi spinal antara lain hipotensi. Insiden hipotensi pasca anestesi
spinal mencapai 30-80% pada persalinan seksio sesaria.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat
mengurangi insiden hipotensi pada seksio sesaria tanpa memengaruhi onset blok
anestesi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal, sampel penelitian
sebanyak 48 orang yang memenuhi criteria inklusi. Sampel dipilih secara acak dan
dibagi ke dalam dua kelompok. Anestesi spinal menggunakan bupivakain 0,5% 10mg dan
fentanyl 25mcg, kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,4 mL/
dtk, sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/
dtk. Insiden hipotensi, onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat
dan dilakukan analisis statistik.
Hasil: Penelitian ini mendapatkan Injeksi anestesi dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat
mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi
blok.
Kesimpulan: Anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat mengurangi insiden
hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi blok.
Kata kunci: Anestesi spinal, hipotensi, ibuhamil, kecepatan injeksi.
PENDAHULUAN
Anestesi spinal merupakan teknik
anestesi regional yang paling sering
digunakan pada prosedur seksio sesaria,
selain karena teknik yang sederhana, juga
memiliki kualitas blok yang kuat walaupun
dengan volume dan dosis yang kecil, efek
samping yang minimal bila dibandingkan
dengan anestesi umum, walaupun memiliki
efek samping yang minimal. Efek yang
biasanya muncul pasca anestesi spinal
antara lain hipotensi, spinal tinggi sampai
dengan total spinal, hal ini dihubungkan
dengan penyebaran obat di ruang
subarachnoid, yang ditentukan oleh multi
faktor, seperti kondisi fisik pasien itu
sendiri atau karakteristik dari anestetik
lokal, juga dengan teknik injeksi yang
digunakan.1
Hipotensi pasca anestesi spinal
(AS) merupakan insiden yang paling
sering muncul, kurang lebih 15 – 33%
pada setiap injeksi AS.2 Kasus
pembedahan yang berhubungan dengan
hipotensi, tertinggi ditemukan pada
bagian obstetri dengan 11,8%, bila
dibandingkan dengan bedah umum 9,6%
dan hipotensi akibat trauma 4,8%, insiden
hipotensi maternal pada seksio sesaria
akibat anestesi spinal mencapai 83,6%
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
81
sedangkan pada prosedur anestesi
epidural 16,4% .3
Berbagai macam metode untuk
mencegah atau mengurangi insiden
hipotensi pasca anestesi spinal, telah
dilakukan beberapa penelitian kurang
lebih tiga dekade dengan hasil yang
bervariasi. Chinacoti & Tritrakarn
(2007), mencoba menurunkan insiden
hipotensi dengan cara mengurangi dosis
anestesi lokal,4 Mercier & Fischer
(2013), menggunakan teknik kombinasi
vasopressor dan koloading
hydroxyethylstarch merupakan metode
yang terbaik untuk menurunkan insiden
hipotensi pasca AS.2 Mirea &
Ungureanu(2013), kemudian
menggabungkan teknik koloading Hes
dan injeksi AS yang lambat
menurunkan insiden hipotensi berat dan
penggunaan vasopressor pada geriatri.5
Penelitian tentang kecepatan
injeksi anestesi spinal telah dilakukan
kurang lebih dua dekade, juga dengan
hasil bervariatif. Casati dkk (1998),
membuat kesimpulan bahwa teknik
injeksi anestesi spinal yang sangat
lambat tidak memberikan keuntungan
secara klinis pada prosedur anestesi
spinal unilateral.6 Anderson & Brydon
(2001), menggunakan dua kecepatan 10
detik dan 3 menit memberikan hasil
yang berbeda, dimana injeksi yang
lambat menggunakan bupivakain
tunggal memberikan hasil onset dan
pemulihan obat yang lebih cepat.7
Singh dkk (2007), melakukan
penelitian tentang perbedaan kecepatan
injeksi, dengan kecepatan >4 detik dan
>40 detik menggunakan bupivacaine
0,75% ditambahkan morfin 200 mcg,
didapatkan hasil bahwa injeksi AS yang
cepat dengan bupivakain hiperbarik
tidak mempengaruhi penyebaran obat
anestesi lokal, dan tidak ada perbedaan
bermakna terhadap insiden hipotensi
dan mual muntah.8 Prakash dkk (2010),
menggunakan kecepatan injeksi 0,38
mL/dtk dan 0,05 mL/dtk dan mendapat
kesimpulan bahwa kecepatan injeksi
AS yang berbeda pada pasien geriatri
yang menjalani TUR-P tidak memiliki
perbedaan dalam hal karakteristik
blok.9
Dengan adanya hasil dan efek
yang bervariasi dari berbagai
penelitian, penelitian ini bertujuan
melihat injeksi anestesi spinal yang
lebih lambat dapat mengurangi insiden
hipotensi pada seksio sesaria tanpa
memengaruhi onset blok anestesi.
METODE
Penelitian ini uji klinis acak dan
tersamar tunggal, dilakukan dengan
mengambil populasi ibu hamil usia 18-
40 tahun dengan IMT 18-40 kg/
m2kategori pasien ASA PS 1-2 yang
direncanakan persalinan seksio sesaria.
Dari total 90 populasi diambil 52 yang
masuk dalam criteria inklusi dipilih
secara counsecutive random sampling.
8 sampel di keluarkan dari penelitian, 2
karena obat anestetik local tidak
adekuat, 6 sampel dikeluarkan Karena
tidak sesuai kecepatan injeksi, tiap
82
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kelompok masing-masing 24 sampel,
menggunakan anestestik local
Bupivacain 0,5% 10 mg ditambahkan
Fentanyl 25 mcg.
Sampel dibagi dalam dua
kelompok, yang pertama yang
mendapat perlakukan di injeksi anestesi
spinal dengan kecepatan 0,4 mL/dtk
selanjutnya disebut kelompok IC.
Sedangkan kelompok yang kedua
mendapatkan perlakuan injeksi anestesi
spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk
selanjutnya disebut kelompok IL.
Pasien di persiapkan terlebih
dahulu dengan premedikasi
ondansentron 4 mg dan Ranitidin 50
mg, Pada saat tiba di kamar operasi,
pasien dipasang alat untuk monitor
tanda vital yang akan menjalani operasi
seksio sesaria, diberikan preloading
dengan larutan kristaloid ringer laktat
10 – 15 ml/kgbb selama 15 menit
sebelum injeksi anestesi spinal,
kemudian tanda vital diukur sebelum
pasien di posisikan untuk left lateral
decubitus selanjutnya disebut T0.
Anestesi spinal dilakukan
dengan menggunakan jarum spinal
(Spinocan®)no.25G yang di insersi
padacelah vertebra lumbal 3-4
menggunakan jarum disposible 3cc
dengan pasien posisi left lateral
decubitus (LLD).
Kelompok IC menerima bupivakain
hiperbarik 10 mg ditambahkan Fentanyl
25 µg dengan kecepatan injeksi 0.4 ml/
detik dengan total waktu injeksi 6 detik,
sedangkan kelompok IL menerima
bupivakain hiperbarik 10 mg
ditambahkan Fentanyl 25 µg dengan
kecepatan injeksi 0.2 ml/detik dengan
total waktu injeksi 12 detik, di ukur
dengan menggunakan alat pencatat
waktu.
Setelah injeksi, pasien
diposisikan supine dengan bantal di
bawah kepala dan di berikan O2 lewat
nasal kanul 3 L/menit. Akhir injeksi
anestetik local adalah waktu untuk
mengukur ketinggian blok dinilai
menggunakan tes “pinprick”. Pada
garis midklavikular kiri dan kanan
observasi ketinggian blok dilakukan
setiap menit sampai dengan didapatkan
blok sensoris menggunakan tes pinprick
setinggi thorakal 6 dan blok motorik
dengan skala bromage 4, selanjutnya
operasi dapat dimulai.
Tekanan darah sistolik, tekanan
darah diastolic dan tekanan arteri rerata
di ukursetiapmenitsampaidengan 15
menitpertama, setelahitusetiap lima
menitsampai 35 menit atau sampai
selesai operasi. TD diukur dengan
metode non invasive. Insiden hipotensi
dicatat apabila tekanan darah turun
20% dari T0 atau TAR <60 mmHg,
dicatat juga nilai tekanan darah
terendah selama pengukuran sejak T0,
bila terjadi hipotensi diberikan cairan
kristaloid secara koloading disertai
dengan injeksi efedrin 5-10mg setiap
menit sampai tekanan darah didapatkan
dalam batas normal. Efek samping lain
yang muncul selama periode
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
83
pengukuran di catat dan dilakukan
analisastatistik, insiden hipotensi dan
efek samping lain dianalisa dengan uji
chi-square, onset blokanestesi spinal
dianalisa dengan ujiindependent-t
Analisa data menggunakan
SPSS 22 untuk Macintosh,
Karakteristik sampel, Karakteriatik
hemodinamik pascaanestesi spinal dan
karakteristik blok anestesi spinal di uji
menggunakan ujii ndependent-t.
Insiden hipotensi dan efek samping lain
selama penelitian di uji menggunakan
ujiChi-Square.Data ditampilkan dalam
bentuk table dan narasi.
HASIL
Distribusi sampel menurut
umur, gestasi, berat badan, tinggi
badan, IMT, TDS T0, TDD T0 dan
TAR T0 di uji normalitas dengan 1-s
Kolmogorov-smirnov test dan
didapatkan distribusi sampel normal,
selanjutnya dilakukan uji perbandingan
menggunakan independet t-test, hasil
ditampilkan dalam tabel 1.
Dari hasil uji statistik pada
karakteristik sampel didapatkan tidak
ada perbedaan bermakna antara kedua
kelompok, dengan ini dapat
disimpulkan bahwa distribusi data
homogen antara kedua kelompok.
Karakteristik hemodinamik
dinilai satu menit setelah injeksi
anestesi spinal, dihitung setiap menit
selama 15 menit pertama, kemudian
setiap 5 menit sampai menit ke 35, hasil
perbandingan karakteristik
hemodinamik antara kedua kelompok
ditampilkan dalam tabel 2.
Tekanan darah dan tekanan
arteri rerata terendah rata-rata antara
kedua kelompok dinilai sejak T1
kemudian dibandingkan antara kedua
kelompok. Pada TDS didapatkan hasil
pada kelompok IC 79,13 + 15,04 dan
kelompok IL 94,67 + 12,15 dengan
nilai P=0,000, didapatkan perbedaan
bermakna antara kedua kelompok.
Penilaian TDD pada kedua kelompok
didapatkan hasil pada kelompok IC
45,08 + 7,35 dan kelompok IL 50,67 +
8,50 dengan nilai P=0,019, didapatkan
perbedaan bermakna antara kedua
kelompok. Penilaian TAR pada kedua
kelompok didapatkan hasil pada
kelompok IC 58,83 + 11,30 dan
kelompok IL 66,63 + 10,19 dengan
nilai P=0,016, ditemukan perbedaan
bermakna antara kedua kelompok.
Waktu rata-rata terjadinya hipotensi
pertama dihitung satu menit sejak
anestesi spinal, terjadinya insiden
hipotensi awal pada kedua kelompok
dibandingkan, pada kelompok IC 3,95
+ 2,09 dan pada kelompok IL 3,89 +
1,97 dengan nilai P=0,939, tidak
didapatkan perbedaan bermakna dalam
hal menit terjadinya hipotensi pertama
antara kedua kelompok.
Total dan nilai rata-rata
penggunaan efedrin pada kedua
kelompok didapatkan pada kelompok
IC 430 mg (17,92 + 10,72), sedangkan
pada kelompok IL 135 mg (5,63 +
8,76) dengan nilai p=0,000. Didapatkan
84
Jurnal Anestesiologi Indonesia
perbedaan bermakna kebutuhan efedrin
rata-rata pada IC dan IL, dapat
disimpulkan bahwa injeksi anestesi
spinal yang lebih lambat dapat
mengurangi kebutuhan efedrin selama
pembedahan.
Insiden hipotensi didapatkan
pada kedua kelompok, pada kelompok
IC didapatkan insiden hipotensi 21 dari
24 sampel, sedangkan pada kelompok
IL didapatkan 9 dari 24 sampel, dan
berdasarkan hasil uji statistik chi
square antara kedua kelompok
didapatkan hasil kelompok IC 87,5%,
kelompok IL 37,5% dengan P=0,001
didapatkan hasil yang berbeda
bermakna antara kedua kelompok, hasil
ditampilkan dalam tabel 3.
Efek samping yang muncul
antara kedua kelompok didapatkan
delapan kejadian efek samping pada
kedua kelompok, pada kelompok IC
didapatkan 25% kejadian efek samping,
sedangkan pada kelompok IL 8,3%
kejadian efek samping, berdasarkan
jumlah insiden efek samping yang
muncul antara kedua kelompok tidak
ditemukan perbedaan bermakna dengan
nilai P=0.245. Berdasarkan insiden
mual muntah pada kedua kelompok
tidak ditemukan perbedaan bermakna
antara kedua kelompok. Efek samping
depresi nafas pada kedua kelompok
juga tidak ditemukan perbedaan
bermakna dengan nilai p=0,609.
Karakteristik blok anestesi
spinal ditampilkan dalam tabel 4 untuk
membandingkan onset obat anestesi
spinal antara kedua kelompok, onset
obat dinilai dengan tes pinprick untuk
menilai blok sensoris dengan target
setinggi thorakal 6 dan skala bromage
empat untuk menilai blok motorik,
kemudian onset blok motorik dan blok
sensorik dinilai terpisah untuk melihat
perbedaan onset efek dari perbedaan
kecepatan injeksi.
Tidak ada perbedaan bermakna
antara kedua kelompok dalam hal onset
tercapainya blok anestesi spinal, baik
dalam hal blok sensoris dan blok
motoris, onset blok antara kedua
kelompok dapat dicapai pada menit 3-4
setelah injeksi anestesi spinal.
Berdasarkan hasil yang didapatkan,
dapat disimpulkan bahwa kecepatan
injeksi anestesi spinal tidak
berpengaruh terhadap onset blok
anestesi spinal.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan
bahwa kecepatan injeksi yang lebih
lambat dapat mengurangi kejadian
hipotensi pasca anestesi spinal, tanpa
memengaruhi onset dan tinggi blok
anestesi spinal.Hasil yang bervariasi
antara beberapa penelitian dapat
disebabkan karena perbedaan metode
penelitian, kosentrasi anestetik lokal
yang digunakan, posisi pasien saat
injeksi, lokasi insersi anestesi spinal,
perbedaan kecepatan pada tiap uji klinis
dan juga karakteristik populasi.
Kecepatan injeksi bervariasi mulai dari
0,05 mL/dtk sampai dengan > 4 detik,
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
85
beberapa peneliti menggunakan syringe
pump untuk akurasi ketepatan injeksi,
berbeda dengan penelitian ini kecepatan
injeksi di ukur menggunakan stopwatch
dengan posisi injeksi LLD.
Penelitian ini dilakukan pada
wanita hamil, dimana wanita hamil
dihubungkan dengan blok sensoris yang
lebih tinggi setelah injeksi dengan
bupivakain hiperbarik, faktor yang
dapat mempengaruhi antara lain,
kurvatur tulang belakang, peningkatan
tekanan intra abdomen, melebarnya
vena – vena di ruang epidural, dan
berkurangnya ruang dalam daerah
subarachnoid menjadi lebih sempit,
juga dapat dihubungkan dengan
peningkatan sensitifitas neuronal akibat
meningkatnya hormon progesteron.
Singh et al(2007),
menyimpulkan bahwa kecepatan injeksi
yang berbeda tetap memberikan efek
hipotensi dengan efek samping mual
dan muntah8, berbeda dengan penelitian
ini, kecepatan injeksi yang lebih lambat
dapat mengurangi kejadian hipotensi,
hal ini dapat disebabkan karena
perbedaan konsentrasi anestetik lokal
yang digunakan pada penelitian Singh
menggunakan bupivakain hiperbarik
0,75% sedangkan pada penelitian ini
menggunakan bupivakain hiperbarik
0,5%, dimana konsentrasi anestetik
lokal merupakan faktor major yang
memengaruhi sebaran di ruang
subarachnoid.
Kang dkk (2012), melakukan uji
klinis mengenai kecepatan injeksi
anestesi spinal antara dua kelompok
menggunakan bupivakain 0,5% 9 mg
dengan fentanyl 10 mcg dengan
kecepatan 0,1 mL/dtk dan 0,02 mL/dtk
pada wanita hamil, di dapatkan
kecepatan injeksi yang lebih lambat
tidak berpengaruh terhadap onset dan
level blok sensoris, dan juga tidak
mengurangi insiden hipotensi, tapi
menunda onset terjadinya hipotensi10,
hal ini berbeda dengan hasil penelitian
ini dimana insiden hipotensi dapat
berkurang dengan injeksi lebih lambat,
hal ini mungkin dikarenakan metode
yang berbeda dalam hal kriteria
objektif, dimana kriteria hipotensi dari
Kang ditentukan apabila TAR <100
mmHg sedangkan pada penelitian ini
kriteria hipotensi apabila TAR <
60mmHg.
Casati dkk (1998),
memperlihatkan onset blok yang
dicapai setelah injeksi hingga mencapai
thorakal enam membutuhkan waktu
lima sampai tujuh menit6, sejalan
dengan penelitian ini dalam hal
tercapainya onset tiga sampai empat
menit, hal ini sejalan dengan beberapa
penelitian sebelumnya bahwa,
kecepatan injeksi anestesi spinal lambat
ataupun cepat tidak berpengaruh
terhadap sebaran anestetik lokal di
ruang subarachnoid.
Hanazaki dkk (1997),
melakukan penelitian tentang kecepatan
injeksi dan efek samping yang muncul
86
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pasca anestesi spinal, memperlihatkan
efek injeksi yang cepat dapat mencapai
onset blok kurang dari 5 menit, namun
efek yang tidak nyaman dapat muncul
seperti sesak nafas11, sejalan dengan
penelitian ini bahwa insiden efek
samping lebih banyak ditemukan pada
kelompok injeksi yang lebih cepat,
walaupun secara statistik tidak berbeda
bermakna, hal ini dapat disebabkan
karena efek injeksi yang cepat dapat
meningkatan turbulensi diruang
subarachnoid sehingga meningkatkan
sebaran obat ke arah chepalad, apalagi
jika pada ibu hamil yang mengalami
perubahan fisiologis yang berpengaruh
terhadap sebaran anestetik lokal di
ruang subarachnoid, seperti tekanan
intraabdomen yang meningkat karena
adanya janin, ruang intratekal yang
lebih sempit dan sensitifitas saraf yang
meningkat sehingga resiko terjadinya
hipotensi lebih tinggi.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini
menjawab hipotesa awal, yaitu, injeksi
anestesi spinal yang lebih lambat dapat
mengurangi insiden hipotensi tanpa
mempengaruhi onset dan tinggi blok.
Faktor yang dapat menjadi perancu
hasil dari penelitian ini berupa, adanya
resiko perdarahan yang muncul di 5-10
menit awal operasi yang dapat
menyebabkan terjadinya hipotensi
sehingga mengaburkan hasil
pengukuran.
Tabel 1. Karakteristik sampel
Variabel (Mean+SD) Kelompok P
IC (n=24) IL (n=24)
Umur (tahun) 28,38 + 5,74 30,88 + 7,44 0,199
Gestasi (minggu)
Beratbadan (kg)
39,08 + 1,44 38,88 + 1,85 0,665
60,83 + 8,39 62,88 + 10,26 0,454
TinggiBadan (cm) 155,75 + 5,45 156,79 + 4,42 0,471
IMT (kg/m2) 25,01 + 2,51 25,48 + 3,24 0,581
TDS T0 (mmHg) 124,67 + 7,26 123,75 + 8,26 0,685
TDD T0 (mmHg) 80,04 + 7,14 79,04 + 7,27 0,633
TAR T0 (mmHg) 94,87 + 6,05 93,92 + 6,75 0,607
Data ditampilkan dalam rata-rata + SD, uji normalitas menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov test, uji distri-
busi sampel antara kedua kelompok menggunakan independent t-test, berbeda bermakna jika P<0,05
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
87
Tabel 2. Karakteristik hemodinamik setelah injeksi anestesi spinal
Variabel (Mean+SD) Kelompok P
IC (n=24) IL (n=24)
Nilai SBP terendah (mmHg) 79,13 + 15,04 94,67 + 12,15 0,000*
DBP terendah (mmHg) 45,08 + 7,35 50,67 + 8,50 0,019*
TAR terendah (mmHg) 58,83 + 11,30 66,63 + 10,19 0,016*
Waktuygdibutuhkanuntuk episode
hipotensipertama (mnt)
3,95 + 2,09 3,89 + 1,97 0,939
Total dan Rata - rata
penggunaanefedrin (mg)
430 ( 17,92+ 10,72 ) 135 ( 5,63+ 8,76 ) 0,000*
Data ditampilkan dalam rata-rata +SD. Uji independent-t, berbeda bermakna bila P<0.05 *= ditemukan perbe-
daan bermakna antara kedua kelompok dalam hal rata-rata +SD TDS, TDD, TAR, Penggunaan efedrin rata-rata.
Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok menit terjadinya hipotensi, dan insiden mual muntah
dan depresi nafas.
Tabel 3. Insiden hipotensi dan efek samping lain
Variabel Kelompok P
IC (n=24) IL (n=24)
Insidenhipotensi (n) 21 (87,5%) 9 (37,5%) 0,001*
Efeksamping (n) 6 (25%) 2 (8,3%) 0,245
Nausea (n) 3 (12,5%) 1 (4,1%) 0,609
Depresinafas(n) 3 (12,5%) 1 (4,1%) 0,609
Data ditampilkan dalam angka dan persentasi, menggunakan uji chi-square, bermakna bila p=<0,05. *berbeda
bermakna dalam hal insiden hipotensi antara kedua kelompok
Tabel 4. Karakteristik blok anestesi spinal
Variabel (Mean + SD) Kelompok P
IC IL
Waktu yang dibutuhkanuntukmencapai
onset (mnt)
2,96 + 1,73 3,62 + 1,66 0,180
waktuygdibutuhkanbloksensorismen-
capaithorakal 6 (mnt)
2,75 + 1,80 3,62 + 1,66 0,087
Waktuyg di butuhkanblokmotorikmen-
capaiskalabromage 4 (mnt)
2,21 + 1,32 2,71 + 1,20 0,176
Data ditampilkan dalam rata-rata +SD, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai onset keseluruhan, waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai thorakal 6 dan skala bromage 4 di uji dengan independent t-test, bermakna bila p=<0,05
88
Jurnal Anestesiologi Indonesia
7. Anderson, L& Brydon,C. Rate of
injection trough whitacre needles
affects distribution of spinal anes-
thesia, Brit J Anaesth, 2001. 86
(2):245-8.
8. Singh SI, Morley-Forster PK,
Shamsah M, Butler R. Influence
of injection rate of hyperbaric bu-
pivacaine on spinal block in par-
turients: a randomizedtrial. Can J
Anesth, 2007. 54(4):290-5.
9. Prakash, S & Barthiga, V. The
effect of injection speed on the
spinal block characteristic of hy-
perbaric bupivacaine 0,5% in el-
derly. J Anesth., 2010. 24(6);77-
81
10. Kang, YI, Bang EC, Shin DW,
Kweon DE, Kim SY, Lee HS,
dkk. Effect of injection speed of
local anesthetic on hypotension
during spinal anesthesia for cesar-
ean section. Ewha Med J, 2012.
35(2):83 - 8.
11. Hanazaki, M.,et al. (1997). Effect
of injection speed on sensoris
blockade in spinal anesthesia with
0,5% hyperbaric tetracaine. Ma-
sui J, 1997. 46(6):777 - 82.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kee N. Prevention of maternal
hypotension after regional anaes-
thesia for caesarean section. Cur-
rent opinion in anaesthesiology,
2010. 23(3):304-9.
2. Mercier, FJ & Fischer, C. Mater-
nal hypotension during spinal an-
esthesia. Minerva Anesth, 2013.
79(1):62 - 73.
3. Metzger, A.,et al. Maternal hypo-
tension during elective cesarean
section and short term neonatal
outcome, 2010. Am J Obstet Gy-
necol. 202:56.
4. Chinocati, T & Tritrakarn, T. Pro-
spective study of hypotension and
bradicardia during spinal anesthe-
sia with bupivacaine : Incidence
with risk factor. J Med Assoc
Thai, 2007. 90(3):492-501
5. Mirea, LE &Ungureanu, R. Effect
of injection speed and colloid
loading on hypotension associat-
ed with spinal anesthesia for or-
thopedic surgery in elderly pa-
tient. Euro J Anaesth, 2013.
30:133-4
6. Casati A, Fanelli G, Cappelleri G,
et al. Does speed of intratheca
injection affect the distribution of
0.5% hyperbaric bupivacaine?Br
J Anaesth1998;81: 355–7
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
89
PENELITIAN
Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap
Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi
Nur Asdarina *, Syamsul Hilal Salam*, A. Husni Tanra*
ABSTRACT
Background: The transversus abdominis plane block is a safe, easy, and effective
technique to provide the postoperative analgesia in surgery involving the anterior
abdominal wall.
Objective: To assess the effect of TAP block landmark technique on the analgesic
requirement postoperative herniorrhaphy.
Methods: This is a single blind clinical trial. This study was conducted on 44 male
patients, aged between 18 and 60 years, with the ASA physical status of I-II, and the
IMT of 18-24, and undergoing the elective herniorrhaphy surgery with the spinal
anesthesia. The subjects were divided in two groups: the TAP group (n = 22) who
received the TAP block of 20 ml of bupivacaine 0.25 % plus the epinephrine of
1:200.000 after completing the surgery, and the control group (n = 22) who did not
receive the TAP block. All the patients received 15 mg of meloxicam suppositories and
tramadol of 0.1 mg/kg via continous infusion at the end of the surgery. The pain
assessment was done using the Numeric Rating Scale ( NRS ), and when the NRS
reached 4, the fentanyl 0.5 mcg/kg was given as a rescue. The first rescue time and the
total fentanyl requirement for 24 hours after the surgery was recorded.
Results:. The research results revealed that the first rescue time was longer in the TAP
group compared to the control group (17.81 ± 7.62 compared to 9.15 ± 8.12 hours;
p<0.0001). The total fentanyl required in 24 hour period was less in the TAP group
compared to the control group (9.21 ± 13.59 vs. 30.88 ± 20.39 mcg; p=0.02).
Conclusion: The TAP block as a component of a multimodal analgesic regimen
provides a longer analgesia compared to control and has a high opioid sparing effect.
Keywords:herniorrhaphy, landmark technique, TAP block .
ABSTRAK
Latar Belakang: Blok transversus abdominis plane (TAP) adalah teknik yang aman,
mudah, dan efektif untuk memberikan analgesia pascabedah pada operasi yang
* Bagian Anestesi, Terapi Intensif, dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RS dr. Wahidin Sudiro-husodo Makassar
Korespondensi/Correspondence: [email protected]
The Effect of Transversus Abdominis Plane Block Landmark Technique on
the Analgesic Requirement Postoperative Herniorrhaphy
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014
90
Jurnal Anestesiologi Indonesia
melibatkan dinding anterior abdomen.
Obyektif: Menilai efek blok TAP teknik landmark terhadap kebutuhan analgetik
pascabedah herniorafi.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal. Penelitian dilakukan pada
44 pasien laki-laki, usia 18-60 tahun, status fisik ASA I-II, dan IMT 18-24 yang menjalani
operasi herniorafi elektif dengan anestesi spinal. Pasien dibagi menjadi kelompok TAP
(n=22) yang mendapatkan blok TAP dengan bupivakain 0,25% 20 ml ditambahkan
epinefrin 1:200.000 setelah operasi selesai; dan kelompok kontrol (n=22) yang tidak
mendapatkan blok TAP. Semua pasien diberikan meloksikam suppositoria 15 mg dan
tramadol 0,1 mg/kgBB/infus kontinyu pada akhir operasi. Penilaian skala nyeri
menggunakan Numeric Rating Scale (NRS), bila NRS mencapai 4 diberikan rescue
fentanil 0,5 mcg/kgBB; waktu rescue pertama dan kebutuhan total fentanil selama 24 jam
pascabedah dicatat.
Hasil: Waktu rescue pertama lebih panjang pada kelompok TAP dibandingkan dengan
kelompok kontrol (17,81 ± 7,62 berbanding 9,15 ± 8,12 jam; p<0,001). Kebutuhan total
fentanil dalam 24 jam lebih sedikit pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok
kontrol (9,21 ± 13,59 berbanding 30,88 ± 20,39 mcg; p=0,02).
Simpulan: Sehingga dari penelitian ini disimpulkan bahwa blok TAP sebagai komponen
rejimen analgesia multimodal memberikan analgesia yang efektif dengan durasi
analgesia lebih panjang dibanding kontrol dan memiliki opioid sparing effect yang tinggi.
Kata Kunci: Blok TAP, herniorafi, teknik landmark
PENDAHULUAN
Operasi koreksi hernia inguinalis
merupakan salah satu operasi yang ser-
ing dilakukan oleh ahli bedah.1 Nyeri
setelah herniorafi inguinalis dapat se-
dang sampai berat. Hal ini memperlam-
bat pemulihan pasien dan
mempengaruhi lama perawatan di ru-
mah sakit.2 Nyeri kronik setelah her-
niorafi adalah masalah serius dan jarang
dilaporkan. Tingginya skor nyeri pada
hari-hari pertama setelah herniorafi di-
hubungkan dengan kejadian nyeri
kronik. Terapi nyeri yang tidak adekuat
merupakan faktor resiko terjadinya
nyeri kronik setelah operasi hernia. In-
sidens nyeri kronik bervariasi dari 0
sampai 54%.Faktor resiko pascabedah
meliputi intensitas nyeri dan akibat pe-
nanganan analgesic yang tidak ad-
ekuat.3 Mencapai kontrol nyeri yang
ideal masih merupakan tantangan kare-
na analgesia pascabedah yang tidak ad-
ekuat merupakan penyebab tersering
ketidakpuasan pasien. Analgesia pas-
cabedah yang efektif penting untuk ken-
yamanan pasien, mencegah komplikasi
respirasi dan kardiovaskuler, dan mem-
bantu mobilisasi dini setelah operasi.4
Nyeri pascabedah telah dikelola me-
lalui berbagai cara dengan efek samping
masing-masing. Secara historis, opioid
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
91
merupakan analgesik yang paling ser-
ing digunakan. Akan tetapi, opioid ser-
ing dihubungkan dengan efek samping
yang tergantung dosis, antara lain mual,
muntah, pruritus, sedasi, dan depresi
nafas. Obat antiinflamasi nonsteroid
tidak menyebabkan sedasi dan depresi
nafas, akan tetapi dihubungkan dengan
efek samping serius seperti perdarahan
saluran cerna dan gangguan ginjal. Pa-
da dasarnya teknik analgesik harus
aman, efektif dan tidak mempengaruhi
kemampuan untuk bergerak. Analgesia
multimodal kemungkinan besar dapat
mencapai tujuan ini. Penggunaan obat
anti-inflamasi nonsteroid dan teknik
anestesi lokal dapat bermanfaat untuk
mengurangi kebutuhan opioid.4
Komponen bermakna nyeri setelah
operasi abdomen berasal dari insisi
dinding abdomen. Blok transversus ab-
dominis plane (TAP) adalah pendekatan
melalui trigonum lumbal Petit untuk
menghambat aferen saraf sensorik dind-
ing abdomen. Untuk mencapai efek
anestetik pada luka operasi di dinding
abdomen, sejumlah besar anestetik lo-
kal diinjeksikan ke dalam ruang TAP;
suatu ruang anatomis di antara otot ob-
likus internus dan transversus abdomi-
nis. Blok TAP bekerja dengan meng-
hambat persarafan torakolumbal (T6-
L1) yang menginervasi kulit, otot, dan
sebagian peritoneum pada dinding ante-
rior abdomen.5 Distribusi langsung dari
tempat injeksi ke saraf-saraf dinding
anterior abdomen memungkinkan
kontrol nyeri lokal dengan efek
samping sistemik minimal. Blok ini
telah digunakan untuk kontrol nyeri
setelah operasi ginekologik dan abdo-
men, termasuk seksio sesarea, operasi
usus, kolesistektomi, atau prostatektomi
retropubik.6
Blok TAP dengan teknik landmark
dapat memberi efek blok sensorik dari
T7 sampai L1.Blok TAP bilateral yang
dilakukan pada seksio sesarea dan
reseksi usus besar mengurangi nyeri
pascabedah dan mengurangi dosis
morfin yang diberikan hingga 50%.7
Blok TAP unilateral dengan cara yang
sama pada apendektomi terbuka
menunjukkan bahwa dosis morfin dapat
dikurangi hingga 50%.8
Blok TAP secara khusus men-
ganestesi persarafan somatik dinding
abdomen bawah, blok ini dapat
digunakan untuk analgesia pascabedah
pada operasi repair hernia inguinalis.2
Penelitian Kim et al pada blok TAP
dengan panduan ultrasonografi untuk
operasi laparoskopi repair hernia
ekstraperitoneal menjumpai bahwa skor
nyeri saat batuk dan istirahat serta
kebutuhan fentanil berkurang pada ke-
lompok yang mendapatkan blok TAP
dibanding kelompok kontrol.2 Salman
et al melakukan penelitian mengenai
blokTAP dengan teknik semiblind pada
pasien yang menjalani operasi repair
hernia inguinalis dan mendapatkan bah-
wa blok TAP mengurangi skor nyeri,
konsumsi analgetik dan kebutuhan
morfin 24 jam pascabedah.Blok TAP
mengurangi nyeri hingga 24 jam pas-
cabedah repair hernia. Efek farma-
kologik bupivakain tidak dapat diharap-
92
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kan untuk mengatasi nyeri hingga
rentang waktu tersebut.9 Alasan peman-
jangan durasi analgesik mungkin
berkaitan dengan kurangnya vaskular-
isasi dalam ruang TAP.4
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka tujuan penelitian ini untuk
menilai efek blok TAP teknik landmark
terhadap kebutuhan analgesik pas-
cabedah
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinis
acak tersamar tunggal. Penelitian dil-
akukan di RS dr. Wahidin Sudirohuso-
do dan jejaring Makassar. Pemilihan
subjek penelitian berdasarkan kriteria
inklusi, yaitu pasien yang menjalani
operasi herniorafi dengan prosedur
anestesi blok subaraknoid, usia 18 sam-
pai 60 tahun, status fisik American So-
ciety of Anesthesiologist (ASA) I-II,
indeks massa tubuh (IMT) 18-24, dan
mendapat persetujuan dari dokter pri-
mer yang merawat. Kriteria eksklusi
adalah infeksi kulit pada tempat injeksi,
riwayat alergi obat yang digunakan da-
lam penelitian, kontraindikasi pem-
berian obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS), dan riwayat toleransi atau
adiksi opioid. Besar sampel ditentukan
dengan menggunakan rumus untuk uji
hipotesis pada dua kelompok inde-
penden sehingga didapatkan jumlah
sampel 22 orang untuk tiap kelompok
perlakuan. Analisis statistik data hasil
penelitian menggunakan uji Mann
Whitney.
Penelitian dilakukan setelah
mendapat persetujuan Komite Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedok-
teran Universitas Hasanuddin Makas-
sar/RS dr. Wahidin Sudirohusodo Ma-
kassar. Pasien yang memenuhi kriteria
inklusi diberikan penjelasan tentang
prosedur yang akan dilaksanakan serta
menandatangani persetujuan (informed
consent). Pasien dibagi dalam dua ke-
lompok (kelompok TAP dan kelompok
kontrol) secara acak.Selanjutnya dil-
akukan pemasangan jalur intravena
dengan menggunakan kateter IV ukuran
18. Pasien pada kedua kelompok
diberikan infus cairan untuk pergantian
defisit cairan akibat puasa dan cairan
rumatan. Preloading cairan ringer lak-
tat 500 ml dalam 15 menit sebelum di
lakukan blok subaraknoid. Blok subar-
aknoid dilakukan dengan posisi left lat-
eral decubitus, menggunakan jarum
spinocan 25G pada interspace vertebra
lumbal 3 dan 4 kemudian diberikan bu-
pivakain hiperbarik 15 mg ditambah
fentanil 25 mcg. Ketinggian blok dicek
dengan cold test sampai tercapai blok
setinggi torakal 6 untuk keperluan
operasi herniorafi. Setelah pembedahan
selesai, pada kelompok TAP dilakukan
blok TAP unilateral dengan teknik
landmark menggunakan jarum epidural
ukuran 22G panjang 60 mm (Hakko
Medical Product). Bupivakain 0,25%
sebanyak 20 cc ditambahkan epinefrin
1:200.000 diinjeksikan ke dalam ruang
TAP dengan mengulang aspirasi,
kemudian diberikan meloksikam 15 mg
supositoria, dilanjutkan tramadol 0,1
mg/kgBB/infus kontinyu selama 24 jam
pertama. Pada kelompok kontrol diberi-
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
93
kan meloksikam 15 mg supositoria,
dilanjutkan tramadol 0,1 mg/kgBB/
infus kontinyu selama 24 jam pertama.
Untuk mengetahui keberhasilan
blok TAP, dilakukan penilaian blok
sensorik pada kelompok TAP setelah
pasien mencapai skala Bromage 0. Pin
prick test digunakan untuk mem-
bandingkan sensasi nyeri pada sisi yang
diblok dan sisi kontralateral yang tidak
diblok. Blok dinyatakan bekerja apabila
terjadi blok sensorik setinggi dermatom
T10-L1 pada sisi yang diblok dan
dinyatakan gagal apabila tidak terjadi
blok sensorik pada daerah dermatom
tersebut.
Nyeri pasca bedah yang dirasakan
oleh subyek dinilai dengan
menggunakan skor Numeric Rating
Scale (NRS), yaitu sebuah garis skala
numerik 0-10 dari kiri ke kanan. Pada
ujung kiri (skala 0) diberi tanda “tidak
nyeri”, dan pada ujung kanan (skala 10)
diberi tanda “nyeri berat”. Penderita
diinstruksikan untuk menilai sendiri
tingkatan nyeri yang dirasakan dengan
cara menunjuk angka yang tertera pada
skala numerik. Nilai NRS 0-3 sesuai
untuk keadaan tidak nyeri sampai nyeri
ringan, NRS 4-7 sesuai untuk keadaan
nyeri sedang, dan NRS 8-10 sesuai un-
tuk keadaan nyeri hebat sekali atau
nyeri tak tertahankan. Bila NRS ≥ 4
diberikan analgetik tambahan(rescue)
fentanil 0,5 mcg/kgBB intravena.
Penghitungan kebutuhan opioid dil-
akukan pada 0-6 jam pascabedah (T0),
6-12 jam pascabedah (T1), 12-18 jam
pascabedah (T2), dan 18-24 jam pas-
cabedah (T3). Perubahan hemodinamik
seperti tekanan darah dan nadi, efek
samping obat seperti mual, muntah, dan
pruritus juga diamati pada rentang wak-
tu tersebut.Efek samping obat (seperti
mual, muntah, pusing, kesemutan, dis-
ritmia, hipotensi, penurunan kesadaran,
kejang dan depresi napas), waktu res-
cue pertamadan jumlah fentanil yang
diperlukan selama 24 jam pascabedah
dicatat dalam lembar pengamatan.
HASIL
Karakteristik sampel penelitian
kedua kelompok yaitu umur, IMT,
ASA PS, dan lama operasi.Tidak
didapatkan perbedaan bermakna dari
data demografi kedua kelompok
penelitian, sehingga karakteristik dari
Variabel
Kelompok Kelompok
p TAP Kontrol
n=22 n=22
Mean ± SD Mean ± SD
Umur 50,27 ± 9,65 46,63 ± 11,82 0,352
IMT 22,32 ± 1,19 22,14 ± 0,46 0,925
Lama operasi 0,72 ± 0,13 0,72 ± 0,07 0,577
Tabel 1. Karakteristik sampel
Uji Mann Whitney, α 0,05
94
Jurnal Anestesiologi Indonesia
44 sampel penelitian dinyatakan homogen.
Pada penelitian ini tidak terjadi drop out
sehingga didapat 22 sampel untuk tiap ke-
lompok.
Pada T0 (jam 0-6) tidak ada pasien dari
kelompok TAP yang mendapatkan rescue
fentanil, sedangkan pada kelompok kontrol
sebanyak 16 pasien membutuhkan rescue
fentanil.Pada T2 (jam 6-12) sebanyak
delapan pasien dari kelompok TAP memer-
lukan rescue fentanil, sedangkan pada ke-
lompok kontrol sebanyak tujuh pasien yang
mendapat rescue fentanil. Pada T2 (jam 12-
18), sebanyak satu pasien dari kelompok
TAP yang memerlukan rescue fentanil, se-
dangkan pada kelompok kontrol tidak ada
pasien yang diberikan rescue fentanil. Pada
T4 (jam 18-24), tidak ada pasien dari kedua
kelompok yang membutuhkan rescue fen-
tanil (Tabel 2; Gambar 1).
Pada kelompok TAP terdapat sembilan
pasien yang mendapatkan satu kali rescue
fentanil dalam 24 jam pascabedah. Pada ke-
lompok kontrol terdapat 11 pasien yang
membutuhkan rescue satu kali dan enam
pasien yang mendapatkan dua kalirescue
fentanil dalam 24 jam pascabedah (Tabel 3).
Waktu rescue pertama pada kelompok
TAP lebih panjang (17,81 ± 7,62 jam)
dibandingkan kelompok kontrol (9,15 ±
8,12 jam). Perbedaan ini bermakna secara
statistik (Tabel 4; Gambar 2).
Kelompok TAP rata-rata membutuhkan
jumlah rescue fentanil lebih sedikit (9,21 ±
13,59 mcg) dibanding kelompok kontrol
(30,88 ± 20,39 mcg). Perbedaan ini bermak-
na secara statistik (p<0,05) (Tabel 5; Gam-
bar 3)
Efek samping dari penggunaan obat
pada penelitian ini adalah efek samping
pemakaian bupivakain, yaitu pusing,
kesemutan, disritmia, hipotensi, penurunan
kesadaran, kejang, depresi napas, dan henti
jantung.Efek samping penggunaan fentanil
berupa mual, muntah, dan depresi pernapa-
san.Pada penelitian ini tidak didapatkan
efek samping penggunaan bupivakain dan
fentanil.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa
waktu rescue pertama kelompok blok TAP
lebih lama dibanding kelompok kontrol
dan kebutuhan fentanil dalam 24 jam pada
kelompok blok TAP lebih sedikit diband-
ing kelompok kontrol.
Nyeri parietal akibat insisi dinding an-
terior abdomen merupakan komponen
penting pada nyeri setelah operasi abdo-
men. TAP merupakan ruang anatomis di
antara otot oblikus internus dan transversus
abdominis yang dilalui oleh saraf-saraf
yang menginervasi dinding anterior abdo-
men. Blok TAP adalah teknik anestesi re-
gional yang memberikan analgesia bagi
peritoneum parietal, kulit, dan otot dinding
anterior abdomen. Untuk prosedur yang
melibatkan insisi dinding anterior abdo-
men, blok TAP merupakan teknik analge-
sia yang mudah dan efektif. Berbagai
penelitian telah memperlihatkan bahwa
blok TAP memberikan analgesia pas-
cabedah yang efektif dan mengurangi
kebutuhan morfin setelah seksio sesarea,
histerektomi abdominal, prostatektomi ret-
ropubik, operasi kolorektal, koreksi hernia
inguinal, dan operasi abdomen lain.10
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
95
Tabel 2. Jumlah pasien yang mendapat rescue fentanyl dalam 24 jam pertama pada kedua ke-
lompok
Waktu Pengamatan
Kelompok Kelompok
TAP Kontrol
n=22 n=22
T0 (jam 0-6) 0 16
T1 (jam 6-12) 8 7
T2 (jam 12-18) 1 0
T3 (jam 18-24) 0 0
Gambar 1. Jumlah pasien yang mendapat rescue dalam 24 jam
Tabel 3.Frekuensi rescue dalam 24 jam pasca bedah
Variabel
Kelompok Kelompok
TAP Kontrol
n=22 n=22
1 kali 9 11
2 kali 0 6
96
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 4. Perbandingan waktu rescue pertama antara kedua kelompok
Variabel
Kelompok Kelompok
p TAP Kontrol
n=22 n=22
Mean ± SD Mean ± SD
Waktu rescue per-
tama 17,81 ± 7,62 9,15 ± 8,12 <0,0001
Uji Mann Whitney, α 0,05
Gambar 2.Perbandingan waktu rescue pertama antara kedua kelompok
Tabel 5. Perbandingan jumlah kebutuhan fentanil selama 24 jam pascabedah pada kedua ke-
lompok
Variabel
Kelompok Kelompok
P TAP Kontrol
n=22 n=22
Mean ± SD Mean ± SD
Jumlah kebutuhan
fentanil 24 jam 9,21 ± 13,59 30,88 ± 20,39 0,02
Uji Mann Whitney, α 0,05
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
97
Gambar 3.Perbandingan nilai rerata kebutuhan
Pada penelitian ini, waktu yang diper-
lukan untuk mendapatkan analgetik tamba-
han pertama lebih lama pada kelompok yang
mendapatkan blok TAP (17,81 ± 7,62 jam)
dibanding kelompok kontrol (9,15 ± 8,12
jam). Perbedaan ini dianggap bermakna
secara statistik (p<0,0001). Hasil penelitian
ini sesuai dengan beberapa penelitian sebe-
lumnya. Penelitian pada pasien yang men-
jalani histerektomi total menemukan bahwa
waktu pertama kali pasien membutuhkan
morfin tambahan lebih lama pada pasien
yang mendapatkan blok TAP dibanding ke-
lompok kontrol (nilai rerata 45 menit ber-
banding 12,5 menit).Penelitian Sivapurapu
membandingkan blok TAP dengan infiltrasi
langsung anestetik lokal pada luka operasi
ginekologi abdomen bawah dan didapatkan
bahwa waktu rescue analgetik pertama lebih
lama pada kelompok TAP (148 ± 46,7 menit)
dibanding kelompok infiltrasi (85,38 ± 38,07
menit).11Penelitian Owenyang melakukan
blok TAP semiblind pada operasi seksio ses-
area juga menunjukkan hasil yang sama.
Penelitian tersebut menemukan bahwa waktu
rescue pertama untuk kelompok blok TAP
lebih lama (790 ± 62,8 menit) dibanding ke-
lompok kontrol (274 ± 22,9 menit).12
Pemanjangan efek analgesik blok TAP
mungkin berhubungan dengan fakta bahwa
vaskularisasi TAP relatif kurang, karena itu
klirens obat lebih lambat. Tidak diketahui
bagaimana tingkat absorbsi sistemik dan re-
distribusi ke dinding abdomen berperan ter-
hadap efek anestetik.Latzke et al melakukan
penelitian dengan teknik mikrodialisis untuk
mengukur kadar ropivakain dalam plasma
setelah injeksi 150 mg ropivakain melalui
blok TAP. Pengukuran dilakukan pada dind-
ing abdomen di kranial tempat injeksi (di
bawah kosta 12), di kaudal tempat injeksi (di
atas krista iliaka), dan jaringan otot skelet
dari paha kontralateral. Ditemukan bahwa
konsentrasi pada kedua kompartemen abdo-
men lebih tinggi (di kranial tempat injeksi
240 ± 409,1 µg/ml; di kaudal 86,18 ± 133,50
µg/ml) dibanding plasma (5,1 ± 1,0 µg/ml)
atau jaringan perifer (1,1 ± 1,2 µg/ml). Kon-
sentrasi rata-rata ropivakain yang tinggi pada
dinding abdomen mendukung konsep topikal
blok TAP.6
Penelitian ini memperlihatkan bahwa
kebutuhan fentanil total selama 24 jam pas-
98
Jurnal Anestesiologi Indonesia
cabedah lebih sedikit pada kelompok yang
mendapatkan blok TAP (9,21 ± 13,59 µg)
dibanding kelompok kontrol (30,88 ± 20,39
µg). Perbedaan ini bermakna secara statistik
(p<0,05). Secara keseluruhan, blok TAP
mengurangi kebutuhan fentanil sampai 70%.
Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang menunjukkan bahwa kon-
sumsi morfin pascabedah berkurang secara
bermakna dengan pemberian blok TAP,
berkisar 33% sampai 74%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Salman et al,yang membandingkan blok
TAP semiblind menggunakan bupivakain
0,25% dengan infiltrasi plasebo pada pasien
yang menjalani operasi repair hernia ingui-
nalis. Dibandingkan plasebo, blok TAP men-
gurangi penggunaan opioid pascabedah dan
asetaminofen intravena selama 24 jam pas-
cabedah.9Penelitian juga dilakukan oleh Mi-
lone et alyangmembandingkan blok TAP
dengan panduan USG menggunakan levobu-
pivakain 0,5% ditambahkan anestetik lokal
konvensional dengan anestetik lokal konven-
sional tunggal pada operasi repair hernia.
Secara bermakna, lebih sedikit pasien yang
membutuhkan rescue analgesik dibanding-
kan kelompok kontrol.Kedua penelitian ini
menunjukkan bahwa blok TAP ada kaitannya
dengan kurangnya rescue analgesia diband-
ing kelompok kontrol.13
Tidak ada perbedaan analgesik postop-
eratif antara blok TAP dan kelompok kontrol
pada operasi laparoskopi apendektomi
anak.14 Penelitian Ortiz et
al,membandingkan blok TAP dan infiltrasi
anestetik lokal di tempat insersi trokar pada
operasi laparoskopi kolesistektomi dan mere-
ka menemukan bahwa tidak ada perbedaan
skor nyeri dan kebutuhan analgetik.15 Blok
TAP bermanfaat menghambat nyeri dengan
blok somatosensorik pada tempat insisi.
Akan tetapi, pada operasi kolesistektomi
atau apendektomi, pasien mengalami nyeri
viseroperitoneal sebelum pembedahan dan
kemungkinan sudah diberi terapi di klinik
primer setempat atau ruang gawat darurat.
Karena alasan ini, kondisi preoperatif
pasien dan penanganan seperti durasi atau
intensitas nyeri, peresepan OAINS atau
opioid mempengaruhi efek blok TAP. In-
sisi yang relatif kecil dengan ukuran 2 sam-
pai 3 cm juga mempengaruhi efikasi blok
TAP.
Griffith et al,melakukan penelitian pada
65 pasien yang menjalani operasi kega-
nasan ginekologik dengan terapi standar
(parecoxib, asetaminofen, dan morfin) dit-
ambahkan blok TAP dengan panduan USG
menggunakan ropivakain. Dari hasil
penelitian ini blok TAP gagal memberikan
manfaat terhadap analgesia multimodal.
Tidak ada perbedaan bermakna antara
kedua kelompok dalam hal konsumsi
morfin 24 jam pertama, skor nyeri, kenya-
manan pasien, ataupun insidens muntah
dan pruritus.16 Temuan ini berbeda dengan
literatur-literatur terbaru. Efek negatif
yang dijumpaimungkin disebabkan oleh
kombinasi berbagai faktor seperti tingginya
insidens obesitas pada populasi penelitian
yang berpotensi terjadinya kegagalan blok,
rentang umur yang besar, dan fakta bahwa
18 dari 65 pasien dengan insisi di atas um-
bilikus. Beberapa kasus melibatkan manip-
ulasi organ lebih banyak dan diseksi yang
menyebabkan nyeri viseral lebih besar, se-
mentara di sisi lain blok TAP hanya efektif
memberikan analgesia untuk komponen
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
99
nyeri parietal/insisi.Pada penelitian ini,
IMT responden bersifat homogen dan
efek pembedahan herniorafi bersifat
konsisten yang menyebabkan trauma
pembedahan ringan sampai sedang.
Penelitian ini memiliki beberapa keku-
rangan.Kami tidak menggunakan USG
untuk melihat lapisan dinding abdomen
karena keterbatasan sumber daya.Tidak
ada jaminan bahwa jarum betul-betul
masuk ke ruang TAP. Identifikasi ruang
TAP semata-mata mengandalkan dou-
ble pop dan loss of resistance. Dalam
penelitian ini kami tidak memeriksa
skor nyeri dan konsumsi analgetik
setelah 24 jam. Penelitian kami batasi
hingga 24 jam karena kebanyakan
pasien tidak membutuhkan opioid sis-
temik setelah 24 jam dan tuntutan untuk
mobilisasi pasien. Temuan ini tidak
dapat diberlakukan secara umum untuk
jenis operasi lain karena penelitian ini
dilakukan pada operasi dengan trauma
pembedahan tingkat sedang. Blok sen-
sorik hanya diukur satu kali pada ke-
lompok TAP untuk memastikan blok
bekerja atau tidak.Pengukuran blok
sensorik pada periode 24 jam pas-
cabedah tidak dilakukan karena kek-
hawatiran kehilangan sifat blind. Selain
itu perluasan blok sensorik bukan hal
penting dalam mencerminkan efektivi-
tas analgesik blok TAP. Efektivitas
blok TAP lebih nyata dinilai dari perbe-
daan skor nyeri atau konsumsi opioid.
SIMPULAN
Dari penelitian ini ditemukan bah-
wa blok TAP sebagai komponen re-
jimen analgesia multimodal, mem-
berikan analgesia yang efektif dengan
durasi analgesia lebih panjangdibanding-
kan dengan kontrol dan memiliki opioid
sparing effect yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kim MG, Kim SI, Ok SY, Kim
SH, Lee SJ, Park SY, et al. The
analgesic effect of ultrasound-
guided ransverse abdominis plane
block after laparoscopic totally
extraperitoneal hernia repair. Ko-
rean J Anesthesiol. 2012;63(3):227
-32.
2. Heil JW, Ilfeld BM, Loland VJ,
Sandhu NS, Mariano ER. Ultra-
sound-guided transversus abdomi-
nis plane catheters and ambulatory
perineural infusion for outpatient
inguinal hernia repair. Reg Anesth
Pain Med. 2010;35:556-8.
3. Aveline C, Hetet H, Roux A, Vau-
tier P, Cognet F, Vinet E, et al.
Comparison between ultrasound-
guided transversus abdominis
plane and conventional ilioingui-
nal/iliohypogastric nerve blocks
for day-case open inguinal hernia
repair. Br J Anaesth. 2010;106
(3):380-6.
4. Al-Edwan A, Mashaqbweh M, Al-
Dehayat G. The effect of transver-
sus abdominis block on decreasing
pain following inguinal hernia re-
pair. J Med J. 2013;47(2):151-4.
100
Jurnal Anestesiologi Indonesia
5. Urbanczak L. Transversus ab-
dominis plane block. Anesth In-
tensive Ther. 2009;3:137-41.
6. Latzke D, Marhofer P, Kettner
SC, Koppatz K, Turnheim K,
Lackner E, et al. Pharmacokinet-
ics of the local anesthetic ropiva-
caine after transversus abdominis
plane block in healthy volunteers.
Eur J Clin Pharmacol.
2012;68:419-25.
7. McDonnell JG, O’Donnell B,
Curley. G, Heffernan A, Power C,
Laffey JG. The analgesik efficacy
of transversus abdominis plane
block after abdominal surgery: a
prospective randomized con-
trolled trial. Anesth Analg.
2007;104:203-7.
8. Carney J, Finnerty O, Rauf J,
Curley G, McDonnell JG, Laffey
JG. Ipsilateral transversus abdom-
inis plane block provides effec-
tive analgesia after appendectomy
in children: a randomized con-
trolled trial. Anesth Analg.
2010;111:998-1003.
9. Salman AE, Yetisir F, Yurekli B,
Aksoy M, Yildirim M, Kilit M.
The efficacy of the semi-blind
approach of transversus abdomi-
nis plane block on postoperative
analgesia in patients undergoing
inguinal hernia repair: a prospec-
tive randomized double-blind
study. Local Reg Anesth.
2013;6:1-7.
10. Young MJ, Gorlin AW, Modest
VE, Quraishi SE. Clinical impli-
cation of the transversus abdomi-
nis plane block in adults
[document on the internet]. Anes-
thesiology Research and Practice;
2012 [diunduh 1 Februari 2015].
Tersedia dari: http://
www.hindawi.com.
11. Sivapurapu V, Vasudevan A,
Gupta S, Badhe AS. Comparison
of analgesic efficacy of transver-
sus abdominis plane block with
direct infiltration of local anes-
thetic into surgical incision in
lower abdominal gynecological
surgeries. J Anesthesiol Clin
Pharm. 2013;29(1):71-5.
12. Owen DJ, Harrod I, Ford J, Luck-
as M, Gudimetia V. The surgical
transversus abdominis plane
block-a novel approach for per-
forming an establishing tech-
nique. Br J Obstet Gynecol.
2011;118:24-7.
13. Milone M, Minno MN, Musella
M. Outpatient inguinal hernia re-
pair under local anesthesia: feasi-
bility and efficacy of ultrasound-
guided transversus abdominis
plane block. Hernia. 2013;17:749
-55.
14. Sandeman DJ, Bennett M, Dilley
AV, Perczuk A, Lim S, Kelly KJ.
Ultrasound-guided transversus
abdominis plane block for laparo-
scopic appendicectomy in chil-
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
101
dren: a prospective randomized
trial. Br J Anaesth. 2011;106
(6):882-6.
15. Ortiz J, Suliburk JW, Wu K,
Bailard NS, Mason C, Minard
CG, et al. Bilateral transversus
abdominis plane block does not
decrease postoperative pain after
laparoscopic cholecystectomy
when compared with local anes-
thetic infiltration of trocar inser-
tion sites. Reg Anesth Pain Med.
2012;37(2):188-92.
16. Griffiths JD, Middle JV, Barron
FA, Grant SJ, Popham PA, Royse
CF. Transversus abdominis plane
block does not provide additional
benefit to mulltimodal analgesia
in gynecological cancer surgery.
Anesth Analg. 2010;111(3):797-
801.
102
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache II, SOFA, Dan Customized
Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan Mortalitas
Pasien Non-Bedah Yang Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif
Stefanus Taofik*, Tjokorda Gde Agung Senapathi*, Made Wiryana*
ABSTRACT
Background : Application of Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) in intensive
care unit (ICU) service encourages ICU services for being more effective and efficient.
Prediction of mortality is important either for administration or clinical in ICU
management. Even non-surgical patient population is not large, but it has high
mortality rate.
Objective : To gain good and easy to used scoring system, we assessed missing value,
and discrimination for all scoring system.
Methods :This research enrolled 184 non-surgical patients in ICU of Sanglah
Hospital restrospectively started from 1st january to 31st december 2014. All patient
assessed by APACHE II, SOFA, and CSOFA. Analytic logistic regression test is used
to determine each sub variabel correlation with mortality, and then to gain cut off
point of ROC analytical curve to get sensitivity and specificity.
Result : Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) for APACHE, SOFA,
and CSOFA is 0,892, 0,919, and 0,9172 consecutively. The missing value for SOFA,
APACHE II, and CSOFA is 84,23%, 8,15%, dan 1,65%, which is dominated by
bilirubin parameter. Logistic regression analysis shows sub variabel neurology,
cardiovascular, and respiration gave significant correlation with mortality with OR
4,58, 2,24, and 1,47. Other significant subvariable are AKI, sepsis, and chronic illness
with OR 8,14, 3,89 dan 2,42.
Conclusion : CSOFA scoring system is more valid than APACHE II and SOFA to
predict mortality, because it had better discrimination value and less missing value.
Keyword : Scoring system, APACHE II, SOFA, CSOFA, AuROC, missing value
*Bagian / SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar
Korespondensi/correspondence : Stefanus Taofik
Comparison Of Validity Apache II, SOFA And Customized Sequential Organ
Failure Assessment (Csofa) For Predicting Non-Surgical Patient
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
103
ABSTRAK
Latar Belakang : Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) dalam
pelayanan ICU mendorong pelayanan ICU untuk lebih efektif dan efisien. Prediksi hasil
perawatan penting baik secara administrasi ataupun klinis dalam manajemen ICU.
Pasien non-bedah meskipun jumlahnya tidak banyak, namun memiliki angka mortalitas
yang tinggi.
Tujuan : Untuk mendapatkan sistem skoring yang baik dan mudah diterapkan dilakukan
penilaian missing value, dan diskriminasi dari masing masing sistem skoring.
Metode : Penelitian ini melibatkan 184 pasien non-bedah yang dirawat di ICU RSUP
Sanglah Denpasar yang diambil secara retrospektif dari data tanggal 1 Januari 2014
sampai dengan 31 Desember 2014. Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II,
SOFA, dan CSOFA. Uji analisis regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh
masing masing sub variabel terhadap mortalitas, dan selanjutnya mencari cut off point
dari analisis kurva ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas masing masing.
Hasil : Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) pada APACHE II,
SOFA, dan CSOFA berturut turut didapatkan 0,892, 0,919, dan 0,9172. Missing value
terbanyak didapatkan berturut turut pada SOFA, APACHE II, dan CSOFA sebesar
84,23%, 8,15%, dan 1,65%, dengan dominan sub variabel hepar (bilirubin). Uji regresi
logistik memperlihatkan sub variabel neurologi, kardiovaskular, dan respirasi
memberikan hubungan bermakna terhadap mortalitas dengan RO 4,58, 2,24, dan 1,47.
Sub variabel lain yang berpengaruh antara lain AKI, sepsis, dan penyakit kronis dengan
RO 8,14, 3,89 dan 2,42.
Simpulan : CSOFA lebih valid dalam memperkirakan mortalitas pasien di ICU RSUP
Sanglah Denpasar, karena mempunyai nilai diskriminasi yang lebih baik dan missing
value yang lebih sedikit dibandingkan dengan sistem skoring APACHE II dan SOFA.
Kata kunci : Sistem skoring, APACHE II, SOFA, CSOFA, AuROC, missing value
PENDAHULUAN
Praktik kedokteran saat ini
berkembang dengan sangat pesat,
sehingga banyak pasien dengan
penyakit kritis yang dahulunya tidak
dapat terselamatkan saat ini dapat
bertahan hidup dengan perawatan
intensif di Ruang Terapi Intensif (ICU).
Namun sayangnya jumlah pasien yang
meningkat tidak sejalan dengan
peningkatan kapasitas perawatan di
ICU sehingga diperlukan seleksi yang
akurat untuk menentukan prioritas
perawatan pasien di ICU. Sejalan
dengan penerapan Sistem Jaminan
Kesehatan Nasional melalui Badan
Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS),
praktisi medis saat ini diharapkan dapat
membuat perhitungan dan perkiraan
104
Jurnal Anestesiologi Indonesia
kasar untuk prognosis dari tindakan
yang akan dilakukan sehingga
perkiraan biaya perawatan dapat dibuat
dengan baik dan efisiensi pembiayaan
dapat berjalan. Perawatan pasien kritis
selalu melibatkan multi displin dengan
penilaian dan cara pandang masing
masing bagian, seringkali hal tersebut
membingungkan dan tidak menemukan
titik temu oleh karena tidak ada bahasa
yang sama dalam menentukan indikator
perbaikan atau keparahan penyakit.
Sebagai contoh: Pasien gagal jantung
kongestif tidak terkompensasi (ADHF)
dengan kehamilan, di saat memberikan
informed consent dari TS kandungan
akan menjelaskan pasien dari bidang
mereka tak ada masalah dan kandungan
dalam kondisi masih stabil, kemudian
TS kardiologi memberikan penjelasan
kondisi jantung yang payah dan
memerlukan perawatan intensif, dan
terakhir dari TS tropik-infeksi yang
dikonsulkan karena ada kecurigaan
TBC menjelaskan bahwa paru dalam
kondisi baik dari sisi tropik-infeksi.
Kesimpangsiuran informasi tersebut
akan membingungkan masyarakat
awam karena diagnosa dan penilaian
yang terkotak kotak, sehingga perlu
digunakan bahasa yang sama untuk
monitoring keparahan dan perbaikan
kondisi pasien dengan sistem skoring
yang melakukan penilaian fungsi
fisiologis secara komprehensif dan
holistik.
Sistem skoring yang tersedia
dan lazim digunakan saat ini adalah
APACHE II (Acute Physiological and
Chronic Health Evaluation), namun
sistem skoring ini memiliki kelemahan
dari segi biaya dan kepraktisan
penggunaan berkaitan dengan
banyaknya variabel yang digunakan.1-4.
Sistem skoring baru yang lebih praktis
namun dengan akurasi yang tidak kalah
baiknya dengan APACHE II perlu
untuk dirumuskan.
Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan validitas antara sistem
skoring APACHE II, SOFA (Sequential
Organ Failure Assessment), dan
CSOFA (Customized SOFA)
METODE
Tipe penelitian ini adalah uji
diagnostik dengan desain retrospektif.
Penelitian telah mendapatkan ijin dari
Komite Etik Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah Denpasar. Pengambilan sampel
dilakukan di Instalasi Rekam Medis
RSUP Sanglah dengan mengambil data
register pasien non-bedah yang dirawat
di ICU RSUP Sanglah selama periode 1
Januari sampai dengan 31 Desember
2014 dengan pengambilan total
population sample. Besar sampel
minimal sesuai perhitungan Arroyo
adalah 133 sampel.
Semua sampel yang didapatkan
dilakukan penilaian menurut sistem
skoring APACHE II, SOFA, dan
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
105
CSOFA kemudian dikelompokkan
berdasarkan luaran yaitu kelompok
meninggal dan hidup. Sistem skoring
SOFA (Tabel 1) dimodifikasi menjadi
sistem skoring CSOFA (Tabel 2)
dengan melakukan penyederhanaan
pada parameter yang dinilai. Hasil
tersebut kemudian dinilai validitasnya
dengan uji validasi.
Uji validasi yang dilakukan
adalah diskriminasi. Diskriminasi
adalah kemampuan suatu penilaian
dalam menentukan pasien antara yang
hidup dan yang meninggal. Untuk
menilai diskriminasi sistem skoring,
pasien dikelompokkan berdasarkan
probability of death (POD), kemudian
dianalisis menggunakan tabel 2x2,
untuk menghitung sensitivitas dan
spesifisitasnya. Selanjutnya dibuat
kurva receiver operating curve (ROC
curve) dengan sumbu x adalah nilai 1-
spesifisitas (false positive rate) dan
sumbu y adalah nilai sensitivitas (true
positive rate). Area di bawah ROC
disebut area under the ROC curve
(AuROC). Nilai AuROC ini adalah
nilai diskriminasi sistem skoring. Jika
nilai AuROC>0,7, sistem penilaian
tersebut mempunyai nilai diskriminasi
yang baik. Semakin besar nilai AuROC
suatu sistem penilaian maka semakin
besar kemampuan diskriminasi sistem
penilaian tersebut. Nilai AuROC=1
menunjukkan bahwa sistem penilaian
mempunyai kemampuan prediksi yang
sempurna.5,6
Untuk membandingkan sistem
penilaian APACHE II, SOFA dan
CSOFA dalam memprediksi mortalitas,
diperhitungkan missing value pada
setiap sistem penilaian. Sistem
penilaian dengan missing value paling
kecil dianggap paling baik. Masing
masing sub variabel pada sistem
skoring SOFA dilakukan uji regresi
logistik untuk melihat pengaruhnya
terhadap luaran serta menentukan cut
off point berdasarkan ROC curve.
Setiap sub variabel dari sistem
skoring akan dinilai dengan analisis
regresi logistik untuk melihat hubungan
dengan mortalitas dengan nilai P<0,01
dianggap bermakna
HASIL
Penelitian dilakukan pada 184
pasien yang dirawat di ICU RSUP
Sanglah. (Tabel 3). Populasi pasien
dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan
luaran yaitu yang hidup dan meninggal.
Dari hasil perhitungan
berdasarkan ketiga sistem skoring
didapatkan rentang nilai yang luas
seperti tertera pada tabel 4. Didapatkan
missing value terbanyak pada SOFA
score dengan dominan pada nilai
bilirubin, sedangkan missing value
paling kecil didapatkan pada sistem
skoring CSOFA. CSOFA
memperlihatkan area ROC sebesar
0,9172.
Hubungan sub variabel skoring
SOFA terhadap mortalitas pasien yang
dirawat di ICU berdasarkan analisis
106
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Sistem skoring Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)
Tabel.2 Sistem skoring Customized Sequential Organ Failure Assessment (CSOFA)
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
107
Tabel 3. Data karakteristik subyek penelitian
Karakteristik
OUTCOME
Hidup (n=67) Meninggal
(n=117)
Umur
Rerata(SB) 38,9(21,6) 53,9(18,9)
Median(IQR) 31(31) 56(19)
Rentang 12-89 13-89
<65 tahun(%) 57(85,1) 80(68,4)
≥65tahun(%) 10(14,9) 37(31,6)
Jenis kelamin
Laki-laki(%) 36(53,0) 72(61,1)
Perempuan(%) 31(47,0) 46(38,9)
LOS
Median(IQR) 3(2) 3(4)
Rentang 1-42 1-68
Tabel 4. Distribusi skoring, missing value, dn ROC APACHE II, SOFA, dan CSOFA
Sistem skor-
ing Rerata (SB) Rentang Observasi
Missing val-
ue
Dominan
missing
value
ROC
area
APACHE II 22,09(11,10) 0-41 169 15(8,15%) AGD 0,892
SOFA 8,62(7,10) 0-19 29 155(84,23%) Bilirubin 0,919
CSOFA 7,80(4,55) 0-18 181 3(1,65%) Kreatinin 0,9172
Gambar 1. Grafik area ROC skoring Gambar 2. Grafik area ROC skoring SOFA
108
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Gambar 3. Grafik area ROC skoring APACHE II
Tabel 5. Hubungan antara sub variabel skoring SOFA terhadap mortalitas berdasarkan analisis re-
gresi logistik
Variabel RO IK 95% P
Respirasi 1,79 1,078411 sampai 2,96215 0,024 *
Koagulasi 0,98 0,5455342 sampai 1,790392 0,969
Hepar 2,60 0,3734881 sampai 17,89182 0,336
Kardiovaskular 2,05 1,17742 sampai 3,574147 0,011*
Neurologi 3,57 2,062262 sampai 6,180396 < 0,001*
Ginjal 0,94 0,5771336 sampai 1,545977 0,821
Tabel 6. Hubungan antara sub variabel AKI, penyakit kronis (APACHE II), dan sepsis terhadap
mortalitas berdasarkan analisis regresi logistik
Variabel RO IK 95% P
AKI 8,14 3,499175 sampai 18,95538 < 0,001*
Sepsis 3,89 1,75845 sampai 8,595483 0,001*
Penyakit kronis 2,42 0,9492211 sampai 6,179176 0,064*
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
109
Tabel 7. Hubungan antara sub variabel skoring CSOFA terhadap mortalitas berdasarkan ana-
lisis regresi logistik
Variabel RO IK 95% P
Respirasi 1,47 0,9340161 sampai 2,324436 0,096 *
Koagulasi 0,98 0,5747173 sampai 1,67536 0,945
Hepar 0,83 0,1220807 sampai 5,652511 0,85
Kardiovaskular 2,24 1,277078 sampai 3,959933 0,005*
Neurologi 4,58 2,611501 sampai 8,032894 < 0.01*
Ginjal 0,85 0,508967 sampai 1,439147 0,557
regresi logistik ditunjukkan pada Tabel
5. Dari keenam organ yang menjadi
standar penilaian dalam skoring SOFA,
hanya sub variabel respirasi (P=0,024),
kardiovaskular (P=0,011), dan
neurologi (P<0,001) yang berpengaruh
terhadap mortalitas. Artinya, kenaikan
dari sub variabel neurologi sebesar 1
unit akan meningkatkan mortalitas
pasien sebesar 3,57 kali (Tabel 5).
Faktor lain yang mempengaruhi
mortalitas yang merupakan komponen
penilaian pada APACHE II ditunjukkan
pada Tabel 6 dimana didapatkan
adanya AKI (P<0,001), dan penyakit
kronis (P=0,064) memberikan pengaruh
signifikan terhadap mortalitas demikian
pula resiko mortalitas yang meningkat
pada adanya kejadian sepsis (P=0,001).
Hubungan sub variabel skoring CSOFA
terhadap mortalitas pasien yang dirawat
di ICU berdasarkan analisis regresi
logistik ditunjukkan pada Tabel 7. Sub
variabel respirasi, neurologi, dan
kardiovaskular memiliki hubungan
bermakna dengan mortalitas.
PEMBAHASAN
Penelitian lain mengelompokkan
pasien berdasarkan divisi yang
merawat.5-7 Pada penelitian ini sampel
yang digunakan adalah pasien non-
bedah sehingga mengelompokkan
pasien dalam satu bagian akan
menghilangkan bagian lain yang
mungkin saja berperan, contoh: pasien
dengan ADHF profile C dan sepsis oleh
karena pneumonia, akan sulit
dikelompokkan ke bagian pulmonologi,
tropik-infeksi, atau jantung. Dari
diagnosis yang didapatkan, dianalisis
pula kejadian AKI dan sepsis
memberikan hubungan yang bermakna
dengan mortalitas dimana didapatkan
P<0,001 pada keduanya dan didapatkan
RO 8,14 dan 3,89 pada AKI dan sepsis.
Hal ini berarti setiap kejadian AKI akan
meningkatkan mortalitas sampai 8,14
kali dan 3,89 kali pada kejadian sepsis.
Parameter sepsis ikut dinilai sebagai
luaran sekunder sebagai bagian dari
evaluasi surviving sepsis campaign.
Mortality rate secara overall pada
110
Jurnal Anestesiologi Indonesia
penelitian ini didapatkan 63,5%, lebih
rendah dibandingkan pada penelitian
sebelumnya oleh Sunaryo, dkk.5
dimana pada pasien non pembedahan
didapatkan 12(80%) dari 15 pasien
meninggal. Hal ini tidak berarti
perawatan ICU di RSUP Sanglah lebih
baik dibandingkan perawatan ICU di
tempat penelitian tersebut dilakukan
meskipun rerata APACHE II dan
SOFA pada penelitian ini cukup tinggi
22,09(SB 11,10) poin dengan rentang 0
-41 poin untuk APACHE II dan 8,62
(SB 7,10) poin dengan rentang 0–19
poin yang menunjukkan variasi kasus
dan indeks keparahan pasien yang
tinggi.
Penelitian ini menghitung
missing value pada masing masing
sistem skoring untuk melihat sejauh
mana sistem skoring tersebut dapat
diterapkan pada populasi peneliti. Pada
penelitian ini didapatkan missing value
terbanyak pada sistem skoring SOFA,
diikuti APACHE II, dan CSOFA
dengan jumlah 155(84,23%) pasien, 15
(8,15%) pasien, dan 3(1,65%) pasien.
Pada sistem skoring SOFA didapatkan
jumlah missing value terbanyak pada
parameter bilirubin sedangkan pada
sistem skoring APACHE II dan
CSOFA didapatkan missing value AGD
dan kadar creatinin. Oleh karena
banyaknya missing value pada
penilaian SOFA sehingga hanya tersisa
29 sampel yang dapat dinilai, penulis
menggunakan asumsi bilirubin yang
tidak diperiksa dianggap normal dan
diberi nilai 0, hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Grissom,
dkk.8 Dari hasil penilaian ini tampak
bahwa model yang paling mudah
diterapkan yang memberikan sampel
yang banyak dengan parameter yang
tersedia adalah CSOFA. Dari hasil
analisis diskriminasi dengan
menggunakan kurva ROC didapatkan
secara berturut turut untuk skoring
APACHE II, SOFA, dan CSOFA
dengan nilai AuROC 0,892, 0,919, dan
0,917. Dari penilaian ini tampak bahwa
masing masing sistem skoring cukup
baik untuk diterapkan dengan nilai
AuROC>0,7. Penilaian SOFA memiliki
nilai AuROC yang tertinggi, namun di
satu sisi hasil tersebut memiliki missing
value yang tinggi.
Nilai AuROC adalah nilai
diskriminasi sistem penilaian, semakin
besar nilai AuROC suatu sistem
penilaian, semakin besar pula
kemampuan diskriminasi sistem
penilaian tersebut. Nilai AuROC=1
menunjukkan bahwa sistem penilaian
memiliki kemampuan prediksi yang
sempurna dan AuROC=0,5
menunjukkan bahwa persentase
kesalahan dalam memprediksi adalah
sama.6
Dari kurva ROC yang
didapatkan ditarik suatu titik potong
(cut off point) pada masing masing
sistem skoring yang menunjukkan
sensitifitas dan spesifisitas yang
tertinggi. Di satu sisi sensitifitas
diperlukan untuk mencegah terjadinya
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
111
under treatment, sedangkan di sisi lain
spesifisitas juga diperlukan untuk
menghindari over treatment yang
memberi beban biaya dan waktu. Pada
sistem skoring APACHE II didapatkan
cut off ≥15 dengan nilai overall
88,76%, yang berarti pada nilai
APACHE II ≥15 sebaiknya perawatan
dilakukan dengan berhati-hati karena
resiko mortalitas akan semakin tinggi.
Demikian pula pada SOFA dan CSOFA
didapatkan cut off ≥8 dan ≥ 5.
Pada uji multivariat dengan
regresi logistik didapatkan pengaruh
pada masing masing sub variabel dari
SOFA dan CSOFA dimana didapatkan
komponen neurologi, respirasi dan
kardiovaskular memberikan hubungan
yang bermakna terhadap mortalitas.
Pada sub variabel koagulasi, hepar, dan
ginjal tidak memberikan hubungan
yang bermakna pada mortalitas.
Sub variabel respirasi pada
SOFA dan CSOFA memberikan nilai
P=0,024 dan P=0,096 dengan RO 1,79
dan 1,47 yang berarti setiap
peningkatan 1 poin pada sub variabel
respirasi akan meningkatkan angka
mortalitas hingga 1,79 kali pada SOFA
dan 1,47 kali pada CSOFA. Nilai RO
dan P pada sistem skoring SOFA dan
CSOFA yang tidak berbeda bermakna
dapat diartikan keduanya memiliki
interpretasi yang sama meskipun
menggunakan parameter pengukuran
yang berbeda yaitu p/f ratio pada
SOFA dan s/f ratio pada CSOFA.
Kesimpulan ini sejalan dengan yang
dilakukan oleh Pandharipande, dkk9
dan Rice, dkk10. Sub variabel
kardiovaskular pada SOFA dan CSOFA
memberikan nilai P=0,001 dan P=0,005
dengan RO 2,05 dan 2,24 yang berarti
setiap peningkatan 1 poin pada sub
variabel kardiovaskular akan
meningkatkan angka mortalitas hingga
2,05 kali pada SOFA dan 2,24 kali pada
CSOFA.
Sub variabel neurologi pada
SOFA dan CSOFA memberikan nilai
P<0,001 dengan RO 3,57 dan 4,58 yang
berarti setiap peningkatan 1 poin pada
sub variabel respirasi akan
meningkatkan angka mortalitas hingga
3,57 kali pada SOFA dan 4,58 kali pada
CSOFA. Ketiga sub variabel lainnya
yaitu bilirubin (ikterik), koagulasi, dan
ginjal tidak memberikan hubungan
yang bermakna dimana dari hasil uji
multivariat bilirubin didapatkan nilai
P=0,336 dan parameter ikterik
didapatkan nilai P=0,850. Parameter
koagulasi dan ginjal berturut turut pada
CSOFA memberikan nilai P=0,945 dan
P=0,557. Dari hasil tersebut
diinterpretasikan bahwa nilai sub
variabel hepar, ginjal, dan koagulasi
tidak memberikan hubungan yang
bermakna terhadap mortalitas.
Sub variabel koagulasi pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan
Sunaryo, dkk5 didapatkan tidak
berhubungan terhadap mortalitas
seperti halnya pada penelitian ini.
Sampel dalam penelitian ini adalah
pasien non-bedah, dari data yang
112
Jurnal Anestesiologi Indonesia
diperoleh didapatkan 10(71,4%) dari 14
pasien dari kelompok hidup dengan
nilai platelet ≥2 adalah dengan
diagnosa DHF ataupun DSS dengan
nilai variabel lain cukup baik. Dari data
tersebut dapat disimpulkan sensitifitas
dari koagulasi sangat rendah jika
dijadikan parameter penilaian,
dibuktikan dengan 71,4% pasien
dengan masalah pada koagulasi
ternyata hidup.
Sub variabel hepar dan ginjal
tidak dapat dijadikan penilaian oleh
karena pada uji regresi logistik
seharusnya setiap sub variabel memiliki
nilai yang sejajar dan tidak saling
mempengaruhi satu sama lain.6 Namun
pada populasi non-bedah keterkaitan
satu sama lainnya tidak dapat
dihindarkan. Pada sub variabel
koagulasi dengan menilai bilirubin
didapatkan 3(2,56%) dari 117 pasien
yang meninggal memiliki nilai ≥2,
namun seluruh pasien yang masuk ke
ICU dalam keadaan ikterik (4
pasien;100%) dan tanpa gangguan hati
sebelumnya (2 sepsis dan 2 ADHF)
didapatkan meninggal. Bilirubin dan
ikterik memiliki sensitifitas yang sangat
rendah namun dengan spesifisitas yang
sangat tinggi dikarenakan faktor hepar
bertindak sebagai variabel antara
dimana gangguan kardiovaskular akan
mengakibatkan hipoperfusi pada
pelbagai organ di dalam tubuh dengan
organ hepar akan gagal pada urutan
terakhir dikarenakan cadangannya yang
sangat besar.
Pada penelitian lain yang
menggunakan nilai ikterik dan
mendapakan nilainya bermakna
dilakukan secara serial dari hari ke hari
oleh Grissom, dkk8, sedangkan desain
penelitian ini hanya mengambil data
awal saja, sehingga boleh jadi pada saat
awal masuk fungsi hepar masih cukyp
baik meskipun fungsi organ lain telah
menurun.
Sub variabel ginjal dengan
penelitian kreatinin serum didapatkan
berhubungan bermakna dengan
mortalitas pada penelitian
sebelumnya.5,7,8,11 Namun penelitian
tersebut menggunakan populasi non-
bedah dan bedah dengan dominan
populasi bedah, sebaliknya pada
penelitian ini menggunakan populasi
non-bedah saja. Pada populasi non-
bedah didapatkan pasien dengan CKD
yang telah terkompensasi dengan
keadaan tersebut sehingga tidak
memberi pengaruh yang signifikan.
Dari data didapatkan 5(45%) dari 11
pasien dengan nilai sub variabel ginjal
≥2 yang hidup didiagnosa dengan
CKD, sebaliknya 97 (82,9%) dari 117
pasien yang meninggal memiliki nilai
sub variabel ginjal≤2. Pada penilaian
AKI penurunan fungsi ginjal
memberikan hubungan yang bermakna
terhadap mortalitas.
SIMPULAN
CSOFA lebih valid dalam
memperkirakan mortalitas pasien di
ICU RSUP Sanglah Denpasar, karena
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
113
mempunyai nilai diskriminasi yang
lebih baik dan missing value yang lebih
sedikit dibandingkan dengan sistem
skoring APACHE II dan SOFA.
6. Liu H, Li G, Cumberland WG, Wu
T. Testing statistical significance of
the area under a receiving operating
curve for repeated mesures design
with bootstrapping. J of data
science. 2005;3:257
7. Halim DA, Murni TW, Ike SR.
Comparison of APACHE II, SOFA,
and modified SOFA scores in
predicting mortality of surgical
patients in intensive care unit at Dr.
Hasan Sadikin general hospital. Crit
Care & Shock. 2009;12:157-69.
8. Grissom CK, Brown SM, Kuttler
KG, Boltax JP. A Modified
Sequential Organ Failure
Assessment (MSOFA) for critical
care triage. Disaster Med Public
Health Prep. 2010;4:277-84.
9. Pandharipande PP, Shintani AK,
Hagerman HE, Rice TW. Derivation
and validation of SpO2/FiO2 ratio to
impute for PaO2/FiO2 ratio in the
respiratory component of the
Sequential Organ Failure
Assessment score. Crit Care Med.
2009;37:1317-21.
10. Rice TW, Wheeler A.P, Bernard
GR, Hayden DL. Comparison of the
SpO2/FiO2 and the PaO2/FiO2 ratio
in patients with acute lung injury or
ARDS. Chest. 2007;132:410-7.
11. Namendy-silva SA, Medina-silva
MA, Barahona VGM, Torres JA.
Application of modified sequential
organ failure assessment score to
critically ill patients. Braz J Med
Biol Res. 2013;46(2):186-93.
DAFTAR PUSTAKA
1. Achary SP, Pradhan B, Marhatta N.
Application of the SOFA score in
predicting outcome in ICU patients
with SIRS. Kathmandu Univ Med J.
2007;5:475-83.
2. Aftab H, Patil S, Parcells AL,
Chamberlain RS. The Simplified
Acute Physiology Score III is
superior to the Simplified Acute
Physiology Score II and Acute
Physiology and Chronic Health
Evaluation II in predicting surgical
and ICU mortality in the oldest old.
Current Gerontology and Geriatrics
Research. 2014;2014:1-9.
3. Bouch DC., Thompson JP. Severity
scoring systems in the critically ill.
Continuing Education in Anaesth.
Crit Care Pain J. 2008;8(5):181-
4. Chiavone PA, Santos Sens YA.
Evaluation of APACHE II system
among Intensive Care Patients at
Teaching Hospital. Sao Paulo Med
J. 2003;12(92):53-7.
5. Sunaryo A, Ike SR, Bisri T.
Perbandingan validasi APACHE II
dan SOFA score untuk
memperkirakan mortalitas pasien
yang dirawat di ruang perawatan
intensif. Majalah Kedokteran terapi
Intensif. 2012;2:11-20.
114
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Ketamin Dan Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi
Tonsilektomi Pada Anak
Nur Hajriya Brahmi*, Doso Sutiyono*
ABSTRACT
Background : Tonsillectomy continues to be one of the most common
otorhinolaryngology surgical procedures for children. Severe pain, bleeding, difficulty
to swallow are common complaints encountered in children, since peritonsilled fossa
and oropharyngs are sensitive due to innervation of trigeminal nerve branch and
glossopharyngeal nerve. Peritonsiller infiltration inhibit nociceptive pain, using local
anesthesia, can last up to 6 hour post op, and that will reduce consumption of opiod or
NSAIDs analgesic due to their side effects.
Objectives : to evaluate the effectiveness of peritonsiller infiltration using ketamin for
managing post operative pain after tonsillectomy in children, and to evaluate
complication nausea, vomittus, and psychomimetic effect of ketamin.
Methods : 3 male children age 6-8 years old were scheduled for elective
tonsillectomy. Premedication using midazolam 0,07 mg/kg, induction using propofol 2
mg/kg, dexametason 0,1 mg/kg then cuffed with sevoflurane, then intubate. The
operation took 10 minutes, using dissection technique, we performed peritonsiller
infiltration in peritonsiller fossa using ketamine 0,2 mg/kgBB and pehacain as solvent,
2 ml in volume was applied in each tonsil before extubation. We evaluate post
operative pain using wong baker scale, numeric scale and FLACC scale on 15 minutes
postop in recovery room, 1st hour, an 6th hour. We also asessed complication that
might occured post op.
Result : The first 15 mins, only first patient had moderate pain (wong baker 4, numeric
scale 4, FLACC 4). One hour observation, all children are in mild pain, and in six
hour observation children in mild pain, and reduce the need of opioid or NSAIDs
analgesic. Vomitting as complication occured in one of three children. All patients
were dismissed from the hospital 8 hours after surgery, given Paracetamol 20 mg/Kg
orally.
Conclusion :Peritonsiller infiltration using ketamin and pehacain as solvent effective
to minimize post operative tonsillectomi pain in children up to 6 hours post op, in all 3
*Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK Universitas Diponegoro/ RSUP dr Kariadi, Semarang
Korespondensi/correspondence: [email protected]
Ketamin And Peritonsiller Infiltration As Post Operative Tonsillectomi Pain
Management In Children.
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
115
patients observed, and significantly reduced the need for opioid or NSAIDs analgetic.
Need to conduct the main research used bigger samples to know the effectiveness of
peritonsiller infiltration for pain management.
Keywords : Post operative pain management, peritonsiller infiltration, ketamine.
ABSTRAK
Latar Belakang : Nyeri post operasi tonsilektomi pada anak merupakan hal yang sulit
dicegah karena daerah orofaring dan fossa peritonsiler merupakan daerah sensitif nyeri,
karena dipersarafi oleh cabang nervus trigeminal dan nervus glossofaringeus, di korteks
somatik serebral. Blok peritonsiller diketahui mampu memblok ransang nyeri ini hingga
24 jam post operasi, tergantung dari jenis obat yang diberikan.
Tujuan : Mengetahui keefektifitasan blok peritonsiler menggunakan ketamin untuk tata
laksana nyeri post operasi adenotonsilektomi pada anak, dan memantau komplikasi mual
muntah atau efek psikomimetik dari ketamin (nyeri kepala, halusinasi, mimpi buruk,
depersonalisasi) post operasi.
Metode : dilakukan observasi terhadap anak laki-laki usia 6-8 tahun, masing-masing
diwakili oleh 1 pasien yang menderita adenotonsilitis akan dilakukan adenotonsilektomi.
Masing-masing mendapatkan perlakuan yang sama yakni premedikasi : midazolam 0,07
mg/kgBB, Induksi dengan propofol 2 mg/kgBB lalu dilakukan cuff dalam dengan
sevoflurane, baru dilakukan intubasi. Dexametason 0,1 mg/KgBB intravena diberikan
sesaat setelah pemberian propofol. Lama operasi rerata 10 menit, tehnik operasi adalah
diseksi dan dilakukan blok peritonsiler sesaat sebelum pasien dilakukan ekstubasi. Blok
peritonsiler dilakukan pada fossa peritonsiler dengan menggunakan ketamin 0,2 mg/
kgBB diencerkan dengan 2 ampul pehakain, disuntikkan 1 ml posterior dan 1 ml anterior
fossa peritonsiler sebelum pasien diekstubasi. Dinilai tingkatan nyeri dengan
menggunakan skala wong baker, skala numerik, dan skala FLACC1 pada 15 menit
pertama di ruang pemulihan, jam pertama, dan jam ke enam, dan dilakukan observasi
adakah mual-muntah maupun efek psikomimetik akibat pemberian ketamin post operasi.
Hasil : Hasil penilaian 15 menit pertama diruang pemulihan pada pasien pertama skala
wong baker 4, skala numerik 4, skala FLACC 4. Pasien ke dua skala wong baker 2, skala
numerik 2, skala FLACC 0. Pasien ke tiga skala wong baker 4, skala numerik 5 dan skala
FLACC 2. Hasil penilaian jam ke 1, pasien pertama skala wong baker 2, skala numerik 3,
skala FLACC 3. Pasien kedua skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0.
Pasien ke 3 skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0. Hasil penilaian jam ke
6, pasien pertama skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0. Pasien kedua
skala wong baker 0, skala numerik 1, skala FLACC 0. Pasien ke tiga skala wong baker
2,skala numerik 1, skala FLACC 0. Observasi komplikasi PONV post operasi
116
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENDAHULUAN
Tonsilektomi merupakan prosedur
tersering dilakukan oleh dokter THT
pada anak. Manajemen nyeri post
tonsilektomi merupakan perhatian
khusus baik oleh dokter THT maupun
oleh dokter anestesi. Nyeri post operasi
tonsilektomi pada anak merupakan hal
yang sulit dicegah karena daerah
orofaring dan fossa peritonsiler
merupakan daerah sensitif nyeri, karena
dipersarafi oleh cabang nervus
trigeminal dan nervus glossofaringeus,
di korteks somatik serebral. Blok
peritonsiler memblok nyeri nosiseptif,
dimana dengan menggunakan obat
lokal anestesi, dapat memblok rasa
nyeri ini hingga 6 jam post operasi
sehingga membantu mengurangi
konsumsi analgetik golongan opioid
ataupun NSAIDs.
METODE
Dilakukan observasi terhadap anak laki
-laki usia 6-8 tahun, yang menderita
adenotonsilitis akan dilakukan
adenotonsilektomi. Terdapat 3 kasus,
masing-masing mendapatkan perlakuan
yang sama yakni premedikasi :
midazolam 0,07 mg/kgBB, Induksi
dengan propofol 2 mg/kgBB lalu
dilakukan cuff dalam dengan
sevoflurane, baru dilakukan intubasi.
Dexametason 0,1 mg/KgBB intravena
diberikan sesaat setelah pemberian
propofol. Lama operasi rerata 10
menit, tehnik operasi adalah diseksi dan
dilakukan blok peritonsiler sesaat
sebelum pasien dilakukan ekstubasi.
Blok peritonsiler dilakukan pada fossa
peritonsiler dengan menggunakan
ketamin 0,2 mg/kgBB diencerkan
dengan 2 ampul pehakain, disuntikkan
1 ml posterior dan 1 ml anterior fossa
peritonsiler sebelum pasien diekstubasi.
Dinilai tingkatan nyeri dengan
menggunakan skala wong baker, skala
numerik, dan skala FLACC1 pada 15
menit pertama di ruang pemulihan, jam
pertama, dan jam ke enam, dan
dilakukan observasi adakah mual-
memberikan hasil 1 dari 3 pasien mengalami mual-muntah, tidak ada pasien yang
mengalami nyeri kepala, halusinasi atau gangguan prilaku post operatif. Pasien
dipulangkan 8 jam post operasi dengan diberikan analgetik post operasi paracetamol 20
mg/kgBB peroral.
Simpulan : Blok peritonsiler dengan menggunakan ketamin dan pehakain sebagai
pelarut eektif untuk meminimalkan nyeri post operasi hingga 6 jam post operasi, pada
ketiga pasien yang diobservasi. Akan dilakukan penelitian menggunakan jumlah sampel
besar untuk menilai keefektifitasan blok peritonsiler ini sebagai manajemen nyeri post
operasi.
Kata kunci : manajemen nyeri post operasi, infiltrasi peritonsiler, ketamin
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
117
muntah maupun efek psikomimetik
akibat pemberian ketamin post operasi.
Gambar 1. Lokasi Blok Peritonsiler
HASIL
Hasil penilaian 15 menit pertama
diruang pemulihan pada pasien pertama
skala wong baker 4, skala numerik 4,
skala FLACC 4. Pasien ke dua skala
wong baker 2, skala numerik 2, skala
FLACC 0. Pasien ke tiga skala wong
baker 4, skala numerik 5 dan skala
FLACC 2. Hasil penilaian jam ke 1,
pasien pertama skala wong baker 2,
skala numerik 3, skala FLACC 3.
Pasien kedua skala wong baker 2, skala
numerik 2, skala FLACC 0. Pasien ke 3
skala wong baker 2, skala numerik 2,
skala FLACC 0. Hasil penilaian jam ke
6, pasien pertama skala wong baker 2,
skala numerik 2, skala FLACC 0.
Pasien kedua skala wong baker 0,
skala numerik 1, skala FLACC 0.
Pasien ke tiga skala wong baker 2,skala
numerik 1, skala FLACC 0. Observasi
komplikasi PONV post operasi
memberikan hasil 1 dari 3 pasien
mengalami mual-muntah, tidak ada
pasien yang mengalami nyeri kepala,
halusinasi atau gangguan prilaku post
operatif. Pasien dipulangkan 8 jam post
operasi dengan diberikan analgetik post
operasi paracetamol 20 mg/kgBB
peroral.
PEMBAHASAN
Tonsilektomi adalah prosedur eksisi
tonsil bilateral, dan merupakan
pelayanan one day care (bedah sehari)
dibanyak fasilitas kesehatan. Terdapat
4 teknik yang dapat digunakan yakni
guillotine, diseksi, thermal welding,
dan cryosurgery, dimana resiko
perdarahan lebih besar pada teknik
guillotine dibanding teknik lainnya,
walau lama operasi lebih singkat dan
nyeri yang lebih kecil. Pada observasi
ini, ketiga pasien dilakukan
tonsilektomi dengan menggunakan
teknik diseksi. Tonsilektomi
menyebabkan daerah orofaring
terekspose, menyebabkan nyeri akibat
spasme otot orofaring dan iritasi dari
serabut saraf eferen. Hemostasis
berkontribusi dalam inflamasi
berlebihan dan juga nyeri post operasi.
Nyeri post operasi tonsilektomi pada
anak merupakan hal yang sulit dicegah
karena daerah orofaring dan fossa
peritonsiler merupakan daerah sensitif
nyeri, karena dipersarafi oleh cabang
nervus trigeminal dan nervus
glossofaringeus, di korteks somatik
serebral. Selama operasi, impuls nyeri
masuk sistem saraf pusat menimbulkan
keadaan hipereksitable. Memblok
118
Jurnal Anestesiologi Indonesia
impuls ini dengan obat analgesik pre-
operasi maupun infiltrasi anestesi lokal
pre-incisi merupakan modalitas nyeri
preemptif. Pada observasi ini, analgetik
diberikan post dilakukannya
tonsilektomi sesaat sebelum pasien
dibangunkan post anestesi umum. Blok
peritonsiler merupakan blok
glosofaringeal intraoral didasar pilar
tonsil posterior dan anterior. Diberikan
untuk manajemen nyeri post operasi,
untuk mengurangi pemberian analgetik
opioid maupun NSAIDs pada anak,
karena tidak menimbulkan efek apneu,
mual-muntah dan perpanjangan waktu
perdarahan. Analgetik post operasi
umumnya menggunakan opiod yang
dapat menyebabkan sedasi, depresi
refleks batuk, mual-muntah, hingga
apneu ; ataupun NSAIDs yang
memiliki resiko terjadinya
perpanjangan waktu perdarahan
ataupun gangguan sistem saluran cerna.
Ketamin adalah suatu molekul dapat
larut dalam air yang menyerupai
phencyclidine. ketamin tidak hanya
digunakan dalam general anestesi tetapi
juga regional anestesi. Neuronal system
mungkin melibatkan kerja
antinosiseptif dari ketamin, blokade
norepinefrin dan serotonin reseptor
merupakan kerja ketamin sebagai
analgesia. Dari berbagai data menduga
bahwa aksi antinosiseptif dari ketamin
mungkin menghambat jalur
monoaminergik nyeri. Ketamin juga
saling berhubungan dengan reseptor
kolinergik muskarinik dalam sistem
saraf pusat, yang berpusat pada kerja
agen antikolinesterase seperti
physostigmine. Pehakain yang
merupakan kombinasi dari lidokain dan
adrenalin, sebagai pengencer ketamin,
digunakan untuk mempercepat onset
kerja obat, dan efek hemostasis akibat
efek vasokonstriktor hebat dan agregasi
platelet dari adrenalin. Dari hasil
penelitian ini, dengan menggunakan
ketamin 0,2 mg/kgBB, rasa nyeri
postop berkurang hingga 6 jam post
operasi pada ketiga subyek, walaupun
pada sesaat setelah operasi selesai ( 15
menit diruang pemulihan), 1 pasien
mengeluh nyeri sedang. Cho dkk2
membuktikan bahwa pemberian
ketamin dengan blok peritonsiler secara
efektif menurunkan nyeri post operasi
post operasi adenotonsilektomi pada
anak dan juga menurunkan kebutuhan
analgesia post operasi. Khademi S3 dkk
juga membuktikan bahwa blok
peritonsiler menggunakan ketamin
menurunkan nyeri post tonsilektomi
dan kebutuhan analgesik post operasi
lebih efektif dibandingkan pemberian
ketamin intravena. Ayatollahi Y3
membandingkan antara pemberian
ketamin dengan tramadol pada blok
peritonsiler, memberikan hasil tramadol
lebih kuat dan lebih cepat memberikan
efek analgesia dibandingkan tramadol,
ketamin memberikan efek halusinasi
post operasi, dan keduanya
memberikan efek mual muntah post
operasi. Kombinasi lain yang juga
sering digunakan adalah ketamin-
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
119
midazolam, biasanya memberikan efek
anestesi yang singkat. Anestesi ini
bekerja dengan cepat mendepresi SSP,
menyebabkan iritasi ringan pada vena,
mempunyai efek yang ringan terhadap
jantung dan sistem respirasi. Kombinasi
obat ini sangat efektif mencegah Post
Operatif Nausea and Vomiting
(PONV). Pemberian midazolam dapat
mengurangi kerja kardiovaskuler dan
peningkatan frekuensi denyut jantung
yang disebabkan oleh penggunaan
ketamin. Pada observasi ini midazolam
diberikan sebagai premedikasi dengan
dosis 0,07 mg/kgBB, dan untuk
pencegahan PONV diberikan
dexametason 0,1 mg/kgBB sesaat
setelah memasukkan propofol saat
induksi. Pada penelitian ini, 2 dari 3
pasien mengalami muntah post operasi
pada 6 jam observasi, dan tidak ada
pasien yang mengalami efek
psikomimetik dari pemberian ketamin.
SIMPULAN
Blok peritonsiler dengan menggunakan
ketamin dan pehakain sebagai pelarut
Daftar Pustaka
1. Merkel, S. I., Voepel-Lewis, T.,
Shayevitz, J. R., Malviya, S.
(1997) The FLACC: A behavioral
scale for scoring postoperative
pain in young children. Pediatric
Nursing, 1997:k23(3), 293–297.
2. Cho HK, Kim KW, Jeong YM,
Lee HS, Lee JY, et al. Efficacy of
Ketamine in Improving Pain Af-
ter Tonsillectomy in Children :
Meta Analysis (2014) . PloS ONE
June 2014 : 9(6) : e101259
3. Khademi S, Ghaffarpasand F,
Heiran HR, Yavari MJ, et al. In-
travenous and Pritonsiller infiltra-
tion of Ketamin for Post Operatif
Pain after Adenotonsillectomy :
A Randomized Placebo-
Controlled Clinical Trial. Med
Princ Pract 2011; 20:433-437
4. Ayatollahi V, Behdad S, Hatami
M, Mostaghiun H, et al. Compari-
son of peritonsillar infiltration
effect on Ketamin and Tramadol
on Post Tonsillectomy pain : a
double blinded randomized place-
bo controlled clinical trial. Croat
Med J. 2012 Apr; 53(2) : 155-61
120
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Meperidin, ketamin dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada
Sectio Secaria dengan anestesi spinal
Uripno Budiono *
Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK Universitas Diponegoro/ RSUP dr Kariadi, Semarang
Dokter mitra pada RS Panti Wilasa, Citarum, Semarang
*Korespondensi/correspondence: [email protected]
Meperidine, ketamine and clonidine effective for the treatment of shivering in
Sectio Secaria with spinal anesthesia
ABSTRACT
Background : Spinal anesthesia is a common anesthesia procedure for caesarian
section, but it can cause shivering during perioperative period. Shivering cause patient
discomfort, harm the patient and disrupt peri- and postoperative monitoring.
Ondansetron, meperidine, clonidine, and ketamine are drugs that can overcome
shivering.
Objective: to know the incidence of shivering in caesarian section patients who
received ondansetron preoperative, and assess the effectiveness of shivering therapy :
meperidine, clonidine, and ketamine in caesarian section with spinal anesthesia
Methods: caesarian section patients with spinal anesthesia who meet the inclusion and
exclusion criteria, given premedication atropine sulfate 0.25 mg and 4 mg
ondansetron half an hour before operation. Spinal anesthesia usinf hyperbaric
bupivacaine. If hypotension occured were treated with ephedrine, in the event of
bradycardia given atropine sulfate. We observed on the onset and severity of
shivering. Patients who shivered then grouped into 3 groups. M group treated with 25
mg of meperidine. K group treated with 25 mg of ketamine and L group received 75
mcg clonidine therapy. Treatment response was measured from the injection treatment
until loss of shivering. Treatment was considered successful when within 15 minutes of
shivering disappear. We also measured sedation scores and adverse effects like
nausea, vomiting, bradycardia, hypotension, a sign of allergies, delirium, respiratory
depression and other side effects. If side effects occur treated in an appropriate
manner.
Results: Shivering occurred in 46% of patients. The three groups showed no
significant difference, both in terms of response to therapy and therapeutic efficacy.
Conclusion: Shivering occurred in 46% of caesarian section patients with spinal
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
121
PENDAHULUAN
Anestesi spinal banyak dilakukan
pada sectio secaria, karena mudah dik-
erjakan, onsetnya cepat dan obat anestesi lo-
kal yang digunakan sedikit, sehingga resiko
anesthesia who received ondansetron preoperative. Meperidine, ketamine and clonidine
effective and have the same effectiveness for shivering treatment in caesarian section patients
with spinal anesthesia.
Keywords: shivering, caesarian section, ondansetron, meperidine, ketamine, clonidine
ABSTRAK
Latar Belakang : Anestesi spinal banyak dilakukan pada sectio cesarea, tetapi anestesi spinal
dapat menimbulkan menggigil pada periode perioperatif. Menggigil menyebabkan pasien tidak
nyaman, membahayakan pasien dan mengacaukan pemantauan peri dan postoperatif.
Ondansetron, meperidin, klonidin, dan ketamin adalah obat-obatan yang dapat mengatasi
menggigil.
Tujuan: mengetahui angka kejadian menggigil pada section secaria pada pasien yang
mendapat ondansetron, dan menilai efektivitas terapi menggigil dari meperidin, klonidin, dan
ketamin pada sectio secaria dengan anestesi spinal
Metode: pasien pasien sectio secaria dengan anestesi spinal yang memenuhi kriteria inklusi
dan ekslusi, diberikan premedikasi 0,25 mg sulfas atropin dan 4 mg ondansetron setengah jam
sebelum tindakan . Dilakukan anestesi spinal dengan bupivakain hiperbarik. Bila terjadi
hipotensi diterapi dengan efedrin, bila terjadi bradikardi diberikan sulfas atropin. Dilakukan
pengamatan pada onset dan beratnya menggigil. Pasien yang menggigil kemudian
dikelompokkan kedalam 3 kelompok. Kelompok M diterapi dengan 25 mg meperidin.
Kelompok K mendapat terapi 25 mg ketamin dan kelompok L mendapat terapi 75 mcg
klonidin. Respon terapi diukur sejak penyuntikan terapi sampai hilangnya menggigil. Terapi
dianggap berhasil bila dalam waktu 15 menit tanda menggigil hilang. Dilakukan pengamatan
tentang skor sedasi dan efek samping mengenai nausea, vomitus, bradikardi, hipotensi,tanda
alergi, mengigau, depresi respirasi dan efek samping yang lain. Bila terjadi efek samping
diterapi dengan cara yang sesuai.
Hasil: Menggigil terjadi pada 46% pasien. Ketiga kelompok menunjukkan perbedaan yang
tidak bermakna, baik dalam hal respon terapi maupun keberhasilan terapi.
Simpulan: Menggigil terjadi pada 46% pasien sectio secaria dengan anestesi spinal yang
mendapat ondansetron sebelumnya. Meperidin, ketamin dan klonidin efektif dan mempunyai
efektivitas yang sama untuk terapi menggigil pada sectio secaria dengan anestesi spinal.
Kata kunci : menggigil, sectio caesaria, ondansentron, meperidin, ketamin, klonidin
122
Jurnal Anestesiologi Indonesia
toksisitas pada ibu dapat dibatasi.
Selain itu transfer obat tersebut
kedalam bayi juga kecil, sehingga resi-
ko toksik pada bayi juga kecil.
Salah satu komplikasi anestesi
spinal adalah terjadinya menggigil pada
periode perioperatif. Menggigil me-
nyebabkan pasien tidak nyaman dan
dapat membahayakan pasien, karena
dapat terjadi kenaikan kebutuhan oksi-
gen dan produksi CO2 1,2,3, pelepasan
katekolamin 1 meningkatnya cardiac
output, takikardi dan hypertensi 4,5,
meningkatnya tekanan intra oculi 6,
meningkatnya tekanan intra cranial 7,
menurunnya saturasi oksigen mixed
vena 8, dan mengacaukan monitor 9,10.
Sebab terjadinya menggigil pa-
da anestesi spinal belum jelas, menggi-
gil merupakan kontraksi otot berulang
ulang sebagai refleks proteksi untuk
meningkatkan produksi panas. Pada
lingkungan yang dingin suhu tubuh di-
pertahankan oleh efek simpatis berupa
vasokonstriksi. Anestesi spinal me-
nyebabkan blok syaraf simpatis setinggi
segmen yang terkena, menyebabkan
vasodilatasi pada daerah yang terkena
blok. Untuk mempertahankan suhu
tubuh maka terjadilah redistribusi atau
terjadi aliran pemindahan panas dari
daerah yang tidak terkena blok menuju
kedaerah yang terkena blok, karena itu
dperlukan peningkatan produksi panas
didaerah yang tidak terkena blok 11. Pa-
da regional anestesi juga terjadi
gangguan termoregulator akibat ter-
jadinya hambatan informasi termal pa-
da syaraf afferent 12. Anestesi spinal
dan epidural menurunkan ambang batas
termoregulator 13.
Pada umumnya menggigil diat-
asi dengan cara menghangatkan pasien
dan memberikan obat obatan antara lain
memperidin, ondansentron, clonidin,
dan ketamin.
Meperidin telah banyak
digunakan untuk mencegah atau terapi
menggigil perioperatif, mekanismenya
belum jelas, diduga mempunyai efek
pada pusat termoregulator melalui
reseptor opioid kappa 14. Tetapi mempu-
nyai kekurangan antara lain menyebab-
kan nausea, vomitus, bronkospasme dan
penurunan tekanan darah. Penurunan
tekanan darah akan memperberat hipo-
tensi yang dapat terjadi pada anestesi
spinal.
Clonidin mempunyai sifat se-
bagai agonis partial alpha 2 sehingga
dapat menurunkan aktifitas simpatis,
karena itu clonidin akan melawan
reseptor adrenergik sentral yang diduga
berperan dalam pengaturan menggigil.
Clonidin akan menurunkan ambang ba-
tas menggigil dan vasokonstriksi 15,16.
Clonidin mempunyai kekurangan antara
lain menimbulkan sedasi, bradikardi,
atau turunnya tekanan darah 17, yang
dapat memperberat hipotensi dan bradi-
kardi yang terjadi pada anestesi spinal.
Ketamin adalah suatu antagonis
kompetitif reseptor N Metil D Aspartat
(NMDA) berperan dalam pengaturan
panas pada berbagai tingkatan. Reseptor
NMDA melakukan pengaturan fungsi
neuron adrenergik dan serotonergik
dilokus caroleus, kemungkinan mengen-
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
123
dalikan menggigil dengan cara termo-
genesis non shivering melalui aksinya
di hipothalamus atau menggunakan
efek beta adrenergik dari norepineprin 18. Ketamin dapat dipakai untuk
mengatasi menggigil pada pasien hip-
potensi, bradikardi atau depresi
respirasi yang dapat terjadi pada pasien
pasien yang mendapat anestesi spinal.
Tetapi mempunyai kekurangan karena
dapat menyebabkan halusinasi, deliri-
um, mengantuk, takikardi, mening-
katnya tekanan intra kranial dan
tekanan intra oculi 19.
Ondansentron adalah obat anti
emetik yang merupakan antagonis 5
Hidroksi Triptamin 3 (5HT3) spesifik 20. 5HT3 atau serotonin adalah suatu
amin yang terdapat didalam otak dan
medula spinalis berperan dalam neuro-
transmisi 21. Penyuntikan 5HT intra
ventrikel pada binatang percobaan me-
nyebabkan menggigil, vasokonstriksi
dan meningkatnya core temperatur 22,23. Karena itu sebagai antagonis
5HT3 spesifik ondansentron dapat
dipakai untuk mencegah menggigil
perioperatif. Keuntungan pemakaian
ondansentron mempunyai kelebihan
dibanding antimenggigil yang efeknya
sentral seperti ketiga obat diatas, kare-
na ondansentron tidak menimbulkan
pengaruh pada hemodinamik 24.
Tujuan dari penelitian ini ada-
lah mengetahui angka kejadian meng-
gigil pada sectio secaria dengan
anestesi spinal yang mendapat on-
dansentron. Selain itu menilai efektifi-
tas terapi mengigil dari ketamin,
clonidin dan meperidin pada pasien
pasien tersebut.
METODE
Angka kejadian menggigil
didapat dengan mengamati 200 ibu
hamil aterm yang menjalani sectio
secaria dengan anestesi spinal dirumah
sakit Panti Wilasa Citarum Semarang
pada tahun 2010, 2011, 2012 dan 2013.
Sebagai persyaratan adalah usia
18 – 40 tahun, status fisik ASA I – II,
tidak ada kontra indkasi pada tindakan,
riwayat alergi dan kontra indikasi pada
obat obat yang digunakan, tidak obesi-
tas, bukan preeklamsi berat, tidak da-
lam keadaan demam, panas atau
menerima transfusi darah dan setuju
dilakukan tindakan tersebut.
Semua pasien mendapat 0,25
mg Sulfas Atropin dan 4 mg On-
dansetron i.m setengah jam sebelum
tindakan. Kemudian diberikan infus
500 cc ringer laktat menggunakan kate-
ter intra vena no 20 yang dipasang pada
lengan atas. Cairan tersebut diberikan
dalam waktu 20 – 30 menit.
Anestesi spinal dilakukan pada
spasium intervertebra L3-4 dengan po-
sisi duduk. Dilakukan asepsis dan anti-
septik pada punggung dilanjutkan
dengan suntikan 1 cc lidokain 2% un-
tuk anestesi lokal, dilanjutkan dengan
anestesi spinal memakai bupivakain
hiperbarik.
Pasien kemudian dibaringkan
terlentang, posisi meja operasi diatur
agar dicapai blok sensorik setinggi T7-
T8, kemudian meja operasi dibuat hori-
124
Jurnal Anestesiologi Indonesia
zontal, pasien diberi oksigen 3 l per
menit melalui kanula hidung, dipasang
kateter urin, diselimuti dilnjutkan sectio
secaria dengan irisan pfanen stiel oleh
dokter spesialis kebidanan.
Monitoring menggunakan pulse
oksimetri dan tensimeter non invasif
otomatis setiap 5 menit. Bila tekanan
darah sistolik turun 20% atau lebih
dibanding awal atau dibawah 90 mmHg
pasien diberi 10 mg efedrin bolus intra
vena. Bila terjadi bradikardi diberi sul-
fas atropin intra vena.
Derajat menggigil ditentukan
seperti penelitian yang dilakukan oleh
Crossley dan Mahajan 25 sebagai beri-
kut 0 : Tidak menggigil, 1 : Terlihat
salah satu atau keduanya, pillo ereksi,
vasokontriksi perifer tetapi tidak ter-
lihat aktifitas otot, 2 : Terlihat aktifitas
pada satu grup otot, 3 : Terlihat aktifitas
lebih dari satu grup otot, 4 : Terlihat
menggigil pada seluruh otot.
Onset terjadinya menggigil
diukur dari saat selesai melakukan
penyuntikan bupivacain sampai terlihat
menggigil.
Pasien menggigil derajat 3 dan
4 atau menggigil derajat 1 dan 2 yang
merasa tidak nyaman diberi terapi
dengan meperidin, ketamin, atau
klonidin. Untuk menilai efektifitas tera-
pi diambil dari pasien menggigil dera-
jat 3 dan 4, kemudian dikelompokan
sesuai dengan obat yang diberikan se-
bagai berikut. Kelompok M adalah
pasien yang mendapat 25 mg meperidin
intra vena. kelompok K adalah pasien
yang mendapat 25 mg ketamin. Ke-
lompok CL adalah pasien yang
mendapat 75 mcg klonidin. Juga dil-
akukan pengamatan mengenai keluhan
pasien seperti mual, muntah atau ke-
lainan lain, bila terjadi mual atau
muntah diberi 10 mg metoklopramid
intra vena. Apgar skor dinilai oleh dok-
ter spesialis anak.
Juga dilakukan pengamatan ten-
tang efek samping mengenai kesadaran,
tanda alergi, mengigau, depresi
respirasi, dan efek samping yang lain.
Penilaian mengenai kesadaran
dilakukan dengan skor sedasi. 0 :
bangun sepenuhnya. 1 : sedasi ringan
tapi mengantuk. 2 : mengantuk tapi ada
respon dari perintah. 3 : tidur tapi masih
dapat dibangunkan. 4 : tidur tidak dapat
dibangunkan.
Respon terapi diukur dari saat
melakukan terapi sampai tanda meng-
gigl tidak terlihat, dianggap berhasil
bila menggigil tidak terlihat lagi, diang-
gap gagal bila dalam waktu 15 menit
tanda menggigil tidak hilang. Kemudi-
an diterapi ulang.
HASIL
Didapat 200 pasien, 92 (46%)
diantaranya mengalami menggigil.
Semuanya dimulai dengan piloereksi
yang kemudian berkembang menjadi
tremor intermitten pada otot rahang,
diikuti pada wajah, kemudian leher,
dada, selanjutnya ekstremitas atas.
Kemudian tremor menjadi menetap.
Melihat hal tersebut maka derajat be-
ratnya menggigil berkembang dari rin-
gan ke berat sesuai dengan ber-
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
125
tambahnya waktu. Dari 92 pasien
menggigil 7 orang berkembang hanya
sampai derajat 2, 9 orang menetap pada
derajat 1. Sehingga yang dimasukkan
dalam penilaian respon terapi sebanyak
76 orang. Semua kejadian menggigil
terlihat setelah bayi berhasil dilahirkan.
Untuk menjaga keselamatan dan
kenyamanan pasien maka terapi meng-
gigil dilakukan pada saat menggigil
mencapai derajat 3, sehingga tidak
didapat pasien menggigil derajat 4.
Dari 76 pasien yang menggigil
tersebut 26 orang mendapat terapi 25
mg meperidin (kelompok M), 25 orang
mendapat terapi 25 mg ketamin
(kelompok K), dan 25 orang mendapat
terapi 75 mcg klonidin (kelompok CL).
Data data mengenai umur, BMI,
tekanan darah sistol, tekanan darah di-
astol, frekuemsi denyut nadi dan onset
terjadinya menggigil menunjukkan
koefisien varian kurang dari 30% se-
hingga data terdistribusi normal. Dari
analisa statistik one way ANOVA keti-
ga kelompok tersebut menunjukkan
perbedaan yang tidak bermakna
(p>0,05) sehingga ketiga kelompok ter-
sebut dianggap homogen dan memen-
uhi syarat untuk dibandingkan dalam
penelitian.
Respon terapi dan hasil terapi
ketiga kelompok juga menunjukkan
perbedaan yang tidak bermakna
(p>0,05).
Efek samping mual muntah
semua terjadi pada saat rongga perut
dibersihkan, hal ini terjadi pada semua
kelompok. Bradikardi terjadi pada 3
orang dari kelompok CL. Skor sedasi
terendah didapat pada kelompok K.
Hasil selengkapnya terlihat pada tabel
1.
PEMBAHASAN
Semua sampel dari penelitian
ini mendapat 4 mg ondansentron I.M
setengah jam sebelum dilakukan
anestesi spinal. Ondansetron adalah
obat aniemetik yang merupakan antago-
nis 5HT spesifik sehinga mempunyai
sifat anti menggigil. Tetapi dalam
penelitian ini masih dijumpai angka
menggigil yang mencapai 46% jauh
lebih tinggi dari penelitian yang dil-
akukan oleh Shakya maupun Kelsaka.
Shakya memberikan 4 mg ondansen-
tron I.V sesudah anestesi spinal dil-
akukan mendapatkan angka menggigil
8% 26. Sementara Kelsaka memberikan
8 mg ondansentron I.V sesudah anestesi
spinal dilakukan mendapatkan angka
menggigil 10% 27.
Perbedaan ini mungkin karena
dua penelitian tersebut memberikan on-
dansentron secara I.V, tidak
menggunakan premedikasi sulfas atro-
pin dan kasusnya bukan ibu hamil.
Tetapi dari penelitian Browning dkk.
Kemungkinan tersebut tidak tebukti
seluruhnya, Browning memberikan 8
mg ondansentron IV pada ibu sectio
secaria menjelang anestesi CSE dil-
akukan mendapatkan angka menggigil
41% pada kelompok ondansetron dan
47% pada kelompok placebo. Agka
menggigil berat mencapai 32% pada
kelompok ondansetron dan 33% pada
126
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Variabel M K CL p
n=26 n=25 n=25
Umur 25,7 ± 5,1 25,9 ± 5 25,6 ± 5,3 0,644*
BMI 24,9 ± 1,8 24,8 ± 1,7 25,1 ± 1,5 0,832*
Sistole 122 ± 6,2 121 ± 6,4 123 ± 6,1 0,646*
Diastole 79 ± 4,6 80 ± 5,4 78 ± 5,2 0,641*
Nadi 80 ± 4,3 81 ± 3,8 80 ± 4,1 0,653*
Onset Mengigil 12,2 ± 2,2 11 ± 2,6 12 ± 2,4 0,549*
Respon terapi 4,2 ± 1,2 4,3 ± 1,2 4,2 ± 1,2 0,511*
Hasil Terapi
Berhasil 25 25 24 0,21o
Tidak berhasil 1 0 1
Efek Samping
Mengigau - 4 -
Bradikardi - - 3
Hipotensi - - -
Alergi - - -
Nausea 3 3 3
Vomitus 1 1 1
Skor Sedasi
0 20 - 19 0,283(M:K)o
1 5 4 5 0,021(M;CL)o
2 - 15 - 0,021(K;CL)o
3 - 6 -
Tabel 1.
Keterangan
* One Way ANNOVA o Chi Square
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
127
kelompok placebo. Dari penelitian ini
Browning berpendapat bahwa profil-
aksis ondansetron tidak dapat
mencegah menggigil dan tidak bisa
mengurangi beratnya menggigil pada
sectio secaria dengan CSE 28. Dari
penelitian Komatsu disimpulkan bahwa
ondansetron tidak merubah core tem-
peratur dan ambang batas pemicu vaso-
konstriksi dan menggigil 29.
Pada penelitian ini insiden
menggigil mencapai 46%, lebih rendah
dibanding angka kejadian menggigil
pada kelompok kontrol dari penelitian
Abdelrachman pada anestesi spinal
sebesar 55% 30, lebih rendah dari ke-
lompok placebo yang didapat dari
penelitian Lone pada anestesi spinal
untuk tindakan urologi sebesar 65% 31.
Angka pada penelitian ini juga lebih
rendah dari angka kejadian menggigil
pada anestesi neuraxial sebesar 55%
yang didapat dari analisa crowley dan
Buggy dari 21 penelitian 32. Tetapi ang-
ka menggigil pada penelitian ini
melebihi angka menggigil pada ke-
lompok kontrol dari penelitian Shakya
sebesar 42,5% 26 maupun kelompok
kontrol dari penelitian Kelsaka sebesar
36% 27.
Hal tersebut mungkin karena
penelitian Shakya maupun Kelsaka me-
makai premedikasi diazepam yang
menjadi faktor penyebab rendahnya
angka menggigil. Hal ini didukung oleh
penelitian Goold yang meyimpulkan
bahwa diazepam dapat mengurangi in-
siden menggigil pasca anestesi dengan
halotan 33. Sementara dari penelitian
Hostler disimpulkan bahwa diazepam
dosis tiggi dapat menurunkan komsum-
si oksigen dan mengurangi insiden
menggigil 34.
Faktor lain yang berpengaruh
pada tingginya angka menggigil pada
peneitian ini adalah diguakannya sulfas
atropin untuk premedikasi. Hal ini ter-
lihat dari penelitian Baxendale dimana
premedikasi dengan obat obat anti ko-
linergik meningkatkan insiden dan
memperberat menggigil postoperasi 35.
Onset terjadinya menggigil pada
penelitian ini sekitar 12 menit, lebih
pendek dari penelitian Tsai dan Chu
yan berkisar antara 15- 26 menit, hal ini
mumngkin karena penelitian Tsai dan
Chu dilakukan pada sectio secaria
dengan epidural 36 dimana anestesi epi-
dural membutuhkan onset yang lebih
lama dibandingkan anestesi spinal.
Pada penelitian ini meperidin,
ketamin, maupun klonidin ketiganya
efektif dan sama kuat untuk terapi
menggigil pada anestesi spinal, ketiga
kelompok berbeda tidak bermakna,
menggigil dapat dihilangkan dalam kis-
aran waktu sekitar 4 menit setelah tera-
pi.
Meperidin mempunyai efek pa-
da pusat termoregulator melalui
reseptor opioid kappa sehingga dapat
mengatasi menggigil 14. Penelitian
sebelumnya telah menunjukan bahwa
meperidin dapat mengatasi menggigil
baik diberikan secara I,V 37,38,39, intrate-
kal 40,41,42,43 maupun epidural 44. Pada
penelitian ini meperidin dapat
menghilangkan menggigil dala waktu
4,2 ± 1,2 menit, hampir sama dengan
128
Jurnal Anestesiologi Indonesia
penelitian Tsai dan Chu, terapi meperi-
din I.V dapat menghilangkan menggigil
dalam waktu 4,2 ± 2,3 menit pada
anestesi epidural 36.
Sebagai antagonis reseptor
NMDA, ketamin dapat mengatasi
menggigil postoperasi 18. Dari
penelitian Dal terbukti bahwa ketamin
0,5 mg /kgbb efektif mencegah menggi-
gil pasca anestesi umum 45. Sementara
dari penelitian Sarim didapat bahwa
efektifitas ketamin 0,25 mg/kgbb sama
dengan petidin 0,5 mg/kgbb dalam
mencegah menggigil pasca anestesi
umum46. Ketamin juga efektif
mencegah menggigil pada anestesi spi-
nal. Dari peneltian Sagir terlihat bahwa
ketamin 0,5 mg/kgbb efektif mencegah
menggigil pada anestesi spinal dan tid-
ak didapat pasien yang menggigil 47.
Sementara dari peneitian Shakiya keta-
min 0,25 mg/kgbb juga efektif
mencegah menggigil pada anestesi spi-
nal tetapi masih didapat 1 dari 40
pasien yang menggigil 26. Sementara
dari penelitian ini ketamin efektif untuk
terapi menggigil pada anestesi spinal,
disini juga terlihat bahwa ketamin sama
efektifnya dengan meperidin naupun
klonidin.
Klonidin dapat mengatasi
menggigil karena sifatnya sebagai ago-
nis partial alpha2 15. Klonidin I.V yang
diberikan pada saat induksi dapat men-
gurangi insiden menggigil pasca
anestesi umum 48. Efektifitas maksimal
untuk mencegah menggigil pasca
anestesi didapat bila klonidin diberikan
I.V pada akhir operasi 49. Selain secara
I.V klonidin peroral juga efektif
mencegah menggigil pasca anestesi
umum, hal ini terlihat dari penelitian
Mohammadi 50. Dari penelitian Lone
didapat bahwa klonidin oral efektif
mencegah menggigil pada anestesi spi-
nal 31. Tetapi bila diberikan secara in-
tratekal klonidin tidak mengurangi in-
siden menggigil, hal ini terlhat dari
penelitian Jeon 51. Selain untuk
pencegahan klonidin juga efektif untuk
terapi menggigil pasca anestesi 16.
Klonidin juga efektif mengatasi meng-
gigil pada anestesi epidural untuk per-
salinan 52. Hasil dari penelitian ini
klonidin sama efektifitasnya dengan
meperidin untuk terapi menggigil pada
sectio secaria dengan anestesi spinal.
Hal yang sama didapat dari penelitian
Mercadante dimana klonidin sama
efektifnya dengan petidin untuk terapi
menggigil post partum dengan anestesi
epidural 53.
Pada penelitian ini terapi meng-
gigil semuanya dilakukan setelah bayi
dilahirkan, sehingga obat obat tersebut
tidak berpengaruh pada bayi.
Pada penelitian ini tidak ada
menggigil derajat 4 karena semua
pasien dengan kategori menggigil dera-
jat 3 sudah mendapat terapi sehingga
tidak bisa diketahui berapa jumlah
pasien menggigil terberat dan seberapa
besar efektivitas respon terapi pada
menggigil derajat terberat ini merupa-
kan keterbatasan penelitian.
Keterbatasan penelitian yang
lain adalah mual muntah terjadi pada
semua kelompok dan terjadi pada saat
rongga perut dibersihkan, sehingga sulit
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
129
5. Sessler DI, Rubinstein EH, Mo-
ayeri A. Physiologic responses to
mild perianesthetic hypothermia
in humans. Anesthesiology 1991:
75: 594-610
6. Mahajan RP, Grover VK, Sharma
SL, Singh H: Intraocular pressure
changes during muscular hyper-
activity after general Anesthe-
sia.Anesthesiology 1987; 66: 419
-21
7. Rosa G, Pinto G, Orsi P, De Blasi
RA, Conti G, Sanita R, La Rosa I,
Gasparetto A: Control of post an-
aesthetic shivering whit nefopam
hydrochloride in mildly hypother-
mic patients after neurosurgery.
Acta Anaesthesiol Scand 1995;
39: 90-5
8. Kaplan JA, Guffin AV. Shivering
and changes in mixed venous ox-
ygen saturation after cardiac sur-
gery. Anesth Analg 1985; 64: 235
-9
9. De Courcy JG, Eldred C: Artefac-
tual “hypotension” from shiver-
ing. Anaesthesia 1989; 44: 787-8
10. Barker SJ, Shah NK: Effects of
motion on the performance of
pulse oximeters in volunteers.
Anesthesiology 1996; 85: 774-81
11. Matsukawa T, SesslerDI, Chris-
tensen R, Ozaki M, Schroeder M.
Heat flow and distribution during
epidural anesthesia. Anesthesiolo-
gy. 1995; 83: 961-967
12. Kurz A, Sessler DI Schroeder M,
Kurz M. Thermoregulatory re-
sponse thresholds during spinal
anesthesia. Anesth Analg 1983;
77: 721-6
13. Ozaki M, Kurz A, Sessler DI,
Lenhardt R, Schroeder M, Mo-
ayeri A at all. Thermoregulatory
thresholds during epidural anad
spinal anesthesia. Anesthesiology
1994; 81: 282-8
DAFTAR PUSTAKA
1. Ciofolo MJ, Clergue F, Devilliers
C, Ben-Ammar M, Viars P:
Changes in ventilaton,Oxygen
uptake, and carbon dioxide output
during recovery from isoflurane
anesthesia. Anesthesiology 1989;
70: 737-41
2. Jones HD, Mc Laren CAB. Post-
operative shivering and hypoxae-
mia after halothane, nitrous oxide
and oxygen anaesthesia. Br J
Anaesth 1965; 37: 35-41
3. Just B, Delva E, Camus Y,
Lienhart A: Oxygen uptake dur-
ing recovery following naloxone.
Anesthesiology 1992; 76: 60-4
4. Bay J, Nunn JF, Prys-Robert C.
Factors influencing arterial PO2
during recovery from anaesthesia.
Br J naesth 1968; 40: 398-407
membedakan apakah disebabkan oleh
terapi, oleh manipulasi rongga perut,
atau keduanya.
Penurunan kesadaran terberat
terjadi pada kelompok K, tetapi hanya
sementara, pada kelompok ini 4 pasien
mengigau yang tidak didapat pada ke-
lompok lain.
SIMPULAN
Menggigil terjadi pada 46%
pasien sectio secaria dengan anestesi
spinal yang mendapat ondansentron
sebelumnya. Meperidin, ketamin dan
klonidin efektif dan mempunyai eektifi-
tas yang sama untuk terapi menggigil
pada sectio secaria dengan anstesi spi-
nal.
130
Jurnal Anestesiologi Indonesia
14. Kurz M, Belani K, Sessler DI,
Kurz A, Larson M, Blanchard D,
Schroeder M: Naloxone, meperi-
dine, and shivering. Anesthesiolo-
gy 1993; 79: 1193-201
15. Delaunay L, Bonnet F, Liu N,
Beydon L, Catoire P, Sessler DI.
Clonidine comparably decreases
the thermoregulatory thresholds
for vasocontrictiion and shivering
in humans. Anesthesiology.1993;
79: 470-474
16. Joris J, Banache M, Bonnet F,
Sessler DI, Lamy M. Clonidine
and ketanserin both are effective
treatment for postanesthetic shiv-
ering. Anesthesiology 1993; 79:
532-9
17. Maze M, Tranquilli W. Alpha2
adrenoceptor agonists: defining
the role in clinical anesthesia. An-
esthesiology 1991; 74: 581-605
18. Sharma DR, Thakur JR. Keta-
mine and shivering. Anaesthesia
1990; 45: 252-3
19. White PF, Way WL, Trevor AJ:
Ketamine: its Pharmacological
and therapeutic uses. Anesthesiol-
ogy 1982; 56: 119-36
20. Gardner C, Perren M, Inhibition
of Anaesthetic-induced emesis by
a NK1 or 5-HT3 receptor antago-
nist in the house musk shrew,
Suncus murinus. Neuropharmacol
1998; 37: 1643-4
21. Hindle AT. Recent developments
in the physiology and pharmacol-
ogy of 5- hydroxytryptamine. Br
J Anaesth 1994; 73: 395-407
22. Feldberg W, Myers RD: Efect on
temperature of amines injected
into the cerebral ventricles: A
new concept of temperature regu-
lation. J Physiol 1964; 173: 226-
37
23. Dawson NJ, Malcolm JL. Initia-
tion and inhibition of shivering in
the rat: interaction between pe-
ripheral and central factors. Clin
Exp Pharmacol Physiol 1982; 9:
89-93
24. Diemunsch P, Conseiller C, Clyti
N, Mamet JP. Ondansentron com-
pared with metoclopramide in the
treatment of estabilished postop-
erative nausea and vomiting: the
French Ondansentron Study
Group. Br J Anaesth 1997;
79:322-6
25. Crossley AW, Mahajan RP. The
intensity of postoperative shiver-
ing is unrelated to axillary tem-
perature. Anaesthesia. 1994; 49:
205-207
26. Shakya B, Chaturvedi A, Sah BB.
Prophylactic low dose ketaminaae
and ondansentron for prevention
of shivering during spinal anaes-
thesia. J Anaesth Clin Pharmacol
2010; 26: 465-469
27. Kelsaka E, Baris S, Karakoya D,
Sarihasan B. Comparison of on-
dansentron and meperidine for
prevention of shivering in pa-
tients undergoing spinal anesthe-
sia. Reg Anesth Pain Med. 2006;
31: 40-5
28. Browning RM, Fellingham WH,
O’loughin EJ, Brown NA, Faech
MJ. Prophylactic ondansentron
does not prevent shivering or de-
crease shivering severity during
cesarean delivery under combined
spinal epidural anesthesia: a ran-
domised trial. Reg Anesth Pain
Med 2013; 38: 39-43
29. Komatsu R, Orhan-Sungur M, In
J, Podranski T, Bouillon T, Lau-
ber R dkk: Ondansentron does
not reduce the shivering treshold
in healthy volunters. Br J Anaesth
2006; 96: 732-7
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
131
30. Abdelrahman RS: Prevention of
shivering during regional anaes-
thesia: Comparison of midazo-
lam, midazolam plus ketaminaa,
tramadol and tramadol plus
ketaminaa. Life sci J 2012; 9: 132
-139
31. Lone IU, Bashir Y, Bashir N, Ali
SS, Shah ZA, Khan NA, Shah
MA, Lone AQ. Role of oral
clonidine in preventing postsub-
arachnoid block shivering in pa-
tients undergoing elective urolog-
ical surgeries: an experience. Ain-
Shams J Anaesthesiol 2015; 8 :
407-12
32. Crowley LJ, Buggy DJ. Shivering
and neuraxial anesthesia. Reg
Anesth Pain Med. 2008; 33: 241-
252
33. Goold JE. Post operative spastici-
ty and shivering. Anaesthesia.
1984; 39: 35-38
34. Hostler D, Northington WE,
Callaway CW. High dose diaze-
pam facilitates core cooling dur-
ing cold saline infusion in healthy
volunteers Appl Physiol Nutr
Metab. 2009; 34: 582-6
35. Baxendale BR, Mahajan RP,
Crossley AW. Anticholinergic
premedication influences the inci-
dence of postoperative shivering.
Br J Anaesth 1994; 72: 291-4
36. Tsai YC, Chu KS. A comparison
of tramadol, amitriptyline, and
meperidine for postepidural anes-
thetic shivering in parturients.
Anesth Analg. 2001; 93(5): 1288-
92
37. Casey WF, Smith CE, Katz JM,
O’Loughlin K, Weeks SK. Intra-
venous meperidine for control of
shivering during caesarian section
undr epidural anaesthesia. Can J
Anaesth. 1988; 35: 128-133
38. Wrench IJ, Cavill G, Ward JEH,
Crossley AWA: Comparison be-
tween alfentanil, pethidine and
placebo in the treatment of post-
anesthetic shivering. Br J Anaesth
1997; 79: 541-2
39. Burks L, Aisner J, Fortner CL,
Wiernik PH: Meperidine for the
treatment of shaking chills and
fever. Arch Intern Med 1980;
140: 483-4
40. Chen JC, Hsu SW, Hu LH, Hong
YJ, Tsai PS, Lin TC, et al. In-
trathecal meperidine attenuates
shivering induced by spinal anes-
thesia. Ma Zui Xue Za Zi. 1993;
31: 19-24
41. Roy JD, Girard M, Drolet P. In-
trathecal meperidine decreases
shivering during cesarean deliv-
ery under spinal anesthesia.
Anesth Analg. 2004; 98: 230-234
42. Hong JY, Lee IH. Comparison of
the effects of intrathecal mor-
phine and pethidine on shivering
after caesarian delivery under
combined-spinal epidural anaes-
thesia. Anaesthesia. 2005; 60:
1168-1172
43. Khan ZH, Zanjani AP, Makarem
J, Samadi S. Antishivering effects
of two different doses of intrathe-
cal meperidine in caesarean sec-
tion: a prospective randomised
blinded study. Eur J Anaesthesiol.
2011; 28: 202-206
44. Sutherland J, Seaton H, Lowry C,
The influence of epidural pethi-
dine on shivering during lower
segment caesarean section under
epidural anaesthesia. Anaesth In-
tensive Care 1991; 19: 228-32
45. Dal D, Kese A, Honca M, Akinci
SB, Basgul E, Aypar U, Eficacy
ofprophylactic ketamine on pre-
venting postoperative shivering.
Br J Anaesth 2005; 95: 189-92
132
Jurnal Anestesiologi Indonesia
46. Sarim BJ, Uripno-Budiono. Keta-
min dan meperidin untuk
pencegahan menggigil pada
anestesi. Jurnal Anestesiologi In-
donesia 2011; 3: 95-107
47. Sagir O, Gulhas N, Toprak H,
Yucel A, Beger Z, Ersoy O. Con-
trol shivering during regional an-
aesthesia: prophylactic ketamine
and granisetron. Acta Anaesthe-
siol Scand 2007; 51: 44-49
48. Buggy D, Higgins P, Moran C,
O’Donovan F, McCarroll M.
Clonidine at induction reduces
shivering after general anaesthe-
sia. Can J Anaesth 1997; 44: 263-
7
49. Horn EP, Werner C, Sessler DI,
Steinfath M, Schulte am Esch J.
Late intraoperative clonidine ad-
ministration prevents postan-
esthetic shivering after total intra-
venous or volatile anesthesia.
Anesth Analg. 1997; 84: 613- 617
50. Mohammadi SS, Seyedi M. Ef-
fects of oral clonidine in prevent-
ing postoperative shivering after
general anesthesia. Int J Pharma-
col 2007; 3: 441-443
51. Jeon YT, Jeon YS, Kim YC,
Bahk JH, Do SH, Lim YJ. In-
trathecal clonidine does not re-
duce post-spinal shivering. Acta
Anesthesiol Scand. 2005; 49:
1509-13
52. Capogna G, Celleno D. IV
clonidine for post-extradural shiv-
ering in parturients: a preliminary
study. Br J Anaesth 1993; 71: 294
-5
53. Mercadante S, Michele PD, Lete-
rio D, Pignataro A, Sapio M, Vil-
lari P. Efect of clonidine on post
partum shivering after epidural
analgesia. A randomised con-
trolled double blind study: JPSM
1994; 8: 294-297
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
133
134
Jurnal Anestesiologi Indonesia