jai - jurnal anestesiologi indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · sejawat...

77
JAI Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume IV Nomor 01, Maret 2012 www.janesti.com ISSN 2089-970X Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah

Upload: dinhcong

Post on 01-Feb-2018

251 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

JAIJurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV Nomor 01, Maret 2012

www.janesti.com

ISSN 2089-970X

Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesiamelalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan

Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif(PERDATIN) Jawa Tengah

Page 2: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

Pelindung: Ÿ Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro Ÿ Ketua Program Studi Anestesiologi dan

Terapi Intensif FK UNDIPŸ Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi

dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah

Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn

Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP

Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNAdr. Hariyo Satoto, SpAndr. Witjaksono, MKes, SpAn, KARdr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAOdr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAPdr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KICdr. Doso Sutiyono, SpAndr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KARdr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAndr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Meddr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Meddr. Danu Soesilowati, SpAndr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med

Mitra Bestari:Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang)Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang)Dr. dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang)Dr. dr. Syarif Sudirman, Sp.An (Surakarta)Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC (Denpasar)

Seksi Usaha: dr. Mochamat, Sp.An

Administrasi: Maryani, Yulia Sekar Ayu Milasari, SAP

Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun.Bagi pengirim artikel penelitian yang dimuat di JAI, dikenakan kontribusi senilai Rp. 500.000,-.Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093)

Alamat Redaksi:Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK

UNDIP/ RS Dr. Kariadi,Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.

Telp. 024-8444346.Email: [email protected]

Website: www.janesti.com

Page 3: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

Sejawat terhormat,

Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian.

Diantaranya adalah mengenai pengaruh terapi cairan terhadap asam basa tubuh, oral

hygiene pada penderita dengan ventilator mekanik, dan pengaruh penggunaan mesin

Cardiopulmonary Bypass terhadap jumlah leukosit.

Dua tinjauan pustaka, mengenai perkembangan sirkuit anestesi dan awareness dan recall

intraoperatif diharapkan menambah wawasan kita dalam bidang anestesi.

Seiring dengan semakin berkembangnya sistem informasi, maka Jurnal Anestesiologi

Indonesia membangun situs web www.janesti.com untuk memudahkan akses informasi

berkala ilmiah dan memberikan kesempatan yang luas agar situs web tersebut dapat di-link

atau dijadikan referensi ilmiah.

Semoga bermanfaat.

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Ucapan Terima Kasih

Kepada Mitra Bestari Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol. IV No. 1 Tahun 2012:

Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang) Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang)

Dr. dr. Mohamad Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang) Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang)

Page 4: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

DAFTAR ISI

PENELITIAN Hal Suriyadi, Mohamad Sofyan Harahap, Ery Leksana Perbedaan Pengaruh Pemberian HES 6 % Dalam Larutan Berimbang Dengan HES 6 %

Dalam Larutan Nacl 0,9 % Terhadap Perubahan pH, Strong Ion Difference Dan Klorida Pada Pasien Bedah Sesar Dengan Anestesi Spinal Terdapat penurunan pH, penurunan SID dan peningkatan kadar klorida pada kelompok HES 6% dalam larutan NaCl 0,9% dibandingkan HES 6% terdalam larutan berimbang secara tidak bermakna.

1

Mochamat, Johan Arifin, Jati Listiyanto Pujo Perbedaan Jumlah Bakteri Orofaring Pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan

Chlorhexidine Dan Povidone Iodine Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik Penurunan jumlah bakteri orofaring pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1%.

9

M Mukhlis Rudi P, Hariyo Satoto, Uripno Budiono Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat Dibandingkan Nacl 0,9% Terhadap

Keseimbangan Asam-Basa Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Regional Pemberian RL pada pasien sectio caesaria lebih menguntungkan dibandingkan NaCl, karena NaCl sangat mempengaruhi pergeseran SID keseimbangan asam-basa Stewart .

17

Rapto Hardian, Hariyo Satoto, Soenarjo Pengaruh Penggunaan Mesin Cardiopulmonary Bypass Terhadap Kadar Leukosit pada

Operasi Bedah Jantung Terdapat peningkatan jumlah leukosit pada penggunaan mesin CPB terutama pada menit ke 30. Pada menit ke 15 belum terdapat peningkatan jumlah leukosit yang bermakna akibat pemakaian mesin CPB .

29

TINJAUAN PUSTAKA Taufik Eko Nugroho, Himawan Sasongko, Soenarjo Perkembangan Sirkuit Anestesi

Sirkuit anestesi atau dikenal dengan sistem pernafasan merupakan sistem yang berfungsi menghantarkan oksigen dan gas anestesi dari mesin anestesi kepada pasien yang dioperasi. Sirkuit anestesi diklasifikasikan sebagai rebreathing dan non-rebreathing berdasarkan ada tidaknya udara ekspirasi yang dihirup kembali

36

Aunun Rofiq, Witjaksono, Widya Istanto Awareness dan Recall Intraoperatif

Awareness introperatif dan recall postoperative bukanlah fenomena yang tidak berhubungan sama sekali. Recall secara khas memberikan estimasi yang tidak sebenarnya terhadap insidensi awareness intraoperatif dan hanya merepresentasikan puncak dari fenomena gunung es

51

Page 5: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

1

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

PENELITIAN

Pengaruh HES 6 % Dalam Larutan Berimbang Dengan HES 6 % Dalam

Larutan Nacl 0,9 % Terhadap pH, Strong Ion Difference Dan Klorida Pada

Pasien Bedah Sesar Dengan Anestesi Spinal

Suriyadi*, Mohamad Sofyan Harahap**, Ery Leksana**

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Patut Patuh Patju, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat

**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: Colloid administration as preload on caesarian section with spinal

anesthesia is more effective than crystalloid administration. Colloid solvent-based-on

administration has been improved due to the effect of acid-base balance.

Purpose: To analyze the effect of HES 6% in balance solution and HES 6% in NaCl 0,9%

solution on pH, SID and chloride change in caesarian section delivery with spinal

anesthesia.

Methode: This is second stage experimental clinical trial, double blind randomized with

consecutive sampling, divided into two groups (n=24), HES 6% in balance solution and

HES 6% in NaCl 0,9% solution. T-test or Wilcoxon Signed Rank Test was performed to

compare pH, SID and chloride level in each group whereas Independent t-test or Mann

Whitney U-test was used to compare both.

Result: There was no significant difference on pH, SID and chloride level after

administration of HES 6% in balance solution and HES 6% in NaCl 0,9% on caesarian

section.

Conclusion: There is increasing on chloride concentration not significantly after

administration of HES in NaCl 0,9% solution, while pH and SID decrease after the

administration of two solution.

Keyword: HES 6%, balance solution, NaCl 0,9% solution, pH, SID, chloride level

ABSTRAK

Latar belakang penelitian: Pemberian koloid sebagai preload pada bedah sesar dengan

anestesi spinal lebih efektif dibandingkan kristaloid. Kebijakan pemilihan koloid

berdasarkan jenis pelarutnya mulai dikembangkan terkait dengan dampak terhadap

keseimbangan asam-basa.

Tujuan: Melihat perbedaan pengaruh pemberian preload HES 6% dalam larutan NaCl

0,9% dengan HES 6% dalam larutan berimbang terhadap perubahan pH, SID dan kadar

klorida pada pasien bedah sesar dengan anestesi spinal

Metode: Merupakan uji klinik eksperimental tahap II yang dilakukan secara acak

tersamar ganda, menggunakan consecutive sampling, dibagi dua kelompok (n=24),

kelompok HES 6% dalam larutan berimbang dan HES 6% dalam larutan NaCl 0,9%. Uji

statistik t-test atau Wilcoxon signed rank test digunakan untuk membandingkan nilai

pHSID, dan kadar klorida pada masing-masing kelompok, sedangkan uji statistik

antarkelompok digunakan independent t-test atau Mann-Whitney U-test

Page 6: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

2

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Hasil: Nilai pH, SID, dan kadar klorida

sebelum dan sesudah operasi antara

kelompok HES 6 % dalam larutan

berimbang dan HES 6% dalam larutan

NaCl 0,9% terdapat perbedaan yang

tidak bermakna (p>0,05)

Kesimpulan: Terdapat penurunan pH,

penurunan SID dan peningkatan kadar

klorida pada kelompok HES 6% dalam

larutan NaCl 0,9% dibandingkan HES

6% terdalam larutan berimbang secara

tidak bermakna.

Kata Kunci: HES 6 %, larutan

berimbang, larutan NaCl 0,9 %, pH, SID,

klorida

_________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Anestesi spinal merupakan salah satu

teknik yang paling sering dipilih pada

operasi bedah sesar. Efek samping yang

paling sering dijumpai pada teknik

anestesi spinal adalah hipotensi sebagai

akibat blok simpatis dalam ruang

subarakhnoid. Hipotensi pada parturien

(kondisi tekanan intraabdominal tinggi)

menyebabkan insidensi penurunan

tekanan darah + 20 % lebih sering

dibandingkan pasien lain.1

Aliran darah uterus secara langsung

ditentukan tekanan darah maternal. Oleh

karena itu hipotensi yang tidak dikelola

dengan baik akan berpengaruh pada ibu

dan janin. Pengelolaan pencegahan

hipotensi dilakukan dengna memastikan

terpasangnya akses vena yang lancar

sebelum anestesi spinal, pemberian cairan

intravena untuk meningkatkan preload

dan pemberian vasopressor (efedrin).

Berdasarkan system review analgesia

spinal, didapatkan hasil bahwa

kemampuan cairan kristaloid sebagai

cairan preloading untuk mencegah

hipotensi tidak konsisten dan koloid

dalam hal ini lebih efektif daripada

kristaloid.2 Cairan koloid juga mampu

menurunkan kebutuhan pemakaian

efedrin sebagai vasopressor dan

menurunkan insidensi terjadinya mual

muntah hingga penurunan kesadaran.3

Penelitian Riley dkk, menunjukkan

bahwa hipotensi lebih sedikit terjadi pada

kelompok yang mendapatkan preload 500

mL HES 6 % dibandingkan kelompok

yang mendapatkan preload 1 liter Ringer

Laktat.4 Penelitian Ueyama (1999)

membandingkan kelompok yang diberi

preload Ringer Laktat 1,5 liter, koloid

HES 6 % 1 Liter, dan koloid HES 6%

500 ml, didapatkan hasil bahwa

kelompok yang mendapatkan preload

HES 6% 1 liter lebih sedikit mengalami

hipotensi dibandingkan kelompok

lainnya.5

Konsep berbasis pendekatan Stewart

menguraikan bahwa terdapat beberapa

independent variabel yang menentukan

keseimbangan asam-basa, antara lain:

tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) dan

Strong Ion Difference (SID) merupakan

variabel yang penting dalam pemberian

cairan infus.6,7

Pemberian cairan yang tidak

mengandung elektrolit berimbang

dikatakan mempunyai tendensi

memperberat kondisi asidosis yang

semula mungkin sudah ada karena proses

hipoperfusi.8

Penelitian Base dkk, menunjukkan kadar

klorida serum secara signifikan lebih

rendah setelah pemberian larutan

berimbang dibandingkan pemberian HES

dalam larutan NaCl 0,9% dan terkait

dengan keseimbangan asam-basa,

penggunaan HES dalam larutan

berimbang menunjukkan keuntungan

yang lebih jelas.9

Page 7: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

3

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Penelitian Nicholas dkk, menunjukkan

bahwa tingkat klorida pascaoperasi

meningkat lebih tinggi pada kelompok

HES dalam larutan NaCl 0,9%

dibandingkan kelompok HES dalam

larutan berimbang. Base excess standar

pascaoperasi menunjukkan penurunan

yang lebih besar pada kelompok HES

dalam NaCl 0,9 %, namun tidak

kelompok HES pada larutan berimbang.

Asidosis metabolik hiperkloremik terjadi

pada dua pertiga pasien kelompok HES

dalam NaCl 0,9 % namun tidak pada

kelompok HES dalam larutan

berimbang.10

Berdasarkan latar belakang tersebut

berkembang suatu pemikiran apakah

pemberian preload pada anestesi spinal

menggunakan cairan koloid yang

mengandung pelarut NaCl 0,9 % bila

dibandingkan cairan koloid yang

mengandung pelarut berimbang

menimbulkan perubahan kadar klorida

yang bermakna, serta mempengaruhi

keseimbangan asam basa yang dapat

dilihat dari nilai strong ion difference

(SID) dan pH pada pemeriksaan gas

darah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menganalisis perbedaan pengaruh

pemberian HES 6 % dalam larutan NaCl

0,9% dan HES 6 % dalam larutan

berimbang terhadap komponen

keseimbangan asam basa dengan

parameter pH, SID, dan kadar klorida

pada operasi bedah sesar menggunakan

anestesi spinal.

METODE

Jenis penelitian ini adalah uji klinik

eksperimental tahap II dengan desain

acak tersamar ganda. Penelitian ini

dilakukan sejak November 2010 hingga

Januari 2011 pada pasien bedah sesar di

Instalasi Bedah Sentral RSUP dr. Kariadi

Semarang. Pemeriksaan laboratorium pH,

strong ion difference, kadar klorida

dilakukan menggunakan sampel darah

pasien 1 jam sebelum dan setelah

diberikan cairan preload untuk diperiksa

pada Laboratorium Patologi Klinik RSUP

dr. Kariadi Semarang. Larutan berimbang

didefenisikan sebagai larutan isotonik

yang mengandung komposisi elektrolit

(Na+, K

+, Cl

-, Ca

++ dan laktat) yang

menyerupai komposisi cairan

ekstraseluler. Larutan NaCl adalah

larutan isotonik yang mengandung

komposisi elektrolit Na+ dan Cl

-.

Kriteria inklusi adalah parturien berusia

19 hingga 35 tahun, status fisik ASA I-II,

menjalani operasi SC cito dan elektif

dengan anestesi spinal, BMI normal

(18,5-24,9), dan setuju mengikuti

penelitian yang diperoleh menggunakan

consecutive sampling yang dibagi

menjadi dua kelompok. Kelompok 1

menggunakan cairan HES 6 % dalam

larutan berimbang sebagai cairan preload

anestesi spinal pada operasi bedah sesar

dan Kelompok 2 menggunakan cairan

HES 6 % dalam larutan NaCl 0,9 %

sebagai cairan preload anestesi spinal

pada operasi bedah sesar.

Kriteria eksklusi adalah pasien

mendapatkan pemberian cairan koloid

>500 mL, transfusi darah selama

perlakuan, durante operasi mengalami

komplikasi anestesi maupun

pembedahan.

Analisis menggunakan uji normalitas

data dan analisis inferensial untuk

menguji hipotesis dengan menggunakan

independent t-test dan Mann Whitney U

test.

Etika penelitian dilakukan informed

consent tertulis dengan penjelasan tujuan

dan manfaat penelitian. Segala

konseskuensi khususnya mengenai

pembiayaan ditanggung oleh peneliti.

Pasien dengan pembedahan elektif

Page 8: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

4

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

dengan anestesi spinal tetap diberikan

pengelolaan anestesi sesuai standar yang

berlaku. Data pribadi penderita dijamin

kerahasiaannya. Tidak terdapat conflict of

interest dengan pihak mana pun.

HASIL

Karakteristik umum subjek penelitian

terlihat pada tabel 1

Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek penelitian

No Variabel HES 6% dalam

larutan berimbang

HES 6 % dalam

larutan NaCl 0,9 %

p

1

2

3

Umur (tahun)

Body Mass Index

Status ASA

ASA I

ASA II

26,830 + 4,449

22,40 (18,90-24,80)

13 (27,1)

11 (22,9)

27,250 + 4,465

22,35(18,60-24,80)

12 (25)

12 (25)

0,748*

0,929*

0,773**

*uji independent t-test, **uji kai-kuadrat

Uji normalitas Shapiro-Wilk

digambarkan pada tabel di atas, di mana

karakteristik umum umur dan BMI pada

masing-masing kelompok memiliki

distribusi yang normal (p>0,05), sehingga

uji statistik dilakukan dengan

independent t-test. Karakteristik status

ASA dengan skala nominal digunakan uji

kai-kuadrat. Hasilnya didapatkan data

homogen (p>0,05) dari semua variabel

Tabel 2. Uji normalitas masing-masing kelompok

Variabel P

HES 6 % dalam larutan berimbang HES 6 % dalam larutan NaCl 0,9 %

Pre Post Pre Post

pH

SID

Klorida

0,176*

0,053*

0,148*

0,417*

0,053*

0,482*

0,206*

0,023**

0,146

0,526*

0,039**

0,283*

*distribusi normal

**distribusi tidak normal

Berdasarkan uji normalitas data

sebagaimana terlihat dalam tabel, bahwa

nilai pH dan klorida HES 6 % dalam

larutan berimbang maupun HES 6%

dalam larutan NaCl 0,9 % terlihat

distribusi normal (p>0,05), maka

digunakan uji paired t-test. Nilai SID

pada kelompok HES 6% dalam larutan

Page 9: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

5

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

berimbang didapatkan distribusi normal

(p>0.05) sehingga digunakan paired t test

sedangkan kelompok HES 6 % dalam

larutan NaCl 0,9 % didapatkan distribusi

tidak normal (p<0.05) sehingga

digunakan wilcoxon signed rank test.

Tabel 3. Perbedaan pengaruh pemberian HES 6 % dalam larutan berimbang

dan HES 6% dalam larutan NaCl 0,9 % terhadap perubahan nilai pH, SID, dan klorida

HES 6 % dalam

larutan berimbang

HES 6 % dalam

larutan NaCl 0,9 % p

pH pre

pH post

p

7,40 + 0,025

7,40 + 0,023

0,831*

7,40 + 0,030

7,40 + 0,026

0,435*

0,759*

0,773*

SID pre

SID post

p

37,92 + 1,28

37,88 + 1,23

0,885*

37,96 + 1,40

37,54 + 1,14

0,199**

0,908***

0,329***

Klorida pre

Klorida post

p

102,96 + 2,88

102,67 + 2,51

0,480*

102,5 + 2,04

103,13 + 1,75

0,109*

0,528*

0,467*

*uji dengan paired t-test

*uji dengan Wilcoxon Signed Rank Test

*** uji dengan Mann Whitney U Test

Dari tabel di atas kita lihat bahwa, rerata

nilai pH, SID, dan klorida sebelum dan

sesudah operasi antara kelompok HES 6

% dalam larutan berimbang dan HES 6%

dalam larutan NaCl 0,9 % terdapat

perbedan yang tidak bermakna (p>0,05).

PEMBAHASAN

Karakteristik kedua kelompok penelitian

yaitu umur, BMI, status fisik (ASA)

setelah diuji tidak ada perbedaan

bermakna (Tabel 1) sehingga layak untuk

dibandingkan.

Pada tabel 3 terlihat pH sebelum dan

sesudah operasi pada kelompok HES 6 %

dalam larutan berimbang dan HES 6 %

dalam larutan NaCl 0,9 % tidak ada

perbedaan bermakna (p>0,05)

Bila dalam tubuh terdapat penambahan

asam, pH akan turun karena asam

ditangkap oleh unsur basa dari sistem

penyangga sehingga perubahan pH dapat

dinetralkan. Demikian juga sebaliknya

bila dalam tubuh terdapat penambahan

basa, pH akan naik, basa akan diikat oleh

asam dari sistem penyangga, sehingga

kenaikan pH dapat dikurangi. pH yang

konstan dipelihara secara bersama oleh

sistem penyangga (buffer) tubuh, paru-

paru dan ginjal.6

Pada tabel 3 terlihat bahwa nilai SID

sebelum dan sesudah operasi pada

Page 10: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

6

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

kelompok HES 6 % dalam larutan

berimbang dan HES 6 % dalam larutan

NaCl 0,9% tidak terdapat perbedaan yang

bermakna (p>0,05).

Pada keadaan hiperkloremia, setiap

peningkatan klorida akan menurunkan

SID. Secara normal SID selalu positif,

maka akan sama jika setiap penurunan

SID akan menurunkan [OH-]. Penurunan

[OH-] menyebabkan asidosis.

12 Pada

pemberian NaCl 0,9% tidak terjadi

perbaikan SID karena mempunya

komposisi klorida yang sama dengan

natrium.13

Menurut Stewart, status asam-basa cairan

tubuh ditentukan oleh PCO2, SID,

konsentrasi total asam lemah nonvolatil

(albumin, fosfat).11

Difusi CO2 melewati membran sangat

mudah dan cepat, sehingga setiap

perubahan yang terjadi pada PCO2 akan

cepat diatasi oleh perubahan ventilasi.

Konsekuensinya adalah konsentrasi [H+]

di semua cairan kompartemen tubuh

mudah berubah atau diatur dan perubahan

pada PCO2 tidak akan menyebabkan

terjadinya perbedaan konsentrasi [H+]

pada masing-masing kompartemen

sehingga CO2 tidak berkontribusi dalam

menyebabkan perbedaan status asam basa

antarmembran.

Protein terbanyak terdapat intrasel dan

plasma kecuali interstitial. Albumin

karena bermolekul besar tidak dapat

melewati membran kecuali saat

kebocoran/kerusakan membran. Dengan

dasar ini, tiap perubahan konsentrasi [H+]

antarmembran bukan berasal dari

pergerakan protein. Konsentrasi fosfat

dalam plasma sedikit sekali dan diatur

sepenuhnya oleh regulasi kalsium

sehingga transfer fosfat melewati

membran juga tidak berkontribusi secara

bermakna dalam interaksi asam basa. SID

merupakan variabel terpenting dalam

pengaturan asam basa antarmembran.

Ion-ion kuat dapat melewati membran

melalui mekanisme channel ion (pasif)

atau pompa transpor (aktif). Ion-ion kuat

ini juga dpat bergerak mengikuti atau

melawan perbedaan konsentrasi.

Kadar klorida sebelum dan sesudah

operasi pada kelompok HES 6% dalam

larutan berimbang dan HES 6% dalam

larutan NaCl 0,9% tidak terdapat

perbedaan bermakna (p>0,05), namun

terdapat kecenderungan adanya

peningkatan kadar klorida setelah operasi

pada kelompok HES 6% dalam larutan

NaCl 0,9%.

Klorida adalah elektrolit utama yang

berada dalam cairan ekstraseluler dan

merupakan elektrolit bermuatan negatif

berkompetisi dengan bikarbonat dalam

mengikat natrium yang berperan dalam

menjaga keseimbangan elektrolit. Bila

kadar bikarbonat serum menurun, klorida

akan meningkat menyebabkan asidosis

metabolik hiperkloremik.

Ginjal berperan dalam mengeluarkan

asam dari tubuh (misalnya, jika pH urin

lebih rendah dalam plasma, H+ akan

diekskresi oleh ginjal). Namun,

berdasarkan teori Stewart, mekanisme

tersebut bukan terjadi melalui mekanisme

ekskresi H+, melainkan regulasi tubuh

terhadap SID (terutama Cl- melalui

tubulus ginjal). Ion klorida akan difiltrasi

namun tidak direabsorbsi, sehingga nilai

SID dalam plasma dijaga tetap seimbang.

Amoniagenesis di ginjal berfungsi

menghasilkan NH4+

agar Cl- dapat

diekskresikan dalam bentuk NH4Cl.11

Contoh lain adalah interaksi asam basa

antarmembran di lambung. Cairan

lambung bersifat asam bukan karena

transpor H+ ke dalam lambung,

melainkan pergerakan ion klorida. Ion

Page 11: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

7

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

klorida akan diekskresi ke dalam

lambung dari plasma sehingga SID cairan

lambung menjadi kecil dan karena SID

kecil maka [H+] akan lebih banyak dari

[OH-], maka pH akan turun, sehingga

berdaasarkan penjelasan di atas dapat

disimpulkan dengan menjaga SID tetap

normal dapat diasumsikan pH tubuh juga

normal.11

Kelemahan penelitian ini adalah tidak

memeriksa secara keseluruhan asam basa

Stewart seperti penilaian terhadap kadar

albumin dan unmeasured anionin.

Penelitian ini juga hanya dilakukan pada

operasi bedah sesar dengan perdarahan

kurang dari 500 ml, hal ini berhubungan

dengan etika dan keselamatan pasien

karena belum ada penelitian sebelumnya.

SIMPULAN

Dari penelitian ini didapatkan hasil

bahwa terdapat penurunan pH dan SID

pada kelompok HES 6% dalam larutan

NaCl 0,9% dibandingkan HES 6 % dalam

larutan berimbang secara tidak bermakna.

Selain itu, juga terdapat peningkatan

kadar klorida pada kelompok HES 6 %

dalam larutan NaCl 0,9% dibandingkan

kelompok HES 6% dalam larutan

berimbang secara tidak bermakna.

Berdasarkan hasil penelitian, maka saran

yang dapat diberikan peneliti antara lain

HES 6% dalam larutan berimbang dan

HES 6% dalam larutan NaCl 0,9% dalam

jumlah 500 mL dapat digunakan sebagai

cairan preload tanpa mempengaruhi nilai

pH, SID, dan klorida secara bermakna,

walaupun tampak adanya kecenderungan

terjadinya peningkatan klorida pada

penggunaan HES 6% dalam larutan NaCl

0,9%. Selain itu, penelitian ini dapat

dijadikan dasar pertimbangan untuk

memilih jenis cairan koloid sebagai

cairan preload pada bedah sesar dengan

anestesi spinal serta perlu dilakukan studi

serupa dengan sampel jumlah cairan yang

lebih banyak serta jenis operasi yang

berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

1. Birnbach DJ, Browne IM. Anesthesia for

obstetrics. In: Miller RD. Miller‟s

anesthesia. 6th ed. Pennsylvania:

Elsevier Churcill Livingston, 2005; 326-

29.

2. Mulyono I, Harijanto E, Sunatrio S.

Cairan koloid. Panduan tatalaksana

terapi cairan perioperatif. Perhimpunan

Dokter Spesialis Anestesiologi dan

Reanimasi Indonesia. 2009; 130-31.

3. Abdelrachman RS, Elzeftawy AE, et al.

Comparison of colloid versus crystalloid

preload for preventation of hypotension

during spinal anesthesia for elective

section caesarian. Tanta Medical

Sciences Journal Vol (2) No (1) January

2007; pp. 131-41 ISSN:1687-5788.

4. Rilley ET, Cohen SE, Rubenstein AJ,

Flanagan B. Prevention of hypotension

after spinal anesthesia for caesarean

section: six persent hetastarch versus

lactated ringer solution. AnestAnalg

1995; 81(4):838-42.

5. Ueyama H, Le H, Tanigami H, Mashimo

T, Yoshiva I. Effect of crystalloid and

colloid preload on blood volum in the

parturient undergoing spinal for elective

caesarian section. Anesthesiology 1999;

91; 1571-6.

6. Zander R. Fluid management.

Bibliomed, Melsungen (Germany) 2006.

www.physioklin.de/immages/stories/pdf/

literatur/Z/fluidmanagement060728.pdf

(accesed 6 November 2006).

7. Ery Leksana. SIRS, sepsis,

keseimbangan asam basa, shock dan

terapi cairan. SMF/Bag. Anestesi dan

Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi/Fak.

Kedokteran UNDIP Semarang. 2006

8. Brill SA, Stewart TR, Brundage SI,

Schreiber MA. Base deficit does not

predict mortality when secondary to

hyperchloremic acidosis. Shock 2002;

17: 459-62.

9. Base E, Standl T, Mahl C, Jungheinrich

C. Comparisson of 6 HES in balanced

electrolyte solution versus 6 % HES

saline solution in cardiac surgery.

Critical care

2006.www.ccforum.com/content/10/SI/p

176 (accesed 6 November 2006).

Page 12: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

8

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

10. Nicholas J. Wilkes, Rex Woolf, Marjorie

Mutch, Susan V. Mallett. The effect of

balanced versus salin-based hetastarch

and crystalloid solutions on acid-base

and electrolyte status and gastric

11. mucosal perfusion in erderly surgical

patients. Anest-Analg 2001; 93:811-816.

12. Finucane BT. Compllications of regional

anaesthesia. Churchill Livingstone. New

York. 2000.

13. Price LA, Wilson LM. Gangguan pada

volume cairan, osmolaritas dan

elektrolit. Dalam: Patofisiologi konsep

klinis proses penyakit. Edisi 1. Jakarta:

EGC; 1994: 302-23.

14. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar

metodologi penelitian klinis. Edisi ke 2.

Jakarta: CV Sagung Seto, 2002: p146-5

Page 13: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

9

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

PENELITIAN

Perbedaan Jumlah Bakteri Orofaring Pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan

Chlorhexidine Dan Povidone Iodine Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik

Mochamat*, Johan Arifin*, Jati Listiyanto Pujo*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: Oral hygiene antiseptic is one of the manner can reduce incident

ventilator associated pneumonia (VAP). Chlorhexidine and povidone iodine can reduce

number of bacteria on decontamination oropharyngel process

Objectives: To find the difference in decrease in the number of oropharyngeal bacteria

on oral hygiene with chlorhexidine 0.2% and povidone 0.1% on patients with

mechanical ventilator

Methods: A randomized clinical control trial study on 30 patients with mechanical

ventilator. Patients were divided into 2 groups (n=15), group 1 using chlorhexidine 0,2%

and group 2 using povidone iodine 1%. Each group was given oral hygiene every 12

hours for 48 hours. Each group was taken secretions from the oropharynx before and

after treatment, for later examination in counting the number and type of

oropharyngeal bacteria. Statistical test using paired t-test, Wilcoxon, and Mann

Whitney (with degrees of significance <0.05)

Result: In this study, a decrease in the number of oropharyngeal bacteria of

chlorhexidine group 140±76.625 (significant difference, p =0.000) while in

povidone iodine group amounted to 100.80±97.209 (significant difference,

p=0.008). While the comparative difference test result obtained both groups did not

differ significantly (p-0.234).

Conclusion: The decrease number of oropharyngeal bacteria on oral hygiene with

chlorhexidine 0,2% was not different from povidone iodine 1%

Keywords: Chlorhexidine 0,2%, povidone iodine 1%, number of oropharyngeal

bacteria, oral hygiene, mechanical ventilator.

ABSTRAK

Latar belakang: Antiseptik oral hygiene merupakan salah satu cara yang dapat

menurunkan insiden ventilator associated pneumonia (VAP). Chlorhexidine dan

povidone iodine merupakan antiseptik yang mampu menurunkan jumlah bakteri pada

proses dekontaminasi orofaring.

Tujuan: Untuk mengetahui adanya perbedaan penurunan jumlah bakteri orofaring

pada tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0.2% dan povidone iodine 1% pada

penderita dengan ventilator mekanik.

Metode : Merupakan penelitian Randomized clinical control trial pada 30 penderita

dengan ventilator mekanik. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n=15), kelompok

1 menggunakan chlorhexidine 0,2% dan kelompok 2 menggunakan povidone iodine

1%. Masing-masing kelompok diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap

kelompok diambil sekret dari orofaring sebelum dan setelah perlakuan, untuk kemudian

Page 14: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

10

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dilakukan pemeriksaan hitung jumlah

dan jenis bakteri orofaring. Uji

statistik menggunakan paired t-

test,Wilcoxon, dan Mann Whitney

(dengan derjat kemaknaan < 0,05).

Hasil : Pada penelitian ini didapatkan

penurunan jumlah bakteri orofaring

pada kelompok chlorhexidine sebesar

140±76,625 (berbeda bermakna,

p=0,000) sedangkan pada kelompok

povidone iodine sebesar 100,80±97,209

(berbeda bermakna, /p=0,008).

Sedangkan pada uji selisih komparatif

kedua kelompok didapatkan hasil

berbeda tidak bermakna(p=0,234).

Kesimpulan : Penurunan jumlah bakteri

orofaring pada tindakan oral hygiene

dengan chlorhexidine 0,2% tidak

berbeda bermakna dengan povidone

iodine 1%.

Kata Kunci : Chlorhexidine 0,2 %,

povidone iodine 1%, jumlah bakteri

orofaring, oral hygiene, ventilator

mekanik.

_____________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Kesehatan mulut yang baik tercermin dari

campuran seimbang dari bakteri gram

positif dan gram negatif, integritas

fungsional orofaring, dan sinkronisasi

mekanisme menelan. Selama rawat inap,

bakteri patogen dapat menggantikan flora

normal orofaring dalam waktu 48 jam

dan dapat berkolonisasi di saluran napas1,

gigi, gusi, atau keduanya, yang terlibat

sebagai tempat cadangan patogen untuk

pernafasan, dapat memberikan kontribusi

pada proses terjadinya pneumonia. Tetapi

kesehatan mulut dapat menurun akibat

sakit kritis atau pada penggunaan

ventilator mekanik.2 Pada pasien sakit

kritis yang terintubasi, pipa endotrakhea

dan pipa orofaring yang digunakan untuk

melindungi jalan napas dapat bertindak

sebagai vektor untuk migrasi dari

organisme patogen.1

Pneumonia

nosokomial adalah kontributor yang

signifikan untuk morbiditas dan

mortalitas pasien. Hal tersebut memiliki

angka kematian tertinggi infeksi

nosokomial dan merupakan infeksi yang

paling umum di unit perawatan intensif.3

Kombinasi kesehatan mulut dan alat jalan

napas yang buruk dapat meningkatkan

resiko pneumonia terkait ventilator atau

yang disebut ventilator associated

pneumonia (VAP). Tingkat kematian

yang terkait dengan rentang VAP dari

20% menjadi 41% di berbagai unit

perawatan intensif.1

Salah satu faktor risiko pneumonia adalah

kolonisasi pada orofaring oleh flora yang

berpotensi patogen seperti

Staphylococcus aureus, Streptococcus

pneumoniae, atau bakteri gram-negatif

bentuk batang. Beberapa faktor yang

berkontribusi terhadap hubungan antara

kesehatan mulut dan perkembangan

pneumonia terkait ventilator. Dalam

waktu 48 jam dari masuk ke unit

perawatan intensif (ICU), flora oral

pasien sakit perubahan yang didominasi

flora gram negatif yang mencakup lebih

banyak organism virulen. Plak gigi juga

dapat menyediakan habitat bagi

mikroorganisme yang bertanggung jawab

atas rerjadinya pneumonia terkait

ventilator, dan plak gigi pada pasien di

ICU dapat dijadikan tempat kolonisasi

oleh flora berpotensi potensi patogen

pada pernapasan seperti Methicillin-

Resistant Staphylococcus Aureus

(MRSA) dan Pseudomonas aeruginosa.4

Kolonisasi orofaring dengan

mikroorganisme yang berpotensi

patogen, dari berbagai mikroorganisme

gram negatif dan gram positif, adalah

penting dalam proses patogenesis VAP.

Page 15: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

11

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Beberapa strategi untuk mencegah

terjadinya kolonisasi orofaring telah

dievaluasi. Aplikasi dengan

menggunakan antibiotik yang tidak

diserap, baik dalam bentuk larutan atau

pasta, untuk rongga orofaring telah

dikaitkan dengan pengurangan yang

signifikan dari VAP dalam sebuah

penelitian double blind dengan kontrol

dua plasebo. Akan tetapi profilaksis yang

terus menerus dengan menggunaan

antibiotik dapat meningkatkan risiko

terjadinya resistensi patogen, dan oleh

karena itu tidak direkomendasikan.5

Dekontaminasi oral pada penderita

dengan ventilator mekanik menggunakan

antiseptik berkaitan dengan kejadian

rendah akan terkena pneumonia terkait

ventilator. Baik dengan menggunakan

antibiotik ataupun antiseptik,

dekontaminasi oral akan menurunkan

angka mortalitas dan durasi penggunaan

ventilator mekanik serta lama rawat inap

di ruang rawat intensif. 6

Antiseptik atau antimikroba peptida

dengan penggunaan terapeutik yang

terbatas, seperti chlorhexidine dan

cholistin dapat menjadi alternatif menarik

untuk dekontaminasi orofaringeal.

Chlorhexidine memiliki berbagai

aktivitas melawan mikroorganisme gram

positif, termasuk patogen multiresisten

seperti Methicillin Resistant

Staphylococcus Aureus (MRSA) dan

Vancomisin resistant Enterococcus

(VRE), meskipun kegiatan terhadap

mikroorganisme gram negatif mungkin

kurang optimal.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui Adakah perbedaan jumlah

bakteri orofaring pada tindakan oral

hygiene menggunakan chlorhexidine

0,2% dibandingkan povidone iodine 1%

pada penderita dengan ventilator

mekanik.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

dengan bentuk rancangan randomized

clinical control trial. Dalam rancangan

eksperimental, pengukuran atau observasi

dilakukan diawal & setelah perlakuan:

Kelompok 1 chlorhexidine 0,2% sebagai

oral hygiene pada penderita dengan

ventilator mekanik Kelompok 2 povidone

iodine 1% sebagai oral hygiene pada

penderita dengan ventilator mekanik

Ruang lingkup keilmuan : Anestesiologi

dan Terapi Intensif, Mikrobiologi Klinik

Ruang Lingkup tempat ICU RSUP Dr.

Kariadi Semarang Ruang lingkup waktu

Februari-April 2011 Populasi terjangkau

Semua penderita di ICU RSUP Dr.

Kariadi pada bulan Februari - April 2011

Semua penderita dengan ventilator

mekanik di ICU RSUP Dr. Kariadi yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

pada bulan Februari-April 2011. Sampel

yang ada dikelompokkan menjadi dua

kelompok perlakuan. Sampel

dikelompokkan dengan cara probability

sampling, dimana penderita pertama

dikelompokkan dalam kelompok 1,

penderita kedua dimasukkan kedalam

kelompok 2. Peneliti tidak mengetahui

penderita karena urutan penderita

berdasarkan undian terhadap 2 kelompok

secara acak.

Kelompok 1 menggunakan obat oral

hygiene chlorhexidine 0,2% Kelompok 2

menggunakan obat oral hygiene povidone

iodine 1% Penderita dengan ventilator

mekanik Laki-laki dan perempuan

dewasa. Kriteria eksklusi yakni penderita

yang Alergi atau terdapat kontraindikasi

terhadap obat yang digunakan dalam

penelitian, penderita dengan penyakit

keganasan, penderita dengan HIV,

penderita menggunakan kortikosteroid

dalam jangka lama.

Page 16: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

12

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Dari perhitungan jumlah sampel

didapatkan jumlah sampel : N = 14,533

orang. Dalam penelitan ini akan

digunakan sampel sebesar 15 orang.

Total sampel adalah 30 orang dibagi

menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 = 15

orang Kelompok 2 = 15 orang

Chlorhexidine 0,2% sebagai oral hygiene

diberikan pada kelompok 1 diberikan

setelah terpasang ventilator mekanik,

dengan besar pemberian 25 ml setiap 12

jam Pemberian povidone iodine Povidone

iodine 1% sebagai obat antiseptik oral

diberikan pada sampel kelompok 2,

diberikan setelah terpasang ventilator

mekanik, dengan besar pemberian 25 ml

setiap 12 jam jumlah kolonisasi bakteri

dari sekret oral

Variabel terikat dengan skala numerik,

yang menunjukkan salah satu diagnosis

mikrobiologis VAP. Ditentukan dengan

penghitungan bakteri hasil kultur di

media McConkey dan nutrien agar dari

sampel sekret orofaring 12 jam setelah 4

kali perlakuan.

Seleksi penderita dilakukan saat dirawat

di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang pada

penderita yang mengunakan ventilator

mekanik, berdasarkan kriteria yang telah

ditetapkan sebelumnya. Keluarga

penderita diberikan penjelasan tentang

hal-hal yang akan dilakukan, serta

bersedia untuk mengikuti penelitian dan

mengisi formulir informed consent.

Penderita secara berurutan dibagi

menjadi 2 kelompok yaitu kelompok 1 :

Chlorhexidine dan kelompok 2 :

Povidone iodine, sehingga masing-

masing kelompok berjumlah 16 orang.

Pada kelompok 1 diberikan chlorhexidine

0,2% sebanyak 25 ml. Pada kelompok 2

diberikan povidone iodine 1% sebanyak

25 ml.

Hasil analisis disajikan dalam bentuk

grafik box plot. Analisis analitik akan

dilakukan untuk menguji hasil kultur

mikrobiologi pada kedua kelompok

perlakuan dengan uji non parametrik

Mann Whitney, Wilcoxon. Semua uji

analitik menggunakan p = 0,05. Semua

perhitungan statistik menggunakan

software Statitical Package for Social

Science (SPSS) 15.

HASIL

Telah dilakukan penelitian tentang

perbedaan jumlah bakteri orofaring pada

tindakan oral hygiene menggunakan

chlorhexidine 0,2% dibandingkan

povidone iodine 1% pada penderita

dengan ventilator mekanik pada 30 orang

setelah memenuhi kriteria inklusi dan

kriteria eksklusi tertentu. Karakteristik

subyek penelitian ditampilkan pada tabel

berikut.

Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian

No Variabel Chlorhexidine Povidone iodine p

1. Umur (tahun) 49,47±16,128 48,20±13,718 0,917*

2. Jenis kelamin 15(26,7-23,3) 15(23,3-26,7) 0,133**

*uji Mann Whitney U **uji kai-kuadrat

Uji normalitas Shapiro-Wilk digambarkan

pada tabel di atas, dimana karakteristik

umum umur pada kelompok

chlorhexidine memiliki distribusi yang

Page 17: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

13

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

normal (p > 0,05), sedangkan kelompok

povidone iodine memiliki distribusi tidak

normal (p < 0,05) sehingga untuk uji

homogenitas diperlukan Mann Whitney U

test. Karakteristik jenis kelamin dengan

skala nominal digunakan uji kai-kuadrat

(x2). Hasilnya didapatkan data homogen

(p > 0,05) dari semua variabel.

Jumlah bakteri orofaring yang diambil

sebelum dan sesudah mendapat perlakuan

pada masing-masing kelompok subyek

penelitian ditampilkan dalam tabel

berikut:

Tabel 2. Jumlah bakteri ororfaring pada masing-masing kelompok

Chlorhexidine Povidone iodine

Variabel Pre

(mean±SD)

Post

(mean±SD)

Pre

(mean±SD)

Post

(mean±SD)

Jumlah

bakteri 300±0,0 160±76,625 294,67±20,656 193,87±97,592

Data perubahan jumlah bakteri orofaring

sebelum dan sesudah mendapat perlakuan

menggunakan uji Shapiro-Wilk dan

didapatkan distribusi data normal (p >

0,05) pada kelompok chlorhexidine dan

tidak normal pada kelompok povidone

iodine (p < 0,05)

Berdasarkan uji normalitas data

sebagaimana terlihat pada tabel di atas,

pada variabel jumlah bakteri pada

kelompok chlorhexidine didapatkan

distribusi normal, maka untuk masing-

masing kelompok penelitian digunakan

paired T-test. Jumlah bakteri pada

kelompok povidone iodine didapatkan

distribusi tidak normal (p < 0,05),

sehingga digunakan Wilcoxon Signed

Rank Test. Hasil analisis disajikan dalam

tabel berikut.

Tabel 3. Uji normalitas masing-masing kelompok

P

Variabel Chlorhexidine Povidone iodine

Pre Post Pre Post

Jumlah

bakteri

0,676 0,676 0,000 0,009

*uji dengan Shapiro-Wilk

Tabel 4. Uji pre dan post masing-masing kelompok

Jumlah bakteri Chlorhexidine Povidone iodine

Pre

Post

300±0,0

160±76,625

294,67±20,656

193,87±97,592

P 0,000* 0,008**

*uji dengan paired t-test

**uji dengan Wilcoxon Signed Rank Test

Page 18: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

14

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel menunjukkan jumlah bakteri

orofaring pada kelompok chlorhexidine

sebelum perlakuan 300 ± 0,0 dan setelah

perlakuan 160 ± 76,625, yang berarti

mengalami penurunan sebesar 140 ±

76,625. Kelompok povidone iodine

jumlah bakteri orofaring sebelum

perlakuan 294,67 ± 20,656 dan setelah

perlakuan 193,87 ± 97,592, yang berarti

mengalami penurunan sebesar 100,80 ±

97,209.

Hasil uji statistik yang dilakukan

menggunakan paired t-test pada

kelompok chlorhexidine menunjukkan

perbedaan yang bermakna (p<0,05),

sedangkan uji statistik menggunakan

Wilcoxon Signed Rank Test pada

kelompok povidone iodine juga

menunjukkan perbedaan yang bermakna

(p<0,05).

Pada analisis komparatif antarkelompok

digunakan Mann Whitney U-test. Hasil

analisis disajikan dalam box plot berikut.

Perbandingan jumlah bakteri orofaring

dari kedua kelompok perlakuan Pada

analisis komparatif antarkelompok

didapatkan penurunan jumlah bakteri

orofaring pada kelompok chlorhexidine

dibandingkan kelompok povidone iodine

dengan perbedaan tidak bermakna

(p=0,234)

Pada pasien sakit kritis yang terintubasi,

pipa endotrakhea yang digunakan untuk

melindungi jalan napas dapat bertindak

sebagai vektor untuk migrasi dari

organisme patogen.1 Pneumonia

nosokomial adalah kontributor yang

signifikan untuk morbiditas dan

mortalitas pasien. Kombinasi kesehatan

mulut dan alat jalan napas yang buruk

dapat meningkatkan resiko pneumonia

terkait ventilator, ventilator associated

pneumonia (VAP). Tingkat kematian

yang terkait dengan rentang VAP dari

20% menjadi 41% di berbagai unit

perawatan intensif.

Dalam waktu 48 jam dari masuk ke unit

perawatan intensif (ICU), flora oral

pasien sakit perubahan yang didominasi

flora gram negatif yang mencakup lebih

banyak organism virulen.4 Kolonisasi

orofaring dengan mikroorganisme yang

berpotensi patogen, dari berbagai

mikroorganisme gram negatif dan gram

positif, adalah penting dalam proses

patogenesis VAP. Beberapa strategi

untuk mencegah terjadinya kolonisasi

orofaring telah dievaluasi.5

Dekontaminasi oral pada penderita

dengan ventilator mekanik menggunakan

antiseptik berkaitan dengan kejadian

rendah akan terkena pneumonia terkait

ventilator. Dengan menurunnya

pertumbuhan kuman di orofaring,

diharapkan bahwa insiden VAP juga

menurun, hal ini dibuktikan dalam

penelitian yang dilakukan oleh Tantipong

dan Chan.

Penelitian yang dilakukan ini adalah

membandingkan jumlah bakteri orofaring

pada tindakan oral hygiene dengan

chlorhexidine dan povidone iodine pada

penderita dengan ventilator mekanik.

Penelitian yang dilakukan oleh Susan

Houston dkk telah membuktikan bahwa

chlorhexidine mampu menurunkan

jumlah bakteri pada pasien yang

terintubasi lebih dari 24 jam. Penelitian

Ishikawa dkk juga membuktikan terjadi

penurunan jumlah total bakteri orofaring

dengan menggunakan povidone iodine

kumur. Namun belum terdapat penelitian

yang membandingkan kedua obat

tersebut dalam menurunkan jumlah

bakteri orofaring.

Pada penelitian ini digunakan 30 subyek

penelitian dengan karakteristik yang telah

diseleksi melalui kriteria inklusi dan

eksklusi didapatkan 30 pasien dengan

karakeristik umur, jenis kelamin yang

Page 19: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

15

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

tidak berbeda bermakna (p > 0,05)

sehingga layak dibandingkan.

Hasil analisis pada kedua kelompok

menunjukkan bahwa jumlah bakteri

orofaring pada kelompok chlorhexidine

sebelum perlakuan dan setelah perlakuan

berbeda bermakna (p=0,000), sedangkan

kelompok povidone iodine juga berbeda

bermakana (p=0,008). Sedangkan selisih

jumlah bakteri orofaring pada kedua

kelompok dianalisis dengan uji

komparatif Mann Whitney, dengan hasil

menunjukkan tidak berbeda bermakna

0=0,234). Meskipun didapatkan hasil

tidak berbeda bermakna pada uji

komparatif kedua kelompok, akan tetapi

chlorhexidine lebih efektif dalam

menurunkan jumlah bakteri orofaring

dibanding povidone iodine. Hal dilihat

dari penurunan jumlah bakteri sebelum

dan sesudah perlakuan pada kelompok

chlorhexidine sebesar 140±76,625(

p=0,000), sedangkan pada kelompok

povidone iodine sebesar 100,80±97,209

(p=0,008).

Hasil ini dapat dihubungkan dengan

kemampuan chlorhexidine yang bekerja

pada spektrum luas, bekerja cepat,

mempunyai aktivitas residu, absorbsi

yang minimal serta mempunyai aktivitas

pada darah atau jaringan yang lebih baik

dibandingkan povidone iodine, Penelitian

yang dilakukan oleh Mimoz dkk juga

menyebutkan bahwa chlorhexidine lebih

efektif dibandingkan povidone iodine

dalam menurunkan kontaminasi kultur

darah serta oleh Rabih dkk dengan hasil

yang sama namun dilakukan pada kateter

vena sentral.

Kekurangan pada penelitian ini adalah

ketidakmampuan peneliti dalam

mengontrol waktu antara pengambilan

sampel di ICU, pengiriman, serta

pemeriksaan sampel di laboratorium

mikrobiologi klinik. Peneliti telali

berusaha meminimalkan kekurangan

dengan cara mempersingkat pengiriman

serta langsung dilakukan pemeriksaan

saat sampel diterima petugas.

SIMPULAN

Terdapat penurunan jumlah bakteri

orofaring pada kelompok

chlorhexidine secara bermakna. Terdapat

penurunan jumlah bakteri orofaring pada

kelompok povidone iodine secara

bermakna. Terdapat penurunan jumlah

bakteri orofaring pada kelompok

chlorhexidine dibandingkan kelompok

povidone iodine secara tidak bermakna.

Sebaiknya chlorhexidine digunakan

sebagai oral hygiene terpilih pada

penderita dengan ventilator mekanik

dibandingkan povidone iodine.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hunter JD. Ventilator associated pneumonia.

Postgraduate medical journal ( serial on

internet) 2006 (cited 2010 Dec 10); 82

(965): 172-78. Available from :

http//pmj.bmj.com/content/82/965/172.full

2. Kohl BA, Hanson CW. Critical care

protocols. In: Miller RD, editor. Miller's

anesthesia

7th ed. America: Elsevier, 2010;Vol 2:23-87.

3. Chan EY, Ruest A, Meade M, Cook DJ. Oral

decontamination for prevention of

pneumonia in mechanically ventilated adults:

systematic review and meta-analysis. BMJ

(serial on internet) 2007 (cited 2010 Dec

10);334:889. Available from

:http//www.medscape.com/viewarticle/70783

3_4

4. Wiryana M. Ventilator associated

pneumonia. Jurnal penyakit dalam (serial on

internet) 2007 (cited 2010 Dec 12); 8(3):254-

69. Available from : http

//ejournal.unud.ac.id/.../ventilator%20associa

ted%20pneumonia

5. Jelic S, Cunningham JA, Factor P. Clinical

review:airway hygiene in the intensive care

unit. Critical care (serial on internet) 2008

(cited 2010 Dec 19); 12:209. Available from

:http// www.ncbi.nlm.nih.gov > Journal List

> Crit Care > v.12(2); 2008

6. Koeman M, Hak F, Ramsay G, Joore,

Kaasjager K, Hans, et al. Oral

decontamination

with chlorhexidine reduces the incidence of

Page 20: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

16

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ventilator-associated pneumonia. American

journal of respiratory and critical care

medicine (serial on internet) 2006 (cited 2010

Dec 9); 173 : 1348-1355. Available from :

http://ajrccm.atsjournals.org/cgi/content/short

/173/12/1348

7. Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita

T, Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with

povidone-iodine reduces the transport of

bacteria during oral intubation. Can j anaesth

(serial on internet) 2004 (cited 2010 Dec

9);51(9):932-6. Available from :

http//pubget.com/paper/15525622

8. Tantipong H, Morkchareonpong C, Jaiyindee

S, Thamlikitkul V. Randomized controlled

trial and meta-analysis of oral

decontamination with 2% chlorhexidine

solution for the prevention of ventilator

associated pneumonia. Infect control hosp

epidemiol (serial on internet) 2009 (cited

2010 Dec 10);30(l):101-2. Available from :

http//pubget.com/paper/1817936

Page 21: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

17

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

PENELITIAN

Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat Dibandingkan Nacl 0,9% Terhadap

Keseimbangan Asam-Basa Pada Pasien Sectio Caesaria Dengan Anestesi Regional

M Mukhlis Rudi P*, Hariyo Satoto**, Uripno Budiono**

* Bagian Anestesiologi FK Unsoed/ RSUD Margono Soekardjo, Purwokerto

**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Back ground : Administration of crystalloid solution in patients prone for surgery,

especially sectio caesarian rarely completed with blood electrolyte examination previously

so could cause electrolyte imbalance and worse metabolic and healing process. Because of

fluid intervention during surgery, post operative electrolyte examination are important to

control electrolyte level and acid base balance.

Method : An experimental study with double blind randomize control trial method which

purposed to find the better solution, RL or NaCl 0,9% for SID acid base balance on Stewart

method. Patients prepared for sectio caesarian as require for regional anesthesia and

prevent nausea and vomit. At the operation theatre an intravenous line inserted while at the

same time blood venous sample was taken. Before inducing anesthesia patient received pre

medication and fluid “loading” to prevent regional anesthesia induce hypotension. During

surgery patient received crystalloid solution. At the end of surgery venous blood are

examined. The noted data for statistic count in this study is electrolyte level. Statistical t-test

are used in this study.

Result : Pre operative SID of RL (38,58 ± 2,28) show alkalosis state, while SID of NaCl

(37,42 ± 1,18) show acidosis. Post operative mean of RL SID (37,79 ± 1,18) more stable

than alkalosis NaCl SID (39,67 ± 3,10).

Conclusion : Administration of RL solution in caesarean section patients is more benefit

than sodium chloride (NaCl) 0,9% because of it lack effect on SID acid-base balance

shifting.

Keywords : Crystalloid solution, Stewart Acid base balance, caesarian section, regional

anesthesia.

ABSTRAK

Latar belakang: Pemberian cairan pada pasien yang akan operasi, khususnya sectio

caesaria (SC), sebelumnya jarang dilakukan pemeriksaan elektrolit, sehingga dapat

menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit yang akan memperberat proses metabolik

dan penyembuhannya. Pemeriksaan elektrolit setelah operasi sangat penting, karena

intervensi cairan selama operasi, dengan alasan untuk mengontrol elektrolit dan

keseimbangan asam-basa.

Metode: Penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan

secara acak tersamar ganda dengan tujuan untuk mengetahui cairan mana yang lebih

baik, RL ataupun NaCl 0,9% terhadap strong ion difference (SID) keseimbangan asam-

basa yang didasarkan pada metode Stewart.

Page 22: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

18

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Pasien yang dipersiapkan untuk

menjalani operasi SC, sebagai salah satu

persyaratan untuk menjalani tindakan

pembiusan dan mencegah mual muntah.

Kemudian dilakukan pemasangan jalur

intravena serta pengambilan darah vena

di ruang bedah sentral dan diberikan

premedikasi serta “loading” cairan

sebelum dibius dengan tujuan untuk

mencegah terjadinya hipotensi akibat

obat regional anestesinya. Setelah itu,

selama operasi pasien diberikan cairan

kristaloid. Setelah operasi selesai,

dilakukan pemeriksaan darah vena.

Data-data yang dicatat untuk

perhitungan statistik yang termasuk

dalam tujuan penelitian ini adalah kadar

elektrolit. Uji statistik dengan

menggunakan t-test.

Hasil: Rerata sebelum operasi SID RL

(38,58±2,28) menunjukkan alkalosis,

sedangkan SID NaCl (37,42±4,35)

menunjukkan asidosis. Rerata setelah

operasi SID RL (37,79±1,18)

menunjukkan kestabilan dibandingkan

rerata SID NaCl (39,67±3,10) yang

alkalosis.

Kesimpulan: Pemberian RL pada pasien

sectio caesaria lebih menguntungkan

dibandingkan NaCl, karena NaCl sangat

mempengaruhi pergeseran SID

keseimbangan asam-basa Stewart.

Kata kunci: Cairan kristaloid,

keseimbangan asam-basa Stewart,

caesarian section, anestesi regional.

_________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Pasien yang menjalani pembedahan

terbagi dalam beberapa klasifikasi

berdasarkan pada beberapa hal yaitu

hemodinamik dan perkiraan volume

darah (estimated blood volume/ EBV).

Selama ini volume perdarahan yang

terjadi diganti berdasarkan jumlah yang

keluar tanpa memperhatikan

keseimbangan asam-basa dengan

menggunakan cairan ringer laktat (RL)

ataupun NaCl 0,9%. Dengan

memperhatikan keseimbangan asam-

basa, akan sangat membantu dalam

mengelola pasien pasca operasi.

Penelitian ini khusus dilakukan pada

pasien yang menjalani operasi dengan

perkiraan perdarahan kurang dari 15%

EBV, karena dievaluasi berkaitan dengan

penggantian volume perdarahan. Pada

operasi dengan perdarahan lebih dari

15% EBV, dianjurkan penggantian cairan

dengan darah. Selama penggantian cairan

tersebut terjadi perubahan metabolik

dalam tubuh, antara lain keseimbangan

antar elektrolit.

Kasus-kasus dengan perdarahan kurang

dari 15% EBV banyak ditemukan pada

operasi sectio caesaria, laparotomi tanpa

reseksi usus, bedah urologi, pasien

trauma ortopedi tertutup, trauma kepala

(EDH), dan operasi-operasi lain dengan

perdarahan yang dikendalikan. Selama

ini, penggantian cairan pada pasien

operasi dengan perdarahan kurang dari

15% EBV lebih banyak menggunakan

cairan kristaloid Ringer Laktat (RL) atau

NaCl 0,9% dibandingkan koloid hydroxy

ethyl starch (HES), sementara pasien

dengan regional anestesi lebih banyak

menggunakan koloid.

Pada 25 kasus penelitian pendahuluan,

pasien dengan sectio caesaria dengan

status fisik ASA (American Society of

Anesthesiologist) 1 – 2 dan menggunakan

teknik anestesi regional di RSUP Dr

Kariadi dan pemeriksaan BGA (blood

gas analysis) pre-operatif dan post-

operatif pada tahun 2006 selama bulan

Page 23: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

19

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Februari – Mei 2006, sebanyak 76% (19

kasus) mengalami asidosis, sedangkan

sisanya mengalami alkalosis.

Setelah pemberian cairan kristaloid, tidak

dilakukan pengecekan ulang BGA,

elektrolit dan albumin. Pengecekan ulang

tersebut merupakan hal yang penting

karena berkaitan dengan perbaikan atau

kesembuhan luka.

Keseimbangan asam basa merupakan

keseimbangan antar komponen elektrolit

cairan tubuh yang dinilai dengan

menggunakan persamaan dari Stewart.

Penilaian didasarkan pada hasil

pemeriksaan laboratorium BGA,

albumin, dan elektrolit (Na, K, Cl, Mg,

PO4) preoperatif dan postoperatif.

Berdasarkan gambaran awal dari kasus

yang terjadi pada pasien yang menjalani

operasi sectio caesaria dengan regional

anestesi, maka kejadian yang hampir

sama mungkin akan terjadi pada pasien

operatif lain yang menggunakan regional

anestesi dengan perdarahan yang tidak

lebih dari 15% EBV, sehingga pasien-

pasien tersebut tidak memburuk

keseimbangan asam-basa dan akan

mempermudah perbaikan metabolik yang

terganggu selama tindakan operasi,

ataupun pasca operasi. Setelah operasi

selesai, sebaiknya pasien dilakukan

pemeriksaan elektrolit, albumin, dan

BGA ulang, dengan maksud agar dapat

mengetahui pengaruh pemberian cairan

tersebut terhadap keseimbangan elektrolit

dan asam-basa tubuh.

Penelitian yang dilakukan selama ini

hanya berkisar pada masalah

perbandingan antar cairan kristaloid

terhadap keseimbangan asam-basa

Hendersen-Hasselbalch, akan tetapi

belum dilakukan penelitian yang lebih

spesifik dengan menggunakan metode

Stewart. Padahal pemberian cairan

kristaloid, RL ataupun NaCl, pada pasien

operatif memerlukan penggantian cairan

yang cepat, dengan harapan dapat

mempertahankan kadar oksigen dalam

jaringan secara adekuat. Pemberian

kristaloid harus tetap memperhatikan

kebutuhannya, karena bila berlebih dapat

menimbulkan edema yang berat serta

dapat mempengaruhi keseimbangan

elektrolit tubuh yang berakibat gangguan

keseimbangan asam-basa.1

Penilaian keseimbangan asam-basa

dengan metode Stewart memiliki

kelebihan dibandingkan metode

Hendersen-Hasselbalch, dimana

kelebihan Stewart terletak pada

konsistensi penilaian pada faktor

kompensasi tubuh dalam

mempertahankan keseimbangan asam-

basa. Faktor kompensasi yang tidak

didapatkan pada Hendersen-Hasselbalch

adalah faktor yang menilai proses

pertukaran cairan tubuh yang dipengaruhi

oleh tekanan onkotik. Penentu tekanan

onkotik tersebut adalah albumin.

Pemilihan keseimbangan asam-basa

Stewart didasarkan pada kenyataan yang

terjadi di ICU (intensive care unit) RSUP

Dr. Kariadi, bahwa terapi cairan yang

didasarkan pada Handersson-Hasselbalch

tidak lebih baik daripada Stewart. Bukti

dari keseimbangan tersebut dinilai dari

hasil pemeriksaan laboratorium blood gas

analysis (BGA), elektrolit, albumin, dan

kondisi obyektif dari pasien. Berdasarkan

kenyataan di ICU RSUP Dr. Kariadi

tersebut, maka perlu dilakukan penelitian

yang membandingkan antara cairan dasar

(RL dengan NaCl 0,9%), karena kedua

cairan tersebut selain murah juga mudah

didapat di daerah. Pemeriksaan yang

akan dilakukan adalah penghitungan

strong ion difference (SID) yang

bersumber dari hasil pemeriksaan

elektrolit, sedangkan albumin dan pCO2

tidak diperiksa dikarenakan SID (strong

Page 24: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

20

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

ion difference) lebih mewakili status

keseimbangan asam-basa Stewart. Tujuan

penelitian ini adalah untuk membuktikan

bahwa cairan RL lebih baik dibanding

NaCl 0,9% dalam mempertahankan

keseimbangan asam-basa Stewart dalam

tindakan operasi.

METODE

Jenis penelitian ini termasuk

eksperimental berupa uji klinik tahap 2

yang dilakukan secara acak tersamar

ganda dengan tujuan untuk mengetahui

efektivitas pemberian infus RL dan infus

NaCL terhadap keseimbangan asam-basa

yang didasarkan pada metode Stewart.

Subyek penelitian ini adalah Semua

pasien RSUP Dr. Kariadi dengan operasi

elektif ataupun cito sectio caesaria usia

20-35 tahun dengan status fisik ASA I-II,

berat badan 50-70 kg, tinggi badan 150-

170 cm, tidak ada indikasi kontra untuk

tindakan regional anestesi. Lama operasi

antara 60-120 menit. Penelitian dilakukan

di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr.

Kariadi Semarang

Kriteria inklusi :

Umur antara 20 – 35 tahun

Status fisiknya ASA I – II

Diberikan cairan kristaloid (RL/ NaCl)

Pembiusan dengan anestesi regional

Kriteria eksklusi :

Terdapat permasalahan yang

timbul yang akibat oleh anestesi

regional, seperti alergi, spinal

tinggi ataupun total spinal.

Adanya perdarahan masif

Dilakukan tindakan anestesi umum karena anestesi regional

gagal

Cara pemilihan sampel dilakukan dengan

cara Consecutive Sampling terhadap

semua penderita yang dipersiapkan untuk

operasi elektif, usia 20 – 35 tahun, ASA

I-II, posisi terlentang, di mana semua

penderita yang memenuhi kriteria

dimasukkan dalam sampel sampai jumlah

yang diperlukan terpenuhi, bersedia

menjadi sukarelawan. Berdasarkan

jumlah sampel, maka penderita

dikelompokkan ke dalam 2 kelompok

penelitian, yaitu :

1. Kelompok A (perlakuan 1) : penderita

dengan diberikan infus RL

2. Kelompok B (perlakuan 2) : penderita

dengan diberikan infus NaCl

Data-data yang dicatat untuk perhitungan

statistik yang termasuk dalam tujuan

penelitian ini adalah kadar elektrolit (Na,

K, Cl). Data yang diperoleh dicatat dalam

suatu lembar penelitian khusus yang telah

disediakan satu lembar untuk setiap

penderita. Data diolah dan dianalisis

dengan komputer menggunakan program

SPSS 13.0 dan dinyatakan dalam nilai

rerata ± simpang baku. Uji statistik

menggunakan t-test dan derajat

kemaknaan p < 0,05. Penyajian data

dalam bentuk tabel.

HASIL

Penelitian ini menganalisa pengaruh

pemberian cairan kristaloid RL dan NaCl

0,9% terhadap keseimbangan asam-basa

menurut metode Stewart. Analisa yang

dilakukan pada karakteristik penderita

berdasarkan umur dan lama operasi,

distribusi SID kedua kelompok sebelum

dan sesudah operasi, rerata SID kedua

kelompok sebelum dan sesudah operasi,

serta rerata masing-masing kelompok

sebelum dan sesudah operasi. Penelitian

dilakukan terhadap 48 pasien yang

terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu 24

orang diberikan RL dan 24 orang

diberikan NaCl 0,9%.

Page 25: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

21

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Tabel 1. Karakteristik Pasien Kelompok RL dan NaCl 0,9%

Karakteristik Kelompok SID RL

(n=24)

Kelompok SID NaCl

(n=24)

P

1.Umur

2. Lama operasi

26,54±2,963

84,79±13,947

26,58±3,55

84,79±12,022

0,965

1

Nilai pada tiap kelompok dalam rata-rata

± simpangan baku, karakteristik penderita

oparasi untuk nilai SID dari kelompok

SID RL tidak berbeda bermakna dengan

kelompok SID NaCl, karena p > 0,05.

Distribusi kelompok RL pra operasi

didapatkan pasien yang mengalami

asidosis sebanyak 33,33% dan yang

mengalami alkalosis hipernatremik

sebanyak 58,33% dan yang normal

sebanyak 8,33%. Kelompok NaCl 0,9%

didapatkan asidosis sebesar 58%,

sedangkan yang mengalami alkalosis

sebesar 42%.

Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-

Smirnov diperoleh nilai p = 0,017 atau

p<0,05, dengan demikian data dari nilai

SID RL pra operasi adalah tidak normal.

Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-

Smirnov SID NaCl diperoleh probabilitas

0,733 atau p>0,05, dengan demikian data

nilai dari SID NaCl pra operasi adalah

normal.

Nilai SID untuk kelompok SID RL dan

SID NaCl dengan mengunakan uji t (p =

0,253) dan Mann Whitney (p = 0,264),

karena p > 0,05 ini berarti nilai SID dari

kelompok SID RL dan SID NaCl

sebelum operasi tidak berbeda.

Hasil dari grafik boxplot (grafik 51), SID

praoperasi menunjukkan bahwa nilai

median kelompok SID RL pra operasi

lebih tinggi dibandingkan kelompok SID

NaCl pra operasi.

Distribusi SID kelompok RL pasca

operasi menunjukkan bahwa pasien yang

mengalami asidosis sebanyak 25% (6

orang) dan yang mengalami alkalosis

sebanyak 29,16% (7 orang), sedangkan

sisanya 45, 83% (11 orang) normal.

Distribusi SID kelompok NaCl pasca

operasi menunjukkan bahwa pasien yang

mengalami asidosis sebanyak 54 % (13

orang), sedangkan sisanya 46% (11

orang) mengalami alkalosis.

Page 26: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

22

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-

Smirnov diperoleh probabilitas 0,063

atau p > 0,05. Dengan demikian data nilai

dari SID RL pasca operasi adalah normal,

sedangkan hasil uji normalitas SID NaCl

dengan Kolmogorov-Smirnov diperoleh

probabilitas 0,455 atau p > 0,05, dengan

demikian data nilai dari SID NaCl pasca

operasi adalah normal.

Nilai SID untuk kelompok SID RL dan

SID NaCl dengan mengunakan uji t (p =

0,01) dan Mann-Whitney (p = 0,043),

karena p < 0,05 ini berarti nilai SID dari

kelompok SID RL dan SID NaCl setelah

operasi berbeda secara bermakna.

Median dari SID kelompok SID NaCl

pasca operasi lebih tinggi dibadingkan

dengan kelompok SID RL pasca operasi

(grafik 2). Kelompok SID RL dan SID

NaCl pasca operasi menunjukan

distribusi agak miring ke kanan, ini

berarti kelompok SID RL dan SID NaCl

pasca operasi berdistribusi tidak normal.

Tabel 2. Rerata SID pada kelompok RL, NaCl Pra dan Pasca Operasi

Waktu Operasi Kelompok SID

RL

Kelompok SID NaCl P

Sebelum Operasi (Pra) 38,58±2,28 37,42±4,35 0,253

Setelah Operasi (Pasca) 37,79±1,18 39,67±3,10 0,01*

*Significant<0,05 (independent t test)

SID RL sebelum operasi rata-ratanya

adalah 38,58 dengan standar deviasi

(simpangan baku) 2,28 ini berarti secara

garis besar alkalosis, sedangkan untuk

SID NaCl sebelum operasi rata-ratanya

adalah 37,42 dengan standar deviasi

(simpangan baku) 4,35 ini berarti secara

garis besar asidosis.

SID RL setelah operasi rata-ratanya

adalah 37,79 dengan standar deviasi

(simpangan baku) 1,18 ini berarti secara

garis besar asidosis, sedangkan untuk

SID NaCl setelah operasi rata-ratanya

adalah 39,67 dengan standar deviasi

(simpangan baku) 3,10 ini berarti secara

garis besar alkalosis.

Page 27: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

23

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Tabel 3. Rerata SID pada kelompok NaCl Pra dan Pasca Operasi

Waktu Operasi Kelompok SID RL Kelompok SID NaCl P

Sebelum dan Sesudah

Operasi

37,42 ± 4,35 37,92 ± 4,14 0,218

Untuk rata-rata SID NaCl sebelum

operasi adalah 37,42 dengan standar

deviasi 4,35 ini berarti bersifat asidosis

(<38), sedangkan untuk SID NaCl setelah

operasi juga tidak beda jauh yaitu 37,92

dengan standar deviasi 4,14 ini berarti

bersifat asidosis (<38).

Nilai median dari SID kelompok SID

NaCl pra sama dengan kelompok SID

NaCl pasca operasi (gambar 3).

Kelompok SID NaCl pra dan SID NaCl

pasca operasi mempunyai garis hitam

tebal median agak kebawah, ini

menunjukan distribusi miring ke kanan.

Maka dapat dikatakan kelompok SID

NaCl pra dan SID NaCl pasca

berdistribusi tidak normal.

Tabel 4. Rerata SID pada kelompok RL pra dan pasca operasi

Waktu operasi Kelompok SID RL Pra Kelompok SID RL Pasca P

Sebelum dan sesudah

operasi

38,58 ± 2,28 37,96 ± 0.91 0,074

Untuk rata-rata SID RL sebelum operasi

adalah 38,58 dengan standar deviasi 2,28

ini berarti bersifat alkalosis (>38),

sedangkan untuk SID RL setelah operasi

turun menjadi 37,96 dengan standar

deviasi 0,91 ini berarti bersifat netral

(=38).

Page 28: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

24

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Nilai median dari SID kelompok SID RL

pasca operasi lebih rendah dibandingkan

kelompok SID RL pra operasi. Kelompok

SID RL pasca menunjukkan garis hitam

median agak kebawah, berarti distribusi

miring ke kanan, sedangkan untuk

kelompok SID RL pra, garis hitam

median paling atas ini menunjukan

distribusi miring ke kiri, ini berarti

kelompok SID RL pasca operasi

berdistribusi tidak normal.

PEMBAHASAN

Pemberian cairan pengganti selama

tindakan operatif, selama ini memang

menjadi suatu hal yang kontroversial

dalam menentukan mana yang lebih

efektif dan efisien dalam penggantian

cairan. Keduanya dianggap merupakan

cairan dasar yang paling baik yang

didasarkan pada kandungannya.

Hasil penelitian yang telah dilakukan,

menunjukkan bahwa infus NaCl 0,9%

akan berpengaruh pada pergeseran

keseimbangan asam-basa Stewart, karena

apabila pasien dengan SID < 38,

kemudian diberikan larutan NaCl 0,9%

dalam jumlah yang disesuaikan

kebutuhannya, kemungkinan yang timbul

adalah menjadi asidosis yang lebih berat

atau bahkan alkalosis yang lebih berat,

dikarenakan keseimbangan kadar natrium

dan kloridanya dalam cairan tersebut.

Namun, bila diberikan larutan RL,

pergeseran keseimbangan asam-basanya

tidaklah terlalu besar, dikarenakan

kandungan natrium dan kloridanya

tidaklah sama, selain itu juga adanya

tambahan laktat, yang nantinya akan

dimetabolisme melalui siklus Kreb yang

kemudian akan di buffer oleh bikarbonat

menjadi asam bikarbonat dan akhirnya

akan dilepaskan melalui paru-paru 1,2

,

sehingga tidak sampai menggeser

timbangan asam-basa secara berlebihan

ke salah satu sisi.

Hasil SID untuk kelompok RL dan SID

NaCl dengan mengunakan uji t (p=0,253)

dan Mann Whitney (P=0,264), karena p >

0,05 ini berarti nilai SID dari kelompok

SID RL dan SID NaCl sebelum operasi

tidak berbeda bermakna, hal ini mungkin

terjadi, karena intervensi cairan yang

diberikan hanyalah 500 cc dan berfungsi

sebagai ”loading” yang bertujuan untuk

mengatasi kemungkinan terjadinya

hipotensi yang diakibatkan oleh anestesi

regional. Untuk menimbulkan perubahan

yang nyata pada SID, paling tidak

dibutuhkan intervensi hingga 3 kali

perdarahan yang hilang. Kondisi

elektrolit pasien sebelum operasi juga

Page 29: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

25

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

akan sangat mempengaruhi SID pasca

intervensi.3

SID cairan RL dan NaCL 0,9% untuk

kelompok RL dan NaCl dengan

mengunakan uji t (p=0,01) dan Mann-

Whitney (p=0,043), karena p < 0,05 ini

berarti nilai SID dari kelompok SID RL

dan SID NaCl setelah operasi berbeda

secara bermakna. Pemberian cairan yang

disesuaikan dengan perdarahannya, akan

mengakibatkan perubahan pada

keseimbangan elektrolit, karena setiap

perdarahan atau keluarnya cairan tubuh

akan disertai dengan perubahan

keseimbangan elektrolit tubuh.4,5,6

Selain itu, bila dilihat tonisitas cairannya,

NaCl 0,9% lebih hipertonis bila

dibandingkan dengan RL, karena

mengandung Na+

(154 mmol/L) yang

tinggi, serta Cl- yang tinggi (154

mmol/L). Padahal kandungan Na+

plasma hanya berkisar antara 135-147

mmol/L, sedangkan Cl-

plasma sebesar

94-111 mmol/L. Pemberian infus NaCl

0,9% dalam jumlah yang besar akan

berakibat pada asidosis.2

Selama dilakukan penelitian, tidak

ditemukan gangguan-gangguan akibat

pemberian cairan, seperti alergi dan mual

muntah. Sehingga, pemberian cairan

pengganti selama dan setelah tindakan

operasi, bila sesuai dengan kebutuhannya

tidak akan menimbulkan efek tersebut.

Rasa mual yang timbul, biasanya lebih

sering disebabkan oleh manipulasi

operator selama operasi. Menurut Magner

dkk (2004), bahwa pemberian oksigenasi

selama operasi akan berperan dalam

menurunkan kejadian mual-muntah pasca

operasi (PONV)7.

Distribusi data SID pada kelompok RL

dan NaCl sebelum operasi menunjukkan

bahwa 33,33% (SID < 35) terjadi pada

pasien dengan pemberian NaCl awal,

sedangkan 8,33% (SID = 38) terdapat

pada pemberian infus RL. Kemudian

alkalosis banyak terjadi pada pasien

dengan pemberian RL sebelum operasi

sebesar 58,33%, sedangkan pada NaCl

hanya 16,66%. Berarti kedua kelompok

tersebut tidak berbeda. Distribusi data

SID pasca operasi, menunjukkan bahwa

asidosis yang berat (SID < 35) terjadi

pada pemberian NaCl (25%), alkalosis

juga lebih banyak terjadi pada pemberian

NaCl (25%).

Rerata SID kelompok NaCl pra operasi

sebesar 37,42±4,35 dan pasca operasi

37,92±4,14 menunjukkan bahwa NaCl

bersifat asidosis (<38). Sedangkan pada

RL rata-rata SID sebelum operasi adalah

38,58 dengan standar deviasi 2,28 ini

berarti bersifat alkalosis (>38),

sedangkan SID setelah operasi turun

menjadi 37,96 dengan standar deviasi

0,19 ini berarti bersifat netral (=38).

Berdasarkan analisa data yang dilakukan,

menunjukkan bahwa RL ataupun NaCl

secara statistik berbeda tidak bermakna,

akan tetapi perbedaan sebesar 1,00 secara

klinis sangatlah bermakna.

Pemberian cairan kristaloid (RL / NaCl

0,9%) pada kedua kelompok pasien yang

menjalani SC sangatlah bervariasi,

disesuaikan dengan perdarahan yang

keluar selama tindakan operasi. Sehingga

perbedaan secara klinis SID kedua cairan

sangatlah penting, karena pergeseran

sedikit saja dari keseimbangan akan

berakibat fatal terhadap kondisi pasien.

Berdasarkan distribusi SID pemberian

cairan kristaloid pasca operasi,

menunjukkan bahwa SID 24 pasien yang

diberikan RL berkisar antara 35-41.

Sedangkan yang diberikan NaCl < 35 dan

> 41 tanpa SID yang normal, yang berarti

memperberat kondisi asidosis ataupun

alkalosis.

Page 30: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

26

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Cairan pengganti yang diberikan

didasarkan pada 5 aspek utama yang

penting untuk dipertimbangkan, antara

lain : 4

1. jenis cairan yang harus diberikan

2. jumlah cairan harus jelas

3. kriteria petunjuk terapi cairan harus

jelas

4. kemungkinan efek samping yang

harus dipertimbangkan

5. biaya

Hipovolemi berhubungan dengan

perubahan aliran yang tidak kuat untuk

memenuhi jalur nutrisi sirkulasi. Selama

hipovolemik yang berhubungan dengan

disfungsi hemodinamik, organisme

mencoba untuk mengkompensasi defisit

perfusi dengan meredistribusi aliran ke

organ vital (jantung dan otak) yang

mengakibatkan kurangnya perfusi pada

organ lain seperti usus, ginjal, otot, dan

kulit.

Aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem

renin-angiotensin-aldosteron merupakan

mekanisme kompensatorik untuk

menjaga perfusi perifer. Banyaknya

substansi vasoaktif yang beredar dan

mediator inflamasi merupakan kejadian

tambahan yang terjadi pada situasi

tersebut. Bagaimanapun juga,

kompensasi aktivasi neurohumoral

bermanfaat saat pertama kali, mekanisme

ini merusak dan mungkin mengakibatkan

hasil yang buruk pada pasien sakit kritis.

Jadi, perbaikan yang adekuat volume

intravaskuler tetap merupakan tindakan

yang penting dalam pengaturan pasien

bedah.4,5

Pemberian cairan mungkin bertahan

dalam kompartemen intravaskuler atau

seimbang dengan kompartemen cairan

interstisial/ intraseluler. Tujuan utama

penatalaksanaan cairan adalah jaminan

hemodinamik yang stabil oleh perbaikan

sirkulasi volume plasma.

Bagaimanapun juga, kelebihan akumulasi

cairan, terutama sekali dalam jaringan

interstisial harus dihindari. Hipotesis

Starling menganalisa dan menjelaskan

perubahan cairan yang melintasi

membran biologis. Berdasarkan

persamaan tersebut, tekanan onkotik

koloid merupakan faktor yang penting

dalam menentukan aliran cairan yang

melintasi membran kapiler antara ruang

intravaskuler dan interstisial. Jadi, adanya

manipulasi tekanan onkotik koloid

menjadi jaminan sirkulasi volume

intravaskuler yang adekuat.3

Besar dan durasi efek volume tergantung

pada :

1. Kapasitas substansi ikatan air yang

spesifik

2. Berapa banyak substansi yang

diinfuskan bertahan di rongga

intravaskuler

Dikarenakan sifat fisikokimia yang

berbagai macam, umumnya penggunaan

cairan untuk pengganti cairan dibedakan

secara luas dengan didasarkan pada

tekanan onkotik koloid, efek volume, dan

lamanya bertahan dalam intravaskuler.

Keseimbangan elektrolit dan asam-basa

harus dinilai dan apabila ada yang tidak

normal harus dikoreksi terlebih dahulu,

karena pemberian cairan kristaloid (RL/

NaCl) akan sangat berpengaruh.

Kekurangan waktu paruh intravaskuler

dan hiponatremia, biasanya mengurangi

penggunaaan cairan saline < 0,9% untuk

cairan resusitasi dan pemeliharaan

intraoperatif. Penyebab utama pemilihan

NaCl dan RL atau larutan garam

berimbang yang lain adalah efeknya

terhadap rasio Na ekstraseluler dan

keseimbangan asam-basa.

Page 31: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

27

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Tabel 5. Pertimbangan kualitatif dalam pemilihan

terapi cairan intraoperatif

Pertimbangan

Kapasitas angkut oksigen

Faktor koagulasi

Tekanan onkotik koloid

Edema jaringan

Keseimbangan elektrolit

Keseimbangan asam basa

Metabolisme glukosa/ nutrisi

Abnormalitas serebral

Aldosteron meningkat segera mengikuti

dan selama operasi, jadi meningkatkan

absorbsi tubulus distal renal. Peningkatan

aviditas tubulus terhadap natrium,

memerlukan pendampingan absorbsi ion

negatif Cl yang lain atau sekresi hidrogen

atau ion K untuk menjaga netralitas

elektrik tubulus renal. Jadi, jumlah Cl

berhubungan dengan peningkatan Na,

yang mungkin terjadi pada pemberian

dalam NaCl 0,9% dalam jumlah besar,

sekresi hidrogen dan K akan

diminimalkan dengan akibat

hiperkloremik yang dipicu oleh asidosis

metabolik non-gap. Pemberian RL,

bagaimanapun juga akan lebih fisiologis

(seimbang) antara Na dengan Cl dan

tidak akan mengakibatkan asidosis.

Pemberian RL dalam jumlah besar

mungkin akan mengakibatkan alkalosis

metabolik pasca operasi yang berkaitan

dengan adanya peningkatan bikarbonat

dari metabolisme laktat.7,8,9,10

SIMPULAN

Pemberian infus RL dan infus NaCl

0,9%, yang mulai diberikan sebelum,

selama, dan setelah operasi, kemudian

dilakukan penilaian terhadap SID (strong

ion difference) menunjukkan hasil bahwa

:

1. Pemberian infus RL lebih baik

dibandingkan NaCl 0,9%.

2. NaCl 0,9% dapat menimbulkan

asidosis ataupun alkalosis lebih besar

pada pasien dibandingkan dengan RL.

Pemberian cairan RL sebaiknya diberikan

pada pasien-pasien yang akan menjalani

operasi besar, dengan perdarahan kurang

dari 15% dari EBV, karena dapat

mempertahankan keseimbangan asam-

basa Stewart.

Sebaiknya perlu dilakukan penelitian

lanjutan untuk melakukan penilaian

terhadap parameter asam-basa Stewart

yang lain, seperti penilain terhadap kadar

albumin dan BGA (PCO2), karena untuk

menilai secara keseluruhan asam-basa

Stewart untuk kepentingan terapi, juga

harus mempertimbangkan parameter

yang lain.

Penelitian lain yang perlu dilakukan

adalah perbandingan antara cairan koloid

dengan pelarut yang berbeda-beda,

seperti koloid dengan pelarut RL

dibandingkan dengan koloid dalam

pelarut NaCl, kemudian dinilai status

keseimbangan asam basanya dengan

menggunakan metode Stewart, karena

saat ini perkembangan cairan untuk

tindakan operasi yang besar sudah

menggunakan cairan koloid dengan

tujuan sebagai cairan resusitasi untuk

penggantian perdarahan diatas 15% EBV

sebelum digantikan dengan darah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Media

Aesculapius. Jakarta. 2000.

2. Leksana E. SIRS, Sepsis, Keseimbangan

Asam-Basa, Syok dan Terapi Cairan. CPD

IDSAI Jateng-Bagian Anestesi dan Terapi

Intensif FK Undip. Semarang. 2006

3. Madyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S,

Ismael S, penyunting. Dasar-dasar

Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:

Binarupa Aksara, 1995 : 187 – 212

4. Boldt J. Intraoperative Fluid Therapy –

Crystalloid or Colloid Debate. Revista

Mexicana de Anesthesiologia. 2005; 28 : 23-

28

Page 32: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

28

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

5. Boldt J. New Light on Volume Therapy in

The Critically Ill. Yearbook of Intensive Care

and Emergency Medicine. Springer. Berlin.

2003.

6. Magner JJ, McCaul C, Carton E, Gardiner J,

Buggy D. Effect of Intraoperative

Intravenous Crystalloid Infusion on PONV

after Gynaecological Laparoscopy :

Comparison of 30 and 10 ml kg-1

. BJA. 2004

; 93(3) : 381-385

7. Norris MC. Handbook of Obstetric

Anesthesia. Lippincot. Philadelphia. 2000

8. Hood Vl, Tannen RL. Protection of Acid

Base Balance by pH Regulation of Acid

Production. NEJM. 1998; 12 : 819-825

9. Cooper N. Acute Care : Volume

Resuscitation. BMJ. 2004; 12 : 145-146

10. Singh G, Chaudry KI, Chaudry IH.

Crystalloid is as Effective as Blood in the

Resuscitation of Hemorrhagic Shock. Journal

of Annual Surgery. 1992; 04 : 377-382

Page 33: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

29

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

PENELITIAN

Pengaruh Penggunaan Mesin Cardiopulmonary Bypass Terhadap Kadar

Leukosit pada Operasi Bedah Jantung

Rapto Hardian *, Hariyo Satoto**, Soenarjo** * Bagian Anestesiologi FK Unlam/ RSUD Ulin, Banjarmasin

**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: Recently more cardiopulmonary bypass device is used on cardiac surgery

procedure. The utilization of cardiopulmonary bypass device is increasing total leukocyte

count which could be one sign the Systemic inflammatory response syndrome (SIRS).

Purpose: to understand the effect of cardiopulmonary bypass device utilization on

leukocyte count increase on cardiac surgery.

Method: this is a prospective cohort observational study on 22 patients that underwent

cardiac surgery using Cardiopulmonary bypass device. Periphery blood samples for the

leukocyte count was obtained pre-sternotomy (Leukocyte 1), pre-cannulation (Leukocyte

2), 15th

minute (Leukocyte 3) during CPB and 30th minute (Leukocyte 4) during CPB.

Blood sample was count using automatic device. Paired t-test and Wilcoxon signed ranks

test is used for statistical analysis (confidence interval < 0.05).

Result: patient's data characteristic will be presented as tables. This research shows no

significant results on Leukocyte 2 and Leukocyte 3, p = 0.170 (p > 0.05 ). However, there

is a significant result on Leukocyte 1 and Leukocyte 2, Leukocyte 1 and Leukocyte 3,

Leukocyte 1 and Leukocyte 4, Leukocyte 2 and Leukocyte 4, and Leukocyte 3 and

Leukocyte 4, with p = 0.019, p = 0.026, p = 0.001, p = 0.003 and p = 0.007 (p < 0.05 ),

respectively.

Conclusion: there is an increase on leukocyte count during CPB device utilization

especially on 30th minute. On 15th

minute there is no significant increase on leukocyte

count during CPB device utilization.

Keyword: Leukocyte, cardiopulmonary bypass.

ABSTRAK

Latar belakang : Prosedur bedah jantung menggunakan mesin cardiopulmonary bypass

semakin banyak dilakukan. Penggunaan mesin cardiopulmonary bypass dianggap

menyebabkan peningkatan jumlah leukosit yang merupakan salah satu tanda terjadinya

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS).

Tujuan : untuk mengetahui pengaruh penggunaan mesin cardiopulmonary bypass

terhadap peningkatan jumlah leukosit pada operasi bedah jantung.

Metode : merupakan penelitian cohort observational prospective pada 22 pasien yang

menjalani operasi bedah jantung menggunakan Cardiopulmonary bypass. Pengambilan

sampel darah tepi untuk menghitung leukosit diambil pada saat pra sternotomy (Leukosit

1), pra kanulasi (Leukosit 2), menit ke 15 (Leukosit 3) selama CPB dan menit ke 30

(Leukosit 4) selama CPB. Sampel darah dihitung menggunakan mesin secara otomatis. Uji

statistik menggunakan Paired t-test dan Wilcoxon signed ranks test (dengan derajat

kemaknaan < 0,05).

Page 34: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

30

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Hasil : karakteristik data penderita akan

disajikan dalam bentuk tabel. Pada

penelitian ini didapatkan hasil uji pada

Leukosit 2 dengan Leukosit 3 didapatkan

hasil yang tidak bermakna p = 0,170 (p

> 0,05 ). Hasil uji pada Leukosit 1

dengan Leukosit 2, Leukosit 1 dengan

Leukosit 3, Leukosit l dengan Leukosit 4,

Leukosit 2 dengan Leukosit 4, dan

Leukosit 3 dengan Leukosit 4, didapatkan

hasil yang bermakna dengan p = 0,019, p

= 0,026, p = 0,001, p = 0,003 dan p =

0,007 (p < 0,05).

Kesimpulan : terdapat peningkatan

jumlah leukosit pada pemakaian mesin

CPB terutama pada menit ke 30. Pada

menit ke 15 belum terdapat peningkatan

jumlah leukosit yang bermakna akibat

pemakaian mesin CPB

Kata kunci : Leukosit, cardiopulmonary

bypass.

______________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Penyakit jantung, stroke, dan penyakit

periferal arterial merupakan penyakit

yang mematikan. Diseluruh dunia,

jumlah penderita penyakit ini makin

bertambah. Ketiga kategori penyakit ini

tidak lepas dari gaya hidup yang kurang

sehat yang banyak dilakukan seiring

dengan berubahnya pola hidup. Badan

kesehatan dunia (WHO) melaporkan

pada tahun 2002 tercatat lebih dari tujuh

juta orang meninggal dunia akibat

penyakit arteri koroner/penyakit jantung

koroner di seluruh dubia. Angka

kematian tersebut diperkirakan

meningkat hingga 11 juta pada tahun

2020.1,2

Jenis operasi bedah jantung antara lain

operasi Coronary artery bypass graft

(CABG), operasi perbaikan atau

penggantian katup jantung dan operasi

yang lainnya. Prosedur bedah jantung ini

biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu

menghentikan jantung secara sementara

(on-pump) dan pembedahan dengan

jantung yang masih berdenyut (off-

pump).3 Penghentian jantung sementara

ini memerlukan alat pengganti fungsi

jantung dan paru sehingga sirkulasi tubuh

tetap terjaga. Alat pengganti jantung dan

paru tersebut dinamakan mesi

cardiopulmonary bypass (CPB). 4,5

Salah satu komplikasi yang paling sering

terjadi pada pasien yang menggunakan

mesin ini adalah terjadinya suatu respon

inflamasi sistemik pada derajat tertentu

dimana hal tersebut ditandai dengan

hipotensi yang menetap, demam yang

bukan disebabkan oleh karena infeksi,

DIC, oedem jaringan yang luas, dan

kegagalan beberapa organ tubuh.

Penyebab inflamasi sistemik ini terdiri

dari banyak hal, antara lain karena

penggunaan CPB.6

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk

mengetahui bagaimana proses inflamasi

dan komplikasi yang terjadi pada

pemakaian CPB maupun tidak. Ascione

et al melakukan penelitian dan

mendapatkan hasil bahwa terjadi

peningkatan jumlah IL-8 dan juga

peningkatan jumlah leukosit pasca

operasi pada operasi CABG yang

menggunakan CPB dibandingkan yang

tanpa menggunakan CPB (p < 0.01).

Namun Wehlina et al menyatakan bahwa

tidak terdapat perbedaan jumlah sel pro

inflamasi yang terinfeksi pada operasi

CABG yang menggunakan CPB maupun

tanpa menggunakan CPB.7,8,9

Banyak penelitian telah pula dilakukan

untuk mengurangi jumlah leukosit yang

ada dalam sirkulasi. Leal-Noval et al

menyatakan penggunaan penyaring

Page 35: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

31

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

leukosit menurunkan tingkat infkesi

perioperatif, tingkat demam, dan tingkat

kejadian hiperdinamik. Gu et al

menyatakan penggunaan penyaring

leukosit ini menurunkan jumlah leukosit

dalam sirkulasi sebesar 39% dan

berakibat penurunan produksi IL-8 (p <

0.05).10,11

Berdasarkan hal-hal tersebutlah maka

peneliti ingin meneliti sejauh mana

pengaruh alat cardio pulmonary bypass

terhadap peningkatan jumlah leukosit

pada operasi bedah jantung.

METODE

Desain penelitian ini adalah penelitian

cohort observational prospective.

Penelitian ini dilakukan di Instalasi

Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi

Semarang, dalam kurun waktu Januari

2009 – Juni 2009. Populasi penelitian ini

adalah semua penderita yang akan

menjalani operasi bedah jantung di

Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi

Semarang, yang menggunakan cardio

pulmonary bypass.

Kriteria inklusi terdiri dari jenis kelamin

laki-laki maupun perempuan, usia 14

tahun ke atas, dan akan menjalani operasi

bedah jantung menggunakan mesin CPB.

Sementara kriteria inklusinya adalah

lama penggunaan alat CPB yang kurang

dari 30 menit.

Pemilihan sampel dilakukan dengan

consecutive sampling, dimana setiap

penderita yang memenuhi kriteria seperti

yang disebut diatas dimasukkan dalam

sampel penelitian sampai jumlah yang

diperlukan terpenuhi.

Semua penderita telah mendapatkan

penjelasan tentang prosedur yang akan

dilakukan sebelumnya serta telah

memberikan pernyataan tertulis akan

kesediaannya dalam lembar informed

consent.

Uji normalitas jumlah leukosit sebelum

dan sesudah perlakukan dilakukan

dengan uji Saphiro-Wilkin atau uji

Kolmogorov-Smirnov. Analisa deskriptif

dilakukan dengan menghitung proporsi

gambaran karakteristik responden yang

hasilnya akan ditampilkan dalam tabel

silang. Mean ± SD jumlah leukosit

sebelum dan sesudah perlakuan juga

dihitung. Analisa analitik untuk menguji

perbedaan jumlah leukosit sebelum dan

sesudah perlakukan dilakukan dengan

paired t-test (bila distribusi normal) atau

uji Wilcoxon signed rank (bila distribusi

tidak normal). Hasil uji statistik akan

disajikan dalam bentuk tabel dan

penghitungan statistik menggunakan

software SPSS 15.0.

HASIL

Telah dilakukan penelitian tentang

perbedaan jumlah leukosit terhadap

waktu lamanya penggunaan mesin CPB

pada 22 orang penderita yang menjalani

operasi bedah jantung setelah memasuki

kriteria inklusi dan eksklusi.

Pada tabel 1 didapatkan karakteristik

subyek pada umur memiliki rata-rata

51.45 dan standar deviasi 11.20. Pada

LVEF memiliki rata-rata 53.64 dan

standar deviasi 9.328. Dari jenis

tindakan yang dilakukan, sebanyak 18

pasien menjalani CABG dengan

persentase 81.8% dan sisanya 9.1%

pasien menjalani DVR serta MVR.

Pemasangan Swan Ganz dilakukan pada

18 pasien dengan persentase 81.8% dan

sisanya 18.2% tidak dilakukan

pemasangan Swan-Ganz. Pada tabel 1

didapatkan karakteristik subyek pada

umur memiliki rata-rata 51.45 dan

standar deviasi 11.20. Pada LVEF

memiliki rata-rata 53.64 dan standar

deviasi 9.328. Dari jenis tindakan yang

dilakukan, sebanyak 18 pasien menjalani

CABG dengan persentase 81.8% dan

Page 36: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

32

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

sisanya 9.1% pasien menjalani DVR serta

MVR. Pemasangan Swan Ganz

dilakukan pada 18 pasien dengan

persentase 81.8% dan sisanya 18.2%

tidak dilakukan pemasangan Swan-Ganz.

Tabel 1. Karakteristik umum subyek pada masing-masing kelompok

No. Variabel Frekuensi Mean Std. Persentase

1 Umur 22 51.45 11.207 -

2 LVEF 22 53.64 9.328 -

3 GDS 22 132.09 22.862 -

4 Jenis

tindakan

CABG 18 - - 81.8

DVR 2 - - 9.1

MVR 2 - - 9.1

5 Pemasangan

Swan Ganz

Ya 18 - - 81.8

Tidak 4 - - 18.2

Tabel 2. Jumlah rerata leukosit dan uji normalitasnya

No. Variabel Mean Std P

1 Leukosit 1 6731,0 2198,99 0,177

2 Leukosit 2 7121,8 2489,98 0,142

3 Leukosit 3 7798,2 2976,01 0,210

4 Leukosit 4 8784,5 4306,23 0,000

Uji normalitas leukosit ditunjukkan pada

tabel 2, dimana karakteristik subyek pada

leukosit 1, leukosit 2, dan leukosit 3

memiliki distribusi yang normal ( p >

0.05 ), dan pada leukosit 4 memiliki

distribusi yang tidak normal (p < 0.05 ),

sehingga dilakukan uji statsitik dengan

menggunakan Paired t-test dan uji

Wilcoxon signed ranks.

Hasil uji pada leukosit 2 dengan leukosit

3 didapatkan hasil yang tidak bermakna p

= 0.170 (p > 0.05). Hasil uji pada

leukosit 1 dengan leukosit 2, leukosit 1

dengan leukosit 3, leukosit 1 dengan

leukosit 4, leukosit 2 dengan leukosit 4,

dan leukosit 3 dengan leukosit 4,

didapatkan hasil yang bermakna dengan p

= 0,019, p = 0.026, p = 0.001, p = 0.003,

dan p = 0.007 (p < 0.05).

Page 37: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

33

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Tabel 3. Hasil Uji

No. Variabel P

1 Leukosit 1 - Leukosit 2 0,019

2 Leukosit 1 - Leukosit 3 0,026

3 Leukosit 1 - Leukosit 4 0,001

4 Leukosit 2 - Leukosit 3 0,170

5 Leukosit 2 - Leukosit 4 0,003

6 Leukosit 3 - Leukosit 4 0,007

PEMBAHASAN

CPB mengaktifkan sistem pertahan tubuh

yang menyebabkan respon inflamasi pada

seluruh tubuh. Inflamasi ini diawali oleh

kerusakan dari beberapa komponen

darah. Kerusakan komponen darah dapat

terjadi karena pompa pada CPB,

peralatan cardiotomy suction, dan oleh

karena kanul arteri yang dipakai, namun

sebagian besar kerusakan berasal dari

berulangnya perjalanan darah melewati

sirkuit CPB. Komponen darah yang

paling banyak megalami kerusakan

adalah sel darah merah. Leukosit juga

sensitif terhadap kerusakan yang terjadi

yang berakibat terjadinya gangguan

fungsi leukosit itu sendiri. Pengaktifan

sistem kontak terjadi oleh karena darah

terpapar dengan sirkuit CPB yang

dikenali sebagai benda asing oleh tubuh.

Proses tersebut menyebabkan terjadinya

aktivasi leukosit, terbentuk mikroemboli,

gangguan pembekuan, dan berlanjut ke

Systemic Inflamatory Response Syndrome

(SIRS).12,13,14,15

Dari hasil uji pada leukosit 1 dengan

leukosit 3 didapatkan hasil yang

bermakna dengan p = 0,026 (p < 0,05).

Hal tersebut terjadi oleh karena

peningkatan leukosit karena pembedahan

ditambah dengan pemaparan darah

terhadap mesin CPB selama 15 menit

yang berakibat terjadi peningkatan

jumlah leukosit yang bermakna. Hasil uji

pada leukosit 1 dengan leukosit 4

didapatkan hasil yang bemakna p = 0.001

(p < 0,05). Peningkatan leukosit terjadi

karena pembedahan ditambah dengan

pemaparan darah terhadap mesin CPB

selama 30 menit yang berakibat pada

peningkatan jumlah leukosit yang

bermakna.16,17

Hasil uji pada leukosit 2 dengan leukosit

4 didapatkan hasil yang bermakna p =

0,003 (p < 0,05). Peningkatan leukosit

oleh karena pemaparan darah terhadap

mesin CPB selama 30 menit yang

berakibat terjadinya peningkatan jumlah

leukosit yang bermakna. Hasil uji pada

leukosit 3 dengan leukosit 4 didapatkan

hasil yang bermakna p = 0,007 (p <

0,05). Peningkatan leukosit oleh karena

pemaparan darah terhadap mesin CPB

selama 15 menit kedua yang berakibat

terjadinya peningkatan jumlah leukosit

yang bermakna. Hal ini terjadi karena

leukosit sudah teraktivasi pada 15 menit

pertama. Hasil tersebut sesuai dengan

hasil penelitian Moen skk. Moen dkk

menyatakan bahwa pada 10 menit

pertama setelah CPB dimulai, terjadi

penurunan jumlah leukosit, namun pada

menit-menit berikutnya jumlah leukosit

mengalami peningkatan yang

bermakna.17,18,19

Page 38: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

34

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, telah

banyak dilakukan usaha pencegahan agar

respon inflamasi sistemik dapat dicegah

atau dikurangi. Usaha tersebut mulai dari

menggunakan obat-obatan sampai dengan

modifikasi komponen dari CPB.

Penggunaan obat-obatan untuk

mengurangi respon inflamasi antara lain

dengan menggunakan obat-obat

glukokortikoid, inhibitor protease

(aprotinin), heparin, inhibitor

phospodiesterase (milrinone) dan lain-

lain. Sedangkan modifikasi dari

komponen mesin CPB antara lain dengan

cara menggunakan sirkuit heparin-

coated, pemakaian filter dan lainnya.15,20

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak

dilakukannya pemeriksaan sitokin-sitokin

proinflamasi yaitu interleukin (IL-6,IL-8)

dan TNF-α. Menurut Ascione dkk serta

Biglioli dkk, ketiga faktor tersebut

merupakan pertanda awal terjadinya

respon inflamasi selain peningkatan

leukosit.7,21

SIMPULAN

Terdapat peningkatan jumlah leukosit

pada pemakaian mesin CPB terutama

pada menit ke 30. Pada menit ke 15

belum terdapat peningkatan jumlah

leukosit yang bermakna akibat

pemakaian mesin CPB.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wikipedia. Serangan jantung. April 2009.

Available from:

http://id.wikipedia.org/wiki/Seranganjantung

2. Yahya A F. Terapi penyakit jantung koroner.

2009. Available from:

http://huxleyi.wordpress.com/2009/02/02/tera

pi-penyakitjantung-koroner/

3. Werdha A, Setyawati V, Primasari. Profil

penyakit jantung koroner (PJK) dan faktor

risiko PJK pada penduduk miskin perkotaan

di Jakarta. Puslitbang Biomedis dan Farmasi,

Badan Litbang Kesehatan. Available from:

http://www.litbang.depkes.go.id/risbinkes/Bu

ku%20Laporan%20Penelitian%202006/peny

akit%20jantung%20koroner.htm

4. Vallely M P, Bannon P G, Kritharides L. The

systemic inflammatory response syndrome

and off-pump cardiac surgery. 2000.

Available from:

http://www.hsforum.com/stories/articleReade

r$1905

5. Wikipedia. Coronary artery bypass surgery.

June 2009. Available from:

http://en.wikipedia.org/wiki/Coronary_artery

_bypass_surgery

6. Hess P J. Systemic inflammatory response to

coronary artery bypass graft surgery.

September 2005. Available from:

http://www.medscape.comlviewarticle/51250

2_1

7. Biglioli P, Cannata A, Alamanni F, et al.

Biological effects of off-pump vs. on-pump

coronary artery surgery: focus on

inflammation, hemostasis and oxidative

stress. Eur J Cardiothorac Surg 2003;24:260-

269

8. Levy J H, Tanaka K A. Inflammatory

response to cardiopulmonary bypass. Ann

Thorac Surg 2003;75:S715-S720

9. Bull DA, Neumayer LA, Stringham JC,et al .

Coronary artery bypass grafting with

cardiopulmonary bypass versus off-pump

cardiopulmonary bypass grafting: does

eliminating the pump reduce morbidity and

cost?. Ann Thorac Surg 2001;71:170-175

10. Leal-Noval SR, Amaya R, Herruzo A,

Hernandez A, Ordonez A, et al. Effects of a

leukocyte depleting arterial line filter on

perioperative morbidity in patients

undergoing cardiac surgery: a controlled

randomized trial. Ann Thorac Surg

2005;80:1394-1400

11. Gu YJ, Vries AJ, Vosa P, et al. Leukocyte

depletion during cardiac operation: a new

approach through the venous bypass circuit.

Ann Thorac Surg 1999;67:604-609

12. Ascione R, Lloyd CT, Underwood MJ, Lotto

AA, Pitsis AA, Angelini GD. Inflammatory

response after coronary revascularization

with or without cardiopulmonary by pass.

Ann Thorac Surg 2000;69:1198-1204

13. Wehlin L, Vedinb J, Vaagea J, et al.

Activation of complement and leukocyte

receptors during on- and off pump coronary

artery bypass surgery. Eur J Cardiothorac

Surg 2004;25:35-42

14. Boyle EM, Pohlman TH, Johnson MC, et al.

Endothelial cell injury in cardiovascular

surgery: the systemic inflammatory response.

Ann Thorac Surg 1997;63:277-284.

Page 39: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

35

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

15. Hunt IJ, Day JRS. Cardiac surgery and

inflammation: the inflammatory response and

strategies to reduce the systemic

inflammatory response syndrom . Current

Cardiology Reviews 2007; 3: 91-98

16. Paparella D, Yau TM, Young E.

Cardiopulmonary bypass induced

inflammation: pathophysiology and

treatment. Eur J Cardiothorac Surg

2002;21:232-244.

17. Lappegard KT, Fung M, et al. Artificial

surface-induced cytokine synthesis: effect of

heparin coating and complement inhibition.

Ann Thorac Surg 2004;78:38-44

18. Kaul TK, Fields BL. Leukocyte activation

during cardiopulmonary bypass: limitations

of the inhibitory mechanisms and strategies. J

Cardiovasc Surg (Torino). 2000

Dec;41(6):849-62.

19. Salamonsen RF, Anderson J. Total leukocyte

control for elective coronary bypass surgery

does not improve short-term outcome. Ann

Thorac Surg Vol. 79.2005 :2032-2038

20. Chiba Y, Morioka K, et al. Effects of

depletion of leukocytes and platelets on

cardiac dysfunction after cardiopulmonary

bypass. Ann Thorac Surg 1998;65:107-1 13

21. Moen O, Hogasen K, et al. Attenuation of

changes in leukocyte surface markers and

complement activation with heparin-coated

cardiopulmonary bypass. Ann Thorac Surg

1997;63:105-11

Page 40: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

36

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Sirkuit Anestesi

Taufik Eko Nugroho*, Himawan Sasongko*, Soenarjo*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

For an anesthesiologist, an understanding of the functioning of anesthesia delivery systems

is very important. Based on the facts of the American Society of Anesthesiologists Data

(ASA), Caplan found that despite the demands of the patient against the errors of the

anesthesia delivery systems are rare, but when it happens it will be a big problem, which

often result in death or permanent brain damage.1,2

Anesthesia circuit, known as the

respiratory system is a system that functions to deliver oxygen and anesthetic gases from

the anesthesia machine to a patient who was operated. Anesthesia circuit is a pipe / tube

that is an extension of the upper respiratory tract of patients. Rebreathing anesthesia

circuit and is classified as a non-rebreathing based on presence or absence of expiratory

air is inhaled again. This circuit is also classified as open, semi open, semi closed and

closed based on the presence or absence of (1) reservoir bag, (2) expiratory air we breathe

again (rebreathing exhaled gas), (3) components to absorb korbondioksia and expiratory

(CO2 absorber) (4) one-way valve.

ABSTRAK

Bagi seorang ahli anestesi, pemahaman terhadap fungsi dari sistem penghantaran anestesi

ini sangatlah penting. Berdasarkan fakta dari data American Society of Anesthesiologists

(ASA), Caplan menemukan bahwa meskipun tuntutan dari pasien terhadap kesalahan dari

sistem penghantaran anestesi jarang terjadi, akan tetapi ketika itu terjadi maka akan

menjadi suatu masalah yang besar, yang sering mengakibatkan kematian atau kerusakan

otak yang menetap.

Sirkuit anestesi atau dikenal dengan sistem pernafasan merupakan sistem yang berfungsi

menghantarkan oksigen dan gas anestesi dari mesin anestesi kepada pasien yang

dioperasi. Sirkuit anestesi merupakan suatu pipa/tabung yang merupakan perpanjangan

dari saluran pernafasan atas pasien.

Sirkuit anestesi diklasifikasikan sebagai rebreathing dan non-rebreathing berdasarkan ada

tidaknya udara ekspirasi yang dihirup kembali. Sirkuit ini juga diklasifikasikan sebagai

open, semi open, semi closed dan closed berdasarkan ada tidaknya (1) reservoir bag, (2)

udara ekspirasi yang dihirup kembali (rebreathing exhaled gas), (3) komponen untuk

menyerap korbondioksia ekspirasi serta (CO2 absorber) (4) katup satu arah.

_________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Sistem penghantaran anestesi (Anesthesia

Delivery System) telah bekembang mulai

dari peralatan yang sederhana hingga

menjadi suatu sistem yang sangat

kompleks yang terdiri dari mesin

anestesi, sirkuit anestesi, vaporizer,

pembuangan gas serta monitor. Bagi

seorang ahli anestesi, pemahaman

terhadap fungsi dari sistem penghantaran

anestesi ini sangatlah penting.

Berdasarkan fakta dari data American

Society of Anesthesiologists (ASA),

Caplan menemukan bahwa meskipun

tuntutan dari pasien terhadap kesalahan

Page 41: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

37

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

dari sistem penghantaran anestesi jarang

terjadi, akan tetapi ketika itu terjadi maka

akan menjadi suatu masalah yang besar,

yang sering mengakibatkan kematian

atau kerusakan otak yang menetap.1,2

Sirkuit anestesi atau dikenal dengan

sistem pernafasan merupakan sistem

yang berfungsi menghantarkan oksigen

dan gas anestesi dari mesin anestesi

kepada pasien yang dioperasi. Sirkuit

anestesi merupakan suatu pipa/tabung

yang merupakan perpanjangan dari

saluran pernafasan atas pasien.

Komponen sirkuit anestesi pada saat

sekarang ini terdiri dari kantong udara,

pipa yang berlekuk-lekuk, celah untuk

aliran udara segar, katup pengatur

tekanan dan penghubung pada pasien.

Aliran gas dari sumber gas berupa

campuran oksigen dan zat anestesi akan

mengalir melalui vaporizer dan bersama

zat anestesi cair tersebut keluar menuju

sirkuit. Campuran oksigen dan zat

anestesi yang berupa gas atau uap ini

disebut sebagai fresh gas flow (FGF)

(aliran gas segar). Sistem pernafasan

atau sirkuit anestesi ini dirancang untuk

mempertahankan tersedianya oksigen

yang cukup di dalam paru sehingga

mampu dihantarkan darah kepada

jaringan dan selanjutnya mampu

mengangkut karbondioksida dari tubuh.

Sistem pernafasan ini harus dapat

menjamin pasien mampu bernafas

dengan nyaman, tanpa adanya

peningkatan usaha bernafas, tidak

menambah ruang rugi (dead space)

fisiologis serta dapat menghantarkan gas /

agen anestesi secara lancar pada sistem

pernafasan pasien. Sampai saat ini

berbagai teknik dan modifikasi sirkuit

anestesi telah dikembangkan dan masing-

masing mempunyai efisiensi,

kenyamanan dan kerumitan sendiri-

sendiri. 3,4

Sirkuit anestesi diklasifikasikan sebagai

rebreathing dan non-rebreathing

berdasarkan ada tidaknya udara ekspirasi

yang dihirup kembali. Sirkuit ini juga

diklasifikasikan sebagai open, semi open,

semi closed dan closed berdasarkan ada

tidaknya (1) reservoir bag, (2) udara

ekspirasi yang dihirup kembali

(rebreathing exhaled gas), (3) komponen

untuk menyerap korbondioksia ekspirasi

(CO2 absorber) serta (4) katup satu arah

(Tabel 1). Meskipun dengan

pengklasifikasian tersebut kadang

menyebabkan kebingungan dibandingkan

pemahaman. 4,5

Tabel 1. Klasifikasi sirkuit Anestesi 5

Sistem Reservoir Bag Rebreathing CO2 absorbent Katup Aliran FGF

Open

Insuflasi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak diketahui

Open Drop Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak diketahui

Semiopen

Mapleson A, B, C, D Ya Tidak Tidak Satu Tinggi

Mapleson E Tidak Tidak Tidak Tidak Tinggi

Mapleson F Ya Tidak Tidak Satu Tinggi

Semiclosed

Sistem lingkar Ya Ya Ya Tiga Sedang

Closed

Sistem Lingkar Ya Ya Ya Tiga Rendah

Page 42: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

38

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

SISTEM INSUFLASI

Istilah insuflasi menunjukkan peniupan

gas anestesi di wajah pasien. Meskipun

insuflasi dikategorikan sebagai breathing

system, mungkin istilah ini lebih baik bila

dianggap sebagai suatu teknik anestesi

tanpa

hubungan langsung antara sebuah

rangkaian alat pernafasan dengan pasien.

Karena anak-anak sering menolak

penempatan masker wajah atau melalui

intravena, insuflasi berguna sekali untuk

induksi pasien anak-anak dengan anestesi

inhalasi (gambar 1). Hal ini berguna

untuk situasi yang lain.4

Gambar 1. Insuflasi agen anestesi di wajah pasien anak selama induksi

Pada pembedahan ophtalmic (mata)

dengan anestesi local, akumulasi CO2 di

bawah kain (drapping) kepala dan leher,

dapat berbahaya. Insuflasi O2 dan udara

di wajah pasien pada laju aliran tinggi (>

10 L/menit) dapat menghindari masalah

ini (gambar 2). Karena insuflasi

menghindari kontak langsung dengan

pasien, maka hembusan gas rebreathing

tidak akan terjadi jika alirannya cukup

tinggi. Pada teknik ini ventilasi tidak

dapat dikontrol sehingga gas yang masuk

mengandung sejumlah udara atmosfer

yang tidak dapat diprediksi.4

Gambar 2. Insuflasi O2 dan udara di bawah tirai kepala (drapping)

SISTEM OPEN-DROP

Meskipun anestesi tetes terbuka (open

drop) tidak digunakan lagi dalam

kedokteran modern, tapi ada makna

bersejarah yang akan dijelaskan di sini.

Penggunaan sistem open drop diawali

oleh Simpson yang pertama kali

menggunakan kloroform pada tahun 1847

dengan cara sederhana yaitu dengan

menyiramkan zat ini pada sebuah sapu

tangan dan diletakkan menutupi mulut

Page 43: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

39

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

dan hidung penderita sehingga ia dapat

menghirup uapnya.6 Kemudian

Schimmelbusch (1860-1895), seorang

ahli bedah di Berlin menggunakan

masker yang dapat dipakai untuk

memberikan kloroform, etil klorida atau

dietil eter.7

Masker Schimmelbusch

berupa masker rangka besi dengan

cekungan untuk mengumpulkan agen

anestesi yang berlebihan dan dilengkapi

rangka kawat yang dapat dilepas untuk

menahan kain penutup (gambar 3).8

Pada teknik ini sejumlah zat anestesi

inhalasi diteteskan melalui masker yang

dipasang pada wajah penderita diatas

mulut dan hidung. Zat anestesi yang

mudah menguap, seperti ether atau

halothane menetes di atas kain tipis yang

menutupi wajah (masker

Schimmebusch), digunakan pada wajah

pasien. Zat anestesi diteteskan secara

perlahan-lahan di atas masker kemudian

dialirkan oksigen yang cukup

dibawahnya sehingga didapatkan

sirkulasi udara yang baik di bawah

masker. Ketika proses inspirasi, udara

melewati kain, menguapkan agen cair

dan membawa zat anestesi dalam

konsentrasi tinggi pada pasien.

Penguapan menurunkan temperatur

masker, mengakibatkan kondensasi uap

air dan pengembunan serta penurunan

tekanan uap anestesi (tekanan uap

sebanding dengan suhu). Turunan dari

anestesi open drop modern adalah

menggunakan vaporizer draw over yang

tergantung pada usaha nafas pasien untuk

mengambil udara ruangan melalui ruang

vaporizer.4

SISTEM DRAW-OVER

Alat draw-over merupakan rangkaian

nonbreathing yang menggunakan udara

sekitar sebagai pengangkut gas, walaupun

suplemen O2 dapat digunakan jika

tersedia. Walaupun alat ini sederhana,

tetapi konsentrasi udara dan oksigen yang

masuk dapat diprediksi dan dikontrol.

Alat ini dapat dilengkapi dengan perlatan

yang memungkinkan Intermitent

Positive- Pressure Ventilation (IPPV)

dan pembuangan pasif, serta Continuous

Positive Airway Pressure (CPAP) dan

Positive End-Expiratory Pressure

(PEEP). 4

Gambar 3. Masker Schimmelbusch

Pada sebagian besar dasar alat (gambar

4), udara diambil melalui alat penguap

resistensi rendah saat pasien inspirasi.

Pasien bernafas spontan dengan udara

ruang dan agen inhalasi, sering

menimbulkan saturasi oksigen (SpO2)

<90%, sehingga dalam situasi ini

diperlukan IPPV, suplemen oksigen, atau

keduanya. Fraksi inspirasi oksigen (FIO2)

dapat ditambahkan dengan menggunakan

reservoir tabung terbuka sekitar 400 mL,

yang melekat pada sebuah T-piece di sisi

atas vaporizer. Kisaran tidal volume dan

laju pernafasan disebutkan bahwa laju

aliran oksigen 1 L/menit memberikan

FIO2 (30-40%) atau dengan 4 L/menit

memberikan FIO2 (60-80%).4 Beberapa

sistem draw-over komersial yang tersedia

memiliki beberapa sifat, diantaranya

mudah dibawa, kuat, resistensi rendah

terhadap aliran gas, dapat digunakan

dengan beberapa agen, serta dapat

mengontrol pengeluaran uap.

Page 44: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

40

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Gambar 4. Diagram skema rangkaian anestesi draw-over

Keuntungan dari sistem draw-over adalah

sederhana dan mudah dibawa. Meskipun

begitu terdapat beberapa kelemahan pada

sistem ini. Tidak adanya reservoir bag,

menyebabkan kedalaman tidal volume

tidak dapat dinilai selama ventilasi

spontan. Adanya katup nonrebreathing,

katup PEEP, dan rangkaian saringan

tertutup (filter-close) yang berada pada

kepala pasien, menyebabkan kesulitan

pada pembedahan kepala dan leher serta

pada kasus-kasus anak. Jika kepala

ditutupi, maka katup nonbreathing sering

tertutup juga.4

EMO merupakan sistem anestesi draw

over yang dirancang oleh Epstein dan

Machintosh di Oxford pada tahun 1952

(Gambar 5).

Gambar 5. Unit Vaporizer EMO dengan IOB

Ini merupakan peralatan anestesi inhalasi

draw-over yang paling terkenal pada saat

itu. Bagi Angkatan perang India alat ini

merupakan perlengkapan anestesi yang

penting di tempat-tempat terpencil

dimana tentara bertugas. OIB (Oxford

Inflating Bellow) merupakan alat yang

digunakan untuk bantuan ventilasi

manual.9

Sedangkan peralatan Triservice

merupakan sistem draw over yang dibuat

oleh tentara Inggris untuk digunakan

pada saat perang (Gambar 6).10

Gambar 6. Peralatan Triservice

RANGKAIAN MAPLESON

Insuflasi dan sistem draw-over memiliki

beberapa kelemahan diantaranya

kurangnya kontrol terhadap konsentrasi

gas inspirasi dan kedalaman anestesi,

ketidakmampuan untuk membantu atau

mengontrol ventilasi, tidak ada

Page 45: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

41

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

perlindungan terhadap udara panas

ekspirasi atau kelembaban, manajemen

jalan nafas yang sulit selama pembedahan

pada kepala dan leher, serta polusi ruang

operasi karena gas buang yang besar.

Sistem Mapleson diperkenalkan di

Inggris oleh Prof. WW Mapleson tahun

1954. Sistem mapleson ini memecahkan

beberapa masalah ini dengan

menambahkan komponen (pipa

pernafasan, fresh gas inlets yaitu sisi

tempat masuknya gas segar, katup APL

(Adjustable Pressure-Limitting) yaitu

katup untuk menyesuaikan batas tekanan,

dan reservoir bag) dalam sirkuit

pernafasan (Gambar 7). Lokasi dari

komponen-komponen ini relatif

menentukan kinerja sirkuit dan

merupakan dasar dari klasifikasi

Mapleson (tabel 2).4

Sirkuit Mapleson cukup ringan,

sederhana dan tidak memerlukan katup

searah. Efisiensinya ditentukan oleh gas

segar yang dibutuhkan untuk

mengeliminasi CO2. Karena tidak ada

katup searah dan absorpsi CO2 maka

rebreathing dicegah dengan katup

pengurang tekanan. Selama pernapasan

spontan, udara alveoli yang mengandung

CO2 akan dikeluarkan melalui katup

(APL). Bila aliran gas segar melebihi

ventilasi semenit alveoli sebelum inhalasi

terjadi maka kelebihannya akan dibuang

melalui katup (Gambar 8).1,4,10, 11

Gambar 7. Komponen Rangkaian Mapleson Gambar 8. Katup APL

Komponen-komponen Rangkaian

Mapleson

Tabung Pernafasan (Breathing Tubes)

Tabung pernafasan bergelombang –

terbuat dari karet (dapat digunakan lagi)

atau plastik (sekali pakai) –

menghubungkan komponen-komponen

dari rangkaian Mapleson kepada pasien

(gambar 7). Diameter tabung yang besar

(22 mm) menghasilkan jalur resistensi

rendah dan reservoir yang potensial

untuk gas-gas anestesi). Untuk

meminimalkan kebutuhan FGF, volume

tabung pernafasan pada sebagian besar

rangkaian Mapleson harus setidaknya

sama besar dengan volume tidal pasien.

Compliance tabung pernafasan

menentukan compliance dari sirkuit.

(Compliance didefinisikan sebagai

Page 46: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

42

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

perubahan volume yang dihasilkan oleh

perubahan tekanan). Tabung pernafasan

panjang dengan compliance tinggi

meningkatkan perbedaan antara volume

gas yang dikirim ke sirkuit oleh reservoir

bag atau ventilator, dengan volume

sebenarnya yang dikirim ke pasien.

Contohnya, jika sebuah rangkaian

pernafasan dengan compliance 8 mL

gas/cm H2O adalah tekanan selama

pengiriman, tidal volume menjadi 20 cm

H2O, 160 mL tidal volume akan hilang

pada rangkaian. 160 mL menggambarkan

kombinasi dari kompresi gas dan

ekspansi tabung pernafasan. Ini

merupakan pertimbangan penting pada

setiap sirkuti yang memberikan ventilasi

tekanan positif melalui tabung pernafasan

(seperti sistem lingkar). 4,11,12

Fresh Gas Inlet

Gas (anestesi dengan oksigen atau udara)

dari mesin anestesi secara terus menerus

masuk ke sirkuit melalui fresh gas inlet.

Katup APL (Adjustable Pressure –

Limiting)

Saat gas-gas anestesi memasuki sirkuti

pernafasan, tekanan akan meningkat jika

aliran gas lebih besar daripada kombinasi

jumlah gas yang dihirup pasien dan

sirkuit. Gas-gas yang keluar dari sirkuit

melalui sebuah katup APL mengontrol

penambahan tekanan ini (Gambar 8).

Gas-gas pengeluaran akan memasuki

atmosfir ruang operasi atau sebaiknya

ditampung oleh sebuah saluran

pembuangan. Semua katup-katup APL

memungkinkan variabel ambang tekanan

untuk ventilasi. Katup APL harus

sepenuhnya terbuka selama ventilasi

spontan, sehingga tekanan pada sirkuit

yang tertinggal dapat diabaikan saat

inspirasi dan ekspirasi. Ventilasi bantuan

dan kontrol memerlukan tekanan positif

selama inspirasi untuk mengembangkan

paru. Penutupan sebagian dari katup APL

membatasi gas keluar, memungkinkan

tekanan positif pada sirkuit selama

kompresi reservoir bag.

Reservoir Bag (Breathing Bag)

Reservoir bag berfungsi sebagai

penyimpan gas anestesi dan sebuah cara

untuk menghasilkan ventilasi tekanan

positif. Komponen ini dirancang untuk

meningkatkan compliancenya, ketika

volumenya meningkat. Tiga tahap yang

jelas berbeda dari pengisian reservoir bag

dapat dilihat (gambar 9). Setelah

reservoir bag untuk orang dewasa

mencapai kapasitas 3 L (tahap I), tekanan

naik dengan cepat ke puncak (tahap II).

Peningkatan volume lebih lanjut akan

menyebabkan tekanan berada pada posisi

plateu atau sedikit menurun (tahap III).

Efek ini membantu melindungi paru

pasien melawan tingginya tekanan udara

ketika katup APL tanpa sengaja bearada

dalam posisi tertutup, sementara gas

segar terus mengalir ke dalam sirkuit.

4,11,12

Page 47: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

43

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Gambar 9. Fase peningkatan compliance dan elastisitas reservoir bag.

Tabel 2. Klasifikasi Mapleson

Karakteristik Kinerja Rangkaian

Mapleson

Rangkaian Mapleson ringan, murah dan

sederhana. Efisiensi sirkuit pernafasan

diukur dengan FGF yang diperlukan

untuk menghilangkan sebanyak mungkin

CO2 rebreathing. Karena tidak ada katup

searah atau CO2 absorber pada sirkuit

Mapleson, rebreathing dicegah dengan

mengalirkan gas melalui katup APL

sebelum inspirasi. Biasanya terdapat

beberapa rebreathing udara ekspirasi

dalam sirkuit Mapleson. Aliran yang

melalui rangkaian mengatur jumlah udara

rebreathing tersebut. Untuk

meminimalkan terjadinya rebreathing,

diperlukan FGF yang tinggi.

Selama ventilasi spontan, gas alveolar

yang mengandung CO2 akan

dihembuskan ke dalam tabung pernafasan

Page 48: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

44

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

atau langsung melalui sebuah katup APL

yang terbuka. Sebelum inhalasi terjadi,

jika FGF melebihi menit ventilasi

alveolar, masuknya FGF akan memaksa

gas alveolar yang tersisa dalam tabung

pernafasan untuk keluar melalui katup

APL. Jika volume tabung pernafasan

sama dengan atau lebih besar dari tidal

volume pasien, inspirasi berikutnya

hanya akan berisi gas segar. 4,14

Sistem Mapleson A

Sistem mapleson A atau dikenal sebagai

sistem Magill merupakan susatu sistem

yang populer digunakan di Inggris

(Gambar 10). Pada pernafasan spontan,

selama ekspirasi, bagian pertama dari gas

ekspirasi berasal dari dead space anatomi

dan tidak mengandung CO2. Gas tersebut

berjalan sepanjang tabung corrugated

hingga reservoir bag, akan tetapi tidak

memasukinya karena kapasitas tabung

corrugated melebihi volume tidal. Ketika

reservoir bag diisi dan tekanan sirkuit

meningkat, katup ekspirasi (katup APL)

akan terangkat. Pada keadaan ini gas

yang akan keluar pada siklus respirasi

adalah gas alveoli yang mengandung

CO2. Pada fase ekspirasi yang

selanjutnya, FGF yang memasuki

reservoir bag selanjutnya akan mengalir

melalui tabung corrugated dan

mendorong gas alveoli yang tersisa.

Sistem ini baik dalam mengeluarkan gas

alveoli. Pada sistem ini rebreathing tidak

terjadi hingga FGF turun di bawah 70 %

dari minute volume. 4,14

Ketika digunakan untuk ventilasi

mekanik dengan kompresi manual dari

reservoir bag, kemampuan dari sistem ini

untuk mengeluarkan gas alveoli dari

sistem ini menjadi hilang, sehingga

selama inspirasi FGF akan keluar melalui

katup APL. Pada keadaan ini sistem

menjadi tidak efisisen dan diperlukan

FGF 3 kali menit volume untuk

mencegah rebreathing.Sistem Lack

merupakan coaxial dari sistem mapleson

A (Gambar 11). 4,14

Sistem Mapleson B dan C

Kedua sistem ini pada dasarnya adalah

sama dan untuk mengurangi tingkat

rebreathing pada tingkat yang dapat

diterima, diperlukan FGF sama atau dua

kali menit volume diperlukan selama

ventilasi spontan ataupun terkontrol. Dari

dua sirkuit ini, sistem mapleson C

menjadi kurang efisien karena tidak

memiliki tabung yang berfungsi menjaga

pemisahan gas alveoli dengan dead space

dari gas ekspirasi, dan seluruh volume

ekspirasi akan bercampur dalam

reservoir bag. Meski begitu, merupakan

sistem yang baik untuk ventilasi manual

pasien sebelum intubasi. 4,14

Sistem Mapleson B dan C

Kedua sistem ini pada dasarnya adalah

sama dan untuk mengurangi tingkat

rebreathing pada tingkat yang dapat

diterima, diperlukan FGF sama atau dua

kali menit volume diperlukan selama

ventilasi spontan ataupun terkontrol. Dari

dua sirkuit ini, sistem mapleson C

menjadi kurang efisien karena tidak

memiliki tabung yang berfungsi menjaga

pemisahan gas alveoli dengan dead space

dari gas ekspirasi, dan seluruh volume

ekspirasi akan bercampur dalam

reservoir bag. Meski begitu, merupakan

sistem yang baik untuk ventilasi manual

pasien sebelum intubasi. 4,14

Gambar 10. Mapleson A

Page 49: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

45

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Gambar 11. Sistem Lack

Gambar 12. Mapleson B

Gambar 13. Mapleson C

Sistem Mapleson D, E dan F

Sistem ini pada dasarnya merupakan

sistem T-pieces. Sistem ini digunakan

secara luas di Amerika dibandingkan

sistem mapleson A atau B. 14

Sistem T-pieces

Sistem T-pieces didefinisikan sebagai

sirkuit nafas dimana FGF masuk diantara

sisi pasien dan sisi lubang ataupun katup

ekspirasi. Definisi fungsional ini kadang

membingungkan karena sistem ini tidak

harus memiliki suatu cabang terpisah

untuk sisi ekspirasi. Karena sistem ini

juga mencakup sistem yang sepertinya

tidak terlihat sebagai T-pieces. Sistem

Mapleson D, E dan F berbeda hanya pada

akhir dari cabang ekspirasi dari T-pieces,

dan kinerja dari tiga sistem ini adalah

sama. 4,14

Sistem Mapleson D

Sistem ini merupakan sistem T-piece

yang memiliki cabang ekspirasi (tabung

corrugated) dengan reservoir bag dan

katup APL pada bagian akhir tabungnya

(Gambar 14). Selama ventilasi spontan

sistem ini bekerja serupa dengan

mapleson E dan F, bahwa volume tidal

adalah kurang dari volume dari tabung

corrugated ekspirasi. Jika volume tidal

melebihi volume tabung corrugated

ekspirasi, campuran gas ekspirasi akan

dihirup dari reservoir bag. 4,14

Selama ventilasi kontrol sistem ini lebih

efisien dibandingkan dengan mapleson A,

B, atau C. Efisiensi ini disebabkan

pemisahan pipa FGF dengan katup APL

(yang terletak jauh dari pasien). Desain

ini memungkinkan bahwa sebagian besar

gas yang dihirup selama inspirasi

merupakan FGF. Sistem Bain merupakan

coaxial dari sistem mapleson D (Gambar

15). 4,14

Gambar 14. Sistem Mapleson D

Gambar 15. Sistem Bain

Page 50: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

46

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Sistem Mapleson E

Sistem Mapleson E merupakan T-pieces

yang sederhana dengan akhir cabang

ekspirasi yang terbuka yang

menggantikan reservoir bag. Sistem ini

hanya untuk pernafasan spontan. Ukuran

dan bentuk dari tabung cabang ekspirasi

adalah penting. Tabung ini harus

memiliki diameter yang cukup untuk

menghasilkan resistensi yang rendah

pada aliran gas, akan tetapi diameter yang

terlalu besar akan menghasilkan

campuran antara gas ekspirasi dan FGF

sehingga menyebabkan efisiensi yang

berkurang. Kapasitas tabung cabang

ekspirasi harus melebihi volume tidal

untuk menghindari kemungkinan

terhirupnya udara bebas. Kurangnya

kapasitas tabung cabang ekspirasi dapat

dikompensasi dengan meningkatkan FGF

(Gambar 16). 4,14

Gambar 16. Sistem Mapleson E

Sistem Mapleson F (Jackson-Rees)

Sistem ini berbeda dengan sistem

mapleson D, dimana katup APL ekspirasi

terletak pada ujung distal reservoir bag

yang terbuka yang dapat diatur oleh

operator. Sistem ini umumnya digunakan

untuk mengatur ventilasi selama transport

pasien dan pasien yang diintubasi. Sistem

ini juga populer digunakan pada anetesi

anak karena memiliki dead space dan

resistensi yang minimal. Kekurangan

sistem ini meliputi kebutuhan akan FGF

yang tinggi untuk mencegah rebreathing,

terjadinya tekanan yang tinggi dan

barotrauma jika katup ekspirasi tertutup

serta kurangnya humidifikasi. 4,14

Gambar 17. Sistem Mapleson F (Jackson-Rees)

SISTEM LINGKAR / SISTEM

CIRCLE

Meskipun rangkaian Mapleson mengatasi

beberapa kelemahan dari insuflasi dan

sistem draw-over, tingginya FGF yang

diperlukan untuk mencegah terjadinya

rebreathing menyebabkan pemborosan

agen anestesi, polusi ruang operasi dan

hilangnya panas pasien dan kelembaban.

Upaya untuk menghindari masalah ini,

sistem lingkar menambahkan beberapa

komponen ke dalam sirkuit pernafasan.

1,4,11,14

Komponen-komponen Sistem Lingkar

Carbon dioksida absorbent (Pengisap

CO2)

Rebreathing gas alveolar memelihara

panas dan kelembaban. CO2 pada gas

yang dihembuskan harus dihilangkan

untuk mencegah hiperkapni. Secara

kimiawi CO2 bergabung dengan air untuk

membentuk asam karbonat. CO2

absorbent (seperti sodalime atau

baralime) mengandung garam hidroksida

yang mampu menetralkan asam karbonat.

Produk akhir reaksi meliputi panas

(termasuk panas netralisasi), air dan

kalsium karbonat. Sodalime adalah CO2

absorbent yang umum dan mampu

menyerap untuk 23 L CO2 per 100 g

absorbent.

Perubahan warna dari sebuah indikator

pH oleh peningkatan konsentrasi ion

hidrogen memberi tanda terpakainya alat

Page 51: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

47

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

penyerap. Absorbent harus diganti bila

50-70 % telah berubah warna. Meskipun

butiran yang telah digunakan dapat

kembali ke warna aslinya jika

diistirahatkan, tetapi pemulihan kapasitas

CO2 absorbent yang terjadi tidak

signifikan. Ukuran butiran menunjukkan

dengan daya serap permukaan yang

tinggi dari butiran-butiran kecil dan aliran

gas dengan resistensi yang rendah dari

butiran-butiran yang besar. Garam-garam

hidroksida mengiritasi kulit dan selaput

lendir. Meningkatkan kekerasan sodalime

dengan menambahkan silika

meminimalkan resiko menghirup debu

natrium hidrokida. Karena kapur barium

hidroksida memasukkan air ke dalam

struktur tersebut (air kristal), sehingga

cukup keras tanpa silika. Tambahan air

ditambahkan untuk kedua absorbent

selama pembungkusan untuk memberi

kondisi yang optimal untuk pembentukan

asam karbonat. Sodalime komersial

memiliki kandungan air 14 – 19 %.

Butiran penyerap dapat menyerap dan

kemudian melepaskan sejumlah volatile

anestesi (anestesi yang mudah menguap)

secara signifikan. Alat ini dapat

merespon untuk induksi yang tertunda

atau muncul. Sodalime yang lebih kering

besar kemungkinan akan menyerap dan

mengurangi anestesi inhalasi. 1,4,11,14

Carbon dioksida absorbers

Butiran-butiran penyerap yang

terkandung dalam satu atau dua tabung

yang melekat antara kepala dan alas

lapisan. Bersama-sama, unit ini disebut

absorbers (gambar 18). Meskipun besar,

tabung ganda memungkinkan penyerapan

CO2 yang lebih lengkap, frekuensi

perubahan absorbent lebih sedikit/tidak

banyak, dan resistensi aliran gas lebih

rendah. Untuk memastikan penyerapan

lengkap, tidal volume pasien tidak boleh

melebihi volume udara ruang antara

butiran penyerap, yang kurang lebih sama

dengan 50% dari kapasitas penyerap.

Indikator pewarna dapat dipantau melalui

dinding transparan penyerap.

Terpakainya penyerap biasanya pertama

terjadi pada lokasi dimana gas

dihembuskan memasuki penyerap dan

sepanjang dinding tabung yang halus.

Absorbers generasi yang lebih baru dapat

digunakan hingga CO2 ditemukan dalam

gas yang dihirup yang dapat diamati pada

monitor gas anestesi, yang menunjukkan

saatnya tabung untuk diganti. 1,4,11,14

Gambar 18. Carbon dioksida absorbers

Undirectional Valves (Katup searah)

Katup searah, yang berfungsi sebagai

katup pengecek, mengandung sebuah

keramik atau piringan (disk) mika yang

diletakkan horizontal di atas sebuah

tempat katup berbentuk cincin (gambar

19). Selanjutnya aliran gas mendorong

piringan ke atas, memungkinkan gas

untuk mengalir melalui sirkuit. Aliran

balik mendorong piringan melawan

tahanan, mencegah refluks. Kerusakan

katup biasanya disebabkan oleh piringan

yang bengkok atau wadah yang tidak

sesuai. Katup ekspirasi menerima gas

alveolar yang lembab.

Page 52: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

48

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Gambar 19. Sebuah katup searah

Inhalasi membuka katup inspirasi,

memungkinkan pasien untuk bernafas

campuran dari gas segar dan gas yang

dihembuskan yang sudah melalui

penyerap CO2. Secara bersamaan, katup

ekspirasi menutup untuk mencegah

rebreathing dari hembusan gas yang

masih mengandung CO2. Selanjutnya

aliran gas dari pasien selama

penghembusan (exhalation) membuka

katup ekspirasi. Gas ini keluar masuk

(dikeluarkan) melalui katup APL atau

rebreathing oleh pasien setelah melalui

penyerap. Penutupan katup inspirasi

selama ekspirasi mencegah pengeluaran

gas dari percampuran dengan gas segar

pada cabang inspirasi. Kerusakan katup

searah memungkinkan terjadinya

rebreathing CO2, sehingga menyebabkan

hiperkapni. 1,4,11,14

Optimalisasi desain sistem circle

(sistem lingkar)

Meskipun komponen-komponen utama

sistem lingkar (katup searah,inlet gas

segar, katup APL, penyerap CO2 dan

sebuah reservoir bag) dapat ditempatkan

dalam beberapa susunan, tetapi berikut

ini susunan yang lebih dianjurkan

(Gambar 20).

Gambar 20. Sebuah sistem lingkar

Katup searah tertutup secara relatif ke

pasien untuk mencegah aliran balik ke

cabang inspirasi jika kebocoran rangkaian

berkembang. Namun katup searah tidak

ditempatkan di Y-piece, karena

menyebabkan kesulitan untuk

mengkonfirmasi kondisi dan fungsi yang

tepat dari katup selama operasi.

Page 53: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

49

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Inlet gas segar / fresh gas inlet

ditempatkan antara penyerap dan katup

inspirasi. Posisinya di hilir (ujung) dari

katup inspirasi akan memungkinkan gas

segar untuk memotong jalan pasien

selama pengeluaran nafas dan menjadi

pemborosan (sia-sia). Gas segar yang

ditempatkan antara katup ekspirasi dan

penyerap akan diencerkan oleh gas

resirkulasi. Selanjutnya, anestesi inhalasi

dapat diserap atau dilepaskan oleh butiran

sodalime, sehingga memperlambat

induksi dan kemunculannya.

Katup APL harus ditempatkan tepat

sebelum abesorber untuk memelihara

kapasitas penyerapan dan untuk

mengurangi pengeluaran gas segar.

Resistensi terhadap udara ekspirasi

berkurang dangan menempatkan

reservoir bag di cabang komponen

ekspirasi. Kompresi reservoir bag selama

ventilasi terkontrol akan mengeluarkan

gas ekspirasi melalui katup APL,

sehingga juga memelihara absorbent. 1,4,11,14

Karakteristik Kinerja Sistem Lingkar

Kebutuhan gas segar

Dengan adanya absorber, sistem lingkar

dapat mencegah rebreathing CO2 pada

FGF rendah atau yang dianggap rendah

(</= 1 L) atau bahkan FGF yang sama

dengan pengambilan gas anestesi dan

oksigen dari pasien dan rangkaian itu

sendiri (anestesi sistem). Pada aliran gas

segar lebih dari 5 L/menit, rebreathing

begitu minimal sehingga CO2 absorber

biasanya tidak diperlukan.

Dengan FGF rendah, konsentrasi oksigen

dan anestesi inhalasi bervariasi yang

mencolok antara gas yang dihirup (gas

pada fresh gas inlet) dan gas inspirasi

(gas pada inspiratory limb dari tabung

pernafasan), yang merupakan campuran

gas segar dan gas yang dihembuskan

yang telah melewati penyerap. Semakin

besar laju FGF, semakin sedikit waktu

yang dibutuhkan untuk mengubah

konsentrasi gas segar anestesi, yang

tercermin dalam sebuah perubahan

konsentrasi gas inspirasi anestesi.

Kecepatan aliran induksi dan pemulihan

yang lebih tinggi, dapat mengkompensasi

kebocoran dalam sirkuit dan mengurangi

resiko campuran gas tak terduga. 1,4,11,14

Dead space

Bagian dari tidal volume yang tidak

mengalami ventilasi alveolar disebut

ruang kosong (dead space). Setiap

peningkatan dalam dead space harus

disertai oleh peningkatan yang sesuai

pada tidal volume jika ventilasi alveolar

tetap tidak berubah. Karena terdapatnya

katup searah, perangkat dead space dalam

suatu sistem lingkar terbatas pada daerah

distal titik percampuran gas inspirasi dan

ekspirasi di Y-piece. Tidak seperti

rangkaian Mapleson, tabung nafas

panjang tidak mempengaruhi dead space.

Seperti rangkaian Mapleson, panjang

rangkaian mempengaruhi compliance dan

dengan demikian sejumlah volume tidal

akan hilang ke rangkaian selama tekanan

ventilasi positif. Sistem lingkar pada anak

mungkin memiliki suatu septum yang

membagi gas inspirasi dan ekspirasi di Y-

piece dan tabung-tabung pernafasan

dengan compliance rendah untuk

mengurangi dead space, meskipun alat

ini jarang digunakan dalam praktek saat

ini.

Resistensi

Katup searah dan absorber meningkatkan

resistensi sistem lingkar, terutama pada

laju respirasi yang tinggi dan tidal

volume yang besar. Meskipun demikian,

bayi prematur dapat diventilasi dengan

sukses dengan menggunakan sistem

lingkar.

Page 54: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

50

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Pemeliharaan kelembaban dan panas

Sistem penghantaran gas medis

memberikan gas-gas yang tidak

dilembabkan ke sirkuit anestesi pada

suhu kamar. Gas ekspirasi dipenuhi

dengan uap air pada suhu tubuh. Oleh

karena itu, panas dan kelembaban gas

inspirasi tergantung pada proporsi relatif

dari gas rebreathing ke gas segar

inspirasi. Aliran yang tinggi akan disertai

dengan kelembaban yang relatif rendah,

sedangkan aliran yang rendah

memungkinkan saturasi air yang lebih

besar. Butiran absorbent menghasilkan

sumber panas yang signifikan dan

kelembaban di dalam sistem lingkar.

Kontaminasi bakteri

Resiko terdapatnya mikroorganisme pada

komponen-komponen sistem lingkar

secara teoritis dapat mengakibatkan

infeksi saluran pernafasan pada pasien

yang menggunakan sirkuit ini berikutnya.

Karena alasan ini, penyaring bakteri

kadang-kadang ditambahkan ke dalam

tabung pernafasan inspirasi atau ekspirasi

atau di Y-piece.

Kekurangan sistem lingkar

Meskipun sebagian besar masalah

rangkaian Mapleson terselesaikan oleh

sistem lingkar, sistem ini tetap memiliki

kekurangan, seperti ukuran lebih besar

dan kurang praktis dibawa, meningkatnya

kompleksitas, mengakibatkan resiko

tinggi pemutusan atau malfungsi,

meningkatkan resistensi, dan kesulitan

memprediksi konsentrasi gas inspirasi

selama FGF rendah. 1,4,11,14

DAFTAR PUSTAKA

1. Brockwell RC, Andrews JJ. Inhaled

Anesthetic Delivery Systems. In: Miller‟s

Anesthesia.7th ed. San Fransisco : Elsevier,

2010. ebook

2. Eisenkraft JB, Longnecker DE, Brown DL,

Newman MF, Zapol WM. Anesthesia

Delivery System. In: Anesthesiology. New

York : McGraw-Hill, 2008; 767 – 820

3. Bready LL, Mullin RM, Noorily SH.

Anesthesia Breathing System. In: Decision

Making in Anesthesiology. 4th

ed. Texas :

Mosby Elsevier, 2007; 14-8

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.

Breathing System. In: Clinical

Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill. New

York: Lange Medical Books, 2006; 242-52

5. Roth PA, Howley JE. Anesthesia Delivery

Systems. In: Basic of Anesthesia. 5th ed.

Philadelphia: Elsevier, 2007; 185-205

6. Michael AE, Ramsay, MD. Anesthesia and

Pain Management at Baylor University

Medical Center. New York: BUMC

Proceedings, 2000; 151- 65.

7. Atkinson RS, Rushman, GB, Lee, Alfred J.

A Synopsis of Anaesthesia - Asian Economic

ed. Singapore: Elsevier, 1988; 4 - 12

8. Col AK, Bhargava. Early Devices for

Inhalation of Ether and Chloroform. Indian

Journal Anaesthesia, 2003: 47(3); 176 - 7

9. Col AK, Bhargava. Anaesthetic Devices.

Indian Journal Anaesthesia, 2003: 47(6); 437-

8

10. Aitkenhead AR, Rowbotham DJ, Smith G.

Anaesthetic Apparatus. In: Textbook of

Anesthesia. 4th ed. Philadelphia: Livingstone,

2002; 380 – 90

11. Barrash Pg, Cullen BF, Stoelting RK.

Delivery System for Inhaled Anesthetics. In:

Clinical Anesthesia. 5th ed. Yale: Lippincott

Williams & Wilkins, 2006; 558-94

12. Ward CS. Breathing Attachment and Their

Components. In: Anaesthetic Equipment –

Physical Principles and Maintenance.2nd

ed.

Portsmouth: Baillier Tindall, 1985; 122 - 70

13. Ward C, Moyle JT, Davey A. Breathing

System and Their Components. In: Ward‟s

Anaesthetic Equipment. 4th ed. London:

Saunders, 1992; 109 - 30

14. White DC, Calkins J. Anesthetic Machine

and Breathing System. In: General

Anesthesia. 5th ed. Philadelphia: Butlerworth

International edition, 1989; 440 – 54

Page 55: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

51

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

TINJAUAN PUSTAKA

Awareness dan Recall Intraoperatif

Aunun Rofiq*, Witjaksono*, Widya Istanto Nurcahyo*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

ASA reports the latest on intraoperative awareness conducted by the ASA is centered

around the postoperative recall. As can be inferred from this chapter, introperatif

awareness and postoperative recall is not a phenomenon that is not related at all, thereby

allowing clinicians and researchers to use one of the two partially substitute for the other.

Recall that typically do not provide actual estimates of the incidence of intraoperative

awareness and simply represents the peak of the iceberg phenomenon. Monitor brain

function can not be predicted with less recall very well, but better than the traditional

autonomic parameters in knowing lost or the emergence of consciousness. Monitor brain

function represents the rapid developments in anesthesia practice management. The ability

to recognize intraoperative awareness and prevention by maintaining a depth of hypnosis

level, offers great potential to prevent postoperative recall.

ABSTRAK

Laporan ASA terbaru mengenai awareness intraoperatif yang dilakukan oleh ASA

dipusatkan seputar recall postoperative. Seperti dapat disimpulkan dari Bab ini,

awareness introperatif dan recall postoperative bukanlah fenomena yang tidak

berhubungan sama sekali, sehingga membolehkan para klinisi dan peneliti untuk

menggunakan salah satu di antara keduanya sebagia substitusi bagi yang lain.

Recall secara khas memberikan estimasi yang tidak sebenarnya terhadap insidensi

awareness intraoperatif dan hanya merepresentasikan puncak dari fenomena gunung es.

Monitor fungsi otak tidak dapat memprediksi recall dengn sangat baik, tetapi lebih baik

dari parameter otonom yang tradisional dalam mengetahui hilang atau timbulnya

kesadaran. Monitor fungsi otak merepresentasikan perkembangan yang pesat dalam

manajemen praktek anestesi. Kemampuan untuk mengenali awareness intraoperatif dan

pencegahannya dengan mempertahankan kedalaman tingkat hypnosis, menawarkan

potensi yang besar untuk mencegah recall postoperative.

_________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Pernah nonton film “Awake” besutan

Joby Harold tahun 2007? Film itu

mengisahkan tentang seorang yang harus

menjalani operasi transplantasi jantung di

bawah pengaruh obat bius, tetapi tersadar

pada saat operasi berlangsung tanpa bisa

bergerak atau bicara. Serunya, dia bisa

mendengar semua percakapan yang

terjadi selama dia dibius, dan menjumpai

bahwa dokter yang sekaligus temannya

ternyata memiliki rencana buruk

terhadapnya. Tulisan kali ini agak lain

dari sebelumnya, yaitu mencoba

Page 56: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

52

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

mengangkat tentang peristiwa

“anesthesia awareness”, yaitu

tersadarnya pasien pada saat operasi di

bawah pengaruh obat bius, sehingga ia

bisa menyadari apa yang terjadi selama

operasi.

Ada lagi suatu cerita, dimana seorang

wanita, 30 tahun, terdaftar di sebuah

rumah sakit untuk tindakan bedah

sterilisasi dengan anestesi general.

Setelah induksi yang baik dan lancar

pasien bangun dan mengeluh tidak dapat

bergerak. Pasien mendengar dokter

ginekolog, yang datang terlambat, dan

bertengkar dengan dokter anestesi, yang

berkata padanya, “kemana saja engkau

dokter, pasienmu sudah siap sejak satu

jam yang lalu!!”. Pasien tersebut

kemudian merasa ada sensasi nyeri

seperti ditusuk pisau di perutnya. Dia

panik, dan menjadi ketakutan terhadap

hal apa lagi yang akan terjadi padanya,

takut akan rasa sakit yang lebih berat.

Di dalam Recovery Room, pasien gelisah.

Staf yang menjaganya mengatakan bahwa

kegelisahannya merupakan efek samping

yang umum terjadi dari tindakan anestesi,

sehingga pasien sebaiknya tetap tenang.

Karena dia mengingat hal-hal yang

terjadi padanya selama operasi, dia

memutuskan untuk bertanya lebih jauh

tentang keadaan dirinya. Namun, sang

perawat kurang menanggapinya, sehingga

dia merasa diabaikan dan putus asa.

Maka kemudian, dia merasa kecewa,

marah, dan memutuskan untuk

menghadap kepada dokter anestesi. Sang

dokter, juga pada awalnya tidak

membenarkan apa yang ia rasakan,

karena melihat tanda vital pada pasien ini

normal sepenuhnya. Namun, ketika sang

pasien dapat mengulangi dengan sama

persis kata-kata yang diucapkan dokter

anestesi tersebut saat operasi ketika

bertengkar dengan dokter ginekologi,

sang dokter anestesi pun mulai berubah

pikiran. Setelah mendengarkan dan

menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi,

sang dokter anestesi kemudian meminta

maaf dan memberitahu dokter ginekologi.

Setelah melakukan diskusi berulang kali

dan dua kali pertemuan psikoterapi,

pasien kemudian mengurungkan niatnya

untuk membawa perkara ini ke meja

hukum, dan memaafkan para dokter

tersebut.

Bangkitnya kesadaran adalah sebuah

outcome yang tidak diinginkan, sebuah

komplikasi dari sebuah manajemen

anestesi yang menjadi hal yang sangat

berpotensi untuk menimbulkan masalah

hukum. Pasien yang mampu mengingat

tindakan opreasi yang dilakukan padanya,

khususnya ketika pasien merasa nyeri,

berpotensi untuk mengakibatkan

morbiditas yang lebih lama. Pengalaman

ini sangat tidak baik bagi pasien, yang

dapat melemahkan dirinya dalam

menjalani aktivitas sehari-hari dalam

kehidupannya. Tulisan ini akan

membahas tentang kejadian dan

memahamkan pasien maupun praktisi

medis, serta mempresentasikan seni

teknologi monitoring.

Pada operasi-operasi besar yang

membutuhkan ketelitian, ketepatan dan

waktu lama, pasien umumnya mendapat

anestesi umum untuk menghilangkan

kesadaran dan rasa sakit. Anestesi umum

yang modern menggunakan tiga golongan

obat untuk memberikan efek pembiusan,

yaitu: obat yang menyebabkan tertidur

dan menghapuskan memori selama

operasi (obat bius), obat yang

melemaskan otot untuk mencegah

kontraksi otot yang tidak diinginkan

selama operasi (pelemas otot), dan obat

penghilang rasa sakit yang kuat

(analgesik kuat) seperti obat golongan

morfin. Obat pelemas otot menyebabkan

pasien tidak bisa bergerak, termasuk tidak

bisa bicara, atau bahkan bernafas,

Page 57: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

53

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

sehingga seringkali dibantu dengan alat

bantu pernafasan.

DEFINISI

Istilah kesadaran (awareness) masih

kontroversial. Sejauh ini, laporan dari

ASA yang didiskusikan di akhir tulisan

ini belum dapat menjawab kerumitan

mengenai awareness ini. Salah satu yang

membuat kontroversi adalah istilah

awareness yang masih ditujukan pada

consciousness. Tentu saja, hilangnya

consciousness merupakan periode klinis

yang umum, dan merupakan endpoint

yang penting pada intraoperatif. Tetapi,

apa yang sebenarnya hilang ketika pasien

mulai hilang consciousness-nya? Prinsip

biologi pada keadaan mental ini, atau

keadaan yang semisal dengannya, belum

dapat ditentukan secara pasti walaupun

telah banyak menarik perhatian para

ilmuwan.1 Karena alasan ini, secara

praktis, kita dapat mengadopsi beberapa

definisi. Umumnya, awareness

merupakan keadaan didapatkannya

pengalaman secara sadar (seperti seorang

yang mengatakan, “saya mendengar

seseorang berbicara”).2 Namun, pada

anestesi klinik, istilah ini mempunyai

makna yang berbeda, yaitu merujuk pada

adanya memori pada pasien atau mampu

mengingat tindakan bedah yang

dilakukan (recall) (seperti, pasien

berkata: “Saya mendengar dokter bedah

bicara”). Oleh karena itu, ketika

mendiskusikan mengenai awareness

selama anestesi, kita tidak hanya merujuk

pada pengalaman subjektif, tetapi juga

memori yang ada. Perbedaan yang

signifikan ini, yaitu antara pengertian

awareness dari literatur dan yang

digunakan dalam anestesi klinis, akan

menjadi jelas ketika kita membicarakan

tentang teknik monitoring (lihat Bab

tentang “ apakah terdapat tanda

peringatan selama anestesi yang

memberitahu kita bahwa sesuatu yang

salah terjadi?”). Monitoring yang adekuat

bergantung pada penggambaran yang

benar tentang keadaan pasien, sehingga

akan menimbulkan pertanyaan: apakah

kesadaran intraoperatif ini disertai

memori postoperatif? Bagaimana

menguraikan kedua hal yang

berhubungan namun tidak sama ini akan

kita diskusikan pada tulisan ini.

Untuk saat ini, mari kita bedakan

awareness dengan recall dan awareness

tanpa recall. Walaupun konsekuensi dari

awareness tanpa recall tidak diketahui,

namun kami mempertimbangkan adanya

hubungan antara kejadian dan fenomena

awareness dengan recall yang belum

dapat dimengerti sepenuhnya.

Nah, walaupun telah diberi anestesi

dengan perhitungan yang teliti dari dokter

ahli anestesi, dilaporkan 1-2 dari 1000

orang mungkin mengalami “anaesthesia

awareness”, yaitu tersadar selama

pembiusan, dengan berbagai tingkatan.

Ada yang tersadar penuh, setengah

tersadar, atau hanya sedikit tersadar.

Ada beberapa bentuk kesadaran ini,

antara lain:

1. Pasien sadar, dapat bergerak, tapi

tidak merasakan sakit. Pasien

semacam ini mungkin mendapatkan

analgesik yang cukup, tetapi kurang

cukup obat untuk melemaskan otot

dan obat biusnya.

2. Pasien sadar, tapi tidak bisa bergerak

atau berteriak, dan tidak merasakan

sakit. Pasien ini mungkin

mendapatkan obat analgesik dan

pelemas otot dengan dosis yang

cukup, tetapi kurang dalam obat

biusnya.

3. Yang paling mengerikan buat pasien

adalah jika pasien sadar, merasakan

sakitnya operasi, tetapi tidak bisa

bergerak atau berteriak, atau

Page 58: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

54

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

mengerjakan apapun. Ini dapat

disebabkan karena kurangnya dosis

analgesik dan obat biusnya, tetapi

cukup mendapatkan pelemas otot. Ini

merupakan situasi yang cukup

mengerikan dan kadang membuat

trauma pasien terhadap operasi.

Mestinya keadaan seperti ini bisa

segera disadari oleh dokternya, tapi

kadang2 karena pasien tidak bisa

bereaksi, maka hal ini tidak disadari

dan pasien akan sangat menderita.

Selain itu, fungsi otak pasien yang

tersadar ini umumnya abnormal

karena di bawah pengaruh anestesi,

dan ketambahan lagi dengan efek dari

obat-obat lain, maka seringkali dapat

menimbulkan efek-efek yang aneh

seperti seolah-olah jatuh ke dalam

neraka, merasa jiwanya keluar dari

badannya, atau merasa akan mati.

INSIDENSI

Sebagaimana fenomena kompleks

lainnya, tidak banyak data statistik

tunggal yang menyebutkan angka

insidensi kejadian ini. Sangat penting

untuk mengetahui konteks dari data

statistik yang ada. Dalam konteks tataran

klinis misalnya, perlu dipertimbangkan

penyebab insidensi awareness dengan

recall ini, yaitu meliputi variable

intraoperatif, seperti respon

kardiovaskular. Kita akan melihat kondisi

klinis lebih dekat ketika kita berbicara

mengenai faktor risiko (lihat Bab, “Siapa

saja yang Berisiko?”). Konteks penting

kedua adalah standar pelayanan, yang

selalu berubah dan meningkat. Sehingga,

estimasi insidensi awareness dengan

recall akan menurun. Sebagai contoh,

insidensi dilaporkan pada pasien trauma

pada tahun 1980an yaitu 43%3, dan

sebuah observasi yang serupa 15 tahun

kemudian hasilnya sebesar 1%4.

Peningkatan yang luar biasa ini terjadi

karena adanya kemajuan dalam hal

resusitasi di lapangan yang telah

ditambahkan dalam manajemen anestesi

kasus berisiko tinggi di kamar operasi.

Oleh sebab itu, penelitian-penelitian

modern yang terus dilakukan akan dapat

menurunkan angka insidensi.

Selain peningkatan standar pelayanan,

metode penelitian juga sekarang ini

semakin akurat. Pada penelitian-

penelitian sebelumnya, sebagai contoh,

beberapa bukti anekdot dari recall post

operasi telah ditemukan sebagai fakta

pada munculnya awareness intraoperatif. 3 Beberapa keterangan dramatis tentang

insidensi lainnya juga pernah dilaporkan

di masa lalu. Karena obat-obat sedatif

dapat mengubah persepsi terhadap

waktu,5 pasien dapat merasa sadar selama

operasi, walaupun memori mereka

sebenarnya terbentuk di waktu yang lain

selama periode perioperatif. Mereka

dapat bingung mendengar suara sebelum

atau sesudah ektubasi serta mendengar

suara selama operasi. Untuk menghindari

adanya kemungkinan kekeliruan laporan

karena subjektivitas pasien, ketika obat

sedasi telah diberikan, kita harus dapat

memeriksa memori dengan hati-hati.

Penilaian yang benar, secara spesifik

dapat menggambarkan dengan spesifik

apa yang terjadi selama periode anestesi.

Dalam bentuk yang sangat sederhana,

sebuah sistematika wawancara (lihat tabel

26-1) dipaparkan untuk mengeksplorasi

memori selama periode intraoperatif, dan

telah diterima dengan baik di klinik dan

penelitian komunitas. Dengan

menanyakan kepada pasien 5 pertanyaan

yang sederhana dan kurang spesifik

setelah recovery, kita menemukan hanya

1% insidensi recall setelah operasi, bukan

43%.4

Beberapa penelitian meneliti fungsi

memori selama anestesi dengan mengetes

adanya stimuli spesifik selama anestesi,

seperti daftar kata-kata yang

Page 59: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

55

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

diperdengarkan lewat headphone. Setelah

recovey, stimuli yang sama dimunculkan

lagi, bersama dengan stimuli lain yang

tidak diberikan selama anestesi.

Penelitian ini menunjukan adanya respon

pasien terhadap stimulasi yang lama

maupun baru, dengan beberapa jenis

stimulasi yang dites. Tulisan ini akan

focus pada explicit memory (memori

yang jelas), dimana dilakukan

pengumpulan kembali informasi dalam

kesadaran. 6,7

Tabel 1. Kuosioner Inisial Postoperatif

1. Apa hal terakhir yang anda ingat sebelum

tidur?

2. Apa hal pertama yang anda ingat ketika

bangun dari tidur?

3. Apakah anda ingat apa yang terjadi pada

waktu di antara anda mulai tidur hingga

bangun dari tidur?

4. Apakah anda bermimpi selama operasi?

5. Apakah hal yang paling buruk mengenai

operasi yang dilakukan pada anda?

Sistematika wawancara singkat untuk

mengetahui kesadaran dan recall (tabel 1)

dapat membantu, di mana pasien

biasanya enggan untuk melaporkan

kesadarannya. Jika pasien mengakui

mengingat sesuatu selama intraoperasi,

strategi yang lain dapat digunakan adalah

seperti telah diberi contoh dan

didiskusikan di Bab “ Apa yang Harus

Dilakukan?”. Penting untuk diperhatikan

bahwa kelima pertanyaan ini adalah

untuk menilai kesadaran intraoperatif

dengan cara yang sederhana, terbuka dan

tidak berbias.

Menggunakan kuesioner ini, insidensi

awareness dengan recall ditemukan

terbaru adalah 0,13% di US pada

penelitian kohort-prospektif dengan

sampel sebanyak 20.000 pasien dewasa di

7 senter kesehatan di negara tersebut.8

Semua pasien diberi anestesi general,

mempunyai status mental normal,

berkemampuan untuk memberikan

informed consent, dan dapat

diwawancara setelah operasi. Pasien

diwawancara pertama di PACU (Post

Anestesi Care Unit), dan wawancara

lanjutan dilakukan 1 minggu kemudian.

Peneliti mengetahui bahwa recall dapat

terjadi terlambat, sehingga oleh

karenanya dilakukan wawancara lanjutan.

Sebagai pengganti penelitian luas

lainnya,9 peneliti mengklasifikasikan

setiap individu ke dalam 4 kelompok

berikut:

1. Tidak ada awareness (tidak ada

laporan atau deskripsi yang samar,

atau apa yang dilaporkan sering

terjadi dalam periode preoperasi dan

postoperasi, seperti musik, orang

yang berbicara, pakaian yang dipakai)

2. Dreaming: Bermimpi (mungkin

berhubungan dengan kesadaran)

3. Possible awareness (pasien tidak

dapat mengingat kejadian-kejadian

yang terjadi dengan jelas yang

menunjukkan kesadaran)

4. Awareness (jika event yang dapat

diingat dikonfirmasi kepada

seseorang yang hadir atau peneliti

diyakinkan bahwa memori tersebut

benar tetapi tidak ada konfirmasi

yang bisa didapat)

Di dalam Recovery room, 0,3% pasien

yang diwawancara dilaporkan mengingat

sesuatu di antara waktu akan tidur hingga

bangun (menjawab ya untuk pertanyaan

3, tabel 26-1). Selama periode follow-up

satu minggu kemudian, angka

kejadiannya meningkat (0.6% dilaporkan

mempunyai memori intraoperatif).

Sebaliknya, dreaming dilaporkan lebih

sering terjadi (6% menjawab ya pada

pertanyaan no.4), dan menurun pada

pariode follow-up (3,4%). Pada

Page 60: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

56

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

wawancara dasar, 25 kasus awareness

(0,13%) teridentifikasi. Pada semua

kasus, kejadian yang dapat diingat

terkonfirmasi atau dianggap

kemungkinan besar benar-benar terjadi.

Insidensi recall setelah anestesi general di

US dapat dibandingkan dengan yang

diobservasi secara luas di negara-negara

lain 9,10,11,12

Oleh karena itu, awareness

dengan recall muncul sebagai fenomena

yang terjadi di mana-mana dengan

insidensi 1-2 per 1000 kasus, tidak

bergantung pada lokasi geografis, dan

perbedaan teknik anestesi. Dengan sekitar

200 juta anestesi general yang dilakukan

di United State setiap tahunnya, kira-kira

sebanyak 26.000 kasus terjadi awareness

dengan recall terjadi setiap tahun, atau

100 setiap hari kerja.

Mengapa Saya Harus Peduli?

Kebalikan dengan sebagian orang yang

berpikir angka kejadian ini yang sudah

cukup tinggi untuk memicu dilakukannya

usaha yang terus-menerus untuk

mencegah terjadinya awareness, sebagian

lain berfikir bahwa kejadian recall

postoperasi sangat jarang terjadi dan

bukan merupakan kesulitan yang berarti.

Jika anda berpikir sama, perhatikan

bahwa banyak pasien yang dikhawatirkan

akan mendapat outcme yang buruk ini.

Sebelum anestesi, hingga 54% khawatir

terhadap terjadinya nyeri, paralisis, dan

distress mental selama operasi.

Selanjutnya, ketika sakit, terjadinya

awareness merupakan sebab utama

ketidakpuasan pasien.10

Tidak

mengherankan jika terdapat perasaan dan

pengalaman subjektif pada orang yang

sadar selama operasi. Walaupun tidak

semua kejadian awareness intraoperatif

perlu ditakuti, pembahasan tentang recall

yang terjadi pada pasien berikut dapat

mewakilkan pola berpikir yang berbeda.

Memori pasien

Pasien dengan recall dan awareness

kemungkinan besar mampu mengingat

suara dan percakapan (30-90%), namun

tidak melihat, merasa, dan menghidu

sesuatu.14

Sejumlah angka yang

signifikan (hingga 40%) dapat mengingat

adanya nyeri, sebuah pengalaman yang

dapat memediasi munculnya efek

samping yang lebih besar (adverse

aftereffect). Wawancara yang telah

dilakukan memberi kesan bahwa

kesadaran yang banyak mengganggu

pasien tidaklah penting, tetapi yang lebih

penting adalah ketidakmampuan untuk

bergerak dan berkomunikasi (awake

paralisis). Walaupun nyeri tidak

dirasakan, namun kurangnya kontrol

tubuh akan memberikan perasaan

terhadap hal yang lebih buruk akan

muncul kemudian. Kebanyakan pasien

yang mengalami awake paralisis (70-

90%) merasa panik dan gelisah, di mana

sebagian lain merasa lemah dan putus

asa. Kejadian ini seperti mengubur orang

hidup-hidup, dengan trauma mental yang

memuncak terutama ketika nyeri muncul.

Sejumlah kecil pasien (15%) dapat

merasakan pengalaman berupa mati

lemas, ancaman kematian, atau percaya

bahwa mereka sedang koma dan tidak

akan pulih dari anestesi. Sekitar dua per

tiga pasien melaporkan perubahan

perilaku setelah anestesi atau setelah

terjadi awareness.

Hingga 70% pasien yang mengalami

awareness dengan recall akan mengalami

pengalaman tidak menyenangkan yang

berlanjut, seperti kesulitan tidur, mimpi

buruk yang berulang, mangingat sesuatu

yang sudah lalu (flashback), gelisah di

waktu siang, dan penderitaan. Pasien-

pasien ini juga akan merubah persepsi

mereka tentang anestesi dan menjadi

lebih takut dan khawatir dengan prosedur

anestesi. Pasien menghindari rumah sakit

dan dokter untuk menghindari teringatnya

pada pengalaman yang membuatnya

Page 61: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

57

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

trauma, suatu keadaan yang dapat

membahyakan keberhasilan pengobatan.

Jika simptom menetap selama 1 bulan

yang sangat mempengaruhi perasaan,

perilaku, dan fungsi pasien, dapat

berkembang menjadi Post Traumatic

Stress Disorder (PTSD) (lihat tabel 26-

2). Bergantung pada pengalaman

awareness dan reaksi dari staf rumah

sakit, sebanyak 15% dari pasien dengan

recall membutuhkan fisioterapi, di mana

10% diantaranya berkembang menjadi

PTSD.14,15

Bahkan beberapa tahun

setelah kejadian tersebut, 50% pasien

dapat tetap menderita dengan pengalaman

tersebut dan dapat menderita lumpuh

yang berat karena efek psikiatri ikutan.16

Karena itu, walaupun kejadian ini jarang

terjadi, awareness dengan recall ini dapat

merubah hidup pasien. Pada Bab “Apa

Yang Harus Dilakukan?” menyajikan hal-

hal yang dapat anda lakukan, selama intra

dan postoperatif, ketika anda menjumpai

suspek awareness.

Tabel 2. Gangguan stress postTraumatik

Pengalaman menetap terhadap kejadian-kejadian

(mimpi buruk, gelisah, kesukaran yang sangat)

Penghindaran secara menetap tehadap stimuli

yang berhubungan (dokter, rumah sakit, check

up)

Pengalaman yang meningkat timbulnya dan

menetap

Respon general yang membeku

Durasi simptom lebih dari 1 bulan

Penting untuk diperhatikan bahwa sekuel

ini berhubungan erat dengan penggunaan

obat-obat muscle relaksan. Penelitian

terhadap 14 pasien yang mengalami

awareness dan diberikan obat muscle

relaxan, 11 diantaranya dilaporkan

mengalami efek ikutan yang tidak

menyenangkan.9 Sebagai perbandingan,

dari 4 orang yang nonparalisis tidak ada

yang mengalami pengalaman awareness

postoperasi.

Siapakah yang Berisiko?

Faktor Klinik

Penelitian pada penduduk Amerika,

awareness dengan recall terjadi

berhubungan dengan prosedur tindakan

bedah (abdominal/thoraks, kardiak, dan

oftalmologi, dll), dan kondisi pasien yang

sakit (ASA III-V). 8 Penelitian terbaru

menemukan kemungkinan hubungan

penggunaan dosis obat anestesi yang

rendah, yang merupakan sebab umum

yang mengakibatkan awareness dengan

recall. Insidensi yang lebih tinggi

dilaporkan pada operasi Caesar, trauma

dan bedar kardiak, yaitu 1-4%. 17,18,19

Penggunaan obat muscle relaksan dapat

meningkatkan kejadian recall. Pada studi

di Swedia, banyak pasien mengalami

apisode awareness dengan paralisis dua

kali lebih besar dibandingkan dengan

pasien yang mendapat anestesi general

tanpa muscle relaksan.9 Jika obat muscle

relaksan tidak diberikan, pasien dapat

mengalami awareness dan mampu

bergerak, dan anestesi sebaiknya

diperdalam. Pada penemuan dasar dari

penelitian ini, kewaspadaan dan

penggunaan muscle ralksan yang

bijaksana harus diperhatikan. Obat

muscle relaksan harus diberikan hanya

jika diperlukan oleh pasien, misalnya

untuk intubasi endotrakea, dan selama

ventilasi. Namun, menghindari

penggunaan muscle relaksan tidak

bermanfaat untuk mencegah timbulnya

awareness. Sebagai contoh, beberapa

pasien tidak berusaha untuk bergerak

meskipun kesadaran mereka telah pulih.

Sementara pengguanan muscle relaksan

mengakibatkan insidensi awareness

dengan recall, sebaliknya benzodiazepine

tidak. Karena efek sedatif yang

Page 62: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

58

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

dimilikinya, obat ini baik untuk

menghilangkan ansietas postopeartif,

sehingga umum digunakan. Karena efek

sedatifnya, obat ini juga sering digunakan

untuk mencegah pasien untuk mengalami

memori yang tidak menyenangkan. Obat

ini juga memiliki efek anterogard yang

besar, sehingga secara spesifik akan

mengacaukan memori yang baru dibentuk

daripada memori yang sudah lama.20

Seseorang yang diberi benzodiazepine

akan menerima dan memproses informasi

secara akurat, dan dapat merespon

terhadap pertanyaan atau komentar

dengan benar, namun hanya sedikit dari

pengalaman ini yang disimpan dalam

memorinya. Efek amnesia anterogard

setelah obat diberikan ini dapat

diharapkan ketika adanya efek samping

(seperti nyeri) ingin dihindari.

Sebaliknya, penggunaan untuk profilaksis

tidaklah umum, dan hanya sedikit

pertimbangan mengenai isu etik yang

muncul, yaitu: ke mana efek samping

akan pergi jika tidak ke dalam memori?.21

Namun, berkebalikan dengan efek

samping yang diakibatkannya,

benzodiazepine sering diberikan setelah

sebuah efek samping muncul untuk

memperbaiki memori yang tidak

menyenangkan. Pemberian obat ini untuk

target memori retrogard kurang berguna

karena fakmakkokinetik obat ini, serta

dapat menjelaskan mengapa tidak ada

bukti dalam literatur yang memberi kesan

bahwa benzodiazepine dan skopolamin

lebih berhasil untuk menginduksi

amnesia diandingkan dengan anestesi

biasa. Serupa dengan anestesi biasa,

benzodiazepine dapat mengganggu

memori dengan menginduksi sedasi,

tetapi tidak ada penelitian yang

mengesankan bahwa obat jenis ini juga

secara langsung mencampuri memori

yang sudah terbentuk. Walaupun

diberikan sebelum dan selama intibasi,

benzodiazepine tidak dapat mengurangi

insidensi awareness dengan recall.

ASA mengevaluasi lebih dari 4000

tuntutan dari sejumlah Perusahaan

Asuransi penduduk Amerika terhadap

terjadinya efek samping anestesi yang

terjadi antara tahun 1961-1995.15

Sebanyak 70% tuntutan terjadi selama

tahun 1980-1990. Tuntutan karena

awareness terjadi sebanyak 2%, di mana

terbagi dalam 2 kategori:

1. Awake Paralisis (18 tuntutan) dan

2. Recall (61 tuntutan)

Sebagian besar tuntutan awake paralisis

ditemukan berhubungan dengan

kesalahan infuse (56%), atau siring pump

(44%): bag atau syringe yang megandung

obat muscle relaksan tidak berlabel, ada

kesalahan dalam label, atau pelabelan

yang sudah benar namun tidak diperiksa

sebelum pemberian obat. Periode dengan

kerentanan tertinggi adalah saat

preinduksi dan selama induksi ketika obat

muscle relaksan diberikan sebagai

pengganti obat hipnosis atau sedatif.

Sebuah analisa menemukan bahwa

injeksi benzodiazepine setelah muscle

relaksan merupakan usaha yang tidak

menghasilkan hasil yang baik untuk

mendapatkan amnesia retrogard. Para ahli

menduga sebagian besar kasus awake

paralisis (94%) merepresentasikan

pelayanan yang di bawah standar, dan

karenanya pembebasan biasa pengobatan

seringkali diberikan (78%). Laporan yang

dibuat tidak menyebutkan adanya awake

paralisis ikutan.

Page 63: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

59

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Tabel 3. Penyebab Recall

Dosis obat anestesi yang tidak adekuat

Kegagalan peralatan, kebocoran (vaporizer yang kosong atau tidak tersambung)

Opiod-based anestesi (opioid bukanlah anestesi general)

Intubasi sulit (ingat untuk memberikan dosis ulang obat anestesi i.v)

Hipotensi (perlu dihentikan pemberian agen anestesi)

Adanya faktor risiko (dosis obat yang inadekuat mungkin dibutuhkan untuk menghindari efek

samping)

Recall seringkali terjadi dalam fase

maintenance dari anestesi (80-85%), dan

sejumlah faktor-faktor yang

mempengaruhi telah teridentifikasi (lihat

tabel 26-3). Di sisni, pelayanan anestesi

di bawah standar menjadi penyebab

sebagian kecil kasus (43%), dan

pembiayaan pengobatan pasien

dibebaskan pada sekitar setengah dari

kasus yang ada. Sebanyak 84% dari

penuntut terhadap kasus recall menderita

ditress emosional yang sementara, di

mana 10% di antaranya akan berkembang

menjadi PTSD.

Sebuah penelitian tertutup yang lebih

jauh menunjukkan bahwa, tidak

bergantung pada standar pelayanan,

opiod-based anestesi intraoperatif, muscle

relaksan, dan tidak adanya agen anestesi

inhalasi atau dalam konsentrasi rendah

meningkatkan jumlah tuntutan untuk

recall setelah anestesi general.15

Variabel

yang lain, seperti usia, status ASA,

petugas anestesi, penggunaan

benzodiazepine, perbedaan teknik

induksi, dan agen inhalasi atau intravena,

secara umum tidak mempengaruhi

kejadian recall. Jenis kelamin perempuan

juga berhubungan dengan peningkatan

jumlah tuntutan terhadap kejadian recall,

walaupun tidak jelas apakah peningkatan

faktor risiko internal ini menggambarkan

perbedaan metabolism obat yang berbeda

pada individu laki-laki dan perempuan

atau tidak,23

atau kecenderungan yang

lebih besar pada wanita dalam

penyimpanan obat dalam tubuh.

Penelitian yang luas mengenai awareness

pada gender yang berbeda belum

memberikan hasil yang bermakna.8,9

Perbedaan individu

Persyaratan anestesi yang berbeda untuk

setiap individu yang satu dengan yang

lain, dapat mencegah efek anestesi seperti

munculnya awareness. Pertanyaan apakah

beberapa orang lebih mudah mangalami

awareness daripada sebagian orang

lainnya jarang disebutkan. Laporan kasus

yang ada umumnya tidak

menggambarkan pola yang umum pada

pasien yang mengalami awareness

postoperative, namun faktor risiko

lainnya telah banyak didiskusikan

dibandingkan dengan karakter individu.

Sedikit pengecualian adalah adanya

riwayat depresi 11

dan riwayat

mengalami awareness sebelumnya18

,

kedua faktor ini dapat membuat orang-

orang tertentu mempunyai risiko yang

lebih besar mengalami awareness.

Pengaruh dari ansietas dan distress

preoperatif 11

pada terjadinya awareness

intraoperatif masih controversial 12

,

walaupun stress menimbulkan pengaruh

neuromodulatori yang meregulasi

Page 64: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

60

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

konsolidasi beberapa bentuk memori.

Efek regulatori ini tidak dapat dikenali

dengan baik karena lebih fokus pada self-

reporting daripada ukuran stress

psikologi. Akhirnya, penelitian kami

mengesankan bahwa pasien dengan

memori postoperatif yang baik sering

berkembang memorinya selama anestesi 24

. Jangkauan efek implisit ini sering

masih menetap daripada efek

eksplisitnya. Sifat lainnya, seperti

kecepatan proses informasi, merupakan

predictor memori yang tidak berhasil.

Pada Preoperatif

Pasien jarang diberi informasi bahwa

mereka akan dapat mengalami paralisis

karena anestesi, yang akan menambah

kebingungan mereka ketika mereka

terbangun selama anestesi. Pada saat itu,

mereka hanya mendapatkan mereka tidak

dapat bergerak, berbicara, atau bernapas

dengan spontan. Pasien dapat

membayangkan kejadian yang

mengejutkan itu sebagai sebuah

pengalaman. Ini menimbulkan pertanyaan

apakah kejadian awareness harus

didiskusikan terlebih dahulu saat

preoperatif, khususnya pada pasien

dengan risiko tinggi dan jika

direncanakan akan menggunakan obat

muscle ralaksan secara continue.

Prevalensi ketakutan pasien akan nyeri

dan paralisis sebelum anestesi adalah

alasan yang lain mengapa persoalan

awareness harus diedukasikan selama

konsultasi preoperatif, walaupun

sebenarnya dokter anestesi harus

menghindari munculnya ketakutan yang

tidak perlu. Anda dapat menjelaskan

memori postoperatif yang tidak

menyenangkan seperti pengalaman akan

nyeri. Jika muscle relaksan tidak

digunakan, pasien dapat diiberitahu

bahwa mereka dapat bergerak jika mau.

Dengan berkomunikasi dengan pasien

sebelum operasi, anda dapat menjawab

kegelisahan yang umum pada pasien,

serta dapat mereduksi ketakutan yang

terjadi.

Pada Intraoperatif

Jika awareness dan paralisis tidak

diedukasikan pada preoperatif, maka

bersiaplah untuk berkomunikasi dengan

pasien anda ketika awareness terjadi

intraoperatif. Adanya feedback dari dunia

luar akan menolong pasien untuk

menguasai situasi yang mengejutkan

tersebut, seperti telah ditemukan pada

penelitian kami yang terbaru.25

Pada

pasien dengan obat sedasi yang dalam

pada operasi elektif, kita perlu memonitor

kesadaran pasien dengan memintanya

memegang tangan kita secara periodik.

Ketika pasien merespon dengan baik,

berikan feedback dengan menjelaskan

apa yang sedang terjadi dan apa yang

diharapkan. Beberapa pasien

membutuhkan anestesi yang lebih dalam.

Pada postoperatif, pasien yang

mengalami awareness akan mengingat

feedback yang kita berikan. Walaupun

kemungkinan terjadinya awareness telah

diedukasikan pada preoperatif sebagai

bagian dari prosedur persetujuan,

feedback yang kita berikan akan

membantunya menghilangkan

pengalaman buruk tersebut. Bab

mengenai perpindahan dengan tujuan

tertentu (lihat Bab “Apakah Ada Tanda

Peringatan Selama Anestesi Yang

Memberitahu Kita Bahwa Sesuatu Yang

Salah Terjadi?”) memaparkan dengan

detail komunikasi kepada pasien anda

selama anestesi dengan menggunakan

gerakan tangan.

Pada Postoperatif

Jika awareness tidak tercover dengan

tindakan pada preoperatif dan

postoperatif, pertimbangkan untuk

menanyakan kepada pasien anda 5

pertanyaan standar (tabel 1) setelah

Page 65: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

61

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

anestesi general. Beritahu pasien bahwa

awareness dengan recall dapat terjadi

terlambat atau mungkin absen sementara

karena residu obat sedasi dan obat yang

menginduksi amnesia. Idealnya,

pertanyaan tersebut diajukan selama di

PACU atau sebelum penghentian

anestesi. Ini akan menjamin kevalidan

penilaian terhadap memori. Ketika

berhadapan dengan pasien yang mungkin

akan mengalami awareness, penting

untuk mengobati pasien dengan benar

(lihat tabel 4). Respon empati kita,

dengan penjelasan yang baik, akan

membantu Pasien memahami apa yang

terjadi dan memaklumi kesalahan yang

mungkin terjadi. Sebaliknya, pengabaian

terhadap pasien, penolakan terhadap

pengalaman yang dirasakannya atau

episode awareness yang berat dapat

memicu pasien menjadi marah dan

kecewa. Ajukan pertanyaan tambahan

(tabel 5) untuk mengeksplor pengalaman

yang dirasakannya, atau minta orang lain

melakukannya, jika anda tidak leluasa

melakukannya. Jangan mengabaikan

pasien, dan pastikan untuk terus

mengelola pasien. Ditambah,

mewawancarai pasien sebelum

meninggalkan PACU atau rumah sakit

adalah penting untuk memfasilitasi

adanya diskusi dan penjelasan yang

dibutuhkan. Jika simptom menetap,

PTSD (tabel 2) dapat berkembang, dan

penting untuk merujuknya pada dokter

psikiatri atau psikoterapis untuk

mengobatinya.

Tabel 4. Mengelola Pengaruh yang Terjadi

Jaga komunikasi dan bagaimana mengelola pasien dengan penuh rasa hormat

Mewawancarai pasien setelah operasi

Dapatkan pengalaman yang dirasakan pasien dengan detail, jika ada

Jika awareness terjadi, mintalah maaf kepada pasien

Memberikan simpati kepada pengalaman yang tidak menyenangkan

Percaya pada kebenaran apa yang dikeluhkan pasien

Jelaskan apa yang (mungkin) terjadi, dan mengapa

Tawarkan diskusi ulangan dan rujukan ke psikiatri

Beritahu dokter bedah dan sejawat lain yang berhubungan

Buatlah keluhan yang dilaporkan pasien dalam grafik

Follow-up atau rencanakan untuk melakukan follow-up (1 minggu/1 bulan) setelah penghentian anestesi

Tabel 5. Pertanyaan Tambahan Untuk Pasien Dengan Recall Postoperatif

Apakah yang anda keluhkan (nyeri, paralisis, suara, penglihatan)?

Apakah anda merasakan sesuatu dalam mulut atau tenggorokan anda?

Apakah anda mampu bergerak?

Apa yang ada dalam pikiran anda?

Apakah anda berpikir bahwa anda bermimpi?

Berapa lama ini terjadi?

Apakah anda mencoba memberitahu seseorang?

Apakah anda memberitahu dokter anestesi/staf rumah sakit?

Apakah terdapat konsekuensi lain?

Apakah anda tidur lelap tadi malam?

Page 66: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

62

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Catatan pada CM pasien akan

mempersiapkan tindakan apa yang akan

dilakukan untuk meperbaiki keadaan

pasien. Selain itu, jika komunikasi di

antara staf di ruang operasi yang hanya

berisi hal-hal yang professional dan

menghormati pasien, memori buruk yang

potensial akan berkembang tidak perlu

ditakuti.

Tanda Klinis

Kontras dengan yang telah banyak

dipercaya, awareness dengan recall sering

tidak mengikuti pada pasien dengan

riwayat hipertensi, takikardi, atau tanda

klinis lain yang biasa kita cari saat

intraoperatif. Pada analisis terhadap

tuntutan legal, tidak ada tanda klinis pada

anestesi ringan pada sebagian besar

kasus, yaitu: hipertensi ditemukan

sebanyak 15% dari kasus recall dan

takikardi hanya 7%. Sebagian besar

pasien yang diberi muscle ralaksan,

terjadinya gerakan sangat jarang. Pada

pasien yang tidak diberikan muscle

relaksan, perhatikan bahwa gerakan tidak

membuat pasien mendapatkan kesadaran

kembali; ini hanyalah representasi dari

gerakan reflex tubuh.

Sebuah penelitian memperlajari

kemungkinan kasus awareness dapat

diidentifikasi dengan melihat catatan

anestesi. Mereka menanyakan

pengalaman dokter anestesi tentang

kemungkinan terjadinya awareness

dengan recall berdasarkan catatan medik

pasien yang pernah mengalami ini.14

Untuk setiap kasus awareness, dua kasus

yang mirip dipilih di mana tidak ada

memori yang dilaporkan. Kemudian

dilakukan pengambilan seluruh kasus

secara random, dan dipilih 3 kasus, di

mana salah satunya mengalami kasus

awareness. Peneliti mengemukakan

kesulitan mengidentifikasi mana kasus

awareness yang sesungguhya. Pada

penelitian ini, hipertesi dan takikardi

muncul dalam jumlah yang cukup (76%)

dari kasus awareness, dan pada kasus

control sebanyak 21%. Penelitian lain

mengesankan tanda klinis bukanlah

parameter yang sensitif dan spesifik

untuk mengukur tinggi rendahnya

kemungkinan terjadinya awareness.

Konsentrasi Gas End-Tidal

Insiden recall serupa telah diteliti pada

populasi yang luas dari pasien yang

mendapatkan muscle relaksan, yang tidak

bergantung pada monitoring konsentrasi

gas anestesi end-tidal. 9 Berdasarkan

Penelitian terhadap kasus individu

maupun penelitian prospekstif yang luas

terhadap konsentrasi gas end-tidal tidak

direkomendasikan sebagai metode untuk

mendeteksi terjadinya awareness.

Gerakan Bertujuan

Metode yang bermanfaat adalah menilai

gerakan tangan pasien dalam merespon

perintah selama anestesi general atau

sedasi (lihat gambar 26-1). Gerakan yang

berulang dan konsisten dapat

mengindikasikan sangat baik bahwa

pasien anda bangun. Jangan mengambil

tindakan untuk memberikan tambahan

muscle realaksan, tetapi nilailah dulu

status kesadaran pasien. Feedback yang

anda berikan akan dihargai ketika pasien

bangun (lihat bagian “Apa yang Harus

Dilakukan?)

Pegang tangan pasien, dan hindari untuk

terus menulis. Mulailah menilai secara

periodik, dengan memanggil nama depan

pasien, sehingga pasien anda akan

mengetahui bahwa mereka dikenali.

Tanpa memanggil namanya, pasien

sebenarnya mendengar anda namun tidak

merespon karena ia berpikir anda sedang

bicara denagn orang lain. Setelah

memanggil namanya, minta pasien untuk

memegang tangan anda jika ia dapat

mendengar suara anda, dan tunggu sekitar

Page 67: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

63

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

10 detik. Jika tidak ada respon, ulangi

perintah untuk memastikan pasien

memang tidak merespon. Selain itu, jika

pasien tidak memegang tangan anda,

minta ia untuk memegang tangan anda

dua kali. Tidak adanya respon terhadap

perintah mungkin diakibatkan oleh

respon yang tidak adekuat yang

menggambarkan munculnya kelemahan

(pasien merespon, tetapi tidak cukup

kuat), atau ini mungkin adalah reflex dari

stilmuasi auditori. Untuk contoh seperti

ini, kami merekomendasikan untuk

mengulang memerintahkan pasien untuk

memegang tangan anda dua kali dan lihat

apa yang terjadi. Jika ada respon, ulangi

lagi beberapa saat kemudian (dalam 5-10

menit). Jika pasien kembali sadar, ia akan

merespon dengan baik dalam 5-10 menit.

Tidak ada respon “tidur”

Respon yang lemah Respon yang kuat

Secara umum, disepakati bahwa respon

terhadap perintah untuk memegang

tangan dua kali yang didapatkan dengan

jelas, membuktikan bahwa pasien dalam

keadaan awareness. Ketika pasien

memegang dua kali terhadap perintah

yang diberikan, (gambar 26-1), tegaskan

bahwa ia telah bangun dan lanjutkan

dengan mengeksplor apa yang ia rasakan.

Minta ia untuk memegang dua kali lagi

(atau tiga kali!) untuk melihat apakah

keadaannya baik-baik saja, atau untuk

meregangkan jari-jarinya. Kita menilai

perasaan pasien selama ia menerima infus

sedasi yang dalam. 25

Selain itu, anda

juga dapat mengeksplor keinginan

mereka untuk mendapatkan anestesi yang

lebih dalam atau untuk melihat apakah ia

sedang merasakan nyeri. Jangan kaget

mendapatkan beberapa pasien baik-baik

saja padahal mereka dalam keadaan

setengah bangun (partially awake). Kita

harus membandingkan dengan pasien

yang merespon perintah dengan jelas dan

konsisten tetapi tidak menginginkan

anestesi yang lebih dalam.

Dua catatan akhir pada gerakan. Pertama,

pastikan untuk menjawab gerakan ketika

anda melihatnya, baik dengan respon

gerakan yang jelas, samar, atau tak

teratur. Karena pasien dapat kehilangan

kemampuan untuk memonitor

keinginannya untuk bergerak di bawah

pengaruh obat sedatif (lhat bagian, “Apa

yang harus Dilakukan?” dalam subbagian

intraoperatif), menjawab gerakan akan

Pegang tangan saya 1x

Tidak ada respon Respon 1x

Pegang tangan saya 2x

Pegang tangan saya 1x Respon 2 sentuhan

Page 68: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

64

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

memberitahu pasien bahwa mereka telah

berhasil. Kedua, prosedur memeriksa

gerakan yang bertujuan seperti yang

dideskripsikan di sini dapat digunakan

untuk semua paralisis neuromuscular

yang muncul. Ini membutuhkan

peningkatan tekanan tourniquet (sampai

25 mmHg) di sekitar lengan bawah

sebelum pemberian obat muscle relaksan,

dan ini merupakan teknik isolasi

formarm.26,27

Ini akan menghindari satu

tangan lainnya dari paralisis, yang dapat

digunakan sebagai tanda awareness, baik

spontan maupun dengan perintah. Teknik

ini dapat digunakan pada awal operasi

yang lama, dengan menyediakan cuff

yang mengempis secara berulang, atau

alat yang dapat membuat iskemi lainnya

setelah 25-30 menit. Ketika

musclerelaksan diberikan kembali,

tourniquet akan kembali mengembang.

Penelitian dengan menggunakan respon

terhadap perintah selama anestesi

menunjukkan secara konsisten bahwa

lebih banyak pasien yang bangun pada

saat anestesi daripada hasil yang

didapatkan melalui wawancara

postoperatif. Pada salah satu penelitian

terbaru kami, sebanyak 66% pasien

merespon terhadap perintah, tetapi hanya

satu dari empat orang yang ingat

melakukan hal tersebut ketika

diwawancarai kemudian.25

Begitu pula,

pasien dengan sengaja bangun selama

prosedur neurosurgikal tertentu dan

hanya mengingat sedikit dari apa yang

terjadi.28

Penelitian ini menunjukkan

bahwa awareness tidak bermakna untuk

merefleksikan memori, dan ilustrasi yang

telah dilakukan menunjukkan bahwa

awareness intraoperatif dan recall

postoperatif mempunyai hubungan yang

tidak erat. Wawancara postoperatif

cenderung underestimate terhadap

insidensi awareness, di mana akan

menghentikan perubahan perbaikan

selama monitoring intraoperatif.

Keterbatasan penggunaan wawancara

postoperatif dalam memonitoring dan

mendeteksi awareness tidak berarti

bahwa wawancara postoperatif ini harus

diabaikan. Sebaliknya, kita dapat

memperoleh sumber informasi yang tidak

terhingga dan mengidentifikasi pasien

yang mengalami awareness yang dapat

dipercaya. Labih jauh, wawancara

postoperatif memberikan pasien

kesempatan untuk meringankan

kekacauan pikiran dan mentalnya dengan

adanya dokter yang untuk kedua kalinya

bersedia mengatasi apapun yang ada

maupun hilang padanya.

Tabel 6. Penilaian Pencegahan

Kunjungan Preoperatif, menyebutkan possible awareness, khususnya kasus dengan risiko tinggi: section

cesarean, trauma, bedah thoraks, obesitas, penyalahgunaan obat atau alcohol, riwayat awareness sebelumya

Mengecek mesin penghantar anestesi sebelum memulai anestesi

Pertimbangkan untum meminimalisasi muscle relaksan

Nilai respon pasien terhadap peritah verbal (gambar 26-1)

Nilai kedalaman anestesi dengan EEG

Page 69: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

65

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Walaupun awakeness intraoperatif dan

recall postoperatif menunjukkan

hubungan yang tidak erat, terdapat bukti

yang kuat bahwa memori post operatif

muncul dari periode singkat saat

terjadinya kelemahan. Pada penelitian

kami pada pasien dengan sedasi yang

dalam, sebagai contoh, pasien tanpa

recall postoperative (n=47) merespon

rata-rata 10% terhadap perintah yang

diberikan selama anestesi, di mana pasien

denagn recall (n=9) merespon sebesar

30%. 25

Dugaan ini memberikan potensi

yang besar bagi monitoring awareness

intraoperatif dan membawa para ahli

untuk berpendapat bahwa pasien harus

dimonitor untuk mendeteksi dan

mengenali terjadinya awareness secara

efektif (lihat tabel 26-6 untuk Penilaian

Pencegahan)

EEG

Telah banyak upaya dilaukan beberapa

tahun ini untuk mengembangkan metode

monitoring terhadap anestesi yang

adekuat untuk mencegah awareness

intraoperatif. Dengan diketahuinya otak

sebagai target efek samping dari agen

anestesi dan telah terdemostrasikannya

perubahan yang jelas dengan peningkatan

konsentrasi obat, upaya yang dilakukan

kini berkonsentrasi pada aktivitas EEG.

Dengan beberapa pengecualian (seperti

tidur dengan gerakan mata cepat: rapid

eye movement sleep), otak yang sadar

menghasilkan sinyal elektrik dengan

gambaran yang tidak beraturan, gerakan

yang cepat (dengan frekunsi tinggi) dan

amplitudo yang rendah (voltase). Monitor

EEG pada fase hipnosis menunjukkan

fakta bahwa obat sedatif menyebabkan

penurunan yang menyolok pada

amplitudo. Gambaran karakter EEG

memberikan informasi yang sangat

berguna pada status hypnosis.

Beberapa perubahan terkait waktu pada

sinyal dapat dikonversi menjadi 9 elemen

gelombang dan dikonversi menjadi

frekuensi dan amplitudo yang mewakili,

yang dikenal dengan “Fourier

Transformation”. Jumlah kekuatan

spektrum adalah rangkaian nilai yang

terpisah, komponen frekuensi, dan

kekuatan yang berhubungan. Pada

spectrum kekuatan, frekuensi ikatan (δ, θ,

α, β) dapat dipisahkan, sebagaimana

frekuensi di bawah 50 atau 95% dari

kekuatan EEG reside (median frekuensi

(MF) dan spectral edge frekuensi (SEF),

secara berturut-turut). Semua ini

berhubungan dengan status

psikofisiologi, seperti tingkat kesadaran

atau tidur, dengan keberhasilan yang

moderate. Variable kekuatan tidak

diperlukan untuk menampilkan respon

yang sama untuk setiap obat, yang

menghambat aplikasi klinis. Mereka juga

dapat menunjukkan respon bifasik yang

tidak mudah diterjemahkan ke dalam

suatu status khusus. Anestesi mengiduksi

ledakan kekuatan variable, yang merujuk

pada periode aktivitas isoelektrik voltase

tinggi versus rendah, dan analisis spectral

tidak dapat mengukur jumlah fase

coupling dalam EEG.

Fase coupling merujuk pada sinkronisasi

dari komponen frekuensi dan merupakan

karakter penting dari system nonlinier

seperti otak.29

Pengertian fisiologi dari

fase relationship ini tidak sepenuhnya

dimengerti, tetapi sinkronisasi aktivitas

otak telah berimplikasi pada mekanisme

anestesi yang bervariasi.30

Frekuensi

relationship ini dapat diukur dengan

bispektral analisis dari EEG dan, untuk

tujuan klinik, sebuah index linier, yaitu

bispectral index (BIS)-yang berkembang

dengan rentang dari 0 (otak dalam

keadaan isoelektrik) sampai 100 (sadar

pebuh). BIS menggabungkan kekuatan

dan fase dari EEG, yang merupakan

abstraksi matematik, sebagaimana

Page 70: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

66

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

parameter proses lainnya. Secara empiris,

ini diperoleh dari estimasi parameter

EEG yang memisahkan dengan baik

status sedasi pada database yang luas dari

subjek yang mendapatkan obat hipnosis

dan opioid. Unit monitoring dan sensor

elektroda pertama menerima persetujuan

dari FDA (Food and Drug Association)

untuk sebuah izin marketing untuk

indikasi awareness telah disahkan pada

pertengahan tahun 1990 dan 2003.

Untuk mengevalusi teknologi monitoring

untuk mendeteksi awareness, kriteria

standar harus dibuat untuk menentukan

apakah pasien dalam keadaan sadar.

Secara eksperimental, ini hanya dapat

diterima pada pasien yang tidak

terstimulasi, sehingga banyak penelitian

terhadap kegunaan parameter EEG

bergantung pada subjek sukarelawan atau

pasien pada periode preinsisi. Seperti

kriteria yang direkomendasikan, sebagian

besar menggunakan respon terhadap

perintah verbal (lihat bagian “Apakah

Terdapat Tanda Peringatan Selama

Anestesi Yang Memberitahu Kita Bahwa

Sesuatu Yang Salah Terjadi?“ sub bagian

Gerakan Bertujuan) atau stimulasi taktil.

Beberapa menggunakan stimulasi noksius

untuk mengeksplorasi efek sedasi pada

seluruh rentangnya. Namun, dengan

menggunakan respon terhadap stimulasi

verbal, peneliti menyatakan bahwa

kesadaran lebih dari sekedar gerakan

karena stimulasi nyeri (seperti intubasi

dan insisi). Secara khas, dosis obat atau

titrasi berhubungan dengan status sedasi,

yang berhubungan dengan pengukuran

nilai SEF, MF, dan/ atau BIS secara

kontinue. Penemuan utama dari

penelitian terhadap teknologi monitoring

ini adalah superioritas pengukuran EEG

melebihi heart rate dan tekanan darah

dalam memprediksi hilang atau

timbulnya kesadaran. Hal ini menjelaskan

bahwa tanda autonomik tidak cukup baik

merefleksikan status otak, yang membuat

sensasi yang sempurna, yang

memberikan representasi system saraf.

Secara klinis, ini mendorong petugas

anestesi untuk berpedoman pada

perubahan fisiologi sentral yang terjadi.

Ketika perbedaan pengukuran EEG

dibandingkan, BIS cenderung berbeda

dari SEF dan MF. Pada pembandingan

langsung dari ketiganya, kita akan

menemukan hanya BIS yang dapat

membedakan antara subjek yang

nonresponsif dengan yang merespon

secara tegas terhadap perintah.25

Penelitian lainnya, dengan menggunakan

agen yang bervariasi, mendukung

supeioritas BIS sebagai monitor

awareness.31-35

Penemuan juga ini

senada dengan dugaan bahwa BIS

memberikan informasi EEG yang lebih

banyak daripada variable lain, seperti

SEF dan MF, sehingga sebagai

konsekuensinya, BIS dapat diharapkan

sebagai parameter yang lebih akurat

untuk mendeteksi hilang atau timbulnya

kesadaran.

Berdasarkan data dari database, BIS

memberikan nilai probabilitas yang tidak

sempurna. Ini berarti bahwa perbedaan

output dari monitor otak intraindividu

dan interindividu diobservasi pada saat

kehilangan dan kembalinya kesadaran.

Walaupun monitor fungsi otak

menampilkan hasil yang baik, tetap

muncul teka-teki dalam observasi yang

dilakukan (beberapa atribut atau artefak

atau kurang tepatnya interpretasi dari

tanda-tanda yang ada).36

Kesempurnaan

mungkin sulit, jika tidak impossible,

untuk mencapai standar biologis dari

consciousness, dan sedikit lebih luas,

yaitu awareness. Sangat berguna bila kita

mengenali parameter tambahan daripada

hanya bergantung pada satu parameter.

Walaupun BIS meningkatkan monitoring

terhadap sedasi, penelitian yang ada juga

telah menyoroti keterbatasan ini ketika ia

Page 71: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

67

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

digunakan untuk memprediksi memori.

Pada penelitian kami terhadap pasien

trauma, walaupun BIS merupakan satu-

satunya predictor yang signifikan, ia

hanya dilengkapi dengan score memori

yang sempit4, sehingga, walaupun kami

telah menggambarkan dengan jelas,

hubungan non-random antara dalamnya

hipnosis yang diukur dengan BIS dengan

memori postoperatif, variasi yang luas

pada skor memori tidak terjelaskan. Ini

menunjukkan bahwa terdapat banyak

faktor selain kedalaman hipnosis yang

berkontribusi kepada memori, yang

menggambarkan kekomplekan dan

keanekaragaman sifat dari memori. Kami

juga telah melakukan observasi

membandingkan pembacaan BIS pada

pasien dengan recall selama anestesi yang

dalam dengan kelompok pasien tanpa

recall.25

Didisain sebagai monitor untuk

menilai kesadaran, BIS dapat

memberikan sinyal awareness selama

intraoperatif, tetapi bukan pada saat

postoperatif. Dengan mengobservasi

hubungan terhadap awareness

intraoperatif dan recall postoperative,

muncul bahwa monitoring fungsi otak

akan mempengaruhi recall secara tidak

langsung melalui kejadian awareness

yang lebih rendah jika status

unconsciousness dipertahankan secara

terus-menerus.

Monitor Elektro Encephalo Gram

yang lain

Alternatif alat yang dijadikan parameter

lain yang sedang marak dikembangkan

adalah AER (auditory evoked Response),

yaitu sinyal elektrik lain yang didapatkan

dari otak. Tidak seperti EEG yang

meletakkan bispektral analisis pada

jantung, AER diinduksi oleh bunyi klik

dari ayunan auditori. Pada jenis stimulasi

khusus ini, EEG menampilkan respon

yang khas yang merepresentasikan

lintasan sinyal neuron dari koklea ke

korteks auditori. Ketika sejumlah cukup

bunyi klik didapatkan, rata-rata sinyal

memberikan gambaran gelombang AER

yang terdiri atas rangkaian puncak dan

lembah dengan latensi yang berbeda

(diekspresikan dalam beberapa

milisekon) dan amplitude selama fase

bangun. Potensial midlatensi yang

muncul setelah 10-100 ms menunjukkan

perbedaan grade dari konsentrasi obat

anestesi, sehingga ini sangat baik untuk

memonitor kedalaman anestesi.37

Keuntungan yang besar dari teknologi

AER adalah bahwa ia didapatkan dari

otak individual bukan dari status database

otak, dengan demikian menawarkan

akurasi prediksi yang lebih besar. Selain

itu, kuantifikasi sinyal real-time tidak

mungkin sampai adanya perkembangan

teknologi fast-tracking38

, dan meliputi

teknologi yang diimplementasikan pada

peralatan monitoring di ruang operasi.

Indeks terbaru yang tersedia adalah (A-

line (Danmeter A/S, Odense, Denmark),

dan AA-Line ARX index (AAI) atau

Auto Regrssive Model dengan algoritma

Exogenous Input (ARX) untuk tujuan

akademik dapat dibandingkan dengan

BIS, yang sering digunakan sebagai

referensi penelitian yang mudah

dilakukan. Keduanya memonitor stautus

sedasi dengan akurasi yang baik (85-

95%) dan berkorelasi baik dengan efek

samping bergantung konsentrasi obat

yang terkalkulasi.

Terdapat dua monitor lain yang secara

esensi tidak berbeda dengan teknologi

berbasis EEG yang telah dideskripsikan.

Entropi spectral didapatkan dari kekuatan

analisis EEG dan menunjukkan

keterbatasan paparan yang terdahulu

(lihat bagian “EEG”).42,43

Narcotrent

mengklasifikasikan gambaran EEG pada

status sedasi yang berbeda (yaitu dari A-

F)44,45

, dengan keberhasilan yang

terbatas.46,47

Page 72: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

68

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Epiphenomena: Apakah yang Ada di

dalam Monitor?

Hasil Jangka Pendek dan Jangka

panjang

Monitoring status hipnosis dengan

menggunakan teknologi mutakhir (EEG)

mungkin bukan hanya bermanfaat saat

anestesi, tetapi juga mempunyai implikasi

pada prosedur operasi. Dibandingkan

dengan prosedur yang tidak

menggunakan monitor, titrasi sampai

mencapai level hipnosis yang optimal

(cukup untuk mencegah awareness

namun tidak terlalu dalam), dapat

mengurangi semua efek samping obat

dan secara umum mempercepat proses

recovery, sebagai contoh penghentian di

PACU.48,49

Sebagian besar bukti datang

dari penelitian dengan menggunakan BIS,

tetapi efek sekunder sekarang juga

ditemukan pada AER dan pengukuran

spectral.

Lebih jauh, ini juga berguna untuk

merubah pengalaman dramatis.

Manajemen anestesi selama operasi

sementara ini berimplikasi terhadap

angka mortalitas dalam 1 tahun lebih.

Setelah laporan postoperative inisial,50

dua buah penelitian prospektif di Eropa51

dan US52

terbaru memperkenalkan

masalah ini pula. Keduanya menemukan

angka yang signifikan (lebih dari 1000

dan 4000) pasien nonkardiak dan hasil

observasi terhadap angka kematian dalm

1 tahun post operatif adalah sekitar 5,5%.

di antara banyak faktor yang telah

dilaporkan yang berhubungan dengan

kematian, kedua kelompok ini dikenali

dengan durasi dari anestesi yang dalam

(waktu kumulatif), seperti diukur dengan

BIS<45, melengkapi faktor risiko yang

independen. Setiap jam dari anestesi

dalam, memberikan peningkatan 24%

risiko kematian dalam 1 tahun post

operasi, dibandingkan dengan durasi total

anestesi. Risiko yang tidak signifikan

juga telah tercatat pada hipotensi sistolik

intraoperatif. Namun, faktor komorbiditas

tetap muncul sebagai faktor risiko

terbesar. Penelitian ini mengesankan

penyebab yang mungkin dan telah

terkonfirmasinya hubungan efek antara

dalamnya sedasi dan mortalitas,

monitoring terhadap kedalaman anestesi

membuktikan pentingnya manajemen

pasien, sehingga hasil observasi ini

membutuhkan penelitian yang lebih jauh.

Insidensi yang Lebih Rendah

Tes tolok terhadap monitoring efikasi

adalah untuk mengetahui apakah

teknologi yang digunakan dapat

menurunkan insidensi awareness, yaitu

apakah teknologi dapat mereduksi

kejadian recall postoperative pada

penelitian control random. Karena recall

setelah anestesi jarang terjadi, jumlah

sampel yang besar dibutuhkan untuk

menggambarkan perbedaan antara

kelompok yang dimonitor menggunakan

teknologi dan kelompok yang dimonitor

dengan alat pengukur lainnya. Pada saat

ini, penelitian control random hanya

dilakukan dengan menggunakan BIS 18

.

Di US, penelitian tentang awareness

dengan menggunakan BIS, dengan

kehadiran dokter anestesi selama

penelitian, menemukan tidak adanya

hubungan antara penggunaan BIS dengan

insidensi awareness yang ditemukan.8

Pada penelitian control random yang

dilakukan di Australia pada orang dewasa

dengan risiko tinggi terhadap terjadinya

awareness, sekitar 2500 pasien diberikan

anestesi dengan monitor BIS di mana

ketika diberikan anestesi dilakukan

penyesuaian untuk memepertahankan

BIS pada 40-60 di antara laringoskop dan

penutupan luka, atau untuk perawatan

rutin, di mana sensor EEG digunakan

tetapi unit monitoring BIS tidak

diaktifkan. Observasi blind pada

kelompok ini melakukan folow-up

terhadap awareness dengan menggunakan

Page 73: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

69

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

sistematika kuesioner yang sudah

dijelaskan sebelumnya.8,9

(tabel 26-1).

Seperti sebelumnya, hasil pengukuran

yang utama adalah insidensi awareness

yang terkonfirmasi. Anestesi dengan

menggunakan BIS mengurangi insidensi

sebanyak 82% (dari 11 menjadi 2 kasus),

sebuah angka yang menyerupai

penemuan pada penelitian control

nonrandom di Swedia, dengan pasien

nonkardiak risiko rendah.53

penelitian

control trial di Australia, menemukan

potensi yang jelas untuk mereduksi recall

postoperative dengan menggunakan

teknik monitoring cerebral dibandingkan

dengan monitoring tradisional. Pada

kelompok ynag dimonitor dengan BIS,

awareness terjadi pada nilai di atas 55,

yang sebanding dengan nilai dari

observasi terhadap respon yang jelas pada

perintah, yaitu 55-6025,26

, mirip dengan

petunjuk dari pabrik untuk

mempertahankan nilai di bawah 60 untuk

menghindari awareness intraoperatif.

Bagaimana awareness Mengenai

Anak-Anak?

Kejadian dan pencegahan awareness pada

anak-anak lebih controversial daripada

pada dewasa. Mungkin karena

pengambilan informasi yang lebih rumit,

penelitian tentang awareness pada anak

ini jarang dilakukan. Sebuah penelitian

prospektif terbaru, menunjukkan

insidensi sebanyak 0,8%, mengesankan

bahwa anak lebih berisiko 4-8 kali

daripada dewasa, sehingga perlu

diperhatikan.55

saat ini, tidak jelas apakah

insidensi yang lebih besar ini adalah

sesuatu yang unik pada anak-

sebagaimana peningkatan persyaratan

anestesi-, atau apakah ini merefleksikan

sebuah overestimate karena spesifiknya

penelitian dan prosedur penilaian yang

dilakukan.

Monitoring intraoperatif terhadap

awareness pada anak juga menjadi

tantangan baru, karena EEG normal pada

anak sangat berbeda dengan dewasa tidak

hanya pada jumlah yang besar, yang

menampilkan variasi yang besar.

Parameter EEG ini seperti BIS kurang

dapat dipercaya pada anak (tetapi lihat

penelitian sebelumnya57

). Secara umum,

perubahan aktivitas elektrik pada otak

selama pertumbuhan dan perkembangan

membutuhkan pertimbangan kespesifikan

usia dan kehati-hatian dalam

menginterpretasikan data EEG pada anak.

Poin Kunci

1. Laporan ASA terbaru mengenai

awareness intraoperatif yang

dilakukan oleh ASA58

dipusatkan

seputar recall postoperative. Seperti

dapat disimpulkan dari Bab ini,

awareness introperatif dan recall

postoperative bukanlah fenomena

yang tidak berhubungan sama sekali,

sehingga membolehkan para klinisi

dan peneliti untuk menggunakan

salah satu di antara keduanya sebagia

substitusi bagi yang lain.

2. Recall secara khas memberikan

estimasi yang tidak sebenarnya

terhadap insidensi awareness

intraoperatif dan hanya

merepresentasikan puncak dari

fenomena gunung es.

3. Monitor fungsi otak tidak dapat

memprediksi recall dengn sangat

baik, tetapi lebih baik dari parameter

otonom yang tradisional dalam

mengetahui hilang atau timbulnya

kesadaran.

Monitor fungsi otak merepresentasikan

perkembangan yang pesat dalam

manajemen praktek anestesi.

Kemampuan untuk mengenali awareness

intraoperatif dan pencegahannya dengan

mempertahankan kedalaman tingkat

hypnosis, menawarkan potensi yang

besar untuk mencegah recall

postoperative.

Page 74: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

70

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

DAFTAR PUSTAKA 1. Crick F, Koch C. A framework for

consciousness. Nat Neurosci.

2003;6:119.

2. Tassi P, Muzet A. Defining the states of

consciousness. Neurosci Biobehav Rev.

2001;25:175.

3. Bogetz MS, Katz JA. Recall of surgery

for major trauma. Anesthesiology.

1984;61:6.

4. Lubke GH, Kerssens C, Phaf RH, et al.

Dependence of explicit and implicit

memory on hypnotic state in trauma

patients. Anesthesiology. 1999;90:670.

5. Crystal JD, Maxwell KW, Hohmann

AG. Cannabinoid modulation of

sensitivity to time. Behav Brain Res.

2003;144:57.

6. Andrade J. Learning during anaesthesia:

A review. Br J Psychol. 1995;86:479.

7. Kerssens C, Sebel PS. BIS and memory

during anesthesia. In: Ghoneim MM, ed.

Awareness during anesthesia. Woburn:

Butterworth-Heinemann; 2001:103.

8. Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, et

al. The incidence of awareness during

anesthesia: A multicenter United States

study. Anesth Analg. 2004;99:833.

9. Sandin RH, Enlund G, Samuelsson P, et

al. Awareness during anaesthesia: A

prospective case study. Lancet.

2000;355:707.

10. Myles PS, Williams DL, Hendrata M, et

al. Patient satisfaction after anaesthesia

and surgery: Results of a prospective

survey of 10 811 patients. Br J Anaesth.

2000;84:6.

11. Ranta SO, Laurila R, Saario J, et al.

Awareness with recall during general

anesthesia: Incidence and risk factors.

Anesth Analg. 1998;86:1084.

12. Liu WH, Thorp TAS, Graham SG, et al.

Incidence of awareness with recall

during general anaesthesia. Anaesthesia.

1991;46:435.

13. Klafta JM, Roizen MF. Current

understanding of patients' attitudes

toward and preparation for anesthesia: A

review. Anesth Analg. 1996;83:1314.

14. Moerman N, Bonke B, Oosting J.

Awareness and recall during general

anesthesia. Facts and feelings.

Anesthesiology. 1993;79:454.

15. Domino KB, Posner KL, Caplan RA, et

al. Awareness during anesthesia: A

closed claims analysis. Anesthesiology.

1999;90:1053.

16. Lennmarken C, Bildfors K, Enlund G, et

al. Victims of awareness. Acta Anaesth

Scand. 2002;46:229.

17. Phillips AA, McLean RF, Devitt JH, et

al. Recall of intraoperative events after

general anaesthesia and

cardiopulmonary bypass. Can J Anaesth.

1993;40:922.

18. Myles PS, Leslie K, McNeil J, et al.

Bispectral index monitoring to prevent

awareness during anaesthesia: The B-

Aware randomised controlled trial.

Lancet. 2004;363:1757.

19. Lyons G, Macdonald R. Awareness

during caesarean section. Anaesthesia.

1991;46:62.

20. Buffett-Jerrott SE, Stewart SH.

Cognitive and sedative effects of

benzodiazepine use. Curr Pharm Des.

2002;8:45.

21. Hope MD. Pain and forgetting. JAMA.

2003;289:617.

22. Myles PS, Leslie K, Forbes A, et al. A

large randomized trial of BIS monitoring

to prevent awareness in high risk

patients: The B-Aware trial.

Anesthesiology. 2003;99:A320.

23. Ciccone GK, Holdcroft A. Drugs and

sex differences: A review of drugs

relating to anaesthesia. Br J Anaesth.

1999;82:255.

24. Kerssens C, Lubke GH, Klein J, et al.

Memory function during propofol and

alfentanil anesthesia: Predictive value of

individual differences. Anesthesiology.

2002;97:382.

25. Kerssens C, Klein J, Bonke B.

Awareness: Monitoring versus

remembering what happened.

Anesthesiology. 2003;99:570.

26. Russell IF, Wang M. Absence of

memory for intraoperative information

during surgery with total intravenous

anaesthesia. Br J Anaesth. 2001;86:196.

27. Tunstall ME. Detecting wakefulness

during general anaesthesia for caesarean

section. Br Med J. 1977;1:1321.

28. Nordstrom O, Sandin R. Recall during

intermittent propofol anaesthesia. Br J

Anaesth. 1996;76:699.

29. Rampil IJ. A primer for EEG signal

processing in anesthesia.

Anesthesiology. 1998;89:980.

30. Mashour GA. Consciousness unbound:

Toward a paradigm of general

anesthesia. Anesthesiology.

2004;100:428.

Page 75: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

71

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

31. Katoh T, Suzuki A, Ikeda K.

Electroencephalographic derivatives as a

tool for predicting the depth of sedation

and anesthesia induced by sevoflurane.

Anesthesiology. 1998;88:642.

32. Liu J, Singh H, White PF.

Electroencephalographic bispectral

analysis predicts the depth of midazolam

induced sedation. Anesthesiology.

1996;84:64.

33. Liu J, Singh H, White PF.

Electroencephalographic bispectral

index correlates with intraoperative

recall and depth of propofol-induced

sedation. Anesth Analg. 1997;84:185.

P.375

34. Iselin-Chaves IA, Flaishon R, Sebel PS,

et al. The effect of the interaction of

propofol and alfentanil on recall, loss of

consciousness and the bispectral index.

Anesth Analg. 1998;87:949.

35. Glass PS, Bloom M, Kearse L, et al.

Bispectral analysis measures sedation

and memory effects of propofol,

midazolam, isoflurane, and alfentanil in

healthy volunteers. Anesthesiology.

1997;86:836.

36. Rampil I, Mychaskiw GI, Horowitz M.

False negative BIS? Maybe, maybe not!

Anesth Analg. 2001;93:798.

37. Thornton C, Sharpe RM. Evoked

responses in anaesthesia. Br J Anaesth.

1998;81:771.

38. Jensen EW, Nygaard M, Henneberg

SW. On-line analysis of middle latency

auditory evoked potentials (MLAEP) for

monitoring depth of anaesthesia in

laboratory rats. Med Eng Phys.

1998;20:722.

39. Struys MM, Jensen EW, Smith W, et al.

Performance of the ARX-derived

auditory evoked potential index as an

indicator of anesthetic depth.

Anesthesiology. 2002;96:803.

40. Struys MM, Vereecke H, Moerman A, et

al. Ability of the bispectral index,

autoregressive modelling with

exogenous input-derived auditory

evoked potentials, and predicted

propofol concentrations to measure

patient responsiveness during anesthesia

with propofol and remifentanil.

Anesthesiology. 2003;99:802.

41. Vereecke HE, Vasquez PM, Jensen EW,

et al. New composite index based on

midlatency auditory evoked potential

and electroencephalographic parameters

to optimize correlation with propofol

effect site concentration: Comparison

with bispectral index and solitary used

fast extracting auditory evoked potential

index. Anesthesiology. 2005;103:500.

42. Vanluchene AL, Struys MM, Heyse BE,

et al. Spectral entropy measurement of

patient responsiveness during propofol

and remifentanil. A comparison with the

bispectral index. Br J Anaesth.

2004;93:645.

43. Vanluchene AL, Vereecke H, Thas O, et

al. Spectral entropy as an

electroencephalographic measure of

anesthetic drug effect: A comparison

with bispectral index and processed

midlatency auditory evoked response.

Anesthesiology. 2004;101:34.

44. Kreuer S, Biedler A, Larsen R, et al. The

NarcotrendTM-a new EEG monitor

designed to measure the depth of

anaesthesia: A comparison with

bispectral index monitoring during

propofol-remifentanil-anaesthesia.

Anaesthesist. 2001;50:921.

45. Kreuer S, Bruhn J, Larsen R, et al.

Application of bispectral index and

narcotrend index to the measurement of

the electroencephalographic effects of

isoflurane with and without burst

suppression. Anesthesiology.

2004;101:847.

46. Russell IF. The Narcotrend „depth of

anaesthesia‟ monitor cannot reliably

detect consciousness during general

anaesthesia: An investigation using the

isolated forearm technique. Br J

Anaesth. 2006;96:346.

47. Schneider G, Kochs EF, Horn B, et al.

Narcotrend does not adequately detect

the transition between awareness and

unconsciousness in surgical patients.

Anesthesiology. 2004;101:1105.

48. Johansen JW, Sebel PS, Sigl JC.

Clinical impact of hypnotictitration

guidelines based on EEG bispectral

index (BIS) monitoring during routine

anesthetic care. J Clin Anesth.

2000;12:433.

49. Johansen JW, Sebel PS. Development

and clinical application of

electroencephalographic bispectrum

monitoring. Anesthesiology.

2000;93:1336.

50. Weldon BG, Mahla ME, Van der Aa

MT, et al. Advancing age and deeper

intraoperative anesthetic levels are

associated with increased first year death

rates. Anesthesiology. 2002;96:A1097.

Page 76: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian

72

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

51. Lennmarken C, Lindholm M,

Greenwald SD, et al. Confirmation that

low intraoperative BISTM levels predict

increased risk of post-operative

mortality. Anesthesiology.

2003;99:A303.

52. Monk TG, Saini V, Weldon BC, et al.

Anesthetic management and one-year

mortality after noncardiac surgery.

Anesth Analg. 2005;100:4.

53. Ekman A, Lindholm ML, Lennmarken

C, et al. Reduction in the incidence of

awareness using BIS monitoring. Acta

Anaesthesiol Scand. 2004;48:20.

54. Flaishon R, Windsor A, Sigl J, et al.

Recovery of consciousness after

thiopental or propofol: Bispectral index

and the isolated forearm technique.

Anesthesiology. 1997;86:613.

55. Davidson AJ, Huang GH, Czarnecki C,

et al. Awareness during anesthesia in

children: A prospective cohort study.

Anesth Analg. 2005;100:653.

56. Davis PJ. Goldilocks: The pediatric

anesthesiologist's dilemma. Anesth

Analg. 2005;100:650.

57. Kerssens C, Sebel PS. To BIS or not to

BIS? That is the question. Anesth Analg.

2006;102:380.

58. Practice advisory for intraoperative

awareness and brain function

monitoring: A report by the American

Society of Anesthesiologists task force

on intraoperative awareness.

Anesthesiology. 104:847, 2006

Page 77: JAI - Jurnal Anestesiologi Indonesiajanesti.com/uploads/default/files/4.1-full_.pdf · Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat beberapa artikel penelitian