lapkas anestesiologi

38
1 BAB I UREMIC ENCEPHALOPATHY 1.1 Pendahuluan Uremic encephalopathy merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati metabolik. Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global yang menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku dan kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak. Ensefalopati Metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan: 1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat 2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi 3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak 4. Tanpa di sertai tanda – tanda infeksi bakterial yang jelas Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan mengalami perombakan di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul sederhana yaitu asam amino. Selain asam amino, hasil perombakan protein juga menghasilkan senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N), yaitu amonia (NH 3 ). Asam amino tersebut merupakan produk dari perombakan protein yang dapat dimanfaatkan

Upload: patmaraj

Post on 13-Apr-2016

20 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

uremic encephalopathy

TRANSCRIPT

Page 1: Lapkas Anestesiologi

1

BAB I

UREMIC ENCEPHALOPATHY

1.1 Pendahuluan

Uremic encephalopathy merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati

metabolik. Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang

global yang menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku dan

kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak.

Ensefalopati Metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang ditandai

dengan:

1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat

2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi

3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak

4. Tanpa di sertai tanda – tanda infeksi bakterial yang jelas

Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan

mengalami perombakan di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul

sederhana yaitu asam amino. Selain asam amino, hasil perombakan protein juga

menghasilkan senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N), yaitu amonia (NH3).

Asam amino tersebut merupakan produk dari perombakan protein yang dapat

dimanfaatkan oleh tubuh. Sedangkan amonia merupakan senyawa toksik yang

bersifat basa dan akan mengalami proses detoksifikasi di hati menjadi senyawa yang

tidak toksik, yaitu urea melalui siklus urea. Selain itu, urea juga disintesis di hati

melalui siklus urea yang berasal dari oksidasi asam amino. Pada siklus urea,

kelompok asam amino (amonia dan L-aspartat) akan diubah menjadi urea. Produksi

urea di hati diatur oleh N-acetylglutamate. Urea kemudian mempunyai sifat yang

mudah berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui ginjal sebagai komponen urin,

serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui keringat.

Page 2: Lapkas Anestesiologi

2

Sedangkan uremia adalah suatu sindrom klinis yang berhubungan dengan

ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan hormon serta abnormalitas metabolik yang

berkembang secara paralel dengan menurunnya fungsi ginjal. Uremia sendiri berarti

ureum di dalam darah.

Uremia lebih sering terjadi pada chronic kidney disease (CKD), tetapi dapat

juga terjadi pada acute renal failure (ARF) jika penurunan fungsi ginjal terjadi secara

cepat. Hingga sekarang, belum ditemukan satu toksin uremik yang ditetapkan sebagai

penyebab segala manifestasi klinik pada uremia. 1

Gambar 1. Gejala klinis pada Uremia

Page 3: Lapkas Anestesiologi

3

1.2. Definisi

Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut maupun subakut

yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan

nilai kadar Creatinine Clearance mengalami penurunan. Sebutan “Uremic

Encephalopathy” sendiri memiliki arti gejala neurologis non spesifik pada uremia. 2,3

1.3. Epidemiologi4

Prevalensi internasional tidak diketahui. Di Amerika Serikat, prevalensi UE sulit

ditentukan. UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan end-stage renal disease

(ESRD),dan secara langsung tergantung pada jumlah pasien tersebut. Pada tahun

1990, lebih dari 165.000 orang diobati untuk ESRD sedangkan pada tahun 1970

jumlahnya 40.000. Dengan bertambahnya jumlah pasien dengan ESRD, diasumsikan

jumlah kasus UE juga bertambah.

Gambar 2. Insidens ESRD

Page 4: Lapkas Anestesiologi

4

Mortalitas

Gagal ginjal fatal jika tidak ditangani

1. UE menunjukkan fungsi ginjal yang memburuk. Jika tidak ditangani, UE

dapat menyebabkan koma dan kematian.

2. Pasien memerlukan penanganan agresif untuk mencegah komplikasi dan

menjaga homeostasis yang tergantung pada intensive care dan dialisis. Di AS,

lebih dari 200.000 pasien menjalani hemodialisa.

Ras

Gagal ginjal lebih sering pada ras Afrika Amerika dibandingkan ras lainnya.

Jenis Kelamin

Insidens pada pria dan wanita sama banyak.

Usia

Pasien pada berbagai usia dapat mengalami gagal ginjal, namun lebih

progresif pada usia lanjut, yaitu pasien di atas 65 tahun.

1.4. Patofisiologi

Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus sawar darah

otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa dijadikan satu-

satunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena jumlah ureum dan kreatinin

tidak berhubungan dengan tingkat penurunan kesadaran ataupun adanya asterixis dan

mioklonus.5

Perubahan yang ditemukan pada mayat pasien dengan chronic kidney disease

biasanya ringan, tidak spesifik dan lebih berhubungan dengan penyakit yang

menyertainya. Jumlah kalsium pada korteks serebri hampir dua kali lipat dari nilai

normal. Peningkatan jumlah kalsium ini mungkin diperantarai oleh aktivitas hormon

Paratiroid. Hal ini didukung oleh hasil penelitian pada anjing yang mengalami gagal

ginjal akut maupun kronik, EEG dan abnormalitas kalsium dapat dicegah dengan

Page 5: Lapkas Anestesiologi

5

dilakukannya paratiroidektomi. Pada manusia dengan gagal ginjal, EEG dan

gangguan psikologik juga dapat membaik dengan paratiroidektomi.6

Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga menyebabkan

rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang memungkinkan pada

perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter, menyebabkan aktivitas metabolik

berkurang. Pompa Na/K ATPase mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting

dalam menjaga gradien kalsium 10 000:1 (di luar−di dalam sel). Dengan adanya

uremia, terdapat peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi

menyatakan bahwa aktivitas pompa Na/K ATPase menurun pada keadaan uremik

akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan neurotransmitter

seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu menjelaskan gangguan fungsi sinaps

dan menurunnya konsentrasi neurotransmitter yang ditemukan pada tikus yang

mengalami uremi. 6

Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan jumlah glisin

dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi perubahan metabolisme

dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan gejala awal berupa clouded

sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat gangguan fungsi sinaps yaitu adanya

studi bahwa dengan memburuknya uremia, terjadi akumulasi komponen guanidino,

terutama guanidinosuccinic acid, yang meningkat pada otak dan LCS pada gagal

ginjal, memiliki efek inhibisi pada pelepasan ã-aminobutyric acid (GABA) dan glisin

pada binatang percobaan, juga mengaktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA).

Toksin ini kemungkinan menganggu pelepasan neurotransmitter dengan cara

menghambat channel klorida pada membran neuronal. Hal ini dapat menyebabkan

myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan, methylguanidine terbukti menghambat

aktivitas pompa Na/K ATPase.6,7,8

Page 6: Lapkas Anestesiologi

6

Gambar 3. Ilustrasi efek neurotoksik dari uremia pada sistem saraf pusat

Kontribusi aluminium pada UE kronik masih belum jelas diketahui. Sumber

alumunium diperkirakan dari diet dan obat-obatan terikat fosfat. Transpor aluminium

menuju otak hampir pasti melalui reseptor transferin pada permukaan luminal pada

sel endotel kapiler otak. Jika sudah melewati otak, aluminium dapat mempengaruhi

ekspresi âA4 protein prekursor yang melalui proses kaskade menyebabkan deposisi

ekstraselular dari âA4 protein. Secara ringkas, patofisiologi dari UE adalah kompleks

dan mungkin multifaktorial.6

1.5. Gejala Klinis

Apatis, fatigue, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi,

gangguan persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat berfluktuasi dari

hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa pasien, terutama pada pasien

anuria, gejala ini dapat berlanjut secara cepat hingga koma. Pada pasien lain,

Page 7: Lapkas Anestesiologi

7

halusinasi visual ringan dan gangguan konsentrasi dapat berlanjut selama beberapa

minggu.

Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai berbagai gangguan

motorik, yang biasanya terjadi pada awal ensefalopati. Pasien mulai kedutan, jerk dan

dapat kejang. Twitch dapat meliputi satu bagian otot, seluruh otot, atau

ekstremitas,aritmik, asinkron pada kedua sisi tubuh pada saat bangun ataupun tidur.

Pada beberapa waktu bisa terdapat fasikulasi, tremor aritmik, mioklonus, khorea,

asterixis, atau kejang. Dapat juga terjadi phenomena motorik yang tidak terklasifikasi,

yang disebut uremic twitch-convulsive syndrome.

Gambar 4. Asterixis

Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan koma. Jika

asidosis metabolik yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi pernapasan Kussmaul

yang berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan Cheyne-Stokes.9

Page 8: Lapkas Anestesiologi

8

Tabel 1. Gejala dan Tanda Ensefalopati Uremikum10

Ringan Sedang Berat

Anoreksia Muntah Gatal

Mual Lamban Gangguan

orientasi

Insomnia Mudah lelah Kebingungan

“restlessness” Mengantuk Tingkah laku

aneh

Kurang atensi Perubahan pola tidur Bicara pelo

Tidak mampu

menyalurkan ide

Emosional Hipotermia

Penurunan libido Paranoia Mioklonus

Penurunan kognitif Asterixis

Penurunan abstraksi Kejang

Penurunan

kemampuan seksual

Stupor

Koma

1.6. Diagnosis

Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan

kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat serta pemeriksaan laboratorium

dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan jumlah sel darah lengkap untuk mendeteksi leukositosis, yang

mungkin menunjukkan penyebab infeksi dan menentukan apakah terdapat

anemia. (Anemia dapat berkontribusi pada keparahan perubahan mental.)

2. Pemeriksaan kalsium serum, fosfat, dan kadar PTH untuk menentukan adanya

hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan hiperparatiroidisme yang parah, yang

menyebabkan ensefalopati metabolik.

Page 9: Lapkas Anestesiologi

9

3. Kadar magnesium serum mungkin meningkat pada pasien dengan insufisiensi

ginjal, terutama jika pasien mengkonsumsi magnesium yang mengandung

antasida. Hipermagnesemia mungkin bermanifestasi sebagai ensefalopati.

4. Elektrolit, BUN, kreatinin, dan glukosa

a. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin terlihat pada ensefalopati

uremik.

b. Pemeriksaan elektrolit serum dan pengukuran glukosa untuk

menyingkirkan hiponatremia, hipernatremia, hiperglikemia, dan

sindrom hiperosmolar sebagai penyebab ensefalopati.

5. Kadar obat dalam darah

a. Menentukan kadar obat karena obat dapat terakumulasi pada pasien

dengan gagal ginjal dan berkontribusi untuk ensefalopati (misalnya,

digoxin, lithium).

b. Beberapa obat tidak dapat dideteksi dan diekskresikan oleh ginjal. Ini

juga dapat terakumulasi pada pasien dengan gagal ginjal, sehingga

terjadinya ensefalopati (misalnya, penisilin, cimetidine, meperidin,

baclofen).

Pemeriksaan Radiologi

1. Pasien dengan gejala ringan, awalnya pasien diobati dengan dialisis dan

diamati untuk perbaikan neurologis.

2. Pasien dengan gejala parah11

a. Pemeriksaan MRI atau CT scan kepala untuk pasien uremik dengan

gejala neurologis yang parah untuk menyingkirkan kelainan struktural

(misalnya, trauma serebrovaskular, massa intrakranial).

b. CT scan tidak menunjukkan adanya temuan karakteristik ensefalopati

uremik.

Page 10: Lapkas Anestesiologi

10

Pemeriksaan Lain

1. Elektroensefalogram11,12

a. Pemeriksaan EEG biasanya dilakukan pada pasien dengan ensefalopati

metabolik. Temuan biasanya meliputi:

i. Perlambatan dan hilangnya gelombang frekuensi alpha

ii. Disorganisasi

iii. Semburan intermiten gelombang theta dan delta dengan

aktivitas latar belakang lambat.

b. Pengurangan frekuensi gelombang EEG berkorelasi dengan penurunan

fungsi ginjal dan perubahan dalam fungsi otak. Setelah periode awal

dialisis, stabilisasi klinis mungkin terjadi saat temuan EEG tidak

membaik. Akhirnya, hasil EEG bergerak ke arah normal.

c. Selain dari EEG rutin, evoked potentials (EP) (yaitu, sinyal EEG yang

terjadi pada waktu reproduksi setelah otak menerima stimulus sensorik

[misalnya, visual, auditori, somatosensorik) dapat membantu dalam

mengevaluasi ensefalopati uremik.

d. Gagal ginjal kronis memperpanjang waktu dari respon visual-evoked

kortikal. Respon auditory-evoked umumnya tidak berubah dalam

uremia, tapi keterlambatan dalam potensi kortikal dari respon

somatosensory-evoked memang terjadi.

Page 11: Lapkas Anestesiologi

11

Gambar 5. Hasil elektroensefalografi pada pasien uremic encephalopathy,

didapatkan perlambatan general dengan gelombang delta dan theta dan spikes

bilateral12

2. Punksi lumbal

a. Pungsi lumbal tidak rutin dilakukan, namun dapat diindikasikan untuk

menemukan penyebab lain dari ensefalopati jika status mental pasien

tidak membaik setelah dialisis dimulai.

b. Tidak ada temuan CSF spesifik menunjukkan ensefalopati uremik.

1.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding UE antara lain ensefalopati hipertensif, ensefalopati

hepatikum, sindrom respons inflamasi sistemik pada pasien sepsis, vaskulitis

sistemik, neurotoksisitas akibat obat (opioid, benzodiazepin, neuroleptik,

antidepresan), cerebral vascular disease, hematom subdural. Kejang dapat terjadi

pada UE, ensefalopati hipertensif, emboli serebral, gangguan elektrolit dan asam-

basa, tetanus.9,11

1.8. Penatalaksanaan Intensif

Page 12: Lapkas Anestesiologi

12

1. Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang terjadi

sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis

buruk. Oleh karena itu penatalaksanaan intensif dibutuhkan pada pasien UE.

2. Prinsip penatalaksaan intensif pada pasien ditujukan agar mencegah

komplikasi dari keadaan pasien dan kematian.

3. Pada pasien UE perlu dilakukan terapi secara intensif baik dari restriksi

asupan cairan karena fungsi ginjal yang buruk sehingga perlu dilakukan

balance cairan pada pasien ini. Pemantauan volume cairan dapat dilakukan

pemasangan Central Venous Catheter (CVC).

4. Hal yang menjadi indikasi pada pasien dilakukan terapi intensif juga yaitu

membutuhkan monitoring keadaan pasien. Hal tersebut dikarenakan pada

ruang rawat biasa tidak memilki monitor yang dapat menunjukkan keadaan

pasien. Dari monitor kita dapat memantau perkembangan pasien. Monitoring

menjadi penting karena pada pasien UE banyak memiliki komplikasi yang

mengarah pada mortalitas.

5. Pada pasien dengan stadium akhir penyakit ginjal (ESRD), kelainan EEG

umumnya membaik setelah beberapa bulan tetapi mungkin tidak normal

sepenuhnya. Pada pasien dapat diberikan obat antikonvulsan.

Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam

menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine

untuk kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau

absens; ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk

status epileptikus konvulsif.13 Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk

kejang mioklonik pada end stage renal disease. 14

Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas

GABA dengan berikatan pada kompleks reseptor GABA sehingga

memfasilitasi GABA untuk berikatan dengan reseptor spesifiknya. Terikatnya

BZD menyebabkan peningkatan frekuensi terbukanya channel klorida,

menghasilkan hiperpolarisasi membran yang menghambat eksitasi selular.15

Page 13: Lapkas Anestesiologi

13

Gambar 6. Mekanisme kerja Benzodiazepine15

Koreksi anemia dengan eritropoetin rekombinan pada pasien dialisis dengan target Hb 11 sampai 12 g/dl dapat berhubungan dengan meningkatnya fungsi kognitif dan menurunkan perlambatan pada EEG.11

6. Mengatasi faktor-faktor berikut ketika merawat ensefalopati uremik, yang

juga termasuk dalam perawatan standar dari setiap pasien dengan ESRD:

a. Kecukupan dialisis

b. Koreksi anemia

c. Pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat

7. Diet Untuk menghindari malnutrisi pada pasien dengan ESRD, asupan

protein dijaga tetap cukup (>1g/kgBB/h) dan memulai dialisis (meskipun

adanya ensefalopati).

Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan fungsi

renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau dengan

pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk menurunkan

Page 14: Lapkas Anestesiologi

14

toksin uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian prebiotik.atau

probiotik seperti bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal juga penting

untuk eliminasi toksin uremik.12

8. Ensefalopati uremik pada pasien dengan gagal ginjal akut atau gagal ginjal

kronis merupakan indikasi untuk inisiasi terapi dialisis (yaitu, hemodialisis,

dialisis peritoneal). Setelah mulai dialisis, pasien umumnya membaik secara

klinis, meskipun temuan EEG tidak segera membaik. Kerugian dari dialisis

adalah sifat non-spesifik sehingga dialisis juga dapat menghilangkan

komponen esensial. Transplantasi ginjal juga dapat dipertimbangkan.12

9. Tirah baring

Renal Replacement Therapy (Dialysis)16

Hemodialisis berasal dari kata ‘haemo’ yang berarti darah dan ‘dialysis’

sendiri merupakan proses pemurnian suatu sistem koloid dari partikel-partikel

bermuatan yang menempel pada permukaan. Pada proses digunakan selaput

semipermeabel. Proses pemisahan ini didasarkan pada perbedaan laju transport

partikel.

Prinsip dari hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmosis dan

ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Pada

hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk ke dalam mesin dialiser

(yang berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk dibersihkan dari zat-zat racun melalui

proses difusi dan ultrafiltrasi oleh cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di

dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah,

sehingga cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui

selaput dan masuk ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat

terlarut) melalui suatu membran semipermeabel. Molekul zat terlarut (sisa

metabolisme) dari kompartemen darah akan berpindah ke dalam kompartemen

dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran semipermeabel,

Page 15: Lapkas Anestesiologi

15

demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan, darah dialirkan kembali ke dalam

tubuh.

Gambar 7. Mekanisme Hemodialisis

Indikasi dilakukannya dialysis adalah:

Adanya satu kriteria artinya dianjurkan, dua kriteria artinya sangat dianjurkan, tiga

kriteria diharuskan inisiasi RRT.

- Anuria / oliguria (diuresis ≤200 ml dalam 12 jam)

- Asidosis metabolik berat (pH <7.10)

- Hyper Azotemia (BUN ≥80 mg / 100 mL) atau kreatinin> 4 mg / dL

- Hiperkalemia (K + ≥6.5 mEq / L)

- Tanda-tanda klinis keracunan uremik

- Dysnatremia parah (Na + ≤115 atau ≥160 mEq / L)

Page 16: Lapkas Anestesiologi

16

- Hipertermia (suhu> 40 ° C tanpa respon terhadap terapi medis)

- Edema Anasarka atau kelebihan cairan yang parah

- Kegagalan organ multipel dengan disfungsi ginjal dan / atau sindrom reaksi

inflamasi sistemik, sepsis atau syok septik dengan disfungsi ginjal

1.9. Prognosis

Dengan penatalaksaan yang tepat, tingkat mortalitas rendah. Dengan

pengenalan terhadap dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat keparahan

dari UE dapat dikurangi.

Page 17: Lapkas Anestesiologi

17

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien

Nama : Nurhayati

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 60 tahun

Agama : Islam

Alamat : Dusun I Urtung Pane Kab. Asahan Kec. Setia Janji

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk: 03 Februari 2015

2.2. Anamnesis

KU : Penurunan Kesadaran

Telaah : Hal ini dialami pasien ±5 hari, terjadi secara perlahan-

lahan. 1 hari sebelum masuk RSUP HAM, Os terjatuh dari sofa dan tidak

sadar, kemudian sadar lalu kembali tidak sadar. Tetapi tidak ada yang melihat

saat Os terjatuh. Riwayat trauma kepala tidak jelas. Riwayat kejang (-).

Riwayat demam (-). Riwayat sesak nafas dijumpai 2 hari SMRS. Riwayat

DOE (-), PND (-), Ortopnoe (-). Riwayat muntah darah (+) berwarna hitam.

Riwayat BAK keruh (+), nyeri BAK (-), BAB (-) ±1minggu terakhir. Riwayat

penyakit darah tinggi dan DM (+). Riwayat mengkonsumsi obat anti nyeri

dalam jangka waktu lama (+).

RPT : Hipertensi, DM tipe II

RPO : Insulin, Analgetik (jenis obat tidak jelas)

Page 18: Lapkas Anestesiologi

18

Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)

2.3 Secondary Survey

B1 (Breath)

Airway: clear, gargling / snoring / crowing: - / - / - , RR: 19x/mnt, SP:

vesikuler, ST: (-), Mallampati : II, JMH (Jarak Mentum Hyoid): >6 cm, GL

(Gerakan Leher) bebas, Riwayat asma (-), alergi (-), batuk (-), sesak (+).

B2 (Blood)

Akral : H/M/K, TD : 100/50 mmHg, HR : 108 x/menit, Reguler, T/V : cukup,

Temp : 37°C

B3 (Brain)

Sens : Sopor, GCS: 5 (E2V1M2), Pupil: isokor Ø 3 mm / 3mm, RC(+/+),

pusing (-), kejang (-), mata kabur (-).

B4 (Bladder)

UOP : BAK (+), volume 1000 cc residu, kateter terpasang, warna : kuning

keruh.

B5 (Bowel)

Abdomen

Inspeksi: simetris

Palpasi: dinding abdomen soepel

Perkusi: timpani

Auskultasi: bising usus (+)

3 Januari 2016

Pukul : 16.30 WIB

Pasien tiba di

IGD RSUP HAM (Blue

Line)

4 Januari 2016

Pukul : 03.30 WIBPasien masuk HDU

4 Januari 2016

Pukul : 06.15 WIBPasien exitus

Page 19: Lapkas Anestesiologi

19

B6 (Bone)

Edema (-)

2.4. Laboratorium tanggal 3 Januari 2016

Darah Lengkap

Hb : 12,5 gr/dl

Leukosit : 17,84 /mm3

Ht : 17 %

Trombosit : 185.000 /mm3

Faal Hemostasis

PT: 13.2 (14,5)

APTT: 30,7 (34.5)

TT: 28.2 (17)

Metabolisme Karbohidrat

KGD (sewaktu): 484 mg/dL

Fungsi Ginjal

Ureum: 458/ mg/dL

Kreatinin: 17,15 mg/dL

Elektrolit

Natrium: 139 mEq/L

Kalium: 7.2 mEq/L

Klorida: 110mEq/L

Page 20: Lapkas Anestesiologi

20

2.5. Hasil Pemeriksaan Radiologis

Foto Thorax

Page 21: Lapkas Anestesiologi

21

CT Scan Kepala

Kesimpulan : Bone intact

Page 22: Lapkas Anestesiologi

22

2.6. Tatalaksana di Ruang IGD

Tirah baring

Oksigen Non Rebreathing Mask + Reservoir 6-8 L/i

NGT, kateter urin terpasang

IVFD NaCl 0,9 % 15 gtt/I makro

Inj. Ceftriaxon 2g/24 jam (IV)

Drip. Ciprofloxacin 400mg/24 jam (IV)

Inj. Omeprazole 80 mg bolus selanjutnya 40mg/12jam

Inj. Humulin 8-8-8

Drip. Dopamin 200mg dalam 50cc NaCl 0.9% 4.5cc/jam uptitrasi

2.7. Tatalaksana di Ruang HDU

Pasang O2 Non Rebreathing Mask + Reservoir 6-8 L/i

IVFD NaCl 0.9% 15gtt/i makro

Inj. Ceftriaxone 1 gr/24 jam (IV)

Drip. Ciprofloxacin 400mg/24 jam (IV)

Drip. Dopamin 200mg dalam 50cc NaCl 0.9% 4.5cc/jam

Inj. Omeprazole 80 mg bolus selanjutnya 40mg/12jam

Inj, Transamin 500mg/8jam (IV)

Page 23: Lapkas Anestesiologi

23

FOLLOW UP

Tanggal 03-02-2016

S : Penuruan kesadaran

O:

Sens:

Stupor

GCS:5 (E2V1M2)

Pupil: 3mm/3mm

RC: (+/+)

Airway Clear

RR 19 x/i

SP/ST Vesikuler/-

Akral H/M/K

HR 107 x/i

TD 80/50 mmHg

SaO2 99%

UOP 1000 cc/24jam (Kateter terpasang)

Warna Kuning Keruh

A: Penurunan kesadaran ec uremic

encephalopathy+ syok sepsis + Acute on

CKD stg V + PSMBA

P : • O2 Non Rebreathing Mask +

Reservoir 6-8 L/i

• IVFD NaCl 0.9% 15gtt/i makro

• Inj. Ceftriaxone 1 gr/24 jam (IV)

• Drip. Ciprofloxacin 400mg/24 jam

(IV)

• Drip. Dopamin 200mg dalam 50cc

NaCl 0.9% 4.5cc/jam

• Inj. Omeprazole 80 mg bolus

Page 24: Lapkas Anestesiologi

24

selanjutnya 40mg/12jam

• Inj, Transamin 500mg/8jam (IV)

Page 25: Lapkas Anestesiologi

25

BAB 3

PEMBAHASAN

Kejadian Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut

maupun subakut yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik.

UE dapat dialami wanita maupun pria dengan kejadian paling umum pada usia lanjut.

Pada pasien ini seorang wanita berusia 60 tahun dan ditegakkan dengan gagal ginjal

kronis stadium akhir.

Pasien dengan Uremic Encephalophaty (UE) dapat mengalami Apatis,

fatigue, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi, gangguan

persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat berfluktuasi dari hari ke

hari, bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa pasien, terutama pada pasien anuria,

gejala ini dapat berlanjut secara cepat hingga koma. Pada pasien ini dijumpai

kesadaran stupor, yang terjadi secara perlahan-lahan sejak 5 hari yang lalu dan

memberat 1 hari ini.

Penurunan kesadaran ini disebabkan karena gangguan metabolik dimana

pasien ditegakkan dengan gagal ginjal kronis stadium akhir dengan kadar ureum yang

tinggi di dalam darah serta memiliki riwayat Diabetes dan Hipertensi. Oleh sebab itu,

pemeriksaan awal adalah termasuk konfirmasi diagnosis dan pemeriksaan secara

yang cepat yaitu Airway, Breathing, Circulation dan Disability sangatlah penting

dalam keadaan emergensi seperti kasus ini.

Akses intravena harus ditentukan secepat mungkin dan tes darah dilakukan

sesegera mungkin untuk keadaan ini seperti darah rutin, kadar ureum dan kreatinin,

gula darah dan elektrolit. Hal ini dilakukan untuk menunjang diagnosis penyebab

penurunan kesadaran pasien. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan penunjang

berupa pemeriksaan darah dimana dijumpai peningkatan leukosit, ureum darah, kadar

gula darah dan kalium serta penurunan dari clearance creatinin.

Pasien harus diberikan oksigen 100 % via face mask dengan kantung

reservoir. Pada penanganan pasien diberikan O2 6-8 liter dengan Non-Rebreathing

Page 26: Lapkas Anestesiologi

26

Mask untuk menjaga oksigenasi tetap baik. Pemasangan monitor EKG juga

diindikasikan pada UE untuk melihat keberadaan penyakit jantung sebagai salah satu

akibat dari hiperkalemia.

Pada perawatan pasien harus dilakukan secara intensif dengan melakukan

monitoring cairan dimana pada pasien ini mengalami gagal ginjal stadium akhir yang

memiliki laju filtrasi yang menurun serta retensi cairan. Oleh karena itu dilakukan

balance cairan dengan tujuan membatasi (restricted) jumlah cairan yang masuk ke

dalam tubuh pasien. Monitoring setelah balance cairan dapat dilakukan dengan

pemasangan Central Venous Catheter (CVC). Pada kasus, pasien telah dilakukan

balance cairan dan pemasangan CVC.

Monitoring juga diperlukan pada diet atau asupan protein untuk mencegah

kadar ureum dalam darah meningkat yang dapat memperparah kondisi uremic

encephalopathy. Namun untuk menghindari malnutrisi pada pasien dengan ESRD,

asupan protein dijaga tetap cukup (>1g/kgBB/h). Pada kasus, pasien diberikan dengan

asupan sesuai dengan diet ginjal via Nasogastric tube (NGT).

Terapi yang terpenting pada pasien Uremic Encephalophaty dengan ESRD

adalah terapi suportif yaitu mencegah komplikasi dan kematian. Terapi yang

diberikan adalah Renal Replacement Therapy (RRT). Salah satu terapi RRT yang

dapat dilakukan adalah hemodialisis. Terdapat beberapa indikasi dianjurkan untuk

dilakukan hemodialisis yaitu dalam kondisi segera. Pada kasus, pasien memiliki

indikasi untuk dilakukan hemodialisis segera karena terdapat asidosis metabolic,

azotemia, hyperkalemia, tanda-tanda klinis uremia dan kegagalan fungsi organ yaitu

ginjal.

Pasien Uremic Encephalophaty dengan ESRD memiliki prognosis yang

buruk. Namun dapat dilakukan terapi hemodialisis ataupun transplantasi ginjal untuk

mengurangi mortalitas. Pada kasus, pasien memiliki prognosis buruk disebabkan

terjadi kegagalan fungsi organ ginjal dan terjadi keracunan ureum serta dijumpai

penyakit penyerta berupa diabetes mellitus dan hipertensi.

Page 27: Lapkas Anestesiologi

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Alper AB. Uremia. Diunduh dari URL:

http://emedicine.medscape.com/article/245296-overview . Akses tanggal 19

April 2013.

2. Lohr JW. Uremic encephalopathy. Diunduh dari URL:

http://emedicine.medscape.com/article/239191-overview . Akses tanggal: 19

April 2013.

3. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. Edisi 1. Springer. 2009

4. Bucurescu G. Neurological Manifestations of Uremic Encephalopathy.

Diunduh dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/1135651-overview

. Akses tanggal: 7 Februari 2016

5. Wijdicks EFM. Neurologic complications of critical illness. Edisi 2. Oxfor

Univ Press. 2002. Hlm 175

6. Burn, D.J., Bates, D. Neurology and the kidney. J. Neurol. Neurosurg.

Psychiatry Vol.65, No.6 810-821

7. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke K, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of

organic anion transporters in the efflux of uremic toxins across the blood-

brain barrier. J Neurochem. Feb 2006;96(4):1051-9.

8. De Deyn PP, Vanholder R, Eloot S, et al. Guanidino compounds as uremic

(neuro) toxins. Semin Dial. Jul-Aug 2009;22(4):340-5.

9. Ropper AH, Samuels MA. Principles of neurology. Edisi 9. McGrawHill.

2009.

10. Weiner HL,Levitt LP. Buku saku neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC. 2006. Hlm

214.

11. Seifter JL, Samuels MA. Uremic encephalopathy and other brain disorders

associated with renal failure. Seminars in neurology/volume 31, number 2

2011. Pg 139-141.

Page 28: Lapkas Anestesiologi

28

12. Annemie Van Dijck, Wendy Van Daele and Peter Paul De Deyn (2012).

Uremic Encephalopathy, Miscellanea on Encephalopathies - A Second Look,

Dr. Radu Tanasescu (Ed.), ISBN: 978-953-51-0558-9, InTech

13. Krishnan V, Murray P. Pharmacological issues in the critically ill. Clin Chest

Med 2003;24:671-88

14. Zhang C, Glenn DG, Bell WL, O'Donovan CA. Gabapentin-induced

myoclonus in end-stage renal disease. Epilepsia 2005;46:156-8.  

15. Neal MJ. At a glance: Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Erlangga.

2006. Hlm 54;57

16. Permadi, BH. Cara Kerja Mesin Hemodialisis. Diunduh dari URL:

http://unhas.ac.id. Akses tanggal: 7 Februari 2016