jurnal anestesiologi indonesia

83
JAI Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume II Nomor 03, November 2010 Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah

Upload: andi-nova

Post on 28-Oct-2015

287 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Anestesiologi Indonesia

JAIJurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II Nomor 03, November 2010

Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesiamelalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan

Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif(PERDATIN) Jawa Tengah

Page 2: Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sejawat terhormat,

Sehubungan dengan adanya keputusan Kongres

Nasional IX IDSAI pada bulan Juli 2010 di Medan

mengenai perubahan nama dari IDSAI menjadi

PERDATIN, maka Pelindung Jurnal Anestesiologi

Indonesia turut berubah menjadi PERDATIN Jawa

Tengah.

Pada nomor ini Jurnal Anestesiologi Indonesia

(JAI) memuat penelitian klinik. Diantaranya

adalah mengenai penggunaan MgSO4 terhadap

derajat nyeri; pemberian natrium laktat hipertonik

dan kombinasi lidokain dan epinefrin pada blok

subarakhnoid. Granisetron, salah satu golongan

SSRI diteliti efeknya terhadap pencegahan

muntah pasca operasi.

Dua tinjauan pustaka mengenai ventilasi dan

monitoring kardiovaskuler intensif pada anak

diharapkan menambah wawasan kita dibidang

torakoanestesi dan terapi intensif. Semoga

bermanfaat.

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk

kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,

hendaknya mencantumkan artikel tersebut

sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pelindung:

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah

Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO Dr.dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA Seksi Usaha: dr. Mochamat Administrasi: Maryani, Nik Sumarni Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326)

Alamat Redaksi:

Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,

Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.

JAI

Page 3: Jurnal Anestesiologi Indonesia

DAFTAR ISI

PENELITIAN Hal. Tutus Nurastadila, Ery Leksana, Uripno Budiono

Natrium laktat Hipertonik dan Strong Ions Difference (SID) Pada Pasien Sectio Caesaria Pemberian infus sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan SID paska operasi dimana SID meningkat menuju nilai normal dibandingkan infus HES-steril 6% yang mengalami penurunan nilai SID.

125

I Nyoman Panji, Heru Dwi Jatmiko, Aria Dian Primatika Granisetron, Kombinasi Metoklopramid dan Deksametason Terhadap Mual Muntah

Pasca Laparatomi Pemberian granisetron 1 mg mampu mengurangi mual muntah paska operasi yang sama efektifnya dengan kombinasi metoklopramid 10 mg dan deksametason 8 mg.

136

Husni Riadi Nasution, Ery Leksana, Doso Sutiyono Magnesium Sulfat Intravena, Derajat Nyeri dan Kebutuhan Opioid Pasca Operasi

Pemberian MgSO4 tidak mengurangi derajat nyeri dan kebutuhan opioid paska operasi.

146

Rezka Dian Trisnanto, Uripno Budiono, Widya Istanto Nurcahyo

Lama Analgesia Lidokain 2% Dibandingkan Kombinasi Lidokain 2% dan Epinefrin pada Blok Subarakhnoid Penggunaan kombinasi lidokain 2% 80 mg dan epinefrin 0,05 mg menghasilkan waktu regresi analgesia dan blokade motorik yang lebih panjang dibandingkan penggunaan lidokain.

154

TINJAUAN PUSTAKA Aditya Kisara, Hari Hendriarto Satoto, Johan Arifin Ventilasi Satu Paru

Pembedahan di daerah thoraks menghadirkan masalah fisiologis untuk ahli anestesi sehingga membutuhkan pertimbangan khusus. Salah satu diantaranya adalah ventilasi satu paru. Terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan ventilasi satu paru.

160

Dicky Hartawan, Danu Soesilowati, Uripno Budiono Ventilasi Mekanik Noninvasif

Ventilasi mekanik dapat diberikan dengan cara invasif maupun noninvasif. Ventilasi noninvasif menjadi alternatif karena dapat menghindari risiko yang ditimbulkan pada penggunaan ventilasi invasif, mengurangi biaya dan lama perawatan di ruang intensif.

169

Aprilina Rusmaladewi, Ery Leksana, Widya Istanto Nurcahyo 180 Monitoring Kardiovaskuler pada Pediatric Intensive Care

Anestesi memegang peranan penting terhadap perkembangan Pediatric Intensive care karena ilmu pengetahuan dan keterampilan anestesiologist dalam mengelola jalan nafas dan pernafasan, monitoring sirkulasi dan akses vaskular.

Page 4: Jurnal Anestesiologi Indonesia

125

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

PENELITIAN

Natrium Laktat Hipertonik dan Strong Ions Difference (SID) Pada Pasien

Sectio Caesaria

Tutus Nurastadila*, Ery Leksana*, Uripno Budiono*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Backgrounds: Fluid therapy is an important part of peri-operative patient management.

An adequate plasma volume is important to maintain cardiac output and tissue perfusion.

In pregnant women, there is retention of sodium and potassium during pregnancy, but the

whole concentration of these serum electrolytes decreases because of water retention

which results in hemodilution. Until now, volume of hemorrhage is replaced based on the

amount of blood loss, without considering the acid-base balance. Considering the acid-

base balance will help post operative patient management.

Objectives: to prove that hypertonic sodium lactate solution is better than Haes-sterile 6%

in maintaining Stewart acid base balance in sectio caesarean.

Methods: This is an experimental study. It is a 2nd

phase clinical study to know the efficacy

of hypertonic sodium lactate solution and Haes-sterile 6% on strong ions difference (SID)

based on Stewart method. There are 48 samples, divided into two groups. LH groups are

patients with 250 ml hypertonic sodium lactate solution and Haes group are patients with

500 ml Haes-sterile 6%, during sectio caesarean. Venous blood is taken wore and after

surgery. The noted variables used for statistical analysis which are included in the

objectives of the study are the concentration of serum electrolyte. These variables are

tested using independent t-test and paired t-test, with the significance level a = 0,05.

Result: SID in hypertonic sodium lactate group before and after sectio caesarean surgery

increased significantly, p=0,000 (p <0,05). SID in Haes group before and after sectio

caesarean surgery decreased significantly, p=0,000 (p < 0,05).

Conclusion: The use of hypertonic sodium lactate solution can maintain post operative

SID up to its normal value, compared with the use of Haes-sterile 6% which is decreasing

SID.

Keywords: Hypertonic sodium lactate, Haes-sterile 6%, strong ions difference (SID)

Page 5: Jurnal Anestesiologi Indonesia

126

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

ABSTRAK

Latar belakang: Tatalaksana cairan merupakan bagian penting penanganan pasien pada

masa perioperatif. Volume plasma yang adekuat penting untuk mempertahankan curah

jantung dan seterusnya perfusi jaringan. Pada wanita hamil terjadi penumpukan natrium

dan kalium selama kehamilan, akan tetapi secara kesuluruhan konsentrasi elektrolit-

elektrolit tersebut menurun karena terjadi retensi cairan yang menyebabkan hemodilusi.

Selama ini, volume perdarahan yang terjadi diganti berdasarkan jumlah yang keluar

tanpa memperhatikan keseimbangan asam-basa. Dengan memperhatikan keseimbangan

asam-basa, akan sangat membantu dalam mengelola pasien paska operasi.

Tujuan: Untuk membuktikan bahwa cairan sodium laktat hipertonik lebih baik dibanding

cairan haes-steril 6% dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa Stewart dalam

tindakan operasi sectio caesaria.

Metode: Penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 bertujuan untuk

mengetahui efektifitas pemberian cairan sodium laktat hipertonik dan infus haes-steril 6%

terhadap strong ions difference (SID) yang berdasarkan metode Stewart. Sampel

berjumlah 48 pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok LH mendapat sodium laktat

hipertonik 250 ml dan kelompok Haes mendapat Haes-steril 6% 500 ml, selama operasi

sectio caesaria. Darah vena diambil sebelum operasi dan setelah operasi. Data-data yang

dicatat untuk perhitungan statistik yang termasuk dalam tujuan penelitian ini adalah kadar

elektrolit. Uji statistik menggunakan independent t-test dan paired t-test, dengan derajat

kemaknaan a = 0,05.

Hasil: SID pada kelompok sodium laktat hipertonik sebelum dan sesudah operasi sectio

caesaria mengalami kenaikan yang bermakna p=0,000 (p <0,05). SID pada kelompok

Haes sebelum dan sesudah operasi sectio caesaria mengalami penurunan yang bermakna

p=0,000 (p < 0,05).

Simpulan : Pemberian infus sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan SID paska

operasi dimana SID meningkat menuju nilai normal dibandingkan infus Haes-steril 6%

yang mengalami penurunan nilai SID.

Kata kunci: Sodium laktat hipertonik, Haes-steril 6%, strong ions difference (SID)

PENDAHULUAN

Penderita yang dirawat di rumah sakit

memerlukan perawatan yang paripurna,

baik dari segi pengobatan maupun

pembedahan. Bila diperlukan, perawatan

yang baik maupun dukungan pemberian

cairan yang memadai melalui parenteral

sangat membantu dalam proses

penyembuhan atau memperpendek masa

perawatan di rumah sakit. Tatalaksana

cairan merupakan bagian penting

penanganan pasien pada masa perioperatif.

Volume plasma yang adekuat penting

untuk mempertahankan curah jantung dan

perfusi jaringan. Strategi tatalaksana cairan

Page 6: Jurnal Anestesiologi Indonesia

127

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

telah mengalami beberapa pergeseran

selama 50 tahun belakangan ini. Sebelum

tahun 60-an, restriksi cairan intraoperatif

banyak dipraktekkan.

Pada awal tahun 1960-an ditunjukkan

bahwa trauma dan pembedahan mayor

disertai dengan kebutuhan cairan yang

secara bermakna melampaui laju rumatan

cairan yang biasa. Sebagai konsekuensinya

pemberian cairan menjadi kurang

restriktif. Satu dekade kemudian, pilihan

cairan menjadi subyek debat yang intensif,

dan berlangsung hingga saat ini. Lebih

belakangan lagi, tatalaksana cairan yang

diarahkan pada suatu sasaran ternyata

memperlihatkan keuntungan pada kasus-

kasus pembedahan.1

Pada wanita hamil terjadi peningkatan isi

plasma sekitar 45% yang bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan janin dan

melindungi ibu dan kehilangan darah pada

waktu persalinan. Terjadi juga

penumpukan natrium dan kalium selama

kehamilan, akan tetapi secara kesuluruhan

konsentrasi elektrolit-elektrolit tersebut

menurun karena retensi cairan yang

menyebabkan hemodilusi.2,3

Pada saat

cukup bulan, kandungan air dari janin,

plasenta dan cairan amnion berjumlah

sekitar 3,5 liter. Terjadi edema pada

pergelangan kaki dan tungkai bawah,

terjadi pada sebagian besar wanita hamil.

Pengumpulan cairan ini sekitar 1 liter

disebabkan oleh meningkatnya tekanan

vena di bagian yang lebih rendah dari

uterus akibat sumbatan parsial pada vena

kava oleh uterus. Penurunan tekanan

osmotik koloid interstisial juga

menimbulkan edema pada akhir

kehamilan.4

Pasien yang menjalani pembedahan terbagi

dalam beberapa klasifikasi berdasarkan

pada dua hal yaitu hemodinamik dan

perkiraan volume darah (estimated blood

volume / EBV). Pada pasien sectio caesaria

tanpa penyulit terjadi perdarahan sekitar

400-500 ml (± 15% dari EBV) dapat

diganti dengan cairan koloid sesuai dengan

darah yang hilang.5 Selama ini, volume

perdarahan yang terjadi diganti

berdasarkan jumlah yang keluar tanpa

memperhatikan keseimbangan asam-basa.

Dengan memperhatikan keseimbangan

asam-basa, akan sangat membantu dalam

mengelola pasien paska operasi.

Keseimbangan asam-basa merupakan

keseimbangan antar komponen elektrolit

cairan tubuh yang dinilai dengan

menggunakan persamaan dari Stewart.

Dimana menurut Stewart pH darah

merupakan variabel dependen yang

ditentukan oleh PaCO2, konsentrasi weak

acid (asam lemah) dan strong ions

difference (SID). Strong ions yang

terpenting adalah K+, Na+, dan Cl

-

Penilaian didasarkan pada hasil

pemeriksaan laboratorium BGA, albumin,

dan elektrolit (Na+, K

+, Cl

- , Mg

++, PO4)

preoperatif dan postoperatif. Penelitian

yang dilakukan selama ini hanya berkisar

pada masalah perbandingan antara cairan

kristaloid atau koloid terhadap

keseimbangan asam-basa Hendersen-

Hasselbalch, akan tetapi belum dilakukan

penelitian yang lebih spesifik dengan

menggunakan metode Stewart. Padahal

pemberian cairan pada pasien operatif

memerlukan penggantian cairan yang

cepat, dengan harapan dapat

mempertahankan kadar 02 dalam jaringan

secara adekuat.6

Page 7: Jurnal Anestesiologi Indonesia

128

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Penilaian keseimbangan asam-basa dengan

metode Stewart memiliki kelebihan

dibandingkan metode Hendersen-

Hasselbalch, dimana kelebihan Stewart

terletak pada konsistensi penilaian pada

faktor kompensasi tubuh dalam

mempertahankan keseimbangan asam-

basa. Faktor kompensasi yang tidak

didapatkan pada Hendersen-Hasselbalch

adalah faktor yang menilai proses

pertukaran cairan tubuh yang dipengaruhi

oleh tekanan onkotik. Penentu tekanan

onkotik tersebut adalah albumin.6

Penelitian ini khusus dilakukan pada

pasien yang menjalani operasi dengan

perkiraan perdarahan kurang dan 15%

EBV, karena dievaluasi berkaitan dengan

penggantian volume perdarahan. Pada

operasi dengan perdarahan lebih dan 15%

EBV, dianjurkan penggantian cairan

dengan darah. Selama penggantian cairan

tersebut terjadi perubahan metabolik dalam

tubuh, antara lain keseimbangan antar

elektrolit.5

Kasus-kasus dengan perdarahan kurang

dan 15% EBV banyak ditemukan pada

operasi sectio caesaria, laparotomi tanpa

reseksi usus, bedah urologi, pasien trauma

ortopedi tertutup, trauma kepala/epidural

hematoma (EDH), dan operasi-operasi lain

dengan perdarahan yang dapat

dikendalikan. Selama ini, penggantian

cairan pada pasien operasi dengan

perdarahan kurang dan 15% EBV dengan

anestesi regional lebih banyak

menggunakan cairan koloid.7

Pemberian infus sodium laktat hipertonik

akan meningkatkan osmolaritas plasma

karena mempunyai kandungan sodium

yang tinggi dan menyebabkan cairan

berpindah dan intrasel ke ekstrasel,8

meningkatkan isi intravaskuler dan

intersisial dengan demikian dapat

meningkatkan hemodinamik. Dengan

pemberian cairan ini sebenarnya kita

menambahkan natrium lebih banyak

dibandingkan klorida, sehingga akan

menaikkan SID, pH dan mencegah

asidosis hiperkloremik, sedangkan laktat

sebagai substrat energi alternatif bagi sel

yang siap pakai dan mudah

dimetabolisme.9 Sodium laktat hipertonik

tidak membuat reaksi alergi dibandingkan

dengan plasma ekspander yang lain dan

tidak mempunyai resiko penyebaran

sumber infeksi seperti human plasma.10

Cairan sodium laktat hipertonik dengan

konsentrasi 1,8%-7,5% telah diteliti

penggunaannya pada pasien perdarahan,11

sakit jantung,12

syok hipovolemik, dan

paska operasi.13

Hasil penelitian Zhu, dkk membuktikan

bahwa pemberian sodium laktat hipertonik

bermanfaat dalam meningkatkan fungsi

jantung paska luka bakar dan tidak hanya

mempengaruhi lipid-peroxidation di dalam

organ jantung tetapi juga meningkatkan

aktifitas organ jantung.14

Bruegger, dkk membandingkan antara

pemberian infus sodium laktat hipertonik

dengan hydroxyethyl starch (Haes) dalam

cairan NaCI, kedua cairan tersebut

menurunkan kadar asam lemah plasma,

SID dan pH (7,28-7,30). Penurunan

bikarbonat juga sama dan proporsional

untuk berbagai tingkat dilusi. Hal tersebut

menyebabkan asidosis metabolik

terkoreksi untuk kedua grup setelah

pembedahan.15

Page 8: Jurnal Anestesiologi Indonesia

129

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Berdasarkan penelitian Jarvela, dkk

pemberian 1,6 ml/kg 7,5% salin hipertonik

lebih efektif dibanding 13 ml/kg NaC1

0,9% dalam mencegah perubahan

hemodinamik pada pasien dengan

American Society of Anesthesiologist

(ASA) I-II yang dilakukan tindakan

arthroscopy lutut atau operasi orthopedi

anggota badan bawah. Efek merugikan

seperti hipernatremia, hiperosmolalitas,

dan hipokalemia dapat dicegah.16

Berdasarkan hasil penelitian Markus, dkk

didapatkan kesimpulan bahwa pada

pemberian cairan 6% hydroxyethyl starch

pada pasien dengan Acute Normovolemic

Hemodilution (ANH), didapatkan volume

darah yang cukup akan tetapi terjadi

penurunan konsentrasi albumin dan pH.17

Pada suatu penelitian yang dilakukan Witt,

dkk didapatkan bahwa pemberian Haes

menyebabkan peningkatan konsentrasi

plasma klorida yang signifikan (P<0,01)

penurunan SID (P<0,01), anion gap turun

signifikan (P<0,01), sedangkan Base

Excess (BE) dan pH tidak berubah secara

signifikan.18

Adanya hipotensi maternal (sistolik kurang

dan 100 mmHg atau turun lebih dari 30

mmHg dari tekanan darah awal) pada

spinal anestesi untuk sectio caesaria ini

disebabkan karena blokade simpatis dan

diperbesar oleh penekanan aorta dan vena

kava bawah oleh uterus pada posisi

terlentang. Untuk mencegah hal tersebut

diberikan 1000-1500 ml cairan Ringer

Laktat (RL) 15-30 menit sebelum spinal

anestesi.19

Pemilihan keseimbangan asam-basa

Stewart didasarkan pada kenyataan yang

terjadi di Intensive Care Unit (ICU)

RSDK, bahwa terapi cairan yang

didasarkan pada Handersson-Hasselbalch

tidak lebih baik daripada Stewart. Bukti

dan keseimbangan tersebut diniiai dari

hasil pemeriksaan laboratorium BGA,

elektrolit, albumin, dan kondisi obyektif

dari pasien. Apabila kita bekerja di suatu

rumah sakit tanpa pendukung pemeriksaan

BGA, hanya dengan pemeriksaan elektrolit

(Na, K, C1) kita bisa mengetahui status

keseimbangan asam basa pasien

berdasarkan SID. Berdasarkan kenyataan

tersebut, maka perlu dilakukan penelitian

yang membandingkan antara cairan

sodium laktat hipertonik dengan 6%

hydroxyethyl starch (Haes-steril 6%).

Dimana cairan sodium laktat hipertonik

dalam hal biaya lebih murah dibandingkan

dengan haes-steril 6%. Pemeriksaan yang

akan dilakukan adalah penghitungan SID

yang bersumber dari hasil pemeriksaan

elektrolit, sedangkan albumin dan pCO2

tidak diperiksa dikarenakan SID lebih

mewakili status keseimbangan asam-basa

Stewart.5

Tujuan penelitian ini adalah untuk

membuktikan bahwa cairan sodium laktat

hipertonik lebih baik dibanding cairan

Haes-steril 6% dalam mempertahankan

SID dalam tindakan operasi sectio

caesaria.

Apabila terbukti bahwa SID cairan sodium

laktat hipertonik lebih baik dibandingkan

Haes-steril 6%, maka pemanfaatan cairan

sodium laktat hipertonik selama tindakan

operasi dapat mengurangi kejadian

ketidakseimbangan elektrolit. Hasil

Page 9: Jurnal Anestesiologi Indonesia

130

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

penelitian dapat dijadikan sumbangan teori

dalam mengungkapkan pengaruh

pemberian cairan sodium laktat hipertonik

dan cairan Haes-steril 6% terhadap

keseimbangan asam-basa. Dapat dijadikan

dasar penelitian lebih lanjut, dengan

berlandaskan teori keseimbangan asam-

basa dan Stewart.

METODE

Jenis penelitian ini termasuk eksperimental

berupa uji klinik tahap 2 dengan tujuan

untuk mengetahui efektivitas pemberian

infus sodium laktat hipertonik dan infus

Haes-steril 6% terhadap SID yang

didasarkan pada metode Stewart.

Pengukuran dilakukan awal sebelum

diberikan perlakuan dan setelah perlakuan.

Skema penelitian dapat digambarkan

sebagai berikut:

Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah

Sentral RSUP dr. Kariadi Semarang,

dimulai dari bulan Juli sampai bulan

September 2009.

Populasi penelitian adalah semua penderita

yang akan menjalani pembedahan elektif

ataupun cito sectio caesaria dengan

perkiraan perdarahan kurang dari atau

sama dengan 15% EBV dengan teknik

anestesi regional. Pasien Sectio caesaria

dengan umur antara 20 — 35 tahun dengan

regional anestesi, status fisik ASA I — II,

berat badan normal, lama operasi 60-120

menit, jumlah perdarahan < 15% EBV,

tidak ada gangguan fungsi hati, tidak ada

gangguan fungsi paru, tidak ada gangguan

fungsi ginjal, tidak ada penyakit

kardiovaskuler, tidak ada gangguan

elektrolit (natrium, kalium, khlorida), tidak

terdapat permasalahan yang timbul yang

akibat oleh anestesi regional, seperti alergi,

spinal tinggi ataupun total spinal. Adanya

perdarahan masif lebih dari 500 ml.

Dilakukan tindakan anestesi umum karena

anestesi regional gagal.

Cara pemilihan sampel dilakukan dengan

cara consecutive sampling terhadap semua

penderita yang dipersiapkan untuk operasi

elektif, usia 20-35 tahun, ASA I-II, posisi

terlentang, di mana semua penderita yang

memenuhi kriteria dimasukkan dalam

sampel sampai jumlah yang diperlukan

terpenuhi, bersedia menjadi sukarelawan.

tingkat kesalahan tipe II ). Persamaan

untuk jumlah sampelnya adalah :

Berdasarkan jumlah sampel, maka

penderita dikelompokkan ke dalam 2

kelompok penelitian, yaitu :

Kelompok A (perlakuan-1) : penderita

dengan diberikan infus sodium laktat

hipertonik Kelompok B (perlakuan-2) :

penderita dengan diberikan infus Haes-

steril 6%.

Seleksi penderita dilakukan pada saat

kunjungan pra operasi, penderita yang

memenuhi kriteria ditentukan sebagai

sampel. Penelitian dilakukan terhadap 48

Page 10: Jurnal Anestesiologi Indonesia

131

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

penderita yang sebelumnya telah

rnendapatkan penjelasan dan setuju

mengikuti semua prosedur penelitian. Saat

di ruangan dilakukan pengukuran tekanan

darah, laju jantung dan laju nafas. Semua

penderita dipuasakan 6 jam dan tidak

diberikan obat premedikasi.

Untuk menghindari ketidakseimbangan

antara dua kelompok subyek, dilakukan

cara randomisasi blok yang bertujuan

membuat tiap kelompok mempunyai

jumlah subyek yang seimbang. Data diolah

dan dianalisis dengan komputer

menggunakan program SPSS 15.0 dan

dinyatakan dalam nilai rerata ± simpang

baku ( mean ± SD ). Uji statistik

menggunakan t-test dan derajat kemaknaan

p<0,05. Penyajian data dalam bentuk tabel.

HASIL

Telah dilakukan penelitian tentang

pengaruh pemberian cairan sodium laktat

hipertonik dibandingkan Haes-steril 6%

terhadap strong ions difference pada 48

orang penderita yang menjalani operasi

sectio caesaria dengan status fisik ASA I

dan II setelah memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi tertentu. Penderita dibagi

menjadi 2 kelompok yaitu kelompok

penderita dengan diberikan infus sodium

laktat hipertonik (LH) dan kelompok

penderita dengan diberikan infus Haes-

steril 6% (Haes) dimana masing-masing 24

orang tiap kelompok.

Tabel 1. Karakteristik penderita

Hasilnya didapatkan data yang homogen

(perbedaan yang tidak bermakna, p > 0,05)

dari semua variabel yaitu umur, tinggi

badan, berat badan tekanan darah sistolik,

tekanan darah diastolik sebelum dilakukan

perlakuan.

Dari Tabel 2 diatas dapat kita lihat bahwa,

rerata nilai SID sebelum operasi tidak

terdapat perbedaan yang bermakna antara

kelompok sodium laktat hipertonik dan

kelompok Haes-steril 6% (p>0,05).

Sedangkan rerata SID setelah operasi

antara kelompok sodium laktat hipertonik

dan Haes-steril 6% terdapat perbedaan

yang bermakna (p < 0,05).

Tabel 2.Rerata SID pada kelompok LH dan

Haes pra dan paska sectio caesaria

Tabel 3.Rerata SID pada kelompok LH pra dan

paska sectio caesaria

Page 11: Jurnal Anestesiologi Indonesia

132

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Dari Tabel 3 dapat kita lihat bahwa SID

pada kelompok sodium laktat hipertonik

sebelum dan sesudah operasi sectio

caesaria mengalami kenaikan yang

bermakna (p <0,05).

Dan Tabel 4 diatas dapat kita lihat bahwa

SID pada kelompok Haes sebelum dan

sesudah operasi sectio caesaria mengalami

penurunan yang bermakna (p < 0,05).

Grafik 1. Rerata SID pada kelompok Haes pra dan

paska sectio caesaria

Pada waktu pra operasi sectio caesaria

nilai rata-rata SID pada kelompok LH

(34,08) relatif sama dengan kelompok

Haes (32,88). Setelah dilakukan operasi

sectio caesaria (paska operasi) terjadi

kenaikan SID pada kelompok LH (38,58)

lebih tinggi dibandingkan kelompok Haes

(29,29) dimana kelompok Haes mengalami

penurunan SID paska operasi

dibandingkan sebelumnya.

PEMBAHASAN

Pemberian cairan pengganti selama

tindakan operasi memang menjadi suatu

hal yang kontroversial dalam menentukan

keefektifan dan efisiensi dalam

penggantian cairan. Keduanya dianggap

merupakan cairan yang paling baik

didasarkan kandungannya. Berdasarkan

interpretasi karakteristik subyek kedua

kelompok penelitian antara kelompok

sodium laktat hipertonik dangan Haes-

steril 6% yaitu umur, tinggi badan, berat

badan tekanan darah sistolik, tekanan

darah diastolik sebelum dilakukan

perlakuan tidak didapatkan adanya

perbedaan yang bermakna, sehingga kedua

kelompok tersebut layak untuk

dibandingkan.

Nilai SID sebelum operasi antara

kelompok sodium laktat hipertonik dan

Haes-steril 6% tidak ada perbedaan yang

bermakna (p>0,05), sehingga kedua

kelompok sebanding dan layak untuk

dibandingkan. Sedangkan nilai SID setelah

operasi pada kelompok sodium laktat

hipertonik dan Haes-steril 6% terdapat

perbedaan yang bermakna (p<0,05)

diartikan bahwa sodium laktat hipertonik

lebih baik di dalam mempertahankan SID

dibandingkan Haes-steril 6%. Hal tersebut

sesuai dengan pendapat Miller dan kawan-

kawan bahwa selama pemberian sodium

laktat hipertonik terjadi peningkatan SID

mendekati nilai normal akibat kenaikan

natrium, hal tersebut berperan dalam

penurunan ion hidrogen, sehingga

keseimbangan asam basa dipertahankan

lebih baik.20

Tabel 4.Rerata SID pada kelompok Haes pra dan

paska sectio caesaria

Page 12: Jurnal Anestesiologi Indonesia

133

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Berdasarkan Tabel 3 nilai SID pada

kelompok sodium laktat hipertonik

sesudah operasi mengalami kenaikan yang

bermakna (p<0,05) dan cenderung ke arah

SID normal (36-40) ini diartikan bahwa

sodium laktat hipertonik baik dalam

mempertahankan SID. Pada Tabel 4, SID

pada kelompok Haes sesudah operasi

mengalami penurunan yang bermakna

(p<0,05) ini berarti bahwa pemberian Haes

sebelum operasi kurang baik dalam

mempertahankan SID selama operasi. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Will

bahwa pemberian Haes pada pasien anak

dengan pembedahan akan mengalami

penurunan SID yang bermakna.18

Diperkuat lagi oleh pendapat Markus

bahwa pemberian Haes pada pasien

dengan acute normovolemic hemodilution

(ANH) mengalami penurunan SID tiga

kali lebih besar dibandingkan pemberian

konsentrasi plasma albumin dimana akan

membuat asidosis metabolik.17

Sodium laktat hipertonik dapat digunakan

untuk mengisi volum intravaskuler yang

kekurangan cairan dalam waktu singkat

dan dalam jumlah kecil. Sodium

merupakan elektrolit paling penting

sebagai mekanisme transport aktif sodium-

potassium (Na+-K

+) pump. Na

+ akan

bergerak dari ekstrasel ke intrasel dan

dalam waktu yang bersamaan K+ akan

keluar dan intrasel. Masuknya cairan ke

dalam vaskuler setelah pemberian sodium

laktat hipertonik akan meningkatkan

tonisitas secara tiba-tiba. Cairan akan

berpindah dari intrasel ke dalam

kompartemen ekstraseluler. Cairan

intertisial juga bergerak ke dalam

kompartemen intravaskuler akibat

perbedaan osmotik. Penambahan Na+ lebih

banyak dibandingkan CI- yang akan

meningkatkan SID ataupun pH. Selain itu

laktat merupakan anion yang sangat baik

metabolismenya, meskipun pasien dalam

kondisi yang jelek. Laktat merupakan

metabolit fisik dan berperan sebagai

substrat energi yang dioksidasi secara aktif

pada mitokondria sel seluruh tubuh.

Khususnya pada pada otak, ginjal, jantung

dan otot mempunyai aktifitas yang

tinggi.20,21,22,23

Menurut asam basa Stewart bahwa status

asam basa cairan tubuh ditentukan oleh

beberapa variabel independen. Di dalam

plasma darah, variabel independen tersebut

adalah pCO2, SID, dan konsentrasi total

asam lemah nonvolatil (albumin dan

fosfat). Dari keterangan diatas terlihat

bahwa SID merupakan variabel

independen yang terpenting dalam

pengaturan asam-basa antarmembran. ion-

ion kuat dapat melewati membran dan

bergerak mengikuti atau melawan

perbedaan konsentrasi.22

SIMPULAN

Pemberian cairan infus sodium laktat

hipertonik dan infus Haes-steril 6% yang

diberikan selama operasi sectio caesaria,

kemudian dilakukan penilaian terhadap

strong ions difference (SID) menunjukkan

hasil bahwa: pemberian infus sodium

laktat hipertonik lebih baik dibandingkan

Haes-steril 6% dikarenakan nilai SID

sodium laktat hipertonik lebih tinggi

dibandingkan nilai SID Haes-steril 6%.

Pemberian infus sodium laktat hipertonik

dapat mempertahankan SID paska operasi

dimana SID meningkat menuju nilai

Page 13: Jurnal Anestesiologi Indonesia

134

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

normal dibandingkan infus Haes-steril 6%

yang mengalami penurunan nilai SID.

Penelitian ini dapat dijadikan dasar

pertimbangan dalam memilih cairan infus

yang diberikan pada pasien-pasien yang

akan menjalani operasi besar dengan

perdarahan kurang dan 15% Estimate

Blood Volume (EBV), dimana cairan

sodium laktat hipertonik dapat

mempertahankan strong ions difference

dan keseimbangan asam-basa Stewart.

Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut untuk melakukan penilaian terhadap

parameter asam-basa Stewart yang lain

seperti penilaian terhadap kadar albumin

dan BGA (pCO2) karena untuk menilai

secara keseluruhan bangsa Steward untuk

kepentingan terapi, juga harus

mempertimbangkan parameter lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sunatrio S. Tatalaksana Cairan Intraoperatif

dan Pilihan Cairan. Naskah Lengkap KONAS

IDSAI Makasar 2004: 56-73.

2. American College of Obstetricians an

Gynecologists (ACOG) Committee on

Obstetrics: Maternal and Fetal Medicine.

Utility of Umbilical Cord Blood Acid Base

Assesment. Washington DC; 1991.

3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.

Obstetric Anesthesia. In: Clinical

Anesthesiology. 4th ed. United States of

America: Lange Medical Books/ Mc Graw-

Hill Medical Publishing Edition; 2006: 890-

919.

4. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gaut NF.

Williams Obstetrics Alih bahasa: Suyono J,

Hartono A. Edisi 18. EGC. Jakarta, 1995: 511-

26.

5. Leksana E. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam

Basa, Syok dan Terapi Cairan. CPD IDSAI

Jateng. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK

Undip. Semarang; 2006.

6. Mustafa I, George YWH, Fauzi D.

Keseimbangan Asam Basa: Patofisiologi,

diagnosis dan terapi. ICU Pusat Jantung

Nasional RS Harapan Kita Jakarta.

7. Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Media

Aesculapius Jakarta 2000.

8. Onarheim H. Fluid Shifts Following 7%

Hypertonic Sodium Saline (2400 mosm/L)

infusion. Shock 1995;3: 350-4.

9. Tollofsrud S, Noddeland H. Hypertonic Saline

and Dextran after Coronary Artery Surgery

Mobilises Fluid Excess and Improves

Cardiorespiratory Functions. Acta

Anaesthesiol Scand 1998;42:154-61.

10. Vissar MJ, Perry CA, Holcroft JW. Analysis of

Potential Risks Associated with 7,5% Sodium

Chloride Resucitation of Traumatic Shock.

Arch Surg 1990;125:1309-15.

11. Bitterman H, Triolo J, Lefer AM. Use of

Hypertonic Saline in The Treatment of

Hemorrhagic Shock. Circ Shock 1987;21:271-

83 Ramires JAF, Serrano CV Jr, Cesar LAM.

Acute Hemodynamic Effects of Hypertonic

(7,5%) Saline Infusion in Patients with

Cardiogenic Shock Due to Right Ventricular

Infarction. Circ Shock 1992; 37: 220-5.

12. Ramires JAF, Serrano CV Jr, Cesar LAM. Acute

Hemodynamic Effects of Hypertonic (7,5%)

Saline Infusion in Patients with Cardiogenic

Shock Due to Right Ventricular Infarction. Circ

Shock 1992; 37: 220-5.

13. Cross JS, Gruper DP, Burchard KW.

Hypertonic Saline Fluid Therapy Following

Surgery; a prospective study. J Trauma 1989;

29: 817-25.

14. Zhu S, Liu S, Ge S. Effect of Resuscitation

with Hypertonic Sodium Lactate Dextran 70

on Cardiac Function in Severely Burned Dogs.

Zhonghua Zheng Xing Shaoshang Wai Ke Za

Zhi.1995;11: (6):430-2.

15. Bruegger D, Bauer A, Rehm M, Niklas M,

Jacob M, Iribeck M et all. Effect of Hypertonic

Saline Dextran on Acid-Base Balance in

Patients Undergoing Surgery of Abdominal

Aortic Aneurysm. Crit Care Med. 2005 Mar;

33(3):556-63.

16. Jarvela K, Honkonen SE, Jarvella T, Koobi T,

Kaukinen S. The Comparison of Hypertonic

Saline (7,5%) and Normal Saline (0,9%) for

Initial Fluid Administration before Spinal

Anesthesia. Departments of Anesthesia and

Intensive Care. Tampere University Hospital.

Tampere Finland. Anesth Analg 2000;

91:1461-5.

17. Markus R, Victoria 0, Stefan S, Uwe K, Heinz

B, Udilo F. Acid Base Changes caused by 5%

Albumin Versus 6% Hydroxyethyl Starch

Solution in Patients undergoing Acute

Normovolemic Hemodilution: A Randomized

Prospective Study. Anesthesiology 2000;

93(5): 1174-83.

18. Witt L, Osthaus WA, Jutcher B, Heimbucher

C, Sumpelmann R. Alteration of Anion Gap

and Strong Ion Difference caused by

Page 14: Jurnal Anestesiologi Indonesia

135

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Hydroxyethyl Starch 6% (130/0,42) and

gelatin 4% in Children. J Paed Anaesth 2008

Oct; 18(10):934-9.

19. Bisri T. Anestesi pada bedah caesar. Dalam:

Obstetri anestesi. Ed 1. Bandung: Fakultas

Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr.

Hasan Sadikin; 1997.44.

20. Miller B, Lindinger M, fattor J, Jacobs K.

Hematological and Acid-Base Change in Men

During Prolong Exercise with and without

Sodium Lactate Infusion.

URL.http//www.Anesthesia-analgesia.org/lgi/c

ontent/ful1/102/6/1836.

21. Lang K, Boldt J, Suttner S, Haisch E. Colloid

versus Crystalloid and Tissue Oxygen Tension

in Patients undergoing Major Abdominal

Surgery. Anesthesia Analgesia Journal 2001;

93: 405-9.

22. Leksana E. Hypertonic Sodium Lactate

Solution. CPD IDSAI Jateng. Anestesi dan

Terapi Intensif FK Undip. Semarang; 2006.

23. Chiolero RL,Revelly JP, Laverne X et all.

Effect of cardiogenic shock on lactate and

glucose metabolism after heart surgery. Crit

Care Med. 2000;28:3784-91.

Page 15: Jurnal Anestesiologi Indonesia

136

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

PENELITIAN

Granisetron, Kombinasi Metoklopramid dan Deksametason Terhadap Mual

Muntah Paska Laparatomi

I Nyoman Panji*, Heru Dwi Jatmiko*, Aria Dian Primatika*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Backgroud: Post-operative Nausea and Vomitus (PONV) is commonly unsatisfy experienced

by patient after surgical procedures with general anesthesia. Laparatomy is one among high

risk groups for PONV.

Objective: The aim of this study to compare the efficacy between granisetron 1 mg and

combination metoclopramide 10 mg and dexamethasone 8 mg in preventing PONV after

laparatomy.

Methods: This research was a clinical trial stage 1 in 48 patients undergoing laparatomy

surgery by general anesthesia. All patients were observe the 6 hours fasting period before

induction of anesthesia. Pasien randomly divided in to two group. Group I treatment with

granisetron that given 30 to 60 minutes before end operation. Group II treatment with

metoclopramide 10 mg and dexamethasone 8 mg, that dexamethasone given before induction

of anesthesia and metoclopramide administration 30 to 60 minutes before end operation. All

patient were observe the nausea and vomiting 24 hours post operative.

Results: There was no significant difference for patient characterictics data distribution

between two group before treatment. There was no significant difference to decrease nausea

and vomiting after laparatomy between two groups. Patient who had received intravenous 1

mg granisetron incidence nausea-vomiting was 83,3 % while patient who had received the

combination 10 mg metoklopramid and 8 mg dexamethasone incidence nausea—vomiting

was 75%.

Conclusion: There was no antiemetics which fully effective to exceed post operative nausea

and vomitus. Combination 10 mg metoclopramide and 8 mg dexamethasone has similar effect

like 1 mg granisetron on prevent Post-operative Nausea and Vomitus but higher adverse

effects.

Key words: nausea, vomiting, granisetron, metoclopramide, dexamethasone, laparatomy

Page 16: Jurnal Anestesiologi Indonesia

137

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

ABSTRAK

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas antara granisetron 1 mg

dan kombinasi metoklopramid 10 mg dengan deksametason 8 mg dalam mencegah mual

muntah paska laparatomi.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian tahap I pada 48 penderita yang menjalani

laparatomi dengan anestesi umum. Semua penderita dipuasakan 6 jam sebelum dilakukan

induksi anestesi. Pasien secara random dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I diberikan

granisetron 30 sampai 60 menit sebelum operasi selesai. Dan kelompok II diberikan

deksametason sebelum induksi anestesi dan metoklopramid 30 sampai 60 menit sebelum

operasi selesai. Semua pasien diamati kejadian mual muntah paska operasi selama 24 jam.

Hasil: Didapatkan perbedaan tidak bermakna pada distribusi karakteristik pasien antara

kedua kelompok sebelum perlakuan. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang

tidak bermakna kejadian mual muntah paska laparatomi pada kedua kelompok. Dimana

pasien yang diberikan granisetron 1 mg didapatkan kejadian mual muntah sebesar 83,3 %

sedangkan pasien yang diberikan kombinasi metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg

didapatkan angka kejadian mual muntah sebesar 75%.

Simpulan: Tidak ada antiemetik yang mampu sepenuhnya mencegah mual muntah paska

operasi. Pemberian kombinasi metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg mampu

mengurangi resiko mual muntah paska operasi yang hampir sama efektifnya dengan

granisetron 1 mg dengan efek samping lebih banyak.

Kata kunci: mual, muntah, granisetron, metoklopramid, deksametason, laparatomi

PENDAHULUAN

Mual dan muntah dapat merupakan

manifestasi berbagai kondisi termasuk

diantaranya adalah efek samping suatu

pengobatan, gangguan sistemik atau

infeksi, kehamilan, disfungsi vestibuler,

peningkatan tekanan sistem saraf pusat,

peritonitis, gangguan hepatobilier, paska

radiasi atau kemoterapi, serta gangguan

pada usus berupa obstruksi, dismotilitas

atau infeksi.1,2

Mual dan muntah paska operasi (PONV)

adalah salah satu keluhan paling umum

setelah anestesi dan operasi.3 Mual dan

muntah dapat lebih menyulitkan terutama

pada operasi minor atau operasi rawat

jalan.4

Hal ini karena mual dan muntah

dapat menimbulkan berbagai komplikasi

yang luas.5,6

Secara fisik mual dan muntah

paska operasi dapat menimbulkan keluhan

berkeringat, nyeri perut, lemah dan

mengurangi kenyamanan pasien. Risiko

terhadap tindakan pembedahannya berupa

terbukanya kembali luka operasi,

perdarahan sampai penyembuhan luka

yang terhambat.7,8

Dan segi anestesi dapat

meningkatkan risiko aspirasi isi lambung

ke dalam paru-paru, gangguan cairan dan

elektrolit.9,10,11

Hal ini menimbulkan

implikasi bagi rumah sakit berupa

pemanjangan masa perawatan dan

perawatan rumah sakit yang tidak terduga

serta peningkatan biaya perawatan

terutama bagi pasien rawat jalan.12

Page 17: Jurnal Anestesiologi Indonesia

138

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Granisetron merupakan antagonis reseptor

serotonin yang bersifat lebih selektif dan

masa kerja lama dibanding antagonis

reseptor serotonin yang lain.13,14

Waktu

paruh eliminasi granisetron adalah 2,5 kali

lebih lama dan ondansetron sehingga

frekuensi pemberian hams dikurangi.13

Granisetron efektif untuk mencegah mual

muntah selama 24 jam pada sekali

pemberian. Harga yang mahal membatasi

penggunaan granisetron dalam aplikasi

klinis.15,16,17

Fujii Y dan Tanaka H membandingkan

pemberian dosis granisetron untuk

pengelolaan PONV pada wanita yang

menjalani operasi payudara antara dosis

10, 20, 40 dan 80 pg/kgBB. Dan penelitian

ini didapatkan bahwa dosis efektif minimal

untuk profilaksis dan granisetron adalah 20

pg/kgBB. Peningkatan dosis sampai 80

pg/kgBB tidak memberikan keuntungan

bermakna.18

Sedangkan metoklopramid adalah obat

golongan antidopaminergik yang juga

sering dipakai dalam mengatasi mual

muntah.19

Terhadap PONV metoklopramid

memberikan hasil yang berbeda-beda.7,19,20

Oleh sebagian peneliti metoklopramid

dosis tunggal pada dosis standar dianggap

tidak efektif pada PONV.7,19

Meskipun

secara meta-analisis pemberian

metoklopramid 10 mg intravena hanya

memiliki efek yang yang sedikit, namun

mekanisme kerjanya yang komplek

(terikat dengan reseptor dopamin,

serotonin dan histamin) maka

metoklopramid masih menjadi obat yang

menarik untuk mencegah PONV.7

Wallenborn J menyatakan tidak ada obat

antiemetik tunggal yang mampu

memberikan penyelesaian mual muntah

paska operasi secara menyeluruh.

Pemberian dosis obat yang terlalu tinggi

tidak memungkinkan karena menimbulkan

banyak efek samping dan dapat melampaui

batas keamanan, sehingga memungkinkan

pemberian kombinasi obat-obat

antiemetik.7 Akhir-akhir ini kombinasi

obat dengan mekanisme dan tempat kerja

berbeda digunakan untuk mencapai efek

antiemetik yang maksimal untuk melawan

PONV.19

Kombinasi obat ini

menguntungkan karena memiliki efek

yang saling menguatkan.7

Deksametason adalah obat golongan

kortikosteroid yang telah diketahui

memiliki efek antiemetik paska operasi. 21,22,23,24

Secara umum dosis deksametason

yang efektif untuk mencegah PONV

berkisar 8-10 mg.25,26

Pemberian

deksametason sebelum operasi jauh lebih

efektif dibandingkan pemberian sesudah

operasi dalam angka kejadian PONV.27

Karena efektifitas, keamanan dan biaya

yang relatif murah maka deksametason

direkomendasikan sebagai pilihan pertama

untuk kombinasi dengan antiemetik

lain.11,28

Pemberian secara kombinasi

metoklopramid dengan deksametason

terbukti lebih efektif menurunkan kejadian

PONV.29,30

Penambahan deksametason

pada metoklopramid dosis tinggi tidak

diragukan lagi efektifitas dan mampu

mencegah PONV. Pemberian

metoklopramid dosis 25 mg memberikan

efek yang sama dengan metoklopramid 50

mg namun dapat mengurangi efek samping

Page 18: Jurnal Anestesiologi Indonesia

139

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

obat yang merugikan. Metoklopramid 25

mg iv efektif dalam mencegah PONV

terutama fase early emesis pada awal

penelitian (< 12 jam), sedangkan pada

dosis 50 mg metoklopramid mampu secara

efektif mengurangi PONV sampai fase late

emesis pada akhir pengamatan (> 12 jam).7

Tetapi penambahan metoklopramid 10 mg

dengan antiemetik yang lain jarang

memperlihatkan keuntungan tambahan.

Bahkan penelitian lain menyatakan bahwa

penambahan deksametason pada 10 mg

metoklopramid dianggap tidak terlalu

efektif dan hanya memiliki efek yang

bersifat sebagian.7 Kombinasi ondansetron

4 mg dan deksametason 8 mg memiliki

efek profilaksis yang lebih baik

dibandingkan kombinasi metoklopramid

10 mg dan deksametason 8 mg pada pasien

yang menjalani laparaskopi ginekologi.31,32

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

pengaruh pemberian metoklopramid 10

mg + deksametason 8 mg dalam mencegah

mual muntah paska laparatomi.

METODE

Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah

Sentral RSUP dr Kariadi Semarang.

Dilaksanakan dalam waktu 20-30 minggu.

Desain penelitian menggunakan cara

eksperimental murni post test only control

group design dengan melakukan evaluasi

terjadinya komplikasi dini berupa mual

muntah paska operasi.

Penelitian dilakukan terhadap pasien yang

dipersiapkan operasi laparatomi secara

elektif dengan anestesi umum di Instalasi

Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Pusat

Dokter Kariadi Semarang. Pasien yang

memenuhi kriteria yang telah ditentukan

sebelumnya, ditetapkan sebagai sampel

penelitian sampai jumlahnya terpenuhi.

Sebagai kriteria inklusi yaitu laki-laki,

umur 18-60 tahun, status fisik ASA I atau

II dengan berat badan normal, tidak ada

kontraindikasi untuk dilakukan anestesi

umum dan pemberian obat granisetron,

metoklopramid dan deksametason.

Sedangkan kriteria eksklusi yaitu riwayat

PONV sebelumnya, gangguan

pengosongan lambung, lama operasi

kurang dari 1 jam.

Semua pasien mendapatkan perlakuan

yang sama yaitu dilakukan anestesi umum

dan diberikan granisetron, metoklopramid

+ deksametason sesuai dengan

kelompoknya. Dilakukan seleksi penderita

pada saat kunjungan pra anestesi dan

penderita yang memenuhi kriteria

dimasukkan sebagai sampel penelitian.

Penelitian dilakukan terhadap 48 penderita

yang sebelumnya telah mendapatkan

penjelasan dan setuju mengikuti semua

prosedur penelitian serta menandatangani

informed consent. Semua penderita

dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi.

Dilakukan pemasangan infus dengan

kateter intravena 18 G dan diberikan

cairan pengganti puasa sebanyak 6 x 2

cc/kg BB selama 1 jam sebelum operasi.

Setelah sampai di ruang operasi dilakukan

pemeriksaan tanda vital dan dipasang alat

monitor tensimeter, EKG dan pulse

oxymetric. Sekitar 3-5 menit sebelum

dilakukan anestesi pada kelompok I

diberikan normal salin sebanyak 2 cc dan

pada kelompok II diberikan deksametason

sebanyak 2 cc atau 8 mg.

Page 19: Jurnal Anestesiologi Indonesia

140

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Induksi anestesi dilakukan dengan

menggunakan propofol 2 mg/kgBB dan

fentanil 1 µg/kgBB serta vecuronium 0,1

mg/kg BB untuk fasilitas intubasi.

Selanjutnya untuk pemeliharaan dilakukan

dengan pemberian Isoflurane, N20, 02 dan

dilakukan ventilasi secara kontrol kurang

lebih 12 kali permenit dengan volume tidal

8-10 cc/kgBB.

Kurang lebih 30 sampai 60 menit sebelum

operasi selesai diberikan antiemetik sesuai

kelompoknya. Yaitu pada kelompok I

diberikan granisetron 1 mg dan kelompok

II diberikan metoklopramid 10 mg. Setelah

operasi selesai dilakukan reverse dengan

sulfas atropin 0,01 mg/kgBB dan

neostigmin 0,04 mg/kgBB. Sebelum dan

sesudah operasi perubahan hemodinamik

pasien harus dicatat dengan mengukur

tekanan darah sistolik (TDS), tekanan

darah diastolic (TDD), tekanan arteri rata-

rata (TAR) dan laju jantung. Diberikan

cukup cairan, sesuai beratnya operasi dan

banyaknya perdarahan. Semua pasien

dilakukan evaluasi mual muntah dan

tekanan darah paska operasi baik selama di

ruang operasi, di ruang pemulihan dan di

ruang perawatan (setelah 3, 6, 12 dan 24

jam operasi selesai). Dalam melakukan

pemindahan pasien dari ruang operasi ke

ruang pemulihan atau ruang perawatan,

harus dilakukan secara hati-hati dengan

meminimalkan terjadinya gerakan atau

guncangan.

Bila terjadi mual muntah dengan penilaian

PONV atau lebih, maka diberikan

antiemetik dari golongan yang lain yaitu

droperidol 0,625 mg secara intravena.12

HASIL

Telah dilakukan penelitian untuk

mengetahui pengaruh pemberian

granisetron 1 mg dibanding dengan

kombinasi metoklopramid 10

mg+deksametason 8 mg dalam mencegah

mual muntah paska laparatomi dengan

anestesi umum pada 48 orang penderita

yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi tertentu. Penderita dibagi menjadi

dua kelompok, yaitu kelompok I

(Granisetron) dan II

(Metoklopramid+Deksametason). Uji data

numerik yang meliputi umur, berat badan,

tinggi badan, lama operasi dan lama

anestesi menggunakan uji independent t

test dengan derajat kemaknaan p<0,05.

Sedangkan uji statistik status ASA dengan

menggunakan Mann-Whitney

Penelitian yang dilakukan ini untuk

membandingkan pengaruh antara

Granisetron dengan Metoklopramid +

Deksametason dalam mencegah mual

muntah paska operasi laparatomi dengan

anestesi umum. Penderita secara random

dibagi menjadi dua kelompok (Kelompok I

dan II) yang masing-masing terdiri dan 24

orang penderita. Karakteristik data

masing-masing kelompok diperiksa

sebelum diberikan perlakuan. Selanjutnya

dilakukan pengamatan efek mual muntah

paska operasi dan efek samping yang

terjadi pada setiap subyek penelitian.

Page 20: Jurnal Anestesiologi Indonesia

141

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian

Variabel Kelompok

Granisetron

(n=24)

Kelompok

Metoklopramid

+Deksametason

(n=24)

Uji Statistik p

1.Umur (tahun) 44,29 ± 11,30 45,54 ± 9,25 Uji-t 0,677

2.BMI 22,29 ± 3,11 23,13 ± 2,80 Uji-t 0,329

3.Berat badan (kg) 60,87 ± 9,75 62,08 ± 9,12 Uji-t 0,660

4.Tinggi badan (cm) 165,08 ± 4,46 163,63 ± 5,74 Uji-t 0,331

5.Status ASA (n dan %) Mann-Whitney 0,510

ASA I 16 (66,7%) 11 (45,8%)

ASA II 8 (33,3%) 13 (54,2%)

6.Lama anestesi (menit) 157,79±71,88 145,83±49,38 Uji-t 0,505

7.Lama operasi (menit) 140,21±74,69 132,50±46,23 Uji-t 0,669

Tabel 2.Karakteristik klinis hemodinamik pasien sebelum operasi

Variabel Pre Operasi Uji statistik p

Kelompok

Granisetron

(n=24)

Kelompok

Metoklopramid

+Deksametason

(n=240)

Sistolik (mmHg) 129,38 ±

13,26

126,50 ± 11,81 Independent t-test 0,432

Diastolik (mmHg) 81,50 ±7,50 78,54 ± 6,70 Independent t-test 0,156

Tekanan arteri rerata 97,75±9,38 95,17± 8,29 Independent t-test 0,317

Laju Jantung (x/menit) 90,58 ±8,62 90,63 ±10,27 Independent t-test 0,988

Laju nafas (x/menit) 18,34±3,41 17,87±2,88 Independent t-test 0,657

Suhu 36,34±0,41 36,87 ±0,88 Independent t-test 0,764

Tabel 3.Efek samping pemberian obat pada kedua kelompok

Efek samping Kelompok

Granisetron

(n=24)

Kelompok

Metoklopramid

+Deksametason

(n=24)

Uji Statistik p

Tanpa efek

samping

20 13 Mann-

Whitney

0,00

6

Ada efek samping

-Dyspepsia 1 2

-Mengantuk 2 5

-Konstipasi 0 3

-pusing 1 1

Page 21: Jurnal Anestesiologi Indonesia

142

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

PEMBAHASAN

Dari data karakteristik penderita yang

meliputi umur, berat badan, tinggi badan,

indek masa tubuh, status ASA pre anestesi,

lama anestesi dan lamanya operasi, kita

dapat melihat bahwa terdapat perbedaan

yang tidak bermakna dan kedua kelompok

perlakuan. Variabel-variabel tersebut

diatas telah dikendalikan dengan teknik

randomisasi. Sehingga pengaruh umur,

status berat badan, lama anestesi dan lama

operasi tidak banyak mempengaruhi pada

penelitian ini.33,34

Dengan demikian kedua

kelompok dapat dikatakan homogen dan

layak untuk diperbandingkan.

Hasil pengukuran tanda vital sebelum

operasi yang meliputi tekanan darah

sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan

arteri rerata, laju jantung, laju pernapasan

dan suhu badan pada kelompok I dan II

terdapat perbedaan yang tidak bermakna.

Perubahan tekanan darah juga relatif stabil

selama pengamatan setelah operasi.

maupun walaupun terjadi sedikit

peningkatan segera setelah operasi.

Sehingga kedua kelompok tidak

mengalami perbedaan tekanan darah

bermakna yang akan mempengaruhi

terjadinya PONV.

Mual muntah paska operasi pada

penelitian ini tetap terjadi, meskipun

seluruh sampel telah diberikan antiemetik.

Hal ini membuktikan bahwa laparatomi

dengan anestesi umum termasuk berisiko

sangat tinggi terjadi PONV dengan faktor

risiko utama menurut Adfel sebesar 4.31,32

Faktor risiko ini berasal dari jenis

operasinya sendiri, pemakaian agen

inhalasi, N20 dan pemakaian analgetik

opioid selama operasi.33

Semakin banyak

faktor risiko maka kemungkinan terjadi

PONV akan semakin besar. PONV terjadi

pada 10-20% pasien tanpa risiko atau

dengan faktor risiko PONV rendah dan

dapat meningkat setinggi 40-80% pada

pasien dengan 2 faktor risiko atau

lebih.34,35

Peneliti lain menyatakan bahwa

pasien tanpa faktor risiko, dengan 1, 2, 3, 4

faktor risiko akan menimbulkan kejadian

PONV sebesar 10%, 21%, 39%, 61%,

79% dan seterusnya.35

Meskipun terjadi

kemajuan dalam anestesi, tidak ada

pemberian antiemetik yang mampu

memberikan pemecahan menyeluruh

PONV.7 Pada penelitian ini PONV terjadi

pada 4 dan 24 orang (16,6%) kelompok I

yang diberikan granisetron 1 mg.

Sedangkan pada kelompok II yang

diberikan kombinasi

Metoklopramid+Deksametason didapatkan

PONV sebanyak 6 dari 24 orang (25%).

Page 22: Jurnal Anestesiologi Indonesia

143

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Mual muntah yang terjadi pada kedua

kelompok semuanya bersifat ringan

dengan penilaian pada skala 5 (5-point

rating scale) sebesar 1, yaitu mual terjadi

kurang dari 10 menit dan atau muntah

hanya terjadi sekali yang tidak

membutuhkan pengobatan. Ada

kemungkinan hal ini karena efektifitas

obat antiemetik yang diberikan. Ini sesuai

dengan Ladjevic yang hanya menemukan

episode mual pada 21 pasien kistektomi

yang mendapatkan dosis rendah

granisetron (1 mg) dan mampu mengontrol

PONV sampai 93,33%.36

Sedangkan

Mikawa K dkk mendapatkan Granisetron

20 ug/kgBB mampu mengontrol PONV

sebesar 75% pasien dibanding plasebo

yang hanya mengontrol PONV sebesar

18% pada pasien paska operasi

ginekologi.18

Meskipun ada sebagian

peneliti yang meragukan manfaat

penambahan deksametason pada

metoklopramid dosis yang lazim,

pemberian kombinasi metoklopramid 10

mg dan deksametason 8 mg mampu

menurunkan angka kejadian PONV pada

pasien yang dilakukan laparaskopi

kolesitektomi menjadi hanya sebesar 13%

dibanding 23% hanya dengan

deksametason 8 mg, 45% hanya dengan

metoklopramid 10 mg dan 60% pada

pasien yang mendapatkan plasebo.28

Hal

ini pula yang mungkin menjadikan alasan

bahwa pemberian 10 mg metoklopramid

pada deksametason masih menjadi standar

pencegahan untuk PONV di Jerman.37

Hasil hampir sama ini juga sesuai dengan

yang disampaikan Gallardo bahwa

pemberian granisetron dibanding

kombinasi metoklopramid dan

deksametason pada pasien kemoterapi

dengan ciplastin, memiliki efektifitas yang

hampir sama, yaitu mampu mengontrol

PONV sampai 66% pada kelompok

granisetron dan 73,7% pada kelompok

kombinasi metoklopramid dan

deksametason.38

Sedangkan waktu terjadinya mual muntah

bervariasi pada kedua kelompok. Pada

kelompok I (diberikan Granisetron) 3

orang terjadi pada antara 3-6 jam paska

operasi dan 1 orang terjadi antara jam 6-12

paska operasi. Sedangkan pada kelompok

II (pemberian kombinasi Metoklopramid

dan Deksametason) 3 orang terjadi pada 0-

3 jam paska operasi dan 3 orang lainnya

terjadi antara jam 6-12 paska operasi. Hal

ini tidak sesuai dengan hasil penelitan

sebelumnya yang menyatakan bahwa

penambahan deksametason pada

metoklopramid dosis tinggi efektif untuk

delayed emesis, sedangkan pada dosis

lebih rendah akan efektif pada early

emesis.7,39

Pada penelitian ini PONV

terjadi pada awal pengamatan (< 12 jam).

Hal ini masih dapat terjadi karena proses

pemindahan pasien, mobilisasi dan

pemberian obat atau intake yang terlalu

cepat atau yang lain.

SIMPULAN

Operasi laparatomi dengan anestesi umum

termasuk operasi yang beresiko tinggi

untuk terjadinya mual muntah paska

operasi, sehingga perlu diberikan

antiemetik.

Ada perbedaan tidak bermakna antara

pemberian kombinasi metoklopramid 10

mg + deksametason 8 mg dengan

pemberian granisetron 1 mg dalam

Page 23: Jurnal Anestesiologi Indonesia

144

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

mencegah mual muntah paska laparatomi

dengan anestesi umum.

Dan kedua kelompok tersebut, tidak ada

obat antiemetik yang sepenuhnya mampu

mencegah terjadinya mual dan muntah

paska laparatomi dengan anestesi umum.

Kombinasi metoklopramid 10

mg+deksametason 8 mg dapat dipakai

sebagai alternatif selain granisetron 1 mg,

untuk mencegah mual muntah paska

laparatomi pada anestesi umum dengan

biaya yang relatif lebih rendah.

Pemberian obat antiemetik untuk

mencegah PONV hendaknya tetap harus

diikuti dengan pengelolaan pasien secara

multimodal untuk mengurangi risiko

terjadinya PONV .

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Nausea

and Vomiting. In: Clinical Anesthesiology. 4th

ed. New York : Lange Medical Books/Mc

Graw-Hill Companies, 2006: p 1004-8.

2. Wilks DH. Postoperative Nausea and

Vomiting. In : Decision Making in

Anesthesiology. 3th ed. Philadelphia : Mosby,

2000: p 596-7.

3. Gupta V, Wakloo R, Lahori VU, Mahajan

MK, Gupta SD. Propylactic Antiemetic

Therapy with Ondasetron, Granisetron and

Metoclopramide in Patiens Undergoing

Laparoscopic Cholecystectomy Under General

Anesthesia. The Internet Journal of

Anesthesiology, 2007.

4. Saeeda Islam. Post Operative Nausea and

Vomiting (PONV) : A Riview Article. Indian

Journal of Anesthesia, 2004 : p 253-8.

5. Ku CM, BC Ong. Postoperative Nausea and

Vomiting: a Review of Current Literature.

Department of Anaesthesia and Surgical

Intensive Care Singapore General Hospital

Outram Road Singapore, 2003: p 366-74.

6. Ting PH. Post-operative Nausea and Vomiting

(PONY) : An overview. 2004, Avaible from

URL :

wwvv.anesthesiologyinfo.com/articles/042520

4.php-27k.

7. Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D, Behrends

K, Rohrbach A, Krause U, et al. Prevention of

postoperative nausea and vomiting by

metoclopramide combined with

dexamethasone: randomised double blind

multicentre trial. British Medical Journal,

2006; 333: p 324-41.

8. Gan TJ, Meyer T, Apfel CC, Chung F, Davis

PJ, Eubanks S, et al. Concensus for Managing

Postoperative Nausea and Vomiting.

Anesthesia & Analgesia, 2003; 97: 62-71.

9. Tjay TH, Raharja K. Obat-obat Penting.

Jakarta : Gramedia, 2003: p 263-8.

10. Smith G, Aronson JK. Oxford Textbook of

Pharmacology and Drug Therapy. 2002; p

275-8.

11. Stoelting RK. Pharmacology and Phisiology in

Anesthetic Practice. 4th Ed. Philadelphia:

Lippincott Williams Wilkins, 2006; 444-8.

12. Dewoto HR, Louisa M. Serotonin dan Obat

Serotoninergik dan Obat Antiserotoninergik

dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2007 : p 288-98.

13. Kytril Injection. Avaible from URL :

http://www.rxlist.com/cgi/generic/ kytril-inj-

wcp.htm.H

14. Hanaoka K, Toyooka H, Kugimiya T, Ohashi.

Efficacy of Prophylactic Intravenous

Granisetron in Post Operative Emesis in

Adults. Journal Anaesthesia, 2004; 18: p 58-

65.

15. Dua N, Bhatnagar S, Mishra S, Singhal AK.

Granisetron and Ondansetron for Prevention of

Nausea and Vomiting in Patiens under going

Modified Radikal Mastektomi. Anaesthesia

Intensive Care, 2004; 32: 76-4.

16. Fujii Y, Tanaka H. Efficacy of Granisetron for

the Treatment of Post Operative Nausea and

Vomiting in Woman undergoing Breast

Surgery, 2006.

17. Janicki PK. A Meta Analysis of the Efficacy

and Safety of Granisetron 0,1 mg for Post

Operative Nausea and Vomiting. The Internet

Journal of Anesthesiology, 2007.

18. Mikawa K, Takao Y, Nishina K, Shiga M,

Maekawa M, Obara H. Optimal dose of

Granisetron for Prophylaksis against

Postoperative Emesis After Gynecological

Surgery. Department of Anesthesiology Kobe

University School of Medicine Japan.

Anesthesia & Analgesia, 2008; 100: 27-30.

19. Goodle F. Metoclopramide helps reduce

postoperative nausea and vomiting. British

Medical Journal, 2006; 333: p 100-1.

20. Wells BG, Dipiro JT, Shwinghammer TL,

Page 24: Jurnal Anestesiologi Indonesia

145

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

21. Hamilton CW. Pharmacotherapy. 5th Ed.

Philadelphia: McGraw-Hill, 2003, p 247-52.

22. Fujii Y, Nakayama M. Dexamethasone for

Reduction of Nausea, Vomiting and Analgesic

Use after Gynecological Laparascopy surgery.

International Journal of Gynecology and

Obstetrics, 2008; 100: p 27-30.

23. Jaafarpour M, Khani A, Dyrekvan A,

Khajavikhan J, Saadipour K. The Effect of

Dexamethason on Nausea, Vomiting and Pain

in Parturients undergoing Caesarean Delivery.

Journal of Clinical and Diagnostic Research,

2008; 2: p 854-8.

24. Lee Y, Lai H, Lin P, Huang S & Lin Y.

Dexamethasone Prevents Postoperative

Nausea and Vomiting more Effectively in

Woman with Morning Sickness. Canadian of

Journal Anesthesiology, 2003; 50: p 232-7.

25. Wang JJ, Ho ST, Liu HS, Ho CM.

Prophylactic Antiemetic Effect of

Dexamethasone in Women Undergoing

Ambulatory Laparoscopic Surgery. British

Journal of Anaesthesia, 2000; 84: p 459-62.

26. Huang J, Sheih J, Tang C, Tzeng J, Chu K &

Wang J. Low-dose Dexamethasone

Effectivelly Prevent Postoperative Nausea and

Vomiting after Ambulatory Laparoscopic

Surgery. Canadian of Journal Anesthesia,

2001; 48: p 973-7.

27. Kang KL, Hsu CC, Chia YY. The Effective-

dose of Dexamethasone for Antiemetic after

Mayor Gynecological Surgery. Anesthesia &

Analgesia, 1999; 89: p 1316.

28. Wang JJ, Ho ST, Tseng JI, Tang CS. The

Effect of Timing of Dexamethasone

Administration on its Efficacy as a

Prophylactic Antiemetic for Post Operative

Nausea and Vomiting. Anesthesia &

Analgesia, 2000; 91: p 136-9.

29. Habib AS, Gan TJ. Evidence-based

management of post operative nausea and

vomiting : a review. Canadian Journal of

Anesthesiology, 2004; 5: p 326-41.

30. Nesek AV, Grizelj SE, Rasic Z. Comparison of

Dexamethasone, Metoclopramide and Their

Combination in the Prevent of PONV after

Laparascopy Cholecystectomy. Department of

Anesthesiology Zagreb Croatia, 2007.

31. Prevention of Postoperative Nausea and

Vomiting by Metoclopramide Combined with

Dexamethasone: Randomized Double Blind

Multicentre Trial. The American College of

Obstetricians and Gynecologists, 2006; 108: p

1295.

32. Shora AN, Gurcoo SA, Farooqi AK, Qazi MS,

Mehraj-ud-Din. Comparative Evaluation of

Ondansetron used alone and in combination

with Dexamethasone in Prevention of Post

Operative Nausea and Vomiting. The Internet

Journal of Anesthesiology, 2008.

33. Maddali MM, Mathew J, Fahr J, Zarrough

AW. Postoperative nausea and vomiting in

diagnostics gynecological laparascopic

prosedures : comparison of the eficacy of the

combination of dexamethasone and

metoclopramide with that of dexamethasone

and ondansetron. J Postgrad Med, 2003; 49: p

302-6.

34. White PF, Sacan 0, Chamnong NN, Tiffany

Sun T, Matthew R. Eng MR. The Relationship

between Patient Risk Factors and Early Versus

Late Postoperative Emetic Symptoms.

Anaesthesia & Analgesia, 2008; 107: p 459-

63.

35. Sweeny BP. Why does smoking protect

against PONY?. British Journal of

Anaesthesia, 2002; 89: p 810-3.

36. Joo T, Kovac AL, Lubarsky DA, Philips BK.

PONV: Current Management Strategies. 2005.

Avaible from

http://cme.medscape.com/viewarticle/

522094_2.

37. Apfel CC, Kranke P, Katz MH, Goepfert C,

Papenfuss T, Rauch S, et al. Volatile

anaesthetics may be main cause of early but

not delaying vomiting : a randomized

controlled trial of factorial design. British

Journal Anesthesia, 2002; 88: p 659-68.

38. Schouneck R, Hergenroder JS, Eberhart LH.

Anaesthetic prosedures and use of antiemetics

in ambulatory anaesthesia. Anaesthesia

Intensive Med, 2002; 43: p 695-9.

39. Carlisle JB. Preventing postoperative nausea

and vomiting : prevention in context. British

Medical Journal, 2006; 333: p 448-9.

Page 25: Jurnal Anestesiologi Indonesia

146

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

PENELITIAN

Magnesium Sulfat Intravena, Derajat Nyeri dan Kebutuhan Opioid Pasca

Operasi

Husni Riadi Nasution*, Ery Leksana*, Doso Sutiyono*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: Over 70% of patients experiencing pain after surgery, and 80% of this patient

suffered severe pain for the Hospital care. The magnesium as NMDA antagonists in theory

can blokade the making process of central sensitization. Giving magnesium is expected to

reduce the degree of preoperative pain and opioid requirements after surgery.

Methods: This study was an experimental study post test only controlled randomized

design. Twenty -six patients underwent the elective oncology surgery using general

inhalation anesthesia in the hospital dr. Kariadi Semarang, met the inclusion and exclusion

criteria were divided into two group. Vital signs recorded pre surgery. MgSO4 group (I) were

given MgSO4 50 mg / kg in 250 ml saline before incision, the control group (II) were given

250 mL NaCl 0.9%. premedication midazolam 0.07 mg / kg iv, 10 mg iv metoclopramid,

sulfas atropine 0.01 mg / kg. induction tiopental 5 mg / kg, atrakurium 0.5 mg / kg, fentanyl 2

mcg / kg, then intubation. Maintenance of anesthesia N2O: O2 = 50%: 50%, enfluran 0.8% -

1.5%, atracurium intermittent. After the operation complete patient were extubated , and

observed in the recovery room. When pain scores or Visual Analog Scale (VAS) > 3 cm is

given meperidine 0.5 mg / kg iv. Vital signs recorded post-surgery, every 4 hours for 24

hours. In the ward were given analgesics meperidine 0.5 mg / kg if VAS > 3 cm. Total

meperidine requirement and the side effects occurred were recorded. Statistics Test for VAS

used T-Test, while the need for opioids used Mann-Whitney.

Result: The degree of pain and the needs of both groups significantly different (p>0,05)

Thinning MgSO4 administration significantly affected the degree of pain and opioid

requirements aftersurgery.

Conclusion: MgSO4 admission do not significant influence pain scale an opioid needs during

postoperative period.

Keywords: MgSO4, VAS, opioid, postoperative pain, NMDA antagonist.

Page 26: Jurnal Anestesiologi Indonesia

147

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

ABSTRAK

Latar belakang: Lebih dari 70% pasien paska operasi mengalami nyeri, dan 80% dari

pasien ini mengalami nyeri yang berat selama perawatan di rumah sakit. Magnesium yang

bersifat sebagai antagonis NMDA secara teori dapat meblokade proses sensitisasi sentral.

Pemberian magnesium preoperatif diharapkan dapat mengurangi derajat nyeri dan

kebutuhan opioid paska operasi.

Metode: merupakan jenis penelitian eksperimental randomized post test only controlled

group design. Dua puluh enam pasien yang menjalani operasi elektif bedah onkologi dengan

anestesi umum inhalasi di RS dr. Kariadi Semarang, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

dibagi dalam dua kelompok. Dicatat tanda vital pra bedah. Kelompok MgSO4 (I) diberi

MgSO4 50 mg/kgBB dalam NaCl 250 mL sebelum insisi, kelompok kontrol (II) diberi NaCl

0,9% 250 mL. Premedikasi dengan midazolam 0,07 mg/kgBB iv, metoclopramid 10 mg iv,

sulfas atropin 0,01 mg/kgBB. Induksi dengan Tiopental 5 mg/kgBB, atrakurium 0,5 mg/kgBB,

fentanil 2 mcg/kgBB, lalu dilakukan intubasi. Rumatan anestesi dengan N2O:O2=50%:50%,

enfluran 0,8% - 1,5%, atrakurium intermiten. Selesai operasi pasien diekstubasi, dilakukan

observasi di ruang pemulihan. Bila skor nyeri atau nilai Visual Analog Scale (VAS) > 3 cm

diberikan meperidin 0,5 mg/kgBB iv. Dicatat tanda vital paska bedah, setiap 4 jam selama

24 jam. Di bangsal diberi analgetik meperidin 0,5 mg/kgBB bila VAS > 3 cm. Dicatat jumlah

total kebutuhan meperidin. Efek samping yang terjadi dicatat. Uji statistik untuk VAS

digunakan T-Test, sedangkan kebutuhan opioid dengan Mann-Whitney.

Hasil: Derajat nyeri dan kebutuhan antara kedua kelompok berbeda tidak bermakna

(p>0,05)

Kesimpulan: pemberian MgSO4 tidak signifikan mempengaruhi derajat nyeri dan kebutuhan

opioid paska operasi.

Kata Kunci: MgSO4, VAS, opioid, derajat nyeri setelah operasi, antagonis NMDA

Page 27: Jurnal Anestesiologi Indonesia

148

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

LATAR BELAKANG

Intensitas dan frekuensi timbulnya nyeri

paska operasi tergantung sifatnya,

tempatnya, serta luasnya daerah operasi.1

Meskipun ada kemajuan dalam

pemahaman mekanisme nyeri, namun

pengelolaan nyeri paska operasi yang tidak

adekuat tetap menjadi pemikiran dan

merupakan hal penting yang harus

dipahami.1,2

Sebuah literatur mengindikasikan lebih

dari 70% pasien paska operasi mengalami

nyeri, dan 80% dari pasien ini merasakan

nyeri yang berat selama perawatan di

rumah sakit.1,3

Dilaporkan pada sebuah

studi terbaru, lebih kurang 70% pasien

tetap mengalami nyeri sedang dan berat

pada periode perioperatif.1,4

Selama pembedahan berlangsung, terjadi

kerusakan jaringan tubuh yang

menimbulkan stimulus noksius dan respon

inflamasi pada jaringan tersebut yang juga

bertanggung jawab terhadap munculnya

stimulus noksious. Kedua proses yang

terjadi selama dan paska pembedahan akan

mengakibatkan sensitisasi susunan saraf

sensorik.5,6

Sensitisasi yang terjadi paska operasi

selain akan menjadi sumber stres paska

operasi yang berimplikasi terhadap

teraktifasinya saraf otonom simpatis

dengan segala konsekuensinya, juga

merupakan sumber penderitaan paska

operasi. Oleh karena itu pengelolaan nyeri

paska operasi seyogyanya ditujukan ke

arah pencegahan atau meminimalkan

terjadinya proses sensitisasi perifer dan

sentral.5,6

Penatalaksanaan nyeri paska operasi yang

adekuat merupakan salah satu faktor

penting yang menentukan kapan pasien

dapat dipindahkan dari kamar operasi dan

faktor utama yang mempengaruhi

kemampuan pasien untuk menjalani hidup

dengan normal paska operasi.7,8

Opioid

telah lama digunakan sebagai analgetik

perioperatif. Namun penggunaan opioid

perioperatif yang berlebihan dapat

menimbulkan efek samping, antara lain

depresi pernapasan, mengantuk dan sedasi,

mual dan muntah, gatal-gatal, retensi

urine, ileus, dan konstipasi yang akan

mengakibatkan pasien lebih lama tinggal

di rumah sakit.7,9

Joint Commision on Accreditation of

Healthcare Organizations menyebutkan

penggunaan opioid yang berlebihan dapat

mengurangi kepuasan pasien.7 Oleh

karenanya seorang ahli anestesi harus lebih

meningkatkan lagi penggunaan teknik

analgesia non-opioid sebagai ajuvan

pengelolaan nyeri perioperatif untuk

mengurangi efek samping opioid.7

Teknik multimodal atau “balanced-

analgesic” dengan menggunakan dosis

kecil opioid dikombinasikan dengan non

opioid, seperti anestesi lokal, paracetamol,

NSAID, golongan NMDA (seperti

ketamin, dextromethorphan, magnesium)

semakin berkembang penggunaannya

untuk mencegah nyeri paska operasi.7,10

Magnesium (MgSO4) relatif mudah

diperoleh dan harganya murah. Sifatnya

sebagai antagonis reseptor NMDA

menjadi dasar pertimbangan

penggunaannya sebagai ajuvan analgetik

perioperatif.11-15

Antagonis reseptor

Page 28: Jurnal Anestesiologi Indonesia

149

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

NMDA akan menghambat sensitisasi

susunan saraf pusat karena proses

stimulasi nosisepsi di perifer, dan

meniadakan reaksi hipersensitifitas.11-16

Levaux et al. (2003) menggunakan

magnesium bolus 50 mg/kgBB pada

operasi tulang belakang lumbal,

menyimpulkan pemberian magnesium

efektif untuk mengurangi nyeri paska

operasi dan mengurangi kebutuhan opioid

paska operasi.17

McCartney et al. (2004) melakukan

evaluasi beberapa penelitian yang

menggunakan antagonis reseptor NMDA,

salah satunya adalah magnesium. Dari

empat penelitian yang dievaluasi dengan

menggunakan magnesium dengan dosis

bolus antara 29-50 mg/kgBB dan

semuanya dilanjutkan tambahan

magnesium intraoperatif melalui infus.

Dan hasil yang diperoleh disimpulkan

penggunaan magnesium tidak efektif

untuk mengurangi nyeri paska operasi.18

Christopher et al. (2007) melakukan

evaluasi beberapa penelitian yang

menggunakan magnesium sebagai ajuvan

analgetik perioperatif dan menyimpulkan

dari penelitian-penelitian tersebut tidak

memberikan hasil yang meyakinkan

mengenai keuntungan pemberian

magnesium untuk mengurangi nyeri paska

operasi dan kebutuhan analgetik

tambahan.19

Dan hasil penelitian yang ada dilaporkan

tidak didapatkan efek samping yang cukup

serius akibat dari pemberian magnesium

bolus hingga dosis 50 mg/kgBB

intravena.17-28

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimental dengan desain penelitian

―randomized post test only controlled

group design‖. Kelompok penelitian

dibagi menjadi dua kelompok sebagai

berikut : kelompok I mendapat MgSO4 50

mg/kgBB dalam 250 ml NaCl 0,9%

selama 15 menit segera sebelum induksi,

lalu kelompok II mendapat NaCl 0,9% 250

ml iv selama 15 menit segera sebelum

induksi.

Tempat penelitian adalah di Rumah Sakit

Umum Pusat dr. Kariadi Semarang. Waktu

penelitian selama 12 minggu. Kriteria

inklusi dari penelitian ini adalah : usia 14 –

65 tahun, status fisik ASA I – II, menjalani

operasi pada bedah onkologi, lama operasi

1 – 4 jam, tidak ada kontraindikasi obat

anestesi yang digunakan, serta bersedia

mengikuti penelitian. Disamping ini juga

ada beberapa kriteria ekslusi seperti :

alergi terhadap obat-obat penelitian,

diabetes, menderita kelainan neurologis,

AV Blok, penyakit hepar, ginjal,

menggunakan obat golongan Ca-Channel

Blocker, dan keadaan hipermagnesemia.

Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah

populasi, maka dalam penelitian ini

pemilihan sampel dilakukan dengan

consecutive random sampling, dimana

setiap penderita yang memenuhi kriteria

yang telah disebutkan diatas dimasukkan

dalam sampel penelitian sampai jumlah

yang diperlukan terpenuhi.

Page 29: Jurnal Anestesiologi Indonesia

150

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

HASIL

Setelah disetujui oleh komite

―CLEARANCE‖ Etika Medik Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro dan

Divisi Diklit RSUP dr. Kariadi Semarang,

penelitian segera dilaksanakan. Subyek

penelitian ini pasien yang menjalani

operasi elektif di bidang bedah onkologi

dengan anestesia umum di Instalasi Bedah

Sentral Rumah Sakit dr. Kariadi

Semarang. Jumlah subyek penelitian 26

orang pasien status fisik ASA I, yang

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 13 orang

pasien kelompok perlakuan mendapat

MgSO4 50 mg/kgBB dalam 250 mL NaCl

0,9% dan 13 orang kelompok kontrol yang

mendapat 250 mL NaCl 0,9%.

Tabel 1. Data Demografi Pasien

kelompok Kelompok p

variabel MgSO4 Kontrol

(n=13) (n=13)

Umur (tahun) 38,92±10,67 44,0±6,32 0,1471

Berat Badan 55,85±9,81 58,77±9,56 0,4491

Jenis Kelamin

Laki - laki 2 (15,4%) 5 (28,5%)

Perempuan 11 (84,6%) 8 (61,5%) 0,336

2

Jenis Operasi

(n dan %)

Eksisi 4 (30,8%) 4 (30,8%)

Mastektomi 3 (23,1%) 1 (7,7%) 0,687

2

Ismobektomi 3 (23,1%) 4 (30,8%)

Wide Eksisi 2 (15,4%) 3 (23,1%)

Adenetomi 0 1 (7,7%)

Total

Tiroidektomi 1 (7,7%) 0

Ket : 1 = Independent t-test

2 = Mann-Whitney test

Nilai dinyatakan sebagai rerata +/- simpangan baku,

kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p>0,05)

p<0,05 = ada perbedaan bermakna

p>0,05 = perbedaan tidak bermakna

Tabel 2. Tanda Vital Preoperatif

kelompok Kelompok P

variabel MgSO4 Kontrol

(n=13) (n=13)

Tekanan

Darah

Sistolik 130,00±16,30 44,0±6,32 0,196

Tekanan

Darah

Diastolik 81,85±12,30 58,77±9,56 0,0751

Tekanan

Arteri

Rerata 99,00±14,35 91,31±9,89 0,1251

Denyut

Jantung 90,00±9,56 89,31±14,01 0,8841

Laju

Nafas 19,38±1,26 18,77±1,01 0,1532

Ket : 1 = Independent t-test

2 = Mann-Whitney test

Nilai dinyatakan sebagai rerata +/- simpangan

baku, kedua kelompok berbeda tidak bermakna

(p>0,05)

Subyek penelitian terdiri dari 7 laki-laki

dan 19 perempuan. Pada kelompok

MgSO4 subyek laki-laki sejumlah 2 dan

perempuan sejumlah 11, sedangkan pada

kelompok kontrol subyek laki-laki ada 5

dan perempuan ada 8 pasien. Rerata

kelompok umur MgSO4 adalah 38,92

tahun (+/-10,67) sedangkan kelompok

Page 30: Jurnal Anestesiologi Indonesia

151

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

kontrol 44,08 tahun (+/- 6,32). Selisih

umur ini tidak menyebabkan perbedaan

yang bermakna antara kedua kelompok

(p=0,147).

Data berat badan pasien stelah diuji beda

tidak menunjukkan adanya perbedaan

yang bermakna antara kedua kelompok

(p=0,449).

PEMBAHASAN

Pengelolaan nyeri paska operasi saat ini

didasari oleh pendekatan multimodal, dan

meskipun opioid tetap merupakan obat

terpilih, penggunaannya sering

dikombinasikan dengan golongan

analgetik lain seperti parasetamol,

inhibitor siklooksigenase (COX-inhibitor),

atau NSAID. Dan juga dapat

dikombinasikan dengan ko-analgesik atau

ajuvan seperti klonidin dan antagonis

NMDA (ketamin, atau MgSO4).17

kombinasi yang rasional bertujuan untuk

mendapatkan efek sinergistik dari masing-

masing obat analgetik, atau antara

analgetik dengan ajuvan.

Pada penelitian ini, MgSO4 diberikan

intravena dengan dosis bolus 50 mg/kgBB

dalam larutan NaCL 250 mL tanpa

dilanjutkan dengan pemberian tambahan

melalui infus. Levaux et al (2002) dan

Usmani et al (2007) menggunakan dosis

bolus 50 mg/kgBB untuk menghindari

efek samping yang tidak diinginkan.17,28

Sedangkan dosis yang lebih rendah dari

50 mg/kgBB dilaporkan tidak

memperbaiki kualitas analgesia paska

operasi.17,25

Dan pemberian MgSO4 hanya

sebelum operasi dimulai, berdasarkan

pemikiran bahwa antagonis NMDA

seharusnya diberikan sebelum simulasi

nosisepsi timbul agar dapat menghambat

proses sensitisasi sentral.17,26

Didapatkan rerata nilai VAS antara

kelompok MgSO4 dengan kontrol terdapat

perbedaan pada 16, 20, 24 jam paska

operasi. Namun secara keseluruhan nilai

VAS mulai dari saat pemulihan hingga 24

jam paska operasi antara kedua kelompok

secara statistik menunjukkan perbedaan

yang tidak bermakna (p>0,05). Hasil ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Tramer et al (2007), pada pemberian

MgSO4 dosis tunggal 4 gram intravena

tidak mempengaruhi derajat nyeri paska

operasi.22

Hasil ini berbeda dengan Levaux

et al (2002), dimana nilai VAS antara

kelompok MgSO4 dengan kelompok

kontrol terdapat perbedaan yang

signifikan.17

Hal ini mungkin dipengaruhi

karena adanya perbedaan waktu lamanya

pemberian bolus MgSO4. Pada penelitian

ini MgSO4 diberikan dalam waktu 15

menit, sedangkan Levaux memberikannya

dalam 30 menit. Adanya perbedaan lama

waktu pemberian ini diduga menjadi

penyebab perbedaan hasil yang diperoleh.

Waktu 15 menit diduga tidak mencukupi

untuk MgSO4 mencapai efek yang

maksimal.

Attygalle dkk (1997) melaporkan

pemberian MgSO4 bolus 5 gram intravena

yang dilanjutkan dengan pemberian

melalui infus 2-3 gram/jam diperlukan

untuk mempertahankan efek terapi

magnesium antara 2-4 mmol/L.40

Sedangkan pada penelitian ini didapatkan

kadar magnesium serum rata-rata paska

operasi 1,22 mmol/L.

Page 31: Jurnal Anestesiologi Indonesia

152

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Kebutuhan opioid paska operasi antara

kelompok MgSO4 dengan kelompok

kontrol juga menunjukkan perbedaan yang

tidak bermakna. Rata-rata jumlah opioid

yang diberikan dalam 24 jam sama antara

kelompok MgSO4 dengan kelompok

kontrol, yakni 50 +/- 0,00 (p>0,05). Ko et

al (2001) juga melaporkan pemberian

magnesium tidak mengurangi kebutuhan

analgetik paska operasi. Kemudian

pemberian opioid pada saat induksi pada

kedua kelompok bertujuan untuk

mencegah gejolak hemodinamik akibat

intubasi. Opioid juga dapat memblokade

sensitisasi sentral. Namun opioid

disebutkan dapat mengurangi sensitivitas

reseptor NMDA terhadap magnesium

melalui mekanisme fosforilasi C-protein

kinase.40

Hipotensi (TDS>70 mmHg) akibat

pemberian MgSO4 dilaporkan oleh Levaux

et al (2002) atau Tramer et al (2007).

Hipotensi ini timbul karena vasodilatasi

pembuluh darah akibat blokade kanal

kalsium oleh MgSO4.17,22

Pada penelitian

ini tidak didapatkan hipotensi. Penggantian

cairan selama puasa yang diberikan

sebelum perlakuan mungkin

mempengaruhi kejadian hipotensi akibat

pemberian MgSO4. Perubahan

hemodinamik dan respirasi pada penelitian

ini tidak menunjukkan perbedaan yang

bermakna antara kelompok MgSO4 dan

kelompok kontrol.

SIMPULAN

Pemberian MgSO4 dosis bolus 50

mg/kgBB selama 15 menit tidak signifikan

mempengaruhi derajat nyeri (nilai VAS)

pada pasien paska operasi. Kemudian

pemberian MgSO4 dosis bolus 50

mg/kgBB selama 15 menit tidak signifikan

mempengaruhi kebutuhan opioid paska

operasi.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

untuk mendapatkan waktu yang efektif

dalam pemberian MgSO4 sebagai ajuvan

analgesia. Kemudian juga perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut terhadap antagonis

reseptor NMDA lain, baik sebagai obat

tunggal maupun kombinasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Srinivas P,Gan JT. Perioperatif Pain

Management. CNS Drug 2007, 21 (3): 186-

211.

2. Dollin SJ, Cashman JN, Bland JM.

Effectiveness of acute postoperative pain

management : I Evidence from published data.

Br J Anaesth 2002 Sept ; 89 (3): 409-23.

3. Warfield CAMD, Khan CHMD. Acute pain

management: programs in U.S. hospitals and

experiences and attitude among U.S. adults.

Anesthesiology 1995 Nov ; 83 (5): 1090-4.

4. Apfelbaum JL, Chen C, Mehta SS.

Postoperative pain experiences: results from a

national survey suggest postoperative pain

continues to be undermanaged. Anesth Analog

2003 ; 97 (2): 534-40.

5. Tanra H. Nyeri Paska Bedah Implikasi

Sensitisasi Perifer dan Sentral. Symposium

Pain Management Annual Meeting of

Obstetric Anesthesia 2004: 195-199.

6. Cousin MJ. Post Operative Pain: Implication

of Peripheral and Central Sensitization. Papers

WFSA Distance Learning. Cited at

http://www.wfsa.ox.ac.uk.

7. White PF. The Changing Role of Non-Opioid

Analgesic Techniques in The Management of

Postoperative Pain. Anesth Analog 2005; 101:

S5-S22.

8. Chung F, Ritchie E, Su J. Postoperative Pain in

Ambulatory Surgery. Anesth Analg 1997; 85:

808-16.

9. White PF. The Role of Non-Opioid Analgesic

Techniques in the Management of Pain After

Ambulatory Surgery. Anesth Analg 2002; 94:

577-85.

10. Pierre B. Non-Opioid Strategies for Acute Pain

Management. Can J Anesth 2007; 54: 481-85.

11. White PF. The Changing Role of Non-Opioid

Analgesic Techniques in The Management of

Page 32: Jurnal Anestesiologi Indonesia

153

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Postoperative Pain. Anesth Analg 2005; 101:

S5-S22.

12. James MF. Clinical Use of Magnesium in

Anesthesia. Anesth Analg 1992; 74(6): 129-36.

13. Fawcett FJ, Haxby AJ, Male DA. Magnesium:

Physiology and Pharmacology. BrJ Anesth

1999; 83(2): 302-20.

14. Hollman MW, Liu HT, Liu WH, Hoenemann

CW, Durieux ME. Modulation of NMDA

Receptor Function by Ketamine and

Magnesium: Part I. Anesth Analg 2001; 92:

1173-1181.

15. Laurent D, Jean CG. The Therapeutic Use of

Magnesium in Anesthesiology, Intensive Care

and Emergency Medicine. Can J of Anesth

2003; 50: 732-46.

16. Andrei BP, Tomohiro Y, Hiroshi B, Koki S.

The Role of N-Methyl-D-Aspartate (NMDA)

Receptors in Pain: A Review. Anesth Analg

2003; 97: 1108-16.

17. Levaux C, Bonhomme V, Dewandre PY,

Brichant JF, Hans P. Effect of Intraoperative

Magnesium Sulphate on Pain Relief and

Patient Comfort After Mayor Lumbar

Orthopaedic Surgery. Anesthesia 2003; 58:

131-35.

18. McCartney CJ, Sinha A, Katz J. A Qualitative

Systemic Review of The Role of N-Methyl-D-

Aspartate Receptor Antagonist in Preventive

Analgesia. Anesth Analg 2004: 98: 1385-400.

19. Christopher L, Lionel D, Christopher C,

Martin RT. Magnesium as an Adjuvant to

Postoperative Analgesia: A Systemic Review

of Randomized Trials. Anesth Analg 2007;

104: 1532-39.

20. Stubner SS, Wettmann G, Hahn, Rossaint R.

Magnesium as Part of Balanced General

Anesthesia with Propofol, Remifentanyl and

Mivacurium: a Double Blind, Randomized

Prospective Study in 50 Patients. Eropean J of

Anesthesiology 2000; 18(11); 723-29.

21. Seyhan TO, Tugrul M, Sungur MO. Effect

Pain Relief in Gynaecological Surgery. Br J

Anesth 2006; 96: 247-52.

22. Tramer MR, Glynn CJ. An Evaluation Single

Dose of Magnesium to Supplement Analgesia

after Ambulatory Surgery: Randomized

Controlled Trial. Anesth Analg 2007 Jun;

104(6): 1374.

23. Tramer MR, Schneider J, Marti RA, Rifat K.

Role of Magnesium Sulphate in Postoperative

Analgesia. Anesthesiology 1996; 84: 340-7.

24. Koinig H, Wallner T, Marhofer P, Magnesium

Sulphate Reduces Intra and Postoperative

Analgesic Requirements. Anesthesia and

Analgesia 1998; 87: 206-10.

25. Wilder-Smith CH, Knopfli R, Wilder-Smith

OH. Perioperative Magnesium Infusion and

Postoperative Pain. Acta Anesthesiologica

Scandinavica 1997; 41: 1023-7.

26. Seong-Hoon K, Hye-Rin L, Dong-Chan K,

Magnesium Sulphate does not Reduces

Postoperative Analgesic Requierments.

Anesthesiology 2001; 95: 640-6.

27. Bhatia A, Kashyap L. Pawar DK, Trikha A.

Effect of Intraoperative Magnesium Infussion

on Perioperative Analgesia in Open

Cholecystectomy. J Clin Anesth 2004; 16:

262-5.

28. Usmani H, Quadir A, Alam M, Rohtagi A,

Ahmed. Evaluation of Perioperative

Magnesium Sulphate Infussion on

Postoperative Pain and Analgesic

Requierments in Patients Undergoing Upper

Abdominal Surgery. J Anesth Clin

Pharmacology 2007; 23(3): 255-58.

29. Blumstein HA, Moore D. Visual Analog Pain

Scores do not Define Desire for Analgesia in

Patient with Acute Pain. Acad Emerg Med

2003; 10: 3: 211-214.

30. Bodian CA, Gordon F, Saberra H, Eisenkraft

JB, Yaakov B. The Visual Analog Scale for

Pain: Clinical Significance in Postoperative

Patients. Anesthesiology 2001; 95: 1356-61.

31. Cousin MJ, Power I, Smith G. 1996 Labat

Lecture: Pain a Persistent problem. Reg.

Anesth and Pain Med. 2000; 25(1): 6-21.

32. Perkowski SZ. Understanding and Controlling

Postoperative Pain. Cited at

http://www.vetmedpub.com

33. Nelson DL. Neuroanatomy of Pain. Cited at

http://www.postoperative.co

34. Woolf CJ, Costigan M. Transcriptional and

Posttranslational Plasticity and The Generation

of Inflammatory Pain. Proc. Natl. Acad. Sci.

Vol 96: 7723-30. 1999.

35. Song SO, Carr DB. Pain and Memory. Pain

Clinical Updates, Vol VII(1). IASP. 1999.

36. Woolf CJ, Chong MS. Pre-emtptive Analgesia,

Treating Postoperative Pain by Preventing The

Establishment of Central Sensitization. Anesth

Analg 1993; 77: 362 – 74.

37. Wulf H, Schug SA, Alvin R. Postoperative

Pain Management; How Can We Make

Progress? In Acute Pain. 1998; 1(4): 32-44.

38. David BB. NMDA Reeptor Blockade: From

The Laboratory to Clinical Application.

Anesth Analg. 2009; 91: 1042-1093.

39. Allan G, Smith DS. New Concepts in Acute

Pain Therapy : Preemptive Analgesia.

American Family Physician. 2001; 63(10):

1979-84.

40. Sina G, Martin RT. Do We Need Preemptive

Analgesia for the Treatment of Postoperative

Pain? Best Practical Clinical Anesthesiology

2007; 21(1): 51-63

Page 33: Jurnal Anestesiologi Indonesia

154

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

PENELITIAN

Lama Analgesia Lidokain 2% 80 mg Dibandingkan Kombinasi Lidokain 2% dan

Epinefrin pada Blok Subarakhnoid

Rezka Dian Trisnanto*, Uripno Budiono*, Widya Istanto Nurcahyo*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: Subarachnoid block using isobaric lidocaine, has been applied on many

variable clinic surgeries. In the country, lidocaine 2% 80 mg is preferable because of its cost

The disadvantage of using lidocaine 2% 80 cc is short duration, 45 - 60 minutes, despite

many surgeries take more than 1 hour, despite many surgeries take more than 1 hour.

Objective: to prove whether addition of epinephrine 0.02 mg on subarachnoiod block with

lidocaine 2% 80 cc able to make longer time of analgesia.

Methods: It is a experimental study with quota sampling design on the 52 patients, which are

undergoing surgery. In the room, blood pressure (BP), heart rate (HR), respiratory rate (RR)

were measured. All of the patients were fasting 6 hour and no premedications. In the Central

Operating Theatre / COT ("Instalasi Bedah Sentral / IBS") vein access 18 G was inserted and

colloid 7.5 cc/KgBW given as preload. The patients were divided randomly into 2 groups,

lidocaine group and lidocaine - epinephrine group. Motoric block evaluation was performed

on the same time with level of analgesia evaluation by using Bromage's criteria. Blood

pressure, MAP, heart rate, respiratory rate were measured before and after subarachnoid

block, in the first 10 minutes of surgery, measurement every minute, 20th

minute and every 10

minute, 20th

minute and then every 10 minute until there was no motoric block.

Uncooperative patient and who need additional analgesia during surgery, was excluded.

Using Mann - Whitney and p < 0.05. Data were gathered in tables.

Results: There was no difference for patients characteristics and surgery distribution among

2 groups. Regression time of 2 segments on the lidocaine -epinephrine group was longer

significantly than iidocaine group (p = 0.000). The onset of sensoric block on lidocaine was

shorter significantly than lidocaine -epinephrine group (p = 0.025). Duration of motoric

block on lidocaine -epinephrine group was longer significantly than lidocaine group (p =

0.000). There was no significant difference on maximal level in two groups. There was no

difference significantly on BP, MAP, HR after preload. There was difference significantly on

HR at 1st and 2

nd during subarachnoid block given between two group. Side effect

distribution had difference significantly.

Conclusion: Regression time of 2 segments on iidocaine - epinephrine group was longer

significantly than lidocaine group.

Keywords : subarachnoid block, lidocaine 2% 80 mg, epinephrine 0.02 mg

Page 34: Jurnal Anestesiologi Indonesia

155

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

ABSTRAK

Latar belakang: Blok subarakhnoid menggunakan lidokain isobarik, banyak digunakan pada

operas! untuk pasien dengan berbagai kondisi klinik. Di daerah banyak digunakan lidokain

2% 80 mg dikarenakan harganya yang relatif murah. Kerugian dari penggunaan lidokain

2% 80 mg adalah durasi yang singkat, yaitu antara 45 - 60 menit, padahal banyak tindakan

pembedahan yang durasinya lebih dari 1 jam.

Tujuan: Membuktikan apakah penambahan epinefrin 0,02 mg pada blok subarakhnoid

dengan lidokain 2% 80 mg dapat memperpanjang lama analgesia.

Metode : Merupakan penelitian eksperimental dengan desain quota sampling pada 52 pasien

yang menjalani operasi di daerah region abdominal dengan blok subarakhnoid. Saat di

ruangan dilakukan pengukuran tekanan darah, laju jantung, dan laju nafas. Semua penderita

dipuasakan 6 jam dan tidak diberikan obat premedikasi. Penilaian blok motorik dilakukan

pada saat yang sama dengan penilaian level analgesi dengan menggunakan criteria dari

Bromage. Penilaian tekanan darah, TAR, laju jantung dan laju nafas dilakukan sebelum dan

sesudah blok subarakhnoid selama 10 menit pertama pembedahan dilakukan tiap menit,

menit ke 15,20 selanjutnya setiap 10 menit sampai hilangnya blok motorik. Pasien tidak

kooperatif dan membutuhkan analgetik tambahan selama pembedahan dikeluarkan dari

penelitian. Uji statistik menggunakan Mann - Whitney dan derajat kemaknaan p < 0,05.

Penyajian data dalam bentuk tabel.

Hasil: Karakteristik penderita dan distribusi operasi antara kedua kelompok tidak berbeda.

Waktu regresi dua segmen kelompok lidokain - epinefrin lebih lama dibandingkan kelompok

lidokain (p=0,000). Mula kerja blok sensorik kelompok lidokain lebih cepat dibandingkan

dengan kelompok lidokain - epinefrin (pK),002). Mula kerja blok motorik kelompok lidokain

lebih cepat dibandingkan dengan kelompok lidokain - epinefrin (/7=:0,025). Lama kerja blok

motorik kelompok lidokain - epinefrin lebih panjang dibandingkan dengan kelompok lidokain

(p=0,000). Level maksimal blok sensorik tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua

kelompok. TDS, TDD, TAR, laju nafas pada keadaan hemodinamik setelah preload tidak

terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pada laju jantung terdapat perbedaan

bermakna antara kedua kelompok (p=0,013). TDS, TDD, TAR, laju nafas selama blok

subarakhnoid tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Laju jantung

terdapat perbedaan bermakna pada menit pertama dan menit kedua selama blok

subarakhnoid pada kedua kelompok. Distribusi efek samping terdapat perbedaan bermakna

antara

Kesimpulan: Waktu regresi 2 segmen kelompok lidokain - epinefrin lebih lama secara

bermakna dibandingkan kelompok lidokain.

Kata kunci: Blok subarakhnoid, lidokain 2% 80 mg, epinefrin 0,02 mg.

Page 35: Jurnal Anestesiologi Indonesia

156

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

PENDAHULUAN

Blok subarakhnoid dengan obat anestesi

lokal digunakan untuk analgesia

pembedahan perut bagian bawah,

ekstremitas bagian bawah dan daerah

perineum.1

Rumah Sakit Dokter Kariadi (RSDK)

Semarang sebagai salah satu rumah sakit

pusat rujukan yang melayani pasien

peserta Asuransi Kesehatan (Askes)

Umum maupun Askes Keluarga Miskin

(Askeskin) harus mengacu pada peraturan-

peraturan yang ditetapkan oleh PT. Askes.

Menurut Formularium Rumah Sakit

Program Askeskin Tahun 2007 yang

dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan

Republik Indonesia Nomor :

417/MENKES/SK/IV/2007, lidokain 2% 2

ml merupakan satu-satunya obat anestesi

lokal yang digunakan untuk blok

subarakhnoid.2

Salah satu kekurangan dari lidokain adalah

lama analgesia (duration of action) yang

berkisar antara 60 - 75 menit, sehingga

hanya cocok untuk pembedahan yang

durasinya singkat, sehingga perlu

diupayakan usaha untuk memperpanjang

lama analgesia, antara lain dengan

memberikan penambahan epinefrin,

klonidin, opioid (morfin, petidin dan

fentanyl) pada obat tersebut. Dimana

epinefrin, klonidin, opioid yang terdapat

didalam Formularium Rumah Sakit

Program Askeskin Tahun 2007.2

Epinefrin sudah lama dikombinasi dengan

obat anestesi lokal untuk memperpanjang

lama analgesi.1,3,8

Preparat kombinasi

lidokain dan epinefrin yang selama ini

sudah tersedia adalah lidokain 2% 2 ml (40

mg)+epinefrin 1 : 80.000 (lidokain cum

epinefrin).

Penelitian-penelitian penggunaan lidokain

dan epinefrin telah banyak dilakukan

dengan hasil yang berbeda-beda,

diantaranya Chambers dengan Lidokain 75

mg+Epinefrin 0,1 mg hasilnya bermakna,9

Spivey Lidokain 62,5 mg + Epinefrin 1 :

160.000 hasilnya tidak bermakna.10

Penambahan epinefrin selama ini aman,

karena lidokain bersifat vasodilatasi

sementara epinefrin bersifat vasokonstriksi

(antagonis fisiologis). Sehingga tidak akan

terjadi gejala sisa berupa defisit neurologis

akibat iskemi pada medula spinalis.10

Untuk itu akan diteliti, apakah terdapat

perbedaan lama analgesi blok

subarakhnoid dengan menggunakan

lidokain 2% 80 mg dibandingkan dengan

lidokain 2% 80 mg cum epinefrin 1 :

160.000. Di RSDK penelitian lama

analgesi dengan menggunakan lidokain

dan epinefrin belum pernah dilakukan.

Tujuan dari penelitian ini adalah

membuktikan bahwa lidokain 2% 80 mg

cum epinefrin 1 : 160.000 dapat

memperpanjang lama analgesia blok

subarakhnoid.

METODE

Jenis penelitian ini termasuk eksperimental

berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan

secara acak tersamar ganda dengan tujuan

untuk mengetahui efikasi penambahan

epinefrin 1 : 160.000 pada blok

subarakhnoid dengan lidokain 2 % x 80

mg terhadap lama analgesia.

Page 36: Jurnal Anestesiologi Indonesia

157

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Populasi penelitian adalah semua penderita

yang akan menjalani pembedahan elektif

yang memungkinkan digunakan teknik

anestesi blok subarakhnoid di RS. dr.

Kariadi Semarang.

Cara pemilihan sampel dilakukan dengan

cara Quota Sampling terhadap semua

penderita yang dipersiapkan untuk operasi

elektif, dimana semua penderita yang

memenuhi kriteria dimasukkan dalam

sampel sampai jumlah yang diperlukan

terpenuhi dan bersedia menjadi

sukarelawan.

Kriteria inklusi penelitian adalah

pembedahan elektif regio abdomen dengan

blok subarachnoid, usia 20-65 tahun,

ASA I-II, berat badan 50-60 kg, tinggi

badan 150-170 cm, bersedia sebagai

sukarelawan, lama operasi diperkirakan

sekitar 1 jam. Sedangkan kriteria eksklusi

yaitu pasien tidak kooperatif, pasien

membutuhkan analgetik tambahan selama

pembedahan,terdapat kontra indikasi untuk

dilakukan blok subarakhnoid, posisi pasien

tidak dengan posisi kepala lebih rendah

(head down/trendelenburg position)

selama / pada saat pembedahan.

HASIL

Telah dilakukan penelitian terhadap 52

orang penderita yang dibagi menjadi 2

kelompok, yaitu kelompok A (kontrol) 26

orang penderita yang mendapat blok

subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg

dan kelompok B (perlakuan) yang

mendapat blok subarakhnoid dengan

lidokain 2% 80 mg ditambahepinefrin 1 :

160.000.

Uji statistik disini untuk membandingkan 2

kelompok. Untuk data nominal yang

meliputi variabel tingkat pendidikan, status

ASA, jenis operasi, jenis kelamin dan efek

samping menggunakan uji t. Untuk data

numerik yang meliputi variabel umur,

tinggi badan, berat badan, tekanan darah

sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan

arteri rata-rata, laju jantung, laju nafas,

blok sensorik, blok motorik, dan lama

analgesi menggunakan uji Mann-Whitney.

Untuk karakteristik penderita dan

distribusi operasi antara kedua kelompok

tidak berbeda. Waktu regresi dua segmen

pada kelompok lidokain-epinefrin lebih

lama secara bermakna dibandingkan

kelompok lidokain (p=0,000). Mula kerja

blok sensorik pada kelompok lidokain

lebih cepat secara bermakna dibandingkan

dengan kelompok lidokain-epinefrin

(p=0,002). Mula kerja blok motorik pada

kelompok lidokain lebih cepat secara

bermakna dibandingkan dengan kelompok

lidokain - epinefrin (p=0,025). Lama kerja

blok motorik pada kelompok lidokain -

epinefrin lebih cepat secara bermakna

dibandingkan dengan kelompok lidokain

(p=0,000). Level maksimal blok sensorik

tidak terdapat perbedaan bermakna pada

kedua kelompok. IDS, TDD, TAR, laju

nafas pada keadaan hemodinamik setelah

preload tidak terdapat perbedaan

bermakna pada kedua kelompok. Pada laju

jantung terdapat perbedaan bermakna

antara kedua kelompok (p=0,013). IDS,

TDD, TAR, laju nafas selama blok

subarakhnoid tidak terdapat perbedaan

bermakna pada kedua kelompok. Laju

jantung terdapat perbedaan bermakna pada

menit pertama dan menit kedua selama

blok subarakhnoid pada kedua kelompok

Page 37: Jurnal Anestesiologi Indonesia

158

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

penelitian. Distribusi efek samping

terdapat perbedaan bermakna antara kedua

kelompok (p=0,025).

PEMBAHASAN

Analgesi yang timbul pada pemberian obat

anestesi lokal pada blok oid melalui

mekanisme masuknya ion natrium dari

ekstrasel ke intrasel spesific sodium

channel (SSC) sehingga tidak terjadi

potensial aksi. epinefrin dipakai sebagai

penambah anestesi lokal pada blok

subarakhnoid untuk memperpanjang lama

analgesia. Efek epinefrin pada medula

spinalis karena epinefrin menstimulasi

adrenoceptor alpha di cornu dorsalis

medula spinalis sehingga menimbulkan

efek antinosiseptif, yang terjadi melalui

descending inhibitory pathway dimana ini

berperan dalam modulasi proses sensorik.

Penambahan epinefrin pada lidokain akan

memperpanjang durasi sampai dengan

50%. Tetapi, epinefrin tidak mempunyai

efek signifikan bila ditambahkan pada

bupivakain, dikarenakan ikatan protein

bupivakain lebih lemah dibandingkan

ikatan protein lidokain. Jadi efek yang

didapat bervariasi dan pergantung pada

macam obat anestetik lokal yang dipakai.

Pada penelitian ini tidak terdapat

perbedaan bermakna tentang karakteristik

penderita dan distribusi operasi antara

kelompok lidokain dengan kelompok

lidokain-epinefrin. Terdapat perbedaan

bermakna antara mula kerja blok sensorik

kelompok lidokain (3,250±0,6677 menit)

dibandingkan dengan kelompok lidokai-

epinefrin (3,82310,6617 menit). Juga

didapatkan perbedaan bermakna antara

mula kerja blok motorik kelompok

lidokain (3,625±0,3952/ menit)

dibandingkan dengan kelompok lidokain -

epinefrin (3,961 ±0,6232 menit). Pada

lama kerja blok motorik didapatkan

perbedaan bermakna antara kelompok

lidokain (59,58±5,707 menit)

dibandingkan dengan kelompok lidokain-

epinefrin (74,92+7,397 menit).

Waktu regresi 2 segmen pada kelompok

lidokain-epinefrin (77,08±9,740 menit)

lebih lama secara bermakna dibandingkan

dengan kelompok lidokain (61,38+5,315

menit). Pada level maksimal blok sensorik

tidak didapatkan perbedaan bermakna

antara kelompok lidokain (6,8110,849)

dengan kelompok lidokain-epinefrin

(7,12±0,952). Hasil penelitian ini

menunjukkan TDS, TDD, TAR, laju nafas

pada keadaan hemodinamik setelah

preload tidak terdapat perbedaan

bermakna pada kedua kelompok. Pada laju

jantung terdapat perbedaan bermakna

antara kedua kelompok, dimana kelompok

lidokain (81,85±3,414) dan kelompok

lidokain-epinefrin (83,96±4,162).

Penelitian ini menunjukkan TDS, TDD,

TAR, laju nafas selama blok subarakhnoid

tidak terdapat perbedaan bermakna pada

kedua kelompok. Laju jantung terdapat

perbedaan bermakna pada menit pertama

dan menit kedua selama blok subarakhnoid

pada kedua kelompok penelitiaan.

Oleh karena adanya efek vasokonstriktor

dari epinefrin, maka terjadi penurunan

absorpsi dan akan meningkatkan neuronal

uptake, dimana meningkatkan pula

kualitas analgesia, memperpanjang durasi

dan mengurangi efek samping lidokain

Page 38: Jurnal Anestesiologi Indonesia

159

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

yang bersifat blok simpatis seperti

bradikardi dan hipotensi. Gejala awal dari

kejadian hipotensi salah satunya adalah

mual sampai dengan muntah. Oleh karena

itu pada penambahan epinefrin akan

mengurangi efek samping berupa fluktuasi

hemodinamik selama terjadinya blok

subarakhnoid.

SIMPULAN

Penambahan epinefrin 1 : 160.000 pada

blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80

mg memperpanjang lama analgesia

(74,92±7,397 menit), penambahan

epinefrin 1 : 160.000 pada blok

subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg

dapat mengurangi kejadian bradikardi,

hipotensi yang merupakan salah satu efek

samping dari blok subarakhnoid.

Penambahan epinefrin 1 : 160.000 pada

blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80

mg merupakan salah satu alternatif untuk

memperpanjang lama analgesia. Perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut dengan

jumlah sampel yang lebih banyak dan

dengan dosis yang berbeda - beda.

DAFTAR PUSTAKA

1. Atkinson Rs, Rushman GB, Lee JA.

Spinal analgesia : intradural ; Extradural

in : Atkinson Rs, Rushman GB, Lee JA>

ed. Synopsis of Anaesthesia. 10th ed.

Singapore : PG Publishing, 1988 : 662-3.

2. Departemen Kesehatan RI. Formularium

rumah sakit program askeskin. Pedoman

buku pedoman pelaksanaan jaminan

pemeliharaan kesehatan masyarakat

miskin (Askeskin). Depkes RI, 2007 :2 -

13.

3. Veering B. Local Anesthetics. In : Brown

DL, ed. Regional anesthesia and analgesia.

Philadelphia: WB Saunders Company,

1996 : 188 - 97.

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.

Local anesthetics. In : Morgan GE,

Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical

anesthesiology, 3rd

ed. New York :

McGraw-Hill; 2002; 233-41.

5. Stocking RK, Hillier SC. Local

anesthetics. In : Stoelting RK, Hillier SC,

eds. Pharmacology & physiology in

anesthetic practice, 4th ed. Philadelphia :

Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 ;

179-207.

6. Me Donald JS, Mandalfino DA.

Subarachnoid blok. In : Bonica JJ,

McDonald Jsl Principles and Practice

Analgesia and Anesthesia. 2nd. Balltimore

: Williams & Wilkins, 1995 : 471. Morgan

GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds.

Clinical anesthesiology, 3rd

ed. New York

: McGraw-Hill ; 2002; 253-82.

7. Brown DL. Spinal, epidural and caudal

anesthesia. In : Miller RD, ed. Miller's

anesthesia. 6th

. Pennsylvania : Elsevier -

Curchill Livingstone, 2005 :1661-2.

8. Stevens RA. Neuraxial blocks. In : Brown

DL, ed. Regional anesthesia and analgesia.

Philadelphia : WB Saunders Company,

1996 .319 -56.

9. Chambers WA, Littlewood DG, Logan

MR and Scott DB.Effect of added

epinefrin on spinal anesthesia, with

lidocaine, Anesth. Analg. 1981 : 60 :417-

20.

10. Spivey DL. Epinefrine does not prolong

lidocaine spinal anesthesia in term

parturients Anesthi. Analgesia 1985.

Page 39: Jurnal Anestesiologi Indonesia

160

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

TINJAUAN PUSTAKA

Ventilasi Satu Paru

Aditya Kisara*, Hari Hendriarto Satoto*, Johan Arifin*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

One lung ventilation is to provide mechanical ventilation in a selected one of the lungs and

block the airway of the other lung. One lung ventilation is indicated to improve surgical

access, protects lung ventilation and intensive care. During one lung ventilation, mixing of

oxygenated blood that is not the collapse of the lung with oxygenated blood from the

dependent lung terventilasi widen PA-a O2 gradient.

In vitro studies showed that inhalation anesthetic agents directly reduce the action of hypoxic

pulmonary vasocontriction and theoretically lead to increased blood flow to the lungs is not

ventilated thereby increasing pulmonary shunt and PaO2 became decrease and often cause

hipoksemi. Three techniques are performed: (1) placement of a double lumen bronchial

tubes, (2) the use of a single lumen tracheal tube in his contact with the bronchial inhibitor,

or (3) the use of single lumen bronchial tubes. High tidal volume used to maintain arterial

oxygenation decrease in tidal volume, combined with the use of positive end-expiratory

pressure (PEEP), can minimize the occurrence of parenchymal injury.

ABSTRAK

Ventilasi satu paru adalah memberikan ventilasi mekanik pada salah satu paru yang dipilih

dan menghalangi jalan napas dari paru lainnya. Ventilasi satu paru diindikasikan untuk

meningkatkan akses bedah, melindungi paru dan perawatan intensif ventilasi. Selama

ventilasi satu paru, percampuran darah yang tidak teroksigenasi dari paru atas yang kolaps

dengan darah teroksigenasi dari paru dependen yang terventilasi memperlebar gradien O2

PA-a.

Penelitian secara in vitro memperlihatkan bahwa agen anestesi inhalasi secara langsung

mereduksi aksi dari hypoxic pulmonar vasocontriction dan secara teori menyebabkan

meningkatnya aliran darah ke paru yang tidak terventilasi sehingga meningkatkan shunt

pulmoner dan akhirnya PaO2 menjadi turun dan sering menyebabkan hipoksemi. Tiga teknik

yang dilakukan: (1) penempatan sebuah tabung bronkial lumen ganda, (2) penggunaan

tabung trakeal lumen tunggal pada penghubungnya dengan penghambat bronkial, atau (3)

penggunaan lumen tunggal tabung bronkial. Volume tidal yang tinggi digunakan untuk

mempertahankan oksigenasi arteri Penurunan volume tidal, dikombinasi dengan

penggunaan akhir ekspirasi tekanan positif (PEEP), dapat meminimalkan terjadinya cedera

parenkim.

Page 40: Jurnal Anestesiologi Indonesia

161

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

PENDAHULUAN

Pembedahan thoraks menghadirkan satu

set masalah fisiologis untuk ahli anestesi

yang membutuhkan pertimbangan khusus.

Hal ini termasuk pengaturan kembali

keadaan fisiologi seorang pasien dengan

membaringkan pasien pada salah satu sisi

lebih rendah (posisi lateral dekubitus),

membuka dada (open pneumothoraks), dan

terkadang ventilasi satu paru.

Selama ventilasi satu paru, salah satu paru

sengaja tidak diventilasi. Volume tidal

diberikan ke salah satu paru yang

diventilasi. Teknik ini membuat operator

mudah melihat infra struktur intra thorak

sehingga memberikan kondisi yang

optimal untuk pembedahan.

Namun, prosedur ini telah

dikaitkan dengan penurunan oksigen arteri,

terutama pada pasien dengan

riwayat penyakit paru-paru. Hal ini

di karenakan tehnik ini menyebabkan

berkurangnya luas permukaan alveli yang

digunakan untuk pertukaran gas

dan menyebabkan hilangnya

regulasi otonom pernapasan yang normal.

Oleh karena itu, mempertahankan kadar

oksigen yang cukup dan eliminasi

karbondioksida adalah tantangan terbesar

dalam pengelolaan ventilasi satu paru-

paru. Pengelolaan ventilasi satu-paru terus

menjadi tantangan dalam praktek

Definisi

Ventilasi satu paru adalah memberikan

ventilasi mekanik pada salah satu paru

yang dipilih dan menghalangi jalan napas

dari paru lainnya. Hal ini bertujuan untuk

memberikan kondisi yang optimal

sehingga mempermudah pembedahan.1,2

Indikasi

1.Meningkatkan akses bedah.1,2

Hal ini membuat ahli bedah jauh lebih

mudah untuk melakukan operasi paru-

paru, atau operasi gaster dan esofagus.

Dengan teknik ventilasi satu paru akan

membuat reseksi tumor lebih mudah

dilakukan. Beberapa operasi lain juga

pasti membutuhkan teknik ventilasi satu

paru, misalnya : operasi thoracoscopic.

2.Perlindungan paru- paru.1,2

Tehnik satu paru dapat berguna untuk

melindungi paru-paru yang sehat terhadap

kontaminasi darah atau abces dari paru –

paru yang sakit selama operasi.

3.Perawatan Intensif ventilasi.1,2

Diperlukan jika pasien memiliki

penyakit paru-paru tunggal sehingga paru-

paru yang normal tidak mendapatkan

tekanan yang tinggi yang mungkin

diperlukan untuk paru-paru yang sakit. Hal

ini dapat dilakukan dengan menggunakan

dua ventilator, misal pada perawatan

setelah transplantasi satu paru.

Patofisiologi ventilasi satu paru

Kolaps paru yang disengaja pada sisi

pembedahan memudahkan prosedur

operasi namun dengan manajemen anestesi

yang sulit. Karena paru yang kolaps harus

tetap diperfusi dan sengaja tidak

diventilasi, maka akan terjadi shunt

intrapulmoner kanan-ke-kiri (20%-30%).

Selama ventilasi satu paru, percampuran

darah yang tidak teroksigenasi dari paru

atas yang kolaps dengan darah

Page 41: Jurnal Anestesiologi Indonesia

162

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

teroksigenasi dari paru dependen yang

terventilasi memperlebar gradien O2 PA-a

(alveolar-ke-arterial) dan sering

menyebabkan hipoksemi. Untungnya,

aliran darah ke paru yang tidak terventilasi

menurun akibat hipoxia pulmonal

vasoconstrictrion (HPV) dan kompresi

pembedahan pada paru atas.1,2,3

Faktor-faktor yang diketahui menghambat

HPV dan hal yang memperburuk shunt

kanan-ke-kiri termasuk (1) tekanan arteri

pulmonel yang sangat tinggi atau sangat

rendah; (2) hipokapnia; (3) PO2 vena yang

tinggi atau sangat rendah; (4) vasodilatator

seperti nitrogliserin, nitroprusid, agonis β-

adrenergik (termasuk dobutamin dan

salbutamol), dan calsium channel blocker;

(5) infeksi pulmoner; dan (6) anestesi

inhalasi.1,3,4

Faktor-faktor yang menurunkan aliran

darah terhadap paru yang berventilasi bisa

terganggu; mereka membalik efek HPV

dengan meningkatkan aliran darah secara

tidak langsung terhadap paru yang kolaps.

Faktor-faktor tersebut diantaranya (1)

tekanan jalan nafas rata-rata yang tinggi

pada paru terventilasi karena high positive

end-expiratory pressure (PEEP),

hiperventilasi, atau tekanan puncak

inspirasi yang tinggi; (2) FIO2 rendah,

yang menghasilkan vasokonstriksi

pulmoner hipoksia pada paru yang

terventilasi; (3) vasokonstriktor yang

memiliki efek besar terhadap pembuluh

darah normal dibandingkan terhadap yang

hipoksia; dan (4) PEEP intrinsik yang

timbul akibat waktu ekspirasi

inadekuat.1,3,4

Eliminasi CO2 biasanya tidak disebabkan

oleh ventilasi satu paru sehingga ventilasi

tiap menit tidak berubah dan retensi CO2

yang sudah ada sebelumnya tidak tampak

ketika kedua paru berventilasi; tegangan

CO2 arterial biasanya tidak mengalami

perubahan yang cukup besar.3,4

Efek Anestesi pada Ventilasi Satu Paru

Penelitian secara in vitro memperlihatkan

bahwa agen anestesi inhalasi secara

langsung mereduksi aksi dari hypoxic

pulmonar vasocontriction dan secara teori

menyebabkan meningkatnya aliran darah

ke paru yang tidak terventilasi sehingga

meningkatkan shunt pulmoner dan

akhirnya PaO2 menjadi turun.Bjertnaer

dan kawan-kawan menggunakan

scintigraphy skin untuk menganalisis

efek dari eter, halotan, thiopental dan

fentanil pada HPV dan dipastikan

bahwa eter dan halotan, bila digunakan

dalam konsentrasi klinis dapat

menghambat HPV, sedangkan

agen intravena (thiopental dan fentanil)

tidak menghambat. Baru-baru ini, Groh

dan kawan- kawan menyelidiki pengaruh

isofluran pada vasokonstriksi hipoksia

dengan mengukur aliran darah

paru kelinci. Isofluran menyebabkan

meningkatnya perfusi pada paru yang tidak

terventilasi dengan cara menghambat

terjadinya HPV.5,6

Efek propofol pada PaO2, fraksi shunt,

perfusi paru dan output jantung telah

dianalisis dibandingkan dengan efek agen

anestesi inhalasi yang telah dipelajari

sebelumnya, dan hasil penelitian

menunjukkan bahwa nilai PaO2,

perfusi paru-paru dan cardiac output lebih

Page 42: Jurnal Anestesiologi Indonesia

163

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

tinggi ketika propofol digunakan, dan

bahwa fraksi shunt secara signifikan lebih

rendah dibandingkan dengan memakai

agen inhalasi.5,7

Gambar 1. kurva compliance paru-paru7

Penggunaan obat pelumpuh otot akan

menyebabkan menurunnya kapasitas

residu fungsional (FRC) dikarenakan

lumpuhnya otot diafragma. Gambar 1

menunjukkan komplians paru-paru saat

pasien sadar dan pasien yang dibius.

Ketika pasien dibius, paru-paru bagian atas

bergerak ke posisi yang lebih rendah

seperti posisi paru- paru dependen pada

pasien sadar. dan paru-paru bagian bawah

bergerak ke bawah kurva melewati titik

belok. Paru-paru non-dependent menjadi

lebih mudah untuk diventilasi dari paru-

paru dependent. Ketika dada dibuka, paru-

paru atas menjadi lebih mudah untuk

diventilasi karena tidak ada pembatasan

oleh dinding dada. Suplai darah masih

sangat ditentukan oleh gravitasi. V / Q

mismatch sekarang terjadi. Hal ini akan

menjadi lebih buruk ketika paru-paru atas

telah kolaps karena tidak ada ventilasi

pada paru-paru tersebut namun masih

didapatkan perfusi pada paru tersebut.

Namun tubuh memiliki mekanisme

perlindungan yang mengalihkan aliran

darah pada paru-paru yang kolaps menuju

paru-paru yang berventilasi.5,7,8

Mekanisme perlindungan ini yang terjadi

ketika kadar PO2 alveolar 4-8 kPa.

Mekanisme ini dapat dihambat sampai

batas tertentu oleh vasodilator, termasuk

semua gas anestesi dan agen

induksi. Namun telah terbukti bahwa HPV

tidak dihambat oleh nilai MAC kurang

dari 1%. Satu MAC dari isoflurane hanya

menghambat HPV sebesar 20% sehingga

tidak menjadi masalah besar secara klinis

dan tidak ada alasan untuk tidak

menggunakan agen inhalasi.

Penyakit paru itu sendiri mungkin telah

mengubah fisiologi paru-paru. Sebuah

tumor besar sudah dapat menghalangi

ventilasi dan sehingga kolapsnya paru

tidak menyebabkan berkurangnya

oksigenasi pasien.7,8

Teknik Ventilasi Satu Paru

Ventilasi satu paru dapat digunakan untuk

mengisolasi atau untuk memudahkan

pengelolaan ventilasi pada keadaan

tertentu. Tiga teknik yang dilakukan: (1)

penempatan sebuah tabung bronkial lumen

ganda, (2) penggunaan tabung trakeal

lumen tunggal pada penghubungnya

dengan penghambat bronkial, atau (3)

penggunaan lumen tunggal tabung

bronkial. Tabung lumen ganda adalah

yang sering digunakan.8,9

Pertimbangan Anatomis

Trakea orang dewasa panjangnya berkisar

11-13 cm. Dimulai dari kartilago cricoid

(C6) hingga bifurkasio di belakang sendi

sternomanubrium (T5). Perbedaan utama

Page 43: Jurnal Anestesiologi Indonesia

164

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

antara bronkus utama kanan dan kiri

adalah sebagai berikut: (1) bronkus kanan

lebih lebar menyimpang jauh dari trakea

dengan sudut 250, sedangkan bronkus kiri

menyimpang dengan sudut 45 (2) bronkus

kanan memiliki tiga cabang yaitu cabang

lobus atas, tengah dan bawah, sedangkan

bronkus kiri hanya dibagi menjadi cabang

lobus atas dan bawah, dan (3) orificium

bronkus lobus kanan atas ira-kira 1-2,5 cm

dari karina, sedangkan lobus kiri atas

adalah sekitar 5 cm dari karina.

Gambar 2. Anatomi trakeo bronchial

ET Bronchial Lumen Ganda

Keuntungan dasar dari tabung bronkial

lumen ganda ini adalah relatif lebih mudah

ditempatkan, dan kemampuannya untuk

memberi ventilasi salah satu atau kedua

paru, dan kemampuannya dalam

menghisap salah satu atau kedua paru.

Tabel 1. jenis – jenis tabung lumen ganda

Nama Intubasi

bronkus

Kait

carina

Bentuk

lumen

Carlens Kiri Ya Oval

White Kanan Ya Oval

Robert

Shaw

Kanan atau

kiri

Tidak Bentuk D

Semua tabung bronkial lumen ganda

memiliki karakteristik sama sebagai

berikut:

Sebuah lumen bronkial panjang yang bisa

memasuki baik bronkus utama kanan

maupun kiri dan lumen trakea pendek

lainnya pada trakea bawah

Sebuah lekukan lunak yang memudahkan

jalan masuk ke dalam setiap bronkus

Sebuah cuff bronkial

Sebuah trakeal cuff

Ventilasi dapat diberikan pada satu paru

saja dengan cara menjepitkan lumen trakea

atau bronkus dengan cuff yang sudah

dikembangkan; pembukaan port dari

konektornya menyebabkan paru ipsilateral

kolaps. Akibat perbedaan anatomi bronkus

pada kedua sisi, maka tabung didesain

khusus untuk bronkus kanan atau kiri.

Tabung lumen ganda yang sering

digunakan adalah tipe Robert-Shaw.

Terdapat uuran 35, 37, 39 dan 41 F

(diameter internal sekitar 5.0, 5.5, 6.0, dan

6,5 mm). Sebuah tabung 39F digunakan

umumnya untuk pria sedangkan 37F untuk

kebanyakan wanita. Tabung bronkial sisi

kanan harus memiliki celah untuk

memberi ventilasi lobus kanan atas .

Variasi anatomis antara satu individu

Page 44: Jurnal Anestesiologi Indonesia

165

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

dengan yang lain dalam hal jarak antara

karina kanan dengan orifisium lobus kanan

sering menyebabkan kesulitan dalam

memberi ventilasi lobus tersebut dengan

tabung sisi-kanan. Tabung sisi-kanan

didesain untuk thorakotomi kiri,

sedangkan tabung sisi kiri didesain untuk

thorakotomi sisi kanan. Kebanyakan ahli

anestesi, menggunakan tabung sisi kiri

tanpa memperhatikan sisi yang akan

dioperasi.; untuk operasi pada sisi kiri,

tabung bisa ditarik ke dalam trakea

sebelum diklem ke bronkus kiri, bila perlu.

Gambar 3. Letak ET double lumen9

ET Lumen Tunggal dengan sebuah

Penghambat Bronkial

Penghambat bronchial adalah alat yang

dapat digelembungkan yang mengelilingi

atau melalui tabung tracheal lumen tunggal

untuk menutup orificium bronchial. Tuba

trakeal dengan sebuah tambahan kanal di

sampingnya untuk menghambat bronchial

yang dapat beretraksi, dijual secara

komersial (tuba univent; vitaid; Lewiston,

NY). Tuba tersebut diberikan penghambat

yang beretraksi penuh; kurva alaminya

seperti itu yang memutar tuba dengan

kurva konkav ke kanan yang secara khusus

mengarahkan penghambat bronkus ke

bronkus kanan. Dengan memutar tuba

dengan kurva konkav ke kiri biasanya

mengarahkan penghambat ke bronkus kiri.

Penghambat bronchial harus di masukkan,

diposisikan, dan dikembangkan dengan

pengamatan langsung melalui suatu

bronkoskop yang fleksibel.

Gambar 4. ET lumen tunggal dengan penghambat

bronchial

3.ET Bronkial Lumen Tunggal

Tuba bronchial lumen tunggal saat ini

jarang digunakan. Tuba Gordon-Green

merupakan sebuah lumen tunggal sisi

Page 45: Jurnal Anestesiologi Indonesia

166

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

kanan yang dapat digunakan untuk

torakotomi kiri; tuba ini memiliki cuff

trakeal dan bronchial seperti hook karina.

Mengembangnya cuff bronchial

mengisolasi dan menyebabkan ventilasi

hanya pada paru kanan. Bila cuff bronchial

dikempiskan dan cuff trakeal

dikembangkan, kedua paru dapat

diventilasi. Suatu celah yang jauh lebih

besar pada cuff bronchial (dibandingkan

dengan tuba lumen ganda sisi kanan)

menyebabkan nilai keberhasilan yang

tinggi untuk membuka ventilasi lubus

superior dekstra. Kerugian yang utama

dari tuba Gordon-Green adalah merusak

hook karina dan ketidakmampuan

menghisap paru kiri. Biasanya, tuba

trakeal lumen tunggal yang tidak dipotong

digunakan sebagai tuba bronchial pada

situasi emergensi (perdarahan pulmo

unilateral). Tuba biasanya dapat di

masukkan secara buta ke bronkus kanan

bila sumber perdarahannya adalah paru

kiri; sayangnya, lobus superior dekstra

tidak dapat diventilasi . Memasukkan tuba

secara buta ke bronkus kiri lebih sulit

(memasukkan tuba yang memiliki

konveksitas di posterior sambil memutar

kepala ke kanan) dan seharusnya dipandu

dengan bronkoskopi, bila memungkinkan.

Pelaksanaan teknik ventilasi satu paru

Selama ventilasi satu paru,

direkomendasikan bahwa paru dependent

diventilasi dengan volume tidal (VT) yang

mirip dengan yang digunakan saat

ventilasi kedua paru-paru. Volume tidal

yang tinggi digunakan untuk

mempertahankan oksigenasi arteri . Katz

et al, telah menunjukkan bahwa tingkat

volume tidal (VT) 8 sampai 15 ml/ kg

tidak secara signifikan mempengaruhi baik

shunt paru atau PaO2. Peneliti lain

melaporkan bahwa tingkat volume tidal (

VT ) kurang dari 8ml/kg menghasilkan

penurunan kapasitas fungsional residu,

sehingga menyebabkan atelektasis pada

paru-paru dependen sehingga

menyebabkan gangguan pertukaran gas.10

Namun perlu diperhatikan tentang efek

buruk pemberian volume tidal tinggi pada

pasien yang menjalani ventilasi satu paru.

Penelitian terbaru telah menunjukkan

bahwa penggunaan ventilasi mekanis saja

sudah dapat dapat memulai atau

memperburuk cedera paru. Volume tidal

tinggi mungkin dapat mengembangkan

alveoli secara normal atau mencederai

alveoli, sehingga menyebabkan cedera

langsung ke parenkim paru-paru.

Konsekuensi utama dari pemberian

volume tidal yang tinggi adalah cedera

seluler disebabkan oleh hyperdistension

alveoli yang mengakibatkan rupture

membran alveolar-kapiler, perubahan

fungsi sel, keluarnya sel-sel proinflamasi

sitokin, perubahan transportasi ion dan

penurunan sekresi surfaktan. Meskipun

sebagian besar pasien yang menjalani

ventilasi satu paru tidak memiliki riwayat

penyakit paru-paru, pemberian volume

tidal yang tinggi dapat menyebabkan

parenkim paru cedera.10

Penurunan volume tidal, dikombinasi

dengan penggunaan akhir ekspirasi

tekanan positif (PEEP), dapat

meminimalkan perubahan ini .Selain

penggunaan Volume tidal tinggi,

digunakan FiO2 sebesar 1,0 untuk

menjaga oksigen arteri. Konsentrasi

oksigen akan menyebabkan vasodilatasi di

Page 46: Jurnal Anestesiologi Indonesia

167

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

paru-paru dependen, sehingga

meningkatkan kapasitas untuk

mengakomodasi aliran darah yang berasal

dari paru-paru nondependent. Capan et

al.menunjukkan bahwa penggunaan FiO2

sebesar 1,0 mengakibatkan shunt fraksi

dari 25% sampai 30% dan nilai PaO2

antara150 mmHg dan 210 mmHg selama

ventilasi satu paru Baru-baru ini, bahwa

terdapat perbedaan peningkatan oksigen

alveolar arterial, terlepas dari Bardoczky et

al, menganalisa efek dari pemberian

konsentrasi oksigen yang berbeda

dikombinasikan dengan posisi pasien di

dorsal decubitus atau lateral dekubitus dan

menyimpulkan nilai-nilai FiO2 yang

digunakan. Namun, dengan FiO2 sebesar

1,0, terjadi penurunan PaO2 yang lebih

kecil dan karena itu tidak menyebabkan

hipoksemia. Perlu dicatat bahwa

penurunan PaO2 lebih besar terjadi pada

pasien dalam posisi dorsal dekubitus

dibandingkan pada posisi dekubitus lateral

.10

Tetapi disisi lain FiO2 tinggi dapat

menyebabkan beberapa komplikasi, seperti

penyerapan atelektasis, perubahan dalam

kapasitas vital, respiratory rate, pH, PaO2

dan kapasitas difusi karbon monoksida di

paru. Hal ini akan menyebabkan

peningkatan fraksi shunt .Selama ventilasi

satu paru, terutama ketika dalam posisi

dekubitus lateral, fungsional kapasitas

residual paru-paru dependen berkurang

karena faktor yang berhubungan dengan

induksi umum anestesi, seperti kompresi

isi perut dan mediastinum.9,10

Pemakaian PEEP ke paru-paru dependen

mencegah kolaps alveolar dan

meningkatkan kapasitas fungsional residu,

sehingga meningkatkan ratio ventilation

perfusion dan komplians paru-paru

.Namun, keberhasilan PEEP tergantung

pada tingkat yang digunakan PEEP tingkat

tinggi mungkin memiliki efek merusak

pada oksigenasi arteri. Hal ini disebabkan

kompresi dari intra-alveolar kapiler yang

disebabkan oleh peningkatan volume paru,

sehingga resistensi pembuluh darah paru

meningkat dan curah jantung

menurun.8,9,10

Ada banyak kontroversi dalam literature

tentang keuntungan menggunakan PEEP

dalam mengendalikan PaO2 selama

ventilasi satu paru. Cohen et

al. menunjukkan bahwa penerapan tingkat

PEEP dari 10 cmH2O untuk pasien dengan

PaO2 rendah meningkatkan kapasitas

fungsional residu, sehingga mengurangi

resistensi vaskular paru, meningkatkan

rasio ventilasi-perfusi dan meningkatkan

PaO2. Di sisi lain, Capan

dkk. memberikan bukti oksigenasi yang

tidak membaik dalam penggunaan PEEP .

Baru-baru ini, Inomata dkk..memberikan

penjelasan untuk mengenai administrasi

PEEP selama ventilasi satu paru. Mereka

memastikan bahwa ada peningkatan

resistensi jalan napas dan, sebagai

hasilnya, pada pasien akan timbul auto-

PEEP. Pada pasien yang tidak memiliki

riwayat penyakit paru- paru

sebelumnya,didapatkan nilai oksigenasi

arteri, shunt fraksi dan denyut jantung

yang memuaskan saat digunakan tingkat

PEEP yang sama dengan tingkat auto-

PEEP pasien. Oleh karena itu, dalam

rangka untuk menerapkan tingkat PEEP

yang ideal, direkomendasikan untuk

menentukan tingkat auto-PEEP.8,10

Page 47: Jurnal Anestesiologi Indonesia

168

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

DAFTAR PUSTAKA 1. Helena F,Walter A, Physiopathology and

Clinical Management of One

Ventilation.[home page on the internet]. c2004

[cited 2011 nov 20]. Avalaible from:

http://www.scielo.br/pdf/jbpneu/v30n6/en_a12

v30n6.pdf

2. Blieux PD, Ali J, Summer WR, Levitzky MG,

editors. Respiratory failure :Pulmonary

pathophysiology. 2th edition. New Orleans:

The McGraw Hill companies. 2005; p. 232-48.

3. Kozian T,Fredu F,Maripu E,et.al, One lung

Ventilation Induces hypoperfusion and

alveolar damage in ventilated lung: an

experimental study.[Home page on the

Internet]. c2008 [cited 2011 Nov 20] Avalaible

from:

http://www.anestesiologiafsfb.com/subreunion

es/onelung/Hypoxemia

4. Hoftman N,Canales C, Leduc M, Mahgu A,

Positive end expiratory during one lung

ventilation: an selecting ideal patients and

ventilator setting with the aim of improving

arterial oxygenation. [Home page on Internet].

c2011 [cited 2011 Nov 20].

Avalaible from:

http://www.annals.in/article.asp?issn=0971-

9784;

5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,

Anaesthesia for thoracotomy. In: Clinical

anesthesiology. 4th ed. New York: Mc Graw-

Hill companies, 2006

6. Meredith LF, Body SC, Physiology of one

lung ventilation. [Home page on the Internet].

c1997 [cited 2011 Nov 20]. Avalaible from:

http://scv.sagepub.com/content/1/3/236

7. Slinger P, Management of one lung

ventilation. [Home page on the internet].

c2011[cited 2011 Nov 21]. Avalaible from:

http://www.thoracic-anesthesia.com/?p=21

8. Miller RD, Ericcson L, et.al. Anesthesia for

thoracic Surgery. In :Miller’s anaesthesia. 7th

ed, New York ,2011.

9. KarzaiW,Scharkopz, Hipoxia during One lung

ventilation: predicting ,prevention, and

treatment, anesthesiology. [Home page on

internet].c2009 [cited 2011 Nov 2001].

Avalaible

from:http://journals.lww.com/anesthesiology/F

ulltext/2009

10. Brodsky JB, Approaches to hypoxemia during

single lung ventilation, Anaesthesiology. [

Home page on internet]. c2009 [cited 2011

Nov 21]. Avalaible from:

http://www.scielo.br/pdf/jbpneu/v30n6/en_a12

v30n6.pdf

Page 48: Jurnal Anestesiologi Indonesia

169

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

TINJAUAN PUSTAKA

Ventilasi Mekanik Noninvasif

Dicky Hartawan*, Danu Soesilowati*, Uripno Budiono*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Mechanical ventilation can be invasive and noninvasive manner. Noninvasive ventilation as

an alternative to avoid the risks posed to the use of invasive ventilation, reducing the costand

length of treatment in intensive care. Noninvasive ventilation is divided into two negative

pressure ventilation and positivepressure ventilation. Noninvasive positivepressure

ventilation requires the interface such as a facemask, nasal shield, mouthpieces, nasal pillow

and helmet. Ventilators are used to control a ventilator volume, pressure, BiPAP and CPAP

ABSTRAK

Ventilasi mekanis dapat diberikan dengan cara invasif maupun noninvasif. Ventilasi

noninvasif menjadi alternatif karena dapat menghindari risiko yang ditimbulkan pada

penggunaan ventilasi invasif, mengurangi biaya dan lama perawatan di ruang intensif.

Ventilasi noninvasif terbagi 2 yaitu ventilasi tekanan negatif dan ventilasi tekanan positif.

Ventilasi noninvasif tekanan positif memerlukan alat penghubung seperti sungkup muka,

sungkup nasal, keping mulut, nasal pillow dan helmet. Ventilator yang digunakan dapat

berupa ventilator kontrol volume, tekanan, BIPAP dan CPAP.

PENDAHULUAN

Ventilasi noninvasif merupakan teknik

ventilasi mekanis tanpa menggunakan pipa

trakea (endotracheal tube) pada jalan

napas. Sejarah pemakaian ventilasi

noninvasif dimulai pada tahun 1930-an

dengan teknik negative pressure

ventilation (NPV) berupa body ventilator.

John Dalziel pada tahun 1938

memperkenalkan bodyventilator dalam

bentuk tank type untuk penderita polio

yang terdiri atas ruang padat berisi udara

dengan posisi penderita duduk didalamnya

tetapi kepala di luar.1,2

Philip Drinker

mengembangkan bentuk body ventilator

lain dengan kekuatan listrikyang disebut

iron lung pada tahun 1928. Rocking bed

dikembangkan oleh Wright pada tahun

1940 saat terjadi epidemi polio.

Intermittent abdominal pressure respirator

atau lebih dikenal dengan pneumobelt

ditemukan pada tahun 1950 dengan alat ini

mulai dikenal metode noninvasive positive

pressure ventilation (NPPV) yang

digunakan secara intermiten atau terus-

menerus.2-5

Page 49: Jurnal Anestesiologi Indonesia

170

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Penggunaan ventilasi mekanis invasif

mempunyai efektivitas yang berbeda

dengan ventilasi noninvasif. Tindakan

intubasi trakea pada ventilasi invasif

memiliki risiko komplikasi yang lebih

besar seperti cidera jalan napas atas,

paralisis pitasuara, stenosis trakea,

tracheomalacia, sinusitis dan ventilator

associated pneumonia (VAP). Dewasa ini

penggunaan ventilasi noninvasif semakin

berkembang dan membuat penderita

merasa lebih aman, nyaman, biaya

perawatan lebih murah serta waktu

perawatan lebih singkat dibandingkan

pemakaian ventilasi invasif.5 Indikasi

ventilasi noninvasif adalah penyakit paru

kronik yang berat, hipoventilasi nokturnal

yang berhubungan dengan disfungsi saraf

otot, gagal napas akut seperti keadaan

eksaserbasi penderita penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK), gagal napas

hipoksemik akibat acute respiratory

distress syndrome (ARDS), pneumonia

pada pasien dengan atau tanpa

immunocompromised, trauma, edemaparu

kardiogenik dan penderita yang sulit

dilakukan penyapihan (weaning) dari

ventilasi invasif. Keberhasilan ventilasi

noninvasif ditentukan oleh pemilihan dan

pemakaian alat penghubung (interface),

tenaga kesehatan terlatih dan pengawasan

yang baik.3,4,6

Pemahaman mengenai

ventilasi noninvasif diperlukan mengingat

penggunaan dan manfaatnya yang semakin

berkembang pada saat ini.

FUNGSI PARU SEBAGAI SISTEM

RESPIRASI

Respirasi yang berlangsung terus-menerus

selama 24 jam merupakan proses yang

diatur oleh sistem terdiri atas sensor, pusat

dan efektor napas. Sensor napas membawa

input aferen ke pusat napas di medula

oblongata. Dua jenis sensor napas yaitu

mekanoreseptor berada di paru sedangkan

kemoreseptor terdapat di sentral dan

perifer berupa badan aorta (aortic body)

dan karotis (carotid body). Keduanya

memberikan respons terhadap perubahan

tekanan parsial oksigen (PaO2),

karbondioksida (PaCO2) dan pH. Pusat

napas akan memberikan perintah keefektor

napas yaitu otot napas, diafragma dan otot

bantu napas.7

Proses masuknya oksigen (O2) ke dalam

tubuh dan keluarnya karbondioksida(CO2)

dari dalam tubuh terjadi akibat kerja

mekanis otot bantu napas, perubahan

tekanan intrapleura dan intrapulmoner.

Saat inspirasi diafragma turun dan iga

terangkat akibat kontraksi muskulus

sternokleidomastoideus, interkostalis

eksternus, serratus, skalenus sehingga

volume rongga toraks membesar.

Peningkatan volume ini menyebabkan

tekanan intrapleura menurun menjadi lebih

negatif dari -4 mmHg menjadi -8 mmHg

dan tekanan intrapulmoner dari 0 mmHg

menjadi -2 mmHg, tekanan alveolar juga

menjadi lebih rendah (-1 mmHg) daripada

tekanan atmosfir (0mmHg). Perbedaan

tekanan intrapleura dan tekanan

intrapulmoner menyebabkan udara masuk

ke alveoli.8 Saat ekspirasi otot mengalami

relaksasi, volume rongga toraks menurun

sehingga tekanan intrapleura kembali

menjadi kurang negatif (-4mmHg), volume

alveolar menurun karena daya rekoil

alveolar, tekanan alveolar kembali naik

menyamai tekanan atmosfir dan udara

keluar alveoli.8 Proses masukdan

keluarnya udara ke jalan napas disebut

Page 50: Jurnal Anestesiologi Indonesia

171

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

ventilasi. Peningkatan PaCO2, penurunan

pH dan PaO2 akan merangsang

kemoreseptor di pusat napas untuk

meningkatkan ventilasi. Ventilasi yang

tidak berjalan normal memerlukan bantuan

berupa ventilasi invasif maupun

noninvasif. Ventilator adalah alat yang

mampumengambil alih proses pertukaran

gas di paru saat ventilasi tidak berlangsung

normal.7,8

VENTILASI MEKANIK

NONINVASIF

Penggunaan ventilasi mekanik invasif

memerlukan tindakan intubasi endotrakea

atau trakeostomi pada keadaan gagal napas

akut mengancam jiwa. Efektivitas ventilasi

invasif lebih tinggi daripada ventilasi

noninvasif namun dapat memberikan

berbagai komplikasi berat berupa risiko

trauma jalan napas, pneumonia

nosokomial, VAP, memperpanjang masa

perawatan di ruang intensif akibat

kesulitan penyapihan (weaning). Penderita

yang diintubasi mempunyai risiko sebesar

1% tiap

hari untuk terjadinya VAP. Penelitian

selama 3 minggu di Perancis pada 42

ruang rawat intensif mendapatkan

kejadian pneumonia nosokomial sebesar

10% pada ventilasi noninvasif dan 19%

pada intubasi endotrakea, angka kematian

lebih rendah pada ventilasi noninvasif

(22%) dibandingkan dengan intubasi

endotrakea(40%).9 Teknik ventilasi

noninvasif saat ini mulai digunakan secara

luas pada keadaan gagal napas akut karena

mempunyai beberapa keuntungan

dibandingkan dengan ventilasi invasif

seperti tidak memerlukan pemakaian obat

penenang,memungkinkan penderita untuk

tetap berkomunikasi dengan petugas

kesehatan dan fungsi menelan serta batuk

masih dapat dipertahankan secara

alamiah.1 Ventilasimekanik noninvasif

terdiri atas dua bagian yaitu ventilasi

tekanan negatif danventilasi tekanan

positif.9

Ventilasi tekanan negatif

Prinsip ventilasi tekanan negatif adalah

memberikan tekanan pada dinding toraks

dan abdomen untuk mencapai tekanan di

bawah tekanan atmosfir saat inspirasi.

Tekanan ini menyebabkan rongga toraks

mengembang dan terjadi penurunan

tekanan di pleura dan alveolar sehingga

menimbulkan perbedaan tekanan yang

memungkinkan udara masuk ke alveoli.

Saat ekspirasi, tekanan dinding toraks

kembali sama dengan tekanan atmosfir dan

ekspirasi terjadi secara pasif dengan daya

elastik rekoil paru. Ventilator tekanan

negatif mempunyai duakomponen utama

yaitu keadaan kedap udara (airtight) dibuat

melalui ruang yang menutupi rongga

toraks dan abdomen secara ketat serta

pompa untuk menimbulkan perbedaan

tekanan di dalam ruang tersebut.10

Jenis

ventilator tekanan negatif antaralain tank

ventilator (Iron lung), shell ventilator

(chest cuirras), wrap ventilator

(pneumobelt) dan rocking bed. (gambar

1).9-11

Kondisi tertentu seperti penyakit

neuromuskular, kelainan dinding dada,

hipoventilasi sentral dan paralisis

diafragma, penggunaan ventilasi tekanan

negatif lebih banyak memberikan

manfaat.10,12

Manfaat lain ventilasi tekanan

Page 51: Jurnal Anestesiologi Indonesia

172

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

negatif biladibandingkan dengan ventilasi

tekanan positif yang menggunakan

sungkup muka (mask) adalah penderita

masih dapat berbicara, batuk, menelan dan

makan selama penggunaan ventilator.

Jalan napas yang bebas pada ventilasi

tekanan negatif memungkinkan untuk

dilakukan penghisapan jalan napas dan

tindakan diagnostik maupun terapi dengan

menggunakan bronkoskop serat optik.9

Ventilasi tekanan positif

Noninvasive positive pressure ventilation

(NPPV) atau ventilasi tekanan positif

merupakan ventilasi noninvasif yang lebih

efektif dan nyaman dibandingkan dengan

cara ventilasi noninvasif lainnya dan lebih

banyak digunakan selama dekade

terakhir.9 Ventilasi tekanan positif

menggunakan sungkup atau alat

pengubung (interface) untuk

menghantarkan udara dari ventilator

tekanan positif melalui hidungatau mulut

sehingga udara masuk jalan napas. Prinsip

ventilasi tekanan positifadalah

memberikan udara dengan tekanan positif

atau diatas tekanan atmosfir secara

intermiten ke dalam jalan napas,

meningkatkan tekanan transpulmoner

sehingga terjadi pengembangan paru.

Proses ekspirasi terjadi secara pasif karena

daya rekoil paru dan bantuan otot bantu

napas. Penggunaan ventilasi tekanan

positif tergantung dari sistem ventilator

yang digunakan dan dirancang secara

efektif supaya penderita merasa nyaman

saat memakai sungkup dan kebocoran

udaradapat dikurangi.9,10

Ventilasi tekanan positif dapat digunakan

pada keadaan gagal napas akut maupun

kronik. Definisi gagal napas menurut

British Thoracic Society (BTS) adalah

terjadinya kegagalan proses pertukaran gas

secara adekuat ditandai dengan tekanan

gas darah arteri yang abnormal. Gagal

napas tipe 1 (hipoksemik) bilaPaO2 < 8

kPa (60 mmHg) dengan PaCO2 normal

atau rendah. Gagal napas tipe

2(hiperkapnik) terjadi bila PaO2 < 8 kPa

(60 mmHg) dengan PaCO2 > 6 kPa

(45mmHg). Gagal napas dapat akut, acute

on chronic dan kronik. Pembagian keadaan

ini penting untuk menentukan terapi

terutama pada gagal napas tipe 2. 3,12

Gambar 1. Ventilasi tekanan negatif, iron lung (kiri), rocking bed (kanan)

Dikutip dari (11)

Page 52: Jurnal Anestesiologi Indonesia

173

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Gagal napas hiperkapnik akut terjadi bila

penderita mempunyai gangguan napas

minimal yang mengawali keadaan tersebut

dengan analisis gas darah menunjukkan

PaCO2 yang tinggi, pH rendah dan

bikarbonat normal. Gagal napas

hiperkapnik kronik apabila terdapat

penyakit paru kronik, PaCO2 tinggi, pH

normal dan bikarbonat meningkat. Gagal

napas hiperkapnik acute on chronic apabila

terjadi perburukan tiba-tiba pada seseorang

yang sudah mengalami gagal napas

hiperkapnik sebelumnya, ditandai dengan

PaCO2 yang tinggi, pH rendah dan

bikarbonat yang meningkat. Indikasi

penggunaan ventilasi noninvasif tekanan

positif dapat dilihat pada tabel 1 dan

kontraindikasinya pada tabel 2.3

Tabel 1. Indikasi NPPV

Indikasi

PPOK eksaserbasi dengan asidosis respiratorik

(pH<7,35)

Gagal napas hiperkapnik sekunder akibat kelainan

dinding dada (skoliosis,torakoplasti) atau Penyakit

neuromuskular

Edema paru kardiogenik yang tidak respons

terhadap CPAP

Proses weaning dari intubasi trakea

Dikutip dari (3)

Beberapa keadaan yang tidak

memungkinkan untuk penggunaan

ventilasi noninvasif antara lain gangguan

kesadaran, hipoksemia berat, sekret jalan

napas yang banyak dan keadaan lainnya

seperti terlihat pada tabel 2.3,4

Keuntungan

penggunaan ventilasi noninvasif antara

lain mengurangi tindakan intubasi atau

pemasangan endotracheal tube, waktu

perawatan lebih singkat dan berkurangnya

angka kematian pada penderita gagal

napas akut.3 Keuntungan lain ventilasi

noninvasif adalah mekanisme pertahanan

jalan napas tetap utuh dan fungsi menelan

tetap dapat dipertahankan.14

Perlu

dipahami bahwa ventilasi noninvasif

bukanlah sebagai terapi pengganti intubasi

trakea atau ventilasi invasif apabila secara

jelas terbukti bahwa ventilasi invasif

merupakan pilihan terapi untuk penderita.3

Tabel 2. Kontra indikasi NPPV

Kontra indikasi

Trauma atau luka bakar pada wajah

Pembedahan pada wajah, jalan napas atas, atau

saluran cerna bagian atas

Sumbatan jalan napas atas

Tidak mampu melindungi jalan napas

Hipoksemia yang mengancam jiwa

Hemodinamik tidak stabil

Penyakit penyerta yang berat

Gangguan kesadaran

Kejang/ gelisah

Muntah

Sumbatan usus besar

Sekret jalan napas berlebihan

Gambaran konsolidasi pada foto toraks

Pneumotoraks yang belum diatasi

Dikutip dari (3)

Alat penghubung (interface) NPPV

Enam tipe sungkup atau alat penghubung

NPPV yang dapat digunakan padagagal

napas akut yaitu sungkup muka penuh (full

face mask), total face mask,sungkup nasal,

keping mulut (mouthpiece) bantalan

hidung (nasal pillow) atau plugs dan

helmet.14

Sungkup muka yang paling

sering digunakan dan keuntungannya

biladibandingkan dengan sungkup nasal

adalah kemampuan untuk mencapai

tekanan jalan napas lebih tinggi, respirasi

melalui mulut, kebocoran udara lebih kecil

dan memerlukan kerjasama penderita yang

Page 53: Jurnal Anestesiologi Indonesia

174

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

minimal. Kekurangannya adalah perasaan

kurang nyaman, penderita tidak dapat

berbicara, makan atau minum

selamaventilasi dan terdapat kemungkinan

aspirasi bila penderita muntah.14-16

Navalesi dkk melaporkan bahwa sungkup

nasal lebih ditoleransi daripada sungkup

muka dan bantalan nasal pada penderita

hiperkapnik kronik stabil. Kwok dkk

melaporkan penderita gagal napas akut

akibat edema paru kardiogenik lebih dapat

mentoleransi sungkup muka sementara

Wilson dkk mendapatkan bahwasungkup

nasal maupun sungkup muka sama

efektifnya dalam proses ventilasi.

14,17Bentuk sungkup nasal, sungkup muka

dan bantalan nasal dapat dilihat pada

gambar 2. Sungkup nasal (kiri) hanya

menutupi bagian hidung, nasal pillow

(tengah) dansungkup muka (kanan)

menutupi hidung dan mulut.10

Ventilator untuk pemberian NPPV

Noninvasive Positive Pressure Ventilation

(NPPV) dapat digunakan dengan berbagai

jenis ventilator yang tersedia. Pada

keadaan kronik, ventilator volume maupun

tekanan dapat digunakan. Ventilator

tekanan lebih dianjurkan untuk keadaan

akut karena dapat diatur besar aliran.

Beberapa jenis ventilator yaitu volume

ventilators, pressure ventilators, Bilevel

positive airway pressure (BiPAP) atau

Continous positive airway pressure

(CPAP) seperti terlihat pada tabel 3.3,9-11,18

Tipe Noninvasive positive pressure ventilation

Volume mechanical ventilation

Pressure mechanical

Bilevel positive airway pressure

Continous positive airway pressure

Volume tidal 250-500 ml ( 4-8ml/kg tekanan bervariasi)

Ventilation Tekanan 8-20 cm H2O

Tekanan akhir ekspirasi 0-6 cm H2O

Volume bervariasi

Tekanan inspirasi 6-14 cm H2O

Tekanan akhir ekspirasi 3-5 cm H2O

Volume bervariasi

Tekanan konstan 5-12 cm H2O

Volume bervariasi

Tabel 3. Tipe NPPV

Dikutip dari (10)

Gambar 2. Sungkup pada NPP

Dikutip dari (10)

Page 54: Jurnal Anestesiologi Indonesia

175

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

MODE VENTILASI NON INVASIF

Ventilasi Mekanik Kontrol (Control

Mechanical Ventilation/ CMV)

Ventilasi mekanik tipe kontrol/ control

mechanival ventilation (CMV), support

ventilasi seluruhnya diberikan dan tidak

ada usaha dari pasien. Tekanan inflasi,tidal

volume, frekuensi dan waktu tiap

bernapas diset atau ditentukan. Kontrol

tekanan menghasilkan volume tidal tidak

tergantung resistensi aliran, keterbatasan

aliran udara compliance paru dan dinding

dada. Kontrol volume, tidal volume diset

dan hasil tekanan yang dibutuhkan untuk

menghantarkan volume ini ditentukan oleh

compliance sirkuit dan mekanik toraks.8,9

Assist / Control ventilation

Bentuk ini terlihat sejumlah pernapasan

yang dikendalikan permenit yang akan

dihantarkan pada pasien tanpa usaha

napas, sama seperti CMV, pernapasan

yang diberikan ditentukan oleh setting

volume atau tekanan dan lama ekspirasi

atau inspirasi. Pasien dapat bernapas tanpa

dihalangi mesin tetapi mesin memberikan

pernapasan yang terkendali. Pencegahan

inflasi yang berlebihan dilakukan melalui

bernapas tambahan, ventilator diprogram

untuk gagal menghantarkan melalui

variable periode lock out/ kunci. Pada

keadaan frekuensi napas yang meningkat,

periode kunci harus diperpendek.

Pernapasan pencetus dari pasien yang

lebih lambat dari pernapasan berikutnya

dari mesin sehingga disebut sinkronisasi

antara pernapasan pasien sendiri dan dari

mesin (SIMV).8,10

Assisted Spontaneous Breathing

(Pernapasan spontan yang dibantu)

Pernapasan spontan yang dibantu pada

pasien dengan usaha napas dicetuskan saat

ventilator on atau off. Bentuk ini biasanya

meliputi setting tekanansering disebut

pressure support. Jika pasien gagal untuk

membuat usaha napas,tidak ada

pernapasan kendali dari mesin yang

terjadi.8

Continous positive airway pressure

(CPAP)

Continous positive airway pressure

digunakan pada pasien dengan gagal

napas akut untuk mengoreksi hipoksemia.

Hal ini yang mendasari pemberian oksigen

inspirasi kandungan tinggi, meningkatkan

rerata saluran napas dan akan memperbaiki

ventilasi untuk mencegah daerah paru

menjadi kolaps. Continous positive airway

pressure akan menguras kerja otot

inspirasi sehingga kerja inspirasi

berkurang walaupun secara konvensional

CPAP tidak dipertimbangkan sebagai

support ventilasi dan indikasi utama adalah

untuk mengoreksi hipoksemia. Aliran

generator pada CPAP akan

mempertahankan tekanan yang diinginkan

melaui siklus pernapasan. Pada terapi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) generator

dapat memberikan aliran rendah yang

cukup sebagai ventilasi semenit dan aliran

puncak inspirasi rendah. Keunggulan

CPAP dapat meningkatkan kapasitas

residu fungsional,membuka alveoli kolaps

atau dengan ventilasi alveoli yang

menurun, menurunkan pirau intrapulmoner

Page 55: Jurnal Anestesiologi Indonesia

176

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

serta memperbaiki oksigenasi. Efek pada

gangguan jantungadalah menurunkan

tekanan transmural ventrikel kiri,

menurunkan beban akhir dan

meningkatkan curah jantung sehingga

CPAP dapat digunakan pada

penderitaedema paru akut. Pasien PPOK

yang mengalami distress mengalami

peningkatan ventilasi semenit, frekuensi

tinggi dan waktu inspirasi pendek mungkin

akan menyebabkan aliran puncak inspirasi

lebih dari 60 l/m, aliran yang tinggi

inidibutuhkan untuk mencegah penurunan

tekanan yang digunakan. Beberapa

modeCPAP dapat menghantarkan aliran

adekuat. Generator CPAP tipe ini

membutuhkan suplai oksigen tekanan

tinggi. Masker CPAP biasanya

mendapatkan tekanan udara melalui satu

katup ekskalasi.8,9

Bi-level pressure support

Pressure support dan CPAP sering

digunakan sebagai kombinasi Bi-level

Pressure Support (BiPAP). Ventilasi

dihasilkan oleh tekanan inspirasi positif

saluran napas/ inspiratory positive airway

pressure (iPAP) sedangkan expiratory

positive airway pressure (EPAP)

menerima paru tidak terventilasi dan

mengimbangi PEEP intrinsik, EPAP juga

menyediakan gas yang mengalami

ekshalasi keluar melalui lubang

pembuangan.3,4

Proportional Assist Ventilation (PAV)

Proportional Assist Ventilation merupakan

teknik alternative yang memberikan

baikaliran udara maupun volume yang

secara independen dapat disesuaikan. Hal

ini untuk memperbaiki kenyamanan pasien

dan memperbaiki compliance.9,10

INDIKASI PENGGUNAAN

VENTILASI NONINVASIF

Penelitian terhadap penggunaan ventilasi

noninvasif serta keberhasilannyatelah

banyak dilakukan. Keadaan gagal napas

akut seperti pada PPOK eksaserbasi,

edema paru kardiogenik, keadaan

immunocompromised direkomendasikan

untukmenggunakan ventilasi non invasif

sebagai pilihan terapi.3,1

Manfaat

penggunaanventilasi noninvasif pada

asma, pascareseksi paru, penderita yang

menolak intubasi, ARDS dan pneumonia

berat kurang terbukti dari penelitian.

Penggunaan NPPV pada kondisi gagal

napas kronik akibat penyakit

neuromuskular, kelainan dinding dada,

memperlihatkan perbaikan gejala,

pertukaran gas dan kualiti hidup. Pada

OSA biasanya terjadi hipoventilasi

alveolar sehingga dapat digunakan

intermitten positive airway pressure

(iPAP), CPAP dan BiPAP. Pada penyakit

neuromuscular gagal napas yang terjadi

terlihat pada gerakan otot bantu napas

sehingga terjadihiperkapnia. 9

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Ventilasi noninvasif menjadi pilihan terapi

utama dalam penatalaksanaan PPOK

eksaserbasi berdasarkan berbagai

penelitian.3,4

Berkurangnya tindakan

intubasi, lama perawatan dan angka

kematian dengan pemakaian ventilasi

noninvasif pada penderita PPOK

didapatkan dari penelitian meta

analisis.4,19-21

Page 56: Jurnal Anestesiologi Indonesia

177

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Keberhasilan ventilasi noninvasif pada

PPOK eksaserbasi dapat diprediksi

apabilaterdapat keadaan asidosis ringan,

tidak ada penyakit penyerta, pemasangan

sungkup adekuat, perbaikan pH dan

berkurangnya frekuensi napas

selamapemakaian ventilasi noninvasif.4

Penggunaan ventilasi noninvasif pada 236

penderita PPOK eksaserbasi di Inggris

menurunkan tindakan intubasi dari 27%

menjadi 15% dan menurunkan angka

kematian dari 20% menjadi 10%.4 Plant

dkk dikutip dari 18 mendapatkan

penurunan tindakan intubasi, angka

kematian serta perbaikan pH darah,

frekuensi napas dan keluhan sesak napas

pada penderita PPOK yang mendapat

ventilasi noninvasif. Penelitian Todisco

dkk pada penderita gagal napas kronik

yang mengalami eksaserbasi,

menggabungkan penggunaan iron lung

(ventilasi tekanan negatif) dengan NPPV

pada 152 penderita mendapatkan angka

keberhasilan sebesar 81,6% mengurangi

tindakan intubasi dan trakeostomi (13,8%)

serta mempersingkat masa perawatan.22

Asma

Ventilasi noninvasif tidak

direkomendasikan untuk digunakan secara

rutin pada penderita asma karena

kurangnya penelitian tentang hal tersebut.

Penelitian dalam jumlah besar masih

diperlukan untuk mendukung penggunaan

ventilasi noninvasif pada keadaan status

asmatikus. Penderita asma yang mendapat

terapi ventilasi noninvasif harus diawasi

ketat dan apabila tidak didapatkan

perbaikan dalam 1-2 jam pertama, maka

segera dilakukan intubasi mengingat

perburukan yangcepat sangat mungkin

terjadi.3,4,19

Edema paru kardiogenik

Penggunaan ventilasi noninvasif pada

keadaan ini didukung oleh banyak

penelitian. Keuntungan yang didapatkan

adalah peningkatan kapasitas residu

fungsional, terbukanya alveoli yang

kolaps, peningkatan compliance paru dan

berkurangnya kerja otot pernapasan.

Peningkatan tekanan intratoraks juga akan

memperbaiki kerja jantung karena

berkurangnya beban ventrikel sebelum dan

sesudah kontraksi. Penelitian meta analisis

menemukan bahwa terdapat penurunan

tindakan intubasi dan angka kematian

pada penderita dengan menggunakan

ventilasi noninvasif.3,4,19,25

Gagal napas pada penderita immune

compromised.

Penderita yang mendapat transplantasi

organ atau sumsum tulang yang

menggunakan ventilasi noninvasif

menunjukkan penurunan tindakan

intubasi,angka kematian di ruang intensif

dan berkurangnya lama perawatan.24,25

Hasil yang sama juga didapatkan pada

penderita acquired immune deficiency

syndrome (AIDS) diperkirakan karena

ventilasi noninvasif mengurangi terjadinya

risiko infeksi akibat tindakan intubasi

termasuk VAP, infeksi nosokomial lainnya

dan syok sepsis.19

Proses weaning di ruang rawat intensif

Penggunaan ventilasi noninvasif

direkomendasikan BTS untuk proses

weaning pada penderita yang mendapat

Page 57: Jurnal Anestesiologi Indonesia

178

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

ventilasi invasif dan digunakan bila proses

weaning dengan cara konvensional tidak

berhasil.3,4

Lima puluh penderita PPOK

yang diintubasi dan setelah 48 jam

diterapi dengan ventilasi noninvasif

menunjukkan perbaikan dalam proses

weaning setelah 60 hari, berkurangnya

lama pemakaianventilasi mekanis dan

singkatnya perawatan di ruang intensif bila

dibandingkandengan kontrol.18,19,24

Pengawasan

Pengawasan secara ketat terutama pada

periode awal pemakaian merupakan salah

satu kunci keberhasilan pada ventilasi

noninvasif. Hasil yang diharapkan pada

ventilasi noninvasif antara lain didapatkan

perbaikan keluhan sesak napas, pertukaran

gas, berkurangnya usaha napas,

memperkecil komplikasi,mempertahankan

kenyamanan penderita dan menghindari

intubasi.9 Faktor penderita, pemeriksaan

fisis, parameter ventilator, analisis gas

darah dan lokasi ventilator merupakan

faktor-faktor yang perlu diperhatikan

seperti terlihat pada tabel4.19

Tabel 4. Pengawasan ventilasi noninvasif

Pengawasan

Subjektif

penderita

Pemeriksaan Fisik

Ventilator

Kenyamanan terhadap

sungkup, toleransi terhadap

seting ventilator, distress

pernapasan

Frekuensi pernapasan, tanda

vital,penggunaan otot bantu

pernapasan

Kebocoran udara, bantuan

tekanan yang adekuat, PEEP

yang adekuat, volume tidal

(5-7ml/kg), sinkronisasi

Pertukaran gas

Lokasi

pasien-ventilator

Oksimetri, analisis gas

darah awal dan 1-2 jam

berikutnya sesuai indikasi

Ruang rawat intensif atau

ruang rawat biasa

Dikutip dari (19)

DAFTAR PUSTAKA

1. Mehta S, Hill N. Noninvasive ventilation. Am J

Respir Crit Care Med2001;163:540-77.

2. Hill N. Noninvasive mechanical ventilation. In:

Bone R editor. Pulmonary andcritical care

medicine. 5th ed. Chicago: Mosby-Year book,

Inc;1997.p.1-21.

3. British Thoracic Society standars of care

committee. Noninvasive ventilation inacute

respiratory failure. Thorax 2003;57:192-211.

4. Elliot MW. Non-invasive ventilation for acute

respiratory disease. British MedicalBulletin

2004;72:83-97.

5. Antonaglia V, Pascotto S, Piller F. Advanced

Modalities in Negative-PressureVentilation. In:

Lucangelo U editor. Respiratory system and

artificial ventilation.New York: Springer;

2008.p.221-35.

6. Tobin MJ. Critical care medicine in AJRCCM

2003. Am J Respir Crit Care Med2004; 169:239-

53.

7. Santos FB, Nagato LKS, Zin WA. Control of

brething. In: Lucangelo U editor.Respiratory

system and artificial ventilation. New York:

Springer;2008.p.3-20.

8. Levitzky MG. Mechanics of breathing. In:

Pulmonary physiology. 6th ed. NewYork:

McGraw-Hill;2003.p.11-25.

9. Corrado A, Gorini M. Negative pressure

ventilation. In: Tobin MJ editor.Principles and

practice of mechanical ventilation. 2nd ed. New

York: McGraw- Hill;2006.p.421-19.

10. Hillberg RE, Johnson DC. Noninvasive

ventilation. N Engl J Med 2007;337:1746-52.

11. Hill N, Kramer N. Type of noninvasive

nocturnal ventilatory support inneuromuscular

and chest wall disease. [cited 2008 March 8 ].

Available

from:http://cmbi.bmju.edu.cn/uptodate/pictures/p

ulm_pix/rocking_.gif.

12. Fauroux B, Lofaso F. Non-invasive mechanical

ventilation: when to start for whatbenefit?

Thorax 2005;60:979-80.

13. Butler V. Noninvasive ventilation in audit

accross the North Central LondonCritical Care

Page 58: Jurnal Anestesiologi Indonesia

179

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Network. Intensive and Critical Care Nursing

2005;21:243-56.

14. Nava S, Ceriana P. Patient-ventilator interaction

during noninvasive positivepressure ventilation.

Respir Care Clin 2005;11:281-93.

15. Roy B, Cordova FC, Travaline M. Full face

mask for noninvasive

positivepressureventilayion in patients with

acute respiratory failure. J Am OsteopathAssoc

2007; 107:148-56.

16. Costa R, Navalesi P, Antonelli M. Physiologic

evaluation of different levels ofassistance during

nononvasive ventilation delivered through

helmet. Chest2005;128:2984-90.

17. Willson GN, Piper AJ, Norman M. Nasal versus

full face mask for noninvasiveventilation in

chronic respiratory failure. Eur Respir J

2004;23:605-9.

18. Liesching T, Kwok H, Hill NS. Acute

application of noninvasive positive

pressureventilation. Chest 2003;124:699-713.

19. Hill NS, Brennan J, Garpestad E, Nava S.

Noninvasive ventilation in acuterespiratory

failure. Crit Care Med 2007;35:2402-7.

20. Lightowler J, Wedicha JA, Elliot MW.

Noninvasive positive pressure ventilation totreat

respiratory failure resulting from exacerbation of

COPD. BMJ2003;326:185-7.

21. Crummy F, Buchan C, Miller B. The use of

noninvasive mechanical ventilation inCOPD

with severe hypercapnic acidosis. Respiratory

Med 2007;101:53-61.

22. Todisco M, Baglioni S, Aslami A. Treatment of

acute exacerbation of chronicrespiratory failure,

integrated use of negative pressure ventilation

andnoninvasive positive pressure ventilation.

Chest 2004:125;2217-23.

23. Penuelas O, Vivar FF, Esteban A. Noninvasive

positive pressure ventilation inacute respiratory

failure. CMAJ 2007;177:1211-8.

24. Antonelli M, Conti G, Bufi M, et al:

Noninvasive ventilation for treatment of

acuterespiratory failure in patients undergoing

solid organ transplantation: Arandomized trial.

JAMA 2000;283:235-41.

25. Hilbert G, Gruson D, Vargas F, et al:

Noninvasive ventilation in immunosuppressed

patients with pulmonary infiltrates and acute

respiratoryfailure. N Engl J Med 2001; 344:481-

7

Page 59: Jurnal Anestesiologi Indonesia

180

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

TINJAUAN PUSTAKA

Monitoring Kardiovaskuler pada Pediatric Intensive Care

Aprilina Rusmaladewi*, Ery Leksana*, Widya Istanto Nurcahyo*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Anesthesia plays an important role on the development of the Pediatric Intensive care

because anestesiologist knowledge and skills in managing the airway and breathing,

circulation and vascular access monitoring. Pediatric Anesthesia is also a leader in the

management of childhood respiratory and intensive care. Anesthesia knowledge and skills in

acute and emergency in the operating room and the skills to provide basic life support to

make a lot of anesthetic to be a leader in the PICU.

ABSTRAK

Anestesi memegang peranan penting terhadap perkembangan Pediatric Intensive care

karena ilmu pengetahuan dan keterampilan anestesiologist dalam mengelola jalan nafas dan

pernafasan, monitoring sirkulasi dan akses vaskular. Pediatric Anestesi juga menjadi leader

pada pengelolaan pernafasan pada anak dan intensive care. Ilmu pengetahuan anestesi dan

keterampilan pada keadaan akut dan emergensi di dalam ruang operasi dan keterampilan

dalam memberikan bantuan hidup dasar menjadikan anestesi menjadi leader di banyak

PICU.

PENDAHULUAN

Perioperatif care yang optimal pada bayi

dan anak – anak membutuhkan tenaga dan

peralatan medis yang optimal. Pediatric

Intensive Care menawarkan keadaan yang

vital yang merupakan komponen penting

untuk pemeliharaan kesehatan bayi dan

anak – anak.

Pediatric Intensive Care adalah bagian

dari ilmu yang mempunyai fokus pada

clinical care, ilmu dan penelitian serta

penanganan kesehatan bagi bayi, anak dan

dewasa muda yang mempunyai

penyakit yang berpotensial mengancam

nyawa. Tujuan dari Inten sive care ini

adalah memperbaiki keadaan umumanak

yang memiliki penyakit yang mengancam

nyawa dengan rasa nyeri yang minimal,

kecemasan dan komplikasi serta

menawarkan rasa nyaman pada pasien dan

keluarga.1

Pertama kalinya Pediatric Intensive Care

(PICU) didirikan di sebuah rumah sakit

untuk anak pada tahun 1955 di Eropa dan

pada tahun 1967 di Amerika Utara. Di

kebanyakan PICU tenaga medis dan

perawat memberikan pelayanan yang full

time, dimana tenaga medis sering disebut

sebagai Pediatric Intensivists dan

Page 60: Jurnal Anestesiologi Indonesia

181

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

subspesialisasinya disebut sebagai

Pediatric Critical Care Medicine.1

ANESTESI PEDIATRI

Anestesi memegang peranan penting

terhadap perkembangan Pediatric Intensive

care semenjak epidemik penyakit polio

sekitar tahun 1950 sampai 1980 karena

ilmu pengetahuan dan keterampilan

anestesiologist dalam mengelola jalan

nafas dan pernafasan, monitoring sirkulasi

dan akses vaskular. Pediatric Anestesi juga

menjadi leader pada pengelolaan

pernafasan pada anak dan intensive care.

Ilmu pengetahuan anestesi dan

keterampilan pada keadaan akut dan

emergensi di dalam ruang operasi dan

keterampilan dalam memberikan bantuan

hidup dasar menjadikan anestesi menjadi

leader di banyak PICU. 2

PERBEDAAN FUNDAMENTAL

ANTARA ANAK-ANAK dan DEWASA

Selama perkembangan anak – anak

menjadi dewasa terdapat beberapa prinsip

yang mendasar yang harus diketahui

tenaga medis sebagai clinician sehingga

dapat menjadi pedoman dalam

membedakan anak yang normal dengan

anak yang sedang sakit. 3

Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi

Karena besarnya produksi CO2 pada anak

maka peningkatan volume semenit

dibutuhkan untuk mendapatkan keadaa

normocarbia, sehingga akan terjadi

peningkatan frekuensi nafas dengan tidal

volume yang konstan atau peningkatan

tidal volume dengan frekuensi nafas yang

konstant. Sistem pernafasan pada anak

juga mempunyai kompliance paru yang

rendah karena kurangnya sistem konduksi

dan jumlah total alveoli yang masih rendah

sehingga FRC juga masih rendah. pada

anak anak jika mereka memilih sistem

pernafasan dengan tidal volume yang besar

mereka membutuhkan stabilisasi otot –

otot intercostal sehingga membutuhkan

energi yang besar sehingga pada bayi dan

anak – anak mereka memilih sistem

pernafasan dengan frekuensi nafas yang

tinggi dibandingkan dengan tidal volume

yang meningkat karena mengurangi

jumlah energi yang akan dikeluarkan.3

Anatomi dan Fisiologi Sistem

Cardiovaskular

Neonatal mempunyai cardiac output 2 – 3

kali lebih besar daripada dewasa atau

sekitar 180 – 240 ml/kgBb/menit.

Konsumsi Oksigen dapat digunakan untuk

memperkirakan Cardiac Output

menggunakan Fick Principle : Q

(dl/minute) = Vo2 (mL/menit)

(a-v) Do2 (mL/dL)

Dimana : (a-v) Do2 adalah konstan

(5mL/dL), dan oksigen uptake

proportional dengan dengan cardiac output

( 3xkg3/4 untuk anak – anak) 3

Massa Otot jantung pada bayi baru lahir

dan anak – anak lebih kecil dibanding

dewasa, dimana fungsi ventrikel belum

sempurna. Baroreseptor , seperti fungsi

miokard berkembang setelah lahir.

Sensitifitas dari baroreseptor carotid

seperti peningkatan tekanan arteri mulai

berkembang saat trimester 3 kehamilan

dan satu bulan setelah kelahiran. Setelah

lahir sensitifitas baroreseptor meningkat

Page 61: Jurnal Anestesiologi Indonesia

182

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

sampai usia 6 minggu dimana perubahan

terbesar terjadi pada usia 2 minggu. 3

Anatomi dan fisiologi fungsi renal

Kebutuhan cairan pada bayi dan anak –

anak lebih besar dibanding dewasa karena

pada bayi dan anak – anak terjadi

peningkatan kebutuhan kalori, produksi

panas, volume dan luas permukaan tubuh

dibandingkan massa tubuhnya.

Berkembangnya fungsi renal terjadi mulai

usia beberapa minggu sampai 1 bulan

kehidupan sementara Glomerular filtration

rate (GFR) meningkat segera setelah

lahir.3

Sistem Gastrointestinal dan

Perkembangannya

Terdapat perbedaan antara anak dan

dewasa baik secara anatomi maupun

fungsinya terutama pada esofagus. Bagian

distal esofagus pada bayi tidak berfungsi

untuk peristaltik seperti dewasa. Sekitar

40% dari bayi baru lahir mudah

mengalami regurgitasi sampai usia

beberapa bulan. Esofagus juga berukuran

lebih pendek dan dapet menjadi

inkompeten selama terjadi distensi

lambung sering terjadi saat bayi menangis

maupun saat induksi anestesi

menggunakan masker. Perkembangan

yang abnormal dari traktus gastrointestinal

seperti atresia esofagus dengan fistula

tracheoesofagus, atresia atau stenosis

intestinal, duplikasi atau diverticulitis, atau

defek abdominal seperti gastroschisis atau

omfalocel dan malrotasi dapat

mempengaruhi fungsi normal lambung dan

fungsi esofagus.

Hepar berkembang dengan cepat dan

menempati tempat terbesar di rongga

abdominal. Glukoneogenesis dan sintesis

protein mulai berkembang pada usia

kehamilan 3 bulan, namun simpanan

glikogen lebih sedikit dibanding dengan

dewasa sehingga anak lebih rentan

terhadap hipoglikemia terutama anak

dengan gizi yang kurang atau dengan

gangguan metabolisme karbohidrat.3

Susunan Syaraf Pusat

Otak merupakan organ utama yang

berperan dalam perkembangan sistem

syaraf pusat. Selama usia bayi dan anak –

anak otak terus berkembang. Pada hewan

uji yaitu tikus, perkembangan otak secara

cepat terjadi pada usia 0-6, 8-12 dan 17 –

23 hari setelah lahir sedangkan

perkembangan secara lambat terjadi pada

usia 6-8, 12-17, dan setelah usia 23 hari.

hal ini hampir sama dengan perkembangan

pada manusia dimana perkembangan

mencapai puncaknya pada usia 11 – 15

tahun.3

Disfungsi akut miokard yang berat

merupakan faktor utama yang

menyebabkan mortalitas dan morbiditas

pada anak yang membutuhkan perawatan

yang intensif. Berbeda dengan dewasa,

henti jantung pada anak – anak jarang

terjadi dan biasanya tidak hanya berasal

dari jantung sebagai penyebab utamanya

namun juga dapat berasal dari gagal nafas

atau syok.4

FISIOLOGI KARDIOVASKULAR

Struktur Dasar Jantung dan Fungsi

Jantung manusia berfungsi untuk

memompa darah ke paru dan sirkulasi

sistemik. Jantung terdiri dari dua atrium

yang menerima darah balik dan dua

Page 62: Jurnal Anestesiologi Indonesia

183

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

ventrikel yang memompa darah dan katub

yang berfungsi untuk mencegah aliran

darah balik dan sistem konduksi yang

menyalurkan impuls listrik yang

menjalankan kerja jantung. Impuls listrik

ini disebarkan dan dirubah menjadi

aktivitas mekanis melalui interaksi

biochemical yang mencakup beberapa ion

seperti Na+, Ca

++ dan K

-.

3,5

Elektrofisiologi

Ritme jantung dan kontraksi yang teratur

diatur oleh impuls elektrik. Setiap

potensial aksi ini dimulai dari nodus SA

yang merupakan kumpulan sel miocard

yang ada atrium kanan. Sel – sel tersebut

secara aktif memberikan impuls listrik

(depolarisasi). Impuls tersebut kemudian

disebarkan ke seluruh atrium melalui sel

ke sel sampai depolarisasi mencapai nodus

AV yang berada di atrium kanan. Karena

atrium dan ventrikel terpisah oleh jaringan

fibrous pada katub trikuspid dan katub

mitral maka impuls hanya disalurkan

melalui nodus AV dan dilanjutkan oleh

bundel HIS dan serabut Purkinje pada

ventrikel. 5

Potensial Aksi dan Istirahat

Pada saat istirahat sel myosit jantung

mempunyai tekanan listrik yang negatif

dibanding dengan extraseluler. Hal ini

dihasilkan oleh aktivitas ion chanel dan

transportasi melalui membran sel dan

kemampuan dari myosit untuk

menyalurkan impuls listrik. 5

Otonomik Jantung

Otonomik jantung adalah kemampuan

intrinsik cardiomiosit untuk

berdepolarisasi secara spontan dan

menghantarkan potensial aksi yang

meliputi pacemaker, nodus SA dan nodus

AV. Sel HIS dan serabut Purkinje serata

ventrikular myocard juga secara spontan

berdepolarisasi. Jika terdapat gangguan

fungsi jantung maka sistem otonomik

tersebut dapat mengalami penurunan

konduksi yang menghasilkan

keterlambatan konduksi dan depolarisasi. 5

FUNGSI JANTUNG

Fungsi dari sistem kardiovaskular adalah

untuk memberikan oksigen dan substansi

metabolik untuk memenuhi kebutuhan

jaringan. Fungsi kardiovaskular dapat

dinilai seperti fungsi kontraktilitas, fungsi

pompa jantung, dan delivery oksigen.

Penilaian fungsi jantung mungkin dapat

tanpa disertai informasi yang memadai

tentang penyakit yang dihadapi. Sebagai

contoh pengukuran cardiac output

biasanya tanpa disertai dengan informasi

mengenai kontraktilitas jantung. Pasien

dengan cardiomiopati yang berat

mempunyai cardiac output yang terbatas

tanpa gejala-gejala syok cardiogenik

seperti asidosis atau oligouria namun

mempunyai gangguan kontraktilitas dan

Page 63: Jurnal Anestesiologi Indonesia

184

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

fungsi pompa jantung yang berat,

sedangkan pasien dengan syok septik

dapat mengalami peningkatan cardiac

output namun output yang dihasilkan

masih belum cukup untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme yang

menunjukkan adanya fungsi

cardiovaskular yang kurang adekuat.1

Cardiac output merupakan interaksi antara

ventrikel kiri dan kanan serta sirkulasi

arteri dan vena. Pasien dewasa biasanya

mempunyai disfungsi ventrikel kiri yang

disebabkan karena iskemik sedangkan

anak – anak biasanya mengalami disfungsi

ventrikel kanan yang disebabkan oleh

hipertensi pulmoner atau penyakit jantung

bawaan. 1,6

Hal – Hal yang Mempengaruhi Fungsi

Jantung

Fungsi pompa jantung ditentukan oleh

banyak faktor seperti preload, afterload,

kontraktilitas, pengisian diastolik dan heart

rate. Cardiac output merupakan produk

dari stroke volume dan heart rate.

Meskipun fungsi pompa jantung sangat

menentukan cardiac ouput namun interaksi

dari sistem syaraf juga sangat menentukan. 5,6

Preload

Preload merupakan keadaan awal dari otot

sebelum kontraksi dimulai. Preload lebih

akurat dalam menggambarkan hubungan

antara tekanan dengan perubahan volume

pada jantung. Hukum Frank – Starling

menegaskan bahwa preload meningkat

maka stroke volume dan kapabilitas

tekanan juga meningkat.

Preload menggambarkan status

intravaskular pasien, dimana status volume

secara klinis dilakukan dengan mengukur

Central Venous Pressure (CVP) dimana

hasilnya ekuivalent dengan tekanan end-

diastolik ventrikel kanan. Dengan

menganggap ventrikel compliane normal

(hubungan tekanan-volume) dan tidak

terdapatnya srenosis trikuspid (mitral)

maka CVP dapat digunakan untuk

mengukur preload. Namun pada keadaan

tertentu CVP tidak dapat digunakan untuk

menggambarkan preload, seperti pada

keadaan dimana compliance ventrikel

buruk akibat disfungsi diastolik atau

pericarditis konstriktif maka CVP

kemungkinan didapatkan hasil CVP yang

rendah. 5,7

Afterload

Afterload menggambarkan tekanan

dinding ventrikel selama kontraksi. Secara

klinis afterload dianggap sebagai Systemic

Vascular Resistance (SVR) yang

ditentukan oleh resistensi arteriolar. Sesuai

dengan hukum LaPlace, tekanan dinding

berhubungan dengan tekanan ventrikel dan

diameter ventrikel. Pada otot lurik,

afterload adalah beban yang masih dapat

ditahan setelah adanya stimulasi. Sebuah

otot lurik yang terstimulasi akan

berkontraksi secara isometrik sama

berkembang kekuatan untuk mengatasi

pemendekan massa. Jika sebuah otot siap

siap berkontraksi, tekanan yang

berkembang sebelum pemendekan

merupakan afterload. Jika preload

dipertahankan konstan, maka peningkatan

afterload akan mengurangi heart rate dan

memperbanyak pemendekan otot. 5,7

Page 64: Jurnal Anestesiologi Indonesia

185

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Kontraktilitas

Kontraktilitas merupakan kemampuan

intrinsik dari otot jantung untuk

menghasilkan tenaga dimana kontraktilitas

ini bersifat independent terhadap preload

dan afterload. Kontraktilitas jantung

berdasar pada panjang serat otot dan

kemampuan serat otot untuk berkontraksi.

Kontraktilitas seperti afterload merupakan

salah satu faktor yang penting dalam

menentukan konsumsi oksigen jantung.

Faktor yang mepengaruhi kontraktilitas

adalah latihan, stimulasi adrenergik, agen

– agen vasoaktif (katekolamin, inhibitor

phosphodiesterase) dan dapat menurun

pada kondisi yang mendepresi inotropik

seperti disfungsi sistolik. Pada cardiac

output yang rendah (cardiomyopati) dapat

diberikan obat – obatan untuk

memperbaiki keadaan jantung seperti

dobutamin, epinefrin dosis rendah,

milrinon atau digoksin untuk mengurangi

kontraktilitas. 5,7

Variabel Hemodinamik Anak – Anak

Menurut Usia 11

KEGAWATAN JANTUNG PADA

ANAK–ANAK DAN

PENANGANANNYA

Fungsi dan Disfungsi Diastolik

Abnormal fungsi diastolik merupakan

disfungsi jantung yang paling sering

terjadi di ICU. Pasien – pasien yang

mengalami sakit kritis dapat mengalami

penurunan cardiac output yang disebabkan

karena adanya disfungsi diastolik seperti

pada pasien postoperasi Tetralogy of

Fallot.

Diastolik memiliki 4 fase yaitu :

Fase relaksasi isovolemik

merupakan suatu proses dimana tekanan

intraventrikular turun dengan cepat tanpa

terjadinya peningkatan volume ventrikel.

Fase pengisian cepat

Sebagian ventrikel kiri terisi dengan cepat

pada jantung normal setelah katub

atrioventrikular terbuka.

Diastasis atau pengisian lambat

Diastasis adalah periode antara pengisian

cepat dan sistolik atrium dimana biasanya

terjadi sedikit pengisian pada ventrikel.

Sistolik atrium atau pengisian fase lambat

Sistolik atrium atau pengisian fase lambat

memberikan 15% pada pengisian ventrikel

pada akhir diastolik. Sistolik atrium

memberikan kontribusi yang besar saat

pengisian ventrikel pada disfungsi sistolik

/ disfungsi diastolik maupun kombinasi

keduanya. 1

Heart Rate dan Sinkronisasi Jantung

Denyut jantung merupakan faktor penting

pada cardiac output terutama pada

neonatus dimana mekanisme untuk

meningkatkan cardiac output terbatas.

Page 65: Jurnal Anestesiologi Indonesia

186

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Ketika stroke volume bertahan konstan

maka cardiac output sangat bergantung

dari heart rate, dimana peningkatan heart

rate akan meningkatan kekuatan kontraksi

ventrikel.

Patofisiologi Gangguan Fungsi Jantung

Kronis

Gagal jantung merupakan suatu sindrom

disfungsi jantung yang mengakibatkan

kongesti sirkulasi dan respon

neuroendokrin. Gagal jantung dapat

menyebabkan terjadinya disfungsi miokard

primer, overload cairan atau overload

tekanan pada jantung. Permasalahan utama

adalah ketidakmampuan miokard untuk

menghasilkan tenaga untuk melawan

beban yang diberikan. Peningkatan cairan

intravaskular disebabkan karena adanya

aktivasi dari sistem Renin Angiotensin

Aldosteron (RAA). 1

Aktivasi dari sistem neurohormonal

maladaptif menyebabkan terjadinya

trauma miokard. Remodelling secara

kronis menyebabkan hipertrofi

cardiomiocyt, hiperplasi fibroblast yang

dapat mepengaruhi kontraktilitas dan

mengakibatkan gagal jantung kronis.

Gagal jantung pada anak – anak

berbeda dengan dewasa pada etiologi dan

patofisiologinya dimana perbedaan utama

berdasar pada perbedaan antara miokard

yang immatur dan matur. Pada jantung

yang immatur dibanding dengan dewasa

mengandung banyak collagen yang

membutuhkan tekanan yang tinggi untuk

menghasilkan cardiac output yang adekuat.

Jantung immatur juga berbeda dengan

dewasa pada komposisi aktin – myosin

dan juga troponin. Jantung immatur juga

menggunakan glukosa lebih banyak

daripada asam lemak untuk menghasilkan

ATP.

Gagal jantung kronis pada anak –

anak biasanya disebabkan karena

cardiomyopati (postinfeksi, genetik,

metabolik atau tidak diketahui

penyebabnya) atau penyakit jantung

bawaan. Sebanyak 20% anak – anak lahir

dengan penyakit jantung bawaan yang

dapat berkembang menjadi gagal jantung

kronis jika tidak menjalani operasi. Defek

yang terjadi dapat berupa peningkatan

tekanan (stenosis valvular, coarctasi aorta)

atau peningkatan volume yang berlanjut

menjadi shunts (defek septum ventrikular

maupun atrium). Gagal jantung juga

berhubungan dengan ritme jantung yang

tidak normal (takikardi supraventrikular,

atrial flutter atau takikardi ventrikular)

atau sekunder terhadap defek genetik

seperti Marfan sindrom. Pasien –pasien

tersebut dapat memperlihatkan variasi

derajat dekompensasi jantung.

Aktivasi Neurohormonal

Aktivasi neurohormonal adalah respon

kompleks dari tubuh untuk meningkatkan

cardiac output dengan cara meningkatkan

heart rate, kontraktilitas, preload dan

Page 66: Jurnal Anestesiologi Indonesia

187

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

elemen myocard. Respon tersebut meliputi

RAA, sistem syaraf simpatis, endotel,

vasopresin dan sitokin. 1

Faktor-Faktor Neurohormonal yang

Berubah pada pasien Gagal Jantung

Kongestif

Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Pada gagal jantung, ginjal memberikan

respon dengan menurunkan delivery

oksigen dengan cara meningkatkan sekresi

renin, angiotensin II dan katekolamin yang

secara efektif meningkatkan reabsorbsi

natrium dan air oleh tubulus proksimal

renal. Peningkatan renin dan angiotensin II

akan mengstimulasi pengeluaran

aldosteron dari glandula adrenal yang

menghasilkan reabsorbsi sodium dan air

oelh tubulus distal dimana peningkatan

volume darah dapat meningkatkan stroke

volume. 1

Tanda Klinis pada Gagal Jantung

Kongestif

Aktivasi Sistem RAA. Penurunan Cardiac

Output memicu aktivasi renin dan

angiotensin II

Aktivasi Adrenergik

Disfungsi myocard memicu pengeluaran

katekolamin. Kadar plasma norepinefrin

merupakan faktor penting yang dapat

menyebabkan kematian pada CHF dewasa.

Page 67: Jurnal Anestesiologi Indonesia

188

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Norepinefrin yang berlebihan bersifat

toksis bagi cardiomyocit. Aktivasi

simpatik pada jantung mengubah

kontraktilitas dan metabolisme protein

serta dapat menyebabkan hipertrofi.

Resusitasi Jantung Paru

Sekitar 450.000 masyarakat Amrerika

Utara meninggal akibat serangan jantung

setiap tahunnya sedangkan insiden arrest

jantung pada anak – anak adalah sekitar

16.000 setiap tahunnya dan hanya 30%

yang menerima resusitasi jantung paru

(RJP). American Heart Association

(AHA) melakukan revisi pada bantuan

hidup dasar dalam bantuan hidup lanjutan

pada untuk memperbaiki keadaan umum

stelah henti jantung. 8

Epidemiologi Henti Jantung pada Anak

Henti jantung pada anak – anak biasanya

disebabkan karena asfiksi yang merupakan

sekunder dari gagal nafas daripada

kejadian aritmia. Sekitar 2 – 4% pasien

yang berada di PICU mengalami cardiac

arrest. Hasil dari RJP sangat bervariasi

tergantung dari lokasi terjadinya arrest,

ritme EKG, durasi arrest, kualitas

resusitasi dan kondisi medis awal pasien.

4 Fase Henti Jantung dan Resusitasi

Cardiopulmoner

Minimal ada 4 fase henti jantung yaitu

Prearrest

No flow (henti jantung yang tidak

ditangani

Low flow (CPR)

Postresusitasi 1

Ketika aliran oksigen ke otak dan jantung

tidak adekuat maka harus segera dilakukan

RJP. Tujuan dari RJP adalah untuk

mengoptimalkan tekan perfusi arteri

koroner dan aliran darah ke organ – organ

penting selama fase low flow. Bantuan

hidup dasar dengan kompresi jantung yang

berkelanjutan (tekan kuat, tekan cepat,

minimal interupsi, tidak telalu banyak

ventilasi) sangat penting pada fase ini.

Fase Henti Jantung dan Resusitasi

Fase Intervensi

Fase Prearrest

(proteksi)

Mengoptimalkan

monitoring pasien

Intervensi untuk

menghindari gagal nafas

yang berlanjut menjadi

fase syok dan henti

jantung

Arrest (no flow) / fase

pemeliharaan

Meminimalkan interval

waktu antara BLS dengan

ACLS (respon yang

terorganisir)

Memelihara fungsi

jantung dan otak

Meminimalkan interval

waktu defibrilasi jika

dibutuhkan.

Low flow (Fase

Resusitasi)

Tekan keras, tekan cepat,

minimalkan gangguan

dalam kompresi

Titrasi CPR untuk

mengoptimalkan aliran

darah miokard

Pertimbangkan peralatan

tambahan untuk

meningkatkan perfusi

organ vital selama RJP

Seimbangkan delivery

oksigen dengan

kebutuhan oksigen

Pertimbangkan

ekstracorporeal RJP jika

RJP / ALS dasar tidak

berhasil

Page 68: Jurnal Anestesiologi Indonesia

189

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Fase Postresusitasi Mengoptimalkan cardiac

output dan perfusi otak

Perbaiki aritmia jika

dibutuhkan

Hindari hiperglikemia,

hipertermia dan

hiperventilasi

Postresusitasi (fase

rehabilitasi /

regenerasi)

Intervensi yang cepat

dengan terapi fisik

Transplantasi sel stem

jika memungkinkan

kedepannya

(Slonim)

Postresusitasi merupakan periode yang

mengandung resiko tinggi terjadinya

trauma otak yang berkelanjutan, aritmia

ventrikel ada trauma reperfusi yang lain.

Sel yang mengalami trauma dapat rusak

maupun dapat berfungsi kembali.

Intervensi seperti hipotermi sistemik

selama fase postresusitasi berguna untuk

meminalkan trauma reperfusi dan

pengembalian fungsi sel. Hipertermi juga

harus dihindari pada selama resusitasi,

sedangkan hipotermi (32 – 340 C) selama

12 – 24 jam setelah resusitasi lebih

bermanfaat. 8

Intervensi selama Fase Low Flow :

Resusitasi Jantung Paru

Jalan nafas dan Pernafasan

Faktor utama yang sering menyebabkan

henti jantung pada anak adalah gangguan

pernafasan dimana membutuhkan ventilasi

dan oksigenasi yang cukup. Ventilasi yang

efektif membutuhkan ETT. Selama CPR,

cardiac output dan aliran darah paru

kurang lebih 10-25% dibanding pada ritme

sinus normal dimana keadaan sedikit

ventilasi selama RJP penting dalam

mencapai pertukaran gas yang adekuat dari

sirkulasi darah ke paru – paru.

Sirkulasi

Sirkulasi darah selama RJP dibedakan

menjadi 2 mekanisme yaitu

pompa jantung yaitu kompresi langsung

pada jantung antara sternum dan tulang

belakang

pompa thorakal yaitu peningkatan tekanan

intrathorakal membuat perbedaan tekanan

sehingga sirkulasi darah mengalir dari paru

melewati jantung menuju sirkulasi perifer.

Pada mekanisme pompa jantung, kompresi

pada ventrikel menyebabkan katub

atrioventrikular menutup sehingga darah

mengalir menuju aorta; sedangkan selama

fase relaksasi tekanan pada ventrikel turun

dan katub atriventrikel membuka.

Mekanisme pompa jantung ini dominan

pada anak kecil karena dinding dada lebih

lentur. Pada anak-anak mulai infant

sampai adolescence posisi jantung berada

di daerah posterior sepertiga bawah dari

sternum sehingga kedalaman pijat jantung

yang efektif adalah minimal sampai 1/3

diameter antero lateral atau 11/2 inchi

(4cm) pada infants dan sekitar 2 inchi

(5cm) pada anak. 1,4

Variabel=Variabel yang Mempengaruhi

Efektivitas Kompresi Dada Perbandingan

Kompresi dan Ventilasi

Perbandingan yang ideal antara kompresi

dengan ventilasi pada anak – anak tidak

diketahui dengan pasti. Jumlah ventilasi

harus sesuai, namun tidak boleh berlebihan

karena dapat menyebabkan peningkatan

Page 69: Jurnal Anestesiologi Indonesia

190

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

tekanan intrathorakal yang pada akhirnya

dapat mengurangi perfusi koroner.

Resusitasi pijat jantung pada infant dan

anak – anak diawali dengan 30x kompresi

bagi penolong tunggal dan 15 kompresi

bagi 2 penolong dengan berikan bantuan

pernafasan kurang lebih selama 1 detik. 4,8

Siklus Kerja

Siklus kerja merupakan rasio waktu dari

fase kompresi dengan akhir relaksasi. Pada

pasien henti jantung dewasa, cardiac

output dan aliran darah koroner akan

optimal jika kompresi dada sekitar 30%

dari total siklus waktu; sedangkan pada

saat RJP maka optimal siklus kerja akan

meningkat menjadi 50%.1

Monitoring Efektivitas dari Resusitasi

Jantung Paru

Tekanan perfusi miokardial (Myocardial

perfusin pressure / MPP) yang adekuat

sangat penting bagi keberhasilan dalam

CPR. Tanpa arterial line akan sulit

dilakukan monitoring relaksasi aorta dan

tekanan diastolik.

Pada henti jantung dewasa, jika end tidal

CO2 > 10 mmHg berhubungan dengan

keberhasilan RJP, namun pada pediatric,

end tidal CO2 tinggi pada awal resusitasi

dan turun selama resusitasi.

Peralatan mekanis untuk memperbaiki

Hemodinamik selama Resusitasi

Kardiopulmoner

Tujuan dari peralatan mekanis selama

resusitasi adalah untuk meningkatkan

cardiac output dengan cara meningkatan

kerja dari pompa jantung, thorakal dan

abdominal atau untuk memberikan

sirkulasi buatan untuk jaringan vital.

Peralatan –peralatan tersebut mencakup

pneumatik vest and band, kompresi dan

dekompresi yang aktif, teknik kompresi

interposed abdomen serta katub inspirasi

impedance untuk meningkatkan venous

return dan cardiac output.

Ekstracorporeal Membran Oksigenasi

pada Resusitasi Cardiopulmoner

Penggunaan Venoarterial Extracorporeal

Membrane Oxygenation (ECMO) adalah

untuk menciptakan sirkulasi dan

memberikan reperfusi terkontrol yang

mengikuti henti jantung terutama pasien

dengan potensial disfungsi miokard akut

post operasi atau aritmia. Pada suatu study,

11 anak yang mengalami henti jantung di

PICU setelah operasi jantung menerima

ECMO setelah dilakukan RJP selama 20 –

110 menit, dimana 6 dari 11 pasien

tersebut dapat bertahan hidup tanpa sekuel

neurologis. CPR dan ECMO bukan

merupakan perawatan kuratif namun

merupakan resusitasi kardiopulmoner yang

membantu perfusi dan viabilitas jaringan

yang memgalami proses penyakit

mengalami recovery kembali. Keuntungan

dari ECMO termasuk untuk mengontrol

parameter fisilogis seperti heart rate,

oksigenasi, ventilasi dan temperatur tubuh

melalui sirkuit ECMO. 1,4

Page 70: Jurnal Anestesiologi Indonesia

191

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Algoritma penatalakasanaan Henti Jantung pada Anak.4

Obat – Obatan yang Digunakan selama

Henti Jantung

Vasopressor

Pengunaan epinefrin yang merupakan

alpha adrenergik yang mempengaruhi

tonus vaskular sangat dibutuhkan selam

RJP. Aksi dari obat ini meningkatkan

systemic vascular resistence (SVR),

meningkatkan tekanan darah diastolik

yang akan meningkatkan tekanan perfusi

koroner. Epinefrin juga meningkatkan

aliran darah otak selama RJP karena

vasokontriksi perifer menyebabkan aliran

darah ke otak meningkat. Pada miokard,

epinefrin meningkatkan kontraktilitas,

meningkatkan heart rate dan relaksasi otot

polos.

Epinefrin dosis tinggi (0.05 – 0.2 mg /

kgBB) memperbaiki miocard dan aliran

Page 71: Jurnal Anestesiologi Indonesia

192

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

darah otak selama RJP dibandingkan

dengan dosis standar (0.01 – 0.02

mg/kgBB), namun pemberian epinefrin

dosis tinggi ini dapat memperburuk

kondisi pasien postresusitasi dengan

meningkatkan kebutuhan oksigen miocard,

hipertensi dan nekrosis miocard. 1

Calcium

Pemberian calcium selama RJP

diindikasikan untuk beberapa kondisi

tertentu seperti hipocalcemia,

hiperkalemia, hipermagnesia dan

overdosis calcium channel blocker.

Buffer darah

Keadaan henti jantung merupakan hasil

dari asidosis laktat yang diakibatkan oleh

sirkulasi yang adekuat dan oksigenasi yang

buruk. Asidosis mendepresi fungsi

miocard dan respon terhadap katekolamin,

mengurangi SVR dan menghambat

defibrillasi. Pemberiaan sodium bikarbonat

juga diindikasikan bagi pasien dengan

overdosis trisiklik antidepresan,

hiperkalemia, hipermagnesia atau

overdosis sodium channel blocker.

Buffer bikarbonat terjadi ketika kation

hidrogen dan anion bikarbonat membentuk

karbondioksidan dan air. Ketika

karbondioksida tidak seluruhnya dapat

dibersihkan melalui ventilasi maka

keadaan ini akan diimbangi dengan efek

buffer bikarbonat. Efek samping

penggunaan sodium bikarbonat adalah

hipernatremia hiperosmolaritas dan

alkalosis metabolik. Alkalosis yang berat

menurunkan konsentrasi calcium dan

potasium kurva disosiasi oksihemoglobin

ke arah kiri. 9

Gangguan Ritme Jantung

Gangguan ritme jantung merupakan

masalah pada jantung yang sering dihadapi

yang merupakan penyakit primer atau

akibat komplikasi pengobatan.

Disritmia

Secara umum aritmia dibedakan berdasar

rate, pemeriksaan EKG dan mekanisme

elektrofisiologi. Berdasar EKG, aritmia

dibagi menjadi bradikardi, takikardi dan

ekstrasistol. Bradiaritmia disebabkan

karena keterlambatan konduksi impuls dari

atrium kanan menuju nodus AV dan

serabut HIS – Purkinje dimana gangguan

tersebut meliputi nodus AV (gangguan

blok jantung derajat 1 dan 2 tipe 1) atau

sistem HIS – Purkinje (derajat 2 tipe

2/mobitz) dan gangguan blok derajat 3.

Bradiaritmia juga dapat disebabkan oleh

gangguan nodus sinus (otonomik yang

tidak efektif) seperti pacemaker yang tidak

regular dalam menghasilkan denyut

jantung. Etiologi takiaritmia lebih

bervariasi dan dapat berasal dari atrium,

ventrikel atau nodus AV yang dapat

dikategorikan juga sebagai gangguan

otonomik atau reentrant. Takikardi dapat

dihasilkan dari sek tau kelompok sel yang

mempunyai abnormal otonomik yang

secara spontan berdepolarisasi lebih cepat

dari nodus sinus dan menghasilkan denyut

jantung lebih cepat dibanding denyut

normal. Takikardi meliputi ektopik atrial

takikardi, multifokal atrila takikardi dan

junctional ektpoik takikardi. Sebaliknya

takikardi reentrant disebabkan oleh jalur

elektrik yang nonfisiologis yang

menghasilkan konduksi kembali pada

bagian – bagian jantung yang

berrepolarisasi setelah konduksi awal

dengan impuls yang sama. Sirkuit

Page 72: Jurnal Anestesiologi Indonesia

193

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

reentrant ini dapat terjadi di atrium (atrial

flutter), ventrikel (ventrikular takikardi)

nous AV (AV node reentrant takikardi)

atau jaringan yang menghubungkan

atrium, dan/atau ventrikel (jalur takikardi

tambahan). 5,9

Klasifikasi Aritmia

Penatalaksanaan Gangguan Irama

Jantung

Penatalaksanaan Bradikardi

Pada intensif care unit untuk mengobati

bradikardi kita tetap harus mengobati

penyebab dasarnya. Peningkatan tekanan

intrakranial, hipotermi dll dapat

mengakibatkan bradikardi yang

membutuhkan penatalaksanaan spesifik.

Pengobatan awal untuk bradikardi selain

airway dan ventilasi adalah pengobatan

farmakologis. Atropin 0.02 mg/kgBB

IV/IO atau 0.03 mg/kgBB via ET dapat

mengurangi gejala bradikardi akibat

hipoksia (atau stimulasi vagal),

penggunaan digoksin, peningkatan

intrakaranial atau AV blok. Dapat juga

diberikan epinefrin (0.1 mcg/kgBB) untuk

meningkatkan denyut jantung, namun

setelah pemberian epinefrin atau

isopretolol dosis tinggi sebaiknya diganti

dengan pace maker sementara ataupun

sebagai back up. 4,9

Untuk akses vaskular, jika kesulitan dalam

mendapatkan akses vena dapat diberikan

obat – obatan yang bersifat larut dalam

lemak yaitu lidokain, epinefrin, atropin

dan nalokson melalui pipa ET. Cara

pemberian obat – obatan tersebut dengan

cara berikan minimal 5cc normal salin

pada pipa ET diikuti dengan 5x ventilasi

manual. Sedangkan obat – obatan yang

tidak boleh diberikan melalui pi[a ET

adalah sodium bikarbonat karena dapat

menyebabkan iritasi parenkim paru. 4

Penatalaksanaan Takikardi

Vagal Manuver

Vagal manuver merupakan intervensi yang

paling sering digunakan untuk

penatalaksanaan SVT. Mekanisme vagal

manuver seperti Valsava manuver atau

pemijatan pada sinus carotid selama 15 –

30 detik untuk menghasilkan stimulasi

vagal pada infant. Stimulasi vagal secara

farmakologis juga dapat dicapai dengan

pemberian asetilkolin inhibitor

edrophonium (tensilon 0.1 – 0.2

mg/kgBB). 9

Ventrikel Fibrilasi pada Anak – Anak

Penatalaksanaan untuk VF durasi pendek

adalah defibrilasi. Defibrilasi dapat

memutus VF dengan depolarisasi secara

terus menerus dan menciptakan kontraksi

Page 73: Jurnal Anestesiologi Indonesia

194

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

miocard. Keberhasilan defibrilasi menurun

apabila durasi dari VF semakin panjang.

Dosis defibrilasi bervariasi dari 0.25 – 1

J/kgBB untuk SVT dan lebih dari 2

J/kgBB untuk takikardi ventrikular . 1,5,9

Obat – Obat Antiaritmia

Pengobatan antiaritmia sebaiknya tidak

menunda pengobatan VF. Meskipun

defibrilasi yang diberikan tidak berhasil,

obat-obatan resusitasi tetap diberikan,

dimana epnefrin merupakan pengobatan

awal bagi VF pada anak maupun dewasa

dan dilanjutkan dengan lidokain atau

amiodaron apabila pemberian epinefrin

dengan atau tanpa vasopresin tidak

berhasil.

Obat Antiaritmia Kelas I A

Obat antiaritmia kelas I memperlama

repolarisasi dan mempunyai efek

antivagal.

Quinidin

Indikasi digunakan sebagai profilaksis

setelah cardioversi pada kasus atrila

fibrilasi atau flutter untuk

mempertahankan normal sinus ritme dan

digunakan untuk mencegah terjadinya

Supraventrikular Takikardi (SVT) dan

Ventrikel Takikardi (VT) yang berulang.

Quinidin merupakan sodium dan potasium

channel blocker, disamping menciptakan

keadaan ion negatif dan memblokade

reseptor muskarinik.

Dosis (267 mg quinidin glukonat setara

dengan 200 mg quinidin sulfat)

Bayi / Anak : test dosis untuk reaksi

idiosinkratik, intolerance, sinkop dan

trombositopenia. Oral, IM : 2 mg/kgBB

atau 60 mg/m2

Oral (quinidin sulfat) : 30 mg/kg/day atau

900mg/m2/hari terbagi dalam dosis 5x/hari

atau 6mg/kgBB setiap 4 – 6 jam

Intravena (IV) (quinidine glukonat) : 2 –

10 mg/kgBB/dosis setiap 3 – 6 jam

tergantung kebutuhan. 5

Procainamide

Indikasi untuk pengobatan VT,

paroxysmal atrial takikardi dan atrial

fibrilasi

Procainamide merupakan sodium chanel

blocker yang potent dan potasium chanel

blocker moderate, procainamide

menghambat repolarisasi dan

mempercepat denyut jantung.

Dosis Bayi / Anak oral : 15 – 30

mg/kgBB/hari, diberikan dalam dosis

terbagi setiap 3 – 6 jam (maksimal 4g/hari)

IM : 20 – 30 mg/kgBB/hari diberikan

dalam dosis terbagi setiap 4 – 6 jam

(maksimal 4g/hari)

IV : loading dosis 3 – 6

mg/kgBB/dosis dalam 5 menit, tidak boleh

melebihi 100 mg/dosis dapat diulang

setiap 5 – 10 menit dengan dosis maksimal

15 mg/kgBB.

Maintenance : infuse kontinyu IV 20 – 80

mcg/kgBB/menit (maksimal 2 g/hari) (5)

Page 74: Jurnal Anestesiologi Indonesia

195

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Obat Antiaritmia Kelas IB

Obat dari golongan ini memblok sodium

chanel dan memperpendek durasi potensial

aksi dan repolarisasi

Lidokain

Indikasi digunakan sebagai pengobatan

ventrikular ektopik, takikardidan fibrilasi

selain digunakan sebagai anestesi lokal

Mekanisme aksi :lidoakain memblok

sodium chanel dengan cepat.

Dosis IV, IO (intra osseous) : loading

dosis 1 mg/kgBB diikuti infus continue 20

– 50 mcg/kgBB/menit. Dapat diulang

bolus 0.5 – 1 mg/kgBB. Pada pasien

dengan syok, penyakit hati atau CHF dosis

dapat diberikan setengah dari dosis loading

dan infus.

Endotracheal Tube : 2 – 10x dosis bolus

IV. 5

Obat – obat antiaritmia kelas IC

Obat dari golongan ini merupakan sodium

chanel blocker dengan efek pada

repolarisasi yang bervariasi.

Flekainamid

Pengobatan aritmia atrial, junctional dan

ventrikular.

Mekanisme aksi flekainamid memblok

sodium chanel dengan lambat dengan

sedikit memblok potasium chanel.

Dosis oral : dosis awal 1 – 3 mg/kgBB/hari

atau 50 – 100 mg/m2/hari terbagi menjadi

3 dosis.

Obat Antiaritmia Kelas II : beta blocker

Propanolol

Indikasi digunakan untuk pengobatan

vebtrikular aritmia dan hipertensi

Mekanisme aksi propanolol merupakan

non selektif beta blocker dengan efek

membran sodium chanel. Propanolol tidak

mempunyai efek simpatometik intrinsik.

Dosis neonatal : 0.01 mg/kgBB IV pelan

diberikan selama 10 menit, dapat diulang 6

– 8 jam sesuai dengan kebutuhan sampai

dosis maksimal 0.15 mg/kgBB/dosis

secara pelan.

Infant / Anak – Anak : 0.01 – 0.1

mg/kgBB diberikan IV pelan selama 10

menit, dosis maksimal 1mg pada infant

dan 3 mg pada anak – anak.

Neonatal : 0.25 mg/kgBB/dosis setiap 6 –

8 jam oral, dapat dinaikkan maksimal 5

mg/kgBB/hari.

Anak : 0.5 – 1 mg/kgBB/hari dengan dosis

terbagi setiap 6 – 8 jam, dititrasi selama 3

– 5 hari dengan dosis 2 – 4 mg/kgBB/hari

dan tidak melebihi 16 mg/kgBB/hari atau

60mg/hari. 5

Obat – Obat Antiaritmia Kelas III

Amiodaron

Indikasi digunakan untuk pengobatan

takiaritmia ventrikular dan atrial.

Amiodaron sering digunakan untuk

pengobatan Junctional Ektopik Takikardi

postoperatif.

Mekanisme Aksi amiodaron menghambat

stimulasi adrenergik, memperlama

Page 75: Jurnal Anestesiologi Indonesia

196

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

potensial aksi dan periode refraktori dari

atrium dan ventrikel dan mengurangi

fungsi nodus AV dan sinus nodus.

Dosis IV : 5 mg/kgBB diberikan bolus

cepat untuk VT/Vftanpa nadi

Oral untuk anak – anak dibawah 1 tahun

menggunakan rumus luas tubuh. Loading

dosis 10 – 15 mg/kgBB/hari atau 600 –

800 mg/1.73m2/hari terbagi menjadi 2x

pemberian selama 4 – 14 hari. Dosis

kemudian dikurangi sampai 5

mg/kgBB/hari atau 200 – 400

mg/1.73m2/hari. 5

Obat Antiaritmia Kelas IV : Calcium

Channel Blocker

Verapamil

Indikasi digunakan untuk mengobati

takiaritmia atrial (SVT, atrial flutter dan

atrial fibrilasi)

Mekanisme aksi verapamil memblok

Calcium Channel Blocker pada otot polos

vaskular dan myocard selama depolarisasi.

Pemberian Verapamil tidak

direkomendasikan pada anak dibawah 1

tahun. Dosis IV : 0.1 – 0.2 mg/kgBB/dosis

jika tidak berespon dapat diulang 30 menit

kemudian. Untuk anak – anak diatas 1

tahun diberikab 0.1 – 0.3 mg/kgBB/dosis

dengan dosis maksimal 5 mg.

Oral : 4 – 8 mg/kgBB/hari dosis terbagi,

diberikan setiap 8 jam. 5

Diltiazem

Digunakan sebagai pengobatan blok nodus

AV pada atrial fibrilasi dan flutter serta

paroxysmal SVT

Mekanisme aksi diltiazem membloks

calcium channel dengan efek pada nodus

SA dan nodus AV

Dosis Infants / Anak IV : bolus 0.15 – 0.45

mg/kgBB, infus kontinyu 2

mg/kgBB/menit

Oral : 1.5 – 2 mg/kgBB/hari terbagi

menjadi 3 – 4 dosis, maximal 3.5

mg/kgBB/hari. 5

Syok

Syok merupakan keadaan akut dan

kompleks dari gangguan sirkulasi yang

mengakibatkan gangguan pengangkutan

oksigen dan nutrient untuk memenuhi

kebutuhan metabolik jaringan.

Syok Kardiogenik

Syok cardiogenik merupakan abnormalitas

dari fungsi jantung yang

bertanggungjawab terhadap sistem

cardiovaskular untuk memenuhi kebutuhan

metabolik jaringan. Syok cardiogenik atau

congestive heart failure (CHF) pada infant

dan anak – anak membutuhkan diagnostik

dan penatalaksanaan khusus. 10

Page 76: Jurnal Anestesiologi Indonesia

197

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Page 77: Jurnal Anestesiologi Indonesia

198

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

RINGKASAN

Disfungsi akut miokard yang berat

merupakan faktor utama yang

menyebabkan mortalitas dan morbiditas

pada anak – anak yang membutuhkan

perawatan yang intensif. Jantung

merupakan organ yang paling mudah

mengalami gangguan pada penyakit kritis

dan kegagalan fungsi jantung ini dapat

diakibatkan oleh berbagai penyakit

termasuk sepsis, penyakit jantung bawaan,

trauma dan juga akibat infeksi pada

pernafasan seperti respiratory syncitial

virus (RSV).

Pediatric Intensive Care adalah bagian

dari ilmu yang mempunyai fokus pada

clinical care, ilmu dan penelitian serta

penanganan kesehatan bagi bayi, anak –

anak dan dewasa muda yang mempunyai

penyakit yang berpotensial mengancam

nyawa, sehingga dengan melakukan

monitoring yang intensif pada sistem

kardiovaskular dan penanganan yang cepat

dan tepat dalam mengenali gangguan

fungsi jantung dapat meminimalkan angka

morbitas dan mortalitas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Slonim, AD, Pollack, MM. Pediatric Critical

Medicine. Lippincott Williams & Wilkins.

2006 : 5

2. Wheeler, DS, Wong, HR, Shanley,TP.

Science and Practise of Pediatric Critical

Care Medicine. Springer – Verlag. London.

2009 :

3. Holzman, RS, Mancuso, TJ, Polaner, DM. A

Practical Approach to Pediatric Anesthesia.

Lippincott Williams & Wilkins; 2008.

4. American Heart Association. Pediatric

Advanced Life Support. 2005. From :

http://cic.ahajournals.org/http:/content/120/7

/e53.full.pdf

5. Munoz, R.,Schmitt, CG, Roth, SJ. Handbook

of Pediatric Cardiovascular Drugs. Springer

– Verlag London; 2008.

6. Marino PL. The Little ICU Book of Facts

and Formulas. Lippincott Williams &

Wilkins. Philadelphia; 2007.

7. Morgan, GE, Mikhail, MS. Clinical

Anesthesiology, 3rd ed., 18, Appleton and

Lange. London, 2002

8. Doniger, SJ, Sharieff, GQ. Pediatric

Resuscitation Revised : A Summary of the

Updated BLS/NALS/PALS

Recommendation. 2007. From :

http://www.isrjem.org/June207.Resusc-

Donzinger.postrprod.pdf

9. Fuhrman, BP, Zimmerman, J.J. Pediatric

Critical Care. Mosby, Inc. Philadelphia;

2009 : 4

10. Arikan, AA. Pediatric Shock. 2008. From :

http://www.signavitae.com/articles/review-

articles/51-pediatric-shock

Page 78: Jurnal Anestesiologi Indonesia

Subject Index

Volume II

ADP, 24, 91

CNS trauma, 52

dexamethasone, 136

enflurane, 24

epinephrine, 154

fasciculation, 1

fluids administration, 107

glomerular filtration rate, 10

granisetron, 136

haes-sterile, 125

halothane, 24

histologic score MHC Class I, 81

hypertonic sodium lactate, 125

IL-10 serum level, 71

incision pain, 71

isoflurane, 10

ketorolac, 10

laparatomy, 136

Levobupivacaine infiltration, 71

levobupivacaine, 81

lidocaine, 154

magnesium sulphate, 1

mediastinoscopy, 44

metoclopramide, 136

MgSO4, 146

midazolam, 17

muscle relaxant, 116

nausea, 136

NMDA antagonist, 146

non invasive mechanical ventilation, 169

one lung ventilation, 160

opioid, 146

pediatric intensive care, 180

pediatric, 107

penthotal, 91

platelet aggregation, 91

postoperative management, 36

postoperative pain, 146

potassium, 1

propofol, 91

sectio caesaria, 17

sedation, 116

spinal anesthesia, 17

strong ions difference (SID), 125

subarachnoid block, 154

succinylcholine, 1

thrombocyte aggregation, 24

trauma patient, 36

VAS, 146

vomiting, 136

wound healing, 81

Page 79: Jurnal Anestesiologi Indonesia

INDEKS JUDUL

JURNAL ANESTESIOLOGI INDONESIA

VOLUME II No. 1 s.d. 3 Th 2010

No. Nama Judul Volume Hal

1.

Satrio Adi W, Hari

Hendriarto, Heru

Dwi Jatmiko

A

Anestesi Pada Mediastinoskopi Mediastinoskopi menggunakan anestesi

umum. Akses vena dengan kateter

intravena diameter besar (14 hingga 16

gauge) diharuskan karena resiko

perdarahan berlebihan dan kesulitan

pengendalian perdarahan.

Vol. 2, No. 1,

Th 2010

44

2. Moch. Rahardi

Hamsya, Mohamad

Sofyan Harahap

Atrakurium dan Magnesium Sulfat

untuk Mencegah Peningkatan Serum

Kreatinin Fosfokinase dan Ion

Kalium akibat Induksi Suksinilkolin Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40

mg/kgBB dapat mencegah peningkatan

kadar kreatinin fosfokinase serum dan

kadar kalium darah, meskipun tidak

seefektif Atrakurium, tetapi lebih baik

dibanding yang lain.

Vol. 2, No. 1,

Th 2010

1

3.

I Nyoman Panji,

Heru Dwi Jatmiko,

Aria Dian

Primatika

G

Granisetron, Kombinasi

Metoklopramid dan Deksametason

Terhadap Mual Muntah Pasca

Laparatomi Pemberian granisetron 1 mg mampu

mengurangi mual muntah paska operasi

yang sama efektifnya dengan

kombinasi metoklopramid 10 mg dan

deksametason 8 mg.

Vol. 2, No. 3,

Th 2010

136

4.

Eva Susana, Uripno

Budiono, Heru Dwi

Jatmiko

H

Hubungan Kadar Midazolam

Plasma Ibu Dan Bayi Dengan

Kondisi Fisik Serta Waktu

Persalinan Pada Pasien Sectio

Caesaria Yang Mendapat

Premedikasi Midazolam Intravena Ada hubungan kadar midazolam

plasma ibu dan bayi terhadap kondisi

fisik serta waktu persalinan.

Vol. 2, No. 1,

Th 2010

17

Page 80: Jurnal Anestesiologi Indonesia

5. Rosa Afriani, Heru

Dwi Jatmiko

K

Ketorolak Intravena dan Laju

Filtrasi Glomerulus pada Anestesi

Isofluran Terdapat peningkatan kreatinin serum

secara tidak bermakna dan terjadi

penurunan klirens kreatinin secara

tidak bermakna, pada kelompok

ketorolak dan plasebo, dengan

menggunakan agen inhalasi isofluran.

Vol. 2, No. 1, Th 2010

10

6.

Rezka Dian

Trisnanto, Uripno

Budiono , Widya

Istanto Nurcahyo

L

Lama Analgesia Lidokain 2%

Dibandingkan Kombinasi Lidokain

2% dan Epinefrin pada Blok

Subarakhnoid Penggunaan kombinasi lidokain 2% 80

mg dan epinefrin 0,05 mg

menghasilkan waktu regresi analgesia

dan blokade motorik yang lebih

panjang dibandingkan penggunaan

lidokain.

Vol. 2, No. 3,

Th 2010

154

7.

Husni Riadi

Nasution, Ery

Leksana

M

Magnesium Sulfat Intravena,

Derajat Nyeri dan Kebutuhan

Opioid Pasca Operasi Pemberian MgSO4 tidak mengurangi

derajat nyeri dan kebutuhan opioid

paska operasi.

Vol. 2, No. 3,

Th 2010

132

8. Aprilina

Rusmaladewi, Ery

Leksana, Widya

Istanto Nurcahyo

Monitoring Kardiovaskuler pada

Pediatric Intensive Care

Anestesi memegang peranan penting

terhadap perkembangan Pediatric

Intensive care karena ilmu pengetahuan

dan keterampilan anestesiologist dalam

mengelola jalan nafas dan pernafasan,

monitoring sirkulasi dan akses

vaskular.

Vol. 2, No. 3,

Th 2010

180

9.

Tutus Nurastadila,

Ery Leksana,

Uripno Budiono

P

Natrium laktat Hipertonik dan

Strong Ions Difference (SID) Pada

Pasien Sectio Caesaria

Pemberian infus sodium laktat

hipertonik dapat mempertahankan SID

paska operasi dimana SID meningkat

menuju nilai normal dibandingkan

infus Haes-steril 6% yang mengalami

Vol. 2, No. 3,

Th 2010

125

Page 81: Jurnal Anestesiologi Indonesia

penurunan nilai SID.

10. Aria Dian

Primatika, Uripno

Budiono, Ery

Leksana

Pengaruh Infiltrasi Levobupivakain

pada Skor Histologis MHC Kelas 1

pada Penyembuhan Luka Ekspresi MHC kelas I (skor histologi

MHC I) pada kelompok dengan

infiltrasi levobupivakain lebih rendah

dibandingkan dengan kelompok tanpa

infiltrasi levobupivakain.

Vol. 2, No. 2,

Th 2010

81

11. Aditya Kisara,

Hariyo Satoto,

Johan Arifin

Pengelolaan Cairan Pediatrik Pemberian cairan pada anak berbeda

dengan pemberian cairan pada dewasa.

Untuk memudahkan menghitug jumlah

kebutuhan cairan rumatan pada anak

dapat digunakan rumus dari Holliday

dan Segar. Pada anak yang akan

mejalani operasi, perlu diberikan cairan

pengganti puasa dan cairan yang hilang

selama operasi.

Vol. 2, No. 2,

Th 2010

107

12. Rindarto, Jati

Listiyanto Pujo,

Ery Leksana

Pengelolaan Pasca Operasi Dan

Rawat Intensif Pada Pasien Trauma Pengelolaan pasien trauma di ICU

terutama difokuskan pada pengelolaan

hipotermi, koagulopati, asidosis,

sindrom kompartemen abdomen dan

ARDS, hal ini karena faktor-faktor

tersebut merupakan penyebab utama

kematian pada jam-jam pertama pasca

trauma.

Vol. 2, No. 1,

Th 2010

36

13. Tatag Istanto, Jati

Listiyanto, Danu

Soesilowati

Penggunaan Sedasi dan Pelumpuh

Otot di Unit Rawat Intensif Sedasi sebaiknya diberikan pada pasien

dengan penyakit kritis yang dirawat di

ICU, dan pelumpuh otot jarang

digunakan di ICU karena biasanya

sedasi saja sudah mencukupi untuk

menenangkan pasien dan memberikan

kenyamanan pasien dengan ventilasi

mekanik. Penggunaan sedasi yang

terlalu berlebihan atau telalu sedikit

meningkatkan angka morbiditas pasien.

Penggunaan pelumpuh otot dalam

waktu lama memiliki banyak kerugian

yang harus dipertimbangkan.

Vol. 2, No. 2,

Th 2010

116

Page 82: Jurnal Anestesiologi Indonesia

14. Mochamad Rofii,

Hariyo Satoto,

Mohamad Sofyan

Harahap

Perbandingan Kadar IL-10 Serum

dengan dan Tanpa Infiltrasi

Levobupivakain pada Nyeri Pasca

Insisi Infiltrasi Levobupivakain 0,25 %

disekitar luka insisi meningkatkan

kadar IL-10 serum. Kenaikan kadar IL-

10 serum tertinggi adalah pada

kelompok infiltrasi dengan

Levobupivakain 0,25 % yang terjadi

pada hari kedua yaitu sebesar 130 %.

Vol. 2, No. 2,

Th 2010

70

15. Arliansah, Widya

Istanto, Hariyo

Satoto

Perbedaan Agregasi Trombosit pada

Penderita yang Mendapat Propofol

dan Penthotal Propofol secara bermakna menurunkan

agregasi maksimal trombosit dan

menyebabkan hipoagregasi lebih

banyak daripada penthotal.

Vol. 2, No. 2,

Th 2010

91

16. Agatha Citrawati

Anom, Mohamad

Sofyan Harahap

Perbedaan Pengaruh Pemberian

Enfluran Dan Halotan Terhadap

Agregasi Trombosit Halotan secara bermakna menurunkan

persen agregasi trombosit dan

menyebabkan gambaran hipoagregasi

lebih banyak dari pada enfluran.

Vol. 2, No. 1,

Th 2010

24

17.

Dicky Hartawan,

Danu Soesilowati,

Uripno Budiono

V

Ventilasi Mekanik Noninvasif Ventilasi mekanik dapat diberikan

dengan cara invasif maupun noninvasif.

Ventilasi noninvasif menjadi alternatif

karena dapat menghindari risiko yang

ditimbulkan pada penggunaan ventilasi

invasif, mengurangi biaya dan lama

perawatan di ruang intensif.

Vol. 2, No. 3,

Th 2010

169

18. Aditya Kisara, Hari

Hendriarto Satoto,

Johan Arifin

Ventilasi Satu Paru Pembedahan di daerah thoraks

menghadirkan masalah fisiologis untuk

ahli anestesi sehingga membutuhkan

pertimbangan khusus. Salah satu

diantaranya adalah ventilasi satu paru.

Terdapat beberapa hal penting yang

harus diperhatikan dalam pengelolaan

ventilasi satu paru.

Vol. 2, No. 3,

Th 2010

160

Page 83: Jurnal Anestesiologi Indonesia