jiwa

43
LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. A Umur : 46 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki TTL : Malang, 08 Oktober 1969 Agama : Islam Suku Bangsa : Jawa Status Marital : Belum menikah Pendidikan Terakhir : D3 Pekerjaan Terakhir : Tidak bekerja Alamat pasien saat ini : Kepanjen, Malang Waktu Pemeriksaan : 09 Desember 2015, Pukul 20.00 WIB Dokter Pemeriksa : II. ANAMNESIS A. Keluhan Utama Marah-marah B. Auto Anamnesis 1

Upload: ufuk-steven

Post on 13-Jul-2016

14 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jiwa

TRANSCRIPT

Page 1: jiwa

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Umur : 46 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

TTL : Malang, 08 Oktober 1969

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Status Marital : Belum menikah

Pendidikan Terakhir : D3

Pekerjaan Terakhir : Tidak bekerja

Alamat pasien saat ini : Kepanjen, Malang

Waktu Pemeriksaan : 09 Desember 2015, Pukul 20.00 WIB

Dokter Pemeriksa :

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Marah-marah

B. Auto Anamnesis

Pasien laki-laki datang ke UGD dengan keadaan di fiksasi,

penampilan rapi, tidak bau, roman wajah sesuai usia diantar oleh

keluarganya. Pasien tahu bahwa sekarang sudah malam dan berada di RSJ

Lawang dan pasien tahu diantar kesini oleh keluarganya. Pasien

mengatakan dibawa ke UGD karena marah-marah dan mengamuk

1

Page 2: jiwa

melempar botol ke jendela rumah tetangga. Pasien merasa ada bisikan yang

menyuruhnya untuk marah-marah. Menurut pasien yang membisikkan

yaitu dukun bernama “Satuman”. Menurut pasien, Satuman adalah dukun

suruhan dari Eni yang merupakan mantan pacarnya waktu kuliah. Pasien

merasa dirinya disantet dan apapun yang dia lakukan semuanya

dikendalikan oleh Satuman. Pasien mengatakan sering melihat sosok

ibunya yang sudah meninggal saat sedang menonton TV kemudian pasien

merasa marah karena mengingat ibunya menginginkan hal yang terlalu

tinggi dari pasien. Kemudian pasien terdiam beberapa saat, setelah

dipanggil beberapa kali pasien tersadar, kemudian pasien mengatakan

bahwa dirinya baru saja memukul kepalanya sendiri karena digerakkan

oleh Satuman. Pasien mengatakan tidak nafsu makan dan mandi hanya

sekali sehari serta malas sholat.

C. Hetero Anamnesis (Didapat dari adik pasien Ny. S)

1. Rincian Keluhan Utama

Pasien marah-marah kepada bibinya sejak sore tadi sampai memecahkan

piring dan kaca jendela tetangganya. Ketika ditanya kenapa marah pasien

mengatakan dirinya disuruh marah-marah oleh kakaknya yang sudah

meninggal.

2. Gejala Lain yang Menyertai Keluhan Utama

- Sulit tidur

- Suka berbicara sendiri sejak 2 hari.

- Makan tidak teratur dan malas beribadah

3. Gejala Prodromal

- Suka berdiam diri, tidak mau bersosialisasi.

- Pendiam

- Kalau ditegur suka marah-marah

2

Page 3: jiwa

4. Peristiwa Terkait dengan Keluhan Utama

- Kakak pasien meninggal sejak 3 bulan yang lalu

- Pasien merasa tidak berguna karena tidak bisa mencari kerja

5. Riwayat Penyakit Dahulu

- HT disangkal

- DM disangkal

- Pernah MRS tahun 1997 di RSJ Lawang karena marah-marah

- Pernah MRS tahun 1998 di RSJ Lawang karena marah-marah

6. Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Perkembangan Anak

Lahir normal, cukup bulan (9 bulan), ditolong oleh bidan, perkembangan

sesuai usia.

7. Riwayat Sosial dan Riwayat Pekerjaan

- Riwayat sosial : Tidak mau bersosialisasi dengan tetangga dan

lingkungan lainnya.

- Riwayat pekerjaan : pasien tidak bekerja.

8. Faktor Kepribadian Premorbid

Terbuka

9. Faktor Keturunan

Tidak ada keluarga yang pernah mengalami hal serupa atau gangguan

jiwa lainnya.

10. Faktor Organik

Tidak ditemukan kelainan

11. Faktor Pencetus

Kakaknya meninggal 3 bulan yang lalu.

3

Page 4: jiwa

III. STATUS INTERNISTIK

• Tensi : 130/70 mmHg

• Respirasi : 20 x/menit

• Nadi : 88 x/menit

• Suhu : 36,4˚C

• Keadaan umum: Tampak sakit sedang

• Kepala/leher : A/I/C/D = -/-/-/-

• Thorax :

– COR : S1, S2 Tunggal Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

– Pulmo: Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-

• Abdomen : Soefel (+), BU (+) Normal, Nyeri tekan (-), meteorismus

(-)

• Ekstremitas : Akral hangat kering merah +/+, CRT < 2 detik, edema -/-

IV. STATUS NEUROLOGIS

• GCS : 456

• Meningeal Sign : Kaku kuduk (-)

• Refleks Fisiologis :

– BPR : +2/+2

– TPR : +2/+2

– KPR : +2/+2

– APR : +2/+2

4

Page 5: jiwa

• Reflek Patologis :

– Babinsky -/-

– Chaddock -/-

– Hoffman -/-

– Trommer -/-

V. STATUS PSIKIATRIK

• Kesan Umum : Pasien laki-laki dewasa, berpakaian tampak rapi, tidak

bau, roman wajah sesuai usia, tampak tenang dan kooperatif.

• Kontak : Verbal (+) lancar relevan

Non verbal (+), kontak mata baik, atensi baik

• Kesadaran : Berubah kualitatif

• Orientasi : W/T/O +/+/+

• Daya Ingat : Segera (+), Pendek (+), Panjang (+)

• Persepsi : Halusinasi visual (+), halusinasi auditorik (+), ilusi (-),

depersonalisasi (-), derealisasi (-), agnosia (-)

• Proses Berpikir :

– Bentuk : Non Realistik

– Arus : Blocking

– Isi : Waham pengaruh (+)

• Afek / emosi : Adekuat

• Kemauan :

– ADL menurun

– Sosial menurun

5

Page 6: jiwa

– Pekerjaan menurun

• Psikomotor : Normal

VI. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

• Axis I : F. 20.03 Skizofrenia Paranoid Episodik Berulang

• Axis II : Ciri kepribadian terbuka

• Axis III : Belum ditemukan

• Axis IV : Primary Support Group dan Psikososial

• Axis V : GAF Scale 40-31 (pada waktu pasien datang)

VII. RENCANA TERAPI

- MRS

- Cek lab lengkap (DL, LFT, RFT, GDA)

- Farmakologi

Inj. Haloperidol 5mg (IM)

Haloperidol 5mg (1-0-1)

- Non Farmakologi : Psikoterapi

Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi hatinya

agar merasa lebih tenang serta mengajak seluruh keluarga untuk

mendukung dalam proses pengobatan.

- Monitoring

1. Keluhan Pasien

2. Vital Sign

3. Efek samping obat

4. Perkembangan hasil terapi

6

Page 7: jiwa

VIII. PROGNOSIS

BAIK BURUK

Umur 46 tahun

Status Pernikahan - Lajang

Pekerjaan - Tidak bekerja

Pendidikan D3 -

Kepribadian Premorbid Terbuka -

Faktor Keturunan Tidak ada -

Onset - Kronik

Gejala Gejala positif -

Insight - Buruk

Pengobatan - Pengobatan tidak teratur

Quo ad vitam : Dubia ad malam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad malam

7

Page 8: jiwa

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis/

kambuh ditandai dengan parahnya kekacauan kepribadian, distorsi realita dan

ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Pasien dapat

kehilangan pekerjaan, teman dan minat, karena mereka tidak mampu berbuat

sesuatu, bahkan ada pasien yang hidup menggelandang dijalan atau dipasung

dirumah (Atkinson ,dkk, 1996).

Menurut data American Psychiatric Association (APA) (1995),

menyebutkan bahwa 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.

Penelitian yang sama oleh WHO juga mengatakan bahwa prevalensi

skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai tiga per mil

penduduk dan di Amerika Serikat, penderita skizofrenia lebih dari dua juta

orang. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok

sosial ekonomi rendah (Izzudin, 2005; Tomb, 2004).

Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2004, pasien gangguan jiwa yang

dirawat berjumlah 1.387 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia

sebanyak 1.183 orang (88,15%). Pada tahun 2005 pasien gangguan jiwa yang

dirawat berjumlah 1.694 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia

sebanyak 1.543 orang (91,09%). Dari 1543 orang penderita skizofrenia yang

dirawat pada tahun 2005 sebanyak 1493 orang penderita remisi sempurna

(96,76%), dan dari jumlah tersebut penderita yang mengalami relaps sebanyak

876 orang penderita (58,67%). Data diatas menunjukkan adanya peningkatan

penderita skizofrenia dari tahun ke tahun di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Propinsi Sumatera Utara dan juga menunjukkan tingginya angka relaps pada

penderita remisi sempurna (Medical Record RSJD Provsu, 2005).

8

Page 9: jiwa

Penyakit skizofrenia seringkali kronis dan kambuh, sehinga penderita

memerlukan terapi/perawatan lama. Disamping itu semua etiologi,

patofisiologi dan perjalanan penyakitnya amat bervariasi/heterogen bagi setiap

penderita, sehingga mempersulit diagnosis dan penanganannya. Keadaan

seperti ini akan menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga

sering kali mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan oleh

penderita dan juga ketidaktahuan keluarga menghadapi gejala tersebut.

Kondisi inilah yang akan melahirkan sikap dan emosi yang keliru dan

berdampak negatif pada penderita. Biasanya keluarga menjadi emosional,

kritis dan bahkan bermusuhan yang jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan

oleh penderita (Irmansyah, 2005).

Kekacauan dan dinamika keluarga ini memegang peranan penting

dalam menimbulkan relaps dan mempertahankan remisi. Penderita yang

dipulangkan ke rumah lebih cenderung kambuh pada tahun berikutnya

dibandingkan dengan penderita yang ditempatkan pada lingkungan

residensial. Penderita yang paling beresiko untuk kambuh adalah penderita

yang berasal dari keluarga dengan suasana penuh permusuhan, keluarga yang

memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, terlalu protektif terhadap

penderita (Tomb, 2004).

Demikian juga menurut ahli psikiatri Sasanto, mengatakan bahwa

banyak hal yang dapat meningkatkan kekambuhan penderita skizofrenia,

salah satu faktor yang paling kuat adalah pengobatan yang tidak adekuat.

Menurut Sasanto, kekambuhan dapat diminimalkan atau dicegah melalui

pengintegrasian antara intervensi farmakologis dan non farmakologis, selain

itu koping keluarga juga sangat dibutuhkan untuk resosialisasi dan

pencegahan relaps (Vijay, 2005).

Penderita skizofrenia sangat memerlukan perhatian dan empati dari

keluarga. Itu sebabnya menurut Chandra keluarga harus menumbuhkan sikap

mandiri dalam diri penderita, mereka harus sabar serta menghindari sikap

Expressed Emotion(EE) atau reaksi berlebihan seperti sikap terlalu

9

Page 10: jiwa

mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa

menyulitkan penyembuhan dan menimbulkan relaps (Chandra, 2005).

Di banyak negara, pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam

merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia bisa didapat dengan

mengikuti program-program intervensi keluarga yang menjadi satu dengan

pengobatan skizofrenia seperti family psycho education program, cognitive

behavior therapy for family, multifamily group therapy dan lain-lain.

Sementara di Indonesia program penanganan keluarga ini belum mendapat

perhatian yang lebih. Hal ini sebenarnya perlu dilakukan mengingat bahwa:

pertama, karena hampir semua penderita tidak dalam perawatan, tetapi berada

ditengah keluarga; kedua, minimnya fasilitas kesehatan mental membuat

penanganan pengobatan penderita tidak optimal dan ketiga penanganan oleh

keluarga jauh lebih murah. Program umumnya bisa meliputi pengetahuan

dasar tentang skizofrenia, penanganan emosi dalam keluarga, keterampilan

menghadapi gejala skizofrenia, serta keterampilan menjadi perawat yang baik

bagi penderita(Irmansyah, 2005).

10

Page 11: jiwa

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Skizofrenia

2.1.1 Pengertian Sikizofrenia

Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi

berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi,

menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan

emosi serta berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara social

(Isaacs, 2005).

Skizofrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang

fundamental dan karaktrisitik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang

tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Keasadaran yang jernih

dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit

kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Maslim, 1997).

2.1.2 Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Kriteria diagnostik skizofrenia di Indonesia menurut PPDGJ-III

(Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III) yang menuliskan

bahwa walaupun tidak ada gejala-gejala patognomonik khusus, dalam

praktek ada manfaatnya membagi gejala-gejala tersebut ke dalam kelompok-

kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering terdapat secara

bersama-sama:

a. “Thought echo” yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau

bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,

namun kualitas berbeda atau “thought insertion or withdrawal” yaitu isi

pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi

pikirannya diambil keluar oleh sesuatu diluar dirinya (withdrawal) dan

11

Page 12: jiwa

“thought broadcasting” yaitu isi pikiran tersiar keluar sehingga orang lain

mengetahuinya.

b. Waham/Delusi.

1. Delusion of control yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh

suatu kekuatan tertentu dari luar atau

2. Delusion of influence yaitu waham tentang dirinya sendiri dipengaruhi

oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau

3. Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan tubuh, pikiran

maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar dan

4. Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi yang tidak wajar,

yang bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

c. Halusinasi Auditorik

1. Suara halusinasi yang berkomentar terus- menerus terhadap perilaku

pasien atau mengomentari perilaku pasien atau.

2. Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (di antara

berbagai suara yang berbicara) atau

3. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham –waham menetap jenis lain yang menurut budaya dianggap tidak

wajar dan mustahil seperti waham bisa mengendalikan cuaca, dan lain-

lain.

Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara

jelas:

e. Halusinasi yang menetap dari setiap panca indra baik disertai waham yang

mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif

yang jelas atau ide-ide berlebihan yang menetap atau terjadi setiap hari

selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan secara terus- menrus.

f. Arus fikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolasi)

yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan tidak relevan atau

neologisme.

12

Page 13: jiwa

g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh

tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme dan

stupor.

h. Gejala-gejala negatif seperti apatis, bicara jarang serta respon emosional

yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri

dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas

bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau neuroleptika.

Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun

waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non psikotik

prodormal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna

dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku

pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup

tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self

absorbed attitude) dan penarikan diri secara social.

Selain itu para ahli membagi gejala skizofrenia menjadi dua bagian yaitu

gejala positif dan gejala negatif.

a. Termasuk gejala positif:

1. Disorganisasi pikiran dan bicara: penderita bisa menceritakan

keadaan sedih dengan mimik muka yang gembira atau sebaliknya.

2. Waham: penderita merasa dirinya seorang pahlawan atau orang

besar dan bertindak seperti pahlawan atau orang besar .

3. Halusinasi: melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang

sebenarnya tidak ada.

4. Agitasi atau mengamuk: hal ini sering membuat penderita dikurung

atau dipasung.

b. Termasuk gejala negatif:

1. Tidak ada dorongan kehendak atau inisiatif atau apatis.

2. Menarik diri dari pergaulan sosial: penderita merasa senang jika

tidak menjalani kehidupan sosial.

13

Page 14: jiwa

3. Tidak menunjukkan reaksi emosional (Isaacs, 2005; Hawari, 2001;

Maslim, 1997, Depkes RI, 1993).

Teori ini digunakan untuk memudahkan keluarga mengenal gejala-gejala

yang dialami oleh penderita skizofrenia,sehingga dapat melakukan

penanganan.

2.1.3 Pola Perjalanan Penyakit

A. Skizofrenia paranoid

Pedoman diagnostik:

Kriteria umum diagnosis skizofrenai harus dipenuhi. Sebagai tambahan,

halusinasi dan atau waham harus menonjol, sedangkan gangguan afektif,

dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif

tidak nyata. Halusinasi yang mengancam atau memberi perintah dan

halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau yang bersifat seksual.

Waham dapat berupa hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan

(control), dipengaruhi (influence) atau passivity dan keyakinan dikejar-

kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.

B. Skizofrenia Hebefrenik

Pedoman diagnostik:

Kriteria umum diagnostic skizofrenia harus dipenuhi. Biasanya diagnosis

hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau

dewasa muda. Kepribadian premorbid secara khas, tetapi tidak selalu,

pemalu, menyendiri (solitary). Untuk diagosis hebefrenik yang

meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3

bulan lamanya, untuk memastikan bahwa perilaku yang khas seperti

perilaku tidak bertanggung jawab, mannerisme, senyum sendiri memang

benar bertahan.

14

Page 15: jiwa

C. Skizofrenia katatonik

Pedoman diagnostik:

Kriteria untuk suatu diagnosis skizofrenia harus dipenuhi. Gejala katatonik

terpisah yang bersifat sementara dapat terjadi pada setiap subtipe

skizofrenia, tetapi untuk diagnosis skizofrenia katatonik satu atau lebih

dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya: stupor

(amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan gerakan),

kegelisahan, sikap tubuh yang tidak wajar (bizarre), negativisme

(perlawanan terhadap instruksi), rigiditas (sikap tubuh yang kaku), waxy

flexibility (mempertahankan posisi tubuh yang dilakukan dari luar) dan

gejala otomatisme terhadap perintah dan preservasi kata atau kalimat.

D. Skizofrenia tak terinci

Pedoman diagnostik:

Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia, tidak memenuhi

untuk kriteria skizofrenia paranoid, hebefrenik dan katatonik, tidak

memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-

skizofrenia.

E. Depresi pasca-skizofrenia

Pedoaman diagnostik:

Diagnosis ditegakkan hanya kalau pasien telah menderita skizofrenai

(memenuhi criteria umum skizofrenia (selama 12 bulan terakhir), beberapa

gejala skizofrenia masih tetap ada dan gejala-gejala depresif menonjol dan

mengganggu, memenuhi sedikitnya episode depresif dan telah ada unt

uk waktu sedikitnya 2 minggu.

F. Skizofrenia residual

Pedoman diagnostik:

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus

dipenuhi: (1) gejala negatif skizofrenai yang menonjol, misalnya

perlambatan psikomotor, aktivitas menurun, afek tumpul, sikap pasif,

miskin dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal buruk

seperti kontak amta, ekspresi muka, sikap tubuh, perawatan diri dan

15

Page 16: jiwa

kinerja sosial buruk. (2) sedikitnya ada riwayat episode psikotik yang jelas

di masa lampau yang memenuhi criteria diagnostik untuk skizofrenia (3)

sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan

frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat

berkurang dan telah timbul sindrom negatif skizofrenia (4) tidak terdapat

demensia atau penyakit/gangguan otak organic lain, depresi kronis, atau

institusionalisasi yang dapat menjelskan hendaya negatif tersebut.

G. Skizofrenia simpleks

Pedoman diagnostik:

Skizofrenia simpleks adalah suatu diagnosis yang sulit dibuat secara

meyakinkan, karena tergantung pada pemestian perkembangan yang

berjalan perlahan, progresif dari gejala negatif yang khas dari skizofrenia

residual tanpa riwayat halusinasi, waham atau manifestasi lain tentang

adanya suatu episode psikotik sebelumnya dan disertai perubahan perilaku

yang bermakna yang bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang

mencolok, kemalasan dan penarikan diri secara sosial (Depkes RI, 1993;

Maslim, 1997).

2.1.4 Etiologi Skizofrenia

Penyebab skizofrenia sampai kini belum diketahui secara pasti dan

merupakan tantangan riset terbesar bagi pengobatan kontemporer.Telah

banyak riset dilakukan dan banyak faktor predisposisi maupun pencetus

yang diketahui anatara lain:

2.1.4.1 Faktor genetika

Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko

masyarakat umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung

8% dan pada anak 15%-20% apabila salah satu orang tua menderita

skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir,

anak dari kedua orang tua skizofrenia 30-40%. Pada kembar monozigot

40%-50%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 5%-10 %. Dari

penelitian epidemiologi keluarga terlihat bahwa resiko untuk keponakan

16

Page 17: jiwa

adalah 3%, masih lebih tinggi dari populasi umum yang hanya 1%.

Demikian juga dari penelitian anak adopsi dikatakan, anak penderita

skizofrenia yang diadopsi orang tua normal, tetap mempunyai resiko

16,6%, sebaliknya anak sehat yang diadopsi penderita skizofrenia resiko

1,6%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin dekat

hubungan keluarga biologis semakin tinggi resiko terkena skizofrenia

(Kaplan,1997; Teddy, 2002; Tomb, 2004).

2.1.4.2 Faktor biologis dan biokimia

Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamine yang

menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik

yang berlebihan di bagian kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala

positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga menunjukkan pentingnya

neurotransmiter lain termasuk serotonin, norepinefrin, glutamate dan

GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian

menggunakan CT Scan otak ternyata ditemukan perubahan anatomi otak

seperti pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks atau atropi otak kecil

(cerebellum), terutama pada penderita kronis skizofrenia (Kaplan,1997;

Hawari, 2001; Isaacs, 2005).

2.1.4.3 Faktor psikososial

a. Teori perkembangan

Ahli teori seperti Freud, Sullivan, dan Erikson mengemukakan bahwa

kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun

awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri,

salah interpretasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan sosial

pada penderita skizorenia (Kaplan,1997; Isaacs, 2005).

b. Teori belajar

Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang kemudian

menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir irasional orang

tua yang mungkin memiliki masalah emosional yang bermakna. Hubungan

interpersonal yang buruk dari penderita skizofrenia akan berkembang

karena mempelajari model yang buruk selama anak-anak (Kaplan,1997).

17

Page 18: jiwa

c. Teori keluarga

Teori-teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya

skizofrenia belum divalidasi dengan penelitian. Bagian fungsi keluarga

yang diimplikasikan dalam peningkatan kekambuhan penderita skizofrenia

antara lain:

1. Faktor keluarga

Faktor keluarga yang dimaksudkan disini adalah faktor stress yang

dialami anak dan remaja yang disebabkan kondisi keluarga yang tidak

baik antara lain:

i. Hubungan kedua orang tua yang dingin atau penuh ketegangan

ii. Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk

bersama dengan anak-anak

iii. Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak baik

iv. Kedua orang tua berpisah atau bercerai

v. Kematian salah satu atau kedua orang tua

2. Emosi yang diekspresikan atau disingkat EE (Expressed Emotion).

Dimana keluarga sering mengekspresikan emosi secara berlebihan

dengan sikap kurang sabar, bermusuhan, pemarah, keras, kasar, kritis

dan otoriter.

Menurut penelitian (Leff dan Wing), angka relaps dirumah dengan EE

rendah dan penderita minum obat teratur sebesar 12%, dengan EE

rendah dan tanpa obat 42% sedangkan EE tinggi dan tanpa obat

sebesar 92%. Penelitian lain juga mengatakan pemisahan penderita

dari EE tinggi memperbaiki angka relaps (Kaplan, 1997; Hawari,

2001; Chandra, 2005).

2.1.4.4 Status sosial ekonomi

Beberapa ahli teori telah menyatakan bahwa industrialisasi, urbanisasi dan

status sosial ekonomi yang rendah sangat kuat hubungannya dengan

skizofrenia. Itu sebabnya banyak penderita yang dijumpai pada

masyarakat golongan menengah ke bawah. Hal ini juga didukung oleh

penelitian Saifullah (2005) di Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa Nangroe

18

Page 19: jiwa

Aceh Darussalam, bahwa 95,1% penderita relaps berasal dari golongan

ekonomi tidak mampu (Kaplan, 1997; UCLA, 1997; Tomb, 2004).

2.1.4.5 Stres

Karena bervariasinya presentasi simtom dan prognosis skizofrenia, maka

tidak ada faktor etiologik tunggal yang menyebabkan timbulnya

skizofrenia. Ada model yang mengintegrasikan faktor biologis, faktor

psikososial dan faktor lingkungan adalah model stress diatesis. Model ini

menyatakan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik

(diatesis) terhadap stres yang memungkinkan berkembang menjadi simtom

skizofrenia (Kaplan, 1997).

Model interaksional yang mengatakan bahwa penderita skizofrenia

mempunyai kerentanan genetik dan biologik terhadap stress dan dianggap

penyebab utama dalam menentukan onset dan keparahan penyakit (Isaacs,

2005).

2.1.4.6 Kepribadian premorbid

Indikator premorbid (sebelum sakit) pada anak preskizofrenia menurut

Nurmiati Amir (2003) antara lain ketidakmampuan anak mengekspresikan

emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh dan penyimpangan

komunikasi seperti anak sulit melakukan pembicaraan terarah. Sedangkan

pada remaja perlu diperhatikan kepribadian premorbid seperti kepribadian

paranoid atau curiga berlebihan, menganggap semua orang musuh, juga

kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat

dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri (Ingram, 1995; Amir,

2003; Chandra, 2005).

2.1.4.7 Rokok dan penyalahgunaan napza

Gangguan skizoid dapat dicetuskan atau disebabkan oleh penggunaan

kanabis (ganja, gelek, marijuana). Hasil penelitian terhadap 152 subjek

episode pertama skizofrenia di West London didapatkan bahwa 60%

subjek adalah perokok, 27% ada riwayat penggunaan alkohol, 35%

sedang terlibat napza ( tidak termasuk alkohol ), dan 68% adalah pengguna

napza selama hidupnya (Kaplan, 1997; Chandra, 2006).

19

Page 20: jiwa

Teori ini digunakan dalam penelitian agar keluarga mengetahui penyebab

terjadinya skizofrenia yang dialami oleh anggota keluarganya, sehingga

keluarga mampu menangani masalah yang terjadi.

2.1.5. Prognosis

Gejala premorbid merupakan gejala awal dari penyakit dan mulai

pada masa remaja diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam

beberapa hari sampai beberapa bulan. Onset gejala yang mengganggu

terlihat setelah tercetus oleh perubahan sosial atau lingkungan. Sindrom

prodromal dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum onset

gejala psikotik yang jelas. Setelah episode psikotik yang pertama, pasien

memiliki periode pemulihan yang bertahap diikuti periode fungsi yang

relatif normal. Tetapi relaps biasanya terjadi dalam lima tahun pertama

setelah diagnosis, diikuti oleh pemburukan lebih lanjut pada fungsi dasar

pasien. Perjalanan klasik skizofrenia adalah suatu eksaserbasi dan remisi.

Gejala positif dari skizofrenia cenderung lebih baik dibanding dengan

gejala negatif yang dapat menimbulkan ketidakmampuan secara sosial

(Kaplan, 1997).

Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis, pasien

secara berangsur-angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak berfungsi

selama bertahun-tahun. Beberapa penelitian telah menemukan lebih dari

periode waktu 5 samapi 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali

di rumah sakit jiwa, hanya 10 sampai 20% memiliki hasil yang baik. Lebih

dari 50% memiliki hasil buruk dengan perawatan berulang di rumah sakit,

eksaserbasi gejala, gangguan mood berat dan ada usaha bunuh diri.

Rentang angka pemulihan berkisar 10 sampai 60%, kira-kira 20 sampai

30% dari penderita terus mengalami gejala yang sedang dan 40 sampai

60% dari penderita terus mengalami gangguan secara bermakna seumur

hidup (Kaplan, 1997; Tomb, 2004).

20

Page 21: jiwa

2.1.6 Pencegahan dan Pengobatan Skizofrenia

2.1.6.1 Pencegahan

Menurut Kusumanto Setyonegoro (1967) pendekatan yang dilakukan

dalam pencegahan skizofrenia dapat bersifat “eklektik holistik” yang

mencakup tiga pilar yaitu organobiologis, psikoedukatif, dan sosial

budaya, dan dari ketiga pilar tersebut dapat diketahui kepribadian

seseorang. Dalam melengkapi pendekatan holistik tersebut, Hawari (1993)

menambah satu pilar sehingga menjadi empat pilar yaitu organobiologis,

psikoedukatif, sosial budaya, dan psikoreligius.

Upaya pencegahan yang dilakukan pada masing-masing pilar

dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin munculnya skizofrenia

dan kekambuhannya.

a. Organobiologis.

1. Bila ada silsilah keluarga menderita skizofrenia sebaiknya menikah

dengan keluarga yang tidak ada silsilah skizofrenia

2. Walaupun dalam keluarga tidak ada silsilah menderita skizofrenia

sebaiknya bila menikah dengan keluarga yang tidak ada silsilah

menderita skizofrenia dan merupakan keluarga jauh.

3. Sebaiknya penderita atau bekas penderita skizofrenia tidak saling

menikah.

b. Psikoedukatif.

Beberapa sikap yang harus diperhatikan orang tua dalam membina

mental-emosional dan mental-intelektual anak yaitu:

1. Sikap pertama adalah kemampuan untuk percaya pada kebaikan

orang lain, Erikson (1972) memberikan istilah kepercayaan dasar

(basic trust).

2. Sikap kedua adalah sikap terbuka.

Kalau sikap ini di gabungkan dengan sikap kepercayaan, maka

anak akan menjadi terbuka dan terus terang pada orang di

sekitarnya. Sikap ini jugaakan menciptakan sikap ingin tau dan

sikap mau belajar (otonomi dan inisiatif).

21

Page 22: jiwa

3. Sikap ketiga adalah anak mampu menerima kata tidak atau

kemampuan pengendalian diri terhadap hal-hal yang

mengecewakan, kalau tidak anak akan sulit bergaul dan belajar di

sekolah.

Keterpaduan ketiga sikap tersebut diatas akan menghasilkan

anggota masyarakat baru dan sehat, mempunyai potensi untuk

bisasekolah dan bergaul dengan baik didalam maupun diluar

keluarganya tanpa pengawasan serta mampu menyelesaikan

konflik baik internal maupun eksternal dalam dirinya.

c. Psikoreligius.

D.B Larson, dkk (1992) dalam penelitiannya yang termuat dalam

“Religious Commitment and Health” (APA, 1992), menyatakan bahwa

agama amat penting dalam pencegahan agar seseorang tidak mudah

jatuh sakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan dan

mempercepat penyembuhan. Sementara Snyderman (1996) menyatakan

bahwa terapi medis tanpa agama tidak lengkap atau sebaliknya.

d. Psikososial.

Agar tumbuh kembang anak sehat baik fisik, psikologik, sosial dan

spiritual, hendaknya diciptakan rumah tangga yang sehat dan bahagia

agar supaya kepribadian anak menjadi matang dan kuat sehingga tidak

mudah jatuh sakit. Sehubungan dengan hal tersebut N.Stinnet dan J.De

Frain (1987) dalam studinya yang berjudul” The National Study on

Family Strength” mengemukakan 6 kriteria membina keluarga yang

sehat dan bahagia yaitu:

1. Ciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.

2. Adakan waktu bersama dalam keluarga.

3. Ciptakan hubungan yang baik antar anggota keluarga.

4. Keluarga sebagai unit sosial yang terkecil ikatannya harus erat dan

kuat, jangan longgar dan rapuh.

5. Harus saling harga-menghargai (appresiasi) sesama anggota

keluarga.

22

Page 23: jiwa

6. Bila keluarga mengalami krisis, maka prioritas utama adalah

keutuhan keluarga dan bila diperlukan berkonsultasi dengan ahlinya

(marriage counselor) (Hawari, 2001; Vijay, 2005).

2.1.6.2 Pengobatan

Skizofrenia merupakan penyakit yang cenderung berlanjut (kronis atau

menahun) maka terapi yang diberikan memerlukan waktu relatif lama

berbulan bahkan sampai bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan

sekecil mungkin kekambuhan(relaps). Terapi yang komprehensif dan

holistik telah dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi

mengalami diskriminasi dan lebih manusiawi dibandingkan dengan

pengobatan sebelumnya. Adapun terapi yang dimaksud adalah:

a. Psikofarmaka

Obat anti psikotik yang sering disebut dengan neuroleptik ditujukan untuk

menghilangkan gejala skizofrenia. Golongan obat psikofarmaka yang

sering digunakan di Indonesia (2001) terbagi dua: golongan typical

(Largactil, Stelazine, Haldol) dan golongan atypical(Risperdal. Clozaril,

Seroquel, Zyprexa). Menutrut Nemeroff (2001) dan Sharma (2001)

kelebihan obat atypical antara lain: (1). Dapat menghilangkan gejala

positif dan negatif, (2). Efek samping Extra Pyramidal Symptoms (EPS)

sangat minimal atau boleh dikatakan tidak ada, (3). memulihkan fungsi

kognitif. Sementara Nasrallah (2001) dalam penelitiannya menyebutkan

bahwa pemakaian obat golongan typical sebanyak 30% penderita tidak

memperlihatkan perbaikan klinis bermakna, diakui bahwa golongan obat

typical hanya mampu mengatasi gejala positif tetapi kurang efektif untuk

mengatasi gejala negatif (Kaplan, 1997; Hawari, 2001; Isaacs, 2005).

b. Electro Convulsive Terapy ( ECT )

Electro Convulsive Terapy (ECT) diberikan pada penderita skizofrenia

kronik. Tujuannya adalah memperpendek serangan skizofrenia,

mempermudah kontak dengan penderita, namun tidak dapat mencegah

serangan ulang (Kaplan, 1997; Maramis, 2004; Amir, 2006).

c. Terapi psikososial

23

Page 24: jiwa

1. Terapi yang berorientasi keluarga

Terapi yang berorientasi keluarga sangat berguna dalam pengobatan

skizofrenia, karena seringkali pasien dipulangkan dalam keadaan

remisi parsial. Ahli terapi harus membantu keluarga dan penderita

mengerti skizofrenia, episode psikotik dan peristiwa-peristiwa yang

menyebabkan episode tersebut. Sejumlah penelitian telah menemukan

bahwa terapi keluarga sangat efektif dalam menurunkan relaps.

Demikian juga dengan pendapat Chandra yang mengatakan bahwa

penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati dari keluarga,

itu sebabnya keluarga perlu menghindari sikap Expressed

Emotion(EE) atau reaksi berlebihan terhadap penderita.

2. Terapi kelompok

Terapi kelompok bagi penderita skizofrenia dipusatkan pada rencana,

masalah dan hubungannya dengan kehidupan nyata dan sangat efektif

dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan

meningkatkan tes realitas bagi penderita skizofrenia. Terapi

psikososial ini dimaksudkan agar penderita mampu beradaptasi

kembali dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri,

mandiri dan tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi

beban bagi keluarga. Sebaiknya penderita selama menjalani terapi

psikososial masih tetap mengkonsumsi psikofarmaka dan diupayakan

untuk tidak menyendiri, tidak melamun dan harus melakukan

kesibukan (Kaplan, 1997; Hawari, 2001; Chandra, 2005).

d. Psikoterapi

Merupakan terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila penderita telah

diberikan terapi psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana

kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri

sudah baik. Psikoterapi ini bermacam-macam bentuknya antara lain:

1. Psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan dorongan,

semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa.

24

Page 25: jiwa

2. Psikoterapi re-edukatif dimaksudkan untuk memberikan pendidikan

ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu

lalu.

3. Psikoterapi rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki kembali

kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh

seperti semula sebelum sakit.

4. Psikoterapi kognitif dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi

kognitif rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai

moral etika, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak

dan sebagainya.

5. Psikoterapi perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan

perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan

diri.

6. Psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan

keluarganya (Kaplan, 1997; Hawari, 2001).

e. Terapi psikoreligius

Terapi keagamaan ternyata masih bermanfaat bagi penderita gangguan

jiwa. Dari penelitian ternyata didapatkan kenyataan secara umum

komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya di bidang klinik.

Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual keagamaan seperti

sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah

keagamaan, kajian kitab suci dan lain-lain (Vijay, 2005; Hawari, 2001).

f. Edukasi kepada publik untuk menurunkan stigma dan diskriminasi

Penting adanya pengetahuan masyarakat untuk tidak mengecap penderita

dengan kata-kata seperti “gila” atau “kurang waras” bahkan mengejek atau

menghujatnya (Vijay, 2005).

g. Rehabilitasi

Program rehabilitasi penting dilakukan sebagai persiapan penempatan

kembali penderita kekeluarga dan masyarakat. Program ini biasanya

dilakukan di lembaga (institusi) rehabilitasi misalnya di rumah sakit jiwa.

Dalam program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain: terapi

25

Page 26: jiwa

kelompok, menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian,

terapi fisik seperti olah raga, keterampilan khusus/kursus, bercocok tanam,

rekreasi dan lain-lain. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung

3-6 bulan. Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu

sebelum dan sesudah program rehabilitasi atau sebelum penderita

dikembalikan ke keluarga dan masyarakat (Hawari, 2001; Isaacs, 2005).

Teori ini digunakan dalam penelitian untuk mengetahui tindakan apa yang

dilakukan untuk mencegah terjadinya skizofrenia dan pengobatan apa

yang harus dilakukan terhadap penderita skizofrenia.

2.1.7 Relaps

Relaps atau kambuh merupakan kondisi dimana pasien kembali

menunjukkan gejala-gejala skizofrenia setelah remisi dari rumah sakit.

Penderita yang mengalami relaps diikuti oleh pemburukan sosial lebih lanjut

pada fungsi dasar pasien. Peningkatan angka relaps/kekambuhan

berhubungan secara bermakna dengan emosi yang berlebihan dilingkungan

rumah, terutamadi dalam keluarga yang tidak harmonis, ketidaktahuan

keluarga dalam menghadapi penderita dan juga pengobatan yang tidak

adekuat yang dilakukan oleh keluarga terhadap penderita (Kaplan, 1997;

UCLA, 1997; Tomb, 2004).

Bahwa 65% keluarga penderita skizofrenia yang relaps berumur 18-

40 tahun, sedangkan keluarga penderita skizofrenia yang tidak relaps 75%

berumur 41-60 tahun. Data ini menunjukkan adanya perbedaan antara umur

keluarga yang relaps dan tidak relaps, dimana keluarga penderita yang relaps

masih relatif dewasa muda, sedangkan keluarga penderita yang tidak relaps

relatif sudah dewasa tua. Menurut Sunaryo (2004) umur 18-41 tahun

merupakan golongan dewasa muda, dimana mereka sedang belajar untuk

saling tergantung dan belajar untuk bertanggung jawab terhadap orang lain.

Kalau diperhatikan dengan baik, ada kemungkinan hal ini berkaitan dengan

kejadian relaps karena keluarga belum mampu bersikap sabar serta mampu

menahan emosi. Hal ini berbeda dengan keluarga penderita yang tidak relaps

26

Page 27: jiwa

yang mayoritas sudah dewasa tua dan menurut Sunaryo bahwa golongan

umur ini sudah menyadari dan menerima arti kehidupan, sehingga mereka

lebih mampu untuk mengontrol emosi saat menghadapi anggota keluarga

yang sakit.

Hasil diatas juga didukung oleh pendapat Candra (2005) bahwa

angka kejadian relaps di rumah dapat terjadi apabila keluarga menunjukkan

ekspresi emosi yang berlebihan dan sebaliknya angka kejadian relaps dapat

dikurangi apabila dilakukan pemisahan penderita dari ekspresi emosi yang

berlebihan.

Hasil penelitian tentang jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan yang berarti antara keluarga penderita yang relaps dan tidak

relaps, hal ini terlihat dari persentasi laki-laki dan perempuan sama-sama

50% untuk keluarga relaps dan persentasi laki-laki dan perempuan masing-

masing 55% dan 45% untuk keluarga yang tidak relaps. Memang secara

teoripun tidakada pendapat yang mengatakan bahwa ada perbedaan antara

laki-laki dan perempuan dalam melakukan perawatan terhadap penderita,

namun menurut penulis hal ini lebih disebabkan oleh tingkat kedewasaan

seseorang dalam bertanggung jawab terhadap dirinya maupun orang lain

serta kemampuan dalam menghadapi masalah.

Hasil penelitian tentang tingkat pendidikan menunjukkan bahwa

60% keluarga penderita yang relaps memiliki tingkat pendidikan rendah dan

40% memiliki tingkat pendidikan tinggi sedangkan 55% keluarga penderita

yang tidak relaps memiliki tingkat pendidikan rendah dan 45% memiliki

tingkat pendidikan tinggi.

27

Page 28: jiwa

DAFTAR PUSTAKA

APA, 2004. Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder IV-TR. Ed 4.

American Psychiatric Association Arlington, VA.

Atkinson, Rita L, dkk, 1996. Pengantar Psikologi, Ed 8, Alih Bahasa: Dra

Nurdjanah Taufiq, Jakarta:. Erlangga.

Azwar, Saifudin, 2000. Reliabilitas dan Validitas, Ed 3 Cetakan I, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Bachtiar dan Sylvia, 2005. Penuntun Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi,

Jakarta: EGC.

Chandra, Kenali Gejala Dini Skizofrenia. http://www.schizophrenia.com. 29

Januari 2005.

Departemen Kesehatan, RI, 1993. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan

Jiwa, Jakarta: Departemen Kesehatan.

Hawari, Dadang, 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa, Ed 2, Jakarta:

FKUI.

Hidayat, Teddy, 2002. Konsultasi Kesehatan Jiwa: Kewalahan Mengawasi Kakak

yang Selalu Ingin Bunuh Diri.

Ingram, dkk, 1995. Catatan Kuliah Psikiatri. Edisi 6. Alih Bahasa: Petrus Adianto,

Jakarta: EGC

Irmansyah, 2005. Faktor Genetika pada Skizofrenia.

Isaacs, Ann, 2005. Mental Health and Psychiatric Nursing. Alih Bahasa: Dian

Praty Rahayuningsih,Jakarta: EGC.

Izzudin, dan Amino, Gondohutomo.2005. Konsultasi dan Integrasi Pelayanan

Psikiatri:Membunuh Keluarga Sendiri.

Kaplan dan Sadock, 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri

Klinis, Ed 7, Alih Bahasa: Dr Widjaja Kusuma, Jakarta: Binarupa Aksara.

Tomb, David A, 2004. Buku Saku Psikiatri, Ed 6, Alih Bahasa: dr.Martina Wiwie

N, Jakarta: EGC.

Vijay, Chandra, 2005. Cara Pencegahan dan Pengobatan Gangguan Jiwa.

28