jiwa
DESCRIPTION
jiwaTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 46 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
TTL : Malang, 08 Oktober 1969
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status Marital : Belum menikah
Pendidikan Terakhir : D3
Pekerjaan Terakhir : Tidak bekerja
Alamat pasien saat ini : Kepanjen, Malang
Waktu Pemeriksaan : 09 Desember 2015, Pukul 20.00 WIB
Dokter Pemeriksa :
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Marah-marah
B. Auto Anamnesis
Pasien laki-laki datang ke UGD dengan keadaan di fiksasi,
penampilan rapi, tidak bau, roman wajah sesuai usia diantar oleh
keluarganya. Pasien tahu bahwa sekarang sudah malam dan berada di RSJ
Lawang dan pasien tahu diantar kesini oleh keluarganya. Pasien
mengatakan dibawa ke UGD karena marah-marah dan mengamuk
1
melempar botol ke jendela rumah tetangga. Pasien merasa ada bisikan yang
menyuruhnya untuk marah-marah. Menurut pasien yang membisikkan
yaitu dukun bernama “Satuman”. Menurut pasien, Satuman adalah dukun
suruhan dari Eni yang merupakan mantan pacarnya waktu kuliah. Pasien
merasa dirinya disantet dan apapun yang dia lakukan semuanya
dikendalikan oleh Satuman. Pasien mengatakan sering melihat sosok
ibunya yang sudah meninggal saat sedang menonton TV kemudian pasien
merasa marah karena mengingat ibunya menginginkan hal yang terlalu
tinggi dari pasien. Kemudian pasien terdiam beberapa saat, setelah
dipanggil beberapa kali pasien tersadar, kemudian pasien mengatakan
bahwa dirinya baru saja memukul kepalanya sendiri karena digerakkan
oleh Satuman. Pasien mengatakan tidak nafsu makan dan mandi hanya
sekali sehari serta malas sholat.
C. Hetero Anamnesis (Didapat dari adik pasien Ny. S)
1. Rincian Keluhan Utama
Pasien marah-marah kepada bibinya sejak sore tadi sampai memecahkan
piring dan kaca jendela tetangganya. Ketika ditanya kenapa marah pasien
mengatakan dirinya disuruh marah-marah oleh kakaknya yang sudah
meninggal.
2. Gejala Lain yang Menyertai Keluhan Utama
- Sulit tidur
- Suka berbicara sendiri sejak 2 hari.
- Makan tidak teratur dan malas beribadah
3. Gejala Prodromal
- Suka berdiam diri, tidak mau bersosialisasi.
- Pendiam
- Kalau ditegur suka marah-marah
2
4. Peristiwa Terkait dengan Keluhan Utama
- Kakak pasien meninggal sejak 3 bulan yang lalu
- Pasien merasa tidak berguna karena tidak bisa mencari kerja
5. Riwayat Penyakit Dahulu
- HT disangkal
- DM disangkal
- Pernah MRS tahun 1997 di RSJ Lawang karena marah-marah
- Pernah MRS tahun 1998 di RSJ Lawang karena marah-marah
6. Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Perkembangan Anak
Lahir normal, cukup bulan (9 bulan), ditolong oleh bidan, perkembangan
sesuai usia.
7. Riwayat Sosial dan Riwayat Pekerjaan
- Riwayat sosial : Tidak mau bersosialisasi dengan tetangga dan
lingkungan lainnya.
- Riwayat pekerjaan : pasien tidak bekerja.
8. Faktor Kepribadian Premorbid
Terbuka
9. Faktor Keturunan
Tidak ada keluarga yang pernah mengalami hal serupa atau gangguan
jiwa lainnya.
10. Faktor Organik
Tidak ditemukan kelainan
11. Faktor Pencetus
Kakaknya meninggal 3 bulan yang lalu.
3
III. STATUS INTERNISTIK
• Tensi : 130/70 mmHg
• Respirasi : 20 x/menit
• Nadi : 88 x/menit
• Suhu : 36,4˚C
• Keadaan umum: Tampak sakit sedang
• Kepala/leher : A/I/C/D = -/-/-/-
• Thorax :
– COR : S1, S2 Tunggal Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
– Pulmo: Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
• Abdomen : Soefel (+), BU (+) Normal, Nyeri tekan (-), meteorismus
(-)
• Ekstremitas : Akral hangat kering merah +/+, CRT < 2 detik, edema -/-
IV. STATUS NEUROLOGIS
• GCS : 456
• Meningeal Sign : Kaku kuduk (-)
• Refleks Fisiologis :
– BPR : +2/+2
– TPR : +2/+2
– KPR : +2/+2
– APR : +2/+2
4
• Reflek Patologis :
– Babinsky -/-
– Chaddock -/-
– Hoffman -/-
– Trommer -/-
V. STATUS PSIKIATRIK
• Kesan Umum : Pasien laki-laki dewasa, berpakaian tampak rapi, tidak
bau, roman wajah sesuai usia, tampak tenang dan kooperatif.
• Kontak : Verbal (+) lancar relevan
Non verbal (+), kontak mata baik, atensi baik
• Kesadaran : Berubah kualitatif
• Orientasi : W/T/O +/+/+
• Daya Ingat : Segera (+), Pendek (+), Panjang (+)
• Persepsi : Halusinasi visual (+), halusinasi auditorik (+), ilusi (-),
depersonalisasi (-), derealisasi (-), agnosia (-)
• Proses Berpikir :
– Bentuk : Non Realistik
– Arus : Blocking
– Isi : Waham pengaruh (+)
• Afek / emosi : Adekuat
• Kemauan :
– ADL menurun
– Sosial menurun
5
– Pekerjaan menurun
• Psikomotor : Normal
VI. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
• Axis I : F. 20.03 Skizofrenia Paranoid Episodik Berulang
• Axis II : Ciri kepribadian terbuka
• Axis III : Belum ditemukan
• Axis IV : Primary Support Group dan Psikososial
• Axis V : GAF Scale 40-31 (pada waktu pasien datang)
VII. RENCANA TERAPI
- MRS
- Cek lab lengkap (DL, LFT, RFT, GDA)
- Farmakologi
Inj. Haloperidol 5mg (IM)
Haloperidol 5mg (1-0-1)
- Non Farmakologi : Psikoterapi
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi hatinya
agar merasa lebih tenang serta mengajak seluruh keluarga untuk
mendukung dalam proses pengobatan.
- Monitoring
1. Keluhan Pasien
2. Vital Sign
3. Efek samping obat
4. Perkembangan hasil terapi
6
VIII. PROGNOSIS
BAIK BURUK
Umur 46 tahun
Status Pernikahan - Lajang
Pekerjaan - Tidak bekerja
Pendidikan D3 -
Kepribadian Premorbid Terbuka -
Faktor Keturunan Tidak ada -
Onset - Kronik
Gejala Gejala positif -
Insight - Buruk
Pengobatan - Pengobatan tidak teratur
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis/
kambuh ditandai dengan parahnya kekacauan kepribadian, distorsi realita dan
ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Pasien dapat
kehilangan pekerjaan, teman dan minat, karena mereka tidak mampu berbuat
sesuatu, bahkan ada pasien yang hidup menggelandang dijalan atau dipasung
dirumah (Atkinson ,dkk, 1996).
Menurut data American Psychiatric Association (APA) (1995),
menyebutkan bahwa 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
Penelitian yang sama oleh WHO juga mengatakan bahwa prevalensi
skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai tiga per mil
penduduk dan di Amerika Serikat, penderita skizofrenia lebih dari dua juta
orang. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok
sosial ekonomi rendah (Izzudin, 2005; Tomb, 2004).
Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2004, pasien gangguan jiwa yang
dirawat berjumlah 1.387 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia
sebanyak 1.183 orang (88,15%). Pada tahun 2005 pasien gangguan jiwa yang
dirawat berjumlah 1.694 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia
sebanyak 1.543 orang (91,09%). Dari 1543 orang penderita skizofrenia yang
dirawat pada tahun 2005 sebanyak 1493 orang penderita remisi sempurna
(96,76%), dan dari jumlah tersebut penderita yang mengalami relaps sebanyak
876 orang penderita (58,67%). Data diatas menunjukkan adanya peningkatan
penderita skizofrenia dari tahun ke tahun di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Propinsi Sumatera Utara dan juga menunjukkan tingginya angka relaps pada
penderita remisi sempurna (Medical Record RSJD Provsu, 2005).
8
Penyakit skizofrenia seringkali kronis dan kambuh, sehinga penderita
memerlukan terapi/perawatan lama. Disamping itu semua etiologi,
patofisiologi dan perjalanan penyakitnya amat bervariasi/heterogen bagi setiap
penderita, sehingga mempersulit diagnosis dan penanganannya. Keadaan
seperti ini akan menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga
sering kali mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan oleh
penderita dan juga ketidaktahuan keluarga menghadapi gejala tersebut.
Kondisi inilah yang akan melahirkan sikap dan emosi yang keliru dan
berdampak negatif pada penderita. Biasanya keluarga menjadi emosional,
kritis dan bahkan bermusuhan yang jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan
oleh penderita (Irmansyah, 2005).
Kekacauan dan dinamika keluarga ini memegang peranan penting
dalam menimbulkan relaps dan mempertahankan remisi. Penderita yang
dipulangkan ke rumah lebih cenderung kambuh pada tahun berikutnya
dibandingkan dengan penderita yang ditempatkan pada lingkungan
residensial. Penderita yang paling beresiko untuk kambuh adalah penderita
yang berasal dari keluarga dengan suasana penuh permusuhan, keluarga yang
memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, terlalu protektif terhadap
penderita (Tomb, 2004).
Demikian juga menurut ahli psikiatri Sasanto, mengatakan bahwa
banyak hal yang dapat meningkatkan kekambuhan penderita skizofrenia,
salah satu faktor yang paling kuat adalah pengobatan yang tidak adekuat.
Menurut Sasanto, kekambuhan dapat diminimalkan atau dicegah melalui
pengintegrasian antara intervensi farmakologis dan non farmakologis, selain
itu koping keluarga juga sangat dibutuhkan untuk resosialisasi dan
pencegahan relaps (Vijay, 2005).
Penderita skizofrenia sangat memerlukan perhatian dan empati dari
keluarga. Itu sebabnya menurut Chandra keluarga harus menumbuhkan sikap
mandiri dalam diri penderita, mereka harus sabar serta menghindari sikap
Expressed Emotion(EE) atau reaksi berlebihan seperti sikap terlalu
9
mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa
menyulitkan penyembuhan dan menimbulkan relaps (Chandra, 2005).
Di banyak negara, pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam
merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia bisa didapat dengan
mengikuti program-program intervensi keluarga yang menjadi satu dengan
pengobatan skizofrenia seperti family psycho education program, cognitive
behavior therapy for family, multifamily group therapy dan lain-lain.
Sementara di Indonesia program penanganan keluarga ini belum mendapat
perhatian yang lebih. Hal ini sebenarnya perlu dilakukan mengingat bahwa:
pertama, karena hampir semua penderita tidak dalam perawatan, tetapi berada
ditengah keluarga; kedua, minimnya fasilitas kesehatan mental membuat
penanganan pengobatan penderita tidak optimal dan ketiga penanganan oleh
keluarga jauh lebih murah. Program umumnya bisa meliputi pengetahuan
dasar tentang skizofrenia, penanganan emosi dalam keluarga, keterampilan
menghadapi gejala skizofrenia, serta keterampilan menjadi perawat yang baik
bagi penderita(Irmansyah, 2005).
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Skizofrenia
2.1.1 Pengertian Sikizofrenia
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi
berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi,
menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan
emosi serta berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara social
(Isaacs, 2005).
Skizofrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang
fundamental dan karaktrisitik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang
tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Keasadaran yang jernih
dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit
kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Maslim, 1997).
2.1.2 Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Kriteria diagnostik skizofrenia di Indonesia menurut PPDGJ-III
(Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III) yang menuliskan
bahwa walaupun tidak ada gejala-gejala patognomonik khusus, dalam
praktek ada manfaatnya membagi gejala-gejala tersebut ke dalam kelompok-
kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering terdapat secara
bersama-sama:
a. “Thought echo” yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitas berbeda atau “thought insertion or withdrawal” yaitu isi
pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannya diambil keluar oleh sesuatu diluar dirinya (withdrawal) dan
11
“thought broadcasting” yaitu isi pikiran tersiar keluar sehingga orang lain
mengetahuinya.
b. Waham/Delusi.
1. Delusion of control yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau
2. Delusion of influence yaitu waham tentang dirinya sendiri dipengaruhi
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau
3. Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan tubuh, pikiran
maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar dan
4. Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi yang tidak wajar,
yang bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi Auditorik
1. Suara halusinasi yang berkomentar terus- menerus terhadap perilaku
pasien atau mengomentari perilaku pasien atau.
2. Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (di antara
berbagai suara yang berbicara) atau
3. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham –waham menetap jenis lain yang menurut budaya dianggap tidak
wajar dan mustahil seperti waham bisa mengendalikan cuaca, dan lain-
lain.
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari setiap panca indra baik disertai waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif
yang jelas atau ide-ide berlebihan yang menetap atau terjadi setiap hari
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan secara terus- menrus.
f. Arus fikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolasi)
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan tidak relevan atau
neologisme.
12
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme dan
stupor.
h. Gejala-gejala negatif seperti apatis, bicara jarang serta respon emosional
yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non psikotik
prodormal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku
pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup
tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude) dan penarikan diri secara social.
Selain itu para ahli membagi gejala skizofrenia menjadi dua bagian yaitu
gejala positif dan gejala negatif.
a. Termasuk gejala positif:
1. Disorganisasi pikiran dan bicara: penderita bisa menceritakan
keadaan sedih dengan mimik muka yang gembira atau sebaliknya.
2. Waham: penderita merasa dirinya seorang pahlawan atau orang
besar dan bertindak seperti pahlawan atau orang besar .
3. Halusinasi: melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada.
4. Agitasi atau mengamuk: hal ini sering membuat penderita dikurung
atau dipasung.
b. Termasuk gejala negatif:
1. Tidak ada dorongan kehendak atau inisiatif atau apatis.
2. Menarik diri dari pergaulan sosial: penderita merasa senang jika
tidak menjalani kehidupan sosial.
13
3. Tidak menunjukkan reaksi emosional (Isaacs, 2005; Hawari, 2001;
Maslim, 1997, Depkes RI, 1993).
Teori ini digunakan untuk memudahkan keluarga mengenal gejala-gejala
yang dialami oleh penderita skizofrenia,sehingga dapat melakukan
penanganan.
2.1.3 Pola Perjalanan Penyakit
A. Skizofrenia paranoid
Pedoman diagnostik:
Kriteria umum diagnosis skizofrenai harus dipenuhi. Sebagai tambahan,
halusinasi dan atau waham harus menonjol, sedangkan gangguan afektif,
dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif
tidak nyata. Halusinasi yang mengancam atau memberi perintah dan
halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau yang bersifat seksual.
Waham dapat berupa hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan
(control), dipengaruhi (influence) atau passivity dan keyakinan dikejar-
kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.
B. Skizofrenia Hebefrenik
Pedoman diagnostik:
Kriteria umum diagnostic skizofrenia harus dipenuhi. Biasanya diagnosis
hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda. Kepribadian premorbid secara khas, tetapi tidak selalu,
pemalu, menyendiri (solitary). Untuk diagosis hebefrenik yang
meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3
bulan lamanya, untuk memastikan bahwa perilaku yang khas seperti
perilaku tidak bertanggung jawab, mannerisme, senyum sendiri memang
benar bertahan.
14
C. Skizofrenia katatonik
Pedoman diagnostik:
Kriteria untuk suatu diagnosis skizofrenia harus dipenuhi. Gejala katatonik
terpisah yang bersifat sementara dapat terjadi pada setiap subtipe
skizofrenia, tetapi untuk diagnosis skizofrenia katatonik satu atau lebih
dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya: stupor
(amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan gerakan),
kegelisahan, sikap tubuh yang tidak wajar (bizarre), negativisme
(perlawanan terhadap instruksi), rigiditas (sikap tubuh yang kaku), waxy
flexibility (mempertahankan posisi tubuh yang dilakukan dari luar) dan
gejala otomatisme terhadap perintah dan preservasi kata atau kalimat.
D. Skizofrenia tak terinci
Pedoman diagnostik:
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia, tidak memenuhi
untuk kriteria skizofrenia paranoid, hebefrenik dan katatonik, tidak
memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-
skizofrenia.
E. Depresi pasca-skizofrenia
Pedoaman diagnostik:
Diagnosis ditegakkan hanya kalau pasien telah menderita skizofrenai
(memenuhi criteria umum skizofrenia (selama 12 bulan terakhir), beberapa
gejala skizofrenia masih tetap ada dan gejala-gejala depresif menonjol dan
mengganggu, memenuhi sedikitnya episode depresif dan telah ada unt
uk waktu sedikitnya 2 minggu.
F. Skizofrenia residual
Pedoman diagnostik:
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi: (1) gejala negatif skizofrenai yang menonjol, misalnya
perlambatan psikomotor, aktivitas menurun, afek tumpul, sikap pasif,
miskin dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal buruk
seperti kontak amta, ekspresi muka, sikap tubuh, perawatan diri dan
15
kinerja sosial buruk. (2) sedikitnya ada riwayat episode psikotik yang jelas
di masa lampau yang memenuhi criteria diagnostik untuk skizofrenia (3)
sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang dan telah timbul sindrom negatif skizofrenia (4) tidak terdapat
demensia atau penyakit/gangguan otak organic lain, depresi kronis, atau
institusionalisasi yang dapat menjelskan hendaya negatif tersebut.
G. Skizofrenia simpleks
Pedoman diagnostik:
Skizofrenia simpleks adalah suatu diagnosis yang sulit dibuat secara
meyakinkan, karena tergantung pada pemestian perkembangan yang
berjalan perlahan, progresif dari gejala negatif yang khas dari skizofrenia
residual tanpa riwayat halusinasi, waham atau manifestasi lain tentang
adanya suatu episode psikotik sebelumnya dan disertai perubahan perilaku
yang bermakna yang bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang
mencolok, kemalasan dan penarikan diri secara sosial (Depkes RI, 1993;
Maslim, 1997).
2.1.4 Etiologi Skizofrenia
Penyebab skizofrenia sampai kini belum diketahui secara pasti dan
merupakan tantangan riset terbesar bagi pengobatan kontemporer.Telah
banyak riset dilakukan dan banyak faktor predisposisi maupun pencetus
yang diketahui anatara lain:
2.1.4.1 Faktor genetika
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko
masyarakat umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung
8% dan pada anak 15%-20% apabila salah satu orang tua menderita
skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir,
anak dari kedua orang tua skizofrenia 30-40%. Pada kembar monozigot
40%-50%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 5%-10 %. Dari
penelitian epidemiologi keluarga terlihat bahwa resiko untuk keponakan
16
adalah 3%, masih lebih tinggi dari populasi umum yang hanya 1%.
Demikian juga dari penelitian anak adopsi dikatakan, anak penderita
skizofrenia yang diadopsi orang tua normal, tetap mempunyai resiko
16,6%, sebaliknya anak sehat yang diadopsi penderita skizofrenia resiko
1,6%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin dekat
hubungan keluarga biologis semakin tinggi resiko terkena skizofrenia
(Kaplan,1997; Teddy, 2002; Tomb, 2004).
2.1.4.2 Faktor biologis dan biokimia
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamine yang
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik
yang berlebihan di bagian kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala
positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga menunjukkan pentingnya
neurotransmiter lain termasuk serotonin, norepinefrin, glutamate dan
GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian
menggunakan CT Scan otak ternyata ditemukan perubahan anatomi otak
seperti pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks atau atropi otak kecil
(cerebellum), terutama pada penderita kronis skizofrenia (Kaplan,1997;
Hawari, 2001; Isaacs, 2005).
2.1.4.3 Faktor psikososial
a. Teori perkembangan
Ahli teori seperti Freud, Sullivan, dan Erikson mengemukakan bahwa
kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun
awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri,
salah interpretasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan sosial
pada penderita skizorenia (Kaplan,1997; Isaacs, 2005).
b. Teori belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang kemudian
menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir irasional orang
tua yang mungkin memiliki masalah emosional yang bermakna. Hubungan
interpersonal yang buruk dari penderita skizofrenia akan berkembang
karena mempelajari model yang buruk selama anak-anak (Kaplan,1997).
17
c. Teori keluarga
Teori-teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya
skizofrenia belum divalidasi dengan penelitian. Bagian fungsi keluarga
yang diimplikasikan dalam peningkatan kekambuhan penderita skizofrenia
antara lain:
1. Faktor keluarga
Faktor keluarga yang dimaksudkan disini adalah faktor stress yang
dialami anak dan remaja yang disebabkan kondisi keluarga yang tidak
baik antara lain:
i. Hubungan kedua orang tua yang dingin atau penuh ketegangan
ii. Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk
bersama dengan anak-anak
iii. Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak baik
iv. Kedua orang tua berpisah atau bercerai
v. Kematian salah satu atau kedua orang tua
2. Emosi yang diekspresikan atau disingkat EE (Expressed Emotion).
Dimana keluarga sering mengekspresikan emosi secara berlebihan
dengan sikap kurang sabar, bermusuhan, pemarah, keras, kasar, kritis
dan otoriter.
Menurut penelitian (Leff dan Wing), angka relaps dirumah dengan EE
rendah dan penderita minum obat teratur sebesar 12%, dengan EE
rendah dan tanpa obat 42% sedangkan EE tinggi dan tanpa obat
sebesar 92%. Penelitian lain juga mengatakan pemisahan penderita
dari EE tinggi memperbaiki angka relaps (Kaplan, 1997; Hawari,
2001; Chandra, 2005).
2.1.4.4 Status sosial ekonomi
Beberapa ahli teori telah menyatakan bahwa industrialisasi, urbanisasi dan
status sosial ekonomi yang rendah sangat kuat hubungannya dengan
skizofrenia. Itu sebabnya banyak penderita yang dijumpai pada
masyarakat golongan menengah ke bawah. Hal ini juga didukung oleh
penelitian Saifullah (2005) di Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa Nangroe
18
Aceh Darussalam, bahwa 95,1% penderita relaps berasal dari golongan
ekonomi tidak mampu (Kaplan, 1997; UCLA, 1997; Tomb, 2004).
2.1.4.5 Stres
Karena bervariasinya presentasi simtom dan prognosis skizofrenia, maka
tidak ada faktor etiologik tunggal yang menyebabkan timbulnya
skizofrenia. Ada model yang mengintegrasikan faktor biologis, faktor
psikososial dan faktor lingkungan adalah model stress diatesis. Model ini
menyatakan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diatesis) terhadap stres yang memungkinkan berkembang menjadi simtom
skizofrenia (Kaplan, 1997).
Model interaksional yang mengatakan bahwa penderita skizofrenia
mempunyai kerentanan genetik dan biologik terhadap stress dan dianggap
penyebab utama dalam menentukan onset dan keparahan penyakit (Isaacs,
2005).
2.1.4.6 Kepribadian premorbid
Indikator premorbid (sebelum sakit) pada anak preskizofrenia menurut
Nurmiati Amir (2003) antara lain ketidakmampuan anak mengekspresikan
emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh dan penyimpangan
komunikasi seperti anak sulit melakukan pembicaraan terarah. Sedangkan
pada remaja perlu diperhatikan kepribadian premorbid seperti kepribadian
paranoid atau curiga berlebihan, menganggap semua orang musuh, juga
kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat
dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri (Ingram, 1995; Amir,
2003; Chandra, 2005).
2.1.4.7 Rokok dan penyalahgunaan napza
Gangguan skizoid dapat dicetuskan atau disebabkan oleh penggunaan
kanabis (ganja, gelek, marijuana). Hasil penelitian terhadap 152 subjek
episode pertama skizofrenia di West London didapatkan bahwa 60%
subjek adalah perokok, 27% ada riwayat penggunaan alkohol, 35%
sedang terlibat napza ( tidak termasuk alkohol ), dan 68% adalah pengguna
napza selama hidupnya (Kaplan, 1997; Chandra, 2006).
19
Teori ini digunakan dalam penelitian agar keluarga mengetahui penyebab
terjadinya skizofrenia yang dialami oleh anggota keluarganya, sehingga
keluarga mampu menangani masalah yang terjadi.
2.1.5. Prognosis
Gejala premorbid merupakan gejala awal dari penyakit dan mulai
pada masa remaja diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam
beberapa hari sampai beberapa bulan. Onset gejala yang mengganggu
terlihat setelah tercetus oleh perubahan sosial atau lingkungan. Sindrom
prodromal dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum onset
gejala psikotik yang jelas. Setelah episode psikotik yang pertama, pasien
memiliki periode pemulihan yang bertahap diikuti periode fungsi yang
relatif normal. Tetapi relaps biasanya terjadi dalam lima tahun pertama
setelah diagnosis, diikuti oleh pemburukan lebih lanjut pada fungsi dasar
pasien. Perjalanan klasik skizofrenia adalah suatu eksaserbasi dan remisi.
Gejala positif dari skizofrenia cenderung lebih baik dibanding dengan
gejala negatif yang dapat menimbulkan ketidakmampuan secara sosial
(Kaplan, 1997).
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis, pasien
secara berangsur-angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak berfungsi
selama bertahun-tahun. Beberapa penelitian telah menemukan lebih dari
periode waktu 5 samapi 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali
di rumah sakit jiwa, hanya 10 sampai 20% memiliki hasil yang baik. Lebih
dari 50% memiliki hasil buruk dengan perawatan berulang di rumah sakit,
eksaserbasi gejala, gangguan mood berat dan ada usaha bunuh diri.
Rentang angka pemulihan berkisar 10 sampai 60%, kira-kira 20 sampai
30% dari penderita terus mengalami gejala yang sedang dan 40 sampai
60% dari penderita terus mengalami gangguan secara bermakna seumur
hidup (Kaplan, 1997; Tomb, 2004).
20
2.1.6 Pencegahan dan Pengobatan Skizofrenia
2.1.6.1 Pencegahan
Menurut Kusumanto Setyonegoro (1967) pendekatan yang dilakukan
dalam pencegahan skizofrenia dapat bersifat “eklektik holistik” yang
mencakup tiga pilar yaitu organobiologis, psikoedukatif, dan sosial
budaya, dan dari ketiga pilar tersebut dapat diketahui kepribadian
seseorang. Dalam melengkapi pendekatan holistik tersebut, Hawari (1993)
menambah satu pilar sehingga menjadi empat pilar yaitu organobiologis,
psikoedukatif, sosial budaya, dan psikoreligius.
Upaya pencegahan yang dilakukan pada masing-masing pilar
dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin munculnya skizofrenia
dan kekambuhannya.
a. Organobiologis.
1. Bila ada silsilah keluarga menderita skizofrenia sebaiknya menikah
dengan keluarga yang tidak ada silsilah skizofrenia
2. Walaupun dalam keluarga tidak ada silsilah menderita skizofrenia
sebaiknya bila menikah dengan keluarga yang tidak ada silsilah
menderita skizofrenia dan merupakan keluarga jauh.
3. Sebaiknya penderita atau bekas penderita skizofrenia tidak saling
menikah.
b. Psikoedukatif.
Beberapa sikap yang harus diperhatikan orang tua dalam membina
mental-emosional dan mental-intelektual anak yaitu:
1. Sikap pertama adalah kemampuan untuk percaya pada kebaikan
orang lain, Erikson (1972) memberikan istilah kepercayaan dasar
(basic trust).
2. Sikap kedua adalah sikap terbuka.
Kalau sikap ini di gabungkan dengan sikap kepercayaan, maka
anak akan menjadi terbuka dan terus terang pada orang di
sekitarnya. Sikap ini jugaakan menciptakan sikap ingin tau dan
sikap mau belajar (otonomi dan inisiatif).
21
3. Sikap ketiga adalah anak mampu menerima kata tidak atau
kemampuan pengendalian diri terhadap hal-hal yang
mengecewakan, kalau tidak anak akan sulit bergaul dan belajar di
sekolah.
Keterpaduan ketiga sikap tersebut diatas akan menghasilkan
anggota masyarakat baru dan sehat, mempunyai potensi untuk
bisasekolah dan bergaul dengan baik didalam maupun diluar
keluarganya tanpa pengawasan serta mampu menyelesaikan
konflik baik internal maupun eksternal dalam dirinya.
c. Psikoreligius.
D.B Larson, dkk (1992) dalam penelitiannya yang termuat dalam
“Religious Commitment and Health” (APA, 1992), menyatakan bahwa
agama amat penting dalam pencegahan agar seseorang tidak mudah
jatuh sakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan dan
mempercepat penyembuhan. Sementara Snyderman (1996) menyatakan
bahwa terapi medis tanpa agama tidak lengkap atau sebaliknya.
d. Psikososial.
Agar tumbuh kembang anak sehat baik fisik, psikologik, sosial dan
spiritual, hendaknya diciptakan rumah tangga yang sehat dan bahagia
agar supaya kepribadian anak menjadi matang dan kuat sehingga tidak
mudah jatuh sakit. Sehubungan dengan hal tersebut N.Stinnet dan J.De
Frain (1987) dalam studinya yang berjudul” The National Study on
Family Strength” mengemukakan 6 kriteria membina keluarga yang
sehat dan bahagia yaitu:
1. Ciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.
2. Adakan waktu bersama dalam keluarga.
3. Ciptakan hubungan yang baik antar anggota keluarga.
4. Keluarga sebagai unit sosial yang terkecil ikatannya harus erat dan
kuat, jangan longgar dan rapuh.
5. Harus saling harga-menghargai (appresiasi) sesama anggota
keluarga.
22
6. Bila keluarga mengalami krisis, maka prioritas utama adalah
keutuhan keluarga dan bila diperlukan berkonsultasi dengan ahlinya
(marriage counselor) (Hawari, 2001; Vijay, 2005).
2.1.6.2 Pengobatan
Skizofrenia merupakan penyakit yang cenderung berlanjut (kronis atau
menahun) maka terapi yang diberikan memerlukan waktu relatif lama
berbulan bahkan sampai bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan
sekecil mungkin kekambuhan(relaps). Terapi yang komprehensif dan
holistik telah dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi
mengalami diskriminasi dan lebih manusiawi dibandingkan dengan
pengobatan sebelumnya. Adapun terapi yang dimaksud adalah:
a. Psikofarmaka
Obat anti psikotik yang sering disebut dengan neuroleptik ditujukan untuk
menghilangkan gejala skizofrenia. Golongan obat psikofarmaka yang
sering digunakan di Indonesia (2001) terbagi dua: golongan typical
(Largactil, Stelazine, Haldol) dan golongan atypical(Risperdal. Clozaril,
Seroquel, Zyprexa). Menutrut Nemeroff (2001) dan Sharma (2001)
kelebihan obat atypical antara lain: (1). Dapat menghilangkan gejala
positif dan negatif, (2). Efek samping Extra Pyramidal Symptoms (EPS)
sangat minimal atau boleh dikatakan tidak ada, (3). memulihkan fungsi
kognitif. Sementara Nasrallah (2001) dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa pemakaian obat golongan typical sebanyak 30% penderita tidak
memperlihatkan perbaikan klinis bermakna, diakui bahwa golongan obat
typical hanya mampu mengatasi gejala positif tetapi kurang efektif untuk
mengatasi gejala negatif (Kaplan, 1997; Hawari, 2001; Isaacs, 2005).
b. Electro Convulsive Terapy ( ECT )
Electro Convulsive Terapy (ECT) diberikan pada penderita skizofrenia
kronik. Tujuannya adalah memperpendek serangan skizofrenia,
mempermudah kontak dengan penderita, namun tidak dapat mencegah
serangan ulang (Kaplan, 1997; Maramis, 2004; Amir, 2006).
c. Terapi psikososial
23
1. Terapi yang berorientasi keluarga
Terapi yang berorientasi keluarga sangat berguna dalam pengobatan
skizofrenia, karena seringkali pasien dipulangkan dalam keadaan
remisi parsial. Ahli terapi harus membantu keluarga dan penderita
mengerti skizofrenia, episode psikotik dan peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan episode tersebut. Sejumlah penelitian telah menemukan
bahwa terapi keluarga sangat efektif dalam menurunkan relaps.
Demikian juga dengan pendapat Chandra yang mengatakan bahwa
penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati dari keluarga,
itu sebabnya keluarga perlu menghindari sikap Expressed
Emotion(EE) atau reaksi berlebihan terhadap penderita.
2. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi penderita skizofrenia dipusatkan pada rencana,
masalah dan hubungannya dengan kehidupan nyata dan sangat efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi penderita skizofrenia. Terapi
psikososial ini dimaksudkan agar penderita mampu beradaptasi
kembali dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri,
mandiri dan tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi
beban bagi keluarga. Sebaiknya penderita selama menjalani terapi
psikososial masih tetap mengkonsumsi psikofarmaka dan diupayakan
untuk tidak menyendiri, tidak melamun dan harus melakukan
kesibukan (Kaplan, 1997; Hawari, 2001; Chandra, 2005).
d. Psikoterapi
Merupakan terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila penderita telah
diberikan terapi psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana
kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri
sudah baik. Psikoterapi ini bermacam-macam bentuknya antara lain:
1. Psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan dorongan,
semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa.
24
2. Psikoterapi re-edukatif dimaksudkan untuk memberikan pendidikan
ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu
lalu.
3. Psikoterapi rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki kembali
kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh
seperti semula sebelum sakit.
4. Psikoterapi kognitif dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi
kognitif rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai
moral etika, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak
dan sebagainya.
5. Psikoterapi perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan
perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan
diri.
6. Psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan
keluarganya (Kaplan, 1997; Hawari, 2001).
e. Terapi psikoreligius
Terapi keagamaan ternyata masih bermanfaat bagi penderita gangguan
jiwa. Dari penelitian ternyata didapatkan kenyataan secara umum
komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya di bidang klinik.
Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah
keagamaan, kajian kitab suci dan lain-lain (Vijay, 2005; Hawari, 2001).
f. Edukasi kepada publik untuk menurunkan stigma dan diskriminasi
Penting adanya pengetahuan masyarakat untuk tidak mengecap penderita
dengan kata-kata seperti “gila” atau “kurang waras” bahkan mengejek atau
menghujatnya (Vijay, 2005).
g. Rehabilitasi
Program rehabilitasi penting dilakukan sebagai persiapan penempatan
kembali penderita kekeluarga dan masyarakat. Program ini biasanya
dilakukan di lembaga (institusi) rehabilitasi misalnya di rumah sakit jiwa.
Dalam program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain: terapi
25
kelompok, menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan kesenian,
terapi fisik seperti olah raga, keterampilan khusus/kursus, bercocok tanam,
rekreasi dan lain-lain. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung
3-6 bulan. Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali yaitu
sebelum dan sesudah program rehabilitasi atau sebelum penderita
dikembalikan ke keluarga dan masyarakat (Hawari, 2001; Isaacs, 2005).
Teori ini digunakan dalam penelitian untuk mengetahui tindakan apa yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya skizofrenia dan pengobatan apa
yang harus dilakukan terhadap penderita skizofrenia.
2.1.7 Relaps
Relaps atau kambuh merupakan kondisi dimana pasien kembali
menunjukkan gejala-gejala skizofrenia setelah remisi dari rumah sakit.
Penderita yang mengalami relaps diikuti oleh pemburukan sosial lebih lanjut
pada fungsi dasar pasien. Peningkatan angka relaps/kekambuhan
berhubungan secara bermakna dengan emosi yang berlebihan dilingkungan
rumah, terutamadi dalam keluarga yang tidak harmonis, ketidaktahuan
keluarga dalam menghadapi penderita dan juga pengobatan yang tidak
adekuat yang dilakukan oleh keluarga terhadap penderita (Kaplan, 1997;
UCLA, 1997; Tomb, 2004).
Bahwa 65% keluarga penderita skizofrenia yang relaps berumur 18-
40 tahun, sedangkan keluarga penderita skizofrenia yang tidak relaps 75%
berumur 41-60 tahun. Data ini menunjukkan adanya perbedaan antara umur
keluarga yang relaps dan tidak relaps, dimana keluarga penderita yang relaps
masih relatif dewasa muda, sedangkan keluarga penderita yang tidak relaps
relatif sudah dewasa tua. Menurut Sunaryo (2004) umur 18-41 tahun
merupakan golongan dewasa muda, dimana mereka sedang belajar untuk
saling tergantung dan belajar untuk bertanggung jawab terhadap orang lain.
Kalau diperhatikan dengan baik, ada kemungkinan hal ini berkaitan dengan
kejadian relaps karena keluarga belum mampu bersikap sabar serta mampu
menahan emosi. Hal ini berbeda dengan keluarga penderita yang tidak relaps
26
yang mayoritas sudah dewasa tua dan menurut Sunaryo bahwa golongan
umur ini sudah menyadari dan menerima arti kehidupan, sehingga mereka
lebih mampu untuk mengontrol emosi saat menghadapi anggota keluarga
yang sakit.
Hasil diatas juga didukung oleh pendapat Candra (2005) bahwa
angka kejadian relaps di rumah dapat terjadi apabila keluarga menunjukkan
ekspresi emosi yang berlebihan dan sebaliknya angka kejadian relaps dapat
dikurangi apabila dilakukan pemisahan penderita dari ekspresi emosi yang
berlebihan.
Hasil penelitian tentang jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang berarti antara keluarga penderita yang relaps dan tidak
relaps, hal ini terlihat dari persentasi laki-laki dan perempuan sama-sama
50% untuk keluarga relaps dan persentasi laki-laki dan perempuan masing-
masing 55% dan 45% untuk keluarga yang tidak relaps. Memang secara
teoripun tidakada pendapat yang mengatakan bahwa ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dalam melakukan perawatan terhadap penderita,
namun menurut penulis hal ini lebih disebabkan oleh tingkat kedewasaan
seseorang dalam bertanggung jawab terhadap dirinya maupun orang lain
serta kemampuan dalam menghadapi masalah.
Hasil penelitian tentang tingkat pendidikan menunjukkan bahwa
60% keluarga penderita yang relaps memiliki tingkat pendidikan rendah dan
40% memiliki tingkat pendidikan tinggi sedangkan 55% keluarga penderita
yang tidak relaps memiliki tingkat pendidikan rendah dan 45% memiliki
tingkat pendidikan tinggi.
27
DAFTAR PUSTAKA
APA, 2004. Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder IV-TR. Ed 4.
American Psychiatric Association Arlington, VA.
Atkinson, Rita L, dkk, 1996. Pengantar Psikologi, Ed 8, Alih Bahasa: Dra
Nurdjanah Taufiq, Jakarta:. Erlangga.
Azwar, Saifudin, 2000. Reliabilitas dan Validitas, Ed 3 Cetakan I, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Bachtiar dan Sylvia, 2005. Penuntun Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi,
Jakarta: EGC.
Chandra, Kenali Gejala Dini Skizofrenia. http://www.schizophrenia.com. 29
Januari 2005.
Departemen Kesehatan, RI, 1993. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan
Jiwa, Jakarta: Departemen Kesehatan.
Hawari, Dadang, 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa, Ed 2, Jakarta:
FKUI.
Hidayat, Teddy, 2002. Konsultasi Kesehatan Jiwa: Kewalahan Mengawasi Kakak
yang Selalu Ingin Bunuh Diri.
Ingram, dkk, 1995. Catatan Kuliah Psikiatri. Edisi 6. Alih Bahasa: Petrus Adianto,
Jakarta: EGC
Irmansyah, 2005. Faktor Genetika pada Skizofrenia.
Isaacs, Ann, 2005. Mental Health and Psychiatric Nursing. Alih Bahasa: Dian
Praty Rahayuningsih,Jakarta: EGC.
Izzudin, dan Amino, Gondohutomo.2005. Konsultasi dan Integrasi Pelayanan
Psikiatri:Membunuh Keluarga Sendiri.
Kaplan dan Sadock, 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis, Ed 7, Alih Bahasa: Dr Widjaja Kusuma, Jakarta: Binarupa Aksara.
Tomb, David A, 2004. Buku Saku Psikiatri, Ed 6, Alih Bahasa: dr.Martina Wiwie
N, Jakarta: EGC.
Vijay, Chandra, 2005. Cara Pencegahan dan Pengobatan Gangguan Jiwa.
28