jhptump a dinisiswan 133 1 dini lap 0

64
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lele dumbo merupakan ikan ekonomis penting yang banyak dibudidayakan oleh petani ikan, tidak terkecuali di wilayah Banyumas. Beberapa keunggulan ikan ini ialah mudah dibudidayakan, pertumbuhannya relatif cepat, dan harga jualnya yang cukup tinggi (Santoso, 1994). Namun, keberhasilan budidaya ikan ini sering mendapat kendala karena adanya penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila. Penyakit MAS sampai saat ini merupakan penyakit terpenting yang menyerang ikan air tawar dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Pada ikan lele, tingkat kematian dapat mencapai 80%, bahkan 100% dalam waktu sekitar satu minggu. Penyebaran penyakit ini sangat luas dan cepat sejalan dengan meluasnya usaha budidaya dan meluasnya jaringan penyebaran benih dan ikan konsumsi, baik ikan segar maupun ikan hidup (Triyanto et al., 1997). Penanggulangan penyakit MAS dengan obat-obatan dan antibiotik menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan, kesehatan konsumen, dan timbulnya mikroorganisme resisten (Mulia, 2003). Vaksinasi merupakan salah satu cara yang efektif dan efisien untuk mencegah penyakit MAS karena dengan vaksinasi dapat diperoleh kekebalan yang cukup lama meskipun hanya dengan 1-2 kali pemberian vaksin, tidak ada efek samping, dapat dilakukan pada berbagai ukuran ikan dari benih sampai induk (Triyanto et al., 1996; Kamiso, 1997). Tingkat perlindungan yang ditimbulkan oleh vaksinasi sangat tergantung pada jenis dan kualitas vaksin, cara vaksinasi, kondisi ikan, dan lingkungan hidupnya (kualitas air) (Souter, 1984; Kamiso et al., 1998). Penggunaan vaksin dari satu strain A. hydrophila (monovalen) memberikan hasil bervariasi. Murtiningsih (2003) menggunakan vaksin sitoplasma sel A.

Upload: aldandanal

Post on 13-Apr-2016

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

TRANSCRIPT

Page 1: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lele dumbo merupakan ikan ekonomis penting yang banyak dibudidayakan oleh petani

ikan, tidak terkecuali di wilayah Banyumas. Beberapa keunggulan ikan ini ialah mudah

dibudidayakan, pertumbuhannya relatif cepat, dan harga jualnya yang cukup tinggi (Santoso,

1994). Namun, keberhasilan budidaya ikan ini sering mendapat kendala karena adanya

penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas

hydrophila. Penyakit MAS sampai saat ini merupakan penyakit terpenting yang menyerang

ikan air tawar dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Pada ikan lele, tingkat kematian

dapat mencapai 80%, bahkan 100% dalam waktu sekitar satu minggu. Penyebaran penyakit ini

sangat luas dan cepat sejalan dengan meluasnya usaha budidaya dan meluasnya jaringan

penyebaran benih dan ikan konsumsi, baik ikan segar maupun ikan hidup (Triyanto et al.,

1997).

Penanggulangan penyakit MAS dengan obat-obatan dan antibiotik menimbulkan

dampak negatif terhadap kualitas lingkungan, kesehatan konsumen, dan timbulnya

mikroorganisme resisten (Mulia, 2003). Vaksinasi merupakan salah satu cara yang efektif dan

efisien untuk mencegah penyakit MAS karena dengan vaksinasi dapat diperoleh kekebalan

yang cukup lama meskipun hanya dengan 1-2 kali pemberian vaksin, tidak ada efek samping,

dapat dilakukan pada berbagai ukuran ikan dari benih sampai induk (Triyanto et al., 1996;

Kamiso, 1997).

Tingkat perlindungan yang ditimbulkan oleh vaksinasi sangat tergantung pada jenis dan

kualitas vaksin, cara vaksinasi, kondisi ikan, dan lingkungan hidupnya (kualitas air) (Souter,

1984; Kamiso et al., 1998). Penggunaan vaksin dari satu strain A. hydrophila (monovalen)

memberikan hasil bervariasi. Murtiningsih (2003) menggunakan vaksin sitoplasma sel A.

Page 2: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

2

hydrophila strain Cangkringan, sintasan lele dumbo mencapai 66,7-100%. Vaksinasi dengan

vaksin produk ekstraseluler dan intraseluler sel A. hydrophila strain Moyudan pada lele dumbo

menghasilkan sintasan 58,67% (vaksin produk ekstraseluler) dan 85,33% (vaksin produk

intraseluler) (Mulia & Purbomartono, 2007).

Pembuatan vaksin polivalen dari sel A. hydrophila yang diisolasi dari lele dumbo sakit

di wilayah Banyumas dan sekitarnya belum pernah dilakukan, apalagi pengembangan vaksin

polivalen plus dengan penambahan vitamin C dan adjuvant. Oleh karena itu, dalam penelitian

ini akan dikembangkan pembuatan vaksin polivalen plus yang imunogenik dan protektif dari

beberapa isolat A. hydrophila yang diperoleh dari tiga lokasi, yaitu Banyumas, Purbalingga,

dan Banjarnegara serta uji vaksinasinya, baik skala laboratorium maupun lapangan.

Page 3: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Lele dumbo merupakan ikan air tawar hasil persilangan antara induk betina C. fuscus

yang berasal dari Taiwan dengan induk jantan C. mossambicus dari Kenya. Ikan ini

diintroduksi dari Taiwan sekitar bulan November 1986 (Santoso, 1994). Lele dumbo

mempunyai bentuk badan memanjang, bagian kepala pipih ke bawah (depressed), sedangkan

bagian tubuh ke arah belakang berbentuk pipih ke samping (compressed), batok kepala

umumnya keras (Susanto, 1988). Berbeda dengan jenis ikan konsumsi lainnya yang

mempunyai sisik, seluruh bagian tubuh lele dumbo mulai dari ujung mulut sampai bagian ekor

tidak ditutupi sisik. Pada sirip dada dilengkapi dengan patil atau taji yang tidak beracun.

Dibandingkan dengan lele lokal, patil lele dumbo lebih pendek dan tumpul (Santoso, 1994).

Genus Clarias mempunyai alat pernapasan tambahan untuk mengatasi perairan dengan

kadar oksigen rendah, yaitu organ epibranchial atau organ arborescent (Lagler et al., 1977).

Oleh karena itu, lele dumbo dapat bertahan pada kondisi lingkungan perairan yang buruk

seperti kandungan oksigen terlarut yang rendah. Lele dumbo memiliki sifat nokturnal yaitu

aktif bergerak dan mencari makan pada malam hari. Namun, pada kolam budidaya lele dumbo

dapat dibiasakan diberi pakan pada siang hari (Santoso, 1994). Ikan ini termasuk karnivora,

juga scavenger (pemakan bangkai). Di kolam-kolam budidaya, lele dumbo memakan segala

jenis makanan (Mudjiman, 1989).

B. Bakteri Aeromonas hydrophila

Aeromonas hydrophila merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang dengan

ukuran 0,7-0,8 µm, bersifat fakultatif anaerob, kemoorganotrof, fermentatif, sitokrom oksidase

positif, dan bersifat motil (Frerichs & Roberts, 1978). Bakteri ini resisten terhadap penisilin,

Page 4: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

4

tumbuh optimum pada suhu 37°C dan dapat tumbuh pada suhu 4-45°C (Farmer et al., 2000).

Bakteri A. hydrophila tidak membentuk kapsul maupun spora. Koloni berbentuk bulat, tepi

rata, cembung dan berwarna kuning keputih-putihan (krem) (Post, 1983; Sarono et al., 1993).

Dilihat dari cara hidupnya, A. hydrophila bersifat patogen oportunistik, selalu berada dalam

air dan menyerang ikan pada waktu ikan lemah. Bakteri ini dapat hidup di air tawar, dan juga

dapat hidup di perairan payau dan laut (Newman, 1982) dan mempunyai toleransi suhu yang

lebar (Post, 1983). Perairan air tawar, khususnya yang mengandung banyak bahan organik

merupakan habitat yang baik bagi perkembangan A. hydrophila (Frerichs & Roberts, 1978;

Stevenson, 1988). A. hydrophila mempunyai sifat biokimia, genetik, serologi, dan fenotip yang

beragam (Newman, 1982; Stevenson, 1988). Kemampuan A. hydrophila menimbulkan

penyakit cukup tinggi. Tingkat keganasan yang diukur dengan LD50 cukup bervariasi, yaitu

berkisar antara 104-106 sel/ml (Sarono et al., 1993). Penyakit bakterial yang disebabkan oleh

bakteri A. hydrophila disebut dengan MAS (Motil Aeromonas Septicemia). Gejala eksternal

yang muncul akibat penyakit MAS adalah adanya ulser yang berbentuk bulat atau tidak teratur

dan berwarna merah keabu-abuan, inflamasi dan erosi di dalam rongga dan sekitar mulut

seperti redmouth disease. Selain itu terjadi hemorrhagik pada sirip serta mata membengkak

dan menonjol (eksophtalmia/popeye) (Sarono et al., 1993). Gejala internal dari penyakit MAS

adalah pembengkakan ginjal tetapi tidak lembek, petikiae (bintik merah) pada otot daging dan

peritoneum, usus tidak berisi makanan tetapi berisi cairan kuning. Gejala khas dari bakteri ini

adalah adanya sejumlah besar cairan kuning pada rongga perut (Sarono et al., 1993). Di

Indonesia A. hydrophila menyerang ikan tawes (Hardjautomo et al., 1981), ikan lele dan ikan

karper (Djajadiredja & Cholik, 1982; Sarono et al., 1993), ikan gurami (Taufik, 1982;

Supriyadi et al., 1995). Jenis ikan di daerah subtropik yang banyak terserang oleh bakteri ini

antara lain rainbow trout dan Chinook salmon (Sarono et al., 1993). Selain menyerang ikan, A.

Page 5: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

5

hydrophila juga dapat menyerang amphibia, reptil (ular dan kura-kura) (Post, 1983), buaya

(Newman, 1982), bahkan berpotensi menyerang manusia (Newman, 1982; Post, 1983;

Stevenson, 1988). A. hydrophila dapat menyebabkan diare pada manusia (Fraizier et al., 1988).

C. Sistem Pertahanan Tubuh

Sistem pertahanan tubuh pada ikan dipengaruhi oleh kondisi anatomis, fisiologis,

spesies, umur, berat badan, dan lingkungan luar sehingga memungkinkan adanya tingkatan

yang berbeda-beda (Schaperclaus, 1992). Sistem pertahanan tubuh ikan terdiri dari dua macam,

yaitu sistem pertahanan nonspesifik dan spesifik (Davies, 1997).

1. Sistem Pertahanan Nonspesifik

Sistem pertahanan nonspesifik berfungsi untuk melawan segala jenis patogen, bersifat

permanen, diturunkan kepada anakannya, dan tidak perlu adanya rangsangan (Schaperclaus,

1992). Pada ikan, pertahanan pertama untuk melawan patogen terdapat pada permukaan tubuh.

Secara fisik, daerah permukaan tubuh dapat menghambat masuknya patogen ke dalam tubuh

ikan (Atlas, 1997) meliputi mukus, kulit, insang, dan saluran gastrointestinal (Ellis, 1989).

Sistem pertahanan nonspesifik kimiawi meliputi komponen-komponen dalam serum darah

yang berfungsi menghambat pertumbuhan mikrobia. Komponen-komponen tersebut adalah

komplemen, C-reaktif protein (CRP), interferon, lisozim, transferin, antiprotease (Ingram,

1980; Ellis, 1988; Ellis, 1989), dan asam (Schaperclaus, 1992; Atlas, 1997). Sistem pertahanan

nonspesifik menggunakan mekanisme efektor seluler berupa aktivitas fagositosis yang

melibatkan sel-sel organ dan sel motil. Sel-sel organ meliputi sel jaringan penghubung

(fibroblast), jaringan lymphoid dari saluran pencernaan, sel reticuloendothelial, sel dinding

kapiler, dan jaringan monosit. Sel motil terdiri atas makrofag, leukosit nongranular (monosit

Page 6: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

6

dan limfosit), dan leukosit granular (neutrofil, eosinofil, dan basofil) (Ingram, 1980;

Schaperclaus, 1982).

2. Sistem Pertahanan Spesifik

Sistem pertahanan spesifik berfungsi untuk mempertahankan diri terhadap penyakit

tertentu dan pembentukannya memerlukan rangsangan terlebih dahulu. Rangsangan dapat

terjadi secara alami dan buatan atau dengan vaksinasi (Ellis, 1989). Sistem pertahanan spesifik

terdiri atas dua macam, yaitu sistem pertahanan seluler atau cell mediated immunity (CMI) dan

sistem pertahanan humoral (produksi antibodi) (Ellis, 1988; Noble & Noble, 1989). Sistem

pertahanan seluler dihasilkan oleh aktivitas limfosit yang disebut sel-sel T, yang berlangsung

dalam kelenjar timus. Bila terjadi kontak dengan antigen spesifik, sel-sel T berdiferensiasi

menjadi sel-sel yang mampu mengadakan interaksi langsung dengan sel atau jaringan asing dan

kemudian merusaknya. Oleh karena itu, sel-sel T disebut sel pembunuh. Fungsi sel pembunuh

ditingkatkan melalui kontak langsung antara sel-sel T efektor dengan membran permukaan sel

sasaran, atau melalui pelepasan mediator yang bersifat larut nonspesifik dan nonantibodi yang

disebut lymphokines (Noble & Noble, 1989).

Pertahanan humoral diprakarsai oleh golongan limfosit yang disebut sel-sel B, yang bila

diaktivasi oleh pengenalan suatu benda atau substansi asing berusaha menjadi sel-sel plasma

yang memproduksi antibodi (Noble & Noble, 1989), sedangkan pengenalannya dilakukan

setelah antigen diproses oleh makrofag. Kemudian makrofag memberikan pesan kepada

limfosit (Anderson, 1974). Antibodi ini dihasilkan di hati, ginjal, limpha, dan kelenjar timus

(Lagler et al., 1977). Antibodi umumnya dikenal sebagai imunoglobulin, yakni protein yang

Imunoglobin yang ditemukan dalam ikan termasuk dalam klas IgM (Davies, 1997). Respons

imun terhadap suatu antigen tergantung pada dosis dan cara pemasukannya ke dalam tubuh.

Pada umumnya, cara pemasukan antigen ke dalam tubuh dapat langsung melalui kulit, organ

Page 7: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

7

pernapasan, saluran pencernaan, atau disuntikkan, dan masing-masing cara tersebut dapat

menimbulkan respons imun yang berbeda intensitasnya (Subowo, 1993).

D. Vaksinasi dan Hasil Penelitian Terakhir

Vaksinasi adalah salah satu cara pemberian rangsangan atau antigen secara sengaja agar

ikan dapat memproduksi antibodi terhadap suatu bibit penyakit atau patogen. Vaksin umumnya

terdiri dari dua tipe, yaitu vaksin hidup yang merupakan patogen hidup dan tidak mempunyai

tingkat keganasan atau tingkat keganasannya rendah dan vaksin mati yang merupakan patogen

yang telah diinaktifkan (Ellis, 1988). Cara vaksinasi dapat dilakukan melalui injeksi, pakan,

rendaman, hiperosmotik, celupan, dan semprotan (Smith, 1982).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi pada ikan adalah temperatur,

umur, dan berat ikan, faktor pemeliharaan, dan sifat vaksin. Faktor pemeliharaan yang

berpengaruh adalah kesehatan ikan, pakan (terutama vitamin C dan vitamin E), adanya polutan,

antibiotik, dan lingkungan, sedangkan sifat vaksin yang berpengaruh adalah jenis antigen, dosis

antigen, cara vaksinasi, dan pelarut antigen (Ellis, 1988). Bakteri mempunyai beberapa macam

antigen yang bersifat imunogenik. Jenis antigen yang dimiliki bakteri patogen antara lain

(Anonim, 1994) :

1. antigen H (whole cell) untuk mendiagnosa paling baik karena terdiri dari protein sehingga

mampu bereaksi dengan antibodi secara kuat;

2. antigen O yaitu lipopolisakarida (LPS) yang merupakan dinding sel bakteri gram negatif,

letaknya di bagian luar dari sel sehingga cepat bereaksi atau dikenal;

3. antigen K (kapsul) mempunyai sifat antigenisitas yang kuat; dan

Page 8: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

8

4. antigen Vi (faktor virulen) dapat untuk mengidentifikasi atau mendiagnosa, namun hasilnya

bervariasi karena setiap spesies bakteri mempunyai faktor virulen atau keganasan yang

berbeda.

Pemakaian vaksin A. hydrophila telah dicoba oleh berbagai peneliti, baik di luar negeri

maupun di Indonesia. Pada Simposium of Fish Vaccination pada tahun 1984, Song et al. (1976)

menyatakan keberhasilan vaksinasi pada ikan Japanese eel (Anguilla japonica) dengan vaksin

monovalen A. hydrophila. Daya lindung vaksin tersebut adalah 89%, sedangkan pada ikan

salmon, ia mendapatkan hasil yang berbeda-beda, namun tampak adanya respons kekebalan

yang nyata. Selanjutnya, Thune (1980) melakukan vaksinasi ikan lele dengan cara merendam

dan mencelupkan ke dalam antigen A. hydrophila, kemudian dilakukan uji tantang dengan

bakteri yang sama. Hasil penelitian menunjukkan 45% ikan kontrol mati, sedangkan ikan yang

divaksin dengan pencelupan 13% mati dan dengan perendaman ikan yang mati hanya 7,1%.

Vaksinasi dengan menggunakan vaksin whole cell bakteri A. hydrophila pada ikan Tilapia

nilotica menunjukkan tidak ada mortalitas selama 5 minggu (Ruangapan et al., 1986 cit

Stevenson, 1988). Kamiso et al. (1997a) mendapatkan sintasan benih lele dumbo beukuran 2-3

cm yang divaksin dengan vaksin whole cell bakteri A. hydrophila adalah sebesar 23-46,2%,

pada benih ukuran 8-10 cm mencapai 47,85-93%. Pada benih yang dihasilkan dari induk yang

telah divaksinasi dengan vaksin whole cell, sintasannya mencapai 63,1-85,2% (Triyanto et al.,

1996). Aplikasi penggunaan vaksin di lapangan untuk mengendalikan penyakit MAS pada ikan

lele telah dicoba dan sintasan yang diperoleh adalah 50-100% (Supriyadi & Rukyani, 1990).

Menurut Nugroho et al. (1990) ikan karper yang diberi vaksin supernatan (produk

ekstraseluler) sintasannya mencapai 54,76%, vaksin complete 47,62%, dan vaksin whole cell

42,86%, sedangkan kontrol dengan PBS steril sintasannya 9,52%. Kamiso et al. (1997b)

membandingkan efektivitas antara vaksin whole cell dari A. hydrophila dan tetrasiklin dalam

Page 9: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

9

menanggulangi penyakit MAS pada lele dumbo. Sintasan ikan yang divaksin adalah 69,55%,

sedangkan yang menggunakan tetrasiklin adalah 61,76%.

Dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan sampai saat ini, vaksin yang

digunakan umumnya adalah vaksin sel utuh (whole cell). Baru-baru ini telah dilakukan

penelitian penggunaan vaksin protein sitoplasma dan debris sel pada lele dumbo. Mulia (2003)

menggunakan vaksin protein debris sel A. hydrophila untuk menanggulangi penyakit MAS

pada lele dumbo, sintasan mencapai 70-100%. Murtiningsih (2003) menggunakan vaksin

sitoplasma sel A. hydrophila strain Cangkringan pada lele dumbo, sintasan mencapai 66,7-

100%. Olga (2003) menggunakan vaksin protein sitoplasma dengan berat molekul berkisar

antara 40-100 kDa pada lele dumbo, sintasan mencapai 42,22-75,56%. Mulia et al. (2004)

menggunakan vaksin debris sel A. hydrophila secara suntikan dengan variasi cara booster,

yaitu suntik, oral, dan rendaman pada lele dumbo, sintasan mencapai 100 % dibandingkan

kontrol 45,56 %. Suryantinah et al. (2005) menggunakan vaksin debris sel A. hydrophila pada

nila, sintasan mencapai 62,97-81,84 %. Mulia et al. (2006) menggunakan vaksin debris sel A.

hydrophila dengan cara oral dan beberapa cara booster, yaitu suntik, oral, dan rendaman pada

lele dumbo. Sintasan dengan vaksinasi oral dan booster suntik adalah 100%, vaksinasi dan

booster oral adalah 70%, sedangkan vaksinasi oral dan booster rendaman adalah 80%.

Penggunaan bagian lain dari A. hydrophila juga telah diteliti. Mulia (2007)

menggunakan vaksin A. hydrophila jenis antigen O (Ag O) dan antigen H (Ag H) pada gurami,

sintasan mencapai 56,00-58,00%, dibandingkan kontrol 10,00%. Mulia & Purbomartono

(2007) membandingkan efektivitas vaksin produk intraseluler dan ekstraseluler sel A.

hydrophila strain Moyudan pada lele dumbo. Ikan yang divaksinasi dengan vaksin produk

ekstraseluler sintasannya mencapai 58,67%, sedangkan yang divaksinasi dengan vaksin produk

intraseluler sintasannya mencapai 85,33%. Olga & Aisiah (2007) menggunakan vaksin produk

Page 10: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

10

ekstraseluler A. hydrophila dengan dosis 2,5-10 µg pada ikan patin dan memberikan tingkat

perlidungan 44,87-92,31 %.

Vaksin polivalen adalah vaksin yang dibuat dari dua atau lebih strain dari spesies

mikroorganisme atau virus yang sama, atau biasa juga diistilahkan vaksin multivalen (Anonim,

2006). Kemampuan campuran antigen spesifik dalam menciptakan pertahanan dan memiliki

tingkat imunogenitas yang baik tergantung pada strain patogen, parameter penyimpanan, dan

metode vaksinasi. Hasil penelitian Lund et al. (2002) menunjukkan bahwa vaksin multivalen

Aeromonas salmonicida menghasilkan tingkat efikasi yang lebih tinggi daripada vaksin

monovalen pada vaksinasi ikan spotted wolfish (Anarchicas minor O.) serta memberikan

tingkat perlindungan yang lebih baik. Kamiso et al. (2005) telah berhasil menggunakan vaksin

polivalen untuk mengendalikan vibriosis pada kerapu tikus secara suntik, oral, dan rendaman,

sintasan mencapai 100 % dibandingkan kontrol 80 %.

E. Vitamin C

Vitamin C merupakan agen pereduksi. Hidroksilasi dan reduksi merupakan reaksi yang

berhubungan dengan fungsi vitamin C. Dalam reaksi hidroksilasi lisin dan prolin, vitamin C

berperan sebagai co-faktor. Lisin dan prolin merupakan komponen jaringan konektif yang

merupakan dasar struktural anatomi hewan multisel (O’Keefe & Grout, 1991 cit Isansetyo,

1996).

Konsentrasi vitamin C yang dibutuhkan untuk meningkatkan potensi adaptif dan

ketahanan terhadap penyakit lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan untuk pertumbuhan

dan konversi pakan yang optimal. Dengan demikian konsentrasi vitamin C yang normal pada

pakan merupakan faktor pembatas untuk mengoptimalkan tanggap kebal dan mekanisme

pertahanan non-spesifik lainnya (Ellis, 1988).

Page 11: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

11

Vitamin C dapat meningkatkan ketahanan rainbow trout (Oncorhyncus mykiss)

terhadap virus infectious hematopoetic (IHNV). Selain meningkatkan antibodi, vitamin C yang

memadai juga meningkatkan aktivitas Cell Mediated Immunity (CMI) atau faktor-faktor non

spesifik lainnya (Setyabudi et al., 1992). Pemberian vitamin C dengan dosis 500 dan 1000

mg/kg pakan dapat meningkatkan tanggap kebal dan tingkat perlindungan relatif serta

menurunkan mortalitas pada vaksinasi lele dumbo dengan vaksin A. hydrophila (Isnansetyo,

1996). Johny & Roza (2007) menggunakan kombinasi vitamin C dengan imunostimulan (1000

mg vitamin C + 1 ml bakterin/kg pakan) untuk meningkatkan imunitas benih ikan kerapu

lumpur. Penggunaan kombinasi vitamin C dan imunostimulan menghasilkan sintasan dan

aktivitas fagositik tertinggi yaitu 76,7% dan 21,0% dibandingkan perlakuan dengan

imunostimulan saja (68,3% dan 18,5%) dan kontrol (41,7% dan 9,5%). Mudjiutami et al.

(2008) menggunakan vitamin C dan imunostimulan untuk meningkatkan daya tahan tubuh lele

dumbo terhadap serangan penyakit. Vitamin C dicampurkan dalam pakan dengan dosis 500

mg/kg pakan, sedangkan immunostimulan yang diterapkan melalui pakan diberikan dengan

dosis 0.1 %/kg pakan dan cara perendaman dengan dosis 100 ug/ml.

F. Adjuvant

Adjuvant adalah suatu unsur yang ditambahkan ke suatu vaksin untuk meningkatkan

reaksi kebal. Adjuvant yang paling sederhana adalah senyawa yang berfungsi untuk

memperlambat pengeluaran antigen ke dalam tubuh (Tizard, 1982).

Sistem kebal merupakan antigen terkendali. Sistem tersebut bereaksi terhadap kehadiran

antigen dan berhenti bereaksi segera sesudah antigen disingkirkan. Memperlambat derajat

penyingkiran antigen mungkin saja dengan cara pertama-tama mencampurkannya dengan

antigen yang tidak terlarut sehingga terbentuk depo. Contoh adjuvant pembentuk depo

Page 12: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

12

termasuk garam alumunium yang tidak larut seperti alumunium hidroksida, alumunium fosfat,

alumunium kalium sulfat (alum). Bila antigen dicampurkan dengan salah satu garam ini dan

disuntikkan pada hewan, granuloma yang kaya dengan makrofag akan terbentuk dalam

jaringan. Antigen yang berada di dalam granuloma perlahan-lahan bocor keluar ke dalam

tubuh dan dengan demikian akan menyediakan rangsangan antigenik yang lama. Antigen yang

biasanya bertahan hanya untuk beberapa hari dapat dipertahankan dalam tubuh untuk beberapa

minggu dengan cara teknik ini. Adjuvant tersebut hanya mempengaruhi tanggap kebal primer

dan sedikt pengaruhnya terhadap tanggap kebal sekunder (Tizard, 1982). Retmonojati (2007)

menyatakan bahwa dosis optimal adjuvant alumunium potassium sulfat pada vaksin polivalen

vibrio adalah 2 ppm, sedangkan dosis optimal adjuvant alumunium hidroksida adalah 6 ppm.

Page 13: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

13

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN TAHUN KE-II

A. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. membuat vaksin polivalen dari antigen H sel A. hydrophila terpilih,

b. membuat vaksin polivalen plus A. hydrophila dengan penambahan vitamin C dan adjuvant

c. mengetahui efikasi vaksin tersebut dalam mengendalikan penyakit MAS pada lele dumbo

skala laboratorium.

B. Manfaat Penelitian

Usaha budidaya lele dumbo sering mendapat kendala karena adanya penyakit MAS

(Motile Aeromonas Septicemia) yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila. Penyakit MAS

sampai saat ini merupakan penyakit terpenting yang menyerang ikan air tawar dan

menimbulkan kerugian yang sangat besar. Pada ikan lele, tingkat kematian dapat mencapai

80%, bahkan 100% dalam waktu sekitar satu minggu. Penyebaran penyakit ini sangat luas dan

cepat sejalan dengan meluasnya usaha budidaya dan meluasnya jaringan penyebaran benih dan

ikan konsumsi, baik ikan segar maupun ikan hidup (Triyanto et al., 1997). Dinas Peternakan

dan Perikanan Wilayah Banyumas (2005) melaporkan setidaknya ada sekitar 19.900 ekor lele

dumbo dari jumlah total 72.000 ekor ikan air tawar yang terserang A. hydrophila pada tahun

2003, dan 13.100 ekor gurami dari jumlah total 43.000 ekor ikan air tawar pada tahun 2004.

Berbagai usaha penanggulangan telah diterapkan oleh petani ikan termasuk perbaikan

pengelolaan dan penggunaan obat-obatan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Vaksinasi

merupakan salah satu cara penanggulangan penyakit MAS yang efektif dan efisien, karena

tingkat perlindungannya cukup tinggi dan dapat melindungi ikan dalam waktu yang lama, lebih

dari 3 bulan (Kamiso et al., 1997). Vaksinasi tidak menimbulkan dampak negatif, baik

pada ikan, lingkungan, maupun konsumen (Supriyadi & Rukyani, 1990; Kamiso, 1997)

Page 14: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

14

dan dapat dilakukan pada berbagai ukuran ikan dari benih sampai induk (Triyanto et al., 1996).

Oleh karena itu, penanggulangan penyakit melalui vaksinasi mempunyai prospek yang sangat

baik di masa yang akan datang.

Tingkat perlindungan yang ditimbulkan oleh vaksinasi sangat tergantung pada jenis dan

kualitas vaksin, cara vaksinasi, kondisi ikan, dan lingkungan hidupnya (kualitas air) (Kamiso et

al., 1998). Penelitian penggunaan bemacam-macam antigen A. hydrophila sebagai vaksin

sudah banyak dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Nugroho et al. (1990) menggunakan

vaksin supernatan (produk ekstraseluler) pada ikan karper, sintasannya mencapai 54,76%,

sedangkan vaksin complete 47,62%, dan vaksin whole cell 42,86%. Kamiso et al. (1998)

menggunakan vaksin sel utuh dan vaksin antigen murni A. hydrophila dengan cara rendaman,

oral, dan suntik. Uji tantang dilakukan dengan cara rendaman. Sintasan lele dumbo yang

divaksinasi secara rendaman adalah 98,34%, secara oral adalah 94,64%, dan secara suntik

adalah 94,23%. Suryantinah et al. (2005) menggunakan vaksin debris sel A. hydrophila pada

nila, sintasan mencapai 62,97-81,84 %. Murtiningsih (2003) menggunakan vaksin sitoplasma

sel A. hydrophila strain Cangkringan, sintasan mencapai 66,7-100%. Olga (2003)

menggunakan vaksin protein sitoplasma dengan berat molekul berkisar antara 40-100 kDa pada

lele dumbo, sintasan mencapai 42,22-75,56%.

Penelitian pembuatan vaksin dari sel A. hydrophila yang diisolasi dari lele dumbo sakit

yang diambil dari wilayah Banyumas dan sekitarnya belum pernah dilakukan. Padahal, isolat

bakteri yang berasal dari daerah yang berbeda umumnya virulensinya pun berbeda dan ini

sangat berpengaruh terhadap imunogenisitas vaksin yang dihasilkan. Penelitian-penelitian

sebelumnya melaporkan bahwa strain A. hydrophila cukup banyak dan berbeda antar wilayah,

sifat antigeniknya pun juga berbeda. Kamiso et al. (1997a) melaporkan adanya perbedaan sifat

antigenik dari isolat A. hydrophila yang diperoleh dari beberapa daerah, yaitu isolat PA 01, PA

Page 15: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

15

05, PA 06, PA 07, dan BA 02. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis antigen yang dapat

menimbulkan titer antibodi tinggi tidak sama untuk semua isolat. Jenis antigen yang dapat

menimbulkan titer antibodi tertinggi pada isolat PA 01, PA 05, dan BA 02 adalah H (whole

cell), sedangkan untuk isolat PA 06 dan PA 07 adalah antigen O (karbohidrat). Triyanto (1996)

menggunakan isolat A. hydrophila yang berasal dari Magelang, Tulugagung, dan Muntilan

untuk memvaksin lele dumbo. Sintasan dan tingkat perlindungan relatif (Relative Percent

Survival/RPS) yang dihasilkan bervariasi. Sintasan mencapai 66,67%, 80,84%, 48,34% dan

RPS 42,86%, 67,15%, 11,43%.

Penelitian ini akan diarahkan untuk membuat vaksin polivalen (disebut juga vaksin

multivalen, Anonim, 2006) dari beberapa isolat yang diambil dari beberapa tempat yang sudah

teruji virulensinya. Penggunaan vaksin polivalen untuk penanggulangan penyakit perlu

diujicobakan mengingat dalam suatu sistem budidaya, serangan penyakit tidak hanya

disebabkan oleh satu tipe atau strain bakteri, tetapi disebabkan oleh banyak tipe (Wong et

al.,1990). Hasil penelitian Lund et al. (2002) menunjukkan bahwa vaksin multivalen

Aeromonas salmonicida menghasilkan tingkat efikasi yang lebih tinggi daripada vaksin

monovalen pada vaksinasi ikan spotted wolfish (Anarchicas minor O.) serta memberikan

tingkat perlindungan yang lebih baik.

Setelah diperoleh vaksin polivalen, tujuan utama penelitian ini adalah membuat vaksin

polivalen plus dari sel A. hydrophila dengan penambahan vitamin C dan adjuvant. Penambahan

vitamin C dan adjuvant diharapkan bisa lebih mendukung kualitas produk vaksin tersebut

sehingga diharapkan bisa menanggulangi serangan penyakit tidak hanya penyakit yang

disebabkan oleh bakteri A. hydrophila, akan tetapi mampu bertahan menghadapi serangan jenis

penyakit/parasit lain. Hal ini dikarenakan di perairan banyak sekali dijumpai berbagai parasit

Page 16: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

16

dan penyakit yang siap menyerang. Selain itu, dengan penambahan vitamin C, diharapkan daya

tahan tubuh ikan yang divaksinasi akan lebih meningkat lagi.

Penelitian ini mengupayakan dampak negatif sekecil mungkin dan dapat diterapkan

pada kalangan petani sehingga masalah utama budidaya lele dumbo yang selama ini dihadapi

petani dapat teratasi. Selain itu, hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan dalam pengendalian

penyakit MAS pada ikan air tawar lainnya, sehingga apabila penelitian ini berhasil, akan

dicobakan pada ikan air tawar lainnya, seperti gurami, karper, maupun tawes. sehingga

pemakaian vaksin dapat efektif dan efisien untuk memberikan tingkat proteksi paling baik.

Page 17: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

17

BAB IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian berkelanjutan (multi years) yang berlangsung

selama 3 tahun. Pada tahun 2009-2010, telah dilaksanakan penelitian tahun ke I dan ke II.

Bagan alir penelitian tersaji pada Gambar 1.

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Prodi Pend. Biologi, FKIP

dan Laboratorium Basah, UMP. Penelitian ini berlangsung selama 8 bulan.

B. Isolasi Bakteri Murni A. hydrophila

Kultur bakteri berasal dari isolat bakteri murni A. hydrophila yang didapatkan pada

tahun ke-1. Setiap strain bakteri terpilih diisolasi pada medium GSP (Glutamat Starch Phenile)

agar (Merck) dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam. Masing-masing satu koloni

bakteri dikultur di dalam medium cair TSB dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam.

Selanjutnya, bakteri dalam medium cair TSB digunakan untuk reinfeksi.

C. Mengembalikan Tingkat Virulensi Bakteri A. hydrophila

Reinfeksi dilakukan secara suntikan intramuskular dengan dosis 0,1 ml (1011cfu/ml)

pada 5 ekor lele dumbo yang berukuran 10-12 cm. Reinfeksi pertama dilakukan untuk

mengetahui apakah bakteri hasil isolasi dari stok merupakan bakteri patogen pada lele dumbo

atau bukan. Lele dumbo yang telah diinfeksi dipelihara dalam ember bervolume 15 l dan

diamati gejala penyakitnya setiap hari pada pagi dan sore hari. Isolat bakteri yang menimbulkan

gejala penyakit seperti pendarahan berlebihan pada kulit, hyperplastik pada lamella insang,

inflamasi pada rongga dan sekitar mulut dan berenang di permukaan adalah merupakan bakteri

patogen. Setelah ada lele dumbo yang mati atau memiliki gejala penyakit yang parah maka

dilakukan reisolasi. Reisolasi bakteri A. hydrophila dari sampel lele dumbo dilakukan secara

aseptis dari organ ginjal menggunakan ose steril pada medium selektif GSP agar dan diinkubasi

Page 18: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

18

sumber masalah:

Usulan kegiatan:

Luaran yang diharapkan: Indikator capaian :

Gambar 1. Bagan Alir Penelitian

Penanggulangan obat

dan antibiotika Vaksinasi Sanitasi lingkungan

Peningkatan nutrisi

Penyakit MAS pada lele dumbo yang disebabkan

bakteri Aeromonas hydrophila

Vaksin monovalen A. hydrophila Hasil

bervariasi

Penambahan vitamin C dan adjuvant

Vaksin polivalen plus A. hydrophila

Vaksin polivalen A. hydrophila

Hasil & informasi lengkap tentang:

Tahun ke-3 : Vaksin polivalen plus A.hydrophila (penambahan vitamin C dan adjuvant) dan uji efikasinya skala lapangan

Diperoleh vaksin polivalen plus A.

hydrophila yang imunogenik dan

protektif

Bakteri resisten, pencemaran lingkungan, residu pada daging ikan

Tahun ke-2 : Vaksin polivalen plus A.hydrophila (penambahan vitamin C dan adjuvant) dan uji efikasinya skala laboratorium

Tahun ke-1 : -Isolat A. hydrophila terpilih dari tiga kabupaten -Ag O dan H terpilih hasil uji reaksi silang

Page 19: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

19

pada suhu 37˚C selama 18-24 jam. Satu koloni bakteri dari medium selektif GSP agar

dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi medium cair TSB 10 ml dan diinkubasi pada

suhu kamar selama 24 jam. Kemudian, dilakukan reinfeksi dan reisolasi kedua dan ketiga untuk

mengetahui gejala penyakit yang lebih lengkap dan spesifik serta untuk meningkatkan virulensi

bakteri A. hydrophila. Cara yang digunakan sama dengan reinfeksi dan reisolasi pertama.

D. Pembuatan Ag H Bakteri A. hydrophila (strain GPl-04, GKj-01, GPw-01)

Kultur bakteri dari media TSB ketiga isolat masing-masing ditambahkan formalin 2 %

dan digojog selama 24 jam. Selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 20

menit. Cairan yang berada di bagian atas pada tabung reaksi (supernatan) dibuang. Pencucian

dengan PBS dan sentrifugasi dilakukan 3 kali (Kamiso & Triyanto, 1990). Selanjutnya,

dilakukan uji viabilitas pada medium selektif Aeromonas-Pseudomonas (GSP, Merck).

E. Pembuatan Vaksin Polivalen A. hydrophila

Vaksin polivalen dibuat dengan mencampur sama banyak antigen isolat terpilih.

Terlebih dahulu antigen terpilih diukur kepadatannya dengan spektrofotometer. Selanjutnya,

masing-masing antigen diencerkan dan dicampurkan dengan perbandingan 1:1. Satu ml vaksin

polivalen yang telah ditambah gliserol 0,5 % dengan kepadatan 1011 cfu/ml dimasukkan ke

dalam botol ampul steril. Setelah itu dimasukkan ke dalam shell freezer (Labconco) agar vaksin

membeku pada suhu -40˚C. Selanjutnya vaksin dimasukkan ke dalam freeze dryer (Labconco)

pada suhu -40 sampai -50˚C. Selanjutnya, vaksin disimpan dalam refrigerator sampai

digunakan.

F. Pembuatan Vaksin Polivalen Plus A. hydrophila

Pembuatan vaksin polivalen plus dilakukan dengan cara menambahkan vaksin polivalen

dengan vitamin C dan adjuvant. Vaksin polivalen dibuat dengan mencampur sama banyak

antigen isolat terpilih. Terlebih dahulu antigen terpilih diukur kepadatannya dengan

Page 20: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

20

spektrofotometer. Selanjutnya, masing-masing antigen diencerkan dan dicampurkan dengan

perbandingan 1:1. Kemudian ditambahkan vitamin C dan adjuvant. Adjuvant yang

ditambahkan adalah adjuvant alumunium potassium sulfat dan alumunium hidroksida. Dosis

vitamin C yang ditambahkan adalah 1000 mg/kg atau setara dengan 1000 ppm yang diadopsi

dari Isnansetyo (1996) dan Johny & Roza (2007), sedangkan dosis yang digunakan untuk

adjuvant diadopsi dari penelitian Retmonojati (2007) yang menyatakan bahwa dosis optimal

adjuvant alumunium potassium sulfat adalah 2 ppm, dan dosis optimal adjuvant alumunium

hidroksida adalah 6 ppm.

Satu ml vaksin polivalen yang telah ditambah gliserol 0,5 % dengan kepadatan 1011

cfu/ml dimasukkan ke dalam botol ampul steril. Setelah itu dimasukkan ke dalam shell freezer

(Labconco) agar vaksin membeku pada suhu -40˚C. Selanjutnya vaksin dimasukkan ke dalam

freeze dryer (Labconco) pada suhu -40 sampai -50˚C. Selanjutnya, vaksin disimpan dalam

refrigerator sampai digunakan.

G. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial, dengan 2

variabel, 2 kali ulangan. Variabel terdiri atas perlakuan A berupa jenis vaksin dan perlakuan B

berupa cara vaksinasi, yang terdiri dari:

A. Jenis Vaksin :

A1 = Vaksin polivalen

A2 = Vaksin polivalen dengan Vit C dan adjuvant alumunium potassium sulfat

A3 = Vaksin polivalen dengan Vit C dan adjuvant alumunium hidroksida

A4 = Kontrol (vaksinasi dengan PBS pH 7,0)

B. Cara Vaksinasi

B1 = suntik intraperitoneal

Page 21: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

21

B2 = suntik intramuskular

B1 = rendaman

Kombinasi jenis vaksin (A) dan cara vaksinasi (B) menghasilkan 12 perlakuan, yaitu :

A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2, A1B3, A2B3, A3B3, dan A4B3.

Berdasarkan desain penelitian tersebut, terdapat 24 unit sampel. Setiap unit sampel dipelihara

lele dumbo dalam wadah pemeliharaan sebanyak 8 ekor, dengan ukuran panjang 10-13 cm.

Vaksinasi suntik intraperitoneal dan intramuskular dilakukan dengan dosis 0,1 ml/ikan

dengan kepadatan bakteri 107 sel/ikan, sedangkan vaksinasi rendaman dilakukan dengan cara

merendam ikan uji dalam emulsi vaksin dengan konsentrasi 107 sel/ml selama 30 menit. Satu

minggu setelah vaksinasi dilakukan booster (vaksinasi ulangan/penguat) dengan dosis dan cara

vaksinasi yang sama. Dua minggu kemudian dilakukan uji tantang (challenge test) dengan

bakteri A. hydrophila.

H. Parameter Yang Diamati

Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini adalah titer antibodi, sintasan,

tingkat perlindungan relatif (RPS = relative percent survival), rerata waktu kematian (RWK).

Parameter pendukung yang diamati adalah parameter kualitas air : suhu, pH, dan O2 terlarut.

1. Parameter Utama

a. Titer Antibodi

Titer antibodi diamati dengan metode Anderson (1974) dan dilakukan 4 kali, yaitu

yaitu sebelum ikan divaksinasi, pada saat akan dibooster, seminggu setelah booster, dua

minggu setelah booster (pada saat akan uji tantang). Pengukuran titer antibodi dilakukan

dengan cara sebagai berikut : darah lele dumbo diambil dengan jarum suntik (spuit) steril

melalui arteri caudalis, kemudian darah ditampung dalam tabung eppendorf, didiamkan dalam

Page 22: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

22

suhu kamar selama 1 jam, kemudian didiamkan dalam refrigerator pada suhu 4ºC selama 18-24

jam. Bagian supernatan yang merupakan serum darah diambil dengan mikropipet. Adanya

endapan antigen-antibodi pada mikrotiter plate diamati dengan cara sebagai berikut :

1. sumur ke-2 sampai dengan ke-12 diisi dengan 25 µl PBS

2. sumur ke-1 sampai dan ke-2 diisi dengan 25 µl serum

3. serial pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 25 µl larutan dengan

menggunakan garpu mikrotiter dari sumur ke-2 sampai ke-11

4. sumur ke-1 sampai ke-12 ditambahkan 25 µl suspensi bakteri A. hydrophila (1011

CFU/ml) yang telah dilemahkan dengan 2% formalin

5. lempeng mikrotiter plate ditutup kemudian di goyang-goyangkan pelan-pelan selama 3

menit dengan gerakan memutar. Lalu, didiamkan pada suhu kamar selama 1 jam dan

dimasukkan ke dalam refrigerator dengan suhu 4ºC selama 18-24 jam.

6. cara menghitung titer antibodi : ke-12 sumur pada mikrotiter plate diamati. Sumur

paling kiri adalah kontrol positif, sedangkan sumur yang paling kanan adalah kontrol

negatif. Terbentuknya titer antibodi ditandai dengan terjadinya aglutinasi antara antigen

dengan antibodi yang tampak dari munculnya lapisan keruh seperti awan dalam sumur

mikrotiter plate. Perhitungan titer antibodi dimulai dari 21 sampai 211 (dari sumur ke-2

sampai 12). Sebagai contoh : apabila terjadi aglutinasi sampai sumur ke-6, maka titer

antibodi yang terbentuk adalah 25. Selanjutnya, angka tersebut ditransformasikan ke

dalam bentuk logaritma (data log 2) agar bisa dilakukan analisis data.

b. Sintasan

Pengamatan dilakukan secara visual dengan melihat dan menghitung ikan yang hidup

pada setiap unit perlakuan, dan diamati setiap hari. Nilai sintasan dihitung berdasarkan

Zonneveld (1991), yaitu :

Page 23: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

23

Nt S = ------------- x 100 % No

Keterangan :

S = sintasan

Nt = jumlah ikan yang hidup pada waktu t/akhir penelitian (ekor)

No = jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)

c. Tingkat Perlindungan Relatif (Relative Percent Survival/RPS)

Pengamatan dilakukan secara visual dengan melihat dan menghitung ikan yang mati

pada setiap unit perlakuan, dan diamati setiap hari. Nilai RPS dihitung sebagai berikut:

Persentase kematian ikan yang divaksin RPS = ( 1 - ------------------------------------------------------- ) x 100 % Persentase kematian ikan yang tidak divaksin

d. Rerata Waktu Kematian (RWK)

Pengamatan dilakukan secara visual dengan melihat dan menghitung ikan yang mati

pada setiap unit perlakuan, dan diamati setiap hari. Nilai RWK dihitung sebagai berikut:

RWK = Σ ai.bi -------------

Σ bi Keterangan :

ai = waktu kematian (hari)

bi = jumlah kematian ikan setiap waktu pengamatan

2. Parameter Pendukung

Pengamatan kualitas air meliputi suhu maksimum-minimum air dan pH dilakukan

setiap hari, sedangkan O2 terlarut (Dissolved Oxygen=DO) diamati setiap minggu. DO diamati

dengan metode Winkler.

Page 24: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

24

I. Analisis Data

Pengamatan titer antibodi dilakukan dengan metode deskriptif. Data yang terkumpul

dari uji titer antibodi ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma (data log 2). Selanjutnya,

data titer antibodi, sintasan, RPS, RWK dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam

(Analysis of Variance/ANOVA) untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan.

Apabila data yang telah dianalisis sidik ragam terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan

dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5% (Steel & Torrie, 1993).

Page 25: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

25

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Titer Antibodi

Vaksinasi merupakan cara efektif yang dapat ditempuh untuk meningkatkan sistem

pertahanan tubuh suatu organisme. Keberhasilan suatu vaksinasi pada ikan salah satunya dapat

dilihat dari meningkatnya sistem imun yang ditandai dengan meningkatnya produksi titer

antibodi selama penelitian. Vaksinasi dengan vaksin polivalen dan polivalen plus sel A.

hydrophila pada lele dumbo menunjukkan adanya peningkatan sistem pertahanan spesifik

berupa pembentukan titer antibodi. Bleeding ke-1 (sebelum vaksinasi), semua perlakuan belum

memproduksi titer antibodi karena ikan belum diberi vaksin. Titer antibodi pada awal

penelitian adalah 1 (20) (Tabel 1).

Bleeding ke-2 (satu minggu setelah vaksinasi), terjadi peningkatan titer antibodi pada

semua perlakuan vaksinasi dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

penggunaan vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A. hydrophila dapat meningkatkan titer

antibodi (P<0,05), baik secara suntik intraperitoneal, suntik intramuskular, maupun rendaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 (penggunaan vaksin polivalen dengan

vitamin C dan adjuvant alumunium hidroksida secara suntik intramuskular) memproduksi titer

antibodi tertinggi, yaitu sebesar 28.

Bleeding ke-3 (satu minggu setelah booster), terjadi peningkatan titer antibodi pada

semua perlakuan yang divaksin dan lebih tinggi dibandingkan pada bleeding ke-2. Peningkatan

titer antibodi terjadi karena ikan uji telah mempunyai memori imunitas sehingga dengan

booster atau vaksinasi ulangan dapat menghasilkan respons imun yang lebih tinggi (Lamers et

al., 1985). Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberi vaksin

beradjuvant lebih tinggi titer antibodinya dibandingkan vaksin polivalen tanpa adjuvant dengan

produksi titer antibodi sebesar 28,59 sampai 210.

Page 26: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

26

Tabel 1. Titer antibodi lele dumbo pada masing-masing perlakuan

Titer Antibodi Pada Bleeding Ke-n No Perlakuan/ulangan

1 2 3 4

1

A1B1 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

26

26

26a

28

28

28a

28

28

28a

2 A1B2 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

27

27a

28

28

28a

28

27

27,59a

3

A1B3 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

26

26

26a

28

28

28a

28

28

28a

4 A2B1 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

26

27

26,59a

28

27

27,59a

29

28

28,59b

5 A2B2 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

27

27a

29

28

28,59b

29

210

29,59b

6 A2B3 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

27

27a

210

210

210b

29

29

29b

7 A3B1 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

28

27,59b

29

29

29b

28

210

29,32b

8 A3B2 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

28

28

28b

29

29

29b

29

29

29b

9 A3B3 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

28

27,59b

29

29

29b

210

210

210b

10 A4B1 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

21

20

20,59c

23

23

23c

23

23

23c

11 A4B2 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

21

21

21c

22

23

22,59c

24

24

24c

12 A4B3 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

21

21

21c

23

22

22,59c

24

23

23,59c

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan taraf uji 5% B1 : bleeding sebelum vaksinasi B2 : bleeding 1 minggu setelah vaksinasi (sebelum booster) B3 : bleeding 1 minggu setelah booster

B4 : bleeding 2 minggu setelah booster (sebelum uji tantang)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1

: : : : : : :

Vaksin polivalen secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C& adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intraperitoneal (ip)

Page 27: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

27

A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

: : : : :

Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara rendaman Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intraperitoneal (ip) Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intramuskular (im) Kontrol (PBS pH 7,0) secara rendaman

Bleeding ke-4 (dua minggu setelah booster), terjadi peningkatan titer antibodi (P<0,05)

perlakuan yang divaksinasi dibandingkan kontrol. Perlakuan pemberian vaksin polivalen plus

dengan vitamin C dan adjuvant alumunium potassium sulfat (A2) dan vaksin polivalen plus

dengan vitamin C dan adjuvant alumunium hidroksida (A3) memiliki kemampuan yang sama

dalam meningkatkan produksi titer antibodi.

0

200

400

600

800

1000

1200

Bleeding ke-1 Bleeding ke-2 Bleeding ke-3 Bleeding ke-4

Tit

er

An

tib

od

i

A1B1

A1B2

A1B3

A2B1

A2B2

A2B3

A3B1

A3B2

A3B3

A4B1

A4B2

A4B3

Gambar 2. Produksi titer antibodi lele dumbo selama penelitian

Gambar 2. menjelaskan bahwa terjadi peningkatan produksi titer antibodi yang signifikan

untuk semua perlakuan yang diberi vaksin pada bleeding ke-2, yaitu satu minggu setelah

vaksinasi dilakukan. Pada bleeding ke-3 (satu minggu setelah booster), perlakuan juga

mengalami peningkatan produksi titer antibodi, demikian juga pada bleeding ke-4 (dua minggu

setelah booster), secara umum meningkat, meskipun ada yang tetap dan menurun dibandingkan

Page 28: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

28

bleeding sebelumnya. Namun, secara umum pengaruh vaksinasi dan booster signifikan dalam

meningkatkan produksi titer antibodi perlakuan yang divaksinasi.

Mulia et al. (2004) telah melakukan penelitian penggunaan vaksin debris A. hydrophila

secara suntik intramuskular dengan beberapa cara booster, yaitu suntik (im), oral, dan

rendaman pada lele dumbo. Cara suntik dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml vaksin ke

dalam tubuh ikan dengan dosis 5 µg/ekor. Cara oral dilakukan dengan mencekok (memasukkan

vaksin langsung ke dalam lambung dengan alat untuk mencekok) 0,1 ml vaksin dengan dosis 5

µg/ekor. Cara rendaman dilakukan dengan merendam ikan dalam larutan vaksin 50 mg/L

selama 15 menit. Sintasan mencapai 100% dibandingkan kontrol 45,56%. Respons imun

berupa produksi antibodi mengalami peningkatan sejak ikan divaksinasi untuk semua

perlakuan, yaitu perlakuan vaksinasi suntik dengan booster suntik (SS), vaksinasi suntik

dengan booster oral (SO), dan vaksinasi suntik dengan booster rendaman (SR), dan terus

mengalami peningkatan titer antibodi sampai akhir penelitian, tetapi ada yang menurun, yaitu

SO (Gambar 3).

0

500

1000

1500

2000

2500

Minggu ke-

0

Minggu ke-

1

Minggu ke-

2

Minggu ke-

3

Minggu Ke-

5

Tit

er

An

tib

od

i

SS

SO

SR

KONTROL

Gambar 3. Produksi titer antibodi lele dumbo yang divaksinasi suntik intramuskular dengan beberapa cara booster, yaitu suntik, oral, dan rendaman

Page 29: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

29

Vaksinasi merupakan suatu cara pemberian antigen secara sengaja agar ikan memproduksi

antibodi terhadap suatu bibit penyakit atau patogen tertentu, sedangkan vaksin merupakan suatu

antigen yang berasal dari jasad patogen yang telah dilemahkan atau dimatikan. Antibodi sangat

diperlukan untuk menghadapi serangan dari bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh.

Antigen yang digunakan dalam penelitian ini adalah antigen polivalen A. hydrophila yang

berasal dari beberapa antigen yang bereaksi baik pada uji interaksi silang. Vaksin polivalen

terdiri dari 3 antigen yang paling baik ketika diuji reaksi silang. Antigen H merupakan whole

cell yang dilemahkan dengan formalin, mengandung flagela dan protein yang memungkinkan

adanya reaksi kuat dengan antibodi (Kamiso, 1990). Almendras (2001) menyatakan bahwa

protein merupakan makromolekul yang imunogen. Pada bagian tertentu dari molekul ini dapat

menentukan spesifitas reaksi antigen-antibodi dan sebagai penentu timbulnya respons imun.

Menurut Subowo (1993), bagian tertentu dari molekul ini biasanya dinamakan epitop. Jumlah

epitop dari molekul antigen tergantung pada ukuran dan kerumitan struktur molekulnya.

Pada akhir pengamatan (bleeding ke-4), tidak ditemukan adanya perbedaan yang

signifikan antara ikan yang disuntik, baik secara intraperitoneal maupun secara intramuskular,

dengan rendaman. Hal ini menguatkan dugaan bahwa vaksinasi dapat dilakukan dengan cara

suntik atau pun rendaman dengan efektivitas yang sama, sehingga si pelaku vaksinasi dapat

memilih cara vaksinasi yang mudah, cocok, dan tepat untuk sasarannya.

B. Sintasan

Sintasan lele dumbo yang dihasilkan pada setiap perlakuan menunjukkan seberapa besar

daya tahan ikan tersebut setelah diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila. Vaksinasi dengan

vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus dapat meningkatkan sintasan lele dumbo (P<0,05)

(Tabel 2). Secara umum perlakuan yang divaksin memiliki sintasan yang lebih tinggi

Page 30: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

30

dibandingkan dengan kontrol. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis

vaksin berbeda nyata (P<0,05), sedangkan perlakuan cara vaksin dan interaksi antara jenis

vaksin dan cara vaksin tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil analisis uji lanjut menunjukkan

bahwa perlakuan jenis vaksin A1, A2, A3, dan A4 masing-masing berbeda nyata (P<0,05).

Tabel 2. Sintasan lele dumbo setelah uji tantang dengan bakteri A. hydrophila

Tingkat Sintasan Perlakuan

I II

Rerata (%)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

100,00 87,50 100,00 12,50 75,00 50,00 87,50 87,50 50,00 0,00

12,50 0,00

87,50 100,00 100,00 25,00 50,00 62,50 75,00 75,00 87,50 0,00

12,50 25,00

93,75a

93,75a

100,00a

18,75b

62,50b

56,25b

81,25c

81,25c

68,75c

0,00d

12,50d

12,50d

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan taraf uji 5%

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

: : : : : : : : : : : :

Vaksin polivalen secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C& adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara rendaman Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intraperitoneal (ip) Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intramuskular (im) Kontrol (PBS pH 7,0) secara rendaman

Lele dumbo yang divaksinasi dengan vaksin polivalen (A1) mencapai nilai sintasan

tertinggi, yaitu 93,75-100%, selanjutnya disusul oleh lele dumbo yang divaksin dengan vaksin

polivalen dengan vitamin C dan adjuvant alumunium hidroksida (A3) mencapai nilai sintasan

68,75-81,25 %, kemudian lele dumbo yang divaksin dengan vaksin polivalen dengan vitamin C

dan adjuvant alumunium potassium sulfat (A2) mencapai 18,75-62,50 %, dan kontrol (A4)

dengan sintasan terendah, yaitu 0-12,5%.

Page 31: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

31

Hasil penelitian vaksinasi pada lele dumbo telah membuktikan bahwa vaksinasi dapat

meningkatkan sintasan. Hal ini erat kaitannya dengan meningkatnya sistem pertahanan tubuh

pada ikan yang divaksin, sehingga ketika datang serangan bakteri A. hydrophila aktif, ikan-ikan

yang divaksin lebih mampu bertahan hidup dibandingkan ikan yang tidak divaksin. Kondisi ini

dipertegas dengan meningkatnya produksi titer antibodi pada ikan yang divaksin dibandingkan

yang tidak divaksin, yang pada akhirnya mampu melindungi ikan terhadap serangan bakteri

penyebab penyakit.

Mulia (2007) menggunakan vaksin A. hydrophila jenis antigen O (Ag O) dan antigen H

(Ag H) pada gurami, sintasan mencapai 56,00-58,00%, dibandingkan kontrol 10,00%. Olga &

Aisiah (2007) menggunakan vaksin produk ekstraseluler A. hydrophila dengan dosis 2,5-10 µg

pada ikan patin dan memberikan tingkat perlidungan 44,87-92,31 %.

Penggunaan vaksin dari bagian sel yang lain, yaitu debris sel A. hydrophila secara

suntikan dengan variasi cara booster, yaitu suntik, oral, dan rendaman pada lele dumbo,

sintasan mencapai 100 % dibandingkan kontrol 45,56 % (Mulia et al., 2004). Suryantinah et al.

(2005) menggunakan vaksin debris sel A. hydrophila pada nila, sintasan mencapai 62,97-81,84

%. Demikian pula Murtiningsih (2003) yang menggunakan vaksin sitoplasma sel A. hydrophila

strain Cangkringan pada lele dumbo, sintasan mencapai 66,70-100%, dibandingkan kontrol

12,50 %.

Lund et al. (2002) menunjukkan bahwa vaksin multivalen Aeromonas salmonicida

menghasilkan tingkat efikasi yang lebih tinggi daripada vaksin monovalen pada vaksinasi ikan

spotted wolfish (Anarchicas minor O.) serta memberikan tingkat perlindungan yang lebih baik.

Kamiso et al. (2005) telah berhasil menggunakan vaksin polivalen untuk mengendalikan

vibriosis pada kerapu tikus secara suntik, oral, dan rendaman, sintasan mencapai 100 %

dibandingkan kontrol 80 %.

Page 32: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

32

Perlakuan cara vaksin tidak berbeda nyata (P>0,05) atau dengan kata lain dapat

memberikan pengaruh yang sama dalam meningkatkan sintasan. Ellis (1988) mengemukakan

ada 3 faktor utama yang saling mempengaruhi yang menentukan efektivitas suatu vaksin, yaitu

sifat dan bentuk antigen, ukuran ikan, dan metode pemberian vaksin. Sampai saat ini metode

suntikan intraperitoneal yang dianggap paling baik dalam merangsang sistem kekebalan

humoral dan perlindungan (Horne & Ellis, 1988; Palm et al., 2000, Esreve-Gassent et al., 2004)

dan merupakan metode pilihan untuk menentukan keimunogenan suatu calon vaksin (Rahman

& Kawai, 2000, Rahman et al., 2002) karena dianggap mampu merangsang sistem kekebalan

humoral dan seluler dengan baik. Namun, modifikasi dan peningkatan teknik yang digunakan

pada metode perendaman (Yong-Can et al., 2002) memberikan efek imunogenisitas yang sama

dengan metode suntikan.

C. Tingkat Perlindungan Relatif (Relative Percent Survival/RPS)

Vaksinasi dengan vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A. hydrophila dapat

memberikan perlindungan relatif pada lele dumbo (P<0,05). Hasil analisis sidik ragam

menunjukkan bahwa perlakuan jenis vaksin berbeda nyata (P<0,05), sedangkan perlakuan cara

vaksin dan interaksi antara jenis vaksin dan cara vaksin tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil

analisis uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan jenis vaksin A1, A2, dan A3 masing-masing

berbeda nyata (P<0,05).

Tingkat perlindungan relatif tertinggi dihasilkan oleh lele dumbo yang divaksinasi

dengan vaksin polivalen (A1) mencapai 92,86-100 %, selanjutnya disusul oleh lele dumbo

yang divaksin dengan vaksin polivalen dengan vitamin C dan adjuvant alumunium hidroksida

(A3) mencapai RPS sebesar 64,29-81,25 %, yang terendah diperoleh oleh lele dumbo yang

Page 33: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

33

divaksin dengan vaksin polivalen dengan vitamin C dan adjuvant alumunium potassium sulfat

(A2) mencapai 18,75-57,15 % (Tabel 3).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A.

hydrophila yang diberikan pada lele dumbo mampu memberikan perlindungan relatif yang

lebih baik, kecuali perlakuan A2B1 yang memiliki nilai RPS terendah. Kamiso & Triyanto

(1996) menyatakan bahwa tingkat perlindungan relatif (RPS) yang baik dari suatu vaksin

apabila bisa menghasilkan nilai RPS di atas 50 %. Berdasarkan nilai RPS yang diperoleh,

vaksinasi menggunakan vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A. hydrophila terbukti

efektif dengan efikasi dan tingkat perlindungan relatif yang tinggi, lebih dari 50 %, kecuali

perlakuan A2B1.

Tabel 3. Tingkat perlindungan relatif (Relative Percent Survival/RPS) lele dumbo setelah uji tantang dengan bakteri A. hydrophila

RPS Perlakuan

I II

Rerata (%)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3

100,00 85,71 100,00 12,50 71,43 42,86 87,50 85,71 42,86

87,50 100,00 100,00 25,00 42,86 57,14 75,00 71,43 85,71

93,75a

92,86a

100,00a

18,75b

57,15b

50,00b

81,25c

78,57c

64,29c

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan taraf uji 5%

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3

: : : : : : : : :

Vaksin polivalen secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C& adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara rendaman

Secara umum pemberian vaksin memberikan perlindungan terhadap ikan dari serangan

bakteri penyebab penyakit, akan tetapi dalam penelitian ini, perlindungan tertinggi dihasilkan

Page 34: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

34

oleh perlakuan vaksin polivalen. Tujuan penambahan adjuvant pada suatu vaksin adalah untuk

memperlambat masuknya vaksin ke dalam tubuh. Antigen yang biasanya bertahan hanya untuk

beberapa hari dapat dipertahankan dalam tubuh untuk beberapa minggu dengan cara teknik ini.

Diduga, vaksin dengan penambahan adjuvant baik alumunium potassium sulfat dan alumunium

hidroksida kurang terlihat efektivitasnya apabila hanya dicobakan selama satu bulan, karena

aktivitas masuknya vaksin ke dalam tubuh yang cenderung lebih perlahan-lahan dibandingkan

vaksin polivalen saja (tanpa adjuvant) sehingga kemampuan dalam melindungi ikan kurang

optimal. Berdasarkan hal tersebut, ada dugaan bahwa hasil ini akan berbeda apabila vaksinasi

dicobakan dalam kurun waktu lebih dari satu bulan, mungkin 2-3 bulan, sehingga penambahan

adjuvant dapat mempertahankan vaksin di dalam tubuh lebih lama, dan berpengaruh pada

kemampuan melindungi ikan yan lebih lama pula, sehingga akan terlihat seberapa besar

efektivitasnya.

D. Rerata Waktu Kematian (RWK)

Vaksinasi dengan vaksin polivalen dan plovalen plus A. hydrophila tidak menimbulkan

perbedaan yang nyata (P>0,05) pada RWK lele dumbo. Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian jenis vaksin, cara vaksin, dan interaksi keduanya tidak memperpanjang waktu

kematian. RWK lele dumbo semua perlakuan sebesar 0-3,69 hari (Tabel 4).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kamiso et al. (1992) menjelaskan bahwa vaksinasi

hanya melindungi ikan dari serangan bakteri dan jika ikan yang divaksin dapat terserang maka

perlakuan vaksinasi tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan penyakit. Akibatnya,

rerata waktu kematian ikan yang divaksin tidak mempunyai perbedaan dengan ikan yang tidak

divaksin.

Page 35: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

35

Tabel 4. Rerata Waktu Kematian (RWK) lele dumbo setelah diuji tantang dengan bakteri A.

hydrophila

RWK Perlakuan

I II

Rerata (hari)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

0 4 0

2,43 3,5

1,25 1 1

3,5 3,75

2 1,63

5 0 0

3,17 2,5

3,67 1,5 2 3

3,63 1,9

1,67

2,5a

2a

0a

2,8a

3a

2,46a

1,25a

1,5a

3,25a

3,69a

1,95a

1,65a

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan taraf uji 5%

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

: : : : : : : : : : : :

Vaksin polivalen secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C& adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara rendaman Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intraperitoneal (ip) Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intramuskular (im) Kontrol (PBS pH 7,0) secara rendaman

E. Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu air, pH, dan kadar

oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO). Parameter kualitas air dari setiap pengamatan

hanya dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan antara hasil pengamatan

dengan standar yang ada bagi kehidupan ikan pada umumnya (Alabaster & Lloyd, 1982). Data

parameter kualitas air secara lengkap tersaji pada Tabel 5.

Page 36: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

36

Tabel 5. Parameter kualitas air selama pengamatan

Parameter Kualitas Air No Perlakuan

Suhu (ºC) pH DO (mg/l)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29

6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16

3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7

Parameter kualitas air selama penelitian tidak menunjukkan adanya variasi yang besar

dan masih sesuai untuk kehidupan lele dumbo. Suhu berpengaruh pada pembentukan antibodi

(Anderson, 1974). Pada suhu yang optimal maka pembentukan antibodi akan berjalan dengan

baik demikian juga sebaliknya. Suhu air berkisar antara 25-290C, pH berkisar antara 6,8-7,16,

dan DO berkisar antara 3,7-6,7 mg/l. Boyd (1990) menyatakan bahwa kisaran suhu 25-320C,

pH 6,5-9 dan DO minimal 2 ppm dianggap masih normal dan baik untuk kehidupan ikan air

tawar, termasuk lele dumbo. Dengan demikian, kualitas air bukan merupakan faktor penyebab

kematian lele dumbo dalam penelitian ini. Kematian ikan kontrol pada saat uji tantang betul-

betul disebabkan karena ikan terinfeksi.

Page 37: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

37

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah : vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus

sel A. hydrophila efektif dalam mengendalikan penyakit MAS pada lele dumbo. Vaksin ini

dapat meningkatkan produksi titer antibodi, sintasan, dan RPS, namun tidak berpengaruh nyata

pada RWK. Cara vaksin suntik intrapertoneal, suntik intramuskular, dan rendaman dapat

menjadi alternatif pilihan untuk vaksinasi, karena ketiganya memiliki efektivitas yang sama

dalam meningkatkan efikasi vaksin.

B. SARAN

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan uji efikasi vaksin polivalen dan vaksin

polivalen plus sel A. hydrophila skala lapangan dengan waktu penelitian yang lebih lama,

misalkan 2-3 bulan untuk melihat sejauh mana efektivitas vaksin polivalen plus (vitamin C dan

beradjuvant) maupun vaksin polivalen (tanpa vitamin C dan adjuvant) dalam penyakit MAS

pada lele dumbo. Selanjutnya, penelitian ini disarankan untuk dicobakan pada ikan air tawar

lain, seperti gurami, karper, tawes, maupun nila.

Page 38: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

38

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D.P. 1974. “Fish Immunology”, dalam Diseases of Fishes, buku ke-4, Snieszko, S.F.

& Axelrod, H.R. (ed.). T.F.H. Publications, Ltd. 239 p. Anonim. 1994. Determinasi Bakteri Patogenik Penyebab Penyakit Ikan. Jurusan Perikanan.

Fakultas Perikanan UGM. Yogyakarta. Anonim 2006. Vaksin.http://id.wikipedia.org/wiki/Vaksin diakses tanggal 7 September 2006. Atlas, R. M. 1997. Principles of Microbiology, second edition. Wm. C. Brown Publishers.

Sydney.1298 p. Davies, H. 1997. Introductory Immunobiology. Chapman and Hall. London. 394 p. Dinas Peternakan dan Perikanan Wilayah Banyumas. 2005. Kegiatan Penyidikan Penyakit

Ikan. Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Dinas Peternakan dan Perikanan Wilayah Banyumas. Banyumas.

Djajadiredja, R & Cholik, F. 1982. “Penanggulangan Wabah Penyakit Ikan”. J. Litbang Pert., I

: 35-39. Ellis, A.E. 1988. “Optimizing Factors For Fish Vaccination” dalam Fish Vaccination, A.E.

Ellis (ed). Academic Press Ltd. London. 32-46 pp. Ellis, A.E. 1989. “The Immunology of Teleost” dalam Fish Pathology, R.J. Roberts (ed.).

Bailliere Tindall. London. 135-152 pp. Esteve-Gassent, M.D., M.E. Nielsen & C. Amaro. 2004. The Kinetics of Antibody Production

in Mucus and Serum of European Eel (Anguilla anguilla L) After Vaccination Against Vibrio vulnivicus. Development of a New Method for Antibody Quantification in Skin Mucus. Fish & Shellfish Immunology 15:51-61

Farmer, J.J. Arduino & M.J. Brenner-Hickman, F.W. 2000. “The Genera Aeromonas and

Plesiomonas”dalam The Prokaryotes, second edition, Vol IV, Balows, A., Truper, H.G., Dworkin, M., Harder, W., Schileifet, K.H. (eds.). Springer-Verlag.

Fraizier, W. & Dennis C. Westholh. 1988. Food Microbiology, fourth edition. Mc Graw Hill

Book. Singapore.

Frerichs, G.N. & R.J. Roberts. 1978. “The Bacteriology of Teleosts” dalam Fish Pathology, R.J. Roberts (ed.). Baiiliere Tindall. London. 289-319 pp.

Hardjautomo, S.P. Taufik & S. Koesoemadinata. 1981. “Isolasi dan Identifikasi Beberapa

Bakteri Patogen dari Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan tawes (Puntius goniotatus)”. Buletin Penelitian Perikanan. 3:197-202.

Page 39: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

39

Horne, M.T. & Ellis, A.E. 1988. ”Strategies of Vaccination”. dalam Fish Vaccination, A.E. Ellis (ed). Academic Press Ltd. London. 55-56 pp.

Ingram, G.A. 1980. “Substances Involved in The Natural Resistance of Fish to Infection-A-

Review”. J.Fish. Bio., 16:23-60. Isnansetyo, A. 1996. Penambahan Vitamin C pada Pakan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

untuk Meningkatkan Tanggap Kebal Terhadap Vaksin Aeromonas hydrophila. Jurnal

Perikanan UGM (GMU J. Fish. Sci) . I(1) : 35-41. Johny, F. & D. Roza. 2007. Peningkatan Imunitas Benih Ikan Kerapu Lumpur Epinephelus

coioides Terhadap Infeksi Virus Irido dengan Aplikasi Vitamin C dan Imunostimulan. Panduan Semnaskan UGM, Perikanan dan Kelautan UGM. 228 hal.

Jutono, Soedarsono, J., Hartadi, S., Kabirun, S., Suhadi, D. & Soesanto. 1980. Pedoman

Praktikum Mikrobiologi Umum. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. 181 hal. Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller, & D.R.M. Passino. 1977. Ichtyology. John Willey &

Sons. New York. 506 p. Lamers, C. H. I. & W. B. Van Muiswinkel. 1985. Natural Aquidred to Aeromonas hydrophila

in Carp (Cyprinus carpio). Canadian J. Fish Aquatic Science, 619-624. Lund, V., J.A. Arnesen & G. Eggset. 2002. Vaccine Development for Atypical Furunculosis in

Spotted Wolffish Anarchicas minor O.: Comparison of Efficacy of Vaccine Containing Different Strains of Atypical Aeromonas salmonicida. Aquaculture 204:33-44.

Kamiso, H. N. 1990. Vaksinasi Penyakit Bakterial pada Ikan. PAU Bioteknologi UGM.

Yogyakarta. Kamiso, H.N. & Triyanto. 1990. Sistem Pertahanan dan Diagnosis Serologi Penyakit Ikan.

Pelatihan Karantina Ikan Ciawi-Bogor. 21 Mei-4 Agustus 1990. 29 hal. Kamiso, H.N., Triyanto, & S. Hartati. 1992. Penanggulangan Penyakit Motil Aeromonas

Septisemia (MAS) pada Ikan Lele (Clarias sp.). ARM Project Tahun ke-1. Balitbang Pertanian, Deptan. Jakarta. 38 hal.

Kamiso, K.H. 1997. “Uji Lapang Penggunaan Vaksin Aeromonas hydrophila Pada Lele

Dumbo (Clarias gariepinus)”. Jurnal Perikanan UGM (GMU J. Fish. Sci) . I(2) : 17-24.

Kamiso, K.H., Triyanto & S. Hartati. 1997a. Uji Antigenisitas dan Efikasi Aeromonas

hydrophila pada Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Jurnal Perikanan UGM (GMU J.

Fish. Sci) . I(2) : 9-16. Kamiso, K.H., Triyanto & S. Hartati. 1997b. “Efikasi Vaksin dan Kemangkusan Tetrasiklin

untuk Penanggulangan Penyakit MAS pada Pendederan Lele Dumbo (Clarias

gariepinus)”. Jurnal Perikanan UGM (GMU J. Fish. Sci) . I(2) : 25-30.

Page 40: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

40

Kamiso, K.H., A. Isnansetyo, Murwantoko & B.S. Priyono. 1998. Pembuatan Antigen Murni

Untuk Memproduksi Polivalen Antibodi dan Vaksin Aeromonas hydrophila. Laporan Penelitian Hibah Bersaing V/2 Perguruan Tinggi UGM. 37 hal.

Kamiso, K.H., A. Isnansetyo, Triyanto, M. Murdjani & L. Sholichah. 2005. ”Efektivitas Vaksin

Polivalen untuk Pengendalian Vibriosis pada Kerapu Tikus.” Jurnal Perikanan UGM

(GMU J. Fish. Sci) . VII(2) : 95-100. Mc. Faddin, J.F. 1980. Biochemical Tests for Identification of Medical Bacteria. Second

Edition. Williams dan Wilkins, Baltimore. Mudjiman, A. 1989. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 159 hal. Mudjiutami, E., Y. Eliyani, S. Febriyanti, W. Rusmana, Jaelani, Z. Zainun, Suroso, & M. Indra.

2008. Peningkatan Daya Tahan Tubuh Kodok dan Lele. http://bbatsukabumi.tripod.com/sehat.html. Diakses pada tanggal 28 April 2008.

Mulia, D.S. 2003. “Pengaruh Vaksin Debris Sel Aeromonas hydrophila Dengan Kombinasi

Cara Vaksinasi dan Booster Terhadap Respons Imun dan Tingkat Perlindungan Relatif Pada Lele Dumbo (Clarias gariepinus Burchell).” Tesis. PPs. UGM. Yogyakarta. 125 hal. Tidak dipublikasi.

Mulia, D.S., R. Pratiwi, dan Triyanto. 2004. “Efikasi vaksin debris sel Aeromonas hydrophila

secara suntik dengan variasi cara booster pada lele dumbo (Clarias gariepinus Burchell).” Berkala Ilmiah Biologi. 3 (3): 145-156.

Mulia, D.S., R. Pratiwi, dan Triyanto. 2006. Pengaruh cara booster terhadap efikasi vaksinasi

oral dengan debris sel Aeromonas hydrophila pada lele dumbo (Clarias sp.). Jurnal

Perikanan UGM (GMU J. Fish. Sci) .VIII (1): 96-104. Mulia, D.S. 2007. “Keefektivan Vaksin Aeromonas hydrophila untuk Mengendalikan Penyakit

MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada Gurami (Osphronemus gouramy Lac.).” Jurnal Pembangunan Pedesaan. 7(1) : 43-52.

Mulia, D.S. & C. Purbomartono. 2007. “Perbandingan Efikasi Vaksin Produk Intra dan Ekstraseluler Aeromonas hydrophila untuk Menanggulangi Penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) pada Lele Dumbo (Clarias sp.).” Jurnal Perikanan UGM (GMU J.

Fish. Sci) . IX(2) : 173-181. Mulia, D.S., C. Purbomartono, A. Isnansetyo & Murwantoko. 2008. “Penggunaan Vaksin

Polivalen Aeromonas hydrophila Untuk Pengendalian Penyakit Mas (Motile Aeromonas Septicemia) Pada Gurami (Osphronemus gouramy Lac.).” Prosiding

Seminar Nasional Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, UGM,

Yogyakarta, Jurusan Perikanan, Juli 2008. Yogyakarta.

Page 41: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

41

Murtiningsih. 2003. Penggunaan Vaksin Protein Sitoplasma Bakteri Aeromonas hydrophila

Pada Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Skripsi. Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasi.

Newman, S.G. 1982. “Aeromonas hydrophila : A Review with Emphasis on Its Role In Fish

Disease”. In D.P Anderson, M. dorson and P.H. dubourget (Ed). Les Antigenes des

Micro-organismes Pathogenes des Poissons Symposium International de Talloires. 87-117 pp.

Noble, E.R. & G.A. Noble. 1989. Parasitologi, Biologi Parasit Hewan (terjemahan oleh

Wardiarto, editor Noerhajati Soeripto). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Nugroho, E., Angka S.L., & Bastiawan, D. 1990. “Peningkatan Daya Tahan Ikan Terhadap

Infeksi Aeromonas hydrophila dengan Cara Vaksinasi”. Prosiding Seminar Nasional II

Penyakit Ikan dan Udang 16-18 Januari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Hal 83-86.

Olga. 2003. “Pengendalian Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) Pada Lele Dumbo

(Clarias gariepinus) Melalui Vaksinasi.” Tesis. PPs. UGM. Yogyakarta. 118 hal. Olga & S. Aisiah. 2007. ”Vaksin Protein Produk Ekstraseluler Aeromonas hydrophila untuk

Meningkatkan Tanggap Kebal Patin (Pangasius hypophthalmus) Terhadap Motile

Aeromonas Septicemia (Mas).” Sains Akuatik. 10(2) : 105-110. Palm, R.C. JR, M. L.Landolt & R.A. Busch. 1998. Route of Vaccine Administration: Effect on

the Specific Humoral Response in Rainbow Trut Oncorhyncus mykiss. Disease of Aquatic Organisms 33 : 157-166.

Post, G. 1983. Textbook of Fish Health. TFH Publications. Hongkong. 256 p. Retmonojati, K. 2007. “Penyimpanan dan Penggunaan Adjuvant pada Vaksin Polivalen

Vibrio.” Skripsi. Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasi.

Santoso, B. 1994. Petunjuk Praktis Budidaya Lele Dumbo dan Lele Lokal. Kanisius.

Yogyakarta. 78 hal. Sarono, A., Kamiso, K.H., Lelono, I.W.Y.B., Widodo, Thaib, N., Haryani, E.B.S., Hariyanto,

S., Triyanto, Ustadi, Kusumahati, A.N., Novianti, W., Wardani & S. Setaningsih. 1993. Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri, buku 2. Kerjasama Pusat Karantina Pertanian dan Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan UGM. Yogyakarta. 90 hal.

Schaperclaus, W. 1992. Fish Disease. Vol 1. Ed. W. Schaperclaus, H. Kulow, K.

Schreckenbach, a.A. balkema. Roterdam. 596 p. Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. T.F.H. Publication. 878 p.

Page 42: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

42

Song, Y.L., S.N. Chen & G.H. Kou. 1976. “Agglutinating Antibodies Production In Eel (Anguilla japonica) Inoculated With Aeromonas hydrophila Antigen” dalam Symposium of Fish Vaccination. OIE Fish Diseases Commision. Paris. 208-217 pp.

Souter, B.W. 1984. Immunization with Vaccines. Departemen Of Fish and Oceans. Winnipeg,

Mannitoba. 111-117 p. Stevenson, R.M.W. 1988. “Vaccination Against Aeromonas hydrophila” dalam Fish

Vaccination, A.E. Ellis (ed.). Academic Press. London. 112-123 pp. Subowo. 1993. Imunobiologi. Penerbit Angkasa. Bandung. 233 hal. Supriyadi, H & Rukyani, A. 1990. “Imunoprofilaksis Dengan Cara Vaksinasi Pada Usaha

Budidaya Ikan”. Prosiding Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan Udang 16-18

Januari. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. . Jakarta. Hal 64-69. Supriyadi, H. Mangunwiryo, H. Maryono & Effendi, J. 1995. “Pencegahan Penyakit Bakterial

Pada Ikan Gurame dengan Cara Vaksinasi”. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. I (4) ; 28-35.

Suryantinah, R.K. Rini, dan Olga. 2005. ”Optimasi dosis vaksin debris sel Aeromonas

hydrophila terhadap pengendalian penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada ikan nila (Oreochromis niloticus).” Prosiding Seminar Nasional Tahunan Hasil

Penelitian Perikanan dan Kelautan. Yogyakarta. P. 108-114. Susanto, H. 1988. Budidaya Ikan Lele. Kanisius. Yogyakarta. 71 hal. Taufik, P. 1982. “Penyakit Bakterial pada Ikan”. Bulletin Warta Mina. 3:18-20. Tizard, I. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 497

hal. Thune, R.L. 1980. “Immunization of Channel Catfish (Ictalurus punctatus) Via Hyperosmotic

Infiltration.” M.S. Thesis. Auburn University. Triyanto. 1996. Vaksinasi Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Vaksin Aktif Aeromonas

hydrophila. Laporan Hasil Penelitian. Lembaga Penelitian UGM. 21 hal. Triyanto, Kamiso H.N. & Isnansetyo A. 1996. “Pengaruh Vaksinasi Induk Lele Dumbo

(Clarias gariepinus) Terhadap Kelulushidupan, Pertumbuhan Benih dan Produksi Ikan”. Jurnal Perikanan UGM (GMU J. Fish. Sci) . I(1) : 42-48.

Triyanto, Kamiso H.N., Isnansetyo A. & Murwantoko. 1997. Pembuatan Antigen Murni untuk

Memproduksi Polivalen Antibodi dan Vaksin Aeromonas hydrophila. Laporan Penelitian Hibah Bersaing V/1 Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1996/1997. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. 37 hal.

Page 43: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

43

Wong, S.Y., T.Y. Lee & T.S. Leong. 1990. Cross Protection of Vibrio Vaccine Against Various Pathogenic Vibrio Obtained from Diseases Grouper (Epinephelus salmoides). In. Proceeding of second Asian Fisheries Forum, Tokyo, Japan, April, 17-22 1989. The Asian Fisheries Society, Manila, Philipines: 683-687.

Page 44: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

44

LAMPIRAN

A. PERSONALIA PENELITI

1. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Dini Siswani Mulia, S.Pi, M.Si

b. Pangkat/golongan/NIK : Penata Tk I/III d/2160124

c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

d. Jabatan Struktural : -

e. Fakultas/Program Studi : FKIP/P. Biologi

f. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Purwokerto

g. Bidang Keahlian : Biologi & Perikanan/Penyakit Ikan

h. Waktu yang disediakan : 20 jam/minggu

2.Anggota Peneliti

a. Nama Lengkap : drh. Cahyono Purbomartono, M.Sc.

b. Pangkat/golongan/NIP : Penata Tk I/ III d/080118553

c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

d. Jabatan Struktural : -

e. Fakultas/Program Studi : FKIP/P. Biologi

f. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Purwokerto

g. Bidang Keahlian : Biologi & Perikanan/Penyakit Ikan

h. Waktu yang disediakan : 15 jam/minggu

Page 45: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

45

B. DRAFT ARTIKEL ILMIAH

PENGGUNAAN VAKSIN POLIVALEN DAN VAKSIN POLIVALEN PLUS SEL

Aeromonas hydrophila (PENAMBAHAN VITAMIN C DAN ADJUVANT)

PADA LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan membuat vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus Aeromonas

hydrophila dengan penambahan vitamin C dan adjuvant serta mengetahui efikasi vaksin tersebut dalam mengendalikan penyakit MAS pada lele dumbo. Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 variabel, 2 kali ulangan. Variabel terdiri atas perlakuan A berupa jenis vaksin, yaitu A1 = Vaksin polivalen, A2 = Vaksin polivalen dengan Vit C dan adjuvant alumunium potassium sulfat, A3 = Vaksin polivalen dengan Vit C dan adjuvant alumunium hidroksida, dan A4 = Kontrol (vaksinasi dengan PBS pH 7,0), serta perlakuan B berupa cara vaksinasi, yaitu B1 = suntik intraperitoneal, B2 = suntik intramuskular, dan B1 = rendaman. Lele dumbo yang digunakan berukuran panjang 10-13 cm dengan berat 19,1-26,7 g. Pada tiap perlakuan digunakan 8 ekor lele dumbo. Vaksinasi suntik diberikan dengan dosis 0,1 ml/ikan dengan kepadatan bakteri 107 sel/ikan, sedangkan vaksinasi rendaman dilakukan dengan cara merendam ikan uji dalam emulsi vaksin dengan konsentrasi 107 sel/ml selama 30 menit. Parameter yang diamati adalah titer antibodi, sintasan, Relative Percent Survival (RPS), Rerata Waktu Kematian (RWK) dan kualitas air. Analisis data menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan uji lanjut dengan Duncan’s

Multiple Range Test (DMRT). Booster dilakukan satu minggu setelah vaksinasi dan uji tantang dilakukan dua minggu setelah booster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi dengan vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus sel A. hydrophila dapat meningkatkan sintasan, RPS, dan titer antibodi (P<0.05). Vaksinasi secara suntik intraperitoneal, suntik intramuskular, maupun rendaman dapat menjadi alternatif pilihan untuk vaksinasi, karena ketiganya memiliki efektivitas yang sama dalam memberikan perlindungan relatif pada lele dumbo. Kata Kunci : vaksin polivalen plus, Aeromonas hydrophila, vitamin C, adjuvant, lele dumbo

Abstract

The aims of this research were to make polyvalen and plus polyvalen of A. hydrophila vaccines and to evaluate of the efficacy of these vaccines to control MAS disease on catfish. The research was constructed as factorial of CRD with two variables and twice replication. First variable were vaccine, i.e. A1 : polyvalen of vaccine, A2 : polivalen of vaccine with vitamine C dan alumunium potassium sulfat of adjuvant, A3 : polivalen of vaccine with vitamine C dan alumunium hidroksida of adjuvant, dan A4 : control (vaccination with PBS pH 7,0), and second variables were vaccination, i.e. B1 : intraperitoneal of injection vaccination, B2 : intramuskular of injection vaccination, and B3 : immersion vaccination. The research was used catfish with length 10-13 cm and 19.1-26.7 g of weight and a number of 8 fish into one of treatment. Injection vaccination was conducted with 0.1 ml dosage vaccine at 107 cell/fish. Immersion vaccination was done by immersing the fishes at 107 cell/fish for 30 minutes. Booster was conducted one week after vaccination and challenge test was conducted two weeks after booster. Parameter to controlled were titer antibody, survival rate, Relative

Page 46: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

46

Percent Survival/RPS, to death (MTD) and water quality. Futhermore, they were analized by Analysis of Variance and Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).

The result showed that polyvalen and plus polyvalen of A. hydrophila vaccines could increase RPS, survival rate, and the titer of antibody (P<0.05). Intraperitoneal of injection vaccination, intramuskular of injection vaccination, and immersion vaccination were the effective vaccination could protect to catfish.

Keywords : plus polyvalen vaccine, Aeromonas hydrophila, vitamine C, adjuvant, catfish

PENDAHULUAN

Lele dumbo merupakan ikan ekonomis penting yang banyak dibudidayakan oleh petani

ikan, tidak terkecuali di wilayah Banyumas. Beberapa keunggulan ikan ini ialah mudah

dibudidayakan, pertumbuhannya relatif cepat, dan harga jualnya yang cukup tinggi (Santoso,

1994). Namun, keberhasilan budidaya ikan ini sering mendapat kendala karena adanya

penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas

hydrophila. Penyakit MAS sampai saat ini merupakan penyakit terpenting yang menyerang

ikan air tawar dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Pada ikan lele, tingkat kematian

dapat mencapai 80%, bahkan 100% dalam waktu sekitar satu minggu. Penyebaran penyakit ini

sangat luas dan cepat sejalan dengan meluasnya usaha budidaya dan meluasnya jaringan

penyebaran benih dan ikan konsumsi, baik ikan segar maupun ikan hidup (Triyanto et al.,

1997).

Penanggulangan penyakit MAS dengan obat-obatan dan antibiotik menimbulkan

dampak negatif terhadap kualitas lingkungan, kesehatan konsumen, dan timbulnya

mikroorganisme resisten (Mulia, 2003). Vaksinasi merupakan salah satu cara yang efektif dan

efisien untuk mencegah penyakit MAS karena dengan vaksinasi dapat diperoleh kekebalan

yang cukup lama meskipun hanya dengan 1-2 kali pemberian vaksin, tidak ada efek samping,

dapat dilakukan pada berbagai ukuran ikan dari benih sampai induk (Triyanto et al., 1996;

Kamiso, 1997).

Tingkat perlindungan yang ditimbulkan oleh vaksinasi sangat tergantung pada jenis dan

kualitas vaksin, cara vaksinasi, kondisi ikan, dan lingkungan hidupnya (kualitas air) (Souter,

1984; Kamiso et al., 1998). Penggunaan vaksin dari satu strain A. hydrophila (monovalen)

memberikan hasil bervariasi. Murtiningsih (2003) menggunakan vaksin sitoplasma sel A.

hydrophila strain Cangkringan, sintasan lele dumbo mencapai 66,7-100%. Vaksinasi dengan

vaksin produk ekstraseluler dan intraseluler sel A. hydrophila strain Moyudan pada lele dumbo

Page 47: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

47

menghasilkan sintasan 58,67% (vaksin produk ekstraseluler) dan 85,33% (vaksin produk

intraseluler) (Mulia & Purbomartono, 2007).

Pembuatan vaksin polivalen dari sel A. hydrophila yang diisolasi dari lele dumbo sakit

di wilayah Banyumas dan sekitarnya belum pernah dilakukan, apalagi pengembangan vaksin

polivalen plus dengan penambahan vitamin C dan adjuvant. Oleh karena itu, dalam penelitian

ini akan dikembangkan pembuatan vaksin polivalen plus yang imunogenik dan protektif dari

beberapa isolat A. hydrophila yang diperoleh dari tiga lokasi, yaitu Banyumas, Purbalingga,

dan Banjarnegara serta uji vaksinasinya, baik skala laboratorium maupun lapangan.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat vaksin polivalen dari antigen H sel A.

hydrophila terpilih, membuat vaksin polivalen plus A. hydrophila dengan penambahan vitamin

C dan adjuvant, dan mengetahui efikasi vaksin tersebut dalam mengendalikan penyakit MAS

pada lele dumbo skala laboratorium.

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Prodi Pend. Biologi, FKIP

dan Laboratorium Basah, UMP. Penelitian ini berlangsung selama 8 bulan.

B. Isolasi Bakteri Murni A. hydrophila

Kultur bakteri berasal dari isolat bakteri murni A. hydrophila yang didapatkan pada

tahun ke-1. Setiap strain bakteri terpilih diisolasi pada medium GSP (Glutamat Starch Phenile)

agar (Merck) dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam. Masing-masing satu koloni

bakteri dikultur di dalam medium cair TSB dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam.

Selanjutnya, bakteri dalam medium cair TSB digunakan untuk reinfeksi.

C. Mengembalikan Tingkat Virulensi Bakteri A. hydrophila

Reinfeksi dilakukan secara suntikan intramuskular dengan dosis 0,1 ml (1011cfu/ml)

pada 5 ekor lele dumbo yang berukuran 10-12 cm. Reinfeksi pertama dilakukan untuk

mengetahui apakah bakteri hasil isolasi dari stok merupakan bakteri patogen pada lele dumbo

atau bukan. Lele dumbo yang telah diinfeksi dipelihara dalam ember bervolume 15 l dan

diamati gejala penyakitnya setiap hari pada pagi dan sore hari. Isolat bakteri yang menimbulkan

gejala penyakit seperti pendarahan berlebihan pada kulit, hyperplastik pada lamella insang,

inflamasi pada rongga dan sekitar mulut dan berenang di permukaan adalah merupakan bakteri

patogen. Setelah ada lele dumbo yang mati atau memiliki gejala penyakit yang parah maka

Page 48: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

48

dilakukan reisolasi. Reisolasi bakteri A. hydrophila dari sampel lele dumbo dilakukan secara

aseptis dari organ ginjal menggunakan ose steril pada medium selektif GSP agar dan diinkubasi

pada suhu 37˚C selama 18-24 jam. Satu koloni bakteri dari medium selektif GSP agar

dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi medium cair TSB 10 ml dan diinkubasi pada

suhu kamar selama 24 jam. Kemudian, dilakukan reinfeksi dan reisolasi kedua dan ketiga untuk

mengetahui gejala penyakit yang lebih lengkap dan spesifik serta untuk meningkatkan virulensi

bakteri A. hydrophila. Cara yang digunakan sama dengan reinfeksi dan reisolasi pertama.

D. Pembuatan Ag H Bakteri A. hydrophila (strain GPl-04, GKj-01, GPw-01)

Kultur bakteri dari media TSB ketiga isolat masing-masing ditambahkan formalin 2 %

dan digojog selama 24 jam. Selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 20

menit. Cairan yang berada di bagian atas pada tabung reaksi (supernatan) dibuang. Pencucian

dengan PBS dan sentrifugasi dilakukan 3 kali (Kamiso & Triyanto, 1990). Selanjutnya,

dilakukan uji viabilitas pada medium selektif Aeromonas-Pseudomonas (GSP, Merck).

E. Pembuatan Vaksin Polivalen A. hydrophila

Vaksin polivalen dibuat dengan mencampur sama banyak antigen isolat terpilih.

Terlebih dahulu antigen terpilih diukur kepadatannya dengan spektrofotometer. Selanjutnya,

masing-masing antigen diencerkan dan dicampurkan dengan perbandingan 1:1. Satu ml vaksin

polivalen yang telah ditambah gliserol 0,5 % dengan kepadatan 1011 cfu/ml dimasukkan ke

dalam botol ampul steril. Setelah itu dimasukkan ke dalam shell freezer (Labconco) agar vaksin

membeku pada suhu -40˚C. Selanjutnya vaksin dimasukkan ke dalam freeze dryer (Labconco)

pada suhu -40 sampai -50˚C. Selanjutnya, vaksin disimpan dalam refrigerator sampai

digunakan.

F. Pembuatan Vaksin Polivalen Plus A. hydrophila

Pembuatan vaksin polivalen plus dilakukan dengan cara menambahkan vaksin polivalen

dengan vitamin C dan adjuvant. Vaksin polivalen dibuat dengan mencampur sama banyak

antigen isolat terpilih. Terlebih dahulu antigen terpilih diukur kepadatannya dengan

spektrofotometer. Selanjutnya, masing-masing antigen diencerkan dan dicampurkan dengan

perbandingan 1:1. Kemudian ditambahkan vitamin C dan adjuvant. Adjuvant yang

ditambahkan adalah adjuvant alumunium potassium sulfat dan alumunium hidroksida. Dosis

vitamin C yang ditambahkan adalah 1000 mg/kg atau setara dengan 1000 ppm yang diadopsi

dari Isnansetyo (1996) dan Johny & Roza (2007), sedangkan dosis yang digunakan untuk

adjuvant diadopsi dari penelitian Retmonojati (2007) yang menyatakan bahwa dosis optimal

Page 49: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

49

adjuvant alumunium potassium sulfat adalah 2 ppm, dan dosis optimal adjuvant alumunium

hidroksida adalah 6 ppm.

Satu ml vaksin polivalen yang telah ditambah gliserol 0,5 % dengan kepadatan 1011

cfu/ml dimasukkan ke dalam botol ampul steril. Setelah itu dimasukkan ke dalam shell freezer

(Labconco) agar vaksin membeku pada suhu -40˚C. Selanjutnya vaksin dimasukkan ke dalam

freeze dryer (Labconco) pada suhu -40 sampai -50˚C. Selanjutnya, vaksin disimpan dalam

refrigerator sampai digunakan.

H. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial, dengan 2

variabel, 2 kali ulangan. Variabel terdiri atas perlakuan A berupa jenis vaksin dan perlakuan B

berupa cara vaksinasi, yang terdiri dari:

A. Jenis Vaksin :

A1 = Vaksin polivalen

A2 = Vaksin polivalen dengan Vit C dan adjuvant alumunium potassium sulfat

A3 = Vaksin polivalen dengan Vit C dan adjuvant alumunium hidroksida

A4 = Kontrol (vaksinasi dengan PBS pH 7,0)

B. Cara Vaksinasi

B1 = suntik intraperitoneal

B2 = suntik intramuskular

B1 = rendaman

Kombinasi jenis vaksin (A) dan cara vaksinasi (B) menghasilkan 12 perlakuan, yaitu :

A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2, A1B3, A2B3, A3B3, dan A4B3.

Berdasarkan desain penelitian tersebut, terdapat 24 unit sampel. Setiap unit sampel dipelihara

lele dumbo dalam wadah pemeliharaan sebanyak 8 ekor, dengan ukuran panjang 10-13 cm.

Vaksinasi suntik intraperitoneal dan intramuskular dilakukan dengan dosis 0,1 ml/ikan

dengan kepadatan bakteri 107 sel/ikan, sedangkan vaksinasi rendaman dilakukan dengan cara

merendam ikan uji dalam emulsi vaksin dengan konsentrasi 107 sel/ml selama 30 menit. Satu

minggu setelah vaksinasi dilakukan booster (vaksinasi ulangan/penguat) dengan dosis dan cara

vaksinasi yang sama. Dua minggu kemudian dilakukan uji tantang (challenge test) dengan

bakteri A. hydrophila.

Page 50: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

50

H. Parameter Yang Diamati

Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini adalah titer antibodi, sintasan,

tingkat perlindungan relatif (RPS = relative percent survival), rerata waktu kematian (RWK).

Parameter pendukung yang diamati adalah parameter kualitas air : suhu, pH, dan O2 terlarut.

1. Parameter Utama

a. Titer Antibodi

Titer antibodi diamati dengan metode Anderson (1974) dan dilakukan 4 kali, yaitu

yaitu sebelum ikan divaksinasi, pada saat akan dibooster, seminggu setelah booster, dua

minggu setelah booster (pada saat akan uji tantang). Pengukuran titer antibodi dilakukan

dengan cara sebagai berikut : darah lele dumbo diambil dengan jarum suntik (spuit) steril

melalui arteri caudalis, kemudian darah ditampung dalam tabung eppendorf, didiamkan dalam

suhu kamar selama 1 jam, kemudian didiamkan dalam refrigerator pada suhu 4ºC selama 18-24

jam. Bagian supernatan yang merupakan serum darah diambil dengan mikropipet. Adanya

endapan antigen-antibodi pada mikrotiter plate diamati dengan cara sebagai berikut :

7. sumur ke-2 sampai dengan ke-12 diisi dengan 25 µl PBS

8. sumur ke-1 sampai dan ke-2 diisi dengan 25 µl serum

9. serial pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 25 µl larutan dengan

menggunakan garpu mikrotiter dari sumur ke-2 sampai ke-11

10. sumur ke-1 sampai ke-12 ditambahkan 25 µl suspensi bakteri A. hydrophila (1011

CFU/ml) yang telah dilemahkan dengan 2% formalin

11. lempeng mikrotiter plate ditutup kemudian di goyang-goyangkan pelan-pelan selama 3

menit dengan gerakan memutar. Lalu, didiamkan pada suhu kamar selama 1 jam dan

dimasukkan ke dalam refrigerator dengan suhu 4ºC selama 18-24 jam.

12. cara menghitung titer antibodi : ke-12 sumur pada mikrotiter plate diamati. Sumur

paling kiri adalah kontrol positif, sedangkan sumur yang paling kanan adalah kontrol

negatif. Terbentuknya titer antibodi ditandai dengan terjadinya aglutinasi antara antigen

dengan antibodi yang tampak dari munculnya lapisan keruh seperti awan dalam sumur

mikrotiter plate. Perhitungan titer antibodi dimulai dari 21 sampai 211 (dari sumur ke-2

sampai 12). Sebagai contoh : apabila terjadi aglutinasi sampai sumur ke-6, maka titer

antibodi yang terbentuk adalah 25. Selanjutnya, angka tersebut ditransformasikan ke

dalam bentuk logaritma (data log 2) agar bisa dilakukan analisis data.

Page 51: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

51

b. Sintasan

Pengamatan dilakukan secara visual dengan melihat dan menghitung ikan yang hidup pada setiap unit perlakuan, dan diamati setiap hari. Nilai sintasan dihitung berdasarkan Zonneveld (1991), yaitu :

Nt S = ------------- x 100 % No Keterangan :

S = sintasan

Nt = jumlah ikan yang hidup pada waktu t/akhir penelitian (ekor)

No = jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)

c. Tingkat Perlindungan Relatif (Relative Percent Survival/RPS)

Pengamatan dilakukan secara visual dengan melihat dan menghitung ikan yang mati

pada setiap unit perlakuan, dan diamati setiap hari. Nilai RPS dihitung sebagai berikut:

Persentase kematian ikan yang divaksin RPS = ( 1 - ------------------------------------------------------- ) x 100 % Persentase kematian ikan yang tidak divaksin

d. Rerata Waktu Kematian (RWK)

Pengamatan dilakukan secara visual dengan melihat dan menghitung ikan yang mati

pada setiap unit perlakuan, dan diamati setiap hari. Nilai RWK dihitung sebagai berikut:

RWK = Σ ai.bi -------------

Σ bi Keterangan :

ai = waktu kematian (hari)

bi = jumlah kematian ikan setiap waktu pengamatan

2. Parameter Pendukung

Pengamatan kualitas air meliputi suhu maksimum-minimum air dan pH dilakukan

setiap hari, sedangkan O2 terlarut (Dissolved Oxygen=DO) diamati setiap minggu. DO diamati

dengan metode Winkler.

I. Analisis Data

Pengamatan titer antibodi dilakukan dengan metode deskriptif. Data yang terkumpul

dari uji titer antibodi ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma (data log 2). Selanjutnya,

data titer antibodi, sintasan, RPS, RWK dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam

Page 52: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

52

(Analysis of Variance/ANOVA) untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan.

Apabila data yang telah dianalisis sidik ragam terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan

dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5% (Steel & Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Titer Antibodi

Vaksinasi merupakan cara efektif yang dapat ditempuh untuk meningkatkan sistem

pertahanan tubuh suatu organisme. Keberhasilan suatu vaksinasi pada ikan salah satunya dapat

dilihat dari meningkatnya sistem imun yang ditandai dengan meningkatnya produksi titer

antibodi selama penelitian. Vaksinasi dengan vaksin polivalen dan polivalen plus sel A.

hydrophila pada lele dumbo menunjukkan adanya peningkatan sistem pertahanan spesifik

berupa pembentukan titer antibodi. Bleeding ke-1 (sebelum vaksinasi), semua perlakuan belum

memproduksi titer antibodi karena ikan belum diberi vaksin. Titer antibodi pada awal

penelitian adalah 1 (20) (Tabel 1).

Bleeding ke-2 (satu minggu setelah vaksinasi), terjadi peningkatan titer antibodi pada

semua perlakuan vaksinasi dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

penggunaan vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A. hydrophila dapat meningkatkan titer

antibodi (P<0,05), baik secara suntik intraperitoneal, suntik intramuskular, maupun rendaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 (penggunaan vaksin polivalen dengan

vitamin C dan adjuvant alumunium hidroksida secara suntik intramuskular) memproduksi titer

antibodi tertinggi, yaitu sebesar 28.

Bleeding ke-3 (satu minggu setelah booster), terjadi peningkatan titer antibodi pada

semua perlakuan yang divaksin dan lebih tinggi dibandingkan pada bleeding ke-2. Peningkatan

titer antibodi terjadi karena ikan uji telah mempunyai memori imunitas sehingga dengan

booster atau vaksinasi ulangan dapat menghasilkan respons imun yang lebih tinggi (Lamers et

al., 1985). Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberi vaksin

beradjuvant lebih tinggi titer antibodinya dibandingkan vaksin polivalen tanpa adjuvant dengan

produksi titer antibodi sebesar 28,59 sampai 210.

Tabel 1. Titer antibodi lele dumbo pada masing-masing perlakuan

Titer Antibodi Pada Bleeding Ke-n No Perlakuan/ulangan

1 2 3 4

1

A1B1 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

26

26

26a

28

28

28a

28

28

28a

Page 53: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

53

2 A1B2 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

27

27a

28

28

28a

28

27

27,59a

3

A1B3 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

26

26

26a

28

28

28a

28

28

28a

4 A2B1 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

26

27

26,59a

28

27

27,59a

29

28

28,59b

5 A2B2 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

27

27a

29

28

28,59b

29

210

29,59b

6 A2B3 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

27

27a

210

210

210b

29

29

29b

7 A3B1 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

28

27,59b

29

29

29b

28

210

29,32b

8 A3B2 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

28

28

28b

29

29

29b

29

29

29b

9 A3B3 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

27

28

27,59b

29

29

29b

210

210

210b

10 A4B1 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

21

20

20,59c

23

23

23c

23

23

23c

11 A4B2 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

21

21

21c

22

23

22,59c

24

24

24c

12 A4B3 ul 1 2 Rata-rata

20

20

20a

21

21

21c

23

22

22,59c

24

23

23,59c

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan taraf uji 5% B1 : bleeding sebelum vaksinasi B2 : bleeding 1 minggu setelah vaksinasi (sebelum booster) B3 : bleeding 1 minggu setelah booster

B4 : bleeding 2 minggu setelah booster (sebelum uji tantang)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

: : : : : : : : : : : :

Vaksin polivalen secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C& adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara rendaman Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intraperitoneal (ip) Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intramuskular (im) Kontrol (PBS pH 7,0) secara rendaman

Page 54: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

54

Bleeding ke-4 (dua minggu setelah booster), terjadi peningkatan titer antibodi (P<0,05)

perlakuan yang divaksinasi dibandingkan kontrol. Perlakuan pemberian vaksin polivalen plus

dengan vitamin C dan adjuvant alumunium potassium sulfat (A2) dan vaksin polivalen plus

dengan vitamin C dan adjuvant alumunium hidroksida (A3) memiliki kemampuan yang sama

dalam meningkatkan produksi titer antibodi.

0

200

400

600

800

1000

1200

Bleeding ke-1 Bleeding ke-2 Bleeding ke-3 Bleeding ke-4

Waktu Pengamatan

Tit

er

An

tib

od

i

A1B1

A1B2

A1B3

A2B1

A2B2

A2B3

A3B1

A3B2

A3B3

A4B1

A4B2

A4B3

Gambar 1. Produksi titer antibodi lele dumbo selama penelitian

Gambar 1. menjelaskan bahwa terjadi peningkatan produksi titer antibodi yang signifikan

untuk semua perlakuan yang diberi vaksin pada bleeding ke-2, yaitu satu minggu setelah

vaksinasi dilakukan. Pada bleeding ke-3 (satu minggu setelah booster), perlakuan juga

mengalami peningkatan produksi titer antibodi, demikian juga pada bleeding ke-4 (dua minggu

setelah booster), secara umum meningkat, meskipun ada yang tetap dan menurun dibandingkan

bleeding sebelumnya. Namun, secara umum pengaruh vaksinasi dan booster signifikan dalam

meningkatkan produksi titer antibodi perlakuan yang divaksinasi.

Vaksinasi merupakan suatu cara pemberian antigen secara sengaja agar ikan

memproduksi antibodi terhadap suatu bibit penyakit atau patogen tertentu, sedangkan vaksin

merupakan suatu antigen yang berasal dari jasad patogen yang telah dilemahkan atau

dimatikan. Antibodi sangat diperlukan untuk menghadapi serangan dari bibit penyakit yang

masuk ke dalam tubuh. Antigen yang digunakan dalam penelitian ini adalah antigen polivalen

A. hydrophila yang berasal dari beberapa antigen yang bereaksi baik pada uji interaksi silang.

Vaksin polivalen terdiri dari 3 antigen yang paling baik ketika diuji reaksi silang. Antigen H

merupakan whole cell yang dilemahkan dengan formalin, mengandung flagela dan protein yang

Page 55: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

55

memungkinkan adanya reaksi kuat dengan antibodi (Kamiso, 1990). Almendras (2001)

menyatakan bahwa protein merupakan makromolekul yang imunogen. Pada bagian tertentu

dari molekul ini dapat menentukan spesifitas reaksi antigen-antibodi dan sebagai penentu

timbulnya respons imun. Menurut Subowo (1993), bagian tertentu dari molekul ini biasanya

dinamakan epitop. Jumlah epitop dari molekul antigen tergantung pada ukuran dan kerumitan

struktur molekulnya.

Pada akhir pengamatan (bleeding ke-4), tidak ditemukan adanya perbedaan yang

signifikan antara ikan yang disuntik, baik secara intraperitoneal maupun secara intramuskular,

dengan rendaman. Hal ini menguatkan dugaan bahwa vaksinasi dapat dilakukan dengan cara

suntik atau pun rendaman dengan efektivitas yang sama, sehingga si pelaku vaksinasi dapat

memilih cara vaksinasi yang mudah, cocok, dan tepat untuk sasarannya.

B. Sintasan

Sintasan lele dumbo yang dihasilkan pada setiap perlakuan menunjukkan seberapa besar

daya tahan ikan tersebut setelah diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila. Vaksinasi dengan

vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus dapat meningkatkan sintasan lele dumbo (P<0,05)

(Tabel 2). Secara umum perlakuan yang divaksin memiliki sintasan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kontrol. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis

vaksin berbeda nyata (P<0,05), sedangkan perlakuan cara vaksin dan interaksi antara jenis

vaksin dan cara vaksin tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil analisis uji lanjut menunjukkan

bahwa perlakuan jenis vaksin A1, A2, A3, dan A4 masing-masing berbeda nyata (P<0,05).

Tabel 2. Sintasan lele dumbo setelah uji tantang dengan bakteri A. hydrophila

Tingkat Sintasan Perlakuan

I II

Rerata (%)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

100,00 87,50 100,00 12,50 75,00 50,00 87,50 87,50 50,00 0,00

12,50 0,00

87,50 100,00 100,00 25,00 50,00 62,50 75,00 75,00 87,50 0,00

12,50 25,00

93,75a

93,75a

100,00a

18,75b

62,50b

56,25b

81,25c

81,25c

68,75c

0,00d

12,50d

12,50d

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan taraf uji 5%

A1B1 : Vaksin polivalen secara suntik intraperitoneal (ip)

Page 56: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

56

A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

: : : : : : : : : : :

Vaksin polivalen secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C& adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara rendaman Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intraperitoneal (ip) Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intramuskular (im) Kontrol (PBS pH 7,0) secara rendaman

Lele dumbo yang divaksinasi dengan vaksin polivalen (A1) mencapai nilai sintasan

tertinggi, yaitu 93,75-100%, selanjutnya disusul oleh lele dumbo yang divaksin dengan vaksin

polivalen dengan vitamin C dan adjuvant alumunium hidroksida (A3) mencapai nilai sintasan

68,75-81,25 %, kemudian lele dumbo yang divaksin dengan vaksin polivalen dengan vitamin C

dan adjuvant alumunium potassium sulfat (A2) mencapai 18,75-62,50 %, dan kontrol (A4)

dengan sintasan terendah, yaitu 0-12,5%.

Hasil penelitian vaksinasi pada lele dumbo telah membuktikan bahwa vaksinasi dapat

meningkatkan sintasan. Hal ini erat kaitannya dengan meningkatnya sistem pertahanan tubuh

pada ikan yang divaksin, sehingga ketika datang serangan bakteri A. hydrophila aktif, ikan-ikan

yang divaksin lebih mampu bertahan hidup dibandingkan ikan yang tidak divaksin. Kondisi ini

dipertegas dengan meningkatnya produksi titer antibodi pada ikan yang divaksin dibandingkan

yang tidak divaksin, yang pada akhirnya mampu melindungi ikan terhadap serangan bakteri

penyebab penyakit.

Mulia (2007) menggunakan vaksin A. hydrophila jenis antigen O (Ag O) dan antigen H

(Ag H) pada gurami, sintasan mencapai 56,00-58,00%, dibandingkan kontrol 10,00%. Olga &

Aisiah (2007) menggunakan vaksin produk ekstraseluler A. hydrophila dengan dosis 2,5-10 µg

pada ikan patin dan memberikan tingkat perlidungan 44,87-92,31 %.

Penggunaan vaksin dari bagian sel yang lain, yaitu debris sel A. hydrophila secara

suntikan dengan variasi cara booster, yaitu suntik, oral, dan rendaman pada lele dumbo,

sintasan mencapai 100 % dibandingkan kontrol 45,56 % (Mulia et al., 2004). Suryantinah et al.

(2005) menggunakan vaksin debris sel A. hydrophila pada nila, sintasan mencapai 62,97-81,84

%. Demikian pula Murtiningsih (2003) yang menggunakan vaksin sitoplasma sel A. hydrophila

strain Cangkringan pada lele dumbo, sintasan mencapai 66,70-100%, dibandingkan kontrol

12,50 %.

Page 57: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

57

Lund et al. (2002) menunjukkan bahwa vaksin multivalen Aeromonas salmonicida

menghasilkan tingkat efikasi yang lebih tinggi daripada vaksin monovalen pada vaksinasi ikan

spotted wolfish (Anarchicas minor O.) serta memberikan tingkat perlindungan yang lebih baik.

Kamiso et al. (2005) telah berhasil menggunakan vaksin polivalen untuk mengendalikan

vibriosis pada kerapu tikus secara suntik, oral, dan rendaman, sintasan mencapai 100 %

dibandingkan kontrol 80 %.

Perlakuan cara vaksin tidak berbeda nyata (P>0,05) atau dengan kata lain dapat

memberikan pengaruh yang sama dalam meningkatkan sintasan. Ellis (1988) mengemukakan

ada 3 faktor utama yang saling mempengaruhi yang menentukan efektivitas suatu vaksin, yaitu

sifat dan bentuk antigen, ukuran ikan, dan metode pemberian vaksin. Sampai saat ini metode

suntikan intraperitoneal yang dianggap paling baik dalam merangsang sistem kekebalan

humoral dan perlindungan (Horne & Ellis, 1988; Palm et al., 2000, Esreve-Gassent et al., 2004)

dan merupakan metode pilihan untuk menentukan keimunogenan suatu calon vaksin (Rahman

& Kawai, 2000, Rahman et al., 2002) karena dianggap mampu merangsang sistem kekebalan

humoral dan seluler dengan baik. Namun, modifikasi dan peningkatan teknik yang digunakan

pada metode perendaman (Yong-Can et al., 2002) memberikan efek imunogenisitas yang sama

dengan metode suntikan.

C. Tingkat Perlindungan Relatif (Relative Percent Survival/RPS)

Vaksinasi dengan vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A. hydrophila dapat

memberikan perlindungan relatif pada lele dumbo (P<0,05). Hasil analisis sidik ragam

menunjukkan bahwa perlakuan jenis vaksin berbeda nyata (P<0,05), sedangkan perlakuan cara

vaksin dan interaksi antara jenis vaksin dan cara vaksin tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil

analisis uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan jenis vaksin A1, A2, dan A3 masing-masing

berbeda nyata (P<0,05).

Tingkat perlindungan relatif tertinggi dihasilkan oleh lele dumbo yang divaksinasi

dengan vaksin polivalen (A1) mencapai 92,86-100 %, selanjutnya disusul oleh lele dumbo

yang divaksin dengan vaksin polivalen dengan vitamin C dan adjuvant alumunium hidroksida

(A3) mencapai RPS sebesar 64,29-81,25 %, yang terendah diperoleh oleh lele dumbo yang

divaksin dengan vaksin polivalen dengan vitamin C dan adjuvant alumunium potassium sulfat

(A2) mencapai 18,75-57,15 % (Tabel 3).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A.

hydrophila yang diberikan pada lele dumbo mampu memberikan perlindungan relatif yang

Page 58: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

58

lebih baik, kecuali perlakuan A2B1 yang memiliki nilai RPS terendah. Kamiso & Triyanto

(1996) menyatakan bahwa tingkat perlindungan relatif (RPS) yang baik dari suatu vaksin

apabila bisa menghasilkan nilai RPS di atas 50 %. Berdasarkan nilai RPS yang diperoleh,

vaksinasi menggunakan vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A. hydrophila terbukti

efektif dengan efikasi dan tingkat perlindungan relatif yang tinggi, lebih dari 50 %, kecuali

perlakuan A2B1.

Tabel 3. Tingkat perlindungan relatif (Relative Percent Survival/RPS) lele dumbo setelah uji tantang dengan bakteri A. hydrophila

RPS Perlakuan

I II

Rerata (%)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3

100,00 85,71 100,00 12,50 71,43 42,86 87,50 85,71 42,86

87,50 100,00 100,00 25,00 42,86 57,14 75,00 71,43 85,71

93,75a

92,86a

100,00a

18,75b

57,15b

50,00b

81,25c

78,57c

64,29c

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan taraf uji 5%

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3

: : : : : : : : :

Vaksin polivalen secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C& adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara rendaman

Secara umum pemberian vaksin memberikan perlindungan terhadap ikan dari serangan

bakteri penyebab penyakit, akan tetapi dalam penelitian ini, perlindungan tertinggi dihasilkan

oleh perlakuan vaksin polivalen. Tujuan penambahan adjuvant pada suatu vaksin adalah untuk

memperlambat masuknya vaksin ke dalam tubuh. Antigen yang biasanya bertahan hanya untuk

beberapa hari dapat dipertahankan dalam tubuh untuk beberapa minggu dengan cara teknik ini.

Diduga, vaksin dengan penambahan adjuvant baik alumunium potassium sulfat dan alumunium

hidroksida kurang terlihat efektivitasnya apabila hanya dicobakan selama satu bulan, karena

aktivitas masuknya vaksin ke dalam tubuh yang cenderung lebih perlahan-lahan dibandingkan

vaksin polivalen saja (tanpa adjuvant) sehingga kemampuan dalam melindungi ikan kurang

optimal. Berdasarkan hal tersebut, ada dugaan bahwa hasil ini akan berbeda apabila vaksinasi

Page 59: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

59

dicobakan dalam kurun waktu lebih dari satu bulan, mungkin 2-3 bulan, sehingga penambahan

adjuvant dapat mempertahankan vaksin di dalam tubuh lebih lama, dan berpengaruh pada

kemampuan melindungi ikan yan lebih lama pula, sehingga akan terlihat seberapa besar

efektivitasnya.

D. Rerata Waktu Kematian (RWK)

Vaksinasi dengan vaksin polivalen dan plovalen plus A. hydrophila tidak menimbulkan

perbedaan yang nyata (P>0,05) pada RWK lele dumbo. Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian jenis vaksin, cara vaksin, dan interaksi keduanya tidak memperpanjang waktu

kematian. RWK lele dumbo semua perlakuan sebesar 0-3,69 hari (Tabel 4).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kamiso et al. (1992) menjelaskan bahwa vaksinasi

hanya melindungi ikan dari serangan bakteri dan jika ikan yang divaksin dapat terserang maka

perlakuan vaksinasi tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan penyakit. Akibatnya,

rerata waktu kematian ikan yang divaksin tidak mempunyai perbedaan dengan ikan yang tidak

divaksin.

Tabel 4. Rerata Waktu Kematian (RWK) lele dumbo setelah diuji tantang dengan bakteri A.

hydrophila

RWK Perlakuan

I II

Rerata (hari)

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

0 4 0

2,43 3,5

1,25 1 1

3,5 3,75

2 1,63

5 0 0

3,17 2,5

3,67 1,5 2 3

3,63 1,9

1,67

2,5a

2a

0a

2,8a

3a

2,46a

1,25a

1,5a

3,25a

3,69a

1,95a

1,65a

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan taraf uji 5%

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2

: : : : : : : : : : :

Vaksin polivalen secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C& adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium potassium sulfat secara rendaman Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intraperitoneal (ip) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara suntik intramuskular (im) Vaksin polivalen dengan Vit C & adj. alumunium hidroksida secara rendaman Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intraperitoneal (ip) Kontrol (PBS pH 7,0) secara suntik intramuskular (im)

Page 60: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

60

A4B3 : Kontrol (PBS pH 7,0) secara rendaman

E. Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu air, pH, dan kadar

oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO). Parameter kualitas air dari setiap pengamatan

hanya dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan antara hasil pengamatan

dengan standar yang ada bagi kehidupan ikan pada umumnya (Alabaster & Lloyd, 1982). Data

parameter kualitas air secara lengkap tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Parameter kualitas air selama pengamatan

Parameter Kualitas Air No Perlakuan

Suhu (ºC) pH DO (mg/l)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3

25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29 25-29

6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16 6,8-7,16

3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7 3,7-6,7

Parameter kualitas air selama penelitian tidak menunjukkan adanya variasi yang besar

dan masih sesuai untuk kehidupan lele dumbo. Suhu berpengaruh pada pembentukan antibodi

(Anderson, 1974). Pada suhu yang optimal maka pembentukan antibodi akan berjalan dengan

baik demikian juga sebaliknya. Suhu air berkisar antara 25-290C, pH berkisar antara 6,8-7,16,

dan DO berkisar antara 3,7-6,7 mg/l. Boyd (1990) menyatakan bahwa kisaran suhu 25-320C,

pH 6,5-9 dan DO minimal 2 ppm dianggap masih normal dan baik untuk kehidupan ikan air

tawar, termasuk lele dumbo. Dengan demikian, kualitas air bukan merupakan faktor penyebab

kematian lele dumbo dalam penelitian ini. Kematian ikan kontrol pada saat uji tantang betul-

betul disebabkan karena ikan terinfeksi.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah : vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus

sel A. hydrophila efektif dalam mengendalikan penyakit MAS pada lele dumbo. Vaksin ini

Page 61: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

61

dapat meningkatkan produksi titer antibodi, sintasan, dan RPS, namun tidak berpengaruh nyata

pada RWK. Cara vaksin suntik intrapertoneal, suntik intramuskular, dan rendaman dapat

menjadi alternatif pilihan untuk vaksinasi, karena ketiganya memiliki efektivitas yang sama

dalam meningkatkan efikasi vaksin.

B. SARAN

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan uji efikasi vaksin polivalen dan vaksin

polivalen plus sel A. hydrophila skala lapangan dengan waktu penelitian yang lebih lama,

misalkan 2-3 bulan untuk melihat sejauh mana efektivitas vaksin polivalen plus (vitamin C dan

beradjuvant) maupun vaksin polivalen (tanpa vitamin C dan adjuvant) dalam penyakit MAS

pada lele dumbo. Selanjutnya, penelitian ini disarankan untuk dicobakan pada ikan air tawar

lain, seperti gurami, karper, tawes, maupun nila.

DAFTAR PUSTAKA

Alabaster, J.S. & Lloyd, R. 1982. Water Quality Criteria For Freshwater Fish. University

Press. Cambridge. Great Britain. 361 p. Anderson, D.P. 1974. “Fish Immunology”, dalam Diseases of Fishes, buku ke-4, Snieszko, S.F.

& Axelrod, H.R. (ed.). T.F.H. Publications, Ltd. 239 p. Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham Publishing Co.

Alabama. 482 p. Ellis, A.E. 1988. “Optimizing Factors For Fish Vaccination” dalam Fish Vaccination, A.E.

Ellis (ed). Academic Press Ltd. London. 32-46 pp. Esteve-Gassent, M.D., M.E. Nielsen & C. Amaro. 2004. The Kinetics of Antibody Production

in Mucus and Serum of European Eel (Anguilla anguilla L) After Vaccination Against Vibrio vulnivicus. Development of a New Method for Antibody Quantification in Skin Mucus. Fish & Shellfish Immunology 15:51-61

Horne, M.T. & Ellis, A.E. 1988. ”Strategies of Vaccination”. dalam Fish Vaccination, A.E.

Ellis (ed). Academic Press Ltd. London. 55-56 pp. Isnansetyo, A. 1996. Penambahan Vitamin C pada Pakan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

untuk Meningkatkan Tanggap Kebal Terhadap Vaksin Aeromonas hydrophila. Jurnal

Perikanan UGM (GMU J. Fish. Sci) . I(1) : 35-41. Johny, F. & D. Roza. 2007. Peningkatan Imunitas Benih Ikan Kerapu Lumpur Epinephelus

coioides Terhadap Infeksi Virus Irido dengan Aplikasi Vitamin C dan Imunostimulan. Panduan Semnaskan UGM, Perikanan dan Kelautan UGM. 228 hal.

Page 62: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

62

Lamers, C. H. I. & W. B. Van Muiswinkel. 1985. Natural Aquidred to Aeromonas hydrophila

in Carp (Cyprinus carpio). Canadian J. Fish Aquatic Science, 619-624. Lund, V., J.A. Arnesen & G. Eggset. 2002. Vaccine Development for Atypical Furunculosis in

Spotted Wolffish Anarchicas minor O.: Comparison of Efficacy of Vaccine Containing Different Strains of Atypical Aeromonas salmonicida. Aquaculture 204:33-44.

Kamiso, H. N. 1990. Vaksinasi Penyakit Bakterial pada Ikan. PAU Bioteknologi UGM.

Yogyakarta. Kamiso, H.N. & Triyanto. 1990. Sistem Pertahanan dan Diagnosis Serologi Penyakit Ikan.

Pelatihan Karantina Ikan Ciawi-Bogor. 21 Mei-4 Agustus 1990. 29 hal. Kamiso, H.N., Triyanto, & S. Hartati. 1992. Penanggulangan Penyakit Motil Aeromonas

Septisemia (MAS) pada Ikan Lele (Clarias sp.). ARM Project Tahun ke-1. Balitbang Pertanian, Deptan. Jakarta. 38 hal.

Kamiso, K.H., A. Isnansetyo, Murwantoko & B.S. Priyono. 1998. Pembuatan Antigen Murni

Untuk Memproduksi Polivalen Antibodi dan Vaksin Aeromonas hydrophila. Laporan Penelitian Hibah Bersaing V/2 Perguruan Tinggi UGM. 37 hal.

Kamiso, K.H., A. Isnansetyo, Triyanto, M. Murdjani & L. Sholichah. 2005. ”Efektivitas Vaksin

Polivalen untuk Pengendalian Vibriosis pada Kerapu Tikus.” Jurnal Perikanan UGM

(GMU J. Fish. Sci) . VII(2) : 95-100. Mulia, D.S. 2003. “Pengaruh Vaksin Debris Sel Aeromonas hydrophila Dengan Kombinasi

Cara Vaksinasi dan Booster Terhadap Respons Imun dan Tingkat Perlindungan Relatif Pada Lele Dumbo (Clarias gariepinus Burchell).” Tesis. PPs. UGM. Yogyakarta. 125 hal. Tidak dipublikasi.

Mulia, D.S., R. Pratiwi, dan Triyanto. 2004. “Efikasi vaksin debris sel Aeromonas hydrophila

secara suntik dengan variasi cara booster pada lele dumbo (Clarias gariepinus Burchell).” Berkala Ilmiah Biologi. 3 (3): 145-156.

Mulia, D.S. 2007. “Keefektivan Vaksin Aeromonas hydrophila untuk Mengendalikan Penyakit

MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada Gurami (Osphronemus gouramy Lac.).” Jurnal Pembangunan Pedesaan. 7(1) : 43-52.

Mulia, D.S. & C. Purbomartono. 2007. “Perbandingan Efikasi Vaksin Produk Intra dan Ekstraseluler Aeromonas hydrophila untuk Menanggulangi Penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) pada Lele Dumbo (Clarias sp.).” Jurnal Perikanan UGM (GMU J.

Fish. Sci) . IX(2) : 173-181. Murtiningsih. 2003. Penggunaan Vaksin Protein Sitoplasma Bakteri Aeromonas hydrophila

Pada Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Skripsi. Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasi.

Page 63: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

63

Olga & S. Aisiah. 2007. ”Vaksin Protein Produk Ekstraseluler Aeromonas hydrophila untuk Meningkatkan Tanggap Kebal Patin (Pangasius hypophthalmus) Terhadap Motile

Aeromonas Septicemia (Mas).” Sains Akuatik. 10(2) : 105-110. Palm, R.C. JR, M. L.Landolt & R.A. Busch. 1998. Route of Vaccine Administration: Effect on

the Specific Humoral Response in Rainbow Trut Oncorhyncus mykiss. Disease of Aquatic Organisms 33 : 157-166.

Retmonojati, K. 2007. “Penyimpanan dan Penggunaan Adjuvant pada Vaksin Polivalen

Vibrio.” Skripsi. Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasi.

Santoso, B. 1994. Petunjuk Praktis Budidaya Lele Dumbo dan Lele Lokal. Kanisius.

Yogyakarta. 78 hal. Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik (terjemahan Principles and

Procedures of Statistics oleh B. Sumantri). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Subowo. 1993. Imunobiologi. Penerbit Angkasa. Bandung. 233 hal. Suryantinah, R.K. Rini, dan Olga. 2005. ”Optimasi dosis vaksin debris sel Aeromonas

hydrophila terhadap pengendalian penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada ikan nila (Oreochromis niloticus).” Prosiding Seminar Nasional Tahunan Hasil

Penelitian Perikanan dan Kelautan. Yogyakarta. P. 108-114. Triyanto, Kamiso H.N. & Isnansetyo A. 1996. “Pengaruh Vaksinasi Induk Lele Dumbo

(Clarias gariepinus) Terhadap Kelulushidupan, Pertumbuhan Benih dan Produksi Ikan”. Jurnal Perikanan UGM (GMU J. Fish. Sci) . I(1) : 42-48.

Triyanto, Kamiso H.N., Isnansetyo A. & Murwantoko. 1997. Pembuatan Antigen Murni untuk

Memproduksi Polivalen Antibodi dan Vaksin Aeromonas hydrophila. Laporan Penelitian Hibah Bersaing V/1 Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1996/1997. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. 37 hal.

Zonneveld, E.A. Huisman & J.H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Gramedia.

Jakarta.

C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN

Penelitian ini akan dilanjutkan dengan penelitian tahun ke-3. Penelitian tahun ke-3 akan

menitikberatkan pada pembuatan vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A. hydrophila

yang akan diuji efikasinya pada lele dumbo skala lapangan. Adapun rincian kegiatan yang akan

dilakukan sebagai berikut:

Page 64: Jhptump a Dinisiswan 133 1 Dini Lap 0

64

a. membuat vaksin polivalen dan vaksin polivalen plus A. hydrophila dengan penambahan

vitamin C dan adjuvant

b. mengetahui efikasi vaksin tersebut dalam mengendalikan penyakit MAS pada lele dumbo

skala lapangan.

Setelah penelitian ini selesai dan diperoleh vaksin polivalen plus A. hydrophila yang

imunogenik dan protektif, maka penelitian selanjutnya akan diarahkan pada pengembangan dan

aplikasi vaksin yang lebih luas. Vaksin tersebut dapat digunakan oleh petani lele dumbo dan

juga dimungkinkan diajukan untuk mendapatkan hak paten. Rencana penelitian selanjutnya

adalah mencobakan vaksin polivalen plus pada ikan air tawar lainnya, seperti gurami, tawes,

nila atau bawal, untuk mengetahui kemungkinan aplikasinya yang lebih luas. Selain itu,

pengembangan vaksin ini bisa diarahkan pada pengemasan vaksin dengan nano atau mikro

kapsul sehingga dapat diberikan secara oral. Aplikasi yang lain, penambahan vaksin polivalen

pada pakan yang dibuat sendiri dengan formulasi yang sesuai untuk ikan air tawar, akan tetapi

dengan memanfaatkan limbah atau bahan tidak bernilai sebagai campuran bahan baku

pakan/pelet ikan, namun masih mempunyai nilai nutrisi yang tinggi. Dengan demikian, pakan

buatan bisa lebih murah, memiliki nutrisi tinggi, dan penggunaannya tidak hanya terbatas

sebagai sumber energi utama bagi kultivan, namun sekaligus diarahkan sebagai media

perantara dalam mencegah terjadinya serangan penyakit bagi kultivan (medicated feed).

Pendanaan penelitian akan diarahkan melalui Ristek, Hibah Kompetensi, atau sumber

lain.