jalal, manap_perlukah csr diatur dalam sebuah undang-undang - 230513

22
Perlukah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Diatur dalam Sebuah Undang-Undang? Masukan untuk Panja RUU Pembangunan Sosial Dunia Usaha Komis VIII DPR RI Jalal - Pendiri dan Penasihat Senior Noviansyah Manap - Direktur Utama A+ CSR Indonesia www.csrindonesia.com A+ CSR Indonesia/Lingkar Studi CSR menerima undangan dari Deputi Bidang Perundang-undangan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk memberikan masukan terhadap Rancangan Undang-Undang Pembangunan Sosial Dunia Usaha, melalui pertemuan tanggal 10 Mei 2013. Tulisan ini ditujukan untuk meringkaskan masukan-masukan yang diberikan kepada DPR, selain merupakan upaya keterbukaan A+ CSR Indonesia kepada para pemangku kepentingan CSR di Indonesia. Tulisan ini dimulai dengan memaparkan pemikiran-pemikiran DPR, sebagaimana yang dimuat dalam Terms of Reference Panitia Kerja Corporate Social Responsibility (CSR) Komisi VIII DPR (November 2012), serta tanggapan A+ CSR Indonesia atasnya. Kemudian, tulisan ini akan menjawab enam pertanyaan yang dikirimkan oleh DPR, melalui surat tertanggal 6 Mei 2013. Tanggapan terhadap Butir-butir dalam ToR “Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan saat ini telah menjadi konsep yang kerap kita dengar, walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi maupun akademisi. Sebagai sebuah konsep yang berasal dari luar, tantangan utamanya memang adalah memberikan pemaknaan yang sesuai dengan konteks Indonesia .” (hal. 2 par. 3) Tulisan tersebut diambil dari “manifesto” pendirian A+ CSR Indonesia di tahun 2006. Pada saat itu, demikianlah kondisinya. Namun, kini sesungguhnya kondisi tersebut telah bergeser. Kontekstualisasi Indonesia memang tetap akan terus diperlukan. Namun, perdebatan soal definisi sesungguhnya sama sekali tidak diperlukan lagi, setidaknya karena dua hal. Pertama, secara akademik Alexander Dahlsrud telah membuktikan bawa definisi-definisi CSR yang paling popular sesungguhnya konsisten substansinya. Walaupun secara artikulasi berbeda,

Upload: noviansyah-manap

Post on 01-Feb-2016

39 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Wacana pengaturan CSR oleh banyak perlu dikritisi. Apakah CSR perlu diatur? Jika perlu bagian mana yang harus diatur? Kebanyakan motivasi pengaturan CSR hanya mensasar jumlah dan pengelolaan.

TRANSCRIPT

Page 1: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

Perlukah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Diatur dalam Sebuah Undang-Undang?Masukan untuk Panja RUU Pembangunan Sosial Dunia Usaha Komis VIII DPR RI

Jalal - Pendiri dan Penasihat SeniorNoviansyah Manap - Direktur UtamaA+ CSR Indonesiawww.csrindonesia.com

A+ CSR Indonesia/Lingkar Studi CSR menerima undangan dari Deputi Bidang Perundang-undangan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk memberikan masukan terhadap Rancangan Undang-Undang Pembangunan Sosial Dunia Usaha, melalui pertemuan tanggal 10 Mei 2013. Tulisan ini ditujukan untuk meringkaskan masukan-masukan yang diberikan kepada DPR, selain merupakan upaya keterbukaan A+ CSR Indonesia kepada para pemangku kepentingan CSR di Indonesia. Tulisan ini dimulai dengan memaparkan pemikiran-pemikiran DPR, sebagaimana yang dimuat dalam Terms of Reference Panitia Kerja Corporate Social Responsibility (CSR) Komisi VIII DPR (November 2012), serta tanggapan A+ CSR Indonesia atasnya. Kemudian, tulisan ini akan menjawab enam pertanyaan yang dikirimkan oleh DPR, melalui surat tertanggal 6 Mei 2013.

Tanggapan terhadap Butir-butir dalam ToR “Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan saat ini telah menjadi konsep yang kerap kita dengar, walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi maupun akademisi. Sebagai sebuah konsep yang berasal dari luar, tantangan utamanya memang adalah memberikan pemaknaan yang sesuai dengan konteks Indonesia.” (hal. 2 par. 3)

Tulisan tersebut diambil dari “manifesto” pendirian A+ CSR Indonesia di tahun 2006. Pada saat itu, demikianlah kondisinya. Namun, kini sesungguhnya kondisi tersebut telah bergeser. Kontekstualisasi Indonesia memang tetap akan terus diperlukan. Namun, perdebatan soal definisi sesungguhnya sama sekali tidak diperlukan lagi, setidaknya karena dua hal.

Pertama, secara akademik Alexander Dahlsrud telah membuktikan bawa definisi-definisi CSR yang paling popular sesungguhnya konsisten substansinya. Walaupun secara artikulasi berbeda, namun substansinya selalu mengandung unsur ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan, serta sifat voluntari (Dahlsrud, 2008. How Corporate Social Responsibility is Defined: an Analysis of 37 Definitions). Tiga unsur pertama menunjukkan bahwa CSR dan pembangunan berkelanjutan—walaupun sejarahnya berbeda—telah mengalami harmonisasi (Loew, dkk., 2004. Significance of the CSR Debate for Sustainability and the Requirements for Companies). Unsur keempat menekankan pada CSR sebagai bentuk tanggung jawab yang ditujukan hanya kepada pemangku kepentingan saja—yaitu mereka yang bisa mempengaruhi dan terpengaruh oleh pencapaian tujuan perusahaan—sehingga ada pakar yang menyarankan agar S di tengah CSR bahkan perlu diganti menjadi ‘stakeholder’ (Freeman, Velamuri, dan Moriarty, 2006. Company Stakeholder Responsibility: a New Approach to CSR; Freeman dan Moutchnik, 2013. Stakeholder Management and CSR). Unsur kelima adalah voluntari atau kesukarelaan, yang berarti bahwa perusahaan yang ber-CSR pertama-tama berarti memenuhi seluruh regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Namun perusahaan kemudian tidak berhenti di situ, melainkan secara sukarela melampaui regulasi yang ada,

Page 2: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

dengan cara memenuhi atau bahkan melampaui ekspektasi pemangku kepentingan—seperti yang digambarkan oleh Richard Welford dalam bagan di samping ini (Welford, 2011. ISO 26000 Guidance on Social Responsibility Training Materials). Dalam bagan tersebut, Welford

menegaskan bahwa di atas kepatuhan pada regulasi sekalipun masih ada ‘ruang risiko’, yaitu apabila perusahaan masih membawa mudarat bagi stakeholder value. Perusahaan baru benar-benar bisa dikatakan bertanggung jawab sosial bila sudah sampai pada tataran ‘ruang peluang’ bila CSR-nya memang meningkatkan stakeholder value. Beberapa pakar CSR (mis. Claudio Nidasio) menyatakan bahwa memenuhi regulasi adalah bentuk CSR minimum, sehingga untuk optimalnya, perusahaan perlu untuk selalu melampaui itu. Kondisi ini juga menegaskan bahwa CSR tak bisa sepenuhnya diatur dalam regulasi, karena regulasi harus selalu dilampaui.

Kedua, mulai 1 November 2010, 93% negara anggota International Organization for Standardization (ISO)—termasuk Indonesia—telah menyepakati definisi dan ruang lingkup tanggung jawab sosial, dengan memberlakukan ISO 26000 Guidance on Social Responsibility. Di situ ditegaskann bahwa tanggung jawab sosial adalah: “Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships.” (ISO, 2010. ISO 26000 Guidance on Social Responsibility). Definisi tersebut konsisten dengan temuan Dahlsrud, karena menekankan pada kelima hal ang disebutkan. Lebih jauh, ISO 26000 menekankan bahwa tanggung jawab sosial itu berarti tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan oleh keputusan dan aktivitas, jadi bukan sekadar sumbangan/donasi atau aktivitas filantropi, dan sebagainya.

Sesungguhnya, perdebatan tentang definisi CSR harus diakhiri, karena memang tidak pernah ada perbedaan substansial dalam perdebatan itu, seperti yang ditunjukkan dalam artikel Dahlsrud (2008). Dunia juga telah sepakat soal apa definisi tanggung jawab sosial, setelah melakukan proses konsultasi publik selama sepuluh tahun dengan hasil ISO 26000 (ISO, 2010). ISO 26000 adalah hasil harmonisasi masukan internasional, di mana ribuan perwakilan dari 163 negera, termasuk ahli pelbagai bidang, bisnis, konsumen, buruh, industri, peneliti, LSM, profesional, universitas, dll, terlibat di dalam prosesnya.

Kalau mau melangkah maju, maka kontekstualisasi—berdasarkan negara, jenis industri, skala, dsb.—atas CSR-lah yang perlu dilakukan. Uni Eropa, misalnya, segera melakukan perubahan strategi CSR untuk seluruh perusahaan yang ada di wilayahnya, termasuk dengan mengadopsi definisi baru yang sesuai dengan ISO 26000, untuk menunjukkan konsistensi atas apa yang mereka nyatakan ke seluruh dunia (European Commission, 2011. A Renewed EU Strategy 2011-14 for Corporate Social Responsibility). Kalau memang Indonesia mau konsisten dengan pernyataannya sendiri di level global, dan mengambil manfaat dari proses konsultasi publik global, maka seharusnya urusan definisi ini sudah tidak diperdebatkan.

Page 3: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

“UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR ”dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh Peraturan Pemerintah, yang hingga kini, belum dikeluarkan.” (hal. 3 par. 2)

Paragraf ini menunjukkan bahwa CSR di sini dimaknai sebagai sekadar dana yang dikeluarkan oleh perusahaan—atau C$R—bukan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, yaitu tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan. Dengan pendirian tersebut, memang tidak ada sanksi untuk pelanggaran, karena tak ada batasan mengenai anggaran di dalam regulasi manapun, untuk pengelolaan dampak. Kalau CSR mau dipergunakan definisi arus utamanya yang benar, maka besaran biaya untuk itu akan sangat tergantung dari dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan, dan hal itu sangat tergantung dari jenis industri, skala perusahaan, dan kemampuan masing-masing perusahaan dalam mengelola dampak operasionalnya.

Karena CSR bukanlah C$R, maka pelanggaran atas CSR tidaklah terkait dengan jumlah dana yang dikeluarkan perusahaan, melainkan tergantung dari apakah yang dimaksud adalah pelanggaran atas regulasi (CSR minimum) ataukah ‘pelanggaran’ atas ekspektasi pemangku kepentingan. Subjek inti dari tanggung jawab sosial ada 7 (ISO, 2010)—yaitu tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu konsumen, serta pelibatan dan pengembangan masyarakat—sehingga pelanggaran atas regulasi yang terkait dengan ketujuh subjek inti di atas pasti ada sanksinya. Pemerintah Indonesia sudah memiliki UU HAM, UU Perlindungan dan Pemanfaatan Lingkungan, UU Perlindungan Konsumen, dan sebagainya, yang telah memuat juga sanksi bagi setiap jenis pelanggaran. Yang sangat penting dilakukan di sini adalah bagaimana membuat sebuah kompendium peraturan yang terkait dengan seluruh subjek inti tanggung jawab sosial, melakukan sosialisasi seluruh regulasi itu agar seluruh perusahaan tahu apa yang menjadi kewajibannya, serta menegakkannya. Penegakkan hukum sangat penting untuk perkembangan CSR karena akan menjamin perusahaan tidak melanggar batas minimal yang bisa ditoleransi, serta agar bisa dibedakan mana perusahaan yang melanggar, memenuhi, serta yang melampaui regulasi.

Sementara, kalau yang ‘dilanggar’ adalah ekspektasi pemangku kepentingan yang di atas apa yang telah diregulasi, maka sanksi akan datang dari konsumen. Misalnya dalam bentuk boikot produk, naming and shaming di media massa, dan sebagainya. Tentu, hal ini tidak bisa diregulasi, karena sifat ekspektasi tersebut yang above and beyond regulation. Dalam ISO 26000 juga ditegaskan bahwa salah satu prinsip tanggung jawab sosial adalah menghormati norma internasional—prinsip yang lainnya: transparensi, akuntabilitas, perilaku etis, hormat pada pemangku kepentingan, patuh terhadap hukum, dan penegakan HAM—sehingga ada juga kemungkinan sanksi dari dunia internasional bila salah satu atau lebih norma internasional dilanggar. Karena sebagian besar norma internasional bentuknya adalah soft regulation, maka sanksinya akan sangat tergantung dari konteks ekonomi-politik pergaulan global, bukan konteks hukum.

“Jika dicermati, peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara

Page 4: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR.” (hal. 3 par. 3)

Regulasi yang disebutkan di atas, yaitu UU BUMN, sebetulnya hanya menyebutkan bahwa BUMN memiliki beberapa fungsi, dan salah satunya adalah fungsi sosial. Sementara, Permen BUMN yang dimaksud adalah Permen tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), yang menyatakan bahwa dana untuk pelaksanaan Program Kemitraan (pada dasarnya adalah kredit mikro) dan Bina Lingkungan (donasi untuk beberapa jenis community project). PKBL adalah perwujudan dari fungsi sosial BUMN.

Perlu ditekankan sekali lagi di sini bahwa CSR bukanlah pengeluaran dana perusahaan, apalagi berdasarkan persentase tertentu. Kalau strategi tersebut dipilih oleh pemerintah untuk BUMN, terserah saja, namun itu bukanlah CSR sebagaimana yang disepakati oleh para pakar. Pada tahun 1995, perdebatan mengenai sifat dari anggaran yang dipergunakan untuk mengelola dampak ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan sudah diakhiri. Seluruh pakar yang hadir dalam the Sixth Annual Meeting of the International Association of Business and Society sepakat bahwa anggaran tersebut tidak bisa dihitung berdasarkan keuntungan tahun sebelumnya—sebagaimana yang dilakukan dalam PKBL BUMN—melainkan harus diperhitungkan sebagai investasi, sehingga sejak saat itu CSR dikenal sebagai aktivitas before-profit (Kang dan Wood, 1995. Before-Profit Social Responsibility: Turning the Economic Paradigm Upside Down).

Konsisten dengan pemahaman bahwa CSR adalah tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan oleh keputusan dan aktivitas perusahaan, anggaran untuk itu memang tidak bisa ditentukan secara after-profit. Apakah kalau perusahaan tidak memeroleh keuntungan di tahun sebelumnya, maka ia boleh mengabaikan berbagai regulasi dan tidak mengelola dampaknya? Apakah perusahaan yang belum sampai pada break event point boleh tidak melakukan pengelolaan dampak? Tentu saja mereka harus melakukannya, terlepas dari kondisi keuangannya. Sesungguhnya pendekatan after-profit adalah pendekatan yang absurd, dan tidak bisa diterima akal sehat, kalau kita menggunakan definisi CSR yang benar.

Penting sekali di sini untuk ditekankan bahwa PKBL, TJSL (istilah dalam UU Perseroan Terbatas), TJSP (istilah dalam UU Penanaman Modal), dan CSR sesungguhnya bukan konsep yang setara. PKBL adalah aturan mengenai pendanaan, pelaksanaan dan pelaporan fungsi sosial BUMN. TJSL terutama adalah pewajiban bagi seluruh perusahaan terbatas di Indonesia taat pada seluruh regulasi yang ada. TJSP adalah pewajiban bagi penanam modal asing maupun dalam negeri untuk menjaga hubungan dengan masyarakat lokal. Sehingga, makna yang terkandung dalam seluruh konsep tersebut sesungguhnya hanyalah sebagian kecil dari pengertian CSR.

“Menurut Sribugo Suratmo (2008), kegiatan kemitraan mirip dengan sebuah aktivitas sosial dari perusahaan, namun di sini masih ada bau bisnisnya. Masing-masing pihak harus memperoleh keuntungan. Pertanyaannya: apakah kerjasama antara pengusaha besar dan pengusaha kecil yang menguntungkan secara ekonomi kedua belah pihak, dan apalagi hanya menguntungkan pihak pengusaha kuat (cenderung eksploitatif) bisa dikategorikan sebagai CSR.” (hal. 4 par. 1)

Pernyataan yang dikutip dari Suratmo di atas merujuk pada PKBL, bukan CSR. Sementara, kalau yang mau dibahas adalah CSR, maka sesungguhnya CSR sudah sampai pada fase di mana

Page 5: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

keuntungan perusahaan dari ber-CSR memang penting untuk diperhitungkan. Hanya dengan cara demikian saja maka CSR bisa dijamin keberlanjutannya. Fase perkembangan CSR yang dibuat oleh Jorg Andriof dan Alyson Warhurst di atas (dikutip dalam Warhurst, 2001) menunjukkan bahwa CSR bergerak dari Fase 1, di mana perusahaan sadar adanya masalah setelah kejadian tertentu, terutama yang diprotes oleh masyarakat (1960-1983).

Fase 2 ditandai oleh perusahaan-perusahaan mulai mengelola dampak dari kejadian-kejadian yang timbul itu (1984-1994). Fase 3 ditandai dengan kerjasama yang dilakukan oleh perusahaan—dengan perusahaan lain atau sektor lainnya—untuk mencegah kejadian-kejadian buruk di masa mendatang (1995-‘sekarang’). Melanjutkan pendirian tersebut, sesungguhnya kini CSR tidak lagi dikaitkan hanya dengan berbagai dampak negatif atau tantangan yang dihadapi oleh perusahaan, melainkan sudah masuk ke Fase 4, sekitar tahun 2006.

Istilah “CSR strategik” mulai muncul pada periode itu, yang merujuk pada kondisi di mana CSR tidak sekadar menguntungkan para penerima manfaat (beneficiaries) yang biasanya adalah pemangku kepentingan eksternal, melainkan juga menguntungkan perusahaan yang melaksanakannya (Werther dan Chandler, 2006. Strategic Corporate Social Responsibility; Porter dan Kramer, 2006. Strategy and Society: the Link between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility; Sirsly dan Lamertz, 2008. When does a Corporate Social responsibility Inititive Provide a First-Mover Advantage?). Oleh karena itu, Fase 4 yang ditandai dengan upaya perusahaan meraih keuntungan melalui CSR sesungguhnya sudah menjadi wacana dominan sejak sekitar 7 tahun lalu. Alih-alih mempertanyakan keabsahan CSR yang juga menguntungkan perusahaan, setiap pihak seharusnya mendukung hal ini sebagai upaya agar CSR menjadi tersebar luas karena tidak dilihat sekadar sebagai beban.

Tentu saja, hubungan yang eksploitatif antara perusahaan besar kepada perusahaan kecil tidak bisa diterima sebagai CSR, karena itu bertentangan dengan ekspektasi pemangku kepentingan, misalnya yang dibahas dalam Subjek Inti Kelima ISO 26000 Fair Operating Practices atau Praktik Operasi yang Adil (ISO, 2010). Dalam jangka panjang, sesungguhnya CSR yang benar akan selalu menguntungkan perusahaan serta pemangku kepentingannya secara adil. Namun, dalam jangka pendek, trade-off kerap terjadi. Kondisi yang demikian harus disikapi perusahaan dengan memegang teguh tujuan jangka panjang, dan ‘merelakan’ bahwa keuntungan jangka pendek mungkin saja harus dilepas dahulu. Diskusi mengenai hal ini sudah dibahas secara mendalam oleh para pakar (Arena, 2004. Cause for Success: 10 Companies That Put Profits Second and Came in First; Winn, Pinkse, dan Illge, 2012. Case Studies on Trade-Offs in Corporate Sustainability)

“... kalangan yang kontra UU CSR berpendapat bahwa core business perusahaan adalah mencari keuntungan. Oleh karena itu, ketika perusahaan diwajibkan memerhatikan urusan lingkungan dan sosial, ini sama artinya dengan mendesak Greenpeace dan Save The Children untuk berubah menjadi korporasi yang mencari keuntungan ekonomi.” (hal. 4 par. 2)

Page 6: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

Alasan untuk tidak setuju dengan pewajiban atas CSR sesungguhnya beragam. Seperti yang telah dikemukakan di atas, karena sifatnya yang beyond regulation, maka tidak keseluruhan aspek dalam CSR bisa diregulasi. Oleh karena itu, ISO 26000 menegaskan dalam prinsipnya bahwa tanggung jawab sosial itu patuh pada hukum nasional, namun juga hormat pada ekspektasi pemangku kepentingan serta norma perilaku internasional, di mana dua yang disebut terakhir ini sifatnya melampaui regulasi.

Pendapat bahwa bisnis inti perusahaan adalah mencari keuntungan tidak berarti bahwa perusahaan tidak bisa ber-CSR. Artikel klasik dari Milton Friedman—yang kerap dinyatakan sebagai anti pengaturan—sesungguhnya menegaskan bahwa dalam mencari keuntungan, perusahaan tidak bisa melanggar regulasi, bahkan etika bisnis hingga batas-batas tertentu (Friedman, 1970. The Social Responsibility of Business is to Increase Its Profits). Karena itu, seluruh perusahaan dan para pakar sepakat bahwa aspek-aspek tertentu CSR (yaitu prinsip dan prinsip dalam ISO 26000) perlu diatur kinerja minimumnya. Menentang hal ini berarti tidak memahami sifat voluntari dari CSR secara tidak tepat.

Namun sesungguhnya penolakan atas “regulasi CSR” terutama disandarkan pada kekhawatiran bahwa yang diatur hanyalah soal besaran atau proporsi biaya. Hal ini sudah ditunjukkan oleh gelagat pihak-pihak tertentu yang selalu berbicara soal persentase (terutama terhadap keuntungan) atau oleh kenyataan di lapangan, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai “perda CSR” yang banyak ditemui di daerah-daerah. Selain bersifat reduksionis—karena makna CSR sangat jauh melampaui pengeluaran dana perusahaan, yang sesungguhnya lebih tepat disebut pajak filantropi, bukan CSR—pengaturan semacam ini dikhawatir akan menimbulkan dampak negatif berupa: (1) keengganan perusahaan untuk melaksanakan CSR yang sesungguhnya karena merasa sudah menyetorkan anggarannya, (2) kemungkinan penipuan akuntansi dengan mengecilkan catatan keuntungan perusahaan, agar pembayaran “dana CSR” menjadi kecil, dan (3) kerumitan pengaturan bagaimana alokasi “dana CSR” yang diregulasi akan digunakan, karena “dana CSR” perusahaan justru cenderung digunakan untuk daerah-daerah yang tidak ada hubungannya dengan wilayah dampak operasi perusahaan. Pada akhirnya perusahaan akan mengeluarkan dana tambahan yang lebih besar untuk mengelola risiko sosial dan lingkungan di wilayah dampaknya. Bagi perusahaan hal ini menimbulkan tambahan biaya yang seterusnya dapat mengurangi daya saing dan merugikan iklim investasi di Indonesia.

Alasan beberapa kalangan bahwa negara saat ini kekurangan dana untuk pembangunan dan mengentaskan kaum miskin, terutama di daerah-daerah terpencil, sehingga diperlukan pengaturan “dana CSR” dengan menentukan besaran persentase dana CSR dan kemudian dapat digunakan oleh pemerintah untuk pembangunan sungguh merupakan sesat pemikiran. Perusahaan jelas sudah berkontribusi kepada negara melalui mekanisme pembayaran pajak, bagi hasil produksi, penciptaan lapangan pekerjaan, dan peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Sedangkan CSR, sekali lagi harus ditegaskan, adalah seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dampak operasi perusahaan di wilayah dampak operasinya, bukan sekadar sumbangan yang bisa disebarkan di sembarang tempat.

Terakhir, kini sudah muncul berbagai bentuk bisnis yang bersifat campuran atau hibrid. Bisnis seperti ini kerap dikenal sebagai bisnis

Page 7: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

sosial (social business) atau perusahaan sosial (social enterprise), yang memadukan antara tujuan ekonomi dan sosial—termasuk lingkungan. Bentuk seperti ini bisa tumbuh dari sisi LSM ataupun perusahaan, dan sepenuhnya datang dari ide penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bukan didorong oleh regulasi. Bagan di atas menunjukkan spektrum dalam keberlanjutan sosial dan ekonomi, yang menghasilkan berbagai bentuk pemanfaatan kapital (Alter, dikutip dalam Bull, dkk., 2010. Conceptualising Ethical Capital in Social Enterprise). Karena banyak organisasi yang didirikan dengan pertimbangan pemecahan masalah tersebut, kemudian aspek hukum mengikutinya, sehingga misalnya dikenal adanya aturan khusus mengenai Low-Profit Limited Liability Company atau L3C di Amerika Serikat (Holmes, 2012. Is ‘Low-Profit LLC’ the Next Big Label for Responsible Business?). Jadi, alih-alih hukum yang mendorong pelaksanaan CSR yang sebenarnya, yang banyak terjadi adalah praktik CSR yang semakin tinggi akan menginspirasi hukum yang semakin ketat, karena hukum pada dasarnya memang selalu mengikuti peningkatan aspirasi masyarakat luas.

“Kelompok yang setuju dengan UU CSR umumnya berargumen bahwa CSR memberi manfaat positif terhadap perusahaan, terutama dalam jangka panjang. Selain menegaskan brand differentiation perusahaan, CSR juga berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh license to operate, baik dari pemerintah maupun masyarakat. CSR juga bisa berfungsi sebagai strategi risk management perusahaan (Suharto, 2008).” (hal. 4 par. 2)

Mereka yang setuju bahwa CSR memberikan manfaat positif buat perusahaan tidak seluruhnya sepakat mengenai peran regulasi dalam CSR. Yang disetujui oleh mereka adalah bahwa regulasi yang tepat buat CSR adalah regulasi mendorong perusahaan untuk ber-CSR dengan benar sehingga membawa dampak positif bagi perusahaan dan pemangku kepentingannya. Regulasi yang menyimpang dari tujuan ini—misalnya regulasi yang menguntungkan pemangku kepentingan namun merugikan perusahaan—akan ditolak oleh mereka yang memperjuangkan CSR dengan benar. Oleh karena itu, dalam pernyataannya Suharto menggunakan kata ‘umumnya’ dan tidak melakukan generalisasi menyeluruh atas siapapun.

Di berbagai negara yang memiliki regulasi untuk mendorong CSR yang benar, yang pertama-tama dilakukan—adalah tindakan-tindakan non-regulatori dari pemerintah. Fasilitasi belajar mengenai CSR, penghargaan kepada yang melaksanakan CSR yang terpuji, penerbitan berbagai petunjuk pelaksanaan, terlebih dahulu digelontorkan. Kemudian, proses regulatori yang partisipatoris digelontorkan selama beberapa tahun, untuk menyerap masukan dari perusahaan dan berbagai pemangku kepentingannya dilaksanakan. Setelah itu ada proses uji coba selama beberapa tahun, baru kemudian dinyatakan berlaku menyeluruh (lihat misalnya Idowu dan Filho (ed.), 2009. Global Practices of Corporate Social Responsibility; Visser dan Tolhurst (ed.), 2010. The World Guide to CSR: a Country-by-Country Analysis of Corporate Sustainability and Responsibility ).

Selain mengikuti proses yang demokratis di atas, yang juga penting untuk diambil pelajarannya adalah tidak satupun negara mengatur soal besaran anggaran untuk CSR. Kalaupun ada yang terkait dengan besaran anggaran, maka yang dilakukan adalah mewajibkan pelaporan anggaran tersebut, terutama terkait dengan bagaimana aktivitas direncanakan (dalam pengelolaan dampak perusahaan), bagaimana anggaran dipastikan sesuai dengan aktivitas yang hendak dilaksanakan, serta pelaporannya. Kebanyakan negara yang maju dalam CSR—misalnya Spanyol, Inggris, dan Prancis—memang memilih bentuk pewajiban laporan dengan ketentuan yang sangat ketat, termasuk sanksi buat pelanggaran atas sifat pelaporan yang benar, dengan menekankan pada kinerja (output, outcome dan impact—bukan input seperti

Page 8: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

anggaran). Dengan demikian, pemangku kepentingan di negara-negara tersebut bisa memeriksa dan membandingkan kinerja perusahaan di negara bersangkutan. Karena keberhasilan pendekatan ini, maka Uni Eropa di tahun 2010 mewajibkan pelaporan CSR/keberlanjutan mulai tahun 2015, yang memberikan waktu belajar 5 tahun bagi seluruh perusahaan di sana (GRI, 2013. Report or Explain, a Smart Policy Approach for Non-Financial Information Disclosure). Pada tahun 2012, PBB juga mendorong negara-negara untuk mewajibkan pelaporan CSR, terutama bagi perusahaan-perusahaan besar yang juga cenderung memiliki dampak operasi yang besar (United Nations, 2012. Rio+20, The Future We Want).

Berbagai Masalah Terkait CSR, Menurut DPR“Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat. Hal ini menyebabkan program CSR belum bergulir sebagai mana mestinya, mengingat masyarakat umum belum mengerti apa itu program CSR.” (hal. 5 butir a)

Sebetulnya, yang belum memahami mengenai CSR dengan baik adalah seluruh pihak di Indonesia. Ini terkait dengan definisi dan cakupan CSR arus utama yang tak dikenal, walaupun pemerintah sudah menyetujui bahwa ISO 26000 adalah panduannya. Badan Standardisasi Nasional, yang mewakili Pemerintah Indonesia dalam ISO, belum cukup melakukan sosialisasi atas kesepakatan internasional yang telah kita setujui. Sementara, berbagai definisi mengenai PKBL, TJSL dan TJSP yang hadir sebelum ISO 26000 juga tidak konsisten dan cukup dikenal oleh pemangku kepentingan. Kebanyakan definisi itu ditaruh di bagian Penjelasan regulasi bersangkutan, dan juga tidak disosialisasikan.

Akibatnya adalah perusahaan dan para pemangku kepentingannya kerap melakukan interpretasi sendiri atas apa yang mereka pikir sebagai CSR. Kebanyakan BUMN membatasi pemahamannya dengan PKBL. Banyak pihak menyangka bahwa TJSL itu hanya untuk perusahaan ekstraktif. Sementara banyak juga yang menyatakan bahwa TJSP hanya berlaku untuk penanaman modal asing. Kisruh pemahaman ini terkadang karena masalah pengetahuan—terutama karena minimnya sosialisasi dan ketidakpedulian untuk mencari regulasi bersangkutan—namun terutama karena kepentingan.

Yang paling jelas, perusahaan yang tak paham dan yakin akan manfaat CSR tak ingin mengeluarkan anggaran tambahan, apalagi untuk pihak eksternal. Pemerintah daerah kebanyakan berkepentingan untuk mendapatkan tambahan anggaran pembangunan, dan para oknumnya ingin mendapatkan uang untuk kepentingan kekuasaan politik dan kekayaan diri. Sementara, masyarakat menginginkan perusahaan untuk meningkatkan projek-projek untuk mereka, karena merasa bahwa pemerintah kurang bisa diandalkan, dan para elit di masyarakat juga memiliki kepentingan untuk mendapatkan tambahan uang untuk mereka sendiri dan kelompoknya. Gabungan kepentingan tersebut mengakibatkan majoritas pihak di Indonesia berkepentingan untuk mereduksi CSR menjadi sekadar C$R.

“Masih terjadi perbedaan pandangan antara Kementerian, khususnya Kementerian hukum dan HAM dengan Kementerian perindustrian mengenai CSR di kalangan perusahaan dan Industri.” (hal. 5 butir b)

Perbedaan pandangan di kalangan pemerintah memang sangat nyata. Namun bukan sekadar di antara dua kementerian yang disebutkan di atas. Penelitian Yaumiddin, dkk menemukan bahwa penempatan anggaran TJSL sebagai biaya sesungguhnya tidak dikehendaki oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena dipandang mengurangi pajak yang bisa dipungut (Yaumiddin,

Page 9: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

2013. Komunikasi dengan salah seorang penulis). Sementara, berbagai kementerian juga melihat bahwa “CSR” adalah wilayah kerjanya, sehingga mereka-lah yang berhak untuk mengurusi itu. Penempatan pasal-pasal soal penyisihan anggaran tanggung jawab sosial perusahaan khusus untuk fakir miskin—di UU Kesejahteraan Sosial maupun UU Penanganan Fakir Miskin—membuat Kementerian Sosial merasa bahwa pengelolaan ‘dana CSR’ masuk ke dalam kewenangannya. Di sisi lain, karena ada pasal-pasal mengenai kewajiban melakukan pengembangan masyarakat dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Batubara menempatkan Kementerian ESDM sebagai pemegang wewenang menentukan penganggaran di perusahaan-perusahaan tambang.

Perbedaan di atas terutama soal penganggarannya. Kalau perbedaan-perbedaan yang lain juga diungkapkan, misalnya apa yang menjadi prioritas program, maka semakin banyak konflik kepentingan yang terjadi di antara lembaga pemerintahan. Kementerian BUMN yang sudah menetapkan PKBL melihat bahwa hanya kelompok usaha tertentu saja yang berhak mendapatkan PK, sementara hanya program-program dalam aspek tertentu yang boleh dibiayai oleh BL. Kepentingan kementerian yang lain, misalnya Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, juga berbeda. Kementerian ini berkeinginan agar “dana CSR” bisa dipergunakan untuk mempercepat pembangunan di berbagai daerah tertinggal, terutama yang tidak memiliki perusahaan sebagai penghela pembangunan. Ini menjadi kacau, karena CSR sesungguhnya hanya bisa dituntut untuk dijalankan bagi pemangku kepentingan perusahaan. Kalau terhadap bukan pemangku kepentingan, sebetulnya bukanlah CSR, melainkan sumbangan saja.

“Belum ada aturan yang tegas mengenai keharusan CSR bagi perusahaan sehingga pemerintah tidak bisa memberikan sanksi yang tegas terhadap perusahaan yang mangkir dari kewajiban CSR.” (hal. 5 butir c)

Pendapat di atas salah. Pertama karena CSR tak bisa diharuskan, mengingat ada unsur voluntari di dalamnya. Kedua, unsur-unsur CSR sesungguhnya sudah diatur oleh berbagai regulasi, seperti yang ditegaskan oleh pewajiban TJSL dalam UU Perseroan Terbatas, dan diperkuat dengan PP TJSL. Pemerintah sangat bisa memberikan sanksi yang tegas apabila perusahaan melanggar regulasi atas unsur-unsur CSR, sebagaimana yang ditegaskan oleh masing-masing undang-undang.

Bila sebuah perusahaan melanggar UU PPLH, maka sederet sanksinya bisa dibaca di UU tersebut. Demikian juga kalau perusahaan melanggar UU HAM, UU Ketenagakerjaan, UU Perlindungan Konsumen, UU Kesejahteraan Sosial, UU Penanganan Fakir Miskin, dan sebagainya. Tidak satupun regulasi yang berlaku umum di atas yang tidak menyertakan sanksi bagi pelanggaran atasnya. Demikian juga berbagai regulasi yang berlaku khusus bagi industri tertentu, seperti UU Pertambangan Mineral dan Batubara.

Masalahnya bukanlah pada ketiadaan aturan yang tegas, melainkan pada penegakannya. Sedemikian banyak pelanggaran atas UU PPLH, seperti yang ditunjukkan oleh ratusan perusahaan yang mendapatkan peringkat Merah dan Hitam dalam PROPER KLH, namun yang diseret ke meja hijau sangatlah sedikit. Perusahaan diwajibkan untuk membayar upah minimum dan memastikan bahwa pekerja difabel diterima bekerja dengan persentase minimal menurut peraturan turunan dari UU Ketenagakerjaan, namun pelanggarannya yang banyak dilakukan juga tak diberi sanksi sesuai regulasi. Perusahaan diwajibkan untuk mengutamakan

Page 10: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

pekerja lokal (UU Penanaman Modal) atau berkonsultasi dengan pemerintah dalam perencanaan pengembangan masyarakat (UU Pertambangan Mineral dan Batubara), namun pelanggarannya—yang sangat banyak dilakukan—tak juga mendapatkan sanksi setimpal.

“Belum ada formulasi dalam pengelolaan, dan bagaimana menyalurkan dana CSR yang ada di perusahan serta kriteria penerima jelas, tujuan pemberian CSR kepada penerimanya,...” (hal. 5 butir e)

Butir ini dengan jelas menunjukkan reduksi makna atas CSR, karena, sekali lagi, CSR adalah tanggung jawab atas dampak, bukan pemberian dana (C$R). Kemudian, kalau kita merujuk pada berbagai AMDAL yang baik—sebagian besar AMDAL di Indonesia mutunya masih di bawah baik—maka pengelolaan seluruh input untuk CSR, termasuk dana, sesungguhnya bisa dilihat dari apakah Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) telah dilaksanakan sesuai dengan dokumen yang disahkan oleh pemerintah. Dalam AMDAL yang baik, program/projek, penerimanya, tujuan, bahkan KPI sudah dinyatakan dengan tegas, sehingga bisa dipertanggungjawabkan.

Kalau CSR direduksi menjadi kontribusi terhadap pengentasan kaum miskin sekalipun, sesungguhnya mekanismenya sudah sangat jelas. Selain sudah menyebutkan tujuan kontribusi itu, baik UU Kesejahteraan Sosial maupun UU Pengelolaan Fakir Miskin menegaskan kegiatan perusahaan apa saja yang bisa masuk ke dalam kontribusi tersebut. Siapa yang menjadi penerimanya seharusnya ditetapkan oleh bupati/walikota dengan sebuah regulasi, terutama dengan Surat Keputusan (Laras, 2013. Komunikasi dengan salah seorang penulis).

“Ketertutupan perusahaan dalam memberikan data kegiatan harusnya tidak perlu terjadi karena kewajiban menyisihkan dua persen dari keuntungan sebenarnya sudah diatur dalam UU No 9 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang No 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin, Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas.” (hal. 5 butir f)

Kalau kita periksa ketiga regulasi yang disebutkan di atas, tak ada satupun yang menyatakan bahwa ada kewajiban penyisihan laba, berapapun jumlah persentasenya. Yang ada kewajiban penyisihan laba adalah dalam peraturan mengenai PKBL.

Namun demikian, kebanyakan perusahaan memang sangat tertutup dalam memberitahukan soal anggaran maupun sumberdaya lainnya terkait CSR. Ketertutupan itu bukan hanya terkait dengan anggaran, namun juga proses perencanaan, kegiatan, serta hasil-hasil atau kinerja perusahaan itu dalam pengelolaan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bahkan, sangat jelas bahwa perusahaan jauh lebih terbuka dalam soal anggaran, karena sesungguhnya sangat mudah untuk memberi tahu soal itu, bahkan banyak perusahaan yang membanggakannya. Sementara, apakah anggaran tersebut memang sebanding dengan dampak positif perusahaan, pengukurannya jauh lebih rumit (Henriques, 2010. Corporate Impact: Measuring and Managing Your Social Footprint; WBCSD, 2013. Measuring Socio-Economic Impact: A Guide for Business; WBCSD dan IFC, 2008. Measuring Impact Framework Methodology) sehingga perusahaan sangat enggan melakukannya.

Sebagian sangat kecil perusahaan di Indonesia sudah mencoba mendisiplinkan diri untuk melaporkan sumberdaya, kegiatan, maupun hasil ber-CSR-nya dengan membuat laporan keberlanjutan dengan standar yang dibuat oleh Global Reporting Initiative. Sementara itu, kini

Page 11: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

perusahaan-perusahaan terbuka juga sudah diwajibkan untuk melaporkan banyak aspek CSR-nya secara komprehensif—bukan sekadar anggarannya—melalui peraturan X.K.6 yang terbit tahun 2012. Memang, dibandingkan dengan seluruh perusahaan, jumlah perusahaan pembuat laporan keberlanjutan dan atau perusahaan terbuka (kebanyakan, perusahaan terbuka-lah yang membuat laporan keberlanjutan) memang minoritas, sehingga keterbukaan soal CSR memang belum menjadi norma.

“... perlunya adanya regulasi yang secara tegas mewajibkan perusahaan memberikan dana CSR yang secara khusus untuk penanggulangan Kemiskinan dengan sebuah RUU tentang CSR.” (hal. 6 par. 1)

Sekali lagi, regulasi yang mengatur pemberian dana CSR tidaklah diperlukan, karena bukan itu substansi CSR. Kalaupun hendak dibuat regulasi mengenai CSR yang benar-benar ditujukan untuk mendorong perusahaan menjalankan CSR dengan benar, maka yang harus dibuat adalah regulasi yang memastikan bahwa seluruh prinsip CSR ditegakkan, dan subjek inti CSR akan dikelola sampai batasan kinerja minimum tertentu. Alih-alih meregulasi input berupa dana, regulasi soal CSR seharusnya mengatur soal kinerja perusahaan.

Kalaupun hendak dibuat sebuah regulasi yang mengatur secara khusus bagaimana perusahaan berkontribusi kepada penanggulangan kemiskinan, lagi-lagi bukan dana yang seharusnya diatur. Dalam berbagai literatur, sangat jelas bahwa perusahaan dapat menjadi kontributor penyelesaian masalah kemiskinan melalui bisnis intinya, investasi sosial, serta advokasi (Nelson dan Prescott, 2003. Business and the Millennium Goals: A Framework for Action, lihat gambar di bawah). Sumberdaya termasuk dana memang diperlukan untuk memastikan bahwa ketiganya bisa terlaksana dengan baik, namun hal itu bukanlah sumberdaya yang utama, dan memberikan dana tidak juga menjamin bahwa perusahaan benar-benar berkontribusi.

Dalam penelitian-penelitian yang dilaksanakan oleh A+ CSR Indonesia ditemukan kenyataan bahwa ada hal yang lebih utama, yaitu perusahaan harus menghindarkan dirinya sejauh mungkin dari kemungkinan menjadi institusi pembawa dampak negatif kepada masyarakat, termasuk kaum miskin. Apabila tidak mungkin menghindar sepenuhnya, perusahaan harus menekannya seminimal mungkin. Kalau masih ada dampak negatif residual, maka perusahaan wajib mengkompensasi pihak yang terkena dampak negatif tersebut. Urutan tersebut dikenal sebagai hierarki manajemen dampak negatif.

Oleh karena itu, perusahaan yang hendak benar-benar berkontribusi pada pengentasan kaum miskin haruslah pertama-tama mengupayakan penghindaran dampak negatif tersebut, dengan melakukan penelitian saksama mengenai segala dampak dan risiko pemiskinan yang bisa ditimbulkan oleh operasi dan produk mereka, misalnya dalam AMDAL atau bentuk penelitian lainnya. Sesungguhnya, hal inilah yang jauh lebih penting diregulasi, dibandingkan mewajibkan perusahaan menyediakan dana khusus untuk kaum miskin. Pemerintah seharusnya memastikan bahwa seluruh dampak perusahaan atas kaum miskin diketahui dengan akurasi yang tinggi dan direncanakan untuk dikelola dengan cara-cara yang memadai, sebelum izin legal benar-benar dikeluarkan.

Page 12: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

Jawaban untuk Pertanyaan DPRPelaksanaan CSR pada saat ini. Di Indonesia, wacana dan praktik CSR mengandung berbagai peluang maupun tantangan atau masalah. Menurut A+ CSR Indonesia/Lingkar Studi CSR, peluang untuk ber-CSR yang sesuai dengan arus utama sesungguhnya lebih banyak daripada tantangannya. Yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah sesungguhnya adalah mendorong agar berbagai peluang itu terwujud secara optimal, sementara berbagai permasalahan harus ditekan atau bahkan dihilangkan. Peluang-peluang itu adalah sebagai berikut:

Page 13: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

Pertama, perkembangan minat akademik seputar CSR. Di Indonesia sudah ada beberapa perguruan tinggi yang membuka jurusan (MM CSR Trisakti, Pascasarjana UNS) atau memberikan perkuliahan mengenai CSR, etika bisnis dan sebagainya. Kalau CSR terus diajarkan di perguruan tinggi, maka ini akan membuat generasi mendatang (baik yang akan menjadi birokrat, aktivis, pekerja maupun pengusaha) lebih paham mengenai CSR. Kebijakan CSR dari pemerintah, sifat hubungan antara perusahaan dengan LSM, bagaimana pekerja menjalankan tugasnya, serta bagaimana para pengusaha mencari keuntungan akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuannya. Kedua, terbukanya pertukaran informasi mengenai CSR, terutama di kawasan Asia. Ada cukup banyak orang Indonesia yang sering bepergian ke berbagai pertemuan mengenai CSR di kawasan Asia Tenggara maupun Asia. Pusat pengetahuan seperti CSR Asia (Hong Kong, Singapura, dan berbagai tempat lainnya), Business for Social Responsibility (Hong Kong, Cina) serta Asian Institute of Technology (Thailand) cukup banyak berperan dalam memberikan pemahaman CSR arus utama.

Ketiga, berlakunya ISO 26000 Guidance on Social Responsibility. Pada November 2010, ISO 26000 yang mendefinisikan tanggung jawab sosial sebagai manajemen—atau tanggung jawab atas—dampak yang ditimbulkan perusahaan telah diluncurkan. Peluncuran ini mengakhiri perdebatan mengenai definisi dan cakupan (terutama prinsip dan subjek inti) CSR. Keempat, mulai adanya perusahaan-perusahaan ‘model’. Setelah ada berbagai ‘kejuaraan’ mengenai CSR, tampaknya telah ada beberapa perusahaan yang bisa dianggap sebagai champion CSR di Indonesia, terlepas dari masih jauhnya jarak antara praktik mereka dari CSR yang ideal. Namun, kemenangan terus-menerus perusahaan-perusahaan itu telah membuat adanya sebuah model dari CSR yang dianggap baik. Holcim Cilacap yang telah tiga tahun berturut-turut mendapatkan penghargaan PROPER Emas dari Kementerian Lingkungan Hidup adalah salah satu contohnya.

Kelima, beberapa LSM telah melakukan constructive engagement dengan perusahaan. Kini beberapa LSM tidak hanya bisa teriak, namun juga sudah bisa menjadi mitra kerja. Yang terbaru misalnya adalah kerjasama antara APP dengan The Forest Trust dan Greenpeace Asia Tenggara dalam menetapkan kebijakan APP untuk tidak lagi memanfaatkan hutan alam untuk produksi kertasnya. Keenam, regulasi mengenai lingkungan yang lebih komprehensif, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009. Dengan adanya UU ini seharusnya perhatian terhadap kinerja lingkungan perusahaan akan menguat, dan makin banyak perusahaan yang mendisiplinkan dirinya agar mencapai kinerja lingkungan yang lebih baik. Ini masih membutuhkan banyak dorongan (dan paksaan), terutama dalam penegakkan.

Ketujuh, perkembangan seputar pelaporan keberlanjutan. The Indonesian Sustainability Reporting Awards (ISRA) yang diselenggarakan setiap tahun telah menjalankan tugasnya mempromosikan dengan baik. National Center for Sustainability Reporting (NCSR) juga telah bekerja keras menyiapkan keterampilan person yang terlibat dalam pembuatan laporan keberlanjutan. Dukungan yang sangat besar datang dari Bapepam-LK, yang di bulan Agustus 2012 meluncurkan regulasi X.K.6 yang mengadopsi banyak indikator GRI sebagai indikator yang wajib dilaporkan dalam laporan tahunan perusahaan terbuka. Terakhir, perkembangan bisnis sosial di Indonesia. Kebanyakan orang berpendapat bahwa bisnis sosial ini tak ada kaitannya dengan CSR, namun pendapat itu muncul hanya dikarenakan tidak dipahaminya tingkatan CSR. CSR bisa saja muncul sebagai aktivitas outlet sebagian kecil keuntungan, sebagai token bahwa perusahaan itu ‘peduli’ kepada kelompok tertentu; bisa muncul sebagai aktivitas manajemen risiko; menjadi aktivitas yang menangkap peluang dalam hubungan yang baik dengan

Page 14: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

masyarakat (manajemen pemangku kepentingan). Namun, CSR pada tingkatan tertinggi adalah upaya perusahaan untuk memecahkan berbagai masalah sosial dan lingkungan melalui mekanisme pasar. Perusahaan ‘tradisional’ dan perusahaan sosial dapat erlibat dalam perlombaan kebajikan, juga kerjasama untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Permasalahan sekitar CSR. Sementara, tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan CSR yang benar adalah sebagai berikut: Pertama, pemahaman tentang CSR yang masih beragam. Sebagian besar perusahaan dan pemangku kepentingan di Indonesia belum memiliki pemahaman atas CSR yang tepat—yaitu yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan. Sesungguhnya hal ini bukan saja terjadi di Indonesia, dan negara berkembang, namun juga di negara-negara yang lebih maju. Di Indonesia, pemahaman yang beragam itu sendiri bukanlah sebagai hasil dari pemikiran yang mendalam lalu menghasilkan beragam interpretasi, melainkan lebih karena kepentingan masing-masing pemangku kepentingan.

Masalah kedua adalah transisi menuju CSR yang strategik, karena anggapan bahwa CSR adalah sekadar biaya juga masih sangat menonjol. Hal ini diperparah dengan segala aturan terkait CSR yang secara umum mengejar aspek pendanaan saja, dan tidak menyediakan ruang untuk membuat pembuktian bahwa CSR yang didasari pemikiran dan pelaksanaan yang tepat akan bisa menguntungkan perusahaan. Ketiga, masih terlampau sedikit jumlah kelompok masyarakat sipil, terutama LSM, yang memiliki ideologi, pengetahuan dan keterampilan untuk membantu perusahaan dalam menjalankan CSR-nya. Kebanyakan LSM lokal masih enggan berhubungan dengan perusahaan, memilih untuk bersikap anti, serta masih menerapkan cara yang paling kuno dalam berinteraksi dengan perusahaan: demonstrasi. Sementara, LSM yang mau berhubungan dengan perusahaan dalam corak hubungan konstruktif ternyata belum banyak yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk itu.

Keempat, kelompok-kelompok masyarakat yang memandang CSR sekadar sebagai donasi. Mereka memiliki ekspektasi yang sangat tinggi atas “dana CSR” perusahaan, terutama di tempat-tempat di mana pemerintah pusat dan daerah gagal menjangkau mereka. Anggaran pembangunan di tempat perusahaan berada biasanya dikecilkan, dengan dalih bahwa di situ sudah banyak “dana CSR” yang diberikan. Dalam kondisi demikian, yang kemudian berkembang adalah hubungan yang tidak sehat di antara perusahaan dan masyarakat, di mana masyarakat memandang perusahaan—bukan pemerintah dan dirinya sendiri—harus sepenuhnya bertanggung jawab penuh atas pembangunan di wilayah mereka.

Kelima, CSR-washing atau penunggangan CSR untuk kepentingan pengelabuan citra banyak dilakukan, agar dengan segera perusahaan mendapatkan citra yang baik. Banyak perusahaan di Indonesia yang menonjolkan aktivitas sosial tertentunya, tanpa melakukan perbaikan substansial dalam manajemen dampak. Terkadang, sangat jelas pula bahwa dana komunikasi—terutama advertorial—yang digelontorkan jumlahnya melebihi sumberdaya yang dicurahkan untuk membiayai kegiatannya. Hal ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan apa yang hendak dituju dalam CSR. Terakhir, bagaimanapun sebagian besar media massa belum memiliki pemahaman yang benar atas CSR. Di satu sisi media massa mau tampil kritis terhadap perusahaan, di sisi lain mengharapkan perusahaan mengiklankan “CSR” mereka, tanpa peduli apakah kandungan informasinya benar dan berimbang.

Perlu tidaknya CSR diatur dalam Undang-Undang khusus. Hal ini sesungguhnya sangat tergantung dari apa yang hendak diatur dalam undang-undang tersebut. Sudah ditegaskan di

Page 15: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

atas bahwa regulasi tentang CSR tidak bisa mengatur soal melampaui kewajiban hukum. Regulasi CSR juga tak bisa mengatur perusahaan untuk mencurahkan sumberdayanya kepada yang bukan pemangku kepentingannya. Regulasi mengenai CSR seharusnya tidak berbicara mengenai jumlah dana yang harus dicurahkan, melainkan kinerja perusahaan dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan minimum yang bisa diterima. Regulasi mengenai CSR juga tak bisa berbenturan dengan regulasi lain yang sudah terlebih dahulu ada, maupun regulasi yang akan muncul kemudian. Hal yang terakhir ini sangatlah penting, mengingat berbagai aspek CSR sudah diatur dalam berbagai regulasi lainnya.

Di luar itu, regulasi mengenai CSR mungkin saja dibuat. Sebagian besar negara maju memiliki aturan mengenai transparensi dan akuntabilitas perusahaan, terutama dikaitkan dengan pelaporan kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan. Aturan ini disertai dengan sanksi yang tegas, apabila perusahaan ternyata terbukti melakukan pembohongan terhadap publik dalam laporannya, baik itu kebohongan dalam input, proses, maupun kinerjanya. Hal lain yang penting ditegaskan adalah detail regulasi apa saja yang harus diikuti oleh perusahaan. PP TJSL memberikan petunjuk soal beberapa regulasi yang perlu diikuti, namun itu sama sekali tak memadai.

Manfaat diaturnya CSR dalam satu Undang-Undang. Manfaat atau mudarat sebuah UU mengenai aspek-aspek dalam CSR akan tergantung dari apa yang diatur, dan bagaimana aspek-aspek itu diatur. Kalau melihat berbagai regulasi tentang CSR yang sukses mendorong pelaksanaan CSR di level negara, maka kita bisa mendapati aturan soal pelaporanlah yang membawa paling banyak manfaat (Ioannou dan Serafeim, 2012. The Consequences of Mandatory Corporate Sustainability Reporting). Hal ini bukan saja berlaku bagi negara-negara maju, melainkan juga di negara berkembang.

Usulan materi muatan yang perlu diatur dalam Undang-Undang CSR. Seandainya UU yang hendak mendorong perkembangan CSR yang sesuai dengan pengertian arus utama memang hendak dibuat, maka berbagai materi yang perlu dimuat adalah:

1. Definisi CSR, yang sesuai dengan kesepakatan global dan konteks Indonesia2. Definisi konsep-konsep lain yang terkait CSR3. Tujuan CSR, yaitu pembangunan berkelanjutan4. Prinsip-prinsip CSR, diambil dari ISO 26000, ditambahkan bila perlu5. Subjek inti CSR, diambil dari ISO 26000, ditambahkan bila perlu6. Kewajiban membuat kebijakan dan strategi CSR7. Kewajiban mengetahui dampak negatif dan positif perusahaan secara

mendetail8. Kewajiban mengetahui pemangku kepentingan perusahaan dengan

metodologi yang benar 9. Kewajiban membuat perencanaan program, projek, dan kegiatan CSR10. Kewajiban melakukan pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan11. Kewajiban melaporkan input, proses, dan kinerja CSR, dengan kejelasan tata

cara pelaporan12. Kewajiban penyesuaian CSR dengan rencana pembangunan daerah dan

kebutuhan masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan

13. Sanksi untuk pelanggaran atas kewajiban14. Lampiran 1. Kompendium regulasi yang harus dipatuhi oleh perusahaan

Page 16: Jalal, Manap_Perlukah CSR Diatur Dalam Sebuah Undang-Undang - 230513

15. Lampiran 2. Detail format dan tata cara pelaporan CSR

Masukan lainnya yang berkenaan dengan CSR. Seluruh masukan sudah dinyatakan pada bagian komentar maupun jawaban atas pertanyaan.

Jakarta, 10 Mei 2013 – Bogor, 23 Mei 2013.