jaijanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · diterbitkan oleh program studi anestesiologi...

71
JAI Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume I Nomor 02, Juli 2009 Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi (IDSAI) Jawa Tengah Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Upload: hakien

Post on 01-Feb-2018

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

JAIJurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I Nomor 02, Juli 2009

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan

Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi(IDSAI) Jawa Tengah

Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesiamelalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Page 2: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

Sejawat terhormat,

Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini

memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.

Diantaranya adalah mengenai efek sedasi

midazolam pada variasi genetika Cyp2c19, skor

histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

pengaruh Suksinilkolin terhadap kadar Kreatin

Fosfokinase dan pretreatment Magnesium Sulfat

untuk mencegah peningkatan TIO akibat

Suksinilkolin.

Dua tinjauan pustaka, mengenai peningkatan

tekanan intrakranial dan regulasi aliran darah

serebral diharapkan menambah pengetahuan kita

dalam bidang anestesi.

Semoga bermanfaat.

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk

kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,

hendaknya mencantumkan artikel tersebut

sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pelindung:

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP

Ketua Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah

Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn, dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO Seksi Usaha: dr. Mochamat Administrasi: Maryani, Nik Sumarni Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326)

Alamat Redaksi:

Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,

Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.

JAI

Page 3: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

DAFTAR ISI

PENELITIAN Hal Sukmiasi Sismadi, Uripno Budiono

Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.

65

Curniawati Trisasi, Marwoto Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah : Pada Infiltrasi

Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan mAgNOR pada proses penyembuhan luka.

72

R. Cristianto Nugroho, Abdul Lian Siregar Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar Kreatin

Fosfokinase Akibat Suksinilkolin Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi, mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah fasikulasi.

82

Imam Suyuti, IGN Panji, Mohamad Sofyan Harahap

Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.

90

TINJAUAN PUSTAKA Igun Winarno, Mohamad Sofyan Harahap Pemantauan Tekanan Intra Kranial

Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik, penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.

101

Iwan Dwi Cahyono, Jati Listiyanto, Mohamad Sofyan Harahap Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral

Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.

120

Page 4: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

65

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

PENELITIAN

Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena

Sukmiasi Sismadi*, Uripno Budiono*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: The cytochrome P450 plays an important role in the metabolism of many

drugs, chemicals and carcinogens. CYP2C19 is often a major concern because of the high

difference in each individual and each population. Based on the capacity of CYP2C19 in

the metabolism sustrat, a person can be classified as extensive metabolizers (EM),

intermediate metabolizers (IM) and poor metabolizers (PM). Which has the effect of

midazolam sedation, anxiolytic, and anterograde amnesia is metabolized through the

CYP2C19 enzyme. These drugs are often used as a premedication drug or as a co-

induction. In clinical practice that is common with the usual dose of midazolam, not all

patients show the expected effect. Therefore, the study of genetic influences on intravenous

midazolam biotransformation.

Objectives: Assess the effects of intravenous midazolam on the EM genotype, IM and PM

Methods: The study 24 patients undergoing elective surgery in the installation department

of the Central Surgical Dr Kariadi Semarang, inclusion and exclusion criteria, with ASA

physical status I. Previously people with an explanation of the procedures that will be

undertaken and expressed willingness in the sheet informed consent. Desain phase II

clinical trials research using cross sectional study to assess the effects of midazolam on the

body's metabolic functions. Allele / CYP2C19 polymorphisms were identified by PCR-

RFLP technique.

Results: The results showed the general characteristics of patients with no laboratory

abnormalities, had no complications or side effects of midazolam. Sedation score 5

minutes after administration of midazolam there were no significant differences between

men and women (3.3 ± 0.59), and found no significant association between age with the

sedation score (r = 0.250, P = 0.183). CYP2C19 genotype distribution was found

respectively 6 (20%) of EM, 16 (53.3%) IM and eight (26.7%) PM. These three genotypes

there were no significant differences by age, sex and sedation score.

Conclusion: There is no significant relationship between the scores of sedation with

genotypes EM, IM and PM of CYP2C19.

Keywords: Intravenous Midazolam, metabolism, CYP2C19

Page 5: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

66

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

ABSTRAK

Latar Belakang: Sitokrom P450 berperan penting dalam metabolisme obat, zat kimia dan

karsinogen. CYP2C19 sering menjadi perhatian utama karena tingginya perbedaan ditiap

individu maupun tiap populasi. Berdasarkan kapasitas CYP2C19 dalam metabolisme

sustrat, seseorang dapat dikelompokkan sebagai extensive metabolizers (EM),

intermediate metabolizers (IM) dan poor metabolizers (PM). Midazolam yang mempunyai

efek sedasi, ansiolitik dan anterograde amnesia dimetabolisme melalui enzim CYP2C19.

Obat ini sering digunakan sebagai obat premedikasi ataupun sebagai koinduksi. Pada

praktek klinis sering dijumpai dosis midazolam yang lazim, ternyata tidak semua pasien

menunjukkan efek yang diharapkan. Diteliti seberapa besar pengaruh genetik terhadap

biotransformasi midazolam intravena.

Tujuan: Menilai efek midazolam intravena pada genotipe EM, IM dan PM

Metode: Penelitian pada 24 pasien yang menjalani bedah elektif di Instalasi Bedah Sentral

RSUP Dr Kariadi Semarang, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan status

fisik ASA I. Sebelumnya penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan

dijalani serta menyatakan kesediaannya dalam informed consent. Desain penelitian uji

klinik fase II ini menggunakan cross sectional untuk menilai efek midazolam terhadap

fungsi metabolisme tubuh. Alel/polimorfisme CYP2C19 diidentifikasi dengan tehnik PCR-

RFLP.

Hasil: Dari hasil penelitian menunjukkan karakteristik umum penderita tidak terdapat

kelainan laboratorium, tidak mengalami komplikasi atau efek samping terhadap

midazolam. Skor sedasi 5 menit setelah pemberian midazolam midazolam tidak terdapat

perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan (3,3 ± 0,59), serta tidak

ditemukan hubungan yang bermakna antar usia dengan nilai skor sedasi (r=0,250 ;

P=0,183). Distribusi genotip CYP2C19 ditemukan masing-masing 6 (20%) EM, 16

(53,3%) IM dan 8 (26,7%) PM. Ketiga genotip tidak terdapat perbedaan yang bermakna

dengan usia, jenis kelamin maupun skor sedasi.

Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan

genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.

Kata Kunci : Midazolam intravena, metabolisme, CYP2C19

Page 6: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

67

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

PENDAHULUAN

Dosis dan frekuensi yang diperlukan

untuk mencapai kadar obat yang efektif

dalam darah dan jaringan bervariasi

karena adanya perbedaan individu di

dalam metabolisme dan eliminasi obat.

Perbedaan ini ditentukan oleh faktor

genetik dan non genetik seperti umur,

jenis kelamin, fungsi hati, irama

sirkardian, suhu tubuh dan faktor-faktor

nutrisi serta pemaparan bersamaan

terhadap induser dan inhibitor

metabolisme obat. Perbedaan individu

dalam kecepatan metabolisme juga

tergantung pada sifat obat sendiri. Jadi

dalam individu yang sama, kadar steady

state plasma dapat mencerminkan suatu

variasi yang sangat besar antara 2 sampai

30 kali dalam metabolisme satu obat.1,2,3

Sitokrom P450 berperan penting dalam

banyak metabolisme obat, zat kimia dan

karsinogen. CYP2C19 sering menjadi

perhatian utama karena tingginya

perbedaan di tiap individu

maupunpopulasi. Berdasarkan kapasitas

CYP2C19 dalam memetabolisme

substrat, seseorang dapat dikelompokkan

sebagai extensive metabolizers (EM),

intermediate metabolizer (IM) dan poor

metabolizer (PM). Konsentrasi

cycloguanil yang merupakan metabolit

dari proguanil, berbeda secara bermakna

diantara ketiga grup berdasarkan jumlah

dari alel mutan (Kruskal Wallis, P<0,05).

Hasil ini menggambarkan hubungan

antara genotip CYP2C19 dan

metabolisme proguanil, serta

peningkatan suatu efek dosis gen.4

Biotransformasi atau metabolisme obat

adalah proses perubahan struktur kimia

obat yang terjadi dalam tubuh dan

dikatalisa oleh enzim. Pada proses ini

molekul obat diubah menjadi lebih polar

(lebih mudah larut dalam air) dan kurang

larut dalam lemak sehingga lebih mudah

diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada

umumnya obat menjadi inaktif, sehingga

biotransformasi sangat berperan dalam

mengakhiri kerja obat. Akan tetapi, ada

beberapa obat yang metabolitnya masih

mempunyai aktifitas farmakologik yang

sama atau berbeda dengan obat asalnya

dan yang dapat menyebabkan efek toksik

obat. Beberapa obat lain yang merupakan

calon obat (prodrug) justru diaktifkan

oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit

yang aktif akan mengalami

biotransformasi lebih lanjut atau ekskresi

yang mengakhiri kerjanya. 1,2,3,4,5

Pada tahun 1977, Kupfer dan kawan-

kawan melaporkan metabolisme

stereooselektif dari mephentoin dan

metabolit N-dimethyl pada hewan.6

Setelah itu ditemukan bahwa 4

hydroxilatixylate dari s-mephenytoin

bersifat polimorfik, sekitar 3% dari

Kaukasian yang PM.

Dua defek pada gen CYP2C19

bertanggung jawab pada metabolisme

yang buruk dari s-mephenytoin yang

diperlihatkan oleh Morais dan kawan-

kawan. Mutan M1 disebabkan oleh

G681A mutasi pada exon 5, yang

membentuk pada tempat penyambungan

yang menyimpang. Mutasi ini merusak

Page 7: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

68

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

tempat pembelahan sel pada DNA

melalui tes PCR yang dapat

dikembangkan. Midazolam (8-chloro-6-

(2-fluorophenyl)-1-methyl-4Himidazol-

(1,5-a)(1,4) benzodiazepine) merupakan

benzodiazepine agonist yang mempunyai

sifat ansiolitik, sedatif, antikonvulsif dan

anterograd amnesia.7,8

Obat ini banyak digunakan perioperatif.

Sediaan komersial dibuffer pada pH 3,5

untuk menjaga kestabilan dalam air,

potensinya 1,5 – 2 kali diazepam.

Midazolam pada pH netral dan basa

larut dalam air dan dapat dicampur dalam

larutan infus seperti NaCl 0,9% atau

glukosa 5% yang tetap stabil secara fisik

maupun kimiawi untuk 24 jam pada suhu

kamar.8

Asam gama-aminobutirat (GABA) adalah

penghambat neurotransmiter yang utama

pada SSP. Penelitian elektrofisiologi

menunjukkan bahwa benzodiazepin

menguatkan neurotransmisi GABAergik

pada semua tingkat neuroaksis, yang

mencakup medula spinalis, hipotalamus,

hipokampus, substansia nigra, korteks

serebeli dan korteks serebri.

Benzodiazepin tampaknya meningkatkan

efisiensi inhibisi sinaptik GABAergik

(melalui membran hiperpolarisasi) yang

menyebabkan penurunan kecepatan

pencetusan neuron yang krisis dalam

banyak regio otak. Benzodiazepin tidak

menggantikan GABA, tetapi tampaknya

meningkatkan efek GABA tanpa aktivasi

reseptor GABA secara langsung atau

saluran klorida yang berhubungan.

Peningkatan konduksi klorida

menyebabkan interaksi benzodiazepin

dengan GABA yang menyebabkan

peningkatan frekuensi kejadian

terbukanya saluran. Efek ini mungkin

sebagian disebabkan oleh meningkatnya

afinitas untuk GABA.7,9

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

pengaruh midazolam intravena pada efek

sedasi pasien dengan genotipe EM, IM

dan PM.

METODE

Penelitian ini merupakan cross sectional

yang akan menilai efek midazolam

terhadap fungsi metabolisme tubuh.

Sampel penelitian merupakan penderita

yang menjalani operasi elektif dengan

anestesi umum. Di Instalasi Bedah

Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan

eksklusi dan drop out.

Kriteria Inklusi : umur 16 sampai <40

tahun (dewasa muda), BMI (Body Mass

Index) 20-25Kg/m2, status fisik ASA I.

Kriteria Eksklusi : mengkonsumsi obat-

obatan yang dapat mempengaruhi

metabolisme obat penelitian dalam 1

minggu preoperasi, tidak ada riwayat

penyakit hati, gangguan metabolisme

tubuh dan sering terpapar pestisida.

Kriteria drop out : Penderita mengalami

efek samping yang memerlukan terapi

sebelum dinilai.

Sampel yang diperlukan dalam penelitian

ini sebanyak 24 orang. Genotip

CYP2C19 diperiksa dengan

menggunakan teknik PCR-RFLP

Page 8: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

69

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

(Polymerase chain reaction-restriction

length polymorphism). DNA diisolasi

dari darah tepi dengan menggunakan

teknik standar yang digunakan

dilaboratorium bioteknologi pusat

kegiatan penelitian UNHAS.

Setelah mendapatkan informed consent,

subyek dipuasakan 6 jam sebelum operasi

dan dibawa keruang operasi tanpa jalur

intravena dan premedikasi. Setelah

sampai di ruang operasi dilakukan

pemasangan jalur intravena sekaligus

mengambil sampel darah sebanyak 10 cc

dan infus NaCl 0,9%, kemudian dipasang

monitor standar rutin dan diberikan

midazolam 0,07 mg/kgbb intravena

bolus. Waktu pemberian midazolam

disebut menit ke-0 dan pada menit ke-5

dinilai skor sedasi dengan 4 skala

pengukuran seperti yang digunakan oleh

field et al (Field Score) 7-10

.

Skor :

1. Aktif (Alert/active)

2. Bangun/tenang (Awake/calm)

3. Mengantuk, respon terhadap suara

(drowsy but respon verbal)

4. Tertidur (asleep)

Pasien kemudian diinduksi sementara itu

sampel darah dimasukkan kedalam kotak

khusus sebagai transport dan dibawa ke

laboratorium biomolekuler untuk analisa

genetik tipe dari sitokrom P450 pasien

termasuk poor/ normal/ extensive

metabolism).

Data yang terkumpul selanjutnya diberi

kode, ditabulasi dan dimasukkan sebagai

data komputer. Analisa data meliputi

analisis deskriptif dan uji hipotesis

menggunakan program SPSS 13.0.

HASIL

Jumlah subjek penelitian 30 orang yang

terdiri dari 15 perempuan dan 15 laki-laki

dengan berbagai jenis tindakan operasi.

Tidak ditemukan kelainan laboratorium

pada semua subjek penelitian. Usia rata-

rata subjek penelitian 30,6 ±8,18 tahun,

tidak terdapat perbedaan yang bermakna

pada usia rata-rata antara perempuan

(29,66 ± 7,04 tahun) dan laki-laki (31,53

±9,34 tahun), (p>0,05). Semua subjek

yang mengikuti penelitian ini tidak

mengalami komplikasi atau efek samping

terhadap midazolam.

Nilai rata-rata skor sedasi 5 menit setelah

pemberian midazolam 3,3 ± 0,59. Tidak

terdapat perbedaan yang bermakna nilai

skor sedasi pada perempuan (3,4 ±0,5)

dan laki-laki (3,2 ±0,67), (p<0,05). Tidak

ditemukan hubungan yang bermakna

antara usia dengan nilai skor sedasi

(r=0,250; P-0,183).

Dari 30 subjek yang diteliti, ditemukan

distribusi genotip CYP2C19 masing-

masing 6 (20%) genotip extensive

metabolizer (EM), 16 (53,3%)

intermediate metabolizer (IM) dan 8

(26,7%) poor metabolizer (PM). Tidak

terdapat perbedaan yang bermakna antara

ketiga genotip tersebut dengan usia, jenis

kelamin maupun skor sedasi.

Page 9: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

70

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

PEMBAHASAN

Telah diteliti nilai skor sedasi pada 30

subjek yang mendapat 0,07 mg/kgBB

midazolam intravena dikaitkan dengan

genotip dari CYP2CI9. Nilai skor sedasi

didasarkan atas respon kognitif subjek 5

menit setelah diberikan midazolam

intravena. Nilai skor sedasi yang

diperoleh pada penelitian ini berkisar 2

sampai dengan 4. Variasi dalam nilai skor

sedasi setelah pemberian midazolam

dapat dijelaskan melalui 2 hal : variasi

kadar plasma midazolam (variasi

farmakokinetik) dan variasi dalam

sensitifitas terhadap midazolam (variasi

farmakokinetik) diantara subjek yang

diteliti.

Variasi skor sedasi pada penelitian ini

kemungkinan lebih disebabkan oleh

faktor farmakodinamik dibandingkan

faktor farmakokinetik. Beberapa

penelitian sebelumnya telah

membuktikan bahwa orang dengan usia

lanjut lebih sensitif terhadap efek sedasi

benzodiazepin. Orang usia lanjut

membutuhkan dosis lebih rendah

dibandingkan orang yang lebih muda

untuk mencapai efek sedasi yang sama.

Pada penelitian ini dapat dilihat pada dua

subjek dengan usia muda (16 tahun) nilai

sedasinya hanya dua setelah pemberian

midazolam.

Walaupun faktor farmakodinamik

dianggap lebih berperan dalam

menentukan skor sedasi pada penelitian

ini, tidak berarti bahwa faktor

farmakokinetik sama sekali tidak

berperan. Tidak adanya hubungan yang

bermakna antara skor sedasi dengan

genotip PM dan EM dari CYP2C19

belum dapat menyingkirkan peran faktor

farmakokinetik.

Bila faktor farmakokinetik lebih

berperan, maka penelitian ini

menghasilkan dua hal penting dalam

pemberian midazolam. Pertama,

midazolam merupakan pilihan yang aman

bagi subjek yang mempunyai genotip PM

untuk CYP2C19, karena enzim ini bukan

merupakan jalur utama metabolisme

midazolam, tetapi menjadi jalur utama

metabolisme diazepam. Kedua,

pemberian midazolam bersama dengan

obat-obat yang menghambat CYP3A4,

seperti diazepam, anti jamur dan opioid

akan mempunyai konsekuensi klinik

yang perlu diwaspadai. Obat-obat di atas

akan menghambat aktifitas enzim

tersebut, sehingga kemampuannya untuk

memetabolisme midazolam akan

menurun. Konsekuensinya adalah

memanjangnya amnesia dan terjadinya

gangguan psikomotor.11

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini, disimpulkan

bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara nilai skor sedasi dengan

genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.

Ada tiga hal yang kemungkinan dapat

menjelaskan temuan tersebut. Pertama,

kadar midazolam dalam plasma

mengikuti model dua kompartemen dan

obat masih dalam fase distribusi, belum

berada dalam fase eliminasi, lima menit

setelah pemberian intravena. Kedua,

CYP2C19 bukanlah enzim utama yang

Page 10: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

71

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

memetabolisme midazolam. Ketiga,

faktor farmakodinamik lebih berperan

dibandingkan faktor farmakokinetik,

walaupun faktor ini tidak dapat

diabaikan. Perlu dilakukan penelitian

mengenai efek sedasi midazolam

dikaitkan dengan kadar midazolam dalam

darah. Selain itu untuk menilai apakah

faktor farmakodinamik dan faktor

farmakokinetik yang lebih berperan

dalam efek sedasi midazolam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Holford NHG, Benet. LZ. Farmakokinetik &

Farmakodinamik: Pemilihan Dosis yang

rasional & Waktu Kerja Obat. Dalam :

Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar &

Klinik. Terjemahan Anwar Agus. Jakarta :

EGC, 1998 : 36-51)

2. Correia MA. Biotransformasi Obat. Dalam :

Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar

&Klinik. Terjemahan Anwar Agus, Jakarta :

EGC, 1998 : 53-64)

3. Setiawati A, Bustami ZS, Setiabudy R.

Pengantar Farmakologi. Dalam : Gan S.

Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Jakarta:

Bagian Farmakologi FKUI, 1987 : 49-63.

4. Yusuf I, Djojosubroto MW, Ikawati Lum K,

Kaneko A, Marzuki M Ethnic and

geographical distributions of CYP2C19

alleles in the populations of southeast asia.

Adv Exp Med Biol. 2003.

5. Lamba JK, Dhiman RK, Kohli KK.

CYP2C19 genetic mutations in North Indian.

Clin Pharmacol Ther 2000; 68:328-35.

6. Kimura M, leiri I, Mamiya K, Urae A,

Higuchi S, Genetic Polymorphism of

cytochrome P450s, CYP2C19 and CYP2C9

in Japanese population. Ther Drug Monit

1998;20:243-7

7. Amrein R,Hetzel W, Allen SR. Co-induction

of Anaesthesia: The Rationale.Euro J of

Anaesth 1995;12:5-11.

8. Clarke RSJ. Intravenous Anaesthetic Agent:

Induction and Maintenance. In: Healy TEJ,

Cohen PJ,eds. A Practice of Anaesthesia,

6thed London: Edward Arnold 1995: 91-101.

9. Collin VJ. Intravenous Anesthesia:

Nonbarbiturates-Nonnarcotics. In: Collin VJ,

Ed. Principles of Anesthesiology, 3rd

ed.

Philadelphia: Lea and Febiger 1993: 756-63.

10. Setiawat A, Setiabudy R. Adrenergik.

Dalam: Gan S. Farmakologi dan Terapi.

Edisi 3. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI

1987: 49-63.

11. Hamaoka N, Oda I and Asada A.

Cytochrome P4502B6 and 2C6 do not

metabolize midazolam: kinetik analisis and

inhibition study with monoclonal antibodies.

Br J Anaesth 2001; 86:540-4.

Page 11: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

72

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

PENELITIAN

Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah: Pada Infiltrasi

Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka

Curniawati Trisasi*, Marwoto*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: Postoperative acute pain stimulates clinical pathophysiologic symptoms,

depress immune responses which leads to delayed wound healing process.

Levobupivacaine is a long acting local anaesthetic, proven good for pain control.

Angiogenesis plays an important role in wound healing. C-erbB-2 is a family of epidermal

growth factor receptor that becomes actively mitogenic when binds to EFGR ligand, and

stimulates cell proliferation. Levobupivacaine infiltration enhances c-erbB-2 expression,

leads to endothelial blood vessel proliferation and improves wound healing.

Objective: To prove the difference between histologic score of c-erbB-2, endothelial blood

vessel proliferation of the wound healing process with and without levobupivacaine

infiltration and to prove the correlation between c-erbB-2 and endothelial blood vessel

proliferation.

Methode: This study was an animal experimental study with randomized post test only

control group design. Randomly 15 Wistar rats were divided into 3 groups. Groups I was

the group for control without treatment. Group II, rats that got incisions without

levobupivacain infiltration.Group III, rats that got incisions and levobupivacaine

infiltration every 8 hours for 24 hours. C-erbB-2 at the site of the wound was analized

using the histologic score from samples with immunohistochemistry staining and the

amount of AgNOR expressed by mAgNOR and pAgNOR. The samples were taken from

tissue biopsy on 5th

day. Data were analyzed using Kruskal Wallis test. The correlation

between histologic score c-erbB-2 and the amount of AgNOR were analyzed using

Spearmans correlation test.

Results: This study showed that the tissue with levobupivacaine had higher c-erbB-2

histologic score (7,2±2,16 vs 9,9±1,29), and mAgNOR (5,94±0,15 vs 11,86±1,02), than

tissue without levobupivacaine that significantly different (p=0,015 and p=0,02). There

was a correltion between c-erbB-2 and mAgNOR (π=0,693).

Conclusions: The expressions levels c-erbB-2 and mAgNOR in levobupivacaine

infiltration group are higher than without levebupivacaine infiltration group. There is a

correlation between the c-erbB-2 and mAgNOR.

Keywords: Levobupivacaine, c-erbB-2, AgNOR, wound healing.

Page 12: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

73

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

ABSTRAK

Latar Belakang: Nyeri akut paska bedah memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis,

menekan respon imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang akan

menghambat penyembuhan luka. Levobupivakain, anestetik lokal durasi panjang efektif

mengurangi nyeri akut. Proses angiogenesis merupakan pilar utama penyembuhan luka.

C-erbB-2 adalah reseptor mitogenik yang ekspresinya pada endotel pembuluh darah bila

berikatan dengan ligand yang sesuai menyebabkan sel berproliferasi. Infiltrasi

levobupivakain akan meningkatkan ekspresi c-erbB-2 dan proliferasi sel endotel pembuluh

darah sehingga mempercepat penyembuhan luka.

Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan skor histologi c-erbB-2 dan proliferasi endotel

pembuluh darah antara tikus yang diinfiltrasi levobupivakain dengan yang tidak pada

proses penyembuhan luka tikus Wistar.

Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada hewan coba, randomized post test

only control group design, menggunakan tikus Wistar. Sampel 15 ekor dibagi menjadi 3

kelompok; kelompok I kontrol, kelompok II insisis subkutis tanpa infiltrsi levobupivakain,

kelompok III insisi subkutis dan infiltrasi levobupivakain setiap 8 jam selama 24

jam.Ekspresi c-erbB-2 dan nilai AgNOR yang dihitung sebagai mAgNOR dan pAgNOR

pada sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dengan menggunakan pengecatan

secara imunohistokimia, yang diambil dari biopsi jaringan pada hari kelima. Data

dianalisis dengan uji beda Kruskal-wallis. Hubungan antara c-erbB-2, mAgNOR dan

pAgNOR dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.

Hasil: Rerata skor histologi c-erbB-2 dan mAgNOR pada kelompok infiltrasi

levobupivakain lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain, yaitu

untuk c-erbB-2 7,2±2,16 vs 9,9±1,29 dan mAgNOR 5,94±0,15 vs 11,86±1,02, dan secara

statistik berbeda bermakna (p=0,015 dan p=0,02). Hubungan antara c-erbB-2 dan

mAgNOR secara statistik bermakna (r=0,693;p=0,004). Pada pAgNOR tidak didapat

perbedaan yang bermakna antara kelompok tersebut.

Simpulan: Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR

pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan

kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan

mAgNOR pada proses penyembuhan luka.

Kata kunci : Levobupivakain, c-erbB-2, AgNOR, penyembuhan luka

PENDAHULUAN

Penyembuhan luka adalah faktor penting

paska operasi yang selalu dihadapi dan

merupakan fenomena kompleks yang

melibatkan berbagai proses meliputi

inflamasi akut menyusul terjadinya

kerusakan jaringan, regenerasi sel

parenkim, migrasi dan proliferasi sel

parenkim, sintesis protein extra cellular

matrix (ECM), remodeling jaringan ikat

dan komponen parenkim, kolagenasi dan

akuisisi kekuatan luka.1,2

Page 13: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

74

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Dokter bedah membuat luka pada tiap

pembedahan. Pasca bedah luka ini

mengakibatkan nyeri karena adanya

kerusakan jaringan. Nyeri akut sering

menimbulkan keadaan yang tidak

menguntungkan bagi penderita sepert

kegelisahan, perubahan hemodinamik,

gangguan pernafasan, retensi urin, ileus

dan lain-lain.3,4

Keadaan tersebut dapat menghambat

penyembuhan luka, mobilisasi yang

terganggu dan lama rawat di rumah sakit

bertambah. Luka pasca bedah di Inggris

Raya, menghabiskan dana National

Health Services minimal sebesar 1 milyar

poundsterling setiap tahunnya.3,4

Pada proses penyembuhan luka

pembentukan dan perkembangan

pembuluh darah atau angiogenesis

merupakan hal yang sangat penting. Tepi

sel endotel pembuluh darah mengalami

proliferasi cepat, terjadi pertumbuhan

tunas baru dari endotel pembuluh darah

yang sudah ada, membentuk jaringan

vaskularisasi baru.1

Terdapat sejumlah faktor sistemik dan

lokal yang mengganggu penyembuhan

luka. Faktor lokal yang berpengaruh

terhadap penyembuhan luka antara lain

infeksi, faktor mekanik, benda asing,

macam, lokasi dan ukuran besarnya

luka.3 Faktor sistemik yang

mempengaruhi penyembuhan luka antara

lain nutrisi, status metabolik, status

sirkulasi darah dan hormon

glukokortikoid.3

Banyak ditemukan permasalahan dalam

penyembuhan luka, seperti waktu

penyembuhan yang lama, terutama bila

terjadi penyembuhan secara sekunder.

Nyeri menjadi stressor yang memicu

timbulnya gejala klinis patofisiologis,

memicu modulasi respon imun, sehingga

menyebabkan penurunan sistem imun

yang berakibat pemanjangan waktu

penyembuhan luka.1

Rasa nyeri merupakan salah satu

pencetus peningkatan hormon

glukokortikoid. Infiltrasi anestetik lokal,

dalam hal ini levobupivakain dapat

mengurangi intensitas nyeri, sehingga

menurunkan sekresi hormon

glukokortikoid dan menghilangkan salah

satu faktor penghambat penyembuhan

luka.5,6

Di tingkat sel proses angiogenesis

merupakan faktor yang penting dalam

penyembuhan luka. Proses ini merupakan

proliferasi endotel yang terus menerus

membentuk jaringan vaskuler yang

menunjang semua kebutuhan sel selama

fase penyembuhan luka.1 Banyak faktor

mempengaruhi proses proliferasi endotel

ini, baik faktor eksogen maupun endogen.

Salah satu faktor endogen yang

mempengaruhi proliferasi sel adalah

Epidermal Growth Factor (EGF).7

C-erbB-2 adalah glikoprotein yang lebih

dari 50% strukturnya sama dengan

reseptor EGF.7 Bila sel mengekpresikan

reseptor ini dan kemudian reseptor

berikatan dengan ligan yang cocok

(epidermal growth factor receptor

Page 14: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

75

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

ligands), sel yang bersangkutan akan

mengalami proliferasi.8

Salah satu marker proliferasi sel adalah

dengan pengecatan Argyrophilic

Nucleolar Organizer Region (AgNOR),

dimana ekspresinya akan meningkat pada

fase G1 dari sel, dan mencapai

puncaknya pada saat transisi dari fase G1

ke fase S, dan akan menurun pada fase

G2.8

Berdasarkan penjelasan diatas

dirumuskan masalah sebagai berikut :

Apakah infiltrasi levobupivakain

menyebabkan perbedaan ekspresi c-erbB-

2, proliferasi endotel pembuluh darah

pada proses penyembuhan luka tikus

Wistar. Penelitian ini bertujuan untuk

membuktikan adanya hubungan proses

penyembuhan luka dengan pemberian

infiltrasi levobupivakain.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimental laboratorik dengan desain

“Randomized post test only control group

design”. Sampel penelitian adalah tikus

Wistar yang diperoleh dari Fakultas

peternakan UGM, Yogyakarta. Kriteria

inklusi tikus Wistar betina keturunan

murni, belum pernah digunakan untuk

penelitian, umur 2 sampai 2,5 bulan,

berat badan 250-300 gram, tidak terdapat

kelainan anatomis. Kriteria ekslusi adalah

tikus sakit selama masa adaptasi, tikus

mati selama masa adaptasi dan perlakuan.

Menurut WHO besar sampel hewan coba

untuk penelitian jangka pendek tiap

kelompok minimal 5 ekor, pada

penelitian ini jumlah sampel yang

digunakan 15 ekor, masing-masing 5

ekor untuk tiap kelompok (pemeriksaan

hari ke5).9

Randomisasi dilakukan dengan

mengelompokkan 15 ekor tikus secara

random menjadi 3 kelompok, yaitu :

Kelompok 1 (K1 : tikus tanpa

perlakuan) : 5 ekor tikus

Kelompok 2 (K2 : infiltrasi tanpa

anestetik lokal) : 5 ekor tikus

Kelompok 3 (K3 : dengan infiltrasi

anestetik lokal) : 5 ekor tikus

Penelitian dan pengumpulan data

dilakukan selama 6 bulan. Perlakuan pada

tikus dan proses pengambilan jaringan

dilakukan di Laboratorium Pusat Antar

Universitas (PAU) Universitas Gajah

Mada, Yogyakarta. Proses pembuatan

preparat dan pewarnaan dilakukan di

Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran UNS Surakarta dan UNDIP

Semarang.

Setelah data terkumpul dilakukan data

cleaning, coding dan tabulasi. Analisa

data meliputi analisis deskriptif dalam

bentuk rerata, standart deviasi, median

dan grafik dan uji hipotesis. Data

dikumpulkan, diolah serta dinyatakan

dalam rerata ± simpang baku (mean ±

SD) disertai kisaran (range). Dilakukan

uji homogenitas menggunakan uji

Lavene. Distribusi data variabel c-erb-B2

dan mAgNOR dan p AgNOR diuji

dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk

karena sesuai dengan uji non parametric

Page 15: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

76

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

dan n<30. Selanjutnya dilakukan uji beda

non parametrik untuk 3 variabel (c-erb-

B2 dan mAgNOR dan pAgNOR)

menggunakan uji Kruskal Wallis. Uji

beda parametrik untuk 2 variabel berskala

rasio (c-erbB-2) menggunakan

independent sample t-test.

Untuk menilai hubungan (c-erbB-2)

terhadap nilai AgNOR (mAgNOR dan

pAgNOR) digunakan uji korelasi yang

sesuai dengan uji non parametrik dengan

n<30 yaitu uji Spearman (apabila uji

normalitas data hasilnya normal). Dengan

batas derajat kemaknaan p ≤ 0,05 dengan

95% interval kepercayaan. Penyajian

dalam bentuk table dan grafik. Analisis

data menggunakan program SPSS 11.0

for windows.10

HASIL

Pada penelitian ini dilakukan pengujian

efek perlakuan terhadap ekspresi c-erb-2

dan nilai AgNOR (mAgNOR dan

pAgNOR) pada hari ke lima. Hasilnya

adalah sebagai berikut :

Dari tabel 1 untuk uji homogenitas nilai

rerata berat badan pada ketiga kelompok

berbeda tak bermakna (p=0,847). Berarti

ketiga kelompok berasal dari populasi

yang homogen sehingga layak untuk

dibandingkan.

Tabel 1. Data berat badan tikus

Kelompok

Variabel I II III P

Berat badan 255,0±10,00 255,4±9,48 257,0±8,72 0,874*

p<0,05

Data dinyatakan dalam rerata±simpang baku

*Uji homogenitas variasi

Tabel 2. Skor histologi c-erbB-2 pada hari ke 5

No. Skor histologi c-erbB-2

K1 K2 K3

1. 3,4 7,4 10,7

2. 3,7 10,7 8,7

3. 3,0 8,7 10,9

4. 7,8 5,6 10,9

5. 6,4 4,0 8,3

Keterangan : Satuan dalam skor histologi

Page 16: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

77

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Tabel 3. Nilai AgNOR (mAgNOR dan pAgNOR) pada hari ke 5

No. Nilai AgNOR

mAgNOR pAgNOR

K1.1 2,4 2

2 3,2 2

3 2,1 3

4 1,4 2

5 2,2 1

K2.1 5,7 3

2 6,0 2

3 6,1 4

4 5,9 1

5 6,0 2

K3.1 11,0 2

2 12,6 2

3 11,9 3

4 10,7 3

5 13,1 3

Keterangan :

mAgNOR : Nilai mean AgNOR

pAgNOR : Prosentase AgNOR

Tabel 4. Nilai rerata c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR

Variabel Kel N Rerata Simpang Baku Minimal Maksimal

c-erbB-2 K1 5 4,86 2,11 3,0 7,8

K2 5 7,28 2,61 4,0 10,7

K3 5 9,90 1,29 8,3 10,9

mAgNOR K1 5 2,26 0,65 1,4 3,2

K2 5 5,94 0,15 5,7 6,1

K3 5 11,86 1,02 10,7 13,1

pAgNOR K1 5 2,00 0,7 1,0 3,0

K2 5 2,40 1,14 1,0 4,0

K3 5 2,60 0,55 2,0 3,0

Nilai rerata C-erbB-2 pada kelompok

dengan infiltrasi levobupivakain (K3)

lebih tinggi dibandingkan dengan

kelompok tanpa infiltrasi obat tersebut

(K2). Nilai rerata mAgNOR pada

kelompok dengan infiltrasi

levibupivakain (K3) lebih tinggi

dibandingkan dengan kelompok tanpa

infiltrasi obat (K2). Nilai rerata pAgNOR

pada kelompok dengan infiltrasi

levobupivakain (K3) lebih tinggi dari

kelompok tanpa infiltrasi obat (K2).

Tanpa levobupivakain dan dengan

levobupivakain berbeda bermakna

(p=0,015), uji beda mAgNOR berbeda

bermakna (p=0,002) dan uji beda

pAgNOR berbeda tidak bermakna

(p=0,453). Rerata dari kelompok dengan

levobupivakain, lebih tinggi daripada

kelompok tanpa levobupivakain. Hal ini

menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2

secara bermakna lebih banyak

dibandingkan pada tikus tanpa infiltrasi

levobupivakain.

Page 17: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

78

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Tabel 5. Uji Normalitas rerata c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR

Variabel P Uji

I II III

c-erbB-2 0,109 0,783 0,017 Shapiro-Wilk

mAgNOR 0,968 0,029 0,497 Shapiro-Wilk

pAgNOR 0,600 0,725 0,010 Shapiro-Wilk

Ket : p≥0,05 berarti distribusi data normal

Distribusi data c-erbB-2, mAgNOR dan

pAgNOR diuji menggunakan uji

normolitas Shapiro-Wilk karena sesuai

untuk uji non parametrik, jumlah sampel

kecil < 30. Data c-erbB-2 pada kelompok

1&2 terdistribusi normal (p=0,109 dan

p=0,783). Data mAgNOR pada

kelompok 1 terdistribusi normal

(p=0,968). Data pAgNOR pada

kelompok 1 dan 2 terdistribusi normal

(p=0,600 dan p=0,725).

Dari tabel 6, menunjukkan skor histologi

c-erB-2 antara kelompok tanpa

Diketahui nilai rerata c-erbB-2 dan

mAgNOR dengan levobupivakain (K3)

lebih besar daripada kelompok tanpa

levobupivakain (K2). Hal ini

menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2

dan mAgNOR dengan infiltrasi

levobupivakain akan meningkat. Pada

kelompok kontrol (K1) ekspresi c-erbB-2

dan mAgNOR lebih rendah dari

kelompok tanpa levobupivakain.

Dari tabel hubungan c-erbB-2 terhadap

mAgNOR mempunyai koefisien korelasi

π =0,693 dan p=0,004. Hasil ini berarti

ada hubungan bermakna c-erbB-2 dengan

mAgNOR. Hubungan c-erbB-2 terhadap

pAgNOR mempunyai koefisien korelasi

π=0,312. Hasil ini berarti tidak ada

hubungan c-erbB-2 dengan pAgNOR.

Hubungan mAgNOR terhadap pAgNOR

koefisien korelasinya π=0,335 berarti

tidak ada hubungan antara mAgNOR

dengan pAgNOR.

Tabel 6. Uji beda antara kelompok c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR

Varia-bel Kelompok

Uji P I (n=5) II (n=5) III (n=5)

c-erbB-2 4,860±2,118 7,280±2,613 9,900±1,288 Kruskal-Wallis 0,015

mAgNOR 2,260±0,647 5,940±0,152 11,860±1,02

0 Kruskal-Wallis 0,002

pAgNOR 2,000±0,707 2,400±1,140 2,600±0,548 Kruskal-Wallis 0,453

p<0,05 : berbeda bermakna, data dinyatakan dalam rerata±simpang baku

Tabel 7. Analisis hubungan c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR

Korelasi Spearman [r] p

c-erbB-2 – mAgNOR 0,693 0,004

c-erbB-2 – pAgNOR 0,312 0,257

mAgNOR-pAgNOR 0,335 0,222

*p<0,05

[r] : koefisien korelasi rho

Page 18: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

79

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini 15 ekor tikus betina

galur Wistar dewasa dibagi dalam 3

kelompok, kelompok 1 adalah kelompok

kontrol yang tidak diberi perlakuan

apapun, kelompok 2 dilakukan insisi

pada punggung, kemudian disuntik

dengan alat suntik kosong dan kelompok

3 diinsisi pada punggung dan diinfiltrasi

levobupivakain pada sekitar luka dan

dilihat perbedaannya terhadap skor

histologi c-erbB-2, mAgNOR dan

pAgNOR setelah hari kelima.

Kelompok kontrol bertujuan untuk

mengetahui apakah terdapat ekspresi c-

erbB-2 dan apakah ada aktivitas

proliferasi sel endotel pembuluh darah

dalam keadaan tidak ada rangsangan pada

tikus yang tidak dilakukan insisi pada

punggungnya.

Pada penelitian ini dilakukan penilaian

terhadap ekspresi c-erbB-2 dan nilai

AgNOR dengan tujuan untuk melihat

apakah infiltrasi levobupivakain

mempengaruhi ekspresi c-erbB-2, yang

merupakan up regulator dan

angiogenesis. Proses angiogenesis

dimulai bila reseptor pada permukaan sel

berikatan dengan ligan yang cocok yang

bersifat mitogenik, baik yang bersifat

mengaktifkan tirosin kinase pada

permukaan membran maupun yang non

tirosin kinase, mengirimkan sinyal ke inti

sel yang selanjutnya akan terjadi aktivitas

mitotik dalam inti sel. Inti sel endotel

pembuluh darah yang sedang membelah

memberikan pulasan positif pada

pengecatan AgNOR.

Pada penelitian ini mengambil biopsi

jaringan pada luka yang dilakukan pada

hari kelima, karena proses angiogenesis

menjadi sangat aktif pada saat ini.11

Untuk uji homogenitas ketiga kelompok

dilihat dengan variabel yang dapat diukur

yaitu berat badan, dimana didapat hasil

statistik berbeda tidak bermakna. Berarti

kedua kelompok berasal dari populasi

yang homogen, pada umumnya tikus

berasal dari satu indukan dimana

mempunyai karakteristik yang mirip.

Dalam hal ini faktor bias pada hewan

coba dapat dihindari. Hasil penelitian

menunjukkan adanya ekspresi c-erbB-2

pada endotel pembuluh darah kelompok

kontrol yang tidak diberikan perlakuan

apapun. Samarut J pada penelitiannya

reseptor membran sitokin dan reseptor

hormon inti pada leukemogenesis dan

diferensiasi hemopoetik memperlihatkan

reseptor c-erbB normal diperlukan dalam

mengontrol pembelahan sel progenitor

eritrositik.12

Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok 3

lebih tinggi dari kelompok 2, hal ini

menunjukkan bahwa infiltrasi ekspresi c-

erbB-2 pada endotel pembuluh darah,

sedangkan mAgNOR pada kelompok 3

juga lebih tinggi dari kelompok 2 dan

kelompok kontrol, hal ini menunjukkan

bahwa infiltrasi levobupivakain

meningkatkan aktivitas proliferasi sel

endotel pembuluh darah. Pada kelompok

3 pAgNOR berbeda tidak bermakna, hal

ini dapat karena aktivitas angiogenesis

yang terjadi pada proses penyembuhan

luka bukan merupakan proliferasi yang

Page 19: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

80

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

berlebihan seperti yang terjadi pada

pertumbuhan tumor.

Uji korelasi terhadap c-erbB-2 dan

mAgNOR menunjukkan adanya

hubungan yang kuat, karena c-erbB-2

merupakan upregulator angiogenesis.

Korelasi c-erbB2 dengan pAgNOR tidak

menunjukkan adanya hubungan, juga

antara mAgNOR dan pAgNOR.Ini

mungkin karena sifat proliferasi sel yang

normal tinggi tidak kearah yang

berlebihan.

Pengamatan secara makroskopis

mengenai jaringan luka dapat dilakukan

dengan pengambilan biopsi jaringan

dengan waktu yang berbeda, sehingga

dapat dibandingkan yang diinfiltrasi

levobupivakain dengan yang tidak.

Dengan demikian hasil yang diperoleh

dapat menyeluruh.

Dari hasil penelitian ini maka dalam

aplikasi klinis infiltrasi anestetik lokal

levobupivakain dapat dijadikan alternatif

untuk mengendalikan nyeri akut paska

bedah sehingga penyembuhan luka dapat

lebih baik.

SIMPULAN

Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok

yang diinfiltrasi levobupivakain lebih

tinggi daripada kelompok yang tidak

diinfiltrasi levobupivakain. Hal ini berarti

ekspresi c-erbB-2 meningkat akibat dari

infiltrasi levobupivakain.

Nilai mAgNOR kelompok yang

diinfiltrasi levobupivakain lebih tinggi

daripada kelompok yang tidak diinfiltrasi

levobupivakain. Hal ini berarti

proliferasi endotel pembuluh darah

meningkat akibat dari infiltrasi

levobupivakain

Terdapat hubungan antara skor histologi

c-erbB-2 dan mAgNOR yang secara

statistik bermakna. Perlu dilakukan

penelitian yang melihat langsung

perbedaan proses penyembuhan luka

pada yang diinfiltrasi levobupivakain

dengan yang tidak. Pada pengecatan

AgNOR untuk melihat proliferasi pada

endotel pembuluh darah untuk mendapat

hasil terbaik dapat dilakukan pemilihan

blok parafin dengan pengecatan

hematoksilin eosin terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathology

basic of disease. 6thed. Philadelphia:WB

Saunders Co, 1999.p. 21-20.

2. Constantinnides P. General pathobiology.

1sted. Connecticut: Appleton and

Lange,1994.p. 173-81.

3. Mast AB. Normal wound healing. In:

Achauer B M, Eriksson E. eds. Plastic

surgery, indications, operations and

outcomes. St Louis: Mosby, 2000.p. 37-53.

4. Pedersen D. Accelerated surgical stay

programe. Annals of surgery 1994; 219:

374-81.

5. Bardram L, Funch-Jensen P, Crawford ME,

Kehlet H. Recovery after laparoscopic

colonic surgery with epidural analgesia and

early oral nutrition and mobilitation. Lancet

1995; 345: 763-4.

6. Webster EL, Torpy DJ, Elenkov IJ,

Chrousos GP. Corticotropin releasing

hormone and inflammation. Annals of the

New York Academy of Sciences 1998; 840:

21-32.

Page 20: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

81

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

7. Carpenter G, Cohen S. Epidermal growth

factor. J Biol Chem 1990; 265: 7709.

8. Angiogenesis and stromal markers in

experimental and laryngeal tumor

development. [editorial]. 2002. Available

from:URL:http://herkules.oulu.fi/isbn95142

69497/html/i251889.html

9. World Health Organization. Research

guidelines for evaluating the safety and

efficacy of herbal medicines. New York:

WHO Publications, 1993.p. 37-41.

10. Wasito R. Imunihistokimia. Dalam:

pedoman kuliah immuno-histopatologi.

DepDikbud. Proyek pengembangan pusat

fasilitas bersama antar uuniversitas.

Yogyakarta: PAU Bioteknologi-Universitas

Gajah Mada, 1991. Hal. 36-80.

11. Pettersson N, Berggren P, Larsson M, Jeff

R, Thomsen J. Pain relief by wound

infiltration with bupivacaine or high dose

rovacaine after inguinal hernia repair. Reg

Anesth Pain Med 1999; 24: 569-75.

12. Samarut J. Nuclear hormone receptors

cytokine membrane receptors in the control

of chicken hematopoietic differentiation and

leukemogenesis. 2004. Available from:

URL:http://www.scilet.com/bioandbiosafety

/pab/pababs4.html

Page 21: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

82

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

PENELITIAN

Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar

Kreatin Fosfokinase Akibat Suksinilkolin

R. Cristianto Nugroho*, Abdul Lian Siregar*

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: Succinylcholine is commonly used for intubating fascilitation in emergency

and day-case anesthesia. Most occured side effects of succinylcholine is fasciculation,

myalgia, and elevation of blood creatine phosphokinase level. Atracurium, like other

depolarizing muscle relaxants, had been proved as a gold standard for pretreatment

againts these side effects. Midazolam, that has been known as popular premedication drug,

has not been studied most for these utilities yet.

Objective: The aim of this study was to prove that pretreatment with midazolam 0,03

mg/Kg or atracurium 0,05 mg/Kg could reduce fasciculation, myalgia and elevation of

CPK level following succinylcholine administration.

Method: This study was designed as double blind randomly clinical trial on 54 patients

underwent elective surgery, 16–40 years age. ASA I-II and fullfill the inclusion criterias.

Before pretreatment drug had beengiven, a blood sample for preinduction creatine

phosphokinase level measurement were taken. Patients was divided into three groups of

pretreatment drugs, receiving midazolam 0,03 mg/Kg, atracurium 0,05 mg/Kg and NaCl

0,9% (control group). Three minutes later, anesthesia was induced with thiopentone 4-5

mg/Kg and succinylcholine 1,5 mg/Kg. Fasciculations were scored followed by intubation.

Twenty four hours after operation, myalgias were scored and a blood sample for post

operation CPK level measurement were taken. Statisticsl analysis were performed by

Anova-post hoc Bonferroni test, chi square – Wilcoxon Signed Ranks test and Spearman

correlation test.

Result: The characteristic features of the three groups are similar. Threre are significantly

reduction of fasciculation incidence (p<0,01), myalgia incidence (p<0,01) and CPK level

elevation in atracurium group (p<0,05). In midazolam group, myalgia incidence is

significantly reduced (p<0,01) but CPK level is only slight reduced (p=0,086) and there is

no reduction of fasciculation incidence (p=0,125). The only significant correlation proved

is between myalgia and CPK level elevation (corr.coef = 0,334; p = 0,013).

Conclusions : Atracurium is proved to be effective for pretreatment againts fasciculation,

myalgia and elevation of CPK level. Midazolam is as effective as atracurium to reduce

myalgia, less effective to reduce CPK level and not effective to reduce fasciculation.

Keywords : pretreatment, fasciculation, myalgia, CPK elevation, succinylcholine.

Page 22: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

83

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

ABSTRAK

Latar Belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi masih merupakan

pilihan dalam anestesia, terutama untuk kasus emergensi dan rawat jalan. Efek samping

yang sering timbul adalah fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase

(CPK) darah. Atrakurium, seperti pelumpuh otot non depolarisasi lain, telah teruji sebagai

baku emas pretreatment terhadap efek samping ini. Sedangkan Midazolam, yang populer

sebagai obat premedikasi belum banyak diteliti sebagai pretreatment.

Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment midazolam 0,03 mg/KgBB atau atrakurium

0,05 mg/KgBB dapat mengurangi fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin

fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkolin.

Metode: Penelitian ini dirancang untuk uji klinis acak tersamar ganda terhadap 54

penderita yang akan menjalani operasi elektif, usia 16 – 40 tahun, status fisik ASA I-II dan

memenuhi kriteria inklusi. Sebelum mendapat obat pretreatment, dilakukan pengambilan

darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan. Penderita dibagi

menjadi tiga kelompok sesuai pretreatment yang diberikan, yaitu midazolam 0,03

mg/KgBB iv, atrakurium 0,05 mg/KgBB iv dan kontrol mendapat NaCL 0,9%. Tiga menit

kemudian semua penderita diinduksi dengan Tiopental 4-5 mg/KgBB iv dan suksinilkolin

1,5 mg/KgBB iv. Fasikulasi yang timbul dinilai, dilanjutkan dengan intubasi. Duapuluh

empat jam pasca operasi dilakukan penilaian mialgia dan pengambilan darah untuk

pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pasca perlakuan. Uji statistik menggunakan uji

Anova – Post hoc Bonferroni dan uji Kai kuadrat – Wilcoxon Signed Rank serta uji

korelasi dari Spearman.

Hasil: Data karakteristik penderita berbeda tidak bermakna pada ketiga kelompok. Pada

kelompok atrakurium terjadi penurunan kejadian fasikulasi ( p<0,01 ), mialgia ( p<0,01 )

dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase yang bermakna ( p<0,05 ). Pada kelompok

midazolam terjadi penurunan kejadian mialgia yang bermakna ( p<0,01 ), sedikit

kenaikan kadar kreatin fosfokinase ( p=0,086 ) dan tidak terjadi penurunan kejadian

fasikulasi (p=0,125). Pada uji korelasi tehadap tiga variabel terikat hanya tampak

korelasi bermakna antara mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (koef.kor =

0,034; p = 0,013).

Kesimpulan: Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi,

mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya

dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk

mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah

fasikulasi.

Kata kunci: pretreatment, fasikulasi, mialgia, kenaikan CPK, suksinilkolin.

Page 23: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

84

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

PENDAHULUAN

Suksinilkolin adalah obat pelumpuh otot

golongan depolarisasi yang saat ini masih

sering digunakan untuk fasilitas intubasi,

terutama pada anestesi emergensi (rapid-

sequence induction) dan anestesi rawat

jalan (ambulatory/ day case

anesthesia).1,2,3,4

Beberapa keuntungan pemberian

suksinilkolin untuk intubasi adalah mula

aksi yang cepat, lama kerja yang pendek,

murah, dan mudah diperoleh serta

toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7

Efek

samping suksinilkolin meliputi fasikulasi

otot, disritmia jantung, hiperkalemia,

reaksi anafilaktik, spasme otot masseter,

dan mialgia serta peningkatan tekanan

intragastrik, tekanan intraokuler dan

tekanan intrakranial, hingga timbulnya

komplikasi serius berupa hipertermia

maligna.1,4,6,7

Efek samping kerusakan otot yang

ditimbulkan akan disertai dengan

perubahan biokimia berupa peningkatan

kadar kalium, mioglobin dan kreatin

fosfokinase darah.7,8,9,10

Fasikulasi otot dan mialgia akibat

pemberian suksinilkolin merupakan

komplikasi yang sering dijumpai, dimana

berbagai studi melaporkan kejadian

mialgia paska suksinilkolin berkisar

antara 2% hingga 89%.2,11,12,13

Frekuensi

dan beratnya komplikasi ini dipengaruhi

oleh berbagai faktor seperti umur, jenis

kelamin, latihan otot sebelumnya,

kelainan metabolit, merokok, lama dan

jenis operasi, posisi pasien selama

operasi serta pemberian obat sebelumnya

(pretreatment).14,15

Berbagai penelitian sebelumnya

menemukan bahwa ternyata antara

fasikulasi otot dan mialgia paska operasi

akibat pemberian suksinilkolin tidak

terdapat kaitan yang bermakna.8,12,16

Banyak jenis obat yang telah diteliti

untuk mencari upaya alternatif dalam

mengurangi atau menghilangkan

fasikulasi otot dan mialgia paska

suksinilkolin, diantaranya pretreatment

dengan obat anestesi lokal, golongan

NSAID, preparat kalsium, preparat

magnesium, klorpromazin, vitamin,

golongan benzodiazepin dan yang paling

populer adalah dengan pelumpuh otot

non depolarisasi dosis kecil.9,10,13,17

Midazolam adalah obat golongan

benzodiazepin dengan potensial dua kali

lipat dari diazepam dan saat ini

merupakan obat yang paling sering

digunakan dalam premedikasi.1,7

Di

Amerika Serikat pada tahun 1996- 1997,

lebih dari 75% premedikasi

menggunakan midazolam18.

Diazepam, generasi pendahulu

midazolam, dua dasawarsa yang lalu

telah digunakan setidaknya pada dua

penelitian sebagai obat pretreatment

pencegah fasikulasi dan mialgia dengan

hasil cukup memuaskan, yaitu

mengurangi mialgia hingga 30%.17,19,20,21

Midazolam sendiri sejauh penelusuran

kepustakaan oleh penulis, baru satu kali

digunakan pada suatu penelitian yang

Page 24: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

85

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

menyimpulkan bahwa midazolam tidak

bermanfaat dalam mencegah mialgia,

kenaikan kadar mioglobin dan kenaikan

kadar kreatin fosfokinase darah.10

METODE

Penelitian ini dilaksanakan dalam ruang

lingkup anestesiologi, dan merupakan uji

klinis tahap II fase 3, dirancang sebagai

uji klinis acak tersamar ganda (double

blind randomized controlled trial) yang

membandingkan 3 kelompok penelitian,

yaitu kelompok kontrol, kelompok

midazolam, dan kelompok atrakurium.

Penelitian ini dilakukan dengan

rancangan pre test – post test control

group design untuk variabel kadar kreatin

fosfokinase darah dan post test only

control group design untuk variabel skor

fasikulasi dan skor mialgia.

Populasi targetnya adalah penderita yang

mengalami operasi selektif dengan

anestesia umum di instalasi bedah sentral

RS Dr Kariadi Semarang serta memenuhi

kriteria inklusi, eksklusi, dan drop out.

Kriteria inklusi disini meliputi : jenis

kelamin laki-laki dan perempuan, umur

16-40 tahun, status fisik ASA I-II, tidak

memiliki kelainan neuromuskular dan

atau metabolik, 5 hari sebelumnya tidak

melakukan aktivitas lebih dari aktivitas

harian, bukan penderita trauma, operasi

ortopedik atau kardiovaskular, tidak

sedang hamil dan tidak merokok, serta

tidak ada kontraindikasi penggunaan

obat-obat penelitian. Kriteria eksklusi

penelitian ini meliputi operasi yang

direncanakan lebih dari 2 jam, mendapat

injeksi intramuskular dalam 24 jam

sebelum operasi, mendapat obat jenis

pretreatment lain 24 jam sebelum operasi,

posisi operasi direncanakan tidak

telentang. Sedangkan kriteria drop out

penelitian ini adalah lama operasi

ternyata lebih dari 2 jam, lalu penderita

mengalami hipertermia maligna saat

operasi, mendapat injeksi intramuskular

selama 24 jam paska operasi. Alokasi

penderita untuk ketiga kelompok

penelitian dilakukan secara randomisasi

sederhana. Jumlah sampel 3 kelompok

adalah 45 orang, dan dengan

memperhitungkan faktor koreksi drop out

(diperkirakan 10%) maka jumlah sampel

keseluruhan sebanyak 56 orang.

HASIL

Telah dilakukan penelitian pengaruh

pretreatment midazolam atau atrakurium

terhadap fasikulasi, mialgia, dan

kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah

akibat suksinilkolin pada 56 orang

penderita dengan status fisik ASA I – II

yang dibagi menjadi 3 kelompok,

masing-masing 19 orang penderita

kelompok midazolam (M) yang

mendapat pretreatment midazolam 0,03

mg/kgBB, 19 orang penderita kelompok

atrakurium (A) yang mendapat

pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB

dan 18 orang penderita kelompok kontrol

(K) yang tidak mendapat pretreatmnet

(diberi NaCL 0,9%). Dua orang penderita

dikeluarkan dari penelitian, yakni satu

orang dari kelompok midazolam karena

lama operasi lebih dari dua jam (operasi

polipektomi + CWL) dan satu orang dari

kelompok atrakurium karena pulang dari

Page 25: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

86

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

rumah sakit sebelum 24 jam pasca

operasi (operasi medis wanita/ MOW).

PEMBAHASAN

Data–data karakteristik demografi (umur,

jenis kelamin, dan tingkat pendidikan),

kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan,

lama operasi dan jenis operasi dapat

dilihat pada tabel-tabel berikut. Jenis

operasi yang termasuk THT adalah

tonsilektomi, polipektomi, etmoidektomi

dan CWL. Jenis operasi ginekologi

meliputi ooforektomi, miomektomi, dan

kistektomi. Sedangkan jenis operasi

digestif meliputi appendiktomi dan

herniorafi.

Pada tabel 3 terlihat prosentase skor

fasikulasi berat kelompok atrakurium dan

midazolam lebih rendah daripada

kelompok kontrol. Uji kai kuadrat

terhadap perbedaan skor fasikulasi antara

ketiga kelompok menunjukkan

Tabel 1. Data karakteristik demografi, kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan

Variabel Kel.Midazolam

(n=18)

Kel.Atrakurium

(n=18)

Kel.Kontrol

(n=18) p

Umur (tahun) 28,72 (SB 8,42) 28,44 (SB 7,50) 29,00 (SB 7,81) 0,978*

Jenis Kelamin :

Laki – laki 4 (22,2%) 4 (22,2%) 4 (22,2%) 1,000*

Perempuan 14 (77,8%) 14 (77,8%) 14 (77,8%)

Tingkat Pendidikan :

Tak Tamat SD 1 (5,6%) 0 (0%) 0(0%)

Tamat SD 3 (16,7%) 5 (27,8%) 5 (27,8%)

Tamat SLTP 6 (33,3%) 5 (27,8%) 6 (33,3%) 0,662**

Tamat SLTA 6 (33,3%) 5 (27,8%) 7 (38,9%)

Tamat PT 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0 (0%)

Kadar CPK Awal 46,22 (SB 27,66) 49,83 (SB 28,45) 67,56 (SB 86,01) 0,462*

*)uji Anova = berbeda tak bermakna ;

**)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna

Tabel 2. Lama dan jenis operasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol

Variabel Kel.Midazolam

(n=18)

Kel.Atrakurium

(n=18)

Kel.Kontrol

(n=18) p

Lama Operasi (menit) 52,00 (SB 24,22) 52,22 (SB 32,67) 56,72 (SB 22,85) 0,839*

Jenis Operasi :

THT 5 (27,8%) 6 (33,3%) 5 (27,8%)

Eksisi Biopsi FAM 5 (27,8%) 5 (27,8%) 6 (33,3%)

Ginekologi 4 (22,2%) 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0,992

MOW 2 (11,1%) 3 (16,7%) 3 (16,7%)

Digestif 2 (11,1%) 2 (11,1%) 1 (5,6%) *)uji Anova = berbeda tak bermakna ;

**)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna

Tabel 3. Skor fakulasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol

Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol p

0 (tidak ada) 0 (0,0 %) 13 (72,2 %) 0 (0,0 %)

1 (ringan) 9 (50,0 %) 5 (27,8 %) 4 (22,2 %)

2 (sedang) 3 (16,7 %) 0 (0,0 %) 6 (33,3 %) 0,000**

3 (berat) 6 (33,3%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)

Jumlah 18 (100.00 %) 18 (100,00 %) 18 (100,00 %) **)

uji Kai kuadrat = berbeda bermakna

Page 26: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

87

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Tabel 4. Uji Wilcoxon Signed Ranks skor fasikulasi antar kelompok

Perbedaan Skor

Fasikulasi

Kel. Atrakurium –

Kel. Midazolam

Kel. Kontrol –

Kel. Atrakurium

Kel. Kontrol –

Kel. Midazolam

Z -3,464 -3,668 -1,536

p (2 ekor) 0,001* 0,000

* 0,125

*) berbeda bermakna

Tabel 5. Skor mialgia kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol

Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol P

0 (nihil) 10 (55,6 %) 10 (55,6 %) 0 (0,0 %)

1 (ringan) 6 (33,3 %) 8 (44,4 %) 6 (33,3%) 0,000**

2 (sedang) 2 (11,1%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)

3 (berat) 0 (0,0 %) 0 (0,0 %) 4 (22,2%) **

) uji Kai kuadrat = berbeda bermakna

Perbedaan Skor Mialgia Kel.Atrakurium-

Kel.Midazolam

Kel.Kontrol-

Kel. Atrakurium

Kel.Kontrol-

Kel.Midazolam

Z -3,720 -3,487

p(2 ekor) 0,480 0,000*

0,000*

*) berbeda bermakna

Dari data karakteristik tersebut terlihat

adanya perbedaan yang tidak bermakna

(p > 0,05) pada seluruh variabel di ketiga

kelompok penelitian.

Data hasil penilaian skor fasikulasi dapat

dilihat pada tabel 3. Adanya perbedaan

yang bermakna (p < 0,05). Untuk

mencari dimana letak perbedaannya,

analisis dilanjutkan dengan uji Wilcoxon

Signed Ranks (non parametrik) dengan

hasil pada tabel 4.

Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa

meskipun prosentase skor fasikulasi berat

kelompok atrakurium dan midazolam

lebih rendah daripada kelompok kontrol,

perbedaan ini hanya bermakna pada

kelompok atrakurium, sedangkan pada

kelompok midazolam kuadrat terhadap

perbedaan skor mialgia antara ketiga

kelompok penelitian menunjukkan

adanya perbedaan yang bermakna

(p<0,05).

Hasil uji hipotesis ini menunjukkan

bahwa prosentase skor mialgia berat pada

kelompok atrakurium dan secara

statistik tidak bermakna. Perbedaan

prosentase skor fasikulasi berat antara

kelompok atrakurium dan midazolam

secara statistik bermakna.

Data hasil pengukuran skor mialgia dapat

dilihat pada tabel 5. Midazolam lebih

rendah secara amat bermakna daripada

kelompok kontrol. Perbedaan prosentase

skor mialgia berat antara kelompok

atrakurium dan midazolam secara

statistik tidak bermakna. Pada tabel 5

terlihat bahwa prosentase skor mialgia

berat pada kelompok atrakurium dan

midazolam lebih rendah daripada

kelompok kontrol.

Data pengukuran kadar kreatin

fosfokinase pra perlakuan, pasca

perlakuan dan perbedaan (kenaikan)

diantara pra dan pasca perlakuan dapat

dilihat pada tabel 7. Terlihat bahwa

Page 27: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

88

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

kenaikan kadar kreatin fosfokinase pada

kelompok midazolam maupun atrakurium

lebih rendah daripada kelompok kontrol.

Uji Anova terhadap perbedaan kadar

kreatin fosfokinase darah akibat

suksinilkolin. Diantara tiga akibat

(variabel terikat) pemberian suksinilkolin

ada korelasi antara mialgia dengan

kenaikan kadar fosfokinase antara ketiga

kelompok menunjukkan adanya

perbedaan yang bermakna (p = 0,013)

sehingga dilanjutkan dengan uji Post hoc

Bonferroni pada tabel 8.

Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa

perbedaan kenaikan ini pada kelompok

atrakurium secara statistik bermakna,

sedangkan pada kelompok midazolam

tidak bermakna. Perbedaan kenaikan

kadar kreatin fosfokinase antara

kelompok atrakurium dan midazolam

tidak bermakna secara statistik.

Tabel 7. Kadar kreatin fosfokinase kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol

Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol p

Rerata SB Rerata SB Rerata SB

CPK pra perlakuan 46,22 27,66 49,83 28,45 67,55 86,01 0,462

CPK pasca perlakuan 97,00 53,07 80,56 70,56 182,00 141,36 0,006*

Perbedaan CPK 50,78 64,13 30,72 62,30 114,44 116,59 0,013*

*)uji Anova = berbeda bermakna

Tabel 8. Uji Post hoc Bonferroni perbedaan kadar kreatin fosfokinase antar kelompok

Perbedaan Kadar CK Kel.Atrakurium –

Kel.Midazolam

Kel.Kontrol –

Kel.Atrakurium

Kel.Kontrol –

Kel.Midazolam

Beda Rerata 20,00 83,72 63,67

p(2 ekor) 1,000 0,014*

0,086 *)berbeda bermakna

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan sebelumnya dapat ditarik

kesimpulan bahwa atrakurium (dosis 0,05

mg/kgBB) efektif digunakan sebagai

pretreatment dalam mengurangi

fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar

fosfokinase darah akibat suksinilkolin.

Kemudian midazolam (dosis 0,03

mg/KgBB) sebagai pretreatment sama

efektifnya dengan atrakurium dalam

mengurangi mialgia akibat suksinilkolin,

tidak efektif dalam mengurangi fasikulasi

akibat suksinilkolin, dan kurang efektif

dibandingkan atrakurium dalam

mengurangi kenaikan kadar kreatin

fosfokinase darah, tidak ada korelasi

antara fasikulasi dengan mialgia, dan

tidak ada korelasi antara fasikulasi

dengan kenaikan kadar kreatin

fosfokinase darah.

Sesuai dengan kesimpulan di atas, kami

menyarankan agar atrakurium dapat

dipergunakan sebagai pretreatment yang

efektif dalam mencegah atau mengurangi

fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar

kreatin fosfokinase darah akibat

pemberian suksinilkolin. Kemudian

diharapkan dilakukan penelitian lebih

lanjut terhadap efektivitas midazolam

sebagai pretreatment dengan dosis lebih

besar, interval waktu pemberian lebih

lama dan cara atau rute pemberian yang

berbeda (misalnya secara intramuskular

yang biasa dilakukan dalam premedikasi)

serta dengan konfirmasi silang dari hasil

pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase

agar hasilnya lebih sahih.

Page 28: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

89

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

DAFTAR PUSTAKA

1. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN.

Lee‟s synopsis of anaesthesia. 12th ed.

Oxford : Butterworth Co, 174 – 99, 200 –

28, 416 – 8.

2. Cartwright DP. Suxamethonium in day-case

anesthesia. Br J Anesth 1993 ; 71(6) : Corr.

3. Alikhami S, Robert JT. Airway evaluation

and management. In : Hurford WE, Bailin

MT, Davison JK, Haspel KL. Clinical

anesthesia procedures of the Massachusetts

General Hospital. 5th ed. Philadelphia :

Lippincott-Raven, 1998 : 204 – 22.

4. Stacey MRW, Barclay K, Asai T, Vaughan

RS. Effects of magnesium sulphate on

suxamethonium-induced complications

during rapid-sequence induction of

anesthesia. Anesthesia 1995 ; 50 : 933 – 6.

5. Durant NN, Katz RL. Suxamethonium. Br J

Anesthesia 1982; 54: 195 – 205.

6. Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller

RD. Pharmacology of muscle relaxants and

their antagonists. Miller RD Anesthesia 5th

ed. Philadelphia : Churchill Livingstone,

2000 : 412 – 90.

7. Stoelting RK. Pharmacology and Physiology

in Anesthesic Practice 3rd ed. Philadelphia :

Lippincott-Raven, 1999: 126 – 39, 182 –

223, 748 – 51.

8. Maddieni VR, Mirakhur RK, Cooper AR.

Myalgia and biochemical changes following

suxamethonium after induction of anesthesia

with thiopenton or propofol. Anesthesia 199;

48: 626 – 8.

9. McLouglin C, Elliot P, McCarty. Muscle

pains and biochemical changes following

suxamethonium administration after six

pretreatment regimens. Anesthesia 1992; 47:

202 – 6.

10. Laurence AS. Myalgia and biochemical

changes following intermittent

suxamethonium administration. Anesthesia

1987; 42: 503 – 10.

11. Ferres CJ, Mirakhur RK, Craig HJL.

Pretreatment with vecuronium as a

prophylactic againts post-suxamethonium

muscle pain. Br J Anesthesia 1983; 55: 735

– 41.

12. Raman SK, San WM. Fasciculations,

myalgia and biochemical changes following

succinylcholine with atracurium and

lidocaine pretreatmnet. Can J Anesthesia

1997; 44: 498 – 502.

13. Cannon JE. Precurarization. Can J Anesth

1994; 41: 177 – 83.

14. Houghton IT, Aun CST, Gin T.

Suxamethonium myalgia: an ethnic

comparison with and without pancuronium

pretreatment. Anesthesia 1993; 48: 377 – 81.

15. Brodsky JB, Ehrenwerth J. Postoperative

muscle pain and suxamtethonium. Br J

Anesth 1980; 52: 215 – 8.

16. Kahraman S, Ercan S, Aypar U, Erdem K.

Effect of preoperative i.m. administration of

diclofenac on

17. Pace NL. Prevention of succinylcholine

myalgias: a meta-analysis. Anesth Analg

1990; 70: 477 – 83.

18. Tramer MR, Schneider J, Marti RA, Rifat K.

Role of Magnesium Sulphate in

Postoperative Analgesia. Anesthesiology

1996; 84: 340-7.

19. Koinig H, Wallner T, Marhofer P,

Magnesium Sulphate Reduces Intra and

Postoperative Analgesic Requirements.

Anesthesia and Analgesia 1998; 87: 206-10.

20. Wilder-Smith CH, Knopfli R, Wilder-Smith

OH. Perioperative Magnesium Infusion and

Postoperative Pain. Acta Anesthesiologica

Scandinavica 1997; 41: 1023-7.

21. Seong-Hoon K, Hye-Rin L, Dong-Chan K,

Magnesium Sulphate does not Reduces

Postoperative Analgesic Requierments.

Anesthesiology 2001; 95: 640-6.

Page 29: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

90

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

PENELITIAN

Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan

Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin

Imam Suyuti*, IGN Panji*, Mohammad Sofyan Harahap *

*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background:Succinylcholine is the only one muscle relaxant with rapid action and short

duration, but it has some side effects, such as increasing of intraocular pressure.

Precurarisation with non depolarizing muscle relaxants could prevent this but may

increase the succinylcholine dose. Magnesium sulphate works competitively in the

neuromuscular junctionon prejunctionaly site.

Purpose: To proof that magnesium sulphate pretreatment to prevent has the same

efficiency with atracurium in preventing the increased of intraocular pressure caused by

succinylcholine administration.

Methods : The study was clinical trial stage II, with double blind randomized controlled

trial. The number of samples was 54 patients divided into 2 groups; Group I :threated with

magnesium sulphate 40 m/kg intravenously in l0 minutes, 3 minutes before inductin. Group

II : administrationNaCl20 in in l0 ml, subsequently atracurium 0,05 ml/kg in 3 ml, 3

minutes before induction, in l0minutes, 13 minutes before induction, subsequently NaCl 3

ml, 3 minutes before induction.

Results: There was no increased in intraoccular pressurc 2 minutes after succinylcholine

administration both groups. But there was a decreased in intraoccular pressure on both

goups. There was, no Siqnificant change of intraoccular pressure in both groups after

sucynilcholine administration

Conclusion: There was no intraocular prcssure increase after

succinylcholineadministration in patients treated by magnesium sulphate, and atracurium.

There was no significant difference in the change of intraocular pressure after

pretreatment with magnesium sulphate and also atracurium.

Keywords: Succinylcholine atracurium, magnesium sulphate, intraocular pressure.

ABSTRAK

Latar belakang : Suksinilkolin satu-satunya pelumpuh otot dengan onset cepat dan durasi

kerja sangat singkat, tetapi mempunyai efek samping diantaranya menaikkan tekanan

intraokuler. Prekurarisasi dengan pelumpuh otot non depolarisasi menyebabkan

peningkatan dosis suksinilkolin. Magnesium bekerja secara kompetitif pada

neuromuscular junction menduduki prejunctional site.

Page 30: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

91

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment magnesium sulfat sama baiknya dengan

pretreatment atracurium untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler akibat pemberian

suksinilkolin.

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind

randomized controlled trial. Sampel 54 pasien, dibagi dalam 2 kelompok; kelompok I :

diberikan magnesium sulfat 40 mg/kg diencerkan sampai 20 ml, i.v dimasukkan dalam 10

menit, 13 menit sebelum induksi, dilanjutkan NaCl 3 ml3 menit sebelum induksi. Kelompok

II (kontrol) : mendapatkan NaCl 20 ml dimasukkan dalam l0 menit, dilanjutkan

atracurium 0.05 mg/kg diencerkan sampai 3 ml, 3 menit sebelum induksi. Tekanan

intraokuler diukur sebelum perlakuan, 2 menit setelah pemberian suksinilkolin dan segera

setelah intubasi.

Hasil: Tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuler 2 menit setelah pemberian

suksinilkolin pada kelompok I maupun kelompok II, justru terjadi penurunan tekanan

intaokuler pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna, pada

perubahan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok I maupun

II.

Simpulan: Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin

pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat

pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan

tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.

Kata kunci : suksinilkotin, tekanan intraokuler, magnesium sulfat, atracurium.

PENDAHULUAN

Suksinilkolin adalah satu-satunya obat

pelumpuh otot golongan depolarisasi,

yang digunakan dalam praktek klinik.

Suksinilkolin merupakan satu-satunya

obat anestesi dengan kejadian komplikasi

yang begitu tinggi yang masih tetap

digunakan sampai saat ini, karena obat ini

mempunyai onset yang cepat dan durasi

kerja yang sangat singkat walaupun hal

ini tidak selalu menguntungkan.1,2,3

Penggunaan suksinilkolin hanya untuk

fasilitas intubasi, terutama pada anestesi

keadaan darurat (rapid-sequence

induction), anestesi rawat jalan

(ambulatory/day-case anaesthesia), dan

pada pasien dengan prediksi kesulitan

intubasi.l,2,3,4

Keuntungan lain penggunaan

suksinilkolin untuk fasilitas intubasi

adalah harganya murah, mudah diperoleh,

stabil disimpan dalam suhu kamar serta

toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7

Efek

samping suksinilkolin adalah fasikulasi

otot disritmia jantung hiperkalemia

reaksi anafilaktik spasme otot masseter,

mialgia, peningkatan tekanan intragastrik

kenaikan tekanan intraokuler dan tekanan

intrakranial, sampai komplikasi serius

berupa hipertermi maligna. 1,4,6,7

Page 31: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

92

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Fasikulasi adalah kontraksi otot rangka

secara cepat terus menerus (tetanik), tidak

sinkron disebabkan oleh depolarisasi

yang terus-menerus, akibat ikatan

suksinilkolin dengan reseptor membran

post sinap.7 Fasikulasi ini menyebabkan

efek samping yang tidak diinginkan

seperti kenaikan kadar kalium,

peningkatan tekanan intrakranial,

kenaikan tekanan intragastrik dan

kenaikan tekanan infaokuler.7

Berbagai

metode dan jenis obat telah diteliti

sebagai pretreatment untuk mencegah

atau mengurangi efek samping akibat

pemberian suksinilkolin, diantaranya

adalah: magnesium,8,9

golongan NSAID,

benzodiazepin, obat pelumpuh otot

golongan non depolarisasi kalsium dan

magnesium.10,11

Efek suksinilkolin yang menaikkan

tekanan intraokuler membatasi

penggunaannya terutama pada pasien

dengan trauma tembus mata dan operasi

mata yang akan membuka bilik

anterior.12,13,14

Kenaikan tekanan

intraokuler setelah pemberian

suksinilkolin disebabkan karena efek

langsung dari kontraksi (fasikulasi) otot

ekstraokuler,13,14

dan mungkin karena

dilatasi sementara dari pembuluh darah

koroid.15

Berbagai jenis obat pelumpuh otot

golongan non depolarisasi telah diteliti

untuk mencegah timbulnya efek samping

akibat pemberian suksinilkolin mulai dari

tubokurarin, galamin, pankuronium,

alkuronium, atrakufium, vekuronium,

okuronium hingga mivakurium.16,17,18

Tetapi pemberian obat pelumpuh otot

golongan non depolarisari sebelum

pemberian suksinilkolin untuk mencegah

kenaikan tekanan intraokuler

menyebabkan peningkatan jumlah

suksinilkolin yang dibutuhkan untuk

relaksasi sampai antara 50-90%.15,19

Sedangkan menurut Bartkowski dan

Savarese, pemberian prekurarisasi dengan

makurium dan pelumpuh otot non

depolarisasi lainnya mengakibatkan

perlambatan mula kerja dan penurunan

kualitas (kondisi intubasi) blok

neuromuskuler oleh suksinilkolin,

sehingga dosis suksinilkolin harus

ditingkatkan 50% dari 1 mg/kgBB

menjadi 1,5 mg/kgBB, yang juga berarti

akan menaikkan resiko komplikasinya.6,19

Efek magnesium pada neuromuscular

junction adalah ion magnesium bekerja

secara kompetitif dengan ion kalsium

untuk menduduki prejunctional site.

Magnesium memblok pelepasan kalsium

oleh retikulum sarkoplasma sehingga

menyebabkan penutupan kanal kalsium20

,

masing-masing ion bekerja secara

antagonis satu sama lain, ion magnesium

yang tinggi akan menghambat pelepasan

asetilkolin sedangkan ion kalsium yang

tinggi akan meningkatkan pelepasan

asetilkolin dari presinaptic nerve

terminal.

Diketahui juga bahwa ion magnesium

memiliki efek inhibisi pada

postjunctional potential dan

mengakibatkan turunnya eksitabilitas

membran pada serat-serat otot.20

Namun,

sampai saat ini secara langsung belum

Page 32: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

93

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

diketahui efek pretreatment magnesium

sulfat terhadap kenaikan tekanan

intraokuler karena pemberian

suksinilkolin.

METODE

Penelitian ini dilaksananakan dalam

ruang lingkup anestologi, penelitian ini

memerlukan waktu sekitar 10 minggu

dan dimulai sejak usulan ini disetujui.

Penelitian ini merupakan uji klinis tahap

II dan dirancang sebagai uji klinis acak

ganda (double blind randomized

controlled trial) yang membandingkan 2

kelompok penelitian, yaitu kelompok

magnesium sulfat (I) dan atrakurium (II).

Penelitian dengan rancangan pre-test

post-test group design.

Sampel kami adalah Penderita yang

menjalani operasi elektif di Instalasi

Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi

Semarang serta memenuhi kriteria

inklusi.

Kriteria inklusi :

1. Pasien yang menjalani operasi dengan

anestesi umum

2. Jenis kelamin laki - laki dan

perempuan

3. Usia 16-40

4. Status fisik ASA I-II

5. Pasien setuju diikutsertakan dalam

penelitian

Kriteria eksklusi :

1. Kelainan metabolisme (hiper-

paratiroid, hipoparatiroid, diabetes

melitus)

2. Hipertensi

3. Kelainan otot

4. Menderita glaukoma

5. Menderita trauma mata

6. Kelainan ginjal

7. Terdapat kontra indikasi terhadap

obat-obat yang dipakai dalam

penelitian

Alokasi penderita untuk kedua kelompok

penelitian dilakukan secara random

sederhana dengan consecutive sampling

(quota sampling). Membuat daftar urutan

perlakuan (kontrol/perlakuan) sebanyak

54 pasien dengan menggunakan daftar

bilangan acak, nomer ganjil untuk

perlakuan dan genap untuk kontrol.

Penelitian ini menggunakan metode

double blinding. Penderita dipuasakan 6

jam sebelum operasi dan kebutuhan

cairan selama puasa dipenuhi dengan

pemberian infus ringer laktat sejak puasa.

Di ruang perawatan penderita tidak

mendapatkan premedikasi, setelah

sampai di ruang operasi dilakukan

pemasangan monitor kemudian diukur

tekanan darah (TD), tekanan arteri rerata

(TAR) dan laju jantung (LJ) sebagai data

dasar pada penelitian ini. Salah satu mata

pasien ditetesi pantokain l1%, ditunggu 1

menit dan diukur tekanan intraokulernya

dengan tonometri dibantu oleh seorang

dokter spesialis Ilmu Penyakit Mata yang

telah ditunjuk.

Penderita mendapat pretreatment masing-

masing sesuai kelompok yang telah

ditentukan secara acak sebelumnya.

Kelompok I diberikan MgSO4 40% 40

mg/kgBB diencerkan sampai 20 ml,

diberikan dalam waktu l0-13 menit

sebelum induksi, kemudian diberikan

NaCl 3 ml, 3 menit sebelum induksi.

Page 33: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

94

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Kelompok II diberikan NaCl 20 ml dalam

10 menit, 13 menit sebelum induksi,

kemudian diberikan atracurium 0,05

mg/kgBB, 3 menit sebelum induksi.

Setelah 3 menit, pada kelompok I dan II

dilakukan induksi dengan propofol 1%

secara titrasi intravena (2-2,5 mg/kgBB)

dengan kecepatan 0,5 cc/detik. Setelah

reflek bulu mata hilang, diikuti

pemberian suksinilkolin 1 mg/kgBB

intravena dalam l0 detik. Dua menit

kemudian peneliti pembantu mengukur

kembali tekanan introkuler dengan alat

tonometri yang telah disiapkan, kemudian

dilakukan intubasi endotrakea. Satu menit

setelah intubasi, tekanan infaokuler

diukur kembali, TD, TAR dan LJ dicatat

siap dilakukan pengukuran tekanan

intraokuler.

Analgetik digunakan tramadol 2

mg/kgBB intravena dan sebagai rumatan

anestesi digunakan isofluran, O2 : N2O

(50%:50%) dan trakrium hingga selesai.

Data yang terkumpul akan dilakukan

editing, coding dan dimasukkan ke dalam

file kemudian dilakukan cleaning.

Setelah itu dilakukan analisis statistik

sebagai berikut:

1. Dilakukan analisis deskriptif dengan

menghitung nilai mean±SD untuk nilai

tekanan intraokuler (bila distribusi

normal). Namun, bila distribusi tidak

normal akan dihitung mediannya.

Hasil disusun dalam bentuk tabel.

2. Analisis bivariate akan menguji

komparabilitas karateristik (umur,

jenis kelamin, kelainan metabolik, dll)

menurut kelompok perlakuansesuai

dengan skala pengukuran variabel.

3. Analisis statistik selanjutnya akan

menguji perbedaan tekanan intraokuler

sebelum dan sesudah pemberian

suksinilkolin, pada kelompok

magnesium dan atracurium dengan

menggunakan Paired t-test (bila

distribusi normal) atau Wilcoxon Rank

Sum test (bila distribusi tidak normal).

4. Kemudian akan diuji perbedaan

perubahan tekanan intraokuler antara

kelompok I, II dengan menggunakan

independent t-test (bila disribusi

normal) atau menggunakan Mann-

Whitney U test (bila disribusi tidak

normal).

HASIL

Subyek penelitian ini adalah penderita

yang menjalani operasi atau tindakan

bedah elektif dengan anestesi umum di

Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr.

Kariadi Semarang. Jumlah subyek

penelitian 54 orang, yang terbagi

menjadi dua kelompok yaitu kelompok

magnesium dan kelompok atrakurium,

dengan masing-masing 27 orang tiap

kelompok.

Subyek penelitian ini terdiri dari 26 laki-

laki dan 28 perempuan. Pada kelompok

magnesium, subyek perempuan lebih

banyak daripada laki-laki, yaitu 48% laki-

laki dan 52% perempuan 52%.

Sedangkan pada kelompok atracurium

terdiri dari 48% laki-laki dan 52%

perempuan.

Dari tabel 1, bisa kita lihat, rerata umur

dan rerata Body Mass Indeks (BMI)

kelompok magnesium dan kelompok

Page 34: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

95

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

atrakurium tidak didapatkan perbedaan

yang bermakna.

Untuk variabel tekanan darah sistolik,

diastolik dan TAR antara kelompok

magnesium dan atracurium tidak ada

perbedaan yang bermakna. Sedangkan

tekanan irtraokuler antara kelompok

magnesium dan atracurium sebelum

perlakuan juga tidak pada perbedaan

yang bermakna. Dengan demikian, kedua

kelompok ini layak untuk dibandingkan.

Dari tabel 4 setelah dilakukan intubasi,

tekanan darah sistolik & diastolik, TAR

dan jantung tidak terdapat perbedaan

yang bermakna antara kelompok

magnesium dan (p>0,05). Sedangkan

tekanan intraokuler antara kelompok

magnesium dan atracurium terdapat

perbedaan bermakna (p>0,05)

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian

No. Variabel

Kelompok Perlakuan

(Magnesium)

(n=27)

Kelompok Kontrol

(Atracurium)

(n=27)

Uji statistik P

1. Umur (tahun) 32,33±9,60 33,41±6,91 Uji-t 0,639

2. Jenis kelamin

(%)

- Laki-laki 48,1 48,1 Mann-Whitney 1

- Perempuan 51,9 51,9

3. BMI 21,96±2,39 21,81±2,04 Uji-t 0,808

Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung, Tekanan Intraokuler

Sebelum Anestesi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium

No. Variabel

Kelompok

Perlakuan

(Magnesium)

(n=27)

Kelompok

Kontrol

(Atracurium)

(n=27)

Uji statistik P

1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884

2. TDD 69,85±13,03 68,70±12,04 Indepen t test 0,730

3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515

4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953

5. TIO 15,14±1,39 14,19±1,43 Indepen t test 0,685

Tabel 3. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan

Intraokuler Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium

No. Variabel

Kelompok

Perlakuan

(Magnesium)

(n=27)

Kelompok

Kontrol

(Atracurium)

(n=27)

Uji

Statistik P

1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884

2. TDD 69,85±13,03 65,70±12,04 Indepen t test 0,230

3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515

4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953

5. TIO 12,88±0,95 12,41±1,00 Indepen t test 0,085

Page 35: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

96

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Tabel 4. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan

Intraokuler Setelah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium

No. Variabel

Kelompok

Perlakuan

(Magnesium)

(n=27)

Kelompok

Kontrol

(Atracurium)

(n=27)

Uji

Statistik p

1. TDS 127,70±14,49 134,22±19,49 Indepen t test 0,169

2. TDD 78,19±11,26 82,37±14,26 Indepen t test 0,237

3. TAR 95,11±12,60 100,15±15,86 Indepen t test 0,202

4. LJ 91,85±3,63 94,48±11,87 Indepen t test 0,356

5. TIO 16,21±1,46 17,16±1,45 Mann-Whitney

test 0,024

Tabel 5. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok

Magnesium dan Atrakurium

No. Variabel TIO Sebelum

Anestesi

TIO Setelah

Pemberian

Suksinilkolin

Uji Statistik P

1. Magnesium 15,14±1,39 12,88±0,95 Pair t test 0,000

2. Atracurium 14,19±1,43 12,41±1,00 Pair t test 0,000

Tabel 6. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Sesudah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan

Atrakurium

No. Variabel TIO Sebelum

Anestesi

TIO Setelah

Intubasi Uji Statistik P

1. Magnesium 15,14±1,39 16,21±1,46 Pair t test 0,000

2. Atracurium 14,19±1,43 17,16±1,45 Pair t test 0,000

Dari tabel 3 kita ketahui bahwa setelah

diberikan suksinilkolin tekanan darah

diastolik, TAR, laju jantung, dan

tekanan intaokuler tidak tedapat

perbedaan bermakna antara kelompok

magnesium dan atracurium (p>0,05).

Dari tabel 5 kita lihat bahwa pada

kelompok magnesium, tekanan

intraokuler dan setelah pemberian

suksinilkolin mengalami penurunan yang

bermakna. Demikian juga pada

kelompok atracurium, tekanan intraokuler

setelah suksinilkolin bila dibandingkan

dengan nilai tekanan intraokuler sebelum

mengalami penurunan secara bermakna

(p < 0,05). Tekanan intraokuler (tabel 2),

tidak terdapat perbedaan yang bermakna

(p> 0,05) antara kelompok magnesium

dan atrakurium, sehingga kedua

kelompok. Dari tabel 6 kita lihat bahwa,

pada kelompok magnesium, tekanan

intraokuler sebelum dan setelah intubasi,

mengalami kenaikan yang bermakna (p<

0,05). Demikian juga pada kelompok

atrakurium, tekanan intraokuler settelah

intubasi bila dibandingan dengan nilai

tekanan intraokuler sebelum anestesi

mengalami kenaikan secara bermakna

(p<0,05).

PEMBAHASAN

Untuk karakteristik subyek kedua

kelompok penelitian, yaitu jenis kelamin,

umur, dan Body Mass Index (BMI),

setelah diuji beda tidak terdapat

Page 36: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

97

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

perbedaan yang bermakna antara kedua

kelompok penelitian (Tabel 1). Sehingga

kelompok magnesium dan atrakurium ini

layak untuk dibandingkan.

Demikian juga, setelah dilakukan

analisis statistik variabel tekanan darah

sistolik dan diastolik tekanan arteri rata-

rata, laju jantung dan tekanan

sebanding sebelum diberikan perlakuan.

Pada tabel 3 nilai tekanan intraokuler

setelah pemberian suksinilkolin pada

kelompok magnesium dan atrakurium

tidak ada perbedaan yang bermakna

(p>0,05). Berarti bahwa pretreatment

dengan magnesium sulfat dapat

mencegah kenaikan tekanan intraokuler

karena suksinilkolin sebaik pretreatment

dengan atrakurium. Hal ini sesuai

dengan pendapat Rushman, dkk bahwa

prekurarisasi tiga menit sebelum induksi

anestesi dengan pelumpuh otot non

depolarisasi termasuk atracurium,

vecuronium dan pelumpuh otot yang lain

akan mencegah kenaikan tekanan

intraokuler karena efek samping

suksinilkolin.

Demikian juga penelitian yang dilakukan

SK Raman dan kawan-kawan,

mendapatkn bahwa precurarisasi dengan

atracurium 0,05 mg/kgBB, tiga menit

sebelum pemberian suksinilkolin dapat

mencegah kejadian fasikulasi sampai

kurang lebih 60% yang akan mencegah

kenaikan tekanan intraokuler karena

suksinilkolin. Sedangkan Libonati dan

kawan-kawan menggunakan pretreatment

pelumpuh otot non depolarisasi untuk

mengontrol kenaikan tekanan intraokuler

saat Rapid-squence induction dengan

suksinilkolin pada pasien dengan trauma

mata tembus.21

Sakuraba dkk (2006) dalam penelitiannya

juga mendapatkan bahwa pretreatment

dengan magnesium sulfat 40 mg/kgBB,

1,5 menit sebelum pemberian

subsinikolin lebih efektif untuk menekan

kejadian fasikulasi karena suksinilkolin,

dibandingkan dengan prekurarisasi

vecuronium 0,02 mg/kg BB, 3 menit

sebelum pemberian suksinilkolin.

Kejadian fasikulasi inilah yang akan

menaikkan tekanan intraokuler, akibat

kontraksi otot-otot ekstraokuler.

Sehingga pretreatment dengan

magnesium sulfat sebelum pemberian

suksinilkolin diharapkan mampu

mencegah kenaikan tekanan intraokuler

lebih baik.

Pada tabel 4 kita lihat bahwa setelah

intubasi tekanan darah sistolik, diastolik

tekanan arteri rerata dan laju jantung

antara kelompok magnesium dan

atrakurium tidak ada perbedaan

bermakna. Tetapi tekanan intraokuler

antara kelompok magnesium dan

atrakurium ada perbedaan bermakna

dimana pada kelompok atrakurium

tekanan intraokuler lebih tinggi. Hal ini

kemungkinan karena pretreatment

dengan magnesium sebelum intubasi bisa

mengurangi gejolak intubasi karena bisa

menekan kenaikan kadar kortisol saat

intubasi. Sedangkan pretreatment dengan

atrakurium sebelum pemberian

suksinilkolin akan memperlambat onset

Page 37: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

98

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

dan mengurangi kualitas relaksasi saat

intubasi.22

Pada tabel 5 tekanan intraokuler pada

kelompok magnesium dan atrakurium

setelah pemberian suksinilkolin tidak

mengalami peningkatan. Pemberian

suksinilkolin seharusnya meningkatkan

tekanan intraokuler sebesar 10-20

mm/Hg. Tetapi hal tersebut tidak terjadi

pada pasien dalam penelitian ini, karena

pemberian pretreatment obat pelumpuh

otot non depolarisasi seperti atrakurium

yang bekerja pada reseptor nikotinik

kolinergik prejunctional dapat mencegah

terjadinya fasikulasi karena suksinilkolin

tanpa mernpengaruhi kerja antagonis

suksinilkolin pada reseptor kolinergik

post sinap.22

Fasikulasi inilah yang akan

menyebabkan kenaikan tekanan

intraokuler.12,13

Demikian pretreatment

dengan magnesium akan mencegah

terjadinya kenaikan tekanan intra okuler

karena suksinilkolin, karena ion

magnesium yang bekerja secara

kompetitif dengan ion kalsium untuk

menduduki prejunctional site, akan

memblok pelepasan kalsium oleh

retikulum sarkoplasma sehingga

menyebabkan penutupan kanal kalsium.20

Hal ini akan menghalangi aksi agonis dari

suksinilkolin pada reseptor nikotinik

prejunctional pada neuromuscular

junction, sehingga akan mencegah

timbulnya fasikulasi.11,22

Pada tabel 5

ini juga kita lihat bahwa, tekanan

intraokuler setelah pemberian

suksinilkolin justru mengalami

penurunan. Penurunan nilai tekanan intra

okuler ini secara statistik bermakna

karena nilai p<0,05. Hal ini kemungkinan

disebabkan karena, peningkatan tekanan

intraokuler bisa dicegah dengan

pemberian pretreatment magnesium

sulfat atau atrakurium, sedangkan

pemberian propofol sebelum

suksinilkolin menyebabkan penurunan

tekanan intraokuler.

Propofol menyebabkan relaksasi otot-otot

ekstraokuler, memperbaiki aliran humor

aqueous menyebabkan penurunan

tekanan darah, sehingga menyebabkan

penurunan tekanan intraoluler.10,12

Pada

tabel 8, tekanan intraokuler setelah

intubasi mengalami kenaikan bermakna

dibandingkan dengan sebelum anestesi,

pada kelompok magnesium maupun pada

kelompok atracurium. Hal ini karena

intubasi akan menyebabkan kenaikan

tekanan intra okuler lewat peningkatan

penganuh saraf simpatis. Sedangkan

pretreatment dengan magnesium tidak

sepenuhnya mampu menekan gejolak

intubasi.10,12,21

SIMPULAN

Tidak ada kenaikan tekanan intraokuler,

sebelum perlakuan dan setelah pemberian

suksinilkolin pada kelompok magnesium

dan atrakurium. Tidak ada perbedaan

yang bermakna antara nilai tekanan

intaokuler kelompok magnesium dan

kelompok atracurium, setelah pemberian

suksinilkolin. Magnesium sulfat dapat

digunakan sebagai alternatif pretreatment

untuk mencegah kenaikan tekanan

intraokuler akibat pemberian

suksinilkolin. Pretreatment dengan

Page 38: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

99

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

magnesium dan atrakurium masih belum

mampu sepenuhnya mencegah

peningkatan tekanan intraokuler setelah

intubasi sehingga diperlukan penambahan

obat-obat lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusman GB, Davies NJH, Cashman JN.

Lee's synopsis of anaesthesia. 12th

ed.Oxford:

Butterworth Co; 1999, l7-99

2. Cartwright DP. Suxamethonium. In: Day-

case anaesthesia. Br J Anaesth 1998;

71(6):200-28.

3. Aliktrani S, Roberts JT. Airway evaluation

and management. ln: Hurford WE,Bailin MT,

Davison JK, Haspel KL, Rosow C (eds).

Clinical anesthesiaprocedures of the

Massachusetts General Hospital. 5th ed.

Philadelphia :Lippincoff-Raven; I 998,

20+22.

4. Stacey MRW, Barclay K Asai T, Vauglran

RS. Effects of magnesium sulphate

onsuxametonium-induced complications

during squence induction of

anaesthesiaAnaesthesi a 1999; 50: 933-6.

5. Durant NN ,KatzRL. Suxamethonium. Br J

Anaesth 1992; 54: 195-205.

6. Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller

RD. Pharmacology of muscle relanantsand

their antagonists. In: Miller RD (ed).

Anesthesia 56 ed. Philadelphia :Churchill

Livingstone ; 2000, 412-90.

7. Stoelting RK. Neuromuscular bloking drugs.

In: Pharmacology and physiolory innesthetic

practice. 3rd.

Philadelphia : Lippincott-Raven;

1999, 126-39.

8. Sakuraba S, Serita R, Kosugi S, at al.

Pretreatrnent with m sulphate is

associatedwith less succinylcholine- induced

fasciculation and subsequent

trachealintubation-induced hemodynamic

changes than precurarization with

vecuroniumduring rapid sequence induction.

2006. Available from

:http://cat.inist.frl?aModelraffi cheN&cpsidp

18187504.

9. Mcloughlin C, Elliot P, McCarthy G,

Mirakhur RK. Muscle pains andbiochemical

changes following suxamethonium

adminisnation after sixpreteafrnent regimens,

Anaesthesi; 1997: 202-6.

10. Laurence AS. Myalgia and biochemical

changes following intermitentsuxamethonium

administration. Anaesthesi a 1997 ;42: 503-

10.

11. Cannon JE. Precuraritation. Can J Anaesth

1994;41: 177-83.

12. Morgan GE, Mikhail MS.Anesthesia for

Ophtalmic Surgery In : Clinicalanesthesiol

2nd

. ed. New York : Mc Graw Hill ; 2000 ,

397 -8.

13. Donlon JV. Anesthesia for eye, ear, nosq and

throat surgery.In : Miller RD ( editor).

Anesthesia. 5thed. Philadelphia: Churchill

Livingstone; 2000, 2176-8.

14. Miller RD. Obat pelemas otot. Dalam

Karzung BG (editor). Farmakologi dasardan

klinik. Terjemahan AnwarAgoes. Jakarta:

EGC; 1998,423-34.

15. Fenes CJ, Mirakhur RK, Craig FIJL, Browne

ES, Clarke RSJ. Meatment withvecuronium

as a prophylactis against post-

suxarnethonium muscle pain. Br JAnaesth

1993; 55: 735-41.

16. Bennetts FE, Khalil KI. Reduction of post-

suxamethonium pain by pretreatmentwith

four nondepolarizing agents. Br J anaesth

1987;53: 53-16

17. McCoy EP, Connoly FM, Mirakhur RK,

Loan PB, Paxton LD. Nondepolarizing

neuromuscular blocking drugs and train of-

four trade. Can J Anaesth l997 42:213-6.

18. Pace NL. Prevention of succinylcholine

myalgias: a meta-analysis. Anesth

Analg990;70: 477-83.

19. Dube L, Granry JC. The therapeutic use of

magnesium in anesthesiology,intensive care

and emergency medicine : a review.

Neuroanesthesia and IntensiveCare. Canadian

Journal of Anesthesia 2003; 50:73246.

20. Coetzeein. EI, Dommisse J, Anthony J. A

randomized controller fiial of intra venous

magnesium sulphate venus placebo the

management of women with severe pre-

Page 39: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

100

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

eclampsia. Br J Obstet Gynaecol 198; 105:

300-3.

21. Libonati MM, Leahy JJ, Ellison N. The use

of succinylcholine in open eyesurgery.

Anesthesiology 1995; 62: 63-40.

22. Bennetts FE, Khalil LI. Reduction of post

suxamethonium pain by pretreahtentwith four

nondepolarizing agents. Br J Anaesth

1997;53: 531

Page 40: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

101

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

TINJAUAN PUSTAKA

Pemantauan Tekanan Intra Kranial

Igun Winarno*, Sofyan Harahap* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Treatment of patients with increased intra-cranial pressure in the pressure began with

monitor with invasive and non invasive way before the management of surgical and non

surgical. It was instrumental in the field of management of anesthesia for intra-cranial

pressure lowering to keeping the airway, keeping the emotional stability of patients with

sedation drugs and anelgetik, the use of drugs and inhalation agents that do not affect

intra-cranial pressure and cope with the effects that arise later.

ABSTRAK

Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan

memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian

dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat

berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan

nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik,

penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra

kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.

PENDAHULUAN

Ruang di dalam kepala dibatasi oleh

struktur yang kaku, semua kompartemen

intra kranial ini tidak dapat

dimampatkan, hal ini dikarenakan

volume intra kranial yang konstan

(Hukum Monro-Kellie). Oleh karena itu

bila terdapat kelainan pada salah satu isi

yang mempengaruhi peningkatan volume

didalamnya akan terjadi peningkatan

tekanan intra kranial setelah batas

kompensasi (compliance) terlewati.

Tekanan intra kranial normal berkisar

pada 8-10 mmHg untuk bayi, nilai

kurang dari 15 mmHg untuk anak dan

dewasa, sedangkan bila lebih dari 20

mmHg dan sudah menetap dalam waktu

lebih dari 20 menit dikatakan sebagai

hipertensi intra kranial. Efek

peningkatan tekanan intra kranial

sangatlah kompleks, oleh karena itu perlu

penanganan segera agar penderita tidak

jatuh dalam keadaan yang lebih buruk.

Tiga puluh enam persen penderita

dengan cedera otak yang disertai koma,

datang dalam keadaan hipoksia dan gagal

nafas yang membutuhkan ventilator

mekanik.

Pengertian tentang tekanan intra kranial

bagi seorang ahli anestesi sangat penting

untuk mendasari terapi kelainan yang

terjadi. Ruang intra kranial merupakan

struktur yang kaku dengan total volume

yang tetap, meliputi otak (80%), darah

(12%), dan CSS (8%). Tengkorak dan

kanalis vertebralis membentuk

perlindungan yang kuat terhadap otak,

medulla spinalis, cairan serebrospinal

(LCS), dan darah. Semua kompartemen

intra kranial ini tidak dapat

dimampatkan, hal ini dikarenakan

volume intra kranial adalah sangat

konstan (Hukum Monro-Kellie).1-5,9,l0,12

Page 41: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

102

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Penambahan volume dari suatu

kompartemen hanya dapat terjadi jika

terdapat penekanan (kompresi) pada

kompartemen yang lain. Satu-satunya

bagian yang memiliki kapasitas dalam

mengimbangi (buffer capacity) adalah

terjadinya kompresi terhadap sinus

venosus dan terjadi perpindahan LCS ke

arah aksis lumbosakral. Ketika

manifestasi di atas sudah maksimal maka

terdapat kecenderungan terjadinya

peningkatan volume pada kompartemen

(seperti pada massa di otak) akan

menyebabkan peningkatan tekanan intra

kranial (ICP/TIK).2,3,4

Peningkatan tekanan intra kranial (TIK)

akan menurunkan perfusi serebral dan

menyebabkan komplikasi iskemia

sekunder. Selain mempengaruhi Cerebral

Perfusion Pressure (CPP), peningkatan

tekanan intra kranial bila gagal dalam

mempertahankannya dapat menyebabkan

terjadinya herniasi. Meskipun batasan

yang pasti tidak ditemukan, tetapi

peningkatan TIK > 30 mmHg berkaitan

dengan peningkatan resiko herniasi

trantentorial atau herniasi batang otak.

Maka pemantauan dengan pengukuran

dan penanganan TIK adalah hal yang

penting. Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi tekanan intra kranial

diantaranya : peningkatan volume

jaringan didalammnya, peningkatan

aliran darah ke otak, kelainan dari aliran

cairan, dan penambahan efek massa. 1-

3,5,9

Disamping pengetahuan tentang tekanan

intra kranial, pemahaman tentang

bagaimana cara mengatasinyapun sangat

perlu untuk diketahui. Oleh karena itu

pada tulisan ini akan membahas tentang

pengukuran tekanan intra kranial, efek

peningkatan dan pengelolaannya, serta

kepentingannya dalam anestesi.

TEKANAN INTRA KRANIAL

Anatomi dan fisiologi Cerebral

Orang dewasa normal menghasilkan

sekitar 500 mL cairan serebrospinal

(CSF) dalam waktu 24 jam. Setiap saat,

kira-kira 150 mL ada di dalam ruang

intra kranial. Ruang intradural terdiri

dari ruang intraspinal ditambah ruang

intra kranial. Total volume ruang ini pada

orang dewasa sekitar 1700 mL, dimana

sekitar 8% adalah cairan serebrospinal,

12% volume darah, dan 80% jaringan

otak dan medulla spinalis. Karena

kantung dura tulang belakang tidak selalu

penuh tegang, maka beberapa

peningkatan volume ruang intradural

dapat dicapai dengan kompresi terhadap

pembuluh darah epidural tulang

belakang . Setelah kantung dural

sepenuhnya tegang, apapun penambahan

volume selanjutnya akan meningkatkan

salah satu komponen ruang intra

kranial yang harus diimbangi dengan

penurunan volume salah satu komponen

yang lain. Konsep ini dikenal dengan

fisiologi otak dari doktrin Monro-

Kellie.1-10

Pertambahan volume dari suatu

kompartemen hanya dapat terjadi jika

terdapat penekanan (kompresi) pada

kompartemen yang lain. Satu-satunya

bagian yang memilik kapasitas dalam

mengimbangi (buffer capacity) adalah

terjadinya kompresi terhadap sinus

venosus dan terjadi perpindahan LCS ke

arah aksis lumbosakral. Ketika

manifestasi di atas sudah maksimal maka

terdapat kecenderungan terjadinya

peningkatan volume pada kompartemen

(seperti pada massa di otak) akan

menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial (ICP/TIK).3

V CSF + V darah+ Votak = V konstan

Page 42: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

103

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Gambar : Skema jalan terjadinya herniasi : (1)

subfalcine (2) transtentorial (3) cerebral (4)

transcalvarial

(dari Fisman RA : Brain Edema. N Engl Neo 293:

706-7111)

Jadi dengan peningkatan patologis pada

satu komponen, sedikitnya salah satu dari

yang lain harus turun untuk menjaga

volume konstan. Jika komponen yang

mengakomodasi penurunan volume sama

dengan volume yang ditambah, maka

tekanan tidak berubah Yang paling

efektif dan yang merupakan kompensasi

awal adalah perpindahan CSF dari ruang

kranial ke dalam ruang spinal (terjadi

kompresi vena epidural), diikuti oleh

reabsorpsi CSF di vili arakhnoid (proses

kompensasi ini tidak cepat). Saat ICP

naik, tingkat produksi CSF mulai

menurun,sehingga ikut membantu

kompensasi. Kompensasi utama kedua

adalah perpindahan volume darah intra

kranial ke sinus-sinus vena. Kompensasi

terakhir, otak itu sendiri dapat

dikompresi untuk mengkompensasi

peningkatan volume. Hal ini

ditunjukkan pada kasus hidrosefalus

akut, di mana otak dikompresi oleh CSF

yang menyebabkan pembesaran

ventrikel, atau pada kasus hematoma

epidural akut, ketika otak secara akut

dikompresi dan terdistorsi oleh massa

hematoma. 1,3,9

Nilai normal TIK masih ada perbedaan

diantara beberapa penulis, dan bervariasi

sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg

masih dianggap normal untuk bayi, nilai

kurang dari 15 mmHg masih dianggap

normal untuk anak dan dewasa,

sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan

sudah menetap dalam waktu lebih dari 20

menit dikatakan sebagai hipertensi intra

kranial.4 Tekanan intra kranial akan

mempengaruhi tekanan perfusi cerebral

(CPP / Cerebral perfusion pressure).

CPP dapat dihitung sebagai selisih

selisih antara rerata tekanan arterial

(MAP) dan tekanan intra kranial

(ICP/TIK). 4,6,9,10,12

CPP = MAP – ICP atau MAP –JVP

JVP = tekanan vena jugularis. Ini dipakai

ketika cranium sedang terbuka (saat

operasi) dan ICP-nya nol. Jadi perubahan

pada tekanan intra kranial akan

mempengaruhi tekanan perfusi cerebral,

dimana ini akan berakibat terjadinya

iskemia otak. 2,3,5

Pada pasien dengan

cedera medulla spinalis, tekanan perfusi

pada medulla spinalis dapat dihitung

dengan selisih antara MAP dan tekanan

LCS. Meskipun sebagian besar pasien

cedera medulla spinalis menunjukkan

gambaran lesi komplit, gangguan

anatomi jarang ditemukan, dan menjaga

perfusi tetap adekuat adalah penting

untuk mempertahankan fungsi medulla

spinalis pada daerah proksimal dari

tempat cederanya.9

Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil

dari volume otak, keadaan ini tidak akan

cepat menyebabkan peningkatan tekanan

intra kranial. Sebab volume yang

meninggi ini dapat dikompensasi dengan

memindahkan cairan serebrospinalis dari

ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan

disamping itu volume darah intra kranial

akan menurun oleh karena berkurangnya

peregangan durameter. Hubungan antara

tekanan dan volume ini dikenal dengan

complience. Jika otak, darah dan cairan

serebrospinalis volumenya terus menerus

meninggi, maka mekanisme penyesuaian

ini akan gagal dan terjadilah tekanan

tinggi intra kranial. 1,2,5,6,9

Pendapat lain dikatakan bahwa

komplians intra kranial ditentukan

Page 43: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

104

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

dengan pengukuran perubahan TIK

terhadap respon perubahan volume intra

kranial. Normalnya, peningkatan volume

pada awalnya terkompensasi baik.

Setelah batas optimal tercapai, maka

peningkatan yang berlanjut akan

menyebabkan peningkatan TIK.

Mekanisme kompensasi mayor yaitu (1)

perpindahan awal CSS dari kranial ke

kompartemen spinal, (2) peningkatan

absorpsi CSS, (3) penurunan produksi

CSS, (4) penurunan volume darah

serebral total (terutama vena).2

Gambar : hubungan tekanan intrakranial dan volume

6

Gambar : Patofisiologi dari tekanan intra kranial

Gambar ini menunjukkan bagaimana cara peningkatan volume dari beberapa atau kempat bagian didalam

kepala-darah, cairan cerebro spinal, cairan (interstitial atau intracellular) dan sel-akan menigkatkan tekanan

intra kranial dan kerusakan saraf. Tanda * ini potensial dibawah control ahli anestesi 6

Gambaran Klinis Kenaikan Tekanan

Intra Kranial

Kenaikan tekanan intra kranial sering

memberikan gejala klinis yang dapat

dilihat seperti :1,6

a. Nyeri Kepala

Nyeri kepala pada tumor otak

terutama ditemukan pada orang

dewasa dan kurang sering pada anak-

anak. Nyeri kepala terutama terjadi

pada waktu bangun tidur, karena

selama tidur PCO2 arteri serebral

meningkat sehingga mengakibatkan

peningkatan dari serebral blood flow

dan dengan demikian mempertinggi

lagi tekanan intra kranial. Juga

lonjakan tekanan intra kranial sejenak

karena batuk, mengejan atau

berbangkis akan memperberat nyeri

kepala. Pada anak kurang dari 10-12

tahun, nyeri kepala dapat hilang

sementara dan biasanya nyeri kepala

terasa didaerah bifrontal serta jarang

didaerah yang sesuai dengan lokasi

tumor. Pada tumor didaerah fossa

posterior, nyeri kepala terasa

dibagian belakang dan leher.

b. Muntah

Page 44: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

105

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Muntah dijumpai pada 1/3 penderita

dengan gejala tumor otak dan

biasanya disertai dengan nyeri

kepala. Muntah tersering adalah

akibat tumor di fossa posterior.

Muntah tersebut dapat bersifat

proyektil atau tidak dan sering tidak

disertai dengan perasaan mual serta

dapat hilang untuk sementara waktu.

c. Kejang

Kejang umum/fokal dapat terjadi

pada 20-50% kasus tumor otak, dan

merupakan gejala permulaan pada

lesi supratentorial pada anak

sebanyak 15%. Frekwensi kejang

akan meningkat sesuai dengan

pertumbuhan tumor. Pada tumor di

fossa posterior kejang hanya terlihat

pada stadium yang lebih lanjut.

Schmidt dan Wilder (1968)

mengemukakan bahwa gejala kejang

lebih sering pada tumor yang

letaknya dekat korteks serebri dan

jarang ditemukan bila tumor terletak

dibagian yang lebih dalam dari

himisfer, batang otak dan difossa

posterior.

d. Papil edema

Papil edem juga merupakan salah

satu gejala dari tekanan tinggi intra

kranial. Karena tekanan tinggi intra

kranial akan menyebabkan oklusi

vena sentralis retina, sehingga

terjadilah edem papil. Barley dan

kawan-kawan, mengemukakan

bahwa papil edem ditemukan pada

80% anak dengan tumor otak.

e. Gejala lain yang ditemukan:

False localizing sign: yaitu parese

N.VI bilateral/unilateral, respons

ekstensor yang bilateral,

kelainann mental dan gangguan

endokrin

Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan

lokalisasi tumor.

Pengukuran Tekanan Intra Kranial Walaupun tidak ada data dari percobaan

random, secara umum telah diterima

bahwa pemantauan dan pengobatan

agresif pada peningkatan TIK dapat

meminimalis iskemik sekunder dan

meningkatkan outcome. Sehingga,

penggunaan peralatan intra kranial untuk

pengukuran TIK secara kontinyu menjadi

praktek standar dalam merawat pasien

neurologi yang mempunyai masalah

dengan peningkatan TIK. Peralatan ini

meliputi kateter intraventrikuler,

subarachnoid bolt, epidural systems dan

peralatan fiberoptic intraparenchymal.

Kateter ventrikulostomi umumnya

dijadikan gold standard untuk

pemantauan ICP. Kateter jenis ini

mempunyai kelebihan tambahan yaitu

dapat menjadi drainage CSF untuk

menurunkan ICP.2,9

Page 45: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

106

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Gambar : Metode pemantauan TIK

Bagaimanapun juga, penggunaan kateter

fiberoptik intraparenkim dapat

meningkatkan resiko terjadinya infeksi

bila dibandingkan alat lainnya. Monitor

subarachnoid sebaiknya ditempatkan

pada sisi yang sama dengan sisi lesi

untuk menghindari ketidakakuratan

karena ada perbedaan tekanan antara dua

himisfer. Perekaman dan penampilan

gelombang tekanan tranduced ICP secara

komputerisasi dengan penggunaan

monitor bedside pasien yang paling

multimodal saat ini menjadi standar :

gelombang tekanan „real-time‟ dan

analisis beberapa trend tekanan dapat

ditampilkan dan dibandingkan dengan

tanda monitor lainnya seperti tekanan

darah sistemik atau central venous

pressure (CVP). 2

Pada umumnya, pemantauan TIK

diindikasikan pada semua pasien yang

koma dengan cedera kepala , dan pada

pasien dengan penurunan status

neurologi dengan CT-Scan abnormal.

Seperti yang telah disebutkan di atas,

banyak pertimbangan dibutuhkannya

pemantauan TIK pada pasien cedera

kepala sedang yang membutuhkan

perpanjangan prosedur operasi di bawah

pengaruh general anestesi. Sebagai

tambahan, beberapa senter melakukan

pemantauan TIK post-operasi secara

rutin mengikuti prosedur major

neurosurgical. Satu-satunya

kontraindikasi pemantauan TIK adalah

adanya koagulopati yang tidak

terkoreksi.2 Terlepas dari alat

pemantauan ICP, terkait dengan jumlah

alat maka pemeriksaan neurologis jangan

pernah digantikan, bahkan ketika

pemeriksaan tersebut terbatas akibat

sesuatu misalnya koma atau sedasi.9

Ventrikulostomi Kateter intraventrikel yang selain

digunakan untuk pemantauan ICP juga

berfungsi untuk terapi drainase CSF.

Kateter intraventrikel merupakan metode

standar emas pemantauan ICP.

Digunakan pertama kali tahun 1960.

Sebuah kateter plastic dimasukkan ke

ventrikel lateral dan dihubungkan dengan

tranduser eksternal. Kateter intraventrikel

mengukur ICP dan juga sebagai terapi

drainase CSF. Hal ini direkomendasikan

sebagai monitor awal, setelah terjadi

trauma pada pasien untuk mengantisipasi

peningkatan ICP. Pada kondisi trauma,

ukuran ventrikel sering mengecil

Page 46: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

107

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

berbanding terbalik degan peningkatan

ICP, menyebabkan insersi kateter

ventrikel secara blind lebih sulit. Bila

ventrikel tidak dapat dikanulasi pada

usaha yang ketiga maka tehnik

alternative pemantauan ICP harus dicoba

untuk menguangi terjadinya komplikasi

terkait percobaan pemasangan berulang.9

Gambar : Teknik insersi ventriculostomi (A) trepination (B) durotomy (C) Pemasangan kanul Ventricular

(D) Terowongan subcutaneous kateter

Gambar : Pendekatan pungsi ventricular

Page 47: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

108

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Gambar : Cara baut Richmond

Kebanyakan ahli bedah saraf

merekomendasikan tempat insersi

melalui pendekatan frontal, parasagital

pada titik Kocher (2-3 cm lateral dari

midline dan di anterior sutura koronal).

Meskiun pendekatan yang lain masih

ada, akan tetapi pedekatan frontal

menawarkan hasil yang baik yaitu akses

mudah pada kornu frontalis dari sistem

ventrikel lateral, meminimalkan

keterlibatan jaringan otak sebagai jalan

masuk kateter, dan memfasilitasi

perawatan ketika pasien terlentang di

tempat tidur. Tapi familiaritas para ahli

bedah terhadap pendekatan insersi

merupakan hal terpenting.

Potensi masalah akibat ventrikulostomi

adalah sumbatan,salah meletakkan

kateter ke dalam struktur yang

menyebabkan kerusakan jaringan otak,

hematoma intraserebral, perdarahan

intraentrikuler, dan infeksi. Robabilitas

akan tersumbatnya kateter ventrikel

meningat bila kateter tersebut dibiarkan

terbuka saat ventrikel dalam kondisi

sedang kolaps. Pada kondisi ini tidak

dapat digunakan untuk memonitor ICP

ketika ventrikulostomi dibiarkan terbuka

yang saat itu berfungsi sebagai drain.

Pada kondisi trauma kami

merekomendasikan satu sampai dua

menit untuk mendrainase ketika ICP > 20

mmHg, kemudian kateter diklemp lagi

bila sudah tidak digunakan sebagai drain.

Hal ini memunkinkan CSF membentuk

ventrikel serta dapat mengukur ICP.

Baut Richmond Baut Richmond (subdural-subarakhnoid)

biasanya terdiri atas sekrup berongga

yang ujungnya melewati dura dan masuk

1-2 mm dibawah lapisan dalam

tengkorak dan menempati/menempel

pada arakhnoid yang menutupi

permukaan otak. Jika baut terletak terlalu

superficial, maak ada resiko salah

posisi/longgar dan kehilangan tekanan.

Tetapi bila terlalu dalam maka

permukaan otak dapat penetrasi menuju

kea rah herniasi masuk ke dalam sekrup

berongga dan menyumbat proses sistem.

Keuntungan baut Richmond adalah

kemudahan insersi dan penetrasi yang

sedikit terhadap jaringan otak. Tetapi

dilain sisi, baut Richmond tidak bias

digunakan untuk menurunkan ICP

dengan cara drainase, dapat

menyebabkan infeksi, perdarqahan

Page 48: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

109

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

epidural, dan kejang fokal. Selain itu

dapat terjadi penumbatan pada

tubingnya, sehingga rekaman yang

diperoleh berkurang atau hilang.

Memang salah satu kelemahan baut

Richmond adalah mudahnya tersumbat

oleh debris luka, darah dan atau dura.9

Monitor Tekanan Intra kranial

Epidural

Dua tipe monitor ICP epidural telah

dikembangkan. Satu menggunakan

sensivitas tekanan membran yang kontak

dengan dura, sedang yang satu lagi

menggunakan sensivitas perubahan

tekanan udara yang merubah bentuk

dura. Meskipun resiko infeksi otak lebih

rendah karenapenempatannya di

ekstradura, akan tetapi ada beberapa

kerugian termasuk kesulitan tehnik,

perdarahan, kalibrasi yang sulit setelah

penempatan baut, dan ketidakmampuan

untuk drainase CSF untuk terapi.9

Monitor Tekanan Intra kranial

Intraparenkim

Alat intraparenkhym misalnya monitor

ICP Camino ( Camino Laboratories, San

Diego, California USA) menggunakan

kateter yang dimasukkan kedalam

substansia grissea sehinga dapat

mengukur secara langsung tekanan

jaringan otak.

Sisi frontal kanan biasanya dipilih

sebagai tempat insersi, dan karena insersi

intraventrikuler (yang menggunakan titik

Kocher) tidak diperlukan, maka sisi

lateral frontal secara kosmetika dapat

digunakan. Setelah dilakukan trepanasi,

batangan berulir dimasukkan ke

tengkorak sampai plastic batas berhenti,

dimana ujungnya berada 1-2 mm

dibawah lapisan dalam tengkorak.

Setelah membuat sebuah lubang kecil di

dura, sensor fiber optic dikalibrasi

kemudian dimasukkan sampai tanda 5

cm sejajar dengan bagian atas batang,

yang biasanya menempatkan ujung distal

dari sensor fiber optik 10 hingga 15 mm

ke dalam parenkim otak. Alat fiber optik

yang baru dikembangkan dapat

mengukur perubahan jumlah cahaya yang

dipantulkan sebuah tekanan sensitive

diafragma yang berada di ujung alat,

kemudian nilai tekanan ditampilkan oleh

sebuah alat digital. Kabel keluaran dapat

juga digunakan untuk mengirimkan data

ke monitor ruang operasi atau unit rawat

intensif diaman akan tampak gelombang

ICP.

Sebagai perbandingan terhadap

ventrikulostomi, monitor Camino lebih

mudah dimasukkan dan probe

intraparenkim mempunyai ukuran

diameter lebih kecil, sehingga kerusakan

neulorogis jarang terjadi. Keuntungan

alat ini adalah infeksi minimal dan

kebocoran serta sumbatan kateter tidak

terjadi. Sebagai tambahan, kesalahan

akibat salah posisi tranduser juga

minimal. Kerugian utama alat ini adalah

tidak dapat dikalibrasi ulang setelah alat

ini dimasukkan, kemungkinan bergeser

juga ada yang mengharuskan

penggantian probe fiber optik dalam

kondisi steril. Keterbatasan yang

bermakna dari alat ini adalah tidak

mampu digunakan sebagai terapi

drainase CSF.

Pada kondisi trauma, ketika ICP

meningkat dan ventikel terdesak, hanya

sebagian kecil jalan keluar CSF yang

terlihat selama penempatan

ventrikulostomi. Hal ini terjadi pada

ventrikel sekitar kateter kolaps, dan bila

tidak dikenali lagi, kateter mungkin saja

tertarik. Bila terjadi maka tidak mungkin

dilakukan rekanulasi ventrikel. Pada

kondisi ini kateter dibiarkan ditempat dan

monitor kedua misalnya Camino harus

ditempatkan untuk memantau ICP.

Ketika kateter itraventrikuler mulai

mendrainase CSF yang bertumpuk dalam

Page 49: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

110

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

ventrikel, salah satu dari dua monitor

tersebut dapat ditarik tergantng pada

situasi klinis.9

Bentuk gelombang Tekanan Intra

kranial

Bentuk gelombang ICP yang normal

adalah pulsatil dan sejalan dengan irama

jantung. Tetapi nilai dasar akan naik

turun sesuai dengan siklus pernapasan

(seperti yang terjadi pada semua bentuk

gelombang yang fisiologis). Fluktuasi

normal gelombang ICP dikarakteristikan

mempunyai tiga puncak tekanan. Yang

pertama, merupaakn puncak paling tinggi

(P1) terjadi akibat pulsasi arteri yang

ditransmisikan menuju parenkim otak

dan CSF. Puncak yang kedua (P2)

diterjemahkan sebagai gelombang tidal

atau rebound dan komplien reflek intra

kranial. Puncak ketiga (P3) yang hamper

selalu lebih rendah dari P2, dan disebut

gelombang dikrotik mewakili pulsasi

vena yang ditransmisikan menuju otak.

Pada kondisi komplien otak normal

besarnya gelombang adalah kecil,

sedangkan pada otak yang ketat,

perubahan tekanan yang diikuti dengan

perubahan volume adalah besar.

Selain mempunyai karakter tiga puncak,

gelombang ICP yang terjadi sesuai siklus

jantung, perubahan tambahan pada

semua nilai dasar yang terjadi akan

mengubah komplien intra kranial. Lebih

lanjut lagi, perubahan dasar terkait

ventilasi adalah sebagai berikut: pada

napas spontan, inhalasi menurunkan

tekanan intrathorakal dan menaikkan

drainase vena (menurunkan ICP).

Dimana ekshalasi menyebabkan

penurunan outflow vena dari cranium

sehingga ICP meningkat. Sebaliknya

akan terjadi bila digunakan ventilasi

tekanan positif. Bila ICP meningkat dan

komplien serebral menurun (dengan

berbagai penyebab), komponen vena

menghilang dan pulsasi arteri menjadi

lebih jelas.

Pada tahun 1960, lundberg melaporkan

hasil pemantauan ICP secara langsung

dengan menggunakan ventrilkulotomi

pada 143 pasien. Dia menyebutkan

patofisiologi dan tanda klinis yang

bermakna dari tiga gelomang patologis

ICP yang ditandai dengan gelombang A,

gelombang B, dan gelombang C.

Gelombang Lundberg A, juga dikenal

dengan gelombang plateu dicirikan

dengan elevasi tajam ICP samapi >50

mmHg, setidaknya untuk 2 menit dampai

20 menit diikuti penurunan mendadak ke

level ICP awal. Biasanya nilai dasar baru

akabn sedikit lebih tinggi setelah timbul

gelombang A. Gelombang A ini akan

muncul lagi dengan meningkatkan

frekuensi, durasi, dan amplitude dan

sering terjadi pada peningkatan simultan

dari tekanan arteri rerata. Lundberg

mengenali gelombang ini sebagai

pertanda ICP tidak terkontrol, yang

mungkin dihasilkan dari sebuah

kelelahan kapasitas buffering dan

komplien intrakranial.

Gelombang Lundberg B juga dikenal

pulsasi tekanan, dicirikan dengan

peningkatan ICP 10 sampai 20 mmdalam

waktu 30 detik sampai 2 menit.

Gelombang ini bervariasi sesuai tipe

periode napas dan lebih sering terlihat

pada kondisi peningkatan ICP dan

penurunan komplien intrakranial.

Sebagai catatan bahwa hubunan ini tidak

semuanya konsisten dan mewakili

temuan kualitatif selama peningkatan

ICP.

Gelombang Lundberg C, merefleksikan

gelombang arteri Traube-Hering yang

ditandai peningkatan ICP berbagai

variasi dengan frekuensi empat sampai

delapan kali per menit. Gelombang ini

Page 50: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

111

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

mungkin saja mewakili status preterminal

dan kadang terlihat pada puncak

gelombang plateu. Sama seperti

gelombang B, mereka bersifat sugesti

tapi bukan patognominis akan

peningkatan ICP.

Akhir-akhir ini ditekankan pada

pengenalan dini serta pengobatan yang

berhasil akan peningkatan ICP. Oleh

karena itu, gelombang patologis

Lundberg (A, B, C) jarang terlihat.

Namun ketika mereka terlihat pada

pasien yang telah diintervensi terapeutik,

maka mereka diramalkan mempunyai

outcome yang buruk.

Metode non invasif Penurunan status neurologi klinis

dipertimbangkan sebagai tanda

peningkatan TIK, Bradikardi,

peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi

pupil normalnya dianggap tanda

peningkatan TIK. Transkranial dopler,

pemindahan membran timpani, teknik

ultrasound time of fligh” sedang

dianjurkan. Beberapa peralatan

digunakan untuk mengukur TIK melalui

fontanel terbuka. Sistem serat optik

digunakan ekstra kutaneus. Dengan

manual merasakan pada tepi kraniotomi

atau defek tengkorak jika ada fraktur.

MANAJEMEN PENINGKATAN

TEKANAN INTRA KRANIAL

Hipertensi intra kranial adalah besarnya

TIK >15 mmHg.2 Sedangkan literatur

lain hipertensi intrakranial didefinisikan

sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg

dan menetap lebih dari 20 menit.

Peningkatan progresif dari batas ini atau

TIK yang terus menerus >20 mmHg,

disarankan untuk melakukan

pemeriksaan dan penanganan.

Peningkatan progresif dari TIK dapat

mengindikasikan memburuknya

hemoragik/hematoma, edema,

hidrosefalus, atau kombinasinya dan

merupakan indikasi diakukannya

pemeriksaan CT-scan. Peningkatan terus

menerus TIK akan memperparah resiko

terjadinya cedera sekunder (komplikasi)

berupa iskemik dan/atau herniasi.2

Page 51: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

112

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Penanganan Konvensional Peningkatan TIK 2

P Penanganan konvensional

1. Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena

2. Peningkatan MAP (jika perlu)

3. Pa CO2 30−35 mmHg, atau 25−30 mmHg jika terdapat tanda-tanda herniasi

4. Manitol 0,5−1,0 g/kg tiap 6 jam (jika perlu) dan furosemide 20 mg (jika perlu).

Pertahankan z Osmolalitas serum <320.

5. Mempertahankan kondisi hipovolemia, awasi CVP jika memungkinkan.

6. Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan.

7. Pemberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine dan/atau propofol

8. Penyesuaian kadar PEEP, jika memungkinkan

9. Mempertahankan normovolemia.

P Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan penanganan konvensional)

1. Induksi hipotermi pada 33-34 °C

2. Supresi EEG maksimal dengan induksi koma propofol atau barbiturate

3. Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg (monitor SjvO2 atau PbrO2)

4. Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50 ml/jam); monitor kadar natrium

5. Serum

P Penanganan ekstrim

1. Kraniektomi dekompresi

2. Eksisi jaringan infark ± lobektomi

Penurunan Volume Darah Serebral

Elevasi Kepala

Elevasi kepala pada tempat tidur dengan

membentuk sudut 20−30° menurunkan

ICP dengan mengoptimalkan aliran balik

vena (venous return). Akan tetapi, pada

pasien hipovolemik, elevasi kepala dapat

menyebabkan penurunan dari CPP. Jika

keadaan normovolemi dipertahankan,

elevasi sampai 30° telah terbukti

menurunkan TIK tanpa mempengaruhi

CPP atau CBF pada pasien cedera

kepala.2

Perawatan seharusnya dilakukan untuk

mencegah obstruksi pada venous return

serebral dengan cervical collars atau

memasang endotrakeal tube (ET) dan

menjaga kepala tetap berada pada posisi

netral. Pada pasien dengan autoregulasi

serebralnya terjaga (stabil), peningkatan

MAP akan menyebabkan vasokonstriksi

kompensatorik dengan disertai

penurunan ICP. Hal ini dapat dicapai

dengan mempertahankan kondisi

normovolemia dan infus phenylephrine

1-10 g/kg/menit, atau norepineprine 0,05-

0,22 g/kg/menit.2

Hiperventilasi

Karena sensitivitas yang tinggi dari CBF

terhadap PaCO2, hiperventilasi dapat

menurunkan CBF dan disertai penurunan

volume darah serebral (CBV),

menyebabkan penurunan mendadak

(akut) dari TIK. Meskipun penurunan

mendadak TIK dan perbaikan CPP secara

teoritis diharapkan, dan hiperventilasi

telah dipakai sejak dahulu sebagai

modalitas terapi, tetapi pada beberapa

tahun terakhir ini kekhawatiran akan

terjadinya iskemik serebral telah

berkurang dengan penggunaan metode

ini.

Penelitian tentang CBF telah

menunjukkan bahwa meskipun

“hiperventilasi sedang” dapat meningkat

pada regio otak dengan CBF dibawah

ambang batas iskemik. Penurunan

konsentrasi oksigen vena jugularis

(SjvO2) dan jaringan otak PO2 (PbrO2)

yang telah berulang kali dibuktikan pada

penelitian terhadap pasien dengan cedera

kepala. Terlebih lagi, satu-satunya

penelitian kontrol random tentang

Page 52: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

113

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

modalitas terapi, hiperventilasi profilatik

telah ditunjukkan berkaitan dengan efek

merugikan yang ada. Maka Brain

Trauma Foundation Guidelines

menyatakan bahwa hiperventilasi

seharusnya tidak dipakai sebagai

managemen pada pasien dengan cedera

kepala, kecuali jika terdapat monitor

yang mampu mendeteksi adanya iskemik

serebral tersedia (CBF, SjvO2 or PbrO2).

Sebagai tambahan, karena normalisasi

pH dari cairan serebrospinal, efikasi dari

hiperventilasi pada CBF, CBV, dan TIK

mengalami penurunan setelah 24 jam.

Akan tetapi, selain penelitian ini,

pendapat tentang hiperventilasi masih

kontroversial. Di sini jelas terlihat bahwa

PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan

penurunan CBF, menyebabkan CBF

berada pada batas atau di bawah anbang

batas iskemik, bukti pasti tentang

iskemik masih kurang. Dengan memakai

positron emission tomography, Diringer

et al. tidak dapat mendemonstrasikan

adanya penurunan metabolisme serebral

atau perubahan pada rasio piruvat-laktat

dengan hiperventilasi akut, menyatakan

bahwa rendahnya kadar metabolism basal

(basal metabolic rate) pada pasien cedera

kepala secara bertentangan melindungi

pasien ini dari rendahnya CBF.

Maka selama kita menunggu bukti yang

pasti dari hiperventilasi, PaCO2

dipertahankan pada 35-40 mmHg. Pada

situasi akut dimana terdapat ancaman

atau terjadinya herniasi otak,

hiperventilasi PaCO2 dipertahankan pada

kisaran 20–30 mmHg. Akan tetapi, hal

ini seharusnya dilihat sebagai

penanganan sementara sambil menunggu

penanganan definitif. Untuk

maintenance, PaCO2 harus dijaga pada

30-35 mmHg. CT Xenon dan SPECT

(single-proton emission computed

tomography) dapat berguna untuk

mengukur respon CBF terhadap

hiperventilasi.2

Mempertahankan Tekanan Darah

Pada pasien dengan autoregulasi yang

intak dan penurunan compliance intra

kranial, penurunan tekanan darah

sistemik akan menyebabkan vasodilatasi

kompensatorik dan peningkatan CBV.

Hal ini akan semakin menurunkan CPP,

dengan efek “spiraling downhill” dan

penurunan progresif perfusi serebral. Hal

sebaliknya, pasien dengan autoregulasi

serebral yang terganggu dapat

menunjukkan peningkatan TIK dengan

peningkatan tekanan darah. Karena itulah

tidak mungkin memprediksi ada atau

tidaknya autoregulasi, tetapi penting

untuk mendapat gambaran tentang respon

TIK.2

Reduksi Massa pada Otak

Karena adaya sawar darah otak (blood-

brain barrier), yang relatif impermiabel

terhadap ion natrium dan klorida,

perpindahan air keluar dan masuk sel

otak terutama tergantung pada gradien

osmotik. Obat diuretik osmotik yang

efektif dipakai untuk mengatasi

peningkatan TIK adalah manitol 20%.

Diberikan bolus 0,5-1.0 g/kg, bekerja

dengan onset yang cepat, tetapi

puncaknya didapat dalam 30 menit dan

berakhir setelah 90 menit. Sedangkan

diuretik „loop‟ yaitu furosemide akan

meningkatkan kerja manitol, juga dapat

memberikan efek langsung menurunkan

TIK dan sering digunakan sebagai terapi

adjuvant (tambahan). Efek manitol

terhadap hemodinamik adalah kompleks

dengan mereduksi resistensi vaskuler

sistemik, lalu diikuti dengan ekspansi

volume intravaskuler yang dapat disertai

hipertensi sistemik.

Pasien dengan fungsi jantung yang jelek

dapat terjadi edema pulmo akut pada

pemberian infus manitol. Dengan onset

Page 53: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

114

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

diuresis, penyusutan volume

intravaskuler yang terjadi akan

meyebabkan hipotensi jika pemberian

cairan penggantinya tidak adekuat.

Komplikasi dari terapi manitol adalah

overload cairan, dehidrasi dan gagal

ginjal. Selama pemberian terapi manitol,

elektrolit, dan osmolalitas cairan harus

diawasi secara berkala, osmolalitas

serum tidak boleh lebih dari 320 mOsm.

Meskipun mekanisme utama dari

mannitol berdasarkan gradien osmotik,

hal ini juga menyebabkan refleks

vasokonstriksi dan menurunkan produksi

LCS. Pasien yang tidak bisa ditangani

dengan manitol sering memberi respon

terhadap pemberian infus salin hipertonik

(3% atau 7,5%). Meskipun beberapa

penelitian membuktikan efikasi infus

salin hipertonik, tetapi belum ada

penelitian randomized tentang

penggunaan salin hipertonik dan adanya

komplikasi hipertensi intra kranial

“rebound” (munculnya hipertensi intra

kranial setelah efek terapi ini habis). 2

Pada pasien edema vasogenik yang

sering terjadi pada pasien dengan tumor,

efektif jika diberikan steroid dan

dexamethasone 10 mg yang diberikan

setiap 6 jam. Secara umum pemberian

steroid merupakan kontraindikasi pada

pasien dengan cedera kepala dan tidak

efektif pada pasien dengan perdarahan

subaraknoid atau stroke iskemik. Pada

pasien dengan cedera medulla spinalis,

pemberian methylprednisolon dosis

tinggi telah terbukti memperbaiki

fungsinya jika diberikan dalam 8 jam.

Pada beberapa pusat, dikatakan bahwa

dalam 3 jam, pasien ini diberikan

methylprednisolon 30 mg/kg bolus, lalu

dilanjutkan 5,4 g/kg selama 24 jam dan

selama 48 jam jika terjadi dalam 3-8jam

(NACIS III). Meskipun kemajuan yang

terjadi sedikit dan beberapa keraguan

apakah keuntungannya lebih besar

daripada resiko pneumonia dan infeksi.

Akan tetapi, gambaran efikasi pemberian

steroid pada cedera medulla spinalis,

pemakaian methylprednisolon dosis

tinggi pada cedera kepala harus diteliti

lebih lanjut dan dilakukan penelitian

randomized yang melibatkan 20.000

pasien dengan metode ini.2

Reduksi Volume LCS

Dua puluh lima persen pasien dengan

perdarahan subaraknoid yang berasal dari

rupture aneurisma akan berkembang

menjadi hidrosefalus akut dengan

peningkatan TIK. Insersi ventrikulostomi

dengan drainase kontrol LCS merupakan

terapi efektif peningkatan TIK. Beberapa

pasien ini terkadang membutuhkan shunt

ventrikulo-peritoneal (VP-shunt).

Pemasangan drainase pada daerah

subaraknoid lumbal juga dapat

menurunkan LCS, tetapi dapat

meningkatkan resiko herniasi otak. Hal

ini kurang berguna pada pasien cedera

kepala, karena ventrikel sering tertekan

sehingga membuat drainase sulit masuk

ke ventrikel dan menjadi kurang efektif.2

Pengaruh obat-obat anestesi :

Anestesi inhalasi :

Isoflurane : banyak digunakan dalam

neuroanestesi, dapat meningkatkan aliran

darah otak (ADO) namun tidak terlalu

besar, MAC 1 tidak mempengaruhi

tekanan LCS, menurunkan metabolism

otak (CMRO2), efek meningkatkan TIK

dapat dikompensasi dengan

hiperventilasi.4

Sevoflurane : pada MAC 1 tidak

mempengaruhi tekanan intrakranial,

namum akan menurunkan tekanan darah.

Secara umum efek ADO dan CMRO2

sama dengan isoflurane.4

Page 54: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

115

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Anestesi intravena :

Sedasi dan Paralisis

Sedasi yang adekuat adalah penting bagi

semua pasien dengan peningkatan TIK

untuk mengurangi agitasi (kondisi

gelisah) dan gerakan-gerakan pasien serta

untuk mempermudah toleransi terhadap

ET (endotrakeal tube). Batuk atau

sumbatan pada ET atau selama

trakeobronkial suction dapat

meningkatkan TIK. Paralisis

neuromuskular secara efektif dapat

dicegah dengan cara pemberian obat ini

tetapi ini dapat menghambat pemeriksaan

neurologik yang dilakukan untuk

memonitor kondisi pasien. Sebagai

tambahan, blokade farmakologi yang

dilakukan terus menerus dapat

menyebabkan miopati dan paralisis

persisten. Pemberian obat penghambat

neuromuscular (NBMs) hanya dipakai

pada pasien yang mendapat sedasi

adekuat dengan tujuan untuk mencegah

paralisis saat pasien yang sadar. Dosis

intermiten dan pemberian secara

periodik, disertai dengan pemantauan

seksama terhadap derajat blokade

neuromuskuler, sebaiknya dilakukan

untuk memungkinkan penilaian

neurologic secara teratur.2

Pelumpuh otot non depolarisasi

pankuronium dan vekuronium tidak

mempengaruhi juga ADO, laju

metabolism terhadap oksigen dan

tekanan tekanan intrakranial.

Pankuronium meningkatkan laju nadi dan

tekanan darah sehingga tidak

menguntungkan pada hipertensi kranial,

sebaliknya vekuronium tidak

menyebabkan histamine release, tidak

menyebabkan peningkatan laju nadi dan

tekanan darah. Sedang atracurarium

mempunyai efek ADO, CMRO2, TIK

dan hasil metabolismenya laudanosine

akan melewati sawar otak dan dapat

menyebabkan kejang.4

Propofol

Obat sedasi yang menurunkan TIK

melalui efek terhadap metabolisme

serebral dan CBF seperti pada sebagian

besar obat anestesi intravena lainnya

kecuali ketamine. Semuanya memiliki

efek depresan susunan saraf pusat,

menyebabkan dosis ini berkaitan dengan

penurunan tingkat kesadaran dan tingkat

metabolisme. Propofol memiliki profil

metabolik dan vaskuler yang mirip

dengan barbiturate, menyebabkan dosis

yang berkaitan dengan penurunan

metabolisme serebral dan disertai

penurunan CBF, menyebabkan

penurunan TIK pada pasien melalui

aktivitas metabolisme serebral. Akan

tetapi, pada beberapa penelitian tentang

penurunan CBF sebanding dengan

penurunan metabolisme.

Profil farmakokinetiknya dengan waktu

paruh yang pendek, membuat obat ini

cocok dipakai sebagai obat sedatif pada

pasien neurosurgical, memungkinkan

penilaian neurologis yang cepat dalam

waktu 2-3 jam setelah penghentian

pemberian obat ini melalui infus dengan

dosis biasa (50-150 µg/kg/menit).

Beberapa penelitian mengatakan bahwa

propofol sangat baik dipakai dalam

menurunkan TIK meskipun beberapa

penelitian gagal menunjukkan perbaikan

outcome neurologiknya. Pada pemberian

dosis tinggi (>300 µg/kg/menit), dapat

dipakai untuk menginduksi koma

farmakologik dengan burst-supresi pada

electroencephalogram untuk

mendapatkan supresi metabolisme

maksimal untuk mengontrol TIK.

Pada anak-anak, ketika dipakai infus

kontinyu dalam periode lama, dilaporkan

bahwa propofol sering menyebabkan

sindrom metabolik yang ditandai dengan

asidosis, rhabdomiolisis, gagal jantung,

dan tingginya angka kematian. Saat ini,

sidrom serupa juga dilaporkan terjadi

Page 55: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

116

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

pada pasien dewasa yang mengalami

cedera kepala dengan terapi propofol >5

mg/kg/jam. Baik pada anak-anak maupun

dewasa, insidensi sebenarnya pada

sindrom ini belum diketahui dan

patofisiologinya masih belum jelas. Akan

tetapi, menyebabkan angka kematian

yang tinggi pada anak-anak, dan data

yang didapat dari penelitian klinik (saat

ini belum dipublikasikan), sehingga saat

ini pemberian infus propofol tidak

direkomendasikan.

Pada dewasa, jika terdapat indikasi

bahwa keuntungan pemakaian propofol

lebih besar dari pada resikonya dan

sebaiknya tetap diberikan pada pasien di

ruang neurointensive care unit. Akan

tetapi, pemakaian infus berkepanjangan

lebih dari satu minggu dengan dosis lebih

dari 5 mg/kg/jam, tidak diperbolehkan

dan harus segera dihentikan untuk

mencegah resiko terjadinya asidosis atau

disfungsi jantung. Sebagai tambahan,

propofol dosis tinggi akan menyebabkan

hipotensi, sehingga sering mengharuskan

pemakaian vasopressor untuk membantu

memperbaiki tekanan darah.2

Etomidate

Meskipun etomidate dulunya dipakai

sebagai obat sedatif, tidak boleh

diberikan melalui infus karena akan

menghambat sintesis kortikosteroid yang

diproduksi oleh kelenjar adrenal. Hal ini

menyebabkan depresi kardiovaskuler

yang lebih rendah dibandingkan propofol

atau barbiturate dan dan telah dipakai

sebagai dosis intermiten pada pasien

yang kurang stabil. Obat ini dapat

mereduksi TIK dengan efeknya pada

CBF dan CBV.2

Dexmedetomidine

Dexmedetomidine adalah obat golongan

agonis selektif reseptor alpha-2 dan telah

terbukti dapat dipakai obat sedative pada

pasien jantung di ICU. Meskipun belum

diteliti pada pasien neurosurgical, profil

farmakologikalnya menunjukkan bahwa

obat ini mungkin berguna sebagai sedatif

pada kelompok pasien ini. Ketika dipakai

dalam bentuk infus 0,6 mg/kg/jam,

sebagian besar pasien akan tersedasi

dengan baik tetapi terstimulasi dengan

depresi nafas yang minimal. Hal ini

menyebabkan vasokonstriksi serebral dan

akan menurunkan TIK, meskipun

penurunan CBF tidak sesuai dengan

penurunan metabolism serebral.

Penelitian kami menunjukkan bahwa

autoregulasi dan reaktivitas CO2 tidak

mempengaruhi dosis sedatif

dexmedetomidine (data tidak

dipublikasikan).

Pada iskemik eksperimental

menunjukkan penurunan jumlah neuron

yang rusak pada iskemik global

sementara (transient) pada gerbil (tikus

mencit) dan menyebabkan iskemik

serebral pada tikus. Mekanisme kerja

diperkirakan melalui penurunan release

(pelepasan) norepinephrine. Serta

tampaknya memacu pemecahan

glutamine melalui proses metabolism

oksidatif pada astrosit, maka penurunan

availabilitas glutamine sebagai prekursor

neurotoksik glutamate. Sampai saat ini

belum ada penelitian yang meneliti

tentang pemakaian obat sedatif pada unit

perawatan neurointensif, tetapi

kekurangan signifikan yaitu depresi

pernafasan membuatnya terjadi pada

pemberian sedatif yang tepat pada pasien

yang bisa bernafas spontan dengan

compliance intra kranial yang jelek.2

Barbiturate

Barbiturate menurunkan TIK dengan cara

menekan metabolisme cerebral dan

CBF. Keduanya dilakukan secara

langsung dan dengan cara mengurangi

aktivitas kejang. Baik pentobarbital dan

thiopental, keduanya telah digunakan

untuk menginduksi koma barbiturate.

Page 56: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

117

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Barbiturate biasanya digunakan untuk

pasien hipertensi intra kranial yang sukar

disembuhkan. Sama halnya dengan

sedatif lainnya, penggunaan thiopental

berhubungan dengan hipotensi sistemik

dan sebaiknya hanya digunakan pada

pasien normovolemik. Dua percobaan

randomized controlled telah menilai

manfaat thiopentone untuk mengobati

kenaikan TIK pada pasien cedera kepala.

Percobaan yang pertama menunjukkan

bahwa penurunan TIK secara signifikan

lebih besar terjadi pada grup yang diobati

dengan barbiturate, namun tanpa

perbaikan outcome dalam jangka

panjang. Percobaan kedua menemukan

bahwa TIK terkontrol pada kira-kira

sepertiga grup yang diobati, dan pada

pasien yang berespons, terdapat

perbaikan outcome dalam jangka

panjang. Hal ini mungkin akibat

pelepasan dari cerebral metabolic rate

terhadap konsumsi oksigen dari CBF dan

merupakan sebuah indikator prognosis

yang buruk.2

Pada kepustakaan lain disebutkan

tiopental menurunkan ADO dan CMRO2

yang setara pada isolektrik pada EEG,

efek lain membuang radikal bebas,

stabilisasi membrane, menurunkan CPP

dan antikonvulsan.4

Hipotermi

Hipotermi menurunkan metabolisme

cerebral dan CBF, dengan menghasilkan

penurunan CBV dan TIK. Hal itu dapat

juga menjadi neuroprotektif dengan

mengurangi pelepasan eksitotoksik asam

amino. Walaupun pada awalnya

dilaporkan secara antusias bahwa

pengobatan dengan moderat hipotermi

pada suatu percobaan single-center,

sebuah multi-center, percobaan

randomized controlled tidak dapat

menunjukkan beberapa efek yang

menguntungkan , walaupun sejumlah

pasien berumur kurang 45 tahun, yang

diakui hipotermi dan secara randomized

hipotermi, mempunyai hasil yang lebih

baik daripada mereka yang dibuat

normotermi .Untuk saat ini, pengobatan

hipotermi sebaiknya digunakan sebagai

tambahan yang efektif dan berguna untuk

mengontrol TIK.2,4,6

Pencegahan kejang

Kejang terjadi pada sekitar 15-20%

penderita cedera otak dan berkorelasi

dengan beratnya cedera. Kejang akan

meningkatkan CMRO2 dan TIK, namun

tidak ada hubungannya dengan

kemunculan kejang dini dengan keluaran

defisit neurologis. Suatu penelitian

menyatakan bahwa fenitoin efektif untuk

mencegah kejang dalam satu minggu

pertama pasca cedera, sehingga terapi

profilaksisnya hanya diberikan sampai

hari ke tujuh.4

Nyeri

Pada keadaan nyeri pasca trauma ataupun

pada keadaan lainnya ini akan

meningkatkan TIK, oleh karena itu

perhatian terhadap nyeri dan kenyamanan

penderita sangatlah perlu untuk

diperhatikan. Narkotik salah satu anti

nyeri yang kuattidak mempunyai efek

terhadap CMRO2 dan ADO, namun pada

beberapa penderita dapat menyebabkan

peningkatan TIK.4

Kraniektomi Dekompresi

Kraniektomi dekompresi (decompressive

craniectomy) diindikasikan untuk pasien

yang mempunyai peningkatan TIK dan

sulit disembuhkan dengan pengobatan

medikal. Pada pasien dengan

pembengkakan unilateral yang mengikuti

evakuasi hematoma atau reseksi tumor,

hemikraniektomi atau pemindahan

sejumlah besar flap kranial dengan

penambalan duramater, telah sukses

menurunkan ICP.

Page 57: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

118

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Pada pasien dengan edema cerebral pada

kedua himisfer, mungkin memerlukan

bilateral kraniektomi. Jarang sekali,

pengangkatan jaringan yang telah rusak

atau lobektomi mungkin dilakukan

sebagai usaha akhir untuk mengurangi isi

intra kranial pada kebanyakan kasus

berat hipertensi intra kranial. Prosedur ini

tampak efektif untuk trauma cedera

kepala, sebaik untuk pembengkakan

sekunder pada stroke atau subarachnoid

hemoragik. Sebuah percobaan

multicenter dalam rangka menilai

keuntungan kraniektomi dekompresi

sebagai pengobatan awal untuk trauma

cedera kepala akan menetapkan peran

kraniektomi dekompresi di masa depan

sebagai pengobatan definitif untuk

hipertensi intra kranial.2,4,6

Penggunaan Positive End-expiratory

Pressure pada pasien dengan

peningkatan TIK

Penderita pada peningkatan tekanan

intrakranial sampai terjadinya hipertensi

intrakranial sering jatuh pada keadaan

gagal nafas sampai pada penggunaan

ventilator mekanik. Tiga puluh enam

persen penderita dengan cedera otak

yang disertai koma, datang dalam

keadaan hipoksia dan gagal nafas yang

membutuhkan ventilator mekanik.4

Positive end-expiratory pressure (PEEP)

berulang kali digunakan untuk

meningkatkan oksigenasi pada pasien

dengan respiratory distress syndrome

atau kehilangan volume paru akibat

berbagai penyakit paru. Secara teori, hal

ini dapat meningkatkan tekanan

intratoraks, yang mana akan menghalangi

aliran vena dari kepala yang

menyebabkan peningkatan TIK.

Bagaimanapun juga, hal ini hanya

nampak relevan secara klinis jika pasien

mempunyai compliance intratoraks yang

baik dan compliance intra kranial yang

buruk. Keamanannya baru-baru ini

didemonstrasikan pada pasien stroke

akut. Dalam praktek, ketika diindikasikan

dengan tepat, PEEP sampai dengan 10

mmHg jarang menyebabkan peningkatan

TIK yang signifikan. Bagaimanapun

juga, tetaplah bijaksana untuk memonitor

respons TIK terhadap PEEP pada pasien,

khususnya ketika menggunakan PEEP >

10 mmHg.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Suarez J I, Eccer M, Cerebral Oedem and

Intrakranial Dynamics : Pemantauan and

management of intrakranial pressure, In :

Critical Care Neurology and Neurosurgery,

ed. Suarez J I, New Jersey : 2004, 100-47

2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,

Neurophysiology & Anesthesia, in Clinical

Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,

3. Anne J. Moore, David W. Newell.

Neuroanesthesia and Neurosurgical Intensive

Care, In : Neurosurgery Principles and

Practise. London : Springer 2005. p 104 – 71.

4. Harahap S, Barbiturates and Neuromuscular

Blocking Agent ; Still Valueble to Treat

Intrakranial Hypertension, In : Proceeding

Book 9th

National Congress of Indonesian

Society of Anesthesiology, ed. Nasution A

H, Solihat Y, USU Press Medan : 2010, 57-

46

5. Seubert C N, Mahla M E, Neurologic

Pemantauan, In : Miller‟s Anesthesia

Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier :

2010,

6. Drummond J C, Patel P M, Neurosurgical

Anesthesia, In : Miller‟s Anesthesia Seventh

Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,

7. Drummond J C, Patel P M, Cerebral

Physiology and the Effects of Anesthetic

Drugs, In : Miller‟s Anesthesia, 7th Edition,

ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,

8. Kincaid MS, Lam AM, General

Considerations : Neurophysiologic

Pemantauan, In : Handbook of

Neuroanesthesia, 4th Edition, ed. Newdield

P, Cotrell J E, Lippincott Williams &

Wilkins : 2007, P 57-37

9. Attaallah AF, Kofke WA, SECTION C:

Pemantauan Considerations for Trauma and

Critical Care ; Neurological Pemantauan, In :

Trauma Critical Care, Volume 2, ed. Wilsson

CW, Grande MC, Hoyt DB, Informa Healt

care, New York : 2007, 204-125

10. Kalmar AF, De Ley G, Broecker VD, Aken

V, Struys MM, Influence Of An Increased

Intrakranial Pressure On Cerebral And

Page 58: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

119

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Systemic Haemodynamics During

Endoscopic Neurosurgery: an animal model,

British Journal of Anaesthesia 102 (3): 361–

8 (2009)

11. Steiner LA, Andrews PJ. Pemantauan the

injured brain: ICP and CBF. British Journal

of Anaesthesia 97 (1): 26–38 (2006)

Page 59: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

120

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

TINJAUAN PUSTAKA

Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral

Iwan Dwi Cahyono*, Jati Listiyanto*, Mohammad Sofyan Harahap* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Change in the cerebral blood flow having the regulations vidual considering so great role

of the brain for the life . Factors that might affect the regulation of the flow of blood to the

brain one of them was the actions and anesthetic drugs during anesthesia . To avoid gord

bad that might happen need to learn about auto regulation cerebral blood well . The use of

medicinal also need to consider . Operation to head takes time relative long operasi than

the others .

The brain of a distinctive have the ability to regulate the flow of blood against :

1. The activity of functional and metabolic ( flow metabolism coupling and metabolic

regulation )

2. The change in pressure perfusi perssure autoregulation.

3. Oxygen saturation is change or carbon dioxide of the arteries

Besides the bloodstream the brain can change through a direct influence of relations

between the special centers in the brain and the blood vessels ( neurogenic regulation )

Changes in the flow of blood to the brain having the risk of fatal in determining the

prognosis . Death caused by the most aneurisma from arteri breakage in the brain and

hurt the head caused by a traffic accident . A diagnosis aneurisma difficult or too late to be

known . A doctor well ektra to the heart of hearts anesthetic in patients with the monitor

hemodynamic and maintaining hemodynamic not experienced that the high risk to avoid

the rupture of aneurysm.

ABSTRAK

Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar

peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran

darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk

menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi

darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi

dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.

Otak mempunyai kemampuan yang khas untuk mengatur aliran darah terhadap :

1. Aktivitas fungsional dan metabolic (flow metabolism coupling and metabolic

regulation).

2. Perubahan pada tekanan perfusi (perssure autoregulation)

3. Perubahan kandungan oksigen atau karbondioksida dari arteri.

Selain itu aliran darah otak dapat berubah melalui pengaruh langsung dari hubungan

antara pusat-pusat khusus di otak dan pembuluh darah (Neurogenic Regulation).

Perubahan aliran darah ke otak memiliki resiko yang fatal dalam menentukan prognosis.

Kejadian kematian paling banyak disebabkan aneurisma dari arteri yang pecah didalam

otak serta cidera kepala yang disebabkan suatu kecelakaan lalu lintas. Diagnosis

Page 60: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

121

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Aneurisma sulit dilakukan atau terlambat untuk diketahui. Seorang dokter anestesi dituntut

ektra hati hati dalam membius pasien dengan cara memantau hemodinamik dan menjaga

hemodinamik tidak mengalami gejolak yang tinggi untuk menghindari resiko pecahnya

aneurisma.

PENDAHULUAN

Otak membutuhkan metabolisme yang

lebih tinggi dibanding organ tubuh yang

lain, otak menerima 14% aliran darah

dari pompa jantung, sebanyak 700

ml/menit darah dipompakan keotak,

sebanyak 20% kebutuhan oksigen

diambil oleh otak. Tingkat aliran darah

serebral (Cerebral Blood Flow). Harga

CBF sebagian besar ditentukan oleh

tingkat metabolisme dan konsumsi

oksigen otak, metabolism otak

cenderumg menurun pada saat terjadi

hipotermi.1,2,3

CBF pada orang dewasa adalah sekitar 50

mL/100 g / menit sedangkan pada anak-

anak adalah sekitar 95 mL/100 g / menit,

yang lebih tinggi daripada orang dewasa.

Sebaliknya, bayi memiliki CBF sedikit

lebih rendah daripada orang dewasa (40

mL/100 g / menit). Medula spinalis (MS)

memiliki aliran darah rata-rata 60

mL/100 g / menit dan 20 mL/100 g /

menit .1,4

Otak sebagai organ pengatur tubuh

memiliki bagian terkompleks dan sangat

terorganisasi sehingga membutuhkan

aliran darah yang baik. Karena cadangan

energi didalam otak tidak dapat

diabaikan, aliran darah yang cukup

diperlukan untuk menyediakan substrat-

substrat penghasil energi dan untuk

membersihkan produk-produk dari

metabolisme sel. Otak sangat sensitif

pada penurunan aliran darah.

Berkurangnya aliran darah yang hebat

dapat menyebabkan gejala neurolofis

dalam beberapa detik. Gangguan aliran

darah yang kontinyu dapat menyebabkan

terjadinya kerusakan jaringan yang

ireversibel.

Otak mempunyai kemampuan yang khas

untuk mengatur aliran darah terhadap :

1. Aktivitas fungsional dan metabolic

(flow metabolism coupling and

metabolic regulation).

2. Perubahan pada tekanan perfusi

(perssure autoregulation)

3. Perubahan kandungan oksigen atau

karbondioksida dari arteri.

Selain itu aliran darah otak dapat berubah

melalui pengaruh langsung dari hubungan

antara pusat-pusat khusus di otak dan

pembuluh darah (Neurogenic

Regulation).2

Otak mendapat aliran darah dari 2 pasang

arteri yaitu arteri carotis interna dan arteri

vertebralis keempat arteri saling terbebas

dan beranastomose menjadi sirkulus

arteri Willisi dan arteri Basilaris sistem

ini diikuti oleh arteri-arteri serebri

propria.3

Darah kapiler memasuki vena-vena

meninggalkan otak melalui vena interna

dan vena externa yang mengalir melalui

sinus-sinus duralis besar, dari sinus-sinus

besar melaluai vena jugularis interna,

vena anonymae dan vena kava superior

kemudian menuju ke atrium kanan.

Keadaan lingkungan ikut mempengaruhi

regulasi darah ke otak, perubahan pola

makan berakibat terjadi perubahan

komposisi darah serta mempengaruhi

viskositas darah, perubahan tekanan

darah ke otak dapat memicu terjadinya

proses iskemik otak maupun pecahnya

pembuluh darah otak. 3

Page 61: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

122

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Dalam tulisan ini akan membahas

mengenai aneurisma yang terjadi intra

cerebral dan tindakan anestesi yang dapat

dilakukan.

Peredaran Darah Arteri Otak

Aa Karotis Interna

Arteri-arteri ini merupakan lanjutan dari

dari arteri karotis komunis, yang berasal

dari batang brakiosefalik yang berada

pada sisi kiri dari arcus aorta. Pada

daerah kartilago tyroid arteri karotis

komunis terbagi menjadi 2 yaitu arteri

karotis eksterna yang bertugas memberi

darah daerah leher, wajah dan regio

fronto temporalis dari kranium.

Sedangkan arteri karotis interna berjalan

menuju kanalis karotikus kemudian

memberikan cabang kecil pada dasar

telinga, dan daerah pada kelenjar hipofise

dan juga mencabang menjadi arteri

oftalmika untuk mendarahi seluruh bola

mata dan dasar bola mata. 3

Aa Vertebralis

Arteri ini merupakan cabang pertama dari

arteri subklavia memasuki tengkorak

melalui ruang antara sendi atlanto

ocipitalis tepi lateral foramen magnum.

Sebelum memasuki kranium arteri

vertebralis membentuk siphon seperti

huruf S yang mungkin bertujuan

melembabkan gelombang nadi yang

datang, kemudian menyusuri tepi lateral

dari medula oblogata. Diantara ponto

meduler arteri vertebralis bergabung

menjadi arteri basilaris .3

Sirkulus Arteri Willisi

Setelah memasuki rongga subarakhnoid,

a. Karotis interna berlanjut ke posterior

dibawah saraf optik dan kemudian kearah

lateral, setinggi kiasma optikum membuat

sudut belokan memasuki fisura sylvii,

pada putaran ini memberikan cabang a.

Komunikans Poterior yang bergabung

dengan a. Serebri posterior membentuk

bersama dengan a. Basilaris menjadi

sirkulus wilis.3,5,6

Aa Serebri Propria

Merupakan percabangan kecil dari a

komunikans posteior yang mendarahi

tuber sinerium, korpus mamilare,

sepertiga anterior talamus, sub talamus

dan sebagian dari kapsula intern.3

Arteri Serebri Anterior

Setelah keluar a karotis interna a cerebri

anterior memberikan cabang menjadi a

rekurens, memberikan perdarahan pada

kiasma optikus dan saraf optikus. A

cerebri anterior memiliki 5 cabang besar

yaitu orbitalis, frontopolaris, perikalosal,

kaloso marginalis dan parietalis.3

Gambar 2. Perjalanan arteri menuju otak (Peter Duus)

Page 62: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

123

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Gambar 1. Sirkulus dari Willisi dan cabang cabangnya (Peter Duus)

Arteri Serebri Media

A carotis interna memberikan cabang

menjadi a cerbri anterior dan cerebri

media, cabang ini membemberikan darah

hampir semua putamen dan nukleus

kaudatus, sepertiga palidum dan segmen

dorsal dari palidum, segmen dosrsal dari

kapsula interna berjalan antara putamen

dan nukleus kaudatus.

Cabang a serebri media sering menjadi

sumber dari hematom hipertensi. Arteri

ini bertanggung jawab untuk seluruh

regio dari lobus frontalis, parietalalis dan

temporalis. Jika arteri ini rusak atau

terjadi perdarahan menimbulkan tanda-

tanda afasia motorik dan sensorik,

aleksia, agrafia, apraksia, akalkulia dan

gangguan citra tubuh.3

Arteri Serebri Posterior

Merupakan cabang akhir dari a.basilaris

kadang-kadang merupakan perpanjangan

dari a.karotis interna. Pembuluh darah ini

bertanggung jawab pada otak tengah,

sebagian dari pons juga talamus juga

memberikan perdarahan untuk ventrikel

ketiga.3

Peredaran Darah Vena

Darah kapiler yang memasuki vena-vena,

meninggalkan otak melalui vena interna

dan eksterna yang mengalir ke sinus-

sinus duralis besar, dari sinus-sinus darah

kembali ke jantung melalui vena jugularis

interna, vena brakhiosefalika, vena cava

superior dan sebagian kecil melaluai

canalis spinalis, vena-vena tersebut antara

lain ;

a. V.v Superior dorsal

b. V.v serebri media

c. V.v Serebri inferior

d. V.v Serebri anterior

Bersama-sama vena-vena ini membentuk

vena magna dari galen yang merupakan

vena terbesar dan mengalir kedalam sinus

rectus, kemudian bermuara ke vena cava

superior melalui vena jugularis interna.3

Page 63: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

124

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Gambar 3. Aliran Darah Vena(Color Atlas of Neurology)

Defisiensi Sirkulasi Cerebral

a. Aneurisma Arteri (1,3,7,,8)

Pembuluh darah intracranial bersandar

dalam ruang subarachnoid, memberikan

perforasi kecil pembuluh darah.

Perdarahan dari pembuluh darah ini atau

dari suatu aneurisma yang diasosiasikan

terjadi secara primer kedalam ruang ini,

berakibat SAH. Aneurisma cerebral

adalah penyebab tersering Sub Arachnoid

Hemorarge (SAH) spontaneus, dengan

malformasi arterivenous perkiraan sekitar

6%, walaupun penyebab lain termasuk

trauma dan tumor.

Kejadian SAH aneurisma mempunyai

insiden tahunan 10-20 per 100.000,

meningkat secara konsisten dengan usia

sampai decade 60, dengan insiden

tertinggi 55-60 tahun. Terdapat variasa

bermakna dalam insiden SAH di seluruh

dunia, berkisar dari 1.1 sampai 92.3 per

100.000 orang. Insidens terendah pada

Timur pertengahan dan tertinggi pada

Jepang, Australia dan Scandinavia

terutama Finlandia, dimana insiden

sebanyak tiga kali di seluruh dunia.

Tingkat spesifik usia untuk SAH

tampaknya lebih tinggi pada mereka yang

berasal dari ras Afro karibian dibanding

Kaukasia. Tampaknya ada

kecenderungan pada wanita dengan

laporan rasio laki-laki dibanding wanita

sekitar 1 : 1,8.(8)

Aneurisma adalah pelebaran atau

menggelembungnya dinding pembuluh

darah, yang didasarkan atas hilangnya

dua lapisan dinding pembuluh darah,

yaitu tunika media dan tunika intima,

sehingga menyerupai tonjolan/ balon.

Dinding pembuluh darah pada aneurisma

Page 64: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

125

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

ini biasanya menjadi lebih tipis dan

mudah pecah. Sebenarnya aneurisma

dapat terjadi di pembuluh darah mana

saja di tubuh kita. Apabila aneurisma ini

terjadi pada pembuluh darah otak,

gejalanya dapat berupa sakit kepala yang

hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai

atau tidak disertai dengan muntah.

Komplikasi dari aneurisma dapat

menyebabkan terjadinya pecahnya

pembuluh darah di otak, yang juga

dikenal dengan stroke.

Sebagian besar kejadian aneurisma aorta

adalah kongenital dan ditemukan pada

dasar otak biasanya pada sirkulus wilisi,

aneurisma biasanya asimptomatik sampai

menjadi besar dan melibatkan banyak

jaringan disekitarnya seperti menekan

kiasma optikus dan biasanya ditandai

dengan nyeri kepala hebat.

Tanda-tanda terjadinya aneurisma adalah

peningkatan tekanan intrakranial yang

cepat dengan tanda khas adalah sakit

kepala, mual,muntah, kekakuan dileher

serta kesadaran yang berkabut.

Aneurisma intrakranial sering ditemukan

ketika terjadi ruptur yang dapat

menyebabkan perdarahan dalam otak atau

pada ruang subarahnoid, sehingga

menyebabkan perdarahan subarahnoid.

Perdarahan subarahnoid dari suatu ruptur

atau aneurisma otak dapat menyebabkan

terjadinya stroke hemoragik, kerusakan

dan kematian otak(3)

.

Faktor risiko turunan diasosiasikan

dengan formasi aneurisam dapat

termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi :

Defisiensi alfa glukosidase- defisiensi parsial atau lengkap enzim lisosomal,

alfa glukosidase. Enzim ini penting

untuk memecah glikogen dan

mengubahnya menjadi glukosa.

Defisiensi alfa 1 antitripsin, suatu

penyakit herediter yang menuju pada

hepatitis dan sirosis hati atau

emfisema paru.

Malformasi arteri venous (AVM)

suatu hubungan abnormal antara

arteri dan vena

Koarktasio aorta atau penyempitan aorta (arteri utama keluar dari

jantung)

Sindrom Ehlers Danlos-gangguan jaringan penghubung (umumnya

jarang)

Riwayat keluarga dengan aneurisma

Wanita

Displasia fibromuskular-penyakit arterial, penyebab tidak diketahui,

yang paling sering sering

mempengaruhi arteri medium dan

besar pada wanita muda sampai usia

pertengahan.

Teleangiectasia hemorrhagic herediter, gangguan genetik

pembuluh darah cenderung

membentuk pembuluh darah yang

kurang kapiler suatu arteri dan vena.

Sindrom Klinefelter, suatu kondisi

genetik pada pria dimana ekstra

kromosom X.

Sindrom Noonan, gangguan genetik yang menyebabkan perkembangan

abnormal banyak bagian dan sistem

dari tubuh.

PCD-Polycystic Kidney Disease, gangguan genetik dengan

karakteristik pertumbuhan banyak

kistik berisi cairan dari ginjal, PCKD

adalah penyakit medis paling umum

diasosiasikan dengan aneurisma

sakular.

Sclerosis Tuberous, tipe sindrom neurokutaneus yang dapat

menyebabkan tmor tumbuh dalam

otak, sumsum tulang belakang, organ

dan tulang.

Faktor risiko didapat diasosiasikan

dengan pembentukan aneurisma termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi:

Page 65: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

126

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Usia (tidak lebih dari 40 tahun)

Konsumsi alkohol

Aterosclerosis, suatu pembentukan plak (terbuat dari deposit substansi

lemak, kolesterol, sisa produk seluler,

kalsium dan fibrin) pada lapisan

dalam arteri.

Kebiasaan merokok

Penggunaan obat-obat terbatas seperti

kokain dan amfetamin

Hipertensi (tekanan darah tinggi)

Trauma (luka) pada kepala

Infeksi

KLASIFIKASI Pembagian aneurisma adalah sebagai

berikut :

1. Kongenital (aneurisma sakuler) 4.9%

2. Aneurisma mikotik (septik) 2,6%

3. Aneurisma arteriosklerotik

4. Aneurisma traumatik 50-76,8%

Laporan otopsi insidensi aneurisma

kongenital sebesar 4.9%-20% yang terdiri

dari 15% multiple dan 85% soliter.

Lokasi aneurisma kongenital dilaporkan :

85-90% pada bagian depan sirkel wylisii;

30--40% pada arteri carotis interna; 30-

40% di a. cerebri anterior/communicans

anterior; 20 30% di a. cerebri media; 10-

15% di a. vertebro-basilaris.

Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat

dibedakan:

Aneurisma tipe fusiform (5–9%). Penderita aneurisma ini mengalami

kelemahan dinding melingkari

pembuluh darah setempat sehingga

menyerupai badan botol.

Aneurisma tipe sakuler atau aneurisma kantong (90–95%). Pada

aneurisma ini, kelemahan hanya pada

satu permukaan pembuluh darah

sehingga dapat berbentuk seperti

kantong dan mempunyai tangkai atau

leher. Dari seluruh aneurisma dasar

tengkorak, kurang lebih 90%

merupakan aneurisma sakuler.

Berdasarkan diameternya aneurisma

sakuler dapat dibedakan atas:

Aneurisma sakuler kecil dengan diameter

< 1 cm.

Aneurisma sakuler besar dengan

diameter antara 1- 2.5 cm.

Aneurisma sakuler raksasa dengan diameter > 2.5 cm.

Aneurisma tipe disekting ( < 1% ).

Gambar 4. Tipe aneurisma

(NeurosurgeryPrinciples and Practice)

Gambar 5. Frekuensi Lokasi dari Aneurisma

serebral Kongenital (Peter Duus)

Page 66: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

127

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Bagaimana suatu aneurisma cerebralis

didiagnosis?

Suatu aneurisma cerebralis sering

ditemukan setelah ruptur atau pada

kesempatan selama pemeriksaan

diagnostik seperti computed tomography

(CT Scan), magnetic resonance imaging

(MRI) atau angiografi yang dilakukan

untuk kondisi lain.

Sebagai tambahan untuk melengkapi

riwayat medis dan pemeriksaan fisik,

prosedur diagnostik untuk aneurisma

cerebralis dapat termasuk

Digital subtraction angiography (DSA), menyediakan gambaran

pembuluh darah dalam otak untuk

mendeteksi masalah dengan aliran

darah. Prosedural meliputi

pemasangan suatu kateter (tube kecil

dan tipis) kedalam arteri pada kaki

dan melewati sampai pembuluh darah

dalam otak. Suatu kontras disuntikkan

melalui kateter dan gambaran X-ray

diambil pada pembuluh darah.8

Computed tomography scan (CT atau

CAT scan), suatu prosedural

diagnostik image yang menggunakan

kombinasi X ray dan teknologi

komputer untuk menghasilkan

gambaran cross sectional ( sering

disebut potongan) baik horisontal

maupun vertikal pada tubuh. Suatu

CT scan menunjukkna gambar detail

setiap bagian tubuh termasuk tulang,

otot, lemak dan organ. CT Scan lebih

detail dibanding X ray keseluruhan

dan dapat digunakan untuk

mendeteksi abnormalitas dan

membaantu mengidentifikasikan

lokasi atau tipe stroke. 8

Magnetic Resonance Imaging (MRI), suatu prosedural diagnostik yang

menggunakan suatu kombinasi

magnet besar, frekuensi radio dan

suatu komputer untuk menghasilkan

gambaran detail organ dan struktur

dalam tubuh. Suatu MRI

mengguankan lapangan magnet untuk

mendeteksi perubahan kecil dalam

jaringan otak yang membantu

menglikasikan dan mendiagnosis

stroke.8

Magnetic Resonance Angiography

(MRA), suatu prosedural non invasif

yang menggunakan kombinasi

magnetic resonance teknologi (MRI)

dan kontras intravena (IV) untuk menggambarkan pembuluh darah.

Kontra menyebabkan pembuluh darah

terlihat opak pada gambar MRI,

memungkinkan pemeriksa untuk

menggambarkan pembuluh darah

yang dievaluasi.8

Penanganan untuk aneurisma

cerebralis

Penanganan spesifik untuk aneurisma

cerebralis akan ditentukan oleh dokter

berdasar pada :

Usia, kesehatan keseluruhan dan

riwayat medis

Keparahan kondisi

Tanda dan gejala

Toleransi untuk obat-obatan tertentu,

prosedural atau terapi

Harapan untuk kondisi terjadi saat ini

Pendapat sendiri atau referensi

Gambar 6. Aneurisma kantong

(NeurosurgeryPrinciples and Practice)

Page 67: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

128

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

Berdasar pada situasimu, dokter akan

membuat rekomendasi untuk intervensi

yang tepat. Apa pun intervensi yang

dipilih, perhatian utama adalah untuk

mengurangi resiko perdarahan

subarachnoid, baik secara initial atau pun

episode perdarahan berulang.

Gambar 7. Metode craniotomi dengan klip

(NeurosurgeryPrinciples and Practice)

Banyak faktor dipertimbangkan ketika

membuat keputusan penanganan untuk

aneurisma cerebralis. Ukuran dan lokasi

aneurisma, hadir atau absennnya gejala, usia pasien dan kondisi medis dan hadir

atau absennya faktor resiko lainnya untuk

ruptur aneurisma harus dipertimbangkan.

Pada beberapa kasus, aneurisma tidak

diobati tapi pasien akan secara ketat

diawasi oleh dokter. Pada kasus lain,

penanganan bedah dapat menjadi

indikasi.

Terdapat dua penanganan bedah primer

untuk aneurisma cerebralis:

Open Kraniotomi (surgical clipping)

Prosedur ini meliputi bedah

pengangkatan bagian tengkorak otak.

Dokter menemukan aneurisma dan

menempatkan suatu metal klip

sepanjang leher aneurisma untuk

mencegah aliran darah masuk

kantung aneurisma. Sekali klipping

selesai, tulang tengkorak disatukan

kembali.8

Endovaskular coiling atau coil

embolisasi

Endovaskular coiling adalah teknik

invasif minimal, yang berarti insisi

pada tengkorak kepala tidak

dibutuhkan untuk menangani

aneurisma cerebralis. Lebih jauh,

suatu kateter dimasukkan dari

pembuluh darah naik menuju

pembuluh darah dalam otak. Fluoroskopi ( tipe spesial X ray sama

dengan „film” X ray) digunakan

untuk memandu kateter menuju

kepala dan masuk dalam aneurisma.8

Saat kateter pada tempatnya,

gulungan platinum sangat kecil

dimasukkan melalui kateter ke dalam

aneurisma. Gulungan platinum kecil,

yang tampak dengan X ray,

menggambarkan bentuk dari

aneurisma. Aneurisma dengan coil

menjadi tersumbat (embolisasi),

mencegah ruptur. Prosedur ini

dilakukan baik dengan anestesi umu

atau lokal. 8,9

Gambar 8. Terapi Aneurisma dengan metode

sumbat balon (NeurosurgeryPrinciples and

Practice)

Dolikoektasia Arterial Istilah yang mewakili suatu kesatuan

penyakit dari arteri yang lebih besar (

mencakup arteri intrakranial ) ditandai dengan elongasi dan distensif progresif

secara bertahap dari arteri arteri yang

Page 68: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

129

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

disebabkan oleh perubahan dalam

jaringan elastik, biasanya penyakit

multiple sklerosis.3

Regulasi CBF(1)

1. Metabolisme daerah otak bergantung

pada penumpukan metabolit.

Timbunan metabolit menyebabkan

dilatasi lokal dari aliran darah tepi

atau kecil di otak. Penyebab

mekanisme ini secara pasti belum

diketahui, ini mungkin disebabkan

oleh penumpukan K atau H di sekitar

cairan ekstraselular arteriola. Agen

lain yang dapat mempengaruhi

metabolisme termasuk nitrous oxide

(NO), kalsium, adenosin, dan

eikosanoid seperti tromboksan dan

prostaglandin. Kombinasi faktor-

faktor ini akan memberikan

kontribusi metabolism otak.4

2. NO adalah vasodilator yang

dikeluarkan secara lokal oleh sel

endotel pembuluh darah. Vasodilatasi

ini penting bagi peraturan vaskular

seluruh tubuh, tetapi peran yang tepat

NO dalam mengendalikan CBF masih

harus ditentukan. Kemungkinan

menjadi regulator penting CBF

setempat, mungkin dengan

mempengaruhi mikro sirkulasi otak

.1,4

3. Karbon dioksida (CO2) dapat

meningkatkan vasodilatasi dan

meningkatkan CBF. CO2 yang

terhidrasi dengan bantuan enzym

karbonat anhydrase yang mengarah

kepada peningkatan keasaman.

Penurunan pH diperkirakan

menyebabkan vasodilatasi. Ketika

CO2 yang dibelah dua 40-20 mm Hg,

maka CBF berkurang kira-kira

setengah .1 Ada beberapa hal yang

dapat menyebabkan perubahan CBF

antara lain ;

a. Hiperventilasi menyebabkan

pengurangan CO2, peningkatan

pH, dan dengan demikian

penurunan CBF. Jika

hiperventilasi dijaga selama 6

sampai 8 jam, pH kembali normal

karena transportasi dan CBF

bikarbonat kembali ke tingkat pre-

hyperventilation. Demikian,

hiperventilasi hanya berguna

untuk jangka waktu yang singkat .

b. Jika hiperventilasi dihentikan

tiba-tiba, menyebabkan

peningkatan CO2 ke tingkat

normal, akan terjadi pengurangan

HCO3, menyebabkan asidosis.

Peningkatan CBF Ini bisa

menjadi masalah kritis ketika

hiperventilasi digunakan untuk

mengurangi tekanan intrakranial

(ICP).

c. Ada kemungkinan bahwa

hiperventilasi ekstrem ke tingkat

di bawah 20 mm Hg dapat

menyebabkan iskemia karena

vasokonstriksi dan hiperventilasi

di bawah 30 mm Hg ini tidak

dianjurkan .

4. Autoregulasi memungkinkan CBF

tetap konstan jika tekanan perfusi

serebral (CPP) bervariasi antara 50

dan 150 mm Hg. Tanda-tanda iskemia

serebral terlihat di bawah 50 mm Hg,

di atas 150 mm Hg gangguan dari

sawar darah otak dan edema serebral

dapat terjadi. Penyesuaian aliran

perubahan tekanan mendadak

memerlukan waktu antara 30-180

detik. Mekanisme autoregulasi belum

sepenuhnya dipahami, tetapi mungkin

dipengaruhi kombinasi efek termasuk

myogenik dan faktor-faktor

metabolik.

a. Myogenik merupakan aktivitas

otot-otot dinding pembuluh darah

terjadi akibat peningkatan tekanan

dalam pembuluh darah, ketika

dinding pembuluh darah ditarik,

karena akan dengan peningkatan

tekanan darah, otot polos

kontraksi, menyebabkan

Page 69: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

130

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

vasokonstriksi yang mengurangi

aliran. hal ini menyebabkan aliran

darah meningkat karena

meningkatnya tekanan dan

mengakibatkan sedikit perubahan

dalam aliran darah.

b. Teori metabolik menyatakan

bahwa tekanan berkurang

menyebabkan penurunan aliran

dan mengurangi penumpukan

metabolit. Penumpukan metabolit

dan penurunan pH lokal

menyebabkan vasodilatasi lokal

dan dengan demikian peningkatan

aliran darah kembali normal.1,4,7

c. Autoregulasi dapat terganggu oleh

hipoksia, iskemia, hypercapnia,

trauma, dan agen anestesi

tertentu.1,4

d. Pasien dengan hipertensi kronis

memiliki autoregulatory

pergeseran kurva ke kanan.

Mereka mungkin menunjukkan

tanda-tanda iskemia akibat

penurunan tekanan aliran darah

dibandingkan pasien dengan

normotensi.

5. Tekanan parsial oksigen (PaO2) hanya

berpengaruh sedikit terhadap CBF

bila turun sampai jatuh di bawah 50

mmHg. Pada titik ini peningkatan

dramatis dalam aliran darah dengan

lebih penurunan PaO2 terjadi. Karena

oksigen kapasitas darah tinggi, kritis

penurunan kandungan oksigen dalam

darah mungkin tidak terjadi sampai

Pao2 turun di bawah ambang batas

sebesar 50 mm Hg.

6. Faktor neurogenik termasuk

adrenergik, cholinergic, dan sistem

serotonergik juga mempengaruhi

CBF. Pengaruh terbesar mereka

adalah pada pembuluh darah lebih

besar.

7. Hematokrit mengubah viskositas

darah dan dengan demikian dapat

mempengaruhi aliran darah.

Hematokrit yang rendah dapat

meningkatkan aliran darah dengan

menurunkan viskositas darah.

8. Keadaan Hipotermia menyebabkan

metabolisme saraf menurun dan

dengan demikian mengurangi CBF

sedangkan hipertermia memiliki efek

sebaliknya.

9. Tingkat metabolisme neuron yang

mengelilingi mikrovascular daerah

mengatur aliran darah. Jika aktivitas

neuron ini meningkat, tingkat

metabolisme mereka meningkat, dan

aliran darah ke daerah itu meningkat

untuk memenuhi kebutuhan oksigen

dan glukosa. hal ini telah

dimanfaatkan menggunakan

tomografi emisi positron untuk

pemetaan aktivitas fungsional otak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Philippa Newfield MD, James E. Cottrell

MD. Physiology and Metabolism of the Brain

and Spinal Cord in Handbook of

Neuroanesthesia.4th ed. Lippincott Williams

& Wilkins; 2007.1-20

2. Iskandar J(2003). CONTROL OF

CEREBRAL BLOOD FLOW ( Digitized by

USU digital library.from

http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-

iskandar%20japardi56.pdf, 6 juni 2009

3. Peter Duus. Teleensefalon atau korteks

serebral dalam diagnosis topic Neurologi

anatomi, fisiologi, tanda dan gejala. Edisi 2;

Jakarta: EGC; 1996. 310-334

4. Cerebral Blood Flow. From

http://www.vascularneurosurgery.com/cbf.ht

ml, 25 september 2009

5. Raymond D. Adams, M.A., M.D. Maurice

Victor, M.D. Allan H. Ropper, M.D.

Disturbances of CSF Circulation

andIntracranial Pressure in PRINCIPLES OF

NEUROLOGY, 6th ed. New York;

McGRAW-HILL;1998. 261-267

6. Reinhard Rohkamm, M.D. Fundamentals in

Color Atlas of Neurology, Stuttga,

Grammlich, Pliezhausen; 2004. 10-22

7. Intracranial Pressure and Cerebral Blood

Flow, World Federation of Societies of

AnaesthesiologistsWWW implementation by

the NDA Web Team, Oxford, from

http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u08/u08_

015.htm#cbf, 25 oktober 2009

Page 70: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,

131

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume I, Nomor 2, Tahun 2009

8. Philippa Newfield, James E,

Cottrel.Anesthetic Management of

intracranial aneurysms in Handbook of

Neuroanesthesia, 4th ed,San Francisco,

Lipincott wiliams & wilkins, 2007

9. Joan P. Grieve and Neil D. Kitchen,

Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage in

Neurosurgery Principles and Practice,

london, Springer, 2005;315-33

Page 71: JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif ... (JAI) edisi ini ... histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,