isi.doc

30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Materi stoikiometri dikelas X merupakan salah satu aspek penting dari materi kimia SMA secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan materi kimia tersebut merupakan materi inti yang mendasari materi-materi yang lain seperti materi kesetimbangan, asam basa, dan lain-lain. Hal serupa juga dikemukakan oleh Okanlawon (2010) bahwa stoikiometri penting untuk semua aspek dalam kimia. Sementara Firman dan Liliasari (1997) berpendapat bahwa pengetahuan stoikiometri penting artinya dalam industri kimia yang selalu harus memperhitungkan banyaknya bahan baku yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk yang dikehendaki. Namun realitanya, pemahaman pada materi stoikiometri siswa masih sangat kurang. Siswa baru mampu mempelajari kimia pada tingkat ingatan (menghafal) sehingga mengakibatkan sebagian besar siswa SMA memiliki pandangan bahwa pembelajaran kimia cukup sulit untuk dipahami. Hal serupa juga disampaikan oleh Zeineddin dan El Khalick (2008) bahwa pembelajaran sains seringkali menuntut siswa mempelajari konsep dan prinsip sains secara hafalan. Pandangan siswa terhadap mata pelajaran kimia akhirnya berimbas pada nilai hasil belajarnya yang rendah.

Upload: novi-putri-zamzami

Post on 15-Dec-2015

218 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: isi.doc

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Materi stoikiometri dikelas X merupakan salah satu aspek penting dari materi

kimia SMA secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan materi kimia tersebut merupakan

materi inti yang mendasari materi-materi yang lain seperti materi kesetimbangan,

asam basa, dan lain-lain. Hal serupa juga dikemukakan oleh Okanlawon (2010)

bahwa stoikiometri penting untuk semua aspek dalam kimia. Sementara Firman dan

Liliasari (1997) berpendapat bahwa pengetahuan stoikiometri penting artinya dalam

industri kimia yang selalu harus memperhitungkan banyaknya bahan baku yang

diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk yang dikehendaki.

Namun realitanya, pemahaman pada materi stoikiometri siswa masih sangat

kurang. Siswa baru mampu mempelajari kimia pada tingkat ingatan (menghafal)

sehingga mengakibatkan sebagian besar siswa SMA memiliki pandangan bahwa

pembelajaran kimia cukup sulit untuk dipahami. Hal serupa juga disampaikan oleh

Zeineddin dan El Khalick (2008) bahwa pembelajaran sains seringkali menuntut

siswa mempelajari konsep dan prinsip sains secara hafalan. Pandangan siswa

terhadap mata pelajaran kimia akhirnya berimbas pada nilai hasil belajarnya yang

rendah.

Siswa dalam kehidupannya telah melihat peristiwa kimia sehari-hari seperti

reaksi eksoterm-endoterm, perubahan kimia, dan lain sebagainya. Siswa

kemungkinan sudah mempunyai prakonsep terhadap konsep-konsep tersebut. Guru di

sekolah seringkali menganggap bahwa siswa belum mengetahui apa-apa tentang

konsep kimia, sehingga mengajarkan materi tanpa melihat prakonsep yang dimiliki

siswa. Apabila konsep yang dijelaskan guru berbenturan dengan prakonsep siswa,

maka kemungkinan siswa akan mengalami kebingungan dalam memahami konsep.

Hal tersebut juga dapat menyebabkan konsepsi siswa yang salah.

Selain itu, penyelesaian soal-soal stoikiometri juga membutuhkan pemahaman

yang tepat, apa yang disajikan dan ditanyakan terkadang cukup membingungkan. Hal

ini menyebabkan pelajaran kimia khususnya pada topik stoikiometri dianggap sulit

oleh siswa sehingga menjadi masalah bagi mereka. Seperti yang dikemukakan oleh

Page 2: isi.doc

2

Chandrasegaran dkk. (2008), konsep pereaksi pembatas dalam stoikiometri

merupakan bagian yang sering menimbulkan masalah bagi siswa.

Ketika suatu konsep yang penting dan mendasar tidak dapat dikuasai dengan

baik dan bahkan menunjukkan terjadinya banyak miskonsepsi, maka hal ini

mengindikasikan bahwa konsep tersebut merupakan konsep yang sulit dipahami.

Hasil penelitian membuktikan bahwa konsep-konsep dalam stoikiometri (konsep mol,

persamaan reaksi, koefisien reaksi, dan pereaksi pembatas) memang merupakan

konsep yang sangat sulit dipahami oleh siswa (Toth dan Sebestyen, 2009). Jika siswa

mengalami kebingungan dalam konsep atau ada hal yang tidak jelas dan tidak segera

bertanya kepada guru mengenai konsep yang tidak dipahami, maka siswa memahami

apa adanya, akibatnya akan terjadi salah konsep (miskonsepsi) pada diri siswa.

Miskonsepsi yang terjadi dalam diri siswa dapat menyebabkan prestasi belajar siswa

tidak baik. Apabila prestasi siswa tidak baik berarti terjadi kegagalan dalam

pembelajaran akibatnya tujuan pembelajaran tidak tercapai.

Keberhasilan dalam proses pembelajaran dipengaruhi oleh dua faktor yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan

dengan diri siswa. Diantaranya adalah kemampuan, minat, motivasi, keaktifan

belajar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar diri siswa diantaranya

adalah model pembelajaran, sarana kelas, dan lain-lain.

Berbagai cara harus diupayakan oleh guru untuk mencegah, menghilangkan

atau mereduksi miskonsepsi. Dengan terhindar dari miskonsepsi, siswa dapat

mengkonstruksi konsep-konsep yang benar sesuai dengan konsep-konsep ilmiah

sehingga pembelajaran yang bermakna dapat terjadi. Salah satu model pembelajaran

yang menyediakan berbagai kegiatan yang diperlukan dalam pembelajaran

stoikiometri adalah model problem solving (pemecahan masalah). Menurut

Kiranawati (2007), model pembelajaran pemecahan masalah (problem solving)

adalah penggunaan model dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa

menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun

masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama. Orientasi

pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah

pemecahan masalah. Adapun Sintaks dalam model problem solving menurut Polya

Page 3: isi.doc

3

(1971) terdiri dari 4 fase, yaitu : 1) memahami masalah, 2) merencanakan

pemecahannya, 3) menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan 4) memeriksa kembali

hasil yang diperoleh.

Berdasarkan uraian sebelumnya maka penulis terdorong untuk melakukan

penelitian tentang “Implementasi Model Problem Solving untuk Mereduksi

Miskonsepsi dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Stoikiometri”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan

penelitian ini adalah : “Bagaimana pengaruh model problem solving terhadap reduksi

miskonsepsi dan hasil belajar siswa pada materi stoikiometri?”

Rumusan masalah di atas dapat dijabarkan dalam beberapa pertanyaan

penelitian sebagai berikut :

1) Apakah model problem solving dapat mereduksi miskonsepsi siswa pada topik

stoikiometri?

2) Bagaimanakah hasil belajar siswa pada topik stoikiometri setelah menggunakan

model problem solving?

3) Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap penggunaan model problem solving

pada topik stoikiometri?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh model problem

solving terhadap redusi miskonsepsi dan hasil belajar siswa pada topik stoikiometri.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini terbagi dalam dua bagian, yaitu :

1) Manfaat Teoritis

- Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai penerapan

pembelajaran dengan menggunakan model problem solving pada materi

stoikiometri serta pengembangan inovasi pembelajaran IPA khususnya kimia di

SMA.

Page 4: isi.doc

4

- Sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.

2) Manfaat Praktis

- Bagi siswa, diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan hasil belajar dan

motivasi siswa pada materi stoikiometri maupun materi kimia lainnya bahkan

untuk materi pelajaran lainnya yang menggunakan model pembelajaran sejenis.

- Bagi guru, diharapkan penelitian ini dapat memotivasi guru untuk menerapkan

model pembelajaran yang sejenis pada materi pelajaran lainnya.

- Bagi sekolah dan institusi pendidikan lainnya, diharapkan penelitian ini dapat

dijadikan bukti empiris dalam pengembangan pembelajaran kimia.

Page 5: isi.doc

5

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Model Problem Solving

Problem solving biasanya didefinisikan sebagai formula baru dalam

menjawab, berangkat dari aplikasi sederhana dari pembelajaran terdahulu untuk

menciptakan sebuah solusi. Model problem solving menekankan agar pembelajaran

memberikan kemampuan bagaimana cara memecahkan masalah-masalah secara

objektif dan tahu benar apa yang dihadapi. Pemecahan masalah merupakan tahapan

yang paling tinggi karena masalah datang dalam proses pembelajaran dan

membutuhkan pemecahan dari berbagai sudut pandang. Siswa tidak akan mampu

memecahkan suatu masalah secara objektif dan tahu benar apa yang dihadapi.

Pemecahan masalah merupakan tahapan yang paling tinggi karena masalah

selalu datang dalam proses pembelajaran dan membutuhkan pemecahan dari berbagai

sudut pandang. Siswa tidak akan mampu memecahkan suatu masalah apabila tidak

mempunyai banyak konsep, kaidah atau aturan tertentu dari berbagai aspeknya

(Thoifuri : 2008). Dalam hal ini masalah yang dihadapi siswa adalah masalah-

masalah yang ada pada soal-soal pelajaran yang siswa temui selama proses belajar

mengajar berlangsung.

Kiranawati dalam Fitriyanto dkk. (2012) mengemukakan bahwa, model

pembelajaran problem solving adalah penggunaan model dalam kegiatan

pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu

masalah pribadi maupun kelompok untuk dipecahkan sendiri atau bersama-sama.

Individu menyadari masalah ketika mengalami situasi keraguan dan kekaburan

sehingga merasakan adanya semacam kesulitan, pada saat itulah individu belajar

memecahkan masalah.

2.2 Tahapan-tahapan Model Problem Solving

Menurut Selcuk dan Gamze (2008), dasar pemecahan masalah adalah proses

yang sistematis. Setiap tahap adalah hasil dari tahap yang sebelumnya dan berlanjut

hingga tahap berikutnya. Pembahasan mengenai pemecahan masalah ini tidak bisa

Page 6: isi.doc

6

lepas dari tokoh utamanya yaitu polya (1971). pemikiran polya mengenai pemecahan

masalah terdiri dari 4 tahap, yakni :

1) Memahami masalah

2) Merencanakan pemecahan masalah

3) Menerapkan rencana pemecahan masalah

4) Memeriksa kembali hasil pemecahan masalah

Djamarah dkk (2006), mengemukakan langkah-langkah dalam memecahkan

masalah adalah sebagai berikut :

1) Merumuskan dan menegaskan masalah

Individu melokalisasi letak sumber kesulitan untuk memungkinkan mencari jalan

pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan

menggunakan prinsip serta kaidah yang diketahuinya.

2) Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis

Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman

orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian

mengidentifikasi berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat

dirumuskan sebagai pertanyaan jawaban sementara yang memerlukan

pembuktian.

3) Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan

Setiap alternatif pemecahan masalah ditimbang dari segi untung ruginya.

Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang

paling mungkin dan menguntungkan.

4) Mengadakan pengujian atau verifikasi

Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental alternatif pemecahan

yang dipilih, dipraktikan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh

informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya yang telah dirumuskan.

2.3 Langkah-langkah Penerapan Model Problem Solving

Anonimous (2013) mengemukakan bahwa, saran-saran dalam pembelajaran

dalam menggunakan model problem solving yaitu sebagai berikut :

Page 7: isi.doc

7

1) Cobalah untuk memulai setiap bagian pelajaran dengan mengutarakan sebuah

masalah dan menjelaskan mengapa masalah tersebut menarik dan penting.

2) Daripada menyuruh siswa menghafal rumus, lebih baik ajari mereka bagaimana

menurunkan rumus tersebut dan mengidentifikasi bagian-bagiannya.

3) Cobalah melakukan pendekatan langkah demi langkah untuk menyelesaikan

masalah. Tanyakan beberapa pertanyaan selama kegiatan agar siswa dapat

memahami bagaimana solusi yang diperoleh, dan dapat menghadapi pertanyaan

yang serupa dengan strategi yang sama.

4) Giatkan siswa untuk membayangkan atau memikirkan cara menyelesaikan

masalahsebelum kita bersama-sama siswa menyelesaikan masalah. Hal ini untuk

meningkatkan keterampilan dan pengetahuan siswa secara aktif.

5) Saat bertanya kepada siswa, cobalah meminta siswa untuk mengusulkan apa

yang harus dilakukan, bukan menanyakan hasil akhir atau jawaban masalah.

6) Aktif meminta pertanyaan dari kelas dan menghindari untuk menjawabnya secara

langsung. Pastikan setiap siswa mendengar dan memahami pertanyaan-

pertanyaan tersebut dan kemudian mulailah bekerja menyelesaikannya secara

bersama-sama.

7) Cobalah sedini mungkin menggiatkan siswa untuk berbicara, agar mereka secara

bertahap aktif untuk berpartisipasi dalam kelas.

8) Cobalah untuk menyelesaikan masalah dengan cara berbeda-beda. Hal ini dapat

membantu siswa memahami cara terbaik menyelesaikan masalah tersebut, dan

mungkin dapat mencegah kesalahan. Teknik ini jugamenarik perhatian siswa

karena mereka ingin melihat apakah cara-cara tersebut berakhir pada jawaban

yang sama.

9) Bantulah siswa belajar merumuskan masalah sekeras upaya kita membantu

mereka menemukan jawabannya, dan giatkan mereka mengemukakan

pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri.

10) Sebelum bergerak kekonsep yang baru, cobalah bertanya kepada siswa dengan

pertanyaan yang spesifik tentang masalah yang relevan. Siswa biasanya

merespon untuk masalah-masalah yang spesifik.

Page 8: isi.doc

8

2.4 Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi

siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat

perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar.

Hamalik (2006) mengemukakan hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan

terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi

tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.

Hasil belajar dibagi menjadi tiga macam hasil belajar yaitu : 1)

keterampilan dan kebiasaan; 2) pengetahuan dan pengertian; 3)

sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi

dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah (Sudjana, 2006).

Dalam rangka meningkatkan hasil belajar khususnya untuk memacu

penguasaan pembelajaran dijenjang pendidikan SMA, perlu diketahui faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut

maka akan membantu siswa dan guru dalam mengatasi kesulitan mencapai hasil

belajar yang optimal, untuk itu diperlukan proses belajar mengajar yang baik.

Menurut Ahmadi (2001), Syarat mutlak yang menjamin berhasil baik bagi semua

cabang pekerjaan adalah kecakapan atau keahlian pada para pelaksana itu. Proses

pendidikan pun akan berhasil dengan baik bilamana para pendidik mempunyai

keahlian dan mempunyai kecakapan yang memenuhi persyaratan untuk tugas-

tugasnya.

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Proses

penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang

kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan

pembelajaran. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina

kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu.

Untuk mencapai hasil belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu

diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain:

Page 9: isi.doc

9

1) Faktor Internal

Faktor internal yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam diri siswa,

diantaranya :

- Faktor biologis

Keadaan jasmani yang perlu diperhatikan yaitu kondisi fisik yang normal,

meliputi keadaan otak, panca indera, dan anggota tubuh. Adanya kenormalan

serta kesehatan jasmani yang dimiliki siswa sangat membantu kelancaran belajar

sehingga memungkinkan siswa menerima informasi dengan baik.

- Faktor psikologis

Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar ini meliputi segala

hal yang berkaitan dengan kondisi mental seseorang diantaranya, kecerdasan/

intelegensi, bakat, minat dan motivasi. Faktor ini sangat umum dan banyak

mempengaruhi proses belajar siswa, untuk lebih jelasnya diuraikan tentang

faktor-faktor tersebut secara terperinci.

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang terdapat diluar diri siswa. Menurut

Slameto (2003), faktor eksternal yang dapat mempengaruhi belajar adalah keadaan

keluarga, keadaan sekolah dan lingkungan masyarakat.

- Keadaan Keluarga

Adanya rasa aman dalam keluarga sangat penting dalam keberhasilan seseorang

dalam belajar. Rasa aman itu membuat seseorang akan terdorong untuk belajar

secara aktif, karena rasa aman merupakan salah satu kekuatan pendorong dari

luar yang menambah motivasi untuk belajar. Perhatian orang tua dapat

memberikan dorongan dan motivasi sehingga anak dapat belajar dengan tekun.

Karena anak memerlukan waktu, tempat dan keadaan yang baik untuk belajar.

- Keadaan Sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting

dalam menentukan keberhasilan belajar siswa, karena itu lingkungan sekolah

yang baik dapat mendorong untuk belajar yang lebih giat. Keadaan sekolah ini

meliputi cara penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-alat

pelajaran dan kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa kurang baik akan

Page 10: isi.doc

10

mempengaruhi hasil-hasil belajarnya. Oleh sebab itu, guru harus dituntut untuk

menguasai bahan pelajaran yang disajikan, dan memiliki metode yang tepat

dalam mengajar.

- Lingkungan Masyarakat

Di samping orang tua, lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang tidak

sedikit pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa dalm proses pelaksanaan

pendidikan. Karena lingkungan sekitar sangat besar pengaruhnya terhadap

perkembangan pribadi anak, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih

banyak bergaul dengan lingkungan dimana anak itu berada.

2.6 Miskonsepsi

Istilah miskonsepsi berasal dari bahasa Inggris dari kata “Misconception”

yang artinya kesalahan konsep. Miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat

akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klarifikasi contoh-contoh yang salah,

kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang

tidak benar (Suparno dalam Simamora dan Redhana (2007). Dari pengertian tersebut

miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu konsepsi yang bertentangan dengan

konsepsi ilmuan atau konsepsi yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah.

Miskonsepsi siswa mungkin pula diperoleh melalui proses pembelajaran pada jenjang

pendidikan sebelumnya (Simamora dan Redhana, 2007). Menurut Berg (1991) dalam

belajar siswa sering membuat kesalahan diantaranya adalah: 1) kesalahan yang terjadi

secara acak tanpa sumber tertentu, misalnya salah hitung atau salah dalam penulisan

rumus; 2) kesalahan dalam mengingat atau menghafal; 3) kesalahan yang terjadi

secara terus menerus serta menunjukkan kesalahan dengan sumber-sumber tertentu.

Kesalahan ketiga ini disebut kesalahan konsep. Siswa yang mengalami kesalahan

jenis ketiga ini cendrung salah dalam banyak soal yang berbeda konteksnya, tetapi

dasar konseptualnya sama.

Pada umumnya terjadinya kesalahan pemahaman dalam kimia berhubungan

dengan kesulitan dalam memahami materi ilmu kimia. Kirkwood dan Symington

dalam Effendy (2002) berpendapat bahwa penyebab-penyebab terjadinya kesalahan

pemahaman dalam belajar kimia dapat ditinjau dari siswa, pengajar dan materi

Page 11: isi.doc

11

pelajaran. Beberapa fakta yang dikemukakan oleh para peneliti miskonsepsi seperti

Osborne dkk., yang dilaporkan oleh Berg (1991) menyimpulkan bahwa: 1)

miskonsepsi sulit diperbaiki; 2) seringkali “sisa” miskonsepsi terus menerus

mengganggu. Soal-soal sederhana dapat dikerjakan , tetapi pada soal yang lebih sulit

miskonsepsi muncul kembali tanpa disadari; 3) seringkali terjadi regresi yaitu siswa

yang sudah pernah mengatasi miskonsepsi setelah beberapa bulan akan kambuh lagi;

4) siswa yang pandai maupun yang kurang pandai keduanya dapat mengalami

miskonsepsi; 5) guru umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang terjadi pada

siswa. Terjadinya kesalahan konsep dapat disebabkan oleh beberapa hal. Sihite

(2008) mengemukakan penyebab miskonsepsi diantaranya adalah buku pelajaran

yang memuat rumus atau uraian materi yang salah, guru-guru yang mengalami

miskonsepsi, kesalahan yang muncul akibat budaya masyarakat yang terlanjur salah

dalam mendefinisikan sesuatu secara ilmiah dan metode mengajar yang tidak tepat

yang juga dapat memicu miskonsepsi.

2.7 Miskonsepsi dalam Stoikiometri

Miskonsepsi yang sering sekali dimiliki oleh siswa dalam ilmu kimia adalah

tentang reaksi kimia dan stoikiometri. Pengalaman guru-guru di lapangan

menunjukkan adanya miskonsepsi di kalangan siswa bahwa zat-zat selalu bereaksi

dalam perbandingan mol 1:1. Seiring dengan miskonsepsi tentang perbandingan mol,

terjadinya juga miskonsepsi tentang perbandingan massa. Sering sekali siswa

beranggapan bahwa zat-zat selalu bereaksi dalam perbandingan massa yang sama.

Miskonsepsi lain tentang mol suatu zat, bahwa satu mol zat apa saja selalu

mengandung 6,02x1023 atom, padahal buktinya 1 mol Cl2 mengandung 2 mol atom

Cl.

Selanjutnya Chandrasegaran (2008) menelaah miskonsepsi yang terjadi pada

konsep pereaksi pembatas. Sebagian siswa mengatakan bahwa pereaksi pembatas

adalah senyawa yang mempunyai koefisien stoikiometri terkecil pada persamaan

kesetimbangan. Siswa lainnya menganggap bahwa pereaksi pembatas adalah zat yang

jumlahnya paling sedikit, bahkan ada siswa yang menganggap pereaksi pembatas =

jumlah mol terkecil (Gauchon dan Meheut, 2007)

Page 12: isi.doc

12

2.8 Certainty of Response Index (CRI)

Untuk mengidentifikasi terjadinya miskonsepsi, sekaligus dapat

membedakannya dengan tidak tahu konsep, telah mengembangkan suatu metode

identifikasi yang dikenal dengan istilah CRI (Certainty of Response Index), yang

merupakan ukuran tingkat keyakinan atau kepastian responden dalam menjawab

setiap pertanyaan yang diberikan (Hasan dalam Tayubi, 2005). CRI biasanya

didasarkan pada suatu skala dan diberikan bersamaan dengan setiap jawaban suatu

soal. Tingkat kepastian jawaban tercermin dalam skala CRI yang diberikan, CRI yang

rendah menandakan ketidakyakinan konsep pada diri responden dalam menjawab

suatu pertanyaan, dalam hal ini jawaban biasanya ditentukan atas dasar tebakan

semata. Sebaliknya CRI yang tinggi mencerminkan keyakinan dan kepastian konsep

yang tinggi pada diri responden dalam menjawab pertanyaan, dalam hal ini unsur

tebakan sangat kecil. Seorang responden mengalami miskonsepsi atau tidak tahu

konsep dapat dibedakan secara sederhana dengan cara membandingkan benar

tidaknya jawaban suatu soal dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban (CRI)

yang diberikannya untuk soal tersebut.

CRI sering kali digunakan dalam survai-survai, terutama yang meminta

responden untuk memberikan derajat kepastian yang dia miliki dari kemampuannya

untuk memilih dan mengutilisasi pengetahuan, konsep-konsep, atau hukum-hukum

yang terbentuk dengan baik dalam dirinya untuk menentukan jawaban dari suatu

pertanyaan (soal). CRI biasanya didasarkan pada suatu skala, sebagai contoh, skala

enam (0 - 5). Angka 0 menandakan tidak tahu konsep sama sekali tentang metoda-

metoda atau hukum-hukum yang diperlukan untuk menjawab suatu pertanyaan

(jawaban ditebak secara total), sementara angka 5 menandakan kepercayaan diri yang

penuh atas kebenaran pengetahuan tentang prinsip-prinsip, hukum-hukum dan aturan-

aturan yang dipergunakan untuk menjawab suatu pertanyaan, tidak ada unsur tebakan

sama sekali. Dengan kata lain, ketika seorang responden diminta untuk memberikan

CRI bersamaan dengan setiap jawaban suatu pertanyaan, sebenarnya dia diminta

untuk memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri akan kepastian yang dia miliki

dalam memilih aturan-aturan, prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang telah tertanam

dibenaknya hingga dia dapat menentukan jawaban dari suatu pertanyaan.

Page 13: isi.doc

13

Jika derajat kepastiannya rendah (CRI 0-2), maka hal ini menggambarkan

bahwa proses penebakan (guesswork) memainkan peranan yang signifikan dalam

menentukan jawaban. Tanpa memandang apakah jawaban benar atau salah nilai CRI

yang rendah menunjukkan adanya unsur penebakan, yang secara tidak langsung

mencerminkan ketidaktahuan konsep yang mendasari penentuan jawaban. Jika CRI

tinggi (CRI 3 - 5), maka responden memiliki tingkat kepercayaan diri (confidence)

yang tinggi dalam memilih aturan-aturan dan metode-metode yang digunakan untuk

sampai pada jawaban. Dalam keadaan ini (CRI 3 - 5), jika resaponden memperoleh

jawaban yang benar, ini dapat menunjukkan bahwa tingkat keyakinan yang tinggi

akan kebenaran konsepsi fisikanya telah dapat teruji (justified) dengan baik. Akan

tetapi, jika jawaban yang diperoleh salah, ini menunjukkan adanya suatu kekeliruan

konsepsi dalam pengetahuan tentang suatu materi subyek yang dimilikinya, dan dapat

menjadi suatu indikator terjadinya miskonsepsi. Dari ketentuan-ketentuan seperti itu,

menunjukkan bahwa dengan CRI yang diminta, ketika digunakan bersamaan dengan

jawaban untuk suatu pertanyaan, memungkinkan kita untuk dapat membedakan

antara miskonsepsi dan tidak tahu konsep.

Page 14: isi.doc

14

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi

eksperiment. Eksperimen kuasi yang digunakan adalah desain “one group pretest-

posttest design”, yaitu rancangan penelitian yang memberikan perlakuan kepada

kelompok eksperimen tanpa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pengaruh

perlakuan yang diberikan dapat dilihat dari perbedaan pretest dan postest. Dalam

desain ini berarti bahwa subjek dalam masing-masing kelompok telah disesuaikan

(pada variable tertentu) tetapi tidak secara acak ditugaskan untuk kelompok (Fraenkel

dkk., 2012).

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu: 1) pemberian tes awal

(pretest) sebelum pembelajaran dengan model problem solving; 2) pelaksanaan

pembelajaran dengan model problem solving; dan 3) pemberian tes akhir (postest)

sesudah pembelajaran dengan model problem solving. Desain ini dapat digambarkan

sebagai berikut :

O1 X O2

Gambar 3.1 One Group Pretest-Posttest Design (Sumber: Fraenkel dkk., 2012)

Keterangan :

O1 : Tes awal (pretest)

X : Perlakuan terhadap kelas eksperimen, yaitu penerapan problem solving

O2 : Tes akhir (posttest)

Adapun alur penelitian secara garis besar ditunjukkan pada Gambar 3.2

Page 15: isi.doc

15

Gambar 3.2 Alur Penelitian

Studi Pendahuluan

Studi Kajian Bahan Pembelajaran dan Kurikulum

Studi Kepustakaan Problem Solving

Perumusan Perangkat Pembelajaran dan instrumen

RPP LKS dan Tes Lembar Observasi

Angket Pedoman Wawancara

Uji Coba dan Revisi Perangkat Pembelajaran dan Instrumen

WawancaraAngketObservasi LKS

Implementasi Model Problem Solving

Tes Awal (Pretest)

Tes Akhir (Postest)

Analisis Data

Temuan

Kesimpulan

Page 16: isi.doc

16

3.2 Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilaksanakan di MAN Kuta Baro Aceh Besar, pada tahun ajaran

2013/2014. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X

di sekolah tersebut, sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian terdiri atas satu

kelas eksperimen yaitu siswa kelas X-1. Pemilihan subjek ini tidak mungkin

dilakukan secara acak, karena subjek telah secara alami terbentuk dalam satu

kelompok utuh (naturally formed intact group), yaitu dalam satu kelas dan adanya

pertimbangan keterbatasan jumlah sampel (Fraenkel dkk., 2012).

3.3 Prosedur Penelitian

Tahapan-tahapan prosedur yang ditempuh dalam melakukan penelitian ini

meliputi :

1) Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan dilakukan untuk melihat keadaan di lapangan. Fokus studi

pendahuluan adalah untuk memperoleh gambaran tentang kegiatan pembelajaran

kimia di dalam kelas sehingga dapat diperoleh permasalahan-permasalahan yang

aktual, seperti: masalah-masalah yang berhubungan dengan materi pelajaran,

interaksi guru-siswa, metode, pendekatan, sarana dan prasarana pembelajaran di

dalam kelas. Secara bersamaan, pada tahap ini juga dilakukan studi mengenai

pembelajaran dengan model problem solving yang sesuai dengan materi

stoikiometri.

2) Tahap Persiapan

Penelitian dimulai dengan mengkaji konsep-konsep kurikulum 2013, menyusun

perangkat pembelajaran dan mempersiapkan instrumen penelitian.

3) Tahap Implementasi

Pada tahap ini dilakukan pretest, model pembelajaran yang telah disusun

diimplementasikan pada materi stoikiometri secara kolaborasi oleh peneliti dan

guru kimia, kemudian dilakukan postest, wawancara, dan pengisian angket

terhadap siswa.

Page 17: isi.doc

17

4) Tahap Analisis Data dan Penyusunan Laporan

Setelah implementasi model pembelajaran dilakukan tuntas, dan semua data

sudah terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data dan kemudian dilakukan

penyusunan laporan.

Page 18: isi.doc

18

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka cipta.

Anonimous. 2013. Problem Solving. (media154.wordpress.com/artikel-internet-desain-dan-web/problem-solving/., diakses 8 Oktober 2013).

Arifin, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar Kimia Edisi Revisi. Bandung : FMIPA UPI.

Berg, V.D. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi. Sebuah Pengantar Berdasarkan Lokakarya di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 7 – 10 Agustus 1990. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Chandrasegaran, dkk. 2009. Student’s Dilemmas in Reaction Stoichiometry Problem Solving : Deducing the Limiting Reagen in Chemical Reactions. Journal of Chemistry Education Research and Practice 10:14-23.

Djamarah, dkk. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:Rineka Cipta.

Effendy. 2002. Upaya untuk Mengatasi Kesalahan Konsep dalam Pengajaran Kimia dengan Menggunakan Strategi Konflik Kognitif. Jurnal Ilmu Kimia dan Pembelajarannya, VI (2): 1-22.

Firman, H. dan Liliasari. 1997. Kimia 1 untuk Sekolah Umum 1. Jakarta : Balai Pustaka.

Fitriyanto, F, dkk. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving pada Materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis. Journal of Chemistry Education 1(1):40-44

Fraenkel, dkk. 2012. How to Design and Evaluate Research in Education. New York : McGraw-Hill.

Gauchon, L. dan Meheut, M. (2007). Learning about Stoichiometry : from Students’ Preconceptions to the Conceppt of Limiting Reactant. . Journal of Chemistry Education Research and Practice 8 (4):362-375.

Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.

Kiranawati. 2007. Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving). (http://Kiranawati.blogspot.com., diakses 2 Juli 2013).

Page 19: isi.doc

19

Okanlawon, A.E. 2010. Teaching Reaction Stoichiometry : Exploring and Acknowledging Nigerian Chemistry Teachers’ Pedagogical Content Knowledge. Journal of Educational Science 5:107-129.

Polya, G. 1971. How to Solve It: A New Aspect of Mathematics Method. New Jersey: Princeton University Press.

Page 20: isi.doc

20

Selcuk, S. dan Gamze. 2008. The Effect of Problem Solving Instruction of Physics Achievement, Problem Solving Performance and Strategi use. Journal of Physics Education 2(3).

Sihite, Alexander. 2006. Penggunaan Model Pembelajaran Konstruktivisme dalam Meminimalkan Miskonsepsi Siswa untuk Mata Pelajaran Fisika. Jurnal, (Online), (http://viridi.wordpress.com/2008/08/05/miskonsepsi-dalam-fisika/, diakses 30 September 2009.

Simamora, M dan Wayan, R. 2007. Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia pada Pembelajaran Konsep Struktur Atom. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, (Online), (http://www.freewebs.com/santyasa/lemlit/PDF_Files /PENDIDIKAN/DESEMBER_2007/Maruli_Simamora.pdf, diakses 30 Oktober 2013

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudjana, N. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdikarya.

Tayubi, Y.R. 2005. Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep-konsep Fisika Menggunakan Certainty of Response Index (CRI) . Journal of Physic Education Research and Practice 3:4-9.

Thoifuri. 2008. Menjadi Guru Inisiator. Semarang : Rasail.

Page 21: isi.doc

21

Toth, Z. dan Annamaria, S. 2009. Relationship between Students’ Knowledge Structure and Problem-Solving Strategy in Stoichiometric Problem based on the Chemical Equation. Eurasia Journal of Physics and Chemistry Education 1(1):8-20.

Zeineddin, A. dan El Khalick, F.A. 2008. On Coordinating Theory with Evidence : The Role of Epistemic Commitments in Scientific Reasoning among College Students. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education 4(2):153-168.