isi.doc
TRANSCRIPT
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Materi stoikiometri dikelas X merupakan salah satu aspek penting dari materi
kimia SMA secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan materi kimia tersebut merupakan
materi inti yang mendasari materi-materi yang lain seperti materi kesetimbangan,
asam basa, dan lain-lain. Hal serupa juga dikemukakan oleh Okanlawon (2010)
bahwa stoikiometri penting untuk semua aspek dalam kimia. Sementara Firman dan
Liliasari (1997) berpendapat bahwa pengetahuan stoikiometri penting artinya dalam
industri kimia yang selalu harus memperhitungkan banyaknya bahan baku yang
diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk yang dikehendaki.
Namun realitanya, pemahaman pada materi stoikiometri siswa masih sangat
kurang. Siswa baru mampu mempelajari kimia pada tingkat ingatan (menghafal)
sehingga mengakibatkan sebagian besar siswa SMA memiliki pandangan bahwa
pembelajaran kimia cukup sulit untuk dipahami. Hal serupa juga disampaikan oleh
Zeineddin dan El Khalick (2008) bahwa pembelajaran sains seringkali menuntut
siswa mempelajari konsep dan prinsip sains secara hafalan. Pandangan siswa
terhadap mata pelajaran kimia akhirnya berimbas pada nilai hasil belajarnya yang
rendah.
Siswa dalam kehidupannya telah melihat peristiwa kimia sehari-hari seperti
reaksi eksoterm-endoterm, perubahan kimia, dan lain sebagainya. Siswa
kemungkinan sudah mempunyai prakonsep terhadap konsep-konsep tersebut. Guru di
sekolah seringkali menganggap bahwa siswa belum mengetahui apa-apa tentang
konsep kimia, sehingga mengajarkan materi tanpa melihat prakonsep yang dimiliki
siswa. Apabila konsep yang dijelaskan guru berbenturan dengan prakonsep siswa,
maka kemungkinan siswa akan mengalami kebingungan dalam memahami konsep.
Hal tersebut juga dapat menyebabkan konsepsi siswa yang salah.
Selain itu, penyelesaian soal-soal stoikiometri juga membutuhkan pemahaman
yang tepat, apa yang disajikan dan ditanyakan terkadang cukup membingungkan. Hal
ini menyebabkan pelajaran kimia khususnya pada topik stoikiometri dianggap sulit
oleh siswa sehingga menjadi masalah bagi mereka. Seperti yang dikemukakan oleh
2
Chandrasegaran dkk. (2008), konsep pereaksi pembatas dalam stoikiometri
merupakan bagian yang sering menimbulkan masalah bagi siswa.
Ketika suatu konsep yang penting dan mendasar tidak dapat dikuasai dengan
baik dan bahkan menunjukkan terjadinya banyak miskonsepsi, maka hal ini
mengindikasikan bahwa konsep tersebut merupakan konsep yang sulit dipahami.
Hasil penelitian membuktikan bahwa konsep-konsep dalam stoikiometri (konsep mol,
persamaan reaksi, koefisien reaksi, dan pereaksi pembatas) memang merupakan
konsep yang sangat sulit dipahami oleh siswa (Toth dan Sebestyen, 2009). Jika siswa
mengalami kebingungan dalam konsep atau ada hal yang tidak jelas dan tidak segera
bertanya kepada guru mengenai konsep yang tidak dipahami, maka siswa memahami
apa adanya, akibatnya akan terjadi salah konsep (miskonsepsi) pada diri siswa.
Miskonsepsi yang terjadi dalam diri siswa dapat menyebabkan prestasi belajar siswa
tidak baik. Apabila prestasi siswa tidak baik berarti terjadi kegagalan dalam
pembelajaran akibatnya tujuan pembelajaran tidak tercapai.
Keberhasilan dalam proses pembelajaran dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan
dengan diri siswa. Diantaranya adalah kemampuan, minat, motivasi, keaktifan
belajar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar diri siswa diantaranya
adalah model pembelajaran, sarana kelas, dan lain-lain.
Berbagai cara harus diupayakan oleh guru untuk mencegah, menghilangkan
atau mereduksi miskonsepsi. Dengan terhindar dari miskonsepsi, siswa dapat
mengkonstruksi konsep-konsep yang benar sesuai dengan konsep-konsep ilmiah
sehingga pembelajaran yang bermakna dapat terjadi. Salah satu model pembelajaran
yang menyediakan berbagai kegiatan yang diperlukan dalam pembelajaran
stoikiometri adalah model problem solving (pemecahan masalah). Menurut
Kiranawati (2007), model pembelajaran pemecahan masalah (problem solving)
adalah penggunaan model dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa
menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun
masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama. Orientasi
pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah
pemecahan masalah. Adapun Sintaks dalam model problem solving menurut Polya
3
(1971) terdiri dari 4 fase, yaitu : 1) memahami masalah, 2) merencanakan
pemecahannya, 3) menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan 4) memeriksa kembali
hasil yang diperoleh.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka penulis terdorong untuk melakukan
penelitian tentang “Implementasi Model Problem Solving untuk Mereduksi
Miskonsepsi dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Stoikiometri”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan
penelitian ini adalah : “Bagaimana pengaruh model problem solving terhadap reduksi
miskonsepsi dan hasil belajar siswa pada materi stoikiometri?”
Rumusan masalah di atas dapat dijabarkan dalam beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1) Apakah model problem solving dapat mereduksi miskonsepsi siswa pada topik
stoikiometri?
2) Bagaimanakah hasil belajar siswa pada topik stoikiometri setelah menggunakan
model problem solving?
3) Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap penggunaan model problem solving
pada topik stoikiometri?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh model problem
solving terhadap redusi miskonsepsi dan hasil belajar siswa pada topik stoikiometri.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini terbagi dalam dua bagian, yaitu :
1) Manfaat Teoritis
- Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai penerapan
pembelajaran dengan menggunakan model problem solving pada materi
stoikiometri serta pengembangan inovasi pembelajaran IPA khususnya kimia di
SMA.
4
- Sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.
2) Manfaat Praktis
- Bagi siswa, diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan hasil belajar dan
motivasi siswa pada materi stoikiometri maupun materi kimia lainnya bahkan
untuk materi pelajaran lainnya yang menggunakan model pembelajaran sejenis.
- Bagi guru, diharapkan penelitian ini dapat memotivasi guru untuk menerapkan
model pembelajaran yang sejenis pada materi pelajaran lainnya.
- Bagi sekolah dan institusi pendidikan lainnya, diharapkan penelitian ini dapat
dijadikan bukti empiris dalam pengembangan pembelajaran kimia.
5
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Model Problem Solving
Problem solving biasanya didefinisikan sebagai formula baru dalam
menjawab, berangkat dari aplikasi sederhana dari pembelajaran terdahulu untuk
menciptakan sebuah solusi. Model problem solving menekankan agar pembelajaran
memberikan kemampuan bagaimana cara memecahkan masalah-masalah secara
objektif dan tahu benar apa yang dihadapi. Pemecahan masalah merupakan tahapan
yang paling tinggi karena masalah datang dalam proses pembelajaran dan
membutuhkan pemecahan dari berbagai sudut pandang. Siswa tidak akan mampu
memecahkan suatu masalah secara objektif dan tahu benar apa yang dihadapi.
Pemecahan masalah merupakan tahapan yang paling tinggi karena masalah
selalu datang dalam proses pembelajaran dan membutuhkan pemecahan dari berbagai
sudut pandang. Siswa tidak akan mampu memecahkan suatu masalah apabila tidak
mempunyai banyak konsep, kaidah atau aturan tertentu dari berbagai aspeknya
(Thoifuri : 2008). Dalam hal ini masalah yang dihadapi siswa adalah masalah-
masalah yang ada pada soal-soal pelajaran yang siswa temui selama proses belajar
mengajar berlangsung.
Kiranawati dalam Fitriyanto dkk. (2012) mengemukakan bahwa, model
pembelajaran problem solving adalah penggunaan model dalam kegiatan
pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu
masalah pribadi maupun kelompok untuk dipecahkan sendiri atau bersama-sama.
Individu menyadari masalah ketika mengalami situasi keraguan dan kekaburan
sehingga merasakan adanya semacam kesulitan, pada saat itulah individu belajar
memecahkan masalah.
2.2 Tahapan-tahapan Model Problem Solving
Menurut Selcuk dan Gamze (2008), dasar pemecahan masalah adalah proses
yang sistematis. Setiap tahap adalah hasil dari tahap yang sebelumnya dan berlanjut
hingga tahap berikutnya. Pembahasan mengenai pemecahan masalah ini tidak bisa
6
lepas dari tokoh utamanya yaitu polya (1971). pemikiran polya mengenai pemecahan
masalah terdiri dari 4 tahap, yakni :
1) Memahami masalah
2) Merencanakan pemecahan masalah
3) Menerapkan rencana pemecahan masalah
4) Memeriksa kembali hasil pemecahan masalah
Djamarah dkk (2006), mengemukakan langkah-langkah dalam memecahkan
masalah adalah sebagai berikut :
1) Merumuskan dan menegaskan masalah
Individu melokalisasi letak sumber kesulitan untuk memungkinkan mencari jalan
pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan
menggunakan prinsip serta kaidah yang diketahuinya.
2) Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis
Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman
orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian
mengidentifikasi berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat
dirumuskan sebagai pertanyaan jawaban sementara yang memerlukan
pembuktian.
3) Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan
Setiap alternatif pemecahan masalah ditimbang dari segi untung ruginya.
Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang
paling mungkin dan menguntungkan.
4) Mengadakan pengujian atau verifikasi
Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental alternatif pemecahan
yang dipilih, dipraktikan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh
informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya yang telah dirumuskan.
2.3 Langkah-langkah Penerapan Model Problem Solving
Anonimous (2013) mengemukakan bahwa, saran-saran dalam pembelajaran
dalam menggunakan model problem solving yaitu sebagai berikut :
7
1) Cobalah untuk memulai setiap bagian pelajaran dengan mengutarakan sebuah
masalah dan menjelaskan mengapa masalah tersebut menarik dan penting.
2) Daripada menyuruh siswa menghafal rumus, lebih baik ajari mereka bagaimana
menurunkan rumus tersebut dan mengidentifikasi bagian-bagiannya.
3) Cobalah melakukan pendekatan langkah demi langkah untuk menyelesaikan
masalah. Tanyakan beberapa pertanyaan selama kegiatan agar siswa dapat
memahami bagaimana solusi yang diperoleh, dan dapat menghadapi pertanyaan
yang serupa dengan strategi yang sama.
4) Giatkan siswa untuk membayangkan atau memikirkan cara menyelesaikan
masalahsebelum kita bersama-sama siswa menyelesaikan masalah. Hal ini untuk
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan siswa secara aktif.
5) Saat bertanya kepada siswa, cobalah meminta siswa untuk mengusulkan apa
yang harus dilakukan, bukan menanyakan hasil akhir atau jawaban masalah.
6) Aktif meminta pertanyaan dari kelas dan menghindari untuk menjawabnya secara
langsung. Pastikan setiap siswa mendengar dan memahami pertanyaan-
pertanyaan tersebut dan kemudian mulailah bekerja menyelesaikannya secara
bersama-sama.
7) Cobalah sedini mungkin menggiatkan siswa untuk berbicara, agar mereka secara
bertahap aktif untuk berpartisipasi dalam kelas.
8) Cobalah untuk menyelesaikan masalah dengan cara berbeda-beda. Hal ini dapat
membantu siswa memahami cara terbaik menyelesaikan masalah tersebut, dan
mungkin dapat mencegah kesalahan. Teknik ini jugamenarik perhatian siswa
karena mereka ingin melihat apakah cara-cara tersebut berakhir pada jawaban
yang sama.
9) Bantulah siswa belajar merumuskan masalah sekeras upaya kita membantu
mereka menemukan jawabannya, dan giatkan mereka mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri.
10) Sebelum bergerak kekonsep yang baru, cobalah bertanya kepada siswa dengan
pertanyaan yang spesifik tentang masalah yang relevan. Siswa biasanya
merespon untuk masalah-masalah yang spesifik.
8
2.4 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi
siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat
perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar.
Hamalik (2006) mengemukakan hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan
terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi
tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Hasil belajar dibagi menjadi tiga macam hasil belajar yaitu : 1)
keterampilan dan kebiasaan; 2) pengetahuan dan pengertian; 3)
sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi
dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah (Sudjana, 2006).
Dalam rangka meningkatkan hasil belajar khususnya untuk memacu
penguasaan pembelajaran dijenjang pendidikan SMA, perlu diketahui faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut
maka akan membantu siswa dan guru dalam mengatasi kesulitan mencapai hasil
belajar yang optimal, untuk itu diperlukan proses belajar mengajar yang baik.
Menurut Ahmadi (2001), Syarat mutlak yang menjamin berhasil baik bagi semua
cabang pekerjaan adalah kecakapan atau keahlian pada para pelaksana itu. Proses
pendidikan pun akan berhasil dengan baik bilamana para pendidik mempunyai
keahlian dan mempunyai kecakapan yang memenuhi persyaratan untuk tugas-
tugasnya.
2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Proses
penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang
kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan
pembelajaran. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina
kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu.
Untuk mencapai hasil belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu
diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain:
9
1) Faktor Internal
Faktor internal yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam diri siswa,
diantaranya :
- Faktor biologis
Keadaan jasmani yang perlu diperhatikan yaitu kondisi fisik yang normal,
meliputi keadaan otak, panca indera, dan anggota tubuh. Adanya kenormalan
serta kesehatan jasmani yang dimiliki siswa sangat membantu kelancaran belajar
sehingga memungkinkan siswa menerima informasi dengan baik.
- Faktor psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar ini meliputi segala
hal yang berkaitan dengan kondisi mental seseorang diantaranya, kecerdasan/
intelegensi, bakat, minat dan motivasi. Faktor ini sangat umum dan banyak
mempengaruhi proses belajar siswa, untuk lebih jelasnya diuraikan tentang
faktor-faktor tersebut secara terperinci.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang terdapat diluar diri siswa. Menurut
Slameto (2003), faktor eksternal yang dapat mempengaruhi belajar adalah keadaan
keluarga, keadaan sekolah dan lingkungan masyarakat.
- Keadaan Keluarga
Adanya rasa aman dalam keluarga sangat penting dalam keberhasilan seseorang
dalam belajar. Rasa aman itu membuat seseorang akan terdorong untuk belajar
secara aktif, karena rasa aman merupakan salah satu kekuatan pendorong dari
luar yang menambah motivasi untuk belajar. Perhatian orang tua dapat
memberikan dorongan dan motivasi sehingga anak dapat belajar dengan tekun.
Karena anak memerlukan waktu, tempat dan keadaan yang baik untuk belajar.
- Keadaan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal pertama yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan belajar siswa, karena itu lingkungan sekolah
yang baik dapat mendorong untuk belajar yang lebih giat. Keadaan sekolah ini
meliputi cara penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-alat
pelajaran dan kurikulum. Hubungan antara guru dan siswa kurang baik akan
10
mempengaruhi hasil-hasil belajarnya. Oleh sebab itu, guru harus dituntut untuk
menguasai bahan pelajaran yang disajikan, dan memiliki metode yang tepat
dalam mengajar.
- Lingkungan Masyarakat
Di samping orang tua, lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang tidak
sedikit pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa dalm proses pelaksanaan
pendidikan. Karena lingkungan sekitar sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan pribadi anak, sebab dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih
banyak bergaul dengan lingkungan dimana anak itu berada.
2.6 Miskonsepsi
Istilah miskonsepsi berasal dari bahasa Inggris dari kata “Misconception”
yang artinya kesalahan konsep. Miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat
akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klarifikasi contoh-contoh yang salah,
kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang
tidak benar (Suparno dalam Simamora dan Redhana (2007). Dari pengertian tersebut
miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu konsepsi yang bertentangan dengan
konsepsi ilmuan atau konsepsi yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah.
Miskonsepsi siswa mungkin pula diperoleh melalui proses pembelajaran pada jenjang
pendidikan sebelumnya (Simamora dan Redhana, 2007). Menurut Berg (1991) dalam
belajar siswa sering membuat kesalahan diantaranya adalah: 1) kesalahan yang terjadi
secara acak tanpa sumber tertentu, misalnya salah hitung atau salah dalam penulisan
rumus; 2) kesalahan dalam mengingat atau menghafal; 3) kesalahan yang terjadi
secara terus menerus serta menunjukkan kesalahan dengan sumber-sumber tertentu.
Kesalahan ketiga ini disebut kesalahan konsep. Siswa yang mengalami kesalahan
jenis ketiga ini cendrung salah dalam banyak soal yang berbeda konteksnya, tetapi
dasar konseptualnya sama.
Pada umumnya terjadinya kesalahan pemahaman dalam kimia berhubungan
dengan kesulitan dalam memahami materi ilmu kimia. Kirkwood dan Symington
dalam Effendy (2002) berpendapat bahwa penyebab-penyebab terjadinya kesalahan
pemahaman dalam belajar kimia dapat ditinjau dari siswa, pengajar dan materi
11
pelajaran. Beberapa fakta yang dikemukakan oleh para peneliti miskonsepsi seperti
Osborne dkk., yang dilaporkan oleh Berg (1991) menyimpulkan bahwa: 1)
miskonsepsi sulit diperbaiki; 2) seringkali “sisa” miskonsepsi terus menerus
mengganggu. Soal-soal sederhana dapat dikerjakan , tetapi pada soal yang lebih sulit
miskonsepsi muncul kembali tanpa disadari; 3) seringkali terjadi regresi yaitu siswa
yang sudah pernah mengatasi miskonsepsi setelah beberapa bulan akan kambuh lagi;
4) siswa yang pandai maupun yang kurang pandai keduanya dapat mengalami
miskonsepsi; 5) guru umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang terjadi pada
siswa. Terjadinya kesalahan konsep dapat disebabkan oleh beberapa hal. Sihite
(2008) mengemukakan penyebab miskonsepsi diantaranya adalah buku pelajaran
yang memuat rumus atau uraian materi yang salah, guru-guru yang mengalami
miskonsepsi, kesalahan yang muncul akibat budaya masyarakat yang terlanjur salah
dalam mendefinisikan sesuatu secara ilmiah dan metode mengajar yang tidak tepat
yang juga dapat memicu miskonsepsi.
2.7 Miskonsepsi dalam Stoikiometri
Miskonsepsi yang sering sekali dimiliki oleh siswa dalam ilmu kimia adalah
tentang reaksi kimia dan stoikiometri. Pengalaman guru-guru di lapangan
menunjukkan adanya miskonsepsi di kalangan siswa bahwa zat-zat selalu bereaksi
dalam perbandingan mol 1:1. Seiring dengan miskonsepsi tentang perbandingan mol,
terjadinya juga miskonsepsi tentang perbandingan massa. Sering sekali siswa
beranggapan bahwa zat-zat selalu bereaksi dalam perbandingan massa yang sama.
Miskonsepsi lain tentang mol suatu zat, bahwa satu mol zat apa saja selalu
mengandung 6,02x1023 atom, padahal buktinya 1 mol Cl2 mengandung 2 mol atom
Cl.
Selanjutnya Chandrasegaran (2008) menelaah miskonsepsi yang terjadi pada
konsep pereaksi pembatas. Sebagian siswa mengatakan bahwa pereaksi pembatas
adalah senyawa yang mempunyai koefisien stoikiometri terkecil pada persamaan
kesetimbangan. Siswa lainnya menganggap bahwa pereaksi pembatas adalah zat yang
jumlahnya paling sedikit, bahkan ada siswa yang menganggap pereaksi pembatas =
jumlah mol terkecil (Gauchon dan Meheut, 2007)
12
2.8 Certainty of Response Index (CRI)
Untuk mengidentifikasi terjadinya miskonsepsi, sekaligus dapat
membedakannya dengan tidak tahu konsep, telah mengembangkan suatu metode
identifikasi yang dikenal dengan istilah CRI (Certainty of Response Index), yang
merupakan ukuran tingkat keyakinan atau kepastian responden dalam menjawab
setiap pertanyaan yang diberikan (Hasan dalam Tayubi, 2005). CRI biasanya
didasarkan pada suatu skala dan diberikan bersamaan dengan setiap jawaban suatu
soal. Tingkat kepastian jawaban tercermin dalam skala CRI yang diberikan, CRI yang
rendah menandakan ketidakyakinan konsep pada diri responden dalam menjawab
suatu pertanyaan, dalam hal ini jawaban biasanya ditentukan atas dasar tebakan
semata. Sebaliknya CRI yang tinggi mencerminkan keyakinan dan kepastian konsep
yang tinggi pada diri responden dalam menjawab pertanyaan, dalam hal ini unsur
tebakan sangat kecil. Seorang responden mengalami miskonsepsi atau tidak tahu
konsep dapat dibedakan secara sederhana dengan cara membandingkan benar
tidaknya jawaban suatu soal dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban (CRI)
yang diberikannya untuk soal tersebut.
CRI sering kali digunakan dalam survai-survai, terutama yang meminta
responden untuk memberikan derajat kepastian yang dia miliki dari kemampuannya
untuk memilih dan mengutilisasi pengetahuan, konsep-konsep, atau hukum-hukum
yang terbentuk dengan baik dalam dirinya untuk menentukan jawaban dari suatu
pertanyaan (soal). CRI biasanya didasarkan pada suatu skala, sebagai contoh, skala
enam (0 - 5). Angka 0 menandakan tidak tahu konsep sama sekali tentang metoda-
metoda atau hukum-hukum yang diperlukan untuk menjawab suatu pertanyaan
(jawaban ditebak secara total), sementara angka 5 menandakan kepercayaan diri yang
penuh atas kebenaran pengetahuan tentang prinsip-prinsip, hukum-hukum dan aturan-
aturan yang dipergunakan untuk menjawab suatu pertanyaan, tidak ada unsur tebakan
sama sekali. Dengan kata lain, ketika seorang responden diminta untuk memberikan
CRI bersamaan dengan setiap jawaban suatu pertanyaan, sebenarnya dia diminta
untuk memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri akan kepastian yang dia miliki
dalam memilih aturan-aturan, prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang telah tertanam
dibenaknya hingga dia dapat menentukan jawaban dari suatu pertanyaan.
13
Jika derajat kepastiannya rendah (CRI 0-2), maka hal ini menggambarkan
bahwa proses penebakan (guesswork) memainkan peranan yang signifikan dalam
menentukan jawaban. Tanpa memandang apakah jawaban benar atau salah nilai CRI
yang rendah menunjukkan adanya unsur penebakan, yang secara tidak langsung
mencerminkan ketidaktahuan konsep yang mendasari penentuan jawaban. Jika CRI
tinggi (CRI 3 - 5), maka responden memiliki tingkat kepercayaan diri (confidence)
yang tinggi dalam memilih aturan-aturan dan metode-metode yang digunakan untuk
sampai pada jawaban. Dalam keadaan ini (CRI 3 - 5), jika resaponden memperoleh
jawaban yang benar, ini dapat menunjukkan bahwa tingkat keyakinan yang tinggi
akan kebenaran konsepsi fisikanya telah dapat teruji (justified) dengan baik. Akan
tetapi, jika jawaban yang diperoleh salah, ini menunjukkan adanya suatu kekeliruan
konsepsi dalam pengetahuan tentang suatu materi subyek yang dimilikinya, dan dapat
menjadi suatu indikator terjadinya miskonsepsi. Dari ketentuan-ketentuan seperti itu,
menunjukkan bahwa dengan CRI yang diminta, ketika digunakan bersamaan dengan
jawaban untuk suatu pertanyaan, memungkinkan kita untuk dapat membedakan
antara miskonsepsi dan tidak tahu konsep.
14
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi
eksperiment. Eksperimen kuasi yang digunakan adalah desain “one group pretest-
posttest design”, yaitu rancangan penelitian yang memberikan perlakuan kepada
kelompok eksperimen tanpa dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pengaruh
perlakuan yang diberikan dapat dilihat dari perbedaan pretest dan postest. Dalam
desain ini berarti bahwa subjek dalam masing-masing kelompok telah disesuaikan
(pada variable tertentu) tetapi tidak secara acak ditugaskan untuk kelompok (Fraenkel
dkk., 2012).
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu: 1) pemberian tes awal
(pretest) sebelum pembelajaran dengan model problem solving; 2) pelaksanaan
pembelajaran dengan model problem solving; dan 3) pemberian tes akhir (postest)
sesudah pembelajaran dengan model problem solving. Desain ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
O1 X O2
Gambar 3.1 One Group Pretest-Posttest Design (Sumber: Fraenkel dkk., 2012)
Keterangan :
O1 : Tes awal (pretest)
X : Perlakuan terhadap kelas eksperimen, yaitu penerapan problem solving
O2 : Tes akhir (posttest)
Adapun alur penelitian secara garis besar ditunjukkan pada Gambar 3.2
15
Gambar 3.2 Alur Penelitian
Studi Pendahuluan
Studi Kajian Bahan Pembelajaran dan Kurikulum
Studi Kepustakaan Problem Solving
Perumusan Perangkat Pembelajaran dan instrumen
RPP LKS dan Tes Lembar Observasi
Angket Pedoman Wawancara
Uji Coba dan Revisi Perangkat Pembelajaran dan Instrumen
WawancaraAngketObservasi LKS
Implementasi Model Problem Solving
Tes Awal (Pretest)
Tes Akhir (Postest)
Analisis Data
Temuan
Kesimpulan
16
3.2 Populasi dan Sampel
Penelitian ini dilaksanakan di MAN Kuta Baro Aceh Besar, pada tahun ajaran
2013/2014. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X
di sekolah tersebut, sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian terdiri atas satu
kelas eksperimen yaitu siswa kelas X-1. Pemilihan subjek ini tidak mungkin
dilakukan secara acak, karena subjek telah secara alami terbentuk dalam satu
kelompok utuh (naturally formed intact group), yaitu dalam satu kelas dan adanya
pertimbangan keterbatasan jumlah sampel (Fraenkel dkk., 2012).
3.3 Prosedur Penelitian
Tahapan-tahapan prosedur yang ditempuh dalam melakukan penelitian ini
meliputi :
1) Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilakukan untuk melihat keadaan di lapangan. Fokus studi
pendahuluan adalah untuk memperoleh gambaran tentang kegiatan pembelajaran
kimia di dalam kelas sehingga dapat diperoleh permasalahan-permasalahan yang
aktual, seperti: masalah-masalah yang berhubungan dengan materi pelajaran,
interaksi guru-siswa, metode, pendekatan, sarana dan prasarana pembelajaran di
dalam kelas. Secara bersamaan, pada tahap ini juga dilakukan studi mengenai
pembelajaran dengan model problem solving yang sesuai dengan materi
stoikiometri.
2) Tahap Persiapan
Penelitian dimulai dengan mengkaji konsep-konsep kurikulum 2013, menyusun
perangkat pembelajaran dan mempersiapkan instrumen penelitian.
3) Tahap Implementasi
Pada tahap ini dilakukan pretest, model pembelajaran yang telah disusun
diimplementasikan pada materi stoikiometri secara kolaborasi oleh peneliti dan
guru kimia, kemudian dilakukan postest, wawancara, dan pengisian angket
terhadap siswa.
17
4) Tahap Analisis Data dan Penyusunan Laporan
Setelah implementasi model pembelajaran dilakukan tuntas, dan semua data
sudah terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data dan kemudian dilakukan
penyusunan laporan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka cipta.
Anonimous. 2013. Problem Solving. (media154.wordpress.com/artikel-internet-desain-dan-web/problem-solving/., diakses 8 Oktober 2013).
Arifin, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar Kimia Edisi Revisi. Bandung : FMIPA UPI.
Berg, V.D. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi. Sebuah Pengantar Berdasarkan Lokakarya di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 7 – 10 Agustus 1990. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Chandrasegaran, dkk. 2009. Student’s Dilemmas in Reaction Stoichiometry Problem Solving : Deducing the Limiting Reagen in Chemical Reactions. Journal of Chemistry Education Research and Practice 10:14-23.
Djamarah, dkk. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:Rineka Cipta.
Effendy. 2002. Upaya untuk Mengatasi Kesalahan Konsep dalam Pengajaran Kimia dengan Menggunakan Strategi Konflik Kognitif. Jurnal Ilmu Kimia dan Pembelajarannya, VI (2): 1-22.
Firman, H. dan Liliasari. 1997. Kimia 1 untuk Sekolah Umum 1. Jakarta : Balai Pustaka.
Fitriyanto, F, dkk. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving pada Materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis. Journal of Chemistry Education 1(1):40-44
Fraenkel, dkk. 2012. How to Design and Evaluate Research in Education. New York : McGraw-Hill.
Gauchon, L. dan Meheut, M. (2007). Learning about Stoichiometry : from Students’ Preconceptions to the Conceppt of Limiting Reactant. . Journal of Chemistry Education Research and Practice 8 (4):362-375.
Hamalik, Oemar. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.
Kiranawati. 2007. Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving). (http://Kiranawati.blogspot.com., diakses 2 Juli 2013).
19
Okanlawon, A.E. 2010. Teaching Reaction Stoichiometry : Exploring and Acknowledging Nigerian Chemistry Teachers’ Pedagogical Content Knowledge. Journal of Educational Science 5:107-129.
Polya, G. 1971. How to Solve It: A New Aspect of Mathematics Method. New Jersey: Princeton University Press.
20
Selcuk, S. dan Gamze. 2008. The Effect of Problem Solving Instruction of Physics Achievement, Problem Solving Performance and Strategi use. Journal of Physics Education 2(3).
Sihite, Alexander. 2006. Penggunaan Model Pembelajaran Konstruktivisme dalam Meminimalkan Miskonsepsi Siswa untuk Mata Pelajaran Fisika. Jurnal, (Online), (http://viridi.wordpress.com/2008/08/05/miskonsepsi-dalam-fisika/, diakses 30 September 2009.
Simamora, M dan Wayan, R. 2007. Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia pada Pembelajaran Konsep Struktur Atom. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, (Online), (http://www.freewebs.com/santyasa/lemlit/PDF_Files /PENDIDIKAN/DESEMBER_2007/Maruli_Simamora.pdf, diakses 30 Oktober 2013
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, N. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdikarya.
Tayubi, Y.R. 2005. Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep-konsep Fisika Menggunakan Certainty of Response Index (CRI) . Journal of Physic Education Research and Practice 3:4-9.
Thoifuri. 2008. Menjadi Guru Inisiator. Semarang : Rasail.
21
Toth, Z. dan Annamaria, S. 2009. Relationship between Students’ Knowledge Structure and Problem-Solving Strategy in Stoichiometric Problem based on the Chemical Equation. Eurasia Journal of Physics and Chemistry Education 1(1):8-20.
Zeineddin, A. dan El Khalick, F.A. 2008. On Coordinating Theory with Evidence : The Role of Epistemic Commitments in Scientific Reasoning among College Students. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education 4(2):153-168.