isi seminar i

38
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hidup dan kehidupan mesti terus berjalan, bukan hanya untuk generasi hari ini melainkan untuk generasi mendatang dan seterusnya. Pembangunan haruslah berkelanjutan dan menjamin bahwa kehidupan generasi mendatang pasti terjamin, sehingga generasi yang hidup sekarang bukanlah ancaman bagi generasi berikutnya. Perhatian terhadap lingkungan hidup menjadi sangat penting, karena dalam kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam, seringkali menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan. Banyak faktor yang menjadi penyebab meningkatnya kasus perusakan lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan, di antaranya diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk, pembangunan infrastruktur, aktivitas industri, eksploitasi sumberdaya mineral, limbah domestik, serta teknologi yang tidak ramah lingkungan terus berjalan, pola kehidupan yang konsumtif, lemahnya penegakan hukum, serta belum optimalnya kapasitas sumber daya manusia dalam menegakkan aturan main yang ada. Semua itu dapat meningkatkan kerusakan lingkungan hidup seperti pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup semakin meluas. Tingkat pencemaran yang tinggi akan dapat mengganggu ekosistem dan keanekaragaman hayati yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam mendukung program-program pembangunan. Akibat dari kerusakan lingkungan hidup juga menyebabkan terjadinya masalah perubahan iklim yang bisa berdampak sangat buruk. Indonesia sebagai negara tropis dan kepulauan, dikategorikan sebagai salah satu negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim sudah menjadi ancaman yang cukup serius bagi lingkungan. Tanda-tanda dari dampak perubahan iklim dapat dilihat dari adanya kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, kenaikan permukaan air laut, dan perubahan musim

Upload: ida-ayu-sutarini

Post on 26-Jun-2015

280 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Isi Seminar I

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hidup dan kehidupan mesti terus berjalan, bukan hanya untuk

generasi hari ini melainkan untuk generasi mendatang dan seterusnya.

Pembangunan haruslah berkelanjutan dan menjamin bahwa kehidupan

generasi mendatang pasti terjamin, sehingga generasi yang hidup sekarang

bukanlah ancaman bagi generasi berikutnya. Perhatian terhadap lingkungan

hidup menjadi sangat penting, karena dalam kegiatan-kegiatan pembangunan

dan pemanfaatan sumber daya alam, seringkali menimbulkan akibat-akibat

yang tidak diinginkan.

Banyak faktor yang menjadi penyebab meningkatnya kasus perusakan

lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan, di antaranya diakibatkan

oleh laju pertumbuhan penduduk, pembangunan infrastruktur, aktivitas

industri, eksploitasi sumberdaya mineral, limbah domestik, serta teknologi

yang tidak ramah lingkungan terus berjalan, pola kehidupan yang konsumtif,

lemahnya penegakan hukum, serta belum optimalnya kapasitas sumber daya

manusia dalam menegakkan aturan main yang ada. Semua itu dapat

meningkatkan kerusakan lingkungan hidup seperti pencemaran dan

penurunan kualitas lingkungan hidup semakin meluas. Tingkat pencemaran

yang tinggi akan dapat mengganggu ekosistem dan keanekaragaman hayati

yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam

mendukung program-program pembangunan.

Akibat dari kerusakan lingkungan hidup juga menyebabkan terjadinya

masalah perubahan iklim yang bisa berdampak sangat buruk. Indonesia

sebagai negara tropis dan kepulauan, dikategorikan sebagai salah satu negara

yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim sudah

menjadi ancaman yang cukup serius bagi lingkungan. Tanda-tanda dari

dampak perubahan iklim dapat dilihat dari adanya kenaikan temperatur udara,

perubahan curah hujan, kenaikan permukaan air laut, dan perubahan musim

Page 2: Isi Seminar I

2

yang ekstrim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan,

banjir, longsor, dan bencana alam lainnya

Alasan penulis memilih judul ini karena akhir-akhir ini wilayah

provinsi Bali telah merasakan dampak pemanasan global dan perubahan

iklim, seperti terjadinya pergeseran musim, abrasi pantai yang cukup

mengkhawatirkan, berkembangnya berbagai jenis penyakit tropis,

menurunnya debit air permukaan, meningkatnya suhu udara dan dampak-

dampak lainnya yang merugikan wilayah Bali. Oleh karena itu, konsep

pembangunan berkelanjutan yang secara filosofis sudah diletakkan dan

dipraktekan oleh para leluhur di Bali yaitu Tri Hita Karana agar dimanfaatkan

di masa kini maupun di masa mendatang untuk menjaga keseimbangan

pemanfaatan sumber daya alam dan menjaga kelestarian sumber daya alam

itu sendiri.

Page 3: Isi Seminar I

3

B. Identifikasi Masalah dan Batasannya

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana mengetahui tantangan ke depan yang dihadapi Bali dalam

penataan ruang dan lingkungan hidup?

2. Bagaimana mengetahui strategi maupun kebijakan pemerintahan provinsi

Bali dalam pengelolaan lingkungan hidup menuju Bali yang bersih dan

hijau?

3. Baimana cara membangun budaya bersih masyarakat melalui

reaktualisasi Tri Hita Karana dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk

mewujudkan Bali yang bersih dan hijau.

4. Apa saja tantangan dan dinamika dalam penegakan instrumen hukum

pengelolaan lingkungan hidup menuju Bali yang bersih dan hijau.

5. Bagaimana cara memebrikan kontribusi pemikiran kepada pemerintah

mupun masyarakat luas berkaitan dengan pentingnya implementasi nilai

Tri Hita Karana secara konsisten dalam rangka mewujudkan Bali Clean

and Green.

C. Tujuan dan Manfaat Rancangan

1. Tujuan Perancangan

Seminar ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data-data dan informasi

yang berhubungan dengan lingkungan di Bali dengan menggunakan

konsep Tri Hita Karana. Adapun tujuan dari seminar ini dapat diuraikan

sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui berbagai tantangan ke depan yang dihadapi Bali

dalam penataan ruang dan lingkungan hidup.

b. Untuk mengetahui strategi maupun kebijakan pemerintah provinsi

Bali dalam pengelolaan lingkungan lidup menuju Bali yang bersih

dan hijau.

c. Untuk menemukan cara membangun budaya bersih masyarakat

melalui reaktualisasi Tri Hita Karana dalam pengelolaan lingkungan

hidup untuk mewujudkan Bali yang bersih dan hijau.

Page 4: Isi Seminar I

4

d. Untuk memotret berbagai tantangan dan dinamika dalam penegakan

instrumen hukum pengelolaan lingkungan hidup menuju Bali yang

bersih dan hijau

e. Untuk memberikan kontribusi pemikiran kepada pemerintah maupun

masyarakat luas berkaitan dengan pentingnya implementasi nilai Tri

Hita Karana secara konsisten dalam rangka mewujudkan Bali Clean

and Green.

2. Manfaatkan Perancangan

Hasil penelitian ini dapat berguna bagi :

a. Mahasiswa

Dapat memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan yang

berkaitan dengan masalah lingkungan di Bali yang berlandaskan

dengan konsep Tri Hita Karana.

b. Perusahaan

Dapat memberikan masukan yang berharga bagi kepentingan pihak

perusahaan upaya pemeliharaan lingkungan di Bali.

c. Masyarakat

Dapat memberikan himbauan dalam pemeliharaan dan pelestarian

lingkuang di Bali dengan menggunakan konsep Tri Hita Karana.

d. Lembaga

Dapat menambah refrensi dan literatur kepustakaan.

Page 5: Isi Seminar I

5

D. Kerangka Teori

Pembangunan Daerah Bali berlandaskan pada kebudayaan yang

dijiwai oleh Agama Hindu dengan filosofi Tri Hita Karana, bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelestarian budaya, dan lingkungan

hidup, guna menuju masyarakat yang maju, aman, damai dan sejahtera (Bali

Mandara). Bali Green Province telah dicanangkan oleh Gubernur Bali pada

tanggal 22 Februari 2010 bertepatan dengan pembukaan Konferensi UNEP

ke-11 di Nusa Dua. Dan pada tanggal 20 Juli 2010 telah dilaksanakan

workshop dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat, ada 3 (tiga)

membahas peta jalan (road map) menuju Bali Green Province, untuk

mengetahui alur road map dalam penelitian ini, maka dibuatlah kerangka

konseptual seperti pada Gambar 1.

Gambar 1.

E. Sistematika Penulisan

Strategi pengendalian pencemaran lingkungan dapat dilakukan dengan

beberapa pendekatan seperti pendekatan kebijakan dan kelembagaan,

teknologi, dan sosial ekonomi. Melalui penerapan aturan yang berkeadilan

pelanggaran lingkungan dapat di kurangi secara bertahap. Hal ini akan dapat

terjadi apabila aspek penegakan hukum lingkungan dijalankan secara

Green Culture

Green Economy

Green and Clean

Page 6: Isi Seminar I

6

konsisten. Selain itu, penerapan teknologi secara tepat dapat menurunkan

produksi sampah dan limbah dari suatu proses produksi. Implementasi konsep

green economy memungkinkan terjadinya keberlanjutan produksi ramah

lingkungan karena pencitraan usaha menjadi lebih diterima oleh pasar.

Selain ketiga pendekatan di atas, pemahaman terhadap fenomena pencemaran

lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari perilaku masyarakat yang mulai

mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal. Oleh karena itu, pendekatan budaya

yang berbasis pada perubahan perilaku masyarakat terkait pengelolaan

sampah dan limbah yang dihasilkannya sangat berperan dalam mengurangi

ancaman pencemaran lingkungan. Saat ini makin sedikit orang yang

menghormati aliran sungai sebagai sumber kemakmuran, seperti yang

tertuang dalam kitab suci. Mereka seenaknya saja membuang sampah ke

sungai bahkan di dekat mata air. Dengan memberikan penjelasan tentang

nilai-nilai kesucian air melalui kegiatan dharma wacana sebelum

persembahyangan di pura dan menyiapkan sarana berupa tempat sampah

yang memadai, maka akan terjadi perubahan perilaku masyarakat yang

semakin menghargai kebersihan dan kesucian.

Program sosialisasi melalui kegiatan di tempat suci pada umumnya

cukup efektif untuk mendidik masyarakat lebih mencintai lingkungan hidup.

Hal ini dilihat dari ketertiban masyarakat yang bersembahyang di beberapa

tempat suci/ pura yang menyampaikan pesan-pesan terkait pengelolaan

sampah dan limbah sebagai bagian dari proses persembahyangan. Perubahan

yang mendasar terjadi setelah beberapa kali ada kegiatan dharma wacana

yang memasukkan aspek penghormatan terhadap lingkungan dengan

melakukan kegiatan nyata, seperti kebersihan, pengolahan sampah, atau

melakukan aktivitas penanaman pohon. Peran tokoh agama dan tokoh

panutan sangat besar dalam perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga

lingkungan.

Pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan di Bali

dilandasi pada keunikan Bali yang merupakan satu ekosistem pulau kecil

dengan tingkat keseragaman kultural masyarakatnya yang tinggi. Masyarakat

Bali walaupun secara individu, kelompok dan kewilayahan memiliki

Page 7: Isi Seminar I

7

kekhususan masing-masing, sangat dimungkinkan untuk diberikan

kepercayaan mengelola sumber daya yang dimiliki secara mandiri dan

berbudaya.

Paradigma masyarakat Bali yang mengedepankan keharmonisan

dalam hidup (Tri Hita Karana) sangat selaras dengan konsep pembangunan

yang berkelanjutan. Apabila didapatkan kemandirian dalam mengelola

potensi sumber daya yang dimiliki Bali, maka pengelolaan lingkungan hidup

di Bali diyakini dapat membiayai potensi pencemaran lingkungan hidup yang

terjadi sebagai akibat aktivitas masyarakatnya. Pendekatan kultural yang

mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, dapat dilakukan dengan

memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki

identitas kultural setempat, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan

identias kultural lain seharusnya memahami nilai-nilai dan norma yang

diyakini oleh masyarakat setempat. Potensi kerusakan lingkungan di Bali

akan sangat mungkin semakin parah, apabila pemerintah mengabaikan

pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan, dengan

semata-mata menekankan hanya pada pendekatan teknologi, institusi dan

ekonomi semata. Pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal dapat

meningkatkan apresiasi para pihak yang terlibat dalam program pengendalian

pencemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu, untuk mengendalikan

pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh sampah dan limbah

yang semakin banyak diperlukan suatu strategi rekayasa budaya dengan

mengimplemetasikan landasan filosofis pembangunan Bali yang

berlandaskan Tri Hita Karana secara konsisten dan terarah.

Strategi rekayasa budaya dilakukan dengan meningkatkan kesadaran untuk

menyelamatkan masa depan Bali dengan gerakan mengurangi timbunan

sampah atau limbah secara konsisten dan berkelanjutan. Strategi tersebut

dilakukan dengan mengimplementasikan melalui konsep 3-R, yakni reduce

(kurangi), reuse (gunakan kembali), dan recycling (daur ulang), untuk setiap

bidang kehidupan masyarakat. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi

(reduce) pemanfaatan sumber daya dalam berbagai aktivitas kehidupan.

Page 8: Isi Seminar I

8

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat diajak untuk dapat

memanfaatan kembali (reuse) benda yang telah dikonsumsi, dan kalau

memungkinkan melakukan upaya daur ulang (recycling) terhadap barang-

barang yang telah dimanfaatkan. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan

dengan cara-cara yang sederhana, menarik, dan konsisten melalui program

sosialisasi, pilot project, gerakan menyeluruh, serta tindakan nyata dengan

memperbanyak keterlibatan intelektual dan tokoh masyarakat setempat dalam

program pemberdayaan masyarakat. Strategi ini sangat selaras dengan upaya

mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih.

Pendekatan budaya yang berasal dari penghargaan pada keberagaman

ekologis, dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, perlu dijadikan

acuan dalam perencanaan pembangunan. Pendekatan itu dilakukan dengan

memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki

identitas kultural setempat, untuk mengelola sumber daya yang dimiliki

secara bijak, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identitas kultural

lain diharapkan dapat memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh

masyarakat setempat. Dituntut adanya proses asimilasi dan akulturasi yang

mendalam dalam pemaknaan pesan-pesan lokal yang diberikan. Pada sisi lain,

diperlukan penjelasan tentang manfaat dari mematuhi nilai-nilai kearifan

lokal dan tradisi serta simbol-simbol lokal secara rasional, sehingga dapat

dipahami secara universal.

Implementasi pendekatan budaya dalam pengelolaan lingkungan

hidup di Bali yang diharapkan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan

hidup dan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan

mentrasformasikan nilai-nilai kearifan lokal berbasis pada konsep orientasi

hidup yang mengedepankan keselarasan dan keharmonisan untuk mencapai

kesejahteraan manusia. Transformasi mitos-mitos yang diyakini secara tradisi

dituangkan secara lebih rasional menjadi logos. Dengan demikian, kedalaman

maknanya dapat dipahami oleh masyarakat dari identitas budaya berbeda

berdasarkan etnisitas, kepercayaan, dan agama. Oleh karena itu, tuntutan

terhadap kualitas, kuantitas, modalitas, dan kausalitas yang mendasari nilai-

nilai kearifan lokal perlu dimaknai secara universal. Hal itu akan

Page 9: Isi Seminar I

9

menyebabkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dipahami secara

rasional untuk dilaksanakan sepenuh hati oleh seluruh masyarakat Bali yang

semakin majemuk

Page 10: Isi Seminar I

10

BAB II

METODE PENELITIAN

F. Lokasi Penelitian

Pulau Bali yang dikenal sebagai salah satu “pulau terindah di dunia”

saat ini menghadapi ancaman pencemaran lingkungan hidup yang parah. Hal

ini bisa dilihat secara kasat mata dari semakin banyaknya sampah yang

berserakan, terutama di kawasan pemukiman padat perkotaan serta bau yang

menyengat dari air selokan yang buntu akibat tergenang cukup lama tanpa

ada pengelolaan. Beberapa hasil penelitian tentang kualitas air (sungai dan

laut), khususnya di Kawasan Teluk Benoa, menunjukan tingkat pencemaran

yang tinggi. Di samping itu, di beberapa kawasan padat lalu lintas, tingkat

pencemaran udara semakin bertambah setiap tahun. Tingkat pencemaran

lingkungan yang semakin tinggi sangat mengkhawatirkan apabila dikaitkan

dengan ketergantungan ekonomi masyarakat Bali pada pariwisata. Bila di

masa yang akan datang polutan yang masuk ke lingkungan sudah jauh

melebihi kemampuan daya dukung lingkungan Bali, maka pulau yang dikenal

sebagai destinasi pariwisata terbaik di dunia ini akan ditinggalkan. Pada

saatnya nanti, masa depan Bali benar-benar sangat kritis apabila tidak

dilakukan langkah-langkah penyelamatan yang terpadu dan tepat sasaran.

Salah satu upaya penyelamatan masa depan Bali dari ancaman kerusakan

lingkungan yang semakin parah adalah dicanangkannya Program Bali Clean

and Green. Mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih merupakan

sebuah gagasan yang cerdas. Pulau Bali yang dijuluki sebagai Pulau Sorga,

Pulau Dewata, dan berbagai julukan indah lainnya tentu harus diimbangi

kenyataan bahwa memang Bali adalah pulau yang indah, memiliki aura

kesucian yang tinggi, bersih, aman, dan nyaman.

Page 11: Isi Seminar I

11

G. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Indah, itulah kata pertama yang selalu diingat jika menyebut Bali,

pulau seribu pura, Pulau Dewata. Saking indahnya ada yang

menyebutnya surga dunia. Setiap hari sekitar 5.458 wisawatawan

domestik dan international masuk Bali. Tak heran jika pendapatan

terbesar provinsi ini dari sektor pariwisata.

Berdasarkan data Bali dalam angka tahun 2009, pada 2008 jumlah

wisatawan ke Bali sebanyak 1.992.299 orang, meningkat 19,4 persen dari

tahun sebelumnya. Surat kabar lokal malah pernah melansir berita,

jumlah wisatawan ke Bali melebihi jumlah penduduknya.

Dari data yang sama disebutkan, total luas Provinsi Bali 5.634,40

hektar, dengan kepadatan penduduk 652 orang per km persegi. Seiring

berkembangnya Bali sebagai provinsi wisata, jumlah investor yang

masuk pun semakin banyak. Ini pada akhirnya berimbas pada

meningkatnya jumlah pembangunan dan pendatang. Lalu, apa

dampaknya pada lingkungan Bali?

Tahun 2010 Pemerintah Provinsi Bali (Pemprov Bali)

mencanangkan program Bali Green and Cleen. Tampaknya mudah

menjalankan program ini, mengingat pengembangan pariwisata Bali

didasarkan konsep Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan hubungan antara

manusia, alam, dan Sang Pencipta. Hal itu tentunya membuat Bali tetap

ajeg, lestari alamnya, terpelihara seni-budayanya, dan makmur

masyarakatnya. Tetapi, apakah pada kenyataanya semua berjalan sesuai

konsep Tri Hita Karana?

Mari bicara tentang hutan di Bali. Berdasarkan data statistik

lingkungan hidup Indonesia 2009, luas hutan di Bali 130.686,01 hektar

(23,2 persen luas Provinsi Bali). Luas hutan ini mencakup hutan lindung,

hutan produksi terbatas, dan hutan produksi. Dari semua itu, 3 hektar (ha)

mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan

aktivitas perambah hutan. Selain itu, Bali juga memiliki kawasan hutan

Page 12: Isi Seminar I

12

bakau seluas 2.215,5 ha, 2.004,5 ha dalam kawasan hutan dan 211 ha di

kawasan nonhutan.

Nah, yang masuk kategori rusak berat seluas 253,4 ha (11,44

persen), kategori rusak 201,5 (9,1 persen), dan kategori tak rusak 1.760,6

(79,47 persen). Selain karena perambahan hutan, kerusakan juga sebab

alih fungsi, misalnya pembukaan tambak di Kabupaten Buleleng.

2. Sampel Penelitian

Secara umum, permasalahan lingkungan hidup yang menjadi

tantangan mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dapat dilihat dari

beberapa hal.

Pertama adalah terkait dengan potensi sumber daya alam yang

semakin kritis, seperti keberadaan kawasan hutan di Bali yang belum

mencapai luas yang ideal dan kondisi yang optimal. Luas lahan kritis di

Bali semakin bertambah akibat perubahan alam dan aktivitas manusia.

Lahan hijau semakin berkurang akibat desakan kebutuhan terhadap

pembangunan pemukiman , akomodasi pariwisata, sarana dan prasarana

infrastruktur dan lain lain. Secara kuantitas, potensi air bersih semakin

berkurang setiap tahun, karena berkurangnya sumber air baku yang

disebabkan oleh mengecilnya debit dan menurunnya kualitas air oleh

adanya pencemaran. Berkurangnya cadangan air tanah diakibatkan oleh

pengambilan yang melampaui kemampuannya, sehingga potensi air

tanah menjadi menurun. Selain itu, kawasan terbuka hijau semakin hari

semakin mengecil yang diikuti alih fungsi lahan dari kawasan resapan air

menjadi kawasan terbangun. Hal ini banyak dijumpai di kawasan yang

berdekatan dengan pusat pertumbuhan pariwisata, pada daerah-daerah

yang padat permukiman, atau pada jalur sepanjang jalan baru. Bahkan

intrusi air laut sudah sudah dijumpai pada air tanah pantai di kawasan

pariwisata Sanur, Kuta dan sekitarnya. Sedangkan pencemaran air

permukaan telah pula terjadi pada sungai-sungai yang terutama berada di

Kota Denpasar dan Badung.Tentu sangat tidak mungkin mengharapkan

terjadinya peningkatan kawasan hijau yang subur di suatu kawasan

Page 13: Isi Seminar I

13

apabila tidak tersedia cadangan air yang memadai. Selain itu,

bertambahnya kawasan pantai yang mengalami abrasi merupakan

masalah lingkungan yang sangat serius, karena telah menimbulkan

kerugian ekonomi yang tidak kecil akibat hilangnya lahan-lahan

penduduk serta rusaknya fasilitas umum.Permasalahan ketersediaan air

ini merupakan tantang terbesar Program Bali Hijau, karena tidak

mungkin tumbuhan dapat hidup dengan baik tanpa ada persediaan air

yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah dan para pihak terkait benar-

benar harus serius menangani permasalahan air ini apabila ingin program

mewujudkan Bali Hijau tidak hanya program wacana.

Kedua, tantangan mewujudkan Bali sebagai Provinsi yang Bersih

berasal dari perilaku masyarakat dan aktivitas jasa/industri berkaitan

dengan produksi sampah dan limbah. Masalah sampah dan limbah

dijumpai terutama pada daerah-daerah yang mempunyai laju

pembangunan yang cukup pesat, seperti Kota Denpasar dan Badung saat

ini telah menjadi momok yang menakutkan. Memang masalah ini selalu

akan berkaitan dengan jumlah dan aktivitas penduduknya, karena makin

besar jumlah penduduk dan aktivitasnya makin besar pula jumlah sampah

dan limbah yang dihasilkan. Tata ruang perkotaan yang mengabaikan

asas keterpaduan antar sektor menimbulkan konflik dalam pengendalian

masalah yang terjadi setelah adanya kegiatan pembangunan. Bila tidak

diimbangi dengan langkah-langkah yang terpadu, khususnya dari aspek

pengendalian dan penegakan hukum yang konsisten, maka masalah

sampah dan limbah ini akan menjadi ancaman serius terhadap masa

depan Bali. Kerbersihan udara Bali saat ini juga semakin terusik dengan

semakin banyaknya polutan yang masuk ke dalam udara ambien. Akibat

tidak tersedianya sistem transportasi publik yang memadai, sehingga

memicu peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor berdampak pada

peningkatan pencemaran udara dan kebisingan. Penggunaan bahan bakar

minyak (HSD/MFO) pada pembangkit listrik di Bali memberikan

kontribusi terhadap perubahan kualitas lingkungan di sekitarnya seperti

pencemaran air, udara, kebisingan dan getaran.

Page 14: Isi Seminar I

14

Ketiga, tantangan Program Bali Clean and Green juga berasal

dari aspek sosial masyarakat Bali. Semakin bertambahnya penduduk

pendatang yang bermukim di kawasan perkotaan yang padat serta masih

ditemukannya penduduk miskin di Bali akan berkaitan dengan

permasalahan lingkungan seperti perambahan hutan, pelanggaran tata

ruang wilayah, pemukiman kumuh maupun masalah sanitasi yang buruk.

Kinerja pelayanan birokrasi pemerintahan yang rendah, terutama pada

aspek perizinan usaha, korupsi, kolusi, dan nepotisme memiliki kaitan

dengan sikap apatisme masyarakat Bali terhadap program-program

pembangunan.Di samping itu, sikap mau menang sendiri, arogran, dan

mementingkan diri sendiri, kelompok dan golongan akan mendorong

tindakan yang mengabaikan rasa kesetiakawanan sosial,gotong royong,

dan empati yang sangat penting dalam pengendalian terhadap

permasalahan lingkungan.

Berbagai permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi Bali

tentunya memerlukan pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan

yang konsisten dan terpadu. Hal ini terkait dengan upaya meningkatkan

partisipasi para pihak terkait dan perubahan perilaku masyarakat dalam

memandang laju proses pembangunan. Harapan agar konsep

pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang

menyeimbangkan aspek ekonomi, budaya dan lingkungan menjadi

harapan bersama dalam mewujudkan Bali yang maju dan sejahtera.

H. Jenis dan Sumber Data

Bertambahnya jumlah penduduk berdampak langsung pada

peningkatan jumlah sampah dan limbah. Apabila sampah dan limbah tersebut

tidak dikelola dengan benar maka pulau Bali yang terkenal ini lama kelamaan

akan dikotori tumpukan sampah. Padahal Bali dikenal sebagai pulau Sorga,

pulau Dewata, atau pulau seribu pura. Apa yang harus dilakukan untuk

menyelamatkan Bali dari kehancuran akibat sampah dan limbah tersebut?

Tulisan ini diambil dari hasil penelitian tentang pencemaran lingkungan

hidup dengan studi kasus di kawasan kota-kota besar di Bali secara umum

Page 15: Isi Seminar I

15

dan di kawasan Teluk Benoa Bali secara khusus, bertujuan untuk dapat

menawarkan suatu strategi rekayasa budaya yang mengedepankan upaya

bersama dari seluruh komponen masyarakat dalam menyelamatkan Bali dari

permasalahan pencemaran lingkungan.

1. Pencemaran Lingkungan Hidup ( Kasus di Kawasan Teluk Benoa Bali )

Berdasarkan survey International Network for Partnership and

Sustainable Development (INSPD) pada tahun 2007, disebutkan bahwa

perilaku masyarakat di Kawasan Bali Selatan yang membuang sampah

secara sembarangan dinyatakan sebagai penyebab terbanyak (37%)

terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Selain itu, sebab lainnya adalah

masyarakat yang tidak mempunyai septik tank (25 %) dan masyarakat

yang tidak peduli terhadap lingkungan (18%). Ketiga pernyataan tersebut

memiliki kesamaan karena menunjukkan perilaku masyarakat yang tidak

ramah lingkungan, sehingga merupakan satu kesatuan (80%). Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa pencemaran lingkungan hidup

di Bali paling besar diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang tidak

mengelola sampah dan limbah secara benar.

Gambar 2. Salah satu tempat di Teluk Benoa

Studi kasus tentang pencemaran lingkungan hidup di kawasan

Teluk Benoa Bali Selatan memperlihatkan betapa pencemaran lingkungan

hidup yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari kondisikawasan

Page 16: Isi Seminar I

16

permukiman yang ada di bagian hulu karena sampah dan limbah yang

berakumulasi dari aliran sungai yang melintasi kawasan dari hulu ke hilir.

Beberapa permukiman padat di bagian daratan mengalirkan limbah

aktivitas masyarakatnya ke kawasan Teluk Benoa, yang termasuk wilayah

administratif Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar dan Kecamatan

Kuta dan Kuta Selatan Kabupaten Badung.

Hasil pengamatan di lapangan menemukan adanya beberapa

aktivitas yang berpotensi menghasilkan sampah dan limbah dalam jumlah

yang besar, seperti kegiatan jasa kepelabuhan di Pelabuhan

Benoa; aktivitas Bandara Internasional Ngurah Rai; aktivitas pembangkit

listrik PLTD/PLTG Pesanggaran; TPA Suwung; dampak reklamasi

Serangan; aliran air dari Tukad Badung dan Tukad Mati; aktivitas

perdagangan, bisnis, dan transportasi, serta sampah dan limbah

masyarakat. Dilihat dari seluruh aktivitas yang ada di kawasan Teluk

Benoa yang mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup, terdapat

kondisi yang rumit dan saling terkait.

Naradha (2004: 224), menuliskan juga penyebab pencemaran

lingkungan hidup di Bali, yaitu perilaku masyarakat yang tidak ramah

lingkungan. Hal itu didapatkan dalam survei terhadap 406 pemilik telepon

di Bali yang dilakukan oleh Bali Post, yang menyatakan sebanyak 322

responden (80 %) menyebutkan kerusakan tersebut akibat

pemerintah kurang tegas menegakkan aturan yang ada.

Hasil penelitian INSPD (2007), sebanyak 55 orang (36,67 %), dari

150 orang yang diwawancarai, menyatakan kondisi air sungai di sekitar

tempat tinggalnya tidak jernih, 38 orang (25,33 %)menyatakan agak

keruh, dan 43 orang (28,67 %) menyatakan keruh sekali. Penurunan

kualitas lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya

dinyatakan akibat perilaku masyarakat membuang sampah langsung ke

sungai (54 orang, 36 %), dan limbah cair yang dibuang ke sungai (56

orang, 37,33%). Sebanyak 82 orang (54,67 %) menyatakan sangat

terganggu akibat terjadinya pencemaran lingkungan hidup di sekitar

tempat tinggalnya.

Page 17: Isi Seminar I

17

Berdasarkan pengamatan, pencemaran lingkungan hidup di

kawasan Teluk Benoa dapat dilihat dengan mudah melalui banyaknya

tumpukan sampah yang teronggok di pinggir jalan, di lahan-lahan kosong,

di sepanjang aliran Tukad Badung dan Tukad Mati, serta sungai kecil

lainnya yang mengalir ke kawasan Teluk Benoa. Demikian juga limbah

yang dihasilkan aktivitas pelabuhan , bengkel dan kegiatan perdagangan,

serta aktivitas domestik mengalir langsung ke saluran sungai. Warnanya

yang pekat menyebarkan bau yang busuk yang berasal dari bahan

pencemar yang dikandungnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat

bahwa permasalahan sampah dan air limbah yang masuk ke kawasan

Teluk Benoa serta masalah kependudukan merupakan faktor-faktor

dominan yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan di

kawasan Teluk Benoa. Kondisi ini, secara umum mewakili kawasan

lainnya di Bali, yakni menunjukan perilaku masyarakat yang membuang

sampah secara sembarangan yang menyebabkan pencemaran oleh sampah.

Sejak tahun 1980-an hingga tahun 2007, sangat terasa sampah yang

menuju ke kawasan Teluk Benoa semakin bertambah. Khususnya, pada

bulan Oktober hingga Januari, pada masa musim angin Barat, sampah-

sampah yang sebelumnya di hanyutkan ke laut lepas pada musim

tersebut sering dihempaskan gelombang dari tengah laut menuju

daratan. Hal itu mengakibatkan banyak sampah yang masuk kembali ke

daratan melalui gelombang air laut.Pemandangan di sepanjang tepi pantai

Teluk Benoa menjadi kotor karena penuh dengan sampah. Peningkatan

jumlah sampah terjadi secara signifikan setelah kegiatan upacara dan hari-

hari raya. Tumpukan sampah sisa upacara ini menggunung di pojok jalan

dan di lokasi pembuangan.

Tumpukan sampah dapat dilihat dengan mudah di lahan-lahan

kosong yang masih banyak terdapat di sepanjang Jl. By Pass Ngurah Rai,

mulai dari kawasan Nusa Dua, Jimbaran, Tuban, Kuta, hingga Sanur.

Kawasan kosong tersebut merupakan lahan yang termasuk milik negara,

karena keberadaan hutan bakau yang menjadi kewenangan pemerintah

melalui Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Berdasarkan

Page 18: Isi Seminar I

18

tanggung jawab kepemerintahan, tanggung jawab pengelolaan lahan

negara tersebut menjadi kewenangan pemerintah. Namun, karena tidak

terpadunya kebijakan pengelolaan persampahan, kondisi sampah yang

berserakan dibiarkan dalam waktu lama tanpa ada yang mengurusnya.

2. Fenomena Sampah di Daerah Perkotaan

Menurut Bappenas (2006:5), permasalahan sampah di kawasan

perkotaan disebabkan oleh beberapa parameter yang saling berkaitan, yaitu

pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan penduduk,

pola konsumsi masyarakat, pola keamanan dan perilaku penduduk,

aktivitas fungsi kota, kepadatan penduduk dan bangunan, serta

kompleksitas problem transportasi. Kondisi perkembangan wilayah di

sekitar kawasan Teluk Benoa sangat sesuai dengan uraian tersebut. Semua

parameter yang disebutkan tersebut saling berinteraksi, sehingga

menimbulkan pencemaran lingkungan hidup.

Gambar 3. Suasana sungai di Kota Denpasar

Page 19: Isi Seminar I

19

Sebagai akibat pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan

yang terkonsentrasi di kawasan Tanjung Benoa, Nusa Dua, Tuban, Kuta,

dan Sanur, pertumbuhan penduduk di kawasan tersebutmeningkat cepat,

sehingga kepadatan penduduknya tertinggi (7,2 %) dari wilayah lainnya

(rata-rata di Provinsi Bali 1,2%). Menurut Suyoto (2008:34), jumlah

sampah yang dihasilkan di suatu kawasan dinyatakan dalam besarnya

timbulan sampah dikalikan dengan jumlah penduduk. Selain itu, besarnya

timbulan sampahtergantung dari tingkat hidup, pola hidup serta mobilitas

masyarakat, iklim, dan pola penyediaan kebutuhan hidup. Timbulan

sampah rata-rata yang masuk ke kawasan Teluk Benoa Bali berasal

dari penduduk yang bermukim di Kota Denpasar dan sekitarnyayang

besarnya 2,5-3,0 kg/orang/hari. Dengan demikian, dapat dihitung dalam

sehari timbunan sampah yang dihasilkan oleh penduduk sebanyak 430-an

ton (dihitung dari jumlah penduduk di kawasan Teluk Benoa tahun 2006)

dan timbunan sampah tersebut akan meningkat menjadi 603 ton per hari

(berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2015). Sungguh sebuah jumlah

yang sangat besar apabila dihitung dalam hitungan bulan atau tahun.

Ironisnya sampai saat ini, penanganan sampah di kota-kota besar di

Indonesia, termasuk di Kota Denpasar, masih dilakukan dengan paradigma

konvensional, yakni “ Kumpul-Angkut-Buang” yang menyebabkan

sampah bertumpuk di pinggir jalan menunggu pengangkutan untuk

dibuang di tempat penampungan akhir (TPA). Apabila kendaraan

pengangkut sampah mengalami masalah, tumpukan sampah yang

menggunung di pinggir jalan menjadi pemandangan sehari-hari.

Tumpukan sampah yang mengotori lingkungan sudah menjadi

pemandangan yang biasa di Kota Denpasar dan sekitarnya.

Produksi sampah di Kota Denpasar semakin bertambah

seiringdengan bertambahnya penduduk kota. Pada tahun 2004 jumlah

sampah yang dikelola oleh petugas kebersihan Dinas Kebersihan dan

Pertamanan Kota Denpasar berjumlah 690.804 m3 atau berkisar 1854,4 –

2017,4 m3/hari. Kondisi tersebut semakin bertambah setiap tahun. Pada

Page 20: Isi Seminar I

20

tahun 2005 jumlah sampah yang dikelola menjadi sekitar 889.550 m3

meningkat menjadi 983.667 m3 pada tahun 2006. Permasalahan sampah di

kawasan perkotaan memang menjadi momok bagi

keindahan kota bersangkutan, sehingga tugas yang dibebankan kepada

instansi teknis yang menangani sampah, seperti Dinas Kebersihan dan

Pertamanan, merupakan tugas berat yang langsung berhadapan dengan

keluhan masyarakat. Walaupun sebenarnya, pelayanan pemerintah di

bidang persampahan masih sangat minim. Hal itu dapat dilihat daridata

Biro Pusat Statistik yang dikutip oleh Suyoto (2008) bahwauntuk

penanganan sampah di kawasan perkotaan di Indonesia baru 11,25 %

sampah yang dihasilkan dapat diangkut oleh petugas pemerintah, sisanya

63,35 % sampah ditimbun/dibakar, 6,35 % sampah dibuat kompos, dan

19,05 % sampah dibuang ke kali/sembarangan. Sementara itu, di kawasan

pedesaan, sebanyak 19 % sampah diangkut petugas, 54 %

ditimbun/dibakar, 7 % dibuat kompos, dan 20 % dibuang di

kali/sembarangan. Data-data tersebut menunjukkan bahwa penanganan

sampah masih dilakukan secara konvensional, bahkan sebagian dibuang di

sembarang tempat.

Salah satu kendala yang dihadapi wilayah perkotaan yang semakin

padat penduduknya adalah mahalnya harga lahan, sehingga untuk tempat

penampungan sementara sampah sebelum diangkut oleh petugas dan

tempat penampungan akhir selalu menimbulkan masalah. Apalagi untuk

daerah-daerah yang permukimannya padat dan tidak ada sarana jalan yang

dapat dilalui oleh truk pengangkut sampah, maka sampah

dikumpulkan atau dibuang begitu saja di pinggir jalan dan di lahan kosong,

sehingga menimbulkan dampak, seperti bau dan menjadi tempat hidupnya

vektor penyakit.

Kebijakan persampahan yang tidak terpadu sangat bertolak

belakang dengan kebijakan di bidang pariwisata, khususnya menyangkut

aktivitas promosi pariwisata Bali. Sering disebutkan bahwa Bali memiliki

pemandangan alam yang indah dengan lingkungan yang asri dan tempat-

tempat suci yang bersih. Masyarakatnya hidup damai dan tenteram. Pujian

Page 21: Isi Seminar I

21

yang sering disampaikan tersebut mulai dipertanyakan dengan semakin

banyaknya pemandangan yang tidak menarik akibat tumpukan sampah

yang dibiarkan begitu saja. Sampah yang dibuang di dekat lokasi tempat

persembahyangan, seperti Pura Subak dalam waktu yang lama sampai

menimbulkan bau dan pemandangan yang kotor, menunjukkan lemahnya

penghargaan masyarakat terhadap nilai kesucian suatu tempat

persembahyangan. Tumpukan sampah yang berbau tentunya akan

menimbulkan gangguan terhadap aktivitas ritual, di samping gangguan

terhadap keindahan. Apabila hal tersebut sampai terjadi, menunjukan

ketidakterpaduan pengelolaan persampahan yang sangat parah.

Sampah tidak saja mengotori kawasan pinggir jalan atau wilayah

perkotaan, namun sudah menumpuk di pinggir sungai dan di tempat-

tempat kosong yang tidak terurus. Bahkan, di laut, pada musim angin

Barat, tumpukan sampah mengambang dalam jumlah yang besar di atas

permukaan laut sehingga mengganggu keindahan laut. Kondisi

tersebut mudah dilihat di perairan Pantai Kuta maupun Pantai Tanjung

Benoa yang mendapat kiriman sampah dari daratan. Padahal, masyarakat

meyakini bahwa laut adalah kawasan suci yang harus dihormati.

Banyaknya sampah di kawasan suci, seperti laut, menunjukkan lemahnya

pemahaman terhadap nilai-nilai kesucian laut. Selain itu, hal tersebut

memperlihatkan komitmen yang rendah dari aparatur pemerintah yang

bertanggung jawab terhadap kelestarian laut.

Keluhan terhadap sampah yang tidak dikelola dengan baik sudah

sering disampaikan melalui pernyataan di media atau dalam berbagai

kegiatan pertemuan. Keluhan masyarakat tersebut tidak mendapat respon

dengan semestinya. Beberapa pandangan yang sering disampaikan seperti

masalah sampah harus segera dicarikan solusi pemecahannya, karena

sudah mengotori semua wilayah, mulai dari wilayah daratan hingga di

dasar laut. Masalah terbesaradalah berhubungan dengan sampah plastik,

yang tidak dapat dihancurkan oleh sistem alam dalam waktu yang sangat

lama. Sampah plastik ini sudah banyak mengotori terumbu karang,

sehingga menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang parah.

Page 22: Isi Seminar I

22

Faktor-faktor yang menyebabkan sampah menjadi momok

masyarakat dapat diuraikan menjadi tujuh bagian, sebagai berikut.

Pertama, sampah hanya ditumpuk di tempat penampungan akhir

(TPA), selama pengangkutan dengan truk yang tidak representatif, sampah

masih banyak yang berceceran di jalan, dan di saluran air. Selain

itu, kondisi sampah campur aduk (complicated) antara sampah organik,

nonorganik, dan sampah yang mengandung limbah B3, seperti batu

batere, stryrefoam, PVC, bekas kaleng pestisida, botol kaca, dan lain lain.

Pada musim kemarau, sampah sangat rentan dengan kebakaran

akibat adanya gas methane. Apabila gasmethane ini tidak dikelola dengan

baik, akan menimbulkan magma dan ledakan yang berakibat bencana bagi

kawasan sekitarnya.

Kedua, kondisi TPA sudah sangat sesak, sehingga tumpukan

sampah memiliki ketinggian hingga 15 meter yang berpotensi

menimbulkan longsoran yang menutup wilayah sekitarnya. Walaupun

beberapa TPA sejak semula sudah didesain sebagailokasi penampungan

sampah dengan metode sanitary landfill, kenyataannya metode yang

dilaksanakan adalah open dumping.

Ketiga, sebagian besar truk sampah tidak layak untuk dioperasikan,

sehingga sampah dan lindi berupa cairan yang berbau tercecer di

sepanjang perjalanan menuju TPA yang menimbulkan gangguanbagi

pengguna jalan dan masyarakat. Walaupun jadwal angkut sampah sudah

ditetapkan pada waktu transportasi sepi, sepertimalam hari atau dini hari,

kenyataannya seringkali pengangkutan sampah dilakukan pada jam-jam

sibuk, sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas. Sementara itu, lindi

(cairan sampah yang berbau) di lokasi TPA tidak diolah sama sekali,

sehingga mencemarikawasan sekitarnya.

Keempat, hampir semua pemerintahan di daerah tidak memiliki

konsep dan perencanaan yang terpadu dalam pengelolaan TPA.

Perencanaan yang menggambarkan upaya pengurangan, pemanfaatan

kembali, dan daur ulang, seperti konsep 3R (Reduce,Reuse, Recycling)

Page 23: Isi Seminar I

23

tidak berjalan dengan baik, sehingga sampah yang dihasilkan masyarakat

semakin banyak setiap tahun.

Kelima, pemerintah seperti sengaja mengabaikan upaya

penghijauan di sekitar TPA sebagai kawasan green belt, dan tidak

dilakukan penataan bagi gubuk-gubuk liar di sekitar TPA. Tidak ditatanya

kawasan sekitar TPA mengakibatkan kondisinya yang semrawut dan tidak

sehat, sehingga menimbulkan gangguankesehatan bagi para pemulung dan

masyarakat di kawasan sekitarnya. Interaksi antara pemulung dengan

sesamanya seringkali memunculkan tindakan kriminal.

Keenam, akibat pengelolaan TPA yang buruk sangat berpotensi

menimbulkan berbagai penyakit, seperti ISPA, radang paru-paru/TBC,

gatal-gatal, alergi kulit, diare, anemi, disentri, infeksi telinga, infeksi

mata, dan lain lain. Penyebaran penyakit yang diakibatkan pengelolaan

TPA yang buruk dapat menyebar dalam radius 1 s.d. 3 Km akibat

penyebaran udara.

Ketujuh, pengelolaan sampah yang tidak baik akan menimbulkan

dampak ikutan berupa banjir dan longsor akibat tertutupnya saluran air

drainase. Dampak banjir akan menimbulkan kerugian yang

berkepanjangan bagi masyarakat, khususnya yang berada di bantaran

sungai dan daerah yang rendah akibat kerusakan bangunan rumah serta

penyebaran penyakit menular yang diakibatkan air yang kotor.

Pengamatan terhadap sistem pengelolaan sampah di TPA Suwung

menunjukan kondisi yang sama dengan ketujuh permasalahan yang

disampaikan oleh Sunyoto (2008). Bahan pencemar yang berasal

dari lokasi TPA Suwung merupakan penyebab utama terjadinya

pencemaran lingkungan hidup di kawasan Teluk Benoa, khususnya di

perairan yang berdekatan dengan lokasi TPA. Kualitas air laut yang

mendapat tekanan bahan pencemar telah diamati dalam kegiatan

pemantauan lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh pemerintah dan

lembaga lainnya.

Hasil pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh tim

pemantauan lingkungan hidup Pacific Consultant

Page 24: Isi Seminar I

24

International(PCI) menunjukan adanya kandungan BOD yang tinggi di

lokasi perairan laut di sebelah TPA Suwung, yang diduga berasal

darisampah dan lindi yang ada di TPA. Pada kegiatan pemantauan tahun

2004, konsentrasi BOD diukur sebesar 67,5 mg/liter, pada tahun 2005

kondisinya tidak berubah banyak yakni sebesar 72,4 mg/liter (PCI, 2004,

2005).

Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali (1999:IV-123), melalui Bali

Urban Infrastruktur Project (BUIP), telah melakukan pengukuran kualitas

perairan di sekitar lokasi TPA di Bali sebagai rangkaian kegiatan untuk

pembangunan infrastruktur publik dengan dana dari Bank Dunia. Pada

pengukuran kualitas air laut di perairan dekat TPA Suwung didapatkan

konsentrasi BOD sebesar 140,09 mg/L di bagian outlet kolam lindi

TPA, jauh di atas baku mutu lingkungan hidup sebesar 30 mg/L.

Sementara itu, konsentrasi BOD padaperairan laut di sekitarnya terukur

pada konsentrasi 30,93 mg/L.Tumpukan sampah di TPA Suwung yang

menghasilkan lindi yang mengalir langsung ke perairan laut di

sekitarnya. Lindi yang masuk ke perairan akan meningkatkan konsentrasi

BOD dalam perairan tersebut. Konsentrasi BOD yang tinggi menunjukkan

adanya pencemaran akibat bahan-bahan organik yang masuk ke dalam

perairan laut dan mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan.

Baku mutu air laut untuk kegiatan pariwisata untuk parameter BOD adalah

sebesar 10 mg/liter. Jadi, melihat besarnyakonsentrasi BOD di perairan

laut tersebut (72 s.d. 140 mg/L)menunjukan tingkat pencemarannya yang

termasuk tinggi.

Permasalahan sampah di kawasan Teluk Benoa semakin bertambah

berat akibat lemahnya sistem pengelolaan persampahan di Kota Denpasar

dan sekitarnya. Sampah yang dikelola oleh Dinas Kebersihan dan

Pertamanan (DKP) Kota Denpasar dibuang pada Tempat Pembuangan

Akhir (TPA) Suwung yang masih mempergunakan metode Open

Dumping, yakni menumpuk sampah begitu saja tanpa pengolahan. Kondisi

itu menyebabkan luas TPAtersebut semakin menyempit,

sedangkan luberan leachet (cairan sampah/lindi) masuk ke dalam perairan

Page 25: Isi Seminar I

25

laut. Cairan tersebut mengandung bahan pencemar yang terdiri

atas komponen fisik, seperti padatan tersuspensi dan padatan terlarut serta

komponen kimia yang mengandung senyawa nitrogen, sulfat, fosfat, dan

logam berat. Dalam waktu yang lama, semua polutan tersebut mengadakan

interaksi dengan bahan pencemar dari kawasan lainnya,

sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan hidup di kawasan Teluk

Benoa.

Kebijakan pemerintah yang tidak terpadu di dalam pengelolaan

persampahan dapat dilihat dari penanganan tempat pembuangan akhir

sampah di Suwung yang terus bermasalah. TPA Suwung pada tahap I

seluas 14,4 Ha didesain dengan sistem sanitary landfill, yakni sistem yang

mengolah sampah dengan terlebih dahulumemasang suatu lapisan kedap

air, pipa pengumpul air lindi, pipa ventilasi pelepas gas methane, dan

kolam pengolah lindi sebelum dilepas ke perairan, serta jaringan drainase

air hujan. Hingga tahun 1999, TPA Suwung tahap I telah mengalami

kelebihan beban (over load) karena sampah yang masuk telah melebihi

kapasitas lahan yang ada. Akibatnya, sampah yang datang kemudian

disebarkan di lahan hutan bakau yang terletak di sebelah TPA Suwung

tahap I, tanpa kejelasan status pengalihan lahan dari Departemen

Kehutanan yang bertanggung jawab terhadap keberadaan hutan bakau.

Pengembangan kawasan TPA menjadi 40 Ha memerlukan

tambahan lahan sebesar 25,6 Ha yang disebut pengembangan tahap II,

namun belum memiliki status lahan yang pasti. Selain itu, sampah yang

datang hanya ditumpuk saja (open dumping), sehingga memerlukan areal

yang terus melebar ke kawasan hutan bakau di sebelahnya. Data yang

diperoleh dari hasil penelitian analisis dampak lingkungan hidup untuk

kegiatan IPST Sarbagita menemukan bahwa sampah yang masuk ke TPA

Suwung berjumlah 445 ton per hari (dan cenderung mengalami

peningkatan setiap tahun akibat pertambahan jumlah penduduk) yang

berasal dari sumber sampah di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung

(Dinas PU Provinsi Bali, 2001).

Page 26: Isi Seminar I

26

Kondisi TPA Suwung yang semakin banyak memerlukan

lahankarena hanya menerapkan metode open dumping telah mendapat

perhatian dari pemerintah pusat sebagai bagian dari program peningkatan

infrastruktur publik. Oleh karena itu, pemerintah sejak tahun 2001 telah

memiliki rencana membangun sistem pengolah sampah untuk wilayah

Denpasar-Badung-Gianyar dan Tabanan (SARBAGITA). Berdasarkan

kajian yang dilakukan oleh tim BUIP tempat penampungan sampah

direncanakan berada di Kabupaten Tabanan karena lahannya relatif lebih

murah dibandingkan dengan harga lahan di Denpasar/Badung. Namun,

akibat ditolaknya tempat penampungan sampah di Dusun Mandung, Desa

Sembung Gede,Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan, oleh

masyarakat, rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Permasalahan sampah di Kawasan Bali Selatan semakin banyak

mendapat sorotan, terutama karena dampak yang ditimbulkan

dirasakan sudah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat

serta keindahan kawasan. Oleh karena itu, pada tahun 2005, rencana

pengolahan sampah di Kawasan Sarbagita kembalidiwacanakan melalui

program pengembangan infrastruktur sanitasi perkotaan

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah RepublikIndonesia. Oleh

pemerintah, TPA yang akan dipergunakan adalah TPA Suwung dengan

luas 22 Ha, sedangkan metode pengolahan sampah yang akan

dipilih adalah sistem Galfad (Gasification, LandFill gas and Anaerobic

Digestion).

Pada intinya sistem Galfad memanfaatkan seluruh materi sampah

untuk diubah menjadi energi dengan produk daur ulang dalam satu proses

terpadu. Proses Galfad dimulai ketika sampah dipisah-pisahkan menjadi

sampah basah organik, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah

organik kering. Sumber energi yang pertama akan diperoleh dari sampah

(lama) yang sudah ada di TPA Suwung, diambil gasnya, disaring

(dipisahkan), lalu digunakan untuk menggerakkan generator penghasil

listrik.

Page 27: Isi Seminar I

27

Sumber energi kedua, adalah biogas dari sumber organik baru yang

basah yang diambil atau diekstrak melalui proses anaerobic

digestion. Anaerobic digestion adalah proses biologis untuk mengubah

material organik menjadi gas yang dapat dibakar, dalam ruangan yang

basah tanpa udara, sehingga menghasilkan gasmethane dan carbondioxide.

Biogas tersebut digunakan untuk menghasilkan listrik dari generator yang

digerakan dengan panas yang ditimbulkan oleh biogas. Selanjutnya,

sumber energi yang ketiga adalah berasal dari sampah kering yang

diproses untuk menghasilkan gas untuk membuat uap sebagai sumber

bahan bakar listrik melalui proses pyrolisis dan gasification sampah kering

(Buletin Cipta Karya, 2008: 9).

Dilihat dari pemaparan tentang proses dan mekanisme pengolahan

sampah di TPA Suwung, sistem yang dikerjasamakan antara pemerintah

daerah dengan pihak swasta ini terlihat sangat menarik dan

menguntungkan untuk dilaksanakan. Namun, sejak disetujui sebagai suatu

proyek kerjasama pada tahun 2005 sampai tahun 2008, sistem pengolahan

sampah tersebut masih belum bisa dilaksanakan. Secara administratif,

lahan yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan TPA

Suwung merupakan kawasan hutan bakau, sehingga kepemilikan lahan

tersebut merupakan kewenangan Departemen Kehutanan

Republik Indonesia. Untuk itu, apabila lahan tersebut akan dialihkan

menjadi areal TPA, tentu harus melalui prosedur alih kepemilikan dari

Departemen Kehutanankepada BPKS yang memerlukan prosedurnya dan

waktu yang lama.

I. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengetahui keadaan lingkungan di wilayah Bali penulis

menggunakan metode pengumpulan data yang dapat berupa teks, dokumen,

gambar, foto, artefak, atau obyek-obyek lain yang ditemukan di lapangan

selama penelitian dilakukan (Jonathan, 2007: 100) . Metode ini dibedakan

berdasarkan sumbernya yaitu, metode pengumpulan data primer dan metode

pengumpulan data sekunder.

Page 28: Isi Seminar I

28

1. Metode Pengumpulan Data Primer

Data primer, berupa teks hasil wawancara yang diperoleh melalui

wawancara dengan informan yang dijadikan sampel penelitian. Data dapat

direkam atau dicatat oleh peneliti (Jonathan, 2007: 98).

a. Metode Observasi

Kegiatan observasi meliputi pencatatan secara sitematis atas kejadian-

kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang

digunakan guna mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Pada

tahap awal observasi dilakukan secara umum dan tahap selanjutnya

penelitian dilakukan secara terfokus, sehingga dapat menemukan pola-

pola perilaku dan hubungan yang terus-menerus terjadi. Hal ini

dilakukan dengan cara datang langsung ke beberapa daerah yang

lingkungannya tercemar, yaitu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di

daerah Suung, Denpasar. ( Jonathan Sarwono, 2007;100).

b. Metode Wawancara (In-depth Interview)

Dengan menggunakan teknik wawancara ini keberhasilan untuk

mendapatkan data atau informasi atas obyek yang diteliti sangat

tergantung pada kemampuan peneliti dalam melakukan wawancara.

Merupakan metode pengumpula data dengan cara bertanya langsung

kepada penduduk setempat yang wilayahnya sudah tercemar.

(Jonathan Sarwono, 2007;101)

2. Metode Pengumpulan Data Sekunder

Data Sekunder, berupa data-data yang sudah tersedia dan dapat

diperoleh peneliti dengan cara membaca, melihat atau mendengarkan (

Jonathan Sarwono, 2007;98).

a. Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan adalah mecari data literature yang berhubungan

dengan desain komunikasi visual, meliputi buku-buku, kamus, media

Page 29: Isi Seminar I

29

cetak, dan media komunikasi lainnya yang erat kaitannya dengan

obyek permasalahan. Fungsi dari metode ini guna lebih memperjelas

secara teoritis ilmiah tentang kasus yang diambil dan juga untuk

mencari pendekatan guna mencari pemecahan masalah yang

berhubungan dengan cara penampilan isi pesan baik ilustrasi maupun

teks dalam merancang sebuah media komunikasi visual dalam

promosi. Hal ini dilakukan degnan cara mencari literatur yang

berhubungan dengan lingkungan yang ada dibuku, artikel dikoran, dan

media elektronik yaitu di internet. (Poerwadarmita W.J.S, 1985;382).

b. Metode Dokumentasi

Kajian dokumen merupakan sarana bantu bagi peneliti dalam

mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca surat-surat,

pengumuman, iktisar rapat, pertanyaan tertulis atas kebijakan tertentu

serta bahan-bahan tulisan yang lain. Metode ini dilakukan dengan cara

mengambil beberapa foto lokasi daerah yang tercemar di wilayah Bali.

(Jonathan Sarwono, 2007;102).

J. Analisa Data

Bagi Pulau Bali yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia,

fenomena pencemaran lingkungan hidup merupakan sebuah ironi. Sebagai

kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Bali yang menjadi lokasi

hotel, restoran, dan beragam fasilitasperdagangan dan bisnis yang berkelas

dunia, seharusnya kawasan tersebut menampilkan kualitas daerah yang sesuai

dengan citra daerah tujuan wisata internasional. Namun, fakta-fakta yang

menunjukkan peningkatan pencemaran lingkungan hidup di kawasan yang

telah berkembang menjadi segitiga emas pertumbuhan ekonomi Bali tersebut

sangat memprihatinkan.Apalagi, masyarakat Bali sebagai pendukung budaya

setempatdikenal luas memiliki konsep nilai yang mengedepankan

keharmonisan dengan alam; sangat menghargai keindahan; dan nilai-nilai

spiritual seharusnya memberikan kontribusi yang besar pada pembentukan

citra kawasan yang baik.

Page 30: Isi Seminar I

30

Refleksi yang dapat ditarik dari kondisi yang paradoks

tersebutdimulai pada periode tahun 1980 s.d. 1990-an ketika pemerintahmulai

melaksanakan pembangunan fasilitas kepariwisataan di Pulau Bali secara

besar-besaran tanpa diimbangi dengan perencanaan yang terpadu terhadap

sistem pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Pada periode tersebut

pembangunan jalan baru, peningkatan kapasitas energi listrik, sarana air

minum, perbaikanfasilitas pelabuhan laut, dan bandara internasional yang

diikuti dengan pembangunan hotel, restoran, dan fasilitas pariwisata lainnya,

menyebabkan peningkatan yang signifikan pada pertumbuhan perekonomian

Bali. Wacana pembangunan pariwisata telah mendominasi sektor

pembangunan di Bali. Pemerintah daerah memberikan peluang yang sangat

besar kepada kelompok pemodal untuk memanfaaatkan potensi sumber daya

alam Bali di bidang pariwisata dengan mengeluarkan kebijakan tentang tata

ruang wilayah dalam bentuk kawasan pariwisata.

Diskursus pembangunan fasilitas kepariwisataan akan menciptakan

lapangan kerja yang akan meningkatkan ekonomi masyarakat. Akhirnya,

menjadi jargon politik. Pembangunan pariwisata disebutkan sebagai satu-

satunya pembangunan yang tidak bertentangan dengan budaya masyarakat

dan sangat ramah lingkungan. Jargon tersebut yang disampaikan secara terus-

menerus oleh aparat pemerintah, dibantu kelompok intelektual organik yang

digaji investor untuk kepentingan bisnisnya. Berbagai upaya dilakukan untuk

memberikan pelayanan kepada wisatawan yang diharapkan akan membawa

berkah ekonomi bagi Bali. Pembangunan resor, hotel, dan fasilitas pariwisata

memerlukan lahan yang luas sehingga berbagai cara dilakukan untuk

memenuhi tuntutan investor. Lahan-lahan milik negara atau tanah adat

diberikan hak pengelolaan kepada kelompok konglomerat. Bahkan, cara-cara

kekerasan dan intimidasi tidak segan-segan dilakukan oleh para pemodal

dengan memanfaatkan kekuasaan aparat militer dan pemerintah setempat

untuk menguasai lahan milik masyarakat.

Berdasarkan pengamatan terhadap fenomena yang terjadi pada

periode tahun 1980 s.d. 1990-an didapatkan adanya keterlibatan pemerintah

yang sangat sistematis dalam membantu kelompok investor dalam

Page 31: Isi Seminar I

31

mewujudkan keinginannya untuk menguasai potensi sumber daya alam untuk

kepentingan bisnisnya. Beberapa kebijakan pemerintah, seperti Keputusan

Gubernur Bali No 15 Tahun 1988 tentang 15 Kawasan Wisata, yang

kemudian direvisi menjadi Keputusan Gubernur Bali No. 528 Tahun 1993,

yang diikuti dengan persetujuan prinsip pembangunan fasilitas

kepariwisataan,sangat memudahkan kelompok investor untuk menguasai

kawasan-kawasan yang strategis di Bali. Pembangunan kawasan hotel atau

resor di kawasan Bali Selatan berlangsung seperti efek domino,dimulai dari

pembangunan di kawasan Nusa Dua, Kuta, dan Sanur kemudian menyebar ke

wilayah Tanjung Benoa, Benoa, Jimbaran, dan kawasan lainnya, termasuk

yang bukan ditetapkan sebagai kawasan wisata. Berbagai bentuk pelanggaran

tata ruang wilayahmulai terjadi dengan keberpihakan aparatur pemerintah

yang memberikan kemudahan perizinan kepada kelompok pebisnis, tanpa

diikuti dengan penegakan hukum lingkungan hidup yang memadai.

Fenomena kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup terjadikarena

pemerintah terlambat merencanakan sistem pengelolaan lingkungan hidup

untuk mengatasi pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan berbagai

polutan yang dihasilkan dari aktivitas pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari

realitasnya, hingga tahun 2005 karena pemerintah Bali belum memiliki suatu

sistem pengolahan sampah dan air limbah yang mampu

mengatasipermasalahan peningkatan polutan ke lingkungan hidup secara

terpadu. Beberapa fasilitas yang ada, tidak berfungsi secara optimal

karena lemahnya kinerja pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup

menyebabkan permasalahan pencemaran lingkungan hidup. Akhirnya,

meledak sebagai suatu permasalahan yang berdampak luas ke berbagai segi

kehidupan masyarakat. Ketika pemerintah mulai merencanakan program

pengendalian pencemaran lingkungan hidup dengan merancang

pembangunan instalasi pengolahan sampah/IPST Sarbagita, instalasi

pengolahan air limbah/DSDP dan proyek pengamanan pantai Bali/BBCP,

kondisi perpolitikan negara sedang mengalami pengalihan dari rezim Orde

Baru yang totaliter kepada pemerintahan Rezim Reformasi yang menghambat

terlaksananya program-program tersebut.

Page 32: Isi Seminar I

32

Pada awal tahun 1998-an ketika rencana program pengelolaan

lingkungan hidup untuk mengendalikan permasalahan pencemaran dan

perusakan lingkungan hidup di Bali mulai digagas oleh pemerintah,

masyarakat sedang berada pada suatu kondisi yang dipengaruhi oleh eufora

kebebasan berpendapat dan otonomi daerah. Berbagai elemen

masyarakat mulai mempertanyakansecara kritis program-program pemerintah

yang dilaksanakan di daerahnya. Tuntutan terhadap keterbukaan

informasi tentangperencanaan pembangunan di daerahnya dan kompensasi

yang terkait dengan dampak yang akan terjadi semakin banyak disuarakan

melalui pertemuan formal dan informal. Peranan media, baik cetak maupun

elektronik, dalam menyampaikan aspirasi masyarakat sangat besar

pengaruhnya terhadap upaya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan

pembangunan di daerahnya.

Pada masa yang akan datang, agar program pemerintah di bidang

pengelolaan lingkungan hidup dapat dilaksanakan dengan berhasil,

diperlukan suatu strategi rekayasa budaya untuk meningkatkan peran

intelektual setempat

dalam menumbuhkan kepercayaanmasyarakat terhadap program

pemerintah, khususnya di bidang pengendalian pencemaran lingkungan

hidup. Kesadaran masyarakatterhadap upaya menyelamatkan masa depan

Bali perlu dibangun sejak awal, salah satunya dengan mulai mengurangi

pencemaran lingkungan hidup di Bali, melalui strategi rekayasa budaya

dengan melaksanakan konsep 3-R, yakni reduce (kurangi), reuse (gunakan

kembali), dan recycling (daur ulang) untuk setiap bidang kehidupan

masyarakat. Konsep 3-R ini sangat tepat dilaksanakan dalam semua hal mulai

dari aktivitas sosial, ekonomi, adat, dan ritual.

Strategi rekayasa budaya untuk membangun kesadaran masyarakat

Bali dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Bali

dapat dilaksanakan secara efektif dengan mulai menawarkannya dalam

kegiatan sosial keagamaan. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi

(reduce) pemanfaatan sarana upacara/upakara yang berlebihan dalam

aktivitas ritual dan lebih banyak meningkatkan pemahamanterhadap

Page 33: Isi Seminar I

33

esensi sradha agama melalui penerapan Catur-margasecara seimbang dalam

pencapaian kesempurnaan rohani. Catur-marga terdiri atas (1) Bhakti-marga,

ialah dengan jalan penyerahan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih yang

setulus-tulusnya dengan cara berbakti, biasanya dilaksanakan dengan sarana

upacara dan upakara; (2) Karma-marga, ialah dengan jalan berbuat dan

bekerja secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan/imbalan,

biasanya dilaksanakan dengantekun bekerja di bidang masing-masing;

(3) Janana-marga, ialah dengan jalan belajar serta mengamalkan ilmu

pengetahuan secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan,

biasanya dilaksanakan dengan mengamalkan ilmu pengetahuan kepada yang

memerlukan; dan (4) Raja-marga, ialah dengan jalan melakukan tapa-berata

yang tekun dan disiplin, biasanya dilaksanakan dengankegiatan meditasi,

yoga, maupun penyucian diri. Melalui pelaksanaan ajaran Catur-marga yang

seimbang, penggunaan bahan-bahan konsumsi dalam pelaksanaan ritual

keagamaan perlu lebih disederhanakan pada hal-hal yang pokok saja atau

diupayakan untuk pemanfaatan kembali (reuse) sarana upakara yang masih

mungkin digunakan kembali yang disesuaikan dengan ketentuan sastra

agama. Selanjutnya, kalau memungkinkan dilakukan aktivitas daur ulang

(recycling) sarana upakara tersebut sebagai langkah yang sangat tepat dalam

rangka pelestarian sumber daya alam. Strategi rekayasa budaya dapat

diwujudkan dengan memberikan porsi yang lebih besar terhadap peran tokoh

masyarakat dan intelektual setempat untuk mengimplementasi nilai-nilai

keselarasan hidup yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana.

Peran yang strategis dilakukan oleh tokoh masyarakat dan intelektual

setempat dalam memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap nilai-nilai

kearifan lokal berdasarkan perspektif kajian budaya dapat menjadi counter

hegemony dalam menyikapi fenomena pencemaran lingkungan hidup akibat

peningkatan timbunan sampah dan limbah. Perspektif kajian budaya

memberikan nilai yang setara terhadap masalah-masalah yang sebelumnya

dianggap marginal, seperti keberadaan sampah maupun limbah. Pada

pengertian lama, sampah dan limbah dianggap sebagai sesuatu yang tidak

berguna, kotor, dan harus dihindarkan. Namun, sesuai dengan realitas yang

Page 34: Isi Seminar I

34

ada, setelah keberhasilan para tokoh masyarakat dan intelektual

setempat dalam memberikan pemahaman yang lebih rasional tentang

pentingnya memberikan apresiasi terhadap keberadaan sampah dan limbah

pada posisi yang sewajarnya, muncul pengetahuan baru yang menempatkan

sampah dan limbah sebagai sesuatu yang penting, bernilai, dan harus dihargai

sewajarnya. Pada pengertian yang baru, sampah dan limbah adalah sesuatu

yang harus ditempatkan sebagai hal yang penting. Sampah dan limbah dapat

memiliki nilai ekonomi dengan mengubahnya menjadi pupuk, sumber energi,

atau materi yang berguna lainnya. Proses pengolahan sampah dan limbah

menjadi material yang berguna, berdasarkan perspektif kajian budaya,

merupakan proses yang mulia sehingga harus dihargai sewajarnya, sama

seperti proses produksi lainnya.

BAB III

Page 35: Isi Seminar I

35

KESIMPULAN

K. Kesimpulan dan Manfaat

Permasalahan pencemaran lingkungan hidup disebabkan terutama

oleh perilaku manusia yang tidak mengelola limbah dan sampah dari

aktivitasnya secara benar. Oleh karena itu, gerakan mengubah limbah dan

sampah menjadi benda yang masih bisa bermanfaat bagi manusia dan

lingkungan merupakan tugas yang mulia yang sepantasnya dihargai seperti

kegiatan masyarakat lainnya.Memuliakan pekerjaan yang berhubungan

dengan barang-barang sisa tentunya harus diikuti dengan penghargaan yang

wajar terhadap orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

Perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga agar sampah dan

limbah yang dihasilkan secara benar harus dimulai dengan contoh dan

tindakan nyata. Gerakan pengendalian lingkungan hidup harus dimulai dari

pusat-pusat kegiatan masyarakat seperti kawasan pendidikan, pura, pasar, dan

pemukiman. Semuanya hanya akan berhasil dengan baik apabila kebijakan

pemerintah benar-benar diarahkan bagi pelayanan publik yang baik dan

berkeadilan.

Ancaman pencemaran lingkungan hidup bagi masa depan Bali adalah

tantangan yang harus dihadapi secara bijak. Pemerintah dan para pihak terkait

secara terpadu harus menyelesaikan permasalahan tersebut melalui program

perlindungan dan pengelolaan lingkungan Bali. Tantangan yang harus

diselesaiakan secara cepat dan terpadu meliputi masalah ketersediaan air,

pemanfaatan energi ramah lingkungan, penyediaan transportasi publik yang

nyaman dan aman serta manajemen transportasi yang terpadu, serta program

pengelolaan sampah dan limbah yang menyeluruh. Disamping itu, upaya

untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga menghilangkan

penduduk miskin akan sangat berperan dalam mengatasi pemukiman kumuh,

sanitasi yang buruk serta kegiatan eksploitasi sumber daya alam.

Potensi Bali untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik sangat besar

melalui implementasi nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakatnya

sejak lama. Upaya menumbuhkembangkan jadi diri masyarakat Bali yang

Page 36: Isi Seminar I

36

positif memerlukan dukungan keteladanan dan program aksi yang secara

nyata mampu mengurangi timbulan sampah dan limbah, meningkatkan

ketersediaan air, penyiapan energi ramah lingkungan, ketersediaan sistem

manajemen transportasi yang andal, murah dan nyaman, serta pertumbuhan

kesejahteraan masyarakat Bali skala dan niskala.

DAFTAR ISI

Page 37: Isi Seminar I

37

Dharma Putra, K.G.. 2005. Memilih Orientasi Strategi Penerapan Tri Hita

Karana (THK). dalam Green Paradise, Tri Hita Karana Tourism Awards

& Accreditation. Denpasar: Bali Travel News dan Pemda Bali.

Dharma Putra,K.G..2010, Pencemaran Lingkungan Ancam Pariwisata

Bali.Denpasar: Penerbit PT Pustaka Manikgeni.

Parining, N., Pitana, I.G., Dianta,I.M.P., Anom,I.P., Putra, K.G.D. 2003. Studi

Implementasi Konsep Pariwisata Kerakyatan. Denpasar: Bappeda

Provinsi Bali dan Pusat Penelitian Pariwisata dan Kebudayaan

Universitas Udayana.

www. parisada.org

www.babadbali.com

www.id.shvoong.com

www.regional.kompas.com

www.warmadewa.ac.ic

www.balisustain.blogspot.com

www.istp.murdoch.edu.au

www.plantemole.org

www.kgdharmaputra.blogspot.com

www.wartawarga.gundarma.ac.id

www.warmadewa.ac.id

Page 38: Isi Seminar I

38

LAMPIRAN

Green Culture

Green Economy

Green and Clean