informed consent

Upload: unique-hardiyanti-pratiwi

Post on 09-Jan-2016

42 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan. Informed consent berkaitan dengan persetujuan dalam melakukan pemerikaan, pengobatan, dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Informed consent terutama dibutuhkan dalam kondisi medik tertentu dan bersifat invasif. I

TRANSCRIPT

8

BAB IPENDAHULUAN

I.1Latar BelakangMenghormati preferensi pasien adalah bagian dari pengakuan terhadap hak otonomi pasien. Jika preferensi pasien sama dengan indikasi medis dan intervensi medis yang diterapkan dokter, hal itu dinyatakan dalam bentuk suatu informed consent. Doktrin hukum informed consent ini didefinisikan sebagai penerimaan dan persetujuan pasien mengenai tindakan medis tertentu atas dirinya, setelah dokter mengungkapkan kepadanya informasi yang cukup tentang hakikat intervensi itu dihubungkan dengan manfaat dan kemungkinan risiko. Dokter juga harus mengungkapkan tentang kemungkinan tindakan medik alternatif, juga dengan informasi tentang manfaat dan kemungkinan risikonya (Jacobalis, 2005). Jika ada ijin dari pasien sesudah ia mendapat informasi yang cukup jelas, secara etika tidak ada masalah lagi tentang keputusan klinis yang diambil dokter. Namun dalam praktik ada berbagai faktor yang menghambat atau membatasi dokter untuk sepenuhnya menghormati preferensi pasien. Di antara faktor-faktor itu adalah (Jacobalis, 2005):1. Kesenjangan antara pengetahuan dokter dan pasien2. Kemampuan pasien terbatas untuk memahami tentang informasi yang diungkapkan3. Kondisi mental dan stress yang dialami pasien karena penyakitnya4. Kualitas psiko-dinamika dalam hubungan dokter-pasien.Preferensi pasien dapat juga berarti pilihan untuk menolak intervensi medis yang dianjurkan dokter. Penolakan oleh pasien dapat terjadi dalam hal atau situasi khusus seperti berikut ini (Jacobalis, 2005):1. Pasien menolak intervensi medis karena alasan kepercayaan atau agama. Misalnya ada sekte agama yang tidak setuju transfusi darah.2. Pasien menolak usul intervensi medis oleh dokter, tanpa alasan yang jelas dan dapat dimengerti secara rasional, sekalipun sudah diinformasikan berulang-ulang secara sangat serius, bahwa penolakan dapat berarti kematian baginya.3. Pasien menolak karena tidak mampu membayar biaya pengobatan, atau tidak mau mengorbankan kepentingan keluarga demi biaya pengobatan untuk dirinya. Dalam hal seperti ini, topik faktor kontekstual menjadi dasar bagi pasien untuk menolak indikasi medis yang dianjurkan dokter.4. Pasien membuat advance directives atau petunjuk di muka. Artinya ia memberi instruksi atau wasiat sewaktu masih dalam keadaan belum sakit dan sadar penuh, untuk mengantisipasi suatu waktu di masa depan ia berada dalam keadaan (misalnya keadaan syok berat akibat serangan jantung) di mana ia tidak lagi mungkin mengambil keputusan tentang preferensi menyangkut tindakan medis terhadap dirinya. Dalam budaya kita, konsep advance directive ini belum dikenal atau belum lazim diterapkan. Seorang dokter yang melanggar advance directive dari pasien dengan melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan wasiat pasien, melakukan tindakan melanggar hukum. Di sinilah letak masalah dilema moral bagi dokter yang berwujud masalah etika klinis. Masalah etika klinis dapat terjadi sebagai akibat bertentangannya satu topik dalam etika klinis dengan topik lain (indikasi medis oleh dokter bertentangan dengan preferensi pasien, preferensi pasien bertentangan faktor kontekstual kepentingan keluarga) atau bertentangannya asas etika kedokteran dengan hak preferensi (hak otonomi) pasien. Oleh karena itu, penting diketahui konsep mengenai informed consent untuk menghindari permasalahan tersebut (Jacobalis, 2005).

1.2 Tujuan dan Mamfaat1.2.1 Tujuan UmumUntuk mengetahui tentang informed consent.

1.2.2 Tujuan Khususa. Mengetahui pengertian informed consentb. Mengetahui fungsi dan tujuan informed consentc. Mengetahui tatacara informed consent, persetujuan dan penolakan informed consentd. Mengetahui aspek hukum informed consent

1.2.3 Manfaat1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas mengenai informed consent bagi penulis1. Memberikan wawasan kepada pembaca mengenai informed consent1. Memberikan tambahan referensi bagi institusi

BAB IIPEMBAHASAN

1. 2. 2.1. Pengertian Informed ConsentInformed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan, atau telah diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepda seseorang untuk berbuat sesuatu. Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan. Persetujuan Tindakan Medis (PTM) adalah terjemahan yang digunakan untuk istilah informed consent. Terjemahan tersebut tidak tepat dan Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) mungkin lebih sesuai dengan padanan informed consent. Namun, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan No.585 tahun 1989, istilah PTM-lah yang resmi dipakai. Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran tahun 2004 istilah tersebut diganti lagi dengan istilah Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi (Hanafiah dan Amir, 2009).Informed consent atau memberi penjelasan merujuk kepada semua keadaan yang berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medik apa yang akan dilakukan dokter serta hal-hal lain yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau keluarga (Hanafiah dan Amir, 2009).Di negeri Belanda, untuk maksud yang sama mereka menggunakan istilah gerichte toestemming yang artinya ijin atau persetujuan yang terarah. Jerman menyebutnya aufklarungspflicht yang berarti kewajiban dokter untuk memberi penerangan (Hanafiah dan Amir, 2009).Dalam Permenkes No. 589 tahun 1989 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan PTM adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Hanafiah dan Amir, 2009).Dalam pengertian demikian, PTM bisa dilihat dari dua sudut. Yaitu pertama membicarakan PTM dari pengertian umum dan kedua membicarakan PTM dari pengertian khusus. Dalam pengertian umum, PTM adalah persetujuan yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemerikaan, pengobatan, dan tindakan medik apapun yang kan dilakukan (Hanafiah dan Amir, 2009).Namun, dalam pelayanan kesehatan sering pengertian kedua lebih dikenal. Yaitu PTM yang dikaitkan dengan persetujuan atau ijin tertulis dari pasien, keluarga pada tindakan operatif atau tindakan invasif lain yang berisiko. Oleh karena itu, dahulu PTM ini lebih dikenal sebagai surat ijin operasi (SIO), surat persetujuan pasien, surat perjanjian, dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh rumah sakit atau dokter yang merancang surat tersebut (Hanafiah dan Amir, 2009).Sesudah diterbitkannya Permenkes tentang PTM tersebut sudah banyak perubahan tentang pengertian dan pemahaman dikalangan kesehatan mengenai informed consent (Hanafiah dan Amir, 2009).Appelbaum seperti dikutip Guwandi (1993) menyatakan informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, melainkan merupakan proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang informed consent. Formulir itu hanya merupakan pengukuhan atau pendokumentasian dari apa yang telah disepakati (Hanafiah dan Amir, 2009).

2.2. Latar Belakang Informed ConsentInformed consent adalah asas derivatif yang diturunkan dari asas dasar etika (kaidah dasar moral) otonomi pasien. Demikian juga dengan asas berkata benar (veracity). Informed consent adalah hak otonomi pasien memberikan ijin (consent) kepada dokter melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah ia mendapat informasi lengkap (informed) tentang segala sesuatu yang terkait dengan tindakan itu (Jacobalis, 2005).Hal tersebut berkaitan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) sebagai dasar hak asasi manusia dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya (Hanafiah dan Amir, 2009).Dari kacamata demikian, informed consent sebetulnya dapat dilihat sebagai penghormatan kalangan kesehatan terhadap hak otonomi perseorangan. Lebih jauh hal ini dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, atau dari pandangan lain dapat pula dikatakan informed consent merupakan pembatasan otorisasi dokter terhadap kepentingan pasien (Hanafiah dan Amir, 2009).Perkembangan seputar informed consent di Indonesia tidak lepas dari perkembangan masalah serupa di negara lain. Declaration of Lisbon (1981) dan Patients Bill of Right (American Hospital Association, 1972) pada intinya menyatakan bahwa pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatannya, dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medis (Hanafiah dan Amir, 2009).Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai informed consent adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis (Hanafiah dan Amir, 2009).

2.3. Unsur-Unsur Informed ConsentMengenai informed consent yang perlu diketahui antara lain unsur-unsur apa saja yang harus diinformasikan, siapa yang berhak memberikan informasi dan siapa yang berkewajiban memberikan persetujuan serta sanksi apa yang mungkin dijatuhkan. Unsur-unsur yang perlu diinformasikan meliputi :1. prosedur yang akan dilakukan,2. risiko yang mungkin terjadi, 3. manfaat dari tindakan yang akan dilakukan, dan 4. alternatif dari tindakan yang akan dilakukan.Di samping itu perlu diinformasikan pula kemungkinan yang dapat timbul apabila tindakan tidak dilakukan dan prognosis atau perjalanan penyakit yang diderita. Pasien berhak mendapatkan informasi mengenai perkiraan biaya pengobatannya (Konsil Kedokteran Indonesia, 2007).Prosedur yang akan dilakukan perlu diuraikan lagi meliputi alat yang akan digunakan, bagian tubuh mana yang akan terkena, kemungkinan perasaan nyeri yang timbul, kemungkinan perlunya dilakukan perluasan operasi, dan yang penting tujuan tindakan itu, untuk diagnostik atau terapi. Risiko tindakan dapat dirinci dari sifatnya, apakah mengakibatkan kelumpuhan atau kebutaan; kemungkinan timbulnya, sering atau jarang; taraf keseriusan, apakah kelumpuhan total atau parsial; waktu timbulnya, apakah segera setelah tindakan dilakukan atau lebih lama lagi. Pihak yang berkewajiban memberikan informasi tergantung dari sifat tindakan medik, invasif atau tidak. Dokter boleh mendelegasikan pemberian informasi ini kepada dokter lain atau perawat dengan syarat-syarat tertentu (Konsil Kedokteran Indonesia, 2007).Mengenai yang berhak memberikan persetujuan, secara yuridis adalah pasien sendiri, kecuali bila ia tidak cakap hukum atau dalam keadaan tertentu. Dalam hal pasien gawat darurat atau tidak sadar, dokter boleh melakukan tindakan atas dasar penyelamatan jiwa, tanpa perlu informed consent. Leenen mengemukakan suatu konstruksi hukum yang disebut fiksi hukum di mana seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang ada pada umumnya disetujui oleh para pasien yang berada dalam suatu situasi dan kondisi yang sama. Tindakan medis pada pasien tidak sadar bisa dikaitkan dengan Pasal 1354 KUH Perdata, yaitu zaakwaarneming atau perwakilan sukarela (Konsil Kedokteran Indonesia, 2007).Rumah sakit umumnya sudah menyediakan formulir persetujuan tidakan kedokteran/kedokteran gigi yang harus ditandatangani oleh pasien. Di dalam formulir tersebut dituliskan juga informasi tentang penyakitnya, tindakan medis atau operasi yang akan dilakukan, manfaat dan risiko tindakan, alternatif penanganannya, dan keungkinan-kemungkinan yang akan terjadi misalnya suatu operasi tidak berhasil atau terjadi komplikasi. Dengan persetujuan tersebut berarti pasien telah menerima risiko yang dapat terjadi pada tindakan tersebut dan membebaskan dokter dari tanggung jawab hukum. Tetapi apabila tindakan medis yang dilakukan tidak sesuai dengan standar pelayanan medis atau standar prosedur operasional, pasien tetap dapat menggugat apabila terjadi cedera atau kerugian sebagai akibat dari kesalahan atau kelalaian dokter. Sebaiknya, pasien hanya menandatangani setelah memahami segala sesuatunya dan dapat membuat keputusan secara jernih. Adakalanya pasien atau keluarganya, bila disodorkan formulir persetujuan tindakan kedokteran/kedokteran gigi, langsung menandatangani begitu saja tanpa membaa isinya dan mendiskusikannya terlebih dahulu. Jadi sebenarnya pasien tidak tahu apapun mengenai tindakan/operasi yang akan dilakukan meskipun sudah tanda tangan. Sikap ini sangat tidak diharapkan dari pasen (Konsil Kedokteran Indonesia, 2007).

2.4. Fungsi dan Tujuan Informed ConsentFungsi dari Informed Consent adalah (Wardhani, 2009):1. Promosi dari hak otonomi perorangan;2. Proteksi dari pasien dan subyek;3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi terhadap diri sendiri;5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan/ tujuannya dibagi tiga, yaitu (Wardhani, 2009):1. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian).2. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.3. Yang bertujuan untuk terapi.Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti (Wardhani, 2009).Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent (Wardhani, 2009).Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut (Wardhani, 2009):1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut.2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.

2.5. Bentuk Informed ConsentHanafiah dan Amir (2009) menyatakan ada dua bentuk PTM, yaitu:1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied consent)a. Keadaan normalb. Keadaan darurat2. Dinyatakan (Expressed consent)a. Lisanb. TulisanImplied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum. Misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, melakukan suntikan pada pasien, dan melakukan penjahitan. Sebetulnya persetujuan jenis ini tidak termasuk informed consent dalam arti murni karena tidak ada penjelasan sebelumnya (Hanafiah dan Amir, 2009).Implied consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat (emergency) sedang dokter emerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat, dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11). Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed consent. Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter (Hanafiah dan Amir, 2009).Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan bila yang kan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang ka dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian. Misalnya, pemeriksaan dalam rektal atau pemeriksaan dalam vaginal, mencabut kuku, dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis. Persetujuan secara lisan sudah mencukupi (Hanafiah dan Amir, 2009).Namun, bila tindakan yang akna dilakukan mengandung risiko seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang invasif, sebaiknya didapatkan PTM secara tertulis. Seperti dikemukakan sebelumnya, oleh kalangan kesehatan atau rumah sakit, surat pernyataan pasien atau keluarga inilah yang disebut PTM (Hanafiah dan Amir, 2009).

2.6. Kondisi yang Memerlukan Informed ConsentProsedur medik yang membutuhkan informed consent diantaranya (Vorvick, 2014):1. Tindakan bedah atau operasi2. Tindakan medik dan prosedur lanjut ataukompleks seperti misalnya endoskopi atau biopsi jarum untuk hepar3. Radiasi atau kemoterapi untuk tatalaksana kanker4. Vaksinasi5. Pemeriksaan darah, misalnya test HIV

2.7. InformasiBagian yang terpenting dalam pembicaraan mengenai informed consent tentulah mengenai informasi atau penjelasan yang perlu disampingkan kepada pasien atau keluarga. Masalahnya adalah informasi mengenai apa (what) yang perlu disampaikan, kapan disampaikan (when), siapa yang harus menyampaikan (who), dan informasi mana (which) yang perlu disampaikan (Hanafiah dan Amir, 2009).Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang PTM, dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau tidak diminta. Jadi, informasi harus disampaikan (Hanafiah dan Amir, 2009).Mengenai apa (what) yang harus disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang kan dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik diagnostik maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Hal ini mencakup bentuk, tujuan, risiko, manfaat dari terapi, yang akan dilaksanakan dan alternatif terapi (the nature, purpose, risk, and benefit of any treatment they purpose to perform, as well as any alternatif form of treatment that may exist for the patient condition) (Hanafiah dan Amir, 2009).Penyampaian informasi haruslah secara lisan. Penyampaian formulir untuk ditandatangani pasien atau keluarga tanpa penjelasan dan pembahasan secara lisan dengan pasien/keluarga tidaklah memenuhi persyaratan (Hanafiah dan Amir, 2009).Mengenai kapan (when) disampaikan bergantung kepada waktu yang tersedia setelah dokter memutuskan akan melakukan tindakan invasif dimaksud. Pasien atau keluarga pasien harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan keputusannya (Hanafiah dan Amir, 2009).Yang menyampaikan (who) informasi, bergantung pada jenis tindakan yang akan dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan tindakan invasif lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan. Dalam keadaan tertentu dapat pula oleh dokter lain atas sepengetahuan dan petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Bila bukan tindakan bedah atau invasif sifatnya, dapat disampaikan oleh dokter lain ataupun perawat (Hanafiah dan Amir, 2009).Penyampaian informasi ini memerlukan kebijaksanaan dari dokter yang akan melakukan tindakan tersebut atau petugas yang ditunjuk untuk itu dan disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kondisi pasien (Hanafiah dan Amir, 2009).Mengenai informasi mana (which) yang harus disampaikan dalam Permenkes dijelaskan haruslah selengkap-lengkapnya, kecuali dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi. Bila perlu, informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien. Dalam UUPK tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi, informasi atau penjelasan ini dinyatakan bahwa dalam memberikan penjelasan sekurang-kurangnya mencakup (Hanafiah dan Amir, 2009):a. Diagnosis dan tata cara tindakan medisb. Tujuan tindakan yang dilakukanc. Alternatif tindakan lain dan risikonyad. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadie. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

2.8. PersetujuanInti dari persetujuan adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien mendapatkan informasi yang adekuat (Hanafiah dan Amir, 2009).Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental (Hanafiah dan Amir, 2009).Dalam banyak PTM yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien sehingga beban demikian diambil alih oleh keluarga pasien atau atas alasan lain (Hanafiah dan Amir, 2009).Untuk pasien di bawah umur 21 tahun, dan pasien gangguan jiwa yang menandatangani adalah orangtua/wali/keluarga terdekat atau induk semang. Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindaan medik segera, tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun (pasal 11 bab IV Prmenkes No. 585) (Hanafiah dan Amir, 2009).Sama dengan yang diatur dalam Permenkes tentang PTM ini, The Medical Defence Union dalam bukunya Medicolegal Issues in Clinical Practice menyatakan bahwa ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya PTM ini, yaitu (Hanafiah dan Amir, 2009):1. Diberikan secara bebas2. Diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian3. Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat memahami tindakan itu perlu dilakukan4. Mengenai sesuatu hal yang khas5. Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama. 2.9. PenolakanTidak selamanya pasien atau keluarga setuju dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demikian, kalangan dokter maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien atau keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Ini disebut sebagai informed refusal (Hanafiah dan Amir, 2009).Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan dapat berakibat gawat atau kematian pada pasien (Hanafiah dan Amir, 2009).Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien pada alternatif tindakan yang diperlukan, untuk keamanan di kemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan (Hanafiah dan Amir, 2009).Dalam kaitan transaksi terapeutik dokter dengan pasien, pernyataan penolakan pasien atau keluarga ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik. Dengan demikian, apa yang terjadi dibelakang hari tidak menjadi tanggung jawab dokter atau rumah sakit lagi (Hanafiah dan Amir, 2009).

2.10. Aspek Hukum Informed ConsentDi Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam (Wardhani, 2009):1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Penjelasannya.3. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.7. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif8. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

Adapun pernyataan IDI tentang informed consent tersebut adalah:1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.2. Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.3. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya.4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi adalah penting.6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis 1. Setiap tindakan kedokteran/kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter/dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Pasal 45, ayat (1)).2. Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap (Pasal 45, ayat (2)).3. Penjelasan lengkap yang dimaksud sekurang-kurangnya mencakup (Pasal 45, ayat 3)):a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;b. Tujuan tindakan medis yang dolakukan;c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dane. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.4. Persetujuan seperti dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis atau lisan (Pasal 45, ayat (4)).5. Setiap tindakan kedokteran/kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (Pasal 45, ayat (5)).

2.11. SanksiMenurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan Surat Izin Praktik (SIP).

BAB IIIPENUTUP

3.1. KesimpulanInformed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan. Informed consent berkaitan dengan persetujuan dalam melakukan pemerikaan, pengobatan, dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Informed consent terutama dibutuhkan dalam kondisi medik tertentu dan bersifat invasif. Informed consent dapat berupa persetujuan tersirat atau dinyataa secara langsung melalui lisan atau tulisan. Informed consent mencakup unsur-unsur prosedur yang akan dilakukan, risiko yang mungkin terjadi, manfaat dari tindakan yang akan dilakukan, dan alternatif dari tindakan yang akan dilakukan. Di Indonesia informed consent diatur khusus dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Sanksi admninistratif bagi pelanggaran pelaksanaan informed consent adalah pencabutan Surat Ijin Praktik bagi dokter.

1.1 SaranPenulis menyarankan pembaca bisa menggali/mengkaji lebih dalam masalah mengenai informed consent dengan membaca referensi-referensi lain sehubungan dengan pentingnya pemahaman mengenai informed consent dan hubungannya yang sangat erat dengan etika medik.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah, J; Amir, A. 2009. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jacobalis, S. 2005. Pengantar Tentang Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Kedokteran, dan Bioetika. Jakarta: CV Sagung Seto.Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. (Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien). Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.Peraturan Menteri Kesehatan No.585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan MedisSurat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan PaliatifVorvick, L.J. 2014. Informed Consent-Adult. Medline Plus (http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/patientinstructions/000445.htm). Diakses pada 18 Agustus 2015.Wardhani, R.K. 2009. Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) di RSUP DR. Kariadi Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro. (http://core.ac.uk/download/pdf/11718412.pdf). Diakses pada 18 Agustus 2015.

Lampiran 1

Persetujuan Tindakan Perawatan Paliatif

Pemberian Informasi

Pemberi informasi :.........................................Pelaksana tindakan :...................................Penerima informasi/pemberi persetujuan :......Jenis informasi :1. Diagnosa2. Dasar diagnosa3. Tindakan4. Indikasi tindakan5. Tata cara6. Tujuan7. Resiko8. Komplikasi9. Prognosa10. Alternatif dan rIsiko11. lain-lainDengan ini menyatakan bahwa saya telah menerangkan hal hal di atas secara benar dan jelas dan memberikan kesempatan untuk bertanya dan/berdiskusi

Tanda tangan,

()

Persetujuan TindakanYang bertanda tangan di bawah ini , saya, nama.................................., umur.Laki-laki/perempuan, No KTP.....Dengan ini menyatakan persetujuan untuk dilakukan tindakan...Terhadap saya/saya bernama.......Umur.laki-laki/perempuan, No KTP..........Saya memahami perlunya dan manfaat tindakan tersebut sebagaimana telah dijelaskan kepada saya termasuk resiko/komplikasi yang mungkin terjadi. Saya menyadari bahwa ilmu kedokteran bukan ilmu pasti. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan saya tidak akan menuntut.

Jakarta,jam.Yang menyatakan, Saksi,

(..) (..)Lampiran 2

Lampiran 3

Lampiran 4

Lampiran 5