induksi pada kpd

12
INDUKSI PERSALINAN SECARA FARMAKOLOGIS A. Prostaglandin Prostaglandin bereaksi pada serviks untuk membantu pematangan serviks melalui sejumlah mekanisme yang berbeda. Ia menggantikan substansi ekstraseluler pada serviks, dan PGE2 meningkatkan aktivitas kolagenase pada serviks. Ia menyebabkan peningkatan kadar elastase, glikosaminoglikan, dermatan sulfat, dan asam hialuronat pada serviks. Relaksasi pada otot polos serviks menyebabkan dilatasi. Pada akhirnya, prostaglandin menyebabkan peningkatan kadar kalsium intraseluler, sehingga menyebabkan kontraksi otot miometrium. Risiko yang berhubungan dengan penggunaan prostaglandin meliputi hiperstimulasi uterus dan efek samping maternal seperti mual, muntah, diare, dan demam. Saat ini, kedua analog prostaglandin tersedia untuk tujuan pematangan serviks, yaitu gel dinoprostone (Prepidil) dan dinoprostone inserts (Cervidil). Prepidil mengandung 0,5 mg gel dinoproston, sementara Cervidil mengandung 10 mg dinoprostone dalam bentuk pessarium. Teknik untuk memasukkan gel dinoprostone (Prepidil) 1. Seleksi pasien : - Pasien tidak demam - Tidak ada perdarahan aktif pervaginam - Penilaian denyut jantung janin teratur - Pasien memberikan informed consent

Upload: ignatius-rheza-setiawan

Post on 25-Oct-2015

47 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Induksi Pada Kpd

INDUKSI PERSALINAN SECARA FARMAKOLOGIS

A. Prostaglandin

Prostaglandin bereaksi pada serviks untuk membantu pematangan serviks

melalui sejumlah mekanisme yang berbeda. Ia menggantikan substansi ekstraseluler

pada serviks, dan PGE2 meningkatkan aktivitas kolagenase pada serviks. Ia

menyebabkan peningkatan kadar elastase, glikosaminoglikan, dermatan sulfat, dan

asam hialuronat pada serviks. Relaksasi pada otot polos serviks menyebabkan

dilatasi. Pada akhirnya, prostaglandin menyebabkan peningkatan kadar kalsium

intraseluler, sehingga menyebabkan kontraksi otot miometrium. Risiko yang

berhubungan dengan penggunaan prostaglandin meliputi hiperstimulasi uterus dan

efek samping maternal seperti mual, muntah, diare, dan demam. Saat ini, kedua

analog prostaglandin tersedia untuk tujuan pematangan serviks, yaitu gel

dinoprostone (Prepidil) dan dinoprostone inserts (Cervidil). Prepidil mengandung 0,5

mg gel dinoproston, sementara Cervidil mengandung 10 mg dinoprostone dalam

bentuk pessarium.

Teknik untuk memasukkan gel dinoprostone (Prepidil)

1. Seleksi pasien :

- Pasien tidak demam

- Tidak ada perdarahan aktif pervaginam

- Penilaian denyut jantung janin teratur

- Pasien memberikan informed consent

- Skor Bishop <4

2. Letakkan gel pada suhu ruangan sebelum dipasang, sesuai dengan instruksi

pabrik.

3. Monitor denyut jantung janin dan aktivitas uterus

15 sampai 30 menit sebelum gel dimasukkan dan dilanjutkan selama 30 sampai

120 menit setelah gel dimasukkan

4. Masukkan gel ke dalam serviks sesuai dengan arahan berikut :

Jika serviks belum mendatar, gunakan kateter endoserviks 20 mm untuk

memasukkan gel ke dalam endoserviks tepat di bawah ostium uteri internum

Page 2: Induksi Pada Kpd

Jika pendataran serviks 50%, gunakan kateter endoserviks 10 mm

5. Setelah pemberian gel, pasien harus tetap berbaring selama 30 menit sebelum

boleh bergerak

6. Dapat diulangi setiap 6 jam, sampai 3 dosis dalam 24 jam

7. Nilai akhir pematangan serviks meliputi kontraksi uterus yang kuat, skor Bishop >

8, atau perubahan status ibu atau janin.

8. Dosis maksimum yang direkomendasikan adalah 1,5 mg dinoprostone (3 dosis)

dalam 24 jam

9. Jangan mulai pemberian oksitosin selama 6 sampai 12 jam setelah pemberian

dosis terakhir, untuk memperoleh onset persalinan spontan dan melindungi uterus

dari stimulasi yang berlebihan.

Telaah Cochrane memeriksa 52 penelitian yang didesain dengan baik yang

menggunakan prostaglandin untuk pematangan serviks atau induksi persalinan.

Dibandingkan dengan plasebo (atau tanpa terapi), penggunaan prostaglandin vagina

meningkatkan kecenderungan bahwa persalinan pervaginam dapat terjadi dalam

waktu 24 jam. Sebagai tambahan, rasio seksio sesaria dapat dibandingkan pada semua

penelitian. Satu-satunya kelemahannya adalah peningkatan rasio hiperstimulasi uterus

dan perubahan denyut jantung janin yang menyertainya (Guinn et al., 2000).

B. Misoprostol

Misoprostol (Cytotec) merupakan PGE sintetis, analog yang ditemukan aman

dan tidak mahal untuk pematangan serviks, meskipun tidak diberi label oleh Food

and drug administration di Amerika Serikat untuk tujuan ini. Penggunaan

misoprostol tidak direkomendasikan pada pematangan serviks atau induksi persalinan

pada wanita yang pernah mengalami persalinan dengan seksio sesaria atau operasi

uterus mayor karena kemungkinan terjadinya ruptur uteri. Wanita yang diterapi

dengan misoprostol untuk pematangan serviks atau induksi persalinan harus

dimonitor denyut jantung janin dan aktivitas uterusnya di rumah sakit sampai

penelitian lebih lanjut mampu mengevaluasi dan membuktikan keamanan terapi pada

pasien. Uji klinis menunjukkan bahwa dosis optimal dan pemberian interval dosis 25

mcg intravagina setiap empat sampai enam jam. Dosis yang lebih tinggi atau interval

Page 3: Induksi Pada Kpd

dosis yang lebih pendek dihubungkan dengan insidensi efek samping yang lebih

tinggi, khususnya sindroma hiperstimulasi, yang didefinisikan sebagai kontraksi yang

berakhir lebih dari 90 detik atau lebih dari lima kontraksi dalam 10 menit selama dua

periode .10 menit berurutan, dan hipersistole, suatu kontraksi tunggal selama minimal

dua menit.

Ruptur uteri pada wanita dengan riwayat seksio sesaria sebelumnya juga

mungkin merupakan komplikasi, yang membatasi penggunaannya pada wanita yang

tidak memiliki skar uterus. (Evidence level B, studi kohort). Teknik penggunaan

misoprostol vagina adalah sebagai berikut :

1. Masukkan seperempat tablet misoprostol intravagina, tanpa menggunakan gel

apapun (gel dapat mencegah tablet melarut)

2. Pasien harus tetap berbaring selama 30 menit

3. Monitor denyut jantung janin dan aktivitas uterus secara kontinyu selama minimal

3 jam setelah pemberian misoprostol sebelum pasien boleh bergerak

4. Apabila dibutuhkan tambahan oksitosin (pitosin), direkomendasikan interval

minimal 3 jam setelah dosis misoprostol terakhir

5. Tidak direkomendasikan pematangan serviks pada pasien-pasien yang memiliki

skar uterus (Evidence level A, RCT)

Telaah Cochrane menyimpulkan bahwa penggunaan misoprostol dapat

menurunkan insidensi seksio sesaria. Insidensi persalinan pervaginam lebih tinggi

dalam 24 jam pemberian misoprostol dan menurunkan kebutuhan oksitosin (pitosin)

tambahan. (Evidence level A, tinjauan sistematis RCT). Tinjauan pustaka tambahan

menunjukkan bahwa misoprostol merupakan agen yang efektif untuk pematangan

serviks. (Evidence level A, telaah sistematis RCT)

Telaah Cochrane menurut grup Pregnancy and Childbirth mengidentifikasikan

26 uji klinis tentang misoprostol untuk pematangan serviks atau induksi persalinan

atau keduanya. Studi-studi ini menunjukkan bahwa misoprostol lebih efektif daripada

prostaglandin E2 agar terjadi persalinan pervaginam dalam 24 jam dan mengurangi

kebutuhan dan jumlah total oksitosin tambahan. Meskipun dalam penelitian ini

dinyatakan bahwa misoprostol dihubungkan dengan insidensi hiperstimulasi uterus

yang lebih tinggi dan cairan amnion kehijauan (meconium staining), tetapi komplikasi

Page 4: Induksi Pada Kpd

ini biasanya dijumpai dengan dosis misoprostol yang lebih tinggi (>25μg). Tidak ada

penelitian yang menunjukkan bahwa paparan misoprostol intrapartum (atau agen

pematangan serviks prostaglandin lain) menimbulkan efek samping jangka panjang

terhadap janin yang lahir tanpa gawat janin.

ACOG Committee on Obstetric Practice menyatakan bahwa tablet misoprostol

intravaginal efektif dalam induksi persalinan pada wanita hamil dengan serviks yang

belum matang. Komite ini menekankan bahwa hal-hal berikut ini sebaiknya

dilakukan untuk meminimalkan risiko hiperstimulasi uterus dan ruptur uteri pada

pasien-pasien yang menjalani pematangan serviks atau induksi persalinan pada

trimester ketiga, yaitu :

1. Jika misoprostol digunakan untuk pematangan serviks atau induksi persalinan

pada trimester ketiga, dipertimbangkan pemberian dosis awal seperempat tablet

100 μg (sekitar 25 μg).

2. Dosis sebaiknya tidak diberikan lebih sering daripada setiap 3-6 jam.

3. Oksitosin seharusnya tidak diberikan kurang dari 4 jam setelah dosis misoprostol

terakhir.

4. Misoprostol sebaiknya tidak digunakan pada pasien bekas SC atau bekas operasi

uterus mayor.

Penggunaan dosis misoprostol yang lebih tinggi (misalnya 50 μg setiap 6 jam)

untuk induksi persalinan mungkin dapat diberikan pada beberapa situasi, meskipun

ada laporan bahwa dosis tersebut meningkatkan risiko komplikasi, termasuk

hiperstimulasi uterus dan ruptur uteri. Grande multipara juga merupakan faktor risiko

relatif untuk terjadinya ruptur uteri (ACOG, 1999).

C. Mifepristone

Mifepristone (Mifeprex) adalah agen antiprogesteron. Progesteron menghambat

kontraksi uterus, sementara mifepristone melawan aksi ini. Agen ini menyebabkan

peningkatan asam hialuronat dan kadar dekorin pada serviks. Dilaporkan Cochrane,

ada 7 percobaan yang melibatkan 594 wanita yang menggunakan mifepristone untuk

pematangan serviks. Hasilnya menunjukkan bahwa wanita yang diterapi dengan

Page 5: Induksi Pada Kpd

mifepristone cenderung memiliki serviks yang matang dalam 48 sampai 96 jam jika

dibandingkan dengan plasebo. Sebagai tambahan, para wanita ini cenderung

melahirkan dalam waktu 48-96 jam dan tidak dilakukan seksio sesaria. Namun

demikian, hanya sedikit informasi yang tersedia mengenai luaran janin dan efek

samping pada ibu; sehingga tidak cukup mendukung bukti keamanan mifepristone

dalam pematangan serviks (Neilson, 2002).

D. Relaksin

Hormon relaksin diperkirakan dapat mendukung pematangan serviks. Berdasarkan

evaluasi telaah Cochrane mengenai hasil dari 4 penelitian yang melibatkan 267

wanita disimpulkan bahwa kurangnya dukungan dalam penggunaan relaksin saat ini,

sehingga masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai agen-agen induksi

persalinan (Kelly et al., 2002).

E. Oksitosin

Oksitosin merupakan agen farmakologi yang lebih disukai untuk menginduksi

persalinan apabila serviks telah matang. Konsentrasi oksitosin dalam plasma serupa

selama kehamilan dan selama fase laten dan fase aktif persalinan, namun terdapat

peningkatan yang bermakna dalam kadar oksitosin plasma selama fase akhir dari kala

II persalinan. Konsentrasi oksitosin tertinggi selama persalinan ditemukan dalam

darah tali pusat, yang menunjukkan bahwa adanya produksi oksitosin yang bermakna

oleh janin selama persalinan. Oksitosin endogen diesekresikan dalam bentuk pulsasi

selama persalinan spontan, hal ini tampak dalam pengukuran konsentrasi oksitosin

plasma ibu menit per menit.

Seiring dengan perkembangan kehamilan, jumlah reseptor oksitosin dalam

uterus meningkat (100 kali lipat pada kehamilan 32 minggu dan 300 kali lipat pada

saat persalinan). Oksitosin mengaktifkan jalur fosfolipase C-inositol dan

meningkatkan kadar kalsium ekstraseluler, menstimulasi kontraksi otot polos

miometrium. Banyak studi acak yang terkontrol dengan penggunaan plasebo

memfokuskan penggunaan oksitosin dalam induksi persalinan. Ditemukan bahwa

regimen oksitosin dosis rendah (fisiologis) dan dosis tinggi (farmakologis) sama-

sama efektif dalam menegakkan pola persalinan yang adekuat.

Page 6: Induksi Pada Kpd

Oksitosin dapat diberikan melalui rute parenteral apa saja. Ia diabsorpsi oleh

mukosa bukal dan nasal . Jika diberikan per oral, oksitosin dengan cepat diinaktifkan

oleh tripsin. Rute intravena paling sering digunakan untuk menstimulasi uterus hamil

karena pengukuran jumlah indikasi yang diberikan lebih tepat dan dapat dilakukan

penghentian obat secara relatif cepat apabila terjadi efek samping.

Saat diabsorpsi, oksitosin didistribusikan dalam cairan ekstraseluler dan tidak

berikatan dengan protein. Dibutuhkan waktu 20-30 menit untuk mencapai kadar

puncak plasma. Interval waktu yang lebih singkat dapat memperpendek induksi

persalinan, tetapi lebih cenderung berhubungan dengan hiperstimulasi uterus dan

gawat janin. Mekanisme oksitosin adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalsium

intraseluler. Hal ini dicapai dengan pelepasan deposit kalsium pada retikulum

endoplasma dan dengan meningkatkan asupan kalsium ekstraseluler. Aktivitas

oksitosin diperantarai oleh reseptor membran spesifik yang berpasangan dengan

protein transduser dan efektor yang membawa informasi dalam sel.

Transduser oksitosin adalah guanosil trifosfat (GTP) binding protein atau protein

G. Kompleks reseptor oksitosin – protein G menstimulasi fosfolipase C (PLC).

Fosfolipase C secara selektif akan menghidrolisa fosfatidil inositol 4,5–bifosfat (PIP

2) untuk membentuk inositol 1,4,5-trifosfat (IP3) dan 1,2-diasil gliserol. IP3

menyebabkan keluarnya kalsium dari retikulum endoplasma yang meningkatkan

konsentrasi kalsium sitoplasma. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler yang

disebabkan karena lepasnya kalsium dan retikulum endoplasma tidak adekuat untuk

mengaktivasi sepenuhnya mekanisme kontraktil miometrium dan kalsium

ekstraseluler yang penting untuk aksi oksitosin yang adekuat. Apanila tidak ada

kalsium ekstraseluler, respon sel-sel miometrium terhadap oksitosin menurun.

Kompleks oksitosin – protein G membantu keluarnya kalsium dari retikulum

endoplasma dengan melakukan perubahan pada kanal kalsium, baik secara langsung

maupun melalui efek yang diperantarai IP3, menyebabkan influks kalsium

ekstraseluler. Efek oksitosin terhadap masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel

miometrium tidak sensitif terhadap nifedipin.

Oksitosin dapat menstimulasi kontraksi uterus melalui mekanisme yang bebas

dari konsentrasi kalsium intraseluler. Ditemukan bahw akonsentrasi Prostaglandin E

Page 7: Induksi Pada Kpd

(PGE) danProstaglandin F (PGF) meningkat selama pemberian oksitosin. Oksitosin

juga menstimulasi produksi PGE dan PGF dari desidua manusia. Penemuan ini

menunjukkan adanya interaksi positif antara oksitosin dan prostaglandin sebagai

tambahan terhadap aksi uterotonika dan mungkin pelepasan prostaglandin oleh

oksitosin perlu untuk mengifisienkan kontraksi uterus selama persalinan (Zeeman et

al., 1997).

INDUKSI PADA KPD

Induksi pada persalinan merupakan inisiasi persalinan buatan yang dilakukan

sebelum munculnya tanda-tanda persalinan. Salah satu indikasi tersering dilakukannya

induksi adalah kehamilan posterm dengan usia kehamilan minimal 41 minggu. Indikasi

lain dari induksi meliputi:

- Ketuban pecah dini (PROM)

- Potential fetal compromise (IUFD, IFGR)

- Kondisi tertentu pada ibu (diabetes tipe 1, penyakit ginjal, penyakit paru yang

signifikan, hipertensi gestasional atau hipertensi kronis)

- Sindrom antifosfolipid

- Chorioamnionitis atau tersangka chorioamnionitis

(Crane, 2001)

Pada suatu penelitian ditemukan bahwa induksi Oxytocin pada KPD, dapat

menurunkan resiko infeksi maternal (chorioamnionitis dan endometritis) dan infeksi

neonatal. Prostaglandin juga dapat digunakan untuk induksi persalinan dengan KPD.

Suatu meta analisis menemukan bahwa induksi dengan prostaglandin menurunkan rata-

rata infeksi maternal dan hari perawatan intensif neonatal. Jika prostaglandin

dibandingkan dengan oxytocin untuk induksi persalinan dengan KPD, penggunaan

prostaglandin dapat meningkatkan kejadian chrioamnionitis dan mual pada ibu (Crane,

2001).

American College of Obstetricians and Gynecologists. Induction of labor with misoprostol. ACOG committee opinion 228. Washington, D.C.: ACOG, 1999:2.

Page 8: Induksi Pada Kpd

Crane J. Induction of labour at term. SOGC Clinical Practice Guideline 2001;107: 1-9

Guinn DA, Goepfert AR, Christine M, Owen J, Hauth JC. Extraamniotic saline, laminaria, or prostaglandin E(2) gel for labor induction with unfavorable cervix: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol 2000;96:106-12

Kelly AJ, Kavanagh J, Thomas J. Relaxin for cervical ripening and induction of labour. Cochrane Database Syst Rev 2002;2: CD003103. Abstract.

Neilson JP, Mifepristone for induction of labour. Cochrane Database Syst Rev 2002;2:CD002865. Abstract.

Zeeman GG, Khan-Dawood FS, Dawood MY. Oxytocin and its receptor in pregnancy and parturition: current concepts and clinical implications. Obstet Gynecol 1997;89(5 pt 2):873-83.