imunisasi hepatitis b

Upload: eky-purwanti

Post on 08-Oct-2015

128 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tugas DPP Kelompok 5

TRANSCRIPT

Makalah Dasar Pemberantasan Penyakit (DPP)

IMUNISASI HEPATITIS B

Disusun oleh:Kelompok: 5

1. Febri Frans P. S.250101111200302. Ruth D. Siagian250101111200313. Dyah Agustin C. P.250101111200324. Eky Purwanti250101111200335. Adi Saputro250101111200346. Anies Yuniar P.250101111200357. Kurnia Nur L.25010111120036

Kelas: A_2011

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATUNIVERSITAS DIPONEGOROSEMARANG2013

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum wr. wbPuji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Dasar Pemberantasan Penyakit (DPP) yang berjudul IMUNISASI HEPATITIS B dengan baik. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan orang-orang yang berjuang di jalan Allah SWT hingga akhir zaman. Semoga kita mendapatkan syafaatnya di yaumul kiyamah kelak. Aamiin.Selesainya penulisan makalah ini adalah berkat dukungan dari semua pihak, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan informasi bagi kita semua khususnya dapat memberikan informasi mengenai penyakit hepatitis B beserta program imunisasinya. Dengan sepenuh hati penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Wassalamu alaikum wr.wb

Semarang, 09 Juni 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul1Kata Pengantar2Daftar Isi3

BAB I: PENDAHULUANA. Latar Belakang4B. Tujuan5C. Manfaat6BAB II: ISIA. Definisi Hepatitis B7B. Etiologi Penyakit Hepatitis B7C. Masa Inkubasi dan Penularan Hepatitis B8D. Gejala dan Tanda Penyakit serta Cara Diagnosis Hepatitis B11E. Transmisi Penyakit Hepatitis B17F. Riwayat Alamiah Penyakit Hepatitis B17G. Pengobatan Hepatitis B18H. Perkembangan Penyakit Hepatitis B di Indonesia19I. Faktor Resiko Hepatitis B20J. Cara Pencegahan Hepatitis B21K. Gambaran Epidemiologi Umum Hepatitis B24L. Gambaran Epidemiologi Hepatitis B di Indonesia24M. Tujuan Imunisasi Hepatitis B25N. Strategi Imunisasi Hepatitis B25O. Ukuran Epidemiologi Hepatitis B39BAB III: PENUTUPA. Kesimpulan43B. Saran45Daftar Pustaka46

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangHepatitis B adalah salah satu penyakit menular berbahaya yang dapat menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan termasuk masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit Hepatitis B juga merupakan penyakit infeksi virus yang dapat menyerang hati dan selanjutnya akan berkembang menjadi pengerasan hati maupun kanker hati hingga menyebabkan kematian. Penyakit Hepatitis B ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan hati akut atau menahun (penyakit hati kronis). Keadaan ini sangat berbahaya karena penderita merasa tidak sakit tetapi terus-menerus menularkan VHB kepada orang lain sehingga dapat terjadi wabah Hepatitis B dan juga mengalami komplikasi penyakit yaitu pengerasan hati yang disebut liver cirrhosis dan juga dapat berkembang menjadi kanker hati yang disebut dengan carcinoma hepatocelluler (Gunawan, 2009). Pada saat ini di dunia diperkirakan terdapat kira-kira 350 juta orang pengidap (carier) HbsAg dan 220 juta (78 %) di antaranya terdapat di Asia termasuk Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan HbsAg pada kelompok donor darah di Indonesia, prevalensi hepatitis B berkisar antara 2,50% - 36,17%. Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis B terjadi pada bayi dan anak, diperkirakan 25% - 45% pengidap adalah karena infeksi perinatal. Hal ini berarti bahwa Indonesia termasuk daerah endemis penyakit hepatitis B sehingga termasuk negara yang diimbau oleh WHO untuk melaksanakan upaya pencegahan imunisasi (Achmadi, 2006). Imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B. Di Indonesia program imunisasi Hepatitis B dimulai pada Tahun 1987 dan telah masuk ke dalam program imunisasi rutin secara nasional sejak Tahun 1997. Pada Tahun 1991 Indonesia dinyatakan telah mencapai Universal Child Immunization (UCI) secara nasional, akan tetapi tetap saja masih ada ditemukan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti kasus Hepatitis. Kasus penyakit Hepatitis B masih ada ditemukan di beberapa desa terutama desa dengan cakupan imunisasi Hepatitis B rendah khususnya imunisasi Hepatitis B (0-7 hari) (Anwar, 2001). Misnadiarly (2007) dan Sudoyo, dkk (2006) memperkirakan 4 - 40 juta penduduk Indonesia mempunyai kemungkinan mengidap Hepatitis (semua tipe), dan Hepatitis B menduduki urutan pertama dalam hal jumlah penderita dan penyebarannya. Prevalensi Hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga Indonesia termasuk ke dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi untuk terjadinya infeksi virus Hepatitis B. Untuk memahami lebih jauh tentang penyakit Hepatitis B serta program imunisasinya maka di dalam makalah ini akan dijabarkan secara lengkap semua hal yang berkaitan dengan Hepatitis B.

B. Tujuan1. Untuk mengetahui etiologi Hepatitis B2. Untuk mengetahui inkubasi dan penularan Hepatitis B3. Untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit serta diagnosis Hepatitis B4. Untuk mengetahui transmisi Hepatitis B5. Untuk mengetahui riwayat alamiah Hepatitis B6. Untuk mengetahui pengobatan Hepatitis B7. Untuk mengetahui perkembangan Hepatitis B di Indonesia8. Untuk mengetahui faktor resiko Hepatitis B9. Untuk mengetahui cara pencegahan Hepatitis B10. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi Hepatitis B secara umum 11. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi Hepatitis B di Indonesia12. Untuk mengetahui tujuan Imunisasi Hepatitis B13. Untuk mengetahui strategi Imunisasi Hepatitis B

C. Manfaat1. Sebagai wawasan dan informasi tentang penyakit Hepatitis B dan program imunisasinya bagi pembaca agar dapat terhindar dari penyakit Hepatitis B sehingga membantu menurunkan prevalensi Hepatitis B2. Sebagai wadah aplikasi ilmu penulis dalam rangka studi tentang pemberantasan penyakit khususnya Hepatitis B

BAB IIISI

A. Definisi Hepatitis BMenurut Ling dan Lam (2007) Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi kronis atau akut dan dapat pula menyebabkan radang hati, gagal hati, sirosis hati, kanker hati, dan kematian. Menurut Wening S, dkk (2008), Hepatitis B merupakan tipe hepatitis yang berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan hepatitis jenis lainnya. Hepatitis B menular kontak darah atau cairan tubuh yang mengandung virus hepatitis B (VHB).

B. Etiologi Penyakit Hepatitis BMenurut National Institutes of Health (2006) etiologi Hepatitis B adalah virus dan disebut dengan Hepatitis B Virus (VHB). Virus ini pertama kali ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama antigen Australia. Virus ini termasuk DNA virus. Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut "Partikel Dane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B antigen (HBeAg). Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipo protein dan menurut sifat imunologik proteinnya virus Hepatitis B dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr. Subtipe ini secara epidemiologis penting, karena menyebabkan perbedaan geografik dan rasial dalam penyebarannya.Misnadiarly (2007) menguraikan VHB terbungkus serta mengandung genoma DNA melingkar. Virus ini merusak fungsi lever dan sambil merusak terus berkembang biak dalam sel-sel hati (hepatocytes). Akibat serangan itu sistem kekebalan tubuh kemudian memberi reaksi dan melawan. Kalau tubuh berhasil melawan maka virus akan terbasmi habis, tetapi jika gagal virus akan tetap tinggal dan menyebabkan Hepatitis B kronis dimana pasien sendiri menjadi karier atau pembawa virus seumur hidupnya (Misnadiarly, 2007).

C. Masa Inkubasi dan Penularan Hepatitis B1. Masa InkubasiMasa inkubasi VHB ini biasanya 45-180 hari dengan batasan 60-90 hari, dimana setelah 2 minggu infeksi virus Hepatitis B terjangkit, HBsAg dalam darah penderita sudah mulai dapat dideteksi. Perubahan dalam tubuh penderita akibat infeksi virus Hepatitis B terus berkembang. Dari infeksi akut berubah menjadi kronis, sesuai dengan umur penderita. Makin tua umur, makin besar kemungkinan menjadi kronis kemudian berlanjut menjadi pengkerutan jaringan hati yang disebut dengan sirosis. Bila umur masih berlanjut keadaan itu akan berubah menjadi karsinoma hepatoseluler (Yatim, 2007).

2. Penularana. Sumber Penularan Virus Hepatitis BDalam kepustakaan disebutkan sumber penularan virus Hepatitis B berupa: 1) Darah 2) Saliva 3) Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B 4) Feces dan urine 5) Lain-lain: Sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang terkontaminasi virus hepatitis B. Selain itu dicurigai penularan melalui nyamuk atau serangga penghisap darah.

b. Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Penularan1) Konsentrasi virus.2) Volume inokulum3) Lama kontak4) Cara masuk HBV ke dalam tubuh5) Kerentanan individu yang bersangkutan

c. Cara penularan virus Hepatitis B Penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu: 1) Parenteral: dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B dan pembuatan tattoo.2) Non Parenteral: karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B.

Secara epidemiologi penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara penting yaitu: 1) Penularan VertikalPenularan infeksi HBV dari ibu hamil kepada bayi yang dilahirkannya. Dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal, selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau postnatal. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang tertular VHB secara vertikal mendapat penularan pada masa perinatal yaitu pada saat terjadi proses persalinan. Karena itu bayi yang mendapat penularan vertikal sebagian besar mulai terdeteksi HBsAg pada usia 3-6 bulan yang sesuai dengan masa tunas infeksi VHB yang paling sering didapatkan. Penularan yang terjadi pada masa perinatal dapat terjadi melalui cara maternofetal micro infusion yang terjadi pada waktu terjadi kontraksi uterus.Penularan infeksi HBV terjadi saat proses persalinan oleh karena adanya kontak atau paparan dengan sekret yang mengadung HBV (cairan amnion, darah ibu, sekret vagina) pada kulit bayi dengan lesi (abrasi) dan pada mukosa (konjungtiva). Bayi yang dilahirkan dari ibu yang HbsAg + HBs AgE + akan menderita HBV. Infeksi yang terjadi pada bayi ini tanpa gejala klinis yang menonjol, keadaan ini menyebabkan ibu menjadi lengah dan lupa membuat upaya pencegahan.2) HorizontalCara penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap hepatitis B kepada individu yang masih rentan. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir.a) Melalui KulitVirus Hepatitis B tidak dapat menembus kulit yang utuh. Ada dua macam penularan melalui kulit yaitu Penularan melalui kulit yang disebabkan tusukan yang jelas (penularan parenteral), misalnya melalui suntikan, transfusi darah, atau pemberian produk yang berasal dari darah dan tattoo. Penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misalnya masuknya bahan infektif melalui goresan atau abrasi kulit dan radang kulit.

b) Melalui Selaput LendirSelaput lendir yang diduga menjadi jalan masuk VHB ke dalam tubuh adalah selaput lendir mulut, hidung, mata, dan selaput lendir kelamin. Melalui selaput lendir mulut dapat terjadi pada mereka yang menderita sariawan atau selaput lendir mulut yang terluka. Melalui selaput lendir kelamin dapat terjadi akibat hubungan seks heteroseksual maupun homoseksual dengan pasangan yang mengandung HBsAg positif yang bersifat infeksius.Pengidap HbsAg merupakan suatu kondisi yang infeksius untuk lingkungan karena sekret tubuhnya juga mengandung banyak partikel HBV yang infektif, saliva, semen, sekret vagina. Dengan demikian kontak erat antara individu yang melibatkan sekret-sekret tersebut, dapat menularkan infeksi HBV, misal perawatan gigi dan yang sangat penting secara epidemiologis adalah penularan hubungan seksual.

D. Gejala dan Tanda Penyakit serta Cara Diagnosis Hepatitis B1. GejalaGejala penyakit Hepatitis B pada umumnya sama dengan gejala Hepatitis yang lain, sehingga sukar untuk dibedakan secara klinis. Gejala pada Hepatitis B pada umumnya tidak menimbulkan gejala. Oleh sebab itu, banyak kasus Hepatitis B yang tidak terdiagnosis sehingga tidak dapat dilakukan pengobatan secara dini. Secara umum, gejala Hepatitis B yaitu nafsu makan berkurang, mual, muntah, demam, bagian putih mata menjadi kuning, mudah lelah, nyeri otot dan persendian, sakit kepala, nyeri perut dibagian kanan atas, diare, warna tinja seperti dempul, warna urin seperti teh, dan berat badan berkurang 2,5 5 kg. Gejala ini umumnya terjadi pada hari ke 40 180 setelah terinfeksi HBV. Namun bagi penderita hepatitis B kronik akan cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut, sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko. Hepatitis B seringkali tidak menimbulkan gejala. Bila ada gejala, keluhan khas yang dirasakan adalah nyeri dan gatal di persendian, mual, kehilangan nafsu makan, nyeri perut, dan jaundis.Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis B dibagi 2, yaitu: a. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis B dari tubuh kropes. Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu: 1) Hepatitis B akut yang khas Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus yang jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu: a) Fase Praikterik (prodromal) Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum, SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat). b) Fase lkterik Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu kedua. setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal. c) Fase Penyembuhan Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim aminotransferase. pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal.

2) Hepatitis Fulminan Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan berakhir dengan kematian. Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi pemeriksaan SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik hati menjadi lebih kecil, kesadaran cepat menurun hingga koma, mual dan muntah yang hebat disertai gelisah, dapat terjadi gagal ginjal akut dengan anuria dan uremia. 3) Hepatitis Subklinik Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang mantap.

b. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu dengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk menghilangkan VHB tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan VHB. Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang mantap.2. DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemui dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Menurut WHO (1994) untuk mendeteksi virus hepatitis digolongkan dengan tiga (3) cara yaitu: a. Cara Radioimmunoassay (RIA), b. Enzim Linked Imunonusorbent Assay (Elisa), c. imunofluorensi mempunyai sensitifitas yang tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan adalah metode Elisa. Metode Elisa digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan pada hati melalui pemeriksaan enzimatik. Enzim adalah protein dan senyawa organik yang dihasilkan oleh sel hidup umumnya terdapat dalam sel. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara pembentukan enzim dengan penghancurannya. Apabila terjadi kerusakan sel dan peninggian permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke ruangan ekstra sel, keadaan inilah yang membantu diagnosa dalam mengetahui kadar enzim tersebut dalam darah. Penderita hepatitis B juga mengalami peningkatan kadar bilirubin, kadar alkaline fosfat. Pemeriksaan enzim yang sering dilakukan untuk mengetahui kelainan hati adalah pemeriksaan SGPT dan SGOT (Serum Glutamic Pirivuc Transaminase dan Serum Glutamic Oksalat Transaminase). Pemeriksaan SGPT lebih spesifik untuk mengetahui kelainan hati karena jumlah SGPT dalam hati lebih banyak daripada SGOT. Kejadian hepatitis akut ditandai dengan peningkatan SGPT dan SGOT 10-20 kali dari normal, dengan SGPT lebih tinggi dari SGOT. SGPT dan SGOT normal adalah < 42 U/L dan 41 U/L. Pada hepatitis kronis kadar SGPT meningkat 5-10 kali dari normal.Riwayat ikterus pada para kontak keluarga, kawan-kawan sekolah, pusat perawatan bayi, teman-teman atau perjalanan ke daerah endemi dapat memberikan petunjuk tentang diagnosis Hepatitis B. Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati. Carrier HBsAg inaktif diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi. Sedangkan hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai normal (BANN).Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah: HBsAg, HBeAg, anti Hbe, HBV DNA, Anti Hbc, dan Anti-HBs.a. HBsAg (Hepatitis B Surface Antigen) Yaitu suatu protein yang merupakan selubung luar partikel VHB. HBsAg yang positif menunjukkan bahwa pada saat itu yang bersangkutan mengidap infeksi VHB. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg (anti HBs) menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses infeksi.b. HBeAgSemua protein non-struktural dari VHB (bukan merupakan bagian dari VHB) yang disekresikan ke dalam darah dan merupakan produk gen precore dan gen core. Positifnya HBeAg merupakan petunjuk adanya aktivasi replikasi VHB yang tinggi dari seorang individu HBsAg positif.c. Anti HBeAntibodi yang timbul terhadap HBeAg pada infeksi VHB. Positifnya anti HBe menunjukkan bahwa VHB ada dalam fase non-replikatif.d. VHB DNAPositifnya VHB DNA dalam serum menunjukkan adanya partikel VHB yang utuh dalam tubuh penderita. VHB DNA adalah petanda jumlah virus yang paling peka. Apabila penderita sudah terbukti menderita VHB, maka setiap penderita sebaiknya melaporkan diri ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk dilakukan penanganan khusus, karena mereka dapat menularkan penyakitnya. Diberi pengawasan terhadap penderita agar sembuh sempurna ketika dirawat dirumah sakit.e. Anti-HBsAntibodi terhadap HBsAg. Antibodi ini baru muncul setelah HBsAg menghilang. Anti HBsAg yang positif menunjukkan bahwa individu yang bersangkut an telah kebal terhadap infeksi VHB baik yang terjadi setelah suatu infeksi VHB alami atau setelah dilakuka n imunisasi hepatitis B.f. Anti HbcAntibodi terhadap protein core. Antibodi ini pertama kali muncul pada semua kasus dengan infeksi VHB pada saat ini (current infection) atau infeksi pada masa yang lalu (past infection). Anti HBc dapat muncul dalam bentuk IgM anti HBc yang sering muncul pada hepatitis B akut, karena itu positif IgM anti HBc pada kasus hepatitis akut dapat memperkuat diagnosis hepatitis B akut. Namun karena IgM anti HBc bisa kembali menjadi positif pada hepatitis kronik dengan reaktivasi, IgM anti HBc tidak dapat dipakai untuk membedakan hepatitis akut dengan hepatitis kronik secara mutlak.

Secara serologi infeksi hepatitis persisten dibagi menjadi hepatitis B kronis dan keadaan carrier HBsAg inaktif. Yang membedakan keduanya adalah titer HBV DNA, derajat nekroinflamasi dan adanya serokonversi HBeAg. Sedangkan hepatitis kronis B sendiri dibedakan berdasarkan HBeAg, yaitu hepatitis B kronis dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif.Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus. Ada beberapa persoalan berkaitan dengan pemeriksaan kadar HBV DNA. Pertama, metode yang digunakan untuk mengukur kadar HBV DNA. Saat ini ada beberapa jenis pemeriksaan HBV DNA, yaitu: branched DNA, hybrid capture, liquid hybridization dan PCR. Dalam pe nelitian, umumnya titer HBV DNA diukur menggunakan amplifikasi, seperti misalnya PCR, karena dapat mengukur sampai 100-1000 copies/ml. Kedua, beberapa pasien dengan hepatitis B kronis memiliki kadar HBV DNA fluktuatif. Ke tiga, penentuan ambang batas kadar HBV DNA yang mencerminkan tingkat progresifitas penyakit hati. Salah satu kepentingan lain penentuan kadar HBV DNA adalah untuk membedakan antara carrier hepatitis inaktif dengan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif : kadar 105 copies/ml merupakan batas penentuan untuk hepatitis B kronis.Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktif.Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum Menghini. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah dengan Histologic Activity Index score.Pada setiap pasien dengan infeksi HBV perlu dilakukan evaluasi awal. Pada pasien dengan HBeAg positif dan HBV DNA > 105 copies/ml dan kadar ALT normal yang belum mendapatkan terapi antiviral perlu dilakukan pemeriksaan ALT berkala dan skrining terhadap risiko KHS, jika perlu dilakukan biopsi hati. Sedangkan bagi pasien dengan keadaan carrier HBsAg inaktif perlu dilakukan pemantauan kadar ALT dan HBV DNA.

E. Transmisi Penyakit Hepatitis BVHB menular melalui kontak dengan cairan tubuh. Manusia merupakan satu-satunya host (pejamu) dari virus ini. Darah dan cairan tubuh yang lain merupakan faktor penting untuk media penularan. Trasmisi atau perjalanan alamiah VHB hingga terinfeksi pada manusia terjadi melalui 4 cara penularan yaitu perinatal, horizontal, kontak seksual, dan parenteral (WHO, 2002).Transmisi perinatal merupakan transmisi virus Hepatitis B dari ibu ke bayi selama periode perinatal. Transmisi ini paling penting dalam prevalensi daerah endemis tinggi khususnya di Cina dan Asia Tenggara (Yamada, 2003). Transmisi horizontal yaitu transmisi dari orang ke orang, yang dikenal terjadi pada daerah yang endemik tinggi yakni di Afrika Sub-Sahara. Transmisi ini terjadi pada anak-anak yang berusia 4-6 tahun yang menyebar melalui kontak fisik yang dekat atau dalam keluarga (Yamada, 2003). Transmisi kontak seksual merupakan sumber penularan utama di dunia khususnya pada daerah-daerah endemis rendah seperti Amerika. Perilaku homoseksual dalam jangka 5 tahun akan beresiko tinggi untuk terinfeksi Hepatitis.

F. Riwayat Alamiah Penyakit Hepatitis BPada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik dimembran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi; pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan gel hati untuk membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi imunologik tidak ada atau minimal maka terjadi keadaan karier sehat. Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B dan Non A dan Non B adalah sama yaitu adanya peradangan akut diseluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati disertai infiltrasi sel-sel hati dengan histiosit. Bila nekrosis meluas (masif) terjadi hepatitis akut fulminan. Bila penyakit menjadi kronik dengan peradangan dan fibrosis meluas didaerah portal dan batas antara lobulus masih utuh, maka akan terjadi hepatitis kronik persisten. Sedangkan bila daerah portal melebar, tidak teratur dengan nekrosis diantara daerah portal yang berdekatan dan pembentukan septa fibrosis yang meluas maka terjadi hepatitis kronik aktif.

G. Pengobatan Hepatitis BPenderita yang diduga terkena penyakit Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang ditegakkan maka akan dilakukan pemeriksaan darah. Setelah diagnosa ditegakkan sebagai Hepatitis B, maka ada cara pengobatan untuk hepatitis B, yaitu pengobatan telan (oral) dan secara injeksi.1. Pengobatan oral yang terkenal adalah:a. Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang dikenal dengan nama 3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak, Pemakaian obat ini cenderung meningkatkan enzyme hati (ALT) untuk itu penderita akan mendapat monitor bersinambungan dari dokter. b. Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral akan lebih efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh buruk terhadap fungsi ginjal.c. Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada penderita Hepatitis B kronik, efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala, pusing, letih, mual dan terjadi peningkatan enzyme hati. Tingkat keoptimalan dan kestabilan pemberian obat ini belum dikatakan stabil.

2. Pengobatan dengan injeksi/ suntikan adalah:Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel radioaktif pemancar sinar yang akan menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya. Injeksi Alfa Interferon (dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN, ROFERON) diberikan secara subcutan dengaan skala pemberian 3 kali dalam seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek samping pemberian obat ini adalah depresi, terutama pada penderita yang memilki riwayat depresi sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot, cepat letih dan sedikit menimbulkan demam yang hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian paracetamol.

H. Perkembangan Penyakit Hepatitis B di IndonesiaBerdasarkan laporan Sistem Surveilance Terpadu (SST) sampai dengan tahun 1997, terlihat adanya penurunan jumlah kasus hepatitis di Puskesmas dan rumah sakit yaitu dari 48.963 kasus pada tahun 1992 menjadi 16.108 kasus pada tahun 1997. Sedangkan penderita rawat inap di rumah sakit pada kurun waktu 5 tahun berfluktuasi. CFR penyakit hepatitis dari kasus rawat inap di RS sejak tahun 1992 sampai dengan 1997 terlihat ada penurunan yaitu dari 2,2 menjadi 1,64. Menurut data per propinsi tahun 1997 bahwa kasus hepatitis paling banyak terjadi di Jawa Timur (3002 kasus), Sumatera Utara (1564 kasus) dan Jawa Tengah (1454 kasus) dengan CFR masing-masing 2,8 %; 1,71 % dan 2,15 %.Angka kejadian infeksi hepatitis B di Indonesia mencapai 3-33% pada tahun 2006. Lalu terjadi penurunan angka kejadian infeksi hepatitis B dari 3,9% di tahun 2007 menjadi 0% di tahun 2008.Pada tahun 2010, jumlah kasus terinfeksi HBV mencapai 15 juta orang dan prevalensi hepatitis B dengan tingkat endemisitas tinggi yaitu sebanyak 1,5 juta orang berpotensi mengidap kanker hati.

I. Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Hepatitis B1. Faktor Host (Penjamu)Adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbul serta perjalanan penyakit hepatitis B. Faktor penjamu meliputi:a. UmurHepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering pada bayi dan anak (25 -45,9 %) resiko untuk menjadi kronis, menurun dengan bertambahnya umur dimana pada anak bayi 90 % akan menjadi kronis, pada anak usia sekolah 23 -46 % dan pada orang dewasa 3-10% (Markum, 1997). Hal ini berkaitan dengan terbentuk antibodi dalam jumlah cukup untuk menjamin terhindar dari hepatitis kronis.b. Jenis kelaminBerdasarkan sex ratio, wanita 3x lebih sering terinfeksi hepatitis B dibanding pria.c. Mekanisme pertahanan tubuhBayi baru lahir atau bayi 2 bulan pertama setelah lahir lebih sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada bayi yang sering terinfeksi hepatitis B, terutama pada bayi yang belum mendapat imunisasi hepatitis B. Hal ini karena sistem imun belum berkembang sempurna.d. Kebiasaan hidupSebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas seksual dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian tatto, pemakaian akupuntur.e. PekerjaanKelompok resiko tinggi untuk mendapat infeksi hepatitis B adalah dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium dimana mereka dalam pekerjaan sehari-hari kontak dengan penderita dan material manusia (darah, tinja, air kemih).

2. Faktor AgentPenyebab Hepatitis B adalah virus hepatitis B termasuk DNA virus. Virus Hepatitis B terdiri atas 3 jenis antigen yakni HBsAg, HBcAg, dan HBeAg. Berdasarkan sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi atas 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw, dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi dalam penyebarannya. Subtype adw terjadi di Eropa, Amerika dan Australia. Subtype ayw terjadi di Afrika Utara dan Selatan. Subtype adw dan adr terjadi di Malaysia, Thailand, Indonesia. Sedangkan subtype adr terjadi di Jepang dan China.

3. Faktor LingkunganMerupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi perkembangan hepatitis B. Yang termasuk faktor lingkungan adalah:a. Lingkungan dengan sanitasi jelekb. Daerah dengan angka prevalensi VHB nya tinggic. Daerah unit pembedahan: Ginekologi, gigi, mata.d. Daerah unit laboratoriume. Daerah unit bank darahf. Daerah tempat pembersihang. Daerah dialisa dan transplantasi.h. Daerah unit perawatan penyakit dalam

J. Cara Pencegahan Hepatitis BDalam upaya pencegahan infeksi Virus Hepatitis B, sesuai pendapat Effendi dilakukan dengan menggabungkan antara pencegahan penularan dan pencegahan penyakit.1. Pencegahan Penularan Hepatitis BPencegahan dapat dilakukan dengan melalui tindakan Health Promotion baik pada hospes maupun lingkungan dan perlindungan khusus terhadap penularan.a. Health Promotion terhadap host berupa pendidikan kesehatan, peningkatan higiene perorangan, perbaikan gizi, perbaikan sistem transfusi darah dan mengurangi kontak erat dengan bahan-bahan yang berpotensi menularkan virus VHB.b. Pencegahan virus hepatitis B melalui lingkungan, dilakukan melalui upaya: meningkatkan perhatian terhadap kemungkinan penyebaran infeksi VHB melalui tindakan melukai seperti tindik, akupuntur, perbaikan sarana kehidupan di kota dan di desa serta pengawasan kesehatan makanan yang meliputi tempat penjualan makanan dan juru masak serta pelayan rumah makan.c. Perlindungan Khusus Terhadap Penularan Dapat dilakukan melalui sterilisasi benda-benda yang tercemar dengan pemanasan dan tindakan khusus seperti penggunaan sarung tangan bagi petugas kesehatan, petugas laboratorium yang langsung bersinggungan dengan darah, serum, cairan tubuh dari penderita hepatitis, juga pada petugas kebersihan, penggunaan pakaian khusus sewaktu kontak dengan darah dan cairan tubuh, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita pada tempat khusus selain itu perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg petugas kesehatan (Onkologi dan Dialisa) untuk menghindarkan kontak antara petugas kesehatan dengan penderita.d. Bagi pasangan yang hendak menikah, tidak ada salahnya untuk memeriksakan diri masing-masing agar tidak saling menularkan dan juga untuk pencegahan penularan kepada anaknya kelak.

2. Pencegahan PenyakitPencegahan penyakit dapat dilakukan melalui immunisasi baik aktif maupun pasif.a. Immunisasi AktifPada negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang prevalensi rendah immunisasi diberikan pada orang yang mempunyai resiko besar tertular. Vaksin hepatitis diberikan secara intra muskular sebanyak 3 kali dan memberikan perlindungan selama 2 tahun. Program pemberian sebagai berikut:Dewasa:Setiap kali diberikan 20 g IM yang diberikan sebagai dosis awal, kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.Anak:Diberikan dengan dosis 10 g IM sebagai dosis awal, kemudian diulangi setelah 1 bulan dan berikutnya setelah 6 bulan.

b. Immunisasi PasifPemberian Hepatitis B Imunoglobulin (HBIG) merupakan immunisasi pasif dimana daya lindung HBIG diperkirakan dapat menetralkan virus yang infeksius dengan menggumpalkannya. HBIG dapat memberikan perlindungan terhadap Post Expossure maupun Pre Expossure. Pada bayi yang lahir dari ibu, yang HbsAs positif diberikan HBIG 0,5 ml intra muscular segera setelah lahir (jangan lebih dari 24 jam). Pemberian ulangan pada bulan ke 3 dan ke 5. Pada orang yang terkontaminasi dengan HBsAg positif diberikan HBIG 0,06 ml/Kg BB diberikan dalam 24 jam post expossure dan diulang setelah 1 bulan.

1

K. Gambaran Epidemiologi Umum Hepatitis BPenyebaran penyakit Hepatitis B sangat mengerikan. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 1990 diperkirakan satu biliun individu yang hidup telah terinfeksi Hepatitis B, sehingga lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia terinfeksi, dan 1-2 juta kematian setiap tahun dikaitkan dengan VHB. Pada Tahun 2008 jumlah orang terinfeksi VHB sebanyak 2 miliar, dan 350 juta orang berlanjut menjadi pasien dengan infeksi Hepatitis B kronik (Shulman, 1994).Berdasarkan data WHO Tahun 2008, penyakit Hepatitis B menjadi pembunuh nomor 10 di dunia dan endemis di China dan bagian lain di Asia termasuk Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan penderita Hepatitis B ketiga terbanyak di dunia setelah China dan India dengan jumlah penderita 13 juta orang.Saat ini diperkirakan terdapat 400 juta orang pengidap VHB carrier di dunia, dan tiga perempatnya dari mereka (78%) berada di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Diperkirakan 1-2 juta meninggal setiap tahun karena kanker hati. Dari data yang dikutip dari Seamic workshop in heaptitis 1994 FY, Indonesia melaporkan data yang lebih tinggi dari tahun tahun sebelumnya, yaitu 2,5% - 36,17%. Sedangkan prevalensi VHB di negara tetangga , Malaysia (5,3%), Brunei (6,1%), Thailand (8%-10%), Filipina (3,4%-5,7%).

L. Gambaran Epidemiologi Hepatitis B di IndonesiaDi Indonesia menurut PPHI pada pekan peduli hepatitis B tahun 2001 terdapat lebih dari 11 juta pengidap hepatitis B. Menurut Szumess (1984) terdapat suatu fenomena di mana makin tinggi prevalensi infeksi hepatitis B di suatu tempat, maka infeksi pada bayi dan anak anak makin banyak di jumpai. Prevalensi hepatitis B pada wanita hamil di Indonesia HbsAG 3,6% (2,1-5,2%) dan HbeAg sebesar 47,5% (18,2%-66%), angka penularan dari ibu hamil pengidap hepatitis B kepada bayinya sebesar 45,9%.Di Jakarta diperkirakan satu dari 20 penduduk menderita penyakit Hepatitis B. Sebagian besar penduduk kawasan ini terinfeksi VHB sejak usia kanak-kanak. Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008 jumlah kasus Hepatitis B di Sumatera Utara adalah sebanyak 48 kasus sedangkan pada Tahun 2009 jumlah kasus Hepatitis B di Sumatera Utara adalah sebanyak 64 kasus. Ini berarti menunjukkan adanya kenaikan kejadian Hepatitis B.

M. Tujuan Program Imunisasi Hepatitis BTujuan program imunisasi Hepatitis B di Indonesia dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.1. Tujuan umum Adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B.

2. Tujuan khusus a. Pemberian dosis pertama dari vaksin hepB kepada bayi sedini mungkin sebelum berumur 7 hari.b. Memberikan imunisasi Hepatitis B sampai 3 dosis pada bayi (Dalimartha, 2004).

N. Strategi Program ImunisasiDi daerah dengan endemistas VHB tinggi dan sedang, strategi yang dianjurkan adalah melakukan imunisasi universal untuk semua bayi baru lahir dengan cara mengintegrasikan imunisasi Hepatitis B ke dalam EPI sedang untuk daerah dengan endemisitas rendah dianjurkan melakukan imunisasi pada kelompok individu resiko tinggi. Namun, banyak yang meragukan apakah strategi imunisasi kelompok resiko tinggi akan berhasil untuk menurunkan prevalensi infeksi VHB di negara-negara dengan endemisitas rendah. Sebagai contoh, di Amerika Serikat ternyata tindakan ini juga tidak berhasil menurunkan prevalensi infeksi VHB dalam populasi dan bahkan ada kecenderungan peningkatan prevalensi infeksi VHB di Amerika Serikat. Imunisasi universal pada neonatus merupakan strategi yang paling tepat untuk menurunkan prevalensi infeksi VHB untuk semua daerah baik dengan tingkat endemisitas tinggi, sedang, maupun rendah.

Tahap-Tahap Pengelolaan Program Imunisasi Hepatitis Ba. Persiapan1) Petugas kesehatanPersiapan petugas dalam rangka pelaksanaan program imunisasi HB adalah:a) Pelatihan semua vaksinator di puskesmas dan semua bidan di desa.b) Pelatihan semua Balai Pengobatan, Rumah Sakit pemerintah dan swasta serta Puskesmas.c) Sosialisasi kepada seluruh petugas puskesmas.2) Lintas sektoral dan masyarakatPersiapan lintas sektor dan masyarakat adalah sebagai berikut:a) Sosialisasi pentingnya imunisasi Hb kepada camat, PKK, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader, aparat desa, RT, RW dan tokoh potensial lainnya pada momen dan setiap kesempatan.b) Penyuluhan langsung tentang imunisasi Hb kepada semua ibu hamil pada waktu memeriksakan kehamilan (K1 s/d K4).c) Penyuluhan lewat media yang ada (pengumuman di masjid, arisan, pengajian dll), pemasangan spanduk dan poster di puskesmas, posyandu.

b. PerencanaanPerencanaan merupakan salah satu unsur yang penting dalam pengelolaan program imunisasi. Pada dasarnya perencanaan program imunisasi meliputi:1) Menentukan target cakupanMenentukan target cakupan adalah menetapkan berapa besar cakupan imunisasi yang akan dicapai pada tahun yang direncanakan untuk mengetahui kebutuhan vaksin yang sebenarnya. Contoh target cakupan yang akan dicapai: HB 0 7 hari = 80 %.2) Menghitung Jumlah sasaran Pada program imunisasi menentukan jumlah sasaran merupakan suatu unsur yang paling penting. Menghitung jumlah sasaran bayi berdasarkan besarnya angka persentasi kelahiran bayi dari jumlah penduduk masing-masing wilayah atau dapat berdasarkan besarnya jumlah sasaran bayi tahun lalu yang diproyeksikan untuk tahun ini. Untuk tingkat desa dapat berdasarkan pendataan sasaran per desa atau dengan rumus:Desa = Jumlah bayi kecamatan tahun ini3) Lokasi PelayananLokasi pelayanan imunisasi Hb dilakukan di semua komponen pelayanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah. Pelayanan bisa melalui kunjungan rumah/ KN 1 oleh bidan di desa.4) Menghitung kebutuhan logistikSetelah menghitung jumlah sasaran imunisasi, menentukan target cakupan maka data-data tersebut digunakan untuk menghitung kebutuhan vaksin. Puskesmas mengirimkan rencana kebutuhan vaksin ke kabupaten, kompilasi dilakukan kabupaten/kota, selanjutnya kebutuhan vaksin tersebut dikirim ke propinsi kemudian dilanjutkan ke pusat untuk proses pengadaannya. Menghitung kebutuhan vaksin Hepatitis B (PID):Buah = (Sasaran x target HB-0 80%) Bidan merencanakan kebutuhan vaksin HB PID berdasarkan data perkiraan persalinan 1 bulan, petugas imunisasi puskesmas menyediakan vaksin. 5) Kebutuhan Format Pencatatan dan PelaporanPencatatan tentang adanya kelahiran bayi yang dilakukan oleh bidan desa sebagai dasar menjadi sasaran yang akan diberi imunisasi. Pencatatan dan pelaporan mempergunakan alur dan format laporan yang dipakai pada program KIA rutin. Pencatatan menggunakan kohort bayi, buku KIA, buku harian imunisasi di desa.Pelaporan hasil imunisasi harus lengkap dan tepat waktu. Pelaporan menggunakan formulir desa, formulir rekapitulasi puskesmas untuk program imunisasi. Laporan dilaksanakan setiap bulan kepada koordinator imunisasi Puskesmas.

c. PelaksanaanProgram imunisasi dituntut untuk melaksanakan ketentuan program secara efektif dan efisien. Untuk itu pengelola program imunisasi harus dapat menjalankan fungsi koordinasi dengan baik meliputi koordinasi horizontal terdiri dari kerjasama lintas program dan kerjasama lintas sektoral. Untuk koordinasi pelaksanaan imunisasi HB-0 melalui kerjasama dengan bidan di desa pada pertolongan persalinan, kunjungan neonatal. Kerjasama pemberian imunisasi HB-0 juga dilakukan dengan penolong persalinan di rumah bersalin/ rumah sakit.

d. Monitoring dan EvaluasiFungsi monitoring/pemantauan adalah untuk meningkatkan kinerja program, sehingga sejalan dengan ketentuan program. Ada 2 alat pemantau yang dimiliki program imunisasi yaitu:1) Pematauan Wilayah Setempat (PWS)Alat pemantau ini berfungsi untuk meningkatkan cakupan. Jadi sifatnya lebih memantau kuantitas program.2) PembinaanTingginya cakupan saja tidak cukup untuk mencapai tujuan akhir program imunisasi. Cakupan yang tinggi harus diikuti dengan mutu program yang tinggi pula. Untuk meningkatkan mutu program pembinaan dari atas (supervisi) sangat diperlukan. Pimpinan puskesmas juga dapat mengadakan supervisi intern/ pembinaan internal kepada bidan di desa dengan menggunakan hasil analisa supervisi. Supervisi merupakan salah satu bagian dari fungsi penggerakan pelaksanaan dari suatu manajemen. Dengan supervisi yang baik diharapkan dapat dilakukan pembinaan dan pemantauan terhadap pelaksanaan program secara teratur. Dengan supervisi diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan program sesuai target dan sasaran yang telah ditetapkan. Supervisi diharapkan akan menimbulkan motivasi untuk meningkatkan kinerja petugas lapangan. Hal tersebut dapat dicapai dengan membina hubungan kerja yang baik, melalui prinsip kemitraan dan cara fasilitasi bukan prinsip atasan bawahan, serta memberikan penghargaan kepada prestasi kerja mereka.

Evaluasi bertujuan untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan bila dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Berdasarkan sumber data, ada dua macam evaluasi: evaluasi dengan data primer melalui survey cakupan, survey dampak. Evaluasi dengan data sekunder meliputi stok vaksin, cakupan pertahun.

e. Indikator PenilaianIndikator Penilaian program imunisasi Hb adalah sebagai berikut:1) % Cakupan imunisasi Hepatitis B.2) Jumlah kemasan yang dipakai.3) Semua sasaran yang diimunisasi tercatat dalam kohort bayi.4) Semua sasaran yang diimunisasi terlaporkan sesuai catatan.

Sasaran Pemberian Imunisasi Hepatitis BMenurut Ranuh (2005), sasaran pemberian vaksin Hepatitis B adalah semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu, individu yang karena pekerjaannya beresiko tertular VHB, karyawan di lembaga perawatan cacat mental, pasien hemodialisis, pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang, individu yang serumah pengidap VHB atau kontak akibat hubungan seksual, Drug users, Homosexual, dan heterosexuals.

Vaksin Pilihan untuk Memproteksi Infeksi Virus Hepatitis BDalam pelaksanaan pemberian imunisasi hapatitis B, pemilihan vaksin Hepatitis B saat ini memiliki 2 pilihan yaitu vaksin Hepatitis B dan DPT/HB Kombo. Vaksin VHB merupakan vaksin virus recombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat non-infectious, yang berasal dari HbsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansanule polymorpha) menggunakan teknologi DNA rekombinan. Vaksin ini berindikasi untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (Depkes, 2005). Vaksin DPT/HB Kombo merupakan vaksin DPT dan Hepatitis B yang dikombinasikan dalam suatu preparat tunggal dan merupakan sub unit virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non infectious. Sehingga dengan adanya vaksin ini pemberian imunisasi menjadi lebih sederhana, dan menghasilkan tingkat cakupan yang setara antara HB dan DPT (Depkes, 2004).

Jadwal Imunisasi Hepatitis BPada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat :a. Minimal diberikan sebanyak 3 kali.b. Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir.c. Jadwal imunisasi dianjurkan adalah 0, 1, 6 bulan karena respons antibodi paling optimal (Hadinegoro, 2008).

Jadwal imunisasi Hepatitis B yaitu :a. Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir.b. Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan (Hadinegoro, 2008).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. berikut:Tabel 1. Jadwal Imunisasi Hepatitis BUmur BayiImunisasiKemasan

Saat lahirHep B-0Uniject (hepB-monovalen)

2 bulanDTwP dan hepB-1Kombinasi DTwP/hepB-1

3 bulanDTwP dan hepB-2Kombinasi DTwP/hepB-2

4 bulanDTwP dan hepB-3Kombinasi DTwP/hepB-3

Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008

Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HBsAg ibu pada saat melahirkan adalah :a. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg-nya mendapatkan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5 mL) vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HBsAg positif maka segera berikan 0,5 mL HBIg (sebelum anak berusia satu minggu).b. Bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif mendapatkan 0,5 mL HBIg dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan. Bila digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan 10 mcg (0,5 mL) intramuskular dan disuntikkan pada sisi yang berlainan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan.c. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif diberi dosis minimal 2,5 mcg (0,25 mL) vaksin rekombinan, sedangkan kalau digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan dosis 10 mcg (0,5 mL) intramuskular pada saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-18 bulan.d. Ulangan imunisasi Hepatitis B diberikan pada umur 10-12 tahun (Wahab, 2002).

Kontraindikasi dan Efek SampingVaksin hepB diberikan kepada semua orang termasuk wanita hamil, bayi baru lahir, pasien dengan immunocompromised, yaitu pasien dengan kelainan sistem imunitas seperti penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) (Dalimartha, 2004). Efek samping yang mungkin timbul dapat berupa reaksi lokal ringan seperti rasa sakit pada bekas suntikan dan reaksi peradangan. Reaksi sistemik kadang timbul berupa panas ringan, lesu, dan rasa tidak enak pada saluran cerna. Gejala di atas akan hilang spontan dalam beberapa hari (Dalimartha, 2004).

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Imunisasi Hepatitis B a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan. Tradisi kepercayaan masyarakat terhadap hal hal yang berkaitan dengan kesehatan: 1) Pengetahuan Menurut Rahman (2003), pengetahuan adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya. Notoatmodjo (2003) berpendapaat bahwa, Pengetahuan adalah merupakan hasil Tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. 2) Sikap (Attitude) Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2007). Newcomb dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap mempunyai berbagai tingkatan yakni: a) Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek). Misalnya sikap orang terhadaap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi. b) Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, menger akan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Apabila ada suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau menger akan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. c) Menghargai (valuting) Mengajak orang lain untuk merger akan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. d) Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pemyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden. Sebagaimana, dikemukakan Notoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat Walgito, menyatakan ciri-ciri sikap yaitu : a) Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan seseorang dalam hubungan dengan obyeknya. b) Sikap dapat berubah-ubah karena sikap itu dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah-ubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada seseorang tersebut. 3) Kepercayaan atau Keyakinan Fishbein dan Azien (1975), menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata "belief', yang memiliki pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek. Keyakinan atau kepercayaan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, keahlian dan kekuatan yang menciptakan kehidupan. Aspek keyakinan atau kepercayaan dalam kehidupan manusia mengarahkan budaya hidup. perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber daya di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan pola hidup yang disebut kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku. Keyakinan dan praktek spiritual individu dihubungkan dengan semua aspek kehidupan individu termasuk kesehatan dan penyakit (Potter & Perry dalam Kadir, 2004). Ketika tubuh sakit dan emosi berada di luar kontrol, spiritualitas dan keyakinan seseorang mungkin menjadi satumsatunya dukungan yang tersedia. Hopson (2002) menyebutkan bahwa "seseorang yang memiliki kepercayaan pada diri merupakan tahap awal dari pengidentifikasian pola pikir pada pembentukan persepsi, yang sesuai digunakan untuk beberapa kejadian dalam kehidupan". "Bagaimanapun juga, kepercayaan pada diri tidak selalu menjadi karakteristik dari suasana hati seseorang setelah mengalami kejadian positif seperti melakukan suatu terapi langsung bisa saja sembuh secara spontan". "Dengan kejadian yang sifatnya negatif tahap pengurangan mungkin tidak tampak nyata dan individu dapat berpindah dari tahap kesedihan ke tahap tanpa menyadari adanya perubahan". Faktor-faktor sosial menurut Gibson (1996) berupa."Pola-Pola perilaku dari suatu kelompok suku, komunitas, dan suatu komunitas yang lebih besar. Pola-pola perilaku ini meliputi: peraturan-peraturan, kepercayaan religi, dan standar-standar moral dan etika". Maslow yang dikutip dalam (Artkinson, 2004) bahwa "hasrat sosial dan status sosial menuntut interaksi dengan orang-orang lain agar dipuaskan, dan hasrat-hasrat ini segaris dengan kebutuhan sosial Maslow dan komponen ekstemal dari klasifikasi penghargaan yang diberikan lingkungan kepadanya".

b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. 1) Pelayanan Kesehatan Menurut Depkes RI (2009) adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya. Karena kesemuanya ini ditentukan oleh: a) Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi. b) Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya. Menurut Devi (2011) Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan. 2) Ketersediaan Fasilitas dan Sarana Menurut Endang (1999) terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana dengan pemberian imunisasi. Hal ini sejalan dengan Anderson dalam ridwan (1994) yang menyatakan bahwa makin banyak sarana kesehatan dan tenaga kesehatan disuatu daerah makin kecil jarak jarak jangkauan masyarakat terhadap suatu pelayanan kesehatan makin sedikit pula ongkos dan waktu yang diperlukan sehingga pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat meningkat. 3) Transportasi Secara umum definisi transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia atau mesin (Nasution, 2004). Transportasi dapat dikatakan sebagai sebuah kebutuhan turunan karena transportasi timbul disebabkan adanya maksud atau tujuan yang ingin dicapai melalui transportasi. Misalnya pengiriman barang, berpergian, bekerja dan lain-lain. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan antara asal dan tujuan. Perjalanan dilakukan melalui suatu lintasan tertentu yang menghubungkan asal dan tujuan, menggunakan alat angkut atau kedaraan dengan kecepatan tertentu.4) Jarak Jarak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keinginan responden untuk pergi ke pelayanan kesehatan. Semakin jauh pelayanan kesehatan semakin enggan responden pergi ke pelayanan kesehatan (Purwanto,2002) Menurut Azwar, Azrul (1999) salah satu faktor yang menentukan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat adalah ciri manusia atau karakteristik. Yang termasuk dalam unsur karakteristik manusia antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, status sosial ekonomi, ras/ etnik, dan agama. Sedangkan dari segi tempat disebutkan penyebaran masalah kesehatan dipengaruhi oleh keadaan geografis, keadaan penduduk dan keadaan pelayanan kesehatan.Selanjutnya penyebaran masalah kesehatan menurut waktu dipenaguruhi oleh kecepatan perjalanan penyakit dan lama terjangkitnya suatu penyakit. Begitu juga halnya dalam masalah status imunisasi dasar bayi juga dipengaruhi oleh karakteristik ibu dan faktor tempat, dalam hal ini adalah jarak rumah dengan puskesmas/ tempat pelayanan kesehatan. 5) Biaya Menurut Supriyono (2000), biaya adalah pengorbanan ekonomis yang dibuat untuk memperoleh barang atau jasaMenurut Noor,N.N (2000) menyebutkan berbagai variabel sangat erat hubungannya dengan status sosio ekonomi sehingga merupakan karakteristik. Status sosial ekonomi erat hubungannya dengan pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder (Ali, 2002).

c. Faktor Penguat (Reinforcing Factor) Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan dan perilaku tokoh masyarakat (toma) yang berkaitan dengan kesehatan.1) Peran Petugas Kesehatan Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran juga sebagai bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu (Mubarak W., 2009). 2) Dukungan Tokoh Mayarakat Pembuatan peraturan tentang berperilaku sehat juga harus dibarengi dengan pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat. Sebab, apabila upaya dengan menjatuhkan sanksi hanya bersifat jangka pendek. Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role model harus diajak turut serta dalam menyukseskan program-program kesehatan. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi menjadikan ibu kurang mengetahui gejala penyakiti ini.

O. Ukuran Epidemiologi Hepatitis BUkuran atau angka morbiditas termasuk ukuran epidemiologi. Ukuran morbiditas Hepatitis B adalah jumlah penderita Hepatitis B yang dicatat selama 1 tahun per 1000 jumlah penduduk pertengahan tahun. Angka ini dapat digunakan untuk menggambarakan keadaan kesehatan secara umum, mengetahui keberhasilan program program pemberantasan penyakit Hepatitis B, dan sanitasi lingkungan serta memperoleh gambaran pengetahuan penduduk terhadap pelayanan kesehatan. Secara umum ukuran yang banyak digunakan dalam menentukan morbiditas Hepatitis B adalah rate, rasio dan proporsi.1. RateRate atau angka merupakan proporsi dalam bentuk khusus perbandingan antara pembilang dengan penyebut atau kejadian dalam suatu populasi teterntu dengan jumlah penduduk dalam populasi tersebut dalam batas waktu tertentu. Rate terdiri dari berbagai jenis ukuran diataranya adalah:a. Insidence Rate Adalah jumlah kelompok individu yang terdapat dalam penduduk suatu wilayah yang semula tidak sakit dan menjadi sakit dalam kurun waktu tertentu dan pembilang pada proporsi tersebut adalah kasus baru. Tujuan dari Insidence Rate adalah sebagai berikut:1) Mengukur angka kejadian penyakit2) Untuk mencari atau mengukur faktor kausalitas3) Perbandinagan antara berbagai populasi dengan pemaparan yang berbeda4) Untuk mengukur besarnya risiko yang ditimbulkan oleh determinan tertentu

Rumus:

Dimana:P= Estimasi incidence rated= Jumlah incidence (kasus baru)n= Jumlah individu yang semula tidak sakit (population at risk)

Hasil estimasi dari insiden dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan penanggulangan masalah kesehatan dengan melihat, potret masalah kesehatan, angka dari beberapa periode dapat digunakan untuk melihat trend dan fluktuasi, untuk pemantauan dan evaluasi upaya pencegahan maupun penanggulangan serta sebagai dasar untuk membuat perbandingan angka insidens antar wilayah dan antar waktu.

b. PR (Prevalence)Manfaat ukuran prevalensi, yaitu:1) Menggambarkan tingkat keberhasilan program pemberantasan penyakit.2) Untuk penyusunan perencanaan pelayanan kesehatan. Misalnya, penyediaan obat-obatan, tenaga kesehatan, dan ruangan.3) Menyatakan banyaknya kasus yang dapat di diagnosa.4) Digunakan untuk keperluan administratif lainnya.

Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya sakit. Lamanya sakit adalah suatu periode mulai dari didiagnosanya suatu penyakit hingga berakhirnya penyakit teresebut yaitu sembuh, kronis, atau mati.

c. PePR (Periode Prevalence Rate)PePR yaitu perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatat dengan jumlah penduduk selama 1 periode.

Rumus:PePR =

P = jumlah semua kasus yang dicatatR = jumlah pendudukk = pada saat tertentu

d. PoPR (Point Prevalence Rate)Point Prevalensi Rate adalah nilai prevalensi pada saat pengamatan yaitu perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatat dengan jumlah penduduk pada saat tetentu.

Rumus:PoPR =

Po = perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatatR = jumlah pendudukk = selama 1 perode Point prevalensi meningkat pada :1. Imigrasi penderita2. Emigrasi orang sehat3. Imigrasi tersangka penderita atau mereka dengan risiko tinggi untuk menderita4. Meningkatnya masa sakit5. Meningkatnya jumlah penderita baru Point prevalensi menurun pada :1. Imigrasi orang sehat2. Emigrasi penderita3. Meningkatnya angka kesembuhan4. Meningkatnya angka kematian5. Menurunnya jumlah penderita baru6. Masa sakit jadi pendeke. AR (Attack Rate)Attack rate adalah andala angka insiden yang terjadi dalam waktu yang singkat (Liliefeld 1980) atau dengan kata lain jumlah mereka yang rentan dan terserang penyakit tertentu pada periode tertentu. Attack rate penting pada epidemi progresif yang terjadi pada unit epidemi yaitu kelompok penduduk yang terdapat pada ruang lingkup terbatas, seperti asrama, barak, atau keluarga.

2. RasioRasio adalah nilai relatif yang dihasilkan dari perbandingan dua nilai kuantittif yang pembilangnya tidak merupakan bagian dari penyebut.Contoh:Kejadian Luar Biasa (KLB) Hepatitis B sebanyak 30 orang di suatu daerah. 10 diantaranya adalah jenis kelamn pria. Maka rasio pria terhadap wanita adalah R=10/20=1/2

3. ProporsiProporsi adalah perbandingan dua nilai kuantitatif yang pembilangnya merupakan bagian dari penyebut. Penyebaran proporsi adalah suatu penyebaran persentasi yang meliputi proporsi dari jumlah peristiwa-peristiwa dalam kelompok data yang mengenai masing-masing kategori atau sub kelompok dari kelompok itu. Pada contoh di atas, proporsi pria terhadap perempuan adalah P= 10/30=1/3.

BAB IIIPENUTUP

A. KESIMPULANImunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan (Depkes, 2005).Menurut Wening S, dkk (2008), Hepatitis B merupakan tipe hepatitis yang berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan hepatitis jenis lainnya. Hepatitis B menular kontak darah atau cairan tubuh yang mengandung virus hepatitis B (VHB). Menurut National Institutes of Health (2006) etiologi Hepatitis B adalah virus dan disebut dengan Hepatitis B Virus (VHB). Virus ini pertama kali ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama antigen Australia. Virus ini termasuk DNA virus.Masa inkubasi VHB ini biasanya 45-180 hari dengan batasan 60-90 hari, dimana setelah 2 minggu infeksi virus Hepatitis B terjangkit, HBsAg dalam darah penderita sudah mulai dapat dideteksi.Dalam kepustakaan disebutkan sumber penularan virus Hepatitis B berupa: Darah; Saliva; Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B; Feces dan urine; Lain-lain: Sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang terkontaminasi virus hepatitis B. Selain itu dicurigai penularan melalui nyamuk atau serangga penghisap darah. Penularan infeksi virus hepatitis B itu sendiri melalui parenteral dan non parenteral.Hepatitis B pada umumnya tidak menimbulkan gejala. Oleh sebab itu, banyak kasus Hepatitis B yang tidak terdiagnosis sehingga tidak dapat dilakukan pengobatan secara dini.Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemui dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Menurut WHO (1994) untuk mendeteksi virus hepatitis digolongkan dengan tiga (3) cara yaitu : Cara Radioimmunoassay (RIA), Enzim Linked Imunonusorbent Assay (Elisa), imunofluorensi mempunyai sensitifitas yang tinggi. VHB menular melalui kontak dengan cairan tubuh. Manusia merupakan satu-satunya host (pejamu) dari virus ini. Darah dan cairan tubuh yang lain merupakan faktor penting untuk media penularan. Trasmisi atau perjalanan alamiah VHB hingga terinfeksi pada manusia terjadi melalui 4 cara penularan yaitu perinatal, horizontal, kontak seksual, dan parenteral (WHO, 2002).Penderita yang diduga terkena penyakit Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang ditegakkan maka akan dilakukan pemeriksaan darah. Setelah diagnosa ditegakkan sebagai Hepatitis B, maka ada cara pengobatan untuk hepatitis B, yaitu dengan pengobatan telan (oral) dan secara injeksi.Pada tahun 2010, jumlah kasus terinfeksi HBV mencapai 15 juta orang dan prevalensi hepatitis B dengan tingkat endemisitas tinggi yaitu sebanyak 1,5 juta orang berpotensi mengidap kanker hati.Dalam upaya pencegahan infeksi Virus Hepatitis B, sesuai pendapat Effendi dilakukan dengan menggabungkan antara pencegahan penularan dan pencegahan penyakit.Pencegahan penularan dapat dilakukan dengan melalui tindakan Health Promotion baik pada hospes maupun lingkungan dan perlindungan khusus terhadap penularan. Pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui immunisasi baik aktif maupun pasif.Penyebaran penyakit Hepatitis B sangat mengerikan. Pada Tahun 2008 jumlah orang terinfeksi VHB sebanyak 2 miliar, dan 350 juta orang berlanjut menjadi pasien dengan infeksi Hepatitis B kronik. Di Indonesia menurut PPHI pada pekan peduli hepatitis B tahun 2001 terdapat lebih dari 11 juta pengidap hepatitis B.Pedoman nasional di Indonesia merekomendasikan agar seluruh bayi diberikan imunisasi Hepatitis B dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada bulan berikutnya. Program Imunisasi Hepatitis B 0-7 hari dimulai sejak tahun 2005 dengan memberikan vaksin hepB-O monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, pada tahun 2006 dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada umur 2-3-4 bulan (Hadinegoro, 2008). B. SARANUntuk mengurangi resiko penyakit hepatitis B maka diperlukan beberapa tindakan, antara lain:1. Peningkatan higiene perorangan.2. Perbaikan gizi.3. Perbaikan sistem transfusi darah.4. Peningkatkan perhatian terhadap kemungkinan penyebaran infeksi VHB melalui tindakan melukai seperti tindik, akupuntur, perbaikan sarana kehidupan di kota dan di desa serta pengawasan kesehatan makanan yang meliputi tempat penjualan makanan dan juru masak serta pelayan rumah makan.5. Sterilisasi benda-benda yang tercemar dengan pemanasan dan tindakan khusus seperti penggunaan sarung tangan bagi petugas kesehatan, petugas laboratorium yang langsung bersinggungan dengan darah, serum, cairan tubuh dari penderita hepatitis.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, 2006. Imunisasi Mengapa Perlu? Cetakan I, Penerbit Karya, Jakarta.Aguslina, Fazidah. Hepatitis B Ditinjau Dari Kesehatan Masyarakat Dan Upaya Pencegahan. Fakultaas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3706/1/fkm-fazidah.pdf, diakses tanggal 1 Mei 2013)Anwar, C. 2001. Pelaksanaan Imunisasi Hepatitis B dengan Menggunakan Alat Suntik Uniject dan Alat Suntik Sekali Pakai (Disposable) di Kabupaten Bantul. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. http://www.gdl-res.badan litbang kesehatan.com.Benenson Abraham S, 1990, Control of Communicable disease in Man, Fifteenth edition, Washington DC. British Medical Assosiation., 1995, Imunisasi Hepatitis B. Penterjemah Irrene W, Edisi Kedua, Penerbit Hypocrates, Jakarta.Dalimartha, S. 2004. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis Cetakan VII. Penebar Swadaya. Jakarta.Depkes RI, 1998, Profil Kesehatan Indonesia, Depkes RI, Jakarta Harrison, Principle of Internal Medicine Edisi 9. Gangguan Hepatobilier dan Pankreas. Penterjemah Adhi Dharma. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta Utara. Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Depkes R.I., 2002. Pedoman Penggunaan Uniject Hepatitis B.Jakarta.Gunawan. 2009. Pengaruh karakteristik ibu dan Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 hari di Kabupaten Langkat. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.Lubis L., 1994, VHB dan Pencegahannya di Indonesia. Medika, Jakarta.Maria H, 1997, Hepatitis B Makin Meningkat, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia; tahun XXV, nomor 7.Markum, 1997, Imunisasi. FKUI, Jakarta.Misnadiarly, 2007. Mengenal, Menanggulangi, Mencegah Dan Mengobati Penyakit Hati (Liver). Pustaka Obor Populer, Jakarta.Misnadiarly., 2007, Penyakit Hati (liver), Edisi 1,Pustaka Obor Populer, Jakarta.Notoadmojo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Penerbit Rineka Cipta. JakartaRasmilah. Aguslina, Hepatitis B. Fakultaas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3728/1/fkm-rasmaliah4.pdf, diakses tanggal 1 Mei 2013)Soemoharjo S., 2008, Hepatitis Virus B. Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.Soeparman, 1987, Ilmu Penyakit Dalam .Edisi 2, Balai Penerbit UI. Soesanto, W., 2002, Karakteristik Penderita Hepatitis B Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat dr. M. Djamil Padang Tahun 2001. Skripsi Mahasiswa FKM USU.Sulaiman Ali, Yulitasari, 1995. Virus Hepatitis A sampai E di Indonesia, Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta.Watt G. Hepatitis B 1993 Dalam : Strickland Gt, penyunting Hunters tropical medicine, edisi 7. Tokyo; W.B Saunders Company.World Health Organization., 2002. Hepatitis B. Geneva. http://www.who.int/emcWHO European Region, 2010,of Hepatitis B and HIV Coinfecton Clinical Protocol. 3