imam syfiii

55
DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 KATA PENGANTAR 2 BAB I PENDAHULUAN 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 A. BIOGRAFI MUHAMMAD IDRIS AS-SYAFI’I 4 B. KECERDASAN IMAM SYAFI’I 8 C. KITAB-KITAB KARANGAN IMAM SYAFI’I 9 D. PERMULAAN MAZHABNYA 13 E. KONSEP PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG 24 EKONOMI ISLAM F. PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I YANG MASIH RELEVAN 29 PADA MASA SEKARANG BAB III PENUTUP 34 DAFTAR PUSTAKA 35 1

Upload: aisyah

Post on 04-Aug-2015

348 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Imam Syfiii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1

KATA PENGANTAR 2

BAB I PENDAHULUAN 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

A. BIOGRAFI MUHAMMAD IDRIS AS-SYAFI’I 4

B. KECERDASAN IMAM SYAFI’I 8

C. KITAB-KITAB KARANGAN IMAM SYAFI’I 9

D. PERMULAAN MAZHABNYA 13

E. KONSEP PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG 24

EKONOMI ISLAM

F. PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I YANG MASIH RELEVAN 29

PADA MASA SEKARANG

BAB III PENUTUP 34

DAFTAR PUSTAKA 35

1

Page 2: Imam Syfiii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kita dan senantiasa

meridhai amal ibadah kita. Kesejahteraan dan keselamatan semoga

senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur Alhamdulillah

penyusun dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan penuh

tanggung jawab.

Apresiasi para sejarawan dan ahli ekonomi terhadap kemajuan kajian ekonomi Islam sangat

kurang dan bahkan terkesan mengabaikan jasa-jasa ilmuwan muslim. Hal itu terlihat pada buku-

buku sejarah pemikiran ekonomi yang ditulis baik oleh penulis Barat maupun penulis Indonesia.

Buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi tulisan Deliarnov misalnya, sama sekali tidak

memasukkan pemikiran para ekonom muslim di abad pertengahan, padahal sangat banyak

ilmuwan muslim klasik yang memiliki pemikiran ekonomi yang amat maju melampaui ilmuwan-

ilmuwan Barat, sebagaimana yang akan terlihat nanti pada uraian mendatang. Demikian pula

buku sejarah Ekonomi tulisan Schumpeter History of Economics Analysis, dan Sejarah

Pemikiran Ekonomi (terjemahan), tulisan penulis Belanda Zimmerman, sama sekali tidak

memasukkan pemikiran ekonomi para pemikir ekonomi Islam.

Akhirnya penyusun ucapkan terima kasih kepada Allah SWT dan

seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan masalah makalah ini.

Penyusun berharap makalah yang dibuat ini dapat bermanfaat bagi kita

semua. Kritik dan saran pembaca sangat bermanfaat bagi penyusun.

Medan, Juni 2012

Penyusun

2

Page 3: Imam Syfiii

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Agama Islam diturunkan ke dunia ini dalam keadaan sempurna, sehingga tidak ada satu

permasalahanpun yang timbul di dunia ini kecuali harus dipecahkan hukumnya. Allah Swt. telah

menurunkan syari’at-Nya kepada umat manusia melalui nabi Muhammad Saw. yang berupa Al

Qur’an, agar manusia dapat meyakini, menghayati dan mengamalkannya, untuk mencapai

kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.

Boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang penduduknya mayoritas

muslim terbesar di muka bumi. Sebagian besar adalah penganut madzhab Syafi’i, tapi boleh jadi

tidak terlalu banyak yang mengetahui bahwa mereka menganut suatu madzhab yang dibangun

oleh seorang yang sangat besar peranannya dalam merumuskan dan mensistematisasikan

metodologi pemahaman hukum Islam.

Setelah Rasulullah wafat, estafet beliau dalam kepemimpinan dilanjutkan oleh Khulafa al-

Rasyidin. Pada masa-masa tersebut terjadi berbagai masalah yang tidak didapati ketika

Rasulullah Saw masih berada di tengah-tengah mereka. Sehingga meskipun sangat terbatas

muncul ijtihad shahabat yang pada akhirnya diteruskan oleh para generasi-generasi selanjutnya

setelah mereka. Dalam hal ini termasuk Imam Syafi’i yang memberikan alternatif dalam

memahami hukum Islam (Fiqh) melalui nash-nash yang terdapat dalam al-Al Quran, al-Sunnah

maupun Ijma’ shahabat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

2. Rumusan Masalah

Biografi Imam Syafi’i

Masa kehidupan Imam Syafi’i

Karya-karya Imam Syafi’i

Konsep pemikiran Imam Syafi’I tentang Ekonomi Islam

Pemikiran Imam Syafi’i yang masih relevan pada masa sekarang

3

Page 4: Imam Syfiii

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. BIOGRAFI MUHAMMAD IDRIS ASY-SYAFI’I

1. Kelahiran dan Keturuna Imam Syafi’i

Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-

Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab

bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin

Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad. Keturunan

beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari

Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.

Imam Syafi’I dilahirkan di kota Ghazzah dalam Palestina pada bulan Rajab tahun 150

Hijriah. Tarikh inilah yang termahsyur di kalangan ahli sejarah. Adapula yang mengatakan

beliau dilahirkan di Asqalan yaitu sebuah wilayah yang jauhnya dari Ghazzah lebih kurang tiga

kilometer dan tidak jauh juga dari Baitul Maqdis, dan ada juga pendapat yang mengatakan beliau

dilahirkan di negeri Yaman.

Tempat kelahiran beliau ini sebenarnya bukanlah tempat kediaman ayahandanya, karena

tempat kediaman ayahandanya adalah di kota Makkah, daerah Hijaz. Adapun sebabnya beliau

dilahirkan di Guzzah tadi, karena kota itu kebetulan ayahanda dan ibundanya pergi ke sana untuk

keperluan. Tetapi dengan tiba-tiba dan telah ditakdirkan oleh Allah ayahandanya wafat di sana,

sedang keadaan beliau masih dalam kandungan ibunya. Kemudian speninggal ayahandanya lalu

tidak berselang beberapa lama lahirlah beliau dalam keadaan selamat di kampong Ghuzzah itu,

yaitu di tempat kediaman seorang dari familinya. Jadi, sebenarnya Imam Syafi’I itu termasuk

seorang warga Negara Hijaz di kota Makkah.

Keturunan Imam Syafi’I selanjutnya adalah Abu Abdullah bin Idris bin Al-Abbas, Utsman

bin Syafi’I bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu yazid bin hasyim bin Al-Muthalib bin Abdu Manaf.

Beliau adalah dari dari keturunan suku (bani) Hasyim dan Abdul Muthalib. Keturunannya

bertemu dengan p keturunan Rasulullah SAW. Pada datuk Rasulullah, yaitu Abdu Manaf.

Lantaran itu dikatakan juga kepada Imam Syafi’I “Anak bapak saudara Rasul”.

Dengan pertalian tersebut di atas Imam Syafi’I menganggap dirinya dari orang yang dekat

kepada Rasulullah, bahkan beliau dari keturunan “Zawil Kurba” yang berjuang sama dengan

Rasulullah di zaman jahiliyah dan Islam. Mereka bersama dengan Rasulullah juga semasa orang

4

Page 5: Imam Syfiii

Quraisy mengasingkan Rasulullah. Mereka bersama turut menanggung penderitaan bersama-

sama Rasulullah.

Oleh karena itu tidak benar apa yang dianggap oleh setengah dari orang yang mengatakan

bahwa beliau bukan dari keturunan Quraisy bahkan dengan ketuaan saja.

Keluarga Imam Syafi’I adalah dari keluarga Palestina yang miskin dan yang dihalau dari

negerinya. Mereka hidup di dalam perkampungan orang Yaman, tetapi kemuliaan keturunan

beliau adalah menjadi tebusan kepada kemiskinan.

Ibu Imam Syafi’I adalah dari keturunan Al-Azd, pendapat yang mengatakan beliau dari

Quraisy adalah tidak benar. Nama ibunya ialah Fatimah binti Abdullah Al-Azdiyyah.

Semasa muda Imam Syafi’I hidup dalam kemiskinan, ketika belajar senantiasa menderita

kesukaran dan kekurangan untuk membeli alat-alat perlengkapan belajar, seperti kertas, tinta dan

sebagainya. Tetapi lantaran kerajinan beliau dalam menuntut pengetahuan maka tidak

menghalangi beliau dalam mencari jalan untuk mencukupi kebutuhannya.

Beliau sering kali mencari tulang-tulang dan mengumpulkannya dari jalan-jalan, guna

ditulis atasnya buah pelajaran yang diperolehnya dari para gurunya. Lagi pula, beliau kerap kali

datang di kantor-kantor pemerintahan untuk mencari kertas-kertas yang telah dipakai dan telah

dibuang ke dalam keranjang, yang mana kertas-kertas itu dipilihnya, yang kiranya masih dapat

dipergunakan untuk ditulis lalu diambilnya dan dikumpulkannya, kemudian dipergunakan untuk

menuliskan catatan pelajaran yang diperolehnya.

Beliau sampai mengerjakan sedemikian rupa itu, lantaran beliau tidak suka minta-minta

kepada orang lain dan dengan demikian itu beliau tidak merasa hina atau rendah, dan tidak pula

merasa kecil hati, tetapi malah sebaliknya. Karena beliau berpendirian, bahwa jalan demikian

itulah yang dapat menumbuhkan kebahagiaan bagi ilmu pengetahuan. Dan beliau berpendapat,

bahwa kemiskinan itulah yang menyebabkan kemenangan dalam menuntut pengetahuan.

2. Imam Syafi’i Menuntut Ilmu

Imam Syafi’i dapat menghapal Al-Qur’an dengan mudah, yaitu ketika beliau masih kecil

dan beliau menghapal serta menulis hadits-hadits. Beliau sangat tekun mempelajari kaidah-

kaidah dan nahwu bahasa arab. Untuk tujuan itu beliau pernah mengembara ke kampung-

kampung dan tinggal bersama puak (kabilah) “Huzail” lebih kurang sepuluh tahun, lantaran

hendak mempealjari bahasa mereka dan juga adat istiadat mereka.

Kabilah Huzail adalah suatu kabilah yang terkenal sebagai suatu kabilah yang terkenal

sebagai suatu kabilah yang paling baik bahasa Arabnya. Imam Syafi’I banyak menghapal syair-

syair dan qasidah dari kabilah Huzail. Di samping mempelajari ilmu pengatahuan beliau

mempunyai kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah sepuluh

batang panah tanpa melakukan satu kesilapan. Beliau pernah berkata: Cita-citaku adalah dua

perkara: panah dan ilmu, aku berdaya mengenakan target sepuluh dari sepuluh. Mendengar

5

Page 6: Imam Syfiii

percakapan itu orang yang bersamanya berkata: Demi Allah bahwa ilmumu lebih baik dari

memanah.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Imam Syafi’I pada masa mudanya banyak menumpu

tenaganya untuk mempelajari syair, sastra dan sejarah, tetapi Allah menyediakan baginya

beberapa sebab yang mendorong beliau untuk mempelajari ilmu fiqih dan ilmu-ilmu yang

lainnya.

Kita dapati beberapa riwayat yang menerangkan sebab tersebut di atas, antaranya: pada

suatu ketika Imam Syafi’I berjalan-jalan dengan menunggang seekor binatang, beliau masiih

kecil menginjak dewasa itu, bersama-sama beliau seorang juru tulis Abdullah bin Az-Zubairi,

tiba-tiba Imam Syafi’I membaca satu rangakaian syair. Juru tulis itu menyenggol belakang beliau

untuk memberi nasihat katanya: orang yang semacam engkau tidak sesuai membaca syair yang

demikian, karena ia menjatuhkan mururah, serta orang itu bertanya: Dimanakah engkau dengan

ilmu fiqih? Pertanyaan ini sangat berkesan dan memberi kesadaran terhadap Imam Syafi’i.

Oleh karena itu beliau terus mengikuti Muslim bin Khalid Az-Zinji mufti Mekkah untuk

belajar ilmu fiqih darinya. Dari riwayat yang lain pula: Imam Syafi’I menemui Muslim seaktu

dalam perjalanan untuk mempelajari ilmu nahwu bahasa Arab dan sastra. Muslim berkata

kepadanya: Dari manakah engkau? Imam Syafi’I menjawab: Aku dari orang Mekkah. Muslim

bertanya lagi: Di manakah Kahif, Muslim menyambung pertanyaan lagi: Dari Kabilah manakah?

Syafi’i menjawab: Dari kabilah Abdu Manaf. Muslim berkata: Baik, baik sebenarnya Allah telah

memuliakanmu di dunia maupun di akhirat, alangkah baiknya jika kamu gunakan kecerdikanmu

ini untuk mempelajari ilmu fiqih, dan inilah yang lebih tepat untuknya.

Riwayat yang lain pula: Pada suatu ketika Imam Syafi’i sedang mendalami mempelajari

ilmu syair, di waktu itu juga beliau menaiki sebuah bukit di suatu tempat di Mina. Tiba-tiba

beliau mendengar suara dari belakangnya dan menyeru: Pelajarilah ilmu fiqih, lantaran itu beliau

pyn mempelajari ilmu fiqih. Kebanyakan tanggapan mengatakan bahwa riwayat-riwayat di atas

adalah semata-mata khayalan saja, bukan sebenar-benarnya.

Riwayat yang lain pula: Yaitu pada suatu hari Mas’ab bertemu ddengan Imam Syafi’i yang

sedang rajin mempelajari syair nahwu bahasa Arab. Mas’ab bertanya: Untuk apakah ini? Jika

egkau mempelajari fiqih dan hadits tentulah lebih sesuai bagimu. Pada waktu yang lain pula

Mas’ab dan Syafi’I datang menemui Malik bin Anas. Mas’ab meminta Malik mengajar Syafi’I,

oleh karena itu Imam Syafi’I dapat mempelajari ilmu yang banyak dari Malik dan beliau tidak

meninggalkan sedikit pun ilmu yang didapati dari syekh-syekhnya di Madinah.

Imam Syafi’i mengembara ke negeri Iraq untuk mempelajari ilmu dari Muhammad Al-

Hasan. Sedang beberapa tahun kemudian Mas’ab dan Imam Syafi’I datang ke Mekkah. Mas’ab

menceritakan perihal Imam Syafi’I kepada Ibnu Daud, lalu dihadiahkan kepadanya sebanyak

sepuluh ribu dirham.

Inila antara empat riwayat lain atau kisah yang menceritakan tentang sebab-sebab yang

mengubahnya tumpuan Imam Syafi’I dari memepelajari bahasa dan sastra sampai mempelajari

6

Page 7: Imam Syfiii

ilmu fiqih dan sejarah. Tidak mustahil semua riwayat itu harus berlaku walaupun pada lahirnya

satu daripadanya saja yang berlaku. Walau bagaimana pun juga semua riwayat tersebut

menerangkan kepada kita tentang asal usulnya.

3. Imam Syafi’i Bekerja

Pada masa remaja Imam Syafi’I merasakan beliau telah mendapat ilmu dengan sekedar

mencukupi, oleh karena itu beliau bercita-cita hendak bekerja untuk mencari nafkah hidupnya

karena beliau adalah seorang yang miskin.

Cita-cita ini timbul setalah Imam Malik meninggal dunia. Dengan secara kebetulan,

seorang gubernur Yaman datang melawat Hijaaz. Beberapa orang dari Quraisy memberitahukan

kepada guberbur itu supaya mengambil Imam Syafi’I untuk bekerja di negeri Yaman.

Permintaan tersebut diteima, oleh karena itu Imam Syafi’I menyewa sebuah bilik untuk

keperluan dirinya. Kemudian beliau memegang jabatan di “Najran”. Keadilan dan kejujuran

Imam Syafi’I diketahui oleh banyak orang. Banyak dari penduduk Najran yang mencoba

mengusir kedudukan beliau, tetapi mereka tidak berhasil. Imam Syafi’I berkata: Apabila

gubernur datangg kepada mereka, mereka mencari muak mencoba membuat sedemikian dengan

ku, tetapi mereka gagal.

Suatu peristiwa telah terjadi, yaitu sepuluh orang dari penduduk Umawiyyin yang tinggal

di Yaman keluar membantah pelantikan khalifah. Imam Syafi’I dituduh mendukung bersama

mereka itu, oleh karena itu maka Harun Ar-Rasyid memerintahkan supaya mereka dibawa ke

hadapannya. Ketika mereka sampai, Ar-Rasyid memerintahkan supaya dipukul tengkuk-tengkuk

mereka itu. Ketika sampai kepada giliran Imam Syafi’I beliau berkata kepada khalifah Ar-

Rasyid: Perlahankanlah sedikit wahai Amirul mukminin, tuan adalah penjemput dan aku ornag

yang dijeput sudah tentu tuan berkuasa berbuat apa saja tuan sukai tetapi aku tidak berkuasa

berbuat yang sedemikian.

Wahai Amirul Mukminin, apakah pendapat tuan tentang dua orang manusia? Satu dari

mereka menganggap aku sebagai saudaranya sementara yang satu lagi memandangnya aku

sebagai hambanya, yang manakah lebih dikasihi? Kkhalifar Ar-Rasyid menjawab: Sudah tentu

orang yang memandangmu sebagai sudaranya. Imam Syafi’I berkata: Engkau pun sedemikian

wahai Amirul Mukminin. Khalifah bertanya: Kenapakah demikian? Imam Syafi’I menjawab:

Wahai Amirul Mukminin engkau adalah anak dari Al-Mutthalib, kamu anak-anak Al-Abbas

memandang kepada kami saudara kamu, sementara mereka (Umawiyyin) memandang kepada

kita sebagai hamba mereka, lantaran itu Ar-Rasyid merasa lapang dada dan berkata: Wahai anak

Idris, bagaimanakah ilmu engkau tentang Al-Qur’an? Imam Syafi’I bertanya: Ilmu Al-Qur;an

manakah yang tuan maksudkan? Tentang hafal, aku telah menghafalnya serta aku telah

memperlajarinya, aku mengetahui di mana tempat pemberhentian dan di mana pula permulaan

dan aku tahu juga mana yang pembatal (nasikh) dan mana yang dibatalkan (mansukh) yang mana

yang gelap dan mana yang terang, serta kecaman dan kelembutan, dan aku mengetahui juga

7

Page 8: Imam Syfiii

percakapan yang ditujukan kepada ‘am tetapi maksudnya kepada khas, dan sebaliknya

percakapan yang ditujukan kepada khas tetapi maksudnya ‘am.

Khalifar Harun ar-rasyid bertanya lagi: bagaimanakah pula ilmu tentang bintang-bintang?

Syafi’I berkata: Antaranya bintang darat, bintang laut, bintang tanah rata, bintang bukit, bintang

fallak dan bintang mabah, seterusnya bintang yang wajib diketahui.

Khalifah Ar-Rasyid bertanya lagi: Bagaimana pula pengatahuanmu yang berkaitan dengan

keturunan Arab? Syafi’I menjawab: Di antaranya keturunan yang mulia dan keturunan yang

tidak baik, serta aku mengtahui susunan keturunanku dan keturuna Amirul Mukminin, khalifah

Ar-Rasyid berkata: Dengan apakah engakau menasihatkan Amirul Mukminin? Lalu Imam

Syafi’I memberikan suatu nasihat yang sangat mngesankan yaitu nasihat Tawus Al-Yamani.

Mendengar nasihat itu Ar-Rasyid lalu menangis, lalu diperintahkan supaya memberikan kepada

Imam Syafi’I harta yang banyak serta diberi juga hadiah-hadiah yang berharga.

Jika riwayat ini telah diketahui oleh orang banyak yakin dan sah, maka ia adalah suat dalil

tentang kepintaran akal Imam Syafi’I untuk melepaskan dirinya dari azab dan juga sebagai dallil

tentang keluasan dan ketinggian ilmu pengetahuannya di sudut yang lain pula. Dengan berbagai

sebab dan pertolongan Imam Syafi’I berdaya membentuk ilmu pengetahuan yang tinggi,

sehingga ilmu dan ajarannya berkembang dengan baik. Di antaranya ialah keadaan alam di

sekitar. Oleh karena alam sekitarnya disertakan pula oleh kerajinannya membaca buku-buku

yang ada kaitan dengan ilmunya.

Pengembaraan beliau dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu negeri ke negeri

lain juga membantu beliau mempertinggi dan mendalami ilmu yang dipelajarinya. Beliau pernah

mengembara ke negeri Yaman ke kota Kufah, Basrah, Mekkah, Baghdad dan Mesir. Di antara

sebab yang lain pula adalah dengan melalui pembahasan-pembahasan dan pertukaran pikiran

dengan ulama-ulama seperti ulama mutakallimin, ulama falsafah, ulama fiqih ulama hadits dan

lain-lain dan termasuk juga kajian atau memperhatikan individu.

Itulah diantara faktor atau sebab yang menambah ilmu pengetahuan Imam Syafi’I lebih

tinggi dan ia adalah suatu perkara yang sangat penting. Justru itu Imam Syafi’I berkata: Barang

siapa yang mempelajari Al-Qur’an maka tinggilah ilmunya, barang siapa menulis hadits, kuat

dan kukuhlah hujjahnya, siapa yang berbincang tentang hukum-hukum fiqih maka ia akan

menjadi bijak, barang siapa mengambil berat tentang adab dan budi pekerti maka budi bahasanya

menjadi lembut dan halus. Barang siapa memikirkan tentang ilmu kira-kira (hisab) akalnya

berkembang dan siapa yang tidak menjaga kehormatan darinya ilmunya tidak memberi suatu

faedah.

8

Page 9: Imam Syfiii

B. KECEDASAN IMAM SYAFI’I

Di bawah ini adalah beberapa riwayat yang menunjukkan kecerdasan Imam Asy-Syafi’i

rahimahullah yang sangat di sanjung oleh para ulama yang lainnya.

Dari Ubaid bin Muhammad bin Khalaf Al-Bazzar, dia berkata, “Ketika Abu Tsaur ditanya

tentang siapa yang lebih pandai antara Imam Asy-Syafi’i dan Muhammad bin Al-Hasan, maka ia

menjawab bahwa Imam Asy-Syafi’i lebih pandai dari pada Muhammad, Abu Yusuf, Abu

Hanifah, Hammad, Ibrahim, Al-Qamah dan Al-Aswad.

Ahmad bin Yahya memberitahukan bahwa Al-Humaidi berkata, “Aku telah mendengar dari

Sayyid Al-Fuqaha’, yaitu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”

Sedang Ar-Rabi’ berkata, “Aku pernah mendengar Al-Humaidi dari Muslim bin Khalid, ia

berkata kepada Imam Asy-Syafi’i, ‘Wahai Abu Abdillah, berfatwalah. Aku bersumpah demi

Allah, sesungguhnya kamu sekarang sudah berhak mengeluarkan fatwa.’ Padahal Imam Asy-

Syafi’i pada saat itu baru berusia lima belas tahun.”

Dari Harmalah bin Yahya, ia berkata, “Aku telah mendengar Imam Asy-Syafi’i ditanya

tentang seorang suami yang berkata kepada isterinya yang pada saat itu dimulutnya terdapat

sebiji kurma, ‘Jika kamu makan korma itu, maka kamu aku talak (cerai), dan apabila kamu

memuntahkannya, maka kamu juga aku talak (cerai),’ maka Imam Syafi’i menjawab, ‘Makan

separuh dan muntahkanlah separuhnya.’”

Al-Muzni berkata, “Ketika Imam Asy-Syafi’i ditanya tentang burung unta yang menelan

mutiara milik orang lain, maka dia menjawab, ‘Aku tidak menyuruhnya untuk menelannya.

Kalau pemilik mutiara ingin mengambil mutiara itu, maka sembelih dan keluarkan mutiara itu

dari perutnya, lalu dia harus menebus burung unta tersebut dengan harga antara burung itu hidup

dan sudah disembelih.’”

Ma’mar bin Syu’aib berkata, “Aku mendengar Amirul Mukminin Al-Makmun bertanya

kepada Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, ia berkata, ‘Wahai Muhammad, apa illat-nya Allah

menciptakan lalat?’”

Mendengar pertanyaan itu, Imam Asy-Syafi’i terdiam sesaat, lalu dia menjawab, ‘Wahai

Amirul Mukminin, lalat itu diciptakan untuk menghinakan para raja.’

Dengan seketika, Al-Makmun tertawa terbahak-bahak. Lalu ia berkata, ‘Wahai Muhammad, aku

telah melihat lalat jatuh ketika ada di pipiku.’ Sehingga Imam Asy-Syafi’i membalasnya dengan

berkata, ‘Benar tuanku. Sebenarnya ketika tuanku menanyakan hal tersebut kepadaku, aku tidak

mempunyai jawabannya. Ketika aku melihat lalat itu jatuh tanpa ada suatu sebab dari pipi tuanku

9

Page 10: Imam Syfiii

tersebut, maka aku baru menemukan jawabannya.” Kemudian AL-Makmun berkata, “Wahai

Muhammad, segalanya adalah kekuasaan Allah.”

Ibrahim bin Abi Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi

tentang Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Abu Ubaid dan Ibnu Rahawaih, maka dia menjawab,

‘Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang paling cerdas di antara mereka semua.’”

Ar-Rabi’ berkata, “Pada suatu hari ketika aku sedang bersama Imam Asy-Syafi’i, seseorang

datang dan bertanya, ‘Wahai guru, apa pendapatmu tentang orang yang sedang bersumpah,

‘Apabila dalam sakuku terdapat ‘banyak uang dirham’ lebih dari tiga dirham, maka budakku

merdeka. ‘Sedangkan dalam saku orang yang bersumpah tesebut hanya terdapat uang sebanyak

empat dirham saja. Apakah orang itu harus memerdekakan budaknya?’ maka dia menjawab, ‘Ia

tidak wajib memerdekakan budaknya.’”

Ketika penanya minta penjelasan lebih lanjut, maka Imam Asy-Syafi’i berkata, ‘Orang

tersebut telah mengecualikan sumpahnya dengan ‘banyak dirham’, sedangkan empat dirham itu

mempunyai kelebihan satu dari tiga dirham yang disumpahkan. Satu dirham bukanlah ‘banyak

dirham’ sebagaimana yang dimaksudkan dalam sumpahnya.’

Mendengar penjelasan ini, maka penanya kemudian berkata, ‘Aku beriman kepada Zat yang

telah memberikan ilmu melalui lisanmu.’”

C. KITAB-KITAB KARANGAN IMAM SYAFI’I

Imam Syafi’I selain seorang alim ahli mengajar dan ahli mendidik, pula sebagai pengarang

syair dan sajak, juga beliau adalah seorang pengrang kitab-kitab yang bermutu tinggi dan sangat

berguna besar bagi dunia Islam.

Adapun kitab-kitab karangan Imam Syafi’I itu adalah terbagi dua bagian. Pertama, yang

diajarkan dan didiktekan kepada murid beliau ketika di Iraq (Baghdad). Pengajaran itu lalu

disusun dan dihimpun menjadi kitab, dan kitabnya itu dikenal orang dengan “mazhab Syafi’iy

qadim”. Kedua yang diajarkan dan didiktekan kepada murid beliau ketika di Mesir, pengajaran

itu lalu disusun dan dihimpun menjadi kitab pula, dan kitabnya lalu dikenal orang dengan

“mazhab Syafi’iy jadid”. Oleh sebab itu maka hingga kini mazhab Imsm Syafi’iy masih dikenal

orang di seluruh dunia Islam, dengan “mazhab atau qaul Syafi’I qadim” dan “mazhab atau qaul

Syafi’iy jadid”.

Ada pun kitab-kitab karangan beliau menurut riwayat yang hingga sekarang ini masih

tercatat, adalah sebagai berikut:

1. Kitab “Ar-Risalah”. Kitab ini khusus berisi ilmu ushul fiqih. Menurut riwayat, beliau

mengarang kitab ini di kala masih agak muda. Sebabnya beliau mengarang kitab ini

10

Page 11: Imam Syfiii

karena diminta oleh Abdur Rahman bin Mahdy, seorang Imam ahli hadits yang

terkemuka di masanya, bahwa beliau supaya merencanakan buah karangan kitab yang

membicarakan tentang “ushul fiqih”. Dengan permintaan ini, beliau lalu mengarang

kitab “Ar-Risalah” ini, dan kitab inilah permulaan kitab “ushul fiqih”. Jadi beliaulah

orang yang pertama mengarang kitab tentang “ushul fiqih”. Imam Abdur Rahman bin

Mahdy dan Imam Yahya bin Said, setalah melihat dan menthala’ah kitab “Ar-Risalah”

ini sangat kagum dan heran memperhatikan isinya.

Dalam kitab inilah Imam Syafi’I mengarang dengan jelas tentang cara-cara yang

beristimbath, mengambil hukum-hukum dari al-Qur’an dan dari Sunnah, dan cara-cara

orang beristidlal dari ijma’ dan qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Imam Ar Rabi’ bin

Sulaiman Al-Murady. Kitab ini hingga kini masih dapat diketahui dan dipelajari isinya,

karena masih tersiar di seluruh dunia Islam. Bagi para ulama yang hendak mengetahui

ilmu ushul fiqih Imam Syafi’I yang sebenarnya, cukuplah mempelajari isi kitab “Ar

Risalah” ini dengan arti kata yang sesungguhnya.

2. Kitab “Al-Umm”. Kitab ini ialah satu-satunya kitab besar, yang direncanakan dan

disusun oleh Imam Syafi’I dan kitab inilah sepanjang riwayat sebuah kitab fiqih yang

besar yang tidak ada bandingannya pada masa itu. Isi kitab ini menunjukkan kealiman

dan kepandaian Imam Syafi’I tentang ilmu fiqh, karena susuna kalimatnya tinggi dan

indah, ibaratnya halus dan tahan uji kalau dipergunakan untuk bertukar pikiran bagi

para ahli pikir yang ahli fiqih. Teaptlah kalau kitab ini dinamakan “Al-Umm”, yaitu

“Ibu” bagi anak-anak yang sebenarnya.

Tentang soal-soal pengetahuan fiqih dalam kitab “Al-Umm” ini cukup diperbincangkan

dan dibahas dengan dalil-dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun dari sunnah dan Hadits;

dan baik dari ijma’ maupun dari qiyas. Dan kitab “Al-Umm” ini diriwayatkan juga oleh

Imam Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Murady, dan hingga kini masih dapat diketahui dan

dipelajari isinya, karena masih tersiar di seluruh Negara-negara Islam.

Cetakan yang paling baru dari kitab “Al-Umm” ini menjadi tujuh jilid besar serta tebal,

atas biaya almarhum Ahmad Bek Al Husaini di Mesir. Bagi para ulama yang hendak

mengikut akan mazhab Imam Syafi’I yang sebenarnya amat kecewa sekali jika tidak

mempelajari dan memperlihatkan isi kitab “Al-Umm” ini.

Dalam kitab “Al-Umm” cetakan baru ini termasuk juga kitab-kitab karangan Imam

Syafi’I yang lain, seperti:

a. Kitab “Jami’ul Ilmi”. Kitab ini berisi pembelaan Imam Syafi’I terhadap sunnah

Nabi SAW.

b. Kitab “Ibthalul Istihsan”. Kitab ini berasal tangkisan Imam Syafi’I kepada para

ulama ahli Iraq (Baghdad), yang mereka itu sebagian suka mengambil hukum

dengan cara istihsan.

11

Page 12: Imam Syfiii

c. Kitab “Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan”. Kitab ini melulu berisi pertahanan

Imam Syafi’I terhadap serangan Imam Muhammad bin Hasan kepada para ahli

Madinah.

d. Kitab “Siyarul-Ausa’y”. kitab ini melulu berisi pembelaan Imam Syafi’I terhadap

Imam Ausa’y. beliau ini seorang alim besar ahli hadits dan termasuk daripada Imam

besar di masa sebelum Imam Syafi’I dilahirkan. Beliau ini dilahirkan pada tahun 88

dan wafat pada tahun 150 Hijriah.

3. Kitab “Ikhtilaful-Hadits”. Inilah satu-satunya kitab yang disusun oleh Imam Syafi’I,

yang didalamnya penuh dengan keterangan dan penjelasan beliau tentang perselisihan

hadits-hadits Nabi SAW. Maka bagi para ulama ahli hadits baik sekali mengatahui dan

menthala’ah kitab ini.

4. Kitab “Al-Musnad”. Kitab ini adalah sebuah kitab yang istimewa berisi sandaran

(sanad) Imam Syafi’I dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi SAW, yang beliau

himpun dalam kitab “Al-Umm”. Bagi para ulama yang hendak mengatahui siapa-siapa

sanad Imam Syafi’I dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi SAW, hendaklah membaca

dan memperhatikan isi kitab ini.

Inilah kitab-kitab karangan yang mulia Imam Syafi’I yang hingga sekarang ini masih dapat

diketahui dan dipelajari isinya. Adapun kitab-kitab lainnya, menurut riwayat adalah seperti

dibawah ini:

1. Kitab “Al-Fiqih”,yang diriwayatkan dan disusun oleh Imam Al-Haramain bin Yahya dari

Imam Syafi’I dengan jalan imla’ (dikte)

2. Kitab “Al-Mukhtasharul-Kabir” dan “Al-Mukhtasharush-Shaghir” dan “Al-Faraidh”,

yang semuanya itu dihumpun dan disusun oleh Imam Al-Buwaithy dari Imam Syafi’i.

3. Kitab “Al-Mukhtasharul Kabir” dan “Al-Mukhtasharus-Shaghir” serta dua kitab lainnya

yang bernama “Al-Jami’u-Kabir” dan “Al-Jami’ush-Shaghir”, yang semuanya itu

dihimpun oleh Imam Al- Muzanni dari Imam Syafi’i.

4. Dan lain-lain kitab dari kitab tafsir, kitab adab dan beberapa risalah yang belum kita

ketahui nama-namanya, karena mungkin belum dicetak kembali.

Diriwayatkan, bahwa yang mulia Imam Syafi’I di kala mengarang dan menyusun

karangannya, jarang sekali beliau makan kenyang dan tidur pulas, sebagaimana kata ar-Rabi’ bin

Sulaiman berkata:”Tidak aku melihat Imam Syafi’I makan di waktu siang hari dan tidur di

malam hari, di kala beliau mengarang kitab-kitab dan menyusunnya, karena dari penuh

perhatiannya terhadap karangan-karangan yang tengah direncanakannya.

Menurut Encyclopaedia of Islam, as-Syafi’I dapat digambarkan sebagai seorang

penimbang yang baik sehingga menjadi penengah antara peneliti data hukum yang beraliran

bebas dan ahli hadits . Ia tidak saja menelaah data hukum yang ada, tetapi di dalam Risalahnya ia

12

Page 13: Imam Syfiii

juga menyelidiki prinsip dan metode fiqih . Ia dianggap sebagai pendiri Ushul al-Fiqh. Berbeda

dengan kaum Hanafi, ia mencoba meletakkan aturan-aturan umum Qiyas, namun ia menyentuh

Istihsan.

Prinsip Ishtibah tampaknya diperkenalkan untuk pertama kali oleh angkatan Syafi’I yang

lebih muda. Dalam as-Syafi’I dapat dibedakan dua era kreatif, yaitu era awal (Irak), dan era

belakangan (Mesir).

Dalam karya tulisnya ia memanfaatkan dialog dengan baik. Ia menguraikan prinsip-prinsip

Fiqh dalam Ar-Risalah, dan mencoba menjembatani Fiqh Hanafi dan Maliki. Himpunan tulisan

dan ceramahnya di Kitabul Umm merupakan bukti kecendikawannya.

Ia memusatkan kegiatannya di Baghdad dan Cairo. Di atas segalanya ia menaati Qur’an,

kemudian Sunnah. Hadits yang paling Shahih diberikannya pertimbangan yang sama seperti

Qur’an. Ia termahsyur di antara para ahli hadits, dan penduduk Baghdad menamakannya Nazir-

us-Sunnah (eksponen Hadits).

Dalam diri Imam Syafi’I tergabung keahlian prinsip-prinsip Fiqh Islam dan penggunaan

bahasa rakyat Hejaz dan Mesir yang lancer, sehingga ia tidak tertandingi dalam percakapan

maupun tulisan. Karya tulisannya lebih baik dan penulis Arab yang terbaik pada masanya,

termasuk Jahiz.

Ajaran Imam Syafi’I meluas dari Baghdad dan Cairo sampai ke seluruh Mesir, Irak dan

Hejaz. Muridnya yang terkemuka adalah al-Muzani, al-Buwaiti, al-Rabib Sulaiman, al-Maradi,

al-Zafarani Abu Thawi, al-Humaidi, Ahmad ibn Hanbal dan al-Karabisi.

Pada abad ketiga dan keempat, penganut kaum Syafi’I semakin banyak di Baghdad dan

Cairo. Pada abad keempat, Mekkah dan Medina menjadi pusat ajaran Syafi’I, di sampaing Mesir.

Di bawah Sultan Salahuddin Ayyubi, mazhab Syafi’I menjadi paling utama. Tetapi Sultan

Baibars mengakui juga mazhab fiqih yang lain, dan mengangkat para hakim dari keempat

Mazhab yang ada.

Sebelum kekuasaan Ottoman, kaum Syafi’I paling unggul di pusat wilayah Islam. Selama

awal abad ke-16 M, Ottoman mengganti Syafi’I dengan Hanafi. Walau begitu, ajaran Syafi’I

tetap unggul di Mesir, Suriah, Hejaz dan masih banyak dipelajai di Universitas al-Azhar, Cairo.

Fiqh Syafii masih banyak dianut oleh Muslimin di Arab Selatan, Bahrain, Kepulauan Melayu,

sebagian Afrika Timur dan Asia Tengah.

Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih

dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu

tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat beliau digelari Nasuru

Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan

yang sangat tinggi. Selain kedua sumber (Al-Qur’an dan Hadis), dalam mengambil suatu

ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai

dasar hukum Islam, beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H/820 M.

13

Page 14: Imam Syfiii

Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I mengatakan bahwa Imam Syafi’I telah

menghasilkan sekitar 140-an kitab, baik dalam Ushul maupun Furu’. Di antara karangannya

adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab

fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul.

Beliau mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Karyanya yang lain adalah As-

Sunan al-Ma’tsurah, al-Fiqh al-Akbar, Al-Musnad, ikhtilaf al-hadits dan Jima’ul Ilmi.

D. PERMULAAN MAZHABNYA

Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat

dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pembentukan

Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H.

Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan

pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’

Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang begini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan “Nasir Al-

Hadith”.

Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halqah)

di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah

dibahagikan kepada tiga peringkat :-

1. Peringkat Makkah (186 – 195H)

2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)

3. Peringkat Mesir (199 – 204H)

Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut yang telah

menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.

Penulisan Pertamanya

Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-

Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah

dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai

kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan

pulangnya semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di tempat

mana beliau mulakan usaha penulisannya.

Apa yang kita temui – sesudah kita menyImak beberapa buah kitab lama dan baru yang

menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahawa kitabnya “Al-

Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam

Ilmu Usul, pun keterangan ini tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil

14

Page 15: Imam Syfiii

penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di

samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana

beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau

menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa

beliau menulisnya ketika berada di Iraq.

Kata Ahad Muhammad Shakir,”Al-Syafi’i yang telah mengarang bebrapa buah kitab yang

jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada

orang ramai. Sebahagiannya pula beliau merencanakannya saja kepada para sahabatnya. Untuk

mengira bilangan kitab-kitabnya itu memanglah sukar karena sebahagian besarnya telah pun

hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau di Makka, di Baghdad dan

Mesir.”

Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita membuat

satu kesimpulan bahwa asy-Syafi’i telah memulakan siri penulisannya sewaktu beliau di Makkah

lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “ar-Risalah”.

Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab Qadim

Di samping “ar-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para

ulama sebagai sebuah kitab yang mengandung fatwa mazhab Qadimnya yaitu “al-Hujjah”. Pun

keterangan mengenai kitab ini tidak menunjukkah bahwa ia adalah kitab pertama yang ditulis di

dalam bidang ilmu Fiqh semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu

jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkan sewaktu beliau berpindah ke Negara

itu pada kali keduanya, yaitu di antara tahun 195-197 H.

Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam ilmu Fiqah yang

beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di

Iraq, antara seperti kitab-kitab berikut:

1. Al-Amali

2. Majma’ al-Kafi

3. ‘Uyun al-Muhit

4. Al-Bahr al-Muhit

5. Kitab al-Sunan

6. Kitab al-Thaharah

7. Kitab al-Shalat

8. Kitab al-Zakat

9. Kitab al-Shiam

10. Kitab al-Haj

15

Page 16: Imam Syfiii

11. Kitab al-I’tikaf

12. Kitab al-Buyu’

13. Kitab al-Rahn

14. Kitab al-Ijarah

15. Kitab al-Nikah

16. Kitab al-Thalaq

17. Kitabal-Sadaq

18. Kitab al-Zihar

19. Kitab al-Ila’

20. Kitab al-Li’an

21. Kitab al-Jiharat

22. Kitab al-Hudud

23. Kitab al-Siyar

24. Kitab al-Qadaya ahl al-Baghyi

25. Kitab al-‘Itq dan lain-lain

Setengah perawi pula telah menyebut bahwa kitab pertama yang dihasilkan oleh asy-Syafi’i

adalah di dalam bentuk jawaban dan perdebatan yaitu satu penulisan yang dituju khas kepada

fuqaha ahl al-Ra’y sebagai menjawa kecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan Fuqaha

Madinah. Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat al-Buwaiti:”Kata asy-Syafi’i :

Ashab al-Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka telah

meminta saya menulis satu jawaban terhadap kitab Abu Hanifah. Saya menjawab bahwa saya

belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab

mereka. Lantas saya meminta supaya disalinkan kitab-kitab itu. Lalu disalin kitab-kitab

Muhammad bin Al-Hasan untuk (bacaaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga

saya dapat menghafazkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di Baghdad.

Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yang dihasilkan oleh

asy-Syafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawaban dan perdebatan, dan

cara penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahwa

masa penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan kitab “Ar-Risalah”, yaitu di antara tahun-

tahun 184-186 H.

Metode Penulisan Kitab-kitab Qadim

Berhubung dengan metode penulisan kitab “al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat kita

pastikan dengan yakin karena sikap asalnya tiada kita temui, kemungkinan masih lagi ada

nasakah asalnya dan kemungkinan juga ia sudah hilang atau rusak dimakan zaman. Walau

bagaimanapun ia tidak terkeluar ini hanya satu kemungkinan saja dari metode penulisan

16

Page 17: Imam Syfiii

zamannya yang dipengaruhi dengan aliran pertentangan mazhab-mazha beliau dengan Mazhab

Hanafi dan juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat dalam penulisan kitab “Al-Umm”

yang pada asalnya adalah kumpulan dari beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu

masing-masing membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepada

bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri. Di dalam setiap bab ini

dimuatkan dengan segala macam masalah fiqh yang tunduk kepada tajuk besar ialah tajuk bagi

sesuatu kitab, umpamanya kitab “al-Thaharah”, ia mengandungi tiga puluh tajuk bab kecil, ke

semua kandungan bab-bab itu ada kaitannya dengan Kitab “al-Thaharah”.

Perawi Mazhab Qadim

Ramai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, di antara mereka

yang termahsyur hanya mpat orang saja:

Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240 H.

Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun 260 H.

Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245 H.

Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241 H.

Menurut Al-Asnawi, asy-Syafi’i adalah ulam pertama yang hasil penulisannya meliputi

banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.

Perombakan Semula Kitab-kitab Qadim

Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199 H menyebabkan berlakunya satu rombakan

besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpuncak dari penemuan beliau dengan

dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau karena beliau mendapati hadits-hadits

yang shahih yang tidak sampai ke pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya

atau karena hadits-hadits itu terbukti shahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudah

keshahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan karena itu beliau telah menolak

sebagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada prinsipnya:”Apabila ditemui sebuah

hadits yang shahih maka itulah Mazhab saya.”

Di dalam kitab “Mnaqib Al-Shafi’i”, al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapa buah

kitab lama (Mazhab Qadim) yang disimak semula oleh al-Syafi’i dan diubah sebagian fatwanya

diantara kitab-kitab itu ialah:

1. Ar-Risalah

2. Kitab al-Shiyam

3. Kitab al-Sadaq

4. Kitab al-Hudud

17

Page 18: Imam Syfiii

5. Kitab alRahn al-Saghir

6. Kitab al-Ijarah

7. Kitab al-Jana’iz

Menurut al-Baihaqi lagi al-Syafi’i tela menyuruh supaya dibakar kitabkitab lamanya yang

mana fatwa ijtihadnya telah diubah. Catatan al-baihaqi itu menujukkan bahwa al-Syafi’i

melarang para sahabatnya meriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolah kepada orang

ramai. Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk di sana-sini di

dalam kitab-kitab fuqaha mazhabnya sama kitab-kitab yang ditulis fuqaha yang terdahulu atau

pun fuqaha yang terkemudian.

Kemungkinan hal ini berlaku dengan karena kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh

al-Za’farani, al-Karabisi dan lain-lai sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui umum,

terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapat-pendapatnya itu tidak

mengetahui larangan beliau itu.

Para fuqaha itu bukan saja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam penulisan

mereka malah menurt al-Nawawi ada di antara mereka yang berani mentarjihkan pendapat-

pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokong oleh hadits-hadits yang shahih.

Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendaki asy-Syafi’i, malahan

itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya:”Apabila ditemui sebuah hadits

yang shahih maka itu;ah mazhab saya.”

Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadits yang shahih kita

akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha mazhab asy-Syafi’i. Pertama pendapat itu harus

dipilih dan digunkan oleh seseorang mujtahid mazhab asy-Syafi’i atas dasar ia adalah pendapat

asy-Syafi’i yang tidak dimansuhkan oelhnya, karena seseoang mujtahid (seperti asy-Syafi’i)

apabila ia mengeluarkan pendapat barunya bercanggah dengan pendapat lamanya tidaklah berarti

bahwa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam masalag itu dianggap mempunyai

dua pendapat pertamanya bahkan di dalam masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.

Kedua, tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha mazhab asy-

Syafi’i karena pendapat lama dan baru adalah dua pendapatnya yang bertentangan yang mustahil

dapat diselaraskan kedua-duanya.

18

Page 19: Imam Syfiii

Kitab-kitab Mazhab Jadid

Di antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau

merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah:

i. Ar-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpindah ke

Mesir.

ii. Beberapa buah kitab di dalam hokum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab

“Al-Umm”, seperti:

a) Di dalam bab Thaharah:

1. Kitab al-Wudu’

2. Kitab al-Tayamum

3. Kitab al-Thaharah

4. Kitab Masalah al-Mani

5. Kitab al-Haid

b) Di dalam bab Shalat:

6. Kitab Istiqbal al-Qiblah

7. Kitab al-Imamah

8. Kitab al-Jum’ah

9. Kitab Shalat al-Khauf

10. Kitab Shalat al-‘Aidain

11. Kitab al-Khusuf

12. Kitab al-Istisqa

13. Kitab Shalat al-Tatawu’

14. Al-Hukm fi Trik al-Shalat

15. Kitab al-Jana’iz

16. Kitab Ghasl al-Mayyit

c) Di dalam bab Zakat:

17. Kitab al-Zakah

18. Kitab Zakat Mal al-Yatim

19. Kitab Zakat al-Fitr

20. Kitab Fard al-Zakah

19

Page 20: Imam Syfiii

21. Kitab Qasm al-Sadaqat

d) Di dalam bab Shiyam (Puasa)

22. Kitab al-Shiyam al-Kabir

23. Kitab Saum al-Tatawu’

24. Kitab al-I’tikaf

e) Di dalam bab Haji:

25. Kitab al-Manasik al-Kabir

26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir

27. Mukhtasar al-haj al-Shaghir

f) Di dalam bab Mu’amalat:

28. Kitab al-Buyu’

29. Kitab al-Sarf

30. Kitab al-Salam

31. Kitab al-Rahn al-kabir

32. Kitab al-Rahn al-Shaghir

33. Kitab al-Taflis

34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Shaghir

35. Kitab al-Sulh

36. Kitab al-Istihqaq

37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah

38. Kitab al-Himalah wa Wakalah wa al-Sharikah

39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib

40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir

20

Page 21: Imam Syfiii

41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi

42. Kitab al-‘Ariah

43. Kitab al-Ghasb

44. Kitab al-Shaf’ah

g) Di dalam bab Ijarat (sewa-menyewa):

45. Kitab al-Ijarah

46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah

47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat

48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir

49. Kitab Kara’ al-Ard

50. Kara’ al-Dawab

51. Kitab al-Muzara’ah

52. Kitab al-Musaqah

53. Kitab al-Qirad

54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat

h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah)

55. Kitab al-Mawahib

56.Kitab al-Ahbas

57. Kitab al-“umra wa al-Ruqba

i) Di dalam bab Wasaya (wasiat):

58. Kitab al-Wasiat li al- Warith

59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq

60. Kitab Taghyir al-Wasiah

21

Page 22: Imam Syfiii

61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al Mayyit

62. Kitab Wasiyat al-Hamil

j) Di dalam bab Faraidh dan lain-lain:

63. Kitab al-Mawarith

64. Kitab al-Wadi’ah

65. Kitab al-Luqhatah

66. Kitab al-Laqit

k) Di dalam bab Nikah:

67. Kitab al-Tara’id bi al-Khitbah

68. Kitab Tahrim al-Jam’i

69. Kitab al-Shighar

70. Kitab al-Sadaq

71. Kitab al-Walimah

72. Kitab al-Qism

73. Kitab Ibarah al-Thalaq

74. kitab al-Raj’ah

75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz

76. Kitab al-Ila’

77. Kitab al-Zihar

78. Kitab al-Li’an

79. Kitab al-‘Adad

80. Kitab al-Istibra’

81. Kitab al-Rada’

22

Page 23: Imam Syfiii

82. Kitab al-Nafaqat

l) Di dalam bab Jirah (Jenazah):

83. Kitab Jirah al-‘Amd

84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat

85. Kitab Istidam al-Safinatain

86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin

87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad

88. Khata’ al-Tabib

89. Jinayat al-Mu’allim

90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam

91. Kitab al-Qasamah

92. Saul al-Fuhl

m) Di dalam bab Hudud:

93. Kitab al-Hudud

94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah

95. Qutta’ al-Tariq

96.Sifat al-Nafy

97. Kitab al-Murtad al-Kabir

98. Kitab al-Murtad al-Shaghir

99. Al-HUkm fi al-Sahir

100. Kitab Qital ahl al-Baghy

n) Di dalam bab Siar dan Jihad:

101. Kitab al-Jizyah

23

Page 24: Imam Syfiii

102. Kitab al-rad ‘ala Siyar al-Auza’i

103. Kitab al-Rad ‘ala Siayr al-Waqidi

104. Kitab Qital al-Mushrikin

105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul

106. Kitab Al-Sabq wa al-Ramy

107. kitab Qasm al-fai’ wa al-Ghanimah

o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan):

108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab

109. Kitab al-Dahaya al-Kabir

110. Kitab al-Dahaya al-Shaghir

111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih

112. Kitab Dhabaih Bani Israil

113. Kitab al-Ashribah

p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman):

114. Kitab Adab al-Qadi

115. Kitab al-Shadat

116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid

117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat

118. Kitab al-Aqdiah

119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur

q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain:

120. Kitab al-‘Itq

121. Kitab al-Qur’ah

24

Page 25: Imam Syfiii

122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah

123. Kitab al-Wala’ wa al-Half

124. Kitab al-Wala’ al-Shaghir

125. Kitab al-Mudabbir

126. Kitab al-Mukatab

127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad

128. Kitab al-Shurut

Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai

kitab-kitab ushul, tetapi ia juga mengandungi hokum-hukum furu’, seperti:

1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith

2. Kitab Jima’ al-Ilm

3. Kitab Ibtal al-Istihsan

4. Kitab Ahkam al-Qur’an

5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla

6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy

7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i

8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin

9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan

10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah

11. Kitab Fada’il Quraysh

Ada sebuha lagi kitab asy-Syafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah yaitu, “Al-Mabsut”.

Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “Al-Mukhtasar al-

Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat sebagian ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-

Umm”.

E. KONSEP PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG EKONOMI ISLAM

I. Pemikiran Tentang Harta

Harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting dan merupakan salah satu perhiasan

dunia. Secara literal harta (al-mal) berarti sesuatu yang naluri manusia condong kepadanya.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa harta tidak hanya terbatas pada materi tetapi juga manfaat.

25

Page 26: Imam Syfiii

Menurut pandangan jumhur, kegunaan atau manfaat barang merupakan unsur terpenting dari

harta karena nilai harta sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas manfaatnya.

II. Pemikiran Tentang Uang

Menurut Imam Syafi’i, uang terpisah sama sekali dari jenis barang lainnya berdasarkan

kesepahaman antar pengguna uang tersebut. Karena semua barang bisa menjadi alat tukar atau

memiliki sifat sebagai alat tukar, pendapat Imam Syafi’i tersebut memberikan banyak kebebasan.

Pendapat ini juga memiliki alasan praktis bahwa jual beli bahan makanan dengan uang pasti

dibolehkan karena juga didukung oleh Hadits Rasulullah SAW, “Cara yang berguna bagi

seseorang untuk memperoleh penghidupan”.

Konsep Imam Syafi’i mengenai ”semua barang bisa menjadi alat tukar atau memiliki sifat

sebagai alat tukar” membuka konsep baru tentang uang, uang tidak lagi menjadi komoditi

(berbeda dengan emas dan perak dalam bentuk aslinya). Orang memegang uang karena uang

mudah dipakai untuk membeli kebutuhan apa saja yang dibutuhkan. Nilai uang adalah

berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi terbatas pada nilai intrinsik yang terkandung dalam

logam yang dipakai untuk membuat uang tersebut.

Meskipun demikian, Imam Syafi’i sendiri lebih condong untuk menimbang uang

berdasarkan berat dibandingkan dengan menghitungnya, hal ini didorong oleh kebiasaan

masyarakat pada zamannya yang begitu kuat memegang tradisi untuk menimbang uang. Karena

kebiasaan ini, maka yang dikategorikan Riba pada masa tersebut adalah apabila jumlah berat

yang berbeda dan bukannya dengan jumlah hitungan yang berbeda.

Ulama syafii juga berpendapat sangat pentingnya peran al-‘urf dlam hal uang sebagai nilai

harga. Oleh sebab itu menurut mereka apa pun hal yang telah terjadi menjadi istilah pasar

sebagai satuan hitungan dan sarana perantara untuk saling tukar mnenukar, maka boleh dijadikan

sebagai uang pokok, sekalipun bentuknya dinar dan dirham al-magsyusah ataupun al-fulus.

Dengan demikian, boleh hukumnya menggunakan dinar atau dirham magsyusah sekalipun

kadar campuran tersebut tidak diketahui. Sebab, yang menjadi ukuran adalah lakunya pasar.

Oleh sebab itu apabila istilahpasar telah mengakuinya sehingga ia menjadin uang pokok, maka

apabila disebutkan uang atau nilai harga secara umum dimaksudkan adalah uang tersebut. Beliau

juga berkata:Apabila seseorang menjual sesuatu dengan dirham atau dinar dengan syarat harus

dengan jenis uang yang dikenal. Oleh sebab itu, apabila di wilayah tersebut terdapat hanya satu

jenis uang, atau terdapat beberapa jenis, tapi hanya satu saja yang menjadi istilah pasar, maka

transaksi tersebut dapat dibayar dengan nilai harga istilah pasar, sekalipun bentuknya fulus.

Al-syarbani mengatakan.”sekalipun uang tersebut magyusyah tetap hukumnya boleh

menggunakan uang terseubt, sekalipun kadar perak yang ada pada uang itu tidak diketahui.

Sebab yang menjadi standar adalah al-urf.

Ibnu hajar mengatakan:

26

Page 27: Imam Syfiii

Boleh hukumnya muamalah dengan al-magyusyah, sekalipun dengan tanggungan al-

dzimmah (jaminan) tanpa harus mengathui kadar campuran yang ada pada uang tersebut, sebab

yang menjadi standar adalah al-urf. Maka dari itu, apabila fulus berlaku di pasar, sebagaimana

halnya dinar dan dirham maka hukumnya dapat disamakan.

Ibnu Shalah ditanya tentang seseorang yang menyewa rumah selama satu bulan tertentu

dengan seratus lembar fulus. Apakah penyewaan tersebut? Sebab, pada realitasnya fulus

berbeda-beda ukuran besar dan kecil? Beliau menjawab:” Dulu aku berpendapat:’sesungguhnya

fulus tidak boleh digunakan dalam transksi yang berkaitan dengan dzimah, sebab ukurannya

tidak sama, sekalipun ukurannya sama, ia tetap beda pada timbangan, sementara yang dimaksud

adalah kebendaannya, sebagaimana halnya tembaga, sekalipun timbangnnya sama, tapi

jumlahnya berbeda.’ Akan tetapi setelah itu aku berpndapat lagi: bahwa selama jumlahnya sama

maka perbedaan pada besar dan kecil atau berat dan ringan tidak mempengaruhi sama sekali.

Sebab, semua jenis tersebut sederajat sma-sama laku di pasaran. Dan nilai harga dan lakunya di

pasarlah yang menjadi tujuan.

III. Pemikiran Tentang Riba

Dalam penetapan hukum bahwa riba itu haram, seluruh ulama telah sepakat tentang hal

tersebut. Banyak pandangan yang berbeda di kalangan ulama fiqh mengenai konsep riba, dalam

tulisan ini hanya dikemukakan dua perbedaan pendapat yang dianggap paling berdampak pada

praktik keuangan baik dalam dimensi pemikiran klasik maupun kontemporer. Hal tersebut adalah

tentang pembagian riba dan alasan (illat) pengharaman riba.

Imam Syafi’i membagi riba menjadi tiga bagian, yaitu riba fadhl (menjual barang dengan

sejenisnya tetapi yang satu dilebihkan), riba yad (jual beli dengan mengakhirkan penyerahan

barang tanpa harus timbang terima), dan riba nasi’ah (jual beli yang pembayarannya diakhirkan

tetapi harganya ditambah).

IV. Pemikiran Tentang Jual beli

Jual beli disyari’atkan berdasarkan konsensus kaum muslimin. Karena kehidupan manusia

tidak bisa lepas dari aktivitas tersebut. Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian

dengan sudut pandang yang berbeda. Ada beberapa perbedaan pandangan antar ulama yang

menjadi landasan penetapan hukum jual beli pada masa dahulu dan praktiknya terus berjalan

hingga sekarang dengan berbagai bentuk modifikasi.

Tentang jual beli yang dilakukan hanya dengan serah terima barang tanpa kata akad terdapat

perbedaan pandangan. Imam Syafi’i menyatakan jual beli tersebut tidak sah berdasarhan hadits,

”jual beli dilakukan atas dasar saling rela”. Rela adalah persoalan hati yang samar, tidak bisa

diketahui kecuali diucapkan.

27

Page 28: Imam Syfiii

Dalam jual beli dikenal adanya khiyar. Tentang hal ini juga ada perbedaan pandangan.

Menurut imam Syafi’i jika kesepakatan jual beli terjadi, masing-masing penjual dan bembeli

punya hak khiyar (hak pilih) selama belum berpisah atau punya hak untuk memastikan jadi

tidaknya transaksi. Transaksi telah sempurna dan telah terjadi dengan adanya akad. Lebih jauh,

tentang khiyar, dalam hal jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau belum pernah

diperiksa menurut imam Syafi’i jual beli terhadap benda yang ghaib dari semula sudah tidak sah

sehingga tidak ada hak khiyar di dalamnya.

V. Pemikiran Tentang Kerja Sama Usaha (Kemitraan)

Kerjasama usaha yang umum dilakukan dalam bisnis diantaranya syirkah, mudharabah,

wakalah dan sebagainya. Di sini akan dikemukakan tentang perbedaan pendapat di antara ulama

dalam beberapa aspek kerjasama usaha.

Tentang pembagian keuntungan yang tidak sama dalam syirkah, Imam Syafi’i menyatakan

bahwa dalam syirkah ’inan, jika modal masing-masing sama tetapi pembagian keuntungan tidak

sama, maka syirkah tersebut menjadi rusak (batal). Menurut Syafi’i, dalam syirkah ’inan modal

masing-masing harus dicampur sampai tidak bisa dibedakan lagi satu dengan lainnya dan tidak

ditentukan pembagian hasilnya.

Dalam mudharabah, terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam beberapa aspek. Tentang

pembatasan masa kerjasama, menurut imam Syafi’i tidak dibolehkan karena tujuan mudharabah

adalah untuk mendapatkan keuntungan. Batasan waktu akan menghilangkan tujuan tersebut.

Selain itu, tentang kerugian yang disebabkan oleh pengelola imam Syafi’i berpendapat

bahwa kerugian itu adalah tanggung jawab pengelola bukan pemilik modal.

Dalam pengelolaan usaha mudharabah, menurut imam Syafi’i pemilik modal boleh ikut

bekerja. Kerugian dan keuntungan yang diakibatkan adalah tanggung jawabnya sendiri.

pengelola tidak ikut menanggung kerugian dan tetap mendapat upah atas kerjanya.

Dalam penentuan kegiatan pengelola (manajerial usaha), imam Syafi’i berpendapat bahwa

pemilik modal tidak boleh membatasi gerak kegiatan pengelola karena pemilik modal belum

tentu lebih pandai dari pengelola.

VI. Pemikiran Tentang Gadai

Dalam operasional gadai terdapat beberapa aspek esensial yang membawa cara pandang

berbeda pada kalangan ulama. menurut Syafi’i akad jaminan atau gadai tidak sah tanpa

penyerahan barangnya. Ini untuk masyarakat kebanyakan yang biasanya sering berbuat sesuatu

yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Mereka biasanya hanya mementingkan

keuntungan pribadi tanpa memperhatikan orang lain.

Tentang penguasaan kreditur atas barang jaminan terdapat perbedaan pandangan. Menurut

Imam Syafi’i;penguasaan kreditur atas barang jaminan (gadaian) tidak termasuk syarat akad

gadai. Ini untuk orang kebanyakan yang biasanya kurang memperhatikan persoalan keadilan dan

28

Page 29: Imam Syfiii

agama. Dalam praktek gadai, jika terjadi satu barang dipergunakan sebagai jaminan atas dua

macam utang, maka Menurut imam Syafi’i barang gadaian tetap hanya menjadi jaminan atas

utang yang pertama, tidak termasuk utang kedua.

Tentang pemanfaatan barang gadai, menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa manfaat dari

barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan (pemilik barang). Murtahin tidak dapat

mengambil manfaat daripadanya, kecuali atas izin dari pihak yang menggadaikan.

Madzhab Syafi’i berpandangan bahwa syarat gadai terbagi menjadi dua yaitu:

a.       Syarat tetapnya gadai; yaitu diterimanya barang gadai. Apabila seseorang menggadaikan

sebuah rumah, tetapi belum diterima oleh penerima gadai, maka belum tetap (mengikat) akad

gadai tadi. karenanya orang yang menggadaikan boleh menarik barang gadai kembali. Apabila

barang  yang digadaikan sebelum akad sudah di bawah kekuasaan penerima gadai, baik karena

barang  itu disewa, dipinjam, atau digashab ataupun lainnya, maka barang itu dinyatakan telah

diterima murtahin sesudah akad, bila sudah lewat waktu yang memungkinkan barang diterima.

Untuk sahnya serah terima disyaratkan adanya izin dari orang yang menggadaikan.

b.      Syarat sahnya gadai sebagai berikut:

1)      Syarat yang berkaitan dengan akad, yaitu hendaknya tidak dikaitkan dengan syarat yang

tidak dikehendaki oleh akad ketika sudah tiba jatuh tempo. Karena yang demikian ini dapat

membatalkan gadai. Adapun bila menetapkan suatu syarat yang dikehendaki orang akad

seperti syarat mendahulukan penerima gadai atas lainnya yakni para kreditur dalam

menerima  barang yang digadaikan, maka tidak merugikan.

2)      Syarat yang berkaitan dengan kedua belah pihak: rahin (yang menggadaikan) dan

murtahin (penerima gadai). Yaitu keahlian  (kecakapan) kedua belah pihak yang berakad.

Misalnya masing-masing dari mereka sudah baligh (dewasa), berakal dan tidak mahjur

‘alaih. Karenanya tidak sah gadainya anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara

mutlak walaupun mendapat izin dari walinya. Atas pertimbangan, wali boleh

membelanjakan harta mahjur ‘alaih dengan digadaikan dalam dua keadaan; a) dalam

keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Seperti mahjur alaih dalam

keadaan sangat membutuhkan pakaian, makanan, pendidikan dan lain sebagainya. Tetapi

dengan syarat si wali tidak mendapatkan biaya untuk itu selain menggadaikan harta mahjur

‘alaih. b) gadai itu mengandung kemaslahatan terhadap mahjur ‘alaih. Misalnya bila wali

mendapatkan barang yang dijual dan dalam membelinya mendapat keuntungan bagi

mahjur ‘alaih, namun tidak mendapat uang untuk membelinya, maka wali boleh

menggadaikan barang milik mahjur ‘alaih  untuk dibelikan barang tersebut karena sangat

mengharap adanya keuntungan bagi mahjur ‘aliah

3)      Syarat yang berkaitan dengan marhun (barang yang digadaikan) ada beberapa perkara

yaitu: a) penggadai punya hak kuasa atas barang yang digadaikan. b) marhun  berupa

barang. c) barang gadai (marhun) bukan barang yang cepat rusak, sedang hutangnya untuk

29

Page 30: Imam Syfiii

jangka waktu yang cukup lama dalam arti barang itu sudah rusak sebelum jatuh tempo. d)

barang gadai itu barang yang suci. e) barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut

syara’, meskipun pada saat yang akan datang.

4)      Syarat yang berkaitan dengan marhun bih/ penyebab penggadaian  (hutang yang

karenanya diadakan penggadai). Hal ini ada empat perkara: a) penyebab penggadaian

adalah hutang b) hutang itu sudah tetap c) hutang itu tetap seketika atau yang akan datang

d) hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya. Oleh karena itu tidak sah

menggadaikan sesuatu barang atas hutang yang belum diketahui benda, jumlah, dan

sifatnya.

Pendapat Imam Syafi’i dalam kitabnya mengatakan:

Berkata Imam Syafi’i bahwa berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA. Gadaian

itu yang  ditunggang dan diperah. Ini tidak boleh gadaian padanya, selain bahwa pengendaraan

dan pemerahan susu itu bagi rahin yang  menggadaikan, tidak bagi murtahin. Karena

sesungguhnya yang memiliki pengendaraan dan pemerahan susu ialah rahin yang  memiliki diri

binatang itu dan diri itu tidaklah manfaat, yang  manfaat adalah  pengendaraan dan pemerahan.

Apabila seseorang menggadaikan seorang budak kepada orang lain atau rumah atau yang 

lainnya, maka penempatan rumah, penyewaan budak dan pelayanannya adalah bagi

rahin.seperti demikian juga segala manfaat gadaian itu bagi rahin. Tidaklah bagi murtahin

sesuatu daripadanya. dapat mengambil manfaat (kursif penulis). Kalau disyaratkan oleh

murtahin atas rahin bahwa bagi murtahin penempatan rumah atau pelayanan budak atau

kemanfaatan gadaian atau sesuatu dari kemanfaatan gadaian apa adanya atau dari gadaian

manapun, ada dia itu rumah atau hewan atau lainnya, maka persyaratan itu batal.

VII. Konsep Harga

Berkenaan dengan konsep harga, Imam Syafi’i hanya menjelaskan secara ringkas mengenai

penyebab naik dan turunnya harga di pasaran. Menurutnya nilai suatu komoditi meningkat dan

menurun pada setiap waktu disebabkan perubahan harga, banyak dan sedikitnya keinginan

manusia dan kualitas dan banyaknya barang. Dari penjelasannya yang singkat dapat dimengerti

bahwa ada beberapa faktor penentu yang menyebabkan nilai suatu komoditi atau jasa mengalami

perubahan, yaitu: keinginan manusia, perubahan harga, kualitas dan kuantitas barang.

30

Page 31: Imam Syfiii

F. PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I YANG MASIH RELEVAN DENGAN MASA

SEKARANG

Dunia keilmuan Islam, khususnya dalam Fiqh dan Ushul al-Fiqh, tak mungkin dapat

dipisahkan dari sosok Imam Syafi’i Radliyallahu ‘Anhu. Beliau adalah salah satu pendiri empat

Madzhab Fiqih yang diikuti oleh ummat Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah,

yang populer disebut dengan Madzhab Syafi’i. Dalam perkembangannya sampai saat ini,

Madzhab Syafi’i adalah madzhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh ummat Islam di dunia,

khususnya di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Yaman, Syria, Irak, dan masuh

banyak lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa cara berfiqh yang digali dan dikembangkan oleh

Imam Syafi’i dan para penerusnya, memiliki kemampuan untuk tetap relevan dalam

perkembangan sepanjang sejarah dan heterogenitas ummat Islam (geografi, demografi, kultur,

etnis, ras, bahasa, dan tingkat perkembangan sosialnya).

Lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran Islam semenjak kehadiran agama ini di

Nusantara, baik formal maupun non formal, telah mengembangkan madzhab ini mengikuti

perkembangan sosial dan budaya serta kebutuhan yang ada. Ibarat pohon makin kuatlah akarnya

menancap di bumi Indonesia, makin rimbun pula daunnya menaungi ummat Islam, serta

beranak-pinak cabang-cabangnya untuk dimanfaatkan mereka yang memerlukannya. Dengan

kata lain, Madzhab Syafi’i adalah sama dan sebangun dengan pertumbuhan dan perkembangan

Islam di Indonesia. Mengembangkan Islam di Indonesia berarti pula melakukan pengembangan

mazhab ini sebagai salah satu pijakan utamanya.

Itulah sebabnya menjadi sangat penting bagi para pelajar, mahasiswa, dan santri ponpes

yang memiliki keinginan kuat untuk tafaqquh fid dien melalui pendalaman ilmu fiqh, untuk

memahami sosok beliau secara komprehensif, sebagai tauladan (uswah) dan referensi utama

sehingga dapat mengambil hikmah dari pergumulan intelektual beliau. Dengan mempelajari

secara mendalam pribadi dan perjalanan kehidupan kecendekiawanan (intellectual biography)

Imam Syafi’i maka akan diperoleh manfaat berupa pemahaman yang lebih mendalam dan

kontekstual terhadap pemikiran dan pergumulan beliau dalam ilmu fiqh. Selanjutnya pemahaman

tersebut akan bisa menjadi obor penerang bagi perjalanan para santri, pelajar, mahasiswa dan

siapapun yang ingin memajukan fiqh dan menjadikannya tetap mampu menjawab berbagai

tantangan yang dihadapi oleh masyarakat yang terus menerus berubah.

Padahal jika kita belajar dari sosok seperti Imam Syafi’i maka yang paling menonjol dari

beliau adalah kemampuannya untuk menerima dan mengantisipasi perubahan. Kenyataan bahwa

ada yang disebuk qaul qodim dan qaul jaded itu saj sudah menunjukkan bahwa Imam Syafi’i

menolak kejumudan atau stagnasi dalam pemikiran dan tindakan. Beliau adalah tipe

31

Page 32: Imam Syfiii

cendekiawan yang senantiasa mencari tanpa henti. Padahal dengan kapasitas inteleknya yang

luar biasa bisa saja beliau menjadi seorang yang berada dekat dengan pusat kekuasaan. Teladan

yang harus kita ikuti dari beliau adalah menjadikan tafaqquh fid dien sebagi etos kehidupan

pesantren yang akan mampu menjawab tantangan dalam kehidupan dan ikut meningkatkan

kualitas manusia di sekitarnya.

Mengapa madzhab Imam Syafi’i begitu cepat berkembang dan mampu mempertahankan

relevansinya samapi sekarang di seluruh dunia?. Menurut Dr Wahbah Zuhaili, dalam bukunya

“Fiqih Imam Syafi’i”, ada beberapa cirri khas yang membuat madzhab ini sangat kuat. Antara

lain:

Madzhab Syafi’i selalu berpedoman pada ilmu Ushul al-Fiqh. Ilmu yang dikembangkan

oleh Imam Syafi’i ini dipergunakan untuk menetapkan kaidah-2 dan prinsip-2 dasar serta

cara (manhaj) pengambilan dalil untuk menentukan hukum. Melalui penggunaan ilmu ini

maka banyak para ulama yang berbeda pendapat banyak yang kemudian tertarik dengan

mazhab Syafi’i dan memungkinkan terjadi pengayaan fiqh

Madzhab Syafi’i memungkinkan terjadinya perpaduan harmonis antara fiqh, rasio, dan

hadits yang berasal dari dua aliran: Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Irak. Dari sinilah

kemudian ditemukan manhaj taufiq (metode perpaduan) yang memberikan prioritas

kepada Hadits, setelah Qur’an, sebagai sumber hujjah disusul dengan Qiyas apabila tidak

ditemukan nash.

Imam Syafi’i lebih ringan persyaratannya ketimbang misalnya Imam Abu Hanifah dan

Imam Malik dalam hal penggunaan Hadits. Imam Abu Hanifah mensyaratkan hadits

Ahad harus memiliki peringkat kemasyhuran tertentu untuk bias diterima sebagai

sumber, sedangkan Imam Malik mensyaratkan hadits yang diterima harus sesuai dengan

praktik/amalan ahli Madinah. Menurut Imam Syafi’i, sebuah hadits bisa diterima sebagai

sumber hujjah apabila ia adalah shahih dan sanadnya bersambung. Namun demikian,

beliau menolak hadits Mursal sebagai sumber, kecuali diriwayatkan oleh shahabat yang

memiliki tingkat kepercayaan tinggi

Bahkan di Indonesia yang sebagian besar Muslimnya menganut mazhab Syafii, untuk fiqh

muamalah menggunakan mazhab Hanafi, Hanbali, Maliki dan juga Daud Az Zahiri. Praktik

keuangan Islam makin luas. 

Bila tidak ada dalam kitabul buyu' Imam Syafii, pendapat mazhab lain pun bisa dijadikan

acuan. Ayat-ayat Alquran yang berisikan landasan ekonomi Islam dikumpulkan. Ulama saat ini

bukan saja harus pandai tapi juga kreatif memadukan fiqh lintas mazhab. Dahulu merupakan hal

tidak lazim bila memadukan fiqh dari mazhab yang berbeda.

32

Page 33: Imam Syfiii

1. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Harta

Perbedaan konsep tentang harta dari para imam mazhab ini menimbulkan pengaruh yang

berbeda pula. Contohnya: tentang pemanfaatan seseorang terhadap harta orang lain (ghasab),

jika mengikuti pendapat jumhur fuqaha (imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali) maka

pemilik barang berhak menuntut ganti rugi atas pemanfaatan tersebut. sedang menurut imam

Hanafi, pemilik tidak berhak menuntut ganti rugi karena aspek manfaat tidak termasuk dalam

harta.

Contoh lain adalah tentang wakaf. Menurut imam Hanafi kepemilikan barang yang

diwakafkan tidak harus lepas dari wakif dan dibenarkan bagi wakif untuk menariknya kembali

serta boleh menjualnya. Sedang menurut jumhur fuqaha, harta wakaf tidak lagi menjadi milik

wakif melainkan secara hukum menjadi milik Allah atau secara terminologi sosiologis harta

wakaf menjadi milik masyarakat umum dan wakif tidak boleh menariknya kembali apalagi

menjualnya.

2. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Uang

Perbedaan pendapat di antara para ulama tentang uang juga membawa implikasi yang

berbeda. Fungsi uang adalah sebagai Medium of Exchange (satuan alat tukar), Unit of Account

(satuan pengukur), dan Store of value (penyimpan nilai).

Pendapat imam Syafi’i membawa implikasi yang lebih luas, karena selain sebagai satuan

pengukur nilai uang juga berfungsi sebagai alat tukar. Uang menurut Syafi’i dapat digunakan

untuk menilai dan menukar/membayar barang lain.

3. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Riba

Semua mazhab menyatakan bahwa larangan riba berlaku bagi barang yang memiliki satu

(sub) sebab tunggal. Imam Hanafi dan imam Hambali melarang jual beli makanan dengan

tembaga secara kredit (keduanya ditimbang) namun membolehkan jual beli makanan dengan

garam secara kredit (salah satunya ditimbang dan yang lain ditakar). Imam Malik dan imam

Syafi’i, karena hanya memperhatikan pertukaran di antara makanan atau mata uang, mempunyai

pendapat yang bertentangan dengan Imam Hanafi dan imam Hambali. Yang lebih kontemporer

misalnya tentang minyak mentah. Menurut imam Hanafi dan imam Hambali minyak mentah

termasuk ribawi, tetapi tidak menurut Syafi’i dan Maliki.

Masih dalam konteks riba, pandangan para ulama fiqh ini paling tidak mempengaruhi

pemikiran para pakar dalam menetapkan dalil riba di kemudian hari di samping Al-Qur’an dan

Hadits yang sudah ada. Ibnu Rushdy dari mazhab Maliki yang condong pada pendapat Hanafi

tentang riba, kesamaan ukuran. Menurut ibnu Rushdy yang berada di balik ketentuan riba adalah

33

Page 34: Imam Syfiii

tujuan untuk menjunjung tinggi keadilan dalam pertukaran. Ini juga yang kemudian

mempengaruhi pemikiran bahwa pinjama qard tanpa bunga sah, sedang jual beli dengan

penangguhan barang ribawi untuk memperoleh barang ribawi lain dengan harga sama yang

dihutang tidak sah. Ketidakabsahan itu karena masuknya unsur ketidak setaraan dalam jual beli

yang akan memicu ketidakadilan. Sedang dalam analisis teknis fiqh, pinjaman selalu siap

dibayar, dapat diminta sewaktu-waktu, sebuah ketentuan yang menguntungkan pemberi

pinjaman dan mengurangi risiko pasarnya.

4. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Jual Beli

Pada masa kini praktik jual beli telah mengalami berbagai perkembangan dan kemajuan

yang sangat pesat sesuai dengan perubahan zaman. Perbedaan pendapat tentang keabsahan jual

beli hanya dengan serah terima barang tanpa akad dalam praktik kekinian memunculkan

implikasi yang berbeda pula. Jika menurut jumhur, maka praktik jual beli dengan sistem

swalayan seperti dilakukan di minimarket / supermarket / departement store yang hanya

dilakukan dengan melihat, memilih dan diakhiri dengan pembayaran tanpa akad adalah tidak sah.

Jika ada percekcokan antara penjual dan pembeli di kemudian hari, hakim tidak bisa memeriksa

dan menyelesaikan persoalan itu karena tidak ada saksi atau bukti. Dalam konteks kekinian

dengan kian maraknya unsur wanprestasi dalam perjanjian jual beli kata-kata akad saja belum

memadai dan didukung bukti lain seperti kuitansi, akte dan sejenisnya untuk memperkuat akad.

Sedang jika menurut imam Malik jual beli dengan sistem swalayan sah karena dengan adanya

serah terima barang berarti sudah menunjukkan kerelaan untuk berjual beli, jika tidak rela

mereka tidak akan melakukannya.

Praktik jual beli pada masa modern tidak lagi selalu mengikuti tradisi masa lalu yang

dilakukan di suatu tempat tertentu (pasar) antara penjual dan pembeli yang bertemu dan

bertransaksi. Kini, jual beli dilakukan tanpa harus mempertemukan penjual dan pembeli dalam

satu majelis. Jual beli dapat dilakukan melalui telepon, internet, dan berbagai sarana

komunikasi/perhubungan lainnya. Jika mengikuti pendapat imam Syafi’i, praktik jual beli

tersebut tidak sah karena tidak berada dalam satu majelis dan barangnya pun tidak ada di tempat

akad. Namun jika menurut jumhur, praktik tersebut sah dan diikuti oleh hak khiyar bagi pembeli

untuk membatalkan atau meneruskan akad saat barang dilihatnya.

5. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Kerjasama Usaha (Kemitraan)

Dalam aktivitas ekonomi terutama bidang keuangan dan perbankan konsep kerjasama

usaha (kemitraan) ini akan selalu ada. Dalam praktik pembiayaan musyarakah di bank Syariah

dua pendapat berbeda ini sama-sama memberikan kontribusi yang berpengaruh terhadap

kebijakan penetapan nisbah bagi hasil dan risiko kerugian antara pihak bank dan nasabah. Jika

menurut pendapat imam Hanafi, pembagian keuntungan yang berbeda dibolehkan. Ini diterapkan

34

Page 35: Imam Syfiii

dalam pembagian keuntungan secara unproporsional sesuai kesepakatan. Jadi dapat terjadi antar

pihak yang bekerjasama menperoleh alokasi keuntungan yang tidak sama. Menurut pendapat

imam Malik dan imam Syafi’i keuntungan harus dibagi sama karena modal usaha pihak-pihak

yang bekerjasama sudah menyatu dan tidak terpisah lagi. Namun jika dianalisis lebih lanjut,

mekanisme pembagian keuntungan usaha dalah musyarakah lebih cenderung mengikuti pendapat

imam Hanafi, yaitu boleh berbeda sesuai dengan kontribusi (modal atau tenaga) yang diberikan.

Dalam praktik mudharabah, teknis yang diterapkan diperbankan Syariah untuk penetapan jangka

waktu kerjasama mengikuti pendapat imam Hanafi yakni kerjasama tersebut harus ditentukan

batas waktunya dan bukan unlimited time agreement.

Dalam hal penanggungan risiko kerugian yang disebabkan kesalahan pengelola, ketetapan

bank mengikuti pendapat imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali yaitu menjadi tanggung

jawab pengelola bukan pemilik dana.

Mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah mutlaqah (jenis usaha/kegiatan

pengelolaan dana tidak dibatasi/ditentukan oleh pemilik dana). Ini menurut pendapat imam

Malik dan imam Syafi’i. Selain itu, ada mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana boleh

menetapkan jenis usaha/kegiatan pengelola (managerial). Ini sejalan dengan pendapat imam

Hanafi dan imam Hambali. Kedua pendapat ini mempunyai implikasi yang sama terhadap

kebijakan mudharabah di bank Syariah karena kedua jenis mudharabah tersebut dipraktikkan.

6. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Gadai

Gadai mempunyai dua nilai akad yang berjalan beriringan. Di satu sisi, rahn merupakan

akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai kepada penerima gadai tidak

ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan penerima gadai kepada penggadai adalah utang, bukan

penukar atas barang yang digadaikan. Di sisi lain, dapat dimengerti bahwa akad ini juga bersifat

komersial. Pihak yang berakad tidak boleh saling merugikan. Kebolehan memanfaatkan barang

jaminan meski dengan syarat tertentu juga mengisyaratkan adanya unsur tersebut dalam akad ini.

Dikenakan biaya jasa untuk prosedur gadai di pegadaian juga menunjukkan indikasi

komersialnya akad ini. Pengenaan biaya jasa ini kemudian tidak menjadikan praktek ini berbeda

dengan praktek pinjam meminjam uang di bank.

Secara umum praktik gadai tidak terpengaruh oleh perbedaan pendapat para ulama. Yang

menjadi esensi implikasi pendapat para ulama fiqh ini terhadap praktik gadai kontemporer adalah

mengenai penguasaan dan pemanfaatan barang gadai. Yang umum dipraktikkan di Indonesia

adalah barang gadai (yang menjadi jaminan) dikuasai oleh kreditur mengikuti pendapat imam

Hanafi dan imam Malik. Yang berbeda dalam praktiknya adalah tentang pemanfaatan barang

gadai. Umumnya, yang dipraktikkan adalah pihak penerima gadai selalu memanfaatkan barang

gadai yang dikuasainya. Ini mengikuti pendapat imam Hanafi.

35

Page 36: Imam Syfiii

Implikasi pendapat para imam fiqh ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di

masyarakat, di mana praktik gadai bukanlah sesuatu yang tabu. Aktivitas gadai dilakukan dalam

hubungan orang perorang dan kelembagaan. Yang sedikit membedakan adalah dari sisi

pemanfaatan barang gadai, di pegadaian barang gadai yang dikuasai tidak dimanfaatkan dan

hanya disimpan sampai ditebus kembali oleh yang menggadaikan. Ini mengikuti pendapat imam

Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali.

36

Page 37: Imam Syfiii

BAB III

PENUTUP

1. Simpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang terkait dalam membentuk

kepribadian dan dinamika intelektual al-Shafi’i. Berkat kecerdasan pikiran dan keuletannya

dalam menuntut ilmu pengetahuan serta pengalamannya dalam bergaul dengan berbagai macam

masyarakat, al-Shafi’i akhirnya dikenal sebagai mujtahid yang kreatif, moderat dan menjadi

panutan sebagaian besar umat Islam sesudahnya. Al-Shafi’i senantiasa melihat situasi dan

kondisi sosial masyarakat yang ada dalam menetapkan hukum. Tak heran bila kemudian umat

Islam mengenal adanya qaul qadim dan qaul jadid sebagai refleksi intelektual al-Shafi’i dalam

menyikapi problematika hukum di masyarakat. Adapun dasar al-Shafi’i dalam melakukan

istimbath hukum adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma, Qiyas dan Istishab.

2. Saran

Penyusun menyarankan agar pembahasan yang ada dalam makalah

ini dijadikan oleh para mahasiswa sebagai atau mukaddimah untuk

memahami dan mengkaji lebih jauh tentang tema yang terkait. Adapun

yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa lanjuti tentang

pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan dalam makalah ini.

37

Page 38: Imam Syfiii

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjudin.1994. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i. Pustaka

Tarbiyah: Jakarta.

Abdullah, Sulaeman. 1996. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum

Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta.

Al-Mushlih, Abdullah. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq:

Jakarta.

Asy-Syarbasi, Dr. Ahmad. 2008. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab.

Amzah: Jakarta.

Chalil, K.H. Moenawar. 1955. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Bulan

Bintang: Jakarta.

Deliamoy. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT RajaGrafindo

Persada: Jakarta.

Gufron A. Mas’adi. 2002. Fiqh Muamalah Kontektual. Rajawali Perss: Jakarta.

Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islam Telaah Komprehensif System

Keungan Islami. PT Rajagarfindo: Jakarta.

Khudori Sholeh, Ach, 1999. Fiqih Konstektual (Persfektif Sufi-Falsafi). Pertja:

Jakarta.

Madjid, Nurcholish. 1993. Imam Syafi’I Ar-Risalah. Pustaka Firdaus: Jakarta.

Mursi, Syaikh M. Said. 2007. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.

Pustaka al-Kautsar: Jakarta.

Rusjid, H.Sulaiman. 2006. Fiqh Islam. Sinar Baru Al Gensindo: Bandung.

Sahrani, Sohari. 2011. Fikih Muamalah. Ghalia Indonesia: Bogor.

Syafe’i, Rahmat.2001. Fiqih Muamalat. Pustaka Setia: Bandung

http://www.hendrakholid.net/blog/2008/11/konsep-uang-dalam-ekonomi-islam/

http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Syafi%27i

38

Page 39: Imam Syfiii

39