imam syfiii
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
KATA PENGANTAR 2
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
A. BIOGRAFI MUHAMMAD IDRIS AS-SYAFI’I 4
B. KECERDASAN IMAM SYAFI’I 8
C. KITAB-KITAB KARANGAN IMAM SYAFI’I 9
D. PERMULAAN MAZHABNYA 13
E. KONSEP PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG 24
EKONOMI ISLAM
F. PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I YANG MASIH RELEVAN 29
PADA MASA SEKARANG
BAB III PENUTUP 34
DAFTAR PUSTAKA 35
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kita dan senantiasa
meridhai amal ibadah kita. Kesejahteraan dan keselamatan semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur Alhamdulillah
penyusun dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan penuh
tanggung jawab.
Apresiasi para sejarawan dan ahli ekonomi terhadap kemajuan kajian ekonomi Islam sangat
kurang dan bahkan terkesan mengabaikan jasa-jasa ilmuwan muslim. Hal itu terlihat pada buku-
buku sejarah pemikiran ekonomi yang ditulis baik oleh penulis Barat maupun penulis Indonesia.
Buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi tulisan Deliarnov misalnya, sama sekali tidak
memasukkan pemikiran para ekonom muslim di abad pertengahan, padahal sangat banyak
ilmuwan muslim klasik yang memiliki pemikiran ekonomi yang amat maju melampaui ilmuwan-
ilmuwan Barat, sebagaimana yang akan terlihat nanti pada uraian mendatang. Demikian pula
buku sejarah Ekonomi tulisan Schumpeter History of Economics Analysis, dan Sejarah
Pemikiran Ekonomi (terjemahan), tulisan penulis Belanda Zimmerman, sama sekali tidak
memasukkan pemikiran ekonomi para pemikir ekonomi Islam.
Akhirnya penyusun ucapkan terima kasih kepada Allah SWT dan
seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan masalah makalah ini.
Penyusun berharap makalah yang dibuat ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Kritik dan saran pembaca sangat bermanfaat bagi penyusun.
Medan, Juni 2012
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Agama Islam diturunkan ke dunia ini dalam keadaan sempurna, sehingga tidak ada satu
permasalahanpun yang timbul di dunia ini kecuali harus dipecahkan hukumnya. Allah Swt. telah
menurunkan syari’at-Nya kepada umat manusia melalui nabi Muhammad Saw. yang berupa Al
Qur’an, agar manusia dapat meyakini, menghayati dan mengamalkannya, untuk mencapai
kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang penduduknya mayoritas
muslim terbesar di muka bumi. Sebagian besar adalah penganut madzhab Syafi’i, tapi boleh jadi
tidak terlalu banyak yang mengetahui bahwa mereka menganut suatu madzhab yang dibangun
oleh seorang yang sangat besar peranannya dalam merumuskan dan mensistematisasikan
metodologi pemahaman hukum Islam.
Setelah Rasulullah wafat, estafet beliau dalam kepemimpinan dilanjutkan oleh Khulafa al-
Rasyidin. Pada masa-masa tersebut terjadi berbagai masalah yang tidak didapati ketika
Rasulullah Saw masih berada di tengah-tengah mereka. Sehingga meskipun sangat terbatas
muncul ijtihad shahabat yang pada akhirnya diteruskan oleh para generasi-generasi selanjutnya
setelah mereka. Dalam hal ini termasuk Imam Syafi’i yang memberikan alternatif dalam
memahami hukum Islam (Fiqh) melalui nash-nash yang terdapat dalam al-Al Quran, al-Sunnah
maupun Ijma’ shahabat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
2. Rumusan Masalah
Biografi Imam Syafi’i
Masa kehidupan Imam Syafi’i
Karya-karya Imam Syafi’i
Konsep pemikiran Imam Syafi’I tentang Ekonomi Islam
Pemikiran Imam Syafi’i yang masih relevan pada masa sekarang
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. BIOGRAFI MUHAMMAD IDRIS ASY-SYAFI’I
1. Kelahiran dan Keturuna Imam Syafi’i
Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-
Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab
bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad. Keturunan
beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari
Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.
Imam Syafi’I dilahirkan di kota Ghazzah dalam Palestina pada bulan Rajab tahun 150
Hijriah. Tarikh inilah yang termahsyur di kalangan ahli sejarah. Adapula yang mengatakan
beliau dilahirkan di Asqalan yaitu sebuah wilayah yang jauhnya dari Ghazzah lebih kurang tiga
kilometer dan tidak jauh juga dari Baitul Maqdis, dan ada juga pendapat yang mengatakan beliau
dilahirkan di negeri Yaman.
Tempat kelahiran beliau ini sebenarnya bukanlah tempat kediaman ayahandanya, karena
tempat kediaman ayahandanya adalah di kota Makkah, daerah Hijaz. Adapun sebabnya beliau
dilahirkan di Guzzah tadi, karena kota itu kebetulan ayahanda dan ibundanya pergi ke sana untuk
keperluan. Tetapi dengan tiba-tiba dan telah ditakdirkan oleh Allah ayahandanya wafat di sana,
sedang keadaan beliau masih dalam kandungan ibunya. Kemudian speninggal ayahandanya lalu
tidak berselang beberapa lama lahirlah beliau dalam keadaan selamat di kampong Ghuzzah itu,
yaitu di tempat kediaman seorang dari familinya. Jadi, sebenarnya Imam Syafi’I itu termasuk
seorang warga Negara Hijaz di kota Makkah.
Keturunan Imam Syafi’I selanjutnya adalah Abu Abdullah bin Idris bin Al-Abbas, Utsman
bin Syafi’I bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu yazid bin hasyim bin Al-Muthalib bin Abdu Manaf.
Beliau adalah dari dari keturunan suku (bani) Hasyim dan Abdul Muthalib. Keturunannya
bertemu dengan p keturunan Rasulullah SAW. Pada datuk Rasulullah, yaitu Abdu Manaf.
Lantaran itu dikatakan juga kepada Imam Syafi’I “Anak bapak saudara Rasul”.
Dengan pertalian tersebut di atas Imam Syafi’I menganggap dirinya dari orang yang dekat
kepada Rasulullah, bahkan beliau dari keturunan “Zawil Kurba” yang berjuang sama dengan
Rasulullah di zaman jahiliyah dan Islam. Mereka bersama dengan Rasulullah juga semasa orang
4
Quraisy mengasingkan Rasulullah. Mereka bersama turut menanggung penderitaan bersama-
sama Rasulullah.
Oleh karena itu tidak benar apa yang dianggap oleh setengah dari orang yang mengatakan
bahwa beliau bukan dari keturunan Quraisy bahkan dengan ketuaan saja.
Keluarga Imam Syafi’I adalah dari keluarga Palestina yang miskin dan yang dihalau dari
negerinya. Mereka hidup di dalam perkampungan orang Yaman, tetapi kemuliaan keturunan
beliau adalah menjadi tebusan kepada kemiskinan.
Ibu Imam Syafi’I adalah dari keturunan Al-Azd, pendapat yang mengatakan beliau dari
Quraisy adalah tidak benar. Nama ibunya ialah Fatimah binti Abdullah Al-Azdiyyah.
Semasa muda Imam Syafi’I hidup dalam kemiskinan, ketika belajar senantiasa menderita
kesukaran dan kekurangan untuk membeli alat-alat perlengkapan belajar, seperti kertas, tinta dan
sebagainya. Tetapi lantaran kerajinan beliau dalam menuntut pengetahuan maka tidak
menghalangi beliau dalam mencari jalan untuk mencukupi kebutuhannya.
Beliau sering kali mencari tulang-tulang dan mengumpulkannya dari jalan-jalan, guna
ditulis atasnya buah pelajaran yang diperolehnya dari para gurunya. Lagi pula, beliau kerap kali
datang di kantor-kantor pemerintahan untuk mencari kertas-kertas yang telah dipakai dan telah
dibuang ke dalam keranjang, yang mana kertas-kertas itu dipilihnya, yang kiranya masih dapat
dipergunakan untuk ditulis lalu diambilnya dan dikumpulkannya, kemudian dipergunakan untuk
menuliskan catatan pelajaran yang diperolehnya.
Beliau sampai mengerjakan sedemikian rupa itu, lantaran beliau tidak suka minta-minta
kepada orang lain dan dengan demikian itu beliau tidak merasa hina atau rendah, dan tidak pula
merasa kecil hati, tetapi malah sebaliknya. Karena beliau berpendirian, bahwa jalan demikian
itulah yang dapat menumbuhkan kebahagiaan bagi ilmu pengetahuan. Dan beliau berpendapat,
bahwa kemiskinan itulah yang menyebabkan kemenangan dalam menuntut pengetahuan.
2. Imam Syafi’i Menuntut Ilmu
Imam Syafi’i dapat menghapal Al-Qur’an dengan mudah, yaitu ketika beliau masih kecil
dan beliau menghapal serta menulis hadits-hadits. Beliau sangat tekun mempelajari kaidah-
kaidah dan nahwu bahasa arab. Untuk tujuan itu beliau pernah mengembara ke kampung-
kampung dan tinggal bersama puak (kabilah) “Huzail” lebih kurang sepuluh tahun, lantaran
hendak mempealjari bahasa mereka dan juga adat istiadat mereka.
Kabilah Huzail adalah suatu kabilah yang terkenal sebagai suatu kabilah yang terkenal
sebagai suatu kabilah yang paling baik bahasa Arabnya. Imam Syafi’I banyak menghapal syair-
syair dan qasidah dari kabilah Huzail. Di samping mempelajari ilmu pengatahuan beliau
mempunyai kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah sepuluh
batang panah tanpa melakukan satu kesilapan. Beliau pernah berkata: Cita-citaku adalah dua
perkara: panah dan ilmu, aku berdaya mengenakan target sepuluh dari sepuluh. Mendengar
5
percakapan itu orang yang bersamanya berkata: Demi Allah bahwa ilmumu lebih baik dari
memanah.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Imam Syafi’I pada masa mudanya banyak menumpu
tenaganya untuk mempelajari syair, sastra dan sejarah, tetapi Allah menyediakan baginya
beberapa sebab yang mendorong beliau untuk mempelajari ilmu fiqih dan ilmu-ilmu yang
lainnya.
Kita dapati beberapa riwayat yang menerangkan sebab tersebut di atas, antaranya: pada
suatu ketika Imam Syafi’I berjalan-jalan dengan menunggang seekor binatang, beliau masiih
kecil menginjak dewasa itu, bersama-sama beliau seorang juru tulis Abdullah bin Az-Zubairi,
tiba-tiba Imam Syafi’I membaca satu rangakaian syair. Juru tulis itu menyenggol belakang beliau
untuk memberi nasihat katanya: orang yang semacam engkau tidak sesuai membaca syair yang
demikian, karena ia menjatuhkan mururah, serta orang itu bertanya: Dimanakah engkau dengan
ilmu fiqih? Pertanyaan ini sangat berkesan dan memberi kesadaran terhadap Imam Syafi’i.
Oleh karena itu beliau terus mengikuti Muslim bin Khalid Az-Zinji mufti Mekkah untuk
belajar ilmu fiqih darinya. Dari riwayat yang lain pula: Imam Syafi’I menemui Muslim seaktu
dalam perjalanan untuk mempelajari ilmu nahwu bahasa Arab dan sastra. Muslim berkata
kepadanya: Dari manakah engkau? Imam Syafi’I menjawab: Aku dari orang Mekkah. Muslim
bertanya lagi: Di manakah Kahif, Muslim menyambung pertanyaan lagi: Dari Kabilah manakah?
Syafi’i menjawab: Dari kabilah Abdu Manaf. Muslim berkata: Baik, baik sebenarnya Allah telah
memuliakanmu di dunia maupun di akhirat, alangkah baiknya jika kamu gunakan kecerdikanmu
ini untuk mempelajari ilmu fiqih, dan inilah yang lebih tepat untuknya.
Riwayat yang lain pula: Pada suatu ketika Imam Syafi’i sedang mendalami mempelajari
ilmu syair, di waktu itu juga beliau menaiki sebuah bukit di suatu tempat di Mina. Tiba-tiba
beliau mendengar suara dari belakangnya dan menyeru: Pelajarilah ilmu fiqih, lantaran itu beliau
pyn mempelajari ilmu fiqih. Kebanyakan tanggapan mengatakan bahwa riwayat-riwayat di atas
adalah semata-mata khayalan saja, bukan sebenar-benarnya.
Riwayat yang lain pula: Yaitu pada suatu hari Mas’ab bertemu ddengan Imam Syafi’i yang
sedang rajin mempelajari syair nahwu bahasa Arab. Mas’ab bertanya: Untuk apakah ini? Jika
egkau mempelajari fiqih dan hadits tentulah lebih sesuai bagimu. Pada waktu yang lain pula
Mas’ab dan Syafi’I datang menemui Malik bin Anas. Mas’ab meminta Malik mengajar Syafi’I,
oleh karena itu Imam Syafi’I dapat mempelajari ilmu yang banyak dari Malik dan beliau tidak
meninggalkan sedikit pun ilmu yang didapati dari syekh-syekhnya di Madinah.
Imam Syafi’i mengembara ke negeri Iraq untuk mempelajari ilmu dari Muhammad Al-
Hasan. Sedang beberapa tahun kemudian Mas’ab dan Imam Syafi’I datang ke Mekkah. Mas’ab
menceritakan perihal Imam Syafi’I kepada Ibnu Daud, lalu dihadiahkan kepadanya sebanyak
sepuluh ribu dirham.
Inila antara empat riwayat lain atau kisah yang menceritakan tentang sebab-sebab yang
mengubahnya tumpuan Imam Syafi’I dari memepelajari bahasa dan sastra sampai mempelajari
6
ilmu fiqih dan sejarah. Tidak mustahil semua riwayat itu harus berlaku walaupun pada lahirnya
satu daripadanya saja yang berlaku. Walau bagaimana pun juga semua riwayat tersebut
menerangkan kepada kita tentang asal usulnya.
3. Imam Syafi’i Bekerja
Pada masa remaja Imam Syafi’I merasakan beliau telah mendapat ilmu dengan sekedar
mencukupi, oleh karena itu beliau bercita-cita hendak bekerja untuk mencari nafkah hidupnya
karena beliau adalah seorang yang miskin.
Cita-cita ini timbul setalah Imam Malik meninggal dunia. Dengan secara kebetulan,
seorang gubernur Yaman datang melawat Hijaaz. Beberapa orang dari Quraisy memberitahukan
kepada guberbur itu supaya mengambil Imam Syafi’I untuk bekerja di negeri Yaman.
Permintaan tersebut diteima, oleh karena itu Imam Syafi’I menyewa sebuah bilik untuk
keperluan dirinya. Kemudian beliau memegang jabatan di “Najran”. Keadilan dan kejujuran
Imam Syafi’I diketahui oleh banyak orang. Banyak dari penduduk Najran yang mencoba
mengusir kedudukan beliau, tetapi mereka tidak berhasil. Imam Syafi’I berkata: Apabila
gubernur datangg kepada mereka, mereka mencari muak mencoba membuat sedemikian dengan
ku, tetapi mereka gagal.
Suatu peristiwa telah terjadi, yaitu sepuluh orang dari penduduk Umawiyyin yang tinggal
di Yaman keluar membantah pelantikan khalifah. Imam Syafi’I dituduh mendukung bersama
mereka itu, oleh karena itu maka Harun Ar-Rasyid memerintahkan supaya mereka dibawa ke
hadapannya. Ketika mereka sampai, Ar-Rasyid memerintahkan supaya dipukul tengkuk-tengkuk
mereka itu. Ketika sampai kepada giliran Imam Syafi’I beliau berkata kepada khalifah Ar-
Rasyid: Perlahankanlah sedikit wahai Amirul mukminin, tuan adalah penjemput dan aku ornag
yang dijeput sudah tentu tuan berkuasa berbuat apa saja tuan sukai tetapi aku tidak berkuasa
berbuat yang sedemikian.
Wahai Amirul Mukminin, apakah pendapat tuan tentang dua orang manusia? Satu dari
mereka menganggap aku sebagai saudaranya sementara yang satu lagi memandangnya aku
sebagai hambanya, yang manakah lebih dikasihi? Kkhalifar Ar-Rasyid menjawab: Sudah tentu
orang yang memandangmu sebagai sudaranya. Imam Syafi’I berkata: Engkau pun sedemikian
wahai Amirul Mukminin. Khalifah bertanya: Kenapakah demikian? Imam Syafi’I menjawab:
Wahai Amirul Mukminin engkau adalah anak dari Al-Mutthalib, kamu anak-anak Al-Abbas
memandang kepada kami saudara kamu, sementara mereka (Umawiyyin) memandang kepada
kita sebagai hamba mereka, lantaran itu Ar-Rasyid merasa lapang dada dan berkata: Wahai anak
Idris, bagaimanakah ilmu engkau tentang Al-Qur’an? Imam Syafi’I bertanya: Ilmu Al-Qur;an
manakah yang tuan maksudkan? Tentang hafal, aku telah menghafalnya serta aku telah
memperlajarinya, aku mengetahui di mana tempat pemberhentian dan di mana pula permulaan
dan aku tahu juga mana yang pembatal (nasikh) dan mana yang dibatalkan (mansukh) yang mana
yang gelap dan mana yang terang, serta kecaman dan kelembutan, dan aku mengetahui juga
7
percakapan yang ditujukan kepada ‘am tetapi maksudnya kepada khas, dan sebaliknya
percakapan yang ditujukan kepada khas tetapi maksudnya ‘am.
Khalifar Harun ar-rasyid bertanya lagi: bagaimanakah pula ilmu tentang bintang-bintang?
Syafi’I berkata: Antaranya bintang darat, bintang laut, bintang tanah rata, bintang bukit, bintang
fallak dan bintang mabah, seterusnya bintang yang wajib diketahui.
Khalifah Ar-Rasyid bertanya lagi: Bagaimana pula pengatahuanmu yang berkaitan dengan
keturunan Arab? Syafi’I menjawab: Di antaranya keturunan yang mulia dan keturunan yang
tidak baik, serta aku mengtahui susunan keturunanku dan keturuna Amirul Mukminin, khalifah
Ar-Rasyid berkata: Dengan apakah engakau menasihatkan Amirul Mukminin? Lalu Imam
Syafi’I memberikan suatu nasihat yang sangat mngesankan yaitu nasihat Tawus Al-Yamani.
Mendengar nasihat itu Ar-Rasyid lalu menangis, lalu diperintahkan supaya memberikan kepada
Imam Syafi’I harta yang banyak serta diberi juga hadiah-hadiah yang berharga.
Jika riwayat ini telah diketahui oleh orang banyak yakin dan sah, maka ia adalah suat dalil
tentang kepintaran akal Imam Syafi’I untuk melepaskan dirinya dari azab dan juga sebagai dallil
tentang keluasan dan ketinggian ilmu pengetahuannya di sudut yang lain pula. Dengan berbagai
sebab dan pertolongan Imam Syafi’I berdaya membentuk ilmu pengetahuan yang tinggi,
sehingga ilmu dan ajarannya berkembang dengan baik. Di antaranya ialah keadaan alam di
sekitar. Oleh karena alam sekitarnya disertakan pula oleh kerajinannya membaca buku-buku
yang ada kaitan dengan ilmunya.
Pengembaraan beliau dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu negeri ke negeri
lain juga membantu beliau mempertinggi dan mendalami ilmu yang dipelajarinya. Beliau pernah
mengembara ke negeri Yaman ke kota Kufah, Basrah, Mekkah, Baghdad dan Mesir. Di antara
sebab yang lain pula adalah dengan melalui pembahasan-pembahasan dan pertukaran pikiran
dengan ulama-ulama seperti ulama mutakallimin, ulama falsafah, ulama fiqih ulama hadits dan
lain-lain dan termasuk juga kajian atau memperhatikan individu.
Itulah diantara faktor atau sebab yang menambah ilmu pengetahuan Imam Syafi’I lebih
tinggi dan ia adalah suatu perkara yang sangat penting. Justru itu Imam Syafi’I berkata: Barang
siapa yang mempelajari Al-Qur’an maka tinggilah ilmunya, barang siapa menulis hadits, kuat
dan kukuhlah hujjahnya, siapa yang berbincang tentang hukum-hukum fiqih maka ia akan
menjadi bijak, barang siapa mengambil berat tentang adab dan budi pekerti maka budi bahasanya
menjadi lembut dan halus. Barang siapa memikirkan tentang ilmu kira-kira (hisab) akalnya
berkembang dan siapa yang tidak menjaga kehormatan darinya ilmunya tidak memberi suatu
faedah.
8
B. KECEDASAN IMAM SYAFI’I
Di bawah ini adalah beberapa riwayat yang menunjukkan kecerdasan Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah yang sangat di sanjung oleh para ulama yang lainnya.
Dari Ubaid bin Muhammad bin Khalaf Al-Bazzar, dia berkata, “Ketika Abu Tsaur ditanya
tentang siapa yang lebih pandai antara Imam Asy-Syafi’i dan Muhammad bin Al-Hasan, maka ia
menjawab bahwa Imam Asy-Syafi’i lebih pandai dari pada Muhammad, Abu Yusuf, Abu
Hanifah, Hammad, Ibrahim, Al-Qamah dan Al-Aswad.
Ahmad bin Yahya memberitahukan bahwa Al-Humaidi berkata, “Aku telah mendengar dari
Sayyid Al-Fuqaha’, yaitu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Sedang Ar-Rabi’ berkata, “Aku pernah mendengar Al-Humaidi dari Muslim bin Khalid, ia
berkata kepada Imam Asy-Syafi’i, ‘Wahai Abu Abdillah, berfatwalah. Aku bersumpah demi
Allah, sesungguhnya kamu sekarang sudah berhak mengeluarkan fatwa.’ Padahal Imam Asy-
Syafi’i pada saat itu baru berusia lima belas tahun.”
Dari Harmalah bin Yahya, ia berkata, “Aku telah mendengar Imam Asy-Syafi’i ditanya
tentang seorang suami yang berkata kepada isterinya yang pada saat itu dimulutnya terdapat
sebiji kurma, ‘Jika kamu makan korma itu, maka kamu aku talak (cerai), dan apabila kamu
memuntahkannya, maka kamu juga aku talak (cerai),’ maka Imam Syafi’i menjawab, ‘Makan
separuh dan muntahkanlah separuhnya.’”
Al-Muzni berkata, “Ketika Imam Asy-Syafi’i ditanya tentang burung unta yang menelan
mutiara milik orang lain, maka dia menjawab, ‘Aku tidak menyuruhnya untuk menelannya.
Kalau pemilik mutiara ingin mengambil mutiara itu, maka sembelih dan keluarkan mutiara itu
dari perutnya, lalu dia harus menebus burung unta tersebut dengan harga antara burung itu hidup
dan sudah disembelih.’”
Ma’mar bin Syu’aib berkata, “Aku mendengar Amirul Mukminin Al-Makmun bertanya
kepada Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, ia berkata, ‘Wahai Muhammad, apa illat-nya Allah
menciptakan lalat?’”
Mendengar pertanyaan itu, Imam Asy-Syafi’i terdiam sesaat, lalu dia menjawab, ‘Wahai
Amirul Mukminin, lalat itu diciptakan untuk menghinakan para raja.’
Dengan seketika, Al-Makmun tertawa terbahak-bahak. Lalu ia berkata, ‘Wahai Muhammad, aku
telah melihat lalat jatuh ketika ada di pipiku.’ Sehingga Imam Asy-Syafi’i membalasnya dengan
berkata, ‘Benar tuanku. Sebenarnya ketika tuanku menanyakan hal tersebut kepadaku, aku tidak
mempunyai jawabannya. Ketika aku melihat lalat itu jatuh tanpa ada suatu sebab dari pipi tuanku
9
tersebut, maka aku baru menemukan jawabannya.” Kemudian AL-Makmun berkata, “Wahai
Muhammad, segalanya adalah kekuasaan Allah.”
Ibrahim bin Abi Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi
tentang Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Abu Ubaid dan Ibnu Rahawaih, maka dia menjawab,
‘Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang paling cerdas di antara mereka semua.’”
Ar-Rabi’ berkata, “Pada suatu hari ketika aku sedang bersama Imam Asy-Syafi’i, seseorang
datang dan bertanya, ‘Wahai guru, apa pendapatmu tentang orang yang sedang bersumpah,
‘Apabila dalam sakuku terdapat ‘banyak uang dirham’ lebih dari tiga dirham, maka budakku
merdeka. ‘Sedangkan dalam saku orang yang bersumpah tesebut hanya terdapat uang sebanyak
empat dirham saja. Apakah orang itu harus memerdekakan budaknya?’ maka dia menjawab, ‘Ia
tidak wajib memerdekakan budaknya.’”
Ketika penanya minta penjelasan lebih lanjut, maka Imam Asy-Syafi’i berkata, ‘Orang
tersebut telah mengecualikan sumpahnya dengan ‘banyak dirham’, sedangkan empat dirham itu
mempunyai kelebihan satu dari tiga dirham yang disumpahkan. Satu dirham bukanlah ‘banyak
dirham’ sebagaimana yang dimaksudkan dalam sumpahnya.’
Mendengar penjelasan ini, maka penanya kemudian berkata, ‘Aku beriman kepada Zat yang
telah memberikan ilmu melalui lisanmu.’”
C. KITAB-KITAB KARANGAN IMAM SYAFI’I
Imam Syafi’I selain seorang alim ahli mengajar dan ahli mendidik, pula sebagai pengarang
syair dan sajak, juga beliau adalah seorang pengrang kitab-kitab yang bermutu tinggi dan sangat
berguna besar bagi dunia Islam.
Adapun kitab-kitab karangan Imam Syafi’I itu adalah terbagi dua bagian. Pertama, yang
diajarkan dan didiktekan kepada murid beliau ketika di Iraq (Baghdad). Pengajaran itu lalu
disusun dan dihimpun menjadi kitab, dan kitabnya itu dikenal orang dengan “mazhab Syafi’iy
qadim”. Kedua yang diajarkan dan didiktekan kepada murid beliau ketika di Mesir, pengajaran
itu lalu disusun dan dihimpun menjadi kitab pula, dan kitabnya lalu dikenal orang dengan
“mazhab Syafi’iy jadid”. Oleh sebab itu maka hingga kini mazhab Imsm Syafi’iy masih dikenal
orang di seluruh dunia Islam, dengan “mazhab atau qaul Syafi’I qadim” dan “mazhab atau qaul
Syafi’iy jadid”.
Ada pun kitab-kitab karangan beliau menurut riwayat yang hingga sekarang ini masih
tercatat, adalah sebagai berikut:
1. Kitab “Ar-Risalah”. Kitab ini khusus berisi ilmu ushul fiqih. Menurut riwayat, beliau
mengarang kitab ini di kala masih agak muda. Sebabnya beliau mengarang kitab ini
10
karena diminta oleh Abdur Rahman bin Mahdy, seorang Imam ahli hadits yang
terkemuka di masanya, bahwa beliau supaya merencanakan buah karangan kitab yang
membicarakan tentang “ushul fiqih”. Dengan permintaan ini, beliau lalu mengarang
kitab “Ar-Risalah” ini, dan kitab inilah permulaan kitab “ushul fiqih”. Jadi beliaulah
orang yang pertama mengarang kitab tentang “ushul fiqih”. Imam Abdur Rahman bin
Mahdy dan Imam Yahya bin Said, setalah melihat dan menthala’ah kitab “Ar-Risalah”
ini sangat kagum dan heran memperhatikan isinya.
Dalam kitab inilah Imam Syafi’I mengarang dengan jelas tentang cara-cara yang
beristimbath, mengambil hukum-hukum dari al-Qur’an dan dari Sunnah, dan cara-cara
orang beristidlal dari ijma’ dan qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Imam Ar Rabi’ bin
Sulaiman Al-Murady. Kitab ini hingga kini masih dapat diketahui dan dipelajari isinya,
karena masih tersiar di seluruh dunia Islam. Bagi para ulama yang hendak mengetahui
ilmu ushul fiqih Imam Syafi’I yang sebenarnya, cukuplah mempelajari isi kitab “Ar
Risalah” ini dengan arti kata yang sesungguhnya.
2. Kitab “Al-Umm”. Kitab ini ialah satu-satunya kitab besar, yang direncanakan dan
disusun oleh Imam Syafi’I dan kitab inilah sepanjang riwayat sebuah kitab fiqih yang
besar yang tidak ada bandingannya pada masa itu. Isi kitab ini menunjukkan kealiman
dan kepandaian Imam Syafi’I tentang ilmu fiqh, karena susuna kalimatnya tinggi dan
indah, ibaratnya halus dan tahan uji kalau dipergunakan untuk bertukar pikiran bagi
para ahli pikir yang ahli fiqih. Teaptlah kalau kitab ini dinamakan “Al-Umm”, yaitu
“Ibu” bagi anak-anak yang sebenarnya.
Tentang soal-soal pengetahuan fiqih dalam kitab “Al-Umm” ini cukup diperbincangkan
dan dibahas dengan dalil-dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun dari sunnah dan Hadits;
dan baik dari ijma’ maupun dari qiyas. Dan kitab “Al-Umm” ini diriwayatkan juga oleh
Imam Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Murady, dan hingga kini masih dapat diketahui dan
dipelajari isinya, karena masih tersiar di seluruh Negara-negara Islam.
Cetakan yang paling baru dari kitab “Al-Umm” ini menjadi tujuh jilid besar serta tebal,
atas biaya almarhum Ahmad Bek Al Husaini di Mesir. Bagi para ulama yang hendak
mengikut akan mazhab Imam Syafi’I yang sebenarnya amat kecewa sekali jika tidak
mempelajari dan memperlihatkan isi kitab “Al-Umm” ini.
Dalam kitab “Al-Umm” cetakan baru ini termasuk juga kitab-kitab karangan Imam
Syafi’I yang lain, seperti:
a. Kitab “Jami’ul Ilmi”. Kitab ini berisi pembelaan Imam Syafi’I terhadap sunnah
Nabi SAW.
b. Kitab “Ibthalul Istihsan”. Kitab ini berasal tangkisan Imam Syafi’I kepada para
ulama ahli Iraq (Baghdad), yang mereka itu sebagian suka mengambil hukum
dengan cara istihsan.
11
c. Kitab “Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan”. Kitab ini melulu berisi pertahanan
Imam Syafi’I terhadap serangan Imam Muhammad bin Hasan kepada para ahli
Madinah.
d. Kitab “Siyarul-Ausa’y”. kitab ini melulu berisi pembelaan Imam Syafi’I terhadap
Imam Ausa’y. beliau ini seorang alim besar ahli hadits dan termasuk daripada Imam
besar di masa sebelum Imam Syafi’I dilahirkan. Beliau ini dilahirkan pada tahun 88
dan wafat pada tahun 150 Hijriah.
3. Kitab “Ikhtilaful-Hadits”. Inilah satu-satunya kitab yang disusun oleh Imam Syafi’I,
yang didalamnya penuh dengan keterangan dan penjelasan beliau tentang perselisihan
hadits-hadits Nabi SAW. Maka bagi para ulama ahli hadits baik sekali mengatahui dan
menthala’ah kitab ini.
4. Kitab “Al-Musnad”. Kitab ini adalah sebuah kitab yang istimewa berisi sandaran
(sanad) Imam Syafi’I dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi SAW, yang beliau
himpun dalam kitab “Al-Umm”. Bagi para ulama yang hendak mengatahui siapa-siapa
sanad Imam Syafi’I dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi SAW, hendaklah membaca
dan memperhatikan isi kitab ini.
Inilah kitab-kitab karangan yang mulia Imam Syafi’I yang hingga sekarang ini masih dapat
diketahui dan dipelajari isinya. Adapun kitab-kitab lainnya, menurut riwayat adalah seperti
dibawah ini:
1. Kitab “Al-Fiqih”,yang diriwayatkan dan disusun oleh Imam Al-Haramain bin Yahya dari
Imam Syafi’I dengan jalan imla’ (dikte)
2. Kitab “Al-Mukhtasharul-Kabir” dan “Al-Mukhtasharush-Shaghir” dan “Al-Faraidh”,
yang semuanya itu dihumpun dan disusun oleh Imam Al-Buwaithy dari Imam Syafi’i.
3. Kitab “Al-Mukhtasharul Kabir” dan “Al-Mukhtasharus-Shaghir” serta dua kitab lainnya
yang bernama “Al-Jami’u-Kabir” dan “Al-Jami’ush-Shaghir”, yang semuanya itu
dihimpun oleh Imam Al- Muzanni dari Imam Syafi’i.
4. Dan lain-lain kitab dari kitab tafsir, kitab adab dan beberapa risalah yang belum kita
ketahui nama-namanya, karena mungkin belum dicetak kembali.
Diriwayatkan, bahwa yang mulia Imam Syafi’I di kala mengarang dan menyusun
karangannya, jarang sekali beliau makan kenyang dan tidur pulas, sebagaimana kata ar-Rabi’ bin
Sulaiman berkata:”Tidak aku melihat Imam Syafi’I makan di waktu siang hari dan tidur di
malam hari, di kala beliau mengarang kitab-kitab dan menyusunnya, karena dari penuh
perhatiannya terhadap karangan-karangan yang tengah direncanakannya.
Menurut Encyclopaedia of Islam, as-Syafi’I dapat digambarkan sebagai seorang
penimbang yang baik sehingga menjadi penengah antara peneliti data hukum yang beraliran
bebas dan ahli hadits . Ia tidak saja menelaah data hukum yang ada, tetapi di dalam Risalahnya ia
12
juga menyelidiki prinsip dan metode fiqih . Ia dianggap sebagai pendiri Ushul al-Fiqh. Berbeda
dengan kaum Hanafi, ia mencoba meletakkan aturan-aturan umum Qiyas, namun ia menyentuh
Istihsan.
Prinsip Ishtibah tampaknya diperkenalkan untuk pertama kali oleh angkatan Syafi’I yang
lebih muda. Dalam as-Syafi’I dapat dibedakan dua era kreatif, yaitu era awal (Irak), dan era
belakangan (Mesir).
Dalam karya tulisnya ia memanfaatkan dialog dengan baik. Ia menguraikan prinsip-prinsip
Fiqh dalam Ar-Risalah, dan mencoba menjembatani Fiqh Hanafi dan Maliki. Himpunan tulisan
dan ceramahnya di Kitabul Umm merupakan bukti kecendikawannya.
Ia memusatkan kegiatannya di Baghdad dan Cairo. Di atas segalanya ia menaati Qur’an,
kemudian Sunnah. Hadits yang paling Shahih diberikannya pertimbangan yang sama seperti
Qur’an. Ia termahsyur di antara para ahli hadits, dan penduduk Baghdad menamakannya Nazir-
us-Sunnah (eksponen Hadits).
Dalam diri Imam Syafi’I tergabung keahlian prinsip-prinsip Fiqh Islam dan penggunaan
bahasa rakyat Hejaz dan Mesir yang lancer, sehingga ia tidak tertandingi dalam percakapan
maupun tulisan. Karya tulisannya lebih baik dan penulis Arab yang terbaik pada masanya,
termasuk Jahiz.
Ajaran Imam Syafi’I meluas dari Baghdad dan Cairo sampai ke seluruh Mesir, Irak dan
Hejaz. Muridnya yang terkemuka adalah al-Muzani, al-Buwaiti, al-Rabib Sulaiman, al-Maradi,
al-Zafarani Abu Thawi, al-Humaidi, Ahmad ibn Hanbal dan al-Karabisi.
Pada abad ketiga dan keempat, penganut kaum Syafi’I semakin banyak di Baghdad dan
Cairo. Pada abad keempat, Mekkah dan Medina menjadi pusat ajaran Syafi’I, di sampaing Mesir.
Di bawah Sultan Salahuddin Ayyubi, mazhab Syafi’I menjadi paling utama. Tetapi Sultan
Baibars mengakui juga mazhab fiqih yang lain, dan mengangkat para hakim dari keempat
Mazhab yang ada.
Sebelum kekuasaan Ottoman, kaum Syafi’I paling unggul di pusat wilayah Islam. Selama
awal abad ke-16 M, Ottoman mengganti Syafi’I dengan Hanafi. Walau begitu, ajaran Syafi’I
tetap unggul di Mesir, Suriah, Hejaz dan masih banyak dipelajai di Universitas al-Azhar, Cairo.
Fiqh Syafii masih banyak dianut oleh Muslimin di Arab Selatan, Bahrain, Kepulauan Melayu,
sebagian Afrika Timur dan Asia Tengah.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih
dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu
tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat beliau digelari Nasuru
Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan
yang sangat tinggi. Selain kedua sumber (Al-Qur’an dan Hadis), dalam mengambil suatu
ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai
dasar hukum Islam, beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H/820 M.
13
Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I mengatakan bahwa Imam Syafi’I telah
menghasilkan sekitar 140-an kitab, baik dalam Ushul maupun Furu’. Di antara karangannya
adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab
fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul.
Beliau mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Karyanya yang lain adalah As-
Sunan al-Ma’tsurah, al-Fiqh al-Akbar, Al-Musnad, ikhtilaf al-hadits dan Jima’ul Ilmi.
D. PERMULAAN MAZHABNYA
Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat
dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pembentukan
Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H.
Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan
pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’
Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang begini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan “Nasir Al-
Hadith”.
Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halqah)
di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah
dibahagikan kepada tiga peringkat :-
1. Peringkat Makkah (186 – 195H)
2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)
3. Peringkat Mesir (199 – 204H)
Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut yang telah
menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.
Penulisan Pertamanya
Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-
Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah
dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai
kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan
pulangnya semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di tempat
mana beliau mulakan usaha penulisannya.
Apa yang kita temui – sesudah kita menyImak beberapa buah kitab lama dan baru yang
menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahawa kitabnya “Al-
Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam
Ilmu Usul, pun keterangan ini tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil
14
penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di
samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana
beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau
menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa
beliau menulisnya ketika berada di Iraq.
Kata Ahad Muhammad Shakir,”Al-Syafi’i yang telah mengarang bebrapa buah kitab yang
jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada
orang ramai. Sebahagiannya pula beliau merencanakannya saja kepada para sahabatnya. Untuk
mengira bilangan kitab-kitabnya itu memanglah sukar karena sebahagian besarnya telah pun
hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau di Makka, di Baghdad dan
Mesir.”
Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita membuat
satu kesimpulan bahwa asy-Syafi’i telah memulakan siri penulisannya sewaktu beliau di Makkah
lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “ar-Risalah”.
Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab Qadim
Di samping “ar-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para
ulama sebagai sebuah kitab yang mengandung fatwa mazhab Qadimnya yaitu “al-Hujjah”. Pun
keterangan mengenai kitab ini tidak menunjukkah bahwa ia adalah kitab pertama yang ditulis di
dalam bidang ilmu Fiqh semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu
jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkan sewaktu beliau berpindah ke Negara
itu pada kali keduanya, yaitu di antara tahun 195-197 H.
Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam ilmu Fiqah yang
beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di
Iraq, antara seperti kitab-kitab berikut:
1. Al-Amali
2. Majma’ al-Kafi
3. ‘Uyun al-Muhit
4. Al-Bahr al-Muhit
5. Kitab al-Sunan
6. Kitab al-Thaharah
7. Kitab al-Shalat
8. Kitab al-Zakat
9. Kitab al-Shiam
10. Kitab al-Haj
15
11. Kitab al-I’tikaf
12. Kitab al-Buyu’
13. Kitab al-Rahn
14. Kitab al-Ijarah
15. Kitab al-Nikah
16. Kitab al-Thalaq
17. Kitabal-Sadaq
18. Kitab al-Zihar
19. Kitab al-Ila’
20. Kitab al-Li’an
21. Kitab al-Jiharat
22. Kitab al-Hudud
23. Kitab al-Siyar
24. Kitab al-Qadaya ahl al-Baghyi
25. Kitab al-‘Itq dan lain-lain
Setengah perawi pula telah menyebut bahwa kitab pertama yang dihasilkan oleh asy-Syafi’i
adalah di dalam bentuk jawaban dan perdebatan yaitu satu penulisan yang dituju khas kepada
fuqaha ahl al-Ra’y sebagai menjawa kecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan Fuqaha
Madinah. Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat al-Buwaiti:”Kata asy-Syafi’i :
Ashab al-Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka telah
meminta saya menulis satu jawaban terhadap kitab Abu Hanifah. Saya menjawab bahwa saya
belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab
mereka. Lantas saya meminta supaya disalinkan kitab-kitab itu. Lalu disalin kitab-kitab
Muhammad bin Al-Hasan untuk (bacaaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga
saya dapat menghafazkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di Baghdad.
Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yang dihasilkan oleh
asy-Syafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawaban dan perdebatan, dan
cara penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahwa
masa penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan kitab “Ar-Risalah”, yaitu di antara tahun-
tahun 184-186 H.
Metode Penulisan Kitab-kitab Qadim
Berhubung dengan metode penulisan kitab “al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat kita
pastikan dengan yakin karena sikap asalnya tiada kita temui, kemungkinan masih lagi ada
nasakah asalnya dan kemungkinan juga ia sudah hilang atau rusak dimakan zaman. Walau
bagaimanapun ia tidak terkeluar ini hanya satu kemungkinan saja dari metode penulisan
16
zamannya yang dipengaruhi dengan aliran pertentangan mazhab-mazha beliau dengan Mazhab
Hanafi dan juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat dalam penulisan kitab “Al-Umm”
yang pada asalnya adalah kumpulan dari beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu
masing-masing membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepada
bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri. Di dalam setiap bab ini
dimuatkan dengan segala macam masalah fiqh yang tunduk kepada tajuk besar ialah tajuk bagi
sesuatu kitab, umpamanya kitab “al-Thaharah”, ia mengandungi tiga puluh tajuk bab kecil, ke
semua kandungan bab-bab itu ada kaitannya dengan Kitab “al-Thaharah”.
Perawi Mazhab Qadim
Ramai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, di antara mereka
yang termahsyur hanya mpat orang saja:
Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240 H.
Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun 260 H.
Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245 H.
Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241 H.
Menurut Al-Asnawi, asy-Syafi’i adalah ulam pertama yang hasil penulisannya meliputi
banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.
Perombakan Semula Kitab-kitab Qadim
Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199 H menyebabkan berlakunya satu rombakan
besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpuncak dari penemuan beliau dengan
dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau karena beliau mendapati hadits-hadits
yang shahih yang tidak sampai ke pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya
atau karena hadits-hadits itu terbukti shahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudah
keshahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan karena itu beliau telah menolak
sebagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada prinsipnya:”Apabila ditemui sebuah
hadits yang shahih maka itulah Mazhab saya.”
Di dalam kitab “Mnaqib Al-Shafi’i”, al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapa buah
kitab lama (Mazhab Qadim) yang disimak semula oleh al-Syafi’i dan diubah sebagian fatwanya
diantara kitab-kitab itu ialah:
1. Ar-Risalah
2. Kitab al-Shiyam
3. Kitab al-Sadaq
4. Kitab al-Hudud
17
5. Kitab alRahn al-Saghir
6. Kitab al-Ijarah
7. Kitab al-Jana’iz
Menurut al-Baihaqi lagi al-Syafi’i tela menyuruh supaya dibakar kitabkitab lamanya yang
mana fatwa ijtihadnya telah diubah. Catatan al-baihaqi itu menujukkan bahwa al-Syafi’i
melarang para sahabatnya meriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolah kepada orang
ramai. Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk di sana-sini di
dalam kitab-kitab fuqaha mazhabnya sama kitab-kitab yang ditulis fuqaha yang terdahulu atau
pun fuqaha yang terkemudian.
Kemungkinan hal ini berlaku dengan karena kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh
al-Za’farani, al-Karabisi dan lain-lai sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui umum,
terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapat-pendapatnya itu tidak
mengetahui larangan beliau itu.
Para fuqaha itu bukan saja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam penulisan
mereka malah menurt al-Nawawi ada di antara mereka yang berani mentarjihkan pendapat-
pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokong oleh hadits-hadits yang shahih.
Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendaki asy-Syafi’i, malahan
itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya:”Apabila ditemui sebuah hadits
yang shahih maka itu;ah mazhab saya.”
Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadits yang shahih kita
akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha mazhab asy-Syafi’i. Pertama pendapat itu harus
dipilih dan digunkan oleh seseorang mujtahid mazhab asy-Syafi’i atas dasar ia adalah pendapat
asy-Syafi’i yang tidak dimansuhkan oelhnya, karena seseoang mujtahid (seperti asy-Syafi’i)
apabila ia mengeluarkan pendapat barunya bercanggah dengan pendapat lamanya tidaklah berarti
bahwa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam masalag itu dianggap mempunyai
dua pendapat pertamanya bahkan di dalam masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.
Kedua, tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha mazhab asy-
Syafi’i karena pendapat lama dan baru adalah dua pendapatnya yang bertentangan yang mustahil
dapat diselaraskan kedua-duanya.
18
Kitab-kitab Mazhab Jadid
Di antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau
merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah:
i. Ar-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpindah ke
Mesir.
ii. Beberapa buah kitab di dalam hokum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab
“Al-Umm”, seperti:
a) Di dalam bab Thaharah:
1. Kitab al-Wudu’
2. Kitab al-Tayamum
3. Kitab al-Thaharah
4. Kitab Masalah al-Mani
5. Kitab al-Haid
b) Di dalam bab Shalat:
6. Kitab Istiqbal al-Qiblah
7. Kitab al-Imamah
8. Kitab al-Jum’ah
9. Kitab Shalat al-Khauf
10. Kitab Shalat al-‘Aidain
11. Kitab al-Khusuf
12. Kitab al-Istisqa
13. Kitab Shalat al-Tatawu’
14. Al-Hukm fi Trik al-Shalat
15. Kitab al-Jana’iz
16. Kitab Ghasl al-Mayyit
c) Di dalam bab Zakat:
17. Kitab al-Zakah
18. Kitab Zakat Mal al-Yatim
19. Kitab Zakat al-Fitr
20. Kitab Fard al-Zakah
19
21. Kitab Qasm al-Sadaqat
d) Di dalam bab Shiyam (Puasa)
22. Kitab al-Shiyam al-Kabir
23. Kitab Saum al-Tatawu’
24. Kitab al-I’tikaf
e) Di dalam bab Haji:
25. Kitab al-Manasik al-Kabir
26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir
27. Mukhtasar al-haj al-Shaghir
f) Di dalam bab Mu’amalat:
28. Kitab al-Buyu’
29. Kitab al-Sarf
30. Kitab al-Salam
31. Kitab al-Rahn al-kabir
32. Kitab al-Rahn al-Shaghir
33. Kitab al-Taflis
34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Shaghir
35. Kitab al-Sulh
36. Kitab al-Istihqaq
37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah
38. Kitab al-Himalah wa Wakalah wa al-Sharikah
39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib
40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir
20
41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi
42. Kitab al-‘Ariah
43. Kitab al-Ghasb
44. Kitab al-Shaf’ah
g) Di dalam bab Ijarat (sewa-menyewa):
45. Kitab al-Ijarah
46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah
47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat
48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir
49. Kitab Kara’ al-Ard
50. Kara’ al-Dawab
51. Kitab al-Muzara’ah
52. Kitab al-Musaqah
53. Kitab al-Qirad
54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat
h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah)
55. Kitab al-Mawahib
56.Kitab al-Ahbas
57. Kitab al-“umra wa al-Ruqba
i) Di dalam bab Wasaya (wasiat):
58. Kitab al-Wasiat li al- Warith
59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq
60. Kitab Taghyir al-Wasiah
21
61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al Mayyit
62. Kitab Wasiyat al-Hamil
j) Di dalam bab Faraidh dan lain-lain:
63. Kitab al-Mawarith
64. Kitab al-Wadi’ah
65. Kitab al-Luqhatah
66. Kitab al-Laqit
k) Di dalam bab Nikah:
67. Kitab al-Tara’id bi al-Khitbah
68. Kitab Tahrim al-Jam’i
69. Kitab al-Shighar
70. Kitab al-Sadaq
71. Kitab al-Walimah
72. Kitab al-Qism
73. Kitab Ibarah al-Thalaq
74. kitab al-Raj’ah
75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz
76. Kitab al-Ila’
77. Kitab al-Zihar
78. Kitab al-Li’an
79. Kitab al-‘Adad
80. Kitab al-Istibra’
81. Kitab al-Rada’
22
82. Kitab al-Nafaqat
l) Di dalam bab Jirah (Jenazah):
83. Kitab Jirah al-‘Amd
84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat
85. Kitab Istidam al-Safinatain
86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin
87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad
88. Khata’ al-Tabib
89. Jinayat al-Mu’allim
90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam
91. Kitab al-Qasamah
92. Saul al-Fuhl
m) Di dalam bab Hudud:
93. Kitab al-Hudud
94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah
95. Qutta’ al-Tariq
96.Sifat al-Nafy
97. Kitab al-Murtad al-Kabir
98. Kitab al-Murtad al-Shaghir
99. Al-HUkm fi al-Sahir
100. Kitab Qital ahl al-Baghy
n) Di dalam bab Siar dan Jihad:
101. Kitab al-Jizyah
23
102. Kitab al-rad ‘ala Siyar al-Auza’i
103. Kitab al-Rad ‘ala Siayr al-Waqidi
104. Kitab Qital al-Mushrikin
105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul
106. Kitab Al-Sabq wa al-Ramy
107. kitab Qasm al-fai’ wa al-Ghanimah
o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan):
108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab
109. Kitab al-Dahaya al-Kabir
110. Kitab al-Dahaya al-Shaghir
111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih
112. Kitab Dhabaih Bani Israil
113. Kitab al-Ashribah
p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman):
114. Kitab Adab al-Qadi
115. Kitab al-Shadat
116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid
117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat
118. Kitab al-Aqdiah
119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur
q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain:
120. Kitab al-‘Itq
121. Kitab al-Qur’ah
24
122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah
123. Kitab al-Wala’ wa al-Half
124. Kitab al-Wala’ al-Shaghir
125. Kitab al-Mudabbir
126. Kitab al-Mukatab
127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad
128. Kitab al-Shurut
Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai
kitab-kitab ushul, tetapi ia juga mengandungi hokum-hukum furu’, seperti:
1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith
2. Kitab Jima’ al-Ilm
3. Kitab Ibtal al-Istihsan
4. Kitab Ahkam al-Qur’an
5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla
6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy
7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i
8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin
9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan
10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah
11. Kitab Fada’il Quraysh
Ada sebuha lagi kitab asy-Syafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah yaitu, “Al-Mabsut”.
Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “Al-Mukhtasar al-
Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat sebagian ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-
Umm”.
E. KONSEP PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG EKONOMI ISLAM
I. Pemikiran Tentang Harta
Harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting dan merupakan salah satu perhiasan
dunia. Secara literal harta (al-mal) berarti sesuatu yang naluri manusia condong kepadanya.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa harta tidak hanya terbatas pada materi tetapi juga manfaat.
25
Menurut pandangan jumhur, kegunaan atau manfaat barang merupakan unsur terpenting dari
harta karena nilai harta sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas manfaatnya.
II. Pemikiran Tentang Uang
Menurut Imam Syafi’i, uang terpisah sama sekali dari jenis barang lainnya berdasarkan
kesepahaman antar pengguna uang tersebut. Karena semua barang bisa menjadi alat tukar atau
memiliki sifat sebagai alat tukar, pendapat Imam Syafi’i tersebut memberikan banyak kebebasan.
Pendapat ini juga memiliki alasan praktis bahwa jual beli bahan makanan dengan uang pasti
dibolehkan karena juga didukung oleh Hadits Rasulullah SAW, “Cara yang berguna bagi
seseorang untuk memperoleh penghidupan”.
Konsep Imam Syafi’i mengenai ”semua barang bisa menjadi alat tukar atau memiliki sifat
sebagai alat tukar” membuka konsep baru tentang uang, uang tidak lagi menjadi komoditi
(berbeda dengan emas dan perak dalam bentuk aslinya). Orang memegang uang karena uang
mudah dipakai untuk membeli kebutuhan apa saja yang dibutuhkan. Nilai uang adalah
berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi terbatas pada nilai intrinsik yang terkandung dalam
logam yang dipakai untuk membuat uang tersebut.
Meskipun demikian, Imam Syafi’i sendiri lebih condong untuk menimbang uang
berdasarkan berat dibandingkan dengan menghitungnya, hal ini didorong oleh kebiasaan
masyarakat pada zamannya yang begitu kuat memegang tradisi untuk menimbang uang. Karena
kebiasaan ini, maka yang dikategorikan Riba pada masa tersebut adalah apabila jumlah berat
yang berbeda dan bukannya dengan jumlah hitungan yang berbeda.
Ulama syafii juga berpendapat sangat pentingnya peran al-‘urf dlam hal uang sebagai nilai
harga. Oleh sebab itu menurut mereka apa pun hal yang telah terjadi menjadi istilah pasar
sebagai satuan hitungan dan sarana perantara untuk saling tukar mnenukar, maka boleh dijadikan
sebagai uang pokok, sekalipun bentuknya dinar dan dirham al-magsyusah ataupun al-fulus.
Dengan demikian, boleh hukumnya menggunakan dinar atau dirham magsyusah sekalipun
kadar campuran tersebut tidak diketahui. Sebab, yang menjadi ukuran adalah lakunya pasar.
Oleh sebab itu apabila istilahpasar telah mengakuinya sehingga ia menjadin uang pokok, maka
apabila disebutkan uang atau nilai harga secara umum dimaksudkan adalah uang tersebut. Beliau
juga berkata:Apabila seseorang menjual sesuatu dengan dirham atau dinar dengan syarat harus
dengan jenis uang yang dikenal. Oleh sebab itu, apabila di wilayah tersebut terdapat hanya satu
jenis uang, atau terdapat beberapa jenis, tapi hanya satu saja yang menjadi istilah pasar, maka
transaksi tersebut dapat dibayar dengan nilai harga istilah pasar, sekalipun bentuknya fulus.
Al-syarbani mengatakan.”sekalipun uang tersebut magyusyah tetap hukumnya boleh
menggunakan uang terseubt, sekalipun kadar perak yang ada pada uang itu tidak diketahui.
Sebab yang menjadi standar adalah al-urf.
Ibnu hajar mengatakan:
26
Boleh hukumnya muamalah dengan al-magyusyah, sekalipun dengan tanggungan al-
dzimmah (jaminan) tanpa harus mengathui kadar campuran yang ada pada uang tersebut, sebab
yang menjadi standar adalah al-urf. Maka dari itu, apabila fulus berlaku di pasar, sebagaimana
halnya dinar dan dirham maka hukumnya dapat disamakan.
Ibnu Shalah ditanya tentang seseorang yang menyewa rumah selama satu bulan tertentu
dengan seratus lembar fulus. Apakah penyewaan tersebut? Sebab, pada realitasnya fulus
berbeda-beda ukuran besar dan kecil? Beliau menjawab:” Dulu aku berpendapat:’sesungguhnya
fulus tidak boleh digunakan dalam transksi yang berkaitan dengan dzimah, sebab ukurannya
tidak sama, sekalipun ukurannya sama, ia tetap beda pada timbangan, sementara yang dimaksud
adalah kebendaannya, sebagaimana halnya tembaga, sekalipun timbangnnya sama, tapi
jumlahnya berbeda.’ Akan tetapi setelah itu aku berpndapat lagi: bahwa selama jumlahnya sama
maka perbedaan pada besar dan kecil atau berat dan ringan tidak mempengaruhi sama sekali.
Sebab, semua jenis tersebut sederajat sma-sama laku di pasaran. Dan nilai harga dan lakunya di
pasarlah yang menjadi tujuan.
III. Pemikiran Tentang Riba
Dalam penetapan hukum bahwa riba itu haram, seluruh ulama telah sepakat tentang hal
tersebut. Banyak pandangan yang berbeda di kalangan ulama fiqh mengenai konsep riba, dalam
tulisan ini hanya dikemukakan dua perbedaan pendapat yang dianggap paling berdampak pada
praktik keuangan baik dalam dimensi pemikiran klasik maupun kontemporer. Hal tersebut adalah
tentang pembagian riba dan alasan (illat) pengharaman riba.
Imam Syafi’i membagi riba menjadi tiga bagian, yaitu riba fadhl (menjual barang dengan
sejenisnya tetapi yang satu dilebihkan), riba yad (jual beli dengan mengakhirkan penyerahan
barang tanpa harus timbang terima), dan riba nasi’ah (jual beli yang pembayarannya diakhirkan
tetapi harganya ditambah).
IV. Pemikiran Tentang Jual beli
Jual beli disyari’atkan berdasarkan konsensus kaum muslimin. Karena kehidupan manusia
tidak bisa lepas dari aktivitas tersebut. Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian
dengan sudut pandang yang berbeda. Ada beberapa perbedaan pandangan antar ulama yang
menjadi landasan penetapan hukum jual beli pada masa dahulu dan praktiknya terus berjalan
hingga sekarang dengan berbagai bentuk modifikasi.
Tentang jual beli yang dilakukan hanya dengan serah terima barang tanpa kata akad terdapat
perbedaan pandangan. Imam Syafi’i menyatakan jual beli tersebut tidak sah berdasarhan hadits,
”jual beli dilakukan atas dasar saling rela”. Rela adalah persoalan hati yang samar, tidak bisa
diketahui kecuali diucapkan.
27
Dalam jual beli dikenal adanya khiyar. Tentang hal ini juga ada perbedaan pandangan.
Menurut imam Syafi’i jika kesepakatan jual beli terjadi, masing-masing penjual dan bembeli
punya hak khiyar (hak pilih) selama belum berpisah atau punya hak untuk memastikan jadi
tidaknya transaksi. Transaksi telah sempurna dan telah terjadi dengan adanya akad. Lebih jauh,
tentang khiyar, dalam hal jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau belum pernah
diperiksa menurut imam Syafi’i jual beli terhadap benda yang ghaib dari semula sudah tidak sah
sehingga tidak ada hak khiyar di dalamnya.
V. Pemikiran Tentang Kerja Sama Usaha (Kemitraan)
Kerjasama usaha yang umum dilakukan dalam bisnis diantaranya syirkah, mudharabah,
wakalah dan sebagainya. Di sini akan dikemukakan tentang perbedaan pendapat di antara ulama
dalam beberapa aspek kerjasama usaha.
Tentang pembagian keuntungan yang tidak sama dalam syirkah, Imam Syafi’i menyatakan
bahwa dalam syirkah ’inan, jika modal masing-masing sama tetapi pembagian keuntungan tidak
sama, maka syirkah tersebut menjadi rusak (batal). Menurut Syafi’i, dalam syirkah ’inan modal
masing-masing harus dicampur sampai tidak bisa dibedakan lagi satu dengan lainnya dan tidak
ditentukan pembagian hasilnya.
Dalam mudharabah, terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam beberapa aspek. Tentang
pembatasan masa kerjasama, menurut imam Syafi’i tidak dibolehkan karena tujuan mudharabah
adalah untuk mendapatkan keuntungan. Batasan waktu akan menghilangkan tujuan tersebut.
Selain itu, tentang kerugian yang disebabkan oleh pengelola imam Syafi’i berpendapat
bahwa kerugian itu adalah tanggung jawab pengelola bukan pemilik modal.
Dalam pengelolaan usaha mudharabah, menurut imam Syafi’i pemilik modal boleh ikut
bekerja. Kerugian dan keuntungan yang diakibatkan adalah tanggung jawabnya sendiri.
pengelola tidak ikut menanggung kerugian dan tetap mendapat upah atas kerjanya.
Dalam penentuan kegiatan pengelola (manajerial usaha), imam Syafi’i berpendapat bahwa
pemilik modal tidak boleh membatasi gerak kegiatan pengelola karena pemilik modal belum
tentu lebih pandai dari pengelola.
VI. Pemikiran Tentang Gadai
Dalam operasional gadai terdapat beberapa aspek esensial yang membawa cara pandang
berbeda pada kalangan ulama. menurut Syafi’i akad jaminan atau gadai tidak sah tanpa
penyerahan barangnya. Ini untuk masyarakat kebanyakan yang biasanya sering berbuat sesuatu
yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Mereka biasanya hanya mementingkan
keuntungan pribadi tanpa memperhatikan orang lain.
Tentang penguasaan kreditur atas barang jaminan terdapat perbedaan pandangan. Menurut
Imam Syafi’i;penguasaan kreditur atas barang jaminan (gadaian) tidak termasuk syarat akad
gadai. Ini untuk orang kebanyakan yang biasanya kurang memperhatikan persoalan keadilan dan
28
agama. Dalam praktek gadai, jika terjadi satu barang dipergunakan sebagai jaminan atas dua
macam utang, maka Menurut imam Syafi’i barang gadaian tetap hanya menjadi jaminan atas
utang yang pertama, tidak termasuk utang kedua.
Tentang pemanfaatan barang gadai, menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa manfaat dari
barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan (pemilik barang). Murtahin tidak dapat
mengambil manfaat daripadanya, kecuali atas izin dari pihak yang menggadaikan.
Madzhab Syafi’i berpandangan bahwa syarat gadai terbagi menjadi dua yaitu:
a. Syarat tetapnya gadai; yaitu diterimanya barang gadai. Apabila seseorang menggadaikan
sebuah rumah, tetapi belum diterima oleh penerima gadai, maka belum tetap (mengikat) akad
gadai tadi. karenanya orang yang menggadaikan boleh menarik barang gadai kembali. Apabila
barang yang digadaikan sebelum akad sudah di bawah kekuasaan penerima gadai, baik karena
barang itu disewa, dipinjam, atau digashab ataupun lainnya, maka barang itu dinyatakan telah
diterima murtahin sesudah akad, bila sudah lewat waktu yang memungkinkan barang diterima.
Untuk sahnya serah terima disyaratkan adanya izin dari orang yang menggadaikan.
b. Syarat sahnya gadai sebagai berikut:
1) Syarat yang berkaitan dengan akad, yaitu hendaknya tidak dikaitkan dengan syarat yang
tidak dikehendaki oleh akad ketika sudah tiba jatuh tempo. Karena yang demikian ini dapat
membatalkan gadai. Adapun bila menetapkan suatu syarat yang dikehendaki orang akad
seperti syarat mendahulukan penerima gadai atas lainnya yakni para kreditur dalam
menerima barang yang digadaikan, maka tidak merugikan.
2) Syarat yang berkaitan dengan kedua belah pihak: rahin (yang menggadaikan) dan
murtahin (penerima gadai). Yaitu keahlian (kecakapan) kedua belah pihak yang berakad.
Misalnya masing-masing dari mereka sudah baligh (dewasa), berakal dan tidak mahjur
‘alaih. Karenanya tidak sah gadainya anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara
mutlak walaupun mendapat izin dari walinya. Atas pertimbangan, wali boleh
membelanjakan harta mahjur ‘alaih dengan digadaikan dalam dua keadaan; a) dalam
keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Seperti mahjur alaih dalam
keadaan sangat membutuhkan pakaian, makanan, pendidikan dan lain sebagainya. Tetapi
dengan syarat si wali tidak mendapatkan biaya untuk itu selain menggadaikan harta mahjur
‘alaih. b) gadai itu mengandung kemaslahatan terhadap mahjur ‘alaih. Misalnya bila wali
mendapatkan barang yang dijual dan dalam membelinya mendapat keuntungan bagi
mahjur ‘alaih, namun tidak mendapat uang untuk membelinya, maka wali boleh
menggadaikan barang milik mahjur ‘alaih untuk dibelikan barang tersebut karena sangat
mengharap adanya keuntungan bagi mahjur ‘aliah
3) Syarat yang berkaitan dengan marhun (barang yang digadaikan) ada beberapa perkara
yaitu: a) penggadai punya hak kuasa atas barang yang digadaikan. b) marhun berupa
barang. c) barang gadai (marhun) bukan barang yang cepat rusak, sedang hutangnya untuk
29
jangka waktu yang cukup lama dalam arti barang itu sudah rusak sebelum jatuh tempo. d)
barang gadai itu barang yang suci. e) barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut
syara’, meskipun pada saat yang akan datang.
4) Syarat yang berkaitan dengan marhun bih/ penyebab penggadaian (hutang yang
karenanya diadakan penggadai). Hal ini ada empat perkara: a) penyebab penggadaian
adalah hutang b) hutang itu sudah tetap c) hutang itu tetap seketika atau yang akan datang
d) hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya. Oleh karena itu tidak sah
menggadaikan sesuatu barang atas hutang yang belum diketahui benda, jumlah, dan
sifatnya.
Pendapat Imam Syafi’i dalam kitabnya mengatakan:
Berkata Imam Syafi’i bahwa berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA. Gadaian
itu yang ditunggang dan diperah. Ini tidak boleh gadaian padanya, selain bahwa pengendaraan
dan pemerahan susu itu bagi rahin yang menggadaikan, tidak bagi murtahin. Karena
sesungguhnya yang memiliki pengendaraan dan pemerahan susu ialah rahin yang memiliki diri
binatang itu dan diri itu tidaklah manfaat, yang manfaat adalah pengendaraan dan pemerahan.
Apabila seseorang menggadaikan seorang budak kepada orang lain atau rumah atau yang
lainnya, maka penempatan rumah, penyewaan budak dan pelayanannya adalah bagi
rahin.seperti demikian juga segala manfaat gadaian itu bagi rahin. Tidaklah bagi murtahin
sesuatu daripadanya. dapat mengambil manfaat (kursif penulis). Kalau disyaratkan oleh
murtahin atas rahin bahwa bagi murtahin penempatan rumah atau pelayanan budak atau
kemanfaatan gadaian atau sesuatu dari kemanfaatan gadaian apa adanya atau dari gadaian
manapun, ada dia itu rumah atau hewan atau lainnya, maka persyaratan itu batal.
VII. Konsep Harga
Berkenaan dengan konsep harga, Imam Syafi’i hanya menjelaskan secara ringkas mengenai
penyebab naik dan turunnya harga di pasaran. Menurutnya nilai suatu komoditi meningkat dan
menurun pada setiap waktu disebabkan perubahan harga, banyak dan sedikitnya keinginan
manusia dan kualitas dan banyaknya barang. Dari penjelasannya yang singkat dapat dimengerti
bahwa ada beberapa faktor penentu yang menyebabkan nilai suatu komoditi atau jasa mengalami
perubahan, yaitu: keinginan manusia, perubahan harga, kualitas dan kuantitas barang.
30
F. PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I YANG MASIH RELEVAN DENGAN MASA
SEKARANG
Dunia keilmuan Islam, khususnya dalam Fiqh dan Ushul al-Fiqh, tak mungkin dapat
dipisahkan dari sosok Imam Syafi’i Radliyallahu ‘Anhu. Beliau adalah salah satu pendiri empat
Madzhab Fiqih yang diikuti oleh ummat Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah,
yang populer disebut dengan Madzhab Syafi’i. Dalam perkembangannya sampai saat ini,
Madzhab Syafi’i adalah madzhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh ummat Islam di dunia,
khususnya di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Yaman, Syria, Irak, dan masuh
banyak lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa cara berfiqh yang digali dan dikembangkan oleh
Imam Syafi’i dan para penerusnya, memiliki kemampuan untuk tetap relevan dalam
perkembangan sepanjang sejarah dan heterogenitas ummat Islam (geografi, demografi, kultur,
etnis, ras, bahasa, dan tingkat perkembangan sosialnya).
Lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran Islam semenjak kehadiran agama ini di
Nusantara, baik formal maupun non formal, telah mengembangkan madzhab ini mengikuti
perkembangan sosial dan budaya serta kebutuhan yang ada. Ibarat pohon makin kuatlah akarnya
menancap di bumi Indonesia, makin rimbun pula daunnya menaungi ummat Islam, serta
beranak-pinak cabang-cabangnya untuk dimanfaatkan mereka yang memerlukannya. Dengan
kata lain, Madzhab Syafi’i adalah sama dan sebangun dengan pertumbuhan dan perkembangan
Islam di Indonesia. Mengembangkan Islam di Indonesia berarti pula melakukan pengembangan
mazhab ini sebagai salah satu pijakan utamanya.
Itulah sebabnya menjadi sangat penting bagi para pelajar, mahasiswa, dan santri ponpes
yang memiliki keinginan kuat untuk tafaqquh fid dien melalui pendalaman ilmu fiqh, untuk
memahami sosok beliau secara komprehensif, sebagai tauladan (uswah) dan referensi utama
sehingga dapat mengambil hikmah dari pergumulan intelektual beliau. Dengan mempelajari
secara mendalam pribadi dan perjalanan kehidupan kecendekiawanan (intellectual biography)
Imam Syafi’i maka akan diperoleh manfaat berupa pemahaman yang lebih mendalam dan
kontekstual terhadap pemikiran dan pergumulan beliau dalam ilmu fiqh. Selanjutnya pemahaman
tersebut akan bisa menjadi obor penerang bagi perjalanan para santri, pelajar, mahasiswa dan
siapapun yang ingin memajukan fiqh dan menjadikannya tetap mampu menjawab berbagai
tantangan yang dihadapi oleh masyarakat yang terus menerus berubah.
Padahal jika kita belajar dari sosok seperti Imam Syafi’i maka yang paling menonjol dari
beliau adalah kemampuannya untuk menerima dan mengantisipasi perubahan. Kenyataan bahwa
ada yang disebuk qaul qodim dan qaul jaded itu saj sudah menunjukkan bahwa Imam Syafi’i
menolak kejumudan atau stagnasi dalam pemikiran dan tindakan. Beliau adalah tipe
31
cendekiawan yang senantiasa mencari tanpa henti. Padahal dengan kapasitas inteleknya yang
luar biasa bisa saja beliau menjadi seorang yang berada dekat dengan pusat kekuasaan. Teladan
yang harus kita ikuti dari beliau adalah menjadikan tafaqquh fid dien sebagi etos kehidupan
pesantren yang akan mampu menjawab tantangan dalam kehidupan dan ikut meningkatkan
kualitas manusia di sekitarnya.
Mengapa madzhab Imam Syafi’i begitu cepat berkembang dan mampu mempertahankan
relevansinya samapi sekarang di seluruh dunia?. Menurut Dr Wahbah Zuhaili, dalam bukunya
“Fiqih Imam Syafi’i”, ada beberapa cirri khas yang membuat madzhab ini sangat kuat. Antara
lain:
Madzhab Syafi’i selalu berpedoman pada ilmu Ushul al-Fiqh. Ilmu yang dikembangkan
oleh Imam Syafi’i ini dipergunakan untuk menetapkan kaidah-2 dan prinsip-2 dasar serta
cara (manhaj) pengambilan dalil untuk menentukan hukum. Melalui penggunaan ilmu ini
maka banyak para ulama yang berbeda pendapat banyak yang kemudian tertarik dengan
mazhab Syafi’i dan memungkinkan terjadi pengayaan fiqh
Madzhab Syafi’i memungkinkan terjadinya perpaduan harmonis antara fiqh, rasio, dan
hadits yang berasal dari dua aliran: Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Irak. Dari sinilah
kemudian ditemukan manhaj taufiq (metode perpaduan) yang memberikan prioritas
kepada Hadits, setelah Qur’an, sebagai sumber hujjah disusul dengan Qiyas apabila tidak
ditemukan nash.
Imam Syafi’i lebih ringan persyaratannya ketimbang misalnya Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik dalam hal penggunaan Hadits. Imam Abu Hanifah mensyaratkan hadits
Ahad harus memiliki peringkat kemasyhuran tertentu untuk bias diterima sebagai
sumber, sedangkan Imam Malik mensyaratkan hadits yang diterima harus sesuai dengan
praktik/amalan ahli Madinah. Menurut Imam Syafi’i, sebuah hadits bisa diterima sebagai
sumber hujjah apabila ia adalah shahih dan sanadnya bersambung. Namun demikian,
beliau menolak hadits Mursal sebagai sumber, kecuali diriwayatkan oleh shahabat yang
memiliki tingkat kepercayaan tinggi
Bahkan di Indonesia yang sebagian besar Muslimnya menganut mazhab Syafii, untuk fiqh
muamalah menggunakan mazhab Hanafi, Hanbali, Maliki dan juga Daud Az Zahiri. Praktik
keuangan Islam makin luas.
Bila tidak ada dalam kitabul buyu' Imam Syafii, pendapat mazhab lain pun bisa dijadikan
acuan. Ayat-ayat Alquran yang berisikan landasan ekonomi Islam dikumpulkan. Ulama saat ini
bukan saja harus pandai tapi juga kreatif memadukan fiqh lintas mazhab. Dahulu merupakan hal
tidak lazim bila memadukan fiqh dari mazhab yang berbeda.
32
1. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Harta
Perbedaan konsep tentang harta dari para imam mazhab ini menimbulkan pengaruh yang
berbeda pula. Contohnya: tentang pemanfaatan seseorang terhadap harta orang lain (ghasab),
jika mengikuti pendapat jumhur fuqaha (imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali) maka
pemilik barang berhak menuntut ganti rugi atas pemanfaatan tersebut. sedang menurut imam
Hanafi, pemilik tidak berhak menuntut ganti rugi karena aspek manfaat tidak termasuk dalam
harta.
Contoh lain adalah tentang wakaf. Menurut imam Hanafi kepemilikan barang yang
diwakafkan tidak harus lepas dari wakif dan dibenarkan bagi wakif untuk menariknya kembali
serta boleh menjualnya. Sedang menurut jumhur fuqaha, harta wakaf tidak lagi menjadi milik
wakif melainkan secara hukum menjadi milik Allah atau secara terminologi sosiologis harta
wakaf menjadi milik masyarakat umum dan wakif tidak boleh menariknya kembali apalagi
menjualnya.
2. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Uang
Perbedaan pendapat di antara para ulama tentang uang juga membawa implikasi yang
berbeda. Fungsi uang adalah sebagai Medium of Exchange (satuan alat tukar), Unit of Account
(satuan pengukur), dan Store of value (penyimpan nilai).
Pendapat imam Syafi’i membawa implikasi yang lebih luas, karena selain sebagai satuan
pengukur nilai uang juga berfungsi sebagai alat tukar. Uang menurut Syafi’i dapat digunakan
untuk menilai dan menukar/membayar barang lain.
3. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Riba
Semua mazhab menyatakan bahwa larangan riba berlaku bagi barang yang memiliki satu
(sub) sebab tunggal. Imam Hanafi dan imam Hambali melarang jual beli makanan dengan
tembaga secara kredit (keduanya ditimbang) namun membolehkan jual beli makanan dengan
garam secara kredit (salah satunya ditimbang dan yang lain ditakar). Imam Malik dan imam
Syafi’i, karena hanya memperhatikan pertukaran di antara makanan atau mata uang, mempunyai
pendapat yang bertentangan dengan Imam Hanafi dan imam Hambali. Yang lebih kontemporer
misalnya tentang minyak mentah. Menurut imam Hanafi dan imam Hambali minyak mentah
termasuk ribawi, tetapi tidak menurut Syafi’i dan Maliki.
Masih dalam konteks riba, pandangan para ulama fiqh ini paling tidak mempengaruhi
pemikiran para pakar dalam menetapkan dalil riba di kemudian hari di samping Al-Qur’an dan
Hadits yang sudah ada. Ibnu Rushdy dari mazhab Maliki yang condong pada pendapat Hanafi
tentang riba, kesamaan ukuran. Menurut ibnu Rushdy yang berada di balik ketentuan riba adalah
33
tujuan untuk menjunjung tinggi keadilan dalam pertukaran. Ini juga yang kemudian
mempengaruhi pemikiran bahwa pinjama qard tanpa bunga sah, sedang jual beli dengan
penangguhan barang ribawi untuk memperoleh barang ribawi lain dengan harga sama yang
dihutang tidak sah. Ketidakabsahan itu karena masuknya unsur ketidak setaraan dalam jual beli
yang akan memicu ketidakadilan. Sedang dalam analisis teknis fiqh, pinjaman selalu siap
dibayar, dapat diminta sewaktu-waktu, sebuah ketentuan yang menguntungkan pemberi
pinjaman dan mengurangi risiko pasarnya.
4. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Jual Beli
Pada masa kini praktik jual beli telah mengalami berbagai perkembangan dan kemajuan
yang sangat pesat sesuai dengan perubahan zaman. Perbedaan pendapat tentang keabsahan jual
beli hanya dengan serah terima barang tanpa akad dalam praktik kekinian memunculkan
implikasi yang berbeda pula. Jika menurut jumhur, maka praktik jual beli dengan sistem
swalayan seperti dilakukan di minimarket / supermarket / departement store yang hanya
dilakukan dengan melihat, memilih dan diakhiri dengan pembayaran tanpa akad adalah tidak sah.
Jika ada percekcokan antara penjual dan pembeli di kemudian hari, hakim tidak bisa memeriksa
dan menyelesaikan persoalan itu karena tidak ada saksi atau bukti. Dalam konteks kekinian
dengan kian maraknya unsur wanprestasi dalam perjanjian jual beli kata-kata akad saja belum
memadai dan didukung bukti lain seperti kuitansi, akte dan sejenisnya untuk memperkuat akad.
Sedang jika menurut imam Malik jual beli dengan sistem swalayan sah karena dengan adanya
serah terima barang berarti sudah menunjukkan kerelaan untuk berjual beli, jika tidak rela
mereka tidak akan melakukannya.
Praktik jual beli pada masa modern tidak lagi selalu mengikuti tradisi masa lalu yang
dilakukan di suatu tempat tertentu (pasar) antara penjual dan pembeli yang bertemu dan
bertransaksi. Kini, jual beli dilakukan tanpa harus mempertemukan penjual dan pembeli dalam
satu majelis. Jual beli dapat dilakukan melalui telepon, internet, dan berbagai sarana
komunikasi/perhubungan lainnya. Jika mengikuti pendapat imam Syafi’i, praktik jual beli
tersebut tidak sah karena tidak berada dalam satu majelis dan barangnya pun tidak ada di tempat
akad. Namun jika menurut jumhur, praktik tersebut sah dan diikuti oleh hak khiyar bagi pembeli
untuk membatalkan atau meneruskan akad saat barang dilihatnya.
5. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Kerjasama Usaha (Kemitraan)
Dalam aktivitas ekonomi terutama bidang keuangan dan perbankan konsep kerjasama
usaha (kemitraan) ini akan selalu ada. Dalam praktik pembiayaan musyarakah di bank Syariah
dua pendapat berbeda ini sama-sama memberikan kontribusi yang berpengaruh terhadap
kebijakan penetapan nisbah bagi hasil dan risiko kerugian antara pihak bank dan nasabah. Jika
menurut pendapat imam Hanafi, pembagian keuntungan yang berbeda dibolehkan. Ini diterapkan
34
dalam pembagian keuntungan secara unproporsional sesuai kesepakatan. Jadi dapat terjadi antar
pihak yang bekerjasama menperoleh alokasi keuntungan yang tidak sama. Menurut pendapat
imam Malik dan imam Syafi’i keuntungan harus dibagi sama karena modal usaha pihak-pihak
yang bekerjasama sudah menyatu dan tidak terpisah lagi. Namun jika dianalisis lebih lanjut,
mekanisme pembagian keuntungan usaha dalah musyarakah lebih cenderung mengikuti pendapat
imam Hanafi, yaitu boleh berbeda sesuai dengan kontribusi (modal atau tenaga) yang diberikan.
Dalam praktik mudharabah, teknis yang diterapkan diperbankan Syariah untuk penetapan jangka
waktu kerjasama mengikuti pendapat imam Hanafi yakni kerjasama tersebut harus ditentukan
batas waktunya dan bukan unlimited time agreement.
Dalam hal penanggungan risiko kerugian yang disebabkan kesalahan pengelola, ketetapan
bank mengikuti pendapat imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali yaitu menjadi tanggung
jawab pengelola bukan pemilik dana.
Mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah mutlaqah (jenis usaha/kegiatan
pengelolaan dana tidak dibatasi/ditentukan oleh pemilik dana). Ini menurut pendapat imam
Malik dan imam Syafi’i. Selain itu, ada mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana boleh
menetapkan jenis usaha/kegiatan pengelola (managerial). Ini sejalan dengan pendapat imam
Hanafi dan imam Hambali. Kedua pendapat ini mempunyai implikasi yang sama terhadap
kebijakan mudharabah di bank Syariah karena kedua jenis mudharabah tersebut dipraktikkan.
6. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Gadai
Gadai mempunyai dua nilai akad yang berjalan beriringan. Di satu sisi, rahn merupakan
akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai kepada penerima gadai tidak
ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan penerima gadai kepada penggadai adalah utang, bukan
penukar atas barang yang digadaikan. Di sisi lain, dapat dimengerti bahwa akad ini juga bersifat
komersial. Pihak yang berakad tidak boleh saling merugikan. Kebolehan memanfaatkan barang
jaminan meski dengan syarat tertentu juga mengisyaratkan adanya unsur tersebut dalam akad ini.
Dikenakan biaya jasa untuk prosedur gadai di pegadaian juga menunjukkan indikasi
komersialnya akad ini. Pengenaan biaya jasa ini kemudian tidak menjadikan praktek ini berbeda
dengan praktek pinjam meminjam uang di bank.
Secara umum praktik gadai tidak terpengaruh oleh perbedaan pendapat para ulama. Yang
menjadi esensi implikasi pendapat para ulama fiqh ini terhadap praktik gadai kontemporer adalah
mengenai penguasaan dan pemanfaatan barang gadai. Yang umum dipraktikkan di Indonesia
adalah barang gadai (yang menjadi jaminan) dikuasai oleh kreditur mengikuti pendapat imam
Hanafi dan imam Malik. Yang berbeda dalam praktiknya adalah tentang pemanfaatan barang
gadai. Umumnya, yang dipraktikkan adalah pihak penerima gadai selalu memanfaatkan barang
gadai yang dikuasainya. Ini mengikuti pendapat imam Hanafi.
35
Implikasi pendapat para imam fiqh ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat, di mana praktik gadai bukanlah sesuatu yang tabu. Aktivitas gadai dilakukan dalam
hubungan orang perorang dan kelembagaan. Yang sedikit membedakan adalah dari sisi
pemanfaatan barang gadai, di pegadaian barang gadai yang dikuasai tidak dimanfaatkan dan
hanya disimpan sampai ditebus kembali oleh yang menggadaikan. Ini mengikuti pendapat imam
Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali.
36
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang terkait dalam membentuk
kepribadian dan dinamika intelektual al-Shafi’i. Berkat kecerdasan pikiran dan keuletannya
dalam menuntut ilmu pengetahuan serta pengalamannya dalam bergaul dengan berbagai macam
masyarakat, al-Shafi’i akhirnya dikenal sebagai mujtahid yang kreatif, moderat dan menjadi
panutan sebagaian besar umat Islam sesudahnya. Al-Shafi’i senantiasa melihat situasi dan
kondisi sosial masyarakat yang ada dalam menetapkan hukum. Tak heran bila kemudian umat
Islam mengenal adanya qaul qadim dan qaul jadid sebagai refleksi intelektual al-Shafi’i dalam
menyikapi problematika hukum di masyarakat. Adapun dasar al-Shafi’i dalam melakukan
istimbath hukum adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma, Qiyas dan Istishab.
2. Saran
Penyusun menyarankan agar pembahasan yang ada dalam makalah
ini dijadikan oleh para mahasiswa sebagai atau mukaddimah untuk
memahami dan mengkaji lebih jauh tentang tema yang terkait. Adapun
yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa lanjuti tentang
pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan dalam makalah ini.
37
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjudin.1994. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i. Pustaka
Tarbiyah: Jakarta.
Abdullah, Sulaeman. 1996. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum
Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta.
Al-Mushlih, Abdullah. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq:
Jakarta.
Asy-Syarbasi, Dr. Ahmad. 2008. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab.
Amzah: Jakarta.
Chalil, K.H. Moenawar. 1955. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Bulan
Bintang: Jakarta.
Deliamoy. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT RajaGrafindo
Persada: Jakarta.
Gufron A. Mas’adi. 2002. Fiqh Muamalah Kontektual. Rajawali Perss: Jakarta.
Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islam Telaah Komprehensif System
Keungan Islami. PT Rajagarfindo: Jakarta.
Khudori Sholeh, Ach, 1999. Fiqih Konstektual (Persfektif Sufi-Falsafi). Pertja:
Jakarta.
Madjid, Nurcholish. 1993. Imam Syafi’I Ar-Risalah. Pustaka Firdaus: Jakarta.
Mursi, Syaikh M. Said. 2007. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.
Pustaka al-Kautsar: Jakarta.
Rusjid, H.Sulaiman. 2006. Fiqh Islam. Sinar Baru Al Gensindo: Bandung.
Sahrani, Sohari. 2011. Fikih Muamalah. Ghalia Indonesia: Bogor.
Syafe’i, Rahmat.2001. Fiqih Muamalat. Pustaka Setia: Bandung
http://www.hendrakholid.net/blog/2008/11/konsep-uang-dalam-ekonomi-islam/
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Syafi%27i
38
39