biografi imam ghozali

54
BIOGRAFI IMAM GHOZALI BAB I Pendahuluan I. Latar Belakang Masalah Mereka lebih suka mengikuti pemikiran filsafat ketimbang ajaran Islam. Nama-nama filosof beken seperti Socrates, Hippocrates, Aristoteles dan lainnya, membuat mereka terkagum- kagum. Padahal, mereka belum memahami betul pemikiran para filosof tersebut,” demikian tulis al-Ghazali (450/1058- 505/1111), Sang Bukti Islam (Hujjatul Islam) di halaman awal Tahafutul Falasifah. Bermaksud menunjukkan kekeliruan filsafat, al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah (Ketidak-koherensian Para Filosof). Karya yang ditulis sekitar bulan Januari 1095 itu adalah jawaban bagi mereka yang terlalu mengidolakan filsafat. Namun, al-Ghazali tidak menolak filsafat secara total. Bagi al-Ghazali, pemikiran para filosof ada juga yang tidak bertentangan dengan akidah (la yasdumu mazhabuhum fihi aslan min usuliddin). Pemikiran para filosof tentang gerhana bulan (al- kusuful qamariy), yaitu hilangnya cahaya bulan disebabkan posisi bumi yang berada di antara bulan dan matahari, tidak bertengangan dengan Islam. Saat gerhana, bulan berada dalam bayang-bayang bumi, maka sinar matahari tidak dapat diserap oleh bulan.

Upload: makbar

Post on 02-Dec-2015

41 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

imam al ghazali

TRANSCRIPT

Page 1: Biografi Imam Ghozali

BIOGRAFI IMAM GHOZALI

BAB I

Pendahuluan

I. Latar Belakang Masalah

Mereka lebih suka mengikuti pemikiran filsafat ketimbang ajaran Islam. Nama-nama

filosof  beken seperti Socrates, Hippocrates, Aristoteles dan lainnya, membuat mereka

terkagum-kagum. Padahal, mereka belum memahami betul pemikiran para filosof tersebut,”

demikian tulis al-Ghazali (450/1058-505/1111), Sang Bukti Islam (Hujjatul Islam) di

halaman awal Tahafutul Falasifah.

Bermaksud  menunjukkan kekeliruan filsafat, al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah

(Ketidak-koherensian Para Filosof). Karya yang ditulis sekitar bulan Januari 1095 itu adalah

jawaban bagi mereka yang terlalu mengidolakan filsafat.  

Namun, al-Ghazali tidak menolak filsafat secara total. Bagi al-Ghazali, pemikiran

para filosof ada juga yang tidak bertentangan dengan akidah (la yasdumu mazhabuhum fihi

aslan min usuliddin). Pemikiran para filosof tentang gerhana bulan (al-kusuful qamariy),

yaitu hilangnya cahaya bulan disebabkan posisi bumi yang berada di antara bulan dan

matahari, tidak bertengangan dengan Islam. Saat gerhana, bulan berada dalam bayang-bayang

bumi, maka sinar matahari tidak dapat diserap oleh bulan.

Begitu juga dengan pemikiran mereka mengenai gerhana matahari (kusufus syams),

tatkala posisi bulan berada di tengah antara bumi dan matahari. Al-Ghazali menegaskan, jika

pendapat mereka mengenai hal-hal seperti ini ditolak dengan alasan agama, justru akan

melemahkan ajaran Islam.

Jadi, bagi al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya. Namun, ada pula benarnya. Selama

tidak bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika, matematika, geometri yang

merupakan bagian dari ilmu filsafat, bisa diterima. Tapi, jika bertentangan dengan akidah,

seperti metafisika, dan unsur-unsur dalam fisika maupun psikologi (saat itu psikologi bagian

dari ilmu filsafat), maka bagian dari filsafat tersebut harus ditolak. Al-Ghazali telah

meletakkan filsafat pada tempatnya. Dari pemaparan di atas muncul beberapa permasalahan

yaitu: Bagaimana sejarah hidup imam ghazali dan ibnu rusdy? Dan Bagaimana pemikiran

Imam ghazali dan ibnu rusydi?

Page 2: Biografi Imam Ghozali

Selain itu seperti tertera dalam kitab Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filsof),

telah membuat filsafat dan pemikiran rasional serta ilmu pengetahuan kemudian tidak

berkembang di dunia Islam? Dan Bagaimana sebenarnya sikap al-Ghazali terhadap filsafat?

Untuk mencari jawaban dua masalah tersebut terlebih dahulu dikaji apa sesungguhnya

yang mendorong al-Ghazali mempelajari filsafat dan kemudian menulis bukunya: Maqashid

al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah. Juga dari kitab-kitabnya, terutama Tahafut al-

Falasifah, dapat diketahui inti kritik al-Ghazali terhadap para filosof. Dari situ selanjutnya

dapat diketahui secara induktif apakah betul bahwa filsafat tidak berkembang lagi di dunia

Islam setelah ada kritik keras al-Ghazali terhadap para filosof itu?

Page 3: Biografi Imam Ghozali

BAB II

PEMIKIRAN AL GHAZALI

A. Sekilas Tentang Biografi Imam Al Ghazali

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh

terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah

menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa

asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi

kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil

hikmah dari sejarah hidup beliau.

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi,

Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki,

Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam

Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah

di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir.

Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali.1[1]

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini

dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab

Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun

memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya.

Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi,

Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).2[2]

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan

Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau

menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik

mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk

pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di

1[1] Hasyimiyah Nasution. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. hlm. 77.2[2] Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 67.

Page 4: Biografi Imam Ghozali

Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan

menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.3[3]

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang

berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat.

Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya

saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits

Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa

dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al

Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam

kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’

Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di

dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan

hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54). Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan

dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya

tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya

menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke

dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya,

walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran

Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat,

yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal

menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah

memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan

meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang

mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis,

niscaya dia telah binasa. ”(Siyar A’lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat.

Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i).

3[3] Ahmad Syadani. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 178.

Page 5: Biografi Imam Ghozali

Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya,

(yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat,

kemudian ingin keluar dan tidak mampu. ”(Majmu’ Fatawa 4/164).

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta

dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang

menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada

ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan

mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian

menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara

barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin

Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal

di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun

Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam

sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10

tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al

Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al

Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam

Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau

tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal

menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan

tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz

Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan

diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di

madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya

dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu

madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa

waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para

penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan

berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau

Page 6: Biografi Imam Ghozali

tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih

Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai

semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak

memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats

Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku

Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau

mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya

patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan

menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).

(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi,

pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath

Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

B. Pemikiran Imam Al Ghazali

Al Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada kebenaran semua

(oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.4[4] Dia pernah

mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut:“Cahaya itu adalah kunci dari

kebanyakan pengetahuan, dan siap yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir)

bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang

demikian luas. Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati

sanubari seseorang.”Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu-

satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al Ghazali

adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan Tashawuf.5[5]

Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat serta

meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M

dan pergi bertapa di salah satu menara Mesjid Umawi di Damaskus. Tashawuf Al Ghazali

berbeda dengan tashawuf yang berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran

tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang

benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat

tersebut, tashawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.

4[4] Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 224.5[5] Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 31.

Page 7: Biografi Imam Ghozali

Imam al ghazali ini juga memiliki andil besar dalam mempengarui berfikirnya

ulama’-ulama’ di Indonesia, bisa dilihat ternyata dalam hal menghadapi berbagai masalah

ulama’-ulama’ kita dulu banyak merujuk kepada tulisan tulisan beliau dalam bidang

pencarian tuhan khusunya. Salah satu contohnya kitab ihya’ ulumuddin telah di jadikan kitab

rujukan di berbagai pondok pesantren di indonesia di tanah jawa khususnya, bukan itu saja

masih banyka kitab-kitab karangan beliau yang menyebar luas dan sangat populer hingga saat

ini.

Dalam hal bagaimana pemikiran beliau yaitu bisa kita lihat karangan-karangan beliau

sangat dekat dengan ketasawufan walaupun banyak karangan yang menerngkan tentang

kepolitikan, kependidikan, filsafat dan masih banyak bidang ilmu lain yang di tulis beliu.

Tapi dalam hal ini yang paling menonjol dalam diri beliau yaitu tulisan tentang tasawuf atau

jalan menuju tujan.

Sebagaimana disebutkan bahwa Al Ghazali merupakan kontributor terbesar pada

masanya yang meliputi berbagai disiplin ilmu, di antaranya :

a. Bidang Teologi

1) Al-Munqidh min adh-Dhalal

2) Al-Iqtishad fi al-I`tiqad

3) Al-Risalah al-Qudsiyyah

4) Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din

5) Mizan al-Amal

6) Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah

b. Tasawuf

1) Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama) merupakan karyanya yang terkenal.

2) Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)

3) Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)

c. Filsafat

1) Maqasid al-Falasifah

Page 8: Biografi Imam Ghozali

2) Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang

kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of

the Incoherence).

d. Fiqih

1) Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul

e. Logika

1) Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)

2) al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)

3) Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)

Tapi dalam hal ini dari berbagai karangan beliau yang menonjol adalah pemikiran

beliau tentang ketasawufan atau ajaran tentang cara mendekatkan diri kepada allah atau

mencari jalan menuju sang pencipta. Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf

sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa

Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral

yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin,

Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai

negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud),

untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah

(taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.

Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan

mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh

ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan

kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak

keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya

kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat

ma’rifat.

Dalam bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal, Al-Ghazali secara eksplisit menyebut

sumber-sumber pengetahuannya tentang tasawuf, yaitu buku-buku Abu Thalib al-Maliki, al-

Muhasibi, dan pengalaman-pengalaman para sufi lainnya seperti al-Junaidial-Baghdadi, al-

Syibli, dan Abu Yazid al-Bushtami. Beliau hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada

pada tingkatperkembangan yang tinggi. Dimana banyak bermunculan aliran-aliran terutama

Page 9: Biografi Imam Ghozali

dibidang teolog. Setiap aliran menurut Al-Ghazali, mengklaim kebenaran pada dirinya,yang

dengan sendirinya menempatkan aliran lain pada kedudukan yang tidak benar. Ada anggapan

bahwa tasawuf adalah sebagaia bagian dari pemahaman yangmuncul akibat perkenalan

ummat Islam dengan kebudayaan asing yang cenderung memiliki unsur mistik.

Pandangan lain menganggap tasawuf sebagai sistem yang murni Islami. Namun

dalam kenyataannya, kecenderungan kearah mistik timbul dikalangan sebagian masyarakat

Islam ketika penguaasa dianggap tidak lagi mencerminkan kesederhanaan hidup dan akhlak

yang ada pada masa Nabi. Usaha para Sufi adalah mempertajam daya al-Dzawq dengan

membersihkan diri dari dorongan-dorongan duniawi untuk dapat bersatu dengan hakikat yang

mutlak Tuhan. Persatuan dengan Tuhan akan menyingkap segala rahasia dan hakikat-hakikat.

Dalam pemikiran umat Islam pada masa Al-Ghazali terdapat empat pemahaman yang secara

umum mewarnai suasana pemikiran mereka, yaitu dari sistem pemahaman Ilmu Kalam,

Bathiniyyat, Filsafat dan Tasawuf.

Keragamansistem pemahaman ini disertai dengan kecenderungan monolitik melihat

kebenaran.Hal ini jelas turut mempertajam batas antara sistem yang satu dengan sistem yang

lain. Dari sudut yang lain, keadaan ini memperbesar kemungkinan munculnyakebingungan di

kalangan sebagian masyarakat awam. Sumber Pemikiran Al-Ghazali Sebagai seorang

muslim, Al-Ghazali senantiasa mendasari pandangan-pandangannya pada al-Qur‘an al-Karim

dan Hadits, baik secara langsung maupuntidak. Seperti pemikir-pemikir muslim lainnya,

pendasaran pemikirannya kepada al-Qur‘an dan Hadits, terlihat lebih banyak tidak bersifat

langsung, khusus yangberkaitan dengan konsep manusia.

Tulisan-tulisan beliau juga merupakan kitab-kitab rujukan utama di pesantren-

pesantren Nusantara terutama di Jawa dan Madura antara lain adalah kitab Ta’limul

Muta’alim (etika santri), Nashoihul Ibad (Nasihat Penghuni Dunia karya Imam Nawawi Al-

Banteniy) serta tiga karya Al Ghazali yaitu Bidayah al Hidayah, Ihya Ulumuddin dan

Minhajul Abidin (Menuju Mukmin Sejati).

Ajaran tasawuf Al Ghazali itu pulalah yang kemudian membentuk budi pekerti orang

Jawa yang lebih mengutamakan kesalehan pribadi dibanding kesalehan sosial, serta pola

hidup sederhana dan nrimo atau qanaah.

Kesalehan sosial yang lebih merupakan tanggungjawab para guru dan pemimpin

negara (ulama dan umaroh) akan mudah terwujud apabila kesalehan pribadi, pola hidup

sederhana dan qanaah menjadi inti dari pakaian keimanan orang perorang. Sayangnya,

kesalehan pribadi itupun kini memudar tatkala pola hidup sederhana dan nrimo atau qanaah

Page 10: Biografi Imam Ghozali

telah diluluhlantakkan oleh budaya modern yang mengutamakan materialisme. Prestasi

kehidupan tidak lagi diukur dari pencapaian idiil, tetapi dari harta benda atau materi.

C.    Filsafat Menurut Al Ghazali Dan Kritikan-Kritikan Beliau Terhadap Filsafat.

Seperti diketahui, sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih

dahulu mempelajari filsafat (baca: filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia

mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1) Dahriyyun (mirip aliran

materialisme), 2) Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis), 3) Ilahiyyun (nirip aliran Deisme).

Menurut al-Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alam

senantiasa ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang menciptakan. Binatang tercipta dari

sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-

Ghazali sebagai kaum Zindik (Zanadiqah).

Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi

ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin

yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu

aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut

al-Ghazali, meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk

Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman.

Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara

para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles

(murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil menyusuan logika (manthiq)

dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang

wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam

pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.

Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan

Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya,

bahkan kacau (tahafut). Malahan ada yang bertentangan dengan ajaran agama, hal yang

membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.

Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para

filosof itu terdapat dalam dua puluh (20) masalah yaitu: kelompok Pendapat para Filosof

berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alam kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak

mempunyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan

tidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian yang ada di

alam); 7. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet

Page 11: Biografi Imam Ghozali

mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10. Jiwa manusia adalah substansi yang

berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan ‘ardh (accident); 11. Mustahilnya kehancuran jiwa

manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.

Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof membuktikan hal-

hal berikut: 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan; 15.

Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18.

Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam

yang qadim mempunyai pencipta.

Menurut al-Ghazali, dari dua puluh masalah tersebut, tiga di antaranya membawa

kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat: al-Munqidz min adh-

Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali di tempat lain, karena mempunyai

pendapat demikian tidak mesti dikafirkan.

D.    Al-Ghazali Dan Kebenaran

Secara naluri, semenjak muda usia al-Ghazali telah terbiasa melakukan refleksi untuk

mencari dan menemukan kebenaran. Ia tidak begitu saja bertaklid kepada pendapat-pendapat

yang dikatakan orang benar. Ada empat kelompok aliran dalam Islam yang menjadikan

sasaran kritik al-Ghazali dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran, yaitu,

pertama, kelompok teolog Islam, yang dikatakan sebagai kelompok intelektual dan pemikir.

Kedua, kelompok Bathiniyyah atau Ta’limiyyah, sebuah aliran dalam Syi’ah Isma’iliyyah

yang selalu bergantung kepada Imam al-Muntazhar dan mendapat pengajaran dari padanya

secara ghaib. Ketiga, kelompok filosof, yang dikatakan sebagai ahli logika dan

mengutamakan akal. Keempat, kelompok ahli tasawuf, yang dikatakan sebagai kalangan

elitis Tuhan (khawwash al-hadrah).

Melihat bahwa semuanya sama-sama sedang menempuh jalan mencari kebenaran

hakiki dan belum menemukannya, al-Ghazali pernah selama dua bulan mengalami penyakit

syak (keraguan). Tetapi dia tetap meneruskan pencariannya setelah sembuh dari penyakitnya.

Sementara ahli menyatakan bahwa syak yang dialami al-Ghazali adalah syak dalam

pengertian skeptik-metodik. Hampir sama dengan teori Francis Bacon (1561-1626) yang

menyatakan; ada dua syarat untuk memperoleh kebenaran obyektif. Pertama; selalu

menggunakan induksi, dan kedua; selalu menghindari “idola’ (ide yang berprasangka)

sebelum mengambil kesimpulan, yaitu dengan menguji teori yang berkembang sebelumnya

dengan menaruh keraguan. Maka, al-Ghazali menyelidiki secara mendalam keempat aliran

tersebut sampai secara induktif dapat menyimpulkan kebenaran hakiki.

Page 12: Biografi Imam Ghozali

Menurut al-Ghazali, kebenaran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya

tanpa sedikit pun keraguan. Kata-nya: “Jika ku ketahui sepuluh adalah lebih banyak dari tiga

dan orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti seajaib tongkat yang dapat dirubah

menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tak akan membuat aku

ragu terhadap pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa

kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Sekali-kali hal itu tidak akan membuat aku ragu

tehadap pengetahuanku” (al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 4-5). Dengan kata

lain, di samping mengandung pengertian tentang keyakinan, al-Ghazali di pihak lain,

membenarkan pengetahuan yang tidak empirik, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada

intuisi, yang dimulai dengan kekaguman dan keraguan (skeptik-metodik).

E.     Pokok Perdebatan Al-Ghazali

Dasar pengetahuan terakhir inilah yang senantiasa mendorong al-Ghazali tidak dapat

menerima kebenaran yang dibawa akal, karena akal hanyalah alat bantu untuk mencari

kebenaran hakiki. Meski pun al-Ghazali sendiri juga berdalil dengan akal ketika menilai

kekacauan pemikiran filosof, termasuk filosof muslim. Banyak cacatan menarik dari doktor

Suliaman Dunya dalam mengedit kitab Tahafut al-Falasifah atau pun dalam mengedit kitab

Tahafut al-Tahafut karya Ibnu Rusyd. (Baca pengantar-pengantar dua kitab tersebut dalam

beberapa edisinya, terutama edisi keempat untuk “Tahafut al-Falasifah”).

Berikut ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang

bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula,

tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain

Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan

paham: Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak

diampuni Tuhan; atau Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.

Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan

qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada" (creatio ex

nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam

(tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah

menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam

disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh

(pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya

Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali,

Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya).

Page 13: Biografi Imam Ghozali

Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah

Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-

mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara

instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali

dinilai “kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas

kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani

yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai sufi.

Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa

pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan

pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat)

diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca

Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711).

Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang karenanya tidak terdapat

panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan

bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab,

sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu

Rusyd, tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun

kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk

menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.

Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak

percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata

Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada tulisan mereka yang

menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd,

Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).

Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut

al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku

pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam

buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan

bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-

17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.

Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut

al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang

tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap

Page 14: Biografi Imam Ghozali

mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus

menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.

F.     Catatan Penting

Tentu tidak bisa begitu saja membenarkan tuduhan demikian. Dengan menyimak

secara seksama Tahafut al-Falasifah akan dapat terlihat bahwa tidak ada pertentangan yang

mendasar atau prinsipil antara al-Ghazali dan para filosof, melainkan hanyalah beda

interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan karena diterima atau ditolaknya ajaran-

ajaran dasar itu sendiri. Jadi hanyalah perbedaan ijtihad yang tidak membawa kekafiran.

Karena itu Ibnu Rusyd sendiri menyatakan, pengkafiran al-Ghazali terhadap Ibnu Sina dan

al-Farabi bukan pengkafiran absolut karena dalam al-Tafriqah, al-Ghazali menegaskan bahwa

pengkafiran atas dasar ijma’ tidak bersifat mutlak.

Begitu pula sejarah membuktikan bahwa memang di kalangan Islam Sunni bagian

Timur yang berpusat di Baghdad, filsafat sesudah al-Ghazali tidak berkembang. Tetapi di

dunia Islam bagian Barat yang berpusat di Cordova, filsafat justru berkembang baik dan

melahirkan tokoh-tokoh seperti Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.

Jadi, jelaslah sudah tidak berkembangnya filsafat di abad ke-XIII bukan tanggung

jawab kitab Tahafut al-Falasifah. Apalagi menurut komentar Sulaiman Dunya dalam

mengedit Tahafut al-Falasifah, kitab itu lebih filosofis dan rasional dari pada pemikiran para

filosof yang diserangnya. Artinya, kitab itu justru menghidupkan filsafat di dunia Islam.

Kalau begitu, andaikata benar bahwa filsafat tidak berkembang di dunia Islam

khususnya di dunia Islam Sunni, maka sebabnya harus dicari di luar kitab Tahafut al-

Falasifah. Lebih-lebih kitab ini hampir tak terbaca oleh mayoritas umat Islam Sunni,

termasuk Indonesia, misalnya. Mungkin sebab itu terletak pada tasawwuf yang menurut

pemikiran al-Ghazali adalah jalan yang sebetulnya untuk mencari kebenaran hakiki dengan

mengutamakan daya rasa (intuisi) dan meremehkan akal. Kitab tasawwuf al-Ghazali Ihya`

Ulumuddin yang sangat populer justru sangat besar pengaruhnya terutama di dunia Islam

Sunni.

Hal yang juga “membebaskan” kitab Tahafut al-Falasifah adalah karena kitab ini,

seperti dikatakan DR. Sulaiman Dunya—dengan mengutip pendapat Aristoteles bahwa orang

yang mengingkari metafisika adalah berfilsafat metafisis—adalah kitab filsafat juga,

setidaknya falsafi al-maudhu’i (bertema filsafat) kalau bukan falsafi al-ghayah (bertujuan

filsafat). Di samping itu al-Ghazali dalam kitab itu bersikap sangat hati-hati untuk

menggambarkan pemikiran para filossof yang hendak dikritiknya (Al-Ghazali, Tahafut al-

Falasifah, hal. 24-25). Bila kitab itu dibaca dan dipelajari, justru dapat membangkitkan gairah

Page 15: Biografi Imam Ghozali

untuk mempelajari filsafat dan berfilsafat (berfikir logis, filosofis dan kritis) dalam

memahami agama. Maka, sudah saatnya kitab itu dibaca dan dipelajari dengan baik di

lembaga pendidikan-pendidikan Islam, seperti pesantren sehingga menghasilkan intelektual

yang produktif dan tidak konsumtif, di samping untuk mengimbangi pemahaman tasawwuf

al-Ghazali, sehingga melahirkan pemahaman yang utuh terhadap pemikiran dan karya-karya

al-Ghazali.

Page 16: Biografi Imam Ghozali

BAB IIIPEMIKIRAN IBNU RUSYD

A.    Biografi Ibnu RusydNama lengkap Ibnu Rusyd adalah  Abu Al-Walid Muhammad ibnu

Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd. Beliau dilahirkan di Cordova, Andalus

pada tahun 510H/1126M.6[6]Ayah dan kakeknya merupakan pencinta ilmu

dan ulama yang cukup disegani di Spanyol. Ayahnya yang bernama

Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) merupakan seorang faqih (ahli

hukum Islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara

kakeknya, Muhammad bin Ahmad (wafat 520 H-1126 M) merupakan ahli

fiqh madzhab Maliki dan imam masjid Cordova serta pernah menjabat

sebagai hakim agung di Spanyol. Sebagaimana ayah dan kakeknya, Ibnu

Rusyd juga pernah menjadi hakim agung di Spanyol.

Pendidikan yang dienyam oleh Ibnu Rusyd diawali dari belajar Al-

Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya. Kemudian beliau belajar

dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Ilmu Kalam,

Bahasa Arab dan Sastra. Dalam ilmu Fiqh ia belajar dan menguasai kitab

Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.

Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar kepada Abu

Muhammad bin Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum Islam (fiqh

ikhtilaf) dan kepada Ibn Basykual di bidang hadits. Dalam bidang ilmu

kedokteran dan filsafat ia belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli

(berasal dari Trujillo). Selain itu gurunya yang berjasa dalam bidang

kedokteran adalah Ibn Zhuhr.7[7]

Di usia 18 tahun, Ibnu Rusyd bepergian ke Maroko, di mana doa

belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam ilmu Tauhid beliau berpegang pada

paham Asy’ariyah dan ini membukakan jalan baginya untuk mempelajari

ilmu filsafat. Ringkasnya, Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh filsafat,

agama, syariat dan kedokteran yang terkenal pada waktu itu.8[8]

Salah satu hal yang sangat mengagumkan di dalam diri Ibnu Rusyd,

6[6] Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, A History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden : Otto Harrossowitz, 1963), hal. 540.7[7] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal.  21-22.8[8] Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984), hal. 126-127.

Page 17: Biografi Imam Ghozali

adalah hampir seluruh  hidupnya dipergunakan untuk belajar dan

membaca. Menurut Ibnu Abrar, walaupun rasanya terlalu berlebihan, 

sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berpikir dan

membaca,  kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam

pernikahannya.9[9]

Awalnya Ibnu Rusyd memperoleh kedudukan yang baik dari Khalifah

Abu Yusuf Al-Mansur (masa kekuasaannya 1148 – 1194 M), sehingga pada

waktu itu Ibnu Rusyd menjadi raja semua pikiran, tidak ada pendapat

kecuali pendapatnya. Akan tetapi keadaan tersebut segera berubah

karena ia diasingkan oleh Al-Mansur dan dikurung di suatu kampung

Yahudi sebagai akibat tuduhan bahwa Ibnu Rusyd telah keluar dari Islam

yang dilancarkan kelompok penentang filsafat, yaitu para fuqaha di

masanya.

Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan Al-Mansur

tentang kebersihan Ibnu Rusyd dari tuduhan tersebut, Ibnu Rusyd dapat

menghirup udara bebas. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama,

karena muncul kembali tuduhan yang dilemparkan lagi pada dirinya, dan

sebagai akibatnya ia diasingkan ke Maroko, buku-buku karangannya di

bakar dan ilmu filsafat tidak boleh lagi dipelajari. Sejak saat itu murid-

muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut-nyebut namanya.10[10]

Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung

lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya

dan posisinya direhabilitasi kembali.  Namun, Ibnu Rusyd tidak lama

menikmati keadaan tersebut, karena beliau meninggal pada tanggal 10

Desember 1198 M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun

menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun

Hijrah. Marakesh, merupakan kota ketiga terbesar di Maroko, setelah

metropolitan modern Casablanca, dan ibu kota Rabat.11[11]

9[9] Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, al-Falsafah  al-Islamiyyah, (Kairo : Maktaba al-Saqafiyyat, 1962),  hal. 100.10[10] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 199.11[11] T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahan Muhammad `Abd Al-Hady Abu Zaidah,( Kairo : Mathba`at al-Taklif, 1962), hal. 257.

Page 18: Biografi Imam Ghozali

B. KARYA TULIS IBNU RUSYD

Karangan Ibnu Rusyd yang lainnya meliputi berbagai ilmu, seperti :

fiqh, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Tidak

kurang dari sepuluh ribu lembar  yang telah ditulisnya. Buku-bukunya ada

kalanya merupakan karangan sendiri atau ulasan atau ringkasan. Karena

sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak

mengherankan kalau ia memberikan perhatian yang besar terhadap untuk

mengulas dan meringkas filsafat Aristoteles.

Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa

Arab dan sampai ke tangan kita sekarang hanya sedikit, diantaranya

adalah buku-buku tentang filsafat seperti :

a)      Tahafut al-Tahafut.

b)      Risalah fi Ta’alluqi ‘Ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bi al-Juziyat.

c)      Tafsiru ma ba’da ath-Thabiat.

d)     Fashl al-Maqal fi ma baina al-Himaah wa asy-Syari’ati min al-Ittishal.

e)      Al-Kasyfu ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahl al-Millah.

f)       Naqdu Nazhariyat Ibnu Sina ‘an al-Mu’min lidzatihi wa al-Mu’min lighairih.

g)      Risalah fi al-Wujud al-Azali wa al-Wujud al-Mu’aqqat.

h)      Risalah fi al-‘Aqli wa al-Ma’qul.

Buku-buku lainnya yang lebih penting dan sampai kepada kita ada

empat, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Bidayah al-Mujtahid, ilmu fiqh. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi

perbandingan madzhab dalam fiqh dengan menyebutkan alasan

masing-masing.

b. Fasl al-Maqal fi ma bain al-Hikmati wa asy-Syari’ati min al-Ittishal

(Ilmu Kalam). Buku ini berupaya menunjukkan adanya persesuaian

antara filsafat dan syari’ah, dan juga pernah diterjemahkan ke

dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal

Jerman.

c. Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaidi Ahl al-Millah (Ilmu Kalam).  

d. Tahafut at-Tahafut, Buku ini terkenal dalam lapangan filsafat dan

Ilmu Kalam. Buku ini ditujukan untuk membela filsafat dari serangan

Page 19: Biografi Imam Ghozali

Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falalasifah. Buku Tahafut at-

Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan

terjemahannya ke dalam Bahasa Inggris oleh Van De Berg terbit

pada tahun 1952 M.12[12]

12[12] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal. 94-95.

Page 20: Biografi Imam Ghozali

C. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD

Ajaran Ibnu Rusyd yang terkenal di Eropa dengan sebutan

Averroism berpangkal pada pikiran merdeka. Pemikiran ini ditolak keras

oleh dunia Kristen Eropa, dan telah mempengaruhi seluruh universitas

Eropa untuk berabad-abad lamanya, sehingga menimbulkan zaman

Renaissance di benua Eropa.13[13]

Ibnu Rusyd terkenal sebagai “Pengulas Aristoteles” (komentator),

suatu gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321) dalam bukunya Divina

Commedia (Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya,

karena pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk

mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya yang

semula, setelah bercampur dengan unsur-unsur Platonisme yang cukup

memburukkan dan yang dimasukkan oleh pengulas-pengulas (filsuf)

Iskandariah.

Selama hidupnya, Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwa filsafat

Aristoteles jika dipahami sebaik-baiknya, maka tidak akan berlawanan

dengan pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, bahkan

perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada

diri Aristoteles sehingga tidak ada orang yang melebihinya. Orang-orang

yang datang sesudahnya mengalami kesulitan-kesulitan, dan dengan

kerasnya mereka memeras otak untuk menemukannya. Sedangkan bagi

Aristoteles pikiran-pikiran semacam itu dapat dicapai dengan mudahnya.

Dalam mempelajari pikiran-pikiran Aristoteles, Ibnu Rusyd

menggunakan terjemahan buku-buku Aristoteles asli dan terjemahan

ulasan-ulasannya. Ia berusaha keras untuk menjelaskan pikiran-pikiran

Aristoteles yang masih gelap dan memperbandingkannya satu sama lain.

Namun demikian, Ibnu Rusyd tidak terhindar dari kesalahan-kesalahan

yang pernah dialami oleh orang-orang sebelumnya. Hal ini dapat

dipahami, karena bisa saja terjemahan-terjemahan tersebut tidak

sanggup menyatakan dengan teliti terhadap pikiran-pikiran Aristoteles

13[13] Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, hal. 127.

Page 21: Biografi Imam Ghozali

yang terdapat dalam bahasa Yunani.14[14]

D.     PERMASALAHAN FILSAFAT IBNU RUSYD

Di dalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat lima permasalahan yang

sangat mendasar, yaitu : pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal juziyat;

terjadinya alam maujudat dan perbuatannya; keazalian dan keabadian

alam; gerak dan keazaliannya; serta akal yang universal dan satu.

1)      Peranan Akal dalam Filsafatnya

Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf Islam yang mementingkan akal daripada

perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal.

Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan erat dengan akal.

Menurut Ibnu Rusyd, logika harus dipergunakan sebagai dasar semua penilaian

terhadap kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus belajar memikirkannya secara

logika. Mengenai tujuan agama sendiri, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pokok tujuan syariat

Islam yang sebenarnya ialah pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar.

Mengenai pengetahuan, menurut Ibnu Rusyd maksudnya untuk mengetahui dan

mengerti adanya Allah Ta’ala serta segala alam yang tercipta ini pada hakikatnya yang

sebenarnya apa maksud syari’at itu, dan mengerti apa pula sebenarnya yang dikehendaki

dengan pengertian kebahagiaan di akhirat (surga) dan kecelakaan di akhirat (neraka).

Maksud amal yang benar ialah mengerjakan dan menjauhkan pekerjaan-pekerjaan

yang akan mengakibatkan penderitaan. Mengetahui tentang amal perbuatan seperti inilah

yang dinamakan ilmu yang praktis.15[15]

2)      Pengetahuan Tuhan

Berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd mengikuti

pandangan para filsuf bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaannya

sendiri. Bagi filsuf, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan

tetap terjaga keesaan-Nya, karena apabila Tuhan mengetahui

keberagaman segala sesuatu, berarti Tuhan juga mempunyai

keberagaman dalam diri-Nya. Jalan pikiran ini akhirnya meletakkan Tuhan

untuk semata-mata berada dalam zat-Nya sendiri dan tidak ada yang

lain.16[16]

Di dalam filsafat Ibn Rusyd, dinyatakan bahwa Tuhan tidaklah

14[14] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 96-9715[15] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 201.16[16] Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, hal. 38.

Page 22: Biografi Imam Ghozali

mengetahui soal-soal juziyat sebagaimana yang diungkapkan oleh

Aristoteles. Pemikiran ini didasarkan atas argumen sebagai berikut : yang

menggerakkan itu, yakni Tuhan, merupakan akal yang murni bahkan

merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan

dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang

tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang

diketahui. Oleh karena itu pula, tidak mungkin Tuhan mengetahui selain

zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya

dengan zat Tuhan.

Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya

pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil,

artinya bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang

kurang sempurna, dan ini tidak wajar. Oleh karena itu, sudah seharusnya

Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri.

Argumen Aristoteles tersebut disetujui pula oleh Ibnu Sina, namun

dibantah keras oleh Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa mereka yang

mendakwa ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan

kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang

biasa.17[17]

3)      Amal Perbuatan

Dalam masalah amal perbuatan timbul masalah mendasar yaitu:

Bagaimanakah terjadinya alam ini dan amal perbuatannya? Bagi golongan

agama jawabannya sudah cukup jelas. Mereka mengatakan bahwa semua

itu adalah ciptaan Tuhan. Semua benda atau peritiwa,baik besar ataupun

kecil, Tuhanlah yang menciptakannya dan  memeliharanya. Sebaliknya

bagi golongan filsafat menjawab persoalan itu harus ditinjau dengan akal

pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan bahwa materi itu azali,

tanpa permulaan terjadinya. Perubahan materi itu menjadi benda-benda

lain yang beraneka macam terdapat di dalam kekuatan yang ada di dalam

maksud itu sendiri secara otomatis. Artinya tidak langsung dari Tuhan.

Di antara ahli filsafat ada yang berpendapat bahwa materi itu abadi.

Ia terdiri atas bermacam-macam jauhar. Tiap-tiap jauhar mengadakan

17[17] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 99.

Page 23: Biografi Imam Ghozali

jauhar yang baru. Materi itu terjadinya bukan dari tidak ada, melainkan

dari keadaan yang potensial (bil-quwwah).

Aristoteles sendiri berpendapat bahwa jauhar (subtansi) pertama

dari materi itu  menyebabkan adanya jauhar yang kedua tanpa berhajat

bantuan zat lain di luar dirinya. Ini berarti bahwa sebab dan akibat

penciptaan dan amal materi itu seterusnya terletak pada diri materi itu

sendiri.

Ibnu Rusyd dapat menerima pendapat Aristoteles ini dengan

menjelaskan pula argumennya sebagai berikut : Seandainya Tuhan itu

menjadikan segala sesuatu dan peristiwa yang ada ini, maka akibatnya

ide tentang sebab tidak akan ada artinya lagi. Padahal seperti yang kita

lihat sehari-hari, apapun yang terjadi dalam ini senantiasa  diliputi oleh

hukum sebab dan akibat (musabab). Misalnya api yang menyebabkan

terbakar, dan air yang menyebabkan basah.18[18]

4)      Keazalian Alam

Dalam masalah ini timbul pertanyaan : Apakah alam ini ada

permulaan terjadinya atau tidak?

Dalam ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa  alam ini azali tanpa

ada permulaan.  Dengan demikian  berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada

dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd

keazalian Tuhan itu berbeda dari keazalian alam, sebab keazalian Tuhan

lebih utama dari keazalian alam. Untuk membela pendapatnya, Ibnu

Rusyd mengeluarkan argumen sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak

azali, ada permulaannya maka ia hadits (baru), mesti ada yang

menjadikannya, dan yang menjadikannya itu harus ada pula yang

menjadikannya lagi, demikianlah seterusnya tanpa ada habis-habisnya.

Padahal keadaan berantai demikian (tasalsul) dengan tidak ada putusnya,

tidak akan dapat diterima oleh akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu

hadits (baru).

Oleh karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan

meskipun tidak sampai pada soal-soal rincian, padahal Tuhan azali dan

Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan kecuali dengan yang azali

18[18] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 204

Page 24: Biografi Imam Ghozali

pula, maka seharusnya alam ini azali meskipun keazaliannya kurang

utama dari keazalian Tuhan.

5)      Gerakan yang Azali

Gerakan adalah suatu akibat karena setiap gerakan selalu memiliki

sebab yang mendahuluinya. Apabila kita cari sebab itu, maka tidak akan

kita temui sebab penggeraknya pula, dan begitulah seterusnya tidak

mungkin berhenti. Dengan demikian, kewajiban kita menganggap bahwa

sebab yang paling terdahulu atau sebab yang pertama adalah sesuatu

yang tidak bergerak. Gerakan itu dianggap tidak berawal dan tidak

berakhir, azali dan abadi. Adapun sebab pertama (prima causa) atau

penggerak utama itulah yang disebut dengan Tuhan.

Kemudian Ibnu Rusyd berpendapat bahwa walaupun Tuhan  adalah

sebab atau penggerak yang pertama, Dia hanyalah menciptakan gerakan

pada akal pertama saja, sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya

(kejadian-kejadian di dunia ini) disebabkan oleh akal-akal selanjutnya.

Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd,tidak dapat dikatakan adanya

pimpinan langsung dari Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa di dunia.

6)      Akal yang Universal

Menurut Ibnu Rusyd akal itu (seperti yang dimaksud oleh Al-Farabi

dan Ibnu Sina) adalah suatu satu universal. Maksudnya bukan saja ”akal

yang aktif” (active intellect) adalah esa dan universal, tetapi juga ’’akal

kemungkinan’’, yakni akal reseptif adalah esa dan universal, sama dan

satu bagi semua orang.

Hai ini berarti bahwa segala akal dianggap sebagai monopsikisme.

Menurut Ibnu Rusyd ’’akal kemungkinan’’ barulah merupakan individu

tertentu ketika dia berkaitan dengan dengan suatu bentuk materi atau

tubuh orang per seorangan. Dengan kata lain, akal kepunyaan orang

perseorangan tidak memiliki keabadian, tetapi yang kekal dan abadi itu

adalah akal universal, yakni asal sumber dan tempat kembalinya akal

kemungkinan manusia individual.

Perlu dijelaskan, bahwa pengakuan Ibnu Rusyd tentang akal yang

bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa)

manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani

Page 25: Biografi Imam Ghozali

yang membedakan jiwa manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa

hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan

monopsikisme. Maksud Ibnu Rusyd, roh universal itu adalah satu dan

abadi.19[19]

7)      Tinjauan Metafisika Ibnu Rusyd20[20]

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharrik al-

awwal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah ialah “akal” dan “maqqul” wujud

Allah adalah EsaNya. Wujud an ke-Esa-an tidak berbeda dengan zat Nya. Dalam fashl al-

Muqal Ibnu Rusyd mengatakan. Bahwa mengenal pencipta itu hannya mungkin dengan

mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya untuk dijadikan petunjuk bagi adannya

pencipta itu. Allah memberikan dua dalil dalam kitab-kitabNya, yang diringkas sebagai dalil

inayah dan dalil cipta atau ikhtira’, serta dalil harkah.21[21]

a.    Dalil ‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharaan Tuhan). Dikemukakan bahwa ala mini seluruhnya

sangat sesuai dengan kehidupan manusia. Kesesuaian ini tidak mungkin terjadi secara

kebetulan , tetapi menunjukkan adannya pencipta yang sangat bijkasana. Semua kejadian

sangat sesuai dengan fitrah manusia, seperti siang, malam, matahari, bulan, tumbuh-

tumbuhan, hewan dan anggota tubuh manusia. Tidak mungkin terjadi dan terpelihara

semuanya itu tanpa pencipta yang bijaksana. Adapun ayat yang medukung, di antaranya (QS.

An-Naba’ ayat 6-7):

óOs9r& È@yèøgwU uÚö‘F{$# #Y‰»ygÏB ÇÏÈ tA$t7Ågø:$#ur #YŠ$s?÷rr& ÇÐÈ

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?,

b.      Dalil ikhtira’ (dalil ciptaan). Termasuk dalam dalil ini adalah wujud segala macem hewan,

tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi segala yang maujud adalah diciptakan. Segala yang

diciptakan harus ada yang menciptakan. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut antara lain

QS. Al-Hajj Ayat 73:

$yg•ƒr'¯»tƒ â¨$¨ 9Z $# z>ÎŽàÑ ×@sWtB (#qãèÏJtGó™$$sù ÿ¼ã&s! 4 žcÎ) šúïÏ%©!$# šcqããô‰s? `ÏB Èbrߊ «!$# `s9 (#qà)è=øƒs† $\/$t/èŒ Èqs9ur (#qãèyJtGô_$# ¼çms9 ( bÎ)ur ãNåkö:è=ó¡o„ Ü>$t/—%!$# $\«ø‹x© žw çnrä‹É)ZtFó¡o„ çm÷YÏB 4 y#ãè|Ê Ü=Ï9$©Ü9$#

Ü>qè=ôÜyJø9$#ur ÇÐÌÈ

19[19] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, hal. 20520[20] Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, hal. 102-104.21[21] A. Mostofa, filsafat Islam Bandung: CV. Pustaka Setia, cet ke-4, 2009, hal. 292

Page 26: Biografi Imam Ghozali

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, Tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.”

c.    Dalil Harkah (gerak). Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, gerakan

tersebut menunjukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan bendam,

yaitu Tuhan.

Dalil pertama dan dalil kedua disepakati oleh semua pihak sesuai dengan syari’at,

karena adannya ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada dalil tersebut. Tetapi dalil

ketiga yang pertama kali dicetuskan Aristoteles yang kemudian dipergunakan oleh Ibnu

Rusyd22[22]

Ibnu Rusyd sudah membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan hubungan

Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok pembahasan metafisika Ibnu Rusyd.

Di samping itu, Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan Islam dalam mencari Tuhan.

Golongan tersebut terdiri dari Asy’ariah, Mutazilah, Batiniah, dan Hasywiah. Masing-masing

golongan tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang Tuhan.

Di samping itu, Ibnu Rusyd juga meninjau pemikiran Al-Ghazali.

Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah mengisi bukunya Tahafut al-

Falasifah dengan pikiran-pikiran sofistis, dan kata-katanya tidak sampai

kepada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya

terhadap filsafat  itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-

pikiran filsuf-filsuf dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab

tidak lepas dari satu dan dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami

pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan di sini secara benar-benar

dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak

memahami benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan

sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang

bodoh.

Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak

terdapat pada Al-Ghazali. Akan tetapi ada pepatah mengatakan “kuda

balap kadang-kadang tersandung”, dan bagi Al-Ghazali tersandungnya itu

ialah akibat ia menulis buku Tahafut al-Falasifah tersebut. Boleh jadi

22[22] Hasyimsyah Nasution, op.cit, hal 118

Page 27: Biografi Imam Ghozali

penulisannya itu dilaksanakan karena melayani selera masa dan

lingkungannya.

Golongan Asy’ariah mengatakan bahwa kepercayaan tentang wujud

Tuhan tidak lain adalah melalui akal. Menurut Ibnu Rusyd,

E.     PEMBELAAN IBNU RUSYD PADA FILSAFAT

Di dalam bidang akidah, Ibnu Rusyd mempunyai peran penting

dalam melaksanakan upaya penyelamatan filsafat dari pengasingan umat

Islam sendiri ketika munculnya fatwa haram  Al-Ghazali di bidang

tersebut.

Dua kitab yang mencoba melakukan penetrasi gencarnya serangan-

serangan badai yang telah dikemukakan  Al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut

dan Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal.

Kedua kitab inilah yang selanjutnya menjadi pilar utama pemikiran Ibnu

Rusyd guna menyelamatkan filsafat. Walaupun upaya ini baru nampak

membuahkan hasil baru-baru ini saja, di era modern ini.

Jadi lama sekali pemikiran Ibnu Rusyd ini keluar dari sarangnya dan

menampakkan kupu-kupu indahnya. Selama tujuh abad pasca wafatnya,

pemikiran al-Ghazali terus berkibar, yang cenderung menjauhi dunia

pemikiran seperti filsafat dan memunculkan kajian fiqh dan ushul,

khususnya di Sunni. Kejumudan melanda, peta pemikiran filsafat masih

ada namun nampak redup, di belahan bumi Persia filsafat itu terus

berkembang, sedangkan di belan bumi Islam lainnya, semuanya

mengalami ketidakberubahan.

Pembelaan Ibnu Rusyd yang sejak dulu dilakoninya terhadap filsafat

yang sering kita dengar adalah upayanya untuk meredam kesesatan para

Filsuf, Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali. Bagaimana ia melindungi tiga

pendapat utama yang difatwakan al-Ghazali pada para filsuf yang

dianggapnya sesat. Perdebatan antara keduanya menjadi debat dua

orang dari dua generasi berbeda yang seakan-akan mewakili perdebatan

sengit masa lampau antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah dengan

kebebasan berfikirnya dan Asyariyah dengan ortodoksinya.

Namun dalam kaitannya dengan Al-Ghazali, Dr. Mulyadi Kertanegara

mengatakan bahwa pada dasarnya apa yang diserang al-Ghazali adalah

Page 28: Biografi Imam Ghozali

dunia filsafat tidak secara keseluruhan. Hanya pengikut aliran filsafat Neo

Platonis saja yang seharusnya mendapatkan serangan itu. Adapun alasan

al-Ghazali melakukan ini karena kebebasan berfikir yang dipraktikkan

orang-orang muslim Neo Platonis seperti Al-Farabi (w.950) dan Ibn Sina

(w.1038), terlalu diumbar sebebas-bebasnya dan terkadang menganggap

ritual-ritual agama menjadi tidak penting. Berangkat dari sinilah al-Ghazali

mengembangkan gagasannya untuk menyerang para filsuf Neo Platonis

ini, sayangnya oleh mayoritas umat Islam itu dipahami sebagai fatwa

haram bagi semua aliran filsafat tanpa mengingat bahwa al-Ghazali pun

seorang filsuf juga.23[23]

Rasionalitas Ibnu Rusyd pada dasarnya tidak lepas dari aliran

peripatetik yang menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini memiliki

materi dan bentuk. Satu gagasan Aristoteles yang begitu dijiwai oleh Ibnu

Rusyd. Hylomorfis inilah yang dijadikan pijakan oleh aliran filsafat

peripatetik. Yang kemudian memunculkan grant naration of causality

principal. Di mana prinsip-prinsip kausalitas ini berangkat dari

potensialitas materi yang baru bisa terbentuk ketika ada satu wujud non-

potensial yang mengaktualkannya. Rasionalitas mencoba membuktikan

keberadaan Tuhan sebagai wahdat al-wujud.

Selanjutnya, sanggahan-sanggahan Ibnu Rusyd terhadap tiga hal

yang menyebabkan al-Ghazali mengaharamkan filsafat, adalah sebagai

berikut :24[24]

1.      Keabadian Alam

Ketika ada dua entitas yang abadi maka tidak dapat dibedakan

mana yang pencipta dan mana yang diciptakan. Tapi, kita lupa bahwa apa

yang dibicarakan ini saat alam belum ada alam. Al-Ghazali terjebak

dengan konsep ruang dan waktu yang meliputi alam. Ketika membahas

tentang proses terciptanya alam maka lepaskan dulu konsep ruang dan

waktu.

Menurut Ibnu Rusyd, meskipun Tuhan dan alam sama-sama abadi

23[23] Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago,( Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 4824[24] Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, hal. 50-51.

Page 29: Biografi Imam Ghozali

tetapi karena Tuhan sebagai penyebab, sedangkan alam adalah akibat,

maka Tuhan tetap yang dahulu ada (sebagai pencipta). Hal ini dapat

dicontohkan sebagai matahari dengan sinarnya. Mana yang lebih dahulu

antara matahari dan             sinarnya ?

Ibnu Rusyd juga melancarkan kritik balik terhadap pemikiran al-

Ghazali yang menyatakan bahwa Tuhan berkehendak ketika menciptakan

alam. Menurut Ibnu Rusyd ini tidak mungkin. Permasalahannya adalah

kenapa jika kehendak Tuhan itu ada sejak zaman azali tetapi alam

datangnya kemudian. Seharusnya sejak azali pun alam sudah ada.

Rentang waktu penciptaan ini mengandaikan bahwa ada sesuatu yang

lain, membuat Tuhan harus merealisasikan alam. Tentu ini menyalahi

aturan. Para filsuf menawarkan, bahwa alam di sini bukan alam aktual.

Tetapi potensi alam, jadi potensi alamlah yang ada sejak zaman dahulu.

2.      Pengetahuan Tuhan

Menurut para filsuf, Tuhan hanya mengetahui yang partikular secara

universal.  Jika pengetahuan Tuhan bersifat partikular, maka apa-apa

yang ada di dunia ini akan selalu menjadi kehendak Tuhan. Ini berakibat,

keadilan Tuhan akan dipertanyakan. Misalnya kasus manusia yang mati

bunuh diri, dengan konsep pengetahuan Tuhan yang partikular,

implikasinyapun hal ini sudah ditetapkan Tuhan. Dengan begitu konsep

pengetahuan Tuhan secara partikular mengalami permasalahan. Tuhan

akan tahu bahwa setiap manusia akan mati, sampai di sinilah

pengetahuan Tuhan, tetapi bagaimana cara manusia itu mati, hal itu

diserahkan pada manusia sendiri.

Hal ini nampak sebagai keterbatasan, karena mengandaikan bahwa

penglihatan Tuhan menggunakan indera. Pengenalan Tuhan adalah

pengenalan universal, karena tiadanya indera dalam diri Tuhan.

Selalu ada batas-batas yang membatasi, terhadap Tuhan sendiri.

Misalnya, mungkinkah Tuhan membunuh dirinya? Jika mengikuti nalar

tentu bisa saja Tuhan membunuh dirinya sendiri, karena kemahakuasaan

diri-Nya. Tentu tak mungkin Tuhan membunuh dirinya.

3.      Kebangkitan Jasmani Setelah Mati

Menurut para filsuf tak mungkin jasmani manusia akan bangkit

Page 30: Biografi Imam Ghozali

setelah mati. Hal ini merujuk pada sifat jasmani itu sendiri (tubuh tak

mungkin bisa abadi, setiap yang fisik akan selalu hancur), padahal

menurut Al-Qur’an, nanti manusia akan abadi di akhirat. Maka dari itu, tak

mungkin jasmani manusia ini akan bangkit menuju akhirat, karena

kefanaannya.

Dosa yang kita lakukan tak akan dirasakan sakitnya saat ini, karena

tubuh menikmatinya, begitupun dengan kebaikan yang kita lakukan saat

ini seringkali terasa menyakitkan bagi tubuh kita. Tapi, setelah meninggal,

kata Al-Farabi, kepahitan dosa kita akan benar-benar dirasakan karena

sudah tak ada yang menghalangi, yaitu tubuh. Begitu pula dengan

pahala, pahala akan kita rasakan kenikmatannya. Dosa kitalah yang akan

menyiksa kita, bukan Tuhan. Itulah gambaran Al-Farabi tentang

kehidupan akhirat nanti.

Sedangkan konsep al-Ghazali tentang kehidupan akhirat, menurut

Ibnu Rusyd tidak konsisten karena kadangkala menyatakan bahwa surga

dan neraka itu bersifat fisik di satu buku, di buku lainnya ia menyatakan

bahwa kehidupan akhirat bersifat ruhani.

Dari tiga sanggahannya ini,  Ibnu Rusyd mencoba untuk kembali

merajut benang-benang filsafat yang sempat dipotong-potong al-Ghazali.

Menurut Ibnu Rusyd, bahwa di dalam filsafat Islam ini kami juga

menemukan kebenaran. Namun sayangnya filsafat Ibnu Rusyd justeru

berkembang di Barat tempat ia mengasah pengetahuannya. Di dunia

Islam sendiri pintu untuk mempelajari filsafat telah dikunci mati oleh

fatwa haram al-Ghazali. Dan inipun harus diakui.

Upaya lain Ibnu Rusyd dalam usaha pembelaanya terhadap filsafat

adalah dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah

bertentangan dalam kitabnya Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-

Syariah min al-Ittishal. Fatwa haram al-Ghazali benar-benar meresap di

benak dan sanubari umat Islam dan tentu Ibnu Rusyd tidak ingin itu

berlarut-larut terjadi. Ketika upaya perlawanan dengan kitab Tahafut at-

Tahafut dirasa masih kurang berhasil dalam mengambil hati umat Islam,

upaya persuasive pun dimunculkan dengan adanya kitab ini. Pada

dasarnya kitab ini berbicara tentang hubungan antara akal dan wahyu.

Page 31: Biografi Imam Ghozali

Bertentangan atau tidak keduanya? Oleh Ibnu Rusyd dikatakan bahwa

keduanya tidaklah bertentangan.Ada kebenaran tunggal di dalamnya.

Dalam upayanya itu nampak betul bahwa Ibnu Rusyd benar-benar

berkeinginan untuk mendamaikan dua pendapat ini. Untuk memperkuat

argumen ini Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga golongan.

Pertama, kelas kaum ortodoks yang tidak terpelajar. Orang-orang

dalam kategori ini jumlahnya paling banyak, dan biasanya dalam

menjalani rutinitas keberagamaannya hanya dengan bertaqlid atau

mengikut.

Kedua, adalah para teolog. Golongan ini dikatakan Ibnu Rusyd

adalah golongan tepelajar namun tidak mau memahami premis-premis

logika.

Ketiga, adalah golongan orang-orang yang memahami agama

secara rasional.

Dari tiga kategorisasi ini Ibnu Rusyd kemudian menyatakan bahwa

perbedaan pendapat dan pemahaman dalam Islam, sebenarnya

berpangkal pada ini. Allah SWT mencipta Al-Qur’an sebegitu fleksibelnya

hingga dapat menyesuaikan yang membaca dan yang memahaminya.

Dari sinilah kemudian Ibnu Rusyd dinyatakan sebagai seorang yang

menyebarkan ajaran ganda. Meski kalau kita pahami lanjut sebenarnya

tidak ada itu yang namanya kebenaran ganda, yang ganda mungkin

pemahamannya saja. Jelas pembelaan yang luar biasa oleh Ibnu Rusyd

pada filsafat. Namun, mengalir dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa

Ibnu Rusyd cenderung pada rasionalitas, dan agak mengesampingkan

peran wahyu.

Selanjutnya, lima hal yang harus dimiliki seseorang yang ingin

mendalami filsafat menurut Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut :25[25]

Pertama, bakat alam. Menurut Ibnu Rusyd seseorang yang ingin

mendalami harus memiliki bekal awal yaitu nalar. Tidak semua orang

memiliki kemampuan dan minat yang sama dalam mendalami filsafat.

Jadi ini penting untuk diperhatikan. Bekal otak yang cerdas.

25[25] Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat,( Jakarta: P3M, 2007), hal. 167 – 168.

Page 32: Biografi Imam Ghozali

Kedua, tertib. Seorang yang ingin berhasil menjadi filsuf harus

mempelajari filsafat secara sistematis dan berurutan, agar tidak ada

kerancuan-kerancuan.

Ketiga, objektivitas. Kejujuran untuk mengatakan benar dan tidak

pada sebuah pemikiran adalah hal penting lain yang harus dimiliki

seorang calon filsuf. Ketika mendapatkan satu kebenaran dalam suatu

pemikiran katakanlah itu kebenaran, tanpa mengurangi atau melebihkan.

Keempat, keteguhan pendapat. Ketika seorang filsuf mendapatkan

kepastian dalam pemikirannya, maka sikap yang patut adalah

mempertahankan pemikirannya itu dengan sungguh. Dalam kamus

seorang filsuf tidak ada yang namanya kemunafikan pemikiran. Ketika ia

menyatakan kebenaran satu hal maka ia harus mempertahankannya

mati-matian.

Kelima, keutamaan akhlak. Seseorang yang ingin mendalami filsafat

harus benar-benar meniatkan dirinya untuk fokus hanya pada

pengetahuan dan kebaikan.

Demikianlah lima hal yang diajarkan Ibnu Rusyd untuk

mengaktualkan diri dalam dunia pemikiran.

F.     AVEROISMEIbnu Rusyd merupakan satu-satunya filosof muslim yang paling

berpengaruh di Barat. Di tangan Ibnu rusyd, filsafat menjadi demikian

menantang dan menarik minat banyak orang untuk mendalaminya.

Paham rasional yang dikembangkan menjadi titik terang bagi bangsa

Eropa untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan mereka.

Kias rasional, takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk

tertinggi dalam pemikiran Muslim yang menjadikan peradaban muslim

unggul dan maju adalah tantangan secara deametreal bagi paham

keagamaan Kristen secara deametreal bagi paham keagamaan Kristen

yang terbelakang karena tertutup, otoriter dan dogmatis26[26]

Para agamawan Kristen bersikap “munafik” karena secara resmi

melarang, tetapi mempelajarinya secara diam-diam dalam Gereja mereka.

Karena itu larangan Gereja tidak mempan menghadapi kaum intelektual

26[26] ______ Averroisme,www. Gooogle.com diakses pada tanggal 15 Januari 2012

Page 33: Biografi Imam Ghozali

untuk terus mengembangkan paham filsafat, terutama paham Ibnu Rusyd

di Eropa. Dari sinilah muncul kelompok intelektual yang semangat

menjadikan Ibnu Rusyd sebagai guru pertama (al-mu’alim al-awal).

Mereka ini dipimpin Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) yang

kemudian mendirikan aliran Averoisme. Walaupun penamaan Averoisme

sebagai pengikut ibnu Rusyd, menurut sirojuddin Zar adalah kurang tepat,

lebih tepatnya dinesbahkan pada kakek Ibnu Rusyd.

Munculnya gerakan dan aliran Averriosme ini sejatiny adalah

lompatan besar dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa

khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebab

sebelumnya Eropa kosong dari ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan

tidak menghargai akal. Bagi mereka (kristani) satu-satunya sumber

kebenaran hannyalah Gereja Kresten. Seperti diketahui bahwa Gereja

Katolik Roma sudah menancapkan dominasinya selama 11 abad di eropa

(abad ke-5 sampai abad ke-16 M) dan sukses dalam menyatukan Eropa di

dalam kerajaan Gereja Katolik ditandai dengan supremasi gereja secara

absolute diatas Negara. Dalam situasi ini kehidupan masyarakat Barat

sepenuhnya dalam control dan dogma Gereja Katolik Roma, sehingga

tidak ada kemerdekaan dan keselamatan di luar Gereja.27[27]

Menurut Sirajuddin Zar, kedatipun Averroisme ini namanya

dibangsakan kepada Ibnu Rusyd namun ajaran keduannya terdapat

perbedaan yang mendasar. Hal itu disebabkan oleh latar belakang agama

yang berbeda. Kalau Ibnu Rusyd mengembangkan paham rasional dalam

bingkai ajaran Islam, sebaliknya Averroisme hannya mengambil dasar-

dasar rasional saja dengan meninggalkan keyakinan keagamaan mereka

Ibnu Rusyd dilator belakangi oleh ajaran Islam yang rasional dan

dinamis. Di dalam islam terdapat ajaran yang bersifat dogmatis (qath’I al-

dalalah) tetapi amat sedikit jumlahnya. Adapun yang terbanyak ialah

ajaran islam yang bersifat zhani al-dalalah. Ia dating hanya dalam bentuk

prinsip-prinsip pokok, karena itu untuk mengoprasikannya diserahkan

27[27] ______ Averroisme,www. Gooogle.com diakses pada tanggal 15 Januari 2012

Page 34: Biografi Imam Ghozali

pada otak manusia setempat dimana ia hidup. Sehingga islam selalu

cocok dengan tempat dan zaman

Berbeda dengan islam, agama Kristen semua ajarannya bersifat

dogmatis sehingga tidak bisa didamaikan antara ajarannya dengan

filsafat. Atas dasar inilah ketika Averroisme mengembangkan pemikiran

rasional Ibnu rusyd di eropa, yang antara agama dan filsafat dapat

direkonsillasikan, mendapat kesulitan.pemikiran filsafat yang

dikembangkannya dalam islam adalah suatu kebenaran. Dan kebenaran

agama tidak bertentangan maka hendaklah diambil arti metavora

(takwil).28[28]

Menurut Ibnu Rusyd bahwa ada kebenaran ganda (double truth)

yaitu kebenaran yang dibawa agama dan kebenaran yang dibawa filsafat.

tetapi lain halnya yang dikembangkan Averriosme, menurut paham ini

mengatakan bahwa kebenaran filsafat mungkin bertentangan dengan

agama, tetapi keduanya harus diterima, demikian menurut Siger de

Brabandt (1235-1285) jadi konsep kebenaran ganda yang dikembangkan

Averriosme merupakan bentuk penyimpangan dari paham Ibnu Rusyd.

Penyimpangan yang ekstrim yang dilakukan Averroisme, menurut harun

Nasution sebagaimana dikutip Surajuddin Zar adalah pendapat yang

mengatakan filsafat mengandung kebenaran, sedangkan agama

membawa hal-hal yang tidak benar. Oleh karena itu, tuduhan pemuka

gereja terhadap Ibnu Rusyd seorang atheis adalah tidak tepat dan salah

alamat yang semestinya dilontarkan kepada Averriosme.29[29]

Reaksi terhadap pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa terbagi menjadi dua

kelompok : kelompok pertama, kelompok yang menentang yang

dipelopori oleh gereja dan kelompok kedua, kelompok yang mendukung

yang dipelopori oleh ilmuan. Peretentangan keduanny sangat tajam

sehingga kelompok pertama menuduh kelompok kedua sebagai atheis,

sehingga gereja mengeluarkan maklumat yang berisi pengharaman

membaca buku-buku karya Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Sebaliknya

kelompok kedua berusaha keras mengembangkan logika Aristoteles

28[28] Sirajudin Zar, Op, cit, Hal. 256-25729[29] Ibid, hal.257

Page 35: Biografi Imam Ghozali

sebagaimana ditafsirkan Ibnu rusyd dan pola berfikir rasionalis murni,

sedangkan pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd yang bersifat keagamaan

tidak mendapat perhatian. Dengan kata lain mereka mengunakan filsafat

untuk menentang gereja. Suasana pertentangan ini menjurus semakin

maraknya perbincangan filsafat Ibnu Rusyd pada abad XIII, sehingga lahir

kelompok yang menamakan dirinya dengan al-Rasyidin al-Latiniyin salah

satu tokohnya adalah Sigar Van Brabant30[30].

Dalam perkembangannya, walaupun Averriosme dilarang oleh

gereja, tetapi pengikutnya tetap setia dan tidak ada habis habisnya.

30[30] Hasyimsyah Nasution, Op.cit, hal.127-128

Page 36: Biografi Imam Ghozali

BAB IV

KESIMPULAN

Antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sebenarnya berasal dari konflik premis-premis

metafisika yang tidak bisa didamaikan. Kritik al-Ghazali terhadap konsep keazalian alam 

berpijak pada asal-usul konsep ini yang berangkat dari konsep Tuhan Aristoteles.

Konsep Tuhan seperti ini bertentangan dengan konsep Tuhan yang ada dalam al-

Qur’an. Konsep Tuhan Aristoteles berangkat dari konsep Tuhan yang harus mencipta alam.

Tuhan --tidak bisa tidak -- harus mencipta alam. Jadi, Tuhan berbuat dengan keharusan.

Bukan itu saja, Perbuatan-Nya pun selanjutnya ditentukan dengan benda-benda diluar diri-

Nya. Dia tidak bertindak secara langsung ke dalam alam ciptaan-Nya. Namun tindakan-Nya

melalui serial sebab-sebab esensial yang berlaku sebagai perantara. Premis-premis seperti ini

yang mendorong Aristoteles untuk merumuskan alam ini tidak berpemulaan. Pemikiran

metafisis ini yang mempngaruhi pemikiran al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.

Sementara bagi al-Ghazali dan tentunya mayoritas kaum Muslimin, konsep Tuhan

dalam al-Qur’an adalah Maha Kuasa. Dia juga Maha Berkehendak. Dia tidak berbuat dengan

keharusan. Tidak ada diluar Diri-Nya yang menentukan perbuatan-Nya. Alam sepenuhnya

tergantung kepada-Nya. Eksistensi alam secara total setiap saat bergantung kepada

perbuatan-Nya secara langsung. Segala sesuatu di alam ini setiap saat secara langsung berada

dalam genggaman-Nya. Dialah yang menyebabkan segala perubahan dan pergerakan. Tidak

ada keharusan keterkaitan sebab-akibat di alam ini.

Hanya Salah Paham, Kritikan Imam al-Ghazali terhadap filsafat terkadang 

ditafsirkan keliru. Al-Ghazali, misalnya, dituduh sebagai biang kerok kemunduran sains umat

Islam. Prof. al-Ahwany, misalnya,  menilai: “Sayangnya, kaum Muslimin mengikuti al-

Ghazali dan sedikit demi sedikit mengabaikan pelajaran sains. Zaman kebesaran peradaban

Islam menjadi buram. Kembali kepada Ibnu Rusyd adalah salah satu insentif untuk

kebangkitan kembali saat ini di Timur. Menurut al-Ahwany, Muhammad Abduh, Amir Ali

dan ramai tokoh-tokoh Muslim modern setuju dengan trend pemikiran Ibnu Rusyd dibanding

al-Ghazali (Ahmad Fouad al-Ahwany, “Ibn Rushd” dalam M. M. Sharif, A History of Muslim

Philosophy).

Sebenarnya, tuduhan kepada Imam al-Ghazali terlalu berlebihan. Menurut  al-Ghazali,

mempelajari sains adalah fardu kifayah bagi umat Islam. Al-Ghazali telah mengingatkan

dalam Tahafutul Falasifah, supaya mengkaji sains, sebagaimana disebutkan di awal tulisan

ini.

Page 37: Biografi Imam Ghozali

Waktu telah membuktikan pengaruh al-Ghazali kepada umat lebih besar dibanding

pengaruh Ibnu Rusyd. Mayoritas umat Islam baik dalam khilafah Utsmaniyah yang berkuasa

sekitar 700 tahun, dinasti Mughal di India-Pakistan selama 300 tahun, termasuk di alam

Melayu, lebih banyak yang mengikuti pemikiran imam al-Ghazali dibanding Ibnu Rusyd.

Page 38: Biografi Imam Ghozali

DAFTAR PUSTAKA

A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Jakarta : Dian Rakyat, 2008).

Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, A History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden : Otto

Harrossowitz, 1963).

Ahmad Fu`ad Al-Ahwany, al-Falsafah  al-Islamiyyah, (Kairo : Maktaba al-

Saqafiyyat, 1962).

Ahmad Syadani. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi

Aksara.

Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya,

1991).

Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004).

Hasyimiyah Nasution. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.

Mr. Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : Triputra Masa, 1984).

Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004).

Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.

Prof. Dr. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa

Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986).

Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta:

Kanisius.

T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Terjemahan Muhammad `Abd Al-Hady

Abu Zaidah,( Kairo : Mathba`at al-Taklif, 1962).

Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi

Aksara.