pemikiran sufistik mengenal biografi intelektual imam al

26
PEMIKIRAN SUFISTIK Mengenal Biografi Intelektual Imam Al-Ghazali Syafril, M Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (FIAI-UNISI) Tembilahan e-mail: [email protected] Abstrak Tulisan ini bertujan untuk mengenal lebih dekat sosok al- Ghazali dan mengetahui pemikiran tasawufnya. Dengan mengetahui latar sosiologis kehidupan al-Ghazali dan pemikirannya, mengantarkan kita dapat memahami pemikiran dan menghargai ide dan usahanya. Tak pelak lagi, al-Ghazali telah berjasa dalam merumuskan konsep tasawufnya yang didasari dari perenungannya terhadap ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Kitab Ihya’ Ulumiddin, merupakan karya agung dan terbesar al-Ghazali. Dalam buku ini, al-Ghazali menjelaskan pemikiran-pemikirannya mengenai tasawuf dan berusaha merekonsiliasi antara syari’at dan tasawuf dengan mengembalikan pemahamnnya kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ia menentang keras pemikiran-pemikiran yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Agama. Gagasan yang diperkenalkan al-Ghazali dalam menyelaraskan syari’at dan hakikat sedemikian mendalam dan belum pernah dikemukakan oleh pemikir sebelumnya. Pemikiran al- Ghazali kemudian memberikan pengaruh yang luar biasa sehingga diikuti oleh tokoh-tokoh sufi sesudahnya. Tidak hanya itu, tasawuf pada akhirnya dapat diterima oleh ahli syari’at dan dipahami oleh masyarakat umum. Kata Kunci: Pemikiran, Sufistik, Al-Ghazali

Upload: others

Post on 12-Mar-2022

26 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PEMIKIRAN SUFISTIK

Mengenal Biografi Intelektual Imam Al-Ghazali

Syafril, M

Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (FIAI-UNISI) Tembilahan

e-mail: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini bertujan untuk mengenal lebih dekat sosok al-

Ghazali dan mengetahui pemikiran tasawufnya. Dengan

mengetahui latar sosiologis kehidupan al-Ghazali dan

pemikirannya, mengantarkan kita dapat memahami

pemikiran dan menghargai ide dan usahanya. Tak pelak

lagi, al-Ghazali telah berjasa dalam merumuskan konsep

tasawufnya yang didasari dari perenungannya terhadap

ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Kitab Ihya’ Ulumiddin,

merupakan karya agung dan terbesar al-Ghazali. Dalam

buku ini, al-Ghazali menjelaskan pemikiran-pemikirannya

mengenai tasawuf dan berusaha merekonsiliasi antara

syari’at dan tasawuf dengan mengembalikan

pemahamnnya kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ia

menentang keras pemikiran-pemikiran yang dianggapnya

menyimpang dari ajaran Agama. Gagasan yang

diperkenalkan al-Ghazali dalam menyelaraskan syari’at

dan hakikat sedemikian mendalam dan belum pernah

dikemukakan oleh pemikir sebelumnya. Pemikiran al-

Ghazali kemudian memberikan pengaruh yang luar biasa

sehingga diikuti oleh tokoh-tokoh sufi sesudahnya. Tidak

hanya itu, tasawuf pada akhirnya dapat diterima oleh ahli

syari’at dan dipahami oleh masyarakat umum.

Kata Kunci: Pemikiran, Sufistik, Al-Ghazali

2 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

A. Pendahuluan

Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh sufi terkemuka yang hidup

di abad ke-5 Hijriyah pada masa pemerintahan Dinasti Bani Saljuk. Ia

adalah tokoh fenomenal sekaligus kontroversial. Dikatakan fenomenal,

karena pemikiran al-Ghazali selalu menarik untuk dikaji dari berbagai

sudut pandang keilmuan, mulai dari fikih, ushul fiqih, teologi, filsafat

hingga tasawuf. Disebut kontroversial, karena serangannya kepada para

filosof dan pemikiran mereka melalui bukunya Tahafut al-Falasifah,

telah menimbulkan berbagai polemik mengenai stagnasinya pemikiran

Islam khususnya di belahan timur dunia Islam. Banyak yang menduga

bahwa kemunduran pemikiran Islam disebabkan oleh serangan al-

Ghazali kepada filsafat. Beberapa pemikir Islam Indonesia, seperti

Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Nurcholis Majid tidak setuju terhadap yang

menyatakan bahwa al-Ghazali yang menyebabkan jumud nya

pemikiran Islam1. Menurut Syafi’i Maarif, kemacetan pemikiran Islam

khususnya di dunia sunni, merupakan fenomena sosiologis yang amat

kompleks. Sementara itu, dalam pandangan Nurcholis Majid, al-

Ghazali sangat berjasa dalam menciptakan suatu iklim keberagamaan,

karena al-Ghazali adalah seorang “penengah” antara literalisme

Hambaliyyah dan liberalisme para filosof.

Di Indonesia, khususnya dikalangan pesantren tradisional, al-

Ghazali lebih dikenal sebagai seorang sufi ketimbang seorang filosof.

Hal ini disebabkan, buku-buku yang dijadikan referensi dalam materi

tasawuf adalah buku-buku karya al-Ghazali, seperti matan Bidayatu al-

1 Lihat pengantar Ahmadie Thaha dalam terjemahan Tahafut al-Falasifah

(Jakarta: Panji Masyarakat, 1986), h. xii

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 3

Syafril. M

Hidayah, - buku ini kemudian disyarah oleh Syaikh Nawawi Banten

dengan judul “Maraqi al-‘Ubudiyah”, - Minhaju al-‘Abidin dan Ihya’

‘Ulumiddin. Bukunya, Ihya ‘Ulumiddin ini kemudian yang

menyebabkan nama al-Ghazali dikenal luwas di dunia Islam. Dalam

buku-buku tasawufnya, al-Ghazali mengemukakan konsep tasawuf,

metode tazkiyatun nafsi dan jalan menuju ma’rifah. Menurut al-

Ghazali, kebenaran tidak bisa diperoleh hanya melalui rasio semata

seperti yang dikemukakan filosof, melainkan dari cahaya (nur) yang

dipancarkan Allah kedalam hati seseorang, sehingga ia memperoleh

ma’rifah. Kebenaran melalui ma’rifah ini adalah kebenaran yang

sesungguhnya. Menurut sebagian pemikir muslim, al-Ghazali berjasa

dalam memurnikan tasawuf dan mengembalikannya kedalam struktur

ajaran Islam dengan jalan rekonsiliasi dengan istilah syari’at, tariqat

dan hakikat2. Menurut al-Ghazali, setiap amalan yang dijalankan oleh

seorang salik memiliki bidayah dan nihayah. Nama lain dari bidayah

adalah syari’at dan thariqat, sementara nihayah disebut dengan

hakikat. Syari’at3 adalah lahiriyah hakikat, sedangkan hakikat adalah

bathin syari’at. Keduanya saling berhubungan seperti dua sisi mata

2 Lihat Bidayatu al-Hidayah karya al-Ghazali dikomentari oleh Syaikh

Nawawi Banten dengan judul Maraqi al-‘Ubudiyah (Semarang: al-‘Aidarus, tt), 4-5 3 Ketiga istilah ini didefinisikan oleh al-Shawiy seperti yang dikutip oleh

Syaikh Nawawi Banten yaitu; syari’at adalah hukum-hukum Allah yang diturunkan

kepada Nabi saw untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai taklif (kewajiban

yang mesti dikerjakan), seperti perintah wajib, mandub, haram, makruh dan jaiz.

Thariqat adalah mengerjakan apa yang diperintahkan oleh hukum-hukum syari’at.

Hakikat adalah memahami hakikat sesuatu dan rahasianya, dengan bahasa lain hakikat

adalah ilmu yang Allah campakkan kedalam hati orang-orang yang mengamalkan

tuntunannya, yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintah-Nya dan meninggalkan

apa yang dilarang-Nya.

4 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

uang yang tak bisa dipisahkan. Syari’at tanpa hakikat hampa, hakikat

tanpa syari’at batil.4

Tulisan ini akan menguraikan pemikiran sufistik al-Ghazali,

mengapa al-Ghazali memilih jalan sufi untuk menemukan kebenaran,

konsep ma’rifah, corak dan pengaruhnya dalam pemikiran tasawuf

sesudahnya serta pengaruh dan komentar ulama terhadap kitab Ihya’

‘Ulumiddin.

B. Sketsa Biografi Imam Al-Ghazali

1. Riwayat hidup dan pendidikannya

Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Beliau dilahirkan di kota

kecil Thus yang termasuk wilayah Khurasan Iran pada tahun 450

Hijriah bertepatan dengan tahun 1058 Masehi5. Sedangkan al-

Ghazali diambilkan dari nama Ghuzalah yang merupakan nama

sebuah kampung di Thus.6 Di kota ini pula ia meninggal dan

dikebumikan pada tahun 505 Hijriah/111 Masehi. Ayahnya bekerja

sebagai pemintal wol yang kemudian dijualnya di tokonya di Thus.

Menjelang wafanya, ayah al-Ghazali menitipkan kedua putranya,

al-Ghazali dan saudaranya Ahmad, kepada temannya yang juga

seorang sufi dan memberinya sejumlah harta yang ditabungnya

selama ini. al-Ghazali kecil kemudian belajar fiqih di Thus kepada

Ahmad al-Radzakani, selanjutnya setelah beranjak remaja ia pergi

4 Ibid. 5 Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, tahkik ‘Abdul Halim Mahmud alih

bahasa Abdul Munip (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 33 6 Maraqi al-‘Ubudiyyah, op cit., h. 3

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 5

Syafril. M

ke kota Jurjan untuk belajar kepada Abu Nashar al-‘Isma’il dan

akhirnya ke Naisabur untuk belajar kepada Abu al-Maali al-Juwaini

yang digelari Imam al-Haramain7. Kepada Imam al-Haramain ini,

al-Ghazali mempelajari kalam al-‘Asy’ari sehingga ia benar-benar

menguasainya. Setelah beberapa waktu belajar dengan Imam al-

Haramain, ia berkunjung ke kota Askar (Mu’askar) untuk menemui

Nidzam al-Mulk, Perdana Menteri Bani Saljuk. Nidzam akhirnya

mengangkat al-Ghazali sebagai guru di Universitas Nidzamiyah di

Baghdad8.

Dalam usia 34 tahun, al-Ghazali tinggal di kota Baghdad dan

mengajar di Universitas Nidzamiyah. Di kota ini nama al-Ghazali

semakin populer dan disambut hangat serta diperlakukan sangat

hormat. Menurut kesaksian ‘Abdu al-Ghafir al-Farisi9 yang hidup

semasa dengan al-Ghazali seperti yang dituturkan oleh al-Subki,

kepopuleran al-Ghazali hanya setingkat di bawah Imam Khurasan

dalam mengalahkan kepopuleran para pejabat dan menteri Bani

Saljuk10.

2. Kondisi sosial-politik pada masa al-Ghazali

Dalam sub pokok bahasan ini, penulis akan mengemukakan

secara singkat realitas sosial-budaya dan politik pada masa al-

7 Op cit., h. 34 8 Ibid., h. 35 9 Abdu al-Ghafir bin Isma’il al-Farisi – wafat tahun 529 H- salah seorang

sahabat al-Ghazali dan sering berhubungan dengannya, ia telah menulis biografi al-

Ghazali. Dalam tulisannya al-Farisi menggambarkan Imam al-Ghazali “ia adalah

imam dari semua imam agama, memiliki kefasihan dan kejelasan dalam ucapan dan

pemikiran, ketajaman akal dan bakat yang luar biasa yang belum pernah dimiliki

orang lain”. Lihat al-Munqidz min al-Dhalal, tahkik ‘Abdul Halim Mahmud. 10 Ibid.

6 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Ghazali hidup. Karena dari sini kita bisa memahami pemikiran-

pemikiran al-Ghazali yang pada hakikatnya adalah respon terhadap

fenomena sosial-politik yang terjadi pada waktu itu. Memahami

latar belakang kehidupan seorang tokoh dan gagasan yang

dikemukakannya, mengantarkan kita untuk tetap hormat kepadanya

dan memahami serta menghargai setiap ide yang dilontarkannya11.

Sebagaimana diketahui bahwa al-Ghazali hidup mada masa

pemerintahan Bani Saljuk. Ia lahir dua puluh tahun setelah kerajaan

ini berdiri, sejak berusia muda, ia telah menyaksikan pertumbuhan

awal dinasti ini, sampai akhirnya mengalami masa kemunduran dan

kehancurannya. Karena kecemerlangan intelektual al-Ghazali, ia

diangkat oleh wazir Nizham al-Mulk sebagai pimpinan ulama

hukum yang memberi pengesahan atas keputusan-keputusan

pemerintah dan guru besar pada Universitas Nizhamiyah.12 Dengan

posisi ini, al-Ghazali memiliki peran yang sangat penting dalam

memajukan Universitas tersebut. Bersamaan dengan kebijakan

pemerintah pada waktu itu, para lulusan madrasah diberi jaminan

menempati posisi tertentu, khususnya dibidang syari’ah. Misalnya,

antaralain, seperti posisi qadhi, dan posisi lainnya. Setiap madrasah

dibekali ilmu pemerintahan, sehingga banyak ulama yang menjadi

birokrat.

Akan tetapi, Universitas Nizhamiyah tidak membekali diri

dengan kemampuan kepemimpinan dibindang pemerintahan,

11 Quraish Shihab, Studi Kritis atas Tafsir al-Manar; Keistimewaan dan

Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1998), h. 9 12 Ahmadie Thaha, dalam pengantar karya al-Ghazali, al-Tibbr al-Masbuk fi

Nashihat al-Muluk alih bahasa oleh Ahmadie Thaha (Bandung: Mizan, 1994), 11

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 7

Syafril. M

sehingga lulusannya, termasuk al-Ghazali, tidak mampu berbuat

banyak pada tingkat struktural.13 Akibatnya peran ulama dalam

kehidupan politik menjadi pupus. Disisi lain, seorang qadhi dipilih

oleh pemerintah dan merupakan lulusan madrasah yang sudah

ditetapkan oleh pemerintah.

Setelah terbunuhnya Perdana Menteri Nizham al-Mulk dan

wafatnya Sultan Maliksyah, Dinasti Bani Saljuk mengalami masa

yang cukup sulit dengan perpecahan yang timbul dari dalam dan

luar kerajaan. Perebutan kekuasan diantara anak-anak Maliksyah

membawa kerajaan ini menuju keruntuhannya. Hal ini diperparah

dengan perilaku para pejabat istana yang membiarkan korupsi,

nepotisme, ketidakadilan, kezaliman dan kejahatan terjadi dimana-

mana.14

Kondisi-kondisi seperti ini yang menjadi salah satu faktor

yang menyebabkan al-Ghazali meninggalkan Baghdad selanjutnya

melakukan ‘uzlah dan ber- khalwat- untuk menghindari hiruk pikuk

dan kegaduhan politik di kota Damaskus selama kurang lebih dua

tahun. Dari tempat khalwat-nya, al-Ghazali tetap memantau

pergulatan politik dinasti Saljuk. Dalam masa pengasingannya, al-

Ghazali sering mengirim surat kepada penguasa dinasti Saljuk dan

memperingatkan perilaku mereka. Sekembali dari

pengasinganannya, al-Ghazali menuju kampung halamannya di

Thus.15 Atas permintaan Raja Muhammad bin Maliksyah, al-

13 Ibid. 14 Ibid., h. 20 15 Ibid., h. 21

8 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Ghazali menulis buku Nashihat al-Muluk. Sikap dan posisinya yang

menjaga “jarak” dengan kekuasaan ini membuat al-Ghazali

mengkritik penguasa melalui tulisan-tulisannya dan

mengkampanyekan hidup zuhud dan ‘uzlah dari situasi yang

semakin tidak menentu.

3. Memasuki kehidupan sufistik

Ketika al-Ghazali sudah berada pada puncak kemasyhuran,

kemewahan pun mulai datang menghampirinya, begitu juga

kedudukannya yang sangat tinggi, sehingga banyak orang yang

hendak mendekati penguasa, meminta bantuannya, namun al-

Ghazali sering menolaknya. Hidup dalam limpahan kemewahan

tidak lama dinikmati oleh al-Ghazali, karena tidak berapa lama

sesudah itu, ia mengalami guncangan jiwa yang sangat hebat yang

memaksa ia untuk meninggalkan kemewahan, kedudukan dan

kemuliaan untuk selanjutnya melakukan ‘uzlah (mengasingkan

diri).16

Dalam bukunya al-Munqidz min al-Dhalal,17 al-Ghazali

menceritakan perjalanan hidup dan merekam perkembangan

pemikirannya mulai dari mempelajari satu ilmu ke ilmu yang

lainnya, keragu-raguan yang menimpa dirinya dan akhirnya

memilih tasawuf sebagai pelabuhan terakhirnya. Dalam buku ini al-

Ghazali menceritakan bahwa “ sejak masa remaja – ketika masih

16 Ibid., h. 36 17 Kitab al-Munqidz min al-Dhalal adalah karya Imam al-Ghazali yang

ditulisnya untuk menceritakan pergumulannya dengan ilmu pengetahuan,

pengembaraanya dari mendalami satu ilmu ke ilmu yang lain, serta keraguan yang

dialaminya. Buku seperti ini merupakan buku yang langka dalam tradisi keilmuan

Islam, karna jarang para ulama merekam perkembangan pemikirannya sendiri.

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 9

Syafril. M

baligh- sampai sekarang di saat saya sudah berusia 50 tahun, saya

mengarungi samudera ilmu pengetahuan. Saya selidiki ajaran

semua aliran agar saya bisa membedakan mana yang hak dan mana

yang batil, mana yang sesuai sunah dan mana yang bid’ah.18 Saya

dalami ajaran Bathiniyah untuk mengetahui kedalaman

batiniahnya, saya teliti ajaran Zhahiriyyah karena ingin tahu

kezahiriyahannya. Demikian pula saya selami ajaran para filosof

supaya mengetahui hakikat filsafatnya. Saya pelajari ilmu kalam

untuk mengetahui tujuan akhir dari pembicaraan dan perdebatan di

dalamnya.”

Menurut al-Ghazali, keinginannya yang kuat untuk

menyelami lautan ilmu pengetahuan dan memahami hakikat segala

sesuatu adalah dorongan naluri dan fitrah yang Allah tanamkan ke

dalam tabiatnya, bukan ikhtiyar dan usahanya. Dengan naluri ini,

al-Ghazali berhasil membebaskan dirinya dari taqlid dan

meruntuhkan kepercayaan dan dogma-dogma warisan generasi

terdahulu, pada saat ia berusia remaja.19

Setelah mempelajari berbagai ilmu, al-Ghazali mulai

mendalami tasawuf. Karena menurutnya, sufi tidak bermain-main

dalam mencari kebenaran. Ajarannya tidak dapat dipahami secara

tepat jika tidak diikuti dengan pengalaman langsung.20 Selanjutnya

al-Ghazali menulis:

18 Ibid. 19 Ibid., h. 37 20 Achmad Faizur Rosyad, Menapak Jejak al-Ghazali; Tasawuf, Filsafat dan

Tradisi (Yogyakarta: Kutub, 2004), h. 117

10 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

“setelah itu, aku mulai mempokuskan perhatianku pada jalan

sufi. Jalan yang mereka tempuh adalah dengan ilmu dan amal

sekaligus. Aku memulai mempelajari ilmu mereka dengan

menelaah tasawuf seperti Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-

Makki, karya-karya Abu Harits al-Muhasibi, karya al-Junaid,

al-Syibli Abu Yazid al-Bustami dan karya sufi lainnya.

Tetapi, jalan sufi bukan hanya ilmu semata, ilmu hanyalah

bagian kecil dalam tasawuf. Yang mengantarkan seseorang

bisa meraih cahaya adalah amalannya, menggantungkan

harapannya hanya kepada Allah, menjauhkan diri dari

kemewahan, kedudukan, popularitas. Semua itu bisa

ditempuh dengan melakukan ‘uzlah dan khalwat

mengasingkan diri serta hidup zuhud (asketisme)”.21

Perhatian al-Ghazali kepada tasawuf ketika ia mulai

mengalami konflik batin dalam dirinya, antara menurutkan

keinginan hawa nafsu kepada kedudukan, kemewahan dan

popularitas dengan kehidupan yang “abadi”. Disisi lain, al-Ghazali

merasa ilmu yang digeluti sebelumnya tidak membawa ia kepada

kebenaran yang hakiki. Selama enam bulan, ia mengalami

kebingungan. Hal ini menyebabkan lidahnya kelu sehingga tidak

dapat mengajar dan tubuhnya pun menjadi lemas dan lemah22.

Al-Ghazali selanjutnya memohon diri untuk istirahat

mengajar dan meninggalkan Baghdad untuk menuju ke Syam. Di

Syiria, al-Ghazali mengasingkan diri selama dua tahun. Selama

dalam pengasingannya, ia tidak melakukan kegiatan apapun, selain

‘uzlah, khalwat, riyadhah dan mujahadah dengan tujuan untuk

menyucikan jiwa, memperbaiki akhlak dengan senantiasa berzikir

21 Lihat al-Munqidz., op cit., h. 41 22 Ibid., h. 41-42

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 11

Syafril. M

kepada Allah. Sekembalinya dari pengasingan, al-Ghazali menuju

kekampung halamannya di Thus. Setelah berada dikampung

halamannya, al-Ghazali tetap melakukan khalwat, semua itu ia

jalani dalam masa kurang lebih sepuluh tahun.23

Orientalis A. J.Arberriy menuturkan, sebagaimana yang

dikutip oleh Asmaran dalam buku Pengantar Studi Tasawuf, bahwa

setelah selesai masa pengasingannya, al-Ghazali menjalani

kehidupann sederhana, diiringi dengan belajar dan menulis kitab.

Selama kurun waktu itu, al-Ghazali mengungkapkan berbagai aspek

tatanan sufistik, metafisis dan moral yang ia coba merujukkan

tasawuf kepada ajaran sunni, sambil membuktikan bahwa

kehidupan seorang muslim dalam mengabdikan diri kepada Allah,

tidak akan dapat mencapai hasil yang sempurna, melainkan

mengikuti jalan yang ditempuh para sufi.24

4. Karya-karyanya dalam bidang tasawuf

Dibawah ini adalah buku-buku yang ditulis al-Ghazali dalam

bidang tasawuf berdasarkan beberapa sumber, namun ada

kemungkinan masih ada buku-buku yang lain yang ditulis oleh al-

Ghazali, tetapi menurut sebagian sumber buku-buku itu dibakar dan

dibuang ke dalam sungai ketika pasukan Mongol menghancurkan

kota Baghdad.

a. Bidayah al-Hidayah

b. Minhaj al-‘Abidin

23 Ibid. 24 Asmaran, As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1994), h. 331

12 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

c. Mizan al-‘Amal

d. Kimiya as-Sa’adah

e. Misykah al-Anwar

f. Ihya’ ‘Ulumiddin

g. Al-Munqidz min al-Dhalal

h. Al-Adab fi al-Din

i. Kitab al-Arba’in

j. Ar-Risalah al-Laduniyah

k. Raudhah al-Thalibin

C. Pemikiran Sufistik al-Ghazali dan Pengaruhnya Terhadap

Pemikiran Tasawuf Sesudahnya

1. Maqam Tasawuf menurut al-Ghazali

Dalam kajian tasawuf, jika seseorang ingin mendekatkan

dirinya kepada Allah, maka ada stasiun-stasiun atau maqam yang

harus dilaluinya.25 Setiap maqam yang dilalui oleh seorang salik,

maka ia akan mendapatkan ahwal. Menurut al-Ghazali, seperti yang

ia kemukakan dalam buku-buku tasawufnya, maqam yang harus

dilalui itu adalah taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal,

mahabbah dan ridha. Dalam sub pokok bahasan ini, penulis akan

menguraikan secara singkat pengertian masing-masing istilah

tersebut.

a. Taubat. Menurut al-Ghazali, taubat intinya adalah penyesalan.

Tetapi taubat mempunyai beberapa makna, yaitu berkaitan

25 Orang yang “berjalan” secara spiritual untuk mendekatkan dirinya kepada

Allah dalam istilah tasawuf disebut salik.

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 13

Syafril. M

dengan pengetahuan dosa serta akibatnya pada masa sekarang,

keinginan untuk meninggalkan dosa yang telah ia lakukan pada

masa yang akan datang dan bertekad untuk menghentikan

seluruh dosa tersebut agar terjalin kedekatan kembali dengan-

Nya26.

b. Sabar. Menurut al-Ghazali, sabar ada dua bagian, yaitu

sabar yang berkaitan dengan fisik dan sabar secara

psikologi atau non-fisik. Sabar yang pertama berkaitan

dengan beban berat yang dialami oleh tubuh ketika

melakukan perkerjaan atau pun melakukan ibadah.

Sedangkan sabar dalam pengertian yang kedua, berkaitan

dengan jiwa dalam menahan berbagai tuntutan hawa nafsu.

c. Faqir. Kefakiran diartikan oleh al-Ghazali dengan

membutuhkan bantuan Allah untuk melanjutkan wujudnya.

Karena tidak tersedianya apa yang dibutuhkan seseorang.

d. Zuhud. Yaitu menghindari diri dari kemewahan duniawi,

menguasai hawa nafsu dalam segala jenisnya.

e. Tawakkal. Menurut al-Ghazali, adalah kondisi batin yang

erat kaitannya dengan amal dan hati yang ikhlas, yaitu

keikhlasan hati hanya semata-mata karena Allah dan

mempercayakan diri kepada-Nya.

f. Mahabbah. Dalam pandangan al-Ghazali, mahabbah

adalah peringkat tertinggi dari keseluruhan peringkat yang

26 Lihat buku Menyelami Lubuk Tasawuf karya Mulyadi Kartanegara (Jakarta:

Erlangga, 2006), h. 197

14 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

harus dilalui, yakni cinta kepada Allah melebihi cinta

kepada lainnya.

g. Ridha. Ridha maqam terakhir, menurut al-Ghazali, ridha

ialah menerima dengan sepuas-puasnya apa yang

dianugerahkan Allah, bahkan setiap penderitaan pun

dirasakan sebagai anugerah.27

Selain tingkatan maqam yang telah disebutkan di atas, al-

Ghazali mengemukakan masalah-masalah yang berkaitan dengan

batin yang merupakan kondisi hati sanubari, yaitu al-khaufu wa al-

raja’. Al-khauf, yaitu takut kepada Allah dengan merasa pedih

dalam hatinya jika ia terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang. Al-

raja’, mengharap, yaitu dimana seseorang secara sadar

menggantungkan harapannya hanya kepada Allah semata.

2. Konsep Ma’rifah menurut al-Ghazali

Ma’rifat adalah substansi tasawuf al-Ghazali. Walaupun

demikian, konsep ma’rifat bukanlah murni pemikiran al-Ghazali

semata, tetapi adalah pengembangan dari konsep sufi sebelumnya.

Ma’rifat secara bahasa berarti pengetahuan atau pengalaman.

Sedangkan dalam terminologi tasawuf, kata ini diartikan sebagai

pengenalan seorang sufi tentang Tuhan yang didapatnya melalui

hati sanubari yang suci28.

Dalam berbagai literatur tasawuf disebutkan bahwa tokoh

yang memperkenalkan ma’rifat ini, yaitu Zun al-Nun al-Misri dan

27 Ibid,. h. 201 28 Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2002), h. 112

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 15

Syafril. M

al-Ghazali. Zun al-Nun al-Misri hidup sekitar tahun 860 Masehi.29

Menurut Hamka, seperti yang dituturkan oleh Abuddin Nata, Zun

al-Nun adalah puncaknya kaum sufi pada abad ketiga Hijriyah. Ia

banyak sekali menambahkan cara-cara menuju Tuhan. Ungkapan

Zun al-Nun al-Misri yang terkenal adalah “aku mengenal Tuhanku

dengan Tuhanku, sekiranya tidak karena Tuhanku, aku tak akan

mengenal Tuhanku”30. Ungkapan ini menunjukkan bahwa ma’rifat

tidak dapat diperoleh begitu saja, juga bukan hasil pemikiran tetapi

melalui pemberian Allah.

Sementara itu, ma’rifat dalam pemahaman al-Ghazali-hanya

dapat diperoleh melalui ilham-yaitu Allah memancarkan nur

(cahaya petunjuk) ke dalam hati orang yang dikehendakinya

sehingga ia dapat mengenal Allah31, sehingga dirinya menjadi

lebur, menyatu pikiran dan hatinya dengan kehadiran Allah32.

Dalam bukunya Raudhah al-Thalibin, al-Ghazali mengatakan

bahwa ma’rifat, jika ditinjau dari aspek bahasa mempunyai arti

“ilmu yang tidak menerima keraguan”33. Orang yang sampai pada

tingkatan ma’rifat dinamai dengan orang arif34. Lebih jauh al-

29 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),

h. 225 30 Ibid,. h. 226 31 Al-Muqidz, op cit,. h. 31 32 Lihat juga penjelasan Quraish Shihab, Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati,

2005), h. 182 33 Al-Ghazali, Raudhah al-Thalibin, (Mesir: Maktabah al-Sa’adah, 1967), h.

162 34 Al-‘Arif billah adalah orang yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam

kajian tasawuf, yaitu orang yang jiwa raganya hanya mengarah kepada Allah semata.

Tidak ada satupun keadaan yang dapat mengahalanginya dan tidak ada suatu aktivitas

yang dilakukannya melainkan karena Allah, bukan untuk meraih kenikmatan surge

atau takut azab neraka.

16 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Ghazali mengatakan bahwa ma’rifat yang hakiki hanya dapat

diperoleh melalui ilham. Oleh karema itu, ma’rifat adalah

pengetahuan yang diberikan Allah secara langsung kepada manusia

tertentu tanpa proses pengamatan dan penalaran, atau melalui

proses belajar.35

Jalan untuk mencapai ma’rifat, menurut al-Ghazali adalah

qalbu bukan akal. Qalbu yang dimaksud adalah hati yang

mendapatkan pancaran cahaya (nur al-hidayah). Hati yang

mendapatkan cahaya petunjuk ini yang dinamai dengan bashirah.

Qalbu, demikian tulis al-Ghazali, bagaikan cermin, sementara ilmu

adalah pantulan gambar realitas yang terdapat didalamnya.

Tegasnya, jika cermin hati tidak bening, maka ia tidak dapat

memantulkan realitas-realitas ilmu. Selanjutnya, ia mengatakan,

yang menyebabkan cermin hati tidak bening adalah hawa nafsu,

sementara ketaatan kepada Allah serta berpaling dari tuntutan hawa

nafsu itulah yang membuat hati menjadi bening dan bercahaya36.

Menurutnya, sudah menjadi sunnatullah sejak dahulu,

orang-orang yang salih telah mengalami dan mengakui bahwa

penyucian jiwa, berserah diri kepada Allah serta mendekatkan diri

kepada-Nya adalah jalan yang akan mengantarkan jiwanya menuju

alam ruhani dan membawanya ke tempat yang tinggi, sehingga ia

mendapatkan limpahan rahmat, ilham dan ma’rifat yang tak

mungkin bisa diperoleh oleh orang-orang yang masih terikat

35 Asmaran, op cit,. h. 333 36 Ibid.

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 17

Syafril. M

hatinya dengan urusan materi dan duniawi.37 Sebagaimana halnya

para sufi sebelumnya, al-Ghazali pun memandang ma’rifah sebagai

tujuan akhir yang harus dicapai manusia, sekaligus merupakan

kesempurnaan tertinggi yang didalamnya terkandung kebahagiaan

yang hakiki.38 Dalam bukunya Minhaj al-‘Abidin, al-Ghazali

menjelaskan empat hal yang dapat menjadi penghalang seseorang

untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dan menyebabkan hatinya

tidak memiliki cahaya, yaitu dunia dan segala isinya, makhluk,

syaitan dan nafsu.39 Keempat hal ini, menurut al-Ghazali, bisa

diatasi dengan empat hal juga, yaitu zuhud, ‘uzlah, mujahadah dan

melemahkan nafsu.

D. Corak Tasawuf al-Ghazali dan Pengaruhnya Terhadap

Pemikiran Tasawuf Sesudahnya

Kemunculan al-Ghazali pada adab ke-5 Hijriyah, merubah

orientasi tasawuf yang hanya menekan pada aspek esoterik (batin saja).

Tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi pada abad ke-4 Hijriyah,

terutama oleh Manshur al-Hallaj dengan doktrin hulul-nya, tidak sesuai

lagi dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnnah. Doktirn hulul ini kemudian

yang membawa al-Hallaj dihukum mati. Tragedi yang dialami oleh al-

Hallaj memberikan gambaran betapa tajam konflik yang terjadi antara

ulama syari’at (baca:fiqih) dengan ajaran yang dibawa para sufi. Maka

dari itu, al-Ghazali berupaya mengembalikan ajaran sufi kepada status

37 Al-Munqidz,. h. 512 38 Op cit,. h. 332 39 Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin (Semarang: Dar Ihya’ al-Kutub al-

‘Arabiyyah, tt), h. 13

18 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

semula seperti yang dikemukakan oleh sufi abad pertama Hijriyah, al-

Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) yang

berorientasi pada sikap zuhud, pendidikan jiwa dan pembentukan

moral40.

Konsep dan pemikiran tasawuf yang diperkenalkan al-Ghazali

sedemikian mendalam dan belum pernah diperkenalkan pada masa

sebelumnya. Dilain pihak, al-Ghazali juga mengajukan kritikan-

kritikan tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran mu’tazilah

dan kepercayaan bathiniyah dengan menancapkan dasar-dasar tasawuf

yang lebih moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis Ahl al-

Sunnah wa al-Jama’ah. Dalam orientasi dan rincian-rincian tasawuf

yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi al-Hallaj dan al-

Bustami. Model tasawuf yang dikembangkan al-Ghazali disebut

dengan tasawuf sunni41.

Menurut Abu al-Wafa’ al-Taftazani, seperti yang dikutip oleh

Asmaran, bahwa dalam tasawuf, pilihan al-Ghazali jatuh pada tasawuf

sunni yang berdasarkan doktrin ASWAJA (ahlu as-sunnah wa al-

jama’ah). Dari paham tasawufnya ini, dia menjauhkan semua

kecenderungan yang mempengaruhi para filososf Islam, sekte

Isma’iliyah dan aliran Syi’ah, Ikhwan al-Safa dan lainnya. al-Ghazali

juga menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut

Aristoteles, antara lain teori emanasi dan penyatuan.42

40 Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi (Jakarta: Pustaka Iman,

2009), h. 49 41 Ibid,. h. 50 42 Asmaran, As, op cit,. h. 335

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 19

Syafril. M

Dengan tampilnya al-Ghazali, model tasawuf sunni yang

dikembangkannya mulai menyebar dan mempengaruhi di dunia Islam.

Tokoh-tokoh sufi yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf al-

Ghazali sekaligus pendiri tarekat, yaitu Syaikh Ahmad Rifa’i, (pendiri

tarekat rifa’iyyah) dan Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani (pendiri tarekat

Qadiriyah). Demikian pula generasi berikutnya, antara lain dan yang

paling menonjol, Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, Abu al-‘Abbas al-

Mursi dan Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari, ketiganya adalah pendiri dan

tokoh tarekat as-syadziliyah.43

E. Pengaruh dan Komentar Ulama Terhadap Ihya’ ‘Ulumiddin

Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin merupakan manifesto pemikiran

tasawuf al-Ghazali sekaligus karya monumentalnya dalam bidang ini,

sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar dalam dunia Islam.

Buku ini telah melahirkan banyak syarah (komentar dan penjelasan)

dan ikhtishar (ringkasan) yang ditulis oleh ulama sesudahnya. Banyak

yang memberikan dukungan, namun sebanyak itu pula yang

memberikan kritikan. Ihya’ sudah diterjemahkan ke dalam berbagai

bahasa, seperti Inggris, Prancis, Spanyol dan bahasa lain di dunia

termasuk bahasa Indonesia. Bagi dunia Islam, Ihya’ –sampai saat ini-

tetap menjadi insprirasi dan menjadi sumber kajian yang tak pernah

habis dibahas dari berbagai aspek keilmuan44.

Dalam karya besarnya ini, al-Ghazali mengkompromikan dan

menjalin secara ketat antara pengamalan sufisme dan dengan syari’at.

43 Op cit,. h. 51 44 Lihat komentar ‘Abdul Halim Mahmud dalam al-Munqidz, op cit,. h. 76

20 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Ia juga menjelaskan hubungan antara syari’at dengan hakikat atau

tasawuf. Menurut al-Ghazali, sebelum seseorang mempelajari dan

mengamalkan tasawuf, ia terlebih dahulu harus mempelajari dan

memperdalam ilmu syari’at dan akidah terlebih dahulu. Tidak berhenti

sampai disitu, ia juga harus mengamalkan syari’at dengan konsekuen

dan secara sempurna45. Seperti melaksanakan shalat, puasa dan ibadah-

ibadah lainnya. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan, apabila seseorang

sudah mendalami dan mengamalkan syari’at dalam pengertian di atas,

maka ia dianjurkan untuk mempelajari tarekat, mengenai cara-cara

berzikir, pengendalian nafsu hingga akhirnya mencapai makrifat46.

Metode yang ditempuh oleh al-Ghazali untuk menyelaras dan

menghubungakan syari’at dengan hakikat atau tasawuf dinilai oleh para

ulama cukup berhasil dan meyakinkan. Sayyid Huseein Nashr,

misalnya, menyebut al-Ghazali sebagai tokoh rekonsiliator antara

syari’at dan tasawuf. Dampak dari ijtihad yang dilakukan oleh al-

Ghazali, tasawuf diterima oleh ahlu syari’at sebagai bagian dari sistem

keilmuan agama Islam. Bahkan tasawuf menyebar dan merakyat dalam

arti bisa dipahami oleh masyarakat setelah sebelumnya hanya dipahami

oleh segelintir orang47.

Pokok-pokok pikiran tasawuf al-Ghazali tertuang di dalam

karya monumentalnya, Ihya’ ‘Ulumiddin. Sebagai sebuah karya, Ihya’

tidak terlepas komentar, baik dari orang yang mengagumi pikiran al-

Ghazali maupun yang mengkritiknya. Secara umum, kritikan terhadap

45 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1996), h. 168 46 Ibid,. 47 Ibid,. h. 169

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 21

Syafril. M

al-Ghazali dapat disimpulkan melalui ucapan Abu al-Muzhaffar, yaitu

“al-Ghazali menulis buku Ihya’ dengan menampilkan berbagai mazhab

tasawuf. Dalam bukunya itu, al-Ghazali tidak memaparkan aturan-

aturan fiqih dan banyak ulama yang mengingkari kualitas hadis-hadis

yang digunakan al-Ghazali dalam Ihya’”.48

Berbagai komentar ulama yang mengagumi pikiran al-Ghazali.

Al-Hafizh al-Iraqi, misalnya mengatakan bahwa “kitab Ihya merupakan

kitab tentang Islam yang terbesar, yang membahas persoalan hala-

haram, memadukan antra aspek formal hukum dengan rahasia yang

terkandung dibaliknya…” sementara itu, menurut Ibn al-Subki, “Ihya

merupakan salah satu kitab yang perlu dipahami oleh orang-orang

Islam, karena Ihya telah mampu memberikan petunjuk kepada banyak

orang. Siapa pun yang membaca kitab ini, ia pasti akan segera

meperoleh nasihat-nasihat yang baik”. Kekaguman serupa juga dialami

oleh Syaikh ‘Abd al-Qadir al-“idrus, ia mengatakan “ketahuilah, bahwa

kelebihan-kelebihan Ihya’ itu sangat banyak, bahkan ditinjau dari segi

apapun, Ihya’ pasti yang terbaik”. Menurut pengakuannya, ia hampir

saja menghafalkan seluruh isi kitab Ihya’.

Sebagai penutup, penulis kutipkan komentar Syaikh

Muhammar al-Khadhar Husain, mantan rektor al-Azhar, seperti yang

diceritakan oleh Abdul Halim Mahmud, bahwa “jika dalam Ihya’

ditemukan kekurangan atau keterbatasan, maka itu karena Ihya’

merupakan karangan manusia biasa yang tidak bisa luput dari

kesalahan. Ihya’ cukup banyak memiliki kelebihan. Butir-butir

48 Al-Munqidz,. h. 77

22 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

mutiaranya bisa menjadi penyejuk bagi para pencari ilmu dan penawar

kerinduan bagi merka yang tidak menemukan buku lain”49

F. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa faktor yang

mempengaruhi al-Ghazali untuk mengasingkan diri dan selanjutnya

menjalani kehidupan sufistik. Fenomena sosial-politik pasca

terbunuhnya Perdana Menteri Nizham al-Mulk, secara tidak langsung

memberikan pengaruh psikologis terhadap al-Ghazali yang notabene

adalah “sahabat” nya dipemerintahan Dinasti Saljuk sekaligus pendiri

Universitas Nizhamiyah. Peristiwa ini sedikit banyak “melukai”

perasaan al-Ghazali, dan menyebabkan ia tidak begitu “betah” untuk

mengajar lagi. Dilain pihak, hidup dalam limpahan materi ternyata tidak

membuat al-Ghazali merasa bahagia. Terjadi tarik-menarik didalam

hatinya, antara ingin hidup dalam kemewahan dan meninggalkannya.

Al-Ghazali pun mengalami kegoncangan jiwa sehingga menyebabkan

ia tidak mampu berbicara dan mengajar. Dalam kondisi yang tidak

menentu, al-Ghazali akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri

dan berkomtemplasi dalam kurun waktu yang cukup panjang.

Semenjak mulai mengasingkan diri, al-Ghazali menjalani hidup sebagai

seorang sufi sampai akhirnya ia dipanggil oleh yang Maha Kuasa.

Kitab Ihya’ Ulumiddin, merupakan karya agung dan terbesar al-

Ghazali. Dalam buku ini, al-Ghazali menjelaskan pemikiran-

pemikirannya mengenai tasawuf dan berusaha merekonsiliasi antara

49 Ibid,. h. 80

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 23

Syafril. M

syari’at dan tasawuf dengan mengembalikan pemahamnnya kepada al-

Qur’an dan Sunnah. Ia menentang keras pemikiran-pemikiran yang

dianggapnya menyimpang dari ajaran Agama. Gagasan yang

diperkenalkan al-Ghazali dalam menyelaraskan syari’at dan hakikat

sedemikian mendalam dan belum pernah dikemukakan oleh pemikir

sebelumnya. Pemikiran al-Ghazali kemudian memberikan pengaruh

yang luar biasa sehingga diikuti oleh tokoh-tokoh sufi sesudahnya.

Tidak hanya itu, tasawuf pada akhirnya dapat diterima oleh ahli syari’at

dan dipahami oleh masyarakat umum.

Makrifat adalah substansi tasawuf al-Ghazali. Menurutnya,

makrifat cahaya petunjuk (nur) yang Allah campakkan ke dalam hati

orang yang suci, sehingga ia dapat mengenal Allah dan rahasia sesuatu,

baik yang terlihat dialam nyata maupun alam metafisika. Jalan untuk

mencapai makrifat, menurut al-Ghazali adalah melalui hati yang suci

atau bashirah. Makrifat adalah pemberian, bukan hasil pemikiran dan

perenungan, tetapi diperoleh melalui ilham rahmani. Yang dapat

dilakukan seseorang adalah mujahadah dan riyadhah untuk

mensucikan jiwa dari kotoran-kotoran hawa nafsu.

Di atas segalanya, apa yang penulis kemukakan dalam makalah

ini adalah untuk mengenal lebih dekat sosok al-Ghazali dan mengetahui

pemikiran tasawufnya. Dengan mengetahui latar sosiologis kehidupan

al-Ghazali dan pemikirannya, mengantarkan kita dapat memahami

pemikirannya dan menghargai ide dan usahanya. Tak pelak lagi, al-

Ghazali telah berjasa dalam merumuskan konsep tasawufnya yang

didasari dari perenungannya terhadap ajaran al-Qur’an dan Sunnah.

Walaupun demikian, apa yang penulis hidangkan dalam tulisan ini tidak

24 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

menghadirkan konsep pemikiran tasawuf al-Ghazali secara utuh, hanya

bagian-bagian yang penting untuk diketahui.

Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam al-Ghazali | 25

Syafril. M

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Bidayatu al-Hidayah karya al-Ghazali dikomentari oleh

Syaikh Nawawi Banten dengan judul Maraqi al-‘Ubudiyah

Semarang: al-‘Aidarus,tt

_______, al-Munqidz min al-Dhalal, tahkik ‘Abdul Halim Mahmud

alih bahasa Abdul Munip Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005

_______, al-Tibbr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk alih bahasa oleh

Ahmadie Thaha Bandung: Mizan, 1994

_______, Raudhah al-Thalibin, Mesir: Maktabah al-Sa’adah, 1967

_______,Minhaj al-‘Abidin Semarang: Dar Ihya’ al-Kutub al-

‘Arabiyyah, tt

_______,Tahafut al-Falasifah alih bahasa oleh Ahmadie Thaha Jakarta:

Panji Masyarakat, 1986

Shihab, Quraish, Studi Kritis atas Tafsir al-Manar; Keistimewaan dan

Kelemahannya Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1998

______, Logika Agama Jakarta: Lentera Hati, 2005

Rosyad, Faizur, Achmad, Menapak Jejak al-Ghazali; Tasawuf, Filsafat

dan Tradisi Yogyakarta: Kutub, 2004

Asmaran, As, Pengantar Studi Tasawuf Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1994

Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf Jakarta: Erlangga,

2006

Siregar, Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2002

26 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2000

Shihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi Jakarta: Pustaka

Iman, 2009

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1996