dimensi sufistik dalam puisi tapi dan belajar...

141
DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPIDAN BELAJAR MEMBACAKARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA KELAS XII Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh FAJAR SETIO UTOMO NIM. 10901300088 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M

Upload: lythuan

Post on 10-May-2019

253 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI “TAPI” DAN “BELAJAR

MEMBACA” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

DAN SASTRA INDONESIA DI SMA KELAS XII

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

FAJAR SETIO UTOMO

NIM. 10901300088

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M

Page 2: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi yang berjudul "Dimensi Sufistik Dalam Puisi Tapi dan Belajar Membaca

Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia di SMA", yang disusun oleh Fajar Setio Utomo NIM109013000088, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak

untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan olehfakultas.

J akarla, 4 Septemb er 20 I 4

NIP: 19771030 200801 2009

Page 3: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik Dalam Puisi "TAPI" dan "BELAJARMEMBACA" Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya TerhadapPengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Kelas XII" disusun oleh FajarSetio Utomo, Nomor Induk Mahasiswa: 109013000088, diajukan kepada FakultasIlmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqosah pada tanggal 12

September 2A14, di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhakmemperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasadan Sastra Indonesia.

J akarta, 24 Septemb er 2Al 4

Panitia Ujian Munaqosah

Ketua Panitia (PLT Ketua Jurusan PBSD Tanggal

Didin Syafruddin. MA." Ph.D.

NIP. 19600307 199002 l00l

Sekretaris (Sekretaris JurusanlProdi)

Dra. Hindun" I\4 Pd.

NrP. 19701215 2A090 2 00t

Penguji I

Ahmad Baohtiar" M.Hum

NIP. 19760t18 2A09n I 002

Penguji II

Cecep Suhendi. M.Pd

NIP.

4E Sqxyr4r lot't.

29 S rn. eDtl,..........t...........'...{

6 kSo.u**'{

,lg Soq.er"b$ ldLt

Mengetahui,

Dekan Faf,ultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

MP. 19591020 198603 2 00r

Page 4: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama

NIN4

Jurusan

Judul Skripsi

Fajar Setio Utomo

109013000088

Pendidikan Bahasa dan

Dimensi Sufistik Dalam Puisi

Karya Sutardji Calzoum BachriPembelajaran Bahasa dan Sastra

Sastra Indonesia

Tapi dan Belajar Membaca

dan Implikasinya Terhadap

Indonesia di SMA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untukmemenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UINSyarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telahsaya

cantumkan sesuai dengan ketntuan yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya

atau jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta. 4 September 2014

^^ETERATTE^IPEL

EA77DACF38830&4xn \.:

(Fajar Setio Utomo)

Page 5: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

i

ABSTRAK

FAJAR SETIO UTOMO: Dimensi Sufistik Puisi Tapi dan Belajar Membaca

Karya Sutardji Calzoum Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

Skripsi. Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini,

mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Berdasarkan hal tersebut peran

sastra dirasa menjadi semakin penting untuk disosialisasikan dan “dibumikan”

melalui instuisi pendidikan. Hal ini cukup beralasan, sebab sastra mengandung nilai

estetik dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Hal ini

cukup beralasan, sebab secara sederhana puisi adalah segala bentuk ekspresi dengan

memakai bahasa sebagai basisnya.

Metode penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif deskriptif.

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka dan catat sedangkan analisis

data dilakukan dengan menggunakan metode pembacaan model semiotik yang terdiri

dari tiga tahapan analisis, yaitu; sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Puisi “Tapi” dan “Belajar Membaca” dalam hal ini sarat dengan gagasan

tasawuf Wahdatul Wujud, yang menunjukkan berpadunya eksistensi manusia dengan

eksistensi Tuhan, berpadunya dimensi insaniyah dengan dimensi Ilahiyah,

bersatunya makhluk dengan Khalik, sehingga terlihat bahwa terdapat dua dimensi

sufistik, yakni dimensi transenden dan dimensi imanen. Dimensi sufistik yang

terdapat pada puisi “Tapi” dan “Belajar Membaca” mengajarkan aspek rohani dan

moral kepada siswa, dan memberi tahu bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial.

Dalam hal kebahasaan, puisi ini pun melatih dan mengajarkan siswa untuk lebih

memahami konstruksi bahasa baik dalam segi sintaksis, semantik, maupun

pragmatik. Melalui pendekatan semiotik pembelajaran materi sastra dan tata

kebahasaan dapat saling mendukung.

Kata Kunci: Dimensi sufistik, puisi-puisi Sutardji, dan implikasi pendidikan

Page 6: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

ii

ABSTRACT

FAJAR SETIO UTOMO: Sufistic Dimension in Tapi and Belajar Membaca

Poetry Sutardji Calzoum Bachri Work and the Implicated for Indonesian

Language and Litterature Education in Senior High School.

Skripsi Jakarta: Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah

and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2014.

Pragmatic attitude in majority indonesian society life today, resulting the

erosion of national cultural values, therefore, the role of Littrature increasingly

becomes important to be socialized and "grounded" through education intuition. It is

quite reasonable, because the literature contains aesthetic and moral values relating

to life and human life.

research method used is descriptive qualitative method. The data collection

was done by using the libraries techniques and notes while the data analysis was

performed by using the model of semiotic reading method which consists of three

stages of analysis, namely; syntactic, semantic, and pragmatic.

Tapi and Belajar Membaca Poetry is full of ideas of Sufism Wahdatul Wujud,

which show the proverbial of human existence with the existence of God, the

proverbial insaniyah dimension and illahiyah dimension, the proverbial of the God

with with human, so it appears that two dimensions of Sufi, is the transcendent

dimensions and immanent dimention . Sufistic dimension that found from Tapi and

Belajar Membaca poetry teaching the spiritual and moral aspects for students, and

told that poetrys have an essential function. In linguistic terms, this poem was to train

and teach students to better understand the construction of the language both in terms

of syntax, semantics, and pragmatics.

Key Word: Sufistic Dimension, Sutardji Calzoum Bachri Poetrys, and the

implication of education.

Page 7: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT, zat yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dengan cara-Nya

tersediri, serta dengan segala Kasihnya mengabulkan doa-doa penulis. Shalawat serta

salam semoga senantiasa Allah SWT berikan kepada junjungan Nabi besar

Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu persyaratan

mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam proses penulisan

skripsi ini, penulis banyak menerima saran, petunjuk, bimbingan, dan masukan dari

berbagai pihak. Oleh karena, itu penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada

semua pihak, khusunya kepada:

1. Orang tua penulis, kepada Ibu Rubinem dan Almarhum Bapak Sukamto yang

telah begitu bersabar menunggu anaknya untuk menyelesaikan penulisan

skripsi ini, serta adik laki-laki penulis, Tio Baskoro Dwi Nugroho yang

dengan caranya sendiri berusaha membantu dan mendukung proses penulisan

skripsi ini.

2 Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mempermudah dan memperlancar

proses penyelesaian skripsi ini.

3 Rosida Erowati, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing, orang yang paling

membantu dalam proses penulisan skripsi hingga tahap paling akhir. Terima

kasih pula karena telah menjadi pengajar, kakak, serta sahabat yang teramat

baik selama ini, semoga beliau diberikan balasan yang setimpal dari-Nya.

Page 8: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

iv

4 Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya dosen-dosen

di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu

pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan selama ini dan

mau membantu dalam proses penyusunan skripsi ini khususnya..

5 Terima kasih banyak untuk Irsyad Zulfahmi, Bohari Muslim, dan Ayu

Annisa yang dengan caranya masing-masing telah memberikan dukungan

dan bantuan selama penulisan skripsi ini dan selama kehidupan penulis

sebagai mahasiswa.

6 Terima kasih kepada keluarga besar Komunitas Sastra Majelis Kantiniyah

yang telah menjadi rumah sekaligus gudang ilmu terbuka selama kegiatan

penulis di kampus. Penulis mengucapkan terima kasih karena telah mau

menjadi teman berdiskusi yang baik selama penulisan skripsi maupun masa-

masa perkuliahan.

Semoga apa yang kita perbuat mendapat Ridho-Nya. Amin ya Robbal‘alamin.

Akhirnya penulis hanya bisa berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para

pembacanya, khususnya penulis sendiri.

Jakarta, 4 September 2014

Penulis,

Fajar Setio Utomo

Page 9: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK …………………………………………………………………….. i

ABSTRACT …………………………………………………………………... ii

KATA PENGANTAR ………………………………………………………... iii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. v

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang pendahuluan …………………………………………............1

B. Identifikasi Masalah …………………………………………………….........4

C. Pembatasan Masalah …………………………………………………........... 5

D. Perumusan Masalah …………………………………………………….........5

E. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….........5

F. Manfaat Penelitian ……………………………………………………...........6

G. Metode Penelitian ………………………………………………………........6

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Sufisme dan Sastra …………………………………………….…....……...11

1. Pengertian Tasawuf …………….……………………………....……… 11

2. Ajaran Tasawuf al-Ghazali…………………………………....……….. 13

3. Sastra Sufistik...........................................................................................14

Page 10: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

vi

B. Puisi …………………………………………………………………..……..16

1. Pengertian Puisi …………….……………………………......................16

2. Bentuk Struktur Fisik Puisi……………………………………………...18

3. Bentuk Struktur Batin Puisi…………….………………………….........19

C. Semiotika..........………………………....……………………………..........20

1. Pengertian Semiotika..............…………………………………………..20

2. Teori Semiotik dalam Analisis Karya Sastra (puisi)…………….............21

3. Aspek Teks Sastra (Puisi).........................................................................24

a) Aspek Sintaksis untuk Analisis Puisi............................................24

1) Analisis Bentuk dan Unsur Bunyi dalam Puisi.................25

2) Analisis Aspek Sintaksis...................................................26

b) Aspek Sematik untuk Analisis Puisi.............................................28

1) Denotasi dan Konotasi…………………………………..28

2) Gaya Bahasa …………………………………………….30

3) Isotopi, Motif dan Tema………………………………...31

c) Aspek Pragmatik untuk Analisis Puisi…………………………..32

D. Pembelajaran Sastra ……………………………………………………….. 33

a. Sastra dalam Pembelajaran Hari Ini ………………………………….....33

b. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran ………………......35

E. Hasil Penelitian yang Relevan ……………………………………………...38

BAB III PROFIL SUTARDJI CALZOUM BACHRI

A. Biografi Singkat Sutradji Calzoum Bachri ………………………………....40

B. Pemikiran Sutardji Calzoum Bachri...............................................................44

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Analisis Puisi Tapi

1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi........................................................52

2. Analisis Aspek Sintaksis.....................................................................55

Page 11: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

vii

3. Analisis Aspek Semantik....................................................................61

a) Denotasi dan Konotasi............................................................61

b) Analisis Gaya Bahasa.............................................................65

1) Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat Puisi...............65

2) Analisis gaya bahasa figuratif.............................................66

c) Isotopi.....................................................................................66

4. Analisis Aspek Pragmatik ..................................................................70

B. Analisis Puisi Belajar Membaca

1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi........................................................75

2. Analisis Aspek Sintaksis.....................................................................77

3. Analisis Aspek Semantik....................................................................80

a) Denotasi dan Konotasi............................................................81

b) Analisis Gaya Bahasa.............................................................85

c) Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat (Puisi)................85

d) Analisis gaya bahasa figuratif.................................................85

e) Isotopi.....................................................................................86

4.Analisis Aspek Pragmatik ....................................................................91

C. Dimensi Sufistik Pada Puisi Tapi dan Belajar Membaca...............................94

D. Implikasi Puisi Tapi dan Belajar Membaca

Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA......................99

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ………………………………………………………………… 103

B. Saran …………………………………………...………………………… 104

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 109

Page 12: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar Uji Refrensi

Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Lampiran 3 : Puisi TAPI dan Puisi BELAJAR MEMBACA

Page 13: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia pendidikan kita saat ini sering dibuat miris dengan berbagai

pemberitaan di media cetak, maupun elektronik yang menampilkan berbagai

tindak anarkis, dan kemerosotan moral di kalangan para pelajar. Sikap hidup

pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan

terkikisnya nilai luhur budaya bangsa.

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses

kesejagatan tersebut, sastra menjadi semakin penting untuk disosialisasikan dan

“dibumikan” melalui instuisi pendidikan. Hal ini cukup beralasan, sebab secara

sederhana puisi adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai

basisnya. Sehingga dengan begitu, lingkup sastra membludak menyentuh segala

sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut kehidupan yang tidak mempergunakan

bahasa sebagai alat komunikasinya, dengan kata lain, tak ada bidang yang tak

terkait dengan sastra. Salah satunya dalam hal religius-sufistik-profentik yang

dalam hal ini merupakan bagian dari genre sastra, menyajikan pengalaman

spiritual dan transendental. Hal yang serupa juga dikatakan Mangunwijaya yang

menyatakan bahwa;

“Pada awal mula, Segala Sastra Adalah Religius”.1

Pendapat Mangunwijaya tidaklah berlebihan, dikarenakan semua sastra pada

awalnya memang digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan

kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan dan keadilan Tuhan yang Maha Esa sastra

mengandung nilai etik dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan

manusia. Soedjarwo mengemukakan bahwa tengah gemuruh teknologi, sastra

1 Y.B Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Kanisius, 1994), cet.3, h.11

Page 14: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

2

berupaya mengebalikan nilai-nilai kemanusiaan yang terkikis habis oleh

teknologi. Dikatakan Soedjarwo lebih lanjut bahwa puisi itu berusaha

mengembalikan stabilitas, mengembalikan keselarasan, dan keutuhan dalam diri

manusia.2

Sebagai karya seni, puisi dalam pembelajaran di sekolah hari ini rasanya

kurang dipelajari sebagai pengalaman estetik. Padahal di setiap karya sastra selalu

menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan, dan kerap menyajikan

banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan manusia yang menghayatinya.

Secara jujur harus diakui hingga saat ini sastra belum mendapatkan tempat yang

terhormat dalam dunia pendidikan kita. Yudi Latif berpendapat di tahun 1960-an,

sastra masih menjadi mata pelajaran wajib yang diuji-akhir, digeluti juga oleh

para pelajar SMA bagian B (Pasti –alam) dan C (ekonomi). Tetapi kini sastra

hanya menjadi penumpang gelap dalam pelajaran bahasa Indonesia.3

Pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pendidik terkadang

membahas puisi sebagai ilmu sastra yang berkutat pada pembahasan unsur

intrinsik dan ekstrinsik tanpa membahas nilai-nilai estetik yang terkandung dalam

sebuah karya sastra. Padahal tujuan puisi sebagai ilmu sastra sendiri di antaranya

yaitu membantu manusia menyingkap rahasia keadaannya, memberi makna pada

eksistensinya, serta untuk menemukan kebenaran secara maknawi dalam setiap

karya sastra. Ajip Rosidi pun berpendapat “bahwa mata pelajaran sastra sekarang

hanya merupakan bagian kecil dari mata pelajaran bahasa Indonesia.

Pembelajaran sastra di sekolah hanya memberikan batasan-batasan (definisi)

tentang istilah-istilah ilmu bahasa atau teori sastra, seperti apa itu metafora, apa

itu retorika, apa itu parelisme apa itu parafrase, dan semacam itu”.4

2 Rachmat Djoko Pradopo, dkk, Puisi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), cet. 3, h. 1.36

3 Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan,

(Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara, 2009), h.158

4 Lihat esai Ajib Rosidi yang berjudul Kesusastraan di Indonesia: “Dimensi Rohani yang

Hilang Harus Dikembalikan” pada Sastra dan Budaya (Kedaerahan Dalam Keindonesian), (Jakarta:

PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), h.52

Page 15: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

3

Dari beberapa penyair Indonesia, bisa dikatakan Sutardji memiliki pengaruh

dan sumbangsih yang cukup besar dalam kesusastraan (khususnya perpuisian) di

Indonesia. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena sejak awal puisi-puisi

Sutardji Calzoum Bachri telah dikenal membawa nafas baru dalam perpuisian di

Indonesia. Puisi-puisinya dipandang sebagai puisi-puisi “avant-garde”, yang

muncul pada permulaan 1970-an dengan kredo puisi yang kontroversional dan

menghebohkan. Walaupun puisi-puisinya yang awal cenderung nihilistic, namun

sangat intens melakukan pengembaraan spiritual, sehingga tak mengherankan bila

dalam beberapa puisi-puisi awalnya sudah bernafaskan sufistik.

Melihat keadaan sosial pada tahun 1970-an, Sutardji dalam karyanya hadir

dengan mengedepankan fungsi didaktis yang ternyata di dalam sastra dewasa ini

semakin penting. Dalam era globalisasi ini, siswa-siswi semakin dihadapkan

kepada problematika kehidupan yang mengarah pada krisis nilai-nilai kehidupan

akibat dari kemajuan sains dan teknologi modern. Sebab, sastra (khususnya puisi)

merupakan salah satu penghalus budi, yang mampu mengangkat kembali status

humanitasnya untuk menyadari arti keagungan alam semesta (universe),

keindahan nilai-nilai kehidupan dan kekuasaan Tuhan.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, penelitian ini akan berfokus pada dua puisi

karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”

dalam buku kumpulan puisi O, AMUK, KAPAK (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2007), Adapun pertimbangan lain yang memperkuat alasan untuk

menjadikan puisi Tapi yang berada dalam kumpulan puisi Amuk dan puisi

BELAJAR MEMBACA yang berada dalam kumpulan puisi Kapak karya Sutadji

Calzoum Bachri sebagai objek kajian dalam penelitian, dikarenakan dalam kedua

kumpulan puisi tersebut menunjukkan adanya aspek sufistik yang dominan di

samping daya ekspresinya yang estetis dan kompleks, dengan membandingan dua

puisi yang berada pada kumpulan puisi yang berbeda.

Usaha mengkaji puisi yang berjudul “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”

pada penelitian ini akan menggunakan tinjauan semiotik. Penggunaan pendekatan

Page 16: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

4

semiotik dalam penelitian ini didasarkan dengan dua pertimbangan. Petama, puisi

sufistik pada hakikatnya mengungkapkan pengalaman manusia yang bersifat

personal dan spiritual dalam mendekatkan dirinya dengan Tuhan; hubungan itu

penuh misteri dan sulit dijangkau oleh pikiran biasa. Oleh karena masalah yang

diungkapkan bersifat spiritual, makna puisi ketasawufan sukar dipahami secara

mendalam karena di dalamnya digunakan tanda-tanda yang mengandung konotasi

tertentu dan memerlukan penafsiran.

Alasan yang kedua, dikarenakan menurut pengamatan saya, penelitian

dengan pendekatan semiotik terhadap puisi Sutardji Calzoum Bachri pada

umumnya dan khususnya puisi yang bertema ketasawufan, belum dilakukan.

Pemerhati dan peneliti lainnya cenderung bersifat lebih global. Berdasarkan latar

belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul skripsi: “Dimensi Sufistik

Dalam Puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” Karya Sutardji Calzoum

Bachri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di

SMA kelas XII”

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra terutama pada

puisi.

2. Kurangnya kreatifitas guru sebagai pendidik dalam mengajarkan materi puisi

di sekolah

3. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari puisi, sebagian besar masih pada

tataran penjelasan unsur-unsur intrinsik sehingga menjadikan kurangnya

minat peserta didik dalam mempelajari puisi.

4. Kurangnya pembahasan tentang makna dan pesan yang terkandung dalam

sebuah puisi, khususnya pada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri

Page 17: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

5

5. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap puisi sebagai bahan pertimbangan

dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada anak-anak.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul

dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti

agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Dalam dua puisi karya

Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” terdapat

banyak temuan masalah, maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan

penelitian pada:

1. Dimensi sufistik dalam dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu,

“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”

2. Implikasi dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu, “TAPI” dan

“BELAJAR MEMBACA” terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia di SMA kelas XII.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian

seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah Sutardji Calzoum Bachri menampilkan dimensi sufistik dalam

puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”?

2. Bagaimana implikasi puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri terhadap

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XII?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dimensi sufistik pada puisi “TAPI” dan “BELAJAR

MEMBACA” karya Sutardji Calzoum Bachri

Page 18: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

6

2. Mendeskripsikan implikasi dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu

“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” terhadap Bahasa dan Sastra

Indonesia di SMA kelas XII.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan

manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran spiritual

menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan ditengah derasnya

arus pusaran keadaan saat ini yang terus mengacu nilai-nilai keduniawian.

2. Manfaat Praktis

a) Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi

mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya

referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di sivitas akademika

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

b) Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang dimensi sufistik dalam

sebuah karya sastra, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu

tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan pandangan

yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan menjadi calon

pendidik

c) Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang puisi secara

terstruktur dan mendalam

G. Metode Penelitian

1. Objek dan Waktu Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan objek kajian berupa dua buah

puisi, yaitu “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum

Bachri. Tempat yang akan digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu

Page 19: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

7

tempat, karena objek yang dikaji berupa teks karya sastra yang terdapat pada

buku kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul O, Amuk, Kapak

yang diterbitkan pada tahun 2004. Penulis melakukan kegiatan penelitian

antara lain di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan

Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia dan Pusat Dokumentasi Sastra

HB. Jassin. Adapun waktu penelitian dimulai pada bulan Desember 2013 – Juli

tahun 2014.

2. Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a) Fokus Penelitian

Langkah awal sebuah penelitian adalah menentukan teks sastra

yang akan dikaji atau diteliti, dan persoalan apa yang muncul, yang

kemungkinan bisa dijelaskan dan dicarikan solusi melalui penelitian.

Langkah berikutnya setelah teks dan permasalahan ditentukan adalah

menentukan fokus penelitian.

Secara umum penelitian sastra dapat dikatagorikan ke dalam

empat fokus yang merujuk pada empat pendekatan Abrams, yaitu:

1) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan

penulis/penelitian genetik.

2) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca.

3) Penelitian dengan fokus teks itu sendiri.

4) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.5

Berdasarkan keempat jenis fokus penelitian di atas, dalam

penelitian ini penulis menggunakan fokus yang ketiga, yaitu penelitian

dengan fokus teks itu sendiri.

5 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.180

Page 20: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

8

b) Bentuk dan Strategi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan

yang dilakukan menggunakan pendekatan semiotik yang dikhususkan

dalam penerapannya dalam karya sastra khususnya puisi. Pendekatan

semiotika dalam penelitian ini melalui tiga tataran yaitu, sintaksis,

semantik dan pragmatik.

“Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara

mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis”.6

Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan.

Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein

(„ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak

semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman

dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya

deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan

membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara

menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar.

Kemudian pendekatan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar

yang mempengaruhi karya sastra), yang dalam hal ini dikaitkan dengan

konsep tasawuf yang diperkenalkan oleh beberapa penyair sufistik.

c) Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library

research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-

dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian.

6 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 2007), h. 53.

Page 21: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

9

d) Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan

langkah-langkah sebagai berikut:

1) Membaca buku kumpulan puisi karya Sutardji Calzoum Bachri

yaitu O, Amuk, Kapak.

2) Menetapkan dua puisi karya Sutardji Calzoum Bachri “TAPI”

dan “BELAJAR MEMBACA” sebagai objek penelitian dengan

fokus menemukan dimensi sufistik yang tergambar dalam dua

puisi tersebut serta implementasinya dalam dunia pendidikan.

3) Membaca ulang dengan cermat dua puisi Sutardji Calzoum

Bachri, yaitu“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” untuk

menentukan dimensi sufistik yang terdapat di dalam dua puisi

tersebut dan implikasinya dalam dunia pendidikan.

4) Menandai kata, lirik dan bait yang mengandung dimensi

sufistik

5) Mengklasifikasikan data dan menetapkan kriteria analisis

berdasarakan tahapan sintaksis, semantik, dan pragmatik.

6) Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan

pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data.

7) Menyimpulkan hasil penelitian

e) Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada

buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2013.

Page 22: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

10

f) Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu

suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa

catatan, buku, surat kabar, dan majalah.

g) Sumber Data

1) Data Primer

Data primer merupakan literatur yang membahas secara

langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu puisi

“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum

Bachri

2) Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat

untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-

sumber dari penulis lain yang berbicara terkait dengan objek

penelitian.

Page 23: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

11

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Tasawuf dan Sastra

1. Pengertian Tasawuf

Mengenai apa hakikat tasawuf bagi umat Islam, sering tidak mudah

mendapatkan pengertian yang cerah lantaran adanya stereotyped ideas yang

telah lama direntangkan para pendukung tasawuf. Terutama rumusan

propaganda penyusunan sintesis antara kasyfi (tasawuf) dan naqli (syariat)

seperti al-Ghazali, al-Qusyairi dan sebagainya.1

Secara etimologis kata tasawuf berasal dari suf „bulu domba‟ atau „jubah

wol‟ kasar yang dipakai oleh petapa pada periode awal tasawuf. Pakaian

tersebut menurut Schimel kemudian menjadi ciri-ciri sufi meskipun ciri

tersebut hanya mengungkapkan aspek luar, belum mencerminkan hakikat sufi

yang sebenarnya.2 Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf

dan intisari ajarannya adalah fana (ecstacy) dan kasyaf (illuminasi).3

Sebagai istilah, definisi tasawuf ada bermacam-macam, antara lain yang

dikutip oleh Hamka, yaitu berturut-turut menurut Makruf al-Karakhi,

Muhammad al-Jurairai, Rusim, dan Junaid berikut ini:

(1)... tasawuf ialah mengambil hakikat, dan putus asa dari

apa yang ada dalam tangan sesama makhluk; (2)... tasawuf

ialah masuk dalam budi menurut contoh yang ditinggalkan

Nabi dan keluar dari budi yang rendah; (3) ... tasawuf

ditegakan atas tiga perangkai. Berpegang teguh terhadap

kefakiran, membuktikan kesanggupan berkorban, dan

meniadakan pilihan; (4) ... tasawuf ialah ingat kepada

Tuhan walaupun dalam beramai-ramai, rindu kepada

1 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Grafindo, 1997), cet.2, h.10

2 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk

(Jakarta: Pustaka Firdas, 1986), h.12 3 Simuh, op. cit., h.11

Page 24: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

12

Tuhan dan sudi mendengarkan, dan beramal dalam

lingkungan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasul ...4

Dari beberapa definisi tasawuf tersebut, hanya melihat atau

menggambarkan satu segi saja, tidak mencerminkan tasawuf secara utuh.

Istilah tasawuf kadang-kadang dipadankan dengan istilah mistik. Sementara itu

Schimmel mengatakan

“That mysticim contains something mysterious, not be

reached by ordinary means or by intellectual effort, is

understood from the root common to the word mystic and

mystery, the Greek myein, “to the close the eyes”.5

Dari pendapat Schimel dapatlah tasawuf diartikan sebagai ajaran

keruhanian penuh suasana kekudusan dan kekhusyukan berkenaan „menutup

mata‟ atau „sesuatu yang terlindung dalam rahasia‟. Hal yang serupa pun

dikatakan oleh Abu‟ Amr al-Dismisyaqi yang menyatakan “al-Tashawuf ru‟yat

al kawn bi‟ayn al-naqsy, bal ghadd al-tharf‟an al-kawn” yang artinya

“Tasawuf melihat ke tak sempurnaan alam fenomena, bahkan menutup mata

terhadap alam fenomena”.6

Berdasarkan hal ini jelaslah bahwa tasawuf ialah jalan keruhaniaan untuk

merealisasikan tauhid. Hal serupa diungkapan Shibil dengan mengatakan “al-

Shufi la yara fi al-darayn ma‟a Allah ghayra Allah” yang artinya “Sufi ialah

dia yang tidak memandang sesuatu di dalam dunia selain Allah Yang Esa”.7

Lebih jauh Abu al-Wafa al-Taftazani memberi pengertian tasawuf dan

mengaitkannya dengan dasar-dasar ajaran Islam tentang akhlak atau moral.

Tasawuf atau mistisme menurutnya secara keseluruhan ialah filsafat hidup,

yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia secara moral

melalui latihan-latihan praktis tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan

4 Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Nurul Islam, 1980), h. 83

5 “Secara etimologi kata “mistik” atau “mystic” berasal dari bahasa Yunani, myein, dan ada

kaitannya dengan „mysteri‟, serta bermakana „menutup mata‟ atau „terlindung di dalam rahasia‟.”

baca: Annemarie Schimel, Mystical Dimensions of Islam, (New York: Columbia University Press,

1981), h. 3 6 Abdul Hadi W.M, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 13

7 Ibid., h. 12

Page 25: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

13

keadaan fana di dalam hakekat tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara

instuitif, secara tidak rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan ruhaniah, yang

hakekatnya sukar diungkapkan dengan kata-kata, serta karakternya bercorak

instuitif.8

Melalui penjelasan tersebut dapat di lihat bahwa tasawuf merupakan jalan

keruhanian dalam Islam yang ditempuh oleh para sufi untuk mencapai makna

hakiki tauhid. Sebagai jalan keruhanian ia dibina oleh para sufi yang

berlandaskan tafsir dan penghayatan mereka terhadap ajaran-ajaran keruhanian

serta Al-Quran dan Sunah. Dengan kata lain tasawuf adalah suatu disiplin

keruhanian yang menghendaki penyempurnaan moral, pelaksanaan ibadah

mendalam kepada Allah. Apa bila ini semua dapat dicapai maka lahirlah

keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang memungkinkan terjadinya transformasi

di dalam diri seorang salik dan timbulnya keinsafan yang dalam terhadap

Wujud.9

2. Ajaran Tasawuf al-Ghazali

Nama lengkap Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-

Ghazali. Ia dikenal sebagai al-Ghazali karena lahir di Ghazalah suatu kampung

di Thuskhurusan, Persia. Al-Ghazali lahir pada 480H/1058M tiga tahun setelah

kaum Saijuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ia meninggal hari senin,

14 Jumadil Akhir 505H/ 19 Desember 1111M.10

Imam al-Ghazali adalah seorang ahli filsafah dan sufi yang berjasa dalam

usaha menempatkan tasawuf sebagai ilmu yang penting di antara ilmu-ilmu

Islam lainnya. Ketajaman penanya sangat mengagumkan, begitu pula

pengusaan ilmu dan kefalsafahannya sangat luas.11

8 Ibid., h. 19-20

9 Ibid.

10

Heri MS Faridy, Rahmat Hidayat, Ika Prasasti Wijayanti. Edc, Ensiklopedia Tasawuf,

Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2008) h. 129 11

Hadi W.M, op. cit., h. 52

Page 26: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

14

Esensi tasawuf al-Ghazali menurut Simuh adalah penghayatan fana dan

makrifat. Penghayatan fana dan makrifat merupakan permulaan tarekat, sedang

penyucian jiwa hanyalah lorong menuju tarekat. Di dalam ekstase mistis

terjadi penghayatan makrifat, penghayatan langsung tentang Tuhan melalui

hati. Selain itu menurut Simuh, penghayatan makrifat dalam pemikiran al-

Ghazali adalah sebagai berikut:

Penghayatan makrifat ini dilukiskan dalam munqidz seperti

halnya Nabi sewaktu mi‟raj. Para sufi bisa berjumpa dengan para

malaikat, ruh-ruh para nabi, dan bisa mendapat pelajaran dari

mereka. Bahkan kemudian sampai pada penghayatan yang amat

dekat dengan Tuhan, suatu penghayatan yang amat indah yang

tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sehingga segolong sufi

ada yang menghayal sampai ke pengalaman hulul, ittihad atau

wushul kepada Tuhan.12

Dari pernyataan tersebut dapatlah kita lihat bahwa konsep penyatuan

diri dalam konsep tasawuf al-Ghazali tidaklah berada dalam fase

lahiriah/wuju melainkan salam tataran spiritual/ batiniyah.

3. Sastra Sufistik

Sangat sedikit orang ketahui tradisi sufi sehingga menimbulkan banyak

kesalah pahaman seperti contohnya hubungan antara sufisme dan Islam. Sering

kali orang berfikir bahwa keduanya merupakan hal yang berbeda, padahal

sufisme adalah jalan eksoterin Islam. Dapat dikatakan jika Islam adalah sebuah

tubuh maka sufisme adalah jantungnya.13

Melalui penjelasan tasawuf sebelumnya, secara ringkas dan terbatas maka

sesungguhnya kita telah mengetahui sastra sufistik, sebab kandungan sastra

sufistik tiada lain ialah tasawuf. Dalam sejarah tasawuf, sastra telah dipilih

sebagai media di dalam menyampaikan pengalaman keruhanian para sufi sejak

awal. Terdapat banyak penjelasan tentang pengalaman mereka yang berkenaan

12

Simuh, Antara Tasawuf dan Batiniyah: Dalam Pesantren, (Jakarta: P3M, 1985), cet. 3 h. 13-14

13 Syeh Khaled Bentounes, Tasawuf Jantung Islam (nilai-nilai universal tasawuf).

(Yogyakarta:Pustaka Sufi, 2003), h. 21

Page 27: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

15

dengan makrifat dan persatuan mistik disampaikan dalam bentuk anekdot-

anekdot, kisah perumpamaan atau alegori dan puisi.14

Sastra sufistik adalah sastra transendental karena pengalaman mistik yang

diungkapkan memang merupakan pengalaman yang berkaitan dengan

kenyataan transendental. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa sastra sufistik

mengabaikan dimensi social kehidupan. Ahli-ahli mistik sejati tidak

mengabaikan dunia nyata, hanya saja hati mereka telah begitu terpaut dengan

yang satu, yang kekal tidak berubah.15

Walaupun para sufi menulis dalam berbagai genre, pada umunya karya-

karya mereka memiliki tema utama yang sama, yaitu cinta atau isyq. Tema

cinta dipilih karena cinta merupakan peringkat keruhanian tertinggi dan

terpenting di dalam ilmu tasawuf. Dalam sistem estetika sufi, cinta (mahabbah

atau isyq) memiliki makna luas dan bersegi-segi. Cinta merupakan gabungan

dari berbagai unsur perasaan dan keadaan jiwa seperti uns (kehampiran), syawq

(kerinduan), mahabbah (kecenderungan hati) dan lain-lain. Menurut imam al-

Ghazali, cinta tidak mungkin ada tanpa makrifat, sebab orang hanya dapat

mencintai apabila seseorang itu mengenal atau mengetahui sesuatu yang

dicintainya. Hal ini berarti bahwa hanya cinta yang dapat membawa kita

meyakini realitas terdalam dan tertinggi segala sesuatu.16

Dalam gagasan al-Ghazali „isyq adalah cinta yang amat mendalam dan

mengungguli segala sesuatu, yaitu cinta yang benar-benar kokoh dan tidak

terhalang apapun. Seluruh sebab dan asas dari semua cinta, dalam pemikiran

imam al-Ghazali, terangkum dan terpadu dalam Tuhan, sebab Tuhan adalah

sebab terakhir dari segala manfaat dan kesenangan, yang sebab itu sudah

sepatutnya apabila dalam diri manusia senantiasa terbit perasaan rindu kepada

Tuhannya.17

14

Hadi W. M, op. cit., h. 9 15

Hadi W. M, Ibid., h. 26 16

Hadi W. M, Ibid., h. 35-36 17

Hadi W. M, Ibid., h. 53

Page 28: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

16

B. PUISI

1. Pengertian Puisi

Pencarian akan definisi puisi mungkin tidak akan pernah berakhir dan

mencapai kata mufakat, dikarenakan sifat dari sebuah karya seni yang selalu

mengikuti zamannya. Sebagai karya seni, puisi tentunya juga memiliki pola

yang dinamis, sehingga tidak ada pengertian yang secara tetap. Hal yang

serupa dikatakan pula oleh Riffaterre;

...pengertian puisi pun dari waktu ke waktu selalu berubah

meski pun hakikatnya tetap sama. Perubahan pengertian itu

disebabkan puisi sealalu berkembang karena perubahan

konsep keindahan dan evolusi selera.18

Pengertian puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ialah (1)

ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta

penyusunan larik dan bait; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih

dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan

pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi,

irama, dan makna khusus; (3) puisi.19

Horatius dalam Melani Budianta dkk menyarankan dua hal yang harus ada

bagi puisi, yaitu harus indah (dulce), namun pada saat yang sama, puisi harus

menghibur dan mengajarkan sesuatu (utile).20

Lebih lanjut Suwardi Endaswara

beranggapan keindahan tersebut dibedakan lagi pengertiannya menjadi tiga

aspek yaitu: (a) keindahan yang identik dengan kebenaran, (b) keindahan

dalam estetik murni, yaitu keindahan dalam pengalaman sastrawan, yang

18

Rachmat Djoko Pradopo dkk, Puisi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), cet. ke-3, h.1

19

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1112.

20

Melani Budianta, Ida Suhendari Husen, Manneke Budiman, Ibnu Wahyudi, Membaca

Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Tera Anggota IKAPI,

2006) cet. ke-3, h. 39

Page 29: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

17

mempengaruhi seseorang untuk merasa indah atau tidak indah suatu karya dan

(c) keindahan sederhana, yang terbatas pada panca indera.21

William Wordswoth dalam Melani Budianta dkk, memahami puisi sebagai

suatu luapan spontan dari perasaan yang kuat—a spontaneous overflow of

powerful feeling. Sementara itu, Roman Jacobson, seorang ahli linguistik dari

Prancis, menekankan pada fungsi puitik (poetic funcion) teks, yakni sebagai

sebuah fungsi yang mengarahkan segenap upaya dan perhatian unsur-unsur

teks itu sendiri.22

Dalam pemikiran para sufi, puisi memiliki peran dan konsep yang

berbeda. Dikarenakan bagi mereka puisi ialah ungkapan kelubuk rahasia

terdalam kehidupan, yaitu Sang Kebenaran itu sendiri. Jika seorang penyair

telah mencapai Yang Rahasia, maka dengan sendirinya ia akan mengalami

pencerahan transformasi (inabah) dalam arti yang sebenarnya. Puisi yang ideal

dalam konsep sufistik hadir untuk menyempurnakan kondisi ke manusiaan dan

memulihkan martabat kemanusiaan.23

Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukakan Emha Ainun Najib. Ia

berpendapat bahwa membaca puisi adalah memasuki suatu kelangsungan

pengalaman rohani yang tidak hanya memerlukan kerja pikirannya, tapi juga

hati dan perasaan, yang sedianya dilengkapi oleh kemampuan imajinatif dan

kepekaan intuitif.24

Akhirnya yang patut dicatat bahwa konvensi puisi selalu berubah dari

masa ke masa di berbagai tempat yang berbeda. Tidak jarang sebuah teks

diterima begitu saja sebagai puisi hanya karena penulisnya dalah seorang

penyair, atau karena teks tersebut memiliki unsur-unsur puitik. Namun, seperti

21 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka

Widyatama, 2004), h.68. 22

Budianta, loc. cit. 23

Hadi W. M, op. cit., h. 34 24

Emha Ainun Najib, Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.131.

Page 30: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

18

dikatakan oleh Werren Wellek, fungsi puisi pada akhirnya adalah setia pada

dirinya sendiri (fidelity to its own nature).25

Dengan kata lain, kita tahu bahwa kita sedang menghadapi sebuah puisi

ketika menjadi acuannya adalah teks itu sendiri, dan bukan pengarangnya, atau

pembacanya, atau masyarakat sezamannya. Puisi adalah bentuk karya sastra

yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan

disusun dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.

2. Bentuk dan Struktur Fisik Puisi

Bentuk dan struktur fisik puisi mencakup (a) perwajahan puisi, (b) diksi,

(c) pengimajian, (d) kata kongkret, (e) majas atau bahasa figurative, dan (f)

verifikasi. Semua unsur-unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh.26

a) Perwajahan Puisi, adalah pengaturan penulisan kata, larik dan bait

dalam puisi. Pada puisi konvensional, kata-kata diatur dalam deret

yang disebut larik atau barik. Setiap satu larik tidak selalu menderet

yang disebut larik atau baris. Namun pengaturan dalam bait-bait ini

sudah berkurang atau sama sekali tidak ada pada puisi modern atau

puisi kontemporer.

b) Diksi, adalah kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.

Pemilihan kata dalam puisi berhubungan erat dengan makna,

keselarasan bunyi, dan urutan kata. Pemilihan kata juga berhubungan

erat dengan latar belakang penyair.

c) Imaji, adalah kata-kata atau kelompok kata yang dapat

mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan,

pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga: imaji

suara (audio), imaji penglihatan (visual) dan imaji raba atau sentuh

(imaji taktil).

d) Bahasa figuratif (majas), adalah bahasa kias yang dapat

menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi

25

Budianta, op. cit., h... 26

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 113

Page 31: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

19

tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatik,

artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.

e) Verifikasi (Rima, Ritme, dan Metrum)

Rima, adalah sedikit perbedaan konsep rima dengan sajak.

Sajak adalah persamaan bunyi pada akhir baris puisi,

sedangkan rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di

awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima mencakup (1)

onomatope, (2) bentuk intern pola bunyi, dan (3) pengulangan

kata atau ungkapan.

Ritma dan Metrum, merupakan tinggi-rendah, panjang-pendek,

keras-lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol bila puisi

dibacakan. Ada ahli yang menyamakan ritma dengan metrum27

3. Bentuk Struktur Batin Puisi

L.A Richards berpendapat bahwa struktur batin puisi terdiri atas empat

unsur, (a) tema; makna (sense), (b) rasa (feeling), (c) nada (tone) dan (d)

amanat; tujuan; maksud (intention)

a) Tema atau Makna, menurut Mursal Esten “sebuah cerita rekaan

membutuhkan tema. Tema ini akan dijalin di dalam sebuah plot

cerita.”28

Tema sendiri merupakan gagasan pokok yang ingin

disampaikan oleh pengarang yang dimuat dalam karyanya.29

b) Rasa, dalam puisi rasa adalah sikap penyair terhadap pokok

permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan

rasa berkaitan erat dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair.

c) Nada, dalam puisi nada adalah sikap penyair terhadap pembacaannya.

Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa.

27

Ibid., h. 113

28 Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur, (Bandung: Angkasa, 2013),

h.134. 29

Siswanto, op. cit., h. 124.

Page 32: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

20

d) Amanat dan Tujuan, sadar atau tidak, ada tujuan yang mendorong

seorang penyair untuk menciptakan puisinya. Tujuan tersebut bisa

dicari sebelum penyair itu menciptakan puisi maupun dapat ditemui

dalam puisinya30

C. SEMIOTIK

1.Pengertian Semiotik

Secara singkat semiotik bisa disebut sebagai ilmu yang mempelajari tanda

dan sistem tanda secara sistematik, dengan pengertian demikian tersimpul dua

hal yang berhubungan, yaitu yang menandai dan ditandai, atau petanda dan arti

tanda.31

Sementara itu filosof John Locke berpendapat referred to semtotfea,

which he defined as 'the Doctrine of Signs, [...]; the business whereof, is to

consider the Nature of Signs, the Mind makes use of for the understanding of

Things, or conveying its Knowledge to others.32

Dalam lapangan kritik sastra,

penelitian semiotika meliputi analisis sastra dengan sebuah penggunaan bahasa

yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti

ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus)

wacana memiliki makna.

Dalam penelitian ini yang dibicarakan hanyalah semiotik modern yang

mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de

Saussure. Kedua tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotik modern adalah

dua orang yang hidup sezaman, bekerja secara terpisah dan dalam lapangan

yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), seorang ahli linguistik yaitu

Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles

Sanders Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu ini dengan nama

30

Siswanto, Ibid. h. 124-125 31

Atmazaki, Ilmu Sasta, Teorii dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990) h. 77

32 Bronwen Martin and Felizitas Ringham, Dictionary of Semiotics, (New York:

CASSELL, 2000), h.1

Page 33: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

21

semiologi, sedangkan Peirce menyebutnya semiotik (semiotiks) kemudian

nama itu sering dipergunakan bergantian dengan pengertian yang sama.33

2. Teori Semiotik dalam Analisis Karya Sastra (puisi)

Menurut Peirce ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda,

yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi

dalam batin si penerima. Semiotika yang ditawarkan Pierce ditujukan untuk

mengembangkan kategori tanda, seperti membuat perbedaan antar ikon,

indeks, dan simbol.34

“ikonis” dimana tanda mirip dengan apa yang

diwakilinya (foto mewakili objek yang difoto); “Indeksikal”, di mana tanda

diasosiasikan dengan apa yang ditandai olehnya (asap dengan api), dan

“simbolis” , di mana, seperti halnya menurut Saussure, tanda hanya terhubung

secara arbitrer atau konvensional dengan rujukannya.35

Pada pengembangan lebih jauh Pierce menjelaskan tentang adanya tiga

unsur dalam tanda, yaitu: representamen, objek, dan interpretan hubungan

ketiga unsur yang membentuk tanda ini, dapat terlihat pada bagan berikut

objek

Resepentamen interpretan.

Bagan Trikotomi Tanda Peirce

Kemudian dari trikotomi tersebut dibagi lagi menjadi tiga tahapan. Pada

trikotomi pertama, hubungan antara representamen, Pierce membuat klasifikasi

33 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet.ke-6, h. 119.

34 Peirce's work is devoted to the development of sign categories such as making a

distinction between icon, index and symbol. Baca: Bronwen Martin and Felizitas Ringham,

Semiotics Dictionaries, (New York: British Library, 2000), h.1

35 Terry Eagleton,Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. dari Literary

Theory: An Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini (Yogyakarta:

Jalasutra, 2006) h. 145

Page 34: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

22

tanda dalam tiga tahapan berdasarkan sudut pembentuknya, yaitu: Qualisign

(yang membentuk kualitas), Sinsign, dan legisign (sesuatu yang berfungsi

sebagai tanda). Kemudian pada trikotomi yang kedua, Peirce

mengklasifikasikan tanda berdasarkan hubungan antara representamen dan

objek. Ketiga anggota trikotomi itu adalah ikon, indeks, dan simbol. Pada

trikotomi yang ketiga, Pierce membuat klasifikasi tanda dalam tiga tahapan

berdasarkan hubungan antara interpresentamen dengan interpretan yaitu rheme,

discent, dan argumen.36

Morris (1901-1979) adalah seorang pemuka semiotik Amerika. Teorinya

berakar pada teori yang dikemukakan oleh Peirce, meskipun demikian

pemikirannya tidak selalu sejalan dengan Peirce. Tidak seperti Peirce yang

membagi proses semiosis triadic kepada sembilan jenis tanda, maka Morris

membaginya kepada tiga jenis yaitu teori tentang tiga tataran semiotik yaitu,

pragmatics, semantics, and syntactic.

Selanjutnya Morris mendefinisikan ketiganya sebagai berikut; syntactics

was the study of the relationships of signs to other signs, while semantics

investigated the connections between signs and the objects to which the signs

are applicable, and pragmatics ought to be devoted to the relationships

between signs and their users or interpreters.37

Secara mendalam Morrism

menjelaskan lagi:

“Syntactics is, then, the consideration of signs and sign

combination in so far as they are subject to syntactical

rules. It is not interested in the individual properties of

the sign vehiclen or in any of their relations except

syntactical ones, i.e., relations determined by syntactical

rules”.38

36 Okke Kusuma Sumantri Zaimar, Semiotika dalam Analisis Karya Sastra, (Depok: PT

Komodo Books, 2014) h. 3-8

37 Paul Cobley, The Routledge Companion To Semiotic and Linguistics, (London: British

Library, 2001), h. 83

38 Charles Morris, Foundations of the Theory of Sign, (London: University of Chichago

Press. 1970), h. 14

Page 35: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

23

Oleh itu, sintaksis merupakan kesadaran tentang tanda dan kombinasi

tanda selagi ia di bawah peraturan sintaksis. Ia merupakan kajian tentang

penulisan tanda, mengkaji hubungan antara tanda-tanda seperti yang

ditetapkan dan ditentukan oleh peraturan.39

Sementara itu untuk semantik, Morris menjelaskannya sebagai berikut

semantic: comprehension of the intended meaning of the sign;.40

Dengan kata

lain semantik adalah studi tentang “hubungan tanda dengan objek yang diacu”

Mengenai pragmatik menurut Charles Morris:

“The term`pragmatics‟ has abviously been coined with

reference to the term `progmatism‟. It is a plausible view

that the permanent significance of pragmatism lies in the

fact that it has directed attention more closely to the

relation of signs to their users …..”.41

Dalam hal ini Morris melakukan penafsiran kepada tanda dikenali sebagai

organisma, maka `makna tanda‟ pula merupakan suatu kebiasaan dari pada

organisma untuk bertindak balas

Kemudian definisi ini perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Seorang ahli

semiotik lainnya, Carnap mengemukakan perbedaan tersebut sebagai berikut:

apabila kita menganalisis bahasa, tentu saja kita akan

menaruh perhatian pada ujaran-ujarannya. Namun, kita

tidak selalu berurusan dengan pengujar dan acuan.

Meskipun faktor-faktor ini selalu ada bila bahasa

digunakan, kita dapat saja tidak melibatkan salah satu atau

kedua faktor tersebut. Itulah sebabnya kita membedakan

ranah penelitian dalam bahasa. Apabila dalam suatu

penelitian ada pengacuan secara eksplisit pada pengujar

atau untuk menempatkannya dalam istilah yang lebih

umum mengacu pada pemakaian bahasa, maka kita perlu

memasukan hal tersebut ke ranah pragmatik. Apabila kita

tidak melibatkan pemakaian bahasa dan hanya

menganalisis ujaran dan acuannya, kita berada dalam

ranah semantik, dan akhirnya, bila kita tidak juga

melibatkan acuan dan pemakai bahasa, maka kita berada

dalam ranah sintaksis. Keseluruhan ilmu pengetahuan

39

Ibid., h.15-16 40

Daniel Chandler, Semiotics: Basics,edition 2 (New York: Routledge, 2007), h.196 41

Morris, op. cit., h.29

Page 36: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

24

tentang bahasa, yang terdiri dari ketiga ranah yang telah

disebutkan tadi, disebut semiotik.42

Maka dari itulah penyajian teori semiotika dalam penelitian ini, teori

Chales Sanders Pierce tidak digunakan semuanya, tetapi hanya ground nya

saja. Teori Morris yang lebih banyak digunakan dalam penelitian ini.

3. Aspek Teks Sastra (Puisi)

Sama halnya Charles Morris yang membagi semiotika menjadi tiga tataran

analisis, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik, sebuah teks sastra menurut

Van Luxemburg dkk apabila dilihat sebagai tanda bahasa, atau sebagai

kumpulan tanda, yang mempunyai berbagai hubungan, memiliki tiga aspek:

pertama, sintaksis teks, yaitu mengkaji hubungan tanda yang satu dengan tanda

yang lain; kedua, semantik teks, yaitu mengkaji tanda dengan maknanya; dan

ketiga, pragmatik teks, yaitu mengkaji hubungan tanda dengan pemakai

tanda.43

Sehingga berdasarkan pendapat tersebut, sebuah teks termaksud teks

puisi memiliki tiga aspek yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik.

a) Aspek Sintaksis untuk Analisis Puisi

Menurut Van Luxemburg dalam puisi mudah terjadi struktur-struktur

sintaksis yang lain dari pada struktur sintaksis dalam bahasa sehari-hari.

Kadang-kadang pola itu kelihatan agak dibikin-bikin urutan kata dibalikan

demi rima atau metrum. Van Luxemburg pun membagi pola-pola sintaksis

menjadi dua, yaitu; pertama, kaidah-kaidah sintaksis diabaikan dan yang

kedua, pola-pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi keteraturan

tambahan.44

Dari pendapat tersebut maka analisis pada tataran ini dibagi

menjadi dua bagian, yang pertama, analisis bentuk dan unsur bunyi dalam

puisi, yang kedua, analisis aspek sintaksis (berdasarkan rangkain kalimat)

42

Zaimar, op. cit., h. 32-33

43 Van Luxemburg, Jan dkk, Tentang Sastra, Terj Achadiati Ikram, (Jakarta: Intermasa,

1989), h.51-53 44

Ibid., h 192

Page 37: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

25

1) Analisis Bentuk dan Unsur Bunyi dalam Puisi

Secara sepintas, ciri-ciri sebuah puisi dapat di lihat dari bentuk puisi, yang

dimaksudkan sebagai perwajahannya. Perwajahan atau tipografi pada puisi

adalah penulisan kata, larik, dan bait dalam puisi. Pada puisi konvensional,

kata-kata diatur dalam deret yang disebut baris atau larik. Setiap satu larik

tidak selalu mencerminkan satu pernyataan, dan tidak selalu diawali dengan

huruf kapital dan di akhiri dengan tanda baca. Kumpulan pernyataan dalam

puisi tidak membentuk paragraf, tetapi membentuk satu bait. Sebuah bait

dalam suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.45

Selain analisa tataran tipografi, pada analisis sintaksis juga dibahas

permasalahan bunyi yang merupakan unsur sangat penting dalam puisi. Unsur

yang terdapat didalamnya seperti nada dan irama menjadi pembeda dari

bentuk lainnya. Terlebih lagi beberapa penyair Indonesia (khususnya dalam

hal ini Sutardji Calzoum Bachri) menganggap puisi sebagai mantra.46

Sementara Wellek dan Warren mengartikan rima sebagai “pengulangan

(atau mendekati pengulangan) bunyi, rima yang mempunyai fungsi efoni.”47

Wellek dan Warren pun menambahkan, bahwa efek bunyi berbeda dari satu

bahasa ke bahasa lainnya, sebab tiap bahasa mempunyai sistem fonetiknya

sendiri.48

Wellek dan Warren tak lupa menekankan pula, yang terpenting untuk

diingat bahwa rima mempunyai makna dan sangat terlibat dalam membentuk

ciri puisi secara keseluruhan. Kata-kata disatukan, dipersamakan atau

dikontraskan oleh rima.49

Puisi terdiri atas rima, ritme dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi

pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima mencakup;

onomatope (tiruan terhadap bunyi), bentuk intern pola bunyi (aliterasi,

45

Siswanto, op. cit., h.113 46

Zaimar, op. cit., h. 50

47 Rene Wellek & Austin Warren, Buku Teori Kesusastraan. Terj.dari Theory of

Literature oleh Melani Budianta , (Jakarta: PT Gramedia, 1989), h.199 48

Ibid, h. 198. 49

Ibid. h. 17

Page 38: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

26

asonansi, persamaan awal, sejak berselang, puisi perpengaruh, puisi penuh,

repetisi bunyi dan sebagainya), pengulangan kata. Dalam onomatope, yang

berkaitan dengan vocal. Perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang

menunjukan kegembiraan serta keceriaan dalam dunia puisi disebut eupfony,

yakni bunyi e, i dan a. Sedangkan untuk bunyi-bunyi yang berat menekan,

menyeramkan, mengerikan, seolah-olah desah bunyi burung hantu disebut

cacophony, yakni bunyi o, u, e dan au.50

Meskipun demikian, perlu diingat

bahwa kesan bunyi ini sangat tergantung dari konteks, dan hanya menopang

makna yang sudah ditemukan dengan penelitian unsur-unsur lainnya.

2) Analisis Aspek Sintaksis

Menurut Ramlan sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang

membicarakan suluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. 51

Selain itu

Abdul Chaer juga mengatakan hal serupa, menurutnya pada satuan sintaksis,

dibatasi menjadi lima macam satuan sintaksis, yaitu kata, frase, klausa,

kalimat, dan wacana. Secara hierarkial, maksudnya, kata merupakan satuan

terkecil yang membentuk frase; lalu frase membentuk klausa; klausa

membentuk kalimat; dan kalimat membentuk wacana. Dalam hal ini berbeda

dengan paham tata bahasa tradisional yang mengatakan bahwa kalimat adalah

satuan tersebesar dalam kajian sintaksis.52

Dalam penelitian ini, masalah

analisis aspek sintaksis yang dijelaskan dibatasi pada kalimat atau kajian pola

kalimat.

Jika dikaitkan ke dalam penciptaan puisi yang menggunakan bahasa

sebagai medianya, Linus berpendapat, “puisi yang baik bukan sekedar hasil

kelihaian penyairnya beretorika, bukan sekedar hasil kemahiran penyairnya

50

Siswanto, op. cit., h.122 51

M. Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksis (Yogyakarta: CV. Karyono, 2005), cet ke-5, h. 18 52

Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta,

2009), h. 37

Page 39: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

27

mengartikulasikan kata-kata abstrak, tapi hasil kesanggupan penyairnya

mentransformasikan pengalamannya menjadi kata-kata intuitif.”53

Ketika membicarakan apa itu kalimat, maka kita akan dihadapkan oleh

beberapa definisi yang dilakukan orang. Abdul Chaer mendefinisikan kalimat

sebagai satuan sintaksis yang disusun oleh konstituen dasar yang biasanya

berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai

dengan intonasi final.54

Menurut Ida Bagus Putrayasa, yang dimaksud dengan

kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang

yang disertai nada akhir naik atau turun.55

Dalam mengkaji teks puisi, teks sebagai kalimat tidak hanya dikaji dalam

wujud tulisan, yang harus diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan

tanda titik, seru, dan tanya. Teks diperlakukan pula dalam wujud lisan.

Sebuah larik puisi di perlakukan sebagai kalimat dengan mempertimbangkan

konteks ketika diucapkan dengan suara naik turun, keras lembut, disela jeda,

dan diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan asimilasi

bunyi ataupun proses fonologi lainnya.

Jenis-jenis kalimat yang dibicarakan dalam penelitian ini dibatasi pada

jenis kalimat berdasarkan klausanya, yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu;

kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang

terdiri atas satu klausa atau satu konstituens subjek dan predikat.56

Kalimat

majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih, atau bisa

dikatakan sebagai jenis kalimat yang terjadi dari beberapa klausa bebas.

Kalimat majemuk dapat dibedakan atas tiga bagian besar, yaitu; kalimat

majemuk setara (gabungan kalimat tunggal yang unsurnya tidak ada yang

dihilangkan), kalimat majemuk rapatan (gabungan kalimat tunggal yang

unsur-unsurnya sama dirapatkan), dan kalimat majemuk bertingkat (kalimat

53 Pamusuk Erneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang

(Jilid 3), (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2009), h. 26. 54

Chaer, op. cit., h.44

55 Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat, Fungsi, Kategori, dan Peran, (Bandung:

Refika Aditama, 2007), h.20 56

Ibid., h. 26

Page 40: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

28

tunggal yang dibentuk menjadi sebuah kalimat, dan kalimat bentukan ini

digabungkan dengan sisa kalimat sebelumnya).57

Pengertian klausa menurut Ramlan adalah satuan gramatikal yang terdiri

dari subjek, predikat, baik disertai objek, pelengkap, keterangan, maupun

tidak.58

Selain itu klausa juga dapat digolongkan berdasarkan kategori atau

frase yang mendukung fungsi predikat, yaitu klausa nominal, klausa verbal,

klausa bilangan, dan klausa depan.59

Pendapat-pendapat yang diutarakan oleh beberapa ahli dalam penelitian ini

akan dijadikan acuan dalam pengertian yang umum. Dalam hal ini yang lebih

diutamakan adalah teks puisi dengan segala keunikannya. Selain itu,

penentuan batas antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam teks

puisi yang dianalisis akan didasarkan pada kelengkapan makna.

3) Aspek Sematik untuk Analisis Puisi

Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris/semantics

dan bahasa Yunani sema (nomina) “tanda”; atau dari verba semaino

“menandai”, “berarti”.60

Namun pembicaraan masalah semantik teks sastra

dibatasi pada denotasi dan konotasi, gaya bahasa dan isotopi. Pembahasan

masalah tersebut dilakukan satu persatu.

1) Denotasi dan Konotasi

Denotasi adalah penunjuk yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau yang

didasarkan atas konvensi tertentu. Sehingga dapat dikatakan kata denotatif

memiliki sifat yang objektif karena makna yang terkandung dalam kata

sifatnya pasti atau sudah pasti.61

Menurut Kridalaksana makna konotatif ialah

makna yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau

57

Ibid., h. 55-59 58

Ramlan, op. cit., h. 79 59

Putrayasa, op. cit., h 13

60 Fatimah DjajaSudarma, Semantik 1 (Pengantar ke arah ilmu makna), (Bandung:

Refika, 1999), cet ke-2, h.1 61

Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 84-85

Page 41: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

29

ditimbulkan pada pembicara dan pendengar.62

Sehingga dapat dikatakan

memiliki sifat yang subjektif karena makna yang terkandung bersifat

tambahan.63

Secara fundamental, puisi bertopang pada proses konotasi. Melalui proses

inilah sebuah kata dalam konteks tertentu menjadi penanda dari petanda yang

lain: penanda disini tetap memegang makna denotatifnya, namun selain itu ia

(penanda tersebut) mempunyai nilai semiotik atau simbolik yang baru. Untuk

puisi, analisis semantik dilakukan antara lain terhadap kosa-kata, yaitu pilihan

kata dan konotasi yang ditimbulkannya. Namun sekali lagi, makna yang

dipilih tidaklah semena-mena dikarenakan sangat tergantung dari konteks.64

Pemahaman denotasi dan konotasi kata merupakan masalah yang

mendasar bagi penyair dalam mencipta puisi, dan berdasarkan pengetahuan

itu penyair memanfaatkan bahasa/kata-kata sehari-hari untuk mengungkapkan

pengalaman batinnya. Hal tersebut sesuai dengan penyataan Werren dan

Wellek sebagai berikut:

“Bahasa puitis mengatur, memperkental sumber daya

bahasa sehari-hari, dan kadang-kadang sengaja membuat

pelanggaran-pelanggaran untuk memaksa pembaca untuk

memperhatikan dan menyadarinya”65

Selain itu dalam kegiatan menganalisis, para penganalisa harus memahami

pula konotasi dan denotasi kata, karena melalui kata-kata tersebut teks puisi

dapat ditentukan. Sehingga pemahaman denotasi dan konotasi kata atau tanda

merupakan hal penting dalam kegiatan analisis teks sastra.

Pada hakekatnya puisi ingin menggambarkan sesuatu secara tajam tetapi

sekaligus juga banyak artinya, maka tiap kata dan rangkaian kata yang

62 Rachmat Djoko Pradopo dkk, Puisi, (Jakarta: Universitas Terb

uka, 2007) cet. 3, h.5.21 64

Zaimar, op. cit., h. 67 65

Rene Wellek & Austin Warren, op. cit., h.17

Page 42: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

30

digunakan penyair. Kata-kata pilihan penyair yang demikian itu disebut arti

konotasi dan denotasi dari kata.66

Perbedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada adanya atau

tidak adanya “nilai rasa” pada sebuah kata, terutama yang disebut kata penuh

mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata tersebut memiliki makna

konotatif.67

2) Gaya Bahasa dan Bahasa Kiasan.

Secara sederhana gaya bahasa ialah pemakaian ragam bahasa dalam

mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata

dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu.68

Sementara itu Gorys Keraf

mengartikan gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui

bahasa secara khas yang memperlihatkan dan kepribadian penulis (pemakai

bahasa).69

Ada pun gaya bahasa yang akan dibahas pada penelitian ini hanya

berdasarkan struktur kalimat. Adapun gaya bahasa yang dimaksud yaitu;

Gaya bahasa klimaks (gaya bahasa yang semakin meningkat kepentingannya

dari gagasan sebelumnya), anti klimaks (kalimat yang strukturnya

mengendur), paralelisme (berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian

kata-kata atau frasa yang sama dalam bentuk gramatikal), antitesis

(mengandung gagasan yang bertentangan), dan repetisi (perulangan bunyi,

suku kata, kata atau bagian kalimat yang penting)70

Selain itu untuk mendapatkan unsur kepuitisan yang lain, ialah dengan

menggunakan bahasa kiasan (figuratif). Bahasa kiasan ada bermacam-macam,

namun meskipun begitu mempunyai satu sifat hal yang umum bahasa kiasan

mempertalikan sesuatu dengan menghubungkannya dengan yang lain.71

66

Jakob Sumardjo, Memahami Kesusastraan, (Bandung: Alumni, 1984), h. 78

67 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), cet

ke-2, h. 65 68

Zainuddin, op. cit., h. 51 69

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia 2001), cet.11, h. 113 70

Ibid., h. 124-127 71

Pradopo, op. cit., h. 61-62

Page 43: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

31

Ada pun pada garis besarnya gaya bahasa itu dapat dibedakan menjadi 4

golongan yaitu, (1) gaya perbandingan yang didalamnya metafora,

personifikasi, asosiasi, metonimia, hiperbola, alusio. (2) gaya sindiran yang di

dalamnya ironi, sinisme, dan sarkasme. (3) gaya penegasan yang di dalamnya

epifora, ihversi. (4) gaya pertentangan atau paradoks.72

3) Isotopi, Motif dan Tema

Kata isotopi berasal dari kata Yunanni yaitu isos dan topos yang masing-

masing berarti “sama” dan “tempat”. Konsep isotopi dikemukakan oleh

Graimas dan disempurnakan oleh ahli lain. Konsep itu timbul karena adanya

makna kata yang bersifat polisemis, dan adanya kebutuhan analisis wacana

sastra pada tataran suprakalimat73

.

Isotopi adalah wilayah (medan) makna terbuka yang terdapat di sepanjang

wacana. Kata-kata mempunyai komponen makna yang sama dapat

membentuk isotopi. Isotopi yang dominan akan mendukung sebuah motif dan

keseluruhan motif mendukung tema. Dengan adanya analisis isotopi pada

penelitian ini, penentuan tema mempunyai dasar yang kuat. Perlu diingat

kembali bahwa yang dimaksud dengan motif di sini adalah pengulangan

gagasan tertentu dan tema adalah gagasan yang terdapat dari awal hingga

akhir teks. Dengan demikian, isotopi, motif, dan tema merupakan suatu

hierarki makna74

.

Hal tersebut serupa dengan yang dikatakan M.P Schmitt dan A. Viala

“motif dan tema digunakan dengan makna yang sama dengan yang digunakan

dalam komposisi musik, yaitu pada unsur-unsur yang berulang”. Motif adalah

isotopi kompleks yang terbentuk dari beberapa motif .75

72

Sumardjo, op. cit., h. 93-96

73 Okke Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang, (Jakarta: ILDEP,

1990) h. 113 74

Zaimar, op. cit., h. 84 75

Zaimar, op. cit., h. 136

Page 44: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

32

c) Aspek Pragmatik untuk Analisis Puisi

Horatius dalam Art Poeticanya mengatakan tentang tugas atau fungsi

penyair sebagai berikut:

Aut prodesse volunt aut delectare poetae

Aut simul et iucunda et idonea dicere vitae

(tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, atau sekaligus

mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan)

Dalam kutipan ini terungkap pendekatan terhadap sastra yang disebut

pragmatik dan dalam sejarah kritik sastra sangat berpengaruh.76

Selain itu

pragmatik dalam ilmu bahasa merupakan kajian tentang kemampuan

pemakaian bahasa untuk mengkaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang

disesuaikan bagi kalimat-kalimat itu77

.

Pendekatan pragmatik sebagai salah satu kajian sastra menitik beratkan

dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya

sastra.78

Pendapat serupa pun diungkapkan oleh Van Luxemburg dkk, yang

mengatakan setiap teks sastra mempunyai pembicara sendiri. Pembicara dalam

teks puisi disebut si aku, si aku lirik atau subjek lirik. Oleh karena teks puisi

bersifat monolog maka pembicara dalam kebanyakan puisi tidak saja berfungsi

sebagai penutur tetapi juga menjadi tokoh sentral yang menjadi pokok

pembicaraan.79

Pendengar atau yang diajak bicara dalam teks puisi beraneka ragam.

Masalahnya sama dengan aku lirik, ada yang ekplisit, dan ada pula yang

implisit. Pendengar dalam teks puisi tidak terbatas pada manusia, tetapi juga

dapat Tuhan, dewa, alam, angin, dan sebagainya

76

A Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003), cet. 3 h. 151 77

Atmazaki, Ilmu Sasta, Teoti dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990) h. 69 78

Ibid., h. 68 79

Van Luxemburg dkk, op. cit., h.74

Page 45: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

33

Menurut Van Luxemburg dkk, apabila aku lirik berbicara terhadap sesuatu

yang tidak mengharapkan jawaban disebut apostrofe hal ini dijelaskan oleh

Van Luxemburg sebagai berikut;

Apostrofe dapat juga dianggap sebagai metode penggubahan

terpenting bagi puisi lirik. Dengan mengajak bicara sesuatu

yang tidak bisa hadir, mati atau tak bernyawa, sesuatu itu

dihadirkan , dihidupkan, dan dimanusiakan. Dengan demikian

ia menjadi pemantul suara yang walaupun sendirinya diam,

namun tanggap terhadap subjek lirik yang justru memerlukan

pemantul semacam itu untuk mengungkapkan perasaanya ....80

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pembaca karya sastra,

berdasarkan moder semiotik, berada dalam berbagai tegangan; pertama

tegangan antara sistem sastra dan penerapan sistem secara individual,

yang tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur bahasa; kedua tegangan

antara sistem sastra dan karya individual, yang pada satu pihak

merupakan perwujudan sistem sastra, penerapan konvensi dan

kompetensi yang dikuasainya, sekaligus merupakan penyimpangan dari

dan pemberontakan terhadap sistem itu sehingga pembaca

dikian-kemarikan oleh sistem dan karya individual.81

D. Pembelajaran Sastra

1. Sastra dalam Pembelajaran Hari ni

Di kalangan masyarakat tertentu, penyair memperoleh gelar terhormat

lantaran dianggap „seorang nabi‟. Pramoedya menuliskan pengalamanya dalam

menghadiri suatu konfrensi yang diadakan di Cina, yang dimuat dalam Mimbar

Indonesia pada tahun 1957. Pramoedya menuliskan kesan-kesannya sebagai

berikut:

Para penulis Cina menempati kedudukan yang tinggi. Suara

mereka didengarkan oleh masyarakat. Bersama dengan

politikus, mereka menjadi para pemimpin spiritual yang

memegang peran sangat penting dalam pembangunan bangsa di

80

Ibid., h. 80 81

Teeuw, op. cit., 3 h. 149

Page 46: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

34

zaman kita. Ini turut menjelaskan mengapa penulis

diperlakukan sangat baik oleh masyarakat.”82

Meski demikian, sampai hari ini proses pembelajaran puisi tak jarang

menjumpai banyak kesulitan, entah karena minat siswa yang kurang, dengan

alasan mulai dari sulitnya memahami bahasa puisi yang dianggap di luar

kebiasaan dari proses berkomunikasi sehari-hari, sampai dengan alasan yang

menganggap bahwa membaca atau menulis puisi merupakan proses yang

membosankan dan tak lagi berguna dibandingkan bidang studi lainnya yang

memberikan ilmu pengetahuan secara jelas. Bahkan tidak jarang proses

pembelajaran puisi menjadi tersendat karena disebabkan para guru bahasa dan

sastra sendiri cenderung menghindarinya karena merasa kesulitan untuk

mengajarkannya.

Menurut Rahmanto, pada umumnya dalam usaha mengajarkan bagaimana

cara menikmati puisi, dijumpai dua macam hambatan yang cukup

mengganggu. Yang pertama, adanya anggapan kebanyakan orang yang

menyatakan bahwa secara praktis puisi sudah tak berguna lagi, merujuk pada

gaya hidup kekinian dalam dunia praktis yang banyak tergantung pada ilmu

bisnis, ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia, dan biologi), serta teknologi

modern.83

Hambatan yang kedua bagi Rahmanto adalah pandangan yang disertai

prasangka bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada diksi-diksinya

yang „ruwet‟. Pandangan semacam ini mungkin sekali berasal dari para siswa

yang berkemauan keras untuk melakukan yang terbaik dengan berusaha

memahami dan menikmati sajak-sajak terkenal yang ditulis oleh para penyair

yang sering menggunakan simbol, kiasan dan ungkapan-ungkapan tertentu

yang membingungkan.84

82 Sebenarnya pendapat Pramoedya ini pertama kali ditulis di Mimbar Indonesia dengan

judul “Sedikit tentang Pengarang Tiongkok” pada tanggal 19 Januari 1957, di halaman 57, namun

pada penelitian ini penulis menyitir pendapat Pramoedya dari: Hong Liu, Goenawan Mohamad

dan Summit Kumar Mandal, Pram dan Cina, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h.25. 83

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h.44. 84

Ibid, h. 46.

Page 47: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

35

Hal yang paling penting menurut Rahmanto adalah agar para pengajar

tidak terlalu terburu-buru dalam membebani para siswa dengan istilah-istilah

teknis dan gaya bahasa yang kompleks.85

Dalam beberapa hal, puisi memang

merupakan bahasa dan yang padat dan penuh arti, jadi apabila bahasa dan

pokok persoalan puisi itu mempunyai keselarasan, niscaya siswa akan merasa

dirinya menghadapi sesuatu yang mengesankan dan memerlukan perhatian

khusus dalam praktek pembelajaran bahasa dan sastra.

2. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran

Pada bab sebelumnya telah dijabarkan bagaimana sifat sastra yang pada

hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik, dan pada praktiknya

kita dapat menilai bagaimana sastra dan implikasinya dalam proses belajar di

bawah ini.

Pertama, sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan

berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa,

yaitu: (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut

sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa

berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan

menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut

Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa

dalam praktek. Belajar sastra harus selalu berpangkal

pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya

merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus

diteliti, ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan.”86

Dalam pembelajaran sastra pun siswa di arahkan untuk melatih

keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan

guru, teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara

dengan ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan

teman-temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca

85

Ibid, h.48. 86

Ibid.,h.38.

Page 48: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

36

dengan membacakan puisi atau prosa. Siswa pun mendapat keterampilan

menulis ketika diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak

menciptakan puisi.

Yang kedua, sastra memberi wawasan kebudayaan. Sastra tidak seperti

bidang studi pada umumnya yang menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk

jadi. Ini diibaratkan, jika ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas perbedaan

logika, perbedaan sudut pandang dalam memecahkan problematika atas hal

keilmuan tersebut, maka dalam sastra pun karya lahir dalam perbedaan cara

pandang sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia,

tetapi perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam

hal ini Nyoman Kutha Ratna memberikan contoh, ia menyatakan bahwa,

“dalam karya besar bentuk dan isi memperoleh maknanya secara proporsional

sebab karya besar merupakan indikator perkembangan suatu kebudayaan

tertentu.”87

Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung

sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan

aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara

historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan.

Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas pendapat-

pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya sebagai

berikut:

“Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-

lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau

kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia

harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak

hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari

pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial

dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek

kultural yang rumit.”88

87 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.515

88 Sapardi DjokoDamono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas ,(Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978), h. 4.

Page 49: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

37

Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra

memuat bagaimana semangat zamannya yang bersifat kolektif, yang

menggambarkan perkembangan sosial masyarakat atau kebudayaan yang

berlaku pada saat itu. Oleh karena itu, apabila kita dapat merangsang siswa-

siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa

itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri jauh lebih penting

dibanding karya sastra itu. Hal yang demikian akhirnya memberikan

pengalaman yang berbeda ketika menelaah fakta lewat karya sastra sehingga

pada akhirnya meningkatkan minat siswa untuk lebih jauh menyelami dunia

pembelajaran sastra.

Ketiga, sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada

dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam. Tak

ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara

pasti kecuali pendidikan yang menggunakan praktik Brain Wash atau cuci

otak. Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan

membentuk, akan tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana

watak manusia yang dididiknya.

Di sisi lain, sastra sebagai media pendidikan yang memuat pembelajaran

moral diharapkan dapat menjadi tuntunan kearah pembetukan etika,

sebagaimana ungkapan Nyoman Kutha Ratna bahwa “memahami karya sastra

pada gilirannya merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan,

larangan dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang

harus ditolak, dan sebagainya.”89

Sementara Rahmanto berpendapat bahwa seseorang yang telah banyak

mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih

peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab

di banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra

mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh

rangkaian kemungkinan hidup manusia.”90

Rahmanto beranggapan bahwa

89

Ratna, op.cit., h. 438 90

Rahmanto, op.cit., h. 24

Page 50: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

38

pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha

mengembangkan berbagai kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan

mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan,

toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan alat

untuk mendidik, terlebih jika dikaitkan dengan pesan muatannya, hampir

secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana pembelajaran guna

mengasah keterampilan berbahasa, menambah wawasan dan membentuk etika

pada kepribadian si anak didik.

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna

menopang penelitian yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber

dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya. Penelitian-penelitian

yang mengulas puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dapat ditinjau dari beberapa

penelitian skirpsi. Berikut ini, tinjauan penulis pada penelitian yang mengkaji

puisi-puisi Sutadji Calzoum Bahcri bisa dilihat dalam karangan Prasetyo Heru

dari Universitas Negeri Semarang dengan judul “Pencarian Hakikat Ketuhanan

dalam Kumpulan Puisi O Amuk Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachr”.

Skripsi. Prasetyo Heru didasarkan atas pencarian hakikat ketuhanan yang

muncul pada puisi-puisi Sutardji Colzoum Bachri dalam kumpulan puisinya O

Amuk Kapak. Dari hasil analisis pada 10 puisi Sutardji, dapat diketahui bahwa

puisi-puisi tersebut mengandung makna religi dan mengarah pada makna

pencarian hakikat ketuhanan. Pencarian hakikat ketuhanan yang dimaksud

berupa simbol pencarian kekuatan, daya pikir, dan keyakinan dalam memahami

ajaran religi.

Penelitian tentang puisi Sutardji yang lain dikarang oleh saudara Dody

Mardanus dari Universitas Indonesia dengan judul Unsur Mantra Dalam

Kumpulan Puisi O Sutardji Calzoum Bachri: Tinjauan fungsi. Berlandaskan

pada Kredo Puisi Sutardji yang mengatakan bahwa berawal dari mantra, maka

pada penelitian ini Dody mencari unsur-unsur mantra yang terdapat pada

Page 51: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

39

beberapa karya Sutardji. Ada pun metode deskriptif dan analisis yang digunakan

dengan mengelompokan beberapata puisi Sutardji ke beberapa kategori, tahap

berikut menemukan pertalian un_sur mantra yang terdapat di dalam teks mantra

dan puisi, dan tahap terakhir membandingkan antara mantra dan puisi sebagai

sesama bentuk kesenian dalam keseluruhan segi ekspresinya. Pelaksanaan

bingkai kerja di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa puisi Sutardji

sangat intens memanfaatkan dan mencernakan secara impresif unsur-unsur

mantra, baik bagi kepentingan kualitas puitik maupun untuk kegunaan

pembacaan puisi yang menandai tingkat keparipurnaan ekspresi puisi- puisinya

sebagai sarana komunikasi estetis antara sesama manusia.

Berdasarkan tinjauan tersebut, maka kiranya mungkin bagi penulis untuk

membuat skripsi yang berjudul “Dimensi Sufistik Dengan Pendekatan Semiotik

pada Puisi Tapi dan Belajar Membaca Karya Sutardji Calzoum Bahcri Dan

Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” ini

belum ada yang menggunakan judul yang sama. Oleh karena itu, penulis

mengangkat judul tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.

Page 52: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

40

BAB III

PROFIL SUTARDJI CALZOUM BACHRI

A. Biografi Singkat Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bahcri buka saja dianggap sebagai salah satu penyair

yang terpenting di Indonesia, namun ia sering juga dianggap sebagai

pembaharu estetika perpuisian Indonesia setelah Chairil Anwar dan bersama-

sama Goenawan Mohamad, Iwan Simatupang, Danarto, Umar Kayyam,

Sapardji Djoko Damono dan penulis terkemuka lainnya merupakan pelopor

dari pada “kesadaran baru” dalam sastra modern Indonesia.1

Sebagai penyair nama Sutardji Calzoum Bachri sudah menjadi bagian

yang begitu melekat dalam khazanah sastra Indonesia. Sutardji Calzoum

Bachri dalam khazanah sastra Indonesia adalah el libertador alias sang

pembebas. Ia telah menjadi salah satu ikon penting dalam perpuisian Indonesia.

Puisi-puisinya telah dikutip dan diambil untuk berbagai kepentingan, mulai

dari tulisan ilmiah hingga demonstrasi politik, bahkan disablonkan dalam T-

shirt anak-anak muda.

Sutardji Calzoum Bachri dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juli 1941.

Ayahnya Mohammad Bachri berasal dari Prembun, Kutoardjo, Jawa Tengah,

yang sejak masa remajanya mengembara ke Riau, menjabat sebagai Ajun

Inspektur Polisi, Kepolisian Negara, Kementerian Dalam Negeri RI di daerah

Tanjung Pinang, Riau (Tambelan). Ibunya bernama May Calzoum berasal dari

Riau (Tambelan).2

1 Abdul Hadi W.M, “Sutardji Tentang Puisinya dan Puisi Kita Kini”, Harian Umum

Horison, Jakarta, 19 Juni 1975, h. 5

2 Sutardji Coulzum Bachri, O, AMUK, KAPAK (Jakarta Timur: Yayasan Indonesia dan

PT Cakrawala Budaya Indonesia, 2004) cet. 4., h. 110

Page 53: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

41

Pada tahun 1947 Sutardji masuk ke sekolah rakyat (SD) dan selesai pada

tahun 1953 di Bengkalis – Pekanbaru. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya di

Sekolah Menengah Pertama Negeri di Tanjungpinang, Riau3. Setelah lulus

SMA Sutardji melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik, Jurusan

Administrasi Negara, Universitas Padjajaran, Bandung. Ketika menjadi

mahasiswa itulah Sutardji mulai intens dalam dunia sastra. Sutardji mulai

menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, dan mulai dari situlah

puisi-puisinya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta

kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.4 Selain itu bersama dengan

mahasiswa lainnya, Sutardji aktif sebagai redaktur di Indonesia Ekspress dan

Duta Masyarakat, koran ini dikenal sering memmuat tulisan-tulisan kreatif dan

juga kritis menentang pemerintahan.5

Kehadirannya di dunia sastra mulai cukup diperhitungkan ketika ia

menghadirkan perombakan dan inkonvensionalisasi di bidang puisi (bukan

cuma penulisan, tetapi sekaligus pembacaan). Perombakan itu ia tegaskan

dengan mengeluarkan kredo kepenyairan (1973) yang ingin melepaskan kata

dari beban makna, yang kemudian dari situlah ia dikenal sebagai penyiar

mantra. Hal ini ditegaskan dengan diterbitkannya antologi O, AMUK, KAPAK

(Pustaka Sinar Harapan, 1981).

Sutardji Calzoum Bachri hadir di tengah perpuisian Indonesia dengan

kehebohan yang besar. Kehebohan pertama, tentu saja diakibatkan oleh

kredonya yang mau membebaskan kata dari beban makna. Dalam tulisannya

“Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam sketsa (1982) Dami N. Toda

menyatakan;

bahwa selama 30-an tahun terakhir, wawasan estetika

perpuisian Indonesia dirajai oleh wawasan estetika perpuisian

Chairil Anwar, yakni asas yang menolak seni improvisasi.

3 Jamal D Rahman dkk, Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjungpinang dari

Raja Ali Haji samapai Suryati A. Manan (Jakarta: Komodo Books, 2010), hlm:157 4 Sutardji. loc. cit

5 Sutardji Calzoum Bachri, ISYARAT: Kumpulan Esai Sutardji Calzoum Bachri,

(Tangerang: INDONESIA TERA, 2007), hlm: 504

Page 54: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

42

Menciptakan puisi harus dilakukan dengan penuh kesadaran

memilih kata. Selama 30-an tahun itu, tidak ada yang

menantang wawasan estetika perpuisian Chairil Anwar.

Namun pada 1972, di Bandung, meledak bom yang

dilemparkan Sutardji Calzoum Bachri, berupa kredo puisinya

yang antara lain berisi bahwa kata bukanlah alat pengantar

pengertian. Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan

pengertian, dari beban ide. Oleh karena itu, puisi-puisi

Sutardji dapat disebut sebagai “puisi anti kata” atau “puisi

anti bahasa”6

Tak lama kemudian muncul kehebohan kedua, Sutardji mengumumkan

dirinya sebagai Presiden Penyair Indonesia. Sesungguhnya gelar presiden

penyair kepada Sutardji bukanlah pemberian gelar dengan penganugrahan

formal. Awalnya hanya berupa gurauan antar sesama pernyair, yang di

dalamnya termaksud Sutardji kira-kira tahun 1970-an awal.7 Perdebatan

mengenai puisi-puisinya meramaikan dunia sastra pada penghujung tahun

1970-an hingga awal 1980-an. Kehebohan yang ketiga, ia muncul dalam

pembacaan puisi dengan amuk yang meradang, dan menerjang. Jika Chairil

Anwar yang perlente demikian populer sebagai sosok binatang jalang, maka

Sutardji yang penampilannya jauh dari necis yang benar-benar menghadirkan

sosok binatang jalang itu.8 Berbeda dengan yang lainnya, ketika membacakan

puisi-puisinya Sutardji selalu menyiapkan sebotol bir, gelas, dan sebuah kapak.

Sehingga nama Sutardji pun mencuat sebagai sosok penyair dekade tujug

puluhan akrab dengan bir.9

Keterlibatanya di dalam peta perpuisian Indonesia tertulis di dalam

sejarah. Namun ia sebenarnya tidak membatasi diri berkreasi dalam satu genre

penciptaan. Ia juga menulis cerpen dan sempat dipublikasikan di berbagai

media (barangkali karena “kebesarannya” di dunia puisi atau sekedar kendala

6 Satya Hoerip, Sejumlah Masalah Sastra, (Jakarta: PT Bunda Karya, 1986), cet. 3, h.175

7 Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Sastra

Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h.778 8 D. Rahman dkk, op. cit., h. 160

9 Zaenuddin H.M , “Sutardji Merambah Shirothol Mustaqiem”, Harian Umum Pelita,

Jakarta, 5 Juli, h.5

Page 55: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

43

teknis pendokumentasian, cerpen-cerpennya berlalu hampir tanpa dibicarakan

orang).10

Beberapa karya Puisi Sutardji Calzoum Bachri:

1. O (Kumpulan Puisi, 1973)

2. Amuk (Kumpulan Puisi, 1977),

3. Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).

Kumpulan puisinya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku

kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang

diterbitkan oleh Sinar Harapan.

Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara

lain11

:

1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976),

2. Writing from The Word (USA),

3. Westerly Review (Australia),

4. Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975),

5. Ik Will nog dulzendjaar leven, negen modern indonesische (1979)

6. Ajip Rosidi (editor), Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya,

1977)

7. Parade Puisi Indonesia (1990)

8. Majalah Tenggara, Journal of Southeast Asian Literature 36 & 37

(1997)

Selain itu, sastrawan yang terkenal sebagai Presiden Penyair Indonesia

juga pernah meraih berbagai penghargaan sastra yaitu:

1. SEA Write Award (1979)

2. Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakartan 1997-1998 (1998)

3. Anugrah Sastra Chairil Anwar Dewan Kesenian Jakarta (1998)

4. Hadiah Seni Pemerintah RI (Menteri Kebudayaan dan Pendidikan)

10

Bachri, op. cit., h. 504 11

Bachri. loc cit.

Page 56: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

44

5. Anugrah Sastra Dewan Kesenian Riau (2000)

6. Anugrah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Bandar

Sri Begawan, Brunei Darussalam (2006)

Pengabdiannya dalam bidang sastra diwujudkannya dengan menjadi

redaktur sastra, di antaranya di majalah Horison, dan rubrik budaya bulanan

Bentara di harian Kompas. Tapi, keduanya sudah ia tinggalkan sejak sekitar

tahun 2003.

B. Pemikiran Sutardji Calzoum Bachri

Ketika membicarakan tentang konsep puisi dimata Sutardji mungkin akan

dipertemukan dengan sebuah pola yang diluar konvensi. Pada awalnya banyak

hal yang membuat para kritikus menolak kehadiran puisi-puisinya dikarenakan

tidak pantas disebut sebagai puisi (tidak sesuai konvensi puisi pada masanya).

Sampai akhirnya Sutadji memilih untuk menjelaskan sendiri tentang puisinya.

Sutadji Calzoum Bachri mengungkapkan bahwa menulis baginya adalah

suatu upaya untuk mengucap, suatu kata kerja yang memiliki makna khusus

dalam kebudayaan Melayu. Dalam kebudayaan Melayu, jika seseorang merasa

atau dirasakan melakukan kegiatan hal yang sia-sia, kehilangan kesadaran pada

nilai-nilai hidup, maka ia selalau mengupayakan diri atau dianjurkan pada

keluarga atau para sahabat untuk mangucap, “mangucap mengucaplah kau -

ber-istigfar dan menyebut nama-nama Tuhan-dan dengan mengucap, ia

diharapkan biasa melepas dari kehidupannya yang sia-sia dan akan kembali

pada kesadaran diri sebagai manusia yang harus menjalani hidup yang

bermakna”.12

Sutardji bahkan sudah memulai pemikirannya akan posisi makna jauh

ketika ia kanak-kanak. Pada pengantar tersebut kita dapat merasakan

bagaimana kata-kata menjadi tidak terlalu penting, namun “khasiatlah” yang

12

Bachri, op. cit.., h. vii.

Page 57: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

45

sejatinya ia utamakan. Hal yang demikian mungkin menjadi cikal bakal akan

kredo puisi yang dia tuliskan.13

Penciptaan Kredo Puisi yang dilakukan Sutardji memang tidak lazim

dilakukan oleh penyair pada umumnya. Pencitaan Kredo Puisi ia lakukan

dengan tujuan mempermudah pembaca dan kritikus untuk memahami pesan

yang ingin disampaikannya. Terlebih lagi tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk

puisi yang ia bawa memang kontemporer, sehingga belum ada konvensi yang

kuat untuk memahami dan mengkajinya. Hal ini terlihat dari tulisan Sutardji

dalam salah satu esainya

Yakin dan sadar bahwa tidak ada kritikus walaupun

yang berwibawa sekalipun pada waktu itu, mampu

berapresiasi dan memahami kumpulan puisi saya O pada

pertama kali terbit di tahun 1970-an, maka saya tuliskan

kredo untuk itu. Penyair tidak perlu mematikan diri jika

karyanya selesai ditulis atau diterbitkan, ia harus hidup

dengan komentar, visi tentang karyanya untuk menolong

para kritikus agar tidak mati atau pingsan dengan

kemunculan karyanya

Suatu karya yang sangat di luar konvensi cenderung

bisa membunuh kritikus yang mapan konvensional, namun

akan cenderung pula menciptakan kritikus baru. Maka,

komentar, kredo, sikap, dan visi pengarang perlu

ditampilkan, untuk membantu kritikus konvensional bisa

terus hidup dengan memperluas wawasannya atau pun

untuk merangsang lahirnya para kritikus baru14

Pertama adalah sikapnya memilih mantra sebagai nafas puisinya “Dan

kata pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah

mengembalikan kata kepada mantera”. Ya setidaknya itu yang dikatakan

Sutardji dalam Kredo Puisinya

Pada sebuah wawancara, Sutardji memberikan alasannya memilih mantra

sebagai gaya perpuisinyanya;

“Pertama, Mantra itu pengucapannya lain. Secara fisik mantra

sudah merupakan puisi yang kalau menyebutkannya bisa

13 Untuk Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri dapat dilihat di buku: Sutardji Calzoum

Bachri, ISYARAT: Kumpulan Esai Sutradji Calzoum Bachri, (Jogjakarta: INDONESIA TERA,

2007), h. 3-4 14

Ibid., h. xvi

Page 58: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

46

menimbulkan sihir dan daya pukau. Mantra itu mengucap,

seperti diyakini dalam keadaan apapun mengucaplah, ketika

akan mati mengucaplah, ketika mabuk pun mengucaplah…

Kalau di daerah asal saya ada mantra, ya saya pilih mantra, dan

mengucaplah kata yang bukan sesuatu penjelasan tapi yang

mempunyai efek. Punya sesuatu kekuatan bukan hanya alat

menjadi alat pengucap semata. Ini yang menarik perhatian saya

untuk menggunakan mantra”15

Selain itu, ketika diwawancarai oleh Leon Agustaf, Sutardji mengatakan,

“puisi harus dikembalikan kepada mantera” jangan ditafsirkan secara harfiah

semata. “kalau cuma begitu dia akan kering”. Yang pokok ialah menyerap

sifat sugestif dari mantera. Menangkap ritmenya dan ekspresinya yang tajam.16

Hal serupa juga dikatakan Nyoman dan Umar Yunus yaitu:

“Kedekatan puisi-puisi Sutardji bukan saja karena sifat

misterinya tetapi tampak pula dengan jelas dalam

bentuknya. Pengulangan kata yang sama pada awal tiap

baris merupakan ciri bentuk yang paling menonjol dalam

puisi-puisi Sutardji”.17

Ya sebagai kekhasan mantra yang lebih mengutamakan kekuatan efek

pengulangan bunyi pada kata, sehingga menimbulkan efek tersendiri bagi

pembacanya. Pengulangan kata-kata yang sama menimbulkan intensitas bunyi

yang dapat menjelmakan kekhusukan. Inilah dasar sebuah mantra yang juga

menjadi dasar bagi puisi Sutardji.

Selain itu melalui mantra Sutardji ingin menyalurkan perlawanan

metafisiknya terhadap intelektualisme dan rasionalisme yang mendasari

peradaban modern yang menindas. Perlawanannya itu secara simbolik

dinyatakan dengan hasratnya untuk melakukan pembebasan kata dari beban

idea dan pengertian. Hal ini terlihat di salah satu kolom Republika, Sutardji

mengatakan;

15 Yos, Sutardji Calzoum Bachri: “Bangsa yang Besar perlu Trial and Error”, Harian

Umum Republika, Jakarta, 16 Maret 1998, h. 2

16 Leon Agusta, “Sutardji Tentang Sajak2 Barunya: Upaya Menangkap Tuhan”, Harian

Umum SIWALAN, Jakarta, 24 Januari 1970, h.10

17 Nyoman Tusthi, Sampai Dimana Pembaruan Sutardji, Harian Umum Suara Karya,

Jumat, 16 Desember 1977, h.4

Page 59: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

47

saya melihat banyak puisi pada waktu itu hanya membawa

ide dan gagasan. Yang menurut saya tak berjiwa, tak hidup.

saya kesal dengan puisi yang isinya cuma “kemerdekaan

adalah … dst”. Saya ingin membuat puisi yang lain. Ketika

saya mulai membuat puisi, saat itu kredo puisi tumbuh

bersama.18

Yang kedua adalah pandangan bahwa kata harus dibebaskan dari beban

makna. Banyak orang yang terlalu terpaku oleh kata “membebaskan” dan kata

“makna”, sehingga menganggap Sutardji ingin “membebaskan kata dari

makna”. Kata “beban” dalam kredo Sutardji sering diabaikan. Akan menjadi

berbeda jika kredo itu diartikan sebagaimana mestinya, yakni ingin

“membebaskan kata dari beban makna”.

Kata tanpa pengertian juga tidak mungkin. Sebuah puisi yang hanya terdiri

atas rentetan kata tanpa pengertian semacam itu merupakan puisi yang tidak

bisa dianggap berhasil atau gagal. Dengan demikian, maka yang dimaksud

Sutardji dengan pembebasan kata adalah pembebasan kata dari hubungan

sintaksis, dari hubungan semantik dan dari hubungan morfologi yang biasa dan

asing.

Sutardji Calzoum Bachri banyak mempergunakan penyimpangan-

penyimpangan dari tata bahasa normatif dalam puisi-puisinya untuk

mendapatkan arti baru dan ekspresivitas karena kepadatan atau “keanehan”nya,

yang pada umumnya belum pernah dicoba secara intensif oleh penyiar-penyair

sebelumnya. Penyimpangan itu diantaranya berupa penghapusan tanda baca,

pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih,

penghilangan himbuhan, pembentukan jenis kata dari jenis kata lain tanpa

mengubah bentuk morfologisnya.19

Sikap tersebut diakuinya dari

pernyataannya pada sebuah wawancara;

..Dari situ saya lantas berani melakukan yang paling aneh

yang mungkin dianggap hal yang baru pada saat itu

bagaimana gramatikal itu saya main-mainkan, malah kata

kerja menjadi kata benda, kata sifat menjadi kata keadaan,

kata penghubung bisa jadi keta benda. Karena

18

Yos, loc. cit.

19 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis

Struktural dan Semiotik, (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2010), cet: ke 12, h. 106

Page 60: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

48

mempermainkan bahasa itu adalah naluri yang membuat saya

tak merasa takut salah dan selalu hidup. Itu sebabnya saya

lebih suka mengetam, bermain dan membentuk kata20

Penyataan yang diutarakan Sutardji di atas, sejalan dengan pendapat Linus

Suryadi yang beranggapan “bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh

Sutardji diarahkan kepada membebaskan beban dari ide”.21

Pembebasan kata

dari beban makna yang dilakukan Sutardji mempunyai latar untuk tujuan gaib

dan magis. Karena dalam usaha manusia menciptakan tenaga gaib dan magis

melalui ucapannya, kata hanyalah sebuah suara, sedang makna sesungguhnya

bukan berada dalam kata itu sendiri, tetapi dalam batin manusia. Dengan

permainan kata, Sutardji ingin menciptakan makna yang lebih luas dan bulat

dalam puisi-puisinya – yang menurut pengakuannya sendiri untuk tujuan

mistik yaitu mendekati Tuhan.22

Spiritualitas pada puisi-puisi Sutardji bukanlah hal yang baru atau aneh.

Terlebih lagi jika kita melihat Sutardji yang merupakan salah satu sastrawan

yang besar tahun 1970-an, dimana tema-tema agama sedang marak untuk

dibicarakan dan dijadikan tema pada karya-karya sastra pada waktu itu. Puisi-

puisi Sutardji dalam kumpulan puisinya yang berjudul O merupakan suatu

wadah pendirian sekaligus sebagai dasar pemikiran penyair tentang puisi.

Sejumlah puisi-puisinya dalam kumpulan O memperlihatkan betapa ia

berupaya agar Tuhan masuk dalam dirinya. Ini jelas terlihat pada baris-baris

terakhir dari puisi Ah dibawah ini:

Nah

Rasa yang dalam

Tinggalkanlah puri purapuraMU!

Kasih! Jangan menampik!

Masuk Kau padaku!

20

Yos, loc. cit.

21 Linus Suryadi, Aspek Bahasa dalam puisi Sapardi dan Sutardji, Harian Umum Berita

Buana, tt.p., 4 April 1977, h. 3

22 Nyoman Tusthi, Sampai Dimana Pembaruan Sutardji, Harian Umum Suara Karya,

tt.p., 16 Desember 1977, h.4

Page 61: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

49

Pada baris-baris di atas tercermin suatu pemberontakan jiwa, rasa haus

mencari Tuhan dengan bentuk dan cara yang berbeda tema ini selalu muncul

kembali pada kebanyakan puisi-puisinya yang lain.23

Puisi-puisinya sendiri, dengan atas pencarian Tuhan kuat sekali, sama

sekali tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat yang mendesak masyarakat

pada waktu itu. Sutardji mengatakan:

“Saya yakin, masalah religius pada bangsa kita kuat sekali.

Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya dalam

masyarakat modern ini, sah sebagai masalah, sebagai

tema”.24

Lebih lanjut, pada kesempatan yang berbeda, pada salah satu surat kabar

Sutardji mengatakan “dalam keadaan begini, maka timbulah kerinduan untuk

ingin pulang kembali secara mistis, dan inilah yang dikatakan orang sebagai

kerinduan religius”. Kerinduan religius seperti ini sangat menonjol dalam

dekade 1970-an. kesadaran religius yang mengarah kepada kesufian ini

menurut Sutardji bukan hanya kesadaran yang muncul dalam diri penyair atau

dramawan saja. Upaya untuk kembali kepada semangat religius, sudah

merupakan suatu gejala umum dalam kebudayaan kita.25

Sehingga tidak salah

dan berlebihan jika H.B Jassin mengatakan;

“bagi saya kunci memahami puisi-puisi Tardji ialah

perenungan yang dalam. Hanya jika kita dalam situasi

mencari Tuhan pula maka pencarian Tardji dapat kita

rasakan. Bagi saya dia penyair yang religius”.26

Selanjutnya AMUK kumpulan puisi kedua Sutardji Calzoum Bachri

sesudah O, memeperlihatkan realitas-realitas yang lain. Sutardji mengatakan

“AMUK itu sebenarnya adalah sejarah kemanusian itu sendiri” begitu yang ia

katakan kepada Ikranegara. Sutardji selanjutnya berkomentar puisinya Amuk

23 Yasser S. Kesan2 dari pembacaan sajak 26 Januari di TIM: Sutadji Mencari Jalan

Sendiri, Harian Umum Sinar Harapan, tt.p., Januari 6 Febuari 1978, h. iv

24 Efix, Lagi Tanggapan terhadap Sutan Takdir: Seni Terlalu Lemah Sastra Berhenti pada

Kata, Harian Umum Kompas, Jakarta, 6 Mei 1982. h.

25 Eddy Utama, Sutardji di Padang: Sastra Sufistik dan Kerinduan Pulang, Harian Umum

Buana, Jakarta, 27 Oktober, 1987, h. 4

26 Dokumentasi Sastra H.B Jassin, Sutardji Penyair Yang Religius, Harian Umum Sinar

Harapan, tt.p., 28 Januari 1976 h. 2

Page 62: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

50

itu adalah suatu perjalanan panjang manusia mencari kesempurnaannya. Tapi

manusia akhirnya menemukan kehadirannya yang “seadanya” itu-itu sajalah.

Sederhana dan rumit.27

Disitu realitas-realitas dan kebenaran lain diuji melawan realitas dan

kebenaran “aku” : lebih tua dari niniveh dari pinx/lebih tua dari maya lebih

tua dari babilon/ aku telah hidup sebelum musa”, kata Sutardji, mengingatkan

kita pada anggapan tentang “Nur Muhammad” yang lebih awal lagi dari

Adam. Dengan demikian Sutardji telah masuk ke kebenaran dunia sufi tentang

asal-usul manusia dan hakekatnya.28

Pada kumpulan puisinya yang diberi judul KAPAK pada pengantar Kapak,

Sutardji mengatakan beberapa alasannya memilih judul tersebut sebagai judul

kumpulan puisinya. Menurutnya imaji kapak memecahkan kemampatan. Sekali

orang jatuh dalam kerutinan, itu waktu dia dalam kemampatan. Batin jadi

mampat. Untuk itu dibutuhkan Kapak guna memecahkannya sehingga hari-hari

akan mengalir dengan deras menantang kita untuk kreatif. Lebih lanjut Sutardji

mengatakan;

“tidak seperti puisi-puisi saya yang terdahulu yang banyak

dengan pencarian ketuhanan, dalam puisi-puisi selanjutnya

maut lebih mempesona saya. Menghayati kematian

sebelum kematian, itulah yang saya tampilkan dalam

banyak puisi-puisi saya kini.29

Selepas puisi-puisinya yang terkumpul dalam O, AMUK, KAPAK Sutardji

menulis puisi-puisi baru yang bisa dibilang lain dari puisi-puisi sebelumnya.

Puisi-puisinya terkini cenderung konvensional, dengan gaya perpuisian yang

lazim, sebagaimana kita temukan dalam puisi-puisi “Berdepan-depan dengan

Ka’bah”, “Idul Fitri”, “Tanah Airmata”, “Jembatan” dan lain-lain.

Sebenarnya baik dalam puisi-puisi lama maupun puisi-puisi barunya, Sutardji

27 Pusat Dokumentasi H.B Jassin, Sutardji Tentang Sajaknya “AMUK”, Harian Umum

Waspada, tt.p. Minggu 28 Agustus 1977, h. 5

28 Abdul Hadi W.M, “AMUK” Sutardji: Sebuah penjelajahan estetik & metafisik, Harian

Umum Buana, Selasa, 12 Juli 1977, h. 6 29

Bachri, op. cit., h. 82

Page 63: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

51

tetaplah menarik, karena selalu saja kita temui kegirahan kreatif dan

kecermelangan olah kata.30

Jadi alih-alih melepaskan kata dari beban makna, Sutardji memberikan

makna yang berlimpah pada sebuah kata di dalam puisi-puisinya. Selain itu

tidak hanya tekstual saja yang dibangun oleh Sutardji, karya-karyanya kaya

akan makna semiotiknya, dikarenakan pada karya-karya sering dijumpai

bagaimana tipografi dan visual dalam puisinya memiliki maksud tersendiri.

Melihat akan hal tersebut, maka pada penelitian ini, peneliti memilih semiotika

sebagai pisau bedah untuk menangkap makna-makna yang tersembunyi dalam

puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri.

30

D. Rahman, op. cit., h.167-168

Page 64: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

52

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Analis Puisi “TAPI”

Teks Puisi

TAPI

aku bawakan bunga padamu

tapi kau bilang masih

aku bawakan resah padamu

tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu

tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu

tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu

tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu

tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu

tapi kau bilang kalau

tanpa apa aku datang padamu

wah!

Sutardji Calzoum Bachri,

1981

1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi

Puisi ini dikategorikan dalam puisi pendek, karena hanya tersusun dari

satu bait dengan enam belas larik. Pada tahapan ini akan ini akan dilakukan

verifikasi bunyi yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah bunyi

pada puisi, baik awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Irama (ritme) adalah

pengulangan bunyi kata, frase, dan kalimat. Pada penelitian ini, tahapan analisis

Page 65: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

53

metrum mencoba mencari tekanan kata yang tetap yang terdapat pada sebuah

puisi.

Rima (pengulangan bunyi) pada puisi “TAPI” tiap baris terdapat kesamaan

bunyi [a], [i], [u], yang hadir secara berulang. Bunyi [a] yang hadir pada puisi ini

terdapat pada baris pertama sampai kedua yakni bawakan, bunga, bilang,

Kemudian hal yang sama juga terjadi pada baris ke-3 sampai ke-4, bawakan,

resah, bilang, hanya. Kemudian pada baris ke-5 sampai ke-6, bawakan, bilang,

cuma. Baris ke-7 sampai ke-14 hanya ada kata bawakan 4x, dan bilang 4x yang

hadir secara berulang pada setiap barisnya. Kemudian pada baris ke-15 sampai

ke-16 yakni tanpa, apa, datang, dan wah. Dalam hal ini bunyi [a] memberikan

kesan bunyi sebagai kata-kata yang lebih terbuka (lepas).

Bunyi [i] yang hadir pada baris pertama hingga ke-16 yaitu kata tapi 8x,

meski, dan hampir

Bunyi [u] pada puisi “TAPI”, hadir pada setiap baris pertama hingga ke-15

yaitu kata aku 8x, padamu 8x, kau 7x, darahku, mimpiku, dukaku, arwahku,

mayatku, dan kalau. Dalam hal ini bunyi [u] merupakan bunyi yang dominan

pada puisi ini. Bunyi [u] cenderung memberikan kesan ada subjek yang ingin

dituju.

Mengenai rima, dapat dikatakan puisi ini memiliki perbedaan bunyi pada

setiap akhir larik (dalam hal ini larik-larik sebelah kanan yaitu, masih, hanya,

cuma, meski, tapi, hampir, kalau, wah) untuk memberikan efek bunyi secara

estetik. Semua larik yang berada di sebelah kiri, rima hadir dengan teratur

melalui pengulangan kata aku bawakan dan kata padamu yang hadir pada setiap

awal larik, dan sedikit perubahan pada larik ke-16 tanpa apa aku datang

padamu. Meskipun demikian,pada larik ke-16 rima tetap dijaga melalui bunyi

vokal akhir [a] pada kata tanpa dan kata apa, yang kemudian, rima tersebut

tetap dijaga pada kata selanjutnya dengan vokal akhir [u] pada kata aku dan kata

padamu

Irama (ritme) pengulangan bunyi kata, frase, dan kalimat. Pada puisi

Tapi terdapat pada baris pertama hingga ke-14. Kata aku bawakan dan kata

tapi kau bilang di awal baris pada larik ke-1 hingga ke-14. Selain itu untuk

Page 66: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

54

larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kiri, kata padamu hadir secara

berulang pada setiap akhir lariknya.

Pada larik yang secara tipografi dikelompokan di sebelah kiri, nampak

adanya perulangan bunyi yang menghasilkan suatu efony sebagai sebuah efek

penguat puisi. Adapun larik-larik yang dimaksud yaitu; aku bawakan resah

padamu, aku bawakan darahku padamu, aku bawakan mimpiku padamu, aku

bawakan dukaku padamu, aku bawakan mayatku padamu, aku bawakan

arwahku padamu, tanpa apa aku datang padamu

Efony pada larik-larik tersebut tercipta karena kombinasi [mu] yang

terdapat pada kata padamu yaitu /m/ yang merupakan salah satu huruf efony

dan dikombinasikan dengan huruf vokal /u/, sehingga menimbulkan suara

merdu sekaligus suram dan memberikan efek magis, layaknya seorang yang

sedang melakukan ritual pembacaan mantra atau dalam agama Islam lebih

seperti proses zikir, proses mengingat yang kuasa. Adapun terciptanya efony

terjadi ketika disatukan dengan larik-larik yang secara tipografi berada di

sebelah kanan, yang seakan-akan membuat larik-larik tersebut berada pada satu

larik yang utuh, namun dipisahkan dengan kedudukan tinggi-rendahnya.

Pada semua larik yang berada di sebelah kanan, kita menemukan tokoh

kau yang dalam hal ini tidak jelas mengacu kepada siapa: apakah kepada

dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau mungkin juga kepada

pembaca yang dianggap mengerti tasawuf.

Pada puisi ini larik-larik yang berada di sebelah kanan melalui kata-kata

masih, hanya, cuma, maskit, tapi, hampir, kalau tidak tercipta kesamaan rima

diakhir larik. Rima pada larik- larik sebelah kanan dibentuk melalui kemunculan

kata tapi kau bilang yang hadir secara berulang pada setiap lariknya. Perubahan

bunyi di setiap akhir larik yang terdapat pada larik-larik sebelah kanan terlihat

disengaja untuk menciptakan nuansa estetik.

Akibat perubahan bunyi tersebut terciptalah efek kakofoni dengan

memanfaatkan kata masih, meski, dan hampir. Pemilihan kata-kata tersebut

terdengar berdesis dan parau di telinga, sehingga kombinasi hurufnya tidak enak

didengar.

Page 67: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

55

Selain secara tipografi yang membagi larik menjadi dua, penempatan

tinggi rendahnnya larik pun berbeda antara larik sebelah kanan dengan sebelah

kiri. Larik-larik yang berada di sebelah kiri menempati posisi yang lebih tinggi

dibandingkan larik yang berada di sebelah kanan. Hal ini menarik karena

menimbulkan efek adanya sebuah dialog bukan hanya secara larik, namun juga

secara tipografi visual puisi tersebut.

Dari hal tersebut diketahui bahwa puisi “TAPI” secara tipografi dibagi

menjadi dua bagian, bagian pertama adalah larik-larik yang berada di sebelah

kiri, dengan bentuk dan struktur kalimat yang serupa, dan berada menempati

posisi lebih tinggi. Bagian kedua adalah larik-larik yang berada di sebelah kanan

menempati posisi yang lebih rendah, dan larik-lariknya memiliki struktur yang

sama. Sebagai penyair yang baik, Sutardji tidaklah serta merta menyusun

tipografi untuk puisi-puisinya, sehingga untuk mencari makna yang ingin

dibangun dan disampaikan penyair melalui bentuk tipografi dan bunyi dari

puisinya akan dilakukan analisis ke tahapan berikutnya, yaitu analisis pada

tataran sintaksis.

2. Analisis Aspek Sintaksis

Setelah analisis bentuk puisi dan bunyi, pada tahapan ini akan dilakukan

rangkaian sintaksis pada puisi “TAPI”. Pada penelitian ini, analisis aspek

sintaksis merupakan analisis rangkaian kata pada setiap lariknya, sehingga dapat

ditentukan struktur sintaksisnya, baik frase, klausa, maupun kalimat.

Bila dilihat dari segi sintaksis yang berupa analisis terhadap satuan-

satuan linguistik yaitu analisis yang dapat mengacu pada tata bahasa baku atau

pedoman ejaan bahasa Indonesia yang benar, maka ada beberapa masalah yang

terlihat. Puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul, “TAPI” terdiri dari 16

larik dan hanya satu bait. Secara keseluruhan setiap larik tidak di awali dengan

huruf kapital terkecuali pada judul puisi, selain itu puisi ini tidak disertai dengan

tanda baca, terkecuali pada larik terakhir terdapat satu tanda seru (!) pada kata

wah!

Page 68: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

56

Penentuan sebuah kalimat pada puisi tidak selalu terkait dengan ada

tidaknya tanda titik (pada istilah lain disebut sebagai intonasi akhir) pada setiap

akhir kalimat. Seperti yang diutarakan Henry Guntur Tarigan dalam buku

Pengajaran Sintaksis bahwa ada empat batasan ciri utama kalimat, yaitu: satuan

bahasa, secara relatife dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi akhir,

terdiri dari klausa1. Namun tidak dapat dipungkiri, larik-larik dalam puisi tidak

dapat serta merta dipelakukan dalam wujud tulisan saja, melainkan harus

dipertimbangkan dalam bentuk lisan. Dalam pembahasan sintaksis pada

penelitian ini, peneliti memanfaatkan pendapat Abdul Chaer yang memasukan

wacana dalam tataran sintaksis dan pendapat Ramlan yang mempertimbangkan

larik dalam wujud lisan berdasarkan naik turun dan keras lembut, disela jeda,

sebagai intonasi akhir sebuah larik.

Selain itu ada beberapa alasan yang dapat mendukung larik-larik tersebut

dapat dikelompokan sebagai kalimat, baik sebagai kalimat tunggal maupun

kalimat majemuk setara bertentangan. Pertama berdasarkan analisis bentuk

(tipografi) yang sebelumnya telah dilakukan, dapat ditentukan bahwa puisi ini

memiliki dua bagian, yang dihubungkan dengan sebuah konjungsi kata tapi,

sehingga antara larik yang berada di sebelah kanan dan kiri menjadi

berkesinambungan. Larik yang berada di sebelah kanan terdiri dari kata yang

sangat memungkinkan menjadi kalimat tunggal sempurna. Bisa dilihat dalam

larik-larik yaitu:

aku bawakan bunga padamu

aku bawakan resah padamu

aku bawakan darahku padamu

aku bawakan mimpiku padamu

aku bawakan dukaku padamu

aku bawakan mayatku padamu

1 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Sintaksis, (Bandung. Angkasa :1986), h. 8

Page 69: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

57

aku bawakan arwahku padamu

tanpa apa aku datang padamu

Terkecuali pada larik ke-15, semuanya diawali oleh kata aku yang

merupakan subjek (S) dari sebuah kalimat. Kalimat-kalimat tersebut merupakan

sebuah kalimat sempurna karena, sekurang-kurangya mengandung sebuah

klausa. Kalimat tersebut sempurna karena setiap barisnya mengandung subjek

(S), predikat (P), dan objek (O), karena menurut konstruksi sintaksis, sebuah

klausa harus mengadung unsur fungsional subjek dan predikat baik disertai

objek, pelengkap, keterangan maupun tidak.

Kemudian larik-larik yang berada di sebelah kanan yaitu:

tapi kau bilang masih

tapi kau bilang hanya

tapi kau bilang cuma

tapi kau bilang meski

tapi kau bilang hampir

tapi kau bilang kalau

wah!

Terkecuali larik ke-16, semua larik-larik di sebelah kanan terdapat kata

tapi yang menyatakan penolakan akan apa yang diserahkan si aku lirik kepada

kau sebagai target objek larik sebelah kiri. Larik-larik yang dalam penelitian ini

dikelompokan dalam larik-larik yang berada di sebelah kanan termasuk jenis

kalimat intransintif. Jika kita amati keseluruhan larik-larik yang masuk dalam

kelompok ini memiliki kontruksi kalimat yang sama. Kata tapi pada

keseluruhan larik yang dikelompokan pada larik yang berada di sebelah kanan

berfungsi sebagai konjungsi. Kata kau berfungsi sebagai subjek, dan kata bilang

sebagai predikat. Kata masih, hanya, cuma, meski hampir, dan kalau pada larik-

Page 70: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

58

larik ini berfungsi sebagai keterangan. Berdasarkan pembagian tipografi

tersebut, dapat disimpulkan puisi “TAPI” terdiri dari dua jenis kalimat, yaitu

kalimat sempurna/transitif (berada disebelah kiri) dan kalimat intransitif (berada

disebelah kanan).

Alasan kedua berangkat dari mengkaji judul puisi yaitu kata Tapi. Kata

tapi merupakan salah satu koordinator hubungan perlawanan selain dari

melainkan dan namun. Hubungan perlawanan adalah hubungan yang

menyatakan bahwa apa yang dinyatakan pada klausa pertama berlawanan

dengan apa yang dinyatakan klausa kedua. Kata tapi dapat digunakan untuk

menyatakan makna perlawanan yang implikatif, limitatif, opositif, dan

konstrantif

Berdasarkan beberapa alasan tersebut, dan dengan memperhatikan

keutuhan makna puisinya, maka antara larik-larik yang terdapat di sebelah kiri

dan kanan dapat dihubungkan untuk menjadi sebuah kalimat majemuk

bertingkat;

aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih

aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau

Kalimat-kalimat tersebut memiliki pola yang diulang-ulang, terutama

pada kalimat ke-1 sampai kalimat ke-7. Dari ke-7 kalimat yang sudah

ditentukan, dapat kita peroleh kesimpulan bahwa keseluruhannya memiliki

konstruksi kalimat yang sama. Pengulangan pola kalimat tersebut menimbulkan

kesan bahwa ada unsur-unsur yang hubungannya rapat sekali.

Kalimat pertama aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih,

diawali dengan kata aku yang dalam hal ini berfungsi sebagai subjek,

Page 71: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

59

menunjukan eksistensi aku pada puisi tersebut. Kalimat pertama itu termasuk

dalam jenis kalimat majemuk setara bertentangan, dengan kata tapi sebagai

konjungsi penghubung perlawanan antar klausa. Kalimat majemuk setara

bertentangan yang terdiri dari dua kalimat sempurna berkontruksi sebagai

berikut; subjek (aku), predikat (bawakan), objek (bunga), keterangan ( padamu)

konjungsi (tapi), subjek (kau), predikat (bilang), keterangan (masih).

Kalimat ke-2 aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya, masih

memiliki kontruksi kalimat yang sama dengan kalimat sebelumnya. Dalam hal

ini, berfungsi untuk memperjelas pernyataan yang diutarakan pada kalimat

pertama. Hal ini terlihat dengan penggunaan kata resah, yang menunjukan

peningkatan dari usaha mendapatkan jawaban dari tokoh kau.

Kontruksi kalimat ke-1 dan ke-2 kemudian diulang-ulang sampai

kalimat ke-8. Pengulangan konstruksi kalimat tersebut semata-mata untuk

menekankan makna kalimat-kalimat sebelumnya. Satu-satunya kalimat yang

memiliki kontruksi yang berbeda dari kalimat lainnya ialah kalimat yang

terdapat pada larik ke-15 tanpa apa aku datang padamu dan ke-16.wah!

larik ke-15 memiliki konstruksi yang berbeda dengan larik-larik

sebelumnya. Pada larik tanpa apa aku datang padamu, keterangan ditempatkan

di awal larik. Frase tanpa apa, dikategorikan sebagai keterangan berdasarkan

konteks situasi yang terjalin pada larik-larik sebelumnya, yang mengacu pada

kata bunga, resah, duka, arwah, mayat yang bertindak sebagai objek dari apa

yang dibawakan aku lirik, sehingga dapat disimpulkan larik ke-15 ini

berkonstruksi, tanpa apa (keterangan), aku (subjek), datang (predikat),

keterangan tempat (padamu).

Larik ke-16 wah! Pada penelitian ini diklasifikasikan sebagai kalimat,

dengan alasan memiliki ciri-ciri sebuah kalimat. Adapun alasannya sebagai

berikut;

1. wah! dalam larik terakhir itu merupakan sebuah kalimat

2. adanya intonasi, yaitu nada yang diwakili tanda baca seru (!) dan

perhentian

Page 72: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

60

3. ada makna, yaitu lawan bicara (dalam hal ini aku sebagai subjek pada

larik-larik sebelumnya)

4. adannya situasi yang dibangun pada larik-larik berikutnya, sehingga

memungkinkan hanya menuturkan wah! sebagai bentuk kalimat jawab.

Selain itu, merujuk pada pendapat Abdul Chaer maka secara strukturnya,

wah! termasuk kedalam jenis kalimat terikat atau tidak bebas. Kalimat wah!

diposisikan sebagai kalimat terikat atau tidak bebas dikarenakan tidak dapat

berdiri sendiri, maknanya pun sangat terikat dengan larik-larik sebelumnya.2

Kata wah merupakan sebuah interjeksi yang pada hakikatnya berperan

sebagai sebuah kalimat padanan dari kalimat sebelumnya. Dalam hal ini wah

mengandung nilai “persetujuan” pada konsep yang terkandung atau diucapkan

pada kalimat sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, puisi “TAPI” terbentuk dari susunan kalimat-

kalimat tunggal yang konstruksinya diulang-ulang dengan tujuan penekanan

makna. Penggabungan dari konstruksi-konstruksi lariknya, menimbulkan

sebuah bentuk kontruksi baru, sehingga terciptalah bentuk kalimat majemuk

bertentangan yang menguatkan efek dari konstruksi-konstruksi sebelumnya.

Adapun pengulangan kontruksi baik dalam bentuk kalimat tunggal maupun

penggabungan larik kiri dan kanan yang menghasilkan kalimat majemuk

bertentangan yang menimbulkan adanya proses mendekatkan diri yang

berkesimbungan, dan dilakukan aku lirik sebagai subjek kepada tokoh kau.

Dari analisis sintaksis ini terlihat bagaimana Sutardji mengimplikasikan

Kredo Puisinya pada karya-karyanya. Perubahan struktur kata dan kalimat pada

puisi “TAPI” merupakan bagian kesuksesan Sutardji dalam melakukan

eksperimennya yang memanfaatkan fungsi kata itu sendiri. Jadi bukannya

membebaskan kata dari beban makna, Sutardji malah berhasil membuat kata-

2 Abdul Chaer berpendapat dalam masalah keberterimaan sebuah kalimat dilihat secara

strukturnya kalimat dibagi menjadi dua macam kalimat, yaitu kalimat bebas dan tidak bebas.

Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h.

233

Page 73: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

61

kata tersebut kaya akan makna dan dapat berdiri sendiri, tanpa keterikatan

aturan struktur secara sintaksis.

3. Analisis Aspek Semantik

a) Denotatif dan Konotatif

Pada analisis aspek sintaksis yang telah dilakukan sebelumnya kita

mendapatkan bahwa puisi “TAPI” tersusun dari konstruksi kalimat tunggal dan

kalimat majemuk setara, adapun kalimat yang dimaksud yaitu;

aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih

aku bawakan resah padamu tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamutapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamutapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau

Sebelum menentukan makna denotatif, dan konotatif yang akhirnya

membentuk sebuah majas, dalam penelitian ini ditentukan terlebih dahulu suatu

peristiwa yang terbentuk yang melibatkan peserta atau lebih, berdasarkan peran

semantisnya. Pada puisi “TAPI”, peneliti menemukan adanya tiga peserta: aku

(subjek) yang menyatakan pelaku, bawakan sebagai predikat yang menyatakan

perbuatan, bunga, resah, darah, mimpi, duka, mayat, arwah sebagai objek yang

menyatakan sasaran perbuatan, dan padamu/kau yang menyatakan peserta

peruntung yang memperoleh manfaat dari peristiwa tersebut. Adapun klausa

kedua yang terbentuk dari konjungtor tapi, hadir sebagai penguat dan jawaban

dari klausa pertama.

Kata aku pada larik pertama aku bawakan bunga padamu merupakan

sebuah perkenalan akan subjek pada puisi ini, yang secara denotatif merujuk

kepada seseorang yang sedang membawakan bunga kepada seseorang, yang

Page 74: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

62

dalam larik ini ditujukan kepada –mu melalui kata padamu. Secara denotatif, -

mu pada kata padamu mengacu kepada mahkluk hidup, yang belum jelas acuaan

bentuknya. Hal tersebut diperkuat di larik kedua yaitu tapi kau bilang masih,

yang jika dikaitkan dengan larik ke-1, larik ke-2 secara denotatif merupakan

sebuah jawaban dari larik ke-1, yang berarti sebuah penolakan.

Kata masih pada akhir larik ke-2, hadir sebagai penjelas penolakan yang

dilakukan. Penolakan tersebut diwakili dengan kata tapi. Dilihat secara konteks

dialog, pada larik ke-1dan ke-2, kata masih mengacu kepada kata bunga yang

secara denotatif dapat diartikan bahwa kau saudah memiliki bunga, sehingga

tidak memerlukan bunga yang diberikan oleh aku lirik pada larik pertama.

Kata aku di awal larik ke-1 dan kau pada larik ke-2, mengandung makna

konotatif yang berarti bahwa adanya hubungan di antara aku lirik dan kau.

Penggunaa kata bunga pada larik ke-1 sebagai benda yang ingin diberikan

kepada –mu pada kata padamu menyimbolkan bentuk cinta, sehingga secara

konotatif dapat diinterpretasikan bahwa hubungan aku dan kau terjalin atas

dasar cinta. Dapat disimpulkan larik aku bawakan bunga padamu merupakan

sebuah majas metafora yang digunakan untuk mengkongkretkan adanya

kedekatan aku lirik dengan kau. Jadi larik ke-1 dan ke-2 menggambarkan usaha

aku lirik untuk mendekati kau, dengan berlandaskan cinta.

Gambaran mengenai usaha aku lirik dalam mendekati kau pada larik

pertama dan ke-2 diperjelas lagi pada larik ke-3 sampai larik ke-14

aku bawakan resah padamu

tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu

tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu

tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu

tapi kau bilang tapi

Page 75: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

63

aku bawakan mayatku padamu

tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu

tapi kau bilang kalau

Larik ke-3 sampai ke-14 masih menggunakan struktur kalimat yang sama

dengan larik-larik sebelumnya, namun kata-kata resahku, darahku, mimpiku,

dukaku, mayatku, dan arwahku tidaklah hadir melalui makna denotatif. Kata-

kata tersebut tidaklah diartikan sebagai kata benda yang dibawakan oleh aku

lirik kepada kau, dikarenakan termasuk kata sifat. Meskipun secara denotatif

kata mayatku, bisa diartikan sebagai benda material, namun secara logika

tidaklah mungkin seseorang membawakan mayatnya sendiri, sehingga kata-kata

resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku hadir dengan

kekuatan makna secara konotatif.

Jika pada larik ke-1, aku lirik membawakan bunga, yang dalam tataran

denotatif masih berbentuk material, maka pada larik ke-3 aku lirik membawakan

bentuk resah, yang secara konotatif sudah mempercayakan segala permasalahan

hidup kepada tokoh kau. Lalu pada larik ke-5 aku lirik berada pada titik yang

lebih dalam. Dalam proses usaha mendekatkan diri, aku lirik sampai kepada

taraf membawakan darah, yang secara konotatif berarti kau sudah setara dengan

kehidupannya.

Kata mimpiku pada larik ke-7 secara konotatif bermakna sebuah cita-cita,

sebuah masa depan yang dipercayakan dan diharapkan kepadamu. Selain itu

kata mimpiku hadir untuk memperkuat kesungguhan aku lirik. Kata meski pada

larik ke-8 hadir sebagai bentuk penolakan terhadap larik sebelumnya, yang

akhirnya pada larik ke-9 aku bawakan dukaku padamu. Kata dukaku secara

denotatif berarti perasaan susah hati, sedih hati. Aku lirik ingin menunjukan rasa

sakit dan kecewa atas penolakan kau pada larik sebelumnya, namun tetaplah

tidak membuat kau terbuka untuk menerima. Penolakan tersebut hadir melalui

kata tapi yang secara denotatif bermakna sebuah pertentangan, atau tidak

selaras.

Page 76: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

64

Pada larik ke-11 aku bawakan mayatku padamu, seperti yang sudah

dijelaskan di awal, secara denotatif, kata mayatku mengacu pada bentuk

material, namun pada larik ini, kata mayatku hadir secara konotatif sebagai

bentuk simbol penyerahan keseluruhan material, yang pada nantinya tetap

mengalami penolakan, melalui kata hampir pada larik ke-12 tapi kau bilang

hampir yang secara denotatif bermakna sedikit lagi atau nyaris. Usaha aku lirik

diperkuat kembali pada larik ke-13 dengan kata arwahku yang secara konotatif

mengartikan sebagai penyerahan keseluruhan kepada kau, baik secara jasmani

maupun rohani. Kata kalau pada larik ke-14 selain sebagai jawaban kau, secara

denotatif berfungsi juga sebagai kata penghubung yang bermakna bentuk

pengandaian yang tidak pasti.

Larik ke-15 selain sebagai bentuk kata sifat, frase tanpa apa, hadir

sebagai keterangan, yang mengacu pada kata-kata resahku, darahku, mimpiku,

dukaku, mayatku, dan arwahku sebagai objek. Dalam hal ini frase tanpa apa

secara konotatif bermakna aku lirik sudah mencapai titik ikhlas dan menerima

segala jawaban dari kau. Sebagai bentuk pengakuan bahwa segala bentuk

jasmani dan batin tak akan pernah cukup untuk mendapatkan cinta kau yang

dalam hal ini mengacu kepada Tuhan.

Kesadaran dan rasa ikhlas yang dirasakan aku lirik pada larik ke-15

sesungguhnya merupakan bentuk jawaban atas cara mendekatkan diri kepada

Tuhan. Hal tersebut dinyatakan dalam larik ke-16 dengan satu kata yaitu wah!

Jika dilihat secara denotatif kata wah bermakna sebagai kata seruan, untuk

menyatakan kekaguman, heran, dan terkejut. Namun kata wah tersebut tidak

hadir secara sendiri, melainkan didampingi sebuah tanda baca yang merupakan

tanda seru (!), sehingga secara konotatif larik ini bermakna sebagai bentuk

puncak atau inti dari bagaimanakah cara mencintai Tuhan.

Dua larik terakhir pada puisi ini nampaknya merupakan sebuah puncak

ungkapan ekstase mistik, yang dalam hal ini, aku lirik sedang mengalami proses

bagaimana cara mencintai Tuhan. Kata wah! pada larik terakhir dapat diartikan

sebagai bentuk persatuan, bentuk pengakuan, dan bentuk penerimaan seorang

hamba kepada Tuhannya.

Page 77: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

65

b) Analisis Gaya Bahasa

1. Gaya bahasa berdasarkan Struktur Kalimat (Puisi)

Dilihat dari kehadiran pada setiap lariknya dapat dikatakan Sutardji

sebagai penyair menggunakan gaya bahasa klimaks. Pada satu bait, terdapat

urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan

sebelumnya pada setiap lariknya. Hal ini terlihat dari kata-kata bunga,

resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku. Sepintas

struktur gaya bahasa klimaks yang dibangun penyair sedikit rusak/

bertentangan ketika pada larik ke-15 yaitu tanpa apa aku datang padamu

yang seakan membuat menjadi anti klimaks. Frase tanpa apa, sedikit

mengganjal akan gagasan kepentingan yang ditempatkan pada larik-larik

sebelumnya, namun tidaklah demikian. Frase tanpa apa, sesungguhnya

menjadi puncak konsep gagasan yang dibangun penyair. Hal tersebut terlihat

dari bagaimana Sutardji menutup puisi “TAPI” pada larik ke-16 dengan kata

wah!

Selain itu pada puisi “TAPI” Sutardji pun menampilkan gaya bahasa

paradoksal (paradok), ialah gaya bahasa yang melukiskan dua hal atau

keadaan yang bertentangan dalam satu saat. Namun gaya bahasa paradoks

pada puisi “Tapi” tidaklah padu karena asosiasi yang ditimbulkan oleh kata

yang mestinya berkesan paradoks justru tidak paradoks.

Larik ke-1 dengan larik ke-2 masih menimbulkan kesan gaya paradoks

yang sesungguhnya. Namun, pada larik-larik berikutnya, kesan paradoks itu

terputus oleh kata-kata: resahku, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, dan

arwahku yang tidak memiliki hubungan paradoks dengan kata-kata : hanya,

cuma, meski, tapi, hampir, dan kalau. Kesan paradoks hanya terpaut pada

kata tapi, sebagai salah satu penghubung paradoks.

Pada puisi ini tampak adanya penggabungan gaya bahasa paralelisme

anaphora dengan gaya bahasa pararelisme epifora. Penggabungan ini

menunjukkan adanya variasi dan komposisi yang artistik. Pararelisme

Page 78: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

66

anaphora terbentuk oleh kata aku dan tapi, sedangkan paralelisme epifora

terbentuk oleh kata padamu.

2) Analisis gaya bahasa figuratif

Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang salah satunya adalah hiperbola

yaitu melebih-lebihkan. Bisa di lihat pada beberapa barisnya seperti aku

bawakan mayatku padamu, yang secara logika mungkin mayat kita sendiri

bisa kita bawa sendiri kehadapan Tuhan. Begitu pun terdapat ambiguitas

dalam puisi ini seperti tapi kau bilang kalau, yang dalam hal ini kata kalau

menjadi tidak memiliki arti yang pasti. Dengan kata lain pada larik tapi kau

bilang kalau, Sutardji memberikan ruang terbuka kepada pembaca untuk

memberikan tafsirannya masing-masing.

c) Isotopi

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, isotopi terbentuk dari

pengulangan komponen makna dan membentuk kohesi leksikal. Beberapa

isotopi membentuk motif dan motif dapat membentuk tema.

Analisis semantik yang berupa isotopi, dalam puisi “Tapi” karya Sutardji

Calzoum Bachri terlebi dahulu ditentukan jumlah kata yang digunakan. Hal ini

dilakukan untuk melihat ada tidaknya kata yang kehadirannya lebih dominan

sebagai tema utama yang dibicarakan. Puisi “TAPI” hanya tersusun dari 24 kata.

Adapun kata yang dimaksud yaitu: aku 8x, bawakan 7x, padamu 8x, tapi 7x,

kau 7x, bilang 7x, bunga, resah, darahku, mimpiku, dukaku, mayatku, arwahku,

masih, hanya, cuma, meski, tapi, hampir, kalau, tanpa, apa, datang, dan wah!

Sekilas dari pengelompokan berdasarkan kehadiran kata pada puisi

tersebut, puisi “TAPI” berpusat pada hubungan antara aku dan padamu, namun

hal tersebut tidaklah dapat dijadikan penentuan tema utama, oleh karena itu

analisis isotopi dirasa perlu dilakukan untuk menguatkan penentuan tema besar

yang dibicarakan pada sebuah puisi. Setelah dilakukan pemisahan larik-larik

menjadi kata-perkata peneliti menyimpulkan tiga hal yang dapat dikategorikan

Page 79: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

67

sebagai kelompok isotopi bersama, yaitu isotopi manusia, isotopi kesakitan, dan

isotopi usaha. Penjelasan ketiga isotopi tersebut terlihat pada tabel-tabel berikut.

1. Isotopi Manusia

Tabel 1

Kata/frase yang

termasuk isotopi

manusia dan

pemunculannya

Denotatif (D)

atau

Konotatif

(K)

Komponen makna bersama

Insan

(tubuh dan roh)

Berakal

budi

aktivitas

aku 8x D + + -

padamu 8x D + + -

kau 7x D + + -

mayatku, D + - -

arwahku, D + - -

darahku, D + - +

Untuk lebih jelasnya bisa kita rinci sebagai berikut ini. Kata aku dan kau

merupakan kata ganti orang yaitu kata ganti orang pertama dan kata ganti orang

kedua. Jika diartikan secara denotatif, kata kau mengacu kepada makhluk yang

berada dibumi namun kau secara konotatif dalam puisi ini tidak akan masuk

pada isotopi manusia jika kita maknai sebagai Tuhan karena tak layak jika

Tuhan kita masukan pada kategori isotopi manusia.

Selain itu mayat adalah bentuk jasad dari sebuah makhluk yang lebih kita

kenal sebagai jasad dari manusia yang telah meninggal dunia. Sekalipun semua

makhluk yang meninggal jasadnya disebut mayat, namun dalam puisi ini si aku

adalah manusia, sehingga mayat ini tentu mayat dari manusia. Arwahku adalah

roh atau berupa benda abstrak yang lebih kita kenal sebagai jiwa dari sebuah

mahluk yang salah satunya dimiliki oleh makhluk hidup berupa manusia. Kata

arwah bisa kita masukan pada isotopi manusia karena arwah yang tertera dalam

puisi adalah arwah yang dibawa oleh si aku yang notabene adalah manusia.

Darahku adalah sel-sel darah merah dan putih yang mengalir di dalam

tubuh manusia dan binatang. Melalui pengertian secara denotatif, kata darahku

Page 80: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

68

merupakan termasuk isotopi manusia. Komponen makna yang paling menonjol

dalam isotopi tersebut adalah insan (tubuh dan roh). Komponen tersebut

menonjol berkaitan dengan bentuk pendekatan diri sebagai manusia kepada

Tuhan yang melibatkan unsur fisik dan nonfisik.

Tabel 2

Isotopi Kesakitan

Kata/frase yang

termasuk isotopi

manusia dan

pemunculannya

Denotatif (D)

atau

Konotatif (K)

Komponen makna bersama

Derita/sakit Cara Proses

resah, D + - -

dukaku D + - -

tapi D + + -

hanya D + - +

cuma D + + -

meski D + + -

hampir D - - +

Kata resah adalah sebuah perasaan galau atau gamang yang mendera hati

manusia. Kata resah bisa kita golongkan dalam isotopi kesakitan karena resah

itu membuat orang yang mengalaminya susah melakukan sesuatu karena

dibebani oleh perasaan ini. Duka, kata ini merupakan kebalikan dari kata

“suka”. Duka adalah ekspresi kepedihan dan kemuraman yang dialami manusia

seperti saat kehilangan, dan kata ini bisa kita golongkan dalam isotopi kesakitan

karena duka akan membuat hati orang yang mengalaminya terasa sakit dan

sedih.

Kemudian kata tapi yang secara denotatif yang termasuk kata konjungtor,

namun dalam hal ini bermakna penolakan. Kata hanya, cuma meski dan hampir

bisa digolongkan dalam isotopi kesakitan karena, kata-kata tersebut secara

makna mengacu kepada jawaban dari usaha tokoh aku lirik dalam mendapatkan

Page 81: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

69

kau (Tuhan). Kata hanya, cuma, meski, dan hampir mengartikan sebuah

ketidakpuasaan, kekecewaan atas pencapaian yang tidak sesuai diharapkan.

Kata-kata dalam tabel 2 yang mendukung isotopi kesakitan berjumlah 7

buah. Kata resah, dukaku, tapi, masih, hanya, cuma, meski, hampir,

dikategorikan dalam isotopi kesakitan karena bermakna kesakitan. Komponen

makna yang dominan dalam isotopi tersebut adalah derita/sakit yang dialami

aku lirik dalam menerima perlakuan Tuhan atas segala usaha mendekatkan diri.

Tabel 3

Isotopi Usaha

Kata/frase yang

termasuk isotopi

usaha dan

pemunculannya

Denotatif

(D)

atau

Konotatif

(K)

Komponen makna bersama

proses tindakan hasil ketiadaan/

ketidaktahuan

bawakan 7x D + + - -

kau bilang D - + - -

tanpa apa K + + _ +

datang padamu D + + - -

wah K + - + -

Bawakan merupakan kata kerja yaitu bawa yang berasal dari kata

membawa yang mendapat imbuhan –kan. Kata ini bisa kita golongkan pada

isotopi usaha karena ini merupakan kata kerja. Frase kau bilang adalah frase

yang bisaanya dilakukan oleh insan manusia dengan seperti kata berucap atau

berbicara dan kata bilang pun masih kata kerja. Frase datang padamu adalah

frase tindakan yang bisa dilakukan oleh manusia dan kata lainya untuk datang

adalah hadir atau tiba. Ini merupakan usaha untuk menuju suatu tempat.

Kemudian yang terakhir yaitu kata wah, yang secara konotatif, melihat kesatuan

makna pada larik-larik sebelumnya merupakan sebuah hasil. Sebuah pencapaian

dari segala usaha yang telah dilakukan.

Page 82: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

70

Dapat kita lihat kata-kata dan frase yang mendukung isotopi usaha

berjumlah 5 buah. Di antara kata-kata tersebut terdapat frase dan kata yang

bermakna konotatif yaitu tanpa apa, dan wah yang bermakna sebagai usaha

pencarian akan penerimaan Tuhan dan sebagai hasil dari pencarian. Komponen

makna yang dominan ialah tindakan. Menonjolnya komponen makna itu

berkaitan dengan sebuah pencarian penerimaan Tuhan terhadap aku lirik. Hal

tersebut didukung dengan pengulangan frase aku bawakan sebanyak tujuh kali.

Jadi berdasarkan ketiga isotopi tersebut dapat dilihat komponen makna

yang paling kuat dan dijadikan tema besar pada puisi “TAPI” adalah sebuah

usaha pencarian pengakuan kasih seorang hamba kepada Tuhannya. Pencarian

ini dilakukan aku lirik secara spiritual atau bersifat batin.

Berdasarkan analisis semantik (denotatif, konotatif, majas, dan isotopi),

puisi “TAPI” menggambarkan usaha manusia untuk menjadi makhluk yang

diakui keberadaannya oleh Tuhan. Oleh karena usaha yang bergitu kuat, aku

lirik menyerahkan seluruhnya secara utuh kepada Tuhan. Keutuhan tersebut

meliputi jasad, roh, dan hati, seperti konsep iman dalam agama Islam bahwa

iman harus diyakini dalam hati, diucapkan secara lisan, dan dibuktikan melalui

tindakan.

Bila dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, puisi “TAPI” ini bisa

bermakna tentang sifat manusia yang selalu ingin lebih dan lebih. Sifat manusia

yang tidak pernah merasa puas dan tinggi hati terhadap apa yang telah dimiliki,

sehingga lupa akan jati dirinya sendiri. Rasa ikhlas dan kesadaran bahwa

sesungguhnya diri ini seutuhnya adalah milik Tuhan, sesungguhnya tidak

pernah memberikan apapun kepada Tuhan, hanya meminjam dan

mengembalikan apa yang Tuhan berikan. Kesadaran manusia sebagai makhluk

yang tak punya apa-apa yang dinyatakan pada larik ke-15 tanpa apa aku datang

padamu merupakan inti dari bagaimana seharusnya mencintai Tuhan.

4. Analisis Aspek Pragmatik

Sesuai dengan penjelasan pada kerangka teori, aspek pragmatik pada

penelitian ini dibatasi pada cara penampilan atau kehadiran aku lirik

Page 83: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

71

(pembicara) dan pendengar. Dalam puisi “TAPI”, aku lirik ditampilkan sejak

awal larik melalui pronomina aku yang terdapat di larik pertama yaitu aku

bawakan bunga padamu. Melalui larik tersebut penyair ingin menyampaikan

kepada pembaca, tentang situasi yang sedang dialami aku lirik. Kemunculan

tokoh kau melalui kata padamu, dan tapi kau pada larik selanjutnya

memberitahukan kepada pembaca bahwa puisi ini menceritakan antara aku lirik

dengan tokoh kau yang tidak jelas mengacu kepada siapa; apakah kepada

dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau mungkin juga kepada

pembaca yang dianggap mengerti tasawuf

Namun berdasarkan analisis yang dilakukan pada aspek sintaksis, dan

semantik dapat kita nyatakan bahwa kau di sini mengacu kepada Tuhan. Hal

demikian terlihat dengan kata-kata bunga, resahku, darahku, mimpiku, dukaku,

mayatku, dan arwahku sebagai benda yang ingin diberikan kepada kau. Kata

mimpi, duka, arwah, merupakan kata sifat, yang tidak mungkin diberikan dan

diterima sebagai bentuk material kepada manusia, sehingga dapat disimpulkan

bahwa kau pada puisi ini mengacu kepada Tuhan.

Kata aku di awal larik pertama dan kau pada larik kedua, mengandung

makna konotatif yang berarti bahwa adanya hubungan di antara aku lirik dan

kau. Penggunaan kata bunga larik pertama sebagai benda yang ingin diberikan

kepada –mu pada kata padamu menyimbolkan bentuk cinta, sehingga secara

konotatif dapat diinterpretasikan bahwa hubungan aku lirik dan kau terjalin atas

dasar cinta.

Percakapan pada puisi itu merupakan percakapan satu arah, atau bisa

dikatakan sebagai monolog. Jika diamati, aku lirik hadir pada setiap larik-larik

ganjil, yang melalui larik tersebut aku lirik menceritakan apa yang dialaminya.

Sementara itu Tuhan yang hadir melalui kata kau hadir pada larik-larik genap

dan jumlah kehadiran yang sama dengan aku lirik. Dialog-dialog kau yang

diterima pembaca/pendengar sesunguhnya didapat dari perkataan aku lirik

melalui klausa tapi kau bilang, sehingga dapat dikatakan bahwa kau di sini tidak

berkata sedikit pun, dan pembaca/pendengar hanya mendapatkan informasi dari

kutipan tidak langsung yang disampaikan aku lirik.

Page 84: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

72

Penempatan makna cinta dengan perumpamaan kata bunga di awal larik

tidaklah hadir tanpa maksud, karena dalam sistem estetika sufi, cinta memiliki

makna luas dan bersegi-segi. Dalam estetika sufi, cinta bukan dalam arti yang

lazim, tetapi merupakan suatu keadaaan rohani yang dapat membawa seseorang

mencapai suatu jenis pengetahuan yang sangat penting, yaitu pengetahuan

ketuhanan, sehingga secara tidak langsung hal ini menguatkan kata kau

mengacu kepada Tuhan.

Larik berikutnya yaitu pada larik ke-3 sampai ke-11 banyak ungkapan

yang mengandung paradoks. Ungkapan paradoks pada puisi ini disebabkan

penggabungan kata-kata bunga, resah, darah, mimpi, duka, mayat, arwah yang

di sandangkan dengan kata-kata masih, hanya, cuma, meski, tapi, hampir, kalau.

Hal ini menarik dikarenakan kata-kata tersebut dirajut oleh kata tapi yang

merupakan konjungtor bertentangan.

Dengan paradoks seperti itu, penyair seolah memperlihatkan kepada kita

bahwa pengalaman aku lirik sangat dalam dan kompleks, serta menuntut

kesadaran logis untuk memungkinkan pembaca memahami dan menghayati.

Selain itu, paradoks yang kental dengan dimensi sufistik, dapat juga

menimbulkan pencerahan apabila pembaca bersedia memasuki lubuk terdalam

aura keruhaniannya yang paling hakiki

Ungkapan kata tapi dan kau yang penuh paradoks adalah hasil rekaman

bisikan yang terdengar di lubuk terdalam hati aku lirik sebagai manusia. Kau

yang dalam hal ini mengarah kepada Tuhan seolah-olah berbicara menggunakan

keterangan yang disampaikan aku lirik.

Selain itu penyandingan kata aku bawakan bunga, resahku, darahku,

mimpiku, dukaku, mayatku, dan arwahku dengan kata tapi kau bilang masih,

hanya, cuma, meski, tapi, hampir, dan kalau, memberi efek ambiguitas secara

bertahap pada setiap lariknya. Mengisyaratkan bagaimana aku lirik melakukan

proses makrifat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti yang dikatakan

Junaidi ―makrifat ialah keraguan hati antara menyatakan bahwa ia terlalu

Page 85: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

73

dasyat untuk dilihat. Makrifat adalah pengetahuan bahwa apapun yang

terbayang dalam hatimu, Tuhan adalah kebalikkannya‖.3

Pada larik ke-1 sampai ke-11 melalui kata-kata bunga, resah, darahku,

mimpiku, dukaku, mayatku, penyair ingin menyindir pembaca yang gagal

memahami proses penyatuan dalam dimensi sufistik. Gagasan persatuan mistik

aku lirik dengan Tuhan, dianggap sebagai pernyataan tentang kedekatan fisik.

Padahal para sufi tidak pernah berbicara tentang kedekatan fisik, tetapi

kedekatan batiniyah.

Setelah pada larik sebelumnya aku lirik mendapatkan penolakan melalui

kata tapi kau bilang tapi, kata mayatku pada larik ke-11 bermakna konotatif

yang lebih dalam. Mayatku merupakan simbol dari kematian yang berarti

meleburkan diri dari sifat-sifat individual (resahku, darahku,mimpiku, dukaku)

agar tersingkap penutup yang memisahkan kau sebagai kekasih yang khalik

dengan aku lirik sebagai pecinta yang mahkluk. Kematian dalam hal ini bahkan

sampai pada tataran kematian jasmani. Hal tersebut terlihat pada larik

berikutnya yaitu aku bawakan arwahku padamu.

Hal ini diwujudkan Sutardji pada larik-larik akhir dimana aku lirik tidak

putus asa menghadapi penolakan yang diberikan Tuhan. Kata arwahku pada

larik ke-13 secara konotatif bermakana ruhaniyah, bagaimana usaha aku lirik

meningkatkan kehidupan ruhaniyah, sehingga dapat mengenal dan mendekatkan

diri dengan sifat-sifat Tuhannya

3Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk

(Jakarta: Pstaka Firdas, 1986), h. 135

Page 86: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

74

B. Analisis Puisi BELAJAR MEMBACA

Teks Puisi

BELAJAR MEMBACA

kakiku luka

luka kakiku

kakikau lukakah

lukakah kakikau

kalau kakikau luka

lukakukah kakikau

kakiku luka

lukakaukah kakiku

kalau lukaku lukakau

kakiku kakikaukah

kakikaukah kakiku

kakiku luka kaku

kalau lukaku lukakau

lukakakukakiku lukakakukakikukah

lukakakukakikaukah lukakakukakiku

Sutardji Calzoum Bachri 1979

Page 87: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

75

1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi

Puisi “BELAJAR MEMBACA” termasuk dalam puisi pendek. Puisi ini

hanya terdiri dari satu bait, lima belas larik dan terdiri dari lima kata yaitu luka,

kaku, kaki, kau, kalau, dan dua pertikel yaitu –ku dan -kah. Kelima kata tersebut

hadir secara berulang dan teratur, sehingga menimbulkan efek bunyi yang

menarik. Pada penelitian puisi ini akan dilakukan verifikasi yaitu yang

menyangkut rima, ritme, dan metrum.

Rima (pengulangan bunyi) pada puisi “BELAJAR MEMBACA” pada tiap

baris terdapat kesamaan bunyi [a], dan [u], yang bermunculan secara berulang.

Bunyi [a] terdapat pada keseluruhan baris, yaitu kata luka 5x, lukakah 4x,

lukakaukah, lukakaukah, kakikaukah 2x, dan lukakakukakikukah 2x. Hal serupa

juga terdapat pada bunyi [u] yang berada pada keseluruhan baris. Adapun kata

yang termasuk di dalam bunyi [u] yaitu, kata kakiku 7x, kakikau 4x, kalau 3x,

lukaku 2x, lukakau 2x, dan lukakakukakiku 2x yang dalam hal ini bunyi [u]

merupakan bunyi yang dominan pada puisi ini. Bunyi [u] cenderung

memberikan kesan ada seseorang yang ingin didekati atau dituju.

Mengenai rima, dapat dikatakan inilah yang menjadi kekuatan puisi

Sutardji pada umumnya. Dalam penulisannya, puisi ini menggunakan gaya

bahasa aliterasi dan asonansi dengan persamaan bunyi kata, baik pada akhir

baris atau dalam baris larik itu sendiri. Pada baris-baris puisi terdapat persamaan

bunyi yang sering dan lengkap, sehingga dapat disimpulkan termasuk dalam

rima sempurna (seluruh suku akhirannya berirama sama). Dalam puisi ini, rima

sangat dijaga dengan ketat. Rima tidak hanya hadir pada akhir larik,namun

dikaitkan dengan adanya rima berpeluk dari setiap larik.

Pengulangan tidak hanya sebatas terhadap bunyi, namun juga pada kata

atau ungkapan. Hampir semua rima akhir mempunyai bentuk nasal, yaitu [ku],

[ka], [ah]. Bunyi ini memberikan gema dan sesuai kontkesnya, memberikan

kesan suatu recital doa yang diucapkan secara terus menerus, sehingga

memberikan efek magis, seperti efek seorang yang sedang melakukan ritual

Page 88: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

76

zikir sedang mengulang kata, sesuai dengan judul puisi tersebut yaitu,

“BELAJAR MEMBACA”.

Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, puisi “BELAJAR

MEMBACA” sesungguhnya hanya terdiri dari lima kata yaitu luka, kaku, kaki,

kau, dan kalau. Kelima kata tersebut hadir secara berulang dan teratur, sehingga

menimbulkan efek bunyi yang menarik yang pada akhirnya membentuk suatu

alunan merdu, indah, dan penuh daya magis ketika dibacakan (seperti

pembacaan mantra).

Setelah mengetahui bentuk rima dan irama yang terdapat pada puisi

“BELAJAR MEMBACA” selanjutnya akan dilakukan pencarian bentuk

metrum. Meskipun metrum tidak begitu penting dalam menganalisis puisi

Indonesia pada umumnya, namun untuk menemukan beberapa kemungkinan

yang lebih menarik maka tidak salahnya tetap digunakan untuk menganalisis

puisi ini.4

Dapat dikatakan bahwa jumlah suku kata dalam puisi ini cukup bervariasi

karena terdiri dari 5-15 suku kata ( 5, 5, 6, 6, 7, 7, 5, 7, 8, 7, 7, 7, 8, 15, 15). Hal

ini menarik, karena larik ke-15 yang merupakan larik terakhir pada puisi ini

berjumlah 15 suku kata. Hal ini seakan mengisyaratkan bahwa perhatian puisi

“BELAJAR MEMBACA” berfokus pada larik terakhir yaitu:

lukakakukakikaukah lukakakukakiku. Larik ke-15 seperti rangkuman dari ke-14

larik sebelumnya, dimana semua kata yang digunakan pada larik-larik

sebelumnya terangkum di larik akhir ini. Jika dilakukan penedahan terpisah

maka kita akan menemukan kata-kata [luka] [kaku] [kaki] [kau-kah] [luka]

[kaku] [kaki-ku]

4

Dalam hal ini dikarenakan metrum hanya ada dalam teori barat dan sulit diaplikasikan

pada puisi Indonesia. Dalam penggunaannya sering disamakan dengan istilah rima yang pada

dasarnya terbagi menjadi dua macam, yaitu ritme dan metrum. Baca: Racmad Djoko Pradopo,

dkk, Puisi, (Universitas Terbuka, 2007), cet III, h. 4.39

Page 89: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

77

Mengingatkan proses ketika seorang siswa diminta belajar membaca Iqro

(belajar mengaji), yang ketika ingin mendaki ke Iqro 2, 3, 4, 5, dan 6 ia akan

memasuki ujian akhirnya yang mewajibkannya untuk menyelesaikan semua

pelajaran yang ia dapatkan. Tidak berbeda dengan proses belajar, proses

kehidupan, dan proses pencarian seakan memberi penegasan isi puisi ini dan

hubungan dengan pemberian judul “BELAJAR MEMBACA”.

Selain itu, melalui analisis bunyi, terlihat bagaimana Sutardji benar-benar

memanfaatkan unsur bunyi pada puisinya. Bunyi di sini tidak hanya terjadi pada

akhir larik, namun muncul pada keseluruhan kata-kata yang hadir. Bunyi tidak

hanya sebagai pemanis puisi ketika dibacakan, namun memberikan nuansa

tersendiri sebagai bentuk puisi mantra.

2. Analisis Aspek Sintaksis

Setelah analisis bentuk puisi dan bunyi, pada tahapan ini akan dilihat

rangkaian sintaksisnya. Di sini analisis aspek sintaksis merupakan analisis

rangkaian kata pada setiap lariknya, sehingga dapat ditentukan struktur

sintaksisnya, baik frase, klausa, maupun kalimat.

Pada puisi “BELAJAR MEMBACA” tidak ditemukan penggunaan tanda

baca, baik huruf kapital pada awal larik, maupun tanda baca seperti: titik, koma,

seru, tanya dll, sehingga dapat disimpulkan bahwa larik pada puisi itu tidak

dapat dikategorikan sebagai sebuah kalimat. Tidak terdapatnya tanda baca pada

puisi ini terkadang menyulitkan dalam menentukan batas antar-klausa, frase,

maupun kalimat, sehingga untuk menentukan batasan dalam teks puisi ini,

maknalah yang dijadikan landasan dasar.

Puisi ini diawali dengan klausa kakiku luka. Frase kakiku yang dibangun

dengan menggabungkan kata luka sebagai nomina dengan kata ku sebagai

pronomina, hadir sebagai subjek, dan luka sebagai objek. Kehadiran pronomina

–ku pada frase kakiku memberikan arti bahwa kaki yang dimaksudkan adalah

kaki aku lirik, yang kemudian diperkuat lagi dengan kata luka sebagai frase

adverbial. Selain itu, pronomina -ku dituliskan selalu berhimpit dengan kata kaki

Page 90: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

78

pada setiap larik, sehingga menimbulkan efek bahwa kaki di sini benar-benar

bagian tubuh dari aku lirik.

Pada larik ke-2 luka kakiku, kata luka yang pada larik ke-1 dituliskan di

akhir, pada larik ke-2 berubah posisi dengan menempatkannya di awal, sehingga

menimbulkan kesan bahwa larik ke-2 hadir sebagai penegasan larik pertama,

bahwa kaki aku lirik benar-benar terluka dengan menempatkan kata luka

sebagai objek di awal larik.

Pada larik ke-3 kakikau lukakah ditemukan keganjilan yang secara

sintaksis pada frase kakikau seharusnya ditulis secara terpisah, karena kau

merupakan kata sapaan bebas (dalam hal ini seharusnya pronomina –mu yang

digunakan untuk menunjukan kata ganti kepemilikan). Seperti pada penulisan

frase kakiku, frase kakikau juga selalu ditulis berdampingan pada semua larik,

sehingga menimbulkan kesan bahwa ada dua subjek pada puisi itu, sehingga

memperkuat bahwa kakiku dan kakikau hadir secara terpisah. Pada larik ke-3

ini frase kakikau hadir didampingi dengan frase lukakah. Larik ke-3 memiliki

pola yang sama dengan larik pertama. Namun pada larik ke-3 subjek mengacu

pada pronomina –kau yang entah mengacu kepada siapa.

Pada penulisan larik ke-4 lukakah kakikau secara struktur hampir sama

dengan penulisan larik ke-2, di mana kata lukakah dipindahkan posisinya

menjadi di depan larik, sehingga menimbulkan penekanan bahwa kata luka

merupakan titik fokus dari permasalahan yang ditanyakan aku lirik kepada

tokoh –kau.

Pada larik ke-5 kalau kakikau luka diawali dengan sebuah konjungtor/kata

penghubung bersyarat kalau dan didampingi subjek kakikau dan luka sebagai

keterangan. Penempatan klausa adjektiva di awal larik menegaskan bahwa aku

lirik mulai mengalami kebimbangan akan posisi aku lirik terhadap kau.

Larik ke-6 lukakukah kakikau sesungguhnya terdiri dari beberapa kata

yang secara penulisan disatukan. Larik ini terdiri dari beberapa kata dan partikel

yaitu; luka, -ku, -kah, kaki, dan kau, namun dikarenakan penulisannya disusun

Page 91: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

79

secara menyatu, menciptakan efek yang berbeda ketika dibacakan. Pada larik ini

hadir sufiks –kah yang memberikan efek pertanyaan yang hadir dari sebuah

keraguan. Setelah pada larik ke-5 hadir kata kalau maka larik ke-6 hadir

sebagai penguat akan kebimbangan aku lirik. Terlebih lagi ketika dilihat secara

struktur, penyair menempatkan pronominal ku di awal larik larik ke-6 dan ke-7

dan memposisikan sebagai subjek, sehingga memberi tanda kepada pembaca

bahwa pada larik ini aku lirik menjadi titik fokus utama.

Konstruksi serupa terdapat juga pada larik ke-8 dan ke-9, namun pada

larik ini titik fokus dipusatkan pada tokoh kau, yang berarti aku lirik meminta

jawaban atas kebimbangannya. Hal ini bisa dilihat dengan ditempatkanya klausa

lukakaukah di awal larik yang kemudian diikuti dengan frase kakiku, dengan

pronomina –kah hadir sebagai bentuk kata tanya kepada tokoh kau. Selanjutnya

larik ke-9 hadir sebagai penguat akan pertanyaan yang terdapat pada larik ke-8

kalau lukaku lukakau, dengan menempatkan kata kalau di awal larik, sebagai

bentuk penguat pertanyaan pada larik ke-8, dengan melihat kata kalau sebagai

kata penghubung bersyarat.

Hal yang menarik dari dua larik setelahnya yaitu larik ke-10 kakiku

kakikaukah dan ke-11 kakikaukah kakiku yaitu hanya di dua larik ini saja, kata

luka tidak hadir. Jika larik ke-10 dipisah-pisah maka akan didapatkan kaki (adj),

-ku (pronomina), kaki (nomina), kau (predikat) dan dapat dikategorikan sebagai

frase adjektiva, kemudian ditambahkan -kah sebagai partikel tanya. Dari hal

tersebut terlihat bahwa larik ke-10 merupakan jenis klausa introgatif yang

merupakan bentuk kebimbangan dari aku lirik kepada tokoh kau. Pertanyaan

tersebut dipertegas kembali pada larik ke-11 dengan menempatkan kakikaukah

sebagai bentuk pertanyaan di awal larik.

Pada larik ke-12 kakiku luka kaku, dimana frase kakiku hadir sebagai

subjek dengan adanya pronominal –ku. Kata luka hadir sebagai objek yang kali

ini didampingi dengan kata kaku sebagai keterangan dan berfungsi sebagai

informasi akan jenis luka yang dialami aku lirik.

Page 92: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

80

Berbeda dengan larik ke-9 yang hadir sebagai penguat larik ke-8, larik ke-

13 kalau lukaku lukakau hadir sebagai penguat akan pertanyaan yang terdapat

pada larik selanjutnya yaitu larik ke -14. Penempatan kata kalau di awal larik,

merupakan penguat pertanyaan dengan menggunakannya sebagai kata

penghubung bersyarat di awal larik. Pada larik ke-14 lukakakukakiku

lukakakukakikaukah ditemukan kesulitan untuk menentukan struktur

sintaksisnya, karena kata-kata tersebut disusun secara berhimpitan. Maka dari

itu pada larik ini akan dilakukan penedahan larik menjadi kata-perkata. Kata

lukakakukakiku sesungguhnya terdiri dari susunan kata luka, kaku, kakiku dan

kata lukakakukakikaukah terdiri dari susunan kata luka, kaku, kaki, kau, -kah,

dan dapat dikatakan bahwa larik ke-14 terdiri dari dua klausa, yaitu klausa pasif.

Larik ke-15 lukakakukakikaukah lukakakukakiku memiliki pola yang serupa

dengan larik sebelumnya. Hanya saja pada larik ke-15 lukakakukakikaukah

ditempatkan posisinya di awal sebagai objek yang diiringi keterangan, yang

subjeknya adalah kau, sehingga menimbulkan kesan bahwa yang ingin

diterangkan sebagai fokus pada larik ini adalah tokoh kau.

Dari analisis sintaksis ini terlihat bahwa pada puisi “BELAJAR

MEMBACA”, kebimbangan merupakan kata kunci pada puisi ini. Hal tersebut

terlihat dari penggunaan partikel tanya-kah yang terdapat pada hampir

keseluruhan larik. Selain itu dengan mempertimbangkan puisi ini dalam wujud

lisan, ketika dibacakan pertikeh –kah akan membuat larik-larik tersebut

berintonasi sebagai sebuah pertanyaan, selain itu, kata kalau sebagai konjungtor

bersyarat pada puisi ini hadir sebagai penguat akan kebimbangan yang dirasakan

aku lirik.

3.Analisis Aspek Semantik

Dari judulnya, puisi “BELAJAR MEMBACA” memberi kesan berisikan

pengalaman yang berkaitan dengan proses pembelajaran, yang dalam hal ini

berkaitan dengan kepekaan untuk melihat dan merenungi keadaan sekitar.

Berdasarkan analisis bunyi dan analisis sintaksis yang telah dilakukan

Page 93: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

81

sebelumnya, dapat dikatakan perenungan dan penghayatan tersebut tertuju akan

keberadaan kau yang mengacu kepada Tuhan.

Penggunaan klausa “BELAJAR MEMBACA” yang hanya terdapat pada

judul menimbulkan kesan sebagai ringkasan isi puisi ini secara keseluruhan.

Untuk membuktikan kesan tersebut maka akan dilakukan analisis semantik yang

mencakup tahapan denotatif, konotatif, gaya bahasa dan isotopi pada puisi ini.

a) Denotatif dan Konotatif

Sebelum menentukan makna denotatif, dan konotatif yang akhirnya

membentuk sebuah majas pada puisi, pada penelitian ini ditentukan terlebih

dahulu suatu peristiwa yang terbentuk yang melibatkan peserta atau lebih,

berdasarkan peran semantisnya. Pada puisi “BELAJAR MEMBACA”, peneliti

menemukan adanya dua peserta: -ku (subjek) dan kau yang menyatakan peserta

peruntuk yang bertindak sebagai objek yang diajak berbicara.

Apabila dihubungkan dengan isi setiap larik dalam satu bait, larik pertama

memberikan infomasi awal kepada pembaca tentang apa yang dirasakan oleh

aku lirik. Frase kaki-ku berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia secara

denotatif berarti anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk

berjalan; 2 bagian tungkai yang paling bawah; 3 bagian suatu benda yang

menjadi penopang yang berfungsi sebagai kaki; bagian bawah.5 Secara

sederhana dapat diartikan sebagai penyanggah, hal penopang tokoh aku [-ku]

yang kemudian diperkuat dengan kata luka yang menggambarkan bahwa

sesuatu yang menjadi dasar penopang dalam kehidupan aku lirik sedang

terluka, sedang bermasalah.

Sementara itu secara denotatif kata luka bermakna belah (pecah, cedera,

lecet dsb) pada kulit karena kena barang yang tajam dsb.6 Dari hal tersebut

secara konotatif, larik pertama mengisaratkan kepada pembaca bahwa dalam

puisi ini yang menjadi tema utama adalah pemasalah luka pada hal yang

5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 605 6 Ibid., h. 845

Page 94: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

82

mendasar, sesuatu yang fundamental. Diksi luka yang berakhiran [a] juga

memberikan kesan keterbukaan yang berarti luka disini sebagai sesuatu yang

besar, dan menganga.

Hal ini dipertegas kembali pada larik ke-2 dengan menempatkan kata luka

di awal larik pada baris ke-2. Perubahan konstruksi pada larik kedua, secara

konotatif memberikan arti bahwa luka di sini merupakan luka yang serius,

dikarenakan bersemayam pada sesuatu yang fundamental.

Pada larik ke-3 untuk pertama kalinya muncul tokoh kau yang tidak jelas

mengacu kepada siapa: apakah kepada dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada

Tuhan, atau mungkin juga kepada pembaca yang dianggap mengerti tasawuf.

Secara denotatif kata kau merupakan bentuk lain dari kata engkau yang secara

denotatif dipakai untuk orang yang sama atau lebih rendah kedudukannya,

digunakan juga untuk berdoa kepada Tuhan. Dari pengertian tersebut dapatlah

disimpulkan kau yang bertindak sebagai objek yang diajak berbicara oleh aku

lirik, mengacu kepada Tuhan.

Selain itu pada larik ke-3 dan ke-4 muncul sebuah pertanyaan yang secara

denotatif bermakna “mungkin” dengan penempatan pronomina –kah pada kata

luka sehingga menjadi frase lukakah yang merupakan bentuk lain kata tanya.

Kemudian hal yang sama juga dilakukan penyair pada larik ke-4 dengan

menempatkan frase lukakah di awal larik dan menempatkan sebagai subjek.

Dengan menempatkan pertanyaan di awal larik, secara konotatif menunjukan

adanya luka yang benar-benar mengganggu batin aku lirik.

Pada larik ke-5 dan ke-6 yaitu kalau kakikau luka, lukakukah kaki kau jika

dikaitkan dengan larik sebelumnya, kata kalau disini secara konotatif

bermakna bahwa aku lirik sedang merasakan duka, sedih, kesakitan. Kesakitan

tersebut diikuti dengan pertanyaan apakah kau lirik juga merasakan apa yang

aku lirik rasakan, sehingga bisa dikatakan larik ke-5 dan ke-6 secara konotatif

bermakna sebagai penegasan tokoh aku, kepada tokoh kau.

Page 95: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

83

Pada larik ke-7 penyair kembali membawa pembaca untuk mengingat

pokok permasalahan pada larik pertama, yaitu kakiku luka. Selain itu pada larik

ke-8 penegasan di sini tidak sama dengan penegasan yang sebelumnya

dilakukan pada kata luka di larik ke-2. Kata luka ditempatkan di awal sebagai

subjek namun diiringi dengan kata kaukah, sehingga penekanan luka disini

secara konotatif hadir untuk mempertegas lukakaukah kakiku, yang langsung

disambung dengan larik ke-9 kalau lukaku lukakau, sehingga dapat

disimpulkan larik-larik; kakiku luka, lukakaukah kakiku, kalau lukaku lukakau,

hadir sebagai penegasan akan sumber luka yang tokoh aku lirik rasakan.

Selanjutnya pada larik ke-10 dan ke-11, tidak dijumpai adanya kata luka.

Hal ini cukup menarik, mengingat hanya pada dua larik ini saja, kata luka tidak

hadir, sehingga secara konotatif bermakna akan pertanyaan, sekaligus tanda

bahwa ada hal yang ingin dilepaskan tokoh aku lirik terhadap tema utama yang

dibawakan dari awal larik hingga larik ke-9.

kakiku kakikaukah

kakikaukah kakiku

Pada kedua larik ini secara denotatif penyair lebih fokus menanyakan akan

kesatuan tubuh dan jiwa antara aku lirik dan kau. Pertanyaan akan kesatuan

jiwa menjadi lebih penting, sehingga luka yang menganga sebelumnya tidak

lebih berarti pada pengakuan kau terhadap –ku. Selain itu, sama halnya dengan

larik-larik sebelumnya, perubahan konstruksi antara larik ke-10 dan ke-11

secara konotatif bermakna penekanan akan bentuk pertanyaan. Hal ini terlihat

dengan penempatan partikel –kah di awal larik sebagai bentuk pengukuhan atas

pertanyaan.

Selanjutnya pada larik ke-12 kakiku luka kaku secara denotatif berarti aku

lirik sedang memberikan informasi bahwa luka yang di alami aku lirik

merupakan luka kaku. Kata kaku secara denotatif berarti keras tidak dapat

dilenturkan; keju; kejang, sukar diberi tahu; tidak lemah lembut. Luka disini

hadir jauh lebih kuat dari pada luka yang disampaikan pada larik-larik

Page 96: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

84

sebelumnya. Pada larik kakiku luka kaku secara konotatif dapat diartikan luka

yang kaku, luka yang menganga, namun tak juga bisa diobati. Luka abadi

dikarenakan tak dapat bertindak, kaku mematung, yang jika dihubungkan

dengan larik ke-13 kalau lukaku lukakau, maka secara konotatif kata kaku yang

berada pada larik ke-12 dapat bermakna bahwa hati aku lirik begitu sakit,

begitu kejang, begitu sukar, jika sakit yang dialaminya menyebabkan kau

menjadi sakit. Pada intinya melalui dua larik ini, penyair ingin memberitahu

sakit yang dirasakannya akan bertambah sakit jika, luka tersebut penyebab

tokoh kau sakit.

Pada penutup puisi ini, masih lahir pertanyaan yang sama dan dipertegas

lagi dengan pernyataan bahwa aku lirik merasakan sakit yang terlalu menusuk,

sehingga tak dapat lagi menahannya sendiri. Hal ini dilakukan dengan

menambah kata kaku di belakang kata kakiku luka. Dengan keadaan luka yang

sangat menyakitkan ini, dipertanyakan lagi hal yang sama dengan emosi yang

lebih ditekan oleh aku lirik.

lukakakukakiku lukakakukakikaukah

lukakakukakikaukah lukakakukakiku

Selain itu pada larik terakhir ini, kata-kata yang digunakan untuk

membangun puisi ini hadir secara keseluruhan dan hadir disusun dengan

berhimpitan. Kerapatan kata-kata tersebut semakin memuncak sampai pada

larik ke-15. Kerapatan ini juga tidak sekedar dalam bentuk kata, namun jika

dibacakan akan menghasilkan bunyi yang lebih kuat, dan memaksa kita

bergerak lebih cepat. Seakan mengisyaratkan kepada pembaca bagaimana

proses tokoh aku lirik dalam mendekati tokoh kau, yang selama perjalanan

sempat mengalami kebimbangan, dan ketidakpastian. Hal ini terlihat dengan

hadirnya kata kalau sebanyak tiga kali. Namun pada akhirnya keyakinan aku

lirik membulat, bahkan tidak peduli akan luka, yang menjadi kaku, sehingga

membuat aku menjadi lebih dekat (merapat) dengan kau.

Page 97: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

85

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keseluruhan puisi ini

menampilkan hubungan antara aku lirik dan tokoh kau, serta kebimbangan

yang dirasakan aku lirik terhadap kau yang mengacu kepada Tuhan. Secara

tipografi sesuai dengan judul puisi yaitu “BELAJAR MEMBACA” proses

pencarian dan pendekatan diri aku lirik terhadap Tuhan juga bertahap. Larik

pertama hanya tersusun dari dua kata, dengan jarak antar kata yang juga sesuai,

namun pada larik berikutnya dan semakin kebawah jumlah kata akan

meningkat, dengan susunan kata ditulis tanpa spasi, sehingga adanya bentuk

kedekatan diri aku lirik dengan kau yang sudah meningkat.

b). Analisis Gaya Bahasa

1) Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur

Ketika membahas struktur puisi yang paling terlihat adalah adanya gaya

bahasa repetisi yang digunakan dalam puisi ini. Repetisi yang dibicarakan pada

puisi ini berbentuk pengulangan kata, frase atau pun klausa. Repetisi yang

demikian terlihat pada keseluruhan larik. Dari lima belas larik yang ada

sesunguhnya hanya tersusun dari 5 kata dan 2 partikel. Adapun kata yang

dimaksud yaitu: kaki 17x, luka 17x, kau 10x, kalau 3x, kaku 5x dan partikel –

kah 6x, dan –ku 13x. Kelima kata dan 2 pertikel tersebut hadir secara berulang

sehingga menghasilkan sebuah gaya bahasa paraleisme.

Kata kaki dan luka berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-

kata atau frase, sehingga menduduki fungsi yang sama dalam gramatikal yang

sama. Pengulangan kata kaki dan luka yang berulang-ulang pada setiap

kontruksi di setiap larik membuat repetisi ini dimasukan kedalam jenis repetisi

tautotes.7

Selain kuat akan gaya repetisi, pada puisi ini juga dominan dengan gaya

bahasa aliterasi. Larik 1-5 kakiku luka, luka kakiku, kakikau lukakah, lukakah

kakikau, kalau kakikau luka terjadi perulangan konsonan yang sama, dan dalam

hal ini terjadi di keseluruhan larik.

7 Salah satau jenis repetisi atas kata berulang –ulang dalam sebuah konstruksi. Baca:

Gorys Keras, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2001) cet ke-12, h. 127

Page 98: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

86

2) Analisis Gaya Bahasa Kiasan/Figuratif

Pertama-tama ditentukan dahulu adakah pembentuk atau persamaan pada

kata di setiap lariknya. Membandingkan sesuatu hal dengan hal yang lain,

dilakukan untuk menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara

kedua hal tersebut. Perbandingan di sini dilakukan dalam rangka menentukan

apakah larik tersebut merupakan gaya bahasa yang polos atau langsung, dan

perbandingan yang merupakan bahasa kiasan.

Bila dibaca sepintas lalu, puisi ini tidak mengandung banyak majas, yang

tampak hanya gambaran seorang yang kakinya terluka, dan berharap bahwa

luka yang di rasakan tidaklah miliknya seorang dan adanya harapan

penyatuan antara aku lirik dengan kau. Namun jika diperhatikan dengan lebih

seksama, keseluruhan puisi ini merupakan metafora dari eksistensi manusia di

hadapan Tuhannya.

Larik pertama diawali dengan kata kakiku merupakan majas sinekdoke

pars pro toto. Kata kaki di sini tidak hadir sebagai perwakilan bagian anggota

tubuh, namun sebagai bagian keseluruhan aku lirik, sehingga ditambahkan

dengan pronomia –ku sebagai acuannya. Kaki sini juga lebih bermakna

konotatif, yang berarti landasan hidup yang terluka. Larik ini mengantarkan

pembaca pada suasana sedih yang dikemukakan aku lirik.

Begitu pun pada larik selanjutnya, masih dalam tataran struktur yang

sama. Pada larik ke-12 kakiku luka kaku di larik ini, penyair menggabungkan

kata luka dan kaku. Luka yang berarti bukan sebagai tertusuk benda tajam,

atau terbukanya kulit maupun daging, dikarenakan kaku pun bukan itu

penyebabnya.

Kaku yang berarti diam, tak bergerak, tak bisa melakukan yang diinginkan,

sehingga luka menjadi arti baru sebagai keadaan tertekan, tidak mampu

berbuat banyak. Dengan menggunakan bahasa kiasan luka kaku penyair

mengantarkan perasaan yang ingin disampaikan aku lirik yaitu kesedihan dan

kesakitan.

Page 99: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

87

e) Analisis Isotopi

Sebelum melakukan analisis semantik pada tataran pembagian isotopi

pada puisi “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji Calzoum Bachri, terlebih

dahulu ditentukan jumlah kata yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk melihat

ada tidaknya kata yang kehadirannya lebih dominan sebagai tema utama yang

dibicarakan. Puisi “BELAJAR MEMBACA” sesungguhnya hanya tersusun dari

5 kata dan 2 partikel. Adapun kata yang dimaksud yaitu: kaki 17x, luka 17x,

kau 10x, kalau 3x, kaku 5x dan partikel –kah 8x, dan –ku 13x

Dari pengelompokan berdasarkan kehadiran kata pada puisi ini, tema

berpusat pada hubungan antara kaki dan luka yang dalam hal ini terjadi antara

aku lirik dan kau. Penentuan luka sebagai tema besar berdasarkan jumlah

kemunculannya tidak dapat dijadikan penentuan tema utama, oleh karena itu

analisis isotopi dirasa perlu untuk menguatkan penentuan tema besar yang

dibicarakan pada sebah puisi. Setelah dilakukan pemisahan larik-larik menjadi

kata-perkata peneliti menyimpulkan tiga hal yang dapat dikategorikan sebagai

kelompok isotopi yang bersama, yaitu isotopi kedekatan, isotopi penderitaan,

dan isotopi usaha. Penjelasan ketiga isotopi tersebut dapat di lihat pada tabel-

tabel berikut.

Tabel 1

Isotopi Kedekatan

Klausa yang termasuk

isotopi kedekatan dan

kemunculannya

Denotatif

(d) atau

konotatif

(k)

Komponen makna

bersama

Jarak

Mental

Jarak

fisik

lukakaukah kakiku K +

lukaku lukakau (2x) K +

Page 100: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

88

Jumlah klausa yang termasuk isotopi kedekatan ada 7 buah. Klausa

lukakaukah kakiku, lukaku lukakau (2x), kakiku kakikaukah, kakikaukah kakiku,

lukakukah kakikau, lukakakukakiku lukakakukakikaukah, lukakakukakikaukah

lukakakukakiku, dimasukkan ke dalam isotopi kedekatan karena ketujuh klausa

tersebut berkonotatif kedekatan (kedekatan yang tidak terbatas). Klausa lukaku

lukakau diulang dua kali karena berkaitan dengan pernyataan aku lirik yang

merasa dekat dengan kau yang mengacu kepada Tuhan. Di antara kedua

komponen makna tersebut, “jarak mental” menjadi komponen utama yang

menonjol. Hal ini berkaitan dengan sifat kedekatan antara aku lirik dengan kau,

yaitu kedekatan yang bersifat mental atau rohani/spiritual.

Tabel 2

Isotopi Penderitaan

Kata/frase/ yang

termasuk isotopi

penderitan dan

kemunculannya

Denotatif

(d) atau

konotatif

(k)

Komponen makna bersama

Derita/sa

kit

cara Proses

luka 17x D + + -

kakiku kakikaukah K +

kakikaukah kakiku K +

lukakukah kakikau K +

lukakakukakiku

lukakakukakikaukah

K +

lukakakukakikaukah

lukakakukakiku

K +

Page 101: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

89

kaku 5x D + + -

kakiku luka D + + -

luka kakiku D + + -

Kata dan frase pada tabel 2 yang mendukung isotopi penderitaan hanya

berjumlah 4. Kata luka dan kaku serta frase kakiku luka dan luka kakiku

dimasukan kedalam isotopi penderitaan karena secara denotatif bermakna

penderitaan. Kata luka secara denotatif dapat bermakna keadaan belah jika

terjadi dalam tubuh menjadi belah (pecah, cidera, lecet, dsb) pada kulit karena

terkena barang yang tajam. Sedangkan dalam pengertian konotatif, kata luka

bisa mengacu pada keadaan psikologis perihal perasaan, perihal kejiwaan. luka

itu membuat orang yang mengalaminya susah melakukan sesuatu karena rasa

sakitnya.

Berikutnya adalah kata kaku yang memiliki banyak pengertian. Kata kaku

bisa berarti keras tidak dapat dilenturkan, keju, kejang. keras dan liat. sukar

diberi tahu, tumpul pikiran. Kata ini dapar digolongkan menjadi isotopi

kesakitan karena kaku akan membuat baik fisik, mental, maupun kejiwaan orang

yang mengalaminya terasa sakit dan sedih.

Dalam kemunculannya pada dua larik terakhir, kata luka dan kaku hadir

berdampingan dan berhimpitan, yang dalam hal ini berarti luka yang dialami

aku lirik, makin menjadi dikarenakan luka tersebut adalah luka kaku.

Penderitaan yang dialami aku lirik dalam hal ini adalah penderitaan yang

bertempat pada pijakan, penderitaan yang keras, yang liat yang sukar

disembuhkan pada penopang kehidupan. Komponen yang dominan dalam

isotopi tersebut adalah derita/sakit. Dominannya komponen makna tersebut

berkaitan dengan penderitaan yang sedang dirasakan aku lirik sejak awal hingga

akhir larik.

Page 102: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

90

Tabel 3

Isotopi Persepsi Pengukuhan

Kata/frase/

klausa yang

termasuk isotopi

pengkuhan dan

kebimbangan

Denotatif

(d) atau

konotatif

(k)

Komponen makna bersama

Mengukuhan Ragu Proses

-kah 7X D + + +

kakikau lukakah D - + -

lukakah kakikau D + - -

lukakukah

kakikau

D + - +

lukakaukah

kakiku

D - + -

kalau lukaku

lukakau 2X

D - - +

kakiku

kakikaukah

D - + -

kakikaukah

kakiku

D + - -

Pada tabel 3 dapat diketahui bahwa terdapat 7 frase dan 1 partikel –kah

yang termasuk kedalam isotopi persepsi kebimbangan. Kata-kata yang

mendukung isotopi persepsi bimbang umumnya bermakna denotatif. Secara

Page 103: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

91

denotatif partikel –kah bermakna sebagai bentuk terikat yang berfungsi

mengukuhkan maupun memperhalus pertanyaan. Dalam hal ini partikel –kah

termasuk kedalam isotopi kebimbangan, dikarenakan ia menempel pada kata

maupun frase yang mengindikasikan ketidakyakinan. Komponen makna yang

menonjol adalah “mengukuhkan”. Menonjolnya komponen makna pengukuhan

berkaitan dengan kegiatan penyatuan diri yang dalam dimensi sufistik berwujud

batiniyah.

Dari ketiga tabel tersebut terdapat tiga motif utama yang menonjol pada

masing-masing isotopi, yaitu komponen makna kedekatan jarak mental,

kesakitan, dan pengukuhan. Berdasarkan komponen makna tersebut dapat

dikemukakan bahwa tema puisi “BELAJAR MEMBACA” adalah penyatuan

aku lirik yang dalam hal ini adalah seorang hamba, dengan Tuhan. Proses

penyatuan ini bersifat batiniyah, dan dilakukan dengan perasaan dan proses

keyakinan.

Berdasarkan analisis semantik (denotatif, konotatif, gaya bahasa, dan

isotopi) puisi “BELAJAR MEMBACA” bermakna penyatuan jiwa yang

dilakukan seorang hamba kepada Tuhannya. Penyatuan yang sangat dalam

antara aku lirik dan Tuhan. Oleh karena perasaan keakraban yang sangat dalam,

aku lirik merasa menjadi bagian dari Tuhan. Pada saat bersatu dengan Tuhan

itulah aku lirik mendapat keyakinan dan kemantapan hati.

4 Analisis Aspek Pragmatik

Pada puisi “BELAJAR MEMBACA”, aku lirik ditampilkan sejak awal

larik melalui partikel -ku yang terdapat di larik pertama yaitu kakiku luka.

Melalui larik tersebut penyair ingin menyampaikan kepada pembaca, tentang

situasi yang sedang dialami aku lirik dalam puisi ini. Kemunculan kata luka

pada larik ini menginformasikan kepada pembaca bahwa aku lirik sedang berada

dalam kondisi terluka, yang kemudian diperkuat kembali di larik kedua dengan

menempatkan kata luka di awal larik. Pada larik ke-3 hadir kau lirik melalui

kata kakikau, yang memberitahukan kepada pembaca bahwa puisi ini

menceritakan dialog antara aku lirik dengan kau yang tidak jelas mengacu

Page 104: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

92

kepada siapa: apakah kepada dirinya sendiri (alter ego-nya), kepada Tuhan, atau

mungkin juga kepada pembaca yang dianggap mengerti tasawuf

Berdasarkan analisis yang dilakukan pada aspek sintaksis, dan semantik

dapat kita nyatakan bahwa kau di sini mengacu kepada Tuhan. Hal demikian

terlihat dengan frase kakikau, pada larik ke-3. Kata kau merupakan bentuk lain

dari kata engkau yang secara denotatif dipakai untuk orang yang sama atau lebih

rendah kedudukannya), digunakan juga untuk berdoa kepada Tuhan, sehingga

dapat disimpulkan bahwa kau pada puisi itu mengacu kepada Tuhan.

Kata aku di awal larik pertama dan pronomina kau pada larik ke-3

memberikan tanda kepada pembaca bahwa pada puisi ini, terjadi sebuah dialog

berbentuk pertanyaan dari aku lirik kepada tokoh kau. Hal ini terlihat dengan

kehadiran partikel –kah sebagai bentuk tanya. Percakapan pada puisi ini

merupakan percakapan satu arah, atau bisa dikatakan sebagai monolog, yang

jika diamati melalui larik tersebut aku lirik menceritakan apa yang dialaminya.

Dialog-dialog tokoh kau yang diterima pembaca/pendengar sesunguhnya

didapat dari perkataan aku lirik, sehingga dapat dikatakan bahwa kau di sini

tidak berkata sedikit pun dan pembaca/pendengar hanya mendapatkan informasi

dari kutipan tidak langsung yang disampaikan aku lirik.

Larik pertama aku lirik mulai menghadirkan dirinya melalui perwujudkan

kaki yang terluka, hadir dengan membawa penderitaan yang ingin disampaikan.

Masalah penderitaan yang diwakili melalui diksi luka dipertegas kembali pada

larik ke-2 dengan menempatkan kata luka di awal larik.

Pada larik ke-5 dan ke-6 yaitu kalau kakikau luka, lukakukah kakikau

terjadi suatu pertanyaan seberapa dekat aku lirik dengan sosok kau, sehingga

dapat disimpulkan larik tersebut adalah penegasan eksistensi aku lirik dalam

hubungannya dengan kau yang dapat kita simpulkan sebagai Tuhan. Terjadi

pengulangan hal yang serupa pada larik berikutnya hingga larik terakhir.

larik berikutnya berisikan ungkapan penyatuan antara aku lirik dengan

Tuhan, yang dikemas apik melalui permainan unsur bunyi, dengan pengulangan

penggunaan kata, yang menghasilkan intonasi vokal yang sama. Hal demikian

tidaklah heran, dikarenakan dalam tradisi sufi, puisi dipandang sebagai proyeksi

Page 105: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

93

zikir dan ekpresi kerinduan untuk bersatu dengan kekasih. Tujuan zikir disini

ialah agar seorang salik lebih dekat dengan Tuhan. Menurut Ibn Arabi zikir

sama dengan fana dan zikir memiliki kaitan erat dengan makrifat.8 Keadaan

ruhani yang berhubungan erat dengan zikir inilah yang disampaikan para sufi di

dalam puisi-puisi sufistik mereka. Karena makrifat dan zikir merupakan realisasi

dari tauhid

Sebagai proyeksi zikir dan ekpresi kerinduan, keindahan yang dihadirkan,

puisi “BELAJAR MEMBACA” dimaksudkan agar dapat menerbitkan keadaan-

keadaan ruhani yang diperlukan oleh pembaca dalam mencapai musyahadah

yang diartikan oleh al-Hujwiri sebagai upaya untuk merenungi Tuhan secara

ruhaniah9. Puisi “BELAJAR MEMBACA” dan puisi-puisi Sutardji pada

umumnya akan memiliki unsur mistik yang jauh lebih kuat ketika ditampilkan

dalam pertunjukan pembacaan puisi. Selain itu sebagai puisi yang kuat dengan

dimensi sufistik, dan permainan tipografi yang unik (permainan struktur kata

dan pemainan bunyi) puisi ini pun penuh dengan nilai-nilai religius yang dapat

digunakan sebagai pembentuk dan pembelajaran rohani siswa.

lukakakukakiku lukakakukakikaukah

lukakakukakikaukah lukakakukakiku

Melalui larik di atas, dapat dilihat bagaimana proses penyatuan aku lirik

dengan kau. Proses menyatu disini diibaratkan sampai pada penyatuan wujud,

yang sejatinya hanya sebagai simbol penyatuan spiritual. Pada larik ini pun kuat

akan ekpresi nilai-nilai tauhid dari nilai makrifat sebagai akhir perjalanan

seorang sufi sebagai penyaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah swt.

Dalam puisi ini tergambar bahwa hubungan aku lirik dan kau sangat akrab

atau bersatu, namun kau tidak dapat menjawab atau berreaksi terhadap

pernyataan aku lirik karena hal tersebut tidaklah mungkin terjadi. Tuhan dalam

puisi ini merupakan pemantul/cermin yang dianggap dapat mendengar ungkapan

isi hati aku lirik, sehingga dapat dikatakan berbicara dengan Tuhan adalah sama

halnya dengan berbicara pada diri sendiri. Oleh sebab itu, puisi “BELAJAR

8 Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), h.32

9 Ibid., h. 72

Page 106: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

94

MEMBACA” merupakan monolog aku lirik tentang perasaan kedekatan atau

penyatuan dengan tokoh kau yang dalam hal ini mengacu kepada Tuhan.

Berdasarkan analisis aspek pragmatik diatas, Tuhan sebagai pendengar

dalam puisi ini pada dasarnya adalah sama dengan diri aku lirik yang berarti,

tindakan aku lirik yang berbicara pada Tuhan adalah sama dengan aku lirik

berbicara pada dirinya sendiri. Menyatunya aku lirik dengan pendengar dalam

puisi itu dapat memperkuat atau mendukung makna puisi yang menggambarkan

perasaan keakraban yang sangat dalam atau persatuan aku lirik (manusia)

dengan Tuhan.

Sebagai puisi sufistik, puisi ini merupakan bentuk pengalaman estetik

yang tinggi dan bersifat keruhanian, makrifat. Hikmah dari sebuah puisi dan

ungkapan tentang aku lirik dan kau yang merupakan aspek kognitif, bukan

semata-mata perasaan. Maka penyatuan luka di dalam puisi ini berkaitan dengan

bentuk penyatuan yang universal dan hakiki.

Dilihat dari sudut pandangan ini puisi “BELAJAR MEMBACA” sebagai

sastra yang kuat dengan dimensi sufistik merupakan ekspresi estetik yang

berkenaan dengan zikir dan pikir, yaitu mengingat dan memikirkan kau yang

dalam hal ini mengacu kepada Allah. Allah dengan segala keagungan dan

keindahan-Nya menjadi tumpuan utama renungan penyair-penyair sufi. Zikir

sebagai ikhtiar keruhanian merupakan tangga naik menuju alam transendental,

suatu alam yang disebutkan oleh perkataan zikir tersebut, puisi “BELAJAR

MEMBACA” ditulis untuk membawa pembaca melakukan kenaikan, pendakian

atau mi’raj ke alam malakut dengan segala kesempurnaannya.

C. Dimensi Sufistik Pada Puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”

Berdasarkan uraian pada analisis semiotika dengan tiga tahapan analisis

yaitu; sintaksis, semantik, dan pragmatik, kedua puisi Sutarji Calzoum Bahcri

yang berjudul “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” memiliki dimensi sufistik

yang cukup kuat. Hal ini terlihat dengan mengaitkan analisis aspek sintaksis,

aspek semantik, dan aspek pragmatik yang telah dilakukan.

Page 107: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

95

Puisi pertama “TAPI” menggambarkan proses pencarian Tuhan oleh aku

lirik (sebagai hamba). Pencarian Tuhan itu dilakukan melalui perjalanan rohani,

melalui perasaan, atau perenungan yang berlangsung dalam proses yang panjang

dan rumit. Perjalanan rohani aku lirik sebagai hamba dalam mencari

penerimaan/pengakuan cinta dari Tuhan terjadi dalam ruang (yang bersifat fisik

dan nonfisik) dan dalam waktu tertentu serta melibatkan unsur-unsur fisik dan

nonfisik (emosi atau perasaan).

Dalam pencarian penerimaan/pengakuan cinta kepada Tuhan aku lirik

yang dalam hal ini sebagai hamba, berhasil mendapatkan penerimaan. Meskipun

penerimaan dan penyatuan dalam puisi tersebut tercapai, aku lirik

berkesimpulan bahwa Tuhan itu adalah misteri, teka-teki yang sulit dirumuskan

dengan pasti karena memang Tuhan tidak dapat dirumuskan. Puisi ini pada

hakikatnya merupakan monolog aku lirik, sang penyair tentang pengalaman

rohaninya dalam mencari Tuhan.

Makna puisi “TAPI” didukung oleh aspek sintaksis dan aspek pragmatik.

Aspek sintaksis puisi “TAPI” memperlihatkan bahwa pola sintaksis atau pola

kalimat berkaitan erat dengan makna yang dalam hal ini kalimat-kalimat yang

membentuk puisi tersebut adalah kalimat tunggal dan kalimat majemuk

bertingkat. Kalimat tunggal menimbulkan kesan ada sesuatu yang berdiri

sendiri-sendiri. Hal ini dapat dihubungkan dengan eksistensi aku lirik (manusia)

dan Tuhan yang secara lahiriah tampak terpisah. Meskipun secara lahiriah

manusia dan Tuhan itu tampak terpisah, tetapi secara rohaniah manusia dan

Tuhan itu berkaitan, bahkan dapat bersatu.

Hal ini didukung dengan adanya pola kalimat majemuk bertingkat yang

tercipta, sehingga menimbulkan kesan dua hal yang terpisah tetapi berkaitan dan

dua hal yang menyatu. Pola kalimat majemuk bertingkat dalam hal ini

mendukung aspek makna persatuan manusia dengan Tuhan, yang tercermin

pada ekstase mistis. Melihat bahwa pencarian penerimaan cinta aku lirik kepada

Tuhan sebagai hamba berlangsung dalam proses panjang: melalui cara tertentu,

penuh dengan misteri. Ketika kalimat tunggal tersebut disatukan dengan

Page 108: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

96

konjungsi kata tapi, kesan itu menguatkan keberadaan aku lirik dan Tuhan yang

terlihat terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Kalimat majemuk bertingkat sangat

mendukung makna puisi, yaitu persatuan dan aku lirik di mata Tuhan.

Pada uraian di atas telah dijelaskan hubungan antara aspek sintaksis

dengan aspek semantik puisi “TAPI” selanjutnya akan dilihat hubungan aspek

pragmatik dengan aspek semantik. Seperti sudah dijelaskan pada landasan teori,

bahwa masalah pragmatik dibatasi pada cara hadirnya pembicara dan

pendengar. Dilihat dari sudut tersebut, aspek pragmatik puisi tersebut berkaitan

erat dengan aspek maka. Tipografi dan kalimat majemuk bertingkat pada puisi

tersebut menciptakan makna hubungan aku lirik merupakan hubungan antara

hamba dengan Tuhannya. Secara lahiriah pendengar dalam puisi itu seakan-akan

terdapat dialog antara dua orang, akan tetapi dilihat dari fungsi pemantul,

pendengar itu sesuangguhnya merupakan satu subjek, yaitu kau lirik sendiri.

Menyatunya pembicara dengan pendengar sangat menunjang makna puisi yang

menggambarkan usaha aku lirik sebagai hamba dalam menggapai cinta Sang

Ilahi.

Dalam gagasan Imam al-Ghazali isyq adalah cinta yang amat mendalam

dan mengungguli segala sesatu, yaitu cinta yang benar-benar kokoh dan tidak

terhalang apapun. Seluruh sebab dan asas dari semua cinta, dalam pemikiran

Imam al-Ghazali, terangkum dan terpadu dalam Tuhan, sebab Tuhan adalah

sebab terakhir dari segala manfaat dan kesenangan. Orang yang mencintai

keindahan tertinggi akan mengalami kebenaran penyatuan ini. Manusia

mencintai Tuhan disebabkan adanya munasabah antara jiwa manusia dengan

asal-usul kejadian dirinya di alam KeTuhanan. Sesungguhnya manusia mendapat

bagian dari kodrat dan sifat-sifat Ilahi dan karena itu Imam al-Ghazali yakin

bahwa dengan berbekal ilmu dan cinta, manusia akan mencapai kehidupan

kekal. Oleh sebab itu sudah sepatutnya apabila dalam diri manusia senantiasa

terbit perasaan rindu kepada Tuhannya.10

10

Ibid., h. 53

Page 109: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

97

Penggunaan tema Cinta dan keakraban makhluk khalik pada karya-karya

sufistik memang bukanlah hal yang aneh, dikarenakan tema cinta selalu

diungkapkan oleh penyair-penyair sufi sejak dahulu hingga masa yang paling

akhir, yakni sejak Rabi’ah al-Adawiyyah pada abad ke-8 hingga sampai

Mumammad Iqbal pada abad ke-20.11

Perhentian-perhentian terakhir di jalan mistik ialah mahabba atau cinta dan

makrifat. Kadang-kadang keadanya dianggap saling melengkapi, kadang-kadang

cinta dianggap lebih utama , dan ada kalanya makrifat dipandang lebih tinggi.

Imam al-Ghazali menekankan: ―Cinta tanpa makrifat tidak mungkin—orang

hanya dapat mencinta sesat yang dikenal‖12

Di dalam Ihya bab IV, bab yang secara keseluruhan membahas masalah

cinta dan dasar-dasar estetika sufi, al-Ghazali menegaskan bahwa isyq

merupakan peringkat keruhanian dan tujuan akhir ahli suluk. Imam al-Ghazali,

mengungkapkan seorang pecinta adalah dia yang telah mencapai makrifat (arif),

sebab siapa mengenal Tuhannya (makrifat) maka sesungguhnya dia mencintai-

Nya. Dikatakan pula oleh Imam al-Ghazali bahwa bagi orang yang mencintai-

Nya Tuhan akan melimpahkan pengetahuan mengenai Kekasih lebih banyak.

Selain itu seorang pecinta akan memperoleh penglihatan indah yang

menerbitkan kebahagiaan persatauan dengan Kekasih

Dalam Ihya, Imam al-Ghazali membagi cinta menjadi lima; (1) Cinta diri,

berupa keinginan akan kesempurnaan diri mencakup cinta kepada tubuh,

kekayaan, istri, anak, karib kerabat, dan lain-lain. (2) Cinta yang terbit

disebabkan adanya keuntungan yang diperoleh dari objek yang dicintai (3) Cinta

yang disebabkan keindahan dan kebaikan, dan ini termasuk cinta sejati; (4)

Cinta yang diilhami oleh keindahan dan kebaikan dalam arti moral seperti cinta

seorang Muslim kepada Nabi Muhammad saw; (5) Cinta yang lahir karena

11

Ibid., h.35 12

Schimmel, loc. cit.

Page 110: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

98

adanya munasabah atau afinitas rahasia, umpamanya cinta yang wujud antara

Pecinta dengan Kekasihnya.13

Jika merujuk pada pembagian cinta yang dilakukan al-Ghazali, konsep

Cinta yang dibawakan pada puisi “TAPI” merujuk pada bagian yang kelima.

Yaitu cinta yang lahir karena adanya munasabah atau afinitas rahasia,

umpamanya cinta yang wujud antara pencinta dan kekasihnya. Hal demikian

terlihat pada tahapan larik-larik pada puisi “TAPI”. Aku lirik dalam puisi

tersebut berusaha keras dalam memperoleh Cinta Sang Kekasih yang dalam hal

ini aku lirik sebagai pecinta tidak memandang kesenangan yang akan diperoleh,

sebab cintanya terbit karena adanya pertautan istimewa antara keduanya.

Puisi kedua “BELAJAR MEMBACA” merupakan gambaran perasaan

keakraban yang sangat dalam (aku lirik atau manusia) terhadap Tuhan.

Gambaran perasaan keakraban yang sangat dalam atau bersatunya manusia

dengan Tuhan dalam puisi itu mencerminkan konsep tasawuf imam al-Ghazali.

Dalam hal ini manusia, dan Tuhan itu berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan

karena manusia adalah mahkluk yang diciptakan oleh Tuhan dan sekaligus

sebagai bukti adanya Tuhan. Larik-larik keakraban hubungan manusia dengan

Tuhan dalam puisi ini sebenarnya merupakan gambaran semacam ekstase mistis

menurut Al-Ghazali.

Selain itu jika dihubungkan antara aspek sintaksis dengan aspek semantik

puisi “BELAJAR MEMBACA” maka akan terlihat adanya persamaan yang

menunjukan bahwa pola-pola penyusunan kata-kata pada larik puisi berfungsi

mendukung pembentukan makna. Penggunaan klausa dengan struktur sintaksis

yang sama dan diulang-ulang pada setiap lariknya menimbulkan kesan

keterkaitan atau hubungan yang rapat sekali (persatuan) antara aku lirik dengan

Tuhan dan hubungan tersebut tidak berifat fisik, tetapi bersifat nonfisik

(rohaniah). Selain itu dengan menggunakan larik-larik yang bernada deklaratif

menimbulkan kesan informatif, yang dari kesan tersebut mendukung

13

Hadi, op. cit., h. 52

Page 111: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

99

pengungkapan pengalaman rohani aku lirik tentang perasaan keakraban yang

kemudian menyatu dengan Tuhan.

Selanjutnya pada aspek pragmatik dengan aspek semantik, seperti halnya

puisi “TAPI”, aku lirik dan pendengar dalam puisi “BELAJAR MEMBACA”

sudah menjadi satu. Hal tersebut tergambarkan pada larik-lariknya,m terutama

pada dua larik terakhir yaitu lukakakukakiku lukakakukakikukah,

lukakakukakikaukah lukakakukakiku. Larik tersebut memberikan kesan

hubungan yang rapat sekali atau persatuan. Kesan tersebut berkaitan dengan

makna puisi dan visual susunan kata-kata yang berhimpitan; perasaan keakraban

yang sangat dalam atau persatuan aku lirik dengan Tuhan. Korelasi tersebut

menunjukan bahwa aspek pragmatik, khususnya kehadiran pembicara dan

pendengar mendukung makna puisi.

Dengan mencari hubungan antara beberapa tahapan analisis yang

dilakukan pada puisi “BELAJAR MEMBACA” maka terlihatlah konsep ekstase

mistik yang dalam konteks ini bukan sebagai persatuan antara dua identitas:

manusia dengan Tuhan, tetapi sebagai ungkapan perasaan manusia yang sangat

dalam terhadap Tuhan: dalam pikiran aku lirik yang ada hanya Tuhan; Tuhan

adalah segala-galanya. Perasaan yang sangat mendalam terhadap Tuhan

menyebabkan aku lirik (manusia) merasa bersatu dengan Tuhan. Meskipun

demikian, aku lirik memiliki kesadaran bahwa kedudukan aku dan Tuhan

tetaplah berbeda. Tuhan tetap sebagai yang transenden, dan manusia tetap

sebagai makhluk ciptaannya.

D. Implikasi Puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” Dalam

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi merupakan bagian dari materi

ajar bahasa dan sastra Indonesia yang tercantum dalam (GBPP) Garis-garis

Besar Program Pengajaran di SMA. Oleh sebab itu, materi ajar harus disuguhkan

sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, yaitu siswa mampu memahami

unsur intrinsik dan ekstrinsik dari sebuah puisi. Secara tidak langsung dapat

Page 112: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

100

dikatakan pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila

mencakupnya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu keterampilan

berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa

dan menunjang pembentukan watak.14

Mengikut sertakan pengajaran bahasa dan

sastra Indonesia dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih

keterampilan tersebut15

Pengajaran sastra sesungguhnya membantu siswa melatih kecakapan yang

perlu dikembangkan. Meningkatkan kepekaan dan kecakapan yang bersifat

indra; yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang bersifat sosial;

serta ditambahkan lagi yang bersifat religius.16

Melihat nilai positif yang

terdapat dalam karya sastra, maka karya sastra yang disajikan harus dapat

dipahami siswa, sehingga dapat mengungkapkan apa yang didapatkan dari karya

sastra tersebut. Suatu karya sastra boleh dimulai dengan misteri, tapi hendaknya

berakhir dengan jelas.17

Pada kenyataannya, kegiatan mengapresiasikan sebuah puisi sebagai

bagian dari salah satu bentuk karya sastra dalam materi ajar jarang sekali

dilakukan. Hal ini disebabkan ruang dan waktu yang tersedia dalam kurikulum

untuk mengarahkan siswa ke arah tersebut amat terbatas. Hal yang demikian

sangat bertolak belakang dengan pendapat Rusyana yang beranggapan bahwa

guru sastra dituntut pula agar mempunyai semangat sehubungan dengan

pengajarannya, terlebih mempunyai kecintaan pribadi terhadap sastra dan

meyakini bahwa pengajaran sastra bermanfaat bagi muridnya.18

Sudah

selayaknya bagi seorang pendidik untuk membantu peserta didik dalam

menentukan karya sastra apa saja yang kaya akan nilai-nilai positif dan

mengajarkan peserta didik untuk dapat melakukan interpretasi yang baik

terhadap karya sastra.

14

Ibid., h.16 15

Ibid., 16

Ibid., h.19 17

Ibid., h.37

18 Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, (Bandung,: C.V.

Diponegoro, 1984), h .332

Page 113: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

101

Mempelajari puisi, artinya kita belajar mengenal dan memahami satu sama

lain, karena dalam puisi terdapat semacam komunikasi antara penyair dan

pembacanya. Konsekuensinya adalah bagaimana satu sama lain saling

memahami, dan dalam proses saling memahami inilah terdapat sebuah dialektika

yang panjang. Sebab dalam pembelajaran sastra peserta didik tidak hanya

sebatas mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan juga menyatakan sikap

terhadap nilai-nilai.19

Peran sastra dalam pembentukan karakter siswa tidak hanya didasarkan

pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat

apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter di sekolah. Kegiatan membaca,

mendengarkan, dan menonton pementasan karya sastra pada hakikatnya

menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat

yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan, sehingga siswa cenderung

cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.

Apabila dikaitkan dengan puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”,

seorang pendidik dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk mampu

membaca, memahami dan menerapkan nilai-nilai keagamaan yang disampaikan

dalam puisi tersebut. Hal ini dikarenakan kedua puisi tersebut sarat akan nilai-

nilai keagamaan yang layak untuk dijadikan contoh oleh siswa. Puisi sebagai

karya sastra adalah sesuatu yang dapat menyentuh, karena ia berada di wilayah

rohani, yaitu sesuatu yang sakral, bersih, tidak ada tendensi, pretensi, dan tidak

ada niatan buruk.

Selain itu, dalam hal pengajaran kebahasaan, puisi “TAPI” dan

“BELAJAR MEMBACA” melatih dan mengajarkan siswa untuk lebih

memahami konstruksi bahasa baik dalam segi sintaksis, semantik, maupun

pragmatik yang dengan demikian pembelajaran tata kebahasaan menjadi lebih

menarik. Melalui pendekatan semiotik yang dilakukan pada penelitian ini,

pendidik tidak hanya dapat menjelaskan unsur intrinsik dalam sebuah puisi,

namun sekaligus dapat memberikan materi kebahasaan, baik pada tataran kata,

klausa, dan kalimat, sehingga pemberian materi kebahasaan menjadi lebih

19

Ibid

Page 114: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

102

menarik bagai peserta didik.

Dalam hal menanamkan nilai-nilai religiusitas terhadap peserta didik,

dimensi sufistik yang terdapat pada puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”

mengajarkan aspek rohani dan moral kepada peserta didik, dan memberi tahu

bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses

pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda krisis spiritual, dan gagap

akan jati diri, dikarenakan dalam karya sastra (khususnya puisi) banyak terdapat

nilai-nilai keagamaan yang dapat dipelajari.

Pada hakikatnya, pembelajaran sastra melalui pembacaan puisi ini

diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami dan menentukan nilai-nilai

positif yang terkandung dalam puisi. Oleh karena itu, setelah pembelajaran

dalam pembacaan puisi ini, diharapkan siswa mampu menerapkan nilai-nilai

keagamaan dalam kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya turut berpengaruh

terhadap pembentukan watak dan kepribadian dari siswa tersebut.

Pembelajaran dimensi sufistik yang dalam hal ini mencakup nilai-nilai

keagamaan yang telah diperoleh siswa diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal

dan pegangan dalam perjalanan hidup, sehingga peserta didik menjadi manusia

dengan kepribadian yang baik, lebih bijaksana menghadapi kehidupan yang

kompleks dari sudut pandang yang serba materialistis. Dengan kata lain,

pemebelajaran karya sastra, yang dalam hal ini puisi ikut andil membantu

pembentukan karakter bangsa.

Page 115: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

103

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap dua puisi karya

Sutardji Calzoum Bachri, yaitu “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA”, maka

dapat diambil beberapa simpulan, yaitu:

1. Beberapa aspek sufistik sastra transendental telah dikemukakan dalam

kajian ini, yakni sastra transendental dalam manifestasinya sebagai puisi

sufistik. Puisi d“TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” alam hal ini sarat

dengan gagasan tasawuf Wahdatul Wujud, yang menunjukkan berpadunya

eksistensi manusia dengan eksistensi Tuhan, berpadunya dimensi

insaniyah dengan dimensi Ilahiyah, bersatunya makhluk dengan Khalik.

Esensi puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” yakni hakikat dan

ma’rifat dalam tradisi tasawuf yang dianut para sufi. Hal ini sekaligus

menunjukkan bahwa Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu

sastrawan sufistik Indonesia, yang tercermin pada sikap kepasrahan dan

ikhlas aku lirik dalam menerima segala jawaban Tuhan yang paradoks

pada puisi “TAPI”. Pada puisi “BELAJAR MEMBACA” hubungan itu

tergambaran dari ke akraban yang sangat dalam antara aku lirik atau

manusia terhadap tokoh kau yang dalam hal ini mengacu kepada Tuhan.

Perasaan ke akraban yang sangat dalam menyebabkan aku lirik merasa

seolah-olah bersatu dengan Tuhan, satu tubuh, dan rasa. Namun pada

dasarnya aku lirik tetap memiliki kesadaran bahwa antara mereka selalu

ada jarak. Tuhan tetap sebagai transenden, dan manusia tetap sebagai

makhluk atau hamba. Gambaran perasaan kedekatan dan kebersatuan

tersebut merupakan monolog, yang hanya dirasakan oleh yang

melakukannya yang dalam hal ini adalah aku lirik.

Page 116: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

104

2 Implikasi puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” karya Sutardji

Calzoum Bachri dalam pembelajaran adalah bagaimana peserta didik

memahami bahwa di dalam puisi ini terdapat semacam pembelajaran baik

dalam hal tata kebahasaan dan nilai-nilai keagamaan. Dalam hal

kebahasaan, puisi Sutardji melatih dan mengajarkan siswa untuk lebih

memahami konstruksi bahasa baik dalam segi sintaksis, semantik, maupun

pragmatik. Selain itu, dengan puisi “TAPI” dan “BELAJAR

MEMBACA”, pembelajaran tata kebahasaan menjadi lebih menarik,

dikarenakan dalam karya sastra (khususnya puisi) banyak terdapat pesan

keagamaan yang dapat dipelajari. Dimensi sufistik yang terdapat pada

puisi “TAPI” dan “BELAJAR MEMBACA” mengajarkan aspek rohani

kepada siswa, dan memberi tahu bahwa puisi memiliki fungsi yang

esensial dalam pembinaan proses pemanusiaan insan modern yang selalu

dilanda krisis spiritual, dan gagap akan jati diri. Maka dari itu, proses yang

dilakukan peserta didik dalam mempelajari puisi dapat memperkuat dan

memperdalam watak peserta didik menjadi lebih peka terhadap Tuhan dan

keadaan sekitar.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa saran kepada:

1. Guru

Agar mampu mengajarkan metode pembelajaran bahasa dan sastra

kepada siswa di sekolah, sehingga pembelajaran bahasa, khususnya

kesusastraan dapat tercapai sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan.

2. Siswa

Siswa dapat menganalisis puisi secara terstruktur dan mendalam,

agar siswa mampu mengapresiasikan dan mengambil esensi dan hikmah

dari sebuah karya sastra.

Page 117: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

105

3. Penulis

Mengingat karya-karya Sutardji sering digunakan dalam kurikulum

pengajaran sastra di sekolah sebagai salah satu contoh jenis puisi mantra,

dan masih minim pemahaman atas puisi-puisi Sutardji. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat menambah informasi kepada pendidik maupun peserta

didik. Peneliti lain

]yang ingin melanjutkan dan mengembangkan penelitian yang sudah

dilakukan ini, dapat meneliti lebih lanjut puisi sufistik karya Sutardji

Calzoum Bachri yang lain, yang belum tercakup pada penelitian ini,

sehingga pemahaman dan pengayaan akan puisi mantra dan puisi sufistik

sebagai salah satu jenis puisi di Indonesia menjadi bertambah.

Page 118: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

106

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, Leon. Sutardji Tentang Sajak2 Barunya “Upaya Menangkap Tuhan”.

Harian Umum SIWALAN. Jakarta, 24 Januari 1970

Atmazaki. Ilmu Sasta, Teoti dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.1990

Bachri, Sutardji Calzoum. ISYARAT: Kumpulan Esai Sutardji Calzoum Bachri.

Tangerang: INDONESIA TERA. 2007

____________________. O, AMUK, KAPAK . Jakarta Timur: Yayasan Indonesia

dan PT Cakrawala Budaya Indonesia. Cet 4. 2004.

Bentounes, Syeh Khaled. Tasawuf Jantung Islam: nilai-nilai universal tasawuf.

Yogyakarta:Pustaka Sufi. 2003

Budianta, Melani dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk

Perguruan Tinggi. Magelang: Tera Anggota IKAPI. Cet 3. 2006

Chaer, Abdul. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka

Cipta. 2009

Chandler, Daniel. Semiotics: Basics. edition 2 .New York: Routledge. 2007

Cobley, Paul. The Routledge Companion To Semiotic and Linguistics. London:

British Library. 2001

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta:

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1978

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Djaja Sudarma, Fatimah. Semantik 1: Pengantar ke arah ilmu makna. Bandung:

Refika. Cet 2. 1999.

Eagleton Terry. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. dari

Literary Theory: An Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati

dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. 2006

Efix. “Lagi Tanggapan terhadap Sutan Takdir: Seni Terlalu Lemah Sastra

Berhenti pada Kata”. Harian Umum Kompas. Jakarta, 6 Mei 1982

Page 119: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

107

Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka

Widyatama. 2004

Erneste , Pamusuk (ed.). Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya

Mengarang (Jilid 3).Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer. 2009

Esten, Mursal. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa. 2013

Hadi W.M, Abdul. “AMUK” Sutardji: Sebuah penjelajahan estetik & metafisik.

Harian Umum Buana. Selasa, 12 Juli 1977

______________. Kembali Ke Akar Ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profentik dan

Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999

______________. “Sutardji Tentang Puisinya dan Puisi Kita Kini”. Harian

Umum Majalah Horison, Jakarta. 19 Juni 1975

______________. Tasawuf Yang Tertindas. Jakarta: Paramadina 2001

Hamka. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Nurul Islam. 1980

Hoerip, Satya. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: PT Bunda Karya. Cet 3 1986

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Cet 11. 2001

Latif, Yudi. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis

Kesastraan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. 2009

Liu, Hong. dan Mohamad, Goenawan. dan Mandal, Summit Kumar. Pram dan

Cina. Depok: Komunitas Bambu. 2008

Luxemburg, Van Jan dkk. Tentang Sastra, Terj Achadiati Ikram. Jakarta:

Intermasa. 1989

______________________. Pengantar Ilmu Sastra, Terj Dick Hartoko. Jakarta:

Gramedia. 1984

Martin, Bronwen. and Ringham, Felizitas. Dictionary of Semiotics. New York:

CASSELL. 2000

Morris, Charles. Foundations of the Theory of Signs. London: The University, of

Chicago Press. 1970

Najib, Emha Ainun. Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995

Pradopo, Rachmat Djoko dkk. Puisi. Jakarta: Universitas Terbuka. 2007

Page 120: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

108

Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin. “Sutardji Penyair Yang Religius”. Harian

Umum Sinar Harapan. tt.p., 28 Januari 1976

______________________________. Sutardji Tentang Sajaknya “AMUK”,

Harian Umum Waspada. tt.p. Minggu 28 Agustus 1977

Putrayasa, Ida Bagus. Analisis Kalimat, Fungsi, Kategori, dan Peran. Bandung:

Refika Aditama. 2007

Rahman, Jamal D. Dkk. Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan

Tanjungpinang dari Raja Ali Haji samapai Suryati A. Manan. Jakarta:

Komodo Books. 2010

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. 1988

Ramlan, M. Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono. 2005

Ratna, Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan

Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010

__________________. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2007

Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. Terj Sapardi Djoko

Damono dkk . Jakarta: Pustaka Firdas. 1986

__________________. Mystical Dimensions of Islam. New York: Columbia

University Press. 1981

Simuh. Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Grafindo. 1997

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. 2008

Sumardjo, Jakob. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.1984

Suryadi, Linus. Aspek Bahasa dalam puisi Sapardi dan Sutardji. Harian Umum

Berita Buana. tt.p., 4 April 1977

Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Cet. 3 2003

Utama, Eddy. “Sutardji di Padang: Sastra Sufistik dan Kerinduan Pulang”. Harian

Umum Buana. Jakarta. 27 Oktober. 1987

Wellek, Rene. & Warren, Austin. Buku Teori Kesusastraan. Terj. dari Theory of

Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia. 1989

Page 121: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

109

Yasser S. “Kesan2 dari pembacaan sajak 26 Januari di TIM: Sutadji Mencari

Jalan Sendiri”. Harian Umum Sinar Harapan. tt.p. Januari. 6 Febuari.

1978

Y.B Mangunwijaya. Sastra dan Religiositas. Jakarta: KANISIUS. 1994

Yos, Sutardji Calzoum Bachri: Bangsa yang Besar perlu Trial and Error. Harian

Umum Republika. Jakarta. 16 Maret. 1998

Zaenuddin H.M. Sutardji Merambah Shirothol Mustaqiem. Harian Umum Pelita.

Jakarta. 5 Juli

Zaimar, Okke. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta:

ILDEP. 1990

___________. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Depok: PT Komodo

Books. 2014

Zainuddi. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

1992

Page 122: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

Lampiran I

UJI RBFERENSI

Fajar Setio Utomo

1 090 1 3000088

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Dimensi Sufistik Dalam Puisi Tapi dan Belujar Membaca

Karya Sutradji Calzoum Bachri dan Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di

SMA.

Dosen Pembimbing : Rosida Erowati, M. Hum.

Nama

NIM

Jurusan

Fakultas

Judul Skripsi

BAB I

No Judul Buku Halaman Nomor

Catatan

Kaki

Paraf

nRachmat Djoko Pradopo, dkk, Pzzsi, (Jakarla:

Universitas Terbuka, 2007),

h. 1.36 No. 1 d\2 Yudi Latif Menyemai Karakter Bangsa, Budaya

Kebangkitan Berbasis Kesastraan, (Jakarta:

PT.Kompas Media Nusantara, 2009),

h.158 No.2

,A-l3 Ajib Rosidi, Sastra dan Budaya (Kedaerahan

Dalam Keindonesian), (Jakarta: PT. Dunia

Pustaka Jaya,1995),

h.52 No.3

4 Y.B Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas,

(Jakarla: Kanisius, 1994), cet.3,

h.11 No.4

qI5 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,

(J akarla: PT. Grasindo, 2008),

h.1 80 No. 5

C I\6 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Telcnik h. 53. No.6 )a

Page 123: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

2007),

BAB IINo Judul Buku Halaman Nomor

Catatan

Kaki

Paraf

7 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam

Islam, (Jakarta: Grafindo, 199'7),

h. 10

h. 11

h. 390,

h. 133r

No. 1

No.3

8 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam

Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk (Jakarta:

PustakaFirdas, I986),

h. t2 No.2

49 Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan

Pemurniannya, (Jakarta: Nurul Islam, 1980)

h. 83 No.4

A10 Annemarie Schimel, Mystical Dimensions of

Islam, (New York: Columbia University Press,

I 98 1),

h.3 No.5

l1 Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta:

Paramadina, 2001),

h. 13

h.t2

h.19-20

h.20

h.52

h.9

h.26

h. 3s-36

h. s3

h....

No.6

No.7

No.8

No.9

No.il

No. 14

No. 15

No. 16

No. 17

No.23

t2 Heri MS Faridy, Rahmat Hidayat, Ika Prasasti

Wijayanti. Edc, Ensiklopedia Tasawuf, Jilid I,

(Bandung: Angkasa, 2008)

h. t29 No. l0

+

Page 124: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

l3 Simuh, Antara Tasawuf dan Batiniyah: Dalam

Pesantren, (lakarta: P3M, 1985), cet. 3

h. l3-14 No. 12

o I-\14 Syeh Khafed Bentounes, Tasawuf Jantung Islam

(nilai-nilai universal tasawuf.).

(Yogyakarta:Pustaka Sufi , 2003 )

h.21 No. 13

) hl5 Rachmat Djoko Pradopo dkk, Puisi, (Jakarta:

I-Jniversitas Terbuka, 2007), cet. IIih. 1 No. 18

C \t6 Depaftemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar

Bahasa Indonesia Pusat Bahqsa Edisi Keempat,

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)

h.1112 No. 19

o \

t7 Melani Budianta, Ida Suhendari Husen, Manneke

Budiman, Ibnu Wahyudi, Membaca Sastra

(Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan

Tinggi), (Magelang: Tera Anggota IKAPI, 2006)

Cetaka ke-3,

h. 39

loc. cit.,

h. ...

No.20

No.22

No 25

l8 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian

Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka

Widyatama, 2004), hlm.68.

h.62 No.21

{^t9 Emha Ainun Najib, Budaya Tanding,

(Yogyakarta: Pustaka Pelaj ar, 1 995), hal. I 3 1.

131h. No.24

J \20 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra,

(Jakarla: PT. Grasindo, 2008),

h. 113

h. t24

h.i24-125

h. 113

h. t22

No.26

No.29

No. 30

No.45

No.50

21 Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi

Subkultur, (Bandung: Angkasa, 2013),

h. 134 No.28

$22 Atmazaki, Ilmu Sasta, Teoti dan Terapan,

(Padang: Angkasa Raya, 1990)

h.77

h.69

h. 68

No.3l

No. 77

No. 78

Page 125: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

t5 Bronwen Martin and Felizitas Ringham,

Dictionary of Semiotics, (New York: CASSELL,

2000)

h. l

ibid.,

No. 32

No. 37

24 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra,

Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009), cet.ke-6,

h. 1 19. No. 33

25 Terry Eagleton,Teori Sastra: Sebuah Pengantar

Komprehensrt Terj. dari Literaty Theory: An

Introduction, 2nd Edition oleh Harfiah Widyawati dan

Evi Setyarini (Yogyakarta: Jalasutra, 2006)

h. 145 No. 35

426 Okke Kusuma Sumantri Zaimar, Semiotika dalam

Analisis Karya Sastra, (Depok: PT Komodo Books,

2014)

h. 3-8

h.32-33

h. 50

h.67

h. 84

No. 36

No.42

No.46

No. 64

No. 74

27 Paul Cobley, The Routledge Companion To Semiotic

and Linguistics, (London: British Library, 2001),

h. 83 No. 37

&){

28 Charles Morris, Foundations of the Theoty of Signs.

(London: The University, of Chicago Press. 1970),

h. t4

h. 15-16

h.29

No. 38

No. 39

No.4l $29 Daniel Chandler, Semiotics: Basics, edition 2 (New

York: Routle dge, 2007),

h.196 No.40 I

d )A

30 Van Luxemburg, Jan dkk, Tentang Sastra, Terj

Achadiati lkram, (Jakarta: Intermasa, 1989),

h.5l -53

h.192

h.74

h.80

No.43

No.44

No. 79

No. 80

3l Rene Wellek & Austin Warren, Buku Teori

Kesusastraan Terj.dari Theory of Literature oleh

Melani Budianta, (Jakarta: PT Gramedia, 1989),.

h.r99

h. 198

h. 198

No.47

No.48

No.49

Page 126: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

h. t7 No.65

32 M. Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia, Sintal<sis(Yogyakarta: CV" Karyono,2005), cet ke-5,

h. 18

h.79

No.5l

No.58

+JJ Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan

Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),

h.37

h.44

No.52

No.54 rh\1

34 Pamusuk Erneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan

Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 3), (Jakarta:

Kepustakaan Gramedia Populer, 2009),

h.26. No. 53

(t35 Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat, Fungsi,

Kategori, dan Peran, (Bandung: Refika Aditama,

2007),

h.20

h.26

h. ss-59

h13

No.55

No.56

No.67

No.59

36 Fatimah Djaja Sudarma, Semantik 1 (Pengantar ke arah

ilmu makna), (Bandung: Refika, 1999), cetke-2,

h.1 No.60\

(iJI Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra

I ndo ne s i a, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),

h. B4-8s

h. 51

No.6l

No.68 ( \38 Jakob Sumardjo, Memahami Ke sus as t raar, (Bandung:

Alumni, 1984),

h.

h.

18

93-96

No.66

No. 72

u39 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta:

Gramedia 2001), cet. 1 l,h.113

h.124-127

No.69

No. 70 $40 Okke Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya lwan

Si matup ang, (Jakarta: ILDEP, I 990)

h.113

h. r36

No. 73

No. 75(

d -A

4t Van Luxemburg dkk, Tentang Sastra, Teri AchadiatiI kram, (J akarta: Intermasa, I 989),

h.74

h.B0

No.79

No. 80

$42 A Teeuw, Sastra dan llmu Sastra, (Jakarta: Pustaka h. l5l No. 76 fl'

Page 127: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

Jaya,2003), cet.3 h.149 No.8l

43 Hong Liu, Goenawan Mohamad dan Summit Kumar

Mandal, Pram dan Cina, (Depok: Komunitas Bambu,

2008),

h.25. No. 82

&44 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra,

(Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, I 988),

h.44

h. 46

h. 48

h. 38

h.24

No.83

No. 84

No. 85

No. 86

No. 90

45 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies:

Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,20l0),

h.515

h. 438

No. 87

No. 89

46 Sapardi DjokoDamono, Sosiologi Sastra, Sebuah

Pengatar Ringkas ,(Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1978),

h.4. No.88

BAB IIINo Judul Buku Halaman Nomor

Catatan

Kaki

Paraf

47 Abdul Hadi W.M, "Sutardji Tentang Puisinya dan

Puisi Kita Kini", Majalah Horison. Jakarta, 19

Juni 1975,

h.5 No. I

48 Sutardji Coulzum Bachri, O, AMUK, KAPAK

(Jakarta Timur: Yayasan Indonesia dan PT

Cakrawala Budaya Indonesia, 2004) cet.4., h. 110

h.110

loc. cit.,

loc. cit.,

h. 82

No.2

No.4

No. llNo.29

N49 Jamal D Rahman dk,k, Dermaga Sastra Indonesia; h. r57 No.3 .A

Page 128: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali

Haji samapai Suryati A" Manan (Jakarta: Komodo

Books,2010)

h.160

h.167-168

No.8

No. 30

50 Sutardji Calzoum Bachri, ISYARAT: Kumpulan

Esai Sutardji Calzoum Bachri, (Tangerang:

INDONESIA TERA, 2001), hlm: 504

h. 504

h. vii

h.3-4

hlm:xvi

No.5

No. l0

NO. 12

No. 13

No. 14

51 Satya Hoerip, Sejumlah Masalah Sastra, (Jakarta:

PT Bunda Karya, 1986), cet. 3

h.175 No.6 q52 Zaenuddin H.M , "Sutardji Merambah Shirothol

Mustaqiem", Harian Umum Pelita, Jakarla, 5 Juli,

h.5

h.5 No. 9

53 Yos, Sutardji Calzoum Bachri: Bangsa yang Besar

perlu Trial and Error, Harian Umum Republika,

Jakarta,l6 Maret 1998,

h.2 No. 15

No. l8

No.20

54 Leon Agusta, Sutardji Tentang Sajak2 Barunya

"Upaya Menangkap Tuhan", Harian Umum

SIWALAN, Jakarlra,24 Janttari 1970

h. 10 No. 16

A55 Nyoman Tusthi, Sampai Dimana Pembaruan

Sutardi, Harian Umum Suara Karya, Jumat, 16

Desember 1977

h.4 No. 17

No,22

56 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi:

Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan

Semiotik, (Jogjakarta: Gajah Mada University

Press, 2010), cet.12

h.106 No. 19

57 Linus Suryadi, Aspek Bahasa dalam puisi Sapardi

dan Sutardji, Harian (Jmum Berita Buana, tt.p., 4

April1977

h.3 No.21

s8 Yasser S. Kesan2 dari pembacaan sajak 26 Januari h. iv No. 23A

Page 129: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

di TIM: Sutadji Mencari Jalan Sendiri, Harian

Umum Sinar Harapan, tt.p., Januari 6 Febuari

1978

59 Efix, Lagi Tanggapan terhadap Sutan Takdir: Seni

Terlalu Lemah Sastra Berhenti pada Kata, Harian

Umum Kompas, Jakarta,6Mei 1982

No.24

$60 Eddy Utama, Sutardji di Padang: Sastra Sufistik

dan Kerinduan Pulang, Harian Umum Buana,

I akarta, 27 Oktober, 1987

h.4 No.25

61 Dokumentasi Sastra H.B Jassin, Sutardji Penyair

Yang Religius, Harian Umum Sinar Harapan,

tt.p.,28 Januari 1916

h.2 No.26

t62 Pusat Dokumentasi H.B Jassin, Sutardji Tentang

Sajaknya "AMUK", Harian Umum Waspada,

tt.p. Minggu 28 Agustus 1977

h.5 27No,

63 Abdul Hadi W.M, "AMUK" Sutardji: Sebuah

penjelajahan estetik & metafisik, Harian Umum

Buana, Selasa, 12Juli 1977

h.6 No.28

A

Page 130: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

BAB IV

No. Judul Buku Halaman Nomor

Catatan

Kaki

Paraf

?1 Hendry Guntur Tarigan, Pengajaran Sintaksis,

(Bandung. Angkasa :1986), h.8

h.8 No. I

A74 Abdul Chaer berpendapat dalam masalah

keberterimaan sebuah kalimat dilihat secara

strukturnya kalimat dibagi menjadi dua macam

kalimat, yaitu kalimat bebas dan tidak bebas.

Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia

(Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta,

200e),

h.233 No.2

75 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam

Islam, Terj Sapardi Djoko Damono dkk

(Jakarta: Pstaka Firdas, 1986),

h.

h.

135

135

No. 3

No. 12A

+77 Racmad Djoko Pradopo, dkk, Pursr, (Universitas

Terbuka, 2007), cet IIl,h.4.39 No. 4 $

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus BesarBahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),

h. 605

h. 845

No. 5

No.6 $A

Salah sataujenis repetisi atas kata berulang -ulangdalam sebuah konstruksi. Baca: Gorys Keras, Diksldan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2001) cet ke-12,

h.121 No. 7

478 Abdul HAdi W.M, Tasawf Yang Tertindas, (Jakarta:

Paramadina, 2001), h.32

h.32

h.72

h. 53

h. 3s

h. s2

No.8

No.9

No. 10

No. llNo. 13

80 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra,

(Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988),

h.44. No. 14 4

Page 131: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

h. 34

h. l6

h. 16

h. l9

h.37

No. 15

No. 16

No. 17

No. 18

No. 19

8t Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan

Pendidikan, (Bandung,: C.V. Diponegoro, 1984), h

-:}-)z

h.332

h.332

No.18

No. 19 4J akarta, 4 September 2014

NIP: 19771030 200801 2009

P{mbiinbing

Page 132: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

Lampiran 2

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

MATA

PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia

KELAS /SEMESTER XII (dua belas) / 2 (dua)

PROGRAM Umum

ALOKASI WAKTU 2 x 45 menit

TEMA

STANDAR

KOMPETENSI

13. Memahami pembacaan puisi dan mengungkapkan pendapat

terhadap puisi melalui diskusi

KOMPETENSI

DASAR

13.1 Mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan bahasa

pada Puisi

ASPEK

PEMBELAJARAN

Membaca

Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya Dan

Karakter Bangsa

Kewirausahaan/

Ekonomi Kreatif

Mampu membaca puisi dengan baik

Mampu mengidentifikasi unsur

intrinsik ( tema, amanat, perwajahan,

majas, dan rima) dalam puisi dengan

baik

Mampu mendiskusikan unsur intrinsik

(tema, amanat, perwajahan puisi, diksi,

pengimajian, majas,) yang sudah

diidentifikasi

Mampu mengidentifikasi

penyimpangan bahasa pada puisi

Bersahabat/

komunikatif

Mandiri

Kepemimpinan

MATERI POKOK

PEMBELAJARAN Pusi yang dibacakan

Cara mengidentifikasi unsur intrinsik dalam sebuah puisi

Cara mengidentifikasi penyimpangan bahasa dalam puisi

STRATEGI PEMBELAJARAN

Tatap Muka Terstruktur Mandiri

Memahami

pembacaan puisi

Mengidentifikasi unsur

intrinsik (tema, amanat,

perwajahan puisi, majas,

dan rima)

Mengidentifikasi

penyimpangan bahasa pada

puisi

Siswa mampu

mendiskusikan

mengidentifikasi unsur

intrinsik (tema, amanat,

perwajahan puisi, majas,

dan rima)

Siswa mampu

mengidentifikasi

penyimpangan bahasa pada

dalam puisi

Page 133: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

KEGIATAN PEMBELAJARAN

TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN

Nilai Budaya

Dan

Karakter

Bangsa

Alokasi

Waktu

PEMBUKA

(Apersepsi)

Guru membuka pelajaran dengan salam

dan presensi kehadiran siswa

Guru mengulas kembali pelajaran yang

telah dilakukan pada pertemuan

sebelumnya dengan bertanya jawab kepada

siswa

Guru-siswa bertanya jawab tentang unsur

intrinsik puisi

Guru-siswa bertanya jawab tentang struktur

kebahasaan

Guru dan siswa bertanya jawab mengenai

cara mengidentifikasi unsur intrinsik dan

penyimpangan bahasa pada puisi

Bersahabat/

komunikatif

5 menit

Motivasi

Guru menyampaikan kepada siswa tujuan

pembelajaran yang hendak dicapai dan

memberikan penanaman sikap dan

motivasi terhadap pembelajaran yang akan

dilaksanakan

Bersahabat/

komunikatif 5 menit

INTI Eksplorasi

1. Siswa mendengarkan pembacaan puisi

2. Guru menggali pengetahuan siswa

mengenai materi puisi melalui berbagai

sumber.

3. Guru menggiring pemikiran siswa ke

materi dengan menampilkan slide puisi

Tapi karya Sutardji Calzoum Bachri dan

siswa memberikan tanggapan terhadap

puisi tersebut.

4. Siswa secara mandiri mengidentifikasi

unsur intrinsik puisi

5. Siswa secara mandiri mengidentifikasi

penyimpangan bahasa

Elaborasi

Guru membimbing dan membagi kelas

menjadi 4 kelompok diskusi. Setiap

kelompok menyiapkan dua anggotanya

untuk menjadi pemateri yang nantinya

akan ditugaskan untuk mempresentasikan

hasil kelompoknya

Mandiri

Berkelompok

10 menit

45 menit

Page 134: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

Guru membagikan lembar materi kepada

setiap kelompok yaitu:

1. Kelompok 1 = tema dan amanat puisi

2. Kelompok 2 = perwajahan puisi dan

diksi puisi

3. Kelompok 3 = majas dan rima puisi

4. Kelompok 4 = penyimpangan bahasa

Masing-masing perwakilan kelompok

maju kedepan kelas untuk

mempresentasikan hasil diskusi masing

kelompoknya

Guru memeberikan kesempatan kepada

peserta diskusi/kelompok lain untuk

bertanya atau memberi tanggapannya

terhadap presentasi yang telah

disampaikan

Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:

Menyimpulkan tentang hal-hal yang

belum diketahui

Menjelaskan tentang hal-hal yang belum

diketahui.

Guru memberikan tanggapan terhadap

hasil diskusi yang telah dilaksanakan oleh

siswa di depan kelas.

Guru memberikan tambahan ulasan

materi yang belum diketahui siswa.

Guru memberikan kesempatan kepada

siswa untuk bertanya.

10 menit

10 menit

PENUTUP

(Internalisasi

& persepsi)

Siswa diminta menjelaskan

kesulitannya menyimak pembacaan

puisi

Siswa diminta mengungkapkan

pengalamannya dalam

mengidentifikasi unsur intrinsik dan

struktruk larik secara kebahasaan

Siswa mengungkapkan permasalahan

di masyarakat yang sesuai dengan

permasalahan dalam puisi Tapi

Siswa mengerjakan uji kompetensi

dan menjawab kuis uji teori

Bersahabat/

komunikatif

5 menit

Page 135: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

METODE DAN SUMBER BELAJAR

Sumber Belajar

v Pustaka rujukan Alex Suryanto dan Agus

Haryanta. 2007. Panduan

Belajar Bahasa dan Sastra

Indonesia untuk SMA dan

MA Kelas XII Jakarta :

ESIS-Erlangga halaman

118-124

Sutardji Coulzum Bachri,

O, AMUK, KAPAK

(Jakarta Timur: Yayasan

Indonesia dan PT

Cakrawala Budaya

Indonesia, 2004) cet. 4., h.

110

v Material: VCD, kaset,

poster

Rekaman

pengajaran/analisis puisi

V Media cetak dan

elektronik

puisi yang dipublikasikan

melalui koran, tabloit,

majalah

Website internet

V Narasumber Penulis puisi

V Model peraga Siswa yang mempunyai

pengalaman menganalisis

puisi

V Lingkungan Kejadian di masyarakat

yang sesuai dengan tema

dan amanat dalam puisi

Metode

V Presentasi

V Diskusi Kelompok

V Inquari

V Demontrasi /Pemeragaan

Model

PENILAIAN

TEKNIK

DAN

BENTUK

V Tes Lisan

V Tes Tertulis

V Observasi Kinerja/Demontrasi

V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio

V Pengukuran Sikap

V Penilaian diri

INSTRUMEN /SOAL

Daftar pertanyaan lisan tentang unsur intrinsik dan stuktur larik-larik secara tata

kebahasaan dalam puisi Tapi

Daftar pertanyaan mengenai cara mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan

bahasa pada puisi

Daftar pertanyaan uji kompetensi dan kuis uji teori untuk mengukur tingkat pemahaman

siswa terhadap teori dan konsep yang sudah dipelajari

RUBRIK/KRITERIA PENILAIAN/BLANGKO OBSERVASI

Page 136: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

Instrumen :

TAPI

aku bawakan bunga padamu

tapi kau bilang masih

aku bawakan resah padamu

tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu

tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu

tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu

tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu

tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu

tapi kau bilang kalau

tanpa apa aku datang padamu

wah!

Sutardji Calzoum Bachri,

1981

Soal:

1. Perhatian puisi Tapi, jelaskan tentang perwajahan/tipografi, majas, dan rima

yang terdapat pada puisi tersebut !

2. jelaskan tema utama yang diangkat pada puisi Tapi

3. Identifikasilah puisi Tapi karya Sutardji Calzoum Bachri, lalu jelaskan amanat

apa yang dapat dipetik dari puisi tersebut?

4. Perhatikanlah larik berikut:

aku bawakan bunga padamu

tapi kau bilang masih

Jelaskan struktur bahasa yang digunakan pada kutipan larik diatas (subjek, predikat,

objek dll) dan sertakan alasannya

5. Jelaskan hubungan isi puisi dengan realitas masyarakat, nilai religiusitas, dan

pembentukan kepribadian siswa !

Page 137: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

RUBRIK PENILAIAN HASIL IDENTIFIKASI UNSUR INTRINSIK

DAN PEMNYIMPANGAN BAHASA PADA PUISI TAPI

NAMA :

KELAS/NO. ABS :

TANGGAL PENILAIAN :

KOMPETENSI DASAR : Mengidentifikasi unsur intrinsik dan penyimpangan

bahasa pada puisi

HAL YANG DINILAI

NILAI

AMAT

JELEK

Skor : 1

JELEK

Skor : 2

CUKUP

Skor : 3

BAIK

Skor : 4

AMAT

BAIK

Skor : 5

Identifikasi

Intrinsik

Ketepatan

penyebutan

tema puisi Tapi

Ketepatan

identifikasi

amanat puisi

Tapi

Ketepatan

identifikasi

perwajahan

puisi

Ketepatan

identifikasi

majas, dan rima

puisi

Bukti pendukung

Identifikasi

penyimpangan

bahasa

Ketepatan

identifikasi

subjek,

predikat,

dan objek pada

puisi

Bukti

pendukung

Identifikasi

hubungan isi

puisi dengan

realitas

Ketepatan

identifikasi

hubungan isi

puisi dengan

realitas

masyarakat,

Page 138: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

di sekitar nilai

religiusitas,

dan

pembentukan

kepribadian

siswa

Bukti pendukung

JUMLAH NILAI (Maksimal 50)

Perhitungan nilai akhir dalam skala 0 – 100 adalah sebagai berikut :

...... (100) idealskor x 0)maksimum(2Skor

skorPerolehan akhir Nilai

Jakarta, 17 Agustus 2014

Mengetahui,

Kepala SMA/MA Guru Mata Pelajaran

Fajar Setio Utomo

NIP : NIP :

Page 139: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

Lampiran 3

Teks Puisi 1

TAPI

aku bawakan bunga padamu

tapi kau bilang masih

aku bawakan resah padamu

tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu

tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu

tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu

tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu

tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu

tapi kau bilang kalau

tanpa apa aku datang padamu

wah!

Sutardji Calzoum Bachri,

1981

Page 140: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

Teks Puisi 2

BELAJAR MEMBACA

kakiku luka

luka kakiku

kakikau lukakah

lukakah kakikau

kalau kakikau luka

lukakukah kakikau

kakiku luka

lukakaukah kakiku

kalau lukaku lukakau

kakiku kakikaukah

kakikaukah kakiku

kakiku luka kaku

kalau lukaku lukakau

lukakakukakiku lukakakukakikukah

lukakakukakikaukah lukakakukakiku

Sutardji Calzoum Bachri 1979

Page 141: DIMENSI SUFISTIK DALAM PUISI TAPI DAN BELAJAR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30812/1/FAJAR SETIO UTOMO... · LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul "Dimensi Sufistik

BIOGRAFI

Nama Fajar Setio Utomo, lahir di Jakarta 16 Maret 1991. Anak

pertama dari dua bersaudara dari pasangan orang tua bernama

Sukamto dan Rubinem. Jenjang pendidikan yang sudah ditempuh,

SD Negeri Bambu Apus II, SMP Negeri 1 Pamulang, SMA

Negeri 4 Tangerang Selatan, dan sedang menempuh S1 di

Universitas Negeri Islam Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) angkatan

2008

Hobi yang ditekuni sampai saat ini yaitu berkesenian dan mengikuti salah

satu komunitas yang berkecimpung pada hal kesusastraan. Kegiatan yang pernah

diikuti yaitu pencak silat, dan pramuka di Sekolah Dasar (SD), Rohani Islam Siswa

(ROHIS) di SMA, dan aktif di Komunitas Majelis Kantiniyah. Sempat

mengajarkan teater di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan, menjadi sutradara

pementasan PBSI di Universitas Islam Negeri Jakarta dengan naskah Topeng karya

Ekranegara dan Naskah sendiri yang berjudul S.A.M.P.A.H, serta ikut membantu

pementasan teater PBSI angkatan 2010.

Prestasi yang dicapai, juara harapan 1 lomba Pramuka tingkat Kecamatan

untuk Sekolah Dasar, juara 1 lomba Nasyid tingkat Jabodetabek di SMA

Pembangunan Jaya, Juara 2 lomba Band Religius tingkat SMA di Universitas

Islam Negeri Jakarta, juara 1 teater SMA tingkat regional 1 Tangerang Selatan.