pemikiran etika sufistik al-ghazali: langkah …

23
p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, No 1, Juni 2021 | 59 PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH-LANGKAH MEMODERASI AKHLAK Umar Faruq Tohir Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo Email: [email protected] Abstrak Pemikiran etik-sufistik al Ghazali bisa ditafsirkan dalam kerangka moderasi akhlak berbasis agama di Indonesia yang majmuk. Untuk membangun atau men-set up moderasi yang tepat dan lugas di bumi Indonesia atau di tubuh muslim Indonesia. Pendekatan etika sufistik al Ghazali bsa menjadi opsi yang adekuat. Untuk melihat atau memantau lanskap pemikiran etis al Ghazali ini bisa disusur dari biografinya, dari corak pemikirannya yang kontradiktif dengan pemikiran-pemikiran ilmiahnya sendiri. Menurut al-Ghazali, akhlak bukanlah pengetahuan (marifah) semata tentang baik dan jahat maupun qudrat untuk baik dan buruk. Akhlak bukan pula pengalaman (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’ah râsikhah fî al-nafs). Ia mendefinisikan akhlak sebagai suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Ini artinya aklak bersifat spontan. Lalu arah pemikirannya menerobos menjadi evolusi pemikiran al Ghzali. Ada empat kelompok aliran Islam yang menjadi sasaran kritik al-Ghazali pada saat itu, yaitu: kelompok teolog Islam, filosof, aliran Syi'ah Bathiniyah, dan kelompok sufisme. Perlu juga dipahami secara mendalam konsep etika al Ghzali. Poros etika al Ghazali di antarannya terletak pada konsep keseimbangan dan langkah-langkah peningktan akhlak. Sesuai dengan inti persoalan, al-Ghazali menamakan etikanya ilmu menuju akhirat (‘ilm tharîq al- akhîrah) atau jalan yang dilalui para nabi dan leluhur saleh (al-salaf al-shâlih). Ia juga menamakannya ilmu pengamalan agama (‘ilm al-mu’âmalah), Sebagai tambahan pemahaman adalah pengertian tentang induk ahlak buruk manusia, metode mendapatkan akhlak baik bagi manusia. Di dalamnya upaya atau strategi peningkatan akhlak manusia. Etika al-Ghazali bersifat religius-sufi. Dengan demikian simpulan pendapatnya, etika ialah pengkajian tentang keyakinan religius tertentu (i’tiqâdât), dan tentang kebenaran atau kesalahan dalam amal untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka. Kata Kunci: al Ghazali, etika, pengetahuan, moderasi A. Pendahuluan Berbicara tentang etika dalam Islam tentunya tidak dapat lepas dari ilmu akhlak sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Meski etika seringkali dianggap sama dengan akhlak karena keduanya membahas masalah baik- buruknya tingkah laku manusia, namun sejatinya, keduanya berbeda, akhlak lebih

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, No 1, Juni 2021 | 59

PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI:

LANGKAH-LANGKAH MEMODERASI AKHLAK

Umar Faruq Tohir

Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo

Email: [email protected]

Abstrak

Pemikiran etik-sufistik al Ghazali bisa ditafsirkan dalam kerangka

moderasi akhlak berbasis agama di Indonesia yang majmuk. Untuk membangun

atau men-set up moderasi yang tepat dan lugas di bumi Indonesia atau di tubuh

muslim Indonesia. Pendekatan etika sufistik al Ghazali bsa menjadi opsi yang

adekuat. Untuk melihat atau memantau lanskap pemikiran etis al Ghazali ini bisa

disusur dari biografinya, dari corak pemikirannya yang kontradiktif dengan

pemikiran-pemikiran ilmiahnya sendiri. Menurut al-Ghazali, akhlak bukanlah

pengetahuan (marifah) semata tentang baik dan jahat maupun qudrat untuk baik

dan buruk. Akhlak bukan pula pengalaman (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan

suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’ah râsikhah fî al-nafs). Ia mendefinisikan

akhlak sebagai suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau

pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Ini artinya

aklak bersifat spontan. Lalu arah pemikirannya menerobos menjadi evolusi

pemikiran al Ghzali. Ada empat kelompok aliran Islam yang menjadi sasaran kritik

al-Ghazali pada saat itu, yaitu: kelompok teolog Islam, filosof, aliran Syi'ah

Bathiniyah, dan kelompok sufisme. Perlu juga dipahami secara mendalam konsep

etika al Ghzali. Poros etika al Ghazali di antarannya terletak pada konsep

keseimbangan dan langkah-langkah peningktan akhlak. Sesuai dengan inti

persoalan, al-Ghazali menamakan etikanya ilmu menuju akhirat (‘ilm tharîq al-

akhîrah) atau jalan yang dilalui para nabi dan leluhur saleh (al-salaf al-shâlih). Ia

juga menamakannya ilmu pengamalan agama (‘ilm al-mu’âmalah), Sebagai

tambahan pemahaman adalah pengertian tentang induk ahlak buruk manusia,

metode mendapatkan akhlak baik bagi manusia. Di dalamnya upaya atau strategi

peningkatan akhlak manusia. Etika al-Ghazali bersifat religius-sufi. Dengan

demikian simpulan pendapatnya, etika ialah pengkajian tentang keyakinan religius

tertentu (i’tiqâdât), dan tentang kebenaran atau kesalahan dalam amal untuk

diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.

Kata Kunci: al Ghazali, etika, pengetahuan, moderasi

A. Pendahuluan

Berbicara tentang etika dalam Islam tentunya tidak dapat lepas dari ilmu

akhlak sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Meski etika

seringkali dianggap sama dengan akhlak karena keduanya membahas masalah baik-

buruknya tingkah laku manusia, namun sejatinya, keduanya berbeda, akhlak lebih

Page 2: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

60 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

dekat dengan tingkah laku (budi pekerti) yang cenderung aplikatif, sedangkan etika

merupakan landasan filosofinya.1

Setiap perbuatan yang didasarkan oleh kehendak disebut "tingkah laku,"

seperti kata benar atau dusta. Tingkah laku manusia mempunyai dasar-dasar yang

timbul dari jiwa, seperti insting dan kebiasaan. Pancaindra manusia tidak dapat

melihat pada dasar-dasar jiwa ini, tetapi dapat melihat pada bekas-bekasnya, yaitu

tingkah laku.2

Dalam Islam, etika berpihak pada teori yang bersifat fitri. Artinya, semua

manusia pada hakikatnya (muslim atau bukan) memiliki pengetahuan fitrî tentang

baik dan buruk. Di sinilah letak bertemunya filsafat Islam dengan pandangan

filsafat Yunani era Socrates dan Plato, serta Kant dari masa modern. Tampaknya,

para pemikir Islam dari berbagai pendekatan sama sepakat mengenai hal ini.

Namun, sebagian di antaranya, yakni kaum Mu'tazilah (kaum teolog rasional) dan

para filososof pada umumnya percaya bahwa manusia-manusia yang qualified,

mampu memperoleh pengetahuan tentang etika yang benar melalui pemikiran

rasional mereka. Sementara kaum Asy'ariyah (teolog tradisional), ulama fiqh, dan

kaum mistikus (sufi) lebih menekankan pada peran wahyu sebagai sarana untuk

mencapai pengetahuan etik manusia.3.

Dalam sejarah perkembangan etika Islam, dapat ditemukan beberapa tokoh

yang membahas tentang etika dan problematikanya, diantaranya Abu Nasr al-

Farabi (w. 339 H), Ibnu Miskawih (w. 421 H), Ibnu Sina (w. 428 H), Al Mawardi

dan al-Ghazali (w. 505 H/ 1111 M). Namun, demi alasan efisiensi dan kajian yang

lebih fokus, maka dalam makalah ini hanya akan dibahas tentang pemikiran etika

al-Ghazali saja.

Teori etika yang diajarkan al-Ghazali adalah hasil dari tahun-tahun akhir

kehidupannya, ketika dia sedang menjalani kehidupan mistik dan asketik.4 Pada

1 Oleh karena itulah, Etika dalam beberapa literatur Islam disebut sebagai falsafah akhlâqiyyah.

Lihat Ahmad Mahmud Shubhi, al-Falsafah al-Akhlâqiyyah fî al-Fikr al-Islâmî (Mesir: Dâr al-

Ma'ârîf, 1969), hlm. 13; Mansur Ali Rajb, Ta'ammulât fîFalsafah al-Akhlâq (Mesir: Maktbah al-

Anjilu al-Mishriyyah, 1961), hlm. 19. 2 Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 6. 3 Haidar Bagir, "Etika "Barat", Etika Islam", dalam M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan

Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 19. 4 Muhammad Abul Quasem dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali; Etika Majemuk did alam Islam,

(Bandung: PT. Penerbit Pustaka, 1988), hlm. 16.

Page 3: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 61

kondisi itu, dia memiliki kondisi kesadaran dan sikap yang terarah kepada

kehidupan dan dunia yang sama sekali berbeda dengan yang dijalani sebelumnya.

Perhatian utama kehidupan dan pemikirannya selama periode sufi adalah

kesejahteraan manusia di akhirat. Perhatian ini menentukan aneka ragam aspek dari

teori moralnya. Hal ini membuat etika al-Ghazali murni bercorak religius dan

mistik.5

Berdasarkan realitas tersebut, muncul pertanyaan siapa sebenarnya al-

Ghazali itu? Bagaimana evolusi pemikirannya? Benarkah etika al-Ghazali bercorak

religius mistik? Bukankah karya-karyanya banyak yang berbau filsafat (rasional)?

Menyadari hal itu semua, maka makalah ini akan ditulis untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan tersebut.

B. Biografi al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali

al-Thusi. Beliau lahir pada tahun 450/1058 di Thus6, dekat Meshhed di Khurasan.

Pada masa lampau kawasan itu merupakan lokasi kemaharajaan Persia yang oleh

pemerintahan Abbasiyyah dijadikan sebagai tempat propaganda. Di tempat ini

dibangun kerajaan mereka pada abad 8 M. Sejak itu dan seterusnya, tempat ini

menjadi menarik perhatian sejumlah pengajar, penulis agama, dan khususnya

menelorkan tokoh-tokoh penyair.

Ayahnya adalah seorang pengrajin yang bekerja memintal wol, dan hasilnya

dijual sendiri di tokonya di Thus.7 Dengan kehidupannya yang sederhana, ayahnya

menggemari kehidupan sufi, sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba,

dia berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya untuk mengasuh dua orang

anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad dengan sedikit bekal

warisan yang ditinggalkannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta

warisan tersebut habis, sufi yang hidup dalam keadaan faqir tersebut tidak mampu

5 Ibid., hlm. 22. 6 Thus sendiri merupakan kota yang lebih besar, dengan gedung yang tertata dan populasi

penduduk yang padat dibanding dengan dua kota lain (Thabaristan dan Nawqan) tempat ini

terkenal dengan pemandangan pepohonan nan subur serta kandungan mineral yang tersimpan di

dekat pegunungan yang mengitarinya. Lihat Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis

Imam al-Ghazali, (Jakarta: Riora Cipta 2000), hlm. 1 7 Karena pekerjaan ayahnya itulah dia disebut “al-Ghazali” (pemintal wol). Lihat Musthafa

Jawwad, Abu Hamid al-Ghazali fi al-dzikra al-Miawiyyat al-Tasiat li Miladih, (Kairo: al-Majlis

al-Ala li riayat al Funun wa al-Adab wa al-Ulum al-Ijtimaiyyah, 1962), hlm. 495-496.

Page 4: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

62 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

lagi memberinya tambahan. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah

madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan. Di sinilah awal

mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai

akhir hayatnya.8 Namun dalam perkembangan tersebut situasi kultural dan

struktural pada masa hidupnya juga berpengaruh besar.

Sampai usia dua puluh tahun, al-Ghazali tetap tinggal dan belajar di kota

kelahirannya, Thus. Dia belajar ilmu fiqih secara mendalam dari Ahmad bin al-

Rizkani.9 Selain itu, ia belajar ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang

terkenal pada masa itu.10 Kedua ilmu ini sangat terkesan di hati al-Ghazali dan ia

bertekad untuk lebih mendalami lagi di kota-kota lain. Pada tahun 470 H al-Ghazali

pindah ke kota Jurjan untuk melanjutkan pelajarannya, dan di sana ia belajar pada

Imam Abi Nashr al-Ismaili.11 Di Jurjan ia tidak hanya mendapatkan pelajaran

tentang dasar-dasar agama Islam sebagaimana yang diterima di kota Thus, tetapi ia

juga mendalami pelajaran bahasa Arab dan bahasa Persia. Nampaknya ia tidak puas

dengan pelajaran yang diterimanya di kota Jurjan, karena itu ia pulang kembali ke

Thus selama tiga tahun.12

Pada tahun 471 H ia kembali pergi ke Jurjan, kemudian ke Naisabur, pada

saat Imam Haramain (al-Juwaini) menjabat sebagai kepala Madrasah Nidzamiyyah.

Di bawah asuhan al-Juwaini ini, al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih, ushul, manthiq,

dan kalam, hingga kematian memisahkan keduanya ketika al-Juwaini meninggal

dunia pada tahun 478 H. Al-Ghazali keluar dari Naisabur menuju ke Muaskar dan

ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah

Nidzamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. Di tempat ini, al-Ghazali mencapai

puncak prestigious dalam karir keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga

ratus ulama terkemuka.13 Menurut komentator al-Ghazali yang bernama Zubaidi

menjelaskan bahwa al-Ghazali mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dari Imam

8 Al- Subki, Thabaqat al-Syafiiyyat al-Kubra, (Mesir: Isa al-Babi al-Harabi, tt.), Juz VI, hlm. 191. 9 Mahmud Qasim, Dirasah fi Falsafah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Maarif, 1997), hlm. 38 10 Sulaiman Dunia, al-Haqiqah fi Nazhr al-Ghazali, (Kairo: Dar al-Maarif, 1971), hlm. 18 11 Badawi Thabanah, "Muqaddimah Ihya Ulum al-Din", dalam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid

1, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 8 12 Kemudian timbullah pikirannya untuk mencari sekolah yang lebih tinggi, sebab kesadarannya

mulai muncul untuk mencari kebenaran, meskipun usianya masih sangat muda. Lihat. Sulaiman

Dunia, al-Haqiqah fi Nazhr al-Ghazali, hlm. 20 13 Al-Ghazali, Tahafut al Falasifah (Kerancuan Para Filosof), alih bahasa Ahmad Maimun,

(Bandung: penerbit Marja, 2010), hlm.17-18

Page 5: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 63

al-Haramain, sehingga dia sanggup bertukar pikiran dengan segala aliran, bahkan

ia juga telah mengarang macam-macam buku dari berbagai ilmu pengetahuan.

Menurut Harron Khan Sharwan, ketika itu al-Juwaini baru saja dipanggil kembali

dari Hijaz untuk memimpin perguruan tinggi Nidzamiyyah yang didirikan oleh

Nidzam al-Muluk.14

Al-Ghazali pada mulanya hanya sebagai mahasiswa, kemudian menjadi

asisten guru besar sampai gurunya meninggal pada tahun 1085 M. Pada tahun 475

H ketika al-Ghazali memasuki usia 25 tahun, ia mulai meniti karir sebagai dosen

pada Universitas Nidhamiyyah Naisabur, di bawah bimbingan guru besarnya Imam

al-Haramain.15 Dan setelah Imam al-Haramain meninggal dunia maka menjadi

kosonglah pimpinan atau rektor perguruan tinggi tersebut. Untuk mengisi

kekosongan jabatan itu perdana menteri Nidzam al-Muluk menunjuk al-Ghazali

sebagai penggantinya, meski usianya saat itu baru 28 tahun. Namun karena telah

menunjukkan kecakapan yang luar biasa, sehingga perdana menteri tersebut tertarik

kepadanya.16

Al-Ghazali adalah seorang teolog besar madzhab Syafii, dan ilmuwan

berwawasan luas serta seorang penyelidik yang penuh semangat. Kehidupannya

adalah sebuah kisah perjuangan mencari kebenaran dan patronase bergairah dalam

agama ortodok. Sebagai ilmuwan, dia adalah seorang yang baik dalam filsafat dan

seorang pemikir orisinal, tetapi dia berpikir dan menulis buku filsafat hanya untuk

tujuan kritisisme destruktif. Selain itu dia adalah seorang sufi dan siswa terpelajar

14 Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, alih bahasa Achmad Khudori Soleh, (Bandung: Pustaka

Hidayah, 1998), hlm. 7. 15 Nama lengkap Imam Haramain adalah Abd al-Mâlik bin Abdullâh bin Yûsûf bin Muhammad

bin Abd Allah bin Hayyuawiyyah. Dia berasal dari Juwainî, Nisâbûr. Ia lahir pada 18 Muharram

419 H. Al-Juwainî belajar Al-Quran, bahasa arab, hadist, fiqh, ilmu ushul dan ilmu khilâfiyah

kepada ayahnya sendiri. Pada usia yang masih muda ia telah hafal Al-Quran dan menguasai ilmu-

ilmu al-Qur'an. Setelah ayahnya wafat, al-Juwainî menggantikan posisi ayahnya menjadi guru

sekaligus ia tetap belajar fiqh dan teologi madzhab Asyariyyah kepada al-Isfiraynî dan ia juga

belajar fiqih madzhab Syâfiî dan ilmu hadist kepada al-Baihâqî. Pada masa yang sama ia turut

hadir di majlis al-Khabbâzî untuk belajar ilmu Al-Quran. Ketika terjadi fitnah al-Kunduri (aksi

terror oleh wazir Tugril Beg al-Kunduri terhadap ulama Asyariyyah, Syafiiyyah dan syiah) al-

Juwaini pergi meninggalkan Nisâbûr menuju Muaskar, Isfahan, Baghdad, Hijaz dan yang terakhir

di Mekah. Ia menetap di Mekah selama beberapa tahun bahkan ia pernah menjadi guru besar di

dua tempat suci, mekah dan Madinah. Oleh sebab itu ia terkenal dengan sebutan Imam Haramain.

Lihat Tsuroya Kiswati, Al-Juwainī Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, (Jakarta;

Erlangga, t.t.), hlm. 24-27. 16 Amin Syukur dan Mayharuddin, Intelektualitas Tasawuf, (Studi Intelektualisme Tasawuf al-

Ghazali), (Semarang: Lembkota, 2002), hlm. 129

Page 6: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

64 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

dalam sufisme.17 Kemudian ia mendapat gelar Hujjah al-Islâm karena

pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam.18 Sedangkan di Baghdad

al-Ghazali bersentuhan dengan berbagai pandangan tentang agama dan filsafat. Hal

ini membuatnya meninggalkan pandangan ortodok dan menjadi berpikiran terbuka.

Pada usia 38 tahun dia meninggalkan Baghdad dan mengembara dan kemudian

sampai di Damaskus. Ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwat dan melakukan

latihan-latihan mistik dan ia menjadi murid Sufi Afdhal bin Muhammad. Setelah

itu dia pergi ke Jerussalem dan dari sana berlanjut ke Alexandria. Selama perjalanan

inilah dia menulis IhyaUlum al-Din (499 H) dan pada saat itu pula dia dibujuk

menjadi pimpinan Universitas Nizhamiyyah di Naisapur (500 H).19

Kemudian al-Ghazali pergi ke Mesir dan seterusnya ke Makkah dan Madinah untuk

menunaikan ibadah haji. Setelah sekian lama pengembaraannya, al-Ghazali pulang

dan menetap kembali di kota Baghdad dan menulis autobiografinya al-Munqîdz min

al-Dhalâl. Tepatnya pada tanggal 9 Desember 1111 M (14 Jumadil Akhir 505 H)

al-Ghazali meninggal dunia.

C. Kontradiktif Pemikiran Al-Ghazali Dengan Karya Ilmiah

Apa yang menjadi perhatian dalam sejarah hidup al-Ghazali adalah

kehausannya terhadap segala pengetahuan dan keinginanya untuk mencapai

keyakinan dan mencari hakikat kebenaran segala sesuatu. Pengalaman intelektual

dan spiritualnya berpindah dari ilmu kalam ke falsafah, kemudian ke bathiniyyah

dan akhirnya mendorong dirinya untuk mendalami tasawuf. Dalam hal ini Ahmad

Hanafi memberi komentar:

Oleh karena itu, pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan

semasa hidupnya dan penuh kegoncangan batin sehingga sukar diketahui kejelasan

17 Tetapi dia hanya ingin mengatakan sufisme menuju garis-garis doktrin ortodok, sebagai seorang

teolog dia mendapatkan julukan Hujjah al-Islâm dan telah meninggalkan jejak abadi dalam

keyakinan ortodok. Lihat. Subarkah, Dasar-Dasar Filsafat Islam, Pengantar Ke Gerbang

Pemikiran, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2004) hlm. 135 18 Terutama dalam menyanggah aliran kebatinan dan para filosof. Lihat Ahmad Daudy, Segi-Segi

Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 60 19 Selanjutnya al-Ghazali pindah ke kota Muaskar dan menetap di sana kurang lebih selama lima

tahun Ketika al-Ghazali tinggal di Muaskar ia sering mengisi kegiatan-kegiatan ilmiah yang

diadakan oleh perdana menteri. Melalui pertemuan-pertemuan inilah agaknya al-Ghazali diketahui

dan dipertimbangkan kepakarannya sebagai ulama yang berpengetahuan luas dan mendalam.

Lihat. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 27

Page 7: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 65

corak pikirannya seperti terlihat dari sikapnya terhadap filosof dan terhadap aliran-

aliran akidah pada dasarnya.20

Kontradiksi-kontradiksi pikirannya banyak dijumpai dalam berbagai kitab

karangannya, karena dipengaruhi oleh perkembangan pikirannya sejak masih

muda.21 Di satu pihak ia dikenal sebagai penulis buku polemis, “Tahâfut al-

Falâsifah” untuk menelanjangi kepalsuan para filosof berikut doktrin-doktrin

mereka. Tetapi pada saat yang sama, ia juga menulis buku yang sama, ia juga

menulis buku tentang ilmu logika Aristoteles “al-Mantiq al-Aristhî”, lalu menulis

kitab “Miyâr al-Ilm” (mencakup filsafat); bahkan ia membela ilmu-ilmu warisan

Aristoteles itu dan menjelaskan berbagai segi kegunaanya.22 Demikian juga

kontradiksi pemikirannya sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Nur Cholis

Madjid: dalam bukunya “iljâm al-Awwam an ilm al-kalâm” Nampak menentang

ilmu kalam. Tapi bukunya yang lain “al-Iqtishâd fi al-Itiqâd” al-Ghazali memberi

tempat kepada ilmu kalam Asyariyah. Dan dalam karya utamanya yang cemerlang

“ihyâ ulm al-dîn”, al-Ghazali dengan cerdas menyuguhkan sinkretisme kreatif

dalam Islam sambil tetap berpegang kepada ilmu kalam al-Asyari.23

Dengan demikian al-Ghazali tidak memuji seluruhnya dan tidak mencaci

seluruhnya terhadap ilmu kalam, akan tetapi ada yang dipuji dan ada yang dicaci.

Misalnya, ilmu kalam yang diajarkan kepada orang awam, tidak akan tercapai

maksudnya dan bahkan bisa mengacaukan pikiran serta dapat memalingkan dari

akidah yang benar. Oleh karena itu Dr. Sulaiman Dunia menganalisisnya bahwa

buku-buku yang ditujukan kepada orang awam dan orang-orang tertentu (khawas)

tentunya isinya tidak sama. Karena apa yang disampaikan oleh al-Ghazali kepada

orang khawas tentunya isinya tidak sama dengan yang diberikan kepada orang

20 Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 200. 21 Kehausan al Ghazâlî akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak kemampuan intelektualnya

mulai berkembang. Ia cenderung untuk mengetahui, memahami dan mendalami masalah-masalah

yang hakiki. Hal ini dilukiskan oleh al Ghazâlî sendiri, seraya menyatakan: “kehausanku untuk

menggali hakikat segala persoalan telah menjadi kebiasaanku semenjak aku muda. Hal itu

merupakan tabiat dan fitrah yang telah diletakkan oleh Allah dalam kejadianku, bukan karena

usahaku.” Lihat Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 75. 22 Nur Cholis Madjid, “Al-Ghazali dan Ilmu Kalam,” dalam Simposium tentang al-Ghazalism,

(Jakarta: BKSPTIS, 1985), hlm. 6. 23 Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, hlm. 4.

Page 8: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

66 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

awam. Karena pengertian orang awam dengan orang (khawas) tentang hal yang

sama tidak selamanya sama.24

Al-Ghazali merupakan ilmuwan yang sangat produktif dalam menghasilkan

karya ilmiah, diantaranya al-Talîqât fî Furû al-Mazhab, al-Mankhûl fî al-Ushûl, al-

Wâsit, al-Bâsit, Al-Wâjiz, Khulâsah al-Mukhtashâr wa Naqawât al-Mutasar, Al-

Muntakhal fî Ilm al-Jidâl, Maakhîz al-Khilâf, Lubâb al-Nazr, Takhsîn al-Maâkhiz,

Mabâdi wa al-Ghâyah, Syifâ al-Qaul Fî al-Qiyâs wa al-Talîl, Fatâwâ al-Gazâlî,

Fatwâ, Gayyah al-Gaur Fi Dirâyah al-Daur, Maqâsid al-Falâsifah, Tahâfut al-

Falâsifah, Miyâr al-Ilm fî Fann al-Mantiq, Miyâr al-Uqûl, Makh al-Nazr Fî al-

Mantiq, Mîzân al-Amal, Al-Mustazhiri Fî al-Radd Alâ al-Bâtiniyyah, Hujjah al-

Haqq, Qawâsim al-Batiniyyah, al-Iqtishâd Fî al-Itiqâd, Al-Risâlah al-Qudsiyyah fî

Qawâid al-Aqâid, Al-Maârif al-Aqliyyah Wa Lubab al-Hikmah al-Ilâhiyyah, Ihyâ

Ulûm al-Dîn, Kitab fî Masalah Kulli Mujtâhid Mûsib, Jawâb al-Gazâlî An Dawât

Muayyid al-Mulk Lahû Lî Muâwadah al-Tadrîs bî al-Nizâmiyyah fî Baghdâd,

Jawâb Mafsal al-Khilâf, Jawâb al-Masâil al-Arba Allati Saalahâ al-Bâthiniyyah bi

Hamdan Min as-Syaikh al-Ajall Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Gazâlî,

Al-Maqsad al-Asnâ Syarh Asmâ Allah al-Husnâ, Risâlah Fî Ruju Asmâ Allah Ilâ

Zât Wâhidah Alâ Rayi al-Mutazilah Wa al-Falâsifah, Bidâyah al-Hidâyah, Jawâhir

Al-Qurân, Al-Arbaîn Fî Usûl al-Dîn, Al-Madnûnu Bihî Alâ Ghair Ahlihî, Al-

Madnûnu Bihî Alâ Ahlihî, Al-Durj al-Marqûm Bi al-Jadâwil, Al-Qistas al-

Mustaqîm, Faisal al-Tafrîqah Bain al-Islâm Wa al-Zandaqah, Al-Qânûn al-Kulli

Fi al-Tawil, Kimiyâ Saâdah (Dalam Bahasa Persia), Ayyuha al-Walad, Nasihat al-

Muluk, Zad Akhirat(Dalam Bahasa Persi), Risâlah Ila Abi al-Fath Ahmad Ibn

Salamah al-Dimamî Bi al-Mausil, al-Risâlah al-Laduniyyah, Risâlah Ilâ Badi Ahli

Asrih, Misykat al-Anwâr, Tafsîr Yaqut al-Tawîl, al-Kasyf Wa al-Tabyîn Fî Ghurûr

al-Khalq Ajmaîn, Talbîsu Iblîs, Al-Munqid Min al-Dalâl Wa al-Mufsih An al-

Ahwâl, Kutub Fî al-Sihr Wa al-Khawwâs Wa al-Kimiya, Ghaur al-Daur fî al-

Masalât al-Suraijiyyah, Tahzîb al-Usûl, Kitâb Haqîqât al-Qaulân, Kitab Asâs al-

Qiyâs, Kitab Haqîqah Al-Qurân, al-Mustasfâ min Ilm al-Ushûl, al-Imlâ alâ Musykil

al-Ihyâ, Al-Istidrâj, al-Durrah al-Fâkhirah fî Kasyf Ulûm al-Akhîrah, Sirr al-

Âlamîn wa Kasyf Mâ fî al-Dârain, Asrâr Muâmalat al-Dîn, Jawâb Masâil Suila

24 Ibid., hlm. 20.

Page 9: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 67

Anhâ fî Nusus Asykalât Alâ al-Sâil, Risâlah al-Aqtâb, Iljâm al-Awwâm an Ilm al-

Kalâm, Minhâj al-Âbidîn.25

Jika melihat hasil karya pemikirannya, dapat diketahui bahwa corak pemikiran

al-Ghazali sangat dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan yang menjadi bahan

perenungannya. Pada saat belajar teologi, dia seperti teolog. Pada saat belajar fiqh,

dia menghasilkan karya-karya tentang fiqh. Pada saat menggeluti filsafat, dia pun

melahirkan karya-karya yang dipengaruhi pemikiran filsafat. Namun yang pasti, di

akhir-akhir hidupnya, dia meyakini bahwa cara mencari kebenaran yang hakiki

adalah melalui jalan tasawuf.26 Al-Ghazali berkata:

”Selama berkhalwat terbukalah bagiku beberapa perkara yang tidak dapat

dihitung dan dirinci. Kadar yang dapat disebutkan untuk diambil manfaatnya

adalah bahwa aku sudah mengetahui secara yakin bahwa kaum sufi itulah

orang-orang yang menempuh jalan yang dikehendaki Allah, perilaku

hidupnya paling baik, metodologinya paling benar dan akhlaknya paling

bersih dan suci. Bahkan, andaikata manusia mengumpulkan orang-orang

berakal (teolog), kaum filosof dan ilmuwan yang dapat menangkap rahasia

syara dari kalangan fuqaha untuk menciptakan cara yang lebih utama dari

pada cara tasawuf itu, niscaya tidak akan terlaksana. Sebab semua gerak-gerik

dan diam mereka dipetik dan dipancarkan dari cahaya kenabian, padahal

dibalik cahaya kenabian yang terdapat di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang

dapat menerangi.27

D. Evolusi Pemikiran al-Ghazali

Dalam perkembangan pemikirannya, al-Ghazali melalui beberapa proses

yang panjang dalam pencarian kebenaran hakiki. Pada akhirnya ia menemukan

tasawuf sebagai persinggahan terakhirnya setelah sempat mengembara dalam

berbagai aliran dan kelompok untuk menemukan kebenaran. Dalam berfikir, ia

tidak begitu taqlîd kepada pendapat-pendapat yang dikatakan orang itu benar.

25 Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali; Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka

Setia, 2007), hlm. 71-75. 26 Dalam al-munqîdz min al-dhalâl al-Ghazali menyebut bahwa kebenaran itu bisa diperoleh

dengan cara "hakikat kenabian." Kenabian disini bukan berarti sesuatu yang berhubungan dengan

nabi yang merupakan sosok yang bijak dan istimewa yang memiliki banyak pengikut, tetapi lebih

dari itu. Hakikat kenabian adalah tingkatan yang lebih tinggi di atas rasio, yang dengannya terlihat

sesuatu yang tidak tercapai oleh kekuatan rasio, sebagaimana rasio mencapai sesuatu yang tidak

dicapai indera. Lihat Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 79. 27 Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 79.

Page 10: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

68 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

Ada empat kelompok aliran Islam yang menjadi sasaran al-Ghazali pada saat itu,

yaitu kelompok teolog Islam, Filosof, aliran Syi'ah Bathiniyah, dan kelompok

sufisme.

Pertama, kelompok teolog Islam, yang dikatakan sebagai ahli intelektual

dan pemikir. Al-Ghazali mengakui bahwa perkembangan ilmu kalam telah

mendorong dirinya untuk menyelidiki hakikat segala sesuatu, memperdalam kajian

tentang al-jauhar (zat atau substansi), al-ra'ud (aksidensi), serta hukum masing-

masing keduanya. Bagi Al-Ghazali, semua itu bukan menjadi tujuan ilmu kalam.

Maka, tujuan dan berbagai pendapat para teolog tersebut tentang hal ini tidak

sampai mendalam dan tidak memuaskan orang yang ingin melenyapkan segala

keraguan tentang berbagai wacana kalam tersebut.28 Al-Ghazali belum

mendapatkan kebenaran yang hakiki sesuai dengan harapannya, namun ia tidak

menyalahkan orang lain yang menggeluti pemikiran kalam tersebut.

Kedua, para filosof yang dikatakan sebagai ahli logika dan mengutamakan

akal. Al-Ghazali bertekad dengan segala kesungguhan dan kejujuran untuk

mengkaji pengetahuan tentang ilmu filsafat dari berbagai macam literatur secara

autodidak. Dalam perjalanan mengkaji filsafat, al-Ghazali merasa belum

menemukan kebenaran hakiki sebagaimana ia memahami ilmu kalam. Al-Ghazali

mengungkapkan, dalam filsafat, akal dijadikan sasaran terpenting dalam usaha

pencarian pengetahuan, sehingga keterbatasan akal tidak mampu untuk

mengungkap makna dan hakikat suatu kebenaran yang hakiki.29

Ketiga, aliran bâthiniyyah, yaitu aliran Syi'ah Ismailiyyah yang selalu

bergantung pada para Imam al-Muntadhâr yang memberikan pengajaran dan

bimbingannya secara ghaib. Sekte ini berpendapat, bahwa pengajaran khusus yang

diperoleh dari imam yang ma'shûm merupakan petunjuk. Pendapat itu ditentang

oleh al-Ghazali dengan mengungkapkan bahwa sang petunjuk yang terhindar dari

dosa menurut umat Islam adalah Nabi Muhammad, dan setelah meninggal dunia ia

sudah tidak bisa lagi dimintai petunjuk. Maka, guru yang mereka anggap sebagai

petunjuk bagi al-Ghazali adalah ghaib adanya. Lebih jauh lagi, al-Ghazali menilai

bahwa dengan kehadiran sekte bâthiniyyah membawa dampak buruk bagi

28 Mahfudz Mazduki, Spiritualitas dan Rsionalitas al-Ghazali, (Yogyakarta: TH. Press, 2005),

hlm. 62-63. 29 M. Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazali, (Jakarta: Rajawali Press, 1989), hlm. 38.

Page 11: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 69

perkembangan keyakinan maupun pikiran generasi Islam, sehingga mereka banyak

yang tersesat.30 Kelompok ini bagi al-Ghazali belum mampu memberikan kepuasan

karena tidak mampu mengantarkan kepada kebanaran hakiki yang ia rindukan.31

Keempat, sufisme yang dikatakan sebagai kelompok elitis Tuhan

(khawwash al-hadhrah). Menurut al-Ghazali, ahli teolog, para filosof, dan sekte

bâthiniyyah mempunyai perbedaan dengan tasawuf, karena para sufi adalah pencari

kebenaran yang telah mencapai tujuan. Tasawuf bagi al-Ghazali dapat dijadikan

sarana untuk memperdalam keimanan, menghidupkan gairah, serta ketaatan dan

ketekunan beribadah kepada Allah.32

Dalam konteks tasawuf, al-Ghazali menganut sufistik yang bercorak psiko-

moral, yang mengutamakan pendidikan moral sesuai dengan naluri alamiah Islam.

Al-Ghazali dalam tasawufnya mengusung konsep ma'rifah dalam batas pendekatan

diri kepada Allah (taqarrub bi Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.33 Jalan

menuju ma'rifah adalah perpaduan antara ilmu dan amal yang akan berbuah

moralitas. Sebagian kalangan beranggapan, al-Ghazali mempunyai jasa yang besar

karena telah mampu memadukan keilmuan tradisional Islam, tasawuf, fiqh dan ilmu

kalam yang sebelumnya mengalami berbagai macam ketegangan dan berdiri sendiri

tanpa ada komunikasi.34

E. Konsep Etika al-Ghazali

Perhatian utama hidup dan pemikiran al-Ghazali semasa periode sufi itu

adalah kehidupan akhirat yang baik. Pertimbangan ini menentukan beragam aspek

teori moralnya. Ini membuat etikanya bersifat religious dan sufi, tidak serupa

30 Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman: Sebuah Pengantar tentang

Tasawuf, alih bahasa Ahmad Rofi' Usmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 164. 31 Ainurrofiq Dawam, "Sinergitas "Tri Paradigma" Filsafat Alam Kontemporer: Berangkat dari

Kritisisme Al-Ghazali," dalam Syamsul Rijal, Bersama al-Ghazali Memahami Filosofi Alam;

Upaya Meneguhkan Keimanan, (Yogyakarta: Arruzz, 2003), hlm. 28-30. 32 Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep

"Tradisionalisme Islam" Sayyed Hosein Nasr, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 1. 33 Menurut H. Abdul Muhayya, tasawuf dapat dijadikan sebagai terapi krisis spiritual, karena

pertama, secara psikologis, tasawuf merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai

relitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua, kehadiran Tuhan

dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat, seperti ma'rifah,

itthâd, hulûl, mahabbah, al-uns, dan lain sebagainya yang mampu menjadi moral force bagi amal-

amal shâlih. Lihat H. Abdul Muhayya, "Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual,"

dalam Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Press, 2001), hlm.

24-25. 34 Amin Sukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 38.

Page 12: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

70 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

dengan etika sekuler, yang selalu berurusan dengan kesejahteraan manusia dalam

hidup ini.

Sesuai dengan inti persoalan, al-Ghazali menamakan etikanya ilmu menuju

akhirat (ilm tharîq al-akhîrah) atau jalan yang dilalui para nabi dan leluhur saleh

(al-salaf al-shâlih). Ia juga menamakannya ilmu pengamalan agama (ilm al-

muâmalah).35 Menurut pendapatnya, etika ialah pengkajian tentang keyakinan

religius tertentu (i tiqâdât), dan tentang kebenaran atau kesalahan dalam amal untuk

diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka. Pengkajian tentang amal

mencakup pengkajian tentang amal terhadap Allah, amal terhadap sesama manusia

dalam keluarga dan dalam masyarakat, mengenai penyucian jiwa dari kejahatan dan

perihal memperindah jiwa dengan kebajikan-kebajikan. Jadi jangkauan etika al-

Ghazali amat luas dan ini adalah satu ciri khas etika sufi. Ini mungkin lebih

memperjelas dengan memperhatikan jangkauan etika para filososf muslim, yang

dikutipnya dalam buku Maqâsid.36

Al-Ghazali menggambarkan tujuan penelaahan etika sebagai sesuatu yang

berhubungan dengan masalah pokok etikanya. Ada tiga teori penting mengenai

tujuan perbaikan etika: (a) mempelajari etika sekedar sebagai studi murni teoritis,

yang berusaha memahami ciri kesusilaan (moralitas), tapi tanpa maksud

mempengaruhi perilaku orang yang mempelajarinya. (b) mempelajari etika

sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari. (c) karena etika

terutama merupakan subjek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan

kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan etis harus terdapat kritik

yang terus menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga etika menjadi

suatu subjek yang praktis. Al-Ghazali setuju dengan teori yang kedua. Dia

menyatakan bahwa studi tentang ilmu muamalah (ilmu agama praktis)

dimaksudkan untuk latihan kebiasaan dalam meningkatkan keadaan jiwa agar

kebahagiaan dapat dicapai di akhirat.37 Pengkajian ini punya arti, hanya karena

35 Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, (Leiden: tp.,1911), hlm. 86 dan 115. 36 Ibid., hlm. 134-136. 37 Menurut H. Abdul Muhayya, untuk berperilaku baik, seseorang harus melatih dirinya

melakukan kebaikan, sehingga dia akan terbiasa. Menurutnya, dengan mengutip pendapat al-

Ghazali, perbuatan itu diawali dari خواطر (inspirasi) yang kemudian turun ke الطبع ميل

(kecenderungan watak). Pada tahap الطبع ميل inilah letak pentingnya pembiasaan diri, karena orang

yang membiasakan dirinya melakukan kebaikan-kebaikan akan memiliki kecenderungan pada hal-

hal yang baik, demikian juga orang yang biasa melakukan kejelekan akan memiliki kecenderungan

Page 13: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 71

tanpa pembiasaan, kebaikan tidak bisa dicari dan keburukan tidak dapat dihindari

dengan sempurna. Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan

semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-ghazali malah menyatakan lebih tegas,

bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik dari pada kebodohan.38

Etika al-Ghazali dapat juga dikatakan bercorak teleologis (aliran filsafat

yang mengajarkan bahwa segala ciptaan di dunia ini ada tujuannya) sebab ia menilai

amal dengan mengacu kepada akibat-akibatnya. Etika ini mengajarkan, bahwa

manusia punya tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat dan bahwa amal itu

baik kalau ia menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke

tujuan akhirat, dan dikatakan amal itu buruk, kalau ia menghalangi jiwa mencapai

tujuan itu.39

Bahkan amal ibadah seperti sholat dan zakat adalah baik disebabkan

akibatnya pada jiwa. Derajat baik dan buruk bagi amal berbeda oleh sebab

perbedaan dalam hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.

Memang tekanan al-Ghazali pada akibat bagi jiwa demikian kerasnya, sehingga

etikanya bisa dianggap sebagai etika bagi jiwa. Jadi amal perbuatan dianggap baik

dan buruk selaras dengan apakah akibatnya bermanfaat atau merugikan. Dalam hal

memandang etika bersifat teleologis, Al-Ghazali sepakat dengan Aristoteles yang

diikuti para filosof muslim seperti Ibnu Sina, Al-Farabi dan Ibn Miskawaih, yang

semuanya menimbang kebaikan atau keburukan sebagai nilai-nilai yang intrinsik

pada perbuatan moral, dan bahwa syariah memerintahkan atau melarang amal

disebabkan oleh perbuatan itu baik atau buruk.40

Doktrin sejenis ini disebut deontologis yang berlawanan dengan teori

teleologis. Al-Ghazali setuju dengan kaum Asyariyah dalam hal nilai intrinsik suatu

amal, dan dalam hal menghubungkannya dengan suatu tujuan akhirat dan dengan

perintah dan larangan Allah, tapi sebagai seorang moralis, dia meletakkan tekanan

lebih besar pada akibat perbuatan dibanding kaum Asyariyah. Salah satu masalah

pada kejelekan. Dari الطبع ميل menjadi الاعتقاد (yakin/keyakinan), yang kemudian menjadi العزم (kehendak melakukan) dan selanjutnya menjadi الفعل (perbuatan). Disampaikan dalam seminar

kelas Etika Islam dan Tasawuf, Jum'at 6 April 2012 di IAIN Walisongo, Semarang. 38 Muhammad Abul Quasem dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali , hlm. 13. 39 Ibid., hlm. 13-14. 40 Ibid., hlm. 14.

Page 14: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

72 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

yang muncul dalam penentuan nilai moral suatu amal perbuatan adalah cara

mengetahui nilainya.41

Setelah melukiskan etika sebagai suatu ilmu religious-rasional seperti itu,

Al-Ghazali menjelaskan metode pengetahuan perihal tasawuf dan menghubungkan

etika padanya. Menurutnya, pengetahuan kadang-kadang didapat dengan belajar

dan kadangkala sebagai anugerah Allah. Jika itu merupakan anugerah, mungkin itu

disampaikan melalui perantara seorang malaikat atau tanpa perantara sama sekali

yang berupa wahyu (wahy), inspirasi (ilham) atau intuisi mistik (kasyf).42 Hanya

mereka yang telah mensucikan jiwa dari kekejian dan memerintah jiwa tersebut

dengan kebajikan, yang bisa mendapat pengetahuan dengan cara kasyf, sebab pada

tahap demikian dalam jiwa berkembang suatu kekuatan, yang dengannya jiwa

melihat kebenaran. Jiwa itu mengetahui kebenaran secara langsung tanpa noda

apapun atau kepercayaan pada kekuasaan apapun. Malah sebelum penyempurnaan

pemurnian, beberapa pengetahuan tentang baik dan buruk dan perihal dunia ghaib

langsung dicapai. Seorang sufi yang sudah sampai pada tingkatan kasyf, kadang-

kadang bisa mengetahui kebenaran atau kesalahan amal-amal perbuatan

seseorang.43

Dalam pencarian kebenaran, seseorang harus sampai pada tahap hakikat

kenabian, dimana kebenaran dapat diperoleh tidak melalui nalar, tapi dengan

cahaya kenabian, yang lebih tinggi dari akal. Akal tidak mampu menangkap apa

yang dapat diketahui oleh mata kenabian, akal mempercayakan kita pada wahyu

kenabian. Akal tidak dapat lagi melangkah maju melewati kebenaran kenabian.

Akal tidak berperan kecuali memahami apa-apa yang disampaikan para nabi

kepadanya. Para nabi memiliki pandangan bathin langsung ke dalam kebenaran

yang disampaikan melalui wahyu. Jika orang lain mampu mengikuti jalan mereka,

dia juga akan menjadi tahu kebenaran dengan cara penglihatan secara langsung

(mukâsyafah).44

Jika pengetahuan kenabian ini telah diperoleh, maka seseorang dapat

meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi, dari tamyîz, mukâsyafah menuju dzauq.

41 Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 24-26. 42 Ibid., hlm. 60. 43 Muhammad Abul Quasem dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali , hlm. 17-18. 44 Al-Ghazali, al-Munqîdh min al-Dhalâl, hlm. 64.

Page 15: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 73

Dzauq adalah merasakan kebenaran seperti sesungguhnya, seperti melihat dengan

mata kepala atau memegang dengan tangan. Proses dzauq ini hanya dapat diperoleh

melalui jalan tasawuf.45

F. Etika al-Ghazali: Konsep Keseimbangan dan Langkah Peningkatan

Akhlak

Menurut al-Ghazali, akhlak bukanlah pengetahuan (marifah) tentang baik dan

jahat maupun qudrat untuk baik dan buruk, bukan pula pengalaman (fil) yang baik

dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hayah râsikhah fî al-nafs).

Ia mendefinisikan akhlak sebagai suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan

perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan

disengaja.46 Jika kemantapan itu demikian, sehingga menghasilkan amal-amal yang

yang baik, maka ini disebut akhlak yang baik, jika amal-amal yang tercela yang

muncul dari keadaan (kemantapan) itu, maka itu dinamakan akhlak buruk.47

Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan akhlak apabila mempunyai dua

keadaan jiwa yang harus dipenuhi. Pertama, konstan yaitu dikatakan seorang yang

berakhlak pemurah, umpamanya, bila orang yang kemauannya untuk mendermakan

kekayaannya telah menjadi mapan dan relatif permanen dalam jiwanya. Kedua,

timbulnya perbuatan yang mudah dan spontan dari suasana yang sudah mapan,

karena itu seorang pemurah ialah orang yang mendermakan hartanya dengan

mudah dan tanpa paksaan.

Menurut al-Ghazali, karena munculnya perilaku ataupun akhlak dikarenakan

pada keadaan jiwa, maka munculnya akhlak yang baik tentunya dari keadaan batin

45 Ibid., hlm. 65-66. Menurut H. Abdul Muhayya, dengan mengutip pendapat al-Ghazali, tingkatan

kecerdasan jiwa seseorang itu terbagi menjadi Lima. Pertama, الحساسي روح di mana kebenaran

didasarkan pada indera. Kedua, الخيالي روح di mana kebenaran diperoleh melalui imajinasi

pengalaman. Ketiga, العقلي روح di mana jiwa sudah mampu melakukan sintesa. Keempat, الفكري روح

di mana jiwa dapat menemukan sesuatu karena petunjuk Tuhan (وهبي). Kelima, النبوي القدسي روح di

mana pada tahapan ini, jiwa tidak hanya mendapatkan penemuan, melainkan juga pengetahuan

yang diberi Tuhan, atau yang disebut dengan ilm ladunnî. Disampaikan dalam seminar kelas Etika

Islam dan Tasawuf, Jum'at 30 Maret 2012 di IAIN Walisongo, Semarang. 46 Menurut H. Abdul Muhayya, dengan mengutip pendapat al-Ghazali, akhlak adalah: عبارة عن

Disampaikan dalam . روية و فكر الى حاجة غير من يسر و بسهولة الافعال تصدر عنها راسخة النفس في حياة

seminar kelas Etika Islam dan Tasawuf, Jum'at 6 April 2012 di IAIN Walisongo, Semarang. 47 Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-dîn, Jilid III. (Beirut: Dar Al Fikr, tt.), hlm. 96.

Page 16: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

74 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

yang baik. Di dalam batin manusia menurutnya terdapat empat sumber kebaikan

akhlak, yaitu al-hikmah, al-syajâah, al-iffah, dan al-'adl.48

Al-hikmah merupakan hasil kekuatan akal yang baik dan sempurna, yang bisa

membedakan antara ketulusan dan kebohongan dalam hal ucapan, antara yang hak

dan yang batil dalam hal perbuatan.49 Kekuatan akal yang baik dan sempurna akan

menimbulkan sikap proporsional, ketelitian, kejernihan dalam pemikiran,

ketajaman pandangan, ketepatan perkiraan, kecermatan dalam mengamati berbagai

pekerjaan yang rumit dan ketepatan pendiagnosaan terhadap penyakit-penyakit

jiwa yang tersembunyi. Akan tetapi bila penggunaan kekuatan akal ini berlebihan

menimbulkan kelicikan, kecurangan, penipuan dan keculasan. Sebaliknya

kekurangan dalam menggunakan akal akan menimbulkan kebodohan, kedunguan,

kecerobohan dan kegilaan.50

Sifat al-syajâah akan menimbulkan kehormatan, tidak mengenal rasa takut,

kejantanan, pengendalian diri, kesabaran, ketabahan, keteguhan hati, keramah

tamahan, kasih sayang. Apabila sifat syajâah ini berlebihan maka akan

menimbulkan keangkuhan, suka menonjolkan diri, congkak dan mudah

tersinggung. Namun bila sifat keberanian ini kurang maka akan menimbulkan

kehinaan, minder, bernyali kecil, kenistaan, pengecut dan takut mengambil

keputusan mengenai apa yang benar dan wajib.51

Sifat al-iffah akan menimbulkan kedermawanan, kerendahan hati, kesabaran,

pemaaf, keikhlasan, keshalehan, kebaikan hati, suka menolong orang lain,

kemulyaan budi pekerti dan hilangnya sifat tamak. Apabila sifat kesederhanaan ini

berlebihan ataupun berkurang, maka akan menimbulkan sifat keserakahan,

ketamakan, tidak bermoral, boros, kikir, riya, congkak, suka mengumpat, suka

menjilat, iri, dengki, sikap minder terhadap orang kaya, menghina orang miskin dan

sebagainya.

Adapun sifat keseimbangan (al-adl) apabila dalam diri telah hilang, maka tidak

ada lagi ujung yang berlebihan ataupun berkurang, yang ada hanyalah sifat

48 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa Perspektif Sufistik, alih bahasa Rahmani Astuti,

(Bandung: Mizan, 2002), hlm. 31-34.

49 Ibid., hlm. 32. 50 Ibid., hlm. 35. 51 Ibid., hlm. 36.

Page 17: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 75

kedzaliman. Dengan demikian, kesempurnaan akhlak bukan terletak pada sikap

tegas membabi buta atau sikap kasih sayang yang membabi-buta pula, melainkan

keseimbangan (al-adl).52

1. Induk Akhlak Buruk pada Manusia

Menurut al-Ghazali, biang sifat buruk yang harus dibuang dan memerlukan

riyâdhah adalah: kelobaan, akses dalam seks, berbicara berlebihan, amarah hebat,

iri hati, dendam, cinta dunia, cinta harta, bakhil, cinta pengaruh, kemegahan,

kesombongan, kecongkakan, riya, ghibah dan delusi.53

Sifat-sifat buruk itulah yang menjauhkan jiwa dari Allah, mengakibatkan

mendapat hukuman di akhirat dan membawa penderitaan dalam hidup di dunia.

Menurutnya, sumber utama nafsu dan penyebab berbagai penyakit dan kerusakan

adalah perut yang diikuti oleh nafsu seks dan hasrat kuat terhadap kaum perempuan,

lalu disusul oleh nafsu makan dan kawin serta sifat rakus terhadap ketenaran dan

kekayaan yang menjadi alat bagi seseorang untuk memuasakan nafsu seks dan

hasrat terhadap makanan. Setelah memperbanyak harta dan kedudukan, munculah

berbagai sifat angkuh, berlomba-lomba dan dengki. Kemudian diantara keduanya

timbul penyakit ingin dipuji orang, kesombongan, berlomba-lomba dalam masalah

kekayaan dan sifat angkuh yang pada gilirannya mengakibatkan timbulnya rasa iri,

dengki, permusuhan dan saling membenci.54

2. Metode mendapatkan akhlak yang baik

Akhlak yang baik merupakan buah dari keseimbangan (al-adl) daya

rasional, kesempurnaan hikmah, dan daya amarah maupun daya sahwat yang

tunduk kepada akal dan syariat.

Menurut al-Ghazali keseimbangan ini dapat dicapai melalui dua cara.

Pertama, kesempurnaan sifat bawaan yakni seseorang yang dilahirkan memiliki

akhlak yang baik. Maka orang seperti ini menjadi pandai tanpa belajar dan terdidik

52 Al-Ghazali, Persaudaraan Islam, alih bahasa M.S. Nasrullah, (Bandung: Al-Bayan, 1994), hlm.

114.

53 Muhammad Abul Quasem dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di dalam Islam,

(Bandung: Mizan, 1988), hlm. 113. 54 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa, hlm. 172.

Page 18: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

76 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

tanpa pendidik, seperti : Nabi Isa, Maryam, Yahya, Zakaria dan nabi-nabi lain.

Namun bukan suatu kemustahilan bahwa terdapat sifat maupun watak yang

diperoleh melalui ikhtiar manusia. Seringkali kita dapati seorang anak yang

dilahirkan dengan sifat bawaan jujur, pemurah lagi pemberani. Akan tetapi, sering

kali pula didapati anak yang dilahirkan dengan sifat sebaliknya. Oleh karana itu

dalam hal ini sifat-sifat baik hanya dapat diperoleh melalui pembiasaan, bergaul

dengan orang-orang yang berakhlak yang baik dan pendidikan.55

Kedua, melalui perjuangan melawan hawa nafsu (mujahadah) dan

pelatihan-pelatihan jiwa (riyâdhah al-nafs) yang dimaksud adalah membiasakan

diri mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akhlak-akhlak yang

dicita-citakan. Misalnya, seseorang yang memiliki sifat pemurah harus melatih

dirinya bersikap dermawan yakni menyumbangkan hartanya dan terus menjalankan

upaya bijak ini dengan sungguh-sungguh sehingga sifat pemurah betul-betul

menjadi wataknya.56

Jika ibadah dan meninggalkan perbuatan terlarang terasa berat dan

menyakitkan berarti upaya-upayanya belum mencapai rasa cinta yang utuh.

Memang perjuangan melawan hawa nafsu dan pelatihan jiwa lebih baik tetapi

sifatnya masih terikat dengan keinginan meninggalkan dan bukan kemauan untuk

menjalankannya dengan ikhlas.

Menurut al-Ghazali bahwa dalam usaha mencapai kebahagiaan tidak cukup

mengerjakan ketaatan dan merasa benci berbuat maksiat hanya dalam waktu

singkat. Namun proses ini harus dilakukan dengan terus menerus selama hidup.57

3. Strategi Peningkatan Akhlak

Orang yang mengira bahwa akhlak yang buruk tidak mungkin dapat dirubah

karena sesungguhnya watak manusia itu bersifat statis, mengemukakan dua alasan

untuk memperkuat argumennya. Pertama, akhlak adalah bentuk batin seperti hanya

paras yang merupakan bentuk lahir tidak ada orang yang mampu membuat paras

55 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa, hlm. 99. 56 Ibid., hlm. 100. 57 Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia (Tahdzib al-Akhlak wa

Mualajah Amradh al-Qulub), alih bahasa Muhammad al-Baqir, (Bandung : Karisma, 2003), hlm.

100.

Page 19: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 77

lahir, misalnya orang yang pendek tak akan mampu membuat dirinya menjadi

tinggi begitu pula keburukan batin. Kedua, dia akan berargumen bahwa kebaikan

akhlak bermula dari keberhasilan mengendalikan hawa nafsu dan amal. Karena kita

tidak pernah lepas dari orang lain maka perjuangan itu hanya menyia-nyiakan

waktu dan tujuan menghentikan kecondongan hati terhadap keuntungan duniawi

adalah mustahil.58

Menurut al-Ghazali seandainya akhlak itu tidak mungkin diubah, tentu tidak

ada gunanya segala nasihat, khutbah dan pendisiplinan. Padahal Nabi bersabda : خلقكم احسنوا

Artinya: “Perbaikilah akhlakmu” (HR. Abu Bakar bin Laal).

Bagaimana pengubahan ini dapat disangkal oleh manusia yang berakal, padahal

perubahan watak binatang saja bukan merupakan yang mustahil. Semisal seekor

elang dapat dirubah dari ganas menjadi jinak, seekor anjing dari sifat rakus terhadap

makanan menjadi berprilaku baik dan menahan diri dan seekor kuda dari liar

menjadi patuh dan tunduk. Semua ini jelas merupakan perubahan watak.59

Menurut H. Abdul Muhayya dengan mengutip pendapat al-Ghazali, setiap

manusia memiliki tiga potensi kejiwaan, (1) potensi ilmu ( العلم قوة ), (2) potensi

syahwat ( الشهوة قوة ), dan (3) potensi amarah ( الغضب قوة ). Ketiga potensi tersebut

harus dikendalikan oleh agama agar potensi ilmu menjadi hikmah, potensi syahwat

menjadi iffah di mana orang lebih suka menjaga harkat dirinya, dan potensi amarah

menjadi syajâah (keberanian).60

Menurut al-Ghazali upaya pengubahan akhlak dari akhlak buruk menjadi

akhlak yang baik bukan dengan jalan mengekang atau menghilangkan ghadab

(amarah) dan syahwat, namun menempatkannya secara proporsional yaitu berada

ditengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Hal ini disebabkan

keduanya mempunyai manfaat tertentu dan harus ada dalam diri setiap makhluk.61

58 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa, hlm. 92-93. 59 Al-Ghazali, Persaudaraan Islam, hlm. 114. 60 Disampaikan dalam seminar kelas Etika Islam dan Tasawuf, Jum'at 30 Maret 2012 di IAIN

Walisongo, Semarang. Hal ini juga dapat dilihat di Madjid Fakhry, Etika dalam Islam,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 128-129. 61 Al-Ghazali, Persaudaraan Islam, hlm. 114; Imam Abdul Mukmin Sa'aduddin, Meneladani

Akhlak Nabi; Membangun Kepribadian Muslim, alih bahasa Dadang Sobar Ali, (Bandung: PT.

Rosda Karya, 2006), hlm. 240-241.

Page 20: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

78 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

Menurut al-Ghazali tingkatan dalam kesempurnaan tingkatan akhlak adalah

tersingkapnya hijab (Mukâsyafah) antara manusia dan penciptanya yaitu Allah

yakni mencapai ilmu, hikmah dan marifah kepada Allah. Namun kecenderungan

manusia terlena dengan kecintaan terhadap dunia. Menurutnya, penghalang untuk

mendekati Allah adalah tidak adanya perjuangan untuk menjalani pengembaraan

ruhani (suluk) yang diakibatkan oleh tidak adanya kemauan yang terhambat oleh

tidak adanya iman.62

G. Kesimpulan

Abu Hamid Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali al-Thusi. Al-Ghazali lahir

pada tahun 450/1058 di Thus dan meninggal dunia di Baghdad, tepatnya pada

tanggal 9 Desember 1111 M (14 Jumadil Akhir 505 H).

Al-Ghazali merupakan salah satu pemikir muslim yang produktif. Beliau

banyak menghasilkan buku-buku yang berkwalitas. Diantara karyanya yang

terkenal adalah Tahâfut al-Falâsifah, al-Mantiq al-Aristhî, Miyâr al-Ilm, iljâm al-

Awwam an ilm al-kalâm, al-Iqtishâd fi al-Itiqâd, ihyâ ulm al-dîn.

Etika al-Ghazali bersifat religius-sufi. Menurut pendapatnya, etika ialah

pengkajian tentang keyakinan religius tertentu (itiqâdât), dan tentang kebenaran

atau kesalahan dalam amal untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.

Pengkajian tentang amal mencakup pengkajian tentang amal terhadap Allah, amal

terhadap sesama manusia dalam keluarga dan dalam masyarakat, mengenai

penyucian jiwa dari kejahatan dan perihal memperindah jiwa dengan kebajikan-

kebajikan agar dapat melihat (mukâsyafah) dan bahkan merasakan atau mengalami

(dzauq) kebenaran.

Kebenaran itu bisa diperoleh dengan cara "hakikat kenabian." Kenabian

disini bukan berarti sesuatu yang berhubungan dengan nabi yang merupakan sosok

yang bijak dan istimewa yang memiliki banyak pengikut, tetapi lebih dari itu.

Hakikat kenabian adalah tingkatan yang lebih tinggi di atas rasio, yang dengannya

terlihat sesuatu yang tidak tercapai oleh kekuatan rasio, sebagaimana rasio

mencapai sesuatu yang tidak dicapai indera.

62 Al-Ghazali, Metode Menaklukan Jiwa, hlm. 151. Menurut al-Ghazali, akhlak yang baik adalah

iman dan akhlak yang buruk adalah kemunafikan. Lihat Imam Abdul Mukmin Sa'aduddin,

Meneladani Akhlak Nabi, hlm. 242.

Page 21: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 79

Berbicara tentang akhlak, menurut al-Ghazali, akhlak bukanlah

pengetahuan tentang baik dan jahat maupun qudrat untuk baik dan buruk, bukan

pula pengalaman (fil) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang

mantap (hayah râsikhah fî al-nafs). Ia mendefinisikan akhlak sebagai suatu

kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah,

tanpa harus direnungkan dan disengaja. Oleh karena itulah, perbuatan baik dan

buruk dapat disebut akhlak apabila dilakukan secara konstan dan spontan.

Daftar Pustaka

Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Alfan, Muhammad, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu al-Ghazali; Dimensi Ontologi dan Aksiologi,

Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Bagir, Haidar, "Etika "Barat", Etika Islam", dalam M. Amin Abdullah, Antara al-

Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002.

Daudy, Ahmad, Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

1984.

Dawam, Ainurrofiq, "Sinergitas "Tri Paradigma" Filsafat Alam Kontemporer:

Berangkat dari Kritisisme Al-Ghazali," dalam Syamsul Rijal, Bersama al-Ghazali

Memahami Filosofi Alam; Upaya Meneguhkan Keimanan, Yogyakarta: Arruzz,

2003.

Dunia, Sulaiman, al-Haqiqah fi Nazhr al-Ghazali, Kairo: Dar al-Maarif, 1971.

Fakhry, Madjid, Etika dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Ghazali Al-, al-Munqîdh min al-Dhalâl, alih bahasa Achmad Khudori Soleh,

Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

-------------, Ihyâ Ulûm al-dîn, Beirut: Dar Al Fikr, tt.

-------------, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia (Tahdzib al-Akhlak

wa Mualajah Amradh al-Qulub), alih bahasa Muhammad al-Baqir, Bandung :

Karisma, 2003.

-------------, Metode Menaklukan Jiwa Perspektif Sufistik, alih bahasa Rahmani

Astuti, Bandung: Mizan, 2002.

-------------, Persaudaraan Islam, alih bahasa M.S. Nasrullah, Bandung: Al-Bayan,

1994.

-------------, Tahafut al Falasifah (Kerancuan Para Filosof), alih bahasa Ahmad

Maimun, Bandung: penerbit Marja, 2010.

Page 22: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Umar Faruq Thohir

80 | Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021 p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347

Hanafi, Ahmad, Pengantar filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1998.

Hujwiri Al-, Kasyf al-Mahjûb, Leiden: tp.,1911.

Imam Abdul Mukmin Sa'aduddin, Meneladani Akhlak Nabi; Membangun

Kepribadian Muslim, alih bahasa Dadang Sobar Ali, Bandung: PT. Rosda Karya,

2006.

Jawwad, Musthafa, Abu Hamid al-Ghazali fi al-dzikra al-Miawiyyat al-Tasiat li

Miladih, Kairo: al-Majlis al-Ala li riayat al Funun wa al-Adab wa al-Ulum al-

Ijtimaiyyah, 1962.

Kiswati, Tsuroya, Al-Juwainī Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam,

(Jakarta; Erlangga, t.t.

Madjid, Nur Cholis, “Al-Ghazali dan Ilmu Kalam,” dalam Simposium tentang al-

Ghazalism, Jakarta: BKSPTIS, 1985.

Maksum, Ali, Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern: Telaah Signifikansi

Konsep "Tradisionalisme Islam" Sayyed Hosein Nasr, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2003.

Mazduki, Mahfudz, Spiritualitas dan Rsionalitas al-Ghazali, Yogyakarta: TH.

Press, 2005.

Muhayya, H. Abdul, "Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual,"

dalam Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Press,

2001.

Nasution, M. Yasir, Manusia Menurut al-Ghazali, Jakarta: Rajawali Press, 1989.

Qasim, Mahmud, Dirasah fi Falsafah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Maarif, 1997.

Quasem, Muhammad Abul dan Ahmad Kamil, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di

dalam Islam, Bandung: Mizan, 1988.

Rajb, Mansur Ali, Ta'ammulât fîFalsafah al-Akhlâq, Mesir: Maktbah al-Anjilu al-

Mishriyyah, 1961.

Shubhi, Ahmad Mahmud, al-Falsafah al-Akhlâqiyyah fî al-Fikr al-Islâmî, Mesir:

Dâr al-Ma'ârîf, 1969.

Smith, Margareth, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Jakarta: Riora

Cipta 2000.

Subarkah, Dasar-Dasar Filsafat Islam, Pengantar Ke Gerbang Pemikiran,

Bandung: Penerbit Nuansa, 2004.

Page 23: PEMIKIRAN ETIKA SUFISTIK AL-GHAZALI: LANGKAH …

Pemikiran Etika....

p-ISSN:2722-1652, e-ISSN: 2721-1347 Al-I’jaz : Volume 3, Nomor 1, Juni 2021| 81

Subki Al-, Thabaqat al-Syafiiyyat al-Kubra, Mesir: Isa al-Babi al-Harabi, tt.

Sukur, Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Syukur, Amin dan Mayharuddin, Intelektualitas Tasawuf, (Studi Intelektualisme

Tasawuf al-Ghazali), Semarang: Lembkota, 2002.

Taftazani al-, Abu al-Wafa' al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman: Sebuah

Pengantar tentang Tasawuf, alih bahasa Ahmad Rofi' Usmani, Bandung: Pustaka,

1985.

Thabanah, Badawi, "Muqaddimah Ihya Ulum al-Din", dalam al-Ghazali, Ihya Ulum

al-Din, Jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr, tt.