bab iii pendapat imam malik sebagaimana jawad...

21
23 BAB III PENDAPAT IMAM MALIK SEBAGAIMANA JAWAD MUGHNIYAH MENGENAI WAJIBNYA MANDI BAGI WANITA NIFAS YANG TIDAK MENGELUARKAN DARAH (Kaitannya Terhadap Bedah Caesar) A. Biografi Imam Malik Imam Malik lahir di Madinah, 94 H/ 716 M dengan nama asli Abu Abdillah Malik Bin Annas Bin Malik Bin Abi Amir Bin Harits Bin Gaiman Bin Kutail Bin Amir Bin Haris Al-Asbahi. Beliau merupakan seseorang ahli hadist, ahli fiqih, mujtahid besar yang terkenal dengan sebutan Imam Dar Al- Hijrah (Tokoh Panutan Penduduk Madinah) setelah tabi’in beliau menduduki tingkat yang keenam dari para tabi’in yang ada di Madinah. Sejak usia muda Imam Malik sangat menghargai Hadist Rasul pada masa belajarnya Imam Malik menghadapkan empat macam ilmu. Yang pertama adalah cara membantah pengikut hawa nafsu, orang yang mengembangkan kesesatan dan perbedaan pendapat di bidang fiqh. Ilmu ini dipelajari dari Abdul Rahman bin Hurmuz. Kedua, fatwa sahabat dan tabi’in. Fiqh sahabat dan fiqh tabi’in adalah sebagian sumber fiqh bagi Imam Malik. Fiqh ini dipelajari dari ulama tabi’in. Ketiga, fiqh Ijtihad. Fiqh ini dipelajari dari Rabi’ah, termasuk di dalamnya adalah cara menggunakan qiyas dan maslahah. Keempat, hadits Rasulullah. Beliau mendatangi orang-orang yang

Upload: lybao

Post on 02-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

23

BAB III

PENDAPAT IMAM MALIK SEBAGAIMANA JAWAD MUGHNIYAH

MENGENAI WAJIBNYA MANDI BAGI WANITA NIFAS YANG TIDAK

MENGELUARKAN DARAH

(Kaitannya Terhadap Bedah Caesar)

A. Biografi Imam Malik

Imam Malik lahir di Madinah, 94 H/ 716 M dengan nama asli Abu

Abdillah Malik Bin Annas Bin Malik Bin Abi Amir Bin Harits Bin Gaiman

Bin Kutail Bin Amir Bin Haris Al-Asbahi. Beliau merupakan seseorang ahli

hadist, ahli fiqih, mujtahid besar yang terkenal dengan sebutan Imam Dar Al-

Hijrah (Tokoh Panutan Penduduk Madinah) setelah tabi’in beliau menduduki

tingkat yang keenam dari para tabi’in yang ada di Madinah.

Sejak usia muda Imam Malik sangat menghargai Hadist Rasul pada

masa belajarnya Imam Malik menghadapkan empat macam ilmu. Yang

pertama adalah cara membantah pengikut hawa nafsu, orang yang

mengembangkan kesesatan dan perbedaan pendapat di bidang fiqh. Ilmu ini

dipelajari dari Abdul Rahman bin Hurmuz. Kedua, fatwa sahabat dan tabi’in.

Fiqh sahabat dan fiqh tabi’in adalah sebagian sumber fiqh bagi Imam Malik.

Fiqh ini dipelajari dari ulama tabi’in. Ketiga, fiqh Ijtihad. Fiqh ini dipelajari

dari Rabi’ah, termasuk di dalamnya adalah cara menggunakan qiyas dan

maslahah. Keempat, hadits Rasulullah. Beliau mendatangi orang-orang yang

24

dapat dipercaya riwayatnya dan mempunyai pengetahuan yang mendalam

dalam bidang hukum.

Imam Malik dilahirkan dalam keluarga yang tekun mempelajari hadits

serta dalam lingkungan masyarakat yang dipenuhi hadits dan atsar. Ia adalah

seorang fakir yang tidak pernah mempunyai uang, karena memang bukan

keturunan orang yang mampu, sekalipun dalam keadaan demikian beliau

tetap sebagai seorang pelajar yang setia dalam menuntut ilmu. Kakeknya,

Malik bin Abi ‘Amir adalah salah seorang dari tabi’in yang menerima hadits

dari Umar, Ustman dan Thalhah. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh

cucunya, yaitu Malik, Nafi, dan Abu Sahel. Menurut ceritanya, Abu Sahel

inilah yang paling banyak memperhatikan urusan riwayat hadits. Dia adalah

seorang guru Al-Zuhri.1

Sejak masa kanak-kanak Imam Malik sudah terkenal sebagai ulama

dan guru dalam pengajaran Islam. Kakeknya yang senama dengannya

merupakan ulama hadits yang terkenal dan dipandang sebagai perawi hadits

shahih yang hidup sampai Imam Malik berusia 10 tahun. Dan pada saat

itupun Imam Malik sudah mulai bersekolah dan hingga dewasa beliau terus

menuntut ilmu.2

1 TM. Hasby AS, Pokok-pokok & Pegangan Imam Madzhab dalam Membina Hukum

Islam, Bulan Bintang, Jakarta, tth hl 217 2 Abdurrahman, Syariah; Kodifiksi Hukum Islam, Jakarta. PT. Rineka Cipta, cet I, 1993,

hlm 144

25

Imam Malik mempelajari bermacam-macam bidang ilmu

pengetahuan, seperti ilmu hadits Ar-Rad Al Ahlil ahwa fatwa, fatwa dari para

sahabat-sahabat dan ilmu fiqh ahli ra’yu (fikir).3

1. Kehidupan Imam Malik

Selama menuntut ilmu, Imam Malik dikenal sangat sabar, tidak

jarang beliau menemui kesulitan dan penderitaan. Ibnu Al-Qasim pernah

mengatakan “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa

sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya

kemudian dijual di pasar.4

Meskipun Imam Malik senantiasa menutupi kemiskinan dan

penderitaannya dengan selalu berpakaian baik, rapi dan bersih serta

memakai minyak wangi tetapi al-Layti Ibn Sa’ad mengetahui kondisi

Imam Malik, sehingga sepulang ke negerinya, Al Laits Ibn Sa’ad tetap

mengirimkan hadiah uang kepada Imam Malik di Madinah, dan ketika itu

khalifah yang sedang berkuasa menyambut baik seruan Imam Malik agar

penguasa memberi gaji atau penghasilan lainnya kepada para ahli ilmu.5

Hari-hari Imam Malik dilalui dengan sikap taqwa, rajin shalat,

melayat orang yang mati, membesuk yang sakit, memenuhi kewajibannya,

i’tikaf di masjid dan berkumpul dengan teman-temannya dan menjawab

3 A. Asy-Syurbasi, Sejarah & Biografi Imam Empat Madzhab, Jakarta, PT. Bumi Aksara.

Cetakan II, 1993, hlm 71 4 TM. Hasby AS, Pokok-pokok & Pegangan Imam Madzhab dalam Membina Hukum

Islam, Bulan Bintang, Jakarta, tth hl 217 5 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat 9 Imam Fiqh, Bandung, Pustaka Pelajar Hidayah

Cetakan I, 2000, hlm 278

26

persoalan-persoalan yang masuk.6 Imam Malik dianggap sebagai seorang

pemimpin dalam ilmu hadits, karena sandaran-sandaran yang dibawa oleh

beliau termasuk salah satu dari sanad yang terbaik dan benar.

Dalam hal ini Imam Malik sangat berhati-hati dalam mengambil

hadits-hadits dan menghormati hadits Rasulullah. Sebagai bukti

penghormatan Imam Malik terhadap Hadits Nabi yaitu ketika beliau

menyampaikan dan mengajarkan Hadits-Hadits Nabi disertai dengan cara-

cara yang istimewa.7

Bila hendak mengajarkan Hadits beliau berwudlu, merapikan

jenggot dan pakaiannya, kemudian duduk diatas permadani, ketika hal itu

ditanyakan oleh muridnya, Ia menjawab; “aku ingin mengagungkan dan

menghormati Hadits rasulullah dan aku tidak mengajarkan atau

mengucapkan sebuah hadits pun kecuali setelah yakin bahwa aku dalam

keadaan suci.” Setelah banyak memberikan sumbangsih pemikiran dalam

perkembangan hukum Islam, kemudian Malik jatuh sakit.

Ketika ia sakit, ia berpesan supaya dikafani dengan sebagian kain

putih yang biasa ia gunakan dan meminta agar dikuburkan di Baqi’ yang

terletak di luar kota Madinah. Di tempat itulah para sahabat yang tewas

dalam perang. Baqi’ terkenal sebagai pekuburan Islam yang bersejarah di

6 Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,cet 1,LKPSM

Yogyakarta hlm 80 7 Munawar Khalil, Kembali kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang,

1995, hlm. 104

27

Madinah. Imam Malik meninggal pada hari ahad tahun 789 M. Ia wafat

pada usia 87 tahun.8

Imam Malik meninggal dengan tidak meninggalkan harta warisan

yang ditinggal hanyalah kitab al-Muwattha’ dan sekian banyak fatwa dan

kader-kader agama yang dididiknya sampai menjadi ulama’ besar.9

2. Guru-Guru Imam Malik

Saat menuntut ilmu, Imam Malik mempunyai banyak guru. Dalam

kitab “Tahzibul Asma Wallughat” menerangkan bahwa Imam Malik

pernah belajar kepada 900 orang syekh, 300 darinya dari golongan tabi’in

dan 600 lagi dari tabi’it-tabi’in10 dan guru-gurunya yang terkenal

diantaranya :

a. Abdul Rahman bin Hurmuz Al-Araj

Imam Malik banyak mendengarkan hadits-hadits Nabi SAW dari. Dan

beliau berguru selama kurang lebih 7 tahun dan pada masa itu beliau

tidak pernah pergi belajar kepada guru yang lain.11

b. Rabi’ah bin Abdul Rahman Furukh (Rabi’ah al-Ray)

Beliau berguru padanya ketika masih kecil, Imam Malik banyak

mendengarkan hadits-hadits Nabi SAW dari beliau. Dan Rabi’ah ibn

Abd Al-Rahman juga merupakan guru Imam Malik dalam bidang

hukum Islam.

8 Tamar Djaja, Hayat dan Perjuangan Empat Imam Madzhab, Solo : CV. Ramadhani,

1984, hlm. 103 9 Ibid. 10 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Rosdakarya, cet II,

2000, hlm 79 11 Ibid, hlm 76

28

c. Nafi’ Maula Ibnu Umar

Imam Malik belajar ilmu hadits kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar yang

wafat pada th 117 H12

d. Ibnu Syihab Al-Zuhry

Imam Malik yang belajar hadits13

e. Nafi’ bin Abi Nu’aim

Imam Malik belajar ilmu qira’at kepada Nafi’ bin Abi Nu’aim14

Sedangkan guru-guru beliau yang lainnya adalah: Ja’far Ash

Shadiq, Muhammad bin Yahya al-Anshari, Abu Hazim Salmah bin Nidar,

Yahya bin Sa’id, Hisyam bin Urwah, dll.

3. Murid-Murid Imam Malik

Imam Malik mempunyai banyak murid yang terdiri dari para

ulama’. Qadi Ilyad menyebutkan bahwa lebih dari 1000 orang ulama

terkenal yang menjadi murid Imam Malik, di antaranya: Muhammad bin

Muslim al –Zuhri, Rabi’ah bin Abdurrahman, Yahya bin Said al-Anshari,

Muhammad bin Ajlan, Salim bin Abi Umayyah, Muhammad bin

Abdurrahman bin Abi Ziab, Abdul Malik bin Suraih, Muhammad bin

Ishaq dan Sulaiman bin Mahram al-Amasi.

Sedangkan yang seangkatannya adalah Sufyan bin Sa’id al-Sauri,

Lais bin Sa’ad al-Misri, al-Awza’i, Hammad bin Zard. Sufyan bin

Uyaynah, Hammad bin Salamah, Abu Hanifah dan Putranya Hammad.

12 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta, Logos, Cet I,

1997, hlm 103) 13 Ibid 14 Abdullah Mustofa al-Maraghi, Op.Cit.,, hlm 80

29

Qodi’ Abu Yusuf, Qodi Syuraik bin Abdullah dan Imam Syafi’i, Abdullah

bin Mubarok, Muhammad bin Hasan, Qadi’ Musa bin Tari dan Walid bin

Muslim.15

Dari kalangan teman-temannya Abdullah bin Wahab,

Abdurrahman bin Qasim, Asyhab bin Abdul Aziz, Zyadah bin

Abdurrahman al-Qurtubi. Yahya bin Katsir al-Laisi, Abu Hasan bin Ali

Ibn Ziyad al-Tunisi, Usd bin Furat dan Abdul Malik bin Abdul Aziz al-

Mansyur.

4. Karya-Karya Imam Malik

Diantara karya-karya Imam Malik adalah kitab al-Muwaththa’

yang ditulis pada tahun 144 H. Atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur.

Menurut penelitian Abu Bakar al-Abhary Atsar Rasulullah SAW, sahabat

dan tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Mutwaththa’ sejumlah 1.720

buah.

Pendapat Imam Malik ibn Anas dapat sampai kepada kita melalui 2

buah kitab, yaitu al-Muwaththa’ dan al-Mudawwanah al-Kubra.16 Kitab al-

Muwaththa’ mengandung 2 aspek hadits karena al-Muwaththa’ banyak

mengandung Hadits yang berasal dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat

dan tabi’in dan Hadits itu diperoleh dari 95 orang yang kesemuanya dari

penduduk Madinah, kecuali 6 orang saja, diantaranya : Abu al-Zubair

(Makkah), Humard al-Ta’wil dan Ayyub al-Sahti yang (Bashra), Atha’ Ibn

15 Ibid, hlm 81-82 16 Huzaemah Tahido, Op. Cit., hlm 117

30

Abdullah (Lhurasan), Abdul Karim (Jazirah), Ibrahim ibn Abi Ablah

(Syam).17

Sedangkan yang dimaksud aspek fiqh adalah karena kitab al-

Muwaththa’ disusun berdasarkan sistematika dengan bab-bab pembahasan

layaknya kitab fiqh. Ada bab kitab Thaharah, shalat, zakat, shaum, nikah,

dst.18

Kitab Mudawwanah Al-Kubra merupakan kumpulan risalah yang

memuat kurang lebih 1.036 masalah dari fatwa Imam Malik yang

dikumpulkan Asad Ibu Al-Furat Al-Naisabury yang berasal dari Tunis

yang pernah menjadi murid Imam Malik.

Al-Muwaththa’ sebenarnya ditulis oleh Asad Ibu Al-Furat ketika di

Irak, ketika dia bertemu dengan Yusuf dan Muhammad yang merupakan

murid Abu Hanifah. Ia banyak mendengar masalah fiqh aliran Irak.

Kemudian dia pergi ke Mesir dan bertemu dengan Ibu Al-Qasim, murid

Imam Malik. Dengan permasalahan fiqh yang diperolehnya dari Irak, dia

tanyakan kepada Ibu Al-Qasim dan akhirnya jawaban-jawaban itulah yang

kemudian menjadi kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra.19

B. Metodologi Istinbath Hukum Imam Maliki

Imam Malik tidak membukukan sendiri dasar-dasar yang menjadi

landasan madzhabnya dalam menetapkan hukum. Namun para ulama

17 Ibid 18 Ibid., hlm 118 19 Ibid., hlm. 119

31

Malikiyah memperhatikan hukum-hukum furu’ yang ditetapkan Imam Malik,

lalu mereka menarik dasar-dasar yang dipegang Imam Malik dalam

menetapkan hukum.

Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya mengatakan dasar hukum yang

digunakan Imam Malik adalah Al Qur’an, Al sunnah, Ijma’, amalan ahli

Madinah, qiyas fatwa sahabi, maslahat al mursalah, sadduz dzara’i, istihsan,

istshab dan ‘urf.20

Sumber ijtihad Imam Malik tidak akan penulis paparkan semua hanya

metode-metode ijtihad yang menyangkut peristiwa-peristiwa yang dipandang

tidak mempunyai kaitan secara langsung dengan nash, metode-metode

tersebut ialah ijma'. Ijma’ ahli Madinah, qiyas, fatwa sahabat, maslahah al

mursalah, istihsan, istishab, sadz adz-dzara’i dan urf.

Mengenai metode istinbath hukum Imam Malik yang dijelaskan al-

Qadhi Iyad dalam kitabnya al-Madhaarik Dar al-Rasyid, dan juga salah

seorang fuqaha malikiyah dalam kitabnya al-Bahjah yang disimpulkan oleh

pengarang kitab tarikh al-Madzahibil islamiyah sebagai berikut:

نه يأ خذ وخالصة ما ذكره هذان العاملان وغريمها أن منهاج امام دار اهلجرة ا

فان مل جيد يف كتاب اهللا تعاىل نص اجته اىل السنة ويدخل , بكتاب اهللا تعاىل اوال

وفتاوى الصحابة واقصيتم وعمل اهل املدينة ,السنة عنده احاديث رسول اهللا صلعم

سومن بعد السنة بشيئ فروعهاجير القيا

20 Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang : PT. Pustaka

Rizki Putra, 1997, hlm 185.

32

Artinya: “Kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ulama ini dan yang lainnya, bahwasanya metode ijtihad imam dar al-hijrah ini adalah bahwa beliau pertama-tama berpegang pada kitabullah, apabila beliau tidak mendapatkan sesuatu nash di dalamnya maka beliau mencari di dalam sunnah dan menurut beliau masih termasuk pada kategori sunnah perkataan Rasulullah, bahwa fatwa para sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan penduduk Madinah dan setelah sunnah dengan berbagai cabangnya barulah datang (dipakai) qiyas”.21

a. Ijma’ ulama’ dan ijma’ ahli Madinah

Imam Malik adalah seorang mujtahid yang paling utama banyak

menyandarkan pendapatnya pada ijma’, dalam al Muwattha’ banyak

dikemukakan kalimat: (Urusan yang telah di ijma’ terhadapnya)

االمر اتمع عليه

Mengenai masalah ini Imam Malik pernah berkata :

االمر اتمع عليه عندنا الذي الختالف فيه والذي ادركت عليه

Artinya : Dan sesuatu urusan yang kami telah mengijma’inya yang tidak ada perselisihan di dalamnya dan itu telah saya dapat pada ahli ilmu di negeri kami (Madinah).22

Dari sini, Malik hanya menerima ijma’ yang bersumber dari para ahli

ijtihad. Disamping itu Imam Malik juga membicarakan secara khusus tentang

ijma’ ahli Madinah dan menjadikannya sebagai hujjah. Bahkan dalam

prakteknya ijma’ ahlu Madinah lebih didahulukan dari khabar ahad dalam

melakukan istinbath hukum. Dan istilah ijma’ ahlu madinah sering pula

21 Asep Saefuddin al-Mansyur, Kedudukan Madzhab dalam Syari’at Islam, Jakarta:

Pustaka Al-Husna, 1984, hlm. 54. 22 Jalaludin Abdurrahman as Suyuti, Tanwirul Hawalik, Sarah al Muwattha’, Juz 11,

Surabaya, al Hidayah, tt, hlm 54

33

disebut dengan amal ahl al-Madinah.23 Menurutnya, untuk hal-hal yang

hukumnya tidak ditemukan dalam Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW

praktek penduduk Madinah tidak dapat dijadikan sumber hukum, baik yang

disepakati maupun yang diamalkan oleh mayoritasnya.

Dengan demikian, ijma’ yang menjadi hujah bagi Malik dilihat dari

sumber pembentukannya ada dua macam yaitu Ijma'’ahlu ijtihad, yang

berdasarkan kesepakatan para mujtahid dan ijma’ ahlu Madinah yang berasal

dari praktik penduduk Madinah. Imam Malik yakin bahwa praktek keagamaan

tersebut merupakan kristalisasi ajaran Rasulullah selama berada di Madinah.

Oleh karena itu, menurut Imam Malik seperti dikatakan Muhammad Abu

Zahra kedudukan praktik yang disepakati penduduk Madinah sama dengan

kedudukan hadits Mutawatir.24

Imam Malik adalah seorang mujtahid yang memakai amalan ahlu

Madinah atau ijma’ ahlu Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.

Mengenai amalan ahlu Madinah menurut Imam Malik, seperti yang dikutip

Imam Ghazali hal itu dianggap sebagai ijma’, jika Imam Malik mengatakan:

هذا هواالمر اتمع عليه عندنا

Maka maksudnya ijma’ ulama’ Madinah.25

b. Qiyas

Imam Malik dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas

sebagai landasannya, mengingat sering terjadi sesuatu yang tidak

23 Romli SA, Muqaranah Madzhib Fii Ushul, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999, hlm 97 24 Abdul Aziz Dahlan (et al)., Ensiklopedi Hukum Islam, Jkt, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Cet

I, 1996, hlm 1093.

34

dinashkan hukumnya dalam kitabullah dan sunnah Rasul. Maka dari itu

perlu dicari persamaan antara peristiwa-peristiwa itu dengan suatu

peristiwa yang lain, kemudian disamakan hukumnya.

Imam Malik mengqiyaskan kepada hukum yang telah dinashkan

oleh Al Qur’an dan hukum yang ditarik dari as Sunnah. Dalam al

Muwaththa’ banyak ditemukan masalah ini, bahkan ia mengqiyaskan

hukum kepada fatwa-fatwa sahabat, seperti yang dilakukan dalam masalah

Zaujah Mafqud.26

Sebagian qiyas bagi Imam Malik ada yang bisa mencapai derajat

dapat mengalahkan nash yang dzanni, karena qiyas itu dikuatkan oleh

kaidah-kaidah yang umum. Oleh karena itu, qiyas yang seperti ini

didahulukan atas khobar ahad. Fiqh Imam Malik bukan saja mengqiyaskan

kepada nash bahkan juga mengqiyaskan kepada qiyas sendiri, seperti yang

diterangkan oleh Ibnu Rusy al Jadd.27

c. Fatwa Sahabi

Imam Malik adalah seorang mujtahid yang mempelajari fatwa-

fatwa sahabi dan menjadikannya sebagai dasar dalam menetapkan suatu

produk hukum. Ia dengan tegas mengharuskan seorang mufti untuk

mengambil fatwa sahabat. Beliau berpendapat bahwa yang dikatakan

sunnah ialah sesuatu yang diamalkan para sahabat, Umar bin Abdul Aziz

25 Hasbi ash Shiddieqy, Loc. Cit. 26 Ibid, hlm 215 27 Ibid

35

dikala hendak mengembangkan sunnah Rasul menyuruh supaya

dikumpulkan putusan-putusan yang diambil dari para sahabat.28

Menurut beliau, para sahabat besar itu tidak akan memberi fatwa

kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah. Namun demikian ia

mensyaratkan fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan

hadits marfu’ yang dapat diamalkan.29 Karena ia memandang bahwa fatwa

sahabat sebagai suatu dasar fiqh yang merupakan hujjah dari cabang

sunnah.30

d. Istihsan

Istihsan31 menurut Imam Malik seperti dikutip as-Syatibi adalah :

االستحسان هواالخذ مبصلحة جزئية يف مقابلة دليل كلي

Artinya : Mengambil kemaslahatan yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kulli.”

Maksudnya adalah istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyah

dibandingkan dengan dalil yang bersifat umum.

Ibnu Arabi salah seorang diantara ulama Maliki berpendapat

bahwa istihsan adalah beramal dengan yang paling kuat dari dua buah

dalil. Maksudnya bukan berarti meninggalkan dalil dari dua dalil, namun

berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain yang lebih kuat kandungannya.

Dan dalil yang kedua itu dapat berupa ijma’, urt, maslahah, mursalah, atau

28 Ibid, hlm 206 29 Huzaemah Tuhido Yanggo, Op.Cit., hlm 108 30 Hasbi ash Shiddieqy, Op.Cit., hlm 207 31 Asy-Syatibi, Al Muwafaqat, Juz I, Beirut Dar al Kutub Al ‘Ilmiah, tt, hlm 27

36

kaidah rap’ul haraj wa al masyaqat, meninggalkan kesempitan dan

kesulitan yang telah diakui syari’at akan kebenarannya.32

Menurut hasil penelitian, Imam Malik tidak menjadikan istihsan

sebagai kaidah, dan itu tidak dipakai ketika menimbulkan kepicikan dalam

istihsanlah yang dipakai dan istihsan itu adalah perimbangan qiyas.33

e. Maslahah Mursalah

Imam Malik adalah orang yang menghargai maslahah mursalah dan

menjadikannya sebagai salah satu dasar dalam ijtihadnya. Ia berpendapat

bahwa maslahah mursalah adalah upaya menetapkan hukum didasarkan

atas kemaslahatan, kendati tidak terdapat dalam nash atau ijma’ dan tidak

pula ada penolakan atasnya secara tegas, tapi kemaslahatan ini didukung

oleh dasar syari’at yang bersifat umum dan yang pasti sesuai dengan

maksud syara’,34 tetapi Imam Malik memberikan persyaratan sebagai

berikut : pertama, maslahat tersebut bersifat rasional (ma’qul) dan relevan

(munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, maslahat tersebut

harus dijadikan dasar untuk memelihara sesuatu dengan dharuri dan

menghilangkan kesulitan dengan cara menghilangkan maslahat dan

madharat. Ketiga, maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud

disyari’atkannya hukum (maqasid al syari’at) dan tidak bertentangan

dengan dalil syara’ yang qath’i.35

32 Huzaemah Tuhido Yanggo, Op.Cit., hlm 110 33 As Syahibi, Op.Cit., hlm 27 34 Ibid 35 As Syatibi, Al-Ihtihsan, Juz 11, Beirut, Libanon, Daar al Fikr, tt, hlm 364

37

Selanjutnya, sumber-sumber hukum tersebut oleh jumhur ulama

telah disepakati sebagai dalil. Artinya, apabila terdapat suatu kejadian,

maka pertama kali harus dicari hukumnya di dalam al-Qur’an. Apabila

tidak terdapat di sana maka harus melihat sunnah. Jika tidak didapati di

dalam sunnah, maka harus melihat ijma’. Dan apabila di dalam ijma’ pun

tidak terdapat maka harus diadakan ijtihad untuk mencari hukum suatu

kejadian itu dengan mengqiyaskan kepada hukum yang telah ada nashnya.

Penggunaan sistematika sumber-sumber hukum tersebut didasarkan

kepada firman Allah :

ن آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم يا أيها الذي

م الآخر ذلكواليون بالله ومنؤت متول إن كنسالرإلى الله و وهدء فريفي ش

﴾59: النساء خير وأحسن تأويلا ﴿

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.”36 (QS. An-Nisa’ : 59)

Perintah mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya artinya ialah mengikuti

alQur’an dan As-Sunnah. Sedangkan perintah mentaati ulil al-Amri

diantara muslimin, artinya ialah mengikuti hukum-hukum yang telah

disepakati oleh para mujtahidin, karena mereka itulah ulil al-amri umat

Islam dalam soal pembentukan hukum syari’at Islam dan perintah

mengembalikan kejadian-kejadian yang dipertentangkan diantara kaum

38

muslimin kepada Allah dan Rasul-Nya, artinya ialah perintah mengikuti

qiyas ketika tidak terdapat nash atau ijma’. Karena pengertian

mengembalikan persoalan kepada Allah dan Rasulnya, karena qiyas itu

ialah mengadakan penyesuaian antara kejadian yang tidak terdapat nash

bagi hukumnya, dengan kejadian yang terdapat nash bagi hukumnya,

karena adanya kesamaan illat hukum dalam dua kejadian hukum tersebut.

Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Baghawi dari Mu’adz bin

Jabal ketika diutus oleh Rasululah ke Yaman, sebagaimana yang dikutip

oleh Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul al-Fiqh :

فان مل جتد يف : اقض بكتاب اهللا قال : كيف تقض اذا عرض لك قضاء؟ قال

اجتهد : سنة رسول اهللا؟ قال فان مل جتد يف, فبسنة رسول اهللا: كتاباهللا؟ قال

فضرب رسول اهللا على : قال ) اي وال اقصر يف اجتهادي(وال الو . رأيي

احلمد هللا الذي وفق رسول اهللا ملا يرضى رسول اهللا: صدره وقال

Artinya : “Bagaimana Engkau memberikan keputusan (hukum) ketika dihadapkan kepadamu suatu kejadian? Mu’adz menjawab: “Saya akan memberikan keputusan dengan hukum Allah (Kitabullah). Nabi bertanya : “Jika tidak kamu dapati dalam Kitabullah? Mu’adz menjawab : “Maka dengan sunnah Rasul-Nya”. Nabi bertanya : “Jika tidak kamu dapati dalam sunnah Rasul-Nya? Mu’adz menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan mempersempit ijtihadku”. Maka Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda : “Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik kepada utusan Rasulullah terhadap segala sesuatu yang Rasulullah merasa puas dengan itu”.37

36 Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit., hlm.

39

C. Wajibnya mandi bagi wanita nifas yang tidak mengeluarkan darah

menurut Imam Malik sebagaimana Jawad Mughniyah (Kaitannya

Terhadap Bedah Caesar).

Dalam ilmu fiqih Permasalahan tentang thaharah merupakan satu

pokok bahasan penting dalam pengkajian hukum Islam, karena didalamnya

terdapat beberapa permasalahan diantaranya tentang haid, nifas dll. Pada

dasarnya semua hukum Islam diadakan untuk melayani kemaslahatan manusia

karena nifas ini untuk ulama’ disebut dengan berbagai term.

Menurut Imam Maliki Nifas adalah darah yang keluar dari rahim

akibat persalinan baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin.38 Melihat

definisi tersebut Maliki mewajibkan mandi bagi wanita nifas yang tidak

mengeluarkan darah baik melalui operasi atau tidak dengan mengambil

manfaat dan menolak madharat sebagaimana kaidah ushul:

درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل

Artinya: “Menghindari madharat atau bahaya harus didahulukan atas mencari atau menarik masalah atas kebaikan”.39

Ia mendefinisikan manfaat sebagaimana pemeliharaan terhadap tujuan-

tujuan syari’ah. Tujuan syari’ah dari makhluk ini ada lima yakni, memelihara

agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka sementara menolak madharat

untuk menjaga jiwa wanita tersebut karena telah melahirkan seorang anak

sehingga tanggung jawabnya bertambah karena telah diberi amanat untuk

37 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar “Kaidah-Kaidah Hukum

Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 20-21. 38 Muh. Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm, 38

40

menjaga dan merawatnya. Dengan tidak melihat adanya darah yang keluar

maka wanita tersebut tetap menjalani masa nifas karena proses melahirkan itu

merupakan masa nifas.

Terhadap hal tersebut di atas Maliki berpendapat bahwa darah nifas

adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan; baik

ketika bersalin atau sesudahnya dan bukan sebelumnya. Akan tetapi, apabila

seorang wanita hamil yang tidak mengeluarkan darah Maliki mewajibkan

mandi sebagaimana kewajiban orang junub karena nifas termasuk hadats besar

sehingga diwajibkannya mandi bagi seseorang wanita yang melahirkan tanpa

mengeluarkan darah merupakan kewajiban untuk menjaga kebugaran. Dan

jika tidak lewat jalur semestinya (Bedah Caesar) yaitu untuk menjaga

kebersihan dan dari segi kesehatan dapat memberikan pengaruh mental yang

besar karena merasa segar dan harum.40 Di dalam Al-Qur'an Allah

menegaskan :

...وإن كنتم جنبا فاطهروا...

Artinya : “… Dan jika kamu junub maka mandilah …”. (QS. Al Maidah: 6)

Dari pernyataan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa pendapat

imam malik tentang wajibnya mandi bagi wanita nifas yang melahirkan tanpa

mengeluarkan darah kaitannya terhadap bedah caesar, dalam pendapat ini

imam malik menggunakan istimbath hukumnya yang berupa qiyas,karena

pada dasarnya qiyas menyamakan hukum masalah yang tidak ada hukumnya

39 H. Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, al-Qowaidul Fiqhiyyah, cet. 4 Jakarta,

Kalam Mulia, 2001, hlm. 39.

41

dalam teks Al-Qur'an dan sunnah dengan hukum atau masalah yang terdapat

dalam salah satu atau kedua sumber tersebut dikarenakan terdapat kesamaan

illat hukumnya.

Dan pendapat imam malik tersebut diatas berbeda dengan pendapat

ulama’ lain seperti Imam Hambali, Imam Syafii yang berpendapat bahwa

wanita yang melahirkan tanpa mengeluarkan darah baik melalui operasi

ataupun tidak, maka wanita tersebut tidak menjalani nifas karena tidak adanya

darah yang keluar. Dan dari sinilah Imam Malik berbeda pendapat dengan

ulama lain yang mengambil manfat dan menolak madlarat dikarenakan

terdapat kesamaan illat hukumnya dalam nash.

Menurut al-Dahlawy Malik adalah orang yang paling ahli dalam

bidang Hadits di Madinah dan yang paling mengetahui keputusan diantara

para sahabat-sahabat lainnya.Dan atas dasar itulah beliau memberi fatwa

terhadap suatu masalah yang belum terdapat ketentuan hukumnya.41

Imam malik merupakan ulama yang berpikir tradisional dan juga

memiliki perbedaan metode dalam menetapkan hukum fiqh dengan metode

yang ditempuh oleh para imam ahli fiqh lainnya.Karena imam malik lebih

mendahulukan aml ahli Madinah.

Sebagaimana hadisnya yang artinya Yahya menyampaikan hadis dari

Malik bahwa ia bertanya kepada Ibn Shihab tentang wanita hamil yang

40 Trisha Duffet, Op.Cit., hlm 7-8 41 Huzaemah Tuhido Yanggo, Op.Cit., hlm 107

42

melahirkan dan mengalami pendarahan. Ibn Shihab menjawab “Ia berhenti

sholat” Malik mengatakan hal itu yang dilakukan dalam masyarakat kita.42

D. Bedah Caesar

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang

semakin canggih, membuat peradaban berangsur-angsur bergeser dari jaman

klasik menjadi jaman modern. Kondisi ini ditandai dengan berbagai inovasi-

inovasi baru, salah satunya dalam bidang kesehatan yaitu operasi bedah

caesar. Secara konsep operasi bedah caesar merupakan sebuah solusi bagi

wanita-wanita yang sulit melahirkan, karena ketidak seimbangan sefalovelpik

misalnya ukuran pinggul ibu terlalu kecil, salah letak janin (sungsang) dan

distress janin. Kesulitan dalam melahirkan ini jika tidak diupayakan dengan

menjalani alternative persalinan akan mengakibatkan resiko kematian pada

bayi atau ibu yang melahirkan.43

Dalam dunia kedokteran dimana kejanggalan-kejanggalan janin dan

kondisi ibu dapat terdeteksi secara dini melalui pemeriksaan secara intensif

selama kehamilan. Operasi bedah caesar terbagi dalam dua kategori, yakni

bedah caesar elektif dan bedah caesar darurat. Bedah caesar elektif adalah

bedah yang direncanakan terlebih dahulu. Salah satu keuntungan bedah ini

adalah tidak perlunya panik karena segala sesuatunya telah disiapkan

sebelumnya. Sedangkan bedah caesar darurat, tidak di rencanakan sehingga

42 Malik bin Anas, Al Muwatta,Beirut Dar al-Fikr, tth, hlm. 38. 43 Trisha Duffet Smith, eds Persalinan Dengan Bedah Caesar, Arcan, Jakarta, 1986, hlm.

7-8.

43

sering kali datang secara mengejutkan baik bagi wanita yang mau melahirkan

ataupun dokter yang menanganinya.

Sama halnya dengan kewajiban mandi bagi wanita yang melahirkan

(menjalankan nifas), dalam dunia kedokteran juga menganjurkan kepada para

ibu yang baru melahirkan untuk mandi. Manfaat mandi sendiri akan memberi

pengaruh mental yang besar pada ibu. Salah satunya adalah akan merasa

harum dan segar kembali. Namun kebijakan rumah sakit ataupun rumah

bersalin dalam hal membersihkan badan berbeda-beda.44

44 Ibid.