imam syafii

22
1 IMAM SYAFI’I ORANG PERTAMA SEBAGAI MUJTAHID KONTEMPORER Oleh : Drs. Soleman Soleh, M.H. 1 A. PENDAHULUAN Agama Islam diturunkan ke dunia ini dalam keadaan sempurna, sehingga tidak ada satu permasalahanpun yang timbul di dunia ini kecuali harus dipecahkan hukumnya. Allah Swt. telah menurunkan syari’at-Nya kepada umat manusia melalui nabi Muhammad Saw. yang berupa Al-Qur’an, agar manusia dapat meyakini, menghayati dan mengamalkannya, untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Perkembangan syari’at Islam setelah Nabi Muhammad Saw. hanya merupakan perluasan dan penjabaran terhadap prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Allah dalam al- Qur’an, berupa kaidah-kaidah yang universal, kemudian diterapkan kepada peristiwa- peristiwa baru yang muncul dihadapan umat Islam. Hukum Islam akan selalu sesuai dengan perkembangan jaman dan tempat, hal ini sesuai dengan kaidah Ushul yang berbunyi “ Al-hukmu Tagayyurun Bitagayyuril-Amkan wal Azman”. Al-Qur’an jika dilihat dari segi pemahamannya dalam kaitan dengan hukum, ada dua kemungkinan, yaitu nash-nash yang mempunyai nilai Qath’i Ad-Dalalah dan nilai Dzaniy Ad-Dalalah. Qath’i Ad-Dalalah adalah nash-nash yang sudah jelas dan tegas hukumnya, sehingga tidak perlu penafsiran lagi, mengandung arti yang sarih dan bukan lapangan ijtihad. Sedangkag dzany Ad-Dalalah nash-nash yang mempunyai nilai Dzany (umum), sehingga bisa ditafsirkan atau ditakwilkan makna lain dari arti yang tercantum dalam lafadz itu sendiri, dan ini merupakan lapangan ijtihad. Karena itu dalam penetapan hukum dari nash-nash yang dzany, ulama sering berbeda pendapat dan berbeda pula dalam menjabarkan hukum kedalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menjabarkan hukum, mereka pada dasarnya ingin mencari kemaslahatan bagi umat manusia, agar manusia beramal sesuai dengan keadilan, rahmah dan hikmah secara keseluruhan untuk di dunia dan akhirat. Hal inilah yang mendorong para Ulama untuk berijtihad dengan sungguh- sungguh dalam menjabarkan hukum dari ayat-ayat al-Qur’an/al-Hadits yang bersifat dzany agar sesuai dengan perkembangan jaman dan tempat, sehingga banyak menghasilkan karya yang berupa kitab-kitab, baik berupa kitab fiqh, kitab tafsir, kitab tasauf, kitab tauhid, kitab hadits, kitab ulumul hadits, kitab ushul fiqh, kitab ulumul qur’an, kitab filsafat dan lain sebaganya. Dari sekian banyak para ulama yang telah berijihad untuk menggali hukum dan telah menghasilkan karya-karyanya yang berupa kitab-kitab fiqh, diantaranya adalah Imam Syafi’i. Karya-karya imam Syafi’i yang monumental dalam mengistinbatkan dan menggali hukum dari nash-nash yang bersipat dzany, banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya, karena beliau banyak belajar dari satu guru ke guru 1 . Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa

Upload: untu-rangap

Post on 24-Oct-2015

64 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

imam syafii

TRANSCRIPT

Page 1: imam syafii

1

IMAM SYAFI’I ORANG PERTAMA SEBAGAI MUJTAHID KONTEMPORER

Oleh : Drs. Soleman Soleh, M.H.1

A. PENDAHULUAN

Agama Islam diturunkan ke dunia ini dalam keadaan sempurna, sehingga tidak

ada satu permasalahanpun yang timbul di dunia ini kecuali harus dipecahkan hukumnya.

Allah Swt. telah menurunkan syari’at-Nya kepada umat manusia melalui nabi

Muhammad Saw. yang berupa Al-Qur’an, agar manusia dapat meyakini, menghayati dan

mengamalkannya, untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.

Perkembangan syari’at Islam setelah Nabi Muhammad Saw. hanya merupakan

perluasan dan penjabaran terhadap prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Allah dalam al-

Qur’an, berupa kaidah-kaidah yang universal, kemudian diterapkan kepada peristiwa-

peristiwa baru yang muncul dihadapan umat Islam. Hukum Islam akan selalu sesuai

dengan perkembangan jaman dan tempat, hal ini sesuai dengan kaidah Ushul yang

berbunyi “ Al-hukmu Tagayyurun Bitagayyuril-Amkan wal Azman”.

Al-Qur’an jika dilihat dari segi pemahamannya dalam kaitan dengan hukum,

ada dua kemungkinan, yaitu nash-nash yang mempunyai nilai Qath’i Ad-Dalalah dan

nilai Dzaniy Ad-Dalalah. Qath’i Ad-Dalalah adalah nash-nash yang sudah jelas dan

tegas hukumnya, sehingga tidak perlu penafsiran lagi, mengandung arti yang sarih dan

bukan lapangan ijtihad. Sedangkag dzany Ad-Dalalah nash-nash yang

mempunyai nilai Dzany (umum), sehingga bisa ditafsirkan atau ditakwilkan makna lain

dari arti yang tercantum dalam lafadz itu sendiri, dan ini merupakan lapangan ijtihad.

Karena itu dalam penetapan hukum dari nash-nash yang dzany, ulama sering berbeda

pendapat dan berbeda pula dalam menjabarkan hukum kedalam kehidupan sehari-hari.

Akan tetapi meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menjabarkan hukum, mereka

pada dasarnya ingin mencari kemaslahatan bagi umat manusia, agar manusia beramal

sesuai dengan keadilan, rahmah dan hikmah secara keseluruhan untuk di dunia dan

akhirat. Hal inilah yang mendorong para Ulama untuk berijtihad dengan sungguh-

sungguh dalam menjabarkan hukum dari ayat-ayat al-Qur’an/al-Hadits yang bersifat

dzany agar sesuai dengan perkembangan jaman dan tempat, sehingga banyak

menghasilkan karya yang berupa kitab-kitab, baik berupa kitab fiqh, kitab tafsir, kitab

tasauf, kitab tauhid, kitab hadits, kitab ulumul hadits, kitab ushul fiqh, kitab ulumul

qur’an, kitab filsafat dan lain sebaganya.

Dari sekian banyak para ulama yang telah berijihad untuk menggali hukum dan

telah menghasilkan karya-karyanya yang berupa kitab-kitab fiqh, diantaranya adalah

Imam Syafi’i. Karya-karya imam Syafi’i yang monumental dalam mengistinbatkan dan

menggali hukum dari nash-nash yang bersipat dzany, banyak dipengaruhi oleh ilmu

pengetahuan yang dimilikinya, karena beliau banyak belajar dari satu guru ke guru

1. Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa

Page 2: imam syafii

2

lainnya, dari satu negri ke negri lainnya. Beliau pernah belajar di Makkah kepada Muslim

bin Khalid Az-Zanji dan Saufyan bin Uyainah, di Madinah kepada Malik bin Annas dan

Ibrahim ibnu Sa’ad al-Anshari, di Irak kepada Muhammad bin Hasan Qadhi Yusuf

(murid imam Hanafi), di Yaman kepada Umar bin Abi Salamah (mazha Auza’i) dan

Yahya bin Hasan (mazhab Leits). Faktor pendukung lainnya adalah faktor geografis dan

iklim, faktor kebudayaan dan adat istiadat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu

Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah yang berbunyi :

�ـ� ��ه� و��ـ��ـ� � �� وم �ـ�� و�ـا وا �� ا�ـال ا��ـ� �� ان �� و�"�ة وا�ـ�ة و� �ـ�ج �

�ـ� ل ��� ا ی� م وا ز�ـ� ن ا�&ـ�ها%ـ�$ ف � وآ&ـ� ی- ن ذ�+ .ا�� �ـ�ل �( �ـ� ل وا�

وا 2ــ;�ر وا ز�ـ : 6ى� 6ـ� ق ی-ن 6-7 �+. �6 ا 5ـ4ـ� ص وا و2ـ�ت وا �ـ0ـ�ر

�ـAـ� د ? 2ـ� %ـ�ـ< �6 ا��� وا�� ول س ـ: ا>

Artinya : Sesungguhnya keadaan alam, umat, adat istiadat dan akidah, tidaklah

selamanya tetap (langgeng) dalam suatu keadaan atau sistem, melainkan

akan selalu berubah-ubah sepanjang jaman dan berpindah dari suatu

keadaan kepada keadaan lain. Hal tersebut sebagai mana terjadi pada

manusia, waktu dan tempat, juga terjadi pada alam, daerah, dan negara.

Demikian Sunnah Allah terhadap alam ini.

Akibat dari faktor ilmu pengetahuan, faktor geografis dan iklim, faktor

kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda, maka hasil ijtihad imam Syafi’i berbeda pula

pendapatnya ketika beliau berada di Irak dengan ketika beliau berada di Mesir.

Perbedaan pendapat tersebut tertuang dalam qaul qadim dan qaul jadid.

Kedua fatwa ini merupakan karya imam Syafi’i yang sangat besar yang kedua-duanya

didasari dengan hadits-hadits yang shahih. Imam Syafi’i telah memberikan fatwa dalam

qaul qadim dan kaul jadid adalah sebagai jawaban terhadap kondisi dan situasi yang

berbeda yang ada pada waktu itu, yang ke dua-duanya mempunyai alasan yang kuat. Oleh

karena itu antara qaul qadim dan qaul jadid sering terjadi perbedaan pendapat. Dengan

demikian apabila terjadi perbedaan diantara dua qaul yang yang sama-sama dilandasi

dengan dalil yang kuat, maka harus ada yang kalah dari salah satu diantara dua dalil

tersebut.

Menurut Ahmad Ali Al-Anshari (Jld 1:60) “ apabila hadits itu shohih, maka

itulah mazhabku. Dalam riwayat lain dikatakan apabila engkau menemukan

pendapatku bertentangan dengan hadits Rasulullah Saw. maka ambilah hadits

Rasulullah Saw, dan tinggalkanlah pendapatku yang salah itu”. Perkataan Imam Syafi’i

tersebut di atas, diambil ketika terjadi dialog antara murid Imam Syafi’i dengan Imam

Syafi’i sendiri, waktu itu murid Imam Syafi’i bertanya “ manakah yang dipakai antara

qaul qadim dengan qaul jadid kalau terjadi perbedaan pendapat “?. Imam Syafi’i

menjawab “ qaul jadid sudah menghapus qaul qadim”, muridnya itu bertanya kembali “

Page 3: imam syafii

3

Bagaimana kalau qaul qadim itu adalah hadits yang shahih” ?, Imam Syafi’i menjawab

kembali “ kalau begitu apabila hadits itu shahih, maka itulah mazhab saya.

Perubahan-perubahan hukum antara qaul qadim dengan qaul jadid Imam Syafi’i

pada intinya didorong karena adanya perubahan sosial masyarakat itu sendiri. Seperti

adat istiadat dan kebudayaan di Irak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan di

Mesir, sehingga perbedaan tersebut menyebabkan berbeda pula dalam menghasilkan

hukum. Oleh karena itu Penulis akan menggambarkan secara singkat skema tentang

perubahan qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i. Dalam skema tersebut, Penulis

juga akan menggambarkan tentang perubahan-perubahannya dari poin ke poin lainnya.

Hal ini menandakan Imam Syafi’i sangat tanggap terhadap situasi dan kondisi

yang berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya, tidak terpaku kepa-

da qaul qadim yang telah beliau fatwakan ketika masih di Irak, sehingga karena di Mesir

kondisinya berbeda dengan yang ada di Irak, maka beliau mengkaji ulang fatwa tersebut

sehingga lahirlah qaul jadid sebagai mana tertera di bawah ini:

A B C

E

F

D

Keterangan :

Pada kolom A, yaitu fatwa Imam Syafi’i dalam Qaul Qadim ketika beliau

berada di Irak, namun ketika beliau berada di Mesir, Imam Syafi’i menemukan

kebudayaan (adat istiada) dan geografisnya berbeda dengan yang ada di Irak, sebagai-

mana tercantum dalam kolom B, akibatnya maka lahirlah fatwa Imam Syafi’i yang baru

yang disebut dengan qaul Jadid, seperti tercantum dalam kolom C. Pada kolom D, dicari

alternatif penggunaan hukum antara qaul Qadim dengan qaul Jadid, mana yang akan

dijadikan sebagai pegangan, karena itu Penulis menjadikan sejajar antara qaul Qadin

dengan qaul Jadid berada dalam kolom E, artinya menurut Penulis, bisa saja qaul Qadim

Fiqh dalam

Qaul Qadim

Faktor

-Geografis

-Kebudayaan

-Ilmu Pengetahuan

Lahirlah Fiqh

Dalam Qaul

Jadid

Qaul Qadim

Qaul Jadid

Syari’at Islam

Itu sesuai dengan

tuntutan jaman,

kondisi dan

tempat

Alternatif

Penggunaanya

Page 4: imam syafii

4

dijadikan sebagai sumber hukum, karena yang menentukan berlaku dan tidaknya qaul

Qadim adalah kondisi dan situasi daerah itu sendiri, mana yang lebih maslahat untuk

diberlakukan sebagaimana tertera dalam kolom F.

Dari uraian tersebut di atas, maka timbullah permasalahan pokok yang ingin

dibahas oleh Penulis dalam tulisan ini, sehingga akan tergambar dalam sebuah

pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa yang melatar belakangi timbulnya qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i ?.

2. Apakah fatwa qaul qadim dan qaul jadid Imam Asyafi’i hingga sekarang masih

tetap relevan ?

3. Bagaimana Implikasinya qaul qadim dan qaul jadid terhadap Pembaharuan

Hukum Islam ?.

B. LATAR BELAKANG LAHIRNYA QAUL QADIM DAN JADID

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa perbedaan pendapat diantara para

Imam Mujtahid dalam mengistinbatkan hukum karena adanya ayat Al-Qur’an atau al-

Hadits yang bersifat dzani. Dalam mazhab Syafi’i selain disebabkan karena ayat al-

Qur’an dan al-Hadits bersifat dzani, banyak pula yang dipengaruhi oleh faktor geografi,

faktor kebudayaan dan adat istiadat dan faktor ilmu pengetahuan.

1. Faktor Geografis

Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan pembentukan

hukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan tersebut adalah iklim dan

perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklim di Hijaz berbeda dengan

iklim di Irak dan berbeda pula dengan iklim yang ada di Mesir, sehingga melahirkan

fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaul qadim dengan qaul jadid, membuktikan

adanya berbedanya iklim dan geografi.

HM.Atho Muzhar (Mimbar Hukum No 4 : 23) ulama ahlu ra’yi dan ahlu hadits

berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahlu rayi dengan

pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di kota Kufah dan Bagdah yang

metropolitan, sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang

muncul akibat kompleksitas kehidupan kota, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya

menulis kitab-kitab fiqh yang lebih mendasarkan kepada ra’yu. Sebaliknya Imam Malik

bin Anas yang hidup di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih

sederhana, ditambah kenyataan banyaknya hadits-hadits yang beredar di kota ini,

cendrung banyak menggunakan hadits ketimbang rasio atau akal”.

Pendapat Atho Mudzhar di atas, menunjukan bahwa berbeda geografis kota

akan menentukan terhadap pembentukan hukum. Kota- kota yang secara geografis

dipengaruhi oleh ahli filsafat akan berbeda dalam pembentukan hukum dibanding

dengan kota-kota yang secara geografis dipenuhi oleh ahli-ahli tasauf. Kota-kota yang

Page 5: imam syafii

5

tingkat kompleksitasnya lebih tinggi akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan kota-

kota yang tidak ada kompleksitasnya. Kota-kota yang modern akan berbeda pula

pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang sederhana dan tertutup. Artinya tingkat

urbanisasi disuatu daerah akan menentukan dalam pembentukan hukum pada daerah itu

sendir.

Mesir secara geografis lebih subur dibandingkan dengan Irak, karena adanya

sungai nil yang selalu meluap, di Mesir air lebih mudah didapatkan jika dibandingkan

dengn di Irak. Oleh karena itu dalam masalah yang ada kaitannya dengan air (iklim),

seperti thaharah, berwudlu, shalat dalam keadaan tidak ada air dan lain sebagainya, Imam

Syafi’i telah mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan fatwa sebelumnya ketika di Irak.

Yang lebih menitikberatkan kepada penekanan harus dikerjakan, karena menganggap

tidak mungkin air tidak didapati. Dengan demikian karena di Mesir dengan gampangnya

mendapatkan air, maka dalam keadaan bagaimanapun perintah Allah yang ada kaitannya

dengan masalah thaharah harus dikerjakan, sedangkan di Irak yang kurang subur bila

dibandingkan dengan di Mesir, agak sulit mendapatkan air, maka perintah Allah bisa saja

ditunda atau tidak tikerjakan sama sekali. Salah satu contoh fatwa Imam Syafi’i adalah

sebagai berikut: “ Apabila datang waktu shalat, sedangkan air dan tanah tidak didapati,

maka menurut qaul jadid sholatlah apa adanya dan ulangi shalatnya jika telah didapati air,

sedangkan menurut qaul qadim jangan shalat jika air dan tanah tidak ada”. Ke dua

fatwa ini jelas sangat berbeda dan saling bertentangan , padahal dalam kasusnya sama,

yaitu tidak ada air.

Dengan demikian pada intinya para imam mujtahid sangat dipengaruhi oleh

keadaan iklim daerah yang ia tempati. Daerah yang panas akan berbeda dengan daerah

yang dingin, daerah yang banyak air akan berbeda dengan daerah kering. Begitu juga

akan dipengaruhi oleh kemajemukan kota dan kemajuan kota tempat imam mujtahid

tinggal. Semakin banyaknya suku bangsa yang hidup disuatu kota akan berbeda dengan

kota yang hanya dihuni oleh satu suku bangsa saja, kota yang lebih modern akan

berbeda pula dalam menentukan hukumnya bila dibandingkan dengan kota yang

sederhana dan tertingal.

2. Faktor Kebudayaan dan Adat Istiadat

Faktor kebudayaan dan adat istiadat sangat mempengaruhi terhadap

pertumbuhan dan perubahan hukum Islam. Setelah banyaknya negara-negara yang

dikuasai oleh Islam, padahal negara-negara yang dikuasai tersebut telah memiliki

kebudayaan-kebudayaan dan adat-istiadat masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan

begitu saja, kebudayaan dan adat-istiadat mereka telah menyatu. Oleh karena itu asimilasi

(percampuran) antara kebudayaan (adat istiadat) setempat dengan kebudayaan Islam

sering terjadi, sehingga menimbulkan akibat lain dari hukum Islam itu sendiri.

TM.Hasbi Ash-Shiddieqy (1980: 119) Walaupun masyarakat telah mempunyai

kebudayaan-kebudayaan lain yang mempengaruhinya, namun para fuqoha dapat pula

Page 6: imam syafii

6

menimbulkan pengaruh baru, karena adanya dua faktor yang mempengaruhi

perkembangan fiqh di daerah-daerah itu, pertama milieu (lingkungan), ke dua sistem

yang ditempuh oleh fuqoha dalam memberikan hukum. Menurut Harun Nasution

(1979:14)“ Penafsiran-penafsiran itu lahir sesuai dengan susunan masyarakat yang ada di

tempat dan jaman itu muncul. Jaman terus menerus membawa perubahan pada suasana

masyarakat. Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai pemikiran dijaman

tertentu belum tentu sesuai untuk jaman lain.

Begitu juga menurut Abdul Gani Abdullah (2000:22) “ Hubungan antara

syari’ah dan peradaban manusia pada satu segi dapat dikatakan kausalistik dengan

dasar teoritis bahwa (1). Syari’ah dalam kapasitasnya sebagai respon terhadap proses

peradaban, maka antara syari’ah dan peradaban saling membutuhkan, (2) sebagai

respon, syari’ah terumuskan karena kebutuhan peradaban manusia, dan arah

peradaban manusia bergantung kepada syari’ah itu sendiri.

Kebudayaan dan adat istiadat Mesir lebih maju dan lebih modern bila

dibandingkan dengan kebudayaan Irak, karena bangsa Mesir pernah dukuasai oleh bangsa

Romawi yang kebudayaan dan teknologinya lebih modern pada waktu itu, sedangkan Irak

tidak pernah dikuasai oleh bangsa Romawi. Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan

bangsa Romawi telah tertanam pada bangsa Mesir, terutama masalah pergaulan antara

satu bangsa dengan bangsa lainnya, oleh karena itu pergaulan sehari-hari di Mesir lebih

terbuka, sedangkan di Irak karena belum pernah dikuasai oleh bangsa lain, maka

pergaulan sehari-harinya lebih tertutup.

Dengan budaya Mesir seperti itulah, maka pada waktu itu Imam Syafi’i

memberika fatwa kepada perempuan untuk bebas menuntuk ilmu sebagaimama kaum

laki-laki, sehingga pada waktu itu banyak kaum perempuan berduyun-duyun menuntut

ilmu pada Imam Syafi’i. Lain halnya ketika tinggal di Irak yang pergaulannya lebih

tertutup, sehingga kaum perempuan pada waktu itu tidak diberi kebebasan untuk menutut

ilmu, tetapi hanya diperkenankan untuk menutut ilmu sekedarnya saja, itupun kepada

muhrimnya atau suaminya. Di Mesir pula Imam Syafi’i menggabungkan dalam satu

ruangan antara pelajar laki-laki dengan pelajar perempuan, yang sebelumnya di Irak

pelajar laki dengan pelajar perepuan selalu terpisah. Dengan demikian sangat jelas bahwa

kebudayaan dan adat istiadat suatu bangsa sangat menentukan dan mempengaruhi

terhadap hasil ijtihad seorang mujtahid, hal itu telah buktikan oleh Imam Syafi’i yang

merubah hasil ijtihadnya ketika berada di Irak dengan ijtihadnya yang baru ketika berada

di Mesir.

3. Faktor Ilmu Pengetahuan

Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil ijtihad para imam mujtahid

dalam menggali hukum dan menentukan hukum. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,

bahwa Imam Syafi’i seorang yang ahli hadits, karena beliau belajar hadits kepada Imam

Malik bin Anas di Madinah, Imam Syafi’i juga seorang ahli ra’yu, karena beliau belajar

Page 7: imam syafii

7

kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhamamd bin Hasan murid Imam Abu Hanifah

di Irak. Dengan faktor ilmu pengetahuan Imam Syafi’i tersebut, maka hasil

ijtihad Imam Syafi’i tidak sama dengan gurunya yang ahli hadits maupun dengan ahli

ra’yu. Karena pengetahuan Imam Syafi’i sangat berbeda dengan gurunya yang ada di

Madinah sebagai ahli hadits ataupun gurunya yang ada di Irak sebagai ahli ra’yu, tetapi

Imam Syafi’i menggabungkan kedua pendapat gurunya itu menjadi fatwanya sendiri.

Setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir, pengalaman Imam Syafi’i semakin

bertambah dan Imam Syafi’i tetap bertukan fikiran kepada ulama-ulama Mesir.

Sehingga setelah berada di Mesir Imam Syafi’i menemukan ada dalil-dalil yang lebih

kuat dan lebih shahih bila dibandingkan dengan hasil ijtihadnya ketika masih berada di

Irak. Oleh karena itu Imam Syafi’i memandang perlu untuk meluruskan dan meralat

kembali fatwa-fatwa beliau ketika masih berada di Irak, karena menganggap fatwa-fatwa

beliau yang dikeluarkan di Irak tidak didukung dengan dalil yang lebih kuat.

Noel J. Coulson menerangkan (1987:62-63) “ Imam Syafi’i merupakan

pembaharuan yang cemerlang. Kecemerlangannya tidak teletak pada pengenalan konsef

baru, melainkan pada pemberian konotasi (arti) pemahamannya yang baru bagi ide-ide

yang sudah ada, serta keberhasilannya menyatukan ide-ide itu samua dalam satu skema

sistematik. Begitu juga menurut Ma’ruf Misbah dkk.(1986:28) Menerangkan: “ Bahwa

Islam sebagai suatu sejarah yang terbentuk dari cara hidup mereka dalam mengamalkan

ajaran yang mutlak itu. Islam dalam sejarah dan budaya, pemikiran inilah yang bisa

berubah-rubah sesuai dengan kemajuan berfikir moral manusia itu sendiri.

Ilmu pengetahuan seorang imam mujtahid akan menentuka terjadinya perubahan

dalam pembentukan hukum Islam. Sebagai contoh Imam Malik bin Anas yang ahli

Hadits fatwanya berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang ahli Ra’yu, sekalipun dalam

kasus yang sama. Hal yang sama telah dipraktekan oleh Imam Syafi’i sendiri, ketika

beliau di Hijaz Imam Syafi’i memberikan fatwa yang dilandsai dengan d alil-dalil al-

Qur’an dan As-Sunnah, tidak dilandasi dengan ra’yu, karena pada waktu itu beliau belum

mengetahui tentang ra’yu, tetapi ketika beliau sudah berada di Irak dan telah belajar

tentang ahli ra’yu, maka beliau merubah sendiri fatwanya yang dilandasi dengan pendapat

ra’yu, begitu juga setelah di Mesir beliau menemukan hadits yang lebih kuat yang

sebelumnya di Hijaz atau di Irak tidak menemukan hadits tersebut, maka beliau merubah

kembali fatwa beliau yang telah dikeluarkan di Irak.

C. KEBERADAAN FATWA-FATWA IMAM SYAFI’I DALAM QAUL QADIM DAN

QAUL JADID

Dalan catatan sejarah Imam Syafi’i telah mengeluarkan beberapa fatwa yang

berbeda, 1). Fatwa Imam Syafi’i ketika di Hijaz (Makkah dan Madinah) ketika beliau

berumur 15 tahun, fatwa ini bertentangan dengan pendapat gurunya (Imam Malik). 2).

Fatwa Imam Syafi’i kertika berada di Irak/Bagdad, yang disebut dengan Qaul Qadim.

Fatwa ini bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan di Hijaz. 3). Fatwa Imam Syafi’i

Page 8: imam syafii

8

ketika berada di Mesir, yang disebut dengan Qaul Jadid. Fatwa ini bertentangan dengan

fatwa qaul qadim. Akan tetapi perlu diketahui fatwa Imam Syafi’i yang dikeluarkan di

Hijaz sudah tidak dapat ditemukan lagi dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang beredar

sekarang ini, oleh karena itu Penulis hanya mengemukakan fatwa qaul qadim dan qaul

jadid Imam Syafi’i yang masih terdapat dalam kitab-kitab Imam Syafi’i dan tetap hangat

dibicarakan orang. Penulis telah menemukan 33 permasalahan yang berbeda antara fatwa

qaul qadim dengan qaul jadid dari beberapa kitab Imam Syafi’i, walaupun demikian

Penulis hanya akan dikemukakan beberapa permasalahan saja diantaranya sebagai

berikut:

1. Hukum Mendatangkan Saksi Pada Waktu Ruju’

Menurut qaul qadim jika suami ingin merujuk kembali istrinya yang telah di

thalak raj’i, maka ia harus menghadirkan saksi, sedangkan menurut qaul jadid tidak perlu

mendatangkan saksi, karena rujuk adalah hak suami.

Qaul qadim beralasan sesuai dengan firman Allah dalam surat ayat 2 surat Ath-

Thalak yang berbunyi:

�ٍل ِ�ْ�ُ�ْ� َوَأِ��ُ��ا ا� �َ��َدَة ِ���ِ� ........ْ� .........َوَأْ!ِ�ُ�وا َذَوْي َ

Artinya: Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hen-

daklah kamu tegakan kesaksian itu karena Allah.

Dari keterangan firman Allas Swt tersebut di atas, alasan kaul qadim dapat

difahami bahwa firman Allah yang terdapat pada surat Thalak berhubungan dengan

masalah thalak, oleh karena itu kesaksian disini ada hubungannya dengan akibat dari

perbuatan suami yang mentalak raj’i istrinya. Dengan demikian apabila suami yang

menghendaki rujuk kembali yang telah mentalak raj’i istrinya, harus pula mendatangkan

saksi yang adil, suami yang menghendaki rujuk dengan istrinya harus mengucapkan kata

rujuk dihadapan saksi tersebut. Alasan Qaul qadim juga diperkuat dengan hadits Nabi

Saw yang terdapat dalam hadits Abu Daud dan Baihaqi ( Ismail Al-Kahlani Juz.3:182)

yang berbunyi :

#� �67# ر34 ا2 ��� أ ن� 0ـ/ـ. �# ا�&(ـ. ی-�, +ـ� ی&ا(ـ) �ـ�&ان $#

��ـ�ى-�ـ=ـ�� و��ى&(ـ;ـ:ـ��, و8ی ـ�ـ � .أ!ـ�ـ

Artinya: Dari Imran bin Husain Ra. Bahwa ia ditanya oleh seorang laki-laki yang

menthalak istrinya, kemudan laki-laki tersebut rujuk kembali kepada istrinya

dengan tidak ada saksi, maka Imran bin Husain berkata “hadirkanlah saksi

ketika menthalaknya dan ketika merujuknya” (HR.Abu-Daud dan Baihaki).

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Baihaqi, memang sudah

jelas bahwa suami yang hendak melakukan thalak, ataupun rujuk kepada istrinya,

harus menghadirkan saksi. Artinya tidak syah thalak dan rujuknya jika tidak dihadapan

saksi yang adil. Menurut qaul qadim pungsi saksi disini selain sebagai saksi yang melihat

Page 9: imam syafii

9

telah terjadi rujuk, juga berpungsi sebagai pemberitahuan, dimana saksi bisa

mengumumkan atau memberitahukan kepada orang lain bahwa antara A dengan B telah

terjadi rujuk.

Sedangkan alasan qaul jadid adalah sebagaimana tercantun dalam firman Allah

dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi :

........وُ$ُ;�َ�ُ:ُ�#� َأF,7َ ِ$َ&دEِه#� BCِ َذAَ�ِ ِإْن َأَراُدوا ِإْصَ��7ً�..... .

Artinya : Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika meraka

(para suami) menghendaki ishlah….

Dari keterangan firman Allah tersebut di atas, dapat difahami bahwa menurut

qaul jadid, suami berhak untuk merujuk kembali istri-istrinya yang telah dithalak dalam

masa menanti (iddah), karena pada masa menanti itu yang berhak memberikan nafkah

kepada istri adalah mantan suaminya. Pada masa menanti si istri tidak boleh menerima

pinangan dari orang lain, tetapi harus menunggu terlebih dahulu sampai masa menanti itu

habis, setelah masa menanti itu habis maka si mantan istri tersebut boleh menerima

pinangan orang lain. Karena pada masa menanti yang mempunyai kewajiban memberikan

nafkah kepada mantan istrinya adalah mantan suaminya, maka mantan suami

mempunyai hak pula untuk merujuk kembali mantan istrinya, dengan demikian ketika

mantan suaminya ingin merujuk kembali mantan istrinya, tidak perlu lagi menghadirkan

saksi, tetapi cukup dengan kata-kata “aku rujuk engkau” atau dengan perbuatan.

Disamping itu pula qaul jadid beralasan, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh

Abu Daud dan Baihaqi yang dijadikan landasahn dalam qaul qadim adalah hadits Marfu’,

artinya salah satu perawi dari hadits itu terputus (tidak ada perawinya), pada hadits

tersebut tidak disebutkan siapa perawi hadits pada jaman shahabat, hadits itu langsung

saja dari Nabi Saw. Oleh karena itu hadits marfu’ tidak bisa dijadikan hujjah atau

pegangan dalam menentukan hukum. Qaul jadid juga menerangkan bahwa ada hadits

Nabi Saw. yang lebih shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (Bukhari Juz.

3: 125) yang berbunyi :

��ـ�� ص�ى�3�I�� 2 �ـ�ل ا, ا2 ����� ا ن� ��� �H, ا �ـ&أ تـ� $# ��ـ& ر34 و�# ا

)�:Mـ, �Lـ��( (;�ـ� و0ـ�� �;�ـ&�ـ&�C Jـ�&

Artinya: Dari Ibnu ‘Umar Ra, bahwa sanya ketika Ibnu ‘Umar menthalak Istrinya, Nabi

Saw, berkata kepada ‘Amar. ” Kembalilah dan rujuklah (HR. Bukhari

dan

Muslim).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim pada intinya tidak

ada perintah untuk menghadirkan saksi ketika ‘Amar disuruh rujuk kembali oleh

Rasulullah Saw, kepada mantan istrinya. Dengan tidak adanya perintah menghadirkan

saksi oleh Rasulullah Saw, maka terdapat isyarat bahwa ketika mantan suaminya ingin

merujuk kembali mantan istrinya, tidak perlu lagi menghadirkan saksi. Disamping itu

Page 10: imam syafii

10

hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim ini lebi shahih bila dibandingakan dengan

hadits Abu Daud dan Baihaqi, karena qaul jadid didasari oleh hadits-hadits yang

lebih kuat dibandingkan dengan qaul qadim, maka yang perlu didahulukan adalah qaul

jadid.

2. Tentang Akhir Waktu Sholat Isya

Yusuf Fairuzi (Juz.1:52) Awal waktu Isya’ yaitu apabila telah lenyap mega

merah, sedangkan akhir waktu Isya’ ada dua pendapat, menurut qaul Jadid sepertiga

akhir malam, sedangkan menurut qalu Qadim waktunya sampai seperdua malam.

Dalam kasus akhir waktu shalat Isya’ ini, terjadi perselishan dan berbedaan

antara qaul qadim dan qaul jadid. Pada qaul qadim akhir waktu shalat Isya’ adalah

seperdua malam, sedangkan menurut qaul jadid adalah sepertiga malam.

Pada qaul qadim dilandasi dengan hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh

Imam Bukhari, yang berbunyi:

�ـ# انـQ ان� �� ل اPـ& ا��ـIـ�3 صـ�ى�2 �ـ�ـ�� و0ـ�� صـO ة ا�;ـ ـ�ء Rا�3 نـ6ـ

.ا��ـ�.

Artinya: Dari Anas, beliau telah berkata, Nabi Saw. telah mengakhirkan shalat isya’

sampai seperdua malam (HR. Buhkari).

Disamping itu qaul qadim juga didasari dengan hadits lain yang diriwayatkan

oleh Imam Bukhari, yang berbunyi :

�ـ# ا$3 $&زة ان ر0ـ�ل ا2 ص�3 ا2 �ـ��� و�0ـ� آ�ن یـ� J&ـ ا��ـ�م �ـIـ. ا�ـ;ـ �ء

Artinya: Dari Abi Barzah, bahwa Rasulullah Saw. membenci kepada orang yang tidur

sebelum melaksanakan shalat isya’. (HR.Bukhari)

Pada qaul jadid dilandasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

dari Ibnu Umar, yang berbunyi :

#� �W�6 ا�; ـ�ء ا$# ��&��ل ��Yـ�� ذات ��ـ�W ن�ـ:V&ر�0ل ا2 ص�ى�2 ��ـ�� و0ـ��

J � اP8&ة ]Cـ&ج ا���� �7# ذهـZ�+ [ ا���ـ. او$;ـ

Artinya: Dari Ibnu Umar berkata, kami berdiam pada suatu malam sambil menunggu

Rasulullah Saw, untuk melaksanakan shalat isya’ yang diakhirkan, lalu

keluarlah Nabi bersama kami untuk melaksanakan shalat isya’ yang

menginjak sepertiga akhir dari malam atau lebih.(HR. Muslim).

Disamping itu, qaul jadid didukung oleh pendapat Syatha Dimyati yang dilandasi

dengan hadits Muslim lainnya, yang menerangkan sebagai berikut:

3^Iـ& وی�_C ء ا�ى-��ع�ـ نـ� ب ت�Pdـ&ه� ا�cوال ا8صM&وا8$ـ�b اى و�ـa ا�;ـ

Page 11: imam syafii

11

Zی�f� د ق�ة " ص O3 �ـ# �� یـ6ـ. ا�6ـ�� iـ&یـMتـ �وان� iـ&یMم ت����ىC Qـ��

".3:7 یـ� Pـ. و�ـa اP8ـ&ى

Artinya: Mesti disunatkan mengakhirkan shalat isya’ sampai kelihatan bayangan kuning

dan putih. Artinya waktu isya’ itu sampai terbitnya fajar shadik. karena ada

hadits Nabi yang berbunyi “ tidak termasuk melalaikan shalat karena tidur

(belum tiba waktu sholat lainnya), tetapi yang dikatakan melalaikan sholat

ialah orang yang belum melaksanakan shalat sampai tiba waktu sholat

lainnya.

Dari uraian tersebut di atas, bahwa dalam qaul qadim waktu akhir shalat isya’

sampai seperdua malam, dengan alasan karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam

Buhkari yang membenci tidur sebelum shalat isya’. Sedangkan dalam qaul jadid waktu

akhir shalat isya’ sampai sepertiga akhir malam, dengan alasan tidur malam untuk

mengakhirkan shalat isya’ yang dilanjutkan dengan shalat sunat malam lainnya bukan

termasuk melalaikan shalat, sebagaimana yang diterangkan oleh hadits Muslim. Ke dua

fatwa Imam Syafi’i tentang akhir waktu shalat sebagaimana tersebut di atas, baik dalam

qaul qadim maupun dalam qaul jadid telah terjadi perselisihan dan pertentangan, yang

mana kedua-duanya dilandasi dengan hadits-hadits yang shahih. Oleh karena itu untuk

lebih jelas lagi perlu dicari dalil yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan kondisi

masyarakat yang ada, dari kedua kaul tersebut di atas.

Menurut analisa Penulis, bahwa pada qaul qadim adanya kehati-hatian (ikhtiyat),

dengan alasan bahwa dengan sebab tidur akhirnya shalat Isya’ menjadi kesiangan sampai

waktu shalat subuh tiba, sedangkan shalat isya’ belum dilaksanakan. Inilah yang

menyebabkan mengahkirkan shalat isya’ diselingi dengan tidur dibenci. Sedangkan

menurut qaul jadid, bagi orang yang sudah biasa menggabungkan shalat Isya’ dengan

shalat sunnat lainnya (Qiyamul-Lail) yang diakhirkan pada dua pertiga malam hukumnya

sunnat, dengan tidur terlebih dahulu. Dengan alasan karena mengakhirkan shalat isya’

tersebut sekaligus dengan mengerjakan shalat sunnat malam lainnya sampai tiba waktu

shalat shubuh, kebiasaan-kebiasaan seperti ini sering dilakukan oleh Rasulullah saw.

Mengakhirkan shalat isya’ adalah sunnah hukumnya, bagi orang yang ingin

mengerjakan shalat malam (tahajud), yang kemudian dilanjutkan dengan shalat shubuh.

Tetapi kita tidak tahu, apakah dalam keadaan tidur pulas akan yakin bisa terjaga dari

tidurnya ketika waktu menginjak pada sepertiga akhir malam. Inilah yang membuat kita

ragu, apakah kita bisa terjaga dari tidur dengan tepat waktu yang diinginkan, sedangkan

dalam amalan yang masih diragukan harus dihindari. Mengerjakan shalat isya’ hukumnya

wajib, oleh karena itu tidak masuk akal kalau orang ingin mengerjakan shalat sunnat

dengan mengakhirkan yang wajib, padahal masih diragukan apakah bisa jaga dari

tidurnya dengan tepat waktu. Yang lebih baik adalah mengerjakan shalat isya’ tepat pada

waktunya, kemudian tidur dan bangun ketika waktu menginjak sepertiga akhir malam

dilanjutkan dengan sholat malam (tahajud) sampai tiba waktu shalat shubuh.

Page 12: imam syafii

12

Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka Penulis mendahulukan qaul qadim

dari qaul jadid, karena sandaran hadits qaul qadim dari segi Perawi hadits lebih tinggi

nilainya dari pada hadits qaul jadid, menurut akal qaul qadim lebih diterima, sebab pada

dasarnya mengerjakan yang masih diragukan dengan menunda (meninggalkan) yang

wajib termasuk pekerjaan yang dilarang. Disamping itu Penulis juga beralasan bahwa

dalil yang digunakan oleh qaul jadid berkenaan dengan waktu shahur bulan ramadhan,

yang pada waktu itu semua orang sudah terjaga dari tidurnya, seperti hadits riwayat Imam

Bukhari di bawah ini:

��# انـQ ان زیـ 3Iـ&وا �ـ) ا��ـfـjـ� انـ�� تـ+ �7 a$ـ�ـ��� و0ـ.$# +ـ� ص�ى�2

. �ـ�ل �ـ� ر�Pـjـ�# او0ـ:ـ�# kی�Wى��6ـO ة �ـ�ـa آ� $ـ�ـ�ـ�ـ�ـ� ����ا ا

Artinya: Dari Anas sesungguhnya Zaid bin Tsabit menceritakan, bahwa sanya orang-

orang sedang makan sahur bersama Nabi Saw. kemudian mereka bersama-

sama melaksanakan shalat, saya ( Zaid bin Tsabit) berkata berapa lama

waktu shahur dengan shalat subuh ?, Nabi menjawab selama membaca al-

Qur’an lima puluh ayat atau enam puluh ayat.

Maksudnya bahwa, hadits yang dipakai alasan dalam kaul jadid berkenaan

dengan kegiatan bulan ramadhan, karena kebiasaan dibulan ramadhan orang-orang sudah

bangun untuk shahur sejak sepertiga akhir malam, atau sekitar pukul tiga malam

sampai imsak, sebelum datangnya waktu shalat shubuh, yang biasanya orang-orang

mengisi waktunya dengan shalat malam (sunnat) atau mengisi dengan tadarusan

membavaal-Qur’an yang dilanjutkan dengan shalat subuh. Jadi kegiatan tersebut semata-

mata pada bulan ramadhan, bukan pada malam selain di bulan Ramadhan.

3. Tentang Melakukan Shalat Dalam Keadaan Tidak Ada Air dan

Tidak Ada Tanah

یـ6. �ـ�j7 3ـ] 7��ـ� ویـ;ـ��, و�# �ـ� یـ_ـ� ��ء و8تـ&ا $� وl7ـ&ت� ا�6ـO ة

� 8ی6ـ. 7ـ:3 یـ_ـ� ا��ـ�ء وا�:ـ&اب وهـ� ا�=ـ� ی� . اذا او(ـ�J وه� ا�ـ_ـ�یـ

Artinya: Apabila orang tidak mendapatkan air dan tanah, kemudian datang waktu shalat,

menurut qaul Jadid shalatlah apa adanya dan mengulangi jika telah

mendapatkan air dan tanah. Sedangkan menurut qaul Qadim tidak wajib shalat,

sampai didapati air dan tanah .

Kedua fatwa Imam Syafi’i tersebut di atas, terjadi perselisihan dan saling

berlawanan, menurut qaul qadim tidak perlu melakukan shalat jika dalam keadaan tidak

ada air dan tidak ada tanah, sedangkan menurut qaul jadid jika tidak ada air dan tidak ada

tanah, tetap malakukan shalat apa adanya, dan mengulangi shalatnya jika telah ditemukan

air dan tanah. Kedua fatwa Imam Syafi’i tersebut di atas, baik qaul qadim maupun qaul

jadid, memang Penulis tidak menemukan hadits Nabi Saw, yang secara khusus

Page 13: imam syafii

13

menguatkan kedua fatwa Imam Syafi’i tersebut. Oleh karena untuk memecahkan masalah

ini Penulis akan mencoba mencari analogi-analogi yang bisa diterima oleh akal. Atau

mencari pendapat para pakar yang menguatkan ke dua fatwa tersebut di atas, kemudian

mencari fatwa mana yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat itu sendiri.

Menurut Penulis alasan qaul qadim adalah bahwa: air dan tanah sebagai syarat

untuk berwudhu (suci dari hadats), maka tidak syah shalat kalau tidak dipenuhi syaratnya.

Dengan demikian shalat yang tidak memenuhi syaratnya hanya sia-sia saja. Sedangkan

alasan qaul jadid menurut Penulis adalah bahwa: bersuci dari hadats memang benar

sebagai salah satu syarat shalat, akan tetapi ketidak mampuan mendapatkan air dan tanah

tidak bisa menghilangkan kewajiban shalat. Syarat berwudlu itu adalah bagian dari

kebersihan jasmani, sedangkan rohani kita juga dituntut untuk dibersihkan dengan cara

melaksanakan perintah Allah berupa shalat. Oleh karena itu ketika air atau tanah telah

didapatkan, maka harus mengulangi shalatnya, untuk menyempurnakan kebersihannya,

yaitu kebersihan rohani dan jasmani.

Alasan lain yang menguatkan qaul jadid adalah bisa diqiaskan dengan perintah

shalat itu sendiri. Seperti telah diakui bahwa berdiri dalam shalat itu wajib hukumnya

secara mutlak, tetapi walau demikian Allah memberikan rukhsoh (keringanan) kepada

orang yang tidak mampu berdiri untuk melaksanakan shalat. Ketika orang itu tidak

mampu berdiri, maka shalatlah dalam keadaan berbaring, seandainya berbaringpun

tidak mampu, maka shalatlah dengan gerakan lisan (isyarat). Disini sudah jelas bahwa

tidak mampunya seseorang untuk melaksanakan salah satu rukun sholat seperti berdiri,

tidak menggugurkan kewajibannya untuk melaksanakan shalat, tetapi shalat itu tetap

saja wajib dilaksanakan sekalipun dengan isyarat. Dengan demikian ketiadaan air dan

tanah tidak menghilangkan perintah wajib shalat, seperti ketidak mampuan berdiri tidak

menghilangkan perintah wajib shalat. Disamping itu alasan lain bahwa shalat dalam

keadaan tidak mempunyai wudlu (karena tidak ada air dan tanah), bisa juga diartikan

sebagai penghormatan kepada waktu.

Ada beberapa pendapat para fakar yang menguatkan fatwa qaul jadid seperti

tersebut di bawah ini, diantaranya :

- Imam Nawawi Al-Banthani menerangkan :

�� یـ_ـ� أ7ـ� ا�ـ-��ری# ا�ـ�ـ�ء وا ذ ا د Pـ. و�ـa ا�6ـO ة و

�+ aا���ـ W�&ـfا�-�ـ�ری# �ـ � وا�:ـ&اب صـ. ا�Mـ&ض Cـ� �ـ

ا�ـ� د هـ� �ـ�� و(ـ�د ا7ـ� هـ��

Artinya: Apabila tiba waktu shalat, tetapi tidak didapatinya alat untuk bersuci, baik itu

air maupun tanah, maka shalatlah dalam keadaan tidak mempunyai wudlu,

untuk menghormati waktu dan ulangi shalatnya ketika telah mendapatkan

salah satu dari ke duanya.

- Syihabuddin Qulyuby menerangkan sebagai berikut:

Page 14: imam syafii

14

����� � و�# �� ی_ـ� ��ء و8ت&$� آ� ���Ifس Cى��4ـ�ع ��C Qـ�� وا7ـ

� �ـ3C ��c ا�_ـ� ی� ان ی6ـ�3 ا�ـMـ&ض �fـ&�W ا���ـa ویـ;ـ�ـ

.ا ذ ا او(ـ� ا7ـ� هـ��

Artinya: Barang siapa yang tidak mendapatkan air dan tanah, seumpama orang yang

terkurung dalam ruangan, yang di dalamnya tidak ada air dan tanah. Maka

menurut qaul jadid shalatlah untuk menghormati waktu dan ulangi ketika

telah mendapatkan salah satu dari keduanya.

- Yahya Zakariya juga menerangkan:

� ا���ء وا�:ـ&ب ا�-��ری# آ�fـ�Iس $�fـ. ����C 3�� C Qـ�ـ� وا7ـ�و

.یـf� 3�6&و�W ا���ـa وی;ـ�ـ� ا ذ ا و(ـ� ا7� ه�ـ� ان �����

Artinya: Dan bagi orang yang tidak mendapatkan air dan tanah, untuk berwudlu,

seperti orang yang terkurung yang di dalamnya tidak didapati salah satu alat

untuk berwudlu, maka shalatlah untuk menghormati waktu dan ulangi

apabila telah mendapatkan salah satu alat bersuci tersebut.

Dari pendapat para ulama tersebut di atas, pada intinya bahwa sebagian besar

ulama Syafi’iyah sepakat, bahwa orang yang tidak mendapatkan air dan tanah ketika

datang waktu shalat, hendaklah orang tersebut melaksanakan shalat apa adanya sebagai

penghormatan atas waktu dan ulangi shalatnya ketika telah mendapatkan air atau tanah.

Pendapat para ulama tersebut di atas, semakin memperkuat analisa Penulis, bahwa fatwa

qaul jadid Imam Syafi’i tentang melaksanakan shalat dalam keadaan tidak ada air dan

tidak ada tanah yang harus didahulukan dari pada pendapat qaul qadim, karena qaul jadid

lebih rasionil dari pada qaul qadim.

4. Tentang Taswib Pada Shalat Shubuh.

وه�ان ی=�ل $;ـ� ا�W�;�f .ان ا�I6ـp زاد Cـ�� ا�:�Yیـ] Cـ�ن آ�ن 3C اذ

.وآ&C Jى��_ـ� ی�. �&ت�#" ا�O6ة �Pـ&�# ا�ـ��م " ا�O6ة

Artinya: Dalam qaul Qadim, apabila pada azan Shubuh, maka ikuti dengan taswib, yang

diucapkan setelah kata Hayya ‘alasholah, yaitu dengan kata “Ash-Sholatu

khairun Minan-Naom“ dua kali. Sedangkan dalam qaul Jadid dilarang.

Dalam masalah taswib, terjadi perselisihan dan perbedaan antara qaul qadim

dengan qaul jadid. Pada qaul qadim taswib disunatkan, sedangkan pada qaul jadid

dilarang melakukan taswib. Adanya perselisihan dan perbedaan tersebut perlu dicari

penyelesaiannya, mana yang harus didahulukan pengunaannya antara qaul qadim

dengan qaul jadid. Oleh karena itu Penulis akan mencoba untuk meneliti dan

menganalisa lebih lanjut tentang dalil-dalil yang digunakan oleh kedua fatwa tersebut.

Ismail Al-Kahlani mengatakan :

�# أنـQ رB4 ا2 ��� ��ل �# ا��jـW ا ذ ا ��ل ا��qذ ن Wیـ�cP #$8و

Page 15: imam syafii

15

صffـ� ا $#Cى��M_ـ& �7ـى;�3 ا�MـOح ��ل ا�O6 ة �P&�# ا��ـ�م

3�Iـjة . ا� O6ـ�ـ&�# ا�ـ�ـ�م ا�ـP ةO6ء ا�ـ�ـjا��ـ Wى&ویـCو

pI68ذ ن ا8ول �# ا�ـ�ىC ـ�& �# ا�ـ�ـ�مP .

Artinya: Dari Ibnu Huzaimah dari Anas RA. Ia talah berkata “termasuk sunnah yaitu

apabila seseorang Muadzin berkata pada adzan subuh dengan kata Hayya

‘Alash Shalah, dilanjutkan dengan kata “Ash-Shalatu khairun Minan

Naumi”.Ibnu Subky telah menshahihkan hadits tersebut di atas, dalam

riwayat Nasa’ i bahwa “Ash-Shalatu khairun minan-naumi” pada adzan subuh

yang pertama.

Muhammad Syatha Dimyati menerangkan :

ا�O6 ة, و0ـ# ت�Yیـ] sذ ان صpI وه� ا ن ی=ـ�ل $;ـ� ا��f;ـ�:�#

�P&�# ا��ـ�م �&تI# ��� صp ان $8O ا ذا ن ��ـpI6 ا�O6 ة Pـ�ـ&

.C=�ل ص�ى�2 ���� و0ـ�� ا(;��� Cى:dذ یـ�ـpI6�� A, �# ا�ـ��م

Artinya: Sunnat Taswib pada adzan shubuh sesudah kata “ Hayya alataini‘dengan kata “

Ash-Shalatu Khairun Minan Naomi ” sebanyak dua kali sebagaimana

yang telah menjadi shahih ketika Bilal adzan pada shalat shubuh dengan

kata-kata “Ash-Shalatu Khairun Minan Naomi”. Kemudian Rasul Saw,

bersabda: lakukanlah seperti itu jika engkau adzan pada shalat shubuh.

Sedangkan Imam Syafi’i sendiri menerangkan sebagai berikut:

��# و8ا7ـ] ا�:Yـ�ی] Cى��pI6 وL8ـ�&ه� 8ن ا$� �fـ Aـfورة �� ی

ن ا���Iى�6ى�2 ��ـ�� و��0 ان� ا �&$Y:�dـ�ی] C�آـ&J ا�cیـ� دة �# ا8ذا

و��ل Cى��=� ی� یcیـ� �# ا ذ ا ن ا�pI6 ا�ـ:Yـ�ی] وه�. واآ&J ا�:Yـ�ی]

�ـ# $O ل �ـqذ , ا�O6 ة �P&�# ا ��ـ�م �&ت�ـ# Jن ر�0ل ا2 وروا

��ل ا�jـ&اج ا ��I=ـ�3 وهـt ا ا�t ى �7�J ا��ـcن3 , ص�ى�2 ���� و0ـ��

�ـ# ا�ـ=ـ� ی� وه�ا��ـ;ـ:ـ�ـ� Cى��ـ;ـ�ـ. وا�ـMـ:ـ�ى.

Artinya: Saya tidak menyukai taswib dalam adzan shubuh dan yang lainnya, karena

Abu Mahdurah tidak pernah meriwayatkan dari Nabi Saw, bahwa ia

diperintah untuk bertaswib. Oleh karena itu saya membenci menambah-

nambah dalam adzan subuh dan juga membenci taswib. Menurut qaul

qadim bahwa pada adzan subuh ditambah dengan taswib yaitu:“Ash-sholatu

khairun Minan Naumi” dua kali. Diriwayatkan dari Bilal,seorang tukang adzan

pada masa Nabi Saw. berkata Sirajul Bulqiny, sebagaimana yang telah

Page 16: imam syafii

16

diriwayatkan oleh Muzani dari kaul qadim, yang menjadi pegangan dan fatwa

dalam beramal.

Dari pendapat ulama tersebut di atas, sebenarnya qaul qadim dilandasi dengan

hadits-hadits yang shahih dan masyhur, seperti pendapat Al-Kahlani mengambil hadits

dari Abu Hujaimah dan dari Anas, kedua Perawi ini termasuk orang yang tsiqoq, dlabit,

jujur dan terpercaya. Begitu juga pendapat Saththa Dimyathi yang melandasi dengan

hadits yang sama, meskipun Dia tidak menerangkan dari mana hadits tersebut serta siapa

perawi haditsnya. Walaupun demikian karena matan hadits tersebut sama dengan hadits-

hadits lain, maka dengan sendirinya hadits tersebut termasuk hadits masyhur. Lain halnya

dengan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya yang menolak menggunakan

taswib pada adzan subuh, dengan alasan karena Nabi tidak memerintahkan kepada Abu

Mahdurah untuk melakukan taswib. Sebenarnya fatwa Imam Syafi’i dalam qaul qadim

telah dijelaskan oleh Muridnya yang bernama Al-Mazani, yang menerangkan bahwa

taswib pada shubuh ada dasarnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Bilal, seorang tukang

adzan pada jaman Rasulullah Saw, menurut Al-Mazani pendapat inilah yang lebih kuat.

Untuk lebih memperjelas permasalahan antara qaul qadim dengan qaul jadid dan

yang mana yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat itu sendiri, maka perlu juga

didengar keterangan ulama lainnya, seperti di bawah ini:

Syihabuddin Qulyuby menerangkan :

cـ�P ة O6ـ# ا��:�;�fا� � ویjـ# ا�:�Yی] Cى��pI6 وه� ان ی=�ل $ـ;ـ

�� یZ ا$ى� ا ؤ د وLـ�&J $�0ـ��د (ـ�fىC Jا���م �&ت�ـ# ��رد #�.

Artinya: Disunatkan Taswib pada shalat shubuh, yaitu dengan kata-kata“Ash sholatu

khairun minan naum, setelah Hayya ‘Alataini” sebanyak dua kali karena ada

hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan juga riwayat lainnya dengan

sanad yang baik.

Ibnu Rusydi juga menerangkan :

واPـ:�ـ�Mا �# �ـ�ل ا��qذ ن CىO6 ة ا�pI6 ا�O6 ة �P& �# ا��ـ�م

��C ل�ه. ی=ـ �ـ��C A� ل ذ �هـ] ا�_���ر ا �3 ا ن� یـ=ـtـC ا م 8 ؟ �

Wـ�ـ�نـjا8 ذا ن ا�� #� Qل 8ن� ��ـ�ون ان 8 ی=ـ&Pل ا�و�.

Artinya: Para Ulama berbeda pendapat tentang perkataan adzan pada shalat shubuh,

yaitu masalah “ Asholatu Khairun Minan Naomi”, apakah itu ada dasarnya

atau tidak ada dasarnya. ? Jumhur ulama berpendapat bahwa taswib pada

shalat subuh ada dasarnya, sedangkan pendapat yanglainnya bahwa taswib

bukan termasuk bagian adzan yang disunatkan.

Pada intinya fatwa Imam Syafi’i dalam qaul jadid membenci dan melarang untuk

mengunakan taswib, tetapi disini Penulis tidak menemukan adanya hadits yang secara

jelas melarang untuk taswib. Sedangkan menurut qaul qadim pada adzan shubuh

Page 17: imam syafii

17

disunatkan melakukan taswib, hal ini telah banyak Hadits Nabi Saw yang menerangkan

taswib, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, Ahmad

dan Nasa’i, semuanya meriwayatkan tentang hadits taswib. Bahkan jumhur Ulama

sepakat menyatakan bahwa taswib itu disunatkan.

Menurut analisa Penulis, alasan (dalil) qaul qadim lebih kuat dari pada qaul

jadid, karena qaul qadim didukung oleh sebagian besar ulama. Karena didukung oleh

sebagian besar ulama, maka sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menerangkan “ Al-

Musbitu Muqaddamun ‘Alan Nafii” Artinya : yang menetapkan (orang Banyak) harus

didahulukan dari pada orang yang meniadakan (orang sedikit). Disamping itu qaul kadim

lebih sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia, karena diseluruh mesjid di Indonesia

selalu menggunakan taswib ketika adzan shubuh tiba. Dengan demikian qaul qadim

masih relevan dengan keadan masyarakat itu sendiri, oleh karennya tidak berlaku kata

jadid menghapus kata qadim.

Demikianlah beberapa sampel yang dapat Penulis kemukakan, tentang adanya

perbedaan dan perselisihan antara qaul qadim dan qaul jadid. Sebenarnya banyak sekali

tentang adanya perbedaan dan perselishan antara qaul qadim dengan qaul jadid, tetapi

dengan beberapa sampel tersebut di atas, kiranya bisa mewakili kepada sampel-sampel

yang lainnya. Karena pada dasarnya dalam pembahasan ini, ingin mengetahui apakah

benar bahwa qaul qadim telah dihapus oleh qaul jadid. Ternyata setelah

diteliti masih banyak qaul qadim yang dalilnya lebih kuat dari pada qaul jadid. Dari

empat sampel yang diteliti oleh Penulis, terdapat dua sampel yang menyatakan qaul

qadim dalilnya lebih kuat dari pada qaul jadid dan dua sampel lagi yang menyatakan dalil

qaul jadid lebih kuat. Dengan demikian berapapun sampel yang dibahas, hasilnya akan

tetap sama.

Dari empat kasus/sampel yang diteliti oleh Penulis, tidak semua dalil qaul qadim

dihapus oleh qaul jadid, karena setelah diteliti dan dianalisa melalui beberapa sampel,

ternyata masih banyak dalil qaul qadim yang masih relevan dan lebih kuat dalilnya

dibanding dengan kaul jadid. Oleh karena menurut pandangan Penulis jika ditemukan

adanya perbeda-an antara qaul qadim dengan qaul jadid, harus diadakan penelitian terle-

bih dahulu, kemudian dari kedua dalil itu dibandingkan mana yang lebih kuat dan lebih

maslahat bagi umat manusia. Hal ini dilakukan sebagai pengecualian terhadap

ketentuan umum tentang keshahihan qaul jadid yang telah diakui secara luas.

Menurut pandangn Penulis, teore yang paling tepat utuk meninjau kembali qaul

qadim sebagai dalil yang lebih kuat/shahih dari pada qaul jadid adalah melalui metode

Tarjih. Dengan metode ini kita tidak terpaku lagi dengan kaidah yang menerangkan “

apabila terjadi pertentangan antara qaul qadim dengan qaul jadid, maka dahulukan qaul

jadid, karena qaul qadim telah dinasakh”. Metode tarjih dilakukan jika menemukan ada

indikasi bahwa dalil qaul qadim lebih shahih/kuat dan lebih maslahat bagi umat manusia.

Dorongan untuk melakukan tarjih sebenarnya telah diucapkan oleh Imam Syafi’i sendiri

kepada murid-muridnya, seperti kata-kata beliau “ Jika hadits itu shahih, maka itulah maj

Page 18: imam syafii

18

habku”. Sedangkan hadits yang shahih itu sendiri terdapat dalam qaul qadim dan qaul

jadid.

Seandainya Imam Syafi’i ditakdirkan dengan umur panjang dan bepindah

pindah dari satu negara ke negara lainnya, Penulis yakin akan banyak fatwa Imam Syafi’i

yang berbeda antara qaul qadim dengan qaul jadid, kemungkinan besar Imam Syafi’i

akan mengeluarkan fatwa yang lebih baru lagi dari qaul jadid, dan itu akan terus

berkembang sesuai dengan perkembangan tempat dan jaman. Imam Syafi’i memberi

kebebasan kepada murid-muridnya untuk berijtihad, serta tidak terikat dengan

pendapat guru-gurunya, apalagi jika pendapat gurunya itu tidak sesuai dengan

keyakinannya. Pandangan Imam Syafi’i tersebut membuka cakrawala baru bagi

pembentukan hukum Islam yang selalu hidup dan berkembang sesuai dengan jamannya

dan sesuai pula dengan adat istiadat bangsa itu sendiri.

Dari permasalahan yang ditemukan oleh Penulis, tentang adanya perbedaan dan

perselisihan antara qaul qadim dan qaul jadid, kebanyakan menyangkut masalah ibadah,

mu’amalah dan munakahat, dari ke tiga masalah tersebut yang paling banyak adalah

menyangkut masalah ibadah. Dengan demikian rasanya tidak salah kalau Penulis

berasumsi, bahwa Imam Syafi’i begitu kreatif mengadakan perubahan-perubahan hukum

yang menyangkut masalah ibadah, padahal yang menyangkut masalah ibadah kebanyakan

ulama masih kaku dan terikat dengan dalil-dalil yang ada, sekalipun dalil-dalil itu bersifat

umum, seolah-olah mengadakan perubahan dalam masalah ibadah adalah bid’ah,

padahal itu telah dilakukan oleh Imam Syafi’i. Mungkin menurut Penulis tidak menaruh

besar terhadap perubahan-perubahan hukum yang menyangkut ibadah seperti yang

dilakukan oleh Imam Syafi’i, tetapi ada yang lebih penting dan lebih maslahat bagi

kehidupan manusia adalah mengadakan perubahan hukum dalam bidang mua’malah.

Dengan demikian pandangan Imam Syafi’i dalam qaul qadim dan qaul jadid, sebagai

wacana bagi kita untuk mengadakan perubahan-perubahan hukum, terutama hukum

mu’amalah, yang selama ini masih tetap berpegang kepada fiqh temporer, yang

kemungkinan besar sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat sekarang.

D. IMPLIKASI QAUL QADIN DAN QAUL JADID TERHADAP PERUBAHAN

HUKUM ISLAM

Seperti telah diuraikan di atas, tampak dengan jelas bahwa hukum dalam mazhab

Imam Syafi’i bersifat dinamis, hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa fatwa

Imam Syafi’i yang dipengaruhi oleh berbagai situasi, kondisi dan keadaan. Sejak masih

berada di Hijaz (Makkah dan Madinah) ketika usia Imam Syafi’i masih muda telah

mengeluarkan beberapa fatwa tentang hukum, fatwa tersebut telah bertentangan dengan

gurunya di Hijaz (Imam Malik bin Annas) fatwa tersebut oleh Penulis disebut dengan pra

qaul qadim, kemudian setelah tinggal di Bagdad Imam Syafi’i mengeluarkan fatwa pula

yang disebut dengan qaul qadim, dan terakhir setelah tinggal di Mesir sampai wafatnya

telah banyak mengeluarkan fatwa yang disebut dengan qaul jadid. Menurut pandangan

Page 19: imam syafii

19

Imam Syafi’i kebenaran hukum yang ditemukan hasil ijtihad itu bersifat relatif (zhanny)

bukan mutlak, maka tetap terbuka bagi pengkajian dan kemungkinan perubahan.

Kemungkinan adanya perubahan tersebut bisa dilihat dari hal-hal sebagai berikut:

1. Praktik Imam Syafi’i sendiri yang dalam waktu singkat telah mengemukakan

beberapa fatwa, tidak hanya qaul qadim dan qaul jadid, tetapi ada beberapa fatwa

yang dikeluarkan sebelum qaul qadim dan setelah qaul jadid.

2. Larangan taqlid serta anjuran ijtihad yang ditekankan oleh Imam Syafi’i

terhadap murid-muridnya, termasuk arahan dan anjuran agar memeriksa kembali

hasil fatwanya, serta meninggalkan fatwanya bila tidak sesuai dengan hadits yang

shahih.

3. Penyusunan dan penataan kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai pedoman dalam

melakukan ijtihad, kenyataannya kaidah-kaidah tesebut mengalami perkembangan

melalui kajian lebih lanjut oleh para ulama As- Syafi’iyah.

4. Praktik para murid Imam Syafi’i yang senantiasa melakukan ijttihad, berupa

penelitian ulang terhadap fatwa Imam Syafi’i sendiri dan penerapan hukum terhadap

masalah-masalah baru.

5. Kenyataan adanya perbedaan dan saling koreksi yang berkelanjutan di kalangan

ulama Syafi’iyah dalam kegiatan ijtihad, sebagian ulama Syafi’iyah tidak

membenarkan adanya taqlid kepada mujtahid yang telah wafat.

Dari fakta-fakta tersebut di atas, dapat diratik suatu kesimpulan bahwa mazhab

Imam Syafi’i menghendaki agar hukum yang difatwakan harus selalu baru. Setiap

kejadian, situasi, kondisi memerlukan fatwa dan menuntut untuk berijtihad. Ijtihad

terdahulu yang dilakukan sehubungan dengan kasus yang pernah terjadi, pada prinsipnya

tidak berlaku untuk kasus serupa bila terjadi pada waktu atau kondisi yang berbeda,

terutama bila melihat adanya hal-hal yang mengharuskan peralihan fatwa.

Kodifikasi hukum Islam dengan alasan untuk mendapatkan kesatuan dan

kepastian hukum, sebenarnya kurang sesuai dengan prinsip mazhab Imam Syafi’i.

Prinsipnya bahwa setiap kejadian menuntut ijtihad tersendiri dan ini tidak sejalan dengan

kodifikasi hukum, bahkan mengekang kebebasan hakim untuk berijtihad. Menurut prinsip

mazhab Imam Syafi’i “seorang hakim haruslah mujtahid dan setiap mujtahid tidak boleh

bertaqlid”. Jadi hakim tidak boleh mengikuti pendapat orang lain, termasuk pendapat

yang telah dikodifikasi. Akan tetapi, karena masalah ini berada dalam lingkup Al-

Siyasah, maka pengaturannya jelas menjadi wewenang penguasa. Tindakan penguasa

harus ditunjukan kepada kemaslahatan umat, bila kodifikasi sudah dianggap sebagai

kemaslahatan, penguasa baleh melakukannya walaupun tidak sesuai dengan pendirian

mazhab. Kodifikasi oleh penguasa tidak dapat ditentang demi kewibawaan pemerintah,

masalah khilafiyah tidak berlaku terhadap tindakan penguasa, bahkan keputusan dan

tindakan penguasa dapat mengangkatkan khilaf yang ada.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, mazhab Imam Syafi’i, dengan

semangat ijtihad dan dinamika yang dimilikinya sebagaimana terlihat pada peralihan dari

Page 20: imam syafii

20

satu qaul ke qaul lainnya serta perkembangan mazhab ini selanjutnya, tidak mungkin

menentang, bahkan sebaliknya sangat mendukung upaya pembaharuan hukum dengan

ijtihad secara berkelanjutan. Dengan ketentuan ijtihad dilakukan dengan benar dan tidak

meninggalkan kaidah-kaidah yang berlaku, supaya hukum yang dihasilkan dapat

dipertanggungjawabkan sebagai hukum Islam.

Kaidah-kaidah ushul fiqh yang diciptakan oleh Imam Syafi’i mempunyai

pengertian yang cukup luas, diantaranya dalam pembahasan qiyas. Sehingga berbagai

dalil yang disebut-sebut pada mazhab lainnya, semisal Istihsan, maslahat mursalah dan

lain sebagainya dalam batas-batas tertentu telah tercakup di dalamnya. Oleh karena itu

dengan menggunakan metode istinbath As-Syafi’i, seorang mujtahid akan tetap

mempunyai kebebasan berijtihad yang cukup luas dalam merespons dan memberikan

jawaban atas setiap masalah yang terjadi dalam perkembangan jaman.

Perkembangan zaman yang semakin modern, kebudayaan manusia yang semakin

maju, akan senatiasa menuntut respons hukum terhadap berbagai perubahan sosial dan

budaya. Kebutuhan akan ijtihad akan terus berkembang, bahkan cendrung semakin

meningkat dari waktu ke waktu. Kekayaan dan perbendahraan fawa Imam Syafi’i

mungkin saja tidak cukup lagi untuk merespons perubahan-perubahan tersebut, sehingga

kebutuhan untuk ijtihad semakin meningkat. Mungkin sebelumnya ijtihad muqayyad

dan tarjih sudah memadai, akan tetapi pada gilirannya hajat masyarakat akan menuntut

ijtihad mutlak atau ijtihad mutlak mustaqil.

Dengan mengamati perkembangan kebudayaan dam kemajuan zaman, telah

nampak bahwa perubahan fatwa Imam Syafi’i dari satu qaul ke qaul lainya tidak hanya

terjadi pada fatwa-fatwa hukum sebagai hasil ijtihad, melainkan juga terjadi pada

sebagian kaidah-kaidah ijtihad itu sendiri. Koreksi dari Ashhab ( teman-teman Syafi’i)

terhadap pendapatnya tampak jelas meliputi ke dua bidang. Perbedaan pendapat dan

saling koreksi dalam kajian ushul fiqh dikalangan syafi’iyah tidak kalah ramainya dengan

yang terjadi pada kajian fatwa mazhab. Hal ini dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk

melaukukan perubahan-perubahan hukum yang disesuaikan dengan keadaan, situasi,

zaman dan kondisi masyarakat setempat.

Sepanjang sejaran, perkembangan ilmu pengetahuan selalu terkait dan saling

mempengaruhi dengan keadaan politik, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Ketika

kekuatan politik umat Islam mengalami disintegrasi pada abad pertengahan, kegiatan

ilmiyah termasuk ijtihad tidak lepas dari pengaruhnya. Semangat ijthad melemah dan

sikap bertaqlid semakin meluas, bahkan termasuk dikalangan ulama sendiri. sejak abad

IV hijriyah tidak ada lagi ulama yang mengaku sebagai mujtahid mutlak mustaqil (lepas

dari keterikatan pendapat orang). Pada waktu itu kegiatan ijtihad hanya terbatas pada

dalam mazhab anutan masing-masing. Meskipun demikian banyak ulama usuhl fiqh yang

hidup pada masa itu menyatakan bahwa keberadaan mujtahid mutlak merupakan fardu

kifayah. Dengan demikian apabila suatu masa tidak ada mujtahid mutlak, berarti umat ini

telah gagal melaksanakan salah satu kewajibannya.

Page 21: imam syafii

21

Sudah dapat dipastikan, bahwa untuk mencapai tingkat ijtihad mutlak itu

tidaklah sederhana, karena kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi cukup berat.

Akan tetapi itu akan terasa lebih mudah dipelajari bila dibandingkan dengan keadaan-

keadaan pada masa imam-imam mujtahid yang hidup pada abad ke dua dan ke tiga

hijriyah. Alasan-alasan lain yang memudahkan adalah bahwa ilmu-ilmu yang

mendukung untuk berijtihad telah ada, seperti tafsir, hadits, ushul fiqh dan lain

sebagainya. Dengan demikian banyaknya kemudahan yang dapat menunjang pendidikan

pada zaman modern ini, dapat diharapkan pencapaian tingkat ijtihad itu akan menjadi

lebih mudah lagi dibandingkan dengan masa-masa kemunduran Islam. Sehingga hukum

Islam tetap berkembang sesuai dengan berkembangnya, waktu, tempat dan kebudayaan

masnusia itu sendiri, dan sekaligus kemurnian Islam tetap terjaga.

E. KESIMPULAN

Metodologi istinbat hukum melalui qiyas, adalah sebagai upaya ijitihad Imam

Syafi’i dalam menghadapi peristiwa-peristiwa baru yang tidak terdapat dalam Al-

Qur’an dan Sunnah. Peristiwa-peristiwa baru tersebut timbul karena berkembangnya

beradaban kebudayaan manusiadan, faktor perbedaan alam, sehingga hukum Islam

dituntut untuk memecahkan masalah-masalah baru yang tidak terdapat adalam Al-

Qur’an dan As-Sunah. Sesuai dengan kaidah yang berbunyi “Hukum itu selalu berubah,

sesuai dengan perubahan tempat dan jaman”.

Perubahan fatwa Imam Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid dapat terjadi,

karena menurut Imam Syafi’i setiap kasus menuntut untuk berijtihad tersendiri, dan

fatwa harus senantiasa baru sesuai dengan hasil ijtihad terakhir serta tidak terikat dengan

fatwa terdahulu. Perubahan fatwa Imam Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid, karena

dilatar belakangi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor geografis, faktor kebudayaan

dan adat istiadat, faktor ilmu pengetahuan, faktor metodologi dan faktor tuntutan dari

murid Imam Syafi’i. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut di atas, jelas tampak pada

keragaman masalah yang dibahasnya, setiap kali menghadapi kasus-kasus yang

aktual, Imam Syafi’i melakukan ijtihad dengan mempergunakan dalil, kaidah dan sisi

pandang yang paling tepat.

Dari beberapa sampel yang dianalisa antara fatwa qaul qadim dengan qaul

jadid, ternyata telah ditemukan ada beberapa fatwa qaul qadim yang dalilnya lebih

kuat dan lebih maslahat bila dibandingkan dengan qaul jadid. Untuk mengetahui

adanya dalil qaul qadim yang lebih kuat/lebih shahih bila dibandingkan dengan qaul

jadid adalah melalui metode tarjih.

Gerakan pembaharuan hukum Islam pada masa modern selalu membangkitkan

semangat ijtihad , menyerukan penataan kembali hukum Islam, serta menyusun

undang-undang sesuai dengan kemajuan zaman. Mazhab Imam Syafi’i sangat

mendukung dalam pembaharuan hukum. Dalam pandangan Imam Syafi’i, kebenaran

Page 22: imam syafii

22

fatwa diukur dengan kekuatan dalil yang mendukungnya. Pendapat terdahulu tentang

suatu kasus tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap kasus berikutnya.

Dalam menghadapi permasalah hukum, fatwa-fatwa yang ada pada

perbendaharaan mazhab Imam Syafi’i layak ditelusiri dan diteliti ulang dengan

menggunakan kaidah-kaidah ijtihad yang telah dirumuskannya. Untuk kasus-kasus

baru yang belum terjangkau oleh kajian mazhab, kaidah-kaidah tesebut dapat

dipedomani dalam penanganan dalil-dalil terkait, melalui ijtihad jama’i. Dengan

demikian, dinamika hukum dalam mazhab Imam Syafi’i sangatlah relevan dengan

upaya pembaharuan hukum Islam pada masyarakat modern yang dinamis.

Dilihat dari teori hukum “ Lex Posterior Derogat Legi Priori”, artinya hukum

yang datang terakhir harus didahulukan/diberlakukan dari pada hukum yang datang

lebih dahulu. Begitu juga dengan teori nasakh mansukh yang merupakan teori yang

diakui oleh Imam Syafi’i, yang menyatakan ayat yang datang terakhir dapat menghapus

ayat yang datang lebih dahulu. Dengan demikian semakin memperkuat kesimpulan

Penulis, bahwa Imam Syafi’i selalu berubah-ubah dalam berijtihad, karena imam Syafi’i

selalu mendahulukan kemaslahatan hukum bagi masyarakat dan kondisi masyarata

setempat. Hal ini dapat dibuktikan bahwa qaul qadimnya imam Syafi’i masih ada yang

relevan dengan jaman sekarang sekalipun telah ada qaul jadidnya. Hal inilah menurut

Penulis pemikiran-pemikiran imam Syafi’i yang sangan brilian untuk menjadi penggerak

bagi kita semua dalam menggali hukum melalui ijtihad.