i. pendahuluan 1.1 latar belakang - ipb...
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pencemaran udara sudah menjadi masalah yang serius di kota-kota besar
di dunia. Polusi udara perkotaan yang berdampak pada kesehatan manusia dan
lingkungan telah dikenal secara luas selama kurang lebih 50 tahun terakhir (Azmi
et al., 2010; Gurjar et al., 2008; Ozden et al., 2008). Selain dampak terhadap
kesehatan manusia, polusi udara juga dapat berdampak negatif terhadap
ekosistem, material dan bangunan-bangunan, vegetasi dan visibilitas (Ilyas et al.,
2009).
Kota Makassar sebagai sebagai pusat pengembangan kawasan strategis di
kawasan timur Indonesia, cenderung mengalami pertumbuhan yang pesat di
berbagai bidang termasuk sektor transportasi sebagai penunjang aktivitas
masyarakat yang sangat penting dirasakan saat ini. Pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan jumlah penduduk memberi dampak pertumbuhan sektor tranportasi
yang meningkat sangat cepat. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah kendaraan
di Kota Makassar, baik kendaraan umum maupun pribadi yang mencapai sekitar
856 ribu unit pada tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan mencapai 12%
pertahun (Dinas Perhubungan Kota Makassar, 2010).
Pertumbuhan kendaraan yang pesat di kota-kota besar mencerminkan
kurang memadainya sistem transportasi kota. Masyarakat terdorong untuk
menggunakan mobil pribadi dan sepeda motor karena ketiadaan transportasi
umum yang nyaman, aman, murah dan tepat waktu. Pertumbuhan jumlah
kendaraan yang tidak sebanding dengan peningkatan volume jalan yang
cenderung statis mengakibatkan terjadinya perlambatan hingga kemacetan di
berbagai ruas jalan. Hal ini berakibat pada pemborosan konsumsi bahan bakar
kendaraan dan juga terjadinya akumulasi jumlah emisi dan degradasi kualitas
udara (WRI, 2008).
Beberapa hasil kajian juga menyimpulkan bahwa sektor transportasi
memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan di
beberapa kota besar di Indonesia. Sektor transportasi menyumbang 65% hingga
75% dari pencemar nitrogen oksida (NO2) dan 15% hingga 55% pencemar
particulate matter (PM10) (Syahril et al., 2002; Suhadi dan Damantoro, 2005).
2
Menurut JICA (2004), kendaraan bermotor merupakan sumber utama polusi udara
di daerah perkotaan dan menyumbang 70% emisi NO2, 52% emisi VOC dan 23%
partikulat.
Beberapa studi tentang pencemaran udara di Kota Makassar telah
dilaporkan. Hasil riset yang dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan
Hidup (KNLH) pada tahun 2006 hingga 2008 di 30 kota besar di Indonesia
termasuk Kota Makassar menunjukkan peningkatkan nilai konsentrasi emisi
sulfur dioksida (SO2) sebesar 23.10 hingga 45.29 µg/m3, dan nitrogen dioksida
(NO2) sebesar 14.80 hingga 62.11 µg/m3. Hasil pengukuran partikulat yang
dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Propinsi Sulawesi
Selatan pada tahun 2009 di kawasan terminal regional Daya sebesar 256.97 µg/m3
atau telah melampaui baku mutu yang telah ditetapkan berdasarkan SK. Gubernur
No.14 Tahun 2003 sebesar 230 µg/m3. Sedangkan untuk konsentrasi NO2 dan
SO2 masih berada di bawah baku mutu udara ambien yaitu sebesar 92.5 dan 20.9
µg/m3. Menurut Mehta et al., (2011), setiap peningkatan 10 µg/m3 konsentrasi
PM10 pada jangka panjang berhubungan dengan peningkatan 12% resiko
kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Hasil studi Hariyati et al. (2009) yang mengkaji pencemaran udara akibat
emisi Carbon Monoksida (CO) dan Nitrogen Oksida (NOx) akibat kendaraan
bermotor pada 4 ruas jalan padat lalu lintas di Kota Makassar menunjukkan
peningkatan emisi CO dan NOx pada hari kerja (Senin) dibandingkan pada hari
libur (Sabtu dan Minggu) pada 4 ruas jalan yang dikaji. Kondisi ini jika tidak
segera diambil tindakan pengendalian akan menimbukan dampak ekologis seperti
pencemaran udara, resiko kesehatan penduduk, menurunnya nilai estetika dan
nilai ekonomi akibat resiko kesehatan.
Beberapa kajian juga menyebutkan bahwa menurunnya kualitas udara
wilayah perkotaan dapat diduga dari tingginya konsumsi bahan bakar minyak
untuk sektor transportasi, sekitar 53% (Lvovsky et al. 2000). Tingginya
penggunaan bahan bakar minyak tersebut menyebabkan kontribusi sektor
transportasi terhadap penurunan kualitas udara di berbagai kota besar di dunia
cukup besar yang rata-rata mencapai 70% (Tietenberg, 2003). Menurut
Kementerian Keuangan & Bank Dunia (2008), emisi tahunan Indonesia dari
3
sektor energi mencapai 275 juta ton carbon dioksida ekuivalen atau sekitar 9%
dari total emisi Indonesia. Diperkirakan, dengan kebijakan pemerintah saat ini
yang cenderung mendukung pengembangan bahan bakar fosil ditambah dengan
besarnya hambatan pengembangan energi terbarukan, emisi dari sektor energi
akan cenderung meningkat dengan tajam menjadi tiga kali lipat di tahun 2030.
Dalam basis perkapita, emisi gas rumah kaca Indonesia telah tumbuh 173% sejak
tahun 1980, atau 75% sejak tahun 1990 (WRI, 2008).
Hasil studi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), dengan sampel Kota
Makassar menemukan bahwa yang menyumbang andil kemacetan adalah
kendaraan roda dua. Penyebabnya adalah pertumbuhan kepemilikan warga kota
terhadap kendaraan roda dua sangat tinggi, mencapai 709 ribu unit hingga tahun
2010. Pertumbuhan kendaran roda dua yang paling dominan dibanding dengan
angkutan umum dan kendaraan pribadi roda empat yaitu sebesar 13.59% per
tahun. Sementara jumlah angkutan umum dalam kota hanya sekitar 8.4 persen
dari jumlah total kendaraan yang ada di Kota Makassar. Hasil rinci dan detil uji
emisi mengidentifikasi bahwa 90.9% angkutan kota dalam kondisi kritis karena
seluruh parameter uji emisi tidak ideal, baik karena usia kendaraan, jenis mesin,
maupun karena kurangnya perawatan kendaraan dan mesin (Mansyur, 2008).
Pendekatan pengendalian pencemaran udara yang dilaksanakan saat ini
oleh Pemerintah Daerah adalah pendekatan peraturan perundang-undangan berupa
baku mutu, baik baku mutu emisi maupun baku mutu udara ambien melalui SK
Gubernur Sulawesi Selatan No. 14 Tahun 2002. Dalam baku mutu udara ambien
ditetapkan tingkat pencemaran tertinggi untuk waktu pemaparan tertentu.
Berbagai upaya untuk menanggulangi pencemaran udara telah dilakukan baik
dalam konteks pencegahan dan penanggulangan, dalam bentuk perbaikan
kualitas bahan bakar, mengefektifkan manajemen lalu lintas, pengetatan standar
emisi serta penegakan hukum, namun belum semuanya terlaksana secara optimal
sehingga tingkat kemacetan dan polusi udara masih tetap meningkat.
Untuk merencanakan strategi pengendalian pencemaran udara di Kota
Makassar maka diperlukan informasi yang mendasar mengenai karakteristik
beban emisi dan pencemaran udara akibat kegiatan transportasi saat ini. Informasi
tersebut berupa karakteristik jumlah dan jenis emisi pencemar udara, kondisi
4
meteorologis yang mempengaruhi pencemaran, dan konsentrasi pencemar yang
terjadi di wilayah Kota Makassar. Oleh karena itu penelitian ini dibutuhkan untuk
mengkaji karakteristik tersebut dan membangun model pengendalian emisi
kendaraan bermotor di Kota Makassar.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membangun model
pengendalian emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar yang diharapkan dapat
digunakan sebagai arahan bagi pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan
pengendalian pencemaran udara.
Secara spesifik penelitian ini bertujuan:
1. Mengestimasi total beban emisi (CO, SO2, NO2 dan PM10) kendaraan
bermotor di Kota Makassar.
2. Mengestimasi tingkat konsentrasi udara ambien (CO, SO2, NO2 dan PM10) di
Kota Makassar
3. Mengestimasi dampak pencemaran udara terhadap kesehatan dan nilai
ekonomi akibat pencemaran.
4. Menentukan prioritas strategi reduksi beban emisi kendaraan bermotor.
5. Membangun model pengendalian emisi kendaraan bermotor di Kota
Makassar.
1.3 Kerangka Pemikiran
Kota Makassar merupakan kota yang terus berkembang. Seiring dengan
perkembangan tersebut jumlah penduduk Kota Makassar juga terus bertambah
dan akan mempengaruhi potensi dalam menghasilkan polusi udara melalui
sumber antropogenik seperti emisi dari kendaraan bermotor, kegiatan industri dan
kegiatan rumah tangga. Kontribusi sektor transportasi terhadap komposisi emisi
pencemar udara di kota-kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa sektor
transportasi mempunyai kontribusi yang dominan yaitu mencapai 96.8 hingga
99.8 persen untuk emisi CO, 56.3 hingga 82.5 persen untuk emisi NO2, 12.6
hingga 63.5 persen untuk emisi SO2, dan 12.6 hingga 44.1 persen untuk emisi
partikulat (Soedomo, 2001). Dengan makin banyaknya kendaraan yang beroperasi
di perkotaan, maka emisi gas buang dari kendaraan bermotor juga meningkat.
5
Emisi gas buang kendaraan dan kualitas udara ambien secara langsung saling
mempengaruhi, termasuk pada saat terjadi kemacetan akan mempengaruhi
kualitas udara secara keseluruhan.
Sementara itu, menurut data Bank Dunia (2003), komposisi dari kerusakan
lingkungan akibat dari pembakaran bahan bakar fosil pada enam kota di negara
berkembang yang dipantau adalah 68% berdampak pada kesehatan, 21%
berdampak pada perubahan iklim dan 11% berdampak pada aspek lain.
Pencemaran udara selain merusak lingkungan dan kesehatan, juga merugikan
secara ekonomi. Hasil kajian Purwanto (2001) menemukan dampak ekonomi
akibat pencemaran udara di Jakarta sebesar Rp 1.8 triliun dan jumlah tersebut
akan membengkak menjadi Rp 4.3 triliun pada tahun 2015. Apabila jumlah
polutan melebihi ambang batas yang telah ditentukan maka dapat mempengaruhi
kesehatan manusia, kesuburan daerah pertanian dan perkebunan, bahkan dapat
mempengaruhi kerusakan infrastruktur untuk jangka waktu yang lebih lama
(Powe, 2004)
Pola penyebaran pencemar udara perkotaan memiliki suatu karakteristik
tersendiri. Perubahan dalam parameter meteorologis akan membawa pengaruh
yang besar dalam penyebaran dan difusi pencemar udara yang diemisikan, baik
terhadap kota itu sendiri dalam skala lokal, maupun terhadap daerah pedesaan
sekitarnya dalam skala regional (Kimmel, 2003). Dengan pengetahuan dasar
mendalam mengenai emisi, topografi, meteorologi dan kimia, suatu model dapat
dikembangkan untuk meramalkan konsentrasi pencemar, baik bagi pencemar
primer maupun yang sekunder sebagai fungsi dari berbagai tempat dan lokasi
yang berbeda dalam daerah aliran udaranya (Geddes et al., 2009).
Perilaku sistem pencemaran udara yang rumit, berubah cepat dan
mengandung ketidakpastian menyebabkan pengendalian pencemaran udara di
Makassar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode
spesifik saja, namun membutuhkan pendekatan sistem dan pemodelan.
Pendekatan sistem diperlukan dalam rangka pembatasan ruang lingkup dan
meminimalkan pengaruh serta output yang tidak dikehendaki, agar pengendalian
pencemaran berlangsung secara berkelanjutan.
6
Desain sistem berdasarkan pendekatan model dinamik diperlukan untuk
memahami perilaku dan melakukan simulasi terhadap sistem secara sederhana,
sehingga kemungkinan alternatif pengendalian dan strategi pengelolaan menjadi
lebih efektif dan terpadu. Model pengendalian pencemaran yang dibangun
didasarkan pada beban emisi dan karakteristik meteorologis yang berpengaruh
terhadap penyebaran polutan, serta faktor-faktor yang berpengaruh dalam rangka
pencapaian tujuan. Model dinamik juga menawarkan berbagai cara untuk
menggambarkan sistem yang dikembangkan, menganalisis perilaku sistem, dan
menghubungkan perilaku yang diamati dengan struktur sistem dengan suatu
bentuk desain sistem dan pemodelan (Pramudya, 2006; Muhammadi et al., 2001).
Model-model yang telah divalidasikan dengan hasil pengamatan lapangan,
akan merupakan suatu instrumen yang sangat berguna dalam merumuskan
kebijakan yang efektif (Hartrisari, 2007). Pemodelan sistem dinamik digunakan
untuk menentukan interaksi antara variabel yang berpengaruh di dalam sistem dan
menganalisis interaksi variabel-variabel tersebut terhadap waktu, selain itu model
dapat berfungsi sebagai alat bantu dalam menunjang pengambilan keputusan
(Avianto, 2010; Handoko, 2005).
1.4 Rumusan Masalah
Jumlah kendaraan bermotor di Kota Makassar tiap tahun terus meningkat,
hal ini terbukti dengan makin banyaknya jumlah titik kemacetan dan penurunan
kecepatan kendaraan di berbagai ruas jalan. Kawasan atau jalur rawan kemacetan
di Makassar terus bertambah seiring menurunnya tingkat pelayanan jalan dengan
perbandingan volume kendaraan dan kapasitas jalan (V/C ratio) dari 0.36 sampai
0.78 atau kondisi lalulintas yang berpotensi terjadi tundaan sampai kemacetan
(Dinas Perhubungan Kota Makassar, 2010). Sebagian besar kawasan kota, daya
tampung ruas jalan terhadap volume lalulintas tidak memadai lagi yang
berdampak pada penurunan kualitas lingkungan (Dinas PU Kota Makassar,
2010).
Kemacetan juga disebabkan karena hingga kini belum ada transportasi
massal yang memadai yang dapat dijadikan sebagai sarana penunjang mobilitas
masyarakat hingga masyarakat cenderung menggunakan kendaraan pribadi
sebagai moda utama transportasi. Hal ini tentunya akan memperburuk kualitas
7
udara akibat pembakaran bahan bakar yang cukup tinggi (Mansyur, 2007). Skema
kerangka pemikiran penelitian diilustrasikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir model pengendalian emisi kendaraan bermotor di
Kota Makassar.
Kota Metro Makassar Pusat Pengembangan Kawasan Strategis
Nasional di KTI
Sosial: • Peningkatan Penyakit ISPA
Ekonomi: • Biaya Kesehatan • Produktivitas Menurun
Konsep Umum PPU: Baku Mutu Udara Ambien,
Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan, ISPU
Model Pengendalian Pencemaran Emisi Kendaraan
Bermotor
Sub-model Emisi (Lingkungan): • Emisi Kendaraan Bermotor • Konsentrasi Ambien Polutan
Sub-model Dampak Pencemaran (Sosial-Ekonomi) :
• Estimasi Dampak Pencemaran pd Kesehatan
• Nilai Ekonomi Dampak Pencemaran
Arahan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara di Kota Makassar
Kondisi Eksisting • Peningkatan Jumlah Penduduk • Peningkatan Jumlah Kend. Bermotor. • Volume Jalan Relatif Tetap • Belum ada Moda Transportasi Massal • Kemacetan Meningkat • Peningkatan Emisi Gas Buang Kendaraan • Pencemaran Udara Ambien
Ekologi: • Degradasi Lingkungan • Peningkatan Emisi • Peningkatan Konsentrasi
Udara Ambien
8
Dampak terparah dari menurunnya kualitas udara adalah pada kesehatan
masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi. Peningkatan konsentrasi gas
buang kendaraan tersebut di udara akan menyebar ke daerah sekitarnya dan
sebagai akibatnya dapat mengganggu kesehatan masyarakat (Cahaya, 2003).
Kebijakan pembangunan transportasi dan manajemen yang kurang tepat serta
aspek peruntukan lahan dan tata ruang yang tidak terencana akan memperburuk
dampak negatif tersebut. Diperlukan strategi dan upaya pengendalian yang efektif
agar dampak dari emisi kendaraan terhadap degradasi lingkungan dapat
diminimalkan.
Untuk menjaga kualitas udara sesuai baku mutu yang diinginkan,
diperlukan upaya pengendalian. Tanpa upaya pengendalian, pencemaran akan
terus berlangsung dan dampaknya akan semakin luas, baik dampak terhadap
lingkungan maupun dampak terhadap kesehatan masyarakat. Pentingnya
pengendalian kualitas udara merupakan implikasi dari tekanan polutan yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat meningkatnya jumlah sumber
polutan.
Beberapa pertanyaan penelitian terkait model pengendalian emisi
kendaraan bermotor yang akan dibangun adalah:
1. Bagaimana karakteristik beban emisi (CO, SO2, NO2 dan PM10) di Kota
Makassar.
2. Bagaimana tingkat konsentrasi udara ambien (CO, SO2, NO2 dan PM10) di
Kota Makassar.
3. Bagaimana dampak pencemaran udara terhadap kesehatan dan nilai
ekonomi akibat pencemaran.
4. Bagaimana prioritas strategi reduksi beban emisi
5. Bagaimana model pengendalian emisi kendaraan bermotor yang dapat
diterapkan di Kota Makassar.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi berupa konsep
model pengendalian emisi kendaraan bermotor dalam mendukung pembangunan
berkelanjutan. Penelitian ini secara praktis dapat memberikan kontribusi antara
lain:
9
1. Sebagai pedoman dalam penentuan titik pemantauan kualitas udara di
Kota Makassar.
2. Sebagai pedoman perencanaan tata ruang kota berdasarkan distribusi
spasial polutan.
3. Sebagai alternatif penyusunan kebijakan untuk mengatasi pencemaran
emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar.
4. Sebagai referensi bagi penelitian dalam bidang pencemaran udara
khususnya dari emisi kendaraan bermotor.
1.6 Kebaruan Gagasan (Novelty)
Berkaitan dengan kebaruan dalam model pengendalian pencemaran udara
khususnya yang bersumber dari emisi kendaraan bermotor, dilakukan melalui
penelusuran kepustakaan berupa tesis, disertasi, jurnal penelitian dalam dan luar
negeri serta publikasi lainnya. Fokus penelusuran kepustakaan dilakukan pada
hasil kajian pemodelan menggunakan sistem dinamis atau model lainnya yang
terkait dengan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor di
beberapa kota besar di Indonesia maupun di luar negeri.
Penggunaan sistem dinamis saat ini banyak digunakan pada berbagai
objek penelitian di berbagai bidang termasuk di bidang pengelolaan lingkungan.
Penggunaan metode sistem dinamis dapat menggambarkan proses, perilaku dan
kompleksitas dari sistem. Kajian model pengendalian pencemaran udara selama
ini banyak dilakukan secara parsial tanpa memperhatikan keseluruhan komponen
yang berpengaruh pada proses pengendalian. Kajian penggunaan model dinamis
pada penelitian sebelumnya juga belum didukung dengan metode spasial untuk
melihat distribusi beban emisi dan konsentrasi ambien polutan pada suatu
wilayah.
Kebaruan dalam penelitian ini adalah:
1. Dari segi metode, penelitian ini mengaplikasikan pendekatan sistem dinamik
yang didukung dengan metode spasial sehingga analisis yang dihasilkan
lebih komprehensif baik dalam skala waktu maupun ruang.
2. Dihasilkannya konsep model pengendalian emisi kendaraan bermotor yang
dibangun berdasarkan kondisi meteorologis wilayah yang diteliti serta strategi
pengendalian pencemaran udara yang direkomendasikan.
10
Kajian penelitian sebelumnya terkait kebaruan dapat dilihat pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1. Penelitian sebelumnya terkait novelty
No Peneliti Hasil Penelitian Perbedaan Metode 1. Sofyan, (2001) estimasi beban emisi kendaraan
bermotor dan konsentrasi ambien CO di Kota Bandung
Tidak melakukan prediksi kualitas udara dalam jangka panjang dan tidak mengkaji aspek sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran
2. Syahril et al., (2002)
Prediksi beban emisi dan konsentrasi ambien polutan (PM10, NO2, CO, SO2, THC), dampak kesehatan dan kerugian ekonomi di Jakarta hingga Tahun 2015
Hasil prediksi emisi dan konsentrasi udara ambien tidak didukung metode spasial (GIS)
3. Santosa, (2005) Tingkat konsentrasi ambien dan penyebaran polutan (SO2, NO2, CO) di Kota Bogor
Tidak melakukan estimasi beban emisi dan kajian aspek sosial ekonomi
4. Hariyati et al., (2007)
Estimasi beban emisi dan konsentrasi ambien polutan CO dan NO2 akibat kendaraan bermotor pada ruas jalan padat lalu lintas di Kota Makassar
Tidak melakukan prediksi kualitas udara jangka panjang dan tidak menggunakan metode spasial (GIS)
5. Soleiman, (2008) Peningkatan beban emisi dan konsentrasi ambien polutan PM10, dampak kesehatan dan kerugian ekonomi di Jakarta hingga Tahun 2025
Menggunakan model dinamik tetapi tidak didukung analisis spasial (GIS)
6. Listyarini, (2008) Prediksi biaya kesehatan dan akibat pencemaran SO2 dan NO2 hingga tahun 2025 di Jakarta
Menggunakan model dinamik tetapi tidak didukung analasis spasial (GIS)
7. Rahmawati, (2009)
Estimasi dan prediksi beban emisi dan konsentrasi udara ambien polutan CO, NOx dan PM10 hingga tahun 2020 serta pengaruh penerapan skenario terhadap reduksi beban emisi dan konsentrasi udara ambien di Jakarta
Tidak didukung analasis spasial (GIS) serta tidak mengkaji aspek sosial ekonomi
8. Jhosua et al. (2010)
Hasil model konsisten dengan hasil pengukuran dengan konsentrasi O3 dan PM yang lebih tinggi pada musin dingin dibanding pada musim panas.
Tidak melakukan prediksi kualitas udara jangka panjang dan tidak ada kajian aspek sosial ekonomi
9. Azmi et al., 2010 Konsentrasi ambien dari seluruh polutan atmosferik pada 3 wilayah monitoring yang berbeda di Klang Valley Malaysia masih berada di bawah baku mutu yang diisinkan.
Tidak melakukan prediksi beban emisi serta tidak didukung analisis spasial (GIS)