bab ii pendekatan teoritis - ipb...

24
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Kemiskinan 2.1.1 Konsep Kemiskinan Pada hakikatnya, kemiskinan merupakan persoalan yang selalu ada, dari dulu, dan mungkin akan selalu ada sampai kapanpun. Belum ada upaya penanggulangan kemiskinan yang berhasil dengan sempurna. Akan tetapi memahami konsep kemiskinan tetap penting, yaitu untuk menemukan indikator kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kemiskinan diartikan secara berbeda-beda oleh para pakar kemiskinan. Hal ini dikarenakan sudut pandang yang berbeda dalam melihat akar dari kemiskinan tersebut. Menurut Sudibyo (1995), kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki. Dari kelima deprivation trap tersebut, kerentaan dan ketidakberdayaan merupakan penyebab yang perlu mendapatkan perhatian. Kerentaan dan ketidakberdayaan tersebut mengakibatkan perbedaan kepemilikan faktor produksi. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, dan masing-masing pelaku ekonomi hanya akan memperoleh penghasilan yang sebanding dengan apa yang dikorbankan dan faktor produksi apa yang dimiliki. Menurut Syahyuti (2006), miskin adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut.

Upload: lamduong

Post on 06-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Kemiskinan

2.1.1 Konsep Kemiskinan

Pada hakikatnya, kemiskinan merupakan persoalan yang selalu ada, dari

dulu, dan mungkin akan selalu ada sampai kapanpun. Belum ada upaya

penanggulangan kemiskinan yang berhasil dengan sempurna. Akan tetapi

memahami konsep kemiskinan tetap penting, yaitu untuk menemukan indikator

kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kemiskinan

diartikan secara berbeda-beda oleh para pakar kemiskinan. Hal ini dikarenakan

sudut pandang yang berbeda dalam melihat akar dari kemiskinan tersebut.

Menurut Sudibyo (1995), kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap

sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan,

kesehatan, pendidikan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan

akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki. Dari kelima deprivation trap

tersebut, kerentaan dan ketidakberdayaan merupakan penyebab yang perlu

mendapatkan perhatian. Kerentaan dan ketidakberdayaan tersebut mengakibatkan

perbedaan kepemilikan faktor produksi. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh

ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, dan masing-masing pelaku

ekonomi hanya akan memperoleh penghasilan yang sebanding dengan apa yang

dikorbankan dan faktor produksi apa yang dimiliki. Menurut Syahyuti (2006),

miskin adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya

sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu

memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut.

Page 2: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

Soedjatmoko pada seminar ilmiah HIPIIS2 menyatakan terdapat dua

hubungan antara kemiskinan dan ketidakadilan. Ketidakadilan pada pemerataan

terhadap pengadaan sumber-sumber daya maupun pelayanan sosial yang

menyebabkan terjadinya kemiskinan mutlak. Adanya ketidakadilan ini juga

berkaitan dengan pola organisasi sosial dan dengan pola pengaturan institusional.

Sedangkan menurut Amartya Sen dalam Syahyuti (2006), “orang menjadi miskin

karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki

sesuatu”. Maka kunci pemberantasan kemiskinan menurutnya adalah “akses”,

yaitu akses ke lembaga pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang

hidup dengan kondisi yang berbeda dengan orang lain dalam hal aset yang

berdampak pada akses mereka terhadap sumber daya yang ada dalam memenuhi

kebutuhan dasar hidupnya. Ketidaksamaan aset dan akses pada sumber daya

tertentu pada tiap kelompok ataupun individu dalam masyarakat menyebabkan

lahirnya ketidakadilan dalam struktur sosial yang akan menghasilkan kesenjangan

dan kecemburuan sosial.

Menurut Syahyuti (2006), kemiskinan dapat diukur secara absolute

ataupun secara relative. Kemiskinan absolute terlihat dari kehidupan di bawah

garis minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya

kekurangan nutrisi. Sementara kemiskinan relative dilihat dalam perbandingan

dengan segmen masyarakat yang lebih atas. Kemiskinan juga didekati dari sisi

objektif dan subyektif. Sisi objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah

2 Seminar Ilmiah HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) yang berlangsung pada bulan November 1979 di Malang.

Page 3: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan

sisi subyektif berasal dari penilaian masyarakat setempat

Kemiskinan dapat dilihat pada level individu, keluarga, komunitas,

maupun negara. Kemiskinan pada level individu dipercaya muncul karena

perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya.

Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena faktor keluarga dimana si miskin

hidup, faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola hidup, serta pola

pembelajaran dan prinsip berbagi dari komunitasnya, faktor luar misalnya karena

peran kebijakan pemerintah atau karena struktur ekonomi yang tidak adil, dan

penyebab struktural dimana kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial yang

tidak adil. Pada sebagian kalangan, yang melihatnya sebagai isu politik,

kemiskinan disebabkan karena kebijakan politik yang salah selanjutnya

melahirkan ketidakadilan sosial, dan lemahnya kesempatan untuk memperoleh

pendudukan (Syahyuti, 2006).

2.1.2 Indikator Kemiskinan: Aset dan Penghasilan

Terdapat perbedaan pandangan dalam melihat kemiskinan yaitu

berdasarkan kepemilikan aset dan tingkat penghasilan. Menurut Sherraden (2006),

aset merujuk pada jumlah kekayaan yang ada dalam keluarga. Sebaliknya,

penghasilan (income) merujuk pada arus sumber daya dalam sebuah keluarga,

sebuah konsep yang diasosiasikan dengan konsumsi terhadap barang dan jasa atau

pelayanan serta terhadap standar hidup. Alasan utamanya adalah bahwa

penghasilan hanya akan mempertahankan budaya konsumtif, sedangkan aset

dapat mengubah cara berpikir masyarakat dan cara mereka berinteraksi dengan

Page 4: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

dunia. Aset akan membuat orang berpikir untuk tujuan-tujuan jangka panjang dan

mewujudkan tujuan-tujuan tersebut menjadi kenyataan. Dengan kata lain,

penghasilan berfungsi untuk mengisi “kebutuhan perut”, sedangkan aset

“merubah pola pikir masyarakat”. Selain itu, menurut Grobakken (2005),

pengurangan tingkat kemiskinan melalui peningkatan aset dasar dapat membuat

penduduk miskin sadar akan kemampuannya, sehingga dapat memimpin hidup

mereka sendiri lewat peningkatkan rasa pemberdayaan yang lebih baik serta

pemenuhan "kebutuhan dasar".

Berdasarkan Sherraden (2006), aset terdiri dari modal investasi yang pada

gilirannya akan menghasilkan laju pemasukan di masa depan. Aset dibagi menjadi

aset nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible).

A. Aset-aset yang Nyata (Tangible Asset)

Aset yang nyata adalah sesuatu yang sah dimiliki termasuk di dalamnya

properti fisik sebagaimana hak milik dan berfungsi sama seperti properti fisik,

meliputi:

1. Tabungan uang yang pemasukannya dalam bentuk bunga.

2. Saham, surat tanggungan, dan semua bentuk jaminan finansial yang

bentuk pemasukannya seperti saham, bunga, dan/atau keuntungan modal

(atau kerugiannya).

3. Properti nyata, seperti bangunan atau tanah, dengan pemasukan dalam

bentuk pembayaran sewa beserta keuntungan (juga kerugiannya).

4. Aset-aset “berat” selain real estate, dengan pemasukan dalam bentuk

keuntungan modal (juga kerugiannya).

Page 5: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

5. Mesin, alat-alat dan komponen produksi nyata lainnya, dengan bentuk

keuntungan penjualan dari produk yang dihasilkan (juga kerugiannya).

6. Barang keluarga yang kuat dan tahan lama, dengan keuntungan lewat

meningkatnya efisiensi tugas keluarga.

7. Sumber alam, seperti perkebunan, minyak, mineral dan kayu hutan dengan

keuntungan penjualan panen atau komoditas yang diambil (juga

kerugiannya).

8. Hak cipta dan hak paten dengan keuntungannya dalam bentuk royalti dan

biaya penggunaan lainnya.

B. Aset tidak Nyata (Intangible Asset)

Aset yang tidak nyata lebih bersifat tidak pasti, tidak secara legal diatur

dan seringkali diatur secara tidak jelas oleh karakter individu atau hubungan sosial

dan ekonomi.

1. Akses pada kredit (kapital yang dimiliki oleh orang lain) dengan

keuntungan tergantung dari penggunaan kredit tersebut (layaknya dalam

investasi).

2. Modal manusia (human capital), yang secara umum memiliki intelegensia,

latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, pengetahuan, keterampilan

dan kesehatan, dan juga energi, visi, harapan dan imaginasi, dengan

bentuk pemasukannya adalah gaji dan kompensasi lainnya setelah

melakukan pekerjaan, layanan, dan ide.

3. Modal budaya (cultural capital), dalam bentuk pengetahuan dari subyek

yang secara kultural signifikan, kemampuan untuk menghadapi situasi

sosial dan birokrasi formal, termasuk kosa kata, aksen, cara berpakaian,

Page 6: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

penampilan dengan bentuk keuntungan mendapatkan penerimaan dari pola

asosiasi.

4. Modal sosial informal (informal social capital) dalam bentuk keluarga,

teman, koneksi yang kadang disebut dengan “jaringan sosial” dengan

bentuk keuntungan dukungan material, dukungan emosional, informasi

dan akses yang lebih mudah pada pekerjaan, kredit, perumahan dan tipe

aset lainnya.

5. Modal sosial formal, atau modal organisasi yang artinya adalah strukur

atau teknik organisasi formal yang berlaku pada modal nyata,

penanamannya dalam bentuk peningkatan efisiensi keuntungan.

6. Modal politis dengan bentuk partisipasi, kekuatan dan pengaruh dengan

keuntungan peraturan dan keputusan yang menguntungkan serta

diinginkan pada level pemerintahan negara juga lokal.

Menurut Grobakken (2005), tanah merupakan aset yang dapat digunakan

oleh penduduk miskin untuk mendapatkan akses ke aset lainnya. Akses terhadap

tanah dapat memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lain yang

diperlukan oleh masyarakat. Selain itu, tanah dapat dijual atau digunakan sebagai

jaminan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang produktif, bisnis atau usaha

yang dapat membantu petani miskin untuk meningkatkan tingkat ekonominya.

Bila diasumsikan panen yang diproduksi mencapai tingkat produktivitas yang

tinggi, hal ini dapat meningkatkan kemampuan petani untuk menyimpan bibit,

uang atau aset lainnya selain pengeluaran biaya hidup sehari-hari.

Page 7: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

2.1.3 Penanggulangan Kemiskinan

Menurut Syahyuti (2006), setidaknya ada dua paradigma atau teori besar

(grand theory) mengenai kemiskinan, yaitu: paradigma neo-liberal dan sosial

demokrat. Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa

kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-

kelemahan, atau karena pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Negara hanya

turun tangan apabila keluarga, kelompok-kelompok swadaya, atau lembaga-

lembaga keagamaan tidak mampu lagi menangani. Secara langsung, strategi

penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual” atau sementara. Sebaliknya,

menurut kaum sosial demokrat, kemiskinan bukanlah persoalan individual,

melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan ketidakadilan dan ketimpangan

dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap

berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Pencapaian kebebasan hanya

dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-

sumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan penghasilan yang cukup.

Negara harus berperan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi

dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka

menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Untuk

itu, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional atau melembaga (Syahyuti,

2006).

Dalam UU No.5 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

(Propenas), terdapat empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu:

1. Penciptaan kesempatan (create opportunity) melalui pemulihan ekonomi

makro, pembangunan, dan peningkatan pelayanan umum.

Page 8: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

2. Pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dengan peningkatan

akses kepada sumber daya ekonomi dan politik.

3. Peningkatan kemampuan (increasing capacity) melalui pendidikan dan

perumahan.

4. Perlindungan sosial (social protection) untuk mereka yang menderita cacat

fisik, fakir miskin, keluarga terisolir, terkena PHK, dan korban konflik

sosial.

Pada proses perumusan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan,

kurangnya akses pertanahan juga diidentifikasi sebagai salah satu permasalahan

yang dihadapi oleh orang miskin. Berbagai hasil kajian yang telah dilakukan,

menunjukkan bahwa bagi orang miskin tanah menjadi aset yang sangat berharga

dan seringkali menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Ini terjadi terutama

pada masyarakat yang hidup di daerah pertanian, hutan dan perkebunan (Godril

dalam, Yuwono 2005).

Pilot project PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) telah berjalan

di tahun anggran 2007, umumnya terdiri dari dua bentuk yakni pendaftran tanah

perorangan atas tanah-tanah yang dahulu pernah ditegaskan sebagai tanah obyek

landreform, dan penyelesain konflik antara petani dengan perkebunan swasta

dengan cara sebagian tanah diredistribusi secara perorangan pada petani dan

sebagian lagi diberikan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahan

perkebunan. Kedua bentuk ini sama sekali tidak dapat dianggap bentuk yang

dapat diandalkan (adequate solution) untuk menghadapi masalah-masalah agraria

(agrarian questions), yang secara fenomenal ditandai oleh kemiskinan dan

keterbelakangan agraria yang kronis, kesenjangan atau ketidakadilan kepemilikan

Page 9: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

aset yang tajam, pengangguran terbuka dan terselubung yang besar, kerusakan

lingkungan yang mengguncang, kekurangan bahan makanan, konflik agraria yang

meledak-ledak, ketidakmampuan rakyat pedesan memiliki tabungan (domestic

capital) dan mengembangkan teknologi untuk memperbaiki produksi, dan

kondisi-kondisi keberlangsungan hidupnya (Fauzi, 2008).

2.2 Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan

Perkebunan sering disebut “pabrik” pertanian karena proses produksi

output komoditas perkebunan melalui perpaduan aneka faktor produksi (input)

(tanah, tenaga kerja, dan modal serta manajemen) laksana sebuah pabrik saja.

Tanah dan tenaga kerja yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan

(Mubyarto, 1992). Hal ini menyebabkan perkebunan berusaha menekan upah

buruhnya seminimal mungkin yang menyebabkan buruh perkebunan hidup dalam

kemiskinan karena upah yang diberikan oleh perkebunan tidak mencukupi untuk

kebutuhan mereka sehari-hari.

Tingkat upah buruh3, yang berlaku secara umum adalah Rp 7.000,00 per

“beduk” untuk tenaga kerja pria dan Rp 6.000,00 untuk tenaga kerja wanita.

Sebedug adalah kerja dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.00 dengan waktu

istirahat selama satu jam. Kegiatan memanen pucuk teh biasanya dikerjakan oleh

tenaga kerja wanita, karena dipandang hasil kerjanya lebih bersih, lebih rapih dan

telaten. Sistem pengupahannya dengan cara penimbangan hasil petikan yakni

seharga Rp 250,00 per kilogram. Seorang pemetik teh yang terampil bisa

3 Penelitian dilakukan di Perkebunan Ciwangi, yaitu salah satu perkebunan swasta di Cianjur

Page 10: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

memperoleh upah kerja sekitar Rp 18.000,00 sampai dengan Rp 20.000,00 per

hari (Herlina, 2002).

Selain upah, kemiskinan di perkebunan terkait juga dengan akses yang

berbeda antara buruh dan kelompok manajemen perkebunan. Menurut Mubyarto

(1992), perbedaan antara kelompok manjemen dan buruh tidak hanya terletak

pada kekuasaan dalam pengambilan kekuasaan tetapi juga dalam hal gaji dan

fasilitas lain yang menyangkut kesejahteraan sosial mereka masing-masing.

Perbedaan dalam mengakses fasilitas dan juga gaji menyebabkan masyarakat

miskin di pedesaan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti masyarakat

lainnya dalam desa tersebut. Kemiskinan di perkebunan ini bersifat struktural,

karena terjadi ketimpangan akses ekonomi, kesehatan dan pelayanan lainnya

antara kelompok buruh dengan kelompok manajemen.

Kemiskinan yang bersifat struktural tersebut memaksa pekerja perkebunan

mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaan di perkebunan (Mubyarto, 1992).

Dalam Herlina (2002) yang meneliti di desa perkebunan teh di Desa Sukajembar,

Kabupaten Cianjur, pekerjaan yang banyak ditekuni oleh masyarakat adalah usaha

perkebunan tehPer. Sebagian lagi berusaha tani padi dan holtikultura. Tanaman

holtikultura yang banyak dibudidayakan adalah tomat, sayur putih (sampo),

bakung, cabe dan kacang panjang. Namun pengelolaan usaha tani padat modal ini

tidak dilakukan secara optimal, karena kurangnya pengetahuan teknik bercocok

tanam serta akses terhadap modal yang rendah. Selain usaha tani dan buruh tani,

terdapat beberapa aktivitas perekonomian sebagai sumber penghasilan

masyarakat, di antaranya berdagang kebutuhan sehari-hari, tengkulak hasil

Page 11: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

pertanian, industri pengolahan teh dan pembuatan gula aren, serta sebagai jasa

angkutan.

Hubungan masing-masing tingkat kepegawaian tersebut dipisah dengan

tegas dan kaku oleh status dan sistem upah. Status dan sistem upah yang ada di

perkebunan menyebabkan timbulnya stratifikasi sosial di daerah perkebunan yang

sesuai dengan jabatannya dalam perkebunan. Menurut Mubyarto (1992)

perbedaan dalam kehidupan sosial ekonomi terjadi pula antara kelompok staf dan

non-staf perkebunan dengan masyarakat sekeliling perkebunan. Rumah-rumah

yang besar dengan fasilitas yang lengkap yang ada dalam perkebunan serta

kehidupan yang serba mewah sangat kontras dengan kehidupan yang sangat pas-

pasan dari masyarakat yang ada di perkebunan. Dalam situasi tersebut tidak dapat

dihindari lagi munculnya rasa kecemburuan sosial di kalangan masyarakat

perkebunan itu sendiri maupun di kalangan masyarakat yang ada di sekitarnya.

2.3 Masalah-Masalah Agraria di Perkebunan

Secara etimologis, istilah ”agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa

Latin, ”ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan

perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah negara. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit”,

”wilayah” dan lain-lain itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di

dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya (Wiradi, 2000).

Menurut Syahyuti (2006) dari pengertian etimologis ini tampak bahwa

yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekadar ”tanah” atau ”pertanian” saja.

Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit” dan ”wilayah” jelas menunjukkan arti yang lebih

luas karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di

Page 12: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

”pedusunan” terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga

tambang, perumahan, dan masyarakat manusia.

Menurut Syahyuti (2006), istilah agraria tidak seperti yang dibayangkan

oleh kebanyakan orang pada umumnya, yang hanya menyangkut tanah saja,

melainkan mencakup banyak hal, baik fisik maupun non-fisik. Hubungan antara

aspek landreform dan aspek non-landreform, masalah yang dihadapi dan aktivitas

pembaruan agraria yang dapat dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Struktur Permasalahan Agraria di Indonesia

Aspek dan Faktor-faktor pembentuknya

Masalah yang dihadapi saat ini

Aktivitas pembaharuan agraria yang relevan

Aspek Landreform Dibentuk oleh faktor tatanan hukum (negara dan ada), tekanan demografis, kondisi ekonomi (mis.lapangan kerja non-pertanian), kelembagaan lokal, dan lain-lain

1. Konflik penguasaan dan pemilikan secara vertikal dan horizontal.

2. Inkosistensi hukum (antara UUPA dan “turunannya”)

3. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan

4. Penguasaan yang sempit oleh petani, sehingga tidak ekonomis

5. Ketidaklengkapan dan inkosistensi data

1. Penetapan objek tanah landreform

2. Penetapan petani penerima 3. Penetapan harga tanah dan cara

pembayaran 4. Pendistribusian tanah kepada

penerima 5. Perbaikan penguasaan,

(mis.perbaikan sistem penyakapan)

6. Penertiban tanah guntay (absentee)

Aspek Non-Land reform Dibentuk oleh faktor geografi, topografi, kesuburan tanah, infrastruktur, kondisi ekonomi lokal-global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan kredit, keuntungan usaha pertanian, dan lain-lain.

1. Degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebih atau karena ketidaktepatan secara teknis

2. Konflik penggunaan/ pemanfaatan secara vertikal dan horizontal

3. Tanah semakin menjadi komoditas pasar dengan maraknya jual-beli tanah

1. Berbagai bentuk pengelolaan dan penguasaan tanah

2. Pembangunan infrastruktur 3. Peningkatan produkvifitas

tanah 4. Perbaikan sistem pajak tanah 5. Pemberian kredit usaha tani 6. Penyuluhan dan penelitian 7. Penyediaan pasar pertanian 8. Pengembangan keorganisasian

petani

Sumber: Syahyuti (2006)

Page 13: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

Aspek fisik dapat berupa tanah, baik yang digunakan sebagai perumahan,

perkebunan, pertanian, daerah hutan ataupun pertambangan. Aspek non-fisik

terdiri dari hubungan-hubungan yang terkait dengan tanah tersebut, baik hukum

yang berlaku atas kepemilikan tanah tersebut, struktur agraria yang

mempengaruhi akses setiap subyeknya terhadap sumber-sumber agraria dan

berpengaruh besar terhadap keadilan dan tingkat kesejahteraan masing-masing

subyek agraria, maupun politik yang mempengaruhi pasar dari hasil tanah tersebut

(bidang pertanian).

2.3.1 Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan

Pada masyarakat di desa perkebunan, pemilikan atau penguasaan lahan

sangat penting sebagai pembuka peluang untuk meningkatkan produksi dan

memaksimalkan keuntungan. Petani di sini berperan sebagai manajer yang dalam

dirinya lekat kekayaan lahan sebagai merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus

lambang status sosial di pedesaan. Ada perasaan bangga yang mengikat kuat dan

memotivasi untuk berusaha (Herlina, 2002).

Selain itu, penguasaan dan pemilikan pada masyarakat perkebunan

menjadi penting dikarenakan buruh perkebunan membutuhkan tanah untuk diolah

sebagai tambahan penghasilan dari upah rendah yang mereka dapatkan dari

perkebunan. Berdasarkan kajian Wijarnako (2005) upah rata-rata buruh petik pada

perkebunan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 250.000,00 per bulan.

Ketimpangan penguasaan dan pemilikan yang terjadi di desa perkebunan

yang melahirkan sengketa agraria, menurut Wijarnako (2005), bersumber dari

dominasi sistem pengelolaan tanah dan kekayaan alam termasuk perkebunan,

Page 14: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

yang datang atau berasal dari negara, yang secara sepihak memberikan porsi

kesempatan begitu besar pada pemilik-pemilik modal dalam mengelola sumber

agraria. Isu kesenjangan ekonomi antara pihak perkebunan dengan desa

perkebunan sekitarnya merupakan akibat dari tindakan eksploitasi terhadap

sumber daya dan memanfaatkannya secara sepihak demi peningkatan produksi.

Pemilik modal dalam perkebunan yang menekankan pada keuntungan

semata membuat posisi masyarakat di desa perkebunan terdominasi. Pemberian

harga sewa tanah yang mahal membuat masyarakat di desa perkebunan yang

memiliki akses kepada penguasaan dan pemilikan tanah di desa perkebunan

adalah masyarakat yang memiliki posisi dalam perkebunan, karena mereka

memiliki modal yang berasal dari upah dari perkebunan untuk membayar sewa

dan memenuhi kebutuhan dengan mengolah tanah tersebut. Sementara itu buruh

perkebunan yang membutuhkan tanah untuk tambahan penghasilan tidak dapat

menikmati akses dari tanah karena keterbatasan modal. Buruh hanya menjadi

petani yang tidak memiliki tanah, sedangkan akumulasi pemilikan dan

penguasaan tanah hanya terletak pada masyarakat yang memiliki modal

(Wijarnako, 2005).

2.3.2 Penguasaan yang Sempit oleh Petani

Sempitnya penguasaan oleh petani di desa perkebunan dikarenakan

sebagian besar wilayah pertanian yang digunakan merupakan Hak Guna Usaha

yang dikuasai perkebunan. Berdasarkan studi Alfiasari (2004), lahan yang

digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah

lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan yang tidak

Page 15: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

digunakan ini merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak

digunakan karena kemiringannya tidak cocok untuk tanaman teh. Pada lahan

pertanian masyarakat, tanaman yang biasanya ditanami antara lain, padi, pisang,

singkong, cabe, tomat, kacang panjang, dan bawang daun. Hasil sawah dan ladang

biasanya mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Untuk dikomersialkan banyak hambatannya, baik dari kuantitas produksi yang

sedikit serta sarana transportasi yang masih sulit.

Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena ini terlihat pada

rendahnya tingkat produktivitas maupun kualitas dari hasil produksi perkebunan

rakyat. Hal ini merupakan implikasi dari kesulitan petani dalam menerapkan

kultur teknis yang benar, yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tinggi

serta dukungan modal yang besar.

2.3.3 Kerusakan Lingkungan

Menurut Godril dalam Yuwono (2005), persoalan sumber daya alam juga

dihadapi oleh masyarakat miskin dan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan

mereka: yaitu persoalan air, terjadinya degradasi lingkungan di daerah pesisir

pantai yang merusak terumbu karang, terjadinya polusi, tingginya biaya saprodi,

banyaknya hama, jauhnya pasar atau buruknya akses ke pasar, terjadinya banjir

dan longsor, sulitnya bagi masyarakat miskin untuk meminjam modal di lembaga

keuangan karena adanya persyaratan dimana harus memiliki agunan (yang tidak

bisa dipenuhi petani dan nelayan miskin) yang prosedurnya berbelit-belit,

mekanisasi pertanian berdampak terhadap hilangnya ruang pekerjaan bagi petani

miskin, juga program peningkatan keterampilan kebanyakan ditujukan kepada

Page 16: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

masyarakat desa secara umum dan tidak spesifik pada merek yang miskin

akibatnya.

Terdesak oleh keadaan, lapisan bawah terpaksa melakukan pekerjaan apa

saja yang dapat memperpanjang hidupnya, termasuk menebang pohon di hutan

lindung atau menambang di bawah bumu maupun di bawah permukaan laut.

Akibatnya, tanah menjadi tandus atau kemudian terjadi tanah longsor, banjir,

pendangkalan sungai, hancurnya terumbu karang, dan perusakan lingkungan

lainnya (Tjondronegoro, 2008a).

Masalah-masalah agraria dapat diselesaikan dengan reforma agraria. Akan

tetapi pendekatan dan cara penyelesaian untuk masing-masing permasalahan

tidaklah sama, dan tidak semua hal yang tercakup dalam reforma agraria harus

dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan agraria di tiap daerah. Landreform

yang merupakan bagian dari agraria reform dapat dilakukan di daerah yang

mempunyai permasalahan kemiskinan yang terkait dengan banyaknya jumlah

petani gurem yang tidak mempunyai lahan, sedangkan open access agraria untuk

mengatasi ketidakadilan dalam penguasaan sumber-sumber agraria, dan gabungan

dari keduanya dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan

agraria.

2.4 Reforma Agraria

2.4.1 Konsep Reforma Agraria

Reforma sgraria hakekat maknanya adalah penataan kembali (atau

pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi

kepentingan petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah. Dalam pasal 2

Page 17: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

Tap MPR IX/2001, Pembaharuan Agraria didefinisikan sebagai ”suatu proses

yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,

pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria...” (Wiradi, 2000).

Ben Cousin (2007) dalam Noer Fauzi (2008) membuat enam golongan

land reform berdasarkan pada landasan teoritik yang mendasarinya:

1. Pendekatan neo-liberal terobsesi pada efisiensi produksi, sehingga

mengagendakan kebijakan-kebijakan yang mempromosikan penggunaan

optimal dari tanah, tenaga kerja dan modal tanah, dimana “kekuatan pasar”

adalah sandaran pokok untuk pembentuk kekayaan dan kesejahteraan.

2. Pendekatan neo-populis yang mengasumsikan bahwa bentuk dan skala

produksi merupakan pokok terpenting dalam berbagai kebijakan dan

program. Umumnya mereka percaya adanya hubungan berkebalikan

(inverse relationship) antara skala dan efisiensi. Usaha ekonomi skala

kecil lebih produktif dan efisien dari pada usaha ekonomi skala besar.

3. Pendekatan sustainable livelihood mengutamakan beragam sumber

penghasilan orang miskin (the multiple livelihood sources of poor people),

dan menghindari pemahaman yang sempit hanya pada aktivitas pertanian

saja atau pada lokasi pedesaan saja.

4. Pendekatan welfarist menjadikan ketersediaan makanan di unit rumah

tangga (household food security) dan pengurangan ancaman-ancaman

terhadap ketersediaan makanan ini sebagai maksud utama dari program

land reform.

5. Pendekatan radical populist mengedepankan keharusan perubahan struktur

agraria baik di wilayah, nasional maupun internasional, baik berupa

Page 18: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

redistribusi sumber daya maupun badan usaha, yang diukur dengan

kepemilikan tanah dan kekayaan lain maupun penghasilan kelompok

miskin yang dipersatukan dalam berbagai pengelompokan yang dibagi

berdasar gender, etnik maupun kedudukan sosial atau geografi lainnya.

6. Pendekatan marxist yang mengevaluasi praktek land reform dengan

memperluas konsep efisiensi produksi, keberlanjutan hidup atau

kesejahteraan keluarga petani, atau perubahan struktur agraria ke dalam

fokus perubahan bentuk-bentuk eksploitasi kelas maupun gender yang

mendasari bentuk-bentuk organisasi produksi, distribusi hingga akumulasi

kekayaan

Menurut Tjondronegoro (2008), syarat sektor industri sebagai sektor

penting dalam proses pembangunan dan modernisasi yang harus memajukan

pertanian yaitu:

1. Realokasi sumber daya di sektor pertanian yang bukan saja merangsang

produksi tetapi merubah struktur masyarakat pedesaan dari yang feodal

atau setengah feodal ke struktur yang lebih demokratis, artinya juga

lembaga-lembaga yang menghambat emansipasi petani kecil disisihkan

dan diganti dengan orang lain.

2. Realokasi sumber daya tadi sekaligus juga mengurangi jumlah tenaga

kerja di sekitar pertanian yang menganggur atau tidak dimanfaatkan

(underutilized). Setelah sumber daya tanah sebagai faktor produksi diatas

lebih efisien dan berimbang dengan tenaga kerja, kelebihannya disalurkan

ke industri pengolah pertanian, pembangunan prasarana dan lain-lain

usaha pembangunan yang bersifat padat karya.

Page 19: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

3. Kelebihan dari peningkatan produksi pertanian yang merupakan

“tabungan” dapat ditanam sebagai modal dalam sektor industri. Dalam

rangka ini memang produksi pangan bukan saja mencukupi tetapi

melampaui kebutuhan penduduk. Surplus lain di sektor pertanian yang

menghasilkan devisa dapat mempercepat proses industrialisasi.

4. Perusahaan, pemerintah dan wiraswasta sudah mampu dikelola oleh

pengusaha-pengusaha di dalam negeri secara efisien. Tidak perlu

diperjelas lebih lanjut bahwa gejala-gejala birokrasi yang menghambat

korupsi dan sebagainya pada tahap ini sudah dapat diatasi dengan cukup

baik dan tidak lagi menjerat jalannya perusahaan.

2.4.2 Reforma Akses Agraria

Menurut Syahyuti (2006), reforma agraria terdiri dari dua pokok

permasalahan yaitu ”penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan ”penggunaan

dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Landreform adalah penataan ulang struktur

penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen ”non-landreform” adalah

bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian ”soil”), yaitu dengan

menerapkan teknologi baru, perbaikan infrasturuktur, bantuan kredit, dukungan

penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain.

Sedangkan menurut Fauzi (2008), reforma agraria adalah politik redistribusi asset

produktif bagi kaum miskin di pedesaan, yang pada gilirannya, setelah diberikan

suatu asistensi modal, pendidikan dan teknologi, maka akan sampai juga pada

pembentukan modal didalam pedesaan. Selain itu, menurut Tjondronegoro

(2008), konsolidasi tanah karena itu bukan semata-mata perubahan fisik tata

Page 20: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

ruang, tetapi sebenarnya juga memerlukan pengaturan kembali peran sosio-

ekonomi penghuni golongan lemah.

Sehingga dapat dikatakan landreform dan reforma agraria adalah dua hal

yang berbeda. Akan tetapi orang sering salah mengartikan dengan menyatakan

landreform adalah reforma agraria, padahal landreform hanya sebagian kecil dari

reforma agraria, karena reforma agraria adalah landreform ditambah dengan hal-

hal lain yang membuat redistribusi tanah tersebut menjadi hal yang lebih

bermanfaat dibandingkan hanya sebagai bagi-bagi tanah saja. Landreform tanpa

akses reform akan membuat petani yang telah mendapatkan tanah tetap menjadi

miskin karena ketidakberdayaaan mereka dalam mengolah dan memanfaatkan

lahan tersebut, bahkan petani mungkin akan menjual kembali lahan tersebut.

Sehingga yang dibicarakan dalam reforma agraria tidak hanya penggunaan dan

pemanfaatannya saja tanpa membahas hal yang paling dibutuhkan oleh

masyarakat (Syahyuti, 2006).

Menurut Wiradi (2006), pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa

suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah

ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini

disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum

dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program

penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara

keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara

lain: perkreditan, penyuluhan, pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan

lain-lain).

Page 21: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

Faktor-faktor yang sering hilang dalam reforma agraria adalah

infrastruktur, akses terhadap air, akses terhadap pasar, dan bantuan teknis

ekstensif untuk pemilik tanah. Hal ini adalah faktor yang sama pentingnya dengan

memberi tanah kepada masyarakat dan jika tidak dilakukan akan membuat

masyarakat menjual kembali tanahnya dan kembali tidak mempunyai tanah

(Grobakken, 2005). Menurut Tjondronegoro (2008) redistribusi harus dibarengi

dengan tindakan-tindakan penunjang seperti mengembangkan sistem kredit untuk

petani kecil, penyatuan usaha ke dalam koperasi, perlindungan terhadap petani

dengan hukum, tetapi juga dengan subsidi bila perlu dan lain-lain usaha, bahkan

termasuk mendirikan organisasi petani-petani kecil agar usaha pemerintah dapat

didukung dengan kekuatan sosial politik dari golongan yang berkepentingan

(interest group).

2.4.3 Dampak Reforma Agraria

Menurut Wiradi (2006)4, dampak positif dari reforma agraria secara umum

adalah:

1. Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat

terutama kaum tani,

2. Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil,

3. Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan

socialeuphoria dan familly security sehingga para petani termotivasi untuk

mengelola usahataninya dengan lebih baik,

4 Http://rumahkiri.net/index.php. Gunawan Wiradi. Dampak Land Reform Terhadap Perekonomian Negara. 2002. Di unduh pada tanggal 22 Maret 2008.

Page 22: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

4. Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga

gejolak kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine,

bukan stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru).

5. Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi.

Sedangkan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat/nasional5:

1. Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun produksi pertanian

menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat pesat.

Sejumlah besar rakyat desa yang semula tunakisma atau buruh tani lalu

menjadi petani pemilik penggarap, mula-mula canggung. Namun dalam

jangka panjang mereka malahan berkembang menjadi pengelola usahatani

yang rasional dan bertanggung jawab (justru karena bangga atas terjadinya

perubahan status).

2. Anak-anak dari para petani pemilik tanah luas (yang kemudian tanahnya

dipotong oleh “land reform”) terpaksa tidak lagi bisa menikmati kekayaan

orang tuanya yang berasal dari tanah luas itu, dan tidak lagi bisa

meneruskan profesi orang tuanya. Namun mereka justru beralih ke profesi

lain (melalui pendidikan tinggi, yang biayanya dimungkinkan oleh sisa-

sisa kekayaan orang tuanya), dan menjadi tenaga-tenaga ahli yang

kompeten. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menyumbang bagi

perkembangan perekonomian negaranya. (Contoh: Meksiko, Mesir, dan

negara-negara di sektiar Timur Tengah).

5 Mosher, A.T., 1976. Thinking About Rural Development. New York: Agricultural Development Council, Inc.

Page 23: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

3. Pemilik/Penguasa tanah luas yang sebagian tanahnya terpangkas oleh

‘land reform’ itu kemudian mengalihkan investasinya ke luar desa, yang

pada gilirannya menopang proses industrialisasi.

2.5 Kerangka Pemikiran

Permasalahan kemiskinan di pedesaan dibagi menjadi dua yaitu masalah

agraria dan non-agraria. Masalah agraria meliputi masalah pertanian yang terdapat

di desa tersebut, sedangkan masalah non-agraria meliputi masalah

ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kependudukan, komunikasi dan peranan

wanita. Masalah agraria paling ditonjolkan pada penelitian ini, dikarenakan dalam

konteks pembangunan pedesaan, masalah agraria merupakan bagian paling

penting untuk masyarakat pedesaan yang sebagian besar penduduknya

menopangkan hidup pada sektor pertanian.

Berdasarkan Syahyuti (2006) ada empat permasalahan agraria di Indonesia

secara umum, yaitu ketidakkonsistenan hukum dan perundang-undangan6, serta

degradasi sumber daya alam7. Khusus untuk pertanian, permasalahan agraria yang

dihadapi adalah penguasaan yang sempit dan cenderung semakin kecil, konflik

penguasaan, lahan kritis dan marjinal tingginya alih fungsi lahan pertanian ke

nonpertanian, sulitnya mewujudkan konsolidasi usahatani, dan semakin besarnya

ketimpangan penguasaan lahan antar petani.

6 Salah satu konflik yang ramai adalah konflik penguasaan antara petani dengan pihak swasta. Keterlibatan swasta besar dimulai dari lahirnya Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) yang mengundang pihak swasta kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang perkebunan. 7 Permasalahan ini tercantum dalam Tap MPR Bo.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Page 24: BAB II PENDEKATAN TEORITIS - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12478/I09vhs_BAB II... · Sumber alam, seperti perkebunan, ... ketidakmampuan rakyat pedesan

Reforma agraria adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan

yang dilakukan oleh pemerintah. Reforma agraria terbagi menjadi dua titik berat,

yaitu aspek landreform dan aspek non-landreform atau yang disebut juga reforma

akses agraria. Kedua aspek ini dilakukan sesuai dengan urgensi masing-masing.

Pada desa perkebunan, aspek yang harus dilakukan pertama kali adalah aspek

non-landreform. Dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pengolahan

tanah mereka sendiri, diharapkan masyarakat dapat semakin mengembangkan

dirinya sendiri, meningkatkan produktifitas dari lahannya dan yang terpenting

adalah masyarakat dapat mengetahui permasalahan agraria yang mereka hadapi

dan cara mengatasinya. Sehingga bila aspek landreform dilakukan, masyarakat

sudah siap, dan tidak menjual kembali tanah yang mereka dapatkan, ataupun

membiarkan lahan tersebut dikelola oleh orang lain karena ketudaktahuan mereka

dalam menggunakan lahan tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Masalah Agraria

Ø Kontur wilayah perkebunan dan keseburan tanah

Ø Hubungan petani dengan perkebunan dan TNGH

Ø Penguasaan yang sempit oleh petani

Ø Kerusakan lingkungan Ø Sulitnya askes transportasi Ø Tidak adanya penyuluhan Ø Tidak adanya penyaluran

kerdit Ø Tidak adanya koperasi

Kemiskinan di Desa Perkebunan

Reforma Akses Agraria

Ø Pembangunan Infrastruktur Ø Peningkatan produktifitas

tanah Ø Pemberian kredit usaha tani Ø Penyuluhan dan