2. tinjauan pustaka - ipb...
TRANSCRIPT
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Malalugis (Decapterus macarellus)
Jenis ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis spesies, yaitu:
layang biasa (Decapterus russelli), layang deles (D. macrosoma), layang ekor
merah (D. kurroides dan D. tabl) dan malalugis/layang biru (D. macarellus).
Spesies ikan malalugis umumnya tertangkap di perairan laut dalam (deep water
species) dengan kadar garam paling rendah 34 per mil (Hariati, 2005). Secara
morfologis ikan malalugis hampir sama dengan ikan layang lain, sedikit
perbedaan dengan spesies layang lain adalah pada warna yang lebih biru
(gelap) (Gambar 2). Klasifikasi ikan malalugis adalah sebagai berikut:
Domain: Eukaryota - Whittaker & Margulis,1978 - eukaryotes
Kingdom: Animalia - C. Linnaeus, 1758 - animals
Subkingdom: Bilateria - (Hatschek, 1888) Cavalier-Smith, 1983
Branch: Deuterostomia - Grobben, 1908
Infrakingdom: Chordonia - (Haeckel, 1874) Cavalier-Smith, 1998
Phylum: Chordata - Bateson, 1885 - Chordates
Subphylum: Vertebrata - Cuvier, 1812 - Vertebrates
Infraphylum: Gnathostomata - auct. - Jawed Vertebrates
Superclass: Osteichthyes - Huxley, 1880 - Bony Fishes
Class: Actinopterygii - Huxley, 1880 - Ray-Finned Fishes
Subclass: Actinopterygii - Ray-Finned Fishes
Infraclass: Actinopteri
7
8
Cohort: Clupeocephala
Superorder: Acanthopterygii
Order: Perciformes
Suborder: Percoidei
Family: Carangidae - Jacks and pompanos
Genus: Decapterus - Berry, 1968
Specific name: macarellus - (Cuvier, 1833)
Scientific name: - Decapterus macarellus (Cuvier, 1833)
Jenis ikan layang tersebut tertangkap di perairan dengan kedalaman di
atas 100 m, antara lain di perairan Selat Malaka bagian utara, Samudera Hindia,
Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Laut Banda. Ikan malalugis dan layang deles
yang berukuran relatif besar (± 25 cm) sukar dibedakan, karena keduanya
mempunyai bentuk dan penampang badan yang hampir sama. Salah satu ciri
yang membedakan adalah ikan malalugis tidak bergigi sedangkan layang deles
mempunyai gigi-gigi kecil pada rahang bawah (Tarp dan Kailola, 1985). Menurut
FAO untuk membedakan antara malalugis dan layang deles bisa dilihat dari
bentuk maxilla dan supramaxilla (Gambar 3).
Gambar 2. Ikan malalugis.
9
A B
Gambar 3. Bentuk maxilla dan supramaxilla A) ikan malalugis; B) ikan layang deles (FAO).
Analisis contoh isi lambung ikan malalugis di perairan Teluk Tomini
diperoleh hasil bahwa makanan ikan malalugis didominasi oleh jenis-jenis
fitoplankton terutama Diatomae dan Dinoflagellata serta zooplankton dari kelas
Crustacea, Mollusca dan Copepoda (Hariati, 2005). Sesuai dengan sifat
hidupnya yang merupakan jenis ikan pelagis, ikan malalugis utamanya
tertangkap dengan pukat cincin. Umumnya di setiap daerah penangkapan, ikan
malalugis tertangkap sepanjang tahun dengan beberapa puncak hasil
tangkapan. Hasil tangkapan tertinggi di perairan Banda Aceh terjadi pada bulan
Maret – Mei dan bulan Oktober, sedangkan di perairan ZEE Selat Malaka terjadi
pada bulan Juni – Oktober. Perairan Barat Sumatera puncak hasil tangkapa ikan
malalugis terjadi pada Maret dan bulan September. Penangkapan ikan pelagis
dengan pukat cincin di perairan Teluk Tomini berlangsung sepanjang tahun dan
pada bulan Desember – Februari produksi sangat menurun. Pada perairan
Parigi dan sekitarnya musim penangkapan berlangsung antara bulan Mei –
Oktober, sedangkan di perairan Poso antara bulan Maret – September (Hariati,
2005).
2.2. Pulau Sulawesi
Sulawesi memiliki luas 187 882 km2
dan merupakan pulau terbesar dan
terpenting di daerah biogeografi Wallacea. Daerah biogeografi Wallacea meliputi
Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lain yang berada di antara garis Wallace di
10
sebelah Barat dan garis Lydekker di sebelah Timur (Gambar 4). Ditinjau dari
sejarah geologinya, pulau Sulawesi sangat menarik, karena diduga, di masa
lampau, pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall 2001).
Berbeda halnya dengan Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan yang pernah
bersatu dengan daratan Asia (Sundaland), serta Papua yang pernah bersatu
dengan daratan Australia (Sahulland) sebelum kala Pleistosen (Pleistocene)
berakhir.
Gambar 4. Peta Wilayah Wallacea. Wallacea merupakan daerah peralihan
antara daratan Sunda (Asia) dan daratan Sahul (Australia). (putih = daratan, abu-abu tua = daratan sebelum kala Pleistosen berakhir, abu-abu muda = lautan dalam) ( Whitten et al. 2002)
Keadaan terisolasi dalam kurun waktu yang lama memungkinkan
terjadinya evolusi pada berbagai spesies, sehingga pulau Sulawesi mempunyai
tingkat endemisitas yang tinggi. Tingkat endemisitas yang paling tinggi adalah
dari taksa vertebrata. Mamalia misalnya, dari 127 jenis hewan menyusui yang
11
terdapat di Sulawesi, 61% di antaranya bersifat endemik. Sebagai perbandingan,
pulau Kalimantan yang mempunyai endemisitas paling tinggi di Sundaland,
hanya mempunyai 18% mamallia endemik (Whitten et al. 2002).
Menurut Myers et al. (2000) daerah Wallacea termasuk dalam 25
“hotspot” paling penting untuk konservasi. Daerah ini mempunyai 529 spesies
vertebrata endemik (1,9% dari jumlah di dunia). Spesies-spesies tersebut
mengalami ancaman yang serius, sebab hanya 15% habitat alami yang masih
tersisa. Dari habitat alami yang masih tersisa tersebut, 39,2% di antaranya
terdapat dalam kawasan konservasi. Habitat alami yang masih tersisa tersebut
hanya akan efektif untuk melindungi biodiversitas di Sulawesi, jika tersebar
sesuai dengan distribusi biodiversitas tersebut. Oleh sebab itu upaya konservasi
di Sulawesi harus dirancang secara komprehensif.
Profesor John A. Katili, ahli geologi Indonesia yang merumuskan
geomorfologi Pulau Sulawesi bahwa terjadinya Sulawesi akibat tabrakan dua
pulau (Sulawesi bagian Timur dan Sulawesi bagian Barat) antara 19 sampai 13
juta tahun yang lalu, terdorong oleh tabrakan antara lempeng benua yang
merupakan fundasi Sulawesi Timur bersama Pulau-Pulau Banggai dan Sula,
yang pada gilirannya merupakan bagian dari lempeng Australia, dengan
Sulawesi Barat yang selempeng dengan pulau-pulau Kalimantan, Jawa dan
Sumatra, Sulawesi menjadi salah satu wilayah geologis paling rumit di dunia.
Perairan di sekitar Pulau Sulawesi juga mempunyai keunikan tersendiri,
karena perairan tersebut dilalui oleh Arlindo (Arus Lintas Indonesia). Arlindo
merupakan aliran air hangat antar samudera yang merupakan bagian dari
Thermohaline circulation atau The Great Ocean Conveyor Belt atau The Global
Conveyor Belt (Gambar 5). Arus ini mengalir dari Samudera Pasifik menuju
Samudera Hindia melalui perairan-perairan di sekitar Sulawesi. Dari hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan selama ini dapat diketahui bahwa ada 3 pintu
12
masuk utama massa air dari Samudera Pasifik ke perairan Indonesia. Yang
pertama dan yang dominan adalah Selat Makassar. Massa air yang berasal dari
Pasifik Utara memasuki laut Sulawesi lewat sebelah selatan Mindanao, untuk
kemudian masuk ke jantung Perairan Indonesia lewat Selat Makassar. Di ujung
Selat Makassar, jalur ini bercabang menjadi dua, sebagian langsung menuju
Samudera Hindia melalui Selat Lombok, dan yang sebagian lagi berbelok ke
timur melewati Laut Flores menuju Laut Banda. Pintu kedua adalah melalui Laut
Maluku. Dari Laut Maluku massa air dari Pasifik Utara memasuki Laut Seram
dengan melewati Selat Lifamatola yang terletak antara Pulau Lifamatola dan
Pulau Obi. Kemudian dari Laut Seram mengalir melalui Selat Manipa ke Laut
Banda. Sedangkan pintu ketiga adalah melalui Laut Halmahera. Massa air dari
Pasifik Selatan masuk ke Laut Halmahera menuju ke Laut Seram dan Cekungan
Aru. Disini terjadi percampuran dengan massa air yang datang dari Laut Banda.
Gambar 5. Thermohaline Circulation.
13
2.3. Struktur Genetika Populasi
Genetika (dari bahasa Yunani γέννω atau genno yang berarti
“melahirkan”) merupakan ilmu dari cabang biologi yang mempelajari berbagai
aspek yang menyangkut pewarisan sifat dan variasi sifat ada organisme maupun
suborganisme (Griffiths et al., 2000). Genetika populasi menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk melakukan salah satu dari dua hal: menggambarkan
struktur genetik populasi atau berteori pada tekanan evolusi yang bekerja pada
populasi (Gillespie, 1998). Windelspecht (2007) menerangkan bahwa seorang
ahli genetika populasi mempelajari bagaimana frekuensi dari perubahan alel
dalam suatu populasi dari waktu ke waktu, biasanya dalam menanggapi atau
merespon suatu tekanan yang selektif. Dalam hal ini, ahli genetika populasi
umumnya kurang tertarik dalam mempelajari mekanisme molekuler regulasi gen,
melainkan menggunakan matematika dan statistik untuk menggambarkan
perubahan populasi.
Struktur populasi, sekelompok individu atau sub kelompok dari suatu
spesies yang memiliki kesamaan struktur atau pola genetika (genetic pool),
dapat dipelajari berdasarkan frekuensi genetika dari setiap gen yang terlibat
dalam ekspresi fenotipik. Pada tingkat molekuler (DNA) ikan laut menunjukkan
variabilitas genetik walaupun dalam derajat yang lebih rendah disbanding ikan air
tawar baik pada level supraspesifik maupun taksa kelompok individu (populasi
dan sub-populasi) dimana pada tingkat protein (studi allozyme) tidak terlihat.
Menurut Graves et al. in Saunders et al. (1986), terdapat variabilitas genetika
yang disebabkan oleh aliran gen (gene flow) inter-oseanik serta menimbulkan
diferensiasi genetika.
Berdasarkan sifat polimorfisme DNA mitochondria, variabilitas genetika
populasi ditunjukkan oleh dua ukuran divergensi, yaitu divergensi di dalam
14
populasi (variabilitas intrapopulasi) dan variabilitas antar populasi (divergensi
interpopulasi). Variabilitas intrapopulasi dinyatakan dengan parameter diversitas
haplotipe atau diversitas nucleon (h), banyaknya neukleomorf (unit polimorfisme
pada nucleon yang terdapat dalam bentuk pola situs restriksi), jumlah rata-rata
perbedaan situs restriksi, jumlah segregasi situs restriksi atau jumlah situs
restriksi polimorfis dalam sejumlah sampel nukleon. Nukleon merupakan suatu
segmen DNA, identik dengan gen dalam DNA ini (nuclear DNA), yang dicirikan
oleh peta situs restriksi, atau jumlah dan ukuran fragmen DNA. Divergensi
interpopulasi dipelajari berdasarkan parameter jarak genetika (δ) dan analisis
terhadap perbedaan situs restriksi (Nei dan Tajima, 1981). Nei dan Tajima
(1981) menambahkan bahwa variabilitas genetika nucleon berhubungan dengan
laju mutasi per-nukleon dimana perubahan situs restriksi terjadi secara
evolusioner dan disebabkan oleh substitusi, insersi (insertion) atau penghapusan
(deletion) nukleotida. Jenis dan jumlah enzim restriksi yang sama digunakan
dalam analisis sampel untuk membandingkan nilai parameter diantara nukleon
atau organisme yang berbeda.
Variasi mtDNA intra dan interspesifik berdasarkan dari analisis enzim
restriksi telah banyak dilaporkan, antara lain pada manusia digunakan untuk
mencirikan populasi lokal, membedakan cirri individu, variasi etnik,
pengelompokan etnik dan menduga hubungan evolusioner dari kelompok-
kelompok etnik tersebut, serta menentukan bentuk-bentuk morf mtDNA khusus
untuk kemudian mengelompokkannya ke dalam grup menurut skala geografis
(Bermingham, 1990). Studi variabilitas mtDNA pada Teleostei dan Invertebrata
dilaporkan oleh beberapa peneliti, antara lain Bermingham dan Avise (1986),
Saunders et al. (1986), Ferris dan Berg (1987), Effenberger dan Suchentrunk
(1999).
15
2.4. Populasi Dalam Arti Genetika
Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih
dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut
juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah sekelompok individu suatu
spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat
yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga
masing-masing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen
(gene pool), yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua
individu di dalam populasi.
Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh
apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-
masing genotipe tersebut. Sebagai contoh, di dalam populasi tertentu terdapat
tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka, proporsi atau persentase
genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan susunan genetik populasi tempat
mereka berada. Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal
dengan istilah frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan
sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu populasi.
Dengan perkataan lain, dapat juga didefinisikan bahwa frekuensi genotipe adalah
proporsi atau persentase individu di dalam suatu populasi yang tergolong ke
dalam genotipe tertentu. Pada contoh di atas jika banyaknya genotipe AA, Aa,
dan aa masing-masing 30, 50, dan 20 individu, maka frekuensi genotipe AA =
0,30 (30%), Aa = 0,50 (50%), dan aa = 0,20 (20%).
Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan
genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas dasar keberadaan gennya. Hal
ini karena populasi dalam arti genetika, seperti telah dikatakan di atas, bukan
sekedar kumpulan individu, melainkan kumpulan individu yang dapat
16
melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen dari generasi ke
generasi. Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar
dan dirakit kembali menjadi genotipe keturunannya melalui segregasi dan
rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk, sementara
gen-gen itu sendiri akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas). Dengan
demikian, deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat
di dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan
tinjauan dari genotipenya.
Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada
dinyatakan sebagai frekuensi gen, atau disebut juga frekuensi alel, yaitu
proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika kita gunakan contoh
perhitungan frekuensi genotipe tersebut di atas, maka frekuensi alelnya dapat
dihitung sebagai berikut.
AA Aa aa Total
Banyaknya individu 30 50 20 100
Banyaknya alel A 60 50 - 110
Banyaknya alel a - 50 40 90
Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di dalam
populasi yang mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A. Demikian juga,
karena tiap individu Aa membawa sebuah alel A, maka populasi yang
mempunyai 50 individu Aa akan membawa 50 alel A. Sementara itu, pada
individu aa dengan sendirinya tidak terdapat alel A, sehingga secara keseluruhan
banyaknya alel A di dalam populasi tersebut adalah 60 + 50 + 0 = 110. Dengan
cara yang sama dapat dihitung banyaknya alel a di dalam populasi, yaitu 0 + 50
+ 40 = 90. Oleh karena itu, frekuensi alel A = 110/200 = 0,55 (55%), sedang
frekuensi a = 90/200 = 0,45 (45%).
200
17
Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang mempunyai
alel dengan frekuensi = 1 dikatakan mengalami fiksasi untuk alel tersebut.
Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis
Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat dihitung atas
dasar data elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang menampilkan pita-
pita sebagai gambaran mobililitas masing-masing polipeptida penyusun protein
(Gambar 6). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul yang berbeda-
beda ukuran dan muatan listriknya. Oleh karena itu, molekul-molekul yang akan
dipisahkan tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya protein dan DNA.
Jarak
migrasi (cm)
4
3
2
1
Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Genotipe CL LL LL CL CL CL LL CL CL CL LL CL LL LL CL
Gambar 6. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp) di kawasan Segara Anakan, Cilacap.
Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan sebagai
berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian
kedua ujung gel tersebut diberi aliran listrik selama beberapa jam sehingga
komponen-komponen penyusun sampel akan bergerak menuju kutub yang
muatan listriknya berlawanan dengannya. Kecepatan gerakan (mobilitas) tiap
komponen ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin
besar ukuran molekul, makin lambat gerakannya. Akibatnya, dalam satuan waktu
18
yang sama molekul berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih
pendek daripada jarak migrasi molekul berukuran kecil.
Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan
gambaran fenotipe, bukan genotipe. Namun, analisis variasi fenotipe terhadap
kebanyakan enzim pada berbagai macam organisme sering kali dapat
memberikan dasar genetik secara sederhana. Seperti diketahui, tiap enzim dapat
mengandung sebuah polipeptida atau lebih dengan susunan asam amino yang
berbeda sehingga menghasilkan fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang
berbeda. Variasi fenotipe ini disebabkan oleh perbedaan alel yang menyusun
genotipe.
Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada enzim
tertentu terletak pada suatu lokus, maka bentuk alternatif enzim yang
diekspresikannya dikenal sebagai alozim. Alel yang mengatur alozim biasanya
bersifat kodominan, yang berarti dalam keadaan heterozigot kedua-duanya akan
diekspresikan. Dengan demikian, individu pada Gambar 15.1 yang menampilkan
pita lambat dan pita cepat (nomor 1, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, dan 15) memiliki
genotipe heterozigot, yaitu CL (C=cepat; L=lambat). Sementara itu, individu yang
hanya menampilkan pita lambat (nomor 2, 3, 7, 11, 13, dan 14) adalah
homozigot LL. Begitu pula individu dengan hanya satu pita cepat (kebetulan
pada zimogram tersebut tidak ada) dikatakan mempunyai genotipe homozigot
CC.
Dari data genotipe yang diturunkan dari data variasi fenotipe tersebut, kita
dengan mudah dapat menghitung baik frekuensi genotipe maupun frekuensi
alelnya. Frekuensi genotipe CC, CL, dan LL masing-masing adalah 0, 9/15, dan
6/15. Frekuensi alel C = 0 + ½ (9/15) = 9/30, sedang frekuensi alel L = 6/15 + ½
(9/15) = 21/30.
19
2.5. Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg
Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan
terjadinya kawin acak (panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya,
tiap individu memiliki peluang yang sama untuk bertemu dengan individu lain,
baik dengan genotipe yang sama maupun berbeda dengannya. Dengan adanya
sistem kawin acak ini, frekuensi alel akan senantiasa konstan dari generasi ke
generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari Inggris,
dan W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai
hukum keseimbangan Hardy-Weinberg.
Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi
berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu tidak terjadi migrasi,
mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan lain, terjadinya peristiwa-peristiwa ini serta
sistem kawin yang tidak acak akan mengakibatkan perubahan frekuensi alel.
Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi tiga
langkah, yaitu (1) dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya, (2) dari
penggabungan gamet-gamet kepada genotipe zigot yang dibentuk, dan (3) dari
genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi keturunan. Secara lebih rinci
ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kembali kita misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA,
Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi P, H, dan Q. Sementara itu,
frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi alel a adalah q. Dari populasi
generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Frekuensi
gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a sama
dengan frekuensi alel a (q).
Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A
dan a secara acak pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk akan memilki
20
frekuensi genotipe sebagai hasil kali frekuensi gamet yang bergabung. Pada
Tabel 1 terlihat bahwa tiga macam genotipe zigot akan terbentuk, yakni AA, Aa,
dan aa, masing-masing dengan frekuensi p2, 2pq, dan q2.
Tabel 1. Pembentukan zigot pada kawin acak
Gamet-gamet Ε
dan frekuensinya
A
(p)
a
(q)
Gamet-gamet Γ
dan frekuensinya
A (p)
AA
(p2)
Aa
(pq)
a (q) Aa
(pq)
aa
(q2)
Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi alel
pada populasi zigot atau populasi generasi keturunan dapat dihitung. Fekuensi
alel A = p2 + ½ (2pq) = p2 + pq = p (p + q) = p. Frekuensi alel a = q2 + ½ (2pq) =
q2 + pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa frekuensi alel pada
generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi tetua.
Migrasi
Di atas telah disebutkan bahwa migrasi merupakan salah satu syarat yang
harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini
berarti bahwa peristiwa migrasi akan menyebabkan terjadinya perubahan
frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi migrasi dalam bentuk laju migrasi (lazim
dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan adanya
perbedaan frekuensi alel tertentu di antara berbagai populasi, misalnya
21
perbedaan frekuensi golongan darah sistem ABO yang terlihat sangat nyata
antara ras yang satu dan lainnya.
Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase alel
tertentu di dalam suatu populasi yang digantikan oleh alel migran pada tiap
generasi. Sebagai contoh, jika pada tiap generasi sebanyak 80 dari 1000 ekor
ikan normal digantikan oleh ikan albino, maka dikatakan bahwa laju migrasinya
0,08 atau 8%.
Secara matematika, hubungan antara perubahan frekuensi alel dan laju
migrasi dapat dilihat sebagai persamaan berikut ini.
pn - P = (po - P)(1 - m)n
pn = frekuensi alel pada populasi yang diamati setelah n generasi migrasi
P = frekuensi alel pada populasi migran
po = frekuensi alel pada populasi awal (sebelum terjadi migrasi)
m = laju migrasi
n = jumlah generasi
Mutasi
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel
adalah mutasi. Namun, peristiwa yang sangat mendasari proses evolusi ini
sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya dalam perubahan frekuensi alel. Hal
ini terutama karena laju mutasi yang umumnya terlalu rendah untuk dapat
menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Selain itu, individu-individu
mutan biasanya mempunyai daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan
(fertilitas), yang rendah.
Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya akan
memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi alel jika mutasi
berlangsung berulang kali (recurrent mutation) dan mutan yang dihasilkan
memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada.
22
Hubungan matematika antara laju mutasi dan perubahan frekuensi alel
dapat dirumuskan seperti pada contoh berikut ini. Misalnya, di dalam suatu
populasi terdapat alel A dan a, masing-masing dengan frekuensi awal po dan qo.
Mutasi berlangsung dari A ke a dengan laju mutasi sebesar u. Sebaliknya, laju
mutasi alel a menjadi A adalah v. Dengan demikian, perubahan frekuensi alel A
akibat mutasi adalah ∆p = vqo - upo, sedang perubahan frekuensi alel a akibat
mutasi adalah ∆q = upo - vqo.
Ketika dicapai keseimbangan di antara kedua arah mutasi tersebut nilai ∆p
dan ∆q adalah 0. Oleh karena itu, vqo = upo, atau secara umum vq = up. Jika
persamaan ini dielaborasi, maka akan didapatkan p = v/(u + v) dan q = u/(u + v).
2.6. DNA mitochondria (mtDNA)
Mitochondria adalah organel yang bertanggung jawah di dalam
metabolisme aerobik pada sel-sel eukariot. Mitochondria memiliki molekul DNA
tersendiri dengan ukuran kecil yang susunannya berbeda dengan DNA inti.
Setiap sel rnengandung satu sampai ratusan mitochondria. DNA mitochondria
mempakan DNA utas ganda yang berhentuk sirkuler (Solihin, 1994). Prinsip dari
ekstraksi DNA mitochondria ialah memisahkan sitoplasma dari intinya dengan
sentrifugasi rendah sehingga hanya didapatkan mitochondria. Untuk menghindari
kontaminasi dari DNA inti dilakukan penamhahan DNAase sebelum mitochondria
dilisis. Mitokondria tersebut dilisis dengan larutan .tertentu (misalnya detergen)
dan proteinnya dihilangkan dengan fenol dan kloroform, kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan tinggi. Teknik purifikasi.yang lain dilakukan dengan
penggunaan larutan garam yang sangat pekat (konsentrasi tinggi) seperti CsCI.
Teknik yang kedua ini dapat memisahkan molekul-molekul RNA, DNA inti, dan
DNA mitochondria dalam lapisan yang berbeda (Solihin, 1994).
23
Beberapa teknik eksplorasi dapat dimanfaatkan oleh para biologiwan
untuk menggali informasi yang terkandung dalam genom mitochondria. Teknik
eksplorasi yang pertama didasarkan pada sekuen, basa-basa penyusun genom
mitochondria. Hal ini memberikan informasi yang sangat lengkap mengenai
urutan basa-basanya, namun cara ini membutuhkan tenaga dan biaya yang
sangat besar. Alternatif lain yang Iebih efisien dari teknik pertama tadi ialah
analisis hanya bagian tertentu dari genom mitochondria. Berkat penemuan Saiki
et al. (1985, 1988) mengenai amplifikasi DNA dengan PCR (Polymerase Chain
Reaction), analisis genom mitochondria secara partial dapat dilakukan dengan
mudah. Teknik eksplorasi yang kedua didasarkan pada pnggunaan enzim
restriksi (restriction endonucleases) untuk membandingkan genom mitochondria
antar individu maupun takson. Pemotongan dengan enzim restriksi yang
berbada akan menghasilkan potongan DNA yang berbeda dari DNA yang sama.
Perbedaan genom mitochondria dapat dibandingkan hanya dangan
perbandingan jumlah dan ukuran fragmen-fragmen yang dipotong oleh enzim
restriksi tersebut. Variasi yang dihasilkan oleh perbedaan panjang fragmen yang
dipotong oleh enzim restriksi ini dikenal sebagai Restriction Fragment Length
Polymorphism (RFLP). Pendekatan ini relatif sederhana dan mampu
memberikan informasi dari semua bagian genom mitochondria. Setiap situs
restriksi dapat dipetakan pada molekul DNA mitochondria sehingga
menghasilkan peta situs restriksi DNA mitochondria (Solihin, 1994).
Beberapa hal yang mendukung penggunaan mtDNA sebagai penanda
dalam studi keragaman genetik dan studi biologi populasi pada hewan yaitu: (i)
DNA mitochondria terdapat dalam jumlah kopi yang tinggi. Jumlah kopi yang
tinggi ini mnenjadikannya mudah diisolasi dan dipurifikasi untuk berbagai
keperluan analisis genom; (ii) Ukuran DNA mitochondria relatif kecil (14-39 kb)
sehingga dapat dipeiajari sebagai satu kesatuan yang utuh; (iii) Bagian-bagian
24
dari genom mitochondria berevolusi dengan kecepatan yang berbeda. Diketahui
bahwa tingkat evolusi dari suatu gen atau bagian dari DNA merupakan faktor
penting yang menentukan penggunaan penanda DNA dalam studi sistematika
dan biogeografi. Gen-gen yang terkonservasi dengan baik dapat dijadikan
sebagai dasar penelusuran kesamaan asal muasal (ancient taxa), sedangkan
gen-gen yang tak terkonservasi dengan baik yaitu gen-gen yang berevolusi
dengan cepat dapat digunakan untuk perbandingan galur-galur baru. Secara
umum evolusi sekuen DNA mitochondria lebih cepat 5 sampai 10 kali dari genom
inti (Brown et al., 1979) dan bahkan gen tRNA seratus kali lebih cepat dari DNA
inti (Brown et al., 1982); (iv) DNA mitochondria hewan tidak memiliki intron
ataupun spacer yang berukuran besar antar gennya. Hal inilah yang
mebyebabkan ukuran genom mitochondria hewan lebih kecil dibandingkan
dengan genom mitochondria tanaman; (v) DNA mitochondria bersifat khusus
karena diturunkan melalui induk betinanya tanpa mengalami rekombinasi (strict
maternal inheritance). Akibatnya afinitas genetik yang diatur oleh genom
mitochondria merupakan refleksi dari Phylogeni matriarcale; vi) DNA
mitochondria sangat polimorf, baik untuk intrapopulasi maupun untuk
interspesies (Solihin, 1994).
2.7. Analisis DNA
Prosedur awal dalam analisis mtDNA dilakukan melalui proses ekstraksi,
yaitu memecah genom DNA dari sumber sel (jaringan) ke dalam fragmen-
fragmen spesifik yang berukuran lebih kecil. Tahap berikutnya adalah isolasi,
yaitu pemisahan sekuen DNA target (mtDNA) dari total DNA (DNA inti dan
mtDNA) yang diekstraksi; dan amplifikasi, merupakan proses perbanyakan atau
sintesis sekuen mtDNA melalui proses Polymerase Chain Reaction (PCR).
Sekuen DNA yang telah diisolasi dan diamplifikasi kemudian diidentifikasi dan
25
dianalisis menurut cara RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) atau
RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) sesuai dengan tujuannya. Metode
RFLP melihat perbedaan profil dan panjang fragmen DNA dari individu yang
berbeda berdasarkan hasil pemotongan enzim restriksi yang sama; sedangkan
metode fingerprinting RAPD memperhatikan perbedaan hasil amplifikasi dari
individu yang berbeda dengan menggunakan ‘primer’ tertentu.
Tahap ekstraksi dan isolasi merupakan dua tahapan penting yang sangat
menentukan keberhasilan analisis DNA. Jenis jaringan yang biasa digunakan
dapat berupa hati, otot, sirip, darah, sel kultur dan jaringan lain, baik dalam
kondisi segar, telah difiksasi atau beku. Penggunaan jaringan dalam keadaan
beku atau diawet biasanya lebih umum dipilih sehubungan dengan prosedur
analisa yang harus dilaksankan di tempat yang bersih dengan menggunakan
peralatan khusus.
2.8. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Teknik PCR ditemukan tahun 1985 oleh Dr. Kary Mullis di Cetus
Corporation, dan telah berkembang pesat dalam menunjang revolusi besar
dalam bidang biologi molekuler (Zyskind dan Bernstein, 1993). Awalnya Mullis
menggunakan enzim polymerase DNA I (fragmen Klenov) pada tahap ekstensi
polinukleotida primer, tetapi karena fragmen Klenov tidak stabil pada suhu tinggi,
maka diganti dengan Taq DNA-polymerase, suatu enzim yang dihasilkan oleh
bakteri thermofilik yang tahan terhadap suhu tinggi tanpa kehilangan aktivitasnya
dan tetap aktif selama siklus PCR, suhu optimum 75oC. Teknik ini
dikembangkan untuk menghasilkan sekuen DNA tertentu dalam jumlah besar
tanpa melalui cloning pada sel hidup.
Prinsip kerja dari teknik PCR adalah proses memperbanyak DNA dengan
memanfaatkan sifat replikasi DNA, dibantu oleh enzim DNA polymerase dan
26
perubahan sifat fisik DNA terhadap suhu. Replikasi terjadi jika terdapat untai
tunggal DNA yang bertindak sebagai template (cetakan) dan energi pembangun
basa (dNTP). Enzim DNA polymerase akan membantu katalis pembuatan DNA
untai lainnya yang merupakan komplemen dari template DAN. Reaksi ini harus
dimulai dengan ‘primer’ (pemula), yaitu suatu potongan pendek DNA
(oligonukleotida) yang umumnya terdiri dari 20 nukleotida dan disintesa dengan
susunan nukleotida spesifik. Masing-masing primer akan berpasangan dengan
sekuen tertentu yang mengapit daerah DNA target amplifikasi pada tiap pita
DNA.
Siklus pokok PCR berlangsung dalam tiga tahap, yaitu denaturasi
template pada suhu tinggi (94 – 97oC), annealing oligonukleutida primer pada
suhu 55 – 72oC dan ekstensi DNA-polymerase primer pada ujung 3’ pada suhu
72oC. Siklus diulang sebanyak 25 – 30 kali. Pada tahap denaturasi, untai DNA
pilin ganda dibuka melalui pemanasan hingga tiap pita DNA terpisah; annealing
adalah pelekatan primaer pada masing-masing untai pita DNA; yang terakhir
pada tahap ekstensi, ezim DNA polymerase aktif memperpanjang primer hingga
terbentuk untaian pasangan basa sepanjang sekuen DNA target. Dari
keseluruhan proses jumlah DNA target yang dihasilkan meningkat secara
eksponensial karena template yang baru akan terbentuk pada setiap siklus.
Kelebihan dari teknik PCR adalah proses isolasi relatif cepat, jumlah
sekuen DNA yang dihasilkan dapat mencapai 300.000 copy dan sangat sensitif
dalam mendeteksi sekuen DNA target dari sampel. Dibandingkan dengan teknik
konvensional, prosedur ini mempunyai beberapa kelebihan antar lain (Zyskind
dan Bernstein, 1993): a) tidak memerlukan enzim lain selama siklus; b) suhu
tinggi yang diterapkan dalam sintesa DNA (75oC) dapat meningkatkan stringency
sehingga meminimumkan ekstensi primer yang tak sebanding dengan template;
c) struktur skunder dari templae DNA yang dapat manghalangi aktivitas enzim
27
polymerase direduksi melalui denaturasi sekuen pada suhu tinggi. Dalam
perkembangan selanjutnya PCR sangat bermanfaat dalam aplikasi sebagai
berikut:
Ø Amplifikasi RNA untuk kepentingan deteksi atau cloning
Ø Amplifikasi sekuen yang diapit (flanking) melalui PCR yang dibalik (inverse
PCR)
Ø Template bagi sequencing DNA
Ø Aplikasi dalam teknik standard, yaitu riset pada koloni bakteri bagi keperluan
screening, penyisipan (insertion) atau penghapusan (deletion) sekuen
nukleotida ke dalam sekuen nukleotida, serta untuk menentukan orientasi
dan lokasi dari fragmen restriksi.
2.9. Enzim Restriksi (restriction endonuclease)
Enzim restriksi adalah enzim yang dapat memotong DNA pada sekuesn
spesifik sehinggak dihasilkan fragmen-fragmen nukleotida yang lebih pendek
dengan ukuran tertentu (enzim pemotong). Enzim restriksi dapat mengenal
sekuen 4-basa, 5-basa atau 6-basa, dan akan memotong molekul DNA di tempat
manapun yang dikenal. Pemotong 4-basa biasanya menghasilkan 3 – 6 kali
lebih banyak fragmen disbanding pemotong 6-basa (Ferris dan Berg, 1987).
Dapat dikatakan enzim restriksi merupakan ‘tool’ prinsip dalam analisis genom
mtDNA.
Ezim restriksi dapat diisolasi dari mikroorganisme (bakteri), misalnya
enzim Xba I diisolasi dari Xanthomonas badrii. Enzim ini dapat mengenal dan
memotong sekuen nukleotida T^CTAGA (tanda ‘^’ menunjukkan titik pemotongan
atau cleavage). Pada Salmo gairdneri pemotongan enzim Xba I menghasilkan 6
fragmen dengan ukuran masing-masing 5690, 3080,2310, 1480 dan 690 bp
28
(Gyllensten dan Wilson 1987). Pada genus Salmo enzim Mbo I (^GATC) dapat
mengenal dan menghasilkan fragmen 25 bp.
Keuntungan utama dari tehnik restriksi adalah hanya diperlukan material
sangat sedikit, lebih sensitif (memungkinkan deteksi fragmen 30 bp) dan dapat
mendeteksi mtDNA dari DNA selular, namun demikian diperlukan lebih banyak
enzim restriksi. Tehnik lain seperti Southern yang dilakukan melalui prosedur
endlabeling (dekembangkan oleh Brown) memakan waktu lebih lama (Ferris dan
Berg, 1987). Disamping tehnik restriksi, perkembangan manipulasi DNA
terutama ditunjang oleh berkembangnya teknologi DNA rekombinan (genetic
engineering) dan tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction).