peningkatan mutu gula merah tebu - ipb...

Download PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/14590/RIAN RULI... · PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI

If you can't read please download the document

Upload: phunganh

Post on 06-Feb-2018

236 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU

    MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PEMASAKAN SISTEM UAP

    (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah)

    Oleh

    RIAN RULI NARULITA

    F34103069

    2008

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • Rian Ruli Narulita. F34103069. Peningkatan Mutu Gula Merah Tebu Melalui Penerapan Teknologi Pemasakan Sistem Uap (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah). Dibawah bimbingan Tajuddin Bantacut dan Suprihatin. 2008.

    RINGKASAN

    Gula merah tebu (GMT) di Kabupaten Rembang masih tergolong bermutu rendah dan bervariasi. Variasi mutu tersebut disebabkan oleh teknologi proses yang sederhana, bahan baku yang bervariasi, dan kondisi pengolahan yang tidak konsisten. Oleh karena itu, untuk meningkatkan mutu GMT perlu dilakukan perbaikan pada proses pengolahan dan penanganan bahan baku. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji penerapan teknologi baru pada proses produksi gula merah tebu, serta mengkaji peningkatan mutu GMT dengan adanya perbaikan proses tersebut. Studi kasus ini meliputi identifikasi usaha GMT, verifikasi, dan analisa mutu produk.

    Penerapan teknologi yang diuji-cobakan adalah pemasakan nira tebu dengan sistem uap di salah satu industri GMT di Rembang. Sedangkan perbaikan kondisi proses yang dilakukan adalah perlakuan terhadap bahan baku (tebu) dan nira hasil penggilingan tebu. Pada teknologi inovasi tersebut, sembilan wajan berundak diganti dengan satu tanki pemasakan. Sistem pemanasan yang baru adalah menggunakan prinsip pindah panas. Panas dari uap yang dihasilkan boiler digunakan untuk memanaskan nira dalam tanki. Tungku boiler diletakkan terpisah, yaitu di luar ruang produksi, sehingga asap dan abu pembakaran tidak mengkontaminasi nira dan produk akhir.

    Penggunaan bahan baku yang lebih bersih, perlakuan penyaringan bertahap pada nira sebelum dimasak, dan penggantian peralatan proses pengolahan wajan berundak dengan wajan uap dapat meningkatkan mutu produk, penghematan input tenaga kerja untuk pengadukan selama pemasakan, dan penghematan waktu. Peningkatan mutu ditandai dengan perubahan sifat fisik GMT (meliputi rasa, aroma, dan penampakan produk), peningkatan kadar sukrosa sebesar 22.39%, serta penurunan kadar abu sebesar 31.21%; kadar air sebesar 38.49%; TDS sebesar 40.63%; dan kadar glukosa 41.80%.

    Dalam penelitian ini telah disusun rancangan panduan Good Manufacture Practice (GMP), serta panduan sanitasi (SSOP). Rancangan ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman bagi industri gula merah tebu agar dapat memproduksi GMT yang aman dan layak bagi konsumen.

    ii

  • Rian Ruli Narulita. F34103069. Quality Improvement of Cane Brown Sugar by Application of Processing Tecnology Using Steam (Case Study in District of Rembang, Central Java). Supervised by Tajuddin Bantacut dan Suprihatin. 2008.

    SUMMARY

    The quality of Cane Brown Sugar (CBS) in Rembang is still poor and various. This variation is caused by traditionally process technology, variation of raw materials, and unconsistanly processing conditions. Improving technical processing and maintaining raw materials are needed to increase CBS quality. The aim of this research were to study the application of new technology in CBS producing process, and to analyse the improved CBS quality level as the result of the applied technology. This research identification of CBS business unit, verification and analising the product quality.

    The applied technology tested was steam system covers for cooking cane juices. This experiments were conducted at a small scale CBS industry in Rembang. The process conditions tested were the treatment of canes and cane juices. In this innovation technology, nine cooking pans were replaced by a cooked tank. New heat system was applied using convection heat transfer principle. Heats steam from boiler was used to cook cane juices in the tank. Stove of boiler was placed separated outside the production room in order to avoid contamination of cane juices and also downstream products.

    The use of cleaner raw material, staged filtering of pre cooked cane juices, and substituting cooking pans with steam tank resulted in improvement of product quality, reduce processing time and worker input of stirring during cooking. The quality improvement were indicated by changes of physical characteristic of the produced CBS (including taste, odor, and product performance), increasing of sucrose level of 22,39%; decreasing of ashes level of 31,21 %; decreasing of water level of 38,49 %, decreasing of TDS of 40.63 %; and decreasing of glucose level 41.80 %.

    In this work a GMP (Good Manufacture Practice) for CBS processing and SSOP (Sanitation Standard Operation Procedure) were developed. These guidances can be used in CBS industry, so it can produce good quality of CBS.

    iii

  • PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU

    MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PEMASAKAN SISTEM UAP

    (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah)

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    RIAN RULI NARULITA

    F34103069

    2008

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    iv

  • INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    PENINGKATAN MUTU GULA MERAH TEBU

    MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PEMASAKAN SISTEM UAP

    (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah)

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    RIAN RULI NARULITA

    F34103069

    Dilahirkan pada tanggal 29 Juli 1985

    di Boyolali

    Tanggal Lulus : 4 April 2008

    Menyetujui,

    Bogor, April 2008

    Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Ing. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

    v

  • SURAT PERNYATAAN

    Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul

    Peningkatan Mutu Gula Merah Tebu Melalui Penerapan Teknologi

    Pemasakan Sistem Uap (Studi Kasus di Kabupaten Rembang, Jawa

    Tengah) adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dari dosen pembimbing.

    Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari

    penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di

    bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, April 2008

    Yang membuat pernyataan

    Rian Ruli Narulita F34103069

    vi

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah pada tanggal 29

    Juli 1985 sebagai anak pertama dari pasangan Sutarmo dan

    Suginem. Penulis menempuh pendidikan di TK IKKA I

    Boyolali (1990-1991), SDN VIII Boyolali (1991-1997),

    SLTPN 1 Boyolali (1997-2000), dan SMUN 1 Boyolali

    (2000-2003). Penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian

    Bogor melalui jalur USMI, diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian,

    Fakultas Teknologi Pertanian.

    Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam keanggotaan HIMALOGIN

    (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian), UKM Pramuka IPB, dan

    Organisasi Daerah Forum Komunikasi Mahasiswa Boyolali (FKMB). Penulis

    pernah melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di Pabrik Kopi Banaran,

    Ambarawa, dengan judul laporan Mempelajari Proses Produksi Kopi Beras dan

    Penanganan Limbah di Pabrik Kopi Banaran PTP. Nusantara IX (Persero) Jawa

    Tengah.

    Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Peningkatan Mutu Gula Merah

    Tebu Melalui Penerapan Teknologi Pemasakan Sistem Uap (Studi Kasus di

    Kabupaten Rembang, Jawa Tengah) sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana

    Teknologi Pertanian di bawah bimbingan Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc. dan

    Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing..

    vii

  • KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim.

    Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa

    mencurahkan nikmat, rahmat, dan kasih kepada setiap ummat-Nya. Hanya dengan

    ijin-Nya penulis dapat melaksanakan tugas akhir dan menyelesaikan skripsi ini.

    Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Muhammad SAW,

    penyandang akhlaqul karimah, serta keluarga; sahabat; dan ummat yang

    mengikuti Sunnahnya.

    Penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan bantuan

    dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan rasa

    terimakasih dan penghargaan kepada :

    1. Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M. Sc. selaku dosen akademik sekaligus dosen

    pembimbing skripsi pertama yang telah menyisihkan waktunya untuk

    membimbing dan mengarahkan penulis demi terselesaikannya skripsi ini.

    2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing. selaku pembimbing skripsi kedua yang telah

    memberikan kesempatan penelitian, arahan, dan bimbingan kepada penulis.

    3. Ir. Muslich, M. Si. selaku dosen penguji. Terima kasih atas saran, kritik, dan

    arahan yang telah diberikan guna kesempurnaan skripsi ini.

    4. Ibu Arini Khusniati dan Keluarga Besar Bapak Abdussalam yang telah

    memberikan bantuan moril dan materiil. Terima kasih atas rasa

    kekeluargaannya serta kesempatan yang telah diberikan.

    5. Segenap Laboran di Laboratorium TIN dan Staf Departemen TIN yang telah

    membantu kelancaran penelitian, skripsi, dan urusan akademis lain.

    6. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian hingga tersusunnya

    skripsi, khususnya kepada rekan penelitian, Mila Fadilah Utami, S.TP.

    Penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak

    terkait, serta dapat dijadikan sumber informasi bagi yang memerlukan.

    Bogor, April 2008

    Penulis

    viii

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR ...................................................................................

    DAFTAR ISI ..................................................................................................

    DAFTAR TABEL .........................................................................................

    DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

    1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................

    1.2. Tujuan ..............................................................................................

    1.3. Ruang Lingkup .................................................................................

    1.4. Dasar Pemikiran ...............................................................................

    2. KONDISI UMUM USAHA 2.1. Profil Perkebunan Tebu Rakyat di Kabupaten Rembang ................

    2.2. Profil Usaha Gula Merah Tebu ........................................................

    3. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Mutu Gula Merah .............................................................................

    3.2. Proses Pembuatan Gula Merah Tebu ...............................................

    3.3. Perbaikan Proses pada Penelitian Terdahulu ....................................

    4. METODE PENELITIAN 4.1. Kerangka Pelaksanaan .....................................................................

    4.2. Tata Laksana ....................................................................................

    4.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................

    4.2.2. Tahapan Penelitian ...............................................................

    4.2.3. Pengujian Beda Nilai Tengah................................................

    5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengolahan Gula Merah Tebu secara Konvensional .......................

    5.2. Pengolahan Gula Merah Tebu Sistem Uap ......................................

    5.3. Kajian Teknologi Inovasi .................................................................

    5.3.1. Boiler ....................................................................................

    5.3.2. Wajan pemasakan .................................................................

    ii

    iii

    v

    vi

    vii

    1

    1

    2

    2

    4

    6

    15

    17

    19

    21

    21

    21

    22

    23

    24

    31

    34

    35

    39

  • 5.4. Analisa Mutu Gula Merah Tebu ......................................................

    5.4.1. Sifat Fisik .............................................................................

    5.4.2. Kadar Air ..............................................................................

    5.4.3. Kadar Abu ............................................................................

    5.4.4. Kadar Padatan Tidak Larut (Total Dissoluble Solid/TDS) ...

    5.4.5. Kadar Sukrosa dan Glukosa .................................................

    6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ........................................................................................

    6.2. Saran ...................................................................................................

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

    LAMPIRAN ...................................................................................................

    41

    41

    43

    44

    46

    47

    53

    54

    55

    58

  • DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1. Perbandingan gula pasir (gula putih) dan gula jawa (gula merah) ... Tabel 2. Sebaran perkebunan tebu dan potensi pengembangannya di

    Kabupaten Rembang tahun 2005 ...................................................... Tabel 3. Luas areal, produksi, produktifitas dan jumlah petani komoditas

    tebu di Kabupaten Rembang tahun 2006 .......................................... Tabel 4. Harga jual gula tumbu dari pengrajin ke pedagang pengumpul

    (Tahun giling 2006) ......................................................................... Tabel 5. Nilai gizi yang terkandung setiap 100 g berbagai jenis gula ............ Tabel 6. Spesifikasi persyaratan mutu gula merah tebu.................................. Tabel 7. Perbandingan sifat fisik GMT konvensional dan sistem uap ........... Tabel 8. Perbandingan antara pengolahan GMT konvensional dan

    pengolahan GMT sistem uap ........................................................... Tabel 9. Estimasi biaya investasi usaha gula merah tebu ..............................

    3

    5

    5

    12

    14

    15

    42

    51

    52

  • DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1. Distribusi produk gula merah tebu..............................................

    Gambar 2. Diagram alir pembuatan gula merah tebu ...................................

    Gambar 3. Kondisi tebu ...............................................................................

    Gambar 4. Mesin penggiling ........................................................................

    Gambar 5. Penampungan nira ......................................................................

    Gambar 6. Bak penyaluran ke wajan ...........................................................

    Gambar 7. Tungku dan wajan pemasakan konvensional .............................

    Gambar 8. Pembuangan buih nira ................................................................

    Gambar 9. Penahan luapan nira ...................................................................

    Gambar 10. Pengadukan gula merah tebu di atas meja pengentalan (10a) dan selanjutnya didinginkan (10b) .............................................

    Gambar 11. Penyusukan agar dihasilkan gula awur (gula semut) .................

    Gambar 12. Wajan pemasakan .......................................................................

    Gambar 13. Boiler ..........................................................................................

    Gambar 14. Pipa spiral di dalam wajan untuk mengalirkan uap ...................

    Gambar 15. Penampang boiler pipa air ..........................................................

    Gambar 16. Hubungan antara kapasitas boiler yang diperlukan dengan bobot tebu yang digiling........................................................................

    Gambar 17. Konstruksi dasar boiler dan wajan pemasakan ..........................

    Gambar 18. Penampang pipa spiral ...............................................................

    Gambar 19. Perbandingan mutu GMT berdasarkan analisa kimia ................

    Gambar 20. Perbandingan kadar air gula merah tebu ....................................

    Gambar 21. Perbandingan kadar abu gula merah tebu ..................................

    Gambar 22. Perbandingan padatan tak terlarut (TDS) pada gula merah tebu

    Gambar 23. Perbandingan kadar sukrosa pada gula merah tebu .....................

    Gambar 24. Perbandingan kadar glukosa pada gula merah tebu .....................

    10

    19

    25

    25

    26

    26

    27

    28

    28

    30

    30

    33

    33

    34

    36

    37

    39

    40

    41

    43

    45

    46

    48

    48

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1. Prosedur Analisa Mutu Gula Merah Tebu ................................ Lampiran 2. Hasil Uji-t pada Kadar Air, Kadar Abu, %TDS, Kadar

    Sukrosa, dan Kadar Glukosa Gula Merah Tebu ........................ Lampiran 3. Neraca Massa Pengolahan Gula Merah Tebu ........................... Lampiran 4. Rancangan Manual GMP dan SSOP GMT ............................... Lampiran 5. Perhitungan Energi pada Pengolahan GMT Konvensional ....... Lampiran 6. Perhitungan Energi pada Pengolahan GMT Sistem Uap ........... Lampiran 7. Rancang Bangun Alat Pengolahan Gula Merah Tebu Sistem

    Uap ............................................................................................ Lampiran 8. Ukuran Boiler dan Wajan Pemasakan........................................ Lampiran 9. Penentuan Harga Pokok dan Harga Jual GMT pada Kondisi

    Pengolahan Konvensional ......................................................... Lampiran 10. Penentuan Harga Pokok dan Harga Jual GMT pada Kondisi

    Pengolahan Sistem Uap ............................................................

    59

    64 66

    67

    79

    82

    84

    85

    86

    87

  • 1. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Sebagian besar gula merah yang ditemui di pasar lokal cukup bervariasi, terutama

    dalam hal penampakan dan sifat fisiknya, yaitu warna, kadar kotoran, dan

    kekerasannya. Keragaman mutu tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal,

    yaitu rendahnya teknologi proses yang digunakan, variasi bahan baku, dan kondisi

    proses pengolahan yang tidak konsisten. Menurut Rosby (2004), proses produksi

    gula merah yang selama ini dikerjakan menggunakan teknologi sederhana dan

    bersifat tradisional inilah yang menyebabkan hasil produksi gula merah sangat

    bervariasi.

    Gula merah berbahan baku nira tebu pada umumnya diproduksi oleh industri

    kecil. Para pengusaha industri kecil gula merah tebu di Kabupaten Rembang

    memiliki keinginan untuk mengembangkan usaha melalui peningkatan kualitas

    dan kuantitas produk. Keinginan tersebut membutuhkan suatu pemikiran agar

    memberikan solusi yang tepat. Alih teknologi merupakan alternatif jawaban untuk

    masalah produk gula yang bervariasi.

    Pada penelitian ini, dikaji penerapan teknologi baru (pengolahan gula dengan

    sistem uap) dengan didukung usaha perbaikan kondisi proses pengolahan. Alih

    teknologi tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi secara optimal

    kepada para pengusaha gula merah tebu, terutama di Kabupaten Rembang.

    Dengan meningkatnya kualitas produk, industri gula merah tebu diharapkan dapat

    lebih berkembang serta mampu bersaing.

    1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengkaji penerapan produksi gula merah tebu

    dengan penggunaan teknologi pemasakan sistem uap, serta mengetahui

    peningkatan mutu yang dapat dicapai dengan teknologi tersebut.

  • 1.3. Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus pada salah satu Usaha Gula Merah

    Tebu di Kabupaten Rembang, yang meliputi:

    a. Karakterisasi usaha gula merah tebu.

    b. Uji coba produksi dengan menggunakan alat pemasakan gula merah tebu

    sistem uap.

    c. Analisa produk, baik dari hasil pengolahan konvensional maupun pengolahan

    sistem uap. Analisa tersebut meliputi perubahan sifat fisik (warna, rasa,

    aroma, dan penampakan), serta perubahan sifat kimia (kadar air, kadar abu,

    bagian tak terlarut dalam air, kadar sukrosa, dan kadar glukosa).

    1.4. Dasar Pemikiran Usaha Gula Merah Tebu (GMT) adalah salah satu usaha kecil yang perlu

    dikembangkan karena gula merah memiliki peluang sebagai komoditas ekspor.

    Besarnya peluang ekspor komoditas ini didukung dengan masih sedikitnya negara

    yang memproduksi gula merah, terutama gula merah tebu. Ketersediaan bahan

    baku yang cukup tinggi di Indonesia memberikan peluang yang cukup besar untuk

    mengembangkan GMT. Berdasarkan data yang telah diperoleh, lahan tanaman

    tebu di Kabupaten Rembang cukup luas dan hampir setiap tahun cenderung

    meningkat, baik luas areal maupun produktivitasnya.

    Semakin meluasnya areal tebu rakyat yang tidak diimbangi dengan kapasitas

    giling pabrik gula putih (PG) yang memadai, mengakibatkan kelebihan produksi

    tebu tidak mampu diserap oleh PG. Tebu yang tidak dapat ditampung oleh PG

    diolah oleh masyarakat menjadi gula merah. Hal tersebut yang menjadi dasar

    pendirian usaha GMT. Pertumbuhan usaha GMT semakin meningkat dengan

    adanya kebijakan impor gula oleh pemerintah. Isu kebijakan impor gula putih

    dapat dijadikan kesempatan bagi para pelaku usaha GMT untuk meningkatkan

    produktivitasnya.

    Seiring dengan berubahnya pola hidup masyarakat yang semakin memperhatikan

    nutrisi makanan yang dikonsumsi, gula merah akan semakin diminati sebagai

  • pengganti konsumsi gula putih. Karena ditinjau dari segi kesehatan, gula merah

    memiliki manfaat nutrisi yang lebih baik. Perbandingan antara gula putih dan gula

    merah mengenai kandungan dan manfaatnya disajikan pada Tabel 1. Keunggulan

    tersebut mampu menjadi pendukung dikembangkannya usaha gula merah tebu.

    Tabel 1. Perbandingan gula pasir (gula putih) dan gula jawa (gula merah)

    VARIABEL Gula Pasir Gula Jawa

    Rasa Manis Ya Ya Glukosa Ada Ada Galaktomanan (berfungsi untuk kesehatan) Tidak ada Ada Energi spontan (energi bisa langsung digunakan oleh tubuh) Tidak Ya

    Antioksidan Tidak Ya Lebih bermanfaat untuk diabetes Tidak Ya Mengandung senyawa non-gizi yg bermanfaat untuk diabetes (penelitian terbaru yang belum dipublikasikan)

    Tidak Ya

    Aroma khas nira Tidak Ya Mengandung senyawa yg bermanfaat untuk kesehatan seperti yg ada dalam kelapa muda (peneliti Depkes RI, non publikasi)

    Tidak Ya

    Sumber: Nirasari, 2007

    Pengembangan usaha GMT memiliki dampak yang cukup signifikan di bidang

    ekonomi dan sosial. Dengan adanya usaha pengolahan GMT, sumber daya

    manusia di sekitar usaha dapat diserap sebagai tenaga kerja. Dengan demikian,

    pengangguran di wilayah tersebut mampu ditekan serta kesejahteraan hidup

    masyarakat lebih meningkat. Peningkatan kesejahteraan petani akan lebih baik

    apabila sistem produksi gula kelapa yang bersifat industri rumahan diubah

    menjadi sistem pabrikasi dan dilakukan peningkatan mutu serta inovasi produk.

    Hal ini akan membebaskan petani dari sistem ijon yang diterapkan oleh

    pedagang/pengepul gula yang merugikan kaum tani selama ini.

  • 2. KONDISI UMUM USAHA

    2.1. Profil Perkebunan Tebu Rakyat di Kabupaten Rembang Secara geografis Kabupaten Rembang terbentang diantara 111o00 111o301 BT

    dan 603o1 700o1 LS. Sebagian daerahnya merupakan pantai Laut Jawa.

    Rembang berbatasan dengan Kabupaten Blora di sebelah Selatan, Propinsi Jawa

    Timur (Kabupaten Tuban) di sebelah Timur, dan Kabupaten Pati di sebelah Barat.

    Kabupaten Rembang mencakup wilayah seluas kurang lebih 101.747 ha, terbagi

    atas 14 Kecamatan serta 294 Desa/Kelurahan yang terdiri dari 288 Desa dan enam

    Kelurahan.

    Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan yang telah lama dibudidayakan di

    Kabupaten Rembang. Areal tebu rakyat di Kabupaten Rembang hingga akhir

    tahun 2005 seluas 4.398 ha yang tersebar di 12 wilayah kecamatan dengan sentra

    produksi di Kecamatan Pamotan, Sulang, Sumber, dan Pancur yang ditinjau

    secara teknis relatif mempunyai kesesuaian lahan dan agroklimat. Luas lahan tebu

    dan potensi pengembangannya di Kabupaten Rembang dapat dilihat pada Tabel 2.

    Pada tahun 2006, jumlah luas tanaman tebu Kabupaten Rembang 6.140,86 ha,

    dengan luas potensi lahan kering sebesar 9.488 ha. Luas areal, produksi,

    produktifitas, dan jumlah petani komoditas tebu di Kabupaten Rembang Tahun

    2006 dapat dilihat pada Tabel 3.

    Pada tahun 2005, jumlah petani tebu adalah 1.994 orang dengan volume produksi

    16.353.679 ton dan rendemen 6-7 %, sedangkan volume produksi tebu pada tahun

    2006 di Kabupaten Rembang mencapai 23.127.555 ton dengan rata-rata rendemen

    10 %. Jumlah petani yang terlibat dalam kegiatan usaha tani tebu adalah 2.701

    orang. Dari data tahun 2005 dan 2006 tersebut terlihat bahwa perkebunan tebu

    rakyat di Kabupaten Rembang cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya.

  • Tabel 2. Sebaran perkebunan tebu dan potensi pengembangannya di Kabupaten Rembang tahun 2005

    No Kecamatan Luas (Ha) Potensi Lahan

    Pengembangan (Ha) 1 Rembang 117 673 2 Sulang 968 1.127 3 Sumber 459 686 4 Bulu 108 462 5 Gunem 113 397 6 Pamotan 1.859 2.250 7 Pancur 353 720 8 Kaliori 75 421 9 Sedan 185 640 10 Kragan 57 695 11 Sarang 40 450 12 Lasem 64 317 13 Sluke - 200 14 Sale - 450 Jumlah 4.398 9.488

    Sumber : Data Statistik BPS Kabupaten Rembang tahun 2006

    Tabel 3. Luas areal, produksi, produktifitas dan jumlah petani komoditas tebu di Kabupaten Rembang tahun 2006

    Produksi

    No Kecamatan Luas Areal (Ha) Ton

    Rata-rata Produksi (Kg/Ha)

    Jumlah Petani (KK)

    1 Sumber 341 1.221.462 3582 92 2 Bulu 167 566.130 3390 61 3 Gunem 213 722.070 3390 189 4 Sale - - - - 5 Sarang 19 62.700 3300 6 6 Sedan 90 322.380 3582 38 7 Pamotan 3.015 12.050.955 3997 1235 8 Sulang 1.305 4.791.960 3672 503 9 Kaliori 109 369.510 3390 29 10 Rembang 181 619.020 3420 52 11 Pancur 554 1.917.948 3462 439 12 Kragan 27 90.720 3360 10 13 Sluke - - - - 14 Lasem 119 392.700 3300 47 Jumlah 6140 23127.555 3767 2701

    Tahun 2005 4398 16353.697 3718 1994 Tahun 2004 3871 11951.000 3087 1984

    Sumber: Data Statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Rembang Tahun 2007

  • Pada umumnya, hasil panen tebu dijual ke Pabrik Gula (PG) untuk diolah menjadi

    gula putih, namun ada juga yang dijual untuk diolah menjadi gula merah tebu

    (GMT). Pabrik Gula yang menjadi tujuan penjualan hasil panen petani tebu di

    Kabupaten Rembang adalah PG Rendeng di Kudus, PG Trangkil di Pati, dan PG

    lain di sekitarnya. Perkiraan distribusi lahan pada tahun 2005 adalah sebagai

    berikut: 1.200 ha masuk PG Rendeng, 800 ha masuk PG Trangkil, 2000 ha masuk

    usaha gula tumbu (gula merah tebu), dan sisanya masuk ke PG lain.

    Para pengusaha gula merah tebu di Kabupaten Rembang lebih dikenal dengan

    istilah Pengusaha/Perusahaan Gula Tumbu (PGT). Di Kabupaten Rembang

    terdapat kurang lebih 161 unit PGT. Dalam satu tahun musim giling, satu unit

    PGT mampu mengolah minimal sepuluh hektar bahan baku (tebu). Diantara PGT

    yang tersebar di beberapa kecamatan di Rembang, jumlah PGT yang paling

    banyak berada di Kecamatan Pamotan, yaitu 96 PGT. Masing-masing PGT

    memiliki 1-3 unit gilingan, bahan baku yang digunakan merupakan tebu yang

    berasal dari lahan milik pribadi dan lahan sewa. Namun, tidak sedikit pula yang

    menggunakan sistem beli tebu dari petani lain yang tidak memiliki unit gilingan.

    Ada beberapa PGT yang hanya memproduksi gula tumbu bila harga gula putih

    diperkirakan mengalami penurunan. Sebaliknya, para pengusaha gula tumbu akan

    beralih menjual hasil tebunya ke PG, bila harga gula putih diperkirakan naik dan

    harga gula tumbu jauh di bawah harga gula putih. Para pemilik kebun tebu

    beranggapan, jika tebunya dijual ke PG maka tidak perlu mengeluarkan biaya

    produksi (biaya giling dan upah tenaga kerja) serta resikonya lebih kecil.PGT

    yang produksinya tergantung pada harga gula putih tersebut biasa disebut dengan

    PGT tidak tetap.

    2.2. Profil Usaha Gula Merah Tebu Usaha Gula Merah Tebu di Kecamatan Pamotan mulai dirintis pada tahun 1993.

    Pada awal produksinya, PGT di Kabupaten Rembang hanya mengolah gula

    tumbu. Disebut gula tumbu karena gula yang dihasilkan dicetak dalam tumbu

    (wadah dari anyaman bambu). Setiap PGT memiliki jumlah unit pengolahan gula

    yang bervariasi, rata-rata 1-3 unit pengolahan. Satu unit pengolahan terdiri dari

  • satu buah mesin penggiling tebu dan satu tungku pemasakan dengan sembilan

    kawah (wajan) di atasanya.

    Produk yang dihasilkan berupa gula merah tumbu (GMT) yang digunakan untuk

    memenuhi kebutuhan berbagai industri. Beberapa industri (pabrik) yang

    menggunakan gula tumbu sebagai bahan baku produksinya antara lain pabrik

    kecap (Indofood dan beberapa kecap lokal) serta anggur kolesom (cap Orang

    Tua). Pada tahun 1998, beberapa PGT mulai melakukan inovasi produk dengan

    memproduksi gula merah awur (gula semut).

    Hasil yang diperoleh dari analisa usaha ini dapat digunakan untuk

    menggambarkan kondisi usaha gula merah tebu pada periode penelitian. Analisa

    yang dilakukan meliputi manajemen sumberdaya manusia, produksi, pemasaran,

    keuangan, serta penelitian dan pengembangan usaha.

    (a) Manajemen sumberdaya manusia

    Perusahaan Gula Tumbu/Tebu (PGT) yang dianalisa merupakan bentuk usaha

    perorangan yang dikelola dengan menggunakan manajemen yang masih

    sederhana. Dalam menjalankan usahanya, PGT menggunakan tenaga kerja lokal.

    Untuk mengoperasikan satu unit pengolahan, dibutuhkan tenaga kerja sebanyak

    12-15 orang. Pembagian kerja dalam satu unit pengolahan adalah sebagai berikut:

    7-10 orang di bagian lahan (menebang tebu), dua orang di bagian mesin

    penggilingan tebu, dua orang di bagian pemasakan, dan satu orang di bagian

    penjemuran ampas tebu (bagas).

    Karyawan yang bekerja di bagian lahan dan penjemuran ampas merupakan

    karyawan harian dengan waktu kerja delapan jam per hari, sedangkan karyawan

    bagian penggilingan dan pemasakan merupakan karyawan borongan dengan

    waktu kerja 12 jam per hari. Upah yang diterima setiap karyawan berbeda.

    Karyawan harian rata-rata menerima upah sebesar Rp 20.000,00 per hari dengan

    tiga kali makan, sedangkan karyawan borongan menerima upah sebesar Rp

    170.000,00 per ton gula yang diperoleh. Upah diberikan satu minggu sekali, yaitu

    pada saat gula diambil oleh distributor.

  • Perekrutan karyawan PGT tidak menggunakan seleksi yang ketat dan tidak

    memerlukan kriteria khusus. Karyawan yang bekerja di PGT merupakan orang

    yang dipilih/diminta secara langsung oleh pemilik usaha dengan

    mempertimbangkan kemauan dan kesungguhan dalam bekerja. Karyawan di PGT

    pada umumnya tingkat pendidikannya rendah, yaitu lulusan SD dan ada juga yang

    tidak pernah mengenyam bangku sekolah.

    (b) Produksi

    PGT di Kabupaten Rembang beroperasi menggunakan teknologi serta kondisi

    produksi yang masih sederhana. Mesin giling tebu yang digunakan digerakkan

    oleh generator 20 PK (satuan daya, 1 PK = 1 horse power/HP). Pemasakan nira

    masih menggunakan tungku tradisional dengan sembilan kawah (wajan). Tungku

    pemasakan tersebut memerlukan bagas kering sebagai bahan bakarnya.

    Pada umumnya, musim giling tebu berlangsung selama 45 bulan per tahun,

    mulai bulan Juni/Juli hingga September/Oktober. Produksi gula merah pada awal

    musim panen (JuniJuli) lebih rendah dibandingkan pada pertengahan atau akhir

    musim panen (AgustusSeptember). Namun pada tahun giling 2007 (saat

    penelitian), musim panen baru dimulai pada awal Agustus dan berakhir pada awal

    Desember, agak terlambat dibandingkan musim-musim panen sebelumnya. Pada

    awal panen, rendemen gula masih relatif rendah, yaitu berkisar 78 %, selanjutnya

    rendemen akan terus meningkat dan rendemen pada puncak panen dapat mencapai

    11-12 %. Pada akhir panen, rendemen hampir sama dengan awal panen, bahkan

    bisa lebih rendah, hanya mencapai 6 % saja.

    Dalam satu hari kerja, satu unit pengolahan mampu mengolah 78 ton tebu (setara

    dengan luasan panen 0.120.13 ha). Pemasakan nira dari 78 ton tebu tersebut

    tidak dilakukan sekaligus, tetapi 45 kali pemasakan. Jika diambil asumsi

    rendemen rata-rata 10 %, maka pengrajin akan menghasilkan 78 kwintal gula

    merah tebu setiap harinya. Pada umumnya, pengrajin gula merah akan menjual

    hasil produksinya setelah gula mencapai 40 tumbu (lebih kurang lima ton gula),

    biasanya disebut dengan satu kali gulingan. Untuk memenuhi 40 tumbu tersebut

    diperlukan waktu sekitar 710 hari pengolahan. Jika dalam satu musim giling

  • terdapat 12 kali gulingan, maka kapasitas produksi usaha gula merah tumbu

    maupun gula awur per musim adalah 60 ton.

    (c) Pemasaran

    Pemasaran dapat diuraikan sebagai proses menetapkan, mengantisipasi,

    menciptakan, dan memenuhi kebutuhan serta keinginan pelanggan akan produk

    dan jasa. Pemasaran merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam

    mengembangkan usaha. Analisa pemasaran berhubungan dengan analisa produk,

    distribusi, promosi, dan harga. Variabel-variabel tersebut akan mempengaruhi

    kinerja perusahaan.

    Produk

    Bahan baku yang digunakan adalah nira tebu. Menurut Muchtadi dan Sugiyono

    (1992), nira dihasilkan oleh tanaman yang berdaun hijau dan digunakan dalam

    metabolisme tanaman. Pada beberapa jenis tanaman, nira disimpan dalam akar,

    batang, bunga, dan buah. Nira tebu yang digunakan dalam pengolahan gula merah

    tersebut diperoleh dari proses penggilingan bagian batang tebu (Saccharum

    officinarum).

    Sebagian besar tebu yang diolah adalah tebu jenis PS 864 dan BZ 148 yang telah

    mencapai umur panen, yaitu 812 bulan. Jenis tersebut dipilih karena dapat

    ditanam di lahan sawah maupun di lahan tadah hujan. Karakteristik ini cukup

    cocok untuk lahan di Kabupaten Rembang yang memiliki variasi jenis tanah.

    Karakteristik lainnya yaitu memiliki anakan yang cukup banyak serta gula yang

    dihasilkan cukup baik.

    Kondisi dan sifat-sifat nira akan menentukan sifat dan mutu produk yang

    dihasilkan (Goutara, 1985). Menurut Martoyo (1990), nira tebu dalam keadaan

    segar terasa manis, berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5,56,0.

    Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, nira yang akan diolah di PGT berwarna

    hijau kekuningan dan memiliki pH rata-rata 5,0. Dengan demikian nira tersebut

    dapat dikatakan cukup baik untuk diolah. Nira yang bermutu tinggi mempunyai

    kadar gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) yang rendah. Karena keterbatasan alat

  • di tempat penelitian, maka pengukuran terhadap kadar gula pereduksi pada nira

    tidak dilakukan.

    Penelitian ini difokuskan pada PGT yang memproduksi berupa gula semut. Gula

    merah berbentuk serbuk yang lebih dikenal dengan sebutan gula awur ini

    dikonsumsi oleh industri. Pada dasarnya pembuatan gula awur dan gula merah

    cetak adalah sama, perbedaannya hanya pada bagian akhir proses. Pada

    pengolahan gula merah cetak, setelah nira mengental/matang dilakukan

    pencetakan, sedangkan pada pengolahan gula awur, setelah nira didinginkan

    dilakukan penggerusan/penyusukan agar diperoleh butiran-butiran halus.

    Umumnya, produk fisik harus dikemas dan diberi label sebagai elemen dari

    strategi produk. Kemasan yang dirancang dengan baik dapat menciptakan

    kenyamanan dan nilai promosi (Kotler, 2005). Kemasan GMT di PGT Kabupaten

    Rembang, baik berupa gula tumbu maupun gula awur, dapat dikatakan kurang

    menarik konsumen. Namun karena industri pengguna tidak terlalu

    mempermasalahkan kemasan, maka para pengrajin GMT di Kabupaten Rembang

    juga kurang memperhatikan kemasan produk. Gula tumbu hanya dikemas dalam

    tumbu saja, sedangkan gula awur pengemasannya lebih baik, yaitu menggunakan

    plastik sebagai kemasan primer dan karung plastik sebagai kemasan sekunder.

    Kemasan tersebut juga tidak berlabel.

    Pemasaran gula merah tebu tidak dilakukan dengan menyalurkan langsung ke

    industri pengguna, tetapi melalui distributor (pedagang pengumpul). Pada

    umumnya terbentuk tiga pola pemasaran pada PGT di Kabupaten Rembang,

    seperti yang terlihat pada Gambar 1.

    Pedagang pengumpul menengah

    Pedagang Pengumpul besar Industri Pengrajin

    Gambar 1. Distribusi produk gula merah tebu

  • Beberapa PGT dapat digolongkan sebagai pengrajin sekaligus pedagang

    pengumpul menengah. Selain menjual produknya sendiri, PGT tersebut juga

    mengumpulkan gula merah tebu (sebagian besar berupa gula tumbu) dari PGT

    yang ada disekitar wilayahnya. Gula yang telah terkumpul selanjutnya dijual ke

    pedagang pengumpul besar, yang merupakan penyuplai gula merah untuk

    berbagai industri. Gula merah tebu dari Kabupaten Rembang banyak dikonsumsi

    oleh industri-industri kecap, sirup, anggur kolesom, jenang, dan industri pengguna

    lain yang tersebar di wilayah Rembang, Kudus, Pati, Semarang, Pasuruan,

    Surakarta, dan Yogyakarta.

    Promosi

    Promosi penjualan bertujuan untuk mendorong pembelian suatu produk atau jasa

    tertentu secara lebih cepat dan lebih besar oleh konsumen atau pedagang

    (Blattberg dalam Kotler, 2005). Promosi yang biasa dilakukan PGT adalah dalam

    bentuk langsung/lisan (negosiasi), baik dengan distributor maupun dengan industri

    pengguna (melalui distributor). Promosi melalui media elektronik maupun media

    cetak belum pernah dilakukan karena dirasa kurang diperlukan. Alasan lainnya

    yaitu karena PGT telah melakukan kontrak untuk memenuhi kebutuhan industri

    tertentu saja.

    Harga

    Biasanya harga jual gula awur lebih tinggi daripada gula tumbu. Perbedaan

    tersebut hanya berkisar antara Rp 100,00 hingga Rp 200,00 per kilogram,

    meskipun tahapan proses pembuatan gula awur lebih panjang dan membutuhkan

    kesabaran serta keuletan yang lebih tinggi. Harga produk GMT dipengaruhi oleh

    mekanisme pasar. Dalam hal ini, industri pengguna memegang kendali dalam

    menentukan harga GMT. Oleh karena itulah harga gula merah tebu selalu

    berubah-ubah. Harga jual gula tumbu dari pengrajin ke pedagang pengumpul

    dapat dilihat pada Tabel 4. Dari kapasitas produksi dan harga jual yang diketahui,

    dapat dihitung omset yang diperoleh usaha gula merah tebu. Penghitungan omset

    GMT berdasarkan data 2006 adalah sebagai berikut.

  • Omset usaha = total produksi x harga jual rata-rata

    = 60ton/tahun x Rp 2.950,00/kg x 1000kg/ton

    = Rp 177.000.000,00/tahun

    Tabel 4. Harga jual gula tumbu dari pengrajin ke pedagang pengumpul (Tahun

    giling 2006)

    Bulan Gula tumbu (Rp/kg)

    Awal Juni 3.000

    Pertengahan Juni 2.900

    Awal Juli 2.800

    Pertengahan Juli 2.750

    Akhir Juli 2.700

    Awal Agustus 2.650

    Pertengahan Agustus 2.600

    Awal September 2.650

    Pertengahan September 2.700

    Akhir Oktober 3.000

    Pertengahan Desember 3.550

    (d) Keuangan

    Dana yang digunakan sebagai modal usaha berasal dari dana pribadi dan

    pinjaman. Sistem pinjaman dalam usaha GMT ini adalah kas bon antara

    pengusaha bermodal kecil dengan pengusaha berodal besar. Pinjaman uang

    digunakan sebagai modal usaha, mulai dari biaya budidaya tebu hingga biaya

    pengolahan menjadi gula merah. Pinjaman tersebut dilunasi pada saat musim

    giling, dengan cara memotong hasil penjualan GMT dengan bon yang ada.

    Sistem pencatatan keuangan dalam PGT belum dilakukan dengan baik, hal ini

    terlihat dari tidak lengkapnya pencatatan mengenai pemasukan dan pengeluaran.

    Sistem pencatatan yang rinci dapat digunakan untuk menentukan harga dasar

    penjualan gula merah.

  • (e) Penelitian dan Pengembangan

    Penelitian dan pengembangan dalam suatu perusahaan sangat diperlukan dalam

    mendukung usaha yang sudah ada, membantu meluncurkan usaha baru,

    mengembangkan produk baru, meningkatkan mutu produk, memperbaiki efisiensi

    proses manufaktur dan memperdalam atau memperluas kemampuan teknologi

    perusahaan. Untuk kasus PGT Ibu Arini, kegiatan penelitian dan pengembangan

    yang telah dilakukan adalah adanya perubahan produk yang dihasilkan. PGT

    tersebut tidak lagi memproduksi gula tumbu, melainkan sudah memproduksi gula

    awur yang memiliki nilai jual lebih tinggi.

  • 3. TINJAUAN PUSTAKA

    Gula merah adalah hasil olahan nira yang berbentuk padat dan berwarna coklat

    kemerahan sampai dengan coklat tua. Nira yang digunakan biasanya berasal dari

    tanaman kelapa, aren, lontar atau siwalan, dan tebu (Dachlan, 1984). Selain untuk

    konsumsi di tingkat rumah tangga, gula merah juga menjadi bahan baku untuk

    berbagai industri pangan seperti industri kecap, tauco, produk cookies, dan

    berbagai produk makanan tradisional (Santoso, 1993). Gula merah juga mulai

    dikonsumsi di berbagai negara baik sebagai konsumsi akhir maupun sebagai

    bahan baku dan bahan tambahan dalam suatu industri. Gula merah banyak

    diminati di Jerman dan Jepang, industri perhotelan, supermarket, pabrik kecap

    ekspor, hingga pabrik anggur (Warastri, 2006).

    Dilihat dari segi kesehatan, gula merah tebu memiliki nilai gizi yang cukup baik.

    Perbandingan nilai gizi yang terkandung dalam berbagai jenis gula dapat dilihat

    pada Tabel 5.

    Tabel 5. Nilai gizi yang terkandung setiap 100 g berbagai jenis gula

    G.Kelapa (mg)

    G.Aren (mg)

    G.Merah Tebu (mg)

    G. Pasir (mg)

    Madu (mg)

    Kalori 386.0 386.0 356.0 364.0 294 Protein 3.0 0.0 0.4 0.0 0.3 Lemak 10.0 0.0 0.5 0.0 0.0 Hidrat arang 76.0 95.0 90.6 94.0 79.5 Kalsium 76.0 75.0 51.0 5.0 5.0 Fosfor 37.0 35.0 44.0 1.0 16.0 Besi 2.6 3.0 4.2 0.1 0.9 Vit. A 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Vit. B1 0.0 0.0 0.02 0.0 9.0 Vit. B2 0.0 0.0 0.03 0.0 0.0 Vit. C 0.0 0.0 0.0 0.0 04.0 Air 10.0 9.0 7.4 5.4 20.0

    Sumber: Tan, 1980

  • 3.1. Mutu Gula Merah Mutu gula merah ditentukan terutama dari rasa dan penampilannya yang meliputi

    bentuk, warna, kekeringan, dan kekerasannya. Gula yang berwarna lebih cerah

    dan agak keras lebih disukai serta memiliki harga jual lebih tinggi. Gula merah

    memiliki struktur dan tekstur yang kompak, tidak keras, sekaligus terdapat kesan

    empuk sehingga mudah dipatahkan (Santoso, 1993). Persyaratan mutu gula merah

    tebu dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang dirumuskan

    dalam SNI 01-6237-2000. Syarat mutu tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

    Tabel 6. Spesifikasi persyaratan mutu gula merah tebu

    Persyaratan No. Jenis uji Satuan Mutu I Mutu II 1 Keadaan

    - bau - rasa - warna - penampakan

    - - - -

    Khas Khas Coklat muda sampai tua Tidak berjamur

    Khas Khas Coklat muda sampai tua Tidak berjamur

    2 Bagian yang tak larut dalam air, b/b % Maks 1.0 Maks 5.0

    3 Air, b/b % Maks 8.0 Maks 10.0 4 Gula (dihitung sebagai

    sakarosa), b/b % Min 65 Min 60

    5 Gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa), b/b % Maks 11 Maks 14

    6 Bahan tambahan makanan pengawet - residu - benzoat

    mg/kg mg/kg

    Maks 20 Maks 200

    Maks 20 Maks 200

    7 Cemaran logam - timbal (Pb) - tembaga (Cu) - seng (Zn) - timah (Sn) - raksa (Hg)

    mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

    Maks 2.0 Maks 2.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03

    Maks 2.0 Maks 2.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03

    8 Cemaran arsen mg/kg Maks 0.1 Maks 0.1 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2000)

  • Gula merah hasil produksi pengrajin maupun yang didapatkan di pasaran pada

    umumnya dalam bentuk gula cetak dan mutunya beragam, ditinjau dari segi

    keawetan (daya simpan), warna, maupun kadar kotoran. Adanya keragaman

    warna dan kekerasan pada produk-produk gula merah di pasaran Indonesia dapat

    disebabkan oleh berbagai hal, yaitu rendahnya teknologi pengolahan, adanya

    variasi bahan baku (kondisi nira), maupun proses pengolahan yang tidak konsisten

    (Santoso, 1993).

    Wirioatmodjo et al. (1984) menyatakan bahwa sebagai komoditi pertanian, gula

    merah memiliki ciri daya simpannya relatif singkat karena mudah menyerap air

    sehingga mudah lembek. Mengenai warna, Herman (1987) mengungkapkan

    bahwa sebagian besar gula kelapa warnanya coklat sampai coklat kehitaman serta

    mudah lembek. Hal ini mungkin akibat terjadinya kegosongan selama proses

    pengolahan, disamping nira yang diolah kurang baik.

    a. Warna Gula Merah

    Gula merah yang warnanya lebih cerah dianggap memiliki kualitas yang lebih

    baik (Nurlela, 2002). Warna gula merah ditentukan oleh mutu nira yang

    digunakan. Nira yang telah terfermentasi mengandung asam dan gula pereduksi

    relatif tinggi. Menurut Shallenberg et al. dalam Nurlela (2002), kandungan gula

    pereduksi berperan penting dalam proses pencoklatan pada gula merah. Hal ini

    dikarenakan gula yang siap melakukan reaksi pencoklatan adalah gula pereduksi,

    sedangkan gula non pereduksi harus mengalami perubahan menjadi gula

    pereduksi terlebih dahulu.

    Reaksi pencoklatan non enzimatis yang diduga terjadi pada proses pembuatan

    gula merah adalah reaksi maillard dan karamelisasi, yang disebabkan oleh

    keberadaan gula pereduksi, protein, dan lemak dalam nira. Reaksi maillard adalah

    reaksi yang terjadi antara asam amino dengan gula pereduksi apabila dipanaskan

    bersama-sama. Reaksi karamelisasi adalah reaksi yang terjadi pada pemanasan

    gula dalam asam, basa, dan pemanasan tanpa air (Ozdemir, 1997).

  • b. Kekerasan Gula Merah

    Kekerasan gula merah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti mutu nira, kadar

    air, dan kadar lemak. Mutu nira berhubungan dengan jumlah sukrosa yang

    terdapat di dalamnya. Semakin baik mutu nira, jumlah sukrosa akan semakin

    tinggi dan gula merah yang terbentuk akan memiliki tekstur yang baik. Apabila

    sukrosa telah terinversi maka gula merah akan sulit mengeras. Penguraian sukrosa

    menjadi gula pereduksi disebabkan adanya aktivitas enzim invertase yang

    dihasilkan mikroba kontaminan atau akibat pemanasan dalam suasana asam yang

    terjadi selama pengolahan (Santoso, 1993).

    Air merupakan salah satu komponen yang berpengaruh terhadap keempukan gula.

    Semakin tinggi kadar air maka kekerasan gula merah akan semakin rendah

    (Sudarmadji et al., 1989). Kadar air yang terdapat pada gula merah adalah kurang

    dari 12%. Kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan gula merah menjadi lembek

    dan cepat rusak (Dachlan, 1984).

    c. Rasa Gula Merah

    Gula merah mempunyai nilai kemanisan 10% lebih manis daripada gula pasir.

    Adanya bahan-bahan dari berbagai jenis gula seperti sukrosa, fruktosa, glukosa,

    dan maltosa menyebabkan rasa manis (Santoso, 1993). Gula merah juga memiliki

    rasa sedikit asam karena adanya kandungan asam-asam organik di dalamnya.

    Adanya asam-asam ini menyebabkan gula merah mempunyai aroma yang khas,

    sedikit asam, dan berbau karamel. Rasa karamel pada gula merah diduga

    disebabkan adanya reaksi karamelisasi akibat panas selama pemasakan (Nengah,

    1990).

    3.2. Proses Pembuatan Gula Merah Tebu Definisi gula merah tebu menurut SNI 01-6237-2000 adalah gula yang dihasilkan

    dari pengolahan air atau sari tebu (Saccharum officinarum) melalui pemasakan

    dengan atau tanpa penambahan bahan makanan yang diperbolehkan dan berwarna

    kecoklatan. Proses pembuatan gula merah tebu pada prinsipnya sama dengan

  • pembuatan gula merah pada umumnya. Prinsipnya adalah proses penguapan nira

    dengan cara pemanasan sampai nira mencapai kekentalan tertentu kemudian

    mencetaknya menjadi bentuk yang diinginkan (Ashari et al., 2005).

    Tahap awal pembuatan gula merah adalah proses penggilingan batang tebu untuk

    mengekstraksi nira semaksimal mungkin. Proses ini dilakukan dengan

    menggunakan mesin giling yang digerakkan oleh diesel yang dihubungkan dengan

    sabuk transmisi atau belt. Peralatan giling ini dibuat dari besi yang terdiri dari dua

    silinder bergerigi yang bergerak berlawanan arah sehingga batang tebu hancur

    karena terjepit diantara dua silinder. Dengan demikian nira tebu dapat terekstrak

    (Lesthari, 2006).

    Nira yang telah terekstrak kemudian disaring menggunakan kain penyaring untuk

    memisahkan kotoran-kotoran seperti potongan ranting, daun kering, dan serangga.

    Nira hasil penyaringan dimasukkan ke dalam wajan kemudian dipanaskan pada

    suhu sekitar 110 0C selama tiga sampai empat jam sambil dilakukan pengadukan.

    Suhu yang optimal untuk pemanasan nira adalah 110-120 0C. Apabila suhunya

    terlalu tinggi, maka akan terjadi karamelisasi berlebihan sehingga gula yang

    dihasilkan dapat menjadi gosong. Pengadukan perlu dilakukan untuk

    mempercepat penguapan air dari nira dan untuk membentuk kristal gula yang

    kompak serta menghasilkan warna gula yang seragam (Sagala et al., 1978).

    Pada pemasakan dengan suhu tinggi ini kotoran-kotoran halus akan terapung

    bersama dengan buih nira. Kotoran tersebut dibuang dengan menggunakan serok

    (Santoso, 1993). Buih-buih yang timbul selama proses dapat dikurangi dengan

    melakukan pengadukan terus menerus serta dapat ditambahkan parutan kelapa,

    minyak kelapa, atau kemiri yang dihaluskan. Bahan-bahan ini ditambahkan untuk

    menurunkan tegangan permukaan antara buih dan cairan nira (Palungkun, 1993).

    Pemanasan nira dihentikan jika nira sudah mulai pekat dan berwarna kecoklatan

    serta buih-buih nira sudah menurun. Kecukupan pemanasan sangat mempengaruhi

    mutu gula merah yang dihasilkan. Apabila waktu pemanasan terlalu cepat maka

    gula merah yang dihasilkan akan lembek dan mudah meleleh (Sardjono, 1985).

    Nira pekat yang telah masak kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang telah

  • dibasahi air untuk mempermudah pelepasan gula merah. Alat pencetakan gula

    merah umumnya adalah tempurung kelapa atau batang bambu (Dyanti, 2002).

    Proses pembuatan gula merah tebu secara ringkas disajikan pada Gambar 2.

    Larutan kapur

    Buih dan kotoran

    Batang tebu

    Nira

    Penggilingan

    Penjernihan dengan pemanasan awal 70 0C

    Pencetakan

    Pemanasan 100-110 0C

    Penggumpalan

    Gula merah tebu

    Natrium metabisulfitdan minyak

    kelapa

    Bagas

    Penjernihan dengan pemanasan awal 70 0C

    Gambar 2. Diagram alir pembuatan gula merah tebu

    3.3. Perbaikan Proses pada Penelitian Terdahulu

    Untuk memperoleh produk dengan mutu yang baik perlu diperhatikan mutu bahan

    baku, proses produksi, dan pengemasan produk. Menurut penelitian Nurlela

    (2002), pembentukan warna gula merah pada dasarnya sangat tergantung pada dua

    hal, yaitu kondisi bahan baku (nira) dan proses pembuatan gula merah. Kondisi

  • bahan baku atau nira yang menghasilkan gula merah dengan warna coklat

    kekuningan, keras, dan kering adalah nira segar dengan kisaran pH antara 5.55.6.

    Tahapan proses yang mempengaruhi mutu adalah suhu proses, pengadukan

    selama pemasakan, serta kondisi kebersihan proses (sanitasi) dan alat-alat yang

    digunakan. Warna produk gula merah memang sangat berpengaruh pada persepsi

    konsumen. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan mutu dan

    mengurangi variasi mutu gula merah adalah perlu adanya cara pengolahan gula

    merah yang lebih baik, meliputi suhu pengolahan, waktu pengolahan, intensitas

    pengadukan, serta kebersihan alat (Nurlela, 2002).

    Menurut penelitian Yustiningsih (2006), proses penjernihan nira optimum dengan

    metode defekasi mampu menurunkan nilai kadar air, kadar abu, total kotoran,

    kadar glukosa, kadar protein, dan kadar lemak; serta meningkatkan kadar sukrosa.

    Pada penelitian tersebut, proses defekasi pada semua kombinasi suhu nira dan

    dosis kapur yang digunakan ternyata tidak berbeda nyata. Atas dasar alasan

    praktis dan efisien, Yustiningsih menyarankan bahwa untuk aplikasi di Industri

    Gula Merah Tebu (IGMT), kombinasi yang digunakan adalah suhu nira 29 oC dan

    dosis kapur 0,067 %.

    Hasil penelitian Lesthari (2006) menunjukkan bahwa penundaan giling tebu dapat

    menurunkan kadar sukrosa gula merah yang dihasilkan. Selain itu, Lesthari (2006)

    juga menyimpulkan bahwa penambahan natrium metabisulfit tidak memberikan

    pengaruh yang nyata terhadap kecerahan warna gula merah, justru meningkatkan

    kadar abu. Berdasarkan hasil penelitian Lesthari tersebut, maka pada penelitian ini

    juga tidak digunakan bahan tambahan natrium metabisulfit.

  • 4. METODE PENELITIAN

    1.5. Kerangka Pelaksanaan Mutu gula merah tebu saat ini masih tergolong rendah dan bervariasi akibat dari

    teknologi dan kondisi proses produksi yang diterapkan tidak optimum. Oleh

    karena itu, untuk meningkatkan mutu gula merah tebu diperlukan langkah-

    langkah sebagai berikut:

    Identifikasi faktor-faktor penyebab mutu gula merah tebu yang rendah dan

    bervariasi, mencakup bahan baku, alat, sanitasi, cara produksi, dan lain-lain

    melalui pustaka-pustaka yang sesuai

    Formulasi perbaikan proses berdasarkan analisis teoritis berdasarkan hasil-

    hasil penelitian terdahulu dan data/informasi lainnya

    Verifikasi teknologi proses melalui kajian eksperimental skala besar dengan

    target perbaikan kualitas produk hingga memenuhi Standar Nasional

    Indonesia (SNI)

    Analisa hasil eksperimen dan formulasi standar proses produksi gula merah

    tebu berdasarkan hasil penelitian

    1.6. Tata Laksana 3.6.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian dilaksanakan di Usaha Gula Merah Tebu (GMT) milik Ibu Arini

    Khusniati yang berlokasi di Desa Japerejo, Kecamatan Pamotan, Kabupaten

    Rembang, Jawa Tengah. Kegiatan pengumpulan data dilakukan pada akhir bulan

    Mei hingga akhir bulan November 2007. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan

    pertimbangan ketersediaan bahan baku di daerah tersebut sangat mendukung,

    skala produksi dan pemasarannya cukup besar, serta adanya komitmen kerjasama

    untuk pengembangan industri kecil gula merah tebu.

  • 3.6.2. Tahapan Penelitian

    a) Karakterisasi Usaha

    Tahap karakterisasi ini digunakan untuk memperoleh data penunjang, data

    tersebut berupa data primer dan data sekunder. Selanjutnya data-data yang

    diperoleh dianalisa. Data primer diperoleh melalui eksperimen, pengamatan

    langsung dan wawancara. Wawancara dilaksanakan dengan pemilik usaha gula

    merah tebu (GMT), pedagang (distributor) GMT, konsumen GMT, serta pihak-

    pihak yang berkaitan dengan usaha setempat, yaitu pekerja di usaha GMT

    (pengolah), Petugas Penyuluh Lapang (PPL), dan pegawai-pegawai di berbagai

    instansi terkait.

    Data sekunder diperoleh dari Instansi Pemerintah Kabupaten Rembang (Dinas

    Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Rembang; Dinas Kehutanan

    dan Perkebunan Kabupaten Rembang; Badan Pusat Statistik Kabupaten Rembang;

    dan Badan Pemerintahan Daerah Kabupaten Rembang), dan berbagai sumber

    pustaka serta publikasi yang dianggap relevan.

    b) Verifikasi Teknologi Proses

    Pada tahap ini dilakukan eksperimen skala besar untuk memperbaiki kualitas gula

    merah tebu hingga sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Eksperimen

    dilakukan berdasarkan hasil formulasi perbaikan proses secara teoritis dan

    disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Usaha meningkatkan mutu gula

    merah tebu difokuskan pada proses produksinya.

    Usaha yang dilakukan adalah mengolah nira tebu menjadi gula merah dengan

    menggunakan alat baru yang diasumsikan lebih baik daripada peralatan tradisional

    yang biasa digunakan sebelumnya. Selain menggunakan alat baru, usaha

    perbaikan yang dilakukan dengan mengkondisikan proses produksi sebaik

    mungkin. Kondisi proses tersebut mencakup penanganan bahan baku sebelum

    diproses dan cara pengolahan. Tebu yang akan digiling disortir dan dibersihkan

    serta mengusahakan penyaringan bertahap. Pengolahan diusahakan agar higienis.

  • c) Analisa Mutu Produk

    Langkah terakhir pada tahap ini adalah analisa mutu. Analisa akhir gula merah

    tebu dilakukan untuk melihat mutu gula merah hasil perbaikan proses. Mutu gula

    merah tersebut kemudian dibandingkan dengan mutu gula merah awal sebelum

    perbaikan proses (hasil pengolahan konvensional) dan standar mutu gula merah

    tebu. Analisa yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar gula pereduksi,

    kadar sukrosa, dan kadar bagian tidak larut dalam air. Prosedur analisa selanjutnya

    dapat dilihat pada Lampiran 1.

    4.2.3. Pengujian Beda Nilai Tengah

    Selain perbandingan deskriptif, untuk mendukung data analisa mutu kimia yang

    diperoleh, maka dilakukan pengujian hipotesis. Dalam penelitian ini dilakukan

    pengujian dengan membandingkan dua populasi yang dihasilkan dari dua

    perlakuan yang berbeda (pemasakan konvensional dan pemasakan sistem uap)

    pada unit percobaan (pengolahan gula merah tebu). Mengacu pada Siregar (2004),

    untuk menentukan apakah nilai rata-rata dua kelompok data relatif sama atau

    berbeda, dilakukan uji-t, yaitu:

    X1 X2t = t . (1/n1) + (1/n2)

    dengan varian gabungan (S2):

    (ni 1)S2 (n1 1) S2 + (n2 1)S2S2 = (ni 1)

    =(n2 1) + (n2 1)

    Uji pada kedua populasi dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

    H0 : 1 = 2 H1 : 1 2Dengan kriteria pengujian, tolak H0 jika p-value < 0,05.

  • 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

    2.3. Pengolahan Gula Merah Tebu secara Konvensional Pengolahan gula merah tumbu di PGT yang ada di Kabupaten Rembang memiliki

    tahapan proses yang hampir sama. Namun, ada sedikit perbedaan pada kondisi

    unit usahanya. PGT yang pemiliknya memperhatikan kualitas produk serta

    mempunyai modal besar, pada umumnya kondisi unit usahanya lebih baik. Brak

    (bangunan pengolahan) PGT modal besar biasanya sudah dibuat menggunakan

    tiang permanen walaupun masih sederhana, sedangkan PGT yang modalnya

    terbatas biasanya braknya masih menggunakan tiang bambu sehingga terkesan

    tidak kokoh dan tidak bersih. Kondisi tempat usaha merupakan salah satu faktor

    yang mempengaruhi kualitas gula yang dihasilkan. Kurangnya kesadaran sebagian

    besar PGT terhadap kondisi tempat usaha dapat menjadi penyebab kurang

    berkembangnya usaha gula merah tumbu.

    Tahapan proses produksi gula merah tumbu di Kabupaten Rembang terdiri dari

    penggilingan, pemasakan, pencetakan, serta pengemasan dan penyimpanan.

    Tahapan proses produksi gula merah awur meliputi penggilingan, pemasakan,

    penyusukan, serta pengemasan dan penyimpanan. Penjelasan dari setiap tahapan

    proses adalah sebagai berikut:

    a. Penggilingan

    Pada tahap ini dilakukan penghancuran batang tebu hasil panen dengan

    menggunakan mesin. Tujuan penghancuran batang tebu adalah untuk

    mendapatkan ekstrak tebu yang disebut nira. Sumber penggerak mesin giling tebu

    adalah mesin diesel (generator) dengan daya 20 PK. Satu unit mesin giling di PGT

    mampu menggiling tebu sebanyak 68 ton per hari yang dikerjakan dalam 34

    kali giling. Dalam satu hari kerja tersebut (1012 jam), menghasilkan 67 kwintal

    gula, dengan asumsi rendemen rata-rata 10 %.

  • Tebu yang digiling adalah tebu yang telah mencapai umur panen, yaitu sekitar 12

    bulan. Tebu yang dipanen sebelum maupun setelah mencapai umur panen akan

    menghasilkan gula yang kualitasnya rendah. Berdasarkan Goutara (1985), pada

    saat tebu memasuki umur panen (1116 bulan), kadar sukrosanya akan terus

    meningkat, sedangkan kadar gula pereduksinya akan menurun. Kenaikan sukrosa

    tersebut akan turun kembali setelah melewati umur panen. Tebu yang telah

    dipanen harus segera digiling agar tidak terjadi kerusakan berupa inversi sukrosa.

    Gambar 3. Kondisi tebu Gambar 4. Mesin penggiling

    Cara pemanenan dan kebersihan tebu juga berpengaruh pada gula yang dihasilkan.

    Cara pemanenan tebu di PGT-PGT Rembang masih belum diperhatikan dengan

    baik. Tebu-tebu hasil panen biasanya bukan berupa batang tebu saja, tetapi masih

    terdapat daun-daun tebu. Berdasarkan data komunikasi personal, cara menebang

    tebu yang benar adalah dengan membuang daun-daun tebu dari batangnya serta

    memangkas bagian pucuk dan pangkal batang. Daun-daun tebu ikut digiling

    bersama batang tebu, hal ini mungkin dapat berpengaruh pada kadar gula dan

    kadar kotoran dalam produk serta mempengaruhi rendemen gula.

    Pada prinsipnya, proses penggilingan dan penyaluran nira hingga ke wajan

    pemasakan sudah cukup baik, namun pelaksanaannya masih kurang baik.

    Penyaringan pada bak penampung nira hasil penggilingan masih belum sempurna,

    pekerja kurang telaten menjaga kebersihan bak tersebut, dan kadang-kadang

    saringan tidak dipasang semuanya. Sebaiknya para pekerja memulai

    memperhatikan kondisi pengolahan, mulai dari penanganan bahan baku hingga

    proses pemasakan.

  • b. Pemasakan

    Nira yang terekstrak biasanya berwarna kuning kehijau-hijauan dan akan berubah

    karena adanya pengotor dari lingkungan. Pada penelitian ini, nilai rata-rata pH

    nira adalah 5,0 dengan densitas 14 oBrix. Nira hasil penggilingan dialirkan ke bak

    yang bersekat dan diberi saringan kasar dengan tujuan menghilangkan kotoran

    dari nira sebelum diolah. Kotoran yang tersaring berupa daun tebu, tanah dan

    pasir, serta kotoran-kotoran berukuran besar lainnya. Selanjutnya nira ditampung

    di sebuah wajan yang sudah tidak digunakan untuk memasak (Gambar 5).

    Gambar 5. Penampungan nira Gambar 6. Bak penyaluran ke wajan

    Dari wajan, nira dipindahkan lagi ke bak yang ditutup dengan kain penyaring

    (Gambar 6). Pemindahan dilakukan dengan menggunakan ember. Dari bak

    tersebut nira kemudian dialirkan ke wajan-wajan pemasakan yang berada di atas

    tungku melalui selang (pipa) dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Pemasakan

    yang bertujuan untuk menguapkan air dalam nira tersebut dilakukan secara

    bertahap dengan memindahkan nira secara berurutan dari wajan yang paling

    belakang menuju wajan paling depan (paling dekat dengan sumber api).

    Tungku yang digunakan untuk memasak adalah tungku panjang yang dibuat

    miring dan di atasnya terdapat sembilan wajan pemasakan. Wajan pemasakan ini

    berdiameter kurang lebih satu meter dan berkapasitas 65-72 liter nira. Wajan-

    wajan tersebut diatur berundak dan agak miring untuk memudahkan pemindahan

    nira dari wajan satu ke wajan berikutnya. Desain tungku dapat dilihat pada

    Gambar 7.

  • wajan

    cubung

    Gambar 7. Tungku dan wajan pemasakan konvensional

    Seperti halnya pada penelitian Yustiningsih (2006), tungku pemasakan juga

    dilengkapi dengan tempat pemasukan bahan bakar, penampungan abu

    pembakaran, serta cerobong asap. Konstruksi tungku seperti inilah yang

    memungkinkan asap pembakaran yang keluar dari cerobong mengalami kontak

    langsung dengan nira yang sedang dimasak. Terjadinya kontaminasi asap dapat

    mempengaruhi produk yang dihasilkan karena asap mengandung partikel-partikel

    pengotor seperti debu. Oleh karena itulah gula merah hasil produksi tercium bau

    asap, berwarna gelap, dan tercipta rasa yang spesifik.

    Pada awal pemanasan (suhu pemasakan 6070 oC) ditambahkan kapur 250 gram

    untuk memudahkan pemisahan kotoran yang larut dalam nira, sehingga diperoleh

    gula yang bersih dan tidak lembek. Penambahan kapur akan mempercepat gerakan

    molekul-molekul cairan nira sehingga menimbulkan gerakan pada kotoran yang

    kemudian akan melayang ke permukaan cairan dan terapung bersama buih nira

    (Departemen Industri, 1992). Buih dan kotoran yang terapung tersebut harus

    dibuang dengan menggunakan serok (Gambar 8). Jika buih cukup banyak, maka

    digunakan cubung untuk menahan luapan nira. Cubung adalah alat berbentuk

    tabung dan dibuat dari anyaman bambu, diletakkan di tengah wajan sebagai

    penahan luapan nira (Gambar 9).

    Proses pembuatan gula merah pada dasarnya adalah penguapan dan pengkristalan,

    dimana kecepatannya tergantung dari jumlah nira yang diolah serta suhu

    pemanasan. Menurut Sagala et al. (1978), suhu optimal untuk pemanasan nira

  • adalah 110120 oC. Bila terlalu tinggi gula yang dihasilkan bisa menjadi gosong.

    Selama pemasakan perlu dilakukan pengadukan untuk mempercepat penguapan

    air dari nira serta memberi peluang untuk pembentukan kristal gula yang kompak.

    Pengaturan suhu dan intensitas pengadukan harus selalu diperhatikan. Di PGT,

    pemasukan bahan bakar dan pengadukan dilakukan oleh pekerja yang sudah

    berpengalaman, sehingga untuk mengatur kedua faktor tersebut hanya

    menggunakan intuisi pekerja saja.

    Gambar 8. Pembuangan buih nira Gambar 9. Penahan luapan nira

    Pada saat pemasakan terjadi dua reaksi pencoklatan, yaitu karmelisasi dan reaksi

    Maillard. Bila gula dipanaskan di atas titik cairnya maka gula akan berwarna

    gelap. Pada suhu mendekati titik lebur sukrosa (185186 oC) terjadi dekomposisi

    sukrosa (Eskin et al., 1971). Schallenberge (1975) menambahkan, bila sukrosa

    dipanaskan pada 200 oC secara terus menerus akan terjadi hidrolisis dan dehidrasi

    yang diikuti dimerisasi yang mengakibatkan produk tidak berasa manis.

    Pemasakan nira menjadi nira kental (gulali) ini berlangsung selama 34 jam.

    Gulali matang biasanya hanya tersisa pada dua wajan yang terdekat dengan

    sumber panas (tempat pemasukan bahan bakar). Menurut Ashari et al. (2005),

    semakin depan posisi wajan, nira semakin kental. Gulali pada wajan yang di

    depan (biasanya wajan pertama dan kedua dari depan) telah siap diangkat atau

    dicetak. Jika sudah hampir masak, ditambahkan minyak kelapa dengan tujuan

    mengurangi tegangan permukaan sehingga tidak lengket.

  • c. Pencetakan Tahap ini hanya dilakukan pada PGT yang memproduki gula tumbu, sedangkan

    pada PGT yang memproduksi gula awur, setelah tahap pemasakan selesai,

    langsung dilanjutkan tahap pengentalan dan penyusukan. Proses pencetakan

    dilakukan dengan menggunakan tumbu (wadah dari anyaman bambu). Dalam satu

    kali matang, gulali tidak dicetak dalam satu wadah sekaligus, tetapi dibagi

    menjadi 35-40 tumbu. Hal ini dilakukan untuk mempercepat penghilangan panas

    sehingga gulali lebih cepat mengeras serta mencegah warna gelap gula akibat

    karamelisasi lanjutan. Pemadatan juga dipercepat dengan cara mengaduk-aduk

    gulali di dalam tumbu. Untuk memenuhi tumbu tersebut, diperlukan waktu sekitar

    7 hingga 10 hari. Satu tumbu memiliki bobot sekitar 125 kg gula.

    d. Pengentalan dan Penyusukan

    Pada PGT yang memproduksi gula awur, gulali yang telah matang selanjutnya

    dipindahkan ke suatu wadah dari kayu, biasa disebut meja, yang sebelumnya telah

    ditaburi Sodium Benzoat sebagai bahan pengawet. Rata-rata penggunaan Sodium

    Benzoat di PGT 100 gram setiap satu kali pengolahan yang menghasilkan 150

    kg gula. Gula dari wajan pemasakan diangkut ke meja dengan menggunakan

    ember alumunium. Penggunaan meja bertujuan untuk mempercepat penghilangan

    uap panas dari gula sehingga reaksi maillard dan karamelisasi tidak berlangsung

    terus. Selain penggunaan meja, penghilangan panas dari gula juga dipercepat

    dengan pengadukan selama 1015 menit (Gambar 10a). Pengadukan juga

    berpengaruh pada tingkat kecerahan dan kekerasan gula.

    Gula yang telah kering dan dingin selanjutnya dilakukan penyusukan sehingga

    diperoleh butiran-butiran gula yang lebih halus (Gambar 11). Tahapan inilah yang

    membedakan proses pembuatan gula tumbu (gula cetak) dan gula awur (gula

    semut). Sagala et al. (1978) menyatakan bahwa tahap penggumpalan merupakan

    proses pembesaran kristal. Pengadukan yang dilakukan akan menurunkan suhu

    gulali yang mengakibatkan naiknya koefisien kejenuhan, naiknya koefisien

    kejenuhan mengakibatkan terjadinya penempelan sukrosa pada inti kristal yang

    ada setelah pemasakan.

  • 10a 10b

    Gambar 10. Pengadukan gula merah tebu di atas meja pengentalan (10a) dan selanjutnya didinginkan (10b)

    Gambar 11. Penyusukan agar dihasilkan gula awur (gula semut)

    e. Pengemasan dan penyimpanan

    Pengemasan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk dan mencegah

    terjadinya penurunan mutu. Gula awur dikemas setiap 50 kg dengan

    menggunakan plastik HDPE (High Density Poly Etilen) sebagai kemasan primer,

    serta karung plastik sebagai kemasan sekundernya. Selanjutnya, gula yang telah

    dikemas disimpan di dalam gudang dengan cara ditumpuk. Selama ini, gudang

    penyimpanan GMT di tingkat pengolah belum terlalu diperhatikan. Lantai gudang

    penyimpanan masih berupa tanah dan tidak diperhatikan mengenai suhu,

    kebersihan, maupun keamanan dari hewan pengganggu. Hal ini seharusnya

    diperbaiki dengan melihat prosedur yang sesuai. Gula yang telah diproduksi akan

    diambil oleh pembeli tetap (distributor industri) setiap 7-10 hari sekali, biasanya

    sekitar 5-6 ton gula.

  • 2.4. Pengolahan Gula Merah Tebu Sistem Uap Secara umum, persoalan yang dihadapi oleh industri gula merah adalah masalah

    teknologi. Oleh karena itu, tantangan utama yang dihadapi oleh pengembang

    industri gula merah adalah memasyarakatkan teknologi pengolahan yang lebih

    baik seperti inovasi produk, maupun pengembangan peralatan yang sesuai (Tim

    Survei Dewan Gula Indonesia, 1987). Selain itu, keinginan PGT untuk

    meningkatkan kualitas produk menjadi dasar dilakukannya inovasi teknologi dan

    perbaikan proses pada pengolahan gula merah tebu. Teknologi inovasi yang perlu

    dikembangkan untuk pengolahan gula merah tebu ditekankan di bagian

    pemasakan, karena dianggap sebagai bagian yang paling berpengaruh terhadap

    produk yang dihasilkan.

    Teknologi inovasi yang dicoba untuk diterapkan di PGT Ibu Arini adalah teknik

    pengolahan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (steam). Dasar pemikiran

    diciptakan teknik tersebut adalah perlunya suatu teknologi pemasakan agar bahan

    (nira) tidak dipanaskan secara langsung menggunakan tungku, tetapi proses

    pemanasan dijauhkan dari sumber api serta cerobong asap. Hal ini dimaksudkan

    untuk mengurangi timbulnya aroma, cita rasa, dan warna yang tidak diinginkan

    seperti yang terjadi pada pengolahan konvensional, karena kontaminasi asap.

    Usaha peningkatan kualitas gula merah tebu juga dilakukan dengan cara

    mengkondisikan proses produksi sebaik mungkin. Proses produksi di dalam suatu

    usaha merupakan seluruh aktivitas yang mengubah masukan menjadi suatu

    keluaran berupa barang ataupun jasa. Usaha-usaha perbaikan proses produksi

    dilakukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu serta dengan membuat rancangan

    manual GMP (Good Manufacture Practice) dan SSOP (Sanitation Standard

    Operation Procedure), yang dapat dilihat di Lampiran 4.

    Tahapan proses pengolahan menggunakan teknologi baru ini pada dasarnya sama

    dengan pengolahan konvensional, yaitu penggilingan, pemasakan, pengentalan

    dan penyusukan, serta pengemasan dan penyimpanan. Pada pengolahan

    menggunakan alat baru ini, usaha perbaikan kondisi hanya dilakukan pada tahap

    penggilingan dan pemasakan. Tahapan selanjutnya masih sama dengan cara

  • pengolahan sebelumnya. Verifikasi skala besar menggunakan alat baru telah

    dilakukan di PGT yang dijadikan obyek penelitian (milik Ibu Arini). Tahapan

    proses pengolahan yang mengalami usaha perbaikan adalah sebagai berikut:

    a. Penggilingan Penggilingan batang tebu dilakukan sama dengan cara penggilingan pada

    pengolahan konvensional. Usaha perbaikan proses yang dilakukan pada tahap ini

    yaitu dengan memperhatikan kondisi bahan baku (tebu) yang akan digiling.

    Sebelum digiling, tebu dibersihkan dari daun-daun dan kotoran lain yang terikut

    pada saat pengangkutan dari kebun. Diharapkan dari perlakuan tersebut dapat

    menurunkan kadar abu dan padatan tak terlarut, serta meningkatkan rendemen dan

    kadar sukrosa pada produk akhir.

    Pada umumnya, penebang tebu untuk produksi gula putih akan membuang bagian

    pucuk tebu, daun-daun, dan pangkal tebu. Berbeda dengan penebang tebu untuk

    produksi gula putih, para penebang tebu untuk produksi gula merah masih kurang

    memperhatikan kebersihan tebu. Keadaan tersebut berlangsung turun temurun dan

    tidak ada upaya untuk mengubah kebiasaan tersebut. Selama ini harga jual tebu ke

    PG selalu lebih tinggi dibanding harga jual tebu ke PGT karena tebu yang dijual

    ke pabrik-pabrik gula (PG) lebih bersih.

    Adanya peraturan atau persyaratan penjualan tebu ke PG sangat mempengaruhi

    kebersihan tebu hasil tebangan. Jika petani tebu tidak bisa memenuhinya, maka

    PG dapat membelinya dengan harga yang sangat rendah dan bahkan menolaknya.

    Hal seperti ini tidak berlaku di kalangan penebang tebu PGT walaupun pemilik

    usaha akan memberlakukan harga sesuai dengan harga tebu di PG. Perlu

    kesadaran diri dari penebang untuk mengubah kebiasaan yang telah mengakar

    tersebut.

    b. Pemasakan Tahap pemasakan merupakan sasaran utama usaha perbaikan proses produksi.

    Perbaikan yang dilakukan pada tahap ini adalah perubahan penggunaan teknologi

    pengolahan, sedangkan prinsip-prinsip cara pengolahannya sama, yaitu

  • menguapkan air dalam nira dengan cara pemanasan hingga diperoleh kekentalan

    tertentu. Jika pada pengolahan konvensional digunakan tungku dengan wajan

    pemasakan di atasnya, pada pengolahan cara baru digunakan tanki pemasakan

    yang terpisah dari tungkunya.

    Gambar 12. Wajan pemasakan Gambar 13. Boiler

    Pemasakan nira pada pengolahan cara baru ini dilakukan secara tidak langsung,

    yaitu dengan menggunakan prinsip pindah panas tipe konveksi. Pemindahan

    panas adalah proses dinamik, yaitu panas dipindahkan dari bahan yang bersuhu

    lebih tinggi ke bahan yang bersuhu lebih rendah. Kecepatan pemindahan panas

    tergantung pada perbedaan suhu (Wirakartakusumah et al., 1992). Pindah panas

    pada pengolahan gula adalah konveksi panas uap dalam pipa ke nira. Uap yang

    digunakan untuk proses pengolahan berasal dari penguapan air di dalam boiler.

    Pada pengolahan sistem baru ini wajan/tanki pemasakan yang digunakan mampu

    menampung 700 liter nira mentah. Oleh karena itu, nira yang dihasilkan dari

    satu kali giling tebu dapat dimasak sekaligus dalam satu wadah tanpa adanya

    pemanasan bertahap seperti pada pengolahan konvensional. Mula-mula, uap yang

    dihasilkan boiler dialirkan melalui pipa menuju tanki pemasakan. Panas dari uap

    akan berpindah ke pipa spiral (Gambar 14) yang ada di dalam wajan. Dengan

    adanya perbedaan suhu, maka akan berlangsung proses pindah panas secara

    konveksi dari pipa spiral ke nira dalam tanki sehingga suhu nira meningkat hingga

    mencapai 100 oC.

  • Gambar 14. Pipa spiral di dalam wajan untuk mengalirkan uap

    Waktu yang diperlukan untuk mendidihkan nira menggunakan panas uap ternyata

    cukup singkat antara 10-15 menit, tetapi hingga diperoleh nira matang diperlukan

    waktu yang lama, yaitu sekitar 4-5 jam. Waktu ini sedikit lebih lama bila

    dibandingkan dengan waktu pengolahan konvensional (3-4 jam). Namun

    diperkirakan jika jumlah wajan yang digunakan lebih banyak (empat buah), maka

    keseluruhan waktu proses akan lebih sedikit (lebih cepat).

    Jika nira sudah matang (mengental), tahap berikutnya sama dengan tahapan pada

    pengolahan konvensional, yaitu pengentalan, penyusukan, pengemasan, dan

    penyimpanan. Gula yang dihasilkan menggunakan alat baru lebih menarik

    daripada gula yang dihasilkan pada pengolahan konvensional. Warnanya lebih

    terang, rasa lebih manis, tidak tercium lagi bau sangit sehingga aromanya lebih

    khas (harum). Apabila hal ini dapat dipertahankan maka harga yang diterima

    pengusaha lebih tinggi dan usahanya lebih berkembang.

    2.5. Kajian Teknologi Inovasi Dewasa ini perkembangan teknologi mengalami kemajuan yang cukup pesat, baik

    teknologi yang langsung berkaitan langsung dengan proses produksi maupun

    teknologi pendukung kegiatan produksi sebuah bisnis (teknologi informasi).

    Kemajuan teknologi yang terus berkembang dapat memberikan kontribusi yang

    besar bagi keberadaan suatu usaha. Salah satu perkembangan teknologi juga mulai

    diterapkan pada unit pengolahan gula merah tebu, yaitu teknologi pemasakan nira

    tebu secara tidak langsung (pemasakan dengan uap). Teknologi inovasi ini dicoba

    diterapkan untuk memperbaiki kualitas gula merah tebu. Teknologi yang telah di

  • uji-cobakan di PGT Rembang terdiri dari dua komponen utama, yaitu boiler dan

    wajan pemasakan. Deskripsi kedua komponen tersebut adalah sebagai berikut.

    5.3.2. Boiler Boiler atau ketel uap adalah alat yang digunakan untuk memproduksi uap

    bertekanan tinggi (steam). Uap yang dihasilkan dapat digunakan untuk berbagai

    keperluan. Dalam penelitian ini, boiler digunakan sebagai penyuplai panas untuk

    menguapkan air yang terkandung dalam nira pada proses pengolahan gula merah

    tebu. Air yang diuapkan pada pengolahan GMT 76 % (b/b) (James, 1985).

    Boiler sebagai penyuplai panas untuk memasak gula juga membutuhkan panas

    untuk memanaskan air. Menurut Wiraatmadja (1989), sebagai medium pemanas,

    uap memperoleh panas dari sumber panas yang berasal dari bahan bakar atau

    sumber panas lainnya seperti listrik. Jadi prinsip kerja boiler yaitu panas yang

    dihasilkan sumber panas akan diserap oleh air di dalam boiler untuk menguapkan

    air menjadi uap pada suhu 220 oF atau lebih, yang akan dibebaskan kembali saat

    terjadi kondensasi. Berdasarkan pembacaan pada termometer yang terpasang pada

    dinding boiler, suhu uap di dalam boiler saat uji coba mencapai 120 oC.

    Dalam penelitian ini, sumber panas bagi boiler diperoleh dari pembakaran bagas

    yang telah dikeringkan. Bagas adalah ampas tebu yang sudah diekstrak gulanya

    pada bagian penggilingan. Penggunaan bagas sebagai bahan bakar pada boiler

    sudah biasa digunakan pada pabrik-pabrik gula yang berbahan baku tebu. Bagas

    dibakar secara langsung untuk menghasilkan uap, kemudian energi uap tersebut

    digunakan untuk pengolahan gula.

    Jenis boiler yang digunakan adalah boiler pipa air, seperti terlihat pada Gambar

    15. Mengacu pada Wiraatmadja (1989), apabila yang berada di dalam pipa adalah

    air dan gas panas ada di luarnya, maka boiler tersebut dikatakan sebagai boiler

    pipa air. Boiler tipe pipa air biasanya dipilih karena penggunaan air lebih sedikit,

    sehingga jika terjadi kerusakan (ada pipa yang pecah) tidak terlalu membahayakan

    (lebih aman) walaupun tekanannya jauh lebih tinggi dari tekanan boiler dalam

  • pipa api. Tekanan operasi boiler pipa pada pengolahan GMT mencapai 2 kg/cm2

    (asumsi konstan) dengan suhu 120 oC.

    Pipa berisi air

    Gas panas

    Gambar 15. Penampang boiler pipa air

    Boiler pada pengolahan gula merah tebu ini harus mampu menghasilkan uap

    minimal 0,44 kg/kg tebu segar, dengan nilai kalor sebesar 1.202 kJ. Jika

    diasumsikan kapasitas penggilingan PGT sebesar 1,5 ton tebu dalam satu kali

    pengolahan, maka diperlukan kalor sebesar 18,03 x 105 kJ. Jumlah kalor ini lebih

    sedikit bila dibandingkan kalor yang dibutuhkan pada pengolahan konvensional,

    yaitu 52,26 x 105 kJ. Dengan demikian, jumlah bagas yang dibutuhkan sebagai

    bahan bakar pada boiler juga lebih sedikit daripada tungku konvensional.

    Perhitungan energi secara lengkap disajikan pada Lampiran 5 dan 6.

    Menurut Wiraatmadja (1989), pada waktu yang singkat, umumnya boiler

    memiliki kemampuan untuk menerima beban 150 % dari kemampuan boiler yang

    dinyatakan. Boiler yang dipilih sebaiknya memiliki kapasitas yang besarnya 200

    % dari kebutuhan normal menurut perhitungan. Dengan demikian, boiler pada

    pengolahan GMT harus dapat menampung 1320 liter air (200 % x 0,44 kg uap/kg

    tebu segar x 1.500 kg tebu segar x 1 kg/), dengan asumsi satu kali pengolahan

    digunakan 1.500 kg tebu.

    Kapasitas boiler dalam penelitian ini adalah seribu liter. Kapasitas tersebut belum

    memenuhi kriteria pemilihan ukuran boiler menurut Wiraatmadja, namun sudah

    memenuhi batas minimum, yaitu 990 liter (150 % x. 0,44 kg uap/kg tebu segar x

    1.500 kg tebu segar x 1 kg/). Kebutuhan kapasitas boiler berbanding lurus

    dengan banyaknya tebu yang digiling. Hubungan antara kedua faktor tersebut

    disajikan pada Gambar 16.

  • 0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1400

    0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600tebu yang digiling (kg)

    kapa

    sita

    s boi

    ler

    (lite

    r)

    Gambar 16. Hubungan antara bobot tebu yang digiling dengan kapasitas boiler

    yang diperlukan

    Daya tahan pecah (brusting strenght) boiler sangat ditentukan oleh diameternya,

    sehingga diameter boiler harus dibatasi. Misalnya, diameternya tidak boleh lebih

    dari 4,24 meter dengan diameter pipa 0,279 meter (Wiraatmadja, 1989). Boiler

    pada penelitian ini berdiameter 1,30 meter dengan pipa air sejumlah 54 buah.

    Diameter pipa air tersebut dua inch (5,08 cm), dengan demikian boiler tersebut

    sudah memenuhi syarat menurut Wiraatmadja.

    Boiler harus dijaga dapat memproduksi uap dengan tekanan dan temperatur

    tertentu agar efisien (rendemen ketel tinggi). Oleh karena itu, kelengkapan alat

    bantu pada boiler sangat diperlukan untuk memudahkan pengoperasian.

    Perlengkapan tersebut antara lain termometer, manometer (pressure gauge), kaca

    penduga tinggi air, katup pengaman, dan injektor. Manometer adalah alat penduga

    tekanan yang biasa digunakan pada boiler. Tekanan uap dalam boiler setiap saat

    harus dipantau untuk menghindari terjadinya tekanan yang melebihi batas

    kekuatan boiler.

    Tekananan maksimum pada boiler pengolahan gula ini adalah 7-8 kg/cm2, dan

    kekuatan tensil bahan bejana boiler mencapai 800 kg/cm2. Namun pada uji coba

    yang telah dilakukan, tekanan rata-rata yang pernah dicapai hanya 3 kg/cm2.

    Pencapaian tekanan dan suhu dalam boiler sangat tergantung pada pemasukan

    bahan bakar. Kekuatan bejana boiler dapat dihitung sebagai berikut (Wiraatmadja,

    1989).

  • R x P S = T

    Keterangan: S = kekuatan tensil bahan bejana (kg/cm2) P = tekanan dalam bejana (kg/cm2) R = jari-jari bejana (cm) T = tebal bahan bejana (cm)

    Katup pengaman adalah salah satu perlengkapan boiler yang paling penting.

    Katup ini didesain agar dapat membuka bila tekanan boiler melampaui batas,

    sehingga uap dapat keluar sampai tekanan di dalam boiler turun menjadi normal

    (2-4 psig lebih rendah dari sebelumnya). Untuk menjaga keselamatan pekerja,

    katup pengaman otomatis ini harus sering diperiksa. Perlengkapan kaca penduga

    tinggi air digunakan untuk melihat ketinggian air dalam boiler. Jika ketinggian air

    sudah di bawah batas minimal, air harus dipompakan ke dalam boiler. Dengan

    demikian, kerusakan akibat kekurangan air dalam boiler dapat dihindari. Alat ini

    terdiri dari sebuah tabung gelas dan sebuah tabung logam yang diletakkan tegak

    lurus dan sejajar.

    Pompa air (injektor) juga memiliki fungsi yang penting untuk menjaga pemasukan

    air ke dalam boiler sehingga kelancaran operasi boiler tetap terjaga. Pompa yang

    digunakan biasanya adalah pompa bertekanan tinggi sehingga mampu mendorong

    air ke dalam boiler yang bertekanan tinggi. Konstruksi boiler pada pengolahan

    gula merah tebu dapat dilihat pada Gambar 17 serta Lampiran 7 dan 8.

    Efisiensi panas pada boiler berukuran kecil dan medium hanya sekitar 70-80 %,

    karena pada proses pemanasan terjadi kehilangan panas (Wiraatmadja, 1989).

    Kehilangan panas tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut :

    a. kehilangan panas melalui cerobong 11,6 %

    b. kehilangan panas karena pembentukan uap air pada pembakaran hidrogen dan

    keluar dari cerobong 4,5 %

    c. kehilangan panas karena bahan tidak terbakar dan radiasi 2,5 %

    d. kehilangan panas karena pembakaran tidak sempurna 1,5 %

    e. kehilangan panas karena bahan yang dapat dibakar terbawa oleh abu 2,3 %.

  • Gambar 17. Konstruksi dasar boiler dan wajan pemasakan

    5.3.2. Wajan Pemasakan Wajan pemasakan adalah alat yang digunakan untuk menampung nira hasil

    penggilingan, yang selanjutnya diuapkan airnya sehingga diperoleh nira kental

    (gula). Pada penelitian ini, digunakan wajan dengan kapasitas 700 liter nira

    mentah, dengan diameter 130 cm dan tinggi 60 cm. Bahan wajan bagian dalam

    adalah stainless steel dengan ketebalan empat milimeter, sedangkan bagian luar

    menggunakan bahan besi MS (mild steel). Antara wajan bagian dalam dan luar

    terdapat jarak/ruang yang berfungsi sebagai jaket uap sehingga membantu

    mempercepat pindah panas nira. Bagian luar wajan dilengkapi dengan

    termometer, manometer, dan keran pembuangan uap otomatis (safety valve).

    Bagian dasar wajan didesain bebentuk cekung, tidak datar, agar nira dapat

    dikeluarkan dengan sempurna sehingga mengurangi loss.

    Prinsip pemasakan nira adalah menguapkan air yang terkandung di dalam nira

    dengan cara